BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A.
Belajar dan Pembelajaran Belajar adalah proses aktif siswa untuk mempelajari dan memahami konsep-
konsep yang dikembangkan dalam kegiatan belajar mengajar, baik individual maupun kelompok, baik mandiri maupun dibimbing (Arifin, 2003). Terjadinya proses belajar terkait dengan strategi yang digunakan oleh guru. Kondisi apa yang diciptakan, juga strategi yang bagaimana yang akan digunakan tergantung pada tujuan atau hasil yang diinginkan dicapai oleh siswa. Menurut Gagne (Komalasari, 2010) belajar dapat didefinisikan sebagai suatu proses perubahan tingkah laku yang meliputi perubahan kecenderungan manusia seperti sikap, minat, atau nilai dan perubahan kemampuannya yakni peningkatan kemampuan untuk melakukan berbagai jenis performance (kinerja). Sedangkan menurut Piaget (Wahyu, 2007) belajar perlu memperhatikan tingkat-tingkat intelektual siswa. Hal ini berarti bahwa proses belajar pada umumnya dipengaruhi oleh tingkat-tingkat perkembangan intelektual siswa. Belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku dalam pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diperoleh dalam jangka waktu yang lama dan dengan syarat bahwa perubahan yang terjadi tidak disebabkan oleh adanya kematangan ataupun perubahan sementara (Komalasari, 2010). Belajar dan pembelajaran merupakan dua kegiatan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Pembelajaran dapat didefinisikan sebagai suatu sistem
7
8
atau proses membelajarkan subjek didik/pembelajaran yang direncanakan atau didesain,
dilaksanakan,
dan
dievaluasi
secara
sistematis
agar
subjek
didik/pembelajaran dapat mencapai tujuan-tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien. Pembelajaran adalah suatu proses yang diselenggarakan oleh guru untuk membelajarkan siswa dalam belajar memperoleh dan memproses pengetahuan, keterampilan, dan sikap (Dimyati, 2002). Ada dua aspek penting yang ada dalam kegiatan pembelajaran. Aspek pertama adalah aspek hasil belajar yakni perubahan perilaku pada diri siswa. Aspek kedua adalah aspek proses belajar yakni sejumlah pengamalan intelektual, emosional, dan fisik pada diri siswa. Menurut Gagne (Suyanti, 2010) tahapan proses pembelajaran meliputi delapan fase yaitu, (1) motivasi; (2) pemahaman; (3) pemerolehan; (4) penyimpanan; (5) ingatan kembali; (6) generalisasi; (7) perlakukan dan ; (8) umpan balik. Pembelajaran dapat dipandang dari dua sudut yaitu pembelajaran dipandang sebagai suatu sistem dan suatu proses. Pembelajaran sebagai suatu sistem terdiri dari sejumlah komponen yang terorganisasi yaitu, tujuan pembelajaran, materi pembelajaran,
strategi
dan
metode
pembelajaran,
media
pembelajaran,
pengorganisasian kelas, evaluasi pembelajaran, dan tindak lanjut pembelajaran. Pembelajaran sebagai suatu proses adalah rangkaian upaya atau kegiatan guru dalam rangka membuat siswa belajar. Proses tersebut meliputi: a.
Persiapan, dimuai dari merencanakan program pengajaran tahunan, semester, dan penyusunan persiapan mengajar. Persiapan pembelajaran ini mencakup
9
kegiatan guru untuk membaca buku-buku atau media cetak yang akan disajikan kepada siswa dan mengecek jumlah dan keberfungsian alat peraga yang digunakan. b.
Pelaksanaan kegiatan pembelajaran dengan mengacu pada persiapan pembelajaran yang telah dibuat sebelumnya. Pada tahap pelaksanaan pembelajaran ini, struktur dan situasi pembelajaran yang diwujudkan guru akan banyak dipengaruhi oleh pendekatan atau strategi dan metode-metode pembelajaran yang telah dipilih dan dirancang penerapannya, serta filosofi kerja dan komitmen guru, persepsi, dan sikapnya terhadap siswa.
c.
Tindak lanjut pembelajaran yang telah dikelola. Kegiatan pascapembelajaran ini dapat berbentuk enrichment (pengayaan), dapat pula berupa pemberian layanan remedial teaching bagi siswa yang mengalami kesulitan belajar.
B.
Model Pembelajaran Kontekstual
1.
Pengertian Pembelajaran Kontekstual Pembelajaran
kontekstual
adalah
pendekatan
pembelajaran
yang
mengkaitkan antara materi yang dipelajari dengan kehidupan nyata siswa seharihari, baik dalam lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat maupun warga negara, dengan tujuan untuk menemukan makna materi tersebut bagi kehidupannya (Komalasari, 2010). Model pembelajaran kontekstual dikembangkan dengan tujuan agar pembelajaran berjalan lebih produktif dan bermakna. Pendekatan kontekstual
10
dapat dijalankan tanpa harus mengubah kurikulum dan tatanan yang ada (Nurhadi, 2007). Menurut Hull (1999), terdapat lima strategi bagi pendidik dalam rangka penerapan pembelajaran kontekstual, yang disingkat REACT, yaitu: 1.
Relating
: Belajar dikaitkan dengan konteks pengalaman kehidupan nyata.
2.
Experiencing : Belajar ditekankan kepada penggalian (eksplorasi), penemuan (discovery), dan penciptaan (invention).
3.
Applying
: Belajar bilamana pengetahuan dipresentasikan didalam konteks pemanfaatannya.
4. Cooperating
: Belajar melalui konteks komunikasi interpersonal, pemakaian bersama dan sebagainya.
5. Transferring
: Belajar melalui pemanfaatan pengetahuan didalam situasi atau konteks baru.
Pembelajaran kontektual (CTL) memiliki tujuh komponen utama yang mendasari, yaitu:
a.
Konstruktivisme (constructivism) Kontruktivisme merupakan landasan berpikir CTL, yang menekankan
bahwa belajar tidak hanya sekedar menghafal, mengingat pengetahuan tetapi merupakan suatu proses belajar mengajar dimana siswa sendiri aktif secara mental mebangun pengetahuannya, yang dilandasi oleh struktur pengetahuan yang dimilikinya.
11
b.
Menemukan (Inquiry) Menemukan merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran kontekstual,
karena pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta tetapi hasil dari menemukan sendiri. Kegiatan menemukan (inquiry) merupakan sebuah siklus yang terdiri dari observasi (observation), bertanya (questioning), mengajukan dugaan (hiphotesis), pengumpulan data (data gathering), penyimpulan (conclusion). c.
Bertanya (Questioning) Pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu dimulai dari bertanya. Bertanya
merupakan strategi utama pembelajaan berbasis kontekstual. Kegiatan bertanya berguna untuk : 1) menggali informasi, 2) menggali pemahaman siswa, 3) membangkitkan respon kepada siswa, 4) mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa, 5) mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa, 6) memfokuskan perhatian pada sesuatu yang dikehendaki guru, 7) membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa, untuk menyegarkan kembali pengetahuan siswa. d.
Masyarakat Belajar (Learning Community) Konsep masyarakat belajar menyarankan hasil pembelajaran diperoleh dari
hasil kerjasama dari orang lain. Hasil belajar diperolah dari sharing antar teman, antar kelompok, dan antar yang tau ke yang belum tau. Masyarakat belajar tejadi apabila ada komunikasi dua arah, dua kelompok atau lebih yang terlibat dalam komunikasi pembelajaran saling belajar.
12
e.
Pemodelan (Modeling) Pemodelan pada dasarnya membahasakan yang dipikirkan, mendemonstrasi
bagaimana guru menginginkan siswanya untuk belajar dan malakukan apa yang guru inginkan agar siswanya melakukan. Dalam pembelajaran kontekstual, guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan ,elibatkan siswa dan juga mendatangkan dari luar. f.
Refleksi (Reflection) Refleksi merupakan cara berpikir atau respon tentang apa yang baru
dipelajari aau berpikir kebelakang tentang apa yang sudah dilakukan dimasa lalu. Realisasinya dalam pembelajaran, guru menyisakan waktu sejenak agar siswa melakukan refleksi yang berupa pernyataan langsung tentang apa yang diperoleh hari itu. g.
Penilaian yang sebenarnya ( Authentic Assessment) Assesment adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan
gambaran perkembangan belajar siswa. Gambaran perkembangan siswa perlu diketahui oleh guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran dengan benar. Penilaian yang sebenarnya adalah kegiatan menilai siswa yang menekankan pada apa yang seharusnya dinilai, baik proses maupun hasil dengab berbagai instrumen penilaian. Menurut Nentwig (Wahyu, 2007) menyatakan bahwa dalam model pembelajaran kontekstual terdapat langkah-langkah yang diterapkan pada proyek Chemie im Kontext sebagai berikut:
13
•
Tahap Kontak (Contact Phase) Pada tahap ini dikemukakan isu-isu, masalah yang ada di masyarakat atau
menggali berbagai peristiwa yang terjadi di sekitar siswa dan mengaitkannya dengan materi yang akan dipelajari sehingga siswa menyadari pentingnya memahami materi tersebut. Topik yang dibahas dapat bersumber dari berita, artikel, atau pengalaman siswa sendiri. •
Tahap Kuriositi (Curiosity Phase) Pada tahap ini dikemukakan pertanyaan-pertanyaan, dimana jawabannya
membutuhkan pengetahuan kimia yang dapat mengundang rasa penasaran dan keingintahuan siswa. •
Tahap Elaborasi (Elaboration Phase) Pada tahap ini dilakukan eksplorasi, pembentukan, dan pemantapan konsep
sampai pertanyaan pada tahap kuriositi dapat terjawab. Eksplorasi, pembentukan, dan pemantapan konsep tersebut dapat dilakukan dengan berbagai metode, misalnya ceramah bermakna, diskusi, dan kegiatan praktikum, atau gabungan dari ketiganya. Melalui kegiatan inilah berbagai kemampuan siswa akan tergali lebih dalam, baik aspek penngetahuan, keterampilan proses, maupun sikap dan nilai. •
Tahap Nexus (Nexus Phase) Pada tahap ini dilakukan proses pengambilan intisari (konsep dasar) dari
materi yang dipelajari, kemudian mengaplikasikannya pada konteks yang lain (dekontekstualisasi), artinya masalah yang sama diberikan dalam konteks yang berbeda
dimana
memerlukan
konsep
pengetahuan
yang
sama
untuk
14
pemecahannya. Tahap ini dilakukan agar pengetahuan yang diperoleh lebih aplikatif dan bermakna di luar konteks pembelajaran. •
Tahap Evaluasi (Evaluation Phase) Pada tahap ini dilakukan evaluasi pembelajaran secara keseluruhan yang
berguna untuk menilai keberhasilan belajar siswa. Evaluasi dilakukan bukan hanya untuk menilai aspek kontens sains saja, tetapi juga aspek keterampilan proses sains dan konteks aplikasi sains.
C.
Keterampilan Proses Sains Keterampilan proses sains dapat diartikan sebagai wawasan atau anutan
pengembangan keterampilan-keterampilan intelektual, sosial, dan fisik yang bersumber dari kemampuan-kemampuan mendasar yang pada prinsipnya telah ada dalam diri siswa. (Depdikbud dalam Dimyati, 2002). Keterampilan proses sains merupakan keterampilan-keterampilan yang dimiliki oleh para ilmuwan untuk memperoleh dan mengembangkan produk sains (Anitah, 2007).
Menurut Rustaman (2005), keterampilan proses perlu
dikembangkan melalui pengalaman-pengalaman langsung sebagai pengalaman pembelajaran. Melalui pengalaman langsung seseorang dapat lebih menghayati proses atau kegiatan yang sedang dilakukan. Keterampilan proses melibatkan keterampilan-keterampilan kognitif atau intelektual, manual, dan sosial. Keterampilan kognitif atau intelektual terlibat karena dengan melakukan keterampilan proses siswa menggunakan pikirannya. Keterampilan manual jelas terlibat dalam keterampilan proses karena mungkin mereka melibatkan
15
penggunaan alat dan bahan, pengukuran, penyusunan, atau perakitan alat. Dengan keterampilan sosial dimaksudkan bahwa mereka berinteraksi dengan sesamanya dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar dengan keterampilan proses, misalnya mendiskusikan hasil pengamatan. Menurut Funk (Dimyati, 2002), ada berbagai keterampilan dalam keterampilan proses, keterampilan-keterampilan tersebut terdiri dari keterampilan dasar (basic skills) dan keterampilan-keterampilan terintergrasi (intergrated skills). Keterampilan-keterampilan dasar terdiri dari enam keterampilan, yakni: mengobservasi, mengklasifikasi, memprediksi, mengukur, menyimpulkan, dan mengkomunikasikan. Sedangkan keterampilan-keterampilan terintergrasi terdiri dari: mengidentifikasi variabel, membuat tabulasi data, menyajikan data kedalam bentuk grafik, menggambarkan hubungan antar variabel, mengumpulkan dan mengolah data, menganalisa penelitian, menyusun hipotesis, mendefinisikan vaiabel secara operasional, merancang penelitian dan melaksanakan eksperimen. Firman (2000) menggolongkan keterampilan proses ke dalam enam subsub keterampilan, yaitu : a.
Mengamati Mengamati ialah melakukan pengumpulan data tentang fenomena atau peristiwa dengan menggunakan inderanya. Mengamati merupakan dasar bagi semua keterampilan proses lainnya
16
b.
Menafsirkan Menafsirkan hasil pengamatan ialah menarik kesimpulan tentatif dari data yang dicatatnya. Keterampilan menafsirkan hasil pengamatan mencakup: dari seperangkat data yang dikumpulkan, menemukan pola hubungan; membedakan pernyataan yang menunjukkan kesimpulan dari pernyataan yang menggambarkan hasil pengamatan; menarik berbagai kesimpulan untuk menerangkan seperangkat data hasil pengamatan; memilih data yang menunjang suatu kesimpulan.
c.
Meramalkan Meramalkan ialah prakiraan yang didasarkan pada hasil pengamatan yang reliabel. Meramalkan berarti pula mengemukakan apa yang mungkin terjadi pada keadaan yang belum diamati berdasarkan penggunaan pola yang ditemukan sebagai hasil pengamatan. Keterampilan meramalkan mencakup: membuat ramalan berdasarkan pembacaan data hasil pengamatan; membuat ramalan dengan memperpanjang suatu kecenderungan yang ditemukan sebagai hasil pengamatan; membuat ramalan berdasarkan pola-pola yang berulang; membedakan ramalan dari tebakan.
d.
Menerapkan Konsep Menerapkan konsep ialah menggunakan generalisasi yang telah dipelajarinya pada situasi baru, atau untuk menerangkan apa yang diamatinya.
17
e.
Merencanakan Percobaan Merencanakan percobaan ialah merancang kegiatan yang dilakukan untuk menguji hipotesis, memeriksa kebenaran atau memperlihatkan prinsipprinsip atau fakta-fakta yang telah diketahuinya.
f.
Mengkomunikasikan Mengkomunikasikan ialah keterampilan menyampaikan gagasan atau hasil penemuannya kepada orang lain. Keterampilan mengkomunikasikan mencakup kemampuan membuat grafik, diagram, bagan, tabel, karangan, laporan serta memaparkan gagasan secara lisan.
D.
Larutan Penyangga
1.
Konsep Larutan Penyangga Terdapat larutan yang apabila ditambah sedikit asam, basa, atau air tidak
mengubah pH secara berarti. Larutan seperti itu disebut larutan buffer (penyangga). Cara membuat larutan penyangga ada dua, yaitu sebagai berikut. Campuran asam lemah dengan garamnya (yang berasal dari asam lemah tersebut dan basa kuat), contohnya: •
HNO2 dengan NaNO2
•
CH3COOH dengan CH3COOK Campuran basa lemah dengan garamnya (yang berasal dari asam kuat dan
basa lemah tersebut), contohnya •
NH3 dan NH4Cl
18
•
N2H5OH dan N2H5NO3 Larutan penyangga dapat mempertahankan pH-nya karena mengandung ion
garam, kesetimbangan asam lemah, dan kesetimbangan air, yang membentuk suatu sistem penyangga (Syukri, 1999).
2.
Cara Kerja dan Sifat Larutan Penyangga
a.
Penambahan Asam atau Basa Secara Kuantitatif Jika ke dalam larutan penyangga ditambahkan sedikit asam, maka asam
tersebut akan bereaksi dengan zat yang bersifat basa. Begitu pula sebaliknya, jika ditambahkan sedikit basa, maka basa tersebut akan bereaksi dengan zat yang bersifat asam. Sebagai contoh berikut ini adalah campuran asam lemah (CH3COOH) dengan basa konjugasinya (CH3COO–). Jika ke dalam campuran tersebut ditambahkan sedikit asam misalnya HCl, maka akan terjadi reaksi : H+(aq) + CH3COO–(aq) → CH3COOH(aq) Berdasarkan reaksi diatas, berarti jumlah basa konjugasi (ion CH3COO–) akan berkurang dan asam lemah CH3COOH akan bertambah. Penambahan asam ke dalam larutan penyangga akan menurunkan konsentrasi basa dan meningkatkan konsterasi asam. Perubahan ini tidak mengakibatkan perubahan pH yang signifikan. Jika kedalam campuran tersebut ditambahkan sedikit basa misalnya NaOH, maka reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut : CH3COOH (aq) + OH- → CH3COO- (aq) + H2O (l)
19
Berdasarkan reaksi diatas, jumlah asam lemah CH3COOH akan berkurang dan basa konjugasinya (ion CH3COO-) akan bertambah. Seperti pada kasus penambahan sedikit asam, perubahan ini pun tidak akan mengakibatkan perubahan pH yang signifikan.
b. Pengenceran Larutan Penyangga Nilai pH larutan penyangga hanya ditentukan oleh pKa dan perbandingan konsentrasi molar pasangan asam basa konjugat. Nilai Ka atau pKa dari asam lemah tidak bergantung pada konsentrasi asam, tetapi bergantung pada suhu. Oleh sebab itu, pengenceran larutan penyangga tidak akan mengubah nilai pKa. Konsentrasi molar pasangan asam basa konjugat akan berubah jika volume larutan berubah sebab konsentrasi bergantung pada volume total larutan. Pengenceran larutan akan mengubah semua konsentrasi spesi yang ada dalam larutan, tetapi karena perubahan konsentrasi dirasakan oleh semua spesi maka perbandingan konsentrasi molar pasangan konjugat asam basa tidak berubah. Akibatnya, pH larutan tidak berubah (Sunarya, 2009).
3. Perhitungan pH Larutan Penyangga a.
Larutan yang memiliki komponen asam lemah dan basa konjugasi Salah satu contoh larutan yang memiliki komponen asam lemah dan basa
konjugasi adalah campuran asam lemah CH3COOH dan basa konjugasinya (ion CH3COO-). Berikut ini reaksi kesetimbangan yang terjadi pada larutan yang memiliki komponen asam lemah dan basa konjugasi :
20
H+ (aq) + CH3COO–(aq)
CH3COOH(aq)
Ion CH3COO- berasal dari garam yang mengandung asetat, seperti CH3COONa, CH3COOK, atau (CH3COO)2Ba. Sebagai contoh misalnya digunakan garam CH3COONa sebagai garam pembentuk basa konjugasi. Garam CH3COONa termasuk zat elektrolit kuat sehingga dalam air akan terionisasi sempurna sesuai dengan persamaan reaksi berikut : CH3COONa (aq) → CH3COO- (aq) + Na+ (aq) Ion yang CH3COO- yang berasal dari garam akan menggeser kesetimbangan asam asetat ke kiri sehingga CH3COOH dianggap tidak terionisasi. Oleh karena itu konsentrasi CH3COOH yang digunakan dalam perhitungan sama dengan konsentrasi CH3COOH awal. Konsentrsi ion CH3COO- hasil disosiasi CH3COOH kecil sehingga dapat diabaikan, maka konsentrasi CH3COO- yangg terlibat dalam perhitungan hanya bersal dari garam. Persamaan tetapan keseimbangan (Ka) asam asetat adalah sebagai berikut : ሾCH3 COO− ሿൣH+ ൧ = ܽܭ ሾܪܥ3 ܪܱܱܥሿ
Penataan ulang persamaan di atas menjadi : ሾܪ+ ሿ = ܽܭ
ሾCH3 COOHሿ ሾܪܥ3 ܱܱܥ− ሿ
Dengan menggunakan logaritman negatif di kedua sisinya, maka persamaan menjadi : − log ሾ ܪା ሿ = − log ܭ − log − log
ሾ ܪା ሿ
CHଷ COOH ൨ ܪܥଷ ିܱܱܥ
ܪܥଷ ିܱܱܥ = − log ܭ + log ൨ CHଷ COOH
21
ܪܥଷ ି ܱܱܥ ܭ = ܪ + log ൨ CHଷ COOH Persamaan diatas disebut persamaan Haderson-Hasselbalsch untuk larutan yang memiliki komponen asam lemah dan basa konjugasi yang umumnya ditulis : ܭ = ܪ + log ൜
ሾܾܽ݅ݏܽ݃ݑ݆݊݇ ܽݏሿ ൠ ሾasam lemahሿ
b. Larutan yang memiliki komponen basa lemah dan asam konjugasi Contoh larutan yang memiliki komponen basa lemah dan asam konjugasi adalah campuran basa lemah NH3 dengan asam konjugsinya (ion NH4+). Reaksi kesetimbangan yang terjadi pada larutan yang memiliki komponen basa lemah dan asam konjugasi dapat dituliskan sebagai berikut : NH4+ (aq) + OH- (aq)
NH3 (aq) + H2O (l)
Ion NH4+ yang bertindak sebagai asam konjugasi dapat berasal dari larutan garam NH4Cl atau (NH4)SO4. Sebagai contoh digunakan garam NH4Cl yang di dalam air terionisasi sempurna sebagaimana persamaan reaksi berikut : NH4Cl (aq) → NH4 + (aq) + Cl- (aq) Dengan cara yang sama seperti pada larutan yang memiliki komponen asam lemah dan basa konjugasi, maka ungkapan pOH untuk larutan yang memiliki komponen basa lemah dan asam konjugasi dapat diturunkan. Tetapan kesetimbangan basa lemah (Kb) dinyatakan sebagai berikut : = ܾܭ
+ − ൣNH4 ൧ሾܱH ሿ ሾܰܪ3 ሿ
ሾܱH− ሿ = ܾܭ
ሾܰܪ3 ሿ +
ൣNH4 ൧
22
Dengan menggunakan logaritman negatif di kedua sisinya, maka persamaan menjadi : − log ሾܱ ି ܪሿ = − log ܭ − log
ሾܰܪଷ ሿ ሾNHସା ሿ
− log ሾܱ ି ܪሿ = − log ܭ + log
ሾNHସା ሿ ሾܰܪଷ ሿ
ܭ = ܪܱ + log
ሾNHସା ሿ ሾܰܪଷ ሿ
Persamaan diatas disebut persamaan Haderson-Hasselbalsch untuk larutan yang memiliki komponen basa lemah dan asam konjugasi yang umumnya ditulis: ܾܭ = ܪܱ+ log ൜
4.
ሾܽ݅ݏܽ݃ݑ݆݊݇ ݉ܽݏሿ ൠ ሾbasa lemahሿ
Aplikasi larutan penyangga Larutan penyangga digunakan secara luas dalam kimia analitis, biokimia,
bakterioflag, fotografi, industri kulit, dan zat warna. Proses-proses yang dilakukan pada tiap bidang tersebut terutama dalam biokimia untuk bakteriologi memerlukan trayek/rentang pH tertentu yang sempit untuk mencapai hasil optimum. Kerja suatu enzim, tumbuhnya kultur bakteri, dan proses biokimia lainnya sangat sensitif terhadap perubahan pH. Didalam cairan tubuh, baik cairan intrasel maupun cairan ekstrasel mengandung sistem penyangga. Sistem penyangga yang utama dalam cairan intrasel adalah pasangan dihidrogenfosfat-monohidrogenfosfat (H2PO4-, HPO42-). Sistem ini bereaksi dengan asam dan basa sebagaimana persamaan reaksi berikut: HPO42- (aq) + H+(aq) → H2PO4-(aq)
23
H2PO4-(aq) + OH- → HPO42- (aq) + H2O (l) Selain itu, ada juga sistem penyangga utama dalam cairan ekstrasel (darah) adalah pasangan asam karbonat-bikarbonat(H karbonat 2CO3-HCO3 ). Sistem ini bereaksi
dengan asam dan basa sebagaimana persamaan reaksi berikut: HCO3- (aq) + H+ (aq) → H2CO3 (aq) + H2O (aq) H2CO3 (aq) + OH- (aq) → HCO3- (aq) + H2O (aq) Sistem penyangga di atas mempertahankan pH darah yang y normalnya berkisar 7,35 – 7,45. Perbandingan konsentrasi ion HCO3- terhadap H2CO3 yang diperlukan untuk mempertahankan pH darah adalah 20:1. Jumlah ion HCO3- yang relatif jauh lebih banyak bany itu dapat dimengerti karena hasil-hasil hasil metabolisme dalam jaringan terus us menerus membebaskan asam-asam asam asam seperti asam laktat, asam posfat, dan asam sulfat. Ketika asam-asam asam asam itu memasuki pembuluh darah, maka ion HCO3-
akan berubah menjadi H2CO3, kemudian H2CO3 akan terurai
membentuk CO2. Pernafasan akan meningkat untuk mengeluarkan CO2 melalui paru-paru.
Gambar 2.1 Darah Apabila darahh menerima zat yang bersifat basa, maka H2CO3 akan berubah menjadi HCO3-. Untuk mempertahankan perbandingan perbanding HCO3- dan H2CO3, maka sebagian CO2 yang terdapat dalam paru-paru paru paru akan larut ke dalam darah
24
membentuk H2CO3. Apabila mekanisme pengaturan pH dalam tubuh gagal, seperti dapat terjadi selama sakit, sehingga pH darah turun di bawah 7,0 atau naik 7,8, dapat mengakibatkan kerusakan permanen pada organ tubuh bahkan kematian. Faktor-faktor yang mengakibatkan kelainan pada mekanisme pengendalian pH tersebut, bisa kelainan utama dalam keseimbangan asam basa, yaitu asidosis atau alkalosis. Asidosis adalah suatu keadaan dimana darah terlalu banyak mengandung asam (atau terlalu sedikit mengandung basa) dan sering menyebabkan menurunnya pH darah. Alkalosis adalah suatu keadaan dimana darah terlalu banyak mengandung basa (atau terlalu sedikit mengandung asam) dan kadang menyebabkan meningkatnya pH darah. Asidosis dan alkalosis bukan merupakan suatu penyakit tetapi lebih merupakan suatu akibat dari sejumlah penyakit. Misalnya, faktor-faktor yang menyebabkan keadaan asidosis adalah penyakit jantung, penyakit ginjal, dan diabetes militus. Keadaan asidosis sementara dapat terjadi karena olah raga intensif yang dilakukan terlalu lama. Alkalosis dapat terjadi akibat dari hiperventilasi (bernafas terlalu berlebihan, kadang-kadang merasa cemas, histeris, atau berada dalam ketinggian). Suatu penelitian yang dilakukan pada pendaki gunung yang mencapai puncak gunung Everest (8.848 m) tanpa oksigen tambahan, menunjukkan pH darah mereka diantara 7,7-7,8. Hiperventilasi diperlukan untuk mengatasi tekanan oksigen yang amat rendah (kira-kira 43 mmHg) di tempat setinggi itu. Asidosis dan alkalosis dikelompokkan menjadi metabolik atau respiratorik, tergantung kepada penyebab utamanya. Asidosis metabolik dan alkalosis
25
metabolik disebabkan oleh ketidakseimbangan dalam pembentukan dan pembuangan asam atau basa oleh ginjal. Asidosis respiratorik atau alkakosis respiratorik biasanya disebabkan oleh penyakit paru-paru atau kelainan pernafasan. Contohnya pada seseorang yang mengalami hiperventilasi akan menurunkan kadar karbon dioksida dalam darah sehingga pH naik maka akan mengalami alkalosis respiratori.