-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
SASTRA ANAK SEBAGAI WAHANA MENINGKATKAN KEBERAKSARAAN DAN BUDAYA LITERASI ANAK Nugraheni Eko Wardani FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta
Abstrak Makalah ini bertujuan untuk (1) mendeskripsikan budaya membaca masyarakat Indonesia yang rendah; (2) mendeksripsikan peranan karya sastra anak dalam meningkatkan keberaksaraan dan budaya literasi anak; (3) mendeskripsikan cara menumbuhkan minat baca anak. Hasil kajian menunjukkan bahwa (1) rendahnya budaya membaca di kalangan masyarakat Indonesia disebabkan oleh tidak adanya kebiasaan membaca di kalangan orang tua (ayah dan ibu); masyarakat Indonesia lebih memiliki kebiasaan menyimak daripada membaca; keinginan membeli dan memiliki bukubuku bacaan yang bermutu sebagai bagian dari masyarakat terdidik belum menjadi kebutuhan yang urgen. (2) Keberaksaraan tidak saja memiliki makna mampu membaca, tetapi juga mampu memahami isi bacaan yang dibacanya. Karya sastra anak mampu menumbuhkan keberaksaraan dan budaya literasi anak jika sejak kecil anak diakrabkan dengan karya sastra. (3) Cara menumbuhkan minat baca pada anak dimulai ketika anak berusia 2 tahun di mana orang tua berperan penting untuk mencarikan bahasa bacaan yang sesuai dengan tahap perkembangan usia anak. Selain orang tua, guru pun berperan besar dalam menumbuhkembangkan minat baca anak. Jika guru gemar membaca, maka siswa pun juga akan gemar membaca. Kata kunci: sastra anak, keberaksaraan, budaya literasi anak
Pendahuluan Mendikbud Aris Baswedan dalam Permendikbud No 23/2015 tentang penumbuhan budi pekerti menyatakan bahwa salah satu poin penumbuhan budi pekerti adalah melalui kewajiban membaca selama 15 menit. Seluruh warga sekolah, baik siswa, guru, tenaga kependidikan, dan kepala sekolah wajib membaca buku, selain buku teks pelajaran selama 15 menit sebelum hari pembelajaran (Baswedan, 2015: 7). Siswa dan seluruh komponen sekolah dibiasakan membaca dan memahami isi bacaannya serta mampu menjadikan bacaan sebagai sumber pengetahuan dan inspirasi. Kebiasaan membaca buku belum menjadi “budaya” di Indonesia. Minat baca masyarakat Indonesia di bawah rata-rata masyarakat Asia lainnya. Menurut Ketua Umum Pengurus Pusat Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca (GPMB) Bambang Supriyo Utomo (2015:5) berdasar survei Unesco, rata-rata secara nasional, orang Indonesia tidak sampai satu judul buku per orang per tahun yang dibaca. Hal ini berbeda dengan Malaysia, di mana di negara itu, masyarakat menghabiskan 3 judul buku bacaannya per tahun. Sementara itu, masyarakat Jepang dapat membaca 5 sampai 10 buku per tahunnya per orang. Minat baca masyarakat Indonesia yang rendah ini disebut oleh Tau iq Ismail sebagai “generasi nol buku” (Baswedan, 2015:6). “Generasi nol buku” adalah generasi yang tidak membaca satu pun buku dalam satu tahun. Generasi ini dianggap “rabun membaca dan lumpuh menulis”. Jika keadaan ini dibiarkan terus terjadi dari generasi ke generasi, Indonesia akan semakin jauh tertinggal dari bangsa-bangsa lain. Kebiasaan membaca sangat berkorelasi dengan kemajuan IPTEKS. Budaya membaca yang menjadi kebiasaan akan menyebabkan warga bangsa memiliki pemikiran kritis, cerdas, objektif, bernalar, dan hasilnya mampu berkontribusi bagi kemajuan bangsa. Sementara itu, keberaksaraan dalam makalah ini tidak saja berarti memiliki kemampuan “melek huruf” atau bisa membaca, tetapi juga bisa memberikan pemahaman terhadap buku277
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
buku yang dibacanya. Keberaksaraan dan budaya literasi hendaknya tidak sebatas slogan yang dibentangkan di jalan-jalan, tetapi juga sampai kepada aplikasi di dalam kehidupan sehari-hari, baik itu di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Budaya Membaca Masyarakat Indonesia yang Rendah Budaya membaca masyarakat Indonesia rendah disebabkan dalam kehidupan keluarga, orang tua tidak menjadikan kegiatan membaca sebagai sebuah kebiasaan bagi orang tua maupun anak sejak si anak masih kecil. Padahal kebiasaan membaca orang tua tentu juga akan menjadi kebiasaan membaca bagi anak karena hakikatnya perilaku anak akan mencontoh pada perilaku orang tuanya. Hal ini sesuai dengan pendapat Bloom (dalam Bunanta, 2008: 107) bahwa 50% kematangan intelegensi seorang anak tercapai pada usia 4 tahun dan pada periode ini seorang anak tidak hanya suka meniru-niru suara-suara yang didengar di rumahnya, tetapi juga meniru perilaku orang tuanya. Ibu dan ayah adalah model yang pertama. Hal lain yang menyebabkan budaya membaca masyarakat Indonesia rendah adalah bahwa masyarakat Indonesia tidak terbiasa membaca, tetapi menyimak. Karya-karya sastra lama Indonesia tidak disampaikan dalam bentuk buku, tetapi disampaikan dalam bentuk lisan dari mulut ke mulut. Hal ini berkontribusi di zaman modern ini bahwa kebiasaan menyimak masih menjadi primadona hidup masyarakat Indonesia. Munculnya berbagai stasiun televisi dengan program hiburan yang beraneka menyebabkan kebiasaan membaca tersisihkan dan kebiasaan menyimak menjadi hal yang utama. Akhirnya masyarakat pun semakin menjauhi buku sebagai kebutuhan utama masyarakat terdidik. Hal terakhir yang menyebabkan budaya membaca rendah adalah persepsi masyarakat Indonesia bahwa buku belum merupakan kebutuhan utama keluarga. Oleh karena itu, membeli buku merupakan hal yang kurang penting dan menyebabkan pemborosan ekonomi keluarga. Daripada uang digunakan untuk membeli buku, masyarakat lebih mengutamakan uang dibelikan pakaian, makanan, atau bepergian ke tempat hiburan/rekreasi yang kebermanfaatannya langsung dapat dirasakan. Begitu pula kebiasaan mengunjungi perpustakaan juga belum menjadi kebutuhan primer yang perlu diperkenalkan kepada anak. Di sinilah peran guru dan sekolah untuk mengakrabkan anak mengunjungi perpustakaan. Tentu saja perpustakaan pun harus memiliki koleksi buku bervariasi, buku-bukunya menarik dan sesuai untuk usia anak. Ada kegiatan terprogram bagi anak untuk mengunjungi perpustakaan setiap minggunya atau menjadikan kegiatan membaca di perpustakaan sebagai bagian dari mata pelajaran tertentu. Peranan Sastra Anak untuk Meningkatkan Keberaksaraan dan Budaya Literasi Anak Sastra anak menurut Hunt (dalam Nurgiyantoro, 2005:8) adalah buku bacaan yang dibaca oleh, yang secara khusus cocok untuk, dan yang secara khusus pula memuaskan sekelompok anggota yang kini disebut sebagai anak-anak. Nurgiyantoro (2005:8) menyatakan hal serupa bahwa sastra anak adalah buku-buku bacaan yang sengaja ditulis untuk dikonsumsikan kepada anak, buku-buku yang isi kandungannya sesuai dengan minat dan dunia anak, sesuai dengan perkembangan emosional dan intelektual anak, dan buku-buku yang karenanya dapat memuaskan anak. Sedangkan Kurniawan (2009:4-5) mengatakan bahwa sastra anak adalah sastra yang menggunakan bahasa yang dapat dipahami oleh anak dan pesan yang disampaikan berupa nilai-nilai, moral, dan pendidikan yang disesuaikan dengan perkembangan dan pemahaman anak. Menurut Nurgiyantoro (2005:12) penulis sastra anak dapat siapa saja, baik orang dewasa maupun anak-anak. Penulis sastra anak harus mengetahui dunia anak-anak dan aspekaspek psikologisnya. Hal senada diungkapkan oleh Huck (dalam Nurgiyantoro, 2005:9) yang menyatakan bahwa isi kandungan karya sastra anak harus sesuai dengan jangkauan emosional 278
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
dan psikologis anak. Sastra anak dapat berkisah tentang apa saja, bahkan yang menurut ukuran orang dewasa tidak masuk akal. Misalnya berkisah tentang binatang yang dapat berbicara, bertingkah laku, berpikir, dan berperasaan layaknya manusia. Imajinasi dan emosi anak dapat menerima cerita itu secara wajar dan memang begitulah seharusnya menurut jangkauan pemahaman anak. Penggunaan tokoh binatang ini sesungguhnya hanya mewakili tokoh dalam kehidupan nyata manusia lengkap dengan pikiran dan perasaannya. Sastra anak menjadikan pengalaman dan pengetahuan dunia anak sebagai fokus penceritaan meskipun karya sastra tersebut mengambil tokoh binatang atau tumbuh-tumbuhan. Hal ini sesuai dengan pendapat Winch (dalam Nurgiyantoro, 2005:7) yang menyatakan bahwa buku anak yang baik adalah buku yang mengantarkan dan berangkat dari kacamata anak. Hal-hal informatif yang penuh dengan nilai edukatif yang diselingi imajinasi mampu mengembangkan daya nalar dan fantasi anak tentang perilaku manusia dalam kehidupan. Sastra anak haruslah bersifat dulce artinya sastra anak sanggup memberikan hiburan yang mengasyikkan bagi pembacanya, sehingga anak bisa menikmati daya tarik cerita melalui alur yang mengandung plausibilitas, suspence, surprise, dan unity, anak dapat menikmati perwatakan melalui tokoh-tokohnya, dan sebagainya. Namun, di sisi lain, sastra juga harus bersifat utile, artinya mampu memberikan pendidikan moral khususnya pendidikan karakter bagi pembacanya. Menurut Moody (1979:5) sastra memiliki berbagai manfaat, antara lain (1) membantu empat keterampilan berbahasa; (2) meningkatkan pengetahuan budaya; (3) mengembangkan cipta dan rasa; (4) menunjang pembentukan watak. Melalui kegiatan membaca atau menyimak sastra anak, anak-anak dapat mengembangkan keterampilan membaca, baik membaca karya iksi maupun karya non iksi. Orang tua yang mengakrabkan anak dengan karya sastra sejak dini, niscaya akan menghasilkan anak yang memiliki kegemaran membaca sebagai kebiasaan. Melalui keakraban dengan sastra anak, siswa terpacu pula dalam mengembangkan keterampilan menulis dan berbicara, misalnya melalui kegiatan membaca puisi/cerpen, mendongeng, menulis puisi/cerpen/novel, dan sebagainya. Kegiatan membaca sastra anak juga mendekatkan anak pada pengetahuan dan wawasan mengenai budaya dari berbagai daerah di Indonesia. Misalnya membaca cerita rakyat “Terjadinya Danau Toba” anak akan mengetahui budaya dan nilai-nilai yang ada di Sumatera Utara, khususnya suku Batak. Kegiatan membaca sastra anak juga mampu mengembangkan cipta dan rasa. Anak-anak yang sejak kecil dibiasakan membaca karya sastra akan memiliki kepekaan perasaan yang jauh lebih baik dibanding anak yang kurang membaca karya sastra. Anak yang sering membaca karya sastra terasah perasaannya membaca bagaimana tokohtokoh dalam karya yang dibacanya bertingkah dan berwatak. Pengamatan pada tingkah laku dan watak tokoh dalam cerita yang beraneka warna akan memperkaya wawasan anak mengenai keragaman sikap dan watak manusia. Hal ini akan berkontribusi pada sikap anak yang mampu menghargai manusia dari berbagai sisi, baik sisi baik maupun sisi buruknya. Membaca sastra anak juga mampu menunjang pembentukan watak. Sering karya sastra anak menunjukkan kepada anak-anak bahwa mengedepankan perilaku yang baik, tentu langkah kehidupannya di masa yang akan datang akan baik dan lancar. Namun, kalau seseorang lebih mengedepankan watak dan perilaku yang buruk, maka hidupnya juga selalu penuh rintangan. Pembentukan watak yang dikembangkan melalui membaca sastra anak secara kontinu akan mengasah nilai-nilai moral anak untuk mengedepankan nilai-nilai moral yang luhur dalam kehidupannya, baik saat masih kanak-kanak atau kelak ketika mereka dewasa. Manfaat membaca hendaknya dilakukan sebagai kebiasaan dalam keluarga dan sekolah dan pertama-tama dapat dilaksanakan melalui keakraban dengan sastra anak. Membaca sastra anak dapat meningkatkan kebersaksaraan. Keberaksaraan di sini bukan sekadar bebas dari buta huruf, melainkan dapat memahami isi bacaan yang dibacanya, dengan demikian, juga 279
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
dapat mengambil nilai-nilai dari isi bacaan tersebut. Kebiasaan membaca yang dipupuk terus menerus tentu akan menumbuhkan pula budaya literasi. Anak-anak menjadikan buku sebagai bagian primer kehidupannya. Berdasarkan buku-buku mereka dapat pula menumbuhkan budaya tulis dan memberikan sumbangan pemikiran yang berarti bagi kemajuan bangsa. Cara Menumbuhkan Minat Baca pada Anak Seperti telah dijelaskan di depan, bahwa minat baca pertama-tama ditumbuhkan melalui pendidikan di rumah oleh kedua orang tua. Jika orang tua memiliki kegemaran membaca, tentu hal ini juga akan berpengaruh kepada anak-anaknya. Namun, tidak ada istilah terlambat dalam menumbuhkan minat baca anak. Kapan anak mulai diperkenalkan pada buku? Anak mulai diperkenalkan pada buku sebaiknya pada usia 2 tahun. Pada usia ini, anak dapat diperkenalkan pada buku-buku yang terbuat dari kertas karton tebal dengan gambar beraneka warna, tanpa ada tulisan atau huruf satu pun. Pada tahap ini, anak belajar memegang buku, sedangkan orangtua memperkenalkan buku sebagai bagian penting kehidupan anak. Kewajiban ibu atau ayah sebagai orang tua adalah bercerita kepada anak halaman per halaman sambil anak diajak melihat gambar pada buku tersebut. Buku dibuat dengan bahan kertas tebal dengan tujuan agar tidak mudah robek saat dipegang oleh anak. Ketika usia anak lebih besar (3 – 4 tahun), anak dapat diperkenalkan pada buku dengan gambar dan beberapa huruf. Buku pun masih terbuat dari karton tebal dengan gambar menarik beraneka warna. Pada saat ini, ibu atau ayah juga masih bercerita kepada anak. Panduan bercerita berasal dari beberapa huruf dan kalimat yang terdapat pada bacaan. Pada tahap ini anak diperkenalkan pada cerita yang berbeda dan rangkaian huruf yang membentuk kata, sehingga anak dapat lebih awal mengenal berbagai macam huruf dan tulisan. Ketika anak jauh lebih besar (5-6) tahun, karya sastra yang disajikan menggunakan jumlah kalimat lebih banyak dan masih menggunakan gambar-gambar menarik. Perlahanlahan, kertas karton tebal digantikan dengan kertas hvs, tetapi gambar-gambar masih dibuat menarik dan beraneka warna. Cerita pun dinarasikan dengan jumlah kalimat lebih banyak. Pada tahap akhir (usia 7 tahun), anak membaca dengan jumlah alinea dan bab bacaan yang jauh lebih banyak dan gambar hanya satu buah di setiap babnya. Peran orang tua yang bercerita kepada anak perlahan bergeser seiring dengan keterampilan membaca yang telah dimiliki anak. Anak membaca sendiri buku bacaan yang disukainya. Upaya orang tua selama 6 tahun memperkenalkan budaya baca kepada anak memperoleh hasilnya ketika anak menjadikan buku sebagai bagian penting dalam hidupnya. Kebiasaan membaca yang diajarkan kepada anak sejak usia dini akan menyebabkan anak selalu tertarik untuk membaca. Perkenalan awal untuk menumbuhkan minat baca anak adalah pada karya sastra. Hal ini terjadi karena karya sastra selalu disertai dengan ilustrasi gambar yang menarik dan kisah-kisah yang menggugah imajinasi anak. Perkenalan yang terus menerus pada karya sastra akan menumbuhkan minat baca bagi anak. Pada tahap selanjutnya, anak pun tidak hanya tertarik membaca karya sastra, tetapi juga tertarik untuk membaca berbagai karya yang lain meskipun karya-karya non iksi itu tidak memiliki alur yang menarik seperti halnya karya sastra. Hal ini terjadi karena upaya orang tua menumbuhkan minat baca telah menuai hasilnya di mana anak telah menjadikan buku sebagai kebutuhan utama. Hal yang lain yang perlu dilakukan orang tua adalah menyisihkan uang belanja untuk membeli buku bagi anak-anaknya. Setiap bulan anak-anak diajak ke toko buku dan mereka diperkenankan orang tua untuk memilih buku bacaan anak yang mereka sukai. Orang tua mewajibkan kepada anak-anak untuk membaca buku di luar buku wajib sekolah dengan jumlah tertentu setiap bulannya. Hal ini perlu dilakukan karena minat membaca tidak dapat diperoleh secara instan, tetapi memerlukan peran serta aktif orang tua di dalamnya.
280
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
Kegemaran membaca anak-anak bukan saja menjadi tanggung jawab orang tua, tetapi juga menjadi tanggung jawab guru. Guru perlu menjadi teladan dan contoh utama gemar membaca buku. Jika gurunya gemar membaca buku, maka siswa-siswanya juga akan gemar membaca buku. Guru perlu pula memberikan kesadaran kepada siswa/anak bahwa dengan membaca buku mereka akan dapat membuka cakrawala pemikiran dan kelak dapat berkontribusi positif bagi kemajuan bangsa. Sebuah bangsa akan menjadi bangsa yang maju jika generasinya terlepas dari “generasi nol buku”. Simpulan 1. Rendahnya budaya membaca di Indonesia disebabkan tidak ada kebiasaan membaca di kalangan orang tua (ayah dan ibu); masyarakat Indonesia lebih memiliki kebiasaan menyimak daripada kebiasaan membaca, sehingga mereka lebih memilih melihat televisi daripada membaca buku; keinginan membeli dan memiliki buku-buku bacaan yang bermutu sebagai bagian dari masyarakat terdidik belum menjadi kebutuhan yang urgen 2. Keberaksaraan tidak saja memiliki makna mampu membaca, tetapi juga mampu memahami isi bacaan yang dibacanya. Karya sastra anak mampu menumbuhkan keberaksaraan dan budaya literasi anak jika sejak kecil anak diakrabkan dengan karya sastra. 3. Cara menumbuhkan minat baca pada anak dimulai ketika anak berusia 2 tahun di mana orang tua berperan penting untuk mencarikan bahasa bacaan yang sesuai dengan tahap perkembangan usia anak. Selain orang tua, guru pun berperan besar dalam menumbuhkembangkan minat baca anak. Jika guru gemar membaca, maka siswa pun juga akan gemar membaca.
Daftar Pustaka Baswedan, Anies. “Sambutan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada Peringatan Hari Aksara Internasional Tingkat Nasional Tahun 2015. Jakarta: Kemendikbud. Bunanta, Murti. 2008. Buku, Mendongeng, dan Minat Membaca. Jakarta: KPBA. Kurniawan, Heru. 2009. Sastra Anak. Jogjakarta: Graha Ilmu. Moody, H.L.B.. 1979. The Teaching of Literature. London: Longman. Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Sastra Anak: Pengantar Pemahaman Dunia Anak. Jogjakarta: Gadjah Mada University Press. Permendikbud No 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. http://daerah.sindonews.com/read/1040006/189/memprihatinkan-minat-baca-orangindonesia-hanya-0-049-1441208938
281