I Dia hanya teman biasa. Itulah yang selalu ku katakan pada semua orang yang menanyakan kebersamaanku dengan farhan. Sejak seminggu terakhir ini aku memang sering jalan berdua dengannya, duduk duduk di perpustakaan kampus bersamanya. Pergi pulang kuliah juga tiap hari bareng dia. Wajar kalau kemudian berhembus isu aku dan farhan jadian alias pacaran. Tapi itu hanya isu. Sekali lagi aku dan dia hanya teman biasa. Tidak ada yang istimewa. Selain satu kampus, aku dan dia juga bertetangga. Apa salahnya kalau aku tiap hari bersamanya? Toh dia juga tidak punya pacar. Beda denganku yang sudah punya. Sayang sekali pacarku hingga kini masih terkapar di rumah sakit. "makin lengket aja kamu dengan farhan", cetus laura saat kami di kantin. "jangan aneh aneh may. Aldo mau kamu taruh di mana?", timpal julia. Aku cuma menanggapi kalimat dari para sahabat dengan senyuman. Tentu saja aldo masih ada di dalam hatiku. Aldo adalah cinta pertamaku dan kuharap juga bakal jadi cinta terakhir. Kalau aku dan farhan makin lengket itu semata demi menemaninya berangkat kuliah. Maklum selama bertetangga aku dan dia jarang bertegur sapa. Boleh di bilang dia adalah tetangga yang tak peduli. Andai saja aldo tidak berada di rumah sakit sudah pasti akupun tidak akan bersama farhan. Kalau ada aldo aku tak perlu capek capek jalan kaki ke kampus. Apalah daya, sang pangeran masih di rawat. "eh may, gimana kabar aldo?". "sudah agak mendingan. Paling banter empat hari lagi dia sudah di ijinkan keluar rumah sakit". "apa aldo tahu kamu dekat dengan farhan?". "jelas dia tahu. Tidak ada masalah kok dengannya".
"bukannya begitu may. Sebagai sahabat kami ini khawatir justru kamu yang bermasalah". "maksud kalian apa sih?". "jangan pura pura bego deh may. Sudah ah. Waktu istirahat sudah habis". Dua sahabat langsung ngeloyor pergi tanpa basa basi, tanpa membayar makanan minuman. Terpaksa aku yang harus menjebol kantong. Setelah itu ku susul mereka untuk bersama sama kembali ke kelas. Aku sudah tidak bisa konsentrasi mengikuti pelajaran. Aku mulai termakan kalimat kalimat julia dan laura. Aldo memang tidak mempermasalahkan kebersamaanku dengan farhan. Dia memberi kebebasan. Justru aku yang di rundung masalah kala menyadari bahwa farhan juga mulai mengetuk pintu hati. Seminggu selalu bersama farhan membuatku semakin sadar dan mengerti tentang siapa dan bagaimana farhan. Dia telah menjadi siluman yang kadang muncul kadang hilang dari pikiran. Kini aku hampir selalu memikirkannya. Dan aldo semakin jarang nyantol di ingatanku. Adakah ini sebuah pertanda? "may, jangan ngelamun", bisik laura menyenggol lenganku dan mengingatkan bahwa aku harus memperhatikan pelajaran. Pak dosen yang satu ini memang lumayan sadis. Kalau sampai aku kedapatan ngelamun bisa gawat. Bisa bisa dia akan mengusirku dari kelas. Terpaksa ku pending sejenak lamunan tentang farhan. Hingga tiba saatnya kuliah bubar. Dan seperti biasa aku menunggu farhan di depan pintu gerbang. Sebenarnya banyak yang menawarkan diri untuk mengantarku pulang. Tapi semua kutolak dan memilih jalan kaki bareng farhan. Nah, itu dia sudah berjalan mendekat dan makin dekat sampai tiba di hadapanku. Seperti biasa juga kuberi dia secuil senyuman. Aku dan farhan memang tidak satu kelas.
2
"yuk ah may. Mau hujan nih", katanya langsung mengajakku segera meninggalkan gerbang. Langit di balut mendung hitam dan angin bertiup lumayan kencang. "farhan, pelan pelan dong. Mana bisa aku ikut langkahmu?", aku terengah engah berusaha mengimbangi langkah langkah kakinya yang panjang dan lebar. Farhan akhirnya mengerem langkahnya. "jangan samakan aku denganmu han", sungutku lumayan kesal. Kini aku dan dia sudah berjalan sejajar beriringan menyusuri trotoar. "aldo sudah baikan may?". "sudah. Mungkin empat hari ke depan dia sudah mulai masuk kampus". "berarti aku nggak bisa jalan bareng kamu lagi may". "tapi kita masih bisa main bareng. Farhan, kita kan bertetangga. Aku pengen main seperti waktu kita kecil". "aku juga may. Tapi kamu rasanya sudah berubah". "farhan, justru kamu yang berubah. Kamu sombong, cuek, nggak pernah menegurku. Kenapa sih?". "aku malu padamu may". "huh, kenapa malu? Nanti aku ke rumahmu ya?". "may, kamu senang ya pacaran dengan aldo?". Pertanyaan yang sungguh tak ingin kujawab. Dulu aku memang senang pacaran dengan aldo. Tapi sejak ada farhan kesenangan itu lambat laun berkurang dan terkadang ada keinginan lain. Inilah yang jadi masalahku sekarang. Aku menghela napas dan menatap farhan tepat di saat kilatan petir menyambar di barengi guyuran hujan lebat. Karena terkejut refleks kupeluk farhan. Dalam sekejap kami basah kuyup dan dingin mulai menusuk tulang. "bagaimana may? Mau terus jalan?". "terus saja. Terlanjur basah mandi saja sekalian. Farhan, kita dulu juga sering main hujan kan?". Dia tertawa dan menarik lenganku lalu berlarian di bawah guyuran hujan yang makin lebat. Beruntung kami 3
sudah dekat dengan komplek perumahan. Hampir saja kakiku terperosok ke dalam selokan tapi farhan cukup sigap menarikku. Ada nuansa yang mengalir bening saat aku dan dia bertatapan cukup lama. Ada pijar api yang menghangatkan aliran darah saat jemariku berada di genggamannya. Ada nyanyian melodi hati yang bersenandung saat aku berada sangat dekat di hadapannya. Sebelum dia melepas semua belenggu itu dan mengembalikanku pada kenyataan. Semuanya itu masih terbawa sampai aku berada di kamar. Farhan telah meracuni akal sehatku. Setelah mengeringkan badan dan berganti pakaian aku segera mengeluarkan tiga album foto masa kecilku. Ada banyak peristiwa yang terekam dalam foto dan farhan juga menjadi bagian dari beberapa kumpulan fotoku. Dia masih culun dan cengeng saat kecil. Rambutnya selalu di potong kuncung. Ada foto saat dia hadir di setiap pesta ultahku. Tapi tak ada kado yang dia berikan. Selain itu ada juga foto saat dia bermain monopoli bersamaku. Aku ingat ketika itu mama yang iseng memotret. Ini foto yang paling membuatku malu. Foto yang layak mendapat sensor. Ingat foto itu aku kadang benci pada farhan. Masih banyak foto aku dan dia tapi aku mulai capek. Berhujan ria telah membuat badanku panas dingin. Segera kuminum obat dan tidur. Malamnya aku nekad datang ke rumah farhan yang cuma beberapa blok dari rumahku. Sebenarnya bukan rumah farhan melainkan rumah orangtua angkat farhan. Tapi sejak kecil farhan sudah tinggal bersama orangtua angkatnya itu yang kebetulan tidak punya anak. Konon ceritanya farhan sengaja di tinggalkan orangtua kandungnya di rumah sakit. Orangtua kandung farhan pergi tanpa jejak meninggalkan farhan yang ketika itu masih bayi di rumah sakit. Beruntung ada dokter yang mengambil dan merawat layaknya anak sendiri. Sementara orangtua kandungnya menghilang hingga 4
kini. Farhan tidak tahu siapa orangtua kandungnya. Orangtua angkatnya juga bersikeras tidak mau memberitahu. Satu satunya petunjuk yang di miliki farhan adalah sebuah liontin emas. Farhan pernah menunjukkan liontin itu padaku dan bilang akan mencari orangtua kandungnya. Cerita yang cukup membuatku agak kasihan dan simpati. Siapa sangka farhan yang acuh tak acuh dan tak peduli ternyata punya kisah tersendiri. Kisah yang menyentuh hati. Walaupun masih gerimis tapi aku bisa juga sampai dan langsung nyelonong masuk. Tidak ada siapa siapa saat aku masuk ke dalam. Tapi aku yakin farhan tidak kemana mana dan aku tahu dia ada di kamarnya. "farhan, buka pintunya", teriakku sambil menggedor pintu kamar. Tak lama pintu terbuka dan wajahnya nongol. "Kukira teroris yang datang. Rupanya kamu may", selorohnya dan mengajakku keluar kamar. "sepi banget han". "Orangtuaku belum pulang. Mau minum apa may?". "terserah. Tapi aku pengen susu panas". "oke. Ku buatkan susu spesial buatmu". Dua menit kemudian susu sudah tersaji di sertai senyum menggugah hati. Toh aku tetap harus gigit jari karena farhan lebih sibuk bermain gitar sambil bernyanyi. Suaranya merdu sekali. "Farhan, kenapa sih kamu tolak cintanya si rani?". "Rani itu urakan. Malas aku kalau sampai punya pacar kayak dia". "Tapi kan dia cantik? Mana seksi lagi". "Justru itu may, aku paling takut pacaran dengan cewek cantik dan seksi". "Kenapa?". "Cewek jenis itu gampang pindah ke lain hati". "Ada ada saja kamu. Aku juga lagi bingung nih". "Bingung kan pasti ada sebabnya". 5
Nah, haruskah aku mengatakan penyebab kebingunganku padanya. Kurasa belum saatnya. Sekarang saat untuk bergembira, bernyanyi, dan tertawa bersamanya. Aku ikut bersenandung walau dengan suara tak merdu. Lagu yang lagi ngetop saat ini. Lagu milik adele yang judulnya someone like you. Lagu yang memang sengaja kupilih untuk membuka sedikit maksud hati. Tapi farhan memang belum juga mengerti. Dia mungkin tidak pernah merasakan apapun saat bersamaku. Ya, aku tidak boleh berharap terlalu tinggi. Aku masih punya pacar bernama aldo. "Katanya bingung kok malah ngelamun. Eh may, kok aldo gak marah ya kamu bareng aku terus". "Dia percaya kamu. Dia percaya kamu bisa melindungi aku selama dia berada di rumah sakit". "Tapi kan pikiran orang bisa berubah may". "Maksudmu apa farhan?". "Gak ada maksud apa apa kok. Kamu hapal lagu mungkinkah punya stinky?". "Itu mah jadul banget han. Tapi aku hapal kok". Akhirnya lagu mungkinkah itu yang menjadi akhir dari kebersamaanku dengannya. Jam sembilan malam. Kompleks sudah sepi sehingga terpaksa aku minta di antar. Aku bukannya takut hantu. Aku paling takut anjing herder milik tetangga sebelah rumahku yang malam begini selalu menggonggong dan di lepas liar. Kalau farhan baunya sudah di hapal oleh anjing itu. "Terima kasih han. Besok pagi tunggu aku ya". "Oke, jangan lupa sedia jas hujan may. Siapa tahu kayak tadi siang". "Beres. Tuh si herder melototin kamu". Dia tertawa sambil mengucek rambutku. Ah, perlakuan singkat yang membangkitkan hasrat. Tapi ini sudah jam sembilan lewat. Kalau papa tahu aku masih berkeliaran di luar rumah bisa gawat. *** 6
Aku terlambat bangun pagi. Matahari sudah lumayan tinggi dan jam dinding kamar menunjuk angka delapan. Astaga, kenapa aku bisa bangun sesiang ini. Buru buru aku melompat keluar kamar dan melesat ke kamar mandi. Hanya cuci muka tanpa gosok gigi karena waktu yang ku miliki sudah sangat mepet sekali. Setelah mengenakan seragam aku langsung mencari cari siapa saja yang bisa ku mintai tolong mengantar ke kampus. "Gak usah masuk saja may". "Tapi may ada ujian penting ma". "Kan bisa menyusul? Sudahlah, dekanmu kan teman mama juga". Apa boleh buat dan sejatinya memang aku sudah telat. Kalaupun memaksa pergi ke kampus mungkin juga akan sia sia bin percuma karena sudah pasti aku akan di suruh balik lagi. Daripada bolak balik mending ikut saja saran mama. Terpaksa juga aku mengandalkan pertemanan mama dengan pak handoko dekan fakultasku. "Gara gara semalam juga sih". "Mama pernah muda may. Jadi apa hubunganmu dengan farhan?". "Masih teman kok. Mama jangan mikir macem macem". "Mama yang mikir macem macem atau memang kamu lagi kesengsem?". Huh, mentang mentang orangtua enak saja bilang pernah muda. Tapi aku membenarkan perkataan mama. Pikiranku memang bercabang kemana mana yang membuatku semalam susah memejamkan mata. Cabang itu menuntunku menuju dua pilihan. Aldo atau farhan. Dan aku belum bisa memilih. Semalam sudah ku putuskan untuk menjalani apa yang sudah kurajut bersama aldo sedangkan kebersamaanku dengan farhan juga akan tetap kujaga. Walau sudah pasti itu akan menimbulkan dilema. 7
Daripada tidak ada kegiatan di rumah aku memutuskan pergi ke rumah sakit. Tentu saja harus dengan penyamaran sedemikian rupa agar tidak kepergok para dosen yang bisa saja kutemui di jalanan. Bahaya kalau ada yang tahu aku tidak masuk kuliah tapi berkeliaran. Dengan naik motor dan memakai helm teropong aku tancap gas menuju rumah sakit. Sepuluh menit kemudian aku sudah sampai dan menit berikutnya aku berjalan cepat menyusuri koridor lalu berhenti di depan paviliun tempat aldo di rawat. Dan aku terperanjat. "Farhan!". "Maya!". Sungguh pertemuan yang tak ku sangka sangka. Sedang apa dia berada di rumah sakit? Apakah dia juga membolos kuliah? "Kok bisa sih kita ketemu di sini han". "Aku bolos may. Habisnya nungguin kamu lama banget". "Maaf, aku bangun kesiangan. Tapi kan kamu tak harus menungguku?". "Aku sudah janji kan? Malah ku pikir kamu berangkat sendiri ke kampus". "Lalu ngapain kamu ada di sini?". "Tentu saja menjenguk pacarmu. Ayo sama sama masuk". Aku ragu masuk paviliun bareng farhan. Aku takut aldo cemburu dan tidak berkenan. Tapi aku selalu di takdirkan untuk mengalah. Ku ikuti langkah langkah kakinya mendekati pembaringan di mana aldo kekasihku terbaring tak berdaya. Aldo hanya melirik kedatangan kami. "Kamu jaga pacarku dengan baik kan farhan?", itu suara aldo. "Sebaik yang mampu ku lakukan do. Bagaimana kesehatanmu?". 8
"Juga semakin baik. May, dekat sini dong". Aku penuhi permintaan aldo dan lebih mendekatkan diri padanya. Berada di antara dua pria sangatlah menyiksa. Bibir dan lidah serasa kelu untuk bersuara. Jiwa bagai di tusuk jarum jarum neraka. Dan lebih baik bagiku untuk berada di neraka ketimbang menanggung derita. Aku kehilangan selera untuk bicara. Pasti aldo curiga dan bertanya tanya. Itu terlihat dari tatapan matanya. Mungkin dia bertanya kok bisa aku dan farhan datang bersama. Untung farhan cukup tahu apa dan bagaimana cara menghangatkan suasana. Aldo dan farhan terlibat pembicaraan antar pria. Aku hanya mendengarkan saja obrolan mereka mulai dari seputar kuliah, cewek cewek kampus, sampai piala eropa yang sebentar lagi di helat. Kubayangakan diriku adalah sebuah bola yang di mainkan oleh mereka. Kubayangkan mereka menendangku kesana kemari dan menceploskan aku ke dalam gawang. Gol. Mereka sukses menyarangkan dilema ke dalam gawang hatiku. Sampai farhan mengagetkan aku. "May, mau tetap di sini atau pulang bareng aku?". "Bagaimana do?", aku minta persetujuan aldo dan dia mengangguk serta tersenyum dengan berjuta makna yang sulit ku artikan. "Pulanglah bareng farhan may. Aku lebih suka ketimbang kamu pulang sendiri". "Kuharap kamu cepat keluar dari sini do. Aku kangen jalan bareng kamu". "Pasti. Sabar ya may". Aldo menggenggam jemariku sebelum melepas kepergian kami. Aku sadar bahwa sesungguhnya aldo tidak rela melihatku dan farhan jalan berdua. Jadi sengaja kubiarkan farhan keluar lebih dulu. Barulah ketika seorang suster muda masuk aku menyusul keluar. Aku harus berlari mengejar farhan yang sudah berada jauh di depan. Sampai aku berhasil menjajari dirinya walau harus ngos ngosan. 9
Kami beriringan meninggalkan rumah sakit. Heran juga kenapa bersama farhan aku merasa lebih nyaman dan bebas. Pikiranku lepas. "Bisa bisanya kamu bolos kuliah may". "Mau gimana lagi. Sesekali bolos kan tidak apa". "Apa yang membuatmu begadang semalam". "Banyak yang ku pikirkan. Aku, aldo, dan kamu". "Maya, kok kamu melibatkan aku?". "Entahlah farhan. Sejujurnya aku mulai merasa tak biasa ketika bersamamu". "Apakah kita harus mengurangi kebersamaan kita may?". "Jangan dong. Kamu di depan ya". Kuserahkan kunci motor dan berboncengan tak tentu tujuan. Seperti debar jantungku yang tak tentu ritmenya. Sesungguhnya farhan termasuk cowok ngetop di kampus. Tampan, berbadan kekar dan atletis, tatapan dan senyuman menawan, serta punya segudang prestasi yang membawa nama kampus terkenal. Dia ikon basket kampus yang tiga kali berturut turut juara di ajang liga mahasiswa se propinsi. Dia jago karate dengan sabuk hitam yang pernah memenangi lomba karate antar mahasiswa se kabupaten. Dia berotak encer yang membuat pihak kampus berkali kali mengirimnya ke berbagai kontes. Mungkin hanya aldo yang bisa menyaingi semua prestasinya. Aldo juga jago di banyak bidang tapi tidak sehebat farhan. Maklum bidang aldo berbeda dengan bidang yang di geluti farhan. Dan kami bertiga notabene sudah lama berteman. Aku, farhan, aldo adalah teman semasa SMP sampai SMA hingga sekarang. Aku dan farhan masih sebatas teman sedangkan aku dan aldo sudah delapan bulan pacaran. Teman dan pacar yang benar benar memporak porandakan tatanan hatiku.
10