www.oseanografi.lipi.go.id
ISSN 0216-1877
Oseana, Volume XVI, Nomor 2 ; 1 - 20
BEBERAPA ASPEK INTERAKSI ANTARA HERBIVOR DENGAN MAKROALGAE DI PERAIRAN TROPIS (INDONESIA DAN SEKITARNYA ) oleh Agus M. Hatta
1)
ABSTRACT SOME ASPECTS OF INTERACTION BETWEEN HERBIVORES AND ALGAE IN TROPICAL WATERS. Problems arising as a results of interaction between primary producers (plants) and primary consumers (herbivores) are not only taken place in terrestrial ecosystem, but also occur in marine ecosystem. The control of herbivores on the existennce of macroalgae and their strategies to obtain maximum results were discussed. It is also discussed the defend strategy of macroalgae against herbivores activities as well as the possibility of macroalgae in using the disturbed condition to accelarate their growth. The above phenomenon were identified leased primarily on literature studies and partly on the facts observed in the eastern Indonesia waters. PENDAHULUAN
organisme lain disekitarnya. Sebagai contoh adalah phenomena mutualisme antara ikan herbivor, algae filamen dan karang pada ekosistem karang dijelaskan (POTTS 1977). Keberadaan herbivor sangat diperlukan oleh karang karena tanpa hadirnya herbivor maka karang akan kalah berkompetisi merebutkan ruangan dengan algae filamen. Karena tidak adanya kontrol dari herbivor, maka algae filamen akan tumbuh dengan cepat yang akhirnya dapat menutupi permukaan karang. Bila hal ini berlanjut terus, maka karang akhirnya akan mati karena tidak bisa memperoleh nutrien sebagaimana mestinya.
Algae sebagai produsen primer adalah penyumbang biomassa terbesar terhadap sistem tropik di laut dan merupakan sasaran utama dari aktifitas herbivor. Keberadaan algae di laut pada kenyataannya banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor pengontrol, baik biotik maupun abiotik. Herbivor adalah salah satu faktor biotik yang perlu mendapat perhatian untuk dibahas. Karena pengaruh herbivor ini ternyata tidak saja berkaitan langsung dengan keberadaan algae, tetapi juga berkaitan dengan keberadaan
1) Balitbang Sumberdaya Laut, P3O - LIPI, Guru-guru, Poka - Ambon.
Oseana, Volume XVI No. 2, 1991
1
www.oseanografi.lipi.go.id
tersebut di atas mempunyai potensi sebagai faktor penghambat, pemicu ataupun pemacu perkembangan komunitas algae. Menarik untuk dilihat dan selanjutnya akan dijadikan fokus pembahasan dalam tulisan ini adalah peranan herbivor dari kelompok ikan dan avertebrata. Karena kedua kelompok hewan ini mempunyai sifat-sifat yang kontras satu sama lain, tetapi sumbangannya dalam menentukan sistem komunitas algae di daerah tropik sangat besar (HIXON & BROSTOFF1983).
Telah lama diketahui bahwa dinamika hubungan antara faktor biotik dengan abiotik pada perairan tropik dan subtropik sangat berlainan. Bila makroalgae di perairan tropik dan subtropik diperbandingkan, maka akan tampak makroalgae di perairan pertama rata-rata lebih kecil dari pada makroalgae di perairan kedua. Sementara bila faktor fisik antara kedua tempat tersebut juga diperbandingkan, maka akan kelihatan bahwa fluktuasi tahunan faktor ini di perairan tropis lebih kecil dibandingkan dengan di perairan subtropis. Bila kita melihat ke faktor biologis lainnya, seperti he wan herbivor, maka di perairan tropis akan tampak jelas bahwa peranan herbivor jauh lebih besar dalam mengontrol pertumbuhan makroalgae dari pada yang berada di perairan subtropis (STENECK 1986; GAINES & LUBCHENCO1982). Herbivor laut daerah tropis sangat bervariasi, dari yang berukuran besar, seperti mamalia (dugong) dan reptil (penyu) sampai yang berukuran kecil, seperti kelompok avertebrata yang diwakili oleh moluska, ekhinodermata, beberapa jenis polikheta dan krustase (LEVINTON 1982). Berdasarkan atas aktifitas jelajah herbivor, CARPENTER (1986) membedakan hewan pemakan algae atas tiga golongan, yaitu : Mikroherbivor dengan kisaran jelajah antara 1 — 100 cm2 serta mempunyai frekuensi aktifitas yang tinggi, contohnya adalah amfipoda (Ampithoe ramondi) (BRAWLEY & ADEY 1981); Herbivor ukuran menengah dengan kisaran jelajah antara 0,5 — 1 m2. Golongan ini frekwensi aktivitasnya lebih rendah dari pada golongan pertama, contohnya bulu-babi dan moluska. Golongan ke tiga adalah makroherbivor dengan kisaran jelajah mencapai 0,5 ha, contohnya ikanikan herbivor. Semua golongan herbivor
Oseana, Volume XVI No. 2, 1991
Dinamika hubungan antara algae dengan herbivor pada kenyataannya tidak sesederhana sebagaimana yang teramati dari segi kwantitas kedua komponen tersebut, yaitu : herbivor banyak — algae sedikit atau tidak ada ;atau herbivor sedikit — Algae melimpah. Tetapi kenyataannya cukup rumit, seperti melibatkan strategi dari m&singmasing pihak untuk tetap hidup, hubungan antara kedua belah pihak. Dalam tulisan ini akan dibahas permasalahan-permasalahan yang timbul akibat interaksi seperti diterangkan di atas. HERBIVOR DI DAERAH TROPIS
Berdasarkan ukuran tubuh, mobilitas, metode makan dan habitat herbivor, maka makanan sasarannya (algae) mempunyai berbagai bentuk. Sasaran tersebut mulai dari algae yang struktur tubuhnya "terorganisir baik" sampai yang berstruktur "sederhana", dari yang berukuran beberapa puluh sentimeter sampai yang kurang dari satu milimeter. HI ATT & STRASBURG (1960) membedakan ikan-ikan herbivor di daerah Indo-Pasifik berdasarkan atas kebiasaan makannya ke dalam tiga kelompok, yaitu : Kelompok pemakan algae bersel tunggal, contohnya antara Jain anggota Mu-
2
www.oseanografi.lipi.go.id
algae sangat besar. Salah satu indikatornya adalah kelimpahan individu jenis-jenis herbivor tersebut. Keberadaan hewan dalam kelompok besar sudah sering dilaporkan oleh banyak penulis, antara lain oleh BOUCHONNAVARO & HERMELIN-VIVIEN 1981; CHANG & SHAO 1981; GUNDERMANN & POPPER, 1975. Di perairan Indonesia kehadiran ikan-ikan herbivor juga sudah banyak dilaporkan. MARASABESSY & HUKOM (1989) menulis kehadiran sejumlah besar ikan Siganus sp. di padang lamun Teluk Ambon yang mencapai 3500 ekor/hektar. Kehadiran ikan-ikan herbivor di daerah karang dalam kelompok kecil kurang dari 50 ekor juga dilaporkan oleh HUTOMO et al. (1988) dan HUKOM & SUTARNA (1988). Penulis juga telah mengamati keberadaan ikan-ikan herbivor (Abudefduf) yang mencapai jumlah 50 ekor, pada kedalaman 3—5 meter di daerah karang (sekitar 9 m2) di bagian luar teluk Ambon. Untuk kelompok avertebrata khusunya moluska, kehadirannya di daerah keberadaan mereka jauh lebih rendah dibandingkan dengan ikan-ikan herbivor. Mengenai ekhinodermata pernah dilaporkan kepadanya di daerah Karibia sekitar 8,5 — 100 ekor/m2 (hasil penafsiran HATCHER 1983). Sementara itu untuk kawasan Indonesia belum diperoleh data yang representatif. Untuk gambaran hal yang terakhir ini penulis pernah mengamati adanya sejumlah kecil bulu-babi (3ekor/m2) pada daerah terbuka diantara karang di kedalaman sekitar 3 meter pada siang hari di pantai Liang, Ambon. Adapun moluska herbivor yang paling sering dijumpai di P. Ambon pada daerah pasang surut adalah Clypeomarus brevis, Littorina scabra, Nerita plicata dan Acmea sp. Dua jenis yang pertama paling melimpah jumlahnya, sedang jenis lainnya lebih sedikit.
gilidae (Crenimugil crenilabilis dan Neomyxus chaptali), Blenniidae (Istiblennius paulus); Kelompok "grazer" yaitu ikan-ikan yang memakan hampir semua thalli algae bahkan kadang-kadang substratnya juga ikut termakan, contohnya antara lain anggota Leiognathidae (Gerres argyreus), Siganidae (Siganus sp.), Acanthuridae, Labridae, Bleniidae dan Balistidae; Kelompok terakhir adalah "browser" yaitu ikanikan yang mempunyai gigi-gigi pemotong untuk menggigit sebagian thalli yang ada di atas substrat, contohnya antara lain anggota Siganidae (Siganus rostratus), Kyphosidae (Kyphosus cinerascens), Chaetodontidae, Pomacentridae (Dascyllus aruanus, Pomacentrus vaiuli, P. jenkinsi, Abudefdufsp.). Dari analisa isi perut herbivor dapat diketahui bahwa tidak semua herbivor laut 100% adalah pemakan tanaman laut, melainkan juga memakan materi-materinya tumbuhan (baik biotik maupun abiotik). Fenomena ini tidak hanya terjadi pada golongan ikan, tetapi juga pada golongan ekhinodermata maupun moluska. Materi-materi selain makanan utama itu sering disebut dengan istilah makanan sekunder. Materi-materi tersebut diambil gleh herbivor dengan sengaja yang merupakan sebagian dari makanan alternatif, ataupun secara tidak sengaja (seperti substrat yang ikut termakan (HOEK etal 1975). Pola divergensi aktifitas makan herbivor secara garis besar diperlihatkan pada Gambar 1. Dari sasaran sekunder ada hal yang perlu mendapat perhatian, yaitu peranan herbivor sebagai agen bioerosi. Meskipun peranan herbivor dalam hal ini tidak seintensif kelompok hewan pemakan karang (seperti Acanthaster planci). Sebagaimana telah disinggung pada pendahuluan, peranan herbivor di daerah tropik terhadap pertumbuhan komunitas
Oseana, Volume XVI No. 2, 1991
3
www.oseanografi.lipi.go.id
komunitas algae, bila diamati secara cermat, akan tampak bahwa komposisi jenisnya secara dinamis akan berubah-ubah. Perubahan tersebut dapat berlangsung lambat atau cepat, tergantung dari kecepatan kerja faktor perubah internal maupun ekster nal. Dalam proses suksesi ini dikenal dua tipe kelompok algae. Tipe pertama adalah kelompok algae primer, dengan karakter khasnya : aktifitas fotosintesis tinggi, pertumbuhan cepat, tingkat reproduksi tinggi, struktur tubuh sederhana, dan kebanyakan membentuk koloni. Dalam tahap awal proses suksesi dan ketika terjadi perebutan
PERANAN HERBIVOR DALAM PEMBENTUKAN KOMUNITAS ALGAE
Ada tiga hal yang perlu dibahas mengenai peranan herbivor dalam mempengaruhi sifat-sifat suatu komunitas algae di perairan tropis. Cara herbivor mempengaruhi struktur komunitas algae
Struktur komunitas yang dimaksud dalam bahasan ini sengaja hanya dibatasi pada komponen keragaman jenis dan sifat hidup algae. Dalam proses suksesi suatu
Oseana, Volume XVI No. 2, 1991
4
www.oseanografi.lipi.go.id
ruangan diantara jenis algae, algae primer selalu akan tampil sebagai pemegang. Oleh karena sifatnya yang demikian itu, algae primer juga disebut algae oportunis. Kondisi habitat sangat menentukan keberadaan jenisjenis algae primer ini. Enteromorpha dan Ulva terdapat di daerah pasang-surut dan algae bentuk benang (baik Rhodophyta dan Phaeophyta) terdapat di daerah subtidal. Tipe kedua adalah kelompok algae sekunder. Kelompok algae kedua ini mempu-nyai sifat yang hampir berlawanan dengan kelompok pertama : pertumbuhannya lam-bat, kematangan reproduktifnya lama, dan struktur tubuhkuat.
Bila ini terjadi maka keragaman jenis algae pada komunitas akan cenderung bertambah banyak. 2. Herbivor memakan algae dominan inferior. Sebagai akibatnya adalah komposisi jenis algae akan semakin berkurang. Ditinjau dari segi intensitas gangguan herbivor terhadap struktur vegetasi, dikenal suatu hukum gangguan yang disebut sebagai "Intermediate Disturbance Hypothesis" atau Hipotesis Gangguan Tingkat Menengah (CONNEL 1978). Hukum ini menjelaskan bahwa komposisi jenis maksimum suatu komunitas vegetasi akan dicapai bila ganguan ada pada tingkat sedang (Gambar 2). Pada kenyataannya, menurunnya keragaman jenis pada gangguan tingkat jarang lebih lanjut hams dikaitkan dengan fase komunitas itu sendiri, yaitu bila komunitas dalam fase klimaks maka keragaman jenis vegetasi akan cenderung menurun. Kebenaran hipotesa ini akan tampak, misalnya, bila komunitas vegetasi darat sudali mencapai fase klimaks dan stabil maka kehadiran gangguan dapat menyebabkan terbukanya ruangan sehingga memungkinkan tumbuhan non-dominan untuk berkoeksistensi dan akibatnya diversitas akan bertambah. Dalam Gambar 2 ditunjukkan bahwa lamanya waktu setelah berakhirnya gangguan, juga mempengaruhi komposisi jenis komunitas, yaitu akan bergeser semakin sedikit. Hal ini ternyata sejalan dengan proses suksesi pada komunitas itu sendiri, seperti dijelaskan di atas.
Selanjutnya kemunculan kelompok algae primer mengalahkan jenis-jenis lain da-lam perebutan ruangan, dan akan menjadi-kan kelompok algae ini sebagai jenis-jenis yang dominan superior. Sementara jenis-jenis algae lain yang mampu berkoeksisten-si dengan kelompok algae primer sering disebut sebagai jenisjenis dominan inferior. Peranan herbivor terpenting dalam proses suksesi adalah sebagai suatu faktor external yang akan menganggu keseimbangan komunitas dengan jalan makan algae yang ada. Akibatnya akan timbul reaksi dari sistem komunitas yang menjrus kearah perubahan komposisi jenis-jenis algae. Proses lebih lanjut akan menghasilkan dua keung-kinan jalannya perubahan komposisi jenis-jenis algae. Proses lebih lanjut akanmenghasilkan dua kemungkinan jalannya perubahan tersebut, yaitu : 1. Herbivor memakan algae dominan, superior.
Oseana, Volume XVI No. 2, 1991
5
www.oseanografi.lipi.go.id
potesis gangguan tingkat menengah pada komunitas algae yang dikontrol oleh ikan herbivor. Hasil dari percobaan mereka tampak pada Gambar 3 a dan b. Pada Gambar 3 a, setelah percobaan berakhir ternyata keragaman jenis algae yang paling tinggi dicapai oleh komunitas algae yang tidak diberi sangkar dan terletak di dalam teritori ikan Stegastes fasciolatus. Sementara itu, komunitas algae yang diberi sangkar (untuk mencegah herbivor) mempunyai keragaman jenis yang lebih rendah dari pada yang pertama dan keragaman jenis algae yang terendah terjadi pada komunitas al-
Berkaitan dengan hipotesis tersebut di atas, pada komunitas biota laut dikenal suatu istilah jenis sentral ("Keystone Species") yaitu kelompok predator yang mampu menjaga kepadatan populasi mangsa sedemikian rupa pada tingkatan dimana sumberdaya tersebut tidak lebih rendah dari ambang minimumnya. Dengan cara demikian ternyata jenis sentral akan mencegah hilangnya jenis-jenis mangsa akibat adanya kompetisi diantara mangsa (PAINE dalam HIXON & BROSTOFF 1983). Berdasarkan konsep jenis sentral ini HIXON & BROSTOFF (1983) membuktikan kebenaran adanya hi-
Oseana, Volume XVI No. 2, 1991
6
www.oseanografi.lipi.go.id
gae tanpa sangkar yang terletak di luar teritori ikan S. fasciolatus. Keragaman jenis yang tinggi di atas ternyata dicapai pada tingkat frekwensi herbivora kurang dari 50 individu, ini terletak di antara frekwensi herbivor nol (dalam sangkar) dan sekitar 500 individu (di luar teritori). Hal yang menarik dari hasil mereka adalah bahwa jenis sentral ternyata mampu mempengaruhi pencapaian keragaman jenis maksimum melalui dua cara, yaitu dengan menambah intensitas makan atau, dengan menguranginya (Gambar 3 b).
respon akan berbalik karena aktifitas herbivor semakin besar. Dalam kasus ini diperlihatkan pula bahwa produktivitas maksimum pada gangguan tingkat sedang (vegetasi C) menunjukkan adanya kesamaan fenomena dengan hipotesa gangguan tingkat menengah yang telah dijelaskan sebelumnya. Pengaruh herbivor terhadap kelangsungan proses reproduksi suatu vegetasi da-pat dijelaskan sebagai berikut : 1. Bila vegetasi mati akibat aktifitas herbi vor, berarti tidak terjadi reproduksi; 2. Turunnya produktivitas vegetasi akan menghalangi berlangsungnya proses repro duksi; 3. Gangguan herbivor memaksa vegetasi merubah strategi reproduksi. Salah satunya adalah merubah periode reproduksi.
Pengaruh herbivor terhadap Relangsungan hidup algae
Sudali menjadi pengetahuan umum bahwa kelangsungan hidup suatu vegetasi (darat dan perairan) sangat ditentukan oleh tingkat produktivitas dan kemampuan reproduksinya. Pada kenyataannya aktifitas herbivor sangat erat hubungannya dengan kedua faktor penentu kelangsungan hidup vegetasi di atas. Untuk menggambarkan jalannya hubungan tersebut McNOUGHTON (1983) menjelaskan ada tiga respon produktivitas suatu vegetasi terhadap ancaman herbivor. Gambar 4 memperlihatkan bahwa vegetasi A ternyata tidak mampu mengatasi herbivor, yaitu tampak dari tingkat produktivitas yang menurun sampai negatif dan dalam waktu singkat akan mati. Respon yang lain ditunjukkkan oleh vegetasi B yang pada mulanya mampu bertahan untuk sementara waktu meskipun produktifltasnya tidak bertambah, tetapi akhirnya akan mati sebab aktifitas herbivor berlangsung terus dan cenderung meningkat. Berbeda dengan kedua respon di atas, vegetasi C ternyata mampu bereaksi positif, yaitu dengan memanfaatkan gangguan sebagai pemacu produktivitas sampai tingkat maksimum. Tetapi
Oseana, Volume XVI No. 2, 1991
Jadi jelas dengan adanya kemungkinan terakhir di atas vegetasi masih tetap selamat. Suatu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa hampir sebagian besar algae mampu melakukan reproduksi vegetatif secara fragmentasi. Dengan demikian persentase kelulusan hidup algae akibat segala bentuk gangguan semakin besar. Peranan herbivor dalam memperbesar produktifitas algae.
Telah disinggung di atas bahwa dengan adanya gangguan tingkat sedang memberi peluang komunitas algae untuk memperbesar produktifltasnya. Guna membuktikan hal ini suatu percobaan dapat dijalankan dengan menggunakan metode sangkar, tanpa sangkar dan variasinya ("Caged and Uncaged Methods"). Dari hasil percobaan ZELLER (1988) yang hasilnya tampak pada Gambar 5, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa : Dalam wilayah teritori herbivor, sangkar yang mencegah ikan-ikan untuk
7
www.oseanografi.lipi.go.id
memangsa algae di daerah teritorinya menyebabkan turunnya jumlah biomas algae, sebaliknya komunitas algae yang tidak bersangkar memperlihatkan produktivitas biomas lebih tinggi. Hal ini membuktikan bahwa aktifitas herbivor mampu menaikkan produktivitas algae. Sementara pada daerah di luar teritori herbivor hampir tidak ada perbedaan produktivitas antara komunitas yang diberi sangkar maupun tanpa sangkar. Mekanisme kenaikan produktivitas di atas dapat dijelaskan sebagai berikut:
FAKTOR-F AKTOR YANG MEMPENGARUHI HERBIVOR
Dalam sistem tropik di lautan, herbivor adalah pembentuk dasar piramid pola makan dan dimakan kelompok hewan-hewan konsumen. Maka tidaklah mengherankan bila kelompok herbivor ini mempunyai banyak faktor pengontrol yang boleh jadi bisa mengurangi peranannya sebagai konsumen organisme produsen (algae). Selanjutnya penulis akan membagi faktor-faktor pengontrol tersebut atas empat kategori, yaitu :
a. Herbivor akan mengurangi pertumbuhan algae yang berlebih dan tumpang tindih; b. Hal di atas akan memberi peluang yang lebih baik bagi pertukaran bahan makanan dari medium untuk algae; c. Aktivitas herbivor yang konstan akan menjaga komunitas algae pada tingkat pertumbuhan eksponensial; d. Herbivor pada frekwensi tinggi cenderung akan menyeleksi jenis-jenis algae primer, hal ini memberi kesempatan jenis lain untuk berkoeksistensi.
a. Kompetisi Pada umumnya kompetisi dibedakan atas kompetisi antar jenis dan sesama jenis. Dalam kelompok ikan ke dua hal ini dapat lebih jelas diamati dibandingkan dengan dalam kelompok avertebrata (moluska dan bulu-babi), karena pengenalan wilayah kekuasaan (teritori) pada ikan lebih tegas serta kelompok ini sangat aktif bergerak (SALE, 1975 dan 1978; BUCKMAN & OGDEN, 1973).
Di samping ke empat mekanisme di atas, HILBERT et al (1981) memberikan kemungkinan-kemungkinan lain atas bertambahnya produktivitas primer yang diakibatkan oleh aktifitas herbivor, yaitu : (1) Bertambahnya kecepatan fotosintesis pada bagian thalli yang tertinggal; (2) Meningkatnya alokasi hasil fotosintesis untuk pembentukan thalli baru; (3) Meningkatnya pembentukan cabang atau tunas-tunas baru sebagai akibat berkurangnya dominasi apikal; (4) Aktivitas hervibor akan membuka kanopi sehingga menambah intensitas cahaya yang diterima oleh thalli.
b. Predasi Faktor ini besar sekali pengaruhnya terhadap aktifitas herbivor. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa predasi dan kompetisi adalah sebagai faktor pembatas bahwa dari distribusi vertikal baik pada algae maupun hewan-hewan laut. Pada kelompok herbivor avertebrata (seperti moluska, bulubabi dan krustasee) adanya faktor pembatas ini sangat jelas bisa diamati, terutama di daerah pantai berkarang. Sebagai contoh, ruang gerak ke bawah Patella dan moluska herbivor lainnya sangat dikontrol oleh keberadaan predator seperti Thais sp. Juga
Oseana, Volume XVI No. 2, 1991
8
www.oseanografi.lipi.go.id
pada bulu-babi batas bawah distribusinya sangat ditentukan oleh keberadaan ikanikan predator (BARNES & HUGHES 1988); PAINE 1974). Suatu hal yang menarik tentang pengaruh predator adalah munculnya pola periode aktifitas makan dari herbivor tersebut. Sebagai contoh kejadian adalah bulu-babi Centrostephanus coronatus yang aktivitasnya berlangsung pada malam hari, sedang pada siang hari bulu-babi ini bersembunyi di bawah batuan karang. Ternyata sifat aktifitas tersebut merupakan suatu strategi dari bulu-babi untuk menghindari ikan predator Pimelometopon pulchrum yang aktif pada siang hari (NELSON &VANCE 1979). Fenomena seperti itu juga penulis amati di perairan pulau Ambon. Pada siang hari dikedalaman 3 — 5 meter bekas-bekas pemangsaan terhadap bulu-babi oleh predator tampak jelas sekali di tempat tempat yang terbuka di antara karang. Di tempat tersebut tidak ditemukan adanya aktifitas bulubabi, tetapi hewan ini dapat dijumpai bersembunyi di antara celahcelah karang yang terlindung dari ancaman predator.
d. Faktor abiotis
Faktor ini meskipun tidak periodik tetapi cukup besar pengaruhnya terhadap populasi herbivor. Sebagai contoh yang menonjol adalah adanya badai, yang dapat menyebabkan kematian pada herbivor. PERUMPUTAN OPTIMAL
Pada kelompok hewan-hewan pemangsa dijumpai adanya kecenderungan yang menunjukkan pemanfaatan energi yang diperoleh secara maksimum. Berdasarkan kenyataan tersebut berkembanglah suatu teori yaitu Perumputan Optimal ("Optimal Foraging Theory"). Kebenaran teori ini pada hewanhewan laut dijelaskan oleh HUGHES (1980). Untuk menjelaskan teori ini dia menganggap herbivor sebagai salah satu bentuk predator yang harus mempunyai tehnik perburuan serta harus mampu bertindak efisien. Suatu contoh untuk hal ini dijelaskan oleh LOWE & LAWRENCE (1976) dengan menunjuk pada bulu-babi Lytechinus variegatus. Mereka memperlihatkan dengan jelas alasan bulu-babi ini mempunyai makanan pilihan, yaitu lebih menyukai algae hijau berkapur Halimeda incrassata dan kurang menyukai lamun Thallassia testudinum maupun algae hijau Ulva lactuca dalam menunya. Sebagai makanan jenis algae pertama mempunyai struktur yang keras serta mempunyai kandungan materi organik yang rendah, sementara dua jenis yang lain berstruktur lunak dan kandungan materi organiknya lebih tinggi. Kenyataannya bukan hal-hal tersebut yang menyebabkan bulu-babi ini memilih H. incrassata sebagai makanan utama, melainkan efisiensi hewan tersebut dalam menyerap materi organik dari algae berkapur tersebut jauh lebih baik dibandingkan terhadap dua jenis algae lainnya.
c. Faktor biologis lainnya.
Pada kelompok herbivor juga diketahui adanya penyakit dan parasit yang dengan sendirinya akan mempengaruhi intensitas aktifitas mereka. Sebagai contoh adalah timbulnya kematian massal dari bulubabi jenis Diadema antillarum pada awal tahun delapan puluhan di daerah Karibia (amerika Tengah). Kematian hewan ini secara massal dan misterius diduga oleh adanya suatu penyakit. Sebagai akibat dari peristiwa tersebut adalah munculnya ledakan populasi jenis-jenis algae tertentu yang keberadaannya sangat dikontrol oleh hewan ini.
Oseana, Volume XVI No. 2, 1991
9
www.oseanografi.lipi.go.id
Intensitas predator Gambar 3. Gambaran adanya konsep spesies sentral (" Keystone Species ")• (a). Diversitas jenis maksimum dicapai berkat adanya kontrol dari ikan herbivor setelah periode satu tahun. (Keterangan : Ot = Komunitas algae di luar teritori ikan Stegastes fasciolatus; Cg = Komunitas algae di dalam teritori dan diberi sangkar; In = Komunitas algae di dalam teritori dan tanpa sangkar). (b). Dua cara pencapaian diversitas maksimum komuntas algae di dalam suatu teritori (ikan herbivor). (HIXON & BROSTOFF 1988).
Oseana, Volume XVI No. 2, 1991
10
www.oseanografi.lipi.go.id
Intensitas Herbivori
Gambar 4.
Gambar 5.
Respon produktivitas suatu vegetasi terhadap gangguan herbivor. (McNOUGHTON1983).
Perbedaan produksi biomassa algae pada beberapa kondisi intensitas herbivori. (ZELLER 1988).
Oseana, Volume XVI No. 2, 1991
11
www.oseanografi.lipi.go.id
Suatu contoh menarik lainnya diperlihatkan oleh kebiasaan makan ikan beronang (Siganus sp.). Penulis telah memanfaatkan ikan ini sebagai pembersih aquarium tempat pemeliharaan algae hijau Caulerpa compleks dan Avrainvillea sp. dari gangguan algae filamen coklat. Selama algae filamen coklat ini ada, ikan beronang tidak memangsa kedua jenis algae lainnya. Pemilihan algae filamen coklat sebagai menu utama oleh ikan beronang bisa dimengerti karena pada algae ini kemungkinan tidak mengandung zat kimia sekunder (akan dijelaskan di bagian belakang) yang bisa mengurangi efisiensi penyerapan energi oleh ikan. Sebaliknya zat tersebut sering ditemukan pada anggota algae hijau. Keabsahan teori ini pada hewan-hewan lain dapat diamati dengan adanya beberapa prakiraan perilaku sebagaimana diajukan SCHLUTER (1981), HUGHES (1980) dan HORN (1983), yaitu ;
reka harus bisa memenuhi kebutuhan enerjinya yang sepandan dengan aktifitasnya, dan sesuai dengan kondisi tempatnya berada. b. Strategi eksploitasi Perilaku strategi eksploitasi pada ikan dan avertebrata berkaitan erat dengan keberadaan algae, apakah makanan tersedia tersebar merata atau tidak merata atau membentuk kelompok. Pada algae yang berkelompok, kelompok ikan yang aktif bergerak cenderung akan menyesuaikan waktu pindah dan tinggalnya di sumber makanan. Karena itu semakin besar enerji yang diperlukan untuk pencarian makanan yang terpaencar, semakin lama pula tinggal di sumber makanan. STRATEGI PERLINDUNGAN PADA ALGAE
Untuk tetap dapat bertahan hidup dari segala gangguan bentuk gangguan, algae harus mempunyai sistem perlindungan diri. DRING (1982) memberikan dua istilah kepada hal-hal yang dapat menimbulkan gangguan terhadap keberadaan vegetasi laut, yaitu gangguan (disturbance) dan tekanan (stress). Gangguan adalah faktor-faktor yang membatasi biomassa akibat adanya kerusakan sebagian atau keseluruhan vegetasi. Contoh faktor ini adalah aktivitas herbivor dan pukulan gelombang. Sedang yang dimaksud dengan tekanan adalah faktor-faktor eksternal yang membatasi kecepatan produksi berat kering vegetasi. Faktor tekanan bekerja dengan tidak mengurangi bagian dari vegetasi, tetapi lebih mempengaruhi kelangsungan proses fisiologi vegetasi. Contoh faktor ini adalah lama munculnya algae di intensitas gangguan dan tekanan GRIME (1979) mengkategorikan vegetasi pada umumnya dalam tiga tipe vegetasi sebagaimana ada pada Tabel 1 di bawah ini.
a. Pilihan makanan Adanya pemilihan makanan pada kelompok ikan maupun avertebrata sudah diketahui, dan ini meliputi dua pola pemilihan menu yang sangat tergantung kepada kondisi dimana hewan berada. Pertama. bila kondisi mudah (makanan tersedia melimpah) hewan-hewan akan cenderung memilih menu yang sedikit jenisnya. Kedua, sebaliknya pada saat kondisi yang sulit (makanan sulit diperoleh) hewan-hewan akan tidak terlalu memilih sehingga jenis yang lebaih banyak. Dengan kata lain pada keadaan mudah memperoleh makanan predator akan bersifat pemberu spesifik, sebaliknya pada kondisi sulit memperoleh makanan, predator akan merubah sifat buruannya menjadi pemburu umum. Dari keterangan di atas ada suatu alasan yang kuat bagi setiap hewan untuk mempunyai makanan pilihan. Hal ini bisa dimengerti karena bagaimanapun juga me-
Oseana, Volume XVI No. 2, 1991
12
www.oseanografi.lipi.go.id
Tabel 1. Tipe vegetasi berdasarkan atas intensitas gangguan dan tekanan (GRIME 1979).
pertahanan yang baik dan ini berlawanan dengan algae yang tumbuh lambat. Kelompok pertama ternyata lebih mementingkan eksploitasi sumberdaya serta bertujuan untuk menunjang kemampuan reproduksi yang tinggi. Sebagai akibat dari aktivitas fisiologi yang cepat dari kelompok ini, biasanya jenis-jenisnya merupakan makfnan favorit bagi herbivor. Hal ini dapat dimenggerti karena energi yang terkandung dalam selsel tubuhnya sangat tinggi dan mudah dicerna oleh hewan-hewan konsumen primer. Pada kelompok kedua, karena lebih mementingkan sistem perlindungan, algae ini kurang mempunyai efisiensi fungsi fisiologis, sehingga munculnya kerusakan atau hilangnya organ-organ fotosintesis bisa berakibat fatal bagi jenis-jenis algae ini. Dengan menonjolnya sistim perlindungan, kelompok algae ini kurang disenangi herbivor, sebab sulit dicerna dan kandungan enerji di dalam sel-selnya lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok pertama.
Pada Tabel di atas tampak bahwa tipe pertama "competitor" dan kedua "ruderal" mempunyai kesamaan kondisi dengan kelompok algae primer dalam proses suksesi suatu komunitas. Sementara tipe yang ketiga (stress-tolerator) lebih cenderung mirip dengan kelompok algae sekunder. Untuk menjelaskan arti dari masing-masing tipe vegetasi di atas akan diperlihatkan karakter masing-masing tipe (Tabel 2) disertai contoh yang diadaptasikan ke dalam kehidupan algae (Gambar 6). Dari karakter dan contoh tersebut, nampak bahwa tipe pertama dan kedua dapat dikategorikan dalam kelompok algae yang mempunyai toleransi yang tinggi terhadap variasi gangguan. Sebaliknya tipe yang ketiga mempunyai toleransi yang sempit, baik terhadap variasi gangguan maupun tekanan. Tabel 2 dan Gambar 6 memperlihatkan suatu hubungan bahwa kelompok algae dengan kecepatan tumbuh yang tinggi pada umumnya tidak mempunyai sistim
Oseana, Volume XVI No. 2, 1991
13
www.oseanografi.lipi.go.id
Gambar 6. Hubungan antara kelompok fungsionil bentuk algae dengan tingkat kesulitan untuk dimakan oleh herbivor. (STENECK & WALTING 1983).
Oseana, Volume XVI No. 2, 1991
14
www.oseanografi.lipi.go.id
Tabel 2. Beberapa karakteristik tipe-tipe makroalgae.
a). Senyawa sekunder (sk) kadang-kadang kurang effektif terikat pada protein, sehingga kompleks sk-protein masih dapat dicerna oleh herbivor. b) Kemampuan adaptasi herbivor, dimana pH perutnya cukup tinggi sehingga mampu menetralkan kompleks sk-protein. c). Proses pencernakan makanan di dalam perut herbivor berlangsung dengan cepat sehingga tidak memungkinkan terbentuknya kompleks sk-protein. d). Herbivor masih mampu mengabsorbsi protein lain selain kompleks sk-protein. e). Herbivor mempunyai enzim-enzim spesifik untuk mencerna thalli algae sehingga dapat diabsorbsi oleh perutnya.
BENTUK-BENTUK PERLINDUNGAN PADA ALGAE Seperti halnya vegetasi darat, algae juga mempunyai berbagai cara melindungi diri. Cara tersebut ternyata sangat bervariasi dan dapat digolongkan atas: 1. Perlindungan secara kimia Banyak algae tropis khususnya anggota dari famili Rhodophyceae (algae merah) dan Chlorophyceae (algae hijau) maupun menghasilkan senyawa kimia yang bersifat protektif (LOBBAN et al 1985). Senyawa tersebut sering disebut sebagai senyawa sekunder ("Secondary Compounds") dan contoh-contohnya diberikan pada Tabel 3. teksi ini, ternyata tidak semua algae dapat terbebas dari pemangsaan herbivor. Kejadian tersebut dapat dijelaskan dengan beberapa kemungkinan antisipasi herbivor seperti di bawah ini.
Oseana, Volume XVI No. 2, 1991
Nampak jelas bahwa kemampuan herbivor menetralkan halangan kimia pada algae ternyata sangat spesifik dan bahkan selalu berkembang mengikuti potensi halang-
15
www.oseanografi.lipi.go.id
kasus ini terdapat pada moluska laut dari marga Apfysia.
an itu sendiri. Dengan kata lain akan selalu terjadi ko-evolusi pada herbivor untuk tetap dapat memperoleh makanan dari algae, meskipun makanan sasarannya juga mampu mengembangkan strategi perlindungannya.
2. Perlindungan non-kimia.
Cara perlindungan ini lebih mengandalkan kemampuan fisik serta tingkat kemampuan adaptasi untuk memanfaatkan kondisi lingkungan. Cara ini meliputi beberapa hal: a). Perlindungan permukaan b).Hastisitas morfologi c). Struktural d). Adaptasi pemanfaatan tempat
Pada kenyataannya, senyawa sekunder tidak selalu merugikan herbivor. Ada jenis herbivor tertentu yang mampu menimbun senyawa sekunder dalam sel-sel tubuhnya dan memanfaatkannya sebagai bagian dari alat proteksi hewan tersebut terhadap serangan predator. Contoh yang menarik dari
Tabel 3. Senyawa-senyawa sekunder yang diidentifikasi
Keterangan : 0 = tidak ada respon, + = respon positif dan NT = tidak dilakukan tes (NORRIS & FENICAL 1982).
Oseana, Volume XVI No. 2, 1991
16
www.oseanografi.lipi.go.id
Pada cara pertama algae bermaksud memberi kejutan kepada herbivor untuk tidak mendekat dengan jalan membentuk bagian-bagian luar tubuhnya sedemikian rupa sehingga tampak sulit didekati. Pembentukan cabang-cabang kecil yang menyerupai duri (contoh pada Gelidiela acerosa dan Acmthophora sp.), tepi yang bergerigi (Sargassum sp., Gaulerpa serrulata) dan thalli yang bersudut-sudut tajam (Turbi-naria sp.) merupakan contoh cara perlin-dungan pertama. Cara kedua dimaksud untuk mengurangi serangan herbivor dengan jalan mengubah bentuk vegetatif dan diser-tai dengan penciutan ukuran. Cara ini sang^ effektif pada Padina (LEWIS et al 1987). Cara ketiga, algae mengembangkan struktur thallinya sedemikian rupa sehingga susah untuk dimakan, seperti penimbun-an zat kapur pada Halimeda dan golongan Coralina. Cara keempat, algae mampu me-manfaatkan keunikan alam sebagai tempat hidup, misalnya pada celah-celah karang yang sulit dijangkau herbivor (Lobophora variegata).
4. Perlindungan dengan sifat sosial. Sifat sosial tidak hanya dijumpai pada manusia dan hewan saja, tetapi juga pada tumbuhan. Sifat ini memperlihatkan adanya kemampuan dari masing-masing individu atau jenis untuk saling menyumbangkan peranan sehingga fungsinya bisa dimanfaatkan oleh anggota komunitas. Salah satu diantaranya adalah fungsi perlindungan. Ada dua bentuk perlindungan dengan cara ini yaitu dengan pembentukan koloni dan berkoeksistensi dengan jenis-jenis lain. Bentuk koloni dari algae sejenis ternyata mampu memberikan peluang yang lebih besar untuk tetap selamat dari ancaman herbivor daripada hidup terpisah. Karena pada umumnya intensitas makan herbivor pada koloni relatif lebih kecil dibandingkan pada yang hidup soliter, sebagai akibatnya selalu masih ada "sisa" algae yang bisa memulihkan koloninya. Dengan cara hidup berkoeksistensi dengan jenis-jenis yang kurang disenangi oleh herbivor, maka jenisjenis favorit akan dapat terlepas dari pemasangan. Cara ini juga dapat memberikan penyamaran bagi jenis-jenis favorit sehingga dapat selamat dari ancaman herbivor.
3. Perlindungan dengan jalan pengaturan reproduksi. Pada cara ini algae melakukan pengaturan reproduksi baik dalam waktu bentuk morfologinya. Berkaitan dengan perubahan bentuk pada algae dikenal suatu istilah heteromorfisme, yaitu algae dalam siklus hidupnya mempunyai morfologi lebih dari satu. Pada algae yang bersifat demikian terjadi pergantian bentuk vegetatif yang makroskopis dan bentuk non vegetatif yang mikroskopis atau berbentuk kerak. Adanya bentuk non vegetatif ini memberi peluang pada algae untuk terlepas dari incaran herbivor (LUBCHENCO & CUBIT 1980).
Oseana, Volume XVI No. 2, 1991
DAFTARPUSTAKA BARNES, R.S.K., and R.N. HUGHES 1988. An Introduction to Marine Ecology. Blackwell Scientific Publ : 351 hal. BOUCHON-NAVARO, Y. and M.L. HERMELIN-VIVIEN 1981. Quantitative Distribution of Herbivorous Reef Fishes in the Gulf of Aqaba (Red Sea). Mar. Biol, 63 : 79 - 86.
17
www.oseanografi.lipi.go.id
HARTCHER, B.G. 1983. Grazing in Coral Reef Ecosystems. In : Perpectives on Coral Reefs. D.J. BARNES (ed.). Australian Institute of Marine Science. Townville, Australia. Hal. 164 - 179. HIATT, R.W, and D.W. STRASBURG 1960. Ecologycal Relationships of the Fish Fauna on Coral Reefs of the Marshall Islands. Ecol Monogr. 30 (1) : 6 5 127. HILBERT, D. W., D. M. SWIFT, J. K. DELTING and M.I. DYER 1981. Relative Growth Rates and the Grazing Optimization Hypothesis. Oecologia (Berlin). 51 ; 14- 18. HIXON, M.A. and W.N. BROSTOFF 1983. Damselfish as Keystone Species in Reverse : Intermediate Disturbance and Diversity of Reef Algae. Science. Vol. 220: 511 - 513. HOEK, C. VAN DEN., J.B.M. WANDERS and A.M. CORTEL-BREEMAN 1975. Het Koraalrif bij Curacao. Natuur en Techniek. 43: 356 -377.
BRAWLEY, S.H., and W.H. ADEY 1977. Territorial Behavior of Threespot Damselfish (Eupomocentrus planifrons) Increases reef Algal Biomass and Produktivity. Env. Biol Fish. 2 : 45 - 51. BRAWLEY, S.H., and W.H. ADEY 1981. The effects of Micrograzers on Algae Community Structure in a Coral Reef Microcosm. Mar. Biol. 61 : 161 - 111. BUCKMAN, N.S., and J.C. OGDEN 1973. Territorial Behavior of the Striped Parrotfish Scarus croicensis Bloch (Scaridae). Ecol 54 (6) : 1377 - 1382. CARPENTER, R.C. 1986. Partitioning Herbivory and Its Effects on Coral Reef Algal Communities. Ecol Monogr. 56 (4) : 345 _ 365. CHANG, K.H., and K.T. SHAO 1981. Ecological Studies on Distribution and Habitat of Coral Reef Fishes from the Shoutern Part of Taiwan. In ; Fourth International Coral Reef Symposium, Manila, Philippines. Abstrak, hal. 13. CONNEL, J.H. 1978. Diversity in Tropical Rain Forests and Coral Reefs. Science. 199: 1302-1310. DRING, M.J. 1982. The Biology of Marine Plants. Edward Arnold (Publ.) Ltd. 199 hal. GAINES, S.D., and J. LUBCHENCO 1982. A Unified approach to Marine Plant Herbivore Interactions. II. Biogeography. Ecol.Syst. 13: 111 - 138. GRIME, J.P. 1979. Plants Strategies and Vegetation Processes. John Willey and Sons. New York. 222 hal. GUNDERMANN, N., and D. POPPER 1975. Some Aspects of Recolonization of Coral Rocks in Eilat (Gulf of Aqaba) by Fish Populations after poisoning. Mar. Biol. 33 : 109- 177.
Oseana, Volume XVI No. 2, 1991
HORN, M.H. 1983. Optimal Diets in Complex Environments : Feeding Strategies of Two Herbivorous Fishes from a Temperate Rocky Intertidal Zone. Oecologia (Berlin). 5 8 : 345-481. HUGHES, R.N. 1980. Optimal Foraging Theori in the Marine Context. Oceanogr. Mar. Biol Ann. Rev. 18 : 423-481. HUKOM, F.D., dan I.N. SUTARNA 1989 Studi Pendahuluan Komunitas Ikan Karang Dibeberapa Perairan Terumbu Karang Pulau Saparua. Dalam ; Perairan Maluku dan Sekitarnya. Biologi, Budidaya, Geologi, Lingkungan dan Oseanografi. D.P. Praseno, W.S. Atmadja, O.H. Arinadi, Ruyitno dan I. Soepangat (eds.). Balai Penelitian dan Pengembaiigan Sumberdaya Laut, P3O, LIPI. Hal. : 7 3 - 81.
18
www.oseanografi.lipi.go.id
NELSON, B.V., and R.R. VANCE 1979. Dial Foraging Patterns of the Sea Urchin Centrostephanus coronatus as a Predator Avoidance Strategy. Mar. Biol. 51 : 251-258. NORRIS, J.N., and W. FENICAL 1982. Chemical Defence in Tropical Marine Algae. Smith. Cont. to Mar. Scie. 12 : 417-431. OGDEN, J.C. 1976. Some Aspects of Herbivore - Plant Relationships on Caribben Reefs and Seagrass Beds. Aquatic Botany. 2 : 103-116. PAINE, R.T. 1974. Intertidal Community Structure. Experimental Studies on the Relationship between a Dominant Competitor and its Principal Predator. Oecologia (Berlin). 15 : 93-120. POTTS, D.C. 1977. Suppression of coral population by filamentous Algae within Damselfish Territories. /. exp, Biol. Ecol. Ecol. 28 : 207-216. SALE, P.F. 1975. Patterns of use of space in a Guild of Territorial Reef Fishes. Mar. Biol. 29 :89-97. SALE, P.F. 1978. Chance patterns of demographic change in populations of Territorial Fish in Coral Rubble Patches at Heron Reef. /. exp. mar. Biol. Ecol. 3 4 : 2 3 3 - 2 4 3. SCHLUTER, D. 1981. Does the Theory of Optimal Diets Apply in Complex Environments? American Naturalist. 118 139 - 147. SLOCUM, C.J. 1980. Differential Susceptibility to Grazers in Two Phases of Intertidal Algae : Advantages of Heteromorphic Generation. /. exp. mar. Biol. Ecol. 46: 99- 110.
HUTOMO, M., SUHARSONO dan S. MARTOSEWOJO 1988. Ikan Hias Indonesia dan Kelestarian Terumbu Karang. Dalam : Perairan Indonesia. M.K. Moosa, D.P. Praseno dan Sukarno (eds.). P3O, LIPI.Hal.: 16-26. LEVINTON, J.S. 1982. Marine Ecology. Prentice-Hall Inc. 526 hal. LEWIS, S.M., J.N. Norris and R.B. SEARLES 1987. The Regulation of Morphological Plasticity in Tropical Reef Algae by Herbivory. Ecology. 63 (3) ; 676 687. LOBBAN, C.S., PJ. HARRISON and M.J. DUNCAN 1985. The Physiological Ecology of Seaweeds. Cambridge Univ. Press : 242 hal. LOWE, E.F., and J.M. LAWRENCE 1976. Absorption Efficiencies of Lytechinus variegatus (Lamarck) (Echinodermata : Echinoidea) for Selected Marine Plants. /. exp. mar. Biol. Ecol. 21 : 223 - 234. LUBCHENCO, J., and J. CUBIT 1980. Heteromorphic life Histories of Certain Marine Algae as Adaptation to Variations in Herbivory. Ecology. 61 (3) : 676 — 687. MARASABESSY, M.D., dan F.D. HUKOM 1989. Studi Pendahuluan Komunitas Ikan Padang Lamun di Perairan Teluk Ambon. Dalam : Teluk Ambon II. Biologi, Perikanan, Oseanografi dan Geologi. S. Soemodihardjo, S. Birowo dan K. Romimohtarto (eds.). Balai Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut, P3O, LIPI.Hal.: 82-91. McNOUGHTON, SJ. 1983. Compensatory Plant Growth as a Response to Herbixy.Oikos. 40: 329-336.
Oseana, Volume XVI No. 2, 1991
19
www.oseanografi.lipi.go.id
STENECK, R.S. 1986. The Ecology of Coralline Algal Crusts : Copvergent Patterns and Adaptative Strategies. Ann. rev. Ecol. Syst. 17 : 273 - 303. STENECK, R.S. and L. WALTING 1983. Feeding Capabilities and Limitation of Herbivorous Molluscs : A Functional
Group Approach. Mar. Biol. 68 : 299 319. ZELLER, D.C. 1988. Short-term Effects of Teritoriality of a Tropical Damselfish and Experimental Exclusion of Large Fishes on Invertebrates in Algal Turfs. Mar. Ecol. Prog. Ser. 44 : 85 - 93.
20
Oseana, Volume XVI No. 2, 1991
20