DIKSI YANG MENGANDUNG BERBAGAI NILAI RASA SEBAGAI MATERI AJAR BAHASA INDONESIA UNTUK MEMBENTUK PERILAKU SANTUN DALAM BERBAHASA1) Dr. Dwi Bambang Putut Setiyadi, M.Hum. Universitas Widya Dharma Klaten Abstrak Pemahaman diksiandung bermacam-macam konotasi sangat dibutuhkan oleh para siswa, sehingga perlu dipakai sebagai materi pembelajaran bahasa Indonesia. Diksi yang mengandung aneka konotasi pada sebuah tuturan mengakibatkan para siswa juga dapat membedakan mana diksi yang baik dan diksi yang kurang baik. Pembedaan diksi yang mengandung konotasi baik dan kurang baik identik dengan pemahaman akan pemakaian diksi yang santun dan tidak santun. Dengan pengetahuan diksi yang santun maupun tidak santun siswa dapat berbahasa secara santun. Berbahasa secara santun merupakan dasar dari penanaman karakter yang baik.
A. Pendahuluan Salah satu kompetensi inti mata pelajaran bahasa Indonesia adalah menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli (gotong royong, kerja sama, toleran, damai), santun, responsif dan proaktif dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia. Di dalam kompetensi itu terdapat arah yang ingin dicapai dalam pembelajaran bahasa Indonesia Kurikulum 2013, yaitu siswa mampu memproduksi dan menggunakan bahasa Indonesia sesuai dengan tujuan dan fungsi sosialnya. Hal itu dilakukan untuk mengatasi persoalan-persoalan yang ada di dalam masyarakat ketika mereka menggunakan bahasa sebagai wahana di dalam setiap kegiatan atau aktivitas hidup sehari-hari mereka. Bahasa menjadi kunci di dalam keberhasilan seseorang memahami ilmu pengetahuan dan beraktivitas di dalam kehidupan sehari-hari. Berhubungan dengan kompetensi inti seperti yang telah dipaparkan di atas menjadi sangatlah penting apabila bahasa Indonesia digunakan sesuai dengan konteksnya. Bagaimana konteks situasi dalam berbahasa tersebut berperanan di dalam memilih teks atau kalimatkalimat dengan kosa kata yang sesuai dalam pertuturan. Dalam situasi berbahasa yang beraneka, konteks juga mengambil peranan yang penting karena dengan mengetahui konteks berbahasa seseorang bisa memilih kosa kata yang tepat dalam tuturan yang sesuai dengan konteks tersebut. Di dalam kebudayaan masyarakat Indonesia, dikenal adanya kesantunan berbahasa. Kesantunan berbahasa tidak lepas dari konteksnya. Suwito (1985:3) mengatakan bahwa pemakaian bahasa ditentukan oleh faktor-faktor sosial dan faktor-faktor situasional. Hal itu berkaitan dengan bagaimana seseorang memilih ragam bahasa di dalam situasi tuturnya. Ragam bahasa yang dipilih haruslah sesuai dengan komponen tutur yang melingkupinya. 1
Dipresentasikan dalam Seminar Nasional Bulan Bahasa ”Pembelajaran Bahasa untuk Meningkatkan Kualitas Manusia Indonesia yang Berkarakter dalam Era Mondial” pada tangal 29 November 2014.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL ”Pembelajaran Bahasa untuk Meningkatkan Kualitas Manusia Indonesia yang Berkarakter dalam Era Mondial”
43
Dalam pemakaian berbahasa yang santun faktor itu sangat menentukan. Di samping itu juga diperlukan pemahaman siswa terhadap kosa kata yang mengandung bermacam-macam nilai rasa agar bisa memilih mana kosa kata yang tepat untuk dipakai dalam sebuah tuturan. Dalam kurikulum 2013 ada muatan pendidikan karakter yang dapat dipakai sebagai materi pembelajaran budi pekerti bagi para siswa sekolah dasar sampai menengah. Dengan demikian diperlukan materi-materi ajar yang menyangkut hal itu. Salah satu aspek pendidikan karakter adalah bagaimana agar siswa bersikap santun, sopan, dan halus di dalam menggunakan bahasa. Hal ini sesuai dengan fungsi hakiki bahasa yang disampaikan oleh Sudaryanto (2014) bahwa fungsi tersebut, yaitu untuk mengembangkan akal budi dan memelihara kerja sama. Sikap santun memiliki efek positif pengendalian emosi kemarahan. Dengan pemanfaatan fungsi bahasa dapat dicegah adanya tawuran pelajar. Mereka harus berdialog untuk menghindari itu semua. Dalam makalah ini dibahas bermacam-macam pemilihan kosa kata yang tepat di dalam brtutur kata sebagai materi kesantunan berbahasa yang merupakan bagian dari pendidikan karakter untuk bekal para siswa SMA ketika bertutur. Materi itu haruslah materi yang baik yang hendaknya dapat menggugah minat siswa di dalam memanfaatkan bentuk-bentuk kesantunan bebahasa dalam berinteraksi dengan sesamanya dalam masa pertumbuhannya. Pemakaian bahasa yang positif dapat meningkatkan pemikiran positif mereka. B. Konotasi atau Nilai Rasa dalam Tuturan Dalam berinteraksi anggota masyarakat yang satu dengan yang lain memerlukan bahasa. Bahasa dapat membuat interaksi antara individu atau kelompok masyarakat yang lain dapat berjalan lancar. Begitu pula terjadinya kerja sama di dalam masyarakat juga karena penggunaan bahasa. Manakala penggunaan bahasa di antara mereka santun, maka hubungan antara mereka berjalan rukun dan damai. Namun, apabila di antara mereka sering terjadi percecokan dapat dikatakan pasti terjadi kekurangharmonisan hubungan mereka. Hal itu bisa terjadi karena mereka kurang memanfaatkan prinsip-prinsip kesantunan berbahasa di dalam komunikasi. Prinsip-prinsip kesantunan ini pun bukan penentu satu-satunya, melainkan masih ada faktor lain. Yang menjadi tekanan dalam pembicaraan di sini adalah pemilihan kosa kata yang mengandung nilai rasa yang tepat di dalam tuturan sebagai bagian dari kesantunan berbahasa. Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa bahasa memiliki fungsi yang penting di dalam interaksi antarmasyrakat. Dalam memilih kosa kata dalam bertutur seseorang memerlukan pengetahuan yang berkaitan dengan pemilihan kosa kata atau diksi sebagai dasar kesantunan berbahasa. Menurut Tarigan (1986:39) konotasi atau nilai rasa adalah kesan-kesan atau asosiasi-asosiasi yang ditimbulkan oleh suatu kata disamping batasan kamus atau definisi utamanya. Jenisnya ada nilai rasa individual ada nilai rasa kelompok. Berikut ini khusus dibicarakan nilai rasa kelompok atau kolektif. Konotasi kolektif atau nilai rasa kelompok dibagi menjadi tiga golongan: (1) Konotasi baik meliputi konotasi tinggi dan konotasi ramah. (2) Konotasi tidak baik mencakup konotasi berbahaya, tidak pantas, tidak enak, kasar, dan keras. (3) Konotasi netral atau biasa mencakup konotasi bentukan sekolah, kanak-kanak, hipokoristik, dan bentuk nonsens. 44
PROSIDING SEMINAR NASIONAL ”Pembelajaran Bahasa untuk Meningkatkan Kualitas Manusia Indonesia yang Berkarakter dalam Era Mondial”
Secara lengkap penjelasan mengenai konotasi atau nilai rasa dalam bahasa diuraikan oleh Tarigan di bawah ini. a. Konotasi tinggi Konotasi ini terdapat pada kata-kata sastra, klasik, dan kata-kata asing. Misalnya kaulah kandil kemerlap/pelita jendela di malam gelap/, tut wuri handayani, intelek. b. Konotasi ramah Terdapat pada kata-kata yang berupa dialek daerah yang biasanya digunakan dalam ragam akrab dan ramah. Misalnya ngobrol, ganteng, nongkrong, dan sebagainya. c. Konotasi berbahaya Nilai rasa ini terdapat pada kata-kata yang bersifat magis dan tabu. Kedua jenis kata ini bisa menimbulkan mara bahaya apabila diucapkan. Misalnya copet, rampok, ular, harimau, kencing, dan sebagainya. d. Konotasi tidak pantas Dalam kehidupan sehari-hari terdapat sejumlah kata yang jika diucapkan tidak pada tempatnya akan mendapat nilai rasa tidak pantas dan si pembicara akan mendapat malu, diejek, dan dicela serta dikatakan kurang sopan oleh masyarakat. Misalnya bunting, bini, mampus, berak, dan sebagainya. e. Konotasi tidak enak Kata-kata yang sering dipakai dalam hubungan yang kurang enak, maka tidak enak didengar oleh telinga dan akan mendapat nilai rasa tidak enak atau in malem partem. Misalnya keluyuran, orang udik, loyo, kepala udang, dan sebagainya. f. Konotasi kasar Sering kata-kata yang dipakai oleh rakyat jelata terasa kasar dan mendapat nilai kasar, biasanya berasal dari suatu dialek. Misalnya mampus, lu, tak becus, gelandangan, penganggur, babu, dan sebagainya. g. Konotasi keras Kata-kata ini dipakai untuk mengungkapkan sesuatu yang berlebih-lebihan (hiperbola). Misalnya lembah kemelaratan, seribu satu upaya, berjalan di atas bara kehidupan, dan lain-lain. Ada beberapa cara untuk melebih-lebihkan makna: (i) gabungan dua sinonim, misalnya hitam pekat, gelap gulita, jungkir balik, cantik molek, dan sebagainya. (ii) ulangan salin suara, misalnya pontang-panting, sorak-sorai, kacau-balau, dan sebagainya. (iii) dengan kata seruan, makian, rayuan, cacian, misalnya astaga, setan, cantiknya, bangsat, dan sebagainya.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL ”Pembelajaran Bahasa untuk Meningkatkan Kualitas Manusia Indonesia yang Berkarakter dalam Era Mondial”
45
h. Konotasi bentukan sekolah Konotasi ini disebut pula conotation of learned form yaitu nilai rasa yang terdapat pada kata-kata yang lazim digunakan oleh kaum terpelajar. Misalnya seorang yang telah tinggi pendidikannya tidak akan mengucapkan [pεl∂m, apik, intansi] tetapi [film, afiks, instansi]. i. Konotasi kanak-kanak atau infantile conotation Terdapat pada kata-kata yang dipakai oleh kanak-kanak, namun sering pula orang tua menggunakannya. Misalnya mama, mimik, cucu, dan sebagainya. j. Konotasi hipokoristik / hypocoristic conotation / pet name Konotasi jenis ini juga terdapat pada kata-kata yang sering pula digunakan dunia kanakkanak, yakni nama kanak-kanak yang dipendekkan lalu diulang. Misalnya Ana, Ardi, Teti, disebut Nana, Didi, Titi. k. Konotasi bentuk nonsens atau conotation of nonsense-form Terdapat pada kata-kata yang sering dipakai dalam nyanyian atau senandung tetapi tidak mengandung makna. Misalnya tra-la-la, pam-pam-pam, du-du-du, dan sebagainya. Dalam perkembangan zaman kata-kata dapat mengalami perubahan makna. Ada kata yang mengalami pasang surut makna. Ada kata yang maknanya memburuk (turun) atau membaik (naik). Itulah yang dimaksud turun naiknya konotasi. Contoh kata sultan tidak begitu menakutkan dibandingkan dengan zaman ketika kerajaan itu masih ada, sedangkan presiden membaik karena sekarang zaman republik. Dalam pembahasan jenis-jenis konotasi di atas dikelompokkan dengan cara yang agak berbeda. Dengan kata lain dalam pembahasan dibuat pengelompokan yang sudah diolah agar memudahkan dalam pembahasan. Juga tidak semua konotasi dibahas. C. Pembahasan 1. Konotasi Kata dalam Tuturan Dalam bertutur hendaklah siswa diberi pemahaman tentang berbagai konotasi katakata, baik kata-kata yang berkonotasi baik maupun yang tidak baik. Kedua jenis konotasi itu perlu diberitahukan kepada siswa agar bisa membedakan mana yang baik dan mana yang kurang baik. Kata-kata yang berkonotasi baik identik dengan kata-kata yang santun, sedangkan yang tidak baik identik pula dengan tidak santun. Dari situ dapat menjadi dasar pengetahuan tentang kesantunan dalam berbahasa. Jika siswa telah dapat membedakan santun dan tidak santunnya sebuah kata, maka mereka dipastikan bisa pula menggunakan kata-kata tersebut dalam bertutur, sesuai dengan situasi dan kondisi berbahasa atau sesuai dengan konteks tuturannya. Dalam pembicaraan ini dibicarakan mengenai tiga jenis konotasi, yaitu konotasi baik, tidak baik, dan keras disertai contoh-contohnya.
46
PROSIDING SEMINAR NASIONAL ”Pembelajaran Bahasa untuk Meningkatkan Kualitas Manusia Indonesia yang Berkarakter dalam Era Mondial”
a. Diksi yang Berkonotasi baik Berikut ini contoh diksi yang berkaitan dengan konotasi baik. Diksi yang berkonotasi baik dikelompokkan menjadi empat macam sebagai berikut. 1) Diksi dalam bidang sastra Kata-kata dalam bidang sastra biasanya kata-kata yang mengandung nilai rasa baik atau tinggi sehingga penutur suka menggunakannya, misalnya kata-kata puspa, kartika, kandil, sang surya, derai cemara, cahya, kemerlap, biduk, genderang, bahtera, kelam, jelita, gemersik, kemilau, dewi malam, kelepak elang, flamboyan, dewata, senyap, kalbu, dan sebagainya. Kata-kata tersebut serng dipakai oleh para penyair di dalam mengekpresikan gagasan atau imaginasinya dalam berpuisi. 2) Diksi yang bersifat klasik Kata-kata klasik adalah kata-kata yang kebayakan dipengaruhi oleh bahasa Sasnsekerta. Misalnya ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani, graha purna yudha, swa buana paksa, jalesveva jaya mahe, bhayangkara, purna budaya, mandhala bhakti, garuda wisnu kencana, radya pustaka, adyaksa, dasa dharma, tri prasetya, sabha buana, dan sebagainya. Katakata klasik terasa indah didengar sehingga banyak orang sedang menyebutkan satuan tersebut karena mengandung nilai rasa yang tinggi. 3) Diksi dari bahasa asing Kata-kata asing adalah kata-kata yang berasal dari bahasa asing seperti bahasa Inggris, Portugis, Belanda, Spanyol, Tiongkok, Jepang, Arab, Sansekerta. Katakata asing tersebut sering dipakai oleh para pakar di dalam bidangnya sehingga memiliki nilai rasa yang baik atau tinggi yang menyebabkan kata-kata menempati posisi-posisi yang baik dan masyarakat senang menggunakan. Dalam foru ilmiah orang cenderung menggunakan kata-kata atau istilah-istilah yang berasal dari bahasa Inggris, Belanda, Spanyol seperti transformasi, aspek, koordinasi, sosialisasi, reklamasi, variabel, metodologi, teknologi, validitas, reliabilitas, analisis, kompetensi, media, desain, sain, efisiensi, efektivitas, kreativitas, domina, populer, primer, sekunder, kapital, moderat, komposisi, karakteristik, kolaborasi, analogi, sopir, bengkel, dan sebagainya. Kata-kata yang berasal dari bahasa Arab biasanya dipakai untuk ceramah agama, seperti iman, takwa, saleh, salat, muslimin, hadirin, akhir, sebab, dan sebagainya. Dari bahasa Sansekerta seperti budaya, ramayana, pandawa, permaisuri, dewa, dewi, eka sampai dasa, dharma, sarjanan, cipta, swadaya, swasta, budiman, karyawan dan sebagainya. 4) Diksi yang berkonotasi ramah Diksi yang berkonotasi ramah adalah diksi yang biasanya digunakan dalam ragam akrab dan ramah. Kata-katanya biasanya dipengaruhi oleh bahasa daerah asal penutur. Misalnya ngasih, ketawa, tumben, nggak, kasih, ngapain, nyong, rika, kepriben, teteh, akang, ra papa, ngaben, dan sebagainya.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL ”Pembelajaran Bahasa untuk Meningkatkan Kualitas Manusia Indonesia yang Berkarakter dalam Era Mondial”
47
b. Diksi yang Berkonotasi Tidak Baik Diksi yang berkonotasi tidak baik artinya diksi yang menimbulkan nilai rasa yang kurang baik dalam tuturan. Dalam pembicaraan ini diksi yang tidak baik ini dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu diksi yang berkonotasi berbahaya dan diksi yang berkonotasi kasar. Berikut ini dibahas satu per satu. 1) Diksi yang berkonotasi berbahaya Konotasi berbahaya terdapat pada kata-kata yang bersifat magis dan tabu. Kedua jenis kata ini bisa menimbulkan mara bahaya apabila diucapkan. Misalnya maling, rampok, jambret merupakan kata-kata yang berbahaya jika diucapkan di lingkungan ketiga kata itu karena orang yang mengatakan kata-kata tersebut posisinya bisa berbahaya. Kata ular, harimau, singa, tikus adalah kata-kata tabu bila diucapkan dalam lingkungan hutan. Menurut kepercayaan ada akibat yang bisa ditimbulkan, apabila mengucapkan kata itu. Maka biasanya lalu diganti dengan kata lain seperti ikat pinggang untuk ular, dan kakek atau nenek untuk harimau dan singa. 2) Diksi yang berkonotasi kasar Diksi yang dipakai dalam tuturan sehari-hari sangat banyak, namun di antara diksi tersebut terdapat sejumlah kata yang jika diucapkan mengandung nilai rasa tidak baik dan si penutur mendapatkan malu karenanya, dan bisa-bisa ia dicela serta dianggap tidak sopan dalam bertutur. Misalnya: berak, kencing, mampus, anak haram, orang udik, dan sebagainya. Diksi yang tidak baik ini juga bernilai rasa kasar, misalnya babu, penjara, pecat, tolol, lontang-lantung, babi lu, kerbau lu, goblok, dan sebagainya. Termasuk katakata yang dipakai untuk mengumpat. c. Diksi yang berkonotasi keras Diksi ini dipakai untuk mengungkapkan sesuatu secara berlebih-lebihan (bersifat hiperbola). Kecenderungan diksi ini adalah untuk mengungkapkan sesuatu dengan menyangatkan maksud. Sebagai contoh: lembah kemelaratan, seribu satu upaya, berjalan di atas bara kehidupan, dan lain-lain. Ungkapan tersebut cenderung menunjukkan maksud yang berlebih-lebihan untuk menunjukkan penyangatan maksud. Dalam mengemukakan diksi yang berkonotasi keras ini ada beberapa cara untuk melebih-lebihkan makna: 1) Penggabungan diksi dengan menggabumgkan dua sinonim Cara yang pertama dengan menggabungkan diksi yang bersifat sinonim dapat membentuk diksi yang maknanya berlebihan atau menyangatkan. Contoh diksi yang berlebihan: hancur lebur, kering kerontang, merah darah, sunyi senyap, hingar bingar, cantik jelita, hitam legam, gagah perkasa, gegap gempita, sorak sorai, dan sebagainya. 2) Pemakaian diksi ulangan salin suara Cara yang kedua adalah dengan memanfaatkan perulangan salin suara. Kata-kata ulang salin suara, baik bunyi vokal maupun konsonannya dapat menimbulkan efek 48
PROSIDING SEMINAR NASIONAL ”Pembelajaran Bahasa untuk Meningkatkan Kualitas Manusia Indonesia yang Berkarakter dalam Era Mondial”
penyangatan makna. Makna kata-kata ulang salin suara ini menunjukkan keragaman jenis, keanekaan wujud, ataupun keanekaan tingah laku maupun aktivitas. Misalnya warna-warni, sana-sini, kerlap-kerlip, sayur-mayur, serta-merta, serba-serbi, mondar-mandir, kocar-kacir, bolak-balik, bolang-baling, pontang-panting, selangseling, dewa-dewi, mahasiswa-mahasiswi, dan sebagainya. 3) Pemakaian diksi yang interjektif Diksi interjektif maksudnya diksi yang berkaitan dengan kata seruan, rayuan, dan makian. Kata-kata interjektif ada yang bersifat baik dan juga ada yang bersifat tidak baik. Yang bersifat baik biasanya yang termasuk golongan seruan dan rayuan, misalnya astagfirullah, ya ampun, aduhai, ayolah, manisku, sayangku, cintaku, dan sebagainya. Yang termasuk tidak baik adalah kata-kata yang bersifat makian seperti setan, iblis, bangsat, anjing, babi, monyet, kerbau, dan sebagainya. 2. Diksi yang Konotasinya Berubah-ubah Di antara diksi-diksi di atas, ada sejumlah diksi yang konotasinya berubah-ubah. Perubahan itu berkaitan dengan perubahan nilai rasa baik menjadi tidak baik atau sebaliknya. Hal itu disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya karena kemajuan iptek dan teknologi, sosial, politik, budaya, dan sebagainya. Sebagai contoh kata wanita dan perempuan. Pada masa pemerintahan Pak Harto kata wanita lebih banyak dipakai daripada perempuan. Misalnya: Dharma Wanita, Polisi Wanita, Komando Wanita Angkatan Laut, Menteri Peranan Wanita, Gedung Wanita, Persatuan Wanita Tani, dan sebagainya. Hal itu menunjukkan bahwa wanita memiliki konotasi yang baik. Padahal jika dilihat dari etimologinya, mestinya kata perempuan lebih baik. Kata wanita berasal dari bahasa Sansekerta wan + ita ‘yang diinginkan’, sedangkan perempuan berasal dari bentuk per-an + empu ‘yang dihormati’. Di Malaysia konon untuk menyebut nyonya digunakan kata puan yang berasal dari perempuan. Ungkapan KKN pada masa berakhirnya pemerintahan Pak Harto diartikan kurang baik karena merupakan singkatn dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Padahal sebelumnya singkatan itu sangat harum maknanya yaitu singkatan dari Kuliah Kerja Nyata. Di desadesa daerah Jawa terkenal akan sebutan Mas KKN dan Mbak KKN yang bekerja keras membatu kegiatan dan memajukan masyarakat desa sebagai bagian dari mata kuliah yang wajib ditempuh oleh mahasiswa. Namun, akibat dari munculnya singkatan baru tersebut mata kuliah KKN di Perguruan Tinggi maknanya menjadi memburuk lalu menghilang atau ada yang ganti nama, misalnya Kuliah Kerja Terpadu. C. Kesimpulan Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemahaman akan konotasi sebuah kata sangat dibutuhkan oleh para siswa, sehingga perlu dipakai sebagai materi pembelajaran bahasa Indonesia. Dengan memahami diksi yang mengandung aneka konotasi pada sebuah tuturan para siswa dapat memilih diksi tersebut secara tepat. Selain itu, para siswa juga dapat membedakan mana diksi yang baik dan diksi yang kurang baik. Pembedaan diksi yang mengandung konotasi baik dan kurang baik identik dengan pemahaman akan pemakaian PROSIDING SEMINAR NASIONAL ”Pembelajaran Bahasa untuk Meningkatkan Kualitas Manusia Indonesia yang Berkarakter dalam Era Mondial”
49
diksi yang santun dan tidak santun. Dengan pengetahuan diksi yang santun maupun tidak santun siswa dapat berbahasa secara santun. Berbahasa secara santun merupakan dasar dari penanaman karakter yang baik.
DAFTAR PUSTAKA Alwi, Hasan; Soenjono Dardjowidjojo; Hans Lapoliwa; dan Anton M. Moeliono. 2000. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Chaer, Abdul. 1990. Pengantar semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Putut Setiyadi, D.B. 2011. Teori Linguistik: Morfologi. Yogyakarta: Lintang Pustaka Utama. Suwito. 1985. Sosiolinguistik.. Surakarta: Henary Offset. Sudaryanto. 2014. “ Tarigan, Henry Guntur. 1986. Pengajaran Semantik. Bandung: Angkasa.
50
PROSIDING SEMINAR NASIONAL ”Pembelajaran Bahasa untuk Meningkatkan Kualitas Manusia Indonesia yang Berkarakter dalam Era Mondial”