SASTRA ANAK SEBAGAI WAHANA PENGENALAN DAN PENGASUHAN IDEOLOGI: Sebuah Kajian Wacana*
Oleh: Drs.Riyadi Santosa, M.Ed. Drs. Djatmika, M.A. Fitria Akhmerti Primasita, S.S., M.A.
1. Latar Belakang Masalah Sastra anak, yang di dalam pengertian penelitian ini adalah cerita anak, merupakan sarana yang sangat strategis dalam memperkenalkan suatu ideologi, yang di dalam penelitian ini merupakan nilai-nilai baik-buruk, benar-salah , kepercayaan yang ada di masyarakat sekitar kita. Kesadaran mengenai pentingnya sastra anak di lingkungan kita, yang ditandai maraknya pembelian buku bacaan anak di toko-toko buku merupakan nilai plus dalam pengenalan literasi khususnya pengenalan dan pengasuhan ideology kepada anak. Buku bacaan anak di sekitar kita mempunyai genre yang bermacam-macam, misalnya naratif, rekon dan lain sebagainya. Setiap genre tersebut mempunyai register (bahasa ynag sedang digunakan), mulai dari pilihan kata, tatabahasa, kohesi, dan struktur teks, yang berbeda-beda. Sementara itu peran genre dan register dalam merealisasi suatu nilai budaya atau ideologi sangat dominan. Sejauhmana dominannya serta bagimana bentuk dan maknanya dalam penelitian ini akan menjadi topik bahasan utama. Sementara itu proses bercerita di masyarakat khususnya di Kota Surakarta, lebih khusus lagi yang dikerjakan di kelas-kelas Taman Kanak-Kanak dan para orang tua di rumah di Kota Surakarta ini juga merupakan permasalahan tersendiri. Apakah
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
1
proses bercerita mereka hanya mengikuti buku cerita yang ada atau mereka memodifikasi dengan cara mereka sendiri. Jika memodifikasi cara berceritanya, apakah mereka sudah merubahnya menjadi dua arah. Hal ini menjadi penting karena pengenalan ideologi yang sepihak tanpa memberikan kesempatan murid atau anak untuk berkomunikasi dua arah, pengasuhan ideologinya menjadi kurang kondusif. Artinya tidak memberikan kesempatan pada murid atau anak untuk berlatih berdemokrasi dengan baik. Pendekatan yang dipergunakan di dalam penelitian untuk melihat buku cerita ini adalah systemic functional linguistics dengan memfokuskan pada kajian genre, register, dan ideologi yang dikonfigurasikan di dalam buku-buku cerita anak itu. Kemudian untuk memotret proses bercerita di masyarakat Surakarta penelitian ini menggunakan pendekatan analisis percakapan yang memfokuskan scaffolding yang melibatkan struktur organisasi cerita, pola turn-taking, dan adjacency pairs.
2. Masalah Yang Diteliti Permasalahan utama yang dibahas di dalam penelitian ini ada dua, yaitu: pertama, bagaimanakah bahasa dalam buku cerita anak dieksploitasi untuk memperkenalkan dan mengasuh ideologi kepada anak. Permasalahan pertama ini diuraikan menjadi beberapa pertanyaan sebagai berikut. 1. Bagaimanakah genre buku cerita itu distrukturkan? 2. Bagaimanakah register buku cerita itu dikonfigurasikan? 3. Bagaimanakah genre dan register buku cerita itu dapat mendukung upaya pengenalan dan pengasuhan ideologi kepada anak-anak? 4. Bagaimanakah ideologi yang digunakan di dalam buku cerita tersebut
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
2
Permasalahan kedua yang dibahas di dalam penelitian ini adalah bagaimanakah cara bercerita serta interaksi antara pencerita dan pendengarnya dalam pengenalan dan pengasuhan ideologi terhadap anak? Permasalahan kedua ini diuraikan menjadi beberapa pertanyaan sebagai berikut. 1. Bagaimanakah Overall Organization (Struktur Teks) bercerita para orang tua dan guru TK kepada anak dan anak didiknya, termasuk jenis cerita/genre yang digunakan? 2. Bagaimanakah distribusi turn-taking-nya (pergantian berbicara)? 3. Bagaimanakah pola adjacency pairs-nya (pasangan dekat)? 4. Bagamanakah scaffolding di dalam tata urutan bercerita mereka?
3. Tinjauan Pustaka 3.1 Sastra Anak Yang dimaksud dengan sastra anak di sini adalah bentuk karya sastra yang ditulis untuk kalangan pembaca anak-anak. Ada beberapa bentuk karya sastra jenis ini, dari buku cerita bergambar (cergam atau komik), buku cerita, dongeng anakanak, puisi anak-anak, karya biografi, dan sebagainya. Cartledge dan Kiarie (2001) menandaskan bahwa karya sastra anak, dalam hal ini buku cerita anak, merupakan aspek yang sangat penting dari pengalaman masa kanak-kanak. Hal ini disebabkan dalam buku cerita tersebut mengandung pengalaman berpetualang dan nilai-nilai kultural yang dipergunakan sebagai wahana pengenalan dan pengasuhan ideologi kepada mereka. Artinya para pendidik dan para orang tua dapat memilih buku-buku cerita yang memperkalkan dan menanamkan nilai-nilai luhur, norma, kepercayaan yang berlaku dan diterima di dalam masyarakat.
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
3
Penuangan dan pemuatan ideologi itu tentu saja akan dilakukan dengan cara mengeksploitasi bahasa. Sementara itu, aspek kebahasaan yang dapat dikaji untuk melihat bagaimana sebuah teks, dalam hal ini, buku cerita mentransfer ideologi yang berlaku di dalam sebuah masyarakat kepada anak-anak sebagai target pembaca buku itu adalah struktur genre dan konfigurasi register. Oleh karena itu, maka fokus kajian dan analisis dari penelitian ini adalah melihat struktur genre dan konfigurasi register dari buku-buku cerita tersebut.
3.2 Genre Banyak para ahli bahasa yang mendefinisikan genre secara berbeda. Misalnya Halliday dan Hasan (1985), Kress (dalam Reid, 1987), dan Martin melihat genre sebagai suatu proses sosial yang berada di super ordinat kultur, sehingga genre merupakan prototipe proses sosial yang berlaku di suatu kultur tertentu. Register adalah realisasi kebahasaan genre di dalam suatu konteks situasi tertentu. Sementara itu Swales (1990) dan Bhatia (2001) meletakkan genre pada sub kultur, komunitas wacana atau discourse community, di dalam suatu kultur tertentu. Dengan demikian genre hanya berlaku pada sub kultur atau komunitas wacana tertentu dan tidak berlaku pada komunitas yang lain walaupun di dalam kultur yang sama. Dengan demikian genre yang dimaksud Swales dan Bhatia berada di antara konteks kultural dan konteks situasi, hampir sama dengan register. Di dalam penelitian ini pengertian genre dan register yang dimaksud menggunakan konsep yang pertama: Halliday, Hasan, Kress, dan Martin. Martin (1992) melihat genre sebagai suatu proses sosial yang berorientasi pada tujuan yang dicapai secara bertahap. Artinya genre merupakan suatu proses sosial yang setiap anggota masyarakat akan menggunakannya untuk berhubungan
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
4
dengan anggota masyarakat lainnya. Kedua genre beroientasi pada tujuan kultural (bukan profesional maupun vokasional seperti yang diartikan oleh Swales dan Bhatia) karena setiap proses sosial yang dilakukan oleh masyarakat mempunyai tujuan. Akhirnya genre merupakan proses yang bertahap karena dalam mencapai tujuannya suatu proses sosial memerlukan tahap-tahap untuk mencapainya. Tahapantahapan dari suatu proses sosial itu dicapai melalui urutan aktifitas sosial yang dilakukan oleh anggota masyarakat tersebut. Genre seperti sistem semiotika lainnya telah mengalami evolusi sejalan dengan perkembangan struktur sosial masyarakatnya. Oleh karena itu genre mempunyai ciri-ciri ‗stability‘ dan sekaligus ‗flexibility‘. Dalam keadaan seperti ini genre seperti bahasa itu sendiri. Ia bisa juga menjadi suatu potret dari suatu proses sosial, sekaligus juga bisa mengikuti perubahan struktur sosialnya. Dalam bentuknya yang stabil atau sinoptik, orang bisa membedakan berbagai macam-macam bentuk genre. Sementara itu dalam mengikuti perkembangan struktur sosial masyarakatnya sebuah genre juga ikut berevolusi. Misalnya dalam masyarakat sejarawan, pada awal permulaan proses sosialnya sejarawan hanya merekam segala kejadian pada waktu lampau, sehingga bentuk genre yang dipunyai oleh masyarakat ini ialah bentuk rekon. Akan tetapi dalam perkembangannya, karena kebutuhan untuk memahami dan kejadian sejarah tersebut dan untuk memprediksikan dan sekaligus memproyeksikan kejadian tersebut secara kritis untuk masa-masa mendatang sejarawan menganalisis dan menginterpretasikannya secara kritis kejadian-kejadian sejarah tersebut. Oleh karena itu dalam masyarakat sejarah bentuk genrenya pun ikut berubah; tidak hanya rekon tetapi terus dilanjutkan dengan analisisnya. Dari berbagai literatur, dapat disimpulkan bahwa genre
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
5
1. adalah suatu prototipe proses sosial verbal (pandangan statis) dan berada pada sistem tata nilai suatu masyarakat, bukan pada tingkat teks (lisan maupun tulis). 2. mempunyai fungsi atau makna atau tujuan sosial tertentu (goal-oriented) 3. untuk mencapai tujuan sosial tersebut genre bertahap-tahap atau staged 4. tahapan tersebut bersifat generik oleh karena itu Hasan dan Halliday mengatakan bahwa genre mempunyai struktur generik atau struktur skematik yang bersifat wajib, yang secara umum tahapan tersebut adalah opening, body, dan closing. 5. karena setiap genre mempunyai fungsi sosial yang berbeda maka setiap genre mempunyai tahapan atau struktur skematik (struktur awal - struktur inti - dan struktur akhir ) yang berbeda-beda. 6. genre seperti proses sosial non-verbal juga akan berubah seiring dengan perubahan imanen sistem tata nilai pada masyarakatnya (pandangan dinamis). Perubahan tersebut dapat terdapat pada fungsi atau tujuan sosialnya maupun pada sistem pentahapannya atau struktur generiknya. 7. pada tingkat teks dengan berbagai konteks situasinya, suatu genre akan secara variatif mempunyai mempunyai struktur teks yang berbeda-beda. Artinya ia tetap akan mempunyai struktur generik atau skematik wajib yang sama, walaupun terdapat struktur-struktur lain yang bersifat opsional/pilihan yang tidak wajib.
3.2.1 Variasi Genre dengan Sistem Pentahapannya a. Genre Faktual Seperti dikatakan di atas genre faktual ini digali dari proses sosial yang terjadi di masyarakat luas mulai dari dunia keseharian, akademik, jurnalistik dan lain sebagainya. Walaupun genre ini digali dari berbagai masyarakat wacana, namun tampaknya mereka mempunyai proses sosial yang sama ketiga masyarakat wacana
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
6
tersebut masih di dalam konteks kultural yang sama. Yang membedakan ialah konteks situasinya. Dengan demikian dalam tingkat register: struktur teks dan tekstur, serta leksisnya masing-masing berbeda (lihat Zequan, 2003). Seperti genre-genre lainnya genre faktual ini dibedakan atas fungsi sosialnya. Paling tidak terdapat
8 jenis genre faktual, yaitu: rekon, laporan, deskripsi,
prosedur, eksplanasi, eksposisi, diskusi, dan eksplorasi. Fungsi sosial ini menyebabkan urutan aktifitas masing-masing genre berbeda antara yang satu dengan yang lain. Fungsi sosial deskripsi ialah menggambarkan sesuatu, baik itu benda hidup maupun mati. Penggambaran deskripsi ini bersifat unik tidak digunakan untuk menggeneralisasikan dengan benda sejenis yang lain. Hal ini berbeda dengan genre laporan yang berfungsi untuk menggambarkan sesuatu baik yang punah atau yang hidup secara menyeluruh. Hasil penggambaran dalam genre laporan ini digunakan untuk menggeneralisasikan sesuatu itu secara umum. Dengan demikian kedua genre ini mempunyai perbedaan urutan aktifitas dan registernya. Sementara itu genre rekon digunakan untuk menceriterakan kejadian yang telah berlalu kejadian ini bersifat unik. Genre prosedur digunakan untuk menjelaskan urut-urutan aktifitas yang harus dilalui untuk mencapai suatu tujuannya. Genre eksplanasi digunakan untuk menjelaskan proses suatu kejadian atau suatu fenomena. Genre eksposisi mempunyai fungsi untuk mengajukan suatu pendapat secara sepihak, sedangkan diskusi mempunyai fungsi untuk membahas suatu isu dengan berbagai sudut pandang. Yang terakhir, eksplorasi berfungsi untuk mencari sesuatu yang masih dalam teoritis. Fungsi sosial tersebut menyebabkan apakah aktifitas genre tersebut terstruktur atau tidak. Jika dilihat dari urutan aktifitasnya, apakah terstruktur atau tidak, maka dapat terlihat di dalam diagram berikut:
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
7
Tabel 1: Genre Faktual generalisasi
+generalisasi: dokumen
menjelaskan/
debat
memecahkan
aktifitas tak terstruktur
deskripsi
laporan
eksposisi
diskusi
aktifitas terstruktur
rekon
prosedur
eksplanasi
eksplorasi
(diambil dari Martin 1992 dengan modifikasi) Fungsi sosial genre dan urutan aktifitasnya ini akan membatasi penggunaan registernya pada tingkat teks: baik itu stuktur teks, tekstur dan leksisnya. Misalnya , deskripsi dan laporan, walaupun sama-sama mendeskripsikan sesuatu baik hidup maupun mati, mempunyai perbedaan pada tingkat registernya. Karena deskripsi bersifat unik, partispannya bersifat individual/tunggal, sedangkan pada laporan partisipannya bersifat kelompok/jamak. Hasil akhir dari suatu deskripsi bersifat unik sedangkan hasil akhir pada laporan bersifat definisi/umum. Lain halnya dengan prosedur dan eksplanasi. Walaupun mereka sama-sama mempunyai urutan aktifitas terstruktur, mereka tetap berbeda terutama dalam tingkat registernya. Pada prosedur yang terpenting ialah aktifitas partisipan dalam menyelesaikan seluruh urutan aktifitas sehingga tujuan tercapai, sedangkan dalam eksplanasi yang terpenting ialah penjelasan dari suatu proses menjadi proses yang lain sampai pana proses ke-n (yang terakhir) sehingga suatu fenomena atau kejadian dapat dipahami. b. Genre Cerita Seperti telah dikatakan di atas bahwa genre ini digali dari proses sosial bercerita. Tujuan genre ini secara umum ialah untuk menghibur. Akan tetapi tidak sedikit genre ini digunakan untuk menyindir fenomena-fenomena sosial. Walaupun genre ini disebut genre cerita, ternyata tidak ada hubungannya dengan karya sastra.
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
8
Di masyarakat barat genre cerita diklasifikasikan menurut urutan aktifitas sosialnya. Aktifitas ini tergantung pada bagaimana partisipan melihat fenomena sosial dalam cerita tersebut. Rekon umunya berupa rekaman kejadian atau suatu fenomena sosial. Bedanya dengan yang lain: anekdot, eksemplum, dan narasi, dalam rekon tidak terdapat sesuatu yang salah di dalam kejadian tersebut. Sementara itu dalam jenis genre cerita yang lain terdapat sesuatu yang salah atau ada sesuatu yang tidak lazim di dalam kejadian tersebut. Yang membedakan diantaranya ialah cara melihat kejadian yang salah atau sesuatu yang tak lazim tersebut. Tabel 2: Genre Cerita Jenis Genre Rekon Anekdot Eksemplum Narasi
Urutan Aktifitas rekaman kejadian krisis insiden komplikasi
reaksi interpretasi evaluasi resolusi
(diambil dari Martin 1992 dengan modifikasi) Di dalam anekdot sesuatu yang tak lazim tersebut dilihat sebagai suatu krisis yang kemudian diberi reaksi afektif. Reaksi afektif tersebut dapat berupa rasa tidak ada kesesuaian, tidak aman, frustasi, kepuasaan, aman, terpenuhi kebutuhannya. Eksemplum melihat sesuatu yang tak lazim tersebut sebagai suatu insiden yang kemudian di dalam interpretasinya insiden tersebut dianggap suatu titik untuk memberikan gambaran yang seharusnya/semestinya terjadi. Sementara itu narasi melihat yang tak lazim tersebut sebagai komplikasi yang menimbulkan masalah untuk direnungkan atau dievaluasi sebelum akhirnya dicari jalan keluarnya (Martin, 1992).
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
9
3.2.2 Genre dan Ideologi Pengertian ideologi di dalam tradisi ini lebih dianggap sebagai pandangan dunia yang merupakan hasil interaksi antara nilai-nilai/norma-norma kultural, pengalaman serta kepercayaan yang dimiliki oleh seseorang
dalam melihat
fenomena sosial di dalam masyarakatnya. Dalam melihat fenomena-fenomena sosial ideologi dapat menumbuhkan pikiran-pikiran mengenai kekuasaan dan dominasi. Bila suatu hegemoni kekuasaan ditentang maka ideologi akan berkembang di dalam masyarakat. Dalam pengertian ini ideologi tidak harus merujuk pada ideologi besar yang sudah mapan seperti liberal, sosialis, komunis, ideologi Pancasila saja, tetapi ideologi juga menyangkut masalah feminisme, keagamaan, faham filosofis tertentu, aliran ilmu pengetahuan tertentu, faham kemasyarakatan tertentu, dan termasuk faham tertentu yang hanya dimiliki oleh individu. Dengan demikian dalam pengertian seperti ini ideologi dipandang bukan sebagai gambaran keliru mengenai suatu fenomena masyarakat karena kesalahan menafsirkan keadaan masyarakat seperti yang diungkapkan Marx yang bersifat statis. Martin (1992) melihat ideologi sebagai hal yang dapat dikategorikan menjadi 2. Pertama ideologi dapat dilihat secara statis atau sinoptis. Dalam pengertian ini ideologi dapat dilihat sebagai lect atau ragam bahasa yang digunakan oleh golongan atau masyarakat tertentu. Dengan demikian ideologi seperti ini sama dengan pengertian ideologi dalam dunia politik. Seseorang atau kelompok orang dapat dikategorikan paham ideologi politiknya melalui variasi bahasa yang digunakan. Jika bahasa yang digunakan adalah A maka ia atau mereka adalah golongan politik A. Sebaliknya jika variasi bahasa yang digunakan B maka ia atau mereka termasuk golongan politik B, dan sebagainya.
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
10
Sebetulnya, bisa saja model statis ini digunakan untuk mengidentifikasi ideologi seseorang atau kelompok melalui bahasa yang digunakan. Akan tetapi model statis ini menjadi kurang dapat dipertanggung-jawabkan mengingat interaksi antara nilai-nilai kultural baik lokal maupun dari luar, agama, etnisitas, serta perkembangan ilmu dan tehnologi dapat mempengaruhi ideologi seseorang untuk merespon suatu fenomena sosial/isu sosial. Bisa jadi seseorang yang masuk ke dalam golongan/politik tertentu membela isu A, tetapi menentang isu B yang mungkin dibela anggota politiknya. Oleh karena itu Martin melihat model ideologi dinamis menjadi lebih tepat untuk melihat hubungan hegemoni kekuasaan ini dengan genre yang digunakan. Untuk melihat hegemoni kekuasaan di dalam masyarakat digunakan 2 poros, yaitu: poros antagonis/protagonis dan poros kiri/kanan untuk melihat jika ada suatu isu atau profil ditentang. Poros antagonis/ protagonis adalah poros yang menunjukkan cara dan sudut pandang yang digunakan dalam melihat isu/profil, sedangkan kiri/kanan merupakan poros pemegang hegemoni kekuasaan/power. Dengan demikian antagonis kanan merupakan interlokutor yang melontar isu atau profil secara sepihak dan sebagai pemegang hegemoni kekuasaan; protagonis kanan adalah interlokutor yang memandang isu dari berbagai segi untuk mendukung adanya profil/isu tersebut. Sementara itu protagonis kanan adalah interlokutor yang melihat isu dari berbagai sudut pandang sebelum mereka menolak kehadiran isu/profil tersebut; dan antagonis kiri adalah interlokutor yang menentang kehadiran isu/profil tersebut secara sepihak dan dalam keadaan tidak memegang hegemoni kekuasaan, tetapi menantang untuk mendapatkan kekuasaan yang sedang diperebutkan. Dalam konteks ini kekuasaan tidak selalu berarti politik pemerintahan.
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
11
Tabel 4: Perspektif Ideologi Dinamis Antagonis kanan Protagonis kanan Isu/Profil Protagonis kiri Antagonis kiri (diambil dari Martin, 1992 dengan modifikasi)
3.3 Register Register secara sederhana dapat dikatakan sebagai variasi bahasa berdasarkan penggunaannya atau ‗use‘-nya, berbeda dengan dialek yang merupakan variasi bahasa berdasarkan penggunanya atau ‗user‘-nya. Dalam pengertian ini register tidak terbatas pada variasi pilihan kata saja (seperti pengertian register dalam teori tradisional) tetapi juga termasuk pada pilihan penggunaan struktur teks, dan teksturnya: kohesi dan leksikogramatika, serta pilihan fonologi atau grafologinya. Karena register meliputi seluruh pilihan aspek kebahasaan atau linguistis, maka banyak linguist menyebut register sebagai style atau gaya bahasa. Variasi pilihan bahasa pada register tergantung pada konteks sistuasi, yang meliputi 3 variabel: field (medan), tenor (pelibat), dan mode (sarana) yang bekerja secara simultan untuk membentuk konfigurasi kontekstual atau konfigurasi makna. Akan tetapi, garis batas antara register dan dialek tidak selalu kelihatan jelas. Ada titik-titik tertentu yang menunjukkan dimana dialek dan register overlap. Misalnya dalam dunia kerja terdapat pembagian tingkatan pekerja (buruh, staf pegawai, manager, dan direktur) , yang setiap anggota tingkatan mempunyai peran sosial yang berbeda, dengan demikian dalam register tertentu memerlukan dialek
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
12
(misalnya register birokrasi memerlukan dialek standard). Di lain pihak ada kelompok-kelompok sosial yang cenderung mempunyai konsep makna register yang berbeda dalam mengekspresikan satu situasi tertentu. Seperti yang telah sedikit disebutkan di atas, register merupakan konsep semantis yang dihasilkan dari suatu konfigurasi makna atau konfigurasi kontekstual antara: medan, pelibat, dan sarana di dalam konteks situasi tertentu. Konfigurasi makna tersebut membatasi penggunaan/pilihan makna dan sekaligus bentuknya untuk mengantar sebuah teks di dalam konfigurasi itu. Dengan demikian register bukan semata-mata merupakan konsep bentuk. Jika di dalam suatu konfigurasi makna tertentu register memerlukan bentuk-bentuk ekspresi tertentu, hal itu disebabkan bentuk-bentuk ekspresi diperlukan untuk mengungkap makna yang dibangun di dalam konfigurasi tersebut. Dalam pengertian ini register sama dengan pengertian style atau gaya bahasa yaitu suatu varian bahasa yang berdasarkan penggunaannya (lihat Lyons,1987). Bahkan Fowler mengatakan bahwa register atau gaya termasuk penggunaan bahasa dalam dalam karya sastra seperti puisi, novel, drama dan lain sebagainya (1989). Ia berpendapat walaupun para sastrawan mengklim bahwa karya sastra merupakan dunia kreasi tersendiri, yang merupakan second order semiotic system (sistem semiotika tingkat kedua) dan bahasa sebagai medianya hanya merupakan first order semiotic system (sistem semiotika tingkat pertama), keseluruhan sistem semiotik tersebut baik yang tingkat pertama maupun kedua tetap saja direalisasikan ke dalam bahasa yang merupakan sebagi media karya sastra tersebut. Medan (field) merujuk pada apa yang sedang terjadi, sifat-sifat proses sosial yang terjadi: apa yang sedang dilakukan oleh partisipan dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Medan ini juga menyangkut pertanyaan yang terkait dengan
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
13
lingkungan kejadian seperti: kapan, di mana, bagaimana kejadian itu terjadi, mengapa kejadian itu terjadi dan sebagainya. Kemudian pelibat (tenor)
merujuk pada siapa yang berperan di dalam
kejadian sosial tersebut, sifat-sifat partisipan, termasuk status serta peran sosial yang dipegangnya: macam peran sosial yang bagaimana yang dipegang setiap partisipan, termasuk hubungan status atau peran permanen atau sesaat, disamping juga merujuk pada peran bahasa yang digunakan untuk mengekspresikan hubungan peran dan status sosial di dalamnya. Aspek pelibat ini juga mempunyai 3 sub-bagian, yaitu: afek, status, dan kontak. Afek ialah penilaian (assesment, evaluation dan judgement) antar partisipan di dalam teks. Penilaian ini secara umum dapat dikategorikan menjadi 2, yaitu : penilaian positif atau negatif. Namun demikian, di dalam analisis teks penilaian positif atau negatif ini dapat dijelaskan melalui komponen semiotik yang digunakan di dalam teks tersebut. Misalnya, untuk penilaian positif dapat dikatakan apakah partisipannya mendukung, setuju pendapat partisipan yang lain, apakah partisipan yang satu sedang menghargai, menyanjung partisipan yang lain, dan sebagainya. Penilaian negatif dapat terlihat apakah partisipan yang satu sedang menyerang, mengkritik, mengejek, mencela, atau tidak menyetujui pendapat partisipan yang lainnya. Dari penilaian inilah sebetulnya kita dapat melihat ideologi partisipan yang satu terhadap partisipan yang lainnya. Dalam sistem kebahasaannya, afek ini dapat diinterpretasikan dari sistem fonologi/grafologi, leksisnya: deskriptif atau atitudinal, struktur mood-nya: proposisi atau proposal, transitifitas, struktur temanya, kohesi, dan struktur teks, serta genrenya. Aspek pelibat yang kedua, yaitu status, membahas hubungan status sosial atau hubungan peran partisipannya. Secara umum, hubungan
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
14
peran dan status sosial ini dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu: hirarkis/vertikal, dan non-hirarkis / horisontal. Di dalam analisis, status sosial dan hubungan peran ini harus dijelaskan status sosial yang seperti apa serta peran sosial apa yang sedang diperankan oleh partisipan di dalam suatu teks, misalnya status dan peran sosial partisipan lebih bersifat otoriter, tertutup seperti atasan-bawahan, dokter-pasien dan lain sebagainya, atau mungkin lebih bersifat demokratis, terbuka seperti hubungan antar anggota parlemen, antar dosen, atau antar mahasiswa, dan sebagainya. Secara semiotis, hubungan status dan peran sosial ini dapat dilihat melalui fonologi, grafologi, leksis: deskriptif atau atitudinal, struktur mood: proposisi atau proposal, transitifitas, struktur tema, kohesi, dan struktur teks beserta genrenya. Sub-aspek yang terakhir, yaitu kontak, mengevaluasi penggunaan bahasa yang sedang digunakan di dalam teks tersebut. Apakah bahasa yang sedang digunakan tersebut familiar atau tidak, artinya semua partisipan yang terlibat di dalamnya memahami dan mengerti bahasa yang sedang digunakan di dalam teks (proses sosial verbal) tersebut. Jika ditinjau lebih lanjut kontak ini menyangkut tingkat keterbacaan (readability) suatu teks yang sedang digunakan, maksudnya apakah teks itu terlalu sulit , sulit, mudah, atau terlalu mudah untuk dimengerti. Untuk mencari tahu kontak (familiaritas dan keterbacaan ini) seluruh aspek kebahasaan, dari aspek yang tertinggi sampai aspek yang terrendah ( struktur teks: jelas pembukaan, isi dan penutupnya atau membingungkan, linier atau spiral (dalam bahasa Jawa ‗mbulet‘), kohesi: rujukannya jelas atau membingungkan, sistem klausanya: simpleks, simpleks dengan embbeding, kompleks kompleks dengan embbeding, sistem grupnya (nomina, verba, adjunct) : simpleks atau kompleks,
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
15
sistem leksisnya: kongruen atau inkongruen, menggunakan abstraksi atau teknikalitas, serta fonologi atau grafologinya harus diukur. Akhirnya, sarana (mode) merujuk pada bagian mana yang diperankan oleh bahasa, apa yang diharapkan partisipan dengan menggunakan bahasa dalam situasi tertentu itu: organisasi simbolis teks, status yang dimilikinya, fungsinya di dalam konteks tersebut, termasuk saluran (channel) (apakah bahasa yang digunakan termasuk bahasa tulis atau lisan atau gabungan?) termasuk didalamnya sarana retorisnya: apakah yang diinginkan teks tersebut termasuk dalam kategori: persuasif, ekspositori, didaktis atau yang lainnya. Di samping itu, aspek sarana ini juga melibatkan medium yang digunakan untuk mengekspresikan bahasa tersebut: apakah mediumnya bersifat lisan dengan one-way (satu arah) atau two-way (dua arah) communication: audio, audio-visual, visual, misalnya: tutorial, pidato, siaran radio atau televisi, dialog, seminar, kotbah dan lain sebagainya; atau tulis / cetak yang bersifat komunikasi satu arah atau dua arah seperti: koran, majalah, tabloit, spanduk, papan iklan, surat menyurat, dan lain sebagainya. Secara terperinci, channel atau yang juga disebut gaya bahasa dapat dibagi menjadi dua yaitu gaya lisan dan gaya tulis. Gaya lisan atau tulis ini tidak terkait erat dengan apakah bahasa itu ducapkan atau ditulis, tetapi gaya lisan dan gaya tulis ini dilihat dari sifat alamiah bahasa yang sedang digunakan (the nature of language). Sebenarnya, pembagian gaya bahasa lisan atau tulis ini tidak semata-mata bersifat mengklasifikan atau mengkategorikan bahwa gaya bahasa hanya ada dua, tetapi pembedaan itu lebih merupakan suatu kontinum. Artinya bahasa yang kita gunakan sehari-hari dapat jatuh pada garis kontinum lebih bersifat lisan, cenderung lisan, tengah-tengah antara lisan dan tulis, cenderung tulis, atau lebih bersifat tulis.
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
16
Figur 5: Kontinum Gaya Bahasa Lisan dan Tulis
lisan
tulis cenderung lisan
lisan-tulis
cenderung tulis
Akan tetapi, di dalam realitas sehari-hari variasi gaya bahasanya akan jauh lebih banyak dibanding dengan pembagian di atas. Akan ada gaya bahasa yang jatuh pada titik kontinum antara lisan dengan cenderung lisan, antara cenderung lisan dan lisan-tulis, antara lisan-tulis dengan cenderung tulis, dan antara cenderung tulis, dengan tulis, yang tergantung pada konteks situasinya. Sementara itu, ciri-ciri gaya bahasa lisan atau tulis ini pada dasarnya dibedakan menurut tingkat keabstrakan serta encer dan padatnya bahasa yang digunakan. Bahasa lisan secara keseluruhan lebih konkrit dan encer, sedangkan bahasa tulis lebih abstrak dan padat. Pada sistem kebahasaan, keabstrakan dan kepadatan bahasa dapat dilihat melalui sistem leksisnya: kongruen atau inkongruen, kepadatan leksikalnya : perbandingan antara leksis gramatikal dan leksis konten, sistem klausanya: simpleks atau kompleks, sistem grupnya (nomina verba, dan adjunct): simpleks atau kompleks, sistem gramatikanya: merujuk pada situasi komunikasi searah atau dua arah, serta penggunaan aspek kohesi tertentu.
3.4 Analisis Percakapan Di dalam teorinya Levinson (1986) melihat bahwa percakapan mempunyai 3 aspek sentral di dalamnya. Pertama, percakapan mempunyai overall organization atau tata organisasi, yang teridiri dari opening, body, dan closing. Kedua percakapan
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
17
mempunyai struktur turn-taking atau giliran berbicara, dan ketiga percakapan mempunyai struktur adjacency pairs atau pasangan dekat. Selanjutnya Levinson menjelaskan bahwa percakapan sering dimulai dengan pembukaan yang sering diisi dengan greeting yang juga dibalas dengan greeting. Bagian ini sering diisi dengan ungkapan: Good morning, Hello, Hi, Nice tomeet you, long time no see, dan lain-lain yang berfungsi sebagai pembuka basa-basi untuk melalui isi percakapan yang berada di bagian isi. Bagian isi merupakan inti dan tujuan percakapan. Isinya merupakan topictopik pembicaraan yang sesuai dengan tujuan percakapan. Kadang-kadang terjadi perpindahan topik percakapan atau topic shift yang ditandai dengan ungkapan By the way. Bagian penutup biasanya diisi dengan ungkapan-ungkapan yang disebut ―leavetaking‖, misalnya: good bye, see you, bye bye, dan lain-lainnya. Sebelumnya didahului ungkapan seperti: sorry, I had to go, It’s good to see you, but…, I think it’s already late, dan lain-lainnya. Yang penting dari tata organisasi ini nanti percakapan ini akan menuju kea rah mana. Apakah akan menuju ke tipe teks: deskripsi, recount, laporan, prosedur, eksplanasi, eksposisi, atau diskusi. Atau organisasinya akan menuju ke genre cerita, seperti: recount, anekdot, eksemplum, atau naratif. Bagian penting kedua ialah turn taking (giliran berbicara). Pada umumnya distribusi turn taking ini bergantian. Misalnya ada dua peserta percakapan, maka giliran berbicaranya berpola A-B, A-B, A-B dan seterusnya. Kalau pesertanya 3 akan berpola, A-B-C, A-B-C, A-B-C. Dalam keadaan seperti ini percakapan menjadi berimbang, demokratis, karena setiap peserta mendapat bagian di dalam interaksi atau transaksi tersebut.Akan tetapi percakapan sering kali tidak demikian halnya. Ada saja salah satu atau dua peserta percakapan yang mendominasi giliran berbicara,
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
18
sehingga percakapan tidak berimbang dan hanya dikuasai oleh segelintir orang. Dalam keadaan seperti ini, maka percakapan sudah tidak berimbang, tidak demokratis, dan cenderung dikuasai oleh golongan tertentu (lihat juga Eggins & Slade, 1997, p. 26; Brown & Yule, 1983). Bagian terakhir di dalam analisis percakapan ialah pasangan dekat (adjacency pairs). Umumnya percakapan diisi dengan pasanganan dekat ini, baik dibagian pembukaan, isi, maupun penutup. Secara umum pasangan dekat ini terdiri dari dua konstituen atau bagian, bagian pertama dan bagian kedua. Kedua bagian tersebut bisa berupa: pertanyaan – jawaban, greeting-greeting, comment – acceptance, comment – refusal, compliment – accepteance, compliment – refusal, dan lain sebagainya (lihat juga Eggins & Slade, 1997, p. 27; Brown & Yule, 1983, p.230). Sering kali pasangan dekat ini tidak selalu terdiri dari dua bagian, tetapi 4 bagian, dengan tambahan insertion atau sisipan, misalnya: Ibu: Anak: Ibu : Anak:
Itu apa? Yang mana? Yang itu, warnanya biru? Oh itu, kertas berwarna untuk sampul buku.
Sisipan ini tidak hanya terjadi di dalam kasus pertanyaan-jawaban saja, tetapi juga bisa terja di pasangan dekat lainnya. Di samping itu ada pasangan kedua yang sudah kita inginkan atau harapkan. Misalnya kalau bagian pertama pertanyaan, bagian kedua jawaban. Kalau bagian pertanya compliment, bagian kedua acceptance. Jika terjadi hal ini bagian kedua ini kita sebut dengan preferred second part. Akan tetapi juga sering terjadi bagian kedua tersebut tidak seperti yang kita inginkan atau harapkan, misalnya pertanyaan dijawab dengan pertanyaan, compliment dijawab dengan penolakan, greeting dijawab dengan pertanyaan, dan lain sebagainya.
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
19
3.5 Scaffolding Istilah ini digunakan oleh para ahli Applied Linguistics, khususnya para ahli Language Acquisition, untuk merujuk bahasa atau perilaku yang digunakan oleh para orang tua, khususnya ibu, dalam membantu anak mereka di dalam berbahasa dengan bahasa ibu mereka (mother tongue) (Larsen-Freeman and
Long, 1991;
Rothery in Hasan and Williams, 1996). Di dalam Larsen-Freeman & Long (1991) digambarkan bahwa scaffolding merupakan bantuan kebahasaan yang digunakan untuk membangun percakapan bersama antara penutur asli Bahasa Inggris (H) dan pembelajar bahasa kedua Takahiro (T). Di dalam interaksi tersebut, yang mereka sebut dengan ―collaborative discourse‖, penutur asli bekerja sama dengan pembelajar dengan cara menuntun dan membantu pembelajar untuk menyelesaikan wacana. Misalnya: T: H: T: H: T:
this broken broken broken This /az/ broken Upside down upside down this broken upside down broken ( Larsen-Freeman & Long, 1991, hal. 70)
Model scaffolding yang bersifat vertical ini penutur asli berusaha membantu pembelajar Bahasa Inggris dalam menyusun struktur sintaksisnya secara vertical dengan memberikan mengulang ―broken‖ dan menambah ―upside down‖ konstituen pelengkapnya untuk membentuk struktur sintaksis yang lengkap. Selanjutnya Meisel (dalam ibid, hal.131) mengatakan bahwa scaffolding juga sangat membantu untuk membangun bagian-bagian yang hilang di dalam percakapan, seperti yang terjadi di dalam percakapan antara Takahiro dan native
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
20
speaker di atas. Kemudian menurut Sato scaffolding membantu untuk terjadinya language acquisition (pemerolehan bahasa) (dalam ibid, hal.131;). Bahkan Varonis dan Gass (1985) menyatakan interaksi antara non-native dengan non-native-pun dapat menimbulkan negotiation of meaning, jika di dalam percakapannya terjadi scaffolding. Hal ini disebabkan bahwa scaffolding memberikan akses pembelajar untuk mengenal dan sekaligus mempraktekan unit-unit kebahasaan yang hilang, jarang dipakai, atau yang belum dikenal sekalipun. Kemudian Rothery (dalam Hasan & Williams, 1996, hal.90), di dalam teori literasinya (Literacy) menyatakan bahwa scaffolding sangat penting di dalam pembelajaran bahasa atau belajar sesuatu (termasuk nilai-nilai cultural, ideologis) melalui bahasa. Bahkan para guru harus mengetahui sistem kebahasaan, hubungan antara teks dan konteks untuk dapat memberikan scaffolding yang efektif. Kemudian ia melanjutkan bahwa scaffolding digunakan untuk membangun suatu jenis teks tertentu / genre sebagai suatu joint construction ( membangun teks secara bersama-sama). Para guru atau orang tua bertanya dan berkomentar sedemikian rupa mengenai pengetahuan dan pengalaman yang sama untuk membangun teks tersebut (ibid, hal. 100). Misalnya: Anak: Ibu: Anak:
I break a moth. I find a moth. I break it all up Where did you find? In the laundry. I found it in the laundry
Di dalam penggalan percakapan di atas ‗Ibu‘ menemukan bahwa sang anak masih menggunakan kata break dalam present tense, yang mestinya past tense. Kemudian sang ibu membantu sang anak untuk menemukan yang benar dengan bertanya dalam past tense ‗Where did you find?‘. Dan pertanyaan ini berhasil membantu anak untuk membetulkan bahasanya sendiri ‗… I found in the laundry’. Contoh berikutnya:
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
21
Ayah: Anak: Ayah: Anak: Ayah: Anak: Ayah: Anak: Ayah: Anak:
What have you been doing to day? All sorts of things. Where did you go? On the beach. Did you find strawa and cups and things ( as usual)? Yes…(pause)… not cups. What else did you do? Erm, run around. Go in the water; with Mummy. Mummy and Hal Was it cold in the water? Yeah!!
Di dalam percakapan antara ayah dan anak ini terjadi dua macam scaffolding. Yang pertama sang ayah membantu anak untuk menyusun wacananya mengenai kegiatannya pada hari itu, dengan pertanyaan-pertanyaan yang menuntun pembentukan pengurutan kejadian secara temporal (lihat pertanyaan-pertanyaan yang bergaris bawah). Kedua sang ayah membantu sang anak untuk membenarkan tense nya: ‗Erm, run around. Go in the water… yang mestinya past tense. Akan tetapi dalam hal ini sang ayah kurang berhasil, karena jawabnya hanya ‗Yeahh!!‘.
3.6 Penelitian Terdahulu Santosa, Riyadi (1995, 1996) telah meneliti hubungan genre dan ideology di dalam editorial di sejumlah surat kabar seperti Kompas, Sauara Pembaharuan, Suara Merdeka, dan Jawa Pos. Dalam penelitian tersebut dinyatakan bahwa editorial mestinya mempunya fungsi untuk mengritisi suatu fenomena. Dengan demikian genre yang sesuai editorial tersebut ialah eksposisi atau diskusi. Akan tetapi editorial pada saat itu mempunyai banyak genre. Ada eksposisi, diskusi, deskripsi, recount, exemplum. Sehingga editorial pada saat itu tidak kritis dan muncul istilah ―Afganistanisme‖, yaitu istilah yang digunakan untuk merujuk editorial yang berani mengkritisi fenomena social, ekonomi dan politik yang jauh dari kekuasaan pada saat
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
22
itu. Hal ini terlihat di dalam penggunaan genre, system kohesi, serta leksikogramatikanya. Selanjutnya Santosa (1997) juga telah meneliti tingkat literasi genre rekon dalam Bahasa Indonesia oleh anak kelas 3 SD di Surakarta. Dalam penelitian tersebut peneliti menemukan bahwa tingkat literasi rekon mereka masih tergolong rendah. Anak-anak masih belum bisa menyusun genre rekon dengan urutan temporal yang runtut, dengan alat kohesi yang benar. Hal ini kemungkinan besar disebabkan kurikulum yang tidak memberikan akses literasi genre rekon dan lain-lainya dengan intensif. Di barat penelitian Sastra Anak dan Ideologi termasuk belum banyak. Salah satu penelitian mengenai ini ialah penelitian yang dilakukan Puurtinen (1998) yang berjudul ―Syntax, Readability and Ideology in Children‘s Literature. Dalam penelitian ini penulis menggambarkan bahwa ada keterkaitan yang erat antara tingkat keterbacaan sastra anak dengan tingkat kejelasan ideologinya di tingkat leksikogramatikanya. Di dalam penelitian tersebut dinyatakan bahwa sastra anak membutuhkan tingkat keterbacaan yang tinggi. Ini berarti bahwa di tingkat leksikogramatikanya harus bersifat intrikasi
dengan klausa kompleks dengan
kelompok nomina yang simpleks serta leksis atau kata-kata dengan tingkat kongruensi yang tinggi. Akan tetapi sebaliknya ideology membutuhkan tingkat keabstrakan yang tinggi, sehingga ideology membutuhkan nominalisasi di tingkat leksikogramatikanya untuk mencapai tingkat keabstrakan tertentu. Di Indonesia penelitian ini tergolong sangat baru. Penelitian desertasi Ph.D dari Macquarie University oleh Citraningtyas (2004) , yang berjudul ―Breaking a curse silence: malin Kundang and transactional approaches to reading in Indonesian classroom – an empirical study, berusaha untuk mengangkat nilai-nilai kebajikan di
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
23
dalam cerita rakyat tersebut digunakan untuk meningkatkan interaksi / transaksi di dalam proses belajar mengajar di kelas-kelas di Indonesia, yang pada umumnya pasif.
4. Metodolgi Penelitian 4.1 Jenis Penelitian dan Pendekatan yang Digunakan Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif. Sudaryanto (1988) mengatakan bahwa penelitian deskriptif dilakukan hanya berdasarkan pada fakta yang ada, sehingga yang dihasilkan oleh penelitian ini nantinya hanya berupa potret atau paparan seperti apa adanya. Ciri utama dari paparan yang dihasilkan oleh penelitian deskriptif adalah bahwa paparan tersebut tidak mempertimbangkan benar atau salahnya penggunaan bahasa, yang di dalam hal ini di dalam buku cerita anak-anak. Sedangkan istilah kualitatif menunjukkan bahwa penelitian ini akan dilakukan dengan mengaplikasikan metodologi penelitian yang bersifat kualitatif. Adapun beberapa sifat kualitatif itu adalah topik penelitian diarahkan pada kondisi asli subjek penelitian; permasalahan dan kegiatan penelitian diarahkan untuk mendekati masalah kekinian; peneliti merupakan instrumen utama dalam mengumpulkan dan menginterpretasikan data; memusatkan kegiatan pada pemaparan atau deskripsi terhadap subjek penelitian; menggunakan analisis yang bersifat induktif; dilakukannya trianggulasi data sebagai upaya verifikasi atas data yang ditemukan; dan pengambilan sampel secara purposive, dengan teknik purposive sampling (Sutopo, 2002; Muslimin, 2002) Adapun teori linguistik yang dipergunakan dalam kajian adalah systemic functional
linguistics dan analisis
percakapan.
Teori
ini
dipilih karena
dipertimbangkan sebagai teori yang memungkinkan terlaksananya kajian berbagai aspek kebahasaan yang digunakan di dalam teks, dan teori inilah yang mampu
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
24
memberikan gambaran tentang eksploitasi dari berbagai aspek kebahasaan yang dipergunakan di dalam teks tersebut. Jadi dapat dikatakan bahwa pendekatan ini sangat tepat untuk mengkaji pemakaian bahasa dalam cerita anak sebagai wahana pengenalan dan pengasuhan ideologi. 4.2 Populasi dan Sampel Populasi dari penelitian ini adalah buku cerita yang dikarang dan diterbitkan oleh engarang dan penerbit Indonesia dan cara bercerita oleh ibu dan guru TK kepada anak di Kodya Surakarta. Sementara sample yang akan digunakan ialah criterion-based sampling yang akan meliputi jenis buku cerita dan proses bercerita di kalangan TK dan rumah tangga ―kelas atas, menengah dan bawah‖ di kodya Surakarta. 4.3 Teknik Pengumpulan Data Sesuai dengan jenis sumber data yang akan dimanfaatkan, maka data untuk penelitian ini akan dikumpulkan dengan teknik sebagai berikut: a. Teknik Simak Buku cerita dibaca dan dianalisis genre dan registernya. Kemudian proses bercerita direkam secara audio dan video. Kemudian ditranskrip ke dalam bentuk tulis dengan segala data-data non-verbalnya.. b. Teknik Catat Teknik lanjutan berikutnya yang dilakukan adalah teknik catat; dalam hal ini kegiatan yang dilakukan adalah mencatat segala sesuatu yang dimiliki oleh teks tersebut yang berkaitan dengan struktur genre dan konfigurasi register, termasuk struktur teksnya, scaffolding, turn-taking dan adjacency pair-nya, sehingga teks tersebut dapat diambil sebagai bahan kajian dari penelitian ini. c. Wawancara Mendalam * Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
25
Tehnik ini digunakan untuk memperoleh informasi etnografis di balik penceritaan baik dari pencerita maupun pendengarnya untuk mendukung analisis linguistic untuk memperoleh hasil analisis yang holistic.
4.4 Teknik Sampling Teknik sampling yang dilakukan di dalam penelitian ini didasarkan pada beberapa kriteria untuk data yang akan diambil; teknik ini disebut sebagai teknik sampling yang bersifat purposive. Adapun kriteria data yang akan diambil dengan teknik ini meliputi dua macam. Yang pertama mempunyai kriteraia sebagai berikut 1. buku cerita anak-anak berbahasa Indonesia 2. ditulis oleh penulis Indonesia 3. diterbitkan oleh penerbit yang ada di Indonesia 4. ditujukan untuk kalangan pembaca anak-anak berusia 2-10 tahun Yang kedua kriterianya meliputi: 1. proses bercerita diperoleh dari kalangan kelas ‗atas, menengah, dan bawah‘ 2. proses bercerita oleh orang tua (ibu, ayah) dan guru TK 3. proses bercerita berada di kodya Surakarta 4.5 Validitas Data Untuk menjamin validitas dan reliabilitas data yang akan dikumpulkan, maka teknik triaggulasi data akan dikembangkan di dalam penelitian ini. Patton (1984) membedakan 4 macam trianggulasi sebagai teknik pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidikan dan teori. Di dalam penelitian ini teknik yang akan diterapkan adalah teknik trianggulasi sumber data. Dengan teknik ini data dengan jenis yang sama akan dikumpulkan dari sumber yang berbeda, buku cerita
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
26
dari berbagai pengarang, penerbit, dan jenisnya. Sementara itu yang kedua meliputi process bercerita oleh orang tua dan guru TK dari berbagai ‗kelas‘. Di samping itu trianggulasi metode juga digunakan, yaitu tehnik observasi dengan rekaman gambar dan audio, serta tehnik wawancara mendalam. 4.6 Teknik Analisis Data Data pertama yang sudah terkumpul dalam penelitian ini, kemudian akan dianalisis dengan prosedur sebagai berikut: 1. data yang terkumpul dalam bentuk buku cerita anak berbahasa Indonesia akan diklasifikasikan menurut jenis ceritanya. 2. masing-masing klasifikasi kemudian dianalisis berdasarkan struktur genre kohesi, serta leksikogramatika yang membentuknya. Metode yang digunakan adalah metode agih dengan teknik analisis Bagi Unsur Langsung. Dengan teknik ini, maka peneliti mencoba membagi satuan lingual teks menjadi beberapa unsur atau bagian yang membangunnya— unsur atau bagian yang membangur teks tersebut disebut sebagai struktur teks, yang merupakan unit wacana, tahapan, atau moves dari teks itu. 3. teknik analisis lanjutan yang dilakukan pada unsur-unsur teks yang sudah terbagi melalui teknik bagi unsur langsung di atas adalah teknik lesap, teknis ganti, teknik perluas dan teknik sisip. Semua teknik ini diaplikasikan untuk melihat unsur-unsur mana dari struktur teks yang dibagi yang bersifat wajib hadir dan tidak dapat dilesapkan, diganti atau disisipi; dan unsur-unsur mana pula yang dapat dilesapkan atau diganti sehingga unsur-unsur itu disebut sebagai bersifat opsional.
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
27
4. setelah struktur teks dari masing-masing klasifikasi didapatkan, maka analisis yang dilakukan selanjutnya adalah analisis isi atau content analysis. Teknik ini dilakukan melalui karakteristik lexicogrammar dari masing-masing satuan wacana yang membentuk genre buku cerita anak yang dianalisis; yang pada giliran selanjutnya, karakteristik genre dan leksikogramatika dari buku yang bersangkutan akan dapat dipaparkan untuk menunjukkan bagaimana ideologi itu diasuhkan melalui eksploitasi bahasa dari buku cerita anak-anak. Data lapangan yang sudah terkumpul dalam penelitian ini, kemudian akan dianalisis dengan prosedur sebagai berikut: 1. data yang telah ditranskrip akan dianalisis struktur teksnya, struktur scaffolding, turn-taking, dan adjacency pairs-nya. 2. data wawancara digunakan untuk membantu analisis pengenalan dan pengasuhan ideologi yang diajarkan, termasuk di dalamnya nilai demokratisnya. 3. kemudian analisi komparatif untuk melihat perbedaan proses cerita di rumah dan di TK 4. kemudian analisis komparatif untuk melihat perbedaan proses di ketiga ‗kelas‘ tersebut.
5. Hasil dan Pembahasan 5.1 Genre Berdasarkan genrenya, dari 4 jenis buku cerita tersebut, dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe genre, yaitu naratif, rekon (murni, dengan prosedur, dengan eksposisi
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
28
dan dengan eksplanasi), dan report. Genre naratif buku cerita anak ini umum mempunyai pentahapan: orientasi, komplikasi dan resolusi. Ada beberapa yang mempunyai struktur evaluasi. Hal ini disebabkan karena evaluasi bukan struktur wajib genre naratif (lihat Martin 1992). Sementara itu, genre rekon umumnya mempunayi unsur wajib orientasi dan diikuti dengan kejadian detil. Jika ada unsur lain seperti eksplanasi, prosedur, dan eksposisinya itu memang merupakan bagian dari kejadian di dalam rekon tersebut. Di pihak lain genre report, tampaknya memang digunakan oleh penulisnya untuk mengenalkan makanan, hewan dan perilakunya. Oleh karena itu isi genre tersebut hanya terdiri dari deskripsi mengenai makanan dan hewan. Sementara itu unsur definisi dan klasifikasi tidak hadir dalam buku tersebut, karena terlalu tehnis dan ilmiah, yang tidak cocok untu anak prasekolah. Dari sejumlah 134 cerita, genre naratif sangat dominant berjumlah 111 buah, sedangkan rekon terdapat 21 buah dan report satu buah. a. Contoh Genre Naratif Buku berjudul ‗Empat Sekawan‘, ditulis oleh Th. Rini S. dan B. Pribadi, Pustaka, Tangerang, 2005, untuk anak-anak Prasekolah dan SD Klas 1-3 sejumlah 329 kata dalam 28 halaman.
Di pagi hari, tampaklah empat bebek kecil yang cantik dan lincah: Lini, Tini, Wini, dan Dini. Lihatlah mereka sudah berada di tengah danau. Mereka berenang kian kemari sambil bercanda ria. Lini, Tini, Wini, dan Dini saling berteman dan bersahabat baik. Merekalah empat sekawan ―Ayo, kita berlomba renang. Siapa yang tercepat sampai ketepi danau, dialah yang paling kuat‖, seru Wini. ―Ayo, siapa takut?‖ jawab tiga bebek lain hamper bersamaan. Segeralah mereka bersiap-siap menanti aba-aba. Bersedia … Siap … Mulai. Merekapun beradu cepat berenang menuju tepi danau. Siapa yang menang? Ternyata Tini. ―Hore, hari ini aku menang lagi!‖ Tini bersorak senang sekali. ― Kamu memang yang terkuat, Tini,‖ kata ketiga bebek lain
Orientasi
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
29
sambil terengah-engah kelelahan. Merekapun melanjutkan permainan mereka. Empat sekawan bebek kecil itu sangat baik hati dan suka menolong. Oleh sebabitu, banyak bebek-bebek lain yang sangat menyukai mereka. Sayangnya, ada seekor bebek yang tidak senang pada mereka. Ia sangat iri dengan kekompakan mereka. Bebek itu bernama Baldi. Inilah Baldi, bebek nakal dan suka usil. Beldi tidak senang akan persahabatan keempat bebek kecil itu. Suatu hari, Baldi berpapasan dengan Wini yang sedang berjalan sendiriansaja. ―Kok sendirian Wini?‘ Tanya Baldi. ―Aku sedang mencari mereka. Tahukah kamu, di mana mereka?‘ Wini balas bertanya. Tumbuhlah akal bulus Baldi. Inilah kesempatan bagi Baldi untuk berbuat usil. ―Mereka memang sengaja pergi. Mereka tidak mau lagi berteman dengan kamu,‖ ujar Baldi mulai berbohong. ―Betulkah, Baldi?‖ Tanya Wini sedih sekali. Baldi mengangguk-anggukkan kepalanya. ―Benar Wini. Mereka berkata seperti itu,‖ kata Baldi meyakinkan. Wini berjalan pulang. Hatinya sedih mendengarkan cerita Baldi. Sementara itu, Baldi tersenyum puas. Di kamar tidurnya Wini menangis. Tetapi, tak lama kemudian datanglah ketiga sahabatnya. ―Ada apa kamu, Wini?‖ Tanya Tini khwatir. ―Mengapa menangis, Wini? Tanya Lini dan Dini. ―Mengapa kalian dating kemari? Bukankah kalian sudah tidak mau lagi berteman denganku>‖ Tanya Wini masih terisak. ―Tidak mungkin begitu, Wini,‖ tegas ketiga sahabatnya. ―Bukankah kita adalah empat sekawan, ― kata Tini menguatkan. ―Benarkah?‖ kata Wini mulai tersenyum. ―Jadi, jadi … Kalau begitu Beldi telah membohongiku ya? ―Apa? Beldi? Bebek nakal itu?‖ ketiga sahabatnya terkejut. Mereka berempat segera mencari Beldi. ―Pasti, ia sedang berada di danau,‖ kata Wini. ―Ayo, kita segera ke danau,‖ ajak Tini. ―Benar, kita minta Beldi menjelaskan semua kebohongannya,‖ kata Lini bersemangat. Sesampainya di danau, keempat bebek itu tersenyum. Mengapa? Tentu saja mereka tersenyum-senyum. Mereka melihat Baldi sedang berusaha keras belajar berenanag. Napasnya terengah-engah, terkadang tenggelam dan airnya terminum. Oh ternyata Baldi iri hati karena belum pandai berenang ..Tamat
Komplikasi
Komplikasi
Resolusi
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
30
Genre naratif ini dimulai dengan Orientasi yang berfungsi sebagi pengenalan para tokoh atau karakter, serta seting tempat dan waktunya. Di samping itu orientasi ini juga digunakan untuk mendeskripsikan para tokoh utamanya. Maka Orientasi ini dimulai dengan ―Di pagi hari…‖ sampai dengan ―Oleh sebabitu, banyak bebekbebek lain yang sangat menyukai mereka.‖ Kemudian, Struktur genre dilanjutkan dengan Komplikasi, yaitu suatu kejadian yang dialami tokoh atau salah satu tokoh, yang membuat sang tokoh mengalami problema yang harus dihadapinya. Dalam cerita di atas dimulai dari ―Sayangnya, ada seekor bebek yang tidak senang pada mereka‖ dan diahiri dengan ―Apa? Beldi? Bebek nakal itu?‖ ketiga sahabatnya terkejut. Akhirnya genre narasi ini diakhiri dengan resolusi, yaitu suatu penyelesaian problema yang dialami si tokoh.mulai dari ―Mereka berempat segera mencari Beldi‖ dan berakhir dengan ―Oh ternyata Baldi iri hati karena belum pandai berenang.‖
b. Contoh Genre Rekon Buku berjudul ―Aku bisa sholat dan berdoa‖ ditulis oleh Eka Wardhana dan Iwan Tuswandi, Mizan, Bandung, 2003, dengan 250 kata dalam 23 halaman, untuk Balita atau prasekolah. Waktu subuh tiba. ―Ali, sholat dulu yuk!‖ panggil Papa. Ali menggosok-gosok mata. ―Ali masih ngantuk, Pa. Ali mau bobok lagi.‖ ―Ali wudhu deh,‖ kata Papa, nanti ngantuknya hilanga.‖ Wah Papa benar lho, habis wudhu Ali jadi segar. Papa jadi imam, Ali dan Mama jadi makmum. Aduh, rasanya senaaang deh. ―Pa, kenapa kita sholat?‖ ―Supaya Allah sayang pada kita,‖ kata Papa. ―Memang kalau Allah sayang, Allah mau kasih apa, Pa?‖ ―Allah akan mengabulkan doa kita, sayang.‖ ―Memang kalau berdoa Ali boleh minta apa saja Pa?‖ ―Boleh, asal yang Ali minta itu baik-baik,‖ kata Papa.
Kejadian 1
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
31
―Asyik! Ali mau minta banyak lho, Pa!‖ ― Ha…ha…ha Ali harus rajin berdoa dong!‖ Kata Papa. Makan siang sudah selesai. Ali, kita sholat zuhur yuk!‖ ajak Mama. ―Ali jadi imamnya Ma!‖ ―Alhamdulillah, anak Mama memang pintar,‖ kata Mama senang. Sore hari, Ali baru bangun tidur. ―Mama, sholat Asar yuk, Ma!‖ ajak Ali. Ali jadi imam lagi. Mama mengikuti gerakan Al;i. Matharipun terbenam. ―Ali, Ali! Sholat Maghrib yuk!‖ panggil teman-temannya. Ali mencium tangan Mama lalu lari keluar. ―Asyik kita sholat berjamaah,‖ seru Ali. Di Masjid, kakak Pembina mengajarkan doa. Doa mau tidur dan bangun tidur. ―kak, Ali mau doa untuk Mama dan Papa!‖ seru Ali. Kakak Pembina pun mengajarkan doanya. Sampai dirumah Ali berdoa, ―Robbir hamhumaa kamaa robbayani soghiiroo.‖ ―Ya Allah, kasihanilah Papa dan Mama sebagaimana mereka berdua telah mendidiku waktu kecil. Aaaamin.‖ ―Alhamdulillah, itu baru anak soleh,‖ kata Papa. Mama memeluk dan menciuj Ali. ―Mama dan Papa juga doakan Ali dong!‖ ―Tentu sayang,‖ jawab Mama dan Papa.
Kejadian 1
Kejadian 2
Kejadian 3
Kejadian 4
Kejadian 5
Kejadian 6
Kejadian 7
Genre rekon umumnya diawali denga Orientasi, tetapi contoh ini tidak diawali dengan Orientasi, yaitu suatu pembuka yang berfungsi untuk memberikan gambaran kejadian utama, yang biasanya diikuti dengan keterangan waktu, tempat atau mungkin, alas an. Hal ini disebabkan bahwa buku bacaan ini diperuntukan untuk anak balita, yang belum bisa menerima suatu yang abstrak, atau mungkin, kurang mendapat perhatian penulisnya. Genre rekon ini langsung mulai dengan kejadian detil yang dipandu dengan tema hyper (ide dalam paragraph). Misalnya pada kejadian 1 dimulai dengan ―Waktu subuh tiba‖. Pada kejadian 2 ditandai dengan dengan ―Makan siang sudah selesai‖. Kejadian 3 ditandai dengan tema klausa topikalmarked ―Sore hari…‖. Kejadian 4 ditandai dengan tema hyper lagi ― Matahri pun terbenam.‖ Kejadia 5 ditandai dengan tema klausa topical marked (keterangan tempat) ―Di masjid…‖ Kejadian 6 tema
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
32
klausa, topical marked ―Sampai di rumah…‖ dan kejadian 7 ditandai dengan tema interpersonal ―Alhamdulillah…‖ Pemanduan kejadian dengan tema-tema topical marked dan tema hyper serta tema interpersonal ini akan sangat membantu pembelajar untuk menengarai suatu struktur teks yang akhirnya juga bisa membantu pembelajar untuk menentukan jenis genre-nya.
c. Contoh Genre Report Buku cerita ―Hewan 1‖ diterbitkan PT Elex Media Komputindo/ 2004, Jakarta, dengan jumlah kata 100 dan dalam 10 halaman, untuk Balita. Asyik, kelinci akhirnya menemukan wortel kesukaannya. Lihat, telinganya yang panjang bergerak-gerak saat mengunyah wortel yang segar. Guk…guk…guk, Anjing menyalak mengjak temannya untuk bermain. Setelah puas bermain dia duduk istirahat, sambil mengibas-ngibaskan ekornya. Burung Kakaktua … hinggap di jendela. Suaranya yang indah menyabut terbitnya matahari. Dia sangat senang bila bulunya yang halus kita belai dengan sayang. ―Ngeong.., ngeong…‖ begitu suaranya ketika menerkam tikus yang bersembunyi. Dengan lahap dia memakan rumput yang segar. ―Mbek…mbek…,‖ teriaknya memanggil teman-temannya untuk berkumpul dimpadang rumput.
Deskripsi 1
Deskripsi 2 Deskripsi 3
Deskripsi 4
Deskripsi 5
Genre report ini tidak dimulai dengan definisi atau klasifikasi suatu binatang. Hal ini disebabkan karena definisi dan klasifikasi terlalu abstrak dan tidak bisa dicerna oleh Balita. Sehingga genre ini terus memulai dengan deskripsi sederhana mengenai makanan binatang, perilaku binatang, bagian tubuh binatang, suara binatang dan lain sebagainya.
5.2 Register Buku Cerita
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
33
Register adalah suatu variasi bahasa yang dipengaruhi oleh konteks situasi dan konteks budaya atau genrenya. Setiap genre akan mempunyai register yang bersifat generic, yang membedakan antara genre yang satu dengan genre yang lain. Akan tetapi bisa jadi pada strata teks register suatu genre akan mempunyai kesamaan dengan register lainnya, yang disebabkan oleh suatu konteks situasi tertentu (field, tenor, da mode). Akan tetapi unsur tersebut nantinya akan menjadi unsure yang bersifat pilihan dan tidak menjadi unsur wajib di dalam teks. Buku cerita/cerita tim peneliti peroleh sebagai sumber data terdiri dari 4 jenis (Mode) yaitu: Cerita Bergambar (yang disingkat CB), Komik (K), dan campuran antara Cerita Bergambar dan Komik (CBK), dan Cerita Tak Bergambar (CTB). Akan tetapi dari jumlah cerita sebanyak 132 buah, jumlah CB sangat dominant, yaitu 109 buah , sementara komik hanya terdapat 9 buah CBK terdapat 5 buah, sedangkan CTB terdapat 10 buah. Sementara itu target pembaca (Tenor) buku ini umumnya ditujukan kepada 3 kelompok anak-anak, yaitu kelompok pra-sekolah, kelompok SD 1-3, dan kelompok anak SD 4-6). Pembagian ini kurang jelas dasar pijakannya, tetapi ada kecenderungan seperti ini. Walaupun , tentu saja, ada kecenderungan adanya pembauran antara target pembaca kelompok balita dengan SD kelas 1 – 3 bagian bawah dan antara kelompok SD kelas 1-3 bagian atas dengan kempok SD kelas 4-6, serta kelompok SD kelas 4-6 bagian atas dengan kelompok usian yang lebih tinggi. Mengenai jumlah buku yang ditujukan kepada kelompok umur prasekolah terdapat 47 buah, jumlah buku untuk SD kelas 1-3 terdapat 28 buah, dan untuk SD kelas 4-6 ada 57 buah. Tema (Field) umum yang menjadi topic pokok dalam buku cerita ini terbagi menjadi 4 bagian, yaitu tema cerita rakyat dengan jumklah buku 5 buah, nilai social
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
34
rumah tangga dengan jumlah buku sebanyak 17, nilai sossial lingkungan social dengan jumlah 108 buah buku, dan nilai social di sekolah dengan 2 buku.
a. Register dalam Genre Naratif 1) Struktur Teks Struktur teks genre naratif dalam buku bacaan anak ini umumnya berupa: Orientasi, Komplikasi, dan Resolusi. Akan tetapi ada beberapa buku yang menggunakan Evaluasi. Tidak adanya evaluasi ini kemungkinan bisa disebabkan adanya unsure kesengajaan bisa jadi karena ketidaktahuan penulisanya. Akan tetapi Martin (1992) menyebutkan bahwa tidak adanya unsur Evaluasi dalam naratif tidak mengganggu atau tidak merubah genre naratif, karena unsur ini sifatnya hanya optional atau pilihan saja. 2) Kohesi Kohesi di dalam genre naratif di dalam buku ini mempunyai variasi yang sangat lengkap baik kohesi yang bersifat gramatikal maupun leksikal. Kohesi gramatikal di dalam genre narasi ini misalnya ada item referensi, substitusi, ellipsis, dan konjungsi. Misalnya dalam naratif di atas: a). Item referensi - Di pagi hari, tampaklah empat bebek kecil yang cantik dan lincah: Lini, Tini, Wini, dan Dini. Lihatlah mereka sudah berada di tengah danau. - Sayangnya, ada seekor bebek yang tidak senang pada mereka. Ia sangat iri dengan kekompakan mereka. Bebek itu bernama Baldi. b). Elipsis - ―Mereka memang sengaja pergi. Mereka tidak mau lagi berteman dengan kamu,‖ ujar Baldi mulai berbohong.
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
35
―Betulkah, Baldi?‖ Tanya Wini sedih sekali. - ―Bukankah kita adalah empat sekawan, ― kata Tini menguatkan. ―Benarkah?‖ kata Wini mulai tersenyum. ―Jadi, jadi … Kalau begitu Beldi telah membohongiku ya? c). Konjungsi - Konjungsi eksternal dominan dipakai di dalam membangun ceritanya. - Oleh sebabitu, banyak bebek-bebek lain yang sangat menyukai Mereka. - Sementara itu, Baldi tersenyum puas. - Tetapi, tak lama kemudian datanglah ketiga sahabatnya. -―Jadi, jadi … Kalau begitu Beldi telah membohongiku ya? - Empat sekawan bebek kecil itu sangat baik hati dan suka menolong.. - Mereka berenang kian kemari sambil bercanda ria. Lini, Tini, Wini, dan Dini saling berteman dan bersahabat baik
Tidak munculnya kohesi gramatikal substitusi pada narasi ini bisa jadi bersifat kebetulan, atau memang penulis berfikiran bahwa untuk target pembaca SD kelas 1-3 belum memerlukan kohesi ini. Sementara itu kohesi leksikal di dalam genre narasi juga meliputi semua unsure kohesi leksikal komposisi, termasuk di dalamnya sinonimi, meronimi, repetisi, dan lawan kata. Misalnya: a). Meronimi - Lihatlah mereka sudah berada di tengah danau. - Siapa yang tercepat sampai ke tepi danau, dialah yang paling kuat‖, seru Wini.
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
36
- Wini berjalan pulang. Hatinya sedih mendengarkan cerita Baldi. - Mereka melihat Baldi sedang berusaha keras belajar berenanag. Napasnya terengah-engah, terkadang tenggelam dan airnya terminum. b). Repetisi, - ―Pasti, ia sedang berada di danau,‖ kata Wini. ―Ayo, kita segera ke danau,‖ ajak Tini. c). Sinonimi - Lini, Tini, Wini, dan Dini saling berteman dan bersahabat baik. Merekalah empat sekawan - Siapa yang tercepat sampai ketepi danau, dialah yang paling kuat‖, seru Wini. - ―Apa? Beldi? Bebek nakal itu?‖ ketiga sahabatnya terkejut. d). Lawankata - Wini berjalan pulang. Hatinya sedih mendengarkan cerita Baldi. Sementara itu, Baldi tersenyum puas.
Tidak munculnya kohesi leksikal superordinasi dalam narasi ini dapat dimengerti karena di dalam narasi mengklasifikasikan benda bersifat opsional, tidak harus hadir di dalam teks.
3) Leksikogramatika a). Transitiftas
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
37
Di dalam tatabahasa SFL terdapat 6 jenis proses, yaitu materi, mental, verbal, perilaku (verbal dan mental), relasional, dan eksistensial. Di dalam narasi di atas terdapat: Proses Materi - Mereka berenang kian kemari sambil bercanda ria - Merekapun melanjutkan permainan mereka. Proses Mental - Oleh sebabitu, banyak bebek-bebek lain yang sangat menyukai mereka. - Mereka melihat Baldi sedang berusaha keras belajar berenanag Proses Verbal - ―Ayo, kita berlomba renang. Siapa yang tercepat sampai ketepi danau, dialah yang paling kuat‖, seru Wini. - ― Kamu memang yang terkuat, Tini,‖ kata ketiga bebek lain sambil terengah- engah kelelahan. Proses Perilaku (Verbal) - Mereka berenang kian kemari sambil bercanda ria. - Mereka tidak mau lagi berteman dengan kamu,‖ ujar Baldi mulai berbohong. Proses Perilaku (Mental) - Lihatlah mereka sudah berada di tengah danau. - Aku sedang mencari mereka. Proses Relasional (Atributif) - Tini, Wini, dan Dini ___ saling berteman dan bersahabat baik - Merekalah___empat sekawan Proses Relasional Identifikasi
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
38
- Kamu memang yang terkuat, Tini,‖ kata ketiga bebek lain sambil terengah-engah kelelahan. - Bukankah kita adalah empat sekawan, ― kata Tini menguatkan. Proses Eksistensial - Di pagi hari, tampaklah empat bebek kecil yang cantik dan lincah: Lini, Tini, Wini, dan Dini. - Sayangnya, ada seekor bebek yang tidak senang pada mereka b). Mood: Proposal dan Proposisi Proposisi - Di pagi hari, tampaklah empat bebek kecil yang cantik dan lincah: Lini, Tini, Wini, dan Dini. - Mereka berenang kian kemari sambil bercanda ria. - Lini, Tini, Wini, dan Dini saling berteman dan bersahabat baik. - - Merekalah empat sekawan Proposal - Lihatlah mereka sudah berada di tengah danau. - Ayo, kita berlomba renang. - ―Benar, kita minta Beldi menjelaskan semua kebohongannya,‖ kata Lini bersemangat. - Ayo, kita segera ke danau,‖ ajak Tini. c). Struktur Tema Tema Topikal Unmarked: - Mereka berenang kian kemari sambil bercanda ria. - Lini, Tini, Wini, dan Dini saling berteman dan bersahabat baik. - -
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
39
- Merekalah empat sekawan Marked: - Di pagi hari, tampaklah empat bebek kecil yang cantik dan lincah: Lini, Tini, Wini, dan Dini - Suatu hari, Baldi berpapasan dengan Wini yang sedang berjalan sendiriansaja. Tema Tekstual - Segeralah mereka bersiap-siap menanti aba-aba. - Tetapi, tak lama kemudian datanglah ketiga sahabatnya.
Tema Interpersonal - Sayangnya, ada seekor bebek yang tidak senang pada mereka. - Pasti, ia sedang berada di danau,‖ kata Wini d). Klausa: Simpleks dan Kompleks Klausa Simpleks - Lihatlah mereka sudah berada di tengah danau. - Merekalah empat sekawan Klausa Kompleks - Di pagi hari, tampaklah empat bebek kecil yang cantik dan lincah: Lini, Tini, Wini, dan Dini. - Mereka berenang kian kemari sambil bercanda ria. - Lini, Tini, Wini, dan Dini saling berteman dan bersahabat baik. e). Kelompok Nomina Simpleks dan Kompleks Kelompok Nomina Simpleks Di pagi hari, tampaklah empat bebek kecil yang cantik dan lincah: Lini,
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
40
Tini, Wini, dan Dini. Lihatlah mereka sudah berada di tengah danau. Mereka berenang kian kemari sambil bercanda ria. Lini, Tini, Wini, dan Dini saling berteman dan bersahabat baik. Merekalah empat sekawan Kelompok Nomina Kompleks - Di pagi hari, tampaklah empat bebek kecil yang cantik dan lincah: Lini, Tini, Wini, dan Dini. - Empat sekawan bebek kecil itu sangat baik hati dan suka menolong f). Lexis Deskriptif x Atitudinal Lexis Deskriptif: Di pagi hari, tampaklah empat bebek kecil yang cantik dan lincah: Lini, Tini, Wini, dan Dini. Lihatlah mereka sudah berada di tengah danau. Mereka berenang kian kemari sambil bercanda ria. Lini, Tini, Wini, dan Dini saling berteman dan bersahabat baik. Merekalah empat sekawan Lexis Atitudinal - Di pagi hari, tampaklah empat bebek kecil yang cantik dan lincah: Lini, Tini, Wini, dan Dini - Empat sekawan bebek kecil itu sangat baik hati dan suka menolong. Oleh sebabitu, banyak bebek-bebek lain yang sangat menyukai mereka. - Sayangnya, ada seekor bebek yang tidak senang pada mereka. Ia sangat iri dengan kekompakan mereka. Bebek itu bernama Baldi. g). Reported Speech Direct Speech: - ―Ayo, kita berlomba renang. Siapa yang tercepat sampai ketepi danau, dialah yang paling kuat‖, seru Wini. - ―Ayo, siapa takut?‖ jawab tiga bebek lain hamper bersamaan.
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
41
- ―Hore, hari ini aku menang lagi!‖ Tini bersorak senang sekali. - ―Kamu memang yang terkuat, Tini,‖ kata ketiga bebek lain sambil terengah-engah. Indirect Speech tidak muncul di dalam contoh ini tetapi muncul di contoh lain di dalam buku cerita. h). Adjacent Pairs Tanya – Jawab (preferred) A: ―Betulkah, Baldi?‖ Tanya Wini sedih sekali. B: ―Benar Wini. Mereka berkata seperti itu,‖ kata Baldi meyakinkan. Ajakan – Penerimaan (preferred) A: ―Ayo, kita berlomba renang. Siapa yang tercepat sampai ketepi danau, dialah yang paling kuat‖, seru Wini. B: ―Ayo, siapa takut?‖ jawab tiga bebek lain hamper bersamaan. Pernyataan – Persetujuan A: ―Hore, hari ini aku menang lagi!‖ Tini bersorak senang sekali. B: ―Kamu memang yang terkuat, Tini,‖ kata ketiga bebek lain sambil terengah-engah A: ―Bukankah kita adalah empat sekawan, ― kata Tini menguatkan. B: Benarkah?‖ kata Wini mulai tersenyum. Pertanyaan – Pertanyaan (Dispreferred) A: ―Ada apa kamu, Wini?‖ Tanya Tini khwatir. ―Mengapa menangis, Wini? Tanya Lini dan Dini. B: ―Mengapa kalian datang kemari? Bukankah kalian sudah tidak mau lagi berteman denganku>‖ Tanya Wini masih terisak. Pernyataan - Penolakan (Disreferred)
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
42
A: ―Mengapa kalian datang kemari? Bukankah kalian sudah tidak mau lagi berteman denganku>‖ Tanya Wini masih terisak. B: ―Tidak mungkin begitu, Wini,‖ tegas ketiga sahabatnya.
b. Register Genre Rekon 1) Struktur Teks Strultur teks genre rekon umumnya dibuka dengan Orientasi, yaitu menceriterakan kejadian utama dengan diikuti keterangan temapat, waktu dan tujuan atau alas an. Akan tetapi pada contoh naratf ini tidak ada dan langsung masuk ke bagian tubuh yaitu detil kejadian, yang terdiri dari 7 kejadian yang selalu diawali tema hiper dan topical marked, kecuali kejadian 7 yang diawali dengan tema interpersonal. Kejadian 1 diawali dengan ‗Waktu subuh tiba‘, kejadian 2 dengan ‗Makan siang sudah selesai‘, kejadian 3 dengan ‗Sore hari, Ali baru bangun tidur‘, kejadian 4 dengan ‗Matharipun terbenam‘, kejadian 5 dengan Di Masjid, kakak Pembina mengajarkan doa.‘, kejadian 6 dengan
‗Sampai dirumah Ali berdoa,
―Robbir hamhumaa kamaa robbayani soghiiro.‘, dan akhirnya kejadia 7 dengan ‗‖Alhamdulillah, itu baru anak soleh,‖ kata Papa.‘
2). Kohesi Kohesi gramatikal di dalam rekon mencakup semuanya: item referensi, ellipsis, substitusi, dan konjungsi. Khusus untuk contoh ini penggunaan kohesi gramatikal tampak minim karena target pembaca rekon ini adalah anak balita, yang mungkin masih awam dengan logika dan kohesi. Yang muncul hany beberapa yaitu a). Item referensi - Papa jadi imam, Ali dan Mama jadi makmum. Aduh, rasanya
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
43
senaaang deh. ―Pa, kenapa kita sholat?‖ c). Elipsis - ―Memang kalau berdoa Ali boleh minta apa saja Pa?‖ ―Boleh, asal yang Ali minta itu baik-baik,‖ kata Papa. d) Konjungsi Eksternal - ―Pa, kenapa kita sholat?‖ ―Supaya Allah sayang pada kita,‖ kata Papa. - ―Boleh, asal yang Ali minta itu baik-baik,‖ kata Papa.
Internal -―Memang kalau Allah sayang, Allah mau kasih apa, Pa?‖
Sementara itu kohesi leksikal yang muncul di dalam rekon biasanya bisa lengkap. Akan tetapi di dalam teks ini Repetisi menjadi sangat dominant dengan memanggil dirinya sendiri dengan namanya, memanggil ayahnya dengan Papa serta ibunya dengan Mama. Jenis kohesi leksikal ini menjadi sangat unik dank has untuk target pembaca Balita. Hal ini disebabkan jenis panggilan ini sangat akrab dengan dunia mereka. Akan tetapi kohesi leksikal lainnya juga muncul walaupun sangat minim. a) Repetisi: ―Ali, sholat dulu yuk!‖ panggil Papa. Ali menggosok-gosok mata. ―Ali masih ngantuk, Pa. Ali mau bobok lagi.‖ ―Ali wudhu deh,‖ kata Papa, nanti ngantuknya hilang.‖ Wah Papa benar lho, habis wudhu Ali jadi segar.
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
44
b) Lawan Kata: ―Ali masih ngantuk, Pa. Ali mau bobok lagi.‖ ―Ali wudhu deh,‖ kata Papa, nanti ngantuknya hilang.‖ Wah Papa benar lho, habis wudhu Ali jadi segar. c) Hiponimi Papa jadi imam, Ali dan Mama jadi makmum. d) Meronimi Ali mencium tangan Mama lalu lari keluar. e) Lawan Kata Doa mau tidur dan bangun tidur 3) Leksikogrammatika a) Transitivitas Proses Material -
Waktu subuh tiba.
- Ali menggosok-gosok mata. ProsesProses Verbal -
―Ali wudhu deh,‖ kata Papa, nanti ngantuknya hilang.‖
-
―Alhamdulillah, itu baru anak soleh,‖ kata Papa
Proses Perilaku Verbal -
―Ali, sholat dulu yuk!‖ panggil Papa.
-
―Ali, kita sholat zuhur yuk!‖ ajak Mama.
Proses Perilaku Mental -
―Ali, sholat dulu yuk!‖ panggil Papa.
-
―Allah akan mengabulkan doa kita, sayang.‖
Proses Relasional Atributif
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
45
-
Ali jadi segar
-
Wah Papa___ benar lho, habis wudhu Ali jadi segar
Tidak hadirnya beberapa proses seperti metal, relational identifikasi, serta eksistential ini dikarenakan keserhanaan tema di dalam rekon di atas. Akan tetapi dalam tema yang lebih kompleks semua proses bisa muncul di dalam rekon walaupun yang dominant adalah material. b) Mood: Proposisi dan Proposal Proposisi -
Waktu subuh tiba.
-
Ali menggosok-gosok mata.
Proposal -
―Ali, sholat dulu yuk!‖ panggil Papa.
-
―Ali wudhu deh,‖ kata Papa, nanti ngantuknya hilang.‖
c) Struktur Tema: Tema Topika Unmarked -
Waktu subuh tiba.
- Ali menggosok-gosok mata. Marked -
Sore hari, Ali baru bangun tidur.
-
Di Masjid, kakak Pembina mengajarkan doa.
Tema Interpersonal -
―Alhamdulillah, itu baru anak soleh,‖ kata Papa.
-
―Ali, sholat dulu yuk!‖ panggil Papa.
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
46
Tema tekstual tidak muncyl di dalam teks ini hanya bersifat kebetulan. Tema ini sebetulnya bisa untuk membatu meneta kontinuitas informasi, tetapi bisa saja terjadi penulisnya kurang menyadari hal ini. d) Klausa: Simpleks dan Kompleks Simpleks -
Waktu subuh tiba.
- Ali menggosok-gosok mata. Kompleks -
―Ali, sholat dulu yuk!‖ panggil Papa.
-
―Ali wudhu deh,‖ kata Papa, nanti ngantuknya hilang.‖
e) Kelompok Kata: Simpleks dan Kompleks Simpleks - Ali menggosok-gosok mata. -
Waktu subuh tiba.
-
―Ali, sholat dulu yuk!‖ panggil Papa.
Kompleks tidak muncul di dalam teks ini bisa jadi karena target pembaca teks ini adalah Balita yang belum bisa memahami kelompok kata kompleks yang menjadikan arti menjadi abstrak. f) Leksis: Deskriptif dan Atitudinal Deskriptif: semua leksis berikut deskriptif, menggambarkan makna eksperiential saja. Misalnya: Waktu subuh tiba. ―Ali, sholat dulu yuk!‖ panggil Papa. Ali menggosok-gosok mata. ―Ali masih ngantuk, Pa. Ali mau bobok lagi.‖
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
47
Atitudinal: Kata yang bergaris bawah berikut merupakan leksis atitudinal. Selain menggambarkan makna eksperiensial, kata ini juga menggambarkan opini, assessment atau evaluasi penulis. Misalnya: -
Wah Papa benar lho, habis wudhu Ali jadi segar.
-
Aduh, rasanya senaaang deh.
-
―Supaya Allah sayang pada kita,‖ kata Papa.
g) Reported Speech: Direct dan Indirect Direct Speech -
―Ali, sholat dulu yuk!‖ panggil Papa. ―Ali wudhu deh,‖ kata Papa, nanti ngantuknya hilang.‖
Indirect Speech tidak hadir di dalam teks ini karena kebetulan saja, bisa jadi karena target pembacanya masih belum memahami struktur indirect speech, karena memang lebih kompleks. h) Adjacency Pairs Ajakan – Penemrimaan implicit dengan sisipan penolakan ―Ali, sholat dulu yuk!‖ panggil Papa. Ali menggosok-gosok mata. ―Ali masih ngantuk, Pa. Ali mau bobok lagi.‖ ―Ali wudhu deh,‖ kata Papa, nanti ngantuknya hilang.‖ Wah Papa benar lho, habis wudhu Ali jadi segar. Pertanyaan – Jawaban - ―Pa, kenapa kita sholat?‖ ―Supaya Allah sayang pada kita,‖ kata Papa. Penyataan – Persetujuan - ―Boleh, asal yang Ali minta itu baik-baik,‖ kata Papa.
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
48
―Asyik! Ali mau minta banyak lho, Pa!‖ Ajakan – Penerimaan (bersyarat) - ―Ali, kita sholat zuhur yuk!‖ ajak Mama. ―Ali jadi imamnya Ma!‖ 3) Register Report a) Struktur Teks Struktur teks dalam contoh ini tidak menggunakan definisi atau klasifikasi. Hal ini disebabkan target pembaca masih Balita, yang belum bisa memahami defini atau klasifikasi yang terlalu abstrak untuk mereka. Pada reposrt ini penulis langsung mulai dengan deskripsi dengan gaya anak-nak mengenai makanan hewan dan perilaku hewan serta suara hewan. b) Kohesi Di dalam report umumnya terdapat kohesi hiponimi untuk menunjukkan klasifikasinya dan meronimi untuk menunjukkan bagian-bagian yang didiskripsikan. Konjungsinya bersifat spasial karena bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Kohesi gramatikal lainnya yang muncul biasanya item referensi Meronimi Asyik, kelinci akhirnya menemukan wortel kesukaannya. Lihat, telinganya yang panjang bergerak-gerak saat mengunyah wortel yang segar. Burung Kakaktua … hinggap di jendela. Suaranya yang indah menyabut terbitnya matahari. Dia sangat senang bila bulunya yang halus kita belai dengan sayang. ―Ngeong.., ngeong…‖ begitu suaranya ketika menerkam tikus yang bersembunyi.
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
49
Dengan lahap dia memakan rumput yang segar. ―Mbek…mbek…,‖ teriaknya memanggil teman-temannya untuk berkumpul di padang rumput. Item referensi -
Asyik, kelinci akhirnya menemukan wortel kesukaannya
-
Dengan lahap dia memakan rumput yang segar. ―Mbek…mbek…,‖ teriaknya memanggil teman-temannya untuk berkumpul dimpadang rumput.
3) Leksikogramatika a) Transitifitas Proses Materi -
Asyik, kelinci akhirnya menemukan wortel kesukaannya. Lihat, telinganya yang panjang bergerak-gerak saat mengunyah wortel yang segar.
-
Burung Kakaktua … hinggap di jendela.
Proses Relationa Atributif -
Setelah ___ puas
-
Dia ___sangat senang
Dalam mendeskripsikan dua proses uatama ialah materi untuk mendeskripsikan aktifitas hewan dan relasional atributif untuk mendeskripkan bagian-bagiannya b) Struktur Mood Di dalam report umunya hanya terdiri dari makna proposisi, untuk memberikan informasi, bukan proposal untuk mengajak atau menyuruh. Misalnya: Asyik, kelinci akhirnya menemukan wortel kesukaannya. Lihat, telinganya yang panjang bergerak-gerak saat mengunyah wortel yang segar.
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
50
Guk…guk…guk, Anjing menyalak mengjak temannya untuk bermain. Setelah puas bermain dia duduk istirahat, sambil mengibas-ngibaskan ekornya. c) Struktur Tema: Struktur Tema di dalam repost umumnya tema topical unmarked dan dengan kohesi meronimi untuk menunjukkan bagiannya. Misalnya: Burung Kakaktua … hinggap di jendela. Suaranya yang indah menyabut terbitnya matahari. Dia sangat senang bila bulunya yang halus kita belai dengan sayang. ―Ngeong.., ngeong…‖ begitu suaranya ketika menerkam tikus yang bersembunyi. Dengan lahap dia memakan rumput yang segar. ―Mbek…mbek…,‖ teriaknya memanggil teman-temannya untuk berkumpul dimpadang rumput. d) Klausa: Klausa di dalam report bisa simpleks maupun kompleks tergantung keperluannya. Akan tetapi klausa simpleks dominant di dalam jenis teks ini. Klausa Simpleks -
Burung Kakaktua … hinggap di jendela.
- Suaranya yang indah menyabut terbitnya matahari. Klausa Kompleks -
Asyik, kelinci akhirnya menemukan wortel kesukaannya.
-
Lihat, telinganya yang panjang bergerak-gerak saat mengunyah wortel yang segar.
-
Guk…guk…guk, Anjing menyalak mengjak temannya untuk bermain.
-
Setelah puas bermain dia duduk istirahat, sambil mengibas-ngibaskan ekornya.
e). Kelompok Kata
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
51
Kelompok kata simpleks -
Dia sangat senang bila bulunya yang halus kita belai dengan sayang. ―Ngeong.., ngeong…‖ begitu suaranya ketika menerkam tikus yang bersembunyi.
-
Dengan lahap dia memakan rumput yang segar. ―Mbek…mbek…,‖ teriaknya memanggil teman-temannya untuk berkumpul di padang rumput.
f). Leksis Umumnya leksis di dalam reposrt bersifat deskriptif, akan tetapi di dalam teks ini ada leksis bersifat atitudinal. Oleh karena itu teks ini bisa juga bersifat deskriptif. Hal ini disebabkan karena penulis belum menyadari penggunaan leksis di dalam genre report dan deskripsi. Semuanya contoh leksis deskriptif kecuali yang bergaris bawah leksis atitudinal. Asyik, kelinci akhirnya menemukan wortel kesukaannya. Lihat, telinganya yang panjang bergerak-gerak saat mengunyah wortel yang segar. Dia sangat senang bila bulunya yang halus kita belai dengan sayang. ―Ngeong.., ngeong…‖ begitu suaranya ketika menerkam tikus yang bersembunyi.
5.3 Dukungan Genre dan Register dalam Pengenalan Ideologi Seperti di dalam Bab II bahwa yang disebut dengan ideologi adalah nilai-nilai baik buruk, benar-salah yang dianut oleh suatu masyarakat d dalam konteks cultural tertentu. Di dalam buku cerita ini nilai ideologis dapat dikategorikan menjadi 3 tipe berdasarkan tempat anak bersosialisasi, yaitu: nilai sosial rumah tangga, nilai sosial,
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
52
lingkungan sosial, dan nilai sosial sekolah. Realitasnya nilai-nilai kultural tersebut bisa mencakup 45 jenis sebagai berikut: Figur 6: Jenis Nilai-Nilai Ideologis dalam Buku Cerita Anak 1. 2. 3. 4.
ketabahan persahabatan kebersamaan kepercayaan terhadap tahayul 5. pengorbanan 6. etika makan 7. hormat terhadap orang tua 8. kesabaran 9. perhatian terhadap lingkungan 10. Tak boleh berburuk sangka 11. keiklasan dalam bertindak 12. tidak pilih kasih 13. mengharhagai jasa orang lain 14. membantu orang 15. Kasih sayang orang tua
16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25.
26. 27. 28. 29.
30.
Mencuri tidak baik Kesetiaan Melanggar hukum membawa akibat Penilaian yang tidak pada tempatnya Kesabaran Ketekunan Kesederhanaan Kesombongan berbuah kecelakaan Ciptaan Tuhan yang berbeda-beda Sifat iri dengki membuat hidup sengsara Pengorhamatan terhadap orang tua Keadilan pemimpin Kemandirian Kesiapan dalam melaksanaan kegiatan Saling menolong
31.
32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45.
Kesadaranakan kelebihan dan kelemahan diri maupun orang lain Kerukunan Kebohongan membawa akibat Kelicikan membawa akibat Keberanian Keyakinan Keserakahan Menerima iklas Balas budi Menepati janji Pedili sesame Kerajinan Penggunaan akal Kerjasama Menuruti nasehat orang tua
Dalam buku cerita tersebut ada dua cara pengenalan yang digunakan para penulis untuk memperkenalkan nilai-nilai tersebut, yaitu menggunakan tehnik satu sisi atau arah dan dua sisi atau arah. Yang dimaksud dengan tehnik satu arah ini ialah bahwa para penulis di dalam cara memperkenalkan nilai-nilai ideologis ini hanya mengantarkan nilai tersebut melalui interaksi social para tokoh tanpa ada tantangan terhadap nilai-nilai tersebut. Nilai-nilai dalam cerita tersebut tersebut seperti mengalir melalui tokoh-tokohnya tanpa adanya gangguan atau tantangan yang direpresentasikan atau dilakukan oleh tokoh lain. Model penyampaian cerita satu arah ini sangat dominant di dalam buku
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
53
cerita ini, yaitu ada sejumlah 104 buku cerita yang menggunakan tehnik penyajian satu sisi Sementara itu, yang dimaksud dengan tehnik penyajian dua arah ialah suatu cara pengenalan ideologi oleh penulisnya yang disertai denga tantangan melalui alur ceita dan tokoh-tokohnya. Dalam tehnik ini nilai ideologis, misalnya, tahayul sandekala atau candekala, mendapat tantangan baik secara verbal bahwa sandekala itu tidak benar dan melalui perilaku fisik untuk membuktikan adanya sandekala. Dengan demikian nilai tahayul tersebut dilihat dari sisi setuju dan tidak setuju atau disikusikan di dalam cerita tersebut secara dua sisi. Contoh buku cerita yang seperti ini dengan menggunakan tehnik penyajian dus sisi tidak begitu banyak, yaitu sekitar 28 buku cerita. a. Dukungan Genre terhadap Pengenalan dan Pengasuhan Ideologi Genre yang paling tepat untuk memperkenalkan nilai-nilai ideologis kepada anak ialah genre naratif dengan dengan tehnik penyajian dua sisi. Genre naratif dengan tehnik penyajian satu sisi hanya memberikan tempat untuk mengenalkan nilai ideologis saja. Anak hanya diberi bahwa nilai-nilai tertentu baik, tetapi nilai-nilai yang lain tidak baik. Tehnik ini seperti orang menuangkan air pada suatu tempat saja. Jadi anak seperti harus menerima nilai-nilai tersebut dengan alasan satu sisi tanpa ada alasan lain. Artinya anak tidak diajak melihat atau mendiskusikan nilai-nilai tersebut secara proporsional baik buruknya, benar tidak benarnya. Sementara itu genre naratif dengan tehnik penyajian dua sisi akan memberikan dampak yang bagus kepada anak. Selain anak diperkenalkan nilai ideologisnya, anak juga diajak untuk mengasuh nilai ideologis tersebut. Dengan tehnik ini anak melaui cerita dan tokoh di dalamnya diajak berfikir untuk melihat sisi
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
54
baik dan buruk, atau sisi benar dan tidak benar suatu nilai ideologis. Melalui alur cerita dan tokoh di dalamnya anak-anak diajak untuk melihat sendiri bagaimana cara para tokoh berkilah, setuju, tidak setuju, menentang nilai baik melalui bahasa atau melalui tindakan. Dan mereka juga melihat sendiri akibat yang ditimbulkan dari tindakan para tokoh tersebut. Ini artinya anak-anak diajar berfikir dan mengevaluasi nilai-nilai ideologisnya sendiri. Dengan demikian tehnik ini mengajak anak untuk melihat, berfikir, dan mengevaluasi nilai- ideologis sendiri. Oleh karena itu tehnik ini tidak hanya memperkenalkan ideology tetapi juga memberikan cara untuk mengasuh ideologinya. Sementara itu genre rekon, yang hanya terdiri dari pentahapan orientasi dan detil kejadian kurang memberikan alasan yang jelas mengapa suatu nilai ideologis itu baik atau buruk. Hal ini disebabkan rekon hanya terdiri dari kejadian saja, tidak seperti naratif yang memberikan gambaran mengenai perubahan watak atau psikologis tokoh, baik satu sisi mampun dua sisi. Akhirnya
genre
report
semakin
kurang
bisa
digunakan
untuk
memperkenalkan nilai-nilai ideologis. Kalupun bisa itu nanti merupakan hasil interpretasi berikutny, karena pada hakekatnya genre report hanya digunakan untuk memperkenalkan sesuatu makhluk hidup atau benda mati, jenisnya termasuk apa, dan gambaran bagian-bagiannya. b. Dukungan Register terhadap Pengenalan dan Pengasuhan Ideologi Dukungan register menjadi sangat penting karena seluruh nilai-nilai ideologis dan genrenya selalu direalisasikan pada registernya. 1). Struktur Teks
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
55
Dukungan strukltur teks ini akan sangat penting, karena memlaui struktur teks ini pentahan genre direalisasikan dan berarti nilai-nilai ideologis akan kelihatan melalui struktur teksnya. Di dalam penelitian ini banyak genre yang tidak mulai dengan opening atau pembukaan. Misalnya rekon tanpa orientasi, dan reposrt tanpa pembuka definisi. Hal ini menyulitkan anak untuk menangkap nilai-nilai dengan baik, karena hanya denga struktur teks yang baik unsure-unsur wajib dalam genre akan muncul. Dan kemunculan struktur wajib genre inilah yang menentukan mudah dan tidaknya suatu nilai itu diserap. Khususnya tidak adanya struktur evaluasi di dalam naratif tidak begitu mempengaruhi penangkapan nilai-nilai ideologis, karena evaluasi hanya bersifat opsional (Martin, 1992). 2) Kohesi Kohesi merupakan unsur logika di dalam teks untuk merangkai kalimat menjadi teks. Oleh karena itu kohesi juga mengambil peranan penting di dalam membentuk teks. Khusus untuk buku cerita di dalam pnelitian ini kohesinya sudah ditata dengan baik. Penggunaan repetisi dalam banyak buku cerita ini menunjukkan gaya bahasa anak yang memang masih bertumpu pada repetisi dari pada item referensi, sinonimi atau yang lainnya. Kohesi lainnya memang tergantung banyak terhadap target pembaca, misalnya di beberapa buku untuk target pembaca balita kohesi tindak muncul lengkap. Misalnya substitusi dan hiponimi sering tidak muncul karena balita masih belum bisa memahami substitusi. Dan hiponimi tersebut. 3) Leksikogramatika a) Transitivity Transitifity ini merupakan realisasi pengalaman di dalam klausa. Ini tergantung jenis genre dan registernya. Genre naratif akan mempunyai transitifity
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
56
yang lengkap karena semua pengalaman akan muncul di naratif. Akan tetapi pada genre rekon hanya akan muncul beberapa saja dan pada genre rport akan semakin sedikit, hanya relasional dan material saja dalam penelitian ini. b) Mood Demikian juga mood, dalam narati akan muncul proposisi dan proposal, tatpi di dalam report biasanya hanya akan muncul proposisi tetapi di dalam repor dalam buku cerita ini juga muncul proposal. Demikian juga rekon biasanya akan muncul proposisi, tetapi rekon dalam buku cerita ini muncul proposal juga. Hal ini disebabkan kedua genre ini menggunakan gaya bahasa lisan memalui muncul direct speech di dalam cerita rekon ini. c) Tema Tema mempunyai kekuatan untuk menyusun alur cerita. Di dalam penelitian ini tema topical unmarked dan marked sudah digunakan secara proporsional seperti di dalam pembahasan sebelumnya. Untuk rekon dan naratif tema marked tempat dan waktu menjadi sangat penting untuk mengatur alur waktu dan tempat kejadian ceritanya. Untuk report justru tema topical unmarked yang dominant karena bergerak dari bagian ke bagian. d. Klausa, kelompok nomina dan Leksis Peranan utama klausa, kelompok nomina, dan leksis ialah untuk membentuk gaya bahasa yang sesuai dengan target pembacanya. Dalam buku cerita ini gaya bahasa yang digunakan jatuh pada sesuai denga umur target pembaca. Buku cerita untuk anak kelas 4 -6 ke atas akan jatuh pada gaya ‗antara lisan dan tulis‘, buku cerita untuk anak SD 1-3 bergaya ‗cenderung lisan‘ dan gaya bahasa buku cerita untuk anak Balita akan ‗semakin cenderung lisan‘. Jika digambarka maka gaya bahasa buku cerita tersebut sebagai berikut.
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
57
Figur 7: Gaya Bahasa Buku Cerita dan Target Pembaca
A lisan
B
cenderung lisan
C antara lisan dan tulis
cenderung tulis
tulis
Catatan: C: gaya bahasa buku cerita dengan target pembaca SD Klas 4-6 B: gaya bahasa buku cerita dengan target pembaca SD kla 1-3 A: gaya bahasa buku cerita dengan target pembaca balita.
e) Reported Speech dan Adjacency Pairs Reported speech menjadi cirri khas utama dalam naratif, walaupun dalam rekon juga muncul, demikian juga dalam report juga ada. Akan tetapi dalam report sebetulnya menjadi sangat opsional. Peranan reported speech ini akan membantu pembangunan watak tokoh utama karena akan memunculkan ungkapan-ungkapan langsung yang membantu dalam penokohan. Dan melalui direct speech akan muncul adjacency pair, yang dapat mengungkapkan apakah suatu statement disetujui atau tidak ditolak, pertanyaan dijawab dengan jawaban atau pertanyaan dan lain sebagainya. Dari adjacency pair inilah sebetulnya penyajian satu sisi atau dua sisi dapat dilihat, karena persetujuan dan sangkalan, pernyataan dan penolakan dapat diketahui. Misalnya dalam Buku 4 dengan judul Sandekala dalam halaman 9 muncul adjacency pair: pernyataan – penolakan. ―Ciloko… Pasti mereka diganggu sandekala,‘ Wajah Slamet langsungsung pucat.
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
58
―Idiiih …kamu! Jangan bikin aku takut, dong!‖ gerutu Yuni. ―Hus, kalian jagan percaya takhayul. Dosa tahu!‖ Damar mengingatkan. Atau pada halaman 11-12. ―Ndak salah lagi, itu pasti…pasti sandekala!‖ kata Slamet sambil komat kamit. ―Aku tetap nggak percaya sandekala itu ada. Ayo kita datangi lagi rumah itu!‖ ajak Damar. 5.4 Ideologi dalam Sastra Anak / Cerita Anak Ideologi yang terkandung di dalam buku cerita anak di dalam penelitian ini dapat dikategorikan menjadi 2: antagonist kanan dan protagonist kanan. Cerita yang termasuk berideologi antagonist kanan ialah buku cerita dengan penyajian satu sisi. Penyajian satu sisi di dalam buku cerita ini menggambarkan nilainilai cultural atau ideologis secara sepihak bahwa nilai ini baik dan nilai itu tidak baik tanpa adanya tantangan dari pihak lain atau tokoh lain untuk mengubah nilai itu (lihat Martin, 1992) Sementara itu cerita yang termasuk berideologi protagonis kanan adalah cerita dengan penyajian dua sisi, artinya nilai- cultural atau ideologis di dalam ceritanya disajikan secara dua pihak. Satu pihak ada tokoh yang mendukung nilai itu dan lain pihak menantang nilai tersbut untuk nerubah, walaupun akhirnya cerita itu diakhiri dengan nilai-nilai lama yang didukung secar umum (ibid)
6. Hasil dan pembahasan cara bercerita 6.1 Overall Organization (Struktur Teks) Bercerita Struktur teks bercerita dalam penelitian ini dapat dikatakan mempunyai keseragaman struktur teks. Umumnya cerita diawali dengan pembukaan, diikuti inti cerita, dan diakhiri dengan penutup. Namun begitu juga ada beberapa yang langsung
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
59
memulai dengan inti cerita, dan ada pula yang tidak menggunakan Tanya jawab di akhir cerita. Pada model ini guru atau orang tua selalu mengawali dengan brain storming dengan cara memberikan sejumlah pertanyaan dengan tema cerita yang akan diceritakan kepada anak/murid. Kemudian diikuti dengan inti cerita, yaitu alur ceritanya sendiri kadang diikuti dengan usaha guru atau orang tua untuk memusatkan konsentrasi anak pada cerita. Umumnya bagian inti cerita ini ini didominasi oleh guru atau orang tua. Tetapi ada beberapa guru atau orang yang membangun cerita bersama murid atau anaknya. Hal ini bisa disebabkan tema cerita yang sudah dikenal, misalnya ‗Kancil Mencuri Timun‘. Di akhir bagian cerita ini guru atau orang tua memberikan pertanyaan tentang cerita yang baru saja diceritakan. Ada bebarapa guru atau orang tua yang menggunakan ini untuk membantu siswa atau anak membangun alur cerita secara pendek. Inti cerita umumnya berupa genre naratif dengan struktur teks: orientasi, komplikasi, sebagian cerita diikuti evaluasi, dan diakhiri dengan resolusi. Ada beberapa yang menggunakan genre rekon, yang hanya berstruktur orientasi dan urutan kejadian, dan ada dua cerita yang menggunakan genre exemplum dengan struktur teks: orientasi, insiden, dan diakhiri dengan interpretasi tentang nilai/moral seharusnya atau yang tidak seharusnya terjadi. Umumnya cerita dibangun secara satu arah, yaitu cerita secara satu arah hanya dari guru atau orang tua tanpa ada usaha guru atau orangtua melibatkan siswa atau anak untuk ikut membangun cerita. Akan tetapi ada juga beberapa cerita yang dibangun bersama antara orang tua atau guru dengan anak atau siswa. Dengan demikian anak atau siswsa terlibat aktif membangun cerita, walaupun guru atau orang tua masih tetap yang dominant.
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
60
Misalnya berita berikut ini termasuk genre naratif yang dikemas melalui orientasi (pengenalan tokoh Pak Tani yang baik hati), diikuti dengan komplikasi yang sederhana dengan adanya petani lain yang sakit di sawah, dan diikuti dengan resolusi yang sederhana yaitu dengan memberikan pertolongan. Cerita ini dibangun secara dua arah dengan pertanyaan dari awal sampai akhir cerita. Pak Tani Yang Baik Hati. Guru
Murid Guru Murid Guru
Murid Guru
Murid Guru Murid Guru Murid Guru
: Dengarkan ibu mau cerita. Anak anak mendengarkan. Nanti kalo sudah selesai anak – anak bisa menjawab pertanyaan ibu guru. Jika tidak memperhatikan tidak bisa menjawab pertanyaan. Bu guru mau cerita. Ini sebentar ya yang latihan drum band nanti dulu. Ndak usah lihat apa? Ke..luar. sekarang lihat bu guru dulu. Ini bu guru mau cerita dulu. Judulnya…Pak tani yang baik hati. Judulnya pak tani yang baik hati.. yah. Pada suatu hari ada seorang pak tani. Pak tani itu pekerjaannya apa to anak – anak? Pekerjaannya menanam di sawah. Menanam sayuran, bermacam sayuran yang menghasilkan. Yang menghasilkan itu apa? Ya ada padi, ya bermacam – macam sayuran. Sayurannya apa aja anakanak? Yang dimakan anak – anak? : Wortel! Sayur! (ramai) : Wortel, buncis : Bayam! : Pak tani kalo pagi sudah me… datang dari rumahnya. Datang ke itu kebunnya…datang ke sawah. O..ini pas saya mau menanam padi. Pak tani sejak subuh tadi, tadi habis subuh setelah sholat subuh ke sawahnya ke kebunnya. Terus apa menanam padi. Padi dari masih apa? Benih. Padi itu kalo menanam dari apa anak – anak? Benih dulu. Benih itu apa to? Benih itu padinya. Nanti diberi air, dan diberi pu… : puk! : Sebelum ditanam, tanahnya dicangkul dulu. Dulu pak tani menanam benih, ya mencangkul. Sudah dicangkul supaya tanahnya gembur, tanahnya subur pake apa? Pake mesin! Adrok! Adrok! : Traktor bu! Traktor bu! Kebo! : Traktor, ada yang masih memakai mengerjakan binatang. Binatang apa tadi? : Bebek! Sapi! Kebo! : Sapi ya sama…itu lho yang badannya gendut? : Kerbau! : Apa? Kerbau? Kerbau itu tanduknya…. Disuruh pak tani me… tanahnya diolah biar apa bukan dimasak lho ya, bukan. Diolah tanahnya. Hasilnya menjadi baik. Kalo padi ini ditanam. Padi ini tengahnya ditanami sayur – sayuran. Ada kacang panjang, ada kangkung, ada tomat, cabe. Itu pekerjaannya pak tani menanam di sawah. Trus pak tani satu dengan yang lainnya itu saling rukun, saling tolong – menolong. Pada suatu hari pak tani yang ini baru sakit kepala. Cekot…cekot…cekot. ―Pagi sudah makan
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
61
Murid Guru
Murid Guru
Murid Guru
Murid Guru
Murid Guru Murid Guru Murid Guru Murid Guru Murid Guru Murid
sedikit, kok gak enak gini. Loh kenapa saya ini, loh mataku berkunang – kunang‖. Jalannya begini. Jalannya ya seperi bumi ya seperti bumi bergoyang – goyang seperti mau jatuh. : (Ramai) : Misalnya namanya pak Karto…ini umpamanya. Ini bukan pak Karto! Adit! Hayo jangan memalukan! Eeh pak Karto ini tadi kok dilihat sama pak Tono. Pak Tono dan pak Karto lho ya. Pak Karto ini jalan jalan begini kok. Disuruh duduk. Sebaiknya kamu duduk, sepertinya pusing. ―pak Karto kamu ini kok kelihatannya..‖ ―Iya pak Tono saya tadi pagi makan nasi sedikit terus saya mual. Setelah perut saya mual, kepala saya cekot – cekot, pusing. Saya tadi di jalan mau jatuh padahal ini apa kebun saya mau apa.. mau saya beri air, saya airi. Fibri! Pak Tono baik hati trus bilang ―Sekarang kamu duduk disini. Kamu duduk, tikarnya ini. Saya membawa air.‖ ―Ya, baik‖ ―sekarang pak Karto tidur dulu…minum dulu, saya pijeti‖…akhirnya pak Kartonya apa?.. akhirnya pak Karto agak sembuh. Sekarang gini pak Kartonya duduk disini, pak Tononya diluar mencari obat… ―sekarang pak Karto duduk disini sambil tiduran boleh.‖ Duduk di sini, sambil tiduran. Diberi minum teh anget lalu pak Tononya apa? Membeli obat pusing. Padahal di desa itu apa? Warungnya jauh. Di sini sawah yang luas baru ada warung. Pak Tononya dodok – dodok. ―Pak! Pak ada obat?‖ ―Obat apa to pak? Kok pagi – pagi sudah mencari obat?‖ ―iya ini untuk teman saya.‖ Temannya yang baru pusing kalau pusing tidak bisa me…apa : (ramai) : Pak Karto disuruh duduk. ―Pak ini pak obatnya sudah dapat.‖ ―pak belinya dimana?‖ ―Sudah gak pa pa? saya belinya di warung.‖ Sudah diminum. Obatnya diminum pake air the anget. Oglok..oglok..oglok. Si pak Kartonya disuruh tidur di…tidur. Terus pusingnya apa? Agak hilang. Setelah itu si pak Karto jadi sembuh. Setelah sembuh apa? Pak Karto bisa bekerja la..gi. : gi! : Sebelumnya mengolah sawah yang tadinya…tadi apa? Kebunnya..sawahnya belum diberiair, sekarang sudah bisa diberi air, diari. Diberi air kebunnya. Biar apa to diberi air? : Subur! Subur! Subur! : Biar subur, biar kebunnya pak tani jadi subur. Jadi pak Tono baik hati itu juga tolong – menolong. Tolong – menolong sama siapa? Sama temannya. Coba bu guru mau tanya. Pak tani dua tadi namanya siapa? : Pak Karto! Pak Tono! :Pak Karto. Yang satu pak? : Pak Tono. : Yang sakit siapa, anak – anak? : Pak Karto! Pak Tono! : Yang sakit siapa? : Pak Karto :Pak Karto sakitnya, sakit apa coba? : Pusing! : Terus diberikan obat sama siapa? diberikan obat sama siapa? : Pak Tono
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
62
Guru Murid Guru Murid Guru Murid Guru
Murid Guru
: Pak Tono. Dibelikan obat dimana? : Di warung! Di Apotik! : Di warung apa di apotik? : Di warung! Di Apotik! : Dimana? : Apotik! : Yang mendengarkan setengah – setengah belinya di…. Memang kalo obat itu belinya di apotik, tetapi karena di desa belinya di wa…rung. Warungnya jauh apa dekat? : Jauh! : Jauh! Sekarang pak Karto sudah bisa… sudah bisa menyiram, sudah bisa… menyiram, mengairi sawah. Jadi ceritanya bu Rini saya cukupkan sekian.
6.2 Distribusi Turn-taking (pergantian berbicara) dalam Bercerita Turn-taking atau sistem pergantian berbicara dalam penelitian ini umumnya masih didominasi oleh guru atau orang tua. Hal ini wajar karena memang yang bercerita adalah guru atau orang tua. Struktur turn-taking-nya adalah guru-guru-guru – murid atau orang tua-orang tua-orang tua – anak. Dominasi guru dan orang tua dalam bercerita dimungkinkan masih dipengaruhi nilai-nilai budaya feodal yang turun-temurun bahwa bercerita itu satu arah, yang secara implicit memandang anak sebagai subordinat yang harus mengikuti nilai-nilai superordinatnya. Misalnya contoh berikut adalah contoh turn-taking yang masih didominasi oleh guru: Guru
Murid
: Pak Karto disuruh duduk. ―Pak ini pak obatnya sudah dapat.‖ ―pak belinya dimana?‖ ―Sudah gak pa pa? saya belinya di warung.‖ Sudah diminum. Obatnya diminum pake air the anget. Oglok..oglok..oglok. Si pak Kartonya disuruh tidur di…tidur. Terus pusingnya apa? Agak hilang. Setelah itu si pak Karto jadi sembuh. Setelah sembuh apa? Pak Karto bisa bekerja la..gi. : gi! Namun demikian, walaupun hanya beberapa, ada cerita yang yang
mempunyai struktur langsung guru/orang tua – murid/anak yang melibatkan siswa atau anak untuk ikut membangun cerita. Atau guru atau orang tua aktif mengajak
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
63
siswa atau anak dengan pertanyaan-pertanyaan yang memaksa anak untuk menjawab. Berikut ini adalah contoh turn-taking yang berimbang Guru
Murid Guru
Murid Guru Murid Guru Murid Guru Murid Guru Murid Guru Murid Guru Murid Guru Murid Guru Murid Guru
Murid
: Sebelumnya mengolah sawah yang tadinya…tadi apa? Kebunnya..sawahnya belum diberi air, sekarang sudah bisa diberi air, diari. Diberi air kebunnya. Biar apa to diberi air? : Subur! Subur! Subur! : Biar subur, biar kebunnya pak tani jadi subur. Jadi pak Tono baik hati itu juga tolong – menolong. Tolong – menolong sama siapa? Sama temannya. Coba bu guru mau tanya. Pak tani dua tadi namanya siapa? : Pak Karto! Pak Tono! :Pak Karto. Yang satu pak? : Pak Tono. : Yang sakit siapa, anak – anak? : Pak Karto! Pak Tono! : Yang sakit siapa? : Pak Karto :Pak Karto sakitnya sakit apa coba? : Pusing! : Terus diberikan obat sama siapa? diberikan obat sama siapa? : Pak Tono : Pak Tono. Dibelikan obat dimana? : Di warung! Di Apotik! : Di warung apa di apotik? : Di warung! Di Apotik! : Dimana? : Apotik! : Yang mendengarkan setengah – setengah belinya di…. Memang kalo obat itu belinya di apotik, tetapi karena di desa belinya di wa…rung. Warungnya jauh apa dekat? : Jauh!
6.3 Pola adjacency pairs-nya (pasangan dekat) Pola adjacency pair yang terdapat di dalam cerita di penelitian ini secara umum hanya monoton, yaitu pertanyaan – jawaban, misalnya: 1. Guru Murid 2. Guru Murid
:Pak Karto. Yang satu pak? : Pak Tono. : Yang sakit siapa, anak – anak? : Pak Karto! Pak Tono!
Sementara itu hanya beberapa pola adjacency pair lain yang umumnya muncul di dalam percakapan seperti, pernyataan-persetujuan, pernyataan-ketidakpersetujuan, pernyataan tak lengkap-pelengkapan dan lain sebagainya. Misalnya berikut ini pola
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
64
pernyataan – ketidakpersetujuan dan pernyataan tak lengkap-pelengkapan: 3. Guru Murid 4. Guru Murid
: Ha? Mainan…maninan. : Itu ayam beneran : Sekarang Bu Wahyu mau cerita. Tentang …? : Ayam..ayam
Contoh berikutnya yaitu pernyataan-persetujuan: 5. Anak Ibu
: digoreng : Yo ameh digoreng. Ya sing nakal digoreng. Kancile digowo mulih, dikurung, gen ora maem-maem apa, timen eneh ngono, terusan kae… Berikutnya contoh pertanyaan yang dijawab dengan tidak sesuai materinya: 6. Ibu Anak
: La terusan dike‘I pulut. Ki kuwi lo, apa jenenge? : Aku dolanan
Satu contoh lagi yang di data penelitian ini ialah adjacency pair-nya berpola pengulangan, bagian pertama dan kedua sama, dan berpola pertanyaan-jawaban tetapi bagian kedua hanya menggunakan gelengan kepala dan diam. Misalnya: 7. Anak Ibu Anak
: Belum : Belum. Jadi Lita kalo dikasi uang ibu, belum ditabung? : (Cuma menggelengkan kepala)
6.4 Scaffolding Scaffolding akan kelihatan melalui pola turn-taking dan adjacency pair di dalam alur cerita. Melihat pola turn-taking dan adjacency pair yang ada, maka wajar sekali apabila hanya sedikit kemunculan scaffolding dalam alur bercerita dalam penelitian ini. Hanya ada beberapa yang seperti scaffolding. Dikatakan ‗seperti‘ karena ada aspek yang tidak muncul dalam percakapan ini. …………………. Guru : ‗Si Jantan yang Sombong‘ Apa? ‗Si Jantan Yang Sombong‘. Apa? Murid : Si Jantan yang Sombong. Guru : Nah sebelum Bu Wahyu cerita, apa sih sombong? Murid : Sombong itu malas…malas… Guru : O malas ya. Apa sih sombong? Murid : Nggak tau…
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
65
Guru : Belum tahu. Baik nanti setelah cerita anak-anak akan tahu apa sih sombong itu. Sombong. Apa tadi? Murid : Sombong pas punya rumahe tingkat dicritak-critake orang-orang Guru : O pas punya rumah dicritak-critake orang-orang katanya sombong. Apa sih sombong itu? Murid : Boong Guru : Boong ya? Apa? Kalau menurut Dustin, sombong itu boong. Ada yang lain yang mau ngomong? Murid : Sombong itu…sombong..males. Guru : O sombong itu males katanya Lynn. Apa lagi Apa Michael? Menurut Michael apa itu sombong? Murid : (Rita menjawab) jahat Guru : O kalau menurut Rita, jahat. Kalau menurut Michael? Murid : sombong itu e …kalo nggak…ngga…. bisa makan Murid dan Guru: tertawa …………………………… Secara terstruktur pola turn-taking sudah terdistribusi dengan baik, dan pola adjacency pair-nya juga bervariasi. Akan tetapi jika dilihat pola pertanyaan guru masih bersifat bertanya saja, masih belum bertanya sambil memberikan clues atau sinyal-sinyal yang bisa menuntun murid untuk memahami kata ‗sombong‘. Hal ini terbukti sampai akhir rentetan scaffolding di atas murid masih belum bisa menjawab kata ‗sombong‘ dengan baik. Ada juga struktur pola turn-taking dan adjacency pair yang membentuk scaffolding untuk membantu membangun struktur teks, yaitu alur cerita ringkas. Akan tetapi mungkin belum disadari dengan baik sehingga pertanyaan tidak urut menurut alur cerita secar temporal dan akhirnya alur ceritanya belum selesai scaffolding sudah diakhiri. Misalnya perhatikan percakapan di akhir cerita oleh guru dan murid di salah satu TK di Surakarta. ……………………………………… Guru : Teman-teman, Ruru tadi, akhirnya kenapa teman-teman? Murid : (Diam) Guru : Mas Rafi? Murid : (diam) Guru : Ok, sekarang tepuk satu…tepuk satu.. Murid : (semua anak bertepuk tangan) Guru : Ok, Ustadz Anang tadi cerita tentang apa teman-teman?
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
66
Murid Guru Murid Guru
Murid Guru Murid Guru Murid Guru Murid Guru Murid Guru
: Rusa : Rusa namanya siapa? : Ruru, Sasa. : Ya. Silahkan duduk, yang jawab silahkan duduk yang manis. Ok, mas Reza sama mas….Habiburrahman juga. Ruru sama Sasa. Ruru anak yang …? : Pemalas, sombong, nakal, jahat. : Pemalas, ya. Sasa? : baik, suka menolong. : Menolong siapa? : rajin bekerja….paman gajah. : ya menolong paman gajah terus kenapa? : Paman gajahnya se…hat, ku…at. : Ruru kenapa? Ruru akhirnya..? : baik : minta maaf. OK, ya sudah dulu cerita ustadz Anang.
7. Kesimpulan 7.1 Kesimpulan buku cerita Berdasarkan pertanyaan penelitian dan hasil dan pembahasan di atas, akhirnya dapat disimpulkan bahwa: 1. Genre di dalam buku cerita anak ini terdiri dari dari 3, yaitu genre naratif, rekon dan report. Genre naratif merupakan genre yang dominant karena terdiri dari 111 cerita dengan pentahapan Orientasi, Komplikasi, dan Resolusi, hanya beberapa saja yang menggunakan Evaluasi sebelum Resolusi (lihat lampiran). Genre rekon hanya terdapat 21, dengan struktur Orientasi dan detil kejadian, ada beberapa yang tidak menggunakan Orientasi secara jelas, dan hanya 1 genre report tanpa definisi, hanya detil deskripsi 2. Register bervariasi memalui genre dan target pembaca buku cerita. Struktur teks: Register untuk naratif umumnya menggunakan struktur teks orientasi, komplikasi, dan resolusi, dengan beberapa yang menggunakan evaluasi
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
67
sebelum resolusi. Sementara itu untuk genre rekon menggunakan orientasi dan detil kejadian, dan untuk report hanya menggunakan detil deskripsi tanpa definisi, karena target pembacanya balita. Kohesi: Kohesi yang digunakan dalam naratif dan rekon lengkap baik gramatikalnya maupun leksikalnya. Hanya beberapa ditemukan di naratif dan rekon untuk target pembaca balita beberapa kohesi, substi tusi atau hiponimi tak ditemukan. Hal ini juga dikarenakan target pembaca masih balita. Kohesi untuk report hanya berkisar penambahan ide, serta hiponimi dan meronimi yang dominant. Transitifiti: Transitifity dalam naratif dan rekon lengkap ada 6 jenis. Sementara pada report transitifiti hanya ada dua proses utama yaitu material dan relasional. Mood: Mood di dalam rekon dan naratif ada dua yaitu proposisi dan proposal. Dalam buku cerita ini proposisi dan proposal juga muncul. Tetapi kemunculan proposal ini hany bersifat opsional. Struktur Tema: Struktu tema dalam genre naratif dan rekon dalam buku cerita dalam penelitian ini terdiri dari tema hiper, dan tema klausa topical unmarked dan marked yang digunakan untuk mengatur alur cerita berdasarkan waktu dan tempat, dan tema tekstual untuk mengatur logikanya, dan tema interpersonal untuk mengatur hubungan social antar partisipannya. Dalam penelitian ini struktur tema sudah digunakan secara baik. Klausa, Kelompok nomina dan leksis:
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
68
Ketiga komponen ini mempengaruhi gaya bahasa buku cerita ini. Buku cerita untuk anak SD 4-6 bergaya ‗antara lisan dan tulis‘, gaya bahasa buku cerita untuk SD kelas 1-3 bergaya ‗cenderung lisan‘ dan buku cerita untuk anak balita bergaya ‗semakin‘cenderung lisan‘. Direct speech dan Adjacency Pair: Kedua unsure tatabahasa ini digunakan di dalam rekon dan naratif untuk mengungkap penokohan dan character tokoh di dalam buku cerita ini. Dan adjacency pair dalam beberapa buku cerita digunakan untuk pasangan: pernyataan – persetujuan, pernyataan – penolakan, pertanyaan – jawaban dll. Khususnya dalam penyajian dua sisi adjacency pair ini memegang peranan penting untuk menunjukkan kedua-sisian tehnik penuajian nilai ideologis. 3. Ada 3 jenis nilai cultural ideologis , yaitu nilai social rumah, nilai social lingukungan, dan nilai social sekolah‘ yang terdiri dari 45 macam nilai-nilai social yang lebih detil 4. Peranan genre dan register dalam pengenalan dan pengasuhan ideology kepada anak menjadi sangat penting. Pertana Genre memalui struktur teks (register) akan membantu untuk melihat alur cerita dan terutama nilai ideologis di perkenalkan kepada anak. Ditambah penggunakan adjacency pair di dalam regusternya akan membantu menentukan tehnik penyajiannya akan bersifat satu sisi atau dua sisi. Di samping itu kohesi juga akan membantu pertautan anta ride, transitifiti sendiri merupakan idenya. Mood menunjukkan pertukaran informasi atau barang atau jasanya. Sedangkan struktur tema digunakan untuk membantu menyusun alur cerita. Klausa, kelompok nomina dan leksis digunakan untuk menyusun gaya bahasanya yang sesuai dengan target pembaca.
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
69
5. Ada macam ideology di dalam buku cerita anak dalam penelitian ini, yaitu antagonis kanan dan protagonis kanan. Buku cerita yang berhaluan antagonis kanan adalah cerita-cerita yang menggunakan penyajian satu sisi, sedangkan cerita
yang berhaluan protagonist kanan adalah cerita-cerita
yang
menggunakan penyajian dua sisi.
7.2 Kesimpulan cara bercerita Berdasarkan pertanyaan penelitian cara bercerita, tujuan penelitian dan pembahasan akhirnya penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Overall organization atau struktur bercerita dalam penelitian ini ialah: brain storming, inti cerita, dan diakhiri dengan tanya jawab mengenai moral atau ringkasan cerita. Brain storming digunakan untuk mengantar murid atau siswa mengenalkan tokoh, atau tema cerita yang akan dilakukan. Inti cerita dalam penelitian ini terdapat tiga genre, yaitu naratif (dominan), beberapa menggunakan exemplum, dan rekon. Sedangkan tema cerita bervariasi mulai dari cerita fabel, umum, dan keagamaan. Untuk TK-TK dan orang tua Islam bercerita dengan tema-tema nabi Muhammad dan tokoh Islam lain. Untuk TK nasrani juga demikian temanya mengenai Yesus, Nuh, sementara TK umum dan orang lain menggunakan tema umum seperti fabel dan tokoh umum. 2. Pola turn-taking pada umumnya masih didominasi oleh guru atau orang tua, karena mengikuti model bercerita jaman dulu, yaitu yang dominant adalah pencerita yang dominant dan pendengar yang baik ialah diam mendengarkan. Akan tetapi ada beberapa guru dan orang tua yang mendistribusikan pola turn-taking-nya untuk membangun cerita secara
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
70
bersama-sama mulai dari brainstorming, inti cerita, sampai dengan akhir cerita (tanya-jawab). 3. Pola adjacency-pair yang ditemui di penelitian ini masih terbatas. Yang paling dominan ialah pertanyaan- jawaban. Kemudian diikuti dengan pernyataan tak selesai – pelengkapan pernyataan, yang pada dasarnya masih termasuk pertanyaan-jawaban, karena pernyataan tak lengkapnya diakhiri dengan intonasi meninggi, seperti pertanyaan. Sangat jarang pernyataan – persetujuan/penolakan, pengulangan, pertanyaan-diam (anggukan/gelengan kepala) atau jawaban tak sesuai. 4. Scaffolding sudah ada sedikit. Akan tetapi masih belum maksimal. Kemungkinan besar ketidakmaksimalan scaffolding ini disebabkan ketidakmengertian peran scaffolding untuk
memahami
nilai-nilai
ideologis yang ada, serta untuk membangun cerita. Sehingga scaffolding tidak bisa menyelesaikan permasalahan pemahan nilai dan penyelesaian alur cerita. Selain itu melihat pola adjacency-pair, turn-taking dan scaffolding yang ada di dalam penelitian ini dapat dikatakan bahwa sebenarnya pencerita masih belum memahami benar mengenai konsepkonsep ini yang sangat membantu dalam pemerolehan bahasa termasuk di dalamnya nilai-nilai ideologis dan sangat membantu dalam membentuk pola interaksi yang demokratis yang mempunyai turn-taking yang lebih terdistribusi dan adjacency-pairs yang bervariasi. Kemudian ternyata kelas social dan pendidikan tidak kelihatan mempunyai perbedaan pola interaksinya. Ada ibu rumah tangga dan sekolah yang termasuk kelas bawah tetapi secara tidak sadar sudah mengenalkan pola turn-taking terdistribusi dan adjacency pair bervariasi, dengan pola komunikasi dua
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
71
arah. Sebaliknya ada ibu rumah tangga sekolah kelas atas yang penceritanya masih mendominasi cerita dengan komunikasi one-way/ satu arah saja.
7.3 Saran Berdasarkan temuan di atas tim penelti menyarankan sebagai berikut: 1. Sumber data atau buku ceritanya diperluas dalam asal kota penerbit untuk memperoleh nilai-nilai budaya yang lebih lengkap di Indonesia ini diperkenalkan. 2. Penelitian ini sebaiknya ditindak lanjuti dengan penelitian lapangan untuk mencari tahu bagaimana cerita tersebut diperkenalkan kepada anak melaui guru atau orang tua. Hal ini penting untuk melihat sisi lain pengenalan ideology dan pengasuhannya di masyarakat apakah maish satu sisi atau sudah dua sisi, atau masih otoriter atau sudah demokratis. 3. Disamping itu berkaitan erat dengan pengenalan dan pengasuhan ideologi kepada anak perlu adanya pembenahan kurikulum yaitu mengenai What dan How nya untuk memberikan bekal kepada guru dan orang tua, pemegang keputusan dan berbagai pihak yang terkait untuk mengenalkan struktur cerita yang baik dengan melibatkan pola turn-taking yang terdistribusi dan adjacency pair yang bervariasi sebagai dasar scaffolding yang menyeluruh dan tuntas. Hal ini sangat penting karena pengenalan ideologi harus diikuti dengan cara pengasuhan ideologi yang demokratis tidak sepihak tetapi dua arah sehingga terjadi negosiasi makna ideologis yang berimbang. Dengan begini anak dan siswa tidak hanya tahu nilai ideolgi yang baik tetapi mereka juga diperkenalkan dan diasuhkan cara mengenalkan nilai ideologi secara
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
72
demokratis dengan pola turn-taking yang terdistribusi dan adjacency-pair yang bervariasi. 4. Secara teoritis perlu ada pengembangan lokasi penelitian di kota kecil dan kota yang lebih besar untuk mengetahui apakah
kelas sosial ikut
memperngaruhi pola pengasuhan ini atau tidak. DAFTAR PUSTAKA
Bhatia, V.K. 2001. Appplied Genre Analysis: A Multi-Perspective Model. Dalam Iberica 3: 3-17, 2001 Brown, G. & Yule, G. 1983 Discourse Analysis, Cambridge, Cambridge University Press. Cartledge, G. dan Kiarie, M.W. 2001. Learning Social Skills through Literature for Children and Adolescents. Dalam Teaching Exceptional Children, Vol. 34, No.2, pp. 40-47. Citraningtyas, Clara Evi. 2004. Breaking a Curse Malin Kundang and Transactional Approaches to Reading In Indonesian Classrooms, Ph. D Thesis, Macquarie University Cook-Gumperz, J. (1986) the Social Construction of Literacy, Cambridge: Cambridge University Press. Eggins, S & Slade, D. 1997. Analysing Casual Conversation, London: Cassell. Fowler, R. 1989. Linguistic Criticism. Oxford: OUP. Garnham, A. 1985. Psycholinguistics: Central Topics. Cambridge: Cambridge University Press Gerrot, L. dan Wignell, P. 1995. Making Sense of Functional Grammar. Cammeray: AEE. Gray, Brian (1986) Creating a Context for the Negotiation of Written Text, paper ead at the 12th Australian Reading Conference, Perth. Halliday, M.A.K. 1994. An Introduction to Functional Grammar. London: Edward Arnold. Halliday, M.A.K. dan Hasan, R. 1985. Language, Context and Text: Aspects of Language in A Social Semiotic Persperctive. Victoria: Deaking University. Hasan, R. & Williams, G 1996 Literacy in Society, London: Longman Hodge, R. dan Kress, G. 1995. Social Semiotics. Cambridge: Polity Press. Kern, Richard. 2000 Literacy and Language Teaching, Oxford: Oxford University Press. Larsen-Freeman, D & Long, M.H. 1991 An Introduction to Secong Language Acquisition Research, London: Longman. Levinson, S.C. 1986. Pragmatics, Cambridge: Cambridge University Press. Lock, G. 1996. Functional English Grammar: An Introduction for second language teachers. Cambridge: Cambridge University Press. Lyons, J. 1987. New Horizon in Linguistics. London: Penguin. Martin, J.R. 1992. English Text: System and Structure. Philadelpia: John Benjamins Publishing Company.
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
73
Michaels, S. 1986. Narrative Presentation an Oral Preparation for Literacy with First Graders, in Cook-Gumperz (ed.) The Social Construction of Literacy, CUP, 1986. Muslimin. 2002. Metode Penelitian di Bidang Sosial. Malang: Bayu Media dan UMM Press. Patton, M.Q. 1984. Qualitative Evaluation Methods. Beverhy Hills: Sage Publication. Puurtinen, Tiin. 1998. Syntax, Readibility, and Ideology in Children Literature, Meta XLIII, 4 Reid, Ian (ed). 1989. The Place of Genre in Learning: Current Debate. Victoria: Deakin University. Rothery, Joan 1996. Making Changes: Developing an Educational Linguistics, in Hasan, R. & Williams, G. Literacy in Society, London: Longman Santosa, R. 2003. Semiotika Sosial Pandangan terhadap Bahasa. Surabaya: Pustaka Eureka. Santosa, R. 1995. Genre dalam Editorial Kompas, Laporan Penelitian, Fakultas Sastra, UNS Santosa, R. 1995 Suara dan Warna Golongan dalam Editorial Suara Pembaharuan, Suara Merdeka dan Jawa Pos, Laporan Penelitian, Fakultas Sastra UNS. Santosa, R. 1997 Tingkat Literasi Bahasa Indonesia Anak Kelas 3 SD di Surakarta, Laporan Penelitian, Dirjen Dikti (BBI) Santosa, R. et.al.2006 Sastra Anak sebagai Wahana Pengenalan dan Pengasuhan Ideologi, Dikti: Penelitian Fundamental (Sedang berjalan) Sudaryanto. 1988. Metode Linguistik. Bagian Pertama: Ke Arah Memahami Metode Linguistik. Yogjakarta: Gadjah Mada University Press. Sutopo, H.B. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif: Dasar teori dan terapannya dalam penelitian. Surakarta: Sebelas Maret University Press. Varonis, EM and Gass, 1985. Non-Native – Non-Native Conversational Model for negotiation of meaning in Applied Linguistics, 11. Williams, Geoff, 1990. Variation in Home Reading Contexts; paper ead in the Annual Conference of The Australian Reading Association, Canberra. Zequan, L. 2003. Register Analysis as a Tool for Translation Quality Assessment, dalam Journal Translation. Vol. 7, No. 3, Juli.
* Article publish in acredited journal of Humaniora ISSN 1411-5190, 2006
74