BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Pengantar Desertasi ini adalah studi tentang politik luar negeri Indonesia pasca Orde
Baru dengan fokus kajian pada pergeseran politik luar negeri Indonesia era Reformasi, yang sebelumnya lebih menonjolkan karakter realpolitik (anarkis, rivalitas dan konfrontatif) dan kini menekankan perilaku yang lebih kooperatif, damai dan bersahabat. Secara khusus, dengan menggunakan perspektif Konstruktivisme, desertasi ini ingin melihat pergeseran politik luar negeri Indonesia terhadap standar hak asasi manusia (HAM) internasional, yang sebelumnya bersikap pasif, enggan dan bahkan menolak menjadi lebih proaktif, akomodatif dan kooperatif terhadap standar HAM internasional tersebut. Topik ini penting untuk dikaji mengingat sampai saat ini masih sangat jarang penelitian atau kajian ilmiah yang mendalam, komprehensif dan terstruktur dengan baik tentang kebijakan luar negeri Indonesia pasca Orde Baru, khususnya kajian mengenai politik luar negeri Indonesia dalam bidang HAM. Seperti diuraikan di bagian tinjauan pustaka, sebagian besar kajian atau penelitian ilmiah yang pernah dilakukan memfokuskan dirinya pada kebijakan luar negeri Indonesia pada masa Pemerintahan Presiden Soekarno (Orde Lama) dan Pemerintahan Presiden Suharto (Orde Baru). Kalaupun ada beberapa kajian yang membahas politik luar negeri Indonesia pasca Orde Baru, maka sebagian besar kajian tersebut terbatas pada topik atau isu-isu konvensional seperti hubungan atau politik luar negeri Indonesia terhadap negara-negara atau kawasan tertentu, atau politik luar negeri Indonesia terhadap isu-isu tertentu di luar isu HAM. Selain itu, umumnya kajian tentang politik luar negeri Indonesia yang sudah dilakukan didominasi oleh perspektif, pendekatan atau teori-teori mainstream (klasik), terutama yang termasuk dalam kubu Positivisme dan Rasionalisme seperti Realisme, Liberalisme, Neorealisme dan Neoliberalisme. Padahal, perspektif, teori atau pendekatan dalam kelompok mainstream ini sudah
1
lama dikritik oleh banyak ahli karena dianggap terlalu fokus pada kekuatan (power) - material atau hard power- sebagai konsep dasar dalam memahami politik internasional, termasuk politik luar negeri suatu negara. Di antara power tersebut, maka kekuatan militer (military power) dan kemampuan ekonomi (economic power) adalah dua di antara instrumen yang paling penting bagi politik luar negeri, dan oleh karenanya selalu menjadi prioritas utama dalam konsepsi kepentingan nasional suatu negara. Hal ini terjadi karena teori-teori mainstream ini melihat politik internasional adalah semata-mata sebagai perjuangan merebutkan kekuasaan (struggle for power).1 Itulah sebabnya, teori-teori mainstream ini sering dikritik karena dianggap tidak mampu menjelaskan fenomena perubahan perilaku suatu negara dari yang bersifat realpolitik (anarkis, rivalitas dan konfrontatif) ke perilaku yang lebih kooperatif, damai dan bersahabat seperti yang dilakukan oleh bekas Uni Soviet menjelang berakhirnya Perang Dingin.2 Bahkan lebih khusus, teori-teori mainstream ini cenderung mengabaikan nilai-nilai universal seperti HAM sebagai faktor penting (dapat memainkan peran penting) dalam politik luar negeri suatu negara.3 Menurut pandangan teori-teori mainstream ini, suatu negara dapat mengabaikan faktor lain seperti isu HAM, jika isu-isu semacam itu dianggap tidak sesuai dengan kepentingan nasional negara tersebut. Padahal, setidaknya dalam tiga dekade terakhir atau lebih, HAM sudah menjadi salah satu isu yang paling penting dalam masyarakat dan politik internasional. Di samping isu lingkungan hidup, penyakit pandemik, konflik etnik 1
Untuk penjelasan lebih dalam tentang pandangan kaum Realis dan Neo-realis ini, lihat misalnya, Hans, Morgenthau, Politics among Nations: the Struggle for Power and Peace, (4th. Ed), New York, Knofp, 1967; Kennet, Waltz, Theory of International Politics, New York, Random House, 1979; dan Little, Richard and Michael Smith, Perspectives on World Politics (3rd Ed), London, Routledge, 2006 2 Tentang kritik terhadap kegagalan pendekatan (Neo)realisme dalam menjelaskan perubahan perilaku suatu negara menjadi lebih bersahabat lihat misalnya K.M. Fierke, “Constructivism”, dalam Tim Dunne, Milja Kurki, Steve Smith, International Relations Theories: Discipline and Diversity, New York, Oxford University Press, 2007; Cynthia Weber, International Relations Theory: A Critical Introduction (3rd ed.), London, Routledge, 2001, terutama pada bagian 2: “Realism: is international anarchy the permissive cause of war?”; atau Abubakar Eby Hara, Pengantar Analisis Politik Luar Negeri: Dari Realisme sampai Konstruktivisme, Bandung, Nuansa, 2011, hal:116-119 3 Judith Goldstein and Robert O.Keohane (eds.), Ideas & Foreign Policy: Beliefs, Institutions, and Political Change, Ithaca, Cornell University Press, 1993, hal. 157.
2
dan terorisme, isu HAM telah menjadi agenda permanen dari berbagai organisasi internasional maupun regional seprti PBB, Bank Dunia, ASEAN, Uni Eropa dll. Masalah HAM juga berkembang, tidak lagi hanya fokus pada hak sipil dan politik, tetapi juga meliputi hak-hak dasar lainnya, termasuk hak ekonomi, sosial dan budaya. Banyak negara-negara di dunia (bahkan sebagian besar) telah menempatkan HAM sebagai faktor penting dalam program nasional maupun kebijakan luar negeri mereka.4 Negara-negara tersebut tidak hanya meratifikasi berbagai standar HAM internasional yang telah diadopsi oleh PBB tetapi juga berusaha mengimplementasikannya dalam kebijakan ekonomi, sosial, budaya, politik serta sistem hukum dan perundang-undangan mereka. Dalam konteks tersebut di atas, maka desertasi ini menjadi tepat waktu dan penting, bukan saja untuk mengisi “ruang” yang belum digarap (yaitu kebijakan luar negeri Indonesia pasca Orde Baru terhadap HAM) tetapi juga mencoba keluar dari “perangkap” penggunaan perspektif dan teori mainstream yang sangat dominan dalam masa Perang Dingin. Dengan menggunakan perspektif yang berbeda dengan perspektif atau teori-teori yang umumnya digunakan oleh para peneliti
politik
Konstruktivisme
luar
negeri
Indonesia
(constructivism),
maka
sebelumnya, diharapkan
yaitu
desertasi
persepktif ini
dapat
menyumbangkan cara pandang dan pendekatan baru dalam memahami politik luar negeri Indonesia, khususnya kebijakan luar negeri Indonesia pasca Orde Baru terhadap standar HAM internasional.
1.2. Latar Belakang Masalah Sejak era Presiden Soekarno (Orde Lama) dan sampai dengan berakhirnya era Presiden Suharto (Orde Baru) pandangan dunia (world view) Indonesia sangat didominasi
oleh
perspektif
mainstream
yaitu
(Neo)realisme
dan
(Neo)liberalisme.5 Pandangan dunia semacam itu ditandai oleh cara pandang dan
4
Untuk pembahasan mengenai HAM dan Politik Luar Negeri, lihat misalnya, Peter R. Baehr, The Role of Human Rights in Foreign Policy, (3th ed.), New York, Palgrave Macmillan, 2003. 5 Untuk diskusi lebih lanjut mengenai Realisme lihat, misalnya, Hans J. Morghentau, Politics Among Nations: the Struggle for Power and Peace, Alfred A. Knopt, 1947 and Richard N. Lebow,
3
sikap yang selalu curiga, tidak percaya, defensif dan reaktif serta melihat ke dalam (inward looking). Indonesia pada periode tersebut melihat politik international sebagai suatu dunia yang anarkis dan tidak bersahabat, yang bukan saja dapat mengancam kepentingan nasionalnya tetapi juga berbahaya bagi eksistensi Indonesia sebagai bangsa dan negara.6 Di era Presien Soekarno, pandangan seperti itu terlihat dari orientasi dan praktik kebijakan luar negeri Indonesia yang secara fundamental dibangun atas nasionalisme tradisional atau nasionalisme sempit (narrow nationalism); antikolonialisme, fokus pada upaya mempertahankan kemerdekaan serta melindungi kedaulatan (teritorial, ekonomi, politik dan ideologi) dari segala bentuk ancaman dari luar. Slogan-slogan seperti ”merdeka atau mati”, “kami cinta perdamaian tapi lebih cinta kemerdekaan”, “NKRI adalah harga mati”, merupakan ekspresi dari nasionalisme tradisional tersebut. Akibatnya, politik luar negeri Indonesia di era Presiden Soekarno bersifat konfrontatif sebagaimana ditunjukan oleh kebijakan “Ganyang Malaysia”, pembebasan Irian Jaya, keluar dari Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang kemudian diikuti dengan mendirikan gerakan New Emerging Forces (NEFOS) serta menyelenggarakan Games of New Emerging Forces (GANEFOS) sebagai tandingan Olimpiade. Indonesia juga pada era ini mendirikan Gerakan Non-Blok dan membangun Poros Jakarta - Peking serta mencanangkan proyek Berdiri di Kaki Sendiri (Berdikari) sekaligus menolak bantuan dan kerjasama dari negaranegara Barat sebagaimana terlihat dari slogan-slogan;
“Inggris kita linggis”,
“Amerika kita seterika”, “go to hell with your aid” dll. Di era Presiden Suharto, karakter dasar kebijakan luar negeri Indonesia sesungguhnya tidak banyak berubah. Pandangan dunia Indonesia masih bertumpu pada cara pandang (Neo)realisme; selalu curiga, tidak percaya, defensif dan reaktif serta “inward looking”. Sampai dengan berakhirnya Pemerintah Suharto “Realism”, in Tim Dune, Milja Kurki, Steve Smith, International Relations Theories: Discipline and Diversity, Oxford University Press, New York, 2007. 6 Untuk pemahaman lanjut tentang karakter politik luar negeri Indonesia masa ini lihat misalnya, Franklin B. Weinstein, Indonesian Foreign Policy and the Dilemma od Dependence: from Sukarno to Suharto, Ithaca, Cornell University, 1976 dan Michael Leifer, Indonesia”s Foreign Policy, London, Goerge Allen and Unwin, 1983.
4
tahun 1998 Indonesia tetap melihat politik international sebagai dunia yang anarkis dan tidak bersahabat, yang bukan saja dapat mengancam kepentingan nasionalnya tetapi juga berbahaya bagi eksistensi Indonesia sebagai bangsa dan negara. Padahal, periode tahun 1990-an politik internasional relatif lebih aman dan stabil sejalan dengan telah berakhirnya Perang Dingin pada tahun 1990-an awal. Bedanya, jika zaman Presiden Soekarno sumber ancaman terhadap Indonesia adalah kolonialis Barat sehingga Indonesia cenderung ke “kiri”, maka pada masa Presiden Suharto, walaupun masih tetap anti kolonialisme, sumber ancaman utamanya adalah komunisme sehingga Indonesia dekat dengan Barat. Kecenderungan tersebut terlihat dari kebijakan Indonesia yang selalu mewaspadai dan menolak keras tumbuh dan berkembangnya ideologi komunisme di tanah air. Untuk itu Indonesia secara ketat menjaga jarak dengan negara-negara komunis seperti bekas Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina (RRC). Bahkan Indonesia sempat memutuskan hubungan diplomatiknya dengan RRC pada tahun 1967. Didasarkan atas persepsi ancaman yang sama, yaitu bahaya komunisme, Indonesia juga melaksanakan kebijakan mengintegrasikan Timor Timur ke dalam wilayah Indonesia pada tahun 1975. Dengan demikian, perbedaan politik luar negeri Indonesia pada dua periode kepemimpinan tersebut di atas lebih pada perbedaan prioritas: pada periode Orde Lama prioritas utamanya adalah pada aspek politik dan keamanan, sedangkan pada era Orde Baru perioritas utamanya lebih pada pembangunan ekonomi. Dalam konteks ini, tidak heran kalau pelaksanaan politik luar negeri Indonesia sejak kemerdekaan sampai reformasi 1998 pada dasarnya bertumpu pada apa yang kita kenal sebagai elemen kekuatan material (hard power elements): utamanya kekuatan militer dan ekonomi, luas wilayah, jumlah penduduk yang besar, kekayaan alam dll. Oleh karena itu, dapat difahami kalau pada era Presiden Soekarno dan Presiden Suharto kedua elemen tersebut (kekuatan militer dan ekonomi) mendapatkan perhatian khusus untuk dibangun dan dikembangkan. Konsisten dengan pandangan kaum Realis, norma dan nilainilai universal seperti HAM, misalnya, tidak dilihat oleh Indonesia era Orde Lama dan Orde Baru sebagai prioritas dalam kebijakan luar negerinya karena dianggap
5
sebagai hal yang tidak ada kaitannya dengan kepentingan ekonomi, politik dan keamanan Indonesia. Bahkan, norma dan nilai-nilai universal seperti termuat dalam standar HAM internasional di samping dianggap bukan kebutuhan mendesak juga dianggap tidak sejalan dengan kepentingan nasional Indonesia. Standar HAM internasional ditolak karena dianggap berasal dan dibuat oleh Barat, yang bukan saja bertentangan dengan prinsip negara Indonesia yang berdaulat tetapi juga berbahaya bagi norma-norma dan nilai-nilai asli yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia seperti nilai budaya, agama dan terutama terhadap ideologi negara yaitu Pancasila. Itulah sebabnya, Indonesia sampai dengan berakhirnya kepemimpinan Presiden Suharto agak enggan untuk mengadopsi secara formal dan eksplisit norma-norma dan nilai-nilai universal tersebut, terutama standar HAM internasional yang dianggap memiliki resiko politik yang besar jika diratifikasi. Misalnya Konvenan Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Konvensi Anti Penyiksaan (CAT) dan Konvensi Anti Diskriminasi Rasial (CERD). Berbeda dengan era Pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru, pada era Pemerintah Reformasi Indonesia sangat aktif dan bahkan proaktif dalam mengadopsi standar HAM internasional tersebut, terutama di era Presiden B.J. Habibie dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Hal ini terlihat dari kebijakan pemerintah Indonesia dalam dua periode kepemimpinan tersebut yang tampak antusias meratifikasi hampir semua kovenan dan konvensi HAM internasional utama lainnya yang sangat penting dan sarat dengan resiko politik bagi negara peratifikasinya. Setelah di era Presiden Suharto Indonesia mengadopsi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) pada tahun 1984 dan Konvensi Internasional mengenai Hak-hak Anak (CRoC) pada tahun 1990, Indonesia berhasil meratifikasi dua konvensi dan dua kovenan HAM internasional utama lainnya hanya dalam kurun waktu kurang dari 7 tahun. Konvensi Internasional Anti Penyiksanaan (CAT) diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 1998. Satu tahun kemudian yaitu tahun 1999, Indonesia meratifikasi Konvensi Internasional Anti Diskriminasi Rasial (CERD). Di penghujung tahun 2005, Indonesia telah pula meratifikasi dua kovenan yang paling penting dalam
6
sistem HAM internasional, yaitu Kovenan Internasional mengenai Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Kovenan Internasional mengenai Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR).7 Terakhir pada tanggal 12 April 2012 Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Perlindungan Pekerja Migran (ICMW). Bahkan akhir-akhir ini berkembang pula wacana bahwa Indonesia akan segera meratifikasi Statuta Roma (Rome Statute), suatu piagam yang sangat penting dan strategis guna menjadikan suatu negara perserta (party state) terintegrasi secara penuh dengan masyarakat internasional dalam menghormati, melindungi, memenuhi dan memajukan HAM. Di samping meratifikasi berbagai standar HAM internasional tersebut, Indonesia juga sangat aktif dan antusias dalam melakukan diplomasi HAM di seluruh dunia, khususnya di kawasan Asia Tenggara. Misalnya, Indonesia secara aktif mendorong berdirinya Badan Hak Asasi Manusia (Human Rights Body) dalam Asosiasi Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN), jauh lebih agresif dibanding negara-negara anggota ASEAN lainnya.8 Sementara Malaysia, Filipina, Thailand, Singapura, Kamboja, Laos, Vietnam, Brunei Darusalam dan Myanmar masih terlihat agak enggan dalam menyetujui pembentukan badan HAM tersebut, Indonesia melangka lebih maju. Indonesia bukan saja mendorong agar badan HAM tersebut segera dibentuk, tetapi juga mengajukan gagasan agar lembaga tersebut ke depan harus mempunyai kewenangan dan yuridiksi yang lebih luas melampaui batas-batas negara anggota, suatu usulan yang agak bertentangan dengan prinsip non-interference yang dipegang erat oleh negara-negara anggota ASEAN selama ini. Sementara itu, di dalam negeri sendiri Indonesia telah menetapkan masalah perlindungan, penghormatan dan pemenuhan HAM sebagai bagian dari program nasionalnya.9 Untuk itu, Indonesia cukup produktif dalam mengeluarkan produk-produk hukum dan perundang-undangan serta membentuk lembaga-
7
Dua kovenan terakhir ini merupakan payung dari konvensi-konvensi HAM lainnya sehingga keduanya sangat penting kedudukannya dalam sistem standar HAM internasional. 8 Usulan Indonesia tersebut dapat di lihat dalam ASEAN Charter, pasal 14, ayat (1) dan (2). 9 Hal ini tercermin dari dikeluarkannya Rencana Aksi Nasional HAM (RANHAM) di Indonesia setiap 5 tahun sekali sejak tahun 1999.
7
lembaga yang berkaitan dengan HAM. Misalnya pada tahun 1999 Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM, kemudian pada tahun 2000 dikeluarkan pula Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Selanjutnya Indonesia juga berhasil mendirikan berbagai lembaga HAM, seperti Kementerian Negara HAM sebelum kemudian diintegrasikan ke dalam Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia, Lembaga Ombudsman Nasional, Pengadilan HAM Ad Hoc, Komisi Perlindungan Anak, Komnas Perempuan dll. Kebijakan Pemerintah Indonesia yang demikian aktif dan progresif untuk menyatu dan bergabung dengan masyarakat internasional dengan cara mengadopsi standar HAM internasional tersebut menimbulkan beberapa pertanyaan. Pertama, ratifikasi berbagai standar HAM internasional tersebut memperlihatkan kesenjangan waktu yang sangat jauh antara satu konvenan dan kovensi dengan kovenan dan konvensi yang lain. Satu kovenan atau konvensi membutuhkan hanya sedikit waktu untuk diratifikasi, sedangkan konvensi dan kovenan yang lain membutuhkan waktu yang begitu panjang sebelum diratifikasi. Misalnya, CEDAW diratifikasi oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1984, atau sekitar 5 tahun setelah PBB mengadopsi rancangan konvensi tersebut pada tahun 1979. Sedangkan Konvensi Hak Anak (CRoC) diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 1990, atau 1 tahun setelah diadopsi secara resmi oleh PBB pada tahun 1989. Dengan demikian, pada era Orde Lama dan Orde Baru (selama lebih kurang 52 tahun) Indonesia hanya mampu meratifikasi 2 konvensi, itupun konvensi yang resiko politik dan hukumnya (politik dan hukum internasional) tergolong kecil karena dua kovensi tersebut umumnya memuat apa yang dinamakan derogable rights,10 yaitu hak-hak yang masih dapat ditangguhkan atau dibatasi (dikurangi) pemenuhannya oleh negara dalam kondisi tertentu. Sementara itu antara tahun 1998 sampai tahun 2005, hanya dalam periode 7 (tujuh) tahun,
10
Yang dimaksud deregoable rights, adalah hak-hak yang dalam situasi dan kondisi serta persyaratan tertentu dapat dikurangi atau dibatasi. Misalnya, Hak untuk menyatakan pendapat atau berkumpul di depan umum, hak untuk berkeluarga, hak untuk bekerja dll. Lihat, misalnya, Kovenan Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Kovenan Hak Sosial, Ekonomi dan Budaya (ICESCR).
8
Indonesia berhasil meratifikasi empat standar HAM internasional utama, yaitu dua konvensi (CAT dan CERD) tahun 1998 dan 1999 serta dua kovenan (ICCPR dan ICESCR) pada tahun 2005. Bahkan, di tengah berbagai kontroversi dan banyaknya persoalan yang dihadapi oleh tenaga kerja Indonesia di luar negeri, Indonesia telah pula memutuskan untuk meratifikasi ICMW pada tahun 2012. Hal ini jelas merupakan suatu “lompatan besar” dalam politik luar negeri Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan HAM. Kedua, proses ratifikasi tersebut tidak runtut dilihat dari sekuen waktu ratifikasi maupun dari logika hukum dan cakupan standar hak yang dimuat dalam kovenan dan konvensi tersebut. Seharusnya proses ratifikasi tersebut dimulai dari kovenan terlebih dahulu baru kemudian disusul oleh ratifikasi konvensinya, mengingat kovenan tersebut jauh lebih awal diadopsi oleh PBB serta cakupannya yang lebih luas dibandingkan dengan konvensi. Kovenan ICCPR dan ICESCR, diadopsi oleh PBB pada tahun 1966, sedangkan semua konvensi umumnya diadopsi oleh PBB puluhan tahun setelah itu. Selain itu, kovenan merupakan “payung” dari isu-isu HAM terkait yang memuat prinsip-prinsip yang lebih umum, sedangkan konvensi yang merupakan turunan atau jabaran dari kovenan memuat hal-hal yang lebih spesifik. Tapi menariknya, Indonesia justru memulai dengan meratifikasi 4 (empat) konvensi terlebih dahulu, baru kemudian meratifikasi 2 (dua) kovenan utama pada tahun 2005. Ini mengendikasikan bahwa ada alasan lain, yaitu pertimbangan politik, yang melatarbelakangi ratifikasi setiap konvensi atau kovenan HAM internasional tersebut di luar alasan kepentingan untuk
perlindungan,
penghormatan,
penegakkan
dan
pemenuhan
HAM
masyarakat Indonesia semata-mata. Ketiga, pada saat Indonesia begitu antusias dalam meratifikasi berbagai standar HAM internasional tersebut sesungguhnya masih banyak “penolakan” dari berbagai kelompok masyarakat, baik oleh masyarakat dalam negeri sendiri maupun oleh negera-negara di kawasan, khususnya oleh negara-negara yang tergabung dalam ASEAN. Di dalam negeri penolakan tersebut berasal dari beberapa kalangan. Sebagai contoh kelompok Islam konservatif yang menolak untuk memaksakan norma dan nilai-nilai Barat diterapkan pada masalah-masalah
9
publik masyarakat muslim. Bagi mereka, urusan publik dalam masyarakat Islam telah diatur secara jelas oleh norma-norma agama. Karena itu, bagi kelompok ini universalitas HAM yang dipromosikan oleh PBB dan negara-negara Barat adalah ancaman bagi kelangsungan hidup masyarakat Muslim.11 Sementara
itu,
penolakan
terhadap
pengadopsian
standar
HAM
internasional juga muncul dari masyarakat negara-negara anggota ASEAN lainnya. Misalnya di Malaysia, nilai-nilai HAM seperti termuat dalam standar HAM internasional dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Asia. Perdana Menteri Malaysia pada waktu itu, Mahatir Muhammad, misalnya, berpendapat bahwa bangsa-bangsa Asia mempunyai nilai-nilainya sendiri yang tidak kalah baiknya dengan nilai-nilai HAM dari Barat tersebut, yang kemudian disebutnya sebagai asian values.12 Ini berarti, ketika Indonesia meratifikasi berbagai konvensi dan kovenan HAM tersebut sesungguhnya pemerintah Indonesia menghadapi resiko politik dan sosial yang besar dari dalam maupun dari luar negeri. Namun demikian pemerintah Indonesia tetap mengambil kebijakan untuk mengadopsi standar HAM internasional tersebut. Keempat,
ketika
Indonesia
meratifikasi
berbagai
standar
HAM
internasional tersebut tidak ada jaminan bahwa semua isi standar HAM itu akan diimplementasikan di dalam negeri mengingat tantangan dan hambatan untuk itu sangat berat. Misalnya saja pada waktu itu secara politik, hukum dan kelembagaan Indonesia belum siap untuk mengimplementasikan standar-standar HAM yang diadopsinya tersebut. Secara politik, misalnya, masih banyak kekuatan-kekuatan politik yang bukan saja “belum siap” tetapi juga terlihat enggan untuk membicarakan masalah HAM karena khawatir terhadap konsekuensi politik yang 11
Penolakan tersebut, misalnya, berasal dari Fron Pembela Islam (FPI) yang dipimpin Habib Muhammad Rizieq Syihab, MA. Untuk jelasnya lihat tulisan Habib Muhammad Rizieq Syihab, MA yang berjudul” Islam dan Wawasan Kebangsaan”, Situs Resmi FPI, fpi.or.id. 12 Asian values di samping memiliki demensi politik juga mengandung semangat anti-Barat, dalam artian asian values sering didefinisikan sebagai kontras dengan Barat. Untuk diskusi lebih dalam dan kritis tentang asian values ini lihat Greg Sheridan, Asian Values, Western Dreams: Understanding The New Asia, Sydney, Allen and Unwin, 1999. Untuk melihat kaitan Asian values dan HAM lihat misalnya Theodore de Bary, Asian Values and Human Rights, London, Harvard University Press, 1998.
10
harus mereka terima. Itulah sebabnya partai politik, parlemen dan politikus, misalnya, tidak banyak yang memahami dan mau berbicara tentang HAM ini pada waktu itu. Kelima,
pada
waktu
Indonesia
demikian
aktif
melibatkan
atau
mengikatkan diri dengan masyarakat internasional dalam mengadopsi standar HAM internasional tersebut sesungguhnya di dalam negeri sendiri masih banyak terjadi pelanggaran HAM, termasuk pelanggaran HAM kategori berat. Atau setidak-tidaknya masih banyak kasus pelanggaran HAM yang belum mampu diselesaikan oleh pemerintah Indonesia. Misalnya kasus pelanggran HAM di Aceh, di Timor Timur, Papua Barat, Tanjung Priok, kasus Semanggi, kasus pembunuhan aktivis HAM, Munir dll. Para pemimpin Indonesia menyadari betul tanggungjawab dan konsekuensi politik yang harus Indonesia hadapi jika ia meratifikasi setiap standar HAM terkait sementara mereka masih belum mampu menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM tersebut di dalam negeri. Misalnya, setelah Indonesia meratifikasi berbagai standar HAM tersebut, utamanya ICCPR, CERD dan CAT, akan muncul desakan masyarakat internasional agar Indonesia mengadili mereka yang dituduh sebagai pelanggar HAM berat di era sebelumnnya, yang notabene adalah penguasa pada waktu itu juga. Jika ini terjadi dapat dipastikan bahwa Indonesia akan mengalami persoalan yang pelik baik di dalam negeri maupun dalam pergaulan internasional. Menariknya, walaupun disadari akan konsekuensi dan tanggungjawab seperti itu, tetapi Indonesia tetap saja meratifikasi berbagai standar HAM internasional yang sarat resiko politik dan hukum tersebut. Dengan demikian, kebijakan luar negeri Indonesia bergabung atau mengikatkan diri dengan masyarakat internasional melalui pengadopsian berbagai standar HAM internasional tersebut merupakan suatu terobosan penting dalam praktek politik luar negeri Indonesia. Kebijakan tersebut telah menandai perubahan (pergeseran) praktik politik luar negeri Indonesia atau strategi diplomasi Indonesia yang sangat fundamental; dari sebelumnya meletakan hard power elements sebagai modalitas utama upaya pencapaian tujuan politik luar negeri Indonesia ke pendekatan yang lebih menekankan arti penting norma-norma
11
dan nilai-nilai, utamanya norma-norma dan nilai-nilai HAM internasional, sebagai basis (atau mulai dipertimbangkan sebagai elemen penting) dalam pelaksanaan politik luar negerinya. Ini artinya ada perubahan pandangan dunia para pemimpin Indonesia dari yang sebelumnya sangat kental didasarkan cara pandang atau pendekatan realpolitik ke cara pandang lain yang lebih terbuka, keluar dari cara pandangan mainstream tersebut. Oleh karena itu, pergeseran atau perubahan dalam praktek kebijkan luar negeri atau praktik diplomasi Indonesia seperti tersebut di atas bukan saja menarik tetapi juga penting untuk dikaji dan dipelajari.
1.3. Pertanyaan Penelitian 1. Bagaimana dan mengapa konstruksi (pemaknaan) Indonesia era Reformasi terhadap berbagai standar HAM internasional berbeda dibandingkan dengan konstruksi Indonesia terhadap hal yang sama di era Orde Lama dan Orde Baru? 2. Apa pengaruh atau kaitan konstruksi baru Indonesia di era Reformasi tersebut terhadap kebijakan Indonesia mengenai standar HAM internasional sejak kejatuhan Pemerintah Orde Baru sampai sekarang? 3. Seberapa besar dampak kebijakan Indonesia era Reformasi terhadap berbagai standar HAM internasional tersebut pada upaya Indonesia meningkatkan hardpower dan soft power elements, khususnya kepentingan ekonomi, politik, kekuatan pertahanan dan penegakkan HAM dalam negeri?
1.4. Tinjauan Pustaka Untuk memperkuat jastifikasi atau legitimasi terhadap pilihan topik bahasan, pertanyaan penelitian, teori dan metode yang digunakan pada penelitian ini, maka diperlukan tindakan pre-empirical research terlebih dahulu, yaitu berupa tinjauan pustaka. Tinjauan pustaka ini dilakukan untuk mengetahui dan memetakan state of the art atau kajian-kajian yang pernah dilakukan oleh orang lain pada topik yang sama dengan desertasi ini. Misalnya, sejauh mana orang lain sudah melakukan kajian pada topik yang sedang dikerjakan ini dilihat dari periode
12
kajian, fokus kajian, teori dan metode yang digunakan serta temuan yang dihasilkan. Dari proses tinjauan pustaka ini selanjutnya penulis dapat menentukan pokok bahasan (subject matter), posisi teoritik dan metodelogis (teori dan metode yang akan digunakan) dalam penelitian, apakah menolak atau mendukung sebagian atau semua - kajian sebelumnya atau mengambil posisi berbeda sama sekali. Dengan kata lain, tinjauan pustaka ini penting sebagai sumber ide atau inspirasi bagi peneliti untuk melakukan penelitian ini. Dari survei pustaka yang telah dilakukan, diketahui ternyata literatur yang secara khusus membahas kebijakan luar negeri Indonesia masih terbatas jumlahnya, terutama literatur berupa hasil kajian ilmiah yang serius; terstruktur dengan baik, mendalam dan komprehensif.13 Kebanyakan literatur yang ada berupa tulisan pendek dan lepas tentang isu-isu spesifik berkaitan dengan pelaksanaan politik luar negeri Indonesia, mulai dari era Orde Lama, Orde Baru sampai ke era Reformasi. Misalnya, buku atau artikel tentang hubungan Indonesia dengan negara-negara tertentu di dunia, atau tentang isu-isu spesifik lainnya yang umumnya baru saja atau sedang terjadi ketika tulisan tersebut ditulis. Kalaupun tulisan tersebut dalam bentuk buku maka biasanya buku tersebut berupa kumpulan karangan dari beberapa penulis. Di samping tulisan pendek dan lepas seperti tersebut di atas, terdapat pula sejumlah publikasi resmi pemerintah, pidato dan statemen atau sejenis memoar pejabat atau mantan pejabat negara terkait yang dimuat di jurnal, majalah atau diterbitkan secara khusus untuk itu. Oleh karena tulisan-tulisan yang termasuk dalam kategori pertama dan kedua ini umumnya berupa tulisan pendek dan lepas, maka tulisan-tulisan tersebut cenderung tidak mendalam dan tidak komprehensif. Di samping itu, tulisantulisan tersebut juga secara metodologis sangat lemah karena sering dilakukan dengan tidak melalui prosedur standar ilmiah yang memadai. Hasil karya tersebut cenderung bersifat opini penulis ketimbang fakta ilmiah. Sebagian besar tulisan tersebut sarat dengan nilai-nilai (normatif), memuat tentang apa yang seharusnya
13
Pengakuan tentang kurangnya kajian tentang politik luar negeri Indonesia ini juga disampaikan oleh Leo Suryadinata dalam bukunya, Politik Luar Negeri Indonesia di Bawah Suharto, Jakarta, LP3ES, 1998, hal.1-2
13
(ought to be) ketimbang apa yang terjadi (what is), khususnya dalam tulisan kategori kedua di atas. Oleh karena itu, tulisan-tulisan yang termasuk dalam kedua kategori tersebut tidak dapat dijadikan dasar untuk mengetahui sejauhmana perkembangan studi atau kajian ilmiah tentang kebijakan luar negeri Indonesia. Termasuk untuk digunakan sebagai tolak ukur guna mengetahui variasi teori, metodologi dan pendekatan yang diterapkan oleh para peneliti mengenai politik luar negeri Indonesia serta temuan-temuan yang mereka hasilkan. Walaupun demikian, dari sedikit literatur yang ada, baik yang ditulis oleh peneliti asli Indonesia maupun oleh peneliti asing, terdapat beberapa karya ilmiah yang layak dan relevan untuk dijadikan rujukan dalam memetakan studi tentang politik luar negeri Indonesia dan sekaligus sebagai sumber inspirasi atau ide untuk desertasi ini. Diantara buku-buku tersebut adalah buku karya Michael Leifer, Indonesia‟s Foreign Policy,14 Dewi Fortuna Anwar, Indonesia in ASEAN; Foreign Policy and Regionalism,15 Soedjati Djiwandono, Konfrontasi Revised: Indonesia‟s Foreign Policy Under Soekarno,16 Leo Suryadinata, Politik Luar Negeri di bawah Suharto,17 Ratna Inayati, Politik Luar Negeri Indonesia Pasca Suharto: Diplomasi Pemulihan Ekonomi Nasional,18 Teuku Rezasyah, Politik Luar Negeri Indonesia: Antara Idealisme dan Praktik,19 terakhir, dan yang paling penting dan relevan dengan kajian ini adalah karya Franklin B. Weinstein, Indonesian Foreign Policy and the Dilemma of Dependence: From Soekarno to Suharto,20 buku karya Daniel Novotny, Torn between America and China: Elite
Michael Leifer, Indonesia‟s Foreign Policy, Syney, Allen & Unwin, 1983 Dewi Fortuna Anwar, Indonesia in ASEAN; Foreign Policy and Regionalism, Singapore, ISEAS, 1994 16 Soedjati Djiwandono, Konfrontasi Revised: Indonesia‟s Foreign Policy Under Soekarno, Jakarta, CSIS, 1996. 17 Leo Suryadinata, Politik Luar Negeri di bawah Suharto, Jakarta, LP3S, 1998. 18 Ratna Inayati, Politik Luar Negeri Indonesia Pasca Suharto: Diplomasi Pemulihan Ekonomi Nasional, Jakarta, P2P 2002. 19 Teuku Rezasyah, Politik Luar Negeri Indonesia: Antara Idealisme dan Praktik, Jakarta, Humaniora, 2008 20 Franklin B. Weinstein, Indonesian Foreign Policy and the Dilemma of Dependence: From Sukarno to Suharto, Ithaca, Cornell University Press, 1976 14 15
14
Perceptions and Indonesian Foreign Policy,21 dan buku karya Aria T.M. Wibisono, Political Elites and Foreign Policy: Democratization in Indonesia.22
1.4.1. Periode dan Fokus Kajian Dilihat dari periode kajian, maka sebagian besar dari buku-buku tersebut di atas membahas kebijakan luar negeri Indonesia di era Pemerintah Soekarno (Orde Lama) atau di era Pemerintah Suharto (Orde Baru). Dari sejumlah buku tersebut hanya ada empat buku yang secara eksplisit membahas kebijakan luar negeri Indonesia pasca Suharto atau era Reformasi setelah tahun 1998, yaitu buku karya Ratna Inayati, karya Teuku Rezasyah, karya Daniel Novotny dan karya Aria T.M. Wibisono. Walaupun demikian, jika dicermati, hanya buku karya Daniel Novotny dan Aria T.M. Wibisono yang benar-benar secara khusus, fokus dan komprehensif membahas kebijakan luar negeri Indonesia Pasca Pemerintahan Presiden Suharto. Sedangkan buku karya Ratna Inayati dan karya Teuku Rezasyah sebagian besar masih tetap berkutat membahas kebijakan luar negeri Indonesia di era sebelum reformasi. Dengan demikian, dilihat dari sisi periode kajian, desertasi ini akan menjadi kajian ketiga setelah karya Daniel Novotny dan karya Aria T.M. Wibisono yang secara khusus membahas politik luar negeri Indonesia pasca Orde Baru, sekaligus menjadi salah satu yang membedakannya dengan kajian-kajian sebelumnya mengenai topik yang sama, yaitu politik luar negeri Indonesia. Dilihat dari fokus kajian, tidak satupun dari beberapa literatur yang termasuk kategori ketiga di atas yang berbicara tentang kebijakan luar negeri Indonesia terhadap standar HAM internasional. Umumnya semua literatur di atas memfokuskan kajiannya pada isu-isu tradisional yang menjadi wilayah kajian kaum (Neo)realis atau (Neo)liberalis, seperti masalah konflik dan kerjasama militer dan ekonomi. Soedjati Djiwandono, misalnya, memfokuskan kajiannya pada periode apa yang ia sebut sebagai “the two most dramatic and turbulent in
21
Daniel Novotny, Torn between America and China: Elite Perceptions and Indonesian Foreign Policy, Singapore, Institute of Southeast Asian Studies, 2010. 22 Aria T.M. Wibisono, Political Elites and Foreign Policy: Democratization in Indonesia, Jakarta, Universitas Indonesia Press, 2010.
15
history of Indonesian foreign policy, if not necessary the most important”.23 Episode penting dalam kebijakan luar negeri Indonesia yang dimaksud oleh Soedjati tersebut yaitu periode pelaksanaan politik konfrontasi yang dijalankan oleh Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, baik terhadap Malaysia maupun terhadap Belanda dalam kasus pengembalian Irian Barat ke pangkuan Republik Indonesia pada tahun 1960-an.24 Sementara itu, Franklin Weinstein memfokuskan penelitiannya pada pelaksanaan kebijakan luar negeri yang sangat kontras di bawah dua periode kepemimpinan di Indonesia; politik luar negeri Indonesia dibawah Presiden Soekarno yang sangat anti-Barat (anti Imperialis) dan politik luar negeri Indonesia di bawah Presiden Suharto yang pro-Barat guna mendapatkan bantuan ekonomi luar negeri dan modal asing (baca bantuan dan modal berasal dari negara-negara Barat).25 Agak berbeda dengan Weinstein, Michael Leifer lebih memfokuskan penelitiannya pada apa yang dia sebut sebagai modes of foreign policy practice of Indonesia26 sejak masa-masa awal kemerdekaan, masa demokrasi terpimpin di bawah Presiden Soekarno sampai dengan masa awal kepemimpinan Presiden Suharto antara tahun 1966-1977. Leifer menyoroti bagaimana Indonesia harus berjuang untuk mencapai kepentingan nasionalnya di forum internasional melalui pelaksanaan politik luar negerinya di awal-awal kemerdekaan dengan “modal” seadanya. Selanjutnya ia juga menyoroti bagaimana karakter politik domestik berpengaruh terhadap modes of foreign policy practice Indonesia mulai dari masa demokrasi terpimpin di bawah Presiden Soekarno sampai dengan masa kepemimpinan Presiden Suharto27. Sementara itu buku Dewi Fortuna Anwar dan Leo Suryadinata, walaupun semuanya membahas kebijakan luar negeri Indonesia pada masa Presiden Suharto, namun ada perbedaan penekanan satu sama lainnya. Buku Dewi Fortuna Soedjati Djiwandono, Konfrontasi Revised: Indonesia”s Foreign Policy under Soekarno, Jakarta, CSIS 1996, hal. 1 24 Ibid, hal 1 25 Ibid, hal.19 26 Michael Leifer, Indonesia”s Foreign Policy, London, Goerge Allen and Unwin, 1983, hal. XIV 27 Lihat Ibid, hal 1-140 23
16
Anwar
memfokuskan
pembahasannya
pada
bagaimana
Indonesia
memperjuangkan kepentingan nasionalnya melalui organisasi regional yang disebut Asosiasi Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN). Dalam buku ini Dewi menyoroti sejauhmana komitmen Indonesia dalam organisasi regional tersebut di awal-awal pembentukannya sampai dengan dua dekade kemudian28. Dalam buku ini juga dibahas berbagai aspek dari politik luar negeri Indonesia, mulai dari kebijakan luar negeri pada masa Soekarno yang ditandai oleh politik konfrontasi, politik luar negeri Indonesia pada masa Suharto dan kelahiran ASEAN, kepentingan ekonomi, politik, pertahanan dan keamanan Indonesia dalam ASEAN, sampai pada keterlibatan non-governmental organizations (NGOs), bisnis dan para elite politik dalam organisasi regional tersebut. Bahkan, Dewi juga menyoroti bukan saja kebijakan regional Indonesia pada periode tersebut, tetapi juga menyoroti dinamika ASEAN sebagai suatu co-operative body.29 Sementara itu, agak mirip dengan kajian Franklin Weinstein dan Michael Leifer, Leo Suryadinata memfokuskan penelitiannya pada apa yang ia sebut sebagai “faktor-faktor utama yang telah menyumbang pada perilaku politik luar negeri Indonesia, termasuk kapasitas negara, persepsi para pemimpin utama atas masalah-masalah politik luar negeri, budaya politik yang dominan dan lembaga politik yang bertanggungjawab atas politik luar negeri di era Presiden Suharto”.30 Di samping itu, ia juga menyoroti aspek kepribadian para elite pembuat keputusan yang beratanggungjawab atas politik luar negeri Indonesia.31 Selanjutnya, sedikit agak meluas, Leo Suryadinata juga melanjutkan pembahasannya pada upaya Indonesia untuk mengaktualisasikan politik luar negerinya di dunia melalui menjalin hubungan dengan berbagai negara dan organisasi internasional di dunia.32 Dengan demikian, sama halnya dengan Dewi Fortuna Anwar dan Soedjati Djiwandono, Leo Suryadinata juga banyak berbicara soal kepentingan pertahanan
28
Lihat Dewi Fortuna Anwar, Indonesia in ASEAN: Foreign Policy and Regionalism, Singapore, ISEAS, 1994, hal. 1-2. 29 Ibid, hal 1 30 Lihat Leo Suryadinata, Politik Luar Negeri Indonesia di Bawah Suharto, Jakarta, LP3ES, 1998, hal. 3 31 Ibid, hal.3 32 Ibid, hal 3
17
dan keamanan (militer) dan kepentingan ekonomi dan pembangunan Indonesia dalam politik luar negerinnya. Bagian-bagian yang mengulas aspek hubungan Indonesia dengan berbagai negara dan organisasi internasional seperti Gerakan Non-blok telah mempertegas bahwa Leo Suryadinata tetap menempatkan yaitu hard power resources atau material facts sebagai faktor penting yang mempengaruhi politik luar negeri Indonesia. Sebagaimana buku-buku karya penulis lain yang sudah disebutkan di atas, buku karya Ratna Inayati juga tidak menyentuh sama sekali topik yang akan menjadi perhatian studi saya dalam desertasi ini, yaitu aspek pengembangan soft power dari kebijakan luar negeri Indonesia pasca reformasi dengan cara bergabung dengan masyarakat internasional melalui pengadopsian standar HAM internasional. Seperti diketahui dari judulnya - Politik Luar Negeri Indonesia Pasca Suharto: Diplomasi Pemulihan Ekonomi Nasional - buku karya Inayati secara jelas memperlihatkan bahwa penulis tetap saja berkutat dengan aspek hard power dari kebijakan luar negeri Indonesia. Hal yang sama juga terjadi pada buku Teuku Rezasyah yang memfokuskan kajiannya pada kesenjangan antara ide-ide atau prinsip-prinsip dasar politik luar negeri Indonesia yang dicanangkan sejak Mohammad Hatta sampai masa kepemimpinan Presiden Suharto dengan praktiknya di lapangan. Dengan menjelaskan apa saja perbedaan antara idealisme dan praktik politik luar negeri tersebut, mengapa berbeda dan apa dampaknya dalam konteks dunia yang penuh rivalitas, kompetisi dan perjuangan memperebutkan kekuasaan33 artinya, seperti halnya penulis lainnya, Rezesyah tetap memfokuskan kajiannya pada struktur material dalam menjelaskan politik luar negeri Indonesia. Agak sama dengan buku-buku sebelumnya, buku karya Daniel Novotny juga mengkaji dinamika politik luar negeri Indonesia, yaitu politik luar negeri Indonesia periode reformasi. Walaupun demikian, berbeda dengan buku-buku sebelumnya yang umumnya memfokuskan kajiannya pada pengaruh fakta-fakta material (material facts) seperti letak geografis, kekayaan alam dan kekuatan 33
Untuk jelasnya lihat Teuku Rezasyah, Politik Luar Negeri Indonesia: Antara Idealisme dan Praktik, Jakarta, Humaniora, 2008.
18
ekonomi, militer dan etnisitas masyarakat, buku karya Daniel Novotny memfokuskan kajiannya pada peran penting persepsi elite – elite‟s threat perceptions - dalam pembuatan kebijakan luar negeri Indonesia di era reformasi. Melalui buku ini, Novotny menjelaskan seberapa besar dan bagaimana hubungan persepsi ancaman para elite tersebut terhadap konsep kepentingan nasional dan kebijakan luar negeri Indonesia terhadap Amerika Serikat dan RRC.34 Seperti halnya buku karya Novotny, buku karya Aria T.M. Wibisono juga memfokuskan kajiannya pada pengaruh elite politik domestik (baik yang berada dalam pemerintahan maupun yang ada di luarnya) dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri Indonesia era Reformasi. Namun berbeda dengan Novotny yang membahas isu tersebut dalam rentang waktu yang cukup luas, yaitu era pasca Orde Baru, tanpa secara spesifik menyebut era pemerintahan tertentu, maka buku karya Aria T.M. Wibisono, dengan pertimbangan praktis dan substantif, memfokuskan
kajiannya
pada
era
kepemimpinan
Presiden
Megawati
Soekarnoputri.35 Selain perbedaan rentang waktu kajian tersebut, kedua buku ini juga memiliki perbedaan yang cukup mendasar lainnya. Jika buku karya Novotny mengkaji peran persepsi para elite secara umum, maka buku karya Aria T.M. Wibisono lebih melihat pada peran ideologi (dalam hal ini ideologi nasionalisme Soekarnoisme) dalam mempengaruhi sikap dan perilaku para elite politik dalam upaya mereka untuk ikut “terlibat” dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri Indonesia era Reformasi.36 Dengan demikian, fokus kajian buku karya Novotny dan buku karya Aria T.M. Wibisono ini agak dekat dengan fokus penelitian ini, yang juga melihat kaitan antara perubahan kebijakan luar negeri Indonesia dengan aspek nonmaterial yaitu konstruksi Indonesia (para elite) tentang politik internasional, khususnya terhadap standar HAM internasional. Akan tetapi, penelitian ini berbeda dengan buku Novotny maupun buku Aria T.M. Wibisono tersebut setidaknya dalam dua hal; pertama, fokus kajian penelitian ini bukan pada politik
34
Lihat Daniel Novotny, Loc Cit, hal.7 Aria T.M. Wibisono, Op Cit, hal. 2. 36 Aria T.M. Wibisono, Ibid, hal.2 35
19
luar negeri Indonesia terhadap satu atau lebih negara, tetapi pada standar HAM internasional. Kedua, berbeda dengan Novotny dan Aria T.M. Wibisono yang masih meletakan asumsi dasar bahwa struktur internasional pada dasarnya terdiri dari fakta material yang bercirikan anarkis, revitalitas perebutan kekuasaan seperti konsepsi kaum (Neo)realis, desertasi ini akan berangkat dari asumsi dasar bahwa struktur internasional sesungguhnya juga dapat bersifat non-material, yaitu terdiri dan dibentuk oleh ide-ide, nilai dan keyakinan bersama para aktornya. Struktur internasional yang demikian ini, oleh karenanya, tidaklah bersifat statis melainkan dapat berubah menjadi lebih kooperatif, damai dan bersahabat. Dengan kata lain, desertasi ini akan menganalisis bagaimana pengaruh atau kaitan antara konstruksi (bukan hanya persepsi dan ideologi para elite) Indonesia terhadap politik internasional dengan pergeseran sebagaimana terlihat pada kebijakan luar negeri Indonesia terhadap standar HAM internasional pada era reformasi.
1.4.2. Teori atau Perspektif yang Digunakan Aspek penting lainnya yang perlu dikemukakan bahwa kebanyakan dari buku-buku mengenai politik luar negeri Indonesia tidak mengambil posisi perspektif dan metodologi yang jelas dalam kajian mereka, termasuk buku-buku yang tergolong dalam kategori ketiga dalam pembahasan literatur review ini. Misalnya, dalam buku-buku tersebut kurang tergambar dengan jelas perspektif, teori dan metodologi apa yang para penulis pakai. Hal ini diakui sendiri oleh Leo Suryadinata yang mengatakan: …penting untuk dicatat bahwa kebanyakan buku-buku yang terbit sekarang ini tidak mengambil suatu “teori” tertentu atau model untuk mengkaji politik luar negeri Indonesia, dan saya pun telah mengikuti cara yang sama, meskipun saya menyadari sepenuhnya keberadaan “teori-teori” dan model-model ini.37 Pengecualian dapat diterapkan pada karya Franklin Weinstein, Michael Leifer, Leo Suryadinata dan karya Daniel Novotny dan buku karya Aria T.M. Wibisono yang secara jelas menyatakan perspektif, teori atau pendekatan dan
37
Leo Suryadinata, Op Cit, hal. 2
20
metodelogi yang mereka gunakan. Leo Suryadinata, misalnya, secara eksplisit menyatakan bahwa walaupun dia tidak memakai model tertentu dalam penelitian tersebut tetapi dia menggunakan kerangka kerja analisis politik luar negeri yang dipopulerkan oleh David O. Wilkinson dan Lawrence Scheiman dalam bukunya Comparative Foreign Relations Frame Work and Methods.38 Kerangka analisis ini jika dicermati sesungguhnya masih satu kubu dengan teori positivisme dan rationalisme, utamanya (Neo)realisme dan (Neo)liberalisme. Agak berbeda dengan Leo Suryadinata, Franklin Weinstein, menggunakan gabungan dari model proses pembuatan kebijakan (Decision Making Process) dengan teori persepsi (Perception Theory). Weinstein, mencoba menerangkan perilaku politik luar negeri Indonesia dengan cara memahami persepsi atau cara pandang pemerintahan Presiden Soekarno dan pemerintahan Presiden Suharto terhadap politik internasional yang berbeda atau bahkan kontras satu sama lainya. Ini artinya, walaupun tidak dinyatakan secara tegas, Weinstein sesungguhnya juga menggunakan pendekatan atau teori rational choice untuk menjelaskan mengapa kedua pemerintahan tersebut berbeda dalam memandang dan merespon politik internasional melalui kebijakan luar negeri mereka masing-masing.39 Sama seperti teori yang dipakai oleh Leo Suryadinata, teori rational choice adalah suatu teori yang serumpun dengan rasionalisme, utamanya (Neo)realisme. Berbeda dengan Weinstein, Machael Leifer tidak secara tegas menyatakan perspektif dan teori yang digunakan dalam penulisan bukunya tersebut. Walaupun demikian, dengan membaca karyanya secara seksama kita dengan mudah dapat menangkap bahwa Leifer sesungguhnya menggunakan apa yang dinamakan pendekatan inside-out dalam kebijakan luar negeri. Argumen utama dari pendekatan ini adalah bahwa karakter politik domestik akan menentukan politik luar negeri suatu negara. Ini artinya Leifer menggunakan level analisis pada tingkat negara, khususnya dengan melihat konstelasi politik dalam negeri guna memahami perilaku politik luar negeri Indonesia pada waktu itu. 38
Ibid, hal 2. Lihat juga David O. Wilkinson dan Lawrence Scheiman, Comparative Foreign Relations Frame Work and Methods, California, Dickinson Publishing Co., 1969. 39 Untuk jelasnya lihat misalnya Lloyd Jensen, Explaining Foreign Policy, Englewood Cliffs, Prentice Hall, 1982, hal 1-11
21
Sementara itu, buku karya Dewi Fortuna Anwar mungkin dapat digolongkan pada penelitian yang menggunakan teori sistem. Argumen pokok dari teori ini adalah bahwa perilaku suatu negara sangat ditentukan oleh sistem di mana dia berada. Dalam konteks ini, maka perilaku politik luar negeri Indonesia sangat dipengaruhi oleh lingkungan regional dimana dia berada, yaitu ASEAN. Tetapi kita juga dapat memahami buku Dewi Fortuna Anwar ini dari perspektif klasik yang disebut kepentingan nasional dan juga teori persepsi. Tentang teori persepsi sebelumnya sudah dijelas secara singkat. Argumen pokok dari dari teori kepentingan nasional adalah bahwa perilaku suatu negara sangat ditentukan atau dibimbing oleh kepentingan nasionalnya masing-masing.40 Walaupun buku karya Dewi Fortuna Anwar ini memiliki perbedaan dalam fokus bahasan, tetapi sebenarnya buku ini memakai asumsi yang sama bahwa sumber utama dalam melaksanakan politik luar negeri Indonesia adalah hardpower resources. Dewi Fortuna Anwar, misalnya, berkali-kali menyebut aspekaspek kepentingan Indonesia dalam ASEAN seperti aspek ekonomi, politik, pertahanan dan keamanan (tidak pernah menyinggung isu HAM) yang kesemuanya adalah termasuk pada kategori hard power resources yang dimaksud.41 Ini artinya kedua buku ini tidak beranjak jauh dari pendekatan mainstream, (Neo)realisme dan (Neo)liberalisme dalam memahami politik luar negeri Indonesia pada isu dan periode tersebut. Sementara itu, walaupun posisi teoritik dan metodologi yang digunakan agak sulit difahami, buku karya Soedjati Djiwandono tampaknya mencoba menjelaskan perilaku politik luar negeri Indonesia yang konfrontatif di zaman Presiden Soekarno dari dua sisi, yaitu dari sisi internal atau domestik dan dari sisi sistem. Dari sisi domestik, menurutnya, karakter politik dalam negeri Indonesia waktu itu, khususnya budaya dan persepsi pemimpin politiknya, serta sistem politik yang dianut waktu itu sangat menentukan perilaku politik luar negeri Indonesia tersebut. Sedangkan dari sisi sistem, adanya sistem dua kutup (Barat dan Timur, Komunis dan Kapitalis) yang menandai sistem Perang Dingin, juga 40 41
Tentang teori kepentingan nasional lihat misalnya, Hans Morgenthau, Op Cit. Lihat Dewi Fortuna Anwar, Op Cit.
22
sangat menentukan perilaku politik konfrontatif Indonesia waktu itu. Hal ini terutama dapat dibaca ketika Soedjati Djiwandono menjelaskan bagaimana hubungan yang erat antara Indonesia dan Uni Soviet dan dukungan Barat terhadap Malaysia pada waktu itu telah menyebabkan Indonesia menjadi sangat agresif dan menjalankan politik konfrontatif melawan apa yang disebut oleh Presiden Soekarno Neo-kolonialisme (Nekolim) dan Neo-imperialisme. Dari sejumlah buku di atas, karya Daniel Novotny dan buku karya Aria T.M. Wibisono merupakan buku yang paling jelas dan tegas posisi teoritik dan metodologisnya. Buku karya Novotny menggunakan gabungan dari teori Realisme dan Konstruktivisme, yang kemudian dia sebut sebagai the balance-ofthreat theory.42 Novotny berargumen dengan menerapkan teori ini maka ia dapat menganalisis dan menjelaskan baik aspek struktur (struktur material) maupun proses sebagai faktor paling penting dalam menentukan politik luar negeri Indonesia.43 Permasalahannya adalah, penggunaan teori ini dapat menjebak peneliti untuk melakukan analisis terlalu luas - kurang fokus dan kurang konsisten. Di samping mengakui arti penting peran struktur material teori ini juga mengakui bahwa peran struktur non-material (struktur ideasional) penting dalam politik luar negeri suatu negara. Pertanyaannya adalah, aspek mana yang paling penting dan menentukan politik luar negeri Indonesia dari kedua struktur tersebut? Pertanyaan ini tampaknya belum terjawab secara gamblang dalam buku karya Novotny tersebut. Sementara itu, buku karya Aria T.M Wibisono secara eksplisit dan gamblang menggunakan apa yang dia sebut sebagai pendekatan politik domestik (domestic politics approach) sebagai kerangka teorinya. Dalam konteks ini, Aria memfokuskan perhatiannya pada sumber domestik, khususnya dinamika dan peran para elite politik domestik dalam proses kebijakan luar negeri Indonesia. Menurut Aria, dibandingkan pendekatan lainnya, seperti pendekatan sistemik (systemic approach), pendekatan pembuatan
keputusan
(decision-making
approach) dan pendekatan kognitif atau individual (cognitive or individual 42 43
Novotny, Loc Cit, 49 Ibid, 49
23
approach), pendekatan ini merupakan kerangka teori terbaik untuk menjelaskan bagaimana dan seberapa besar pengaruh para elite politik domestik, baik yang berada di dalam lingkaran kekuasaan/pemerintahan maupun yang berada di luar kekuasaan/pemerintahan, dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri Indonesia di era reformasi.44 Dengan demikian, dilihat dari sisi posisi teoritik dan metodologis, buku karya Novotny dan karya Aria T.M. Wibisono ini agak dekat dengan posisi teoritik dan metodologi yang digunakan dalam penelitian ini. Dan oleh karenanya, teori atau pendekatan yang digunakan oleh kedua penulis dalam buku mereka masing-masing tersebut sangat membantu dan relevan dengan desertasi ini, terutama dalam menjelaskan peran penting para elite politik domestik dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri Indonesia era reformasi. Perbedaannya, teori-teori atau pendekatan yang digunakan dalam kedua buku tersebut pada dasarnya masih termasuk dalam kelompok Explanatory Theory atau sering juga disebut kubu Positivisme atau Rasionalisme namun berada di luar kelompok Understanding Theory. Sedangkan pada desertasi ini penulis fokus menggunakan perspektif Konstruktivisme, yaitu suatu perspektif atau pendekatan yang berada di antara kelompok Explanatory Theory dan Understanding Theory tersebut, atau sering disebut sebagai Middle Ground Theory. Seperti telah dijelaskan di bagian kerangka teori, perspektif Konstruktivisme ini walau berada “di luar” kedua kubu utama teori tersebut - Explanatory Theory dan Understanding Theory - namun ia tetap share berbagai aspek yang ada dalam teori-teori atau pendakatan-pendakatan yang termasuk dalam kedua kubu tersebut.
1.4.3. Temuan dan Argumen yang Dibangun Oleh karena setiap buku yang dibahas dalam tinjauan pustaka ini mengambil periode, fokus kajian dan pendekatan atau perspektif yang digunakan berbeda satu sama lainnya, maka sudah tentu temuan dan argumen yang dibangun dari kajian tersebut juga berbeda-beda. Franklin Weinstein dalam bukunya,
44
Aria T.M. Wibisono, Op Cit, hal. 41-42
24
misalnya, menarik kesimpulan bahwa politik luar negeri Indonesia pada periode kepemimpinan Presiden Soekarno dan Suharto sangat ditentukan oleh persepsi elite. Persepsi elite yang melihat bahwa tata hubungan internasional bersifat eksploitatif, dan negara-negara besar merupakan ancaman bagi kemerdekaan Indonesia, merupakan faktor yang menentukan dinamika politik luar negeri Indonesia pada kedua periode kepemimpinan tersebut. Persepsi semacam itu, menurutnya, muncul akibat pengalaman buruk pada masa kolonialisme yang telah melahirkan bibit idiosyncratic factors pada para elite Indonesia pada masa itu, yaitu berupa apa yang dinamakan sebagai an inferiority complex.45 Dampak dari inferiority complex yang dialami oleh para elite Indonesia pada waktu itu adalah munculnya persepsi bahwa dunia merupakan tempat yang tidak bersahabat terhadap Indonesia, dengan hasil akhirnya berupa kebijakan luar negeri yang irrasional.46 Dalam konteks bantuan asing, misalnya, kedua Pemerintah tersebut pada dasarnya memiliki pandangan yang sama; bahwa bantuan asing bukan saja diragukan akan mampu membantu pembangunan ekonomi tetapi juga malahan dapat mengganggu kemerdekaan Indonesia. Hal ini pada akhirnya menimbulkan reaksi (kebijakan) yang berbeda terhadap perlu tidaknya bantuan asing tersebut. Pada Masa Demokrasi terpimpin era Presiden Soekarno, Indonesia lebih menjalankan kebijakan luar negeri yang lebih mengutamakan kemerdekaan “independence” dan mengabaikan bantuan luar negeri. Sedangkan pada masa Presiden Suharto, walaupun pandangan curiga terhadap bantuan luar negeri masih kuat tetapi tidak menghalangi Pemerintah ini untuk memaksimalkan bantuan luar negeri.47 Di samping itu, Weinstein juga mencatat beberapa faktor yang telah berperan dalam penyelesaian apa yang disebutnya “the dilemma of dependence” dalam bukunya tersebut. Beberapa di antaranya adalah: kecenderungan untuk bereaksi terhadap kegagalan kebijakan terdahalu, kondisi ekonomi, ketersediaan
45
Fraklin Weinstein, Op cit, hal 356 Ibid, hal 356 47 Ibid, hal 355 46
25
bantuan asing dan sikap dari pemberi bantuan.48 Sebagai contoh, akibat kelemahan mendasar dari struktur ekonomi dan politik yang dihadapi Indonesia pada waktu itu, memaksa kedua Pemerintah tersebut untuk tetap mencari bantuan luar negeri.49 Akhirnya, Weinstein merumuskan kesimpulannya dalam buku tersebut dalam bentuk suatu hipotesis sbb: When there is a strong underlying suspicion of the aid-givers, we may expect that the more narrow the ruling elite‟s margin or more tenuous the coalition, the greater the sensitivity to the dangers of becoming dependent on foreign aid. ...Or where the foreign policy elite of an underdeveloped country perceives the world as hostile, intense political competition will lead the country toward a foreign policy that puts independent first, while a less competitive situation will permit a policy that accords priority to search for aid.50 Dengan pengungkapan yang sedikit berbeda, kesimpulan yang dibuat oleh Machael Leifer agak mirip dengan temuan Weinstein sebelumnya. Menurut Leifer perubahan dalam sistem politik domestik Indonesia telah mempengaruhi perubahan-perubahan dalam idiom kebijakan luar negerinya. Hal ini terlihat ketika Indonesia menganut sistem politik Demokrasi Terpimpin di bawah Presiden Soekarno, maka Indonesia menjalankan politik luar negeri yang sangat aktif, mengutamakan kemerdekaan dan anti Barat.51 Perubahan sistem politik juga telah mempengaruhi pergeseran dalam apa yang ia sebut “the pattern of external associations and alignments”.52 Terakhir, perubahan sistem politik Indonesia juga disertai dengan perubahan gaya pelaksanaan politik luar negerinya, yaitu menjadi lebih high profile. Hal ini, misalnya, tercermin dari kebijakan luar negeri Indonesia dalam mengklaim Irian Barat (sekarang Papua Barat) dan kebijakan konfrontasinya terhadap Malaysia.53 Dengan demikian, tiga poin pokok kesimpulan dari Leifer tersebut setidaknya mempertegas atau paralel dengan temuan Weinstein sebelumya. 48
Ibid, hal 355 Ibid, hal 354. 50 Ibid, hal.356 51 Michael Leifer, Op cit. Hal. 172 52 Ibid, hal 172 53 Ibid, hal 173 49
26
Sementara itu, melalui bukunya seperti tersebut di atas, Dewi Fortuna Anwar menemukan bahwa telah terjadi ambivalensi dalam sikap dan pandangan serta pelaksanaan politik luar negeri Indonesia terhadap ASEAN. Di satu sisi sebagian elite politik Indonesia, di dalam maupun di luar pemerintahan, mengakui arti penting ASEAN bagi politik luar negeri Indonesia, dan oleh karenanya mereka mendukung prinsip dan landasan pemikiran politik luar negeri Indonesia terhadap ASEAN. Mereka yang termasuk kelompok ini umumnya beranggapan bahwa ASEAN dapat dimanfaatkan untuk pemenuhan kepentingan nasional Indonesia; kepentingan sosial, ekonomi, politik dan keamanan. Akan tetapi, di sisi lain, ada keengganan dari pemerintah Indonesia untuk memberikan dukungan penuh (all-out support) dalam berbagai bidang kerjasama yang diprogramkan di organisasi regional tersebut, khususnya di bidang kerjasama ekonomi.54 Menurut Dewi, setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan mengapa politik luar negeri Indonesia terhadap ASEAN bersifat ambivalensi pada waktu itu. Pertama, walaupun diakui bahwa ASEAN memiliki arti penting bagi Indonesia, tetapi Indonesia juga mengakui keterbatasan kemampuan ASEAN untuk memenuhi kepentingan nasional Indonesia yang multi-demensional. ASEAN diyakini bermanfaat untuk kepentingan politik dan keamanan, tetapi sedikit artinya untuk kepentingan ekonomi Indonesia. Kedua, bagi Indonesia, ASEAN masih terlihat terlalu kecil sebagai “arena” pelaksanaan politik luar negerinya. Indonesia membutuhkan arena yang lebih luas, baik untuk kepentingan ekonomi (misal perdagangan dan modal asing), maupun untuk kepentingan politik. Ketiga, adanya perbedaan kepentingan yang sangat menyolok antar anggota ASEAN sendiri, terutama di bidang ekonomi. Misalnya antara Indonesia, Malaysia dan Singapura.55 Poin penting lainnya yang disampaikan oleh Dewi Fortuna Anwar adalah bahwa karakter Pemerintah Orde Baru dibawah Presiden Suharto adalah antikomunis, fokus pada stabilitas dan pembangunan ekonomi serta pandangan internasional yang sangat pragmatis. Menurutnya, hanya dengan memahami 54 55
Dewi Fortuna Anwar, Op cit, hal. 276-277 Ibid, hal,277
27
karakter Pemerintah Orde Baru inilah kita dapat memahami politik luar negeri Indonesia terhadap ASEAN. Hal ini dikarenakan politik luar negeri Indonesia terhadap ASEAN dibawah Presiden Suharto sangat dipengaruhi oleh ketiga karakter tersebut, khususnya karakter pragmatisme yang mengutamakan kepentingan stabilitas politik dan pembangunan ekonomi.56 Agak mirip dengan temuan Weinstein di atas, kajiannya Leo Surayadinata menemukan bahwa tujuan dan praktik politik luar negeri Indonesia sangat dipengaruhi oleh; pertama pengalaman historis dan budaya politik para elitenya. Inilah menjelaskan mengapa terjadi perbedaan tujuan dan pelaksanaan politik luar negeri Indonesia dari satu pemerintahan ke pemerintahan lainnya, serta peran yang dimainkan antara satu lembaga dengan lembaga pemerintah lainnya. Sebagai contoh, kuatnya nuansa nasionalisme dalam politik luar negeri Indonesia pada masa Presiden Soekarno maupun masa Presiden Suharto, sebagaimana tercermin dari politik konfrontasi dan penolakan bantuan asing yang dijalankan Presiden Soekarno serta penolakan terhadap dominasi asing di kawasan Indonesia dan regional. Kedua, tujuan dan praktik politik luar negeri Indonesia dipengaruhi oleh persepsi para pemimpinnya atas peran mereka di dalam masalah-masalah dunia.57 Dalam konteks ini, Leo Suryadinata menemukan adanya kecenderungan para pemimpin Indonesia pada periode Presiden Soekarno dan Presiden Suharto memandang Indonesia sebagai kekuatan besar atau bahkan sebagai aktor global. Indonesia dibawah Presiden Soekarno, misalnya, mempunyai ambisi yang kuat untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang besar dan dikagumi, tidak hanya di walayah regional Asia Tenggara tetapi juga di lingkup dunia. Sebagaimana tercermin dari upaya Presiden Soekarno untuk membentuk “New Emerging Forces” (NEFOS) dan keluar dari PBB. Sementara itu, Indonesia di bawah Pemerintahe Orde Baru, walaupun lebih menekankan pada stabilitas dan pembangunan ekonomi,58 juga tidak meninggalkan ambisi tersebut sebagaimana
56
Ibid, hal 278-279. Lihat juga hal 286 Leo Suryadinata, Op cit, hal. 236 58 Ibid, hal. 236 57
28
tercermin dari keinginannya untuk menjadi Ketua Gerakan Non-Blok, menjadi pemimpin ASEAN dll. Sayangnya, ambisi besar Indonesia tersebut tidak dapat diwujudkan dengan efektif karena adanya kendala keterbatasan kemampuan (hard-power resources) yang dimiliki Indonesia.59 Temuan yang sangat berbeda dan cukup menarik justru terdapat dalam buku Soedjati Djiwandono. Dengan mengkaji praktik politik luar negeri Indonesia selama dua episode konfrontasi, pertama atas pengembalian Irian Barat kepangkuan Republik Indonesia dan kedua dengan Malaysia, Soedjati Djiwadono berargumen bahwa pelaksanaan politik luar negeri Indonesia yang memadukan penggunaan kekuatan militer dan tekanan diplomatik telah berhasil dengan baik membujuk (persuade) pihak ketiga (dalam hal ini Uni Soviet dan Amerika Serikat) untuk menengahi pertikaian antara Indonesia dengan Belanda dan Malaysia dengan keuntungan di pihak Indonesia.60 Dalam konteks konfrontasi dengan Belanda atas Irian Barat, misalnya, tercapainya penyelesaian masalah tersebut menurut Djiwandono karena keberhasilan Indonesia dalam mengubah posisi Amerika Serikat dari yang sebelumnya condong mendukung Belanda berubah ke posisi lebih mendukung atau menguntungkan Indonesia.61 Dalam konteks ini, Soedjati Djiwandono memberi catatan tambahan, bahwa di samping sebagai hasil dari dijalankannya strategi penggunaan militer dan diplomasi oleh Indonesia, faktor Perang Dingin, utamanya persaingan Amerika dengan Uni Soviet pada saat itu, juga sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap Amerika Serikat tersebut. Temuan yang menarik lainnya dapat lihat dalam buku hasil karya Novotny yang berargumen bahwa sejak era Presiden Soekarno sampai sekarang persepsi elite sangat mempengaruhi kebijakan luar negeri Indonesia. Menurutnya, persepsi elite Indonesia tentang dunia luar ternyata tetap tidak berubah, sangat dipengaruhi oleh apa yang dia sebut “hostile world‟ images. Sementara itu, pandangan para elite Indonesia dicirikan oleh tingkat ambivalensi yang tinggi mengenai tingkat
59
Ibid, hal 237 Soedjati Djiwandono, op cit, hal 205 61 Ibid, hal 206 60
29
bahaya ancaman dari luar sehingga menimbulkan dilema bagi pembuat kebijakan luar negeri Indonesia.62 Menurut Novotny, hal inilah yang menyebabkan politik luar negeri Indonesia pasca Pemerintah Suharto selalu diwarnai oleh usaha untuk mengeliminasi berbagai ancaman seperti terlihat dari berbagai manuver yang dilakukan Indonesia guna mencari posisi yang aman dan menguntungkan vis a vis Amerika Serikat dan RRC.63 Sementara itu, buku karya Aria T.M. Wibisono yang berjudul Political Elites and Foreign Policy: Democratization Indonesia seperti telah dijelaskan sebelumnya, memulai kajiannya dengan mengajukan dua pertanyaan penting: pertama, sejauhmana peran elite politik domestik dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri Indonesia, khususnya dalam konteks demokratisasi yang sedang berlangsung di era Presiden Megawati Soekarnoputri. Kedua, sejauhmana peran ideologi nasionalisme/Soekarnoisme dalam politik luar negeri Indonesia. Menurut Aria T.M. Wibisono, pertanyaan kedua ini penting untuk dijawab mengingat Presiden Megawati Soekarnoputri sangat dipengaruhi oleh ideologi Soekarnoisme tersebut, yang sekaligus membedakannya dengan presiden Indonesia lainnya (Suharto, B.J. Habibie dan Abdurrahman Wahid) yang karakter politik luar negerinya cenderung pragmatis.64 Berangkat dari dua pertanyaan utama tersebut selanjutnya Aria T.M. Wibisono mengajukan tiga hepotesis. Pertama, elite politik domestik merupakan faktor penentu yang mempengaruhi Presiden Megawati Soekarnoputri dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan luar negeri Indonesia yang berdasarkan ideologi nasionalisme/Soekarnoisme. Kedua, ideologi dan pandangan dunia (view of the world) yang diyakini oleh para elite politik domestik merupakan faktor yang menentukan dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri Indonesia yang sedang mengalami proses demokratisasi. Ketiga, berkaitan dengan kedua hepotesis tersebut di atas, para elite politik domestik yang berada di luar kekuasaan/pemerintahan tidak memiliki pengaruh dalam proses pembuatan
62
Novotny, Ibid, hal. 11. Novotny, Ibid, hal. 7. 64 Aria T.M. Wibisono, Op Cit, hal. 2. 63
30
kebijakan luar negeri tersebut, akan tetapi mereka memiliki kemampuan untuk mempengaruhi proses pelaksanaannya.65 Dari hasil kajiannya, Aria T.M. Wibisono selanjutnya menyampaikan temuannya dan berargumen bahwa elite politik domestik, khususnya yang berada di lingkaran kekuasaan/pemerintahan, memiliki pengaruh yang besar dalam proses pembuatan dan implementasi kebijakan luar negeri Indonesia di era Presiden Megawati Soekarnoputri. Sedangkan para elite politik domestik yang berada di luar kekuasaan/pemerintahan hanya berpengaruh pada tahap proses perumusan kebijakan luar negeri Indonesia, tidak pada tahap implementasinya, yang berarti ini berlawanan dengan hipotesis ketiga yang diajukannya di atas. Aria T.M. Wibisono juga mencatat bahwa: ”shared beliefs and interests of political leaders determine the overall direction of foreign policy while domestic political pressures may influence foreign policy implementation”.66 Dalam konteks ini, menurutnya, jenis isu yang menjadi perhatian, tingkat kaitan emosional para aktor terhadap isu-isu tersebut, kohesivitas dan kecocokan preferensi kebijakan dari kelompok elite politik tersebut akan sangat menentukan dinamika interaksi di antara para elite (kelompok elite) politik domestik dalam proses perumusan dan implementasi kebijakan luar negeri Indonesia.67 Dari uraian yang sudah disampaikan secara panjang lebar pada bagian literatur review ini, maka dapat disimpulkan bahwa dilihat dari periode dan fokus kajian, perspektif atau teori yang digunakan serta temuan dan argumen yang dibangun atau dikembangkan, desertasi ini akan berbeda dengan kajian-kajian sebelumnya. Sebagaimana sudah dijelaskan di atas, dari semua literatur tersebut tidak satu pun yang memfokuskan kajiannya pada pergeseran praktik politik luar negeri Indonesia pasca reformasi, khususnya dalam konteks pengadopsian standar HAM internasional seperti yang akan dikaji dalam desertasi ini. Dilihat dari aspek teori yang digunakan, maka buku karya Weinstaein, karya Novotny serta karya Aria T.M. Wibisono merupakan kajian yang paling dekat dengan desertasi ini.
65
Ibid, hal. 3 Ibid, hal. 283 67 Ibid, hal. 284 66
31
Akan tetapi desertasi ini tetap memiliki perbedaan yang substansial dengan ketiga buku tersebut, utamanya pada aspek periode kajian dan juga fokus kajian. Selain itu, desertasi ini juga berbeda dengan ketiga buku tersebut dalam hal teori atau perspektif yang digunakan. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, buku karya Weinstein dan Novotny menggunakan gabungan dari teori realisme dan teori persepsi (elite‟s perception theory). Sedangkan buku karya Aria T.M. Wibisono menggunakan apa yang dia sebut dengan pendekatan politik domestik (domestic politics approach), yaitu suatu teori atau pendekatan yang sebenarnya masih tetap berada dalam kelompok mainstream. Akibatnya, asumsi dasar mereka terhadap karakter politik internasional juga tetap pada asumsi yang umumnya dipegang teguh oleh kaum Realis yaitu bahwa politik internasional adalah anarkis, struggle for power, konfliktual dan self-help. Sementara itu, sebagai usaha untuk memahami pergeseran politik luar negeri Indonesia era Reformasi dengan menggunakan pendekatan atau perspektif yang lain, di luar kelompok teori-teori mainstream, desertasi ini akan menggunakan perspektif Konstruktivisme. Analisis dengan menggunkan pendekatan Konstruktivisme ini dilakukan dengan bertumpu pada asumsi dasar bahwa karakter hubungan internasional tidak selalu bersifat seperti yang digambarkan oleh kaum Realis atau (Neo)-realis tersebut di atas, melainkan ia bisa bersifat damai, bersahabat dan kooperatif, tergantung pada bagaimana para aktor mengkonstruksikannya.
1.5. Kerangka Teori Teori, yang kadang-kadang sering juga diartikan sama dengan pendekatan (approach) dan perspektif (perspective), sangat penting artinya dalam disiplin hubungan internasional. Teori diperlukan untuk membantu kita dalam menjelaskan dinamika politik internasional, termasuk dalam menjelaskan isu-isu yang berkaitan dengan regionalisme, keamanan maupun kebijakan luar negeri suatu negara seperti Indonesia.68 Meminjam istilah Tim Dunne dan kawan-kawan:
68
Oliver Daddow, International Relations Theory, London, SAGE Publication Inc., 2009, hal.6
32
“theory is the discipline‟s centre of grativity”.69 Dengan demikian, wajib hukumnya bagi seorang peneliti yang ingin melakukan penelitian terhadap fenomena hubungan internasional, termasuk perilaku suatu negara, untuk mengetahui, memahami dan menggunakan suatu teori yang relevan dan tepat sesuai pilihannya masing-masing. Seperti dikatakan oleh Scott Burchill: Whether they like it or not, even those in the field of international relations who reject the value and purpose of international theory cannot avoid the fact that their work is theoretically informed and has theoretical and political implications.70 Dalam
bahasa
yang
lebih
ekstrim
Tim
Dunne
dan
kawan-kawan
mengatakan:”there is no hiding place from theory, there is no alternative but to angage with issues, concerning causation, interpretation, judgement, and critique”.71 Argumen yang disampaikan oleh Tim Dunne dan Scott Burchill tersebut tidak terkecuali berlaku juga untuk kajian ini. Oleh karena itu, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian seperti tersebut di atas, maka kajian ini memerlukan suatu teori yang relevan dan operasional sesuai pilihan.
1.5.1. Peta Teori Hubungan Internasional Untuk menentukan pilihan teori yang tepat dan relevan serta operasional bagi penelitian ini, maka diperlukan pemahaman tentang peta teori hubungan internasional yang ada terlebih dahulu. Pemahaman tentang peta teori hubungan internasional ini penting untuk mengetahui posisi teoritik dan juga alasan argumentatif dan ilmiah mengapa kajian ini memilih suatu teori tertentu. Walaupun sebagian besar ilmuwan sepakat bahwa teori sangat penting dalam studi hubungan internasional, tetapi mereka memiliki pengertian yang berbeda mengenai apa yang dimaksud dengan teori, fungsi dan kegunaannya. Perbedaan pengertian di kalangan para teoritisi tersebut tercermin dari definisi yang mereka 69
Tim Dunne, Milja Kurki, Steve Smith, International Relations Theories: Discipline and Diversity, New York, Oxford University Press, 2007, hal. v. Pendapat Tim Dunne dkk tersebut merupakan kesimpulan dari tulisan Ole Waever, “Still a Discipline After All These Debates?” dalam Ibid. 70 Scott Burchill and Andrew Linklater (et al), Theories of International Relations, London, Mac Millan Press, 1996, hal. 3 71 Tim Dunne, Milja Kurki, Steve Smith, Op cit. hal.v
33
berikan terhadap teori. Menurut Kennet Waltz, misalnya, “theories explain laws which identify invariant or probable associations”. Sedangkan Hollis dan Smith, berpendapat bahwa “theories to abstract, generalise and connect”. Hampir sama dengan pendapat kedua di atas, kelompok teoritisi empiris berpandangan bahwa yang dimaksudkan dengan teori adalah “using observation to test hypotheses about the world”. Sementara itu, Wight memiliki pendapat bahwa “theory is a tradition of speculation about relations between states”.72 Pendapat berbeda tentang teori datang dari para teoritisi yang sering disebut sebagai kelompok penganut normative theory, critical theory dan constitutive theory. Bagi kelompok penganut normative theory, “theory is a representation of the way the world ought to be”. Sedangkan bagi kelompok penganut critical theory, “theory is an ideological critique of the present which opens up alternative future paths to change, freedom and human autonomy”. Sementara itu kelompok penganut constitutive theory memiliki pendapat yang lebih luas dan mendasar tentang teori, yaitu “theory is a reflection upon the process of theorizing, including questions of epistemology and ontology”.73 Sampai saat ini setidaknya terdapat tidak kurang dari 12 teori hubungan internasional yang utama. Teori-teori tersebut adalah: Liberalisme, Realisme, Neoliberalisme, Neorealisme, English School, Konstruktivisme, Marxisme, Teori Kritis, Rasionalisme, Feminisme, Postmodernisme dan Green Theory.74 Di luar 12 teori ini masih terdapat puluhan varian dari teori-teori tersebut di atas. Misalnya Teori Ketergantungan (Dependencia Theory), Teori Anarkisme, Globalisasi dll.75 Selanjutnya, berbagai teori tersebut di atas dapat dikelompokan menjadi tiga kelompok besar teori. Pengelompokan ini didasarkan pada persamaan dan
72
Dikutif dari Scott Burchill and Andrew Linklater (et al), Ibid, hal 8. Dikutip dari Scott Burchill and Andrew Linklater (et al), Ibid, hal 8. 74 Untuk daftar dan penjelasan lebih lanjut tentang teori-teori hubungan internasional tersebut lihat misalnya: Scott Burchill and Andrew Linklater (et al), Op Cit, Oliver Daddow, Op Cit, Tim Dunne, Milja Kurki and Steve Smith, Op Cit. 75 Untuk varian teori hubungan internasional lainnya yang lebih “rendah” tingkatannya lihat misalnya Richard Little and Michael Smith, Perspectives on World Politics (3rd Ed), London, Routledge, 2006. 73
34
perbedaan ontologi, epistimologi dan metodologi dari masing-masing teori tersebut.76 1. Kelompok Explanatory Theory atau sering juga disebut kubu Positivisme atau Rasionalisme. Beberapa teori yang masuk dalam kelompok ini adalah Realisme, Liberalisme, Neo-realisme dan Neo-liberalisme serta English School. 2. Kelompok kedua yaitu apa yang disebut sebagai Understanding Theory, atau sering juga dikenal sebagai Normative Theory, Constitutive Theory, Post-positivism atau Reflectivism. Teori-teori yang termasuk kelompok ini adalah
Marxisme,
Critical
Theory,
Feminisme,
Posmodernisme,
Poskolonialisme, Green Theory dan Anarchisme. 3. Kelompok ketiga yaitu apa yang dinamakan perspekif Konstruktivisme.
Teori ini sering juga dikenal sebagai middle ground theory, karena walaupun ia memunculkan argumen yang berbeda dan baru dari teori-teori yang termasuk dalam kedua kelompok sebelumnya namun teori ini tetap share berbagai aspek dengan teori-teori tersebut, baik secara ontologis, epistemologis maupun secara metodelogis 77. Masing-masing teori, pendekatan dan perspektif tersebut memiliki kelemahan dan kekuatan sendiri sesuai dengan aspek historis dari teori tersebut, fokus perhatian, metode yang diterapkan dan hasil atau tujuan yang hendak dicapainya.78 Sehingga masing-masing teori memiliki peluang untuk dikritik, ditolak atau didukung dan dipilih untuk digunakan oleh para teoritisi, peneliti maupun akademisi dalam disiplin ini. Pilihan terhadap teori yang dianggap paling
Untuk penjelasan tentang pengelompokan teori ini lihat Robert Keohane, “International Institutions: Two Approaches”, International Studies Quarterly, 32 (4): 379-396 77 Untuk mengetahui lebih jauh tentang pengelompokan teori-teori ini, serta argumen yang mendukung atau dasar pengelompokan tersebut lihat misalnya; Steve Smith, “Introduction: Diversity and Disciplinarity in International Relations Theory” dalam Time Dunne, Milja Kurki and Steve Smith, Op Cit, hal. 1-31, dan juga Oliver Dadow, Op Cit, hal 57-61 78 Lihat misalnya Jim George, Discourses of Global Politics: A Critical (Re) Introduction to International Relations, Boulder, Lynne Rienner Publisher, 1994, hal. 172-182 76
35
tepat dan sesuai kebutuhan pada akhirnya akan tergantung pada keputusan subjektif dari peniliti itu sendiri.79 Walaupun demikian, sulit dibantah bahwa sejak berakhirnya Perang Dunia II sampai berakhirnya masa Perang Dingin, teori-teori hubungan internasional yang termasuk dalam kelompok mainstream Explanatory Theory atau yang termasuk dalam kubu Positivisme atau Rasionalisme, utamanya Realisme, Liberalisme, Neo-realisme dan Neo-liberalisme telah mendominasi agenda research dalam hubungan internasional.80 Sementara itu dari kelompok teori yang kedua yaitu Understanding Theory atau Normative Theory, Contitutive Theory, Post-positivism atau Reflectivism, yang paling sering digunakan hanya Marxisme dan variannya, walaupun pengaruh teori-teori kelompok kedua ini tidak sekuat teori-teori dalam kelompok pertama. Meskipun ada perbedaan pengertian tentang definisi dan fungsi teori di kalangan para ahli, namun umumnya mereka sepakat bahwa teori hubungan internasional yang baik harus dapat menjalankan setidaknya empat fungsi utama yaitu, dapat mendiskripsikan (describe), menjelaskan (explain), memprediksi (predict) dan memberikan jalan penyelesaian (prescribe).81 Oleh karena itu, menurut Scott Burchill setidaknya ada enam aspek yang harus dilihat dalam menentukan pilihan terhadap suatu teori: 1. Sejauhmana pemahaman suatu teori terhadap suatu isu atau proses 2. Seberapa besar kemampuan teori tersebut dalam menjelaskan suatu fenomena yang diamati atau diteliti 3. Seberapa akurat kemampuan teori itu dalam memprediksi 4. Konsistensi dan koherensi intelektual dari teori tersebut 5. Skope atau cakupan dari teori tersebut
Lihat Steve Smith, “Introduction: Diversity and Disciplinarity in IR Theory”, dalam Tim Dunne, Milja Kurki and Steve Smith (eds), Op cit, hal 8 80 Pengakuan terhadap teori-teori yang paling berpengaruh ini dapat dilihat, misalnya, Kurki and Colin Wight, dalam Tim Dunne, Milja Kukri and Steve Smith, Op Cit, hal. 26, dan juga Scott Burchill dalam Scott Burchill and Andrew Linklater, Op Cit, hal 8 81 Dikutip dari Scott Burchill and Andrew Linklater, Op Cit, hal 23. Lihat C.W. Kegley, (ed), Controversies in International Relations Theory: Realism and Neo-Liberal Challenge, New York, 1995, hal. 8 79
36
6. Kapasitas teori untuk melakukan critical self-reflection dan intelectual enggagement dengan teori-teori pesaingnya.82 Berdasarkan argumen di atas, maka kajian ini akan menggunakan perspektif atau teori alternatif di luar teori-teori mainstream, khususnya Realisme, Neorealisme, Liberalisme dan Neoliberalisme83 yang telah mendominasi agenda research hubungan internasional sejak Perang Dunia II,84 yaitu perspektif Konstruktivisme (Constructivism). Pilihan terhadap teori Konstruktivisme ini karena sesuai dengan persyaratan teori hubungan internasional yang baik seperti telah dijelaskan di atas. Selain itu, perspektif ini juga lebih relevan dan mampu menjelaskan fenomena politik luar negeri Indonesia pasca reformasi 1997/1998 yang mengalami pergeseran yang cukup signifikan. Sebelum reformasi, politik luar negeri Indonesia lebih bertumpu pada sumber kekuatan nasional yang bersifat material, khususnya kemampuan ekonomi dan militer. Sedangkan politik luar negeri
Indonesia
pasca
Reformasi
lebih
menekankan
(atau
mulai
mempertimbangkan) aspek penggunaan sumber kekuatan non-material seperti ide, norma, nilai dan hukum internasional sebagaimana terlihat dari bergabungnya Indonesia dengan masyarakat internasional melalui pengadopsian berbagai standar HAM internasional.
1.5.2. Perspektif Konstruktivisme Konstruktivisme muncul dan berkembang sebagai kritik terhadap Rasionalisme, Positivisme, Post-strukturalism dan Post-modernism. Kritik kaum Kontruktivis ini terutama ditujukan pada Realisme dan Neorealisme yang beranggapan bahwa karakter atau realitas politik internasional adalah sesuatu yang given, tidak berubah, selalu bersifat atau dicirikan oleh anarkis, konflik dan perebutan pengaruh dan kekuasaan. Padahal, dalam kenyataannya politik 82
Scott Burchill and Andrew Linklater (et al), Op Cit, hal 24 Lihat misalnya Kenneth Waltz, Theory of International Politics, New York, Addison Wasley, 1979, hal. 30-35 84 Pengakuan terhadap teori-teori yang paling berpengaruh ini dapat dilihat, misalnya, Kurki and Colin Wight, dalam Tim Dunne, Milja Kukri and Steve Smith, Op Cit, hal. 26, dan juga Scott Burchill dalam Scott Burchill and Andrew Linklater, Op Cit, hal 8 83
37
internasional tidaklah demikian. Sikap dan perilaku suatu negara bisa berubah sedemikian rupa sebagaimana diperlihatkan oleh negara bekas Uni Soviet menjelang berakhirnya Perang Dingin dan Indonesia pasca reformasi 1997/1998. Oleh karena itu, dari sudut pandang kaum Konstruktivis, teori-teori mainstream di atas tidak lagi dapat digunakan untuk menjelaskan perubahan perilaku aktor-aktor internasional (khususnya negara-negara) seperti tersebut di atas, terutama perubahan dari perilaku yang sebelumnya bersifat konfliktual ke perilaku yang cenderung bersifat kooperatif, damai dan bersahabat. Walaupun kaum Konstruktivis mengkiritik dan menolak beberapa aspek dari teori-teori mainstream seperti disebutkan di atas, tetapi pendekatan ini menerima beberapa aspek dari teori-teori mainstream tersebut, baik secara ontologis, epistemologis maupun secara metodologis Misalnya, Konstruktivis menerima epistemologi positivis, termasuk hypothesis testing, hukum kausalitas dan eksplanasi.85 Sehingga tidak heran jika banyak titik sentuh atau kesamaan antara
Konstruktivisme
dan
teori-teori
Positivisme,
khususnya
dengan
Neorealisme dan Neoliberalisme. Kedua pendekatan ini, misalnya, sama-sama mengakui bahwa negara adalah aktor tunggal dalam hubungan internasional. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Konstruktivisme merupakan teori middle ground antara pendekatan Rasionalism dan Post-strukturalism. Posisi teori Konstruktivisme ini di antara teori-teori yang lain dapat digambarkan sbb: I Realisme Neo-realisme Liberalisme Neo-liberalisme English School
II III Konstruktivisme
Marxisme Teori Kritis Feminisme Posmodernisme Poskolonialisme Green Theory Anarkisme
Sumber: Oliver Daddow, International Relations Theory, Los Angeless, Sage, 2009, hal.60
K.M. Fierke, “Constructivism”, dalam Tim Dunne, Milja Kurki and Steve Smith, Op Cit, hal 7273 85
38
Walaupun
demikian,
ada
beberapa
perbedaan
mendasar
antara
Konstruktivisme dengan teori-teori mainstream atau rasionalis (utamanya Neorealis dan Neoliberal) dan teori-teori yang termasuk kelompok Reflectivism seperti Critical theory dan Postmodernism theory. Perbedaan penting tersebut, di antaranya, yaitu Konstruktivisme memberi perhatian khusus pada demensi sosial dari hubungan internasional, suatu aspek yang diabaikan oleh teori-teori mainstream lainnya, khususnya oleh (Neo)realism dan (Neo)liberalism. Jika pendekatan Positivisme atau Rasionalisme lebih menekankan aspek distribusi material power seperti kekuatan militer dan ekonomi dalam memahami perilaku suatu negara, maka Konstruktivis lebih menekankan analisisnya pada peran ideide, pemikiran dan kepercayaan para agensi atau aktor (dalam dan luar negeri), serta bagaimana ide-ide dan pemikiran tentang kebijakan luar negeri tersebut terbentuk menjadi pemahaman bersama para agensi atau aktor tersebut sehingga membentuk indentitas baru yang akhirnya mempengaruhi kebijakan luar negeri mereka.86 Menurut pandangan kaum Konstruktivis, politik internasional dibentuk dan dikendalikan oleh ide-ide, standar, konsepsi-konsepsi, nilai-nilai dan asumsiasumsi yang dimiliki secara bersama-sama oleh para aktornya.87 Dengan kata lain, realitas politik internasional pada dasarnya hasil konstruksi secara sosial oleh agen-agen melalui proses belajar dan pemahaman bersama (intersubjective) dan saling mempengaruhi. Ini artinya, sistem internasional bukanlah sesuatu bersifat material atau fisik semata, tetapi merupakan realitas sosial, hasil konstruksi dari para aktornya.88 Menurut Fierke, yang dimaksud dengan mengkontsruksikan sesuatu adalah “…an act which brings into being a subject or object that otherwise would not exist”.89 Misalnya, keberadaan objek material seperti senjata tidak begitu saja
Lihat Jackson, R.H, “ Social Constructivism” dalam R.H Jackson & G. Sorensen (Eds.), Introduction to International Relations, Theories and Approaches, (3rd. ed), Oxford, Oxford University Press, 2007, hal. 161-162. 87 Eby Hara, Abubakar, Pengantar Analisis Politik Luar Negeri: Dari Realisme sampai Konstruktivisnme, Bandung, Nuansa, 2011, hal 119. 88 Lihat Jackson, Ibid, 162 89 Fierke, dalam Tim Dunne, Milja Kurki and Steve Smith, Op Cit, hal. 168. 86
39
ada secara alamiah, tetapi ia merupakan hasil ciptaan manusia melalui proses pemaknaan (dikonstruksikan). Sekali benda tersebut dikonstruksikan, maka ia memiliki arti atau makna yang khusus dan digunakan dalam konteksnya. Jadi keberadaan dan makna benda merupakan hasil konstruksi sosial karena ia melibatkan nilai-nilai, standar dan asumsi-asumsi sosial, bukan semata-mata hasil ciptaan alam atau individual. Hal yang sama juga berlaku bagi keberadaan dan karakter negara, organisasi internasional dan sistem internasional, semua itu adalah produk dari konstruksi para agen atau aktornya.90 Dengan demikian, sistem internasional tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai, standar dan merupakan fungsi dari ide-ide, hasil pemikiran dan keyakinan serta pemahaman bersama para aktornya. Hal ini dikarenakan standar, nilai-nilai dan aturan-aturan yang berlaku dalam hubungan internasional merupakan faktor penting yang mempengaruhi pilihan kebijakan atau keputusan dan tindakan suatu aktor atau agen seperti negara. Perspektif ini, dengan demikian, menekankan arti penting dari aspek standar dan nilai-nilai seperti HAM, nilai-nilai demokrasi dan hukum internasional, agen dan struktur sosial serta identitas. Dalam
menganalisis
perilaku
suatu
negara,
kaum
Konstruktivis
memberikan perhatian yang khusus pada identitas. Hal ini karena di mata kaum Konstruktivis identitas adalah faktor paling krusial dalam menentukan kepentingan nasional suatu negara. Identitas merupakan faktor paling mendasar yang menentukan politik luar negeri suatu negara, yang pada akhirnya juga menentukan perilaku negara tersebut di dunia. Identitas tersebut terbentuk melalui pemahaman bersama atau intersubjective understanding diantara para agen atau aktor terhadap ide-ide, pemikiran, kepercayaan yang mereka miliki. Menurut kaum Konstruktivis, dunia tidak bersifat statis yang ditandai oleh egoisme sosial untuk mencapai kepentingan material semata sebagaimana digambarkan oleh kaum Rasionalis. Walaupun kepentingan material itu diakui penting, tetapi bagi kaum Konstruktivis kepentingan (interest) tersebut harus dilihat sebagai fungsi dari identitas aktor atau agen. Identitas dan kepentingan
90
Fierke, Ibid, 168
40
saling berkaitan erat dan oleh karenanya tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya dalam usaha memahami fenomena politik internasional. Sebagai contoh, identitas sebagai negara demokrasi liberal tidak dapat dipisahkan dari kepentingan untuk mematuhi standar hak asasi manusia.91 Muncul dan berkembangnya kebijakan hak azasi manusia di banyak negara, menurut Judith Goldstein dan Robert O. Keohane, bukan hanya merefleksikan kekuatan ide atas kepentingan (material). Fenomena tersebut juga menunjukan bahwa kekuatan ide mampu mempengaruhi pemahaman baru tentang kepentingan national. Pengadopsion standar hak azasi manusia internasional merupakan pergeseran fundamental dalam memahami dan mendefinisikan kembali kepentingan nasional suatu negara.92 Jika ini dikaitkan dengan Indonesia, maka identitas sebagai negara demokrasi telah menciptakan kepentingan baru bagi Indonesia di dunia internasional, salah satunya adalah kepentingan untuk menghormati HAM. Dalam konteks ini, kaum Konstruktivis berargumen bahwa identitas dan kepentingan tidak bersifat given pada suatu aktor atau negara, tetapi mereka merupakan hasil konstruksi dari negara tersebut berdasarkan proses belajar dari pengalaman masa lampau, apa yang sedang dialami sekarang dan harapan yang ingin dicapai di masa depan. Dalam bahasa Alexander Wendt, identitas dan kepentingan merupakan hasil proses sosial, berupa intersubjective processes.93 Lebih lanjut, kaum Konstruktivis menolak ontologi individualis kelompok Rasionalis dan sebaliknya menganut ontologi sosial. Menurut pandangan ini, sebagai fakta sosial yang fundamental, individu atau negara tidak dapat dipisahkan dari konteks standar dan nilai-nilai yang membentuk mereka, termasuk hambatan dan peluang yang diciptakannya. Ini artinya, seperti halnya Rasionalis, dimata Konstruktivis hubungan antara individu dan struktur adalah penting. Akan tetapi, berbeda dengan Rasionalis yang melihat bahwa struktur sebagai fungsi dari kompetisi dan distribusi kapabilitas material (hard power), dan struktur berfungsi
91
K.M Fierke, Ibid, hal 171 Judith Goldstein and Robert O.Keohane (eds.), Ideas & Foreign Policy: Beliefs, Institutions, and Political Change, Ithaca, Cornell University Press, 1993. Hal. 140. 93 Alexander Wendt, Social Theory of International Politics, New York, Cambridge University Press, 1999, hal. 224-237 92
41
sebagai penghambat perilaku negara, dan bahwa tindakan suatu negara selalu bersifat
rasional
(memaksimalkan
pencapaian
kepentingan
nasionalnya),
Konstruktivis lebih fokus pada standar dan share understanding of legitimate behaviour, walaupun diakui bahwa faktor material tetap memainkan peran penting.94 Seperti dikatakan oleh Frank Schimmelfennig: …identities, interests and preferences of actors are products of intersubjective social structures, such as culture, institutions, and social interaction. It is not merely the cost-benefit analysis that determines an actor‟s behavior, but rather their values and norms, and standards of legitimacy-in other words, a logic of appropriatness.95 Menurut pandangan ini, “what is rational is a function of legitimacy, defined by shared values and norms within institutions or other social structures rather than purely individual interests”.96 Ini artinya, standar dan nilai-nilai tidak boleh hanya dilihat sebagai penghambat perilaku aktor atau agen tetapi juga harus dilihat sebagai identitas dari aktor tersebut. Struktur sosial sesungguhnya menyediakan ruang yang cukup bagi aktor, individu atau negara, untuk mempengaruhi lingkungannya dan sebaliknya. Dengan demikian, berbeda dengan kaum Neorealis dan Neoliberal yang mengatakan bahwa struktur merupakan faktor yang paling menentukan perilaku aktor atau agen, aktor atau agen itu sendiri hampir tidak punya pilihan lain, kaum Konstruktivis berpendapat bahwa aktor atau agen-agen dimungkinkan memiliki pilihan-pilihan sendiri sebagai keputusan subjektif yang dihasilkan dari suatu proses interaksi intersubjektif. Seperti dinyatakan oleh Alexander Wendt; It is not that actors are totally free to choose their circumstances, but rather that they make choices in the process of interacting with others and, as a result, bring historically, culturally, and politically distinct „realities‟ into being.97 Lebih lanjut, berbeda dengan Positivisme dan Materialisme yang melihat dunia sebagaimana adanya, Konstruktivisme melihat dunia sebagai suatu proyek 94
K.M. Fierke, Ibid, hal 70 Frank Schimmelfennig, dalam Ibid, 179 96 Dikutip dari Fierke, Op Cit, hal 70 97 Alexander Wendt, “Anarchy is What States Make of It: The Social Construction of Power Politics”, International Organization, 46, hal 391-425, dikutip dari Fierke, Op Cit, hal 68. 95
42
yang sedang dibangun atau sedang dalam proses menjadi sesuatu, bukan sesuatu yang telah jadi atau selesai.98 Dalam bahasa Wendt, situasi dan karakter politik internasional diciptakan melalui suatu proses, dan bukan ditakdirkan seperti apa adanya pada suatu masa. Struktur atau realitas politik internasional adalah produk dari proses interaksi dan saling memahami antar aktornya. Interaksi tersebut dapat berupa pemberian sinyal-sinyal, gesture, gelagat diplomasi satu sama lainnya, apakah berupa gelagat permusuhan atau persahabatan yang kemudian diintepretasikan dan direspon dengan kebijakan yang tepat.99 Struktur ideasional dan aktor-aktor tersebut saling membentuk dan mempengaruhi satu sama lainnya. Struktur membentuk identitas dan kepentingan aktor tetapi struktur juga diproduksi, reproduksi dan diubah oleh para aktor melalui proses intersubjective share of knowledge and ideas, secara terus menerus. Ini artinya aktor dapat merubah struktur internasional melalui tindakan sosialnya (interaksi dengan aktor-aktor lainnya), seperti dari struktur bersifat konfliktual ke struktur yang bersifat lebih bersahabat.100 Fenomena inilah yang terjadi terhadap Indonesia pasca reformasi. Jika kaum Neorealis dan Neoliberalis yang melihat struktur internasional berpengaruh langsung terhadap politik luar negeri suatu negara, kaum Konstruktivis melihat struktur internasional (oleh kaum Konstruktivis disebut ideasional structure) hanya memiliki pengaruh yang membentuk (constitutive) dan mengatur (regulative) bukan pengaruh langsung yang bersifat kausalitas terhadap negara-negara tersebut. Struktur internasional tersebut membantu proses pembentukan kembali identitas negara-negara (mendefinisikan siapa diri mereka) dan kemudian menciptakan kepentingan mereka (tujuan dan peran yang mereka yakini harus dilakukan).101 Oleh karena sistem internasional itu bersifat relatif dan hasil bentukan bersama maka ia juga bisa diubah oleh para agennya sesuai dengan ide-ide dan pemikiran serta standar dan nilai-nilai baru yang mereka yakini Lihat Adler, E. “Contructivism and International Relations” in Carlsnaes, B. A. Simmons and T. Risse-Kappen (Eds.), Handbook of International Relations, London, SAGE, 2002, hal: 109. 99 Wendt, “Anarchy is what States Make of it: The Social Construction of Power Politics”, International Organization, 46 (2), 391-425 100 Lihat Copeland, dalam Eby Hara, Ibid, hal.118-120 101 Copeland dalam Ibid, hal.120 98
43
kebenarannya. Oleh karena itu, dalam menganalisis perilaku suatu negara (politik luar negeri suatu negara) maka fokus pengamatan harus pada struktur ide para agen, bukan struktur materialnya. Dalam konteks ini, maka karakter dasar politik internasional yang anarkis seperti difahami oleh Neorealis dan Neoliberalis tidak selalu harus diartikan konfliktual, tetapi dapat juga bersifat atau berubah ke kooperatif. Apakah karakter anarki tersebut cenderung bersifat konfliktual atau kooperatif amat tergantung pada bagaimana negara-negara mengkonstruksikan sifat politik internasional tersebut pada waktu itu.102 Dalam pandangan Cynthia Weber: “Anarchy is neither necessarily conflictual nor cooperative. There is no “nature” to international anarchy”. 103 Dijelaskan oleh Alexander Wendt: Anarchy is what states make of it‟. If states behave conflictually toward one another, then it appears that the nature of international anarchy is conflictual. If states behave cooperatively toward one another, then it appears that the nature of international anarchy is cooperative.104 Dengan demikian, menurut pandangan Konstruktivis, negara-negara itu sendirilah yang menentukan “the nature of international anarchy”. Dan yang lebih penting lagi, demikian lanjut Cynthia Weber, “what states do depends upon what states‟ identities and interests are, and identities and interests change”.105 Jika identitas dan kepentingan negara menghasilkan sesuatu yang bersifat kompetitif maka perilaku negara tersebut akan kompetitif, jika identitas dan kepentingan negara menghasilkan sesuatu yang bersifat kooperatif maka perilaku negara tersebut akan kooperatif.106 Berikut bagan yang menggambarkan cara berpikir kaum Konstruktivis di tengah dua perpsektif mainstream, Neorealis dan Neoliberal.
102
Lihat Fierke, Ibid hal 68. Cynthia Weber, International Relations Theory: A Critical Introduction, (3th ed.), Oxford, Routledge, 2001, hal.62. 104 Dikutip dari Cynthia Weber, Ibid. hal 62. 105 Cynthia Weber, Ibid, hal 62. 106 Cynthia Weber, Ibid, hal 69 103
44
Wendtian Constructivism No logic to anarchy Anarchy is an effect of practice “Anarchy is what states make of it” (Neo) Realism: Logic of anarchy is structural and leads to conflict
Neoliberalism: Logic of anarchy is a process that can cooperation
Sumber: Cynthia Weber, International Relations Theory: A Critical Introduction, New York, Routledge, 2001.
Dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa analisis kontsruktivisme Wendt bersifat sistemik, yaitu fokus pada interaksi antar negara dalam sistem internasional dan mengabaikan faktor domestik. Struktur yang dimaksud oleh Wendt bukanlah struktur material seperti kemampuan ekonomi dan militer tetapi struktur ide yang membentuk hubungan antar negara. Penjelasan terhadap lahirnya struktur ide tersebut dan bagaimana suatu negara menciptakan identitas serta kepentingannya melalui struktur tersebut adalah inti dari analisis konstruktivisme ini.
107
Identitas adalah pemahaman terhadap siapa diri sendiri
dan kemudian kepentingan apa yang melekat padanya untuk selanjutnya menjadi penuntun untuk menentukan peran apa yang harus atau dapat dimainkan dalam kerangka mencapai tujuan atau kepentingan nasional tersebut.108 Sebagai contoh, realitas terhadap keberadaan senjata nuklir suatu negara bukan pada daya hancurnya tetapi lebih pada realitas sosial atau makna yang diberikan oleh negara-negara lain terhadap keberadaan sejata nuklir tersebut. Misal, ketakutan terhadap bahaya senjata nuklir Korea Utara amat ditentukan oleh bagaimana suatu (atau beberapa) negara memberi makna (ide atau konstruksi) terhadap Korea Utara tersebut. Bagi Cina, Korea Utara adalah sahabat dan oleh karenanya keberadaan senjata nuklir negara tersebut bukan sesuatu yang mengkhawatirkan. Sebaliknya, bagi Amerika Serikat, Jepang dan Korea Selatan, 107 108
Wendt, seperti dimuat dalam Eby Hara, Ibid, 123-124. Wendt, Ibid 394-405 dalam Eby Hara, Ibid 125.
45
Korea Utara adalah negara musuh dan oleh karenanya senjata nuklir yang dimiliki oleh negara tersebut sangat berbahaya bagi mereka. Dengan demikian, pandangan Konstruktivisme tidak seperti pandangan Neoliberalis yang terlalu optimis pada peluang kerjasama antar negara atau pandangan kaum Neorealis yang sangat pesimis terhadap kemungkinan kerjasama tersebut. Karakter hubungan internasional yang anarkis dan konfliktual, dalam pandangan Konstruktivis, dapat berubah ke karakter yang lebih bersifat kooperatif dan sebaliknya tergantung bagaimana aktor atau agen mengkonstruksikan the “nature” of international anarchy yang dimaksud. Seperti dijelaskan oleh Wendt: Is it a structure that puts constrains on the states behavior so that competition and conflict are guaranteed and much cooperation is ruled out or is it a place in which processes of learning take place among states in their everyday interactions so that more cooperative institutions and behaviors results.109 Menurut Nina Tannenwald, ada empat jenis sistem ide yang dapat mempengaruhi perilaku para aktor dalam hubungan internasional. Pertama, sistem idelogi atau kepercayaan yang dimiliki bersama yang bersifat sistemik dan mencerminkan kehendak, tujuan atau aspirasi dari suatu kelompok masyarakat atau negara. Misalnya Liberalisme dan Marxisme, atau dalam kontek Indonesia ideologi Pancasila. Kedua, berupa kepercayaan-kepercayaan normatif, yaitu kepercayaan atau nilai-nilai yang dapat membedakan atau mengklasifikasikan tentang baik dan buruk serta adil dan tidak adil suatu tindakan. Misalnya, normanorma atau nilai-nilai hak asasi manusia. Ketiga, kepercayaan atau pemahaman tentang hubungan kausalitas (sebab-akibat) antara tujuan dan sarana atau cara yang dipakai untuk mencapai tujuan tersebut. Sistem ide ini akan menuntun para aktor untuk menjalankan strategi tertentu dalam mencapai tujuan mereka. Misalnya apakah akan memilih jalan penggunaan kekuatan militer atau dengan cara diplomasi damai. Keempat, ide-ide yang terkait dengan preskripsi kebijakan untuk memecahkan atau menyelesaikan suatu masalah. Misalnya berupa
109
Lihat Alexander Wendt, Ibid.
46
kebijakan luar negeri atau program tertentu yang dipercaya akan dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh suatu negara.110 Sejalan dengan pandangan kaum Konstruktivis, standar internasional yang dipromosikan oleh organisasi internasional seperti PBB dengan cara mendorong negara-negara di dunia untuk mengadopsi standar tersebut dapat mempengaruhi kebijakan nasional suatu (beberapa) negara. Pengaruh promosi standar internasional (misal HAM) terhadap kebijakan luar negeri suatu negara (perilaku suatu negara di dunia internasional) tidak dapat dijelaskan dengan teori-teori mainstream (Neo)realism dan (Neo)liberalism yang terlalu menekankan pada aspek memaksimalkan kekuasaan demi mencapai kepentingan nasional semata, tetapi memerlukan penjelasan dari perspektif Konstruktivisme yang melihat peran sentral dari standar, norma dan nilai-nilai dalam masyarakat internasional. Kenyataan bahwa setiap negara tidak hidup sendiri tetapi bersama-sama dengan negara lain bermakna bahwa apa identitas negara tersebut dan apa yang diinginkannya dibentuk oleh standar dan aturan-aturan, pemahaman bersama serta hubungan sosial yang dimiliki oleh negara tersebut dengan negara-negara lainnya. Dengan demikian, realitas sosial ini mempunyai pengaruh yang kuat dalam menentukan perilaku suatu negara. Bahkan realitas sosial ini memberikan makna dan tujuan bagi realitas material.111
1.6. Hipotesis (1) Konstruksi Indonesia terhadap standar HAM internasional era Reformasi berbeda secara signifikan dibandingkan dengan konstruksi Indonesia periode Orde Lama dan Orde Baru. Di era Orde Lama dan Orde Baru konstruksi Indonesia terhadap berbagai standar HAM internasional tersebut bersifat sangat negatif, sedangkan di era Reformasi konstruksi Indonesia berubah menjadi lebih positif. Perubahan konstruksi tersebut berkaitan erat dengan perubahan identitas Nina. T. “Stigmatizing the Bomb: Origins of the Nuclear Taboo”, International Security, 29 (4), 5-49, seperti dimuat dalam, Eby. H, Ibid, 120-121. 111 Finnemore, M., National Interests in International Society, Ithaca, N.Y, London, Cornell University Press, 1996, hal. 128, dikutip dari Eby Hara, Ibid, 129. 110
47
Indonesia pasca reformasi: cara Indonesia memandang dirinya sendiri dan memaknai kecenderungan menguatnya isu HAM dalam percaturan politik internasional. (2) Berkembangnya konstruksi baru terhadap standar HAM internasional tersebut telah mempengaruhi kebijakan dan praktik politik luar negeri Indonesia era Reformasi terhadap berbagai standar HAM internasional; sebelumnya bersikap pasif, enggan dan bahkan menolak, menjadi lebih akomodatif,
kooperatif
dan
aktif
dalam
mengadopsi
dan
mengimplementasikan berbagai standar HAM internasional tersebut. (3) Pergeseran kebijakan Indonesia dari apa yang disebut “a realpolitik approach to more of a human security approach” tersebut pada akhirnya berdampak positif pula pada penguatan sumber hard power dan soft power elements, khususnya kekuatan ekonomi dan militer serta penegakkan HAM dan demokrasi dalam negeri. Melalui kebijaksanaan luar negeri “baru” ini, Indonesia bukan saja mampu keluar dari krisis dan kemudian meningkatkan pembangunan ekonominya, akan tetapi juga mampu meningkatkan perannya dalam percaturan politik internasional serta pengembangan demokrasi dan HAM dalam negeri.
1.7. Metode Penelitian Suatu penelitian ilmiah di samping harus menggunakan teori atau pendekatan, juga harus memiliki metodologi tertentu, tidak terkecuali penelitian tentang politik luar negeri Indonesia ini. Perspektif, pendekatan dan metode tersebut sangat penting artinya bukan saja untuk kepentingan pertangungjawaban ilmiah dari suatu kajian atau penelitian tetapi juga untuk memberikan penegasan mengenai ciri khusus dari suatu penelitian yang membedakannya dengan penelitian yang lain. Selain itu, hal tersebut juga diperlukan sebagai sumbangan untuk memperkaya khasana disiplin yang sedang dipelajari, dalam hal ini disiplin hubungan internasional umumnya dan studi politik luar negeri khususnya. Seperti halnya dalam ilmu sosial lain umumnya, dan ilmu hubungan internasional khususnya, studi tentang politik luar negeri selalu memiliki ruang
48
yang luas untuk penggunaan perspektif, teori ataupun metodologi yang berbeda satu sama lainnya. Hal ini dimungkinkan bukan saja karena bidang kajian (isu-isu dan topik-topik bahasan) yang tersedia dalam ilmu hubungan internasional dan politik luar negeri sangat luas tetapi juga karena adanya perkembangan yang cukup signifikan dari disiplin hubungan internasional itu sendiri. Sebagai misal, jika dahulu kajian politik luar negeri berfokus pada negara sebagai aktor utama, sekarang meluas ke aktor-aktor non-negara. Isu-isu yang ditangani juga berkembang tidak lagi hanya masalah politik, keamanan dan pertahanan serta ekonomi tetapi juga meliputi isu-isu “baru” seperti HAM, lingkungan hidup, transnational crime, terorisme dll. Secara internal, ilmu hubungan internasional masih terpecah dalam berbagai pendapat mengenai subject matter yang perlu dianalisis, metodologi yang layak untuk diterapkan ketika seorang peneliti atau akademisi melakukan studi tentang hubungan internasional serta struktur epistemologi dari teori-teori yang ada.112 Perdebatan mengenai metodelogi ini sudah terjadi sejak tahun 1960an, yaitu pada phase kedua dari apa yang dikenal sebagai The Great Debates dalam disiplin ini. Perdebatan tersebut terjadi antara kubu “behavioralis” (scientists), yang percaya bahwa hubungan internasional paling tepat dipelajari dengan menggunakan metode seperti yang dilakukan dalam ilmu alam, melawan kubu “tradisionalis” yang berargumen bahwa studi ilmu sosial, termasuk hubungan internasional, tidak harus meniru studi emperik seperti yang dilakukan dalam ilmu alam.113 Bagi kaum Behavioralis yang kemudian melahirkan aliran pemikiran Positivisme, ilmu pengetahuan (knowledge) hanya mungkin dihasilkan melalui pengumpulan data-data yang dapat diamati dan diukur (observable and measureable data). Melalui pengumpulan data yang demikian maka selanjutnya dapat diidentifikasi pola-pola regularitas yang akhirnya bisa digunakan untuk memformulasikan
hukum-hukum
regularitas
tersebut.
Sebaliknya
kaum
Tradisionalis seperti Hedley Bull, Morgenthau dan pendukung lainnya berpendapat: “systematic inquiry was one thing, the obsession with data collection 112 113
Scott Burchill and Andrew Linklater (et al), Ibid, hal. 3 Lihat, Ibid, hal 56.
49
and manipulation on positivist lines was another”.114 Bagi Bull dan Morgenthau, studi hubungan internasional, disukai atau tidak, pasti melibatkan penilaian konseptual dan interpretatif, suatu hal yang diabaikan oleh kaum Positivis. Dengan demikian, menurut mereka, metodologi seperti yang ditawarkan kaum Positivis seperti tersebut di atas tidak mempunyai landasan klaim yang kuat.115 Pada tahun 1970-an sampai tahun 1980-an muncul perdebatan baru dalam disiplin ini yang dikenal sebagai interparadigm debate. Walaupun perdebatan phase III ini menandai bergesernya fokus perdebatan dari isu-isu yang bersifat metodologis ke isu-isu sekitar the nature of scientific inquiry namun pada dasarnya akar masalah atau substansi yang diperdebatkan tidaklah berubah, yaitu bagaimana seharusnya ilmu hubungan internasional harus dipelajari sehingga dapat dikatakan sebagai scientific science. Pergeseran yang dimaksud ternyata lebih pada masalah pilihan teori yang dianggap paling memadai untuk digunakan ditengah-tengah kehadiran teori-teori, framework, perspektif atau paradigma yang memiliki perbedaan-perbedaan yang sangat menyolok dan sulit dibandingkan antara satu dengan lainnya.116 Sebagai misal perdebatan pada phase ini meliputi posisi atau peran nilai (value) dan data emperik dalam proses menghasilkan ilmu pengetahuan. Menurut Milja Kurki dan Colin Wight, perdebatan phase ini ditandai oleh perdebatan antara apa yang disebut Explanatory theory dan Understanding theory (atau bisa disebut juga antara pendekatan scientific dan pendekatan interpretive atau hermeneutic approach), antara Positivisme dan Post-positivism serta antara Rasionalisme
dan
Reflectivism.117
Sementara
para
teoritisi
explanatory
mengedepankan prinsip-prinsip dan metode ilmiah seperti yang dipakai pada ilmu alam, maka para teoritisi understanding theory lebih fokus pada analisis makna internal, argumen dan kepercayaan yang diyakini aktor. Oleh karena itu, bagi
114
Dikutip dari Tim Dunne (et al), Op Cit, hal.18 Ibid, hal 18 116 Milja Kurki and Colin Wight, “International Relations and Social Science”, dalam Tim Dunne (et al), Ibid, 18. Lihat juga Michael Banks, “The Evolution of International Theory” dalam Stephen Chan and Cerwyn Moore (eds), Theories of International Relations, London, SAGE Publications, Vol.II, hal. 75-90 117 Ibid 115
50
pendukung Understanding theory, makna sosial, bahasa, dan kepercayaan merupakan aspek (ontologis) terpenting dari eksistensi sosial. Dengan demikian kubu teoritisi ini berpandangan bahwa prosedur dalam melakukan analisis haruslah dibimbing oleh faktor paling penting yang berdampak bagi perilaku manusia yaitu kepercayaan, ide, makna dan alasan, bukan oleh suatu komitmen apriori terhadap ilmu pengetahuan (science). Sedangkan bagi pendukung Explanatory theory, ilmu pengetahuan membutuhkan justifikasi empiris. Oleh karena makna, kepercayaan dan ide tidak dapat dibuktikan secara empiris dan oleh karenanya tidak dapat dijadikan sebagai motode untuk memperoleh ilmu pengetahuan.118 Perbedaan ontologi yang dianut oleh dua pendekatan ini berakibat pada perbedaan yang mendasar pada aspek epistemologi dan metodologi. Explanatory theory cenderung menggunakan metode kuantitatif,119 sedangkan Understanding theory cenderung menggunakan metode interpretive (kualitatif, diskursif dan historis). Secara epistemologi, Explanatory theory menekankan arti penting observasi sebagai prosedur menghasilkan ilmu pengetahuan, sedangkan Understanding theory lebih fokus pada interprestasi dari aspek-aspek yang unobservable dan immeasurable data.120 Pertanyaannya adalah, metode apa yang tepat untuk digunakan dalam penelitian ini? Seperti telah dijelaskan sebelumnya, penelitian ini menggunakan teori Konstruktivisme. Oleh karena teori ini lebih dekat ke Understanding theory, maka penelitian ini juga menggunakan metode yang sesuai dengan kelompok teori tersebut yaitu metode interpretive (kualitatif, diskursif dan historis). Berbeda dengan epistemologi Explanatory theory yang menekankan arti penting observasi sebagai prosedur menghasilkan ilmu pengetahuan, maka penelitian ini lebih fokus pada interpretasi dari aspek-aspek yang unobservable dan immeasurable data.121
118
Milja Kurki and Colin Wight, dalam Op cit, hal 20. Untuk mengetahui metode penelitian kuantitatif dalam ilmu hubungan internasional ini lihat misalnya Detlef F. Sprinz and Yael W. Nahmias (eds.), Model, Numbers and Cases: Methods for Studying International Relations, Ann Arbor, University of Michigan Press, 2007. 120 Milja Kurki and Colin Wight, Ibid, hal 20. 121 Milja Kurki and Colin Wight, Ibid, hal 20. 119
51
Walaupun demikian, oleh karena teori ini merupakan teori middle ground antara pendekatan Rasionalis dan Pos-strukturalis maka dalam penelitian ini juga akan memakai ontologi intersubjektif, epistemologi positivis, penekanan terhadap arti penting norma dan nilai, agen dan struktur sosial serta arti penting identitas. Selain itu, pendekatan ini juga menerima epistemologi positivis, termasuk hypothesis testing, hukum kausalitas dan eksplanasi.122 Oleh karena tujuan penelitian ini tidak hanya untuk menggambarkan (to describe) tetapi juga untuk menjelaskan (to explain), maka metode analisis dan penyajian data akan menggunakan gabungan dari dua metode yaitu dengan cara mendeskripsikan (description) dan menjelaskan (explanation). Dengan kata lain penelitian ini bersifat descriptive-explanative. Deskripsi digunakan untuk menggambarkan what is the case. Sedangkan eksplanasi fokus pada why something in the case.123 Dalam proses eksplanasi untuk menganalisis ada tidaknya hubungan kausalitas antara independent variable dan dependent variable maka akan digunakan metode interpretive analytic dengan logika berpikir inductive. Yang dimaksud dengan proses interpretasi (interpretation) adalah “a procces of creating or assigning significant and coherent meaning in specific setting”124 dari data-data yang diteliti. Data-data yang ada diinterpretasikan dengan cara memberi makna dan arti, diterjemahkan sehingga dapat dimengerti. Interpretasi ini dilakukan untuk menemukan bagaimana agen atau aktor yang sedang dikaji melihat dunia, bagaimana mereka mendefinisikan atau mengkonstruksikan situasi, dan apa artinya semua itu bagi mereka.125 Level dan unit analisis penelitian ini adalah negara. Oleh karena itu, datadata yang diperlukan dalam penelitian ini adalah berupa dokumen negara, kebijakan pemerintah, pernyataan pejabat, hasil penelitian dan pendapat para ahli,
K.M. Fierke, “Constructivism”, dalam Tim Dunne, Milja Kurki and Steve Smith, Op Cit, hal 72-73 123 Keith Punch, Introduction to Social Research, (2nd.ed), London, SAGE Publications 2005, hal.15 124 Lawrence Newman, Social Research Methods: Qualittaive and Quantitative Approaches, (5th.ed), New York, Allyn and Bacon, 2003, hal. 148. 125 Lawrence Newman, Ibid, hal.148 122
52
tulisan-tulisan dan angka-angka. Teknik pengumpulan data, terutama, dilakukan melalui studi pustaka dan in-depth and unstructured interview terhadap beberapa responden yang dianggap relevan untuk menyampaikan data yang valid bagi penelitian ini. Mereka misalnya pejabat negara dan praktisi di bidang politik luar negeri seperti Menteri atau mantan Luar Negeri, pejabar senior dari Kemenlu atau lembaga-lembaga lain yang relevan, para penasehatnya, para duta atau mantan duta besar Indonesia, peneliti dan ahli di bidang politik luar negeri Indonesia dan HAM, para pejuang atau aktivis HAM yang sumber-sumber yang relevan lainnya. Bagan Metode Penelitian ini Research Questions
Research Questions
Research Methods Description, Eksplanation, Interpretation
Qualitative data
Research Findings/ Result
Question ---- Method fit Sumber: Keith Punch, Introduction to Social Research, (2nd.ed), London, SAGE Publications, 2005, hal.30
1.8. Tujuan Penelitian Ada 3 (tiga) tujuan utama dari kajian ini, yaitu: 1. Untuk mendapatkan penjelasan yang komprehensif dan ilmiah terhadap kebijakan luar negeri Indonesia era reformasi, khususnya dalam memahami konstruksi Indonesia terhadap standar HAM internasional; mengapa, bagaimana dan apa dampak dari pergeseran dalam orientasi dan strategi politik luar negeri Indonesia (dari sebelumnya menggunakan pendekatan yang bersifat realpolitik ke pendekatan yang lebih bercirikan human security) tersebut bagi kepentingan nasional Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan tujuan politik luar negerinya. 2. Untuk menawarkan cara pandang atau pendekatan “baru” dalam memahami politik luar negeri Indonesia kontemporer yang berbeda
53
dengan cara pandang dan pendekatan sebelumnya. Melalui pendekatan alternatif ini, yaitu Konstruktivisme, diharapkan dapat diperoleh temuan-temuan dan penjelasan-penjelasan baru yang lebih valid, relevan dan ilmiah terhadap fenomena praktik kebijakan luar negeri Indonesia pasca reformasi, yang tidak atau belum terungkap dalam studi-studi sebelumnya. 3. Hasil kajian ini diharapkan dapat menghasilkan lesson learned yang bermanfaat bukan saja bagi dunia akademik tetapi juga untuk para praktisi politik luar negeri Indonesia. Bagi dunia akademik, khususnya di bidang hubungan internasional, hasil kajian ini dapat dijadikan pijakan awal untuk melakukan kajian lebih lanjut tentang subject matters, teori dan metodologi penelitian politik luar negeri. Sedangkan bagi para praktisi politik luar negeri, hasil kajian ini dapat digunakan sebagai masukan (policy input) untuk mereview ulang, memperbaiki design dan konsep serta implementasi politik luar negeri Indonesia ke depan.
1.9. Sistematika Penulisan Bab I: Pendahuluan. Bab ini pada dasarnya merupakan research design dari studi ini yang menjadi penuntun untuk melakukan proses penelitian selanjutnya (tahap empirical research). Oleh karena itu, pada bab ini akan memuat alasan penelitian, pokok bahasan (subject matter), latar belakang masalah yang ingin dipecahkan atau dicari penjelasannya, teori yang berfungsi sebagai pisau analisis, pertanyaan penelitian yang ingin jawab, hipotesis yang merupakan jawaban sementara atas pertanyaan penelitian dan perlu pembuktian, metode penelitian yang menjadi prosedur standar penelitian dan sistematika penelitian. Bab II: Konstruksi dan Kebijakan Indonesia terhadap HAM Era Orde Lama dan Orde Baru. Pada bab ini akan memaparkan analisis terhadap konstruksi dan kebijakan luar negeri Indonesia di masa Orde Lama dan Orde Baru, terutama berkaitan dengan isu HAM. Argumen yang hendak dikembangkan adalah, bahwa politik luar negeri Indonesia pada kedua periode pemerintahan
54
tersebut pada dasarnya didominasi oleh perspektif (Neo)realisme yaitu melihat politik internasional sebagai sistem yang anarkis, rivalitas dan konfliktual. Cara pandang Indonesia terhadap politik internasional seperti itu bukan saja telah menyebabkan politik luar negeri Indonesia bercirikan sikap suspicious, distrustful, defensive dan reactive, “inward looking” dan konfrontatif, tetapi juga telah menyebabkan konstruksi dan kebijakan Indonesia terhadap standar HAM internasional bersifat negatif; penuh curiga dan waspada, reluctant dan bahkan cenderung menolak mengadopsinya. Penolakan tersebut didasarkan atas pemaknaan bahwa standar HAM tersebut berasal dari asing (Barat), yang bukan saja dianggap tidak sesuai dengan kepentingan nasional Indonesia tetapi juga bahkan berbahaya (ancaman) bagi eksistensi bangsa dan negara Indonesia. Analisis pada bab II ini sangat penting untuk menunjukan perbedaan mendasar antara konstruksi Indonesia terhadap standar HAM pada kedua era ini dengan konstruksi Indonesia terhadap standar HAM pada era reformasi yang akan dijabarkan pada bab III. Bab III: Konstruksi Indonesia Era Reformasi terhadap Standar HAM Internasional. Bab ini akan memuat jawaban atau eksplanasi terhadap pertanyaan pokok dari penelitian ini, yaitu bagaimana konstruksi (pemaknaan) Indonesia pasca reformasi terhadap eksistensi standar HAM universal yang secara sah telah diadobsi oleh PBB dan sebagian besar masyarakat Internasional tersebut? Mengapa dan bagaimana proses konstruksi “baru” semacam itu muncul dan berkembang di Indonesia? Argumen yang akan dikembangkan dalam bab ini adalah konstruksi “baru” Indonesia terhadap eksistensi standar HAM internasional pasca reformasi berbeda dengan konstruksi pada masa-masa sebelumnya. Di era reformasi Indonesia melihat politik internasional jauh lebih bersahabat, benign dan damai, sehingga konstruksi terhadap standar HAM internasional juga lebih bersifat positif; percaya, optimis dan akomodatif. Konstruksi baru tersebut memiliki kaitan erat dengan identitas dan kepentingan baru yang dimiliki Indonesia pasca reformasi, terutama identitas sebagai negara demokratis. Bab IV: Kebijakan Indonesia Era Reformasi terhadap Standar HAM Internasional. Pada bab ini akan dibahas pengaruh perubahan konstruksi
55
Indonesia terhadap eksistensi standar HAM internasional dengan kebijakan luar negeri Indonesia tehadap HAM pasca reformasi. Analisis akan difokuskan pada hubungan atau kaitan antara konstruksi “baru” Indonesia terhadap standar HAM internasional seperti dijelaskan pada bab III dengan perubahan sikap dan kebijakan luar negeri Indonesia pasca reformasi terhadap standar HAM internasional tersebut. Argumen yang ingin dikembangkan pada bab ini adalah bahwa konstruksi “baru” Indonesia terhadap standar HAM tersebut telah mengubah kebijakan luar negeri Indonesia, dari sebelumnya bersifat pasif, reluctant dan bahkan menolak menjadi lebih akomodatif dan proaktif dalam mengadopsi standar HAM internasional tersebut. Bab V: Dampak Positif Kebijakan Pro-HAM Terhadap Kepentingan Sosial, Ekonomi, Politik dan Keamanan Indonesia. Pada bab ini akan dipaparkan hasil analisis terhadap pengaruh pergeseran politik luar negeri Indonesia terhadap standar HAM internasional tersebut pada upaya Indonesia memperjuangkan
kepentingan
nasionalnya,
khususnya
dalam
konteks
memperjuangkan kepentingan ekonomi dan politiknya di panggung internasional. Argumen yang ingin disampaikan pada bab ini adalah bahwa perubahan kebijakan luar negeri Indonesia terhadap standar HAM internasional tersebut telah memberikan hasil positif dalam upaya Indonesia memperjuangkan kepentingan nasionalnya, utamanya di bidang ekonomi dan politik. Melalui kebijaksanaan luar negeri “baru” ini, Indonesia bukan saja mampu meningkatkan perannya dalam percaturan politik internasional tetapi juga mampu mengambil manfaat yang cukup signifikan bagi kepentingan pembangunan ekonomi nasionalnya. Bab VI: Kesimpulan. Bab ini merupakan bab kesimpulan terhadap hasil research secara keseluruhan. Di dalamnya disamping akan memuat pokok-pokok temuan penelitian dan lesson learned yang dapat diambil, juga akan memuat saran dan usulan yang mungkin dapat dijadikan pertimbangan untuk melakukan penelitian lebih lanjut di bidang ini atau untuk memperbaiki dan mengembangkan praktik politik luar negeri Indonesia ke depan.
56