Sepotong Kejujuran dari Wina Ni Komang Ariani
D
i usiaku yang ketigapuluhlima ini akhirnya aku berhasil menenangkan hati Ibu. Ibu yang sudah cemas dengan jodohku akhirnya bisa tersenyum lega. Aku sudah menemukan seorang calon suami dan akan segera menikah. Sebuah keberhasilan yang melengkapi kecemerlangan karierku. Sekarang, tak seorangpun perempuan di dunia bisa mengejekku. Tidak juga para perempuan yang begitu dengki melihat kesuksesan karierku. Semula mereka mengejekku perempuan yang hanya sukses dalam karier tapi gagal total dalam urusan cinta. But not now, girls! Look at me now. I am a perfect woman! Wina sahabatku hanya tertawa geli mendengar ocehanku. “Kamu nggak mesti begitu, Ga. Who do you live for? Kamu nggak hidup untuk anggapan orang kan?”
Aku sempat terhenyak juga mendengar kata-kata Wina. Benarkah aku hanya hidup untuk memuaskan anggapan orang lain? Ah sudahlah, memuaskan harapan orang lain atau tidak toh aku memang perempuan yang sangat beruntung. Aku hanya tersenyum kecil saja pada Wina dan berjanji untuk memfokuskan diri pada persiapan pernikahanku. * Pernikahanku tinggal menunggu detikdetik saja. Aku pandangi laki-laki gagah yang akan menjadi suamiku. Hendra namanya. Ia seorang eksekutif muda yang menjadi salah satu klienku. Rasanya begitu menyenangkan. Aku akan segera menikah dan memiliki keluarga yang sempurna. Tidak ada lagi perempuan lajang yang menunggu dengan sia-sia. Tidak ada lagi perempuan malang yang menerbitkan belas kasihan. Ibuku pun terlihat begitu cerah dan kemilau. Kebaya yang ia gunakan begitu kinclong dan
gemerlapan. Mungkin ia membuat persiapan khusus untuk pakaiannya di hari pernikahan putri bungsunya ini. Aku sangat gembira bisa membuat Ibu sebahagia itu. Dan Wina tersenyum-tersenyum di sudut sebelah sana. Aku membalas senyumannya dengan senyuman tipis. Tiba-tiba saja kata-kata Wina terngiang-ngiang di telingaku. Kamu nggak hidup untuk anggapan orang kan? Diam-diam ada suara yang sangat halus di sudut hatiku membenarkan kata-kata Wina. Mungkin aku memang hanya hidup untuk anggapan orang lain. Namun cepat-cepat aku tindas suara halus itu. Aku tidak boleh berfikir begini di hari sepenting ini. Hari pernikahanku yang begitu sakral. Hari sempurna yang membahagiakan begitu banyak orang. Mungkin aku nggak bahagia dengan pernikahan ini, tapi toh banyak orang sangat bahagia, bukan? It’s fine, isn’t it? Aku menggerakkan leher yang terasa pegal dengan mahkota besar di kepalaku. Pernikahanku sudah berjalan dua jam dan mungkin beberapa saat lagi akan berakhir. Tidak lama lagi aku akan menjadi Nyonya Hendra. Sesaat benakku digayuti rasa hampa. Kata orang, masa-masa menjelang pernikahan adalah masa-masa yang paling gelisah bagi tiap orang. Aku mungkin hanya sedikit tertekan saja menghadapi peristiwa besar ini. Perasaan gelisah ini akan segera lewat begitu aku menjalani kehidupan pernikahan yang sebenarnya. Sekali lagi kupandangi Hendra. Laki-laki ini memiliki perawakan yang begitu serasi denganku. Ia suami yang sangat ideal untuk keluarga sempurna yang ingin kubangun. Adakah alasanku lagi untuk gelisah dan ragu-ragu? * Ternyata kekhawatiranku memang hanya kegelisahan sesaat saja. Aku sudah menjalani pernikahanku selama beberapa bulan, rasanya semua baik-baik saja. Aku dan Hendra banyak tersenyum. Kami saling menghormati dan juga saling menghargai. Hendra juga menghormati Ayah dan Ibu, sesuatu yang amat melegakan hatiku. Sudah lama kata-kata Wina tidak pernah kuingat-ingat lagi. Nyatanya tidak ada suami kasar atau rumah tangga yang penuh dengan pertengkaran. Nyatanya Hendra adalah suami yang manis, walaupun masa perkenalan kami
begitu singkat. Rasanya aku ingin segera ngobrol panjang lebar dengan Wina mengenai hal ini. Aku ingin membuktikan aku benar dan Wina yang salah. Wina hanya mengaduk-aduk es kelapa mudanya mendengar penuturanku yang penuh semangat. Ia tidak menyela sepatah kata pun, seakan-akan ia ingin menjadi penonton yang baik. “Jadi kamu setuju kan kalau aku yang benar, dan kamu yang salah? Nyatanya aku perempuan yang bahagia dan memiliki kehidupan yang sempurna!” Wina hanya tersenyum kecil. Ia masih asyik dengan es kelapa mudanya. Ia seolah memandang ceritaku begitu ringan. Sesuatu yang tidak menarik untuk didengar. Aku memandangnya dengan agak kesal. Padahal pada saat mengajaknya ngobrol, rasanya aku begitu antusias. Lalu mengapa Wina memandang begitu kecil ceritaku? Jangan-jangan ia pun sudah ikutan sirik seperti perempuan-perempuan lain. “Win, kok diem aja? Komentar dong!” aku melotot sambil mengguncang-guncang tubuh Wina yang kelihatan begitu santai. Ia hanya tersenyum kecil sambil berkata perlahan. “Kamu ingin komentar seperti apa, Ga?” “Ya komentar kamu? Gimana menurut kamu kehidupan rumah tanggaku?” “Kenapa kamu memerlukan komentarku, bukankah kamu sudah bahagia dengan rumah tanggamu, dengan kehidupanmu?” “Tapi kata-kata kamu yang dulu menggangguku,” “Kata-kata yang mana?” “Bahwa aku hanya hidup untuk anggapan orang lain!” “Itu salahmu sendiri, mengapa
merasa terganggu!” Aku terdiam mendengar kata-kata Wina. Ia adalah orang yang paling aku dengarkan selama ini. Karena Wina adalah seorang sahabat yang jujur dan selalu memberi nasihat yang bermanfaat bagiku. Wina tidak sama dengan temanteman perempuanku yang lain yang memendam dengki di hatinya. Aku masih terdiam sampai kami benarbenar selesai makan dan menikmati makanan penutup… segelas puding leci. Entah kenapa aku masih merasa belum puas sebelum mendengar komentar Wina. Rasanya ada yang ganjil dari sikapnya yang tidak mau memberi komentar. Apakah ia mengetahui sesuatu yang tidak kuketahui? “Win, tidak biasanya kamu nggak komentar. Oke deh. Aku minta pendapat kamu yang jujur? Menurut kamu, aku bahagia nggak sih?” Lagi-lagi Wina tersenyum tipis. Dengan tandas ia berkata, “Tidak. Kamu tidak bahagia. Even, you’re never happy!” Aku kaget mendengar jawaban Wina yang begitu tandas dan tegas. “How come, Win? Aku bener-bener nggak ngerti jalan pikiran kamu,” “Coba ingat kata-katamu tadi. Kamu hanya menyebut senang, sempurna, sopan santun, manis, menghormati, lega, dan seterusnya. Belum sekalipun kamu menyebut kata bahagia. Apakah hatimu betulbetul bahagia atau senang saja? Di mana passion kamu? Udah lama kamu nggak punya passion kan? Sejak kamu kuliah di manajemen yang nggak begitu kamu sukai. Sejak kamu berhenti menari karena kesibukan karier kamu, padahal menari adalah hal yang paling ingin kau lakukan dalam hidupmu. Then, siapa Mr. Hendra? Sepanjang aku melihatmu dengannya, kamu lebih banyak berbasa-basi dengan laki-laki itu. Apakah kamu akan berbasa-basi
sepanjang hidup kamu? Kamu memilih dan menikahinya karena kamu tidak ingin melewati batas target usia menikahmu. Kamu ingin mempertahankan kesempurnaan yang kamu miliki. Kamu selalu ingin mendapatkan puja-puji dari semua orang. Menyenangkan semua orang, menyenangkan orang tuamu, itu kan yang kamu lakukan sepanjang hidupmu? Kamu terlalu maniak dengan kehidupan sempurna yang penuh puja-puji!” Aku terpaku seperti patung mendengar kata-kata Wina. Sulit kugambarkan perasaanku yang campur baur. Ada gelegak yang panas membara menyerbu ubun-ubunku. Perutku terasa mual menahan gumpalan perasaan. Namun aku tidak berkata sepatah katapun. Sebenarnya, aku ingin menyemprot Wina dengan kata-kata kerasku. Namun ada sebagian hati kecilku membenarkan kata-kata Wina. Kesadaran kecil yang membuatku merasa sangat marah, kecewa dan putus asa. Aku marah ternyata aku begitu gagal dalam hidupku. Aku merasa dihempaskan jatuh ke dasar jurang yang sangat dalam. Sungguh aku sangat ingin menyangkal. Kata-kata Wina adalah bualan orang frustasi yang begitu sirik akan kesempurnaan hidupku. Wina adalah musuh dalam selimut yang menikam sahabatnya dari belakang. Mungkin aku memang harus pergi sejauh-jauhnya dari Wina. Melupakan pernah ada sahabat bernama Wina. Melupakan ia pernah mengatakan sesuatu yang paling kubenci seumur hidupku. Mungkin aku harus pindah rumah. Menghapus nama Wina dari phone book-ku. Men-delete semua ingatan dan kenanganku tentang Wina. Karena aku akan terlalu sakit untuk meninggalkan kehidupanku sekarang. Terlalu sakit untuk menerima kegagalan-kegagalan hidupku. Akan tetapi nyatanya Wina adalah sahabatku sejak SMA. Wina adalah sahabat paling jujur yang aku kenal. Winalah yang memberi kalimat-kalimat penghiburan ketika semua orang mencelaku. Winalah yang selalu memberi pujian-pujian jujur atas keberhasilan-keberhasilanku. Wina pula yang selalu berani mengkritikku disaat semua orang memujiku. Mendengarkan Wina berarti mendengarkan sebuah kejujuran. Dan kejujuran itu ternyata begitu menyakitkan. Aku berdiri dari tempat dudukku dan
meninggalkan Wina tanpa kata-kata. Di saat seperti ini aku hanya ingin sendiri. Aku memerlukan waktu yang panjang dan lapang untuk memikirkan apa yang harus aku lakukan. Aku menyetir mobilku dengan kepala yang terasa berat dan penat. Baru sekarang kurasakan kepalaku begitu penat. Aku juga merasa sangat letih. Sekujur tubuhku terasa pegal. Rasanya seluruh jiwa ragaku terasa amat lelah. Sekali lagi kata-kata Wina menemukan kebenarannya. Ternyata aku sudah terlalu lama hidup untuk menyenangkan orang lain. Betapa melelahkannya kuliah di jurusan yang tidak begitu aku sukai. Betapa penat terus menerus bekerja di bidang yang tidak betul-betul menarik minatku. Berapa banyak lagi yang harus kukorbankan demi menyenangkan hati orang lain? Setelah menikah, apa lagi? Punya anak. Bagaimana kalau aku tidak bisa punya anak. Bagaimana kalau aku seorang perempuan yang mandul? Hhh… sepertinya tidak akan pernah ada habisnya. Dan Hendra, siapa laki-laki itu? Bagaimana bisa aku bisa menikahinya hanya karena Ibu menyukainya dan begitu bahagia dengan pernikahanku? Sanggupkah aku menghabiskan seluruh hari-hariku dengan laki-laki yang tidak aku kenal? Aku menghembuskan napas kuat-kuat. Menyesal mengambil langkah yang begitu jauh tanpa berusaha mendengarkan kata hatiku. Aku menyetir mobil menembus kegelapan malam dengan hati yang gentar. Gentar memilih langkah mana yang harus kutempuh. Meninggalkan keluarga dan pekerjaanku yang telah bertahun-tahun memberiku rasa nyaman atau meninggalkan Wina dengan segala kata-katanya yang menyesakkan hati. Melupakan aku pernah mendengar kata-kata itu darinya. Dengan begitu aku bisa kembali pada kehidupan sempurnaku. Karena aku terlalu lemah, terlalu takut untuk merusak tatanan yang begitu rapi. Tatanan yang merangkumku dalam puja-puji yang begitu membesarkan hati. Sepertinya aku memang tidak punya pilihan lain. Kebahagiaan ibuku adalah kebahagiaanku juga. Merusakkan kebahagiannya juga akan melukai jiwaku. Wina mungkin benar, namun yang kulakukan tidak seluruhnya salah. Membahagiakan orang-orang di sekitarku mestinya menjadi suatu nilai yang juga membuatku
bahagia. Karena dari merekalah kebahagiaanku berasal. Setidaknya sampai umurku tiga puluh lima ini, aku telah menjadi anak yang sangat berbhakti kepada orang tuaku. Tidak pernah sekalipun aku membuat mereka sedih dan risau. Aku akan belajar mengenal dan mencintai Hendra agar ia menjadi suami terindahku. Aku akan mengejar kebahagiaan-kebahagiaanku yang lain. Aku akan menari lagi. Aku akan berhenti mempedulikan pandangan masyarakat yang terus menuntutku. Mulai saat ini aku hanya akan hidup untuk kebahagiaanku semata. Rasanya aku bisa menciptakan kebahagiaan itu hadir dalam hidupku. Sehingga aku tidak hanya menyebut kata sempurna, senang, hormat, manis, dan seterusnya. Sehingga aku bisa menyebut kata bahagia. Mudah-mudahan….***