BAB II KERANGKA TEORITIK, KERANGKA KONSEPTUAL DAN KERANGKA BERPIKIR
2.1. Kerangka Teoritik Dalam membahas permasalahan penelitian didasarkan pada kerangka teoritik yang merupakan landasan teoritis, dan landasan ini adalah upaya untuk mengidentifikasi teori hukum umum/khusus, konsepkonsep hukum, azas-azas hukum dan lain-lain yang akan dipakai sebagai landasan untuk membahas permasalahan penelitian. 49 Sebagai suatu kegiatan ilmiah, maka dalam suatu penelitian diperlukan teori yang berupa asumsi, konsep, definisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep. 50 Suatu teori merupakan hubungan antar dua variable atau lebih yang telah diuji kebenarannya. 51 Fungsi teori dalam
suatu penelitian
adalah untuk memberikan pengarahan kepada penelitian yang akan dilakukan.52
49
Supasti Dharmawan Ni Ketut, 2006, Metodologi Penelitian Hukum Empiris, Makalah Kedua dipresentasikan pada Lokakarya pascasarjana Universitas Udayana. (Selanjutnya disebut Supasti Dharmawan Ni Ketut II) 50 Burhan Ashshofa, 2004, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, h. 19. 51 Soerjono Soekanto, 2001, Sosiologi Suatu Pengantar, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 30. (Selanjutnya disebut Soerjono Soekanto III) 52 Sutan Remy Sjahdeini, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank, Sebagaimana dikutip dari Duane R. Monette, Thomas J. Sullivan, Corucl R. Dejong, 1986, Applied Social Research, New York, Chocago, San Francisco Holt, Rinehart and Winston Inc, h. 27
47
48
Terkait dengan tatanan hukum positif kongkrit dalam penulisan karya ilmiah diperlukan teori. Hal ini dikemukakan oleh Jan Gigssels dan Mark Van Hoecke dengan pendapatnya sebagai berikut : Een degelijk inzicht in dezerechlsteokefische kucesties wordt blijkens het voouvoord beschouwd al seen noodzakelijke basis voor alke wettenschappelijke studie van eeu konkrect positief rechtsstelsel.53 (Dalam teori hukum diperlukan suatu pandangan yang merupakan pendahuluan dan dianggap mutlak perlu ada sebagai dasar dari studi ilmu pengetahuan terhadap aturan hukum positif). Beranjak dari permasalahan penelitian sebagaimana dipaparkan di atas, maka dipergunakan beberapa teori yang dijadikan sebagai pisau analisa dalam membedah permasalahan penelitian disertasi ini. Untuk membedah permasalahan yang pertama penelitian ini dipergunakan teori Sistem Hukum (Legal System Theory) yang didukung dengan teori utilitarisme,
teori
hak
dan
HAM.
Kemudian
untuk
membedah
permasalahan yang kedua dipergunakan teori Negara Kesejahteraan, yang didukung teori Stakeholders (Stakeholders Theory), teori Hukum Progresif, Teori Keadilan, dan Konsep Hukum sebagai sarana Pembaruan masyarakat. Adapun teori-teori dimaksud dapat dikemukakan sebagai berikut : 2.1.1. Teori Sistem Hukum (Legal System Theory) Untuk mengetahui kondisi peraturan perundang-undangan yang mengatur UMKM terhadap modal dan politik hukum pengaturan UMKM dalam hubungannya dengan hak UMKM
53
Jan Gijssels and Mark Van Hoecke, 1982¸ Whats Is Rechtsteorie ? Nederland, h. 57.
49
atas akses modal dipergunakan teori system hukum dari Lawrence M. Friedman. Sistem hukum menurut Lawrence M. Friedman terdiri dari tiga elemen, yaitu elemen struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance), dan
budaya hukum (legal
culture). 54 Aspek struktur (structure) oleh
Friedman dirumuskan sebagai
berikut: "The structure of a legal system consists of elements of this kind: the number and size of courts; their jurisdiction (that is, what kind of cases they hear, and how and why), and modes of appeal from one court to another. Structure also means how the legislature is organized, how many memberis sit on the Federal Trade Commission, what a president can (legally) do or not do, what procedures the t police department follows, and so on". (Struktur dari suatu sistem hukum terdiri atas hal-hal sebagai berikut, diantaranya : jumlah dan kapasitas peradilan, yurisdiksi, dan pola banding dari satu peradilan keperadilan lainnya. Struktur pun menjelaskan pengaturan legislasi, jumlah anggota yang duduk pada Kamar Dagang, batas wewenang dan keabsahan tindakan suatu pimpinan, prosedur yang dijalankan Kepolisian dan sebagainya). Mengacu kepada rumusan di atas, maka pengadilan beserta organisasinya, dan DPR merupakan elemen struktur dari sistem hukum.
54
Lembaga
DPR
sebagai
elemen
struktur,
alat-alat
Lawrence M. Friedman, 1977, Law and Society, an introduction, Prentice Hall, New Jersey, p.7. (Selanjutnya disebut Lawrence M. Friedman I) Pada prinsipnya menurut Friedman bahwa sistem hukum terdiri dari struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum. Struktur hukum menyangkut lembaga-lembaganya, substansi hukum mencakup semua peraturan hukum, sementara itu budaya hukum mencakup gambaran sikap dan perilaku terhadap hukum, dan faktor-faktor yang menentukan diterimanya sistem hukum tertentu dalam suatu masyarakat.
50
kelengkapan dan anggota DPR merupakan aspek struktur dalam sistem hukum. Elemen kedua dari sistem hukum adalah substansi hukum (substance). Penjelasan Friedman terhadap substansi hukum adalah sebagai berikut: "By this is meant the actual rules, norms, and behavior patterns of people inside the system. This is, first of all, "the law" in the popular sense of the term-the fact that the speed limit is fifty-five miles an hour, that burglars can be sent to prison, that 'by law' a pickle maker has to list his ingredients on the label of the jar".55 (Hal tersebut diartikan sebagai peraturan yang nyata, norma, dan pola perilaku masyarakat dalam suatu sistem. Hal ini utamanya hukum dalam pengertian umum, sebagai suatu bentuk batasan kecepatan 50 mili per/jam, bahwa penjahat dapat dijebloskan kepenjara, dan demi hukum setiap pembuat acara harus menjelaskan bahan-bahan dalam setiap toplesnya). Dengan demikian, Friedman mengatakan, bahwa yang dimaksudkan dengan substansi hukum adalah peraturan-peraturan yang ada, norma-norma dan aturan tentang perilaku manusia, atau yang biasanya dikenal orang sebagai "hukum" itulah substansi hukum. Sedangkan
mengenai
budaya
hukum,
Friedman
mengartikannya sebagai sikap dari masyarakat terhadap hukum dan sistem hukum, tentang keyakinan, nilai, gagasan, serta harapan masyarakat tentang hukum. Dalam tulisannya Friedman merumuskannya sebagai berikut;
55
Lawrence M. Friedman, dalam Inosentius Samsul, 2004, Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan Tanggungjawab Mutlak, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, h. 23.
51
"By this we mean people's attitudes toward law and the legal system-their beliefs, values, ideas, and expectations. In other words, it is that part of the general culture which concerns the legal system".56 (Dengan ini kami mengartikan perilaku masyarakat terhadap hukum dan kepercayaan terhadap sistem hukum, tata nilai, gagasan dan ekspektasi. Dengan kata lain, ini merupakan bagian dari kebudayaan umum yang membahas perihal sistem hukum). Selanjutnya untuk menjelaskan hubungan antara ketiga elemen sistem hukum tersebut Friedman dengan menarik dan jelas sekali membuat sebuah ilustrasi yang menggambarkan sistem hukum sebagai suatu "proses produksi" dengan menempatkan mesin sebagai "struktur", kemudian produk yang dihasilkan sebagai "substansi hukum", sedangkan bagaimana mesin ini digunakan merupakan representasi dari elemen "budaya hukum". Dalam bahasanya, Friedman merumuskan ilustrasi tersebut sebagai berikut; "Another way to visualize the three dements of law is to imagine legal "structure" as a kind of machine. "Substance" is what the machine manufactures or does. The "legal structure" is whatever or whoever decides to turn the machine on and off, and determines how it will be used".57 (Cara lain untuk memvisualisasikan tiga elemen hukum adalah untuk membayangkan suatu “struktur” selayaknya suatu mesin. “Substansi” adalah hal yang diolah oleh suatu mesin. “Struktur hukum” adalah apapun atau segala jenis bentuk yang memutuskan dimatikan atau dihidupkannya mesin tersebut dan bagaimana cara penggunaannya).
56
Ibid, h. 24 Ibid. Lihat juga John Pieris dan Wiwik Sri Widiarty, 2007, Negara Hukum dan Perlindungan Konsumen Terhadap Produk Pangan Kedaluarsa, Pelangi Cendikia, Jakarta, h. 37-35. 57
52
Pada
dasarnya
pembangunan
hukum
sama
dengan
pembangunan komponen-komponen sistem hukum.58 Pernyataan ini mengacu pada
tujuan utama hukum adalah mewujudkan
ketertiban (order).59 Kebutuhan akan ketertiban ini merupakan fakta dan kebutuhan obyektif bagi setiap masyarakat manusia. 60 Pada dasarnya ada tiga tujuan hukum yaitu ; kepastian, keteraturan, dan keadilan. 61 Dengan demikian, tujuan dalam pembangunan hukum terhadap pemberdayaan UMKM atas akses modal adalah kepastian hukum, keteraturan, dan keadilan dalam sistem hukumnya. Seperti dikemukakan oleh Achmad Ali, persoalan yang dihadapi Indonesia saat ini adalah adanya keterpurukan dalam ketiga
elemen
sistem
hukum
tersebut,
dan
yang
sangat
menyedihkan adalah fakta bahwa ketiga elemen sistem hukum Indonesia masih belum harmonis satu sama lain. 62 Begitu juga terkait dengan elemen substansi hukum yang menyangkut peraturan hukum (Peraturan Perundang-Undangan)
58
Lili Rasjidi, Wyasa Putra IB., 2003, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Mandar Maju, Bandung, h. 184. 59 Andrieansjah Soeparman, 2013, Hak Desain Industri Berdasarkan Penilaian Kebaruan Desain Industri, PT. Alumni, Bandung, h. 56. 60 Mochtar Kusumaatmadja, 1976, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Bina Cipta, Bandung, h. 2-3. (Selanjutnya disebut Mochtar Kusumaatmadja I) 61 Lili Rasjidi, Wyasa Putra IB., Op.Cit, h. 185. 62 Achmad Ali, 2008, Menguak Realitas Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h.9 – 11. (Selanjutnya disebut Achmad Ali I).
53
berkaitan dengan hak UMKM atas akses modal, disamping menunjukkan adanya norma kabur, juga menunjukkan adanya norma konflik atau pertentangan antara peraturan satu dengan peraturan
yang
lainnya,
sehingga
menampakkan
adanya
ketidakpastian hukum. Guna meneliti peraturan perundang-undangan yang ada terkait dengan hak UMKM atas akses modal, maka sudah barang tentu ketiga komponen sistem hukum itu tidak boleh lepas dari pengamatan,
terutama
komponen
substansi
hukum
(legal
substance). Dengan demikian, untuk mengetahui stagnasi-stagnasi hukum ketiga komponen sistem hukum itu harus diberikan perhatian penuh.
2.1.2. Teori Utilitarisme Terkait dengan substansi hukum, yaitu pembentukan peraturan perundang-undangan yang mengatur hak UMKM atas akses modal, maka teori Utilitarisme dari Jerremy Bentham relevan untuk dijadikan dasar rujukan. Salah satu substansi teori Jeremy Bentham yaitu; terori perundang-undangan atau prinsip legislasi, dimana yang menjadi tujuan pembentukan hukum oleh pembentuk undang-undang (legislator) adalah manfaat umum (kebaikan publik).
54
Jeremy Bentham dikenal sebagai penggagas aliran “Utilitarisme Hukum”. Bentham mampu menenun dari “benang” kemanfaatan menjadi permadani doktrin etika dan ilmu-ilmu hukum yang luas dan dikenal sebagai utilitarisme. Menurut Jeremy Bentham pembentuk undang-undang hendaknya dapat melahirkan undang-undang yang dapat mencerminkan keadilan bagi semua individu. 63 Dengan berpegang pada prinsip ini Jeremy Bentham mengemukakan bahwa suatu perundang-undangan itu hendaknya dapat memberikan kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi sebagian terbesar masyarakat. 64 Dalam teori ini diajarkan hanya dalam ketertibanlah setiap orang
akan
kebahagiaan
mendapatkan
kesempatan
untuk
mewujudkan
yang terbanyak, setiap orang bernilai
penuh
(volwaardig), tidak seorangpun bernilai lebih (everybody to count for one, no body for more than one). Teori ini bertujuan untuk mewujudkan apa yang berfaedah atau yang sesuai dengan daya guna (efektif). 65 Hukum barulah diakui sebagai hukum jika ia memberikan kemanfaatan yang sebesar-besarnya terhadap sebanyak-banyaknya orang. Prinsip ini dikemukakan oleh Bentham dalam karyanya 63
Gerald Postema, 1986, Bentham and The Common Law Tradition, Clafendom Press, Oxford, h. 403. 64 Supasti Dharmawan Ni Ketut, 2011, Hak Kekayaan Intelektual dan Harmonisasi Hukum Global Rekonstruksi Pemikiran Terhadap Perlindungan Program Komputer, Disertasi, Universitas Diponegoro Semarang, h.11-12. (Selanjutnya disebut Supasti Dharmawan Ni Ketut III), Lihat juga Abdul Manan, 2009, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta, h. 17. 65 Ibid, h. 18.
55
Introduction to the Principles of Morals and Legislation (1789) yang berbunyi ; bahwa hukum bertujuan untuk “the greatest happiness of the greatest number” 66 Bagi Bentham tujuan perundang-undangan adalah untuk menghasilkan kebahagiaan bagi masyarakat. Untuk itu perundangundangan harus berusaha untuk mencapai empat tujuan; 1. To provide subsistence (untuk memberikan nafkah hidup) 2. To Provide abundance (untuk memberikan makanan yang berlimpah) 3. To Provide Security (untuk memberikan perlindungan) 4. To Provide equity (untuk mencapai persamaan). 67 Aliran meletakkan
utilitarisme kemanfaatan
dianggap sebagai
sebagai tujuan
aliran
utama
yang hukum.
Kemanfaatan disini diartikan sebagai kebahagiaan (happiness). Dalam konteks ini apakah hukum dapat memberikan kebahagiaan kepada manusia atau tidak. 68 Sementara Gustav Radbruch justru menegaskan tentang manfaat hukum sebagai sarana untuk tercipta 66
Bentuk Utilitarisme pertamakali diperkenalkan oleh Filsuf Inggris, Jeremy Bentham (1748 – 1832). Jeremy Bentham sangat percaya bahwa hukum harus dibuat secara utilitarianistik, melihat gunanya dengan patokan -patokan yang didasarkan pada keuntungan, kesenangan, dan kepuasan manusia. Dal am hukum tidak ada masalah kebaikan atau keburukan, atau hukum yang tertinggi atau yang terendah dalam ukuran nilai. Hukum yang baik adalah hukum yang dapat memenuhi prinsip memaksimalkan kebahagiaan dan meminimalkan rasa sakit dalam masyarakat. Adapun jaminan kebahagiaan yang dimaksud oleh Bentham terutama ditujukan kepada individu. Lihat Muhamad Erwin, Filsafat Hukum Refleksi Kritis Terhadap Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 180-181. 67 Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence) termasuk Interprestas i Undang-Undang (Legisprudence), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 78. (Selanjutnya disebut Achmad Ali I) 68 Muhamad Erwin, Op.Cit, h. 179
56
suatu kepastian hukum (azas legalitas), keadilan (finalitas) dan kemanfaatan (utility)69. Dengan mengutip pandangan dari Resoe Pound terkait dengan
aliran
Utilitarisme,
Muhamad
Erwin
kemudian
menegaskan bahwa pembuat undang-undang harus dipimpin oleh suatu azas kegunaan (utility), harus menjadi patokan bagi pembuat undang-undang ialah apa yang akan memberikan kebahagiaan kepada jumlah individu yang paling besar. 70 Guna mewujudkan hukum (peraturan perundang-undangan) tentang UMKM yang dapat memberikan kemanfaatan, maka peraturan
perundang-undangan
tersebut
harus
mengandung
kepastian hukum (normanya harus jelas, tidak kabur, dan tidak mengandung norma yang konflik). Dengan demikian azas-azas pembentukan peraturan harus mendapat perhatian dan penting adanya. Jeremy Bentham mengemukakan bahwa ketidaksempurnaan (imperfectionis)
yang
dapat
mempengaruhi
undang-undang
(statute law), bisa dijadikan sebagai azas-azas dalam penbentukan perundang-undangan.71
Jeremy
Bentham
membagi
ketidak-
sempurnaan tersebut dalam dua derajat atau tingkatan sebagai berikut; 69
Muhamad Erwin, Op.Cit, h. 184 Theo Huijbers, 1982, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, h. 161. (Selanjutnya disebut Theo Huijbers I) 71 Yuliandri, 2011, Azas-Azas Pembentukan Peraturan PerundangUndangan Yang Baik, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 129. 70
57
1. Ketidaksempurnaan derajat pertama, disebabkan hal-hal yang meliputi ; a. Arti ganda (ambiguity) b. Kekaburan (abscurity) c. Terlalu luas (overbulkinnes) 2. Ketidaksempurnaan derajat kedua, disebabkan oleh; a. Ketidaktepatan ungkapan (unsteadiness in respect of expression); b. Ketidaktepatan tentang pentingnya sesuatu (unsteadiness in respect of import); c. Berlebihan (redundancy); d. Terlalu panjang lebar (longwindedness); e. Membingungkan (entanglement); f. Tanpa tanda yang memudahkan pemahaman (nakedness in respect of helps to intellection); g. Ketidakteraturan (disorderliness).72 Begitu juga bila berangkat dari pendapat Lon L. Fuller, yang
bersandar
pada
perspektif
pembentukan
peraturan
perundang-undangan, Hamid S. Attamimi A. mengemukakan, bahwa hukum adalah alat untuk mengatur masyarakat Ia berpendapat, bahwa tugas pembentuk peraturan perundangundangan akan berhasil, apabila ia sampai kepada tingkat dimana keseluruhan persyaratan bisa terpenuhi. Azas-azas pembentukan peraturan perundang-undangan menurut pandangan Lon L. Fuller sebagaimana dikutip oleh A. Hamid S. Attamimi, adalah; 1. ... a failure to achieve rules at all, so that every issue must de decided on an ad hoc basic (peraturan harus berlaku juga bagi penguasa, harus ada kecocokan atau konsistensi antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya; dituangkan dalam ataun-aturan yang berlaku umum, artinya suatu sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan 72
Hamid S. Attamimi A., 1993, Hukum Tentang Peraturan PerundangUndangan dan Peraturan Kebijakan (Hukum Tata Pengaturan ), Fakutlas Hukum, UI, Jakarta, h. 323 – 324.
58
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
dan tidak boleh sekadar mengandung keputusan-keputusan yang bersifat sementara atau adhoc); a failure to publicize, or at least to make available to the affected party, the rules he is expected to observe (aturanaturan yang telah dibuat harus diumumkan kepada mereka yang menjadi objek pengaturan aturan-aturan tersebut); the abuse of retroactive legislation, which not only cannot itself guide action, but undercuts the integrity of'rules prospective effect, since it puts them under the threat of retrospective change (tidak boleh ada peraturan yang memiliki daya laku surut atau harus non-retroaktif, karena dapat merusak integritas peraturan yang ditujukan untuk berlaku bagi waktu yang akan datang); a failure to make rules understandable (dirumuskan secara jelas, artinya disusun dalam rumusan yang dapat...dimengerti); the enactment of contradictory rules (tidak boleh mengandung aturan-aturan yang bertentangan satu sama lain; rules that require conduct beyond the powers of the affected party (tidak boleh mengandung beban atau persyaratan yang melebihi apa yang dapat dilakukan); introductions such frequent changes in the rules that the subject cannot orient his action by them (tidak boleh terusmenerus diubah, artinya tidak boleh ada kebisaaan untuk sering mengubah-ubah peraturan sehingga menyebabkan seseorang kehilangan orientasi); dan a failure of congruence between the rules as announced and their actual administration (harus ada kecocokan atau konsistensi antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaan sehari-hari. 73
2.1.3. Teori Hak dan HAM Berbicara tentang hukum (law) erat kaitannya dengan hak (right), khususnya hak-hak manusia, sebab hukum berorientasi
73
Lon L. Fuller, 1963, The Morality of Law, New Haven and London : Yale University Press, h. 39. Lihat A. Hamid S. Attamimi, Op.,Cit, h. 303, Lihat juga Yuliandri, Op.Cit, h. 130-131.
59
pada hak-hak manusia. Tujuan hukum adalah merinci, dan kalau perlu menegakkan dan melaksanakan hak-hak manusia. 74 Hukum berorientasi pada hak-hak. Tidak dapat dipungkiri hak itu penting, dan hak itu merupakan sesuatu yang bernilai. Tugas hukum adalah menentukan hak-hak seseorang. Dengan menentukan hak-hak itu, hukum akan membantu orang tersebut menegakkan hak-haknya.75 Dalam
istilah
Belanda,
hak
tersebut
dinamakan
“beschikken” yang meliputi hak/kewenangan untuk menjual, memberi, menukar, mewariskan secara legal. Beschikken meliputi segala kewenangan untuk memindahtangankan dari tangan yang satu ke tangan yang lain. 76 Menurut
Soerjono
Soekanto,
hak
merupakan
suatu
wewenang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, dan secara sosiologis hak merupakan sesuatu peranan atau lebih tepat peranan yang diharapkan (“Ideal rol”, “Expected role”).77 Bachsan
74
Mustafa,
memberikan
definisi
hak
adalah
Arthur Lewis (Terjemahan Perta Sri Widowati), 2009, Dasar-Dasar Hukum Bisnis Introduction to Business Law, Nusa Media, Bandung, h. 1-2. 75 Ibid. 76 R. Soeroso, 2011, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 273-274. 77 Soerjono Soekanto dan Otje Salman, 1996, Disiplin Hukum dan Disiplin Sosial, Radjawali, Jakarta, h. 96. Menurut Saut P. Pandjaitan, hak adalah peranan yang boleh tidak dilaksanakan (bersifat spekulatif ), sedangkan kewajiban merupakan peranan yang harus dilaksanakan (bersifat imperatif). Saut P. Panjaitan, 1998, Dasar-Dasar Ilmu Hukum (Azas, Pengertian dan Sistematika), Universitas Sriwijaya, Palembang, h. 81.
60
kekuasaan dan kekuasaan itu dapat dipertahankan terhadap setiap orang, artinya setiap orang harus mengakui, menghormati, dan mengindahkan kekuasaan itu. 78 Dalam pengertian hukum, umumnya yang dimaksud dengan hak adalah kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum, sedangkan kepentingan adalah tuntutan yang diharapkan untuk dipenuhi. Kepentingan pada hakekatnya mengandung kekuasaan yang dijamin dan dilindungi oleh hukum dalam melaksanakannya. 79 Bila dilihat dari segi kelahirannya pada dasarnya hak bersumber dari 3 (tiga) hal, yaitu ; 1) Dari kodrat manusia sebagai manusia yang diciptakan oleh Allah, 2) Hak yang lahir dari hukum, 3) Hak yang lahir dari hubungan hukum antara seseorang dan orang lain melalui sebuah kontrak/perjanjian.80 Secara tradisional dikenal 2 (dua) macam pembedaan hak, yaitu hak yang dianggap melekat pada tiap-tiap manusia sebagai manusia (hak azasi) dan hak yang ada pada manusia akibat adanya peraturan, yaitu hak yang berdasarkan undang-undang.81
78
Bachsan Mustafa, 2003, Sistem Hukum Indonesia Terpadu, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 39. 79 Sudikno Mertokusumo, 1986, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, h. 40. 80 Janus Sidabalok, 2006, Hukum Perlindungan di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 35-36. 81 Theo Huijbers, 1990, Filsafat Hukum, Kanisius, Jakarta, h. 94 – 95. (Selanjutnya disebut Theo Huijbers II)
61
Hak yang melekat pada tiap-tiap manusia dan secara azasi ada sejak manusia dilahirkan, berkaitan dengan eksistensi hidup manusia, bersifat tetap dan utama, tidak dapat dicabut, dan tidak tergantung dengan ada atau tidak ada orang lain disekitarnya. Hak-hak inilah dikenal dengan Hak Azasi Manusia. 82 Menurut Mahfud MD, Hak Azasi Manusia itu diartikan sebagai hak yang melekat pada martabat manusia sejak lahir ke muka bumi, sehingga hak tersebut bersifat fitri (kodrati), bukan pemberian manusia atau negara, 83 dan hak ini wajib dilindungi oleh negara tanpa alasan apapun. 84 Hak azasi manusia yang sering disebut hak kodrat, hak dasar, juga dengan natural right, dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan ground rechten, mensen rechten, rechten van deen mens, menjadi bahan perdebatan yang tidak ada hentinya, 85 terutama terkait dengan penegakan, pelaksanaan hak tersebut oleh negara / pemerintah.
82
Arya B Wiranata I Gede, dalam Muladi, 2009, Hak Azasi Manusia, Hakekat, Konsep dan Implementasinya Dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat , PT. Refika Aditama, Bandung, h. 229. Wujud dari Hak Azasi Manusia ini diantaranya adalah; kebebasan beragama, kebebasan hidup pribadi dan hak untuk hidup. Ibid. 83 Moch. Mahfud MD, 2001, Dasar dan Struktur Ketetanegaraan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, h. 227. (Selanjutnya disebut Moch. Mahfud MD. II) 84 Endang Sutrisno, 2007, Bunga Rampai Hukum dan Globalisasi, Genta Press, Yogyakarta, h. 169. 85 Masyhur Effendi A., 2011, Membangun Kesadaran HAM dalam Masyarakat Modern, dalam Memahami Hukum Dari Kontruksi Sampai Implementasi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 77.
62
Keyakinan dan pandangan adanya hak abadi yang melekat pada setiap manusia tersebut menempatkan John Locke sebagai Bapak Hak Azasi Manusia. Teori Hukum Alam John Locke memberi inspirasi basis filosofis atas Revolusi Amerika dan Prancis.86 John Locke adalah seorang ahli pemikir besar tentang negara dan hukum dari Inggris. Ia hidup tahun 1632 – 1704, dibawah kekuasaan pemerintahan Willem III. 87 Pemikiran awal pengaturan hak azasi manusia dalam bingkai negara hukum dimulai ketika John Locke mengemukakan pikiran spekulatifnya mengenai kontrak sosial. 88 Menurut Locke, negara merupakan hasil kesepakatan (pactum unionis) antar rakyat yang dikuasai dengan penguasa (Pactum subjectionis), dimana posisi masing-masing pihak wajib dilindungi dan dibatasi oleh aturan hukum yang disebut konstitusi. Pemikiran Locke tentang hak azasi manusia konstektualnya bersifat alamiah yang melekat pada harkat dan martabat manusia, sehingga tidak dapat dialihkan kepada negara bahkan mewajibkan negara untuk melindunginya. 89
86
Masyhur Effendi A., 2005, Perkembangan Dimensi HAM dan Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Azasi Manusia (HAKHAM ), Gralia, Indonesia, Jakarta, h. 3. 87 Soehino, 2005, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, h. 106. 88 Von JJ. Schmid, 1980, Ahli-Ahli Pikir Negara dan Hukum (Terjemahan R. Wiratno), Pembangunan, Jakarta, h. 152. 89 Suko Wiyono H., Hak Azasi Manusia (HAM) Dalam Kerangka Negara Hukum Yang Demokratis Berdasarkan Pancasila dalam Demokra si, HAM dan Konstitusi Perspektif Negara Bangsa untuk Menghadirkan Keadilan , 2001, Setara Press, Malang, h. 180.
63
Berkaitan dengan perlindungan dan penegakan hak azasi manusia,
sesuai
dengan
perkembangannya,
tidak
hanya
menyangkut hak sipil dan hak politik saja sebagai hak azasi manusia generasi pertama, tetapi juga meliputi hak-hak ekonomi, sosial, budaya yang merupakan hak azasi manusia generasi kedua, yang sudah menjadi perjanjian internasional dan telah diratifikasi oleh berbagai negara di dunia. 90 Hak UMKM atas akses modal sebagai bagian hak ekonomi penting
untuk
diatur
dan
diimplementasikan
dalam
penyelenggaraan usaha dibidang pariwisata dengan menempatkan negara atau pemerintah sebagai pihak yang wajib bertanggung jawab untuk mewujudkannya. Mengacu pada pemikiran John Locke, bahwa hak azasi manusia, termasuk hak-hak ekonomi wajib bagi negara untuk melindunginya. UMKM
yang
melakukan
kegiatan
usaha
dibidang
pariwisata adalah merupakan pihak yang posisinya lemah, terutama lemah dari segi permodalan. Hak Azasi Manusia selalu berupa perlindungan terhadap yang lemah. Hak azasi manusia 90
Perumusan hak-hak azasi manusia secara internasional dilakukan pada 10 Desember 1948 dengan diterimanya Universal Declaration of Human Right sebagai pernyataan bersama masyarakat dunia terhadap hak azasi ma nusia oleh negara-negara yang tergabung dalam PBB. Endang Sutrisno, Op.Cit, h. 169. Sebagai tindak lanjut dari deklarasi tentang HAM tersebut, pada tahun 1966 dibuat dua perjanjian yakni; 1) Convenant on Economic, Social and Culture Right (Perjanjian Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya), dan 2) Covenan on Civil and Political Righ (Perjanjian Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik), Muhammad Halim, 2001, Demokrasi dan Hak Azasi Manusia Dalam Konstitusi Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945, UII Press, Yogyakarta, h. 49.
64
merupakan sarana utama untuk menjamin solidaritas antara yang kuat dan lemah dalam masyarakat modern. 91 Hak UMKM untuk mendapatkan akses modal adalah merupakan hak ekonomi yang sangat diperlukan UMKM untuk mampu bersaing dan berusaha secara wajar. Hak-hak ekonomi dengan berbagai ragam bentuknya yang menjadi ciri HAM generasi kedua ini mewajibkan negara untuk menyusun dan menjalankan program-program bagi pelaksanaan sepenuhnya hakhak itu.92 Dalam konteks ini pula Magnis Suseno menyatakan pendapatnya; Hak Azasi Manusia berlaku universal dan bersifat kontekstual. Hak Azasi Manusia menjadi relevan dalam sistem perubahan sosial dimana individu, golongan maupun suku terancam oleh kekuasaan negara maupun kekuatankekuatan sosial lain. Secara katagoris Magnis Suseno berkata bahwa hak azasi manusia adalah sarana etis dari hukum untuk melindungi individu, kelompok dan golongan yang lemah terhadap kekuatan-kekuatan raksasa dalam masyarakat modern. 93 Dalam konteks hak azasi manusia, menegakkan hak-hak ekonomi, termasuk hak UMKM atas akses modal merupakan langkah penting dan positif bila dikaitkan masih adanya kesenjangan
antara
usaha
besar
dengan
UMKM
didalam
memperoleh modal usaha. Jaminan hukum bagi hak UMKM ini 91
Franz Magnis Suseno, Hak-Hak Azasi Manusia Dalam Konteks Sosio Kultural dan Religi di Indonesia dalam Hak Azasi Manusia Dalam Perspektif Budaya Indonesia, 1997, PT. Grafika Media Pustaka Utama, Jakarta, h. 8. 92 Scott Davidson (Terjemahan A. Hadyana Pudjaatmaka), 1994, Hak Azasi Manusia, PT. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, h. 8. 93 Franz Magnis Suseno, Op.cit, h. 59.
65
penting untuk diwujudkan dalam peraturan perundang-undangan dan politik hukum dan kemudian diimplementasikan secara nyata dan konsekuen dalam berbagai kebijakan pemerintah.
2.1.4. Teori Negara Kesejahteraan (Welfare State) Teori ini dipergunakan untuk menganalisis tentang peran dan campur tangan negara/pemerintah dalam pembentukan peraturan perundang-undangan guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat, termasuk usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dalam
bentuk
mendapatkan
pemberian akses
kesempatan
modal
usaha
atau sebagai
peluang bagian
untuk dari
pemberdayaan dan pengembangan UMKM. Ide Dasar Negara Kesejahteraan seperti dikemukakan oleh Watts, Dalton dan Smith, sudah ada semenjak abad ke-18 ketika Jeremy Bentham (1748-1832) menjelaskan gagasan bahwa pemerintah mempunyai tanggungjawab untuk menjamin the greatest happiness (Wellfare) of the greatest number of their citizens, 94 artinya bahwa pemerintah berkewajiban membuat bahagia sebanyak mungkin warganya. Bentham menggunakan istilah utility (kegunaan) dalam menjelaskan konsep kebahagiaan atau kesejahteraan. Atas dasar prinsip utilitarismenya Bentham mengatakan bahwa hal yang bisa membawa kebahagiaan ekstra adalah sesuatu yang baik. Bentham 94
Bessant, Judiths, 2006, Talking Policy; How Social Policy in Made, Crows Mest : Allen and Unwin, h. 11.
66
juga berpendapat bahwa pemerintah berkewajiban membuat bahagia sebanyak mungkin warganya, dan atas gagasan-gagasan inilah Bentham diakui sebagai Bapak Negara Kesejahteraan (Father of Welfare State). Paham Negara Kesejahteraan (welfare state) lahir pada abad XIX sebagai reaksi terhadap kelemahan liberalisme dan kapitalisme klasik dan sekaligus reaksi terhadap ajaran “negara penjaga malam” (nachtwachtersstaat) yang mengidealkan prinsip pemerintah yang paling baik adalah yang memerintah sesedikit mungkin (the best government is the least government)95 Negara Kesejahteraan (welfare state) menurut Bagir Manan adalah negara atau pemerintah tidak semata-mata sebagai penjaga keamanan atau ketertiban masyarakat, tetapi pemikul utama tanggungjawab untuk mewujudkan keadilan sosial, kesejahteraan umum dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 96 Munculnya konsep Negara Kesejahteraan didahului oleh konsep Negara Penjaga Malam (Nachtwachterstaat). Dalam konsep Negara Penjaga Malam pemerintah hanya dibenarkan masuk dalam wilayah keamanan dan tidak masuk pada wilayah politik 95
dan
ekonomi,
sesuai
dengan
dalil
“laissez-faire
Jimly Asshiddiqie, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi LembagaLembaga Negara Pasca Reformasi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, h. 330. (Selanjutnya disebut Jimly Asshiddiqie II). Lihat juga Miriam Budiardjo, 2001, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h.50. 96 Abrar, 1999, Hak Penguasaan Negara Atas Pertambangan Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, Disertasi PPS Universitas Padjajaran, Bandung, h. 4.
67 laissezaller” 97 atau paham liberal. Paham liberal percaya bahwa jika seorang diberikan kebebasan mengurus ekonominya masingmasing, ekonomi negara akan sehat. Dalam perspektif ini urusan ekonomi terlepas campur tangan negara. Paham liberal ini muncul karena sebelumnya dalam pemerintahan yang berbentuk kerajaan bersifat absolut, dan rajalah
yang
menentukan
segala-galanya
bagi
kepentingan
masyarakat. Semboyan yang terkenal saat itu sebagaimana ungkapan raja Perancis, Louis XIV, “L’etate C’estmoi,”98 negara adalah aku. Azas yang berlaku dalam pemerintahan waktu itu adalah bahwa rajalah yang menentukan segala-galanya untuk rakyatnya, dan kepentingan umum mengatasi semua undangundang dan hukum (legibus solutes est, soluspublikus suprema lex)99 Paham Negara Kesejahteraan (walfare state) menjadi ide yang cukup dominan dalam penyelenggaraan negara di Negara Maju maupun Dunia Ketiga. Konsep Negara Kesejahteraan merupakan
jawaban
terhadap
ekses-ekses
negatif
paham
kapitalisme periode pertama yang sangat meminimalkan peran negara.100 Dalam Konsep Negara Kesejahteraan, gagasan bahwa
97
Marbun S.F., 2001, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, h. 201. 98 Azhary, 1995, Negara Hukum Indonesia, UI Press, Jakarta, h. 34-35. 99 Donald A. Runokoy, Marbun SF., Op.Cit.h.10. 100 Adji Samekto F.X., 2005, Pembangunan Berkelanjutan Dalam Tatanan Sosial Yang Berubah, Jurnal Hukum Progresif Vol. I Nomor 2 Oktober 2005, h.18.
68
pemerintah dilarang intervensi dalam urusan warga negara lambat laun berubah menjadi gagasan bahwa pemerintah harus intervensi dan bertanggungjawab atas kesejahteraan rakyat, dan karenanya harus proaktif mengatur kehidupan ekonomi dan sosial.101 Intervensi tersebut bila dikaitkan dengan tujuan pokok negara kesejahteraan, antara lain ; 1. Mengontrol dan menggunakan sumber daya sosial dan ekonomi untuk kepentingan publik 2. Menjamin distribusi kekayaan secara adil dan merata 3. Mengurangi kemiskinan 4. Menyediakan
subsidi
untuk layanan
sosial
dasar
bagi
disadvantage people. 5. Menyediakan asuransi sosial (kesehatan dan pendidikan) bagi masyarakat miskin. 6. Memberi proteksi sosial bagi tiap warga negara. 102 Negara Kesejahteraan juga didefinisikan, is a state which provides all individuals a fair distribution of the basic resources necessary to maintain a good standard of living, (suatu negara yang memberikan seluruh rakyat suatu pendistribusian secara adil sumber-sumber kebutuhan pokok untuk pemeliharaan suatu standar hidup yang layak.) 103
101
Ibid. Tjandra W. Riawan, 2008, Hukum Tata Negara, Universitas Atmadjaja, Jakarta, h. 4. 103 Yohannes Usfunan, et.al. Op.Cit, h. 18. 102
69
Menurut
Spicker 104
Negara
Kesejahteraan
dapat
didefinisikan sebagai sebuah sistem kesejahteraan sosial yang memberi peran lebih besar pada Negara atau pemerintah untuk mengalokasikan
sebagian
dana
publik
untuk
menjamin
terpenuhinya kebutuhan dasar warganya. Negara
Kesejahteraan
mengantarkan
perlindungan negara terhadap masyarakat,
pada
aksi
terutama kelompok
lemah, seperti orang miskin, cacat, pengangguran, usaha mikro, kecil
dan
menengah
(UMKM),
dan
sebagainya.
Negara
Kesejahteraan dituntut untuk memperluas tanggungjawabnya kepada masalah-masalah sosial ekonomi yang dihadapi rakyat. Secara konstitusional Negara Kesejahteraan Indonesia tertuang dalam Alinea ke-4 Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 27 ayat (2), Pasal 33, dan Pasal 34. 105
Pemahaman
mengenai Negara Kesejahteraan terfokus pada dua konsep yaitu social welfare dan economic development. Social Welfare berkaitan dengan altruism, hak-hak sosial, dan redistribusi asset. Hal ini merupakan mekanisme redistribusi kekayaan untuk membiayai layanan sosial bagi masyarakat yang kurang mampu. Economic
104
development
berkenaan
dengan
pertumbuhan,
Jasim Hamidi, Herlin Wijayanti, 2009, Teori dan Politik Hukum Tata Negara, Total Media, Yogyakarta, h. 307. 105 Djauhari, Politik Hukum Negara Kesejahteraan Indonesia (Studi tentang Kebijakan Regulasi dan Institusionalisasi Gagasan Keseja hteraan Sosial Ekonomi Masyarakat Nelayan di Jawa Tengah, dalam Bunga Rampai Pemikiran Hukum di Indonesia, FH. UII Press, Yogyakarta, h. 312.
70
akumulasi modal, dan keuntungan ekonomi. Hal ini merupakan jalan mewujudkan kekayaan dan meningkatkan kualitas standar hidup.106 Negara Kesejahteraan diwujudkan tidak semata-mata dalam bentuk kebijakan dan program sosial seperti social safety net, social security, social insurance, atau social subsidy, tetapi juga melalui penyelenggaraan pembanguan sosial yang diarahkan pada penciptaan lapangan kerja, pengembangan modal, memobilisasi modal sosial, mengakumulasi asset produktif, dan merintis serta mengembangkan UMKM dalam bentuk pemberian dan penguatan untuk mendapatkan hak aksesnya terhadap modal. Bila dihubungkan dengan liberalisasi perdagangan jasa pariwisata, yang sudah barang tentu pasti akan menghadirkan pengusaha dan pemasok jasa asing, maka pemerintah sebagai representasi welfare state wajib campur tangan untuk melindungi keberadaan UMKM dibidang akses untuk mendapatkan modal dan akses pasar sehingga mereka tidak tereliminasi dalam kegiatannya dibidang ekonomi. Wujud campur tangan negara atau pemerintah sebagaimana dimaksud adalah dengan membuat atau merumuskan peraturan dibidang ekonomi berkaitan dengan
106
Johanes Usfunan, et.al., Op.Cit, h. 19.
hak
UMKM
atas akses
71
modal.
Pembukaan
Undang-Undang
Dasar
1945
(Alinea
keempat), mengatur dan menyelenggarakan pemerintahan yang meliputi berbagai bidang seperti; politik, hukum, maupun ekonomi.107
2.1.5. Teori Stakeholders (Stakeholders Theory) Salah satu akses UMKM untuk mendapatkan modal usaha adalah melalui pelaksanaan tanggungjawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility). Perusahaan–perusahaan besar biasanya menyalurkan dana hibah yang disalurkan melalui divisi CSR nya. Konsep dan pengimplementasian CSR (Corporate Social Responsibility)
ini
didasarkan
pada
teori
stakeholders
(Stakeholders Theory). Menurut teori stakeholrders dari Thomas Donaldson, yang menyatakan bahwa manajemen suatu perusahaan harus memperhatikan kepentingan para stakeholders, baik yang berasal dari group atau individu yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh maksud dan tujuan perusahaan. 108 Menurut Stakeholders Theory tidak ada suatu perseroan dapat berdiri sendiri tanpa dukungan dari pihak lain yang dapat menunjang 107
Syamsuharya Bethan, 2008, Penerapan Prinsip Hukum Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup Dalam Aktivitas Industri Nasional Sebuah Upaya Penyelamatan Lingkungan Hidup dan Kehidupan antar Generasi, PT. Alumni, Bandung H. 22. 108 Misahardi Wilamarta, 2002, Hak Pemegang Saham Minoritas Dalam Rangka Good Corporate Governance, Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, h. 260.
72
keberhasilan perusahaan, seperti langganan, supplier, kreditor, anggota masyarakat, termasuk karyawan perseroan. 109 Dengan landasan Stakeholders Theory ini CSR penting untuk
dikembangkan
guna
memudahkan
UMKM
untuk
mendapatkan akses pembiayaan atau modal, terlebih-lebih bila melihat fakta adanya ketidakseimbangan ekonomi, terutama didalam memperoleh akses pembiayaan antara usaha besar dengan UMKM. Dalam konteks pembangunan saat ini, perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggungjawab yang berpijak pada aspek keuntungan kegiatan ekonomi untuk menciptakan profit demi kelangsungan terhadap
usahanya,
aspek
kegiatannya
sosial
aktivitas
melainkan dan
juga
bertanggungjawab
lingkungannya,
ekonomi
berkembang
karena
dalam
sangat
tidak
seimbang. 110 Suatu perusahaan dalam melakukan kegiatan usaha atau berbisnis, ia memiliki kewajiban kepada Shareholders (Pemegang Saham),
namun
ia
juga
harus
memenuhi
harapan
para
Stakeholders (Pemangku Kepentingan), yakni karyawan, rekanan bisnis, pemerintah, dan masyarakat sekitar. CSR harus dikerjakan
109
Ibid. Thomas Lindblad J., et.al, 2002, Fondasi Historis Ekonomi Indonesia, terjemahan Nawianto S., Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta, hl. 26. 110
73
dengan sepenuh hati sebagai bentuk tanggungjawab kepada Stakeholders.111 Corporate
Social
Responsibility
(CSR)
merupakan
fenomena strategi perusahaan yang mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan Stakeholdersnya. Kesadaran akan pentingnya Sustainability perusahaan jangka panjang dari pada sekedar Profitability ini dinilai sudah tidak sesuai dengan pandangan tradisional yang menyatakan mengenai “The Social Responsibility of Business is that business should maximize profits for shareholders”.112 Dalam
konteks
CSR,
perusahaan
yang
ingin
mempertahankan eksistensinya atau kelangsungan hidupnya, maka konsep Triple Bottom Lines yaitu people, profit, dan planet harus diperhatikan. juga
harus
Selain mengejar keuntungan (profit), perusahaan memperhatikan
dan
terlibat
pada
pemenuhan
kesejahteraan masyarakat (people) dan turut berkontribusi aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet). Konsep Triple Bottom Lines mengimplikasikan bahwa perusahaan harus lebih mengutamakan kepentingan Stakeholders (semua pihak yang terlibat dan terkena dampak dari kegiatan yang 111
Sukandarrumidi, 2012, Corporatet Social Responsibility (CSR) Usaha Meredam Unjukrasa Akibat Gangguan Lingkungan, Bajawa Press, Yogyakarta, h.61. 112 Henry R. Cheeseman, 2000, Countemporary Business, 3 rd ed, Upper Saddle River, New Jersey, h. 41.
74
dilakukan perusahaan) dari pada kepentingan Shareholders (pemegang saham). Mengacu pada konsep Triple Bottom Lines, maka UMKM sebagai Stakeholders penting untuk diperhatikan bila perusahaan ingin tetap mempertahankan eksistensinya. Perusahaan harus memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan masyarakat, termasuk UMKM dengan melaksanakan program CSR. Terkait dengan implementasi CSR itu sendiri sebagai suatu kewajiban
hukum
seperti
diatur
dalam
undang-undang,113
nampaknya pada saat sekarang ini sudah menjadi suatu kebutuhan bila dilihat dari segi pemberdayaan UMKM. Ketika CSR sudah menjadi suatu kewajiban hukum yang mesti harus dilaksanakan oleh suatu perusahaan, maka hal itu akan mendorong perusahaan untuk melaksanakannya. Dalam konteks ini relevan untuk dicermati pendekatan Hybrid
Framwork
yang
diperkenalkan
Ni
Ketut
Supasti
Dharmawan sebagai suatu alternatif penerapan konsep Corporate Social Responsibility (CSR) ditengah kontroversi CSR antara voluntary dan mandatory. A Hybrid Framwork adalah sebuah 113
Undang-Undang yang mewajibkan CSR adalah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas dan Undang -Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal. Pasal 74 ayat (2) Undang -Undang Nomor 40 Tahun 2007 menyatakan ; Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya dibidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggungjawab sosial dan lingkungan. Pasal 15 huruf b Undang Undang Nomor 25 Tahun 2007 menyatakan; Setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggungjawab sosial perusahaan.
75
pendekatan yang menggabungkan antara pelaksanaan CSR secara voluntary dan regulatory (mandatory).114 Melalui pendekatan Hybrid ini tidak melihat keduanya terpisah secara eksklusif, akan tetapi melihatnya sebagai dua hal yang saling melengkapi. Adanya suatu usaha legislasi, itu bukan berarti menganggap inisiatif voluntary sebagai suatu hal yang tidak penting, melainkan usaha atau pemasukan konsep CSR ke dalam
undang-undang
mempengaruhi
sebagai
perilaku
salah
korporasi
satu dalam
factor
lebih
menjalankan
tanggungjawab sosialnya. 115 Sementara itu, dalam undang-undang tanggungjawab sosial yang berbasis kewajiban hukum (legal obligation) hendaknya tidak dilihat sebagai suatu yang berbenturan, akan tetapi suatu pendekatan yang saling melengkapi. Pencantuman konsep CSR dalam format undang-undang bukan suatu kesalahan melainkan suatu kebutuhan.116
2.1.6. Teori Keadilan Keadilan berasal dari kata dasar adil dengan mendapat imbuhan 114
ke-an, menjadi
keadilan. Keadilan
berarti
dapat
Supasti Dharmawan Ni Ketut, 2010, A Hybrid Framwork Suatu Alternatif Pendekatan CSR (Corporate Social Respponsibility) di Indonesia , Jurnal Ilmiah Kertha Patrika, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Volume 34 No. 1, Januari, Denpasar, h. 9. (Selanjutnya disebut Supasti Dharmawan Ni Ketut IV). 115 Ibid. 116 Ibid.
76
menempatkan sesuatu secara proporsional dan persamaan hak sesuai dengan kapasitas dan kemampuan seseorang dalam melakukan sesuatu masalah. 117 Di dalam literatur Inggris istilah keadilan disebut dengan “justice”, kata dasarnya “jus”. Perkataan “jus” berarti hukum atau hak. Dengan demikian salah satu pengertian dari justice adalah hukum. Dalam makna keadilan sebagai hukum, kemudian berkembang arti dari kata justice sebagai “lawfulness” yaitu keabsahan menurut hukum. 118 Menurut bahasa (etimologi) keadilan ialah seimbang antara berat dan muatan, 119 sesuai dengan hak dan kewajiban, sesuai antara pekerjaan dan hasil yang diperoleh, sesuai dengan ilmu, sesuai dengan pendapatan dan kebutuhan. WJS. Poerwadaminta memberikan pengertian adil sebagai berikut: 1. Adil
berarti
tidak
berat
sebelah
(tidak
memihak),
pertimbangan yang adil, putusan yang dianggap adil; 2. Adil berarti patut, sepatutnya, tidak sewenang-wenang. Misalnya,
117
dalam
mengemukakan
tuntutan
yang
adil,
Yatimin Abdullah, 2006, Pengantar Studi Etika, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 537. 118 Bahder Johan Nasution, 2004, Hukum Ketenagakerjaan Kebebasan Berserikat Bagi Pekerja, Mandar Maju, Bandung, h. 48. 119 Ibnu Miskawaih, 1995, Menuju Kesempurnaan Ahlak, Mizan, bandung, h. 115.
77
masyarakat
adil,
masyarakat
yang
sekalian
anggotanya
mendapat perlakuan yang sama adil. 120 Apa yang dikemukakan WJS. Poerwadarminta tentang adil, hampir sama dengan pengertian adil/keadilan menurut pengertian kalangan masyarakat pada umumnya yaitu merupakan sifat tindakan atau perlakuan yang tidak memihak kepada salah satu pihak, tidak berat sebelah, memberikan sesuatu kepada setiap orang sesuai dengan hak yang harus diperolehnya, selalu berpihak kepada yang benar dan tidak berbuat sewenang-wenang.121 Mengenai pengertian keadilan memiliki sejarah pemikiran yang panjang. Tema keadilan merupakan tema utama dalam hukum semenjak masa Yunani kuno, 122 karena salah satu tujuan hukum adalah keadilan. Perbincangan
tentang
keadilan
berkembang
dengan
pendekatan dan sudut pandang yang berbeda-beda, sehingga karenanya berkembang pula teori-teori keadilan dari para sarjana yang intinya mengemukakan teorinya dari sudut pandangannya masing-masing. Teori keadilan yang tepat dipergunakan dalam membedah permasalahan penelitian ini, terutama permasalahan pertama dan permasalahan kedua adalah teori keadilan Pancasila. Di Indonesia 120
Poerwadarminta WJS., 1986, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, h. 16. 121 Kuffal HMA., 2012, Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Universitas Muhammadiyah, Malang, h. 48. 122 Fernando M. Manullang E., 2007, Menggapai Hukum Berkeadilan, PT. Kompas Media Nusantara, Jakartam h. 96.
78
keadilan digambarkan dalam Pancasila sebagai dasar negara, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.123 Nilai-nilai yang terkandung dalam sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia didasari dan dijiwai oleh sila-sila dari Pancasila. 124 Berdasarkan sila-sila dari Pancasila, maka dalam sila kelima terkandung nilai-nilai keadilan yang harus terwujud dalam kehidupan bersama (kehidupan sosial). Adapun keadilan tersebut didasari dan dijiwai oleh hakekat keadilan kemanusiaan yaitu keadilan dalam hubungannya manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan manusia lainnya, manusia dengan masyarakat, bangsa dan negara, serta hubungan manusia dengan Tuhannya. 125 Menurut I Ketut Rindjin, sesungguhnya keadilan sosial yang berlaku dalam masyarakat
meliputi segala bidang
kehidupan, tidak hanya meliputi aspek materiil saja, tetapi juga aspek spiritual, yaitu yang menyangkut adil dibidang hukum, politik, sosial, budaya, maupun ekonomi. 126 Makna keadilan sosial mencakup pula pengertian adil dan makmur yang merupakan tujuan dari negara Indonesia. 127
123
Agus Santoso H.M., 2012, Hukum, Moral, dan Keadilan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 86. 124 Ibid 125 Kaelan, 2007, Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi, Paradigma, Yogyakarta, h. 36. 126 Rindjin Ketut, 2012, Pendidikan Pancasila Untuk Perguruan Tinggi, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 178. 127 Kaelan, Op. Cit, h. 37
79
Menurut Ida Bagus Wyasa Putra, teori keadilan Pancasila mencakup sekurang-kurangnya tiga komponen keadilan yaitu; keadilan tukar menukar, keadilan sosial, dan keadilan dalam membagi.128 Apa yang dimaksud dengan ketiga komponen keadilan tersebut dapat diberikan penjelasan sebagai berikut; 1. Keadilan tukar menukar mencakup dua konsep yaitu; (a) memberikan kepada pihak lain segala sesuatu yang menjadi haknya, atau yang semestinya mereka terima, sehingga masing-masing pihak mempunyai kesempatan untuk melaksanakan hak dan kewajiban tanpa rintangan; (b) dalam hubungan manusia orang perorangan; memberikan kepada sesamanya segala sesuatu yang menjadi hak pihak lain atau yang seharusnya diterima pihak lain, sehingga timbul keadaan saling memberi dan saling menerima. 2. Keadilan sosial, yaitu dalam hubungan manusia perseorangan dengan masyarakat, memberi dan melaksanakan segala sesuatu yang memajukan kemakmuran serta kesejahteraan sebagai tujuan mutlak masyarakat. 3. Keadilan dalam membagi, yaitu dalam hubungan antara masyarakat dengan warganya, masyarakat dengan alat penguasaannya, membagikan segala kenikmatan dan beban bersama dengan secara rata dan merata, menurut keselamatan sifat dan tingkat perbedaan rohaniah serta badaniah warganya, baik sebagai perseorangan maupun golongan, sehingga terlaksana sama rasa sama rata. 129 Keadilan Pancasila menurut Ida Bagus Wyasa Putra mempunyai cakupan lebih luas dan tidak hanya sekedar keadilan sosial saja, tetapi juga keadilan tukar menukar dan keadilan dalam membagi. Dari konstruksi keadilan sosial dapat ditarik benang merah bahwa merupakan tugas dari pemerintah kepada warganya untuk menentukan apa yang dapat dituntut oleh warga, oleh karena itu merupakan kewajiban bagi pembentuk undang-undang untuk 128 129
Wyasa Putra Ida Bagus I, Op.Cit. h. 210. Wyasa Putra Ida BAgus I, Loc.Cit.
80
memperhatikannya dalam merumuskan undang-undang. Terkait dengan hak UMKM atas akses modal, maka konsep keadilan sosial penting untuk diatur dan diimplementasikan dalam konteks pemberdayaan UMKM. Mengingat
dalam
praktek
dewasa
ini
masih
memperlihatkan bahwa para pembuat kebijakan dan pembentuk hukum masih mengabaikan mandat konstitusi bahwa pendirian negara
ditujukan untuk memajukan kesejahteraan umum dan
mewujudkan keadilan sosial, maka prinsip keadilan sosial sebagai salah satu sila dari Pancasila relevan dan penting untuk diterapkan dan tercermin dalam norma hukum yang akan dibentuk. Konsep John Rawls tentang keadilan relevan pula dipakai sebagai landasan teori dalam pembentukan peraturan perundangundangan
di
Indonesia
terkait
dengan
pemberdayaan
(Perlindungan) UMKM yang posisinya lemah dan kurang beruntung. John Rawls mengemukakan ada 2 (dua) prinsip keadilan sebagai berikut : First, each person is to have an equel right to the most extensive basic liberty compatible with a similiar liberty for other, second, social and economic inequalities are to be arranged so that they kare both (a) reasonably expected to be eveyone’s advantage, and (b) attached to positions and offices open to all. 130 (Pertama-tama, tiap orang agar memiliki hak yang sama terhadap kebebasan dasar terhadap yang lain, dan kedua, ketimpangan sosial dan ekonomi agar diatur sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kemampuan dan tugas dan wewenangnya).
130
John Rawls, 2006, Teori Keadilan Atau Theory of Justice (Terjemahan Pustaka Pelajar), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 60.
81
Kedua prinsip keadilan di atas dapat dijelaskan sebagai berikut; prinsip yang pertama; menempatkan setiap orang mempunyai hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang (bagi orang lain). Sedangkan prinsip kedua; ketimpangan sosial dan ekonomi yang ada ditengah masyarakat, harus diatur sedemikian rupa sehingga ; (a) dapat diharapkan memberi keuntungan pada setiap orang; (b) semua posisi dan jabatan terbuka bagi semua orang. Seperti ditegaskan oleh Otong Rosadi bahwa teori John Rawls sangat penting dalam konteks pembahasan mengenai inkorporasi prinsip keadilan sosial dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Teori Rawls tentang keadilan penting karena dua hal; 131 1. Prosedur
pencapaian
atau
pencarian
konsensus
yang
menempatkan individu sama peluangnya. 2. Mengakui ada ketimpangan mendapat
prioritas
dalam masyarakat yang harus
perhatian
dalam
penyusunan
atau
pembentukan peraturan perundang-undangan. Prinsip keadilan yang kedua dari John Rawls dapat menjadi pedoman bahwa pembentukan undang-undang harus memberikan perlindungan yang memadai bagi masyarakat yang mempunyai akses kecil dan terbatas terhadap sumber-sumber daya dalam masyarakat, termasuk UMKM sebagai kelompok yang posisinya 131
Otong Rosadi, 2012, Hukum Ekologi dan Keadilan Sosial Dalam Perenungan Pemikiran (Filsafat) Hukum, Thafa Media, Yogyakarta, h. 117.
82
lemah. Kelompok masyarakat yang masuk katagori ini harus diperhatikan dan menjadi dasar pertimbangan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
2.1.7. Teori Hukum Progresif Seirama dengan perkembangan bidang hukum dewasa ini telah berkembang berbagai pendirian dari para sajana tentang hukum, salah satunya adalah pemikiran dari Satjipto Rahardjo mengenai Hukum Progresif. Tidak dapat dipungkiri, pemikiran Hukum Progresif ini telah memberikan warna bagi perkembangan hukum di Indonesia. Hukum progresif merupakan salah satu gagasan yang paling menarik dalam literatur hukum Indonesia pada saat ini. Dikatakan menarik, karena Hukum Progresif telah menggugat keberadan hukum modern yang telah dianggap mapan dalam berhukum kita selama ini. 132 Hukum progresif menyingkap tabir dan menggeledah berbagai kegagalan hukum modern yang didasari oleh Filsafat positivistik, legalistik, dan linier tersebut untuk menjawab persoalan hukum sebagai masalah manusia dan kemanusiaan. 133 Dalam konteks hukum progresif, hukum tidak hanya dijalankan dengan kecerdasan spiritual. Menjalankan hukum haruslah 132
dengan determinasi,
empati, dedikasi, komitmen
Satjipto Rahardjo, 2009, Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, h.v (Selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo I). 133 Ibid.
83
terhadap penderitaan bangsa untuk berani mencari jalan lain guna mensejahterakan rakyat. Melalui pemikiran hukum progresif ini Satjipto Rahardjo kemudian melakukan elaborasi mendalam mengenai peranan hukum dan bagaimana seharusnya hukum diperankan dalam mengatur kehidupan masyarakat Indonesia. 134 Gagasan hukum progresif
yang dicetuskan Satjipto
Rahardjo disampaikan dalam berbagai seminar, diskusi, dan pertemuan ilmiah dan telah mengundang berbagai komentar dari berbagai kalangan dalam mengkritisi pemikiran hukum progresif tersebut. 135
134
Romly Atmasasmita, 2012, Teori Hukum Integratif; Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif, Genta Publishing, Yogyakarta, h. 86 135 Pandangan Teori Hukum Progresif menurut Satjipto Rahardjo, merupakan gagasan yang berintikan 9 (Sembilan) pokok pemikiran sebagai berikut ; 1) Hukum menolak tradisi analytical jurisprudence atau rechtsdogmatik dan berbagai paham dengan aliran seperti legal realism, freirechtslekre, sociological jurisprudence, interressenjuriprudenz di Jerman, teori hukum alam dan critical legal studies. 2) Hukum menolak pendapat bahwa ketertiban (order) hanya bekerja melalui institusi-institusi kenegaraan. 3) Hukum progresif bertujuan untuk melindungi rakyat menuju kepada ideal hukum. 4) Hukum menolak status-quo serta tidak ingin menjadikan hukum sebagai teknologi yang tidak bernurani, melainkan suatu institusi yang bermoral. 5) Hukum adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia pada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia ba hagia. 6) Hukum progresif adalah hukum yang pro rakyat dan hukum yang pro keadilan. 7) Asumsi dasar hukum progresif adalah bahwa hukum untuk manusia, dan bukan sebaliknya. 8) Hukum bukan merupakan suatu institusi yang absolute dan final, melainkan sangat tergnatung pada bagaimana manusia melihat dan menggunakannya. Manusialah yang merupakan penentu. 9) Hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi ( law as a process, law in the making) Ibid. h. 88-89.
84
Asumsi dasar hukum progresif adalah mengenai pandangan tentang hubungan antara hukum dan manusia. Ada penegasan prinsip bahwa
“hukum
adalah
untuk
manusia”, bukan
sebaliknya. 136
Berkaitan dengan itu bahwa hukum tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan lebih besar. Setiap kali ada masalah dengan hukum, hukumlah yang ditinjau dan diperbaiki dan bukan manusia yang dipaksa-paksa untuk dimasukkan ke dalam skema hukum. 137 Begitu juga halnya dengan ketentuan hukum yang menyangkut akses untuk mendapatkan modal bagi UMKM yang menunjukkan adanya ketidakjelasan atau pertentangan, maka mengacu pada pandangan hukum progresif, ketentuan hukum itu yang mesti harus diperbaiki atau disempurnakan, dalam arti dikonstruksi normanya, sehingga membuka peluang bagi UMKM untuk mendapatkan akses modal, sebagai bagian dari upaya untuk membuat masyarakat (manusia) sejahtera dan bahagia. Hukum progresif menolak pendapat bahwa ketertiban (order) hanya bekerja melalui institusi-institusi kenegaraan. Hukum progresif ditujukan untuk melindungi rakyat menuju kepada ideal hukum dan menolak status-quo, serta tidak ingin menjadikan hukum sebagai teknologi yang tidak bernurani, melainkan suatu institusi yang bermoral. 138
136
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif, Hukum Yang Membebaskan, Jurnal Hukum Progresif, PDIH Semarang, Volume I Nomor 1, April, 20 05, h.5. (Selanjutnya disebut Satjipto rahardjo II). 137 Endang Sutrisno, Op.Cit, h. 67. 138 Satjipto Rahardjo I, h.2
85
Konsep
pemikiran
tersebut
diatas
ditawarkan
untuk
diimplementasikan dalam tataran agenda akademia dan agenda aksi. Hukum adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera, dan membuat manusia bahagia.139 Pernyataan tersebut merupakan pangkal pikiran yang akhirnya memuncak
pada
tuntutan
bagi
kehiadiran
hukum
progresif.
Pernyataan tersebut mengandung paham mengenai hukum, baik konsep, fungsi serta tujuannya. Hal tersebut sekaligus merupakan ideal
hukum
yang
menuntut
untuk
diwujudkan.
Sebagai
konsekuensinya, hukum merupakan suatu proses yang secara terusmenerus membangun dirinya menuju ideal tersebut. Inilah esensi hukum progresif. Secara spesifik hukum progresif adalah suatu hukum yang pro rakyat dan hukum yang pro keadilan. 140 Dalam konteks paparan di atas kiranya demikian relevan dan urgen beberapa pokok pikiran hukum progresif dari Satjipto Rahardjo, kaitannya dengan pemberdayaan UMKM karena; 1) Hukum progresif ditujukan untuk melindungi rakyat (UMKM) kepada ideal hukum. 2) Hukum adalah institusi yang bertujuan mengantarkan manusia (UMKM) pada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia.
139 140
Satjipto Rahardjo I, Op.Cit, h.2. Satjipto Rahardjo II, Loc.Cit.
86
3) Hukum progresif adalah hukum yang pro rakyat dan hukum yang pro keadilan.
2.1.8. Konsep Fungsi Hukum Sebagai Sarana Pembaruan Masyarakat (Law as a Tool of Social Engineering) Konsep fungsi hukum yang relevan dalam pemberdayaan UMKM dibidang akses modal adalah konsep fungsi hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat, yang merupakan pemikiran Rescoe Pound, salah seorang peletak dasar (aliran dalam filsafat hukum) Sociological Jurisprudence.141 Pound menyatakan hukum dapat berfungsi sebagai alat merekayasa masyarakat (law as a tool of social engineering). Di Indonesia, konsep Rescoe Pound diintrodusir dan dikembangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja. 142 Menurut
Mochtar
Kusumaatmadja,
hukum
berfungsi
sebagai sarana pembaharuan atau sarana pembangunan adalah didasarkan atas anggapan, bahwa hukum dalam arti kaedah atau peraturan hukum memang bisa berfungsi sebagai alat (pengatur) atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan. 143
141
Lily Rasjidi, 1990, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 47. 142 Syahmin, AK, Mengkritisi Hukum Sebaga Sarana Pembaharuan Masyarakat Indonesia, Jurnal Hukum Progresif Volume I Nomor 2, Oktober, 2005, h. 32. 143 Mochtar Kusumaatmadja, 1976, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Bina Cipta, Bandung, h. 12-13. (Selanjutnya disebut Mochtar Kusumaatmadja I).
87
Abdurahman mengungkapkan bahwa disatu pihak hukum memperlihatkan diri sebagai suatu objek pembangunan nasional, dalam arti hukum itu dilihat sebagai suatu sektor pembangunan yang perlu mendapat prioritas penegakan, pengembangan dan pembinaannya. Sedangkan dipihak lain hukum harus dipandang sebagai suatu “alat” (tool) dan sarana penunjang yang akan menentukan usaha-usaha pembangunan nasional. 144 Berkaitan dengan fungsi hukum dalam konteks pembangunan, diungkapkan juga oleh Sunaryati Hartono, sebagai ; 1) Pemelihara ketertiban dan keamanan; 2) Sarana pembangunan;
3) Sarana penegak
keadilan; 4) Sarana pendidikan masyarakat. 145 Menurut Michael Hager, hukum dalam fungsinya sebagai sarana pembangunan dapat mengabdi dalam tiga sektor, yaitu : 1) Hukum sebagai alat penertib (ordering); 2) Hukum sebagai alat penjaga keseimbangan; 3) Hukum sebagai katalisator, yang dapat membantu untuk memudahkan terjadinya proses perubahan melalui pembaharuan hukum (law reform).146 Pemberdayaan UMKM dibidang akses modal sebagai bagian dari kebijakan pemerintah dalam perekonomian, agar tercapai seperti dikehendaki, memerlukan dukungan hukum untuk 144
Abdurahman, 1976, Aneka Masalah Hukum Dalam Pembangunan di Indonesia, Alumni, Bandung, h. 19. 145 Sunaryati Hartono, 1982, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, Binacipta, Bandung, h. 10-30 146 Ibid. h. 22
88
mewujudkannya. Banyak negara telah menggunakan hukum sebagai sarana perubahan masyarakat. Peranan hukum sebagai sarana perubahan masyarakat merupakan kebutuhan kaitannya dengan tujuan pembangunan sebagaimana dicita-citakan atau yang sudah direncanakan. Apabila
hukum
akan
dipergunakan
sebagai
sarana
perubahan, maka hukum tersebut harus dibentuk terlebih dahulu dan harus memuat substansi perubahan yang diinginkan. Apabila diinginkan
sesuai
dengan
kebijakan
pemerintah
dalam
pemberdayaan UMKM dibidang akses modal dengan melibatkan partisipasi masyarakat, maka hal itu harus dirumuskan terlebih dahulu dengan menggunakan hukum (peraturan perundangundangan) yang dibuat oleh pemerintah sebagai sarananya. 147
2.2. Kerangka Konsepsual 2.2.1. Konsep Pengaturan Pengaturan yang dimaksud disini adalah pengaturan terhadap UMKM dengan segala aspeknya melalui sarana hukum (peraturan perundang-undangan) yang dibuat oleh Pemerintah dan 147
Sebagaimana diungkapkan oleh Erwin Arifin, apabila melalui hukum akan dilakukan perubahan terhadap masyarakat dalam arti bahwa hukum digunakan sebagai sarana untuk mengubah dan perubaha n itu ditujukan ke arah yang baru, maka berarti hukum harus dibentuk terlebih dahulu dan harus memuat bentuk masyarakat dengan hukum yang akan diubah tersebut. Dengan demikian, untuk melakukan perubahan itu, maka bentuk masyarakat yang dicita-citakan atau yang diinginkan harus dirumuskan terlebih dahulu serta harus memenuhi unsur unsur masyarakat yang dikehendaki. Erwin Arifin, 1994, Konsep Mazhab Sociological Jurisprudence Dalam Hubungannya Dengan Perkembanga n Hukum di Indonesia Dalam Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya , PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, h. 87.
89
badan legislatif. Dalam kerangka pengaturan, pembinaan dan pengembangan UMKM, dibutuhkan peraturan yang sifatnya komprehensif sebagai bentuk perlindungan oleh pemerintah. 148 Pengaturan merupakan salah satu bentuk fungsi dari fungsi hukum.
Pengaturan
(legislation)
dalam
merupakan bentuk
bentuk
penerbitan
tindakan aturan
legislatif
oleh
badan
legislatif. 149 Dengan banyaknya peran hukum yang tidak terhingga itu, maka salah satu fungsi hukum adalah sebagai alat pengatur tata tertib hubungan masyarakat. 150 Dalam bukunya “Inleiding tot de studie van het Nederlandse recht”. Apeldoorn menyatakan bahwa tujuan hukum adalah mengatur tata tertib dalam masyarakat secara damai dan adil. 151 Meskipun
hukum
tidak
identik
dengan
peraturan
perundang-undangan, secara umum dapat dinyatakan bahwa dalam realitas kehidupan masyarakat modern, apa yang dimaksud dengan hukum sebagian besar dapat ditemukan dan dirumuskan dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan adalah suatu keputusan dari suatu lembaga negara atau lembaga pemerintahan yang dibentuk
148
Teguh Sulistia, 2006, Aspek Hukum Usaha Kecil Dalam Ekonomi Kerakyatan, Andalas University Press, Padang, h. 157. 149 R. Soeroso, 2011, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h.53. 150 Ibid. h. 57 151 Wyasa Putra I.B. II, Op.Cit, h. 126
90 berdasarkan atribusi dan delegasi. 152 Dalam rumusan lain dapat juga diartikan, bahwa peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. 153 Pembentukan peraturan perundang-undangan (Staatliche rechtssetzung) adalah ikhtiar atau upaya merealisasikan tujuan tertentu, dalam arti mengarahkan, mempengaruhi, dan pengaturan perilaku dalam konteks kemasyarakatan yang dilakukan melalui dan dengan bersaranakan kaedah-kaedah hukum yang diarahkan kepada perilaku warga masyarakat atau badan pemerintahan. 154 Lebih
lanjut
pengaturan
dalam
bentuk
peraturan
perundang-undangan tersebut, tujuan yang ingin direalisasikan pada umumnya mengacu kepada ideal atau tujuan hukum secara umum, yaitu perwujudan keadilan, ketertiban, dan kepastian hukum. Dalam sistem ketatanegaraan modern, semua kebijaksanaan pemerintah yang disusun haruslah berdasarkan konstitusi dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Pengaturan terhadap kepentingan publik maupun perlindungan hukum terhadap kepentingan anggota masyarakat agar terciptanya 152
Kementerian PAN/BAPPENAS, Departemen Kelautan dan Perikanan DEPKUMHAM dan Mitra Pesisir/Coastal Resorces Management Project II, Menuju Harmonisasi Sistem Hukum Sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Indsonesia, Jakarta, 2005, h. 32. Lihat juga Yuliandri, Op.Cit, h. 41. 153 Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. 154 Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas Katho lik Parahyangan (UNPAR), Keterampilan Perancangan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 2.
91
ketertiban dan keteraturan
dalam masyarakat, pada umumnya
dibuat dalam bentuk aturan hukum. 155 Begitu juga untuk kepentingan pengembangan dan perlindungan hukum terhadap UMKM pengaturannya diwujudkan dalam bentuk aturan hukum (Peraturan Perundang-undangan). UMKM merupakan salah satu pelaku ekonomi yang dominan dalam dunia usaha di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Potensi dan peran UMKM sangat penting dalam perekonomian nasional. Namun kenyataannya UMKM belum dapat mewujudkan semua kemampuan, peran dan fungsinya dalam kegiatan ekonomi naisonal, mengingat adanya berbagai kelemahan, baik dari segi SDM, akses pasar, akses modal, maupun akses informasi dan penguasaan teknologi. Dari keadaan faktual tersebut
diperlukan
perangkat
hukum
untuk
melaksanakan
pengaturan, pembinaan dan pengembangan dalam arti seluasluasnya bagi seluruh kegiatan UMKM, termasuk UMKM dibidang usaha pariwiata.
2.2.2. Konsep Hak Pembahasan mengenai hak menjadi
demikian penting
karena sangat berkaitan erat dengan posisi manusia terhadap negara dan dengan manusia sebagai subyek hukum. 156 Ketika
155
Johnny Ibrahim, 2009, Pendekatan Ekonomi Terhadap Hukum Teori dan Implikasi Penerapannya Dalam Penegakan Hukum , CV. Putra Media Nusantara, Surabaya, h.69. (Selanjutnya disebut Johnny Ibrahim II). 156 Muhamad Erwin, Loc.Cit.
92
seseorang dikatakan mempunyai hak, maka sudah barang tentu ada seorang lain yang mempunyai suatu kewajiban. Begitu pula keberadaan negara berposisi sebagai pihak yang wajib melindungi hak-hak dari setiap orang warga negara. Hak (recht = bahasa Belanda, droit = bahasa Prancis, ius = bahasa latin), adalah izin atau kekuasaan yang diberikan oleh hukum. Istilah hak sering disebut juga wewenang. 157 Beberapa literatur memberikan berbagai rumusan tentang konsep hak, diantaranya 158 : 1. Salmond Hak adalah kepentingan yang diakui dan dilindungi oleh hukum. Memenuhi kepentingan merupakan suatu kewajiban sedangkan melalaikannya adalah kesalahan. Suatu hak, karena itu mengharuskan kepada mereka yang terkena melakukan suatu perbuatan/tidak melakukan perbuatan. Hak ini berhubungan dengan suatu obyek tempat perbuatan yang terkait. 2. Alien Hak adalah suatu kekuasaan berdasarkan hukum yang dengannya seseorang dapat melaksanakan kepentingannya. 3. Jhering Hak adalah kepentingan yang dilindungi oleh hukum. 4. Holland Hak adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi perbuatan atau tindakan seseorang tanpa menggunakan wewenang yang dimilikinya, tetapi didasarkan atas suatu paksaan masyarakat yang terorganisasi. 5. K. Bartens Hak merupakan klaim yang dibuat oleh orang atau kelompok yang satu terhadap yang lain atau terhadap masyarakat. Orang yang mempunyai hak bisa menuntut
157
Muladi, Op.Cit, h. 239. Muladi, Loc.Cit, Lihat juga Lili Rasyidi dan Ira Thania Rasjidi, 2002, Pengantar Filsafat Hukum, CV. Mandar Maju, Bandung. 158
93
(dan bukan saja mengharapkan atau menganjurkan) bahwa orang lain akan menghormati hak itu. 159 Menurut
Jhering tujuan hukum bukanlah melindungi
kehendak individu, melainkan melindungi kepentingan tertentu. Oleh karena itulah ia mendefinisikan hak sebagai kepentingankepentingan
yang
dilindungi
oleh
hukum.
Kepentingan-
kepentingan ini bukan diciptakan oleh negara, karena kepentingankepentingan itu telah ada dalam kehidupan masyarakat dan negara hanya memilih mana yang harus dilindungi 160. Dalam kehidupan sehari-hari manusia mempunyai banyak ragam kepentingan. Dalam setiap aktivitas manusia tidak dapat disangkal pasti mempunyai tujuan-tujuan tertentu, yaitu berupa kepentingan.
Seperti
ditegaskan
oleh
G.W.
Paton
bahwa
kepentingan-kepentingan itu adalah objek keinginan manusia. 161 Selanjutnya
Paton
mengemukakan
bahwa
suatu
kepentingan adalah suatu tuntutan atau keinginan individu atau kelompok individu yang ingin dipenuhi oleh individu atau kelompok individu tersebut. Hukum memberikan hak kepada keinginan manusia yang mengejar tujuan yang dibolehkan oleh hukum.162
159 160
Bartens K., 2001, Etika, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 179 Paton G.W. dalam Peter Mahmud Marzuki II, Op.Cit. h. 151. 161 Peter Mahmud Marzuki, Loc.Cit. 162 Peter Mahmud Marzuki, Loc.Cit
94
Sejauh hak yang dimiliki manusia itu tidak bertentangan dengan hukum, maka sudah sepantasnya hak tersebut dilindungi dan dijunjung tinggi. Seperti dikemukakan oleh Dworkin; “Right are best understood as trumps over some background justification for political decisions that the state a goal for the community as a whole”, yang kalau diterjemahkan secara bebas artinya “(hak paling tepat dipahami sebagai nilai yang paling tinggi atas justifikasi latar belakang dari keputusan politik yang menyatakan suatu tujuan bagi masyarakat secara keseluruhan)” 163. Mengacu pandangan Dworkin, bahwa hak mempunyai nilai yang paling tinggi. Dari pandangan itu, Dworkin menempatkan hak sebagai sesuatu yang harus dijunjung tinggi oleh siapapun, termasuk oleh negara. Secara tradisional dikenal 2 (dua) macam pembedaan hak, yaitu hak untuk dianggap melekat pada tiap-tiap manusia sebagai manusia (hak azasi) dan hak yang ada pada manusia akibat adanya peraturan, yaitu hak yang berdasarkan undang-undang.164 Hak yang melekat pada tiap-tiap manusia dan secara azasi ada sejak manusia dilahirkan, berkaitan dengan eksistensi hidup manusia, bersifat tetap dan utama, tidak dapat dicabut dan tidak tergantung dengan ada atau tidak orang lain disekitarnya. Hak-hak inilah dikenal dengan Hak Azasi Manusia. 165
163
Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit. 153. Theo Huijbers, II, Loc.Cit. 165 Muladi, Loc.Cit. 164
95
Hak asasi tidak perlu direbut sebab ada dan selalu ada, selama ia masih ada manusia. Keberadaan dari hak azasi tidak bergantung pada persetujuan orang ataupun undang-undang negara. Terhadap hak azasi hukum negara hanya boleh dan bahkan wajib mengatur pemenuhannya, sedangkan untuk meniadakan atau menghapuskan hak azasi melalui hukum, tidak dibenarkan. Sementara hak yang bersumber dari hukum atau perjanjian itu dibedakan menjadi hak kebendaan dan hak perorangan. Hak kebendaan berkaitan dengan penguasaan langsung atas suatu benda yang dapat dipertahankan terhadap setiap orang. Misalnya hak milik. Sedangkan hak perorangan memberikan suatu tuntutan atau penagihan
terhadap
seseorang. 166
Dalam
Hukum
Romawi,
keduanya disebut dengan actions in rem untuk tuntutan kebendaan dan actions in personam untuk tuntutan perseorangan. 167
2.2.3. Konsep Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Perekonomian nasional digerakkan oleh para pelaku ekonomi atau pelaku usaha baik perorangan maupun institusi yang 166
Subekti R., 1989, Pokok-Pokok Hukm Perdata, Intermasa, Jakarta, h.63. 167 Untuk lebih jelasnya dapat diberikan uraian lebih lanjut mengenai hak kebendaan dan hak perorangan dimaksud. Hak kebendaan adalah hak untuk memiliki atau menguasai suatu kebendaan, baik itu benda bergerak maupun benda tidak bergerak, dan hak ini dapat dipertahankan pada setiap orang. Artinya bahwa setiap orang harus mengakui, menghormati, dan mengindahkan hak milik itu, karena hak milik itu merupakan sebagian dari hak mutlak/hak absolute. Sementara hak perorangan adalah hak seseorang tertentu untuk menuntut suat u tagihan terhadap seseorang tertentu (tidak setiap orang) dan hak ini hanya dapat dipertahankan terhadap orang lain tertentu saja. Dengan demikian hak ini disebut dengan hak tagih atau hak relatif/hak nisbi. Jadi hanya orang lain tertentu saja yang harus mengakui, menghormati, dan mengindahkan hak tagih tersebut. Bachsan Mustafa, Op.Cit, h. 41-42.
96
mempunyai tujuan memperoleh keuntungan. Para pelaku ekonomi melakukan kegiatan ekonomi dengan menggunakan bentuk usaha yang bervariasi, dan menjalankan usaha yang bervariasi pula. 168 Hal ini diungkapkan oleh Sri Redjeki Hartono sebagai berikut : Kegiatan ekonomi masyarakat pada hakekatnya dilaksanakan oleh para pelaku ekonomi. Pelaku ekonomi terdiri atas perorangan dan institusi yang bertujuan komersial dengan istilah badan usaha atau korporasi. Kegiatan ekonomi dilaksanakan dalam berbagai skala dan berbagai bentuk kegiatan. Kegiatan dimaksud dapat meliputi baik dalam bentuk produksi (barang dan atau jasa), perdagangan (barang atau jasa), maupun perantara, baik berskala lokal nasional maupun internasional. 169 Selain bervariasi dalam bentuk usaha, jenis usaha, dan ruang lingkup usaha, para pelaku ekonomi sangat bervariasi pula dalam eksistensinya didalam hukum nasional dan kedudukan institusinya.
Mengenai
hal
ini
Sri
Redjeki
Hartono
mengungkapkan; Pelaku ekonomi di Indonesia pada hakekatnya sangat bervariasi, baik mengenai eksistensinya didalam peraturan, kegiatan maupun kedudukan institusinya. Pada strata rendah, misalnya terdiri dari pelaku ekonomi perorangan dengan kekuatan modal yang relatif terbatas. Pada strata menengah ke atas dijumpai beberapa bentuk badan usaha, baik yang bukan badan hukum yang mempunyai status badan hukum. 170 Apa yang diungkapkan oleh Sri Redjeki Hartono tersebut, bahwa didalam masyarakat ada kegiatan ekonomi yang dilakukan
168
Neni Sri Imaniyati, 2009, Hukum Bisnis Tentang Telaah Pelaku dan Kegiatan Ekonomi, Graha Ilmu, Yogyakarta, h. 1 169 Sri Redjeki Hartono, 2000, Kapita Selekta Hukum Ekonomi, Mandar Maju, Bandung, h. 70. (Selanjutnya disebut Sri Redjeki Hartono I). 170 Sri Redjeki Hartono, Pengembangan Koperasi Sebagai Pelaku Ekonomi di Indonesia, Makalah disampaikan pada Seminar dan Lokakarya “Pengembangan Hukum Nasional VIII”, Denpasar 14 -18 Juli 2013, h.1 (selanjutnya disebut Sri Redjeki Hartono II), lihat juga Neni Sri Imaniyati, Op.Cit, h.4.
97
oleh pelaku ekonomi atau pelaku usaha dengan kekuatan modal terbatas, seperti usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dan pelaku ekonomi atau pelaku usaha besar dengan kekuatan modal besar. Dalam
perekonomian
Indonesia
UMKM
merupakan
kelompok usaha yang mempunyai jumlah besar. Mengenai UMKM di Indonesia diatur melalui Undang-Undang No. 20 Tahun 2008. Regulasi tersebut menunjukkan perhatian pemerintah Indonesia dalam mengendalikan dan mengawasi salah satu pilar ekonomi nasional tersebut. Ketentuan pasal 1 angka 1, 2, dan 3 memberikan pengertian UMKM sebagai berikut; a. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro sesuai undang-undang. b. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria usaha kecil sebagaimana diatur dalam undang-undang. c. Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsune dengan usaha kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam undang-undang. Dari pengertian atau batasan dari usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), maka selanjutnya dipertegas lagi dalam
98
ketentuan pasal 6 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 mengenai kriteria dari UMKM sebagai berikut : (1) Kriteria Usaha Mikro. a. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau b. Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). (2) Kriteria Usaha Kecil. a. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau b. Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah). (3) Kriteria Usaha Menengah a. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau b. Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp.2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp.50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah). Mengacu pada ketentuan di atas, maka dapat diberikan penjelasan yang lebih singkat kriteria dari UMKM tersebut dalam uraian dan tabel sebagai berikut : 1. Usaha mikro : maksimum asset 50 juta, dengan maksimum omzet adalah 300 juta 2. Usaha kecil : maksimum asset di atas 50 juta s/d 500 juta, omzet diatas 300 juta s/d 2,5 milyar 3. Usaha menengah : asset di atas 500 juta s/d 10 miliar, omzet di atas 2,5 milyar s/d 50 milyar
99
Tabel 1 : Kriteria Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Kriteria No.
Uraian Aset
Omzet
1.
Usaha Mikro
Maks. 50 juta
Maks. 300 juta
2.
Usaha Kecil
> 50 Juta – 500 Juta
> 300 juta – 2,5 Milyar
3.
Usaha Menengah > 500 Juta – 10 Milyar > 2,5 Milyar – 50 Milyar
Sumber : Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Masalah UMKM merupakan masalah yang sangat menarik untuk dikaji secara ilmiah, karena UMKM merupakan sebagian tata perekonomian masyarakat Indonesia. 171 Peran penting UMKM sebagai salah satu pilar perekonomian Indonesia mulai diakui dan diperhatikan sejak krisis melanda Indonesia. 172 Setidak-tidaknya ada dua peran penting UMKM yang cukup signifikan adalah kontribusinya dalam investasi dan penyediaan kesempatan kerja. 173 Untuk itu tidak dapat dipungkiri keberadaan UMKM dapat menopang perekonomian Indonesia. Jika melihat perekonomian di Indonesia, sebagian besar sektor ekonomi bangsa ini ada pada UMKM. Pada kenyataannya perekonomian bangsa lebih bertumpu pada industri kecil dan menengah yang jumlahnya sangat besar sekali, sementara industri besar jumlahnya tidak begitu banyak. 171
Suhardi et.al., 2012, Hukum Koperasi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah di Indonesia, Akademi, Jakarta Barat, h. 1. 172 Mohamad Ichsan, Mmengembalikan Laju Pertumbuhan Ekonomi Dalam Jangka Panjang Menengah; Pesan Usaha Kecil dan Menengah, Jurnal Analisis Sosial, vol.9 No.2 Agustus 2004, h.1. 173 Ibid.
100
2.2.4. Konsep Modal Bagi mereka yang akan memulai membuka usaha pasti memerlukan modal, dan begitu pula untuk mengembangkan usaha yang sudah ada diperlukan modal. Peranan modal menjadi sangat besar ketika masyarakat akan melakukan aktivitas dibidang ekonomi. Sebagaimana dikemukakan oleh Kasmir, untuk mendirikan atau menjalankan usaha diperlukan sejumlah modal (uang) dan tenaga (keahlian). Modal dalam bentuk uang diperlukan untuk membiayai segala keperluan usaha, mulai dari biaya pra investasi, pengurusan izin-izin, biaya investasi untuk pembelian aktiva tetap, sampai dengan modal kerja. Sementara itu, modal keahlian adalah keahlian dan kemampuan seseorang untuk mengelola atau menjalakan usaha. 174 Modal bagi seseorang pengusaha adalah dana yang dipakai untuk memulai suatu perusahaan. Modal bagi seorang akuntan adalah selisih antara harta dikurangi utang. Sedangkan modal bagi ahli ekonomi adalah hasil yang dipergunakan untuk menghasilkan lebih lanjut. 175 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan modal adalah uang yang dipakai sebagai pokok (induk)
174 175
Kasmir, 2011, Kewirausahaan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.90 Wasis, 1986, Pengantar Ekonomi Perusahaan, Alumni, Bandung, h. 93.
101
untuk berdagang, melepas uang, dan sebagainya, harta benda (uang, barang, dan sebagainya) yang dapat dipergunakan untuk menghasilkan sesuatu yang menambah kekayaan. 176 Achmad Ichsan menyatakan, dalam bidang ekonomi perusahaan, modal adalah suatu perwujudan, kesataun benda yang berupa barang, uang dan hak-hak yang dipergunakan oleh sesuatu badan usaha untuk mendapatkan keuntungan. 177 Disini pengertian modal adalah tidak sama dengan kekayaan, karena dengan kekayaan dimaksudkan selisih antara milik badan usaha itu dengan hutang-hutangnya yang dinilai dalam jumlah uang. Dari beberapa batasan tentang modal tersebut, maka yang dimaksud modal itu tidak hanya berupa uang saja, tetapi juga termasuk barang dan hak-hak untuk mendapatkan keuntungan dalam menjalankan suatu usaha. Dalam tulisan ini yang dimaksud modal adalah berupa uang, barang, dan hak-hak untuk membiayai suatu unit usaha. Besarnya modal yang diperlukan tergantung dari jenis usaha yang digarap. Dalam kenyataan sehari-hari ditemui adanya jenis usaha yang termasuk usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dan usaha besar. Masing-masing memerlukan modal
176
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Repbulik Indonesia, 1990, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, h. 588. 177 Achmad Ichsan, 1986, Dunia Usaha Indonesia, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, h. 363
102
dalam batas tertentu. Jadi, jenis usaha menentukan besarnya jumlah modal yang diperlukan. Dalam menjalankan sebuah usaha, salah satu faktor pendukung yang dibutuhkan adalah modal. Jika diibaratkan memulai usaha dengan membangun sebuah rumah, maka adanya modal menjadi bagian pondasi dari rumah yang akan dibangun. Semakin kuat pondasi yang dibuat, maka semakin kokoh pula rumah yang akan dibangun. 178 Begitu juga pengaruh modal terhadap sebuah usaha atau bisnis, keberadaannya menjadi pondasi awal usaha atau bisnis yang akan dibangun. Modal yang dibutuhkan dalam menjalankan usaha, antara
lain,
tekad,
pengalaman,
keberanian,
pengetahuan,
networking, serta modal uang atau barang. Namun dari beberapa yang dibutuhkan, kebanyakan orang terhambat memulai usaha karena mereka sulit untuk mendapatkan modal uang atau barang. 179 Menyinggung soal modal yang dapat dimanfaatkan oleh mereka yang menjalankan suatu usaha, maka menurut Wasis, sumber modal itu sendiri dapat dibedakan sebagai berikut : a. Dilihat dari status penyetor modal dalam perusahaan, ada sumber modal pemilik (the owner) dan sumber modal kreditur (the creditor).
178
Cara Mendapatkan Modal Untuk www.bisnisukm.com, diakses 20 Juni 2013. 179 Ibid.
Usaha
Kecil
Menengah,
103
b. Dilihat dari jangka waktunya, maka dapat dibedakan sumber modal jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. c. Dilihat dari jenisnya kita dapat menamakan kredit perdagangan, kredit bank, kredit langganan, hipotek, obligasi, leasing, partner, saham, penyertaan bank, surplus dan cadangan. d. Dilihat dari perusahaan sendiri, ada sumber modal ekstern dan sumber intern. 180 Secara skematis pembedaan-pembedaan sumber modal tersebut diatas dapat digambarkan seperti bagan dibawah ini :
180
Wasis, Op.Cit. h. 96.
104
Bagan 1 : Sumber-Sumber Modal Menurut Wasis Statusnya
Waktunya
Jenisnya Kredit Perdagangan Kredit Bank
Jangka Pendek
Kredit Langganan Kreditur Kredit Bank
Jangka Menengah
Leasing
Ekstern
Obligasi Jangka Panjang Hipotek
Sumber Modal
Partner Jangka Panjang
Saham Penyertaan Bank
Pemilik Surplus Intern
Jangka Pendek Cadangan
Sumber : Wasis, 1986, Pengantar Ekonomi Perusahaan, Alumni, Bandung. 2.2.5. Konsep Bidang Usaha Pariwisata Dalam sejarah pembangunan dibanyak negara, sektor kepariwisataan
telah
menyumbangkan dalam
dua
terbukti
perkembangan
dekade
terakhir,
berperan
penting
perekonomiannya, yang
dalam
khususnya
ditunjukkan
dengan
meningkatnya tingkat kesejahteraan ekonomi bangsa-bangsa yang menjadikan
kepariwisataan
sebagai
industri
hilirnya
untuk
105
meningkatkan
pertumbuhan
kegiatan-kegiatan
usaha
dan
penyerapan tenaga kerja dari sektor-sektor usaha dibidang pariwisata itu sendiri. 181 Ada beberapa karakteristik keunggulan dari industri kepariwisataan yang menyebabkan industri ini mampu berperan sebagai lokomotif bagi pertumbuhan ekonomi suatu negara, diantaranya adalah; 1. Sektor kepariwisataan adalah sebuah industri yang mempunyai keterkaitan rantai nilai (multiplier effect) yang sangat panjang dan mampu menjalin
sinergi pertumbuhan dengan berbagai
usaha mikro, termasuk kegiatan usaha home industry. 2. Usaha dibidang pariwisata mampu menyerap banyak sumber daya setempat (local resource based) dan utamanya berbahan baku yang relatif tidak pernah habis atau terbaharui (renewable resources).182 Selain itu, industri pariwiata juga mempunyai karakter spesifik yang sangat strategis sebagai instrumen untuk pemerataan pembangunan wilayah dan pemberdayaan masyarakat. Dalam konteks ini industri pariwisata mampu menggerakkan sektor-sektor usaha dan kegiatan terkait, baik yang ada didepan maupun yang ada dibelakang kegiatan kepariwisataan itu sendiri, dan terjadi
181
Bambang Sunaryo, 2013, Kebijakan Pembangunan Destinasi Pariwisata Konsep dan Aplikasinya di Indonesia, Gava Media, Yogyakarta, h. 33. 182 Ibid, h. 35.
106
dalam berbagai skala usahanya, mulai usaha mikro sampai usaha besar. Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1996, menjelaskan usaha
pariwisata
menyelenggarakan
adalah jasa
kegiatan
pariwisata,
yang
bertujuan
menyediakan
atau
mengusahakan obyek dan daya tarik wisata, usaha sarana pariwisata dan usaha lain yang terkait dengan bidang tersebut. Rincian dari rumusan tersebut kemudian diuraikan dalam pasal 4 yang menggolongkan usaha pariwisata menjadi tiga golongan, yaitu : 1) usaha jasa pariwisata, 2) pengusaha obyek dan daya tarik wisata, dan 3) usaha sarana pariwisata. 183 Golongan besar dari usaha dibidang pariwisata atau dikenal dengan komponen pariwisata tersebut terus berkembang maju sesuai dengan perkembangan teknologi dan pariwisata itu sendiri. Berkembangnya suatu usaha pariwisata tidak terlepas dari adanya dukungan prasarana dan usaha pendukung lainnya. 184 Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, mengenai bidang usaha pariwisata diatur dalam
183
Muljadi A.J. 2012, Kepariwisataan dan Perjalanan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 51. 184 Usaha pendukung yang terkait erat dengan pengembangan pariwisata meliputi; usaha peternakan, usaha pertanian, usaha perindustrian, usaha perbankan, dan sebagainya. Yang termasuk dalam jasa pendukung ini adalah fasilitas atau sarana penunjang yang dapat menunjang kebutuhan wisatawan bila sewaktu-waktu diperlukan, sehingga dengan tersedianya sarana penunjang akan lebih membantu memperlancar perjalanan. Yang termasuk komponen penunjang, antara lain ; kantor pos dan telepon, kantor bank, penukaran uang, tempat pelayanan kesehatan, keamanan, dan sebagainya. Ibid, h. 65.
107
ketentuan
pasal
menyebutkan
14.
Undang-Undang
Kepariwisataan
ini
jenis-jenis bidang usaha dalam lapangan usaha
pariwisata yang meliputi ; daya tarik wisata, kawasan pariwisata, jasa transportasi wisata, jasa perjalanan wisata, jasa makanan dan minuman,
penyediaan
akomodasi,
penyelenggaraan
kegiatan
hiburan dan rekreasi, penyelenggaraan pertemuan, perjalanan insentif, konferensi dan pameran, jasa informasi pariwisata, jasa konsultasi pariwisata, jasa pramuwisata, wisata tirta dan Spa. 185 Cakupan bidang usaha pariwisata demikian luas, dan yang pada umumnya banyak dijalankan oleh UMKM adalah umumnya terbatas pada bidang-bidang tertentu sesuai dengan kemampuan dan potensi yang ada pada mereka, seperti misalnya usaha dibidang makanan dan minuman, cindera mata, parkir, porter dan sarana penunjang pariwisata lainnya. Beberapa bidang usaha dan kesempatan kerja dapat diciptakan dari industri pariwisata yang berada pada satu destinasi yang dijalankan masyarakat. Berbagai segmen usaha ditekuni oleh masyarakat seperti berusaha di sektor jasa ekonomi, penyediaan makanan dan minuman, jasa laundry, toko serba ada (Toserba) berskala
kecil,
jasa
angkutan
lokal,
termasuk
ojek,
dan
sebagainya. 186
185
Lihat ketentuan pasal 14 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. 186 Madiun I Nyoman, Op.Cit. h. 172.
108
Pada dasarnya, keterlibatan masyarakat dalam usaha kepariwisataan diberbagai destinasi di Indonesia secara umum sudah
berlangsung,
baik
sebagai
pekerja
maupun
sebagai
pengusaha. Namun demikian, dapat diikatakan berbagai usaha dan tenaga kerja masyarakat setempat yang ada tadi, pada umumnya masih berupa usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dan tingkatan kerja menengah ke bawah, yang seringkali masih mengalami banyak kendala untuk bisa berkembang. 187
2.3. Kerangka Berpikir Penelitian ini diawali dengan pemaparan latar belakang masalah yang mencoba untuk mengindentifikasi berbagai problematik, baik problematik sosiologis, filosofis, maupun yuridis berkaitan dengan hak
187
Penguatan Usaha dan peningkatan kesempatan kerja dibidang kepariwisataan pada masyarakat yang ada di sekitar destinasi, secara garis besar dapat dilakukan mela lui berbagai strategi pengembangan sebagai berikut : a. Meningkatkan permintaan terhadap fasilitas penunjang wisata (akomodasi, makan minum, cinderamata, jasa wisata, dan sebagainya) di destinasi, sehingga pada giliran berikutnya akan meningkatkan peluang bagi tumbuh dan berkembangnya kesempatan kerja dan usaha masyarakat pada jenis-jenis fasilitas tersebut; b. Mengembangkan produk-produk wisata baru bagi usaha ekonomi masyarakat setempat dan bentuk jasa layanan lainnya (persewaan kendaraan wisata, usaha kerajinan, seni pertunjukan, seni rupa dan seni sastra sebagai atraksi wisata, agro tourism dan produkproduk wisata minat khusus lainya); c. Meningkatkan permintaan pasar terhadap produk wisata lokal yang spesifik seperti: produk yang dihasilkan desa setempat seperti: kuliner, lukisan, ukiran, batik serta seni tradisional yang akan mendorong keberlanjutan atau kesinambungan adat tradisi masyarakat lokal secara turun temurun; d. Menggunakan tenaga kerja dan tenaga "ahli" lokal (misal: pemandu wisata, pelayan restoran dan usaha cinderamata, karyawan hotel, dsbnya); e. Membuka peluang dan pengembangan sumber dana bagi usaha perlindungan atau konservasi sumber daya alam dan budaya di sekitar kawasan, serta f. Menumbuhkan tingkat kesadaran masyarakat komunitas lokal terhadap nilai-nilai lokalitas budaya dan keunikan alam yang bisa dimanfaatkan sebagai daya tarik dan atraksi wisata Bambang Sunaryo, Op.Cit, h. 229-230
109
UMKM atas akses modal dalam penyelenggaran kegiatan usaha di bidang pariwisata sesuai dengan judul dari disertasi ini. Secara sosiologis problem yang dihadapi oleh UMKM adalah masih terbatasnya akses mereka terhadap modal sebagai salah satu komponen penting dalam penyelenggaraan kegiatan usaha. UMKM masih kesulitan untuk mendapatkan akses modal, terutama melalui fasilitas kredit perbankan karena tidak bisa menyediakan agunan sebagai salah satu persyaratan yang diminta oleh bank. Secara filosofis, demokratis ekonomi yang berintikan keadilan sebagaimana diamanatkan Pasal 33 UUD 1945 belum sepenuhnya dapat diwujudkan secara nyata, terutama berkaitan dengan masih kecilnya peluang atau kesempatan UMKM untuk mendapatkan modal usaha bila dibandingkan usaha besar, sehingga menimbulkan kesenjangan dan ketidakadilan dalam bidang ekonomi. Secara yuridis formal terdapat adanya ketidakpastian perundangundangan
yang
mengatur
UMKM
dibidang
akses
modal,
yang
disebabkan adanya rumusan normanya yang tidak jelas (kabur). Selain itu, disamping bertentangan
ada rumusan normanya yang tidak sinkron atau
antara
yang
satu
dengan
yang
lainnya,
sehingga
menampakkan adanya konflik norma, juga menampakkan adanya norma kosong.
110
Berdasarkan beberapa problematik yang telah diuraikan berkaitan dengan akses UMKM terhadap modal tersebut, maka ada 2 (dua) rumusan masalah pokok yang akan diteliti dalam penulisan disertasi ini, yaitu; 1) Apakah peraturan perundang-undangan yang ada sudah menjamin terwujudnya hak UMKM atas akses modal dibidang usaha pariwisata. 2) Bagaimana formulasi pengaturan kedepan dalam rangka mewujudkan hak UMKM atas akses modal dibidang usaha pariwisata? Guna dapat menjawab permasalahan penelitian sebagaimana telah dirumuskan, maka dipergunakan beberapa teori sebagai pisau analisa, yaitu; teori Sistem Hukum (Legal System Theory) yang didukung dengan teori utilitarisme, teori Hak dan HAM untuk membedah permasalahan yang pertama. Selanjutnya untuk membedah permasalahan yang kedua dipergunakan Teori Negara Kesejahteraan (Welfare State) yang didukung dengan Teori Cita Hukum, Teori Stakeholders (Stakeholders Theory), Teori Keadilan dan Teori Hukum Progresif. Kegunaan teori hukum salah satunya adalah untuk memberikan jawaban pertanyaan mendasar tentang sistem hukum yang intinya adalah pengetahuan tentang sistem yang berbeda maknanya dari sekedar mengetahui bagaimana menjalankan dalam suatu sistem dimana praktisi hukum tidak bisa melakukannya. 188
188
Romli Atmasasmita, Op.Cit, h. 12.
111
Teori (rechtslcer),
hukum
yang
tugasnya
sering
antara
juga
lain
dinamakan
adalah
ajaran
menerangkan
hukum berbagai
pengertian dan istilah-istilah dalam hukum, menyibukkan diri dengan hubungan
hukum
dan
logika,
dan
menyibukkan
diri
dengan
metodologi.189 Dengan bantuan teori hukum diharapkan permasalahan penelitian dapat diberikan jawaban yang mengandung unsur kebenaran ilmiah. Suatu
karya
ilmiah
yang
membuktikan
kebenaran
ilmiah
menggunakan metode penelitian, begitu juga halnya dengan karya ilmiah disertasi ini. Penelitian itu sendiri merupakan suatu kegiatan ilmiah yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten. 190 Penelitian disertasi ini termasuk penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan (statue approach), pendekatan konsep (conceptual approach), dan pendekatan analitis (analytical approach). Selanjutnya dengan menggunakan teori-teori hukum yang ada yang didukung metode penelitian beserta pendekatan-pendekatan ilmiahnya, dilakukan
pembahasan
terhadap
permasalahan
penelitian
dengan
menekankan kajian pada rumusan masalah yang diteliti. Setelah melalui analisa dan pembahasan kemudian diberikan kesimpulan hasil penelitian dan rekomendasi. Untuk jelasnya mengenai kerangka berpikir, alur berpikir pemecahan masalah 1, alur berpikir pemecahan masalah 2, dalam penelitian ini, maka dapat dilihat pada bagan dibawah ini;
189 190
Johnny Ibrahim II, Op.Ct. h.221. Johnny Ibrahim I, Op.Cit, h. 26.
112
Bagan 2 : Kerangka Berpikir
Pengaturan Hak UMKM Atas Akses Modal Dalam Penyelenggaraan Usaha Dibidang Pariwisata
Latar Belakang Masalah Problematik Filosofis Demokrasi ekonomi yang berintikan keadilan sebagaimana diamanatkan konstitusi belum sepenuhnya dapat diwujudkan secara nyata Problematik Sosiologis Masih terbatasnya akses UMKM terhadap sumber daya produktif, khususnya modal. Problematik Yuridis Adanya ketidakpastian hukum pengaturan Hak UMKM atas akses modal.
Rumusan Masalah
Landasan Teori
Metode Penelitian
1. Mengapa peraturan perundang-undangan yang ada belum menjamin dapat diwujudkannya hak UMKM atas akses modal dibidang usaha pariwisata ?
Teori Sistem Hukum (Legal System Theory)
1. Jenis Penelitian Penelitian Hukum Normatif
2. Bagaimana formulasi pengaturan dalam rangka mewujudkan hak UMKM atas akses modal dibidang usaha pariwisata ?
Teori Negara Kesejahteraan Teori Stakeholders (Stakeholders Theory) Teori Keadilan Teori Hukum Progresif Konsep Law as a tool of Social Engineering
Teori Utilitarisme Teori Hak dan HAM
2. Pendekatan Penelitian a. Pendekatan perundang-undangan (statue approach) b. Pendekatan Konsep (Cenceptual approach) c. Pendekatan Analitis (Analitical Approach) d. Pendekatan Histroris (Historical Approach)
Kesimpulan dan Saran-Saran
Hasil dan Pembahasan 1. Pengaturan Hak UMKM Atas Akses Modal dan Politik Hukum Pengaturan UMKM Di Indonesia 2. Formulasi Pengaturan Dalam Rangka Mewujudkan hak UMKM atas Akses Modal di Bidang Usaha Pariwisata.
113
Bagan 3 : Alur Berpikir Pemecahan Masalah 1 Pengaturan Hak UMKM Atas Akses Modal Dibidang Usaha Pariwisata
Peraturan Perundang-Undangan Yang Mengatur UMKM
Landasan Teori
Teori Sistem Hukum Teori Utilitarisme Teori Hak dan HAM
Problematik Yuridis (Problem Norma)
Norma Kabur
Norma Konflik
Tidak Adanya Kepastian Hukum
Peraturan PerundangUndangan Yang Ada : Belum Menjamin dapat diwujudkannya Hak UMKM Atas Akses Modal Dibidang Usaha Pariwisata
Norma Ambigu
114
Bagan 4 : Alur Berpikir Pemecahan Masalah 2 Formulasi Pengaturan Dalam Rangka Mewujudkan Hak UMKM Atas Akses Modsal Dibidang Usaha Pariwisata
Pemberdayaan UMKM Dibidang Akses Modal
PERAN NEGARA (PEMERINTAH) DAN PEMERINTAH DAERAH
Peran Negara Pembentukan Hukum Peran Pemerintah Daerah Penjaminan Kredit
LANDASAN TEORI Teori Negara Kesejahteraan Teori Keadilan Teori Stakeholders Teori Hukum Progresif Konsep Law as a Tool of Social Engineering
KONSEP Pemberdayaan UMKM Berbasis Partisipasi Masyarakat (A Community Based Empowerment Micro, and Small Medium Enterprises)
UU Kepariwisataan dan Peraturan PerundangUndangan Lainnya
Terwujudnya Hak UMKM Atas Akses Modal Dibidang Usaha Pariwisata
PARTISIPASI MASYARAKAT Peran Usaha Besar Kemitraan (Partnership) CSR Peran Lembaga Pembiayaan Modal Ventura Factoring