BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pemerintah Kota Yogyakarta menerbitkan Perda Nomor 26 Tahun 2002 tentang Penataan Pedagang Kaki Lima, hal ini dilakukan untuk menjadikan sektor ekonomi informal atau Pedagang Kaki Lima (PKL) sebagai sektor formal . Selama kurun waktu 5 tahun (20052010), tujuh relokasi pedagang dilakukan Pemkot yaitu dari Benteng Vredeburg ke Pasar Sore; dari Jalan Sriwedani ke Pasar Giwangan; dari Gedongkuning ke Pasar Gedongkuning: dari Jalan Senopati ke Taman Parkir Senopati; dari Asem Gede, Jalan Mangkubumi, dan Kranggan, ke Pasar Klitikan Pakuncen; dari Ngasem ke Pasty (Pasar Satwa dan Tanaman Hias Yogyakarta); dan dari rel KA ruas Baciro ke Pasar Talok. Penataan PKL di Kota Yogyakarta berbeda dengan tempat lain karena dalam prosesnya hampir tidak ada kekerasan terhadap PKL sendiri ataupun warga masyarakat. Konsep penataan yang dilaksanakan dengan merelokasi PKL ke tempat yang sudah disediakan oleh pemerintah Kota Yogyakarta, dengan sosialisasi kebijakan yang komprehensif sehingga PKL merasa menjadi bagian dari proses pembangunan. Relokasi PKL yang telah dilaksanakan pemerintah Kota Yogyakarta memang tanpa kekerasan dalam prosesnya, namun dibalik semua itu pasti ada yang pro dan kontra dengan kebijakan relokasi tersebut.
Relokasi pasar di Yogyakarta memang tanpa kekerasan namun tidak semuanya tanpa konflik. Relokasi pedagang klitikan ke Pasar Kuncen mengalami konflik dengan dasar penolakan atas Peraturan Walikota nomer 45 tahun 2007. Faktor pemicu munculnya konflik tersebut adalah munculnya kebijakan relokasi Pemerintah Kota secara sepihak, tanpa adanya sosialisasi, pelibatan dan dialog dengan paguyuban pedagang kaki lima dalam agenda setting kebijakannya. Sehingga tidak terdapat negosiasi di antara dua kepentingan yang berbeda.
Untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah tersebut pedagang kaki lima yang menolak relokasi mewadahi dirinya dalam paguyuban pethikbumi. Beberapa upaya yang telah dilakukan oleh pedagang yang menolak relokasi untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah, antara lain pedagang mendatangi pengadilan tata usaha negara dan mengajukan gugatan atas perwali no.45/ 2007 yang dinilai cacat hukum karena tidak ada rasionalisasi dan sosialisasi kepada pedagang dan DPRD. Namun, perkembangannya sidang atas gugatan tersebut tidak segera digelar dengan alasan pihak PTUN sedang mencari keterangan dari berbagai pihak untuk memeriksa apakah kriteria gugatan telah terpenuhi. Pedagang melakukan aksi meminta tanda tangan dan pengunjung klithikan untuk menunjukkan masyarakat mendukung agar pasar klithikan tidak direlokasi. Pedagang juga mendatangi dan mencari dukungan terhadap lembaga ombusman daerah. Pedagang melakukan demo dan audiensi di gedung DPRD Yogyakarta. Peranan DPRD selama konflik adalah berusaha menjadi fasilitator untuk menjembatani kepentingan pemerintah kota dengan pedagang kaki lima.
Terjadinya konflik dalam relokasi Pasar Klitikan ini dapat menjadikan contoh bagi pemerintah Kota Yogyakarta, pemerintah kota harus mampu mengubah perspekstif teknokratisnya sehingga pemerintah kota bukanlah aktor tunggal dalam membuat kebijakan. Pemerintah Kota harus mampu melakukan sharing of knowledge terhadap pihak lain yang bersangkutan. Dalam hal ini penting adanya partisipasi, dengan adanya partisipasi maka hal tersebut akan lebih efektif apabila diwadahi dalam suatu komunitas yang solid. Pemberdayaan PKL dan membangun kesepahaman atas masalah bersama atau musuh bersama sangat diperlukan untuk meningkatkan perasaan yang solid dan posisi tawar PKL sebagai masyarakat urban perkotaan. Selain itu, paguyuban tersebut perlu untuk menjaring kerjasama dengan lembaga-lembaga formal untuk membangun opini publik dan menyalurkan aspirasi. Perubahan paradigma pemerintah yang disertai dengan peningkatan posisi tawar pedagang merupakan alternatif solusi agar dapat dilakukan komunikasi dan negosiasi karena
pihak yang satu tidak lebih kuat dan menguasai pihak yang lain. Pemerintah memang punya otoritas, namun pemerintah pun membutuhkan legitimasi dari masyarakatnya.
Berbagai upaya pemerintah untuk merelokasi pedagang ketempat yang sudah disediakan merupakan langkah untuk mewujudkan Yogyakarta yang bersih dan rapi. Dalam Musrenbang 2010 tema yang diusung adalah “Mewujudkan Kota Yogyakarta Yang Tertata Rapi Dengan Tingkat Polusi Rendah Yang Didukung Dengan Pelayanan Yang Optimal” yang akan diangkat sebagai tematik pembangunan pada 2011. Dijelaskan oleh Kepala Bappeda Aman Yuriadijaya, Tematik tersebut mempunyai makna untuk menjaga dan meningkatkan daya tarik wisata perlu menampilkan ciri khas budaya dengan didukung penampilan wajah dan citra kota yang menarik. Antara lain dengan penataan dan peningkatan kebersihan di semua sektor, penataan PKL dan lingkungan perkotaan serta penataan hijau kota yang sesuai dengan perda tata ruang. Disamping itu, tingkat kesediaan dan aksesibilitas sarana dan prasarana publik yang mantap di semua sektor perlu ditingkatkan dalam rangka peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat. Hal itu dilakukan dengan penyediaan ruang publik yang cukup nyaman dan indah sebagai tempat rekreasi keluarga, serta adanya aturan yang tegas tentang emisi gas buang kendaraan, penurunan pencemaran, peningkatan kesadaran masyarakat untuk lingkungan yang sehat dan penyediaan PJU sesuai kebutuhan1. Oleh karena itu Pemkot Yogyakarta merancang tempat untuk PKL yang lebih rapi dengan adanya unsur rekreasi didalamnya, yang diwujudkan dengan pemindahan pasar hewan Ngasem ke PASTY dengan konsep yang lebih marketable. Hal inilah yang menjadi pembeda dari konsep penataan PKL lain di Kota Yogyakarta. Proses pemindahannya pun menggunakan unsur yang sarat akan kebudayaan, yaitu dengan iringan andong hias. Dengan
1
http://tourism.jogja.go.id/index/extra.detail/2863 diakses 7 Oktober 2010
proses yang begitu rapi dan penawaran yang lebih menjajikan maka PKL pun lebih mudah untuk di relokasi. Relokasi pedagang yang dilaksanakan pada tanggal 22 April 2010 ini berhasil dibandingkan dengan relokasi pedagang ke pasar-pasar yang lain. Pasar Hewan dan Tanaman Hias Yogyakarta atau PASTY yang terletak di Jalan Bantul kilometer 1, Dongkelan, Mantrijeron, Yogyakarta ini di konsep sebagai salah satu tempat wisata dengan minat khusus, yang mempunyai luas tanah 15.506 meter persegi dan luas bangunan 5.500 meter persegi. Dalam prosesnya, pedagang dapat menempati kios atau tempat berjualan yang baru tanpa harus membayar dan menempatkan ditempat yang telah disediakan sesuai dengan klasifikasi. Klasifikasi obyek yang diperdagangkan sendiri akan membuat pembeli merasa nyaman karena terlihat lebih rapi dan memudahkan pembeli untuk mencari kebutuhannya dengan zona-zona yang sudah diklasifikasikan, seperti dalam zona satwa yang dapat disebut sebagai kebun binatang mini dengan berbagai hewan yang dijual. Tidak kalah lainnya dengan berbagai fasilitas yang tersedia seperti air bersih langsung minum yang bekerjasama dengan PDAM Tirtamarta yang diresmikan olek wali kota Yogyakarta pada tanggal 2 Agustus 2010, dan fasilitas taman hias yang akan lebih mempercantik pasar. Tidak hanya dilengkapi dengan taman yang mempercantik zona satwa ini, namun taman bermain pun atau play ground area disediakan untuk anak-anak dan food courd juga ada di dalam pasar, tak lepas dari itu toilet umum dan tempat ibadah pun telah tersedia. Fasilitas- fasilitas yang tersedia akan membuat pengunjung lebih merasa nyaman, tidak hanya pengunjung dewasa, namun pengunjung anakanak juga akan merasa lebih senang dengan konsep pasar sekaligus sebagai sarana rekreasi. Keberhasilan pasar ini juga dapat dilihat dari segi sanitasi dan kebersihannya dibandingkan dengan pasar sebelumnya, tersedianya keran-keran air bersih dapat membuat pedagang mudah untuk memandikan hewan dan kotoran hewan dagangannya, selain itu di dua sudut ada tempat untuk membuat kompos yang disebut komposter yang dipergunakan untuk
sampah daun-daun kering. Pasar ini pun dilengkapi dengan pos pelayanan informasi pasar, dengan berbagai fasilitas yang tersedia dan dengan konsep yang lebih marketable pula membuktikan bahwa relokasi pedagang ketempat yang baru ini memang diperhitungkan dan dipersiapkan secara matang. Dengan melihat keberhasilan yang dicapai PASTY dengan konsep yang lebih tertata rapi yang menunjukan kerjasama antara pemerintah Kota Yogyakarta, masyarakat serta pihak swasta, bahkan tanpa adanya kekerasan saat proses relokasi berlangsung maka membuat peneliti ingin lebih dalam melihat apa saja yang membuat implementasi kebijakan relokasi pedagang ini berhasil dari segi kerjasama antara pemerintah, masyarakat dan pihak swasta yang mendukung terselenggarakannya relokasi ini.
1.2 Perumusan Masalah Peneliti tertarik untuk melihat keberhasilan proses implementasi kebijakan relokasi PASTY , yang diturunkan menjadi 1. Bagaimana bentuk kerjasama (networking) antara pemerintah, swasta dan masyarakat sehingga mempengaruhi keberhasilan? 2. Apa media komunikasi yang digunakan dalam kerjasama tersebut? 3. Apa kepentingan masing-masing aktor dalam kerjasama tersebut?
1.3 Tujuan Penelitian 1. Mengetahui bentuk kerjasama antara pemerintah, swasta dan masyarakat dalam proses implementasi kebijakan relokasi PASTY. 2. Mengetahui media komunikasi yang digunakan untuk mewujudkan kerjasama dari semua aktor. 3. Mengetahui kepentingan dari masing-masing pihak, pemerintah, swasta, dan masyarakat.
1.4 Manfaat Penelitian 1. Bagi pemerintah: memberi informasi mengenai kebijakan relokasi pedagang yang berhasil sehingga dapat menjadikan pedoman pemerintah dalam membuat kebijakan relokasi selanjutnya. 2. Bagi masyarakat: memberikan contoh keberhasilan pemerintah dalam merelokasi pedagang. 3. Bagi mahasiswa: memberikan informasi mengenai pentingnya proses networking dalam proses kebijakan yang menyangkut kepentingan publik.