Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
2016
PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA SANTUN DALAM PEMERTAHANAN KARAKTER BANGSA INDONESIA Subangun FKIP Universitas Muhammadiyah Ponorogo
[email protected] ABSTRACT
Salah satu aspek yang menjadi keprihatinan bangsa Indonesia saat ini adalah lunturnya kesantunan anak dalam berbahasa Indonesia. Padahal berbahasa Indonesia santun merupakan bagian dari karakter bangsa Indonesia. Berbahasa Indonesia santun merupakan perwujudan sikap menghargai dan menghormati orang lain. Sebagai karakter bangsa Indonesia, berbahasa santun harus ditanamkan dengan baik kepada anak dalam pembelajaran di sekolah. Makalah ini bertujuan memaparkan (1) karakter bangsa Indonesia; (2) pemertahanan karakter bangsa; (3) berbahasa Indonesia santun; (4) tantangan penggunaan bahasa Indonesia santun; (5) dampak penggunaaan bahasa Indonesia santun; (6) penggunaan bahasa Indonesia santun dalam membentuk karakter bangsa. Keywords: karakter, bahasa, santun
Pendahuluan Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar. Sebagai bangsa yang besar, Indonesia memiliki berbagai karakter baik yang perlu dipertahankan atau dilestarikan. Hal ini perlu dilakukan agar keberadaan Indonesia tetap diakui sepanjang zaman. Akan tetapi, tantangan yang harus dihadapi sangat berat dan kompleks, baik tantangan internal maupun tantangan eksternal. Belum lagi tantangan berkaitan dengan tuntutan kebutuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Salah satu karakter baik bangsa Indonesia adalah menghargai dan menghormati orang lain. Menghargai dan menghormati orang lain diwujudkan dengan pemahaman, tindakan, dan sikap baik terhadap orang lain. Dalam aspek pemahaman, menghargai dan menghormati orang diwujudkan dengan selalu berpikiran positif (positive thinking) terhadap orang lain, artinya segala prasangka buruk terhadap orang lain harus dihilangkan. Dalam aspek tindakan, menghargai dan menghormati orang diwujudkan dengan selalu bertingkah laku yang bisa menyenangkan orang lain, mengambil bagian dalam menciptakan situasi kondusif, dan membuat orang lain nyaman terhadap tindakan yang dilakukan. Adapun dalam aspek sikap, menghargai dan menghormati orang lain diwujudkan dengan selalu menilai dan merespon orang lain dengan nilai dan respon positif sehingga dalam mengambil keputusan selalu mengedepankan nilai-nilai baik dan positif dan meminimalkan segala prasangka negatif terhadap orang lain. Untuk mewujudkan sikap dan menghargai orang lain dilakukan dengan membangun komunikasi yang baik. Dalam membangun komunikasi yang baik diperlukan bahasa Indonesia santun. Bahasa santun adalah bahasa yang penggunaannya sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat tertentu. Indikator bahasa santun ialah menggunakan tata bahasa baku, memilih kata yang sesuai
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
2016
dengan isi dan pesan yang disampaikan, dan menyesuaikan dengan tata nalai yang berlaku di masyarakat itu. Berdasarkan uraian di atas, makalah ini akan menjawab berbagai pertanyaan. Bagaimanakah sebenarnya karakter bangsa Indonesia? Bagaimanakah upaya kita melakukan pemertahanan karakter bangsa? Apakah yang dimaksud berbahasa santun? Apakah tantangan yang akan kita hadapi dalam penggunaan bahasa Indonesia santun? Bagaimanakah dampak penggunaan bahasa santun dalam pemertahanan karakter bangsa Indonesia? Dan, bagaimanakah langkah penggunaan bahasa santun dan membentuk karakter bangsa? Karakter Bangsa Indonesia Secara etimologis kata karakter berasal dari bahasa Latin character yang berarti ‘watak, tabiat, sifat-sifat kejiwaan, budi pekerti, kepribadian atau akhlak’. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata karakter memiliki arti ‘sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain; tabiat; watak’ (1994: 445). Adapun secara istilah karakter diartikan sebagai sifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti yang menjadi ciri khas seseorang atau sekelompok orang (Majid, 2010: 11). Karakter juga bisa diartikan sikap, tabiat, akhlak, kepribadian yang stabil sebagai hasil proses konsolidasi secara progresif dan dinamis (Khan, 2010: 1). Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa karakter adalah sikap, tabiat, akhlak, kepribadian yang stabil sebagai hasil proses konsolidasi secara progresif dan dinamis yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak yang menjadi ciri khas seseorang atau sekelompok orang. Berdasarkan definisi di atas, menurut Foerster, karakter memiliki empat ciri dasar. Pertama, keteraturan setiap tindakan yang diukur berdasar hierarkhi nilai. Kedua, koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut risiko. Ketiga, otonomi seseorang dalam menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan adalah daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik dan kesetiaan adalah dasar penghormatan atas komitmen yang dipilih (sukadipkn.wordpress.com diakses 2 Mei 2016). Dalam “Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-Nilai Budaya untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa” dikemukakan delapan belas nilai karakter bangsa Indonesia yang harus ditanamkan dan dipertahankan kepada peserta didik: (1) Religius, yakni sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain. (2) Jujur, yakni perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan. (3) Toleransi, yakni sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya. (4) Disiplin, yakni tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
2016
(5) Kerja keras, yakni perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya. (6) Kreatif, yakni berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki. (7) Mandiri, yakni sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas. (8) Demokratis, yakni cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain. (9) Rasa ingin tahu, yakni sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajari, dilihat, dan didengarnya. (10) Semangat kebangsaan, yakni cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. (11) Cinta tanah air, yakni cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan, fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa. (12) Menghargai prestasi, yakni sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui serta menghormati keberhasilan orang lain. (13) Bersahabat/komunikatif, yakni tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain. (14) Cinta damai, yakni sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya (15) Gemar membaca, yakni kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya. (16) Peduli lingkungan, yakni sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya dan mengembangkan upayaupaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi. (17) Peduli sosial, yakni sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan kepada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. (18) Tanggung jawab, yakni sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajiban yang seharusnya dilakukan terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara, dan Tuhan Yang Maha Esa. Delapan belas karakter bangsa di atas harus ditanamkan kepada setiap generasi muda yang akan menjadi penerus bangsa. Hilangnya karakter bangsa berarti hilangnya bangsa itu sendiri. Oleh karena itu, berbagai upaya harus dilakukan dalam rangka pemertahanan karakter bangsa. Pemertahanan Karakter Bangsa Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasl 3 dinyatakan “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
2016
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Berdasarkan pernyataan tersebut upaya dalam pemertahanan karakter bangsa adalah melalui pendidikan, dalam hal ini adalah pendidikan karakter. Pendidikan karakter menurut Abu Su’ud (2010: 7) merupakan proses yang ditujukan untuk mengembangkan nilai, sikap, dan perilaku siswa yang memancarkan akhlak mulia atau karakter luhur yang menunjukkan ciri khas bangsa Indonesia. Pendidikan karakter sering juga dipadankan dengan pendidikan moral, pendidikan watak, pendidikan budi pekerti, atau pendidikan akhlak. Samani & Hariyanto (2011:44) menambahkan bahwa pendidikan karakter adalah pendidikan yang mengembangkan karakter mulia (character good) dari siswa dengan mempraktikkan dan mengajarkan nilai-nilai moral dan pengambilan keputusan yang beradab dalam hubungan dengan sesama manusia maupun dalam hubungannya dengan Tuhannya. Ringkasnya pendidikan karakter adalah penanaman akhlakul karimah sebagai ciri khas bangsa Indonesia kepada generasi muda. Di samping hal di atas, Ahmad Abdurrahman (http:// ahmadabdurahman84.blogspot.co.id diakses 2 Mei 2016) mengemukakan lima strategi dalam pemertahanan karakter bangsa: (1) Sosialisasi, yaitu usaha sadar dan terencana untuk membangkitkan kesadaran dan sikap positif terhadap pembangunan karakter bangsa guna mewujudkan masyarakat yang berketuhanan yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, berjiwa persatuan Indonesia, berjiwa kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. (2) Pendidikan karakter, yaitu usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana serta proses pemberdayaan potensi dan pembudayaan peserta didik guna membangun karakter pribadi dan/atau kelompok yang unik-baik sebagai warga negara. (3) Pemberdayaan, yaitu memampukan para pemangku kepentingan dalam rangka menumbuhkembangkan partisipasi aktif mereka dalam pembangunan karakter bangsa. (4) Pembudayaan, yaitu pelestarian, pembiasaan, dan pemantapan nilai-nilai baik yang dilakukan dalam keluarga, satuan pendidikan, masyarakat, dunia usaha, partai politik, dan media massa berwujud pemodelan, penghargaan, pengidolaan, fasilitasi, serta hadiah dan hukuman. (5) Kerja sama, yaitu melakukan kordinasi antarwarga negara, antarkelompok, antarlembaga, antardaerah, dan antarnegara. Dari lima strategi di atas, strategi pendidikan karakter merupakan upaya paling strategis dalam pemertahanan karakter bangsa. Dalam pemertahanan karakter bangsa melalui pendidikan, hal-hal yang bisa dilakukan antara lain sebagai berikut: (1) Pengembangan perangkat kurikulum, inovasi pembelajaran, dan pembudayaan karakter; standardisasi perangkat dan proses penilaian; dan standardisasi media pembelajaran yang dilakukan secara sinergis. (2) Pengembangan satuan pendidikan yang memiliki budaya kondusif bagi pembangunan karakter dalam berbagai konteks: pendidikan usia dini, pendidikan dasar dan menengah, serta pendidikan tinggi yang dilakukan secara sistemik.
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
2016
(3) Pengembangan kelembagaan dan program pendidikan nonformal dan informal dalam rangka pendidikan karakter melalui berbagai konteks dilakukan secara sistemik. (4) Pengembangan dan penyegaran kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan di jenjang pendidikan usia dini, pendidikan dasar dan menengah, dan pendidikan tinggi yang relevan dengan pendidikan karakter. (5) Pengembangan karakter peserta didik di perguruan tinggi melalui penguatan standar isi dan proses, penelitian dan pengembangan pendidikan karakter, pembinaan lembaga pendidikan tenaga kependidikan, pengembangan dan penguatan jaringan informasi profesional. Berbahasa Indonesia Santun Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata santun memiliki arti ‘halus dan baik (budi bahasanya, tingkah lakunya); sopan; sabar dan tenang’ (1994: 878). Dalam Alquran kesantunan berbahasa berkaitan dengan cara pengucapan, perilaku, dan kosakata yang santun serta disesuaikan dengan situasi dan kondisi (lingkungan) penutur, sebagaimana diisyaratkan dalam ayat berikut: “..dan lunakkanlah suaramu, sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara himar.” (QS. Lukman: 19). Sementara itu, menurut Masnur Muslich (2006: 1), kesantunan (politiness), sopan santun, atau etiket adalah tata cara, adat atau kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan sekaligus menjadi prasyarat yang disepakati oleh perilaku sosial. Berdasarkan pengertian di atas, kesantunan dapat dilihat dari berbagai segi: (1) Kesantunan berkaitan dengan nilai sopan santun. Artinya, seseorang dikatakan berbuat santun apabila orang tersebut menampilkan nilai kesopanan yang berlaku di masyarakat dan sekaligus masyarakat secara otomatis menilai orang tersebut berbuat baik. (2) Kesantunan sangat kontekstual. Artinya, kesantunan berhubungan dengan masyarakat, tempat, dan situasi tertentu. Kesantunan yang berlaku di masyarakat A belum tentu berlaku di masyrakat lain. Kesantunan yang berlaku di tempat A belum tentu berlaku di tempat lain. Demikian pula kesantunan yang berlaku dalam situasi A belum tentu berlaku dalam situasi yang lain. (3) Kesantunan selalu bipolar. Artinya, kesantunan memiliki hubungan dua kutub, seperti antara anak dan orang tua, antara orang muda dan orang tua, antara murid dan guru, antara tamu dan tuan rumah, dan sebagainya. (4) Kesantunan tampak dalam cara berpakaian (berbusana), cara berbuat (bertindak), dan cara bertutur (berbahasa). Artinya, kesantunan merupakan tata krama yang berlaku dalam masyarakat tertentu. Dengan demikian, kesantunan berbahasa disebut “tata krama” berbahasa. Senada dengan pendapat di atas, Nurul Masfufah (2010: xxxix) menyimpulkan pengertian kesantunan berbahasa itu adalah tata cara atau etiket berbahasa yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu dengan memperhatikan kaidah (kaidah sosial) dan pemilihan strategi agar komunikasi berjalan lancar dan harmonis. Kesantunan berbahasa tersebut
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
2016
bergantung pada sosial budaya, norma, dan aturan di suatu tempat sehingga nilai atau aturan satu budaya dapat berbeda dengan budaya lain. Berkaitan dengan kesantunan berbahasa, Leech (dalam Wijana, 1996: 5661), menyatakan bahwa pada hakikatnya dalam bertutur harus memperhatikan enam prinsip kesopanan, yaitu (1) Maksim Kebijaksanaan Maksim ini menggariskan setiap penutur untuk meminimalkan kerugian kepada orang lain dan memaksimalkan keuntungan bagi orang lain. (2) Maksim Penerimaan, Maksim ini mewajibkan setiap peserta tindak tutur untuk memaksimalkan kerugian bagi diri sendiri dan meminimalkan keuntungan diri sendiri. (3) Maksim Kemurahan Maksim ini menuntut setiap penutur untuk memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain, dan meminimalkan rasa tidak hormat kepada orang lain; (4) Maksim Kerendahan Hati Maksim ini menuntut setiap penutur untuk memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri dan meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri. (5) Maksim Kecocokan Maksim ini menggariskan setiap penutur dan mitra tutur untuk memaksimalkan kecocokan di antara mereka dan meminimalkan ketidakcocokan di antara mereka. (6) Maksim Kesimpatian Maksim ini mengharuskan setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa simpati dan meminimalkan rasa antipasi kepada mitra tutur. Tantangan Penggunaan Bahasa Indonesia Santun Penggunaan bahasa Indonesia santun di kalangan generasi muda tidaklah mudah. Hal ini disebabkan oleh adanya beberapa tantangan yang berat dalam realitas berbahasa sehari-hari. Tantangan tersebut antara lain adalah sebagai berikut: (1) Belum adanya kaidah penggunaan bahasa Indonesia santun. Kaidah bahasa santun diperlukan sebagai panduan bagi para pihak yang berkepentingan secara langsung dalam pemertahanan karakter bangsa. Pihak yang dimaksud adalah guru, kepala sekolah, dinas terkait, orang tua, dan tokoh masyarakat. (2) Ketidaktahuan terhadap kaidah kesantunan berbahasa Indonesia. Karena belum adanya kaidah penggunaan bahasa Indonesia santun, para pihak berbahasa santun sesuai dengan tafsiran masing-masing. Padahal kesantunan berbahasa di berbagai daerah dipengaruhi oleh budaya setempat. Dengan demikian, penggunaan bahasa Indonesia santun di satu tempat belum tentu santun di daerah lainnya. (3) Sulitnya meninggalkan kebiasaan lama dalam budaya bahasa pertama. Dalam berbahasa Indonesia, budaya bahasa pertama berpengaruh besar terhadap penggunaan bahasa Indonesia. Artinya, tidak mudah bagi penutur untuuk meninggalkan bahasa pertama dalam berbahasa Indonesia. Jika budaya bahasa pertama santun, dipastikan penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua juga santun.
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
2016
(4) Sifat bawaan, yakni sifat terbiasa menggunakan bahasa tidak santun. Tiap-tiap orang memiliki sifat bawaan yang berbeda dengan lainnya. Sifat bawaan berpengaruh terhadap seluruh aktivitasnya, termasuk penggunaan bahasa. Orang yang memiliki sifat bawaan yang cenderung kasar, dipastikan dalam berbahasa pun orang tersebut cenderung kasar atau taksantun, semikian pula sebaliknya. (5) Tidak adanya model yang tepat dalam penggunaan bahasa santun, baik di rumah, di sekolah, maupun di masyarakat. Generasi muda dalam berperilaku selalu mencontoh model yang ada, termasuk dalam berbahasa. Akhir-akhir ini model penggunaan bahasa Indonesia santun di masyarakat semakin langka. Harapan generasi muda untuk meneladani penggunaan bahasa santun relatif tidak ada, baik di rumah, di sekolah, maupun di masyarakat. Untuk itu, generasi muda sekarang cenderung mencontoh model yang ada. Akibatnya, jika model yang ada taksantun, dipastikan karakter yang terbentuk juga taksantun. (6) Merebaknya penggunaan bahasa gaul, bahasa alay, bahasa komunitas. Saat ini di masyarakat berkembang bahasa gaul, bahasa alay, atau bahasa komunitas sebagai wujud kreativitas berbahasa masyarakat. Perkembangan berpengaruh kuat terhadap pemertahanan bahasa Indonesia santun sebagai bahasa (7) Kurangnya dukungan motivasi dari orang tua, guru, dan tokoh masyarakat dalam penggunaan bahasa Indonesia santun Saat ini orang tua, guru, dan masyarakat kurang memberikan dukungan baik dalam wujud motivasi maupun menjadi model bagi anak-anak. Sebaliknya, mereka mengikuti bahasa yang digunakan olah anak muda. (8) Kuatnya model penggunaan bahasa taksantun di media massa, terutama televisi Generasi muda dalam mencari jati dirinya memilih model yang disukai. Salah satu model pilihan anak muda adalah media massa, terutama televisi dan internet. Pada kenyataannya kedua media tersebut kurang menampilkan model bahasa santun yang diharapkan. Sebaliknya, media-media tersebut lebih banyak menampilkan penggunaan bahasa santun. Akibatnya, model itulah yang diikuti dalam kehidupan sehari-hari dalam berbahasa Indonesia. (9) Ketidakseriusan penanaman bahasa Indonesia santun di kalangan generasi muda Penggunaan bahasa santun bagi sebagian orang dianggap tidak penting. Bahasa dianggap sebagai bagian budaya yang berkembang sesuai dengan manusianya. Artinya, dalam berbahasa Indonesia tidak perlu memikirkan kaidah bahasa santun. Akibatnya, tidak perlu adanya penanaman bahasa Indonesia santun secara serius. (10) Penggunaan bahasa Indonesia santun seakan-akan hanya menjadi tanggung jawab guru bahasa Indonesia Pada umumnya guru non-Bahasa Indonesia beranggapan bahwa penggunaan bahasa santun merupakan tanggung jawab guru bahasa Indonesia. Akibatnya, mereka tidak memiliki rasa tanggung jawab terhadap penggunaan bahasa Indonesia santun. Mereka juga tidak mampu menjadi model yang baik dalam penggunaan bahasa Indonesia santun.
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
2016
(11) Lemahnya sanksi terhadap penggunaan bahasa taksantun Penggunaan kaidah bahasa santun tidak akan mantap jika tidak ada sanksi yang menyertainya. Sanksi tersebut antara lain bisa dalam bentuk teguran, peringatan, pembinaan, atau sanksi lain. Dampak Penggunaaan Bahasa Indonesia Santun (1) Memperlancar komunikasi Orang yang terbiasa menggunakan bahasa Indonesia santun menumbuhkan rasa simpatik dan percaya dari lawan bicaranya. Akibatnya, tidak ada lagi sekat antara pembicara dan lawan bicara. Komunikasi akan mengalir secara lancar. (2) Meningkatkan kecerdasan emosional Bahasa Indonesia santun berhubungan dengan nilai baik dan buruk. Nilai baik dan buruk dinilai oleh perasaan tiap-tiap orang. Dalam kaitan ini aspek emosi terlibat. Oleh karena itu, ketika seseorang berbahasa santun dia akan menggunakan kecerdasan emosinya untuk menilai baik dan buruk bahasanya. Semakin sering orang menggunakan bahasa santun semakin meningkat kecerdasannya. (3) Menciptakan keharmonisan Orang yang berbahasa santun memilih kosakata sesuai dengan kebenaran dan kebaikan. Kebenaran berkaitan dengan kesesuaian makna dan kaidah bahasa sehingga terjadi pemahaman yang sama antara penutur dan lawan tuturnya. Kebaikan berkaitan dengan kesesuai antara situasi, kondisi, domisili, dan toleransi kebahasaan. Artinya, dalam berbahasa penutur menyesuaikan dengan keadaan lingkungan, keadaan lawan bicara, tempat berbiara, dan lawan bicara. Apabila penggunaan bahasa Indonesia menyesuaikan kebenaran dan kebaikan akan menimbulkan keharmonisan dalam berkomunikasi. (4) Menciptakan suasana nyaman Penggunaan bahasa santun mengedepankan penghormatan dan penghargaan antara penutur dan lawan tuturnya. Hal ini akan menciptakan suasan nyaman bagi penutur dan lawan tutur (5) Meningkatkan kepercayaan Dalam berbahasa santun penutur dituntut menyampaikan informasi berdasarkan nilai kebenaran. Antara penutur dan lawan tuturnya tidak ada rasangkka negatif. Akibatnya, kepercayaan antarindividu terbangun secara baik. (6) Mencegah perselisihan, perkelahian, dan permusuhan antarindividu Penggunaan bahasa santun mementingkan kebenaran dan kebaikan. Hal ini akan menimbulkan kepercayaan dan kenyamanan. Akibatnya, tidak terjadi perselisihan, perkelahian, dan permusuhan antarindividu. (7) Meningkatkan kerjasama Penggunaan bahasa santun mengedepankan kebenara. Hal ini akan menimbulkan kepercayaan antarindividu. Kepercayaan merupakan syarat menjalin kerjasama. Dengan demikian, penggunaan bahasa santun akan meningkakan kerjasama.
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
2016
(8) Membangun masyarakat yang santun Apabila tiap-tiap penutur menggunakan bahasa santun secara otomatis akan menciptakan masyarakat santun. Mereka saling menghormati, menghargai, mempercayai, bekerja sama antarindividu. Penggunaan Bahasa Indonesia Santun dalam Membentuk Karakter Bangsa Menurut Pranowo (https://pondokbahasa.wordpress.com diakses 2 Mei 2016), dalam menggunakan bahasa santun hendaknya diperhatikan hal-hal yang sebaiknya dilakukan dan hal-hal yang sebaiknya dihindari. Hal-hal yang sebaiknya dilakukan dalam berbahasa santun adalah sebagai berikut: (1) Penutur bertutur secara wajar dan dengan akal sehat, artinya dalam berbahasa santun tidak perlu dibuat-buat dan selalu mengedepankan nalar berpikir. Misalnya, “Orang mestinya tidak pasrah begitu saja terhadap kemiskinan, tetapi harus berusaha mengubah diri mejadi orang yang tidak miskin.” (2) Penutur mengedepankan pokok masalah yang diungkapkan, artinya dalam berbahasa santun, penutur selalu mengedepankan pokok masalah yang diungkapkan, kalimat tidak perlu berputar-putar agar pokok masalah tidak kabur. Misalnya, “Kalau masalah korupsi, asal atasannya tegas, tentu yang bawahan tidak ikut-ikutan.” (3) Penutur selalu berprasangka baik kepada mitra tutur, artinya dalam berbahasa santun, penutur selalu berpikiran positif terhadap lawan tuturnya sehingga suasana harmonis. Misalnya, ”Voting juga merupakan bentuk demokrasi. Jadi kalau tidak ada kata mufakat dalam musyawarah, maka voting bisa juga dilakukan.” (4) Penutur terbuka dan menyampaikan kritik secara umum, artinya dalam berbahasa santun, penutur menyampaikan apa adanya dan kalau mengritik tidak menunjuk personal tertentu. Misalnya, “Kalau saya baca, delapan rekomendasi kadin itu bagus. Hanya, analisisnya kok seperti menyatakan bahwa apa yang dilakukan pemerintah salah semua.” (5) Penutur menggunakan bentuk lugas, atau bentuk pembelaan diri secara lugas sambil menyindir, artinya dalam berbahasa santun, penutur menggunakan bentuk tuturan yang lugas, tidak perlu ditutup-tutupi. Misalnya, “Saya sangat berterima kasih kepada negeri ini. Tidak ada lagi ambisi saya secara ekonomi dan politik. Sebagi non-pri, jabatan politik saya saat itu sudah yang tertinggi sebagai anggota DPR. Nggak mungkin naik lagi. Demikian pula dengan ambisi ekonomi, sudah cukuplah yang saya punya ini.” (6) Penutur mampu membedakan situasi bercanda dengan situasi serius, artinya dalam berbahasa santun, penutur mampu membedakan tuturan sesuai dengan situasinya sehingga meskipun situasi serius komunikasi terasa nyaman dan santai. Misalnya, “Kita memang tidak sedang memilih malaikat. Karena itu patokannya harus hukum.” (7) Berbahasa santun juga bisa ditandai dengan pemakaian bahasa verbal, seperti (a) perkataan ”tolong” pada waktu menyuruh orang lain, (b) ucapan ”terima kasih” setelah orang lain melakukan tindakan seperti yang diinginkan oleh penutur, (c) penyebutan kata ”Bapak, Ibu” daripada kata ”Anda”, (d) penyebutan kata ”beliau” daripada kita ”dia” untuk orang yang lebih dihormati, (e) penggunaan kata ”minta maaf” untuk ucapan yang dimungkinkan dapat merugikan mitra tutur.
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
2016
(8) Berbahasa santun juga dapat didukung dengan bahasa non-verbal, seperti (a) memperlihatkan wajah ceria, (b) selalu tampil dengan tersenyum ketika berbicara, (c) sikap menunduk ketika berbicara dengan mitra tutur, (d) posisi tangan yang selalu merapat pada tubuh (tidak berkecak pinggang). Di sisi lain, hal-hal yang sebaiknya dihindari adalah sebagai berikut: (1) Penutur menyampaikan kritik secara langsung (menohok mitra tutur) dengan kata atau frasa kasar. Misalnya, “Pidato-pidato pimpinan dewan selama ini jelas menunjukkan bahwa kaliber pimpinan memang payah.” (2) Penutur didorong rasa emosi ketika bertutur, artinya penutur saat bertutur terkesan marah karena didorong emosi yang berlebihan. Misalnya, “Tidak ada apa-apa, KPK kan tukang geledah.” (3) Penutur protektif terhadap pendapatnya, artinya penutur berusaha menutup pendapatnya agar tuturan mitra tutur tidak dipercaya oleh pihak lain. Misalnya, “Tidak perlu islah. Sudah jelas yang jahat dan yang benar.” (4) Penutur sengaja ingin memojokkan mitra tutur dalam bertutur agar mitra tutur menjadi tidak berdaya. Misalnya, “Mereka sudah buta mata hati nuraninya. Apa mereka tidak sadar kalau BBM naik, harga barang-barang lainnya bakal membubung. Akibatnya, rakyat semakin tercekik.” (5) Penutur menyampaikan tuduhan atas dasar kecurigaan terhadap mitra tutur. Misalnya, “KPU selalu menyatakan kesiapannya dalam melaksanakan tugastugasnya, baik dalam mengelola tahapan pemilu maupun pengaturan calon perorangan. Kenyataannya janji KPU itu tidak pernah terbukti.” Simpulan Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan sebagi berikut: 1. Karakter bangsa merupakan kristalisasi nilai-nilai baik yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia 2. Karakter bangsa harus dipertahankan demi keberadaan dan keberlangsungan bangsa Indonesia. 3. Salah satu upaya pemertahanan karakter bangsa Indonesia melalui pendidikan karakter. 4. Penanaman nilai karakter bangsa dapat dilakukan melalui penggunaan bahasa santun. 5. Dalam penggunaan bahasa Indonesia santun terdapat berbagai kendala yang harus harus dihadapi. 6. Penggunaan bahasa santun membawa dampak positif bagi bangsa Indonesia. 7. Dalam penggunaan bahasa santun perlu diperhatikan hal-hal yang harus dilakukan dan hal-hl yang harus dihindari.
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
2016
Referensi Abdurrahman, Ahmad. 2013. “Makalah Pembinaan Karakter Bangsa”. http:// ahmadabdurahman-84.blogspot.co.id diakses 2 Mei 2016 Khan, Yahya. 2010. Pendidikan Karakter Berbasis Potensi Diri: Mendongkrak Kualitas Pendidikan. Yogyakarta: Pelangi Publishing. Majid, Abdul dan Dian Andayani. 2010. Pendidikan karakter dalam Perspektif Islam. Bandung: Insan Cita Utama. Masfufah, Nurul. 2010. “Kesantunan Bentuk Tuturan Direktif di Lingkungan SMA Negeri 1 Surakarta (Sebuah Kajian Sosiopragmatik)”. Tesis Program Pascasarjana Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Sebelas Maret Surakarta. Muslich, Masnur. 2006. “Kesantunan Berbahasa Indonesia sebagai Pembentuk Kepribadian Bangsa”. Dalam http://researchengines.com diakses 20 Mei 2016. Pranowo. 2008. “Kesantunan Berbahasa Indonesia sebagai Pembentuk Kepribadian Bangsa”. Makalah ini disampaikan pada Kongres Internasional IX Bahasa Indonesia di Jakarta, 28 Oktober – 1 November 2008 Pusat Kurikulum Departemen Pendidikan Nasional. 2010. “Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-nilai Budaya untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa”. Jakarta: Pusat Kurikulum Departemen Pendidikan Nasional. Samani, A. dan Harianto. 2011. Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung: PT Remaja Rosda Karya. Sukadi. 2011. “Ideologi Pendidikan Karakter Bangsa”. sukadipkn.wordpress.com diakses 2 Mei 2016. Su'ud, Abu dkk. 2011. Pendidikan Karakter di Sekolah dan Perguruan Tinggi. Semarang : IKIP PGRI Semarang Press Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1994 (Cet. Ke-3). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam sindikker.dikti.go.id diakses 2 Mei 2016.