PENGELOLAAN SAGU (Metroxylon spp.) DI PT NATIONAL SAGO PRIMA, SELAT PANJANG KAB. KEPULAUAN MERANTI, RIAU, DENGAN ASPEK KHUSUS PERTUMBUHAN BIBIT DI LAPANG
DESTIEKA AHYUNI A24070030
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
Pengelolaan Perkebunan Sagu (Metroxylon spp.) di PT. National Sago Prima, Selat Panjang, Riau dengan Aspek Khusus Pertumbuhan Bibit di Lapang Management of sago Palm (Metroxylon spp) in PT. National Sago Prima, Selat Panjang, Riau with case study sucker growth in plantation area Destieka Ahyuni1, M.H. Bintoro2 1 Mahasiswa Departemen Agronomi dan Hortikultura Faperta IPB, A24070030 2 Staf Pengajar Departemen Agronomi dan Hortikultura Faperta IPB, Prof. Dr. Ir. M.Agr. Abstract This internship was held in Nasional Sago Prima company, Selat Panjang, Riau from February to June 2011. The method are direct for getting primary data and indirect for secondary data. Secondary data takes from interviewing and discussing with the company staff and literacy study. The primary data takes from technique activity in the field and the research. The experiment was conducted to get more information on the effect sucker weight and time after nursery to sucker growth in plantation area. The treatment will be tested sucker growth with the different weight and age of sucker in raft nursery system. The first treatment on sucker 2-4 kg (B1) and 4-8 kg (B2), the second treatment on sucker is 2 weeks after nursery (P1), 4 weeks (P2), 8 weeks (P3) and 12 weeks (P4). The result shown treatment on 2-4 kg (B1) is better than treatment 4-8 kg (B2) but didn’t show any significantly difference. Treatment on 4 weeks after nursery was significant different in presentation survival rate but in vegetative growth haven’t significantly difference. The sucker 12 weeks after nursery was the best sucker age to the vegetative growth of suckers.
RINGKASAN DESTIEKA AHYUNI. Pengelolaan Sagu (Metroxylon spp.) di PT National Sago Prima, Selat Panjang Kab. Kepulauan Meranti, Riau, dengan Aspek Khusus Pertumbuhan
Bibit di Lapang. (Dibimbing oleh H.M.H Bintoro
Djoefrie). Kegiatan magang ini dilakukan selama empat bulan di PT National Sago Prima yaitu dari bulan Februari hingga Juni 2011. Kegiatan magang menggunakan metode langsung dan tidak langsung. Metode langsung yaitu meliputi aspek teknis dilapangan dan aspek khusus. Metode tidak langsung yaitu dengan studi pustaka dan wawancara terhadap karyawan dan staf perusahaan. Aspek khusus yang dilakukan yaitu dengan penelitian tentang pengaruh bobot bibit dan lama waktu semai terhadap pertumbuhan bibit di lapang. Penelitian menggunakan rancangan petak terbagi (split plot) dua faktor dengan tiga ulangan. Bobot bibit sebagai petak utama dan lama waktu semai sebagai anak petak. Faktor lama waktu semai sebanyak 4 taraf yang dicobakan, yaitu umur 2 minggu, umur 4 minggu, umur 8 minggu dan umur 12 minggu. Faktor bobot bibit dengan 2 taraf yang dicobakan, yaitu bobot 2-4 kg dan bobot 4-8 kg. Percobaan dilakukan dengan menanam 9 tanaman per kombinasi perlakuan dengan 3 ulangan, sehingga jumlah seluruh tanaman yang ditanam dan diamati yaitu 216 tanaman. Pelaksanaan teknis budidaya yang dilakukan PT National Sago Prima sudah terlaksana dengan baik. Kegiatan dilakukan dari pembersihan lahan hingga pemanenan. Fokus utama perusahaan saat ini yaitu penyiapan lahan, pembibitan dan penyulaman. Perlakuan bobot bibit tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap variabel yang diamati. Namun, persentase hidup pada perlakuan bobot bibit didapatkan bibit 2-4 kg memiliki persentase hidup tinggi pada awal pengamatan. Perlakuan umur semai memberikan pengaruh yang nyata terhadap variabel yang diamati. Perlakuan umur dengan persentase hidup paling tinggi yaitu umur 4 minggu. Berdasarkan analisis yang dilakukan bahwa pertumbuhan vegetatif paling baik yaitu bibit dengan umur 12 minggu.
PENGELOLAAN SAGU (Metroxylon spp.) DI PT NATIONAL SAGO PRIMA, SELAT PANJANG KAB. KEPULAUAN MERANTI, RIAU, DENGAN ASPEK KHUSUS PERTUMBUHAN BIBIT DI LAPANG
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
DESTIEKA AHYUNI A24070030
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
PENGESAHAN Judul
: PENGELOLAAN SAGU (Metroxylon spp.) DI PT NATIONAL SAGO PRIMA, SELAT PANJANG KAB. KEPULAUAN MERANTI, RIAU, DENGAN ASPEK KHUSUS PERTUMBUHAN LAPANG
Nama
: DESTIEKA AHYUNI
NIM
: A24070030
Menyetujui, Pembimbing
(Prof. Dr. Ir. H.M.H. Bintoro Djoefrie, M.Agr) NIP. 194801081974031001
Mengetahui. Ketua Departemen
Dr. Ir. Agus Purwito, MSc.Agr NIP. 196111011987031003
Tanggal Lulus:……………………………….
BIBIT DI
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Lampung Tengah, Propinsi Lampung pada tanggal 15 Desember 1989. Penulis merupakan anak pertama dari Bapak Drs.Sukisman, MM dan Ibu Susi Budiastuti SPd. MPd. Penulis lulus dari SD Negeri 1 Poncowati pada tahun 2002, kemudian melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, yaitu SMP Negeri 1 Terbanggi Besar dan lulus pada tahun 2005. Selanjutnya penulis lulus dari SMA Negeri 1 Terbanggi Besar dengan program percepatan pada tahun 2007. Tahun 2007 penulis diterima di IPB melalui jalur USMI dan diterima sebagai salah satu mahasiswa di Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam berbagai kegiatan kampus dan di berbagai organisasi mahasiswa. Tahun 2007-2008 penulis menjadi staf administrasi Departemen Kajian Strategis National, Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM KM) IPB. Tahun 2008-2009 penulis menjadi staf Kementrian Kebijakan National BEM KM IPB, dan tahun 2009-2010 penulis menjadi sekretaris divisi Eksternal di Himpunan Mahasiswa Agronomi (HIMAGRON).
KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberi kekuatan dan hidayahnya sehingga skripsi magang ini dapat diselesaikan dengan baik. Proposal magang pengelolaan budidaya sagu dengan aspek khusus pertumbuhan bibit di lapang yang dilaksanakan mendorong keinginan untuk mengetahui budidaya tanaman sagu yang tepat. Kegiatan ini dilaksanakan di PT National Sago Prima, Selat Panjang, Kabupaten Kepulauan Meranti, Propinsi Riau. Penulis mengucapkan terimakasih kepada : 1.
Prof.Dr.Ir.H.M.H Bintoro Djoefrie, M.Agr. yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan selama kegiatan magang dan penulisan skripsi ini.
2. Dr.Ir.Munif Ghulamahdi, MS selaku pembimbing akademik yang telah membimbing selama penulis menjalankan studi 3. Ir. Supijatno,MS dan Ir. Sofyan Zaman, MP selaku dosen penguji 4. Bapak, Ibu, Eni, Apri, Aris dan keluarga besar atas dukungan dan doa yang diberikan 5. Pak Fajar, Pak Gia, Ibu Ruri, Pak Warno, Pak Willy dan Ibu Endang selaku tim Research and Development PT Sampoerna yang telah memberikan bantuan selama kegiatan penelitian dan magang 6. Pak Erwin, Pak Anas, Pak Pandu, Pak Budi, Pak Kornelis dan seluruh keluarga besar PT National Sago Prima atas bantuan selama kegiatan magang 7. Teman-teman magang sagu, Afdhol, Yanti, Gandi dan Galvan atas bantuan dan kerjasamanya selama magang hingga penulisan laporan 8. Teman-teman AGH 44 atas dukungan dan semangatnya 9. Teman-teman Imaninairi Leni, Lilis dan Cici atas bantuan dan semangatnya Semoga hasil kegiatan penulis nantinya dapat berguna bagi yang memerlukan.
Bogor, September 2011 Penulis
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL ................................................................................ ....ix DAFTAR GAMBAR ................................................................................. x PENDAHULUAN ..................................................................................... 1 Latar Belakang .....................................................................................................1 Tujuan ...................................................................................................................2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 3 Botani Sagu ..........................................................................................................3 Ekologi dan Penyebaran .......................................................................................3 Budidaya Sagu ......................................................................................................4 Bibit ......................................................................................................................5 METODOLOGI ........................................................................................ 7 Waktu dan Tempat ...............................................................................................7 Metode Pelaksanaan .............................................................................................7 Analisis Data dan Informasi .................................................................................8 KEADAAN UMUM KEBUN ..................................................................... 9 Sejarah Kebun ......................................................................................................9 Letak Geografis dan Administratif Kebun ...........................................................9 Keadaan Tanah, Topografi dan Iklim ...................................................................9 Kondisi Pertanaman ...........................................................................................10 Struktur Organisasi dan Ketenagakerjaan ..........................................................11 PELAKSANAAN TEKNIS MAGANG ...................................................... 14 Persiapan Lahan .................................................................................................14 Pembibitan ..........................................................................................................16 Penanaman dan Penyulaman ..............................................................................20 Pemeliharaan ......................................................................................................22 Sensus .................................................................................................................23 Panen ..................................................................................................................24 HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................. 26 Pengelolaan Budidaya Tanaman Sagu (Metroxylon spp.)..................................26
viii
Pengaruh Bobot Bibit dan Lama Waktu Semai terhadap Pertumbuhan Bibit di Lapang ............................................................................................................29 KESIMPULAN DAN SARAN………..……………………………….......…….42 Kesimpulan .........................................................................................................42 Saran ...................................................................................................................42 DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 43
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Data Panen ........................................................................................................ 10 2. Pengaruh perlakuan bobot bibit terhadap persentase hidup bibit...................... 29 3. Pengaruh perlakuan umur semai terhadap persentase hidup bibit .................... 30 4. Pengaruh bobot bibit dan umur semai terhadap panjang petiol daun 1 ............ 32 5. Pengaruh bobot bibit dan umur semai terhadap panjang petiol daun 2 ............ 33 6.Pengaruh bobot bibit dan umur semai terhadap jumlah daun pada bibit ........... 34 7. Pengaruh bobot bibit dan umur semai terhadap jumlah anak daun 1 ............... 35 8. Pengaruh bobot bibit dan umur semai terhadap jumlah anak daun 2 ............... 37 9. Pengaruh bobot bibit dan umur semai terhadap panjang anak daun 1 ............. 38 10. Pengaruh bobot bibit dan umur semai terhadap panjang anak daun 2 ............ 39
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Kegiatan perumpukan dengan menggunakan Eskavator ...................................15 2. Bibit dengan banir berbentuk L..........................................................................16 3. Kegiatan pengambilan anakan pada rumpun sagu .............................................17 4. Kegiatan Persemaian di Rakit ............................................................................18 5. Perendaman Bibit pada Larutan Fungisida ........................................................18 6. Kegiatan pemancangan menggunakan kompas .................................................20 7. Bibit sagu yang telah ditanam dan diberi sampiang...........................................21 8. (a)Kondisi rumpun sebelum penjarangan anakan, (b)Kondisi rumpun setelah penjarangan anakan ................................................................................................23 9. Tanaman pada Fase Nyorong .............................................................................24 10. Persentase Hidup Bibit .....................................................................................30 11. Bibit Mati Mengering di Lapang .....................................................................31 12. Jumlah Daun pada Bibit ...................................................................................34 13. Pengaruh Umur Semai terhadap Jumlah Anak Daun 1 ....................................36 14. Pengaruh umur semai terhadap panjang anak daun 1 ......................................39 15. Pengaruh Umur Semai terhadap Panjang Anak Daun 2 ..................................40 16. Bibit dengan Berbagai Umur Semai ................................................................40
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Peta Kabupaten Kepulauan Meranti.................................................................. 46 2. Struktur Organisasi............................................................................................ 47 3. Layout Percobaan……………………………………………………………..48 4. Data Curah Hujan……………………………………………………………..49 5. Glossary……………………………………………………………………….50
PENDAHULUAN Latar Belakang Sagu (Metroxylon spp) merupakan salah satu tanaman penghasil karbohidrat yang sangat potensial di Indonesia tetapi belum termanfaatkan secara optimal. Sagu merupakan alternatif saat krisis pangan. Bila dibandingkan dengan tanaman penghasil karbohidrat lainnya, sagu merupakan tanaman yang paling efektif. Sagu yang dikelola dengan baik dapat mencapai 20-40 ton pati kering/ha/tahun (Bintoro et al. 2010). Hingga saat ini pemanfaatan pati sagu masih terbatas (Suryana, 2007). Menurut data Kementrian Pertanian (2009), jumlah konsumsi sagu masyarakat hanya sebesar 0.41 kg/kapita/tahun. Tanaman sagu dapat tumbuh pada suatu kawasan yang tanaman lain tidak dapat tumbuh. Bila tanaman lain seperti padi, jagung, umbi-umbian dan palawija hasilnya akan membusuk bila terendam air lebih dari satu meter, tetapi pati pada batang sagu tidak akan rusak walaupun terendam lebih dari satu meter (Bintoro, 2008). Tanaman sagu memerlukan sinar matahari dalam jumlah banyak, bila ternaungi kadar patinya akan rendah. Sebagai sumber karbohidrat, sagu memiliki keunikan karena diproduksi di daerah rawa-rawa (habitat alami). Kondisi tersebut memiliki keuntungan ekologis tersendiri, walaupun secara ekonomis kurang menguntungkan karena menyulitkan distribusi. Perusahaan yang mengelola tanaman sagu salah satunya adalah PT National Sago Prima yang terletak di Selat Panjang, Riau. Perusahaan tersebut memiliki luas kebun sekitar 21 620 ha dengan mengembangkan sagu yang ditanam di areal kebun yaitu sagu jenis bemban (tidak berduri), sagu jenis rotan (berduri jarang) dan sagu jenis tuni (berduri rapat) (Junaidi, 2005). Perbanyakan sagu dapat dilakukan secara generatif dan vegetatif. Perbanyakan secara generatif dengan menggunakan biji, sedangkan pembiakan secara vegetatif dilakukan dengan menggunakan anakan. Perbanyakan dengan menggunakan anakan lebih efisien karena bibit yang dipilih dapat menjamin keseragaman dari perkembangan tanaman sagu. Pengadaan bahan tanam meliputi kegiatan persemaian. Kegiatan persemaian bertujuan untuk mempercepat per-
2
tumbuhan vegetatif tanaman dan memiliki daya tahan hidup yang baik sehingga tidak mudah mati saat di lapang. Kegiatan persemaian pada perkebunan sagu dilakukan dengan sistem kanal yaitu bibit sagu ditata diatas rakit. Bibit sagu telah mencapai umur siap tanam yaitu bibit berumur tiga bulan di persemaian dengan rata-rata bobot 3-4 kg. Namun, hingga saat ini bibit hasil persemaian ketika di pindah tanam ke lapang belum menghasilkan persentase hidup yang baik. Sejauh ini belum didapatkannya umur dan bobot bibit yang optimal di persemaian yang beradaptasi baik ketika pindah tanam. Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan percobaan pengaruh bobot bibit dan lama waktu semai terhadap pertumbuhan bibit dilapang. Tujuan 1.
Memperoleh pengetahuan praktis, pengalaman dan ketrampilan kerja dalam pengelolaan perkebunan
2.
Mempelajari teknis budidaya tanaman sagu
3.
Mengamati pertumbuhan tanaman sagu di lapang yang berasal dari pembibitan
TINJAUAN PUSTAKA Botani Sagu Sagu (Metroxylon sp) merupakan tanaman monokotil dari keluarga palmae. Genus Metroxylon secara garis besar digolongkan menjadi dua yaitu tanaman yang berbunga atau berbuah dua kali (Pleonanthic) dengan kandungan pati rendah dan tanaman sagu yang berbunga atau berbuah sekali (Hepaxanthic) yang memiliki nilai ekonomis penting, karena kandungan patinya lebih banyak (Bintoro et al. 2010). Batang merupakan bagian paling penting pada tanaman sagu, sebagai tempat menyimpan cadangan makanan berupa karbohidrat. Batang sagu berbentuk silinder dengan kulit luar keras dan bagian dalam berupa empulur yang mengandung serat dan pati. Lapisan terluar kulit berupa lapisan sisa-sisa pelepah daun sagu yang terlepas, sehingga yang terlihat adalah kulit tipis pembungkus kulit dalam yang keras. Serat dan empulur pada sagu muda mengandung banyak air, sedangkan sagu dewasa sampai umur panen empulur dan serat mulai kering dan keras. Sagu memiliki anak daun dengan panjang rata-rata 1.5 m bertangkai dan berpelepah. Panjang daun tanaman sagu dewasa dapat mencapai 7 m. Daun sangat penting karena berperan sebagai pembentuk pati melalui proses fotosintesis (Bintoro et al, 2010). Daun sagu dimanfaatkan sebagai pembuatan rumah, atap rumah, pembungkus kue dan aneka kerajinan tangan (Papilaya, 2009). Tanaman sagu akan berbunga setelah mencapai usia dewasa antara 10-15 tahun tergantung dari jenis dan kondisi pertumbuhannya. Munculnya bunga pada tanaman sagu menunjukkan bahwa sagu sudah mendekati siklus akhir pertumbuhannya. Bunga sagu merupakan bunga majemuk, sedangkan buahnya berbentuk bulat dan berbiji menyerupai buah salak.
Ekologi dan Penyebaran Tanaman sagu (Metroxylon spp.) merupakan tanaman asli Indonesia. Sagu tersebar luas di dataran rendah Asia Tenggara dan Malanesia. Di Indonesia sagu
4
banyak ditemukan di daerah Aceh, Tapanuli, Sumatera Timur, Sumatera Barat, Riau, Kalimantan Barat, Jawa Barat, Sulawesi Utara, dan terutama banyak terdapat di Maluku dan Papua (Bintoro, 2008). Menurut para pakar sagu, dalam Papilaya (2008) luas lahan sagu terbesar di dunia terdapat di Indonesia yaitu sekitar 2.201.000 ha. Lingkungan yang baik bagi pertumbuhan sagu adalah daerah yang berlumpur, akar napas tak terendam, kaya mineral, kaya bahan organik, air tanah berwarna coklat dan bereaksi agak masam (Bintoro, 2010). Tanaman sagu dapat tumbuh dengan baik pada Lintang 100 LU-100 LS dengan ketinggian sampai 400 m dpl, lebih dari 400 dpl pertumbuhan lambat dan kadar pati rendah (Bintoro, 2008).
Budidaya Sagu Penyiapan bahan tanam merupakan salah satu kegiatan budidaya yang penting untuk mencapai keberhasilan budidaya tanaman sagu. Kegiatan penyiapan bahan tanam terdapat kegiatan pengadaan bahan tanam, seleksi bibit dan penyemaian (Andany, 2009). Sagu di Indonesia umumnya tumbuh dan berkembang biak secara alamiah, belum dibudidayakan secara intensif seperti tanaman penghasil karbohidrat lainnya. Sagu berkembang biak melalui biji (generatif) dan dari anakan (vegetatif) yang tumbuh dalam bentuk tunas-tunas pada pangkal batang sagu. Perbanyakan sagu dengan cara generatif belum banyak dilakukan, tapi usaha telah dilakukan (Haryanto, 1994). Pembibitan salah satu kegiatan penting dalam pengusahaan sagu. Pembibitan bertujuan mengadaptasikan abut agar siap ditanam di lapang maupun sebagai tanaman sulam dengan kualitas yang baik sehingga dapat mengurangi tingkat kematian bibit setelah penanaman. Pembibitan dilakukan dengan sistem kanal, yaitu meletakkan susunan bibit pada rakit diatas kanal. Sistem tersebut dapat menaikkan persentase anakan yang hidup karena dapat meminimalkan serangan hama serta menjaga ketersediaan air bagi bibit (Andany, 2009). Pemeliharaan tanaman sagu terutama pada tanaman yang muda, yaitu dengan penyiangan saja. Penjarangan, pemupukan dan pengendalian hama dan penyakit sagu belum dilakukan. Penyiangan dua kali setahun hingga tanaman
5
berumur empat tahun. Sesudah umur tersebut tidak dilakukan penyiangan hingga tanaman siap panen (Haryanto, 1994). Pengendalian gulma yaitu dengan penebasan lorong merupakan awal kegiatan pemeliharaan yang dapat berfungsi sebagai sanitasi tanaman dengan menebas semua semak (gulma) dan kayu-kayu yang ada di sekitar pertanaman atau di lorong (Junaidi, 2005). Pemupukan merupakan pemberian zat yang diberikan ke dalam tanah baik organik maupun anorganik untuk mengganti kehilangan unsur hara dari tanah dan bertujuan untuk meningkatkan produksi tanaman. Areal lahan gambut yang merupakan tempat pertanaman sagu di PT National Sago Prima bersifat masam dengan pH rendah dan kandungan Ca, Mg, P, K dan mineral rendah sehingga perlu penambahan nutrisi melalui pemupukan (Bintoro, 2008). Kurang lengkapnya unsur hara makro dan mikro dapat menghambat pertumbuhan, perkembangan maupun produktivitas tanaman sagu. Penjarangan anakan dilakukan untuk memaksimalkan produksi sagu dan pembuangan anakan sagu yang tidak diperlukan (Bintoro, 2008). Alasan dilakukannya penjarangan anakan yaitu untuk menjaga kesehatan dan vigor pertumbuhan bagi tanaman baru, memelihara ukuran tanaman, membentuk tanaman dan mengoptimalkan hasil metabolisme bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Bintoro, 2010). Penjarangan dilakukan selama setahun sekali (Papilaya, 2009). Bibit Menurut Bintoro (2008) anakan sagu yang akan digunakan sebagai bibit diambil dari induk yang produksi patinya tinggi, bibit segar, dan dengan pelepah yang masih hijau. Bibit yang tua dicirikan dengan bonggol (banir) yang sudah keras, pelepah dan pucuk yang masih hidup, memiliki perakaran cukup, panjang pelepah minimal 30 cm dan tidak terserang hama dan penyakit serta banir berbentuk L dengan rata-rata bobot bibit 3-4 kg. Bibit yang memenuhi kriteria dengan ukuran yang besar dihitung satu bibit. Bibit yang memenuhi kriteria namun ukurannya kecil dihitung setengah, dan bibit yang tidak memenuhi kriteria kemudian diafkir. Umur bibit selama dalam persemaian hingga siap ditanam di lapang yaitu 3 bulan. Menurut Maulana (2011) bibit dengan bobot 3.5-4.5 kg
6
memiliki peersentase bibit hidup terbanyak. Namun tidak berbeda nyata dengan bobot bibit 2-3 kg, sehingga penggunaan bobot bibit 2-3 kg lebih efisien.
METODOLOGI Waktu dan Tempat Kegiatan magang dilaksanakan di perkebunan sagu milik PT National Sago Prima, Selat Panjang, Kabupaten Kepulauan Meranti, Propinsi Riau. Magang dilaksanakan selama 4 bulan mulai bulan Februari hingga Juni 2011.
Metode Pelaksanaan Kegiatan magang dilakukan selama empat bulan dengan menggunakan metode langsung dan tidak langsung. Metode langsung yaitu meliputi aspek teknis di lapangan dan aspek khusus. Metode tidak langsung yaitu dengan studi pustaka dan wawancara terhadap karyawan dan staf perusahaan. Kegiatan teknis budidaya yang dilakukan adalah persiapan lahan (land clearing), pembibitan, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan. Persiapan lahan meliputi perintisan kanal, pemancangan blok, pengajiran dan penanaman. Kegiatan pembibitan meliputi pembuatan rakit, pengambilan anakan dan persemaian. Kegiatan pemeliharaan terdiri atas pengendalian gulma secara manual maupun kimia, sensus tanaman, penjarangan anakan (thinning out) serta pengendalian hama dan penyakit. Kegiatan panen meliputi menentukan waktu dan cara panen yang tepat. Data yang didapatkan adalah prestasi kerja standar perusahaan, karyawan, mahasiswa serta hambatan dalam pelaksanaan kegiatan tersebut. Data primer didapatkan dari prestasi kerja dan hambatan yang terjadi dalam kegiatan dibandingkan dengan standar kerja perusahaan. Metode tidak langsung dilakukan yaitu dengan studi pustaka dan wawancara terhadap karyawan perusahaan sehingga diperoleh informasi tentang perusahaan. Informasi yang didapatkan meliputi sejarah, lokasi, letak geografis kebun, keadaan tanah, iklim, luas areal, tenaga kerja, norma kerja di lapang, organisasi perusahaan serta manajerialnya. Aspek khusus yang dilakukan yaitu dengan penelitian tentang pengaruh bobot bibit dan lama waktu semai terhadap pertumbuhan bibit di lapang. Penelitian menggunakan rancangan petak terbagi (split plot) dua faktor dengan tiga ulangan. Bobot bibit sebagai petak utama dan lama waktu semai sebagai anak
8
petak. Faktor lama waktu semai sebanyak 4 taraf yang dicobakan, yaitu umur 2 minggu, umur 4 minggu, umur 8 minggu dan umur 12 minggu. Faktor bobot bibit dengan 2 taraf yang dicobakan, yaitu bobot 2-4 kg dan bobot 4-8 kg. Percobaan dilakukan dengan menanam 9 tanaman per kombinasi perlakuan dengan 3 ulangan, sehingga jumlah seluruh tanaman yang ditanam dan diamati yaitu 216 tanaman. Pengamatan dilakukan setiap dua minggu sekali dengan peubah yang diamati yaitu panjang tunas, jumlah daun, jumlah, panjang, dan lebar anak daun serta jumlah bibit yang hidup. Panjang tunas diukur mulai dari pangkal pemangkasan sampai titik teratas bibit, baik ketika masih berupa tunas maupun setelah berubah menjadi daun. Jumlah anak daun dihitung berdasarkan jumlah keseluruhan anak daun yang ada pada tiap daun. Panjang anak daun diukur pada anak daun terpanjang yaitu dari pangkal anak daun hingga ujung. Lebar anak daun diukur bagian terlebar anak daun ketika telah mekar sempurna. Pengamatan jumlah bibit yang hidup yaitu jumlah seluruh bibit yang digunakan dihitung jumlah yang hidup. Analisis Data dan Informasi Data-data yang telah didapatkan pada kegiatan magang dianalisis dengan metode analisis deskriptif, yaitu pemaparan data yang menggambarkan seluruh kegiatan yang telah dilaksanakan. Data tersebut kemudian dibandingkan dengan standar dan aturan kerja dari setiap kegiatan ada perusahaan. Hasil pengamatan dianalisis dengan menggunakan analisis ragam (uji F). Apabila hasil analisis ragam menunjukan pengaruh nyata, dilakukan uji lanjut dengan DMRT (Duncan’s Multiple Range Test) pada taraf nyata 5%.
KEADAAN UMUM KEBUN Sejarah Kebun PT National Timber and Forest Product merupakan anak perusahaan PT Siak Raya Group yang berkedudukan di Provinsi Riau. PT National Timber and Forest Product pada tahun 2009 namanya berganti menjadi PT National Sago Prima setelah dibeli sebagian besar sahamnya dan disahkan sesuai dengan SK Menteri Kehutanan No. SK 380/MENHUT-II/2009. PT National Sago Prima merupakan bagian dari Sampoerna Biofuel yang merupakan perusahaan yang akan mengembangkan biofuel dari berbagai komoditas salah satunya sagu.
Letak Geografis dan Administratif Kebun PT National Sago Prima secara geografi terletak pada 00 32` – 10 08` LU dan 1010 43` – 1030 08` BT. Secara administratif terletak di Desa Kepau Baru, Desa Teluk Buntal, Desa Sungai Tohor Desa Tanjung Gadai, Desa Tanjung Sari, Desa Kayu Ara, dan Desa Sungai Pulau, Kecamatan Tebing Tinggi, Kabupaten Kepulauan Meranti, Propinsi Riau. Lokasi PT National Sago Prima berbatasan dengan PT Lestari Unggul Makmur di Utara, dengan Desa Tanjung Sari dan Desa Tanjung Gadai di Timur, dengan Desa Teluk Buntal dan Kampung Baru di Selatan dan PT Unisraya di Barat.
Keadaan Tanah, Topografi dan Iklim Perkebunan PT National Sago Prima termasuk dalam wilayah hutan hujan dengan rata-rata curah hujan berkisar pada 1966 mm/tahun (data 2007-2008) dan hari hujan tiap bulan antara 7-13 hari dengan intensitas berkisar 16-17 mm/hari. Menurut Schmidt dan Fergusson (1951), areal PT National Sago Prima termasuk type B dengan Q = 33,3 %. Karakteristik lahan pada lokasi perkebunan adalah lahan gambut dalam (3-5 m) dengan tingkat kematangan sedang (gambut hemik). Gambut di wilayah PT National Sago Prima termasuk dalam gambut oligotropik yaitu gambut yang sedikit mengandung bahan mineral. Sekitar 99 % lahan perkebunan merupakan
10
tanah organosol dan sisanya tanah aluvial. Tanah aluvial banyak terdapat disekitar sungai di perkebunan. Sungai yang ada di lokasi perkebunan antara lain Sungai Mukun, Sungai Pulau, Sungai Buntal dan Sungai Suir Kiri. Lokasi kebun PT National Sago Prima terletak di ketinggian antara 0-5 m dpl. Tingkat kemiringan lahannya antara 0 – 8 %.
Kondisi Pertanaman dan Produksi Tanaman sagu yang ada di PT National Sago Prima ditanam secara bertahap mulai dari tahun 1996 hingga 1999. Areal Perkebunan saat ini dibagi menjadi 12 divisi, masing-masing divisi memiliki sekitar 20-24 Blok yang tiap bloknya seluas 50 ha (1000 m x 500 m). Tiap Blok satu dengan yang lain dibatasi oleh kanalkanal. Jenis sagu yang ada di PT National Sago Prima adalah jenis sagu yang memiliki duri seperti sagu tuni (Metroxylon rumphii Mart.) dan Sagu Ihur (Metroxylon sylvester Mart.), dan sagu tak berduri yaitu sagu Molat (Metroxylon sagus Rotb.). Sagu yang ditanam memiliki jarak tanam 10 m x 10 m, 9 m x 9 m atau 8 m x 8 m. Tiap blok terdapat 100-125 baris tanaman sagu, bergantung pada jarak tanam yang digunakan. Jalur lorongan atau jalur angkut dibuat dengan arah utaraselatan dengan panjang lorongan ± 500 m. Satu lorongan terdiri atas 2 baris tanaman sagu. Tiap baris tanaman terdapat 50-70 rumpun atau tanaman sagu bergantung pada jarak tanam yang digunakan. Tabel 1. Data Panen Realisasi Panen (Tual) Tahun Tanam
2010
2011
Divisi
Divisi
1
2
3
4
1
2
3
4
1996
66
533
0
0
1299
273
0
0
1997
1652
1783
190
0
759
4273
0
0
1998
0
0
361
206
0
0
2327
1404
Total
1718
2316
551
206
2058
4546
2327
1404
11
Kegiatan panen di PT National Sago Prima telah dilakukan beberapa kali.Hasil yang didapatkan dalam bentuk tual atau potongan batang sagu pada ukuran 42 inci (105 cm) (Tabel 1).
Struktur Organisasi dan Ketenagakerjaan Pengorganisasian Kebun Struktur organisasi yang digunakan oleh PT National Sago Prima adalah sistem organisasi lini atau garis. Sistem tersebut merupakan bentuk organisasi dengan pimpinan sebagai pemegang wewenang tunggal. Garis komando kuat dan hanya satu yaitu secara vertikal dari atas ke bawah, dengan demikian segala keputusan kebijaksanaan dan tanggung jawab ada pada satu tangan. Ciri-ciri dari organisasi tersebut yaitu jumlah karyawan sedikit, selain menejer puncak menejer dibawahnya hanya sebagai pelaksana, sarana dan alatnya terbatas, serta hubungan atasan dan bawahan bersifat langsung melalui satu garis wewenang. Pimpinan puncak di PT National Sago Prima dipegang oleh general manager (GM). General manager memiliki wewenang tertinggi untuk memimpin, mengelola, dan melakukan pengawasan secara tidak langsung terhadap kinerja kebun. Kepala Tata Usaha (KTU) bertanggung jawab langsung kepada GM untuk kegiatan administrasi, kepala tata usaha membawahi empat bagian yaitu bagian personalia, bagian pembukuan, bagian umum, dan bagian gudang. Tim teknis dan koordinator bertanggung jawab secara langsung kepada GM atas pelaksanaan pengelolaan kebun. Pengelolaan kebun di PT National Sago Prima dilaksanakan secara sektoral dengan membagi wilayah perkebunan menjadi beberapa bagian yang masing–masing dipimpin oleh asisten divisi. Asisten divisi bertanggung jawab terhadap pelaksanaan teknis dan menejerial bagian yang dipimpinnya. Setiap asisten divisi bertanggung jawab atas areal pertanaman seluas 1.000 ha, dalam pelaksanaannya asisten divisi membawahi dan menerima pertanggungjawaban dari mandor I dan krani, serta mandor lapangan secara langsung.
12
Tenaga Kerja Buruh Harian Lepas (BHL) Buruh harian lepas adalah tenaga kerja yang tidak terikat dengan perusahaan. Tenaga kerja ini digunakan hampir semua kegiatan budidaya tanaman. Waktu kerkja selama 7 jam kerja yaitu dari pukul 07.00-14.00 WIB. Upah diberikan Rp 45.000 perhari sesuai dengan jumlah kehadiran. Setiap 2 minggu sekali upah diberikan oleh perusahaan kepada BHL. Jumlah buruh harian lepas pada setiap divisi tidak lebih dari 15 orang, sedangkan pada swakelola pembibitan kurang dari 10 orang. Karyawan Harian Tetap (KHT) Tenaga kerja tetap perusahaan yang merupakan bagian dalam perusahaan dan terikat oleh perusahaan. Karyawan KHT meliputi keamanan, bagian mesin dan bagian teknis kebun. Pelaksana teknis kebun hampir sama dengan jam kerja buruh harian lepas. Gaji yang diperoleh karyawan harian tetap dibayarkan setiap bulan. Gaji yang diperoleh sama dengan buruh harian lepas, namun karyawan harian tetap mendapatkan cuti kerja selama 4 hari dalam satu bulan. Karyawan harian tetap terdiri dari mandor, operator, security dan pembantu mess dengan jumlah 40 orang. Tenaga Kerja Bulanan Tenaga kerja bulanan merupakan tenaga kerja tetap perusahaan yang terikat oleh perusahaan. Karyawan tetap bulanan terdiri dari general manager, koordinator, supply logistic, eksternal relations, technical support, asisten divisi, asisten pembibitan, staf administrasi, manager dan staf R&D. Karyawan bekerja setiap hari dengan 7 jam kerja setiap hari dengan waktu kerja sebanyak 26 hari dalam satu bulan. Waktu cuti menjadi tiga kali setiap bulan dengan jumlah tenaga kerja 18 orang.
Tenaga Kerja Borongan Sistem tenaga borongan menggunakan sistem kontrak yang dilakukan pada tahapan budidaya tertentu, seperti persiapan lahan, pengendalian gulma secara
13
manual, pengambilan anakan dan panen. Sistem kontrak dilaksanakan dengan kesepakatan antara perusahaan dan kontraktor yang dilegalkan dengan surat perjanjian kerja (SPK). Kontraktor dapat mengepalai satu atau lebih rombongan pekerja dengan jumlah tiap rombongan minimal 4 orang. Karyawan kontrak selama masa kerjanya tinggal di dalam lokasi kebun dengan fasilitas yang diberikan perusahaan. Jam kerja mereka tidak dapat ditetapkan oleh perusahaan asalkan pekerjaan mereka sesuai target yang telah disepakati. Jumlah karyawan kontrak setiap divisi yaitu 4-5 rombongan dengan setiap rombong terdiri atas 5-6 orang.
PELAKSANAAN TEKNIS MAGANG Pelaksanaan teknis magang yang dilakukan di PT National Sago Prima meliputi persiapan lahan (Land clearing), pengambilan anakan, persemaian, sensus, penanaman dan penyulaman, pemeliharaan tanaman serta panen.
Persiapan Lahan Persiapan lahan atau land clearing merupakan kegiatan mempersiapkan lahan untuk mempersiapkan penanaman. Persiapan lahan dilakukan dengan mengkombi- nasikan sistem mekanis menggunakan alat eksavator dan sistem manual dengan cara tebang habis tanpa pembakaran. Kegiatan tersebut terdiri atas perintisan (imas) tumbang yang dilakukan dengan memotong semua vegetasi yang berdiameter <20 cm menggunakan parang dan kapak. Tebang dilakukan dengan memotong semua tumbuhan diameter >20 cm dengan menggunakan chainsaw. Cincang yang dilakukan memotong batang, dahan, dan ranting untuk memudahkan pembersihan dan pengumpulan hasil porongan tersebut ke dalam rumpukan. Pelaksanaan kegiatan LC dilakukan dengan sistem kontrak, yang berlangsung hingga target yang diharapkan perusahaan dapat tercapai. Luas areal yang saat dilaksanakan kegiatan LC yaitu pada Divisi 4, 5 dan 7. Tahapan LC yaitu: 1. Pembagian blok (Bloking area) Bloking area adalah penentuan luasan yang akan dibuat, kegiatan tersebut meliputi : pengambilan koordinat (pembuatan arah) Barat, Timur, Utara dan Selatan dengan menentukan panjang dan lebar terlebih dahulu. 2. Pembuatan jalur (Trase) Trase yaitu kegiatan dalam membuat jalur atau batas yang akan dibuat sebagai jalur tanam untuk penanaman bibit sagu, kegiatan tersebut menggunakan dua alat yaitu kompas dan theodolit.
15
3. Pembuatan rumpukan (Stacking) Kegiatan ini menggunakan eskavator dalam melaksanakan stacking. Jam kerja eskavator yaitu 10-18 jam perhari dengan prestasi dua lorong perhari (Gambar 1). Tahapan dalam pelaksanaan pembuatan rumpukan a. Perintisan (imas) tumbang, yaitu memotong semua vegetasi atau tumbuhan yang berdiameter lebih dari 20 cm dengan parang atau kapak. b. Tebang, yaitu memotong semua tumbuhan berdiameter lebih dari 20 cm dengan menggunakan gergaji mesin (chainsaw). c. Cincang, yaitu memotong batang, dahan dan ranting untuk memudahkan pembersihan dan pengumpulan hasil potongan tersebut kedalam rumpukan. 4. Pemancangan Beberapa alat yang digunakan pada kegiatan pemancangan yang dilakukan yaitu dengan menggunakan kompas, theodolit dan tali. Kegiatan pemancangan dilakukan dengan sistem borongan selain dengan buruh harian lepas (BHL). 5. Penanaman Kegiatan penanaman dilakukan dengan sistem kontrak penanaman hingga bibit selesai tertanam dan hidup pada lahan yang telah ditentukan.
Gambar 1. Kegiatan perumpukan dengan menggunakan Eskavator
16
Pembibitan Pengambilan anakan Anakan sagu yang berada pada suatu rumpun sagu merupakan salah satu bahan tanam dalam perbanyakan tanaman sagu. Berdasarkan sumber diperolehnya sumber bibit terdapat dua jenis yaitu bibit yang diperoleh dari dalam kebun (inhouse) maupun dari luar kebun atau berasal dari masyarakat (outsource). Kriteria anakan sagu yang sehat dan berkualitas serta akan diambil diseleksi berdasarkan bentuk, ukuran, bobot dan kesegaran bibit yaitu pelepah segar dan berwarna hijau, bonggol/banir keras dan tidak terserang hama, bibit sudah tua yang dicirikan bonggol sudah keras, pelepah dan pucuk masih hidup dengan ciri petiol berwarna merah muda, tidak terserang hama dan penyakit, bobot bibit berkisar antara 2-4 kg, serta diutamakan bibit dengan bonggol berbentuk “L” karena persentase hidupnya lebih tinggi (Bintoro,2008) (Gambar 2).
Gambar 2. Bibit dengan banir berbentuk L Pengambilan bibit dilakukan oleh tenaga borongan yang dikontrak oleh perusahaan dengan diberikan target oleh perusahaan. Pembayaran oleh perusahaan oleh tenaga kontrak akan dilakukan sesuai dengan abut yang didapatkan dengan harga Rp 1200,00. Bibit yang telah didapatkan akan diseleksi sesuai dengan ketentuan (SOP) yang ditentukan oleh perusahaan. Proses seleksi dilakukan oleh Divisi Pembibitan. Prestasi kerja para pekerja borongan adalah 80-100 bibit per hari, sedangkan mahasiswa hanya dapat mengambil bibit 50 per hari. Kecepatan pengambilan bibit
17
ditentukan oleh beberapa faktor seperti posisi banir dalam tanah, kondisi piringan, ketersediaan bibit dalan satu rumpun dan lainya (Gambar 3).
Gambar 3. Kegiatan pengambilan anakan pada rumpun sagu Persemaian Sistem persemaian di PT National Sago Prima dibagi menjadi tiga bagian yang berbeda yaitu berkerjasama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), PT Prima Kelola dan swakelola. Sistem swakelola dibawahi oleh Divisi Pembibitan. Divisi Pembibitan merupakan salah satu divisi yang baru dibentuk di PT National Sago Prima yang berfungsi sebagai controling dalam kegiatan persemaian yaitu baik di PT Primakelola maupun BPPT Divisi Pembibitan juga melakukan kegiatan persemaian tersendiri yang berfungsi untuk melengkapi kebutuhan bibit pada areal yang akan ditanam yaitu dari persiapan bahan tanam hingga bibit siap tanam. Sistem persemaian yang dilakukan yaitu dengan sistem persemaian kanal yaitu dengan meletakkan anakan sagu yang telah diambil dari rumpun induk dan diletakkan diatas rakit yang terbuat dari pelepah kering.
18
Gambar 4. Kegiatan Persemaian di Rakit Sistem persemaian kanal menggunakan rakit berukuran 3 m x 1 m yang terbuat dari pelepah sagu yang telah kering, dan disusun hingga terbentuk rakit. Bibit disemai selama 3-4 bulan atau memiliki 2-3 helai daun. Pembuatan rakit juga menggunakan tenaga borongan dengan harga Rp 10 000 per-rakit. Bibit yang telah diambil oleh tenaga borongan dan telah melewati proses seleksi yang dilakukan oleh Divisi Pembibitan, langsung disusun didalam rakit dan diletakkan ke dalam kanal (Gambar 4). Lokasi persemaian yang baik yaitu pada kondisi air yang mengalir, yang berfungsi sirkulasi udara dan hara berjalan dengan baik. Pemilihan tempat persemaian dilakukan pada sub kanal, selain kondisi air mengalir juga tidak terganggu dengan aktivitas transportasi dan panen.
Gambar 5. Perendaman Bibit pada Larutan Fungisida Bibit sebelum disemai diatas rakit terlebih dahulu direndam dalam larutan Fungisida dan Insektisida (Dithane 45) agar terhindar dari serangan hama dan cendawan. Bibit direndam selama ± 3 menit dalam larutan dengan konsentrasi 2
19
gram/liter air dan dikering anginkan selama ± 15 menit (Gambar 5). Bibit yang telah direndam sebelum disemai harus dipotong bagian pelepahnya hingga tinggi bibit dari banir 30-40 cm. Pemangkasan dilakukan untuk mengurangi transpirasi bibit selama dipersemaian dan mempercepat terbentuknya tunas baru. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
(BPPT) merupakan badan
pemerintahan yang bekerjasama dengan PT National Sago Prima dalam penyediaan bibit siap tanam. Sistem persemaian yang digunakan yaitu dengan menggunakan polibag dengan media tanam tanah gambut. Bobot bibit yang digunakan juga cukup ringan yaitu diantara 200-500 gram/bibit. Bibit yang sudah ditanam dalam polibag diberikan naungan dengan paranet. BPPT bekerjasama dengan PT National Sago Prima dalam hal teknologi pembibitan. Keseluruhan biaya kegiatan dilaksanakan oleh PT National Sago Prima. Beberapa tahapan pelaksanaan persemaian polibag meliputi pengambilan anakan sagu dalam rumpun sagu, seleksi dan pembersihan bibit dari lapang, perendaman dalam larutan selama satu hari, penanaman dalam polibag, inkubator selama 2 bulan, keluar inkubator (aklimatisasi) selama 2 bulan, dengan naungan paranet sekitar 60 mes, nursery dengan diberikan naungan paranet sekitar 50 mes, bibit dikeluarkan dari paranet selama 2 bulan yang diikuti proses seleksi sebelumnya dan penanaman dilapang. PT Primakelola merupakan perusahaan milik Institut Pertanian Bogor yang bekerjasama dengan PT Sampoerna Agro yang bertugas dalam menyediakan bibit dan menanami areal PT National Sago Prima. Sistem pembayaran yang dilakukan oleh PT National Sago Prima adalah jumlah bibit yang hidup dan telah ditanam oleh PT Prima Kelola. Sistem persemaian yang dilakukan PT Primakelola adalah sistem persemaian rakit pada kanal khusus persemaian. Sumber bibit berasal dari inhouse dan dari masyarakat. Pengambilan bibit inhouse dilakukan oleh tenaga borongan dengan harga Rp 1000 per bibit dengan harga rakit Rp 10 000 per rakit. Pengambilan sumber bibit dari masyarakat dibeli dengan harga Rp 2500-Rp 3500 per bibit dan dibawa hingga lokasi persemaian. Bibit yang telah didapatkan dilakukan seleksi terlebih dahulu sesuai dengan kriteria bibit yang telah ditentukan sebelumnya.
20
Rakit yang digunakan pada sistem persemaian rakit yang dilakukan oleh PT Prima Kelola dibeli dari masyarakat setempat dengan harga Rp 10 000 per rakit. Setiap satu rakit dapat menampung 100-150 bibit. Bibit yang telah tersusun dalam rakit disemai selama 3-4 bulan atau hingga memiliki 2-3 helai daun. Setelah 3-4 bulan bibit yang siap tanam diseleksi dan ditanam pada lahan yang telah ditentukan oleh PT National Sago Prima. Jumlah bibit hidup setelah 3 bulan setelah tanam akan dilakukan proses serah terima dari PT Prima Kelola kepada PT National Sago Prima. Penanaman dan Penyulaman Pemancangan Pemancangan merupakan pemberian tanda pada tempat yang akan ditanam sesuai dengan jarak tanam yang telah ditentukan. Kegiatan pemancangan di PT National Sago Prima dapat menggunakan beberapa alat yaitu theodolit, kompas, tali dan meteran (Gambar 6). Tenaga kerja dalam kegiatan pemancangan yaitu dengan tenaga borongan. Jarak tanam yang digunakan dalam pemancangan yaitu 8mx8m.
Gambar 6. Kegiatan pemancangan menggunakan kompas
Pembuatan Lubang Tanam Pembuatan lubang tanam merupakan salah satu tahapan penanaman setelah kegiatan pemancangan. Lubang tanam dibuat pada tempat yang telah diberi pancang. Ukuran lubang tanam berdasarkan Standar Operating Procedure (SOP) yaitu berukuran 40 cm x 40 cm x 40 cm atau dengan kedalaman hingga menyentuh permukaan air.
21
Penyulaman Penyulaman merupakan kegiatan menanam kembali tanaman sagu yang mati, terserang hama dan penyakit tanaman serta tanaman yang tidak mampu beradaPTasi dengan baik dengan lingkungan. Pelaksanaan penyulaman dilakukan setelah dilaksanakan sensus hidup mati. Berdasarkan hasil sensus hidup didapatkan kebutuhan bibit pada lahan yang akan disulam. Berdasarkan hasil sensus diketahui jumlah bibit yang diperlukan pada kegiatan penyulaman pada area tertentu. Sebelum dilaksanakan penyulaman bibit dari persemaian dilakukan seleksi dan didistribusikan dengan menggunakan pompong melalui kanal menuju area penyulaman. Penanaman dilakukan setelah lubang tanam selesai dibuat oleh tenaga borongan. Penanaman dilakukan dengan meletakkan bibit pada lubang tanam yang telah tersedia. Sebelum bibit ditanam, lubang tanam diberikan pupuk dasar terlebih dahulu yaitu Rock Phosphate dengan dosis 500 gram per lubang tanam. Posisi bibit pada lubang tanam menempel pada dinding lubang tanam kemudian bibit tersebut diberi sampiang. Sampiang merupakan dua kayu yang menjepit banir bibit yang bertujuan supaya bibit lebih kokoh (Gambar 7). Penanaman dilakukan oleh tenaga borongan, biasanya pada setiap lorong terdapat dua orang yang bertugas menanam dan membawa bibit. Supaya lebih efektif dalam membawa bibit, orang yang bertugas membawa bibit menggunakan ambung. Ambung merupakan keranjang yang terbuat dari bambu. sampiang
Gambar 7. Bibit sagu yang telah ditanam
22
Pemeliharaan Pengendalian Gulma Pengendalian gulma yaitu salah satu kegiatan pemeliharaan dalam perkebunan sagu. Kegiatan pengendalian gulma bertujuan untuk menekan kompetisi tanaman sagu dengan gulma dalam mendapatkan unsur hara, air dan sinar matahari agar pertumbuhan tanaman sagu optimal. PT National Sago Prima menerapkan dua cara dalam mengendalikan gulma yaitu secara manual atau mekanis dan pengendalian secara kimia Pengendalian gulma secara manual biasa dilakukan dengan menggunakan parang. Kegiatan tersebut meliputi kegiatan penebasan jalur tanam, lorong dan piringan. Lebar tebasan yaitu 1.5 m-2.0 m pada lorong pikul, sedangkan lebar tebasan pada piringan 1 m dari rumpun sagu. Tinggi tebasan yaitu 0-5 cm dari permukaan tanah. Gulma hasil tebasan dan pelepah kering harus dibuang keluar piringan. Penebasan lorong dilakukan berfungsi untuk mempermudah dalam melakukan pekerjaan seperti sensus, penyemprotan dan pengangkutan pupuk. Kegiatan penebasan dilakukan dengan tenaga borongan dengan prestasi kerja 6 orang dapat menyelesaikan 6 lorong/hari atau 1 lorong/HK. Adapun yang mempengaruhi prestasi kerja yaitu kondisi lahan, kondisi penutupan gulma dan kondisi rumpun tanaman. Pengendalian gulma secara kimia dilakukan dengan herbisida dengan bahan aktif paraquat yang bersifat kontak dan metil metsulfuron yang bersifat sistemik. Dosis yang diberikan yaitu 1.5 liter paraquat dan 62.5 g metil metsulfuron/ha dengan volume semprot 400 liter/ha, warna nozel semprot hitam. Penyemprotan dilakukan pada lorong dan piringan tanaman. Prestasi kerja yaitu penyemprotan dilakukan oleh 10 orang sebanyak 15 lorong/hari.
Penjarangan Anakan Penjarangan anakan merupakan kegiatan pembuangan anakan secara selektif pada setiap rumpun sagu. Kegiatan penjarangan anakan bertujuan untuk mengurangi jumlah anakan yang berlebihan sehingga didapatkan jumlah anakan yang ideal pada satu rumpun yaitu 6-10 anakan (Gambar 8). Penjarangan anakan terbagi menjadi 2 jenis yaitu Pruning dan Thining out. Pruning dilakukan dengan
23
memangkas anakan hingga ketinggian 10 cm dari permukaan tanah, Thining out membuang anakan dengan mendongkel hingga akar ikut terbuang. Pruning dan Thining out untuk mengurangi persaingan antara anakan sagu, mempercepat pertumbuhan dan memudahkan alam pengaturan panen (Andany,2010). Kegiatan penjarangan anakan dilaksanakan oleh masing-masing divisi dengan prestasi kerja 15 rumpun per HOK. Namun pada kegiatan thining out prestasi yang dihasilkan hanya 5 rumpun per HOK.
a.
b.
Gambar 8. (a)Kondisi rumpun sebelum penjarangan anakan, (b)Kondisi rumpun setelah penjarangan anakan Sensus Hidup mati Sensus hidup mati merupakan sensus atau menghitung jumlah bibit yang hidup atau mati. Hasil dari sensus hidup dan mati akan digunakan sebagai dasar dalam menentukan jumlah bibit yang diperlukan untuk menyulam pada suatu blok tertentu. Pencacatan sensus hidup mati meliputi nama blok, arah sensus, nomor baris, nomor pancang dan jumlah tanaman yang hidup dan mati. Prestasi kerja karyawan yaitu menyensus 4-8 lorong/HK, sedangkan prestasi kerja mahasiswa hanya 3-6 lorong/HK. Prestasi kerja sangat dipengaruhi oleh kondisi lahan dan kebersihan blok tersebut.
Produksi Sensus produksi merupakan sensus yang bertujuan untuk memprediksi hasil yang dapat dipanen, waktu panen dan inventarisasi jumlah anakan. Kegiatan
24
sensus produksi meliputi tinggi dan jumlah anakan. Prediksi hasil panen dapat dilihat berdasarkan tinggi tanaman sedangkan waktu panen dapat dilihat dari fase tanaman tersebut. Sensus produksi dilakukan setiap tahun, namun pada tahun ini masih belum dilaksanakan oleh perusahaan.
Panen Panen merupakan kegiatan pengambilan hasil dari kebun yang telah layak panen. Bagian batang merupakan bagian yang memiliki nilai ekonomis. Sagu yang layak panen adalah tanaman yang telah memasuki fase nyorong (Gambar 9). Menurut Bintoro (2010) tanaman sagu yang dipanen adalah tanaman sagu yang telah mencapai masak fisiologis yang ditandai dengan fase menyorong (munculnya calon bunga). Tanaman sagu yang hidup di lahan gambut mencapai usia matang fisiologis antara 12-15 tahun. Setelah melewati fase tersebut maka kandungan pati berkurang.
Gambar 9. Tanaman pada Fase Nyorong Beberapa tahapan pada kegiatan panen meliputi penentuan posisi tebang agar tidak mengenai anakan sagu, penebangan, pembersihan batang (nyisik), pengukuran batang sepanjang 106 cm (42 inci), pemotongan batang yang telah diukur sebelumnya, pembuatan hidung tual dan pengangkutan batang (tual) ke kanal dengan menggunakan kiau (golek) dan perakitan tual di kanal. Perakitan tual dilakukan dalan 1 tali (10 m) terdapat 25-30 tual tergantung diameter batang. Proses selanjutnya yaitu penarikan tual oleh anggota divisi ke DAM dengan menggunakan pompong perusahaan.
25
PT National Sago Prima sudah melakuakan beberapa kali panen yang dimulai dari tahun 2008. Kegiatan panen oleh PT National Sago Prima dilakukan oleh tenaga borongan, dalam 1 blok 5000 tual yang dipanen. Setiap batang sagu yang ditebang rata-rata terdapat 6-7 tual. Waktu yang diperlukan dalam 1 blok panen yaitu 4 bulan. Harga tual dari kebun hingga kanal yaitu Rp 4.700/tual yang dibayarkan oleh perusahaan kepada tenaga pemborong. Kesalahan dalam penebangan akan dikenakan denda Rp 120.000/batang sagu.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengelolaan Budidaya Tanaman Sagu (Metroxylon spp.) Pelaksanaan magang yang dilakukan meliputi persiapan lahan, pembibitan, penanaman, penyulaman, pemeliharaan, panen, sensus dan aspek manajerial serta pengorganisasian kebun. Fokus kegiatan PT National Sago Prima saat ini yaitu pada kegiatan penyiapan lahan, pembibitan dan penyulaman, karena target kerja pada tahun ini kegiatan penanaman dan penyulaman pada 4 divisi sehingga tidak semua kegiatan budidaya dilakukan. Kegiatan budidaya yang dilakukan yaitu dimulai dari persiapan lahan, pemeliharaan hingga panen. Namun, kegiatan pemeliharaan seperti pemupukan, sensus produksi dan pengendalian HPT belum dilakukan. PT National Sago Prima saat ini membutuhkan jumlah bibit yang besar untuk menanami areal kebun. Dalam memenuhi kebutuhan bibit yang tinggi PT National Sago Prima bekerjasama dengan PT Primakelola dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). PT Primakelola menggunakan sistem persemaian kanal, sedangkan BPPT menggunakan sistem persemaian dengan polibag. Tahun 2011 PT National Sago Prima membentuk divisi baru, yaitu Divisi Pembibitan yang bertujuan untuk mengatur, mengontrol dan mengawasi semua kegiatan yang ada pada kegiatan pembibitan. Kegiatan seleksi bibit dilaksanakan oleh Divisi Pembibitan untuk tujuan mendapatkan bibit yang lebih berkualitas. Namun, bibit yang disemai belum seluruhnya sesuai dengan SOP yang telah ditetapkan, seperti bibit yang masih muda dan bobot kurang dari yang ditetapkan dalam SOP. Hingga saat ini kebutuhan bibit untuk penanaman maupun penyulaman juga masih belum terpenuhi seluruhnya. Terutama pada tahun ini PT National Sago Prima telah membuka lahan baru yaitu Divisi 5 dan 7. Kriteria bibit yang sehat dan berkualitas baik berasal dari pohon induk yang telah dewasa atau telah dipanen, bibit masih segar ditandai dengan pelepah yang masih hijau, bibit mudah bergerak bila digoyang-goyangkan, tidak menempel pada tanaman induk, bobot antara 1.5 kg – 5.0 kg, kondisi bibit sehat, tidak terkena hama dan penyakit, memiliki jumlah akar yang banyak, tempat penyimpanan bahan makanan (banir) berwarna merah muda dan keras, serta di-
27
utamakan bibit yang memiliki perakaran berbentuk L karena memiliki cadangan makanan yang yang banyak disbanding bentuk banir lainnya (Bintoro et al., 2010). Kriteria bibit tersebut digunakan sebagai Standart Operating Procedure (SOP) untuk pengambilan bibit perusahaan. Seluruh kegiatan budidaya tanaman diatur dengan adanya SOP yang bertujuan pada efektivitas pekerjaan. Penanaman dilakukan setelah kegiatan persiapan lahan (Land Clearing) dan pembibitan selesai dilakukan. Setelah persiapan lahan selesai dilakukan pemancangan ajir dengan jarak tanam 8 m x 8 m. Pemancangan biasanya menggunakan pancang bantu yang berfungsi untuk memudahkan meletakkan anak pancang selanjutnya. Pembuatan lubang tanam dilakukan setelah dilakuakn pemancangan. Ukuran lubang tanam pada SOP perusahaan yaitu 40 cm x 40 cm x 40 cm atau hingga bertemu air pada lubang tanam. Sebelum penanaman dilakukan pemberian Rock Phosphate pada lubang tanam yang telah dibuat dengan dosis 500 gram perlubang tanam. Bibit ditanam pada lubang tanam dengan posisi menyandar pada lubang tanam dan banir tertutup tanah. Kegiatan penanaman harus dilakukan pengawasan dalam pelaksanaannya agar bibit yang ditanam dapat sesuai dengan SOP yang telah ditetapkan. Kegiatan penyulaman dilakukan pada bibit yang telah mati ataupun tanaman yang tidak memasuki kriteria menurut SOP perusahaan pada blok tertentu. Sebelum dilaksanakan penyulaman ulang, dilaksanakan sensus hidup mati terlebih dahulu. Sensus hidup mati dilaksanakan 3 bulan setelah penyulaman sebelumnya. Sensus hidup mati akan didapatkan data jumlah bibit yang akan digunakan untuk penyulaman. Setelah sensus hidup mati dilaksanakan kegiatan pengajiran, pembuatan lubang tanam dan penanaman. Hingga saat tingkat kematian bibit dilapangan masih cukup tinggi yaitu sekitar 40%. Kegiatan pengendalian gulma merupakan salah satu kegiatan pemeliharaan yang dilakukan oleh perusahaan. Pengendalian gulma yang dilakukan yaitu pengendalian secara manual dan kimia. Pengendalian gulma secara manual menggunakan parang, sedangkan secara kimia menggunakan herbisida. Gulma yang banyak terdapat di perkebunan yaitu gulma jenis paku-pakuan. Menurut Bintoro (2008) tanpa pengendalian gulma, tanaman akan kalah bersaing dengan vegetasi gulma. Dalam keadaan ternaungi pertumbuhan gulma dominant sehingga tanaman
28
sagu akan sangat tertekan, namun bila tanaman masih mendapatkan sinar matahari maka tanaman tersebut masih dapat bersaing dengan gulma. Oleh karena itu sistem pengendalian gulma yang dilaksanakan PTNational Sago Prima cukup efektif untuk menekan pertumbuhan gulma dan memperlancar kegiatan pemeliharaan selanjutnya pada blok tersebut. Kegiatan pemeliharaan selanjutnya yaitu pruning dan thining out. Tanpa kegiatan tersebut akan terjadi persaingan sesame tanaman sagu. Persaingan tersebut dapat menyebabkan kandungan pati dalam batang sagu berkurang dan menghambat pertumbuhan batang utama. Oleh karena itu, anakan sagu yang tidak diperlukan harus dipangkas. Pemangkasan tersebut dapat mengurangi kerapatan tajuk pohon sehingga sinar matahari dapat diterima oleh ta-naman dengan maksimal (Andany, 2009). Kegiatan pruning lebih cukup efektif dibandingkan dengan thining out karena biaya yang dikeluarkan lebih murah dalam pelaksanaannya. Kegiatan panen yang dilakukan di perusahaan terdapat hambatan dalam pelaksanaannya. Hal ini dapat ditunjukkan masih banyaknya tanaman sagu yang sudah lewat masa panen tetapi belum ditebang. Menurut Oates (2001) bila ingin sagu berproduksi optimal maka sagu dipanen sebelum fase inisiasi bunga. Terhambatnya kegiatan panen dikarenakan alat angkut penarikan hasil panen dan tali pengikat yang masih terbatas sehingga tual melewati batas waktu untuk keberadaannya dikanal. Oleh karena itu diperlukan perbaikan sarana budidaya yang mencukupi dalam kegiatan panen. Kegiatan budidaya di PT National Sago Prima sudah berlangsung dengan baik. Namun masih banyak terkendala dengan jumlah tenaga kerja yang terbatas. Tenaga kerja masih banyak memilih menjadi anggota tenaga kerja borongan yang memiliki upah lebih besar dibandingkan dengan tenaga kerja harian, sehingga banyak pekerjaan menjadi terhambat pelaksanaannya. Oleh karena itu, perlu diberikan penghargaan dari perusahaan kepada pekerja yang melaksanakan pekerjaannya dengan baik serta pemberian upah yang tepat waktu sesuai dengan yang dijanjikan.
29
Pengaruh Bobot Bibit dan Lama Waktu Semai terhadap Pertumbuhan Bibit di Lapang Sistem persemaian di perkebunan sagu PT National Sago Prima saat ini menggunakan sistem persemaian kanal dan polibag. Hingga saat ini, jumlah bibit yang hidup di persemaian khususnya persemaian kanal cukup tinggi. Namun, ketika bibit dari persemaian dipindah tanam ke lapang persentase hidupnya masih cukup rendah. Oleh karena itu diperlukan percobaan untuk didapatkannya umur bibit dan bobot bibit yang optimal di persemaian yang beradaptasi baik ketika dipindah tanam ke lapang. Berdasarkan tersebut sehingga diperlukan dilakukannya percobaan pengaruh bobot bibit dan lama waktu semai terhadap pertumbuhan bibit dilapang.
Persentase Hidup Bibit di Lapang Persentase hidup merupakan jumlah keseluruhan bibit yang hidup di lapang dari minggu pertama hingga akhir minggu pengamatan. Secara keseluruhan perlakuan bobot bibit pada minggu ke 3 memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap persentase hidup bibit (Tabel 2), tetapi mulai minggu ke 5 hingga 9 tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap persentase hidup bibit. Namun, nilai persentase hidup bibit di lapang hingga akhir pengamatan masih tergolong tinggi yaitu 79.63%. Tabel 2. Pengaruh perlakuan bobot bibit terhadap persentase hidup bibit Umur Bobot bibit (MST) Uji F 2-4 kg 4-8 kg ……………………….......%...................................... 3 ** 100a 92.59b 5 tn 92.59a 87.04a 7 tn 91.67a 82.41a 9 tn 89.82a 79.63a Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%
Persentase kehidupan tertinggi pada minggu ke 3 setelah tanam terdapat pada perlakuan B1 yaitu bobot 2-4 kg, pada MST ke-3 bobot bibit masih memberikan pengaruh yang nyata diduga karena pada MST ke-3 banir masih
30
memiliki cadangan makan yang baik. Kriteria bobot bibit yang berkualitas baik yaitu 1.5-5 kg (Bintoro, 2010). Karena suplai nutrisi terutama karbohidrat yang cukup, akan menentukan kemampuan hidup anakan sagu (Omori et al, 2002). Oleh karena itu cadangan makanan yang cukup pada bibit dapat mempengaruhi kehidupan bibit di lapang.
Tabel 3. Pengaruh perlakuan umur semai terhadap persentase hidup bibit Umur (MST) 3 5 7 9
Umur Semai 2 minggu 4 minggu 8 minggu 12 minggu ………..…………………....…%.............................................. 96.29ab 100a 96.29ab 92.59b 88.89a 100a 90.74a 79.63a 87.04ab 100a 85.19ab 75.93b 85.19ab 98.15a 83.33ab 72.22b
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%
Perlakuan umur (Tabel 3) pada minggu ke-3 dan 5 tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap persentase hidup bibit, tetapi mulai minggu ke 7 dan 9 mulai memberi pengaruh yang nyata terhadap persentase hidup. Perlakuan umur 4 minggu (P2) memiliki persentase hidup yang tinggi dan berbeda nyata dengan perlakuan umur lainnya.
Gambar 10. Persentase Hidup Bibit Presentase hidup bibit yang ditanam terjadi penurunan pada setiap pengamatan dari minggu ke-3 hingga ke-9 (Gambar 10). Kematian bibit setiap minggu terus bertambah seiring dengan berkurangnya cadangan makanan pada
31
banir dan keadaan lingkungan yang tidak mendukung pertumbuhan bibit. Menurut nilai rataan persentase hidup bibit dengan bobot 2-4 kg dengan umur 2 dan 4 minggu (B1P1 & B1P2) memiliki persentase hidup paling tinggi, sedangkan bibit dengan waktu semai 12 minggu dengan bobot 4-8 kg (B2P4) memiliki persentase hidup yang rendah. Namun, interaksi antara bobot bibit dan waktu semai tidak berbeda nyata. Kematian bibit di lapang banyak disebabkan oleh bibit yang mengering (Gambar 11).
Gambar 11. Bibit Mati Mengering di Lapang Pertumbuhan Vegetatif Bibit Sagu (Metroxylon spp.)
Panjang Petiol Daun Panjang petiol daun 1 Panjang petiol pada percobaan ini diukur dari pangkal pemangkasan bibit hingga titik teratas bibit, baik berupa tunas maupun sudah menjadi daun. Pengamatan dilakukan selama 9 MST (Minggu Setelah Tanam). Perlakuan bobot bibit tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap panjang petiol daun 1 dari awal pengamatan hingga akhir percobaan (Tabel 4). Perlakuan bobot bibit dengan umur semai memberikan interaksi yang tidak nyata pada pertumbuhan petiol pertama.
32
Tabel 4. Pengaruh bobot bibit dan umur semai terhadap panjang petiol daun 1 Perlakuan MST 3 5 7 9 ..………..………….……....cm…………............................. Bobot 2-4 kg 23.67a 24.50a 26.10a 25.19a 4-8 kg 25.19a 24.09a 26.83a 23.15a ………………………......cm……………………………… Umur 2 minggu 21.55a 27.51a 29.76a 28.10a 4 minggu 31.59a 28.34a 30.14a 30.36a 8 minggu 19.69a 17.55a 19.30a 12.53a 12 minggu 24.86a 23.79a 26.65a 25.67a Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%
Perlakuan umur semai juga tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan petiol daun 1 dari awal hingga akhir percobaan. Menurut Wibisono (2011) pertumbuhan petiol daun pertama akan lambat/berhenti ketika petiol 2 mulai tumbuh, karena bibit akan memfokuskan pertumbuhan petiol ke 2. Oleh karena itu pertumbuhan petiol 1 pada percobaan berhenti tumbuh setelah petiol 2 muncul.
Panjang petiol daun 2 Pengamatan dari perlakuan umur semai dan bobot bibit tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap panjang petiol dari awal pengamatan hingga akhir percobaan (Tabel 5). Hal ini dapat disebabkan kondisi lapang yang belum mendukung pertumbuhan petiol daun sehingga mempengaruhi pertumbuhan panjang petiol. Selain itu ketersediaan bahan makanan bibit pada banir semakin berkurang sebelum bibit tersebut dapat beradaptasi dengan baik pada kondisi lapang. Interaksi bobot bibit dengan umur semai tidak nyata. Kondisi lingkungan seperti suhu di lapang yang relatif tinggi menghambat pertumbuhan petiol, sehingga petiol dapat mengering. Menurut Irawan (2010) suhu optimal untuk pertumbuhan tanaman sagu yaitu 240-300C.
33
Tabel 5. Pengaruh bobot bibit dan umur semai terhadap panjang petiol daun 2 Perlakuan MST 3 5 7 9 ..………..…………………cm………..….......................... Bobot Bibit 2-4 kg 28.65a 35.82a 40.72a 48.56a 4-8 kg 30.04a 39.71a 43.65a 48.99a … …………………………cm.…………………………… Umur semai 2 minggu 16.60a 24.80b 28.09b 33.98b 4 minggu 26.87a 33.28ab 37.88ab 43.97ab 8 minggu 35.73a 41.79ab 48.73ab 58.12a 12 minggu 38.17a 51.18a 54.05a 59.04a Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%
Jumlah Daun Daun merupakan komponen penting pada tumbuhan terutama berfungsi untuk proses fotosintesis. Jumlah daun dihitung dengan menghitung daun yang ada pada bibit tersebut. Perlakuan bobot bibit tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah daun dari awal hingga akhir pengamatan (Tabel 6). Hal tersebut dikarenakan cadangan makanan pada banir telah banyak digunakan pada pertumbuhan bibit di persemaian sehingga bibit tersebut ketika dipindah tanam ke lapang akan sangat tergantung pada hasil fotosintesis dari daun yang telah terbentuk di persemaian, padahal belum semua bibit sudah dapat membentuk daun baru. Perlakuan umur semai pada awal hingga akhir pengamatan berpengaruh yang sangat nyata terhadap jumlah daun (Tabel 6). Jumlah daun tertinggi terdapat pada perlakuan P4 atau umur semai 12 minggu, sedangkan jumlah daun paling sedikit pada perlakuan P1 atau 2 minggu. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan umur sangat berpengaruh pada jumlah daun pada bibit. Hal tersebut dikarenakan bibit dengan umur 12 minggu sebelum ditanam di lapang telah memiliki daun yang telah membuka sempurna sehingga bibit telah dapat berfotosintesis untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhannya. Oleh karena itu rata-rata bibit dengan umur semai paling lama akan memiliki jumlah daun yang lebih banyak.
34
Tabel 6.Pengaruh bobot bibit dan umur semai terhadap jumlah daun pada bibit Perlakuan MST 3 5 7 9 ..………..………...............daun.............................................. Bobot Bibit 2-4 kg 1.59a 1.66a 1.75a 1.88a 4-8 kg 1.53a 1.60a 1.74a 1.82a …………...……………daun…………………………… Umur Semai 2 minggu 1.31c 1.41b 1.47c 1.51c 4 minggu 1.44cb 1.54b 1.69cb 1.74cb 8 minggu 1.64ab 1.68ab 1.80ab 1.93ab 12 minggu 1.84a 1.90a 2.03a 2.21a Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%
Gambar 12. Jumlah Daun pada Bibit Daun yang dihasilkan pada bibit memiliki rata-rata antara 1.40 hingga 2.42 daun. Peningkatan jumlah daun akan terus mengalami peningkatan selama bibit mengalami pertumbuhan (Gambar 12). Jumlah daun diamati dengan menghitung pelepah daun yang tumbuh pada setiap bibit yang diamati dari minggu ke-3 hingga minggu ke-9 pengamatan. Berdasarkan nilai rata-rata perlakuan bibit dengan bobot 4-8 kg dengan umur 12 minggu (B2P4) memiliki jumlah daun yang lebih banyak, sedangkan pada perlakuan bobot bibit 4-8 kg dengan umur semai 2 minggu memiliki jumlah daun terendah. Menurut Irawan (2010) rata-rata setiap bulan dihasilkan satu daun pada saat setelah fase pembentukan batang. Selama fase pertumbuhan dapat dihasilkan dua daun perbulan (Oates, 2001). Namun, ratarata jumlah daun pada bibit pada awal penanaman berdaun 1. Jumlah daun yang
35
dihasilkan bibit pada percobaan ini setelah ditanam di lapang belum menunjukkan jumlah daun yang sesuai literature karena bibit hingga akhir percobaan masih pada kondisi beradaptasi dari lingkungan persemaian menjadi di lapang. Jumlah Anak Daun Jumlah anak daun 1 Jumlah anak daun 1 dihitung berdasarkan jumlah anak daun pada daun pertama. Perlakuan bobot bibit tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap jumlah anak daun pertama dari awal pengamatan hingga akhir percobaan (Tabel 7). Tabel 7. Pengaruh bobot bibit dan umur semai terhadap jumlah anak daun 1 Perlakuan MST 3 5 7 9 ..………..………...............helai…............................................ Bobot 2-4 kg 15.93a 21.81a 25.06a 27.52a 4-8 kg 13.19a 18.72a 20.26a 23.37a …………………………helai………………………………. Umur 2 minggu 4.32b 7.71b 10.76b 12.82b 4 minggu 8.13b 14.70b 19.00b 19.67b 8 minggu 20.48a 28.22a 29.58a 34.62a 12 minggu 25.31a 30.41a 31.30a 34.65a Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%
Menurut Wibisono (2011) pembentukan anak daun diperlukan banyak energi untuk pertumbuhan yang diperoleh dari air yang diserap melalui akar sebelum mempunyai daun. Hal ini dapat dikarenakan jumlah cadangan makanan banir telah berkurang pada pembentukan daun di persemaian sehingga bibit yang ditanam dilapang belum memiliki daun yang sanggup berfotosintesis maka pertumbuhan bibit akan lambat termasuk dalam pembentukan anak daun 1. Sementara itu, perlakuan umur semai memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap jumlah anak daun pertama dari awal hingga akhir pengamatan (Tabel 7). Pada perlakuan umur semai 12 minggu (P4) dari awal hingga akhir percobaan memiliki jumlah anak daun paling banyak dibandingkan perlakuan umur yang lainnya. Hal ini dikarenakan pada bibit umur 12 minggu dari awal
36
penanaman bibit telah memiliki daun yang cukup dari persemaian sehingga sanggup melakukan fotosintesis untuk mencukupi pertumbuhannya.
Gambar 13. Pengaruh Umur Semai terhadap Jumlah Anak Daun 1 Jumlah anak daun pertama setiap minggu mengalami peningkatan, bibit dengan umur semai 12 minggu atau perlakuan P4 memiliki jumlah anak daun pertama paling banyak (Gambar 13). Perlakuan bibit dengan umur semai 2 minggu atau P1 memiliki jumlah anak daun paling sedikit, sehingga umur semai yang paling lama akan menghasilkan jumlah anak daun yang lebih banyak.
Jumlah anak daun 2 Perlakuan umur semai pada pengamatan minggu ke 3 dan ke 5 tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah daun ke 2, sedangkan mulai pada pengamatan minggu ke 7 hingga akhir percobaan memberikan pengaruh yang nyata. Perlakuan P4 atau umur semai 12 minggu paling baik dalam pertumbuhan jumlah anak daun 2 (Tabel 8). Perlakuan bibit dengan umur semai 2 minggu atau P1 memiliki jumlah anak daun paling sedikit, sehingga berdasarkan pengamatan umur semai yang paling lama akan menghasilkan jumlah anak daun yang lebih banyak. Hal ini dikarenakan pada bibit umur 12 minggu dari awal penanaman bibit telah memiliki daun yang cukup dari persemaian sehingga sanggup melakukan fotosintesis untuk mencukupi pertumbuhannya, terutama pada pertumbuhan anak daun 2.
37
Tabel 8. Pengaruh bobot bibit dan umur semai terhadap jumlah anak daun 2 Perlakuan MST 3 5 7 9 ..………..………………helai………................................. Bobot 2-4 kg 1.37a 2.19a 4.85a 11.73a 4-8 kg 1.8a 4.79a 7.02a 11.87a ……………………...…helai……….…………………… Umur 2 minggu 0a 0a 0a 0.83b 4 minggu 1.98ab 2.5ab 3.83b 9.06b 8 minggu 0.56ab 2b 4.81b 11.51b 12 minggu 3.99a 9.47a 15.09a 25.80a Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%
Perlakuan bobot bibit tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah anak daun ke 2 dari awal hingga akhir pengamatan (Tabel 8). Hal ini dikarenakan jumlah cadangan makanan banir telah berkurang pada pembentukan daun di persemaian sehingga sehingga dalam pembentukan anak daun 2 sangat bergantung pada daun pertama yang melakukan fotosintesis sebelumnya. Keragaman pertumbuhan dapat terjadi sebagai akibat dari keadaan lingkungan yang bervariasi dari satu tempat dengan tempat lain dan kebutuhan tanaman terhadap keadaan lingkungan yang khusus (Sitompul dan Guritno, 1995). Jumlah anak daun 1 maupun 2 memiliki berhubungan dengan kegiatan fotosintesis yang dilakukan oleh bibit dan adaptasinya pada lingkungan, semakin banyak daun maupun anak daun maka fotosintesis dapat berjalan dengan baik.
Panjang Anak Daun Panjang anak daun 1 Perlakuan umur semai memberikan pengaruh yang sangat nyata pada minggu ke-3 MST, begitu juga pada akhir pengamatan memberikan pengaruh yang nyata (Tabel 9). Namun pada minggu ke 5 dan 7 umur semai tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap panjang anak daun 1. Pengamatan minggu ke-3 berbeda sangat nyata terhadap pertumbuhan panjang anak daun pertama, Hal ini diduga bibit pada umur semai 3 MST memiliki morfologi yang baik dari persemaian terutama pada perlakuan P4. Pengamatan minggu ke-9 umur
38
semai berbeda nyata dengan panjang daun pertama dan didapatkan perlakuan P4 didapatkan panjang daun paling baik dibandingkan pada perlakuan umur lainnya. Tabel 9. Pengaruh bobot bibit dan umur semai terhadap panjang anak daun 1 Perlakuan MST 3 5 7 9 ..………..………………….cm........................................... Bobot 2-4 kg 15.56a 17.80a 19.17a 20.73a 4-8 kg 13.33a 16.36a 17.12a 17.11a …………………………….cm……………………………. Umur 2 minggu 7.29c 11.17b 13.24b 13.83b 4 minggu 10.84cb 14.77ab 16.64ab 17.24ab 8 minggu 18.19ab 19.75ab 20.22ab 19.99ab 12 minggu 21.46a 22.64a 22.49a 24.63a Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%
Pengamatan dengan perlakuan bobot bibit tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap panjang anak daun 1 dari awal hingga akhir pengamatan. Pertumbuhan panjang daun pertama akan mengalami peningkatan namun pada suatu waktu panjang daun akan melambat/berhenti pertumbuhan panjang daunnya terutama saat daun 2 sudah terbentuk, sehingga pertumbuhan akan terfokus pada daun ke-2. Panjang anak daun pertama terjadi peningkatan setiap minggu pengamatan, bibit dengan umur semai 12 minggu atau perlakuan P4 memiliki panjang anak daun 1 paling tinggi. Perlakuan bibit dengan umur semai 2 minggu atau P1 memiliki panjang anak daun paling kecil, sehingga berdasarkan pengamatan umur semai dengan umur semai paling lama akan didapatkan panjang daun paling panjang. Panjang daun dapat menentukan luas bidang untuk proses fotosintesis pada bibit tersebut. Menurut Gusmayanti (2008) perkiraan luas daun akan menentukan beberapa karakteristik daun. Oleh karena itu pertumbuhan panjang daun dengan umur 12 minggu akan memiliki luas bidang yang lebih besar sehingga proses fotosintesis akan berlangsung baik.
39
Gambar14. Pengaruh umur semai terhadap panjang anak daun 1 Panjang anak daun 2 Perlakuan umur semai tidak memberikan pengaruh yang nyata pada minggu ke-3 dan ke-7, begitu juga pada akhir pengamatan memberikan pengaruh yang nyata. Namun pada minggu ke 5 dan 9 umur semai memberikan pengaruh yang nyata terhadap panjang anak daun 2 (Tabel 9). Berdasarkan pengamatan yang dilakukan maka didapatkan perlakuan P4 memiliki panjang daun paling baik dari awal hingga akhir percobaan. Perlakuan bobot bibit juga tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap panjang daun ke 2 dari awal hingga akhir percobaan (Tabel 10). Tabel 10. Pengaruh bobot bibit dan umur semai terhadap panjang anak daun 2 Perlakuan MST 3 5 7 9 ..………..….…..…………...cm…………..…...................... Bobot 2-4 kg 0.80a 1.03a 1.80a 5.13a 4-8 kg 1.52a 1.54a 1.67a 4.58a …………………………….cm……………………………. Umur 2 minggu 0.00a 0.00b 0.00a 0.57b 4 minggu 1.019a 0.87b 1.47a 4.46ab 8 minggu 0.97a 0.69b 1.65a 5.6ab 12 minggu 2.66a 3.57a 3.83a 8.77a Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%
40
Gambar 15. Pengaruh Umur Semai terhadap Panjang Anak Daun 2 Panjang anak daun kedua terjadi peningkatan setiap minggu pengamatan, bibit dengan umur semai 12 minggu atau perlakuan P4 memiliki panjang anak daun 2 paling tinggi (Gambar 15). Perlakuan bibit dengan umur semai 2 minggu atau P1 memiliki panjang anak daun paling kecil. Menurut Nakamura (2005) Individu masing-masing anak daun harus menjadi ukuran penilaian ketelitian dari luas daun. Oleh karena itu bibit yang memiliki umur paling lama dipersemaian memiliki panjang daun paling banyak sehingga luas bidang fotosintesis tanaman dapat berlangsung lebih baik.
a. Umur 2 minggu
c. Umur 8 minggu
b. Umur 4 minggu
d. Umur 12 minggu
Gambar 16. Bibit dengan Berbagai Umur Semai
41
Bibit ketika dipersemaian memiliki kondisi yang berbeda-beda, terutama dengan adanya perbedaan lama waktu semai. Sistem persemaian yang digunakan sebelum bibit ditanam yaitu dengan sistem persemaian kanal. Kondisi bibit dengan waktu semai paling lama memiliki jumlah daun paling banyak (Gambar 16).
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Pelaksanaan teknis budidaya yang dilakukan PT National Sago Prima sudah terlaksana dengan baik. Kegiatan dilakukan dari pembukaan lahan hingga pemanenan. Fokus utama perusahaan saat ini yaitu penyiapan lahan, pembibitan dan penyulaman. Perlakuan bobot bibit tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap peubah yang diamati, tetapi persentase hidup pada perlakuan bobot bibit didapatkan bibit 2-4 kg memiliki persentase hidup tinggi pada awal pengamatan. Perlakuan umur semai memberikan pengaruh yang nyata terhadap peubah yang dilakukan. Perlakuan umur dengan persentase hidup paling tinggi yaitu umur 4 minggu. Berdasarkan data sidik ragam yang dilakukan bahwa pertumbuhan vegetatif paling baik yaitu bibit dengan umur 12 minggu. Saran Ketersediaan sarana dan prasarana kebun yang lebih memadai agar kegiatan kebun tidak terhambat. Percobaan pada aspek penanaman di lapang memerlukan waktu yang cukup lama dalam pengamatan, sehingga diperlukan pengamatan lebih lanjut hingga dapat diketahui pertumbuhan tanaman terbaik dari masingmasing perlakuan bobot bibit dan umur semai. Keadaan lahan yang bersemak disekitar bibit yang ditanam perlu dilakukan penebasan yang bertujuan agar bibit mendapatkan sinar matahari yang cukup.
DAFTAR PUSTAKA Amir, A. Arifin, dan D. Nurzaman. 1986. Milyaran Pohon Sagu Menjawab Krisis Pangan yang Melanda Dunia. Karya Putra. Jakarta. 67 hal.
Andany, R. K. 2009. Pengelolaan Jumlah Anakan Tanaman Sagu (Metroxylon spp.) di PT. National Timber And Forest Product Unit HTI Murni Sagu, Selat Panjang, Riau. Skripsi. Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian – IPB. Bogor. 62 hal. Bintoro M. H. 2008. Bercocok Tanam Sagu. IPB Press. Bogor. 71 hal.
Bintoro M.H., Y.J.Purwanto., S.Amarilis. 2010. Sagu di Lahan Gambut. IPB Press. Bogor.169 hal. Gusmayanti. E,. T. Machida., M.Yoshida. 2008. Observation of Leaf Characteristics of Spineless Sago Palm (Metroxylon sagu) at Different Phenological Stages. Sago Palm (16):95-101). Haryanto, B. dan P. Pangloli. 1992. Potensi dan Pemanfaatan Sagu. Kanisius. Yogyakarta. 139 hal. Irawan.A.F. 2010. Agrophysiologi studies on the early establishment of suckers and seedlings in Sago palm (Metroxylon Sago Rottb.). Bioresource production sciences, United Graduate School of Agricultural Science Ehime University, Matsuyama, Ehime, Japan. Junaidi. 2005. Pengelolaan Perkebunan Sagu (Metroxylon spp.) Aspek Budidaya Tanaman di PT. National Timber and Forest Product, Selat Panjang, Riau. Skripsi. Departemen Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian-IPB. Bogor. Maulana,A. 2011. Pengelolaan Perkebunan Sagu (Metroxylon spp) di PT National Sago Prima, Selat Panjang, Riau : seleksi Bibit Sagu Berddasarkan Jenis, Tinggi Pohon Induk dan Bobot Bibit Sagu terhadap Pertumbuhan Bibit Sagu di Persemaian. Skripsi. Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian-IPB.Bogor.81 hal. Nakamura, S., Y. Nitta., M. Watanabe, Y. Goto. 2005. Analysis of Leaflet Shape and Area for Improvement of Leaf Area Estimation Method for Sago Palm (Metroxylon sagu Rottb.). Plant Production Science (8): 27-31
44
Oates, C., A. Hicks. 2001. Sago Starch Production in Asia and the PacificProblems and Prospects. Proceedings of the International Symposium on Sago. Universal Academy Press, Inc. Tokyo Japan. P.27-36. Omori, K. Y. Yamamoto., Foh J.S.J., T.Wenston, A.Miyazaki, T.Yoshida. 2002. Changes in some characteristics of Sago palm sucker growth in water and after transplanting, p.265-269. In: New Frontiers of Sago palm studies (Eds). Kainuma K. Tsukuba. Papilaya . E.C. 2009.Sagu untuk pendidikan anak negeri.IPB Press. Bogor.106 hal Listio. D. 2007. Pengelolaan Perkebunan Sagu (Metroxylon spp) Aspek Persemaian di PT National Timber and Forest Product, Selat Panjang, Riau. Skripsi. Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas PertanianIPB.Bogor Suryana, A. 2007. Arah dan Strategi Pengembangan Sagu di Indonesia. Pros. Lokakarya Pengembangan Sagu di Indonesia. Batam25-26 Juli 2007. Wibisono, M.A. 2011. Pengelolaan Sagu (Metroxylon sagu Rottb.) di PT National Sago Prima, Kab. Kepulauan Meranti, Riau, dengan Studi Kasus Pengaruh Teknik Persemaian dan Jenis Tanaman Induk terhadap Pertumbuhan Bibit Sagu. Skripsi. Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas PertanianIPB.Bogor. 67 hal.
LAMPIRAN
Lampiran 1.
Peta Kabupaten Kepulauan Meranti
2
Lampiran 2. Struktur
Organisasi
---------------
General Manager
R&D
Manager Estate/ Koordinator
Supply Logistic
Kepala Tata Usaha
Technical Support Asisten Divisi 1
Asisten Divisi 2
Asisten Divisi 3
Asisten Divisi 4
External Relations
Asisten Pembibitan
Kerani
Kerani
Kerani
Kerani
Mandor
Mandor
Mandor
Mandor
Pengawas
Pengawas
Pengawas
Pengawas
Accounting Umum
Security
Gudang Administratur
-------- = garis koordinasi = garis komando
U B
Lampiran . LAYOUT PENANAMAN DI LAPANG T
U3
S X : Boboot 2-4 kg X : Bobot 4-8 kg . : Tanaman pagar : Umur 2 minggu (P1) : Umur 4 minggu (P2) : Umur 8 minggu (P3) : Umur 12 minggu (P4)
0 0 0 0
0 0
0 0
0 0 0 0 . . . x . x . x . . . x . x . x . .
0 . X X X . x x x .
0 . x x x . x x x .
0 . x x x . x x x .
kanal
0 . x x x . x x x .
. x x x . x x x .
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 . . . x x x x x x x x x . . . x x x x x x x x x . . .
. . . . . . . . . . . . . . . x x x . x x x .
. x x x x x x x x x x x x . . x x x . x x x .
. x x x x x x x x x x x x . . x x x . x x x .
. x x x x x x x x x x x x . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . .
U1
U2 . x x x x x x x x x x x x .
. x x x x x x x x x x x x .
. x x x x x x x x x x x x .
. . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . .
. x x x x x x x x x x x x .
. x x x x x x x x x x x x .
. x x x x x x x x x x x x .
. . . . . . . . . . . . . .
. x x x x x x x x x x x x .
. x x x x x x x x x x x x .
. x x x x x x x x x x x x .
x x x x x x x x x
x x x x x x x x x
x x x x x x x x x
x x x x x x x x x
x x x x x x x x x
x x x x x x x x x
x x x x x x x x x
x x x x x x x x x
. . . . . . . . . . . . . .
2
Lampiran 4. Data Curah Hujan Maret-Mei 2011
No
Bulan
Jumlah Curah Hujan (mm)
Jumlah Hari Hujan
1
Maret
19,5
7
2
April
72,4
11
3
Mei
23,5
3
2011
115,4
21
Lampiran 4. Glossary
Abut
: Anakan sagu yang dipisahkan dari induknya
Banir
: Rhizome bibit sagu yang digunakan sebagai cadangan makanan selama persemaian
Fase nyorong : Fase masak tebang dengan ditandai memendeknya daun sagu dan putus duri Golek
: Pengangkutan tual dari kebun dengan mengeluarkan tual dari kebun ke pinggir kanal
Kiau
: Alat pengangkut tual
Sampiang
: Dua batang kayu yang diletakkan secara bersilangan pada bibit yang digunakan sebagai penyangga bibit saat penanaman
Tual
: Potongan batang sagu yang berukuran 42 inchi (105 cm)