ANALISIS ALOKASI PENGELUARAN KELUARGA PESERTA DAN BUKAN PESERTA PROYEK PENANGGULANGAN KEMISKINAN PERKOTAAN (KASUS DI DESA GARDUSAYANG, KABUPATEN SUBANG)
DEVI PRATIWI SULAEMAN
Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor 2008
ANALISIS ALOKASI PENGELUARAN KELUARGA PESERTA DAN BUKAN PESERTA PROYEK PENANGGULANGAN KEMISKINAN PERKOTAAN (KASUS DI DESA GARDUSAYANG, KABUPATEN SUBANG)
DEVI PRATIWI SULAEMAN
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga
PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN DEVI PRATIWI SULAEMAN. Analisis Alokasi Pengeluaran Keluarga Peserta dan Bukan Peserta Proyek Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (Kasus Di Desa Gardusayang, Kabupaten Subang). Dibimbing oleh HARTOYO. Penelitian ini secara umum bertujuan mempelajari alokasi pengeluaran keluarga peserta dan bukan peserta Proyek Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) serta faktor-faktor lain yang mempengaruhinya. Tujuan khusus penelitian ini adalah : (1) mengidentifikasi perbedaan sosial demografi antara keluarga peserta dan bukan peserta, (2) mengidentifikasi bantuan dana program P2KP yang diterima keluarga peserta, (3) menganalisis perbedaan alokasi pengeluaran antara keluarga peserta dengan bukan peserta, dan (4) menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan alokasi pengeluaran keluarga. Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional study. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2008 berlokasi di Desa Gardusayang. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara pusposive yaitu memilih dua dari tujuh RW, kemudian dipilih tiga RT dari masing-masing RW selanjutnya secara pusposive diambil masing-masing 15 keluarga peserta dan 20 keluarga bukan peserta. Secara keseluruhan, jumlah responden yaitu 70 keluarga. Namun keluarga yang dianalisis lebih lanjut berjumlah 61 keluarga yaitu keluarga yang termasuk Pra-Sejahtera dan Keluarga Sejahtera 1. Jenis data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung dan wawancara menggunakan kuesioner terstruktur. Data ini meliputi karakteristik sosial demografi keluarga (status dalam keluarga, jenis kelamin, umur, pendidikan terakhir, besar keluarga, pendapatan, dan pengeluaran), indikator kualitatif kesejahteraan, serta besar bantuan yang diperoleh oleh keluarga peserta. Data sekunder berupa data keluarga penerima bantuan program P2KP dan keadaan umum daerah diperoleh dari Kantor Desa Gardusayang dan kelembagaan masyarakat setempat. Data diolah secara deskriptif dan inferensia. Data karakteristik sosial demografi keluarga peserta dan bukan peserta dianalisis menggunakan uji beda t. Hasilnya menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan dalam hal rata-rata umur anak terkecil, lama pendidikan kepala keluarga dan istri, total pendapatan, dan total pengeluaran antara keluarga peserta dengan keluarga bukan peserta (p<0.05). Data karakteristik sosial demografi juga dianalisis menggunakan Korelasi Pearson kemudian dihubungkan juga dengan persentase pengeluaran pangan dan nonpangan keluarga. Bentuk program P2KP adalah bantuan modal (Rp300 000.00-Rp500 000.00), upah kerja (Rp20 000.00/hari) serta bantuan sosial berupa beasiswa (Rp10 000.00/bulan), tunjangan untuk jompo (Rp11 600.00-Rp12 500.00/bulan), dan pembangunan rumah. Jenis bantuan yang banyak diterima adalah bantuan modal bagi keluarga yang mempunyai usaha. Korelasi Pearson menunjukkan hubungan antara besarnya bantuan dana dengan pendapatan dan pengeluaran keluarga (p<0.05). Artinya, semakin besar bantuan yang diberikan maka semakin tinggi pendapatan dan pengeluaran keluarga peserta. Pemilihan sasaran program P2KP dilakukan berdasarkan standar yang digunakan BKKBN yaitu keluarga yang termasuk Pra-Sejahtera dan Keluarga Sejahtera. Keluarga peserta merupakan keluarga dengan kriteria Pra-Sejahtera (13.33%) dan KS 1 (68.67%). Di lain pihak, terdapat 31 keluarga bukan peserta (77.5%) yang termasuk KS1 namun tidak dijadikan keluarga peserta program
P2KP. Berdasarkan garis kemiskinan BPS tahun 2006 untuk daerah perkotaan, hanya 40 persen keluarga peserta yang termasuk miskin. Hal tersebut mengindikasikan bahwa terdapat perbedaan standar kemiskinan berdasarkan BKKBN dan BPS. Jumlah keluarga peserta yang memiliki total pengeluaran yang rendah lebih banyak daripada keluarga bukan peserta. Rata-rata pengeluaran keluarga responden berada jauh di bawah rata-rata pengeluaran daerah perkotaan Indonesia menurut BPS 2006 yaitu Rp350 196.00. Rata-rata pengeluaran keluarga peserta lebih kecil daripada keluarga bukan peserta. Analisis uji beda t menunjukkan terdapat perbedaan signifikan antara rata-rata pengeluaran perkapita keluarga peserta dan bukan peserta (p<0.05). Persentase pengeluaran pangan dan kesehatan keluarga peserta lebih besar daripada keluarga bukan peserta sedangkan persentase pengeluaran lainnya lebih besar pada keluarga bukan peserta. Berdasarkan analisis menggunakan uji beda t, rata-rata persentase pengeluaran untuk perumahan dan fasilitas perumahan, kesehatan, pendidikan, pakaian, alas kaki, dan penutup kepala, barang tahan lama serta keperluan pesta dan upacara tidak berbeda nyata antara keluarga peserta dengan keluarga bukan peserta (p>0.05). Namun, rata-rata pengeluaran keluarga untuk pangan, rokok, pajak dan asuransi serta aneka barang dan jasa pada keluarga peserta berbeda nyata dengan keluarga bukan peserta (p<0.05). Berdasarkan Korelasi Pearson, alokasi pengeluaran pangan keluarga berhubungan negatif dengan tingkat pendidikan istri, total pendapatan, dan total pengeluaran (p<0.05). Pengeluaran rokok berhubungan positif dengan tingkat pendidikan istri dan total pendapatan; pengeluaran perumahan dan fasilitas perumahan berhubungan positif dengan besar keluarga; pengeluaran pendidikan berhubungan positif dengan total pengeluaran; serta pengeluaran pajak dan asuransi berhubungan positif dengan total pendapatan dan pengeluaran (p<0.05). Selain itu, alokasi pengeluaran aneka barang dan jasa berhubungan positif dengan tingkat pendidikan kepala keluarga dan istri, total pendapatan, dan total pengeluaran (p<0.05). Pemberantasan kemiskinan seharusnya tidak hanya dilihat dari pemenuhan kebutuhan pokok namun diusahakan melalui peningkatan produktivitas kerja dan mendorong aktivitas padat kerja. Sebagai contoh, program kemiskinan yang bersifat pemberdayaan tidak sekedar pemberian bantuan sosial yang justru membuat masyarakat miskin ketergantungan terhadap modal yang diberikan. Selain itu, sebaiknya pemerintah menambah program kemiskinan yang sifatnya membangun kualitas sumberdaya manusia melalui peningkatan bentuk investasi manusia, seperti menambah program pemberian beasiswa kepada anak sekolah dan program untuk menunjang kesehatan masyarakat. Perlu dicari cara untuk mengurangi pengeluaran keluarga yang sifatnya pemborosan seperti pengeluaran rokok yang tinggi. Hal tersebut dilakukan agar pengeluaran keluarga lebih diprioritaskan untuk kebutuhan yang penting berupa investasi seperti pendidikan anak. Sebagai contoh, menambah kebijakan mengenai penyempitan ruangan bebas merokok dengan mencegah perokok untuk merokok di tempat-tempat tertentu yang khusus disediakan untuk merokok. Oleh karena itu, pengeluaran rokok dapat dibatasi dengan cara mempersempit kemungkinan merokok.
JUDUL
: ANALISIS ALOKASI PENGELUARAN KELUARGA PESERTA
DAN
BUKAN
PENANGGULANGAN
PESERTA
KEMISKINAN
PROYEK
PERKOTAAN
(KASUS DI DESA GARDUSAYANG, KABUPATEN SUBANG) NAMA MAHASISWA : DEVI PRATIWI SULAEMAN NRP
: A54104013
Disetujui Dosen Pembimbing
(Dr. Ir. Hartoyo, M.Sc) NIP 131 669 952
Diketahui Dekan Fakultas Pertanian
(Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr) NIP: 131 124 019
Tanggal disetujui :
PRAKATA Pertama-tama
penulis
ucapkan
Alhamdulillah,
segala
puji
hanya
disampaikan kepada Allah, Tuhan Semesta Alam karena atas rahmat dan karuniaNya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2008 ini adalah alokasi pengeluaran, dengan judul “Analisis Alokasi Pengeluaran Keluarga Peserta dan Bukan Peserta Proyek Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (Kasus di Desa Gardusayang, Kabupaten Subang)”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan pada : 1.
Bapak Dr. Ir. Hartoyo, MSc sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan saran selama penulisan skripsi ini dengan penuh kesabaran dan ketelitiannya.
2.
Ibu Dr. Ir. Lilik Noor Yuliati, MFSA sebagai dosen pemandu seminar atas saran dan masukan bagi penulis.
3.
Ibu Dr. Ir. Herien Puspitawati, MSc, MSc sebagai dosen penguji atas semua saran dan masukan bagi perbaikan skripsi ini.
4.
Ibu Dr. Ir. Amini Nasoetion, MS sebagai pembimbing akademik yang telah memberikan saran kepada penulis selama masa perkuliahan.
5.
Seluruh Staf Pengajar GMSK yang telah memberikan bekal pendidikan dan wawasan kepada penulis.
6.
Kedua orang tua, kakak-kakak, dan adik tercinta (A Budi, Teh Sari, dan Novian) dan keluarga besar di Bandung, Subang, dan Ciater, atas cinta, kasih sayang, perhatian, semangat, dan doa tulus yang telah diberikan.
7.
Rekan-rekan satu bimbingan (Noorma, Bagus, dan Sinta), terima kasih atas bantuannya.
8.
A Dudi, Mita, teman-teman satu daerah Subang, dan sahabat-sahabat yang telah memberi semangat kepada penulis.
9.
Venny, Any, Ratna, Nadiya, Ira, Rizka, Angel, Adhin, teman-teman pembahas semiar (Eka dan Firdaus “kokom”), dan rekan-rekan GMSK 41 lainnya, terima kasih atas persahabatannya selama ini.
10.
GAMASAKER’s 39, 40, dan 42 lainnya yang telah memberikan semangat kepada penulis.
11.
Teman-teman seperjuangan KKP, yaitu Mudi, Dani, Intan, Nuy, dan Elin, terima kasih atas suasana kekeluargaannya walaupun terasa sangat cepat berlalu.
12.
Penghuni As Shaff : Rifa, Muzie, Mega, Melly, Petit, Kurnia, Yuke, Mike, Tantri, dan Puput, Mbak Indri atas segala bantuan yang diberikan kepada penulis dan kebersamaan selama empat tahun.
13.
Pak Ugan, Mas Rena, dan semua pihak yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas semua dukungan dan doanya. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pembaca.
Bogor, Agustus 2008
Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Purwakarta pada tanggal 10 April 1986. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara dari keluarga Drs. E. Sulaeman, H dan Dani Wardani, SPd. Pendidikan TK ditempuh hingga tahun 1997 di TK Kartika Chandra Kirana. Pendidikan SD ditempuh hingga tahun 1998 di SDN Panglejar. Pendidikan SMP ditempuh hingga tahun 2001 di SLTP 2 Subang. Pendidikan SMU ditempuh hingga tahun 2004 di SMUN 3 Subang. Penulis diterima sebagai mahasiswa program studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor tahun 2004 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI). Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah aktif sebagai pengurus periode 2005/2006 dan staf Divisi KPPG periode 2006/2007 di organisasi kemahasiswaan, yaitu Himpunan Mahasiswa Peminat Gizi Pertanian (HIMAGITA). Selain itu, penulis juga aktif terlibat dalam berbagai kepanitiaan seminar yang diselenggarakan HIMAGITA. Penulis juga ikut dalam kepengurusan HMPPI (Himpunan Mahasiswa Peduli Pangan Indonesia) komisariat IPB periode 2006/2007. Tahun 2006 penulis juga pernah menjadi relawan dalam penanggulangan korban gempa dan bencana alam di Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah di bawah koordinasi dari Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ........................................................................................... v DAFTAR GAMBAR ................................................................................
vii
DAFTAR TABEL ....................................................................................
viii
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................
ix
PENDAHULUAN ....................................................................................
1
Latar Belakang ........................................................................ Perumusan Masalah ............................................................... Tujuan Penelitian ..................................................................... Manfaat Penelitian ...................................................................
1 2 4 5
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................
6
Kemiskinan .............................................................................. Keluarga Sejahtera................................................................... Sosial Ekonomi Keluarga ........................................................ Besar Keluarga.................................................................... Pendidikan ......................................................................... Pekerjaan ........................................................................... Pendapatan ........................................................................ Alokasi pengeluaran keluarga ............................................. Program Pemberdayaan Daerah dalam bentuk Proyek Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan .............................
6 8 11 11 12 12 13 14
KERANGKA PEMIKIRAN ......................................................................
21
METODE PENELITIAN ..........................................................................
24
Desain, Tempat dan Waktu Penelitian ......................... Cara Pemilihan Contoh ................................................ Jenis dan Cara Pengumpulan Data ............................. Pengolahan dan Analisis Data ..................................... Definisi Operasional .....................................................
24 24 25 25 27
HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................
28
Keadaan Umum Wilayah ......................................................... Keadaan Sosial Ekonomi Keluarga Responden ...................... Besar keluarga respoden .............................................. Umur kepala keluarga dan istri ..................................... Umur anak terkecil ........................................................ Tingkat pendidikan kepala keluarga dan istri ................ Pekerjaan kepala keluarga dan istri .............................. Indikator Kualitatif Kesejahteraan Keluarga ............................. Lantai rumah................................................................. Konsumsi pangan ......................................................... Penghasilan .................................................................. Kesehatan .................................................................... Pakaian ........................................................................ Pendidikan ....................................................................
28 29 29 30 32 33 35 37 38 39 40 40 41 42
15
Bantuan Dana Program P2KP ................................................. Pendapatan dan Pengeluaran Keluarga .................................. Pendapatan keluarga .................................................... Pengeluaran keluarga ................................................... Alokasi Pengeluaran Pangan dan Nonpangan Keluarga ......... Pengeluaran pangan .................................................... Pengeluaran rokok........................................................ Pengeluaran perumahan dan fasilitas perumahan ........ Pengeluaran aneka barang dan jasa ............................ Pengeluaran kesehatan ................................................ Pengeluaran pendidikan ............................................... Pengeluaran pakaian, alas kaki, dan penutup kepala ... Pengeluaran barang tahan lama ................................... Pengeluaran pajak dan asuransi ................................... Pengeluaran keperluan pesta dan upacara................... Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pengeluaran Keluarga ....................................................................... Hubungan persentase pengeluaran keluarga dengan tingkat pendidikan ............................................ Hubungan persentase pengeluaran keluarga dengan total pengeluaran keluarga ............................... Hubungan persentase pengeluaran keluarga dengan pendapatan ...................................................... Pembahasan Umum................................................................
43 46 46 49 51 52 54 55 56 57 58 60 61 62 63
KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................
68
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................
70
LAMPIRAN ...........................................................................................
74
63 64 65 65 66
DAFTAR TABEL Halaman 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
Pembagian lokasi penerima bantuan program P2KP berdasarkan Satuan Wilayah Kerja (SWK) .................................
18
Indikator kualitatif kesejahteraan keluarga berdasarkan kriteria keluarga ......................................................
25
Sebaran keluarga peserta dan bukan peserta program P2KP berdasarkan besar keluarga................................
30
Sebaran keluarga peserta dan bukan peserta program P2KP berdasarkan umur kepala keluarga .....................
31
Sebaran keluarga peserta dan bukan peserta program P2KP berdasarkan umur istri ........................................
32
Sebaran keluarga peserta dan bukan peserta program P2KP berdasarkan umur anak terkecil ..........................
32
Sebaran keluarga peserta dan bukan peserta program P2KP berdasarkan pendidikan kepala keluarga ............
33
Sebaran keluarga peserta dan bukan peserta program P2KP berdasarkan pendidikan istri ...............................
34
Sebaran keluarga peserta dan bukan peserta program P2KP berdasarkan pekerjaan kepala keluarga..............
35
Sebaran keluarga peserta dan bukan peserta program P2KP berdasarkan pekerjaan istri .................................
36
Aspek sosial ekonomi penentu kriteria keluarga Pra-Sejahtera dan KS1 berdasarkan jenis keluarga ...........................................
38
Sebaran keluarga peserta berdasarkan besarnya bantuan dana dari program P2KP ......................................................................
43
Sebaran keluarga peserta program P2KP berdasarkan kisaran bantuan dana dalam periode tiga bulan ..........................
44
Tingkat pendapatan perkapita perbulan keluarga peserta dan bukan peserta program P2KP ..............................................
47
Tingkat kemiskinan keluarga peserta dan bukan peserta program P2KP berdasarkan garis kemiskinan BPS tahun 2006 ................
48
Tingkat pengeluaran perkapita perbulan keluarga peserta dan bukan peserta program P2KP..................................
49
Tingkat pengeluaran perkapita perbulan keluarga peserta dan bukan peserta program P2KP berdasarkan jenis pengeluaran ....
51
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Kerangka pemikiran analisis alokasi pengeluaran keluarga peserta dan bukan peserta program P2KP..................................
Halaman 23
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Kuesioner Penelitian ...................................................................
74
2. Hasil Uji Beda t............................................................................
80
3. Hasil Uji Korelasi Pearson ...........................................................
82
PENDAHULUAN Latar Belakang Krisis keuangan yang terjadi secara berlanjut menjadi krisis ekonomi yang berkepanjangan dan krisis multidimensi yang belum berkesudahan sekarang ini, menyebabkan terpuruknya keadaaan ekonomi dunia. Hal ini berimbas terhadap keadaan ekonomi negara-negara berkembang seperti Indonesia. Selain itu, negara-negara besar pun tidak luput terkena imbasnya. Jepang, yang dikenal sebagai negara kuat di belahan dunia ini juga ikut digoncang ambang resesi yang dapat membahayakan kehidupan ekonomi negara. Namun, organisasiorganisasi dunia tidak tinggal diam. Berbagai cara dilakukan untuk mengatasi kemelut kemiskinan tersebut. Hasilnya, sebagai komitmen global, para pemimpin dunia sepakat untuk bersama-sama menurunkan tingkat kemiskinan dengan cara-cara tertentu menjadi separuh dari keadaannya pada waktu itu hingga nanti tahun 2015. Komitmen tersebut direalisasikan dengan disepakatinya Millenium Development Goals (MDGs) pada bulan September tahun 2000 yang salah satu tujuannya yaitu menurunkan angka kemiskinan menjadi setengahnya pada tahun 2015. Begitupun Indonesia, sebagai komitmen kemanusiaan maupun bagian dari masyarakat dunia, Indonesia mempunyai kewajiban moral untuk menurunkan tingkat kemiskinan di dalam negeri. Oleh karena itu, disepakati strategi yang jitu, fokus pada pemberdayaan sasaran yang tepat, bekerja keras secara gotong royong dan berkelanjutan (Suyono 2003). Kemiskinan identik dengan kehidupan sebuah perdesaan yang sehariharinya masyarakat hidup dari pertanian sebagai sumber pendapatan. Masalah kemiskinan tersebut sangat berpengaruh terhadap kualitas individu sebagai sumberdaya suatu pembangunan. Oleh karena itu, pemecahan masalah tersebut bukan hanya sekedar tanggung jawab pemerintah dengan program-program dan kebijakannya namun juga merupakan tanggung jawab masyarakat yang terdiri dari berbagai kalangan dengan berbagai karakteristik keluarga yang masingmasing berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa masing-masing keluarga memiliki kewajiban untuk meningkatkan sumberdaya manusia yang berkualitas melalui berbagai cara. Oleh karena itu, individu yang lahir di dalam keluarga tersebut harus dibantu, dibimbing, dan diarahkan oleh kedua orang tuanya agar terbentuk manusia yang berkualitas dan mandiri. Pelaksanaan kebijaksanaan dan program peningkatan produksi serta pemerataan dalam pembangunan ekonomi nasional dewasa ini mengandung arti
adanya kegiatan-kegiatan baru yang lebih mementingkan golongan ekonomi lemah atau kelompok miskin. Hal ini berarti bahwa secara nyata telah diusahakan program-program yang hasilnya akan lebih melekatkan jarak antara kelompok kuat dan kelompok lemah atau dapat mengurangi ketimpangan dalam pembangunan pendapatan nasional (Sajogyo 1996). Marshall Plan memberi petunjuk bahwa yang dibutuhkan untuk penurunan tingkat kemiskinan yang dialami oleh sebagian besar negara-negara di dunia adalah suntikan kapital (misalnya berupa pinjaman). Suntikan kapital akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Teori pembangunan tersebut yang digunakan oleh PBB dan badan-badan dunia dalam membantu negara-negara yang sedang berkembang (Sajogyo 1996). Laporan Bank Dunia dalam Sajogyo (1996) mengatakan bahwa untuk meneruskan keberhasilan dalam melawan kemiskinan dan ketimpangan di Indonesia, tidak diperlukan suatu perombakan mendasar dalam kebijakan makro ataupun mikro yang telah ditempuh selama ini. Oleh karena itu, penurunan tingkat kemiskinan di Indonesia dapat dilakukan dengan melalui pelaksanaan program-program dan kebijaksanaan-kebijaksanaan tertentu baik program secara global maupun nasional tanpa merombak program yang ada. Salah satu program yang dilaksanakan Bank Dunia sebagai bukti untuk merealisasikan penurunan
tingkat
kemiskinan
di
dunia
yaitu
Proyek
Penanggulangan
Kemiskinan Perkotaan (P2KP). P2KP merupakan program pemberdayaan yang berbasis partisipatif dengan melibatkan masyarakat dalam setiap tahapan pembangunan. Program P2KP dalam kegiatannya memberikan peluang besar pada peran serta masyarakat dari tingkat pengambilan keputusan hingga pelaksanaan dan memperkuat lembaga institusi lokal yang ada. Dana yang disalurkan Bank Dunia lewat pemerintah ini fokus terhadap kelengkapan sosial, ekonomi, dan lingkungan yang berada di sekeliling kehidupan masyarakat. Perumusan Masalah Laporan Bank Dunia (2000) menunjukkan bahwa di seluruh dunia terdapat sekitar 1.2 milyar penduduk hidup dalam kemiskinan absolut, dengan standar hidup <1 juta dolar Amerika seharinya. Fenomena ini tidak membaik dibandingkan
keadaan
pada
tahun-tahun
sebelumnya.
Di
Indonesia,
berdasarkan BPS tahun 2007, jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada
dibawah Garis Kemiskinan) tahun 2006 berjumlah 39.30 juta orang (17.75%) dan mengalami penurunan pada tahun 2007 menjadi sebesar 37.17 juta (16.58%). Fenomena kemiskinan yang kemungkinan merupakan imbas dari krisis ekonomi tahun 1997 masih menjadi kendala utama dalam pelaksanaan programprogram pemerintah. Sampai saat ini, kemiskinan mendapat perhatian lebih dari pemerintah sebab masih tingginya peningkatan angka kemiskinan di Indonesia. Masalah penanggulangan kemiskinan semakin menjadi masalah yang besar dan membutuhkan kerja sama dari berbagai pihak (Muljono 2006). Namun masalah penanggulangan kemiskinan di masyarakat mendapat banyak hambatan baik dari pemerintah maupun masyarakat itu sendiri. Pemicu masalah ekonomi terbesar justru berasal dari kebijakan-kebijakan ekonomi termasuk struktur pasar monopolistik atau monopsonistik, birokrasi yang kurang berpihak pada masyarakat kecil, tata niaga, dan merebaknya korupsi kolusi nepotisme. Sumber distorsi pasar dan pemicu inflasi adalah pelbagai kegiatan perburuan rente ekonomi (rent seeking economic activities), dimana kalangan pemilik modal raksasa dapat memanfaatkan peluang kebebasan mengkonversi lahan pertanian untuk pelbagai proyek seperti proyek properti dan lapangan golf (Damanhuri 2000). Pemerintah pusat mempunyai peranan yang sangat besar dalam mempengaruhi
persebaran
aktivitas
ekonomi
antarwilayah.
Persebaran
pendapatan yang lebih adil selain merupakan tuntutan konstitusi juga merupakan jaminan kestabilan yang diperlukan untuk pembangunan di segala bidang. Sementara
itu,
ketidakmerataan
dalam
taraf
kegiatan
ekonomi
dapat
menimbulkan inefisiensi perekonomian secara nasional (Priyarsono, Sumarno, Pulgono & Lesmana 2002). Pemerintah sejak lama telah berupaya untuk menanggulangi kemiskinan di Indonesia melalui berbagai departemen-departemennya (misalnya Depsos, Deptrans, Depkop, Deptan, dan sebagainya) yang dilakukan dengan berbagai program, proyek nasional atau melalui kebijakan-kebijakannya (Muljono 2006). Namun masih banyak kebijakan-kebijakan dari pemerintah terutama di bidang ekonomi yang kurang memihak pada kehidupan perekonomian masyarakat miskin. Selain itu, program penanggulangan kemiskinan yang ada masih belum efektif pelaksanaannya dilihat dari belum berkurangnya jumlah masyarakat miskin di Indonesia. Proyek penanggulangan kemiskinan tidak boleh berakibat ketergantungan,
sebab
hakekat
pembangunan
adalah
meningkatnya
kemampuan dan potensi masyarakat agar mampu menerobos lingkaran kemiskinan yang menerobosnya. P2KP merupakan salah satu program untuk menurunkan tingkat kemiskinan di dunia yang bergerak dalam bidang lingkungan fisik, keadaan sosial,
dan
ekonomi
keluarga
dengan
harapan
tidak
menyebabkan
ketergantungan pada penerima bantuan. Program ini fokus pada penyaluran dana baik untuk perbaikan sarana umum, modal maupun beasiswa bagi keluarga-keluarga yang masuk ke dalam kategori miskin berdasarkan kriteriakriteria tertentu. Dana yang disalurkan Bank Dunia ini baru merupakan percontohan. Oleh karena itu, pemberian dana hanya dilakukan dalam batas waktu tiga tahun pada tahap pertama. Berdasarkan latar belakang tersebut ada beberapa masalah yang menarik untuk diteliti oleh penulis seperti : Apakah keikutsertaan keluarga dalam kegiatan P2KP berdampak terhadap pendapatan dan alokasi pengeluaran keluarga peserta? Apakah terdapat perbedaan karakteristik sosial ekonomi antara keluarga peserta dengan bukan peserta proyek P2KP? Apakah terdapat perbedaan tingkat pendapatan dan alokasi pengeluaran antara keluarga peserta dengan bukan peserta proyek P2KP? Faktor apa yang berhubungan dengan alokasi pengeluaran keluarga? Tujuan Penelitian Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari alokasi pengeluaran keluarga peserta dan bukan peserta Proyek Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) serta faktor-faktor lain yang mempengaruhinya. Tujuan Khusus 1. Mengidentifikasi perbedaan sosial ekonomi keluarga peserta dan bukan peserta P2KP 2. Mengidentifikasi bantuan dana program P2KP yang diterima keluarga peserta 3. Menganalisis perbedaan alokasi pengeluaran antara keluarga peserta dengan bukan peserta 4. Menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan alokasi pengeluaran keluarga
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai karakteristik sosial ekonomi serta pendapatan dan alokasi pengeluaran keluarga peserta dan bukan peserta P2KP. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi salah satu masukan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan yang menyangkut pendapatan dan alokasi pengeluaran keluarga. Selain itu, hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu bahan evaluasi bagi Unit Pengelola kegiatan Proyek Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan khususnya mengenai ketepatan sasaran program. Penulis juga berharap, hasil penelitian ini dapat menjadi masukan serta pertimbangan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Subang dalam menentukan penyusunan program pengembangan daerah.
TINJAUAN PUSTAKA Kemiskinan Dunia telah membuat berbagai kesepakatan dan program-program untuk membantu negara-negara yang mempunyai masalah ekonomi sebagai akibat krisis ekonomi tahun 1997. Salah satu kesepakatan yang dibuat yaitu kesepakatan Millenium Development Goals (MDGs) untuk batas waktu tahun 1990 hingga tahun 2015. Kesepakatan ini berisi pemberantasan kemiskinan dan kelaparan; perwujudan pendidikan dasar; peningkatan persamaan gender dan pemberdayaan
perempuan;
upaya
penurunan
angka
kematian
bayi;
meningkatkan kesehatan ibu; memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit lainnya; pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan; serta pengembangan kemitraan global dalam pembangunan (Puspitawati 2007). Fenomena kemiskinan bukan hanya terbatas kepada kurangnya keuangan, melainkan melebar kepada kurangnya kreativitas, kurangnya inovasi, kurangnya kesempatan untuk bersosialisasi dengan berbagai potensi dan sumberdaya yang dimiliki. Secara khusus persoalan itu telah melingkar diantara lemahnya mengembangkan potensi diri atau tertutupnya potensi diri untuk berkembang di masyarakat. Semua ini akan berlangsung apabila proses marjinalisasi dari pihak yang berkuasa berlangsung pula (Surbakti 2005). Sebagian besar mata pencaharian masyarakat Indonesia adalah bertani, terutama masyarakat perdesaan. Pendapatan dari sektor pertanian rata-rata belum mencukupi semua kebutuhan para petani. Oleh karena itu, tingkat kemiskinan di perdesaan secara umum belum mengalami penurunan. Selain itu, persentase
penduduk
miskin
di
perkotaan
pun
cenderung
mengalami
peningkatan (Puspitawati, 2007). Kemiskinan mempunyai hubungan yang erat dengan tingkat pendapatan keluarga. Di kalangan petani, tingkat pendapatan keluarga mempunyai hubungan dengan luas lahan pertanian yang dimiliki atau dikuasai. Dengan demikian terdapat hubungan antara kemiskinan dengan pemilikan atau penguasaan lahan pertanian sempit (Sajogyo 1996). Garis kemiskinan dapat dicirikan dengan pengeluaran keluarga dalam rupiah perbulan namun dalam bentuk ekuivalen nilai tukar beras (kg/orang/beras) agar dapat saling dibandingkan nilai tukar antar daerah dan antar jaman sesuai dengan harga beras setempat. Walaupun sebagai produsen beras, belum tentu para petani memiliki nilai tukar beras yang besar sehingga belum tentu nafkah para
petani
dapat
menurunkan
kemiskinan
yang
terjadi
pada
petani.
Keterbatasan sumberdaya keluarga petani mendorong mereka mencari nafkah di luar pendapatan utama keluarganya, seperti berjualan kecil-kecilan, berburuh kepada petani lain, membuat barang kerajinan atau bermigrasi ke kota. Melakukan kerja serabutan atau pola nafkah ganda merupakan bagian budaya kemiskinan di kalangan para petani kecil di daerah perdesaan (Sajogyo 1996). Menurut BPS 2006, garis kemiskinan penduduk di daerah perkotaan adalah Rp150 799.00 dan Rp117 259.00 di daerah perdesaan. Dibandingkan garis kemiskinan Februari 2004, garis kemiskinan tersebut meningkat sekitar 5.12 persen di daerah perkotaan dan 7.85 persen di daerah perdesaan. Berdasarkan garis kemiskinan tersebut, jumlah penduduk miskin pada Februari 2005 tercatat sebesar 35.1 juta yang tersebar sebanyak 12.4 juta di daerah perkotaan (11.37%) dan 22.7 juta di daerah perdesaan (19.51%). Dibandingkan Februari 2004, jumlah penduduk miskin 2005 meningkat 9.73 persen di daerah perkotaan, sementara di daerah perdesaan menurun sebesar 8.47 persen (BPS 2006). Secara absolut, penduduk miskin pada tahun 2004 seperti pada tahun 2003 terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Bali, yaitu lebih dari separuh penduduk miskin Indonesia (20.7 juta jiwa). Sisanya tersebar di Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan pulau lainnya berkisar antara 1.3 juta sampai 7.9 juta jiwa (BPS 2006). Nilai garis kemiskinan yang digunakan BPS mengacu pada kebutuhan minimum 2100 kkal/kapita perhari ditambah dengan kebutuhan minimum nonpangan yang merupakan kebutuhan dasar seseorang yang meliputi kebutuhan dasar untuk papan, sandang, sekolah, transportasi serta kebutuhan keluarga dan individu yang mendasar lainnya. Penduduk yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar minimal dikategorikan sebagai penduduk miskin (BPS 2006). Menurut BPS (1992), keluarga miskin dapat dicerminkan dari kenyataan besarnya pengeluaran untuk sektor pangan yang berkisar pada angka 70 persen atau lebih. Puspitawati (2007) mengatakan bahwa kemiskinan memberikan berbagai dampak negatif bagi keluarga selain menurunkan pendapatan. Dampak-dampak lain dari adanya kemiskinan yaitu urbanisasi, pemukiman kumuh, masalah kesehatan, masalah sosial (kriminal, kenakalan, bunuh diri, narkoba, dan lainlain), kualitas pendidikan yang rendah, dan masalah lingkungan (penebangan hutan, longsor, banjir, dan lain-lain).
Rahadi, Sugandhi, Afani, Aswin & Kifli (2005) menyatakan bahwa berbagai program kemiskinan yang bersifat parsial, sektoral, dan charity yang pernah
dilakukan,
sering
menghadapi
berbagai
kondisi
yang
kurang
menguntungkan. Kondisi yang kurang menguntungkan tersebut misalnya salah sasaran, menumbuhkan ketergantungan masyarakat pada bantuan luar, terciptanya benih-benih framentasi sosial, dan melemahkan kapital sosial yang ada di masyarakat (gotong royong, musyawarah, dan lain-lain). Melemahnya kapital sosial akan mendorong pergeseran perubahan perilaku masyarakat yang semakin jauh dari semangat kemandirian, kebersamaan, dan kepedulian untuk mengatasi persoalan secara bersama. Kondisi kapital sosial dan perilaku masyarakat yang melemah serta memudar tersebut salah satu penyebabnya adalah keputusan, kebijakan, dan tindakan
dari
pengelola
program
kemiskinan
dan
pemimpin-pemimpin
masyarakat yang selama ini cenderung tidak berorientasi kepada masyarakat miskin, tidak adil, tidak transparan, dan tidak tanggung gugat. Keputusan, kebijakan, dan tindakan yang tidak adil ini dapat terjadi pada situasi tatanan masyarakat yang belum madani, yang salah satu indikasinya dapat dilihat dari kondisi kelembagaan masyarakat yang belum berdaya, yang tidak berorientasi pada keadilan dan tidak dikelola dengan jujur dan terbuka. Selain itu, dilihat dari kelembagaan yang tidak berpihak dan tidak memperjuangkan kepentingan masyarakat miskin (Rahadi dkk 2005). Keluarga Sejahtera Keluarga sejahtera adalah keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan anggota keluarganya baik sandang, pangan, papan, sosial, dan agama. Selain itu, keluarga yang sejahtera merupakan keluarga yang memiliki keseimbangan penghasilan dengan jumlah anggota keluarga dan dapat memenuhi kebutuhan kesehatan anggota keluarga, hidup sesama dengan masyarakat sekitar, dan beribadah khusuk selain dapat memenuhi kebutuhan pokok (Mubagio 1994). Menurut Badan Pusat Statistik (2002), seseorang dikatakan sejahtera jika orang tersebut dapat memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Indikator kesejahteraan yang digunakan oleh BPS menyangkut segi kesejahteraan yang dapat diukur yaitu pendapatan/kapita/tahun, konsumsi keluarga perbulan, keadaan dan fasilitas tempat tinggal, kesehatan anggota keluarga, kemudahan mendapat pelayanan kesehatan, kemudahan dalam menyekolahkan anak,
kemudahan mendapat fasilitas transportasi, kehidupan beragama, rasa aman, dan kemudahan melakukan olah raga. Sesuai dengan isi GBHN, perwujudan dari usaha mencapai keadilan sosial adalah mengusahakan kesempatan yang lebih luas bagi setiap warga negaranya untuk mendapatkan derajat kesehatan yang sebaik-baiknya sesuai dengan kemampuan yang ada. Perbaikan pemeliharaan kesehatan rakyat dilaksanakan dalam rangka peningkatan dan pemupukan kemampuan tenaga kerja bagi keperluan pembangunan serta untuk meningkatkan terwujudnya kesejahteraan rakyat. Gizi mempunyai hubungan langsung dengan tingkat kesehatan masyarakat, tetapi tidak secara langsung mencerminkan kemiskinan masyarakatnya. Kenyataan membuktikan bahwa makin miskin masyarakat, secara relatif makin besar pula pengeluaran untuk sektor makanan (BPS 1992). Faktor lain yang juga mempengaruhi tingkat kesejahteraan suatu keluarga yaitu pendidikan serta keamanan dan ketertiban masyarakat. Usahausaha pembangunan manusia seutuhnya tidak dapat berjalan lancar tanpa usaha pendidikan yang bersifat menyeluruh. Salah satu masalah pokok di bidang pendidikan yaitu masih banyak sekali anak yang belum memiliki kesempatan belajar di sekolah. Oleh karena itu, perlu diciptakan suatu kesempatan belajar yang lebih luas dan merata (BPS 1992). Terpeliharanya keamanan dan ketertiban ialah terpeliharanya suatu keadaan dimana masyarakat sebagai perseorangan, keluarga atau kelompok merasa aman rohaniah dan jasmaniahnya serta harta benda yang dimilikinya, sehingga masyarakat dalam keadaan teratur dan tertib dapat melaksanakan fungsinya dalam hidup bermasyarakat. Selain itu, kepastian hukum juga merupakan kunci dari suksesnya pembangunan dan rasa aman serta tertib pada masyarakat. Hukum berlaku bagi semua golongan masyarakat dan hukum akan menegaskan bahwa harkat dan martabat setiap individu adalah sama dan sederajat dalam pergaulan hidup dan di muka hukum (BPS 2002). Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) diacu dalam Pupitawati (2007) membagi keluarga berdasarkan kriteria-kriteria tertentu dalam hal kemiskinan. Di Indonesia, keluarga dibagi ke dalam 4 kriteria, yaitu Keluarga Pra-Sejahtera, Keluarga Sejahtera 1, Keluarga Sejahtera 2, Keluarga Sejahtera 3, dan Keluarga Sejahtera 3+. Menurut BKKBN (1996), berikut penjelasan empat kriteria keluarga.
A. Keluarga Pra-Sejahtera adalah keluarga-keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal, seperti kebutuhan spiritual, pangan, sandang, papan, kesehatan, dan keluarga berencana. Secara operasional tampak dalam ketidakmampuan untuk memenuhi salah satu indikator sebagai berikut : Melaksanakan ibadah menurut agama oleh masing-masing anggota keluarga. Umumnya, seluruh anggota keluarga makan 2x sehari atau lebih. Seluruh anggota memiliki pakaian berbeda untuk di rumah, bekerja, sekolah, dan bepergian. Bagian terluas lantai rumah bukan dari tanah. Bila anak sakit dan atau Pasangan Usia Subur (PUS) ingin ber-KB dibawa ke sarana kesehatan. B. Keluarga Sejahtera 1 adalah keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan fisik minimum secara minimal, namun belum dapat memenuhi kebutuhan sosial dan psikologis, seperti kebutuhan pendidikan, interaksi dalam keluarga, interaksi dengan lingkungan tempat tinggal, dan transportasi. Secara operasional tampak dalam ketidakmampuan untuk memenuhi salah satu indikator sebagai berikut : Anggota keluarga melaksanakan ibadah secara teratur. Minimal 1x seminggu keluarga menyediakan daging atau telur. Seluruh anggota keluarga minimal memperoleh satu stel pakaian baru pertahun. Luas lantai rumah paling kurang 8 m2 untuk tiap penghuni. Seluruh anggota keluarga dalam 3 bulan terakhir sehat. Minimal 1 anggota keluarga yang berumur lebih dari 15 tahun berpenghasilan tetap. Seluruh anggota keluarga yang berumur 10-60 tahun bisa baca tulis huruf latin. Seluruh anak berusia antara 5-15 tahun bersekolah saat ini. Bila anak hidup dua orang atau lebih, keluarga yang masih PUS memakai kontrasepsi (kecuali sedang hamil). C. Keluarga Sejahtera 2, secara operasional memiliki kriteria sebagai berikut : Memiliki upaya untuk meningkatkan pengetahuan. Sebagian dari penghasilan dapat disisihkan untuk tabungan keluarga.
Biasanya makan bersama paling kurang sekali sehari dan kesempatan itu dimanfaatkan untuk berkomunikasi. Ikut serta dalam kegiatan masyarakat di lingkungan tempat tinggal. Mengadakan rekreasi bersama di luar rumah paling kurang satu kali dalam enam bulan. Dapat memperoleh berita dari surat kabar, radio, televisi atau majalah. Anggota keluarga mampu menggunakan sarana transportasi sesuai kondisi daerah. D. Keluarga Sejahtera 3, secara operasional memiliki kriteria sebagai berikut : Secara teratur atau pada waktu tertentu dengan sukarela memberikan sumbangan bagi kegiatan sosial masyarakat dalam bentuk materi. Kepala keluarga atau anggota keluarga aktif
sebagai pengurus
perkumpulan, yayasan atau institusi masyarakat. E. Keluarga Sejahtera 3+ adalah keluarga yang telah mampu memenuhi semua kebutuhan fisik, sosial, psikologis, pengembangan serta dapat memberikan sumbangan yang teratur dan berperan aktif dalam kegiatan masyarakat.
Sosial Ekonomi Keluarga Besar Keluarga Menurut Cahyaningsih (1999), keluarga dengan jumlah anak banyak akan menyebabkan timbulnya masalah dalam hal pemenuhan kebutuhan pokok yaitu sandang, pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan. Begitu pula menurut Suhardjo (1989), besarnya jumlah keluarga mempengaruhi pendistribusian pangan yang tersedia untuk keluarga. Apabila jumlah keluarga bertambah, maka pangan untuk setiap anak akan berkurang. Anak yang paling kecil dalam keluarga biasanya yang paling terpengaruh oleh keadaan kekurangan pangan. Oleh karena itu, apabila jumlah anggota keluarga makin bertambah besar tanpa diimbangi dengan meningkatnya pendapatan akan menyebabkan jumlah makanan yang dikonsumsi anggota keluarga semakin berkurang baik kuantitas maupun kualitasnya (Pramudya 1991). Besar keluarga berdasarkan Hurlock (1993) dikategorikan menjadi tiga, yaitu keluarga kecil, sedang, dan besar. Keluarga kecil adalah keluarga yang terdiri dari dua atau tiga anak; keluarga sedang mempunyai tiga, empat atau lima anak; dan keluarga besar mempunyai enam atau lebih anak. Keluarga sedang memiliki pola yang mendekati keluarga kecil dan jika mempunyai lima anak maka
keluarga tersebut akan lebih mendekati keluarga besar dalam pengaruhnya pada hubungan keluarga. Keluarga kecil, sedang maupun besar kemungkinan besar merupakan keluarga inti daripada keluarga luas karena kurangnya ruangan dan uang untuk mengasuh orang luar. Sebagai contoh, keluarga dengan satu anak kemungkinan dapat menjadi keluarga luas dengan tambahan orang yang menumpang atau sanak saudara yang tinggal di bawah satu atap. Keluarga dengan beberapa anak, ruang ekstra jarang tersedia, sehingga kurang memadai untuk menyediakan tempat bagi tambahan penghuni.
Pendidikan Pendidikan adalah proses yang dilakukan secara sadar, berlangsung terus-menerus, sistematis, konsisten, bertahap, berulang-ulang, dan terarah yang mendorong terjadinya perubahan-perubahan pada setiap individu di dalamnya (Gunarsa & Gunarsa 1995). Keterlibatan seseorang dalam proses pendidikan atau tingkat pendidikan yang dicapainya akan mempengaruhi dan membentuk cara, pola, dan kerangka berpikir, persepsi, pemahaman, dan kepribadiannya. Pendidikan
merupakan
salah
satu
sarana
untuk
meningkatkan
kecerdasan dan keterampilan manusia sehingga kualitas sumberdaya manusia sangat tergantung dari kualitas pendidikan. Kemampuan membaca dan menulis merupakan keterampilan minimum yang dibutuhkan oleh penduduk untuk dapat menuju hidup sejahtera. Kemampuan baca tulis tercermin dari angka melek huruf yang dalam hal ini didefinisikan sebagai persentase penduduk 10 tahun ke atas yang dapat membaca dan menulis huruf latin atau huruf lainnya (BPS 1999). Orang yang berpendidikan tinggi biasa diidentikkan dengan orang yang memiliki mutu sumberdaya manusia yang tinggi. Secara umum, orang-orang yang berpendidikan tinggi juga akan mendapat upah dan gaji yang relatif tinggi pula dibandingkan dengan orang yang bermutu pendidikan rendah (Guhardja S, Puspitawati H, Hartoyo & Hastuti D, 2007). Pekerjaan Pekerjaan merupakan kegiatan seseorang yang dilakukan berkaitan dengan kebutuhan ekonomi. Orang akan memperoleh pendapatan melalui bekerja, sehingga kebutuhan sehari-hari bagi diri sendiri dan keluarganya terpenuhi. Secara umum, keberhasilan pekerjaan seseorang dapat diukur dengan besar kecilnya pendapatan. Semakin besar pendapatan seseorang
dianggap akan semakin tercukupi kebutuhan sosial ekonominya. Oleh karena itu, secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa pekerjaan seseorang akan mencerminkan kehidupan sosial ekonomi keluarganya. Gerungan (1991) mengatakan bahwa keadaan sosial ekonomi keluarga mempunyai pengaruh terhadap perkembangan anak-anak. Kebutuhan ekonomi keluarga secara materil yang tercukupi akan mendukung kesempatan anak untuk mendapatkan kesempatan yang lebih luas dalam hal pendidikan. Anak dapat memperoleh pendidikan tidak hanya dari bangku sekolah namun juga dari luar sekolah, seperti kursus-kursus. Namun meskipun status sosial ekonomi orang tua memuaskan, apabila orang tua tersebut tidak memperhatikan pendidikan anaknya, maka hal ini juga akan menghambat perkembangan sosial anakanaknya. Pendapatan Pemasukan terbesar keuangan keluarga pada umumnya berasal dari gaji atau penghasilan tetap setiap bulan baik dari suami maupun istri atau gabungan keduanya. Selain gaji tetap, ada pemasukan yang berasal dari pekerjaan sampingan seperti komisi penjualan atau keuntungan menjalankan suatu usaha. Gaji, setelah dikurangi potongan tertentu (pajak, koperasi, pinjaman, tabungan, dana pensiun, dan lain-lain) dan pemasukan yang berasal dari pekerjaan sampingan inilah yang disebut sebagai penghasilan keluarga (Yayasan Aspirasi Pemuda 1999). Suhardjo (1989) mengemukakan bahwa pendapatan sangat berpengaruh terhadap alokasi pengeluaran keluarga. Keluarga dengan pendapatan rendah akan menggunakan sebagian besar pendapatannya untuk pangan sebagai kebutuhan pokok. Pendapatan keluarga dipakai untuk kebutuhan konsumsi pangan dan non-pangan serta pengeluaran untuk investasi dan tabungan. Proporsi pendapatan yang dibelanjakan untuk bahan makanan dapat dipakai sebagai ukuran kesejahteraan keluarga atau rumah tangga. Ukuran atau proporsi makanan tersebut juga mengikuti Hukum Engel menyebutkan bahwa makin tinggi pendapatan keluarga, maka semakin rendah proporsi pengeluaran keluarga tersebut untuk makanan. Di samping itu, dapat dinyatakan pula ukuran elastisitas konsumsi terhadap pendapatan atau pengeluaran total. Ada kecenderungan makin tinggi tingkat pendapatan keluarga maka makin rendah
elastisitas konsumsi pangan dibanding konsumsi bukan pangan (Mangkuprawira 1985). Hal tersebut juga ada hubungannya dengan jumlah keluarga. Suatu keluarga dengan jumlah anggota yang semakin banyak dengan pendapatan tertentu berarti proporsi pengeluaran untuk konsumsi pangan akan semakin besar pula. Peningkatan jumlah pendapatan keluarga merupakan hal yang sangat mempengaruhi, untuk memenuhi berbagai pengeluaran tersebut. Pendapatan tiap anggota keluarga dapat berasal dari upah, keuntungan usaha, dan dari selain upah. Tergantung dari berbagai faktor, tiap anggota memperoleh pendapatannya dapat dari satu atau lebih sumber. Sebagai contoh, apabila pendapatan kepala keluarga dari gaji tidak mencukupi kebutuhan keluarganya maka jika ada modal, kepala keluarga tersebut akan cenderung mencari tambahan penghasilan dengan usaha sendiri (Mangkuprawira 1985). Alokasi Pengeluaran Keluarga Hasil survei yang dilakukan BPS (2002) menunjukkan bahwa setelah krisis ekonomi tahun 1997, terjadi perubahan pola konsumsi karena adanya penurunan standar hidup secara drastis akibat meningkatnya harga-harga kebutuhan hidup. Peningkatan harga-harga tersebut memaksa setiap keluarga yang berpendapatan rendah untuk melakukan tindakan memprioritaskan pengeluaran untuk pangan. Selain pergeseran konsumsi secara umum, hal tersebut juga mengakibatkan terjadinya pergeseran komposisi masing-masing sub kelompok bahan pangan dan komposisi bahan pangan. Mengetahui pola pengeluaran keluarga merupakan salah satu cara untuk dapat mengetahui tingkat kehidupan masyarakat. Berbagai karakteristik pribadi dan situasi yang menyertainya akan mempengaruhi bagaimana seseorang membelanjakan uangnya. Karakteristik tersebut diantaranya adalah ambisi, keahlian, kesejahteraan hidup, usia anggota keluarga, jenis kelamin dari masingmasing anggota keluarga, standar hidup, kesukaan dan ketidaksukaan serta kemampuan besar kecilnya pengeluaran yang dilakukan oleh individu atau keluarga (Raines 1964). BPS (2002) membagi pengeluaran keluarga menjadi pengeluaran untuk pangan dan non-pangan. Pengeluaran untuk pangan yaitu pengeluaran untuk konsumsi kelompok padi-padian, ikan, daging, telur, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, minuman, makanan, serta minuman jadi.
Sementara pengeluaran untuk non-pangan adalah pengeluaran untuk konsumsi perumahan, bahan bakar, penerangan, air, barang dan jasa, pakaian, dan barang-barang tahan lama lainnya. BPS menyebutkan bahwa di negara-negara yang sedang berkembang, persentase pengeluaran keluarga terbesar yaitu pengeluaran pangan kemudian barang dan jasa seperti perawatan kesehatan, pendidikan, rekreasi, dan lain-lain. Pengeluaran rata-rata perkapita sebulan adalah rata-rata biaya yang dikeluarkan suatu keluarga selama sebulan untuk konsumsi semua anggota keluarga. Pengeluaran keluarga untuk pangan dan non-pangan selanjutnya dikonversikan ke dalam pengeluaran rata-rata sebulan (BPS 1998). Menurut data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) panel 2005, pengeluaran rata-rata perkapita sebulan penduduk Indonesia di daerah perkotaan pada tahun 2005 telah mencapai Rp350 196.00 sedangkan di daerah perdesaan sebesar Rp195 512.00. Secara keseluruhan, pengeluaran rata-rata perkapita sebulan penduduk Indonesia mencapai Rp266 751.00, masing-masing terdiri dari pengeluaran untuk pangan sebesar 53.86 persen dan untuk nonpangan sebesar 46.14 persen. Selama kurun waktu 2004-2005 terjadi penurunan
persentase
pengeluaran
rata-rata
perkapita
perbulan
untuk
kebutuhan konsumsi pangan. Lain halnya dengan persentase pengeluaran untuk konsumsi nonpangan yang mengalami peningkatan baik di perkotaan maupun di perdesaan (BPS 2006). Program Pemberdayaan Daerah dalam Bentuk Proyek Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) Salah satu usaha dari badan-badan dunia untuk menunjang penurunan tingkat kemiskinan di dunia, terutama di negara-negara berkembang seperti Indonesia yaitu dengan diberikannya bantuan dalam bentuk P2KP. Program ini merupakan bantuan langsung dari Bank Dunia berupa modal usaha untuk masyarakat miskin yang disalurkan melalui Unit Pengelola Program P2KP yaitu salah satunya Badan Keswadayaan Masyarakat tiap daerah. Pemerintah Daerah dalam hal kegiatan P2KP ini diharapkan tidak hanya menjalankan fungsi monitoring, koordinasi, dan legitimasi semata, namun juga dapat berperan sebagai fasilitator, dinamisator, narasumber, dan pelaksana untuk beberapa kegiatan tertentu di tingkat kota/kabupaten (Rahadi dkk 2005). Menurut pemberdayaan
Sumodiningrat masyarakat
(1998) dikatakan
dalam
Surbakti
berhasil
jika
(2005),
program
indikator-indikator
keberhasilan yang dipakai untuk mengukur pelaksanaan program tersebut terpenuhi. Adapun indikator-indikator tersebut adalah : 1) berkurangnya jumlah penduduk yang termasuk kategori miskin; 2) berkembangnya usaha peningkatan pendapatan yang dilakukan oleh penduduk miskin dengan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia; 3) meningkatnya kepedulian masyarakat terhadap upaya peningkatan kesejahteraan keluarga miskin di lingkungannya; 4) meningkatnya kemandirian kelompok ditandai oleh semakin berkembangnya usaha ekonomis produksi anggota dan kelompok. Selain itu, makin kuatnya permodalan kelompok, makin rapinya sistem administrasi kelompok, dan makin luasnya interaksi kelompok dengan kelompok lainnya dalam masyarakat. Rohani (2007) menyebutkan bahwa program P2KP fokus pada tiga hal pembangunan, yaitu pembangunan ekonomi, fisik, dan sosial. Ketiga fokus pembangunan (Tridaya) itu memiliki keutamaan yang berbeda. Persentase yang paling besar diantara ketiga fokus kegiatan pembangunan tersebut adalah pembangunan ekonomi, sedangkan pembangunan fisik adalah 30 persen dan pembangunan sosial 20 persen. Namun, pada intinya P2KP ini tetap bertujuan pada penanggulangan kemiskinan. Pembangunan ekonomi dalam program P2KP tersebut adalah perbaikan perekonomian keluarga dengan cara menumbuhkan kesadaran masyarakat (Rohani 2007). Program ini merupakan penajaman dari program penanganan masalah perkotaan sebelumnya. Penajaman dan dukungan proyek ini terutama untuk peningkatan pemberdayaan masyarakat miskin kota dan memperkuat lembaga institusi lokal yang ada. Penanggulangan yang dimaksud dalam proyek ini adalah untuk mencegah penambahan dan mengurangi jumlah penduduk miskin di perkotaan (Anonim 2006). Komponen program yang dilaksanakan dalam proyek ini dibagi menjadi dua komponen utama yaitu pengembangan masyarakat dan penyediaan Bantuan Langsung Masyarakat (BLM). Komponen pengembangan masyarakat meliputi pengorganisasian masyakarat melalui Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM), penyusunan Perencanaan Jangka Menengah dan rencana tahunan program penanggulangan kemiskinan (PJM Pronangkis), serta jaringan kerja sama dan forum BKM. Penyediaan BLM meliputi bantuan sumber daya modal dan beasiswa bagi masyarakat miskin yang bersifat dana ”wakaf”. BKM adalah lembaga pimpinan bersama (kolektif) dari suatu organisasi masyarakat warga yang berbentuk paguyuban atau himpunan, yang memiliki fungsi utama sebagai
dewan pengambilan keputusan, yang dilakukan melalui proses pengambilan keputusan secara partisipatif (Konsultan Manajemen Wilayah 2003). P2KP juga dilaksanakan melalui Proyek Pengembangan Kecamatan (PPK) perkotaan yang melibatkan sejumlah lembaga di lingkungan pemerintahan dan masyarakat. Kegiatan utama proyek adalah membiayai usaha-usaha yang memberikan manfaat kepada masyarakat miskin kota di kelurahan yang telah ditetapkan. Biaya-biaya yang dikeluarkan proyek berupa bantuan (pinjaman) modal kerja bergulir kepada perorangan atau keluarga miskin sebagai modal bagi peningkatkan pendapatan yang berkelanjutan. Bantuan modal kerja bergulir ini berupa uang pinjaman yang disalurkan melalui Daftar Alokasi-Dana Pembangunan Daerah (DA-DPD) dan harus dikembalikan dalam jangka waktu satu setengah tahun (18 bulan) dengan bunga sangat rendah. Pengembalian uang pinjaman disetorkan langsung ke rekening Bank Penyalur (BRI atau Bank Pemerintah lainnya) atas nama BKM (Badan Keswadayaan Masyarakat), yaitu sebuah badan lokal yang dibentuk untuk bertanggung jawab atas bergulirnya modal kerja (Anonim 2006). Beberapa contoh kegiatan yang dapat dikembangkan dan dibiayai dari dana bantuan Bank Dunia misalnya usaha pertanian kota, pelatihan bagi kelompok, pembelian alat-alat kerja, program keterampilan anak-anak dan remaja, dan pendidikan keluarga berencana. Namun pembukaan warung baru tidak dianjurkan. Hal-hal yang tidak dapat dibiayai proyek antara lain pembebasan tanah, deposito, biaya administrasi pemerintah, usaha-usaha yang terlarang atau membahayakan lingkungan, seperti pembuatan dan penjualan senjata, obat terlarang, petasan, minuman keras (Anonim 2006). Modal lain yang dikeluarkan oleh Bank Dunia dalam rangka program P2KP ini adalah berupa hibah kepada kelompok masyarakat untuk membangun sarana dan prasarana lingkungan sebagai penunjang kegiatan usaha produktif mereka. Biaya lainnya disediakan untuk penyelenggaraan pelatihan keterampilan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Dana hibah diberikan secara cumacuma, tidak perlu pengembalian namun harus jelas penggunaannya, misalnya berupa pembangunan serta perbaikan sarana dan prasarana lingkungan untuk menunjang usaha atau kebutuhan bersama. Sarana dan prasarana dasar lingkungan yang lazim dibangun seperti proyek perbaikan kampung (jalan setapak dan MCK), perbaikan taman lingkungan, dan penghijauan. Dana hibah tidak untuk membangun tempat ibadah (Anonim 2006).
Besarnya dana yang disalurkan ke lokasi kelurahan bervariasi, tergantung jumlah penduduk dan tingkat kemiskinannya. Penyaluran bersifat terbuka dan diumumkan jumlah dana itu kepada semua warga. Penerima bantuan adalah anggota Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM). Tiap kelompok terdiri dari minimal tiga anggota dari keluarga berbeda. Dana bantuan diberikan kepada anggota KSM yang pendapatan keluarganya di bawah Rp 250 000.00/bulan. Tiap lokasi kelurahan hanya sekali saja menerima bantuan itu atau diulang pemberiannya
apabila
terdapat
kebijakan-kebijakan
tertentu
dengan
pertimbangan-pertimbangan tertentu pula yang diharapkan tidak merugikan pihak-pihak lainnya (Anonim 2006). Tabel 1 Pembagian lokasi penerima bantuan program P2KP berdasarkan Satuan Wilayah Kerja (SWK) Satuan Wilayah Kerja Kabupaten/Kota SWK I Jakarta Selatan, Jakarta Pusat, Jakarta Barat SWK II Jakarta Timur, Jakarta Utara, Kab. Bekasi, Kota Bekasi SWK III Pandeglang, Kab. Bogor, Karawang, Kab. Tanggerang, Serang, Kota Bogor, Kota Tanggerang, Depok, SWK IV Indramayu, Subang, Kota Cirebon, Kab. Bandung, Kab. Cirebon, SWK V Kendal, Batang, Kab. Pekalongan, Pematang, Kab. Tegal, Brebes, Kota Pekalongan, Kota Tegal. SWK VI Rembang, Blora, Pati, Kudus, Jepara, Demak, Kab. Semarang, Salatiga, Kota Semarang. SWK VII Kulon Progo, Bantul, Gunung Kidul, Sleman, Yogyakarta, SWK VIII Sidoarjo, Kab. Mojokerto, Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Gresik, Kota Mojokerto, Surabaya. SWK IX Banyuwangi, Bondowoso, Situbondo, Kab. Probolinggo, Kab. Pasuruan, Kab. Malang, Kota Malang, Kota Probolinggo, Kota Pasuruan. Program P2KP dilakukan dalam dua bagian, yaitu P2KP-1 yang dibagi lagi menjadi dua tahap dan P2KP-2. Lokasi kegiatan P2KP-1 terdiri atas tahap I sebanyak 1 298 kelurahan pada 58 kota atau kabupaten tersebar pada enam propinsi di Pulau Jawa dengan total dana BLM sebesar Rp495.9 milyar dan tahap II sebanyak 1 323 kelurahan pada 59 kota atau kabupaten (sebagian besar sama dengan tahap I kecuali DKI Jakarta) dengan total dana BLM sebesar Rp207.25 milyar. Salah satu daerah yang menjadi sasaran program P2KP yaitu Desa Gardusayang, Kecamatan Cisalak, Kabupaten Subang. Pelaksanaan P2KP di daerah ini dimulai pada tahun 2004. Bentuk kepengurusan P2KP memiliki masa kerja tiga tahun sekali. Oleh karena itu, tahap pertama program P2KP
berakhir pada tahun 2007. Keluarga yang mendapat bantuan di daerah ini ditentukan berdasarkan tingginya jumlah pengangguran, jumlah Keluarga Prasejahtera serta Keluarga Sejahtera I (KS I) (Konsultan Manajemen Wilayah 2003). Pelaksanaan P2KP dikoordinasi oleh tim-tim tertentu dari mulai tingkat pusat hingga tingkat kelurahan. Selain itu, dibentuk pula konsultan pelaksana (Konsultan Manajemen Pusat dan Konsultan Manajemen Wilayah) dan fasilitator serta kader komunitas. Pertemuan intern antar pelaku P2KP maupun antara pelaku P2KP dengan unsur-unsur lain dapat dijembatani oleh Forum Konsultasi/Komunikasi, Forum Konsultasi Penanggulangan Kemiskinan, dan Forum Komunikasi antara BKM. Koordinasi P2KP tingkat pusat dilakukan oleh Tim Koordinasi Tingkat Pusat, Project Manajemen Unit (PMU), dan Pimpinan Proyek P2KP Pusat. Koordinasi P2KP tingkat Provinsi dilakukan oleh Pemerintah Propinsi yang berperan mendukung kelancaran pelaksanaan P2KP di wilayah kerjanya melalui Bapeprop yang selanjutnya membentuk tim koordinasi. Koordinasi P2KP tingkat Kabupaten/Kota dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota yang berperan memberikan dukungan dan jaminan atas kelancaran pelaksanaan P2KP di wilayah kerjanya melalui Bapeda Kabupaten/Kota yang selanjutnya membentuk tim koordinasi. Koordinasi P2KP tingkat Kecamatan dilakukan oleh camat dan perangkatnya
serta
Penanggung
Jawab
Operasional
Kegiatan
(PJOK).
Koordinasi P2KP tingkat Kelurahan dilakukan oleh Lurah dan perangkat kelurahan yang berperan memberikan dukungan dan jaminan atas kelancaran pelaksanaan P2KP di wilayah kerjanya (Ivone 2003). Setiap program memiliki kekuatan dan kelemahan pelaksanaannya. Menurut Rustama (2004), kekuatan dari program-program kemiskinan termasuk P2KP yaitu : Dikembangkan oleh dan untuk masyarakat atas dasar kebutuhan masyarakat sehingga memanfaatkan gotong royong masyarakat dalam berbagai hal. Melayani kebutuhan masyarakat secara tepat waktu, tepat sasaran, dan dengan prosedur yang sesuai dengan kondisi sasaran. Nilai dan norma yang berlaku sesuai dengan orientasi nilai budaya masyarakat. Dapat dijadikan media pengembangan SDM dan manajemen bisnis skala kecil.
Pihak
pengelola
pinjaman
mendapat
beban
tanggung
jawab
untuk
pengembalian, sehingga intervensi pihak luar tidak terlalu mendominasi keputusan sasaran sehingga sasaran bebas memanfaatkan dana bantuan. Ada pendampingan yang mengembangkan inovasi. Membantu penyediaan modal bagi golongan sasaran yang benar-benar membutuhkan. Kelemahannya : Kemampuan pelayanannya masih sangat terbatas dalam komunitas yang kecil. Administrasi
pembukuan
dan
manajemennya
masih
mengandalkan
“kepercayaan” dan “dukungan” pemimpin. Tergantung
pada
kepemimpinan
lokal,
sehingga
tidak
terjamin
keberlanjutannya. Kesinambungan sumber lokal masih belum terjamin karena masih tergantung pada sumber modal bantuan. Pengembangan bisnis belum diikuti dengan kemampuan manajemen bisnis. Belum cukup optimal dalam pengembangan lingkungan bisnis yang digeluti golongan sasaran. Penyalurannya masih diwarnai subyektifitas pihak yang berwenang membina program yang bersangkutan. Kurang berhasil mengembangkan kemampuan usaha sasaran program terutama dalam aspek pemasaran produk/jasa golongan sasaran. Kurang berbasis pada kesiapan pihak sasaran dalam mengelola dana atau bantuan. Ketidakjelasan
sanksi
bagi
yang
melakukan
penyimpangan
implementasi program, baik pada sasaran maupun pelaksana program.
dalam
KERANGKA PEMIKIRAN Krisis
ekonomi
sejak
tahun
1997
menyulut
timbulnya
berbagai
permasalahan perekonomian bangsa. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang memperoleh imbas masalah perekonomian dari krisis ekonomi di dunia. Selain itu, program-program kemiskinan yang diharapkan mampu mengentaskan masalah kemiskinan di Indonesia, ternyata masih kurang efektif pelaksanaannya.
Birokrasi
dan
kebijakan-kebijakan
perekonomian
dari
pemerintah cenderung menyulitkan masyarakat terutama keluarga miskin. Semakin lama, keadaan yang berkelanjutan ini berakibat secara langsung terhadap peningkatan angka kemiskinan dan pengangguran sehingga terjadi penurunan kualitas sumberdaya manusia sebagai dasar dari pembangunan berkelanjutan. Berbagai program untuk menanggulangi dampak krisis ekonomi telah banyak dicanangkan oleh pemerintah, namun realisasinya masih kurang terlihat. Hal tersebut kemungkinan juga dikarenakan rumitnya birokrasi yang ada di Indonesia. Oleh karena itu, badan-badan dunia turun secara langsung untuk membantu penurunan tingkat kemiskinan yang terjadi di negara-negara berkembang. Program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh Bank Dunia yaitu salah satunya adalah Proyek Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP). Program ini diberikan kepada keluarga miskin berdasarkan standar kemiskinan BKKBN yaitu keluarga Pra-Sejahtera dan Keluarga Sejahtera 1. Keterlibatan keluarga dalam program P2KP memberikan dampak terhadap peningkatan pendapatan keluarga. Selain bantuan dana dari program P2KP, karakteristik sosial demografi keluarga (pendidikan, umur, jenis pekerjaan, jenis kelamin, dan besar keluarga) juga diduga mempengaruhi pendapatan keluarga. Pendapatan keluarga berhubungan timbal balik dengan pengeluaran keluarga. Mangkuprawira (2002) menyebutkan bahwa besarnya pendapatan keluarga diantaranya dipengaruhi oleh karakteristik keluarga, pendapatan bukan mencari nafkah, dan total pengeluaran. Menurut Bryant (1990) dan Suryawati (2002) diacu dalam Rambe (2004), ukuran dan komposisi keluarga serta perbedaan jenis kelamin anggota keluarga akan mempengaruhi permintaan terhadap barang dan jasa serta pengeluaran nonpangan keluarga. Keterlibatan keluarga dalam program P2KP diharapkan tidak hanya meningkatkan persentase pengeluaran terhadap total pengeluaran keluarga
namun juga meningkatkan persentase pengeluaran kebutuhan yang bersifat investasi seperti pendidikan dan kesehatan. Hal tersebut dikarenakan perbaikan tingkat pendidikan dan kesehatan merupakan salah satu cara untuk dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga. Hasil penelitian Wijaya (1986) diacu dalam Roswita (2005) mengungkapkan bahwa ada kecenderungan semakin tinggi pendidikan formal yang diterima seseorang maka akan semakin tinggi pula status sosial ekonominya.
Karakteristik Keluarga : Umur Jenis Kelamin Pendidikan Jenis Pekerjaan Besar Keluarga
Keterlibatan Keluarga dalam Program P2KP
Pendapatan
Alokasi Pangan
Alokasi Pengeluaran Keluarga
Alokasi Pendidikan
Alokasi Kesehatan
Alokasi lain-lain
Gambar 1. Kerangka pemikiran analisis alokasi pengeluaran keluarga peserta dan bukan peserta Proyek Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan
METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan desain cross sectional study. Penelitian dilakukan di tujuh rukun warga yang tersebar di Desa Gardusayang, Kecamatan Cisalak, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian didasarkan atas pertimbangan keberadaan program P2KP dan adanya kemudahan akses transportasi. Penelitian dilaksanakan dari bulan Februari sampai bulan Juni 2008. Cara Pemilihan Contoh Lokasi penelitian dan pemilihan sampel pada penelitian ini dilakukan secara purposive dengan pertimbangan banyaknya penduduk miskin dan lokasi yang mudah dijangkau. Sasaran penelitian adalah kepala keluarga atau istri keluarga peserta dan bukan peserta program P2KP. Keluarga responden yang secara lanjut dianalisis merupakan keluarga dengan tipe keluarga Pra-Sejahtera dan Sejahtera 1. Pemilihan keluarga responden dilakukan melalui beberapa tahap sebagai berikut : 1) Memilih dua dari tujuh Rukun Warga yang ada di Desa Gardusayang secara purposive dengan mempertimbangkan jumlah keluarga peserta P2KP terbanyak di daerah tersebut; 2) Memilih tiga Rukun Tetangga pada masingmasing Rukun Warga secara purposive dengan pertimbangan adanya keluarga yang menjadi peserta program P2KP pada RT tersebut; 3) Mengambil lima belas keluarga peserta dan dua puluh keluarga bukan peserta P2KP dari tiga RT pada masing-masing RW yang dipilih secara purposive. Pemilihan keluarga peserta dan bukan peserta dari ketiga RT dilakukan dengan pertimbangan tempat tinggal keluarga yang berdekatan dengan fasilitas umum yang mengalami renovasi sebagai bentuk realisasi program P2KP. Total seluruh responden adalah 70 keluarga yaitu 30 keluarga peserta dan 40 keluarga bukan peserta. Perbandingan sosial ekomomi antara keluarga peserta dengan bukan peserta dilakukan pada keluarga responden dengan kriteria miskin (Pra-Sejahtera dan KS1). Oleh karena itu, dari 70 keluarga responden dipilih keluarga dengan kriteria miskin kemudian diperoleh 61 keluarga yaitu 30 kelurga peserta dan 31 keluarga bukan peserta. Analisis selanjutnya digunakan 61 keluarga responden. Penentuan keluarga peserta program baik yang memperoleh santunan sosial, beasiswa maupun upah kerja
dilihat dari data yang diperoleh Unit Pengelola program P2KP di daerah Subang sedangkan
jumlah
seluruh
kepala
keluarga
dilihat
dari
data
potensi
desa/kelurahan dan catatan kelompok masyarakat setempat. Tabel 2 Indikator kualitatif kesejahteraan keluarga berdasarkan kriteria keluarga
Keluarga Peserta (n=30)
Kriteris Keluarga
n Pra Sejahtera Keluarga Sejahtera 1 Keluarga Sejahtera 2 Keluarga Sejahtera 3 Keluarga Sejahtera 3+
4 26 -
% 13.33 68.67 -
Keluarga Bukan Peserta (n=40) n % 31 77.5 9 22.5 -
Total (N=70) n
% 4 5.71 57 81.43 9 12.86 -
Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Jenis data primer yang dikumpulkan adalah karakteristik sosial demografi keluarga (status dalam keluarga, jenis kelamin, besar keluarga, umur, pendidikan terakhir, pekerjaan, pendapatan, dan pengeluaran), indikator kualitatif kesejahteraan, dan besar bantuan dana yang diperoleh keluarga peserta program P2KP. Data ini diperoleh langsung dengan cara wawancara terstruktur, yaitu menggunakan kuesioner. Data sekunder berupa data keluarga penerima bantuan dan keadaan umum daerah diperoleh dari Kantor Desa Gardusayang dan kelembagaan masyarakat setempat. Pengolahan dan Analisis Data Data yang telah diperoleh melalui wawancara terstruktur kemudian diolah menggunakan Microsoft Office Excel 2003 dan dianalisis menggunakan Statistical Package for Social Sciences (SPSS) version 13.5 for Windows. Proses pengolahan data melalui tahapan coding, entry (memasukkan data ke Microsoft Excel for Windows), editing, cleaning, dan analyzing dengan menggunakan program SPSS. Keadaan sosial demografi dilihat berdasarkan kriteria kemiskinan menurut BKKBN yang juga digunakan dalam pemilihan keluarga peserta program P2KP. Keadaan sosial demografi ini meliputi kondisi lantai rumah, konsumsi pangan anggota keluarga, kondisi pakaian anggota keluarga, kesehatan anggota
keluarga, pendidikan anak serta ada tidaknya anggota keluarga usia >15 tahun yang berpenghasilan tetap. Data pendapatan untuk analisis selanjutnya digunakan data pendapatan perkapita perbulan. Tingkat kemiskinan keluarga responden dilihat dengan menggunakan kriteria garis kemiskinan yang ditetapkan oleh BPS tahun 2006 yaitu Rp150 799.00 untuk daerah perkotaan dan Rp117 259.00 untuk daerah perdesaan. Data tingkat pengeluaran keluarga dihitung berdasarkan keterangan rata-rata pengeluaran perkapita perbulan yang ditetapkan oleh BPS tahun 2006 untuk daerah perkotaan yaitu Rp350 196.00. Pengeluaran nonpangan.
keluarga
Pengeluaran
dibedakan
nonpangan
atas meliputi
pengeluaran pendidikan,
pangan
dan
kesehatan,
penerangan, bahan bakar dapur, transportasi, pakaian, rokok, pajak/iuran, dan lain-lain.
Data
pengeluaran keluarga baik pangan maupun nonpangan
merupakan pengeluaran dalam bentuk rata-rata perkapita perbulan. Alokasi pada setiap pengeluaran dihitung persentasenya terhadap total pengeluaran. Karakteristik sosial demografi (besar keluarga, umur kepala keluarga, istri, dan anak terkecil, pendidikan kepala keluarga dan istri, jenis pekerjaan kepala keluarga dan istri, total pendapatan, dan pengeluaran keluarga), indikator kualitatif
kesejahteraan keluarga, dan besar bantuan yang diterima keluarga
peserta dianalisis terlebih dahulu secara deskriptif. Data besar bantuan modal usaha dan upah kerja yang diperoleh keluarga peserta dibuat dalam bentuk kisaran. Analisis statistik untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan karakteristik sosial demografi dan alokasi pengeluaran antara keluarga peserta dan bukan peserta menggunakan uji t-student (Walpole 1993). Analisis statistik untuk mengetahui hubungan antara besar bantuan dana dengan pendapatan dan alokasi pengeluaran keluarga peserta, hubungan antar karakteristik sosial demografi, dan hubungan antara karakteristik sosial demografi dengan persentase pengeluaran pangan dan nonpangan menggunakan uji Korelasi Pearson.
Definisi Operasional Keluarga adalah sejumlah orang yang disatukan oleh ikatan perkawinan, darah atau adopsi yang terdiri dari suami, istri, dan anak-anak serta anggota keluarga lainnya. Program P2KP adalah program untuk menuntaskan kemiskinan yang disalurkan Bank Dunia melalui Badan Keswadayaan Masyarakat masing-masing wilayah yang bergerak dalam bidang ekonomi, sosial, dan fisik. Keluarga peserta program P2KP adalah keluarga yang menerima bantuan dana berupa modal dari Bank Dunia yang dipilih berdasarkan ketentuan tertentu. Keluarga bukan peserta program P2KP adalah keluarga yang tidak menerima bantuan modal dari Bank Dunia dikarenakan tidak memenuhi syarat penerima bantuan yang telah ditentukan atau karena hal-hal tertentu lainnya. Karakteristik sosial demografi adalah keadaan sosial demografi yang dimiliki suatu keluarga yang dilihat dari keadaan lantai rumah, konsumsi pangan keluarga,
pakaian
anggota
keluarga,
kesehatan,
pendidikan,
dan
penghasilan keluarga. Pendapatan keluarga adalah jumlah penghasilan yang diperoleh suatu keluarga dari hasil usaha anggota keluarga maupun usaha sampingan pada saat penelitian dilakukan yang dinilai dengan uang. Alokasi pengeluaran keluarga adalah pembagian pendapatan suatu keluarga untuk
berbagai jenis pengeluaran keluarga baik
pangan maupun
nonpangan yang dinilai dengan uang. Pengeluaran pangan adalah sejumlah pengeluaran yang dikeluarkan oleh semua anggota keluarga untuk kebutuhan pangan yang dinilai dengan uang dalam sebulan terakhir. Pengeluaran nonpangan adalah sejumlah pengeluaran yang dikeluarkan oleh semua anggota keluarga untuk kebutuhan nonpangan seperti pendidikan, kesehatan, dan lain-lain yang dinilai dengan uang setiap bulannya.
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Wilayah Desa Gardusayang merupakan salah satu dari dua desa diantara sebelas desa yang terletak di Kecamatan Cisalak, Kabupaten Subang yang merupakan daerah lokasi penerimaan program P2KP tahap pertama (periode tahun 20042007). Desa ini memiliki luas wilayah sekitar 513 260 Ha yang terbagi ke dalam tujuh wilayah kampung yaitu Gardusayang, Patrol, Gorowong, Cileat, Samoga, Sayang Landeuh, dan Leuwi Nanggung. Desa yang banyak dikelilingi oleh sawah, hutan, dan gunung ini memiliki jumlah penduduk sebanyak 4 893 orang dengan jumlah laki-laki sebanyak 2 497 orang dan jumlah perempuan sebanyak 2 396 orang. Jumlah kepala keluarga di Desa Gardusayang seluruhnya yaitu 1 297 KK sedangkan jumlah perempuan sebagai kepala keluarga yaitu 100 orang. Jumlah keluarga miskin di Desa Gardusayang yaitu 556 orang, sedangkan jumlah masyarakat yang diikutsertakan menjadi peserta program P2KP tahap pertama di bidang sosial yaitu sebanyak ±219 orang (39.39% dari total masyarakat miskin). Hampir setengah penduduk Desa Gardusayang (40%) berpendidikan tamat Sekolah Dasar/sederajat dan hanya 5 persen yang dapat melalui jenjang perkuliahan setingkat diploma maupun sarjana. Sisanya menyebar pada tingkat pendidikan tidak tamat sekolah, tamat Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan tamat Sekolah Menengah Atas (SMA). Sebagian besar tanah di Desa Gardusayang (89%) dijadikan lahan pertanian dan ladang/tegal sehingga kebanyakan mata pencaharian penduduknya yaitu petani dan buruh tani. Hal ini terlihat dari banyaknya sawah dan ladang di sekitar rumah warga walaupun sawah-sawah tersebut luasnya tidak seluas pesawahan di daerah-daerah lain. Lokasi penelitian dilaksanakan di dua kampung yang berada di Desa Gardusayang yaitu Kampung Gardusayang dan Gorowong. Letak antara kedua kampung tidak terlalu jauh, dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan selama 10-15 menit. Kedua kampung tersebut masing-masing memiliki dua Rukun Warga yaitu RW 01 dan RW 02 di Kampung Gardusayang serta RW 05 dan RW 06 di Kampung Gorowong. Responden diambil dari RW 01 RT 01, RT 02, dan RT 03 sebanyak 35 keluarga yaitu 15 keluarga peserta dan 20 keluarga bukan peserta serta diambil dari RW 05 RT 01, RT 02 dan RT 04 sebanyak 35 keluarga yaitu 15 keluarga
peserta dan 20 keluarga bukan peserta. Berikut batas wilayah Desa Gardusayang. Sebelah Utara
: Desa Cisalak
Sebelah Selatan
: Desa Mayang
Sebelah Barat
: Desa Sukakerti
Sebelah Timur
: Desa Cimanggu
Karakteristik Sosial Demografi Keluarga Responden Besar Keluarga Responden Besar keluarga menunjukkan banyaknya anggota keluarga yang harus ditanggung oleh suatu keluarga. Hurlock (1993) mengklasifikasikan besar keluarga berdasarkan jumlah anak yang dimiliki menjadi keluarga kecil, sedang, dan keluarga besar. Keluarga kecil adalah keluarga yang terdiri dari dua anak; keluarga sedang mempunyai tiga, empat atau lima anak; dan keluarga besar mempunyai enam atau lebih anak. Anak berjumlah lima orang cenderung termasuk ke dalam keluarga besar. Keluarga responden memiliki jumlah anggota keluarga yang hampir berimbang antara 2-4 orang (47.54%) dengan 5-6 orang (40.98%) namun jumlah terbanyak berada pada batas 2-4 orang. Proporsi terbesar keluarga bukan peserta juga memiliki jumlah anggota diantara 2-4 orang (61.29%) sedangkan lebih dari setengah keluarga peserta (53.33%) memiliki keluarga dengan beranggotakan antara 5-6 orang. Oleh karena itu, mayoritas keluarga bukan peserta merupakan keluarga kecil sedangkan keluarga peserta merupakan keluarga sedang. Taqwa dan Sading (2001), diacu dalam Roswita (2005) menyebutkan bahwa semakin besar tanggungan keluarga akan menyebabkan semakin kecilnya pendapatan perkapita keluarga. Oleh karena itu, terdapat kemungkinan dengan besar pendapatan yang sama, keluarga peserta memiliki pendapatan perkapita lebih kecil dibandingkan keluarga bukan peserta. Menurut Cahyaningsih (1999), keluarga dengan jumlah anak banyak akan menyebabkan timbulnya masalah dalam hal pemenuhan kebutuhan pokok yaitu sandang, pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan. Rata-rata besar keluarga peserta lebih besar daripada rata-rata besar keluarga bukan peserta. Berdasarkan hasil uji beda t, tidak terdapat perbedaan antara rata-rata besar
keluarga peserta dan keluarga bukan peserta (p>0.05). Berikut sebaran besar keluarga peserta dan bukan peserta. Tabel 3 Sebaran keluarga peserta dan bukan peserta program P2KP berdasarkan besar keluarga Peserta P2KP Bukan Peserta Jumlah (n=30) P2KP (n=31) (N=61) Besar Keluarga (orang) n % n % n % 19 61.29 29 47.54 2-4 (keluarga kecil) 10 33.33 16 53.33 5-6 (keluarga sedang) 9 29.03 25 40.98 ≥7 (keluarga besar) 4 13.33 3 9.68 7 11.48 Jumlah 30 100 31 100 61 100 Rata-rata±SD 4.97±1.63 4.55±1.15 4.75±1.41 Uji beda t (p) (.250) Sebanyak 11 keluarga responden merupakan keluarga dengan orang tua tunggal yaitu semuanya seorang ibu tanpa ayah. Hal tersebut terjadi karena proses perceraian antara orang tua ataupun dikarenakan kematian ayah. Secara umum, kebanyakan anak memilih tinggal bersama ibu walaupun pada sebagian keluarga tunggal keberadaan ayah masih dapat dijangkau. Terdapat dua keluarga responden yang tidak mempunyai anak dan jumlah anak yang paling banyak yaitu 7 orang yang dimiliki oleh satu keluarga responden. Umur Kepala Keluarga dan Istri Umur merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kemampuan seseorang
dalam
memperoleh
pendapatan
terutama
bagi
kebanyakan
masyarakat di daerah perdesaan dengan pertanian sebagai sumber pendapatan utama (Mangkuprawira 2002). Hal tersebut menunjukkan bahwa umur produktif seseorang
sangat
penting
dalam
upaya
peningkatan
pendapatan
dan
pengeluaran keluarga. Berdasarkan Tabel 4, umur kepala keluarga peserta dan bukan peserta berkisar antara 30-71 tahun. Jumlah terbanyak kepala keluarga peserta memiliki umur >50 tahun (43.33%) sedangkan umur kepala keluarga bukan peserta jumlah terbanyaknya berada pada batas kelompok umur 41-50 tahun (38.71%). Rata-rata umur kepala keluarga bukan peserta menunjukkan bahwa kepala keluarga bukan peserta cenderung lebih produktif dibandingkan kepala keluarga peserta. Keadaan ini kemungkinan menjadi salah satu hal yang mengakibatkan perbedaan dalam memperoleh peluang peningkatan pendapatan keluarga. Oleh karena itu, keluarga bukan peserta lebih mudah dan leluasa untuk mengalokasi pendapatan keluarganya untuk pengeluaran-pengeluaran tertentu.
Rata-rata umur kepala keluarga responden adalah 48.81 tahun. Rata-rata umur kepala keluarga peserta lebih tinggi daripada rata-rata umur kepala keluarga bukan peserta. Berdasarkan uji beda t, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata umur kepala keluarga peserta dan bukan peserta (p>0.05). Berikut sebaran umur kepala keluarga peserta dan bukan peserta. Tabel 4 Sebaran keluarga peserta dan bukan peserta program P2KP berdasarkan umur kepala keluarga Peserta P2KP Bukan Peserta Jumlah Kelompok Umur (n=30) P2KP (n=31) (N=61) (tahun) n % n % n % 20-30 5 16.67 1 3.22 6 9.84 31-40 2 6.67 9 29.03 11 18.03 12 38.71 41-50 10 33.33 22 36.07 13 43.33 >50 9 29.03 22 36.07 Jumlah 30 100 31 100 61 100 Rata-rata±SD 50.53±14.98 45.90±10.35 48.18±12.94 Uji beda t (p) (.164) Tabel 5 menunjukkan bahwa umur istri keluarga responden hampir rata di setiap kelompok umur namun jumlah terbanyak berada pada kelompok umur 3140 tahun (32.79%). Begitu pula dengan umur istri keluarga bukan peserta, lebih dari setengahnya (51.61%) berada pada kelompok umur 31-40 tahun. Berbeda dengan keluarga bukan peserta, umur istri keluarga peserta menyebar pada kelompok umur 41-50 tahun dan >50 tahun dengan jumlah terbanyak berada pada kelompok umur 41-50 tahun (33.33%). Berdasarkan Tabel 5, rata-rata umur istri keluarga responden secara keseluruhan (42.23 tahun) berada cukup jauh di bawah rata-rata umur kepala keluarga responden (48.18 tahun). Hal ini berkaitan dengan budaya di daerah penelitian bahwa umur seorang istri harus lebih rendah dibandingkan umur kepala keluarganya. Rata-rata umur istri keluarga peserta lebih tinggi daripada rata-rata umur istri keluarga bukan peserta. Berdasarkan uji beda t, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata umur istri keluarga peserta dan bukan peserta (p>0.05). Berikut sebaran umur istri keluarga peserta dan bukan peserta.
Tabel 5 Sebaran keluarga peserta dan bukan peserta program P2KP berdasarkan umur istri Peserta P2KP Bukan Peserta Jumlah Kelompok Umur (n=30) P2KP (n=31) (N=61) (tahun) n % n % n % 20-30 7 23.33 4 1.90 11 18.03 16 51.61 20 32.79 31-40 4 13.33 10 33.33 41-50 5 16.13 15 24.59 >50 9 30 6 19.35 15 24.59 Jumlah 30 100 31 100 61 100 Rata-rata±SD 44.57±14.12 39.97±10.38 42.23±12.48 Uji beda t (p) (.152) Umur Anak Terkecil Menurut Leibowitz (1974), diacu dalam Roswita (2005), selain adanya bakat (kemampuan turunan) dari orang tua, salah satu cara agar dapat menghasilkan sumberdaya yang berkualitas pada anak yang memasuki sekolah dasar, yaitu adanya investasi khusus bagi anak terutama saat anak usia dini. Usia anak saat dini merupakan faktor penting yang dapat diintervensi oleh orang tua. Tabel 6 Sebaran keluarga peserta dan bukan peserta program P2KP berdasarkan umur anak terkecil Peserta P2KP Bukan Peserta Jumlah Kelompok Umur (n=30) P2KP (n=31) (N=61) (tahun) n % n % n % 14 46.67 22 70.97 36 59.02 ≤10 11-20 6 20 6 19.35 12 19.67 21-30 6 20 2 6.45 8 13.11 ≥31 4 13.33 1 3.23 5 8.20 Jumlah 30 100 31 100 61 100 Rata-rata±SD 15.60±12.73 8.84±8.32 12.16±11.16 Uji beda t (p) (.017) Berdasarkan tabel di atas, lebih dari setengah anak keluarga responden berada pada batas umur ≤10 tahun (59.02%). Batas umur tersebut termasuk ke dalam batas umur anak sekolah. Menurut Papalia & Olds (1981) diacu dalam Roswita (2005), anak yang berusia 6 sampai 12 tahun adalah Anak Usia Sekolah (AUS) yang dari segi penampilan memiliki perbedaan dengan anak yang belum memasuki usia sekolah. Jumlah anak keluarga bukan peserta yang berada pada batas usia sekolah lebih banyak dibandingkan anak keluarga peserta. Berdasarkan uji beda t, terdapat perbedaan nyata antara rata-rata umur anak terkecil keluarga peserta dengan bukan peserta (p<0.05).
Tingkat Pendidikan Kepala Keluarga dan Istri Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi pola pikirnya dalam mengambil
sebuah
keputusan
termasuk
keputusan
dalam
memperoleh
pekerjaan yang akan mempengaruhi besarnya pendapatan suatu keluarga. Semakin
tinggi
motivasi
seseorang
dalam
berpikir
untuk
memperoleh
pendapatan akan dipengaruhi oleh semakin tingginya jenjang pendidikan yang pernah dilalui. Oleh karena itu, pendidikan merupakan salah satu pendukung terjadinya peningkatan kesejahteraan keluarga berkaitan dengan tingginya investasi untuk kehidupan individu di masa depan. Berdasarkan Tabel 7, lebih dari setengah kepala keluarga responden berpendidikan Sekolah Dasar/sederajat (50.82%). Masih rendahnya tingkat pendidikan kepala keluarga responden dapat menunjukkan bahwa sebagian besar perhatian keluarga responden terhadap pendidikan masih rendah walaupun akses untuk menempuh pendidikan yang lebih layak sangat mudah untuk dijangkau oleh keluarga responden. Tabel 7 Sebaran keluarga peserta dan bukan peserta program P2KP berdasarkan pendidikan kepala keluarga Peserta P2KP Bukan Peserta Jumlah (n=30) P2KP (n=31) (N=61) Tingkat Pendidikan n % n % n % Tidak tamat SD (4 tahun) 1 3.33 1 1.64 22 73.33 31 50.82 Tamat SD (6 tahun) 9 29.03 Tamat SMP (9 tahun) 2 6.67 6 19.35 8 13.11 Tamat SMA (12 tahun) 5 16.67 3 9.68 8 13.11 12 38.71 Tamat Diploma (15 12 19.67 tahun) Tamat Sarjana (16 1 3.23 1 1.64 tahun) Jumlah 30 100 31 100 61 100 Rata-rata±SD 7.13±2.37 10.29±3.41 8.74±3.33 Uji beda t (p) (.000) Rata-rata lama pendidikan kepala keluarga responden yaitu 8.74 tahun. Rata-rata lama pendidikan kepala keluarga bukan peserta lebih besar daripada rata-rata lama pendidikan kepala keluarga peserta. Artinya, tingkat pendidikan kepala keluarga bukan peserta cenderung lebih tinggi daripada kepala keluarga peserta. Hal ini menunjukkan bahwa kesempatan kepala keluarga bukan peserta dalam memperoleh pendidikan lebih luas daripada kepala keluarga peserta. Kartini
(1997),
diacu
dalam
Roswita
(2005)
mengungkapkan
terdapat
kecenderungan semakin tinggi pendidikan formal yang diterima seseorang maka
akan semakin tinggi pula status sosial ekonominya. Hasil uji beda t menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara rata-rata lama pendidikan kepala keluarga peserta dengan rata-rata lama pendidikan kepala keluarga bukan peserta (p<0.05). Tabel 7 menunjukkan tingkat pendidikan kepala keluarga bukan peserta lebih bervariasi dibandingkan dengan tingkat pendidikan kepala keluarga peserta. Hal ini terlihat dari menyebarnya tingkat pendidikan kepala keluarga bukan peserta dari tamat sekolah dasar hingga tamat sarjana. Perbedaan karakteristik sosial ekonomi merupakan salah satu hal yang melatarbelakangi perbedaan tingkat pendidikan kepala keluarga peserta dengan kepala keluarga bukan peserta. Oleh karena itu, terdapat perbedaan antara kepala keluarga peserta dengan bukan peserta dalam hal kesempatan memperoleh pendidikan yang layak. Tabel 8 Sebaran keluarga peserta dan bukan peserta program P2KP berdasarkan pendidikan istri Peserta P2KP Bukan Peserta Jumlah (n=30) P2KP (n=31) (N=61) Tingkat Pendidikan n % n % n % Tidak tamat SD (4 tahun) 1 33.33 1 1.64 24 80 14 45.16 38 62.30 Tamat SD (6 tahun) Tamat SMP (9 tahun) 1 3.33 2 6.45 3 4.92 Tamat SMA (12 tahun) 3 10 7 22.58 10 16.39 Tamat Diploma 1 3.33 8 25.81 9 14.75 (15 tahun) Tamat Sarjana (16 tahun) Jumlah 30 100 31 100 61 100 Rata-rata±SD 6.67±2.37 9.87±3.89 8.39±3.55 Uji beda t (p) (.001) Tabel 8 menunjukkan tingkat pendidikan istri keluarga responden cukup bervariasi. Seperti hal nya kepala keluarga responden, lebih dari setengah istri keluarga responden (62.30%) memiliki tingkat pendidikan hanya tamat SD/sederajat. Tidak terdapat istri keluarga bukan peserta yang tidak tamat SD sedangkan pada keluarga peserta terdapat seorang istri yang tidak tamat SD. Jumlah istri keluarga responden yang tamat SD/sederajat lebih banyak dibandingkan kepala keluarga responden dengan tingkat pendidikan yang sama. Begitu pula dengan jumlah istri keluarga responden yang tamat Diploma, jumlahnya lebih banyak dibandingkan kepala keluarga responden sedangkan jumlah istri keluarga responden pada tingkat pendidikan lainnya lebih sedikit
dibandingkan kepala keluarganya pada masing-masing tingkat pendidikan tersebut. Rata-rata lama pendidikan istri keluarga responden yaitu 8.39 tahun (Tabel 8). Rata-rata lama pendidikan istri keluarga responden tidak berbeda jauh dengan rata-rata lama pendidikan kepala keluarga responden. Hal ini menunjukkan secara umum terdapat kesamarataan dalam hal kesempatan memperoleh pendidikan antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan pada keluarga responden. Seperti halnya kepala keluarga, rata-rata lama pendidikan istri keluarga peserta pun lebih rendah daripada rata-rata lama pendidikan istri keluarga bukan peserta. Hasil uji beda t menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara rata-rata lama pendidikan istri keluarga peserta dengan ratarata lama pendidikan istri keluarga bukan peserta (p<0.05). Pekerjaan Kepala Keluarga dan Istri Jenis pekerjaan kepala keluarga responden bermacam-macam seperti buruh tani, buruh nontani, petani, wiraswasta, pegawai negeri, pegawai swasta, dan pensiunan. Salah satu perbedaan jenis pekerjaan pada keluarga peserta dan bukan peserta terdapat pada jenis pekerjaan pegawai negeri yang tidak dilakukan oleh satu pun dari kepala keluarga peserta (Tabel 9). Tabel 9 Sebaran keluarga peserta dan bukan peserta program P2KP berdasarkan pekerjaan kepala keluarga Peserta P2KP Bukan Peserta Jumlah (n=30) P2KP (n=31) (N=61) Jenis Pekerjaan n % n % n % Buruh Nontani 1 3.33 1 3.23 2 3.28 18 60 19 31.15 Buruh Tani 1 3.23 Petani 2 6.67 7 22.58 9 14.75 10 32.26 Wiraswasta 8 26.67 18 29.51 Pegawai Negeri 7 22.58 7 11.48 Pegawai Swasta 1 3.33 3 9.68 4 6.56 Pensiunan 2 6.45 3 4.92 Jumlah 30 100 31 100 61 100 Berdasarkan Tabel 9, lebih dari setengah kepala keluarga peserta (60%) bekerja sebagai buruh tani, sedangkan proporsi terbanyak kepala keluarga bukan peserta bekerja sebagai wiraswasta (32.26%). Walaupun banyak dari kepala keluarga responden yang memiliki penghasilan minim dan tidak menghasilkan uang yang banyak setiap harinya, namun tidak ada satupun dari kepala keluarga responden yang mengalami pengangguran.
Tabel 10 Sebaran keluarga peserta dan bukan peserta program P2KP berdasarkan pekerjaan istri Peserta P2KP Bukan Peserta Jumlah (n=30) P2KP (n=31) (N=61) Jenis Pekerjaan n % n % n % 16 51.61 25 40.98 Ibu Rumah Tangga 9 30 Buruh Nontani 1 3 1 1.64 13 43.33 Buruh Tani 2 6.45 15 24.59 Petani 1 3 2 6.45 3 4.92 Wiraswasta 5 17 4 12.90 9 14.75 Pegawai Negeri 1 3 6 19.36 7 11.48 Pegawai Swasta Pensiunan 1 3.22 1 1.64 Jumlah 30 100 31 100 61 100 Tabel 10 menunjukkan jumlah terbanyak istri keluarga responden merupakan ibu rumah tangga (40.98%). Hampir setengah istri keluarga peserta (47%) bekerja sebagai buruh tani. Tidak ada satupun istri keluarga peserta yang bekerja sebagai pegawai swasta ataupun telah menjadi pensiunan sedangkan pada keluarga bukan peserta terdapat satu istri keluarga yang telah menjadi pensiunan pegawai negeri. Secara umum, istri yang bekerja di luar rumah dapat membawa dampak positif terhadap keluarga yaitu membantu dan menambah pemasukan pendapatan untuk biaya hidup keluarga. Berikut sebaran jenis pekerjaan istri keluarga peserta dan bukan peserta. Menurut Salim (1984), kelompok penduduk yang miskin adalah kelompok penduduk yang bagian terbesar dari kelompok tersebut merupakan buruh tani yang tidak memiliki tanah sendiri. Apabila ada yang memiliki tanah maka luasnya tidak seberapa dan tidak cukup untuk membiayai ongkos hidup yang layak. Kebanyakan dari kelompok tersebut adalah pengangguran atau setengah pengangguran dengan pekerjaan yang sifatnya tidak teratur atau pekerjaan tersebut tidak memberi pendapatan yang memadai bagi tingkat hidup yang wajar. Kelompok penduduk miskin biasanya berusaha sendiri dalam melakukan pekerjaan dengan menyewa peralatan dari orang lain dengan sifat usaha kecil dan terbatas dikarenakan ketiadaan modal. Selain itu, kebanyakan dari mereka tidak berpendidikan atau tingkat pendidikannya rendah. Kelompok penduduk miskin pada umumnya adalah kelompok yang kurang berkesempatan untuk memperoleh dalam jumlah yang cukup bahan kebutuhan pokok, pakaian, perumahan, fasilitas kesehatan, air minum, pendidikan, angkutan dan komunikasi serta fasilitas kesejahteraan sosial pada umumnya (Salim 1984).
Tabel pekerjaan kepala keluarga dan istri responden menunjukkan semakin rendah status sosial suatu keluarga cenderung semakin besar porsi pendapatan dari buruh (tani dan nontani) dan hanya sebagian kecil yang mempunyai pendapatan bersumber dari pegawai. Namun apabila melihat besaran porsi pendapatan maka pendapatan dari buruh nontani dan buruh tani bagi pelapisan keluarga yang lebih rendah memiliki peranan yang sangat berarti dalam upaya mencukupi pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Berdasarkan penelitian Mangkuprawira (2002), pendapatan dari segi pertanian dipengaruhi secara nyata dan positif oleh upah di sektor pertanian, luas lahan usaha tani, umur, dan total pengeluaran keluarga. Selain itu, dipengaruhi negatif oleh faktor jumlah angkatan kerja dan tanggungan keluarga. Semakin besar tingkat upah suami dari sektor pertanian dan pengeluaran total keluarga, semakin luas lahan usaha tani, dan semakin lanjut usia maka semakin besar pula pendapatannya yang bersumber dari pertanian. Indikator Kualitatif Kesejahteraan Keluarga Kriteria yang menandakan bahwa keluarga responden termasuk PraSejahtera adalah keadaan lantai rumah dan kebiasaan dalam hal konsumsi pangan. Kriteria yang menandakan keluarga termasuk Keluarga Sejahtera 1 (KS1) adalah keberadaan anggota keluarga yang memiliki penghasilan tetap, keberadaan anggota keluarga yang sakit selama satu bulan terakhir, jumlah anak hidup dan adanya Pasangan Usia Subur (PUS) yang menggunakan alat kontrasepsi, luas lantai rumah/penghuni, kepemilikan pakaian/tahun, jumlah anak yang bersekolah serta jumlah bayi yang dapat diberi susu atau makanan formula. Keluarga responden yang dianalisis lebih lanjut merupakan keluarga yang termasuk kategori miskin berdasarkan kriteria kemiskinan BKKBN yaitu keluarga Pra-Sejahtera dan Keluarga Sejahtera 1. Oleh karena itu, dari 70 keluarga responden dipilih keluarga miskin kemudian diperoleh 61 keluarga yaitu 30 keluarga peserta dan 31 keluarga bukan peserta.
Tabel 11 Sebaran keluarga responden berdasarkan aspek sosial ekonomi penentu kriteria keluarga Pra-Sejahtera dan KS1 Keluarga Keluarga Total Peserta Bukan (N=61) (n=30) Peserta No Aspek Sosial Ekonomi (n=31) n % n % n % 1 Lantai rumah dari tanah 3 10 3 4.92 2 Terdapat anggota keluarga yang 1 3.33 1 1.64 makan ≤2 kali/hari 3 Tidak ada anggota keluarga berumur 7 23.33 1 3.23 8 13.11 >15 tahun yang berpenghasilan tetap 4 Tidak semua anggota keluarga sehat 20 66.67 18 58.06 38 62.30 sebulan terakhir 5 Anak hidup ≥2 orang atau jika lebih 5 16.67 9 29.03 14 22.95 PUS tidak memakai kontrasepsi 6 Lantai rumah ≤8 m3/penghuni 18 60 9 29.03 27 44.26 7 Tidak semua anggota keluarga 5 16.67 5 8.20 memiliki satu pasang pakaian baru untuk satu tahun terakhir 8 Tidak semua anak berusia 6-12 tahun 3 10 2 6.45 5 8.20 bersekolah 9 Bayi tidak dapat diberi susu atau 2 6.67 2 3.8 makanan formula Lantai Rumah Kemajuan
teknologi
dalam
berbagai
bidang
termasuk
bidang
pembangunan, tidak dapat dengan mudah dirasakan oleh semua masyarakat di kalangan menengah ke bawah. Salah satu contohnya, dikarenakan keterbatasan uang yang dimiliki maka kepentingan papan diabaikan demi memenuhi kepentingan pangan terlebih dahulu. Oleh karena itu, hingga saat ini masih banyak ditemukan beragam lantai rumah milik masyarakat mulai dari tanah, kayu, semen hingga ubin. Sebanyak tiga keluarga responden (4.92%) memiliki rumah dengan lantai dari tanah (Tabel 11). Ketiga keluarga tersebut merupakan keluarga peserta. Sebagian besar keluarga responden lainnya telah memiliki rumah dengan karakteristik lantai bukan dari tanah yaitu lantai dengan penerapan ubin. Sebanyak 27 keluarga responden (44.26%) memiliki rumah dengan luas lantai ≤8 m3/penghuni (Tabel 11). Keadaan tersebut menunjukkan bahwa keluarga dengan jumlah anggota tertentu harus tinggal di tempat yang luasnya tidak sebanding dengan banyaknya anggota keluarga yang dimiliki.
Konsumsi Pangan Peningkatan harga-harga kebutuhan keluarga memaksa setiap keluarga yang berpendapatan rendah untuk melakukan tindakan memprioritaskan pengeluaran untuk pangan. Selain pergeseran konsumsi secara umum, hal tersebut juga mengakibatkan terjadinya pergeseran komposisi dan jumlah masing-masing sub kelompok pangan serta pergeseran komposisi pangan yang dikonsumsi anggota keluarga (BPS 2002). Konsumsi pangan keluarga dipengaruhi oleh besarnya pendapatan yang dimiliki
oleh
keluarga
tersebut.
Menurut
Suhardjo
(1989),
peningkatan
pendapatan perseorangan akan mempengaruhi perubahan-perubahan dalam susunan makanan. Faktor-faktor yang kemungkinan besar berpengaruh kuat terhadap penentuan jenis pangan hewani yang akan dikonsumsi keluarga adalah pendapatan keluarga, harga komoditas pangan hewani, pendidikan kepala kelurga dan istri serta lokasi tempat tinggal (desa atau kota). Tabel 11 menunjukkan terdapat satu keluarga peserta yang anggota keluarganya tidak makan ≥2x/hari sedangkan pada keluarga bukan peserta, seluruh anggota keluarganya makan ≥2x/hari. Hal tersebut dikarenakan tidak setiap hari keluarga peserta tersebut memiliki uang untuk makan lebih dari dua kali perharinya. Secara umum, tabel tersebut juga menunjukkan bahwa dalam hal konsumsi pangan, semua keluarga responden memperhatikan kebutuhan masing-masing anggota keluarganya. Berdasarkan Tabel 11, semakin tinggi pendapatan keluarga semakin besar kemampuan keluarga tersebut untuk memenuhi kebutuhan makannya secara beragam dan semakin tinggi pendapatan cenderung semakin memilih pangan hewani untuk dikonsumsi. Oleh karena itu, kenaikan pendapatan keluarga akan menambah kesempatan keluarga tersebut untuk memilih bahan pangan dan meningkatkan konsumsi pangan yang disukai anggota keluarganya walaupun bahan pangan tersebut tidak memiliki nilai gizi yang baik. Hermanto dan Andriati (1986), diacu dalam Novita, Dwiriani & Damanik (2000) menyatakan bahwa perubahan pendapatan mempengaruhi besarnya persentase pengeluaran untuk pangan sumber energi dan sumber protein hewani. Semakin rendah tingkat pendapatan maka persentase pengeluaran untuk pangan pokok sumber energi dan protein akan lebih besar. Demikian pula pendapat Seodarso (1988), diacu dalam Novita, Dwiriani & Damanik (2000) bahwa bahan pangan sumber protein memiliki nilai ekonomi dan sosial yang
tinggi, sehingga pangan sumber protein hewani ini sangat elastis terhadap perubahan pendapatan. Penghasilan Pemasukan terbesar keuangan keluarga pada umumnya berasal dari gaji atau penghasilan tetap setiap bulan baik dari kepala keluarga maupun istri atau gabungan keduanya. Selain gaji tetap, ada pemasukan yang berasal dari pekerjaan sampingan seperti komisi penjualan atau keuntungan menjalankan suatu usaha. Gaji, setelah dikurangi potongan tertentu (pajak, koperasi, pinjaman, tabungan, dana pensiun, dan lain-lain) dan pemasukan yang berasal dari pekerjaan sampingan inilah yang disebut sebagai penghasilan keluarga (Yayasan Aspirasi Pemuda 1999). Tabel 11 menunjukkan terdapat 13.11 persen keluarga responden tidak memiliki penghasilan keluarga yang tetap. Hal ini diakibatkan oleh tidak tetapnya pekerjaan yang dimiliki oleh anggota keluarga tersebut sehingga pemasukan sehari-hari keluargapun tergantung dari ada atau tidaknya pekerjaan yang didapat hari itu. Sumber pendapatan keluarga sangat terkait dengan potensi sumberdaya daerah tempat tinggal, infrastruktur pendukung, dan letak lokasi dari pusat pasar. Mangkuprawira (1985) menemukan faktor yang mempengaruhi pendapatan keluarga yaitu pendidikan kepala keluarga, jumlah tanggungan keluarga, tingkat upah, pendapatan bukan mencari nafkah, dan pengeluaran total keluarga. Penghasilan keluarga sebagian besar keluarga peserta berasal dari buruh dan kuli karena sebagian besar lahan lokasi penelitian merupakan daerah pesawahan dan perkebunan. Perbedaan yang terjadi antara keluarga peserta dengan bukan peserta dalam hal pekerjaan dan pendapatan walaupun tempat tinggal berada pada daerah yang sama yaitu perbedaan kesempatan mengenyam pendidikan yang lebih tinggi dan kesempatan mendapatkan pekerjaan yang lebih layak pada keluarga bukan peserta dibandingkan dengan keluarga peserta. Kesehatan Tingginya angka kesehatan masing-masing anggota keluarga merupakan bukti dari adanya perhatian anggota keluarga terhadap peningkatan kualitas sumberdaya manusia terutama anggota keluarga tersebut. Apabila perhatian
terhadap kesehatan dari suatu keluarga tinggi maka anggota keluarga tersebut cenderung akan tahan terhadap berbagai penyakit sehingga sulit untuk terjangkit suatu penyakit dan pengeluaran keluarga untuk kesehatan yang sifatnya pengobatan dapat dialihkan menjadi pengeluaran kesehatan yang sifatnya pengendalian. Berdasarkan tabel 11, lebih dari separuh keluarga responden (62.30%) memiliki sedikitnya satu anggota keluarga yang selama sebulan terakhir dihitung semenjak penelitian ke bulan sebelumnya, menderita penyakit, baik penyakit ringan maupun berat. Hal tersebut kemungkinan dikarenakan pada sebulan terakhir ketika penelitian, anggota keluarga responden mengalami penurunan kualitas kesehatan tubuh. Rata-rata anggota keluarga yang sering terkena penyakit adalah anak dengan jenis penyakit panas, batuk, dan pilek. Tabel 11 menunjukkan bahwa 22.95 persen keluarga memiliki jumlah anak lebih dari dua orang dan tidak menggunakan kontrasepsi ketika kedua orang tua berada pada masa kesuburan. Salah satu hal yang menyebabkan keadaan tersebut adalah masih rendahnya pengetahuan responden tentang alat kontrasepsi dan sedikitnya informasi yang diterima responden mengenai kegunaan alat kontrasepsi bagi pasangan usia subur (PUS). Analisis lain dari hasil pengamatan ini adalah kecilnya alokasi pengeluaran untuk kesehatan menandakan rendahnya daya beli masyarakat untuk pelayanan kesehatan. Pengeluaran untuk kesehatan yang tinggi terjadi apabila terdapat anggota keluarga yang sakit parah dan memang berkecukupan untuk mengeluarkan biaya pengobatan. Secara umum, bagi keluarga peserta lebih baik mengusahakan mencari pengobatan yang murah walaupun belum dipastikan kualitas pengobatannya atau membiarkan penyakit membaik dengan sendirinya. Sebanyak dua keluarga (3,8%) memiliki bayi yang tidak dapat diberi susu atau makanan formula (Tabel 11). Menurut keterangan responden, bayi mereka akan muntah-mutah apabila diberikan susu atau makanan formula sehingga setelah enam bulan, bayi mereka diberi bubur buatan sendiri. Pakaian Kebutuhan keluarga yang juga diperhatikan oleh responden yaitu mengenai pakaian yang harus dikenakan masing-masing anggota keluarga ketika menghadiri kegiatan-kegiatan tertentu. Secara umum, masing-masing anggota keluarga peserta dan bukan peserta memiliki pakaian yang berbeda
untuk kerja, pergi-pergian atau ke sekolah. Hal tersebut menunjukkan bahwa keperluan pakaian juga merupakan prioritas utama pada saat-saat tertentu agar setiap anggota keluarga sesuai dalam menggunakan pakaian di setiap kegiatan. Responden mengaku membeli pakaian hanya pada waktu-waktu tertentu, misalnya menjelang hari raya atau perayaan-perayaan tertentu lainnya. Hanya 8,20 persen responden yang tidak memprioritaskan pembelian pakaian pertahunnya bagi masing-masing anggota keluarga tersebut (Tabel 11). Konsumsi pakaian yang rendah pada keluarga responden kemungkinan dikarenakan anggapan keluarga responden bahwa mengkonsumsi pakaian bukan merupakan prioritas atau keadaan yang mendesak saat itu sehingga beranggapan bahwa pembelian pakaian dapat ditunda lain waktu. Pendidikan Pendidikan merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan kecerdasan dan keterampilan manusia sehingga kualitas sumberdaya manusia sangat tergantung dari kualitas pendidikan. Kemampuan membaca dan menulis merupakan keterampilan minimum yang dibutuhkan oleh penduduk untuk dapat menuju hidup sejahtera (BPS 1999). Oleh karena itu, banyaknya anggota keluarga dalam suatu keluarga yang memiliki jenjang pendidikan tinggi dapat menunjukkan bahwa keluarga tersebut memiliki tingkat kesejahteraan yang tinggi. Tidak semua keluarga responden memiliki anak berusia 6-12 tahun. Hal tersebut merupakan salah satu penyebab terdapat 8.20 persen keluarga responden yang terhitung memiliki anak umur 6-12 tahun yang belum bersekolah (Tabel 11). Selain itu, terdapat pula keluarga responden yang memang anaknya belum bersekolah walaupun telah berumur 6 tahun. Secara
umum,
pengeluaran
keluarga
untuk
investasi
pendidikan
kemungkinan dipengaruhi oleh faktor pendidikan kepala keluarga, pendapatan keluarga, dan jumlah keluarga. Semakin tinggi tingkat pendidikan kepala keluarga dan pendapatan keluarga maka semakin besar pula tingkat pendidikan yang akan dirasakan oleh anggota keluarganya. Tingkat pendidikan kepala keluarga sebagai pengambil keputusan utama di dalam suatu keluarga dapat mencerminkan seberapa besar kesadaran kepala keluarga mengenai pendidikan sebagai suatu investasi sosial. Respon kepala keluarga terhadap dunia
pendidikan tersebut menunjukkan indikasi kuat adanya modernisasi dalam suatu keluarga. Bantuan Dana Program P2KP Bentuk program P2KP adalah pemberian bantuan modal usaha kepada masyarakat, bantuan berupa upah kerja yang diberikan kepada keluarga peserta program P2KP di bidang fisik, dan bantuan sosial berupa beasiswa dan tunjangan untuk keluarga jompo. Dana yang diberikan kepada keluarga dari program P2KP yaitu minimal Rp11 600.00 dan maksimal Rp500 000.00. Bantuan modal usaha jumlahnya berkisar Rp300 000.00-Rp500 000.00 tergantung dari besar kecilnya jenis usaha yang dijalankan. Bantuan upah kerja diberikan berdasarkan lama kegiatan yang diikuti oleh tiap-tiap peserta. Pembangunan fisik seperti perbaikan drainase, pembangunan jalan, pembuatan rumah warga miskin, pembangunan WC umum, dan lain-lain rata-rata dilaksanakan selama delapan hari dengan upah kerja yang diberikan yaitu Rp20 000.00/hari. Bantuan sosial berupa beasiswa diberikan kepada anak-anak sekolah dasar sebesar Rp10 000.00/bulan, tidak ada perbedaan untuk semua anak keluarga peserta. Bantuan berupa tunjangan untuk jompo diberikan kepada keluarga peserta antara Rp11 600.00-Rp12 500.00/bulan tergantung dari keadaan sosial ekonomi jompo tersebut. Selain itu, terdapat pula pembangunan rumah untuk keluarga miskin yang rumahnya dinilai sangat tidak layak untuk ditempati. Tabel 12 Sebaran keluarga peserta berdasarkan besarnya bantuan dana dari program P2KP Keluarga Peserta (N=30) No Jenis Bantuan Modal n % 1 Beasiswa 5 16.67 2 Bantuan modal 14 46.67 3 Sumbangan bagi orang tua Jompo 11 36.67 4 Upah 5 16.67 5 Bangunan Rumah 1 3.33 Berdasarkan tabel di atas, jumlah terbanyak jenis bantuan yang didapatkan keluarga peserta yaitu bantuan dana berupa modal usaha bergilir (46.67%). Semakin besar usaha yang dijalankan maka semakin besar bantuan dana yang diberikan. Hal ini terjadi dikarenakan kemungkinan keluarga dengan usaha besar untuk mengembalikan dana yang diberikan secara berangsur lebih besar daripada keluarga dengan usaha kecil. Rohani (2007) menyebutkan bahwa
persentase yang paling besar diantara ketiga fokus kegiatan pembangunan P2KP adalah pembangunan ekonomi, sedangkan pembangunan fisik adalah 30 persen dan pembangunan sosial sebesar 20 persen. Tabel 13 Sebaran keluarga peserta program P2KP berdasarkan kisaran bantuan dana dalam periode tiga bulan Keluarga Peserta No Jenis Bantuan Modal n % 1
Rp200 000.00 14 46.67 Total 31 100 Berdasarkan Tabel 13, bantuan dana yang paling banyak diterima keluarga peserta yaitu pada kisaran >Rp200 000.00. Hal ini kemungkinan dikarenakan banyaknya keluarga peserta yang menerima bantuan dana berupa modal usaha dengan besar dana yang diterima paling besar dibandingkan bentuk bantuan lain sehingga rata-rata kisaran dana yang diterima keluarga pun cukup tinggi. Oleh karena itu, terdapat kemungkinan bahwa bantuan modal memberikan kontribusi paling besar terhadap pendapatan keluarga dibandingkan bentuk bantuan dana lainnya. Hal ini dikarenakan bantuan modal diberikan kepada keluarga peserta yang memiliki usaha sebagai sumber pendapatan utama keluarga. Bantuan dana bagi pengembangan kualitas sumberdaya melalui investasi pendidikan dan kesehatan cenderung masih sedikit. Hal tersebut ditunjukkan dengan sedikitnya jumlah penerima beasiswa untuk anak sekolah dan masih sedikitnya dana yang diberikan untuk kepentingan pendidikan dan kesehatan. Kemungkinan yang terjadi yaitu program ini mendahulukan pemberdayaan masyarakat di bidang ekonomi untuk melanjutkan kelangsungan kehidupan ekonomi masing-masing keluarga tersebut. Secara
umum,
seluruh
keluarga
responden
lebih
mementingkan
pengeluaran untuk pangan dibandingkan nonpangan. Pemberian dana bantuan P2KP diharapkan dapat meningkatkan pengeluaran selain untuk pangan, misalnya untuk pendidikan dan kesehatan. Hal ini dikarenakan peningkatan pengeluaran nonpangan yang diperkirakan mendukung peningkatan kualitas sumberdaya manusia sangat diperlukan agar perkembangan kehidupan individu pun terjamin. Namun, mengingat adanya kesulitan bagi keluarga miskin untuk mencukupi kebutuhan pangan yang dianggap pokok, apalagi untuk kebutuhan
yang lain, maka penurunan angka kemiskinan tidak dapat dengan mudah hanya dengan memberi sejumlah dana. Bantuan dana program P2KP yang diberikan kepada keluarga peserta diharapkan dapat meningkatkan pendapatan keluarga. Bantuan dana yang diberikan dalam bentuk pinjaman modal harus dikembalikan sesuai besarnya pinjaman dengan cara menyicil sehingga merupakan pinjaman bergulir. Hal ini dilakukan agar modal pinjaman tersebut dapat digulirkan kembali kepada keluarga yang belum mendapatkan bantuan. Waktu pengembalian cicilan bervariasi berdasarkan ketentuan dan kesepakatan yang dibuat oleh tim koordinasi program P2KP daerah setempat. Cicilan tersebut dapat dibayar bulanan, mingguan, bahkan harian, namun sebagian besar peserta membayar secara bulanan dan biasanya jangka waktu ditentukan selama tiga bulan. Bantuan modal yang diberikan bermanfaat bagi pengembangan usaha yang sedang dijalankan. Sebelumnya responden mengalami kesulitan untuk mendapatkan modal untuk melanjutkan usaha namun dengan adanya bantuan modal ini kesulitan tersebut dapat teratasi walaupun jumlah bantuan yang diberikan masih dirasa kurang. Berdasarkan hasil pengumpulan pendapat dan saran dari responden, banyak yang mengharapkan datangnya bantuan yang serupa agar kelangsungan kehidupan ekonomi masyarakat miskin tetap terjaga. Selain itu, rata-rata responden mengharapkan kejujuran para pemegang kekuasaan yang dipercaya untuk menyalurkan dana agar dana yang ada benarbenar disalurkan kepada yang berhak tanpa pemotongan-pemotongan yang tidak wajib. Keluarga peserta benar-benar memanfaatkan dana tersebut untuk pengembangan usaha, kebutuhan sehari-hari termasuk sekolah dan berobat atau bahkan untuk memperbaiki rumah. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Tim Koordinasi Tingkat Daerah, sasaran penerima bantuan dana usaha adalah mereka yang memiliki usaha yang jelas dan berkelanjutan. Besar bantuan modal juga disesuaikan dengan besar usaha karena dikhawatirkan peserta dengan usaha kecil tidak akan mampu mengembalikan jika diberi bantuan modal yang besar. Oleh karena itu, secara tidak langsung peserta yang mempunyai usaha yang lebih besar akan memiliki kondisi sosial ekonomi yang lebih baik karena mendapatkan bantuan modal yang lebih besar. Bantuan upah yang diberikan dari program P2KP ini juga bermanfaat karena dapat menambah pendapatan harian keluarga. Walaupun upahnya tidak
banyak namun keluarga penerima upah mengaku bahwa uang yang diberikan bermanfaat untuk menunjang kehidupan sehari-hari mereka. Sasaran penerima bantuan upah ini adalah kepala keluarga yang berpenghasilan sangat rendah sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari dan ahli-ahli pembangunan yang rata-rata juga berpenghasilan rendah. Pendapatan dan Pengeluaran Keluarga Keluarga sejahtera adalah keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan anggota keluarganya baik sandang, pangan, papan, sosial, dan agama. Selain itu, keluarga yang sejahtera merupakan keluarga yang memiliki keseimbangan penghasilan dengan jumlah anggota keluarga dan dapat memenuhi kebutuhan kesehatan anggota keluarga, hidup sesama dengan masyarakat sekitar, beribadah khusuk selain dapat memenuhi kebutuhan pokok (Mubagio 1994). BPS (Biro Pusat Statistik) menggunakan konsep kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic need approach) dalam hal mengukur tingkat kesejahteraan keluarga. Kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar pangan dan nonpangan yang diukur dengan menggunakan garis kemiskinan. Garis kemiskinan dengan pendekatan keluarga sangat sensitif terhadap faktor harga, penentuan standar minimum kebutuhan dasar, pemilihan jenis paket komoditi, imputansi komponen bukan pangan serta disparitas dan karakteristik wilayah (Irawan 2000). Pendapatan Keluarga Suhardjo (1989) mengemukakan bahwa pendapatan suatu keluarga sangat berpengaruh terhadap alokasi pengeluaran keluarga tersebut. Oleh karena itu, besar kemungkinan bahwa semakin besar pendapatan yang diperoleh suatu keluarga maka semakin besar pula pengeluaran keluarga tersebut. Tingkat kesejahteraan suatu keluarga dapat dilihat dari besar kecilnya pendapatan keluarga tersebut melalui pendekatan terhadap besar kecilnya pengeluaran total keluarga. Pendapatan kemungkinan besar dipengaruhi oleh lama pendidikan kepala keluarga dan istri serta berhubungan juga dengan pekerjaan istri. Oleh karena itu, semakin lama kepala keluarga dan istri mengenyam pendidikan maka semakin tinggi pula pendapatan yang dihasilkan oleh mereka. Hal ini dikarenakan, semakin tinggi pendidikan seseorang maka kemungkinan orang
tersebut untuk memperoleh pekerjaan layak lebih besar sehingga ada kesempatan yang lebih luas untuk memperoleh pendapatan yang lebih besar. Selain itu, semakin tinggi pekerjaan istri maka semakin besar pendapatan yang diperoleh keluarga tersebut. Tabel 14 Tingkat pendapatan perkapita perbulan keluarga peserta dan bukan peserta program P2KP Bukan Jumlah Peserta P2KP Peserta (N=61) (n=30) Jumlah Pendapatan P2KP (n=31) n % n % n % < Rp100 000.00 8 26.67 0 0 8 13.11 12 40 11 35.48 23 37.70 Rp100 000.00–Rp200 000.00 Rp200 001.00–Rp300 000.00 9 30 10 32.26 19 31.15 > Rp300 001.00 1 3.33 10 32.26 11 18.03 Jumlah 30 100 31 100 61 100 Rata-rata 170527.78 355496.16 264528.10 Standard Deviation 96149.15 261614.76 217676.22 Uji beda t (p) (.001) Tabel 14 menunjukkan sekitar 26.67 persen keluarga peserta memiliki pendapatan perkapita perbulan
Berikut pengelompokkan keluarga peserta dan bukan peserta ke dalam kategori miskin dan tidak miskin. Tabel 15 Tingkat kemiskinan keluarga peserta dan bukan peserta program P2KP berdasarkan garis kemiskinan BPS tahun 2006 Jumlah Peserta P2KP Bukan Peserta Tingkat (N=61) (n=30) P2KP (n=31) Kemiskinan n % n % n % 12 40 4 12.90 16 26.23 Miskin Tidak Miskin 18 60 27 87.10 45 73.77 Jumlah 30 100 31 100 61 100 Berdasarkan garis kemiskinan penduduk Indonesia menurut BPS 2006 yaitu sebesar Rp150 799.00 perkapita perbulan untuk daerah perkotaan, sebanyak 12 keluarga peserta (40%) dan empat keluarga bukan peserta (12.90%) termasuk ke dalam kategori keluarga miskin (Tabel 15). Pendapatan yang berbeda antara keluarga peserta dengan bukan peserta salah satu halnya diduga disebabkan juga oleh banyaknya jumlah istri pada keluarga bukan peserta yang bekerja selain sebagai buruh dibandingkan dengan istri keluarga peserta. Terlihat dari Tabel 10, hanya 6.45 persen keluarga bukan peserta yang memiliki istri yang bekerja sebagai buruh sedangkan pada keluarga peserta hampir setengahnya istri (47%) bekerja sebagai buruh. Selain itu, pendapatan yang berbeda dapat pula disebabkan oleh jumlah anggota keluarga dari keluarga bukan peserta yang memiliki penghasilan tetap lebih banyak jumlahnya daripada keluarga peserta (Tabel 11). Tingkat kesejahteraan suatu keluarga tidak dapat dengan mudah diperhitungkan dengan hanya memperhatikan satu alasan saja. Secara subjektif misalnya keluarga responden dengan penampakan fisik tergolong mampu, namun ketika ditanyakan apakah mereka sudah merasa sejahtera di berbagai aspek seperti harga, agama, budaya, tempat tinggal, pendapatan, anak, pekerjaan, pendidikan, kesehatan, hubungan sosial, dan aset ternyata pada banyak hal mereka mengatakan tidak sejahtera. Oleh karena itu, standar kesejahteraan memang sulit untuk ditentukan. Menurut Syarief dan Hartoyo (1993) diacu dalam Rambe (2004), suatu keluarga, walaupun tinggal di bawah garis kemiskinan, mungkin merasa lebih sejahtera karena mereka merasa lebih bersyukur atas karunia-Nya, merasa semua keinginannya sudah terpenuhi, merasa telah hidup selaras dengan alam, dan alas an lainnya. Begitupun sebaliknya, suatu keluarga mungkin merasa kurang sejahtera walaupun sudah berpendapatan di atas garis kemiskinan karena alasan-alasan tertentu.
Pengeluaran Keluarga Pengeluaran rata-rata perkapita perbulan adalah rata-rata biaya yang dikeluarkan keluarga selama sebulan untuk konsumsi semua anggota keluarga. Pengeluaran keluarga untuk pangan dan non-pangan selanjutnya dikonversikan ke dalam pengeluaran rata-rata sebulan (BPS 1998). Pengeluaran keluarga sangat dipengaruhi oleh fenomena kenaikan harga-harga barang kebutuhan keluarga di pasaran. Hasil survei yang dilakukan BPS (2002) menyebutkan apabila harga-harga naik, maka pengeluaran keluargapun ikut meningkat. Di samping itu, terjadi pula peningkatan garis kemiskinan sebagai akibat dari peningkatan biaya yang harus dibayar keluarga golongan bawah untuk memenuhi standar minimum kebutuhan dalam hal pangan dan nonpangan. Pengeluaran perkapita perbulan keluarga peserta dan bukan peserta mempunyai persentase yang berbeda pada setiap kategori baik pangan maupun nonpangan. Alokasi pengeluaran keluarga responden dihitung berdasarkan ratarata pengeluaran perkapita perbulan yang ditetapkan oleh BPS tahun 2006 untuk daerah perkotaan yaitu Rp350 196.00. Mayoritas pengeluaran kedua keluarga responden termasuk ke dalam pengeluaran keluarga yang rendah. Jumlah keluarga peserta yang memiliki total pengeluaran yang rendah lebih banyak daripada keluarga bukan peserta dengan tingkat pengeluaran yang sama (Tabel 16). Tabel 16 Tingkat pengeluaran perkapita perbulan keluarga peserta dan bukan peserta program P2KP Jumlah Peserta P2KP Bukan Peserta Kelompok Pengeluaran (N=61) (n=30) P2KP (n=31) (Rp/kap/bln) n % n % n % 29 96.67 26 83.87 55 90.16 Rendah (≤Rp 350.196,00) Tinggi (>Rp 350.196,00) 1 3.33 5 16.13 6 9.84 Jumlah 30 100 31 100 61 100 Rata-rata 148420.50 213741.90 181616.62 Standard Deviation 76066.03 107717.07 98398.57 Uji beda t (p) (.001) Berdasarkan Tabel 16, rata-rata pengeluaran keluarga responden secara keseluruhan adalah Rp181 616.62. Rata-rata pengeluaran keluarga responden berada jauh di bawah rata-rata pengeluaran daerah perkotaan secara umum menurut BPS 2006. Hal tersebut menujukkan bahwa Gardusayang belum dapat dikatakan sebagai daerah perkotaan. Rata-rata pengeluaran keluarga peserta lebih kecil daripada rata-rata pengeluaran keluarga bukan peserta. Analisis
dengan uji beda t menunjukkan adanya perbedaan signifikan antara rata-rata pengeluaran perkapita perbulan keluarga peserta dan bukan peserta (p<0.05). Pengeluaran
yang
tinggi
pada
sebagian
kecil
keluarga
peserta
kemungkinan dikarenakan tingginya pengeluaran keluarga tersebut membeli bahan pangan untuk kelanjutan usahanya. Selain itu, besar keluarga yang termasuk
sedang
pada
keluarga
peserta
juga
mempengaruhi
alokasi
pengeluaran keluarga yang tinggi. Menurut Mangkuprawira (1985), suatu keluarga dengan jumlah anggota yang semakin banyak dengan pendapatan tertentu berarti proporsi pengeluaran akan semakin besar pula. Pengeluaran yang tinggi pada keluarga bukan peserta cenderung dikarenakan tingginya pendapatan keluarga sedangkan besar keluarga yang rata-rata
termasuk
pengeluaran
kecil
keluarga
tidak
bukan
begitu peserta.
banyak Menurut
mempengaruhi Mangkuprawira
besarnya (1985),
pendapatan keluarga banyak dipakai untuk kebutuhan konsumsi pangan dan non-pangan serta pengeluaran untuk investasi dan tabungan. Oleh karena itu, semakin tinggi pendapatan suatu keluarga maka semakin tinggi pula pengeluaran keluarga tersebut. Pengeluaran keluarga responden yang tinggi juga dapat disebabkan oleh adanya tuntutan hidup yang tinggi, gaya hidup, dan tingkat harga yang juga relatif lebih tinggi. Proporsi terbesar keluarga peserta termasuk keluarga dengan pendapatan rendah (Tabel 14) dan keluarga dengan kelompok pengeluaran kecil (Tabel 16). Hal ini menunjukkan program P2KP telah melibatkan keluarga miskin yang berpendapatan menengah dan sebagian memiliki usaha. Walaupun berdasarkan garis kemiskinan BPS tahun 2006, 60 persen keluarga peserta termasuk keluarga tidak miskin (Tabel 15). Sebagian kecil keluarga peserta yang memiliki pengeluaran tinggi disebabkan oleh keluarga tersebut memiliki usaha seperti bakso, es cendol, warung makan, dan usaha lain sehingga mereka membeli banyak bahan pangan setiap bulannya dan meningkatkan pengeluaran keluarga perbulannya. Hanya saja peserta yang mendapat bantuan lebih besar adalah peserta yang umumnya memiliki kondisi sosial ekonomi lebih baik dari peserta yang mendapat upah usaha lebih kecil.
Alokasi Pengeluaran Pangan dan Nonpangan Keluarga Berdasarkan Tabel 17, rata-rata pengeluaran pangan maupun nonpangan keluarga peserta dan bukan peserta memiliki perbedaan yang cukup besar. Sebagian besar persentase jenis-jenis pengeluaran keluarga lebih besar pada keluarga bukan peserta dibandingkan keluarga peserta. Menurut Suhardjo (1989), pendapatan sangat berpengaruh terhadap alokasi pengeluaran keluarga. Oleh
karena
itu,
semakin
tinggi
pendapatan
suatu
keluarga
terdapat
kemungkinan semakin besar pula pengeluaran keluarganya. Tabel 17 menunjukkan hanya persentase pengeluaran pangan dan kesehatan yang lebih besar pada keluarga peserta. Hal ini kemungkinan disebabkan penurunan kesehatan keluarga peserta selama pengamatan. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa keluarga bukan peserta lebih sejahtera. Menurut Mangkuprawira (2002), persentase pengeluaran pangan yang lebih tinggi
mengindikasikan
bahwa
keluarga
tersebut
lebih
rendah
tingkat
kesejahteraannya. BPS (1992) menyatakan keluarga miskin dapat dicerminkan dari besarnya pengeluaran untuk pangan yang berkisar pada angka 70 persen atau lebih. Oleh karena itu, berdasarkan persentase pengeluaran pangannya, keluarga peserta (49.09%) dan bukan peserta (41.53%) termasuk keluarga sejahtera. Tabel 17 Tingkat pengeluaran perkapita perbulan keluarga peserta dan bukan peserta program P2KP berdasarkan jenis pengeluaran Keluarga Bukan Keluarga Peserta Total Uji Peserta Jenis beda Pengeluaran Rata-rata Rata-rata Rata-rata (p) % % % (Std Dev) (Std Dev) (Std Dev) 72854.81 77541.39 Pengeluaran 75236.51 49.09 36.28 41.53 .000 (32279.34) (33825.12) pangan (32882.56) Pengeluaran 8455.56 26225.81 17486.34 5.70 12.27 9.58 .000 rokok (8057.26) (17723.12) (16391.21) Pengeluaran perumahan 23029.18 35042.74 29134.43 15.52 16.39 16.03 .526 dan (18633.43) (23465.92) (21904.64) fasilitasnya Aneka barang 9805.08 25118.31 17587.22 6.60 11.75 9.64 .001 dan jasa (11030.25) (20975.51) (18395.01) Biaya 11516.66 9105.20 10291.16 7.76 4.26 5.69 .523 kesehatan (37911.06) (21459.45) (30436.85) Biaya 5683.79 12750.91 9275.27 3.83 5.97 5.09 .512 pendidikan (10048.28) (41273.45) (30219.87) Pakaian, alas kaki, dan 6468.31 9482.99 8000.36 4.36 4.44 4.40 .745 penutup (3707.84) (7957.57) (6373.05) kepala
Jenis Pengeluaran Barang tahan lama Pajak dan asuransi Keperluan pesta dan upacara Jumlah
Keluarga Peserta
Keluarga Bukan Peserta Rata-rata % (Std Dev) 555.55 0.26 (988.90) 3183.32 1.49 (3923.75)
Total
Rata-rata (Std Dev) 77.78 (246.55) 1192.57 (1260.12)
0.05
9336.78 (5206.34)
6.29
14735.68 (9433.42)
6.89
Rata-rata (Std Dev) 320.58 (759.18) 2204.26 (3077.73) 12080.48 (8062.41)
148420.52
100
213741.90
100
181616.62
%
0.80
%
Uji beda (p)
0.17
.214
1.21
.035
6.65
.719
100
a) Pengeluaran Pangan
Berdasarkan Tabel 17 pengeluaran keluarga peserta yang paling besar adalah pengeluaran pangan yaitu sebesar Rp72 854.81 (49.09%) pada keluarga peserta dan Rp77 541.39 (36.28%) pada keluarga bukan peserta. Berdasarkan hasil Susenas Panel BPS (2005), rata-rata persentase pengeluaran keluarga untuk
pangan
penduduk
perkotaan
adalah
48.19
persen.
Persentase
pengeluaran pangan keluarga peserta dan bukan peserta menunjukkan jumlah yang tidak berbeda jauh dengan rata-rata persentase pengeluaran penduduk perkotaan di Indonesia. Menurut BPS (2002), persentase pengeluaran keluarga terbesar yaitu untuk pengeluaran pangan kemudian barang dan jasa seperti perawatan kesehatan, pendidikan, rekreasi, dan lain-lain. Besarnya proporsi pengeluaran untuk pangan menunjukkan bahwa kebutuhan akan pangan masih menempati prioritas utama pada sebagian besar keluarga, baik peserta maupun bukan peserta. Selain itu, pengeluaran total keluarga untuk konsumsi pangan yang besar tersebut mencerminkan lemahnya daya beli untuk melakukan investasi masa depan termasuk untuk pendidikan dan kesehatan. Tidak adanya pantangan terhadap jenis makanan tertentu pada seluruh keluarga responden juga merupakan hal yang mendukung besarnya jumlah pengeluaran untuk pangan. Persentase
pengeluaran
keluarga
yang
sifatnya
investasi
seperti
pendidikan dan kesehatan justru jauh lebih rendah dibandingkan persentase pengeluaran pangan keluarga responden. Oleh karena itu, hingga saat ini peningkatan kesejahteraan masyarakat mendapat hambatan dari masing-masing keluarga itu sendiri yang ditandai dengan kesulitan menurunkan pengeluaran pangan. Menurut Mangkuprawira (2002), alokasi pengeluaran untuk pangan
yang besar mengindikasikan bahwa tingkat kesejahteraan ekonomi suatu keluarga relatif masih rendah. Hal ini diperkuat juga oleh besarnya porsi pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan yang relatif masih kecil, terutama di lapisan keluarga rendah. Sejalan dengan itu, Hukum Engel menyatakan bahwa semakin tinggi pendapatan keluarga, semakin rendah proporsi pengeluaran untuk pangan. Pengeluaran pangan perbulannya yang diteliti yaitu meliputi pengeluaran padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayur-sayuran, kacangkacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, bahan minuman (gula pasir, merah, teh, kopi, coklat, sirup, susu, dan lain-lain), konsumsi lainnya (kerupuk, emping, mie, bihun, makaroni, dan lain-lain) serta makanan dan minuman jadi (roti, biskuit, kue basah, bubur, bakso, es, sirup, limun, gado-gado, nasi rames, dan lain-lain). Secara umum, pengeluaran pangan untuk padi-padian pada keluarga responden merupakan pengeluaran pangan yang paling besar dibandingkan pengeluaran untuk konsumsi pangan komoditas lainnya. Hal ini dikarenakan kebiasaan penggunaan kelompok padi-padian sebagai makanan pokok dengan kuantitas yang jauh lebih besar dibandingkan lauk-pauknya ketika dikonsumsi. Kenaikan harga-harga bahan pokok tidak begitu besar berpengaruh terhadap peningkatan pengeluaran pangan keluarga pada kelompok pangan yang mengalami peningkatan harga tersebut. Keadaan ini kemungkinan disiasati oleh keluarga dengan memperkecil kuantitas konsumsi kelompok pangan tersebut atau dengan menggantinya dengan kelompok pangan sejenis namun yang harganya masih terjangkau. Terbukti dari pengeluaran pangan yang lebih besar pada keluarga peserta dibandingkan dengan keluarga bukan peserta yang kemungkinan dikarenakan kebiasaan keluarga peserta dalam mementingkan kuantitas daripada keragaman konsumsi. Keluarga peserta memiliki kebiasaan makan dengan makanan pokok yang banyak namun lauk pauknya sedikit dengan
hanya
memikirkan
perut
kenyang.
Berdasarkan
penelitian
Mangkuprawira (2002), besarnya konsumsi pangan keluarga hanya dipengaruhi secara positif oleh faktor jumlah tanggungan dan pengeluaran total keluarga. Semakin besar jumlah tanggungan dan pengeluaran total keluarga semakin besar pula pengeluaran keluarga untuk pangan. Pengeluaran pangan yang tidak dialokasikan sama sekali oleh semua keluarga responden yaitu pengeluaran minuman yang mengandung alkohol (bir, anggur, dan minuman keras lainnya). Seluruh responden mengaku tidak pernah
mengkonsumsi minuman sejenis apalagi dengan sengaja mengalokasikan dana untuk pengeluaran minuman-minuman tersebut. Persentase pengeluaran pangan pada keluarga peserta lebih besar daripada keluarga bukan peserta. Keadaan ini sejalan dengan pendapat Mangkuprawira
(2002)
bahwa
porsi
pengeluaran
mencerminkan
tingkat
kesejahteraan suatu keluarga. Hal ini berarti besarnya persentase pengeluaran pangan keluarga peserta menunjukkan bahwa keluarga tersebut memiliki tingkat kesejahteraan yang lebih rendah. Berdasarkan analisis dengan menggunakan uji beda t, rata-rata persentase pengeluaran untuk pangan pada keluarga peserta berbeda nyata dengan rata-rata persentase pengeluaran untuk pangan pada keluarga bukan peserta (p<0.05). b) Pengeluaran Rokok Pengeluaran keluarga untuk rokok menempati posisi keempat pada alokasi pengeluaran keluarga bukan peserta (12.27%) dan posisi keenam (5.70%) pada keluarga peserta (Tabel 17). Pengeluaran ini juga lebih besar dibandingkan pengeluaran untuk pendidikan yang diperkirakan merupakan investasi penting untuk peningkatan kualitas kehidupan. Pengeluaran untuk rokok cenderung merupakan pengeluaran yang mengandung unsur pemborosan dikarenakan pengeluaran tambahan tersebut sedikit atau bahkan tidak ada manfaatnya bagi kesejahteraan keluarga. Pengeluaran ini seharusnya dihemat karena merupakan potensi untuk pemupukan modal (saving) dan bayar hutang. Keluarga peserta menyatakan bahwa dana untuk pembelian rokok tidak secara paksa dialokasikan karena masih banyak pengeluaran lain yang dirasakan lebih penting dengan keadaan dana yang pas-pasan. Apabila perhari tidak ada dana lebih, anggota keluarga yang merokok akan mengurangi atau bahkan tidak mengkonsumsi rokok. Oleh karena itu, persentase pengeluaran keluarga peserta untuk rokok lebih kecil dibandingkan keluarga bukan peserta. Namun tetap saja pengeluaran untuk rokok pada kedua keluarga lebih besar dibandingkan pengeluaran untuk pendidikan. Berdasarkan uji beda t, rata-rata persentase pengeluaran keluarga untuk keperluan rokok berbeda nyata antara keluarga peserta dengan keluarga bukan peserta (p<0.05).
c) Pengeluaran Perumahan dan Fasilitas Perumahan Pengeluaran
kedua
terbesar
pada
keluarga
responden
setelah
pengeluaran untuk pangan adalah pengeluaran perumahan dan fasilitas perumahan seperti pembayaran sewa bagi keluarga yang tinggal di rumah yang masih menyewa, rekening listrik dan telepon, pembelian gas, minyak tanah atau kayu bakar, dan pembayaran air apabila menggunakan PAM. Besar persentase pengeluarannya yaitu 15.52 persen pada keluarga peserta dan 16.39 persen pada keluarga bukan peserta (Tabel 17). Berdasarkan Susenas Panel BPS (2005), rata-rata persentase pengeluaran keluarga untuk perumahan dan fasilitas perumahan penduduk perkotaan adalah 21.47 persen. Persentase pengeluaran perumahan dan fasilitas perumahan keluarga peserta dan bukan peserta menunjukkan jumlah yang tidak berbeda jauh dengan rata-rata persentase pengeluaran penduduk perkotaan di Indonesia untuk kebutuhan yang sama. Pengeluaran untuk perumahan dan fasilitas perumahan ini juga lebih besar dibandingkan pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan. Hal ini kemungkinan dikarenakan pengeluaran untuk listrik, gas, minyak tanah atau kayu bakar merupakan pengeluaran yang pokok setiap harinya. Walaupun terdapat keluarga peserta yang tidak memasang listrik karena diperkirakan akan sulit membayar perbulannya, namun tetap saja keluarga tersebut menggunakan lampu minyak sebagai penerangan sehingga perlu mengalokasikan dana untuk membeli minyak tanah sebagai bahan bakarnya. Selain itu, untuk memasak setiap harinya keluarga juga memerlukan fasilitas-fasilitas tersebut. Penggunaan kompor gas oleh keluarga responden lebih jarang dibandingkan penggunaan kompor minyak dan tungku. Hal ini dikarenakan harga gas elpiji yang melambung naik sehingga banyak keluarga responden yang tidak sanggup membeli tabung gas. Kayu bakar yang sebelum-sebelumnya mudah didapat, kini sebagian keluarga pemakai kayu bakar harus membelinya pada tukang-tukang tertentu dikarenakan untuk mendapatkan kayu bakar sudah tidak mudah. Namun harga kayu bakar tidak terlalu mahal sehingga masih dapat dijangkau oleh keluarga yang menggunakannya. Kayu bakar tetap dipakai karena banyak keluarga responden yang masih menggunakan tungku untuk memasak baik sebagai peralatan masak utama ataupun sampingan. Oleh karena itu, permintaan akan kayu bakar tetap tinggi. Rumah sewa sebagai tempat tinggal hanya dimiliki oleh satu keluarga responden sedangkan keluarga lainnya telah memiliki tempat tinggal masing-
masing baik hasil dibangun sendiri ataupun hasil pemberian orang tua. Seluruh keluarga responden mengalokasikan dana perbulannya untuk air. Namun terdapat perbedaan dalam besar dan kecil pembayarannya. Hal ini dikarenakan banyak dari keluarga responden yang tempat tinggalnya dekat sungai atau pemandian umum yang airnya bersumber dari alam sehingga lebih sering mencuci baju dan alat-alat keluarga serta mandi di pemandian umum tersebut. Menurut Fatimah (1995), faktor yang diduga berpengaruh terhadap pengeluaran
keluarga
untuk
perumahan
dan
fasilitas
keluarga
adalah
pendapatan keluarga dan umur kepala keluarga. Semakin tinggi pendapatan dan semakin tua umur kepala keluarga maka semakin besar pengeluaran keluarga untuk perumahan dan fasilitas perumahan. Rata-rata persentase pengeluaran perumahan dan fasilitas perumahan pada
keluarga
peserta
hampir
seimbang
dengan
rata-rata
persentase
pengeluaran perumahan dan fasilitas perumahan pada keluarga bukan peserta. Berdasarkan uji beda t, rata-rata persentase pengeluaran keluarga untuk pengeluaran perumahan dan fasilitas perumahan tidak berbeda nyata antara keluarga peserta dengan keluarga bukan peserta (p>0.05). d) Pengeluaran Aneka Barang dan Jasa Berdasarkan Tabel 17, pengeluaran untuk aneka barang dan jasa (6.60%) pada keluarga peserta merupakan pengeluaran kelima sedangkan pada keluarga bukan peserta merupakan pengeluaran ketiga setelah pengeluaran untuk perumahan dan fasilitas perumahan (11.75%). Susenas Panel BPS (2005) menunjukkan bahwa rata-rata persentase pengeluaran keluarga untuk aneka barang dan jasa penduduk perkotaan adalah 18.73 persen. Persentase pengeluaran aneka barang dan jasa keluarga peserta dan bukan peserta menunjukkan perbedaan yang cukup jauh dengan rata-rata persentase pengeluaran aneka barang dan jasa penduduk perkotaan di Indonesia. Pengeluaran untuk aneka barang dan jasa meliputi perlengkapan mandi, kosmetik (kecantikan), pengangkutan, bacaan, pembuatan SIM atau KTP, rekreasi, kartu telepon, dan benda pos. Pengeluaran ini merupakan jenis kebutuhan sekunder atau bahkan tertier yang pemenuhannya memerlukan dana lebih besar apabila menginginkan memperoleh kepuasan yang tinggi. Keluarga bukan peserta lebih mudah untuk memenuhi kebutuhan ini karena pendapatan keluarga bukan peserta cenderung mendukung pengeluaran yang lebih tinggi
untuk kebutuhan sekunder dan tertier. Pendapatan yang rendah pada keluarga peserta merupakan salah satu alasan kebutuhan tersebut kurang diprioritaskan dibandingkan kebutuhan pokok seperti kebutuhan untuk makan. Persentase pengeluaran keluarga untuk aneka barang dan jasa lebih besar pada keluarga bukan peserta dibandingkan pada keluarga peserta. Hal ini menunjukkan bahwa keluarga bukan peserta lebih memperhatikan masalah pemenuhan kepuasan diri dibandingkan dengan keluarga peserta. Berdasarkan uji beda t, rata-rata persentase pengeluaran keluarga untuk aneka barang dan jasa berbeda nyata antara keluarga peserta dengan keluarga bukan peserta (p<0.05). e) Pengeluaran Kesehatan Berdasarkan Tabel 17, pengeluaran untuk biaya kesehatan menempati posisi ketiga pada keluarga peserta (7.76%) dan kedelapan pada keluarga bukan peserta (4.26%). Menurut hasil Susenas (2004) mengenai distribusi keluarga menurut pola konsumsi keluarga 2004, rata-rata persentase pengeluaran kesehatan penduduk Indonesia yaitu sebesar 4.77 persen. Persentase pengeluaran kesehatan keluarga responden tidak berbeda jauh dengan persentase pengeluaran kesehatan rata-rata penduduk Indonesia. Alokasi pengeluaran untuk kesehatan pada penelitian ini mencakup pengobatan dan pencegahan. Namun, keluarga responden lebih banyak melakukan
pengobatan
dibandingkan
pencegahan.
Pengeluaran
untuk
pengobatan penyakit yang dimaksud adalah untuk biaya berobat ke rumah sakit, puskesmas, dokter, bidan atau untuk membeli obat-obatan di warung. Pengeluaran untuk pencegahan penyakit dapat dilihat dari pengeluaran untuk cek-up kesehatan atau pembelian suplemen-suplemen multivitamin. Pengeluaran untuk pencegahan hanya dilakukan jika telah dilakukan pengobatan atau setelah responden merasa tubuhnya sakit. Tidak ada anggota keluarga yang sengaja melakukan cek-up ketika dalam keadaan sehat. Oleh karena itu, persentase pengeluaran kesehatan pada keluarga responden cenderung masih kecil. Kemungkinan lain dari rendahnya persentase pengeluaran kesehatan keluarga responden yaitu dikarenakan keluarga responden umumnya merasa sehat sehingga yakin bahwa tubuhnya tidak memerlukan perawatan dan pengobatan. Hal lain yang dapat dianalisis dari kecilnya alokasi untuk kesehatan
pada keluarga bukan peserta yaitu masih kurangnya perhatian keluarga responden terhadap kebutuhan kesehatan dalam kehidupan sehari-harinya. Banyak yang menyadari bahwa selain faktor kesehatan dan pendidikan, gizi merupakan salah satu input penting untuk menentukan kualitas sumberdaya manusia. Namun kesadaran ini tidak ditunjang dengan tindakan yang nyata dalam wujud pembangunan yang berorientasi pada perbaikan gizi untuk berbagai sasaran. Masalah rentannya individu terhadap serangan penyakit berhubungan dengan masalah gizi yang berakar dari kemiskinan. Oleh karena itu, laju masalah gizi dan kesehatan dapat dikendalikan apabila angka kemiskinan dikurangi dan keadilan semakin merata (Khomsan 2004). Pengeluaran keluarga untuk kesehatan menunjukkan perbedaan yang jauh antara keluarga peserta dengan keluarga bukan peserta. Perbedaan ini kemungkinan dikarenakan pada saat dilakukan penelitian, banyak dari anggota keluarga
peserta
yang
kesehatannya
mengalami
penurunan
sehingga
pengeluaran untuk kesehatan lebih besar daripada keluarga bukan peserta. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa tingkat kesehatan keluarga peserta lebih rentan terhadap penyakit dibandingkan keluarga bukan peserta. Keadaan tersebut dapat dikarenakan kondisi sosial ekonomi keluarga peserta yang kurang mendukung
dibandingkan
dengan
keluarga
bukan
peserta
dalam
hal
peningkatan kesehatan keluarga. Menurut Fatimah (1995), faktor yang berpengaruh terhadap pengeluaran keluarga untuk kesehatan adalah pendapatan keluarga dan umur kepala keluarga. Semakin tinggi pendapatan dan semakin tua umur kepala keluarga maka semakin besar pengeluaran keluarga untuk kesehatan. Persentase pengeluaran untuk kesehatan pada keluarga peserta lebih besar dari keluarga bukan peserta. Berdasarkan uji beda t, rata-rata persentase pengeluaran untuk kesehatan pada keluarga peserta dengan tidak berbeda nyata dengan persentase pengeluaran untuk kesehatan pada keluarga bukan peserta (p>0.05). f) Pengeluaran Pendidikan Berdasarkan Tabel 17, pengeluaran untuk biaya pendidikan menempati posisi ketujuh pada keluarga peserta (3.83%) dan keenam pada keluarga bukan peserta (5.97%). Menurut hasil Susenas (2004) mengenai distribusi keluarga menurut pola konsumsi keluarga 2004, rata-rata persentase pengeluaran pendidikan penduduk Indonesia yaitu sebesar 3.57 persen. Persentase
pengeluaran pendidikan keluarga responden tidak berbeda jauh dengan persentase pengeluaran pendidikan rata-rata penduduk Indonesia. Pengeluaran untuk pendidikan yang rendah pada keluarga responden menandakan
masih
rendahnya
kemampuan keluarga
responden
dalam
memberikan pendidikan formal maupun nonformal yang layak kepada anggota keluarganya. Hal ini kemungkinan karena semakin meningkatnya biaya pendidikan anak terutama untuk melangkah ke jenjang pendidikan yang semakin tinggi dengan keadaan perekonomian keluarga yang terbatas sehingga lebih mendesak anak untuk bekerja membantu orang tuanya dibandingkan untuk bersekolah. Menurut Puspitawati (2007), kemiskinan memberikan berbagai dampak negatif bagi keluarga selain menurunkan pendapatan. Dampak-dampak lain dari adanya kemiskinan yaitu urbanisasi, pemukiman kumuh, masalah kesehatan, masalah sosial (kriminal, kenakalan, bunuh diri, narkoba, dan lainlain), kualitas pendidikan yang rendah, dan masalah lingkungan (penebangan hutan, longsor, banjir, dan lain-lain). Menurut Sigiro A. N (2002), dikarenakan kesibukan anak bekerja dan kondisi ekonomi yang minim, sulit bagi anak dari kelompok miskin untuk beradaptasi dengan sistem sekolah formal. Bagi anak dari kelompok masyarakat miskin, sistem pendidikan sekolah tidak lagi sesuai dengan kebutuhan dan kondisi riil yang mereka hadapi sehari-hari. Berdasarkan segi kebutuhan, materi yang diajarkan sangat abstrak (yang sebetulnya dialami juga oleh anak-anak lainnya). Proyeksi pendidikan yang linier sangat sulit untuk diakses dan diadaptasi anak-anak tersebut sehingga materi pendidikan yang abstrak itu tidak dapat dielaborasi lebih lanjut di masa mendatang dan justru menjadi beban dalam proses belajar di tingkat pendidikan dasar, bahkan incompatible dengan kebutuhan-kebutuhannya sehari-hari. Analisis lain dari rendahnya persentase pengeluaran pendidikan pada keluarga responden adalah semakin banyaknya dana bantuan pendidikan bagi anak sekolah sehingga mengurangi biaya pendidikan pada sebagian keluarga responden. Bantuan-bantuan tersebut diantaranya Bantuan Operasional Sekolah (BOS), beasiswa dari program P2KP, dan lain-lain. Menurut Fatimah (1995), faktor yang berpengaruh terhadap pengeluaran keluarga untuk pendidikan adalah pendidikan kepala keluarga, besar keluarga, dan umur anak terkecil. Semakin tinggi pendidikan kepala keluarga, semakin
besar keluarga, dan semakin besar umur anak terkecil maka semakin besar pula persentase pengeluaran keluarga untuk pendidikan. Tingkat pendidikan kepala keluarga sebagai pengambil keputusan utama di dalam keluarga dapat mencerminkan seberapa besar kesadaran keluarga tersebut terhadap dunia pendidikan sebagai investasi bagi kehidupan anggota keluarganya di masa yang akan datang. Hal ini didukung oleh jumlah pendapatan keluarga yang besar sehingga terdapat kemudahan pilihan bagi anggota keluarga untuk lebih mengalokasikan pendapatannya untuk pendidikan. Selain itu, total pengeluaran keluarga dapat mengindikasikan bagaimana keluarga mengalokasikan pengeluaran bagi pendidikan anggota keluarganya. Apabila pengeluaran untuk pangan dapat dikurangi dan dapat meningkatkan alokasi pengeluaran untuk pendidikan maka diharapkan tingkat pendidikan anggota keluarga akan meningkat. Persentase pengeluaran keluarga untuk pendidikan lebih tinggi pada keluarga bukan peserta dibandingkan pada keluarga peserta. Hal ini menunjukkan bahwa kesempatan memperoleh pendidikan pada keluarga bukan peserta lebih tinggi dibandingkan keluarga peserta. Menurut hasil laporan BAPPENAS (2004), tingkat pendidikan penduduk Indonesia relatif masih rendah. Selain itu, di Indonesia masih terdapat kesenjangan tingkat pendidikan yang cukup lebar antarkelompok masyarakat seperti antara penduduk kaya dan penduduk miskin, antara penduduk laki-laki dan penduduk perempuan, antara penduduk di perkotaan dan perdesaan, dan antardaerah. Berdasarkan uji beda t, rata-rata persentase pengeluaran keluarga untuk pendidikan tidak berbeda nyata antara keluarga peserta dengan keluarga bukan peserta (p>0.05).
g) Pengeluaran Pakaian, Alas Kaki, dan Penutup Kepala Keluarga peserta mengalokasikan sebesar 4.36 persen dari total pendapatan yang diperoleh untuk memenuhi kebutuhan pakaian, alas kaki, dan penutup kepala sehingga kebutuhan ini menempati posisi kedelapan (Tabel 17). Pengeluaran untuk kebutuhan yang sama menempati posisi ketujuh pada keluarga bukan peserta dengan besar persentase yaitu 4.44 persen (Tabel 17). Hasil Susenas Panel BPS (2005) menunjukkan rata-rata persentase pengeluaran penduduk perkotaan untuk kebutuhan pakaian, alas kaki, dan penutup kepala adalah 4.56 persen. Persentase pengeluaran aneka barang dan jasa keluarga peserta dan bukan peserta menunjukkan jumlah yang hampir sama dengan rata-
rata persentase pengeluaran untuk kebutuhan pakaian, alas kaki, dan penutup kepala penduduk perkotaan di Indonesia. Pengeluaran untuk kebutuhan ini menunjukkan persentase yang tidak terlalu besar. Hal ini kemungkinan dikarenakan kebutuhan akan pakaian, alas kaki, dan penutup kepala merupakan kebutuhan yang tidak terlalu mendesak untuk dipenuhi oleh sebagian besar keluarga responden. Oleh karena itu, pemenuhan kebutuhan ini hanya dilakukan pada kesempatan-kesempatan tertentu saja. Menurut Fatimah (1995), terdapat kecenderungan bahwa pendapatan dan pendidikan kepala keluarga berpengaruh terhadap pengeluaran untuk pakaian. Semakin tinggi pendapatan dan pendidikan kepala keluarga maka diduga akan semakin meningkatkan pengeluaran keluarga untuk pakaian, alas kaki, dan penutup kepala. Persentase pengeluaran keluarga peserta untuk pakaian, alas kaki, dan penutup kepala lebih kecil daripada pengeluaran untuk barang yang sama pada keluarga bukan peserta. Berdasarkan uji beda t, rata-rata pengeluaran keluarga untuk kebutuhan pakaian, alas kaki, dan penutup kepala tidak berbeda nyata antara keluarga peserta dengan keluarga bukan peserta (p>0.05). h) Pengeluaran Barang Tahan Lama Pengeluaran keluarga yang paling kecil adalah untuk pembelian barang tahan lama yaitu Rp77.78 (0.05%) untuk peserta dan Rp555.55 (0.26%) untuk keluarga bukan peserta (Tabel 17). Hal ini kemungkinan dikarenakan pembelian barang tahan lama seperti alat rumah tangga, perkakas, alat hiburan, alat olah raga, perhiasan, kendaraan, dan perlengkapan sekunder lainnya jarang dilakukan kecuali barang-barang tersebut telah mengalami kerusakan. Susenas Panel BPS (2005) menunjukkan rata-rata persentase pengeluaran penduduk perkotaan untuk
barang
tahan lama
adalah 4.43 persen.
Persentase
pengeluaran aneka barang dan jasa keluarga peserta dan bukan peserta menunjukkan perbedaan yang cukup jauh dengan rata-rata persentase penduduk perkotaan di Indonesia untuk kebutuhan yang sama. Terdapat kemungkinan bahwa semakin banyak tanggungan keluarga akan menyebabkan semakin kecil pengeluaran keluarga untuk nonpangan. Hal tersebut disebabkan porsi pengeluaran pada keluarga lebih diprioritaskan untuk pengeluaran pangan daripada untuk nonpangan sehingga menunjukkan bahwa
keluarga tersebut relatif belum sejahtera. Hal ini sejalan dengan penelitian Mangkuprawira (2002), bahwa pengeluaran konsumsi nonpangan keluarga dipengaruhi secara positif oleh jumlah angkatan kerja dan pengeluaran total keluarga dan secara negatif oleh faktor jumlah tanggungan keluarga. Persentase pengeluaran keluarga untuk barang tahan lama lebih besar pada keluarga bukan peserta dibandingkan pada keluarga peserta namun tidak memiliki perbedaan yang jauh. Berdasarkan uji beda t, rata-rata persentase pengeluaran keluarga untuk pembelian barang tahan lama tidak berbeda nyata antara keluarga peserta dengan keluarga bukan peserta (p>0.05). i)
Pengeluaran Pajak dan Asuransi Persentase pengeluaran yang juga kecil pada keluarga responden adalah
untuk pajak dan asuransi sebesar 0.80 persen pada keluarga peserta dan sebesar 1.49 persen pada keluarga bukan peserta (Tabel 17). Berdasarkan hasil Susenas Panel BPS (2005), rata-rata persentase pengeluaran penduduk perkotaan untuk pajak
dan asuransi adalah 1.15 persen. Persentase
pengeluaran pajak dan asuransi keluarga peserta dan bukan peserta menunjukkan perbedaan yang tidak jauh dengan rata-rata persentase penduduk perkotaan di Indonesia untuk kebutuhan yang sama. Persentase pengeluaran keluarga responden untuk pajak dan asuransi yang juga kecil kemungkinan dikarenakan pengeluaran pajak bumi dan bangunan tidak terlalu besar apabila dibandingkan dengan pengeluaran untuk kebutuhan-kebutuhan lain perbulannya. Selain itu, luas tempat tinggal dan tanah yang dimiliki kebanyakan keluarga responden tidak terlalu luas, sehingga pajaknya pun tidak terlalu besar. Persentase pengeluaran keluarga untuk pajak dan asuransi pada keluarga peserta lebih kecil daripada keluarga bukan peserta. Hal ini menunjukkan bahwa kepemilikan dan penggunaan barang-barang yang kena pajak pada keluarga peserta lebih sedikit daripada barang-barang milik keluarga bukan peserta yang kena pajak. Berdasarkan uji beda t, rata-rata persentase pengeluaran pajak dan asuransi berbeda nyata antara keluarga peserta dengan bukan peserta (p<0.05).
j)
Pengeluaran Keperluan Pesta dan Upacara Keluarga bukan peserta mengalokasikan sebesar 6.89 persen dari total
pendapatan keluarganya untuk keperluan pesta dan upacara sehingga pengeluaran untuk kebutuhan tersebut merupakan kelima setelah pengeluaran untuk rokok (Tabel 17). Keluarga peserta mengalokasikan pengeluaran untuk kepentingan yang sama sebesar 6.29 persen sehingga pengeluaran untuk kebutuhan tersebut menempati posisi keempat setelah pengeluaran untuk kesehatan (Tabel 17). Susenas Panel BPS (2005) menunjukkan rata-rata persentase pengeluaran penduduk perkotaan untuk keperluan pesta dan upacara yaitu 1.48 persen. Persentase pengeluaran untuk keperluan pesta dan upacara keluarga peserta dan bukan peserta berada jauh di atas rata-rata persentase penduduk perkotaan di Indonesia untuk kebutuhan yang sama. Pengeluaran ini seperti halnya pengeluaran sekunder dan tertier lainnya, cenderung merupakan pengeluaran yang sifatnya pemuasan diri. Pengeluaran untuk pesta dan upacara dialokasikan misalnya untuk pesta-pesta tertentu dan perayaan hari besar agama. Persentase pengeluaran keluarga untuk keperluan pesta dan upacara pada keluarga peserta lebih kecil daripada keluarga bukan peserta. Hal ini menujukkan bahwa kesempatan keluarga bukan peserta untuk memenuhi keperluan pesta dan upacara lebih tinggi daripada kesempatan yang dimiliki oleh keluarga peserta. Berdasarkan uji beda t, rata-rata persentase pengeluaran keperluan pesta dan upacara tidak berbeda nyata antara keluarga peserta dengan keluarga bukan peserta (p>0.05). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pengeluaran Keluarga Variabel-variabel yang diteliti hubungannya terhadap total pengeluaran keluarga adalah karakteristik keluarga yang terdiri dari besar keluarga, umur kepala keluarga, istri dan umur anak terkecil, lama pendidikan kepala keluarga dan istri, pendapatan perkapita perbulan, dan besar bantuan yang diberikan untuk keluarga peserta. Berdasarkan uji korelasi Pearson, pengeluaran keluarga berhubungan positif dengan besar bantuan pada keluarga peserta (r=0.445*, p=0.014); lama pendidikan kepala keluarga (r=0.400**, p=0.001); dan lama pendidikan istri (r=0.418**, p=0.000). Selain itu, pengeluaran keluarga juga berhubungan positif dengan pendapatan keluarga (r=0.713*, p=0.000). Hasil uji korelasi menunjukkan besar bantuan dana P2KP berhubungan nyata dan positif dengan total pengeluaran keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa
bantuan yang diberikan pada keluarga peserta dapat meningkatkan kemampuan keluarga dalam hal pemenuhan kebutuhan hidup anggota keluarga. Hal ini dikarenakan, secara tidak langsung bantuan dana program P2KP meningkatkan total pendapatan keluarga peserta walaupun dalam jumlah yang tidak terlalu besar. Pendapatan juga merupakan salah satu variabel yang berhubungan dengan pengeluaran keluarga. Oleh karena itu, peningkatan pendapatan diharapkan akan meningkatkan pengeluaran keluarga tidak hanya dari segi pangan namun juga dari segi nonpangan. Suhardjo (1989) mengemukakan bahwa pendapatan sangat berpengaruh terhadap alokasi pengeluaran keluarga. Uji korelasi juga menunjukkan semakin lama individu mengenyam pendidikan maka semakin banyak peluang bagi individu tersebut untuk meningkatkan
alokasi
pengeluaran
keluarganya.
Tingginya
pendidikan
seseorang juga berhubungan dengan jenis pekerjaan yang dimiliki sehingga mempengaruhi banyaknya jumlah pendapatan yang diperolehnya. Menurut Guhardja S, Puspitawati H, Hartoyo & Hastuti D (2007), orang yang berpendidikan tinggi biasa diidentikkan dengan orang yang memiliki mutu sumberdaya
manusia
yang
tinggi.
Secara
umum,
orang-orang
yang
berpendidikan tinggi juga akan mendapat upah dan gaji yang relatif tinggi pula dibandingkan dengan orang yang bermutu pendidikan rendah. Hubungan Persentase Pengeluaran Keluarga dengan Tingkat Pendidikan Berdasarkan uji korelasi Pearson, terdapat hubungan positif antara lama pendidikan kepala keluarga dengan persentase pengeluaran keluarga untuk aneka barang dan jasa (p<0.05). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat kemungkinan semakin tinggi pendidikan kepala keluarga maka semakin besar persentase pengeluaran aneka barang dan jasa. Uji korelasi Pearson menunjukkan hubungan positif antara lama pendidikan istri dengan persentase pengeluaran keluarga untuk rokok serta aneka barang dan jasa (p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi pendidikan istri maka semakin tinggi pula persentase pengeluaran rokok serta aneka barang dan jasa. Namun, lama pendidikan istri berhubungan negatif dengan persentase pengeluaran untuk pangan (p<0.05). Menurut Guhardja S, Puspitawati H, Hartoyo & Hastuti D (2007), orang yang berpendidikan tinggi biasa diidentikkan dengan orang yang memiliki mutu sumberdaya manusia yang tinggi dan
pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan orang yang berpendidikan rendah. Oleh karena itu, semakin tinggi pendidikan seseorang cenderung semakin meningkatkan kesejahteraan keluarga yang salah satunya ditunjukkan dengan semakin menurunnya persentase pengeluaran pangan keluarga. Hubungan Persentase Pengeluaran dengan Total Pengeluaran Keluarga Berdasarkan uji korelasi Pearson, terdapat hubungan positif antara total pengeluaran dengan persentase pengeluaran aneka barang dan jasa, biaya pendidikan serta persentase pengeluaran pajak dan asuransi (p<0.05). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi total pengeluaran keluarga maka semakin tinggi pula persentase aneka barang dan jasa, biaya pendidikan serta persentase pengeluaran
pajak
dan
asuransi.
Namun,
total
pengeluaran
keluarga
berhubungan negatif dengan persentase pengeluaran pangan (p<0.05). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi total pengeluaran keluarga maka semakin rendah persentase pengeluaran pangan keluarga. Oleh karena itu, semakin tinggi total pengeluaran keluarga maka semakin tinggi persentase pengeluaran untuk nonpangan dibandingkan pangan dan semakin tinggi tingkat kesejahteraan keluarga. Sejalan dengan pendapat Mangkuprawira (2002) bahwa semakin rendah porsi pengeluaran total keluarga untuk kebutuhan pangan maka keluarga tersebut termasuk golongan semakin sejahtera. Hubungan Persentase Pengeluaran dengan Pendapatan Berdasarkan uji korelasi Pearson, terdapat hubungan positif antara pendapatan keluarga dengan persentase pengeluaran untuk rokok, aneka barang dan jasa, barang tahan lama, serta
pajak dan asuransi (p<0.05).
Berdasarkan BPS (1999), diacu dalam Roswita (2005), seiring dengan peningkatan pendapatan maka akan terjadi pergearan yaitu penurunan porsi pendapatan yang dibelanjakan untuk pangan, sementara itu pendapatan yang dibelanjakan untuk kebutuhan nonpangan semakin meningkat. Berdasarkan uji korelasi Pearson, terdapat hubungan negatif antara pendapatan
dengan persentase pengeluaran
pangan (p<0.05).
Hal
ini
menunjukkan bahwa keluarga yang berpenghasilan lebih rendah akan menggunakan sebagian besar pendapatannya untuk pangan sebagai kebutuhan pokok. Hubungan tersebut juga menunjukkan bahwa semakin tinggi pendapatan keluarga maka semakin tinggi tingkat kesejahteraannya.
Pembahasan Umum Program P2KP merupakan program yang memiliki tujuan memperbaiki prasarana dasar lingkungan masyarakat; mengenalkan dan membangun upaya peningkatan pendapatan secara mandiri dan berkelanjutan untuk masyarakat miskin;
serta
terciptanya
organisasi
masyarakat
yang
memiliki
pola
kepemimpinan kolektif yang representatif, dapat diterima, inklusif, dan akuntabel. P2KP fokus di bidang ekonomi, sosial, dan lingkungan dengan bidang yang lebih difokuskan yaitu ekonomi (Rohani 2007). P2KP memberikan dampak kepada keluarga peserta maupun keluarga bukan peserta baik dampak positif maupun negatif. Salah satu dampak positifnya yaitu perbaikan sarana dan prasarana penunjang
ekonomi.
Dampak
tersebut
semakin
memudahkan
keluarga
responden dalam memperlancar akses perekonomian. Bagi keluarga peserta, bantuan dana dari program P2KP dapat meningkatkan pendapatan keluarga baik sebagai
pendapatan
untuk
memenuhi
kebutuhan
sehari-hari,
untuk
pengembangan usaha ataupun sebagai tabungan. Berdasarkan korelasi Pearson, pendapatan suatu keluarga berhubungan dengan pengeluarannya (p<0.05) (Lampiran 3). Apabila pendapatan meningkat maka pengeluaran keluarga pun meningkat. Menurut Suhardjo (1989), pendapatan suatu keluarga sangat berpengaruh terhadap alokasi pengeluaran keluarga. Berdasarkan korelasi Pearson, bantuan dana program P2KP berhubungan nyata dan positif dengan pendapatan dan pengeluaran keluarga peserta (p<0.05) (Lampiran 4). Dampak positif lainnya yaitu memberikan kesempatan bagi keluarga peserta untuk menyimpan uang dalam skala kecil di masing-masing rumah. Hasil penelitian Solihin (2005) di Kota Depok, manfaat program P2KP di bidang ekonomi yaitu penambahan modal, pendapatan, aset produktif berupa peralatan rumah tangga pendukung aktifitas usaha ekonomi keluarga peserta, dan kemampuan menyisihkan sebagian laba hasil usaha untuk ditabung. Salah satu dampak negatif program P2KP yaitu adanya ketergantungan keluarga peserta terhadap kesempatan memperoleh bantuan dana untuk menambah penghasilan keluarga tersebut. Namun, dampak tersebut dapat diminimalisir dengan adanya pendampingan dan sosialisasi dari pihak fasilitator mengenai kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan sebagai upaya peningkatan pendapatan keluarga dalam bentuk kemandirian, seperti sosialisasi pembuatan kerajinan sederhana, cara-cara peningkatan usaha, dan lain-lain.
Pendapatan dan pengeluaran keluarga selain berhubungan dengan bantuan dana dari program P2KP pada keluarga peserta, juga berhubungan positif dengan tingkat pendidikan kepala keluarga dan istri keluarga responden (p<0.05) (Lampiran 3). Secara umum, tingkat pendidikan kepala keluarga dan istri keluarga bukan peserta lebih tinggi daripada keluarga peserta. Oleh karena itu, total pendapatan dan pengeluaran keluarga bukan peserta cenderung lebih besar dibandingkan keluarga peserta. Berdasarkan uji beda t, terdapat perbedaan nyata antara rata-rata pendapatan dan pengeluaran keluarga peserta dengan bukan peserta (p<0.05) (Lampiran 1). Tingkat pendidikan istri, total pendapatan, dan pengeluaran berhubungan negatif dengan persentase pengeluaran pangan. Artinya, semakin tinggi tingkat pendidikan istri, total pendapatan, dan pengeluaran maka semakin rendah persentase pengeluaran pangan keluarga. Semakin tinggi tingkat pendidikan istri, persentase pengeluaran rokok serta aneka barang dan jasa semakin tinggi. Selain itu, seiring dengan peningkatan pendapatan, persentase pengeluaran rokok, aneka barang dan jasa, barang tahan lama serta pajak dan asuransi juga semakin tinggi. Hal ini menunjukkan, belum tentu semakin tinggi tingkat pendidikan istri keluarga responden, semakin baik pula pengertian keluarga terhadap kurang pentingnya rokok. Sebaliknya, tingkat pendidikan istri dan total pendapatan yang semakin meningkat justru semakin meningkatkan pengeluaran yang bersifat pemuasan diri atau pengeluaran berupa pemborosan. Berdasarkan keadaan tersebut, perlu penelahaan lebih lanjut mengenai pola pengeluaran keluarga yang cenderung kurang baik karena lebih mementingkan
pengeluaran
yang
sifatnya
pemborosan
dibandingkan
pengeluaran berupa investasi seperti pendidikan dan kesehatan. Selain itu, perlu menambah program-program kemiskinan yang fokus terhadap peningkatan pendidikan dan kesehatan keluarga peserta. Hal ini dilakukan agar terjadi perbaikan kualitas sumberdaya manusia di masa datang melalui upaya peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia.
KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN Salah satu hal yang menjadi penyebab suatu keluarga dijadikan sebagai peserta program P2KP adalah keadaan sosial ekonomi keluarga. Rata-rata besar keluarga; umur kepala keluarga, istri, dan anak terkecil; tingkat pendidikan kepala keluarga dan istri; pendapatan; serta pengeluaran pada keluarga peserta berbeda dengan keluarga bukan peserta. Keluarga peserta memiliki rata-rata tingkat
pendidikan,
pendapatan,
dan
pengeluaran
yang
lebih
rendah
dibandingkan dengan keluarga bukan peserta. Namun, rata-rata umur kepala keluarga, istri, dan anak terkecil serta besar keluarga peserta lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga bukan peserta. Program P2KP merupakan program kemiskinan yang fokus pada tiga hal pembangunan yaitu pembangunan ekonomi, fisik, dan sosial. Bentuk bantuan dana dari program P2KP adalah bantuan modal usaha (Rp300 000.00-Rp500 000.00), upah kerja (Rp160 000.00-180 000.00/bulan), dan bantuan sosial berupa beasiswa (Rp10 000.00/bulan), tunjangan untuk jompo (Rp11 600.00Rp12 500.00/bulan), dan pembangunan rumah. Bantuan modal merupakan jenis bantuan yang paling banyak didapatkan keluarga peserta dengan rata-rata jumlah dana yang paling besar dan kontribusi paling besar terhadap pendapatan dibandingkan bentuk modal lainnya. Bantuan dana yang diberikan kepada keluarga peserta dapat membantu peningkatan pendapatan keluarga dan pada akhirnya membantu peningkatan pengeluaran keluarga. Mayoritas
pengeluaran
keluarga
responden
termasuk
ke
dalam
pengeluaran tingkat rendah. Rata-rata pengeluaran keluarga responden adalah Rp181 616.62. Rata-rata pengeluaran keluarga peserta lebih kecil daripada ratarata pengeluaran keluarga bukan peserta. Persentase pengeluaran pangan dan kesehatan terhadap total pengeluaran keluarga peserta lebih tinggi dibandingkan dengan persentase pengeluaran keluarga bukan peserta untuk kebutuhan yang sama. Namun persentase pengeluaran lainnya lebih rendah pada keluarga peserta dibandingkan keluarga bukan peserta. Pengeluaran pangan pada keluarga responden merupakan pengeluaran yang paling tinggi sedangkan pengeluaran terkecil pada keluarga responden yaitu pengeluaran barang tahan lama.
Peningkatan alokasi pengeluaran keluarga selain berhubungan dengan bantuan dana pada keluarga peserta serta tingkat pendidikan kepala keluarga dan istri. Hal ini menunjukkan bahwa keluarga dengan tingkat pendidikan kepala keluarga dan istri yang lebih tinggi cenderung akan memiliki pengeluaran keluarga yang lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga yang tingkat pendidikan kepala keluarga dan istrinya lebih rendah. Pengeluaran keluarga juga akan semakin meningkat apabila terjadi peningkatan pendapatan pada keluarga tersebut. Oleh karena itu, keluarga yang berpendapatan lebih tinggi cenderung akan memiliki pengeluaran yang lebih tinggi pula.
SARAN Pemberantasan pemenuhan
kebutuhan
kemiskinan pokok
seharusnya
namun
tidak
diusahakan
hanya melalui
dilihat
dari
peningkatan
produktivitas kerja dan mendorong aktivitas padat kerja. Sebagai contoh, program kemiskinan yang bersifat pemberdayaan tidak sekedar pemberian bantuan sosial yang justru membuat masyarakat miskin ketergantungan terhadap modal yang diberikan. Selain itu, sebaiknya pemerintah menambah program kemiskinan yang sifatnya membangun kualitas sumberdaya manusia melalui peningkatan bentuk investasi manusia, seperti menambah program pemberian beasiswa kepada anak sekolah dan program untuk menunjang kesehatan masyarakat. Perlu dicari cara untuk mengurangi pengeluaran keluarga yang sifatnya pemborosan seperti pengeluaran rokok yang tinggi. Hal tersebut dilakukan agar pengeluaran keluarga lebih diprioritaskan untuk kebutuhan yang penting berupa investasi seperti pendidikan anak. Sebagai contoh, menambah kebijakan mengenai penyempitan ruangan bebas merokok dengan mencegah perokok untuk merokok di tempat-tempat tertentu yang khusus disediakan untuk merokok. Oleh karena itu, pengeluaran rokok dapat dibatasi dengan cara mempersempit kemungkinan merokok.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2006. Penyaluran dana bergulir http://pu.go.id. [14 Desember 2007].
P2KP.
[terhubung
berkala].
[BAPPENAS]. Badan Pendapatan Nasional. 2004. Peningkatan akses masyarakat terhadap pendidikan yang lebih berkualitas. [terhubung berkala]. http://bappenas.go.id. [22 April 2008]. [BKKBN]. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 1996. Opini pembangunan keluarga sejahtera. [terhubung berkala]. http://bkkbn.go.id. [09 Juli 2008]. [BPS]. Badan Pusat Statistik. 1998. Statistik Kesejahteraan Rakyat. Jakarta: BPS. 1999. Statistik Kesejahteraan Rakyat ”Survei Sosial Ekonomi Nasional”. Jakarta: BPS. 2002. Indikator Kesejahteraan Rakyat. Jakarta: BPS. 2005. Pengeluaran untuk Konsumsi Penduduk Indonesia berdasarkan Hasil Susenas Panel Februari 2005. Jakarta: BPS. 2006. Statistik Indonesia “Statistical Yearbook of Indonesia 2005/2006”. Jakarta: BPS. 2007. Berita Resmi Statistik No. 38/07/Th. X, 2 Juli 2007 “Tingkat Kemiskinan di Indonesia Tahun 2007”. [terhubung berkala]. http://bps.go.id. [09 Juli 2008]. [BPS]. Biro Pusat Statistik. 1992. Bahan-Bahan Penyusunan Indikator Kesehatan Masyarakat. Jakarta: PT Swaka Manunggal. Cahyaningsih N. 1999. Persepsi remaja terhadap gaya pengasuhan orang tua dan hubungannya dengan kenakalan remaja SMU di Jakarta Pusat [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Damanhuri D. S. 2000. Paradoks pembangunan ekonomi indonesia dan perspektif pemberdayaan ekonomi rakyat di sektor pertanian dan perikanan (visi serta arah kebijakan reformasi dan restrukturisasi ekonomi Indonesia). Disampaikan dalam Orasi Ilmiah Guru Besar Ilmu Ekonomi Pembangunan, Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Fatimah E. 1995. Beberapa faktor yang mempengaruhi alokasi pengeluaran dan tingkat konsumsi pangan keluarga (studi kasus di Kelurahan Tanah Sareal, Bogor) [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Gerungan W. A. 1991. Psikologi Sosial. PT Eresco, Bandung.
Guhardja, S., H. Puspitawati, Hartoyo & D. Hastuti. 1992. Manajemen Sumberdaya Keluarga. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Gunarsa S. D & S. Y. Gunarsa. 1995. Psikologi Praktis : Anak, Remaja, dan Keluarga. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hurlock E. B. 1993. Perkembangan Anak. Edisi 6 jilid 2. M. Tjandrasa, penerjemah; Jakarta Erlangga. Terjemahan dari: Child Development. Irawan P.B. 2000. Analisis Sensitivitas pada Pengukuran Kemiskinan “Fenomena Kemiskinan Sementara selama Krisis Ekonomi di Indonesia”. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi. Jakarta: LIPI. Ivone
O. I. 2003. Tingkat partisipasi masyarakat dalam Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Khomsan A. 2004. Peranan Pangan dan Gizi untuk Kualitas Hidup. Jakarta: PT Grasindo Anggota Ikapi. [KMW-SWK] Konsultan Manajemen Wilayah Satuan Wilayah Kerja IV P2KP. 2003. Buku Saku P2KP untuk Warga. Bandung: KMW-SWK. Mangkuprawira S. 1985. Alokasi waktu dan kontribusi kerja anggota keluarga dalam kegiatan ekonomi rumah tangga (studi kasus di dua tipe Desa di Kabupaten Sukabumi di Jawa Barat) [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 2002. Analisis pendapatan dan pengeluaran keluarga di daerah industry tenun perdesaaan. Media Gizi dan Keluarga, 26 (2), 7283. Mubagio. 1994. Kehidupan Kesejahteraan Rumah Tangga di Masyarakat Nelayan di DKI Jakarta. Bogor: Departemen Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Muljono P. 2006. Evaluasi program pengentasan kemiskinan di Indonesia. Karya Imiah. Bogor: Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Novita C. M. Dwiriani, M. R. M. Damanik. 2000. Pendapatan dan konsumsi pangan peserta dan bukan peserta program PDM-DKE di Kotamadya Bogor, Jawa Barat tahun anggaran 1998/1999. Media Gizi dan Keluarga. XXIV (2): 69-78. Pramudya S. M. 1991. Distribusi konsumsi pangan dalam rumah tangga dan faktor-faktor yang mempengaruhinya (kasus di Desa Panumbangan, Kecamatan Jampang Tengah, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat) [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Priyarsono H., Sumarno, Pulgono, Donny C. L. 2002. Kebijakan desentralisasi, mobilitas penduduk, dan kesenjangan antar wilayah (analisis ekonomidemografi multiregional). Laporan Akhir Hasil Penelitian Hibah Bersaing Perguruan Tinggi. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Puspitawati H. 2007. Ekologi Keluarga. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Rahadi R. A., A. Sugandhi., I. Afani., Aswin & I. Kifli. 2005. Pedoman Khusus Extention P2KP-1. Jakarta: PMU. Raines M. 1964. Managing Living Time. Illnois: Chas A Bennett Co, Inc. Rambe A. 2004. Alokasi pengeluaran rumah tangga dan tingkat kesejahteraan (kasus di Kecamatan Medan Kota, Sumatera Utara) [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Rohani. 2007. 50 Persen Program P2KP fokus pada pembangunan ekonomi. [terhubung berkala]. http://p2kp.org/wartadetil.asp. [14 Desember 2007]. Roswita R. 2005. Alokasi pengeluaran rumah tangga untuk pendidikan dan kaitannya dengan prestasi belajar anak pada keluarga nelayan di Kabupaten Indramayu [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Rustama A. 2004. Penguatan kelompok swadaya masyarakat (ksm) – ekonomi P2KP berbasis komunitas untuk pengembangan aktifitas ekonomi keluarga miskin (studi kasus komunitas Perkotaan Desa Pasir Jambu Kecamatan Sukaraja Kabupaten Bogor) [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Salim E. 1984. Perencanaan Pembangunan dan Pemerataan Pendapatan. Jakarta: Intidayu Press. Sajogyo. 1996. Memahami dan Menanggulangi Kemiskinan di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Sigiro A. N. 2002. Pendidikan nonformal: mencari jawaban terhadap kebutuhan pendidikan masa depan. [terhubung berkala]. http://mediaindonesia.go.id. [22 April 2008]. Solihin. 2005. Evaluasi proyek penanggulangan kemiskinan di perkotaan (P2KP) dalam rangka pemberdayaan masyarakat Kelurahan Abadijaya, Kecamatan Sukmajaya, Kota Depok, Propinsi Jawa Barat. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Bogor: Pusat Antara Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Surbakti P. 2005. Penanggulangan kemiskinan melalui program pemberdayaan komunitas adat terpencil (studi kasus di Desa Simerpara Kecamatan Salak, Kabupaten Pakpak Bharat, Propinsi Sumatera Utara) [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Suyono H. 2003. Ekonomi Keluarga Pilar Utama Keluarga Sejahtera. Jakarta: Damandiri. Walpole. 1993. Pengantar Statistika. Jakarta: Gramedia. Yayasan Aspirasi Pemuda. 1999. Bunda dan Rumah Tangga. Jakarta: Yayasan Aspirasi Pemuda.
LAMPIRAN
KUESIONER PENELITIAN ANALISIS ALOKASI PENGELUARAN KELUARGA PESERTA DAN BUKAN
PESERTA
PROYEK
PENGENTASAN
KEMISKINAN
PERKOTAAN (KASUS DI DESA GARDUSAYANG, KABUPATEN SUBANG) (Devi Pratiwi Sulaeman / A54104013) Responden
:
Alamat rumah
:
RT................... Desa/Kel..............................................
No
I. IDENTITAS KELUARGA Nama Status dalam L/P keluarga
Umur
RW................... Kec................................
Pendidikan
Pekerjaan Utama
II. SOSIAL EKONOMI* No Pernyataan 1 Lantai tidak dari tanah 2 Setiap anggota keluarga makan ≥2 kali/hari 3 Bila anak sakit dibawa berobat/diberi obat modern 4 Setiap anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk kerja/bepergian/sekolah 5 Setiap anggota keluarga makan pangan hewani 3 kali/mg 6 Ada anggota keluarga yang umur >15 tahun berpenghasilan tetap 7 Semua anggota keluarga sehat sebulan terakhir 8 Anak hidup ≥2 orang/ jika lebih dari 2 orang PUS pakai kontrasepsi 9 Seluruh anggota keluarga ≥10 tahun bisa baca tulis latin 10 Lantai rumah ≥8 m3/penghuni 11 Setiap anggota keluarga memiliki satu pasang pakaian baru untuk satu tahun terakhir 12 Semua anak berusia 6-12 tahun bersekolah 13 Bayi dapat diberi susu/makanan formula 14 Berapa kali keluarga membeli pangan pokok selama dua minggu terakhir? (jumlah) * Y = Ya T = Tidak
Sampingan
Y/T
III. PENDAPATAN No
Status dalam Keluarga
Harian
Pendapatan (Rp) Pendapatan Tetap Bulanan Tahunan
IV. PENGELUARAN KELUARGA A. Pangan Jenis Pangan 1. Padi-padian (beras, jagung, terigu, tepung beras, tepung jagung, dan lain-lain) 2. Umbi-umbian (ketela pohon, rambat, kentang, gaplek, talas, sagu, dan lain-lain) 3. Ikan (ikan segar, ikan diawetkan/asin, udang, dan lainlain) 4. Daging (daging sapi/kerbau/ kambing/domba/ babi/ayam, jeroan, hati, limpa, abon, dendeng, dan lainlain) 5. Telur dan susu (telur ayam/itik/puyuh, susu segar, susu kental, susu bubuk, dan lain-lain) 6. Sayur-sayuran (bayam, kangkung, ketimun, wortel, kacang panjang, buncis, bawang, cabe, tomat, dan lainlain) 7. Kacang-kacangan (kacang tanah/hijau/kedelai/merah/ tunggak/mete, tahu, tempe, oncom, dan lain-lain) 8. Buah-buahan (jeruk, mangga, apel, durian, rambutan, salak, duku, nanas, semangka, pisang, pepaya, dan lain-lain) 9. Minyak dan lemak (minyak kelapa/goreng, kelapa, mentega, dan lain-lain) 10. Bahan minuman (gula pasir, merah, teh, kopi, coklat, sirup, susu, dan lain-lain) 11. Bumbu-bumbuan (garam, kemiri, ketumbar, merica, terasi, kecap, vetsin, dan lain-lain) 12. Konsumsi lainnya (kerupuk, emping, mie, bihun, makaroni, dan lain-lain) 13. Makanan dan minuman jadi (roti, biskuit, kue basah, bubur, bakso, es, sirup, limun, gado-gado, nasi rames, dan lain-lain) 14. Minuman mengandung alkohol (bir, anggur, dan minuman keras lainnya) 15. Tembakau dan sirih (rokok kretek, rokok putih, cerutu, tembakau, sirih, pinang, dan lain-lain) Total Pengeluaran Sumber : Survei Sosial Ekonomi Nasional (BPS 1999)
Harian (Rp)
Bantuan P2KP
Jenis Pemanfaatan atau Usaha
Mingguan (Rp)
Bulanan Lainnya (Rp) (Rp)
No 1.
2.
3.
4.
5.
6.
B. Non Pangan Jenis Pengeluaran Perumahan dan fasilitas rumah tangga 1. Sewa 2. Perkiraan sewa rumah sendiri 3. Rekening listrik, telepon, dan Handphone 4. Gas 5. Minyak tanah 6. Air 7. Kayu 8. Lain-lain...... Aneka barang dan jasa 1. Sabun mandi 2. Kecantikan 3. Pengangkutan 4. Bacaan 5. Pembuatan SIM/KTP 6. Rekreasi 7. Kartu telepon 8. Benda pos 9. Lain-lain...... Biaya kesehatan 1. Rumah sakit 2. Puskesmas 3. Dokter praktek 4. Dukun 5. Obat-obatan 6. Lain-lain...... Biaya pendidikan 1. Buku 2. Alat tulis 3. Uang pangkal/daftar ulang 4. SPP/POMG 5. Pramuka 6. Prakarya 7. Lain-lain...... Pakaian, alas kaki, dan penutup kepala 1. Bahan pakian 2. Pakaian jadi 3. Sepatu 4. Topi 5. Sabun cuci 6. Lain-lain...... Barang tahan lama 1. Alat rumah tangga 2. Perkakas 3. Alat dapur 4. Alat hiburan
Harian (Rp)
Mingguan (Rp)
Bulanan (Rp)
Lainnya (Rp)
No
Jenis Pengeluaran
Harian (Rp)
Mingguan (Rp)
Bulanan (Rp)
5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 7.
8.
Alat olah raga Perhiasan mahal/imitasi Kendaraan Payung Arloji Kamera Pasang telepon Pasang listrik 13. Lain-lain...... Pajak dan asuransi 1. PBB 2. Iuran TV 3. Pajak kendaraan 4. Asuransi kesehatan/kecelakaan Keperluan pesta dan upacara 1. Perkawinan 2. Khitanan 3. Ultah 4. Perayaan hari agama 5. Upacara adat 6. Lain-lain......
Sumber : Survei Sosial Ekonomi Nasional (BPS 1999)
V. PROGRAM P2KP 1. Apakah Anda mengetahui tentang program P2KP? a. Tidak mengetahui
c. Mengetahui
b. Kurang mengetahui 2. *Dari mana Anda mendapatkan informasi mengenai P2KP? a. Petugas kelurahan b. Publikasi tentang P2KP (pamflet, brosur, selebaran, pengumuman) c. Teman/tetangga d. Fasilitator kelurahan/penyuluh e. Lainnya, sebutkan 3. Apakah Anda menerima dana P2KP? a. Ya (lanjut ke no. 4)
b. Tidak (langsung ke no. 13)
4. Bentuk dana apa yang Anda diterima? a. Santunan sosial b. Beasiswa 5. Berapa besar dana yang Anda terima?
c. Upah kerja
Lainnya (Rp)
6. Apakah Anda mengalami kesulitan untuk mendapatkan dana P2KP? a. Sulit
c. Tidak sulit
b. Biasa-biasa saja 7. *Untuk apa sajakah dana P2KP yang Anda dapatkan? a. Pengembangan usaha
d. Biaya hidup sehari-hari
b. Modal usaha
e. Lain-lain, sebutkan
c. Tabungan 8. Apakah dana yang didapatkan dari P2KP cukup untuk modal usaha? a. Tidak cukup
c. Cukup
b. Kurang cukup 9. Keuntungan yang diperoleh perhari? 10. *Apakah ada pertambahan aset produktif setelah mengikuti P2KP? a. Ya, sebutkan [ ]
Kendaraan (motor, mobil, becak, sepeda, truk, dan lain-lain)
[ ]
Tanah (sawah, tegalan, kebun)
[ ]
Ternak (ayam, itik, kambing, sapi, kerbau)
[ ]
Bangunan
[ ]
Alat rumah tangga (kulkas, TV, radio, mebel, kompor, dan lainlain)
[ ]
Lainnya, sebutkan
b. Tidak 11. Apakah Anda mempunyai tabungan sebelum mengikuti program P2KP? a. Ya
b. Tidak
12. Apakah Anda mempunyai tabungan setelah mengikuti program P2KP? a. Ya
b. Tidak
13. Apakah menurut Anda dana pemberian P2KP bermanfaat bagi masyarakat miskin? a. Tidak bermanfaat
c. Bermanfaat
b. Kurang bermanfaat Faktor Internal Peserta Program P2KP 14. Apakah Anda selalu berusaha untuk mencari informasi yang berkaitan dengan pengembangan usaha? a. Tidak pernah b. Kadang-kadang
c. Selalu
15. Apakah Anda selalu berusaha meningkatkan usaha yang sedang dikerjakan? a. Tidak pernah
c. Selalu
b. Kadang-kadang 16. Apakah Anda yakin usaha yang sedang dikerjakan akan berhasil apabila melihat kondisi sekarang? a. Tidak yakin
c. Yakin berhasil
b. Kurang yakin 17. Apakah Anda selalu melakukan rencana dalam melakukan usaha atau pengembangan usaha? a. Tidak pernah
c. Selalu
b. Kadang-kadang 18. Apakah Anda senang bekerja dengan modal, tenaga, dan usaha sendiri? a. Lebih senang ikut orang lain b. Senang jika ada bantuan walaupun masih dengan usaha sendiri c. Lebih senang dengan modal, tenaga, dan usaha sendiri Faktor Eksternal Peserta Program P2KP 19. Bagaimanakah kemudahan informasi mengenai program P2KP, jika sewaktuwaktu Anda diperlukan? a. Sulit, karena sumber informasi tersebut tidak dapat dijangkau (jauh dan sulit diakses) b. Biasa-biasa saja, karena sumber informasi tersebut kurang dapat dijangkau c. Mudah diperoleh, karena sumber informasi tersebut dapat dijangkau 20. Sumber informasi dari mana yang Anda cari ketika mempunyai masalah yang berkaitan dengan usaha yang dijalankan atau dana pemberian program P2KP? a. BKM (Badan Keswadayaan Masyarakat) P2KP b. Fasilitator Kelurahan (FASKEL/penyuluh) c. Tokoh masyarakat d. Sesama teman usaha e. Lainnya, sebutkan 21. Apakah sumber informasi mengenai P2KP selalu memberikan informasi secara lengkap? a. Tidak selalu b. Kadang-kadang
c. Selalu
22. Apakah program P2KP selalu menyediakan kredit yang Anda perlukan dalam mengembangkan usaha? a. Tidak selalu b. Kadang-kadang c. Selalu 23. Bagaimana pelayanan yang diberikan P2KP saat mengajukan kredit modal usaha? a. Pelayanan sama sekali tidak menyenangkan dan menjengkelkan b. Pelayanan kurang menyenangkan c. Pelayanan menyenangkan 24. Bagaimana keaktifan P2KP dalam memberikan pelayanan kredit bergulir? a. Tidak aktif memberikan pelayanan dan tidak dapat memenuhi kebutuhan anggota KSM b. Kurang aktif memberikan pelayanan, hanya dapat memenuhi kebutuhan anggota KSM c. Aktif memberikan pelayanan dan dapat memenuhi kebutuhan anggota KSM 25. Syarat apakah yang paling mudah untuk dipenuhi saat mengajukan kredit usaha? 26. Syarat apakah yang paling sulit untuk dipenuhi saat mengajukan kredit usaha? 27. Apa saran bagi pemerintah atau pemberi modal mengenai program-program kemiskinan? Keterangan : * Pilihan boleh lebih dari satu
UJI BEDA T Lampiran 1 Perbedaan karakteristik sosial ekonomi keluarga antara keluarga peserta dan bukan peserta program P2KP umur kepala keluarga
Status peserta atau bukan Peserta peserta program P2KP bukan peserta program P2KP
N
Mean
Std. Deviation
30
50.53
14.982
31
45.90
10.345
peserta program P2KP
30
44.57
14.122
bukan peserta program P2KP
31
39.97
10.381
peserta program P2KP
30
7.13
2.374
bukan peserta program P2KP
31
10.29
3.408
peserta program P2KP bukan peserta program P2KP
30
6.87
2.374
31
9.87
3.888
peserta program P2KP bukan peserta program P2KP
30
170527.78
96149.151
31
355496.16
261614.762
peserta program P2KP bukan peserta program P2KP
30
148420.50
76066.033
31
213741.90
107717.070
besar keluarga responden
peserta program P2KP bukan peserta program P2KP
30
4.97
1.629
31
4.55
1.150
Umur anak terkecil
peserta program P2KP
30
15.60
12.727
bukan peserta program P2KP
31
8.84
8.315
umur istri
lama pendidikan kepala keluarga lama pendidikan istri total pendapatan keluarga
total pengeluaran
Sig. (2-tailed) .164
.152
.000
.001 .001 .008 .250
.017
Lampiran 2 Perbedaan persentase pengeluaran keluarga peserta dan bukan peserta program P2KP Status peserta atau bukan Peserta peserta program P2KP
N
Mean
Std. Deviation
30 31 30
51.93 38.58 5.94
13.361 9.803 4.272
31
13.03
6.668
peserta program P2KP
30
14.78
8.499
bkn peserta program P2KP
31
15.94
5.531
peserta program P2KP bkn peserta program P2KP peserta program P2KP bkn peserta program P2KP peserta program P2KP bkn peserta program P2KP peserta program P2KP bkn peserta program P2KP
30 31 30 31 30 31 30
6.15 10.61 5.38 3.59 3.46 4.67 4.66
4.077 5.346 13.961 6.570 4.276 9.077 2.038
31
4.84
3.285
persentase pengeluaran pajak dan asuransi
peserta program P2KP bkn peserta program P2KP peserta program P2KP bkn peserta program P2KP
persentase pengeluaran keperluan pesta dan upacara
peserta program P2KP bkn peserta program P2KP
30 31 30 31 30 31
.10 .23 .76 1.34 6.86 7.16
.381 .419 .600 1.342 3.327 3.193
persentase pengeluaran pangan persentase pengeluaran rokok persentase pengeluaran perumahan dan fasilitas perumahan persentase pengeluaran aneka barang dan jasa persentase pengeluaran biaya kesehatan persentase pengeluaran biaya pendidikan persentase pengeluaran pakaian, alas kaki, dan penutup kepala persentase pengeluaran barang tahan lama
bkn peserta program P2KP peserta program P2KP bkn peserta program P2KP
Sig. (2-tailed) .000 .000
.526 .001 .523 .512 .795 .214 .035 .719
Korelasi Pearson Lampiran 3 Hubungan antar variabel sosial ekonomi keluarga (N=61) umur kepala keluarga umur kepala keluarga
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) umur istri Pearson Correlation .939(**) Sig. (2-tailed) .000 lama pendidikan Pearson Correlation -.270(*) kepala keluarga Sig. (2-tailed) .036 lama pendidikan istri Pearson Correlation -.213 Sig. (2-tailed) .100 total pendapatan Pearson Correlation .094 keluarga Sig. (2-tailed) .472 total pengeluaran Pearson Correlation .050 Sig. (2-tailed) .700 besar keluarga Pearson Correlation .118 responden Sig. (2-tailed) .363 umur anak terkecil Pearson Correlation .259(*) Sig. (2-tailed) .044 ** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). * Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
umur istri
lama pendidikan kepala keluarga
.939(**) .000
-.235 .069 -.160 .219 .128 .327 .057 .662 .121 .354 .264(*) .040
-.270(*) .036 -.235 .069
.491(**) .000 .462(**) .000 .521(**) .000 -.096 .463 -.135 .300
lama pendidikan istri
Pendapatan keluarga
-.213 .100 -.160 .219 .491(**) .000
.094 .472 .128 .327 .462(**) .000 .493(**) .000
.493(**) .000 .432(**) .001 -.087 .505 -.206 .112
.556(**) .000 -.065 .619 -.034 .795
Lampiran 4 Hubungan bantuan dana dengan pendapatan dan total pengeluaran keluarga (N=31) total pendapatan keluarga besar bantuan program P2KP
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). * Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
total pengeluaran keluarga
.493(**)
.445(*)
.006
.014
Lampiran 5 Hubungan karakteristik sosial ekonomi keluarga dengan persentase pengeluaran keluarga (N=61)
persentase pengeluaran pangan persentase pengeluaran rokok persentase pengeluaran perumahan dan fasilitas perumahan persentase pengeluaran aneka barang dan jasa persentase pengeluaran biaya kesehatan persentase pengeluaran biaya pendidikan persentase pengeluaran pakaian, alas kaki, dan penutup kepala persentase pengeluaran barang tahan lama persentase pengeluaran pajak dan asuransi persentase pengeluaran keperluan pesta dan upacara
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) Pearson Correlation Sig. (2-tailed) Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
Tingkat pendidikan kepala keluarga -.239
Tingkat pendidikan istri
pendapatan
total pengeluaran
umur kepala keluarga
umur besar istri keluarga
umur anak terkecil
-.294*
-.418**
-.521**
-.013
-.061
.064
.061
.063 .181
.022 .268*
.001 .426**
.000 .024
.921 -.034
.639 -.059
.626 -.083
.641 -.209
.163 .061
.037 .059
.001 .000
.854 .177
.796 -.144
.649 -.176
.523 -.320*
.107 .202
.640
.650
.997
.172
.267
.174
.012
.118
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
.379**
.383**
.462**
.455**
.129
.183
.179
-.069
.003
.002
.000
.000
.320
.159
.167
.597
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
-.077
-.154
-.041
.207
.141
.200
.018
.121
.553
.236
.755
.109
.279
.123
.888
.355
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
.060
.072
-.058
.273*
-.125
-.134
-.008
-.109
.645
.583
.657
.033
.337
.301
.952
.402
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
-.223
.050
.097
-.238
.173
.233
.077
-.067
.085
.703
.455
.065
.182
.071
.553
.606
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
.147
.176
.278*
.035
.002
.044
-.155
-.166
.259
.176
.030
.790
.987
.736
.233
.200
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
.199
.239
.583**
.276*
-.061
-.058
.048
-.126
.125
.064
.000
.031
.638
.655
.713
.332
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
.101
.129
.063
-.207
-.091
-.086
.211
-.198
.438
.323
.629
.110
.488
.509
.102
.126
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). * Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).