Pengaruh Sosialisasi Pajak Oleh Direktorat Jenderal Pajak Terhadap Tingkat Kepatuhan Pajak Penghasilan Pendeta (Studi Pada Gereja Methodist Indonesia Distrik 3 Wilayah II) Dewi Meta Mutiara Aritonang1, Neni Susilawati2 1 2
Ilmu Administrasi Fiskal Ekstensi, FISIP UI, Depok, 2014 Ilmu Administrasi Fiskal Ekstensi, FISIP UI, Depok, 2014
[email protected]
Abstrak Kurangnya informasi membuat pendeta merasa bukan Wajib Pajak dan tidak mau melakukan kewajiban perpajakannya. Sosialisasi pajak memiliki peran untuk mengatasi masalah itu. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis pengaruh sosialisasi pajak oleh Direktorat Jenderal Pajak terhadap tingkat kepatuhan pajak penghasilan pendeta. Konsep penting yang digunakan adalah sosialisasi pajak, kepatuhan pajak, dan pajak penghasilan orang pribadi. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang berdasarkan tujuannya termasuk penelitian eksplanatif dengan teknik pengumpulan data melalui studi pustaka, survei, dan wawancara mendalam. Sosialisasi pajak oleh DJP memberi pengaruh cukup signifikan terhadap tingkat kepatuhan pajak penghasilan pendeta. Sosialisasi dibutuhkan oleh pendeta agar mengetahui kewajiban perpajakannya dan meningkatkan kepatuhan pajak.
Tax Socialization by Directorate General Of Taxes (DGT) Influences toward Tax Compliance Level of Reverend’s Income Tax (Study in Methodist Church of Indonesia District 3 Region II) Abstract The lack of information has made some reverend consider himself is not a taxpayer and discourage them in fulfilling tax obligation. Tax socialization has role to overcome this problem. The purpose of this research is to analyze tax socialization by DGT influences toward tax compliance level of reverend’s income tax (study in Methodist Church of Indonesia district 3 region II). The main concepts used are tax socialization, tax compliance, and tax personal income tax. This explanative research used quantitative approach with survey and in-depth interviews as data collection technique. Tax socialization by DGT has significant influence to tax compliance level of reverend’s income tax. Socialization is indeed required by reverend in order to acknowledge their tax obligation and to improve their tax compliance. Keyword : Tax Socialization, Tax Compliance, Personal Income Tax
Pendahuluan Pajak adalah salah satu sumber penerimaan negara. Banyak negara, termasuk Indonesia mengandalkan penerimaan pajak sebagai sumber penerimaan negara yang utama. Untuk mengoptimalisasi penerimaan pajak, dibutuhkan kesadaran untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakan baik dari pihak pejabat pajak/fiskus maupun pembayar pajak/Wajib Pajak (WP) (Rosdiana dan Irianto, 2011, 1). Hal tersebut didukung oleh adanya reformasi
1 Universitas Indonesia Pengaruh sosialisasi...,Dewi Meta Mutiara Aritonang, FISIP UI, 2014
2
perpajakan pertama kali pada tahun 1983, yang mengubah sistem pemungutan pajak di Indonesia dari official assessment system menjadi self assessment system (Sari, 2013, 7). Menurut Rosdiana dan Irianto (2013, 107), salah satu pajak yang menggunakan self assessment system di Indonesia adalah Pajak Penghasilan (PPh). PPh dapat dikatakan sebagai sumber penerimaan yang potensial bagi negara dari sektor pajak dalam negeri. Sementara itu, dalam self assessment system yang memberikan kepercayaan kepada WP untuk memenuhi dan melaksanakan sendiri kewajiban dan hak perpajakannya tersebut, menimbulkan isu kepatuhan dan ketidakpatuhan WP. Kepatuhan yang dimaksud adalah kepatuhan perpajakan, yakni ketaatan, tunduk, dan patuh serta melaksanakan ketentuan perpajakan (Devano dan Rahayu, 2006, 110). Sebaliknya, yakni ketidakpatuhan yang menurut Nurmantu (2003, 149) dapat disebabkan 2 (dua) macam alasan mendasar dan utama, antara lain. Pertama, konflik kepentingan antara kepentingan diri sendiri, yakni ditujukan untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri dan keluarga, dengan kepentingan negara, yakni timbul kewajiban seseorang yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu untuk membayar pajak kepada negara. Kedua, WP kurang sadar tentang kewajiban bernegara, kurang patuh kepada pemerintah, kurang menghargai hukum, tingginya tarif pajak dan kondisi lingkungan seperti ketidakstabilan pemerintahan dan penghamburan keuangan negara yang berasal dari pajak. Apabila WP tidak patuh maka akan menimbulkan keinginan untuk melakukan tindakan penghindaran, pengelakan, penyelundupan, dan pelalaian pajak, yang pada akhirnya tindakan tersebut akan menyebabkan penerimaan pajak negara akan berkurang (Devano dan Rahayu, 2006, 112). Untuk menghindari terjadinya hal tersebut, sangat dibutuhkan peran dari pemerintah, dalam hal ini DJP. Peran DJP untuk menangani isu kepatuhan dan ketidakpatuhan WP tersebut, salah satunya adalah dengan sosialisasi perpajakan. Sosialisasi perpajakan tersebut ditujukan kepada masyarakat secara umum, namun secara khusus yakni bagi pihak-pihak yang memang sudah memenuhi 2 (dua) persyaratan dalam pajak, antara lain: persyaratan subjektif dan persyaratan objektif. Berdasarkan Penjelasan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pada Pasal 2 Ayat 1, yaitu semua WP yang telah memenuhi baik kewajiban pajak subjektif maupun kewajiban pajak objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan berdasarkan sistem self assessment, wajib mendaftarkan diri pada kantor DJP untuk dicatat sebagai WP dan sekaligus untuk mendapatkan NPWP. Undang-Undang Pajak Penghasilan tidak membedakan pekerjaan atau profesi bagi pihakpihak yang sudah memenuhi kedua persyaratan tersebut. Begitu pula dengan pekerjaan sebagai seorang pendeta di gereja. Hal ini seperti yang telah dijelaskan oleh Suprajadi (2009,
Pengaruh sosialisasi...,Dewi Meta Mutiara Aritonang, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
3
32-33) bahwa dua persyaratan kumulatif tersebut yang dapat memutuskan apakah gereja dan pendeta berkewajiban mendaftarkan diri dan memiliki NPWP. Pertama, gereja dikategorikan dalam kriteria WP badan karena dalam gereja berkumpul lebih dari satu orang yang mempunyai kepentingan yang sama yaitu beribadah. Dalam hal ini kewajiban pajak subjektif untuk gereja yang berkedudukan di Indonesia terpenuhi. Selanjutnya melihat dari aspek penghasilan yang diperoleh gereja termasuk dalam kriteria yang dikenakan dalam UndangUndang Nomor 36 Tahun 2008 tentang PPh Pasal 4 Ayat 1 dan Ayat 2 atau termasuk objek yang dikecualikan dari pengenaan pada Pasal 4 Ayat 3. Penghasilan gereja sepenuhnya berasal dari sumbangan dan bantuan yang dikecualikan sebagai objek PPh pada Pasal 4 Ayat 3 Huruf a Angka 1. Sehingga syarat kedua yakni kewajiban pajak objektif tidak terpenuhi. Artinya gereja tidak wajib mendaftarkan diri dan tidak wajib memiliki NPWP. Kedua, Hamba Tuhan yang melayani dalam hal ini adalah pendeta, dimana sejak dilahirkan sudah memenuhi kewajiban pajak subjektif. Apabila penghasilan yang diperoleh pendeta semata-mata hanya untuk pelayanan, semua kebutuhan pendeta dipenuhi gereja namun sebatas kebutuhan diri pribadi pendeta saja, tidak untuk mencukupi kebutuhan keluarga, dan apabila diperoleh penghasilan lebih atas penghasilan tersebut dikembalikan ke gereja, maka syarat kewajiban pajak objektif tidak terpenuhi. Artinya pendeta tidak wajib mendaftarkan diri dan tidak wajib memiliki NPWP. Penghasilan pendeta ini berupa natura. Akan
tetapi,
menurut
Peraturan
Menteri
Keuangan
Republik
Indonesia
Nomor
252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi dalam Bab IV Penghasilan Yang Dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 pada Pasal 5 Ayat 2 Huruf a dikatakan bahwa Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 termasuk pula penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh bukan Wajib pajak. Dalam Pasal 7 Penghitungan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 atas penghasilan berupa penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Ayat 2 didasarkan pada harga pasar atas barang yang diberikan atau nilai wajar atas pemberian kenikmatan yang diberikan. Penegasan kembali mengenai natura termasuk dalam objek PPh Pasal 21 terdapat dalam Pasal 8 Ayat 1 Huruf b dikatakan bahwa tidak termasuk dalam pengertian penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dalam bentuk apapun diberikan oleh Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Ayat 2. Berbeda jika pendeta memperoleh tunjangan untuk menutup kebutuhan keluarga, memperoleh fasilitas
Pengaruh sosialisasi...,Dewi Meta Mutiara Aritonang, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
4
seperti rumah, kendaraan dalam arti tidak sekedar hanya untuk memenuhi kebutuhan dirinya saja, tetapi juga untuk keluarganya, dan apabila diperoleh hasil lebih tidak dikembalikan ke gereja namun lebih banyak digunakan untuk konsumsi, maka penghasilan yang diperoleh pendeta termasuk yang dikenakan PPh pada Pasal 4 Ayat 1 Huruf a. Dalam hal ini pendeta wajib mendaftarkan diri dan wajib memiliki NPWP. Penghasilan pendeta ini berupa gaji. Bagi pendeta yang wajib mendaftarkan diri dan memiliki NPWP, sedangkan penghasilan yang diperoleh dari badan (gereja) yang tidak wajib mendaftarkan diri dan tidak wajib memiliki NPWP, dimana gereja tidak mempunyai kewajiban untuk melakukan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak, maka pendeta tersebut wajib melaksanakan sendiri penghitungan dan pembayaran PPh yang terutang dalam tahun berjalan serta melaporkannya dalam SPT Tahunan seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang PPh pada Pasal 21 Ayat 2 dan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (PP) Nomor 138 Tahun 2000 Tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan pada Pasal 11. Kesimpulannya, pendeta juga tidak terluput dari upaya sosialisasi perpajakan, baik pendeta yang memenuhi syarat kewajiban pajak subjektif dan syarat kewajiban pajak objektif maupun yang tidak memenuhi keduanya. Sosialisasi perpajakan ini juga diharapkan dapat membantu pendeta dalam memberikan pemahaman lebih baik tentang pajak kepada masyarakat, khususnya kepada jemaat. Selama ini penghasilan pendeta berasal dari persembahan atau dengan kata lain dari sumbangan jemaat saja yang diterima melalui gereja. Pekerjaan yang dilakukan seorang pendeta lebih didominasi dalam bentuk kegiatan keagamaan yang bersifat sosial. Motivasi bekerja pendeta adalah semata-mata ibadah yakni demi melayani Tuhan dan juga bertugas membina jemaatnya. Sehingga banyak pemahaman dari masyarakat, penghasilan yang diperoleh pendeta tidak semestinya dikenakan pajak. Apapun alasannya, pada kenyataannya menurut peraturan perundang-undangan tidak memberi perlakuan istimewa bagi pendeta untuk bebas sepenuhnya dari kewajiban perpajakan. Motivasi orang dalam bekerja yang semata-mata untuk ibadah, semata-mata mencari kekayaan tidak ada pembedaan dalam pengenaan PPh. Kewajiban PPh bagi pendeta muncul setelah mereka memperoleh penghasilan yang merupakan objek pajak (penghasilan/gaji/honor/tunjangan) di atas PTKP dari gereja maupun dari sumber lainnya. Dengan kata lain, mereka telah termasuk sebagai WP. Selanjutnya masing-masing dari mereka (tiap-tiap orang pribadi) tersebut melaksanakan kewajiban perpajakan dengan cara yakni. Pertama, mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP; Kedua, menghitung PPhnya; Ketiga, membayar PPh Pasal 25 dan/atau PPh Pasal 29 dari
Pengaruh sosialisasi...,Dewi Meta Mutiara Aritonang, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
5
penghasilan yang belum atau kurang dipotong; Keempat, menyampaikan laporan SPT Tahunan PPh orang pribadi ke KPP dimana orang pribadi (pendeta) tersebut terdaftar. Berdasarkan uraian diatas penelitian ini menganalisis lebih lanjut mengenai bagaimana pengaruh sosialisasi pajak oleh Direktorat Jenderal Pajak terhadap tingkat kepatuhan pajak penghasilan pendeta (studi pada Gereja Methodist Indonesia Distrik 3 Wilayah II)? Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh sosialisasi pajak oleh Direktorat Jenderal Pajak terhadap tingkat kepatuhan pajak penghasilan pendeta (studi pada Gereja Methodist Indonesia Distrik 3 Wilayah II).
Tinjauan Teoritis Self Assessment System Nurmantu (2003, 108) menjelaskan definisi Self Assessment System, yakni dalam self assessment terdiri dari dua kata bahasa Inggris: self yang artinya sendiri dan to assess yang artinya menilai, menghitung, menaksir. Sehingga kesimpulannya pengertian self assessment adalah menghitung atau menilai sendiri. Jadi WP sendirilah yang menghitung dan menilai pemenuhan kewajiban perpajakannya. Self Assessment System adalah suatu sistem perpajakan yang memberi kepercayaan kepada WP untuk memenuhi dan melaksanakan sendiri kewajiban dan hak perpajakannya. Subjek Pajak Mansury (1996, 33) mengatakan bahwa Subjek Pajak adalah orang yang dituju oleh Undang-Undang untuk dikenakan pajak. Sedangkan menurut Rosdiana dan Irianto, Subjek Pajak adalah siapa saja yang dapat dikenakan pajak atau diwajibkan melaksanakan kewajiban perpajakan (2011, 47). Subjek Pajak dalam PPh terdiri dari Subjek Pajak Badan dan Subjek Pajak Orang Pribadi. Penulisan Subjek Pajak Orang Pribadi terdapat kata ‘‘orang pribadi“ yang memiliki makna manusia yang terdiri dari darah dan daging (natuurlijk persoon) (Mansury, 1994, 72). Dapat dikatakan bahwa semua penduduk Indonesia merupakan subjek pajak penghasilan, dimulai dari usia baru lahir hingga yang sudah berusia tua dan tidak memandang dari profesi atau pekerjaan apapun. Jadi pengertian subjek pajak tidak berkaitan dengan kedudukan atau pekerjaan seseorang, termasuk penduduk Indonesia yang sedang berada di luar negeri. Namun belum tentu semua penduduk Indonesia yang adalah subjek pajak itu harus membayar pajak. Pengenaan pajak yang berdasarkan 2 (dua) syarat (Mansury, 1994, 73), yaitu: 1. Subjek pajak
Pengaruh sosialisasi...,Dewi Meta Mutiara Aritonang, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
6
2. Objek pajak Untuk benar-benar menjadi Wajib Pajak harus memenuhi syarat subjektif dan syarat objektif. Orang pribadi baru dapat dikenakan pajak penghasilan apabila ada objek pajaknya, yaitu penghasilan. Objek Pajak Objek Pajak adalah keadaan-keadaan, perbuatan-perbuatan, dan peristiwa hukum yang dapat dikenakan pajak (Rosdiana dan Irianto, 2011, 47). Definisi penghasilan yang diterima secara umum oleh para ahli ekonomi dengan spesialisasi perpajakan, seperti yang dikutip oleh Mansury (1996, 62-64), yakni yang dikemukakan oleh Schanz, Haig, dan Simons mengenai the accretion theory, dimana satu-satunya teori yang menelorkan konsep penghasilan yang memungkinkan untuk menerapkan the ability to pay approach. Konsep penghasilan yang dikembangkan ketiga ahli tersebut dikenal dengan nama the S-H-S Income Concept dalam literatur fiscal economics, yakni ilmu ekonomi yang khusus mempelajari masalah-masalah fiskal atau perpajakan. Rosdiana dan Irianto (2013, 181) menyatakan bahwa alternatif penerapan konsep Ability to Pay Approach yang paling banyak dipakai adalah dengan melakukan pendekatan pengenaan pajak atas penghasilan, yaitu suatu tambahan ekonomis yang diterima WP pada suatu kurun waktu tertentu. Penghasilan (income) itu sendiri bukanlah merupakan suatu konsep yang sederhana. Penghasilan Tidak Kena Pajak (Personal Tax Exemption) Rosdiana dan Irianto (2013, 185) menjelaskan bahwa Penghasilan Kena Pajak sebagai Dasar Pengenaan Pajak dihitung setelah mengurangi penghasilan bruto dengan berbagai pengurang beban pajak yang diperkenankan oleh undang-undang. Hal ini sebagai konsekuensi dari dipilihnya penghasilan sebagai objek pajak, maka ketentuan pengurang beban pajak menjadi bagian yang tidak bisa dihindari keberadaannya. Jika tidak ada ketentuan pengurang beban pajak, maka sama artinya dengan mengganti PPh dengan pajak penjualan atau pajak atas transaksi. Pengurang beban pajak itu sendiri dapat terdiri dari beragam nama dan bentuk seperti adjustments, deductions, exemptions, allowances, credits. Sosialisasi Pajak Sosialisasi pajak adalah upaya dari DJP khususnya KPP untuk memberikan pengertian, informasi, dan pembinaan kepada masyarakat pada umumnya dan WP pada khususnya mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan peraturan dan perundangundangan perpajakan (Hendarsyah, 2009, 19). Aspek yang akan diperoleh dari penyampaian informasi perpajakan yang dilakukan pemerintah akan sangat mempengaruhi kesadaran WP dalam membayar pajak berdasarkan dimensi sosialisasi dari Soekanto (2002, 65), antara lain:
Pengaruh sosialisasi...,Dewi Meta Mutiara Aritonang, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
7
1. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Sosialisasi 2. Media Sosialisasi 3. Bentuk Sosialisasi 4. Kualitas Informasi Sosialisasi 5. Tujuan dan Manfaat Sosialisasi 6. Pengetahuan Petugas Sosialisasi Kepatuhan Pajak Safri Nurmantu (2003, 148)
mendefinisikan kepatuhan perpajakan sebagai suatu
keadaan dimana WP memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya. Ada 2 (dua) macam kepatuhan, yaitu kepatuhan formal dan kepatuhan material. Kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana WP memenuhi kewajiban perpajakan secara formal sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang perpajakan. Sedangkan kepatuhan material adalah suatu keadaan dimana WP secara substansif/hakekat memenuhi semua ketentuan material perpajakan, yakni sesuai isi dan jiwa undang-undang perpajakan. Kepatuhan material dapat meliputi juga kepatuhan formal. Contoh kepatuhan formal adalah ketentuan batas waktu penyampaian SPT PPh Tahunan adalah selambatnya 3 bulan sesudah berakhir tahun pajak, yang pada umumnya adalah tanggal 31 Maret. Jika WP menyampaikan SPT PPh Tahunan sebelum tanggal 31 Maret tersebut, maka dapat dikatakan, bahwa WP tersebut telah memenuhi kepatuhan formal. Apakah isi SPT tersebut nantinya akan sesuai dengan ketentuan materialnya masih dapat dipertanyakan kembali. Jadi disini yang lebih ditekankan dan dipenuhi oleh WP adalah memenuhi ketentuan penyampaian SPT sebelum batas waktu (deadline). Kepatuhan material dapat digambarkan WP yang mengisi SPT PPh Tahunan dengan jujur, baik, dan benar sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang PPh dan menyampaikan SPT tersebut ke KPP sebelum batas waktu (Nurmantu, 2003, 149). Seorang ahli yang bernama Pyle (1991) dalam Torgler (2007, 4) yang mengkritik asumsi bahwa individuals are amoral utility maximizers: ‘Casual observation suggests that not all individuals think quite like that. Indeed, it seems that whilst the odds are heavily in favour of evaders getting away with it, the vast majority of taxpayers behave honestly’ (173). Kepatuhan pajak yang dimiliki oleh WP tergantung pada dirinya sendiri mengenai pajak. Seseorang yang memiliki moral pajak yang tinggi maka dengan sendirinya orang tersebut akan memiliki kesadaran akan pajak yang pada akhirnya timbul kepatuhan pajak.
Pengaruh sosialisasi...,Dewi Meta Mutiara Aritonang, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
8
Namun sayangnya banyak orang yang telah memiliki anggapan bahwa sekarang ini banyak orang telah kehilangan moral pajaknya, sehingga kesadaran membayar pajak pun berkurang dan pada akhirnya tingkat kepatuhan pajak menurun. Metode Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif, yakni penelitian dengan menguji teori-teori tertentu dengan cara meneliti hubungan antarvariabel. Dalam penelitian ini, pendekatan kuantitatif digunakan untuk mengukur pengaruh dari sosialisasi pajak oleh Direktorat Jenderal Pajak terhadap tingkat kepatuhan pajak penghasilan pendeta. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pendeta di Gereja Methodist Indonesia Distrik 3 Wilayah II. Jumlah pendeta di Distrik 3 Wilayah II sejak Februari 2014 hingga Juni 2014 adalah sebanyak 38 (tiga puluh delapan) orang. Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik Total Sampling/Sampel Jenuh. Sampel dalam penelitian ini sama dengan jumlah populasinya sebanyak 38 (tiga puluh delapan) orang pendeta. Dalam penelitian ini, informan yang akan diwawancarai terdiri dari: 1. Akademisi Perpajakan Prof. Safri Nurmantu sebagai Dosen Pajak Penghasilan Orang Pribadi di program Administrasi Fiskal FISIP UI. 2. Direktorat Jenderal Pajak a. Richard Burton sebagai Kasubdit Kerjasama, Ekstensifikasi, dan Penilaian di Kanwil Jakarta Selatan KPDDJP. b. Rachmat Setyono sebagai Kepala Seksi Dokumentasi dan Kepustakaan di Kantor Pusat DJP bagian Pelayanan, Penyuluhan, dan Hubungan Masyarakat. Analisis data kuantitatif dimulai dengan pengkodean data (data coding) yang ada dalam kuesioner. Untuk pertanyaan terbuka, jawaban yang diperoleh dari responden diinventarisir terlebih dahulu, untuk kemudian diberikan kode sesuai dengan kepentingan analisis data. Data yang telah diubah menjadi kode kemudian akan dipindahkan ke dalam mesin pengolah data SPSS (Statistical Package for Social Science). Langkah selanjutnya adalah memastikan bahwa seluruh data yang telah dimasukkan ke dalam mesin pengolah data sudah sesuai dengan yang sebenarnya (data cleaning). Setelah data di SPSS sudah bersih dari kesalahan dan kode-kode sudah diberikan sesuai dengan jenis pertanyaan yang berkaitan dengan hipotesiss, langkah berikutnya adalah melakukan penghitungan hasil jawaban melalui SPSS dan hasil tersebut dikeluarkan dalam bentuk luaran data (data output), yakni grafik atau tabel yang akan digunakan dalam bab analisis.
Pengaruh sosialisasi...,Dewi Meta Mutiara Aritonang, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
9
Sedangkan dalam analisis data kualitatif diawali dengan mengorganisasikan data, memilah, mensitesiskannya, kemudian mencari dan menemukan pola untuk dapat memutuskan bagian yang penting dan dapat diceritakan kepada orang lain, hal ini sesuai dengan pengertian analisis data kualitatif menurut Bogdan dan Biklen sebagaimana dijelaskan dalam Cresswell (2003, 141). Dalam penelitian ini, analisis diawali dengan melakukan general review untuk mendapatkan gambaran utuh dan menyeluruh atas data yang telah berhasil dikumpulkan. Setelah itu, proses coding akan dilakukan dalam tiga tahap, yaitu open coding, axial coding, dan selective coding seperti yang dikatakan oleh Neuman (2003, 441). Pengkodean data dalam penelitian kualitatif dilakukan dengan mengorganisasikan data ke dalam kategori-kategori yang kemudian akan ditentukan oleh peneliti apakah data tersebut dapat digunakan dalam melakukan analisis. Site dalam penelitian ini adalah tempat yang dapat mendukung penelitian dan relevan dengan permasalahan yang akan diteliti. Adapun yang menjadi site penelitian antara lain adalah Gereja Methodist Indonesia Distrik 3 Wilayah II. Wawancara mendalam yang dilakukan sebagai pendukung data dalam pendekatan penelitian kuantitatif membuat site dalam penelitian ini termasuk juga Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Mandala Indonesia (STIAMI), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia dan Kantor Direktorat Jenderal Pajak. Keabsahan Data Keabsahan data diukur berdasarkan pengujian validitas instrumen dan pengujian reliabilitas instrumen. Tingkat pengembalian kuesioner dalam penelitian ini adalah 100% (seratus persen) dari jumlah responden yang telah ditetapkan yaitu 38 (tiga puluh delapan) orang. Kuesioner yang diberikan kepada responden yang bersangkutan telah kembali sebanyak 38 (tiga puluh delapan). Validitas Metode Kuantitatif Validitas terkait dengan sejauh mana ketepatan dan kecermatan alat ukur dalam melakukan fungsi ukurannya. Dalam penelitian ini pengukuran validitas dilakukan dengan menggunakan perhitungan korelasi product moment dari Pearson. Syarat minimum adalah bila nilai korelasi (r) = 0,444; sedangkan korelasi antar butir pertanyaan dengan skor total kurang dari 0,444 (r < 0,444), maka butir instrument tersebut dinyatakan tidak valid (Arikunto, 2006, 170). Validitas terhadap hasil kuesioner didukung pula dengan probing yang diadakan setelah kuesioner diisi oleh responden. Probing yang dilakukan dengan mewawancarai secara langsung kepada beberapa responden, yakni bertanya mengenai alasan responden memberikan jawaban kuesioner seperti itu. Selain itu, probing dilakukan juga bertujuan untuk mengetahui apakah responden memberikan jawaban yang sebenarnya atau
Pengaruh sosialisasi...,Dewi Meta Mutiara Aritonang, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
10
tidak, serta mengetahui sejauhmana pengetahuan responden mengenai pajak. Adapun rumus korelasi product moment yang dijelaskan oleh Siregar (2013, 48) adalah sebagai berikut: (3.1)
Dimana: n = Jumlah responden X = Skor variabel (jawaban responden) Y = Skor total dari variabel (jawaban responden) Pengujian Reliabilitas Instrumen Reliabilitas Metode Kuantitatif Reliabilitas adalah untuk mengetahui sejauh mana hasil pengukuran tetap konsisten apabila tetap dilakukan pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala yang sama dengan menggunakan alat pengukur yang sama pula (Siregar, 2013, 55). Pada penelitian ini digunakan metode pegukuran reliabilitas Alpha Cronbach. Dalam teknik ini, kriteria suatu instrumen penelitian dikatakan reliable apabila koefisien reliabilitas (r11) > 0,60 melalui rumus: (3.3)
Di mana: k
= Jumlah butir pertanyaan = Jumlah varians butir = Varians total
Reliabilitas Metode Kualitatif Reliabilitas data dalam penelitian ini adalah dengan mentriangulasi (triangulate) sumber-sumber data yang berbeda dengan memeriksa bukti-bukti yang berasal dari sumbersumber tersebut dan menggunakannya untuk membangun justifikasi tema-tema secara koheren. Tema-tema yang dibangun berdasarkan sejumlah sumber data atau perspektif dari partisipan akan menambah validitas penelitian. Triangulasi adalah suatu pendekatan analisa data yang mensintesa data dari berbagai sumber (Creswell, 2003, 286). Triangulasi dapat berupa triangulasi sumber, triangulasi teknik pengumpulan data, dan triangulasi waktu.
Pengaruh sosialisasi...,Dewi Meta Mutiara Aritonang, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
11
Triangulasi yang peneliti lakukan dalam penelitian ini adalah triangulasi sumber dan triangulasi teknik pengumpulan data. Triangulasi sumber adalah triangulasi yang dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan wawancara dan cek silang data kepada Kasubdit Penyuluhan di Direktorat Jenderal Pajak. Selain itu, triangulasi juga dilakukan melalui cek silang kepada Akademisi Perpajakan. Dari data yang ada, kemudian dianalisis kembali perbedaan dan kesamaan yang muncul untuk selanjutnya dimintakan kesepakatan-kesepakatan dari sumber-sumber tersebut sebelum dijadikan data final yang digunakan dalam penelitian ini. Sedangkan triangulasi teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara melakukan pengecekan terhadap data kepada sumber yang sama namun dengan teknik yang berbeda. Dalam penelitian ini, selain melalui wawancara, peneliti melakukan survei secara langsung. Apabila melalui teknik tersebut ditemukan perbedaan data, maka diskusi lebih lanjut dapat dilakukan kepada sumber data yang bersangkutan dan pihak lain guna memastikan data mana yang dianggap paling benar dan dapat digunakan sebagai bahan penelitian ini. Pembahasan Pengaruh Sosialisasi Pajak Terhadap Tingkat Kepatuhan Pajak Penghasilan Sebelum dilakukan analisis regresi yang akan digunakan untuk menguji pengaruh sosialisasi pajak oleh DJP terhadap tingkat kepatuhan pajak penghasilan pendeta, terlebih dahulu penelitian melakukan uji korelasi, yaitu untuk melihat hubungan sosialisasi pajak terhadap tingkat kepatuhan pajak. Analisis regresi dalam penelitian ini meliputi analisis terhadap koefisien korelasi, koefisien determinasi, dan regresi linier, dan pengujian hipotesis.
Tingkat Kepatuhan Pajak
Tabel 1.1 Koefisien Korelasi Correlations Tingkat Kepatuhan Pajak Pearson Correlation 1
Sig. (2-tailed) N Sosialisasi Pajak Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed)
33 .498** .001 33
Sosialisasi Pajak .498** .001 33 1 33
Sumber: data primer (2014)
Pengaruh sosialisasi...,Dewi Meta Mutiara Aritonang, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
12
Berdasarkan Tabel 1.1 tersebut diketahui bahwa terdapat hubungan positif antara sosialisasi pajak terhadap kepatuhan pajak, yaitu ditunjukkan dengan nilai R = 0,498 dan pvalue 0,001 < 0,05. Karena ada hubungan antara sosialisasi pajak dengan tingkat kepatuhan pajak, maka dapat dikatakan H0 dalam penelitian ini ditolak. Berdasarkan ketentuan Pearson Correlation yang ada, ukuran dalam persentase dari kekuatan korelasi dapat memiliki arti sebagai berikut (5.1): 1) 0% - 20% berarti sangat lemah 2) 21% - 40% berarti lemah 3) 41% - 60% berarti cukup kuat 4) 61% - 80% berarti kuat 5) 81% - 100% berarti sangat kuat Kekuatan korelasi yang ditunjukkan nilai R = 49,8% berarti dapat dikatakan bahwa antara sosialisasi pajak terhadap tingkat kepatuhan pajak bersifat cukup kuat. Tahap selanjutnya melihat besarnya kontribusi sosialisasi pajak terhadap tingkat kepatuhan pajak dengan melihat dari Tabel 1.2 berikut Tabel 1.2 Koefisien Determinasi Model Summary Model
R
R Square
Adjusted R Square
Std. Error of the Estimate
.227
3.980
.498a .248 a. Predictors: (Constant), Sosialisasi Pajak 1
Sumber: data primer (2014)
Berdasarkan Tabel 1.2 tersebut, dapat terlihat nilai koefisien determinasi sebesar 0,248. Artinya variabel X yakni sosialisasi pajak memberikan kontribusi terhadap variabel Y yakni tingkat kepatuhan pajak sebesar 24,8% Sisanya sebesar 75,2% disebabkan oleh variabel lain. Variabel lain sebesar 75,2% tersebut yang mempengaruhi tingkat kepatuhan pajak menurut responden antara lain: 1. tingkat pengetahuan WP terhadap pajak, 2. fungsi pajak bagi negara, 3. administrasi pajak yang tidak rumit, 4. penggunaan pajak yang dilaporkan secara transparan, 5. evaluasi pembayaran pajak yang harus dilakukan secara langsung oleh petugas pajak, 6. reformasi pajak secara berkesinambungan, 7. kesadaran berbangsa dan bernegara yang dimiliki oleh setiap warga negara indonesia, dan
Pengaruh sosialisasi...,Dewi Meta Mutiara Aritonang, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
13
8. peningkatan pelayanan oleh petugas pajak. Persamaan regresi linear yang dapat mencerminkan pengaruh sosialisasi pajak terhadap tingkat kepatuhan pajak berdasarkan Tabel 5.3 berikut. Tabel 1.3 Koefisien Coefficientsa Unstandardized Standardized Coefficients Coefficients B Std. Error Beta .608 3.047 .498 .118 .034
Model 1
(Constant) Sosialisasi Pajak
t
Sig.
.856 3.448
.398 .001
a. Dependent Variable: Tingkat Kepatuhan Pajak Sumber: data primer (2014)
Berdasarkan Tabel 1.3 tersebut, persamaan garis linearnya sebagai berikut. Y = 0,608 + 0,118X Hal ini ditunjukkan oleh besarnya koefisien regresi pada kolom B, di mana koefisien constant menggantikan a dan koefisien sosialisasi pajak menggantikan b dalam persamaan umum regresi linier sederhana yang berbentuk Y = a+bX (5.2). Persamaan tersebut menunjukkan bahwa skor tingkat kepatuhan pajak (variabel Y) akan mengalami peningkatan sebesar 0,608 bila terjadi peningkatan sebesar 1 poin pada sosialisasi pajak (variabel X). Setelah mengetahui persamaan garis linear yang telah dibuat, maka tahap selanjutnya menguji hipotesis dengan menggunakan uji F dapat dilihat dalam Tabel 1.4 berikut. Tabel 1.4 Anova ANOVAb Model Sum of Squares 1 Regression 188.297 Residual 570.255 Total 758.553 a. Predictors: (Constant), Sosialisasi Pajak
df 1 36 37
Mean Square 188.297 15.840
F 11.887
Sig. .001a
b. Dependent Variable: Tingkat Kepatuhan Pajak Sumber: data primer (2014)
Berdasarkan Tabel 1.1 tersebut memberikan simpulan sebagai berikut: H0 :
β = 0 (sosialisasi pajak oleh DJP tidak mempengaruhi tingkat kepatuhan PPh pendeta)
H1:
β ≠ 0 (sosialisasi pajak oleh DJP mempengaruhi tingkat kepatuhan PPh pendeta) Tingkat signifikansi (α) yang digunakan dalam penelitian ini adalah 5%. Statistik hitung F
adalah 11,887 (berdasarkan Tabel 1.4 pada kolom F, baris regression). Statistik tabel F dengan numerator=1 (berdasarkan Tabel 1.4 pada kolom df, baris regression),
Pengaruh sosialisasi...,Dewi Meta Mutiara Aritonang, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
14
denominator=36 (berdasarkan Tabel 1.4 pada kolom df, baris residual), dan α=5% adalah 4,11. P-value yang diperoleh untuk pengujian ini adalah 0,001 (berdasarkan Tabel 5.1 kolom sig., baris sosialisasi pajak). Kriteria penolakan H0 dalam pengujian hipotesis ini adalah (1.1): 1. Fhitung > Ftabel , maka H0 ditolak, H1 diterima 2. p-value < α, maka H0 ditolak, dan H1 diterima Fhitung: 11,887 > Ftabel: 4,11 dan pada α=5%, keputusannya adalah H0 ditolak, H1 diterima, yaitu terdapat pengaruh sosialisasi pajak oleh DJP terhadap tingkat kepatuhan pajak penghasilan pendeta. Nilai p-value < α, (0,001 < 0,05), artinya H0 yang dirumuskan dalam penelitian ini harus ditolak, sedangkan H1 yang dirumuskan harus diterima. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa terdapat pengaruh yang cukup signifikan dari sosialisasi pajak oleh DJP terhadap tingkat kepatuhan pajak penghasilan pendeta. Berdasarkan analisis data yang dilakukan, diketahui bahwa terdapat hubungan positif antara sosialisasi pajak oleh DJP terhadap tingkat kepatuhan pajak penghasilan pendeta. Kekuatan korelasi yang bernilai 49,8% yang bersifat cukup kuat. Di samping itu, diketahui juga bahwa besarnya kontribusi sosialisasi pajak terhadap tingkat kepatuhan pajak sebesar 24,8% sedangkan sisanya sebesar 75,2% disebabkan oleh variabel lain, sehingga dapat dikatakan tingkat kontribusinya relatif rendah. Analisis data yang dilakukan juga menunjukkan bahwa persamaan regresi linier yang dapat mencerminkan pengaruh sosialisasi pajak terhadap tingkat kepatuhan pajak adalah: Y = 0,608 + 0,118X Namun demikian, pengaruh sosialisasi pajak terhadap tingkat kepatuhan pajak yang ada dapat dikatakan signifikan. Pengujian hipotesis regresi dengan menggunakan uji F menunjukkan bahwa pada α = 5%, H0 ditolak dan H1 diterima. Dengan demikian, terdapat pengaruh cukup signifikan sosialisasi pajak oleh DJP terhadap tingkat kepatuhan pajak penghasilan pendeta. Kekuatan korelasi antara sosialisasi pajak oleh DJP terhadap tingkat kepatuhan pajak penghasilan pendeta yang sebesar 49,8% tersebut memang hanya termasuk dalam kategori cukup kuat, tetapi sosialisasi pajak tetap harus dilakukan bagi para pendeta. Ketidaktahuan pendeta bahwa seorang pendeta pun wajib membayar pajak penghasilan terlihat dari adanya sikap yang tidak senang, sehingga keluar protes yang merasa bahwa pendeta tidak memiliki kewajiban membayar pajak. Dari 33 (tiga puluh tiga) orang responden yang disurvei, ada beberapa pendeta yang mengatakan bahwa mereka bukan termasuk WP dan pajak yang dibayarkan adalah nihil atau mendapatkan fasilitas khusus. Salah satunya ada yang mengatakan,
Pengaruh sosialisasi...,Dewi Meta Mutiara Aritonang, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
15
Saya sudah membayar pajak dalam banyak hal: belanja di Mall, makan di restaurant, pajak ATM, persepuluhan gereja, dan sebagainya. Apakah saya harus dikenakan pajak atas penghasilan lagi? Bukankah pendeta mendapatkan fasilitas khusus untuk itu? (Hasil Jawaban Kuesioner, 6 Mei 2014) Peran DJP dalam melakukan sosialisasi harus mampu menjelaskan ketidaktahuan para pendeta tersebut seperti yang dikatakan oleh informan dari akademisi berikut, Sosialisasi itu kan supaya mereka mengerti kan. …, kalau masih ada suara-suara begitu berarti belum efektif sosialisasinya. Artinya mungkin tidak terjadi dialog pada saat itu, pak pendeta:’pak kami berkeberatan nih pak pajak, kami ini kan hanya melayani Tuhan dan melayani apa namanya umat ya, kenapa dikenai pajak?’ kan mestinya dijelaskan, semua orang melayani sih, pemerintah melayani rakyat kan, dosen melayani mahasiswa, pendeta melayani umatnya, jadi sama saja. (Wawancara dengan Bapak Prof. Safri Nurmantu, 26 Mei 2014) Pengenaan pajak atas penghasilan pendeta tidak pernah ada pembedaan didalam Undang-Undang Pajak Penghasilan yang berlaku. Tidak semestinya pendeta merasa diistimewakan karena pekerjaannya dan Sumber penghasilan yang diperolehnya dari gereja. Hal ini juga sejalan dengan yang dikatakan oleh penulis buku mengenai pajak penghasilan pendeta berikut, Pendeta sama saja berlaku dengan umum. Sebenarnya kan gini sebenarnya pendeta ga ada pengecualian khusus. Ada pendeta kek, ada ustad, ada apapun, Hindu atau apapun. Ketentuan PPh itu berlaku umum kepada semua orang, semua orang yang sudah punya penghasilan…. (Wawancara dengan Bapak Richard Burton, 28 Mei 2014) Pada dasarnya definisi dari sosialisasi pajak itu sendiri adalah upaya dari DJP khususnya KPP untuk memberikan pengertian, informasi, dan pembinaan kepada masyarakat pada umumnya dan WP pada khususnya mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan peraturan dan perundang-undangan perpajakan (Hendarsyah, 2009, 19). Kepatuhan WP itu sendiri dikemukakan oleh Nurmantu (2003, 148)
mendefinisikan kepatuhan perpajakan
sebagai suatu keadaan dimana WP memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya. Seringkali
para
pendeta
tidak
mendapatkan
sosialisasi
dan
menimbulkan
ketidaktahuannya terhadap perpajakan dan pada akhirnya menyebabkan tidak patuh terhadap pajak. Padahal para pendeta tersebut memiliki keinginan untuk diadakannya sosialisasi tersebut. Hal ini banyak diungkapkan oleh beberapa pendeta yang terpilih sebagai responden dalam penelitian ini, yakni ingin diadakan penyuluhan atau sosialisasi terutama mengenai form SPT yang harus diisi para rohaniwan. Sosialisasi yang kurang memadai dan sedikitnya informasi dapat diperoleh pendeta menjadi kendala bahwa sebenarnya pendeta pun ingin
Pengaruh sosialisasi...,Dewi Meta Mutiara Aritonang, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
16
patuh, seperti yang tercermin dalam situasi di mana WP paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, seperti yang dikemukakan oleh Nowak (dalam Zain, 2004), yang dikutip oleh Devano dan Rahayu (2006, 110), sebagai suatu iklim kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan, tercermin dalam situasi di mana salah satunya adalah WP paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Pada kenyataannya hal yang paling disayangkan adalah DJP tidak dapat setiap tahun melakukan sosialisasi, karena memiliki kendala dalam anggaran, hal ini seperti diungkapkan oleh informan dari pihak DJP berikut Kendala … ya uang, anggaran. Jadi tiap tahun kita drop khusus untuk penyuluhan tambahan anggaran apabila anggarannya kurang ke setiap unit sekitar 55 (lima puluh lima) juta. Jangan dibandingkan dengan iklan ya mungkin miliaran, kalau untuk penyuluhan ya seadanya saja. Mata anggaran kegiatan (MAP), umumnya penyuluhan tapi ada anak-anaknya lagi termasuk didalamnya sosialisasi. (Wawancara dengan Bapak Rachmat Soetyono, 28 Mei 2014) Devano dan Rahayu (2006, 81) mengatakan bahwa tata cara pemungutan pajak dengan self assessment system akan berhasil dengan baik apabila masyarakat mempunyai pengetahuan dan disiplin pajak yang tinggi, dimana ciri-ciri self assessment system adalah adanya kepastian hukum, sederhana penghitungannya, mudah pelaksanaannya, lebih adil dan merata, dan penghitungan pajak dilakukan oleh WP. Pengetahuan dan disiplin pajak yang tinggi dapat diperoleh apabila para pendeta mendapatkan sosialisasi pajak dari DJP. Para pendeta juga harus memperhatikan setiap sosialisasi yang dilakukan oleh DJP dengan berbagai macam media yang telah ada, seperti iklan pajak, spanduk, dan sebagainya. Pihak gereja pun dapat menjadi sarana dan berperan aktif untuk mengadakan kerjasama dengan pihak DJP untuk melaksanakan kegiatan sosialisasi pajak di masing-masing daerah atau gereja lokal. Sehingga disini peran aktif tidak hanya berasal dari DJP saja, melainkan dari pihak pendeta maupun pihak gereja sebagai WP Badan (organisasi) yang menaungi para pendeta tersebut. Simpulan Berdasarkan hasil analisis penelitian yang telah dilakukan, maka diperoleh kesimpulan bahwa terdapat pengaruh yang cukup signifikan antara sosialisasi pajak oleh DJP terhadap tingkat kepatuhan pajak penghasilan pendeta di Gereja Methodist Indonesia Distrik 3 Wilayah II. Saran
Pengaruh sosialisasi...,Dewi Meta Mutiara Aritonang, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
17
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, saran yang dapat diberikan adalah sosialisasi pajak oleh DJP terhadap pendeta hendaknya lebih ditingkatkan lagi dan dilakukan secara berkesinambungan setiap tahun. Bentuk sosialisasi yang diberikan dapat melalui penyuluhan di masing-masing gereja secara langsung sehingga informasi yang disampaikan dapat diterima oleh pendeta lebih jelas melalui diskusi dengan petugas sosialisasi pajak tersebut.
DAFTAR REFERENSI Buku Creswell, John W. Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches; Second Edition. California: Sage Publications, 2003. Devano, Sony, dan Siti Kurnia Rahayu. Perpajakan: Konsep, Teori, dan Isu. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006. Gereja Methodist Indonesia. Almanak Gereja Methodist Indonesia 2014. Medan: GMI, 2013. Mansury, R. Panduan Konsep Utama Pajak Penghasilan Indonesia. Jakarta: PT. Bina Rena Pariwara (BRP), 1994. --------------. Pajak Penghasilan Lanjutan. Jakarta: Ind-Hill Co, 1996. --------------. Pajak Penghasilan Lanjutan Pasca Reformasi 2000. Jakarta: Yayasan Pengembangan dan Penyebaran Pengetahuan Perpajakan (YP4), 2002. Mardiasmo. Perpajakan. Ed. Revisi. Yogyakarta: Andi, 2013. Markus, Muda. Perpajakan Indonesia: Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005. Neuman, William Lawrence. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approache; Fifth Edition. Boston: Pearson Education, 2003. Nurmantu, Safri. Pengantar Perpajakan; Edisi 2. Jakarta: Granit, 2003. Prasetyo, Bambang, dan Lina Miftahul Jannah. Metode Penelitian Kuantitatif: Teori dan Aplikasi. Jakarta: Rajawali Pers, 2012. Rosdiana, Haula, dan Edi Slamet Irianto. Panduan Lengkap Tata Cara Perpajakan di Indonesia. Jakarta: Visimedia, 2011. --------------. Pengantar Ilmu Pajak: Kebijakan dan Implementasi di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2013. Sangadji, Etta Mamang. Metodologi Penelitian: Pendekatan Praktis dalam Penelitian. Yogyakarta : Andi, 2010. Sari, Diana. Konsep Dasar Perpajakan. Bandung: Refika Aditama, 2013. Siregar, Syofian. Metode Penelitian Kuantitatif: Dilengkapi dengan Perbandingan Perhitungan Manual & SPSS Edisi Pertama. Jakarta: Penerbit Kencana, 2013. Soerjono, Soekanto. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002. Syafiie, Inu Kencana. Ilmu Administrasi Publik; Edisi Revisi. Jakarta: Rineka Cipta, 2006. Tambunan, Sumihar Petrus, Liberty Pandiangan, dan Richard Burton, ed. Pajak Menurut Teologi Kristen. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2006. Tansuria, Billy Ivan. Pajak Penghasilan: Pemotongan dan Pemungutan. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010. Torgler, Benno. Tax Compliance And Tax Morale : A Theoretical And Empirical Analysis. Massachusetts: Edward Elgar Publishing Limited, 2007. Karya Akademis
Pengaruh sosialisasi...,Dewi Meta Mutiara Aritonang, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
18
Hendarsyah, Deni. Pengaruh Sosialisasi Perpajakan, Kualitas Pelayanan, dan Sanksi Perpajakan Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak: Skripsi. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional Veteran, 2009. Soebagyo, Ivan Somolegyono. Pengaruh Sosialisasi Oleh Ditjen Pajak Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Pada KPP Jakarta Kemayoran: Tesis. Depok: Perpustakaan Universitas Indonesia, 2005. Yohannah, Esther. Tinjauan Atas Sosialisasi Peraturan Perpajakan Dan Kinerja Account Representative Dalam Upaya Peningkatan Kepatuhan Wajib Pajak (Studi Kasus KPP Pratama Jakarta Pademangan): Skripsi. Depok: Perpustakaan Universitas Indonesia, 2012. Jurnal Ilmiah Rustiyaningsih, Sri. “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan Wajib Pajak.” Jurnal Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Katolik Widya Mandala Madiun (2011) Widya Warta No.2 Tahun XXXV. Suprajadi, Lusy. “Kewajiban Pajak Subjektif dan Objektif Untuk Menentukan Kewajiban Memiliki NPWP.” Jurnal Fakultas Ekonomi Universitas Katolik Parahyangan (2009) Vol. 13, No. 1. Wawancara Cornelius, Sony. Komunikasi Pribadi secara Langsung. 6 Mei 2014. Mardianis, Yustin. Komunikasi Pribadi melalui Blackberry Messenger. 2 Maret 2014. Manurung, Lindung. Komunikasi Pribadi secara Langsung. 6 Mei 2014. Rida. Komunikasi Pribadi secara Langsung. 6 Mei 2014. Saragih, Fanny. Komunikasi Pribadi secara Langsung. 19 Juni 2014. Sidabutar, Larasanti. Komunikasi Pribadi melalui Blackberry Messenger. 20 Juni 2014. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Penjelasan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (PP) Nomor 138 Tahun 2000 Tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 74/PMK.03/2012 Tentang Tata Cara Penetapan Dan Pencabutan Penetapan Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu Dalam Rangka Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak. Publikasi Elektronik Badan Pusat Statistik. Realisasi Penerimaan Negara (Milyar Rupiah) 2007-2013. 2013. 25 Januari 2014.
. Direktorat Jenderal Pajak. Membangun Kesadaran Dan Kepedulian Sukarela Wajib Pajak. Oleh Herry Susanto. 2012. 1 Februari 2014. . Direktorat Jenderal Pajak. Bagaimana ya Cara Terbaik Meningkatkan Kepatuhan Wajib Pajak?. Oleh Wiyoso Hadi. 2012. 8 Februari 2014. . Direktorat Jenderal Pajak. Sosialisasi Perpajakan dengan Pendeta dan Pendeta dan Pengurus Gereja Toraja. 2013. 15 Februari 2014.
Pengaruh sosialisasi...,Dewi Meta Mutiara Aritonang, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
19
. Direktorat Jenderal Pajak. Kompleksitas Kepatuhan Pajak. Oleh Surya Manurung. 2013. 15 Februari 2014. . Direktorat Jenderal Pajak. Strategi Meningkatkan Kepatuhan Wajib Pajak. 2012. 22 Februari 2014. . Direktorat Jenderal Pajak. Sosialisasi. 2011-2013. 23 Maret 2014. . Sitanggang, Wilson. “Sosialisasi Perpajakan (Sunset Policy), Kewajiban NPWP, pendaftaran dan pencetakan kartu NPWP di HKBP Slipi”. Online Posting 25 February 2009. Pendeta dan NPWP. 8 Februari 2014. . Tangke, PM. “Gereja dan Hukum Pajak/Retribusi”. 2013. 1 Februari 2014. . “Dirjen Pajak: Indonesia Butuh Banyak Pegawai Pajak”. BeritaSatu.com 22 November 2014. 20 Juni 2014 . “Sunset Policy”. Registered Tax Consultants. 2009. Omni Sukses Utama. 20 Juni 2014.
Pengaruh sosialisasi...,Dewi Meta Mutiara Aritonang, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Pengaruh sosialisasi...,Dewi Meta Mutiara Aritonang, FISIP UI, 2014