PENELITIAN KUALITATIF DALAM ARSITEKTUR: PENEMUAN JATI DIRI MELALUI KARYA TESIS/DISERTASI
PENELITIAN KUALITATIF DALAM ARSITEKTUR: PENEMUAN JATI DIRI MELALUI KARYA TESIS/DISERTASI
EDITOR: WIDIASTUTI
PENERBIT UDAYANA UNIVERSITY PRESS 2015
i
PENELITIAN KUALITATIF DALAM ARSITEKTUR: PENEMUAN JATI DIRI MELALUI KARYA TESIS/DISERTASI
ii
PENELITIAN KUALITATIF DALAM ARSITEKTUR: PENEMUAN JATI DIRI MELALUI KARYA TESIS/DISERTASI
iii
PENELITIAN KUALITATIF DALAM ARSITEKTUR: PENEMUAN JATI DIRI MELALUI KARYA TESIS/DISERTASI
SEKAPUR SIRIH Dalam proses bimbingan mahasiswa Pascasarjana pada Program Magister Arsitektur, seringkali karyasiswa mengalami kebingungan baik ketika memilih judul, menyusun proposal maupun pada penulisan Tesis. Salah satu masalah yang sering dihadapi mahasiswa adalah ketika memilih metoda penelitian. Pada umumnya karyasiswa memilih metoda kualitatif. Namun pemahaman tentang metoda tersebut perlu ditingkatkan lagi. Dalam rangka memperingati ulang tahun emas (ke 50 tahun) Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Udayana, tercetus ide untuk mengumpulkan tulisan alumni yang terserak dan tak terdokumentasi dengan baik dan penulis ditugaskan untuk menindak lanjuti ide tersebut. Karya Tesis/Disertasi ini adalah salah satu upaya penemuan jatidiri alumni dalam menapaki perjalanan yang masih panjang. Berangkat dari dua keperluan tersebut penulis menyatukannya dalam buku ini. Sistematika ringkasan Tesis dan Disertasi ini disusun dengan cara: pertama adalah kelompok Tesis dan kedua adalah kelompok Disertasi. Dari kedua kelompok tersebut diurutkan lagi berdasar tahun penyelesaian. Penulis menyampaikan terimakasih sebesar-besarnya kepada Dekan Fakultas Teknik dan Ketua Jurusan Arsitektur Universitas Udayana atas dukungannya. Terimakasih juga disampaikan kepada seluruh alumni yang telah menyumbangkan tulisannya. Tiada gading yang tak retak. Dengan waktu yang sangat terbatas penyelesaian buku ini tentu jauh dari sempurna. Untuk itu penulis mohon maaf kepada seluruh penyumbang bila ada tulisannya yang berubah. Semoga tulisan ini memberi manfaat bagi pembacanya dan menjadi titik awal untuk mendokumentasikan Tesis dan Disertasi alumni secara berkesinambungan. Selamat Ulang Tahun Jurusan Arsitektur Universitas udayana. Semoga tetap menjadi institusi yang menghasilkan arsitek handal di masa depan. Denpasar, 21 September 2015
Editor
iv
PENELITIAN KUALITATIF DALAM ARSITEKTUR: PENEMUAN JATI DIRI MELALUI KARYA TESIS/DISERTASI
DAFTAR ISI PENGANTAR DEKAN ............................................................................. PENGANTAR KETUA JURUSAN .............................................................. SEKAPUR SIRIH .................................................................................... DAFTAR ISI ........................................................................................... TENTANG PENYUMBANG ..........................................................................
ii iii iv v vii
PENDAHULUAN PENELITIAN KUALITATIF PADA TESIS DAN DISERTASI ARSITEKTUR .............................................. Oleh: Syamsul Alam Paturusi REFORMASI NILAI-NILAI ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI PADA ARSITEKTUR KONTEMPORER DI BALI . STUDI KASUS BANGUNAN FASILITAS UMUM ........................................ Oleh:I Wayan Gomudha MAKNA DALAM ARSITEKTUR UMAH BALI ............................................. Kasus Desa Tengkudak – Bali Oleh; I Nyoman Gde Suardana PENGELOLAAN KONSERVASI PADA PURI AGUNG UBUD, GIANYAR SEBAGAI OBYEK WISATA BUDAYA ......................................... Oleh: Nyoman Ratih Prajnyani Salain KAJIAN PROPORSI PADA CANDI TEBING GUNUNG KAWI DI TAMPAKSIRING – GIANYAR .............................................................. Oleh: Anak Agung Gede Raka Gunawarman
1
22
124
182
190
ADAPTIVE REUSE BANGUNAN BERCORAK ARSITEKTUR CHINA DI SAMPANGAN, PEKALONGAN, JAWA TENGAH .................................. Oleh: Anis Yunanistya
221
BALINESE TRADITIONAL ARCHITECTURAL PRINCIPLES IN HOTEL BUILDING ............................................................................. Oleh: Sulistyawati
261
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA KASUS STUDI: PEMPATAN AGUNG DI BALI, INDONESIA......................... Oleh: Widiastuti
295
v
PENELITIAN KUALITATIF DALAM ARSITEKTUR: PENEMUAN JATI DIRI MELALUI KARYA TESIS/DISERTASI
SISTEM SPASIAL DESA PEGUNUNGAN DI BALI DALAM PERSPEKTIF SOSIAL BUDAYA ....................................................
386
Oleh: I Wayan Runa ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI PADA MASJID AL HIKMAH DI KERTALANGU, DENPASAR........................ Oleh: Putu Rumawan Salain PAMESUAN DALAM ARSITEKTUR BALI SUATU KAJIAN TERITORI ARSITEKTUR DENGAN (PENG-)UNGKAPAN MAKNA............................ Oleh: Anak Agung Ayu Oka Saraswati
vi
419
434
PENELITIAN KUALITATIF DALAM ARSITEKTUR: PENEMUAN JATI DIRI MELALUI KARYA TESIS/DISERTASI
TENTANG PENYUMBANG EDITOR WIDIASTUTI, adalah dosen di Program Studi Arsitektur, Universitas Udayana. Menyelesaikan studi S3 di Universite De Pau et De L’Adour, Pau, Prancis pada September 2002.
PENYUMBANG TEORI SYAMSUL ALAM PATURUSI, adalah dosen Program Studi Arsitektur, Universitas Udayana. Menyelesaikan studi S3 di Universite De Pau et De L,Adour, Pau, Prancis pada Desember 2000. Saat ini adalah Sekretaris Jurusan Program S2 Kajian Pariwisata, Program Pascasarjana Unud, serta mengajar di S2 dan S3 Kajian Pariwisata, S2 Magister Lingkungan Universitas Udayana RINGKASAN TESIS I WAYAN GOMUDHA, adalah dosen Program Studi Arsitektur, Universitas Udayana. Menyelesaikan studi S2 diProgram Studi Arsitektur, Bidang Studi Perancangan dan Kritik Arsitektur, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, pada tahun 1999
NYOMAN GEDE SUARDANA, adalah dosen tetap Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur Universitas Warmadewa. Menyelesaikan Pendidikan S2 di diProgram Studi Arsitektur, Bidang Studi Perancangan dan Kritik Arsitekutr, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, pada tahun 2002
vii
PENELITIAN KUALITATIF DALAM ARSITEKTUR: PENEMUAN JATI DIRI MELALUI KARYA TESIS/DISERTASI
NYOMAN RATIH PRAJNYANI SALAIN, adalah Arsitek Profesional . Menyelesaikan S2 di Program Magister Arsitektur, Program Pasca Sarjana, Universitas Udayana, pada 26 Januari 2010
ANAK AGUNG GEDE RAKA GUNAWARMAN, adalah dosen Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Warmadewa. Menyelesaikan S2 di Program Magister Arsitektur, Program Pasca Sarjana, Universitas Udayana, pada tahun 2014
YUNANISTYA RAHMADHIANI, adalah Arsitek Profesional. Menyelesaikan S2 di Program Magister Arsitektur, Program Pasca Sarjana, Universitas Udayana, pada 19 Agustus 2015
RINGKASAN DISERTASI SULISTYAWATI, adalah Guru Besar Emeritus Universitas Udayana, menyelesaikan pendidikan S3 (Ph.D) di School of Architecture, Faculty of Environment, Oxford Brookes-UK), tahun 1995 dan S3 (DTh), Bidang Agama Kristen di STTII Bali- Denpasar . Sedang menempuh pendidikan (lagi) di S3 Pariwisata Universitas Udayana dan S3 Bidang Agama Hindu di IHDN-Denpasar.
viii
PENELITIAN KUALITATIF DALAM ARSITEKTUR: PENEMUAN JATI DIRI MELALUI KARYA TESIS/DISERTASI
I WAYAN RUNA, adalah Guru Besar Program Studi Arsitektur, Universitas Warmadewa. Menyelesaikan pendidikan di S3 Arsitektur, Universitas Gajahmada pada tahun 2004. Sedang menjabat Wakil Direktur I Pasca Sarjana Universitas Warmadewa
PUTU RUMAWAN SALAIN, adalah Guru Besar Program Studi Arsitektur, Universitas Udayana Menyelesaikan pendidikan di S3 Kajian Budaya, Program Pasca Sarjana, universitas Udayana pada tahun 2011. Selain di S1 dan S2 Arsitektur, beliau mengajar juga di S2 Kajian Budaya Unud. Pernah menjabat Pembantu Rektor Universitas Udayana pada periode 2002 s/d 2006 ANAK AGUNG AYU OKA SARASWATI, adalah dosen Program Studi Arsitektur, Universitas Udayana. Menyelesaikan studi S3 di Program Studi Arsitektur, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, pada tahun 2013. Terpilih sebagai Ketua Jurusan Arsitektur Universitas Udayana Periode 2015-2019
ix
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA. KASUS STUDI: PEMPATAN AGUNG DI BALI, INDONESIA RINGKASAN DISERTASI INSTITUT DE RECHERCHE SUR LES SOCIETES ET DE L’AMENAGEMENT UNIVERSITE DE PAU ET DE PAYS DE L’ADOUR, PAU PERANCIS, 2002
Oleh: Widiastuti
295
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
ABSTRAK Ruang bagi masyarakat Bali adalah tiruan dari Cosmos. Ini mencerminkan baik mikrokosmos (manusia) dan makrokosmos (dunia / alam). Ruang merupakan transformasi kosmologis dari tata nilai sakral dan profan. Pempatan Agung adalah pusat dari Cosmos di mana pembagian ruang atas sakral dan profan diterapkan. Ia menyatukan kekuatan agama, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Semua prosesi keagamaan, sosial-budaya, kekuasaan politik berkaitan dengan titik ini karena semua kekuatan dewata terkonsentrasi. Ia adalah kerangka kerja untuk kehidupan sehari-hari orang Bali Hindu dalam perilaku mereka, di lingkungan mereka, karena Bali percaya bahwa Pempatan Agung memimpin mereka untuk kemakmuran dan hidup kekal (Moksha). Perluasan desa dan pertumbuhan penduduk telah dicampur comologiques referensi. Batas kosmologis telah menjadi kabur, sentralitas Pempatan Agung melemah, nilai-nilai sakral dan sekuler telah bercampur di kota Bali saat ini. Tapi kehidupan sehari-hari orang Bali semakin sangat religius untuk memenuhi nilai-nilai sosial budaya dan agama. Apa dampak memiliki perubahan spasial perilaku penduduk? Apakah ada spirit Pempatan Agung untuk melestarikan pembagian ruang tradisional dalam pengembangan saat ini? Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi spirit Pempatan Agung dan mengusulkan, dengan pendekatan budaya, model konservasi kota untuk melestarikan spirit ini, dari nilai-nilai sosial budaya dan agama, pada pengembangan tata ruang kontemporer dari rancang kota (urban design). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metoda kualitatif naturalistik, dengan pendekatan EC (perilaku ligkungan) atau "studi EB" oleh John Zeisel (1981:10), kemudian digabungkan dengan studi aspek-aspek fundamental rumah Bali oleh Parimin (1986) yaitu: sosiologis, morfologi, fungsional dan simbolis. Pendekatan ini dibangun dari pengamatan perilaku dan reaksi dari orang Bali di lingkungan mereka dan transformasi spasial konsepsi kosmologi. Pengamatan dilakukan pada 27 Pempatan Agung di 9 kabupaten dan kota dengan pengelompokan Pemparan Agung uraban (PAU), Pempatan Agung semi urban (PASU), dan Pempatan Agung rural (PAR). Untuk mengamati perubahan nilai, metode "super impose" dilakukan terhadap perubahan morfologi. Perubahan juga dimati dari perilaku masyarakat setelah perempatan agung berubah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Pempatan Agung berubah pada saat terjadi perubahan kekuatan politik. Perilaku masyarakat juga berubah karena perubahan tata ruang. Dari bentuk morfologi, perubahan perilaku dan tanggapan diamati, penelitian ini menemukan bahwa spirit budaya yang dikandung oleh bentuk spasial Pempatan Agung adalah “magis-religius, kolektif, dan pusat”. Tapi dengan kontrol sosial yang kuat dari organisasi sosial-budaya dan agama, perubahan tata ruang memiliki sedikit pengaruh pada pikiran Pempatan Agung. 296
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
Hanya mempengaruhi pinggiran budaya, tetapi tidak kernel. Ketika spasial perubahan, konservasi sangat penting untuk melestarikan nilai-nilai budaya. Pengalaman konservasi yang dilakukan oleh kota-kota Eropa di berbagai skala (Barcelona, Paris dan Sarlat) digunakan untuk membantu merumuskan usulan untuk tindakan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konservasi spasial, terutama ruang publik, berhasil mempertahankan spirit budaya tertentu. Peran negara, pemisahan yang jelas antara modernitas dan tradisi, sistem sirkulasi dan ruang publik adalah elemen yang memungkinkan untuk untuk mengusulkan solusi. Model pelestarian yang diusulkan adalah "melestarikan konsepsi spasial sakral dan tradisi dan mengadaptasi aspek profan modernitas" setelah menemukan spirit budaya Pempatan Agung. Melestarikan batas spasial kosmologis dalam sistem sirkulasi, menghilangkan dualisme antara sistem politik antara administrasi dan adat di tingkat desa dan banjar, penggunaan konsepsi tata ruang dan arsitektur lokal dan penciptaan zona pejalan kaki baik sebagai ruang suci dan ruang publik di Pempatan Agung adalah cara yang diusulkan dan disimulasikan dalam panduan rancang kota.Kata kunci: kota, budaya, konsepsi perkotaan,. Kata kunci: kota, spirit, budaya, rancang kota, Pempatan Agung, Bali
297
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
I. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG a. Budaya sebagai identitas kota Pada
tahun tujuh puluh limaan, seorang arsitek terkenal, Le Corbusier,
mengatakan bahwa suatu hari akan ada arsitektur tunggal terlepas dari lokasinya. Visinya didasarkan pada fenomena perkembangan arsitektur modern yang memperhitungkan hanya fungsi, efisiensi dan ekonomi. Arsitektur akan tergantung pada teknologi dan proses industri. Akibatnya, dekorasi yang meningkatkan bangunan dan memberikan napas pada budaya lokal, akan hilang. Spirit integrasi dengan PBB sedang mencoba untuk meminggirkan peran politik kota dan globalisasi tumbuh untuk beradaptasi sistem (Prevelakis, 1999: 2-4). Menjadi warga dunia dipahami modern, serta menjadi modern dipahami Amerika atau Eropa. Oleh karena itu, semua kapal uniformiseraient. Kota dunia akan seperti perlahan (Danisworo 1994: 1). Tapi di sisi lain, keinginan untuk mengekspresikan identitas lokal ditegaskan, termasuk di tingkat kota. Untuk menjadi warga dunia, itu tidak akan diperlukan untuk melihat satu sama lain, karena orang bisa hidup rukun dalam perbedaan. Dalam gelombang modernitas yang memperkuat kesamaan, ada karena itu adalah kesempatan menegaskan kekhususan dalam penciptaan kota? Eksplorasi positif dari aset alam dan sosialbudaya telah menjadi kaya kemungkinan tindakan. Hal ini diketahui bahwa banyak faktor yang pada asal pembentukan kota, khususnya ekologi (misalnya subur tanah), demografi (jumlah penduduk), ekonomi, teknologi dan agama . Namun dari semua pertimbangan ini, tampak bahwa faktor agama hadir pada asal segala sesuatu. Kota ini berasal sebagai pusat seremonial terkait dengan makna simbolis dikaitkan dengan kosmos. Apresiasi kota perspektif kosmologis tercermin dalam bentuk peraturan dengan pola spasial dan model geometris yang memberikan kota morfologi. Dengan demikian, perbedaan dalam sudut pandang budaya perusahaan menghasilkan morfologi 298
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
yang berbeda dari kota (Rapoport, 1980: 38-44). mengamati bahwa penting untuk memberikan karakter unik untuk setiap tempat untuk "roh." Dengan memahami interaksi antara aspek lingkungan dan ekspresi budaya, seseorang dapat merasakan arah kota dan dengan demikian dapat berusaha untuk memanfaatkan ini "roh" dari kota (Garnham, 1985). Robert Rotenberg dan Gary MCDONOGH (1993) setuju dengan antropolog (Bourdieu 1971; Fernandez, 1977; Richardson, 1980,1982), sosio-psikolog (Altman, 1975; Goffman, 1971), pengembang (Perin, 1977 ), dan arsitek (Broadbent, Bunt dan Llorens, 1980; Oliver, 1969; Rapoport, 1969) tentang pentingnya hubungan antara budaya dan bentuk dibangun. Setiap perusahaan memiliki nilai-nilai yang menciptakan model yang berbeda dari kota. Darnton menunjukkan (1990: 330) bahwa orang-orang membangun makna berdasarkan pengalaman yang berbeda: misalnya, jika ideogram tradisional Cina tidak memiliki kata yang berarti "pribadi", mereka memiliki yin dan konsep jika jia zhou bu KE Yang wai untuk menentukan urusan keluarga dan hubungan seksual di rumah mereka (Pellow, 1993). Jepang Shitamachi, mantan distrik komersial Tokyo, memiliki rasa alun-alun kota yang menghapus kepentingan individu dan mempromosikan nilai-nilai bersama. Budaya kelompok yang berbeda sesuai dengan mereka campuran provinsi dengan interaksi antara orang dan lembaga di seluruh stereotip positif dan negatif (Berque, 1982 Bestor, 1993). Untuk Hiss dan Alexander (1979: 92) orang, budaya, bangunan dan rencana semua dimensi kota. Tidak ada dikotomi antara bentuk dan budaya dibangun. Jadi, bagaimana melestarikan "roh" dari sebuah kota dalam globalisasi dunia? Menciptakan ruang di kota ini tidak hanya menanam pohon di taman, itu adalah lebih kompleks (Rodman, 1993). Konteks spesifik sosial budaya, ekonomi, politik dan sejarah, diperhitungkan. Beberapa percobaan untuk menciptakan ruang menenun bersama-sama wilayah, bentuk bangunan, perilaku, ide-ide untuk skala individu dan kolektif. 299
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
......bentuk kota, posisinya saat ini, ide-ide dan nilai-nilai yang telah menciptakan orang-orang, menulis fenomena unik. Oleh karena itu, sejarah kota tidak dapat ditulis hanya untuk menentukan distribusi pola grid persegi panjang [...] atau sepenuhnya untuk mengkoordinasikan kekuatan impersonal dari negara dan pasar [...] Seseorang harus memasukkan pengalaman saat kotak atau dalam perjalanan pengalaman sehari-hari mereka. (Lynch, 1981: 36).
Tapi semuanya berubah, tidak ada yang abadi. Berkat perkembangan ekonomi dan pendidikan berkembang, membangun gedung-gedung baru, kota baru dengan teknologi baru dan baru "roh". Setiap warisan generasi ulang dengan kebebasan besar pikiran. Konservator telah banyak menghancurkan atas nama kehendak untuk mengembalikan. Jadi bagaimana dan di mana salah satu mulai menciptakan "roh" dari kota?Kelangsungan pikiran dan budaya di situs dirasakan oleh permainan lapisan budaya untuk Andrea Bruno, seorang arsitek Italia. Dia pikir terbaik untuk melestarikan keaslian dan terutama masa lalu untuk masa depan, seperti Palang Merah yang mengkompensasi kehilangan kaki kruk. Dalam konteks ini, mengacu pada kata-kata "restorasi, konservasi, pelestarian dan keaslian" (Bruno, 1998: 6). Inilah sebabnya mengapa sekolah arsitektur harus mengajarkan "roh" dari tempat. Interaksi antara budaya dan kota menciptakan identitas ruang kota atau "roh" dari kota atau lokus Genius. Spirit kota hadir dalam bahasa arsitektur, benda, ruang dan lingkungan yang diciptakan oleh budaya yang kuat dan identitas etnis dalam individu sosial, budaya, ekonomi, politik dan sejarah. Pengolahan dan pelestarian budaya sebagai makna dan identitas kota tidak keberatan; sebaliknya, arsitektur yang diawetkan hanya jika mereka tetap hidup, yaitu untuk mengatakan digunakan. b. Pembangunan kota-kota di Indonesia dan di Bali Di Indonesia, kata "negara" yang dikenal sejak abad kelima di era Kutai kerajaan (Borneo) di masa pemerintahan Raja Mulawarman. Negara-negara kecil, tidak stabil dan berkompetisi. Pada saat Kertanegara (kerajaan Singasari, Pulau Jawa, 1268-1292) negara itu stabil dalam masa pertumbuhan. Bentuknya adalah "kota300
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
negara" yang di pusat kota diwakili oleh puri dan kuil. Negara pertama yang mengambil équipementss perkotaan Trowulan ke Majapahit (abad XIV). Kota ini dibangun di Jawa berdasarkan dasar-dasar agama Hindu dan Buddha. Batas negara tidak hanya fisik tetapi juga tergantung pada pusatnya, yaitu kapasitas daya. Kota, yang adalah kekuatan kosmik, dibangun sesuai dengan pola ritual dengan inti yang terdiri dari puri, kuil dan pasar. Puri adalah pusat budaya dan prosesi ritual. Pasar adalah tempat umum dan pasar sebagai Agora pada zaman Yunani kuno. Macapat Konsep ini dikembangkan untuk dengan mudah mengembangkan desa. Dalam konsepsi ini, unit ekonomi terdiri dari lima desa, setiap desa memiliki pasar, dan hari setiap kegiatan dihitung setelah kalender Hindu. Islam telah berkembang di Mataram kerajaan era (abad kelima belas), dengan ibukotanya Kota Gede, melalui pertukaran ekonomi dengan Cina, Gujarat (India) dan Persia. Perannya adalah untuk menetapkan aturan organisasi pasar dalam bentuk kota. Pasar, bagian dari kegiatan sosial-ekonomi, yang menyebabkan banyak kota. Di pulau Jawa, sistem ini telah dikenal sebagai Peken Kuta (pasar kota), di Aceh sebagai Uroe Gantoe, Pekan Baru dan di mana pasar ini terletak di sebelah sungai (pada tahun 1787). Pada saat itu, Esplanade (Alun-alum) diwakili pusat orientasi kota. Masjid, puri, pasar dan rumah-rumah yang dibangun di atas itu semua sekitar. Kolonisasi Eropa dimulai dengan kedatangan Portugis di tahun 1513. Mereka bekerja sama dengan Kerajaan Pajajaran untuk menghancurkan kerajaan lain Fatahillah (1527). Sejak saat itu, lain Eropa (Belanda, Spanyol, Inggris) juga menetap. Belanda tiba pada tahun 1698. Mereka telah mengobarkan perang yang dipimpin oleh Jan Pieterzoon Coen, melawan kerajaan lokal. Pada 30 Mei 1619 Jayakarta dihancurkan (sekarang Jakarta) dan kota kolonial pertama (Batavia) dibangun. Secara bertahap kota-kota tradisional beralih ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Alun-alum menjadi pusat kota kolonial, dengan rumah selatan 301
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
dari pemerintah kolonial, barat diawetkan masjid, timur dan utara rumah Eropa dan asing lainnya (Cina, India dan Arab) dan pasar dikeluarkan dari daerah. Kota ini telah kehilangan arti dari pusat didedikasikan untuk prosesi ritual dan konteks kegiatan sosial-ekonomi. Penduduk pemisahan politik (Eropa, non-Eropa dan pribumi) menghancurkan rasa kota tradisional, sedangkan kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia masih sangat ditandai oleh spirit keagamaan. Beberapa arsitek Eropa telah mencoba untuk menerapkan konsep dan nilai-nilai dalam proyek-proyek lokal mereka. Wolf Schoemaker yang dikandung dekorasi lokal, Eduard Cuypers, AF Albers, HP Berlage, Maclaine Pont dengan konsep adaptasi dan kedaerahan Thomas Karsten Herman adalah contoh. Di antara mereka, Thomas Karsten telah paling mempromosikan integrasi semua penduduk, berusaha untuk menghapus kebijakan segregasi di kota Indonesia. Selama Perang Dunia II, Belanda telah membuat Jepang yang menduduki Indonesia dari tahun 1942 sampai 1945. Ketika itu mengambil kemerdekaannya (17 Agustus 1945) perkembangan kota terus pertumbuhan ekonomi mewakili faktor yang paling penting. Perencanaan ini kemudian diadopsi sebagai kebijakan pemerintah. Fungsi tradisional wajib untuk memodernisasi pasar digantikan oleh supermarket, bangunan tua dengan set besar (super blok). Modernisasi diterima sebagai standar internasional yang mewakili kekayaan dan kemajuan, lebih tepatnya dilambangkan dengan "Amerikanisasi". Kekuatan ekonomi sebagai mesin pembangunan, menciptakan kota berjiwa. Selain itu, konservasi dan pelestarian warisan nasional diperhitungkan dalam bentuk materi mereka. Fenomena ini terjadi di hampir semua kota di Indonesia, termasuk Bali. Bali menangkap ruang melalui kosmologi Hindu. Dalam pendekatan ini, ruang makrokosmos dan manusia adalah mikrokosmos, keduanya mengandung nilainilai yang sama dan elemen yang sama. Satu mencerminkan lainnya. Penekanannya adalah pada pencapaian keharmonisan antara makrokosmos dan mikrokosmos, tercermin dalam konsep Tri Hita Karana (Keseimbangan dalam 302
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
hubungan vertikal dan horizontal), korespondensi antara yang ilahi dan diri, antara alam dan manusia (Budihardjo, 1985 Gelebet, 1985 Sularto, 1987 Saliya, 1975 Parimin, 1986). Prinsip-prinsip ini ditransmisikan dalam urutan hubungan sakral-profan (Utama, Madya dan Nista) dan mendirikan hirarki struktur spasial (Sanga Mandala dan Tri Angga) desa tradisional Bali (Desa adat atau desa adat). Hirarki ini didasarkan pada jaringan candi teritorial. Yang pertama adalah jaringan dari candi daerah, maka itu dari desa-desa tradisional (desa adat), akhirnya kuil keluarga (Dadia). Inilah sebabnya mengapa tata ruang tradisional dibangun sebagai berikut: regional (Bali), desa adat (desa adat), dusun adat (banjar adat) dan level terendah diwakili oleh rumah. Oleh karena itu jelas bahwa dalam pendekatan kosmologis, kota tidak ada. Dan bahkan jika kata-kata kuta, kutanegara, kata Sanskerta atau pura murni untuk benteng (tapi itu hanya sebuah puri) ada. Pergi ke kota dipahami untuk pergi ke pusat kekuasaan. Kota tua Bali adalah sebuah kota kecil dalam tradisi Anglo-Saxon, dilihat sebagai situs pasar periodik (mingguan) (Wiryomartono 1995). Rotasi ini diterapkan di lima desa adat dalam suatu sistem yang disebut Mancapat atau Manca Agung, yang meliputi sistem pertahanan dan aspek sosial-budaya dengan pusat sebagai gatra modal. Ini adalah pusat desa tradisional yang telah muncul sebagai yang paling kuat dari mereka. Negara, sebuah kata Sansekerta, sesuai dengan "negara" kontemporer. Ini adalah khusus sebuah "kota negara," yang terdiri dari beberapa desa tradisional (desa adat). Menurut Geertz, "negara" Bali akan ada hanya untuk menjadi tuan rumah upacara ritual. Pandangan ini dikritik oleh Henk Schulte Nordholt (1991), karena meskipun keberadaan gatra Bali tanpa ritual tidak terpikirkan, kemampuan Raja untuk memobilisasi dan mengendalikan populasi di kepentingan negara (perang, upacara keagamaan) untuk mengontrol dan menyesuaikan irigasi dan merupakan sumber yang kuat dari kekuasaan dan bukti yang cukup dari keberadaan gatra Bali. 303
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
Desa adat (desa adat), sebuah kata Sansekerta, juga tidak ada hubungannya dengan pertentangan antara perkotaan dan pedesaan di peradaban Barat. Ini adalah unit teritorial, komunitas dan jaringan candi di beberapa dusun adat (banjar adat). Secara fisik, istilah ini tidak berarti ukuran yang tepat. Banjar Adat Beberapa sangat besar dengan sangat banyak orang tetapi ada juga kecil. Penerapan konsepsi kosmologi ditransmisikan dalam hirarki spasial desa adat: paling suci (the Utama) untuk candi asli (Pura Puseh), rata-rata (Madya) untuk fasilitas perumahan dan publik yang Nista (paling haram) untuk pemakaman dan kuil kematian (Pura Dalem). Persimpangan suci (Pempatan Agung) berada di pihak Madya. Kota Bali dibangun dari model desa adat. Yang terakhir merupakan komponen penting perkotaan dan memiliki posisi yang unik dalam masyarakat Bali. Ini adalah cikal bakal pusat kota dan simbol kekuatan ekonomi dan orang-orang. Sebagai bagian dari habitat, memiliki hubungan yang sangat kuat dengan pusat kekuatan ekonomi dan politik. Dalam Pempatan Agung kita menemukan peralatan sehubungan dengan hierarki sakral dan profan, pasar (Peken), puri (puri), kuil (pura), dan esplanade (alum tawas). Masyarakat Bali berlatih kegiatan sosial dan keagamaan di tempat-tempat ini. Singkatnya, Pempatan Agung constutue citra budaya Bali. Model ini khas dari kota tua menjadi pusat kekuasaan politik dan ekonomi: Denpasar, Gianyar, Klungkung, Karangasem, Mengwi, Tabanan dan Bangli. Konsep modern kota sebagai unit administratif yang diterapkan selama penjajahan oleh Belanda 1908-1942, sesuai dengan struktur administrasi berikut: residentie-afdeling-onderafdeling / departemen-kabupaten / kota perbekelan / Kelurahan -banjar administrasi / dusun administrasi. Sistem ini diciptakan untuk melemahkan kekuatan kerajaan lokal dan untuk mengkonsolidasikan penjajahan. Kota sebagai pusat ekonomi dan bisnis didorong dari daerah pemukiman Arab dan Cina dan terpinggirkan petani pribumi. 304
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
Meskipun kondisi ini, orang Bali selalu mengikuti prinsip-prinsip kosmologis dalam proses pengembangan desa tradisional mereka dan rumah mereka. Mereka menggunakan tujuh aturan tradisional, ditulis dari abad kesepuluh kesebelas dalam pelajaran Wiswakarma Asta Bumi, Kosali Asta, Asta Kosala, Janantaka Brahma Kerti, Dewa Tattwa, Padma Bhumi. Pendekatan ini dihormati sampai sekarang. Tapi secara fisik, kota administrasi kontemporer Bali telah disesuaikan dengan kondisi hidup modern. Secara bertahap, desa-desa administratif telah “menelan” desa adat, banjar administrasi “menelan” banjar adat. Fungsi tradisional sekitar Pempatan Agung berubah. Penciptaan lembaga baru dan fungsi, seperti pusat perbelanjaan, pusat rekreasi, mengubah mantan penggunaan lahan. Lokasi strategis Pempatan Agung membuat tanah yang paling dicari dari daerah lain. Kondisi ini menempatkan tekanan untuk mengubah fungsi sistem tertentu. Daerah perumahan daerah pusat perdagangan atau pusat administrasi. Pertumbuhan perkembangan kehidupan modern yang dihasilkan oleh pariwisata menciptakan komponen perkotaan baru yang merusak pola tanah tradisional Bali dan akhirnya mengubah arah tanah. Desa adat telah kehilangan ekspresi nilai-nilai spasial mereka dalam kehidupan sehari-hari yang masih mempertahankan nilai-nilai lainnya. Jadi apa yang telah menjadi desa adat dengan puri sebagai pusat? Dalam kehidupan sehari-hari, baik sosial dan keagamaan, masih berfungsi dengan baik. Memang, 85% dari populasi terdiri dari desa-desa adat dari anggota yang mematuhi Peraturan adat (awig-awig) lebih dari pada hukum. Mereka masih percaya bahwa pusat desa adalah pusat adat upacara di mana yang baik dan yang jahat dan menetralisir tempat takhta Siwa. Ini adalah pusat energi spiritual desa. Singkatnya, desa adat sebagai model organisasi masih hidup dalam semua sosial, budaya, ritual dan ruang. The kohabitasi dari praktek prinsip kosmologis desa adat dalam kehidupan seharihari dan pelaksanaan peraturan kota administrasi di wilayah itu telah 305
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
membingungkan warga dan pengembang. Saling adaptasi antara dua pendekatan ini sulit karena ini sesuai dengan dua kutub yang sama sekali berbeda. Selain itu, kota dan desa tradisional merata diwakili dalam stratifikasi spasial modern. Tapi keinginan dan desakan untuk memulihkan rasa kota, diwakili oleh kesatuan sosial budaya desa adat dalam pendekatan teritorial kontemporer Bali masih sangat kuat
1.2 RUMUSAN MASALAH Pembangunan fisik (berkat pertumbuhan ekonomi, teknologi dan politik) kotakota di Bali dengan pusat Pempatan Agung, sangat cepat.Selain itu kehidupan budaya Bali menolak dan menyesuaikan, yang mengatakan, perubahan budaya mengerem. Pertanyaan besar adalah: melakukan perubahan fisik, termasuk Pempatan Agung, menganggap kehidupan budaya Bali? Apa perkembangan terbaik untuk melestarikan kehidupan budaya Pempatan Agung Bali di masa depan? Bagaimana menjaga spirit Pempatan Agung Bali dalam mengembangkan kota?
1.3 TUJUAN PENELITIAN Untuk menjawab hipotesis hipotesis bahwa “spirit” dari kota-kota di Bali adalah dari pusat desa adat (Pempatan Agung) dan perencanaan tata ruang inti, penelitian ini difokuskan untuk menjawab beberapa pertanyaan berikut:
Apa makna Pempatan Agung untuk masyarakat Bali?
Apa saja perubahan yang terjadi diPempatan Agung (morfologis, spiritual dan simbolis)?
Apa harapan masyarakat untuk Pempatan Agung di masa depan?
Apa metode pelestarian yang tepat bagi Pempatan Agung dalam pengembangan kehidupan modern sebagai alat perencanaan tata ruang.
306
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
Dalam penelitian ini akan diusulkan model perubahan Pempatan Agung seperti yang diinginkan oleh masyarakat Bali untuk kota mereka di masa depan dan secara umum, model konservasi kota bersejarah. Usulan model ini diharapkan berguna untuk pemerintah Bali dalam proses pembangunan kota dan membantu mengurangi kontradiksi antara pembangunan modern dan nilai-nilai lokal
1.4 Pendekatan a. Domain penelitian Penelitian ini termasuk dalam penelitian terapan. Dalam pendekatan diekplorasi hubungan antara budaya dan kota menurut para geograf, ahli sejarah, arsitek dan arsitek perkotaan (urban designer). Dalam penelitian ini, difokuskan pada rancang kota, terutama dengan pendekatan budaya. Untuk memahami asal-usul dari bentuk materi, studi ini akan fokus pada sejarah politik dan morfologi kota, mengingat berikut: 1. Sebuah kota membutuhkan karakter tertentu sebagai tengara dan setiap tempat memiliki diprediksi, makna dan identitas yang makhluk disimpan dalam proses pembangunan, khususnya konservasi. 2. Perkembangan kota ini berkaitan dengan sangat kompleks multi-dimensi, sosial, budaya, politik, ekonomi, teknologi dan alam. Meskipun kontradiksi antara nilai-nilai budaya dan ekonomi, orang Bali selalu menerima pembangunan, termasuk pariwisata, karena merupakan sumber penciptaan dan pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini, pembangunan harus dilakukan oleh keseimbangan antara nilai-nilai lokal dan kepentingan politik-ekonomi untuk menciptakan kota yang berkelanjutan untuk budaya, tata ruang, politik dan ekonomi 3. Budaya dinamis, tetapi tingkat adaptasi terhadap perkembangan budaya masing-masing berbeda. Dengan demikian budaya Hindu sebagai budaya Bali memberikan implikasi pada pertumbuhan ekonomi. Budaya masih hidup 307
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
dalam kehidupan sehari-hari saat ini Bali dan menyesuaikan dengan tempat ide, waktu, keadaan (desa, kala, patra). Dengan kata lain: budaya Bali menolak dan sekaligus menerima pembangunan. Untuk ini, pengembangan apapun harus memperhitungkan faktor budaya . b. Beberapa studi tentang Bali Bali adalah salah satu laboratorium yang sangat baik dari studi untuk memahami hubungan antara budaya dan kota, terutama untuk pikiran oriental kontemporer. Kota pertama Bali yang dibangun di atas fondasi tradisional yang berkaitan dengan agama dan adat istiadat orang Bali Hindu. Imam adalah pemimpin agama dan raja adalah pemimpin negara-negara tradisional (Negara). Sebagai pemimpin negara, raja dapat memobilisasi semua orang termasuk imam untuk upacara dan ritual keagamaan untuk melawan musuh (Nordholt, 1991; Geertz, 1980). Pedanda hanya berkaitan dengan urusan agama, sedangkan raja berurusan dengan urusan politik. Akibatnya, wilayah agama selalu terpisah dari puri. Selain itu, desa adat Bali (negara) adalah otonom. Memiliki wilayah penduduk dan peran sendiri. Meskipun terletak di pusat kota, selalu bernama Desa Adat. Beberapa desa adat membentuk sebuah kota, bahkan jika semua kondisi ini masih hadir dalam morfologi kota Bali. Selama sejarah panjang, bentuk pemerintahan berubah di setiap zaman dan bentuk kota telah beradaptasi. Dalam situasi yang meminta campuran kelompok etnis Indonesia, pertanyaan yang paling penting adalah bagaimana kota mengakomodasi kepentingan yang berbeda dari orang. Akhirnya, kekuatan ekonomi saat ini yang dominan, terutama di sektor pariwisata dan komersial. Dalam proses perencanaan kota Bali, dominasi ekonomi ini menciptakan konflik antara pembangunan tata ruang dan pemeliharaan nilai-nilai budaya. Umumnya, kota Bali keduanya makrokosmos dan mikrokosmos. Nilai-nilai dan norma-norma sosial budaya dan agama terkait dengan citra pusat magis (mandala). Sebagai mikrokosmos, mereka memiliki kepala, tubuh dan kaki 308
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
sehingga sebagai makrokosmos, mereka memiliki atmosfer (diwakili oleh udara dan Gunung Suci), litosfer (diwakili oleh tanah dan rumah ) dan hidrosfer (diwakili oleh laut). Konsepsi ini masih berlaku dengan skala membaca apapun, bangunan kecil seperti terbesar, kota dan seluruh pulau Bali. Banyak studi ilmiah telah dilakukan pada Bali atau oleh para peneliti lokal atau oleh orang asing. Satu catatan studi tentang dampak sosial-budaya pariwisata (MacKean 1978 Noronha, 1980; Picard, 1992; Bandem, 1993 Pisau, 1993; Paturusi, 2000) dan beberapa karya Ilmiah Pusat Universitas Udayana ( Bali) pada dampaknya sosio-ekonomi (Erawan, 1987) dan dampak fisik pada lingkungan (Mardani, 1984). Kekuasaan politik sebagai aktor budaya Bali telah menjadi subyek dari penelitian yang luas oleh Nordholt (1986,1991,1996), hubungannya dengan arsitektur oleh Putra (1998) dan hubungannya dengan budaya dan sosiologi di desa-desa Bali oleh Geertz (1959,1966,1980), Goris (1935) dan Belo (1970); hubungannya dengan agama, simbol-simbol yang dipelajari oleh Cohen (1969.1974) dan Forge (1980). Identifikasi bentuk dan masalah arsitektur telah diteliti oleh Salija (1975) Sularto (1980), Budihardjo (1985), Gelebet (1986), Pardiman (1986), Paturusi (1989) Sulistyawati (1995 ) Lancret (1997). Ardi Pardiman Parimin jelas menunjukkan bahwa rumah tradisional Bali terletak pada empat atribut yaitu:
sosiologis, dengan sistem hubungan Bali ditandai dengan sistem desa adat banjar, subak, Sekehe, Dadia, perbekelan;
morfologi terkait dengan perumahan tradisional (inti dan pinggiran);
fungsional, yang berkaitan dengan praktek-praktek sosial dan keagamaan;
simbolik, berhubungan dengan arah dan sumbu kosmologis.
Selama evolusinya, desa Bali telah berubah sedikit demi sedikit. Perubahan budaya habitat Bali telah lebih cepat di sektor non-sakral, seperti rumah, fasilitas 309
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
umum di daerah suci (peralatan agama, kuil atau keluarga atau kolektif) (Paturusi, 1989). Menurut Sulistyawati, perubahan peralatan non-sakral telah disesuaikan dengan peraturan publik. Tapi penelitian ini tidak memperhitungkan fitur arsitektur: tidak ada penelitian telah dilakukan pada Pempatan sebagai embrio pusat Agung Bali kota, perkembangannya diversifikasi, hubungan budaya dan perannya dalam kehidupan Bali kontemporer. c. Spirit pusat kota di Bali: sebuah hipotesa Menurut
Bagus
Wiryomartono,
beberapa
fenomena
terjadi
dalam
perkembangan kota kontemporer Indonesia: menurunnya “pusat”, mengaburkan perbedaan antara kota dan desa, kurangnya budaya urban, kurangnya “agora” dan keberadaan kelurahan (desa kota / kampung kota) (Wiryomartono 1995: 171-182). Kota Bali juga dipengaruhi oleh perkembangan ini. Kota tumbuh lebih dan lebih karena pertumbuhan penduduk, yang heterogenitas diperlukan karena migrasi. Kegiatan ekonomi telah bergeser dari pertanian ke industri, terutama pariwisata. Dalam konteks budaya Bali, perubahan profesi penghuni juga berubah gaya hidupnya dan akhirnya mengubah budaya sendiri (sistem nilai dan standar pemikiran dan produksi, distribusi fungsi dan tugas). Pariwisata yang menghasilkan pertumbuhan ekonomi merupakan pendorong yang kuat dari perubahan. Ia telah mengganti dari sistem transportasi tradisional ke sistem transportasi modern, pasar tradisional jadi supermarket. Aspek lain dari perubahan berkaitan dengan evolusi sistem politik monarki kolonisasi dan akhirnya ke republik yang mengurangi fungsi dan kekuatan puri. Kemudian meskipun munculnya dualisme antara kekuasaan adat dan kekuasaan administratif, puri tetap menjadi pusat budaya yang mengelola tidak hanya urusan politik tetapi juga urusan agama dan adat istiadat. Akhirnya, teknologi telah mengubah semua penampilan tradisional di bawah pengaruh modernitas, akhirnya menciptakan wajah kota baru Bali. 310
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
Variabel yang perubahan yang lambat adalah Hindu, struktur sosial tradisional, peraturan adat dan tanah tradisional Bali:
Hindu menjiwai semua kehidupan sehari-hari orang Bali. Bahkan jika perubahan pendidikan di bawah pengaruh nilai-nilai dan standar eksternal, mereka hanya mempengaruhi unsur perifer agama (misalnya: bahan dan cara Upacara).
Struktur sosial tradisional dibagi antara sistem kasta (didukung oleh agama Hindu) dan adat setempat.
Kebiasaan tradisional Hindu hasil menetapkan hubungan antara manusia, alam dan Tuhan.
Akhirnya, regulasi publik telah disesuaikan norma-norma dan nilai-nilai tradisional dalam pengembangan organisasi. Meskipun peraturan hanya mempengaruhi apa yang material, upaya ini cukup signifikan untuk mengurangi
konflik antara kebutuhan
untuk
memodernisasi
dan
memerlukan identitas lokal (lihat Gambar 1). Sebaliknya, variabel lain mendukung perubahan: Pariwisata telah menjadi suatu kegiatan penting dalam kehidupan sehari-hari Bali. Untuk sampai sekarang budaya Bali terutama yang berbasis pertanian. Perubahan aktivitas juga mengubah kehidupan sehari-hari orang Bali.
Sistem politik kerajaan mendominasi transformasi spasial desa tradisional Bali. Transisi dari monarki ke kolonisasi dan republik juga dipengaruhi transformasi spasial, termasuk peran kekuatan kosmik dari pusat.
sistem transportasi dan konstruksi mempengaruhi bentuk perencanaan tata ruang. Perkembangan dalam teknik otomotif dan konstruksi telah muncul dengan modernisasi. Model spasial desa tradisional Bali telah berubah, dan dengan itu proses ritual, dimensi ruang dan perjalanan kecepatan.
311
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
Variabel bebas perubahan: 1. Pariwisata 2. Sistem politik 3. Teknologi
Variabel terikat : 1. Struktur umum : Parhyangan : Pura Pawongan : Masyarakat Palemahan : wilayah 2. Struktur spasial a. Desa Adat Pura Puseh Permukiman Pura Dalem dan kuburan b. Pempatan Agung : Pura Desa Bale Kul-kul Puri Bale Banjar/Wantilan Pohon beringin Pasar Alun-alun
Perubahan 1. Sistem Pembangunan 2. Profesi pariwisata 3. Sistem Politik
Hipotesis
Hasil Spasial 1. Tradisi Vs modernitas 2. Pelemahan “pusat” 3. Kaburnya batas sacral dan profan 4. Pertumbuhan kota 5. Kampung-kota
Spirit kota-kota di Bali berasal dari “pusat” desa adat yaitu Pempatan Agung yang mengandung tata cara pengaturan ruang
Keberlanjutan 1. Kehidupan beragama 2. Kekerabatan dan aktifitas sosial 3.Aturan adat (awig-awig)
Variabel bebas keberlanjutan: 1. Agama Hindu 2. Struktur social tradisional 3. Adat istiadat 4. Hukum nasional
Gambar 1. Hipotesis Penelitian
312
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
Dalam konteks spasial, variabel-variabel ini sehingga mengubah morfologi dan tipologi desa tradisional Bali menjadi besar sebagai kota tradisional. Kota-kota baru melemahkan kekuatan pusat tradisional pertumbuhan mereka. Fungsi sekuler dan bergerak mendekati fungsi sakral, sehingga batas antara sakral dan profan menghilang. Konflik antara modernitas dan tradisi yang rumit. Orang Bali percaya bahwa kota masih mencerminkan makrokosmos dan mikrokosmos yang adalah terjemahan dari nilai-nilai tradisional dan norma agama. Morfologi dan tipologi kota dan persepsi telah berubah. Jika perubahan ini terutama mempengaruhi pinggiran, yang mengatakan, ruang sekuler, pusat tahan terhadap perubahan budaya. Antara
tradisi
(kecenderungan
untuk
kelangsungan
dan
modernitas
(kecenderungan untuk berubah) dalam komposisi spasial desa tradisional Bali pada akar kota hari ini, spirit yang terkait dengan pusat kekuasaan (yang Pempatan Agung) adalah titik penyatuan antara dua kutub ini. Kami akan mencari spirit ini dan menggunakannya untuk memberikan perencanaan tata ruang kota Bali saat ini
1.5 METODE PENELITIAN Menurut Susanne Almeida-Klein (1994: 193) tidak ada metodologi kuantitatif yang pasti dan cukup relevan untuk menilai dimensi budaya dalam pembangunan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif untuk penelitian ini dan penelitian yang paling sosial. Penelitian ini menggunakan metode EC (Environment-Compertement) yang secara sistematis mengamati kegiatan dan interaksi dari orang di lingkungan mereka (di sini: Desa Adat kota) dan pada saat yang sama mengamati kemampuan kota untuk mengelola kegiatan ini (Zeisel, 1981). Kami akan mempertanyakan pada:
aktor yang berbeda (pemerintah, tokoh adat, arsitek, guru, dll),
tindakan mereka terhadap lingkungan dalam konteks yang berbeda, 313
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
hasil dari tindakan ini dalam rekonstruksi morfologi (hubungan spasial).
Komentar dan survei penduduk adalah dua metode yang dominan. Pengamatan lingkungan didasarkan pada tiga elemen: Bahan (benda, ruang, hubungan antara ruang, kualitas), administrasi (formal dan informal regulasi) dan perilaku (karakteristik masyarakat, kegiatan mereka, antar hubungan mereka: konflik, aliansi , asosiasi). Didedikasikan untuk roh dari kota budaya Bali, penelitian ini akan mempelajari evolusi spasial (morfologi dan atribut simbolik) dari Pempatan Agung, peraturan pemerintah dan, peraturan administrasi adat dan karakteristik demografi, agama dan kepercayaan, sistem sosial kekerabatan, perilaku orang dalam kegiatan sehari-hari mereka. Pencarian jawabannya akan dengan mempelajari reaksi penduduk terhadap lingkungannya. Apa yang ada di konsep lingkungan, apa pengetahuan, nilai apa, apa yang terjadi di kehidupan sehari-hari, tindakan apa untuk mempertahankan lingkungan ini?
1.6 Tahapan penelitian Untuk menjawab pertanyaan ini, pekerjaan ini dibagi menjadi lima tahap: Tahap I: Studi tentang kota dan budaya Fase ini ingin mendefinisikan konsep budaya kota, spirit kota dan semua pertanyaan tentang masalah identitas dan citra kota dalam hubungannya dengan budaya. Penelitian ini merupakan penelitian literatur berbasis. Tahap II: Studi kasus Ini melibatkan dua langkah: pengamatan lingkungan dan pengobatan jawaban. Untuk ini perlu untuk memilih zona untuk tahap pertama dan diwawancarai untuk yang kedua.
314
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
Tahap III: Analisis perubahan Kami akan menganalisis perubahan yang diamati dan kami akan mencari konsekuensi budaya mereka. Kami akan membandingkan struktur spasial oleh "layering" untuk menemukan tingkat perubahan morfologi dan simbolik. Berdasarkan hasil ini, kita akan menyoroti perubahan dalam "spirit" dari Pempatan Agung diamati oleh orang atau lembaga yang bertanggung jawab. Hasil yang diharapkan adalah jawaban hipotesis, masalah dan kesempatan untuk mengembangkan Pempatan Agung dalam proyek perkotaan (urban design). Tahap IV: Pencarian untuk pelajaran Untuk lebih memahami metode pelestarian spirit kota, kita akan mempelajari kasus kota-kota Eropa. Dari sejarah morfologi dan disiplin dari proyek perkotaan, kita akan memilih beberapa elemen penting dari pusat kota Paris (Place des Vosges, Champs-Elysées, Bastille), Barcelona (Ramblas, Plaza Catalonia, Diamond Place, Place Royale ) dan Sarlat. Tahap V: Rekomendasi: pelestarian spirit kota Bali Sebagai budaya Eropa dan Bali berbeda, penerapan metode konservasi harus disesuaikan dengan kondisi setempat (potensi, masalah dan peluang) lokal. Dengan demikian kita akan mengusulkan beberapa model konservasi spirit pusat kota Bali dari hasil analisis kami. Proposal ini dibuat dalam konteks proyek perkotaan mengintegrasikan dimensi budaya dalam perencanaan tata ruang.
315
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
Gambar 2. Tahapan Penelitian
1.7 STRUKTUR DISERTASI Disertasi ini terdiri atas tiga bagian. Pertama melihat kota dan "spirit" berdasarkan faktor budaya. Akan dieksplorasi teori dan konsep dari kota, budaya, spirit kota dan proyek perkotaan. Pendekatan ini diharapkan menghasilkan kerangka teoritis dan konseptual interaksi antara kota dan budaya. Hal ini dilakukan melalui studi bibliografi, penelitian lebih yang telah dilakukan dan sumber tertulis lainnya. Kedua memberikan informasi umum dari lapangan, struktur sosial dan administrasi dari kota-kota di Bali, kisah Bali, morfologi dan tipologi Pempatan Agung Bali di kota, di bawah setiap rezim politik (tradisional, monarki, kolonial, republik) . Untuk ini, data dikumpulkan dari perpustakaan dan survey lapang. Dengan membandingkan hasil, diharapkan dihasilkan hipotesis dari keberadaan spirit Pempatan Agung. Kemudian dianalisis perubahan morfologi diamati dan dampak budaya menyebabkan perubahan ini. Langkah berikutnya adalah membuat sebuah analisis oleh "berlapis", untuk membandingkan struktur spasial. Perubahan morfologi dan simbolik dibagi menjadi tiga kelas: perubahan, kesinambungan, adaptasi. Berdasarkan hasil ini, dianalisis pendapat dari orang
316
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
atau lembaga yang bertanggung jawab (pemerintah, tokoh adat, arsitek, guru, dll) dengan informasi yang dikumpulkan dengan teknik wawancara. Bagian ketiga berkaitan dengan konservasi spirit kota dengan belajar dari pengalaman Eropa. Mengacu pada hasil studi penelitian dan komparatif, ditunjukkan bagaimana menggunakan Pempatan Agung, sebagai "spirit" kota Bali untuk masa depan dan integrasi ke dalam model rancang kota
317
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
BAGIAN PERTAMA: BUDAYA, KOTA, DAN SPIRIT: TEORI DAN KONSEP 1.1 Konsep dan Teori Kota Apa yang saat ini diketahui tentang hubungan antara budaya dan kota? Apa ideide, konsep dan hubungan tentang kota dan budaya? Apa hasil dari hubungan antara kota dan budaya? Bagaimana menerapkan konsepsi budaya dalam rancangan kota? Apakah masalah-masalah yang harus dihindari? Bagian ini akan melihat evolusi hubungan antara budaya dan kota dalam konteks proyek perkotaan. Pertanyaan-pertanyaan di atas dihubungkan dengan pembangunan karena pertumbuhan ekonomi yang menyebabkan perubahan struktural dan menimbulkan masalah sosial budaya di negara-negara Timur. Lebih penting lagi, perlu dipahami perubahan dan implikasi budaya di kota. Menurut Claval (1995: 5-8) budaya adalah mediasi antara manusia dan alam, warisan dan hasil persilangan komunikasi dan konstruksi. Hal ini memungkinkan individu dan kelompok untuk proyek ke masa depan dan di luar dalam beragam. Budaya adalah, untuk sebagian sangat besar, merupakan faktor penting dari diferensiasi sosial dan objek istimewa dari geografi budaya. Ini adalah spirit yang mereproduksi urutan tertentu. Ini adalah sebuah sistem makna diproduksi dan terintegrasi oleh masing-masing melalui kegiatannya, hubungan dan lembagalembaganya (William, 1982). Awalnya, budaya adalah sistem simbolik alam dan pikiran (Geertz, 1983). Sebagai sebuah sistem makna dan simbol, itu merupakan kesinambungan dan perubahan. Hal ini berakar dalam kehidupan sosial materi (Agnew et al, 1984. 1-8). Elaborasi kota dan budaya juga dielaborasi menurut menurut Almeida (1994). Agnew, et al., (1984 : 1); Koentjoroningrat, (1974 : 11); Sutedjo, (1982 : 4-19), Koentjoroningrat (1981 : 12 ), dan Messier,(2001). Untuk pemahaman lebih lanjut dielaborasi evolusi kota-kota di dunia barat dan timur 318
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
mulai dari jaman antik sampaia sekarng. Dari perbandingan tersebut disimpulkan bahwa walaupun pada awalnya memiliki pendekatan yang sama, dalam evolusinya dua dunia tersebut memiliki perbedaan pendekatan dalam perancangan kota. Dimensi sosial budaya menjadi pendekatan yang utama dalam perancangan kota-kota dunia timur.
1.2 Budaya dan Pendekatan Budaya Penciptaan ruang sakral terkait dengan penciptaan dunia. Dimulai dengan pembangunan kuil, sebuah dunia baru lahir, dunia di mana orang dapat hidup sejahtera. Kuil menjadi pusat dari kosmos dan sumbu dunia, kesucian ruang dapat dimulai. Ini menjadi ruang dihuni dan terorganisir. Kemudian batas suci dibuat, sebagai dinding atau kolam untuk memisahkan dari dunia lain yang asing, kacau, di mana makhluk halus hidup. Transformasi nilai-nilai budaya di kota mengikuti proses ini dan telah menyebar ke seluruh dunia tradisional. Konsepsi axialitas, gunung dan puncak magis dan pembagian ruang atas sakral / profan berhubungan erat dengan proses penciptaan dunia kosmik. Meskipun transformasi fisik yang berbeda tergantung pada kasus, prinsip-prinsip ini masih ada, penciptaan sebuah kota tradisional reproduksi penciptaan kosmos, penciptaan dunia dan pusat kota masih pusat dunia, terlepas dari budaya. Studistudi mengenai transformasi nilai budaya dalam penciptaan kota di atas telah dilakukan oleh Mangunwijaya (1985 : 90), Wheathley (1979 : 425(, Brunet et al. (1992 : 220), Rapoport (dalam Catanese, 1986: 73), Eliade (1969), Volwahsen (1968 : 43-58), Gde, I Gusti Ngurah (1981 : 90), Panerai (1999 : 15-17), dan Wunenburger (1981 : 3).
319
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
1.3 Spirit Kota dan Pembangunan Perkembangan teoritis kota menunjukkan bahwa dari awal, dan untuk waktu yang lama, kota memiliki dimensi kosmologis. Kota dianggap sebagai tiruan dari makrokosmos, surga atau dunia ilahi diselenggarakan dengan sumbu batas dan simbol ajaib (Cardo dan Decumanus Romawi, dinding dan portal Cina, axis mundi India, kolam Angkor) di mana pusat adalah pusat dunia (Kota Terlarang di China, Borobudur, Ziggurat) (Eliade, 1949,1952,1963, Mangunwidjaya, Rapoport, 1980, 1985; Wheatley, 1971). Untuk memahami kota semacamini, salah satu harus memahami proses dimana bentuk-bentuk geometris dan kebiasaan sosial telah memberikan makna, rendering itu dipahami budaya lain (Eliade, 1952, 1965, Rapoport, 1969, 1986 Wheatley 1971). Aspek agama atau kosmologis ini tidak pernah dimasukkan dalam pendekatan modern. Pendekatan ilmiah "modern" kota dapat dikaitkan dengan rencana yang dikembangkan oleh Hippodamus di Yunani kuno yang mendekati kota oleh nya fungsi ekonomi, politik, militer, dengan pusat keagamaan. Hal itu juga dikembangkan oleh Vitruvius memegang firmitas trilogi, dan Utilitas vesnustas dan oleh Bernini master, Brunelleschi, Michelangelo, Leonardo, Christopher Wren, Inigo Jones, Mansard, Fountain. The kotak-kotak, zonasi, membatasi ketinggian bangunan dan kepadatan penduduk yang digunakan di Kekaisaran Romawi untuk perencanaan kota. Esplanade dan ruang terbuka memfasilitasi promenade penduduk, sering di bawah perlindungan sebuah gereja (Piazza San Marco di Venesia). Pola Kotak-kotak melambangkan pembagian dunia dalam keteraturan,
keseimbangan
estetika,
dan
monumentalitas
kekuasaan
(Washington, Versailles, Paris) (Benevolo, 1983; Delfante, 1997). Ekspansi perkotaan yang berkaitan dengan perdagangan dan industrialisasi telah menyebabkan sejumlah masalah seperti yang di khawatirkan oleh Legoyt MA di Perancis, Adna Weber Ferrein Amerika Serikat, Morris, Owen Richardson dan 320
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
Ruskin di Inggris. Ini memicu gerakan pembaruan terinspirasi oleh para utopian (Ebenezer Howard, Patrick Geddes, Tony Garnier) dan pada Walter Gropius, Mies van der Rohe, Le Corbusier). Mereka adalah perencana-arsitek yang mendekati kota dengan kriteria Hiegenis dan humanistik. Mereka menggabungkan seni, teknologi dan ekonomi dengan unit administrasi, pusat bisnis, pusat politik, hutan properti. Kota ini menjadi akumulasi teknologi tinggi, gaya baru, mesin, sistem yang kompleks dari perkotaan, budaya yang beragam (New York, Nanterre, Tokyo, Hong Kong, Singapura, dll). Padahal kota dipandang sebagai perubahan budaya, tradisi dan modernisasi telah menjadi elemen utama dalam konteks menggabungkan perubahan konsep dan kontinuitas. Perubahan diperlukan untuk meningkatkan dimensi kuantitatif kota dan memberikan kontinuitas dimensi kualitatif (simbolik sosial). Kombinasi dua dimensi harus dipertimbangkan untuk memahami pembentukan kota, termasuk hubungan dengan alam dan budaya. Mendamaikan dua dimensi ini diperlukan untuk mendekati kota universal; harus memperhitungkan nilai-nilai budaya (kualitas kota) sebagai kriteria sosial, teknologi ekonomi, politik, pertahanan dan kebersihan (aspek kuantitatif). Singkatnya, pendekatan tidak bisa universal tanpa memperhitungkan kondisi setempat.
321
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
BAGIAN KEDUA SPIRIT BUDAYA PADA PEMPATAN AGUNG Seperti telah disebutkan di Pendahuluan, metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif naturalistik, dengan pendekatan EC (perilaku ligkungan) atau "studi EB" oleh John Zeisel (1981:10), kemudian digabungkan dengan studi aspekaspek fundamental rumah Bali oleh Parimin (1986) yaitu: sosiologis, morfologi, fungsional dan simbolis. Pada bagian ini diekplorasi spirit budaya Pempatan Agung melalui komposisi spasial, organisasi sosial-budaya dengan latar belakang agama, pengembangan dan konsekuensinya untuk Pempatan Agung.
2.1 Penelitian lapangan: Metodologi Budaya Bali sangat berdasarkan Hindu yang memerintah kehidupan sehari-hari. Seluruh hidup orang Bali tampaknya didedikasikan untuk para dewa dan leluhur dan roh-roh sihir luar yang menemukan diri mereka dalam tradisi dan kepercayaan, ritual, seni dan hiburan, organisasi masyarakat dan kota, hak adat. Kota Bali dibangun dari titik disebut Pempatan Agung, konsepsi kosmologis disucikan oleh tradisi dan agama. Baru-baru ini kedatangan pariwisata di Bali telah memperkaya kehidupan sehari-hari kontemporer dan mempengaruhi sifat kota Bali. Budaya dalam pendekatan teoritis perancangan kota merupakan cakrawala yang sangat luas terbuka bagi penelitian dan dapat dikembangkan dalam banyak dimensi. Untuk penelitian ini tidak terlalu jauh, dibatasi objek penelitian dan penggunaan konsep dan teori yang telah dibahas sebelumnya sebagai instrumen pengamatan untuk studi lapangan. Pertama budaya. Dipelajari dahulu tradisi dan kepercayaan di bidang agama, tradisi, adat dan pengalaman budaya. Kita akan melihat bagaimana unsur-unsur hak dasar dapat ditemukan dalam fungsi sosial, struktur kekuasaan, kegiatan dan alam. Nilai-nilai yang diamati dari sistem adalah pandangan dunia, etis, dimensi 322
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
mistis, rasa hidup dan struktur sosial-politik. Untuk gaya hidup, kebiasaan adalah satu-satunya elemen yang diamati, seperti arsitektur di bidang seni dan sastra. Unsur-unsur ini akan dipelajari oleh perspektif Perencanaan. Kota ini dibangun dari politik, sosial dan keagamaan. Kami akan mempelajari terutama dalam dimensi ruang, berfokus pada morfologi dan tipologi kota. Peran kota akan dibahas melalui sistem organisasi spasial dan peraturan formal dan adat. Pada dasarnya, dipelajari kota mulai dari rancang kota dan berfokus pada perubahan morfologi. Skematik dari rancangan penelitian tersebut dapat dilihat pada model penelitian sebagai berikut.
323
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
STUDI PENDEKATAN BUDAYA
Tradisi dan Kepercayaa n Hak Dasar
Agama Tradisi Adat Budaya
Seni pertunjukan
Warisan keluarga Fungsi sosial Aturan Kekuasaan Manajemen konflik
Pengaturan aktivitas dan alam
Budaya
Berkelanjutan
Sistem Nilai
Gaya Hidup
STUDI PEMBANGUNAN KOTA
Seni dan Sastra
Penduduk
Kota
Perubah
Ruang :
Aturan
Pandangan ttg dunia Etika Dimensi Misits Makna Hidup Struktur Sosial dan Politik Produksi Alat Adat
Makanan Bahasa Arsitektur etc.
Politique Social Religieux Économie
Morphologie & typologie Technologie Art
Organisasi Ruang Karya Preteks ekonomi
Peraturan 324
Anthropologis Perencana Architek te Perancang Kota
Kehidupan budaya Studi campuran
Pandangan Ahli
Subjek
disertasi: Spirit kota
Sintesis Pandangan Ahli
Perubahan morfologis Urban disain
Arsiitektur Perencana an Gambar 3. Model Penelitian
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
A. Teknik pengumpulan data Terdapat dua jenis data. Data sekunder yang dikumpulkan sebelumnya oleh para peneliti dan terkait sosial, budaya, agama dan segala sesuatu tentang latar belakang bentuk spasial; data mentah yang dikumpulkan oleh pengamatan lingkungan (komposisi ruang, peraturan) dan analisis respon (perilaku dan reaksi dari orang-orang di kota untuk menjawab pertanyaan tentang kemampuan kota untuk mengakomodasi kegiatan mereka). Untuk memfasilitasi pengumpulan, data mentah telah disederhanakan sebagai: perilaku, ruang dan reaksi. Kumpulan data pertama yang dikumpulkan selama wawancara dengan ahli budaya Bali, para pemimpin desa adat, penduduk setempat maupun melalui pengamatan langsung dari kegiatan sehari-hari warga di Pempatan Agung. Untuk data aktivitas, kuesioner yang diberikan kepada pendudk sekitar pempatan agung. Responden dapat memilih lebih dari satu respon yang disesuaikan dengan kondisi mereka. Kelompok kedua dari data yang berasal dari pengamatan langsung di lapangan, penyusunan dokumen resmi, wawancara langsung terstruktur dengan tokoh dari desa-desa tradisional untuk mendapatkan data morfologi. Kelompok ketiga data didasarkan pada wawancara dengan penduduk setempat. Kebanyakan kuesioner memberi kesempatan bagi responden untuk memilih lebih dari satu jawaban disesuaikan dengan kondisi, pendapat, persepsi, pesan pribadi, yang memungkinkan mereka untuk memberikan pendapat pribadi mereka pada pengembangan desa mereka. B. Pemilihan sampel a. Pempatan Agung Menurut penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Salija (1975) Sularto (1980), Budihardjo (1985), Gelebet (1986), Pardiman (1986), Paturusi (1989), Sulistyawati (1995), Lancret (1997), desa-desa tradisional Bali , awalnya dari kota-kota baru yang semua terbentuk pada konsep dasar yang sama sehingga bisa diperkirakan 325
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
bahwa struktur spasial asli dari desa Bali adalah homogen. Seperti kita ketahui, pembangunan membawa perubahan. Dipercaya bahwa pengembangan kota mengubah desa tradisional Bali. Hasil penelitian ini digunakan untuk memilih sampel penelitian. Dalam tata ruang yang sangat homogen, bisa dipilih sampel dalam jumlah kecil. Tapi untuk lebih memahami perkembangan, area yang dipilih harus ditingkatkan. Penelitian ini menggunakan metode sampling kuota (quota sampling) untuk stratifikasi sampel (stratified sampling), yang yang menggunakan cara hierarki administrasi. Provinsi Bali terdiri dari 9 Daerah Tingkat II (Dati II departemen) dibagi dalam 1 kota (Denpasar) dan 8 kabupaten. Penelitian ini berfokus pada wilayah-wilayah administratif. Di setiap kabupaten dan kota dipilih tiga Pempatan Agung sesuai dengan lokasi mereka. Lokasi Pempatan Agung dibagi menjadi tiga jenis:
di ibukota kabupaten/kota (disebut Pempatan Agung urban, PAU): ada 9 bagian kabupaten, ditambah kotamadya Denpasar.
di ibukota kecamatan (diesbut Pempatan Agung semi-urban, PASU) : dipilih 9 kecamatan dengan masing-masing 1 kabupaten/kota satu kecamatan
di desa administratif (disebut Pempatan Agung rural, PAR): dari 51 kecamatan di Bali yang terdapat 1371 desa tradisional Bali
dan 658
kelurahan. Semua PAU kabupaten/kota diteliti sehingga, ada 9 PAU, 9 PASU, dan 9 PAR. Karena di Denpasar tidak ada PAR, maka di Denpasar ditambahkan 1 PAU jadi ada PAU 10, 9 PASU dan 8 PAR. Untuk mencapai sampel tersebut beberapa asumdi yang digunakan adalah::
Pempatan Agung Urban sebagai pusat kabupaten/ kota adalah titik awal perkembangan dari Pempatan Agung.lainnya
326
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
PASU yang dipilih harus berada di tengah-tengah ruang didefinisikan wilayah departemen. RAP yang dipilih harus berada, dari kerajaan kuno di departemen.
Persimpangan yang dipilih harus persimpangan suci desa adat.
Gambar 4. Skematik pemilihan sampel b. Responden Seperti dalam kasus tata ruang, penduduk Bali relatif homogen. Suku Bali adalah kelompok etnis mayoritas. Pada tahun 2000 mayoritas oarng Bali beragama Hindu 2.830.561 atau sekitar 91% dari seluruh penduduk. Dalam penelitian ini kehidupan sosial-budaya dan politik sehari-hari dianggap homogen. Untuk pendekatan ini, digunakan metode yang sama, yaitu metode quota (quota sampling) dengan sampel yang representatif (stratified sampling) untuk memilih orang-orang untuk diwawancarai. Jadi ada tiga tingkatan orang untuk wawancara. Pertama adalah para pemuka masyarakat atau ilmuwan yang dianggap memahami budaya Bali baik tingkat nasional dan provinsi yaitu: kepala PHDI Indonesia (Ketut Wiana), kepala IAI Bali (Putu Rumawan Salain) dan undagi, arsitek dan dosen arsitektur (I Nyoman Gelebet). Pertanyaan-pertanyaan menyangkut konsepsi Pempatan Agung, perubahan dan kemungkinan 327
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
perkembangan budaya. Hasil wawancara ini diberlakukan dengan seluruh Pempatan Agung dalam arti spiritual dan spasial. Kedua adalah pemimpin lokal yang dipilih desa-desa tradisional, anggota keluarga kerajaan, pedanda, guru, pejabat, dll. Sebagai budaya Bali yang diselenggarakan secara kolektif, survei dilakukan melalui kepala adat kota tuan rumah pertemuan tersebut. Peserta adalah relawan. Akibatnya, jumlah mereka adalah variabel (lihat Lampiran 2. Informan). Untuk seluruh bagian dari penyelidikan, kami bertemu dengan 59 peserta. Pertanyaan-pertanyaan fokus pada sejarah lokal baik secara politik dan morfologi dan dianalisis dalam konsepsi Pempatan Agung. Ketiga terdiri dari masyarakat. Kami memilih secara acak (random sampling). Setiap desa adat menawarkan penduduknya kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam survei ini. Budaya Bali dan orang-orang relatif homogen, sehingga tidak perlu sampel besar. Karena waktu dan dana yang sangat terbatas, diputuskan untuk mengadakan pertemuan 5 individu untuk setiap desa. Untuk 27 desa tradisional, sehingga dpiilih 135 orang. Pertanyaan adalah pribadi: kegiatan mereka di Pempatan Agung, persepsi dan pandangan pada konsepsi dan pengembangan Pempatan Agung pada umumnya dan desa adat mereka pada khususnya. C. Teknik Analisis Analisis pertama menyangkut konsepsi Pempatan Agung dikumpulkan melalui wawancara dan kuesioner (analisis perilaku). Dilakukan pengelompokkan opini yang objektif tentang Agung Pempatan menjadi tiga kelompok yaitu untuk mengetahui dasar kosmologis,fungsinya menurut masyarakat desa, dan perannya dalam pembangunan saat ini dan masa depan. Analisis kedua adalah berkaitan dengan komposisi morfologi Pempatan Agung. Dianalisis transformasi konsepsi Pempatan Agung pada daerah yang dipilih. Dilakukan perbandingan kondisi Pempatan Agung saat ini dengan konsepsi 328
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
kosmologi dalam morfologi asli dari desa adat. Kemudian diteliti perubahan akibat pembangunan. Dari lokasi puri di Pempatan Agung, dianalisis spirit budaya Pempatan Agung dan tingkat kekuatan kosmik puri. Kemudian dianalisis morfologi Pempatan Agung: berubah, beradaptasi dan berkelanjutan . Analisis dengan menggunakan teknik "layering" untuk membandingkan struktur spasial. Tingkat
perubahan
diukur
berdasarkan
tiga
klasifikasi
"berubah,
berkesinambungan dan beradaptasi" tergantung morfologi dan simbolik atribut (orientasi,
lokasi
peralatan)
dalam
aplikasi
dan
dalam
transformasi
pembangunan. Akhirnya, berdasarkan hasil ini, dicari perubahan dalam spirit Pempatan Agung, dengan mempertimbangkan pandangan individu atau pemuka/ tokoh masyarakat. Dari dua analisis tersebut (perilaku dan ruang), diidentifikasikan tren dalam berubah, berkesinambungan dan beradaptasi" Pempatan Agung untuk menentukan nilai-nilai tata ruang, konsekuensi dari pengembangan lahan, politik dan ekonomi di perilaku masyarakat, kelemahan dan kekuatan budaya Bali dan akhirnya menemukan spirit budaya Pempatan Agung. Digunakan hasil analisis ini untuk membantu dalam pelestarian spirit Pempatan Agung Bali dalam mengembangkan kota-kota masa depan. Analisis perubahan morfologi akan dibuat dari pendekatan budaya Bali untuk menyoroti spirit Pempatan Agung. Dari sintesis dan dengan studi banding tentang Konservasi kota-kota Eropa, kemudian diusulkan Model konservasi Pempatan Agung di proyek perkotaan. Konseptualisasi tentang budaya, kota, spirit kota dan proyek rancang kota dalam proses pembangunan yang digunakan untuk mengatur penelitian. Pada bagian ini, akan dipelajari unsur budaya dan kota dalam konteks Bali, khususnya spirit Pempatan Agung dari tiga pendekatan budaya:
bentuk ideal budaya melalui konsepsi kosmologis
329
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
bentuk perilaku seluruh kegiatan budaya, sosial dan keagamaan dari aktor yang dihasilkan konsepsi ini;
bentuk materi budaya melalui morfologi desa adat Bali, transformasi dan adaptasi mereka untuk proses pembangunan.
2.2 Dasar-Dasar sosial budaya dan spasial 2.2.1 Asal Budaya dan sejarah 2.2.2. Kehidupas sehari-hari (tradisi dan agama, ritual, seni, pariwisata) 2.2.3 organisasi kemasyarakatan 2.2.4 Stratifikasi sosial 2.2.5 Awig-Awig 2.2.6 Konsepsi Kosmologis 2.2.7 Konsepsi Spasial dan Arsitektural
2.3 Pempatan Agung : Konsepsi dan Aplikasi spasial 2.3.1 Konsepsi A. Deskripsi Umum Pempatan Agung Secara fisik Pempatan Agung adalah persimpangan besar berorientasi dari timur ke barat, utara ke selatan. Pempatan Agung terletak di pusat desa adat tradisional Bali. Ini adalah titik nol desa tradisional Bali. Beberapa desa tradisional menjadi kota berkat posisi strategis mereka. Dalam perspektif masyarakat Bali, persimpangan jalan ini adalah tempat simbolis suci. Ia lahir dari konsepsi Catus Patha yang dipahami sebagai pertemuan empat arah (Timur, Selatan, Barat dan Utara). Konsepsi ini berasal dari dua budaya, Bali kuno (Bali Aga) dengan konsepsi Nyegara gunung (arah laut ke pegunungan) atau Ulun teben. Arah gunung adalah arah yang paling suci, simbol lahir, Tuhan, kehidupan, kebalikan dari laut. Arah matahari terbit adalah juga arah yang paling suci, melambangkan kehidupan, kelahiran dan Tuhan. Arah matahari tenggelam adalah arah yang melambangkan kematian. 330
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
B. Peran dan Fungsi Seperti tubuh manusia, dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Bali, masingmasing bagian desa memiliki peran yang berkaitan dengan hubungan, ritus, tempat sosial dan budaya desa adat. Keterkaitan ini memastikan kehidupan desa yang berkelanjutan. Jika salah satu bagian tubuh yang rusak, seluruh desa tidak akan berjalan dengan baik. Menurut Lontar Catur Bhuwana Pempatan Agung adalah takhta Shang Hyang Catur Bhuwana, yang didedikasikan untuk Siwa. Ini adalah pusat dari lima kekuatan dalam empat arah: utara didedikasikan untuk Wisnu (dewa penjaga), timur didedikasikan untuk Içwara, Selatan didedikasikan untuk dewa penciptaan (Brahma) dan Barat didedikasikan untuk Mahadewa, pusat didedikasikan untuk Ciwa. Kekuasaan ini menciptakan keseimbangan alam (makrokosmos dan mikrokosmos) melalui mana kemakmuran diberikan kepada empat tujuan hidup: hidup kekal (Moksha, untuk akhirat, tercermin persimpangan), kehidupan budaya ( kama, tercermin puri, banjar bale, Wantilan), sosial ekonomi (arta, tercermin pasar) dan kehidupan rohani (dharma, tercermin dari Pura) (wawancara dengan kepala PHDI, Februari 2001) . Terhadap konsepsi tersebut, 59 responden dari 135 pemuka masyarakat (pemerintah, tokoh adat, guru, undagi, dll) mengkonfirmasi bahwa makna Pempatan Agung adalah salah satu pusat energi spiritual. Istilah "energi" yang merupakan roh baik atau jahat, sekala (sementara, benda, terlihat dan dunia fisik), membalikkan Niskala (abadi, alam semesta material termasuk dalam ritus, dengan keajaiban simbol dan persembahan energi (lihat tabel 1). Energi ini berpotongan di Pempatan Agung, menurut mereka makna Pempatan Agung adalah sebagai pusat pusat sosial, ekonomi, budaya dan politik dari desa adat, ditentukan oleh lokasi puri. Demikian juga menurut responden individu, Pempatan Agung juga merupakan pusat energi spiritual desa adat. Sekitar 95% dari 135 responden yang diwawancara percaya bahwa Pempatan Agung adalah persilangan antara energi bumi dan matahari yang menciptakan energi 331
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
kehidupan. 25% dari mereka percaya bahwa itu adalah takhta Ciwa (dewa kehancuran). 16% memaknai Pempatan Agung adalah pusat pertemuan desa dan 14% menganggapnya hanya sebagai persimpangan jalan. Hanya 5% Pempatan Agung adalah tempat komunikasi antara raja dan rakyat, dan 4% melihatnya sebagai tempat rekreasi. Survei ini menunjukkan bahwa spirit Pempatan Agung adalah pusat energi dan tahta Ciwa. Ini adalah bukti bahwa agama adalah nilai yang paling penting bagi masyarakat Bali kontemporer. Makna sosial Pempatan Agung lebih kuat dari pada sekedar makna fungsional (lalu lintas). Semakin kecil peran Pempatan Agung sebagai pusat kerajaan menunjukkan melemahnya peran raja di kehidupan sehari-hari masyarakat Bali. Tabel 1 : Makna Pempatan Agung Makna Hanya persimpangan jalan Energi spiritual desa adat Pusat pertemuan anggota desa Takhta çiwa Tempat berkomunikasi raja-rakyat Tempat rekreasi penduduk
% 14 95 16 25 5 4
(Sumber : Wawancara, Januari-Maret 2001) Dalam kaitan dengan fungsinya, 92% responden menyebutkan bahwa fungsi utama dari Pempatan Agung adalah pusat upacara ritual. Komposisinya dirancang agar tercapai keseimbangan antara makrokosmos dan mikrokosmos. 41% menganggap Pempatan Agung sebagai sistem sirkulasi, 22%, tempat sebagai pusat kegiatan budaya di desa, 13% menganggapnya sebagai pusat administrasi dan 8% sebagai pusat ekonomi. Persepsi atas fungsi ini memperkuat spirit religius Pempatan Agung. Penurunan fungsi administrasi juga menunjukkan melemahnya fungsi puri sebagai pusat.
332
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
Tabel 2 : Fungsi Pempatan Agung Fungsi Sebagai jalur sirkulasi Pusat upacara ritual Pusat administrasi Pusat kegiatan sosial desa Pusat ekonomi
% 41 92 12,8 22 8
(Sumber : Wawancara, Januari-Maret 2001) Dengan demikian, Pempatan Agung bagi masyarakat Bali merupakan tempat yang memiliki nilai sakral karena disanalah banyak upacara penyucian alam dilaksanakan. Hal itu juga ditunjukkan dengan konsepsi spasial Pempatan Agung yang secara teoritis adalah sebagai berikut.
Gambar 5 Konsepsi spasial Pempatan Agung Sumber: Wawancara dengan berbagai sumber, 2000-2001
333
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
2.3.2 Tipologi Kota-kota di Bali 2.3.3 Denpasar (PA Denpasar, Pemecutan, Kesiman) Aplikasi
dari
konsepsi
tersebut
beragam.
Terutama
setelah
terjadi
pengembangan kota. Penelitan ini telah mengindentifikasi perkembangan morfologi di 27 pempatan agung baik yang urban, semi urban dan rural. Contohnya adalah pada Pempatan Agung Denpasar sebagai berikut.
Gambar 6.Morfologi Pempatan Agung Denpasar Kiri atas: Pempatan Agung jaman kerajaan, kanan atas: jaman penjajahan, kiri bawah: awal kemerdekaan, dan kanan bawah adalah tahun 2000. Sumber: AAG Agung, 1989 ; Survei lapang, 2000
334
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
2.3.4 Pempatan Agung Badung (Mengwi, Taman, Gerana) 2.3.5 Tabanan (Tabanan, Kerambitan, Belayu) 2.3.6 Gianyar ( Gianyar, Ubud, Apuan) 2.3.7 Bangli ( Bangli, Temukus, Apuan) 2.3.8 Klungkung ( Semarapura, Gel-Gel, Takmung) 2.3.9 Karangasem (Amlapura, Ulakan, Belong) 2.3.10 Buleleng ( Paket Agung, Sukasada, Banyuning) 2.3.11 Jembrana ( Batu Agung, Negara, Yeh Embang)
2.4 Pembelajaran dalam perspektif: analisis budaya dan perubahan morfologi Nilai-nilai sosial dan budaya sangat mempengaruhi morfologi desa adat Bali yang saat ini merupakan kota. Analisis spasial sebelumnya menunjukkan evolusi morfologi yang mengubah kerangka kosmologis, telah disesuaikan dengan kehidupan sehari-hari dengan tetap menjaga prinsip-prinsip budaya Bali. Beberapa fasilitas tetap bertahan dan sebagian lagi berubah. Kecenderungan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 3. Kecenderungan berubah, tetap,adaptasi atau penciptaan baru Pempatan Agung Fasilitas Total Berubah Tetap Adaptasi Baru Titik PA 27 16 (59,26%) 11 (40,74%) Wantilan 17 7 (41,17%) 4 (23,53%) 6 (35,30%) Lapangan 17 4 (23,53%) 11 (67,70%) 2 (11,77%) Puri 22 3 (13,64%) 15 (68,18%) 4 (18,18%) Pura 19 1 (5,26%) 18 (94,74%) 1 Pasar 19 4 (21,05%) 11 (57,89%) 4 (21,05%) 1 Pohon berimgin 19 3 (26,32%) 14 (73,68%) Bale Banjar 8 2 (25%) 5 (62,5%) 1 (12,5%) 3 Rumah keluarga 34 21 (61,76%) 13 (38,24%) raja
Kecenderungan perubahan pertama adalah terhadap fungsi yang terjadi di PA tersebut. Penelitian ini menunjukkan bahwa semakin sakral fungsi maka
335
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
mereka cenderung bertahan, namun semakin profan atau komersial cenderung berubah.
A B C D E F G H
Pura Pohon beringin Puri Lapangan Bale Banjar Pasar Titik 0 Pempatan Agung H G Wantilan F E DC BA Rumah
Bertahan
Berubah
Gambar 7 Kecenderungan berubah Kecenderungan kedua menyangkut komposisi Pempatan Agung. Seperti diketahui, lokasi terbaik puri terletak timur laut atau barat daya. Oleh karena itu jelas bahwa lokasi ini akan sangat penting untuk menempatkan peralatan lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 50% dari puri yang terletak di timur laut, 36,36% di barat daya dan 13,64% tenggara (Gambar 8). Dari gambar ditunjukkan pada Gambar. 3.3, perubahan berasal dari lokasi Pura, karena secara teoritis itu harus ditempatkan di timur laut. Sudut timur laut dipertanyakan. Sudut Ini menjadi alternatif untuk alun-alun, pura, pasar dan beringin. Penempatan Puri dan transformasinya mencerminkan bahwa kekuasaan raja mampu menentukan organisasi wilayahnya lebih dari kekuasaan ritual (pedanda).
336
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
Nord
Palais : 50%
Palais : 13,64% Wantilan : 23,53% Esplanade : 23,53% Temple : 5,26% Marché : 15,79% Banian : 42,10%
Wantilan : 17,65% Esplanade : 5,9% Temple : 26,37% Marché : 15,79% Banian : 5,26% Bale Banjar : 12,5%
Bale Banjar : 12,5%
Ouest Temple :5,26 %
Est Palais : 36,36% Wantilan : 35,29%
Palais : 0% Wantilan : 23,53% Esplanade : 41,17% Temple : 36,84% Marché : 47,37% Banian : 26,37% Bale Banjar : 0%
Esplanade : 29,41% Temple : 26,37% Marché : 21,05% Banian : 21,05% Bale Banjar : 50%
Sud
Gambar 8. Variasi Aplikasi Spasial Pempatan Agung Di antara komposisi Pempatan Agung urban, Pempatan Agung dari Denpasar dan Bangli yang paling berubah, sementara di Karangasem dan Jembrana cenderung bertahan. Kecenderungan ketiga menyangkut "perkotaan dan pedesaan". 27 Pempatan Agung yang diamati, 10 adalah perkotaan, semi-perkotaan 9 dan 8 adalah pedesaan. Lokasi yang dipilih adalah berdasarkan posisi dalam hirarki wilayah
administratif
(ibukota
kabupaten/kota,
kecamatan
dan
desa
administratif). Beberapa fasilitas masih ada sekitar Pempatan perkotaan Agung, di antaranya Wantilan, alun-alun, puri, pohon beringin, rumah-rumah bangsawan dan pasar (abesn di 2 Pempatan Agung urban, tapi ada dekatnya). Di Pempatan Agung di semi-urban dan ruarl, beberapa fasilitas ini tidak ada. Kesimpulannya, Agung Pempatan menjadi pusat perkotaan berkat adanya enam fasilitas di atas 337
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
Mengalami perubahan fisik di pempatan Agung terjadi beberapa perubahan perilaku masyarakat. Yang pertama adalah Ngaben. Kekosongan titik nol Pempatan Agung, diterapkan dari abad kesepuluh di bekas kerajaan Bali Bedahulu melambangkan ruang netral di mana mitos cosmo-logis kekuatan positif dan negatif yang dinetralkan. Ini mengakomodasi upacara ritual, seperti ngaben dan mecaru, atau Caru yang membutuhkan ruang yang cukup besar. Penambahan kudus, dimulai dengan kerajaan Klungkung pada abad ketujuh belas, menyebabkan perubahan sebagian Pempatan Agung fasad. Akibatnya, ritual harus beradaptasi dengan perubahan ruang. Yang pertama adalah ngaben. Biasanya Baden "menyala sendiri" kiri di titik nol Pempatan Agung untuk jiwa Turun almarhum, memurnikan dan menyatukan makrokosmos. Kehadiran tempat kudus pada saat ini tidak mampu melakukan ritual ini. Orang Bali telah kemudian diadaptasi upacara dengan "berbalik" tempat kudus dari kiri. Adaptasi yang sama ditemukan dalam upacara Ngerupuk sehari sebelum tahun baru, ketika Bali membawa adat Ogoh-ogoh di sekitar desa, yang memutar sekitar Pempatan Agung kemudian memimpin mereka di plaza atau ke pemakaman untuk membakar (melambangkan kehancuran roh jahat).
Bade
Tugu
Bade
Bade mengelilingi Tugu
Bade diputar di titik PA
Gambar 9. Perubahan kegiatan rangkaian Ngaben sebelum dan sesudah perubahan PA (Sumber: wawancara dan survei lapang, 2001)
338
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
Adaptasi kedua karena kehadiran tugu adalah mecaru, yang dirayakan setiap Tahun Baru. Semua orang yang hadir pada upacara tersebut, membawa banyak sesajen. Mereka membutuhkan ruang yang besar. Keberdaaan Tugu mencegah sebagian orang untuk berpartisipasi dalam upacara di persimpangan jalanhal itu menjadi alasan untuk mengubah lokasi. Ini adalah kasus desa adat Denpasar menyelenggarakan upacara ini sebelum ada tugu (bersatu dengan pura desa) atau di alun-alun.
Pura
N Alun-alun
Alun-Alun
Gambar 10. Adaptasi Upacara Mecaru di Pempatan Agung Denpasar
Kompromi terlihat di Pempatan Agung Mengwi sejak tugu dibangun di salah satu jalan (lihat Gambar. 11). Dengan cara ini, Pempatan Agung bebas untuk Bali digunakanupacara ritual dengan sempurna. Tugu dibangun untuk menandakan identitas desa adat dan memenuhi keinginan rakyat untuk menempatkan sesaji di tempat tertentu Sanctuaire
Gambar 11. Pempatan Agung yang diadaptasi 339
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
Perubahan lainnya adalah berubahnya nilai kesucian zona tertentu akibat pembangunan. Vertikal disebelah Pura. Pada bangunan yang lebih tinggi dari pura terdapat toilet yang secara vertikal mengurangi kesucian pura. Perubahan fungsi di lingkaran inti pempatan Agung juga merusak kerangka nilai magis religius Pempatan agung. Berubahnya puri menjadi kantorpenguasa penjajah dan perumahan para prajuritnya merubah pula tatanan yang diperhitungkan secara kosmologis sebelumnya. Perubahan-perubahan tersebut pada akhirnya merubah tingkat kesucian di kawasan pempatan Agung. Untuk orang Bali yang memahami konsepsi kosmologi Pempatan Agung, perubahan fisik ini secara otomatis mengubah spirit asli Pempatan Agung. 68,8% responden setuju dengan pernyataan ini. Pempatan Agung cenderung berubah karena alasan ekonomi yang bertentangan dengan nilai-nilai spiritual. Bangunan baru dan tugu mengurangi dimensi ruang ritual. Orang-orang tidak dapat mengatur upacara ritual. Akibatnya ruang kosmologis kehilangan perannya "mitis, sakral, magis dan pusat". Perubahan fungsi puri juga dapat mengubah segalanya. Puri ini sama dengan Pempatan Agung, jika satu berubah, kesatuan spasial Pempatan Agung juga berubah. Perubahan ini tentu dimungkinkan asalkan kontinuitas dipertahankan. Perubahan yang radikal mengubah spirit Pempatan Agung. Perubahan untuk fungsi yang setara - disebut, adaptasi - lebih diterima karena simbol-simbol asli dipertahankan. Tapi masyarakat Bali ingin mempertahankan simbol agama. Tindakan ini menunjukkan upaya mereka untuk melestarikan simbol agama (pura) dan masyarakat (Bale Banjar, puri). Mereka selalu setia mematuhi nilainilai kosmologis dan agama dan bertahan dalam kepercayaan mereka yang akan memimpin mereka untuk kesempurnaan yang kekal (Moksha).
340
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
2.5 Simpulan Setelah mempelajari konsepsi kosmologi Pempatan Agung, aplikasi morfologinya di 27 desa tradisional Bali dan transformasi di unit administratif kontemporer, dapat disimpulkan tentang Pempatan Agung, khususnya pada perspektif rancang kota. Dalam komposisi perkotaan, PA
menawarkan makna religius, yang
mencerminkan perilaku sosial-budaya dan merupakan transformasi spasial dari kekuasaan. Studi tentang makna Pempatan Agung dalam hal kosmologis dan dalam konsepsi kota membantu untuk memahami bagaimana orang Bali melihat dunia dan menerapkan konsepsi ini untuk perancangan kota. Transformasi spasial dari dinamika budaya berkait dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Bali kontemporer, organisasi masyarakat, stratifikasi sosial dan peraturan adat. Tampaknya bahwa masyarakat Bali sangat konsisten untuk menerapkan nilai-nilai kosmologis dalam perencanaan tata ruang. Pempatan Agung adalah pusat kekuatan supranatural kosmik dari lima dewa mitos yang berkait dengan kekuatan duniawi, ekonomi, politik dan sosial, dan diwujudkan dalam nilai-nilai masing-masing fungsi. Ini berarti bahwa setiap fungsi memiliki nilai dan lokasi di mana Bali mencapai kemakmuran. A. Spirit Pempatan Agung Pertama dan yang utama dari makna Pempatan Agung adalah pusat keagamaan di mana energi spiritual desa adat. Energi ini berasal dari lima kekuatan dewa (Panca Dewata) yang berstana di empat arah sementara pusat energi kekuatan negatif dari buthakala dinetralkan. Hal ini memberikan spirit Pempatan Agung sebagai pusat upacara ritual. Ini berarti PA memberi makna spirit “magis-religius” desa adat. Melalui upacara ini, kekuatan mistis, kosmik dan supranatural menyebar kekuasaan mereka untuk duniawi kekuasaan sebagai kekuatan politik (puri), ekonomi (pasar), sosial (Wantilan dan Bale Banjar). Pempatan Agung memiliki semua fasilitas sosial-budaya dan agama dalam komposisi morfologi 341
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
tertentu. Fasilitas ini ada untuk memperkuat Pempatan Agung sebagai pusat spiritual. Pempatan Agung merupakan representasi dari spirit “kolektivitas” masyarakat. Ia mewujudkan kesatuan tata ruang, politik, kosmologis, sosial, budaya dan agama. Sebagai bagian pemersatu Pempatan Agung adalah titik pusat bimbingan untuk semua fungsi. Puri, pasar, perumahan, dan Wantilan, Bale Banjar diarahkan ke tempat suci ini. Dalam perencanaan kota ini, itu adalah titik pusat dari lalu lintas. Ini adalah pusat dari pusat, “sentralitas kosmos”.
Kosmos Kolektifita
Pusat
Magis-religius
Gambar 12 Spirit Pempatan Agung
B. Kosong adalah isi, isi adalah kosong Konsepsi asli Pempatan Agung kosong. Tapi dalam kosong ini, ada konten yang sangat kuat: kekuatan supranatural positif (lima Dewa) dan negatif (buthakala). Orang Bali kuno telah ketat menerapkan konsepsi ini seperti yang tertulis dalam buku Hasta Kosali Kosali. Tapi dalam pemahaman kontemporer (sejak abad keenam belas), kosong ditafsirkan sebagai ruang di mana dapat dibangun sebuah tugu untuk menetralisir kekuatan supranatural dan menempatkan persembahan. Kekosongan dianggap sebagai "kehadiran isi dan isi tidak akan ada kecuali bila ada ruang kosong." Konsepsi ini juga dijelaskan oleh Ashihara (1974) mirip dengan konsepsi Sekala dan Niskala. Baik kosong maupun isi dapat hadir dalam dua dimensi, fisik (dalam hal ini adalah tugu Pempatan Agung) dan spiritual 342
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
C. Transformasi spasial kekuatan politik Konsepsi Pempatan Agung adalah murni agama, kosmologi, tetapi kekuasaan politiklah yang memutuskan implementasinya. Lokasi puri masih yang terbaik, dalam orientasi yang paling suci (timur laut, 41%) yang secara teoritis adalah lokasi yang dicadangkan untuk pura. Ini berarti bahwa kekuasaan politik lebih menentukan daripada agama. Hal ini bisa dimaknai bahwa puri bukan hanya memiliki kekuatan politik tetapi juga kekuatan agama. Puri dapat memobilisasi orang untuk merayakan ritual upacara wabah atau perang yang mengancam keberadaan kerajaan. Masyarakat Bali kuno menerima konsepsi ini karena mereka percaya pada konsep Tuhan Raja (Raja Dewa). Raja adalah wakil Tuhan di bumi, bagian dari dunia dewata. D. Pempatan Agung: titik petanda, identitas, dan ruang publik masyarakat Bali Dalam desain kota, kota-kota Eropa memiliki sejumlah tolok ukur yang memungkinkan mereka untuk menunjukkan identitas mereka. Sebagian besar landmark ini berupa ruang publik. Untuk kota-kota Perancis dan Spanyol dirancang “la place”, kota Italia terkenal dengan “piazza” mereka sementara kotakota Inggris adalah dengan “square”. Sementara identitas umum suatu negara diwakili oleh beberapa bangunan yang sangat terkenal (Menara Miring atau Coliseum di Roma, Menara Eiffel di Paris, Sagrada Familia di Barcelona, dll), peran ruang publik adalah besar. Mereka memaksakan orientasi bangunan yang ada di sekitar untuk memanggil pusat. Ruang publik adalah tempat di mana menjadi representasi dari identitas budaya kota. Pempatan Agung sebagai orientasi kosmologis juga memberikan orientasi spasial. Pempatan Agung menyusun kesatuan pusat kota Bali yang memberikan titik acuan bagi penduduk tidak nonHindu. Spirit "sentralitas" sangat diwakili oleh kesatuan komposisi, puri (pemerintah pusat), Wantilan atau Bale Banjar (pusat budaya), pasar (pusat ekonomi),
pura(pusat
keagamaan),
alun-alun
(pusat
komunitas
dan
kebersamaan) dan jalan-jalan utama persimpangan. Meskipun penambahan tugu 343
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
di tengah kosmologis melemahkan konsepsi kosong, namun secara spasial memperkuat spirit. Pempatan Agung menyatukan semua pusat dalam satu orientasi, pusatnya pusat. E. Dinamika budaya: berubah atau berkelanjutan Semua fungsi yang berada di seputaran Pempatan Agung pelan namun pasti berubah. Hal itu tidak terlepas dari lokasinya yang sangat strategis. Perubahan tersebut langsung maupun tidak langsung meningkatkan kemampuan ekonomi masyarakatnya. Melalui penguatan ekonomi tersebut masyarakat menjadi lebih kuat dan menguasai pembangunan dengan baik. Sistem nilai dan agama mempengaruhi bentuk pengembangan kota di Bali seperti apa yang harus diubah dan apa yang harus dipertahankan. Ini berarti bahwa dinamika budaya mengubah morfologi kota mengkonfirmasikan Pempatan Agung Bali sebagai titik awal untuk perubahan dan keberlanjutan. F. Pempatan Agung dalam konteks pembangunan kota Kompleksitas dimensi Pempatan Agung menciptakan kesulitan dari semua jenis dalam perkembangannya. Setiap fungsi fisik mengandung nilai-nilai dan spirit budaya dan kosmologis. Tidak adanya panduan untuk transformasi konsepsi kosmologi Pempatan Agung dalam konteks pembangunan kota kontemporer menyebabkan ketidakteraturan dalam perkembangan kota di Bali. Pembangunan mengikuti kekuatan ekonomi yang didukung kekuasaan politik. Ini menelan kerangka kosmologis desa adat, berbaur dengan fungsi modern baru. Hasilnya adalah masalah-masalah tertentu muncul yaitu:
Melemahnya pusat: munculnya koridor belanja di jalan-jalan utama Pempatan Agung menciptakan pusat ekonomi baru yang melemahkan pusat. Perkembangan kontemporer bahkan menciptakan pusat-pusat lainnya, bisnis, administrasi, budaya (bioskop, teater, dll). 344
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
kaburnya batas kosmologis: ini adalah karena menyatunya secara fisik desa tradisional satu dengan lainnya yang membentuk semacam co-urbanisasi. Perkembangan kota Bali cenderung mengabaikan batas kosmologis dari desa-desa tradisional. Meskipun ini dapat diintegrasikan ke dalam proyek rancang kota, penghapusan batas kosmologis karena pembangunan harus dipertimbangkan dalam pembangunan kota Bali di masa depan.
Administrasi versus adat, modernitas versus tradisi: akar penyebab dari masalah yang disebutkan di atas adalah penciptaan desa administratif di wilayah desa adat selama penjajahan Belanda. Sejak itu, pengembangan tidak lagi membutuhkan legitimasi dari desa adat untuk mengontrol wilayah itu. Kota mencampur antara desa administratif yang membawa nilai-nilai modernitas dan adat yang membawa nilai-nilai tradisi.
G. Akan jadi apakah Pempatan Agung di masa mendatang? Keberlanjutan pusat kota tradisional Bali adalah tantangan bagi orang Bali. Konservasi pusat kota lama, adaptasi dengan gaya hidup baru tanpa mengabaikan nilai-nilai kosmologis dan kehidupan sehari-hari, perhatian terhadap masalah yang muncul dengan konsekuensinya dapat menjadi panduan
model
pengembangan masa depan. Pempatan Agung, sebagai identitas pusat kota Bali, landmark, dan ruang publik, menawarkan banyak kesempatan pembangunan masa depan. Pertama adalah konservasi Pempatan Agung lama. Kedua adalah adaptasi bangunan tua dengan gaya hidup kontemporer. Ketiga adalah kemungkinan penerapan model ini dalam pengembangan kota baru di mana keanekaragaman budaya yang ada. Pada tahap ini analisis ini, dan untuk mencapai tujuan penelitian, menjadi menarik belajar pada pelestarian pusat kota tua di Eropa. Walaupun tidak ada kesetaraan antara kota-kota eropa dan Bali, khususnya dalam hal sejarah dan budaya, tujuan konservasi ini adalah untuk untuk mendapatkan metode dan pengalaman yang dimiliki kota-kota eropa . Dengan demikian akan dapat 345
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
memberikan arah untuk mengembangkan pendekatan konservasi di rancang kota di Bali.
We can’t change the past, can’t do much about the present, but we can do something to change the future (Nouk Bassomb)
346
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
BAGIAN KETIGA: KONSERVASI KOTA Pada bagian ini dielaborasi secara teoris strategi dan teknik konservasi pusat kota lama. Dengan melakukan studi banding pada 3 kota di eropa yaitu: Paris, Barcelona dan Sarlat diperoleh beberapa simpulan dalam konesrvasi pusat kota lama.
3.1 Pendekatan dan Metode Teoris 3.2 Metoda Konservasi: Pembelajaran dari kota-kota eropa 3.2.1 Barcelona 3.2.2 Paris 3.2.3 Sarlat 3.2.4 Beberapa Pembelajaran konservasi kota-kota eropa Konservasi kota-kota Eropa telah dilakukan dalam arti morfologi dan arsitektur. Hal ini telah memberikan kontribusi besar untuk melestarikan warisan perkotaan dan untuk mengingatkan spirit budaya kota kuno. Awalnya, pertumbuhan penduduk memicu perubahan kota. Revolusi industri telah menghasilkan imigrasi dan perluasan kota. Karena pertumbuhan dan ekstensi ini kota memburuk, terlalu padat dengan kualitas hidup (kesehatan, teknik) menurun. Atas nama rehabilitasi, renovasi dan modernisasi, perubahan kota dilakukan. Dalam proses ini, konservasi muncul seiring dengan pembangunan. Risiko kehilangan warisan budaya dan sejarah yang sangat berharga, telah mendorong kebijakan pembangunan untuk mempertimbangkan pelestarian, sebagian di Barcelona dan Paris dan seluruh Sarlat. Dalam semua kasus, keputusan konservasi diambil untuk melestarikan memori bersejarah melalui bentuk-bentuk fisik, material dan arsitektur. Tetapi kebijakan ini juga telah berhasil mempertahankan dan mengirimkan pesan spiritual yang dilakukan oleh benda dipertahankan. Beberapa metode kunci dari keberhasilan ini dapat dikembangkan untuk menkonservasi spirit budaya kota Bali: 347
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
kejelasan perubahan morfologi dan kontinuitas,
peran sistem sirkulasi,
peran ruang publik,
peran budaya dalam konservasi.
dominasi negara dalam kebijakan konservasi. A. Perubahan dan keberlanjutan morfologis
Secara morfologis, kota-kota yang diteliti dipisahkan ke dalam pola lama dan bentuk modern. Bersama-sama, model ini membentuk kota saat ini yang ditempa oleh sejarah. Kota-kota ini adalah sebuah buku yang hidup dari sejarah bangsa yang tinggal di sana. Kebijakan konservasi kota yang diteliti mempertahankan bangunan dan lingkungan mengingatkan gaya, simbol dan nilai-nilai budaya utama masyarakat lama. Bangunan umum seperti balai kota, gereja, lapangan, pasar, dan ruang dan taman-taman publik menjadi monumen warisan. Secara umum, monumen ini dikelompokkan sesuai dengan usia mereka dan membentuk rantai komposisi perkotaan yang dilestarika. Karena setiap generasi membentuk kota sendiri dengan nilai-nilai budaya dan agama, membentuk bersama sejarah dalam morfologi kota yang diteliti. Bagian yang dilestarikan melambangkan kontinuitas nilai-nilai budaya dan keberadaan bagian lainnya melambangkan perubahan. Proses perubahan dan kesinambungan dapat dibaca dalam morfologi kota yang diteliti. Konservasi monumen yang mengingatkan nilai pada masanya berhasil membentuk struktur sejarah dan morfologi kota. B. Dua wajah sistem sirkulasi Dalam konservasi kota yang distudi, batas fisik antara yang lama dan yang baru adalah yang paling menarik. Peran sistem sirkulasi yang luar biasa dalam konteks itu. Wajah pertama dari sistem ini adalah untuk meningkatkan kualitas kota. Karena densitasnya, kota perlu diperluas. Penciptaan sistem lalu lintas baru telah memfasilitasi ekspansi ini, tetapi juga memprakarsai penghancuran bangunan 348
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
yang ada. Pembongkaran terbukti tak terelakkan. Penciptaan Jalan Republik di Sarlat, pengembangan Paris di bawah prefektur Haussmann adalah contoh fenomena ini. Sistem sirkulasi juga menyimpan jejak sejarah kota. Ini membatasi setiap tahap perkembangan. Ini perubahan batas-batas lama, benteng, batas alam. morfologi Paris menyajikan tahap ini perkembangan dari kota Gallo-Romaw hingga saat ini, berkat sistem sirkulasi yang menggantikan berturut-turut berbagai benteng. Di Sarlat, sistem ini menggantikan benteng tua dan menjadi batas antara yang lama dan yang baru, sementara di Barcelona sistem ini mengubah batas alam (rantai bukit) dan memberikan kesempatan untuk ekstensi tetapi pada saat yang sama mendefinisikan kota tua dan modernitas. Mengelola aliran waktu telah mengembangkan wisata pejalan kaki dan kegiatan budaya. Menghentikan lalu lintas di kota tua di pasar Sarlat siang hari, misalnya, memberikan kesempatan bagi Sarladais untuk melanjutkan tradisi kuno mereka: musik, warga makanan dan bir tradisional. Ini adalah sama di kota tua dari Barcelona di mana lalu lintas dibatasi. Penciptaan sistem sirkulasi dengan pertemuan pusat-titik warga melewati spirit budaya kota dengan tradisi. Metode konservasi dengan menciptakan sistem sirkulasi untuk menentukan bukti sejarah memberikan kesempatan bagi kota menjadi lebih mudah dibaca. Dibaca dalam arti morfologi, sejarah, sebagai dibaca untuk mendefinisikan kota sebagai Lynch telah didefinisikan: jalan, penanda titik, tepi, borough dan node. Untuk setiap jejak, dan setiap bagian dari kota menyandang nilai-nilai, arti dan spirit asli. Sistem ini juga menempatkan nilai-nilai ini dan memberikan tampilan visual dari identitas lokal.
349
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
C. Peran ruang publik Ruang publik yang terdiri dari jalan-jalan, taman umum dan kotak memiliki peran penting dalam konservasi spirit budaya kota. Ini adalah katalis gerakan, ia menyatukan investasi publik dan swasta, menghubungkan pusat dan pinggiran, membawa masa lalu, sekarang dan masa depan kota, termasuk yang berbeda sosial kelas, usia dan budaya. Ruang publik adalah untuk semua orang. Unsur-unsur yang membentuk ruang publik adalah bangunan di sekitar, pohon, kegiatan, fasilitas sanitasi (sampah, air mancur), selesai lantai, dll Mereka tidak hanya memperkenalkan nilai-nilai estetika, tetapi juga nilai-nilai spirit tadi. Pengeluaran depan Notre Dame de Paris ke rue Saint-Jacques dan rue Soufflot ke Arenes de Lutece menyediakan pencetakan melalui kota saat ini; tapi rasanya seperti misalnya spirit sebuah kota Romawi yang disebut oleh Thermes de Cluny, sumbu cardo-Decumanus, spirit borjuis untuk Place des Vosges, spirit demokrasi Perancis melalui Lapangan Bastille dan spirit masa depan di taman AndréMalraux di kompleks La Défense. Sensasi yang sama dirasakan di ruang publik dari Barcelona, dari Plaza Sant Jaume ke Lluc-Mayor Square dan Via Julia di ekstrim pinggiran Barcelona. Bahkan jika mereka dicampur dengan unsur-unsur modern, item lama tetap mengingat nilai-nilai dan spirit tadi. Dalam konteks konservasi spirit budaya kota, ruang publik muncul sebagai tema kelangsungan budaya Eropa. Dengan distribusi perpindahan warga, ruang publik juga menyoroti rasa kelangsungan kain perkotaan yang mengikat divisi yang berbeda dan menghubungkan masing-masing untuk identitas lainnya. Melewati ruang publik yang lain, tampaknya kita berpindah dari satu budaya ke yang lain, dari satu era ke yang lain. Politik ruang publik di kota yang diteliti, yang telah diawetkan ruang publik mengingat simbol, nilai-nilai dan spirit tua, adalah tepat karena memungkinkan untuk menghafal cerita. Sementara perilaku warga saat ini tidak lagi ditandai oleh 350
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
nilai-nilai lama, generasi baru akan mengenali spirit mereka melalui bentukbentuk materi dari ruang publik diawetkan. Pesan, simbol, identitas, peristiwa, konflik ini terus spirit masa lalu dan ditularkan kepada generasi mendatang melalui konservasi ruang publik. D. Ruang Budaya Jika kita berbicara tentang budaya dalam pelestarian kota, salah satu tidak bisa mengabaikan apa yang membentuk ruang, isi materi dan dimensi spiritual serta aktor. Setelah situs bersejarah yang diawetkan intervensi arsitektur formal dengan baik inisiatif publik atau sektor swasta, jelas bahwa itu akan tetap dalam kepemilikan negara. Oleh karena itu tidak mungkin untuk memberikan intervensi pribadi atau swasta tanpa perjanjian formal. Semua tindakan arsitektur dan budaya berada di bawah kontrol dan organisasi pemerintah. Meskipun kondisi ini, peran individu dalam bidang budaya untuk mempertahankan warisan arsitektur masih pusat budaya dan pertahanan spirit budaya. Dengan pelatihan sosial budaya, ekonomi, seni dan pendidikan, spirit budaya kota menyebar ke semua orang. Public
Inisiatif
Privat : Kolektif Individual
Intervensi: Aturan
Konservasi arsitektural
Situs bersejarah
Menghidupkan: Activitss : sosial budaya, ekonomi Kreasi seni Pendidikan
Gambar 12. Peran budaya dalan konservasi kota
351
Keberlanjutan budaya Penyebaran spiritual
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
Budaya adalah dasar dari komposisi kota. Morfologi ditentukan oleh konsepsi agama dan kosmologi. Kota ini berkembang, nilai-nilai budaya baik dan mengubah keseluruhan. Melalui konservasi yang mengingatkan bagian yang merupakan simbol dan nilai-nilai budaya dari setiap zaman, kelangsungan morfologi membantu untuk memahami tahapan evolusi spirit kota. Dalam pendidikan, nilai-nilai ini diwariskan dari generasi ke generasi. Pariwisata sebagai bagian dari kegiatan ekonomi budaya memiliki peran penting tentang pesan budaya yang ditransmisikan dari satu kota ke warga lain dan negara lain. Gambar, patung, festival dan kerajinan mendukung komposisi perkotaan, mengabadikan dan mengirimkan spirit kota. E. Kebijakan publik tentang konservasi Peran pemerintah sangat penting dalam konservasi kota-kota yang sedang membangun sebuah warisan budaya dan dalam pilihan untuk menjaga. Peraturan muncul sebagai salah satu alat kebijakan konservasi untuk menjamin kelangsungan warisan arsitektur. Berkat peraturan formal, bagian fisik dari kota yang diteliti, jika tidak semua, telah dipelihara dengan baik dan telah menjadi pusat kegiatan budaya di mana identitas lokal diperkuat. Tapi kekuasaan juga berkontribusi terhadap proses pembongkaran situs bersejarah atas nama rehabilitasi dan pembangunan. Dalam hal ini, peran masyarakat, baik secara individu maupun kolektif, sangat penting. Hal ini dapat mengontrol kebijakan negara oleh kritikus, ilmuwan dan debat parlemen, acara-acara publik, dll Dalam konservasi spirit budaya, peran individu dapat dibaca. Festival keagamaan dan budaya, kehidupan sehari-hari, standar perlindungan dan melestarikan nilai-nilai budaya kuno disampaikan dan akhirnya spirit budaya yang diawetkan dalam segala bentuk. Kerjasama antara peran negara dalam konservasi fisik dan arsitektur bangunan dan bahwa individu yang mengejar kegiatan sehari-hari mereka sebagai 352
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
pengguna ini penting untuk transformasi spirit kota secara keseluruhan budaya. Meskipun dalam beberapa kasus tindakan ini termotivasi oleh kepentingan ekonomi di bidang pariwisata, partisipasi semua bagian kota telah berhasil menjaga pikirannya. Akhirnya, adalah mungkin untuk beradaptasi kerjasama Negara dan masyarakat untuk pelestarian spirit kota Bali.
3.2 Konservasi spirit budaya Pempatan Agung: sebuah usulan 3.2.1 Prinsip Konservasi Setelah mempelajari metoda konseravsi eropa, disusun usulan keonservasi spirit budaya Pempatan Agung yang intinya berupa: 1.
Mempreservasi kerangka konsep sakralitas dan tradisi, mengadaptasi fungsi profan modern. Tekniknya adalah sebagai berikut
pemisahan spasial antara kota tua dan desa-desa adat baru dengan sistem sirkulasi,
partisipasi warga dan badan pemerintah untuk organisasi sosial-budaya dan ekonomi,
penciptaan sistem administrasi dan peraturan,
memanfaatkan ruang yang ada untuk menciptakan ruang publik sebagai pusat budaya warisan.
353
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
Sakral:: Orientasi kosmologis Simbol religius
Préservasi Adaptasi Tradisi:
Modernitas Technologie Solusi spasial Organisasi administratif Fungsi
Organisasi spasial Upacara ritual Organisasi sosial Prosesi
Profan : nilai dan simbol Ékonomi Politik Sosial
Gambar 13. Prinsip Usulan Konservasi
3.2.2 Konservasi kosmologis Desa Adat bagi masyarakat Bali adalah kosmos, tiruan dari dunia dewata yang terdiri dari tiga elemen (Tri Hita Karana) Parhyangan (hubungan manusia dengan tuhannya), Pawongan (hubungan manusia dengan manusia ) Palemahan (hubungan manusia dengan alam). Berkat keseimbangan antara ketiga hubungan ini, orang Bali mendapatkan kebahagiaan, kemakmuran dan kedamaian. Jika keseimbangan ini terganggu, kehidupan sehari-hari orang Bali terganggu. Oleh karena itu, dunia imajiner ini harus dipertahankan hanya dengan mengubah batas kosmologi desa adat dalam bentuk fisiknya. Perubahan yang diusulkan adalah penciptaan sistem lalu lintas di sekitar desa adat. Sistem ini harus mendamaikan konflik lalu lintas, pejalan kaki dan warga. Memodifikasi batas bekas wilayah desa adat dan spasial memisahkan bagian lama baru. Batas desa adat lama dibuat jalan umum dan dikendalikan pertumbuhannya. Diliur harus menyesuaikan dengan bentuk lama 354
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
Expansi spatial:Modernitas Desa Adat Batas
Gambar 13. Memisahkan Desa Adat dengan daerah pengembangan Melalui sistem sirkulasi
Pura
Desa Adat
Pempatan Agung : Prioritas pejalan kaki Zona sakral dan publik Zona dengan konservasi ketat
Permukiman : Prioritas untuk warga Zona profan dan komersial Zona adaptasi
N Pura Dalem Kuburan
Gambar 14. Konservasi kerangka kosmologis
355
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
3.2.3 Penataan administratif Dualisme administratif adalah masalah utama yang sering menimbulkan kesemrawutan wewenang. Maka dualisme ini harus diakhiri. Kedua sistem kekuasaan sebaiknya dimerger atau dihapus salah satunya.
356
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
BAGIAN KEEMPAT: KESIMPULAN UMUM 4.1 Hasil Seperti yang telah diuraikan di bagian pertama, kota ini memiliki banyak aspek: alam, budaya, masyarakat, pertahanan, ekonomi, estetika, teknologi, dll mereka bertanggung jawab untuk morfologi perkotaan yang bervariasi dari satu kota ke kota lain. Perbedaan dalam gaya hidup antara masyarakat modern dan tradisional, misalnya, tercermin dalam perbedaan antara kota modern dan kota tradisional. Jika kota modern dapat dipelajari dalam hal teknologi, ekonomi, kesehatan dan estetika, kota tradisional bisa lebih jauh dari budaya, agama, struktur sosial dan nilai-nilai yang diwariskan. Kota-kota modern hasil dari komposisi ruang yang berbeda dalam fungsi, diprioritaskan antara publik dan swasta, dan berorientasi oleh oposisi depan / belakang atau luar / dalam; tentang kota tradisional, mereka didasarkan pada ruang simbolik yang membuat perbedaan antara pria dan wanita memprioritaskan sakral dan profan, panduan bagian atas dan bawah. Meskipun morfologis ada beberapa kesamaan, dalam kota tradisional terdapat dimensi tersenbunyi yang berkaitan dengan sistem sosial dan budaya. Pencarian ini telah membawa kita pada realitas praktek perencanaan tata ruang, yang cenderung mengabaikan dimensi ini, karena pembangunan dipahami sebagai pertumbuhan dan perbaikan kuantitatif, ditandai di atas semua oleh ekonomi . Akibatnya, pendekatan budaya terpinggirkan. Namun, harus dpertimbangkan praktek kehidupan sehari-hari individu, yang memberikan kualitas manusia ke kota. Keseimbangan antara pendekatan kualitatif dan kuantitatif dalam perencanaan tata ruang bisa menjadi alat untuk melestarikan spirit budaya kota tanpa mengabaikan kondisi teknis. Penelitian ini telah menyoroti keberadaan konsepsi kosmologi, terutama di kotakota timur, spirit lokal yang menjaga menghadapi globalisasi yang dibawa oleh 357
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
pembangunan. Hal ini membantu untuk memahami implikasi dari aspek budaya dalam perencanaan perkotaan. Ketidaktahuan aspek ini dalam pengembangan kota hancur kerangka kosmologis; melanggar ikatan emosional antara kota dan orang-orang yang membangunnya, dan akhirnya kehilangan orientasi di tengah ruang hidup. Kota di dunia timur, adalah transformasi kosmos, pusat kosmologis yang diwujudkan di semua fasilitas sosial, budaya dan politik. Jika untuk kota di dunia Barat hal ituyang hanya bisa menjadi warisan arsitektur, untuk dunia timur tetap bagian hidup sehari-hari, yang memberikan nilai tambah melalui pengalaman religius. Ini adalah titik pusat dari mana penduduk bergerak relatif terhadap sumber dan relatif terhadap dunia luar, bahkan dengan Cosmos. Kota sebagai cermin dari masyarakat adalah terjemahan dari nilai-nilai yang berlaku dan merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari manusia. Ini bukan hanya penciptaan kehendak manusia, tetapi juga kehendak dewata. Meskipun budaya berubah, perubahan hanya mempengaruhi pinggiran, dan inti budaya tetap dalam kontinuitas, yang mengatakan bahwa perubahan sangat lambat. Agama menjadi inti budaya di kota-kota dan berlanjut dalam proses konstruksi dan melambangkan kekuatan identitas lokal, bahkan di kota-kota Barat kontemporer. Transformasi spasial telah dianalisis melalui nilai-nilai budaya dimana kota Bali dibangun dari desa-desa tradisional. Dua puluh tujuh desa yang diteliti menerapkan konsep yang sama dalam transformasi yang berbeda disesuaikan dengan lokasi mereka dan tingkat politik-administratif puri. Kebanyakan desa (86,36%) menghormati lokasi yang tepat yang memberikan kemakmuran kepada masyarakat. Ini adalah lokasi puri di empat divisi dari Pempatan Agung. Ini adalah manifestasi dari kekuasaan raja di Bali sosial, budaya dan agama. Meskipun tingkat transformasi yang berbeda, posisi puri sebagai pusat kosmologis penting. Semua divisi spasial, budaya dan agama tergantung pada lokasi puri. Puri masih memiliki peran dalam sosial, budaya dan agama, bahkan setelah perubahan rezim politik. Tanggung jawab, perilaku teladan, dan terutama sistem kasta sosial, memberikan keluarga kerajaan kemungkinan memegang peran mereka secara 358
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
permanen. Legitimasi agama kekuasaan raja sangat penting bagi anggota sebuah desa adat. Itu berhasil menjadi dalam spirit bersama masyarakat semua anggota desa untuk membuat keputusan untuk pembangunan, merupakan hal yang fundamental sebelum kekuasaan berasal dari desa administratif. Hal ini merupakan identitas lokal Bali dalam keragaman budaya Indonesia. Dapat dikatakan bahwa, untuk melestarikan identitas lokal, kehendak individu dan kelompok yang dipimpin oleh pemimpin budaya dalam struktur organisasi tradisional cukup efektif untuk menghindari dampak negatif dari modernitas. Fasilitas di Pempatan Agung berubah akibat pembangunan. Tempat-tempat suci yang melemahkan nilai utama Pempatan Agung (vakum adalah konten, konten adalah kosong) ditambahkan ke "titik nol" dari Pempatan Agung, Wantilan menjadi daerah komersial atau pusat administrasi, pohon-pohon beringin yang dipotong , puri menjadi hotel. Tetapi jika kita memeriksa angka, perubahan ini ditoleransi. Terlepas dari "titik nol" dari Pempatan Agung, tidak pernah berubah proporsi fasilitas umum melebihi 50%. Perubahan yang paling umum diamati di perkotaan Pempatan Agung. Tapi perubahan ini tidak mengubah aspek sosial, budaya dan agama. Bahkan jika hal itu menyebabkan adaptasi perilaku, mereka selalu mengikuti model yang sama. Sosial, budaya dan agama adalah sama di kelurahan dan desa adat kebiasaan di pedesaan. Kekuatan budaya Bali adalah standarisasi gaya hidup. Istilah Barat "urban" dan "rural" masih tidak relevan untuk membedakan kota dan desa di Bali. Ketersediaan teknologi, otomotif, kompleksitas fungsi ruang, semua elemen pinggiran budaya pasti membantu membedakan komposisi ruang kota dan desa, tapi pusat hampir selalu sama. Teori inti budaya Amos Rapoport berlaku di kota Bali. Agama, kepercayaan, struktur sosial dan budaya adalah unsur kekuatan tradisi untuk menghadapi tekanan modernitas. Hasil penelitian menunjukkan perubahan spasial pada nilai-nilai kosmologis. Seperti diketahui, di Pempatan Agung perkotaan, tingkat perubahan lebih tinggi 359
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
dari Pempatan Agung pedesaan. Pentingnya kekuatan politik kerajaan adalah faktor utama untuk perubahan ini sejak kolonisasi berubah peran dan kekuasaan. Dengan demikian, nilai-nilai tata ruang telah berubah. Di tingkat desa dan arsitektur, pembangunan telah menyebabkan kebingungan antara sakral dan profan. Namun, pembagian ruang ini sangat penting dalam budaya Timur. Kelanggengan nilai-nilai budaya ruang tergantung pada partisipasi penduduk dalam kerangka politik negara. Untuk melestarikan nilai-nilai budaya, perlu ditekankan faktor perubahan dan kontinuitas karena itu penting untuk mengontrol dan saling memperkuat. Keprihatinan ini terinspirasi konservasi kota-kota Eropa yang telah dipelajari: Barcelona, Paris dan Sarlat. Meskipun modernitas adalah mesin dari kehidupan sehari-hari saat ini, negara dan partisipasi masyarakat untuk mengontrol perkembangan memainkan peran utama. Oleh karena itu, pusat-pusat kota tua yang terpelihara dengan baik, juga nilai-nilai budaya mereka. Pusat-pusat keagamaan adalah ruang publik yang dikonservasi dengan baik dan memastikan adanya keabadian budaya kota. Dari semua penelitian tersebut, empat refleksi penting muncul dalam tiga bagian. Kekhawatiran pertama pentingnya pendekatan budaya untuk pembangunan perkotaan, kedua peran spirit kota pada globalisasi pembangunan, ketiga untuk mengembangkan konsepsi Pempatan Agung di proyek rancang kota. Penelitian prospektif ini dapat menjadi refleksi tentang kemungkinan menggunakan pendekatan budaya untuk proyek perkotaan, pengembangan konsepsi sebagai Pempatan Agung yang merupakan warisan masa depan, dan refleksi tentang status ruang publik di dunia Timur.
360
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
4.2 Pentingnya pendekatan budaya dalam pembangunan perkotaan Kota sebagai produk budaya mengubah nilai-nilai budaya pada waktu yang berbeda. Nilai-nilai budaya didasarkan pada pandangan manusia tentang hidup dan ketergantungan mereka pada alam. Nilai-nilai yang berkembang, membuat bentuk kota juga berubah. Awalnya, bentuk kota tergantung pada sifat dan keyakinan di dunia ilahi. Lokasi itu dipilih sesuai dengan kesuburan tanah. Pusat kota adalah perwujudan kekuatan ilahi ditranskrip oleh sumbu, pusat energi nilai supranatural dan sakral dan profan spasial. Perkembangan monoteisme memicu kota modern dengan gereja-gereja atau masjid, pasar dan ruang publik (seperti Agora). Perang antara kekuatan politik telah membuat kota menjadi pusat pertahanan dengan menciptakan kota-kota benteng. Selanjutnya, pengembangan menunjukkan bahwa pusat kota telah dikembangkan di bawah pengaruh faktor yang paling menentukan dalam masyarakat. Kota dengan industri listrik, telah menjadi pusat ekonomi; dengan kekayaan budaya itu bisa menjadi pusat wisata. Dari semua faktor yang telah membentuk kota, nilai-nilai agama yang lebih tahan. Studi tentang tiga kota Eropa (Barcelona, Paris dan Sarlat) menunjukkan bahwa pusat-pusat keagamaan (gereja) yang tahan terhadap perubahan budaya dan arsitektur, bahkan jika fréquention mereka kurang dengan modernitas budaya. Hambatan dari faktor agama juga dibuktikan oleh studi dari Agung Pempatan sebagai pusat magis dan religius dari Cosmos (desa adat). Teknologi, ekonomi bisa tumbuh tapi nilai-nilai agama bertahan ketika merencanakan proyek perkotaan, bahkan jika itu tidak menyangkut konteks pelestarian pusaka. Perencanaan kota modern menjadi lebih kompleks. Masalah alam dan sosial budaya tidak lagi satu-satunya yang perlu diperhitungkan; ada juga teknologi, 361
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
ekonomi, politik, estetika, kesehatan dan prestise bangsa. Setelah keseragaman fasad karena pentingnya globalisasi dan modernitas, kota, oleh bentuk, berusaha untuk menegaskan identitasnya. Oleh karena itu faktor alam dan budaya muncul kembali dalam perencanaan kota modern, untuk memperkuat identitas lokal melalui konservasi bangunan tua, unsur-unsur alam yang dominan dan unsurunsur budaya lokal (kegiatan, simbol) serta dimulainya kembali bentuk dan nilainilai lama menjadi kreasi baru. Konservasi menjadi faktor yang signifikan dari perencanaan kota modern. Mengingat faktor budaya aspek yang terkait dengan identitas lokal dan keberlanjutan pembangunan, memberikan kesempatan untuk mempromosikan wajah tertentu kota. Dari perspektif budaya, tujuan pembangunan harus menyesuaikan dengan manusia karena persyaratan setiap manusia tidak identik. Tujuan ekonomi bukan satu-satunya tujuan pembangunan, jelas bahwa standar kuantitatif (PDB, kebersihan, dll) tidak dapat sama untuk semua masyarakat. Harus mengadaptasi masalah global terhadap pengelolaan lahan dan pengembangan nilai-nilai universal dengan cara harus melihat kehidupan dan mengelola ruang masing-masing masyarakat. Sebagai suatu disiplin, Perancangan kota relatif baru. Di dalamnya tidak banyak dipelajari dan digunakan pendekatan budaya kecuali sebagai objek pelestarian. Namun, dari studi sejarah pembentukan kota, di bagian pertama menunjukkan peran budaya. Studi tentang Pempatan Agung juga menunjukkan bahwa kita dapat memperhitungkan faktor-faktor budaya aspek dalam menentukan bentuk kota. Dari konsepsi kosmologis Hindu, konsepsi tata ruang Pempatan Agung berlaku untuk perancangan kota Bali masa depan , bahkan untuk kota-kota baru. Hal ini dapat diterapkan sebagai roh kota Bali yang dimaksudkan untuk menyeimbangkan material dan perkembangan spiritual. Untuk pendekatan budaya, sumber budaya dan nilai-nilai lokal dapat dikembangkan sebagai titik awal proyek perkotaan. 362
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
4.3 Spirit kota: dimensi lokal globalisasi Spirit kota mengungkapkan kesatuan perilaku, emosi dan pengetahuan yang dialihkan secara fisik, kegiatan satuan dan fungsi, makna dan sistem simbolik dari masyarakat. Dengan demikian, masing-masing kota memiliki bentuk tertentu yang yang memanifestasikan identitasnya. Jika potensi penuh spirit kota dimobilisasi dengan rancanga, tidak ada alasan untuk takut pada keseragaman. Masing-masing kota adalah unik karena masing-masing memiliki spirit. Kita dapat menggunakan nilai-nilai budaya disesuaikan dengan kondisi alam di proyek perkotaan untuk kota-kota masa depan. Penelitian ini telah menunjukkan bahwa bahkan jika asal formasi kota Bali adalah sama (konsepsi kosmologi dari Pempatan Agung sebagai pusat), mereka memiliki wajah yang berbeda satu sama lain. Pendekatan budaya harus disesuaikan dengan fitur alam lokal untuk membuat perbedaan dalam komposisi ruang di kota. Sebagai tema budaya, spirit kota yang berkembang mengikuti tren budaya penduduk. Untuk identitas sebuah kota diabadikan, nilai-nilai budaya tertentu yang dikonservasi. Konservasi pertama adalah terkait dengan ruang membawa nilai-nilai budaya lokal. Ruang suci adalah aspek penting dari masyarakat tradisional, seperti ruang publik dalam masyarakat modern. Melestarikan ruang ini akan terus di memori nilai-nilai budaya tertentu dihormati oleh masyarakat saat ini. Menjaga nilai-nilai lokal di zona konservasi tertentu dan mengembangkan nilai-nilai modern secara terpisah memberikan kesempatan untuk menciptakan keragaman budaya dari kota tanpa mengabaikan tujuan pembangunan ekonomi. Pendekatan budaya memungkinkan kita untuk mengekspresikan orisinalitas dari sekelompok masyarakat. Kedua, perencana dan pengembang proyek perkotaan harus memperhitungkan partisipasi masyarakat lokal dalam pekerjaan mereka pada aspek modern 363
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
pembangunan. Partisipasi ini memberi mereka kemampuan untuk mengakses dimensi budaya dan budaya lokal, beradaptasi dengan perencanaan modern. Partisipasi pelaku yang membawa nilai-nilai budaya dan mengekspresikan legitimasi lokal, meningkatkan kapasitas mereka untuk bernegosiasi untuk mendapatkan pengakuan akan eksistensi mereka. Negara memiliki peran untuk dapat mengontrol pendekatan ini sehingga partisipasi mereka dapat memberi ruang untuk minoritas dan semua kepentingan budaya dan ekonomi. Seperti pembangunan merupakan isu utama bagi semua masyarakat, partisipasi sektor swasta baik di tingkat kolektif dan individu diperlukan, terutama pada bidang material. Jika semua pihak terorganisasi dengan baik dan semua kepentingan dipahami, pelestarian spirit kota dapat direncanakan untuk memenuhi kebutuhan identitas lokal A. Desa Adat: teritorialisasi konsepsi budaya Asal konsep desa tradisional Bali adalah desa adat desa atau pakereman. Ini merupakan satu kesatuan baik sosial, budaya dan tata ruang. Sebagai unit sosial, kota adat berdasarkan stratifikasi dan organisasi masyarakat dan hukum adat. Sebagai unit budaya, itu termasuk kegiatan budaya, festival keagamaan, agama, keyakinan dan konsepsi kosmologi. Sebagai satu unit spasial, itu terbagi menjadi kuil jaringan (Parahyangan), wilayah (palemahan) dan rumah (pawongan). Aturan sosial, budaya dan tata ruang ini adalah manifestasi fisik dan simbolik dari nilai-nilai lokal Bali. Dia adalah lembaga yang sah yang dialihkan ke dalam aturan (hukum adat atau tidak, nilai-nilai sosial), yang memiliki peran dalam kehidupan dan ruang kolektif. Ia mengatur semua kegiatan individu dalam kehidupan seharihari sosial budaya, ekonomi dan politik. Ia adalah kekuatan penting masyarakat Bali menghadapi tekanan modernitas. Ia adalah cara untuk Bali untuk menciptakan ruang sebagai wilayah simbolis dan teknologi.
364
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
Semua diterjemahkan ke dalam bentuk spasial desa adat yang membentuk kota. Perubahan tata ruang, terutama di pusat kota, di mana semua kekuatan sosialbudaya, politik dan ekonomi, mencerminkan evolusi nilai kosmologis. Di desa yang diteliti, hal ini menjadi kabur karena semua batas dilarutkan dalam konsepsi pembangunan modern. Masyarakat Bali selalu menghormati nilai-nilai budaya, dan pelestarian desa adat untuk memastikan kesatuan sosial dan ruang budaya: desa adat Bali adalah faktor utama ketahanan budaya dan kemungkinan kontinuitas spasial dan budaya. Ia juga merupakan katalis Bali untuk membentuk konsepsi
pembangunan
berkelanjutan
di
tingkat
lokal.
Dengan
mempertimbangkan semua elemen sosial budaya dan tata ruang desa adat, dalam pembangunan harus mengarah pada pengakuan individu dan meningkatkan fitur dari wilayah yang berbeda. B. Konsepsi Pempatan Agung Bali dalam proyek Perancangan Kota Hubungan manusia dan budaya dan kota yang baik harus dikembangkan melalui praktek-praktek yang terkait. Proyek pernacangan kota bisa menjadi perantara dan penggunaan konsepsi dalam konservasi kota Pempatan Agung Bali. Ini akan membawa lebih banyak solusi untuk masalah tata ruang, khususnya melemahnya batas kosmologis di desa-desa tradisional Bali. Ini juga akan mendorong refleksi tentang dinamika perubahan tata ruang desa tradisional Bali yang terancam oleh modernitas, pada partisipasi masyarakat dalam konservasi, pada akulturasi dan kepercayaan orang Bali pada penataan ruang. Sebaliknya, kehidupan sehari-hari orang Bali akan menjadi lebih heterogen karena migrasi dan pariwisata. Populasi yang berasal dari wilayah lain dengan lainnya budaya, non-Hindu, membutuhkan ruang untuk menegaskan identitas mereka sebagai warga negara Indonesia. Sehingga semua warga memiliki tempat mereka di kota, refleksi pada keanekaragaman budaya harus dilakukan bersamaan dengan refleksi pada perencanaan tata ruang.
365
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
Konsepsi Pempatan Agung yang dipelajari menyediakan kemampuan untuk memperhitungkan realitas ini. Melampaui komposisi spasial puri (pusat kekuasaan), yang Wantilan / Bale Banjar (pusat sosial), alun-alun (ruang publik), pura (pusat keagamaan) dan pasar desa (pusat ekonomi), ada nilai-nilai budaya. Pempatan Agung adalah ruang simbolik yang membawa arti kosmologis, sosial dan tata ruang. Dalam unit desa adat, dia memiliki spirit magis-religius, kolektivitas dan sentralitas. Pusat-pusat Pempatan Agung adalah pusat kuasa dewata dan buthakala yang dilambangkan dengan akumulasi kekuatan magis yang dapat membawa kesejahteraan bagi rakyat. Mereka menghasilkan spirit masyarakat untuk disemua strata sosial, pembagian generasi, jenis kelamin, pekerjaan, suku, agama, budaya. Mereka menetralisir semua kekuatan dewata dan buthakala di titik mikrokosmos melalui upacara ritual. Untuk semua dimensi ini, Pempatan Agung membentuk karakter spasial kota Bali di mana, meskipun perubahan dalam kekuasaan dan teknologi, mereka mengabadikan penyatuan semua kepentingan penduduk. Pempatan Agung Bali sebagai komposisi ruang kota memenuhi definisi kota modern. Fungsinya pusat kekuasaan, ekonomi, agama dan jatuh dalam masyarakat kota modern. Tetapi jika kita meneliti gaya hidup karena didasarkan pada sistem sosial budaya lokal yang merupakan budaya agraris, mereka memiliki kehidupan, perilaku, sikap, cara hidup, kegiatan sehari-hari yang identik antara desa Bali dan desa perkotaan. Sebagai pembentuk spasial, Pempatan Agung adalah daerah khusus yang berkembang dari nilai-nilai budaya yang ditransmisikan oleh keputusan kekuasaan politik dan berubah dari waktu ke waktu dalam logika geometris yang sama. Mereka menyatukan semua penduduk dengan nilai-nilai budaya mereka. Dalam dunia sekarang ini, mereka juga memenuhi sistem keseluruhan dari kota administrasi dan sistem lokal adat, meskipun beberapa kesulitan sosial. Melalui komposisi ruang mereka, mereka juga mewujudkan spirit yang tetap dalam 366
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
perilaku individu, emosi umum dan pengetahuan. Dalam penampilan fisik mereka, untuk kegiatan individu dan simbol yang terkandung di dalamnya, yang Pempatan Agung cukup signifikan untuk diakui sebagai dasar identitas kota saat ini Bali. Di sisi lain, perubahan tata ruang Pempatan Agung terkait dengan faktor eksternal dan internal (politik dan ekonomi, termasuk pariwisata). Pempatan Agung perlahan berevolusi karena tantangan dan kebutuhan untuk beradaptasi dengan perubahan organisasi kerja, pendidikan dan teknologi. Terlepas dari Pempatan Agung perkotaan di mana, setelah kolonisasi, perubahan terjadi sangat cepat namun tetap menjaga nilai-nilai masyarakat. Pempatan Agung berkembang sesuai dengan dinamika horisontal yang disebabkan oleh kekuatan eksternal yang mengakibatkan imitasi, yang asimilasi budaya dan akulturasi. Peran aktor menentukan resistensi dan perubahan. Semua masyarakat Bali, dalam bentuk desa adat merupakan faktor resistensi terhadap pengaruh budaya lain (atau modernitas) dalam interaksi sosial. Meningkatkan kondisi ekonomi karena pariwisata memberikan kemungkinan untuk meningkatkan fasilitas desa adat Bali dan kehidupan budaya. Fungsi administrasi sebagai aktor luar mempengaruhi interaksi sosial antara budaya dan akulturasi. Dalam proses perubahan morfologi Pempatan Agung, perlawanan dari desa adat sangat kuat di depan nilai-nilai dan kekuatan lainnya; mereka condong dengan mengubah bentuk modern dan perilaku sociobudaya di ruang ini. Namun, perpaduan tradisi dan modernitas dalam perencanaan tata ruang Bali melawan konsepsi kosmologi. Dalam semua kasus yang diteliti, tren ini terjadi di Pempatan Agung perkotaan. Kerangka kosmologi desa adat dikaburkan dalam perluasan wilayah kota Bali. Pusat-pusat kekuatan magis menunjukkan kemunduran mandala mereka karena pengembangan pusat-pusat ekonomi dan kekuasaan, bercampur di pusat Pempatan Agung. Kerangka kosmologis Pempatan Agung sangat terancam. Oleh karena itu ia membutuhkan alat untuk 367
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
melindungi keberadaannya dalam budaya Bali. Perencana dan pengembang yang bekerja pada perancangan kota harus memperdalam lebih rinci di bagian ini. Proyek perancangan kota menghidupkan ruang kota sebagai alat konservasi dan perantara antara modernitas dan tradisi, antara perubahan dan kontinuitas. Dari Pempatan Agung konsepsi tata ruang, proyek perancangan kota akan mengembangkan komposisi pusat kota Bali memprioritaskan ruang antara sakral dan profan, dan juga mengarahkan mereka sesuai dengan aturan tradisional. Tempat modernitas terletak pada perbedaan fungsi sedangkan perbedaan antara pria dan wanita dalam rangka tata ruang tradisional Bali tidak ada lagi. Alun-alun dan pusat kebudayaan seperti Wantilan, Bale Banjar dan pasar yang merupakan fasilitas non-sakral dalam komposisi Pempatan Agung, potensial untuk dikembangkan untuk mengakomodasi modernitas dan keberagaman budaya, sedangkan pura, puri, pohon beringin, merupakan titik fokus dari Pempatan Agung, orientasi dan elemen batas suci adalah wajib untuk dijaga dan dilindungi secar ketat. Konsepsi Pempatan Agung memberikan kemungkinan untuk mengakomodasi proyek perancangan kota bukan tradisi dan modernitas, perubahan dan kesinambungan melalui adaptasi dari aspek di atas dan memfasilitasi koneksi budaya atau pembangunan dengan pendekatan budaya.
4.4. Prospektif A. Pendekatan budaya untuk proyek perkotaan Budaya sebagai sumber perencanaan belum banyak digunakan dalam proyek perkotaan. Hal ini dianggap sebagai dimensi manusia, yang digunakan untuk mengatur ruang dan bangunan. Pada kenyataannya, pendekatan budaya telah digunakan dalam waktu yang lama dalam pengembangan kota tradisional. Penelitian ini juga menemukan peran nilai-nilai budaya dalam pembentukan kota tradisional baik di dunia timur atau di Barat. Mereka mengontrol bentuk fisik, 368
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
memprioritaskan dan membedakan ruang. Nilai-nilai budaya adalah kunci untuk pengembangan kota masa depan di mana identitas lokal dianggap suatu keharusan. Penerapan pendekatan budaya dalam proyek perkotaan harus dipelajari secara mendalam dengan faktor-faktor lain pembangunan, alam, teknologi, ekonomi, politik, dll Studi multidisiplin sangat penting untuk menentukan formula yang ideal untuk kota dari nilai-nilai budaya. Budaya sebagai spirit penduduk kota membawa kualitas hidup. Kondisi fisik kota membawa kesehatan yang lebih baik melalui manajemen lalu lintas, kebersihan, dll. Pendekatan budaya dalam proyek perkotaan harus seimbang antara pendekatan fisik-ekonomi-politik dan pendekatan sosial budaya. Ini harus memperlihatkan kemungkinan tradisi dan modernitas, antara konservasi dan penciptaan, antara perubahan dan kesinambungan dalam sejarah kota. Kombinasi pendekatan ini dalam proyek perancangan kota, sumber dari banyak transformasi ruang publik, membuat cermin kota dari kehidupan sehari-hari penduduk, sejarah mereka dan identitas budaya mereka. Semua nilai-nilai ini diubah oleh dinamika kehidupan sehari-hari di ruang publik: jalan-jalan, promenade, taman dan kotak, dikelilingi oleh unsur-unsur lain dari proyek perkotaan seperti dinding ruang terbuka. Untuk pendekatan budaya, proyek perancangan kota yang menengahi antara arsitektur dan perencanaan, akan membangun kota sebagai benang merah budaya lokal, tempat untuk manusia dengan identitas mereka sendiri. B. Pempatan Agung: Heritage Masa Depan Hal ini dimungkinkan untuk mengembangkan konsepsi Pempatan Agung Bali untuk mengatur ruang kota. Unsur-unsur penting dari pusat kekuasaan, Alunalun merupakan pusat budaya dan ekonomi yang membentuk pusat seluruh desa
369
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
adat untuk mengeksploitasi potensi yang memperkuat spirit dan identitas kota Bali masa depan . Dengan penelitian menyeluruh dari unsur-unsur budaya dan morfologi yang membentuk Pempatan Agung, proyek perkotaan dapat menggunakan konsepsi ini untuk mengembangkan kota Bali di masa depan, baik untuk membangun kotakota baru, untuk melestarikan kota kuno. Kesulitan penelitian ini untuk mengumpulkan data mengenai cerita morfologi rinci, daerah yang tepat dari desa adat, komposisi demografis dari anggota desa adat dan anggota administrasi, dapat diselesaikan dalam penelitian masa depan. Kemungkinan pengembangan model ekonomi, politik, sosial, budaya, adat untuk menjaga desa dalam arti morfologi tradisional didukung oleh kehidupan sehari-hari modern, merupakan daerah kunci untuk memperkuat untuk menyelesaikan usulan morfologi ini. Konsepsi Pempatan Agung sebagai salah satu nilai-nilai budaya tradisional telah melewati politik, ekonomi, teknologi. Hal ini memainkan peran utama dalam kehidupan sehari-hari di Bali keseimbangan antara kehidupan material dan kehidupan spiritual. Penelitian ini menunjukkan tren ini. Oleh karena itu perlu untuk mempertahankan konsepsi ini sebagai warisan budaya dalam penerapan proyek kota Bali perkotaan untuk pekerjaan di masa depan. Berkat konservasi morfologi dan arsitektur, nilai-nilai budaya yang membawa spirit kota akan dipertahankan sebagai warisan budaya Bali dan memperkaya wajah kota-kota terancam oleh modernitas. Perkembangan konsepsi Pempatan Agung dalam proyek perkotaan masa depan harus memperhitungkan partisipasi pemain kunci seperti anggota desa adat Hindu dan non-Hindu, kebijakan pemerintah administrasi, para ahli di bidang ekonomi, perencanaan, urbanisme, perencanaan, sosiologi, geografi, teknologi, dan terutama para pemimpin agama (undagi yang), kepala tradisional dan dewan dari Hindu Indonesia (Hindu Dharma Indonesia Parisada). Dimasukkannya semua 370
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
ide-ide penting akan membantu untuk membuat adaptasi dan konservasi dalam suatu komposisi diterima semua. Spasial, proyek perkotaan juga harus memenuhi kutub ekstrim: tradisional dan modern, suci dan profan, ekonomi dan mobil dan pejalan kaki sosial budaya, administrasi dan adat. Melalui manajemen spasial proyek perkotaan, konsepsi Pempatan Agung memiliki kemungkinan pemberian polaritas ini. Penekanan akan ditempatkan pada konservasi dalam kaitannya dengan tradisi, pejalan kaki sosial budaya, sakral, adat dan, dan adaptasi untuk memberikan modernitas, sekuler, ekonomi, administrasi dan mobil . Penggunaan teknologi dapat membantu membawa kutub ini dan menetralisir kontradiksi. Oleh karena itu kita harus mencari strategi kompromi, cara konsiliasi untuk menyelaraskan polaritas dan menciptakan ruang untuk keragaman budaya. C. Untuk pendalaman status ruang publik di dunia Timur tradisional. Umumnya, ruang publik mengacu fitur seperti ruang komunikasi publik atau kegiatan rekreasi, mendukung diri mereka dalam kegiatan lain di situs yang sama. Ada dua unsur utama, jalan dan alun-alun (Rob Krier, 1984; Cliff Moughtin 1992). Secara khusus, area ruang publik adalah besar dengan bangunan di sekitar yang dianggap dinding, besar dan kaku. Dalam aplikasi ruang modern, ruang publik tercermin dalam "plaza / piazza" Italia atau "persegi" Inggris dan Plaza Perancis, dimana teori ruang publik didefinisikan secara fisik. Dalam diskursus geografi dan perencana kota, ruang publik memiliki posisi yang menentukan. Dalam kehidupan sehari-hari "Eropa", kita bisa melihat bagaimana ruang publik sangat penting; perayaan, resmi atau upacara militer yang terjadi di ruang publik. Secara umum, budaya Eropa yang dapat dibaca dalam kehidupan sehari-hari berhubungan erat dengan ruang dan bangunan umum; itu adalah budaya jalan dan ruang publik. Ruang publik Eropa tidak ada secara kebetulan, mereka direncanakan untuk mengakomodasi kegiatan sehari-hari manusia atau 371
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
"membuat ruang untuk tindakan" (Heidegger, 1985). Perayaan, rekreasi, olahraga, kehidupan sosial dan individu, bahkan kehadiran pecinta diterima di ruang ini. Singkatnya, ruang publik adalah tempat visibilitas kehidupan sehari-hari orang Eropa. Pentingnya ruang publik dalam kehidupan Eropa terkait dengan kondisi alam dan habitat. Empat musim mempromosikan habitat terkonsentrasi, rumah dekat satu sama lain untuk mempertahankan panas. Sistem pertahanan, benteng, biaya tanah juga didefinisikan pengembangan habitat dan meningkatkan densitas. Akibatnya, jalan-jalan sangat sempit dan tidak cukup luas bagi warga untuk bertemu untuk menampung kegiatan rekreasi dan budaya. Penciptaan ruang publik di halaman depan gereja dan di sudut-sudut lingkungan memenuhi kebutuhan manusia. Kami menemukan fenomena ini di kota-kota Romawi, kotakota abad pertengahan dan orang-orang dari Renaissance. Meskipun kota telah diperbesar dan jalan-jalan telah melebar di kota-kota modern, ruang publik terus memainkan peran penting dalam identitas budaya kota-kota Eropa. Dalam tradisi Timur (Jepang, India, Cina, Korea dan negara-negara Asia Tenggara) fenomena tidak ada. Penciptaan ruang selalu menjawab nilai kosmologis. Ruang adalah imitasi dari makrokosmos. Setiap kota memiliki pusat yang terkait dengan asal-usulnya, dunia luar. Model magis-simbolis ini dikalikan di setiap hunian. Ruang terbuka (untuk membedakannya dari ruang publik) direproduksi untuk melambangkan pusat dunia atau lantai dari hirarki ruang suci di rumah (Yogyakarta, Solo, Kota Terlarang Beijing, kota Bali, Angkor). Menghubungkan pusat mikrokosmos (kota) dan makrokosmos (dunia luar, sering dilambangkan dengan gunung suci). Di dalam, orang menemukan bahwa kegiatan sosial-budaya dan agama. Kita tidak bisa melakukan apa-apa di sana. Ini bukan ruang untuk kehidupan pribadi. Tapi tidak seperti kota-kota Eropa, rumah tradisional oriental (Jepang, Jawa, Bali) terbuka. Sulit untuk menemukan ruang pribadi karena konsepsi yang memimpin 372
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
konstruksi adalah sama untuk kota. Tetangga bisa bebas masuk rumah pribadi, terutama di ruang keluarga yang terbuka (pusat simbol dunia). Pintu rumah adalah simbol dari batas antara dunia akhirat dan bumi yang menghubungkan pusat mikrokosmos untuk makrokosmos. Istilah "pribadi" dan "publik" seringkali sangat membingungkan di dunia Timur. Meskipun penciptaan ruang publik mengatakan "Eropa" atau "modern" (bukan) berbanding terbalik di kota-kota timur saat ini, perilaku penduduk selalu berbeda. Nilai-nilai lokal yang ditemukan dalam bentuk dibangun. Proyek perkotaan harus memperkenalkan budaya lokal selama penciptaan ruang "publik", bahkan di kota kontemporer.
« Si c’était à refaire, je commencerais par la culture » "Kalau ada yang harus dilakukan kembali, saya akan mulai melalui budaya" (Jean Monnet)
373
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
DAFTAR PUSTAKA AGUNG, Anak Agung Ketut. Kupu-kupu Kuning yang terbang di Selat Lombok. (Le papillon jaune qui a volé sur le détroit Lombok). Denpasar : Upada sastra, 1996 AGUNG, Anak Agung Gede Putra. Peralihan Sistem Birokrasi Kerajaan Karangasem 1890-1938. (Le changement du système bureaucratique du royaume Karangasem en 1890-1938). Thèse : Université de Gajah Mada : Jogyakarta, 1996 AGUNG, A.A.A.Putra. Sejarah Sosial Kota Singaraja. (L’histoire sociale de la ville Singaraja). Jakarta : Depdikbud, 1984 ALEXANDER, Christopher … [et al.]. A New Theory of Urban Design, Oxford : Oxford University Press, 1987. 251 p. ALMEIDA-KLEIN, Susanne, La dimension culturelle du développement : vers une approche pratique, UNESCO, Manutention, 1994, 241p AGNEW, John A. ; MERCER, John ; SOPHER, David E. The city in cultural context, Boston : Allen & Unwin, 1984. 299 p. AUBARBIER, Jean-Luc. Sarlat. Rennes : Éditions Ouest-France, 1998. 32 p. AUGUSTIN , Jean-Pierre. Ville et culture, un nouveau rapport au monde, in Lieux culturels et contextes de ville, AUGUSTIN, Jean-Pierre et LATOUCHE (dir.), Bordeaux, Maison des sciences de l’homme d’Aquitaine, 1998, p. 9-24. AUGUSTIN , Jean-Pierre ; BERDOULAY, Vincent. Culture vivantes : variations et créativités culturelles en région. Sud-Ouest Européen, No.8, 2000, p. 14. ALTMAN, Irwin ; Rapoport Amos et WHOWILL, Joachim F. (dir). Human behavior and environment : advances in theory and research. vol.4 : Environment and culture. New York : Plenum Press, 1980. 351 p. ARGAN, Giulio Carlo. Projet et destin : Arts, architecture, urbanisme. [SaintMaurice] : Les Éd. de la Passion, 1993. 280 p. ASHIHARA, Yoshinobu. Exterior design in architecture. Traduction en indonésienne par Gunadhi. Surabaya : Penerbit ITS, 1974, 144 p. AUROUX, Sylvain, Encyclopédie philosophique universelle : les notions philosophiques, Dictionnaire I. Presses Universitaires de France, Paris, 1990, p.848-854 BACON, Edmund N. Design of cities. New York : Vicking press, 1974. 336 p. BARRE , François. Fabriquer du lien, fabriquer des lieux. Projet urbain n°. 13, août 1998, p. 4-5 BARNETT, Jonathan. An Introduction to Urban Design, New York : Harper & Row, 1982. 260 p. BARTHOLY, Marie-Claude et ACOT, Pascal. Philosophie, épistémologie, précis de vocabulaire, Paris : Éditions Magnard, 1975. 160 p. 374
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
BASSET, Catherine et PICARD, Michel. Bali, l’ordre cosmique et la quotidienneté. Autrement, Série Monde H.S.,1993, no.66, 243 p. BASTIÉ, Jean et DÉZERT, Bernard. La ville, Paris : Masson, 1991. 415 p. BEAUJEU-GARNIER. Jacqueline. Traité de géographie urbaine. Paris : Flammarion, 1977. 493 p. BEAUJEU-GARNIER. Jacqueline. Géographie urbaine. Paris : Armand Colin, 1980, 360 p. BENEVOLO, Leonardo. Histoire de la ville. Roquevaire : Parenthèses, 1983. 509 p. BERDOULAY, Vincent. Place, meaning and discourse in French language geography. in The Power of place : bringing together and sociological imagination sous la dir. de John A. Agnew et James S. Duncan. Boston : Unwin Hyman, 1989. p.124-139 BERDOULAY, Vincent. Les valeurs géographiques. in Encyclopédie de Géographie sous la dir. Antoine BAILLY, Robert FERRAS et Denise PUMAIN. Paris : Economica, 1992. p.385-402 BERDOULAY, Vincent. Le lieu et l’espace public. Cahiers de Géographie du Québec, volume 41, n° 114, 1997, p 301-309 BERDOULAY, Vincent. Géographie culturelle et liberté. in Géographie et liberté : mélanges en hommage à Paul Claval. Paris : l’ Harmattan, 1999. p. 567-575 BERDOULAY, Vincent. et ENTRIKIN, J. Nicholas. Lieu et sujet : perspectives théoriques. L’Espace géographique, n°. 2, 1998, p.111-121 BERDOULAY, Vincent et MORALES, Monserrat. Espace public et culture : stratégies barcelonaises. Géographie et culture, n° 29, 1999, p. 79-96 BERDOULAY, Vincent et SOUBEYRAN, Olivier. Le milieu, entre description et récit. De quelques difficultés d’une approche de la complexité. in Milieu, colonisation et développement durable : perspectives géographiques sur l’aménagement sous la dir. de Vincent BERDOULAY et Olivier SOUBEYRAN. Paris : l’Harmattan, 2000. p. 25 – 37 BERDOULAY, Vincent et BIELZA DE ORY, Vicente. Pour une relecture de l’urbanisme médiéval processus transpyrénéens d’innovation et de diffusion. Sud-Ouest Européen, No.8, 2000, p. 75-81 BERDOULAY, Vincent ; CASTRO, Ina et GOMES, Paulo C. Da Costa. L’espace public entre mythe, imaginaire et culture. Cahiers de Géographie du Québec, Vol. 45, n° 126, 2001, p. 413-428 BERQUE, Augustin. Vivre l’espace au Japon. Paris : Presses universitaires de France, 1982. BERQUE, Augustin. Médiance de milieux en paysage. Montpellier : Géographiques Reclus, 1990. 163 p. BONELLO, Yves-Henri. La ville. Paris : Presses universitaires de France, 1996. 125 p. BOURDIEU, Pierre. Outline of a theory of practice. New York : Cambridge University Press, 1977. 248 p. 375
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
BRAND, Denis et DUROUSSET, Maurice. Dictionnaire thématique histoire géographie. Paris : Ed. Sirey,1989. 463 p. BRODOVITCH, Michel. À quoi sert le contrôle architectural ?. Projet Urbain n° 13, août 1998, p.12-13 BRUNET, Roger ; FERRAS, Robert et THERY, Hervé. Les Mots de la géographie : dictionnaire critique. Montpellier-Paris : GIP Reclus et la Documentation française, 1992. 470 p. BRUNO, Andrea. Esprit du lieu et authenticité. Projet urbain n° 13, août 1998, p. 6-11 BUDIHARJO, Eko. Architectural conservation in Bali. Jogyakarta : Gajahmada University Press, 1986, 113 p. CAPANA, Antonio ; CAPANA CAPELLA, Margarita Campana et FORMELLS CASAS, Francesc. El mejor de Barcelona. Barcelona : A. Campaña, 1994. 128 p. CAUVIN, Colette. Proposition pour une approche de la cognition spatiale intraurbaine, Cybergeo, No.72, 2/01/99, http://www.cybergeo.presse.fr/geocult/ texte/COGNIMA.HTM CATANESE, Anthony J ; SNYDER, James C. Introduction to Urban Planning. New York : McGraw-Hill, 1979. 455 p. CHAMPIGNEULLE, Bernard. Paris : architectures, sites et jardins. Paris : Editions du Seuil, 1973. 639 p. CHASTEl André. Le patrimoine. in Encyclopedia Universalis, 1990, p.220 CHENEIVIERE, Alain. Bali : une île en fête. Paris, Denoël,1990. 120 p. CHILDE, V. Gordon. The urban revolution. Town Planning Review, Vol. 21, 1950, p 3-17 CHOAY, Françoise. L’allégorie du patrimoine. Paris : Seuil, 1992, 119 p. CHOAY, Françoise ; BANHAM, Reyner ; Baird Georges… [et al.]. Le sens de la ville. Paris : Éditions du Seuil, 1972. 182 p. CLAVAL, Paul. La logique des villes : essai d’urbanologie. Paris : Litec, 1981. 633 p. CLAVAL, Paul. La géographie culturelle. Paris : Nathan, 1995. 384 p. COUTEAU, JEAN. Regard sur Denpasar, in Archipel 36, Paris, 1988, p 42-58 DAMANHURI. Sejarah kelahiran Kabupaten Dati II Jembrana. (L’histoire de la naissance du département de Buleleng). 1993 [non-publié] DANISWORO, Mohammad. The need for appropriate development Guidelines in urban heritage conservation. In Day Workshop on innovative planning technology for cultural heritage : Yogyakarta, 1994. [non publié] DEGRÉMONT, Isabelle. Patrimoine et aménagement : étude géographique d’un outil d’aménagement, Thèse de doctorat de Géographieaménagement sous la dir. de Vincent BERDOULAY, Pau : Université de Pau et des Pays de l’Adour, 1996. 495 p. DELFANTE, Charles. Grande histoire de la ville : de la Mésopotamie aux EtatsUnis, Paris : Armand Colin, 1997. 461 p. DENNIS, Michael. Court and Garden, From the French Hotel to the City of Modern Architecture. Cambridge : MIT Press, 1986. 285 p. 376
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
DEVILLERS, Christian. Le projet urbain face à la logique sectorielle. Projet Urbain, n° 5, Septembre 1995, p. 4 DEVILLERS, Christian. Rendre l’espace à l’usage. Projet Urbain, n° 4, Mai1995, p.4 DIDIER MOLONGUET, Lise. L’acte culturel. Paris : l’Harmattan, 1998. 175 p. DORIER-APPRILL Elisabeth (dir.). Vocabulaire de la ville : notions et références, Paris : Édition du Temps, 2001. 191 p. DUPUIS, Xavier. Culture et développement : de la reconnaissance à l’évolution, Paris : Unesco, 1991. 174 p. DUPUY, Gabriel. L’urbanisme des réseaux : théories et méthodes. Paris : Armand Colin, 1991. 198 p. ELIADE, Mircea. Le mythe de l’éternel retour : achétypes et répétitions. Paris : Editions Gallimard, 1949. 255 p. ELIADE, Mircea. Images et symboles : essais sur le symbolisme magico-religieux. Paris : Gallimard, 1952. 239 p. ELIADE, Mircea. Le sacré et le profane. Paris : Gallimard, 1965. 192 p. EPRON, Jean-Pierre (dir.). Architecture : une anthologie. Tome 1 : la culture architecturale. Liège : Pierre Mardaga Editeur, 1992. 383 p. EVERSON, Norma. Paris : a century of change 1878-1978. New Haven : Yale University Press. 1979. 382 p. FERRER, Amador. Barcelone : l’intégration par l’espace public. Projet urbain,n°11, novembre 1997, p.10-11 FERRER, Amador. Barcelone : à chacun son remède. Projet urbain, n°11, novembre 1997, p.12-13 FRANCE. MINISTÈRE DE L’ÉQUIPEMENT, DES TRANSPORT ET DU LOGEMENT. La ville au risque de l’écologie ; questions à l’environnement urbain. Programme « Écologie urbain » Bilan d’un premier appel d’offres et état des lieux du programme, Juin 1997 (Rapport non publié] GARNHAM, Harry Launce. Maintaining the spirit of place : a process for the preservation of town character. Mesa, Ariz. : PDA Publishers, 1985, 158 p. GEERTZ, Clifford C. Negara : the theatre state in nineteenth century Bali. Princeton : University Press, 1980. 285 p. GEERTZ, Clifford C. Bali : Interprétation d’une culture. Paris : Gallimard, 1983. 255 p. GELEBET, I Nyoman. Arsitektur Tradisional Daerah Bali. ( L’architecture traditionnel balinais). Denpasar : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan Dokomentasi Kebudayaan Daerah, 1985. 476 p. GERIYA, Wayan. Pariwisata dan dinamika kebudayaan lokal, nasional, global (Le tourisme et la dynamique culturelle locale, nationale, globale). Denpasar : Upada Sastra, 1995. 135 p.
377
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
GESICK, Lorraine (dir.). Centers, symbols and hierarchies : essay on the classical state of Southeast Asia. New Haven, Conn. : Yale University Southeast Asia Studies, 1983. 241 p. GINARSA, Ketut. 30 Maret Lahirnya Kota Singaradja. (Le 30 mars, naissance de la ville Singaraja). Singaraja : Indra Djaya, 1968 GOISSAUD, Antony. Haussmann et l’urbanisme parisien. in Architecture : une anthologie. Tome 1 : la culture architecturale sous la dir. de JeanPierre Epron. Liège : P. Mardaga, 1992. p. 137-140 GORIS, R. et Dronkers P. L. Bali : Atlas Kebudayaan, Cults and Costums. Jakarta : Republic of Indonesia, 1955. 208 p. GREENE, Patrick. Looking at Paris. Paris Hachette Réalités, 1973. 155 p. GUILLAUME, Marc. La Politique du patrimoine. Paris : Edition Galilée, 1980. 196 p. HALL, Edward Twitchell. La dimension cachée. Paris : Editions du Seuil, 1971, 256 p. HARDOY, Jorge Enrique. Pre-Columbian cities. New York : Walker, 1973. 602 p. HAUMONT, Nicole ; JALOWIECKI, Bohdan ; MUNRO, Moïra et SZIRMAI, Viktoria. Villes nouvelles et villes traditionnelles : une comparaison internationale. Paris : L’Harmattan, 1999. 341 p. HEDMAN, Richard et JASZEWSKI, Andrew. Fundamentals of urban design. Washington, D.C. : Planners Press, American Planning Association, 1984. 146 p. HEIDEGGER, Martin. L’Etre et le temps. Paris : J. Lechaux, 1985. 323 p. HEINE-GELDERN, Robert. Conceptions of state and kingship in Southeast Asia. Ithaca, N.Y. : Dept. of Asian Sudies, Cornell University, 1956. 14 p. INSEE. Inventaire Communal 1998. [CD : Communoscopes Cartovisions] JACOBS, Allan. B. Great Streets. Cambridge, Mass. : MIT Press,1993. 331 p. JELLICOE, Geoffrey and JELLICOE, Susan. The lanscape of man : shaping the environment from prehistry to the present day. 3e éd. New York : Thames and Hudson, 1995. 408 p. JEUDI, Henry-Pierre. Le patrimoine en folie. Paris : Maison des Sciences de l’homme, 1989 KOENTJARANINGRAT, R. M. Kebudayaan, mentalitas dan pembangunan ( la culture, la mentalité et le développement ). Jakarta : Gramedia, 1981. 151 p. LANCRET, Nathalie. La maison balinaise en secteur urbain : étude ethnoarchitecturale. Paris : Association Archipel, 1997. 303 p. LARSEN, Svend Erik and PETERSEN, Annelise Ballegaard. La rue – espace ouvert. Odense : Odense University Press, 1997, 219 p. [voir] LAVEDAN, Pierre. Géographie des villes. Paris : Gallimard, 1937. 207 p. LENIAUD, Jean-Michel. L’utopie française : essai sur le patrimoine. Paris : Éditions Mengès, 1992. 181p. LÉVY, Jacques et LUSSAULT, Michel (dir.). Logiques de L’espace, Esprit des lieux : géographies à Cerisy. Paris : Édition Belin, 2000. 351 p. 378
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
LÉVY, Jacques. La mesure de l’urbanité. Urbanisme n°296, sept – oct. 1997, p.5861 LYNCH, Kevin. The Image of the City, 1960 MAC RAE, Graeme S. Economy, ritual and history in a balinese tourist town. Thèse : Auckland University,1997 MAKI, Fumihiko. Investigation in collective form. Saint-Louis : Washington University,1964. 87 p. MANGIN, David et PANERAI, Philippe. Projet Urbain. Marseille : Éd. Parenthèses,1999. 185 p. MANGUNWIJAYA, Johanes. Wastu Citra. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1985, 352 p. MARTOPO, S. Bali : balancing environment, economy & culture. [Waterloo, Ont] : Department of Geography, University of Waterloo, 1995. 644 p. MASBOUNGI, Arielle. Quelle modernité pour l’espace public ? . Projet urbain n° 4, mai 1995, p.1 MAUBOURGUET, Jean. Sarlat et ses châteaux. Périgueux : Pierre Fanlac, 1967.107 p. MERLIN, Pierre. L’urbanisme. Paris : Presses universitaires de France, 1991. 127 p. MERLIN, Pierre. et CHOAY, Françoise (dir.). Dictionnaire de l’urbanisme et de l’aménagement. 3° éd. revue et corrigée. Paris : Presses universitaires de France, 2000, 902 p. MITAL, Ranjana. A Tradition for the future. in La tradition et la modernité : séminaire d’architecture. Jakarta : Université Mercu Buana, 1996. p. 415-436 MONNERAYE, Jean.Visage de l’Île-de-France. Paris : Horizons de France,1946.p11-74. MONNET, Jérôme. La symbolique des lieux : pour une géographie des relations entre espace, pouvoir et identité. http://www.cybergeo.presse.fr/geoculte/ texte/monet.htm, 1998. 12 p. MOUDON, Anne Vernez (dir.). Public streets for public use. New York : Van Norstrand Reinhold, 1987. 351 p. MOUGHTIN, James Clifford. Urban design : street and square. Oxford : Butterworth Architecture, 1992. 211 p. MUIJZENBERG, O. Van den, and WOLTERS W. Conceptualizing development. The historical-sociological tradition in Dutch non-western sociology. Amsterdam : Free university Press, 1988 NGURAH, AA Gde. Raja Bangli menjadi raja Buleleng. (Le roi de Bangli est devenu le roi Buleleng). Bangli, 1997 [non publié] NORBERG-SCHULZ, Christian. Genius Loci : paysage, ambiance, architecture. Bruxelles : P. MARDAGA, 1981. 213 p. NORBERG-SCHULZ, Christian. L’art du lieu : architecture et paysage, permanence et mutations. Paris : le Moniteur, 1997. 312 p. 379
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
NORDHOLT, Henk Schulte. Bali : colonial conceptions and political change, 17001940 : from shifting hierarchies to « fixed » order. Rotterdam : Erasmus University, 1986. 62 p. NORDHOLT, Henk Schulte. State, village and ritual in Bali : a historical perspective. Amsterdam : University Press, 1991. 50 p. NORDHOLT, Henk Schulte. The spell of power : a history of balinaise politics, 1650-1940. Leiden : KITLV Press, 1996. 388 p. PANERAI, Philippe ; DEPAULE, Jean-Charles et DEMORGON, Marcelle. Analyse urbaine. Marseille : Ed. Parenthèses, 1999. 189 p. PARIMIN, Ardi Pardima. Fundamental study on spatial formation of island village : environmental hirarchy of sacred-profane concept in Bali. Thèse de doctorat : Université Osaka, 1986 PATURUSI, Syamsul Alam. Pengaruh pariwisata pada tata ruang tradisional Bali. (Les influences de tourisme de masse sur l’espace traditionnel balinais). Thèse aménagement du territoire de PWK-ITB : Institut Teknologi Bandung, 1988 PATURUSI, Syamsul Alam. Le problème des impacts culturels du tourisme à Bali (Indonésie) : vers une alternative planificatrice, Thèse de doctorat en Géographie-aménagement, sous la dir. d’Olivier Soubeyran, Pau : Université de Pau et des Pays de L’Adour, 2000. 256 p. PREVELAKIS, Georges. Les Grandes métropoles comme carrefours des diasporas. http://www.cybergeo.presse.fr/culture/prevelak.htm, 1999. 8 p. PURWA, Treh Pancoran. (Le dynastie Pancoran). Negara, 1976 [non-publié] PUTRA, I Gusti Made. Kekuasaan dan transformasinya dalam arsitektur : studi budaya kasus puri Tabanan. (Le pouvoir et la transformation architecturale : une élaboration culturelle le cas du palais Tabanan). Thèse de Lettres : Université Udayana : Denpasar, 1998. 239 p. QUANTRILL, Malcolm. The environmental memory : man and architecture in landscape of ideas. New York : Schocken Books, 1987. 214 p. RAPOPORT, Amos. House form and culture. Englowood Cliffs, N.J. : Prentice Hall, 1969. 146 p. RAPOPORT, Amos. Human aspect of urban form : toward a man-environment approach to urban form and design. Oxford ; New York : Pergamon Press, 1977. 438 p. RAPOPORT, Amos. Asal Usul budaya permukiman. (Origin of the human settlement), dans CATANES, Anthony. J et SNYDER, James C : Pengantar Perencanaan kota, (Introduction to urban planning), traduction de l’anglais en Indonésien, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1986, p 38-82. RACINE, Jean-Bernard. La ville entre Dieu et les hommes. Paris : Anthropos ; Genève : Presses bibliques universitaires, 1993. 354 p. REICHERT Henri et REMOND Jean-Daniel. Analyse sociale de la ville. Paris : Masson, 1980. 226 p. 380
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
RIEGL, Alois. Le culte moderne des monuments : essence et genèse. Paris : Ed. du Seuil, 1984. 122 p. RIVAI Abu (dir.), Sistem Kesatuan Hidup Setempet Daerah Bali, (Le systéme d’unité de la vie locale balinaise). Denpasar : PDK (Département d’Éducation et de la culture), 1980/1981. 160 p. ROTENBERG, Robert L. et MCDONOGH, Gary W.(dir.). The cultural meaning of urban space. Westport, Conn. : Bergin & Garvey, 1993. 226 p. ROUX, Michel, Géographie et complexité. Les espaces de la nostalgie, L’Harmattan, Paris, 1999, 335 p. SAEZ, Jean-Pierre (Dir.). Identités, cultures et territoires. Paris : Desclée de Brouwer, 1995. 267 p. SALAIN, Putu Rumawan. Norma-norma dan prinsip asta bumi dalam pencerminan wujud penataan ruang perumahan dan permukiman Bali. (Les normes et principe asta bumi dans la transformation de l’aménagement spatial des habitations balinaises) : séminaire « Regionalisasi Penyebarluasan Produk », Bali, février, 1996, [non publié] SALIYA, Yuswadi. Spatial concept in balinese traditional architecture : its possibilities for future development. Thése de magister : Université of Hawai, 1975, 143 p. SASTRODIWIRYO, Sugianto. Gusti Anglurah Panji Sakti Raja Buleleng (15991680), (Gusti Anglurah Panji Sakti le roi de Buleleng 1599-1680). Denpasar : Kayumas Agung, 1993 SASTRODIWIRYO, Sugianto. Perang Jagaraga (1846-1849). (La guerre de Jagaraga 1846-1849). Denpasar : Kayumas Agung,1994 SHASTRI, ND Pandit. Sejarah Bali Dwipa (Histoire de l’Île de Bali). Denpasar : Bhuvana Saraswati, 1963, 103 p. SHIRVANI, Hamid. The urban design process. New York : Van Nostrand Reinhold, 1985. 214 p. SHORT, John R. An introduction to urban geography. Londres : Routledge & Kegan Paul, 1987. 259 p. SIDEMEN, Ida Bagus (dir.). Sejarah Klungkung : Dari Smarapura sampai Puputan (L’histoire de Klungkung : de Smarapura à Puputan). Klungkung : Gouvernement du Departement, 1983. 206 p. SIMPEN AB, Wayan. Babad Kerajaan Buleleng. (La chronique du royaume Buleleng). Denpasar : Cempaka2, 1989 SOUBEYRAN, Olivier. Comment se fabrique un territoire de la prospective ?. in La façade atlantique : émergence, supports et perspectives d’un territoire pour l’aménagement, Rapport final de recherche, C.N.R.S. Pau : Université de Pau et des Pays de l’Adour ; Paris : DATAR, 1993. 12 p. SOUBEYRAN, Olivier. Imaginaire, science et discipline. Paris : l’Harmattan, 1997. 482 p. 381
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
SOUBEYRAN, Olivier. De la prise en compte du milieu à son évacuation dans la géographie médicale du début du XXe siècle. in Milieu, colonisation et développement durable : Perspectives géographiques sur l’aménagement, sous la dir. de Vincent Berdoulay et Olivier Soubeyran. Paris : L’Harmattan, 2000. p. 101 – 115 SOUBEYRAN, Olivier. De quelques implications de la « relation homme/milieu ». in Logique de l’espace, esprit des lieux : géographies à Cerisy, sous la dir. de Jacques Lévy et Michel Lussault. Paris : Ed. Belin, 2000. p. 253268 STEFANON, Laurence ; HENRY-CLAUDE, Michel et SPIERCKEL, Pierre. Cité de Sarlat guide aide-mémoire. Gavaudun : Éd. Fragile, 1994. 8 p STIERLIN, Henri. Angkor. Fribourg : Office du Livre, 1970. 192 p. SUANDRA, I Made. Peraturan Upacara agama Hindu untuk rumah Bali (L’ordre de cérémonie rituelle hindoue pour la maison balinaise). Denpasar : Upada Sastra, 1996 SUGIHANTARA, I Ketut. Model Penataan Kawasan Pusat Kota di Bali dengan konsep « Catus Patha » (Le modèle d’aménagement de centre ville à Bali à partir la conception de « Catus Patha »). Thèse de magister d’architecture : Institut Teknologi Bandung, 1996 SULARTO, Robby. A brief introduction to traditional architecture of Bali, some basic norms : séminaire de « The AgaKhan Awards for Architecture ». Bali, 1987, [non publié] SULISTYAWATI, A. Balinese Traditional Architectural Principles in Hotel Buildings. Thèse d’architecture : Oxford University, 1995 SUMAWA, I Gusti Made. Kerajaan Bangli Tahun 1849. (Le royaume Bangli en 1849). Thèse : Université de Denpasar, 1992 TARNUTZER, Andreas. Kota Adat Denpasar (Bali). (La ville coutumiére de Denpasar, Bali). Stadtentwicklung, Staatliches Handeln und endogene Institutionen, Anthropogeographie, Vol. 12, Zürich, 1993. 245 p. THURIOT, Fabrice, Fonctions culturelles et aménagement du territoire, in Quels acteurs et quels moyens pour la France de 2005 ?, p 201-227 TOO, Lilian. Applikasi Feng Shui : Pa-Kua et Lo-Shu. (L’application du Feng Shui : Pa-Kua et Lo-Shu). Jakarta : Gramedia, 1995, 169 p. TURCO, Angelo. Pragmatiques de la territorialité : compétence, science, philosophie. in Logique de l’espace, esprit des lieux : géographies à Cerisy, sous la dir. de Jacques Lévy et Michel Lussault. Paris : Ed. Belin, 2000. p. 287-298 TURCO, Angelo. Colonisation et après : légitimité territoriale et développement durable en Afrique sub-saharienne. in Milieu, colonisation et développement durable : perspectives géographiques sur l’aménagement, sous la dir. de Vincent Berdoulay et Olivier Soubeyran. Paris : l’Harmattan, 2000. p. 175 – 184
382
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
TURCO, Angelo. Sociotopies : institutions géographiques de la subjectivité. Cahiers de Géographie du Québec, Volume 45, N° 125, septembre 2001, p. 269 – 284 TURCO, Angelo. Mythe et géographie. Cahiers de Géographie du Québec, Volume 45, N° 126, décembre 2001, p. 369 – 388 UDAYANA, Panji Tisna. Pahlawan Nasional Patih Jelantik : Seorang Ksatri Buleleng. (Le héros national Patih Jelantik : Un héros de Buleleng). Jakarta : PT. Pustaka Utama Grafiti, 1996 UNESCO (ED.). La dimension culturelle du développement : vers une approche pratique. Paris : Ed. UNESCO, 1994. 241 p. UNITED STATES. NATIONAL MAIN STREET CENTER…[et al.] (Ed.). What do people do downtown ? : How to look at Main Street acvitity. New York : The preservation Press National Trust for historic preservation, 1981. 106 p. VOLWAHSEN, Andreas. Inde bouddhique, hindoue et jaïna. Fribourg : Office du Livre, 1968. 192 p. WEBB, Michael. The city Square. Londres :Thames and Hudson, 1990. 224 p. WEBER, Max. La ville. Paris : Aubier-Montaigne, 1982. 218 p. WHEATLEY, Paul. The pivot of the Four Quarters : a preliminary enquiry into the origins and character of ancient Chinese city. Edimbourg : Edinburg University Press,1971. 602 p. WIDIASTUTI. Identifkasi orientasi tidur orang Bali dalam rumah massal (Identification de l’orientation de dormir des Balinais dans les maisons industriel). Bali : Centre de Recherche, Université d’Udayana, 1989 WIDIASTUTI. Kebijakan pemerintah dalam pembangunan perumahan di Indonesia (La politique du gouvernement dans la réalisation du projet de logement en Indonésie). Bali : Centre de Recherche, Université d’Udayana,1993 WIDIASTUTI. «Quo Vadis» arsitektur tradisional Bali («Quo Vadis» l’architecture traditionnelle balinaise), séminaire d’histoire de l’architecture. Bandung : Institut de Technologie de Bandung, 1996. [non publié] WIDIASTUTI. Peran Undagi dalam konservasi arsitektur Bali (Le rôle de l’«Undagi» dans la conservation de l’architecture balinaise), séminaire d’histoire de l’architecture. Bandung : Institut de Technologie de Bandung, 1997 [non publié] WIDIASTUTI. Pempatan Agung sebagai embrio perkembangan kota-kota di Bali (Le Pempatan Agung, en tant que le point de départ de croissance des villes balinaises). Bali : Centre de Recherche, Université d’Udayana, 1997. [non publié] WIDIASTUTI. Penataan system penghubung di pusat pariwisata Kuta, Bali. (L’aménagement du système de liaison de centre touristique de Kuta, Bali). Thèse magister d’architecture : Institut de Technologie de Bandung, 1997 383
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
WIDIASTUTI. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan prasarana kota di Bali, (Participation communautaire dans l’établissement d’équipements urbains à Bali). Bali : Centre de Recherche, Université d’Udayana, 1998. [non publié] WIKARMAN, I Nyoman Singgih. Bangli Tempo Dulu, (Bangli autrefois). Denpasar : Yayasan Wikarman, 1997. [non publié] WILMOTTE, Jean-Michel. Paris : Une culture urbaine de la voirie. Le Projet urbain, n° 5, septembre 1995, p 7-8 WIRASONJAYA, Slamet. Grid system. in Environmental design : a study for Tangerang mega block, 1994 [non publié.] WIRTH, Louis. Urbanism as way of life. American Journal of Sociology, vol. 44, 1938, p 1-24 WIRYOMARTONO, Bagoes.P. Seni Bangunan dan seni bina kota di Indonesia, (L’art des bâtiments et de ville en Indonésie). Jakarta : Gramedia, 1995. 201 p. WUNENBURGER, Jean-Jacques. Le sacré. Presses universitaires de France, 1981. 127 p. ZEISEL, John. Inquiry by design : tools for environment-behavoiur research. Monterey, Calif. : Brooks/Cole Pub. Co., 1981. 250 p.
MAJALAH, KORAN Asie. Magazine Air France, n° 51 Juillet 2001, p. 58-112 Barcelone. GEO, n° 127, septembre 1989, p : 69-108 Filisofi «Tri Hita Karana» banyak dikebiri. (La philosophie « Tri Hita Karana » est beaucoup réduite). Bali Post , 28 septembre 2000. [http://www.balipost.co.id/ ] Konsep «Tri Hita Karana» perlu ditinjau. (Le concept « Tri Hita Karana » doit être examiné). Bali Post, 1 août 2000. [http://www.balipost.co.id/.] Les collections de L’Histoire, Paris : la traversée des siècles, no. 9 -Octobre 2000, 114 p. MESSIER Jean-Marie. Vivre la diversité culturelle. Le Monde, mardi 10 avril 2001, p.1 &15 Paris : Splendeurs du passé, vertiges du futur. GEO, n° 93, novembre 1986, p. 111-206 Paris 1989-1989. GEO, n° 118, décembre 1988, p. 101-174 Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Bali. ( Plan d’aménagement du territoire de Bali). Bali Post, 11 –31 juillet 1996, p. 3 : Extrait de PERDA No°.4 1996.
384
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
PERATURAN BIRO HUKUM DAN HUBUNGAN MASYARAKAT,. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya,. ( République d’Indonésie loi sur les réserves culturelles 1992 numéro 5). Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan DEPARTEMENT PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1993 Tentang Pelaksanaan UU No.5 Tahun 1992 Tentang benda cagar budaya GIARSA, Ketut, Darmaning Hasta Kosala-Kosali. (Les traductions en indonésien des anciennes inscriptions des hasta kosala-kosali). Singaraja, 1967. 66 p. [non publié] PEMERINTAH DAERAH PROPINSI BALI. Peraturan Daerah Propinsi Tingkat I Bali Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Bali. Bali, 1996 TONJAYA, I Nyoman Gede Bandesa.K. Lintasan Asta Kosali. Denpasar : Penerbit & Toko Buku Ria, 1982. 55 p.
385