NILAI-NILAI BUDAYA JAWA DALAM WULANG REH DAN WEDHATAMA SEBAGAI MATERI AJAR SASTRA Esti Ismawati1 Abstract This study aims to describe the values of Javanese culture in the book of Wulang Reh and Wedhatama and its relevance in the present life. The method used is inferential descriptive that means to describe the values that exist in the book of Wulang Reh and Wedhatama containing piwulang, identified, and then summed. Cultural values are the values that are reflected in the form of a particular culture either physical or nonphysical cultures (idea, notion, mind), and a form of activity, it also includes the mind and intellect that are worth, strength and awareness of value, which leads to goodness. Cultural values reflected in Javanese literature are concerned with religious, ethics, and social values. Those values can be used as an adjustment to the efforts of the present world civilization and that will come by way of reviewing and contemplating so that people can have a social life, behave ethically, and always be in the spirit of religious life. From the analysis, it can be concluded that the values contained in Wulang Reh and Wedhatama are religious value, exemplary value, nobleness value, balanced, loyal, and alignment values. These values are needed as a guide and a handle in the present and future life. Keywords: Javenese cultural value, Wulang Reh, Wedhatama.
JAVANESE CULTURAL VALUES IN LITERATURE OF WULANG REH AND WEDHATAMA Abstrak Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan nilai-nilai budaya Jawa dalam kitab Wulang Reh dan Wedhatama dan relevansinya dalam kehidupan sekarang. Metode yang digunakan adalah deskriptif inferensial, artinya mendeskripsikan nilai-nilai yang ada dalam kitab Wulang Reh dan Wedhatama yang berisi piwulang, diidentifikasi, lalu disimpulkan. Nilai-nilai budaya merupakan nilai yang tercermin dalam wujud kebudayaan tertentu, bisa kebudayaan fisik, nonfisik (ide, gagasan, pikiran), dan wujud aktivitas, di dalamnya termasuk pikiran dan akal budi yang bernilai, kekuatan dan kesadaran yang bernilai, yang mengarah kepada kebaikan. Nilai budaya yang tercermin dalam sastra Jawa menurut beberapa telaah adalah nilai keagamaan (religious), nilai kesusilaan (etika), dan nilai kesosialan (sosial). Nilai-nilai tersebut dapat digunakan sebagai upaya penyesuaian diri dengan peradaban dunia masa kini dan yang akan datang dengan cara menelaah dan membelajarkan sehingga manusia dapat memiliki jiwa sosial, bersikap etis, dan selalu dilandasi semangat religious dalam menjalani kehidupan. Dari hasil analisis dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai yang terdapat dalam Wulang Reh dan Wedhatama adalah nilai religius, nilai keteladanan, nilai keluhuran, nilai keseimbangan, nilai kesetiaan, dan nilai keselarasan. Nilai-nilai tersebut sangat diperlukan sebagai pedoman dan pegangan dalam kehidupan sekarang dan mendatang. Kata kunci: nilai-nilai budaya Jawa, Wulang Reh, Wedhatama
PENDAHULUAN Sastra Jawa dikenal sangat banyak jumlah dan macamnya. Berdasarkan isinya, Suwondo (1994) mengklasifikasikan ke dalam enam kelompok, yakni teks piwulang, teks 1
Esti Ismawati adalah dosen PBSI Unwidha Klaten. PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖
53
suluk, teks jangka, teks babad, teks roman, dan teks pewayangan. Teks piwulang adalah karya sastra Jawa yang berisi ajaran utama; teks suluk adalah karya sastra Jawa yang berisi ajaran sufi; teks jangka adalah karya sastra Jawa yang berisi ramalan; teks babad adalah karya sastra Jawa yang berisi cerita sejarah atau cerita yang sudah terjadi; teks roman adalah karya sastra Jawa yang berisi cerita kehidupan manusia; dan teks pewayangan adalah karya sastra Jawa yang berisi cerita wayang. Penelitian ini akan membahas dua teks piwulang yang amat terkenal dan akrab dengan masyarakat Jawa, yakni Wulang Reh dan Wedhatama. Tidak dapat dipungkiri bahwa kebudayaan yang ada saat ini bukanlah sesuatu yang muncul secara tiba-tiba melainkan sesuatu yang berakar pada kebudayaan yang ada di masa lalu. Dalam periodisasi sastra dikenal sastra lama, sastra pertengahan, dan sastra modern atau sastra sekarang. Di dalam sastra sekarang jika ditelaah secara mendalam akan dijumpai nilainilai yang sebenarnya sudah tumbuh subur di masa lalu. Nilai-nilai budaya itu ada yang positif (baik) dan ada yang negatif (buruk). Nilai-nilai yang positif secara terus-menerus diwariskan oleh nenek moyang kita hingga sekarang sehingga tidak mengherankan jika nilainilai tersebut masih terus hidup dan mengilhami para sastrawan kita. Nilai-nilai yang positif antara lain nilai religius, nilai etika, dan nilai sosial. Nilai religius adalah nilai-nilai yang ada hubungannya dengan ketuhanan. Religius berasal dari kata religi yang berarti sikap khidmat dalam pemujaan, sikap yang ada hubungannya dengan hal yang suci dan supranatural, yang dengan sendirinya menuntut hormat dan khidmad (Shadily, 1984). Peter Salim dalam Suwondo (1994) menyatakan bahwa religius adalah taat pada agama, berkenaan dengan agama. Dan Joyosantosa dalam Suwondo (1994) menyatakan bahwa religious adalah keterikatan manusia terhadap Tuhan sebagai sumber ketenteraman dan kebahagiaan. Termasuk nilai religious (Suwondo, 1994) antara lain: keimantauhidan, keteringatan manusia terhadap Tuhan, ketaatan manusia terhadap firman Tuhan. Nilai etika adalah nilai-nilai yang ada hubungannya dengan penilaian baik buruk. Etika menurut Suseno (1996) adalah keseluruhan norma dan penilaian yang digunakan oleh masyarakat yang bersangkutan untuk mengetahui bagaimana manusia seharusnya menjalankan kehidupannya: bagaimana harus membawa diri, sikap-sikap dan tindakantindakan yang harus dikembangkan, agar hidup manusia berhasil di mata Tuhan dan masyarakat. Secara spesifik dikenal istilah etika Jawa, yakni yang pertama, dalam setiap situasi hendaknya manusia Jawa bersikap sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan konflik. Ini disebut prinsip kerukunan. Rukun berarti berada dalam keadaan selaras, tenang dan tenteram, tanpa perselisihan dan pertentangan, bersatu dalam maksud untuk saling membantu. Dan yang kedua, dalam cara berbicara serta membawakan diri hendaknya manusia Jawa selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain sesuai dengan derajat dan kedudukannya, ini disebut prinsip hormat. Pudjawijatna (1990) menyatakan bahwa etika adalah ukuran baik buruk bagi tingkah laku manusia. Jika dihubungkan dengan nilai religius, baik itu artinya sesuai dengan kehendak Tuhan, buruk itu artinya tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Manusia dinilai oleh manusia lain dari tindakannya. Termasuk nilai etika antara lain: kesahajaan, menerima kenyataan, keseimbangan mental, sembada (Patih Suwanda, Kumbakarna, Adipati Karna).
54
PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖
Nilai sosial berhubungan dengan kehidupan bersama pada manusia sebagai anggota masyarakat. Sosial dari kata socio artinya menjadikan teman, suatu petunjuk ke arah kehidupan bersama dalam masyarakat. Termasuk nilai sosial di antaranya bekti (berbakti), rukun, musyawarah, gotong royong, tidak melanggar tata tertib, bijaksana. Manusia di samping makhluk individu, adalah makhluk sosial. Sedangkan nilai-nilai yang negatif, dibuang jauh setelah dirasakan dampaknya secara empirik. Nilai-nilai negatif yang dimaksud di sini misalnya mangan ora mangan sing penting kumpul, banyak anak banyak rejeki, perempuan sebagai konco wingking, dan sejenisnya. Beberapa tindakan yang bernilai negatif misalnya adigang adigung adiguna, menyombongkan kepandaian dan kekuatan, ewuh aya ing pambudi, ragu-ragu dalam bertindak, kandhane ora kaprah, bicaranya tidak jelas arahnya, ngumbar hawa nepsu, mengumbar hawa nafsu, dan sebagainya. Bangsa Indonesia lebih condong masuk ke dalam bangsa yang beradat ketimuran, yang cenderung mengutamakan rasa ala Timur daripada budaya ala Barat, oleh karena itu sudah selayaknyalah jika kita mempelajari secara lebih mendalam harta warisan nenek moyang kita yang berupa nilai-nilai budaya yang terdapat dalam berbagai kitab lama (sastra Jawa Klasik) yang berisi nilai-nilai luhur yang berupa pemikiran dan refleksi para pendahulu kita mengenai kehidupan ini, khususnya yang ada di dalam teks Wulang Reh dan Wedhatama. Berdasarkan pokok-pokok pikiran di atas permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah: nilai-nilai apa saja yang terdapat dalam teks Wulang Reh dan Wedhatama?; bagaimana bentuk atau wujud pemikiran-pemikiran dan refleksi para sesepuh (pendahulu) kita yang tercermin dalam nilai-nilai budaya Jawa yang tertulis dalam kitab Wulang Reh dan Wedhatama? METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif inferensial. Data diambil dari kitab Wulang Reh dan Wedhatama. Data dialihbahasakan terlebih dahulu, dari bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia, kemudian diidentifikasi kandungan nilai-nilai budaya yang ada di dalamnya lalu ditafsirkan maknanya. Kitab Wulang Reh atau sering disebut Serat Wulang Reh atau Wulang Reh saja adalah karya Paku Buwana IV. Wulang Reh digubah dalam tembang Dhandhanggula, Kinanthi, Gambuh, Pangkur, Maskumambang, Dudukwuluh (Megatruh), Durma, Wirangrong, Pucung, Mijil, Asmaradana, Sinom, dan Girisa (Suwondo, 1994). Selesai ditulis hari Ahad Kliwon, tanggal 19 Besar, Tahun Dal, 1735. Sedangkan kitab Wedhatama adalah karya Mangkunagara IV yang diterbitkan tahun 1927. Wedhatama digubah dalam bentuk tembang Pangkur, Sinom, Pucung, dan Gambuh. Wulang Reh dan Wedhatama termasuk karya piwulang, karya yang berisi ajaran utama. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Kitab Wulang Reh Wulang Reh berisi ajaran tentang kawaskithan, kearifan, kesempurnaan hidup. Kawaskithan dari kata waskitha, artinya awas, bisa weruh marang prakara sing sinamar utawa sing ana batining wong, (Sudaryanto, 2001), yang dalam bahasa Indonesia artinya bisa melihat masalah yang tersamar atau apa yang ada di dalam batin orang. Untuk sampai pada PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖
55
tataran kesempurnaan atau kawaskithan itu perlu diupayakan secara sungguh-sungguh. Ini tercermin dalam salah satu piwulang yang ada di dalamnya, “Rasa kang satuhu, rasaning rasa punika, upayanen darapon sampurna ugi, ing kauripan”. (Wulang Reh, h.65) artinya rasa sejati, hakikat rasa itu, harus dicari agar mencapai kesempurnaan, dalam kehidupanmu. Wulang Reh juga berisi ajaran tentang kepekaan terhadap sasmita. Sasmita adalah ngalamat utawa pratanda, pertanda atau perlambang tentang sesuatu yang akan atau belum terjadi, tentang pertanda di balik sesuatu yang telah terjadi. Wulang Reh juga berisi ajaran tentang nilai-nilai kejujuran dan kesabaran, tentang rasa hormat, tentang keutamaan. Apabila orang ingin menjadi waskitha, arif, sempurna, disarankan untuk mencari guru yang bertabiat baik, tahu tentang hukum, tekun beribadah, guru yang sudah menguasaai isi Quran, karena di dalam Quran berisi ilmu sejati, ilmu kasunyatan, sebagaimana tampak pada uraian di bawah. Beberpa ajaran atau piwulang di dalam Wulang Reh dapat dipaparkan sebagai berikut : 1) Piwulang tentang kawaskithan dan anjuran untuk mengerti isi Quran. Data (1) “Jroning Quran nggoning rasa yekti, nanging pilih ingkang uningana, anyaba lawan tuduhe, nora kena denawur, ing satemah nora pinanggih, mundhak katalanjukan, temah sasar susur, yen sira ayun waskitha, sampurnane ing badanira puniki, sira anggegurua”. (Wulang Reh, halaman 65). (Dalam Quran tempat rasa sejati, tetapi pilihlah orang yang tahu, kenal dengan petunjuknya, tidak boleh diawur, di akhir tak dapat bertemu, malahan kebablasan, akhirnya tersesat, bila anda ingin jadi waskitha, sempurnanya jati dirimu, maka bergurulah). Artinya orang ingin mencapai kesempurnaan hidup, maka ia harus belajar (berguru) kepada orang yang tahu ilmu Quran). Pada bait di atas ditemukan adanya ajaran bahwa jika seseorang ingin waskitha atau sempurna, maka ia harus memahami isi Quran karena di dalam Quran terdapat petunjuk, dan seyogyanya berguru kepada yang tahu karena jika berguru kepada yang tidak tahu malah tersesat, tidak dapat bertemu dengan tujuan akhir dan bahkan dapat kebablasan. Pada kutipan di atas terdapat nilai religious, yakni nilai-nilai yang berhubungan dengan sikap keagamaan. Disebutnya kitab suci Al Quran dalam kutipan di atas menegaskan bahwa ukuran kesempurnaan hidup manusia itu lebih jelas dengan kriteria nilai-nilai dalam Quran.
56
PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖
Penegasan di atas diulang lagi pada bait di bawah ini. Di sini pesan tentang nilai yang ingin disampaikan itu jauh lebih jelas, yakni jika ingin berguru, maka Anda harus memilih guru yang baik, yang bermartabat, yang tahu hukum, syukur yang pertapa. Data (2) di bawah ini menegaskan adanya nilai keteladanan dan keluhuran: “Lamun sira anggeguru kaki, amiliha manungsa sanyata, ingkang becik martabate, sarta kang wruh ing kukum, kang ngibadah lan kang ngirangi, sokur oleh wong tapa, ingkang wus amungkur, tan mikir pawewehing liyan, iku pantes sira guronana kaki, sartane kawruhana”. (Wulang Reh halaman 65). (Tapi bila kamu berguru, pilihlah orang yang berilmu tinggi, yang baik martabatnya, dan tahu tentang hukum, yang beribadah dengan hati suci, syukur jika dapat pertapa, yang sudah taat betul, tak berpikir pemberian orang, itu pantaslah engkau berguru, serta mengertilah). Artinya, dalam berguru itu bukan kepada sembarang guru melainkan guru yang mengerti hukum dan memiliki martabat. Ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi agar manusia itu layak menjadi guru, yang digugu dan ditiru yakni berilmu tinggi, bermartabat, tahu hukum, yang taat beribadah, yang suka menjalani hidup prihatin (kang ngirangi), dan lebih baik lagi seorang pertapa yang sudah membelakangi (amungkur) kehidupan dunia. Di sini tampak bahwa nilai-nilai keteladanan dan keluhuran sangat dipentingkan bagi seorang yang akan menjadi guru. Tanpa keteladanan sebagaimana disebut di atas, seseorang tidak pantas digugu dan ditiru. Nilai-nilai religius, keteladanan, dan keluhuran yang dipaparkan di atas, di samping diambil dari Quran juga terdapat dalam hadis nabi, sebagaimana tampak dalam pembahasan di bawah ini (data 3): 2) Piwulang tentang baik-buruk dan benar-salah sebagai pegangan hidup dalam hadis “pada sira estokna, parentahira Hyang Widdhi, kang dhawuh mring nabiyullah, ing dalil kadis enggone, aja ana ingkang sembrono, rasakno denkarasa, PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖
57
dalil kadis rasanipun, dadi padhang ing tyasira”. (Wulang Reh, halaman 84). (Kerjakanlah, segala perintah Ilahi, yang mengutus nabi Allah, di dalam hadis tempatnya, jangan ada yang sembrono, rasakan hingga terasa, dalil hadis dan isinya, jadi jernih pikiranmu). Artinya, setelah mempelajari Quran maka dilanjutkan mempelajari hadis sehingga pikiran jadi jernih. Dari data (3) di atas dijelaskan bahwa untuk mengerjakan perintah Tuhan mengenai perilaku kehidupan, manusia dapat menelaan dalam hadis karena hadis berisi perilaku nabi yang konkrit dalam seluruh aspek kehidupan. Hadis adalah Quran berjalan, artinya nilai-nilai yang manungkin masih terlalu sulit dipahami dalam Quran dapat ditemukan konkritisasinya dalam hadis yang memang berisi seluruh suri teladan kehidupan manusia yakni dari pribadi nabi. Di dalam hadis terdapat dalil-dalil yang jika dirasakan dan diamalkan akan membuat pikiran manusia menjadi jernih, lurus. Seluruh etika kehidupan yang ideal terdapat di dalam hadis. Nilai-nilai selanjutnya adalah nilai keselarasan, keseimbangan, dan kerendah-hatian sebagaimana tampak dalam kutipan di bawah ini : di sini manusia ada yang mengatur, yakni Tuhan. Manusia tidak perlu ragu karena ada yang misesa ing alam kabir, ada yang mengatur di alam dunia. Piwulang tentang kepasrahan kepada Yang Maha Kuasa, ingat akan Tuhan (nilai religius) dan kerendah-hatian ini tercermin dalam kutipan berikut (data 4): “Ing pangawruh lair batin, aja mamang, yen sira wus udani, ing sariranira, yen ana kang amurba, misesa ing alam kabir, dadi sabarang, pakaryanira ugi”. (Wulang Reh, halaman 75). (Dalam ilmu lahir batin, jangan ragu, bila engkau sudah tahu, dalam pribadimu, bila ada yang mengatur, berkuasa di alam kabir, jadi segala, perlakuanmu juga). Artinya ada yang mengatur kehidupan ini (yakni Tuhan) maka hendaklah orang tidak ragu akan segala perilakunya.
Dari data (4) dapat diketahui bahwa penulis kitab Wulang Reh ini yakin bahwa kehidupan ini ada yang mengatur, oleh karena itu manusia tidak perlu ragu menjalaninya. Jika manusia berpegang pada aturan yang nyata (yakni Quran dan hadis di atas) niscaya kehidupan ini akan menemukan keselarasan dan keseimbangan karena di dalam Quran dan hadis termuat pola hidup yang ideal. Yang muda menghormati yang tua, yang tua memberikan kasih sayang kepada yang muda. Tidak perlu ada yang merasa lebih dari yang lain. Bila ada yang merasa lebih dari yang lain akan terjadi ketidakseimbangan dan itu akan mengubah kodrat Tuhan. Perhatikan kutipan di bawah ini (data 5) : “Kang tinitah dadi anom, aja masgul, batin rumangsaa, yen wis titahing Hyang Widhi, yen masgula ngowahi, kodrating suksma”. (Wulang Reh, halaman 80).
58
PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖
(yang dititahkan jadi anak muda, jangan masgul, batin merasalah, bila sudah dititahkan Ilahi, bila masgul, mengubah kodratnya Tuhan). Artinya, anak muda hendaklah selalu mengasah batin, jangan masgul. Dalam Wulang Reh, realisasi bekti kepada Tuhan itu dapat dilakukan dengan sembah atau bekti kepada kedua orang tua, kedua mertua, saudara tua, guru, dan sesembahan (Tuhan atau raja), sebagaimana tampak dalam kutipan berikut ini (data 6) : “Poma kaki padha dipun eling, lan densami mantep maring becik, lan ta wekas ingong, aja kurang iya panrimane, yen wus tinitah maring Hyang Widhi, ing badan puniki, wus papancenipun. Nuli narima terusing batin, tan mengeng ing katong, tan rumangsa ing kanikmatane, sihing Gusti tekeng anak rabi, wong narima becik, kang mengkono iku”. (Wulang Reh, halaman 81). (Hendaklah kalian selalu ingat, dan mantap pada kebaikan, dan pesan saya, jangan kurang berterima kasih, bahwa telah dititahkan Tuhan, pada diri kita ini, sudah semestinya. Kemudian pasrahlah hingga batin, tak menentang raja, tak merasa kenikmatannya, pemberian Tuhan hingga anak nikah, orang menerima baik yang demikian itu). Artinya, orang harus senantiasa bersyukur kepada Tuhan bahwa ia telah diberi kehidupan, lalu bertawakal kepada Allah. Ajaran di atas mengingatkan kepada manusia bahwa hendaknya kita harus selalu bersyukur kepada Tuhan atas segala titah-Nya. Rasa syukur itu harus diwujudkan dengan senantiasa berbuat baik, tidak menentang perintah Raja, selalu mengingat nikmat Tuhan yang telah diterima hingga dapat membesarkan anak sampai anak mandiri (menikah). Bahwa hidup kita penuh kenikmatan itu dari orang tua kita, karena itu wajib kita menghormatinya. Data (7) : “uripira pinter samubarang kardi, saking ibu rama, ing batin saking Hyang Widhi, mulane wajib disembah, PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖
59
pan kinarsaaken ing Hyang kang linuwih, kinarya lantaran, ana ing donya puniki, weruh ing becik lan ala” (Wulang Reh, halaman 72). (Hidupmu pintar dalam segala hal, dari ibu bapak, hakikatnya berasal dari Tuhan, maka wajib disembah, karena kehendak Tuhan Yang Maha Sempurna, sebagai sarana, berada di dunia ini, tahu yang baik dan buruk). Artinya orang wajib menyembah Tuhan dan menghormati ibu bapa karena merekalah perantara kita lahir ke dunia. Dalam budaya Jawa, hormat kepada orang tua itu tidak hanya ketika mereka masih hidup, bahkan ketika mereka sudah meninggalpun kita wajib menghormatinya, dengan cara merawat kuburnya, selalu berziarah minimal setahun sekali di bulan Ruwah. Ini harus dilakukan karena orang tualah perantara kita hadir di dunia. Data (8) :
“kaping lima dununge sembah puniki, mring Gusti kang murba, ing pati kalawan urip, murah sandhang kalawan pangan, wong neng donya wajib manuta ing Gusti, lawan dipun awas, sapratingkah dipun esthi, aja dupeh wus awirya” (Wulang Reh halaman 73). (yang kelima letaknya penghormatan ini, kepada Tuhan yang Maha Kuasa, dalam mati serta hidup, murah sandang serta pangan, orang di dunia wajib menurut, pada Tuhan, serta waspadalah, semua perbuatan ditekuni, jangan sombong karena kaya). Artinya bahwa semua perbuatan manusia di dunia itu harus dilandasi keyakinan bahwa suatu saat akan diminta pertanggungjawabannya oleh Tuhan sehingga diupayakan jangan sombong jika sudah berkecukupan. Setelah menghormati orang tua, manusia juga harus menyembah Tuhan Yang Maha Mencipta. Tuhanlah yang menciptakan mati dan hidup itu, lengkap dengan sandang dan pangan yang melimpah di dunia. Semua perbuatan manusia akan dimintai pertanggungjawabannya, itu yang harus diyakini sehingga manusia semestinya tidak mungkin berlaku sombong, karena ia pasti akan mati dan pasti tidak dapat mengubur dirinya sendiri
60
PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖
melainkan minta bantuan orang lain. ajaran ini yang selalu diulang dalam berbagai bait yang ada di Wulang Reh ini.
2.
Kitab Wedhatama
Wedhatama adalah karya Mangkunagara IV yang diterbitkan tahun 1927. Wedhatama digubah dalam bentuk tembang Pangkur, Sinom, Pucung, dan Gambuh. Wedhatama termasuk karya piwulang, karya yang berisi ajaran utama. Dalam Wedhatama terdapat ajaran tentang etika dan etiket, misalnya orang harus berjiwa bersih, banyak tenggang rasa, suka memaafkan orang, hormat pada yang tua, pandai menyesuaikan diri. Adapun isi ajaran Wedhatama adalah sebagai berikut : 1) Ajaran tentang pentingnya ngelmu luhur dalam kehidupan Data (9) : “Mingkar-mingkuring angkara, akarana karenan mardi siwi, sinawung resmining kidung, sinuba-sinukarta, mrih kretarta pakartining ngelmu luhung, kang tumrap neng tanah Jawa, agama ageming aji”. (Wedhatama halaman 5). Terhadap bait di atas, R Soejonoredjo mengatakan bahwa: “Awit dening sengsem paring piwulang dateng para putra, ingkang nganggit serat Wedhatama karsa mengkeraken angkara murka. Panganggitipun mawi kasekaraken, murih saged menarik sengsemipun ingkang maos. Serat Wedhatama punika isi piwulang lahir batos. Pamujinipun ingkang nganggit: paringipun piwulang ingkang sampun rinengga tuwin tinata punika sageda tumanem ing manah sarta angrembaka. Wulang kawruh ingkang luhur punika wonten dayanipun. Piwulang punika laras kaliyan dasaripun tiyang Jawi. Manawi kaudi, saestu nenuntun dhateng watak Kapangeranan”. (R. Soejonoredjo, 1937: 5). Karena senang memberi pelajaran kepada putra-putranya, penulis Wedhatama mau meninggalkan angkara murka. Menulisnya dengan tembang, agar dapat menarik minat yang membaca. Wedhatama ini berisi pelajaran lahir batin. Harapan sang penulis: pemberian pelajaran yang sudah ditata dan dipersiapkan ini bisa tertanam dalam hati serta berakar kuat. Mengajar ilmu luhur itu ada powernya. Pelajaran ini selaras dengan dasar hidupnya orang Jawa. Jika dipelajari, sungguh akan menuntun ke watak ksatria. Dari bait di atas dapat dimengerti bahwa sang penulis kitab (Mangkunagara IV) sangat memperhatikan tujuan dan makna tulisan yang akan diberikan kepada (mula-mula) puteranya. PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖
61
Ia menggunakan bentuk tembang, artinya digubah dalam bahasa sastra yang indah. Ia (bahkan) sampai bersedia mengekang hawa nafsu, meninggalkan segala tindak angkara murka. Untuk mencapai watak ksatria, harus mau belajar ilmu yang tinggi (ngelmu luhur). Dan ajaran tersebut tertuang dalam kitab Wedhatama. 2) Ajaran tentang pentingnya rasa Data (9) : “Jinejer neng Wedhatama, Mrih tan kemba pakembenganing pambudi, Mangka nadyan tuwa pikun, yen tan mikani rasa, Yekti sepi asepa lir sepah samun, Samangsa ing pasamuan, Gonyak-ganyuk nglelingsemi.” (Wedhatama halaman 6). R. Soejonoredjo menyatakan bahwa: “Piwulang punika kapacak ing serat Wedhatama. Perlunipun supados tlatos (boten kemba) pangudinipun, mandar sageda ngregem ing raosipun. Ngagesang sanajan sampun sepuh raganipun, menawi dereng saged ngraosaken ing Raos Kasukman, kaupamekaken taksih suwung, jer isinipun naming angen-angen kaliyan hawa nafsu. Manawi kaleres kekempalan sarta lajeng angginem kabatosan, ngatawisi menawi sayektosipun taksih suwung. Kadosta: wor suhipun, laguning suwantenipun, polatanipun, tandang-tandukipun, lsp.amracihnani bilih sayektosipun dereng ngraosaken dateng Raos Kasukman, dados taksih wonten ing pamikir lan pangraos” (R. Soejonoredjo, 1937: 6). (Ajaran berikut ini tertulis di dalam kitab Wedhatama, agar kalian tidak kekurangan akal budi. Sebenarnya bila orang telah tua renta, tak berguna bila ia tidak punya perasaan/kepekaan, karena ia bagaikan ampas atau sampah yang tiada berguna lagi. Apalagi bila di dalam pertemuan sering bertindak keliru dan memalukan). Pada bait di atas dinyatakan bahwa meskipun manusia itu sudah tua renta, bila ia tidak memiliki kepekaan batin maka sebenarnya ia tidak memiliki kegunaan apa pun. Ia diibaratkan seperti sampah atau ampas, bahkan jika di dalam forum-forum terhormat ia sering bertindak yang salah dan memalukan. Oleh karena itu, manusia harus selalu mengasah ketajaman pikiran atau batinnya agar mendapatkan kepekaan, baik terhadap sasmita alam maupun sasmita yang diberikan oleh manusia lain, misalnya mimic, gesture, suara atau kalimat yang diucapkan. Dengan begitu manusia akan mampu menjaga keseimbangan rasa dalam hidup. Bagi orang Jawa, rasa merupakan pertimbangan terpenting sebelum melangkahkan kaki untuk bertindak. Orang Jawa tidak akan melakukan sesuatu tindakan jika tindakan itu
62
PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖
tidak enak (tidak tepat) di dalam rasa, contoh: mau membeli barang, mau menikah, mau meminta, bahkan mau berkata pun tidak akan terjadi jika tidak enak di-rasa. 3) Ajaran tentang Keteladanan Dalam kitab Wedhatama juga dipaparkan tentang keteladanan, sebagaimana tampak pada larik berikut ini (data 10) : “Nuladha laku utama, tumrap ing wong tanah Jawi, wong agung ing Ngeksi ganda, Panembahan Senapati, kapati amarsudi, sudaning hawa lan nafsu, pinesu tapa brata, tanapi ing siyang ratri, amemangun karyenak tyasing sasama” (Wedhatama, halaman 23). “Tumrapipun bangsa kita Jawi, ingkang sayogi katuladha inggih bangsa leluhur Jawi, kados ta Kanjeng Panembahan Senapati ing Metaram. Ingkang prelu kairib-irib inggih punika anggenipun nyirep ubaling hawa nafsu. Awit Kanjeng Panembahan Senapati wau sanget anggenipun marsudi sudaning hawa nafsu. Panjenenganipun tansah ngencengaken tapa brata kanthi amesu budi. Siang dalu tansah enget pamarsudinipun. Kajawi ngegungaken tapa brata, lampahipun Kanjeng Panembahan, ingkang perlu kateladan inggih punika anggenipun karsa damel seneng dateng manahing sanes. Wiji ingkang katanem salebeting galih: namung sumedya ambangun kautamaning galihipun, murih kasinungan panggalih ambeg paramarta, ingkang lajeng nyrambahi (nulari, nuladani, andayani) dateng sadaya ingkang sami nyelaki panjenenganipun. Kajawi saking ngegungaken paramarta, ing kalamangsa asring nyepenaken kamelikanipun dateng kadonyan, nunten olah puja semedi ingkang ancasipun anjumbuhaken karsa. Karsanipun Kanjeng Gusti wau karuntutaken (kalaras) kaliyan Iradating Pangeran, sarana tajem jenjem nuju dateng Kaenengan (neng). Mboten kersa dhahar eca utawi sare sekeca (R. Soejonoredjo, 1937: 24). (Bagi kita orang Jawa, yang harus diteladani adalah para leluhur Jawa, seperti Kanjeng Panembahan Senapati di Mataram. Yang perlu ditiru yaitu cara dia menepis hawa nafsu. Kanjeng Panembahan Senapati sangat berusaha mengurangi hawa nafsu. Beliau selalu mengencangkan bertapa dengan berlatih keras (mesu budi). Siang malam selalu ingat upayanya. Kecuali mengutamakan bertapa, perilaku Kanjeng Panembahan yang perlu diteladani adalah upayanya membuat senang hati orang lain. Biji yang ditanam dalam batin: hanya ingin membangun keutamaan pemikiran, agar mendapatkan pikiran yang ambeg paramarta, yang terus merambah bagi semua yang mendekatinya. Kecuali mengagungkan paramarta, di saat-saat tertentu sering menghindari pamrih keduniaan, lalu bersemadi yang PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖
63
tujuannya menumbuhkan karsa. Karsa Kanjeng Gusti Panembahan tadi selaras dengan iradat Allah, sarana menuju ketenangan. Tidak mau makan enak, tidur nyenyak). Manusia tidak dapat meninggalkan kodratnya sebagai makhluk yang mempunyai nafsu. Di antara nafsu itu, yang sering membuat seseorang jatuh ke jurang kesengsaraan adalah nafsu tiga ta, yakni harta, tahta, dan wanita. Harta dapat mengantar manusia ke jeruji besi atau penjara. Tahta bisa mengantar manusia menjadi seorang pembunuh karena berebut dengan cara yang tidak semestinya, dan wanita terkadang dapat menjadi ajang penjerumusan hidup yang sengsara itu ketika wanita tadi tidak memiliki ilmu agama yang cukup. Manusia pasti memiliki nafsu dunia, tetapi yang perlu diupayakan adalah adanya keseimbangan hidup dengan laku utama, karena ada kehidupan lain yang lebih lama dan abadi, yakni kehidupan akhirat. Untuk itu manusia perlu mempersiapkan diri dengan bekal yang cukup, antara lain bekal taqwa kepada Allah swt. Tentang perlunya keseimbangan hidup ini dipaparkan juga di dalam Wedhatama berikut (data 11) : “Saben mendra saking wisma, lelana laladan sepi, ngingsep sepuhing supena, mrih pana pranaweng kapti, tis-tis tyas merdusi, mardawane budya tulus, mesu reh kasudarman, neng tepining jalanidi, sruning brata kataman wahyu jatmika” (Wedhatama, halaman 23).
―Setiap pergi dari rumah, perjalanan ke tempat sepi, mempelajari hakikat sepi, agar tanggap kehendak, agar hati jadi peka, agar budi jadi halus, merenung dengan bertapa, di tepi sungai, berkat tekun bertapa didapatkan wahyu kebaikan‖. Kontemplasi dan refleksi adalah cara yang mesti dilalui agar manusia tidak terjerumus ke dalam kehidupan yang sia-sia. Kontemplasi adalah cara yang dapat ditempuh untuk mempertanyakan kembali hakikat hidup. Refleksi adalah cara untuk berani melihat apa yang telah dilakukan dan berani merombak atau mengubah jika ternyata jalan hidup yang ditempuh itu keliru. Dalam ungkapan Jawa dikatakan mulat sarira hangrasa wani, artinya berani merefleksi diri sendiri. Kontemplasi dan refleksi berkawan dengan sunyi, jadi apa yang tertulis pada bait di atas sangat tepat. Orang harus pergi ke tempat sunyi untuk melakukan introspeksi diri. Jika setiap saat hal itu dilakukan, niscaya kesalahan fatal dalam kehidupan tidak mungkin terjadi. Merenung, bertapa, tanggap ing sasmita, adalah tiga hal yang perlu dimiliki manusia agar sampai pada kehidupan yang sempurna.
64
PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖
KESIMPULAN Dari hasil analisis dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai yang terdapat dalam Wulang Reh dan Wedhatama adalah nilai religius, nilai keteladanan, nilai keluhuran, nilai keseimbangan, nilai kesetiaan, dan nilai keselarasan. Menjunjung tinggi etika dan etiket, rendah hati, suka menempuh laku utama, suka merenung, bertapa, dan prihatin, adalah laku yang harus dilalui untuk sampai meraih hakikat nilai-nilai dalam kehidupan yang tertuang dalam kitab Wulang reh dan Wedhatama. Nilai-nilai tersebut sangat diperlukan sebagai pedoman dan pegangan dalam kehidupan sekarang dan mendatang. Dari hasil analisis juga dapat disimpulkan bahwa kitab Wulang Reh dan Wedhatama adalah dua karya sastra Jawa yang berisi ajaran-ajaran utama yang dapat diaplikasikan secara nyata dalam kehidupan, meski kedua kitab tersebut berupa karya sastra, bukan kitab suci suatu agama. Sebagai karya sastra, kedua kitab tersebut dikemas dalam bentuk tembang agar mudah dipelajari kandungan isinya, yakni berupa piwulang atau ajaran utama. Ketika orientasi hidup sudah beralih dari ibadah ke yang lain (wama qolaktul jinna wal insa ila liya‟budun) manusia akan mudah kehilangan pegangan. Akibatnya hidup tanpa arah. Dengan mempelajari nilai-nilai dalam kitab Wulang Reh dan Wedhatama manusia akan mendapat pencerahan, tentang apa hidup itu, bagaimana hidup yang baik itu, dan ke mana tujuan hidup ini hendak diarahkan. Hal ini sangat penting karena kehidupan sekarang penuh dengan tekanan-tekanan, dari yang bersifat material sampai non material, yang membuat manusia mudah stress berat. Banyak kita saksikan mereka yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri, saling membunuh, atau nekat. Itu pertanda adanya jiwa yang suwung, jiwa yang kosong. Wulang reh dan Wedhatama menyajikan bahan renungan tentang kehidupan ini. Semua tersaji dalam bentuk tembang sehingga mudah dimengerti dan dapat dilaksanakan dalam praktik kehidupan yang nyata. Berbagai ajaran dalam Wulang Reh dan Wedhatama di atas perlu diwariskan kepada generasi penerus sedini mungkin, agar dapat dijadikan salah satu pegangan dan pedoman dalam menjalani kehidupan sekarang dan yang akan datang. Berbagai ajaran dalam Wulang Reh dan Wedhatama ini belum banyak yang dilaksanakan oleh masyarakat Jawa (khususnya) dan Indonesia pada umumnya sehingga kehidupan yang tata titi tentrem kerta raharja yang kita impikan bersama belum dapat terwujud. Saatnya kita merefleksi kehidupan kita dengan banyak mempelajari nilai-nilai budaya Jawa dalam sastra khususnya Wulang Reh dan Wedhatama. DAFTAR RUJUKAN Darusuprapta. 1982. Serat Wulang Reh Anggitan Dalem Pakubuwana IV. Surabaya: Citra Jaya. Poedjawijatna. 1990. Etika. Filsafat Tingkah Laku. Jakarta: Rineka Cipta. Shadily, Hassan (Ed). 1982. Ensiklopedi Indonesia. Jakarta: Aksara Baru-van Hoeve. Sudaryanto, Pranowo. 2001. Kamus Pepak Basa Jawa. Yogyakarta: Badan Pekerja Kongres Bahasa Jawa.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖
65
Suseno, Franz Magnis. 1996. Etika Jawa, Sebuah Analisa Falsafati tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Suwondo, Tirto, Slamet Riyadi, Dhanu Priyoprabowo, Sukardi. 1994. Nilai-nilai Budaya Susastra Jawa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. R. Soedjonoredjo. 1937. Wedatama Winardi Katerangan werdinipoen serat Wedatama, jasan dalem KGPAA Mangkoenegara IV ing Soerakarta. Kediri: Boekhandel Tan Khoen Swie.
66
PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖