BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup di Indonesia tidak pernah berhenti bahkan cenderung meningkat. Dalam kurun waktu tahun 2004-2008 Status Lingkungan Hidup Indonesia menunjukan kondisi lingkungan yang memburuk. Seiring hal tersebut, kasus sengketa lingkungan akibat kerusakan atau penurunan kualitas lingkungan pun semakin bertambah. Lebih lanjut, data dari Kementerian Lingkungan Hidup tahun 2008, dalam kurun tahun 2002 sampai dengan 2006 telah menerima 439 pengaduan kasus lingkungan.1 Selama tahun 2014, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menangani 206 kasus lingkungan hidup. Sebanyak 135 kasus merupakan tindak pidana lingkungan. Sisanya 71 kasus merupakan sengketa lingkungan hidup di mana 10 sengketa telah diputus oleh pengadilan dan 10 sengketa selesai melalui kesepakatan penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan.2 Untuk perincian jumlah kasus tindak pidana lingkungan hidup yang ditangani KLHK tersebut sebagai berikut :
1
Van Vollenhoven Institute et all, 2011, Efektivitas Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Di Indonesia: Rekomendasi Kebijakan, Jakarta, hlm. 4. 2 Laporan Kinerja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bidang Lingkungan Hidup Tahun 2014, hlm. 83-86.
2
Tabel 1. Jumlah Kasus Pidana Lingkungan Hidup yang Ditangani oleh Kementerian Lingkungan Hidup Tahun 2010-2014.3 Kasus Lingkungan Hidup yang Ditangani No
Tahun
Lanjutan dari Tahun Sebelumnya
Kasus Baru
Jumlah
1
2010
31
43
74
2
2011
31
46
77
3
2012
34
31
65
4
2013
46
66
112
5
2014
64
71
135
Dari tabel di atas bisa dilihat bahwa selama kurun waktu 5 tahun dari tahun 2010 sampai tahun 2014 terdapat kecenderungan meningkatnya kasus tindak pidana lingkungan hidup. Pada tahun 2012 memang terdapat penurunan jumlah kasus, namun pada tahun 2013 kembali mengalami peningkatan jumlah kasus baru sampai dengan dua kali lipat dari tahun 2012. Sebagai gambaran, pada tahun 2004 terjadi kasus pencemaran perairan Teluk Buyat di Provinsi Sulawesi Utara. Pencemaran ini diduga berasal dari limbah pabrik PT. Newmont Minahasa Raya (PT. NMR). Dampaknya masyarakat di sekitar wilayah tersebut banyak menderita keracunan akibat logam berat yang berasal dari limbah pabrik. Pada tahun 2007 para terdakwa divonis bebas murni dari tuntutan pencemaran lingkungan hidup oleh Majelis Hakim
3
Ibid, hlm. 86.
3
Pengadilan
Negeri
Manado.4
Dalam
pertimbangannya,
Majelis
Hakim
mengemukakan bahwa data pencemaran yang diajukan Jaksa Penuntut Umum yang didasarkan pada hasil pengujian yang dilakukan Puslabfor Mabes Polri berbeda dengan sejumlah data pengujian lain yang dilakukan sejumlah instansi penelitian baik nasional maupun internasional dan menyatakan bahwa konsentrasi logam di dalam air, biota dan tubuh manusia berada dibawah baku mutu yang ditetapkan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup –sekarang Menteri Negara Lingkungan Hidup dan Kehutanan-.5 Peristiwa ini menjadi perhatian dunia internasional terlebih ketika dibuat film dokumenter berjudul Bye Bye Buyat. Kemudian pada tahun 2014 terjadi kebakaran hutan dan lahan seluas 21.418 hektar yang mencakup lima desa di Kecamatan Tebing Tinggi Timur, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau. Majelis Hakim memvonis bebas dua petinggi PT. National Sago Prima (PT. NSP) yang sebelumnya dituntut 1,5 tahun dan 6 tahun oleh Jaksa Penuntut Umum. Majelis hakim hanya menghukum PT. NSP sebesar Rp 2 miliar, jauh dari tuntutan jaksa yaitu Rp1,4 triliun. Vonis ini dinilai melukai keadilan lingkungan.6
4
Upkpseudorechtspraakfhundip, “PT Newmont Minahasa Raya Pencemar Teluk Buyat”, https://pseudorechtspraak.wordpress.com/2012/04/06/pt-newmont-minahasa-raya-pencemar-telukbuyat/, www.pseudorechtspraak.wordpress.com, diakses pada tanggal 7 Oktober 2015. 5 Anonymous, “PT Newmont Divonis Bebas Dalam Kasus Pencemaran Teluk Buyat”, http://www.antaranews.com/print/60214/pt-newmont-divonis-bebas-dalam-kasus-pencemaran-telukbuyat, www.antaranews.com, diakses pada tanggal 7 Oktober 2015. 6 Sapariah Saturi, “Pakar: Vonis NSP Nodai Keadilan Lingkungan, Mengapa?”, http://www.mongabay.co.id/2015/01/26/pakar-vonis-nsp-nodai-keadilan-lingkungan-mengapa/, www.mongabay.co.id, diakses pada tanggal 7 Oktober 2015.
4
Lalu pada 30 Desember 2015, Pengadilan Negeri Palembang memutus sengketa perdata antara KLHK sebagai penggugat dan PT Bumi Mekar Hijau (PT. BMH) sebagai tergugat. Kasus ini bermula dari dugaan pembakaran hutan dan lahan yang dilakukan oleh PT. BMH di areal konsesi seluas puluhan ribu hektare pada tahun 2014 dan 2015. Dalam putusan PN Palembang, PT BMH sebagai tergugat dinyatakan tidak terbukti melakukan pembakaran hutan dan lahan. Sebaliknya, KLHK sebagai penggugat dianggap tidak dapat membuktikan adanya kerugian ekologi akibat kebakaran hutan dan lahan tersebut. Selain itu salah satu yang menjadi pertimbangan majelis hakim menyatakan bahwa kebakaran hutan dan lahan tidaklah menyebabkan kerusakan lingkungan, karena tetap akan dapat ditanami lagi.7 Putusan PN Palembang ini kemudian dengan cepat viral di jejaring internet yang mana menjadi bahan olok-olok masyarakat. Peristiwa kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Riau semenjak tahun 1997 hingga tahun 2015 yang kemudian ditelisik terdapat peran korporasi dalam penyebab peristiwa tersebut, namun sering kali korporasi lepas dari jerat hukum. Menurut Bambang Hero Saharjo, Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, banyak penegak hukum yang tidak mengerti ilmu tentang kebakaran hutan dan lahan serta proses dan dampaknya, sehingga berkonklusi pada lemahnya pemahaman substansi perkara kebakaran hutan dan lahan.8 Dalam pembuktian adanya suatu pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup di
7
Rini Friastuti, “Putusan PN Palembang yang Bebaskan PT BMH Ganti Rugi Rp 7,9T Disesalkan”, http://news.detik.com/berita/3109792/putusan-pn-palembang-yang-bebaskan-pt-bmh-ganti-rugi-rp79-t-disesalkan, www.detik.com, diakses pada tangal 22 Januari 2016. 8 Irma Tambunan, 2015, National Geographic: Kala Jerebu Menyerbu, PT. Gramedia Percetakan, Jakarta, hlm 33.
5
persidangan cenderung didasari atas bukti-bukti ilmiah (scientific evidence) contohnya seperti pengambilan sempel partikel tanah dan air. Kemudian bukti tersebut diteliti dalam laboratorium. Selain itu keterlibatan ahli dalam menerjemahkan bahasa ilmiah untuk kemudian dipahami oleh hukum sangat menentukan. Proses-proses tersebut dilakukan untuk mengetahui adakah unsur kesengajaan hingga kerugian akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.9 Perkara lingkungan hidup mempunyai karakteristik tertentu yang berbeda dengan perkara lainnya. Namun penanganannya di pengadilan maupun di muka persidangan cenderung disamakan dengan perkara-perkara umum lainnya, sehingga berdampak substansi perkara tidak sampai diperiksa dengan baik. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup tertulis bahwa salah satu instrumen pengendalian pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup adalah penegakan hukum.10 Banyaknya pelaku pencemaran maupun perusakan lingkungan hidup yang diputus tidak bersalah oleh pengadilan mencerminkan masih lunaknya penegakan hukum khususnya di bidang lingkungan hidup. Ketiga contoh kasus tersebut merupakan cerminan betapa hakim sebagai ujung tombak penegakan hukum dalam memutus perkara lingkungan hidup belum memenuhi rasa keadilan para pihak dan belum mendukung upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup. Kualitas hakim dalam menangani perkara lingkungan hidup menjadi permasalahan yang sangat serius. 9
Berdasarkan hasil wawancara dengan Haryani Turnip, Deputi Program ICEL, tanggal 21 Januari 2016 di Hotel Santika Premiere Jl. Aipda K.S. Tubun No.7 Slipi Jakarta Barat. 10 Pasal 4 huruf f, Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
6
Dalam konstitusi dinyatakan bahwa setiap orang berhak atas hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. 11 Oleh karena itu dapat dikatakan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan Hak Asasi Manusia. Menjadi hal yang wajar dalam menangani perkara lingkungan hidup para hakim dituntut untuk memahami betul hukum lingkungan hidup sebagai upaya perlindungan dan pelestarian lingkungan. Berbagai upaya penanganan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup terus dilakukan oleh pemerintah, penegak hukum dan organisasi-organisasi masyarakat sipil. Tidak terlepas juga pengadilan sebagai institusi ujung tombak mempunyai tanggung jawab yang berat dalam penegakan hukum lingkungan. Oleh karena itu sudah selayaknya institusi pengadilan melakukan upaya-upaya progresif dalam menangani perkara lingkungan hidup. Mahkamah Agung RI sebagai Pengadilan Negara Tertinggi yang salah satu fungsinya sebagai pengatur penyelenggaraan peradilan kemudian melakukan upaya tersebut dengan mengeluarkan kebijakan sertifikasi hakim lingkungan hidup. Kebijakan sertifikasi hakim lingkungan hidup dibuat melalui Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 134/KMA/SK/IX/2011 tentang Sertifikasi Hakim Lingkungan Hidup sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 36/KMA/SK/III/2015 tentang Perubahan atas Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 134/KMA/SK/IX/2011 tentang Sertifikasi Hakim Lingkungan Hidup. Hal ini 11
Pasal 28 H ayat (1), Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
7
menumbuhkan langkah baru dan menjadi harapan besar bagi upaya perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup. Melalui keputusan Mahkamah Agung tersebut diterapkan suatu prinsip sebagaimana termuat dalam ketentuan Pasal 2 jo Pasal 5 ayat (1) jo Pasal 21 ayat (1) yaitu pada pokoknya bahwa perkara lingkungan hidup pada pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding harus diadili oleh majelis hakim yang ketua majelisnya adalah hakim lingkungan hidup yang bersertifikat dan telah diangkat oleh Ketua Mahkamah Agung. Kemudian yang dimaksud hakim lingkungan hidup adalah hakim yang telah bersertifikat dan diangkat yang sebelumnya telah dinyatakan lulus seleksi administrasi, kompetensi, dan integritas menjadi hakim lingkungan hidup oleh Ketua Mahkamah Agung. Namun kemudian, Mahkamah Agung mengecualikan ketentuan ini apabila belum terdapat hakim bersertifikat lingkungan maka perkara lingkungan hidup diperiksa dan diputus oleh ketua, wakil ketua atau hakim senior di pengadilan yang menjadi kewenangannya melalui Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor: 36/KMA/SK/III/2015 tentang Perubahan atas Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor: 134/KMA/SK/IX/2011 tentang Sertifikasi Hakim Lingkungan Hidup. Langkah kebijakan sertifikasi
hakim
lingkungan hidup
tersebut
merupakan upaya awal menuju penegakan hukum lingkungan yang sistematis dan terintegrasi. Diawali Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 134/KMA/SK/IX/2011 Tentang Sertifikasi Hakim Lingkungan
8
Hidup, kemudian dikeluarkan keputusan-keputusan Ketua Mahkamah Agung lainnya. Keputusan-keputusan tersebut yaitu: Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 26/KMA/SK/II/2013 Tentang Sistem Seleksi dan Pengangkatan Hakim Lingkungan Hidup, Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 36/KMA/SK/II/2013 Tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup, serta Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 37/KMA/SK/III/2015 tentang Sistem Pemantauan dan Evaluasi Sertifikasi Hakim Lingkungan Hidup. Menjadi pertanyaan mendasar dari kasus-kasus dan keputusan-keputusan Ketua Mahkamah Agung tersebut adalah apakah dengan adanya hakim lingkungan hidup bersertifikat, perkara-perkara lingkungan hidup dapat tertangani dengan baik. Karena selama ini hakim menangani perkara lingkungan hidup sering kali memberikan putusan-putusan yang tidak menjawab permasalahan dinamika masyarakat dalam pembangunan dan lingkungan hidup serta belum memenuhi rasa keadilan para pihak dan belum mendukung upaya perlindungan dan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Selain itu penanganan perkara lingkungan hidup di pengadilan selama ini cenderung disamakan dengan perkara umum lainnya. Berdasarkan uraian-uraian yang telah disebutkan maka penulis melakukan penelitian untuk penulisan hukum dengan judul “Tinjauan Yuridis Penegakan Hukum Lingkungan Oleh Hakim Lingkungan Hidup Bersertifikat (Kajian Implementasi Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia
9
Nomor 134/KMA/SK/IX/2011 Tentang Sertifikasi Hakim Lingkungan Hidup)”.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah mekanisme penanganan perkara lingkungan hidup oleh pengadilan tingkat pertama ? 2. Bagaimanakah penerapan penegakan hukum lingkungan oleh hakim yang telah bersertifikat lingkungan hidup dalam menerima, memeriksa dan memutus perkara lingkungan hidup ? 3. Apa yang menjadi hambatan dalam menerapkan kebijakan perkara lingkungan
hidup
harus
diadili
oleh
hakim
lingkungan
hidup
bersertifikat?
C. Tujuan Penelitian Dalam menyusun penelitian ini, ada beberapa tujuan yang ingin dicapai penulis. Diantaranya sebagai berikut : 1. Tujuan Subyektif Guna menyelesaikan mata kuliah Penulisan Hukum sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana hukum di Fakultas Hukum Universitas
10
Gadjah Mada. Selain itu untuk menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis mengenai Hakim Lingkungan Hidup Bersertifikat serta Penegakan Hukum Lingkungan. 2. Tujuan Objektif a. Untuk mengetahui mekanisme penanganan perkara lingkungan hidup oleh pengadilan tingkat pertama; b. Untuk mengetahui penerapan penegakan hukum lingkungan oleh hakim yang telah bersertifikat lingkungan dalam menerima, memeriksa dan memutus perkara lingkungan hidup; c. Untuk mengetahui hambatan apa saja yang terjadi dalam menerapkan kebijakan perkara lingkungan hidup harus diadili oleh hakim lingkungan hidup bersertifikat.
D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat apa yang didapatkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan Ilmu Hukum khususnya dalam Hukum Lingkungan dan penegakan Hukum Lingkungan.
11
2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan untuk instansi terkait dan stakeholder dalam mengambil kebijakan terkait penegakan Hukum Lingkungan serta para penegak hukum khususnya hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara lingkungan hidup. Serta sebagai bahan masukan dalam kebijakan sertifikasi hakim lingkungan hidup.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan pencarian kepustakaan yang dilakukan oleh penulis di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, menunjukan bahwa belum terdapat penulisan hukum yang berjudul “Tinjauan Yuridis Penegakan Hukum Lingkungan Oleh Hakim Lingkungan Hidup Bersertifikat ( Kajian Implementasi Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 134/KMA/SK/IX/2011 Tentang Sertifikasi Hakim Lingkungan Hidup )”. Namun ada beberapa penelitian maupun penulisan hukum yang berkaitan dengan penegakan hukum lingkungan, namun dari segi judul dan rumusan masalah berbeda, yaitu sebagai berikut : 1. Yullitae, Tinjauan Penegakan hukum Lingkungan Kepidanaan di Kabupaten Sleman, Yogyakarta (Studi Kasus Penambangan Pasir
12
Secara Liar), tahun 2005, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.12 Rumusan masalah dari penulisan hukum ini adalah kesatu, bagaimana penegakan hukum lingkungan kepidanaan terhadap penambangan pasir secara liar di Kabupaten Sleman Yogyakarta?. Kedua, apakah faktor-faktor yang menghambat dalam pelaksanaan penegakan hukum lingkungan kepidanaan terhadap penambangan pasir secara liar?. Terhadap rumusan masalah kesatu, penulis berkesimpulan bahwa masih banyak terjadi penambangan pasir liar, oleh karenanya penegakan hukum lingkungan kepidanaan terhadap penambang pasir liar di Kabupaten Sleman masih belum maksimal. Sedangkan untuk rumusan masalah yang kedua, peneliti berkesimpulan masih banyak hambatan yang dihadapi dalam penegakan hukum lingkungan. 2. Hananto Adi, Penegakan
Hukum Pidana Lingkungan Oleh
Pengadilan Negeri Karanganyar Menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Studi Kasus PT. Sekar Bengawan dan PT. Sawah Agung), tahun 2009, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.13 Rumusan
masalah
dari
penulisan
hukum
ini
adalah
pertama,
Bagaimanakah upaya penegakan hukum pidana lingkungan menurut UUPLH 12
Yullitae, 2005, Tinjauan Penegakan hukum Lingkungan Kepidanaan di Kabupaten Sleman, Yogyakarta (Studi Kasus Penambangan Pasir Secara Liar), Penulisan Hukum, Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 13 Hananto Adi, 2009, Penegakan Hukum Pidana Lingkungan Oleh Pengadilan Negeri Karanganyar Menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Studi Kasus PT. Sekar Bengawan dan PT. Sawah Agung), Penulisan Hukum, Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
13
oleh PN Karanganyar (Studi kasus PT Sekar Bengawan dan PT. Sawah Agung) dalam kejahatan lingkungan di Kabupaten Karanganyar?. Kedua, kendalakendala apa yang dihadapi oleh PN Karanganyar dalam menegakan Hukum Pidana Lingkungan?. Terhadap rumusan masalah kesatu, penulis berkesimpulan bahwa putusan yang dijatuhkan oleh PN Karanganyar tidak mempertimbangkan pengenaan pemberatan pidana sebagaimana dalam UUPLH. Sedangkan untuk rumusan masalah kedua, kendala yang terjadi karena kurangnya sumber daya manusia di PN Karanganyar serta kesadaran akan lingkungan hidup yang rendah oleh kedua perusahaan. 3. Ryan Adi Nugroho, Tinjauan Penegakan Hukum Pidana Lingkungan Terhadap Mahkamah
Kejahatan Agung
Illegal Nomor
Logging
(Studi
Kasus
68K/PID.SUS/2008),
Putusan
tahun
2013,
mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.14 Rumusan masalah dari penulisan hukum ini adalah kesatu, bagaimanakah pengaturan hukum kehutanan dan kejahatan Illegal Logging ?. Kedua, apa sajakah kendala yang dihadapi oleh aparat penegak hukum dalam rangka penegakan hukum lingkungan terhadap kejahatan Illegal Logging dalam kasus Adelin Lis ?. Ketiga, bagaimanakah tinjauan hukum lingkungan dalam putusan pidana kasus Adelin Lis ?. Terhadap rumusan masalah kesatu peneliti berkesimpulan bahwa kejahatan Illegal Logging diatur dalam Pasal 50 Undangundang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Pasal 78 merupakan 14
Riyandi Adi Nugroho, 2013, Tinjauan Penegakan Hukum Pidana Lingkungan Terhadap Kejahatan Illegal Logging (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 68K/PID.SUS/2008), Penulisan Hukum, Perpustakaan Universitas Gadjah Mada.
14
ketentuan pidananya. Untuk rumusan masalah kedua, berkesimpulan masih banyaknya kendala yang dihadapi dalam penegakan hukum terhadap kejahatan Illegal Logging. Sedang kesimpulan rumusan masalah ketiga adalah undangundang tentang kehutanan dan undang-undang lingkungan hidup tidak cukup kuat mempidanakan Adelin Lis, seharusnya menggunakan delik korupsi. Dari ketiga judul penulisan hukum di atas terdapat perbedaan dengan penulisan hukum yang ditulis oleh penulis saat ini. Perbedaan tersebut adalah penulis dalam penelitian ini membahas penerapan penegakan hukum lingkungan oleh hakim yang telah bersertifikat lingkungan. Secara keseluruhan ketiga penulisan hukum tersebut tidak menggunakan instrumen hakim bersertifikat lingkungan hidup dalam menganalisis penegakan hukum lingkungan. Terdapat penelitian serupa mengenai sertifikasi hakim lingkungan hidup yang dilakukan oleh Balitbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI. Judul penelitian tersebut adalah Pengkajian Tentang Pelaksanaan Diklat Sertifikasi Hakim Lingkungan Hidup oleh Bambang Hery Mulyono, S.H sebagai koordinator peneliti. Adapun rumusan masalah yang diangkat adalah pertama, Apakah penyelenggaraan pelaksanaan diklat sertifikasi Hakim Lingkungan Hidup yang dilaksanakan oleh Pusdiklat Mahkamah Agung RI telah memenuhi standar kualitas yang dibutuhkan dalam mencetak hakim Lingkungan Hidup yang kompeten?. Kedua, Bagaimanakah model ideal penyelenggaraan program pelatihan sertifikasi bagi Hakim Lingkungan Hidup agar dapat mencetak hakim Lingkungan Hidup yang kompeten dan berkualitas?.
15
Kesimpulan dari penelitian tersebut, yaitu pertama pendidikan dan pelatihan sertifikasi hakim lingkungan hidup telah sesuai dengan standar kualitas sebuah pelatihan dimana telah memenuhi unsur-unsur standar sebuah pelatihan. Kedua, pola rekrutmen dan seleksi pelatihan telah mampu menghasilkan peserta diklat yang berkualitas sehingga dapat menciptakan hakim lingkungan hidup yang berkompeten. Ketiga, pelaksanaan pelatihan secara teknis telah cukup baik serta sarana prasana pelatihan telah tersedia dengan baik meskipun dalam hal penjadwalan pemateri untuk pelatihan terkendala. Keempat, telah dengan baik dilakukan evaluasi pada setiap tahap sistem sertifikasi sehingga membantu peserta maupun penyelenggara mengukur keberhasilan dan keefektivitasan capaian tiap tahapan. Dari penelitian tersebut terdapat perbedaan dengan penulisan hukum ini yaitu dalam rumusan masalah yang akan dijawab. Bisa dikatakan penelitian tersebut mengkaji mengenai sejauh mana pelaksanaan pendidikan dan pelatihan sertifikasi hakim lingkungan hidup serta mencari model atau teknis pendidikan dan pelatihan yang tepat untuk diterapkan dalam sertifikasi hakim lingkungan hidup. Sedangkan penulisan hukum ini menganalisis mengenai mekanisme penanganan perkara lingkungan hidup oleh pengadilan tingkat pertama, penerapan penegakan hukum lingkungan oleh hakim yang telah bersertifikat lingkungan dalam menerima, memeriksa dan memutus perkara lingungan, serta hambatan-hambatan yang ada dalam pelaksanaan kebijakan perkara lingkungan hidup mesti diadili oleh hakim lingkungan bersertifikat.