Membangun Forum Komunikasi Melalui Badan Permusyawaratan Desa Sebagai Upaya Mendukung Pembangunan Keluarga Mewujudkan Kesetaraan Gender, Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan dan Tumbuh Kembang Anak Sri Endah Kinasih dan Pinky Saptandari1 Abstrak Pelaksanaan Pembangunan Keluarga seperti pada Permen PPPA No.06/2013 dilakukan sebagai upaya pengendalian angka kelahiran dan penurunan angka kematian baik ibu dan anak, meningkatkan gizi dan tingkat pendidikan, pengembangan kualitas penduduk pada seluruh dimensinya, peningkatan ketahanan dan kesejahteraan keluarga, penyiapan dan pengaturan perkawinan serta kehamilan sehingga penduduk menjadi sumber daya manusia yang tangguh bagi pembangunan dan ketahanan nasional, serta mampu bersaing dengan bangsa lain, dan dapat menikmati hasil pembangunan secara adil dan merata. Suku Tengger kecamatan Sukapura kabupaten Probolinggo menunjukkan upaya mendukung pembangunan keluarga mewujudkan kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, perlindungan & tumbuh kembang anak dengan membangun forum komunikasi melalui Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sesuai amanah UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.
1
FISIP Universitas Airlangga Sri Endah Kinasih dan Pinky Saptandari | 205
Kajian ini bertujuan untuk menggali kekuatan sosial, budaya, ekonomi dan politik masyarakat suku Tengger, dari sisi keluarga, kelembagaan desa, serta SDM yang ada untuk bisa berperan aktif dan menjalankan amanah UU Desa. Termasuk menggali peran adat setempat dalam pembangunan masyarakat, keluarga serta kelembagaan di desa. Hasil dalam penelitian ini menunjukkan bahwa BPD sebagai forum komunikasi dalam melaksanakan program pemerintahan, disesuaikan dengan nilai-nilai sosial budaya lokal. Dinas kabupaten Probolinggo memberikan bantuan teknis, administratif, dana stimulan dan lain-lain dalam mewujudkan program pembangunan keluarga. Supaya berjalan sesuai dengan entry point sehingga perlu melakukan komunikasi melalui BPD sebagai faktor pendukung agar kegiatan tersebut lebih berkembang. Di sisi lain BPD juga melakukan kemitraan membangun ketahanan keluarga dengan PT, LSM, organisasi keagamaan dan organisasi kemasyarakatan untuk meningkatkan program berkelanjutan (kontiunitas). Kemitraan sangat efektif dalam membangkitkan kesadaran masyarakat melalui PT, LSM, organisasi keagamaan dan organisasi kemasyarakatan dalam mewujudkan ketahanan keluarga. Kemitraan meningkatkan efektifitasnya melalui keterlibatan mendalam dengan semua pemangku kepentingan baik dinas pemerintahan dengan PT, LSM, organisasi keagamaan dan organisasi kemasyarakatan. Kata Kunci : Forum Komunikasi, Pembangunan Keluarga Latar Belakang Angka kematian ibu di Indonesia paling tinggi di Asia Tenggara 307/100.000 kelahiran. Sementara Indonesia menetapkan target AKI 125/100.000 pada 2015 (target MDGs). Seperti tabel di bawah ini :
206 | Prosiding PKWG Seminar Series
Indonesia belum mampu mencapai Target MDGs dalam hal Kesehatan Ibu. Berdasarkan hasil Survei Demogafi dan Kependudukan Indonesia (SDKI) 2012, terdapat kenaikan angka kematian ibu (AKI) yang cukup drastis. Jumlah kematian ibu secara nasional setiap tahun terus bertambah, sebelumnya pada 2012 berjumlah 4.985 sedangkan pada 2011 mencapai 5.118. Meskipun sudah mengalami penurunan sejumlah 133 jiwa, namun meningkat lagi pada tahun 2013 mencapai 5.019 jiwa . Angka ini masih cukup jauh dari target yang harus dicapai pada tahun 2015. Artinya, terdapat kenaikan angka kematian ibu yang cukup drastis dari 228/100.000 kelahiran menjadi 359/100.00 kelahiran. Mampukah Indonesia mengejar target AKI di Indonesia pada tahun 2015 diwaktu yang tersisa ini? Data Kemenkes tahun 2010 menyebutkan, penyebab AKI antara lain perdarahan, tekanan darah tinggi (eklamsia) dan infeksi. Ketiga penyebab tersebut, sesungguhnya bisa dicegah jika diketahui sejak dini dengan gejala bengkak, pertambahan berat badan ibu yang berlebihan, hipertensi dan bercak
Sri Endah Kinasih dan Pinky Saptandari | 207
perdarahan pada trisemester terakhir. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat grafik di bawah ini :
Grafik di atas menunjukkan distribusi persentase penyebab kematian ibu melahirkan, berdasarkan data tersebut bahwa tiga faktor utama penyebab kematian ibu melahirkan yakni, pendarahan, hipertensi saat hamil atau pre eklamasi dan infeksi. Pendarahan menempati persentase tertinggi penyebab kematian ibu (28%), anemia dan kekurangan energi kronis (KEK) pada ibu hamil menjadi penyebab utama terjadinya pendarahan dan infeksi yang merupakan faktor kematian utama ibu. Di berbagai negara paling sedikit seperempat dari seluruh kematian ibu disebabkan oleh pendarahan; proporsinya berkisar antara kurang dari 10% sampai hampir 60%. Walaupun seorang perempuan bertahan hidup setelah mengalami pendarahan pasca persalinan, namun ia akan menderita akibat kekurangan darah yang berat (anemia
208 | Prosiding PKWG Seminar Series
berat) dan akan mengalami masalah kesehatan yang berkepanjangan.(WHO). Persentase tertinggi kedua penyebab kematian ibu yang adalah eklamsia (24%), kejang bisa terjadi pada pasien dengan tekanan darah tinggi (hipertensi) yang tidak terkontrol saat persalinan. Hipertensi dapat terjadi karena kehamilan dan akan kembali normal bila kehamilan sudah berakhir. Namun ada juga yang tidak kembali normal setelah bayi lahir. Kondisi ini akan menjadi lebih berat bila hipertensi sudah diderita ibu sebelum hamil. Persentase tertinggi ketiga penyebab kematian ibu melahirkan adalah infeksi 11%. Penyebab lain tingginya AKI adalah kualitas hidup perempuan yang rendah, rata-rata pendidikan rendah, derajat kesehatan dan gizi yang rendah, penderita anemia pada penduduk usia 15-24 tahun masih tinggi mencapai 18,4%, kurang zat besi dan stunting (pertumbuhan anak yang terhambat karena kekurangan gizi sehingga tidak mencapai tinggi badan pada umumnya pada usia tertentu). Sementara itu, menurut Dirjen Gizi Kesehatan ibu dan Anak (KIA) permasalahan ibu hamil saat mencapai fasilitas kesehatan (faskes) saat persalinan disebabkan 22,8% karena tidak mau pergi sendiri ke faskes, 10,5 . Pemberian gizi seimbang untuk ibu dan bayinya masih kurang, ditambah lagi pengetahuan ibu atas bahaya persalinan juga masih minim. Infrastruktur dipastikan sebagai penyebab utama sulitnya ibu mencari pelayanan kesehatan. Dari hasil Riskesdas 2010 mencatat, bahwa 84% ibu meninggal di Rumah dan Rumah Sakit Rujukan pada jam-jam pertama. Kondisi sosial budaya di masing-masing daerah turut memberikan konstribusi, masih banyak daerah yang masih menggunakan dukun sebagai penolong persalinan, khususnya didesa-desa. Berdasarkan data Riskesdas 2013, Penolong saat persalinan dengan kualifikasi tertinggi dilakukan oleh bidan (68,6%), kemudian oleh dokter (18,5%), lalu non tenaga Sri Endah Kinasih dan Pinky Saptandari | 209
kesehatan (11,8%). Namun sebanyak 0,8% kelahiran dilakukan tanpa ada penolong, dan hanya 0,3% kelahiran saja yang ditolong oleh perawat. Hal ini ditunjang pula dengan kondisi sosial ekonomi sebagian masyarakat yang masih berada digaris kemiskinan. Selain itu, tidak meratanya fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia turut menjadi salah satu penyebab masalah kesehatan ibu. Laporan Save The Children tentang kematian bayi untuk tahun 2013 yang mengungkapkan kematian saat kelahiran di Indonesia turun dari 390 per 100.000. Penurunan sekitar 48% tersebut menempatkan Indonesia masuk dalam 10 besar dengan peringkat pertama Peru yang berhasil mengalami penurunan hingga 65%. Salah satu penyebab penurunan kematian bayi di tersebut adalah kehadiran tenaga kesehatan yang terlatih saat kelahiran yang mencapai 73% di Indonesia. Selain itu prakarsa untuk menempatkan bidan di kawasan pedesaan yang diikuti dengan pelatihan bidan juga mendorong penurunan kematian bayi. Dalam kelangsungan hidup ibu dan bayi, paling berperan sebenarnya adalah program imunisasi dan gizi. Namun yang belum turun atau masih menghambat penurunan anak adalah pada neonatus (bayi lahir sampai 28 hari) karena masih tetap pada 19 di angka 1.000 kelahiran ibu. Menurut Save The Children menegaskan sebagian besar kematian tersebut sebenarnya bisa dicegah jika tenaga kesehatan yang terlatih hadir saat kelahiran tersebut. Saat ini kehadiran tenaga kesehatan terlatih di Indonesia saat kelahiran mencapai 73%. Target MDGs untuk menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) pada tahun 2015 masih sulit dicapai karena kecenderungan naiknya AKI di Indonesia. Kemiskinan juga dianggap berwajah perempuan dan berdampak pada buruknya kesehatan reproduksi perempuan. Hal tersebut disampaikan Women Research Institute (WRI), berdasarkan penelitian di 7 wilayah. Melalui penelitian tersebut, WRI menyimpulkan bahwa 210 | Prosiding PKWG Seminar Series
perempuan adalah sosok yang menanggung kemiskinan. Perempuan di wilayah pedesaan sesungguhnya merupakan penggerak roda ekonomi pasar tradisional, selain juga sebagai sosok yang memikul berbagai beban nilai sosial dan budaya, dan cenderung terbatas akses mereka ke dunia publik. Perempuan juga cenderung diposisikan lebih tidak bermakna jika dibandingkan dengan laki-laki. Nilai-nilai sosial budaya telah membentuk cara pikir masyarakat dalam memaknai perempuan. Pemaknaan ini dalam prakteknya ikut memberi pengaruh terhadap pemaknaan arti kesehatan bagi perempuan. Kondisi ini memiliki kecenderungan yang merugikan kaum perempuan, terutama mengenai nilai kesehatan reproduksi mereka (2010:223-332). Target dari MDGs tahun 2015 untuk angka kematian bayi harus mencapai 23/1.000 kelahiran hidup. Lima provinsi ini menyumbang hampir 50 persen dari total angka kematian ibu dan bayi, karena provinsi ini memiliki jumlah penduduk yang besar. Untuk angka kematian bayi provinsi yang paling banyak menyumbang adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara dan Banten. Untuk penyumbang angka kematian ibu yang paling banyak adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara dan NTT. Secara statistik maka prevalensinya memang kecil, tapi karena penduduk di daerah tersebut banyak maka jumlahnya menjadi terlihat besar. Dari hasil survei yang dilakukan SDKI, presentase angka kematian ibu telah menunjukkan penurunan dari tahun ke tahun. Hanya saja, dari beberapa kota yang ada di Indonesia, Jawa Barat masih menjadi salah satu daerah dengan angka kematian ibu yang paling tinggi. Namun yang paling mengejutkan adalah Jawa Timur justru mengalami peningkatan dalam jumlah kematian ibu. Untuk 2010, angka kematian ibu di Jawa Barat sebesar 2280, Jawa Tengah sebesar 1766, Nusa Tenggara Timur sebesar 642, Banten sebesar 538, dan Jawa Timur sebesar 500. Tahun 2011, angka kematian ibu Sri Endah Kinasih dan Pinky Saptandari | 211
di Jawa Barat sebesar 837, Jawa Tengah sebesar 668, Jawa Timur sebesar 627, Banten sebesar 250, dan Nusa Tenggara Timur sebesar 208. Angka kematian ibu yang baru melahirkan di Provinsi Jawa Timur relatif tinggi akibat proses persalinan tidak ditangani bidan atau dokter. Berdasarkan hasil penelitian Dinkes Jatim ditemukan masih banyaknya proses persalinan ditangani oleh dukun. Selain itu, selama masa kehamilan, banyak ibu yang tidak pernah memeriksakan kesehatan kandungannya secara teratur kepada bidan atau dokter. Untuk menangani hal ini sudah dimulai dengan melakukan terjun langsung ke daerah-daerah dengan menempatkan tenaga kesehatan di desa-desa, adanya Jampersal, BOK (Bantuan Operasional Kesehatan) serta mengirim dokter spesialis untuk rujukan. Sementara Angka kematian bayi (AKB), menurut data dari Dinas Kesehatan Propinsi Jatim, di Kabupaten Probolinggo mencapai 64,19% tercatat paling tinggi di Jatim. Setelah Kabupaten Probolinggo, AKB tertinggi diduduki Jember 56,45%, Sampang 55,11%, Situbondo 4,60%, Bondowoso 54,35%, Bangkalan,22%, Pamekasan 51,66%, dan Kabupaten Pasuruan 51,62%. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan, untuk angka kematian bayi di tahun 2013 kemarin, diketemukan ada 21 bayi yang meninggal saat persalinan dan setelah lakukan persalinan. Terhitung pada tahun 2014 ini saja, semenjak bulan januari hingga april kemarin. Sudah diketemukan ada 2 bayi yang meninggal saat persalinan, dan 1 meninggal setelah lakukan persalinan. Pada tahun 2012, Indonesia Negara kekurangan gizi nomor 5 di dunia. Peringkat kelima karena jumlah penduduk Indonesia juga di urutan empat terbesar dunia, Jumlah balita yang kekurangan gizi di Indonesia saat ini sekitar 900 ribu
212 | Prosiding PKWG Seminar Series
jiwa. Jumlah tersebut merupakan 4,5% dari jumlah balita Indonesia, yakni 23 juta jiwa. Orang Miskin Jawa Timur terbanyak di Indonesia. Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan Jawa Timur sebagai provinsi dengan jumlah penduduk miskin terbanyak di Indonesia. Laporan terbaru BPS, pada September 2013 menyebutkan jumlah penduduk miskin Jawa Timur mencapai angka 4,86 juta. Sebanyak 1,62 juta dari angka itu merupakan penduduk miskin perkotaan, sisanya penduduk di pedesaan. Setelah Jawa Timur, peringkat kedua dan ketiga jumlah penduduk miskin terbanyak ada di provinsi Jawa Tengah dan Jawa Barat. AKI, AKB, gizi buruk dan penduduk miskin banyak ditemukan di beberapa daerah di Jawa Timur. Perkecualian ditemukan pada suku Tengger Bromo. Menarik untuk dikaji mengapa perkecualian tersebut terjadi pada Suku Tengger yang sering melaksanakan upacara adat seperti Upacara Kasada, Upacara Karo, Upacara Unan-Unan, Upacara EntasEntas, Upacara Pujan Mubeng, Upacara Kelahiran, Upacara Tugel Kuncung atau tugel Gombak, Upacara Perkawinan, Upacara Kematian, Upacara Barikan dan Upacara Liliwet, beberapa upacara adat lainnya yang masih berlaku di Suku Tengger. Patut ditelaah, sejauhmana nilai-nilai kearifan lokal budaya bangsa dapat digali dan dikembangkan sebagai suatu peluang untuk mengungkap kearifan lokal tentang nilai-nilai keluarga yang kerapkali terpendam atau terpinggirkan karena kecenderungan pragmatisme dan materialisme. Penanaman dan revitalisasi nilai-nilai keluarga untuk mewujudkan ketahanan dan kesejahteraan keluarga dapat dilaksanakan melalui berbagai sumber budaya seperti dongeng/cerita rakyat, pepatah, wewarah, pantun, norma. Apa yang dimiliki masyarakat Tengger merupakan modal budaya yang dapat dikembangkan untuk pembangunan ketahanan keluarga
Sri Endah Kinasih dan Pinky Saptandari | 213
melalui optimalisasi Permusyawaratan Desa.
fungsi
dan
peran
Badan
Tradisi dan Upacara Adat yang ada pada suku Tengger menunjukkan pengetahuan dan kearifan budaya lokal yang patut dikaji secara mendalam sejauhmana kontribusi nya dalam pemberdayaan masyarakat. Lahirnya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, pasal 4 butir c menjelaskan bahwa desa punya kewajiban untuk melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat Desa. Namun di sisi lain Permen PPPA No.06/2013 tentang Pelaksanaan Pembangunan Keluarga. Pembangunan keluarga ditujukan antara lain agar upaya pengendalian angka kelahiran dan penurunan angka kematian baik ibu dan anak, meningkatkan gizi dan tingkat pendidikan, pengembangan kualitas penduduk pada seluruh dimensinya, peningkatan ketahanan dan kesejahteraan keluarga, penyiapan dan pengaturan perkawinan serta kehamilan sehingga penduduk menjadi sumber daya manusia yang tangguh bagi pembangunan dan ketahanan nasional, serta mampu bersaing dengan bangsa lain, dan dapat menikmati hasil pembangunan secara adil dan merata. Pengintegrasian antara UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, dengan Permen PPPA No.06/2013 tentang Pelaksanaan Pembangunan Ketahanan Keluarga membutuhkan pembentukan Forum Komunikasi. Forum komunikasi merupakan proses mediasi sebagai bentuk-bentuk dialog dalam mengatasi pandangan, paham, kepentingan dan kebijakan yang berbeda. Meskipun mengakui adanya kontradiksi pandangan, paham, kepentingan dan kebijakan yang berbeda antara UU No. 6 Tahun 2014 dengan Permen PPPA No.06/2013. Di dalam UU No. 6 Tahun 2014 dari Pasal 56 s/d 65 telah mengatur tentang Badan Permusyawaratan Desa sebagai lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan. Dengan adanya pengakuan tersebut, maka pembentukan forum komunikasi melalui Badan Permusyawaratan Desa dapat diwujudkan. 214 | Prosiding PKWG Seminar Series
Pembentukan forum komunikasi melalui Badan Permusyawaratan Desa memberi peluang untuk perempuan dan organisasi perempuan ditingkat lokal untuk berkiprah dalam bidang politik, sosial budaya, dan ekonomi. Peningkatan peran dalam politik melalui pemilihan kepala Desa, perangkat desa, dan Badan Permusyawarahan Desa. Sosial budaya melalui lembaga adat. Ekonomi melalui Badan Usaha Milik Desa sehingga melalui kiprah perempuan suku Tengger maka dapat menjadi sarana melakukan pengembangan nilai-nilai kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, perlindungan dan tumbuh kembang anak dalam mewujudkan pembangunan ketahanan keluarga. Keluarga memainkan peran penting, terutama untuk mengantarkan anak-anak Indonesia menjadi generasi yang berkualitas. Memperkuat ketahanan dan kesejahteraan keluarga untuk dapat menjalankan fungsi perlindungan dan pengasuhan dalam keluarga membutuhkan perubahan pola pikir, perubahan nilai-nilai budaya, norma, sikap dan perilaku dalam keluarga dan masyarakat agar dapat mendukung citacita mulia tersebut. Ketika proses kesadaran manusia menjadi pusat, di sanalah kunci perubahan masyarakat diletakkan pada transformasi kebudayaan. Menurut Mudji Sutrisno (2005:71-72), transformasi kultural membutuhkan transformasi struktural baik politik maupun ekonomi. Menurutnya, tidaklah cukup transformasi nilai tanpa adanya transformasi struktural. Pengabaian tentang pentingnya transformasi struktural untuk menyertai transformasi kultural akan membuat sulit terwujudnya perubahan mendasar dalam pembangunan keluarga. Pengintegrasian antara produk kebijakan hukum yang satu (dalam hal ini UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa), dengan produk kebijakan yang lain (Permen PPPA No.06/2013 tentang Pelaksanaan Pembangunan Keluarga) akan menciptakan pluralisme hukum, di mana pengintegrasian antara dua produk hukum ini dapat diartikan sebagai integrasi Sri Endah Kinasih dan Pinky Saptandari | 215
yang saling mendukung. Selanjutnya, Woodman (1991) menyatakan bila memperhatikan pada tataran individu (masyarakat suku Tengger) yang menjadi subyek dari pluralisme hukum yang dikaitkan dengan pembangunan ketahanan keluarga, maka bagaimana pandangan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa dengan Permen PPPA No.06/2013 tentang Pelaksanaan Pembangun K l “ grasi” menempatkan perempuan sebagai subyek pembangunan dalam mewujudkan kesetaraan gender, pemberdayaan dan perlindungan perempuan, serta pemenuhan hak tumbuh kembang dan perlindungan anak dalam berusaha untuk mewujudkan Target MDGs dalam hal kesehatan ibu, bayi, gizi dan mengurangi kemiskinan. Permen PPPA No.06/2013 dimaksudkan agar pembangunan keluarga dapat benar-benar menjadi komitmen bersama Pemerintah dan masyarakat, serta dilaksanakan secara terpadu. Secara khusus Permen No. 06/2013 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pembangunan Keluarga, bertujuan untuk: (i) mendorong penerapan konsep ketahanan dan kesejahteraan keluarga dengan perspektif gender pada semua kegiatan pembangunan yang sasarannya untuk keluarga; (ii) mendorong peningkatan pelaksanaan kebijakan pembangunan keluarga pada masing-masing Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota dan Desa; (iii) mengembangkan kebijakan baru untuk melengkapi pemenuhan kebutuhan keluarga dalam rangka peningkatan ketahanan dan kesejahteraan. Dalam pengembangan kebijakan pelaksanaan pembangunan ketahanan keluarga diharapkan berpedoman pada konsep ketahanan dan kesejahteraan yang didalamnya mencakup: landasan legalitas dan keutuhan keluarga; ketahanan fisik; ketahanan ekonomi; ketahanan sosial psikologi; dan ketahanan sosial budaya (dalam Pasal 3 dan 4 Peraturan Menteri PPPA No.6/2013 tentang Pelaksanaan Pembangunan Keluarga).
216 | Prosiding PKWG Seminar Series
Kondisi Kesehatan Ibu dan Anak di Kabupaten Probolinggo Angka kematian bayi (AKB) di Kabupaten Probolinggo tahun 2013 mencapai 64,19% tercatat paling tinggi di Jatim. Setelah Kabupaten Probolinggo, AKB tertinggi diduduki Jember 56,45%, Sampang 55,11%, Situbondo 4,60%, Bondowoso 54,35%, Bangkalan,22%, Pamekasan 51,66%, dan Kabupaten Pasuruan 51,62%. Tabel 1 Data Kesehatan Ibu & Anak Dinas Kesehatan Kab. Probolinggo NO
INDIKATOR
TH. 2011
TH. 2012
TH.2013
1.
Angka Kematian Ibu (AKI)
80,58/10 0.000 KH
81,07 /100.000 KH
65,92 /100.000 KH
2.
Jumlah Kematian Ibu
15 kasus
15 kasus
12 kasus
3.
Angka Kematian Bayi
11,75/ 1000 KH
12,43 / 1000 KH
11,04 / 1000 KH
4.
Jumlah Kematian Bayi
218 kasus
230 kasus
201 kasus
5.
Jumlah Dukun bayi
642 orang
639 orang
641 orang
6.
Jumlah Bidan
365 orang
366 orang
405 orang
7.
Balita Gizi Buruk
2,3 %
2,8 %
2,26 %
TH. 2014 Jan-Agst
17 kasus
152 kasus
1,9 %
Sri Endah Kinasih dan Pinky Saptandari | 217
8.
Balita Gizi Kurang
9,7 %
14,81 %
9,83 %
9,13 %
9.
Ibu Hamil Kurang Energi Kronis (KEK)
4,85 %
6,41 %
8,9 %
10,4 %
10.
Angka Perkawinan
40,67 %
44,78 %
41,92 %
( < usia 20 th ) 11.
Jumlah perkawinan usia < 20 tahun
3.655
9.768
9.646
12.
Persalinan ditolong dukun
777
659
483
13.
Persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan
17.914
17.884
17.729
269
Sumber : Dinas kesehatan kabupaten Probolinggo, Juni 2014 AKB dihitung per 1.000 kelahiran dan AKI per 100.000 kelahiran. Pada tahun 2011 AKB mencapai 11,75 per 1.000 kelahiran, meningkat pada tahun 2012 12,43 per 1.000 kelahiran, dan menurun kembali pada tahun 2013 AKB mencapai 11,04 per 1.000 kelahiran.
218 | Prosiding PKWG Seminar Series
Tabel 2 Penyebab Langsung Kematian Bayi ( 0-11 Bulan ) TH. 2014 (Jan-Juni)
TH. 2012
TH. 2013
(Jumlah kasus)
( Jumlah kasus)
Trauma lahir
0
1
0
Kelainan konginetal
32
41
33
Asfiksia
22
26
15
BBLR komplikasi
86
67
48
Infeksi
15
22
6
Tetanus Neonatorum
3
0
0
Diare
10
4
2
ISPA
8
0
0
Aspirasi
18
7
3
Pneumonia
11
18
7
Meningitis
5
5
1
Febris konvulsi
5
0
0
Bronchopneumoni
3
0
0
Illeus
4
3
0
Lain-lain (dukun)
8
7
4
PENYEBAB
( Jumlah Kasus )
Sumber : Dinas kesehatan kabupaten Probolinggo, Juni 2014 AKB di Kabupaten Probolinggo terjadi karena banyaknya masyarakat yang masih bergantung dan percaya pada dukun untuk membantu proses persalinan. AKB pada tahun 2011 mencapai 218 kasus dan
Sri Endah Kinasih dan Pinky Saptandari | 219
pada tahun 2012 hingga Oktober menurun menjadi 192 kasus. Sementara AKI pada tahun 2011 ini mencapai 80,58 per 100.000 kelahiran dan meningkat pada tahun 2012 mencapai 81,07 per 100.000 kelahiran. Kembali menurun tajam pada tahun 2013 mencapai 65,92 per 100.000 kelahiran. Jika acuannya adanya Millenium Development Goals (MDGs), AKB dan AKI di Kabupaten Probolinggo tergolong masih rendah (di bawahnya). Tabel 3 Penyebab Langsung Kematian Ibu TH. 2011
TH. 2012
TH. 2013
TH. 2014
Perdarahan = 33,3 %
Perdarahan = 43 %
Perdarahan = 33 %
Perdarahan = 24 %
Preeklamsi/ Eklamsi = 13,3 %
Pre eklamsi/ Eklamsi = 29 %
Pre eklamsi/ Eklamsi = 50 %
Pre eklamsi/ Eklamsi = 24 %
Infeksi = 20 %
Infeksi = 7 %
Penyakit = 33 %
Penyakit = 46 %
Penyakit = 33,3 %
Penyakit = 14 %
Emboli = 6 %
Emboli = 7 %
Sumber : Dinas kesehatan kabupaten Probolinggo, Juni 2014 Tingginya AKB dan AKI diantaranya dipicu masih ada sebagian masyarakat yang bergantung dan percaya pada dukun untuk membantu proses persalinan. Di Kabupaten Probolinggo masih banyak dukun bayi, jumlahnya tercatat 641 orang. Masih ada dukun yang tidak mengerti soal sterilisasi dan higienitas. Ada dukun yang memotong tali pusar dengan bambu yang sudah ditajamkan. Setelah itu pusar, diisi ramuan rempah-rempah. Hal ini memicu infeksi pada bayi.
220 | Prosiding PKWG Seminar Series
Pokok permasalahan tingginya AKI di Pasuruan, di antaranya disebabkan oleh: 1. Rendahnya akses penduduk miskin pada layanan kesehatan yang berkualitas sehingga status kesehatan mereka tertinggal dibandingkan dengan kelompok masyarakat yang lebih mampu. 2. Sulitnya mendapatkan/memanfaatkan fasilitas dan tenaga kesehatan yang berkualitas dan terjangkau bagi perempuan miskin. Motivasi bidan tinggal di desa rendah karena kurangnya insentif bagi bidan khususnya untuk penempatan di daerah terpencil dan miskin. Jumlah bidan desa yang sangat kurang dibandingkan dengan jumlah penduduk. 3. Fasilitas umum kesehatan masyarakat untuk melayani kesehatan reproduksi perempuan dalam banyak hal masih sangat terbatas. 4. Tingginya AKB dan AKI di antaranya dipicu masih ada sebagian masyarakat yang bergantung dan percaya pada dukun untuk membantu proses persalinan. Di Kabupaten Probolinggo masih banyak dukun bayi jumlahnya 641orang. Gizi buruk di Jawa Timur tertinggi juga di kabupaten Probolinggo. Balita penderita gizi buruk di kabupaten Probolinggo pada tahun 2011 sebanyak 2,3%, meningkat pada tahun 2012 menjadi 2,8%. Dua tahun berikutnya terus mengalami penurunan pada tahun 2013 sebanyak 2,26% dan tahun 2014 hanya 1,9%. Berdasarkan hasil pemantauan program gizi masyarakat di Jawa Timur pada tahun 2014 telah diketahui, ada kesalahan pada pola asuh yang memberikan kontribusi 40,7% terhadap kejadian gizi buruk, penyakit penyerta memberikan kontribusi 28,8%, kemiskinan memberikan kontribusi 25,1% dan faktor lain memberikan kontribusi 5,4%. Pola asuh yang tidak sesuai
Sri Endah Kinasih dan Pinky Saptandari | 221
menggambarkan rendahnya pengetahuan individu terutama orang tua balita. Rendahnya pengetahuan tersebut berkaitan dengan perilaku gizi yang tidak sesuai. Berbagai cara pun ditempuh Dinas Kesehatan untuk menekan AKB dan AKI. Untuk menekan AKB dan AKI, dukun tidak boleh lagi menolong persalinan. Kuncinya sejak hamil, ibu diminta rutin memeriksakan kehamilannya di bidan atau dokter, sedangkan dukun byi diperankan untuk perawatan ibu dan bayi pasca persalinan. Membangun Forum Permusyawaratan Desa Pembangunan Keluarga
Komunikasi Melalui Badan Sebagai Upaya Mendukung
Masyarakat suku Tengger terdiri atas kelompok-kelompok desa. Masyarakat suku Tengger tidak mengenal dualisme kepemimpinan, walaupun ada yang namanya Dukun adat dan kepala desa. Tetapi secara formal pemerintahan dan adat, suku Tengger dipimpin oleh seorang Kepala Desa (Petinggi) yang sekaligus adalah Kepala Adat. Kepala desa di Tengger yang sekaligus Kepala Adat menempati posisi paling penting dalam kehidupan desa. Semangat UU No.6/2014 adalah menempatkan kepala desa bukan sebagai kepanjangan tangan pemerintah, melainkan sebagai pemimpin masyarakat. Artinya kepala desa harus mengakar dekat dengan masyarakat, sekaligus melindungi, mengayomi dan melayani warga masyarakat. Kepala desa/kepala adat di Tengger harus bersinergi dengan dukun dalam melindungi, mengayomi dan melayani warga masyarakat. Dukun diposisikan sebagai pemimpin Ritual/Upacara Adat. Dukun merupakan pimpinan yang berperan dalam memimpin berbagai macam upacara keagamaan. Dalam menjalankan aktivitasnya dukun Tengger mengucapkan mantra sesuai dengan bentuk dan tujuan upacara. Mantra-mantra dukun tengger hanya berfungsi untuk dua hal, yaitu untuk memperoleh atau menghasilkan sesuatu, 222 | Prosiding PKWG Seminar Series
dan memohon perlindungan dan keselamatan bagi seseorang, keluarga dan Masyarakat Tengger. Kepala desa juga merupakan kepala adat yang paham tentang ketaatan terhadap nilai-nilai yang harus dianut, menghargai keseimbangan alam seperti mengolah tanah atau lahan yang dimiliki, menghargai warisan leluhur dan anugerah yang harus diolah, dirawat, serta dijaga dalam mendatangkan hasil untuk kebutuhan hidup sehari-hari dalam mengambil dan memanfaatkan apa yang ada di alam, seperti air, tanah, hewan, dan pohon. Sebagai kepala desa juga merupakan kepala adat yang harus mempertahankan nilai-nilai tersebut di atas, maka kepala desa/kepala adat harus bersinergi dengan dukun dalam bentuk upacara adat. Upacara adat ini bertujuan untuk menjaga keseimbangan alam yang dibangun dari sistem yang disepakati oleh masyarakat melalui mantra-mantra. Jadi dukun dapat menjembatani atau menghubungkan orang kebanyakan dengan roh-roh leluhur serta dewa-dewa yang berada di kayangan. Orang kebanyakan hanya dapat berkomunikasi dengan sing cikal bakal (penghuni pertama), sing mbau rekso (penjaga desa), dan roh-roh biasa. Kepemimpinan kepala desa di Tengger bersinergi dengan dukun merupakan kepemimpinan yang inovatifprogresif yang pro perubahan menampilkan karakter inovatif-progresif. Mereka tidak antidemokrasi, sebaliknya memberikan semangat transparansi, akuntabilitas dan partisipasi. Mereka mempunyai kesadaran baru bahwa komitmen Kepala Desa terhadap nilai-nilai baru itu menjadi sumber legitimasi bagi kekuasaan yang dipegangnya. Pembelajaran dan jaringan mereka dengan dinas-dinas pemerintahan terkait program-program pusat maupun daerah, Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat, organisasi keagamaan maupun organisasi kemasyarakatan, mereka terima dalam membangun dan mengembangkan potensi daerahnya terutama terkait dengan pembangunan keluarga mewujudkan kesetaraan Sri Endah Kinasih dan Pinky Saptandari | 223
gender, pemberdayaan perempuan, perlindungan & tumbuh kembang anak selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut oleh suku Tengger. Kepala desa mempunyai komitmen dalam menggerakkan elemen-elemen masyarakat untuk membangkitkan emansipasi lokal dan membangun desa dengan mengoptimalkan aset-aset lokal. Untuk menjaga akuntabilitas, masyarakat Tengger telah mem bentuk Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai forum komunikasi dalam membangun dan mengembangkan potensi daerahnya terutama terkait dengan pembangunan keluarga mewujudkan kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, perlindungan & tumbuh kembang anak. Ada pergeseran (perubahan) kedudukan BPD dari UU No. 32/2004 ke UU No. 6/2014. Menurut UU No. 32/2004 BPD merupakan unsur penyelenggara pemerintahan desa bersama pemerintah desa, yang berarti BPD ikut mengatur dan mengambil keputusan desa. Namun UU No. 6/2014, BPD menjadi lembaga desa yang melaksanakan fungsi pemerintahan, sekaligus juga menjalankan fungsi menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa; melakukan pengawasan kinerja kepala desa serta menyelenggarakan musyawarah desa. Ini berarti bahwa eksklusi BPD a d a n y a penguatan fungsi politik (representasi, kontrol dan deliberasi). Pada UU No. 6/2014 tentang Desa, dalam Pasal 1 (ayat 5) disebutkan bahwa Musyawarah Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah musyawarah antara Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat yang diselenggarakan oleh Badan Permusyawaratan Desa untuk menyepakati hal yang bersifat strategis. Pengertian tersebut memberi makna betapa pentingnya kedudukan BPD untuk melaksanakan fungsi pemerintahan, terutama mengawal 224 | Prosiding PKWG Seminar Series
berlangsungnya forum komunikasi permusyawaratan dalam musyawarah desa. Kondisi ini yang kemudian dipertegas dalam Undang-Undang Desa di Bagian Keenam, Pasal 54 (ayat 2), hal yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud meliputi: a) Penataan Desa; b) Perencanaan Desa; c) Kerja sama Desa; d) Rencana investasi yang masuk ke Desa; e) Pembentukan BUM Desa; f) Penambahan dan pelepasan Aset Desa; dan g) Kejadian luar biasa. Dalam hal ini Badan Permusyawaratan Desa sebagai forum komunikasi memiliki posisi yang strategis dalam hal pembangunan keluarga untuk mewujudkan kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, perlindungan & tumbuh kembang anak. Pelaksanaan kegiatan pembangunan ketahanan keluarga yang dikoordinasikan oleh dinas dengan melakukan kemitraan dengan Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat, organisasi keagamaan dan organisasi. Badan Permusyawaratan Desa di suku Tengger sangatnya berorientasi pada proses, program dan target. Badan Permusyawaratan Desa di suku Tengger memiliki empat bidang dalam pembangunan keluarga mewujudkan kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, perlindungan & tumbuh kembang anak yaitu bidang kemasyarakatan, bidang ekonomi, bidang sosial budaya dan agama, serta bidang lingkungan hidup. Cukup menarik anggota BPD di suku Tengger terdiri dari perwakilan satu orang dari tiap dusun dan ada satu kader posyandu yang merupakan wakil dari penduduk desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis. Keanggotaan BPD mengutamakan kesetaraan gender dan melibatkan kaum miskin. Keterlibatan ini diharapkan membangkitkan rasa percaya diri pada warga dan pada akhirnya menimbulkan rasa memiliki terhadap apa yang mereka hasilkan. BPD sebagai forum komunikasi dalam melaksanakan program pemerintahan, juga harus disesuaikan dengan Sri Endah Kinasih dan Pinky Saptandari | 225
nilai-nilai sosial budaya lokal. Dinas kabupaten Probolinggo memberikan bantuan teknis, administratif, dana stimulan dan lain-lain dalam mewujudkan program pembangunan ketahanan keluarga. Supaya berjalan berjalan sesuai dengan entry point sehingga perlu melakukan komunikasi melalui BPD sebagai faktor pendukung agar kegiatan tersebut lebih berkembang. Disisi lain, BPD juga melakukan kemitraan membangun ketahanan keluarga dengan Perguruan Tinggi (PT), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), organisasi keagamaan dan organisasi kemasyarakatan untuk meningkatkan program berkelanjutan (kontiunitas). Kemitraan sangat efektif dalam membangkitkan kesadaran masyarakat melalui peran PT, LSM, organisasi keagamaan dan organisasi kemasyarakatan dalam mewujudkan ketahanan keluarga. Kemitraan meningkatkan efektifitasnya melalui keterlibatan mendalam dengan semua pemangku kepentingan baik dinas pemerintahan dengan PT, LSM, organisasi keagamaan dan organisasi kemasyarakatan, seperti pada model di bawah ini :
226 | Prosiding PKWG Seminar Series
MEMBANGUN FORUM KOMUNIKASI MELALUI BADAN PERMUSYAWARATAN DESA SEBAGAI UPAYA MENDUKUNG PEMBANGUNAN KELUARGA •Program-program Dinas Nasional, Propinsi dan Daerah
Kemitraan
•PT, LSM, organisasi keagamaan dan organisasi kemasyarakatan
BADAN PERMUSYAWARATAN DESA (Perwakilan satu orang dari setiap Dusun)
PEMBANGUNAN KELUARGA MEWUJUDKAN KESETARAAN GENDER, PEMBERDAYAAN PEREMPUAN, PERLINDUNGAN & TUMBUH KEMBANG ANAK
•Lestarikan & majukan adat, tradisi, budaya masyarakat desa; •Prakarsa, gerakan, partisipasi Dengan model di atas, diharapkan wacana pengambil kebijakan pembangunan ketahanan keluarga di tingkat kabupaten Probolinggo menjadi terbuka lebar dan untuk memulainya tidak sesulit yang diduga tetapi memiliki dampak yang cukup besar sehingga harapan model membentuk Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai forum komunikasi dalam membangun dan mengembangkan potensi daerahnya terutama terkait dengan pembangunan keluarga mewujudkan kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, perlindungan & tumbuh kembang anak bisa diadopsi oleh Kabupaten/Kota yang ada. Program-program yang berhasil di suku Tengger bisa diadopsi oleh kabupaten/kota baik ditingkat lokal, regional maupun nasional karena program pembangunan keluarga mewujudkan kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, perlindungan & tumbuh kembang anak sering mendapatkan penghargaan baik ditingkat daerah, propinsi, nasional maupun internasional. Sri Endah Kinasih dan Pinky Saptandari | 227
Program-program yang berhasil adalah: Program keragaman pangan dan ketahanan pangan (Program ini berhasil dan sebagai program percontohan di kabupaten Probolinggo dan program nasional); Pemberdayaan dan Pengembangan Peternakan; Jumlah Anak hanya satu (Pemenang ditingkat propinsi juara 1 maupun ditingkat nasional juara 1); Pengembangan Usaha Agrobisnis Perdesaan, mendapatkan Pinjaman Rp 100.000.000 (Usaha ini berhasil dan pinjaman Rp 100.000.000 sudah dikembalikan dengan lunas); Usaha cacing merah untuk kosmetik (Program ini berhasil dan sebagai program percontohan di kabupaten Probolinggo dan program nasional); Adanya Bina Keluarga Balita; Pendewasaan usia perkawinan; Penyuluhan tentang kesehatan reproduksi dan bahaya pergaulan bebas, narkotika, dan HIV/AIDS; Program Pendidikan Satu Atap (Program ini berhasil dan sebagai program percontohan di kabupaten Probolinggo dan program nasional); pelatihan dan pemberdayaan menjahit dan membordir; PAUD disinergikan dengan Dinas Kesehatan dalam rangka pemberdayaan orang tua untuk perlindungan & tumbuh kembang anak; Pembinaan tenaga bidan untuk membantu dukun bayi, Ante Natal Care Terpadu (pemeriksaan saat ibu hamil) (Program ini berhasil dan sebagai program percontohan di kabupaten Probolinggo dan program nasional; Pelayanan tentang penyakit kanker, HIV AIDS, dan yang berhubungan dengan penyakit kesehatan reproduksi; Deteksi Dini Tumbuh Kembang bagi Balita dan pemantauan status gizi; Deteksi Dini dan Monitoring Penggunaan Garam Beryodium bagi Balita; Program Bebas Buang Air Besar Sembarangan (satu-satunya satu-satunya kecamatan yang paling berhasil dalam program Bebas Buang Air Besar Sembarangan dan mendapat penghargaan dari World Bank.); Pembentuk Kelompok Pendukung ASI hal inilah yang menyebabkan AKB sangat rendah); Program UPPKS (Hal inilah menyebabkan tingkat pendapatan ekonomi keluarga penduduk Sukapura meningkat), Mengenal Bulan Bakti Gotong Royong (Terbaik pada bulan Bhakti Gotong Royong di tingkat 228 | Prosiding PKWG Seminar Series
propinsi Jawa Timur 2013). Beberapa keberhasilan tersebut menyebabkan AKI dan AKB di kecamatan Sukapura sangat kecil dibandingan seluruh kecamatan di kabupaten Probolinggo Mengenai sistem pemerintahan di desa Sukapura, telah ada sistem khusus yang menyatukan sistem administrasi negara dan sistem adat. Pemerintah desa terbagi atas dua: pemerintah desa yang mengurusi administratif dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Pemerintah desa berisi kepala desa, ketua RT dan ketua RW. Sedangkan BPD berisi perwakilan satu orang dari setiap dusun berdasarkan hasil musyawarah desa. BPD bertugas menjalankan fungsi legislasi. Sedangkan kepala desa adalah orang yang menjalankan fungsi eksekutif. Kepala desa yang telah menjadi kepala desa definitif, ia secara otomatis menjadi kepala adat. Kepala adat memiliki fungsi mengepalai dan memberikan keputusan mengenai halhal yang berurusan dengan adat. Musyawarah dilakukan di balai desa untuk menyelesaikan perkara yang berhubungan dengan masyarakat. Posisi BPD mempunyai fungsi yang dapat memperkuat kontrol dan legitimasi kekuasaan kepala desa. Forum komunikasi akan menciptakan kebersamaan (kolektivitas) antara pemerintah desa, BPD dan unsur-unsur masyarakat untuk membangun dan melaksanakan visi-misi perubahan desa. Musyawarah desa juga menghindarkan relasi konfliktual head to head antara kepala desa dan BPD. Keberhasilan program pembangunan keluarga mewujudkan kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, perlindungan & tumbuh kembang anak sangat tergantung pada bekerjanya fungsi politik BPD dan kepala desa. Kemitraan antara BPD dengan Kepala Desa adalah merupakan prinsip check and balances. Ada saling pengertian dan menghormati aspirasi warga untuk melakukan check and balances. Kondisi seperti ini akan Sri Endah Kinasih dan Pinky Saptandari | 229
menciptakan kebijakan desa yang demokratis dan berpihak warga. Keberhasilan Desa yang dihuni Suku Tengger ini dapat dijadikan model pengembangan pembangunan keluarga yang berbasis komunitas dan kearifan lokal. Sebagaimana dikutip dari hasil penelitian “M Mo l K P K Keluarga Menuju K K l ” (2013), pengembangan model kebijakan (Policy Model) pembangunan keluarga menggunakan model yang dikembangkan Gass dan Sisson (1974). Dalam buku tersebut, Gass dan Sisson menjelaskan model kebijakan sebagai representasi sederhana mengenai aspek-aspek yang terpilih dari suatu kondisi masalah yang disusun untuk tujuan-tujuan tertentu. Model kebijakan dapat digunakan tidak hanya untuk menjelaskan dan memprediksi elemen-elemen suatu kondisi masalah, melainkan juga untuk memperbaikinya dengan merekomendasikan serangkaian tindakan untuk memecahkan masalah-masalah tertentu. Dikatakan bahwa model kebijakan dapat membantu membedakan hal-hal yang esensial dan tidak esensial dari situasi masalah, mempertegas hubungan diantara faktor-faktor atau variabel-variabel penting dan membantu menjelaskan serta mempredikdikan konsekuensi-konsekuensi dari pilihan kebijakan. Kesimpulan Masyarakat Suku Tengger memiliki kelebihan yang tidak ditemukan di wilayah lain di Jawa Timur, atau bahkan mungkin di tempat lain di Indonesia. Kearifan lokal budaya pada Suku Tengger merupakan modal budaya untuk mewujudkan ketahanan dan kesejahteraan keluarga melalui berbagai sumber budaya seperti dongeng/cerita rakyat, pepatah, wewarah, pantun, norma, serta berbagai upacara yang masih dilakukan hingga kini. Berbagai modal budaya yang dimiliki masyarakat Suku Tengger terbukti membuat mereka memiliki keberhasilan dalam berbagai program pembangunan, antara lain: Program keragaman 230 | Prosiding PKWG Seminar Series
pangan dan ketahanan pangan (Program ini dinilai berhasil dan sebagai program percontohan di kabupaten Probolinggo dan program nasional); Program Jumlah Anak Hanya Satu (sebagai Juara 1 ditingkat Propinsi maupun Juara 1 tingkat Nasional); Beberapa keberhasilan tersebut menyebabkan AKI dan AKB di kecamatan Sukapura sangat kecil dibandingkan seluruh kecamatan di Kabupaten Probolinggo Badan Permusyawaratan Desa di suku Tengger memiliki empat bidang dalam pembangunan keluarga mewujudkan kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, perlindungan & tumbuh kembang anak yaitu bidang kemasyarakatan, bidang ekonomi, bidang sosial budaya dan agama, serta bidang lingkungan hidup. Anggota BPD di suku Tengger terdiri dari perwakilan satu orang dari tiap dusun dan ada satu kader posyandu yang merupakan wakil dari penduduk desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis. Keanggotaan BPD juga mengutamakan kesetaraan gender dan melibatkan kaum miskin. Keterlibatan ini diharapkan membangkitkan rasa percaya diri pada warga dan pada akhirnya menimbulkan rasa memiliki terhadap apa yang mereka hasilkan. Berbagai kekuatan sosial, budaya, ekonomi dan politik masyarakat Desa, khususnya dari sisi Keluarga, Kelembagaan Desa, serta Sumber Daya Insani yang ada merupakan modal untuk berperan aktif serta menjalankan berbagai program pembangunan termasuk untuk menjalankan amanah Undang Undang Desa. Disinlah pentingnya nilai-nilai dan praktek adat berikut peran Kepala Desa yang sekaligus juga merupakan Kepala Adat yang paham tentang ketaatan terhadap nilai-nilai yang harus dianut serta menghargai keseimbangan alam untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat. Kepala Desa/Kepala Adat dalam hal ini berperan sebagai aktor pendorong perubahan dalam mewujudkan kesetaraan Sri Endah Kinasih dan Pinky Saptandari | 231
gender, pemberdayaan perempuan, perlindungan dan tumbuh kembang anak. Hal ini menunjukkan sekaligus membuktikan bahwa masyarakat Suku Tengger memiliki kemampuan melakukan transformasi kultural dan sekaligus transformasi struktural di mana proses kesadaran manusia menjadi pusat sekaligus kunci dalam melaksanakan perubahan. Dalam hal ini dirasakan pentingnya membangun Forum Komunikasi melalui pengembangan Badan Permusyawaratan Desa (BPD), yang merupakan upaya mendukung pembangunan keluarga dalam mewujudkan kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, perlindungan & tumbuh kembang anak. Suatu upaya strategis yang akan membuka peluang percepatan menekan angka kematian ibu (AKI), angka kematian bayi (AKB) dan gizi buruk. Rekomendasi Penurunan AKI, AKB, maupun gizi buruk di daerah miskin menjadi point yang terpenting dalam pembangunan ketahanan keluarga yang dilaksanakan dengan memasukkan perspektif gender, di mana Kepala Desa/Kepala Adat dan BPD dapat memainkan peran penting. Dalam hal ini, BPD berperan penting untuk mewujudkan pembangunan ketahanan keluarga dengan pendekatan berbasis komunitas untuk membangun model forum komunikasi dan mediasi yang bermanfaat bagi masyarakat. Berikut ini disampaikan beberapa rekomendasi: 1. Agar kearifan lokal sebagaimana yang dimiliki masyarakat Suku Tengger dan telah terbukti memiliki keberhasilan dalam program-program pemberdayaan masyarakat, dapat dikaji secara mendalam untuk mengembangkan model kebijakan pembangunan keluarga berbasis komunitas dan kearifan lokal. 2. Untuk meningkatkan peran dan fungsi BPD, khususnya dalam peran mewujudkan pembangunan ketahanan
232 | Prosiding PKWG Seminar Series
keluarga. Maka, disetiap Desa perlu ditingkatkan peran dan fungsi BPD dengan rumusan yang jelas, sebagai pintu masuk mewujudkan kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, perlindungan & tumbuh kembang anak. Sebagai suatu upaya strategis yang akan membuka peluang percepatan menekan angka kematian ibu (AKI), angka kematian bayi (AKB) dan gizi buruk. 3. Agar ada upaya penciptaan mekanisme yang jelas dalam kelembagaan BPD yang dapat mendorong kearifan lokal untuk: (a) melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat desa yang kondusif bagi kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, perlindungan & tumbuh kembang anak; (b) menyepakati hal-hal yang strategis yang mendukung ketahanan keluarga dengan pendekatan berbasis komunitas. 4. Pentingnya peningkatan peran BPD sebagai forum komunikasi dan mediasi dalam mewujudkan ketahanan keluarga, yang memiliki beberapa keuntungan: (a) BPD sebagai tempat komunikasi & informasi yang dapat diandalkan dalam meningkatkan gizi bayi, pertolongan pertama saat melahirkan, serta mendorong meningkatan kesempatan perempuan dalam ikut musyawarah dalam keutuhan keluarga; (b) BPD sebagai wadah untuk pengembangan kapasitas kelembagaan berbasis komunitas (nilai2, visi & misi) untuk mewujudkan ketahanan keluarga untuk kedepan. Daftar Pustaka Anonim, (2007) Rencana Aksi Nasional Pemenuhan Hak Kesehatan Reproduksi Perempuan, diterbitkan oleh Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan RI Arif Aris Mundayat, 2010, Edriana Noerdin, Erni Agustini, Sita Aripurnami & Sri Wahyuni, Target MDGs Menurunkan
Sri Endah Kinasih dan Pinky Saptandari | 233
AKI tahun 2015 Sulit Dicapai, Jakarta: Penerbit Women Research Institute. Atnike Nova Sigiro, Perempuan dan kesejahteraan Keluarga di Indonesia: Kritik Atas Model Keluarga ‘Lelaki Sebagai Pencari Nafkah Utama’, dalam Jurnal Perempuan Edisi ke-73, Jakarta: Penerbit Yayasan Jurnal Perempuan, April 2012. Dinas Kesehatan Kabupaten Probolinggo, 2014, Kesehatan Ibu dan Anak. Gass, Saul I dan Roger L Sisson (ed)., 1974. A Guide to Models In Governmental Planning and Operations, Washington DC: Office of Research and Development Environmental Protection Agency. Gerung Rocky, (2008), ”Feminisme Versus Kearifan Lokal”, Jurnal Perempuan Edisi ke-57. Kementerian Kesehatan RI, 2010. Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2010-2014. Jakarta. Ko
P (2008), Terhadap Kekerasan Ekonomi Rumah, Institusi Pendidikan, C K T Komnas Perempuan: Jakarta.
“K P dan Kekerasan Seksual: Di dan Lembaga Negara – P T 2008”.
Laporan Akhir Penelitian (belum dipublikasikan), “Membangun Model Kebijakan Pembangunan Ketahanan Keluarga Menuju Kesejahteraan Keluarga (Studi Kasus di Jawa Timur). Lembaga Kajian Pembangunan Masyarakat bekerjasama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, tahun 2013. Otto, Herbet A, 1970, The Family in Search of A Future Alternate Models for Moderns, New York: AppletonCentury-Crofts Educational Division Meredith Corporation.
234 | Prosiding PKWG Seminar Series
S
N , 2006, “M K l I o M D Y Mo D B ”, l Y Ernawan (eds), Bunga Rampai Masalah Anak, Gender & Multikuturalisme. Yogyakarta: Penerbit Ar-Ruzz Media.
Survei Demogafi dan Kependudukan Indonesia (SDKI), 2012, Kesehatan Reproduksi Remaja, Badan Pusat Statistik Jakarta, Indonesia Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Jakarta, Indonesia Kementerian Kesehatan Jakarta, Indonesia MEASURE DHS ICF International Calverton, Maryland USA Sutrisno Mudji & Hendar Putranto (ed), 2005, Teori-Teori Kebudayaan, Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Peraturan Permen PPPA No.06/2013 tentang Pelaksanaan Pembangunan Keluarga Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan Nomor 06 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Pembangunan Keluarga, diterbitkan pada tahun 2013. Undang-Undang RI Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan Undang-Undang RI Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
Sri Endah Kinasih dan Pinky Saptandari | 235