Diagnosis Laboratorik pada Antiphospholipid Syndrome (APS) Sri Suryo Adiyanti Departemen Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Ciptomangunkusumo
Pendahuluan Antiphospholipid syndrome (APS) merupakan penyebab trombosis vena yang paling umum. Antibodi ini biasanya terdeteksi pada pemeriksaan lupus antikoagulan dan antibodi antikardiolipin. Antibodi antifosfolipid umumnya terikat secara langsung pada beberapa protein phospholipid binding protein. Antiphospholipid syndrome merupakan suatu kondisi otoimun yang didapat yang gejala klinisnya meliputi trombosis baik pada vena, arteri dan mikrovaskular dan abortus berulang sehingga sangat penting untuk mengenali sindrom ini untuk segera memberikan penanganan yang tepat sehingga mengurangi risiko kejadian berulang dan komplikasinya. 1,2 Antiphospholipid syndrome didiagnosis pada pasien dengan trombosis dan/atau abortus berulang yang mempunyai antibodi antifosfolipid (aPL) yang persisten. Trombosis vena pada APS umumnya terjadi pada tungkai bawah berupa Deep Vein Thrombosis (DVT) dan/atau emboli pulmonal namun bisa di mana saja pada sistem vena termasuk vena superfisial, portal, renal, mesenterik dan intrakranial. Tempat paling sering terjadinya trombosis arteri pada APS adalah vaskular serebral yang dapat menyebabkan iskemia serebral atau stroke transient. Antiphospholipid syndrome yang terjadi tanpa ada penyakit otoimun lainnya disebut APS primer sedangkan APS sekunder adalah APS yang terjadi karena adanya penyakit otoimun lainnya, yang paling umum adalah systemic lupus erythematosus (SLE). 1-3 Antibodi antifosfolipid (aPL) pertama ditemukan pada pasien dengan tes serologi sifilis yang positif palsu. Hal ini terjadi karena aPL mengenali kardiolipin dalam reagen untuk tes serologi sifilis. Antibodi antifosfolipid (aPL) juga ditemukan pada pasien dengan penyakit SLE dan kemudian dinamakan Lupus Antikoagulan (LA). Secara paradoks, walaupun antibodi ini mengakibatkan pemanjangan waktu pada pemeriksaan pembekuan secara in vitro, seseorang dengan antibodi aPL tidak menunjukkan gejala perdarahan, namun adanya aPL meningkatkan risiko trombosis pada arteri dan vena. Di awal tahun 1990an kemudian diketahui bahwa pemeriksaan aPL mendeteksi antibodi bukan terhadap fosfolipid anion namun terhadap phospholipid binding protein. 1,4 Antibodi aPL ini juga mengenali protein yang berikatan atau dalam kompleks dengan fosfolipid, termasuk antibodi terhadap β2 glikoprotein, protrombin, Protein C, Protein S, dan F VII. Antibodi apL ini juga dapat terpapar setelah infeksi tertentu seperti malaria, mikobakteria, dan organisme parasit lainnya dan juga setelah terpapar dengan obat obatan seperti neuroleptik, klorpromazine, kuinidin, prokainamid.3,4 Kriteria laboratorik saat ini mencakup 3 pemeriksaan yaitu pemeriksaan yang mendeteksi aPL sebagai inhibitor koagulasi yaitu LA, pemeriksaan imunologi untuk mendeteksi aCL, dan pemeriksaan imunologi yang mendeteksi aβ2GP1 sehingga hasil pemeriksaan LA harus selalu digabungkan dengan profil aPL lengkap lainnya yaitu anticardiolipin (aCL) dan antiβ2 glikoprotein I
(aβ2GP1) dengan menggunakan metode solid phase ELISA. Adanya titer yang sedang/tinggi dari aCL dan aβ2GP1 dengan isotype yang sama (biasanya Ig G) dengan hasil pemeriksaan LA yang positif menunjukkan pasien mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya trombosis. 5,6 Mekanisme terjadinya trombosis pada APS Beberapa mekanisme telah terjadinya trombosis pada APS telah diusulkan seperti adanya peningkatan tissue faktor (TF) pada monosit dan sel endotel, interferensi pada jalur antikoagulan protein C, penghambatan fibrinolisis, dan penghambatan ikatan annexin V terhadap fosfolipid. Kemudian penelitian difokuskan kepada anti β2-GPI yang terdapat dalam 2 bentuk dalam plasma yaitu closed circular dan open form. Beta2-glycoprotein merupakan suatu glikoprotein dengan berat molekul 50 kDa, yang berikatan dengan reseptor permukaan sel dan permukaan bermuatan negatif. Beta2-glycoprotein terdiri dari 5 domain (I-V). Anti β2GP1 telah diketahui berikatan dengan epitop pada domain I protein (Gly40-Arg43) secara spesifik yang berhubungan erat dengan terjadinya trombosis. Saat ini diketahui bahwa setelah berikatan dengan permukaan anionik maka β2GP1 akan mengalami perubahan bentuk yang bermakna, sehingga terjadi paparan dari epitop yang tadinya tersembunyi. Interaksi dengan permukaan anionik mengubah β2GP1 dari bentuk sirkular, domain I yang tadinya berikatan dengan domain V menjadi terbuka, dan menjadi bentuk fishhook. Otoantibodi yang terdapat pada pasien dengan APS dapat menstabilkan β2GP1 dalam bentuk yang terbuka. Diduga bahwa paparan epitop tersembunyi tadi yang terlalu lama bertanggung jawab atas adanya korelasi antara antibodi β2GP1 dan peningkatan risiko trombosis dan fetal loss. Kompleks Antibodi β2 GPI terikat pada berbagai reseptor pada berbagai jenis sel termasuk sel endotel, platelet dan trofoblas dan dapat memicu terjadinya respons signalling intrasellular dan inflamasi. 2,5,7
Gambar 1. Otoantibodi terhadap β2GP15 β2GP1 akan mengalami perubahan bentuk yang bermakna setelah berikatan dengan permukaan anionik, sehingga terjadi paparan dari epitop yang tadinya tersembunyi. Interaksi dengan permukaan anionik mengubah β2GP1 dari bentuk sirkular, domain I yang tadinya berikatan dengan domain V menjadi terbuka, dan menjadi bentuk fishhook sehingga epitop akan terpapar terhadap otoantibodi. Antibodi akan berikatan dan menstabilkan bentuk terbuka β2GP1 tersebut sehingga β2GP1 dapat berikatan pada reseptor di permukaan sel.
Mekanisme terjadinya trombosis pada APS dapat melalui TF. Secara in vitro, aPL menginduksi ekspresi dan aktivitas TF pada monosit dan sel endotel pembuluh darah normal. Secara in vivo, ekspresi TF meningkat pada monosit pasien APS. Pada pasien SLE ekspresi TF monosit meningkat dan berhubungan kuat dengan aPL. Serum pasien APS dan IgG yang telah dimurnikan dari pasien SLE juga menunjukkan peningkatan TF pada netrofil yang normal. Lupus antikoagulan (LA) yang dimurnikan menghambat Ca dependent binding dari protrombin dan faktor X terhadap fosfolipid, sehingga menghambat aktivitas kompleks fosfolipid yang diperlukan untuk mengkonversi protrombin menjadi trombin. Hasil pemanjangan tes yang abnormal dapat terjadi pada PT, APTT, dan Russel s viper venom, karena LA tidak secara langsung bekerja melawan suatu faktor yang spesifik namun terhadap fosfolipid.1,3,9 Komplikasi kehamilan yang terjadi dapat disebabkan oleh trombosis pada plasenta dan dapat menjelaskan kecenderungan abortus pada fase awal pembentukan plasenta. Antibodi fosfolipid (aPL) tampak mempunyai efek langsung pada trofoblas dan terdapat bukti bahwa adanya aktivasi komplemen pada komplikasi kehamilan pada pasien APS. Hal ini menjelaskan efektivitas heparin sebagai pencegahan early fetal loss pada APS.2 Diagnosis Kriteria laboratorik untuk APS berdasarkan kriteria Sapporo tahun 1999 adalah adanya peningkatan kadar antibodi antikardiolipin dan/atau terdeteksinya lupus antikoagulan dalam darah pada 2 x atau lebih pemeriksaan, sedikitnya dalam jarak 6 minggu. Walaupun antibodi anti β2 glikprotein saat ini tidak termasuk dalam kriteria diagnostik laboratorik untuk APS, namun adanya antibodi ini lebih spesifik untuk APS. Pemeriksaan lupus antikoagulan harus mengikuti kriteria yang direkomendasikan oleh Scientific Subcomittee on Lupus Anticoagulant and Antiphospholipid Antibody on Lupus Anticoagulant and Antiphospholipid Antibodies of the International Society on Thrombosis and Haemostasis. Interpretasi tes laboratorium untuk lupus antikoagulan sulit dilakukan pada keadaan terapi antikoagulan, misalnya heparin. 8 Kriteria klasifikasi untuk APS kemudian direvisi di Sydney tahun 2006 yaitu adanya antibodi yang spesifik sebagai komponen yang esensial untuk menegakkan diagnosis. Adanya oto antibodi tersebut yang persisten dengan kadar yang tinggi (>12 minggu) isotype Ig M atau Ig G, dideteksi dengan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) yang mencakup anti β2 glikoprotein I atau antibodi kardiolipin atau lupus antikoagulan. Pemeriksaan lupus antikoagulan mendeteksi otoantibodi yang mempunyai kemampuan memperpanjang waktu pembekuan secara in vitro. 1,5,7,10
Terdapat kriteria klinis dan laboratorik dalam mendeteksi APS yaitu 5,10 : Kriteria klinik : 1. Trombosis vaskular Satu atau lebih episode klinis trombosis arteri, vena atau pembuluh darah kecil. 2. Gangguan kehamilan a. Satu atau lebih kematian janin normal yang tak dapat dijelaskan di kehamilan di atas 10 minggu. b. Satu atau lebih kelahiran prematur janin normal sebelum kehamilan 34 minggu yang disebabkan oleh : (i) pre eklampsia atau pre-eklampsia berat (ii) insufisiensi plasenta. c. Tiga atau lebih kejadian abortus spontan secara berturutan sebelum masa kehamilan 10 minggu dengan pengecualian sebab kelainan anatomi maternal atau kelainan hormonal dan kromosom paternal dan maternal. Kriteria laboratorik 1. Terdapatnya lupus antikoagulan (LA) dalam plasma, pada 2 kali atau lebih pemeriksaan sedikitnya dengan perbedaan waktu 12 minggu. 2. Terdapat Ig G dan/atau Ig M Anticardiolipin antibody (aCL) dalam serum atau plasma, dengan titer sedang atau tinggi ( >40 GPL atau MPL, atau > persentil 99) pada 2 kali atau lebih pemeriksaan, sedikitnya dengan perbedaan waktu 12 minggu. Anti β2GP1 kemudian juga ditambahkan ke dalam kriteria.
APS dapat didiagnosis jika terdapat sedikitnya 1 kriteria klinik dan 1 kriteria laboratorik terpenuhi. LA merupakan tes yang paling prediktif untuk trombosis dan adanya IgG aCL atau IgG antiβ2GPI pada LA yang positif meningkatkan spesifisitasnya. Tidak ada gunanya untuk menyarankan antibodi IgM pada pasien dengan trombosis. Tes harus diulang dengan interval 12 minggu untuk menunjukkan menunjukkan persistensinya. Deteksi aPL di laboratorium Persiapan plasma Darah diambil ke dalam tabung yang mengandung 0.109 mol/l trisodium citrat. Platelet Poor Plasma (PNP) diperoleh dengan melakukan sentrifugasi ganda pada 2000 g selama 15 menit pada 15-22o C sehingga akan menghasilkan plasma dengan jumlah platelet <10 x 109/L. Hal ini dapat dicapai dengan memisahkan plasma setelah sentrifugasi yang pertama ke tabung plastik kemudian disentrifugasi ulang. Ketika plasma dipisahkan kembali ke tabung sekunder maka diperhatikan jangan sampai terbawa trombosit sisa yang terkumpul pada dasar tabung saat disentrifugasi. Sampel sebaiknya tidak dicairkan atau dibekukan berulangkali. 2,6,10
Pada pemeriksaan LA biasanya akan ditemukan pemanjangan waktu tes pembekuan phospholipid dependent, adanya inhibitor dengan mixing test dan adanya phospholipid dependence dari inhibitor. Tes untuk mendeteksi LA harus memenuhi kriteria diagnostik dan direvisi oleh Scientific and Standardizatin Committee of the International Society on Thrombosis and Haemostasis. Kriteria ini memerlukan prosedur tiga tahap.2,5,10 Prosedur Skrining Sebaiknya sudah ada bukti yang menyatakan bahwa hasil phospholipid screening test di atas presentil 99 dari distribusi donor yang sehat. Hal penting dari prosedur skrining adalah kualitas tes plasma, pilihan tes yang digunakan dan ada atau tidaknya heparin atau antagonis vitamin K dalam plasma yang diperiksa. Trombosit residual yang terdapat dalam plasma harus diminimalisir untuk menghindari hilangnya sensitivitas karena efek LA menggunakan fosfolipid dari trombosit yang lisis khususnya setelah proses freezing-thawing. Hal ini dapat dicapai dengan melakukan double centrifugation. Dua pemeriksaan dengan prinsip yang berbeda harus digunakan untuk memastikan bahwa LA yang lemah dapat dideteksi dan untuk meningkatkan spesifisitas walaupun pasien dianggap mempunyai LA dengan hanya 1 tes yang positif. Penggunaan tes skrining yang tidak lebih dari 2 sangat dianjurkan. Tes pertama sebaiknya dilute Russell viper venom test (DRVVT) dan yang kedua adalah APTT dengan silika sebagai aktivator dan dengan kandungan fosfolipid yang rendah. Jika kriteria skrining dipenuhi maka penting untuk menyingkirkan adanya Unfractioned Heparin (UFH) sebelum melanjutkan langkah selanjutnya. Hal ini dapat dicapai dengan dengan melakukan thrombin time, yang akan memanjang kalau terdapat UFH namun normal bila terdapat LA. Umumnya Low Molecular Weight Heparin (LMWH) tidak mempengaruhi phospholipid dependent test. 5
Prosedur mixing Mixing test dapat digunakan untuk mengenali adanya inhibitor dan dikerjakan setelah terdapat hasil bahwa pemanjangan clotting time dari prosedur skrining tidak terkoreksi dengan penambahan plasma pasien dengan plasma normal dengan jumlah yang sama. Jika waktu pembekuan dari mixing test ini lebih panjang dari persentil 99 dari distribusi clotting time yang dicatat dari sampel plasma donor sehat, maka prosedur konfirmasi harus dilakukan. Jika waktu pembekuan masih dalam rentang distribusi sampel plasma normal maka adanya LA dapat disingkirkan. 5 Mixing test merupakan kriteria untuk LA dan memperbaiki spesifisitas, namun, adanya faktor pengenceran dapat membuat sampel LA menjadi lemah dan nampak negatif. Bila tidak ada penyebab lain yang menyebabkan pemanjangan waktu pembekuan maka sampel ini dianggap LA positif jika tes penyaring dan konfirmasi pada plasma yang tidak diencerkan memberi hasil positif dan dilakukan pada sampel yang segar. 2
Prosedur konfirmasi Langkah konfirmasi (menggunakan konsentrasi fosfolipid tinggi, platelet neutralizing reagent atau LA-insensitive reagent) diperlukan untuk menunjukkan adanya phospholipid dependence. Jika
APTT menunjukkan adanya LA namun hasil DRVVT negatif maka langkah konfirmasi diperlukan pada tes APTT untuk memenuhi kriteria LA.5 Antikoagulan yang dideteksi dalam plasma mixing harus terbukti berlawanan dengan fosfolipid dan bukan terhadap faktor pembekuan. Hal ini dapat dicapai dengan mengulang tes skrining yang abnormal dengan peningkatan konsentrasi fosfolipid. Adanya LA dikonfirmasi ketika persentase koreksi waktu pembekuan lebih tinggi dari local cut off value. LA dipastikan bila percent correction atau rasio skrining : konfirmasi > nilai potong lokal (> 99 persentil) . Percent correction adalah waktu pembekuan ( skrining-konfirmasi) : skrining x 100. 5,6 Pemeriksaan LA tidak direkomendasikan pada pasien yang menerima antagonis vitamin K karena eksklusi LA menjadi problematik ketika INR berada dalam range terapeutik. Ketika pemeriksaan LA diperlukan pada pasien yang menerima terapi antikoagulan, maka kegunaan dRVVT diperdebatkan dan tes yang yang dilakukan pada plasma yang tidak diencerkan dapat memberi hasil yang keliru. Melakukan langkah skrining dan konfirmasi pada jumlah volume yang sama dalam campuran plasma pasien dan plasma normal dapat memberi banyak informasi. Jika pada tes penyaring hasilnya abnormal, maka hal ini dapat dianggap sebagai dasar untuk mempertimbangkan bahwa terdapat inhibitor dan pada tes konfirmasi akan menunjukkan phospholipid dependence. Adanya efek pengenceran pada hasil uji mixing yang negatif tidak menyingkirkan adanya LA.2 Tes LA tidak seharusnya dilakukan jika pasien menerima dosis terapeutik unfractioned heparin, karena dapat menyebabkan hasil yang tidak tepat. Unfractionated heparin subkutan dosis rendah dan low molecular weight heparin (LMWH) kurang mempunyai efek pada dRVVT dan umumnya reagen komersial mengandung heparin neutralizing reagent yang cukup untuk menutupi dosis profilaktik. Prosedur platelet neutralization harus dihindari pada sampel yang mengandung heparin karena dapat mmberikan hasil LA yang positif palsu. Jika hasil positif diperoleh dari pemeriksaan aCL atau anti β2-GPI, maka cukup untuk menegakkan diagnosis APS. 2,6
Gambar 2. Flow chart deteksi LA. 5 Adanya heparin dapat disingkirkan dengan hasil trombin time yang negatif pada prosedur skrining.PNP : Pooled Normal Plasma. PL : Phospholipid.
Pemeriksaan APS sebaiknya hanya dilakukan untuk pasien yang mempunyai kemungkinan yang bermakna untuk menderita APS atau mempunyai hasil pemanjangan APTT yang tidak dapat dijelaskan. Berdasarkan kriteria klinisnya maka probabilitas untuk mendiagnosis LA dapat dibagi menjadi rendah, sedang dan tinggi. Kriteria rendah adalah bila terdapat tromboemboli vena atau arteri pada pasien usia lanjut. Kriteria sedang adalah bila terdapat hasil APTT yang memanjang pada pasien yang asimptomatik, abortus spontan pada kehamilan muda yang berulang, dan tromboemboli arteri/vena yang dapat terpicu pada pasien usia muda. Kriteria tinggi adalah tromboemboli arteri/vena yang spontan dan tak dapat dijelaskan pada pasien usia muda di bawah 50 tahun, trombosis pada tempat yang tidak lazim, abortus pada kehamilan tua, trombosis atau komplikasi kehamilan pada pasien dengan penyakit otoimun. 5,10 Berbagai pitfalls dalam pemeriksaan LA ringkasnya dapat dilihat di tabel sebagai berikut. 6
1. 2. 3. 4. 5.
6.
7.
8.
9.
Menghindari hasil positif palsu Menghindari hasil negatif palsu Terapkan 3 prosedur skrining, mixing dan Persiapan plasma harus sesuai konfirmasi Hitung nilai cut off dengan persentil 99 Perhatikan adanya efek pengenceran saat uji mixing Gunakan hanya pemeriksaan PL dependent : dRVVT dan aPTT Tes diulang setelah 12 minggu Cari kemungkinan bila ada inhibitor lain yang spesifik atau kelainan perdarahan lainnya. Periksa INR dan hindari melakukan pemeriksaan bila pasien dalam terapi antagonis vitamin K dan antikoagulan oral. Periksa trombin time dan jangan diperiksa bila pasien dalam terapi heparin atau dabigatran Jangan melakukan pemeriksaan saat Jangan melakukan pemeriksaan pada acute phase pasien sedang dalam acute phase (cek (F VIII meningkat) CRP) Ikuti prosedur dalam guideline, lakukan Pemantapan Mutu Internal, berpartisipasi dalam program pemantapan mutu eksternal.
10. Perhatikan sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan 11. Lakukan ke 3 pemeriksaan aPL (LA, aCL dan aβ2GP1) dan buat profil antibodi.
Antibodi Antifosfolipid lainnya Kriteria Sydney hanya mencakup LA, aCL dan β2GP1 sebagai klasifikasi APS. Terdapat beberapa antibodi aPL lainnya yang tidak termasuk dalam kriteria pemeriksaan untuk menegakkan diagnosa APS seperti antiphosphatidic acid, antiphosphatidyl-choline, -ethanolamine, -glycerol, inositol, -serine, anti protrombin, antiprotrombin/fosfatidilserin, anti annexin V, anti protein S yang tidak dapat diimplementasikan karena kurangnya standarisasi pemeriksaan dan kurang adanya bukti tentang kepentingan klinisnya pada pasien APS maka belum direkomendasikan memasukkan antibodi aPL lainnya ini dalam panel tes standar.6
RINGKASAN Antiphospholipid syndrome (APS) merupakan penyakit otoimun yang ditandai dengan adanya antibodi antiphospholipid (aPL) dan gejala klinis berupa trombosis dan gangguan kehamilan. Diagnosis APS ditegakkan dengan adanya minimal 1 kriteria klinis dan 1 kriteria laboratorik. Kriteria ini disepakati pada tahun 1999 di Sapporo kemudian direvisi kembali pada tahun 2006 di Sydney. Kriteria laboratorik mencakup pemeriksaan Lupus antikoagulan (LA) dengan 3 tahap yaitu skrining, mixing dan konfirmasi, kemudian juga pemeriksaan anti cardiolipin (aCL) dan anti beta2 glikoprotein 1 (β2GP1) dengan menggunakan prosedur ELISA solid phase. Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan LA seperti adanya pemakaian obat antagonis vitamin K, antikoagulan oral, dsb. Perlu diperhatikan juga cara persiapan sampel sebelum melakukan pemeriksaan. Pemeriksaan APS sebaiknya hanya dilakukan pada kelompok risiko tinggi yaitu adanya trombosis spontan dan pada usia di bawah 50 tahun.
DAFTAR PUSTAKA
1. Farmer-Boatwright MK, Roubey RAS. Venous Thrombosis in Antiphospholipid Syndrome. Arterioscler Thromb Vasc Biol. 2009;29:321-5. 2. Keeling D, Mackie I, Moore GW, Greer IA, Greaves M. Guidelines on the investigation and management of antiphospholipid syndrome. British Journal of Hematology.2012;157:47-58. 3. Bick RL. Antiphospholipid Thrombosis Syndrome. Hematol Oncol Clin N Am. 2003;17:115-47. 4. Williams L. Thrombophilia. In : McKenzie SB, Williams LJ Clinical Laboratory Hematology. 2 th ed. Boston, Pearson, 2010; p 731-61. 5. Tripodi A, de Groot PD, Pengo V. Antiphospholipid Syndrome: laboratory detection, mechanims of actions and treatment. Journal of Internal Medicine. 2011:1-10 6. Devreese, KMJ. Antiphospholipid antibody and standardization. Int. Jnl. Lab. Hem. 2014;36:352-63 7. Giannakoupoulos B, Krilis SA. The Pathogenesis of the Antiphospholipid Syndrome.N Engl J Med.2013;368(11):1033-44. 8. Ortel TL. Thrombosis Hematology.2005:462-8.
and
the
Antiphospholipid
Syndrome.American
Society
of
9. Ritis K, Doumas M, Mastellos D, Micheli A, Giaglis S, Magotti P, Rafail S, Kartali G, Sideras P, Lambris JD. A novel C5a receptor tissue factor cross talk in neutrophil links innate immunity to coagulation pathways. J. Immunol.2006;177: 4794-802.
10. Pengo V, Tripodi A, Reber G, Rand H, Ortel L, Galli M, de Groot PG. Update of the guidelines for lupus anticoagulant detection. Journal of Thrombosis and Haemostasis.2009;7:1737-40.