II. PEMBENNKAN GOLONGAN PENGUSAHA TENUN Dl INDONESIA: TEORl DAN FAKTA
Studi tentang gejala pembentukan pengusaha l o M pertenunan di Balige, dapat diawali dengan suatu tinjauan liieratur mengenai teori dan fakta empiris tentang pembentukan golongan pengusaha khususnya pengusaha tenunltekstil di Indonesia. Tinjauan ini nanti berguna sebagai landasan teoritis dan empiris dalam perumusan sejumlah "hipotesis pengarah" (guidnghypotheses) mengenai pernbentukan pengusaha tenun di Balige. 1. Pembentukan Golongan Pengusaha: Tinjauan Teoritis
Di sini hendak ditelusuri konsep-konsep danlatau teori-teori yang mungkin relevan sebagai acuan, sekalipun sifatnya sementara, dalam upaya memperoleh pemahaman tentang gejala pembentukan golongan pengusaha dalam suatu masyarakat. Relevansi konseplteori tersebut pada gilirannya nanti akan ditunjukkan melalui suatu penyimpuian, yaitu dengan mencoba rnenggunakannya untuk menjelaskan gejala pembentukan golongan pengusaha tenunltekstil di Indonesia.
1.I. Kernunculan sosial golongan pengusaha
1.1 . I . Asal-usul sosial golongan pengusaha Aspek asal-usul sosial, bersama dengan aspek nilai yang melatarbelakangi sikap wirausaha. rnerupakan tema klasik dalam kajian kewirausahaan. Dalam studi Wasik mengenai etika protestan dan jiwa kaplalisme, Max Weber telah menyimpulkan bahwa golongan pengusaha kapitalis yang diilhami etika dan j i a tersebut terutarna berasal dari ketas menengah-bawah yang kurang terikat tradisi, bukan dari kelas aristokrat yang terikat tradisi (Weber, 1958). Studi tentang asal-usul sosial pengusaha sejauh ini cendemng mengukuhkan tesis Weber tersebut, yaitu bahwa golongan pengusaha umumnya berasal dari kalangan marjinal, yaitu kalangan yang berjuang keras di bidang ekonomi untuk mengimbangi majinalitas dalam konteks sosialnya (Long, 1977: 105). Dengan menganalisis riwayat hidup sejumlah elit pengusaha mandiri (entepreneufs] skala dunia, lennings et.al. (1 99469)misalnya telah menguji tesis Weber ini dan tiba pada kesirnpulan bahwa mayoritas pengusaha mandiri berasal dari keluarga kelas pekerja atau lapisan bawah. Kesimpulan
Weber dan para pengikutnya tentang asal-usul pengusaha kapitalis ini sesungguhnya konsisten dengan kesimpulan Marx jauh hari sebelumnya.
Menurut Marx, kapitalis-kapitalis kecil (yang
kemudian menjadi besar) untuk sebagian datang dari kalangan perajin kecil dan bahkan buruh upahan (Marx, 1965: 750) atau dengan kata lain dari kalangan kelas bawah. Untuk kasus lndonesia tesis Weber khususnya harus diterima secara hati-hati mengingat golongan pengusaha di negara ini terdiri dari sejumlah kategori primordial dengan latar sejarah berbeda-beda, yaitu pribumi, non-pribumi keturunan Cina, dan non-pribumi selain Cina. Tesis Weber mungkin berlaku untuk golongan pengusaha Cina, yang menurut Wertheim cikal-bakalnya adalah imigran-buruh di perkebunan dan industri Hindia Belanda (abad 17), sebelum kemudian menjadi pedagang perantara (abad 18 dan 19) dan terakhir juga menjadi pengusaha industri manufaktur (sejak sekitar pertengahan abad 20). Orang Cina itu agaknya lebih respons~fdalam memanfaatkan peluang usaha dibanding misalnya orang Iawa. Ketika pada penghujung abad 19 peluang usaha pedagang perantara terbuka lebar menyusul perluasan pasar industri Eropa Barat ke Hindia Belanda, di Iawa orang Cina inilah yang terutama memanfaatkan peluang itu, bukan orang Iawa yang masih terikat pada tradisi agraris (Wertheim, 1959: 58, 94). Terhadap asal-usul sosial pengusaha pribumi, tesis Weber tampaknya tidak sepenuhnya mengena. lika pengusaha dianggap elit modern di bidang ekonomi, maka terbuka kemungkinan ia berasal dari Mangan elit tradisional atau rakyat biasa. lntegrasi golongan petani dan pedagang biasa (non-elit) ke dalam ekonomi uang misalnya, sebagaimana diamati Wertheim di luar-Jawa, dapat mengantar golongan itu kepada "kemakmuran ekonomi" dan dengan demikian menjadi "elit baru" yang menuntut kesetaraan dengan elit tradisional (Wertheim, 1969:141-53). Kesimpulan van Niel lebih tegas lagi: "garis besar perkembangan eiit lndonesia adalah dari elit tradisionil berdasar keturunan dengan orientasi kosmologis kepada elit modem berdasar pendidikan
dengan
orientasi negara kemakmuran" (van Niel, 98412). Baik elit tradisional maupun rakyat biasa, samasama berpeluang menjadi "orang berpendidikan dan berorientasi negara kemakmuran" atau dengan , kata lain "etit modem". Dalam kenyataan mungkin Mja susunan elit modem didominasi individu berlatarbelakang elit tradisional. Dbanding rakyat biasa, elit tradisional memang memiliki akses lebih besar terhadap jalur-jalur menuju elii modem (pendidikan, modal, kekuasaan). Dengan demikian elit tradisional
sangat dimungkinkan menjadi pihak pertama yang mengambil manfaat misalnya dari ekonomi uang dan kemudian mendominasi susunan elit ekonomi termas.uk pengusaha industri. Studi mikro Geertz misalnya menunjukkan bahwa pengusaha pribumi rnandiri (tipe firma) berasal dari golongan elit tradisional tertentu, yaitu antara lain pedagang Muslim saleh (Mojokuto, lawa) dan keluarga bangsawanlaristokrat (Tabanan, Bali). Atas dasar itu ia kemudian memmuskan hipotesis tentatif tentang asal-usul sosial golongan pengusaha mandiri, yang disebutnya "kelompok inovatif", yang intinya sebagai berikut (Geertz, 1963: 147-50):
(a) pemimpin ekonomi inovatif datang dari kelompok sosial yang cukup mapan dan homogen secara sosial;
(b) kelompok inovatif ini terkristalisasi dari suatu kelompok tradisional lebih-luas yang - melalui sejarah panjang
--
memiliki status lintasdesa dan orientasi antar-daerah; dan
(c) kelompok tradisional lebih-luas tersebut sedang mengalami pembahan yang cukup radikal dalam
ha1 hubungannya dengan masyarakat yang lebih has. Salah satu perbedaan mendasar pengusaha pribumi dari pengusaha Cina, setidaknya di tingkat lokal,
adalah latarbelakang budaya ekonominya.
Pengusaha etnis Cina umumnya
berlatahelakang budaya perdagangan-perantara, sedangkan pengusaha pribumi umumnya berlatarbelakang budaya pertanian. Antara budaya pertanian (non-kapitalis) dan budaya bisnis kapitalis terentang jarak yang jauh sehingga, sebagaimana dikemukakan Geertz, pengusaha pribumi (lokal) yang umumnya terikat pada budaya pertanian tidak sepenuhnya mampu mewujudkan bentuk usaha kapiialis melainkan bentuk transisional yang 'setengah-modem setengah tradisionil" (Geertz, 1963: 153).
1.1.2.
Peranan kekuatan sosial supra-lokal Perkembangan produksi kapitalisme terutama dalam bentuk industri, dan dengan demikian
juga golongan pengusaha, Wlususnya di negara-negara yang tergolong "kapitalis pendatang-akhir"
(latPoomer aptalkrn) sangat dientukan oleh peranan atau dukungan negara sebagai kekuatan supra-lokd (Wonley, 1984: 117). Secara lebih spesifik perkembangan tersebut sangat tergantung pada sejauh rnana negara menempuh kebijaksanaan yang
menciptakan iklim kondusif bagi
individulperusahaan untuk terlibat dalam kegiatan investasi dan usaha (Murray dikutip Dixon, 1993: 97-8).
Dari segi ekonomi misalnya, iWim kondusif itu mencakup adanya harapan keuntungan,
kendala yang sekecil mungkin, harapan pertumbuhan, dan kadar konsentrasi industri yang serendah mungkin sehingga peluang berkembang lebih terbuka (Storey, 1994: 61). Kelahiran dan perkembangan peluang usahalpengusaha industri di Indonesia -- yang tergolong "kapitalis pendatang-akhir" -- juga
tidak dapat dilepaskan dari peranan faktor
kebijaksanaan negara. Di Indonesia menurut studi Robison kebijaksanaan negara telah menentukan tipe kapitalisme yang dominan dari masa ke masa. Pada masa kolonial sempat tampil borjuasi saudagar Muslim, tetapi kemudian tenggelam dibawah dominasi kapiialisme yang
dibawakan
pengusaha asing d m Cina. Masa Pemerintahan Soekamo dan Pemerintahan Soeharto kemudian ditandai dengan dominasi kapitalisme-negara, kapitalisme-birokrasi dan kapitalisme-klien (Robison, 1978 dan 1986). Kondisi seperti ini sekaligus menjadi indikasi bahwa: (a) kebijakanaan negara di bidang industrialisasi sangat ditentukan oleh kepentingan ekonomi dan politik rejirn yang berkuasa, dan (b) sepanjang berkenaan dengan pembukaan peluang berusaha, kebqaksanaan tersebut tiak sepenuhnya netral tetapi cenderung mernihak pada suatu golongan sosial tertentu.
1.2. Kelangsungan Sosial Golongan Pengusaha 1.2.1. Status dan peranan sosial golongan pengusaha Golongan pengusaha lazimnya ditempathan pada status 'kelas menengah' dalam tatanan sosialnya. Dalam konteks rnasyarakat agraris, 'kelas menengah'
menurut Castles merupakan suatu
golongan sosial dengan sikap, kegiatan, dan tujuan sosial-ekonomi yang b e M a dari dua kelas lain dalam masyarakat yaitu petani (kelas bawah) dan aristokrat atau penguasa (kelas atas). Kelas menengah itu cenderung
mengembangkan nilai-nilai dan sikap yang lebih baik terhadap
pertumbuhan ekonomi dibanding dua kelas lainnya (Castles, 1982: 28). Status 'kelas rnenengah" yang dikenakan Wetheim pada pengusaha Cina pada penghujung abad-19 misalnya, menegaskan ' bahwa sebagai golongan yang kurang teiikat pada tradisi agraris mereka tidak tergolong ke dalam 'mayoritas petani pribumi' (kdas bawah) ataupun 'minoritas elit politik dan ekonomi Belanda'
(kelas atas), tetapi berada di tengah kedua lapisan itu sebagai "kelas menengah" yang berperan sebagai 'perantara' khususnya dalam konteks bisnis (Wertheim. 1959: 58,94). Batasan Castles dan contoh Wertheim tentang pengusaha Cina tadi mengandaikan suatu ciri pokok "kelas menengah", yaitu "kemandirian" dalam arti menunjukkan batas-batas yang memisahkannya secara tegas dari dua kelas lain. lnilah yang menjadi pangkal perdebatan manakala status 'kelas menengah' dikenakan pada golongan pengusaha atau kapitalis nasional, khususnya di masa Pemerintahan Soekamo dan Pemerintahan Soeharto. Pengusaha yang muncul di dua masa itu dinilai tidak mandiri, tetapi justeru sebaliknya sangat "tergantung pada penguasa untuk dapat melakukan kegiatan bisnis atau peran ekonominya" (Muhaimin, 1990: 265) sehingga dijuluki "pengusaha Wien" (Muhaimin, 1990; Robison, 1978 dan 1986). Golongan pengusaha klien ini tidak membawakan cara produksi 'kapiialisme sejati" (seperti di Barat dan lepang) melainkan 'kapdalisme semu"/Enazt
ciqo$a/ism) yang perkembangannya semata-mata bergantung pada
perekonomian pasar dan pemerintah (Yoshihara, 1990: 180). Gejala "klientisme" tadi telah mengaburkan batas sehingga penyematan status 'kelas menengah"
antara pengusaha dan penguasa,
pada golongan pengusaha di Indonesia dinilai
kurang tepat. Hal ini telah mengilhami Even dan Schiel untuk mengajukan suatu konsep alternatif yaitu "kelompok strategis". Dengan kelompok strategis dimaksudkan adalah 'individu-individu yang terikat oleh suatu kepentingan yakni melindungi atau memperluas hasil yang diambil-alih bwsama' yaitu antara lain pengusaha, militer, pegawai negeri sipil, dan para profesional yang lazimnya dikonsepsikan sebagai "kelas menengah". Mereka disebut kelompok strategis karena rnempunyai arti strategis dalam perkembangan masyarakatnya dan secara aktii bertindak mewakili kepentingan ekonomi dan politiknya sendiri. Pengusaha misalnya, sebagai kelompok strategis yang memperoleh pendapatan melalui pengarnbil-alihan secara korporatif, senantiasa berusaha menunjang jaringan sumberdaya penerikatan dan pertumbuhan perusahaannya (Evers dan Schiel, 1990: xviii, 12,34).'
'
MenWUt Ewn dan Schiel: 'Kefompk-kelompok strategis yang pendapatannya berasal dari pengambil-dihan secara perorangan {mdnya pmgacara dan pedagang ked) cenderung memantapkan watu sistem pditik, tempat wai-partai poliik mempunyai hegemoni. Ke-k strategis yang pendapatannya dihasilkan d a l u i pengambialihan secara kopmtii (misalnya pengusaha industti dan saudagar) berusaha menunjang jaringan sumberdaya perserikatan atau pettumbuhan perusahaan. Kelompdc strafegb yang pendapatannya d i i m k h & pengambilalihan seam IudeMif ( m ' w a pegmi negeri dan mirier) akan melakukan usaha ekpansi organisasi masingmasing da!am bentuk perluasan apaat n e w dan pengimasannegataara (k dan Schiel, 1990: 34).
...
Pada aras makro, analisis Yoshihara tentang 'kapiialisme semu"rnenguatkan pandangan bahwa golongan pengusaha cenderung mempejuangkan kepentingan ekonomi dan politik sendiri.
la memajukan konsepsi 'industrialisasi tanpa pembangunan" untuk menggambarkan
bahwa golongan kapitalis, khususnya industrialis di Asia Tenggara tenasuk Indonesia tidak mampu berperan sebagai pelopor perubahan ekonomi, melainkan iebih sebagai beban bagi perekonornian karena dua alasan. Pertama, proteksi dan subsidi pemerintah terhadap industri manufaktur telah menciptakan suatu sistem industri yang tidak efisien. Kedua, pemerintah tidak banyak berbuat untuk rnemajukan teknologi dan sains sehingga para kapitalis industri dornestik terpaksa bergantung pada teknologi asing (Yoshihara, 1990: 164-6). Namun gejala makro (nasional) tampaknya tidak hams berlaku sepenuhnya pada aras mikro (lokal). Geertz misalnya, dalam kajian rnikro yang disebutkan di muka, telah merumwkan hipotesis mengenai peran sosial elit pengusaha lokal yang intinya adalah (Geertz, 1963: 151-2): (a) dalam konteks masyarakat pra-lepas landas
peranan
elit pengusaha terutama adalah
mengadaptasi cara lama (yang sudah mapan) untuk mencapai tujuan baru; dan
(b) pada aras ideologis eiit pengusaha lokal menempatkan din sebagai wahana utama keunggulan religius dan moral. Pada intinya Geertz menemukan bahwa elit pengusaha lokal memberi sumbangan terhadap perkembangan
ekonomi
dan kebudayaan masyarakatnya.
Di bidang ekonomi elit
pengusaha itu menjalankan usaha yang bersifat 'setengah-modem setengah-tradisional'. Geeftz menyebutnya 'institusi ekonomi transisional', dimana sejumlah nilai, struktur, kepercayaan dan keahlian yang berasal dari kebudayaan dagang ataupun tani asli diintegrasikan dengan karakteristik ekonomi perusahaan yang telah maju dan terspesialisasi, lnstitusi tersebut sekaligus memberi ciri transisional atau pra-lepas landas pada masyarakat. Kehadiran ekonomi transisional ini menurut Geertz menceninkan suatu kemajuan menuju awal pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Sedangkan di bidang kebudayaan, elit pengusaha lokal memiliki anggapan bahwa tingkat kebudayaan , keseluruhan masyarakat yang lebih luas hampir sepenuhnya tergantung pada keberhasilan mereka dan kegiatan mereka (Geertz, 1963: 150-3). Hipotesis Geertz juga didukung oleh pandangan Castles tentang peranan golongan pengusaha dalam kapasitasnya sebagai 'kelas menengah'. Menurut C a s k
'Kelas menengah mempunyai kesernpatan untuk mengadakan pembaharuan - kemampuan menabung dan luasnya pengalaman - yang sangat kurang terdapat dalam lingkungan kaum tani. Dan mereka mendapat pendorong untuk mengadakan pembaha~andan menabung, yang tidak dimiliki golongan atas: yaitu dengan menanam modal, menemukan metodemetode baru, clan memecahkan persoalan produksi dan kun,, sehingga mereka menambah pendapatan mereka dan barangkali pada waklunya mengangkt status sosial mereka juga' (Castles, 1982: 28).
Dalam kajian tentang pengusaha lokal (santri) kretek di Kudus, terlepas dari kegagalan golongan tenebut dalam berusaha, Castles juga mencatat peran mereka sebagai pembaharu. Golongan santri pengusaha itu telah menciptakan industri dan
menunjukkan serangkaian
goncangan ataupun tantangan untuk mengubah kondisi ekonomi dan poliik di Kudus (Castles, 1982: 150). Dalam kaitan ini, merujuk pada Niel (1 984: 12),tepat jika pengu~hadisebut sebagai salah satu golongan elit modem, yaitu elit fungsional yang memimpin di bidang ekonomi dan berkarya untuk mendukung kelangsungan suatu masyarakat modem. 1.2.2. Forrnasi sosial dan kehadiran golongan pengusaha Pengusaha sebagai suatu golongan sosial terintegrasi kedalam suatu struktur sos~al. Karena itu pemaharnan mengenai kehadiran sosial golongan pengusaha mengandaikan juga pemaharnan mengenai konteks stmktur sosialnya. Sejauh kehadiran golongan pengusaha menunjuk pada "proses produksi" sebagai suatu proses sosiologis, maka tenedia dua pilihan konsep untuk menjeiaskan struktur sosial tadi yaitu "cara produksi" (mode of psoducbon) dan "formasi sosial" (Malt1 formation). Mengikuti konsepsi Kad Marx,
cara produksi - atau "cam orang berproduksi" --
merupakan gabungan antara "kekuatan produksi" (forces ofproducbon) dan "hubungan produksi" (&hn
ofproducbon) (Wonley, 1988: 30; Russel, 1989: 7).* Unsur "hubungan produksi" di sini
menunjuk pada hubungan institusional atau hubungan sosial dalam masyarakat, dan dengan demikian menunjuk pada stmktur sosial. Karakteristik hubungan produksi (sosial) ini sekaligus mempakan faktor penciri yang membedakan satu dan lain tipe cara produksi dalam masyarakat. Menurut Russel.
K e h pmduksi addah gabungan dan' abt produki (means of produdan) - m e d p perlenglepan ketja dan obyek kerja - dm kekmpihn (pekerja), yang sewa keselutuhandbebut sebagai basis mated. Sedangkan hubunganproduksi ad* hubungan smd yang menyertai prwes kerja, yaitu mencalolp koadiii pembagii klja tekni dan ragam bentumn kepentingmantaa p e w dan pemilikmodal (Wwsky. 1988: 30; Russd. 1989: 7).
.
sepanjang hubungan itu antara sesama manusia, terdapat tiga kemungkinan tipe hubungan yaitu egaliter, kelas, dan transisi sebagai tipe "antara" (Russel, 1989: 6-9). 3 Sedangkan formasi sosial adalah gejala dimana dua atau lebih cara produksi hadir secara benamaan dalam masyarakat, dan salah satu cara produksi mendominasi atau cendemng mendominasi yang lainnya. (Taylor, 1979: 1 01-2; Worsley, 1984: 34;
Budiman, 1995: 104).
Konsepsi formasi sosial ini mengandaikan suatu "artikulasi c a n produksi" (a&Iation
of modes of
produchon), yaitu suatu proses strukturasi dalam konteks budaya tertentu dimana sekurangnya dua cara produksi yang berbeda, kapitalis dan non-kapitalis, hadir berdampingan dalam suatu pola "saling-kait" (interrelation) yang bersifat asimetris, dalam arti cara kapitalis cenderung mendominasi cara non-kapiialis. Artikulasi cara produksi tenebut "distrukturasikan oleh keperluan repmduktif cara produksi kapiialis di satu pihak dan resistensi cara non-kapitalis atau unsur-unsurnya di lain pihak, dimana baik keperluan reproduksi maupun taraf resistensi itu bembah sepanjang waktu" (Taylor, 1979: 102, 228).4 Menurut Taylor: 'Dalam kasus penetrasi kapitalisme kedalam formasi Msial non-kapitalis di Dunia Ketiga dimana. sebagai akibat penetrasi imperialis, cara kapitalis meniadi dminan, artikulasi praktek suatu cara produksi dalam cara lainnya ditentukan deh keperluan reproduksi cara kapitalis dan oleh pembatasan yang dikenakan pada artikulasi tenebut, baik itu b e ~ p abatas-batas lingkup penetrasi, sebagaimana ditetapkan cara produksi non-kapitalis, maupun b e ~ p akeberlanjutan reprcduksi unsur-unsur cara non-kapitalis" (Taylor. 1979: 227).
Dalam kenyataannya di dalam masyarakat selalu terdapat lebih dari satu c a n produksi, sehingga konsep formasi sosial lebih mendekati kenyataan empiris dibanding konsep cara pmduksi yang sesungguhnya merupakan "tipe ideal" (Budiman, 1995: 104). Dengan demikian stmktur sosial suatu masyarakat, dan tempat gobngan pengusaha di dalamnya, lebih tepat diterangkan melalui konsep formasi sosial yaitu sebagai artikulasi ragam cara produksi.
Tipe egaliier mencakup cara pmduksi kcinunal dm komunis, sedangkan tipe kelas mencahup cara pmduki negara, budak, ieodal, dart kapitalis. Sedanglen tipe transisi mencakup cara produki petani d i n , pemilikan sedehna (simple pmperty), dan sosials (lihat Russel, 1989:-&9,khususnyaTabel 1 .I). Menunil TaylM: "Konsep "attikubsi" sendiri mengindikasikan bahwa pola 'salingkai" ( i n t e d . ) anbr cara pduksi mengandung Veterminm struktural" dalam rangka keperluan reproduIdt dari cara pmduksi kpitalk dan nonkapaalis yang hadir berdampingan. Kepduan repmduksi ini mmgakmi alih-benhrkm a ~ k a bcara poduM kapitalb tdah menddmasi dan semakin mwnbatasi repduki unsur-unwr cara pmduksi nonkapialii. Secara bersamaan artikulasi cara pn~IuUyang mensbuldurasikan fcrmasi wsial juga mengalami pembahan" (T*, 1979: 287, catatan laki, telpmahan MTFS).
Formasi sosial yang berlaku umum dewasa ini adalah formasi sosial kapitalis, yaitu artikulasi ragam cara produksi yang dicirikan dominasi cara kapitalis. Untuk konteks pedesaan ataupun kota kecil di Indonesia, artikulasi cara produksi masyarakat Minangkabau rumusan Kahn dapat menjadi acuan. Kahn menunjukkan kehadiran tiga cara produksi secara bersamaan dalam masyarakat Minangkabau, yaitu (Kahn, 1974:340-41):5 (a) produksi subsisten (subsisfence pmduction) yaitu usaha pertanian tanaman pangan dimana
hubungan produksi terbatas dalam keluarga inti dan hubungan antara pekej a benifat egaliter;
(b) produksi komenialis @e~commod/ivpradu~on)yaitu usaha pertanian ataupun lux-pertanian yang (sudah) berorientasi pasar dimana hubungan produksi menunjuk pada gejala eksploitasi surplus melalui ikatan kekerabatan, dan hubungan sosial antara pekeja (urnumnya anggota keluargalkerabat) benifat egaliter tetapi kompetitif 6; dan (c) produksi kapitalis (apifalisf producon) yaitu usaha padat-modal berorientasi pasar dimana
hubungan produksi mencakup struktur majikan-buruh atau "pemilik modal - pemilik tenaga". Ketiga cara produksi tenebut menurut Kahn memiliki keterkaitan integratif tetapi dalam bentuk yang benifat asimetris, dimana produksi kapitalis tampil sebagai cara yang dominan sedang dua cara lainnya pada posisi resisten. Curahan w a h keja pada produksi subsisten menyumbang kepada produksi komenialis dan kepada buruh upahan dalam perusahaan kapitalis. Tetapi Artibksi ketiga cata produksi itu adalah sebagai ben'kut (Kahn, 1974: 340-1): (a) Produki S u b s i i : kekuatan produksi mencahp tanah s e w alat prcduksi, kduarga sebagai unit pmduksi. an+ keluarga/kerabat dekat wbagai tenaga keja utama ( h ~ upahan h hngka), dm padi sehagai pmduk utama. Huhngan pmdulcri terbatas dalam keluarga inti, hubungan antam peke^@ bersifat egaliter (elepioitasi tenaga ketja tejadi hanya dalam kasus hubungan penyakapan bagihasil menyumbang pada reproduksi pemilik tanah), dengan orientasi usaha subsisten. (b) Pmduksi Komersialiis: klaratan pmduksi mendup taMh danlatau non-tanah se!xga a& produksi, ind~du sebagai unit produksi, individu dm anggda keluarga sebagai tenaga kerja utama (buruh upahan langka), dan lwncdii ekqm/komumi bkd sebagai pmduk u t m Hubungan produksi menunjuk pada gejak eksploii surplus melalui ikatan kecabat dekat, hubungan sosid antara pekja yang benifat egaliier tetapi kompetli (dimana pekeria &hasil kerjmya u n h k d i p h k a h n sebagai h c d i i ) , din orientasi pada pasar (rddbat luompetisi, harga produk lebih rendah dibanding biiya produksi). (c) Produki KapRalis: kekwtan produk mencalolp modal sebagai alat pmduksi, pensahaan sebzgai unit produlsi. buruh upahan s e w tenaga krja utama, dan W i i eksprl komumi dornestik sebagai produk utamaHubungan pmduki rnencakup shuktur majikan+u~h. dimana majikan seLqai pemilk d d sedangkan buruh t i memiliki A t pmduksi (kecuali menjual tenaga yang menghasih nilai), surplus niki yang &rap pemilik modal. dm Mientasi pada p a r . lika dikembalikw padatipologi Russel (1989), cara pmduksi subsisten dan produlcri k o m e d k lampahyatergdong lipe transisi yah caracara pmduksi petani mandili ataupun pemilikan sederhana. sedangkancara pwluksi kapitali m e r u m tipe Mas yang diilikan stnddur majikanhruh pada hubungan pmduksinya. PeHymmmod@pmWhsaya dihbahasakan sebagai 'b&is" mmgingat pmdgnannya adahh pada "crientasi pasar" atau dengan halain 'bmwsil", bukan pada pemenuhan subsisten (seperti pada produksi &sten) dan bukan pula @a akumuksi modal (seperti pada pmdulcri ws)
curahan waktu kerja yang diserap produksi komersialis dari produksi subsisten tadi dalam kenyataannya dialihkan langsung ke cara produksi kapitalis melalui suatu proses pertukaran yang timpang. Barang yang dihasilkan produksi komenialis
dijual ke pasaran (domestik dan ekspor)
dengan harga yang lebih rendah dari biaya produksinya. Karena itu dapat dikatakan bahwa cara produksi kapitalis untuk sebagian direproduksi oleh cara produksi subsisten. Sebagai indikatomya Kahn menunjuk pada antara lain upah buruh yang lebih rendah dari total biaya reproduksi buruh (Kahn, 1974:340-41). Formasi sosial kapitalis di pedesaan Indonesia dengan demikian, jika mengacu pada rumusan Kahn, ditandai dengan artikulasi cara produksi subsisten dan komersialis dibawah dominasi kapitalis. Tempat golongan pengusaha dalam formasi sosial tenebut adalah dalam kawasan cara produksi kapitalis, disamping dalam kawasan produksi komenialis yang merupakan "kawasan transisi" antara produksi subsisten dan kapitalis.
Perkembangan sosial golongan pengusaha,
mencakup aspek prestasi kehadiran sosial (statuslperanan sosial) berikut implikasinya pada taraf kelestarian sosial golongan itu, dengan demikian dapat diterangkan dalam konteks formasi sosial kapitalis tersebut. Dalam rnenjelaskan perkembangan sosial golongan pengusaha, sekaiipun itu di aras lokal, sejauh benangkut-paut dengan cara produksi kapitalis maka konteks sistem ekonomi dunia tidak dapat diabaikan. Pada saat suatu masyarakat I o M benentuhan dengan kekuatan kapitalis, maka pada saat itu pula ia telah terintegrasi dengan sistem ekonomi dunia yaitu formasi sosial kapitalis aras global. Dengan demikian, merujuk pandangan Kahn, perekonomian lokal (rnikro) bukan sesuatu yang terisolasi melainkan terintegrasi secara struktural kedalam sistem perekonomian dunia. Karena itu penjelasan mengenai perkernbangan ekonomi lokal, atau golongan pengusaha low, tidak cukup dibatasi pada aras mikro tetapi hams mencapai konteks keterkaitan integratifnya kedalam sistem dunia atau makm (Kahn, 1974: 274, 317). Dengan ini konsepsi ekonomi dualistis dari Boeke (1953), yang mengganggap tidak ada keterkaiian antara tatanan ekonomi asli (lokal, pra-kapitalis) , dan tatanan ekonomi impor (kapitalis) sekaligus telah ditolak. Konsepsi integrasi ekonomi tersebut berangkat dari teori "sistem dunia"
lmmanwl
Wallentein, yang melihat bahwa satu-satunya sistem dunia adalah sistem perekonomian dunia (Budiman, 1985: 108). Inti pemikiran Wallerstein rnenurut Stinchombe adalah:
"... bahwa suatu sektor
ekonomi merupakan sub-sistem dari satu atau lebih masyarakat yang lebih luas. Subsistem tersebut menghas'lkan jenis dan jumlah masukan tertentu untuk bagian lain dalam masyarakat yang lebih luas, dan secara khusus untuk subsistem relasi internasianalnya (atau relasi kolonial). Lebih jauh ia menciptakan pennintaan yang benifat unik di pihak subsistem relasi intemasionalnya, menurut persyaratan, keunggulan kompetitit, dan kerentanannya sendiri" (Stinchombe, 198317, terjemahan oleh MTFS).
Artikulasi sistem dunia ini menampilkan struktur 'pusat - semi-pinggiran - pinggiranycore -
semi-pe@hety - peni,heqj (Wallerstein, 1972). Dalam struktur ini "pusat" memegang "kendali" (contro4
yang memungkinkannya mengambil-alih surplus produksi dari "pinggiran", sekaligus
membangun dukungan politik bagi hak-haknya di "pinggiran" (Stinchombe, 1983: 15). Struktur seperti ini dapat diamati dalam hubungan ekonomi antara negara-penjajah (pusat) dengan negara jajahan (pinggiran) di m a lalu, atau antara negara maju (pusat)
dengan negara sedang
berkembang (pinggiran) dewasa ini. Dengan ini hendak dikatakan bahwa perkembangan kehadiran sosial golongan pengusaha, baik "kelas" lokal maupun nasional, di suatu negara "pinggiran" tidak dapat dilepaskan dari perkembangan kehadiran sosial golongan pengusaha di nqera-negara "pusat".
Landasan bagi kesimpulan seperti ini lebih jauh dapat dicari dalam pemikiran Petras yang
melihat bahwa pola dan tahapan industrialisasi di negara sedang berkembang tidak dapat dilepaskan dari konteks dan keterkaitan historisnya dengan pola dan tahapan industrialisasi atau akumulasi modal di negara kapiialis maju (Petras, 1984: 183, 186).
1.2.3. Perkembangan sosial golongan pengusaha
Kelangsungan sosial golongan pengusaha di sini menunjuk pada perkembangan keberadaan (statuslperanan) sosial golongan tenebut dalam konteks wsialnya atau dalam konteks formasi sosial di mana goiongan tenebut hadir. Pertanyaan pokok rnengenai perkembangan sosial tersebut
adalah: apakah keberadaan sosial pengusaha tersebut menunjuk pada gejala kemajuan
atau sebaliknya kemunduran (pemudaran)? Dalam konteks formasi sosial kapiialis, sejauh golongan
pengusaha adalah kapiialis, '
perkembangan sosial golongan tersebut sangat diientukan oleh kernampuannya membawakan cara produksi kapiiis. Pada titik ini, ada dua pendekatan untuk menjelaskan masalah perkembangan wsial golongan pengusaha. Pertama adalah pendekatan yang membatasi analisis pada unit individu
p e n g u ~ h aataupun perusahaannya dan, kedua, adalah pendekatan yang tidak berhenti pada aras individulkeluargadan perusahaan tetapi memperluas analisisnya ke aras l o M sampai global melalui kajian fonasi wsial (artikulasi cara produksi). Pendekatan pertama cenderung melokalisir masalah perkembangan
sosial goiongan
pengusaha semata-mata sebagai masalah intemal yang bersifat mikro. Untuk kasus pengusaha lokal "tipe firma" di Iawa dan Bali, Geertz pemah menerapkan pendekatan serupa dan tiba pada kesimpulan bahwa kekurangberhasilan pengusaha lokal itu
berpangkal pada antara lain
kekurangmampuan dalam organisasi dan administrasi. la behipotesa bahwa "masalah utama inovasi dan inovasional yang dihadapi pengusaha terutama adalah masalah organisasi bukan masalah teknis'.
Menurut Gee& pengusaha lokal
kurang memiliki 'mentalitas pemikif, sebagaimana
tercermin dari rendahnya kemampuan mereka dalam memobilisasi sumberdaya sosial-ekonomi dan mengorganisasikan pekerja secara sistematis untuk meraih tujuan-tujuan bisnis (Geertz, 1963: 151-2).
Pendekatan serupa, tetapi selangkah lebih maju karena sudah mempertimbangkan ragam faktor eksternal, pernah juga diterapkan Castles untuk menjelaskan kegagalan golongan santri dalam industri rokok kretek di Kudus. Analisis Castles tiba pada kesimpulan bahwa kekegagalan tenebut terjadi karena golongan santri: (a) gagal menguasai saham dalam rangka persaingan dengan golongan Cina, (b) gagal dalam mekanisasi industri rokok kretek, (c) gagal memajukan organisasi usaha menuju bentuk yang lebih kompleks dari perusahaan keluarga sehingga tidak dapat memainkan
peran utama dalam pembangunan, dan (d) gagal mempertahankan hubungan
fungsional dengan golongan-golongan sosial lain. Tiga ha1 tersebut pertama merupakan kegagalan ekonomi; dalam ha1 ini kegagalan mekanisasi khususnya untuk sebagian disebabkan oleh politik pemerintah dan serikat buruh yang mencegah mekanisasi guna menjamin lapangan keja. Sedangkan ha1 tersebut terakhir merupakan kegagalan sosial-politik; santri pengusaha gagal memperoleh dukungan dari golongan buruh, tokoh agama, tokoh politik, pemerintah dan bahkan , golongan santri non-pengusaha (Castles, 1982: 150-1). Masalah perkembangan
sosial golongan pengusaha tidak cukup diterangkan dari sisi
intemal, dengan membatasi analisis pada individu pengusaha ataupun organisasi perusahaannya. Bagaimanapun juga dalam konteks formasi sosial kapiiime, merujuk pandangan Kahn,
perekonomian lokal (mikro) terintegrasi secara struktural kedalam sistem perekonomian dunia, sehingga penjelasan mengenai perkembangannya harus mencapai konteks keterkaitan integratifnya kedalam sistem perekonomian dunia (Kahn, 1974: 274, 31 7). Dengan ini pendekatan kedua, yaitu kajian formasi sosial dan keterkaiian integratif dengan sistem dunia, menjadi suatu tuntutan. Pendekatan kedua ini pernah diterapkan Kahn (1974) dalam suatu studi antropologiekonomi untuk rnenjelaskan gejala kemunduran atau pembalikan orientasi usaha pandai besi di pedesaan Miangkabau (Sumatera Barat), dari semula "orientasi kapitalistik" (skala besar) berbalik menjadi 'orientasi atomistik" (individual, skala kecil dengan teknologi rendah). Dalam studinya Kahn menerapkan analisis artikulasi ragam cara produksi (berarti: formasi sosial) untuk menjelaskan gejala integrasi struktural usaha l o M kedalam sistem dunia. Faktor-faktor utama yang menjadi prasyarat dalam operasionalisasi adalah struMur harga-harga, khususnya menyangkut harga barang-barang yang dihasilkan masing-masing cara produksi, dan struktur upah buruh di masingmasing cara produksi tadi. Di muka sudah disebutkan bahwa artikulasi cara produksi di pedesaan Minangkabau menampilkan tiga cara produksi, yaitu subsisten, kornersialis, dan kapitalis yang dominan. Kahn menggolongkan usaha pandai besi ke dalam cara produksi kornersialis. Analisisnya menunjukkan bahwa persaingan di pasaran dengan barang yang dihasilkan produksi kapitalis menyebabkan harga jual barang yang dihasilkan cara produksi usaha kecil tenebut telah diekan sampai menjadi lebih rendah dari biaya produksinya. Daiam kondisi demikian unsur buruh upahan dalam usaha pandai besi mustahil dipertahankan, sehingga pilihan yang paling rasional pada akhirnya adalah atomisasi (individualisasi) usaha dan penerapan teknologi rendah. Gejala atomisasi tersebut dari satu sisi mempakan suatu
kemunduran, atau suatu pernudaran statuslperanan, mengingat
sebelumnya sudah ada usaha pandai besi berciri kapitalis dalam skala besar. Dari sisi lain, yaitu dalam
kontekr formasi sosial kapitalis dan integrasi dengan sistem dunia, atomisasi tersebut
2. Perkembangan Usaha dan Pengusaha Tenun di Indonesia, 1900-1998
Tinjauan perkembangan uMha d m pengusaha tenun di lndonesia harus memperhatikan konteks periodisasi pemerintahan sejak masa kolonial. Hal ini mengingat pemerintah yang berkuasa pada periode tertentu memiliki kebijaksanaan tersendiri, yang tentunya memiliki implikasi tersendiri pula terhadap perkembangan industri dan golongan pengusaha industri tenun. "era-baru"
Terhitung sejak
(1900-1 942) dalam pemerintahan negara kolonial menurut Ricklefs (1 981 )',
pemerintahan di lndonesia dapat dibagi kedalam empat periode yaitu: (a) Periode Kolonial Belanda (1 900-1 942),
(b) Periode Perang (1 942-1 950), (c) Periode Pemerintahan Soekarno (1945-
1966). dan (d) Periode Pemerintahan Soeharto (1966 - 1998). Data perkembangan industri tenun di lndonesia sejak periode pemerintahan kolonial sampai pemerintahan Presiden Soeharto (Tabel 2.1 ), memberi indikasi perbedaan kebijaksanaan antara satu dan lain rejim yang berkuasa.
2.1. Periode Pemerintahan Kolonial Belanda (1900-1 942) Kegiatan pertenunan sudah ada sejak tahun 1800-an di berbagai daerah lndonesia berupa pertenunan berbasis alat tenun gedogan yang menghasilkan tekstil tradisional. Kegiatan itu umumnya ditekuni kaum wanita sebagai mata pencaharian sampingan, sehingga ketika itu suatu golongan sosial pengushatenun belum muncul. Sejarah mencatat bahwa kegiatan pertenunan "asli" (lokal) tenebut kemudian mengalami kemunduran drastis antara lain karena produk tenunnya tenaingi oleh tekstil impor beharga murah. Dalam p m h pertama abad 19 kegiatan pertenunan lokal di lawa misalnya menjadi korban persaingan impor tekstil antara lnggeris dan Kerajaan BelandaBersatu (Kraan, 1996). Di penghujung abad itu, tepatnya pada Periode Liberal (1870-1900) di Hindia Belanda, impor tekstil murah dari Twente, Belanda kemudian menguasai p a r tekstil terutama di lawa sehingga pertenunan lokal semakin terdesak (Wetheim, 1959: 94).
7 R W menyebut masa I900- 1942 sebagai 'en baru" pemerintahan kolonial, ydu era berakhimya penaWukan dan elrsploitasi atas Hindia Belanda. 'Era barubaru 1900-1942 ditandai dengan: (a) otoritas pemerintah kolond atas keselwhan wilayah taklukannya, dan (b) perubahan o k t a s i dati hploitasi rnenjadi &asi kemakmuran Hindii Belanda (PoliikEtis) (lihat Wefs, 1981).
Tabel 2.1. lumlah Pabrik Tenun dan Alat Tenun di Indonesia, 1930-1996 Perode/ Jumlah Jumlah lumlah Tahun Pabrik ATBM ATM Masa Kolonial: 1930 19 44 257 1933 83 1.299 46 1935 160 3.919 414 1937 1.123 11.994 2.013 tad 1940 35.000 6.653 1942 1.867 49.316 7.600 Masa PemerintahanSoekamo: 1950 2.109 71.997 11.390 tad 1955 78.857 12.697 tad 1957 111.522 15.301 tad 1960 1M.000 16.896 tad 223.905 20.284 1962 1965 tad 324.000 27.003 Masa PemerintahanSoeharto: 1968 tad 166.056 35.335 tad 50.030 53.691 1974 tad 1978 66.300 67.062 1987 660 tad 101.060 tad 138.244 1990 940 1993 909 tad 191.508 1996 986 tad 213.003 Surnber: (1) Data 1930-1942: Data 1930-37 dati &Iku Petun~klndustriTekslil(Jakarta: Departemen P&ndustrian. 1976: 21). mengutip A. Aten, En@ Aanfekeningen over& M j k r f w a h l m , lndonesie Vol. 6, 1952 (206. N)8). Data 1940 dari Suhadi Mangkusuwondo (1967: 102. Tabel 111.1) mengutip A. Aten (1952). Jumlah yang W a untuk tahun 1940 dilaporkan dakm &hu Petunyifk I n M Tekrt(1976: 27, Tabel 13), yaitu 44.000 unit ATBM dan 8.000 unit ATM. Data 1942 dari 1.0. Sutter (1952:42) mengulip Piato AA. AEhsien di Parkmen. 5 luni 1952. Id, Parkrnen 1952, Djakarta: Kementelian Penerangan. 1952 (h. 609) dan S a m Wirodihardjo. De CMting~nteenmppdXkken him W o p &IWi Djakarta. g. 1951. (2) Data 1950.1 965 Data 1950-62d a i I. Palmer dan L. Castles (1965: 36. Tabel 2). Data iumlah pabnk tenun 1950 dari b u k Siahaan (1980: 10) mengutip A. Atm (1952/53). Data 1965 dan W P e r W @ k l&n' Terntil (1976: 29, Tabel 15). (3) Data 1968-1996: Data 1964-1978 dari Bsuk Siahaan (1981: 16,22, 32, 80, Tabel-Tatel 5. 8, 10 dan 21) mergutip hbagai sumbw. Data 1987 - yang mencakup hanya idushi tenun ATM skah men@ dan besar adalah data tengah tahun dildp dari B u k u k b m $ k l M TWN&md(lakarta: Depertmn Perindustrian dan Bank Indonesia, 1987: 19-20, Tabel 10 dan 12). Data 1990-1996 juga mendup hanya industri tenun ATM sMa menengah dan besar - dikutip dari l W T H C b h m Aqh Tahun 1989 shd 19% (1Direbrat lndustri Tekstil) (data dipemleh dan Direktomt lndustri Tektil, Departemen Perindumian dan Pwdagangan dalam bentuk fdokop~pni,t-auul)
-
-
Berikutnya sdama tiga dasawana pertarna pada permulaan abad-20 (1900-1 930), gejala kemerosotan usaha pertenunan lokal terus berlanjut. Pukulan tidak saja datang dari impor tekstil Twente tetapi juga kemudian dari impor tekstil lepang. lmpor tekstil murah dari lepang ini, terutama pada tahun 1920-an, bahkan tidak hanya memukul pasaran tenunan lokal tetapi juga tekstil impor
'
dari Twente, sehingga lepang sempat dituduh melakukan 'obralann (dumpin9).8 Untuk mengembalikan dominasi tekstil Twente - sekaligus menekan dominasi tekstil asal lepang
--
Pemerintah Kolonial kemudian menerapkan sistem kuota dan pembatasan impor, tetapi akibatnya kesempatan penduduk memperoleh tekstil murah menjadi hilang. Sejak tahun 1929 sampai awal 1930-an Depresi Besar perekonomian dunia telah memukul terutama sektor pertanianlperkebunan di Hindia Belanda, sehingga tenaga keja di sektor itu terpaksa harus diciutkan dan sebagai akibatnya tingkat pengangguran melonjak drastis. Dampak langsung kesulitan ekonomi tenebut adalah kemerosotan tingkat pendapatan, sehingga penduduk mengalami kesulitan pula untuk memenuhi kebutuhan pokok antara lain bahan sandang. Sebagai jalan keluar Pemerintah Kolonial kemudian mendorong perkembangan industri tenun lokal s M a kecil, yang dapat sekaligus mengatasi penurunan pendapatan penduduk akibat depresi dan menyediakan tekstil murah untuk konsumsi massal (Palmer dan Castles, 1965: 36).9 Dorongan tersebut diwujudkan dalam bentuk peraturan yang menciptakan iklim kondusif bagi perkembangan industri tenunltekstil, disertai dengan penyebarluasan teknologi "unggul" ATBM temuan Textlelln~ichthgte Bandung (TIB)lO. Peraturan terpenting yang dikeluarkan pada waktu itu adalah: (a) C&b
l n m r d o n n m f i e (Ordonansi Krisis Impor) tahun 1933 yang menetapkan antara
lain pembatasan impor tekstil (antara lain sarung berwarna dan kain cita) dan peningkatan kuota impor tekstil dari Hindia Belanda bagi negara-negara eksportir, dan (b) Bebnji%reg/emnteflngs Ordonmtie (BRO) yang mengatur antara lain pembatasan pendirian pabrik tenun baru yang mempunyai lebih dari 14 unit alat tenun (Siahaan, 1981: 5-8; Hill, 1990: 9-10; OK, 1986: 121).
a Lihat Wwtheirn (1959: 94). Kesimpulan Wertheim tentang "obralan" (dunpi@) tekstil dari lepang sebenarnya
meragukan. lepang dimungbnkan untuk menjual pmduk tekstilnya dengan harga yang jauh lebih murah dibanding produk tek5til Twente, Belanda k X e upah ~ tenaga keja di Jepang jauh kbih mulah. Dalam surat kabar Eendracht (Samha) (Balige, Tapmuli) No. 5, 1 April 1933 midnya diritakan seoraog pimpinan sebuah pe-n (Kongsi Courtahuds) rnemperingatkan bahwa industri tetcstil Empa dan Amerika tidak akan sanggup beMing dengan idustri tekstil Jepmg, mengingat antara lain upah tenaga keja yang jauh lebih mumh di lepafig. sejalan dengan pecubahan wientai poliik dati 'ekspldtasi" ke "pembangunan" ( P o l i Etis) di Hindia Behnda. Pemelintah Kobnial beikpentingan untuk memajukan ekonomi mkyat. Pengembangan idustri tenun rakyat menjadi salah satu pilihan waktu itu karena memungldnkan pencapaim hrjuan g d a yaitu peningkatan pendapatan rahyat dan ketenediaan tekstil m u d untuk konsurnsi m a d . 10 Dalam rangka pengembangan industri tenun rakyat pada tahun 1922 Pemerintah Mimendmkan T&lnffdt@ te &ndu/k~(TIB), Hlatu lembaga pengembangandm penyebarlumantekdcgi baru pertenunan, lnwasi TIB yang terpnting - yang brut memicu 'ledakan industri tenun" tahun 1930-an di lndonsia a& telmdogi "Akt Twnn Mian W m " {ATBM), wntu tehkgi yang mampu mempersernpR kesenjangan produkt~itasantara alat tenun gedagan &n ATM dari 1:50 menjadi 1:5 sekalius memperbaib rnuhr U n t e n m ( lihat Antlw d m S v e m . 1990: 114). 9
-
Termasuk dalam kebijaksanaan ini adalah pernbebasan pajak impor benang tenun dan pembebanan pajak impor (30%) atas satung tenun (Wertheim, 1959: 116-7; Palmer dikutip Hardjono, 1990: 2-3; Palmer dan Castles, 1965: 34-36). Dengan berbagai kebijaksanaan pemerintah tenebut maka dekade 1930, selain merupakan tonggak awal industrialisasi di Hindia Belanda, telah menjadi dekade "ledakan industri tenun" dan sekaligus "revolusi teknologi tenun" dari gedogan ke ATBM. Hal ini ditandai dengan peningkatan jumlah pabrik tekstil di lawa dari 19 menjadi 1.1 23 unit dalarn masa 1930-1937 dan menjadi 1.867 unit pada tahun 1942, akhir periode pemerintahan kolonial (lihat Tabel 2.1 ). Mayoritas pabrik tenun tersebut adalah usaha kecil berbasis ATBM, mencakup tipe "rumahan", dengan modal 1-14 unit alat tenun; 89,6 persen (1.010 unit) dari total pabrik tenun tahun 1937 tergolong kedalam kelompok ini (Tabel 2.2). Menurut Sutter sebagian besar pengusaha kecil tersebut, umumnya golongan pribumi, berada di daerah Majalaya, lawa Barat (Sutter, 1959: 43). Tabel 2.2. Jumlah Pabrik Tenun menurut lumlah Alat Tenun di Indonesia, 1930-1950 Tahun
Kelompok lumlah Alat Tenun (ATBMIATM)
1-14
15-49
50-249
lumlah
250-999
Sumber: B'isuk Siahaan (1981: 5,10) rnengutip A. Aten. En& Aantekeningen o w h M@e&idin I-, lndonesie Vol. 6.1952/1953.
Tahun 1930-an dengan demikian sekaligus dapat dianggap sebagai awal kehadiran golongan pengusaha industri tenun di Indonesia. Golongan pengusaha tenun yang muncul waku itu, metujuk pada Sutter (1959: 42, 804) terdiri dari empat kategori primordial dengan perbedaan menyolok dalam ha1 skala usaha, yaitu: (a) golongan mayoritas pribumi yang dominan pada kegiatan produksi skala kecil dan sMa rumahan. (b) golongan etnis Cina dan (c) Arab yang dominan pada pabrik skala kecil dengan teknologi non-mesin, dan (d) etnis Eropa yang dominan pada pabrik skala
bew dengan teknologi mesin. Golongan etnis Cina dan Arab umumnya adalah mantan
pedagang yang kemudian -- karena kelesuan perdagangan akibat Depresi Besar -- mengalihkan investasi ke industri manufaktur antara lain pertenunan (Dixon, 1993: 119). Semula golongan pribumi tampil sebagai kekuatan dominan industri tenun. Sebagaimana dilaporkan di Majalaya, lawa Barat misalnya unsur pribumi ini mencakup, pertama, lapisan pemilik tanah atau petani besar yang tergolong elit pedesaan pada masa itu.
Golongan tenebut
rnendirikan pabrik tekstil, membeli alat tenun dan mengupah buruh dengan memanfaatkan surplus dari usaha pertanian
komersil sebagai modal, dan menjalankan usaha pertenunannya secara
simultan dengan usaha pertanian (Antlov dan Svensson, 1991: 116; Wertheirn, 1959: 111). Unsur kedua dalam golongan pribumi, dan merupakan mayoritas, adalah lapisan tunakisma dan petani gurem. Mengutip laporan Warmelo (1939), Antlov dan Svensson rnenunjukkan bahwa di Majalaya tahun 1936 jumlah lapisan pemilik tanah dalam komposisi pengusaha tekstil kurang dari 10 penen; lebih dari 70 persen pengusaha itu adalah petani tunakisma dan gurem yang menjalankan usaha skala rumahan dan bergiat terutama pada musim senggang kerja pertanian. (Antlov dan Svensson, 1991: 116). Pada penghujung periode pemerintahan kolonial posisi dominan dalam industri tenun itu mulai bergeser khususnya kepada golongan pengusaha Cina (lihat Sutter, 1959: 42, 804; juga Wertheim, 1959; Mackie, 1988; Antlov dan Svensson, 1991). Pada tahun 1942 mayoritas pabrik tenun (72,5%), umumnya berbasis ATBM (35,0%), memang dirniliki golongan "pribumi" Indonesia (Tabel 2.3); belum lagi terhitung sejumlah besar usaha tipe "rumahan" (1-4 alat tenun; tidak wajib daftar) di pedesaan. Namun jika jumlah pabrik dibagi dengan jumlah ATBM, segera tampak kenyataan bahwa mayoritas golongan pribumi adalah pengusaha kecil (rata-rata 13 ATBM per 1 pabrik, dan 1 ATM per 2 pabrik), sehingga sulk bertahan sebagai kekuatan "dominan". Dominasi dalam industri tenun tahun 1942 telah bergeser kepada golongan non-pribumi khususnya etnis Cina disamping Arab dan Eropa. Pengusaha etnis Cina tahun 1942 memang hanya memiliki 19,5 persen dari total pabrik tenun, tetapi 3t,5 persen ATM dan 35,O persen ATBM adalah milik mereka: artinya, mereka , tergobng pengusaha menengahlbesar. Gejala pergeseran dominasi ini sudah terbaca sejak akhir dekade 1930, ketika etnis Cina mulai gencar memasuki industri tenun, antara lain menurut Sutter dengan cara membeli lisensi-lisensi usaha milik pribumi (Sutter,1 9 5 9 44). Di daerah Priangan tahun 1937 misalnya,
Antiov
dan Svensson memperkirakan bahwa 36 persen ATBM sudah
dikuasai modal Cina. Pada tahun 1942 (Maret), pengusaha Cina tercatat menguasai hanya 26 penen ATBM, tetapi para 'broke? Cina menguasai 77 penen pabrik tenun skala kecil di daerah itu melalui sistem pufting-od (Antlov dan Svensson, 1991: 117). Tabel 2.3. Iumtah lndustri Pertenunan di lndonesia rnenurut Etnis Pernilik , 1942 dan 1951
Etnis
Pabrik Tenun 1951
1942
Eropa Arab Cina Indonesia lumlah
ATM 1942
ATBM 1951
1942
1951
1.5 10.0 16.0 72.5
1.O 10.0 19.5 69.5
22.0 31.5 7.0
30.0 17.5 44.5 8.0
2.0 28.0 35.0 35.0
19.0 40.0 40.0
100.0 (1.867)
100.0 (2.537)
100.0 (7.600)
100.0 (11.267)
100.0 (49.316)
100.0 (72.025)
39.5
1O.
Sumber. 1.0. Suticr (1959:42.804; Tahd 6 dan 41).mengutip Pidato AA. Achsien di Parkmen, 5 Iuni 1952. lchhr Padmen 1952 Djakarta: Kementeh P m n g a n , 1952 (h. 609),dan Java Bank Rep? 1951/1952 (h. 189, d. Tabel 6).
2.2.
Periode Perang (1942-1950) Periode perang mencakup dua masa yaitu masa pendudukan lepang (1942-1945) dan
masa perang revolusi (1945-1950). Pada masa pendudukan Jepang perkembangan industri tenunltekstil di
Indonesia mengalami kemunduran, karena Pemerintah Pendudukan lebih
berkepentingan untuk membangun industri perlengkapan perang (Wertheim, 1959: 118). Pada masa itu sebagian besar mesin tenun (ATM) dirusak, dan sejumlah besar alat tenun manual
(ATBM) disita dan dikapalkan ke Iepang atau negara lain yang diduduki Iepang (Hardjono, 1990: 4; Antlov dan Svensson, 1991: 117). Di Majataya misalnya, selama pendudukan Jepang diperkirakan
5.000 unit mesin tenun hilang dan hanya sekitar 25 persen yang masih tenisa. Para penenun
Majalaya waktu itu dipaksa pula untuk mernproduki karung goni selain sarung (Royat dikutip Antlov dan Svensson, 1991: 117). Pada masa revolusi tidak ada program khusus pernerintah untuk pengembangan industri tenun. Sebagaimana terjadi di daerah Priangan misalnya, waktu itu industri tenun bangkit dengan
kekuatan sendiri, setelah sempat merosot semasa pendudukan lepang.ll
Melalui perkembangan
mandiri, pada tahun 1950 -- awal Sistem Padementer -- jumlah pabrik tenun di Indonesia sudah mencapai 2.109 unit yang keseluruhannya mengoperasikan 71.997 unit ATBM dan 11.390 unit ATM (Tabel 2.1). Mayoritas (72.8 %, 1.533 unit) usaha pertenunan pada tahun itu tergolong usaha rumahanlkecil, umumnya milik golongan pribumi yang mengoperasikan 1-1 4 unit ATBM (Tabel 2.2).
2.3. Periode Pemerintahan Soekamo (1 950-1 966) Dalam Periode Pemerintahan Soekarno (1950-1 966) penting membedakan antara masa Sistem Padementer (1950-1 957) dan periode Demokrasi Terpimpin (1 959-1 965), mengingat adanya perbedaan implementasi kebijaksanaan ekonomi antara satu dan lain masa itu.
Pada
periode Sistem Padementer pengembangan industri tenunltekstil mengacu pada Rencana Urgensi Perekonomian (RUP)
-- disebut juga Rencana Urgensi Perindustrian. Ini adalah suatu program
pragrnatis untuk rnengawali industrialisasi melalui pengembangan industri kecil dan menengah disamping industri besar yang berorientasi substitusi impor, dan sekaligus membentuk golongan pengusaha pribumi yang tangguh guna mengimbangi golongan pengusaha non-pribumi (Muhaimin 1990: 74-5).
Dalam konteks RUP ini pemerintah menetapkan industri tekstil -- mengingat antara
lain kebehasilannya menciptakan lapangan keja -- sebagai wahana (vehde) perkembangan ekonomi dan industri nasional, dimana golongan pengusaha pribumi diharapkan tampil kuat untuk mematahkan dominasi non-pribumi khususnya etnis Cina (Antlov dan Svensson, 1991:118). Pada awal masa Sistem Padementer, sebagaimana ditunjukkan data tahun 1951 (Tabel 2.3), dominasi einis Cina dalam industri tenun memang semakin nyata. Walaupun mayoritas (69,5%) pabrik tenun tahun l u dimiliki golongan pribumi, tetapi proponi alat tenun yang dioperasikan S a r a keselwuhan tergotong rendah (40,0% ATBM dan 8,O% ATM); artinya pribumi adalah pengusaha kecill rumahan yang lemah. Sementara golongan etnis Cina memiliki 19,5 persen pabrik tenun dan sebagian b m r alat tenun (44.5% ATM dan 40,mATBM); artinya etnis Cina adalah pengusaha menengahlbesar yang kuat. Untuk memperkuat pengusaha pribumi pemerintah kemudian mengeluah kebijaksanaan Segera setelah pmldammi kemerdekaan (1945), industti M I di lawa Barat rang swnpat memsot pada masa Pendudukan J e p q (1 942-1945) dengan cepat bangldt hbali. Pada buhn luli 19M di lawa @arattdah b d i 2.227 n b d a di daerah Plianqan (Aten d i w HardpnO, unit pabriktenun(ATBM clan ATM), dan sekjtar 91 p e ~ diKltaranya 19w: 4). "
fasilitas, antara lain penyediaan pinjaman untuk impor peralatan mekanis, subsidi harga benang tenun, dan pembentukan induk pertenunan. Hal terakhir ini dimaksudkan untuk memudahkan pengusaha tenun dalarn pembelian bahan baku, pemasaran hasil, pelaksanaan tahap manufaktur tertentu, perbaikan produksi, standarisasi, dan organisasi (Palmer dikutip Hardjono, 1990: 4). Namun fasilitas dari pernerintah agaknya tidak cukup ampuh untuk mendorong pembentukan golongan pengusaha tenun pribumi yang kuat. Selama periode Sistem Padementer perkembangan industri tenun di Indonesia, khususnya rnilik pribumi (urnumnya ATBM), tidaklah terlalu pesat. Dalam kurun 1950-1957 jurnlah alat tenun hanya bertambah sedikit: 54,9 persen ATBM dan 34,3 p e w n ATM (Tabel 2.1). Menurut Sutter usaha tenun golongan pribumi pada waktu itu justeru mengalami masa resesi, antara lain karena produk tenunnya (hasil ATBM) tersaingi oleh tekstil irnpor murah yang diimpor secara bebas bea oleh importir "Program Benteng" (Sutter, 1959: 804). Memasuki periode Dernokrasi Terpimpin (1959-1 965) industri tenun di Indonesia sempat mengalami kelesuan karena kelangkaan becang. Untuk mengatasi hat ini pemerintah melalui Perusahaan Dagang Negara kernudian mengimpor benang. Dengan menerapkan sistem kuota (jatah), benang tersebut dialokasikan kepada para pengusaha tekstil rnelalui koperasi dan Organisasi Perushaan Sejenis (OPS) dengan harga sangat rendah. Sistem ini dimaksudkan untuk rnenjamin ketersedian bahan baku dengan harga terjangkau bagi pengusaha, dan dengan demikian juga menjaga harga tekstil tetap murah. Dengan sistem kuota tadi kelangsungan industri tenun bukan saja dapat diperkhankan, tetapi bahkan memicu 'ledakan industri tenun" untuk kedua kalinya setelah yang pertarna tahun 1930-an.
Dalam masa 1957-1965 telah teqadi peningkatan jumlah ATBM dari 11t .522 menjadi
324.000 unit (190,5%) dan ATM dari 15.301 menjadi 27.000 unit (76.5%) (Tabel 2.1). Sebagai gambaran, bagi Majalaya, lawa Barat misalnya seperti dikatakan Antlov dan Svensson masa tersebut adalah "Zaman Emas" yang memunculkan ungkapan "Majalaya Kota Dollar". Majalaya waktu itu mengalami transformasi ekonomi dari "pertanian" menuju "industri tenun", dari "petani" menjadi , "petani plus pengusaha tenun skala rumahan" ataupun "pengusaha tenun purnawaktu". Modal usaha diperoleh para petani dengan meminjarn kepada pelepas uang, atau memanfaatkan surplus pertanian, atau bahkan menjual tanahnya (Antlov dan Svensson, 1991: 118-9).
Narnun dibalik perkembangan pesat industri tenun pada paruh pertama tahun 1960-an tersebut, terdapat kecenderungan semakin menguatnya dominasi golongan pengusaha non-pnbumi khususnya Cina. Hal ini bahkan berpangkal pada penerapan sistem kuota dalarn alokasi benang, yang semula dimaksudkan antara lain untuk menjamin kelangsungan usaha tenun pnbumi melalui jaminan ketersediaan benang. Dalam prakteknya, dengan sistem itu ketersediaan benang ternyata tetap saja tidak mencukupi, sehingga terciptanya pasar gelap tak dapat dihindarkan.12 Dalam kondisi seperti ini, maka permintaan akan tekstil pada akhirnya hanya menguntungkan perusahaan yang efisien, dan ini umumnya perusahaan tekstil besar rnilik etnis Cina.
Sementara pengusaha
menengah dan kecil yang lemah secara teknis dan finansil, urnumnya golongan pribumi, sebagian dimungkinkan bertahan dengan menjadi sub-kontraktor bagi perusahaan besar, dan sebagian lagi terpaksa menghentikan operasinya dan menjual kuota benangnya kepada perusahaan yang lebih efisien.
Ini aflinya mensubsidi pengusaha kecil untuk tidak berproduksi, dan
membiatkan
perusahaan besar yang lebih efisien mengolah bahan baku yang terbatas ketersediaannya (Palmer dan Castles, 1965: 43; Antlov dan Svensson, 1991: 119-20). Masa Pemerintahan Soekarno, khususnya periode Demokrasi Terpimpin dengan demikian dapat dicatat sebagai masa kebangkitan kedua industti tenun tetapi juga sekaligus masa mulai melemahnya kekuatan golongan pengusaha priburni di bidang itu. Target pemerintah Pemerintahan Soekarno untuk mengimbangi dominasi golongan pengusaha Cina melalui program pembentukan golongan pengusaha pribumi tidak mencapai hasil yang diharapkan. Justeru sebaliknya, sebagaimana ditunjukkan Antlov dan Svensson (1 991: 119) dalam kasus Majalaya, dominasi pengusaha Cina semakin menguat sekiiar tahun 1960-an, terlebih lagi dengan adanya gejala sindikasi "militer-Cina" pada waktu itu. lndustri tenun Majalaya pada masa itu dikuasai oleh sekitar 40 saudagar Cina yang Menurut Palmer dan Castles a& dua sumber utama terciptanya paw gdap tersebut, yaitu: (a) Pelusahaan Dagang Negara (importir) telah menjual sebagian bahan baku di pasar bebas atas permintaan dan untuk keuntungan koperasi, dengan alasan untuk menjamin dana impor bahan baku di satu p'ihak dan menjamin ketediaan dana bantuan modal bagi anggota kcprasi di lain pihak Pada waktu itu lcopwasi merupakan sabh satu instrumen kebijabnaan pemerintah untukmempdarat posisi pengusaha teMil skak kecil. huwsnya dalam menghadapi dominari pengusaha Cina. sernentara loadit bank sulh (b) Para pengusaha t e M l skala MI tidak memiliki cuhp d a untuk ~ membayar dipemleh, sehingga mereka te+ menemplh kemungkinan caracara berikut: men+ benang atas dasar lromii bagi pmntara yang membiayai pembelii la& tenebut, atau membayarkan sebagii b d a lrepada 'pekpas uang' sebagai burga pinjaman, atau menjual s e l u ~ h kuda kepada perantara yang membiayai p e r t h l i i a . Oengan cam mi sebagii besar krota pengraahakRil dan mmmgahdabm 4atamya dbakwlgn ke pabdkpatwik yarg lebih besar dan hien. Pada tahun 1964, sejumbh pabrik t&il d i l a p h meqedeh 80 persen bahan bakujusteru dari pasargelap (Palmer dan Castks, 1965: 40-3).
menjalin aliinsi dengan pejabat-pejabat militer yang pada tahun 1960-an terlibat dalam perusahaanperusahaan industri hasil nasionalisasi.
2.4.
Periode Pemerintahan Soeharto (1 966-1 998) Pada masa Pernerintahan Soeharto pemerintah lndonesia menekankan pengembangan
jenis industri yang 'menghasilkan atau menghemat devisa',
termasuk dalam ha1 ini industri
tenunltekstil. Pada masa pra-Pelita, dalam rangka pelaksanaan Program Stabilisasi dan Rehabilitasi Ekonomi (1966-1 968), langkah pertama pemerintah Pemerintahan Soeharto di bidang industri tenun adalah menghapuskan (1 967) sistem kuota (sistem lisensi) warisan Pemerintahan Soekarno dalam peflyediaan benang tenun, dan menyerahkan urusan tersebut kepada mekanisme pasar. Perubahan sistem ini telah memukul tewtama pengusaha berbasis ATBM, umumnya pribumi, karena di masa sebelumnya kelangsungan usaha mereka terutama didasarkan pada jatah bahan baku dari pemerintah, bukan pada kemampuan modal usaha.
Keterbatasan modal ini kemudian diatasi
pengusaha ATBM dengan cara membatasi jenis dan jurnlah produk tenun. Langhh ini ternyata merupakan "langkah bunuh din", karena selain merangsang peningkatan impor tekstil, kondisi itu telah mernbuka peluang bagi perkernbangan sektor ATM yang umumnya dikuasai non-primi benodal kuat, sehingga industli tenun berbasis ATBM semakin terdesak. Beheda dengan teknologi ATBM, teknologi ATM dapat rnenenun benang sintesis dan menghasilkan kain tenun non-sanmg yang marnpu benaing dengan tekstil impor. Dalam masa 1965-1968 jumlah ATBM telah menurun dari 324.000 menjadi 166.056 unit (48,8%), tetapi sebaliknya jumlah ATM meningkai dari 27.000 menjadi 35.335 unit (30.9%) (Tabel 5.1). Hal ini seMigus berarti golongan pengusaha pribumi yang umumnya berbasis ATBM semakin surut, sementara golongan pengusaha non-pribumi khususnya Cina yang umumnya behasis ATM semakin menonjol (Siahaan, 1981: 14-5; Boucherie, 1969: 56; Antlov dan Svensson, 1991: 120; lihat juga Mizuno, 1996). Pada awal periode Pelita I, bersamaan dengan upaya peningkatan kapasitas industri pemintalan untuk menjamin ketersediaan bahan baku benang,13 pernerintah mencanangkan l3 Peningkatan liapasi industti pemintahn ini, y a y dicaMngkan pada tahun pectama Repdi 1 (196911970) mencaky, antara lain p e n i n g h jwnkh mata pintal, peningletan pmdddvitas rah-rata per mata pintal dan efisiemi tenaga ke@, dan pwnbukaw p a M pemintabn h - u ( l i i Bouchwie, 1969: 54).
peningkatan efisiensi industri tenun melalui program penggantian secara bertahap mesin tenun tua (mesin masa sebelum perang) dan peningkatan rata-rata sMa pabrik (Boucherie, 1969: 54, 58). lnilah awal dari -- mengikuti istilah Hill (1980: 84)
--
"revolusi teknologi" tahap kedua dalam industri
tenun, yaitu peralihan dari ATBM menuju ATM (setelah "revolusi" tahap pertama dari &ogm
ke
ATBM pada dekade 1930). Pada tahun 1974. akhir periode Pelita I, dibanding keadaan tahun 1968 jumlah ATBM telah merosat tajam sebesar 69,9 penen (dari 166.056 menjadi 50.000 unit), sementara jumlah ATM meningkat tajam sebesar 51,9 persen (dari 35.335 menjadi 53.691 unit) (Tabel 2.1 ). Sejak penghujung tahun 1960-an, 'revolusi teknologi' tadi secara bersamaan dengan faktor-faktor perbaikan iklim
komersil, peningkatan pendapatan riil penduduk, dan rendahnya
keluaran pakaian pada pertengahan 1960-an, telah membawa dampak perubahan pada struktur industri tenun. Dalam masa 1968-197711978, yaitu sejak masa pra-Pelita sampai menjdang akhir periode Pelita II, bersamaan dengan peningkatan lebih dari empat kali lipat pada keluaran industri tenun, telah terjadi penurunan drastis pada sekor ATBM (dari 166.056 menjadi 66.300 unit) di satu pihak dan peningkatan drastis di sektor ATM (dari 35.335 menjadi 67.062 unit) di lain pihak (Tabel 2.1).
Kemajuan di sektor ATM dan kemunduran di sektor ATBM ini, disamping
merupakan implikasi program mekanisasi dari pemerintah, juga me~pakankmsekuensi perubahan selera konsumen dari kain tradisionallkatun (produk ATBM) ke kain 'gaya barat'l sintetis (produk ATM) (Hill, 1980: 84-7; 180a: 340-3). Sejak akhir 1960-an sampai penghujung 1970-an sektor ATBM boleh dikatakan mengalami kemerosotan, setidaknya pada produksi untuk konsumsi massal, mentara kecenderungan mekanisasi (ATM) terus berlanjut dengan dukungan berbagai kebijaksanaan dari pemerintah. Kebijaksanaan yang mendorong mekanisasi pabrik tenun, khususnya pabrik skala besar, dalam periode itu antara lain adalah: (a) bunga pinjaman riil bank pemerintah yang negatif untuk industri tekstil selarna sebagian besar periode 1967-1 978, dan (b) insentif fisM (berdasar Undang-Undang , Investasi, 1967 dan 1968) yang antara lain mengakibatkan turunnya harga barang-barang modal sehingga perusahaan cenderung dakukan kapitaiisasi. Kehijaksanaan penting lainnya adalah lhrangan impor mesin bekas (1 974). Kebijakanaan ini mengakiatkan kenaiikw harga mesin
bekas domestik, sehingga terkesan anti-mekanisasi, tetapi
dalam ha1 mi sebenarnya yang
terpengaruh terutama adalah pengusaha kecil yang melakukan mekanisasi dengan mengandalkan mesin bekas (Hill, 1980: 90-3). Pihak yang paling diuntungkan dengan kebijaksanaan mekanisasi atau 'revolusi tekndogi' tadi terutama adalah pengusaha besar, tidak lain karena 'revolusi' itu memerlukan dana besar, dan golongan tersebut merniliki akses besar terhadap surnber-sumber modal. Pengusaha besar itu, selain investor asing (terutama dari Jepang), terutama
adalah golongan pengusaha non-pribumi
berbasis ATM yang telah mendorninasi industri tenun pada pawh kedua tahun 1970-an (Hill, 1980: 86). Di Majalaya misalnya, menurut laporan Antlov dan Svensson kekuatan dominan non-pribumi itu
terutama adalah pengusaha etnis Cina. Pada tahun 1975 pengusaha Cina di sana tercatat memiliki 64 persen alat tenun, menyewa 20 pemn lainnya, dan menguasai 5 persen lagi melalui sistem
putbng-oclt Hanya 11 persen alat tenun dimiliki pengusaha Sunda, dan banyak diantaranya rnenjadi sub-kontraktor bagi pabrik besar milik pengusaha Cina (Antlov dan Svensson, 1991: 120-3). Pada awal 1980-an perkembangan industri tekstil di Indonesia mengalami stagnasi. Keadaan ini diterangkan, pertarna, sebagai akibat dari kejenuhan pasar, resesi dunia, dan penurunan tingkat konsumsi tekstil domestik dm,
kedua, sebagai konsekuensi dari perluasan
kapasitas pemintalan dan pertenunan sejak tahun 1970-an (Hardjono, 1990: 4; Wibisono, 1989: 34). Suatu gagasan restrukturisasi industri tekstil waktu itu diajukan Asosiasi lndustri Tekstii sebagai
..
jalan keluar, tetapi usul tersebut ditolak pernerintah dengan alasan rnasdah industri tekstil terletak pada daya beli masyarakat yang rendah dan kurang jelinya pengusaha mengantisipasi permintaan pasar (Wibisono, 1989: 34-6). 1' Dalam kondisi seperti di atas, hanya industri tenun skala menengah dan besar yang umumnya dikuasai golongan pengusaha Cina dan investor asing yang mampu bertahan dan berkernbang, sedangkan industri tenun skala kecil yang umumnya dikuasai
oleh
golongan
pengusaha pribumi mengalami kemerosotan dan bahkan kematian, atau sedikit lebih baik dari itu, bertahan daiam posisi majinal. Data pada Tabel 2.1. menunjukkan bahwa sampai awal paruh kedua , lhtuk mengatasi stagnasi twsebut, pada tahun 1982 A s o s i i Pertekstilan lndonesia (API) mengajukan gagasan industii t&il, mencakup uwl-usul penyediaan dukungan finansil dari pwmintah dalam bentuk kedl khusus untuk kperluan penyesuak~struktural iodustri, WE atas ragulasi pdapngan, perbaikan produldivitas pakk t&d, dan e i a n mesin-mesin tua industri tekstil. Namun uwlan ini ditdak deh pwnerintah dengan alasan bahva rnasalah industti t M l hlen terktak pada MerbddQngan telolologi, mehinkan pada daya beli masyankat yang &ah dan lwangplinya pengusaha rnengwtisipi pmnintaan pasar (Mb'ino. 1989: 346). l4
r&kturki
1990-an jumlah industri tenun skala menengahlbesar berbasis ATM cenderung mengalami kenaikan: dari 660 unit pada pertengahan 1987 menjadi 986 unit pada tahun 1996. Nasib industn tenun skala kecil pada masa yang sama tergarnbarkan dari laporan Antlov dan Svensson (1991: 121) tentang kondisi Majalaya pada pertengahan tahun 1980-an. Di
Majalaya waktu itu tinggal hanya satu unit
perusahaan tenun besar milik pengusaha Sunda asli yang masih bertahan secara independen. Selebihnya adalah usaha-usaha pertenunan (menengah dan kecil) milik pribumi yang hanya dimungkinkan bertahan dalam posisi rnarjinal melalui salah satu atau kornbinasi dari strategi-strategi survival berikut: (a) menjadi sub-kontraktor bagi pengusaha industri tenun besar milik golongan Cina, (b) menurunkan kapasitas produksi sampai 50 persen, (c) berspesialisasi pada jenis-jenis produk tekstil yang tidak diminati oleh industri besar, misalnya k i n pel dan sarung berkualitas bagus, dan (d) menekan upah buruh serendah mungkin sehingga bahkan tidak mencukupi nilai kebutuhan fisik minimum (Hardjono, 1990: 4.31 -4 dan 1990a: 281 -2; Antlov dan Svensson, 1991: 121-3).
3. Kesimpulan
Beberapa kesimpulan sernentara tentang gejala prnbentukan golongan pengusaha tenun dapat dirumuskan di sini berdasarkan tinjauan teoritis mengenai pembentukan golongan pengusaha dan sajian fakta sejarah perkembangan usahdpengusaha tenunltekdl Indonesiadi muka. Pertanyaan pokok di sini adalah:
sejauh mana konseplteori yang dikemukakan di atas mampu mernberi
penjelasan atas faha empiris? (a) Tentang proses kemunculan sosial golongan pengusaha tenun AsaI-usul sosial golongan pengusaha tenun. Golongan pengusaha kapitalis rnenurut Man: untuk sebagian berasal dari k&s bawah. Max Weber lebih spesfik menyimpulkan bahwa golongan pengusaha tenebut terutama berasal dari kelas menengah-bawah daniatau kdas bawah (rnarjinal) yang kurang terikat tradisi. Merujuk kesimpulan studi-studi Cliord Geertz, W.F. Wertheim, dan Robert van Niel, agak berbeda dari tesis Max Weber dan juga klaim Karl Man: khususnya, terdapat
kemungkinan bahwa - dalam konteks masyarakat agraris -- golongan pengusaha "besar" pribumi di
Indonesia terutama berasal dari lapisan atas khususnya elit tradisional, sementara lapisan bawah (non-elit) terutama menjadi golongan pengusaha "kecil".
Dalam kasus golongan pengusaha
tenunltekstil di Indonesia, tesis Weber dan Waim Marx lebih bersesuaian dengan asal-usul golongan pengusaha etnis Cina, sedangkan untuk golongan pengusaha pribumi, kesimpulan-kesimpulan teoritis yang ditarik dari studi Geertz, Wertheim, dan Niel lebih mengena. Pengusaha tenun pribumi berasal dari sekaligus minoritas dit dan mayoritas non-elit pedesaan yang berlatarbdakang budaya agararis. Sejak masa kolonial sampai masa pemerintahan Soeharto, susunan goiongan pengusaha tenun di Indonesia mencakup tiga kategori primordial, yaitu pribumi, non-pribumi keturunan Cina. dan non-pribumi selain Cina (terutama Barat, Arab, dan lepang). Tesis Weber dan juga klaim Marx tampaknya lebih bersesuaian dengan asal-usul golongan pengusaha etnis Cina: dari kuli (buruh) menjadi pedagang, dari pedagang menjadi pengusaha industri.
Sedangkan untuk golongan
pengusaha pribumi, disamping tesis Weber dan klaim M m , kesimpulan-kesimpulan teoritis yang ditarik dari studi Geertz, Wertheim, dan Niel juga bellaku.
Pengusaha tenun pribumi berasal
golongan masyarakat dengan latar belakang budaya pertanian yaitu: (a) minoritas elit pedesaan yaitu lapisan petani dan besarlluas yang mendirikan pabrik tekstil, membeli alat tenun, dan mengupah buruh dengan memanfaatkan surplus dari usaha pertanian komersil, dan menjalankan usaha pertenunanserta pertaniannya secara bersamaan; dan (b) mayoritas nonelit pedesaan yaitu golongan petani gurem dan tunakisma yang umumnya
menjalankan usaha pertenunan terutama pada musim senggang kej a pertanian. Peranan kekuatan supra-lokal.
Perkembangan produksi kapitalme khususnya
industrialisasi, dan dengan demikian juga golongan pengusaha, sangat ditentukan peranan kekuatan supra-lokal yaitu negara mdalui instrumen kebijaksanaarmya. Dan hasil sejumlah studi makro, antara lain oleh Richard Robison, Yahya Muhaimin, dan Yoshihara Kunio dapat disimpulkan bahwa setidaknya untuk konteks Indonesia:
(a) arah kebijaksanaan industrialisasi tergantung pada kepentingan
ekonomi dan politik pemerintah, dan (b) dalam ha1 rnembuka peluang usaha maka kebijaksanaan , tersebut tidak netral melainkan memihak pada golongan msial terteniu. Sejxah kefahiran dan perkernbangan golongan pengusaha pribumi dan non-pribumi khususnya etnis Cina di bdang pertenunan, berikut peralthan d o m i d antwa kedua golongan tenebut, untuk sebagian rnerupakan buah implikasi kebijaksanaan atau dengan kata lain hasil
"rekayasa sosial" pemerintah
sejak masa kolonial sampai Pemerintahan Soeharto.
Timbul-
tenggelamnya golongan pengusaha tenun pribumi, dan semakin dominannya golongan pengusaha non-pribumi khususnya etnis Cina dapat dikatakan sebagai hasil langsung dari perubahan "kadar pemihakan", khususnya dalam bentuk proteksilfasilitas, yang terkandung dalam "rekayasa sosial" tersebut. Semakin rendah kadar proteksilfasilitas bagi golongan pengusaha tenun pribumi, semakin melemah kekuatannya, dan di lain pihak semakin meningkat dominasi golongan pengusaha nonpribumi. Sebagaimana tercermin dari "ledakan industri tenun" tahun 1930-an (sekaligus "revolusi teknologi tenun" pertama) dan tahun 1960-an serta "revolusi teknologi tenun" kedua tahun 1970an, antara satu dan lain golongan tersebut terdapat perbedaan mendasar dalam
ha1 proses
kemunculannya: (a) Pengusaha Pribumi: golongan ini umumnya berhasil tampil sebagai pengusaha tmtama berkat program khusus "rekayasa sosial" (proteksi/ fasilitas) dari pemerintah untuk membentuk golongan pengusaha pribumi yang tangguh di bidang industri tenun; sedangkan (b) Pengusaha Non-pribumi: golongan ini terutama keturunan Cina umumnya berhasil tampil sebagai pengusaha bukan karena diprogram pemerintah tetapi terutama karena kemampuannya menangkap peluang usaha yang terbuka dengan adanya kebijaksanaan industrialisasi dari pemerintah. Sejarah industri tenun Indonesia adalah sejarah pergeseran dominasi dari pengusaha pribumi ke pengusaha non-pribumi khususnya etnis Cina. Pada masa awal perkembangan industri tenun tahun 1930-an, pengusaha pribumi (umumnya pengusaha kecil,dan rumahan) merupakan kekuatan dominan. Pengusaha etnis Cina mulai memwki industri tenun sejak akhir dekade 1930 dan secara nyata mulai menunjukkan gejala dominasi sejak tahun 1950-an. Pada pamh pertama tahun 1960-an, ketika Pemerintahan Soekamo menerapkan skiem kuota dalam penyediaan benang, golongan pengusaha pribumi yang umumnya behasis ATBM sempat tampil kembali sebagai kekuatan domman.
Tetapi ha1 ini tidak berlangsung lama, karena sistem kuota tadi ternyata ,
mendotong tejadinya pasar gdap benang, suatu keadaan yang hanya dapat dihadapi terutama oleh pabrik besar berbasis ATM yang umumnya dimiliki etnis Cina. Pada masa Pemerintahan Soeharto, ketika sistem jatah benanq dihapuskan dan (xogram mekanisasi digalakkan, posisi dominan etnis C i a (dan pemodal asing) dalam industri tenun semakin kukuh. Wujud dominasi itu tidak saja berupa
pemilikan pabrik W I I , tetapi juga berupa penyewaan atas pabrik tekstil milik pribumi, dan sistem put&ing-utyaitu hubungan produksi kapitalistik yang menempatkan pengusaha pribumi pada posisi sub-kontraktor bagi pengusaha besar Cina.
(b) Tentang kelangsungan sosial golongan pengusahatenun Statuslperanan sosial golongan pengusaha tenun.
Merujuk kajian makro
Robison,
Muhaimin, dan Yoshihara, serta kajian mikro Geertz dan Lance Castles, golongan pengusaha di Indonesia merupakan 'kelas menengah" (m~ifdledass)
yang "belum mandiri", dalam arti
keberadaannya sangat tergantung pada kebijaksanaan pemerintah yang berkuasa sehingga disebut "pengusaha klien".
Kesimpulan ini tampaknya berlaku juga pada pengusaha tenun, khususnya
pengusaha pribumi yang kehadirannya sangat tergantung pada berbagai kebijaksanaan proteksilfasilitas dari pernerintah sejak masa kolonial sampai masa Pemerintahan Soeharto. Analisis makro Yoshihara menunjukkan bahwa golongan "pengusaha Wien" itu tidak membawakan "kapitalisme sejati" melainkan "kap'ialisme semu". Golongan tersebut cendemng lebih mempejuangkan kepentingan ekonomi dan politik sendiri, dan tidak mampu berperan sebagai pelopor perubahan ekonomi. Beheda dari analisis makro ini, analisis rnikra oleh Geertz dan Castles menunjukkan bahwa golongan pengusaha lokal ternyata berperan sebagai pembaharu yang menyumbang kepada perkembangan ekonomi, politik, dan kebudayaan lokal. Golongan pengusaha loM mampu berperan sebagai penggerak transformasi sosial, dari masyarakat berciri agraris ke masyarakat "transisional" sarnpai masyarakat berciri industri. Kesimpulan di atas
menunjukkan kebenaran dalam kasus pengwaha tenun di
Indonesia yang, sampai batas tertentu, dalam ketidak-mandiiannya telah menunjukkan indikasi sebagai kelompok pembahanr atau inovator yang memolopori pembahan dalam bidang-bidang: (a) teknologi pertenunan: "revolusi teknologi" dari &an
ke ATBM sarnpai ATM, (b) stFuktur sosial:
pengukuhan cara produksi kapitalis yang membawa implikasi h p a diferensiasi sosial yang ' semakin tegas di pedffaan, dan {c) ekonomi: terciptanya lapangan kerjdusaha bwu bagi penduduk pedesaan sebagai dampak perkembangan industri tenun itu sendm.
Kehadiran pengusaha tenun dan konteks formasi sosialnya. Struktur sosial suatu masyarakat, dimana golongan pengusaha hadir sebagai salah satu unsurnya, dapat jelaskan dengan konsep formasi sosial. Formasi sosial, suatu konsep yang berakar dalam pemikiran Karl Marx, menunjuk pada kehadiran atau artikulasi dua atau lebih cara produksi secara berdampingan dan saling-terkait dalam suatu masyarakat, dimana salah satu cara produksi dominan atas yang lainnya. Formasi sosial yang berlaku umum dewasa ini adalah formasi sosial kapitalis, dimana cam produksi kapitalis yang dibawakan golongan pengusaha tampil sebagai cara dominan.
Formasi sosial
masyarakat pedesaan Indonesia juga merupakan formasi sosial kapitalisme, dimana cara produksi non-kapitalisme tetap hadir atau resisten. Merujuk rumusan Joel Kahn, formasi sosial pedesaan Indonesia menunjuk pada artikulasi tiga cara produksi yaitu subsisten, komersialis (sebagai cara transisi), dan kapitalis sebagai cara dominan. Dalam konteksformasi sosial tersebut tempat golongan pengusaha umumnya atau pengusaha tenun khususnya adalah sebagai pendukung
cara produksi kapitalis atau sekurang-kurangnya cara
produksi komersialis. Hal ini tergantung pada tipe pengusaha tersebut: "pabrik-rumahann'5, pabrikkecil, pabrik-menengah, atau pabrik-besar.
Keberadaan usaha tenun tipe "pabrik-rumahan"
tampaknya paling menonjol pada masa kolonial dan masa Pemerintahan Soekamo ketika teknologi tenun masih didominasi ATBM. Pada rnasa Pemerintahan Soeharto, seiring dengan kecenderungan mekanisasi, keberadaan industri tenun t i p "pabrik-rumahan" semakin memudar, sedangkan tipe "pabrik kecil" dan terutama "pabrik menengah/besarn (terutama yang berbasis ATM) semakin menonjol. Di dalam suatu formasi sosial aras lokal, satu dan lain cara produksi saling-twkait dalam rangka artikulasinya, dan secara keseluruhan -- melalui cara produksi kapitalisme - terintegrasi kedalam sistem perekonomian dunia yaitu kapitalisme global (formasi sosial kapitalisme aras global) menurut lmmanuel Wallerstein. lndikasi mengenai ha1 ini teramati juga dalam industri tenun, yaitu berupafakta yang menunjukkan bahwa sektor pertanian subsisten (mn-kapltalis) merupakan sumber ,
modal, tenaga keja, dan pangan untuk mendukung operashalisasi pabrik tenun (kapitalis). Usaha
l5
(
Maha tipe "@rik&" rwmpkm 'usaha rnandiri mmahtangga" yang hws dibed&m dai " h ~ nnnahan" h ~ a u 8uruhmmahmadalahkKuh ~ . pakikyang~diRlmahsendimbmla$ar~lwjadcrgan
pabtik, *a
nmpakm bagian integraldai pwahaan tipe pabrik keciWnmqah/besar ( l i iBaud. 1993: 85).
tenun tipe "pabrik-rumahan" (juga tipe "pabrik-keciln juga menunjukkan keterkaitan dengan usaha tenun tipe "pabrikmenengah/besarn, yaitu sebagai sub-kontraktor bagi tipe tersebut terakhir ini. Kelangsungan sosial golongan pengusaha tenun. Golongan pengusaha tenun di Indonesia dapat dibedakan kedalam tiga kategori menurut status kelangsungan sosialnya, yaitu: (a) Pengusaha Maju: umumnya adalah pengusaha "pabrik-rnenengahlbesar" berbasis ATM yang didominasi pengusaha etnis Cina; (b) Pengusaha Bertahan: umumnya adalah pengusaha tipe pabrik tipe 'pabrik-rumahan/keciIn yang
didominasi golongan pribumi.
Mereka adalah pengusaha yang bemsaha mempertahankan
(survival) kelangsungan usahanya melalui berbagai langkah penyesuaian, tetapi dengan kecendemngan kemunduran dalam ha1 skala dan status perusahaan; dan (c) Pengusaha Mundur-Behti: umumnya adalah pengusaha pribumi yang menjual pabriknya
kepada pengusaha Cina, atau yang terpaksa berhenti bemsha antara lain karena
-- tanpa
proteksilfasilitasdari pemerintah -- tidak mampu bersaing di pasaran. Oalam konteks formasi sosial kapitalisme, kelestarian sosial golongan pengusaha sangat ditentukan oleh kemampuan golongan tersebut dalam mernbawakan Eara produksi kapitalis.
Hal
prestasi ini, dan dengan demikian juga keiangsungan sosial, dapat dijelaskan pada dua aras analisis, yaitu: (a)'ana~isisaras individu pengusahd perusahaan yang cenderung melihat rnasdah kelestarian sebagai persoalan internal manajemen pengusahdperusahaan dan (b) analisis formasi sosial yang rnelihat masalah kelestarian sebagai perwalan yang tak dapat dilepaskan dari konteks keterkaitan integratif dengan sistem perekonomiandunia. Gejala kemerosotan yang menimpa golongan pengusaha tenun, tetutama pengusaha pribumi, di Indonesiajuga dapat dijdaskan dengan kedua pendekatan analisis di atas. Kajian-kajian terdahulu, sejauh ini, cenderung rnelihat gejala kemerosotan tenebut sebagai masalah manajemen individu penguddperusahaan yaitu sebagai penoalan kemampuanlketakmampuan pengusaha secara mMldm (tanpa proteksiifasilitas pemerintah) melakukan penyesuaian (ad$s&mn1)stnrktwal.
Menurut analisis tersebut, pengusaha menengah/besar yang memiliki akses terhadap sumber-sumber modal dapat bekernbang maju h e n a rnampu melakukan penyewaian antara lain dengan
modemisasi teknologi. Sedangkan pengusaha rumahanlkecil tidak mampu melakukan modernisasi
teknologi karena kurang atau bahkan tidak memiliki akses teriadap sumber-sumber modal, sehingga kelangsungan perusahaan mengalami kemandegan, kemunduran, atau bahkan kematian. Kemunduran, secara khusus, antara lain dapat berupa perubahan status dari "pengusaha mandiri" menjadi sub-kontraktor bagi pengusaha besar, atau juga berupa spesialisasi pada jenis-jenis produk "pinggiran" yang tidak diminati pengusaha rnenengahlbesar. Dengan membatasi analisis sampai di sini, maka gejafa kernerosotan telah diisolir dari konteks wsialnya, sehingga suatu penjelasan yang lebih menyeluruh tidak diperoleh. Hal terakhir ini dapat dicapai melalui analisis formasi sosial. Kesimpdan rnengenai kemerosotan pengusaha/usaha tenun
di muka memberi indikasi adanya
rasionalisasi, antara lain berupa penciutan skala operasi dan spesialisasi produk tenun, pada pengusaha tipe "pabrik-rumahan" dan tipe "pabrik-kecil". Langkah-langkah rasionalisasi seperti itu merupakan indikasi gejala survival sosial suatu gplongan pengusaha kapitalis dalam konteks integrasinya dengan sistem perekonomian dunia yang bersifat kapitalistik.