TINJAUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA TERHADAP PENYELESAIAN SENGKETA PERS DI INDONESIA Overview of The Acts Number 40 Year 1999 concerning Press and the Penal Code towards the Settlement of Press Conflict in Indonesia
Dian Muhtadiah Hamna, Hafied Cangara dan Alimuddin Unde
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan mengetahui penggunaan hak jawab dan hak koreksi di era kebebasan pers sebagai implementasi pasal 5 Undang-Undang Pers serta penyelesaian kasus pencemaran nama baik dan penghinaan sesuai pasal-pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terhadap upaya penyelesaian sengketa pers di Indonesia. Penelitian ini bersifat deskriptif. Pengumpulan data dilakukan melalui obsevasi, dokumentasi, dan kajian pustaka. Data dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan hak jawab dan hak koreksi belum maksimal digunakan karena masih minimnya kesadaran anggota masyarakat atas penggunaan hak jawab dan hak koreksi. Penyelesaian kasus pencemaran nama baik dan penghinaan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana masih diberlakukan di Indonesia karena di dalam Undang-Undang Pers tidak memuat pasal delik pers tentang pencemaran nama baik maupun penghinaan. Kata Kunci : Undang No. 40 Tahun 1999 tentang pers, KUHP dan Delik Pers
ABSTRACT The research aimed to find out the use of Responding and Correcting Rights in the era of press freedom as the implementation of the Article 5 of Press Acts, and the settlement of the defamation and insult cases in line with the articles in the Penal Code towards the effort to settle the press conflict in Indonesia. The research method used was a qualitative research which meant to comprehend the phenomenon concerning what had been experienced by the research subjects. The result of the research reveals that the Responding and Correcting Rights have not been maximally used because the lack of consciousness of the community members on the use of Responding and Correcting Rights. The settlement of the defamation and insult cases based on the Penal Code is still applied in Indonesia because the Press Acts do not include the article of press offense concerning either the defamation or insult. Keywords : The Act Number 40 Year 1999 Concerning Press, Penal Code, Delict Press
1
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gerakan reformasi 1998 telah mengubah arah perjalanan pers Indonesia. Mundurnya Presiden Soeharto membuka peluang bagi upaya penegakan kebebasan pers. Menteri Penerangan Muhammad Yunus Yosfiah merevisi ketentuan perizinan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dan mencabut ketentuan wadah tunggal organisasi pers dan wartawan. Salah satu hasil konkret perubahan itu adalah pengesahan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers (selanjutnya disebut UU Pers) yang disusun untuk menjaga kemerdekaan pers. Kelahiran UU Pers juga dikarenakan UndangUndang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1967 dan diubah dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 sudah tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. UU Pers terdiri dari 10 bab dengan 21 pasal yang antara lain mengatur ketentuan umum sebagaimana termaktub dalam Bab I Pasal 1, Bab II mengenai asas, fungsi, hak, kewajiban dan peranan pers pada Pasal 2,3,4,5, dan 6, Bab V Pasal 15 mengenai dewan pers serta ketentuan pidana yang termaktub dalam Bab VIII Pasal 18. Tetapi realitanya dalam banyak perkara pers, penegak hukum lebih mempedomani Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dibanding penggunaan UU Pers. Kritik dan pengawasan pers dalam menjalankan tugas jurnalistik dinilai sebagai penghinaan dan pencemaran nama baik pengadu dan oleh karena itu dituduh melanggar berbagai pasal KUHP. Sejak era reformasi, kebebasan pers Indonesia begitu besar tercermin dari substansi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dalam undang-undang tersebut, hanya tiga
delik pers yang diatur (Pasal 5 ayat 1) yakni delik pelanggaran norma agama, norma susila dan asas praduga tak bersalah. Sementara delik pencemaran nama baik maupun penghinaan tidak diatur dalam UU Pers. Kalangan pers sendiri beranggapan bahwa UU Pers merupakan aturan khusus (lex specialis) karena memang diperuntukkan hanya mengatur dan menyelesaikan permasalahan yang timbul akibat peran dan fungsi pers menjalankan kegiatan jurnalistik. (Panjaitan, 2004:6). Namun hal tersebut berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh ahli hukum Nono Anwar Makarim (Kompas, 6 Februari 2004, hal. 9) dalam Lesmana (2005:194) bahwa UU Pers belum bisa diberlakukan sebagai lex specialis karena undang-undang tersebut tidak memenuhi syarat formal maupun material tentang doktrin hukum khusus. Kecuali itu, masih begitu banyak delik pers yang belum diatur dalam UU Pers tersebut. Jadi hakim mencari peraturan perundang-undangan di luar UU Pers, khususnya KUHP. Kontroversi mengenai UU Pers itu lex specialis atau belum sehingga pasal KUHP masih memungkinkan digunakan dalam menyelesaikan sejumlah sengketa pers di Indonesia menarik untuk dikaji. Sehingga penelitian ini berfokus pada tinjauan penggunaan Hak Jawab dan Hak Koreksi di era kebebasan pers sebagai implementasi Pasal 5 UU Pers serta penyelesaian kasus pencemaran nama baik dan penghinaan sesuai pasal-pasal KUHP terhadap upaya penyelesaian sengketa pers di Indonesia. B. Rumusan Masalah Berdasar deskripsi latar belakang masalah di atas, penulis merumuskan permasalahan pokok dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Bagaimana penggunaan Hak Jawab dan Hak Koreksi di era kebebasan
2
pers sebagai implementasi Pasal 5 UU Pers dalam penyelesaian sengketa pers di Indonesia? 2. Bagaimana penyelesaian kasus pencemaran nama baik dan penghinaan di era kebebasan pers sesuai pasal-pasal KUHP dalam penyelesaian sengketa pers di Indonesia ? 3. Bagaimana pengaruh penggunaan Hak Jawab dan Hak Koreksi serta pasal pencemaran nama baik dan penghinaan di era kebebasan pers terhadap upaya penyelesaian sengketa pers di Indonesia? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui penggunaan Hak Jawab dan Hak Koreksi di era kebebasan pers sebagai implementasi Pasal 5 UU Pers dalam penyelesaian sengketa pers di Indonesia. 2. Untuk mengetahui penyelesaian kasus pencemaran nama baik dan penghinaan di era kebebasan pers sesuai pasal-pasal KUHP dalam penyelesaian sengketa pers di Indonesia. 3. Untuk mengetahui pengaruh Hak Jawab dan Hak Koreksi serta pasal pencemaran nama baik dan penghinaan di era kebebasan pers terhadap penyelesaian sengketa pers di Indonesia TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Konsep dan Teori 1. Komunikasi Massa dan Jurnalistik 2. Hukum dan Kebebasan Pers Indonesia 3. Hukum Pidana dan Peraturan Tentang Pers 4. Enam Dasar Pertimbangan Lahirnya UU Pers 5. UU Pers dan KEJ Saling Melengkapi 6. Ombudsman dan Penggunaan Hak Jawab, Hak Koreksi serta Kejujuran Melakukan Kewajiban Koreksi
B. Teori Pendukung 1. Teori–teori Pers dalam Komunikasi Massa 2. Analisis Isi (Content Analysis) BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kota Makassar, Ibukota Provinsi Sulawesi Selatan serta DKI Jakarta dengan jangka waktu tiga bulan yakni Juni hingga September 2010. B. Tipe Penelitian Berdasarkan tujuan tersebut, maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma penelitian kualitatif. C. Informan Peneliti Keseluruhan informan dalam penelitian ini berjumlah tujuh (7) orang terdiri dari informan kunci (internal) yakni dari Dewan Pers, Ombudsman serta ahli hukum pidana. Informan pelengkap (eksternal) terdiri dari Jupriadi Asmaradhana, AJI, dan kepolisian serta informan ahli yaitu pakar etika komunikasi dari perguruan tinggi. HASIL PENELITIAN 1.
Pemanfaatan Hak Jawab dan Hak Koreksi dalam Penyelesaian Sengketa Pers Akibat Pemberitaan
UU Pers memberikan jalan terbaik untuk menyelesaikan permasalahan akibat pemberitaan pers dengan jaminan penggunaan pemenuhan Hak Jawab. Penggunaan Hak Jawab telah diangkat menjadi ketentuan norma hukum positif dari sekedar bagian dari etika di dalam UU Pers, khususnya Pasal 5 ayat (2). Karena itu, esensi utama dan puncak muara hukum pers untuk menyelesaikan permasalahan akibat pemberitaan pers adalah pelayanan dan pemenuhan atas Hak Jawab secara proporsional dan profesional. Bahkan 3
jika perusahaan pers yang tidak mau melayani Hak Jawab, sesuai ketentuan Pasal 18 ayat (2) UU Pers, akan dikenakan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (Lima ratus juta rupiah). Dengan menggunakan penafsiran hukum a contrario sebagaimana dikenal dan diajarkan dalam ajaran Hukum Pidana, maka orang atau sekelompok orang yang tidak menggunakan Hak Jawabnya atas sebuah pemberitaan yang diduga merugikan nama baiknya berarti tidak menimbulkan permasalahan. 2.
Sedang Pasal 310 ayat (2) berbunyi: (2) Kalau hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukkan pada umum atau ditempelkan, maka yang berbuat itu dihukum karena menista dengan tulisan dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyakbanyaknya Rp 4.500,Alur menurut hukum yang biasanya ditempuh oleh pihak yang merasa dirugikan pemberitaan pers adalah melalui hukum pidana.Dalam hal ini ketentuan formal yang dijadikan sebagai landasan formal (hukum acara) adalah KUHAP sedangkan hukum materiilnya adalah KUHP.
Mekanisme Penyelesaian Kasus Pencemaran Nama Baik dan Penghinaan Menurut KUHP
Menggiring wartawan dalam proses hukum pidana dengan tuduhan yang sering dialamatkan kepada wartawan yaitu delik pencemaran nama baik atau delik penghinaan ringan, terus terjadi dalam sejarah lintasan pers di Indonesia. Bahkan pasca era reformasi yang ditandai dengan berlakunya UU Pers, masih terdapat sederet kasus pekerja media dimejahijaukan dengan tuduhan pencemaran nama baik maupun penghinaan. Seperti yang terjadi pada mantan Pemimpin Redaksi Harian Rakyat Merdeka, Karim Paputungan. Pada tanggal 9 September 2003 dijatuhkan hukuman penjara lima bulan dengan masa percobaan 10 bulan. Karim dinyatakan terbukti bersalah melanggar Pasal 310 ayat (2) KUHP. Ayat (2) Pasal 310 KUHP tidak bisa dipisahkan dari ayat (1) Pasal yang sama dengan bunyi : (1) Barangsiapa sengaja merusak kehormatan atau nama baik seseorang dengan jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud yang nyata akan tersiarnya tuduhan itu, dihukum karena menista, dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyakbanyaknya Rp 4.500,-
3.
Perdebatan UU Pers sebagai Lex Specialis serta Pengaruhnya Terhadap Penggunaan Hak Jawab dan Pasal Pencemaran Nama Baik
Penyelesaian masalah akibat pemberitaan pers masih diperdebatkan karena ada pendapat yang mengatakan bahwa mekanisme Hak Jawab dan Hak Koreksi menurut UU Pers tidak mengikat. Mekanisme itu hanya mengikat pihak pers sesuai ketentuan Pasal 5 ayat (2) dan (3) yang mewajibkan pers melayani Hak Jawab dan Hak Koreksi. Sedangkan pihak di luar pers sama sekali tidak terikat untuk melaksanakannya. Sebab yang namanya “hak”, maka tergantung yang bersangkutan apakah akan mempergunakan haknya atau tidak. Demikian juga beberapa pertimbangan hukum majelis hakim mengatakan, bahwa pelaksanaan Hak Jawab dan Hak Koreksi tidak menyebabkan hilangnya gugatan perdata dan tuntutan pidana. Sehingga tidak bisa dipaksakan supaya anggota masyarakat lebih dulu 4
menempuh mekanisme Hak Jawab dan Hak Koreksi sebelum menempuh proses hukum apabila terjadi kekeliruan dan kesalahan dalam pemberitaan pers. Masalah lainnya mengenai keberadaan UU Pers sendiri yang masih menuai perdebatan apakah UU Pers ini sudah termasuk kategori lex specialis atau belum. Sebenarnya apa arti lex specialis ? Guru Besar Tetap Ilmu Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia (UMI), Hambali Thalib memaparkan arti lex specialis adalah sebuah aturan khusus yang diperlakukan khusus berdasarkan aturan khusus dan berdasarkan sumber daya khusus. Sumber daya yang dimaksud di sini yakni jaksa, hakim, penyidik dan sebagainya. Dalam Kamus Hukum disebutkan lex specialis berarti hukum atau peraturan yang istimewa (the special law). Sedang lex specialis derogat generalis artinya hukum atau peraturan yang tidak patuh atau tunduk terhadap hukum atau peraturan yang berlaku. Makna lainnya yakni suatu peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus mengesampingkan ketentuan perundang-undangan yang bersifat umum. (Jimmy, 2009: 410). Berdasarkan perdebatan yang prokontra mengenai UU Pers ini disebut lex specialis, maka tidak mengherankan apabila pada sejumlah kasus sengketa pers, aparat penegak hukum juga mempedomani pasal-pasal pencemaran nama baik dan penghinaan yang tercantum dalam KUHP untuk menjerat para pekerja media akibat pemberitaannya. Hal itu karena di dalam UU Pers sendiri tidak mencantumkan pasal yang terkait delik pers pencemaran nama baik maupun penghinaan. UU Pers hanya mengatur tiga delik pers, yaitu pelanggaran norma agama, norma susila dan asas praduga tak bersalah sesuai Pasal 5 ayat (1) sehingga hakim mencari peraturan perundang-undangan di luar UU Pers khususnya KUHP.
B. Analisis dan Pembahasan 1. Hak Jawab dan Kebebasan Pers di Indonesia Penerapan UU Pers yang dilandasi semangat melindungi kemerdekaan pers ditunjukkan dengan langsung meledaknya jumlah wartawan dan organisasi kewartawanan di Indonesia. Sejak UU Pers diundangkan, jumlah wartawan di seluruh Indonesia yang tadinya hanya sekitar 7 (tujuh) ribu orang langsung melonjak menjadi sekitar 30 ribu pada tiga tahun berikutnya. Sedangkan organisasi kewartawanan dari yang hanya satu langsung melompat menjadi sekitar 60 buah. (Sukardi, 2007: 40). Kenyataan menunjukkan penerapan kebebasan pers di Indonesia cenderung tidak dibarengi dengan peningkatan kinerja pers dan profesionalisme wartawan. Ide sistem pers liberal mengingikan individu bebas menyebarluaskan apa saja yang dia inginkan. Teori pers bebas atau libertarian memang paling banyak memberikan landasan kebebasan yang tak terbatas kepada pers. Dalam pers libertarian, para pemilik dan para operator perslah yang terutama menentukan fakta-fakta apa saja yang boleh disiarkan kepada publik dan dalam versi apa. Di sini, pers berperan sebagai penjaga (watchdog) yang menggonggong jika melihat ada kesalahan yang merugikan orang lain. Jika dilihat dari sejumlah kasus di atas, kasus pencemaran nama baik maupun yang mengarah kepada fitnah ternyata tidak berhasil diselesaikan hanya dengan melalui mekanisme Hak Jawab dan Hak Koreksi. Akibatnya, korban yang merasa dicemarkan nama baiknya tidak segan-segan melaporkannya ke polisi hingga berakhir di pengadilan. Mengapa penggunaan Hak Jawab dan Hak Koreksi belum maksimal menyelesaikan kasus sengketa pers akibat pemberitaan ? Mengenai hal itu,
5
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Makassar, Mardiana Rusli menilai masih minimnya kesadaran masyarakat akan penggunaan Hak Jawab dan Hak Koreksi tersebut. 2. Penyelesaian Kasus Pencemaran Nama Baik dan Penghinaan menurut KUHP sebagai Konsekuensi Kebebasan Pers di Indonesia McQuail (2005: 115) menyatakan gagasan tentang teori pers bebas atau libertarian theory adalah kecaman terhadap pemerintah, pejabat, atau partai politik (yang berbeda dari kecaman terhadap orang-orang secara pribadi atau pengkhianatan dan gangguan keamanan) seyogyanya tidak dapat dipidana bahkan setelah terjadinya peristiwa itu. Dalam teori pers libertarian ini pula terkesan bahwa pers sebagai pilar kekuasaan keempat berada pada posisi tertinggi. Pers menjadi watchdog dari kekuasaan eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Kecuali itu, pers juga mengawasi roda kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menandaskan bahwa “Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum” sesuai bunyi Pasal 2. Dengan klausal ini, terlihat bahwa pers memposisikan dirinya sebagai pelaksana kedaulatan rakyat atau “kepanjangan tangan rakyat”. Karena negara ini milik rakyat, maka pers perlu diberikan kebebasan seluasnya untuk melaksanakan amanat rakyat tadi. Namun dimana-mana diakui bahwa kebebasan pers tidak absolut sifatnya. Kebebasan pers harus diimbangi dengan pertanggungjawaban sosial. Kebebasan pers tidak layak mendapat jaminan hukum, manakala
pelaksanaannya menyimpang dari prinsip-prinsip yang berlaku. Kebebasan pers di Indonesia sejak berlakunya UU Pers tidak diiringi kualifikasi kompetensi wartawan. Padahal dalam UU Pers Pasal 7 ayat (2) tercantum agar wartawan memiliki dan menaanti Kode Etik Jurnalistik. Kompetensi wartawan pun mengingatkan agar wartawan perlu meningkatkan kesadaran hukum. Wartawan wajib menyerap dan memahami UU Pers, menjaga kehormatan dan melindungi hak-haknya. Wartawan perlu tahu hal-hal mengenai penghinaan, privasi, ketentuan dengan sumber seperti off the record dan confidential sources. Kompetensi hukum menuntut penghargaan pada hukum, batas-batas hukum, dan memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan yang tepat dan berani demi memenuhi kepentingan publik dan menjaga demokrasi. Seringkali jurus sensor yang dikenakan untuk menjerat pers adalah melalui Pasal 1372 KUHPerd. Setelah itu pers juga dikenakan Pasal 310 KUHP tentang penghinaan serta pasal-pasal sejenisnya. Padahal, penghinaan dalam Pasal 310 harus memenuhi beberapa syarat : (a) menyerang kehormatan dan nama baik dengan sengaja; (b) menuduh sesuatu hal tertentu; (c) dengan tujuan jelas untuk mengumumkan; dan (d) tiada pencemaran nama bila dilakukan demi kepentingan umum atau terpaksa membela diri. Pasal-pasal lain yang bisa dikenakan kepada pers adalah pasal tentang penghinaan terhadap pemerintah (Pasal 134, 136, 207, 208 KUHP), pasalpasal tentang kebencian (Pasal 154 dan seterusnya KUHP) dan pasal-pasal tentang penghasutan untuk “civil disobedience” atau “pembangkangan sipil/damai (Pasal 160-161 KUHP). Dalam hal ini ketentuan formal yang dijadikan sebagai landasan formal (hukum acara) adalah KUHAP 6
sedangkan hukum materiilnya adalah KUHP. Mantan Jaksa Agung RI, Benjamin Mangkoedilaga (2005:8) memaparkan kalangan pers memiliki UU Pers. Namun UU tersebut hanya memuat tiga hal yang bisa dituduhkan kepada pers yaitu (a) jika pers melanggar norma; (b) melanggar norma susila; atau (c) melanggar prinsip praduga tak bersalah. Bagaimana terhadap kesalahan selain tiga hal tersebut ? UU Pers sama sekali tidak mengatur delik tentang penghinaan, pencemaran nama baik atau kabar bohong. Kalau sebuah berita memenuhi unsur pelanggaran hukum, maka ia dapat dikenai pidana jika terkait publik, dan perdata jika menyangkut privat. Proses pidana terjadi jika pers terbukti telah melakukan journalistic works dengan ketentuan : (a) beritanya bukan untuk kepentingan umum; (b) tak ada cek dan ricek/tak ada wawancara (unsur kebohongan); atau (c) mencemarkan nama baik. Sanksi ini adalah merupakan bagian dari pengawasan terhadap pers. (ibid : 9). PENUTUP A. Simpulan 1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak maksimalnya penggunaan Hak Jawab dan Hak Koreksi oleh masyarakat karena : (1) Kurangnya kesadaran masyarakat akan penggunaan Hak Jawab dan Hak Koreksi, (2) Kolom/space yang terbatas dan tidak proporsional pada Hak Jawab dan Hak Koreksi sehingga tidak mengakomodir klarifikasi yang memuaskan korban, (3) Kepentingan perusahaan media dengan pemasang iklan, (4) Di dalam UU Pers tidak ada pasal yang menyebutkan putusan Dewan Pers atas mekanisme Hak Jawab dan Hak Koreksi bersifat final dan
mengikat sehingga terbuka upaya hukum lain untuk mengajukan gugatan ke pengadilan. 2.
Penyelesaian kasus pencemaran nama baik dan penghinaan dengan menerapkan pasal-pasal KUHP untuk penyelesaian sengketa pers akibat pemberitaan saat ini masih diberlakukan di Indonesia. Hal itu karena di dalam UU Pers sendiri hanya memuat tiga delik pers (Pasal 5 ayat 1) terkait norma agama, norma kesusilaan dan asas praduga tak bersalah. Sementara mengenai delik pencemaran nama, kabar bohong maupun mengarah ke fitnah tidak tercantum dalam UU Pers sehingga hakim dalam memutuskan perkara pers mencari peraturan perundang-undangan lainnya yakni menggunakan KUHP karena didalamnya tercantum puluhan pasal delik pers. Hasil penelitian menunjukkan batasan hukum tetap diberlakukan kepada wartawan dalam melakukan kegiatan jurnalistik karena profesi wartawan bukan profesi yang kebal hukum. Begitu halnya dengan pasal-pasal haatzaai-artikelen masih layak dikenakan kepada wartawan yang melakukan kesalahan akibat pemberitaan karena masyarakat berhak mengawasi pers dan menjatuhkan sanksi kepada pers apabila kebebasannya disalahgunakan. Namun demikian, pasal-pasal haatzaai-artikelen ini berkenan direvisi dengan cara direduksi atau penghalusan bahasa sesuai kondisi di Indonesia.
3. Penerapan kebebasan pers di Indonesia ikut mempengaruhi jalur hukum dalam upaya penyelesaian sengketa pers di Indonesia. Penggunaan Hak Jawab dan Hak Koreksi serta penyelesaian kasus pencemaran nama baik dan
7
penghinaan dengan menggunakan KUHP memunculkan dualisme hukum di Indonesia. Salah satu faktor karena keberadaan UU Pers yang masih kontroversi apakah sudah lex specialis atau belum sehingga undang-undang ini tidak maksimal digunakan untuk penyelesaian kasus sengketa pers akibat pemberitaan. DAFTAR PUSTAKA Armada Sukardi, Wina. 2007. Keutamaan di Balik Kontroversi Undang-Undang Pers. Jakarta : Dewan Pers Pandjaitan, Hinca IP. 2004.Gunakan Hak Jawab, Hak Koreksi dan Kewajiban Koreksi Anda, Ombudsman
Memfasilitasinya. Surabaya: Jawa Pos Press. Lesmana, Tjipta.2005. Pencemaran Nama Baik dan Kebebasan Pers : antara Indonesia dan Amerika. Jakarta: Penerbit Erwin-Rika Press. Marwan, M. P, Jimmy.2009. Kamus Hukum.Surabaya: Reality Publisher McQuail, Denis.2005.Teori Komunikasi Massa: Suatu Pengantar. Jakarta: Penerbit Erlangga Pers, Dewan.2005.Kebebasan Pers dan Pasal-Pasal Penghinaan. Jakarta: Sekretaris Dewan Pers
8