Hukum Tata Negara Lanjutan
Senin, 16 Mei 2016
Diskusi Mata Kuliah Perkumpulan Gemar Belajar Babakan Perundang-undangan Pemerintahan Daerah, Mahkamah Konstitusi dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
Pembicara
: 1. Paskah Mentari A. Pasaribu (2012) 2. Mipa S S Sitohang (2013)
Pemateri
: 1. David Julianus Saruksuk (2014) 2. Doli Aulia Kurnia Nasution (2014)
Moderator
: Tioneni Sigiro (2014)
A. BABAKAN PERUNDANG-UNDANGAN PEMERINTAHAN DAERAH Sejak reformasi sampai saat ini, sudah beberapa kali terjadi perubahan UU Pemerintah Daerah. UU Pemerintahan Daerah yang pertama kali pasca reformasi adalah UU 22 Tahun 1999 sebagai pengganti UU nomor 5 Tahun 1974, kemudian diganti menjadi UU Nomor 32 tahun 2004, UU ini dilakukan perubahan menyangkut pelaksanaan pemilihan kepala daerah tetapi substansi kebijakan pengelolaan pemerintah daerah tidak mengalami perubahan. Terakhir adalah UU 23 tahun 2014 yang kemudian dilakukan perubahan dalam Perpu No 2 Tahun 2014. Perpu tersebut hanya membatalkan 2 pasal yakni pasal yang mengatur pemilihan kepala daerah oleh DPRD.
Pokok Perubahan UU Pemerintahan Daerah 1. UU Nomor 5 Tahun 1974 Perubahan kebijakan hubungan pusat dan daerah dalam UU Nomor 5 Tahun 1974 lebih condong kearah sentralistik. Beberapa karateristik yang menonjol dari prinsip penyelenggaraan pemerintahan UU Nomor 5 Tahun 1974,1 yaitu:Pertama, Wilayah negara dibagi ke dalam Daerah besar dan kecil yang bersifat otonom atau administratif saja. Kedua, pemerintahan daerah diselenggarakan secara bertingkat, yaitu Daerah Tingkat I, Daerah tingkat II sebagai Daerah Otonom, dan kemudian wilayah administrative berupa provinsi, kabupaten/kotamadya, dan kecamatan. Ketiga, DPRD Tingkat I maupun Tingkat II dan kotamadya merupakan bagian dari Pemerintahan Daerah. Keempat, peranan Menteri Dalam Negeri dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat dikatakan bersifat sangat eksesif 1
Soeroso Marbun, Asas-Asas Pemerintahan Daerah.(Jakarta:Nuansa Baru.2001). hal. 121
Nemo Judex Indoneus In Propia Seseorang tidak dapat menjadi hakim bagi dirinya sendiri 1
Hukum Tata Negara Lanjutan
atau berlebih-lebihan yang diwujudkan dengan melakukan pembinaan langsung terhadap daerah. Kelima, UU ini memberikan tempat yang sangat terhormat dan sangat kuat kepada Kepala Wilayah ketimbang kepada Kepala Daerah. Keenam, Keuangan Daerah sebagaimana umumnya dengan undangundang terdahulu, diatur secara umum saja. Daerah juga mendapat bantuan dari Pemerintahan Pusat berupa “Pemberian Pemerintah”, sebuah istilah yang menandakan kemurahan hati Pemerintahan di Jakarta. [9]
2. UU Nomor 22 Tahun 1999 Menurut UU Nomor 22 Tahun 1999, daerah otonomi tidak menganut sistem bertingkat dan hanya mengenal 2 (dua) daerah otonomi, yaitu Provinsi dan Kabupaten/ kota yang dapat dirumuskan sebagai berikut: Pertama, Wilayah Negara Republik Indonesia dibagi dalam Daerah Provinsi, kabupaten, dan kota yang bersifat otonomi. Kedua, Daerah-daerah ini masing-masing berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarki (pasal 4 UU Nomor 22 Tahun 1999). Ketiga, Daerah Provinsi berkedudukan juga sebagai Daerah Administratif. Ada beberapa ciri khas yang menonjol dalam Undang-Undang ini, yaitu Pertama, Demokrasi dan Demokratisasi. Kedua, Mendekatkan Pemerintah Dengan Rakyat. Titik berat otonomi daerah difokuskan kepada Daerah Kabupatendan Kota, bukan kepada Daerah Propinsi. Ketiga, Sistem Otonomi Luas dan Nyata. Keempat, Tidak Menggunakan Sistem Otonomi Bertingkat. Dalam sistem ini, Pejabat Pemerintahan daerah yang lebih tinggi juga sekaligus merupakan atasan dari pejabat yang ada di daerah otonom yang lebih rendah. Kelima, No Mandate Without Funding. Penyelenggaraan tugas pemerintah di daerah harus dibiayai dari dana Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara (Pasal 78 ayat 2), dan “Penyerahan atau pelimpahan kewenangan Pemerintah Pusat kepada Gubernur atau penyerahan kewenangan atau penugasan Pemerintahan Pusat kepada Bupati/Walikota diikuti dengan pembiayaannya” (Pasal 2 ayat {4} UU PK no. 25 tahunn 1999). UU Nomor 22 tahun 1999 mengandung prinsip yang sebaliknya, yaitu money follows funftion.2 Artinya Daerah diberi kewenangan yang seluas-luasnya dan dengan kewenangan itu maka Daerah akan menggunakannya untuk menggali sumber dana keuangan yang sebesar-besarnya sepanjang bersifat legal dan diterima oleh lapisan masyarakat. Keenam, Penguatan Rakyat Melalui DPRD.
3. UU Nomor 32 tahun 2004 Antara UU 32 tahun 2004 dengan UU No 22 tahunn 1999 sebenarnya tidak ada perbedaan prinsipal dalam kebijakan pengelolaan pemerintahann daerah. Dalam perspektif desentralisasi masih menerapkan prinsip residual power atau open arrangement karena pusat masih mengurus 6 urusan yang bersifat konkruent. Pemerintah Daerah berhak mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab.
2
Ibid
Nemo Judex Indoneus In Propia Seseorang tidak dapat menjadi hakim bagi dirinya sendiri 2
Hukum Tata Negara Lanjutan
UU No.32 tahun 2004 mengatur hal-hal tentang; pembentukan daerah dan kawasan khusus, pembagian urusan pemerintahan, penyelenggaraan pemerintahan, kepegawaian daerah, perda dan peraturan kepala daerah, perencanaan pembangunan daerah, keuangan daerah, kerja sama dan penyelesaian perselisihan, kawasan perkotaan, desa, pembinaan dan pengawasan, pertimbangan dalamkebijakan otonomi daerah. Menurut UU No.32 tahun 2004 ini, negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus dan istimewa. Sehubungan dengan daerah yang bersifat khusus dan istimewa ini, kita mengenal adanya beberapa bentuk pemerintahan yang lain, seperti DKI Jakarta, DI Aceh, DI Yogyakarta, dan provinsi-provinsi di Papua. Bagi daerah-daerah ini secara prinsip tetap diberlakukan sama dengan daerah-daerah lain. Hanya saja dengan pertimbangan tertentu, kepada daerah-daerah tersebut, dapat diberikan wewenang khusus yang diatur dengan undang-undang. Jadi, bagi daerah yang bersifat khusus dan istimewa, secara umum berlaku UU No.32 tahun 2004 dan dapat juga diatur dengan UU tersendiri.
4. UU Nomor 23 Tahun 2014 Pada UU 23 tahun 2014, masih menerapakan pola residual power atau open arrangement, bahkan urusan pemerintah dibagi menjadi urusan pemerintah absolut, urusan pemerintah konkruen dan urusan pemerintahan umum (pasal 9) urusan pemerintah absolut adalah urusan pemerintah yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat (politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal, dan agama) urusan pemerintah konkruen adalah Urusan Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota. Urusan pemerintahan umum adalah Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan. Selain itu dalam UU 23 Tahun 2014 DPRD masih sama kedudukannya dengan UU No 23 Tahun 2004 yakni sebagai bagian dari penyelenggara pemerintahan daerah. Selain persoalan filosofis dalam urusan pemerintah pusat dan daerah seperti diatas diatur dalam UU 23 Tahun 2014 juga ada perbedaan yuridis. Perbedaan yuridis tertuang dalam bentuk pasal-pasal yang mengatur hal-hal yang tidak diatur dalam UU sebelumnya. Perbedaan secara yuridis, sangat terlihat dengan tidak adanya pasal-pasal yang mengatur tentang penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Perihal pemilihan daerah telah diatur dalam UU no 22 tahun 2014 yang sudah dibatalkan dengan Perpu No 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Dipisahkannya UU Pemda dengan UU Pilkada dimaksudkan agar kedua UU tersebut dapat berjalan secara maksimal sesuai dengan isu sentralnya masingmasing. Selain itu, dalam pemisahan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pilkada dimaksudkan untuk mempertegas posisi dan perbedaan Gubernur dan Walikota/Bupati.
Mengapa Berubah Setiap negara mengalami dinamika dalam perubahan kebijakan, dan tentunya faktor perubahan berbeda antara satu negara dengan negara lain. Namun tidak ada salahnya dalam Nemo Judex Indoneus In Propia Seseorang tidak dapat menjadi hakim bagi dirinya sendiri 3
Hukum Tata Negara Lanjutan
melihat dinamika perubahan pemerintaha daerah kita mengacu pada dinamika perubahan kebijakan pada beberapa pendapat yang telah melakukan kajian dan analisis terhadap suatu negara dalam melihat dinamika perubahan kebijakannya. Olehnya untuk melihat dinamika perubahan pengelolaan pemerintah daerah di Indonesia, seperti pendapat Hall sebagaimana di kutif oleh Geoffry Duedly dan Jeremy Ricadson bahwa perubahan orde ketiga mungkin unsur-unsur mencerminkan suatu proses yang berbeda, yang ditandai oleh perubahan-perubahan radikal dalam lingkup ketentuanketentuan wacana kebijakan yang berkaitan dengan pergeseran paradigma. Jika perubahanperubahan ode pertama dan kedua mempertahan kan kontinuitas-kontinuitas luas yang lazimnya ditemukan dalam pola-pola kebijakan, maka perubahan ‘orde ketiga’ seringkali merupakan suatu proses yang lebih disjunctive yang berkaitan dengan diskontinuitasdiskontinuitas berkala dalam kebijakan. Masih mengutip dari Hall bahwa implikasi dari analisis ini yaitu perubahan-perubahan orde pertama dan orde kedua dalam kebijakan tidak secara otomatis mendatangkan perubahan- perubahan orde ketiga. Degan perkataan lain, tidak boleh terperangkap anggapan bahwa pergeseran paradigmatik melibatkan hanya suatu versi yang lebih intens tentang pengambilan kebijakan normal yang didominasi oleh komunitas-komunitas dan jaringan-jaringan kebijakan. Selain aspek ide-ide, dinamika perubahan kebijakan pemerintah daerah juga dipengaruhi aspek institusi. Institusi khususnya lembaga-lembaga negara dilakukann restrukturisasi di pemerintah daerah agar bisa melaksanakan tugas dan fungsinya secara optimal.
B. MAHKAMAH KONSTITUSI 1. Sejarah dan Pembentukan Mahkamah Konstitusi Membicarakan MK di Indonesia berarti tidak dapat lepas jelajah historis dari konsep dan fakta mengenai judicial review, yang sejatinya merupakan kewenangan paling utama lembaga MK. Empat momen dari jelajah histories yang patut dicermati antara lain ; kasus Madison vs Marbury di AS, ide Hans Kelsen di Austria, gagasan Mohammad Yamin dalam sidang BPUPKI, dan perdebatan PAH I MPR pada sidang-sidang dalam rangka amandemen UUD 1945. Berdirinya Mahkamah Konstitusi sebagai Special Tribunal secara terpisah dari Mahkamah Agung, mengemban tugas khusus, merupakan konsepsi yang dapat ditelusuri jauh sebelum negara kebangsaan yang modern (modern nation-state), yang pada dasarnya menguji keserasian norma hukum yang lebih rendah dengan norma hukum yang lebih tinggi.3 Sejarah modern judicial review, yang merupakan ciri utama kewenangan Mahkamah Konstitusi, di Amerika Serikat dilakukan oleh Mahkamah Agung, dimulai sejak terjadinya kasus Marbury 3
Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), Hlm. 5.
Nemo Judex Indoneus In Propia Seseorang tidak dapat menjadi hakim bagi dirinya sendiri 4
Hukum Tata Negara Lanjutan
versus Madison (1803). Mahkamah Agung Amerika Serikat yang waktu itu di ketuai oleh Hakim Agung John Marshall memutus sengketa yang pada dasarnya bukanlah apa yang dimohonkan untuk diputus oleh kewenangannnya sebagai ketua Mahkamah Agung. Apa alasannya sehingga kemudian MK disepakati untuk dibentuk di Indonesia? Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan eksistensi dari perkembangan pemikiran hukum dan ketatanegaraan modern yang muncul pada abad ke-20 ini. Di negara-negara yang tengah mengalami tahapan perubahan dari otoritarian menuju demokrasi, ide pembentukan MK menjadi diskursus penting. Krisis konstitusional biasanya menyertai perubahan menuju rezim demokrasi, dalam proses perubahan itulah MK dibentuk. Pelanggaran demi pelanggaran terhadap konstitusi, dalam perspektif demokrasi, selain membuat konstitusi bernilai semantik4, juga mengarah pada pengingkaran terhadap prinsip kedaulatan rakyat. Apabila ditelaah lebih lanjut, pembentukan MK didorong dan dipengaruhi oleh kondisi faktual yang terjadi pada saat itu. Pertama, sebagai konsekuensi dari perwujudan negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi yang berdasarkan hukum. Kenyataan menunjukkan bahwa suatu keputusan yang dicapai dengan demokratis tidak selalu sesuai dengan ketentuan UUD yang berlaku sebagai hukum tertinggi. Oleh karena itu, diperlukan lembaga yang berwenang menguji konstitusionalitas undang-undang. Kedua, pasca Perubahan Kedua dan Perubahan Ketiga, UUD 1945 telah mengubah relasi kekuasaan dengan menganut sistem pemisahan kekuasaan (separation of powers) berdasarkan prinsip checks and balances. Jumlah lembaga negara dan segenap ketentuannya yang membuat potensi besar terjadinya sengketa antarlembaga negara. Sementara itu, perubahan paradigma supremasi MPR ke supremasi konstitusi, membuat tidak ada lagi lembaga tertinggi negara yang berwenang menyelesaikan sengketa antarlembaga negara. Oleh karena itu, diperlukan lembaga tersendiri untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Ketiga, kasus pemakzulan (impeachment) Presiden Abdurrahman Wahid oleh MPR pada Sidang Istimewa MPR pada 2001, mengilhami pemikiran untuk mencari mekanisme hukum yang digunakan dalam proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden agar tidak semata-mata didasarkan alasan politis semata. Untuk itu, disepakati perlunya lembaga hukum yang berkewajiban menilai terlebih dahulu pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden yang dapat menyebabkan Presiden dan/atau Wakil Presiden diberhentikan dalam masa jabatannya. Setelah melalui pembahasan mendalam, dengan mengkaji lembaga pengujian konstitusional undang-undang di berbagai negara, serta mendengarkan masukan berbagai pihak, terutama para pakar hukum tata negara, rumusan mengenai lembaga Mahkamah Konstitusi disahkan pada Sidang Tahunan MPR 2001. Hasil Perubahan Ketiga UUD 1945 itu merumuskan ketentuan mengenai lembaga yang diberi nama Mahkamah Konstitusi dalam Pasal 24 Ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945. 4
Nilai semantik menunjukkan bahwa konstitusi itu secara hukum tetap berlaku, tetapi dalam kenyataannya hanya sekedar untuk memberi bentuk dari tempat yang telah ada dan untuk melaksanakan kekuasaan politik
Nemo Judex Indoneus In Propia Seseorang tidak dapat menjadi hakim bagi dirinya sendiri 5
Hukum Tata Negara Lanjutan
2. Kedudukan Mahkamah Konstitusi Digantikannya sistem division of power (pembagian kekuasaan) dengan separation of power (pemisahan kekuasaan) mengakibatkan perubahan mendasar terhadap format kelembagaan negara pasca amandemen UUD 1945. Berdasarkan division of power yang dianut sebelumnya, lembaga negara disusun secara vertikal bertingkat dengan MPR berada di puncak struktur sebagai lembaga tertinggi negara. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Sebagai pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat, MPR sering dikatakan sebagai rakyat itu sendiri atau penjelmaan rakyat. Di bawah MPR, kekuasaan dibagi ke sejumlah lembaga negara, yakni presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Mahkamah Agung (MA) yang kedudukannya sederajat dan masing-masing diberi status sebagai lembaga tinggi negara. Akibat utama dari anutan sistem separation of power, lembaga-lembaga negara tidak lagi terkualifikasi ke dalam lembaga tertinggi dan tinggi negara. Lembaga-lembaga negara itu memperoleh kekuasaan berdasarkan UUD dan di saat bersamaan dibatasi juga oleh UUD. Pasca amandemen UUD 1945, kedaulatan rakyat tidak lagi diserahkan sepenuhnya kepada satu lembaga melainkan oleh UUD. Dengan kata lain, kedaulatan sekarang tidak terpusat pada satu lembaga tetapi disebar kepada lembaga-lembaga negara yang ada. Artinya sekarang, semua lembaga negara berkedudukan dalam level yang sejajar atau sederajat. Selanjutnya, UUD 1945 memberikan otoritas kepada MK untuk menjadi pengawal konstitusi. Mengawal konstitusi berarti menegakkan konstitusi yang sama artinya dengan “menegakkan hukum dan keadilan”. Sebab, UUD 1945 adalah hukum dasar yang melandasi sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam hal ini MK memiliki kedudukan, kewenangan serta kewajiban konstitusional menjaga atau menjamin terselenggaranya konstitusionalitas hukum.
3. Fungsi dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi mempunyai fungsi untuk mengawal (to guard) konstitusi agar dilaksanakan dan dihormati baik penyelenggara kekuasaan negara maupun warga negara. Mahkamah Konstitusi juga sebagai penafsir akhir konstitusi. Di berbagai negara Mahkamah Konstitusi juga menjadi pelindung (protector) konstitusi. Sejak di-inkorporasi-kannya hakhak asasi manusia dalam Undang Undang Dasar 1945, bahwa fungsi pelindung konstitusi dalam arti melindungi hak-hak asasi manusia (fundamental rights) juga benar adanya.5 Pasal 24C ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 menggariskan wewenang Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut:6 5
Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,..Hlm. 11
6
Lihat Pasal 24C Perubahan Ketiga Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Nemo Judex Indoneus In Propia Seseorang tidak dapat menjadi hakim bagi dirinya sendiri 6
Hukum Tata Negara Lanjutan
1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. 2) Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang Undang Dasar. Secara khusus, wewenang Mahkamah Konstitusi tersebut diatur lagi dalam Pasal 10 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.
4. Susunan Hakim Konstitusi Kekuasaan menjalankan peradilan yang dimiliki oleh MK sebagai lembaga dijalankan oleh hakim konstitusi. Pasal 24C ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa MK memiliki sembilan orang hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masingmasing tiga orang oleh MA, tiga orang oleh DPR, dan tiga orang oleh Presiden. Dalam mengajukan calon hakim konstitusi, MA, DPR, dan Presiden harus memperhatikan ketentuan Pasal 19 UU MK yang menyatakan bahwa pencalonan hakim konstitusi dilaksanakan secara transparan dan partisipatif. Setiap sidang pleno yang dilakukan oleh MK untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara harus dilakukan oleh 9 (sembilan) hakim konstitusi, kecuali dalam keadaan luar biasa dapat dilakukan oleh 7 (tujuh) hakim konstitusi.7
C. HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI 1) Asas-Asas Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Maruarar Siahaan, salah satu hakim konstitusi periode pertama, mengemukakan 6 (enam) asas dalam peradilan MK yaitu (1) ius curia novit; (2) Persidangan terbuka untuk umum; (3) Independen dan imparsial; (4) Peradilan dilaksanakan secara cepat, sederhana, dan biaya ringan; (5) Hak untuk didengar secara seimbang (audi et alteram partem); dan (6) Hakim aktif dan juga pasif dalam persidangan.30 Selain itu perlu ditambahkan lagi satu asas yaitu asas (7) Praduga Keabsahan (praesumptio iustae causa).8
2) Sumber Hukum Acara Mahkamah Konstitusi a. b. c. d. e. 7
Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 UU Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Peraturan Mahkamah Konstitusi Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi RI Pendapat Para Sarjana (Doktrin)
Pasal 28 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003
8
Dikenal juga dengan istilah het vermoeden van rechtmatigheid. Asas ini berarti bahwa tindakan penguasa dianggap sah sesuai aturan hukum sampai ada pembatalannya
Nemo Judex Indoneus In Propia Seseorang tidak dapat menjadi hakim bagi dirinya sendiri 7
Hukum Tata Negara Lanjutan
3) Permohonan Sebagai lembaga peradilan, MK menjalankan wewenang yang dimiliki berdasarkan permohonan yang diterima. Istilah yang digunakan dalam UU Nomor 24 Tahun 2003 adalah “permohonan” bukan “gugatan” seperti dalam hukum acara perdata.9 Istilah “permohonan” memang seolah-olah menunjukkan bahwa perkara yang diajukan bersifat satu pihak (ex parte atau voluntair), padahal dalam kelima wewenang yang dimiliki MK dapat dikatakan empat diantaranya terdapat pihak termohon. Istilah “permohonan” digunakan, menurut Maruarar Siahaan, adalah karena nuansa kepentingan umum yang dominan dalam setiap perkara yang ditangani MK.10 Walaupun suatu perkara diajukan oleh individu warga negara, namun putusannya berlaku umum dan mempengaruhi hukum dan ketatanegaraan. Pada saat wewenang MK masih dijalankan oleh MA, yaitu sebelum terbentuknya UU No. 24 Tahun 2003 setelah perubahan keempat UUD 1945,44 digunakan dua istilah yang berbeda, yaitu permohonan dan gugatan. Pasal 31 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 menentukan bahwa permohonan sekurang-kurangnya harus memuat: a. nama dan alamat pemohon; b. uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan sesuai dengan perkara yang dimohonkan; c. hal-hal yang diminta untuk diputus.
4) Pendaftaran Permohonan Permohonan yang diajukan kepada MK diterima oleh petugas penerima permohonan untuk disampaikan kepada Panitera MK yang akan melakukan pemeriksaan kelengkapan permohonan. Selain berkas permohonan perkara (hard copy) dalam praktik pemohon juga diminta untuk menyerahkan permohonan dalam bentuk soft copy atau file. Pemeriksaan yang dilakukan oleh panitera ini bersifat kelengkapan administratif, bukan terhadap substansi permohonan. Pemeriksaan administrasi ini misalnya meliputi jumlah rangkap permohonan, surat kuasa, kejelasan identitas, serta daftar alat bukti sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 24 Tahun 2003.
5) Penggabungan Perkara Terhadap beberapa permohonan perkara yang diterima, MK dapat menetapkan penggabungan perkara, baik dalam pemeriksaan persidangan maupun dalam putusan. Penggabungan perkara untuk perkara pengujian UU diatur dalam PMK No. 6/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang. Pasal 11 ayat (6) PMK No. 6/PMK/2005 dinyatakan bahwa penggabungan perkara dapat dilakukan berdasarkan usulan panel hakim terhadap perkara yang (a) memiliki kesamaan pokok permohonan; (b) memiliki keterkaitan materi permohonan; atau (c) pertimbangan atas permintaan pemohon. 9
Dalam hukum acara perdata terdapat penggugat dan tergugat karena sifat perkara hukum yang mengadili antar pihak yang saling berhadapan (contentieus rechtspraak). Di dalam peradilan pengujian UU hukum acara yang diatur dalam UU MK menunjukkan tidak adanya pihak yang saling berhadapan. 10
Maruarar Siahaan, op. cit., hal. 89.
Nemo Judex Indoneus In Propia Seseorang tidak dapat menjadi hakim bagi dirinya sendiri 8
Hukum Tata Negara Lanjutan
6) Beban Pembuktian dan Alat Bukti Secara umum terdapat beberapa teori pembuktian terkait dengan beban pembuktian dalam proses peradilan, antara lain teori affirmatif, teori hak, teori hukum objektif, teori kepatutan, dan teori pembebanan berdasarkan kaidah yang bersangkutan. Di antara berbagai teori tersebut, tentu masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan dan tidak ada satupun yang sesuai untuk semua perkara. Oleh karena itu harus dilihat karakteristik perkara atau kasusnya. Di dalam UU MK tidak ditentukan secara khusus tentang beban pembuktian ini. UU MK hanya menyatakan bahwa untuk memutus perkara konstitusi, harus didasarkan pada sekurang-kurangnya dua alat bukti,11 baik yang diajukan oleh pemohon, termohon, atau pihak terkait. Pasal 36 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 menentukan alat bukti meliputi:12 a. surat atau tulisan; b. keterangan saksi; c. keterangan ahli; d. keterangan para pihak; e. petunjuk; dan f. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau serupa dengan itu.
7) Tahapan Persidangan Pasal 40 ayat (1) UU MK menyatakan bahwa sidang MK terbuka untuk umum, kecuali rapat permusyawaratan hakim. Dengan demikian, dari 4 (empat) jenis persidangan, semuanya dilakukan secara terbuka untuk umum kecuali rapat permusyawaratan hakim (RPH). a. Pemeriksaan Pendahuluan Pemeriksaan pendahuluan merupakan persidangan yang dilakukan untuk memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan sebelum memasuki pemeriksaan pokok perkara.13 Dalam praktiknya, pemeriksaan pendahuluan ini selain memeriksa kelengkapan administrasi perkara, juga memeriksa dua aspek yang menentukan keberlanjutan perkara, yaitu apakah pemohon memiliki kualifikasi untuk mengajukan permohonan dimaksud atau dikenal dengan istilah memiliki legal standing, dan apakah perkara yang dimohonkan tersebut merupakan wewenang MK. 11
Pasal 45 ayat (2) UU No. 24 Tahun 2003
12
Pasal 36 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003
13
Pasal 39 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003.
Nemo Judex Indoneus In Propia Seseorang tidak dapat menjadi hakim bagi dirinya sendiri 9
Hukum Tata Negara Lanjutan
b. Pemeriksaan Persidangan Pemeriksaan persidangan adalah jenis persidangan yang dilakukan untuk memeriksa permohonan, alat bukti, keterangan termohon (jika ada), keterangan saksi, keterangan ahli, dan keterangan pihak terkait. Untuk kepentingan pemeriksaan persidangan, hakim konstitusi wajib memanggil para pihak yang berperkara untuk memberi keterangan yang dibutuhkan dan/atau meminta keterangan secara tertulis kepada lembaga negara yang terkait dengan permohonan. Lembaga negara dimaksud wajib memberi keterangan yang diminta dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari.14 Tahapan pemeriksaan persidangan adalah sebagai berikut: 1. Penyampaian pokok-pokok permohonan secara lisan 2. Penyampaian pokok-pokok jawaban termohon secara lisan 3. Pemeriksaan alat bukti berupa surat 4. Pemeriksaan keterangan saksi dan/atau ahli dari pemohon dan termohon 5. Penyampaian kesimpulan oleh pemohon dan termohon 6. Pembacaan putusan c. Rapat Permusyawaratan Hakim Di dalam UU No. 24 Tahun 2003 hanya terdapat satu ketentuan yang terkait dengan rapat permusyawaratan hakim (RPH). Pasal 40 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 menyatakan bahwa sidang MK terbuka untuk umum, kecuali rapat permusyawaratan hakim. Tidak terdapat penjelasan yang dimaksud dengan RPH tersebut. Ketentuan tentang RPH juga tidak diatur dalam PMK. RPH merupakan salah satu jenis dari sidang pleno, yang sifatnya tertutup. RPH yang membahas perkara bersifat rahasia yang hanya diikuti oleh para hakim konstitusi, panitera, dan panitera pengganti. Di dalam RPH ini dibahas perkembangan suatu perkara, putusan, serta ketetapan yang terkait dengan suatu perkara. Khusus untuk RPH pengambilan putusan perkara, diatur dalam Pasal 45 ayat (4) sampai dengan ayat (10) UU No. 24 Tahun 2003 dan akan dibahas pada bagian putusan dalam bab ini. d. Pengucapan Putusan Sidang pengucapan putusan pada hakikatnya adalah sidang pleno, namun berbeda dengan sidang pleno pemeriksaan persidangan. Dalam sidang pleno pengucapan putusan agendanya adalah hanya pembacaan putusan atau ketetapan MK untuk suatu perkara yang telah diperiksa dan diadili. Putusan biasanya dibacakan secara bergantian oleh majelis hakim konstitusi, diawali oleh ketua sidang, dilanjutkan oleh hakim konstitusi yang lain, dan pada
14
Pasal 41 ayat (2) dan ayat (3) UU No. 24 Tahun 2003.
Nemo Judex Indoneus In Propia Seseorang tidak dapat menjadi hakim bagi dirinya sendiri 10
Hukum Tata Negara Lanjutan
bagian kesimpulan, amar putusan dan penutup dibacakan oleh ketua sidang lagi. Setiap hakim konstitusi akan mendapatkan bagian tertentu dari putusan untuk dibacakan secara berurutan, kecuali hakim konstitusi yang dalam posisi mengajukan pendapat yang berbeda (dissenting opinion) atau alasan yang berbeda (concurring opinion). Hakim yang mengajukan dissenting opinion atau concurring opinion membacakan pendapatnya atau alasannya sendiri setelah ketua sidang membacakan amar putusan. Sidang pleno pengucapan putusan harus dilakukan secara terbuka untuk umum. Hal ini merupakan keharusan karena apabila putusan diucapkan dalam persidangan yang tertutup, akan berakibat putusan MK tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum.15 Putusan MK memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno pengucapan putusan terbuka untuk umum. Dengan demikian, putusan MK bersifat tetap dan mengikat sejak setelah sidang pengucapan putusan selesai.
8) Putusan a. Putusan Provisi dan Putusan Akhir Terdapat dua jenis putusan hakim dalam suatu proses peradilan, yaitu putusan yang mengakhiri suatu perkara atau sengketa yang diadili atau putusan akhir dan putusan yang dibuat dalam dan menjadi bagian dari proses peradilan yang belum mengakhiri perkara atau sengketa yang disebut dengan putusan sela atau putusan provisi. b. Ultra Petita Di dalam hukum acara, khususnya dalam hukum acara perdata terdapat pandangan yang oleh beberapa ahli telah dianggap sebagai salah satu prinsip hukum acara, yaitu hakim dilarang memutus melebihi apa yang dimohonkan (ultra petita). Selain itu, dalam setiap gugatan, dakwaan, ataupun permohonan biasanya selalu dicantumkan permohonan kepada hakim untuk menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono) sehingga hakim memiliki keleluasaan untuk menjatuhkan putusan lebih dari petitum. c. Sifat Putusan Dilihat dari amar dan akibat hukumnya, putusan dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu declaratoir, constitutief, dan condemnatoir. Putusan declaratoir adalah putusan hakim yang menyatakan apa yang menjadi hukum. Misalnya pada saat hakim memutuskan pihak yang memiliki hak atas suatu benda atau menyatakan suatu perbuatan sebagai perbuatan melawan hukum. Putusan constitutief adalah putusan yang meniadakan suatu keadaan hukum dan atau menciptakan suatu keadaan hukum baru. Sedangkan putusan condemnatoir adalah putusan yang berisi penghukuman tergugat atau termohon untuk melakukan suatu prestasi. Misalnya, putusan yang menghukum tergugat membayar sejumlah uang ganti rugi. Secara umum putusan MK bersifat declaratoir dan constitutief.16 15
Pasal 28 ayat (5) dan ayat (6) UU No. 24 Tahun 2003.
16
Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005). Hal. 131
Nemo Judex Indoneus In Propia Seseorang tidak dapat menjadi hakim bagi dirinya sendiri 11
Hukum Tata Negara Lanjutan
d. Pengambilan Putusan Putusan diambil dalam rapat permusyawaratan hakim. Dalam proses pengambilan putusan, setiap hakim konstitusi wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap permohonan. Putusan harus diupayakan semaksimal mungkin diambil dengan cara musyawarah untuk mufakat. Apabila tidak dapat dicapai mufakat, musyawarah ditunda sampai RPH berikutnya. Apabila tetap tidak dapat dicapai mufakat, putusan diambil berdasarkan suara terbanyak.15 e. Isi Putusan Putusan MK dibuat berdasarkan UUD 1945 sesuai dengan alat bukti yang diperiksa di persidangan dan keyakinan hakim. Putusan harus didasarkan pada sekurang-kurangnya 2 alat bukti. Putusan yang telah dicapai dalam RPH dapat diucapkan dalam sidang pleno pengucapan putusan hari itu juga, atau dapat ditunda pada hari lain. Jadwal sidang pengucapan putusan harus diberitahukan kepada para pihak. Putusan ditandatangani oleh hakim yang memeriksa, mengadili, dan memutus, serta oleh panitera. MK memberi putusan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Setiap putusan MK harus memuat: a. kepala putusan berbunyi: “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”; b. identitas pihak, dalam hal ini terutama adalah identitas pemohon dan termohon (jika dalam perkara dimaksud terdapat pihak termohon), baik prinsipal maupun kuasa hukum; c. ringkasan permohonan; d. pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan; e. pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan; f. amar putusan; dan g. hari, tanggal putusan, nama hakim konstitusi, dan panitera. f. Pendapat Berbeda Pasal 45 ayat (10) UU No. 24 Tahun 2003 mengamanatkan bahwa pendapat anggota Majelis Hakim yang berbeda dimuat dalam putusan. Pendapat berbeda memang mungkin, dan dalam praktik sering terjadi, karena putusan dapat diambil dengan suara terbanyak jika musyarawah tidak dapat mencapai mufakat. Pendapat berbeda dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu (1) dissenting opinion; dan (2) concurent opinion atau consenting opinion. Dissenting opinion adalah pendapat berbeda dari sisi substansi yang memengaruhi perbedaan amar putusan. Sedangkan concurent opinion adalah pendapat berbeda yang tidak memengaruhi amar putusan. Perbedaan dalam concurent opinion adalah perbedaan pertimbangan hukum yang mendasari amar putusan yang sama. Concurent opinion karena isinya berupa pertimbangan yang berbeda dengan amar yang sama tidak selalu harus ditempatkan secara terpisah dari hakim mayoritas, tetapi dapat saja dijadikan satu dalam pertimbangan hukum yang memperkuat amar putusan. Sedangkan dissenting opinion, sebagai pendapat berbeda yang memengaruhi amar putusan harus dituangkan dalam putusan.
15
Pasal 45 UU No. 24 Tahun 2003.
Nemo Judex Indoneus In Propia Seseorang tidak dapat menjadi hakim bagi dirinya sendiri 12
Hukum Tata Negara Lanjutan
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimly. Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara, Jakarta: Konstitusi Press, 2005 Asshiddiqie, Jimly. Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945. Makalah dalam Simposium Nasional yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan HAM, 2003. Marbun, Soeroso. Asas-Asas Pemerintahan Daerah. Jakarta : Nuansa Baru . 2001. Ramadhan, Mochamad Isnaeni. Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Bandung: PT. Alumni, 2006 Siahaan, Maruarar. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta: Konstitusi Press, 2006 Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Nemo Judex Indoneus In Propia Seseorang tidak dapat menjadi hakim bagi dirinya sendiri 13