DILEMA BADAN KEHORMATAN DPR ANTARA PENEGAK ETIKA ANGGOTA DEWAN DAN KEPENTINGAN FRAKSI (Studi Kasus Video Pornografi Karolina Margaret Natasa dan Kasus Upaya Pemerasan BUMN )
Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Disusun oleh RIZQI RAMADHANI NIM: 109033200019
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2013
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Skripsi yang berjudul: DILEMA BADAN KEHORMATAN DPR ANTARA PENEGEK ETIKA ANGOTA DEWAN DAN KEPENTINGAN FRAKSI (Studi Kasus Video Pornografi Karolina margaret Natasa dan Kasus Upaya Pemerasan BUMN)
1. Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 24 Desember 2013
Rizqi Ramadhani NIM 10903320019 i
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa: Nama
: Rizqi Ramadhani
NIM
: 109033200019
Program Studi
: Ilmu Politik
Telah menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul: DILEMA BADAN KEHORMATAN DPR ANTARA PENEGEK ETIKA ANGGOTA DEWAN DAN KEPENTINGAN FRAKSI (Studi Kasus Video Pornografi Karolina Margaret Natasa dan Kasus Upaya Pemerasan BUMN ) .................................................................................................................................... ............................................................ Dan telah memenuhi persyaratan untuk diuji
Jakarta, 24 Desember 2013
Mengetahui,
Menyetujui,
Ketua Program Studi
Pembimbing,
Dr. Ali Munhanif NIP. 19651212 199203 1 004
Dra. Haniah Hanafie M.Si NIP. 19610524 200003 2 002
ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
SKRIPSI DILEMA BADAN KEHORMATAN (BK) DPR ANTARA PENEGEK ETIKA ANGGOTA DEWAN DAN KEPENTINGAN FRAKSI Oleh Rizqi Ramadhani NIM: 109033200019 Telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 24 Desember 2013. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Ilmu Politik.
Ketua,
Sekretaris,
Dr. Ali Munhanif NIP. 19651212 199203 1 004
M. Zaki Mubarak, M.Si NIP. 19730927 200501 1 008
Penguji I,
Penguji II,
Idris Thaha, M.Si NIP. 19660805 200112 1 001
M. Zaki Mubarak, M.Si NIP. 19730927 200501 1 008
Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada 24 Desember 2013 Ketua Program Studi FISIP UIN Jakarta
Dr. Ali Munhanif NIP. 19651212 199203 1 004 iii
ABSTRAKSI DILEMA BADAN KEHORMATAN DPR ANTARA PENEGEK ETIKA ANGGOTA DEWAN DAN KEPENTINGAN FRAKSI Ketika ditanya apakah etika itu penting? Semua akan menjawab dengan cepat, etika itu sangat penting. Namun ketika ditanya, lantas bagaimana cara kita untuk menegakkan etika tersebut? Semua akan terdiam sesaat untuk menjawabnya. Pasca reformasi 1998, kesadaran untuk menuju demokrasi yang berbudaya semakin tinggi. Era demokrasi terbuka menuntut anggota perwakilan rakyat untuk menjadi sosok legislator yang bermoral. Maraknya kasus korupsi, rendahnya integritas anggota dewan, dan bobroknya moral anggota dewan berdampak terhadap buruknya citra lembaga perwakilan. Pada tahun 2003 sebuah alat kelengkapan tetap yang bertugas untuk menegakkan kode etik anggota dewan terbentuk. Badan Kehormatan DPR menjadi alat kelengkapan tetap. Pembentukkan Badan Kehormatan DPR sebagai alat kelengkapan tetap berdasarkan UU No. 22 tahun 2003 (mengenai Susunan dan Kedudukan) yang kemudian direvisi kembali pada UU No. 27 tahun 2009 merupakan jawaban atas pertanggungjawaban moral anggota DPR. Tugasnya dalam menegakkan kode etik DPR membuat masyarakat menilai positif akan kemajuan dari lembaga perwakilan tersebut dalam segi moral dan etika. Skripsi ini menganalisa mengenai penegakkan kode etik oleh alat kelengapan tetap DPR yang bernama Badan Kehormatan DPR (BK DPR). BK sebagai lembaga penegak kode etik DPR mempunyai tugas yang tidak muda. Kehadiran BK seperti buah simalakama disaat yang sama BK bertugas menegakkan dan menghukum anggota dewan yang terbukti telah melanggar kode etik DPR. Disisi lain BK menghukum satu teman fraksinya sendiri. BK DPR terlihat mengalami dilematis sebagai lembaga penegak etik. BK DPR RI kini telah berusia delapan tahun, usia yang masih terbilang baru untuk sebuah lembaga penegak etik. Berbagai macam permasalahan kode etik para anggota DPR masih banyak kerap terjadi. Dengan menggunakan teori kelembagaan baru dan teori etika politik, penulis akan membedah permasalahan penanganan etika, khusunya di bidang legislatif. Pada skripsi ini penulis mengambil dua study kasus dimana Fungsi penegakkan etika anggota dewan oleh BK DPR terlihat mengalami dilema dalam dua kasus berikut. Pertama, mengenai kasus pornografi yang dilakukan anggota dewan yang bernama Karolina Margaret Natasa (F-PDIP). Kedua, kasus pemerasan BUMN yang dilakukan sejumlah anggota dewan berdasarkan laporan dari Menteri BUMN bapak Dahlan Iskan.
iv
KATA PENGANTAR ﺑﺴﻢ اﷲ اﻟﺮﺣﻤﻦ اﻟﺮﺣﯿﻢ Assalaamu'alaikum wr. wb Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan begitu banyak nikmat dan senantiasa melimpahkan rahmat, hidayah dan inayah-Nya kepada penulis sehingga hanya karena limpahan nikmat-nikmat itu penulisan dapat menyelesaikan skripsi ini dengan waktu yang diharapkan. Shalawat dan salam penulis haturkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, yang tiada terhitung jasanya bagi umat manusia, dengan membawa umatnya dari alam kegelapan dan kebodohan kepada alam yang terang benderang yang bertaburan ilmu pengetahuan. Penulisan skripsi ini adalah salah satu syarat dari sebuah uji persyaratan yang harus ditempuh dalam menyelesaikan program studi Strata Satu ( S1) Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini penulis beri judul “DILEMA BADAN KEHORMATAN DPR ANTARA PENEGEK ETIKA ANGGOTA DEWAN DAN KEPENTINGAN FRAKSI (Studi Kasus Video Pornografi Karolina Margaret Natasa dan Kasus Upaya Pemerasan BUMN )”. Sehubungan dengan telah selesainya penulisan skripsi ini. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu penulis baik berupa motivasi, saran, kritik, gagasan, finansial, dan tenaga kepada penulis pada masa pencarian data dan referensi demi terselesaikannya penulisan v
skripsi ini. Kepada Bapak tercinta, Ibu tersayang dan kakak-kakak penulis yang baik, penulis mengucapkan rasa terima kasih yang mendalam atas semua pengorbanan dan kasih sayangnya. Sehingga penulis bisa kuliah dan bisa menyelesaikan studi strata 1 (S1) penulis. Tidak ada kata yang bisa mengungkapkan betapa berterima kasihnya penulis kepada orang tua. Selain itu penulis juga haturkan banyak terima kasih kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Bahtiar Effendy selaku Dekan FISIP UIN Jakarta atas kepemimpinannya terhadap FISIP UIN Jakarta. 2. Bapak Dr. Ali Munhanif selaku ketua program studi Ilmu politik 3. Bapak Zaki Mubarak, M.Si selaku seketaris program studi Ilmu Politik, yang telah memberikan penulis masukkan atas penulisan judul skripsi ini. 4. Ibu Haniah Hanafie, M.Si selaku dosen pembimbing. Penulis haturkan terima kasih banyak atas waktu, saran, nasihat, semangat dan gagasangagasannya selama ini. 5. Bapak Idris Thaha, M.Si dan Bapak Zaki Mubarak, M.Si selaku dosen penguji. 6. Seluruh dosen-dosen Prodi Ilmu politik yang memberikan begitu banyak ilmu. Semoga Allah membalas semua kebaikkan dosen-dosen FISIP UIN Jakarta. Semoga ilmu yang dosen-dosen sampaikan bisa bermanfaat dikehidupan penulis kelak.
vi
7. Staf dan Karyawan FISIP yang banyak membantu penulis dalam surat menyurat, Pak Jajang dan semua yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. 8. Seluruh Teman-teman seperjuangan Prodi Ilmu politik 2009 (Agil, Agus, Eko, Fikri, Ghofur, Riben, Rangga, Zidni, Hafidz, Eni dll). Penulis haturkan terima kasih banyak atas kebersamaannya selama kurang lebih 4 Tahun ini. Sampai bertemu kembali di mimpi-mimpi indah. 9. Teman-teman kelompok PAKZI yang selalu menjadi inspirasi. Arep, Algi, Ayu, Baihaqi, Elva, Lina, Mutya, Novie, Riza, Dwi dan Riski Noa. Masa-masa indah kuliah telah berakhir. Semoga kita masih bersua kembali disaat impian kita semua tercapai. See U on Top Guys. 10. Tidak lupa teman-teman KKN BBM 2012 serta teman-teman kosan “Warna-Warni”. Nabil, Fajar, Andri dan Amar. Yang memiliki janji untuk bisa mengangkat toga secara bersama. Semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat atas kebaikan dalam membantu penyusunan skripsi ini. Akhir kata, semoga skripsi ini bisa memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Wassalaamu'alaikum wr wb Jakarta, 24 Desember 2013 Rizqi Ramadhani
NIM 109033200019 vii
DAFTAR ISI
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ..........................................................i LEMBAR PERSETUJUAN..................................................................................ii LEMBAR PENGESAHAN UJIAN.....................................................................iii ABSTRAKS ..........................................................................................................iv KATA PENGANTAR ...........................................................................................v DAFTAR ISI ......................................................................................................viii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ..............................................................................1 B. Perumusan dan Pembatasan Masalah ..........................................................9 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................................9 D. Tinjauan Pustaka .......................................................................................10 E. Metodologi Penelitian ...............................................................................11 F. Sistematika Penulisan ................................................................................13 BAB II LANDASAN TEORI A. Teori Kelembagaan Baru ..........................................................................15 B. Teori Etika Politik .....................................................................................22 BAB
III
BADAN
KEHORMATAN
DPR
DALAM
PARLEMEN
INDONESIA PASCA REFORMASI (2004-2014) A. Dasar Pembentukkan Badan Kehormatan DPR ........................................27 B. Tugas, Wewenang dan Skema Tata-Beracara BK DPR ...........................32 C. Komposisi Pimpinan BK DPR ..................................................................37 D. Perbedaan BK DPR, BK DPD dan BK DPRD .........................................43 E. Kode Etik DPR Tahun 2004 dan 2011 ..................................................... 47 viii
BAB IV DILEMA BADAN KEHORMATAN DPR DALAM PENANGANAN KASUS VIDEO PORNOGRAFI DAN KASUS UPAYA PEMERASAN BUMN A. Kasus Video Pornografi ........................................................................... 53 B. Kasus Upaya Pemerasan BUMN (Dahlan Iskan VS DPR) ..................... 60 C. Dilema Badan Kehormatan DPR ............................................................. 76 D. Reformasi Badan Kehormatan DPR .........................................................83 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan................................................................................................90 B. Saran ..........................................................................................................91 DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................x LAMPIRAN TABEL DAN GAMBAR 1. Tabel 1.1 Perubahan Badan Kehormatan DPR ...........................................2 2. Tabel 2.1 Perbedaan lembaga dengan Organisasi .................................... 20 3. Tabel 3.1 Komposisi Keanggotaan BK DPR 2004-2009 ..........................38 4. Tabel 3.2 Komposisi Pimpinan BK DPR 2004 -2009 ..............................39 5. Tabel 3.3 Komposisi Pimpinan BK DPR 2009-2014 ...............................41 6. Tabel 3.4 Perbedaan BK DPR, BK DPD, BK DPRD ..............................44 7. Tabel 3.5 Perubahan Kode Etik DPR ........................................................49 8. Tabel 4.1 Saran Perbaikan BK DPR di Periode 2014-2019 ......................87 9. Gambar 3.1Visualisasi Skema Tata-Beracara BK DPR ...........................34
ix
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Ketika ditanya apakah etika itu penting? Semua akan menjawab dengan
cepat, etika itu sangat penting. Namun ketika ditanya, lantas bagaimana cara kita untuk menegakkan etika? Bagaimana kita menegakkan etika dalam dunia politik dan khususnya dunia legislatif? Semua akan terdiam sesaat untuk menjawabnya. Pasca reformasi Mei 1998 di Indonesia, kesadaran untuk menuju demokrasi yang berbudaya semakin tinggi. Etika menjadi sub pokok dalam progres pemerintahan. Etika menjadi perhatian penting terhadap pejabat negara terutama anggota dewan yang notabane dipilih langsung oleh rakyat. Maraknya kasus korupsi, rendahnya integritas anggota dewan, dan bobroknya moral anggota dewan berdampak terhadap buruknya citra lembaga perwakilan. Pada tahun 2004 Badan Kehormatan (BK) DPR, sebuah alat kelengkapan tetap yang bertugas untuk menegakkan kode etik anggota dewan terbentuk. BK DPR adalah salah satu bentuk perwujudan tanggung jawab moral anggota dewan kepada rakyat. Pembentukan BK DPR merupakan tanggapan atas sorotan publik terhadap kinerja buruk sebagian anggota DPR. Beberapa kasus pelanggaran kode etik1 oleh anggota DPR juga sempat memunculkan desakan agar Badan Kehormatan segera dibentuk, misalnya dalam kasus suap yang diduga melibatkan
1
Kode etik yang dimaksud adalah Pasal 1 kode etik DPR, kode etik sebagai norma-norma atau aturan-aturan yang merupakan kesatuan landasan etik atau filosofis dengan peraturan perilaku maupun ucapan mengenai hal-hal yang diwajibkan, dilarang, atau tidak patut dilakukan oleh anggota.
1
anggota Komisi Keuangan, Perbankan dan Perencanaan Pembangunan DPR dalam periode 1999-2004 untuk melancarkan divestasi Bank Niaga oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Demikian juga ketika muncul indikasi keengganan sebagian anggota DPR untuk menyerahkan formulir daftar kekayaan yang diserahkan oleh Komisi Penyelidik Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN) 2. Kini telah digantikan perannya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). BK merupakan alat kelengkapan tetap yang paling muda saat ini di DPR. Pada awal pembentukannya bernama Dewan Kehormatan (DK) lalu menjadi Badan Kehormatan (BK). Dulunya BK termasuk dalam alat kelengkapan DPR yang bersifat sementara, namun dengan perubahan UU No. 22 Tahun 2003 dan revisi terbaru UU No. 27 Tahun 2009, alat kelengkapan ini berubah menjadi alat kelengkapan tetap DPR. Berikut perbedaan pengaturan BK DPR dari awal pembentukkan hingga periode 2014. Tabel 1.I Perubahan Badan Kehormatan DPR No.
Point pengaturan
1
Legalitas Hukum
2
Jumlah dan Komposisi
2
Dewan Kehormatan (DK) 1999-2004 UU No. 4 Tahun 1999 dalam Pasal 37. Dibentuk sebagai alat kelengkapan yang bersifat sementara. Tidak ada pasal. Tidak diketahui tentang jumlah anggota.
Badan Kehormatan (BK) Periode 2004-2009
Badan Kehormatan (BK) Peroide 2009- 2014.
UU No.22 Tahun 2003 dalam Pasal 56. Dibentuk sebagai alat kelengkapan bersifat tetap.
UU No.27 Tahun 2009 dalam Pasal 123. Dibentuk sebagai alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap.
UU No.22 Tahun 2003 dalam Pasal 57.
UU No.27 Tahun 2009 dalam Pasal 124.
Berjumlah tiga belas orang, terdistribusi
Berjumlah
sebelas
Diambil dari www.parlement.net/badankehormatan. Diakses pada l 4 November 2012.
2
menurut Fraksi.
3
4
5
6
Pengangkatan Anggota BK
Tidak penjelasan.
ada
komposisi
UU No.22 Tahun 2003 Pasal 57.
orang dengan pertimbangan dan pemerataan jumlah Fraksi UU No.27 Tahun 2009 Pasal 124.
Dipilih dan dapat diganti sewaktu-waktu oleh Fraksi Pasal 58.
Dipilih dan dapat diganti sewaku-waktu oleh Fraksi. Pasal 125.
Pimpinan terdiri dari satu orang dan wakil dua orang. Dipilih berdasarkan musyawarah dan mufakat .
Pemilihan Pimpinan BK DPR
Pemimpin terdiri dari satu orang dan wakil dua orang. Dipilih oleh anggota dewan kehormatan.
Tugas dan Wewenang
Penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan. Memangil yang teradu dan pengadu.
Pasal 59.
Pemimpin terdiri dari satu orang dan wakil dua orang. Dipilih berdasarkan musyawarah dan mufakat dan proposional dengan memperhatikan komposisi perempuan menurut perimbangan menurut jumlah Fraksi. Pasal 127.
Penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan. Memanggil teradu dan pengadu.
Penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan. Memanggil teradu dan pengadu.
Tidak penjelasan.
Pasal 59.
Tartib DPR Tahun 2011 dalam pasal 15. Rapat bersifat tertutup. Tartib DPR Tahun 2011 dalam pasal 38.
Sifat Rapat
ada
Bersifat tertutup. 7
8.
Sanksi
Skema Tata Beracara
Sanksi administrasi hingga diberhentikan menjadi anggota DPR.
Pasal 62 dan 63.
Tidak ada pengaturan mengenai skema tata beracara.
Mulai dibuat UU khusus mengenai skema tata beracara BK DPR yaitu, Peraturan DPR No.2 Tahun 2007/2008.
Sanksi teguran dan larangan menjadi pimpinan alat kelengkapan.
Sanksi berupa teguran, pemberhentian sementara hingga pemberhentian dari anggota DPR. Direvisi kembali pada Peraturan DPR No.2 Tahun 2011 mengenai skema tata beracara BK DPR.
Sumber: UU No. 4 Tahun 1999, UU No. 22 Tahun 2003, Tartib DPR Tahun 2004 dan UU No.27 Tahun 2009 dan Peraturan DPR No.2 Tahun 2011.
3
Perbedaan pada tabel adalah perbedaan secara struktural. Perubahan terlihat dari nama, sifat ketetapan, pengangkatan dan jumlah komposisi anggota hingga sanksi. Perubahan dalam struktur BK (2004-2014) terlihat bahwa Fraksi masih dominan. Dominasi Fraksi dapat dideteksi dalam jumlah anggota, komposisi anggota, pemilihan dan pengangkatan anggota hingga sifat rapat yang tertutup. Pada penjelasan mengenai jumlah komposisi anggota BK terbaru disebutkan bahwa “anggota komposisi BK berjumlah 11 (sebelas) orang dengan memperhatikan jumlah angggota Fraksi”. Artinya setiap Fraksi mempunyai wakil anggotanya dalam BK, namun hingga sekarang terdapat 2 (dua) Fraksi yang tidak ada dalam komposisi BK, yaitu Fraksi Gerindra dan Hanura. Komposisi BK ini terlihat menekankan kepentingan Fraksi yang memiliki suara terbanyak diperlemen. Begitupun dalam hal pengangkatan pimpinan dan anggota BK, semestinya komponen anggota ditetapkan masa tugasnya. Untuk jangka berapa lama anggota BK bertugas, tidak semestinya anggota BK dapat silih berganti sesuai keinginan Fraksi. Apabila terjadi sidang kasus dan ada terjadi pergantian komposisi anggota BK, ditakutkan anggota BK yang baru tidak mengerti mengenai kasus yang disidangkan. Sungguh sangat disayangkan sampai saat ini sifat rapat BK DPR masih bersifat tertutup. Akuntabilitas penanganan kasus seakan ditutupi untuk melindungi teman satu Fraksi dan kepentingan. Partai politik dan politisi saat ini tidak bisa bersikap jujur terkait kasuskasus yang melibatkan anggotanya. Kasus-kasus yang terkait etika harusnnya bisa lebih diproses cepat ketimbang yang lebih bersifat hukum. Seharusnya anggota 4
dewan yang dipilih langsung oleh rakyat haruslah bertanggung jawab kepada rakyat. Sidang pelanggaran kode etik DPR yang tertutup demikian membuat rakyat menduga BK DPR hanya “bersidang-sidangan” untuk menutupi kejelekan etik angggota dewan. BK seharusnya memposisikan diri bukan lagi bagian dari partai politik di DPR, karena kedudukan anggota partai politik di dalam tubuh BK sangat rentan dibajak oleh pihak parpol yang anggotanya bermasalah di BK Revisi Paket Undang-undang Politik terutama revisi atas Undang-undang No. 22 Tahun 2003 menjadi UU No. 27 Tahun 2009 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPRD dan DPD akan meninjau kembali fungsi, kewenangan dari lembagai perwakilan. Proses ini sangat penting dikawal untuk memastikan perubahan yang berarti dari pelaksanaan kewenangan lembaga perwakilan sekaligus alat kelengkapan yang ada di dalamnya, termasuk Badan Kehormatan DPR RI3. Tugasnya dalam menegakan kode etik anggota dewan membuat alat kelengkapan ini di satu sisi sangat berguna dan di sisi lain memiliki tantangan yang sangat berat. Maraknya kasus indikasi pelanggaran kode etik yang kongruen dan berjalan paralel dengan skandal kasus publik seperti korupsi juga membuat alat kelengkapan ini tugasnya semakin berat. Ada persoalan kewajiban melaksanakan fungsi alat kelengkapan sesuai dengan amanat undang-undang, tata tertib dan kode etik di satu sisi. Namun, di satu sisi yang lain BK juga berada dalam dilema antara membela kepentingan publik dan menjaga citra, baik citra kelembagaan DPR RI maupun citra Partai Politik serta anggota DPR. Beratnya 3
Ibrahim Z.Fahmi Badoy. Penguatan Fungsi Pengawasan Badan Kehormatan DPR RI. Jakarta. 2005. Diunduh dari www.parlement.net diakses pada tanggal 4 November 2012.
5
tugas dan tanggung jawab Badan Kehormatan memerlukan penguatan kewenangan yang dapat menunjang pelaksanaan fungsinya menegakan citra DPR. Pengaturan terkait Badan Kehormatan DPR harus juga mampu memperkuat dari sisi kelembagaan sehingga kinerjanya dapat ditingkatkan. BK DPR kini telah berusia delapan tahun, usia yang masih terbilang baru untuk sebuah lembaga penegak etik. Berbagai macam permasalahan kode etik para anggota DPR masih banyak kerap terjadi. Fungsi penegakkan etika anggota dewan oleh BK DPR terlihat mengalami dilema dalam dua kasus berikut. Pertama, mengenai kasus pornografi yang dilakukan anggota dewan yang bernama Karolina Margaret Natasa dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP). Kedua, kasus pemerasan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dilakukan sejumlah anggota dewan berdasarkan laporan dari Menteri BUMN, Dahlan Iskan. Penulis sengaja mengambil dua kasus ini sebagai studi penelitian dikarenakan dua kasus ini adalah kasus yang berbeda dari segi pengaduan. Kasus dengan pengaduan dan kasus tanpa melalui pengaduan langsung ke sekretariat BK. Dua kasus ini sudah muncul karena sudah ramai dibicarakan oleh berbagai media. Melihat ini penulis beranggapan bahwa mau tidak mau BK harus bertindak secara aktif untuk menangani dua kasus ini, kasus video pornografi Karolina Margaret Natasa dan kasus upaya pemerasan BUMN. Pertengahan April 2012, sebuah video porno yang kabarnya melibatkan seorang anggota dewan sempat menggemparkan Senayan. Video itu diduga melibatkan anggota Komisi IX DPR. Gemparnya video porno yang diduga 6
anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) yang sekaligus putri Gubernur Kalimantan Barat Cornellis ini pertama kali diunggah di situs www.kilikitik.net. Namun video itu kini sudah ditarik dan situs itu sudah tidak bisa dibuka4. Karolina Margaret Natasa adalah seorang anggota dewan Komisi IX dari Fraksi PDIP dapil Kalimantan Barat. Dia tersandung kasus pornografi dengan tersebarnya video tidak senonoh dengan seorang pria yang juga anggota dewan (DPR) dan berasal dari Fraksi yang sama yaitu Aria Bima wakil ketua Komisi VI DPR. Kasus ini diusut oleh BK pada April 2012 namun sampai saat ini kasus ini hilang dari peredaran dan anggota dewan tersebut masih bertugas di Senayan. Kasus ini membuat prasangka terhadap BK, bahwa BK menghadapi dilema dalam menegakkan kode etik anggota dewan dan rela melindungi teman satu Fraksi. Selain itu, pada kasus upaya pemerasan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dilakukan oleh sejumlah anggota dewan menjadi kasus terbesar sepanjang berdirinya BK DPR. Dalam kasus upaya pemerasan BUMN, ada tiga BUMN yang dilaporkan Dahlan Iskan mengalami pemerasan. Pertama, kasus dugaan pemerasan yang dilakukan anggota Komisi XI dari Fraksi PDIP, Sumaryoto, yang dilakukannya seorang diri terhadap direksi PT Merpati Nusantara Airlines. Kedua, kasus dugaan pemerasan yang dilakukan dalam sebuah rapat pertemuan pada 1 Oktober antara beberapa anggota Komisi XI dan
4 www.tempo.com/ Kasus Video Porno, BK DPR Undang Tim Ahli Telematika. Diakses pada tanggal 5 November 2012.
7
direksi Merpati. Sejumlah politisi yang diadukan Dahlan Iskan, yakni Zulkilfliemansyah (F-PKS), Achsanul Qosasi, Linda Megawati, Saidi Butar-butar (F- Demokrat), dan I Gusti Agung Ray Wijaya (F-PDI Perjuangan). Ketiga, kasus dugaan pemerasan Idris Laena terhadap direksi PT PAL Indonesia dan PT Garam. BK dalam proses penyelidikannya sudah memeriksa satu per satu anggota dewan yang diduga memeras dan juga direksi BUMN yang mengaku diperas. BK juga sudah mempertemukan pihak-pihak yang dilaporkan dalam satu forum konfrontasi5. Meskipun Badan Kehormatan DPR telah memberikan sangsi kepada empat tersangka dan tiga tersangka lainnya telah dibersihkan namanya dikarenakan tidak terbukti, tapi kasus ini menjadi menarik perhatian untuk dikaji lebih jauh. Pelaksanaan tugas BK DPR banyak mendapat apresiasi bagi perbaikkan internal DPR. BK DPR mengalami dilema, ada persoalan kewajiban BK dalam melaksanakan fungsi alat kelengkapan sesuai dengan amanat Undang-undang, Tata tertib dan Kode Etik di satu sisi. Di sisi yang lain, BK juga harus berada di dalam dilema antara membela kepentingan publik dan menjaga citra, baik citra kelembagaan DPR RI maupun citra Partai Politik serta anggota DPR. Beratnya tugas dan tanggungjawab BK memerlukan penguatan kewenangan yang dapat menunjang pelaksanaan fungsinya menegakan citra DPR. Pengaturan terkait BK DPR harus juga mampu memperkuat dari sisi kelembagaan sehingga kinerjanya dapat ditingkatkan. Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis ingin 5
http://nasional.kompas.com/read/2012/12/06/13113268/Tuduhan.Pemerasan.Empat.Ang gota.DPR.Langgar.Etika?utm_source=WP&utm_medium=Ktpidx&utm_campaign=. Diakses pada tanggal 20 April 2013.
8
mengkaji lebih jauh tentang “Dilema Badan Kehormatan (BK) DPR RI Sebagai Penegak Etika Anggota Dewan dan Kepentingan (studi kasus video pornografi Karolina Margaret Natasa dan kasus upaya pemerasan BUMN). B.
Pembatasan dan Perumusan Masalah Adapun perumusan masalah yang akan penulis kaji adalah: 1. Bagaimanakah penanganan kasus pelanggaran kode etik anggota dewan oleh BK DPR khususnya kasus video pornigrafi Karolina Margaret Natasa dan kasus upaya pemerasan Badan Usaha Milik Negara (BUMN)? 2. Apakah BK dalam penanganan kasus video pornografi Karolina Margaret Natasa dan kasus upaya pemerasan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengalami dilema?
C.
Tujuan dan Manfaat penelitian Penelitian ini bertujuan untuk memahami dan mengetahui secara lebih
dalam mengenai: 1. Fungsi, tugas dan wewenang Badan Kehormatan DPR RI. 2. Untuk melihat lebih jauh bagaimana penanganan kasus pelanggaran kode etik anggota dewan. Sedangkan manfaat penelitian ini adalah: 1.
Dapat mengetahui fungsi, peran, tujuan dan kinerja Badan Kehormatan DPR dalam menegakkan kode etik anggota dewan.
9
2.
Untuk manfaat akademik yaitu, mengembangkan dan menambah khasanah ilmu politik terutama dalam kajian kelembagaan terkhusus lembaga penegak etik yaitu, Badan Kehormatan DPR.
D.
Tinjauan Pustaka Penulis tidak menemukan tinjauan pustaka (dalam bentuk buku) mengenai
Badan Kehormatan DPR. Penulis menemukan sebuah artikel yang membahas mengenai Badan Kehormatan dan UU yang mengaturnya, yaitu UU No. 4 Tahun 1999, UU No. 22 Tahun 2003 beserta Tartib DPR 2004 dan UU yang terbaru UU No. 27 Tahun 2009 beserta Peraturan DPR Tahun 2011 (mengenai skema tata beracara BK DPR). Pada artikel yang penulis temukan yaitu “Penguatan Fungsi Pengawasan Badan Kehormatan DPR RI” yang ditulis oleh Ibrahim Z. Fahmy Badoh, seorang peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW). Artikel ini membahas mengenai penguatan Badan Kehormatan DPR yang diangap tidak menjalankan fungsinya sebagai mana penegak etika anggota dewan. Membahas juga mengenai saran untuk Badan Kehormatan DPR untuk lebih tegas dan tanpa pandang pilih untuk menegakkan kode etik angota dewan. Pada UU No.4 Tahun 1999 ini, BK DPR tidak disebutkan secara jelas. Pada pasal 37, BK DPR dimasukkan kedalam panitia-panitia yang lain (ayat 3) atau yang bersifat sementara. Beralih ke UU No. 22 Tahun 2003, UU ini membahas mengenai peraturan susunan dan kedudukan (SUSDUK) MPR, DPR, DPD dan DPRD tingkat I dan II. Pada UU ini BK DPR menjadi alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap dan peraturan lebih jauh mengenai skema tata cata beracara BK 10
DPR diatur pada tartib DPR Tahun 2004. UU mengenai SUSDUK yang terbaru yaitu UU No. 27 Tahun 2009 dan tartib DPR dan peraturan DPR No.2 Tahun 2011 juga membahas mengenai Skema Tata Beracara BK DPR. E.
Metodologi Penelitian
E.1 Jenis Penelitian Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan data-data yang deskriptif, yaitu menggambarkan dan menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan penanganan kasus BK DPR. Dalam hal ini adalah kasus video pornografi Karolina Margaret Natasa dan kasus upaya pemerasan BUMN. Penulisa melakukan kajian kasus secara mendalam dan komprehensif. E. 2 Jenis Data Pada penulisan skripsi ini ada dua sumber data yang penulis gunakan, yaitu data primer dan data sekunder. Untuk data primer penulis mengambil data dan infromasi dari pemberitaan media (online dan cetak) mengenai kasus pelangaran kode etik yang ditangani BK DPR, dan dari berbagai artikel serta aturan-aturan yang penulis temukan yang berkaitan dengan penelitian ini. Untuk data sekunder, penulis melakukan wawancara dengan dua tokoh key informan. Kedua tokoh key informan tersebut adalah: 1. M. Nurdin, selaku anggota BK DPR dari Fraksi PDIP periode 20102014.
11
2. Ronald Rofiandri selaku Direktur Monitoring, Advokasi dan jaringan dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakkan (PSHK). E.3 Teknik Penentuan Informan Sebagaimana dikemukakan diatas untuk dua orang key informan yaitu M. Nurdin dan Ronald Rofiandri, cara penulis menentukan kedua tokoh key informan tersebut adalah dengan “teknik purposif sampling”, yaitu penentuan sample berdasarkan tujuan penelitian. Satu tokoh dari pihak internal BK dan satu tokoh lagi dari pihak eksternal BK. Penulis memilih kedua tokoh tersebut karena penulis anggap kompeten untuk untuk menjelaskan dan memberikan informasi yang penulis perlukan dalam penelitian ini. E.4 Teknik Analisa Data Adapun teknik analisa data yang penulis gunakan dalam skripsi ini adalah deskriptif analisis, yaitu suatu pembahasan yang bertujuan untuk membuat gambaran terhadap data-data yang terkumpul untuk memberikan interpretasi terhadap objek yang diteliti. Mengenai teknik penulisan yang digunakan dalam penulisan makalah ini mengacu pada Panduan Penyusunan Proposal dan Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif hidayatullah Jakarta. Dalam penulisan catatan kaki, penulis tidak memakai istilah logCit, op dan Cit, tetapi mengantinya dengan penulisan nama depan atau nama populer penulis dan dua kata pertama dalam judul atau judul besar karya penulisan.
12
F.
Sistematika Penulisan Dalam menjelaskan permasalahan tersebut dalam bagian yang lengkap,
serta agar lebih memperjelas rangkaian studi ini, maka penulis memberikan sistematika. Penulisan dalam suatu kaidah garis-garis besar penulisan melalui beberapa bab, serta disertai dengan sub-sub dalam menjelaskan pelbagai hal yang lebih terperinci dan membutuhkan kajian pengetahuan yang lebih mendalam. Adapun deskripsi dari sistematika penulisan ini dilampirkan sebagai berikut:
Bab I
: Berisi pendahuluan yang terdiri dari sub-sub bab yang
menjelaskan latar belakang masalah, pembatasan masalah dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan.
Bab II
: Landasan teori, pada bab ini berisi tentang landasan teori
mengenai BK DPR, yaitu teori kelembagaan baru (Neo-Institutional) dan Teori etika politik. Dalam pembahasan ini akan dipaparkan mengenai teori-teori kelembagaan baru (Neo-Institutional), teori etika politik legisilatif.
Bab III
: Berisi mengenai segala hal tentang Badan Kehormatan
DPR, dari latar belakang berdirinya serta melihat BK secara periode serta perbedaan mengenai BK DPR dengan BK DPD dan BK DPRD dan dibahas mengenai kode etik yang menjadi tugas BK dalam menegakkannya.
13
Bab IV
: Berisi mengenai permasalahan BK DPR. Bagaimana
proses penanganan BK DPR terhadap kasus pelanggaran etika dalam menegakkan kode etik terhadap anggota dewan, melihat apakah BK DPR dalam menegakkan etika anggota dewan tanpa pandang bulu atau BK DPR mengalami dilema dalam menegakkan kode etik.
Bab V
: Bab terakhir yang berisikan kesimpulan dan saran
berkaitan dengan masalah yang diajukan dari keseluruhan skripsi ini.
Daftar Pustaka
Lampiran
14
BAB II LANDASAN TEORI
Dalam bab ini, secara garis besar akan dibahas mengenai sebuah landasan teoritis dalam ruang lingkup normatif dengan asumsi-asumsi penelitian mengenai hal-hal yang akan dikaji dalam penulisan skripsi ini. Dengan memberikan landasan teoritis, diharapkan penelitian ini memberikan jawaban awal dalam pembentukkan masalah yang ditimbulkan oleh penulis mengenai Badan Kehormatan DPR. Secara khusus, teori adalah generalisasi yang abstrak mengenai beberapa fenomena dan dalam menyusun generalisasi, teori selalu memakai konsep. Jadi teori adalah konsep-konsep yang saling berhubungan menurut aturan logika menjadi suatu bentuk pernyataan tertentu sehingga dapat menjelaskan fenomena tersebut secara ilmiah1. Teori juga memiliki peran dalam melakukan korelasi antara permasalahan dan aktualisasi penelitian. Penulisan ini menggambarkan fenomena-fenomena politik di Indonesia yang berkaitan dengan kasus-kasus pelanggaran kode etik oleh anggota dewan. Penulis mengunakan teori kelembagaan baru (neo institutionalism theory) dan teori etika politik legislatif A.
Teori Kelembagaan Baru (Neo Institutionalism Theory) Menurut Scott W. Rights seorang ahli kelembagaan, teori kelembagaan baru
(neo institutional theory) adalah tentang bagaimana menggunakan pendekatan
1
Miriam Budiharjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik. (Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama.
2008). 43.
15
kelembagaan baru dalam mempelajari sosiologi organisasi2. Akar teoritisnya berasal dari teori kognitif, teori kultural, serta fenomenologi dan etnometodologi. Ada tigaelemen analisis yang membangun kelembagaan walau kadang-kadang ada yang dominan, tapi mereka bekerja dalam kombinasi. Ketiganya datang dari perbedaan cara pandang terhadap sifat realitas sosial dan keteraturan sosial dalam tradisi sosiologi sebelumnya. Ketiga elemen tersebut adalah aspek regulatif, aspek normatif, dan aspek kultural-kognitif. Ketiga elemen tersebut akan dipakai untuk meneliti mengenai Badan Kehormatan DPR sebagai lembaga penegak etika.
A.1 Pengertian Lembaga dan Perspektif Kelembagaan Baru
Istilah lembaga, dalam Ensiklopedia Sosiologi diistilahkan dengan institusi sebagaimana
didefinisikan
oleh
Macmillan
lembaga
adalah
merupakan
seperangkat hubungan norma-norma, keyakinan-keyakinan, dan nilai-nilai yang nyata, yang terpusat pada kebutuhan-kebutuhan sosial dan serangkaian tindakan yang penting dan berulang3. Doglas North4 seorang sejarawan ekonomi terkemuka mendefinisikan kelembagaan sebagai batasan-batasan yang dibuat untuk membentuk pola interaksi yang harmonis antara individu dalam melakukan interaksi politik, sosial dan ekonomi. Begitupula dengan Scott yang merumuskan kelembagaan sebagai: “institution are comprised of regulative, normative and cultural-cognitive
2
Scott, W. R. Institutions and Organizations. (Thousand Oaks, CA: Sage. US. 2008). 38. Saharuddin. Nilai Kultur Inti dan Institusi Lokal Dalam Konteks Masyarakat MultiEtnis. 2001. Bahan Diskusi Tidak Diterbitkan. Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Dalam www.rida’sblogspot.com diakses pada 30 April 2013. 4 North, D. C.. Institutions, Institutional Change and Economics Performance. 1990. Dalam Aceng Hidayat. Modul Ekonemi Kelembagaan. (Institut Pertanian Bogor). 3
16
elements that, together with associated activities and resources, provide stability and meaning to social life.” (Institusi terbagi menjadi elemen-elemen regulatif, normatif dan kultural-kognitif. Bersama-sama bergabung dan menjadi sumber daya yang menyediakan stabilitas dan arti sebuah kehidupan sosial).5 Lebih jauh, Scott menjelaskan tentang adanya 3 pilar dalam perspektif kelembagaan baru6. Pertama, pilar regulatif (regulative pillar), yang bekerja pada konteks aturan (rule setting), monitoring, dan sanksi. Hal ini berkaitan dengan kapasitas untuk menegakkan aturan, serta memberikan reward and punishment. Cara penegakkannya melalui mekanisme informal (folkways) dan formal (polisi dan pengeadilan). Meskipun ia bekerja melalui represi dan pembatasan (constraint), namun disadari bahwa kelembagaan dapat memberikan batasan sekaligus kesempatan (empower) terhadap aktor. Aktor yang berada dalam konteks ini dipandang akan memaksimalkan keuntungan, karena itulah kelembagaan ini disebut pula dengan kelembagaan regulatif (regualtive institution) dan kelembagaan pilihan rasional (rational choice instituion). Dalam persfekif ini kita akan melihat bagaimana BK memberikan punishment kepada anggota dewan yang melanggar kode etik dan sebaiknya BK juga memberikan hadiah (reward) untuk anggota dewan yang melakukan kerjanya dan dalam mengikuti kode etik. Kedua, pilar normatif (normative pillar). Dalam pandangan ini, norma menghasilkan preskripsi, bersifat evaluatif, dan menegaskan tanggung jawab dalam kehidupan sosial. Dalam pilar ini dicakup nilai (value) dan norma. Norma 5
Scott, W. R. Institutions and Organizations. 46 . ibid. 48.
6
17
berguna untuk memberi pedoman pada aktor apa tujuannya (goal dan objectives), serta bagaimana cara mencapainya. Karena itu, bagian ini sering pula disebut dengan kelembagaan normatif (normatif institution) dan kelembagaan historis (historical instituionalism). Inilah pula yang sering disebut sebagai teori ”kelembagaan yang asli”. Pada persfektif ini BK dihadapkan sebagai lembaga formal dalam memberikan tujuannya yaitu menegakkan kode etik DPR. Ketiga, pilar kultural-kognitif (cultural-cognitive pillar). Inti dari pilar ini adalah bahwa manusia berperilaku sangat ditentukan oleh bagaimana ia memaknai (meaning) dunia dan lingkungannya. Manusia mengalami sedimentasi makna dan kristalisasi makna dalam bentuk objektif. Aktor (individu dan organisasi) mengalami proses interpretatif internal yang dibentuk oleh kerangka kultural eksternal, dalam memaknai lingkungan sebagai situation shared secara kolektif. Dalam konteks ini, diyakini aktor memiliki makna yang sangat variatif, sehingga kreativitas aktor dihargai. Bagian ini sering disebut dengan kelembagaan sosial (social institution). Perspektif kultural inilah yang menurut penulis anggap sebagai basis penilaian dalam dilema BK DPR. Apakah BK DPR berani tegas menjatuhkan sanksi kepada pelanggar kode etik tanpa pengaruh intervensi dari lingkungannya (DPR dan Fraksi).
A.2 Perbedaan Lembaga dengan Organisasi Banyak
kalangan
yang
menyamakan
kelembagaan/institusi
dengan
organisasi. Penyamaan ini tidak mutlak salah tapi juga tidak selalu benar tergantung pada konteksnya. Namun, untuk keperluan analisis keduanya harus
18
dibedakan secara jelas. Menyamakan kelembagaan dengan organisasi dalam konteks sosiologi kelembagaan adalah menyesatkan. Hal ini telah banyak ditemukan dalam karya ilmiah yang melakukan analisis kelembagaan namun salah sasaran. North mendefinisikan organisasi sebagai bangunan atau wadah tempat manusia berinteraksi, seperti organisasi politik, ekonomi, keagamaan, pendidikan, olah raga dan lain-lain. Yaitu, kumpulan individu yang terikat oleh kesamaan tujuan dan berupaya untuk mencapai tujuan tersebut sebagai kepentingan bersama7. North mengilustrasikan organisasi dengan tim olah raga (sepak bola, bola basket) dimana banyak orang terlibat baik sebagai pelatih, pengurus organisasi, pemain, dan lain-lain dengan tujuan bagaimana memenangkan setiap pertandingan. Sedangkan lembaga adalah serangkaian peraturan yang berlaku dalam setiap pertandingan yang harus ditaati baik oleh pemain, pelatih maupun stakeholder lainnya. Ketidakjelasan lembaga akan menyebabkan pertandingan berjalan kacau dan tujuan memenangkan setiap pertandingan yang ditargetkan oleh tim tidak akan tercapai dengan baik. Norman T. Uphoff, seorang ahli sosiologi yang banyak berkecimpung dalam penelitian lembaga lokal, menyatakan sangat sulit sekali mendefinisikan institusi, karena pengertian institusi sering dipertukarkan dengan organisasi. Institutions are complexes of norms and behaviors that persist over time serving
7
North, D. C. Institutions, Institutional Change and Economics Performance. 1990. Dalam Aceng Hidayat. Modul Ekonomi Kelembagaan. (Institut Pertanian Bogor).
19
collectivelly valued purposes 8. (Institusi atau lembaga merupakan serangkaian norma dan perilaku yang sudah bertahan (digunakan) selama periode waktu tertentu yang relatif lama). Kekeliruan pemahaman seperti ini telah menjadi sangat umum sehingga organisasi dan kelembagaan juga dimengerti secara “salah kaprah” di manamana.
Hal ini pulalah yang mengakibatkan pengembangan kelembagaan
diterjemahkan secara “salah kaprah” menjadi pembentukan organisasi. Berikut Rekonseptulasisasi sesuai dengan padanan penggunaan konsep dengan berpedoman kepada sistematika konsep di berbagai literatur terakhir yang lebih kuat Tabel 2.1 Perbedaan lembaga dengan organisasi No.
Segi Perbedaan.
Lembaga.
Organisasi.
1.
Bahasa
Institusi dan Institution (kelembagaan).
Organitation dan Organitational (keorganisasian).
2.
Fokus Utama
Perilaku Sosial.
Struktur Sosial.
3.
Inti Kajian
Nilai (Value), Aturan (Rule), dan norma (Norm).
Pada peran (Roles).
4.
Aspek Kajian
Perilaku, berupa pola-pola kelakuan, fungsi dari tata kelakuan, kebutuhan dll.
Struktur, seperti struktur kewenangan kekuasaan, hubungan kegiatan dengan tujuan dan pola kekuasaan.
5.
Waktu
Dalam proses perubahan dibutuhkan waktu yang lama.
Dalam proses perubahan relatif lebih cepat.
8
Uphoff, Norman.T. Local Institutional Development: An Analitycal Sourcebook with Cases.2002 dalam Aceng Hidayat. Modul Kelembagaan Ekonomi. (Institut Pertanian Bogor).
20
6.
Bentuk Perubahan
Sosial bersifat kultural.
Sosial Bersifat struktural.
7.
Sifat
Lebih abstrak dan dinamis.
Lebih visual dan statis.
Sumber: Syahyuti. Lembaga dan Organisasi Petani dalam Negara dan Pasar dalam www.shayuti’sblogspot.com
Uphopf mengklasifikasi institusi ke dalam tiga kelompok9, pertama institusi yang bukan organisasi. Sistem kepemilikan lahan (land tenure system), hukum, pernikahan, dan daya tawar kelompok (collective bargaining power) merupakan contoh dari institusi yang bukan organisasi. Kedua institusi yang organisasi, yaitu keluarga, mahkamah agung, dan bank nasional (seperti Bank Indonesia) dan ketiga hal sebaliknya yaitu (orgainasi juga institusi), dan organisasi yang bukan institusi. Contohnya yaitu bank daerah, perusahaan dan organisasi penyedia jasa konsultan merupakan contoh organisasi yang bukan institusi. Badan Kehormatan masuk ke dalam contoh yang ketiga yaitu, organisasi juga sebuah institusi. Sebagai sebuah organisasi BK terlihat dalam inti kajiannya, dan aspek kajian, yaitu perannya sebagai penegak kode etik DPR dan memiliki struktur. Sebagai sebuah lembaga, dapat dilihat dari waktu, bentuk perubahan dan sifat. Dari segi waktu pembentukkan BK dibutuhkan satu periode (1999-2004) untuk mengubahnya sebagai alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap. Organisasi dan institusi juga dapat dilihat dari derajat kekuatan dan kelemahannya. Sebuah organisasi dikatakan kuat (well organized) jika ia tertata dengan baik, produktif efisien, dan tangguh. Jika sebaliknya, maka ia diakatakan 9 Uphoff, Norman.T. Building Partnership with Rural Institutions in Developing Local Capacity for Agricultural R & D. In Capacity Development for Participatory Research. (International Potato Center. Los Banos, Philippines. 2002). 60.
21
organisasi yang lemah (less/weak organized). Demikian juga dengan intitusi dikatakan kuat (more institutionalized) jika dapat berjalan dengan baik, well enforeced, respected, dan effective. Dan, dikatakan institusi yang lemah, kurang melembaga (less institutioalized) jika menunjukan keadaan sebaliknya10. Berangkat dari teori inilah kita bisa melihat BK sebagai organisasi penegak etik anggota dewan. Berdasarkan beberapa teori yang dikemukan oleh ahli tersebut, penulis mencoba untuk melakukan sebuah penelitian yang berlandaskan pada teori dengan berupaya melakukan sinkronisasi hipotesis penulis terhadap teori-teori tersebut, terkhusus mengenai lembaga penegak etika seperti Badan Kehormatan DPR. B.
Teori Etika Politik Dalam tradisi pemikiran politik, etika dipahami sebagai sebuah refleksi
kritis dan rasional mengenai nilai dan norma moral yang menentukan dan terwujud dalam sikap dan pola perilaku hidup manusia, baik secara pribadi dan maupun secara kolektif11. Pada tataran yang lain, etika juga dipahami sebagai sebuah landasan normatif yang meliputi segala perbuatan yang timbul dari orang yang melakukannya, sehingga ia menyadari apa yang ia perbuat12.
10
Uphoff, Norman.T. Building Partnership with Rural Institutions in Developing Local Capacity for Agricultural R & D. In Capacity Development for Participatory Research. International Potato Center. Los Banos, Philippines. 2002 dalam Aceng Hidayat Modul Kelembagaan Ekonomi. IPB. 11 Burhanuddin Salam. Etika Sosial dan Asas Moral dalam Kehidupan Manusia. (Jakarta. PT Rineka Cipta. 2002). 1. 12 Neneng Nur Awaliah. Etika Politik: Pemikiran Komarrudin Hidayat. (Jakarta. 2012). 16.
22
Tujuan etika politik adalah mengarahkan kehidupan politik yang lebih baik, baik bersama dan untuk orang lain, dalam rangka membangun institusi-institusi politik yang adil. Etika politik membantu untuk menganalisa korelasi antara tindakan individual, tindakan kolektif, dan struktur-struktur politik yang ada. Penekanan adanya korelasi ini menghindarkan pemahaman etika politik yang diredusir menjadi hanya sekadar etika individual perilaku individu dalam bernegara. Dalam penulisan landasan teori mengenai etika politik penulis akan menjelaskan etika legislatif. B.1 Etika Legislatif Pelanggaran etika mayoritas terjadi di wilayah legislatif, karena di area politik tersebut banyak menyangkut kepentingan dari sekelompok orang maupun partai, meskipun seseorang atau kelompok partai memperjuangkan suatu kebenaran atau keadilan. Para legislator menghadapi konflik antara kewajiban demi kebaikkan orang-orang tertentu (kolega, partai) dan kewajiban demi kebaikkan publik atau konsituennya. Dibandingkan dengan para administrator dan pejabat eksekutif, para legislator menikmati lebih banyak independensi dari kolega mereka. Para legislator sama sekali tidak bisa membuat keputusan (UU) tanpa kerja sama kolega mereka. Hubungan mereka lebih kolegial daripada hubungan hirarkis yang biasa ada di eksekutif13. Masalah etika legislatif jauh berbeda dengan jenis etika yang berorientasi pada peran, yakni etika profesi. Khususnya hukum dan kedokteran. Salah satu perbedaannya adalah legislator tidak mengontrol orang untuk menjadi legislator, 13
Dennis Thompson. Etika Politik Pejabat Negara, ed: Terjemahan. (Jakarta. Yayasan obor Indonesia. 2002).141-140.
23
tidak mengatur pendidikan dan perizinan orang yang akan menjadi anggota legislatif pada peroide berikutnya. Berbeda dengan etika profesi seperti etika kedokteran yang menerapkan kode etik bagi tiap calon dokter. Dennis F Thompson14 dalam Political Ethics and Public Office yang dialih bahasakan menjadi Etika Politik Pejabat Negara menulis, setidak-tidaknya ada tiga pendekatan untuk mengetahui etika legislatif anggota dewan. Pertama, etika minimalis. Etika ini memerintahkan diharamkannya beberapa tindakan yang buruk, semisal korupsi, dengan membuat aturan internal objektif yang berlaku bagi anggota dewan. Contoh penerapan etika minimalis di tubuh dewan adalah dibentuknya aturan tata tertib dan kode etik yang diterbitkan di internal parlemen serta dibentuknya sebuah badan kehormatan. Kedua, etika fungsionalis. Thompson mencatat, etika fungsionalis menawarkan basis fungsional bagi para legislator. Etika tersebut mendefinisikan tugas bagi anggota dewan dalam lingkup fungsi mereka sebagai wakil rakyat. Anggota dewan mesti paham kenapa mereka dipilih dan untuk apa mereka duduk di kursi dewan perwakilan. Dalam pesta demokrasi yang baru saja digelar, potensi calon legislator maupun legislator yang mengalami gangguan jiwa lebih besar di banding periode sebelumnya. Penyebabnya, mereka masih mempersepsikan menjadi anggota legislatif sebagai suatu pekerjaan dan mata pencaharian. Anggota dewan belum mampu menempatkan diri bahwa menjadi legislator adalah amanah, bukan pekerjaan. Jika ditempatkan sebagai pekerjaan, tentunya mereka akan bekerja kepada siapa saja yang mampu bayar tinggi. Akibatnya, mudah sekali
14
Dennis Thompson. Etika Politik Pejabat Negara, ed: Terjemahan. 142.
24
uang haram korupsi yang berupa ”sumbangan”, ”bantuan”, atau apa pun namanya, masuk ke gedung dewan15. Ketiga, etika rasionalis. Fondasi rasional menyandarkan para legislator, setidaknya, harus bertugas pada prinsip-prinsip hakiki politik, seperti keadilan, kebebasan, atau kebaikan bersama (bonum commune). Berdasarkan pendekatan etika rasionalis, maka anggota legislatif diharamkan bertindak memperkaya diri dengan melawan hukum, baik atas nama kepentingan pribadi, golongan, maupun partainya. Ssaat anggota dewan telah duduk di kursi parlemen, maka tuan mereka bukan lagi partai, bukan pula petinggi partai, melainkan rakyat dan konstituen. Atas tiga pendekatan etika legislatif legislator tersebut, maka kebijakan untuk memberikan dana purna tugas atau uang pesangon wajib dikoreksi ulang periode kedepan dan selanjutnya diurungkan, khususnya di tengah kondisi rakyat yang masih serba sulit seperti sekarang. Hal ini penting dilakukan untuk tetap menjaga sikap etis anggota dewan. Meminimalisasi segala perilaku dan kebijakan yang tidak familiar di mata masyarakat16. Dalam dunia politik jadilah cerdik seperti ular namun etika menambahkan jadilah seperti merpati yang tulus. Immanuel Kant mengatakan bahwa ular dan merpati dapat hidup berdampingan dan selanjutnya bahwa merpatilah yang akan menang, namun seorang filsuf mengatakan lain “ular dan merpati akan berbaring bersama, tetapi merpati akan sulit untuk tidur”.
15
Hifidzi Alim. Merumuskan Etika Legislatif. Dalam www.suaramerdeka.com. Diakses pada 28 Mei 2013. 16 Hifidzi Alim. Merumuskan Etika Legislatif. Dalam www.suaramerdeka.com. Diakses pada 28 Mei 2013.
25
Etika legislatif mungkin jika tuntutan-tuntuannya diinterprestasikan dalam konteks proses legislator. Tuntutan-tuntuan itu membatasi perilaku legislator, tetapi tidak dengan cara mencegah mereka menjalankan peran mereka sebagai wakil rakyat17.
17
Dennis Thompson. Etika Politik Pejabat Negara, ed: Terjemahan. (Jakarta. Yayasan obor Indonesia. 2002).183.
26
BAB III BADAN KEHORMATAN DPR DALAM PARLEMEN INDONESIA PASCA REFORMASI (2004-2014) Semenjak bergulirnya UU No.22 Tahun 2003, Badan Kehormatan menjadi alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap. BK DPR bertugas menegakkan kode etik anggota dewan, pembentukan BK DPR merupakan tanggapan atas sorotan publik terhadap kinerja buruk sebagian anggota DPR. Pada bab ini penulis akan menjelaskan mengenai BK pasca ditetapkannya sebagai alat kelengkapan bersifat tetap DPR. Penulis mengajak pembaca untuk mengenal lebih jauh tentang BK. Dimulai dari latar belakang berdirinya BK, lalu mengenai tugas dan wewenang serta mengenai skema tata-beracara. Tidak lupa para pimpinan BK dari periode 2004 hingga sekarang dibahas pada bab ini. Pada bab ini juga akan Membahas mengenai perbedaan BK DPR dengan BK DPD dan BK DPRD. Serta mengulas mengenai kode etik DPR RI Tahun 2004 dan 2011. A.
Dasar Pembentukkan Badan Kehormatan DPR Pendirian BK didasarkan pada dua hal, yaitu dasar filosofis dan dasar
yuridis1. Pembentukkan BK sebagai alat kelengkapan tetap didasarkan pada akar filosofis, yaitu melihat etika politik sebagai dasar konseptual. Etika Politik merupakan ilmu yang fundamental untuk melihat gejala-gejala politik dari sisi moralitas. Sedangkan dasar yuridis yuridis kita dapat melihat pendekatan kelembagaan (khususnya BK) dalam lingkup tata hukum nasional.
1
Lihat www.bkwordpress.com dalam Konsideran Badan kehormatan . Diakses pada tanggal 20 Juni 2013.
27
A.1 Dasar Filosofis Adapun pertimbangan filosofis pertama yang menjadi dasar pembentukan BK dapat kita simak terlebih dahulu dalam bagian “Mengingat” huruf a UU No. 27 Tahun 2009 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD. “…bahwa untuk melaksanakan kedaulatan rakyat atas dasar kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam perumusyawaratan/perwakilan perlu diwujudkan lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, dan lembaga perwakilan daerah yang mampu mencerminkan nilainilai demokrasi serta dapat menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat termasuk kepentingan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara…” Bila kita simak bahasa konsideran2 UU Susduk, maka pembentukan BK nampak didasari suatu pemikiran tentang pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dipetik dari nilai-nilai Pancasila (baik sebagai norma dasar maupun ideologi terbuka). Antara “kedaulatan rakyat” dan “hikmat kebijaksanaan” menjadi dasar fundamental agar suatu institusi yang dibentuk dalam lembaga perwakilan rakyat seperti BK itu, dapat benar-benar menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat. Istilah “hikmat kebijaksanaan” memposisikan anggota BK DPR, serta BK lain di DPD dan DPRD agar menggunakan “hati nurani” sebagai fenomena moral. “Hikmat kebijaksanaan” merupakan upaya rasio agar segala keputusan manusia dapat diterima oleh sesamanya. Begitupun dengan “hati nurani” dan “kesadaran” itu merupakan tema penting dalam etika. Dalam hal ini, “hati nurani“ cenderung mempunyai aspek transenden yang melampaui diri kita, dan meletakkan kita sebagai ‘pendengar’ dari suara-suara transendennya. 2
Konsideran adalah istilah hukum yang memiliki pengertian menimbang. Menimbang arti dari suatu pembentukkan Undang-Undang.
28
Keberadaan BK mendorong penggunaan “hikmat kebijaksanaan” untuk menciptakan suatu shame culture dan guilt culture3. Artinya, anggota parlemen mempunyai rasa malu dan rasa bersalah bila perilakunya melanggar ketentuan dalam Kode Etik dan Tata Tertib. Pasca reformasi tuntutan untuk Rasa malu dan rasa bersalah itu muncul dalam kesadaran pribadi Anggota parlemen tanpa adanya suatu sanksi/hukuman dari BK maupun institusi peradilan. Dasar pembentukan BK mempunyai nuansa filosofis yang amat mendasar. Pembentukan BK meletakkan tanggung jawab dan kewajiban moral tentang pelaksanaan kedaulatan rakyat melalui hikmat kebijaksanaan dalam kinerjanya sebagai bagian dari lembaga perwakilan rakyat yang berfungsi untuk menegakkan martabat manusiawi anggota parlemen. Selain itu pembentukan BK meletakkan hubungan yang erat antara ,moral dan agama, serta moral dan politik, apabila kita melihat dari sumpah/janji anggota parlemen. Sebagai pendasarannya adalah Moralitas sebagai ciri khas manusia, dimana BK menilai seluruh perbuatan yang dilakukan Anggota Parlemen dalam cara pandang Moralitas.
A.2 Dasar Yuridis Ilmuwan Hukum Tata Negara, Jimly Ashiddiqie, dalam Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia4, menyatakan bahwa salah satu ciri penting dari good governance adalah prinsip the rule of law yang harus digandengkan pula sekaligus dengan the living ethics. Keduanya berjalan seiring dan sejalan secara
3
Mengutip dari www.bkwordpress.com/konsideranpembentukkanbk. Diakses pada 20 Juni 2013. 4 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, edisi revisi (Jakarta, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006).367-377.
29
fungsional dalam upaya membangun perikehidupan yang menerapkan prinsip good governance, baik dalam lapisan pemerintahan dan kenegaraan (suprastruktur) maupun dalam lapisan kemasyarakatan (infrastruktur). Ide pokok tentang the rule of law dan the living ethics adalah di samping membangun sistem hukum dan menegakkan hukum, kita juga harus membangun dan menegakkan sistem etika dalam kehidupan keorganisasian warga masyarakat dan warga negara. Dengan demikian, tidak semua persoalan harus ditangani oleh dan secara hukum. Yang menarik dari pemikiran Jimly Ashiddiqie adalah sebelum segala sesuatu bersangkutan dengan hukum, sistem etika sudah lebih dulu menanganinya, sehingga diharapkan beban sistem hukum tidak terlalu berat. Jika etika tegak dan berfungsi baik maka mudah diharapkan bahwa hukum juga dapat ditegakkan semestinya. Sebagai positive ethics yang berperan penting sebagai pendamping positive law dalam arti sebagai perangkat norma aturan yang diberlakukan secara resmi dalam satu ruang dan waktu tertentu. Jika etika positif dapat ditegakkan, maka etika publik pada umumnya dapat diharapkan tumbuh sebagai living ethics atau sebagai etika yang hidup dan berfungsi sebagaimana mestinya. Untuk itulah dibuat kode etik. Kode etik adalah ide-ide besar negara hukum yang dilandasi basis etika dan hidup secara berdampingan dengan perilaku sehari-hari. Beranjak dari ketentuan yang lebih umum yaitu Ketetapan MPR No. VI/MPR/2001 tentang “Etika
Kehidupan
30
Berbangsa”,
Jimly
Ashiddiqie
mengusulkan agar terdapat pengaturan operasional yang menyeluruh5. Utamanya, dalam upaya membangun sistem etika di tingkat supra-struktur maupun di tingkat infrastruktur. Ketetapan MPR tersebut diacu untuk menyusun sistem kode etik dan pemberlakuannya secara umum melalui suatu Undang-Undang yang mengatur tentang ketentuan pokok etika dalam kehidupan berbangsa. UndangUndang inilah nanti yang akan memayungi semua ketentuan tentang etika, kode etik, dan komisi etik yang diatur dalam berbagai Undang-Undang lain yang terkait. Keseluruhan
sistem
etika
itu
dinamakan
oleh Jimly
Ashiddiqie
sebagai positive ethics yang berperan penting sebagai pendamping positive law dalam arti sebagai perangkat norma aturan yang diberlakukan secara resmi dalam satu ruang dan waktu tertentu. Jika etika positif dapat ditegakkan, maka etika publik pada umumnya dapat diharapkan tumbuh sebagai living ethics atau sebagai etika yang hidup dan berfungsi sebagaimana mestinya. Ide-ide besar negara hukum tidak akan tegak tanpa dilandasi basis etika yang hidup secara fungsional dan terwujud dalam perilaku sehari-hari. Pandangan seperti ini meletakkan keberadaan Kode Etik DPR RI sebagai infrastruktur sistem kode etik positif yang merupakan ciri khas sistem hukum Indonesia pasca reformasi. Kode Etik DPR RI dipahami sebagai salah satu bagian infrastruktur sistem kode etik positif, karena masih banyak kode etik positif pada lembaga-lembaga publik lainnya.
5
Mengutip dari www.bkwordpress.com/konsideranpembentukkanbk. Diakses pada 20 Juni 2013.
31
Kehadiran BK sebagai lembaga penegak etik adalah salah satu jawaban dari living ethics. Adanya BK di parlemen belumlah cukup kuat pelaksanaan etika terapannya, bila tidak didukung oleh lembaga etik di pemerintahan dan alat negara lainnya. Maraknya pembentukan lembaga etik di seluruh lembaga negara amat berarti sebagai elemen pendukung etika terapan di bidang politik. Dengan demikian, konsideran pembentukan BK baik antara konsideran filosofis dan yuridis masih memerlukan penyempurnaan dalam hal pelaksanaan, refleksi konseptual, dan uji validitas terhadap berbagai aturan hukum positif. Tak terkecuali, Kode Etik DPR RI dan DPRD pun membutuhkan kritik agar terdapat acuan moralitas yang berjalan sesuai perkembangan ketatanegaraan dan kehidupan politik yang lebih matang. B.
Tugas dan Wewenang BK Serta Skema Tata-Beracara BK
Semua hal mengenai Badan Kehormatan diatur sepenuhnya dalam UU No.27 Tahun 2009 mengenai SUSDUK dalam pasal 123-129 dan Peraturan DPR RI No.2 Tahun 2011 mengenai Skema Tata-Beracara BK DPR.
B.1 Tugas dan Wewenang BK
Berdasarkan pasal 127 ayat (1) dan (2), BK bertugas melakukan penyelidikan & Verifikasi terhadap pengaduan atau peristiwa yang diduga dilakukan oleh anggota DPR sebagai suatu pelanggaran kode etik, karena 6:
a. tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam undang-undang;
6
Tertulis dalam pasal 2 ayat (1).
32
b. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai Anggota DPR RI selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa alasan yang sah7; c. tidak menghadiri Rapat Paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPR RI yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah dan jelas; d. tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon Anggota DPR RI sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD; dan/atau e. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, Tata Tertib dan Kode Etik.
Tugas Kedua Badan Kehormatan yaitu menetapkan keputusan hasil penyelidikan dan verifikasi. Sebelum mengambil keputusan, seluruh hasil Sidang maupun Rapat Badan Kehormatan diverifikasi dan hasilnya ditulis dalam lembar keputusan. Isi putusan adalah terbukti atau tidaknya suatu pelanggaran, disertai dengan pemberian sanksi atau rehabilitasi. BK DPR juga melakukan evaluasi dan penyempurnaan DPR tentang kode etik. Berdasarkan pasal 127 ayat (3) UU no.27 tahun 2009 wewenang BK DPR RI adalah memanggil pihak yang terkait, memangil teradu dan pengadu serta melakukan kerja sama dengan lembaga negara lain, seperti KPK, Kejaksaan dan Kepolisian. Hal tersebut diperlukan agar Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dalam menjalankan tugas dan fungsinya tetap konsisten mematuhi Kode Etik demi menjaga citra, martabat, kehormatan, dan kredibilitas Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. 7
Pasal 2 ayat 2 dalam Peraturan DPR RI no.2 tahun 2011. Kehadiran sebagaimana dimaksud adalah kehadiran fisik Anggota DPR RI yang dibuktikan secara administratif melalui tanda tangan daftar hadir.
33
B.2 Skema Tata-Beracara BK DPR
Untuk Tata-Beracara BK DPR diatur sepenuhnya dalam peraturan DPR RI No.2 Tahun 2011 mengenai Tata-Beracara Badan Kehormatan DPR. Untuk mengetahui lebih jelas skema tata-beracara BK DPR Berikut penulis tampilkan visualisasi skema tata-beracara BK DPR RI. Gambar 3.1 Visualisasi skema tata-beracara BK DPR
Sumber: Buku Panduan Kode Etik Anggota Dewan Tahun 2011
Mekanisme pengaduan dan tata cara pengaduan ke BK diatur dalam Pasal 6 sampai pasal 11 Tata beracara pelaksanaan tugas dan wewenang Badan kehormatan DPR. Penulis jelaskan sebagai berikut: 1.
Pengaduan Pengaduan kepada BK disampaikan pimpinan DPR, masyarakat dan/atau
pemilih. Dalam hal pengaduan disampaikan oleh pimpinan DPR kepada BK berupa dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota DPR, berasal
34
dari masyarakat, anggota DPR dan/atau perkembangan yang telah diketahui secara luas dalam masyarakat melalui media. Pengaduan disampaikan kepada sekretariat BK secara tertulis dan dilengkapi identitas yang sah dalam pasal 4 ayat (3) yaitu: a. nama lengkap; b. tempat tanggal lahir/umur; c. jenis kelamin; d. pekerjaan; e. kewarganegaraan; dan f. alamat lengkap/domisili.
2.
Verifikasi Sekretariat BK DPR kemudian melakukan verifikasi terhadap unsur
administrasi dan materi aduan dengan dibantu tenaga ahli. Sekretariat BK melakukan verifikasi terhadap unsur administratif, sedangkan tenaga ahli melakukan verifikasi terhadap unsur materi pengaduan. Dalam pasal 8 ayat (5) dan (6) Pengaduan telah dinyatakan lengkap secara administratif dan memenuhi ketentuan Tata Tertib, Kode Etik dan Tata Beracara maka, Pengaduan diterima oleh Sekretariat dan kepada Pengadu diberikan surat tanda penerimaan Pengaduan dan selanjutnya diajukan dalam Rapat Badan Kehormatan. Dalam hal Pengaduan belum
lengkap,
Sekretariat
memberitahukan
kepada
pengadu
tentang
kekuranglengkapan pengaduan, dan pengadu diminta melengkapi pengaduan dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya surat pemberitahuan kekuranglengkapan pengaduan. Pasal 9 menyatakan, pengaduan dinyatakan gugur apabila teradu meninggal dunia, telah mengundurkan diri dan recall (ditarik) oleh partai.
35
3.
Penyelidikan Setelah semua pengaduan diverifikasi oleh sekretarian BK dan tenaga ahli
BK selanjutnya melakukan penyelidikkan. Dalam hal ini BK memanggil pengadu dan teradu. Penyelidikan dilakukan guna mencari kebenaran dari suatu pengaduan atau kebenaran Alat Bukti yang didapatkan dalam Sidang BK. Namun, yang amat disayangkan dalam hal penyelidikan adalah BK merahasiakan materi pengaduan dan verifikasi pengaduan sampai perkara diputuskan. 4.
Rapat BK BK dalam rapat dan sidang perkara bisa dilakukan baik didalam maupun di
luar lingkungan parlemen. BK memutuskan untuk menindaklanjuti, atau tidak menindaklanjuti pengaduan berdasarkan kelengkapan data atau bukti-bukti pengaduan. Selain memutuskan untuk menindaklanjuti pengaduan berdasarkan kelengkapan data atau bukti-bukti pengaduan, BK dapat menindaklanjuti atau tidak
menindaklanjuti
pelanggaran
yang
tidak
memerlukan
pengaduan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. 5.
Keputusan Dalam Pasal 34 ayat (1), Rapat BK untuk mengambil keputusan dihadiri
oleh lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota BK dan terdiri atas lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah Fraksi pada BK.
Ayat (2) berbicara dalam hal jumlah
anggota BK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memenuhi kuorum, rapat ditunda paling banyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu masing-masing tidak lebih dari 24 (dua puluh empat) jam. Lalu ayat (3) menjelaskan Setelah 2 (dua)
36
kali penundaan, kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum juga tercapai, cara penyelesaian kuorum diserahkan kepada Pimpinan DPR RI. Inilah point minus dalam peraturan DPR No. 2 tahun 2011 mengenai Tata-Beracara BK DPR Peraturan tata beracara BK masih membiarkan adanya kedudukan dan wewenang yang kuat dari Pimpinan DPR dalam kerja BK terutama dalam memproses pengaduan. Definisi pengaduan hanya ditujukan kepada pelanggaran yang dilakukan oleh anggota DPR (Pasal 1 angka 8). Di sisi lain, definisi antara Pimpinan dan Anggota DPR dibuat terpisah (perhatikan ketentuan Pasal 1 angka 2 dan angka 6).
C.
Komposisi Pimpinan BK DPR
C.1 Sejarah Terbentuknya Komposisi Anggota Badan Kehormatan DPR UU No.22 Tahun 2003 mengenai SUSDUK yang terdahulu pada pasal 56 ayat (2) Peraturan Tata Tertib DPR RI menyatakan bahwa anggota BK berjumlah 13 orang. Sesuai ketentuan Peraturan Tata Tertib tersebut komposisi Fraksi-Fraksi dalam keanggotaan BK dihitung dengan rumus sebagai berikut: Jumlah Anggota Fraksi
X
Jumlah Angggota BK (13 orang)
Jumlah Anggota DPR (550 orang)
Jadi secara keseluruhan komposisi Fraksi-Fraksi dalam keanggotan BK pada periode 2004-2009 disepakati sebagai berikut:
37
Tabel 3.1 Komposisi Keanggotaan BK DPR Periode 2004-2009 No.
Fraksi
Rumus
Hasil Sebenarnya
Pembulatan
1.
F-PG
(129-1):550x13
3,03
3
2.
F-PDIP
(109-1):550x13
2,55
2
3.
F-PPP
58:550x13
1,37
1
4.
F-PD
57:550x13
1,35
1
5.
F-PAN
53:550x13
1,25
1
6.
F- PKB
(52-1):55x13
1,21
1
7.
F-PKS
45:550x13
1,06
1
8.
F-PBB
20:550x13
0,47
1
9.
F-PBR
(14-1):550x13
0,31
1
10.
F-PDS
13:550x13
0,31
1 13
Jumlah Sumber: Laporan Kinerja BK DPR Periode 2004-2009 Tahun Pertama.
Dari perhitungan tersebut semula hanya tujuh Fraksi yang terwakili keanggotaannya pada Badan Kehormatan dengan jumlah kesuluruhannya sebelas orang, sehingga ada kekurangan dua orang lagi, sedangkan Fraksi yang belum terwakili ada tiga Fraksi yaitu F-BPD, F-PBR dan F-PDS. Untuk mengatasi kekurangan tersebut F-PDIP telah memberikan satu keanggotaannya, sehingga posisi Fraksi Golkar didalam BK hanya memiliki dua keanggotaan. Dengan demikian seluruh Fraksi-Fraksi yang berada dalam parlemen terwakili keanggotaannya didalam Badan Kehormatan DPR periode 2004-2009.
38
C.2
Pimpinan Badan Kehormatan DPR
a.
Periode 2004-2009 Sesuai ketentuan pada Tartib DPR pasal 57 ayat (1) dan (2), pimpinan BK
terdiri dari satu orang ketua dan dua orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota BK berdasarkan keputusan rapat Badan Kehormatan DPR. Berikut komposisi pimpinan BK DPR periode 2004-2009. Tabel 3.2 Komposisi Pimpinan Badan Kehormatan Periode 2004-2009
No. 1.
2.
Jabatan Ketua
Wakil Ketua 1
Nama
Fraksi
Keterangan
Drs. H. Slamet Yusuf effendi, M.si
F- PG
Menjabat dari 29 Oktober 2004 sampai 23 Agustus 2007.
Drs. H.M Irsyad Sudiro M,Si
F-PG
Menjabat selama sisa periode.
F-PDIP
Menjabat pada Tahun pertama.
Drs. Soewarno
39
3.
Wakil Ketua 2
Ir. Soetjipto (Alm)
F-PDIP
Menjabat pada Tahun ketiga
Permadi, SH.
F-PDIP
Hanya Menjabat selama 3 Bulan pada tahun ke 3.
Prof.Dr.T. Gayus Lumbuun, SH, MH
F-PDIP
Menjabat selama tahun ke 5.
Tiurlan Basaria Hutagoul, S.Th, MA.
F-PDS
Menjabat penuh selama periode. Tidak pernah digantikan oleh Fraksi.
Sumber: laporan Kinerja DPR RI Periode 2004-2009
Pada periode 2004-2009 komposisi pimpinan dipegang oleh pemenang kursi di parlemen yaitu Partai Golkar. Sedangkan untuk wakil ketua BK, berdasarkan musyawarah dipilihlah dari Fraksi PDIP dan PDS. Dalam menjalankan tugasnya, BK DPR telah beberapa kali mengalami pergantian pimpinan, yaitu wakil ketua BK DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Drs. Soewarno digantikan oleh Bapak permadi SH dan digantikan lagi oleh Prof. Dr. Gayus Lumbuun, SH, MH. Hanya ada satu
40
perwakilan perempuan dalam Komposisi pimpinan BK periode 2004-2009 yaitu Tiurlan Basaria Hutagoul dari Fraksi PDS. b.
Periode 2009-2014 Berdasarkan UU No. 27 Tahun 2009 dalam pasal 124 ayat 2 diatur
mengenai pimpinan Badan Kehormatan DPR yang terdiri dari 1 ketua dan 2 wakil ketua yang dipilih berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan memperhatikan jumlah anggota tiap-tiap Fraksi. Pemilihan pimpinan Badan Kehormatan dilakukan dalam rapat Badan Kehormatan Tabel 3.3 Komposisi Pimpinan Badan Kehormatan Periode 2009-2014 No.
Jabatan
Nama
Fraksi
Keterangan
1.
Ketua
Prof.Dr.T. Gayus Lumbuun, SH, MH
F-PDIP
Menjabat selama 1 tahun. Diberhentikan oleh Fraksi karena konflik Internal BK DPR Tahun 2010.
H.Tri Tamtomo, SH.
F-PDIP
Hanya menjabat selama tiga bulan lalu dighantikan kembali oleh Gayus Lumbuun.
Dr. M. Prakosa
F-PDIP
Menjabat selama 2 tahun menggantikan Gayus Lumbuun dari Fraksi yang sama.
41
Trimedya Panjaitan, Sh, MH.
F-PDIP
Ketua BK yang baru. Baru Menjabat selama 4 bulan dari bulan Maret 2013.
2.
Wakil Ketua 1.
H. Abdul Wahab Dalimuntthe, SH
F-PD
Wakil ketua BK 1 dari Fraksi Demokrat yang tidak pernah digantikan oleh Fraksi.
3.
Wakil Ketua 2.
Chairumman Harahap, SH, MH.
F-PG
Hanya Menjabat pada tahun pertama periode 2009-20014.
Nudirman Munir, SH, MH.
F-PG
Menjabat selama 2 Tahun (2010-2012)
Dr.(Hc) Ir. Siswono Yudo Husodo.
F-PG
Menjabat dari tahun 2012 sampai sekarang.
Sumber: Buku laporan Kinerja BK DPR Periode 2009-2014 Tahun Pertama serta website dpr.go.id/badan-kehormatan/pimpinan.
42
Dominasi Fraksi cukup kuat di tubuh keanggotaan BK DPR, dalam UU No.27 Tahun 2009 Pasal 124, yaitu pengangkatan anggota BK DPR dipilih dan dapat diganti sewaku-waktu oleh Fraksi. Dengan merujuk pada pasal tersebut anggota BK silih berganti tiap tahunya yang menyebabkan banyaknya anggota BK yang keluar masuk dalam keanggotaan oleh Fraksi. D.
Perbedaan BK DPR , BK DPD dan BK DPRD Badan Kehormatan adalah lembaga penegak etika khusus bidang legislatif.
Badan Kehormatan dibentuk guna menjaga martabat dan moral anggota dewan. BK adalah badan kelengkapan yang tugasnya menegakkan kode etik anggota dewan. BK
ada dan dibentuk dalam suatu lembaga permusyawaratan rakyat (BK MPR), lembaga perwakilan rakyat (BK DPR), dan lembaga perwakilan daerah (BK DPD atau BK DPRD). Bila kita simak bahasa konsideran UU Susduk, maka pembentukan BK nampak didasari suatu pemikiran tentang pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dipetik dari nilai-nilai Pancasila. Badan Kehormatan dibentuk sebagai alat kelengkapan tetap didalam Dewan perwakilan Rakyat (DPR) dan juga sebagai alat kelengkapan tetap di Dewan perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) begitupun di Dewan perwakilan Daerah (DPD). Pada intinya pembentukan Badan Kehormatan ditiga lembaga tersebut sama, untuk menjaga martabat dan kode etik anggota dewan. Beberapa hal ada perbedaan namun ada juga persamaan pada tiap BK. Berikut tabel perbedaan BK DPR, DPD dan DPRD.
43
Tabel 3.4 Perbedaan BK DPR, BK DPD dan BK DPRD No
Materi Perbedaan
BK
BK
BK
DPR
DPD
DPRD
1.
Legalitas hukum
UU No. 27 tahun 2009
Keputusan DPD No. 29 Tahun 2005
PP No. 16 Tahun 2010
2.
Tugas
Penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan.
melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan terhadap Anggota. (pasal 37)
:memantau dan mengevaluasi disiplin dan/atau kepatuhan terhadap moral, kode etik DPRD. (pasal 57).
(dalam pasal 127, Per DPR no.2 tahun 2011) 3.
Wewenang
Memanggil teradu dan diadu. (pasal 127).
Memanggil teradu dan diadu. (pasal 37 ayat 4).
Memanggil teradu dan diadu dan meminta keterangan saksi dan bukti. (pasal 58)
4.
Jumlah anggota
Berjumlah 11 (sebelas) orang. Dengan memperhatikan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap Fraksi.
Keanggotaan Badan Kehormatan terdiri atas sebanyakbanyaknya 32 (tiga puluh dua) orang Anggota yang mencerminkan keterwakilan setiap provinsi.
Untuk DPRD Provisnsi yg berjumlah 75-100 orang. Anggota Bk terdiri dari 5-7.
dan Komposisi.
(UU No. 27 Tahun 2009, Pasal 124).
(pasal 35).
U/ DPRD Kab atau kota yg anggota y berjumlah 34-50, anggota BK terdiri dari 3-5 orang. (pasal 56)
5.
Pemilihan Pimpinan BK
Pemimpin terdiri dari satu orang dan wakil dua orang. Dipilih berdasarkan musyawarah dan mufakat dan proposional dengan memperhatikan koposisi perempuan menurut perimbangan menurut jumlah Fraksi.
Pimpinan Badan Kehormatan terdiri atas seorang ketua dan 2 (dua) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh Anggota Badan Kehormatan dalam Rapat Badan Kehormatan yang dipimpin oleh Pimpinan DPD. (pasal 36).
(pasal 125)
44
Pimpinan Badan Kehormatan terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 1 (satu) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota Badan Kehormatan. (pasal 56).
6.
7.
Masa Jabatan.
Sifat Rapat.
Tidak ada penjelasan mengenai pergantian anggota dewan. Fraksi berkuasa untuk mengganti anggotanya di BK.
Masa jabatan Pimpinan Badan Kehormatan selama 1 (satu) tahun sidang dan sesudahnya dapat dipilih kembali. (pasal 36).
Masa tugas anggota Badan Kehormatan paling lama 2½ (dua setengah) tahun.
Tartib DPR tahun 2011 dalam pasal 15.
Tertutup.
Tertutup dan Rahasia.
(pasal 56 ayat 8)
(pasal 37 ayat 2) Bersifat Tertutup 8.
Sanksi.
Tartib DPR tahun 2011 dalam pasal 38. Sanksi berupa teguran, pemberhentian sementara hingga pemberhentian dari anggota DPR. Pimpinan BK, meneruskan putusan ke-ketua Fraksi lalu diputuskan oleh pimpinan DPR.
Sanksi berupa teguran, pemberhentian sementara hingga pemberhentian dari anggota DPD.
Sanksi berupa teguran, pemberhentian sementara hingga pemberhentian dari anggota DPRD
Pimpinan BK melaporkan ke Pimpinan DPD, lalu Pimpinan DPD meminta Presiden meresmikan pemberhentian anggota DPD.
Pimpinan meneruskan putusan/rekomendasi ke gubernur dan mendagri. (Pasal 59)
Pasal 39. 9.
Tata-Beracara
1.Pengaduan (bisa dr pimpinan DPR atau masyarakat) 2.Ke sekretariat BK (verifikasi administrasi dan materi aduan), 3. Ke Rapat BK (BK memanggil pengadu dan teradu), 4. Hasil penyelidikkan disampaikan ke pimpinan DPR.
1.Pengaduan. (Pimpinan DPD menyampaikan ke BK). 2.Anggota BK (penyelidikan, verifikasi, dan klarifikasi.) 3. Ke Rapat BK (Menentukan hasil dan hasil disampaikan kepada Pimpinan DPD) 4. Sanksi diberikan BK dan dilaporkan ke rapat paripurna DPD
(pasal 6- 11 Tata Beracara BK DPR)
(pasal 38-39)
1.Pengaduan. (Pimpinan DPRD menyampaikan ke BK paling lama 7 hari kerja terhitung sejak tanggal pengaduan diterima). 2.Anggota BK (penyelidikan, verifikasi, dan klarifikasi.) 3. Ke Rapat BK (Menentukan hasil dan hasil disampaikan kepada Pimpinan DPRD dan Fraksi politik) 4. Sanksi diberikan BK dan dilaporkan ke rapat paripurna DPRD. (pasal 60-62)
Sumber: Peraturan DPR no.2 Tahun 2011, Kep DPD no.29 Tahun 2005 dan PP no.16 Tahun 2010.
45
Perbedaan BK DPR, DPD dan DPRD, dapat dilihat baik dari Jumlah anggota, komposisi anggota, pemilihan pimpinan hingga tata beracara. Dilihat dari pemilihan pimpinan BK dan komposisi anggota, kekuatan Fraksi politik terlihat jelas. Keanggotaan BK harus berdasarakan komposisi Fraksi. Hal lain yang dimana Fraksi begitu dominan dalam tata beracara BK adalah dalam hal pengaduan. Pada BK DPD dan DPRD pengaduan dari masyarakat harus melalui pimpinan DPD dan DPRD, berbeda dengan BK DPR, bila ada pengaduan dari masyarakat, pengaduan itu disampaikan langsung kesekretariat BK. Kesamaan yang sama pada tiga Badan kehormatan ditiap lembaga adalah sifat rapat yang tertutup. Padahal UU No.14 Tahun 2008 mengenai Keterbukaan Informasi Publik dijelaskan bahwa segala sesuatu informasi yang berkaitan dengan publik, maka publik berhak untuk mendapatkan informasi yang dipinta. DPR, DPD dan DPRD adalah lembaga negara yang anggotanya dipilih langsung oleh rakyat (publik), jadi segala sesuatu yang berkaitan dengan anggota yang terpilih publik berhak untuk tahu. Banyak pihak, termasuk elemen masyarakat sangat berharap banyak akan Badan Kehormatan. Hanya saja, kewenangan yang besar Badan Kehormatan ternyata belum mampu memberikan sanksi yang optimal bagi pelanggaran kode etik dan Tata Tertib. Hal inilah yang membuat BK DPR terlihat tidak cukup optimal dan efektif dalam melaksanakan tugasnya. Di sisi yang lain, adanya Badan Kehormatan dan kerja-kerja yang dilakukan selama ini dalam menegakan kode etik belum dapat menimbulkan efek jera bagi anggota dewan yang nakal.
46
E.
Kode Etik DPR RI Tahun 2004 dan 2011 Sebagai positive ethics yang berperan penting sebagai pendamping positive
law dalam arti sebagai perangkat norma aturan yang diberlakukan secara resmi dalam satu ruang dan waktu tertentu. Jika etika positif dapat ditegakkan, maka etika publik pada umumnya dapat diharapkan tumbuh sebagai living ethics atau sebagai etika yang hidup dan berfungsi sebagaimana mestinya. Untuk itulah dibuat kode etik. Kode etik adalah ide-ide besar negara hukum yang dilandasi basis etika dan hidup secara berdampingan dengan perilaku sehari-hari. Kode etik yang berjalan dengan baik berarti mencerminkan nilai moral Anggota DPR-RI pada saat ini dan masa depan. Norma-norma atau aturan-aturan yang merupakan kesatuan landasan etik atau filosofis dengan peraturan perilaku maupun ucapan mengenai hal-hal yang diwajibkan, dilarang, atau tidak patut dilakukan oleh Anggota. Usai UU Susduk disahkan tahun 2003, tak lama kemudian pada tahun 2004, kode etik DPR-RI disahkan sebagai keputusan DPRRI. Kode etik merupakan amanat Pasal 105 UU Susduk. Terbitnya naskah kode etik menandakan era baru politik reformasi dengan menggunakan moral sebagai cara berpikir dan berperilaku. Batasan-batasan kode etik di Indonesia diatur secara objektif dalam UU Susduk dan Tatib DPR-RI. Pelaksanaannya bersumber pada subjektivitas kesadaran etis tiap Anggota. Badan Kehormatan menilai perilaku Anggota berdasarkan batasan objektif dalam kode etik. Kode etik telah “menunjuk” perilaku mana yang etis atau tidak. UU Susduk telah “mengatur” perilaku mana yang benar atau salah.
47
Kode etik bersifat mengikat dan wajib dipatuhi Anggota DPR-RI selama di dalam maupun di luar gedung, demi menjaga martabat, kehormatan, citra dan kredibilitas DPR-RI. Saat ini, kode etik DPR-RI masih berbentuk Keputusan DPR-RI, yang menjaga martabat DPR-RI bukanlah lembaga semacam Badan Kehormatan, tapi kode etik itu sendiri. Ini berarti kode etik adalah produk yang amat penting dan bahkan kode etik menjadi perisai pelindung DPR-RI. Kode etik bertujuan membantu Anggota DPR-RI dalam melaksanakan setiap wewenang, tugas, kewajiban dan tanggung jawabnya kepada negara, masyarakat dan konstituen. Kode etik membantu kinerja Anggota DPR-RI yang berada dalam Badan Kehormatan guna memantau perilaku politik yang etis, melalui wewenang tugas, kewajiban dan tanggung jawabnya. Materi Kode etik berisikan kepribadian dan tanggung jawab anggota, penyampaian pernyataan, ketentuan dalam rapat dan perjalanan dinas. Lalu, materi tentang kekayaan, imbalan dan pemberian hadiah. Konflik kepentingan dan perangkapan jabatan. Materi tentang kerahasiaan negara, hubungan dengan mitra kerja serta sanksi dan rehabilitasi. Pasca reformasi Kode Etik DPR telah mengalami tiga kali perubahan, yaitu pada tahun 1999, 2004 dan yang terbaru 2011. Bahkan untuk kode etik yang terbaru, anggota BK melakukan studi banding ke Yunani. ICW dan PSHK dalam Pertemuan dengar pendapat dengan BK DPR mengatakan bahwa kode etik terbaru ini tidak ada perubahan yang signifikan serta tidak visioner. perubahan yang muncul kurang signifikan, bahkan cenderung menonjolkan aturan tentang
48
larangan ketempat perjudian dan pelacuran sebagai "terobosan". Berikut materi dan isi yang terkandung dalam kode etik serta perubahannya. Tabel 3.5 Perubahan kode etik DPR RI No.
Materi perubahan
1.
Sub-bab Materi
2.
Konflik kepentingan
3.
4.
Absensi Dewan
Anggota
Pengawasan perilaku anggota dewan
Kode Etik DPR Tahun 2004 Terdiri dari 11 bab dan 20 pasal.
Kode Etik DPR Tahun 2011 Terdiri dari 6 bab dan 11 pasal.
Terdapat dalam bab tersendiri Bab VII, Pasal 12 13 dan 14.
Tidak dalam bab tersendiri, dalam pasal 12. (Mengalami Kemunduran pd kode etik sebelumnya).
(Relatif detail, dan siapapun yang membacanya dapat memperkirakan bagaimana implementasinya, dalam artian anggota DPR lebih terbantu menempatkan diri lepas dan tidak terperangkap dalam konflik kepentingan). Dalam Bab 4 ketentuan dalam rapat pasal 6.
Dalam bagian ketujuh pasal 9 ayat 3.
“Ketidakhadiran Anggota secara fisik sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dalam rapat sejenis, tanpa ijin dari Pimpinan Fraksi, merupakan suatu pelanggaran kode etik”.
“Anggota DPR RI yang tidak menghadiri secara fisik Rapat Paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPR RI yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah dan jelas, dianggap melanggar prinsip kejujuran dan kedisiplinan”.
Tidak terdapat peraturan anggota dewan dalam berprilaku diluar parlemen.
Terdapat dalam bagian integritas pasal 3 ayat 6
49
“Anggota DPR RI dilarang memasuki tempat-tempat yang dipandang tidak pantas secara etika, moral, dan norma yang berlaku umum di masyarakat, seperti tempat pelacuran dan perjudian, kecuali untuk kepentingan tugasnya sebagai Anggota DPR RI”.
5.
Hubungan Mitra kerja
Dalam bab Hubungan dengan mitra kerja dan embaga diluar parlemen. Tidak menjelaskan mengenai peraturan tentang gratfikasi dari pihak luar parlemen
6.
Usulan perubahan Kode etik
Dalam Bab Ketentuan penutup pasal 20. “Usul perubahan Kode DPR RI dapat diajukan sekurang-kurangnya 13 belas) orang Anggota Badan Legislasi”.
Etik oleh (tiga atau
Dalam bagaian Objektifitas, pasal 4 ayat 4. “Anggota DPR RI tidak diperkenankan melakukan hubungan dengan Mitra Kerjanya dengan maksud meminta atau menerima gratifikasi, atau hadiah untuk kepentingan atau keuntungan pribadi, Keluarga, dan/atau golongan”. Dalam bab III perubahan kode etik. Usul perubahan Kode Etik dapat diajukan oleh sekurang-kurangnya 9 (sembilan) orang Anggota DPR RI atau alat kelengkapan DPR RI.
Sumber: Kode etik tahun 2004 dan 2011.
Banyak perbedaan dan perubahan dari kode etik, dari segi sub materi kode etik tahun 2004 lebih banyak mencantumkan bab dan jelas dalam ketentuan babnya berbeda dengan kode etik tahun 2011. Materi konflik kepentingan patut menjadi perhatian dan prioritas BK karena jika kita menyoroti prakteknya yang belakangan makin menjadi-jadi. Terbukti, meskipun sudah ada kode etik anggota DPR khususnya yang ditujukan untuk menghindari konflik kepentingan, namun masih sering didapatkan berbagai pelanggaran. Pernah terjadi tindakan seorang anggota DPR yang berstatus sebagai tersangka kasus korupsi, memperbincangkan kasus yang dialaminya pada saat (forum) rapat kerja dengan salah satu mitra, yang kebetulan berasal dari Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bahkan tanpa rasa malu sedikitpun, anggota DPR tersebut menyampaikan berkas perkaranya kepada Jaksa Agung pada saat rapat kerja Komisi (di saat yang
50
bersangkutan sebagai salah satu anggota Komisi 3 tersebut). Pernyataan anggota lainnya (masih dari Komisi yang sama) mempersoalkan tindakan KPK yang menetapkan si anggota DPR tersebut sebagai tersangka. Padahal, kedudukan yang bersangkutan sebagai anggota DPR (duduk di Komisi yang bermitra dengan Kejaksaan Agung dan KPK) tidak boleh digunakan untuk mempengaruhi proses peradilan8.
8
Mengutip dari Laporan dan Masukan ICW dan PSHK terhadap Rancangan Kode Etik DPR (Disampaikan pada Pertemuan dengan Pimpinan dan Sekretariat BK DPR).
51
BAB IV DILEMA BADAN KEHORMATAN DPR DALAM PENANGANAN KASUS VIDEO PORNOGRAFI KAROLINA MARGARET NATASA DAN KASUS UPAYA PEMERASAN BUMN
Pembentukkan Badan Kehormatan DPR sebagai alat kelengkapan tetap berdasarkan UU No. 22 Tahun 2003 (mengenai Susunan dan Kedudukan) yang kemudian direvisi kembali pada UU No. 27 Tahun 2009 merupakan jawaban atas pertanggungjawaban moral anggota DPR. Tugasnya dalam menegakkan kode etik DPR membuat masyarakat menilai positif akan kemajuan dari lembaga perwakilan tersebut dalam segi moral dan etika. Pada periode 1999-2004 Badan Kehormatan masih bersifat sementara (ad hoc) dan bernama Dewan Kehormatan (DK). Dalam sejarah politik parlemen, Dewan Kehormatan tidak pernah terbentuk secara resmi guna penanganan dugaan pelanggaran Kode Etik. Tidak ada satu pun kasus yang diperkarakan oleh Dewan Kehormatan. Sepanjang berdirinya BK, telah banyak pengaduan yang masuk mengenai hal pelanggaran kode etik, mulai dari percaloan anggaran, kasus asusila dan pemerasan. Telah banyak kasus yang BK usut hingga selesai. Namun, banyak pula kasus yang “mengambang” kejelasan akhirnya. BK mengalami dilema dalam menyidangkan kasus pelanggaran etik. Kehadiran BK seperti buah simalakama, saat yang sama BK bertugas menegakkan dan menghukum anggota dewan yang terbukti telah melanggar kode etik DPR. Namun, disisi lain kehadiran BK adalah untuk menjaga kredibilitas DPR dalam bidang moral dan etik. Sifat rapat BK yang
52
tertutup juga menjadi satu faktor atas ketidakjelasan akhir dari kasus yang masuk ke BK. Pada Bab ini penulis mencoba menganalisa BK dalam menindaklanjuti pelanggaran kasus etika. Penulis mengambil dua studi kasus yang penulis anggap relevan untuk menjelaskan apakah BK mengalami dilema dalam penegakkan etika. Pertama kasus video pornografi yang diduga dilakukan anggota dewan bernama Karolina Margareta Natasa dan kedua kasus upaya pemerasan BUMN yang dilakukan oleh sejumlah oknum anggota dewan berdasarkan pengaduan dari Dahlan Iskan. A.
Kasus Video Pornografi Sabtu, 21 April 20121 lalu di situs berita online indonesiarayanews.com
sebuah skandal seks terungkap. Dalam situs berita tersebut terdapat sebuah video yang menampilkan dua insan manusia berhubungan intim. Diketahui kedua manusia tersebut adalah anggota DPR yang terhormat, yaitu perempuan bernama Karolina Margaret Natasa dan sang lelaki terduga Aria Bima. Keduanya adalah anggota DPR dari Fraksi yang sama Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP). Karolina berada di komisi IX dan Aria Bima di Komisi VI. Video porno yang diduga mirip dengan kedua anggota DPR tersebut muncul pada sabtu 21 April 2012, namun baru tersebar dan meledak dua-tiga hari kemudian. Dalam situs onlinenya, Redaktur Pelaksana indonesiarayanews.com, Djono W. Oesman, menceritakan asal mula medianya memuat berita tersebut.
1
www.tempo.com/kronologi-beredarnya-videoporno-anggotadpr.com diakses pada 1 September 2013.
53
Menurut dia, Sabtu pagi sekitar pukul 10.00 WIB, kantornya menerima telepon dari orang yang tak dikenal. Orang itu menyuruh mereka membuka situs skandal.kilikitik.net2. Saat dicek, muncullah laman berjudul "Sekilas Mengenai Cerita Percintaan Terlarang" yang rupanya skandal seks mirip anggota DPR. Media ini secara bertahap menurunkan tiga berita. Pertama berjudul "Dugaan Skandal Seks Politisi PDIP: Aduh… Dilengkapi Foto Telanjang" pukul 15.15 WIB. Lalu berita kedua, "Aria Bima: Ah..Itu Tidak Benar" naik pukul 15.38 WIB. Dilanjutkan berita ketiga sekitar pukul 16.58 WIB muncul dengan judul "Ini Foto 'Karolin' saat Beradegan Seks" dengan gambar yang diburamkan3. Pada laman tersebut tertulis jelas dua nama yang bermain dalam video skandal seks tersebut, Karolina dan Aria Bima. Namun, anehnya satu jam setelah berita itu turun situs kilikitik.net tidak dapat diunggah. Walau bukan pertama kali kasus video tak senonoh anggota dewan terpampang di media namun video ini membuat rakyat geger. BK DPR sebagai alat kelengkapan tetap mempunyai wewenang untuk memanggil anggota dewan yang terlibat dalam video asusila tersebut. Kasus video pornografi ini membuat BK proaktif dan berinisiatif langsung melakukan pemanggilan terhadap tersangka dalam video pornografi tersebut. Pada 12 Mei 2012 BK memanggil tersangka kasus video yaitu Karilona Margaret Natasa untuk meminta kejelasan kebenaran video pornografi yang diduga mirip dengannya. Pemeriksaan terhadap Karolin berlangsung selama 20 menit dan 2 www.tempo/kronologi-beredarnya-videoporno-anggotadpr.com diakses pada 1 September 2013. 3 www.tempo/george-toisutta-bantah-di balik-videoporno- anggotadpr.com diakses pada 1 September 2013.
54
dihadiri oleh beberapa anggota BK lainnya. Saat pemeriksaan itu, BK menanyakan benar-tidaknya sosok perempuan dalam video syur itu adalah Karolina. Pada berita online di tempo.com menyebutkan saat diperiksa, Karolina mengaku sudah menonton video itu. Namun, dia membantah sosok perempuan dalam video itu adalah dirinya. ”Dia bilang, perempuan di dalam video itu bukanlah dirinya,” ujarnya 4. Tersangka Karolina membantah bahwa bukan dirinya yang ada dalam video tersebut dan dia menduga bahwa semua ini bermotif politik. Sebagaimana diketahui Karolina adalah putri dari Gubernur Kalimantan Barat yaitu Corneliss. Karolina mengganggap bahwa video ini disebarkan di media sebagai black campaign atas ayahnya yang akan mencalonkan kembali sebagai Gubernur pada September 20125. Tudingan motif politis di balik pemuatan berita video itu pun mengarah pada mantan Pangkostrad yaitu George Toisutta . Disebut-sebut George di balik perang kepentingan menjelang pilkada Kalimantan Barat. Sosok sang jenderal disebut dekat dengan Mayor Jenderal TNI Armyn Alian, lawan politik kandidat incumbent Gubernur Kalimantan Barat Cornelis. Nama George Toisutta juga ikut terseret lantaran ia disebut sebagai Pemimpin Redaksi Indonesiarayanews.com. George sendiri mengaku tidak kaget mendengar dirinya disebut sebagai orang di
4
www.tempo/bkdpr-periksa-karolin-soal-videomesum/.com diakses pada tangal September 2013. 5 www.tempo/cornellis-curiga-penyebaran-video-porno-bermotif-politik.com diakses pada tanggal 1 September 2013.
55
1
balik beredarnya video porno itu. Namun sang jenderal membantah dan kesal disebut terlibat dalam politik pilkada di Kalimantan Barat6. Merujuk pada Peraturan DPR RI No.2 Tahun 2011 mengenai Skema TataBeracara BK DPR dalam pasal 10 ayat (4) disebutkan bahwa “Dalam rangka melaksanakan tugas penyelidikan, Badan Kehormatan dibantu oleh Sekretariat dan Tenaga Ahli”. Untuk itu BK telah memanggil dua orang tenaga ahli dalam bidang telematika yaitu, Ruby Alamsyah dan Abimanyu Wachoewidajat. Kedua tenaga ahli ini diharapkan bisa memberikan Laporan dan penjelasan mengenai kebenaran video tersebut. Laporan dan penjelasan Abimanyu ditambah dengan laporan analisa ahli digital forensik Ruby Alamsyah, akan menjadi pijakan untuk penyelidikan BK lebih lanjut. Jika laporan dan penjelasan kedua ahli ditambah bukti awal menunjukan bahwa pemeran dalam video porno tersebut adalah anggota DPR, maka BK akan melakukan pemanggilan kepada anggota dewan itu untuk klarifikasi7. Kamis 24 Mei 2012, BK mengadakan rapat internal untuk mendengarkan hasil analisa video. Para tenaga ahli berbeda pendapat mengenai keaslian video tersebut. Menurut Ruby Alamsyah, dia menyatakan bahwa video porno mirip anggota DPR yang tersebar di masyarakat itu telah mengalami pengubahan atau editing. Hal itu tampak dari ruang kosong (blank spot) yang ada di sisi kiri sehingga posisi kepala pemeran pria digeser ke sisi kanan gambar. Kejanggalan yang terindikasi terjadi editing juga tampak dengan adanya perubahan materi gambar di tengah-tengah
6
www.tempo/cornellis-curiga-penyebaran-video-porno-bermotif-politik.com diakses pada tanggal 1 September 2013. 7 www.tribunnews/ahli-laporkan-analisa-video-kepada-bk.com diakses pada 1 September 2013.
56
rekaman video Namun, Abimanyu memastikan tidak terjadi pengubahan pada bagian wajah pemeran perempuan di video tersebut8. Terdapat perdedaan mengenai hasil analisa video, maka dari itu BK akan memanggil kembali tersangka Karolina. Dalam berita online tribunnews.com ketua BK saat itu, M. Prakosa menjelaskan “karena perbedaan pandangan tentang video porno dari para ahli IT itu, maka BK pun belum berencana melakukan pemanggilan terhadap anggota Fraksi PDI Perjuangan, KMN, yang disebut-sebut sebagai pemeran perempuan di video porno tersebut”9. Sebelumnya, setelah mendapat laporan dan penjelasan pakar telematika Abimanyu Wachjoewidajat pada 24 Mei 2012 lalu, Prakosa mengungkapkan telah diketahui bahwa video porno mirip anggota DPR adalah asli atau tanpa rekayasa dan diduga kuat pemeran perempuannya adalah anggota Fraksi PDIP, Karolina.
Selain memanggil tenaga ahli, BK dalam menyelesaikan kasus ini telah meminta bantuan kepada pihak Kepolisian untuk menyelidiki kebenaran video tersebut. Dalam surat kabar pihak Kepolisian menyatakan akan masih mencari dokumen asli video mesum yang diduga menampilkan wanita politikus anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Namun, pihak Kepolisian juga menyatakan kesulitan mengusut pemain dan penyebar video itu karena dokumen video di Internet sudah dihapus. Kepolisian berharap memperoleh dokumen agar penyelidikan bisa
8
www.tribunnews/ahli-laporkan-analisa-video-kepada-bk.com diakses pada 1 September
2013. 9
www.tribunnews/bk-putuskan-soal-video-porno-besok/.com diakses pada tanggal 1 September 2013.
57
dipercepat. DPR juga masih mengusutnya dan belum melimpahkan kasusnya kepada kepolisian10. Selain pihak Kepolisian BK juga meminta bantuan kepada Kemenkominfo (Kementerian Komunikasi dan Infomatika) untuk melacak siapa pelaku dari penyebaran video tersebut. Seperti yang dilansir dalam berita online tempo.com Kemenkominfo siap untuk membantu BK dalam menemukan siapa pelaku yang pertama kali menyebarkan video ini ke internet. Juru bicara Kementerian Komunikasi dan Informatika Gatot Dewa Broto mengatakan pihaknya sudah mengumpulkan bahan-bahan terkait dengan penyebaran video porno yang diduga mirip politikus Dewan Perwakilan Rakyat. "Amunisi kami sudah cukup dan siap melakukan kerja sama lebih lanjut dengan polisi," kata dia kepada Tempo, Kamis, 26 April 201211. Kejelasan kasus ini seharusnya sudah bisa diputuskan pada Kamis 31 Mei 2012. Namun, BK menunda keputusan tersebut tanpa alasan yang jelas. Anehnya, pihak Kepolisian dan Kemenkominfo sendiri pun seperti lepas tangan atas kasus ini. Pada berita terbaru tertanggal 2 September 2013 dalam situs okezone.com Tim penyidik Bareskrim Mabes Polri mengaku kesulitan mengidentifikasi pelaku kasus video porno yang diduga melibatkan anggota DPR RI. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigjen Pol Boy Rafli Amar mengatakan buruknya kualitas gambar video porno menjadi satu kendala yang ditemukan tim penyidik.
10
www.tempo/polisi-cari-videomesum-mirip-politikus.com diakses pada tanggal 1 September 2013. 11
www.tempo/kominfo:-data-penyebaran-video-porno-sudah-lengkap.com diakses pada tanggal 3 September 2013.
58
Seperti yang dilansir okezone.com12., ”Dalam pemeriksaaan barang bukti yang didalamnya termuat gambar adegan porno, ada beberapa kendala yang ditemukan yakni kualitas gambar yang kurang jelas karena di upload melalui internet membuat kami kesulitan mengidentifikasi orang yang ada di dalam video tersebut”. Lebih Jauh Boy menjelaskan, “selain kualitas gambar yang buruk, kendala lainnya adalah tingkat kemiringan sudut pandang dari video tersebut yang menyebabkan samarnya wajah pelaku. "Tingkat kemiringan sudut pandangnya 10 derajat, sehingga dalam proses identifikasi, proses wajah tidak sempurna, tidak cukup mengidentifikasi siapa yang di dalam video tersebut," papar Jenderal bintang satu itu. Boy mengaku, Polri telah memberikan hasil investigasi kepada Badan Kehormatan DPR sejak Oktober 2012. "Saat ini kami tidak menangani kasus ini lagi, semua sudah diserahkan sepenuhnya pada Badan Kehormatan," katanya BK di bawah kepemimpinan yang baru oleh Trimedya Panjaitan berjanji akan menyelesaikan kasus ini. Hal senada juga diungkapkan oleh M. Nurdin Selaku anggota BK DPR dari Fraksi PDIP,
dalam wawancara dengan penulis beliau
mengatakan: 13 “Kita masih akan memangil tenaga ahli lain. Kita akan memanggil tenaga ahli yang independen dari tiga universitas ternama di Indonesia.” Kasus ini kembali ditelusuri BK setelah Bareskrim Polri angkat tangan. Bareskrim mengaku tak bisa mengidentifikasi dengan jelas identitas pelaku dalam video itu. Lebih lanjut, Nurdin menjelaskan bahwa BK sebenarnya sempat mendapat titik terang kasus ini saat seorang pria tiba-tiba saja mengaku sebagai salah satu 12
www.okezone/kepolisian-kebingungan-dalam-mengungkap-keaslian-video-porno.com. diakses pada 3 September 2013. 13 Wawancara penulis dengan M. Nurdin Selaku anggota BK DPR dari Fraksi PDIP. Bertempat di Gedung Sekretariat BK DPR, Selasa 19 November 2013.
59
pelaku dalam video itu. Namun, orang itu tiba-tiba saja menghilang14. Namun janji tinggallah janji, hingga penulisan skripsi ini ditulis kasus ini masih tidak jelas akhirnya.
B.
Kasus Upaya Pemerasan BUMN (Dahlan Iskan VS DPR) Pada mulanya, kasus ini berasal dari hasil audit BPK (Badan Pemeriksa
Keuangan) tentang efisiensi PLN(Perusahaan Listrik Negara). Berdasarkan audit
BPK sejak 2009 hingga 2011, ada dugaan kerugian negara di PLN sebesar Rp 37 triliun. Hingga periode tersebut, kerugian itu terus berlangsung karena PLN belum melakukan perbaikan sehingga pihak DPR ingin memverifikasi masalah tersebut, baik ke Kementerian BUMN maupun Kementerian ESDM. Selain dugaan merugikan negara Rp 37 triliun, DPR yang menindaklanjuti temuan BPK juga akan memverifikasi dugaan penyimpangan lain yang dikhawatirkan berpotensi menimbulkan tindak korupsi di anak usaha BUMN tersebut15. Selaku mantan Dirut PLN, Dahlan Iskan diundang untuk ikut rapat kuorum komisi VII untuk memverifikasi temuan BPK tersebut. Namun, hingga dua kali pertemuan rapat Dahlan Iskan tidak hadir. Hal ini membuat anggota komisi VII kecewa dan kesal kepada Dahlan Iskan. Komisi VII pun berniat untuk menyurati presiden mengenai tingkah menteri BUMN. Komisi VII berpikir dahlan membiarkan kerugian dalam tubuh PLN.
14
Hasil wawancara penulis dengan M. Nurdin Selaku anggota BK DPR dari Fraksi PDIP. Bertempat di Gedung Sekretariat BK DPR, Selasa 19 November 2013. 15 www.kompas.com/read/2012/10/22/1321264/Dahlan.Iskan.Absen..Rapat.Temuan.BPK. Batal. Diakses Pada Tanggal 5 September 2013.
60
Dahlan Iskan membantah hal ini, menurutnya Badan Pemeriksa Keuangan salah alamat dalam mempertanyakan penggunaan energi primer pembangkit listrik pada 2011 yang merugikan negara sebesar Rp 37 triliun. Seharusnya, hal ini disampaikan BPK kepada BP Migas selaku otoritas pengatur gas nasional. Dahlan menuturkan, yang dimaksud dengan penyimpangan biaya listrik yang dilakukan oleh PLN memang terjadi di instansi yang dipimpinnya saat itu. Namun, hal tersebut disebabkan niat awal PLN yang semula ingin melakukan penghematan anggaran produksi listrik dengan mengganti bahan bakar dari minyak menggunakan gas. Namun, rupanya, pemasok gas nasional sama sekali tidak melakukan hal tersebut16.Karena itu, PLN terpaksa kembali menggunakan BBM sebagai bahan baku produksi listrik. Lambat laun kasus ini berdampak kepada pemerasan BUMN ketika Sekretaris Kabinet mengeluarkan Surat Edaran No 542/Seskab/IX/2012 berisikan tentang Pengawalan APBN 2013-2014 dengan Mencegah Praktik Kongkalikong. Dalam surat yang tembusannya disampaikan kepada Presiden, Wakil Presiden, Kepala UKP4, dan Mendagri itu, Seskab menyampaikan bahwa secara nominal dan persentase, besaran APBN sejak tahun 2005 hingga ke persiapan tahun 2013 terus meningkat17. Demikian juga jumlah anggaran yang ditransfer ke daerah dalam upaya pemerintah mempercepat dan memperluas pembangunan di seluruh Nusantara.
16
www.kompas.com/read/2012/10/25/14575256/Audit.BPK.ke.PLN.Salah.Alamat. diakses pada tanggal 5 September 2013. 17 www.nasional.kompas.com/read/2012/10/25/16550058/Kesinisan.Parpol.kepada.Dahla n.Iskan.Terkait.Pemilu.2014. Diakses pada Tanggal 5 September 2013.
61
Pasca keluarnya surat edaran itu, Menteri BUMN Dahlan Iskan lalu meneruskan ke seluruh jajaran BUMN. Dahlan melaporkan masih ada oknum DPR yang meminta jatah ke BUMN. Surat edaran itu membuat Perseteruan antara anggota Dewan dan Dahlan Iskan. Dahlan mengeluh kepada Dipo Alam selaku sekretaris kabinet melalui pesan singkat soal masih saja ada anggota DPR yang meminta jatah. Pernyataan Dahlan kemudian diributkan oleh anggota Dewan. Dahlan pun diminta untuk mengklarifikasi pernyataannya itu di hadapan anggota Dewan. Surat edaran itu membuat anggota DPR geram dan terjadi perdebatan mengenai kebenaran kasus pemerasan tersebut. Media pun membuat berita dengan tagline “Dahlan VS DPR”. Bahkan oleh beberapa anggota DPR Dahlan iskan dituding melakukan pencitraan yang masuk dalam agenda politiknya nanti ditahun 201418. Laporan Dahlan yang menyebutkan DPR suka minta jatah kepada pemerintah, membuat DPR geram tidak terkecuali ketua DPR RI, Marzuki Alie. Marzuki Alie meminta kepada Dahlan Iskan untu membuka nama-nama oknum anggota DPR yang telah memeras BUMN. Persoalan ini perlu dituntaskan sehingga tidak lebih memperburuk citra DPR. Selaku Ketua DPR, Marzuki Alie sangat mendukung langkah tersebut. Akan tetapi, menurutnya, sebaiknya Dahlan langsung menunjuk oknum, bukan mengatasnamakan lembaga 19. Hal ini pula yang membuat BK DPR memanggil kembali Dahlan Iskan, namun bukan lagi
18
http://nasional.kompas.com/read/2012/10/25/16550058/Kesinisan.Parpol.kepada.Dahla n.Iskan.Terkait.Pemilu.2014. Diakses pada Tanggal 5 September 2013. 19 www.nasional.kompas/read/2012/10/29/15370750/Maruzki.Dukung.Dahlan.Sebut.Pemi nta.Upeti. Diakses pada Tanggal 6 September 2013.
62
mengenai hal temuan BPK, melainkan oknum-oknum yang disebut Dahlan sebagai pemeras BUMN. Akhirnya setelah didesak oleh DPR untuk mengumumkan oknum-oknum anggota DPR yang memeras BUMN, Dahlan Iskan pun angkat Bicara. Pada 30 Oktober 2012, Dahlan Iskan mengumumkan oknum-oknum anggota DPR yang terkait dalam pemerasan BUMN. Dahlan kepada media mengungkapkan bahwa ada sepuluh nama oknum anggota DPR yang meminta “jatah” kepada BUMN. Dalam situs kompas.com diberitakan bahwa Dahlan berjanji akan akan membeberkan nama tersebut bila diizinkan oleh Sekretaris Kabinet Dipo Alam. "Saya memiliki list-nya. Tidak sampai 15 orang, tetapi sekitar 10 orang saja," kata Dahlan20. Kasus pelaporan oknum anggota DPR ini membuat Badan Kehormatan (BK) sebagai lembaga penegak etik DPR kembali pro aktif dengan memanggil Dahlan Iskan untuk dimintai klarifikasi. Pemanggilan dilakukan meskipun DPR dalam masa reses. Badan Kehormatan telah mendapat persetujuan dari pimpinan DPR untuk melakukan pemanggilan kepada Dahlan Iskan pada masa reses ini dalam rangka permintaan keterangan terkait pernyataan beliau mengenai ‘kongkalikong’ pembahasan anggaran. Seperti dilansir berita online dalam kompas.com, Prakosa ketua BK saat itu mengatakan, “waktu pemanggilan Dahlan Iskan akan dilakukan setelah anggota BK melakukan kunjungan kerja ke daerah. Minggu ini para anggota BK kunjungan kerja ke daerah, jadi paling cepat minggu depan”. Lebih Jauh Prakosa mengatakan "Kami minta keterangan 20
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/10/30/12401144/Dahlan.Ada.10.Oknum. Anggota.DPR.yang.Minta.Jatah. Diakses pada Tanggal 7 September 2013.
63
sebagaimana yang diungkapkan Pak Dahlan Iskan di media. Kalau BK diam saja juga salah, BK melakukan penyidikan harus punya laporan lengkap makanya BK proaktif panggil Dahlan Iskan. Selama ini laporan dia di media tidak lengkap”21. Sepuluh oknum anggota DPR tersebut yang terduga melakukan pemerasan terhadap BUMN, ada satu oknum yang menurut Dahlan telah melakukan pemerasan tidak hanya pada satu BUMN namun lebih dari satu anak usaha BUMN. Oknum tersebut telah melakukan pertemuan diluar jam dinas. Pertemuan itu dilakukan oleh oknum anggota DPR dengan anak usaha BUMN di sebuah kafe di hotel ternama di kawasan Senayan, Jakarta. Pada senin 5 November 2012, BK dengan persetujuan pimpinan DPR memangil Dahlan Iskan untuk dimintai keterangan terkait informasi adanya pemerasan kepada BUMN yang dilakukan anggota Dewan. Selain Dahlan, BK juga akan memanggil Kepala Bagian Humas dan Protokoler Kementerian BUMN Faisal Halimi dan Direktur RNI (Rajawali Nusantara Indonesia) Ismed Hasan Putro untuk dimintai keterangan dalam permasalahan yang sama. BK dihadiri delapan anggotanya, termasuk Wakil Ketua BK Siswono Yudhohusodo. Namun, pemeriksaan terhadap Dahlan berlangsung tertutup. Hanya anggota BK yang diperkenankan masuk dan mengikuti pemeriksaan di Ruang BK. Setelah diperiksa selama hampir lebih 1,5 jam akhirnya Dahlan Iskan keluar dari ruang sidang BK. Dalam keterangan persnya seusai pemeriksaan, Dahlan mengaku telah menyerahkan data tiga peristiwa upaya pemerasan yang dilakukan anggota DPR dan Dahlan hanya baru memberikan dua ininsial nama oknum 21
http://nasional.kompas.com/read/2012/10/31/11463449/BK.DPR.Segera.Panggil.Dahla n.Iskan. Diakses pada 7 September 2013.
64
tersebut yaitu IL dan S. Dahlan menyerahkan dokumen-dokumen yang berisi keterangan-keterangan dari jajaran direksi BUMN yang pernah dimintai uang oleh anggota DPR. "Saya serahkan nama-nama anggota Dewan yang berupaya meminta uang; nama-nama anggota BUMN, BUMN-nya apa, caranya seperti apa, dan jumlah uang yang dimintakan22, Dalam keterangan persnya seusai pemeriksaan, Dahlan mengaku telah menyerahkan data tiga peristiwa upaya pemerasan yang dilakukan anggota DPR. "Saya serahkan hari ini ada tiga peristiwa. Dari tiga peristiwa itu, ternyata ada satu nama yang sama. Jadi, saya serahkan tiga peristiwa, dan dua nama anggota DPR23”. Upaya pemerasan BUMN ini terkait dengan penanaman modal negara. Memang upaya pemerasan itu tidak pernah terjadi karena selalu ditolak oleh direksi BUMN. Namun, jika sampai terus-menerus terjadi, hal ini akan berdampak pada kerusakan manajemen di dalam BUMN dan menuju pada penyuapan. BUMN yang disebut Dahlan pernah hendak diperas dua anggota Dewan itu, yakni PT Merpati Nusantara Airlines (oleh S), PT Garam (IL), dan PT PAL Indonesia (IL). Permintaan itu terkait penyertaan modal negara. PT Garam memperoleh tambahan modal sekitar Rp 400 miliar, PT MNA sekitar Rp 561 miliar, dan PT PAL Indonesia Rp 648,33 miliar24. Ternyata hasil pemerikasaan Dahlan Iskan kepada BK dinilai antiklimaks. Pasalnya, setelah memberikan keterangan di Badan Kehormatan DPR, ternyata
22 http://nasional.kompas.com/read/2012/11/05/13111961/Ada.Tiga.Pemerasan.BUMN.ya ng.Dilaporkan.Dahlan. Diakses pada 8 September 2013. 23 http://nasional.kompas.com/read/2012/11/05/13111961/Ada.Tiga.Pemerasan.BUMN.ya ng.Dilaporkan.Dahlan. Diakses pada 8 September 2013. 24 http://nasional.kompas.com/read/2012/11/06/10193420/Memungut.Upeti.BUMN. Diakses pada 9 September 2013.
65
Dahlan hanya menyerahkan dua dari sepuluh nama oknum anggota dewan yang sempat disebutnya meminta jatah ke direksi BUMN. Kekecewaan pun dirasakan M. Nurdin selaku anggota BK DPR dari Fraksi PDIP, beliau mengatakan25: “Kasus ini pada saat itu sungguh luar biasa beritanya. Namun sepertinya, kasus ini oleh pengadu (Dahlan Iskan) dibuat terlalu mendramatisir. Karena kita kita tanya kepada pengadu, “mana Pak bukti bahwa Bapak mengantongi sepuluh nama anggota dewan itu”. namun tidak dikeluarkan oleh Dahlan Iskan.” Diketahui bahwa dua nama oknum anggota DPR yang disebut Dahlan meminta jatah kepada BUMN, yaitu IL (Idris Lena) dari Fraksi Golkar dan S (Sumaryoto) dari Fraksi PDIP. Permintaan "jatah" oleh seorang anggota DPR kepada direksi BUMN sudah merupakan pelanggaran etika. Meski pun, permintaan itu belum terealisasi. Sebab dengan adanya permintaan itu, maka sudah ada niatan anggota Dewan untuk melakukan kongkalikong. Dalam praktik kongkalikong, ada pihak yang berupaya menyuap dan ada pula yang berusaha disuap. Tidak mungkin terjadi hanya salah satu pihak. BK sebagai lembaga penegak etik DPR akan menelusuri praktik kongkalikong ini kepada direksi BUMN. Pada 7 November 2013, Dahlan menyerahkan sebuah amplop kepeda BK. Surat yang dibungkus amplop coklat Kementerian BUMN bernomor SR 632 MBU 2012 tertanggal 7 November 2012 itu tampak ditujukan kepada pimpinan BK26. Pada berkasnya Dahlan menambahkan enam nama beserta kronologi kejadiannya. Dengan demikian, Dahlan sudah menyerahkan total delapan nama. 25
Hasil wawancara penulis dengan M. Nurdin Selaku anggota BK DPR dari Fraksi PDIP. Bertempat di Gedung Sekretariat BK DPR, Selasa 19 November 2013. 26 http://nasional.kompas.com/read/2012/11/06/10193420/Memungut.Upeti.BUMN. Diakses pada 9 September 2013.
66
Dua nama sebelumnya diserahkan Dahlan saat memenuhi panggilan BK DPR pada Senin 5 November 2012 lalu. Senin 12 November 2012, Dahlan Iskan kembali mengirinkan surat kepada BK. Surat yang diduga terkait kasus dugaan pemerasan anggota dewan kepada direksi PT Merpati Airlanes itu diterima Sekretariat BK lantaran tidak ada pimpinan BK yang hadir ketika itu. Dalam kasus pemerasan BUMN, BK menangani tiga kasus. Pertama, kasus dugaan pemerasan yang dilakukan anggota Komisi XI dari Fraksi PDI Perjuangan, Sumaryoto, yang dilakukannya seorang diri terhadap direksi PT Merpati Nusantara Airlines. Kedua, kasus dugaan pemerasan yang dilakukan dalam sebuah rapat pertemuan pada 1 Oktober antara beberapa anggota Komisi XI dan direksi Merpati. Sejumlah politisi yang diadukan Dahlan Iskan, yakni Zulkilfliemansyah (F-PKS), Achsanul Qosasi, Linda Megawati, Saidi Butar-butar (F- Demokrat), dan I Gusti Agung Ray Wijaya (F-PDI Perjuangan). Ketiga, kasus dugaan pemerasan Idris Laena terhadap direksi PT PAL Indonesia dan PT Garam. BK dalam proses penyelidikannya sudah memeriksa satu per satu anggota dewan yang diduga memeras dan juga direksi BUMN yang mengaku diperas. BK juga sudah mempertemukan pihak-pihak yang dilaporkan dalam satu forum konfrontasi27. Untuk memudahkan penelitian mengenai kasus pemerasan terhadap tiga BUMN, berikut penulis bagi kasus-kasus pemerasan terhadap tiga BUMN:
27
http://nasional.kompas.com/read/2012/12/06/13113268/Tuduhan.Pemerasan.Empat.Ang gota.DPR.Langgar.Etika?utm_source=WP&utm_medium=Ktpidx&utm_campaign=. Diakses pada tanggal 20 April 2013.
67
1.
PT Merpati Nusantara Airlanes. Salah satu BUMN yang sempat diminta jatah adalah PT Merpati Nusantara
Airlines. Direksi Merpati yang lama sempat menjanjikan akan memberikan sucsess fee terhadap anggota Dewan. Dalam kasus Merpati, disebutkan politisi PDI-P Sumaryoto dari Komisi XI DPR meminta commitment fee terkait penyertaan modal negara (PMN) Merpati. Dikabarkan, Dirut Merpati yang lama yakni Sardjono Johnny menjanjikan commitment fee kepada Sumaryoto. Achsanul Qosasi anggota dewan dari F-PD yang berada di komisi XI mengatakan sebelumnya, ada perbincangan antara anggota DPR dan para direksi. sekitar 2-3 bulan lalu, Komisi XI sempat melakukan rapat kerja dengan direksi PT Merpati Nusantara Airlines. Namun, sebelum rapat dimulai, 10-15 orang anggota Komisi XI berbincang di ruang komisi sambil menunggu anggota Dewan lainnya28. Dalam diskusi kecil itu, Achsanul mengatakan, pihak Merpati dihadiri oleh tiga direkturnya, yakni Direktur Utama Merpati Rudy Setyopurnomo, Direktur Keuangan Muhammad Roem, dan Direktur Operasional Asep Eka Nugraha. Sementara itu, anggota Komisi XI yang ada di antaranya yakni Zulkflimansyah, Sumaryoto, Andi Timo, dan Linda Megawati. "Yang aktif saat itu bertanya adalah saya, soal business plan-nya yang belum kami terima. Karena, business plan sebelumnya saat Dirut Merpati masih Pak Johnny, itu lengkap dan detil sekali sementara business plan pak Rudy tidak
28
http://nasional.kompas.com/read/2012/11/09/17062984/Achsanul.Saya.Sudah.Kalah.30. dari.Dahlan. Diakses pada 9 September 2013.
68
ada," kata Achsanul29. Ia pun menegaskan tidak ada candaan soal meminta jatah atau pun commitment fee yang dilontarkan anggota dewan saat itu terkait penyertaan modal negara (PMN) dalam perbincangan santai dengan ketiga direksi tersebut. "Tidak ada candaan yang menjurus ke arah situ. Sama sekali tidak ada. Makanya saya bingung kenapa pertemuan itu disebut pak Dahlan sebagai upaya pemerasan," katanya30. Pada Selasa 20 November 2012, Direktur Merpati Airlanes Rudy Setyopurnomo, dipanggil oleh BK31. Panggilan Rudy oleh BK adalah untuk meminta keterangan mengenai dua nama anggota dewan yang dicabut laporannya oleh Rudy. Kedua politisi tersebut adalah M Ichlas El Qudsy dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) dan Andi Timo Pangerang dari Fraksi Partai Demokrat. Rudy menjelaskan bahwa kedua orang tersebut tidak hadir dalam pertemuan pada 1 Oktober 2012. Rabu 28 November 2012 BK kembali memanggil Rudy, kali ini BK mengkonfrotir antara Rudy selaku direksi Merpati Airlanes dan Sumaryoto anggota dewan dari F-PDIP terduga upaya pemerasan. Mereka datang ke BK secara terpisah dan masing-masing mengeluarkan bukti-bukti dan dokumendokumen pendukung. Sumaryoto menmbantah tuduhan Rudy bahwa dirinya terlibat dalam upaya pemerasan Merpati Airlanes. Menurutnya, dia sedang berada di semarang “Saat itu saya ada di Semarang, sehingga tidak benar ada pertemuan
29
http://nasional.kompas.com/read/2012/11/09/17062984/Achsanul.Saya.Sudah.Kalah.30. dari.Dahlan. Diakses pada 9 September 2013. 30 http://nasional.kompas.com/read/2012/11/09/17062984/Achsanul.Saya.Sudah.Kalah.30. dari.Dahlan. Diakses pada 9 September 2013. 31 http://nasional.kompas.com/read/2012/11/20/13573634/Dirut.Merpati.Pastikan.2.Politis i.Tak.Memeras. Diakses pada 25 September 2013.
69
itu,” kata Sumaryoto”. Sebaliknya, Rudy mengaku kepada BK DPR memang bertemu dengan Sumaryoto tanggal 8 Oktober32. Meski membantah bertemu dengan Dirut Merpati tanggal 8 Oktober 2012, Sumaryoto mengaku pernah bertemu dengan Rudy di luar pertemuan resmi. Sumaryoto mengatakan bertemu tiga kali dengan Rudy, sedangkan Rudy mengaku bertemu dua kali dengan Sumaryoto. Belum diketahui siapa yang memiliki inisiatif dalam pertemuan itu. Dalam pemeriksaan BK sebelumnya, Sumaryoto mengaku bertemu Rudy bukan untuk meminta jatah33. 2.
Pemerasan PT PAL dan PT Garam Selain PT Merpati Airlanes, BUMN yang menjadi salah satu korban upaya
pemerasan oleh anggota dewan adalah PT Garam dan PT PAL. Kedua BUMN itu menjadi korban upaya pemerasan oleh anggota DPR yang diadukan Dahlan Iskan kepada BK. Anggota DPR tersebut melakukan upaya pemerasan kepada dua BUMN. Sama dengan Merpati Airlanes, PT PAL dan PT Garam hendak diperas oleh anggota DPR. Idris Lena dari F-Golkar adalah terduga dari kasus upaya pemerasan tersebut. Kasus pemerasan ini berkaitan dengan Penyertaan Penanaman Modal Negara. Pada kasus upaya pemerasan PT PAL dan PT Garam ini BK mendapatkan bukti baru yang jelas, yaitu berupa pesan singkat (SMS) Idris Lena kepada direktur PT PAL yaitu Firmansyah. Pada selasa 20 November 2013 BK 32
http://vivanews.com/read/2012/11/28/Dirut.merpati.dan.anggota.dpr.saling.adu.berkas. Diakses pada 25 September 2013. 33 http://vivanews.com/read/2012/11/28/Dirut.merpati.dan.anggota.dpr.saling.adu.berkas. Diakses pada 25 September 2013.
70
mengundang direktur PT PAL, Firmansyah Arifin. Firmasnyah dipanggil oleh BK untuk dimintai keterangan benarkah Idris Lena melakukan upaya pemerasan terhadap perusahaannya. Secara tidak langsung, Firmansyah membenarkan adanya upaya pemerasan yang dilakukan anggota DPR. Namun, ia enggan menyebutkan modus dan nilai yang diminta anggota dewan itu. Ia menyatakan hanya ada satu orang anggota dewan yang berupaya memerasnya. Pada pertemuan Firmanysah dengan BK itu terungkap sebuah bukti yang jelas. Ketua BK M. Prakosa menjelaskan, para direksi BUMN juga mengakui adanya permintaan jatah terkait penyertaan modal negara. "Persentasenya berbeda-beda ada yang 1 persen, di atas 1 persen, ada juga yang sampai 5 persen,"34. Di dalam pertemuan itu juga tidak hanya dihadiri oleh Direktur Utama, tetapi juga jajaran direksi lainnya. Sehingga, jika ada anggota dewan yang mengelak ada saksi lain yang menguatkan. Direktur PT Garam, Yulian Lintang membenarkan adanya upaya pemerasan terhadap perusaahan yang dipimpinnya. Namun, yulian lintang tidak pernah melaporkannya kepada direksi BUMN. Ia hanya menyatakan, peristiwa upaya pemerasan ini terungkap dari rapat pemegang saham PT Garam. Menteri BUMN Dahlan Iskan pun mengetahuinya dari rapat itu. Ketika itu, Dahlan menanyakan ke Yulian soal adanya permintaan jatah anggota DPR. Seperti dilansir kompas.com , Yulian mengatakan saat itu dirinya menceritakan pernah dimintai jatah oleh salah seorang anggota dewan terkait penyertaan modal negara (PMN)
34
www.nasioanal-kompas.com/BK:.Dirut.PT.PAL.Terima.SMS.Pemerasan. Diakses pada 27 September 2013.
71
yang baru pertama kali diajukan PT Garam. Tetapi, permintaan jatah itu kemudian ditolaknya. Akhirnya, PMN PT Garam belum cair hingga saat ini35. Senin 26 November 2013, BK memanggil tiga mantan direktur utama PT Merpati Nusantara Airlines, PT PAL Indonesia, dan PT Garam, serta seorang anggota Komisi XI DPR Zulkiflimansyah. Ketiga mantan dirut yang dipanggil yakni mantan Dirut PT Merpati Sardjono Jhony, mantan Dirut PT PAL Harsusanto, dan mantan Dirut PT Garam Slamet Untung Irredenta. Pemanggilan ketiga mantan dirut itu dilakukan untuk mengetahui apakah praktik pemerasan yang dituduhkan Dahlan Iskan sudah terjadi sejak lama. Pemanggilan Zulkiflimansyah dilakukan dikarenakan yang bersangkutan sempat tidak hadir dalam pemanggilan pertama pada Kamis (22/11/2012) lalu. Zulkiflimansyah dipanggil lantaran ikut dalam pertemuan tanggal 1 Oktober 2012 antara anggota Panja Merpati dan Direksi PT Merpati. BK sudah memanggil Dirut PT Merpati Rudy Setyopurnomo, Dirut PT PAL Firmansyah Arifin dan Dirut PT Garam Yulian Lintang. Dari keterangan para direksi ini, semua mengakui adanya praktik meminta jatah yang dilakukan anggota DPR. Selain itu, BK juga sudah memintai keterangan sejumlah anggota DPR, seperti anggota Komisi VI dari Fraksi Golkar Idris Laena terkait dugaan pemerasan di PT Garam dan PT PAL, anggota Komisi XI dari Fraksi Demokrat Achsanul Qosasi, serta anggota Komisi XI dari Fraksi PDI-Perjuangan Sumaryoto terkait dugaan pemerasan direksi Merpati. Dari pemanggilan ini, BK menemukan ada indikasi pelanggaran etika pada Laena dan Sumaryoto. 35
ww.nasional.kompas.com/ Inilah. Awal. Mula.Kisruh.Kongkalikong.BUMN. diakses pada 27 September 2013.
72
3.
Sanksi Kasus Upaya Pemerasan Setelah
melakukan
pemanggilan
dan
pemeriksaan,
akhirnya
BK
memberikan hasil final dari kasus upaya pemerasan BUMN. Dalam pemeriksaan yang dilakukan BK terungkap telah terjadi pertemuan di luar gedung DPR antara direksi BUMN dengan anggota dewan. PT. PAL misalnya, mengakui telah melangsungkan beberapa pertemuan pada bulan Maret, Juli dan Agustus. Sedangkan PT. Garam melaporkan pertemuan diluar agenda resmi DPR itu tejadi pada bulan Maret. Dari hasil penyelidikan yang dilakukan BK, terdapat beberapa fakta yang terungkap. Pada kasus dugaan pemerasan yang dilakukan Sumaryoto, BK mencatat setidaknya ada sekitar tiga kali pertemuan di luar forum resmi DPR yang dilakukan Sumaryoto seorang diri dengan direksi Merpati. Direksi Merpati mengaku saat itu dimintai jatah oleh Sumaryoto terkait penyertaan modal negara (PMN) Merpati tahun 2012 sebesar Rp 200 miliar. Namun, hal ini dibantah Sumaryoto yang menuding bahwa direksi Merpati yang menginisiasi pertemuanpertemuan di luar DPR itu. Sumaryoto juga menuturkan dirinya ketika itu hanya aktif menanyakan soal business plan dirut Merpati yang baru sebagai bentuk kecintaannya terhadap Merpati. Sementara itu, dalam kasus dugaan pemerasan yang dilakukan lima anggota Komisi XI pada pertemuan 1 Oktober 2012 dengan direksi Merpati, juga terjadi perbedaan pandangan. Direksi Merpati mengaku ada salah seorang anggota DPR yang sempat menanyakan komitmen terkait PMN Merpati. Pada pertemuan 1 Oktober itu, hanya ada dua orang anggota DPR yang aktif berbicara. Mereka
73
adalah Wakil Ketua Komisi XI dari Fraksi PKS Zulkieflimansyah dan anggota Komisi XI dari Fraksi Partai Demokrat Achsanul Qosasi. Namun, lagi-lagi tudingan Merpati kembali dibantah para anggota Komisi XI yang mengaku pertemuan hanya membahas business plan. Adapun dalam kasus dugaan pemerasan yang dilakukan Idris Laena, BK menemukan adanya pertemuan lebih dari 20 kali yang dilakukan Laena dengan direksi PT PAL Indonesia dan satu kali dengan direksi PT Garam. Laena mengakui adanya pertemuan-pertemuan itu, tetapi ia juga membantah disebut memeras. Untuk mengambil keputusan final dari kasus upaya pemerasan BUMN ini BK menggelar rapat diluar gedung DPR. BK menggelar rapat tertutup yang akan diadakan di Wisma DPR Griya Sabha Kopo Puncak Bogor pada Rabu 5 Desember 2013 pukul 19:00 WIB. Setelah melakukan penelusuran selama hampir satu bulan, BK akhirnya memutuskan ada empat anggota Dewan yang melanggar kode etik. Dua orang di antaranya mendapat sanksi sedang, sedangkan dua orang lainnya mendapat sanksi ringan. Hasil itu didapat setelah menelusuri tiga kasus dugaan pemerasan yang dilakukan anggota DPR terhadap direksi BUMN. Jum’at 4 Desember 2013, Pimpinan DPR membacakan hasil keputusan Badan Kehormatan terkait kasus dugaan pemerasan terhadap direksi badan usaha milik negara (BUMN) pada rapat paripurna. Beberapa anggota dewan yang tak terbukti melakukan upaya pemerasan BUMN dilakukan rehabilitasi. Pembacaan nama-nama anggota dewan yang direhabilitasi itu dilakukan Marzuki sesaat sebelum memulai agenda rapat paripurna, yakni pengesahan tujuh Undang-
74
Undang Daerah Otonom Baru (DOB) dan pidato penutupan masa sidang tahun 201236. Mereka adalah Linda Megawati (F-PD), Saidi Butar-butar (F-PD), I Gusti Agung Wirajaya (F-PDIP), M Hatta (F-PAN) dinyatakan tidak terbukti melanggar kode etik DPR. para politisi itu tidak terbukti melanggar Undang-Undang tentang MPR, DPR, dan DPD (MD3) Pasal 39 ayat 2 terkait kode etik dan tata acara. Anggota-anggota tersebut diberikan rehabilitasi. Sedangkan empat anggota DPR sisanya yang mendapatkan sanksi ringan adalah Zulkiflimansyah (F-PKS) dan Achsanul Qasasi (F-PD). Idris Lena (F-PG) dan Sumaryoto (F-PDIP) mendapatkan sanksi sedang37. Selama ini produk sanksi BK tidak bisa keluar dari UU No.27 Tahun 2009 tentang MD3, Peraturan DPR RI No.1 Tahun 2009 mengenai Tata-tertib DPR, Peraturan DPR RI No.1 Tahun 2011 tentang Kode Etik, dan Peraturan DPR RI No.2 Tahun 2011 mengenai Tata Beracara BK. Sidang pelanggaran kode etik DPR yang tertutup demikian membuat rakyat menduga BK DPR hanya “bersidang-sidangan” untuk menutupi kejelekan etik angggota dewan. BK seharusnya memposisikan diri bukan lagi bagian dari partai politik di DPR, karena kedudukan anggota partai politik di dalam tubuh BK sangat rentan dibajak oleh pihak parpol yang anggotanya bermasalah di BK.
36
http://nasional.kompas.com/read/2012/12/06/13593284/Tak.Ada.Sanksi.Berat.untuk.An ggota.DPR.Pelanggar.Etika. diakses pada 27 September 2013. 37 www.dpr.go.id/berita.bk/BK.Putuskan.empat.anggota.dewan.diberi.sangsi.Diakses pada 27 September 2013.
75
C.
Dilema Badan Kehormatan DPR Penulis mengambil dua kasus tersebut dikarenakan dua kasus tersebut
adalah kasus yang ramai dibicarakan masyarakat dan juga dua kasus yang berlainan. Kasus tanpa pengaduan dan melalui pengaduan. Kasus video pornografi KMN adalah sebuah kasus tanpa pengaduan dari seseorang atau sekelompok orang. Kasus video pornografi ini sudah menyebar luas dikalangan masyarakat melalui pemberitaan media. BK secara pro aktif memanggil tersangka pemeran video “panas” tersebut untuk dimintai keterangan. Berbeda dengan kasus upaya pemerasan BUMN, kasus ini adalah kasus dari pengaduan secara tidak langsung ke pihak BK. Dahlan Iskan selaku menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), mengeluh melalui media tentang begitu banyaknya anggota dewan yang meminta “jatah” kepada BUMN. Sesuai dengan tugasnya, BK sebagai alat kelengkapan yang menegakkan kode etik bertugas memanggil teradu dan pengadu untuk dimintai keterangan. Pada kasus video pornografi ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, mengapa BK tidak memanggil Aria Bima yang juga diduga pemeran pria dalam video asusila tersebut? Apa BK sengaja tidak memanggil pemeran pria dalam video tersebut dikarenakan Aria Bima adalah teman satu Fraksi dari ketua BK? Kedua, dari dua tenaga ahli yang dimintai bantuan oleh BK, Abimanyu Wachjoewidajat mengatakan bahwa wajah pemeran perempuan dalam video tersebut adalah asli tanpa rekayasa. Seharusnya dengan rujukan dari tenaga ahli BK sudah bisa mengambil tindakan tegas untuk terduga KMN.
76
Namun, pendapat berbeda datang dari M. Nurdin selaku anggota BK yang satu Fraksi dengan terduga, dalam wawancaranya dengan penulis mengatakan38:
“Siterduga tidak mengakui bahwa dirinya adalah pemeran video tersebut dan dikarenakan tidak kuatnya bukti dan dengan asas praduga tidak bersalah siterduga masih bekerja di DPR. Kita masih akan memangil tenaga ahli lain. Seperti dalam berita kita akan memanggil tenaga ahli yang independen dari tiga universitas ternama di Indonesia”. Ketiga, BK terkesan lambat dalam menangani kasus video ini, kasus ini muncul pada pertengahan April 2012, namun hingga menjelang akhir masa kerja DPR periode 2009-2014 BK belum menyelesaikan kasus ini. Dengan alasan bukti yang tidak cukup kuat BK seakan “memetieskan” kasus video asusila ini. Berbeda dengan kasus-kasus asusila lainnya. Penulis merasa heran dengan kasus ini, mengapa sampai saat ini, baik pihak BK, Kepolisian dan Kemenkominfo tidak bisa untuk menjelaskan lebih jauh mengenai keaslian video tersebut bahkan tidak bisa menangkap pelakunya. Berbeda dengan kasus video pornografi yang terjadi pada salah satu artis ibukota, Ariel “peterpan” dengan Luna Maya dan Cut Tari. Pihak Kepolisian dan Kemenkominfo secara cepat bisa mengungkap keaslian video tersebut bahkan bisa menjebloskan Ariel kedalam bui selama 3,5 tahun
Seharusnya sudah bisa dipastikan tindak pidana yang bisa dipidanakan kepada KMN, namun dengan asas praduga tak bersalah dan bukti yang tidak kuat sampai saat ini sang tersangka masih bebas bekerja di Senayan. Sementara itu,
38
Wawancara penulis dengan M. Nurdin Selaku anggota BK DPR dari Fraksi PDIP. Bertempat di Gedung Sekretariat BK DPR, Selasa 19 November 2013.
77
kasus video porno yang melibatkan anggota DPR Yahya Zaini dan pedangdut Maria Eva pada 2006, tidak tersentuh hukum. Kala itu Yahya hanya mundur dari dunia politik, sebaliknya Maria Eva malah banjir order menyanyi. Begitu pula dengan kasus Max Moein yang melakukan foto dengan sekretaris pribadinya dengan fose yang tak senonoh terabaikan. BK mengulang kesalahan yang sama dalam hal penegakkan kode etik, yaitu mengulur-ulur waktu. Jika memang benar bukan Karolina yang pemeran dalam video tersebut, seharusnya namanya direhabilitasi dan diberitakan keseluruh anggota dewan serta media. Namun, jika benar video ini asli dan Karolina adalah wanita yang ada dalam video tersebut seharusnya BK bisa tegas memberikan sanksi berupa pemecatan. Semoga BK sebagai lembaga penegak etik bisa menyelesaikan kasus ini sebelum masa kerja legislator periode 2009-2014 berakhir, agar citra dan martabat lembaga Dewan Perwakilan Rakyat menjadi baik. Beralih kepada kasus upaya pemerasan BUMN, pada saat itu kasus pemerasan BUMN ini sangat luar biasa pemberitaannya. Hampir semua media meliputi kasus upaya pemerasan BUMN yang dilakukan oleh sejumlah oknum anggota dewan. Bahkan media sempat membuat “tag line” Dahlan iskan vs DPR. BK sangat cepat memulai penyelidikkan kasus ini, bahkan pemanggilan teradu dan pengadu dilakukan ketika anggota DPR dalam masa reses. BK seakan “kebakaran jenggot” dengan kasus tersebut. Penulis mengacungkan jempol untuk kinerja BK dalam kasus pemerasan BUMN. BK begitu cepat dan responsif dalam menyelesaikan kasus tersebut.
78
Kasus ini merupakan momentum yang tepat untuk BK memulihkan citra dan kredibilitas anggota DPR. Kasus ini juga sebagai momentum untuk melakukan pembersihan sekaligus upaya pembuktian dewan adalah lembaga yang kredibel. Namun amat disayangkan akhir dari kasus ini sungguh mengecewakan masyarakat. Para anggota dewan yang terbukti melakukan upaya pemerasan hanya mendapatkan sanksi yang tidak bisa membuat “jera” anggota dewan yang nakal. Karena seharusnya setiap perbuatan pemerasan pada dasarnya dapat dipidana berdasarkan hukum di Indonesia. Dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yaitu Pasal 368 ayat (1) KUHP. “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”39. Memang anggota DPR yang melakukan pemerasan terhadap BUMN tidak melakukan sebuah tindak kekerasan dalam pemerasannya, namun pemerasan tetepalah pemerasan, sebuah tindakan yang merugikan orang lain dan menguntukan diri sendiri secara melawan hukum. Hukuman yang jelas untuk seorang pemeras adalah sembilan tahun penjara. Namun, BK dengan keputusannya hanya memberikan sanksi berupa teguran lisan dan tertulis.
39
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pasal 368 ayat 1.
79
Hal ini dibantah M. Nurdin selaku anggota BK yang menyidangkan kasus upaya pemerasan BUMN. M. Nurdin mengatakan dalam wawancaranya dengan penulis: “Untuk kasus pemerasan BUMN, menurut pribadi saya itu hanyalah salah pengertian. Ada anggota dewan yang bergurau kepada direktur BUMN, “mau lebaran nih, gimana nih?” namun, hal yang berbeda dirasakan direktur BUMN, saksi merasa ini adalah menganggap bentuk pemerasan. Memang ada yang saksi menyebut kan adanya iuran, namun iuran tersebut adalah untuk menyelenggarakan rapat dengan anggota dewan. Namun kepada BK saksi merasa itu adalah iuran untuk anggota DPR. Anggota dewan yang bergurau itu sudah kita beri sanksi, walaupun hanya bergurau namun itu tidak etis dan tidak pada tempatnya.” 40 Dua kasus tersebut hanyalah sebagian kecil dari kasus-kasus yang ditangani BK selama delapan tahun berdirinya sebagai alat kelengkapan tetap DPR. Maraknya kasus indikasi pelanggaran kode etik yang kongruen dan berjalan paralel dengan skandal kasus publik seperti korupsi juga membuat alat kelengkapan ini tugasnya semakin berat. BK DPR mengalami dilema, ada persoalan kewajiban BK dalam melaksanakan fungsi alat kelengkapan sesuai dengan amanat Undang-undang, Tata tertib dan Kode Etik di satu sisi. Di sisi yang lain, BK juga harus berada di dalam dilema antara membela kepentingan publik dan menjaga citra, baik citra kelembagaan DPR RI maupun citra Partai Politik serta anggota DPR. Beratnya tugas dan tanggungjawab BK memerlukan penguatan kewenangan yang dapat menunjang pelaksanaan fungsinya menegakan citra DPR. Pengaturan terkait BK
40
Wawancara penulis dengan M. Nurdin Selaku anggota BK DPR dari Fraksi PDIP. Bertempat di Gedung Sekretariat BK DPR, Selasa 19 November 2013.
80
DPR harus juga mampu memperkuat dari sisi kelembagaan sehingga kinerjanya dapat ditingkatkan. Mengenai dilematis BK dalam penanganan kasus penulis menanyakan kepada M. Nurdin selaku anggota BK dari Fraksi PDIP, apakah BK dalam menyidangkan dan memberikan keputusan sidang pelanggaran kode etik yang dilakukan teman-teman satu Fraksi mengalami dilema? M. Nurdin dengan tegas mengatakan: “Dilema seperti itu ada, namun kita juga bersikap profersional. Dalam parlemen dan Fraksi kita adalah teman. Namun ketika ada pelanggaran yang dilakukan kita selaku anggota BK wajib untuk menyidangkan dan memberikan keputusan. Kita hanya melakukan tugas sesuai amanat dari Undang-Undang mengenai hukum BK DPR. Kehadiran BK sangatlah penting. Dikarenakan BK menjaga kode etik agar dipatuhi dan nama baik DPR. Kehadiran BK juga membuat batasan atas perilaku angota dewan. Perilaku yang disebut pantas dan tidak pantas. Apabila tidak pantas kita akan memberikan teguran baik lisan maupun tertulis.”41
BK mengalami dilema dalam menyidangkan kasus absensi anggota dewan. M. Nurdin, selaku anggota BK dari Fraksi PDIP mengatakan mengenai dilematis BK dalam absensi anggota dewan. ”Dilematisnya adalah dalam kasus ketidakhadiran anggota dewan, karena anggota dewan adalah anggota Fraksi juga. Ketika kita menyelidiki absensi anggota dewan maka kita meminta ke Fraksi karena itu kewenangan Fraksi. Dan sesama anggota dewan tidak bisa saling melapor karena hak imunitas. Sehingga BK tidak bisa berbuat lebih jauh. BK adalah alat kelengkapan, alat kelengkapan juga kepanjangan tangan dari Fraksi.” 42.
41
Wawancara penulis dengan M. Nurdin Selaku anggota BK DPR dari Fraksi PDIP. Melalui telepone, Selasa 7 Januari 2013. 42 Wawancara penulis dengan M. Nurdin Selaku anggota BK DPR dari Fraksi PDIP. Bertempat di Gedung Sekretariat BK DPR, Selasa 19 November 2013.
81
Memang benarlah apa yang dikatakan M. Nurdin, sepanjang berdirinya BK dari periode 2004 hingga periode 2014, belum ada satupun anggota dewan yang terkena sanksi atas pelanggaran etik dalam hal kehadiran rapat paripurna. Padahal dalam Kode etik pasal 8 ayat (6) disebutkan “Anggota DPR RI yang tidak menghadiri secara fisik Rapat Paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPR RI yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah dan jelas, dianggap melanggar prinsip kejujuran dan kedisiplinan”.43 Mengenai dilematis BK juga pernah dikatakan oleh Ibrahim Z. Fahmi Badoh, seorang peneliti dari Indonesian Corruption Warch (ICW)
44
. Menurutnya
BK mengalami dilema dalam kewenanganya yang begitu besar. Identifikasi dilematis BK itu terlihat sebagai berikut: 1. Tebang Pilih (Pada Kasus minimnya absensi angota Dewan). 2. Pertimbangan politis lebih besar dari pertimbangan hukum dan keadilan. 3. Inisiatif rendah. 4. Kemampuan penyelidikan rendah (minimnya tenaga ahli). 5. Tertutup (tidak dijelaskan bagian mana dari sidang tersebut yang tertutup). 6. Penerapan sanksi ringan, sedang dan berat (tidak ada ketentuan dalam tatib). 43
Peraturan DPR No.1 Tahun 2011 mengenai Kode Etik Bagian ketujuh mengenai kejujuran dan kedisiplinan pasal 8 ayat (6). 44 Ibrahim Z.Fahmi Badoy. Penguatan Fungsi Pengawasan Badan Kehormatan DPR RI. Jakarta. 2005. Diunduh dari www.parlement.net diakses pada tanggal 4 November 2012.
82
7. Alasan penerapan sanksi tidak transparan. 8. Sanksi Ringan (sepanjang BK berdiri belum ada anggota DPR yang diberhentikan karena kasus asusila, kecuali kasus korupsi). 9. Lemahnya koordinasi dengan instansi terkait (BPK, BPKP, POLRI, KPK, Pemda dan instansi terkait lainnya). 10. Belum memiliki aturan tentang konflik kepentingan dalam pemrosesan kasus. 11. Hanya mengatur anggota DPR, tidak dengan para staff ahli di lingkungan parlemen. Kewenangan yang besar pada BK ternyata belum mampu memberikan sanksi yang optimal bagi pelanggaran kode etik dan Tata Tertib. Hal inilah yang membuat BK-DPR terlihat tidak cukup optimal dan efektif dalam melaksanakan tugasnya. Di sisi yang lain, adanya Badan Kehormatan dan kerja-kerja yang dilakukan selama ini dalam menegakan kode etik belum dapat menimbulkan efek jera bagi anggota DPR yang nakal. Fraksi ikut berperan dalam penyanderaan kewenangan BK. BK harus terlebih dahulu melaporkan hasil keputusan kasus pelanggaran etika kepada Fraksi. D.
Reformasi Badan Kehormatan DPR Perubahan Badan Kehormatan DPR ke depan harus difokuskan pada
penyingkiran hambatan prosedural ataupun politik dalam pemrosesan indikasi pelanggaran tata tertib dan kode etik DPR. Badan Kehormatan DPR ke depan harus lebih proaktif lagi dalam menyikapi isu yang berkembang di publik ataupun
83
laporan masyarakat mengenai indikasi pelanggaran kode etik anggota DPR. Karena itulah Badan Kehormatan DPR harus menyusun strategi dan sistem pengawasan yang efektif terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi DPR45. Ronald Rofiandri selaku direktur monitoring dan advokasi PSHK (Pusat Studi Hukum dan Kebijakkan) menilai harus ada perubahan dalam tubuh BK agar kewenangan yang besar tidak menjadi suatu kepentingan bagi Fraksi. Dalam wawancara dengan penulis beliau mengatakan. “Ya, jadi harus ada perubahan dari skema tata beracara. Saya harap Peraturan mengenai BK dinaikkan levelnya menjadi UU, tidak hanya menjadi Peraturan DPR. Hal ini dilakukan untuk menjaga dan memperkuat posisi dan wewenang BK. BK bisa lebih pro-aktif dalam menegakkan kode etik, BK tidak dalam posisi berpolemik karena BK tidak dalam dominasi Fraksi di parlemen. Ada banyak sebenarnya materi yang harus dirubah, contohnya konflik kepentingan. Diharapkan BK periode 2014-2019 anggota BK tidak terlibat dalam konflik kepentingan, sehingga itu bisa memperkuat posisi BK. Fraksi tidak mudah mengintervensi keputusan BK”.46
Penulis sependapat dengan apa yang dikatakan Ronald Rofiandri, BK harus bersih dari intervensi Fraksi. Meskipun dalam peraturan tata beracara BK DPR sudah disebutkan bahwa “Anggota, pimpinan Fraksi, dan/atau Pimpinan DPR RI tidak dibenarkan melakukan upaya intervensi terhadap keputusan Badan Kehormatan”.47 Namun dengan adanya sifat rapat BK yang tertutup tidak menutup kemungkinaan bahwa Fraksi menekan BK dalam sebuah keputusan 45
Ibrahim Z.Fahmi Badoy. Penguatan Fungsi Pengawasan Badan Kehormatan DPR RI. Jakarta. 2005 46 Wawancara penulis dengan Ronald Rofiandri selaku Direktur Monitoring dan Advokasi PSHK (Pusat Studi Hukum dan Kebijakkan) pada 10 September 2013 bertempat di Kantor PSHK. 47 Peraturan DPR no.2 Tahun 2011 Tentang Skema Tata-Beracara BK DPR pasal 33 ayat(2).
84
perkara. Selanjutnya Ronald Rofiandri mengatakan bahwa upaya menaikkan peraturan BK menjadi UU adalah untuk melindungi BK dari konflik Internal yang pernah terjadi pada BK. Pada Oktober 2010 BK mengalami konflik Internal. Sejumlah LSM mengadukan anggota BK kepada BK. Konflik terjadi ketika delapan anggota BK tanpa ketua BK, Gayus Lumbun (F-PDIP) dilaporkan oleh sejumlah LSM. Sejumlah LSM melaporkan delapan anggota BK tersebut melakukan pelesiran ke turki yang tidak ada agenda dalam kunjungan kerjanya ke Yunani48. Nudirman dan kawan-kawannya melakukan studi banding mengenai etika ke Yunani dengan jadwal 23-29 Oktober lalu. Namun, dalam praktiknya, kesepuluh lembaga mengatakan, agenda kunjungan kerja hanya sampai tanggal 27 Oktober. Sisanya, mereka melakukan kunjungan ke Tuki tanpa agenda yang jelas. Konflik di BK awalnya ditutup-tutupi di internal mereka. Namun keadaan berubah saat delapan anggota BK marah atas isu yang menyebutkan mereka menonton tari perut saat kunjungan ke Yunani. Konflik terbuka pun mencuat antara Ketua Badan Kehormatan Gayus Lumbuun dan anggota-anggotanya sendiri. Kasus ini menjadi sejarah buruknya kinerja BK, delapan dari sebelas anggota BK dilaporkan melakukan pelanggaran etika. Bagaimana caranya perangkat lembaga penegak etik memeriksa anggotanya sendiri? Kasus bertambah keruh setelah Gayus Lumbun selaku ketua BK yang tidak mengikuti Kunker itu menanggapi kasus delapan anggota BK ini tidak melanggar namun tidak bermanfaat. Apalagi, lanjut Gayus, di BK masih ada persoalan legitimasi. 48 Delapan anggota BK itu adalah, Nudirman Munir (F-Golkar), Salim Mengga (FDemokrat), Darizal Basir (F-Demokrat), Chairuman Harahap (F-Golkar), Anshori Siregar (FPKS), Abdul Rosaq Rais (F-PAN), Usman Jafar (F-PPP), dan Ali Maschan Moesa (F-PKB).
85
Komposisi keanggotaan BK belum diwakili oleh seluruh Fraksi. Dua Fraksi, yaitu Gerindra dan Hanura, belum mendapatkan posisi untuk mewakili Fraksinya49. Konflik internal di Badan Kehormatan DPR menjadi hambatan penegakan etika di kalangan wakil rakyat sehingga pimpinan DPR perlu segera mengambil langkah untuk menuntaskan persoalan tersebut. Demikian Refleksi Akhir Tahun 2010 Indonesian Parliamentary Center (IPC) yang disusun Ahmad Hanafi, Arbain dan Erik Kurniawan dari Research dan
Study Division
IPC dalam
berita.yahoo.com. Menurut data IPC, tahun 2010 merupakan tahun kelam bagi BK DPR. Dari sederetan alat kelengkapan DPR, BK mungkin salah satu alat kelengkapan yang paling tidak produktif. Konflik antar anggota di internal tubuh BK, semakin menyurutkan harapan publik terhadap BK50. Konflik ini berdampak pada tunggakan pelaporan kode etik dari masyarakat. BK yang bertugas memverifikasi aduan berhenti karena konflik ini. BK dibentuk untuk melakukan pemeriksaan terhadap adanya dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota DPR, untuk menegakkan kode etik. Untuk menanggulangi agar tidak terjadinya dilema dan konflik internal, seharusnya BK memasukkan anggotanya dari pihak luar (eksternal). Pihak luar tersebut bisa seorang pengamat hukum, ahli etika dan akademisi51. Berikut penulis
49 www.nasional.kompas.com dalam “BK DPR belajar Etika Ke Yunani. Gayus: Tidak melanggar tapi tidak bermanfaat”. Selasa 9 Oktober2010. Diakses pada tanggal 3 Juli 2013. 50 www.berita.yahoo.com dalam “Konflik Internal BK Hambat penegakkan Etika” Jum’at, 30 Desember 2010. Diakses pada tanggal 3 juli 2013. 51 Wawancara penulis dengan Ronald Rofiandri selaku Direktur Monitoring dan Advokasi PSHK (Pusat Studi Hukum dan Kebijakkan) pada 10 September 2013 bertempat di Kantor PSHK.
86
tampilkan secara singkat beberapa saran untuk memperbaiki kinerja BK dimasa periode mendatang. Tabel 4.1 Saran Perbaikan BK DPR di periode 2014-2019 No.
Segi Perbaikkan
Keterangan
1.
Sifat Rapat
Alangkah baikknya BK membuka sifat rapat yang dulunya tertutup menajdi terbuka. Ini dilakukan agar masyarakat bisa melihat netralitas dan independensi BK sebagai lembaga penegak etik.
2.
Tenaga Ahli
BK harus menambah tenaga ahli dari beberapa bidang. Bidang hukum, ahli Teknologi dll. Agar kinerja BK semakin baik, tenaga ahli diperlukan untuk mengungkapkan berbagai alat Bukti.
3.
Saksi
Mulai Periode mendatang, BK sebaiknnya mulai memasukkan saksi kedalam program perlindungan. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi saksi dari teror dan ancaman agar proses persidangan berjalan lancar.
4.
Komposisi AnggotaBK
Saat ini, BK periode 2009-2014 tidak memproporsionalkan anggotanya kepada Fraksi. Fraksi Gerindra dan Fraksi Hanura tidak masuk dalam keanggotaan BK. Ini membuat keputusan BK terlihat tebang pilih. Diharapakan periode mendatang, keangotaan BK memperlihatkan proporsionalitas Fraksi di parlemen. Serta harus menjadi bahan pertimbangan untuk memasukkan pihak eksternal sebagai anggota BK. Untuk menjaga netralitas dan independensi kinerja BK.
5.
Kode Etik
Di Uni Eropa, ada dua kode etik. Code of conduct dan code of ethics. Dua hal ini adalah hal yang berbeda. Dan di Uni Eropa juga, sebuah code of ethics dibuat untuk para staff parlemen. Diharapkan BK bisa membuat keduanya. Agar tidak hanya anggota parlemen yang menjaga etikanya namun begitupun dengan para staff. Agar kasus pengadaan barang oleh Seketaris Jenderal DPR tidak terulang kembali.
6.
Sanksi
Untuk menjaga kode etik agar dipatuhi oleh semua anggota parlemen, maka harus dibuat sanksi dan penegakkan yang kuat. Dalam kode etik seharusnya dibuat kadar sanksi.
87
7.
Waktu Keanggotaan BK
Diharapan pada UU BK periode mendatang mencantumkan jangka waktu kerja keangotaan BK. Diharapkan dengan adanya jangka waktu keanggotaan BK, anggota BK tidak ada yang mudah keluar masuk, sehingga kinerja BK lebih maksimal.
Sumber: Diolah dari hasil wawancara penulis dengan Ronald Rofiandri.
Mengenai sanksi, Menurut Rick Stapenhurst dan Riccardo Pelizzo keberhasilan suatu penegakkan hukum adalah sanksinya 52. Sanksi yang berat akan membuat anggota dewan berpikir kembali untuk melangar kode etik. Semakin besar sanksi yang dibuat makan semakin tinggi tingkat keberhasilan dari suatu kode etik dan lembaga penegakknya. Di India, pelanggar dihukum dengan teguran atau peringatan, penjara, suspensi, pengusiran, diskualifikasi dari keanggotaan dan dipindahkan dari posisi sentral di parlemen. Sama dengan di India, di Jepang pelanggaran kode etik dihukum dengan peringatan untuk mematuhi standar perilaku, peringatan untuk anggota dewan dari posisi sentralnya di DPR untuk jangka waktu tertentu, dan ancaman untuk mengundurkan diri dari kepemimpinan Komite. Di Inggris, pelanggaran kode etik dihukum dengan teguran atau peringatan, pemindahan dari rumah dinas, dan pengusiran. Di Amerika Serikat, pelanggaran kode etik yang dihukum dengan kecaman, teguran, denda, kehilangan posisi pada alat kelengkapan dan pengusiran.
52
Rick Stapenhurst and Riccardo Pelizzo. Legislative Ethics and Codes of Conduct: Series on Contemporary Issues in Parliamentary Development . (The World Bank Institute. Washington, D.C. 20433, U.S.A. 2004), 20.
88
Pada Tahun 1993, Willa Bruce melakukan survey, dan ditemukan bahwa sebuah kode etik berkaitan erat dengan sanksi53. Menurutnya sanksi adalah cara terbaik memberantas korupsi pada pemerintahan. Atas dasar temuan ini Bruce mengatakan bahwa sanksi yang berat akan melahirkan sebuah kepatuhan terhadap kode etik. Tidak hanya sanksi yang berat namun juga tegas. Untuk itu diperlukan sebuah lembaga yang bisa menjaga kode etik. BK hadir sebagai penjaga kode etik DPR dan seyogyanya sanksi dalam kode etik DPR harus dibuat sanksi yang sedemikian berat agar para pelanggar kode etik tidak berani untuk melanggarnya. BK DPR telah berdiri selama delapan tahun, usia yang masih terbilang muda untuk sebuah lembaga penegak etik. Diharapkan kehadiran BK menjadi penyelamat citra Parlemen yang selama ini rusak oleh anggota Parlemen yang nakal.
53
Willa Bruce. Codes of Ethics and Codes of Conduct: Perceived Contribution to the Practice of Ethics in Local Government. (Public Integrity Annual, CSG & ASPA, 1996), 27.
89
BAB V PENUTUP
A.
Kesimpulan Dari Pemaparan skripsi mengenai Badan Kehormatan DPR ini ada
beberapa kesimpulan yang penulis ambil. Pertama, Pembentukkan BK DPR sebagai sebuah alat kelengkapan tetap merupakan sebuah kemajuan bagi penegakkan etika dalam parlemen Indonesia. Jikalau sebelumnya BK hanya sebatas alat kelengkapan sementara (ad hoc), kini BK menjadi tetap dan telah dibuat peraturan DPR mengenai tata hukum BK. Kehadiran BK sebagai penegak etika disatu sisi memberikan nilai positif terhadap parlemen Indonesia. Kehadiran BK merupakan tanggung jawab moral anggota legislator terhadap kosntituennya. Namun tidak sedikit yang beranggapan bahwa kehadiran BK tidak mengurangi citra buruk yang dimiliki DPR. Kedua, BK telah mengalami kemajuan yang signifikan dalam penanganan kasus pelanggaran kode etik. Terlihat dari terbentuknya mengenai skema tata beracara BK DPR dalam Peraturan DPR No.2 Tahun 2011. Dari dua kasus yang penulis teliti, BK terlihat sangat pro aktif dalam penegakkan kode etik, BK secara cepat melakukan pemanggillan tersangka kasus pelanggaran kode etik. Satu kasus terselesaikan namun satu kasus lagi BK mengalami kesulitan. Pada periode 20092014, BK telah melakukan persidangan terhadap 35 perkara kasus yang masuk ke BK, 25 diantaranya merupakan kasus tanpa pengaduan. Artinya BK telah bertindak responsif terhadap pelanggaran kode etik.
90
Ketiga, tindakkan responsif BK ternyata tidak membuat masyarakat memandang positif DPR dan juga kinerja BK. BK mengalami dilema dalam menyidangkan beberapa kasus pelanggaran kode etik. Dilematis BK ini terjadi karena BK masih menjadi alat kepanjangan tangan dari fraksi. Fraksi masih kuat mendominasi BK. BK adalah lembaga penegak etika, memang bukan masalah hukum yang BK tegakkan, namun masalah etika juga penting. Anggota DPR adalah perwujudan perwakilan rakyat yang dipilih langsung oleh rakyat sendiri. Mereka mempunyai tanggung jawab moral terhadap yang memilihnya. Untuk itu fraksi harus melepas dominasinya terhadap BK. Dengan itu diharapakn para anggota DPR berperilaku sebagaimana mestinya wakil rakyat.
B.
Saran Dari penjelasan secara keseluruhan, skripsi ini menitikberatkan kepada cara
penanganan kasus video pornogafi dan kasus upaya pemerasan BUMN. Serta melihat apakah BK dalam menyidangkan kedua kasus tersebut mengamai dilema. Penanganan dua kasus tersebut sudah benar merujuk pada Peraturan DPR No.2 tahun 2011 mengenai Skema Tata Beracara BK DPR. BK adalah alat kelengkapan DPR. Alat kelengkapan memang merupakan kepanjangan tangan dari fraksi, namun BK adalah alat kelengkapan yang menegakkan kode etik. Dalam suatu penegakkan sudah seharusnya alat kelengkapan ini bersifat independen. Meskipun tidak bisa sepenuhnya independen, BK seharusnya memasukkan keanggotaannya dari pihak eksternal seperti dewan etik KPU (Komisi Pemilihan Umum), PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) dll. Dengan
91
masuknnya pihak eksternal diharapkan penegakkan kode etik tidak menjadi tebang pilih dan BK tidak mengalami dilema. Perubahan Badan Kehormatan DPR ke depan harus difokuskan pada penyingkiran hambatan prosedural ataupun politik dalam pemrosesan indikasi pelanggaran tata tertib dan kode etik DPR. Badan Kehormatan DPR ke depan harus lebih proaktif lagi dalam menyikapi isu yang berkembang di publik ataupun laporan masyarakat mengenai indikasi pelanggaran kode etik anggota DPR. Karena itulah Badan Kehormatan DPR harus menyusun strategi dan sistem pengawasan yang efektif terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi DPR Penulis harap dimasa mendatang penanganan kasus oleh BK menjadi jauh lebih baik dan kewenangan BK yang besar tidak dibajak oleh kepentingan fraksi. BK DPR juga diharapkan menjadi tulang pungung penegakkan etik diberbagai lembaga lain. Penulisan skripsi ini memang jauh dari kata sempurna, maka dari itu saran dan kritik terhadap penulisan skripsi ini sangat penulis harapkan.
92
DAFTAR PUSTAKA
Buku Asshiddiqie, Jimly. 2006. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, edisi revisi. Jakarta. Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. Bruce, Willa. 1996. Codes of Ethics and Codes of Conduct: Perceived Contribution to the Practice of Ethics inLocal Government. CSG & ASPA: Public Integrity Annual. Budiharjo, Meriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Edisi Revisi. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama. Hidayat, Aceng. 2006. Modul Ekonemi Kelembagaan. IPB press. Bogor. Laporan Kinerja DPR RI Periode 2004-2009. 2010. Jakarta. Sekretariat jenderal DPR. Laporan Kinerja DPR Periode 2009-2010 (tahun Pertama dan Kedua). 2013. Jakarta. Sekretariat Jenderal DPR. Rights, W Scott. Institutions and Organitations. California. Thousand Oaks .2008. Stapenhurst, Rick and Riccardo Pelizzo. 2004.Legislative Ethics and Codes of Conduct: Series on Contemporary Issues in Parliamentary Development . Washington DC, USA. The World Bank Institute. Salam, Burhanuddin. 2002.Etika Sosial, Asas Moral dalam Kehidupan Manusia. Jakarta. PT Rineka Cipta. Thompson, Dennis. Etika Politik Pejabat Jakarta.Yayasan obor Indonesia. 2002.
Negara,
ed:
Terjemahan.
Widjajanti, Rosmariah Sjafariah. 2012. Etika. Jakarta. Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah. Zubair, Achmad Kharis. 1995.Kuliah Etika. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada.
Skripsi Awaliah, Nur Neneng. Etika Politik: Pemikiran Komarrudin Hidayat. Jakarta. 2012.
x
Artikel dan Jurnal Alim, Hifidzi. Merumuskan Etika Legislatif. 2004. Diunduh pada 28 Mei 2013 (www.suaramerdeka.com). Badoy,
Ibrahim Z.Fahmi. 2005. Penguatan Fungsi Pengawasan Badan Kehormatan DPR RI. Diunduh 4 November 2012 (www.parlement.net).
Brien, Andrew. 1998. A Code of Conduct for Parliamentarians? Research Paper2, Department of the Parliamentary Library. Parliament of Australia. European Centre for Parliamentary Research and Documentation (EPCRD). 2004. Parliamentary Codes of Conduct in Europe. Diunduh pada 1 Oktober 2013( http://www.europarl.eu.int) Fiorini, Ann. 2003. Business and Global Governance: The Growing Role of Corporate Codes of Conduct. Brookings Review. vol.2. Konsideran BK DPR. 2004. (www.bkwordpress.com).
Diunduh
pada
20
Juni
2013
LSHK dan ICW. 2010. Laporan dan Masukkan Terhadap Kode Etik DPR. Diunduh pada 5 mei 2013 (www.parlement.net). National Democratic Institute. 1999. LEGISLATIVE ETHICS: A Comparative Analysis, Legislative Research. Paper #4. Saharuddin. 2001. Nilai Kultur Inti dan Institusi Lokal Dalam Konteks Masyarakat Multi-Etnis. Diunduh pada 30 April 2013 (www.rida’sblogspot.com). Syahyuti. 2008. Lembaga dan Organisasi Petani dalam Negara dan Pasar. Diunduh pada 1 Mei 2013 (www.shayuti’sblogspot.com). Internet http://nasional.kompas.com/read/2012/12/06/13593284/Tak.Ada.Sanksi.Berat.unt uk.Anggota.DPR.Pelanggar.Etika. Diakses pada 27 September 2013. www.dpr.go.id/berita.bk/BK.Putuskan.empat.anggota.dewan.diberi.sangsi. Diakses pada 27 September 2013. www.dpr.go.id/berita-bk/Prakosa:-Hanya-DPR-yang-Laksanakan-Sidang-Etik. Diakses pada 27 September 2013. ww.nasional/kompas.com/Inilah.Awal.Mula.Kisruh.Kongkalikong.BUMN. Diakses pada 27 September 2013.
xi
www.nasioanal-kompas.com/BK:.Dirut.PT.PAL.Terima.SMS.Pemerasan. Diakses pada 27 September 2013. http://vivanews.com/read/2012/11/28/Dirut.merpati.dan.anggota.dpr.saling.adu.be rkas. Diakses pada 25 September 2013. http://vivanews.com/read/2012/11/28/Dirut.merpati.dan.anggota.dpr.saling.adu.be rkas. Diakses pada 25 September 2013. http://nasional.kompas.com/read/2012/11/09/17062984/Achsanul.Saya.Sudah.Kal ah.30.dari.Dahla-n. Diakses pada 9 Septemebr 2013. http://nasional.kompas.com/read/2012/11/20/13573634/Dirut.Merpati.Pastikan.2. Politisi.Tak.Mem-eras. Diakses pada 25 September 2013. http://nasional.kompas.com/read/2012/12/06/13113268/Tuduhan.Pemerasan.Emp at.Anggota.DPR.Langgar.Etika?utm_source=WP&utm_medium=Ktpidx &utm_campaign. Diakses pada tanggal 20 April 2013. http://nasional.kompas.com/read/2012/11/06/10193420/Memungut.Upeti.BUMN. Diakses pada 9 September 2013. http://nasional.kompas.com/read/2012/11/05/13111961/Ada.Tiga.Pemerasan.BU MN.yang.Dilapor-kan.Dahlan. Diakses pada 8 September 2013. http://nasional.kompas.com/read/2012/10/31/11463449/BK.DPR.Segera.Panggil. Dahlan.Iskan. Diakses pada 7 September 2013. http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/10/30/12401144/Dahlan.Ada.10.Ok num.Anggota.DPR.yang.Minta.Jatah. Diakses pada Tanggal 7 September 2013. www.nasional.kompas/read/2012/10/29/15370750/Maruzki.Dukung.Dahlan.Sebut .Peminta.Upeti. Diakses pada Tanggal 6 September 2013. http://nasional.kompas.com/read/2012/10/25/16550058/Kesinisan.Parpol.kepada. Dahlan.Iskan.Ter-kait.Pemilu.2014. Diakses pada Tanggal 5 September 2013. www.kompas.com/read/2012/10/25/14575256/Audit.BPK.ke.PLN.Salah.Alamat. Diakses pada tanggal 5 September 2013. www.kompas.com/read/2012/10/22/1321264/Dahlan.Iskan.Absen..Rapat.Temuan .BPK.Batal. Diakses Pada Tanggal 5 September 2013.
xii
www.detik/beda-kasus-ariel dan -videoporno-mirip-anggotadpr-versi-tifatul.com. Diakses pada tanggal 3 September 2013. www.tempo/BK-Kembali-usut-kasus-video-pornografi-yang-didua-miripanggotadewan.com Diakses pada tanggal 3 September 2013. www.okezone/kepolisian-kebingungan-dalam-mengungkap-keaslian-video porno.com. Diakses pada 3 September 2013. www.tempo/kominfo:-data-penyebaran-video-porno-sudah-lengkap.com Diakses pada tanggal 3 September 2013. www.tempo/polisi-cari-videomesum-mirip-politikus.com. Diakses pada tanggal 1 September 2013. www.tribunnews/ahli-laporkan-analisa-video-kepada-bk.com. Diakses pada 1 September 2013. www.tribunnews/bk-putuskan-soal-video-porno-besok/.com. Diakses pada 1 September 2013. www.tempo/cornellis-curiga-penyebaran-video-porno-bermotif-politik.com. Diakses pada tanggal 1 September 2013. www.tempo/bkdpr-periksa-karolin-soal-videomesum/.com. Diakses pada tangal 1 September 2013. www.tempo/george-toisutta-bantah-di balik-videoporno- anggotadpr.com Diakses pada 1 September 2013. www.tempo.com/kronologi-beredarnya-videoporno-anggotadpr.com Diakses pada 1 September 2013. www.tempo.com/ Kasus Video Porno, BK DPR Undang Tim Ahli Telematika. Diakses pada tanggal 5 November 2012. http://nasional.kompas.com/read/2012/12/06/13113268/Tuduhan.Pemerasan.Emp at.Anggota.DPR.Langgar.Etika?utm_source=WP&utm_medium=Ktpidx &utm_campaign=. Diakses pada tanggal 20 April 2013. Undang-Undang Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia No. 16/DPR RI/I/20042005 (Tentang Kode Etik DPR RI Tahun 2004).
xiii
Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia No. 08/DPR RI/I/2005.2006 (Tentang Peraturan Tata-Tertib DPR) Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia No. 01/DPR RI/IV/2007-2008 (Tentang Tata Beracara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Kehormatan DPR RI). Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia No : 02 Tahun 2011 (Tentang Tata Beracara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Kehormatan DPR RI). Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia No. 1/DPR RI/TAHUN 2009 (Tentang Peraturan Tata Tertib DPR). Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia No. 1/DPR RI/ Tahun 2011 (Tentang Kode Etik DPR RI Tahun 2011). UU No. 4 Tahun 1999 (Mengenai Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD). UU No. 22 Tahun 2003 (Mengenai Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD). UU No. 27 Tahun 2009 (Mengenai Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD).
xiv
PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 2
TAHUN 2011
TENTANG TATA BERACARA BADAN KEHORMATAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 129 dan Pasal 216 ayat (2) Undang-Undang
Nomor
27
Tahun
Permusyawaratan
Rakyat,
Dewan
2009
Perwakilan
tentang
Majelis
Rakyat,
Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah perlu menetapkan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia tentang Tata Beracara Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia;
Mengingat:
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043); 2. Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 01/DPR RI/ I/2009-2010 Tentang Tata Tertib; 3. Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor ….. Tahun ….. tentang Kode Etik; 1
M E M U T U S K A N: Menetapkan:
PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
KEHORMATAN
TATA
DEWAN
BERACARA
PERWAKILAN
BADAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA.
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan: 1.
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, selanjutnya disingkat DPR RI, adalah Dewan Perwakilan Rakyat
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2.
Anggota DPR RI adalah wakil rakyat dan pejabat negara yang telah bersumpah atau berjanji sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan dalam melaksanakan tugasnya sungguh memperhatikan kepentingan rakyat.
3.
Badan Kehormatan DPR RI, selanjutnya disebut Badan Kehormatan, adalah alat kelengkapan DPR RI yang bersifat tetap sebagaimana dimaksud dalam Peraturan DPR RI tentang Tata Tertib.
4.
Peraturan DPR RI tentang Tata Tertib, selanjutnya disebut Tata Tertib, adalah peraturan yang mengatur susunan, kedudukan, fungsi, tugas, wewenang, keanggotaan, hak dan kewajiban, serta tanggung jawab DPR RI beserta alat kelengkapannya dalam rangka melaksanakan kehidupan kenegaraan yang demokratis konstitusional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
5.
Peraturan DPR RI tentang Kode Etik, selanjutnya disebut Kode Etik, adalah normanorma atau aturan-aturan yang merupakan kesatuan landasan etik atau filosofis dengan peraturan baik perilaku maupun ucapan mengenai hal-hal yang diwajibkan, dilarang, atau tidak patut dilakukan oleh Anggota DPR RI.
6.
Pimpinan DPR RI adalah alat kelengkapan DPR RI dan merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif kolegial sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Tata Tertib. 2
7.
Pimpinan Alat Kelengkapan DPR RI, selanjutnya disebut Pimpinan Alat Kelengkapan, adalah Pimpinan DPR RI, Pimpinan Badan Musyawarah, Pimpinan Komisi, Pimpinan Badan Legislasi, Pimpinan Badan Anggaran, Pimpinan Badan Akuntabilitas Keuangan Negara, Pimpinan Badan Urusan Rumah Tangga, Pimpinan Badan Kerja Sama AntarParlemen, Pimpinan Badan Kehormatan, dan Pimpinan Panitia Khusus, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Tata Tertib.
8.
Pengaduan adalah laporan yang dibuat secara tertulis disertai bukti awal yang cukup terhadap tindakan dan/atau peristiwa yang patut diduga sebagai pelanggaran yang dilakukan oleh Anggota DPR RI.
9.
Pengadu adalah Pimpinan DPR RI, setiap orang, kelompok atau organisasi yang menyampaikan Pengaduan.
10.
Teradu adalah Anggota DPR RI atau pimpinan alat kelengkapan termasuk Pimpinan DPR RI.
11.
Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan
dalam
Sidang Badan
Kehormatan tentang suatu pelanggaran yang dilihat, dialami, atau didengar sendiri. 12.
Ahli adalah seseorang yang memiliki pengetahuan tertentu, yang diperoleh berdasarkan pendidikan atau pengalamannya.
13.
Rapat Badan Kehormatan adalah rapat yang dipimpin oleh pimpinan Badan Kehormatan dan dihadiri oleh anggota Badan Kehormatan guna melaksanakan tugas dan wewenang Badan Kehormatan.
14.
Sidang Badan Kehormatan adalah proses penyelidikan, mendengarkan keterangan Pengadu dan Teradu, memeriksa Alat Bukti, dan mendengarkan pembelaan Teradu terhadap materi Pengaduan berdasarkan Peraturan Tata Tertib dan Kode Etik yang dihadiri Pengadu, Teradu, Saksi, Ahli atau pihak lain yang diperlukan oleh Badan Kehormatan baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri.
15.
Sekretariat Badan Kehormatan, selanjutnya disebut Sekretariat, adalah unsur pendukung teknis administratif dan keahlian kepada Badan Kehormatan.
16.
Tenaga Ahli Badan Kehormatan, selanjutnya disebut Tenaga Ahli, adalah pegawai tidak tetap pada sekretariat jenderal DPR RI yang membantu memberikan masukan secara akademis kepada Badan Kehormatan.
17.
Alat Bukti adalah sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa.
3
18.
Verifikasi adalah proses pemeriksaan terhadap unsur administratif dan materi Pengaduan.
19.
Penyelidikan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari dan menemukan bukti terkait dengan suatu peristiwa yang diduga sebagai pelanggaran terhadap peraturan perundangundangan, Tata Tertib, dan Kode Etik, yang dilakukan sebelum dan pada saat Sidang Badan Kehormatan.
20.
Penyelidik adalah pimpinan dan seluruh anggota Badan Kehormatan dengan dibantu Sekretariat dan Tenaga Ahli.
BAB II MATERI DAN TATA CARA PENGADUAN Bagian Kesatu Umum Pasal 2 (1) Badan Kehormatan bertugas melakukan penyelidikan dan Verifikasi atas Pengaduan terhadap Anggota DPR RI karena: a. tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam undang-undang; b. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai Anggota DPR RI selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa alasan yang sah; c. tidak menghadiri Rapat Paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPR RI yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah dan jelas; d. tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon Anggota DPR RI sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD; dan/atau e. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, Tata Tertib dan Kode Etik. (2) Kehadiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c adalah kehadiran fisik Anggota DPR RI yang dibuktikan secara administratif melalui tanda tangan daftar hadir. (3) Sekretariat Rapat Paripurna dan sekretariat alat kelengkapan DPR RI setelah rapat selesai, menyampaikan daftar kehadiran Anggota DPR RI kepada Badan Kehormatan. 4
Pasal 3 (1) Pelanggaran yang tidak memerlukan Pengaduan adalah pelanggaran yang dilakukan oleh Anggota DPR RI berupa: a. ketidakhadiran dalam rapat DPR RI yang menjadi kewajibannya; b. tertangkap tangan atas pelanggaran peraturan perundang-undangan; c. dugaan pelanggaran Kode Etik dan Tata Tertib yang sudah tersiar di beberapa media cetak dan/atau elektronik; dan d. terbukti melakukan tindak pidana dengan ancaman lebih dari 5 (lima) tahun penjara dan
telah mendapatkan putusan yang berkekuatan hukum tetap (in kracht van
gewisjde/final and binding). (2) Penanganan pelanggaran yang tidak memerlukan Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan: a. hasil Verifikasi terhadap pelanggaran yang tidak memerlukan Pengaduan b. usulan anggota Badan Kehormatan atau pimpinan Badan Kehormatan. (3) Rapat Badan Kehormatan memutuskan tindak lanjut terhadap penanganan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) (4) Badan Kehormatan menyampaikan pemberitahuan kepada Pimpinan DPR terhadap penanganan terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Bagian Kedua Materi Pengaduan Pasal 4 (1) Pengaduan yang diajukan kepada Badan Kehormatan memuat: a. identitas Pengadu; b. identitas Teradu; dan c. uraian peristiwa yang diduga pelanggaran. (3) Identitas Pengadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilengkapi identitas diri yang sah yang meliputi: a. nama lengkap; b. tempat tanggal lahir/umur; c. jenis kelamin; d. pekerjaan; e. kewarganegaraan; dan 5
f. alamat lengkap/domisili. (3) Dalam hal Pengadu adalah kelompok atau organisasi, identitas Pengadu dilengkapi dengan akta notaris, struktur organisasi atau AD/ART lembaga beserta pilihan domisili hukum yang dapat dihubungi. (4) Identitas Teradu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi: a. nama lengkap; dan b. partai/fraksi. (5) Uraian peristiwa yang diduga pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi uraian singkat fakta perbuatan yang dilakukan oleh Teradu dengan kejelasan mengenai tempat dan waktu terjadinya disertai bukti awal. Pasal 5 Pengaduan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ditandatangani atau diberi cap jempol Pengadu. Bagian Ketiga Tata Cara Pengaduan Pasal 6 (1) Pengaduan kepada Badan Kehormatan disampaikan oleh Pimpinan DPR RI, setiap orang, kelompok atau organisasi. (2) Pengaduan yang disampaikan oleh Pimpinan DPR RI kepada Badan Kehormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari Anggota DPR RI dan/atau masyarakat. Pasal 7 (1) Pengaduan diajukan secara tertulis dan lisan dalam bahasa Indonesia. (2) Dalam hal Pengadu tidak dapat menulis, Pengaduan dapat disampaikan secara lisan. (3) Dalam hal Pengaduan disampaikan secara lisan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Sekretariat menuliskan Pengaduan lisan tersebut. (4) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dibacakan kepada Pengadu dan ditandatangani atau diberi cap jempol oleh Pengadu.
6
Pasal 8 (1)
Pengaduan diajukan kepada Badan Kehormatan melalui Sekretariat pada hari kerja.
(2)
Setelah
menerima
Pengaduan,
Sekretariat
melakukan
Verifikasi
kelengkapan
Pengaduan meliputi: a. identitas Pengadu yang masih berlaku; b. identitas Teradu; c. permasalahan yang diadukan; dan d. bukti-bukti yang berkaitan dengan fakta/peristiwa yang diadukan. (3)
Untuk melakukan Penyelidikan dan Verifikasi terhadap unsur adminstratif dan materi Pengaduan, Badan Kehormatan dibantu oleh Sekretariat dan Tenaga Ahli.
(4)
Sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) melakukan Verifikasi terhadap kelengkapan administrasi Pengaduan.
(5)
Dalam hal Pengaduan telah dinyatakan lengkap secara administratif dan memenuhi ketentuan Tata Tertib, Kode Etik dan
Tata Beracara, Pengaduan diterima oleh
Sekretariat dan kepada Pengadu diberikan surat tanda penerimaan Pengaduan dan selanjutnya diajukan dalam Rapat Badan Kehormatan. (6)
Dalam hal Pengaduan belum lengkap, Sekretariat memberitahukan kepada Pengadu tentang kekuranglengkapan Pengaduan, dan Pengadu diminta melengkapi Pengaduan dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya surat pemberitahuan kekuranglengkapan Pengaduan.
(7)
Apabila kelengkapan Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak dipenuhi, Pengaduan tidak diregistrasi dalam buku register.
(8)
Pengaduan yang dinyatakan tidak diterima dan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak dipenuhi, tidak dapat diajukan kembali, kecuali ditemukan buktibukti baru.
(9)
Pengaduan diajukan tanpa dibebani biaya.
(10) Tenaga Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (3) melakukan Verifikasi terhadap materi Pengaduan dalam waktu paling lambat 5 (lima) hari kerja (11) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (10), materi tersebut dapat berupa hasil Verifikasi yang dapat ditindaklanjuti, atau tidak ditindaklanjuti, yang diputuskan dalam Rapat Badan Kehormatan.
7
Pasal 9 Pengaduan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 gugur apabila Teradu: a.
meninggal dunia;
b.
telah mengundurkan diri; atau
c.
telah ditarik oleh partai melalui fraksinya. Pasal 10
(1)
Badan Kehormatan dapat melakukan Penyelidikan, baik sebelum maupun pada saat Sidang Badan Kehormatan.
(2)
Penyelidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan Penyelidikan ke daerah guna mencari kebenaran dari suatu Pengaduan atau kebenaran Alat Bukti yang didapatkan dalam Sidang Badan Kehormatan.
(3)
Hasil dari penyelidikan merupakan Alat Bukti.
(4)
Dalam rangka melaksanakan tugas penyelidikan, Badan Kehormatan dibantu oleh Sekretariat dan Tenaga Ahli. Pasal 11
Badan Kehormatan wajib merahasiakan materi Pengaduan dan proses Verifikasi sampai dengan perkara diputus. BAB III PENJADWALAN RAPAT DAN SIDANG Pasal 12 (1) Rapat dan sidang dapat dilakukan, baik di dalam maupun di luar Kompleks Gedung
MPR/DPR/DPD RI. (2) Materi Pengaduan yang secara administratif telah diregistrasi, tidak dapat ditarik
kembali, kecuali Badan Kehormatan menentukan lain. Pasal 13 (1) Badan Kehormatan memutuskan untuk menindaklanjuti, atau tidak menindaklanjuti
Pengaduan berdasarkan kelengkapan data atau bukti-bukti Pengaduan. 8
(2) Selain memutuskan untuk menindaklanjuti Pengaduan berdasarkan kelengkapan data atau
bukti-bukti
Pengaduan,
Badan
Kehormatan
dapat
menindaklanjuti
atau
tidak
menindaklanjuti pelanggaran yang tidak memerlukan Pengaduan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. (3) Dalam hal Badan Kehormatan memutuskan untuk menindaklanjuti Pengaduan, materi
Pengaduan disampaikan kepada Teradu dan pimpinan fraksi Teradu dengan surat resmi, paling lambat dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja setelah Badan Kehormatan memutuskan untuk menindaklanjuti Pengaduan. BAB IV SIDANG Bagian Kesatu Sidang Badan Kehormatan Pasal 14 (1) Sidang Badan Kehormatan meliputi: a. mendengarkan pokok permasalahan yang diajukan oleh Pengadu; b. mendengarkan keterangan Teradu; c. memeriksa Alat Bukti; dan d. mendengarkan pembelaan Teradu. (2) Dalam hal pelanggaran yang tidak memerlukan Pengaduan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Sidang Badan Kehormatan dilakukan tanpa mendengarkan keterangan dari Pengadu. Pasal 15 (1) Sidang Badan Kehormatan bersifat tertutup. (2) Badan Kehormatan wajib menjaga kerahasiaan informasi yang diperoleh dalam Sidang
Badan Kehormatan. Pasal 16 (1) Pimpinan Badan Kehormatan menetapkan hari sidang pertama untuk mendengarkan pokok
permasalahan yang diajukan oleh Pengadu dalam jangka waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak Pengaduan diputuskan untuk ditindaklanjuti dalam Rapat Badan Kehormatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3). 9
(2) Dalam hal Pengadu tinggal di luar kota, Badan Kehormatan tidak menanggung biaya
transportasi dan akomodasi. Pasal 17 Pimpinan Badan Kehormatan menetapkan hari sidang kedua untuk mendengarkan keterangan Teradu dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak Pengadu didengarkan dalam sidang pertama Badan Kehormatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1). Pasal 18 (1) Badan Kehormatan menyampaikan surat panggilan sidang kepada Teradu dengan ditembuskan kepada pimpinan fraksi Teradu paling lambat 5 (lima) hari kerja sebelum Sidang Badan Kehormatan. (2) Surat panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling banyak 3 (tiga) kali. (3) Teradu dapat tidak memenuhi panggilan sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan alasan sakit yang memerlukan perawatan secara intensif atau rawat inap yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter. (4) Teradu dapat tidak memenuhi panggilan sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikarenakan tugas negara dibuktikan dengan Surat Keputusan Pimpinan DPR RI, serta surat keterangan pimpinan komisi atau pimpinan fraksi. (5) Tugas negara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bukan merupakan tugas keseharian Anggota DPR RI melainkan tugas kenegaraan yang tidak bisa diwakilkan. Pasal 19 (1)
Teradu wajib hadir sendiri dan tidak dapat menguasakan kepada pihak lain atau tidak dapat didampingi oleh penasihat hukum dalam setiap tahap Sidang Badan Kehormatan.
(2) Dalam hal Teradu tidak menghadiri panggilan sidang dengan alasan sakit dan tugas negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) dan ayat (4), sidang ditunda. (3)
Jangka waktu penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak panggilan pertama.
(4)
Jika Teradu tidak memenuhi panggilan Badan Kehormatan sebanyak 3 (tiga) kali tanpa alasan yang sah, Badan Kehormatan melakukan rapat untuk mengambil keputusan tanpa kehadiran Teradu (in absentia). 10
Bagian Kedua Pemeriksaan Alat Bukti Pasal 20 (1) Pengadu mengajukan Alat Bukti untuk membuktikan kebenaran Pengaduannya. (2)
Teradu berhak mengajukan kontra Alat Bukti terhadap Pengaduan yang diajukan oleh Pengadu.
(3)
Badan Kehormatan dapat meminta Alat Bukti lain kepada pihak ketiga. Pasal 21
Alat Bukti yang dipakai dalam Sidang Badan Kehormatan meliputi: a.
keterangan Saksi;
b.
keterangan Ahli;
c.
surat;
d.
data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik atau optik yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna;
e.
keterangan Pengadu dan Teradu; dan/atau
f.
petunjuk lain. Pasal 22
(1)
Keterangan Saksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a, dapat disampaikan oleh Saksi yang diajukan:
(2)
a.
Pengadu;
b.
Teradu; dan/atau
c.
Badan Kehormatan.
Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipanggil oleh Badan Kehormatan untuk memberikan keterangan di Sidang Badan Kehormatan.
(3)
Panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat secara tertulis dan harus sudah diterima oleh Saksi paling lambat 3 (tiga) hari sebelum Sidang Badan Kehormatan.
11
Pasal 23 (1)
(2)
Pemeriksaan Saksi meliputi: a.
identitas Saksi; dan
b.
pengetahuan Saksi tentang materi perkara yang sedang diverifikasi.
Identitas Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: a.
nama lengkap;
b.
tempat tanggal lahir/umur;
c.
jenis kelamin;
d.
pekerjaan; dan
e.
alamat/domisili.
yang dibuktikan dengan KTP atau identitas resmi lainnya. (3) Pengetahuan Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terbatas pada apa yang
dilihat, didengar, dan dialami sendiri. (4) Jika diperlukan, saksi dapat disumpah sebelum didengarkan keterangannya.
Pasal 24 (1)
Keterangan Ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b, dapat disampaikan oleh Ahli yang diajukan:
(2)
a.
Pengadu;
b.
Teradu; dan/atau
c.
Badan Kehormatan.
Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipanggil oleh Badan Kehormatan untuk memberikan keterangan dalam Sidang Badan Kehormatan.
(3)
Panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan secara tertulis dan harus sudah diterima oleh Ahli paling lambat 3 (tiga) hari sebelum Sidang Badan Kehormatan.
(4) Jika diperlukan, Ahli dapat disumpah sebelum didengarkan keterangannya. Pasal 25 (1)
Pemeriksaan Ahli meliputi: a. identitas Ahli; dan b. pengetahuan Ahli berkenaan dengan materi perkara yang sedang diperiksa atau Alat Bukti surat dan data informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf c dan huruf d.
12
(2)
Identitas Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: a. nama lengkap; b. tempat, tanggal lahir/umur; c. jenis kelamin; d. pekerjaan; c. alamat/domisili; dan d. keahlian.
(3)
Pengetahuan Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, didasarkan pada pendidikan, keahlian dan pengalamannya. Pasal 26
(1) Alat Bukti surat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf c adalah surat asli atau jika berupa fotokopi harus dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang. (2) Alat Bukti surat yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hanya menjadi petunjuk. Pasal 27 (1) Alat Bukti data atau informasi elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf d, dapat diperoleh dari: a. Pengadu; b. Teradu; dan/atau c. sumber lain yang dapat dipertanggungjawabkan. (2) Untuk menentukan kebenaran Alat Bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Badan Kehormatan dapat meminta keterangan Ahli. Pasal 28 Keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf e disampaikan secara lisan dalam Sidang Badan Kehormatan. Pasal 29 (1) Badan Kehormatan menilai Alat Bukti yang diajukan dalam pemeriksaan dengan memperhatikan persesuaian antara Alat Bukti yang satu dengan Alat Bukti yang lain.
13
(2) Badan Kehormatan menentukan sah atau tidaknya Alat Bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21. Bagian Ketiga Pemeriksaan Terhadap Pimpinan dan/atau Anggota Badan Kehormatan Pasal 30 (1) Pimpinan dan anggota Badan Kehormatan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya harus mematuhi peraturan tata beracara ini. (2) Apabila ada Pengaduan tentang dugaan pelanggaran dalam pelaksanaan sidang sebagaimana diatur dalam tata beracara ini yang dilakukan oleh pimpinan dan/atau anggota Badan Kehormatan, Pengaduan ditindaklanjuti oleh Badan Kehormatan berdasarkan hasil Rapat Badan Kehormatan. Pasal 31 (1) Dalam hal Teradu adalah pimpinan dan/atau anggota Badan Kehormatan dan Pengaduan dinyatakan memenuhi syarat dan lengkap dalam Rapat Badan Kehormatan, pimpinan Badan Kehormatan memberitahukan kepada Pimpinan DPR RI dan pimpinan fraksi bahwa Teradu akan diproses lebih lanjut. (2) Setelah menerima pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pimpinan DPR RI menonaktifkan sementara waktu pimpinan dan/atau anggota Badan Kehormatan yang diadukan. (3) Dalam hal Badan Kehormatan memutuskan bahwa Teradu tidak terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana yang diadukan, maka kedudukan sebagai pimpinan dan/atau anggota Badan Kehormatan diaktifkan kembali oleh Pimpinan DPR RI. Bagian Keempat Pembelaan Pasal 32 (1) Teradu berhak mengajukan pembelaan di Sidang Badan Kehormatan. (2) Pembelaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan sendiri dan tidak dapat dikuasakan kepada pihak lain.
14
BAB V KEPUTUSAN Pasal 33 (1) Keputusan Badan Kehormatan didasarkan atas: a. asas kepatutan, moral, dan etika; b. fakta dalam hasil Sidang Badan Kehormatan; c. fakta dalam pembuktian; d. fakta dalam pembelaan; dan e. Tata Tertib dan Kode Etik. (2) Anggota, pimpinan fraksi, dan/atau Pimpinan DPR RI tidak dibenarkan melakukan upaya intervensi terhadap keputusan Badan Kehormatan. (3) Upaya intervensi terhadap keputusan Badan Kehormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan pelanggaran Kode Etik. Pasal 34 (1) Rapat Badan Kehormatan untuk mengambil keputusan dihadiri oleh lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota Badan Kehormatan dan terdiri atas lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah fraksi pada Badan Kehormatan. (2) Dalam hal jumlah anggota Badan Kehormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memenuhi kuorum, rapat ditunda paling banyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu masing-masing tidak lebih dari 24 (dua puluh empat) jam. (3) Setelah 2 (dua) kali penundaan, kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum juga tercapai, cara penyelesaian kuorum diserahkan kepada Pimpinan DPR RI Pasal 35 (1) Pengambilan keputusan dalam Rapat Badan Kehormatan diambil dengan cara musyawarah untuk mencapai mufakat. (2) Dalam hal pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak. 15
Pasal 36 Setiap keputusan Badan Kehormatan harus memuat: a. kepala keputusan berbunyi “DEMI KEHORMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA”; b. identitas Teradu; c. ringkasan Pengaduan; d. pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dari keterangan Pengadu dan Teradu; e. pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam pembuktian; f. pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam pembelaan; g. pertimbangan hukum dan etika yang menjadi dasar keputusan; h. amar putusan; i. hari dan tanggal keputusan; dan j. nama dan tanda tangan sekurang-kurangnya salah satu unsur pimpinan Pasal 37 (1) Keputusan Rapat Badan Kehormatan bersifat final dan mengikat. (2) Keputusan berlaku sejak tanggal diputuskan dan keputusan tersebut tidak dapat diubah. Pasal 38 (1) Amar putusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf h berbunyi: a. menyatakan Teradu tidak terbukti melanggar; atau b. menyatakan Teradu terbukti melanggar. (2) Dalam hal Teradu tidak terbukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, keputusan disertai rehabilitasi kepada Teradu. (3) Dalam hal Teradu terbukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, keputusan disertai dengan sanksi kepada Teradu berupa: a. teguran lisan; b. teguran tertulis; 16
c. pemindahan keanggotaan pada alat kelengkapan DPR RI; d. pemberhentian dari jabatan Pimpinan DPR RI atau Pimpinan Alat Kelengkapan DPR RI; e. pemberhentian sementara; atau f. pemberhentian sebagai Anggota DPR RI. (4) Selain sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), sanksi mengenai ketidakhadiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dapat diumumkan di Sekretariat berdasarkan keputusan Rapat Badan Kehormatan. BAB VI PELAKSANAAN KEPUTUSAN Pasal 39 (1) Badan Kehormatan menyampaikan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) kepada Pimpinan DPR RI dan ditembuskan kepada pimpinan fraksi yang bersangkutan, paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak tanggal ditetapkannya keputusan. (2) Rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan dalam Rapat Paripurna DPR RI yang pertama sejak diterimanya keputusan Badan Kehormatan oleh Pimpinan DPR RI. (3) Rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagikan kepada seluruh Anggota DPR RI. Pasal 40 Sanksi berupa teguran lisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (3) huruf a, disampaikan Badan Kehormatan kepada Teradu dalam Rapat Badan Kehormatan, paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak tanggal ditetapkannya keputusan. Pasal 41 (1) Sanksi berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (3) huruf b disampaikan oleh Badan Kehormatan kepada Pimpinan DPR RI dan pimpinan fraksi Anggota DPR RI yang bersangkutan, paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak tanggal ditetapkannya keputusan. (2) Pimpinan DPR RI menyampaikan teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Anggota DPR RI yang bersangkutan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal diterimanya keputusan dari Badan Kehormatan. 17
Pasal 42 (1) Sanksi berupa pemindahan keanggotaan dari alat kelengkapan DPR RI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (3) huruf c disampaikan oleh Badan Kehormatan kepada Pimpinan DPR RI dan pimpinan fraksi Anggota DPR RI yang bersangkutan, paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak tanggal ditetapkannya keputusan. (2) Pimpinan DPR RI menyampaikan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Anggota DPR RI yang bersangkutan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal diterimanya keputusan dari Badan Kehormatan. Pasal 43 (1) Sanksi berupa pemberhentian dari jabatan Pimpinan DPR RI atau Pimpinan Alat Kelengkapan DPR RI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (3) huruf d disampaikan oleh Badan Kehormatan kepada Pimpinan DPR RI dan ditembuskan kepada pimpinan fraksi Anggota DPR RI yang bersangkutan paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak tanggal ditetapkannya keputusan. (2)
Pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibacakan dalam Rapat Paripurna DPR RI yang pertama sejak diterimanya keputusan Badan Kehormatan oleh Pimpinan DPR RI. Pasal 44
Tata cara pemberhentian sementara Anggota DPR RI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (3) huruf e dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: a. pimpinan Badan Kehormatan memberitahukan kepada Pimpinan DPR RI tentang adanya Anggota DPR RI yang menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana umum yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih atau menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana khusus; b. pimpinan DPR RI mengirimkan surat untuk meminta status seorang Anggota DPR RI yang menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana dari pejabat yang berwenang, baik dengan adanya pemberitahuan maupun tanpa adanya pemberitahuan dari pimpinan Badan Kehormatan; c. pimpinan DPR RI setelah menerima surat keterangan mengenai status sebagaimana dimaksud dalam huruf b diteruskan kepada Badan Kehormatan; 18
d. Badan Kehormatan
melakukan pemeriksaan mengenai status Anggota DPR RI
sebagaimana dimaksud dalam huruf c dan diambil keputusan; e. keputusan sebagaimana dimaksud dalam huruf d dilaporkan kepada Rapat Paripurna untuk mendapatkan penetapan pemberhentian sementara; dan f. keputusan Rapat Paripurna sebagaimana dimaksud dalam huruf e disampaikan kepada partai politik Anggota DPR RI yang bersangkutan. Pasal 45 (1) Sanksi berupa pemberhentian sebagai Anggota DPR RI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (3) huruf f disampaikan oleh Badan Kehormatan kepada Pimpinan DPR RI dan ditembuskan kepada pimpinan fraksi yang bersangkutan paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak tanggal ditetapkannya keputusan. (2) Pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibacakan dalam Rapat Paripurna DPR RI yang pertama sejak diterimanya keputusan Badan Kehormatan oleh Pimpinan DPR RI. (3) Paling lama 7 (tujuh) hari sejak keputusan Badan Kehormatan yang telah dilaporkan dalam Rapat Paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pimpinan DPR RI menyampaikan keputusan Badan Kehormatan kepada pimpinan partai politik yang bersangkutan. (4) Pimpinan
partai
politik
yang
bersangkutan
menyampaikan
keputusan
tentang
pemberhentian anggotanya kepada Pimpinan DPR RI paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya keputusan Badan Kehormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dari Pimpinan DPR RI. (5) Dalam hal pimpinan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak memberikan keputusan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Pimpinan DPR RI meneruskan keputusan Badan Kehormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Presiden untuk memperoleh peresmian pemberhentian. (6) Presiden meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya keputusan Badan Kehormatan atau keputusan pimpinan partai politik tentang pemberhentian anggotanya.
19
BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 46 Pada saat Peraturan ini mulai berlaku, Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 01/DPR RI/IV/2007-2008 tentang Tata Beracara Pelaksanaan Tugas Dan Wewenang Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 47 Peraturan DPR tentang Tata Beracara Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal,
2011
KETUA,
DR. H. MARZUKI ALIE.
WAKIL KETUA,
WAKIL KETUA,
Drs. H. PRIYO BUDI SANTOSO.
Ir. H. PRAMONO ANUNG WIBOWO, M.M.
WAKIL KETUA,
WAKIL KETUA,
H. M. ANIS MATTA, Lc.
Ir. H. TAUFIK KURNIAWAN, MM
20
Transkrip Wawancara Wawancara dengan M. Nurdin, selaku anggota BK DPR dari Fraksi PDIP Pada Selasa, 19 November 2013 Bertempat di Sekretariat BK DPR, Gedung Nusantara 2
Penulis: “Bagaimana BK dipandangan anggota dewan seperti bapak?” Nurdin: “Kehadiran BK sangatlah penting. Dikarenakan BK menjaga kode etik agar dipatuhi dan nama baik DPR. Jikalau anggota dewan merlakukan pelanggaran seperti tidak hadir 6x berturut-turut, maka siapa yang mengadilinya? BK lah yang menjaga kode etik tersebut. Kehadiran BK juga membuat batasan atas perilaku angota dewan. Perilaku yang disebut pantas dan tidak pantas. Apabila tidak pantas kita akan memberikan teguran baik lisan maupun tertulis. Dari sini kita lihat jikalau tidak ada BK maka siapa yang melaksanakan kode etik tersebut?”
Penulis: “Batasan seperti apa sih pantas atau tidak pantas perilaku anggota dewan?” Nurdin: “Batasan pantas dan tidak pantas, ini kita contohkan dalam lingkungan kantor saja ya. Itu seperti pakailah kendaraan yang pantas untuk hadir dikantor. Janganlah memakai mobil balap untuk kekantor, walau anggota dewan punya tapi itu tidak pantaslah. Berpakaian yang santun, jangan memakai kaos dan sendal. Pakailah seperti orang kantoran lainnya. Karena BK bertuga menjga etik perilaku anggota dewan, maka kita buat batasan seperti itu.” Penulis: “Bagaimana Penanganan Kasus pelangaran etik di BK?” Nurdin: “Secara umum, bisa dijelaskan bahwa BK ini dibentuk berdasarkan UU MD3. Sesuai dengan meningkatkan dan menjaga wibawa dan nama baik dewan itu ada BK. Kemudian pelaksanaan BK adalah menyelesaikan kasus pelangaran etik, bukan hukum. Maka dari itu kalau ada kasus pelangaran hukum itu diselesaikan kepenegak hukum. Nanti setelah ada keputusan tetap barulah BK menindak ulang dari hasil itu. Misal ada kasus korupsi, kita tunggu hasil keputusan dari KPK, atau kepolisian atau dari mahkamah agung. Setelah itu kita berikan sanksi sesuai yang ada di kode etik. Dalam penanganan kasus, kita bertindak sesuai dengan aturan yang ada di UU mengenai BK. Memang pelaksanaan sidang di BK bersifat tertutup, kecuali terkait masalah hukum. Masalah hukum itu kita buka, dan hasil keputusannya kita buka dan laporkan di rapat paripurna. Jikalau ada terbukti maka kita PHP (pergantian antar waktu) dan diumumkan di rapat paripurna. Karena mereka akan mendapatkan pengganti yang ditunjuk dari partainya dan disampaikan kepada pimpinan DPR, presiden dan KPU. Penggantinya itu sesuai urutan dari no urut pencalegan mereka”. Penulis: “Bagaimana penanganan kasus video pornografi dan kasus pemerasan BUMN?” Nurdin: “Kasus video ini memang cukup sulit untuk diselidiki lebih jauh, Pertama sejak awal mula kasus ini beredar kita kesulitan untuk melacak pengunggah pertama
video pornografi ini, dikarenakan alamat websitenya sudah dihapus. Kedua kita sudah memanggil tenaga ahli yang benar-benar ahli dalam bidang digital crime, namun kedua tenaga ahli tersebut berbeda pendapat mengenai keaslian video ini, bahkan pihak kepolisian pun kesulitan untuk mencari bukti-bukti dan keaslian video ini. Siterduga tidak mengakui bahwa dirinya adalah pemeran video tersebut dan dikarenakan tidak kuatnya bukti dan dengan asas praduga tidak bersalah siterduga masih bekerja di DPR. Kita masih akan memangil tenaga ahli lain. Seperti dalam berita kita akan memanggil tenaga ahli yang independen dari tiga universitas ternama di Indonesia. Untuk kasus pemerasan BUMN, menurut pribadi saya itu hanyalah salah pengertian. Ada anggota dewan yang bergurau kepada direktur BUMN, “mau lebaran nih, gimana nih?” namun, hal yang berbeda dirasakan direktur BUMN, saksi merasa ini adalah menganggap bentuk pemerasan. Memang ada yang saksi menyebut kan adanya iuran, namun iuran tersebut adalah untuk menyelenggarakan rapat dengan anggota dewan. Namun kepada BK saksi merasa itu adalah iuran untuk anggota DPR. Anggota dewan yang bergurau itu sudah kita beri sanksi, walaupun hanya bergurau namun itu tidak etis dan tidak pada tempatnya. Kasus ini pada saat itu sungguh luar biasa beritanya. Namun sepertinya, kasus ini oleh pengadu (Dahlan Iskan) terlalu mendramatisir. Karena kita kita tanya kepada pengadu, “mana pak bukti bahwa bapak mengantongi sepuluh nama anggota dewan itu”. namun tidak dikeluarkan oleh Dahlan Iskan. Pada kasus ini anggota dewan kita berikan sanksi karena bertemu dalam rangka dinas namun diluar kantor dan jam kerja.” Penulis: “Bagaimana BK memproses anggota dewan yang tidak hadir berturut-turut seperti disebutkan di kode etik?” Nurdin: “Kehadiran anggota dewan kita fokuskan ke rapat paripurna, jikalau angota dewan dalam rapat paripurna tidak hadir selama 6x berturut-turut. Maka kita panggil dan kita beri peringatan dan di PHP (pergantian antar anggota). Kenapa difokuskan ke rapat paripurna, karena tidak semua anggota dewan sama, anggota dewan mengisi baik dikomisi terkadang anggota dewan harus bekerja di panja, pansus, dan terkadang berkunjung keluar daerah. Maka kita harus menyelidiki mengapa anggota dewan tidak hadir dalam rapat paripurna selama 6x berturut-turut tanpa
keterangan. Memang selama ini tidak ada angota dewan yang di PHP karena absensi anggota dewan”. Penulis: “Mengapa fraksi Gerindra dan Hanura tidak masuk dalam komposisi anggota dewan? Padahal dalam UU mengenai BK disebutkan bahwa komposisi anggita dewan dihitung berdasarkan komposisi fraksi di DPR?” Nurdin: “Itu semua berdasarkan kesepakatan bersama pada awal BK periode 2009-2014 dibentuk. Bahwa pimpinan fraksi dan anggota-anggota komisi sepakat untuk mengisi posisi di berbagai alat kelengkapan. Misal, fraksi terbesar saat ini adalah F-Demokrat, Demokrat diminta memilih ingin mengisi alat kelengakapn apa dan dimana? Mau dikomisi berapa dan alat kelengkapan apa? Begitupun dengan fraksi-fraksi lainnya. Semakin besar suara fraksi di DPR semakin banyak posisi yang bisa diambil. Begitu pula dengan keanggotaan alat kelengkapan. Keanggotaan BK periode ini berjumlah 11 dihitung sesuai dengan jumlah suara di DPR, ketika perhitungan keanggotaan BK sampai di partai PKB saat itu BK sudah pas berjumlah 11. Memang seperti terlihat tidak adil. Tapi ketika hasil persidangan BK hasil itu dibawa di paripurna, jadi semua fraksi bisa melihat hasil persidangan. Dalam kaitannya dengan kode etik dan tata beracara semuanya diselesaikan di BK dan disahkan di paripurna, oleh kerana itu semua terikat karena ini disahkan aturan untuk semua angota dewan dan seluruh pimpinan ”. Penulis: “Bagaimana pendapat bapak mengenai pelesiran keluar negeri? Banyak anggota dewan melakukan studi banding namun diselingi oleh kegiatan yang bukan menjadi tugas?” Nurdin: “Sebetulnya jika studi banding ke luar negeri yang berkaitan dengan kebutuhan tugas anggota dewan itu sah-sah saja. Dalam perumusan sebuah undang-undang kita ada naskah akademik, selain memakai naskah akademik tersebut kita memakai tenaga ahli untuk meminta sebuah masukkan tidak terkecuali studi banding ke luar negeri untuk mencari sebuah ide dan masukkan dari contoh dinegara lain”. Penulis: “Mengapa sifat Rapat BK terutup?”
Nurdin: “Rapat tertutup dikarenakan, adalah selain karena kita ingin mengklrafikasi apakah benar atau tidak dan juga karena asas praduga bersalah. Karena alasannya adalah asas praduga tidak bersalah. Jikalau anggota dewan tidak bersalah, maka kita harus membuat berita klarifikasi. Karena ini kasus pelanggaran etik bukan kasus pelanggaran hukum. Disamping itu media juga tidak bisa bekerja sama untuk mengklarifikasi anggota dewan yang tidak bersalah. Dan sering terjadi pengadu dan saksi sering kali tidak hadir dalam pemanggilan BK sehingga menyebabkan sulitnya BK untuk melanjutkan sidang. ” Penulis: “Bagaimana dengan masukkan reward kepada anggota dewan?” Nurdin: “Masukkan itu sudah kita coba bahas, namun kita kesulitan dalam mengukur batasan atau kriteria seperti apa yang pantas untuk diberi reward? Jikalau dikaitkan dengan kehadiran anggota dewan, kehadiran sulit untuk menjadi tolak ukur, karena kehadiran anggota dewan dalam fisik itu harus tanda tangan dan sidik jari. Namun, jikalau ditengah persidangan anggota dewan tersebut keluar untuk bertemu kosntituennya itu tidak bisa dihindari. Seperti saya bertemu dengan adek ini.” Penulis: “Bagaimana pendapat bapak mengenai masuknya pihak eksternal kedalam BK untuk menjaga netrallitas BK?” Nurdin: “Itu mungkin jiakalau UU mengenai BK diganti, kalau seperti saat ini sangat sulit. Secara umum bisa dijelaskan bahwa BK ini dibentuk berdasarkan UU no.22 Tahun 2003. Sejak saat itu BK bertugas menjaga nama baik anggota dewan dengan menjaga kode etik dewan. Bukan hukum, mangkanya jikalau ada kasus hukum, maka itu diserahkan ke penegak hukum. Jikalau melanggar hukum sudah tentu melanggar etik tapi melangar etik belum tentu melanggar hukum.” Penulis: “Bagaimana dengan pensiunan anggota DPR yang sudah menjadi terpidana kasus hukum?”
Nurdin: “Kita menangani kasus-kasus sesuai dengan peraturan yang ada di DPR. Sebelum ingkrah kita menggunakan asas praduga tidak bersalah. Kemudian orang yang dihukum dan diberhentikan dengan tidak hormat itu kan namanya dipecat. Namun, jikalau dia mengundurkan diri sebelum menjadi tersangka maka si anggota dewan masih mendapat pensiun. Sebenarnya UU nya harus diganti, untuk periode mendatang UU MP3 akan diperbaharui, kita akan mengundang ahli-ahli untuk diminta pendapat dan masukkan. Intinya jikalau anggota dewan mengundurkan diri maka akan mendapatkan dana pensiun. Penulis: “Bagaimana harapan bapak pada BK di periode mendatang?” Nurdin: “Kita cuma sebelas (11) orang dan kita adalah bukan penyidik. Maka dari itu jikalau ada yang diklarifikasi dari suatu kasus kita minta pendapat dari penegak hukum lainnya. BK adalah penegak etik bukan penegak hukum, jikalau ada anggota dewan yang terkena kasus hukum biarkan penegak hukum yang bertugas, lalu baru masuk ke BK untuk menyelidiki pelanggaran etika. Untuk masa mendatang kita harus bekerja sama dengan fraksi. Karena alat kelengkapan adalah alat perpanjangan tangan dari fraksi. Fraksi lah yang berkuasa memindahkan anggotanya dari suatu badan kelengkapan atau komisi. BK hanya mengusulkan dan selama ini usul BK diterima oleh fraksi”. Penulis: “Jadi fraksi masih begitu kuat mendominasi BK pak?” Nurdin: “ Dalam pemutusan hukuman anggota dewan fraksi tidak bisa ikut campur tangan dalam urusan BK. Jikalau ada bukti kuat pelanggaran etika kepada anggota dewan maka fraksi tidak bisa menganggu gugat keputusan BK.” Dilematisnya adalah dalam kasus ketidakhadiran anggota dewan, karena anggota dewan adalah anggota fraksi juga. Ketika kita menyelidiki absensi anggota dewan maka kita meminta ke fraksi karena itu kewenangan fraksi. Dan sesama anggota dewan tidak bisa saling melapor karena hak imunitas. Sehingga BK tidak bisa berbuat lebih jauh. BK adalah alat kelengkapan, alat kelengkapan juga kepanjangan tangan dari fraksi”.
Penulis: “Apakah bapak sebagai anggota DPR dan juga anggota BK mengalami dilema dalam menyidangkan kasus pelanggaran kode etik? Bagaiamana jikalau yang melakukan pelanggaran kode etik adalah teman satu fraksi bapak dan bapak kenal dekat dengannya?” 1 M. Nurdin: “Dilema seperti itu ada, namun kita juga bersikap profersional. Dalam parlemen dan fraksi kita adalah teman. Namun ketika ada pelanggaran yang dilakukan kita selaku anggota BK wajib untuk menyidangkan dan memberikan keputusan. Kita hanya melakukan tugas sesuai amanat dari Undang-Undang mengenai hukum BK DPR. Kehadiran BK sangatlah penting. Dikarenakan BK menjaga kode etik agar dipatuhi dan nama baik DPR. Kehadiran BK juga membuat batasan atas perilaku angota dewan. Perilaku yang disebut pantas dan tidak pantas. Apabila tidak pantas kita akan memberikan teguran baik lisan maupun tertulis.”
1
Pertanyaan ini adalah wawancara melalui telepon dengan narasumber. Pertanyaan ini adalah pertanyaan baru yang penulis tanyakan kepada narasumber pada selasa 7 Januari 2014.
Transkrip Wawancara Hasil Wawancara Penulis dengan Ronald Rofiandri selaku Direktur Monitoring, Advokasi, dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakkan (PSHK) Pada 10 September 2013 bertempat di Kantor PSHK
Penulis: “Bagaimana Pendapat Bapak mengenai BK pasca diputuskannya sebagai alat kelengkapan bersifat tetap?” Ronald R: “Jikalau dilihat dari status dan kedudukan dari Badan Kehormatan pasca ditetapkannya sebagai alat kelengkapan bersifat tetap, maka itu adalah sebuah kemajuan dari suatu penegakkan etika politik dibidang legislatif. Apalagi ditambah dengan adanya peraturan DPR No.1 Tahun 2011 mengenai Skema TataBeracara BK. Walaupun BK berdiri tahun 2003 (sesuai UU SUSDUK No.22 Tahun 2003) namun, pada kenyataannya BK baru mulai berperan aktif pada 2 tahun setelahnya. Ditambah dengan keberadaan kode etik baru berlaku tahun 2005-2006 sehingga membuat BK masih pasif. Pada tahun 2006-2007 diberlakukannya Skema Tata-beracara BK yang pertama. ”
Penulis: “ Menurut Bapak apa perbedaan BK periode 2004-2009 dan BK periode 20092014?” Ronald R: “Terlepas dari perbedaan secara struktural perbedaannya terdapat pada materi Skema Tata-beracara BK, materi tersebut berupa mulai dari pemanggilan, pengaduan, verifikasi hingga sanksi. Perbedaannya, BK pada periode 2009-2014 lebih progresif dari periode 2004-2009. BK bisa memulai inisiatif untuk memanggil anggota DPR yang terlibat pelanggaran kode etik yang diketahui oleh khalayak banyak. Sehingga BK pada periode ini lebih progersif, sebelumnya BK bersifat masif. Pada periode 2004-2009 BK tidak harus memulai melakukan pemanggilan terlebih dahulu. BK periode 2004-2009 tidak melakukan pemanggilan terhadap anggota DPR yang membolos lebih dari 6 kali (lihat kode etik).” Penulis: “Menurut Bapak bagaimana sebaiknya Skema Tata beracara BK di periode Mendatang (2014-2019)?” Ronald R: “Ya, jadi harus ada perubahan dari skema tata beracara. Saya harap Peraturan mengenai BK dinaikkan levelnya menjadi UU, tidak hanya menjadi Peraturan DPR. Hal ini dilakukan untuk menjaga dan memperkuat posisi dan wewenang BK. BK bisa lebih pro-aktif dalam menegakkan kode etik, BK tidak dalam posisi berpolemik karena BK tidak dalam dominasi fraksi di parlemen. Ada banyak sebenarnya materi yang harus dirubah, contohnya konflik kepentingan. Diharapkan BK periode 2014-2019 anggota BK tidak terlibat dalam konflik kepentingan, sehingga itu bisa memperkuat posisi BK. Fraksi tidak mudah mengintervensi keputusan BK”. Penulis: “Apa yang membedakan BK dari alat kelengkapan lainnya yang bersifat tetap tanpa melihat posisi dan tugasnya”? Ronald R: “Yak, yang uniknya dari BK adalah yang membedakannya dari alat kelengkapan lain adalah komposisi keanggotaan BK dijelaskan jumlahnya. Komposisi
keanggotaan BK memperhatikan keseimbangan proposionalitas keterwakilan fraksi di Parlemen, disebutkan jumlah keanggotaan BK 11 (sebelas). Walaupun ada dua fraksi yang tidak masuk sebagai anggota BK, yaitu Fraksi Hanura dan Gerindra. Itulah hal aneh dari BK yang melihat komposisi keanggotaannya dari proposionalitas fraksi di parlemen namun dua fraksi bisa tidak masuk dalam keanggotaan BK. Pada periode sebelumnya (2004-2009) anggota BK berjumlah 13 dan semua fraksi masuk dalam keanggotaan BK termasuk fraksi gabungan.” Penulis: “Ketidakwakilkan dua fraksi di keanggotaan BK bukankah bisa berdampak akan adanya tebang pilih terhadap dua fraksi yang tidak masuk yaitu F-Hanura dan FGerindra.?” Ronald R: “Betul, betul. Itu bisa menyebabkan keputusan BK seakan tebang pilih. Dikarenakan dua fraksi tersebut tidak bisa mengikuti jalannya kasus pelanggaran kode etik. Apabila ada anggota fraksi dari Hanura dan Gerindra yang dilaporkan, apalagi kini BK bersifat pro aktif dengan memanggil anggota yang banyak membolos dan dua fraksi itu masuk, mereka tidak bisa terlibat dalam proses dan keputusan sidang. Menyebabkan akan adanya dugaan BK tebang pilih”. Penulis: “Keanggotaan BK dimulai dari Pimpinan hingga anggota banyak sekali terjadi pergantian. Menurut saya itulah yang menyebabkan banyak kasus pengaduan ke BK yang tidak jelas akhir dari kasusnya, contoh dari study kasus saya yaitu video pornografi. Apakah Kasus belum selesai namun pimpinan BK berganti menyebabkan kasus itu terhenti?” Ronald R: “Proses pengambilan keputusan di BK, tidak hanya di BK namun di alat kelengkapan lain itu bukan dipengaruhi oleh perjanjian pergantian posisi ketua. Keberlanjutan dari kasus peredaran video pornografi KMN harus dilihat sebagai sebuah rangkaian kerja dari sejak kapan itu dimulai, sekalipun dua tahun kasus itu berlanjut dan terjadi pergantian dari posisi pimpinan BK lebih dari satu kali tidak mempengaruhi dari kasus itu, dan kasus tetap ditindaklanjuti. Itu juga terlihat dari ada komisi di parlemen. Itu bukanlah penyebab kasus berhenti diselidiki.”
Penulis: “Bagaimanakah contoh Penegakkan etika dinegara lain?” Ronald R: “Kita sendiri belum melakukan penelitan yang mendalam mengenai penegakkan etika dinegara lain. Memang jikalau kita lihat dinegara lain misal Australia penegakkannya sama, ada Badan Kehormatan disana namun kalau perbedaannya mungkin terlihat dari kode etik. Kode etiknya jauh lebih jelas, detail dan profesional ketimbang milik kita. Dalam materi kode etik disebutkan mengenai konflik kepentingan. Misal dalam suatu rapat mereka membicarakan RUU daging, dan ketua sidang disana kebetulan adalah pengusaha daging, maka posisi dari ketua sidang ini harus menjelaskan kepentingannya. Dari awal pimpinan sidang harus menclearkan posisinya dalam sidang. Tidak harus diganti, namun harus menjelaskan posisinya dalam RUU tersebut. Jangan sampai dalam RUU ada kepentiangan dia sebagai pengusaha daging bukan anggota parlemen. Di Yunani, mereka melakukan ketegasan akan hal ini. Jikalau dalam sidang RUU itu ada kepentingan pimpinan sidang maka dikeluarkan sanksi. Saknsinya tidak boleh rapat dan sanksinya lebih kepada pemotongan gaji. Ini bisa dikatakan bahwa kode etik mereka lebih ‘menggigit’ dan detail”. Penulis: “Pada Tahun 2010 beberapa anggota BK melakukan study banding ke Yunani untuk mendapat kajian baru mengenai kode etik. Lantas bagaimana menurut Bapak?” Ronald. R: “ Iya, pada saat itu kita sama-sama melakukan mendalami kode etik diYunani dan kita sama-sama melakukan perbandingan. Namun, apa yang kita dapat dan kita temukan berbeda dengan yang didapat DPR. DPR tidak mengadopsi kode etik di Yunani pada kode etik DPR kita secara total. Terobosan yang dibuat DPR tidak terlihat secara signifikan. Tidak ada perbedaan secara signifikan dari kode etik yang lalu”.
Penulis: “Menurut Bapak, sudah efektifkah Kinerja BK saat ini?”
Ronald R. : “Kalau berbicara efektifitas dan independen BK itu merupakan sebuah tantangan utama untuk BK. Karena jikalu kita lihat lagi komposisi keanggotaan BK yang semuanya perwakilan dari fraksi, maka sesungguhnya keputusannya pun bisa rawan konflik kepentingan. Jikalau kita bandingkan BK DPR dengan nama lain commite ethics dilembaga lain seperti dewan kehormatan KPK, DK KPU, komite etik dewan pers, advokat dll. Namanya berbeda, namun fungsinya sama yaitu penegakkan kode etik profesionalitas. Ada kombinasi komposisi, ada dari pihak profesional (eksternal) dan pihak internal. Itu semua dilakukan untuk menghindari adanya konflik internal. Untuk melihat konflik secara objektif, bagaimana mengimbangi proses keputusan yang digodok di BK. Jiakalu tidak ada pihak eksternal, maka akan ada kemungkinan keputusan kasus tidak clear. Bisa saja sebuah kasus bisa sangat berjalan lama seperti kasus yang anda dalami, atua nanti sanksinya ringan. Jadi jikalau dikatakan efektifitas BK, maka terlihat sulit untuk melihat efektifitas BK, disaat independensi BK sendiri masih rawan akan konflik kepentingan.” Penulis: “Jika kita bandingkan commite ethics di Amerika yang mempunyai sistem perlementer, apakah bisa kita samakan?” Ronald R: “Sebenarnya, commite ethisc atau lembaga penegak etik seperti BK itu tetap diperlukan. Apapun sistem pemerintahannya itu parlementer atau presidensil tetap dibutuhkan. Inipun sebenarnya melihat bagaimana kinerja anggota parlement, tidak hanya sekedar hadir dalam rapat-rapat atau pertemuan membahas RUU, tapi melihat bagaimana mereka berperilaku. Apakah perilaku mereka pantas selayaknya anggota dewan yang mewakili rakyat, apakah mereka terbuka terhadap berbagai bentuk aspirasi, punya komitmen dan pertanggung jawaban. Itu semua tidak bisa kita lihat dalam pidana, itu semua bisa kita lihat melalui kode etik. Kode etik melihat kepantasan dan kelayakkan seorang anggota dewan, apakah mereka menyalahgunakan fasilitas sebagai anggota parlement untuk pibadi atau kosntituen. Jikalau kita lihat konteks BK dalam kode etik maka jelas keberadaan BK penting dan bisa kita samakan dengan berbagai negara lain yang memilii lembaga penegak etik.”