s KUMPULAN ABSTRAK
DISERTASI FENOMENOLOGI
JURUSAN TEKNIK ARSITEKTUR DAN PERENCANAAN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS GADJAH MADA 2003-2011
Diterbitkan dalam rangka Mangayubagya Prof. Dr. Ir. Sudaryono, M.Eng
Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada
yogyakarta, 14 maret 2012
PENYUSUN
Tim APRF
DITERBITKAN OLEH
aprf
architecture and planning research forum
sekapur sirih
B
uku ini merupakan kumpulan abstraksi delapan disertasi pada Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, yang berhasil dituliskan pada tahun 2003 sampai dengan 2011. Delapan disertasi ini dikumpulkan karena memiliki kesamaan, yaitu semua dikerjakan dengan menggunakan pendekatan fenomenologi. Para penulis sadar bahwa disertasi yang mereka hasilkan adalah tentang fenomena keruangan arsitektural yang digarap dengan cara kerja kualitatif, khususnya fenomenologi. Pemilihan pendekatan dilandasi pemahaman bahwa aspek manusia dan kemanusiaannya yang amat kaya dan terkait dengan tata keruangan arsitektural dapat terungkap dengan cara pandang unik, yaitu fenomenologi. Para penulis berusaha menyatu dengan fenomena untuk menangkap intisari atau hakekat fenomena yang dialami secara langsung, setahap demi setahap bersusah-payah meraih berbagai penyebab di baliknya, bahkan diteruskan untuk mencapai latar belakang yang lebih mendalam (hingga dimensi transenden), sebagaimana diajarkan dalam fenomenologi.
Joesron Alie Syahbana (2003), melalui kajian tentang pengelolaan prasarana lingkungan oleh masyarakat, berhasil menemukan pengetahuan substantif di dalam masyarakat yang melandasinya, khususnya menemukan bangunan pengetahuan lokal yang berbasis pada kumpulan nilai agama, kepercayaan, yang berkembang bersama nilai-nilai potensi lokal. Ia berhasil membuktikan, kajian yang sangat dekat dengan masyarakat telah menghasilkan pengetahuan mendalam tentang latar belakang yang amat kaya dan melandasi upaya-upaya masyarakat mengelola fasilitas lingkungan. Rimadewi Supriharjo (2004) yang melakukan kajian tentang kawasan Ampel di Surabaya menemukan bahwa kawasan Ampel sanggup bertahan keunikannya dalam sejarah panjang kota Surabaya karena memiliki nilai ruang kawasan yang saling terkait dan terikat, dan membentuk pola keruangan berhirarki. Ia juga membuktikan bahwa observasi yang intensif dan berjarak sangat dekat dengan fenomena yang diamati telah menghasilkan pemahaman mendalam tentang latar belakang yang melandasi keberadaan nilai ruang suatu kawasan. Dermawati D. Santoso (2007) menekuni observasi tentang rumah kontrakan di perkampungan padat di kota Yogyakarta, menemukan keunikan budaya bermukim di kampung dan konsep toleransi keruangan yang kental mencirikan budaya kampung.
Ketekunannya mengamati selama tinggal di kampung Pajeksan dan Jogonegaran membuktikan, toleransi keruangan terungkap melalui berbagai variasi pola pemanfaatan ruang dan merupakan kekuatan untuk hidup berkelanjutan di kampung padat di tengah kota.
Edi Purwanto (2007) melakukan kajian tentang makna ruang kota yang memiliki karakter unik, yaitu ruang kota pada poros Tugu Pal Putih sampai dengan Alun-alun Utara di kota Yogyakarta, menemukan budaya guyub menjadi basis atau landasan terbangunnya teori substantif rukun kota. Kejelian dan intensitasnya yang tinggi dalam pengamatan lapangan berhasil menunjukkan efektivitas pendekatan fenomenologi, yaitu sistem nilai guyub sebagai unsur penting yang mendasari perilaku meruang para pelaku ruang kota berkaitan dengan kegiatan ekonomi, sosial, budaya, spiritual, dan politik . Djarot Purbadi (2010) yang menggunakan pendekatan fenomenologi Husserlian, melakukan kajian tentang arsitektur permukiman suku Dawan di desa Kaenbaun di pulau Timor, dan menemukan teori sosio-spiritual spasial sebagai landasan bagi arsitektur permukiman di desa Kaenbaun. Ia berhasil mengungkapkan bahwa konsep hidup ideal orang Kaenbaun menjadi sumber nilai bagi perilaku meruang orang Kaenbaun dan tatanan spasial permukiman di desa Kaenbaun. Pengamatannya yang relatif singkat namun intens dengan cara tinggal beberapa waktu di desa Kaenbaun telah membuktikan keandalan pendekatan fenomenologi Husserlian untuk mengangkat aspek-aspek terdalam pada budaya Dawan terkait dengan perilaku meruang dan arsitektur permukiman di Kaenbaun. Keberhasilannya menulis disertasi membuahkan penghargaan yang tinggi dari warga desa Kaenbaun, bahkan secara resmi melalui upacara adat sakral di pusat desa ia dan istrinya diangkat menjadi warga Kaenbaun dan mendapat anugerah gelar nama nenek moyang (bei nai) orang Kaenbaun yaitu Neon Kaenbaun (Raja Kaenbaun) dan Takaeb Salan (istri Neon Kaenbaun). Suastiwi Triatmodjo (2010) yang mengkaji permukiman Kauman di Yogyakarta sebagai permukiman yang bersejarah di tengah dinamika arus jaman telah menemukan tiga fenomena keruangan, yang ternyata didasari oleh “konsep ruang tauhid, permufakatan ruang, dan desakralisasi ruang”. Ketekunannya mengalami ruang kehidupan di Kauman seturut pendekatan fenomenologi, berhasil menemukan bahwa makna ruang permukiman Kauman didasari oleh sistem kepercayaan, sistem nilai dan kegiatan, sehingga menjadi wujud eksistensial permukiman.
ii
Judy Obet Waani (2010) yang tertarik menerapkan pendekatan fenomenologi pada permukiman pasca reklamasi pantai di Manado dan terfokus pada makna dan perilaku meruang warga masyarakat Titiwungen Selatan menemukan konsep basudara sebagai kunci penting untuk bertahan dan melanjutkan kehidupan masyarakat pada ruang yang telah berubah. Kecermatan dan intensitasnya terjun langsung di tengah keseharian hidup masyarakat yang diamati berhasil membuktikan pendekatan fenomenologi mampu menguak dimensi terdalam; “konsep basudara” sebagai kunci yang mendukung keteranyaman dan keberlanjutan eksistensi ruang dalam masyarakat. Djoko Wijono (2011) yang mengkaji fenomena arsitektur kota kecil di Daerah Istimewa Yogyakarta menemukan teori deskriptif, bahwa arsitektur kota kecil merupakan entitas rekayasa keruangan yang dibangun oleh kekuatan besar berupa “konsep saged”. Kajian yang dilakukannya berhasil menunjukkan keandalan fenomenologi yang mampu menguak dimensi dalam (deep dimension) bahwa saged sebagai enerji yang sangat kuat mendorong masyarakat memanfaatkan potensi diri dan lingkungan untuk menciptakan konsep-konsep lokasi, hunian, ruang ekonomi, ruang sosial dan fisik dan akan berakumulasi-bersinerji-berdialog membangun arsitektur kota kecil. Ke-delapan disertasi telah memperlihatkan, fenomenologi mampu digunakan untuk mengkaji fenomena yang beragam dalam arsitektur dan perencanaan keruangan, khususnya memberikan gambaran mendalam tentang fenomena-fenomena unik dengan berbagai kerangka serta latar belakang khas, bahkan menyentuh dimensi yang abstrak-transenden yang mendasarinya. Kajian delapan disertasi ini memantapkan pandangan, dimensi mendalam manusia dan kemanusiaannya termasuk unsur-unsur transenden yang dimilikinya terkait dengan fenomena meruang, dapat didekati dan dipahami lebih utuh dengan pendekatan fenomenologi. Tidak cukup sampai di situ. Kelahiran delapan disertasi tersebut, menandai munculnya elemen-elemen ilmu yang membangun fenomenologi dalam arsitektur dan perencanaan. Keberadaannya bukan berarti bahwa sudah lengkap-sempurna menciptakan pemahaman tentang fenomenologi dalam arsitektur dan perencanaan. Disadari, keluas-dalaman lautan fenomenologi tak pernah cukup terpahami melalui satu hingga delapan disertasi, maka tentulah diperlukan keteranyaman kajian antar fenomena, antar peneliti, sekaligus antar generasi peneliti. Beberapa disertasi masih dalam proses penyelesaian. Setelah delapan disertasi tersebut, berikutnya akan menyusul kelahiran disertasi berbasis fenomenologi yang sedang dikerjakan oleh VG. Sri Rejeki, juga Jamilla Kautsary, iii
Endy Marlina, Popi Puspitasari, Wara Indira Rukmi, Al Busyra Fuadi, Zaenal, Ishak Kadir, dan beberapa lainnya. Dari informasi ini menjadi semakin jelas, bahwa keberadaan fenomenologi dalam arsitektur dan perencanaan tanpa terasa sungguh semakin mantap, sejalan dengan proses penganyaman profil-profil pemahaman tentang arsitektur dan perencanaan yang terus mengalir-berkembangberkelanjutan melalui dan dalam paradigma fenomenologi Buku tipis ini dipersembahkan kepada Prof. Dr. Ir. Sudaryono, M.Eng., Bapak, Guru dan Sahabat kami, terkait dengan pengukuhan beliau menjadi Guru Besar pada Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, semata-mata sebagai ungkapan syukur dan terima kasih karena beliau telah memberikan pembimbingan, pendampingan dan menjadi mitra diskusi yang inspiratif di tengah kebingungan kami baik di awal proses, selama perjalanan menulis disertasi, hingga tahap penyelesaiannya. Kado yang sederhana ini semoga menjadi catatan kecil, bahwa kami pernah belajar bersama dan senantiasa seiring-sejalan menapaki perjalanan akademik yang menantang, dan mencerahkan berbagai kebingungan di tengah dialog keilmuan yang dinamis dalam arsitektur dan perencanaan. Semoga Prof. Dr. Ir. Sudaryono, M.Eng. dan keluarga senantiasa dianugerahi berkah dan kebahagiaan yang melimpah dari Allah, selalu sehat dan terus berkarya serta menjadi pelita di tengah-tengah kegelapan bagi para mahasiswa dan alumni, serta siapapun yang memerlukannya. Amien. Yogyakarta, Maret 2012 Djarot Purbadi Koordinator APRF
iv
daftar isi
Sekapur Sirih
i
Daftar Isi
v
Pengelolaan Prasarana Sanitasi Lingkungan oleh Masyarakat di Kampung Kanalsari Kota Semarang Joesron Alie Syahbana
1
Nilai Ruang di Kawasan Ampel Surabaya Rimadewi Supriharjo
5
Toleransi Keruangan dalam Permukiman Padat Rumah Kontrakan di Kampung Pajeksan dan Jogonegaran Yogyakarta Dermawati Djoko Santoso
9
Rukun Kota: Ruang Perkotaan Berbasis Budaya Guyub Poros Tugu Pal Putih sampai dengan Alun-alun Utara Yogyakarta Edi Purwanto
13
Tata Suku dan Tata Spasial pada Arsitektur Permukiman Suku Dawan di Desa Kaenbaun Di Pulau Timor Yohanes Djarot Purbadi
17
Permufakatan dan Desakralisasi Ruang di Permukiman Kauman Yogyakarta Suastiwi Triatmodjo
21
Basudara dalam Permukiman Titiwungen Selatan Pasca Reklamasi Pantai Manado Judy Obet Waani
25
Konsep Saged: Spirit Arsitektur Kota Kecil Djoko Wijono
29
Daftar Pustaka Sekilas tentang APRF
32 33
v
PENGELOLAAN PRASARANA SANITASI LINGKUNGAN OLEH MASYARAKAT DI KAMPUNG KANALSARI KOTA SEMARANG JOESRON ALIE SYAHBANA
[email protected] Februari 2003
M
asalah sanitasi lingkungan merupakan masalah perkotaan yang tidak pernah terselesaikan secara tuntas dalam proses urbanisasi di Indonesia sejak dari masa Pemerintahan Hindia-Belanda sampai sekarang sehingga rnenjadi program abadi dan sektor penting dalam pcngelolaan perkotaan, khususnya di kawasan perkampungan. Meskipun pendekatan investasi prasarana mempunyai peran besar, bahkan di negara maju telah menuntaskannya, tidak demikian halnya bagi daerah perkotaan di negara-negara berkembang. Banyak tantangan yang dihadapi, berhubungan dengan masalah-masalah ekonomi, sosial-budaya, kepadatan, perilaku dan peranserta masyarakat.
abstrak
Sulit bagi penduduk kampung yang kekurangan dalam sumber untuk memiliki prasarana sanitasi lingkungan (PSL) secara pribadi sehingga sebagian masih menggantungkan pada sistem penyediaan komunitas. Apalagi kenyataan sosial di kawasan kampung banyak dipengaruhi oleh fenomena kebersamaan yang memungkinkan tumbuhnya sistem tersebut. Sejalan dengan proses urbanisasi. sebagian penduduk mampu mengembangkan kepentingan pribadi termasuk dalam pemilikan PSL. Keberadaan PSL sistem komunitas yang berbaur dengan sistem pribadi telah menumbuhkan fenomena perilaku spesifik dalam kehidupan kampung. Meskipun hanya merupakan salah satu tema perilaku, keberadaannya tidak pemah terlepas dari sistem manusia dan ekologi kampung secara utuh. Artinya, keberadaan fenomena tersebut tidak dapat dipisahkan dari tema-tema perilaku lain. Seperti fenomena gunung es, yang tampak di permukaan kecil, tetapi yang ada di bawah permukaan belum terkirakan. Oleh karena itu merupakan agenda penelitian yang menarik untuk mengungkapkan pengetahuannya, terutama pengetahuan yang menopang keberadaan tema perilaku ini yang sudah berbaur dengan kehidupan sehari-hari yang wajar dalam tanda-tanda sederhana yang kurang menarik perhatian, tidak berbeda jauh dengan yang terjadi di komunitas lain. Penelitian berbasis fenomena yang dianalisis secara induktif 1
dan kualitatif di Kampung Kanalsari, Kota Semarang ini menghasilkan suatu pengetahuan substantif pengelolaan PSL oleh masyarakat yang terdiri dari pengetahuan yang ada di atas dan di bawah permukaan. Pengetahuan di atas permukaan bersifat nyata, mudah diukur secara empiris. Konstruksi dan strukturnya terbentuk dari pengetahuan-pengetahuan tentang jaringan PSL dan operasi kelembagaannya. Pengetahuan di bawah permukaan terdiri dari berbagai pengetahuan yang berfungsi sebagai pilar-pilar dan pondasi. Terdapat tiga pilar pengetahuan yang menopang keberadaan badan pengetahuan di atas permukaan, sesuatu yang abstrak, tidak mudah diukur secara empiris karena berupa pengetahuan tentang konsep dan teori: (i) mengelola kepentingan bersama, (ii) mengelola kepentingan pribadi, dan (iii) mengelola tarik-menarik antara kepentingan pribadi dan bersama. Pondasi merupakan pengetahuan yang terletak
dalam struktur terbawah dari bangunan pengetahuan pengelolaan PSL, terdiri dari sistem yang terbangun dari kumpulan nilai-nilai agama dan kepercayaan yang telah berproses dengan nilai-nilai potensi lokal hasil hubungan timbal-balik dan nilai-nilai karakteristik manusia secara individu dan kolektif serta lingkungan. 2
abstract Sanitation has been one of the prolonged and unresolved problems in Indonesia’s urbanization since the Dutch Colonization until recently. This issue even becomes a classic and is regarded as an important sector in urban management particularly in the traditional urban settlement of kampong. Investment on urban infrastructures has been adopted and of having a greater role to address the issue. However, unlike in developed countries where the approach has been successfully completed, the implementation of such an approach in developing countries has yet to have a sound impact. This happens as there are many challenges faced by urban government in developing countries, which are associated with economic and socio-culture factors, population density, behavior, and community participation. In fact, most of kampong dwellers depend on communal sanitation infrastructures as lack of necessary resources has prevented them to have their privately-owned sanitation infrastructures operated. Collective and social norms live in kampong have contributed to the growth of the communal system. Meanwhile, as urbanization processes go on, many people living in kampong have been able to develop their private properties, including sanitation infrastructures. However, the existence of the common facility system mixed with individual system has created a specific behavioral phenomenon in kampong living culture. Although this phenomenon seems only to be a behavioral theme, it is difficult to separate it from the entire kampung humanity and ecological system. This means that the presence of such a phenomenon can not be taken apart from other behavior themes.
This would appear like iceberg phenomena where those look apparently small at the top and the surfaces but certainly bigger underneath. Therefore, it is an important agenda to disclose what knowledge underpinning the phenomena, especially of the one that supports the existence of the phenomena, which have more or less melted to they daily common lives, the common fabrics that may have appeared as simple, uninteresting, and similar to what would happen in other communities. This phenomena-based research that was inductively analyzed and qualitatively inquired with a case study taken at the Kampong of Kanalsari in the city of Semarang result in substantive knowledge of community based-sanitation infrastructure management. The finding consists of two different levels of knowledge. First, the upper level is real and can easily be measured by empirical senses (tangible). This knowledge is constructed and structured by pragmatic knowledge on sanitation infrastructure network-system and its operational institution. Secondly, the lower one is composed of various knowledge that (unction as pillar and foundation, an abstract concept which are intangible thing since it consists of theoretical and conceptual knowledge, i.e. three pillars of knowledge of:
(i) managing common interests, (ii) managing private interests, and (iii) managing tug-of-war between common-private interests, in one hand. On the other hand the foundation is the knowledge lies on the very bottom structure of the knowledge of sanitation infrastructure management. It consists of system that is constructed from a set of religious and believes values which have mingled with local potential values as a result of mutual relationships of individual and collective human characteristics and the environment.
joesron alie syahbana, lahir pada 6 Mei 1951. Saat ini bekerja
sebagai Dosen Tetap di Jurusan Arsitektur dan Jurusan PWK, sekaligus menjabat sebagai Ketua Program Studi Magister Perencanaan Wilayah dan Kota (MPWK) Universitas Diponegoro Semarang 3
4
NILAI RUANG DI KAWASAN AMPEL SURABAYA RIMADEWI SUPRIHARJO
[email protected] Nopember 2004
K
ota Surabaya mengalami perkembangan fisik yang sangat unik dalam periode waktu yang panjang sejak th 1275 (Handinoto, 1992). Perubahan morfologi kola Surabaya menunjukkan bahwa beberapa kawasan tetap ada dari waktu kewaktu salah satunva adalah kawasan Ampel. Hal tersebut membangun suatu keingintahuan apa yang terjadi dibalik kenyataan tersebut. Pertanyaan penelitian tertuju pada kualitas atau nilai apa yanq menjadi dasar, dan seperti apa nilai ruang kawasan tersebut sehingga memperkuat citra dan keberadaannya, serta bagaimana konsep yang didapat berperan dalam tataran konsep perencanaan kawasan. Penelitian dengan pendekatan fenomenologi mengantarkan, konsep nilai ruanq kawasan Ampel dibangun dan fenomena yang tumbuh di masyarakat dan dianalisa secara eksplorasikualitatif-induktif. Eksplorasi kasus menemukan beberapa tema kehidupan masyarakat Ampel dalam kaitannya dengan aktivitas dan penggunaan ruang. Tema-tema tersebut membangun konsep lokal berupa: (i) pola hubungan sosial masyarakat, (ii) pola sifat etnis, (iii) pola pikiran dan keyakinan masyarakat, dan (iv) pola keruangan. Dari keempatnya menghasilkan sistim nilai yang mempunyai hirakhi dan keterkaitan antar nilai, dan yang kemudian mendasari konsep nilai ruang kawasan Ampel.
abstrak
Konsep nilai ruang kawasan Ampel merupakan satu temuan pengetahuan dan bagian-bagian dan pengetahuan tersebut dapat menjadi pengkayaan pengetahuan teoritis dan praksis. Pengetahuan ini mengungkapkan berbagai unsur dan faktor yang mendasari adanya sistem nilai, yaitu faktor sejarah, fisik dan non fisik kawasan, kegiatan dan perilaku sosial budaya masyarakat, lokasi dan lingkungan fisik dan suasana dan makna. Pengetahuan praksis yang dapat diangkat yaitu: (i) keeratan hubungan sosial masyarakat dengan adanya jembatan adaptasi, (ii) prinsip kehidupan dalam bentuk komitmen kebersamaan, (iii) pola pikir masyarakat dalam bentuk keyakinan spiritual, dan (iv) hubungan aktifitas dengan keruangan. Pengetahuan teoritis yang dapat disumbangkan adalah konsep nilai ruang kawasan dengan 5
aspek religi sebagai substansi yang berpengaruh. Konsep nilai ruang kawasan Ampel menjadi dasar pendekatan perencanaan konservasi kawasan dengan memperhatikan nilai yang dimiliki kawasan tersebut. Penelitian ini antara lain menemukan adanya nilai ruang kawasan Ampel yang dihasilkan dari hubungan antara: (i) ruang (spasial), (ii) aktifitas (kegiatan masyarakat), dan (iii) sistem nilai. Nilai ruang kawasan Ampel terdiri atas beberapa nilai yaitu
nilai religi, histori, sosial dan ekonomi yang merupakan mata rantai nilai yang saling terkait dan terikat satu dengan lainnya dan nilai-nilai tersebut membentuk pola keruangan yang berhirarkhi. 6
Hilangnya nilai religi atau salah satu dari mata rantai nilai akan merubah keseluruhan konsep nilai ruang kawasan. Kawasan Ampel sangat unik dilihat dari sisi kehidupan masyarakat dan kondisi fisiknya, mempunyai kualitas kehidupan yang tercermin dalam keruangan, mempunyai sistem nilai secara fisik dan non fisik. Konsep yang dihasilkan merupakan konsep lokal, namun metode yang digunakan dapat menghasilkan model yang dapat diterapkan pada kawasan lain. Struktur konsep Ampel dapat digunakan untuk meninjau kawasan Kauman di kota Kudus sebagai uji alih pengetahuan. Dengan adanya induk populasi yang sama dengan yang ditemukan di Ampel maka konsep tersebut dapat dialihkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kawasan Ampel mempunyai peran penting untuk kota Surabaya.
Secara eksternal Ampel hadir dan berkembang dipengaruhi oleh pertumbuhan kota Surabaya, secara internal Ampel mempunyai sistem nilai ruang yang dapat mengangkat citra kota Surabaya yaitu dari kegiatan masyarakat, pola tatanan ruang, dan perekonomian.
abstract The city of Surabaya underwent a highly unique physical development for a long period of time since 1275 (Handinoto,1992). The morphological changes occurring in the city shows that some area have remained from time to time, and one of which is Ampel. This has aroused curiosity about what has happened behind the phenomenon. This study addresses the questions what quality or value underlines the fact, what is the space value of the area that has strengthened its image and existence like, and how the concept herein obtained may play a role in the regional planning concept.
Nilai Ruang Kawasan Ampel
The research, which was conducted through a phenomenological approach and has presented the concept of space value of Ampel area, has developed from the phenomena existing within the local society which were than analyzed exploratively, qualitatively and inductively. The explorative analysis of the case discovered several themes of Ampel people’s life with respect to their activities and space utilization. The themes formed local concept of: (i) social interaction pattern, (ii) ethnical character pattern, (iii) patterns of people thoughts and beliefs, and (iv) spatial pattern. The four resulted value system in a hierarchical and inter-connected values which has subsequently underline the concept of space value of Ampel area. The concept of Ampel area-space value has been a scientific disclosure, the part of which may contribute to the enrichment of both practical and theoretical knowledge. The finding has disclosed various elements and factors underpinning the system of values, and these were the physical and non-physical history of the area, the people’s activities and sociocultural behavior, location and physical environment, the situation and meaning. The practical knowledge that may be put forward are:
(i) the close relationship amongst member of the society due to the existence of adaptation bridge, (ii) the principle of life in the form of commitment to togetherness, (iii) people’s pattern of thought in the form of spiritual beliefs, and (iv) relationship between activities and spatiality. 7
The theoretical knowledge which may be contributed is the concept of area space value with religious aspect as its influential substance. The space value area concept has become the basis approach to the region’s conservation planning that take the area’s values into account. This study has discovered space value of Ampel area resulting from the interrelation among: (i) space, (ii) activities (of the people), and (iii) the values system. The space value of Ampel area consists of a number of values, namely religious, historical, social-cultural, and economic values. These all form a chain of interconnected values and a hierarchical spatial pattern. The absence of religious value, or one of those forming the chain of values, will alter the whole concept of area space value. With respect to its physical condition and inhabitants life, the area of Ampel is very unique, in that it has a quality of life reflected on its spatiality and a system of physical as well as non-physical values. The result concept is a local one yet the method that has been used become model to be implemented in other areas, me structure of Ampel concept may be used for analyzing the Kauman area in the town onsuaus as a knowledge cross-check. Having the same major mother population as that found in Ampel, the concept can obviously be transferred to the latter area. The result of this research shows that the area of Ampel has played an important role for Surabaya city. Externally, Ampel’s existence and development have been influence by the development of Surabaya city and internally Ampel has a system of space values which can reinforce Surabaya’s image through-its people’s activities, pattern of space arrangement, and economy.
rimadewi supriharjo, lahir di Jakarta tanggal 4 Maret 1954. Pendidikan S1 di Jurusan Teknik Arsitektur UGM ditempuh pada tahun 1979, dan pendidikan S2 di University of Stuttgart Germany ditempuh pada tahun 1989. Saat ini bekerja sebagai Dosen Tetap di Jurusan PWK FTSP Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya
8
TOLERANSI KERUANGAN DALAM PERMUKIMAN PADAT Rumah Kontrakan di Kampung Pajeksan dan Jogonegaran, Yogyakarta DERMAWATI DJOKO SANTOSO
[email protected] Desember 2006
P
ermukiman padat di kampung kota dengan berbagai karakteristik permasalahannya merupakan fenomena urban yang selalu terlihat pada kota-kota besar terutama di negara-negara berkembang. Hal ini terkait dengan adanya daya tarik pusat kota dengan pesatnya perputaran roda ekonomi yang membawa dampak derasnya arus pendatang memadati pusat kota. Permasalahan ini belum diimbangi dengan penyediaan permukiman yang layak oleh pemerintah kota, sehingga masyarakat miskin kota mencari solusi dalam melakukan penyediaan rumah tinggalnya. Fenomena serupa terlihat di Kampung Pajeksan dan Jogonegaran di kawasan Malioboro yang terletak di pusat kota Yogyakarta. Kedua kampung ini berkembang menjadi pendukung utama dalam hal penyediaan tempat tinggal bagi pedagang dan karyawan yang bekerja di kawasan Malioboro. Dengan segala keterbatasan yang ada, penduduk berusaha mencari peluang dengan menyiasati tempat tinggalnya untuk memenuhi kebutuhan tinggal bagi pedagang dan karyawan yang bekerja di kawasan Malioboro.
abstrak
Kehidupan dalam Kampung Pajeksan dan Jogonegaran yang sarat dengan pengontrak merupakan fenomena urban yang tetap mempunyai identitas tersendiri bagi kota Yogyakarta. Toleransi keruangan yang dilakukan pengontrak pada huniannya, dengan berusaha menyiasati tempat tinggalnya yang terbatas sesuai dengan kebutuhan, merupakan perwujudan dalam mencari solusi untuk tetap dapat hidup yang berkelanjutan. Jaringan sosial -budaya antar pedagang yang terbentuk di kampung dengan kawasan Malioboro juga menyebabkan mereka tetap dapat bertahan tinggal di Kampung Pajeksan dan Jogonegaran Penelitian yang dilakukan ini, digali melalui pemikiran (sistem nilai) masyarakat berdasarkan pemahaman fenomena empiris di permukiman padat di Kampung Pajeksan dan Jogonegaran yang kemudian dianalisis secara induktif dan kualitatif. Penelitian ini telah menghasilkan bangunan pengetahuan berupa: Budaya Bermukim dan Toleransi Keruangan di Kampung. 9
Budaya Bermukim di Kampung, merupakan temuan pengetahuan yang mendasari kehidupan kampung yang mempunyai nilai tersendiri. Nilainilai tersebut merupakan kekuatan dan potensi dasar bagi masyarakat Kampung Pajeksan dan Jogonegaran, yaitu: (i) pola kehidupan masyarakat, (ii) identitas kampung dan (iii) refleksi kehidupan kampung.
Toleransi Keruangan di Kampung merupakan perwujudan dari: (i) keluwesan penggunaan fungsi ruang, (ii) pengelolaan fungsi ruang, (iii) penyesuaian ruang privat ke ruang kampung dan (iv) pola toleransi keruangan. Ambang batas toleransi pada: (i) gang kampung 0,2m-0,6m (ii) ruang produksi 0,9m2/orang (iii) ruang tidur 0,9m2-1,9m2/orang (iv) ruang bersama 1,0m2/orang-1,7m2/orang (v) jarak sosial 0,5m-0,7m dan (vi) jarak personal 0,06m. Temuan ini telah memberikan kesadaran bahwa nilai ruang hunian bagi permukiman padat kota, tidak hanya ditentukan secara kuantitatif. Bangunan pengetahuan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada khasanah pengetahuan penataan lingkungan permukiman padat di pusat kota, dengan tetap mempertahankan nilai-nilai kehidupan masyarakatnya.
abstract 10
Crowded settlement in Urban Kampong with various characteristic problems represents common phenomenon in the big cities, especially in the developing countries. This is related to the city’s appeal with its rapid economic growth that impacted fast-flow inhabitants in the city. The local government is not yet to be balanced in providing adequate settlement for those in needs forcing these urban kampong people search solution for themselves. Similar phenomenom can be seen in Kampong Pajeksan dan Jogonegaran in Malioboro area, which are located in downtown Yogyakarta. These two Kampongs have been developed to be the main support in providing settlement for traders and workers in Malioboro area. With their limitation, the inhabitants improvise their own settlement in order to fulfill the needs for those who work and trade in Malioboro area. The life of Kampong Pajeksan and Jogonegaran wich is full of tenants accentuates urban phenomenom as a distinctive identity for the city of Yogyakarta. One of wich is the spatial tolerance by tenants in transforming the limited space into the intended needs as a way to sustain living. The social-cultural networking wich has been set up between traders in kampong with those of Malioboro area is also another reason for them to remain living in Kampong Pajeksan and Jogonegaran. This is a qualitative and inductive study by conducting in-depth interviews about the values system of the community based on the understanding of empirical phenomenom in the crowded settlement of Kampong Pajeksan and Jogonegaran. The result of this research sets forth the theory of: Living Culture and
Identitas Kampung Pajeksan dan Jogonegaran
Spatial Tolerance in Kampong. Living Culture in Kampong is knowledge based findings as the basic of way of life with its distinctive values. Those values represent strength and basic potential of the community in Kampong Pajeksan and Jogonegaran in the form of: (i) the pattern of social life, (ii) the identity of kampong, (iii) the reflection of kampong life. Spatial Tolerance in Kampong represents the realization of: (i) the flexible use of spatial function, (ii) the management of spatial function, (iii) the adjustment of private space into kampong space, and (iv) the pattern of spatial tolerance. The limit of tolerance in: (i) aisle (gang kampong) 0,2m-0,6m, (ii) production area 0,9m2/person, (iii) sleeping area 0,9m2/ person- 1,9m2/person, (iv) family area 1,0m2/person-1,7m2/ person, (v) social space 0,5m-0,7m and (vi) personal space 0,06m. The findings of this study have raised awareness that the value of spatial housing in the crowded settlement can not solely determined quantitatively. These theories are expected to finding in structuring the environment of crowded settlement in the centre of the city by maintaining its social norms and values community. dermawati djoko santoso, lahir di Tanjung Uban-Riau tanggal 8 Desember 1951. Menyelesaikan pendidikan S1 di Jurusan Arsitektur Universitas Trisakti pada tahun 1980, dan pendidikan S2 di UGM pada tahun 1994. Saat ini aktif dan bekerja sebagai Dosen Tetap di Jurusan Arsitektur FTSP Universitas Trisakti Jakarta 11
12
RUKUN KOTA: RUANG PERKOTAAN BERBASIS BUDAYA GUYUB Poros Tugu Pal Putih sampai dengan Alun-alun Utara Yogyakarta EDI PURWANTO
[email protected] Agustus 2007
R
uang perkotaan poros Tugu Pal Putih sampai dengan Alun-alun Utara sebagai bagian dari pusat kota Yogyakarta, pada dasarnya tercipta oleh jalinan antara ruang fisik kota dengan nilai-nilai kehidupan sosial-ekonomi-budaya yang dikembangkan oleh pelaku ruangnya secara menyejarah dan membentuk karakter sekaligus citranya. Keberjalinan tersebut melahirkan berbagai macam persepsi, emosi, dan perasaan kepada pelaku ruangnya. Karena berlangsung dalam waktu lama dan berulang-ulang, keberjalinan tersebut melembaga menjadi hubungan saling mengikat dan tersimpan kuat dalam ingatan kognisi pelaku ruangnya yang akhirnya menjadi faktor penting terbangunnya pemaknaan ruang perkotaan ini. Penggalian makna ruang perkotaan ini mendasarkan pada empat alasan: [i] keragaman pelaku ruang mempunyai andil dan pengaruh yang rangat besar didalam pembentukan makna ruang perkotaan; [ii] ruang perkotaan tersebut mempunvai karakter yang khas; [iii] pembentukan makna akan memperkuat eksistensi dan karakter ruang perkotaan itu sendiri; [iv] keberadaan ruang perkotaan yang bermakna merupakan peluang bagi munculnya pengetahuan baru bagi perencanaan dan perancangan ruang perkotaan yang berakar dalam nilai-nilai lokal. Tujuan penelitian adalah melakukan eksplorasi makna ruang perkotaan di poros Tugu Pal Putih sampai dengan Alun-alun Utara yang sarat dengan pluralitas nilai yang nyata sehingga diharapkan gambaran makna ruang perkotaan ini akan dapat dipahami dalam keterkaitannya dengan konteks pluralitas sosial budaya dan latar belakang pelaku ruangnya secara utuh dan mendalam. Penelitian dengan paham fenomenologi model paradigma naturalistik dipilih untuk mengungkap makna ruang perkotaan poros Tugu Pal Putih sampai dengan Alun-alun Utara. Alasannya pemilihan paham dan model penelitian tersebut karena dianggap lebih tepat dalam mengungkap dan memahami apa yang tersembunyi di balik fenomena-fenomena pembentuk makna ruang perkotaan ini.
abstrak 13
Penelitian ini telah menghasilkan pengetahuan berupa konsep-konsep makna ruang perkotaan berupa: [i] ruang konsensus; [ii] ruang bereksistensi; dan [iii] ruang imajinasi kolektif. Di dalam konsep-konsep tersebut terkandung sistem nilai-nilai berisi prinsip-prinsip saling: [i] saling menghormati; [ii] saling menghargai; [iii] saling menolong; [iv] saling berbagi; [v] saling mengakui; [vi] saling memberi kebebasan. Kepercayaan terhadap ruang berisi keyakinankeyakinan tentang: [i] ketentraman dan kenyamanan batin; [ii] kepuasan batin; [iii] berkah dan rejeki; [iv] pengayoman dan kekuatan; [v] semangat; [vi] rasa memiliki terhadap ruang. Sistem nilai dan kepercayaan saling bersinergi membangun penguatan sehingga menjadi budaya guyub sebagai modal sosial ruang perkotaan ini.
secara fisik berbentuk ruang jalan (poros) yang mempunyai batasbatas “keterpengaruhan budaya guyub”. Dalam “rukun kota”, segala perilaku meruang pelaku ruangnya yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi, sosial, budaya, spiritual, dan menyampaikan aspirasi politik selalu mendasarkan kepada budaya guyub. Budaya guyub tersebut dapat ditemukan dan dikenali terutama di lingkungan kampungkampung, sebagian mcngalami penetrasi (perembesan) ke dalam lingkungan ruang perkotaan ini karena dibawa dengan sengaja atau tidak sengaja oleh pelaku ruangnya. Sebagian lagi terbangun karena ditumbuhkembangkan oleh pelaku ruangnya dalam ruang perkotaan ini dan mengalami proses penguatan nilainilai dan kepercayaan.
Substansi yang terkandung dalam budaya guyub tersebut menjadi basis terbangunnya sebuah teori substantif yaitu “rukun kota”. Secara teoritis
abstract
“rukun kota” terbangun berdasarkan keterajutan antara sistem nilai-nilai dan kepercayaan dengan ruang perkotaan ini yang ditumbuhkembangkan secara spontan dan mandiri oleh pelaku ruangnya,
14
The urban space stretching rom Tugu Pal Putih to Alun-alun Utara as part of the centre of Yogyakarta City is basically created by an interconnection between the physical space of the city and the values,of the social-economic-cultural life developed by the space actors along the history, forming its character and image. Such an interconnection results in a variety of perceptions, emotions, and feelings of the space actors. Because it has occurred for a iong time repeatedly, the interconnection becomes institutionalized, intertwined, and strongly stored in every space actor’s cognitive memory, which eventually becomes an important factor in the development of the meaning of the urban space.
The investigation of the meaning of the urban space is based on four reasons that: [1] a variety of the space actors have very significant roles in and influences on the formation of the meaning of the urban space; [ii] the urban space has special characteristics; [iii] the formation of meaning will strengthen the existence and character of the urban space; [iv] the meaningful existence of the urban space is an opportunity for new insights to appear regarding the planning and designing of the urban space rooted in the local values. The objective of the research study is to explore the meaning of the urban space stretching from Tugu Pal Putih to Alunalun Utara, which is full of apparent plurality of values, so that the description of the meaning of the urban space is understandable in its connection with the context of the space actors’ socio-cultural plurality and backgrounds as a whole and in depth. The research study employing a phcnomenological model within the naturalistic paradigm is selected to reveal the meaning of the urban space stretching from Tugu Pal Putih to Alun-alun Utara. The reason for the selection of such a model and paradigm is that it is more appropriate to reveal and understand what is hidden behind the phenomena constructing the meaning of the urban space. This research study has resulted in knowledge of semantic concepts of
the urban space in the form of: [i] concensus space; [ii] existential space; and [iii] collective imagination space. Such concepts contain value systems with principles of [i] mutual respect; [ii] mutual appreciation; [iii] mutual help; [iv] sharing; [v] mutual acceptance; [vi] mutual respect to freedom. Beliefs concerning space consist of perceptions regarding [i] inner serenity and tranquility; [ii] inner satisfaction; [iii] blessing and luck; [iv] protection and strength; [v] spirit; [vi] sense of belonging of space. There is a mutual synergy of value systems and beliefs to develop strength, resulting in a giiyitb culture as a social capital in the urban space. The substance in the guyub culture becomes the basis of the development of a substantive theory, namely “rukun kota”. Theoretically, “rukun kota” is established in accordance with the interconnection between the value systems and the beliefs of the urban space, independently developed by the space actors, in the form of a passage space (axis) with the boundaries of being influenced by the guyub culture. In the “rukun kota”, all spatial behaviors of the space actors in relation to the economic, social, cultural, spiritual, and political aspects are always based on the rukun culture. The guyub culture can be found and rccognized especially in kampongs, and some penetrates into the urban space because the space actors by mention or by accident bring it with them. Sonic is established through the development by the space actors in the urban space and through a strengthen of values and believes process.
edi purwanto, lahir di Cilacap tanggal 31 Desember 1963. Dosen Tetap di Jurusan Arsitektur UNDIP ini menyelesaikan pendidikan S1 di Jurusan Teknik Arsitektur UGM pada tahun 1989, dan pendidikan S2 di perguruan tinggi yang sama pada tahun 1996. Gelar doktor diraih dengan predikat Cumlaude pada tahun 2007 15
16
TATA SUKU DAN TATA SPASIAL PADA ARSITEKTUR PERMUKIMAN SUKU DAWAN DI DESA KAENBAUN DI PULAU TIMOR YOHANES DJAROT PURBADI
[email protected] April 2010
A
rsitektur permukiman vernakular merupakan topik penelitian yang menarik karena budaya dan kearifan lokal penghuninya terungkap pada tata permukiman. Sampai saat ini, pengetahuan tentang arsitektur permukiman vernakular tersingkir dari wacana filosofi, pendekatan dan teori-teori tentang arsitektur permukiman di Indonesia. Pada sisi yang lain, fenomena arsitektur permukiman vernakular diyakini mengandung potensi yang mampu melahirkan teori-teori lokal untuk menata permukiman lama atau baru sesuai dengan budaya masyarakat dan alam lokal dalam arus arsitektur yang berkelanjutan. Penelitian tentang fenomena arsitektur permukiman vernakular dalam konteks sosio-budaya suku Dawan di desa Kaenbaun di pulau Timor ini dilakukan dengan menggunakan paradigma dan metoda fenomenologi Husserlian. Tujuan penelitian adalah menghasilkan pemahaman mendalam (verstehen) tentang budaya bermukim di kalangan suku Dawan di desa Kaenbaun dan menemukan konsep-konsep serta teori-teori implisit yang di gunakan dalam menciptakan arsitektur permukiman mereka. Hasil penelitian ini adalah pengetahuan mendalam tentang sosio-budaya orang Kaenbaun dan temuan teori tata spasial yang mendasari rancangan permukiman mereka. Tata spasial arsitektur permukiman Kaenbaun dilandasi oleh empat unsur spiritual yaitu (1) faotkana, (2) oekana, (3) umesuku, dan (4) ajaran Gereja Katolik dan didukung oleh tata suku yang berlandaskan empat konsep spesifik, yaitu (1) konsep persaudaraan etnis, (2) konsep kemenyatuan nenek-moyang dan Gereja Katolik, (3) konsep keragaman kultur dalam kesatuan, dan (4) konsep menyatu dengan alam. Empat konsep spesifik tersebut melahirkan tradisi adat lokal yang menjadi pedoman bagi perilaku spasial orang Kaenbaun dan mendasari tata spasial permukiman Kaenbaun.
abstrak 17
Teori tata spasial pada permukiman Kaenbaun secara hakiki berakar pada konsep hidup ideal orang Dawan di Kaenbaun: hidup ideal adalah yang menyatu dengan Tuhan (Uis Neno), nenek-moyang (bei nai), sesama saudara (atoni) dan alam semesta. Teori tata spasial Kaenbaun disebut sebagai teori sosio-spiritual spasial karena mengandung substansi sosial dan spiritual.
abstract Architecture of vernacular settlement is an interesting research topic since it expresses the culture and the local wisdom of its people. Until now knowledge about architecture of vernacular settlements is still marginalized from the discourses of philosophies, approaches and theories about settlement architecture in Indonesia. On the other sense, architecture of vernacular settlement phenomena is believed to have potentials to build local theories for conserving and preserving the old settlements and produce new settlements design which based on local wisdom that fit with local cultures and physical conditions and in line with sustainable architecture.
This research is about architecture of vernacular settlement in socio-cultural contexts of Dawanese in Kaenbaun village of Timor island. The research was guided by Husserlian phenomenology paradigm. The objectives of the research are to reach indepth understanding about of Dawanese settlement culture in Kaenbaun village and to find the concepts and implicit theories which are used for designing the architecture of their settlement. The results of the research are indepth knowledge about Kaenbaunese socioculture and its settlement architecture, and the spatial formation theory as the base of their settlement design. Formation of Kaenbaun settlement architecture is based on four spiritual elements i.e. (1) sacred stone, (2) sacred water spring, (3) clan sacred house, and (4) catholic curch. Spatial formation of Kaenbaun settlement architecture is based on Kaenbaun unique clans formation that are supported by four specific concepts, i.e. (1) ethnical brotherhood concept, (2) unite of the ancestor within catholic church, (3) cultural diversity in unity, and (4) unite with nature.
Konsep Hidup Ideal Masyarakat Kaenbaun 18
Pola Keruangan Desa Kaenbaun
The four specific concepts generate local customs and used as guidance for spatial behavior of Kaenbaun people and as the base for their spatial formation of Kaenbaun settlement design. The Kaenbaun spatial formation theory is essentially based on the Kaenbaunese ideal values: ideal life is in union with God, ancestors, brothers and sisters, and nature in the universe. Based on that reason, the Kaenbaun spatial formation theory called sociospiritual spatial theory because contains with social and spiritual substances. yohanes djarot purbadi, lahir di Yogyakarta tanggal 16 Juni 1957. Pendidikan S1 dan S2 yang ditempuh di Jurusan Teknik Arsitektur UGM diselesaikan pada tahun 1996 dan tahun 2000. Kini bekerja sebagai Dosen Tetap Yayasan, sekaligus menjabat Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Atma Jaya Yogyakarta 19
20
PERMUFAKATAN DAN DESAKRALISASI RUANG DI PERMUKIMAN KAUMAN YOGYAKARTA SUASTIWI TRIATMODJO
[email protected] Mei 2010
K
auman adalah tempat tinggal para Kaum abdi dalem pamethakan Sultan, terletak di sebelah barat Masjid Gede. Kauman Yogyakarta adalah permukiman yang unik, ia berdiri di lingkungan pusat budaya Jawa, dan pada akhir abad XIX menjadi pusat industri kecil batik, kemudian di kampung ini lahir gerakan agama yang disebut Muhammadiyah. Setelah kemerdekaan Republik Indonesia, kampung Kauman berkembang menjadi permukiman pendukung jasa pendidikan dan pariwisata yang tumbuh di kota Yogyakarta. Pada masa kini Kauman menghadapi dua tantangan yang nyata, di satu sisi perkembangan kehidupan agama Islam masyarakat Indonesia yang cukup pesat, berikut pemakaian simbol-simbol agamanya. Tantangan kedua adalah letak permukiman Kauman yang berada di pusat kota, dan secara langsung menghadapi urbanisasi dan pembangunan fisik kota yang progresif.
Pelataran: Ruang dengan Keragaman Kegiatan
Pemufakatan Warga kepada Pedagang Pasar Tiban Ramadhan
abstrak
Bertolak pada kenyataan tersebut pertanyaan utama penelitian ini adalah: Apa makna ruang permukiman kampung Kauman Yogyakarta, yang memiliki latarbelakang budaya dan agama yang kuat, bagi para penghuninya pada masa sekarang? Tiga pertanyaan penelitian ikutan, adalah: 1) Seperti apakah fenomena keruangan yang muncul di permukiman kampung Kauman Yogyakarta? 2) Aspek dan faktor apa saja yang mendasari munculnya fenomena keruangan tersebut? 3) Pengetahuan teoritis lokal seperti apa yang dapat digali sebagai penjelasan makna ruang permukiman di kampung Kauman Yogyakarta? Metode penelitian yang dipakai adalah fenomenologi deskriptif model Husserlian. Peneliti menerapkan model analisis tanpa prakonsepsi dan penyaringan atau reduksi tiga tahap, yaitu reduksi fenomenologis, reduksi eidetis dan reduksi transendental. Penelitian ini telah berhasil menemukan teori keruangan lokal yaitu: teori permufakatan dan desakralisasi ruang sebagai refleksi tauhid Islam dan kesalehan hidup. 21
Jawaban terhadap tiga pertanyaan ikutannya, I) Tiga fenomena keruangan yang muncul di permukiman Kauman Yogyakarta terdiri dari tiga konsep ruang; ruang yang tauhid, pemufakatan ruang dan desakralisasi ruang cikal bakal. 2) Basis pembangun fenomena keruangan adalah tauhid Islam dan budaya kesalehan milik warga yang bersumber kepada dialog sejarah pewarisan sosial budaya komunitas ini dan usaha untuk mcwujudkan cita-cita mengembangkan masyarakat Islam yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Khadist.
3) Makna ruang permukiman Kauman Yogyakarta pada masa sekarang adalah teori pemufakatan dan desakralisasi ruang yang terbangun melalui penyatupaduan antara sistem kepercayaan, sistem nilai dan kegiatan yang bersumber kepada budaya kesalehan warga dengan ruang permukiman. Penyatupaduan ini dibangun oleh warga secara evolutif dan alami sehingga menjadi wujud eksistensial permukiman Kauman Yogyakarta.
abstract Kauman is a place where Sultan’s religious clerks live, located at the west part of the city great mosque. Kauman Yogyakarta is a unique neighborhood. It stands in the midst of Javanese cultural center,
22
then at the end of the XIX century become center of small batik industry. Soon after this, a religious movement called Muhammadiyah born in this neighborhood. After the Indonesia independence, Kauman has turned out to be a neighborhood which provide services supporting education and tourist business flourished in Yogyakarta. Nowdays Kauman has faced two real challenges, first is the fast development of Indonesia moslem religious life, and the use of its religious symbols. The second challenge is the geographical position of Kauman which directly faced urbanization and the progressive development of Yogyakarta. Based on all those facts this research primary question is: What is the meaning of space-place of Kauman Yogyakarta, which has a strong cultural and religious background, according to the present inhabitants? Three other questions that follow: 1) What kind of spatial phenomena exhibit in the neighborhood of Kauman Yogyakarta? 2) What aspects and factors which become the basis of the emergence of these spatial phenomena? 3) What kind of local theory can be developed which could fully describe the meaning of Kauman neighborhood of Yogyakarta? The research method used is descriptive phenomenology, with Husserlian model. The researcher has implemented an analysis without preconceptions or prejudices and worked it out through three steps of reduction: phenomenological, eidetic and transcendental reduction. This research has finally could formulize a local theory that is: concensus and desacralisation of space as the reflection moslem faith (tauhid) and piety. The answer for the three other questions are:
Pemufakatan Ruang di Permukiman Kauman Yogyakarta
1) There are three spatial phenomena exhibit in Kauman neighborhood of Yogyakarta; space of faith (tauhid), concensus of space, and desacralisation of cikal bakal space. 2) The basis of the spatial phenomena developed are moslem faith (tauhid) and the cultural piety of the inhabitants, which have derived from the dialog of the inheritance of community’s social-culture of the past and efforts to achieve it ideals on moslem society in the future which is in accord with Al-Qur ‘an and Al-Khadist. 3) The present meaning of space-place in Kauman Yogyakarta is the theory of concensus and desacralisation of space which are developed through unification of belief system, value system, and activities originated on moslem cultural piety with its settlement. This unification has fully grown by the inhabitants through natural and evolutive ways in which wise it become an existential formation of Kauman neighborhood of Yogyakarta. suastiwi triatmodjo, lahir di Yogyakarta tanggal 2 Agustus 1959. Menyelesaikan pendidikan S2 di Industrial Design RMIT Australia pada tahun 1996, dan pendidikan S1 di Jurusan Desain Interior STSRI-ASRI Yogyakarta pada tahun 1983. Kini bekerja sebagai Dosen di Prodi Desain Interior, sekaligus menjabat sebagai Dekan pada Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia Yogyakarta 23
24
BASUDARA DALAM PERMUKIMAN TITIWUNGEN SELATAN PASCA REKLAMASI PANTAI MANADO JUDY OBET WAANI
[email protected] Desember 2010
P
ermukiman dengan reklamasi kawasan pesisir adalah fenomena yang berkembang di Indonesia. Kondisi Indonesia sebagai negara kepulauan diikuti dengan pemberlakuan otonomi daerah dengan memberikan kewenangan bagi daerah mengolah daerah pesisir, berdampak pada munculnya program reklamasi pantai. Fokus penelitian pada makna dan perilaku keruangan masyarakat dengan lokus, permukiman masyarakat Titiwungen Selatan pasca reklamasi pantai. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Fenomenologi Husserl. Cara penelitian ini dilakukan dengan grand tour dan kemudian diikuti dengan mini tour. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan observasi lapangan. Data terkumpul, kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis induktif. Tahapan analisis induktif dimulai dari unit informasi, tema, kemudian membentuk konsep. Selanjutnya konsep-konsep tersebut membentuk teori. Terdapat empat jawaban dari pertanyaan penelitian dalam disertasi ini. Pertama, makna ruang permukiman pasca reklamasi pantai terdapat dalam 7 konsep yang terbentuk dalam penelitian ini, yaitu (1) hak pasini; (2) eksistensi ruang; (3) penyesuaian diri; (4) konsensus ruang; (5) konsep penanda ruang; (6) strategi pertahanan ruang; (7) legitimasi ruang. Kedua, strategi keruangan masyarakat pasca reklamasi pantai yaitu berkaitan dengan perilaku meruang dalam usana untuk menyesuaikan, mempertahankan, menandai dan melegitimasi ruang. Ketiga, bahwa yang menjadi dasar tindakan masyarakat dalam permukiman yaitu nilai basudara. Keempat teori lokal yang ditemukan dari penelitian tentang ruang permukiman yaitu basudara dalam Permukiman Titiwungen Selatan Pasca Reklamasi Pantai Manado.
abstrak 25
Substansi teori permukiman pasca reklamasi pantai yaitu basudara dalam masyarakat Titiwungen Selatan adalah kesadaran yang terkait pada pemahaman baku-baku bae (saling berbuat baik), baku-baku sayang (saling menyayangi/ mengasihi) dan bakubaku kase inga (saling mengingatkan). Oleh sebab itu,
di dalam basudara muncul nilai-nilai kebaikan dalam bermasyarakat seperti kebersamaan, kekeluargaan, kesehatian, toleransi, pertemanan, kompromi, kesetiakawanan, komunikasi dan ketaatan. Nilai-nilai ini, memunculkan rasa saling mengasihi dan saling bertegur sapa satu dengan yang lain. Nilainilai ini yang kemudian mendukung teranyamnya eksitensi ruang dalam masyarakat. Terganggunya dan berubahnya salah satu dari ruang, aktivitas dan nilai memunculkan usaha masyarakat Titiwungen Selatan. Usaha tersebut berupa strategi keruangan baik untuk mempertahankan maupun untuk melanjutkan segala aktivitas, ruang dan nilai-nilai tersebut.
abstract Coastal reclamation is a temporary phenomenon that developed in Indonesia in recent years, and with the passage of regional autonomy program in coastal
26
areas has led to processing programs for coastal reclamation. Coastal reclamation is a temporary phenomenon that developed in Indonesia in recent years, and with the passage of regional autonomy program in coastal areas has led to processing programs for coastal reclamation. Therefore in this study the authors interested in writing about a settlement post-reclamation society, such as the people of South Titiwungen, Manado-North Sulawesi. In this study, the authors use the method of Husserl’s phenomenology. For this research the author has done a grand tour and mini tours. The data were gathered through interviews and field observations. Once all data has been collected, those were analyzed with an inductive analysis, starting from the unit of information, themes, concepts that ultimately form the theory. There are four answers to research questions in this dissertation. First, the meaning of post-settlement space reclamation appeared in seven concepts that formed in this study, namely (1) the right of pasini; (2) the existence of space; (3) self-adjustment; (4) consensus space; (5) the concept of space markers; (6) spatial defense strategy; (7) the legitimacy of space. Second, the spatial strategy of post-reclamation of coastal communities associated with the behavior of space in an attempt to customize, maintain, mark and legitimized space. Third, that the basis of community action in the settlements is basudara value. Fourth, a local theory which is found from this research, concerning the settlement of space that is basudara in the Settlement of South Titiwungen Manado post- coastal reclamation.
Rumah Masjid
Kintal Rumah Kantor Kelurahan
Gereja/ kanisah
Jalan Lorong Kampung, jalan setapak
Eksistensi Ruang
Trotoar
Paka-paka Omba’
Jembatan
Daseng
Dermaga Puskesmas
Kekeluargaan Kesehatian
Kebersamaan
Komunikasi
Ketaatan
Nilai Basudara
Toleransi
Kesetiakawanan Kompromi
Pertemanan
Wujud Basudara di Titiwungen Selatan
The substance of the theory of basudara is a consciousness of understanding relating to the understanding of baku-baku bae (mutually do good to one another), baku-baku sayang (love each other / love) and baku kase Inga (remind each other). From these understandings then bring in the values of kindness in the community, such as togetherness, brotherhood, tolerance, friendship, compromise, solidarity communication, and obedience. Then these values had created a sense or mutual love and respect in society life of South Titiwungen. judy obet waani, lahir di Manado tanggal 18 Oktober 1964.
Menyelesaikan pendidikan S1 di Jurusan Arsitektur ITS Surabaya pada tahun 1993, dan pendidikan S2 di UGM pada tahun 2000. Saat ini bekerja sebagai Dosen sekaligus menjabat sebagai Sekretaris PS S2 Arsitektur Universitas Sam Ratulangi Manado 27
28
KONSEP SAGED: SPIRIT ARSITEKTUR KOTA KECIL DJOKO WIJONO
[email protected] Februari 2011
P
raktek merancang kota di Indonesia cenderung mengadopsi konsep dan teori (terutama normatif) yang berasal dari mancanegara. Kondisi ini diperkirakan sebagai akibat terbatasnya perkembangan konsep dan teori arsitektur kota (deskriptif maupun normatif). Riset bertujuan merumuskan teori deskriptif mengenai arsitektur kota yang diangkat dari pemaknaan fenomena dan karakteristik arsitektur yang berkembang dalam dinamika kehidupan yang ada di tujuh kota kecil di Yogyakarta. Karakteristik ruang geometris dan fungsional menggambarkan eksistensi ruang kota sebagai fenomena arsitektur kota yang dipahami melalui penelusuran karakteristik bentuk dan ruang kota berdasarkan analisis kuantitatif dan grafis terhadap volume, konsentrasi, serta ketersebaran komponen fisik dan kegiatan yang diperoleh dengan cara observasi. Konsep-konsep substantif mengenai lokasi kota, hunian, ruang ekonomi, ruang sosial, dan fisik dirumuskan dari pemaknaan terhadap fenomena-fenomena transaksi dan pertukaran produk antar daerah, lokasi bertempat tinggal, lokasi tempat usaha, interaksi penduduk asli dan pendatang, peran fasilitas dan infrastruktur kota, serta arsitektur bangunan melalui analisis induktif-kualitatiffenomenologis terhadap satuan-satuan informasi yang digali melalui wawancara mendalam tak terstruktur. Analisis intensif terhadap karakteristik ruang geometris dan fungsional serta konsep-konsep substantif menghasilkan teori arsitektur kota kecil yang merupakan entitas rekayasa keruangan yang dibangun oleh kekuatan besar
konsep ”saged”; merupakan ”spirit” yang ada di dalam jiwa setiap individu anggota masyarakat dalam mencari kualitas kehidupan dalam dinamika kota.
abstrak 29
Struktur Konsep Arsitektur Kota Kecil
Saged dipahami sebagai kondisi suatu proses menemukan kualitas kehidupan dengan memanfaatkan kemampuan, kapasitas, dan kapabilitas individu, kelompok, maupun lingkungan yang dilandasi oleh norma-norma yang membangun konsep-konsep lokasi kota, hunian, ruang ekonomi, ruang sosial, dan fisik.
abstract The practice of designing cities in Indonesia tends to adopt concepts and theories (particularly normative theories) from foreign countries. Such conditions are due to the paucity of concept development as well as urban architecture theory 30
(descriptive and normative). The study aims to formulate a descriptive theory in architecture of the city developed from taking meaning toward architectural phenomenon and characteristics exist in the living dynamics of seven small cities in Yogyakarta. Geometric and functional spatial characteristics resemble the existance of urban space as an city architecture phenomenon understood through characteristics of urban form and space based on quantitative and graphical analysis towards volume, concentration, as well as the spread of physical components and activities through observational means.
The substantial concept concerning city location, dwelling, economic space, social space, and physical space was formulated from the meaning taken from the phenomenon of product transaction and exchange between regions, residential locations, business locations, indigenous inhabitant and visitor interactions, role of urban facilities and infrastructure, and architecture of the buildings through an inductive-qualitativephenomenological analysis towards units of information explored through an unstructred in-depth interview.
Suasana Pasar Pagi di Beberapa Kota Kecil
Intensive analysis is performed towards the geometric and functional space characteristics as well as the substantive concepts, therefore allowing the formulation of a theory of small city architecture that constitutes the spatial engineering entity constructed by the superior power of ”saged”; such concept refers to the spirit within each community member’s soul
in seeking a quality living within the dynamics of the city. Saged is understood as the state of process in discovering living quality by utilizing the ability, capacity, capability of the individual, group and environment based on the norms that build the concepts of city location, dwelling, economic space, social space, and physical space.
djoko wijono, lahir di Yogyakarta tanggal 15 Agustus 1952. Menyelesaikan pendidikan S2 di School of Architecture and Urban Planning, the University of Wisconsin, Milwaukee, USA pada tahun 1986, dan pendidikan S1 di Bagian Arsitektur FT UGM pada tahun 1980. Saat ini bekerja sebagai Dosen di Jurusan Teknik Arsitektur dan Peneliti di Pusat Studi Pengembangan Pariwisata, UGM 31
daftar pustaka
Purbadi, Yohanes Djarot, 2010, Tata Suku dan Tata Spasial pada Arsitektur Permukiman Suku Dawan di Desa Kaenbaun di Pulau Timor, disertasi, Universitas Gadjah Mada. Purwanto, Edi., 2007, Rukun Kota: Ruang Perkotaan Berbasis Budaya Guyub, Poros Tugu Pal Putih sampai dengan Alun-alun Utara-Yogyakarta, disertasi, Universitas Gadjah Mada. Santoso, Dermawati D., 2007, Toleransi Keruangan dalam Permukiman Padat. Studi Kasus: Rumah Kontrakan di Kampung Pajeksan dan Jogonegaran Yogyakarta, disertasi, Universitas Gadjah Mada. Supriharjo, Rimadewi, 2004, Nilai Ruang di Kawasan Ampel Surabaya, disertasi, Universitas Gadjah Mada. Syahbana, Joesron Alie, 2003, Pengelolaan Prasarana Sanitasi Lingkungan oleh Masyarakat di Kampung Kanalsari, Kota Semarang, disertasi, Universitas Gadjah Mada. Triatmodjo, Suastiwi, 2010, Permufakatan dan Desakralisasi Ruang di Permukiman Kauman Yogyakarta, disertasi, Universitas Gadjah Mada. Waani, Judy Obet., 2010, Basudara dalam Permukiman Titiwungen Selatan Pasca Reklamasi Pantai Manado, disertasi, Universitas Gadjah Mada. Wijono, Djoko., 2011, Konsep Saged: Spirit Arsitektur Kota Kecil, disertasi, Universitas Gadjah Mada.
32
sekilas aprf
A
PRF singkatan dari Architecture and Planning Research Forum, adalah himpunan alumni dan mahasiswa program doktor pada Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada. Dari sekelompok mahasiswa S3 yang semula anonim, nama APRF muncul pada 8 September 2009, dan berdiri sebagai forum diskusi rutin para mahasiswa S3 yang intens membahas tentang penelitian arsitektur dan perencanaan dalam rangka penyelesaian studi S3 maupun pengembangan ilmu pengetahuan secara berkelanjutan. Forum diskusi APRF yang dikenal dengan sebutan “Kemisan APRF” terbuka untuk para mahasiswa S3 dari seluruh Indonesia, sebagai tamu maupun pemateri diskusi terkait dengan falsafah, paradigma, teori, metodologi, pengalaman, seminar, publikasi dalam bidang penelitian arsitektur dan perencanaan. Selama ini APRF telah mengadakan diskusi dengan para sahabat dari dalam dan luar negeri, sebagai mitra diskusi yang saling berbagi dan mengembangkan. Pembina Koordinator Sekretaris Bendahara Weblog Email Facebook
: Pengelola S3 Jurusan Teknik Arsitektur, FT-UGM. : Dr. Ir. Y. Djarot Purbadi, MT (UAJY) : Korlena, ST, MT (Palembang) : Ir. Ahda Mulyati, MT (Univ.Tadulako) : http://forumriset.wordpress.com :
[email protected] : Komunitas APRF
Sampai dengan Februari 2012 APRF didukung oleh sejumlah 14 alumni program doktor arsitektur dan perencanaan, yang tersebar di seluruh Indonesia (Padang, Jakarta, Surakarta, Semarang, Yogyakarta, Denpasar, dan Manado), selain para mahasiswa dan kandidat doktor arsitektur dan perencanaan yang berasal dari seluruh penjuru daerah di Indonesia. (1) Kelompok Alumni: (1) Prof. Dr. Ir. Parmono Atmadi (UGM, Alm); (2) Dr. Ir. Bondan Hermanislamet, M.Sc (UGM, Alm); (3) Dr. Ir. Eko Alvares Zaidulfar, MSA (UBH); (4) Dr. Ir. Joesron Alie Syahbana, MT (Undip); (5) Dr. Ir. Rimadewi, MID (ITS); (6) Prof. Dr. Ir. I. Wayan Runa, MT (Udayana); (7) Dr. Ir. Sugini, MT (UII); (8) Dr. Ir. Dermawati Santoso, MT (Trisakti); (9) Dr. Ir. Edi Purwanto, MT (Undip); (10) Dr. Ir. Dhani Mutiari, MT (UMS); (11) Dr. Ir. Y. Djarot Purbadi, MT (UAJY); (12) Dr. Dra. Suastiwi Triatmodjo, M.Des (ISI); (13) Dr. Ir. Judy O Waani, MT (Sam Ratulangi); dan (14) Dr. Ir. Djoko Wijono, M.Arch (UGM). 33
(2) Kelompok Kandidat Doktor: VG. Sri Rejeki (Unika Sugiyapranata); Abdul Rahman Hamadoun (Siria); Qomarun (UMS); Endy Marlina (UTY); Widyastuti Nurjayanti (UMS); Nurul Jamala (Unhas); Bani Noor Muchamad (Unlam); Popi Puspitasari (Trisakti); Mila Karmilah (UNISULA); dan Wahyu Utami (USU). (3) Kelompok Mahasiswa S3: Jusnan Kelo (2003); Tri Prasetyo (2005); Suryanto (2005); Budi Priyanto (2005); Jamilla Kautsary (2006); Suzanna (2006); Rony Gunawan Sunaryo (2006); Wara Indira Rukmi (2007); Hadi Wahyono (2007); Antonius Ardyanto (2007); Al ‘Aswad (2008); Nurul Nadjmi (2008); Muhammad Bakri (2008); Emrizal (2008); Made Suastika (2008); Zaenal Sirradjudin (2008); Agus Guntoro (2009); Al Busyra Fuadi (2009); Ahda Mulyati (2009); Cut Nuraini (2009); Heri Hermanto (2009); Ina Helena Agustina (2009); Korlena (2009); Hartawan (2010); MI.Ririk,W. (2010); Ira Mentayani (2010); dan beberapa mahasiswa baru. Beberapa kegiatan akademis diselenggarakan oleh APRF, salah satunya adalah seminar nasional berseri yang dikenal Seminar Nasional Riset Arsitektur dan Perencanaan (SERAP). SERAP-1 telah diselenggarakan pada Januari 2010 dan akan disusul Seminar Nasional SERAP berikutnya. Harapannya, penyelenggaraan kegiatan-kegiatan akademis dalam segala bentuk, dapat memberi peluang bagi terciptanya bangunan pengetahuan tentang arsitektur dan perencanaan yang menjadi acuan berwibawa bagi siapapun yang berkaitan dengan rekayasa ruang kehidupan manusia.
Kontak email koodinator APRF:
[email protected]
34
Tim Penyusun : Djarot Purbadi V. G . S r i R e j e k i Wara Indira Rukmi Al Busyra Fuadi