LAPORAN PEMETAAN DAN PENYUSUNAN ROADMAP PENYELESAIAN KONFLIK SOSIAL ANTARA MASYARAKAT MUARA TAE DENGAN PT. BORNEO SURYA MINING JAYA DI KABUPATEN KUTAI BARAT PROPINSI KALIMANTAN TIMUR
Disampaikan Kepada Complaint Panel RSPO dan Para Pihak Terkait Di RILO - Jakarta, tgl 25 Juni 2013
1
Pendahuluan
Latar Belakang 1. Operasi perkebunan kelapa sawit PT. Borneo Surya Mining Jaya (PT. BSMJ)- First Resources G roup ( F R) , m endapatkan Complaint EIA (Environmental Investigation Agency) terkait pelanggaran yang dilakukan atas Prosedur Penanaman Baru dan juga atas prinsip-prinsip dan kriteria RSPO.
2. Selanjutnya dalam sebuah meeting informal antara FR, Petinggi Muara Tae (Masrani), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan NCIV di RT 10 Singapura Tanggal 30 Oktober 2012, petinggi Muara Tae menginformasikan konflik kepemilikan lahan antara Muara Tae dgn Muara Ponak, dan meminta PT. BSMJ untuk menghentikan pengosongan maupun pembersihan lahan (400 Ha) yang dibebaskan Yakobus.
Latar Belakang • Berbagai upaya penyelesaian sudah dilakukan oleh pihak perusahaan, namun belum berjalan efektif. • Laporan Intertek tgl. 20 Maret 2013 menyebutkan sebuah estimasi kasar antara wilayah yang tumpang tindih antara lahan yang diklaim Masyarakat Muara Tae dengan PT. BSMJ antara 1800 Ha dan 2100 Ha.
Latar Belakang •
Keputusan Complaint Panel RSPO (17 April 2013) yang berkaitan dengan SEIA d a n R o a d m a p menyebutkan :
• • •
Laporan SEIA harus direvisi dengan mengikutsertakan penyelesaian konflik Kampung Muara Tae. Sebuah road map/action plan haruslah dipikirkan, dan pada akhirnya dapat disetujui oleh masyarakat Muara Tae. Perumusan road map/action plan ini juga harus dikonsultasikan dengan Environmental Investigation Agency (EIA). Sebelum diimplementasikan, Road map/action plan ini harus di review dan disetujui oleh Complaints Panel.
Latar Belakang • PT. Borneo Surya Mining Jaya (PT. BSMJ) – FIRST RESOURCES Group, menunjuk Lingkar Komunitas Sawit (LINKS) untuk melakukan pemetaan dan penyusunan roadmap penyelesaian konflik sosial dengan masyarakat Kampung Muara Tae. • LINKS melaksanakan pemetaan dan penyusunan roadmap tersebut dengan melibatkan para pihak melalui implementasi presencing I (Social Engagement Facility).
2
Social Engagement Facility
Social Engagement Facility • Model fasilitasi penyelesaian konflik sosial yang dikembangkan dengan mengelaborasi metode riset kualitatif dengan teori-teori sosial yang relevan. • Ada tiga teori sosial yang sangat relevan SEF : a. Teory U – Otto Scharmer b. Hierachy of Effect – Lee Jhonson c. Habitus – Pierre Felix Bourdieu
Apa yang telah dilakukan : • Pra lapang mengklarifikasi
peran fasilitator dan menyiapkan kontak dengan pihak-pihak yang berkonflik, memeriksa latar-belakang konflik, dan mengembangkan strategi terbaik untuk mendekati pihak-pihak yang berbeda dalam konflik (Mei 2013).
• Pemetaan Konflik Sosial (Kerja Lapangan) fasilitator menemui pihak-pihak yang berkonflik secara terpisah dan mempelajari bagaimana mereka melihat/memandang konflik dan solusi penyelesaian konflik (4-12 Juni, 20 Juni dan 22 Juni 2013).
Metodologi Dalam Kerja Lapangan • Menggunakan metode riset kualitatif. • Data yang dibutuhkan : data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui pengamatan lapangan (obser vasi), Focus Group Discussion (FGD) dan wa wa n c a ra m e n d a l a m . Sementara data sekunder dikumpulkan melalui review dokumen.
• Penentuan narasumber sendiri dilakukan berdasarkan metode purposive sampling yakni dengan memperhatikan kemampuan maupun pengetahuan narasumber tentang topik pemetaan konflik s o s i a l d a n p e r t a nya a n pertanyaan dalam interview list.
Narasumber : • Kampung Muara Ponak : Petinggi (Rudiyanto), Badan Perwakilan Kampung/ BPK (Markus. S), Yakobus S (Sekdes) Tokoh Masyarakat dan Masyarakat yang membebaskan lahan ke PT. BSMJ (Giarto,Yakobus S, Tangsi, Mega)* . • Kampung Muara Tae : Petinggi (Masrani), Ketua Adat (Ignasius Igoo), Badan Perwakilan Kampung/BPK (Mustari N), Tokoh Masyarakat (Petrus Asui, Mimpin) dan Masyarakat yang melakukan klaim lahan* • Kampung lain : Petinggi dan Tokoh Masyarakat di Lempunah, Pentat dan Kenyanyan.
Narasumber : • NGO Pendamping : Ketua PW AMAN Kaltim (Seting Setiawan), Direktur TELAPAK (M. Djufryhard), Tim Pemetaan Partisipatif Telapak untuk Desa Muara Tae (Abu Meridian dan M. Taufik Wahab), Staf Urusan HAM dan Hubungan Internasional PB AMAN - (Patricia Wattimena), Perwakilan EIA (Mardi Minangsari). • Pemerintahan : Camat Siluq Ngurai, Camat Jempang dan Bagian Hukum SEKDA Kabupaten Kutai Barat
Apa Yang Telah Dilakukan: LINKS akan meneruskan perannya • Pemetaan Konflik Sosial (Menganalisis Konflik Sosial) dalam Presencing II jika, a) analisis
Fasilitator mengklarifikasi asumsiasumsi para pihak mengenai konflik yang terjadi, dan menganalisis posisi-posisi yang berbeda dari para pemangku kepentingan, serta menyusun rekomendasi penanganan atau penyelesaian konflik sosial.
konflik mengindikasikan bawa mekanisme pengelolaan konflik yang ada sebelumnya, tampaknya tidak akan berhasil; b) negosiasi berdasarkan kepentingan tampaknya adalah strategi yang terbaik dalam keadaan yang ada; dan c) intervensi fasilitator sendiri tidak akan membahayakan.
No Uraian Tujuan 1 Analisis Waktu (Kronologis). Untuk membantu para pemangku kepentingan dalam menguji sejarah konflik dan untuk meningkatkan pemahaman terhadap urutan kejadian yang menghasilkan konflik tersebut. 2
Analisis akar permasalahan, • isu dan aksi reaksi (Kronologis : jenis dan • luasan konflik).
3
Analisis pemangku kepentingan.
Untuk melakukan identifikasi siapa saja pemangku kepentingan yang terlibat dalam konflik.
4
Analisis 4R (rights, responsibilities, returns, relationships).
•
•
Untuk membantu para pemangku kepentingan menguji asal-‐usul dan sebab-‐ sebab dasar dari konflik, jenis dan luasan konflik. Untuk menguji isu-‐isu spesifik dan aksi reaksi apa saja yang berkontribusi terhadap eskalasi dan de-‐eskalasi konflik.
Untuk menguji hak, tanggung jawab dan keuntungan para pemangku kepentingan yang berbeda dalam hubungannya konflik klaim lahan, sebagai bagian dari usaha memperbaiki pemahaman terkait konflik tsb. Untuk menguji hubungan diantara (atau di dalam) kelompok-‐kelompok pemangku kepentingan yang berbeda.
Berdasarkan Analisis-‐Analisis tersebut selanjutnya disusun Roadmap Penyelesaian konflik.
3
Temuan-Temuan Lapangan
3.1
Keterangan-Keterangan Narasumber dan DokumenDokumen yang ditemukan Di Kampung Muara Tae serta NGO-NGO Pendamping
Sejarah Kampung • RPJM-Kampung Muara Tae tahun 2013 menyebutkan, sebelum berdiri menjadi Kampung, masyarakat adat Kampung Muara Tae bertempat di Lamin Mancong dengan sebutan Dayak Benuaq (Dayak Benuaq Ohonkng Sanggokng), hidup secara turun-temurun di Lamin Sanggokng, di tepi Sungai Nayan/Muara Sei Sanggokng, anak Sei Nayan serta dipimpin oleh Kakah Uguy bergelar Tumenggung Wana. • Pada masa Kerajaan Kutai Kartanegara abad 18, masyarakat Ohokng Sanggokng pernah dipindahkan ke Tenggarong selama 47-60 tahun sebagai wujud tindakan tegas Raja, karena telah melakukan gerakan (Arakng Dodoprotes). • Proses pemindahan tersebut dilakukan dalam waktu singkat sehingga banyak harta benda seperti padi, gong, antang, guci, tombak, melawetin, piring, par, hewan peliharaan, dan lain-lain tertinggal di Lamin Sanggokng.
Sejarah Kampung • Disebutkan juga : Warga Lamin Murukng Iyuq (leluhur warga Kampung Kenyanyan Dusun Ponak), pernah pindah atau menduduki di Lamin Sanggokng, mereka mengambil harta benda yang tertinggal di Lamin tersebut. • 47 – 60 tahun kemudian, Kakah Uguy dan pengikutnya kembali ke Lamin Sanggokng. Kakah Uguy mengajak Warga Lamin Murukng Iyuq bergabung dalam Lamin Sanggokng, tetapi mereka memilih kembali ke Lamin Murukng Iyuq.
Sejarah Kampung • Setelah itu masyarakat Lamin Sanggokng berpindah sesuai rotasi perladangan hingga akhirnya wilayah Sungai Nayan, Kampung Mancong pada tahun 1960 dan membangun Lamin Mancong Embo. • Pada tahun 1961 warga Lamin Mancong Embo yang berladang di wilayah Muara Tae membentuk Dusun Muara Tae dalam pemerintahan Kampung Mancong. • Pada tahun 2004 Kampung Muara Tae dimekarkan dari Kampung Mancong.
Sejarah Penguasaan Lahan • Status kepemilikan lahan, diatur dengan aturan “bilamana terdapat hutan belantara dan ada orang yang mengelolanya pertama kali, itu menjadi hak miliknya, apabila sebelumnya sudah ada yang menggarap maka status kepemilikan hanya sebagai hak kelola. • Penandanya biasa dengan batas-batas alam, tanda-tanda tradisional seperti benda pusaka, kuburan, Simpukng atau Lembo. • Simpukng atau Lembo adalah bekas ladang yang ditanami buah-buahan dan tanaman keras atau rotan untuk daerah yang rendah, sedangkan bagian lain dibiarkan tumbuh menjadi hutan kembali, jarang terjadi pemindahan kepemilikan simpukng dari satu keluarga ke keluarga yang lain – Simpukng atau lembo dijadikan tanda kepemilikan tanah.
Batas Kampung 1. Narasumber yang ditemui di Kampung Muara Tae menyebutkan bahwa berdasarkan pada keberadaan Lamin, Simpukng atau Lembo, benda-benda pusaka dan batas-batas alam, ditahun 2011 dengan didampingi LSM Telapak, mereka melaksanakan pemetaan partisipatif untuk menetapkan batas-batas desanya, dengan hasil sbb : o o o o
Sebelah Utara berbatasan dengan Kampung Perigiq. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kampung Muara Nayan dan Kampung Lempunah. Sebelah Timur berbatasan dengan Kampung Tanjung Isuy. Sebelah Barat berbatasan dengan Kampung Belusuh dan Kampung Kenyanyan-Dusun Ponak. Sungai Belusuh adalah batas Kampung Muara Tae dengan Kampung Belusuh. Sementara, wilayah Kampung Muara Tae yang berbatasan dengan Sungai Kenyanyan-Dusun Ponak seperti Utaq Tamanrendukung, Sungai Terotok dan Tenggenuk bersentuhan dengan sungai Menaliq dari anak sungai Pose/sungai Nayan merupakan perbatasan antara dengan Kampung Muara Tae dan Kampung Kenyanyan-Dusun Ponak.
Pandangan Narasumber Terkait Konflik Sosial 1. Menurut para narasumber yang ditemui di Muara Tae, permasalahan batas desa – mengalami eskalasi sejak masuknya investasi di Kampung Muara Tae dan kampung-kampung sekitarnya. 2. Salah satu Publikasi LSM TELAPAK mencatat sejarah perlawanan terhadap beberapa investasi yang masuk ke wilayah Muara Tae : o o o o o
Tahun 1971 investasi perusahaan HPH PT. Sumber Mas Tahun 1995 investasi Perkebunan kelapa sawit PT. LONSUM Tahun 1995/1996 investasi Tambang Batu Bara PT. Gunung Bayan Pratama Coal Tahun 2010 investasi Perkebunan Kelapa Sawit PT. Borneo Surya Mining Jaya (First Resources) Tahun 2011 investasi Perkebunan Kelapa Sawit PT. Munte Waniq Jaya Perkasa (THS Resources Bhd)
Pandangan Narasumber Terkait Konflik Sosial 3. Menurut para narasumber permasalahan tata batas desa saat ini sedang terjadi dengan Muara Ponak : o Terdapat perbedaan pendapat antara mereka dengan Muara Ponak terkait batas-batas alam dan tanda-tanda tradisional dalam menentukan batas kampung mereka. o Perbedaan tersebut belum tuntas, beberapa anggota masyarakat Muara Ponak melakukan penjualan tanah kepada PT. Munte Waniq Jaya Perkasa dan PT. Borneo Surya Mining Jaya. o Meski selanjutnya telah terbit SK Bupati Kutai Barat No. No.146.3/R.525/2012 tentang Penetapan dan Penegasan Garis Batas Wilayah Antara Kampung Muara Ponak Kecamatan Siluq Ngurai dengan Kampung Muara Tae Kecamatan Jempang, tetapi para Narasumber yang ditemui di Muara Tae tidak mengakui batas-batas yang ditetapkan dalam SK tersebut.
Pandangan Narasumber Terkait Konflik Sosial 4.
Atas beberapa keberatan dalam point 3, para narasumber mengakui bahwa mereka tengah melakukan Klaim atas tanah yang dijual beberapa orang Kampung Muara Ponak ke PT. Borneo Surya Mining Jaya dan PT. Munte Waniq Jaya Perkasa. o o o
o
Pembebasan ini terjadi sebagai akibat penetapan batas desa berdasarkan SK Bupati Kutai Barat No.146.3/R.525/2012. Para narasumber menyampaikan bahwa Tahun 2011 PT. BSMJ pernah melakukan sosialisasi satu kali, tetapi tawaran kemitraan pembangunan kebun kelapa sawit ditolak peserta sosialisasi saat itu. Hampir setahun tidak ada aktivitas, juni 2012 diketahui ada pembangunan kebun dalam wilayah konflik tata batas antara Kampung Muara Tae dan Kampung Muara Ponak, pembebasan lahan dilakukan melalui masyarakat Muara Ponak, dimana bukti-bukti administrasi dari proses tersebut dikeluarkan oleh pemerintah Muara Ponak. Para narasumber yang ditemui di Muara Tae menyatakan bahwa mereka keberatan atas pembebasan lahan tersebut, karena mereka merupakan pemilik lahan tersebut dan tidak pernah melakukan pembebasan kepada Perusahaan.
Pandangan Narasumber Terkait Konflik Sosial 5. Pemberhentian sdr. Masrani dari jabatan Petinggi Kampung Muara Tae. o NGO-NGO pendamping dan masyarakat yang ditemui di Kampung Muara Tae mengungkapkan bahwa terjadi pemberhentian Petinggi Muara Tae (Masrani) berdasarkan SK Bupati Kutai Barat. o Menurut para narasumber pemberhentian ini merupakan akibat dari perlawanan masyarakat yang dipimpin petinggi (Masrani) terhadap investasi-investasi yang masuk ke kampung tersebut. o Terkait proses pemberhentian mereka menguraikan bahwa ada tahapan-tahapan yang terlewat, pengusulan pemberhentian dimelalui rapat terbuka, tidak dilaksanakan melalui badan perwakilan kampung (BPK) dan terjadi pemalsuan tanda-tangan. o Selain itu uraian-uraian pemberhentian tidak melalui proses klarifikasi yang melibatkan Petinggi (Masrani) ataupun tidak berdasar pada keputusan pengadilan tertentu, sehubungan dengan hal tersebut baik Petinggi Muara Tae (Masrani) dan BPK Muara Tae telah menyampaikan klarifikasi dan penolakkan atas pemberhentian tersebut kepada pemerintah Kecamatan Jempang dan Pemerintah Kabupaten Kutai Barat.
Penyelesaian Konflik Sosial (Narasumber Kampung Muara Tae) Narasumber yang ditemui di Muara Tae mengajukan syarat-syarat dalam penyelesaian konflik : 1. Tidak ada kegiatan PT. BSMJ di Wilayah Kampung Muara Tae dan daerah konflik tata batas dengan Kampung Muara Ponak selama proses penyelesaian konflik dilakukan. Kegiatan PT. BSMJ diluar wilayah tersebut silahkan dilakukan. 2. PT. BSMJ diminta menghentikan proses provokasi di masyarakat untuk membebaskan lahan kepada perusahaan maupun terkait pembentukkan koperasi plasma. 3. Menghentikan keterlibatan/campur tangan aparat keamanan dalam hal ini Brimob.
Penyelesaian Konflik Sosial (Narasumber Kampung Muara Tae) 4. Para pendamping (AMAN dan TELAPAK) juga dilibatkan pada proses penyelesaian. 5. Pada dasarnya narasumber yang ditemui di Kampung Muara Tae sepakat dilakukan tahap persiapan untuk pemetaan, penyusunan etika, penentuan perwakilan, menentukan agenda penyelesian, selanjutnya melaksanakan FGD review kasus, visioning dan RKTL seperti yang disampaikan LINKS, hanya yang perlu dipertimbangkan mengenai tata waktu dan pembiayaan proses penyelesaian konflik ini. 6. Menurut mereka sebaiknya fasilitator dan pembiayaan datang dari pihak yang independen, bukan dari PT. BSMJ.
Penyelesaian Konflik Sosial (NGO Pendamping-AMAN) 1. Menurut AMAN, Masyarakat Muara Tae menginginkan, Perusahaan (PT. BSMJ) keluar dari kampung mereka, dan melakukan pemulihan secara hitam putih atas kerusakan yang telah ditimbulkan dalam tanah adat tersebut. 2. Terkait persoalan tata batas desa dengan kampung Muara Ponak, agar para pihak mendorong pihaknya masing-masing untuk menghargai batas yang adat yang sudah ada. 3. Mengenai pemberhentian Petinggi (Masrani) Oleh Bupati Kutai Barat bisa menjadi preseden bagi pihak lain, yaitu jika melawan perusahaan akibatnya seperti ini. Menurut AMAN, hal ini berdampak buruk untuk pemerintah kampung yang lainnya karena ketika mereka bersuara tentang hak mereka, mereka akan diperlakukan hal yang sama dengan sdr. Masrani. 4. Sebaik proses penyelesaian konflik melibatkan tenaga pemetaan dan fasilitator yang lebih netral. Kampung Muara Ponak sebaiknya memiliki peta partsipatif dimana sebagai masyarakat adat mereka menunjuk sendiri batasbatas desanya, tanpa kecurigaan.
Penyelesaian Konflik Sosial (NGO Pendamping-TELAPAK dan EIA) 1. TELAPAK - Ada proses yang transparan melalui keterbukaan dan kesetaraan antara para pihak yang dibangun dalam penyelesaian konflik. 2. EIA-meminta agar dalam menyusun roadmap LINKS memperhatikan temuan-temuan dalam revisi SEIA dan HCV yang juga diminta complaint panel RSPO untuk dilakukan oleh PT. BSMJ.
3.2
Keterangan-Keterangan Narasumber dan DokumenDokumen yang ditemukan Di Muara Ponak
Sejarah Kampung • Narasumber di kampung Muara Ponak menuturkan bahwa Sejarah Kampung Muara Ponak berawal dari Lamin (Rumah Betang atau Rumah panjang) yang dimulai sejak jaman manusia saling membunuh/ perang antar komunal masa Pengayauan. • Ada beberapa Lamin yang menandakan sejarah dan perkembangan Kampung Muara Ponak : o Lamin Murukng Iyuq (leluhur warga Kampung Kenyanyan Dusun Ponak), Lamin Temerenungk, Lamin Jahau, Lamin Pegongk, Lamin Megak (Lamin ini ada di sungai Ipe), Lamin Ponaq Ponsongk, Lamin Sungai Sensiringk, Lamin Muara Sungai Sensiringk, Lamin Pegongk 2, Lamin Tenung Terinsingk, Lamin Ponak, dan Lamin Muara Ponak. o Lamin Muara Ponak, dirikan di tepi sungai Ponak. Pada masa inilah pertama kalinya seorang petinggi ada dan diresmikan sebagai kampung Ponak. Lamin yang terakhir ini di bangun setelah masa kemerdekaan Indonesia.
Sejarah Kampung • Disebutkan juga : Ketika kampung Muara Ponak pertama kali didirikan, Petinggi pertama adalah Layo. Kemudian petinggi Layo diganti oleh Petinggi Saleh. Petinggi berikutnya adalah Sani. Pada masa petinggi sani, ada penggabungan kampung dengan kenyanyan berdasarkan kebijakan pemerintahan Soeharto. • Kemudian pada tahun 2009 petinggi khusus daerah Muara Ponak kembali dilantik dan pada tahun 2010 secara resmi kampung Muara Ponak dimekarkan dari kampung Kenyanyan.
Sejarah Penguasaan Lahan • Menurut para narasumber, setiap Lamin mempunyai wilayah yang sudah disepakati baik itu antar komunal maupun antar keluarga yang ada didalam lamin tersebut. Pembagian wilayah inilah yang kemudian menjadi hak waris untuk setiap kelompok keluarga yang tinggal di dalam Lamin. Biasanya dalam setiap keluarga besar pemilik hak waris akan ditunjuk satu orang sebagai penanggungjawab untuk kelompoknya untuk berurusan jika terjadi persoalan atas hak waris keluarga maupun soal pembagian atau pemecahan kelompok dalam keluarga tersebut. • Menurut cerita turun temurun ada 4 keluarga yang pada awalnya mewarisi wilayah yang ada di sekitar Kampung Muara Ponak sekarang.
Sejarah Penguasaan Lahan Keempat Keluarga tersebut : 1. Pak Sigau, Warisan beliau ini sekarang diwariskan ke Pak Derum. Pak Derum ini kemudian pecah lagi hak warisnya ke keluarga Pak Burhan (Kepala Adat Kampung Ponak sekarang) dan Pak Yakobus. 2. Pak Siit, Sekarang hak warisnya ke Pak Didi (mantan ketua RT). 3. Pak Anok, Keturunan dari Pak Anok ini adalah Pak Tansi. 4. Pak Renungk, Garis keturunan dari Pak Renungk ini adalah Pak Jerky, Pak Giarto dan Pak Charles.
Sejarah Penguasaan Lahan • Pembagian hak waris ini adalah berupa pembagian hutan yang belum dikelola dan wilayah yang sudah dikelola. • Biasanya pembagian ini mengikuti wilayah yang sudah dikelola sebelumnya sehingga menjadi satu hamparan. Keturunan dari pemegang hak waris ini akan mengelola di wilayah pembagiannya masing-masing. Walaupun demikian sangat memungkinkan juga mereka mengelola di wilayah lainnya, atau penduduk dari kampung lain melakukan pengelolaan di wilayah mereka.
Batas Kampung • Menurut para narasumber yang ditemui di Muara Ponak, batas antara Kampung Muara Ponak dengan kampung-kampung lain mengacu pada batas kecamatan dan kampung induk masing-masing, sebelum pemekaran. • Tetapi Kampung Muara Ponak tidak dapat menunjukkan peta terkait wilayah administrasi maupun batas-batas desa yang dimaksud. Tim LINKS dalam penelurusan lebih lanjut menemukan satu denah (kartografi) terkait batas Kampung Muara Ponak dengan Kampung-Kampung Sekitar, dibuat tahun 2005 dan ditanda-tangani oleh Kepala Adat dan Petinggi Kampung Ringkong, Kepala Adat dan Petinggi Kampung Kenyayan, Camat Jempang, Camat Muara Pahu dan Camat Siluq Ngurai.
Pandangan Narasumber Terkait Konflik Sosial 1. Masalah Tata batas desa dengan Kampung Muara Tae : o Menurut para narasumber, batas pertama antara Mancong dan Kenyanyan (desa-desa induk sebelum pemekaran) berada di Singa Banda dekat Camp Baru sekarang. o Di sinilah sejarah pertama kalinya perebutan batas antara masyarakat Ohong (Kampung Muara Tae) dan Kelawit (Kampung Muara Ponak) pernah terjadi. Pada masa itu kedua kelompok saling serang. Karena persoalan semakin membesar maka seorang panglima suku Dayak Benuaq Kelawit yang bernama Siit mendamaikan persoalan ini. Kedua belah pihak menyepakati batas yang baru di wilayah pohon bangris (Pohon madu). o Menurut masyarakat Kampung Muara Ponak batas inilah yang sekarang ditetapkan oleh pemerintah melalui SK Bupati Kutai Barat No.146.3/R.525/2012 tentang Penetapan dan Penegasan Garis Batas Wilayah Antara Kampung Muara Ponak Kecamatan Siluq Ngurai dengan Kampung Muara Tae Kecamatan Jempang, karena ini mengacu pada penetapan tata batas Kecamatan dan Kampung-Kampung Induk sebelum Kampung Muara Ponak dan Kampung Muara Tae dimekarkan.
Pandangan Narasumber Terkait Konflik Sosial 2. Pembebasan lahan kepada PT. BSMJ : o Para narasumber di Kampung Muara Ponak masih meyakini bahwa mereka adalah pemegang hak waris atas wilayahnya. Dengan begitu menurut mereka, walaupun di lahan hak warisnya ada kelola orang lain tetapi tanahnya tetap milik mereka, sehingga ada hak untuk mengalihkan kepemilikan tanah tersebut kepada pihak lain termasuk menjual atau dikerjasamakan dengan pihak perusahaan. Walaupun begitu mereka tetap mengakui hak kelola pihak lain yang ada di atas hak warisnya. o Narasumber di Kampung Muara Ponak yang pernah menyerahkan lahan hak warisnya adalah Yakobus, yang diperoleh dari warisan keluarga besar Pak Sani. Yakobus menyampaikan, masyarakat Kampung Muara Tae tidak punya ladang/hak kelola di lahan warisan keluarganya karena lahan hak warisnya merupakan bekas lahan HTI. HTI mengembalikan lahan milik keluarga besar Pak Sani (Yakobus). Oleh Keluarga besar lahan diserahkan ke PT. BSMJ sekitar 400 Ha dan tidak ada hak kelola milik orang lain pada lahan tersebut.
Pandangan Narasumber Terkait Konflik Sosial 2. Pembebasan lahan kepada PT. BSMJ : o Contoh lain pada lahan hak waris keluarga Giarto. Dia mengakui ada hak waris dan hak kelola, sehingga saat melakukan pembebasan lahan kepada perusahaan, dia menyakini bahwa pemegang hak kelola di lahan hak warisnya tersebut pasti akan menuntut. Karena itu keluarga besar ini hanya menerima harga tanahnya saja, sementara untuk hak kelola GRTT diminta untuk disisihkan. Contoh, dalam perjanjiannya dengan perusahaan untuk hak waris hanya Rp. 1 juta dan Rp. 2 juta diberikan kepada pemegang hak kelola sebagai ganti rugi tanam tumbuhnya. Giarto juga mengaris bawahi bahwa walaupun mempunyai hak kelola dilahan tersebut bukan berarti pengelola berhak atas tanahnya juga. o Dengan dasar-dasar pertimbangan ini maka Masyarakat Kampung Muara Ponak kemudian melakukan pembebasan atas tanah yang termasuk dalam wilayah konflik tata batas dengan Kampung Muara Tae kepada PT. BSMJ.
Penyelesaian Konflik Sosial (Narasumber di Kampung Muara Ponak) 1. Narasumber di Kampung Muara Ponak mengaku tidak pernah ada masalah dengan antara mereka dan masyarakat Kampung Muara Tae. Adanya gejolak saat ini, disebabkan oleh sekelompok masyarakat di Kampung Muara Tae (menurut mereka kelompok tersebut adalah : kelompok Petrus Asui dan Masrani). 2. Dengan adanya perusahaan sekarang ini hampir semua kampung ingin memperluas wilayahnya. Tetapi jika berkaitan dengan tata batas kampung dengan Muara Tae, seharusnya tidak perlu dipermasalahkan, sudah seharusnya mengacu pada SK Bupati Kutai Barat. 3. Menurut narasumber di Kampung Muara Ponak setidaknya 3 kali upaya penyelesaian tata batas, sampai sekarang belum ada kata sepakat antara kedua belah pihak terutama oleh kelompok masyarakat Kampung Muara Tae.
Penyelesaian Konflik Sosial (Narasumber di Muara Ponak) Beberapa tawaran penyelesaian yang diusulkan oleh Narasumber di Muara Ponak adalah : 1. Jika ada persoalan antara PT. BSMJ dengan masyarakat Kampung Muara Tae maka itu harus diselesaikan terlebih dahulu. 2. Penyelesaian secara kekeluargaan. Kelompok masyarakat Muara Tae seandainya ada garapan di wilayah Ponak maka dipersilahkan datang dan berbicara dengan pemilik hak waris di Kampung Muara Ponak. Menurut mereka komunikasi kekeluargaan ini harus berjalan terutama antara pemilik hak waris Ponak dengan kelompok Petrus Asuy dan Masrani.
3. Pembuktian adanya hak kelola Masyarakat Muara Tae dipersilahkan membuktikan hak kelolanya dan masyarakat Muara Ponak siap mengakuinya bilamana bukti-bukti tersebut benar.
Penyelesaian Konflik Sosial (Masyarakat Muara Ponak) Beberapa tawaran penyelesaian yang diusulkan oleh masyarakat Muara Ponak adalah: 4. Penyelesaian melalui pemerintah (Hukum positif) 5. Penyelesaian secara adat (Sumpah batas). Menurut tokoh yang ada di Kampung Muara Ponak syarat untuk menyelesaikan secara adat adalah misalnya dari PT. BSMJ ingin menyelesaikan permasalahan antara Ponak dan Muara Tae maka, biaya dan lain sebagainya sampai dengan denda, itu semua ditanggung oleh PT. BSMJ. Kemudian jika ingin merubah batas, harus dibuat sumpahnya oleh sesepuh adat, hal ini berarti fasilitator ataupun mediator (orang ketiga) yang akan memimpin proses tersebut juga harus disumpah adat. Jika yang merubah tidak tepat dan tidak pada posisi yang benar maka dialah yang menanggung segala resikonya.
4
Keterangan-Keterangan Manajemen PT. BSMJ
Perijinan • PT. BSMJ memperoleh Ijin Lokasinya berdasarkan surat Keputusan Bupati Kutai Barat nomor : 525.26/K.037/2010 tentang Ijin Lokasi Usaha Perkebunan Kelapa Sawit PT. Borneo Surya Mining Jaya dalam wilayah Kabupaten Kutai Barat tertanggal 21 Januari 2010. Luas wilayah yang tertera dalam Ijin lokasi ini adalah ± 11.210 Ha, terletak dalam wilayah Kampung Kenyanyan, Lempunah, Pentat, dan Muara Nayan Kecamatan Siluq Ngurai dan Jempang, Kabupaten Kutai Barat. • 18 Mei 2010, perusahaan memperoleh keputusan dari Kepala Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Kutai Barat tentang Kelayakan KA-ANDAL kegiatan perkebunan dan pabrik minyak sawit seluas 11.210 Ha. Surat keputusan Nomor : 660.5/005.KA ANDAL/BLH-KBR/V/2010 ini menerangkan bahwa kegiatan perkebunan perusahaan beserta segala aktifitas di dalamnya adalah layak, jika ditinjau dari aspek lingkungan hidup.
Perijinan • Keputusan tersebut diperkuat dengan Keputusan dari Bupati Kutai Barat yang tertuang dalam surat Keputusan Bupati Kutai Barat Nomor : 660.5/009/ AMDAL/BLH-KBR/VI/2010 tentang kelayakan lingkungan hidup ANDAL, RKL dan RPL kegiatan perkebunan kelapa sawit atas nama PT Borneo Surya Mining Jaya di kampung Kenyanyan, Ponak, Lempunah, Pentat, dan Muara Nayan Kecamatan Siluq Ngurai dan Jempang Kabupaten Kutai Barat tertanggal 24 Juni 2010. • PT. BSMJ juga telah memperoleh Izin Usaha Perkebunan pada areal dalam izin lokasi seluas 11.201 Ha berdasarkan Keputusan Bupati Kutai Barat 525.20/K. 935b/2010 tanggal 22 November 2010.
Proses Pembebasan Lahan • Sebelum pembebasan lahan, survei dan identifikasi serta sosialisasi/ penyuluhan tentang maksud dan tujuan dari pembangunan kebun kelapa sawit tersebut kepada masyarakat setempat. • Dari salah satu dokumen diketahui deskripsi sosialisasi yang dilakukan PT. BSMJ adalah : o Rencana lokasi perkebunan dan pabrik PT BSMJ meliputi 4 kampung : Kampung Pentat, Muara Tae, Muara Nayan, dan Lembonah dengan luas areal 11.210 Ha. o Jenis kegiatan adalah perkebunan dan pabrik minyak sawit dengan kapasitas pabrik 60 ton/ jam. o Aktivitas yang akan dilakukan : tahap pra konstruksi, tahap konstruksi, tahap operasi, tahap pasca operasi o Ikut dijelaskan juga dampak positif dan negatif yang mungkin timbul dengan adanya perkebunan dan pabrik minyak sawit. o Mendengarkan saran dan tanggapan masyarakat.
Proses Pembebasan Lahan • Bilamana masyarakat menerima tawaran kerja sama pengembangan kebun maka perusahaan akan melajutkan aktivitas ke pembentukkan tim verifikasi lahan dan tahapan negosiasi pembebasan lahan. • Dalam meeting dengan Manajemen PT. BSMJ terungkap bahwa prinsip utama yang dipegang perusahaan dalam pembebasan lahan adalah Clean and Clear, dimana pihaknya tidak melakukan pembebasan lahan tanpa persetujuan pemilik lahan. Karena itu dokumen-dokumen pembebasan lahan dan pembayaran lahan selalu diclearkan sebelum proses pembukaan lahan dilakukan. • Setelah dokumen-dokumen selesai dan secara administrasi disetujui pemerintah desa setempat, tahapan pembukaan lahan dan pembangunan kebun dilakukan.
Proses Pembebasan Lahan • Berdasarkan data perusahaan dari areal yang telah dibebaskan (GR/GTT) disekitar area dispute (dalam laporan Intertek-Moody), penanaman telah dilakukan seluas 252,82 Ha tahun 2012 dan tahun 2012 mencapai luasan 318.69 Ha. • Dari luasan tanan tersebut, pada area yang dibebaskan Yakobus, penanaman telah mencapai 210,4 Ha.
Klarifikasi Manajemen Terkait Konflik Tata Batas Kampung 1. Awalnya ada permasalahan dengan PT. Munte Waniq Jaya Perkasa, yang dirasa cukup meresahkan, membuat Pemerintah Kabupaten Kutai Barat turun tangan, dimana Pemerintah Kabupaten kemudian menetapkan batas kampung Muara Tae dan Muara Ponak tanpa melibatkan perusahaan. Namun setelah SK Bupati tentang tata batas dibuat, pihak Petinggi Muara Tae (Masrani) kembali mengajukan keberatan dan mengajukan gugatan ke PTUN, tetapi gugatan tersebut ditolak. 2. Manajemen mengetahui ada SK Bupati Kutai Barat tentang Pemberhentian Petinggi Muara Tae (Masrani). 3. Terkait seluruh proses diatas, perusahaan mengaku tidak campur tangan atau tidak terlibat sama sekali, dan kedua hal tersebut sepenuhnya merupakan kewenangan pemerintah.
Klarifikasi Manajemen Terkait Pembebasan Lahan Muara Ponak 1. Perusahaan mengakui melakukan sosialisasi di Muara Tae tahun 2011, ternyata peserta sosialisasi di Muara Tae saat itu menolak. Kemudian perusahaan memutuskan untuk mundur, lalu mencoba masuk ke desa-desa lain. Perusahaan kemudian masuk ke desa Muara Ponak, dengan mengusung prinsip bahwa pekerjaan baru akan dilakukan apabila masyarakat telah setuju untuk menyerahkan lahan dengan kompensasi, dan setuju dengan program plasma 20 %. 2. Proses pembebasan lahan melalui tim verifikasi yang dibentuk oleh desa. Di tengah-tengah proses klaim dari kelompok Petrus Asui dan Masrani belum masuk, sehingga dengan ijin masyarakat Muara Ponak, PT. BSMJ mulai melakukan pembebasan lahan yang diserahkan masyarakat Muara Ponak. 3. Dokumen-dokumen penyerahan dan pembayaran lahan dilengkapi sesuai SOP, ditandatangani oleh Pemilik lahan dan diketahui oleh Pemerintah Desa Muara Ponak, Kepala Adat Desa Muara Ponak dan Camat Siluq Ngurai.
Klarifikasi Manajemen Terkait Pembebasan Lahan Muara Ponak 3. Bulan Oktober - Desember 2011, PT. BSMJ mengosongkan lahan di Muara Ponak (yang tidak termasuk dalam konflik tata batas) dan sudah dikompensasi (seluas 284,29 Ha) untuk pembangunan infrastruktur, lahan pembibitan dan perkebunan. 4. Bulan Juni 2012, PT. BSMJ melakukan pembebasan lahan atas lahan yang diserahkan Yakobus seluas 400 Ha (lahan ini termasuk dalam penetapan tata batas Muara Tae dan Muara Ponak berdasarkan SK Bupati Kutai Barat No. 146.3/R.525/2012, sebagai wilayah administrasi Kampung Muara Ponaq.
Klarifikasi Manajemen Terkait Complaint EIA, AMAN dan Petinggi Muara Tae 1. Tanggal 17 Oktober 2012 (setelah 30 hari persyaratan masa public notification di website RSPO terlewati), EIA (Environmental Investigation Agency) mengadukan PT. BSMJ terkait pelanggaran yang dilakukan atas Prosedur Penanaman Baru dan juga atas prinsip-prinsip dan kriteria RSPO. 2. Tanggal 30 Oktober 2012, sebuah meeting informal antara First Resources (FR), Petinggi Muara Tae (Masrani), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan NCIV di RT 10 Singapura. Dalam meeting tsb, petinggi Muara Tae menginformasikan konflik kepemilikan lahan antara Muara Tae dgn Muara Ponak, dan meminta PT. BSMJ untuk menghentikan pengosongan maupun pembersihan lahan (400 Ha) yang dibebaskan Yakobus.
Klarifikasi Manajemen Terkait Complaint EIA, AMAN dan Petinggi Muara Tae 3. Tanggal 12 November 2012 – 20 Maret 2013, manajemen dan para pihak terkait (AMAN, EIA, petinggi Muara Tae dan RSPO-Intertek) melaksanakan rangkaian aktivitas untuk penyampaian complaint, klarifikasi, pembahasanpembahasan dan audit terkait pengaduan yang telah disampaikan pada point 1 dan 2. 4. Complaint Panel RSPO memutuskan agar BSMJ melakukan serangkaian tindakan perbaikan sebelum 30 Juni 2013 dan PT. BSMJ-FR secara prinsip menyambut positif keputusan Complaint Panel tersebut, serta melakukan tindakan-tindakan korektif yang melibatkan pihak eksternal.
Klarifikasi Manajemen Terkait Keterangan Narasumber di Muara Tae 1. Manajemen meminta agar pernyataan “perusahaan memprovokasi masyarakat” tidak digunakan, karena aktivitas yang dilakukan perusahaan adalah sosialisasi kepada masyarakat, jika kemudian ada diantaranya secara individual, bersedia membebaskan lahan, maka itu merupakan hak mereka. Aktivitas sosialisasi perusahaan bukanlah tindakan provokatif. 2. Manajemen menerangkan bahwa penggunaan aparat keamanan di lapangan adalah hal wajar untuk mencengah kemungkinan terjadi bentrok, apalagi ada pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya administrasi yang dilakukan secara berkala dan membutuhkan kehadiran aparat keamanan. Manajemen memandang usulan untuk tidak lagi menggunakan aparat keamanan seakan-akan menafikkan aspek positif dari kehadiran aparat keamanan.
Pandangan Manajemen Terkait Penyelesaian Konflik 1. Mempersiapkan roadmap penyelesaian konflik adalah wujud kesediaan FR dan PT. BSMJ melakukan tindakan korektif dalam pembangunan kebunnya, terutama penyelesaian klaim lahan yang disampaikan masyarakat Muara Tae. 2. Terkait pelaksanaan Pemetaan dan Penyusunan Roadmap penyelesaian konflik pihak LINKS diharapkan : o
Pemetaan dan penyusunan roadmap dapat mengidentifikasi dengan tepat berapa luasan lahan yang berkonflik sebenarnya, karena tidak diseluruh lahan yang ditujukkan dalam peta Dispute (1.800 s.d 2.100 Ha) dalam laporan Intertek terdapat permasalahan sosial. Selain itu PT. BSMJ juga belum beroperasi diseluruh wilayah yang ditunjuk dalam peta Dispute Intertek.
Pandangan Manajemen Terkait Penyelesaian Konflik 2. Terkait pelaksanaan Pemetaan dan Penyusunan Roadmap penyelesaian konflik manajemen mengharapkan : o
o
Roadmap juga harus mempertimbangkan keinginan kelompok-kelompok masyarakat lain di Muara Tae yang bersedia bermitra dengan perusahaan dalam pembangunan kebun. Bahwa kelompok Petrus Asui dan Masrani yang menolak, adalah satu kelompok masyarakat, di Muara Tae ada juga kelompok yang bersedia menyerahkan lahan dan bermitra dengan PT. BSMJ. Penting bagi para pihak untuk mempertimbangkan kepentingan kelompok ini, sama seperti para pihak mempertimbangkan kepentingan kelompok yang menolak. Road Map juga harus mempertimbangkan kewajiban PT. BSMJ untuk melakukan pembangunan kebun sebagaimana yang diwajibkan pemerintah Kabupaten Kutai Barat, dan kepentingan masyarakat di desa-desa lain, yang juga telah menyerahkan lahan. Kepada mereka, PT. BSMJ juga memiliki kewajiban pembangunan kebun, terutama kebun kemitraan (Plasma). Karena itu pada area yang tidak terdapat konflik, PT. BSMJ seharusnya dapat melanjutkan kegiatan pembangunan kebun.
5
Kesimpulan & Rekomendasi
Kesimpulan 1.
Tata waktu konflik : • Waktu terlama adalah abad 18 yang menunjukkan bahwa permasalahan wilayah (tata batas) antara Muara Tae dan Muara Ponak telah berlangsung lama. Begitupun penyampaian complaint Muara Tae terhadap pembebasan lahan yang dilakukan proyek-proyek investasi diwilayah desanya, telah berlangsung lama dan konsisten dilakukan sejak tahun 1971 hingga saat ini, terutama setelah penetapan SK Bupati Kutai Barat No. No.146.3/R. 525/2012. • Sehingga penyelesaian konflik ini membutuhkan waktu, intensitas komunikasi yang tinggi antara para pihak dan penerapan pendekatanpendekatan sosiologis, selain pendekatan struktural dan keamanan yang sekarang dilakukan.
Kesimpulan 2.
3.
Jenis dan akar Konflik Sosial : • Jenis Konflik : 1)Tata Batas Desa antara kampung Muara Tae dan Muara Ponak. 2) Klaim atas pembebasan lahan yang dilakukan masyarakat Muara Ponak pada PT. BSMJ. Klaim disampaikan oleh masyarakat Muara Tae. • Akar masalah : 1) perbedaan keterangan terkait batas-batas alam, tandatanda tradisional dalam penentuan batas Kampung Muara Tae dan Muara Ponak. 2) Pembebasan dan pembangunan kebun yang dilakukan di atas tanah yang sedang berkonflik. • Implikasi konflik : Pemecatan Petinggi Muara Tae (Masrani) dan Segregasi Sosial (pengelompokkan masyarakat) baik di internal masyarakat Muara Tae, maupun antara Kampung Muara Tae dan Kampung Muara Ponak. Luasan Konflik Sosial akan ditunjukkan dalam peta berikut :
Luasan Konflik Sosial Areal Konflik tata batas Desa dalam ijin PT. BSMJ adalah 892 Ha, areal konflik klaim lahan yang harus diselesaikan PT. BSMJ seluas 400 Ha berada didalamnya.
Kesimpulan 4.
Para Pihak yang terlibat saat ini : • Masyarakat Kampung Muara Tae dan Masyarakat Kampung Muara Ponak. • Pemerintahan Kampung Muara Tae dan Muara Ponak. • Pemerintah Kecamatan Jempang, Kecamatan Siluq Ngurai, BUPATI Kutai Barat, dan DISHUTBUN Kutai Barat. • NGO Pendamping : TELAPAK, AMAN dan EIA. • Manajemen PT. BSMJ dan FR. • RSPO.
Rekomendasi (Roadmap) 1. Merekomendasikan PT. BSMJ untuk menunda aktivitas pembangunan kebun (mulai dari pembebasan lahan, pembukaan areal baru maupun penanaman areal baru pada wilayah konflik) seluas 892 Ha, hingga tercapai kesepakatankesepakatan penyelesaian konflik. Penundaan aktivitas ini diharapkan tidak meniadakan kegiatan perawatan kebun, pada areal tertanam di dalam wilayah konflik seluas 210, 4 Ha. Pertimbangan-pertimbangan teknis atas kegiatan perawatan ini perlu dikomunikasi PT. BSMJ pada complainant dan Complaint Panel RSPO.
Rekomendasi (Roadmap) 2. Merekomendasikan para pihak untuk memberi ruang kepada perwakilan masyarakat Muara Tae, menyampaikan perbedaan-perbedaan pendapatnya terkait penetapan tata batas kampungnya dengan Muara Ponak maupun perihal pemberhentian Petinggi (Masrani). Ruang tersebut dapat diwujudkan melalui : o PT. BSMJ beraudiensi kepada Bupati Kutai Barat untuk menyampaikan belum tuntasnya masalah tata batas yang sedang terjadi diareal ijin perkebunannya setelah penetapan SK Bupati, dampak konflik sosial tersebut bagi pembangunan kebun PT. BSMJ sekaligus menyampaikan upaya-upaya penyelesaian yang sedang ditempuh. o NGO-NGO pendamping memfasilitasi Masyarakat Muara Tae dalam melanjutkan penyampaian complaint atas tata batas Desa Muara Tae dan Desa Muara Ponak maupun pemberhentian Petinggi (Masrani) kepada pemerintah Kabupaten Kutai Barat. Fasilitasi ini direkomendasikan untuk didukung oleh RSPO baik dari sisi pembiayaan maupun hal-hal teknis lain.
Rekomendasi (Roadmap) 2. Kedua aktivitas dalam Rekomendasi ini harus mempertimbangkan : o Aturan perundangan yang berlaku bahwa : 1) Penegasan batas daerah maupun desa merupakan kewenangan tim penetapan dan penegasan batas yang dibentuk pemerintah daerah, dimana tokoh-tokoh masyarakat harus dilibatkan dalam tim maupun prosedur penegasan batas tersebut - Permendagri RI No. 1 tahun 2006 tentang pedoman penegasan batas daerah dan Permendagri RI No. 27 Tahun 2006 tentang penegasan batas desa. 2) Bahwa masyarakat memiliki hak untuk menyatakan sikap setuju maupun tidak terhadap perubahan fungsi ruang disekitarnya - UU RI No. 27 tahun 2006 tentang Penataan Ruang. 3) Terdapat tata cara pemberhentian Kepala Desa (petinggi) berdasarkan Peraturan pemerintah No. 72 tahun 2005 tentang Desa pasal 17-23 yang perlu diperhatikan, dan menjadi hak dari Pihak Petinggi (Masrani) untuk mengajukan complaint, bilamana tahapan tersebut tidak terpenuhi. o Bahwa penyampaian materi complaint merupakan bagian dari hak warga negara tetapi dalam penyampaiannya harus tetap mengacu pada aturan perundangan yang berlaku.
Rekomendasi (Roadmap) 2. Lanjutan : o Proses fasilitasi terkait tata batas harus dikoordinasikan dengan Pemerintah Kecamatan dan mendapat persejutuan Pemerintah Kabupaten. o Proses penyelesaian tata batas harus berimbang (setara) dalam mendengar dan memperhatikan kepentingan masyarakat baik Muara Tae dan Muara Ponak. o Proses fasilitasi penyelesaian tata batas harus melaui masa-masa persiapan dimana para pihak (Masyarakat Muara Tae dan Muara Ponak) perlu memiliki peta partisipatif tentang batas-batas desa mereka (jika belum, maka perlu dilakukan penelurusan batas-batas desa), menentukan perwakilan para pihak dan pendamping, menyusun jadwal/ agenda-agenda penyelesian konflik, menyusun etika maupun tata cara dalam negosiasi penyelesaian konflik, menyusun tata cara pengambilan keputusan/penyusunan kesepakatan, tata cara implementasi dan monitoring kesepakatan, serta menyusun mekanisme complaint bilama terdapat pihak yang melanggar kesepakatan. o Proses fasilitasi tata batas ini juga harus menunjuk fasilitator/negosiator/mediator yang bersifat independen untuk memandu para pihak dalam agenda yang telah disusun dalam persiapan.
Rekomendasi (Roadmap) 2. Lanjutan : o Adapun proses dan tahapan penyampaian complaint atas pemberhentian Petinggi Muara Tae (Masrani) diserahkan sepenuhnya kepada yang bersangkutan dan NGO-NGO pendamping. o Dukungan RSPO dalam hal pendanaan fasilitasi ini penting agar dana datang dari pihak independen, sementara dukungan pada hal-hal teknis dapat diwujudkan dalam penunjukkan tim pemetaan independen maupun fasilitator/negosiator/mediator (terutama untuk masyarakat Muara Ponak yang belum memiliki peta partisipatif dan pendamping masyarakat).
Rekomendasi (Roadmap) 3. Merekomendasikan PT. BSMJ untuk melanjutkan fasilitasi penyelesaian klaim lahan masyarakat Muara Tae pada areal seluas 400 Ha yang dibebaskan Yakobus (Muara Ponak). Proses ini direkomendasikan pelaksanaannya melalui tahapan-tahapan : o
o
Persiapan-persiapan untuk : pemetaan pada areal-areal yang diklaim, menentukan perwakilan para pihak dan pendamping, menyusun jadwal/ agenda-agenda penyelesaian klaim lahan, menyusun etika maupun tata cara dalam negosiasi penyelesaian klaim lahan, menyusun tata cara pengambilan keputusan/penyusunan kesepakatan, tata cara implementasi dan monitoring kesepakatan, serta menyusun mekanisme komplain bilama terdapat pihak yang melanggar kesepakatan. Melakukan FGD Review Kasus lanjutan, untuk mendorong para pihak melakukan evaluasi dalam inner place mereka terkait argumen-argumen yang menjadi dasar-dasar bertahan para pihak serta implikasinya bagi penyelesaian konflik. Review kasus ini diperlukan untuk menjajaki sejauh mana perbedaan kepentingan dan unsur-unsur yang menjadi dasar bertahan masing-masing pihak. Review kasus lanjutan ini akan dilakukan berulang-ulang agar mendapatkan gambaran yang lebih sempurna.
Rekomendasi (Roadmap) 3. Lanjutan : o
o
Setelah gambaran konflik semakin jelas, review kasus akan dilanjutkan dengan pemberian pengetahuan baru yang relevan agar para pihak memiliki kemampuan mengembangkan mindset baru, ketrampilan negosiasi dan komunikasi sosial serta kemampuan mengelola dinamika kelompoknya agar mereka tidak mudah terpancing emosi atau bahkan menjadi putus asa saat melalui proses penyelesaian konflik yang membosankan dan berliku-liku. Melaksanakan Visioning, bilamana secara internal kondisi para pihak sudah semakin kondusif dan telah terbangun pengetahuan baru, fasilitasi para pihak dapat dilanjutkan dengan visioning guna menyusun materi dan jenis kegiatan yang akan diusulkan dalam penyelesaian konflik.
Rekomendasi (Roadmap) 3. Lanjutan : o
Setelah Visioning, perlu dilakukan Rencana Kerja Tindak Lanjut (RKTL), aktivitas ini akan mempertemukan para pihak yang tidak ditujukan untuk melakukan diskusi atau negosiasi penyelesaian konflik, tetapi untuk membahas pilihan-pilihan kegiatan penyelesaian konflik dan aturan mainnya termasuk membahas mekanisme komplain bilamana terjadi pelanggaran, menentukan perwakilan dan pendamping, menentukan fasilitator/negosiator/ mediator, menyusun jadwal dan menentukan materi-materi yang akan dibahas dalam penyelesaian konflik.
o
Berdasarkan kesepakatan ini selanjutnya dengan menggunakan fasilitator/negosiator/ mediator yang Independen para pihak dapat melangkah sesuai RKTL yang telah disepakati bersama untuk penyelesaian konflik, sebagaimana yang ditujukkan pada gambar berikut :
Rekomendasi (Roadmap) 4. Dalam pelaksanaan rekomendasi no. 3, terdapat syarat yang perlu diperhatikan : o o
Perwakilan dari NGO-NGO pendamping harus dihadirkan pada pelaksanaan FGD Review kasus lanjutan, Visioning dan RKTL untuk memantau proses fasilitasi yang dilakukan. Bahwa peran fasilitator dengan pembiayaan perusahaan hanya sampai tahap penyusunan RKTL, selanjutnya dengan pembiayaan RSPO (pihak independen), direkomendasi menggunakan fasilitator/negosiator/mediator yang Independen untuk memandu para pihak dapat melangkah pada RKTL yang telah disepakati bersama untuk penyelesaian konflik klaim lahan.
Rekomendasi (Roadmap) 5. Merekomendasikan RSPO untuk meninjau kembali suspend yang diberlakukan pada areal perkebunan PT. BSMJ mengingat : o o o o
o o
Tidak seluruh areal merupakan wilayah konflik. Kewajiban yang harus dipenuhi PT. BSMJ terkait perijinan yang diberikan pemerintah untuk melakukan aktivitas-aktivitas pembangunan kebun. Kepentingan masyarakat desa lain yang telah melaksanakan penyerahan lahan kepada PT. BSMJ agar pembangunan kebun dilanjutkan terutama untuk pembangunan kebun plasma. Penyampaian narasumber di Muara Tae tentang dipersilahkannya PT. BSMJ untuk melakukan pembangunan kebun di wilayah desa-desa lain, akan tetapi PT. BSMJ diminta untuk tidak melakukan akvitas pembangunan kebun sementara waktu pada wilayah Desa Muara Tae termasuk di dalam wilayah konflik Memperhatikan kepentingan kelompok masyarakat lain di Muara Tae yang bersedia bekerja sama ataupun bermitra dalam pembangunan kebun dengan PT. BSMJ. Peninjauan kembali suspend RSPO dan berapa luasan lahan yang akan dikeluarkan selanjutnya diskusikan para pihak (Complainant, manajemen PT. BSMJ dengan complaint panel RSPO).
Terima Kasih