10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Belajar dan Pembelajaran Belajar merupakan proses aktif siswa untuk mempelajari dan memahami konsep-konsep yang dikembangkan dalam kegiatan belajar-mengajar, baik individual maupun kelompok, baik mandiri maupun dibimbing. Belajar merupakan kegiatan yang wajib dilakukan oleh setiap orang, mulai dari buaian sampai ke liang lahat tidak terkecuali baik pria maupun wanita. Sedangkan pembelajaran merupakan kegiatan belajar mengajar ditinjau dari sudut kegiatan siswa berupa pengalaman belajar siswa (PBS) yaitu kegiatan siswa yang direncanakan guru untuk dialami siswa selama kegiatan belajar-mengajar (Arifin,2000). Sedangkan menurut Gagne (dalam Dahar, 1996), belajar dapat didefinisikan sebagai suatu proses dimana suatu organisma berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman. Guru merupakan salah satu elemen yang sangat penting dalam pembelajaran. Dalam pembelajaran, guru harus memahami hakikat materi pelajaran yang diajarkannya sebagai suatu pelajaran yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir siswa dan memahami berbagai model, metode, dan pendekatan pembelajaran yang dapat merangsang kemampuan siswa untuk belajar dengan perencanaan dan pengajaran yang matang. Belajar dan pembelajaran diarahkan untuk membangun kemampuan berpikir
dan menguasai materi pelajaran, dimana pengetahuan
bersumber dari luar diri, tetapi dikonstruksi dalam diri individu siswa. Pengetahuan
11
tidak diperoleh dengan cara diberikan / ditransfer dari guru, tetapi dibentuk dan dikonstruksi oleh siswa sendiri sehingga siswa tersebut mampu mengembangkan intelektualnya (Unsrimiati,2007). Pendekatan pembelajaran dalam pendidikan diciptakan orang berorientasi pada aspek hasil belajar yang diharapkan dapat dimiliki seseorang setelah melaksanakan pembelajaran (Arifin, 2000). Saat ini, telah banyak dikembangkan pendekatan pembelajaran yang inovatif, yang tidak hanya menekankan pada pengembangan aspek kognitif seperti halnya pendekatan-pendekatan konvensional, tetapi juga mempertimbangkan penekanan pada pengembangan aspek sikap dan aspek keterampilan. Salah satu pendekatan pembelajaran yang inovatif yaitu pendekatan pembelajaran kontekstual.
2.2 Pembelajaran Kontekstual 2.2.1 Pengertian Pembelajaran Kontekstual Depdiknas (2006) menyatakan pengertian pembelajaran dengan menggunakan pendekatan kontekstual sebagai berikut : 1. Merupakan suatu proses pendidikan yang holistik dan bertujuan memotivasi siswa untuk memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan mengkaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial, dan kultural) sehingga siswa memiliki pengetahuan / keterampilan yang secara fleksibel dapat diterapkan (ditransfer) dari satu permasalahan / konteks ke permasalahan / konteks lainnya.
12
2. Merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata dan mendorong pembelajar membuat hubungan antara materi yang diajarkannya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Pendekatan kontekstual mendasarkan diri pada kecenderungan pemikiran tentang belajar sebagai berikut. 1. Proses belajar •
Belajar tidak hanya sekedar menghafal. Siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri.
•
Anak belajar dari mengalami. Anak mencatat sendiri pola-pola bermakna dari pengetahuan baru, dan bukan diberi begitu saja oleh guru.
•
Para ahli sepakat bahwa pengetahuan yang dimiliki seseorang itu terorganisasi dan mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang sesuatu persoalan.
•
Pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta-fakta atau proposisi yang terpisah, tetapi mencerminkan keterampilan yang dapat diterapkan.
•
Manusia mempunyai tingkatan yang berbeda dalam menyikapi situasi baru.
•
Siswa perlu dibiasakan memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide.
•
Proses belajar dapat mengubah struktur otak. Perubahan struktur otak itu berjalan terus seiring dengan perkembangan organisasi pengetahuan dan keterampilan seseorang.
13
2. Transfer Belajar •
Siswa belajar dari mengalami sendiri, bukan dari pemberian orang lain.
•
Keterampilan dan pengetahuan itu diperluas dari konteks yang terbatas (sedikit demi sedikit).
•
Penting bagi siswa tahu untuk apa dia belajar dan bagaimana ia menggunakan pengetahuan dan keterampilan itu.
3. Siswa sebagai Pembelajar •
Manusia mempunyai kecenderungan untuk belajar dalam bidang tertentu, dan seorang anak mempunyai kecenderungan untuk belajar dengan cepat hal-hal baru.
•
Strategi belajar itu penting. Anak dengan mudah mempelajari sesuatu yang baru. Akan tetapi, untuk hal-hal yang sulit, strategi belajar amat penting.
•
Peran orang dewasa (guru) membantu menghubungkan antara yang baru dan yang sudah diketahui.
•
Tugas guru memfasilitasi agar informasi baru bermakna, memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan dan menerapkan ide mereka sendiri, dan menyadarkan siswa untuk menerapkan strategi mereka sendiri.
4. Pentingnya lingkungan Belajar •
Belajar efektif itu dimulai dari lingkungan belajar yang berpusat pada siswa. Guru akting di depan kelas, siswa menonton, kemudian siswa bekerja dan berkarya, dan guru mengarahkan.
14
•
Pengajaran harus berpusat pada bagaimana cara siswa menggunakan pengetahuan baru mereka. Strategi belajar lebih dipentingkan dibandingkan hasilnya.
•
Umpan balik amat penting bagi siswa, yang berasal dari proses penilaian yang benar.
•
Menumbuhkan komunitas belajar dalam bentuk kerja kelompok itu penting. Dalam kelas kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai
tujuannya. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru datang dari menemukan sendiri bukan dari apa kata guru.(Depdiknas,2006) 2.2.2 Ciri Pembelajaran Kontekstual Depdiknas
(2006)
mengemukakan
bahwa
terdapat
beberapa
ciri
pembelajaran kontekstual, diantaranya : 1. Belajar berbasis masalah (problem based learning), yaitu suatu pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah faktual sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar berpikir kritis dan terampil dalam pemecahan masalah, sehingga mereka memperoleh pengetahuan dan konsep-konsep yang esensial dari materi pembelajaran. 2. Pengajaran otentik (authentic instruction), yaitu pendekatan pembelajaran yang mengarahkan
siswa untuk mempelajari konteks bermakna terhadap
fenomena-fenomena yang dihadapi.
15
3. Belajar berbasis inkuiri (inquiry based-learning), yaitu belajar dengan pendekatan pengajaran menggunakan strategi pembelajaran yang mengikuti metodologi sains dan menyediakan kesempatan untuk pembelajaran bermakna. 4. Belajar berbasis proyek / tugas terstruktur (project based-learning), yaitu belajar dengan pendekatan pengajaran yang komprehensif. Lingkungan belajar siswa dirancang agar siswa dapat melakukan penyelidikan terhadap masalah otentik, termasuk pendalaman materi dan pelaksanaan tugas bermakna yang lain. 5. Belajar berbasis kerja (work based-learning), yaitu belajar dengan pendekatan yang memungkinkan siswa menggunakan konteks tempat kerja untuk mempelajari materi pembelajaran, serta menerapkan kembali materi pembelajaran tersebut di dalam tempat kerja tersebut. 6. Belajar jasa-layanan (service learning), yaitu belajar yang memerlukan penggunaan metodologi pengajaran yang mengkombinasikan jasa layanan masyarakat dengan struktur berbasis sekolah, atau menekankan hubungan antara pengalaman jasa layanan dan pembelajaran akademis. Penerapan pendekatan ini akan menuntun terjadinya penerapan praktis dari pengetahuan baru dan keterampilan siswa untuk memenuhi kebutuhan di dalam masyarakat melalui tugas terstruktur dan kegiatan lain.
16
7. Belajar kooperatif (cooperative learning), yaitu belajar dengan pendekatan pengajaran melalui kelompok kecil siswa untuk bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi belajar dalam mencapai tujuan belajar.
2.2.3 Tahap Pembelajaran Kontekstual Terdapat beberapa tahap dalam pembelajaran kontekstual, yaitu tahap kontak, tahap kuriositi, tahap elaborasi, tahap dekontekstualisasi, dan evaluasi (Nentwig, 2002). a. Tahap Kontak (Contact phase), merupakan tahap dimana dikemukakan suatu wacana, isu atau masalah yang ada di masyarakat atau berbagai peristiwa yang terjadi di sekitar siswa dan mengaitkannya dengan materi, pokok bahasan, topik atau konsep yang akan dipelajari sehingga siswa menyadari pentingnya memahami materi tersebut. Topik yang dibahas dapat bersumber dari berita, artikel, atau pengalaman siswa sendiri. b. Tahap Kuriositi (Curiosity phase), merupakan tahap dimana siswa diberikan pertanyaan yang dapat membangkitkan kuriositi atau keingintahuan siswa tentang masalah atau fenomena yang terjadi pada masyarakat, sesuai dengan pokok bahasan, topik, atau konsep yang akan dibahas. c. Tahap Elaborasi (Elaboration phase). Pada tahap ini dilakukan eksplorasi, pembentukan dan pemantapan konsep sampai pertanyaan pada tahap kuriositi dapat terjawab. Eksplorasi, pembentukan dan pemantapan konsep tersebut dapat dilakukan dengan berbagai metode, misalnya ceramah bermakna,
17
diskusi dan kegiatan praktikum, atau gabungan dari ketiganya. Melalui kegiatan inilah berbagai kemampuan siswa akan tergali lebih dalam, baik aspek pengetahuan, keterampilan proses, maupun nilai dan sikap. d. Tahap Dekontekstualisasi (Nexus phase). Pada tahap ini konsep yang telah dipahami siswa melalui satu konteks, selanjutnya digunakan untuk menganalisis konteks lainnya, artinya masalah yang sama diberikan dalam konteks yang berbeda, dimana diperlukan pengetahuan atau konsep yang sama sebagai solusinya. Tahap ini dilakukan agar pengetahuan yang diperoleh lebih aplikatif dan bermakna di luar konteks pembelajaran. e. Evaluasi (Evaluation). Pada tahap ini dilakukan evaluasi pembelajaran secara keseluruhan yang berguna untuk menilai mengukur berbagai aspek, mulai dari hasil belajar siswa sampai pada keberhasilan pembelajaran itu sendiri.
2.2.4 Komponen Pendekatan Kontekstual Depdiknas (2006) mengemukakan bahwa dalam penerapan pendekatan kontekstual terdapat tujuh komponen utama yang harus dilakukan secara sungguhsungguh. Komponen yang dimaksud adalah sebagai berikut : 1. Konstruktivisme Dalam pembelajaran kontekstual siswa membangun pemahaman mereka sendiri dari pengalaman baru berdasar pada pengetahuan awal. Pembelajaran harus dikemas menjadi proses “mengkonstruksi” bukan menerima pengetahuan.
18
2. Inquiry Dalam pembelajaran kontekstual terjadi proses perpindahan dari pengamatan menjadi pemahaman. Siswa juga belajar menggunakan keterampilan berpikir kritis. 3. Questioning (Bertanya) Merupakan kegiatan guru untuk mendorong, membimbing dan menilai kemampuan berpikir siswa. 4. Learning Comunity (Masyarakat belajar) Dalam pembelajaran kontekstual, sekelompok orang terikat dalam kegiatan belajar untuk bertukar pengalaman, berbagi ide, dan melatih bekerjasama dengan orang lain. Karena bekerjasama dengan orang lain dalam kelompok akan lebih baik daripada belajar sendiri. 5. Modeling (Pemodelan) Merupakan proses penampilan suatu contoh agar orang lain berpikir, bekerja dan belajar. Contoh dalam pembelajaran misalnya siswa mengerjakan apa yang diperintahkan oleh guru, atau siswa melakukan apa yang dicontohkan oleh guru. 6. Reflection (Refleksi) Merupakan cara berpikir tentang apa yang telah dipelajari. Dapat dilihat dari bagaimana siswa mencatat apa yang telah dipelajari, bagaimana siswa membuat jurnal, karya seni, atau bisa dilihat juga melalui diskusi kelompok.
19
7. Authentic Assesment (Penilaian yang sebenarnya) Penilaian dilakukan untuk mengukur pengetahuan dan keterampilan siswa seerti penilaian produk (kinerja), dan penilaian tugas-tugas yang relevan dan kontekstual.
2.3 Metode Praktikum dalam Pembelajaran Kimia IPA, khususnya kimia tumbuh dan berkembang berdasarkan eksperimeneksperimen, sehingga IPA dapat pula dianggap sebagai ilmu eksperimental. Dari eksperimen-eksperimen tersebut lahirlah deskripsi yang berupa konsep-konsep. Mempelajari IPA kurang dapat berhasil bila tidak ditunjang dengan kegiatan laboratorium (praktikum). Pendidikan sains menekankan pada pemberian pengalaman secara langsung. Karena itu, siswa perlu dibantu untuk mengembangkan sejumlah keterampilan supaya mereka mampu menjelajahi dan memahami alam sekitar. Pembelajaran ilmu kimia sebagai bagian dari sains, tentulah sangat diperlukan adanya praktikum sebagai bagian dari pembelajaran kimia. Kegiatan praktikum merupakan kegiatan penunjang proses belajar untuk menemukan prinsip tertentu atau menjelaskan tentang prinsip-prinsip yang dikembangkan.
Selain
itu
kegiatan
praktikum
juga
dapat
dipakai
untuk
mengembangkan keterampilan proses, mengembangkan minat belajar serta memberikan bukti-bukti bagi kebenaran teori. Dalam bahasa ilmu kependidikan dapat
20
dikatakan bahwa kegiatan praktikum menjadi wahana pengembangan aspek kognitif, afektif, dan psikomotor sekaligus. Menurut Arifin (2000), keuntungan penggunaan metode praktikum dalam pembelajaran diantaranya : 1. Untuk guru : a. Memberikan gambaran yang konkrit tentang suatu peristiwa. b. Membantu pencapaian tujuan pembelajaran secara lebih efektif dan efisien. 2. Untuk siswa : a. Membantu dalam mengamati proses. b. Membantu mengembangkan keterampilan inkuiri. c. Membantu dalam mengembangkan sikap ilmiah. Selain itu, menurut Rustaman (dalam Noviantika, 2005) ada empat alasan mengapa praktikum menjadi penting, diantaranya : 1. Praktikum membangkitkan
motivasi
dalam
mempelajari
IPA.
Motivasi
merupakan suatu hal yang penting dalam belajar, yang dapat mendorong siswa untuk belajar lebih mendalam. Dengan demikian praktikum dapat mendorong rasa ingin tahu siswa. 2. Praktikum mengembangkan keterampilan dasar melakukan eksperimen. 3. Praktikum menjadi wahana belajar pendekatan ilmiah. 4. Praktikun menunjang materi pelajaran. Praktikum memberi kesempatan pada siswa untuk membuktikan teori, menemukan teori sehingga pemahaman siswa terhadap materi pelajaran akan lebih mendalam.
21
Namun, pada kenyataannya terdapat kendala-kendala yang dihadapi berkaitan dengan peranan praktikum. Ali (dalam Noviantika, 2005) mengemukakan beberapa kelemahan dalam kegiatan praktikum, antara lain : a) Kurang membedakan berbagai prioritas tujuan, sehingga konsep praktikum, proses, dan keterampilan dicampurkan; b) Pilihan materi untuk praktikum sering agak sembarang; c) ketidakcocokan antara tujuan praktikum dengan cara menganalisa. Berdasarkan penelitian tentang hambatan-hambatan dalam praktikum diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Herawati (dalam Noviantika, 2005). Hasil penelitian tersebut mengungkapkan bahwa yang menjadi hambatan praktikum bersumber pada kurang jelas dan lengkapnya petunjuk praktikum, siswa kurang menguasai konsep dan teori yang berkaitan dengan praktikum, serta kurangnya referensi yang mendukung dalam memberikan penjelasan berkaitan dengan praktikum. Faktor lain yang mungkin dapat menghambat kegiatan praktikum dapat juga berasal dari kurang memadainya sarana dan prasarana penunjang praktikum (alat dan bahan) serta kesesuaian materi praktikum dengan konsep materi yang diajarkan. Di samping penelitian mengenai hambatan dalam praktikum tersebut, Wern Burgh (dalam Noviantika, 2005) mengemukakan bahwa siswa yang mempunyai nilai rata-rata rendah memberikan respon yang positif terhadap kegiatan praktikum dibanding siswa yang memiliki nilai rata-rata tinggi (pintar). Berdasarkan penelitiannya, hal tersebut dikarenakan siswa yang memiliki prestasi bagus tidak memerlukan praktikum untuk membantu pemahaman konsep. Bagi mereka yang
22
memiliki prestasi bagus, pemahaman terhadap suatu konsep dapat diperoleh pada saat proses belajar mengajar di kelas serta dari buku-buku referensi. Sedangkan bagi yang memiliki prestasi cenderung rendah, kegiatan praktikum sangat dibutuhkan untuk menambah pemahaman terhadap suatu konsep. Dalam penelitian Yunita dan Poedjiadi, A (dalam Noviantika, 2005) diungkapkan : Wawancara sekilas yang ditayangkan TVRI tanggal 30 Maret 2001, seorang siswa secara spontan mengatakan bahwa dalam belajar kimia diperlukan adanya praktikum karena dapat memudahkan pemahaman konsep. Dalam wawancara yang sama, Drs. Hiskia Ahmad, seorang pengamat pendidikan berpendapat bahwa kimia adalah eksperimen. Salah besar jika guru mengatakan tidak perlu melakukan eksperimen karena soal-soal UMPTN tidak relevan. Justru dengan praktikum kita ajarkan kemandirian, nalar yang tinggi serta siswa akan terlatih dengan interpretasi data. Selain itu, dengan melakukan praktikum berarti mengikuti prosedur yang akhirnya muncullah sikap disiplin. Berdasarkan hal tersebut, sangatlah jelas bahwa metode praktikum sebagai metode berbasis eksperimen dalam pembelajaran kimia merupakan satu dari banyak metode yang dapat meningkatkan pemahaman konsep dan kemampuan berpikir kritis siswa. Walaupun pada pelaksanaanya masih terdapat kekurangan. Praktikum yang dilakukan diharapkan bukan hanya merupakan kegiatan eksperimental laboratorium saja, melainkan merupakan suatu metode pembelajaran yang tujuan utamanya memantapkan atau melakukan penemuan konsep. Selain untuk membantu pemahaman konsep, penggunaan metode praktikum yang efektif dapat menumbuhkan sikap dan nilai positif dalam diri siswa.
23
2.4 Pemahaman Konsep Gagne (dalam Dahar, 1996) mengemukakan bahwa dalam mengajar, guru harus mengetahui tujuan-tujuan yang harus dicapai dalam mengajarkan suatu pokok bahasan, yang berorientasi pada hasil belajar. Untuk itu guru harus merumuskan tujuan instruksional khusus yang didasarkan pada Taksonomi Bloom tentang tujuantujuan perilaku yang meliputi tiga domain, yaitu : 1. Cognitive Domain (Ranah Kognitif), yang berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek intelektual, seperti pengetahuan, pengertian, dan keterampilan berpikir. 2. Affective Domain (Ranah Afektif) berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek perasaan dan emosi, seperti minat, sikap, apresiasi, dan cara penyesuaian diri. 3. Psychomotor Domain (Ranah Psikomotor) berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek keterampilan motorik seperti tulisan tangan, mengetik, berenang, dan mengoperasikan mesin.
Ranah kognitif merupakan sekelompok perubahan tingkah laku yang dipengaruhi oleh kemampuan berpikir intelektual. Dalam taksonomi yang disusun oleh Bloom dan Krathwol (1964) ranah kognitif dikelompokkan lagi menjadi beberapa jenjang atau kemampuan sebagai berikut: 1. Hafalan (C1), didefinisikan sebagai kemampuan menyatakan kembali fakta, konsep, prinsip, dan prosedur yang telah dipelajarinya.
24
2. Pemahaman (C2), didefinisikan sebagai kemampuan menangkap arti dari informasi yang diterima. 3. Penerapan/aplikasi (C3), didefinisikan sebagai kemampuan menggunakan prinsip, aturan, metode yang telah dikuasainya pada situasi baru atau pada situasi real. 4. Analisis (C4), didefinisikan sebagai kemampuan menguraikan suatu informasi yang dihadapi menjadi komponen-komponennya sehingga struktur informasi serta hubungan antarkomponen informasi tersebut menjadi jelas. 5. Sintesis (C5), didefinisikan sebagai kemampuan mengintegrasikan bagianbagian yang terpisah-pisah menjadi keseluruhan yang terpadu. 6. Evaluasi (C6), didefinisikan sebagai kemampuan mempertimbangkan nilai suatu pernyataan, uraian, pekerjaan, berdasarkan kriteria tertentu yang ditetapkan. Sedangkan menurut Anderson dan Krathwohl (1991), tahap-tahap proses kognitif terdiri atas mengingat, mengerti (paham), meerima, menganalisis, mengevaluasi, dan menciptakan pengetahuan baru. Pemahaman, baik menurut Taksonomi Bloom, maupun menurut Anderson ditempatkan pada jenjang kognitif kedua setelah kemampuan mengingat (hafalan). Pemahaman menurut Bloom meliputi tiga aspek, yaitu aspek translasi, aspek interpretasi, dan aspek ekstrapolasi.
25
a. Aspek Translasi Aspek translasi merupakan aspek pemahaman terendah. Translasi berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya menterjemahkan. Pengertian menerjemahkan disini bukan saja pengalihan arti dari bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain. Dapat juga dari konsepsi abstrak menjadi suatu model, yaitu model simbolik untuk mempermudah orang mempelajarinya (Supriatin, 2006). Aspek pemahaman translasi meliputi : •
Kemampuan menterjemahkan sesuatu dari bentuk abstrak ke bentuk yang lebih konkrit.
•
Kemampuan untuk menterjemahkan suatu simbol ke dalam bentuk lain seperti menterjemahkan tabel, grafik, dan sebagainya.
•
Kemampuan menterjemahkan bahasa ke dalam bahasa lain.
b. Aspek Interpretasi Aspek pemahaman kedua adalah interpretasi atau pemahaman penafsiran, yakni menghubungkan beberapa bagian terdahulu dengan yang diketahui berikutnya, atau menghubungkan beberapa bagian dari grafik dengan kejadian, membedakan yang pokok dan bukan pokok (Sudjana, 2005). Kemampuan ini lebih luas daripada translasi. Aspek interpretasi meliputi : •
Kemampuan membedakan antara kesimpulan-kesimpulan yang diperlukan dengan yang tidak diperlukan atau bertentangan dari kelompok data.
•
Kemampuan untuk memahami rangkaian suatu pekerjaan secara keseluruhan.
26
•
Kemampuan untuk memahami dan menafsirkan dengan kedalaman dan kejelasan berbagai macam bacaan.
c. Aspek Ekstrapolasi Aspek ekstrapolasi merupakan pemahaman tingkat tertinggi. Dengan ekstrapolasi diharapkan seseorang dapat membuat ramalan tentang konsekuensi atau dapat memperluas persepsi dalam arti waktu, dimensi, kasus ataupun masalahnya (Sudjana, 2005). Aspek ekstrapolasi meliputi : •
Kemampuan untuk menyimpulkan dan menyatukan lebih eksplisit.
•
Kemampuan untuk memprediksikan konsekuensi dari tindakan yang digambarkan dari sebuah komunikasi.
•
Kemampuan bisa sensitif terhadap faktor yang mungkin membuat prediksi menjadi tidak akurat. Menurut Rosser (dalam Dahar, 1996), konsep adalah suatu abstraksi yang
mewakili satu kelas objek-objek, kejadian-kejadian, kegiatan-kegiatan, atau hubungan-hubungan, yang mempunyai atribut yang sama. Secara singkat dapat kita katakan, bahwa suatu konsep merupakan suatu abstraksi mental yang mewakili satu kelas simulus-stimulus. Pemahaman konsep memberi pengertian bahwa konsep-konsep yang diajarkan kepada siswa bukan merupakan bahan hapalan saja, akan tetapi harus betulbetul dipahami sehingga siswa dapat memecahkan masalah-msalah yang dihadapi berdasarkan pada konsep-konsep yang telah dipelajari oleh siswa tersebut.
27
2.5 Keterampilan Berpikir Kritis Berpikir pada umumnya didefinisikan sebagai proses mental yang dapat menghasilkan pengetahuan. Dalam proses tersebut terjadi penggabungan antara persepsi dan unsur-unsur yang ada dalam pikiran, kegiatan manipulasi mental karena adanya rangsangan dari luar membentuk suatu pemikiran, penalaran dan keputusan, serta kegiatan memperluas aturan yang diketahui untuk memecahkan masalah. Berpikir sebagai proses mengatasi masalah, persepsi memberikan andil dalam menciptakan hasil yang diharapkan. Kegiatan berpikir yang dilakukan dalam proses, digunakan keterampilan berpikir dasar dan keterampilan berpikir kompleks. Menurut Costa (Dalam Arifin, 2000), yang termasuk keterampilan berpikir dasar meliputi kualifikasi, klasifikasi, hubungan variabel, transformasi dan hubungan sebab akibat. Sedangkan keterampilan berpikir kompleks meliputi problem solving, pengambilan keputusan, berpikir kritis dan berpikir kreatif. Dalam pendidikan berpikir kritis didefinisikan sebagai pembentukan kemampuan dalam aspek logika seperti kemampuan memberikan argumentasi, logisme dan penalaran yang proporsional. Karakteristik berpikir kritis ditandai dengan adanya berpikir evaluatif, reflektif, logis, dan sistematis. Berpikir kritis menggunakan dasar proses berpikir untuk menganalisis argumen dan memunculkan wawasan terhadap tiap-tiap makna dan interpretasi, untuk mengembangkan pola penalaran yang kohesif dan logis, memahami asumsi dan bias yang mendasari tiap-
28
tiap posisi, memberikan model presentasi yang dapat dipercaya, ringkas, dan meyakinkan. Berpikir kritis sebagai salah satu proses berpikir tingkat tinggi dapat digunakan dalam pembentukan sistem konseptual IPA bagi peserta didik. Berpikir kritis menekankan aspek pemahaman, analisis, dan evaluasi. Dalam proses pembelajaran pengembangan berpikir kritis lebih melibatkan peserta didik sebagai pemikir daripada seorang yang belajar. Menurut Ennis (dalam Mudianingsih, 2007) ada 12 indikator keterampilan berpikir kritis yang dapat dikelompokkan ke dalam 5 kelompok keterampilan berpikir, yaitu : •
Memberikan penjelasan sederhana, meliputi : (1) Memfokuskan pertanyaan (2) Menganalisis pertanyaan (3) Bertanya dan menjawab pertanyaan tentang suatu penjelasan atau tantangan
•
Membangun keterampilan dasar, meliputi : (4) Mempertimbangkan apakah sumber dapat dipercaya atau tidak (5) Mengamati dan mempertimbangkan suatu laporan hasil observasi
•
Menyimpulkan, meliputi : (6) Mendeduksi dan mempertimbangkan hasil deduksi (7) Menginduksi dan mempertimbangkan hasil induksi
29
(8) Membuat dan menentukan nilai pertimbangan •
Memberikan penjelasan lanjut, meliputi : (9) Mendefinisikan istilah dan definisi pertimbangan dalam tiga dimensi (10) Mengidentifikasi asumsi
•
Mengatur strategi dan taktik, meliputi : (11) Menentukan tindakan (12) Berinteraksi dengan orang lain
2.6 Tinjauan Materi Larutan Penyangga 2.6.1 Definisi Larutan Penyangga Larutan penyangga adalah larutan yang dapat menahan nilai pH tertentu dengan adanya penambahan sedikit asam, sedikit basa serta pengenceran. (Purba, 2006) 2.6.2 Komponen Larutan Penyangga Purba (2006) mengemukakan bahwa berdasarkan komponen penyusunnya, larutan penyangga dapat dibedakan atas larutan penyangga asam dan larutan penyangga basa. Larutan penyangga asam dapat mempertahankan pH pada daerah asam (pH < 7), sedangkan larutan penyangga basa dapat mempertahankan pH pada daerah basa (pH > 7). a. Larutan penyangga asam Larutan penyangga asam mengandung suatu asam lemah (HA) dan basa konjugasinya (ion A-). Larutan seperti itu dapat dibuat dengan berbagai cara,
30
misalnya: 1) Mencampurkan asam lemah (HA) dengan garamnya (LA, garam LA menghasilkan ion A- yang merupakan basa konjugasi dari asam HA). 2) Mencampurkan suatu asam lemah dengan suatu basa kuat di mana asam lemah dicampurkan dalam jumlah berlebih. Campuran akan menghasilkan garam yang mengandung basa konjugasi dari asam lemah yang bersangkutan. b. Larutan penyangga basa Larutan penyangga basa mengandung suatu basa lemah dan asam konjugasinya. Larutan penyangga basa dapat dibuat dengan cara yang serupa dengan pembuatan larutan penyangga asam. 1) Mencampurkan suatu basa lemah dengan garamnya. 2) Mencampurkan suatu basa lemah dengan suatu asam kuat di mana basa lemahnya dicampurkan berlebih.
2.6.3 Cara kerja Larutan Penyangga Telah disebutkan bahwa larutan penyangga mengandung komponen asam dan komponen basa, sehingga dapat mengikat baik ion H+ maupun ion OH-. Oleh karena itu, penambahan sedikit asam kuat atau sedikit basa kuat tidak mengubah pH-nya secara signifikan. Cara kerja larutan penyangga dapat dipahami dari dua contoh berikut. a. Larutan Penyangga Asam contoh :
31
Larutan penyangga yang mengandung CH3COOH dan CH3COODalam larutan tersebut terdapat kesetimbangan : CH3COOH(aq)
CH3COO-(aq) + H+(aq)
Pada penambahan asam: Penambahan asam (H+) akan menggeser kesetimbangan ke kiri. Ion H+ yang ditambahkan akan bereaksi dengan ion CH3COO- membentuk molekul CH3COOH. CH3COO- (aq) + H+(aq)
CH3COOH(aq)
Pada penambahan basa : Jika yang ditambahkan adalah suatu basa, maka ion OH- dari basa itu akan bereaksi dengan ion H+ membentuk air. Hal ini akan menyebabkan kesetimbangan bergeser ke kanan sehingga konsentrasi ion H+ dapat dipertahankan. Jadi, penambahan basa menyebabkan berkurangnya komponen asam (dalam hal ini CH3COOH), bukannya ion H+. Basa yang ditambahkan itu praktis bereaksi dengan asam CH3COOH membentuk ion CH3COO- dan air. CH3COOH(aq) + OH-(aq)
CH3COO- (aq) + H2O(l)
Pada pengenceran: Jika ditambahkan air dalam jumlah tertentu, jumlah ion H+ atau OH- tidak berubah sehingga tidak mengubah perbandingan [H+] dan [OH-] dalam larutan. Jadi tidak terjadi perubahan pH yang besar.
32
b. Larutan Penyangga Basa contoh : Larutan penyangga yang mengandung me NH3 dan NH4+ Dalam larutan tersebut terdapat kesetimbangan : NH3(aq) + H2O (l)
NH4 +(aq) + OH- (aq aq)
Pada penambahan asam : Jika ke dalam larutan ditambahkan suatu asam, maka ion H+ dari asam itu akan mengikat ion OH-. Hal itu menyebabkan kesetimbangan bergeser ke kanan, sehingga konsentrasi ion OH- dapat dipertahankan. Jadi, penambahan asam menyebabkan berkurangnya komponen basa (dalam hal ini NH3), bukannya ion OH-. Asam yang ditambahkan itu bereaksi dengan basa NH3 membentuk ion NH4+. NH3(aq) + H+ (aq)
NH4 +(aq aq)
Pada penambahan basa :
Jika yang ditambahkan adalah suatu basa, maka kesetimbangan akan bergeser ke kiri, sehingga konsentrasi ion OH- dapat dipertahankan. Basa yang ditambahkan itu
33
bereaksi dengan komponen asam (dalam hal ini ion NH4+), membentuk komponen basa (yaitu NH3) dan air. NH4 +(aq) + OH- (aq)
NH3(aq) + H2O (l)
Pada pengenceran: Jika ditambahkan air dalam jumlah tertentu, jumlah ion H+ atau OH- tidak berubah sehingga tidak mengubah perbandingan [H+] dan [OH-] dalam larutan. Jadi tidak terjadi perubahan pH yang besar. (Purba, 2006)
2.7.4
Fungsi Larutan Penyangga Larutan penyangga digunakan secara luas dalam kimia analitis, biokimia,
bakteriologi, farmakologi, industri kulit dan zat warna. Dalam tiap bidang tersebut, terutama dalam biokimia dan bakteriologi, diperlukan trayek / rentang pH tertentu yang sempit untuk mencapai hasil optimum. Kerja suatu enzim, tumbuhnya kultur bakteri, dan proses biokimia lainnya sangat sensitif terhadap perubahan pH.
a. Fungsi larutan penyangga dalam tubuh manusia
Di dalam setiap cairan tubuh terdapat pasangan asam-basa konjugasi yang berfungsi sebagai larutan penyangga. Cairan tubuh, baik sebagai cairan intra
34
sel (dalam sel) dan cairan ekstra sel (luar sel) memerlukan sistem penyangga untuk mempertahankan harga pH cairan tersebut. Sistem penyangga ekstra sel yang penting adalah penyangga karbonat (H2CO3 – HCO3-) yang berperan dalam menjaga pH darah dan sistem penyangga fosfat (H2PO4- - HPO42-) yang berperan dalam menjaga pH cairan intra sel.
1) sistem larutan penyangga dalam cairan intra sel Cairan intra sel merupakan media penting untuk berlangsungnya reaksi metabolisme tubuh yang dapat menghasilkan zat-zat yang bersifat asam atau basa. Adanya zat hasil metabolisme yang berupa asam dapat menurunkan harga pH cairan intra sel, dan sebaliknya bila dihasilkan zat yang bersifat basa dapat menaikkan pH cairan intra sel. Di dalam proses metabolisme tersebut dilibatkan banyak enzim yang bekerja. Enzim akan bekerja dengan baik pada lingkungan pH tertentu. Oleh karena itu, pH cairan intra sel selalu dijaga agar pH nya tetap. Apabila ada satu enzim saja yang bekerja tidak sempurna, maka akan menimbulkan penyakit metabolik. Sistem penyangga fosfat (H2PO4- - HPO42-) merupakan sistem penyangga yang bekerja untuk menjaga pH cairan intra sel. Bila dari proses metabolisme dihasilkan banyak zat yang bersifat asam, maka asam tersebut akan bereaksi dengan ion HPO42-. HPO42- (aq) + H+ (aq)
H2PO4- (aq)
Bila pada proses metabolisme sel menghasilkan senyawa yang bersifat basa,
35
maka ion OH- akan bereaksi dengan ion H2PO4-. H2PO4- (aq) + OH- (aq)
HPO42- (aq) + H2O (l)
Dengan demikian perbandingan H2PO4- dan HPO42- akan selalu tetap dan ini akan menyebabkan pH larutan tetap.
2) sistem larutan penyangga dalam darah Darah mempunyai pH yang relatif tetap sekitar 7,4. Hal ini dikarenakan adanya sistem penyangga (H2CO3 – HCO3-). Sistem ini bereaksi dengan asam dan basa sebagai berikut: H2CO3 (aq) + OH- (aq)
HCO3- (aq) + H2O (l)
HCO3- (aq) + H+ (aq)
H2CO3 (aq)
Perbandingan konsentrasi ion HCO3- terhadap H2CO3 yang diperlukan untuk menjadikan pH = 7,4 adalah 20:1. Jumlah ion HCO3- relatif lebih banyak karena hasil-hasil metabolisme yang diterima darah lebih banyak yang bersifat
asam.
Proses
metabolisme
dalam
jaringan
terus
menerus
membebaskan asam-asam seperti asam laktat, asam fosfat, dan asam sulfat. Ketika asam-asam itu memasuki pembuluh darah, maka ion HCO3- akan berubah menjadi ion H2CO3, kemudian H2CO3 akan terurai membentuk CO2. Pernapasan akan meningkat untuk mengeluarkan kelebihan CO2 melalui paruparu. Apabila darah menerima zat yang bersifat basa, maka H2CO3 akan berubah menjadi ion HCO3-. Untuk mempertahankan perbandingan HCO3- / H2CO3 tetap 20:1, maka sebagian CO2 yang terdapat dalam paru-paru akan
36
larut ke dalam darah membentuk H2CO3. Apabila mekanisme pengaturan pH dalam tubuh gagal, seperti dapat terjadi selama sakit, sehingga pH darah turun ke bawah 7,0 atau naik ke atas 7,8
dapat terjadi kerusakan permanen pada organ tubuh atau bahkan
kematian.
Faktor-faktor
yang
dapat
menyebabkan
keadaan
asidosis
(penurunan pH) adalah penyakit jantung, penyakit ginjal, diabetes melitus, diare yang terus menerus, atau makanan berkadar protein tinggi selama jangka waktu lama. Keadaan asidosis sementara dapat terjadi karena olah raga intensif yang dilakukan terlalu lama. Alkalosis (peningkatan pH darah) dapat terjadi sebagai akibat muntah yang hebat, hiperventilasi (bernafas terlalu berlebihan, kadang-kadang karena cemas, histeris, atau berada di ketinggian). Suatu penelitian yang dilakukan terhadap para pendaki gunung yang mencapai puncak gunung Everest (8.848 m) tanpa oksigen tambahan, menunjukkan pH darah mereka berada diantara 7,7 – 7,8. Hiperventilasi diperlukan untuk mengatasi tekanan oksigen yang amat rendah (kira-kira 43 mmHg) di tempat setinggi itu. Hiperventilasi akan menurunkan kadar karbondioksida dalam darah sehingga pH darah naik (alkalosis respiratori). Pada orang yang muntah hebat, kadar ion klorida dalam darah akan turun, sehingga ginjal akan menahan keluarnya ion bikarbonat untuk kompensasi, sebagai akibatnya, pH darah naik (alkalosis metabolic / hipokloremik). a. Fungsi larutan penyangga dalam bidang kesehatan Dalam bidang farmasi (obat-obatan), banyak zat aktif yang harus berada
37
dalam keadaan pH stabil. Perubahan pH akan menyebabkan khasiat zat aktif tersebut berkurang atau hilang sama sekali. Untuk obat suntik atau obat tetes mata, pH obat-obatan tersebut harus disesuaikan dengan pH cairan tubuh. Obat tetes mata harus memiliki pH yang sesuai dengan pH air mata agar tidak menimbulkan iritasi yang mengakibatkan rasa perih pada mata. Begitu juga obat suntik harus disesuaikan dengan pH darah, agar tidak menimbulkan alkalosis atau asidosis pada darah. b. Fungsi larutan penyangga dalam bidang industri Dalam bidang industri, larutan penyangga digunakan dalam proses fermentasi, karena dalam proses fermentasi terjadi reaksi yang melibatkan enzim. Di dalam minuman kemasan, terdapat sistem penyangga asam sitrat-natrium sitrat. Komponen asam sitrat–natrium sitrat ini berfungsi sebagai pengatur keasaman sehingga minuman bisa tetap aman dikonsumsi meski telah disimpan dalam jangka waktu tertentu. (Purba, 2006)