12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Berikut ini akan diungkapkan beberapa definisi konsep khususnya konsepkonsep yang terkait langsung dengan tema penelitian ini di bidang komunikasi massa. 2.1. Komunikasi Massa Komunikasi massa diartikan sebagai jenis komunikasi yang ditujukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen, dan anonim (tidak dikenal) melalui media cetak (surat kabar, majalah, tabloid) atau elektronik (radio, televisi), sehingga pesan yang sama diterima secara serentak dan sesaat.1 Media massa terus berkembang sesuai dengan tuntutan kehidupan manusia yang semakin maju menuju era globalisasi. Jika pada awalnya komunikasi massa hanya media cetak, maka seiring dengan berkembangnya teknologi muncul media massa yang lain seperti televisi, radio, film, dan juga internet. Sehingga banyak 12 pilihan untuk komunikator yang ingin menyampaikan pesannya sesuai dengan media yang dia butuhkan dan inginkan agar pesan yang akan disampaikan menjadi efektif dan efesien. Karenanya dari kesemua media tersebut
masing-masing memiliki
karakteristik tersendiri.
1
Jalaludin Rahmat. Psikologi Komunikasi, PT Remaja Rosda Karya, Bandung. 2005, hal 189.
12 http://digilib.mercubuana.ac.id/
13
Tabel 2.1 Karakteristik Media Massa Media Massa
Karakteristik
Televisi
1. 2. 3. 4. 5. 1. 2. 3. 4.
Publisitas Periodesitas Universalitas Aktualitas Terdokumentasikan Majalah Penyajian lebih dalam Nilai aktualitas lebih lama Gambar foto lebih banyak Cover (Sampul) sebagai daya tarik Radio Siaran 1. Imajinatif 2. Auditori 3. Akrab 4. Gaya percakapan Televisi 1. Audiovisual 2. Berfikir dalam gambar 3. Pengoperasian lebih kompleks Film 1. Layar yang lebih luas (lebar) 2. Pengambilan gambar 3. Konsetrasi penuh 4. Identifikasi psikologis Internet 1. Publisitas 2. Periodesitas 3. Universalitas 4. Aktualitas Sumber : Elvinaro Ardianto, Lukiati Komala, dan Siti Karlinah, KomunikasiMassa Suatu Pengantar.
2.2. Film Sebagai Media Massa Menurut Undang-undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1992 tentang perfilman Bab 1 pasal 1. Film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media
komunikasi
massa
pandang-dengar
yang
http://digilib.mercubuana.ac.id/
dibuat
berdasarkan
asas
14
sinematografi dengan direkam pada seluloid, pita video, piringan video, dan / atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukan dan / atau ditayangkan dengan system proyeksi mekanik, elektronik, dan atau lainnya. Gambar bergerak (film) adalah bentuk dominan dari komunikasi massa visual di belahan dunia ini. Lebih dari ratusan juta orang menonton film di bioskop, film televisi, dan film video laser setiap minggunya. Di Amerika Serikat di produksi di Hollywood. Film yang dibuat di sini membanjiri pasar global dan mempengaruhi sikap, perilaku dan harapan orang-orang di belahan dunia.2 Sebuah kegiatan untuk memproduksi suatu film melibatkan suatu jaringan yang sangat besar dan kompleks. Hal tersebut dapat dibagi tiga bagian proses penting pelaksanaannya, yaitu pra produksi (pembuatan naskah), produksi (pengambilan adegan) , dan pasca produksi (penyuntingan). Bahkan setelah hasil penyuntingan tersebut masih terdapat proses yang melibatkan banyak pihak kembali, yaitu promosi, distribusi ke bioskop, hingga reproduksi ulang master ke dalam format VCD dan DVD untuk diperjual belikan. Masing-masing itu semua adalah sebuah tahapan proses sebuah jaringan kerja tersendiri yang terkait satu sama yang lainnya yang membentuk sebuah jaringan kerja yang sangat besar. Film tak hanya merupakan teks dalam kebudayaan popular, melainkan wadah perjuangan ideologis dari berbagai kepentingan dan makna yang dibebankan. Film 2
Elvinaro Ardianto, Lukiati Komala dan Siti Karlinah, Komunkasi Massa Suatu Pengantar, hal 143
http://digilib.mercubuana.ac.id/
15
memiliki kemampuan untuk mengkostruksi „realitas‟, sementara „realitas‟ itu sendiri dikatakan sebagai kerangka acuan para sineas untuk mengkonstruksi „realitas imajiner‟ dalam film. Di sisi lain, film merupakan hasil produksi kebudayaan. Baik dalam konteks kebudayaan sebagai aktivitas produksi dan konsumsi, kebudayaan sebagai cara hidup, kebudayaan sebagai proses negosiasi antara yang dominan dan resisten, maupun dalam konteks konstruksi identitas. Sebagai hasil produksi dari kebudayaan industri, film harus memiliki standar produksi dan konsumsi.3 Dalam film itu sendiri terdapat suatu karya ideologi dari para pembuatpembuatnya. Sehingga hasil dari film itu sendiri terdapat dua latar belakang yang berbeda yaitu sineas yang mempunyai aliran latar belakang seni, terutama dalam hal ini dari sisi sinematografinya
serta para pemilik perusahaan film sebagai mana
sebuah badan usaha yang akan berorientasi pada profit dan berfikir sesuai dengan logika ekonomi. Dari kedua latar belakang beda itulah terjadi pergulatan antarwacana sinematografi dengan ekonomi. Maka ketika film tersebut sudah menjadi sebuah karya yang utuh maka penonton pun dapat menilai apakah film tersebut hasil dari sebuah kebudayaan sebagai aktivitas produksi dan konsumsi, kebudayaan cara hidup, kebudayaan sebagai proses suatu negosiasi antara yang dominan dan resisten, maupun dalam konteks. Film ini sendiri memiliki beberapa karakteristik tersendiri yang dapat membedakan mana sebuah hasil karya film, atau sinetron. Faktor-faktor yang 3
Muna, Nailil . Tesis :Analisa Wacana Kritis Tentang Konstruksi Nilai Dakwah Pada Film Ayat-Ayat Cinta .Universitas Mercu Buana. Indonesia, 2008
http://digilib.mercubuana.ac.id/
16
menunjukkan karakteristik film adalah sebagai layar lebar, pengambilan gambar, konsentrasi penuh dan identifikasi psikologis.4 a.
Layar yang Luas/ Lebar Film dan televisi sama-sama menggunakan layar, namun kelebihan film adalah
layarnya yang berukuran luas. Saat ini ada layar televisi yang berukuran jumbo, yang bisa digunakan pada saat-saat khusus dan biasanya di ruangan terbuka, seperti dalam pertunjukkan musik dan sejenisnya. Layar film yang luas telah memberikan keleluasaan penontonnya untuk melihat adegan-adegan yang disajikan dalam film. Apalagi dengan adanya kemajuan teknologi, layar film-film di bioskop pada umumnya sudah tiga dimensi, sehingga penonton seolah-olah melihat kejadian nyata dan tidak berjarak. b.
Pengambilan gambar Sebagai konsekuensi layar lebar, maka pengambilan gambar atau shot dalam
film bioskop memungkinkan dari jarak jauh atau extreme long shot dan panoramic shot, yakni pengambilan pemandangan menyeluruh. Shot tersebut dipakai untuk memberi kesan artistik dan suasana yang sesungguhnya, sehingga film menjadi lebih menarik.
4
Elvinaro Ardianto, Lukiati Komala, Siti Karlinah, 2005, Komunikasi Massa Suatu Pengantar, Bandung, Simbiosa Rekatama Media, Hal -145
http://digilib.mercubuana.ac.id/
17
c.
Konsentrasi penuh Dari pengalaman kita masing-masing, di saat kita menonton film di bioskop,
bila tempat duduk sudah penuh atau waktu main sudah tiba, pintu-pintu ditutup, lampu dimatikan, tampak di depan kita layar luas dengan gambar-gambar cerita film tersebut. Kita semua terbebas dari hiruk pikuknya suara diluar karena biasanya ruangan kedap suara. Semua mata hanya tertuju pada layar, sementara pikiran perasaan kita tertuju pada alur cerita. Dalam keadaan demikian emosi kita juga terbawa suasana, kita akan tertawa terbahak-bahak manakala adegan film lucu, atau sedikit senyum dikulum apabila adegan yang menggelitik. d.
Identifikasi psikologis Kita semua dapat merasakan bahwa suasana di gedung bioskop telah
membuat pikiran dan perasaan kita larut dalam cerita yang disajikan. Karena penghayatan kita yang amat mendalam, seringkali secara tidak sadar kita menyamakan (mengidentifikasikan) pribadi kita dengan salah seorang pemeran dalam film itu, sehingga seolah-olah kitalah yang berperan. Gejala ini menurut ilmu jiwa sosial disebut juga identifikasi psikologis.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
18
Perbedaan dalam ukuran lebar film yang menyangkut kepada jumlah publik yang melihat, dan caranya publik datang untuk melihat film tersebut, menghasilkan perbedaan menurut sifatnya yang umumnya terdiri dari jenis-jenis sebagai berikut.5 a.
Film Cerita (Story Film) Film cerita adalah jelas film yang mengandung suatu cerita, yaitu yang lazim
dipertunjukan di gedung-gedung bioskop dengan para bintang filmnya yang tenar dan film ini diditribusikan sebagai barang dagangan. b.
Film Berita (Newsreel) Film berita adalah film mengena fakta, peristiwa yang benar-benar terjadi.
Karena sifatnya berita, maka film yang disajikan kepada publik harus mengandung nilai berita (news value). c.
Film Dokumenter (Documentary Film) Istilah “documentary” mula-mula dipergunakan oleh sutradara Inggris
bernama John Gierson. Untuk menggambarkan suatu jenis khusus film yang dipelopori oleh seorang Amerika bernama Robert Flaherty. Flaherty termasuk salah seorang seniman besar dalam bidang film. Film dokumenternya itu di definisikan oleh Grierson sebagai “karya ciptaan mengenai kenyataan (creative treatment of actuality)”. Berbeda dengan film berita yang merupakan rekaman kenyataankenyataan, maka film buatan Flaherty merupakan interpretasi yang puitis yang bersifat pribadi dari kenyataan-kenyataan. 5
Onong Uchjana Effendy, Komunikasi dan Filsafah Komunikasi, Citra Aditya Bakri, Bandung, 2003, hal 211-216.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
19
2.3. Nilai-Nilai Pancasila Berdasarkan asal kata (etimologis), istilah pancasila (pancasyila), berasal dari bahasa Sansekerta (India) yang mengandung dua arti, yaitu Pancasyila: panca artinya lima, sedangkan syila dengan huruf i yang dibaca pendek, artinya dasar, batu sendi atau alas sehingga pancasyila memiliki arti lima dasar. Pancasyila: panca artinya lima, sedangkan syiila dengan huruf ii yang dibaca panjang, artinya peraturan tingkah laku yang penting sehingga pancasyiila memiliki arti lima aturan tingkah laku yang penting.6 Pancasila yang digali dari akar budaya Indonesia mengandung nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi bangsa Indonesia sejak jaman dulu. Nilai-nilai itu antara lain nilai agama, adat istiadat dan perjuangan untuk melepaskan diri dari segala bentuk penjajahan. Nilai-nilai ini mengkristal dalam rumusan Pancasila sebagai perwujudan filsafat kemanusiaan yang mencerminkan hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan lingkungan (alam) tempat hidupnya. Rumusan Pancasila merupakan suatu pandangan hidup yang diyakini bangsa Indonesia sebagai suatu kebenaran yang dijadikan sebagai falsafah hidup bangsa. Idealisme itu bersifat abstrak yang kemudian dijadikan sebagai ideologi nasional.
6
Panji Setijo, Pendidikan Pancasila: Perspektif sejarah Perjuangan Bangsa, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta: 2010 Hal 15.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
20
2.3.1 Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ditegaskan meskipun bukan negara agama, juga bukan Negara sekuler, melainkan adalah negara beragama. Bukan negara agama karena tidak menerapkan hukum agama tertentu sebagai hukum positif. Bukan pula negara sekuler yang memisahkan urusan negara dan urusan agama, sedangkan sebagai negara beragama dimaksud bahwa NKRI perlu hukum positif yang disepakati oleh seluruh bangsa, termasuk seluruh penyelenggara negara (MPR, DPR, pemerintah) yang agamanya beraneka ragam dan wajib melindungi segenap agama yang diakui keberadaannya serta tidak dibenarkan.7 Sila pertama ini mencerminkan bahwa suatu keharusan bagi masyarakat warga Indonesia menjadi masyarakat yang beriman kepada Tuhan dan masyarakat yang beragama. Negara yang berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa itu adalah negara yang menjamin kebebasan untuk memeluk agama dan beribadat menurut agama dan kepercayaan masing-masing. 2.3.2 Nilai Kemanusiaan yang Adil dan Beradab Negara Indonesia merupakan negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM). Negara memiliki hukum yang adil dan berbudaya yang beradab. Negara ingin menerapkan hukum secara adil berdasarkan supermasi hukum serta ingin mengusahakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Di samping itu, 7
Panji Setijo, Ibid, Hal 19.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
21
mengembangkan budaya IPTEK berdasarkan adab cipta, karsa, rasa, dan karya yang berguna bagi nusa dan bangsa tanpa melahirkan primordial dalam budaya.8 Sila ini merefleksikan agar bangsa Indonesia membentuk suatu kesadaran tentang keteraturan sebagai asas kehidupan untuk menjadi manusia sempurna. Manusia yang peradabannya maju akan lebih mudah menerima kebenaran, lebih mungkin untuk mengikuti tata cara dan pola kehidupan masyarakat yang teratur, dan mengenal hukum universal. Kesadaran inilah yang harus diterapkan dalam kehidupan agar tercipta kehidupan yang penuh toleransi. 2.3.3 Nilai Persatuan Indonesia Dalam sila persatuan Indonesia terkandung nilai bahwa negara adalah sebagai penjelmaan sifat kodrat manusia monodualisme yaitu sabagai makhluk individu dan makhluk sosial. Negara adalah merupakan suatu persekutuan hidup bersama diantara elemen-elemen yang membentuk negara yang berupa, suku, ras, kelompok, golongan maupun kelompok agama. Oleh karena itu, perbedaan adalah bawaan kodrat manusia dan juga merupakan
ciri
khas
elemen-elemen
yang membentuk negara.
Konsekuensinya negara adalah beraneka ragam tetapi satu, mengikatkan diri dalam suatu persatuan yang dilukiskan dalam sesuatu selogan Bhineka Tunggal Ika. Perbedaan bukannya untuk diruncingkan menjadi konflik dan permusuhan melainkan
8
Panji Setijo, Ibid, Hal 19-20.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
22
diarahkan pada suatu sintesa yang saling menguntungkan yaitu persatuan dalam kehidupan bersama untuk mewujudkan tujuan bersama sebagai bangsa.9 Selain itu persatuan Indonesia juga mempunyai makna persatuan bangsa yang mendiami wilayah, bangsa Indonesia adalah persatuan suku-suku bangsa yang mendiami wilayah Indonesia, Pengakuan terhadap ke-Bhineka Tunggal Ika-an suku bangsa(etnis) dan kebudayaan bangsa (berbeda-beda namun satu jiwa) yang memberikan arah dalam pembinaan kesatuan bangsa. 2.3.4 Nilai Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan Nilai filosofis yang terkandung di dalamnya adalah bahwa hakikat negara adalah sebagai penjelmaan sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Hakikat rakyat adalah merupakan sekelompok manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa yang bersatu yang bertujuan mewujudkan harkat dan martabat manusia dalam suatu wilayah negara. Rakyat merupakan subjek pedukung pokok negara. Negara adalah dari, oleh dan untuk rakyat, oleh karena itu rakyat adalah merupakan asal mula kekusaan negara. Sehingga dalam sila kerakyatan terkandung nilai demokrasi yang secara mutlak harus dilaksanakan dalam hidup
9
Ani Sri Rahayu, Pendidikan Pancasila & Kewarganegaraan(PPKn), PT. Bumi Aksara, Jakarta: 2013 Hal 34.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
23
negara dengan menjunjung tinggi asas musyawarah dan mendasarkan suatu keadilan dalam kehidupan sosial agar tercapainya tujuan bersama.10 Nilai yang terkandung dalam sila ini antara lain menegaskan bahwa kedaulatan negara ada ditangan rakyat, pimpinan kerakyatan adalah hikmat kebijaksanaan yang dilandasi oleh akal sehat, manusia Indonesia sebagai warga Indonesia dan masyarakat warga Indonesia mempunyai kedudukan hak dan kewajiban yang sama, musyawarah untuk mufakat dicapai dalam permusyawaratan wakil-wakil rakyat. 2.3.5 Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia Dalam nilai sila ke lima ini terkandung nilai keadilan yang harus terwujud dalam kehidupan bersama (kehidupan sosial). Keadilan tersebut didasari dan dijiwai oleh hakikat keadilan kemanusiaan yaitu keadilan dalam hubungan manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan manusia lain, manusia dengan masyarakat, bangsa dan negaranya, serta manusia dengan Tuhannya. Oleh karena itu yang harus diwujudkan dalam hidup bersama kenegaraan untuk mewujudkan tujuan negara yaitu mewujudkan kesejahteraan seluruh warganya serta melindungi seluruh warganya dan seluruh wilayahnya, mencerdaskan seluruh warganya.11
10 11
Ani Sri Rahayu, Ibid, Hal 35-36. Ani Sri Rahayu, Ibid, Hal 36-37.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
24
Dalam sila ini juga mempunyai perwujudan keadilan sosial dalam kehidupan sosial atau kemasyarakatan meliputi seluruh bangsa Indonesia, keadilan dalam kehidupan sosial terutama meliputi bidang-bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, kebudayaan dan pertahanan keamanan nasional (Ipoleksosbudhankamnas), cita-cita masyarakat adil makmur, material dan spiritual yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia, dan cinta akan kemajuan dan pembangunan.
2.4. Semiotika Secara etimologis, semiotik berasal dari kata Yunani Semeion yang berarti tanda. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai suatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain. Sedangkan secara terminologis, semiotika dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan tentang luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda.12 Kata semiotika di samping kata semiologi sampai kini masih dipakai. Selain istilah semiotika dan semiologi dalam sejarah linguistik ada pula digunakan istilah lain seperti semasiologi, sememik, dan semik untuk merujuk pada bidang studi yang mempelajari makna atau arti suatu tanda atau lambang. Secara garis besar semiotik digolongkan menjadi tiga konsep dasar, yaitu semiotik pragmatik (semiotic pragmatic), semiotik sintatik (semiotic syntactic), dan semiotik semantik (semiotic semantic).
12
Indiwan Seto, Semiotika Komunikasi, Mitra Wacana Media, 2011, hal 5
http://digilib.mercubuana.ac.id/
25
a. Semiotik Pragmatik (semiotic pragmatic) Semiotik Pragmatik menguraikan tentang asal usul tanda, kegunaan tanda oleh yang menerapkannya, dan efek tanda bagi yang menginterpretasikan, dalam batas perilaku subyek. Dalam arsitektur, semiotik prakmatik merupakan tinjauan tentang pengaruh arsitektur (sebagai sistem tanda) terhadap manusia dalam menggunakan bangunan. Semiotik Prakmatik Arsitektur berpengaruh terhadap indera manusia dan perasaan pribadi (kesinambungan, posisi tubuh, otot dan persendian). Hasil karya arsitektur akan dimaknai sebagai suatu hasil persepsi oleh pengamatnya, hasil persepsi tersebut kemudian dapat mempengaruhi pengamat sebagai pemakai dalam menggunakan hasil karya arsitektur. Dengan kata lain, hasil karya arsitektur merupakan wujud yang dapat mempengaruhi pemakainya.
b. Semiotik Sintaktik (semiotic syntactic) Semiotik
Sintaktik
menguraikan
tentang
kombinasi
tanda
tanpa
memperhatikan „makna‟nya ataupun hubungannya terhadap perilaku subyek. Semiotik
Sintaktik
ini
mengabaikan
pengaruh
akibat
bagi
subyek
yang
menginterpretasikan. Dalam arsitektur, semiotik sintaktik merupakan tinjauan tentang perwujudan arsitektur sebagai paduan dan kombinasi dari berbagai sistem tanda. Hasil karya arsitektur akan dapat diuraikan secara komposisional dan ke dalam bagian-bagiannya, hubungan antar bagian dalam keseluruhan akan dapat diuraikan secara jelas.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
26
c. Semiotik Semantik (semiotic semantic) Semiotik Sematik menguraikan tentang pengertian suatu tanda sesuai dengan „arti‟ yang disampaikan. Dalam arsitektur semiotik semantik merupakan tinjauan tentang sistem tanda yang dapat sesuai dengan arti yang disampaikan. Hasil karya arsitektur merupakan perwujudan makna yang ingin disampaikan oleh perancangnya yang disampaikan melalui ekspresi wujudnya. Wujud tersebut akan dimaknai kembali sebagai suatu hasil persepsi oleh pengamatnya. Perwujudan makna suatu rancangan dapat dikatakan berhasil jika makna atau „arti‟ yang ingin disampaikan oleh perancang melalui rancangannya dapat dipahami dan diterima secara tepat oleh pengamatnya, jika ekspresi yang ingin disampaikan perancangnya sama dengan persepsi pengamatnya.
2.4.1
Semiotika Menurut Para Tokoh Tokoh Semiotika yang terkenal ada dua tokoh yakni, Ferdinand de Saussure
(1857-1913) dan Charles Sander Pierce (1839-1914). Kedua tokoh tersebut mengembangkan ilmu semiotika secara terpisah dan tidak mengenal satu sama lain. Saussure di Eropa dan Pierce di Amerika Serikat. Latar belakang keilmuan adalah linguistic, Saussure menyebut ilmu yang dikembangkannya semiologi, sedangkan Pierce menyebutnya semiotika.13
13
Sumbo Tinarbuko, Semiotika Komunikasi Visual, Jalasutra, 2008,hal 11.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
27
a.
Ferdinand de Saussure (1857-1913) Teori Semiotik ini dikemukakan oleh Ferdinand De Saussure (1857-1913).
Dalam teori ini semiotik dibagi menjadi dua bagian (dikotomi) yaitu penanda (signifier) dan pertanda (signified). Penanda dilihat sebagai bentuk/wujud fisik dapat dikenal melalui wujud karya arsitektur, sedang pertanda dilihat sebagai makna yang terungkap melalui konsep, fungsi dan/atau nilai-nlai yang terkandung didalam karya arsitektur. Eksistensi semiotika Saussure adalah relasi antara penanda dan petanda berdasarkan konvensi, biasa disebut dengan signifikasi. Semiotika signifikasi adalah sistem tanda yang mempelajari relasi elemen tanda dalam sebuah sistem berdasarkan aturan atau konvensi tertentu. Kesepakatan sosial diperlukan untuk dapat memaknai tanda tersebut. Menurut Saussure, tanda terdiri dari: Bunyi-bunyian dan gambar, disebut signifier atau penanda, dan konsep-konsep dari bunyi-bunyian dan gambar, disebut signified. Dalam berkomunikasi, seseorang menggunakan tanda untuk mengirim makna tentang objek dan orang lain akan menginterpretasikan tanda tersebut. Objek bagi Saussure disebut “referent”. Hampir serupa dengan Peirce yang mengistilahkan interpretant untuk signified dan object untuk signifier, bedanya Saussure memaknai “objek” sebagai referent dan menyebutkannya sebagai unsur tambahan dalam proses penandaan. Contoh: ketika orang menyebut kata “anjing” (signifier) dengan nada mengumpat maka hal tersebut merupakan tanda kesialan (signified). Begitulah,
http://digilib.mercubuana.ac.id/
28
menurut Saussure, “Signifier dan signified merupakan kesatuan, tak dapat dipisahkan, seperti dua sisi dari sehelai kertas.” (Sobur, 2006). Menurut (signifiant/wahana
Saussure,
tanda
mempunyai
tanda/penanda/yang
dua
entitas,
mengutarakan/simbol)
yaitu
signifier
dan
signified
(signifie/makna/petanda/yang diutarakan/thought of reference). Tanda menurut Saussure adalah kombinasi dari sebuah konsep dan sebuah sound-image yang tidak dapat dipisahkan. Hubungan antara signifier dan signified adalah arbitrary (mana suka). Tidak ada hubungan logis yang pasti diantara keduanya, yang mana membuat teks atau tanda menjadi menarik dan juga problematik pada saat yang bersamaan. Saussure menegaskan bahwa proses komunikasi melalui bahasa melibatkan pemindahan isi kepala. Tanda membentuk kode atau sirkuit yang menghubungkan dua individu agar membuka isis kepala masing-masing. Bertautnya isi kepala dengan jenis kode tanda tertentu inilah yang mendorong saussure untuk menggagas sebuah sains baru. Hal yang penting dalam kajianSaussure tentang tanda linguistik adalah sifat arbitrer yang mengaitkan penanda dengan petanda. Menurut Saussure tanda dapat bekerja karena ada pembeda dengan tanda yang lain. Pada dasarnya setiap fenomena bahasa selalu dibentuk oleh dua factor yaitu Parole yang berarti ekspresi kebahasaaan. kemudian Langue yaitu Keseluruhan sistem tanda yang berfungsi sebagai alat komunikasi verbal yang bersifat abstrak. Parole juga bisa disebut sebagai realitas fisis yang berbeda setiap orang terhada suatu tanda. Struktur bahasa yang dibahas dalam
http://digilib.mercubuana.ac.id/
29
konsep dasar saussure adalh adanya hubungan sintagmatik dan paradigmatik. Yang dimaksud dengan hubungan sintagmatik adalah hubungan antara unsur-unsur yang terdapat dalam suatu tuturan, yang tersusun secara berurutan, bersifat linear. sedangkan paradigmatik adalah hubungan antar unsur-unsur yang terdapat dalam suatu tuturan dengan unsur-unsur sejenis yang tidak terdapat dalam tuturan yang bersangkutan. Pemikiran Saussure juga mempunyai gaung yang kuat dalam rumpun ilmuilmu sosial budaya secara umum dan akhirnya menjadi sumber ilham bagi sebuah paham pemikiran yang dinamakan strukturalisme. Prinsip-prinsip linguistik Saussure dapat disederhanakan ke dalam butir-butir pemahaman sebagai sebagai berikut : 1.
Bahasa adalah sebuah fakta sosial.
2.
Sebagai fakta sosial, bahasa bersifat laten, bahasa bukanlah gejala-gejala
permukaan melainkan sebagai kaidah-kaidah yang menentukan gejala-gejala permukaan,
yang
disebut
sengai langue. Langue
tersebut
termanifestasikan
sebagai parole, yakni tindakan berbahasa atau tuturan secara individual. 3.
Bahasa adalah suatu sistem atau struktul tanda-tanda. Karena itu, bahasa
mempunyai satuan-satuan yang bertingkat-tingkat, mulai dari fonem, morfem, klimat, hingga wacana. 4.
Unsur-unsur dalam setiap tingkatan tersebut saling menjalin melalui cara
tertentu yang disebut dengan hubungan paradigmatik dan sintakmatik.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
30
5.
Relasi atau hubungan-hubungan antara unsur dan tingkatan itulah yang
sesungguhnya membangun suatu bahasa. Relasi menentuka nilai, makna, pengertian dari setiap unsur dalam bangunan bahasa secara keseluruhan. 6.
Untuk memperoleh pengetahuan tentang bahasa yang prinsip-prinsipnya yang
telah disebut diatas, bahasa dapat dikaji melalui suatu pendekatan sikronik, yakni pengkajian bahasa yang membatasi fenomena bahasa pada satu waktu tertentu, tidak meninjau bahasa dalam perkembangan dari waktu ke waktu (diakronis).
b.
Charles Sander Peirce (1839-1914) Charles Sanders Peirce ialah seorang ahli matematika dari AS yang sangat
tertarik pada persoalan lambing-lambang. Ia melakukan kajian mengenai semiotika dari perspektif logika dan filsafat dalam upaya melakukan sistematisasi terhadap pengetahuan. Dalam hal ini, Peirce menggunakan istilah respresentamen yang tak lain adalah lambang (sign) yang diartikan oleh Matterlart dan Matterlant (1998) sebagai something which stand to somebody for something in some respect or capacity atau sesuatu yang mewakili sesuatu bagi seseorang dalam sesuatu hal atau kapasitas. Dari pemaknaan ini dapat dilihat bahwa bagi Peirce, lambang mencakup keberadaan yang luas, termasuk pahatan, gambar, tulisan, ucapan lisan, isyarat bahasa tubuh, musik, dan lukisan.14
Pawito. Penelitian komunikasi kualitatif. LKiS Pelangi Aksara Yogyakarta:Yogyakarta. 2007. Hal. 158-160 14
http://digilib.mercubuana.ac.id/
31
Charles Sanders Peirce secara mandiri telah mengerjakan sebuah tipologi tentang tanda-tanda yang maju dan sebuah meta bahasa untuk membicarakanya, tetapi semiotiknya dipahami sebagai perluasan logika dank arena sebagian kerjanya dalam semiotic memandang linguistic melebihi kecanggihan logika.15 Teori dari Peirce menjadi grand theory dalam semiotik. Gagasanya bersifat menyeluruh, deskripsi
struktural dari semua system penandaan. Peirce ingin
mengidentifikasi partikel dasar dari tanda dan menggabungkan kembali semua komponen dalam struktur tunggal.16 Sebuah tanda atau respresentamen menurut peirce adalah sesuatu yang bagi seseorang mewakili sesuatu yang lain dalam beberapa hal atau kapasitas. Sesuatu yang lain itu, oleh Peirce disebut Interpretant, dinamakan sebagai interpretant dari tanda yang pertama, pada giliranya akan mengacu pada objek tertentu. Dengan demikian, menurut peirce sebuah tanda atau representamen memiliki relasi “triadic” langsung dari interpretant dan objeknya. Apa yang dimaksud dengan proses “semiosis” merupakan suatu proses yang memadukan entitas (berupa representamen) dengan entitas lain yang disebut sebagai objek. Proses ini oleh Peirce disebut sebagai Signifikasi.17
15
Alex Sobur. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik dan Analisis Framing. PT Remaja Rosdakarya: Bandung.2001. hal 96 16 Ibid. Hal 97 17 Indiawan Seto Wahyu Wibowo. Semiotika Komunikasi: Aplikasi bagi penelitian skripsi komunikasi. Mitra Wacana Media:Jakarta. 2011. Hal. 13-14
http://digilib.mercubuana.ac.id/
32
Menurut Hamad (2000), semiotika untuk studi media massa ternyata tak hanya terbatas sebagai kerangka teori, namun juga bias sebagai metode analisa. Kita dapat menjadikan tori segitiga makna (triangle meaning) Peirce yang terdiri atas Sign (tanda), Object (acuan tanda), dan Interpretant (pengguna tanda). Menurut Peirce, salah satu bentuk tanda adalah kata. Menurut Fiske (1990), hubungan segitiga makna Peirce lazimnya sebagai tampak dalam gambar berikut ini.18 Gambar Element makna Peirce
Sign
Interpretant
Object
Hubungan antara tanda (sign), objek (object), dan interpretan (interpretant) dapat dijelaskan sebagai berikut.19
18
Ibid. Hal 115 Rosady Ruslan. Metode Penelitian: Pulic Relation dan Komunikasi, PT RajaGrafindo Persada: Jakarta, 2008. Hal 227
19
http://digilib.mercubuana.ac.id/
33
1.
Tanda adalah sesuatu yang bentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia, dan merupakan sesuatu yang mempresentasikan hal ini diluar tanda sendiri, maka acuan tanda tersebut disebut objek.
2.
Objek atau acuan tanda merupakan konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk oleh tanda atau objek tertentu.
3.
Interpretan adalah konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda dan menurunkannya kesuatu makna tertentu. Dengan kata lain, makna yang terdapat dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk oleh sebuah tanda tertentu. Menurut Charles Sanders Peirce, sesuatu yang digunakan agar tanda bisa
berfungsi, oleh Peirce disebut Ground. Konsekuensinya, tanda ( sign atau representamen ) selalu terdapat dalam hubungan triadic, yakni ground, object, dan interpretant. Atas hubungan ini, Peirce mengadakan klasifikasi tanda. Tanda yang dikaitkan dengan ground dibaginya menjadi qualisign, sinsign,, dan legisign. Qualisign adalah kualitas yang ada pada tanda, misalnya kata-kata kasar, keras, lemah, lembut, merdu. Sinsign adalah eksistensi actual benda atau peristiwa yang ada pada tanda; misalnya kata kabur atau keruh yang ada pada urutan kata air sungai keruh yang menandakan bahwa ada hujan di hulu sungai. Legisign adalah norma yang dikandung oleh tanda, misalnya rambu-rambu lalu lintas yang menandakan hal-hal yang boleh atau tidak boleh dilakukan manusia.20
20
Alex Sobur. Semiotika Komunikasi: PT. Remaja Rosdakarya: Bandung. 2006. Hal 41.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
34
Berdasarkan objeknya, Peirce membagi tanda atas icon ( ikon ), index ( indeks ), dan symbol ( simbol ). Ikon adalah tanda yang hubungan antara penanda atau petandanya bersifat bersamaan bentuk alamiah. Atau dengan kata lain, ikon adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan, misalnya potret dan peta. Indeks adalah tanda yang menunjukan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petandanya yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan. Contoh yang paling jelas ialah asap sebagai tanda adanya api. Simbol adalah tanda yang menunjukan hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya. Hubungan
diantaranya bersifat arbiter atau
semena, hubungan berdasarkan konvensi ( perjanjian ) masyarakat.21 Berdasarkan interpretan, tanda di bagi atas rheme, dicent sign atau dicisign dan argument. Rheme adalah tanda yang memungkinkan orang menafsirkan berdasarkan pilihan. Misalnya, orang yang merah matanya dapat saja menandakan bahwa orang itu baru menangis, atau menderita sakit mata, atau mata kemasukan insekta atau baru bangun, atau ingin tidur. Dicent sign atau decisign adalah tanda sesuai kenyataan. Misalnya, jika suatu jalan sering terjadi kecelakaan, maka ditepi jalan dipasang rambu lalu lintas yang menyatakan bahwa disitu sering terjadi kecelakaan. Argument adalah tanda yang langsung memberikan alasan tentang sesuatu.22
21 22
Ibid. Hal. 41-42. Ibid. Hal. 42.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
35
2.5. Bahasa dan Makna Bahasa dapat didefinisikan sebagai seperangkat simbol, dengan aturan untuk mengkombinasikan simbol-simbol tersebut, yang digunakan dan dipahami suatu komunitas. Namun, bahasa juga dapat di artikan sebagai alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep, atau perasaan. Sehingga bahasa memiliki peranan penting bagi setiap komunias untuk saling bertukar pesan agar maksud yang ingin ia sampaikan dapat diterima dengan baik.23 Bahasa merupakan sebuah sistem, artinya yaitu, bahasa dibentuk oleh sejumlah komponen yang berpola secara tetap dan dapat dikaidahkan. Sistem bahasa berupa lambang-lambang bunyi, setiap lambang bahasa melambangkan sesuatu yang disebut makna atau konsep. Karena setiap lambang bunyi itu memiliki atau menyatakan suatu konsep atau makna, maka dapat disimpulkan bahwa suatu ujaran bahasa
memiliki
makna.
Contoh
lambang
bahasa
yang
berbunyi
“air”
melambangkan konsep atau makna sesuatu zat cair yang bisa di gunakan untuk meminum atau sebagai sumber kehidupan makhluk hidup. Fungsi bahasa yang mendasar adalah untuk menamai atau menjuluki orang, objek, dan peristiwa. Setiap orang punya nama untuk identifikasi sosial. Orang juga dapat menamai apa saja, objek-objek yang berlainan, termasuk perasaan tertentu yang mereka alami. Penamaan adalah dimensi pertama bahasa dan basis bahasa, dan pada awalnya itu dilakukan manusia sesuka mereka, yang lalu menjadi konvensi. 23
Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung: 2001, Hal 237.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
36
Disisi lain, bahasa juga memiliki keterbatasannya, yaitu kata-kata. Kata-kata adalah katagori-katagori untuk merujuk pada objek tertentu, seperti orang, benda, peristiwa, sifat, perasaan, dan sebagainya. Tidak semua kata tersedia untuk merujuk pada objek. Suatu kata hanya mewakili realitas, tetapi bukan realitas itu sendiri. Dengan demikian, kata kata pada dasarnya bersifat parsial, tidak melukiskan sesuatu secara eksak.24 Berbeda dengan bahasa, makna maka akan lahir setelah suatu tanda atau simbol telah hadir terlebih dahulu. Mungkin dengan satu bahasa maka bisa lahir beberapa makna, contohnya kata “tahu”, makna pertama diartikan sebagai makanan yang terbuat dari kedelai, sedangkan makna keduanya bisa diartikan yaitu seseorang telah mendapat informasi baru dari orang. Makna tidak bersifat absolut, bukan suatu konsep statis yang bisa ditemukan terbungkus rapi di dalam pesan. Makna adalah sebuah proses yang aktif, para ahli semiotik menggunakan kata kerja seperti menciptakan, memunculkan, atau negosiasi mengacu pada proses ini. Negosiasi mungkin merupakan istilah yang paling berguna yang mengindikasikan hal-hal seperti kepada-dan-dari, member-dan-menerima antara manusia/orang dan pesan. Bahkan mungkin akan berguna mengganti istilah “makna” dan menggunakan istilah yang jauh lebih aktif dari Peirce, yaitu semiosis – tindakan memaknai.25
24 25
Deddy Mulyana, Ibid, Hal 245 Jhon Fiske, Pengantar Ilmu Komunikasi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2012, Hal 77.
http://digilib.mercubuana.ac.id/