Analisis Pengaruh Consumer Brand Identification Terhadap Loyalitas dan Advokasi Merek Studi Kasus Konsumen Hypermarket di Jakarta Bogor Depok Tangerang dan Bekasi
Dian Juliana Pangihutan Oppusunggu Adrian Achyar
PROGRAM STUDI S1 REGULER MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis variabel pendahulu yang mempengaruhi identifikasi merek oleh konsumen dan menganalisis dampak dari identifikasi merek oleh konsumen tersebut terhadap loyalitas dan advokasi merek. Penelitian ini membuktikan bahwa dari lima variabel yang mempengaruhi identifikasi merek oleh konsumen terdapat empat variabel yang mempengaruhinya yaitu perbedaan merek, prestise merek, manfaat sosial yang diperoleh dari merek dan pengalaman yang mengesankan dengan merek. Penelitian juga membuktikan bahwa kemiripan atribut diri konsumen dengan merek tidak mempengaruhi identifikasi merek oleh konsumen. Terakhir, identifikasi merek oleh konsumen terbukti mempengaruhi loyalitas konsumen terhadap merek dan advokasi konsumen terhadap merek. Kata Kunci : identifikasi merek oleh konsumen; hypermarket.
Abstract This study aims to analyze the antecedent variables and its impact on consumer brand identification and to analyze the impact of consumer brand identification toward brand loyalty and brand advocacy. The result of this study show only four variables that have contributions toward consumer brand identification. These are brand distinctiveness, brand prestige, brand social benefit, memorable brand experiences. However, brand self similarity has no contributions toward consumer brand identification. In addition, results showed that consumer brand identification had a great contribution to brand loyalty and brand advocacy. Key words : consumer brand identification; hypermarket.
Analisis pengaruh …, Dian Oppusunggu, FE UI, 2013
1. Pendahuluan Di Indonesia, kejayaan ritel didukung oleh PDB nominal yang telah melebihi US$ 800 milyar pada tahun 2011 dan pertumbuhan PDB per kapita yang diestimasi akan tumbuh sekitar 53,3% antara tahun 2013 dan 2017. Hal ini membuat Indonesia menjadi pasar yang sangat menguntungkan untuk melakukan bisnis (Business Monitor Indonesia, 2013) Business Monitor International (selanjutnya akan disebut dengan BMI) dalam laporannya untuk kuarter pertama di tahun 2013 ini memaparkan bahwa minimarket mengalami peningkatan sebesar 63% yaitu sebanyak 16.720 toko di tahun 2011 dari awalnya berjumlah 10.289 toko di tahun 2008. Hal ini terjadi karena masyarakat dengan berpenghasilan menengah ke atas lebih memilih berbelanja di minimarket. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana dengan hypermarket di Indonesia? BMI melaporkan di Retail Report Kuarter 1 – 2012 bahwa toko yang dimiliki hypermarket relatif lebih sedikit dibandingkan dengan toko yang dimiliki minimarket dan supermarket. Apabila dilihat dari estimasi perkembangan jumlah toko yang dilaporkan BMI, hypermarket mengalami peningkatan dari tahun ke tahun yaitu sejumlah 808 toko di 2008 meningkat ke 990 toko di 2011. Hypermarket memiliki total penjualan yang lebih besar dibandingkan dengan minimarket dan supermarket. Dalam penelitian ini, peneliti akan mengangkat hypermarket sebagai kategori produk yang akan akan diuji dan melihat bagaimana konsumen mengidentifikasikan dirinya dengan hypermarket yang sering dikunjunginya. Alasan peneliti memilih topik consumer brand identification ini adalah agar perusahaan berusaha membuat konsumen loyal dan membela merek melalui consumer brand identification. Penelitian ini relevan diterapkan di Indonesia karena Indonesia merupakan salah satu negara emerging market ditunjukkan oleh peningkatan consumer confidence index dari tahun 2002 sampai 2011. Dengan consumer confidence index yang lebih tinggi, konsumen diharapkan akan melakukan meningkatkan konsumsi dan melakukan pembelian ulang terhadap merek tertentu. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana pengaruh kemiripan karakteristik merek dengan diri konsumen, pengaruh perbedaan merek, pengaruh kemewahan merek; pengaruh manfaat sosial yang didapatkan konsumen dari penggunaan merek; dan pengaruh pengalaman yang berkesan yang dialami konsumen dengan merek terhadap pembentukan keinginan konsumen untuk diidentifikasikan dengan hypermarket pilihannya.
Analisis pengaruh …, Dian Oppusunggu, FE UI, 2013
2. Tinjauan Teoritis a. Consumer Brand Identification Consumer brand identification didefinisikan sebagai hal-hal yang dipersepsikan konsumen terhadap merek tertentu yang dapat mengekspresikan potensi dari pencarian arti identitas konsumen. Lam et al. (2010) memiliki pendekatan yang berbeda dengan mendefenisikan identifikasi merek oleh konsumen sebagai pernyataan psikologis konsumen untuk mempersepsikan, merasakan dan menilai suatu kepemilikannya dengan merek. Dengan demikian, penelitian ini melihat identifikasi merek oleh konsumen sebagai konstruk formatif pada tiga dimensi. Pertama yaitu konstruk kognitif yaitu gagasan yang sama dengan pengetahuan identifikasi organisasi dalam pekerjaan yang digagas oleh Bergami dan Bagozzi (2000). Kedua yaitu konsekuensi emosional dari penggunaan merek. Ketiga adalah evaluasi konsumen yaitu apakah konsumen berpikir bahwa kesatuan psikologis dengan merek yang bernilai baginya secara individu dan sosial. b. Brand – self Similarity Untuk keperluan perbaikan diri dan mengelola kesan yang dihasilkan, seseorang membutuhkan pengetahuan termasuk pembuktian diri. Secara umum, seseorang mencari dan menginterpretasikan situasi dan mengadopsi strategi perilaku yang konsisten dengan keberadaan konsep dirinya. Mereka akan menghindari situasi dan perilaku yang menghasilkan informasi yang berlawanan dengan konsep dirinya. Seseorang akan berusaha untuk melindungi konsep diri dengan memunculkan timbal balik dari pembuktian diri. Ada dua strategi utama yang digunakan untuk mencapai verifikasi diri: (a) lebih banyak melihat bukti konfirmasi diri daripada keberadaan yang sebenarnya dan (b) berupaya untuk mempengaruhi reaksi orang lain dengan mengembangkan pembuktian diri dalam lingkungan sosial dengan menunjukkan identitas tertentu seperti mengendarai merek tertentu dari kendaraan bermesin (Schlenker, 1980; Swann, 1990).
c. Brand Distinctiveness Kebutuhan konsumen untuk unik dapat merefleksikan perbedaan individu dalam counterconformity motivation yaitu motivasi untuk membedakan diri melalui barang-barang konsumen (consumer goods) dan dengan menunjukkan barang tersebut yang melibatkan kesukarelaan untuk dibedakan terhadap orang lain sebagai tujuan akhirnya. Kebutuhan konsumen untuk unik lebih spesifik sebagai sifat keinginan individual (seperti keinginan
Analisis pengaruh …, Dian Oppusunggu, FE UI, 2013
untuk berdiri sendiri sebagai orang berbeda dengan orang lain) yang mungkin didorong oleh berbagai motivasi (Nail, 1986). d. Brand Prestige Seseorang dipengaruhi oleh kebutuhan untuk menjaga dan memperbaiki kehormatan diri (Greenwald, Bellezza dan Banaji, 1988). Seseorang ingin sifat positif semakin dikarakteristikkan dengan dirinya dan informasi positif mengenai dirinya semakin diingat (Kuiper dan Derry, 1982). Penelitian atribusi menunjukkan bahwa orang lebih suka dikarakteristikkan dengan hasil positif untuk aspek-aspek yang berkaitan dengan dirinya dan hasil negatif untuk ukuran yang tidak berkaitan dengan dirinya (Miller dan Ross, 1975). Aspek penting lain dalam perbaikan diri (self-enhancement) melibatkan interaksi sosial. Seseorang mengatur ekspresi dirinya dalam berbagai situasi untuk memaksimalkan timbal balik yang positif (Schlenker, 1980). e. Brand Social Benefit Citra brand (brand image) yang positif diciptakan melalui membangun merek yang kuat, menyenangkan dan asosiasi yang unik terhadap merek di dalam ingatan (Keller, 1993) melibatkan pikiran pengguna merek (user imagery) dan manfaat psikologis (Aaker, 1991). Pikiran pengguna terdiri dari asosiasi mengenai pengguna merek termasuk asosiasi demografi dan asosiasi psikografi. Kegunaan reference group pengguna merek adalah sumber penting dari asosiasi merek dan pikiran pengguna. Manfaat psikologis termasuk mendapat penerimaan sosial, ekspresi personal dan penghargaan diri yang langsung dapat juga diasosiasikan dengan pikiran pengguna (Keller, 1993). Konsumen menilai manfaat psikologis merek karena manfaat ini dapat membantu konsumen membantu identitas diri mereka dan atau mempresentasikan dirinya kepada orang lain. f. Memorable Brand Experience Escalas (2004) menjelaskan bahwa narasi membantu konsumen menginterpretasikan lingkungan sekitarnya untuk menciptakan makna termasuk makna untuk merek. Struktur narasi menyediakan kerangka untuk dugaan sebab akibat mengenai makna merek dan makna dari pengalaman konsumen dengan merek. Sebagai contoh, jika merek tidak berfungsi dengan baik maka maknanya untuk konsumen bergantung pada cerita yang diciptakan konsumen sebagai sebuah penjelasan. Jika konsumen menyesuaikan episode kedalam cerita yang ada di memori mengenai perusahaan yang menggunakan komponen kualitas rendah dan
Analisis pengaruh …, Dian Oppusunggu, FE UI, 2013
memiliki perakitan dengan pekerja yang kurang terlatih dan kemudian memproduksi produk yang buruk, maka konsumen tidak akan pernah membeli brand itu lagi. Di sisi lain, jika konsumen menciptakan cerita dengan perusahaan yang fokus kepada kualitas tidak dapat mengawasi setiap orang atau komponen dalam proses produksinya dan kemudian produk buruk yang diterima konsumen bergantung pada ketidakmampuan mengawasi semua komponen, kemudian makna kinerja buruk saat ini jelas berbeda. g. Brand Loyalty Menurut Aaker (1991) yang dikutip dalam jurnal yang ditulis oleh Sancharan Roy (2011), loyalitas merek merefleksikan seberapa mungkin konsumen untuk mengganti merek yang dimilikinya ke merek lain, khususnya ketika merek membuat sebuah perubahan, baik dalam hal harga atau fitur produk. Sementara itu Oliver (1999) memaparkan pendapatnya yaitu bahwa loyalitas merek dan pelanggan adalah keseluruhan keterikatan pembeli atau komitmen yang mendalam terhadap sebuah produk, jasa, merek atau organisasi. Konsep loyalitas ini mirip dengan komitmen hubungan yang dideskipsikan oleh literatur pemasaran relasional sebagai keinginan untuk bertahan lama dalam hubungan yang bernilai (Morgan dan Hunt, 1994). h. Brand Advocacy Salah satu konsekuensi utama dari identifikasi adalah promosi terhadap perusahaan atau organisasi oleh seseorang yang mengidentifikasikan dirinya. Promosi atau pembelaan tersebut bisa terjadi secara sosial dan fisik. Secara sosial, advokasi termasuk rekomendasi perusahaan (dan penawarannya) kepada orang lain atau pembelaan perusahaan ketika diserang pihak lain. Secara fisik, advokasi termasuk pembelian dan penggunaan merchandise perusahaan yang menunjukan logo atau nama perusahaan, mengkoleksi orabilia, pakaian atau bahkan membuat tattoo (Katz, 1994). Dalam penelitian yang dilakukan Mael dan Ashforth (1992) ditemukan bahwa ada hubungan positif antara alumni dengan almamaternya baik secara sosial dan fisik. Senada dengan hal tersebut, Park et al. (2010) menyebutkan bahwa ada pengaruh yang kuat dari brand attachment terhadap perilaku yang mempromosikan merek.
Analisis pengaruh …, Dian Oppusunggu, FE UI, 2013
3. Metode Penelitian Subjek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsumen dari tiga hypermarket yaitu Carrefour, Giant dan Hypermart sejumlah 195 orang. Batasan usia responden adalah 18 – 50 tahun. Pemilihan target berdasarkan batasan usia ini karena menurut data Roy Morgan tahun 2011 untuk daerah urban menyebutkan bahwa usia 18 – 50 tahun adalah usia yang paling banyak berkunjung ke hypermarket. Kemudian, responden ini berdomisili di daerah Jakarta, Bogor, Depok dan Tangerang. Alasan pemilihan Jabodetabek sebagai sampel penelitian didasarkan pada Datacon (Juni 2011) yang memaparkan bahwa pada tahun 2010 daerah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek) memiliki ritel modern terbesar di Indonesia yaitu 6.916 toko atau sekitar 38,1%. Penelitian ini menggunakan desain penelitian konklusif yaitu untuk menguji hipotesis dan hubungan-hubungan. Jenis penelitian konklusif yang digunakan adalah penelitian deskriptif yaitu penelitian yang menguraikan karakteristik atau fungsi pasar (Malhotra, 2010). Penelitian ini akan dilakukan satu kali dalam satu periode (cross-sectional design). Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan survey. Pendekatan yang digunakan oleh peneliti adalah teknik non probability sampling yaitu teknik pengambilan sampel tanpa mengikuti prosedur pemilihan melainkan berdasarkan penilaian peneliti (Malhotra, 2010). Dalam pengumpulan data primer, responden diminta untuk melakukan pengisian kuesioner (self administered survey). Untuk kuesioner yang disebarkan secara manual, peneliti akan menunggu dan mengawasi responden selama pengisian kuesioner. Hal ini dilakukan untuk menghindari data yang tidak valid dan membantu responden apabila ada kesulitan dalam mengisi kuesioner. Untuk kuesioner dengan online survey, kuesioner akan dikirimkan melalui jejaring sosial dengan menggunakan Google spreadsheet. Adapun hipotesis yang diangkat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: H1: Semakin besar kemiripan merek dengan seseorang (brand-self similarity) maka semakin semakin besar keinginan konsumen disamakan dengan merek tersebut. H2: Semakin konsumen mempersepsikan sebuah merek berbeda, maka konsumen semakin ingin diidentifikasikan dengan merek tersebut.
Analisis pengaruh …, Dian Oppusunggu, FE UI, 2013
H3: Semakin konsumen mempersepsikan sebuah merek itu mewah, maka konsumen smakin ingin diidentifikasikan dengan merek tersebut. H4: Semakin banyak manfaat sosial yang dipersepsikan konsumen dalam sebuah merek maka konsumen semakin ingin diidentifikasikan dengan merek tersebut. H5: Semakin banyak pengalaman berkesan dengan merek maka konsumen semakin ingin diidentifikasikan dengan merek tersebut. H6: Ketika konsumen semakin diidentifikasikan dengan sebuah merek, maka konsumen semakin loyal terhadap merek tersebut. H7: Semakin konsumen diidentifikasikan dengan sebuah merek, maka konsumen semakin teradvokasi dengan merek tersebut. Peneliti menggunakan Structural Equation Modelling (SEM) yaitu bagian dari keluarga model statistik yang menjelaskan hubungan diantara variabel laten. Dengan demikian, SEM menguji struktur interaksi yang ditunjukkan dalam berbagai persamaan. Persamaan ini menggambarkan keseluruhan hubungan diantara konstruk (variabel dependen dan variabel independen) yang terlibat dalam analisis. Untuk menganalisis reliabilitas dan validitas pada tahap pretest, peneliti menggunakan Factor Analysis dengan melihat nilai KMO-MSA, Barlett’s Test of Spherecity, anti image correlation matrix dan menggunakan Cronbach’s Alpha dengan bantuan SPSS 17. Kemudian, untuk tahap uji utama dengan seluruh sampel yang dibutuhkan telah terkumpul peneliti menggunakan confirmatory factor analysis untuk mengukur validitas konstruk yang ada di dalam teori pengukuran. Analisis goodness of fit model pengukuran dilakukan dengan memeriksa nilai Chi – Square dan nilai P, RMSEA, NFI, NNFI, GFI, AGFI, CFI, IFI dan RFI. Sementara itu, untuk model struktural peneliti mengevaluasi t-value pada measurement equation dari setiap variabel teramati pada model lebih besar atau sama dengan 1,96 karena peneliti menggunakan tingkat signifikansi 5% dan standardized factor loading juga harus diatas 0,5 poin (Steenkamp dan Geyskens, 2006).
Analisis pengaruh …, Dian Oppusunggu, FE UI, 2013
4. Hasil Penelitian 4.1 Hasil Pretest Berdasarkan hasil pretest, nilai KM0-MSA untuk variabel brand-self similarity adalah (0,356), brand distinctiveness (0,549), brand prestige (0,638), brand social benefit (0,721), memorable brand experiences (0,703), consumer brand identification (0,791), brand loyalty (0,543), brand advocacy (0,716). Dari hasil tersebut terlihat bahwa Nilai KMO-MSA dari variabel laten brand self similarity berada di bawah 0,5 karena itu peneliti melakukan pengujian ulang dengan menghapus indikator BSSA yang memiliki nilai anti image correlation matrix terrendah. Kemudian, nilai Bartlett’s test of Spherecity variabel brand self similarity memiliki nilai 0,002 sementara variabel brand distinctiveness, brand social benefit, brand social benefit, memorable brand experiences, consumer brand identification, brand loyalty, brand advocacy memiliki nilai 0,000 dan variabel laten brand prestige memiliki nilai 0,001. Sementara dari nilai anti image correlation matrix, semua nilai indikator memiliki nilai diatas 0,05. Karena itu, peneliti menyimpulkan secara keseluruhan bahwa diantara indikator dalam variabel teramati saling berkorelasi. Untuk nilai factor loading, seluruh variabel kecuali brand self similarity memiliki nilai diatas 0,05. Namun peneliti tetap mempertahankan brand self similarity namun peneliti mempertahankan pertanyaan tersebut dengan melihat ukuran lain yang masih mendukung indikator tersebut untuk dipertahankan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pertanyaan dalam kuesioner atau indikator penelitian dinyatakan valid. Untuk menguji reliabilitas indikator, peneliti menggunakan Cronbach’s Alpha. Berdasarkan hasil penelitian terbukti bahwa nilai Cronbach’s Alpha untuk variabel brand-self similarity (0,707), brand distinctiveness (0,686), brand prestige (0,710), brand social benefit (0.806), memorable brand experience (0,848), consumer brand identification (0,872), brand loyalty (0,699), brand advocacy (0,899). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keseluruhan indikator yang terdapat dalam kuesioner memiliki tingkat realibilitas yang baik. 4.2 Demografi Responden Total kuesioner beredar adalah 253 kuesioner namun kuesioner yang memenuhi kriteria sebanyak 201 kuesioner ini didapat dari 90 kuesioner online dan 113 kuesioner hardcopy. Sampel ini telah memenuhi syarat maximum likelihood dengan jumlah pertanyaan 39 maka sedikitnya dibutuhkan 195 kuesioner. Berikut adalah data demografi responden:
Analisis pengaruh …, Dian Oppusunggu, FE UI, 2013
Tabel 4.1 Demografi Responden Deskripsi
Frekuensi
Persentase
Jenis Kelamin Perempuan
54
26.87%
Laki-Laki
147
73.13%
Total Domisili Responden
201
100%
Jakarta
59
29,35%
Bogor
5
2,49%
Depok
108
53,73%
Tangerang
13
6,47%
Deskripsi
Frekuensi
Persentase
35-39
3
1.49%
40-49
1
0.50%
Total
201
100.00%
17
8,46%
56
27,86%
42
20,90%
44
21,89%
Pengeluaran Rata-Rata Responden
Bekasi
16
7,96%
< Rp. 700.000 Rp. 700.000 - Rp. 1.000.000 Rp. 1.000.000 - Rp. 1.500.000 Rp. 1.500.000 - Rp. 2.000.000 Rp. 2.000.000 - Rp. 3.000.000
20
9,95%
Lainnya
0
0,00%
> Rp. 3.000.000
22
10,95%
Total
201
100,00%
Total
201
100,00%
Rentang Usia
Merk Hypermarket
18-19
18
8.96%
Carrefour
66
32.84%
20-24
160
79.60%
Giant
63
31.34%
25-29
13
6.47%
30-34
6
2.99%
Hypermart Total
72 201
35.82% 100.00%
4.3 Analisis Model Pengukuran Dari hasil pengukuran Goodness of fit model pengukuran diketahui bahwa nilai RMSEA (0,053), NFI (0,81), NNFI (0,9), PNFI (0,7), CFI (0,91), IFI (0,91), RFI (0,78), AGFI (0,8), PGFI (0,68), ECVI (3,81), ECVI Saturated (4,65), ECVI Independence (16,47), Independence AIC (3294,44), Model AIC (761,35), Saturated AIC (930), Independence CAIC (3423,54), Model CAIC (1140,04), Saturated CAIC (2931,04). Berdasarkan keseluruhan analisis Goodness of Fit model pengukuran terhadap 8 variabel laten didapatkan tujuh ukuran menunjukkan kecocokan yang baik (good fit). Sehingga dapat disimpulkan bahwa kecocokan model pengukuran dapat diterima dengan tingkatan cukup baik. Variabel brand-self similarity memiliki Standardized loading Factors (SLF) berturutturut (0,42), (0,45), (0,48), (0,63), (0,51) dan (0,36). Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa muatan faktor variabel brand-self similarity kurang baik. Namun sebelumnya, peneliti telah mengeliminasi secara bertahap beberapa indikator dari variabel laten tersebut yaitu
Analisis pengaruh …, Dian Oppusunggu, FE UI, 2013
BSBB, BSBC, BSBD, BSBE, BSBF, BSBG, BSBN dan BSBO karena pertimbangan muatan faktor yang sangat rendah. Dilihat dari SLF yang dimiliki oleh indikator –indikator BD1 (0,76), BD2 (0,79), BD3 (0,64), BP1 (0,65), BP2 (0,82), BP3 (0,83), BSB1 (0,43), BSB2 (0,54), BSB3 (0,74), BSB4 (0,78), MBE1 (0,62), MBE2 (0,84), MBE3 (0,85), CBI1 (0,7), CBI2 (0,84), CBI3 (0,79), CBI4 (0,83), CBI5 (0,7), BL1 (0,74), BL2 (0,89), BL3 (0,83), BA1 (0,82), BA2 (0,86), BA3 (0,86) bahwa BSB1 memiliki nilai standard loading factors ≤ 0,05 namun peneliti tetap mempertahankan karena menurut Hair et al (1998) nilai residual lebih besar dari 2,58 dapat dianggap signifikan secara statistik pada tingkat 0,05 (Wijanto, p. 64). Hasil olahan peneliti nilai-t yang dimiliki indikator dari variabel brand-self similarity yaitu BSBH (5,15), BSBI (5,53), BSBJ (5,87), BSBK (7,77), BSBL (6,3), BSB M (4,31), BD1 (11,52), BD2 (12,11), BD3 (9,18), BP1 (9,63), BP2 (13,35), BP3 (13,57), BSB1 (5,71), BSB2 (7,37), BSB3 (10,78), BSB4 (11,53), MBE1 (9,12), MBE2 (13,77), MBE3 (14,05), CBI1 (11,06), CBI2 (14,36), CBI3 (12,96), CBI4 (14,02), CBI5 (10,89), BL1 (11,57), BL2 (15,16), BL3 (13,79), BA1 (13,74), BA2 (14,59), BA3 (14,73) berada diatas 1,96 sehingga disimpulkan bahwa seluruh indikator ini berhubungan signifikan secara statistik. Secara umum, nilai composite reliability adalah ≥ 0,70 disebut baik. Estimasi antara 0,6 dan 0,7 masih dapat diterima jika estimasi dari validitas model baik (Malhotra, 2010 p. 734 ). Hasil menyatakan bahwa variabel brand-self similarity memiliki nilai reliabilitas model yang kurang baik karena nilai construct reliability-nya masih dibawah 0,70 yaitu 0,64 namun hal ini bisa diterima sesuai dengan pendapat Malhotra (2010) diatas. Selanjutnya, nilai variance extracted disebut signifikan secara statistik adalah ≥ 0,5 dan idealnya adalah ≥ 0,7. Nilai faktor ≥ 0,7 menunjukkan bahwa konstruk mampu menjelaskan 50% atau lebih variasi dari variabel teramati. Namun terkadang, batas cutoff 0,6 juga digunakan (Malhotra, 2010 p.734). Nilai variance extracted masih dibawah 0,50 yaitu 0,23. Variabel laten lainnya yaitu brand distinctiveness, brand prestige, brand social benefit, memorable brand experience,
consumer brand identification, brand loyalty dan brand
advocacy memiliki nilai construct reliability dan nilai variance extracted yang baik. Dengan demikian, peneliti menyimpulkan indikator penelitian memiliki reliabilitas yang baik.
Analisis pengaruh …, Dian Oppusunggu, FE UI, 2013
4.4 Pengujian Model Struktural Berdasarkan keseluruhan analisis Goodness of Fit model struktural terhadap delapan variabel laten didapat ukuran dua goodness of fit menunjukkan kecocokan kurang baik (poor fit), tujuh ukuran menunjukkan kecocokan cukup baik (marginal fit) dan empat ukuran yang menunjukkan kecocokan baik (good fit). Sehingga dapat disimpulkan bahwa kecocokan model pengukuran dapat diterima dengan tingkatan cukup baik (marginal fit) dalam menjelaskan data yang sesungguhnya mengenai pola hubungan antara konstruk variabel penelitian. Dilihat dari nilai-t dari hasil pengukuran model struktural menunjukkan bahwa analisis path dari brand self similarity terhadap consumer brand identification (1,81), brand distinctiveness terhadap consumer brand identification (2,16), brand prestige terhadap consumer brand identification (2,37), brand self social benefit terhadap consumer brand identification (2,64), memorable brand experience terhadap consumer brand identification (4,47), consumer brand identification terhadap brand loyalty (6,88), consumer brand identification terhadap brand advocacy (7,27). Dari hasil tersebut terbukti bahwa variabel brand self similarity tidak signifikan mempengaruhi variabel consumer brand identification.
5. Pembahasan Berdasarkan data output Lisrel ditunjukkan bahwa hipotesis 1 memiliki nilai positif sebesar 1,81 yang berarti hipotesis ini tidak dapat diterima. Artinya konsumen hypermarket di daerah Jakarta Bogor Depok Tangerang danBekasi tidak melihat bahwa kemiripan watak/sifat mereka sama dengan watak/sifat merek dapat meningkatkan keinginan konsumen untuk disamakan dengan merek hypermarket yang dipilih konsumen. Menurut Yongjun Sung dan Spencer F. Tinkham (2005), personalitas merek dan personalitas manusia tidak sepenuhnya dapat dianalogikan. Sebagai contoh, sifat manusia tidak hanya komponen yang implisit akan tetapi komponen aktual juga yang berbeda dari karakteristik orang lain yang melihatnya. Begitu juga dengan merek, tidak memiliki karakteristik yang objektif yang bebas dari persepsi konsumen. Sifat manusia tercipta karena perilaku individu, karakteristik fisik, sikap, kepercayaan dan karakteristik demografi. Sementara itu personalitas merek diciptakan dan dibentuk oleh
Analisis pengaruh …, Dian Oppusunggu, FE UI, 2013
kontak secara langsung dan tidak langsung yang dialami konsumen dengan merek baik melalui kategori merek, kemasan, harga, dan hal lain yang tidak terkait dengan produk seperti budaya, citra CEO, simbol dan komunikasi pemasaran (Plummer, 1985; Shank & Langmeyer, 1994; Aaker, 1996). Dari penjelasan ini terlihat jelas bahwa ada perbedaan dalam pembentukan sifat merek dan sifat manusia. Akan tetapi Aaker (1997) berargumen bahwa sifat merek dapat diasosiasikan dengan sifat manusia melalui pembelajaran dan pengalaman yang akan menghasilkan ekspresi diri atau simbol yang menguntungkan konsumen (Sung dan Tinkham, 2005). Selanjutnya sifat yang digunakan untuk melihat persamaan karakteristik konsumen dengan karakteristik merek diadopsi dari dimensi personalitas “Big Five” milik Aaker (1997). Ternyata dimensi personalitas ini adalah gambaran konsumen Amerika mempersepsikan merek kategori produk dan jasa (Sung dan Tinkham, 2005). Karena itu peneliti melihat bahwa kemungkinan besar dimensi sifat ini tidak tepat diadopsi secara langsung untuk konsumen Indonesia. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa ketika konsumen melihat hypermarket pilihannya berbeda, memberikan kesan mewah, mampu memberikan manfaat sosial dan meninggalkan pengalaman berkesan bagi konsumen membuat konsumen semakin ingin diidentifikasikan dengan hypermarket pilihannya tersebut. Dari keempat pendahulu tersebut dapat memberikan gambaran bagi manajerial hypermarket untuk menekankan poin – poin penting ini agar konsumen ingin mengidentifikasikan dirinya dengan hypermarket tersebut. Hypermarket dapat menunjukkan dirinya berbeda melalui keunikan yang dimiliki dan yang terus dikembangkan melalui hal – hal yang mampu membedakannya dari kompetitornya seperti komunikasi pemasaran baik dari iklan yang dimunculkan hypermarket yang membuatnya terlihat unik atau melalui slogan yang menggambarkan perbedaan hypermarket, membuat konsep interaksi yang berbeda dengan konsumen dan memberikan kemampuan teknologi yang baru sehingga konsumen juga melihat hypermarket tersebut berbeda dari hypermarket yang lain. Dilihat dari variabel brand prestige, hypermarket juga dapat mengembangkan brand prestige melalui menunjukkan kepada konsumen bahwa hypermarket tersebut memiliki kualitas yang tinggi dan merupakan hypermarket terbaik dari keseluruhan hypermarket yang ada, memberikan kesan mewah kepada konsumen melalui citra positif yang dimiliki sehingga
Analisis pengaruh …, Dian Oppusunggu, FE UI, 2013
konsumen merasa dirinya mendapat citra positif dari menggunakan jasa hypermarket. Manajemen hypermarket juga dapat mengembangkan brand prestige melalui kegiatan public relation sebagai alat komunikasi karena menurut Smidts et al (2001) sumber informasi eksternal yang bersifat independen memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap kemewahan sebuah merek dibandingkan dengan usaha komunikasi yang dilakukan oleh perusahaan. Selanjutnya hypermarket dapat memberikan manfaat sosial bagi konsumennya seperti penerimaan sosial, ruang berekspresi dan mampu merefleksikan ikatan sosial seperti keluarga seseorang
dan
komunitas.
Hypermarket
dapat
membangun
sebuah
komunitas
antarkonsumennya. Yang dimaksud dengan membangun komunitas adalah tidak hanya memiliki kartu anggota sebuah hypermarket tetapi juga mengadakan pertemuan baik secara interpersonal atau melalui komunitas virtual. Hasil olahan data variabel laten memorable brand experience menunjukkan bahwa konsumen menyukai ingatan mengenai hypermarket dan hypermarket memberikan ingatan yang menyenangkan bagi konsumen. Hypermarket harus mempertahankan pengalaman yang berkesan bagi konsumen melalui kegiatan - kegiatan di dalam gerai (in-store activities) yang memberikan kenyamanan dan kejujuran personel toko. Hal tersebut dinilai penting karena mampu menciptakan narasi positif dalam pemikiran konsumen mengenai hypermarket. Bahkan menurut Escalas (2004) narasi positif yang sudah terbangun dalam benak konsumer akan menguntungkan perusahaan ketika perusahaan mengalami pemberitaan buruk dimana konsumen akan menciptakan pikiran positif sebagai hasil dari narasi positif yang telah tersimpan. Konsekuensi dari identifikasi diri dengan merek yaitu loyalitas terhadap merek dan pembelaan atau advokasi konsumen terhadap merek tersebut. Identifikasi diri konsumen dengan merek tidak sia – sia karena hypermarket akan mendapatkan loyalitas dari konsumen baik dari loyalitas kognitif, loyalitas emosional dan loyalitas perilaku seperti pembelian kembali. Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa konsumen akan berbelanja kembali di hypermarket di waktu mendatang dan berniat untuk tetap berbelanja di hypermarket pilihan konsumen. Dalam penelitian Fournier dan Yao (1997) bahwa loyalitas terhadap merek dipengaruhi oleh hubungan konsumen dengan konsumen lain. Tidak hanya loyalitas namun ada juga pembelaan dari konsumen baik melalui pembeliaan atribut terkait hypermarket atau menyarankan orang lain untuk menggunakan jasa hypermarket. Hal tersebut didukung oleh BA2 (standardized loading factor 0,86) dan BA3
Analisis pengaruh …, Dian Oppusunggu, FE UI, 2013
(standardized loading factor 0,86) yang menunjukkan bahwa konsumen senang membicarakan hal – hal baik mengenai hypermarket pilihannya kepada orang yang dikenalnya dan meyakinkan orang lain untuk berbelanja di hypermarket. Konsekuensi ini seharusnya menggugah hypermarket untuk membuat strategi pemasaran yang tidak hanya bersifat jangka pendek seperti diskon atau promosi bulanan saja akan tetapi membuat strategi yang bersifat jangka panjang seperti membangun komunitas.
6. Kesimpulan dan Saran 6.1 Kesimpulan Berdasarkan analisis yang dibahas pada bab sebelummya, terdapat beberapa kesimpulan yang dapat diambil. Kesimpulan ini merupakan jawaban atas permasalahan penelitian, berikut adalah paparan mengenai kesimpulan yang diambil pada penelitian kali ini: 1. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa konsumen hypermarket di daerah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi tidak menjadikan kesamaan atribut dirinya dengan atribut hypermarket membuat konsumen semakin ingin diidentifikasikan dengan hypermarket pilihan konsumen. 2. Konsumen hypermarket melihat bahwa hypermarket pilihannya berbeda dari hypermarket lain sehingga konsumen semakin ingin diidentifikasikan dengan hypermarket tersebut. 3. Konsumen semakin ingin diidentifikasikan dengan hypermarket pilihannya ketika konsumen melihat bahwa hypermarket itu memberikan kesan yang mewah. 4. Ketika konsumen mendapatkan manfaat sosial dari menggunakan jasa hypermarket pilihannya maka konsumen semakin ingin mengidentifikasikan dirinya dengan hypermarket tersebut. 5. Pengalaman berkesan yang dialami konsumen membuat dirinya ingin semakin diidentifikasikan dengan hypermarket pilihannya. 6. Identifikasi diri konsumen terhadap hypermarket menghasilkan konsekuensi loyalitas konsumen terhadap hypermarket tersebut. 7. Identifikasi diri konsumen terhadap hypermarket menghasilkan konsekuensi pembelaan yang dilakukan konsumen terhadap hypermarket tersebut.
Analisis pengaruh …, Dian Oppusunggu, FE UI, 2013
6.2 Saran Manajerial Penelitian ini tidak terlepas dari berbagai kelemahan dan keterbatasan sebagai berikut ini: 1. Sebagian besar dari responden penelitian ini berada dalam rentang 20 – 24 tahun sehingga tidak dapat digeneralisir dari keseluruhan konsumen hypermarket 2. Penelitian ini hanya diadakan di daerah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi dan didominasi oleh konsumen dari daerah Depok dan Jakarta sehingga tidak dapat menggambarkan keseluruhan hypermarket yang ada di daerah Bogor, Tangerang dan Bekasi. 3. Faktor harga tidak dimasukkan dalam penelitian ini sementara harga sering kali menjadi faktor penentu dalam berbelanja di retail 4. Penelitian ini tidak membahas kontekstual budaya dalam asosiasi masyarakat terhadap hypermarket sementara ada perbedaan latar belakang budaya pemilihan hypermarket di German (subjek jurnal acuan) dan di Indonesia. 6.3 Saran untuk Penelitian Selanjutnya 1. Mengingat Indonesia adalah negara yang luas maka diperlukan analisis atau penelitian yang lebih mendalam untuk daerah Indonesia lainnya sehingga mampu memberikan gambaran yang utuh mengenai hypermarket di Indonesia. 2. Penelitian selanjutnya sebaiknya memilih kategori produk yang menunjukkan atau
mewakili identitas diri (self-identity) dan melakukan pembandingan antara kategori produk yang berbeda untuk analisis yang lebih mendalam.
Daftar Pustaka Aaker, J. L. (1997). Dimensions of Brand Personality. Journal of Marketing Research , 347-356. About
Hypermart
(2012).
Hypermart,
diakses
tanggal
5
Juni
2012
di
http://www.hypermart.co.id/your-hypermart.aspx Achmad, E. (2011). Analisis Pengaruh Identifikasi Kepuasan dalam Komunitas, Partisipasi dan Promosi Komunitas terhadap Loyalitas Anggota. Studi Kasus: Komunitas Virtual Honda. Skripsi .
Analisis pengaruh …, Dian Oppusunggu, FE UI, 2013
Albert, Noel., Merunka, Dwight., Florence, Pierre Valette. (2008). When consumers love their brands: exploring the concept and its dimensions. Journal of Business Research, 61, 1062-1075. Bagozzi, Richard P., Dholakia, Utpal M. (2006) Antecendents and purchase consequences of customer participation in group brand communities. International Journal of Research Marketing, 23, 45-1. Bernando, F. R., Maulendra, M. A., Dewi, N. K., Subhan, A., & Paramita, S. (2012, Agustus 12). Mandiri. Dipetik Juni 5, 2013, dari www.bankmandiri.co.id/indonesia/eriviewpdf/MIDL18009264.pdf Bhattacharya, C., & Sen, S. (2003). Consumer-Company Identification:A Framework for Understanding Consumers' Relationships with Companies. Journal of Marketing , 76-88. Business Monitor International. (2013). Indonesia Retail Report Includes BMI's Forecast Q1 2013. London: Business Monitor International. Business Monitor International. (2011). Indonesia Retail Report Includes BMI's Forecast Q4 2011. London: Business Monitor International. Business Monitor International. (2012). Indonesia Retail Report Includes BMI's Forecasts Q3 2012. London: Business Monitor International. Carrefour Targetkan 100 Gerai Hingga Akhir Tahun (2012). Tempo.co, diakses tanggal 22 Februari
2013
di
http://www.tempo.co/read/news/2012/08/31/093426621/Carrefour-
Targetkan-100-Gerai-Hingga-Akhir-Tahun Escalas, J. E. (2004). Narrative Processing: Building Consumer Connections to Brands. Journal of Consumer Psychology , 168-180. Escalas, Jennifer Edson & Bettman, James R. (2003). You are what they eat: The influence of reference groups on consumers’ connection to brands. Journal of Consumer Psychology, 13(3), 339-348. Euis, S. (2008). Analisis Industri Ritel di Indonesia. Jurnal Bisnis dan Ekonomi , 128-142. Fournier, S. (1998). Consumer and Their Brands: Developing Relationship Theory in Consumer Research. Journal of Consumer Research , 343-373.
Analisis pengaruh …, Dian Oppusunggu, FE UI, 2013
Franke, N., & Schreier, M. (2008). Product uniqueness as a driver of customer utility in mass customization. Marketing Letter , 93-107. Grubb, E. L. (1967). Consumer Self-Concept, Symbolism and Market Behavior: A Theoretical Approach. Journal of Marketing , 22-28. Hair, J., Black, W., Babin, B., Anderson, R., and Tatham, R. (2006). Multivariate Data Analysis, 6th ed. Pearson Prentice Hall, Upper Saddle River, New Jersey He, Hongwei., Li, Yan., Harris, Lloyd. (2012). Social identity perspective on brand loyalty. Journal of Business Research, 65, 648-657. Ghozali, I., Fuad. (2008). Structural Equation Modeling: Teori, Konsep, dan Aplikasi dengan Program Lisrel 8.80 (Edisi II). Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Oliver, R. L. (1993). Cognitive, Affective, and Attribute of the Satisfaction Response. JOURNAL OF CONSUMER RESEARCH , 1-14. Oliver, R. L. (1999). Whence Consumer Loyalty? Journal of Marketing , 33-44. Opening Giant Hypermarket Alam Sutera (2012). Giant Hypermarket, diakses tanggal 22 Februari 2013 di https://www.hero.co.id/giant/id/hyper_news/detailnews/sid/33 Park, C., MacInnis, D. J., Priester, J., Eisingerich, ,. A., & Iacobucci, D. (2010). Brand Attachment and Brand Attitude Strength: Conceptual and Empirical Differentiation ofTwo Critical Brand Equity Drivers. Journal of Marketing , 1-17. Roy, S. (2011). Brand Loyalty Measurement A Framework. SCMS Journal of Indian Management , 112-124. Stokburger-Sauer, N., Ratneshwar, S., & Sen, S. (2012). Drivers of consumer–brand identification. International Journal of Research in Marketing . Thomson, M., MacInnis, D. J., & Park, C. W. (2005). The Ties That Bind: Measuring the Strength of Consumers' Emotional Attachments to Brands. Journal of Consumer Psychology , 77-91. Tian, K., Bearden, W., & Hunter, G. (2011). Consumers’ Need for Uniqueness: Scale Development and Validation. Journal of Consumer Research , 50-66.
Analisis pengaruh …, Dian Oppusunggu, FE UI, 2013
Vlachos, P. A., & Vrechopoulos, A. P. (2012). Consumer–retailer love and attachment: Antecedents and personality moderators. Journal of Retailing and Consumer Services , 218228. Warlop, L., Ratneshwar, S., & Osselaer, S. M. (2005). Distinctive brand cues and memory for product consumption experiences. International Journal of Research in Marketing , 2744.
Analisis pengaruh …, Dian Oppusunggu, FE UI, 2013