FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU IBU DALAM PENCARIAN PENGOBATAN PNEUMONIA PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PANCORAN MAS DEPOK TAHUN 2013 Andham Dewi1, Caroline Endah Wuryaningsih2 1
Mahasiswa Peminatan Promosi Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
2
Staff Pengajar Peminatan Promosi Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
ABSTRAK Berdasarkan data dari WHO, Indonesia menempati posisi keenam dengan kasus pneumonia balita tertinggi di dunia. Cakupan penemuan pneumonia pada tahun 2010 adalah sebesar 23 %, dengan jumlah kasus yang ditemukan sebanyak 499.259 kasus (Profil Kesehatan Indonesia 2010). Survei Kesehatan Nasional 2011 mencatat sekitar 27,6% balita di Indonesia meninggal karena pneumonia. Keterlambatan pencarian pengobatan merupakan salah satu penyebab tingginya angka kematian balita (Peni, 2010). Hanya 54% anak dengan pneumonia di negara berkembang yang dilaporkan dibawa ke pelayanan kesehatan yang berkualitas (Wardlaw, 2006). Penelitian ini membahas mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku ibu dalam pencarian pengobatan pneumonia pada balita di wilayah kerja Puskesmas Pancoran Mas Depok tahun 2013. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan desain studi cross sectional. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara dengan menggunakan alat bantu kuesioner. Hasil penelitian menunjukkan bahwa umur (p=0,039), akses pelayanan kesehatan (p=0,048), dan persepsi keseriusan penyakit (p=0,034) mempunyai hubungan yang bermakna dengan perilaku pencarian pengobatan. Saran yang diberikan adalah perlunya pendidikan kesehatan tentang pneumonia kepada tenaga kesehatan, kader, dan masyarakat. Kata kunci: perilaku pencarian pengobatan, pneumonia, balita ABSTRACT Based on research by WHO, Indonesia occupies the sixth position with the most pneumonia cases on under-fives children. Cases coverage of pneumonia in 2010 is about 23% or about 499 259 cases (Profil Kesehatan Indonesia 2010). Survei Kesehatan Nasional 2011 recorded around 27.6% of under-fives childrem in Indonesia died because of pneumonia. Delay in treatment seeking is one of the causes of the high mortality rate (Peni, 2010). Only 54% of children with pneumonia in developing countries are reportedly taken to quality health services (Wardlaw, 2006). The focus of this study is factors related to mother’s health seeking behaviour on under-fives children suffered from pneumonia in working area of Pancoran Mas Community Health Center Depok. This study was conducted through cross sectional study design. Data collecting was done through interview based on questionnaire. According to bivariate analysis, there are 3 factors related to health seeking behaviour, which is age (p=0,039), health care accessibility (p=0,048), and percieved seriousness (p=0,034). Based on study results, it is suggested that health education about pneumonia for health personnel and community is needed. Kata kunci: health seeking behaviour, pneumonia, under-fives children
1
Faktor-faktor..., Andham Dewi, FKM-UI, 2013
Universitas Indonesia
2
PENDAHULUAN Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan salah satu penyebab kematian pada bayi dan balita yang menjadi masalah kesehatan dunia, khususnya bagi negara berkembang. World Health Organization (WHO) memperkirakan insiden ISPA di negara berkembang dengan angka kematian balita di atas 40 per 1000 kelahiran hidup adalah 15-20% pertahun. Di Indonesia, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 prevalensi nasional ISPA mencapai 25,5%. Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia 2010, infeksi saluran napas bagian atas akut non-pneumonia merupakan penyakit terbanyak pada pasien rawat jalan di rumah sakit pada tahun 2010 dengan jumlah 291.356 kasus. Penyakit infeksi saluran napas bagian atas akut non-pneumonia juga termasuk dalam pola 10 besar penyakit terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit tahun 2010 dengan jumlah kasus 17.918 dan CFR 3,29%. Berdasarkan tingkat umur, usia dengan prevalensi tertinggi penderita ISPA adalah pada usia bayi (<1 tahun) yaitu 35,92% dan balita (1-4 tahun) yaitu 42,53% (Riskesdas 2007). ISPA adalah penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih saluran napas mulai dari hidung, hingga alveoli termasuk jaringan adneksanya sinus, rongga telinga tengah dan pleura. Penyakit yang termasuk dalam ISPA antara lain pilek, faringitis atau radang tenggorokan, laringitis, pneumonia, dan influenza tanpa komplikasi. (Kemenkes, 2010) Pneumonia adalah salah satu penyakit ISPA dengan angka kesakitan dan kematian yang cukup tinggi pada balita. Pneumonia adalah penyakit yang menyerang jaringan paru-paru alveoli dimana alveoli penuh dengan nanah dan cairan yang mengakibatkan sakit saat bernapas dan membatasi asupan oksigen. Pneumonia ditandai dengan gejala batuk dan atau kesukaran bernapas disertai napas sesak atau tarikan dinding dada bagian bawah kedalam (chest indrawing). (Kemenkes, 2010) Angka kesakitan pneumonia pada balita di dunia adalah tertinggi kedua setelah diare. Berdasarkan laporan dari UNICEF (2004), jumlah kasus pneumonia pada balita tertinggi di dunia berada di belahan Asia Selatan, termasuk Indonesia. Jumlah kesakitan tertinggi yaitu 44 juta kasus di India, diikuti dengan China dengan 18 juta kasus, dan Nigeria 7 juta kasus. Indonesia menempati posisi ke-enam tertinggi dengan jumlah 6 juta kasus. Meskipun angka kesakitan pneumonia pada balita masih dibawah angka kesakitan diare, namun angka kematian akibat pneumonia pada balita adalah yang tertinggi. Sekitar 2 juta anak meninggal dunia setiap tahun akibat pneumonia. Jumlah ini melebihi gabungan kasus kematian yang disebabkan oleh AIDS, malaria, dan campak (UNICEF, 2006). Menurut WHO, diperkirakan dari 8,8 juta kematian anak di dunia pada tahun 2008, 1,6 juta diantaranya akibat pneumonia.
Faktor-faktor..., Andham Dewi, FKM-UI, 2013
Universitas Indonesia
3
Pada Millennium Summit tahun 2000, negara anggota PBB berkomitmen untuk mencapai Millennium Development Goal 4 (MGD4) yaitu untuk mengurangi 2/3 Angka Kematian Balita (AKABA) di tahun 2015 dari jumlah AKABA pada tahun 1990. Mengingat tingginya angka kematian balita akibat pneumonia, tujuan ini hanya akan dapat dicapai dengan upaya intensif dalam mengurangi kematian balita akibat pneumonia. Kemudian dibentuklah gerakan Global Action Plan for Prevention and Control of Pneumonia (GAPP) yang merupakan gerakan bersama dari pembuat kebijakan, ahli, dan masyarakat (UNICEF, 2006). WHO mengembangkan tiga langkah esensial dalam upaya pengurangan kasus kematian akibat pneumonia. Menurut WHO, mengenali gejala-gejala dari penumonia adalah langkah pertama dalam mengurangi angka kematian balita akibat pneumonia. WHO menetapkan dua gejala kunci tanda bahaya pneumonia yaitu napas cepat dan sesak napas. Langkah kedua adalah perilaku pencarian pengobatan yang tepat pada anak yang diduga pneumonia. Pengobatan yang tepat menurut WHO adalah pengobatan melalui fasilitas kesehatan dengan tenaga kesehatan terlatih yang dapat mendiagnosis dan mengobati pneumonia dengan tepat seperti pengobatan di rumah sakit, puskesmas, klinik, bidan praktek swasta, dan dokter (Wardlaw, 2006). Menurut Peni (2010) keterlambatan pencarian pengobatan merupakan salah satu penyebab tingginya angka kematian balita. Langkah ketiga adalah perawatan balita yang sakit dengan antibiotik secara tepat. Antibiotik harus diberikan sesuai dosis dan jadwal supaya tidak menimbulkan resistensi. Di Indonesia, angka kesakitan pneumonia juga cukup tinggi. Cakupan penemuan pneumonia pada tahun 2007 adalah 21,52% dengan jumlah kasus 477.420 (Profil Kesehatan Indonesia 2007). Jumlah ini meningkat pada tahun 2010 dimana cakupan penemuan pneumonia pada balita pada tahun 2010 adalah sebesar 23 %, dengan jumlah kasus yang ditemukan sebanyak 499.259 kasus (Profil Kesehatan Indonesia 2010). Tingginya angka morbiditas juga disertai dengan tingginya angka mortalitas. Berdasarkan Riskesdas 2007, penyebab kematian perinatal (0-7 hari) yang terbanyak adalah gangguan pernapasan (35,9%). Sedangkan pneumonia menjadi penyebab kematian tertinggi kedua setelah diare pada bayi dan balita yaitu dengan prevalensi 23% pada bayi dan 15,5% pada balita. Jumlah ini meningkat pada tahun 2011. Survei Kesehatan Nasional 2011 mencatat sekitar 27,6% balita di Indonesia meninggal karena pneumonia. Tingginya kasus kesakitan dan kematian akibat pneumonia juga berdampak pada upaya penurunan Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Balita (AKABA) di Indonesia.
Faktor-faktor..., Andham Dewi, FKM-UI, 2013
Universitas Indonesia
4
Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk mencapai Millennium Development Goals (MDGs) bidang kesehatan yang salah satunya adalah menurunkan 2/3 kematian balita pada rentang waktu antara 1990-2015. Jumlah AKB berdasarkan Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007 adalah 34 per 1000 kelahiran hidup. Jumlah ini masih diatas target MDGs yaitu 23 per 1000 kelahiran hidup. Jumlah AKABA juga masih belum tercapai yaitu 44 dari target 33 per 1000 kelahiran hidup. Apabila angka kematian yang disebabkan oleh pneumonia dapat diturunkan secara bermakna serta angka kesakitan pneumonia dapat dicegah, maka dampaknya terhadap pencapaian MDGs akan besar pula. Mengingat dampaknya bagi derajat kesehatan Indonesia, pengendalian penyakit pneumonia/ISPA termasuk dalam agenda nasional yang disebut dengan Program Pengendalian Penyakit ISPA (P2 ISPA). Dalam Program Pengendalian Penyakit ISPA, penyakit ini dibagi dalam 2 golongan yaitu pneumonia dan ISPA bukan pneumonia. Penyakit ISPA yang digolongkan sebagai bukan pneumonia adalah rhinitis, faringitis, tonsilitis, dan penyakit jalan napas bagian atas lainnya. Penyakit pneumonia dibagi atas derajat beratnya, yaitu pneumonia berat dan pneumonia tidak berat (Depkes, 2006). Program P2 ISPA bertujuan menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat pneumonia. Tujuan umum tersebut diturunkan menjadi 2 tujuan khusus yaitu tercapainya cakupan penemuan pneumonia balita sebagai berikut (tahun 2010: 60%, tahun 2011: 70%, tahun 2012: 80%, tahun 2013: 90%, tahun 2014: 100%) serta menurunkan angka kematian pneumonia bayi dan balita sesuai dengan tujuan MDGs (AKABA 32 per kelahiran hidup dan AKB 23 per kelahiran hidup). (Kemenkes, 2011) Dalam program P2 ISPA, perkiraan jumlah penderita pneumonia suatu Puskesmas balita ditentukan berdasarkan angka insidens pneumonia balita dari jumlah balita di wilayah kerja Puskesmas yang bersangkutan. Berdasarkan perkiraan jumlah tersebut penderita, target penemuan pneumonia balita dapat ditentukan. Target penemuan penderita pneumonia balita adalah jumlah penderita pneumonia balita yang harus ditemukan di suatu wilayah dalam 1 tahun sesuai dengan kebijakan yang berlaku setiap tahun secara nasional. (Kemenkes, 2011) Program P2 ISPA menetapkan bahwa semua kasus yang ditemukan harus ditatalaksanakan sesuai standar. Berdasarkan hal ini, cakupan penemuan pneumonia memegang peranan yang penting (Riskesdas, 2007). Berdasarkan laporan Ditjen PPPL Kemenkes RI, cakupan penemuan pneumonia masih belum mencapai target, malah cenderung menurun. Hal ini diperkuat dengan data dari Profil Kesehatan Indonesia tahun 2010 yang menyatakan bahwa cakupan penemuan pneumonia dari tahun 2005-2010 masih jauh dibawah
Faktor-faktor..., Andham Dewi, FKM-UI, 2013
Universitas Indonesia
5
target. Rendahnya angka cakupan penemuan pneumonia balita disebabkan sumber pelaporan rutin berasal dari Puskesmas dan hanya beberapa kabupaten/kota yang mencakup rumah sakit dan sarana pelayanan kesehatan lainnya (Kemenkes, 2011). Berdasarkan Riskesdas 2007, kasus pneumonia sebagian besar ditemukan berdasarkan diagnosis gejala pada saat pengambilan data. Berdasarkan hal ini perlu diketahui pola pencarian pengobatan ibu saat balita sakit dengan gejala pneumonia. Perilaku pencarian pengobatan yang tepat akan mengurangi angka kematian balita akibat pneumonia. Balita dengan ibu yang cenderung berobat ke pelayanan kesehatan modern secara signifikan memiliki risiko kematian yang lebih kecil (Boone, 2006). Menurut Andersen (1995) ada beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku pengobatan di fasilitas kesehatan, yaitu faktor predisposisi (usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, kepercayaan, dan persepsi terhadap pelayanan kesehatan); faktor pemungkin (pendapatan dan jangkauan asuransi kesehatan, jarak ke fasilitas, ketersediaan fasilitas kesehatan); dan faktor kebutuhan (persepsi keseriusan penyakit dan evaluasi pelayanan kesehatan). (Becker dan Rosenstock dalam Sarafino, 2007) menyatakan bahwa perilaku pencarian pengobatan dipengaruhi beberapa faktor, yaitu faktor demografi, keseriusan penyakit yang dirasakan, manfaat yang dirasakan, hambatan yang dirasakan, dan syarat bertindak. Pengetahuan ibu mengenai pneumonia dapat mempengaruhi perilaku pencarian pengobatan pada bayi dengan gejala pneumonia. Apabila ibu atau pengasuh dapat mengenali tanda-tanda pneumonia, pencarian pengobatan ke fasilitas kesehatan dapat diputuskan dengan tepat. Namun hanya sekitar 1 dari 5 pengasuh yang mengetahui tanda-tanda bahaya pneumonia (Wardlaw, 2006). Berdasarkan kajian oleh WHO di negara-negara Asia Tenggara dan Sub Sahara Afrika, hanya 21% pengasuh mengenal sesak napas dan 17% mengenal nafas cepat sebagai tanda bahaya pneumonia. Kurangnya pengetahuan pengasuh atau ibu mengenai gejala pneumonia mengakibatkan balita pneumonia tidak mendapat pengobatan yang tepat. Menurut laporan dari UNICEF CES 2009, 17,4% ibu dengan balita pneumonia tidak melakukan upaya pengobatan dan 21% mencari upaya pengobatan dari pelayanan kesehatan (Aneja, 2013) Hanya 54% anak dengan pneumonia di negara berkembang yang dilaporkan dibawa ke pelayanan kesehatan yang berkualitas dan hanya 19% anak balita dengan tandatanda klinis pneumonia mendapatkan antibiotik (Wardlaw, 2006). Persepsi ibu terhadap bahaya penyakit pneumonia juga dapat mempengaruhi perilaku pencarian pengobatan. Berdasarkan penelitian Hendarwan (2003), 22,8% ibu tidak membawa balitanya ke fasilitas kesehatan meskipun balitanya memiliki gejala pneumonia. Mereka
Faktor-faktor..., Andham Dewi, FKM-UI, 2013
Universitas Indonesia
6
menyatakan bahwa gejala pneumonia yang dihadapi anaknya tidak berbahaya dan tidak dapat membuat kematian bagi yang bersangkutan sehingga tidak perlu dibawa ke fasilitas kesehatan. Ibu yang memiliki persepsi keseriusan penyakit yang negatif mempunyai risiko untuk tidak mencari pengobatan pertama ke fasilitas kesehatan 3,39 kali dibandingkan ibu yang mempunyai sikap positif (Purwanti, 2004). Faktor lain yang mempengaruhi perilaku pencarian pengobatan pneumonia adalah keterjangkauan fasilitas kesehatan dan pendapatan keluarga. Hasil penelitian Purwanti (2004) menyatakan bahwa ibu yang mempunyai persepsi jarak antara tempat tinggal ke puskesmas jauh mempunyai risiko untuk tidak mencari pengobatan pertama ke fasilitas kesehatan 3,46 kali lebih besar dibandingkan dengan yang mempunyai persepsi jarak dekat. Artinya ibu dengan keterjangkauan fasilitas kesehatan yang sulit lebih berisiko tidak berobat ke fasilitas kesehatan tersebut. Hasil penelitian di Nairobi melaporkan bahwa ibu dengan tingkat pendapatan keluarga rendah biasanya menunggu dan mengamati anaknya dalam beberapa waktu sebelum mereka mengunjungi fasilitas kesehatan, sehingga kondisi anak menjadi semakin parah saat dibawa ke fasilitas kesehatan (Chepngeno, dalam Peni, 2010). Dukungan dari orang lain juga mempengaruhi pengambilan keputusan dalam penggunaan pelayanan kesehatan. Greenley (1980) menyatakan bahwa ada hubungan antara anjuran berobat dengan pengambilan keputusan dalam pencarian pengobatan. Suchman menemukan bahwa 74% responden mendiskusikan gejala penyakit yang mereka alami dengan orang lain sebelum mencari pertolongan ke tenaga kesehatan, dimana 87% diskusi tersebut dilakukan dengan kenalan (Greenley, 1980). Propinsi Jawa Barat memiliki prevalensi pneumonia yang cukup tinggi. Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia 2008, kasus pneumonia di Jawa Barat adalah tertinggi kedua dengan prevalensi 41,63% dengan jumlah 166.296 kasus. Jumlah ini meningkat pada tahun 2010, yaitu dengan prevalensi 48,65% sebanyak 193.980 kasus (Profil Kesehatan Indonesia 2010). AKB di Jawa Barat masih tinggi dengan angka 39 per 1000 kelahiran hidup. Selain itu, AKABA juga termasuk tinggi dengan jumlah 49 per 1000 kelahiran hidup. Berdasarkan Profil Kesehatan Kota Depok tahun 2011, cakupan penemuan kasus pneumonia pada balita berjumlah 2790 kasus atau sekitar 25,93% dari target nasional. Jumlah ini menurun pada tahun 2012 yaitu 1641 kasus dengan cakupan penemuan 11,4%. Puskesmas Pancoran Mas salah satu UPT yang terletak di kecamatan Pancoran Mas Depok. Cakupan wilayah kerja Puskesmas Pancoran Mas adalah kalurahan Pancoran Mas dan kelurahan Depok. Cakupan penemuan pneumonia di puskesmas Pancoran Mas mengalami
Faktor-faktor..., Andham Dewi, FKM-UI, 2013
Universitas Indonesia
7
penurunan. Pada tahun 2008, cakupan penemuan kasus pneumonia di Puskesmas Pancoran Mas adalah 63,7%. Jumlah ini mencapai target nasional yaitu 46%-86%. Pada tahun 2011, jumlah cakupan penemuan kasus hanya 15,5% dan kembali menurun pada tahun 2012 menjadi 12,7%. Angka penemuan tersebut masih dibawah target nasional, yaitu 70% pada tahun 2011 dan 80% pada tahun 2012 (Kemenkes, 2011) Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku ibu dalam pencarian pengobatan pneumonia pada balita di wilayah kerja Puskesmas Pancoran Mas Depok tahun 2013. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku ibu dalam pencarian pengobatan pneumonia pada balita di wilayah kerja Puskesmas Pancoran Mas Depok tahun 2013. TINJAUAN PUSTAKA Pneumonia adalah salah satu penyakit saluran pernapasan yang menyerang paru-paru. Paru-paru terdiri dari ribuan bronkhi yang masing-masing terbagi lagi menjadi bronkhioli, yang tiap-tiap ujungnya berakhir pada alveoli. Di dalam alveoli terdapat kapiler-kapiler pembuluh darah dimana terjadi pertukaran oksigen dan karbondioksida. Ketika seseorang memiliki pneumonia, alveoli akan penuh dengan nanah dan cairan yang mengakibatkan sakit saat bernapas dan membatasi asupan oksigen. Kemampuan paru-paru untuk mengembang berkurang sehingga tubuh bereaksi dengan bernapas cepat agar tidak terjadi hipoksia (kekurangan oksigen). Apabila pneumonia bertambah parah, paru-paru akan bertambah kaku dan timbul tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam. Anak dengan pneumonia dapat meninggal karena hipoksia atau sepsis (infeksi menyeluruh). Pneumonia ditandai dengan gejala batuk dan atau kesukaran bernapas disertai napas sesak atau tarikan dinding dada bagian bawah kedalam (chest indrawing). (Kemenkes, 2010) Klasifikasi penyakit ISPA berdasarkan Penatalaksanaan ISPA pada anak umur 2 bulan sampai 5 tahun adalah sebagai berikut (Kemenkes RI, 2010): a. Bukan pneumonia, dengan tanda tidak ada tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam, tidak ada napas cepat (<50 kali per menit pada anak 2-12 bulan; <40 kali per menit pada anak umur 12 bulan-5 tahun. b. Pneumonia, dengan tanda pneumonia adalah tidak ada tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam, ada napas cepat (<50 kali per menit pada anak 2-12 bulan; <40 kali per menit pada anak umur 12 bulan-5 tahun.
Faktor-faktor..., Andham Dewi, FKM-UI, 2013
Universitas Indonesia
8
c. Pneumonia berat, dengan tanda adanya napas cepat dan tarikan dinding bagian bawah ke dalam. Andersen (1995) mengemukakan model perilaku keluarga dalam menggunakan pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh 3 komponen pokok yaitu: 1. Predisposing component (faktor predisposisi), yang menggambarkan ciri individu atau masyarakat yang melekat pada dirinya sebelum mengalami sakit yang menyebabkan perbedaan dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan. Komponen ini terdiri dari faktor demografi (usia, jenis kelamin dan status perkawinan); faktor struktur sosial (tingkat pendidikan, pekerjaan, kesukuan dan ras); dan faktor keyakinan terhadap kesehatan (pengetahuan, kepercayaan, dan persepsi terhadap pelayanan kesehatan) 2. Enabling component (faktor pemungkin), merupakan kemampuan untuk mencari pelayanan kesehatan, meliputi: sumber daya keluarga (anjuran berobat, pendapatan, dan jangkauan asuransi kesehatan); sumber daya masyarakat (jumlah sarana kesehatan yang ada, jarak ke fasilitas, ketersediaan fasilitas kesehatan, sarana yang mendukung. 3. Need component (faktor kebutuhan), merupakan kebutuhan akan pelayanan kesehatan yang diwujudkan berupa tindakan. Kebutuhan dibagi dalam dua kategori yaitu dirasa (perceived) dan dievaluasi berdasarkan prosedur diagnostik. Kebutuhan merupakan dasar stimulus langsung apabila ada faktor predisposisi dan faktor pemungkin. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan desain studi cross sectional. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku ibu dalam pencarian pengobatan pneumonia pada balita di wilayah kerja Puskesmas Pancoran Mas Depok tahun 2013. Variabel dependen pada penelitian ini adalah perilaku pencarian pengibatan ibu. Variabel independen yang diteliti antara lain umur ibu, pendidikan ibu, pengetahuan ibu, pendapatan keluarga, akses pelayanan kesehatan, anjuran berobat, dan persepsi keseriusan penyakit. Populasi dalam penelitian ini adalah ibu dengan balita (usia 059 bulan) yang bertempat tinggal dalam cakupan wilayah kerja Puskesmas Pancoran Mas Depok. Sampel penelitian ini berjumlah 100 orang dengan kriteria inklusi ibu dengan balita usia 0-59 bulan yang pernah didiagnosis pneumonia atau pernah sakit dengan gejala pneumonia. Pengumpulan data dilaksanakan pada bulan Jun 2013 dengan cara wawancara menggunakan alat bantu kuesioner.
Faktor-faktor..., Andham Dewi, FKM-UI, 2013
Universitas Indonesia
9
HASIL PENELITIAN Hasil penelitian menunjukkan 55% responden berperilaku baik (pengobatan pertama pada tenaga kesehatan) dan 45% responden berperilaku kurang baik (pengobatan pertama bukan pada tenaga kesehatan). Sebagian besar responden (43%) memilih mengobati sendiri, 34% responden berobat ke bidan praktek swasta, 19% responden berobat ke puskesmas, 1% responden memilih rumah sakit, 1% memilih pengobatan di klinik, dan 2% ke pengobatan tradisional. Pada pengobatan di klinik dan pengobatan tradisional seluruh hasilnya tidak sembuh. Untuk faktor predisposisi didapatkan data yaitu, 55% responden berumur ≥27 tahun, 83% berpendidikan tinggi, dan 21% berpengetahuan tinggi.. Untuk faktor pemungkin, sebanyak 47% responden mengatakan bahwa ada yang menganjurkan untuk berobat di tenaga kesehatan, 71% memiliki akses yang mudah ke pelayanan kesehatan terdekat, dan 38% berpendapatan tinggi. Variabel persepsi didapatkan 53% responden memiliki persepsi keseriusan penyakit yang baik. Hasil uji bivariat menunjukkan 3 variabel memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku pencarian pengobatan. Variabel tersebut antara lain umur ibu (p = 0.039), akses pelayanan kesehatan (p = 0.048), dan persepsi keseriusan penyakit (p = 0.034). Gambaran faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku pengobatan pertama pneumonia pada balita dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 1 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Pengobatan Pertama Pneumonia pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Pancoran Mas Depok Tahun 2013 No
Variabel
P
OR
Hubungan
1
Umur ibu
0.039
2.555
Berhubungan
2
Pendidikan ibu
0.092
0.315
Tidak berhubungan
3
Pendapatan keluarga
0.136
2.051
Tidak berhubungan
4
Anjuran berobat
0.398
1.526
Tidak berhubungan
5
Akses pelayanan kesehatan
0.048
2.619
Berhubungan
6
Pengetahuan ibu
0.980
0.875
Tidak berhubungan
7
Persepsi keseriusan penyakit
0.034
2.593
Berhubungan
Faktor-faktor..., Andham Dewi, FKM-UI, 2013
Universitas Indonesia
10
PEMBAHASAN Perilaku Pencarian Pengobatan Upaya pengobatan pada tenaga kesehatan sangat mungkin dilakukan mengingat letak tempat penelitian yang merupakan daerah perkotaan dimana penyebaran tenaga kesehatan cukup merata. Jarak yang dekat serta ketersediaan alat transportasi mendukung upaya pengobatan pada pelayanan kesehatan.. Berdasarkan hasil penelitian, 55 responden memilih pengobatan pada pelayanan kesehatan. Sekitar 50% dari responden yang memilih pengobatan pada pelayanan kesehatan, beralasan karena pengobatan tersebut manjur. Hal ini berarti evaluasi responden terhadap pelayanan kesehatan cukup baik sehingga mendorong responden untuk kembali berobat di pelayanan kesehatan apabila sakit. Hal ini sesuai dengan teori dari Andersen (1997) yang menyatakan bahwa evaluasi pelayanan kesehatan mempengaruhi perilaku penggunaan pelayanan kesehatan. Pada pengobatan di bidan praktek swasta, 43% diantaranya tidak sembuh. Hal ini perlu diperhatikan lebih lanjut karena 69% responden menyatakan bahwa sarana pelayanan kesehatan terdekat adalah bidan praktek swasta sedangkan salah satu alasan responden dalam menggunakan pelayanan kesehatan adalah karena jarak yang dekat. Dalam hal ini terdapat kesalahan persepsi oleh ibu bahwa anak yang sakit dibawa berobat ke bidan praktek swasta, padahal berdasarkan tugas dan kompetensinya, bidan praktek swasta bertugas dalam hal yang berkaitan dengan ibu hamil dan persalinan. Perlu adanya promosi kesehatan lebih lanjut yang berkaitan dengan upaya pengobatan yang harus dilakukan apabila ibu menemukan anak sakit dengan gejala pneumonia. Pada responden yang mengobati sendiri, 48.8% beralasan karena coba-coba sedangkan 46.5% beralasan sebagai pertolongan pertama. Upaya coba-coba ini berkaitan dengan persepsi ibu bahwa penyakit yang diderita anaknya adalah penyakit batuk pilek biasa yang tidak berbahaya dan dapat diobati hanya dengan obat warung. Hal ini berkaitan dengan pengetahuan ibu mengenai gejala penyakit pneumonia, dimana sebagian ibu (57%) tidak mengetahui gejala kunci dari penyakit pneumonia. Alasan lainnya adalah sebagai pertolongan pertama. Hal ini dilakukan untuk menunggu waktu berobat ke pelayanan. Hal ini biasanya dilakukan jika ibu mengenali gejala sakitnya anak pada sore hari dan tidak dapat membawa anaknya langsung ke pelayanan kesehatan. Ibu memberikan obat sebagai pertolongan pertama dan esok harinya dibawa berobat ke pelayanan kesehatan. Responden yang menggunakan pengobatan tradisional tidak banyak. Hal ini kemungkinan karena kepercayaan pengobatan yang sudah cukup baik sehingga mereka cenderung berobat ke pelayanan kesehatan.
Faktor-faktor..., Andham Dewi, FKM-UI, 2013
Universitas Indonesia
11
Umur Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa ada hubungan antara umur responden dengan perilaku pencarian pengobatan. Ibu yang berumur lebih atau sama dengan 27 tahun (≥27 tahun) mempunyai peluang 2.5 kali untuk berobat pada tenaga kesehatan dibandingkan dengan ibu yang berumur kurang dari 27 tahun. Semakin tinggi usia, semakin besar peluang ibu untuk menggunakan pelayanan kesehatan. Semakin tingginya usia dapat menandakan semakin banyaknya pengalaman responden terhadap kejadian sakit dan cara pengobatannya. Hal ini sesuai dengan model penggunaan pelayanan kesehatan yang dikemukakan Andersen (1995) bahwa usia adalah salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku dalam penggunaan pelayanan kesehatan. Hal ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Purwanti (2004) dan Hendarwan (2003) yang menyatakan tidak ada hubungan antara umur responden dengan perilaku pencarian pengobatan hal ini kemungkinan disebabkan karena perbedaan pembagian kelompok umur serta kondisi demografi lainnya yang menyebabkan perbedaan pemahaman responden mengenai penggunaan pelayanan kesehatan. Pendidikan Ibu Greenley (1980) menyebutkan bahwa masyarakat dengan pendidikan tinggi cenderung memiliki angka kunjungan ke tenaga kesehatan (dokter) yang tinggi. Notoatmodjo (2007) menyatakan bahwa orang dengan pendidikan formal lebih tinggi akan mempunyai pengetahuan yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang dengan tingkat pendidikan formal rendah karena akan lebih mampu memahami arti dan pentingnya kesehatan. Azwar dalam Hariyani (2011) menyatakan bahwa semakin tinggi pendidikan ibu, semakin tinggi pula kesadaran akan pentingnya kesehatan. Seorang ibu yang menyelesaikan pendidikan dasar 6 tahun akan menurunkan angka kematian bayi dibandingkan ibu yang tidak tamat sekolah dasar. Angka kematian balita juga semakin rendah seiring dengan meningkatnya tingkat pendidikan. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa 50.6% responden yang berpendidikan tinggi sebanyak 42 responden menyatakan membawa balitanya berobat pada tenaga kesehatan, sedangkan 49.4% atau 41 responden membawa balitanya berobat bukan pada tenaga kesehatan. P value yang didapatkan adalah 0.092, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara pendidikan responden dengan perilaku pencarian pengobatan pertama pneumonia pada balita. Hasil penelitian tidak menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara pendidikan dengan perilaku pencarian pengobatan. Penelitian ini sesuai
Faktor-faktor..., Andham Dewi, FKM-UI, 2013
Universitas Indonesia
12
dengan penelitian Hendarwan (2003) yang menemukan bahwa tidak ada hubungan antara pendidikan dengan perilaku pencarian pengobatan. Hal ini mungkin disebabkan karena persebaran data yang tidak merata dimana ditemukan 83 responden berpendidikan tinggi dan 17 responden berpengetahuan rendah. Selain itu berdasarkan teori Green bahwa perilaku ditentukan oleh banyak faktor lain yang saling berkaitan. Pendapatan Keluarga Pendapatan keluarga yang lebih tinggi dapat memberi kemudahan bagi seseorang dalam melakukan tindakan yang lebih baik bagi kesehatan, seperti mendapatkan pelayanan kesehatan. Hasil penelitian di Nairobi melaporkan bahwa ibu dengan tingkat pendapatan keluarga rendah biasanya menunggu dan mengamati anaknya dalam beberapa waktu sebelum mereka mengunjungi fasilitas kesehatan, sehingga kondisi anak menjadi semakin parah saat dibawa ke fasilitas kesehatan (Chepngeno, dalam Peni, 2010) Hasil penelitian ditemukan bahwa p value adalah 0.136. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak hubungan antara pendapatan keluarga dengan perilaku pencarian pengobatan. Hal ini sesuai dengan penelitian Hendarwan (2003). Hal ini kemungkinan disebabkan karena biaya pengobatan di pelayanan kesehatan yang tersedia sudah cukup terjangkau oleh masyarakat. Hal ini sesuai bila kita melihat distribusi frekuensi persepsi biaya pelayanan kesehatan menurut responden dimana 92% menyatakan bahwa biaya berobat adalah murah dan hanya 8% yang menyatakan mahal. Anjuran Berobat Greenley (1980) menyatakan bahwa ada hubungan antara anjuran berobat dengan pengambilan keputusan dalam pencarian pengobatan. Suchman menemukan bahwa 74% responden mendiskusikan gejala penyakit yang mereka alami dengan orang lain sebelum mencari pertolongan ke tenaga kesehatan, dimana 87% diskusi tersebut dilakukan dengan kenalan (Greenley, 1980). Freidson dalam Hendarwan (2003), mengamati bahwa sebelum mencari pengobatan profesional, seseorang umumnya meminta pertimbangan dari teman mengenai apa yang seharusnya mereka perbuat ketika menghadapi gejala penyakit tersebut. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa 29 (60.4%) responden yang mendapatkan ajuran berobat menyatakan membawa balitanya berobat pada tenaga kesehatan, sedangkan 19 responden lainnya (39.6%) yang mendapatkan anjuran berobat tidak membawa balitanya berobat pada tenaga kesehatan. Hasil penelitian menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara
Faktor-faktor..., Andham Dewi, FKM-UI, 2013
Universitas Indonesia
13
anjuran berobat dengan perilaku pencarian pengobatan. Hal ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Hendarwan (2003) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara anjuran berobat dengan perilaku pencarian pengobatan. Hal ini kemungkinan disebabkan pengambilan keputusan pengobatan tergantung pada kemudahan akses pelayanan kesehatan dan persepsi keseriusan penyakit. Apabila ibu memiliki persepsi keseriusan penyakit yang kurang baik dapat menghambat pengambilan keputusan ke pelayanan kesehatan. Akses Pelayanan Kesehatan Hasil penelitian menemukan bahwa 43 responden (62.3%) dengan akses pelayanan kesehatan yang mudah menyatakan membawa balitanya berobat pada tenaga kesehatan, sedangkan 26 responden (37.7%) tidak membawa balitanya berobat pada tenaga kesehatan. Hasil perhitungan statistik didapatkan nilai p value adalah 0.048. Dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara akses pelayanan kesehatan dengan perilaku pencarian pengobatan pertama pneumonia pada balita. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Purwanti (2004) bahwa ibu yang mempunyai persepsi jarak antara tempat tinggal ke puskesmas jauh mempunyai risiko untuk tidak mencari pengobatan pertama ke fasilitas kesehatan 3,46 kali lebih besar dibandingkan dengan yang mempunyai persepsi jarak dekat. Andersen (1995) menyatakan bahwa faktor jarak dapat mempengaruhi pola penggunaan pelayanan kesehatan. Artinya ibu dengan keterjangkauan fasilitas kesehatan yang sulit lebih berisiko tidak berobat ke fasilitas kesehatan tersebut. Berdasarkan hal ini, upaya penanggulangan pneumonia sebaiknya dilakukan tidak hanya melalui puskesmas, tapi juga melibatkan pihak lainnya, seperti bidan praktek swasta, kader, dan petugas kesehatan lainnya. Pengetahuan Ibu Pengetahuan merupakan hasil dari tahu yang terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior). Pengetahuan ibu mengenai pneumonia dapat mempengaruhi keputusan ibu dalam pencarian pengobatan balita yang terkena pneumonia. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa 11 responden (52.4%) yang berpengetahuan tinggi menyatakan membawa balitanya berobat pada tenaga kesehatan, sedangkan 10 responden (47.6%) tidak membawa balitanya berobat pada tenaga kesehatan. Dari hasil perhitungan statistik didapatkan p value adalah 0.980. Dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan perilaku pencarian pengobatan pertama.
Faktor-faktor..., Andham Dewi, FKM-UI, 2013
Universitas Indonesia
14
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Hendarwan (2003) bahwa tidak ada hubungan bermakna antara pengetahuan dan perilaku pencarian pengobatan. Hal ini mungkin disebabkan karena pengetahuan bukan menjadi satu-satunya faktor yang dapat mempengaruhi perilaku (Green, 1980). Hariyani (2011) menyatakan bahwa peningkatan pengetahuan tidak selalu menyebabkan terjadinya perubahan perilaku namun ada hubungan positif yang berkaitan dengan perubahan perilau. Perubahan perilaku dapat terjadi akibat efek kumulatif dari peningkatan kesadaran, nilai, keyakinan, kepercayaan, dan intensi untuk berperilaku. Persepsi Keseriusan Penyakit Persepsi keseriusan penyakit adalah penilaian individu mengenai seberapa serius penyakit tersebut. Jika seseorang semakin percaya bahwa dampak yg ditimbulkan sangat serius, maka mereka akan merasa penyakit tersebut adalah sebuah ancaman dan mereka akan mengambil tindakan preventif (Sarafino, 2006). Artinya individu itu baru akan melakukan suatu tindakan untuk menyembuhkan penyakitnya jika dia benar-benar merasa terancam oleh penyakit tersebut. Jika tidak, maka dia tidak akan melakukan tindakan apa-apa. Dari hasil penelitian ditemukan 36 responden (65.6%) yang memiliki persepsi keseriusan penyakit baik menyatakan membawa balitanya berobat pada tenaga kesehatan, sedangkan 19 responden (34.5%) tidak membawa balitanya berobat pada tenaga kesehatan. Hasil perhitungan statistik didapatkan nilai p value adalah 0.034. Dengan demikian p value lebih kecil dari α (5%) sehingga Ho gagal ditolak. Dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara persepsi keseriusan penyakit dengan perilaku pencarian pengobatan pertama pneumonia pada balita. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Purwanti (2004) yaitu ibu yang memiliki persepsi keseriusan penyakit yang negatif mempunyai risiko untuk tidak mencari pengobatan pertama ke fasilitas kesehatan 3,39 kali dibandingkan ibu yang mempunyai sikap positif. Hal ini juga sesuai dengan penelitian Hendarwan yang menyatakan ada hubungan antara persepsi keseriusan penyakit dan perilaku pencarian pengobatan. Dapat dilihat sebelumnya bahwa pengetahuan mengenai pneumonia ternyata tidak berpengaruh pada perilaku pencarian pengobatan. Hal ini berbeda dengan persepsi keseriusan penyakit yang berpengaruh signifikan. Hal ini berarti meskipun ibu tidak mengetahui bahwa gejala sesak napas dan napas cepat adalah gejala pneumonia, namun ibu memiliki persepsi bahwa gejala tersebut berbahaya maka dapat medorong ibu untuk berobat ke pelayanan kesehatan. Dapat disimpulkan perlunya pendidikan kesehatan mengenai pneumonia.
Faktor-faktor..., Andham Dewi, FKM-UI, 2013
Universitas Indonesia
15
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar responden (55%) memiliki perilaku pencarian pengobatan yang baik (pengobatan ke tenaga kesehatan) dimana 43% responden memilih mengobati sendiri, 34% responden memilih bidan praktek swasta, 19% responden memilih puskesmas, 1% responden memilih rumah sakit, 1% orang memilih pengobatan di klinik, dan 2% orang ke pengobatan tradisional. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa 55% berumur lebih atau sama dengan 27 tahun, 83% responden berpendidikan tinggi, mayoritas (79%) memiliki pengetahuan yang rendah tentang pneumonia, sebagian besar responden (62%) berpendapatan rendah, sebagian besar (52%) tidak mendapatkan anjuran berobat, mayoritas (71%) menyatakan memiliki akses yang mudah ke pelayanan kesehatan, sebagian besar responden (53%) memiliki persepsi keseriusan penyakit yang baik. Berdasarkan uji bivariat, 3 variabel memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku pencarian pengobatan. Variabel tersebut antara lain umur ibu (p = 0.039), akses pelayanan kesehatan (p = 0.048), dan persepsi keseriusan penyakit (p = 0.034). SARAN Bagi Dinas Kesehatan Kota Depok 1. Memperluas cakupan pelaporan dan pencatatan kasus pneumonia pada sarana pelayanan kesehatan lain selain puskesmas. 2. Menyusun dan mengevaluasi kebijakan terkait upaya promosi kesehatan mengenai pneumonia di masyarakat. Bagi Puskesmas Pancoran Mas 1. Menyampaikan informasi mengenai penyakit pneumonia (gejala dan pencegahan) serta pengobatan yang tepat kepada masyarakat. 2. Mengadakan pelatihan kepada kader posyandu tentang deteksi dini penyakit pneumonia 3. Mengadakan pembinaan kepada bidan praktek swasta untuk dapat melakukan deteksi dini penyakit pneumonia dan melakukan rujukan kepada dokter atau puskesmas jika menemukan kasus pneumonia. 4. Penyampaian informasi dapat dilakukan baik melalui penyampaian langsung saat berobat, melalui penyuluhan oleh kader posyandu, serta melalui media cetak seperti poster, brosur, dan lan-lain.
Faktor-faktor..., Andham Dewi, FKM-UI, 2013
Universitas Indonesia
16
Bagi Peneliti Lainnya Perlu diadakan penelitian lebih lanjut dengan variabel dan cakupan tempat penelitian yang lebih luas. KEPUSTAKAAN Andersen, R.M. (1995). Revisiting the behavioral model and access to medical care: does it matter?. Journal of Health and Social Behavior Vol.36 No 3. 10 April, 2013. http://globalhealth.stanford.edu. Depkes RI. (2000). Program P2 ISPA untuk penanggulangan pneumonia pada balita. Jakarta: Ditjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman. Depkes RI. (2002). Pedoman program pemberantasan penyakit ISPA untuk penanggulangan pneumonia pada balita. Jakarta: Ditjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman. Depkes RI. (2007b). Profil kesehatan indonesia 2007. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Depkes RI. (2008a). Profil kesehatan indonesia 2008. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Depkes RI. (2008b). Riset kesehatan dasar 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI. Greenley, J.R. (1980). Cultural and psychological aspects of the utilization of health services. Assessing The Contribution of The Social Sciences to Health, Colorado: Westview Press Hendarwan, Harimat. (2005). Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku ibu balita dalam pencarian pengobatan pada kasus-kasus balita dengan gejala pneumonia di kabupaten serang. Media litbang kesehatan volume V Nomor 3 tahun 2005. Kartasasmita, Cissy B. (2010). Pneumonia pembunuh balita. Buletin Jendela Epidemiologi Vol. 3. Jakarta: Kemenkes RI. Kemenkes RI. (2010a). Pedoman tatalaksana pneumonia balita. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Kemenkes RI. Kemenkes RI. (2010b). Profil kesehatan indonesia 2010. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI. Kemenkes RI. (2010c). Riset kesehatan dasar 2010. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementrian Kesehatan RI. Kemenkes RI. (2011). Pedoman Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Akut. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Kemenkes RI. Notoatmodjo, Soekidjo. (2007). Promosi kesehatan dan ilmu perilaku. Jakarta: Rhineka Cipta Peni, Tri. (2007) Hubungan pendidikan ibu dengan perilaku ibu dalam pencarian pengobatan balita pneumonia di kabupaten purworejo. Tesis. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. Rosenstock, Irwin M., et.al . (1988). Social learning theory and the health belief model. Health Education Qoarterly Vol. 15 (2): 175-183 New York: John Wiley and Sons, Inc. http://deepblue.lib.umich.edu Said, Mardjanis. (2010). Pengendalian pneumonia anak balita dalam rangka pencapaian MDG4. Buletin Jendela Epidemiologi Volume 3. Jakarta: Kemenkes RI. Sarafino, Edward P. (2006). Health Psychology: Biopsychosocial Interaction Fifth Edition. New York: John Wiley and Sons, Inc. UNICEF. (2007). The state of the world’s children 2008. USA: World Health Organization. UNICEF. (2009). Global action plan for prevention and control of pneumonia (GAPP). France: World Health Organization. Wardlaw, Tessa, et.al. (2006). Pneumonia: The forgotten killer of children. USA: World Health Organization.
Faktor-faktor..., Andham Dewi, FKM-UI, 2013
Universitas Indonesia