DESENTRALISASI 2007
PROSES DAN IMPLIKASI SOSIAL-POLITIK PEMEKARAN: STUDI KASUS DI SAMBAS DAN BUTON
Dari Percik untuk USAID Democratic Reform Support Program (DRSP) dan Decentralization Support Facility (DSF)
December 2007
DAFTAR ISI 1. 1.1. 1.2. 1.3.
PENGANTAR...............…………………………………….………………...........1 Tujuan Studi ……….….................…………………….……………………….......1 Penentuan Lokasi Studi ….……………….….……….……………….…………....1 Pengumpulan Data....………………….…….………………………………….......4
2. 2.1. 2.2. 2.3.
PEMEKARAN DAERAH DALAM PERSPEKTIF NASIONAL……………........4 Sejarah Pemekaran dan Perkembangan Makna Pemekaran……………...................4 Kebijakan Pemekaran Daerah.…….………………………………….….................5 Implementasi Pemekaran Dalam Perspektif Nasional ….………………….…........8
3. 3.1. 3.2.
MUNCULNYA IDE PEMEKARAN DAERAH ….……………….….….………11 Faktor Penyebab Pemekaran Daerah ….……………….….……….……….......…11 Faktor-Faktor Yang Memfasilitasi Pemekaran ….………………….…………......17
4.
PROSES SOSIAL POLITIK PEMEKARAN DAN PELESTARIAN HASIL PEMEKARAN ….……………….….……….……………….…...………20 Proses Perjuangan Pemekaran ….……………….….……….……….……........…20 Proses Pelestarian Hasil Pemekaran ….…………….……………….………….....25
4.1. 4.2. 5. 5.1. 5.2. 5.3. 5.4. 5.5. 5.6. 5.7. 5.8.
PERKEMBANGAN KAPASITAS SOSIAL-POLITIK DOB ……….…….......…27 Kemampuan Memperoleh Sumber Daya Fiskal ….……………….….…….......…28 Corak Fisik Pada Awal Daerah Otonomi Baru ….……………….….……….........29 Kemampuan Berotonomi Dalam Konteks Lintas Daerah .................................…..30 Kebangkitan Kohesivitas Etno-Kultural Dalam Konteks Masyarakat Multikultural ….…………….……………….……….......................................…31 Rekruitmen PNS ….…………….……………….…………..................................32 Rentang Kendali Pelayanan Publik ….…………….……………….……….....…32 Terbentuknya DPRD di Daerah Otonomi Baru ….…………….…………………33 Perkembangan Pelayanan Publik ….…………….……………….………….........33
6. 6.1 6.2. 6.3. 6.4. 6.5.
PERKEMBANGAN RELASI SOSIAL-POLITIK ….…………….………..........34 Perkembangan Relasi Sosial-Politik Antar Masyarakat Sipil……….…………....34 Relasi Sosial-Politik Antara Masyarakat dengan Pemda ….…………….………..36 Relasi Sosial-Politik Antar Pemda ….…………….………....................................38 Relasi Sosial-Politik Antara Daerah dengan Pemerintah Pusat ….…….........……40 Relasi Sosial-Politik Antar Pemda Dengan Negara Lain ….…………….…..……43
7.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN ….…………….….……43
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton
1
1.
PENGANTAR
Peningkatan jumlah daerah otonom baru pada era reformasi menunjukkan perkembangan yang menakjubkan. Sejak tahun 1999 hingga tahun 2004 telah lahir tujuh provinsi, 114 kabupaten, dan 27 kota; yang baru. Informasi terakhir menunjukkan bahwa sampai tahun 2007 jumlah kabupaten baru telah mencapai 158 buah, dan diperkirakan lebih dari 100 lokalitas sedang dalam proses pemekaran menjadi kabupaten baru. Apa sesungguhnya yang sedang terjadi di Indonesia pada era reformasi ini sehingga masyarakat seolah-olah menginginkan dibentuknya daerah-daerah otonom baru? Jika diamati secara sepintas, kondisi ini disatu pihak menunjukkan adanya perkembangan yang mengarah kepada perbaikan dan pendekatan pelayanan publik kepada masyarakat yang diharapkan akan mensejahterakan penduduk di wilayah yang baru dimekarkan. Namun di lain pihak perkembangan ini juga menimbulkan kekawatiran karena beban APBN untuk membiayai daerah otonom baru akan semakin berat. Lebih dari itu, pemekaran yang marak ini belum tentu akan lebih mengefisiensikan kinerja pemerintahan, mendekatkan pelayanan publik dan belum tentu pada akhirnya akan mensejahterakan rakyat seperti yang dikemukakan oleh para pemrakarsanya. Meskipun telah cukup banyak kajian yang mencoba mengevaluasi gejala pemekaran ini namun umumnya terfokus pada segi dampak dan sedikit sekali yang mencoba melihat segi prosesnya secara sosial politik. Memahami proses sosial politik pemekaran sangat diperlukan karena dengan demikian diharapkan bisa dianalisis keterkaitan dan dinamika berbagai aspek sosial politik yang berpengaruh dalam proses terbentuknya daerah otonom baru. Bertolak dari keinginan untuk memahami proses sosial politik pembentukan daerah otonom baru itulah kemudian disepakati oleh DRSP-USAID (Democratic Reform Support Program- USAID) Jakarta, Yayasan Percik Salatiga dengan dibantu oleh peneliti LIPI, untuk mengadakan suatu penelitian kualitatif yang mendalam tentang proses sosialpolitik pemekaran atau terbentuknya daerah otonom baru. Dengan pertimbangan mayoritas pembentukan daerah otonom baru terjadi di luar Jawa penelitian ini diarahkan ke wilayah luar Jawa. 1.1.
Tujuan Studi Studi tentang pemekaran ini, khususnya yang diselenggarakan terhadap pemekaran di wilayah kabupaten luar Jawa, adalah telaah kasus pemekaran untuk mengungkapkan dinamika sosial-politik-budaya berkaitan dengan pemekaran, sehingga teridentifikasikan berbagai aspek dari pemekaran, yaitu proses terjadinya pemekaran, faktor-faktor penyebab pemekaran (baik faktor pendorong dari dalam maupun faktor penarik dari luar), aneka dampak yang telah terjadi sesudah pemekaran, dan upaya-upaya berkenaan dengan pemeliharaan hasil proses pemekaran. Sesudah melalui pembicaraan intensif, seminar internal, dan diskusi-diskusi disepakatilah beberapa tujuan studi yang lebih empirik sifatnya yaitu untuk: (1) Menggambarkan faktor-faktor penyebab pemekaran daerah (2) Menggambarkan faktor-faktor yang memfasilitasi pemekaran daerah (3) Menggambarkan proses sosial-politik pemekaran daerah (4) Menggambarkan proses sosial-politik pemekaran dan pelestarian hasil pemakaran daerah (5) Menggambarkan perkembangan kapasitas sosial-politik Daerah Otonomi Baru (6) Menggambarkan perkembangan relasi sosial-politik 1.2.
Penentuan Lokasi Studi Adalah sebuah kenyataan yang menarik bahwa maraknya pemekaran daerah yang lebih bersifat pemecahan daerah ini lebih banyak terjadi di luar Jawa daripada di Jawa.
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton
2
Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi, seperti luas wilayah yang sangat luas, jumlah penduduk yang semakin banyak, dan kehendak masyarakat lokal untuk memekarkan diri. Berbeda dengan masyarakat lokal di Jawa yang relatif homogen, masyarakat lokal di luar Jawa sangat heterogen dan terfragmentasi secara etno-kultural. Luasnya wilayah dan masih miskinnya sarana transportasi seringkali menyebabkan komunikasi antar komunitas yang berbeda secara etno-kultural menjadi terbatas. Keadaan semacam ini diduga ikut berpengaruh terhadap besarnya keinginan masyarakat di luar Jawa untuk membentuk daerah otonom baru. Mempertimbangkan beberapa hal di atas, studi ini akan ditekankan di wilayah luar Jawa. Untuk menentukan lokasi studi yang lebih tepat maka pihak DRSP, Yayasan Percik, dan LIPI memulai langkahnya dengan mengadakan diskusi, mencari informasi dari banyak pihak (seperti Bappenas, Depdagri, dan Depkeu, dan juga dengan rekan-rekan peneliti lain atau pakar pemekaran daerah), dan melakukan studi literatur. Berdasar hasil penjajagan awal inilah kemudian ditentukan dua wilayah studi yaitu: Wilayah Studi Kabupaten Sambas, di provinsi Kalimantan Barat; dan Wilayah Studi Kabupaten Buton, di provinsi Sulawesi Tenggara. Wilayah Studi Kabupaten Sambas dipilih karena pemekaran di wilayah ini merupakan pemekaran yang pertama yang terjadi di era reformasi sebelum keluarnya UU No 22 Tahun 1999. Pemekaran Kabupaten Bengkayang dari Kabupaten Sambas terjadi pada tanggal 20 April 1999 dengan ditetapkannya UU No. 10 tahun 1999. Bersamaan dengan Pembentukan Kabupaten Bengkayang yang merupakan pemisahan dari Kabupaten Sambas, ibu kota Kabupaten Sambas juga berpindah dari Singkawang ke Sambas. Dalam perkembangannya, dua tahun setelah pembentukan Kabupaten Bengkayang (2001) terjadi lagi pembentukan daerah baru yaitu Kota Singkawang. Sementara itu di Kabupaten Sambas yang baru, pada tahun 2002an juga muncul tuntutan pemekaran dua wilayah baru yang terjadi hampir bersamaan yaitu Kabupaten Sambas Pesisir (KSP) dan Kabupaten Sambas Utara (KSU). Selain itu Kabupaten Sambas dipilih karena corak masyarakatnya dapat dianggap lebih heterogen dipandang dari segi suku dan agama, dimana suku dan agama tertentu mendominasi wilayah tertentu. Wilayah Studi Kabupaten Buton dipilih karena pemekaran di Kabupaten Buton baru terjadi pada tahun 2001 dan Kabupaten Buton dipilih karena corak masyarakatnya dapat dianggap lebih homogen dilihat dari segi agama. Namun dari segi adanya dominasi suku tertentu terhadap suku lain tidak terlalu kelihatan. Selain itu Kabupaten Buton dipilih sebagai lokasi studi karena proses pemekaran di lokasi ini menunjukkan geneologi pemekaran yang relatif “lengkap”, yaitu dari wilayah induk (Kab. Buton) telah memunculkan Kota Bau-Bau pada tahun 2001, selanjutnya pada tahun 2003 dari sisa wilayah induk mekar menjadi dua kabupaten, yaitu Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Bombana. Akhirnya pada Januari 2007, sisa dari wilayah induk Kabupaten Buton telah terjadi persiapan pemekaran ke dalam dua wilayah pemekaran lagi, yaitu Buton Tengah dan Buton Selatan. Perlu dikemukakan bahwa hasil penelitian ini memiliki beberapa kelemahan yang memang harus dan akan diperbaiki yaitu: (a). Penelitian ini lebih menekankan ke wilayah atau lokasi penelitian di Daerah Otonomi Baru yang sudah agak lama mengalami pemekaran, sedangkan untuk Daerah Otonomi Baru yang baru kembali mengalami pemekaran belum tercakup dalam penelitian ini. (b). Di dalam desain penelitian dirancang akan dilaksanakan suatu proses checking dan pendalaman lewat beberapa kegiatan, seperti: Seminar, raoun table discussion, dan kegiatan konsultasi publik di bebarap daerah. Dua kegiatan yang pertama telah dilakukan namun untuk kegiatan konsultasi publik ini belum dilakukan.
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton
3
1.3.
Pengumpulan Data Data dikumpulkan lewat beberapa cara yaitu dengan melakukan wawancara mendalam dengan sejumlah informan kunci baik pada aras provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan aras desa/kelurahan, dengan menggunakan pedoman pertanyaan yang sudah disiapkan sebelumnya. Selain itu juga dilakukan observasi baik pada aras kabupaten/kota, kecamatan, maupun desa/keluruhan menyangkut aspek proses dan fasilitas pelayanan publik yang ada, perkembangan fisik, dan kondisi wilayah Daerah Otonomi Baru. Untuk melengkapi data pada tataran yang lebih general dikumpulkanlah data sekunder baik dari dinas sektoral, pemerintah daerah (desa/kelurahan, kecamatan, kabupten/kota dan provinsi), maupun dari pihak NGO atau swasta. Pada akhirnya dilakukan cheking dan pelengkapan data dengan melakukan Focus Group Discussion (FGD), baik di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi. Penelitian ini dilakukan sejak akhir Bulan Maret sampai Pertengahan April 2007, oleh staf Percik yang dibantu beberapa staf LIPI, staf pengajar Program Pascasarjana Universitas Tanjungpura, Pontianak dan staf pengajar Pascasarjana Universitas Haluoleo, Kendari. Berikut ini adalah uraian yang merupakan ringkasan laporan penelitian yang dapat dijadikan bahan pertimbang untuk pengambilan kebijakan secara cepat dan tepat di dalam proses pemekaran daerah.
2.
PEMEKARAN DAERAH DALAM PERSPEKTIF NASIONAL Sejak bergulirnya arus reformasi, bangsa Indonesia menaruh harapan besar terhadap perubahan-perubahan sistem bernegara. Dengan dikeluarkannya kebijakan-kebijakan administrasi daerah terkandung harapan bahwa pembentukan, pemisahan, penggabungan dan penghapusan daerah akan menghasilkan peningkatan kesejahteraan warga, akibat pelayanan yang lebih baik, peningkatan kehidupan demokratis, pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat, meningkatnya keamanan dan ketertiban dan relasi-relasi yang harmonis antar-daerah. 2.1.
Sejarah Pemekaran dan Perkembangan Makna Pemekaran Pada tahun 1880, perdebatan tentang perlunya desentralisasi pemerintahan di Daerah Jahan Hindia Belanda mulai santer disuarakan oleh anggota Dewan Rakyat (Tweede Kamer) yang didukung oleh kaum Swasta Belanda yang bergerak di berbagai bidang perkebunan. Kelompok ini merasa bahwa kekuasaan sentralistik di tangan seorang Gubernur Jenderal dianggap terlalu besar. Namun demikian baru pada tanggal 23 Juli 1903 munculah UndangUndang yang memungkinkan adanya desentralisasi. Undang undang yang lengkap yang disebut sebagai Wet Houndende Decentralizatie in Nederlandsch Indie (disingkat sebagai Decentralisatie Wet 1906) mulai diundangkan untuk mengurangi kekuasaan sentral yang berpusat di Belanda (Wignjosoebroto, 2004). Ide desentralisasi ini tidak hanya didorong untuk mengurangi kekuasaan sentralistis pusat namun juga oleh adanya tuntutan dari daerah-daerah yang mempunyai variasi sifat, potensi, identitas, dan kelokalan yang berbeda-beda untuk memperoleh kewenangan yang lebih besar. Proses desentralisasi yang mulai tertata ini mengalami keruntuhan dengan masuknya Pemeritahan Militer Jepang yang bersifat fasis. Sejak saat itu, sistem kekuasaan pemerintahan menjadi tersentralisasi kembali. Munculnya UUD 1945 yang menjadi dasar Republik Indonesia Merdeka, yang pembentukannya dipengaruhi oleh adanya keberadaan Jepang yang bersifat fasis menyebabkan warna sentralistis menjadi lebih kuat dengan bentuk Negara Kesatuan. Baru sesudah para pemimpin negara dapat berpikir lebih jernih dan tidak dipengaruhi oleh pemerintahan Jepang yang fasis, menyebabkan makna desentralisasi menjadi lebih memperoleh tempat yang utama terutama dengan munculnya UUD Republik Indonesia Serikat, tahun 1955, yang menjadi dasar munculnya bentuk Negara Indonesia
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton
4
Federal. Di sini wilayah-wilayah luar Jawa menjadi mempunyai kewenangan yang lebih nyata dan besar. Makna Kebinekaan di Indonesia menjadi lebih nyata dan diakui. Munculnya Dekrit Presiden pada tahun 1959, yang menyatakan kembali menggunakan UUD 1945 yang mendasari adanya Negara Kesatuan, menyebabkan kekuasaan yang desentralisasi digantikan dengan kekuasaan yang sentralistis kembali. Di sini makan Ketunggal Ikaan menjadi lebih nyata katimbang warna Kebhinekaan. Runtuh nya Orde Baru yang ditandai oleh perubahan politik yang luar biasa pada tahun 1998 menyebabkan wilayah luar Jawa yang selama hampir 40 tahun merasa kurang diperhatikan dan kurang memperoleh perlakuan yang adil telah mendorong (memaksa) Pemerintahan Habibie untuk mengeluarkan Undang-Undang Otonomi Daerah (UU No. 22 Tahun 1999). Di sini desakan politik dari daerah telah mendorong pemerintahan pusat untuk mengembalikan kekuasaan/kewenangan ke daerah. Dengan kata lain makna Kebhinekaan di dalam kekuasaan pemerintahan lebih menonjol dan lebih dikehendaki dibandingkan makna Ketunggal-Ikaan. Walaupun ada usaha untuk kembali meresentarlisasi kekuasaan dengan munculnya UU No 32 Tahun 2004 (Suwondo 2005), namun dorongan untuk lebih mewujudkan makna Kebhinekaan menjadi lebih jelas dan menggebu-gebu. Selama sekitar 9 tahun sejak diberlakukannya UU No 22 Tahun 1999 telah muncul (mekar) sekitar 150 Kabupaten/Kota Baru. Terlepas dari kemampuan sosial-politik-ekonomi untuk secara teknis dapat dikatakan sebagai “benar-benar mampu mekar”, namun kapasitas sosial-politik dan keinginan daerah untuk memperoleh pembagian “kue pembangunan” yang lebih adil nampaknya menjadi lebih besar, lebih kuat, dan akan sulit dibendung. Makna desentralisasi kekuasaan tidak hanya berkisar pada adanya kewenangan untuk melakukan pemerintahannya sendiri namun telah bergeser kepada dorongan untuk memperoleh perlakuan yang lebih adil dari baik dari Pemerintahan Pusat maupun dari Daerah Induk. Tarik menarik antara desentralisasi dan sentralisasi kekuasaan tidak terlepas dari makna negara dan rakyat memaknai antara Ketunggal-Ikaan dengan Kebhinekaan. Tarik menarik tersebut terjadi sejak lama dan memang menunjukkan adanya permasalahan selaku Bangsa (Indonesia) secara keseluruhan. Walaupun demikian makna Kebhinekaan dengan segala atribut identitas sosail-politik kedaerahan menjadi hal utama yang nampaknya lebih didesakkan oleh rakyat yang mau-tidak mau harus memperoleh perhatian baik dari Pemerintahan Pusat maupun Pemerintahan Induk. 2.2.
Kebijakan Pemekaran Daerah Dalam kondisi negara yang lemah (strong society and weak state), maka munculnya Undang-undang Otonomi Daerah merupakan salah satu usaha untuk di satu pihak “mendinginkan” euforia reformasi dan di lain pihak untuk menjaga keutuhan NKRI. Dengan demikian maka “nada” atau isi dari UU No 22 Tahun 1999 tersebut lebih memberikan kebebasan yang nyata dan seluas-luasnya bagi daerah untuk menyelenggarakan pemerintahannya sendiri demi untuk kesejahteraan daerahnya sendiri-sendiri. Prinsip kebebasan, demokrasi, partisipasi (kewenangan pada rakyat) menjadi prinsip bahkan menjadi tujuan dan bukan hanya sebagai sarana.1 Era reformasi yang diawali pada tahun 1998 dengan tergesernya paradigma desentralisasi administratif, yang dianut Orde Baru, menjadi desentralisasi politik pasca UU 22 Tahun 1999. Pemekaran daerah atau pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) di era reformasi merupakan konskuensi logis dari penerapan kebijakan desentralisasi politik, oleh
1
Pada masa Otonomi Daerah ini, sebenarnya perbedaan bentuk NKRI dan “Negara Federal Indonsia” sudah hampir tidak ada. Hal ini bisa dilihat bahwa, seperti di Negara-negara federal, yang tetap diatur atau dikuasai oleh pemerintah pusat adalah masalah atau aspek Pertahanan, Keamanan, Moneter dan fiskal, Politik Luar Negeri, dan Peradilan. Bedanya untuk di Indonesia masih ditambah dengan permasalahan atau aspek agama masih harus diatur oleh Pemerinah Pusat.
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton
5
pemerintah pusat, di daerah. Dengan desentralisasi politik maka pemerintah pusat membentuk daerah-daerah otonom atau daerah-daerah yang mempunyai pemerintahan, yaitu daerah-daerah yang mempunyai wilayah, masyarakat hukum, kepala daerah, dan anggota DPRD yang dipilih oleh rakyat, pegawai, dan kewenangan serta keleluasaan mengatur dan mengurus daerah. Kebijakan pemekaran daerah pasca ditetapkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah mempunyai perbedaan yang signifikan jika dibandingkan pengaturan pemekaran daerah berdasar UU No. 5 Tahun 1975. Kebijakan pemekaran daerah pada Orde Baru, memang bersifat elitis dan memiliki karakter sentralistis, yang perencanaan dan implementasi pemekaran lebih merupakan inisiatif pemerintah pusat, daripada partisipasi dari bawah. Proses pemekaran daerah seringkali menjadi proses yang tertutup dan menjadi arena terbatas di kalangan pemerintah pusat. Meskipun pada masa Orde Baru kebijakan pemekaran lebih bersifat elitis dan sentralistis, namun pada masa itu pemerintah telah mencoba mendorong upaya penyiapan infrastruktur birokrasi (bukan infrastruktur politik), sebelum pembentukan daerah otonom. Masa transisi teknokratis disiapkan sedemikian rupa sebelum menjadi DOB, misalnya sebelum menjadi kotamadya disipakan terlebih dahulu sebagai kota administratif. Demikian juga pembentukan kabupaten baru akan didahului dengan dibentuknya wilayah kawedanan. Sedangkan daerah transisi untuk tingkat propinsi dikenal dengan karesidenan. Dalam masa transisi pembentukan daerah baru tersebut, lebih menekankan pada mekanisme teknokratis daripada mekanisme politik, misalnya dengan penyiapan administrasi birokrasi, infrastruktur, gedung perkantoran, dll. Setelah penyiapan teknokratis dirasa cukup barulah kemudian penyiapan politik dilakukan yaitu dengan pembentukan DPRD, dari situ barulah kemudian dibentuk DOB. Proses-proses penyiapan teknokratis tersebut pada kebijakan pemekaran daerah berdasar UU No. 22 Tahun 1999 tidak ada tetapi justru lebih menekankan pada proses-proses politik. Ruang bagi daerah untuk mengusulkan pembentukan DOB dibuka lebar oleh kebijakan pemekaran daerah berdasar UU No. 22 Tahun 1999. Dengan kebijakan yang demikian ini, kebijakan pemekaran daerah sekarang lebih didominasi oleh proses politik daripada proses teknokratis. Semakin meningkatnya jumlah daerah otonomi baru di Indonesia sebenarnya harus dipahami dari mekanisme lokal dan mekanisme nasional. Pertama dari konteks lokal, dinamika kepentingan elite lokal menjadi penyumbang terbesar dari banyaknya dan semakin meningkatnya usulan pemekaran daerah. Dari peta jumlah usulan pemekaran daerah, usulan pemekaran kebanyak berasal dari daerah luar Jawa terutama daerah Indonesia Timur yang merupakan daerah yang kaya akan sumber daya alam tetapi kondisi ekonominya stagnan. Kondisi perkembangan ekonomi yang stagnan sementara peningkatan kualitas sumberdaya manusia melalui peningkatan pendidikan cukup berhasil, telah berdampak pada banyaknya semberdaya manusia lokal yang terdidik yang tidak mempunyai ruang untuk mengabdikan dirinya di daerah. Dengan demikian harapan terbesar untuk berkembang terletak pada arena negara. Ketika institusi pemerintahan sudah tertutup, pilihan rasional yang tersedia adalah membentuk institusi-institusi pemerintahan baru. Sementara itu, regulasi pusat juga membuka peluang dan mendukung alasan untuk pengurangan pengangguran melalui pemekaran daerah. Kebijakan susunan dan kedudukan legislatif dan eksekutif, paling tidak sudah memberikan lowongan pekerjaan yang menarik bagi sekitar 20 orang, seperti sebagai: kepala dearah dan wakil kepada daerah, sekretaris daerah, asisten, kepala-kepala dinas, kepala kontor, dan pegawai-pegawai. Dilihat dari sisi masyarakat, pembentukan Daerah Otonomi Baru, termasuk juga pembentukan kecamatan baru, merupakan suatu proses pengembangan, pembelajaran, dan pemberdayaan masyarakat dan wilayahnya.
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton
6
Pembentukan daerah baru yang disertai dengan pembentukan kecamatan baru, peningkatan pembangunan, pengembangan fasiltas pelayanan publik, dan kesempatan kerja sebagai PNS, di sekitar wilayah yang akan dijadikan ibu kota DOB dapat dipastikan akan disertai dengan peningkatan pembangunan fisik berupa pembangunan jalan, listrik, telephon, dan lain-lain. Dalam konteks masyarakat lokal yang demikian, pemekaran daerah merupakan cara masyarakat untuk “memaksa” pemerintah pusat agar memperhatikan pembangunan di daerah. Dengan demikian dari aspek politik lokal, pemekaran daerah merupakan kesempatan/peluang bagi elite-elite lokal untuk duduk di DPRD ataupun ekskutif. Sedangkan bagi elite politik nasional, pemekaran daerah dapat dilihat sebagai upaya menciptakan daerah-daerah pemilihan baru yang mungkin berguna bagi pemilu. Hal ini berimplikasi bagi terciptanya transaksi politik antara elite lokal dan elite nasional. Pandangan ini dibenarkan oleh salah satu anggota Komisi II DPR yang menyatakan bahwa pemekaran daerah adalah sebuah bentuk kompensasi kepentingan politik dari partai-partai politik di DPR. Dengan demikian, pemekaran daerah telah berdampak pada terciptanya daerah-daerah otonom baru yang berimplikasi politis pada penambahan daerah-daerah pemilihan baru. Implikasi lebih lanjut dari adanya penambahan daerah-daerah pemilihan baru tersebut adalah semakin meluasnya conflick of interest antara partai-partai politik di tingkat nasional yang diwakili oleh eliteelite politik di DPR RI dan ini berdampak pada prose pemekaran yang lebih didasarkan atas pertimbangan politik daripada kebutuhan untuk menata daerah dalam tingkat nasional.
Kedua, dari konteks nasional, peranan regulasi juga telah menjadi penyumbang meningkatnya tuntutan dan pembentukan DOB karena kebijakan meloloskan tuntutan DOB terletak pada pemerintahan pusat. Kebijakan adanya dua pintu pemekaran juga dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai jalan “mudah” bagi masyarakat. Ketika pintu pemerintah tertutup, maka masyarakar akan menggunakan celah melalui pintu DPR yang relatif lebih mudah. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa selama sembilan tahun berotonomi sejumlah dampak positif dari prinsip otonomi telah muncul seperti: (1). Berkembangnya prinsip demokrasi, partisipasi, dan kebebasan memang mencuat ke permukaan (2). Di lihat dari sudut rakyat di aras lokal, munculnya Daerah Otonomi Baru menyebabkan adanya perkembangan infrastruktur (gedung pemerintahan, jalan, puskesmas, sekolahan, dan lain-lain) (3). Pelayanan publik menjadi lebih dekat terutama di bidang pelayanan pemerintahan. (4). Identitas sosial-politik lokal menjadi mempunyai kesempatan untuk diakui eksistensinya. Walaupun ditemui sejumlah hasil yang menggembirakan namun sejumlah masalah juga muncul dan semakin-lama menjadi semakin besar, yaitu: (1). Kenthalnya warna kedaerahan (termasuk ide dominasi putra daerah) di dalam semua proses dan bidang sosail, politik, budaya, dan ekonomi (2). Banyaknya Provinsi dan Kabupaten/Kota baru yang kemunculannya selalu menimbulkan konflik kepentingan antar elite yang pada akhirnya berdampak pada konflik antar massa masing-masing pendukung (3). Ketidak jelasan relasi antar fungsi dalam sistem pemerintahan pusat dengan daerah dan antar daerah. Selain itu juga muncul ketidak jelasan peran Gubernur di dalam mengkoordinasi dan mensinergikan kinerja antar kepala daerah yang ada “dibawahnya” (Bupati dan Walikota). Hal yang terakhir ini muncul karena adanya pasal 4 ayat 2 dari UU No 22 Tahun 1999 yang menyebutkan bahwa “masing-masing daerah otonom berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarki satu sama lain” (4). Pertentangan antar wilayah (bahkan antar desa) untuk memperebutkan Sumber Daya Alam menjadi sangat tidak rasional
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton
7
(5).
Persaingan antara eksekutif dan legislatif di aras lokal (Pemerintah Desa dengan Badan Perwakilan Desa atau BPD), di aras regional antara Bupati/Walikota dengan DPRD Kabupaten/Kota atau antara Gubernur dengan DPRD Provinsi, bahkan pertentangan sampai di tingkat nasional yang dipuncaki dengan dengan jatuhnya Pemerintahan Gus Dur. Adanya dampak positif dan negatif dari adanya proses pemekaran wilayah yang lebih menunjukkan Kbhinekaan ini memang merupakan konsekwensi logis yang akan muncul. Persoalannya adalah bagaimana usaha yang perlu dilakukan untuk mengurangi sebanyak mungkin kemungkinan dampak negatif dan mendorong semaksimal mungkin munculnya dampak positif. Usaha ini harus dilakukan baik oleh rakyat dan pemeritahan di aras lokal maupun oleh pemerintahan di aras nasional. 2.3.
Implementasi Pemekaran Dalam Perspektif Nasional Dari aspek proses, keputusan pemekaran daerah merupakan respon terhadap tuntutan pemekaran daerah. Jadi pemekaran daerah biasanya diawali oleh adanya kemauan politik masyarakat yang juga didukung oleh pemerintahan daerah setempat. Kemudian pemerintah daerah membuat usulan yang disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri melaui gubernur yang disertai lampiran hasil penelitian yang dilakukan oleh lembaga independen atas biaya APBD daerah setempat dan persetujuan DPRD. Di tingkat pusat, apabila usulan tersebut dipandang layak akan ditindaklanjuti oleh Mendagri yang akan memproses lebih lanjut dan menugaskan tim untuk observasi ke daerah yang hasilnya menjadi dasar rekomendasi bagi Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD). Mengenai realitas peran DPOD ini, Eko Prasodjo berpendapat bahwa peran DPOD hanya bersifat formalitas sebagai ”pengetuk” palu. Yang lebih berperan adalah tim teknis yang anggotanya mayoritas terdiri dari direkturdirektur di Depdagri.2 Disamping itu peran konsultan juga cukup penting.3 Kinerja dari Tim Observasi Pusat/Tim Teknis ini oleh beberapa pihak cukup diragukan. Seorang anggota DPD dari Kalbar menyangsikan observasi yang dilakukan Tim Observasi Pusat yang diangkat oleh DPOD untuk melakukan penelitian secara sungguh-sungguh mengingat yang dilakukan hanyalah monitoring dalam waktu yang relatif singkat dan hanya bersumber pada informasi elite. Tim ini lebih banyak melakukan penelitian dokumen dan ”temu muka” formal dengan ”masyarakat” yang sebagian besar adalah elite-elite di daerah. Di tingkat pusat, mekanisme pemekaran daerah dilakukan melalui dua pintu yang oleh seorang pejabat Depdagri dipilah ke dalam cara yang normal dan cara yang tidak normal.4 Cara yang normal yaitu cara yang mengikuti jalur atau pintu ekskutif, dan cara yang dipandang tidak normal yaitu melalui jalur atau pintu legislatif kemudian baru mengikuti prosedur eksekutif. Kedua cara tersebut tidak terkait dengan aspek legalitas karena keduanya 2
Sebagai contoh yang bisa memberi gambaran dominasi Depdagri dalam pokok ini, diantaranya adalah dalam kasus calon Kabupaten Buton Utara (Pemekaran dari Kabupaten Muna), Propinsi Sultra, Tim Observasi Pusat/Tim Teknis (dari DPOD) yang berkunjung ke lapangan adalah: (1) Direktur Penataan Daerah dan Otonomi Daerah Depdagri (sebagai koordinator tim); (2) Direktur Kawasan Khusus Ditjen PUM Depdagri (anggota); (3) Satu orang staff dari Depdagri (sebagai sekretaris merangkap anggota); (4) Staf dari Depdagri (anggota); (5) Empat staf dari Depdagri (masing-masing sebagai anggota); (6) Satu orang staf ahli Menteri dan Kementrian PAN (anggota); Staf Ahli Hukum dan HAM dari Sekretaris Kabinet (anggota); (7) Staf Khusus Mensesneg dari Sekretarian Negara (anggota); (8) Asdep Partisipasi Politik Kemenko Bidang Polhukam (anggota); (9) Direktur Penanganan Konflik Ditjen Kesbangpol Depdagri (anggota); (10) Direktur Fasilitas Rancangan Peraturan daerah Departemen Hukum dan HAM (anggota); (11) Kepala Pusat Batas Wilayah dari bakorsurtanal (anggota); (12) Staf dari Departemen Keuangan (anggota); (12) Satu Tenaga Ahli (anggota). 3 Wawancara dengan Eko Prasojo, anggota Tim Pakar DPOD dan seorang guru besar Universitas Indonesia, di Jakarta, 24 April 2007. 4
Wawancara dengan Dody, Ryadmaji Kepala Bagian Penataan Daerah Dirjen Otonomi Daerah, Depdagri pada tanggal 9 April 2007 di Jakarta.
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton
8
sama-sama berdasarkan hukum. Berdasarkan hukum, proses pemekaran melalui pintu DPR memang dimungkinkan karena berdasarkan UUD 1945 hasil amandemen tahun 20005, DPR memiliki kekuasaan sebagai badan pembentuk undang-undang. Pengaturan dalam UUD tersebut dipertegas dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.6 Sebagai implikasinya DPR berhak mengajukan RUU inisiatif termasuk pemekaran daerah. Dikatakan sebagai cara tidak normal karena DPR membuat RUU Pemekaran dan mengajukannya kepada presiden, yang mana hal ini memberi kesan bahwa seolah-olah ada dualisme kekuasaan yang memegang peranan dalam proses pemekaran daerah di Indonesia. Selain DPR dan ekskutif (dalam hal ini Depdagri), lembagalembaga seperti DPD dan DPOD juga memiliki peran dalam pemekaran daerah meskipun harus diakui peran tersebut kurang signifikan. berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 atau UU No. 32 Tahun 2004 dan PP No. 129 Tahun 1999. Terhadap kewenangan DPR dalam penyusunan UU tersebut diperoleh tanggapan dari seorang pemerhati desentralisasi, Alfitra Salamm. Menurut Alfitra Salamm, sebuah UU seharusnya disetujui bersama, baik oleh ekskutif maupun legislatif. Apabila ada sebuah RUU yang tidak disahkan oleh Presiden dalam batas waktu yang ditetapkan, maka RUU yang bersangkutan seharusnya gugur (tidak sah) dan otomatis tidak dapat diundangkan, terutama yang menyangkut pemekaran. Rasionalisasi dari pandangan ini adalah bahwa masalah pemekaran daerah merupakan domain ekskutif (karena menyangkut operasional pemerintah daerah) sehingga sebaiknya ”pintu” pemekaran daerah cukup lewat Depdagri saja. DPR dan DPD cukup mengawasi kebijakan pemerintah mengenai pemekaran.7 Sementara itu keterlibatan DPR dalam pemekaran daerah juga dipandang bisa menimbulkan conflict of interest karena ada kepentingan-kepentingan tertentu yang diperjuangkan pada daerah pemekaran.8 Proses pemekaran bisa dijadikan investasi politik di daerah baru. Selain itu dengan pemekaran daerah berarti terjadi perluasan daerah pemekaran dan perluasan lembagalembaga pemerintahan, maka pemekaran daerah akan menjadi arena baru bagi partai-partai politik untuk menempatkan kader-kadernya di DPRD dan kekuasaan-kekusaan lain di daerah yang baru tersebut. Pemekaran daerah melalui DPR tidak dapat dilepaskan dari kepentingan politik untuk memperoleh kekuasaan politikny di tingkat lokal. Ketentuan perundang-undangan di atas yang dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum justru berdampak pada ketidakpastian hukum. Yang terjadi selama ini, menurut Alfian Salamm, ketika proposal pemekaran yang diajukan oleh daerah ditolak oleh Depdagri, umumnya para pengusul (biasanya dengan tekanan mobilisasi massa) lari ke anggota DPR-RI (khususnya komisi II) untuk memperjuangkannya. Anggota DPR-RI kemudian mengabulkannya dengan alasan ”aspirasi konstituen”. Presiden tidak mempunyai kewenangan untuk menolak RUU inisiatif DPR, sedangkan posisi DPD lemah. Sejalan dengan pandangan di atas, menurut pejabat Depdagri, meskipun kebijakan pemekaran daerah sangat sarat dengan logika administratif, dalam implementasi justru aspek politik yang lebih menonjol. Menurutnya, dari sekian banyak usulan pemekaran daerah yang 5
Lihat UUD 1945 hasil amandemen IV yang disahkan pada tanggal 10 Agustus 2002, pada pasal 20 (ayat 1) menyatakan: “DPR memegang kekuasaan membentuk Undang-undang”. 6
UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang dalam pasal 17 dinyatakan bahwa RUU yang dapat diajukan oleh DPR antara lain berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusatdaerah, pembentukan, penggabungan serta pemekaran daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan. Selanjutnya pasal 17 (ayat 5) bermaksud memberikan kepastrian hukum dengan mengatur: “ Dalam hal RUU yang telah disetujui bersama (dengan DPRpen) tidak disahkan oleh presiden dalam waktu 30 hari semenjak RUU tersebut disetujui, RUU tersebut sah menjadi UU dan wajib diundangkan”. 7 8
Wawancara dengan Alfian Salamm, mantan anggota DPOD (dari unsur ADEKSI) di Jakarta, April 2007. Wawancara dengan Eko Prasojo, tanggal 16 April 2007.
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton
9
lebih cepat disetujui adalah usulan pemekaran yang diusulkan melalui pintu DPR. Anggota DPR dengan menggunakan tekanan politiknya seringkali justru ”mengingkari” persayaratanpersayaratan administratif dan melakukan tekanan-tekanan politik ke DPOD9. Tetapi di lain pihak, DPR juga mengaku memperoleh tekanan dari rakyat di daerah. Hal ini tampak misalnya ketika rapat anggota DPRD, di balkon ruang rapat sudah ditunggu oleh orang-orang daerah untuk mendengar keputusan diloloskannya atau tidak usulan pemekaran yang diajukan. Dari pengalaman implementasi kebijakan pemekaran daerah, terutama menyangkut aspek proses, dapat dilihat bahwa daerah dapat dengan mudah melakukan pemekaran. Ada dua asumsi teoritik yang mendasari mudahnya proses pemekaran. Asumsi yang pertama adalah peraturan atau persyaratan yang tidak terlalu detail sehingga memudahkan inisiatorinisiator pemekaran melakukan terobosan. Asumsi kedua adalah bahwa peraturan dan persyaratan (adminstratif) sudah detail tetapi karena kuatnya tekanan politis menjadikan proses pemekaran dapat dengan mudah dilakukan.10 Kekuasaan formal yang memutuskan disetujui atau tidak disetujuinya usulan pemekaran daerah ada pada sidang DPOD. Namun, dalam proses sidang tersebut terdapat sebuah proses yang memframe (mengarahkan) bahwa sidang DPOD hanya bersifat formalitas sehingga pihak yang memiliki the real power adalah Tim Observasi/Teknis yang menyiapkan dan menganalisis angka-angka kualitatif yang mudah untuk dimanipulasi. Di balik kekuasaan formal itu terdapat kekuasaan non formal yang menentukan berhasil atau tidaknya usulan pemekaran daerah. Dengan demikian, kekuasaan yang menentukan proses pemekaran terletak pada birokrasi yang menempatkan Tim Teknis dan Konsultan hanya sebagai alat legitimasi intelektual dari sebuah proses yang tertutup bagi publik. Birokrasi di balik Tim Teknis dan Tim Konsultan inilah sebagai pihak-pihak yang disebut sebagai the real power.11 Dari aspek keuangan negara, evaluasi pemekaran daerah selama enam tahun menunjukkan bahwa terdapat 94% daerah yang mengandalkan dana dari pusat (DAU dan dana perimbangan). Jadi hanya beberapa daerah yang bisa survive dengan pendanaan sendiri. Pengalokasian dana bagi daerah baru hasil pemekaran sebagian besar anggaran justru tidak dipakai untuk pelayanan publik. Alokasi dana untuk pelayanan publik hanya sebesar 30%, infrastruktur berupa perkantoran sebesar 20%, untuk belanja rutin gaji pegawai sebesar 42%, dan 20% dana dialokasikan untuk belanja lain-lain. Dengan demikian pemekaran daerah yang sudah dilakukan belum memenuhi standar pelayanan publik yang ideal. Sementara itu dampak yang paling dirasa pada aras nasional adalah persoalan-persoalan yang berkaitan dengan belanja negara. Pada APBN tahun 2006 misalnya, penyelenggaraan pemerintahan daerah pemekaran memerlukan ± 250-300 triliun rupiah (±20% dari PDB). Menurut catatan APBN tahun 2000-2004, dana yang dialokasikan untuk belanja daerah meningkat dari tahun ke tahun. Tahun 1999 dana untuk penyelenggaraan pemerintah daerah berjumlah Rp. 29,9 trilyun (2,6 dari PDB), meningkat menjadi Rp. 33,1% trilyun (3,4% dari PDB) pada tahun 2000. Peningkatan inipun terjadi pada tahun selanjutnya, yaitu 81,1 trilyun (5,6% terhadap PDB) tahun 2001, Rp 94,8 trilyun (5,9% terhadap PDB) tahun 2002, Rp 116,9 trilyun (6% terhadap PDB) tahun 2003, dan Rp. 130 trilyun (6,2% terhadap PDB) tahun 2004.12 Peningkatan pengeluaran negara tersebut adalah karena pembentukan daerah baru memerlukan kantor polisi baru, kantor agama baru, kantor pengadilan baru, dll. Dari sisi politik keamanan, pemekaran daerah akan mendorong berkembangnya lembagalembaga militer dan kepolisian di luar Jawa terutama di daerah-daerah rawan konflik sosial dan konflik separatisme. Kehadiran aparat keamanan di daerah pemekaran terutama di luar Jawa dapat menjadi persoalan di masa depan jika mereka tidak dapat dikontrol oleh pemerintah dan masyarakat nasional. Selain itu pemekaran daerah akan membuka peluang bagi tumbuhnya etnosentrisme yang menjadi tantangan bagi integrasi nasional. Dalam realitasnya, elite lokal yang mengusulkan 9
Hasil Roundtabel Discussion, Percik-DRSP : “Mengembangkan Kebijakan Penataan Daerah Yang Peka Terhadap Perspektif Lokal”, diselenggarakan di Kampoeng Percik pada tanggal 20 Juli 2007. 10 Ibid 11 Wawancara dengan Eko Prasojo di Universitas Indonesia Depok pada tanggal 16 April 2006. 12 Jurnal Update Indonesia vol. 02/Tahun I Maret 2006, hal 59
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton
10
pemekaran daerah seringkali mengusung simbol-simbol etnis dan perbedaan budaya sebagai basis dari legitimasi politik pemekaran daerah.
3.
MUNCULNYA IDE PEMEKARAN DAERAH Ide dan perjuangan pemekaran daerah sebenarnya sudah lama ada di kalangan rakyat Sambas dan Buton. Proses perjuangan pemekaran itu sendiri juga sebenarnya berjalan lamban namun tidak disertai dengan tindak kekerasan. Munculnya ide pemekaran (dalam makna pemecahan) daerah dapat dilihat dari dua sisi yaitu: (1) faktor-faktor penyebabnya, yang mencakup (a) faktor pendorong pemekaran yang berada di lingkungan internal daerah yang ingin mekar, dan (b) faktor penarik yang berasal dari lingkungan eksternal; dan (2) faktorfaktor yang memfasilitasi munculnya pemekaran. Faktor-faktor penyebab pemekaran maupun faktor-faktor yang memfasilitasi munculnya pemekaran dapat berlaku di dua wilayah penelitian (Sambas dan Buton) namun dapat juga bahwa faktor-faktor tertentu hanya berlaku di salah satu wilayah penelitian. Beberapa faktor penyebab terjadinya pemekaran di antaranya adalah (a) faktor-faktor pendorong seperti (1) faktor kesejarahan, (2) faktor tidak meratanya pembangunan, (3) rentang kendali pelayanan publik yang jauh, dan (4) tidak terakomodasinya representasi politik dan (b) faktor penarik, yaitu kucuran dana (fiskal) dari pusat. Sedangkan faktor yang memfasiltasi munculnya pemekaran diantaranya adalah: (1) Proses persiapan untuk mekar; (2) Political crafting oleh para elite; (3) Kondisi perpolitikan nasional; dan (4) faktor tuntutan kemanan daerah perbatasan. Perlu dikemukakan sebelumnya bahwa secara kronologis formal, Wilayah Induk Kabupaten Sambas mengalami pemekaran yang pertama, adalah dengan keluarnya UU Nomor 10 Tahun 1999, tanggal 22 April 1999 (mendahului munculnya UU Nomor 22 Tahun 1999 yang mengatur tentang pemekaran daerah). Undang-undang tersebut menetapkan Sambas menjadi dua kabupaten yaitu Kabupaten Bengkayang dan Kabupaten Sambas dengan Ibu Kota di Sambas13. Kemudian pada tahun 2001 dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2001 ditetapkanlah Singkawang, yang semula merupakan bagian dari Kabupaten Bengkayang, menjadi Kota Otonom. Dengan demikian Kabupaten Induk Sambas telah mekar menjadi Daerah Otonomi Baru (DOB) Kabupaten Sambas, Kabupaten Bengkayang, dan Kota Singkawang. Kabupaten Induk Buton secara kronologis formal telah mengalami pemekaran yang pertama pada 21 Juni 2001 dengan keluarnya UU Nomor 13 Tahun 2001, yang menetapkan Bau-Bau sebagai Kota Otonom. Kemudian pada tahun 2003, dengan keluarnya UndangUndang Nomor 29 Tahun 2003, Kabupaten Buton mengalami pemekaran yang kedua dengan terbentuknya DOB Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Bombana. Dengan demikian maka Kabupaten Induk Buton telah mengalami pemekaran menjadi DOB Kabupaten Buton, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Bombana, dan Kota Otonom Bau-Bau. 3.1.
Faktor Penyebab Pemekaran Daerah Sebuah territorial reform sebagaimana diamanatkan dalam UU 22 tahun 1999 dan PP 129 tahun 2000 sebenarnya mengusung pesan bagaimana teritori ditata dalam kebijakan penggabungan, penghapusan, dan pemekaran. Pilihan pada salah satu dari tiga kebijakan
13
Di sini, sebenarnya ada ketetapan yang menunjukkan adanya pemindahan letak Ibu Kota Kabupaten Sambas, yang semula ada di Kota Singkawang dipindahkan ke Sambas. Dengan keluarnya UU Nomor 10 Tahun 1999 tersebut, Kota Singkawang yang semula menjadi Kota Administratif dan sekaligus sebagai Ibu Kota Sambas telah dipahami sebagai penurunan status hanya menjadi kecamatan dan menjadi bagian dari Kabupaten Bengkayang, walaupun menurut ketentuan perundang-undangan sesungguhnya tetap berstatus sebagai kota administratif (lihat UU No. 12 Tahun 2001, pasal 5 dan pasal 12 ayat (2).
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton
11
tersebut secara administrasi publik merupakan sebuah evaluasi, apakah kemudian sebuah atau beberapa daerah sekaligus akan mengalami penggabungan, penghapusan, ataupun pemekaran. Bagi kebanyakan negara maju, kebijakan territorial reform biasanya berbentuk amalgamasi atau penggabungan yang merupakan sebuah pilihan yang harus ditempuh karena pertimbangan efisiensi dalam penyediaan pelayanan publik. Sedangkan bagi sejumlah negara yang berkembang (termasuk Indonesia), beberapa kebijakan territorial reform memang lebih berbentuk sebagai pemecahan. Persoalannya adalah mengapa semua bentuk territorial reform di Indonesia mengambil bentuk pemecahan (yang untuk selanjutnya disebut sebagai pemekaran daerah), apa saja yang menjadi penyebab terjadinya pemekaran, dan apakah pemekaran merupakan satu-satunya jalan untuk memperoleh akses terhadap sumber-sumber sosial, ekonomi, dan politik bagi daerah yang bersangkutan ? Semua pertanyaan itulah yang akan diungkapkan dalam uraian berikut. Beberapa faktor penyebab yang berupa pendorong munculnya pemekaran saling berkaitan satu dengan yang lain. Sementara faktor penyebab berupa penarik yang berperan dalam pemekaran adalah kucuran dana (fiskal) dari pusat. 3.1.1. Faktor-faktor Penyebab Yang Berupa Pendorong: (1)
Faktor Kesejarahan Aspek yang berkaitan dengan sejarah baik di Sambas maupun Buton nampaknya menjadi pendorong munculnya ide untuk mekar, walaupun dengan intensitas yang tidak sama. Keberadaan Kasultanan Sambas ataupun Buton pada masa-masa sebelum kemerdekaan menjadi faktor yang menentukan. Di Kabupaten Buton, aspek kesejarahan terkait dengan masih bertahannya ingatan/kesadaran kolektif komunitas di wilayah Buton. Modal sosial dalam bentuk ingatan kolektif atau kesadaran kolektif tentang sejarah kejayaan masa lalu Kesultanan Buton yang terekam dalam benak komunitas masyarakat di Buton dan wilayah yang akan dimekarkan, menginspirasi bahwa dengan ingatan kolektif ini kejayaan masa lalu dapat diraih kembali dengan memanfaatkan momentum pemekaran daerah untuk kemudian membentuk sebuah wilayah teritori Provinsi Buton Raya.14 Kejayaan masa lalu yang dimaksud adalah bahwa Kesultanan Buton pernah menjadi kawasan transito dagang berbasis kelautan, pusat pemerintahan yang otonom tidak tersubordinasi oleh siapapun. Bagi Komunitas Buton ingatan kolektif ini dapat berfungsi sebagai perekat sosial sehingga kohesivitas sosial menjadi pendorong pemekaran wilayah termasuk munculnya Bau-bau sebagai kota otonom yang sekaligus juga mengukuhkan identitas Buton. Penetapan Bau Bau sebagai Kota Otonom terealiasi pada 21 Juni 2001 dengan terbitnya UU Nomor 13 Tahun 2001. Di Sambas aspek kesejarahan yang berkaitan dengan ingatan kolektif kejayaan Kasultanan Sambas juga terasa namun lebih terasa di Daerah Otonomi Baru Sambas (hasil pemekaran Kabupaten Induk Sambas), sedang di Kabupaten Bengkayang dan Kota Singkawang tidak terlalu kelihatan. Keterikatan yang lemah dengan ikatan memori kejayaan 14
Sejak 1538 di wilayah Buton berdiri Kesultanan Buton. Kesultanan ini meliputi pulau-pulau utama Buton, Muna dan Kabaena, Kepulauan Tukang Besi serta dua daerah di bagian tenggara pulau Sulawesi (Rumbia dan Poleang). Pada tahun 1960 kesultanan yang berusia lebih dari empat abad itu dibubarkan. Setahun sebelumnya di wilayah Kesultanan Buton, berdasarkan UU 29 Thn 1959, dibentuk dua kabupaten, yaitu Kabupaten Muna dan Kabupaten Buton. Kabupaten Muna terletak di utara Muna dan Buton, dan Kabupaten Buton meliputi bagan-bagian lain dari bekas wilayah kesultanan. Jejak peninggalan Kesultanan Buton hingga kini masih tersisa baik yang berupa tempat dan bangunan kraton, benteng maupun kultur yang pernah berkembang pada masa kesultanan, yang menjadi ingatan kolektif masyarakat Buton (terutama yang tinggal di Pulau Buton) mengenai kejayaan kesultanan. Ingatan kolektif tentang kejayaan Kesultanan Buton ini pada gilirannya memberi warna dalam proses pemekaran di Kabupayen Buton. Meskipun derajad pengaruhnya berbeda antara wilayah yang satu dengan wilayah yang lainnya.
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton
12
Kasultanan Sambas di Kabupaten Bengkayang dan Singkawang nampaknya terkait dengan pengalaman yang tidak menyenangkan dengan daerah induk dan adanya politik identitas dari kedua wilayah tersebut. Ide pembentukan Provinsi Sambas Raya nampaknya juga lebih banyak terdengar dan diusahakan di Daerah Otonomi Baru Kabupaten Sambas, yang sedang gencar mengusahakan pemekaran kembali Daerah Otonom Baru Kabupaten Sambas menjadi tiga kabupaten yaitu: Kabupaten Sambas, Kabupaten Sambas Utara, dan Kabupaten Sambas Pesisiran. Strategi pemekaran kabupaten yang baru ini memang diusahakan dalam rangka membentuk Provinsi Sambas yang dapat mengingatkan masa kejayaan Kasultanan Sambas.15 Di Sambas aspek kesejarahan yang menonjol lebih banyak berupa ketegangan, persaingan, dan bahkan konflik berulang antar etnis yang penyebabnya dapat dilacak pada rentang sejarah yang panjang. Pada jaman kolonial Belanda tindakan represip pemerintah terhadap pemberontakan yang berbau ikatan kesukuan dilakukan dengan memanfaatkan dukungan dari suku yang lain. Situasi ini menempatkan relasi yang saling berhadapan antar suku. Situasi ini tidak berubah sesudah jaman kemerdekaan. Situasi kesejarahan ini memunculkan pandangan yang dianut secara luas dilingkungan para elite politik dan tokoh adat setempat bahwa ”pemisahan” dominasi suku pada DOB yang berbeda melalui pemekaran akan menyelesaikan problem laten antar etnis. (2)
Ketimpangan Pembangunan Faktor tidak meratanya pembangunan sangat dirasakan oleh wilayah-wilayah yang bukan merupakan pusat kegiatan atau pusat pemerintahan (ibu kota). Ketidakmerataan pembangunan bisa terjadi karena pihak elite birokrasi pemerintahan, legislatif, dan pelaku pembangunan yang kebanyakan tinggal di pusat pemerintahan, sering tidak memprioritaskan daerah pinggiran dan perbatasan untuk memperoleh jatah pembangunan yang adil. Pengalaman kurang menyenangkan dengan daerah induk ini terasa, baik di Buton maupun di Sambas. Gambaran adanya pengalaman kurang menyenangkan dalam hubungan dengan wilayah induk di Buton dapat dilihat dari tertinggalnya pembangunan fisik (prasarana dan sarana pelayanan publik) di tiga Daerah Otonomi Baru (Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Bombana, dan Kota Bau-Bau). Bagi tiga kawasan yang mekar (Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Bombana, dan Kota Bau-Bau), kondisi sebelum mekar merupakan cermin dari situasi yang kurang menyenangkan dengan alasan berbeda. Bagi Kota Bau-Bau alasan utama adalah karena pertimbangan tidak adanya otoritas (kewenangan) dalam menetapkan/mengatur kota Bau-Bau dengan kompleksitas masalah perkotaan yang muncul. Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Bombana memiliki argumentasi bahwa selama belum mekar, tidak dimungkinkan adanya pelayanan publik yang maksimal, dibandingkan apa yang bisa diberikan pada kabupaten induk. Diskriminasi pelayanan publik, rentang kendali yang terlalu panjang, dibandingkan dengan kawasan yang dekat pusat pemerintahan, terasa sebagai praktik ketidakmerataan pembangunan. Praktik ketidakadilan ini sekaligus juga merupakan perwujudan praktik marginalisasi oleh wilayah induk bahkan oleh negara pusat terhadap wilayah pinggiran. Dengan demikian pemekaran merupakan satu-satunya jalan yang paling 15
Usaha untuk memindahkan ibukota Sambas dari Singkawang ke Sambas yang dilakukan sejak tahun 1961 juga merupakan usaha untuk mengingatkan akan adanya kejayaan masa lalu Sambas. Perjuangan untuk memindahkan Ibu Kota Kabupaten ini diawali dengan adanya aspirasi, tuntutan, dan gerakan masyarakat Sambas yang muncul pada tahun 1961. Tuntutan pemindahan ini didasarkan pada UU No. 27 tahun 1959 tentang Pembentukan daerah Tingkat II Di Kalimantan (Lembaran Negara Republik Indonesia No. 9 Tahun 1953), yang dalam pasal 3 ayat (1) menetapkan Daerah Tingkat II Sambas berkedudukan di Sambas. Kenyataan menunjukkan (de facto) bahwa Ibu Kota Kabupaten Sambas berada di Singkawang, sehingga sebagian besar pembangunan fisik ada di sekitar Singkawang. Perjuangan untuk mengembalikan Ibu Kota Kabupaten Sambas dari Singkawang ke Sambas baru berhasil dengan keluarnya UU No. 10 Tahun 1999.
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton
13
cepat dan efektif untuk memperoleh akses ekonomi dan politik untuk membangun wilayahnya. Gambaran yang tidak jauh berbeda juga terjadi di DOB Kabupaten Bengkayang dan Sambas. Usaha untuk memindahkan (mengembalikan) Ibu Kota Sambas dari Singkawang ke Sambas dan adanya usaha untuk memekarkan diri dari wilayah Bengkayang untuk menjadi DOB Kabupaten Bengkayang merupakan gambaran adanya ketidak puasan DOB Kabupaten Sambas dan DOB Kabupaten Bengkayang terhadap Singkawang (sebagai Ibu Kota Sambas) karena tidak meratanya pembangunan pelayanan publik. Secara faktual dapat diamati bahwa (juga data sekunder) menunjukkan ketertinggalan wilayah pedalaman dan perbatasan dibandingkan wilayah yang dekat dengan pusat pemerintahan Singkawang. (3)
Luasnya Rentang Kendali Pelayanan Publik Usaha untuk mendekatkan pelayanan publik ke rakyat sebenarnya bisa dilakukan dengan memperbanyak (menyebarkan ke pinggiran) pusat-pusat pelayanan publik (seperti kantor kecamatan, puskesmas, Polsek, sekolah, dll), membangun prasarana jalan, dan memberi kewenangan untuk melayani publik ke aras kecamatan. Namun selama belum ada pemekaran (sejak jaman Orde Lama sampai Orde Baru), semua pembangunan lebih banyak terpusat di ibu kota kabupaten. Oleh sebab itu pemekaran merupakan jalan tercepat (langsung) dan efektif untuk mendekatkan pelayanan publik ke masyarakat. Untuk wilayah Kalimantan Barat (termasuk Kabupaten Induk Sambas) yang mempunyai wilayah sangat luas dengan garis perbatasan yang sangat panjang maka pelayanan terhadap kepentingan publik menjadi suatu prioritas yang harus diusahakan oleh kabupaten induk. Sebagai gambaran, rakyat di wilayah pinggiran atau perbatasan untuk mencapai Ibu Kota Kabupaten Sambas harus menempuh perjalanan sekitar 200 Km yang harus ditempuh (sebelum mekar) selama minimal 4 jam dengan ongkos kendaraan bisa mencapai Rp 50.000,-. Kondisi ini mendorong munculnya DOB Kabupaten Sambas dan DOB Kabupaten Bengkayang. Hal yang sama sebenarnya juga terjadi di Buton yang wilayahnya sangat luas dengan bentuk wilayah kepulauan. Hanya dengan memekarkan diri dengan membentuk DOB Kabupaten Wakatobi, DOB Kabupaten Bombana, dan sampai derajat tertentu Kota Otonom Bau-Bau maka pelayanan publik menjadi lebih dekat, murah, dan efisien. (4)
Tidak Terakomodasinya Representasi Politik Representasi politik dari suatu wilayah tertentu menjadi satu kebutuhan yang sangat penting. Bagi daerah-daerah pinggiran yang mayoritas penduduknya mempunyai perbedaan yang mencolok dengan mayoritas penduduk di wilayah Kabupaten Induk, selalu merasa bahwa aspirasi mereka tidak terwadahi karena wakil-wakil yang duduk di pemerintahan dianggap tidak merepresentasikan aspirasi kelompoknya. Ketidakterakomodasikannya kepentingan dan representasi politik mereka menyebabkan mereka berusaha untuk memekarkan diri demi untuk menunjukkan eksistensi dan politik identitas mereka. Mekarnya Kabupaten Bengkayang dari Kabupaten Induk Sambas (juga mekarnya Kota Singkawang) menunjukkan adanya usaha dari mayoritas rakyat di Kabupaten Bengkayang dan Kota Singkawang untuk menunjukkan identitasnya yang memang berbeda. Mayoritas penduduk di DOB Kabupaten Bengkayang (kecuali Kecamatan Sungai Raya, Kecamatan Sungai Raya Kepulauan, dan Kecamatan Capkala) adalah Suku Dayak yang beragama Kristen (Katolik dan Protestan), sedangkan mayoritas penduduk Kota Singkawang adalah Suku Cina yang beragama Non Islam. Kedua wilayah tersebut jelas berbeda dengan wilayah DOB Kabupaten Sambas yang didominasi oleh Suku Melayu yang beragama Islam. Oleh sebab itu kedua wilayah DOB tersebut mempunyai kecenderungan untuk menunjukkan identitasnya yang memang berbeda dengan identitas mayoritas daerah induk. Sebagai
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton
14
gambaran, pada akhir-akhir ini telah marak pemakaian simbol-simbol kesukuan dan agama di tempat umum dan perkatoran DOB Kabupaten Bengkayang dan Singkawang. Semua itu menunjukkan adanya usaha untuk menunjukkan eksistensi dari identitas yang memang berbeda. Kondisi yang sama juga terjadi di DOB Kota Singkawang. Pada awal Pemekaran Kabupaten Sambas (UU Nomor 10 Tahun 1999) secara langsung telah meninggalkan Kota Singkawang yang semula menjadi ibukota Kabupaten Sambas telah dipahami sebagai penurunan status Singkawang menjadi hanya sekedar kecamatan, walaupun menurut ketentuan perundang-undangan sesungguhnya Singkawang tetap berstatus sebagai kota administratif (lihat juga catatat kaki no. 15). Kondisi ini menjadi penyebab utama munculnya tuntutan rakyat Singkawang untuk mekar dan mandiri menjadi kota. Secara faktual, Singkawang sudah menikmati menjadi Ibu Kota Kabupaten sejak keluarnya UU No 27 Tahun 1959 (lebih dari 40 tahun), tiba-tiba status kotanya turun hanya menjadi Ibu Kota Kecamatan dengan keluarnya UU No 10 Tahun 1999. Dalam kondisi semacam ini banyak fasilitas fisik yang kemudian ditinggalkan tanpa ada pemeliharaan. Selama statusnya turun, yaitu sekitar dua tahun, Singkawang menjadi kota yang hampir tidak tersentuh dengan pembangunan. Bahkan sejumlah bangunan fisik perkantoran tidak dimanfaatkan. Keinginan para elit Singkawang untuk memperjuangkan pemekaran, selain dilatarbelakangi oleh kekecewaan terhadap penurunan status dan kemerosotan kualitas kesejahteraan hidup kota Singkawang, juga diwarnai kekhawatiran para elit Melayu untuk berada dibawah dominasi Dayak bila Singkawang menjadi bagian dari Bengkayang. Semua kondisi tersebut menyebabkan perjuangan untuk memekarkan diri merupakan satu-satunya jalan yang paling cepat untuk mengatasi permasalahan ini.Gambaran yang sama juga ditemui di Kabupaten Induk Buton terutama di DOB Kabupaten Bombana dan Wakatobi. Bagi Wakatobi soal representasi politik tidak terlalu kuat dibandingkan dengan semangat mewujudkan pelayanan publik. Sedangkan komunitas Bombana merasa bahwa selain kurangnya akses untuk memperoleh sumber ekonomi dan politik, juga kurang terepresentasikannya komunitas Moronene (yang merupakan mayoritas suku di DOB Kabupaten Bombana), yang selama ini merasa termarginalkan. Upaya memisahkan diri bagi Bombana sebenarnya telah dilakukan semenjak tahun 1948.16 Namun karena hegemoni pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten, usaha ini baru berhasil dilakukan pada tahun 2003. Usaha ini sebenarnya bukan merupakan prakarsa tunggal karena di Bombana juga tinggal penduduk Kabaena dan suku Bugis. Komunitas Bombana ini, untuk membangun kohesivitas sosialnya, mengembangkan cara pandang ”territorial-pluralis-inklusif” yang mengandalkan tiga pilar Rumbia (Moronene) - Poleang (Bugis) – Kabaena (Moronene). Komunitas ini melandasi diri dalam lembaga tandualle. Sebelum Bombana mekar, pemerintah Kabupaten Buton melakukan hegemoni atas Bombana. Namun, pada saat yang sama, meskipun baru berhasil pada tahun 2003, komunitas Bombana telah pula berhasil melakukan counter-hegemony atas pemerintahan kabupaten induk. Kesadaran kolektif ini juga menjadi kian mengerucut karena representasi politik (anggaran) melalui legislatif dari Bombana tak juga mampu mewujudkan keadilan akses kue pembangunan. Bombana, yang telah memberi kontribusi hampir 50 persen terhadap pendapatan Kabupaten Buton, ternyata alokasi pembangunan infrastruktur wilayah Bombana dirasakan tidak adil. Dengan posisi representasi seperti itu maka langkah pemisahan diri menjadi jalan keluar terbaik bagi Bombana untuk membangun governance sendiri. Degan begitu Bombana akan memiliki
16
Di masa Hindia-Belanda komunitas sosial Moronene yang terhimpun dalam Kerajaan Moronene dimasukkan dalam wilayah administrasi Kesultanan Buton. Masuknya Kerajaan Moronene ke dalam Kesultanan Buton ini dipandang sebagai praktik hegemoni Kesultanan Buton atas Kerajaan Moronene. Ingatan kolektif inilah yang juga mendorong usaha pemisahan diri dari Kabupaten Buton.
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton
15
identitas sendiri, otonom, dan representasi politik yang dibangun kelak tak direcoki dengan hierarki yang tidak adil dalam membagi kue pembangunan. 3.1.2. Faktor Penyebab Yang Berupa Penarik (Kucuran Dana Dari Pusat). Limpahan fiskal yang berasal dari APBN, yang dapat diwujudkan lewat turunnya DAU (Dana Alokasi Umum) dan DAK (Dana Alokasi Kusus), merupakan sebuah simbol bahwa kue pembangunan (dari negara pusat) dapat diakses melalui mekanisme pemekaran ini. Dengan limpahan fiskal seperti ini sebenarnya menegaskan bahwa sumber satu-satunya kue pembangunan (atau dalam bahasa lain disebut dengan common pools resources-CPR) bagi daerah yang akan mekar dapat diakses. Jumlah fiskal sebelum mekar yang diterima ketika itu dibandingkan dengan setelah mekar terlalu jauh bedanya. Kondisi semacam ini menyebabkan semakin banyaknya wilayah yang mencoba memekarkan diri dengan alasan untuk memperoleh limpahan dana dari pusat tersebut. Kondisi semacam ini terjadi baik di Sambas maupun di Buton. Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa hasil wawancara (lewat FGD) dengan sejumlah tokoh di DOB Kabupaten Sambas yang sedang giat berjuang untuk memekarkan kembali DOB Kabupaten Sambas menjadi tiga (Kabupaten Sambas, Kabupaten Sambas Utara, dan Kabupaten Sambas Pesisiran). Demikian pula ada usaha untuk memekarkan kembali DOB Kabupaten Buton menjadi tiga Kabupaten Baru, yaitu Kabupaten Buton, Kabupaten Buton Selatan, dan Kabupaten Buton Barat (usaha di DOB Buton ini bahkan telah masuk dalam Perda Kabupaten Buton). Berkaitan dengan usaha ini para elite yang diwawancarai menyebutkan bahwa mereka tidak terlalu memperhitungkan ketidak terpenuhinya sejumlah syarat untuk mekar (sesuai dengan PP No 129 Tahun 2000), yang memang dapat dimanipulasi. Yang paling penting bagi mereka adalah turunnya DAU dari pemerintah pusat. Dengan demikian maka pemekaran adalah satu-satunya jalan untuk memperoleh akses terhadap sumber ekonomi dari pusat. Bahkan kesan ”balas dendam” sangat terasa karena pemekaran merupakan ”pukulan balik” bagi pusat yang sudah cukup lama dan cukup banyak menyerap kekayaan daerah untuk mengembalikan kekayaan tersebut ke daerah. Kasus nyata yang lain dapat dikemukakan proses pembangunan di DOB Kabupaten Bengkayang. Semenjak menjadi DOB Bengkayang telah mengembangkan jumlah kecamatan dari semula hanya tujuh kecamatan menjadi 17 kecamatan. Pembangunan kecamatan biasanya akan diikuti oleh pembangunan sarana pelayanan publik yang lain seperti: Puskesmas, Sekolahan (SLTP bahkan SLTA), Polsek, dan lain-lain (lihat lampiran 1). Selain itu dengan adanya Dana Alokasi Umum maka Pemerintah Daerah Kabupaten Bengkayang dapat mengangkat sekitar 500 Calon Pegawai Negeri baru.Gambaran di DOB Kabupaten Wakatabi juga menunjukkan hal yang sama. Perbandingan jumlah dukungan dana dari pusat antara sebelum dan sesudah pemekaran menunjukkan perbedaan yang sangat besar. Dari wawancara di lapang, kasus yang mirip juga terjadi di Bombana. Fakta ini juga menegaskan bahwa negara pusat merupakan sebuah institusi satu-satunya yang dapat memberikan common pools resources seperti ini. Tak ada sumber lain selain negara yang memungkinkan untuk bisa diakses kue pembangunannya. Pada kasus pemekaran di Buton meski dibalut dengan keinginan memperjuangkan identitas etnis, namun harapan memperoleh CPR juga besar.17 17
Hasil wawancara dengan Ketua DPRD, Staf WWF dan ketua KNPI (tgl 30/3/2007), diperoleh informasi bahwa, dihitung dari waktu sekarang (2007), Kabupaten Wakatobi sudah memasuki tahun ketiga dalam proses penganggaran. Anggaran tahun pertama (2005) sebesar Rp 47 milyar, tahun kedua (2006) sebesar Rp 280 milyar, dan tahun ketiga (2007) sebesar 300 milyar. Setelah mekar, Kabupaten Wakatibi memperoleh dana pembinaan dari Kabupaten Buton sebesar Rp 1,5 milyar. Sebelum mekar, oleh Kabupaten Buton, wilayah Wakatobi mendapat alokasi pendanaan pembangunan senilai Rp 500 juta.
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton
16
3.2.
Faktor-Faktor Yang Memfasilitasi Pemekaran Dalam bagian ini akan disajikan sejumlah faktor pendukung yang yang memungkinkan para aktor yang terlibat dalam proses pemekaran menggulirkan usaha pemekaran. Cakupan dari faktor yang akan disebutkan berikut bisa jadi merupakan bentukbentuk ketersediaan kerangka regulasi nasional, proses dan saluran-saluran prosedur yang harus ditempuh, dan kemungkinan pengalaman yang sudah dirintis sebelumnya. Sejumlah faktor pendukung mengapa pilihan pemekaran menjadi keputusan banyak daerah yang akan mekar disajikan dibawah ini. (1)
Persiapan Pemekaran Persiapan untuk memekarkan wilayah di Kabupaten Sambas sebenarnya telah terjadi dalam waktu yang lama dan berjalan damai. Kabupaten Sambas yang pertama, terbentuk berdasarkan UU No. 27 Tahun 1959 tentang Penetapan UU Darurat No. 3 Tahun 1953 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Kalimantan Barat. Berdasarkan UU tersebut, Ibu Kota Kabupaten Sambas ditetapkan di Sambas. Sejak tahun 1963 status kawedanan dihapus sehingga wilayah Pemerintahan Kabupaten Sambas berubah menjadi 15 wilayah kecamatan dan pada tahun 1988, kecamatan bertambah menjadi 19 kecamatan. Dua kecamatan diantaranya merupakan bagian wilayah dari Pemerintahan Kota Adminstratif Singkawang. Lintasan sejarah panjang tersebut tidak hanya menampakkan adanya usaha untuk mekar namun dibalik semua peristiwa formal tersebut juga menunjukkan peristiwa dan gejala yang meletakkan berbagai suku di Kalbar untuk bersaing dan saling berhadapan. Perseteruan antar suku tersebut dapat dilacak kembali sejak pemerintahan Belanda. Sudah sejak jaman kasultanan melayu yang Islam, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda harus menghadapi pemberontakan dari para sultan. Pada abad 19 pemerintah Belanda juga harus menghadapi kerusuhan di kongsi-kongsi penggalian tambang oleh orang-orang Cina yang datang dari daratan Cina. Sementara itu komunitas Dayak di pedalaman yang kurang berkembang secara ekonomis memperoleh kemajuan di bidang pendidikan dan kesehatan dari kehadiran zending. Kedekatannya dengan Belanda menyebabkan Suku Dayak “menjadi mempunyai jarak” dengan kedua suku (Melayu dan Cina) lain yang juga merupakan suku-suku utama. Pemekaran Kabupaten Sambas sebenarnya tidak lepas dari adanya tuntutan awal pemindahan Ibu Kota Kabupaten Sambas dari Singkawang ke Sambas. Perjuangan untuk memindahkan Ibu Kota Kabupaten ini diawali dengan adanya aspirasi, tuntutan, dan gerakan masyarakat Sambas yang muncul pada tahun 1961. Tuntutan pemindahan ini didasarkan pada UU No. 27 tahun 1959 tentang Pembentukan daerah Tingkat II Di Kalimantan (Lembaran Negara Republik Indonesia No. 9 Tahun 1953), yang dalam pasal 3 ayat (1) menetapkan Daerah Tingkat II Sambas berkedudukan di Sambas. Kenyataan menunjukkan (de facto) bahwa Ibu Kota Kabupaten Sambas berada di Singkawang. Penunjukkan ini menyebabkan konsentrasi pembangunan berada di Singkawang, yang kebetulan mayoritas sukunya adalah Suku Cina. Hal ini menyebabkan Sambas, yang mayoritasnya Suku Melayu, kemudian hanya menjadi daerah pinggiran yang secara fisik menjadi tertinggal. Perkembangan politik semasa Orde Baru juga tidak memberikan perbaikan posisi hubungan antar etnis di atas. Pada tahun 1967, pada akhir era konfrontasi dengan Malaysia telah membawa nasib buruk bagi Etnis Cina. Pada masa itu muncul tuduhan bahwa komunitas Cina di hulu-hulu sungai, di pedalaman, dan di perbatasan dengan Serawak, merupakan sumber dukungan logistik dari kelompok PGRS/PARAKU. Atas dasar tuduhan tersebut, mereka di kejar-kejar, banyak yang di bunuh, dan dipaksa pindah dari daerah hulu sungai di pedalaman, ke kota-kota di pesisiran, melalui sebuah
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton
17
operasi militer yang didukung oleh para tokoh adat Dayak setempat. Diantara tahun 19671972 setidaknya 100.000 etnis Cina di relokasi. Dengan demikian proses pemekaran Kabupaten Sambas yang berjalan sudah sangat lama dan kelihatannya damai, namun pada kenyataannya proses damai tersebut sebenarnya berada di atas tumpukan bara persaingan dan pertentangan antar etnis yang sangat kuat, yang setiap saat akan meledak. Ketegangan dan konflik antara Suku Dayak dengan Suku Madura pada sekitar tahun 1997, kemudian mengalami akselerasi konflik yang luar biasa pada era reformasi. Peristiwa “penghapusan” Suku Madura dari Daerah Kabupaten Sambas pada Era Reformasi, yang dilakukan baik oleh Suku Dayak maupun Suku Malayu, sebenarnya juga merupakan manifestasi ketegangan dan konflik tersebut. Dengan demikian maka pemekaran daerah dari Kabupaten Sambas menjadi Kabupaten Sambas, Kabupaten Bengkayang, dan Kota Singkawang, yang kebetulan ketiga wilayah kabupaten/kota baru tersebut jatuh sama dengan perbedaan suku dan agama di masing-masing wilayah, merupakan satu-satunya jalan bagi masing-masing kelompok di atas memperoleh akses ekonomi dan politik di Kalimantan Barat. Selain itu muncul pula pandangan di kalangan kelompok elite dari suku-suku utama di Sambas, yang menganggap adanya pemekaran Kabupaten Sambas akan dapat meredam ketegangan dan konflik antar suku-suku utama di Kalimantan Barat (Sambas). Dari uraian proses perjuangan yang sangat panjang tersebut maka munculnya pemekaran dapat lebih dipercepat karena proses penyiapannya sudah berjalan lama. Adanya persiapan pemekaran juga terjadi di Kabupaten Buton. Dari catatan yang terdokumentasikan, proses pemekaran di kabupaten Buton diawali dengan keluarnya SK Bupati Kabupaten Buton Nomor 46 Tahun 1999 tertanggal 25 Mei 1999 tentang pembentukan Tim Khusus untuk mempersiapkan Bau-Bau menjadi kota otonom, pemindahan kabupaten Buton dan pembentukan Kabupaten Wakatobi. Meskipun SK ini tidak menyebut Kabupaten Bombona, tetapi prakarsa lokal untuk mempersiapkan pemisahan diri Bombana dari Kabupaten Buton telah jauh dirintis sebelumnya. Bagi Kabupaten Buton Baru (sisa setelah dimekarkan) atau sering disebut dengan kabupaten induk, prakarsa mekar ini juga berimpit dengan keinginan untuk mewujudkan kembali kejayaan Kesultanan Buton melalui pembentukan Provinsi Buton Raya. Alasan lain bagi kabupaten induk untuk melepaskan sebagian wilayahnya adalah rentang kendali yang memang panjang dengan kawasan yang akan dimekarkan ini. (2)
Political Crafting Oleh Elite Dengan melihat perkembangan sosial politik dan fisik baik di Sambas maupun Buton, nampak ada sejumlah permasalahan mendasar yang dapat menyebabkan pemekaran di wilayah masing-masing. Namun demikian semua faktor tersebut tidak akan mencapai hasil seperti sekarang kalau tidak ada campur tangan elite lokal, regional, dan pusat yang memanfaatkan kondisi yang ada untuk memekarkan daerah. Semua permasalahan tersebut merupakan kombinasi faktor yang sangat kuat yang oleh elite lokal, regional, dan pusat dijadikan dasar bagi ide dan perjuangan pemekaran daerah. Di dalam hal ini dapat terjadi bahwa di satu pihak para elite daerah (atau elite pusat yang berasal dan berakar di daerah) memiliki peluang untuk memperoleh akses ke sumber-sumber ekonomi dan politik bagi kepentingan pribadi (rent seekers), namun di lain pihak bisa juga memang betul-betul di desak oleh rakyat di daerahnya untuk memperjuangkan pemekaran agar semua permasalahan tersebut dapat diatasi Munculnya aktor-aktor elite yang hadir sebagai pejuang pemekaran yang dengan alasan apapun mampu mendorong penyiapan proses proses menjadi sebuah kenyataan. Para elite ini ternyata memegang peranan penting dalam membaca dan sekaligus menyikapi perkembangan tata pemerintahan. Mereka juga mengikuti perjalanan sejarah Kabupaten Sambas atau Kabupaten Buton yang sebelumnya merupakan bentuk Kasultanan Sambas dan Kasultanan Buton kemudian terjadi pembekuan monarki yang diikuti dengan pembentukan
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton
18
kabupaten bar. Elite ini juga belajar bagaimana menyikapi hadirnya regulasi dalam bentuk UU No. 5 tahun 1974 dan kemudian UU No. 22 tahun 1999 dan PP 129 tahun 2000. Dinamika elite ini bukan saja sebatas bergerak pada teritori di mana ia berdomisili, tetapi juga membangun jejaring pada aras provinsi dan pusat. Jika dapat dikategorisaskan, maka para elite ini dapat dipilah dalam tiga kelompok, yakni: birokrasi, legislatif, tokoh masyarakat (civil society), dan gabungan dari ketiganya. Dalam praktik membangun interaksi politik, bisa terjadi elemen-elemen elite tersebut menjadi berbaur. Meski demikian, wilayah yang mekar baik di Sambas maupun Buton dapat ditandai dengan aktifnya elite yang berasal dari elemen birokrasi dan politisi. Sedangkan dari DOB Kabupaten Sambas dan DOB Kabupaten Bombana, elite yang aktif dalam proses pemekaran didominasi oleh peran tokoh civil society. Elite (yang sama) ini jika dicermati ternyata tidak hanya aktual dalam satu penggal momentum pemekaran saja, melainkan juga proaktif menyikapi perkembangan perpolitikan pascapemekaran. (3)
Kondisi Perpolitikan Nasional Kondisi perpolitikan nasional yang membuka ruang politik dan ruang untuk memekarkan diri, sebagaimana diundangkan dalam UU No. 22 Tahun 1999 dan PP 129 Tahun 2000, menjadi akselerator pemekaran daerah. Sejumlah alasan pemekaran yang sudah diuraikan di atas, sebenarnya menjadi tidak cukup signifikan jika tidak ada kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tentang desentralisasi yang di antaranya mengatur tentang penataan daerah. Dengan keluarnya regulasi seperti itu, maka bagi sejumlah aktor politik/birokrasi/tokoh lokal, regulasi semacam ini tidak hanya menjadi akselerator pemekaran namun juga menjadi ruang satu-satunya untuk merealisasikan ketidakpuasan atas sulitnya rentang kendali, disparitas akses kue pembangunan, pertimbangan akan dikucurkannya limpahan fiskal, yang sekaligus berimpit dengan kesadaran kolektif akan kejayaan masa lalu, menjadi dorongan kuat untuk mekar. Diluncurkannya regulasi UU No 22 tahun 1999 dan PP 129 Tahun 2000 tidak diikuti dengan penegakan syarat regulatif yang kualitatif. Syarat pemekaran hanya didominasi indikator kuantitatif. Dengan substansi regulasi seperti ini maka ruang untuk melakukan studi kelayakan menjadi relatif longgar. Dalam posisi seperti ini, maka dapat dikatakan bahwa pihak negara berada pada posisi yang relatif lemah. (4)
Pertimbangan Keamanan Wilayah Perbatasan Khusus untuk Wilayah Sambas yang mempunyai daerah perbatasan yang sangat panjang dengan Serawak Malaysia dan Singapura, terdapat faktor yang mengakselerasi terjadinya pemekaran, yaitu adanya skenario dari atas untuk dimekarkan dengan pertimbangan utama adalah memperkuat keamanan wilayah NKRI. Di lihat dari aspek pertahanan keamanan (hankam), daerah perbatasan semacam Kabupaten Sambas ini cukup rawan karena orang asing (yang dapat dianggap musuh) dapat dengan mudah keluar masuk wilayah Indonesia. Dengan demikian Kabupaten Sambas dengan wilayah perbatasan yang sangat panjang ini, dilihat dari segi keamanan memang menuntut perhatian ekstra dan spesial. Berkaitan dengan keamanan di wilayah perbatasan tersebut, pada tahun 1988 munculah Perda di Propinsi Kalimantan Barat yang mempersiapkan ide pemekaran di Kabupaten Sambas dengan tujuan utama selain untuk membuka isolasi daerah perbatasan juga sekaligus ada upaya untuk lebih memperhatikan keamanan di wilayah perbatasan dengan sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta (Hankamrata) yang lebih mendorong partisipasi rakyat untuk ikut menjaga keamanan di wilayah perbatasan. Pada tahun 1994 muncul pula skenario pemekaran Kabupaten Sambas yang tercantum dalam Pola Dasar Pembangunan Daerah Tingkat II Kabupaten Sambas. Dari dua fakta di atas nampak bahwa
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton
19
munculnya ide pemekaran wilayah Kabupaten Sambas sebenarnya juga diakselerasi (diwarnai) oleh skenario dan rancangan dari pihak pusat (paling tidak pada aras provinsi dan kabupaten), dengan menekankan pemeliharaan aspek keamanan di wilayah perbatasan. Dengan demikian maka pemekaran wilayah Kabupaten Sambas yang memiliki wilayah perbatasan sangat panjang, adalah suatu keharusan demi menjaga keamanan wilayah perbatasan. Walaupun demikian, ide dan skenario pemekaran Kabupaten Sambas yang berasal dari atas tersebut dan yang menyangkut keamanan ini, nampaknya cocok dengan ide pemekaran dari elite dan rakyat Kabupaten Sambas untuk memekarkan diri dengan berbagai macam alasan. Kombinasi dan resultante dari dua kehendak untuk mekar itulah yang mendorong pemekaran di Sambas dapat terjadi lebih cepat.
4.
PROSES SOSIAL POLITIK PEMEKARAN DAN PELESTARIAN HASIL PEMEKARAN Pembahasan tentang proses pemekaran Kabupaten Sambas dan Kabupaten Buton tidak hanya pada aspek bagaimana pemekaran tersebut diperjuangkan namun juga proses pemeliharaan (pelestarian) yang dilakukan oleh daerah otonomi baru sehingga mencapai bentuk daerah otonom seperti yang terjadi sekarang ini. 4.1.
Proses Perjuangan Pemekaran Usaha untuk memperjuangkan pemekaran dapat dilihat dari tiga segi yaitu: (1). Peran elite lokal dan elite pusat di dalam memperjuangkan pemekaran; (2). Adanya perjuangan rakyat yang berada di daerah; dan (3). Proses pemenuhan syarat administratifi. Berikut ini gambaran ke tiga segi yang berkaitan dengan proses perjuangan untuk mekar. (1)
Peran Elite Politik Lokal Adnya pemekaran sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari adanya usaha konsolidasi para elite (birokrasi, politisi, ketua-ketua adat, dan pengusaha) baik di aras lokal, regional, maupun nasional (pusat). Usaha yang dilakukan oleh para aktor pemekaran ini selain dalam bentuk konsolidasi elite dan mobilisasi massa juga dilakukan upaya pemenuhan sejumlah persyaratan adminsitrasi. Berdasar kenyataan adanya permasalahan di daerah dan munculnya sejumlah faktor penyebab seperti terurai di muka menyebabkan munculnya sejumlah tokoh yang memperjuangkan pemekaran. Di bagian muka juga disebutkan bahwa para elite ini kemudian juga berfungsi sebagai akselerator pemekaran. Proses yang dilakukan oleh para elite untuk memperjuangkan pemekaran adalah melakukan pengembangan jejaring dengan aktor elite negara (birokrasi) dan elite politik baik di aras lokal maupun nasional. Pembangunan jejaring ini merupakan keharusan karena dalam proses-proses penyiapan pemekaran diperlukan relasi pengambilan keputusan, baik resmi maupun tidak resmi, untuk memuluskan persiapan pemekaran. Kesadaran kolektif berbasis teritori-etnik dari tokoh masyarakat (civil society) memaksa mereka untuk bekerjasama dengan pejabat negara pada aras kabupaten, provinsi, bahkan pusat. Pada saat yang sama, mereka juga menyadari bahwa ada sejumlah saluran politik untuk menguatkan proses pemekaran yang juga harus digunakan untuk mendukung proses pemekaran ini, misalnya anggota DPR RI di Komisi II. Mobilisasi kaum elite di calon Daerah Otonomi Baru (DOB) dalam menyiapkan pemekaran memiliki dinamika sendiri-sendiri. Dinamika mobilisasi elite ini juga berimpit dengan proses interaksi politik. Secara keorganisasian, para elite pejuang pemekaran ini mengorganisasi diri dalam bentuk panitia. Kepanitiaan ini bisa bersifat tidak resmi namun pada akhirnya juga bersifat resmi. Kegiatan yang pertama yang biasanya dilakukan adalah dengan mengadakan diskusi-diskusi informal, seminar resmi, sampai kepada bentuk-bentuk unjuk rasa damai. Semua kegiatan ini
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton
20
biasanya dilakukan pada masa awal sebelum munculnya UU No 22 Tahun 1999. Kepanitiaan ini juga bertugas dalam merumuskan proposal atau profil daerah yang akan mekar dengan merujuk pada PP 129 Tahun 2000. Proposal atau studi kelayakan ini kemudian mereka konsultasikan dengan konsultan independen, kelengkapan resmi dari DPRD, dan Gubernur. Persiapan ini juga mengakomodasikan lobi dan penyampaian aspirasi kepada DPR RI dan Depdagri. Konsolidasi yang bertumpu pada aktivitas para elite inilah yang kemudian bermuara pada sejumlah kegiatan terencana seperti: penyiapan proposal pemekaran, kelayakan pemilihan calon ibukota kabupaten, permohonan restu dari gubernur, permohonan restu dari DPRD, penyaluran aspirasi kepada DPR RI Komisi II (yang salah satunya adalah putra daerah Wakatobi). Selain konsolidasi elite pejuang pemekaran ini muncul pula mobilisasi massa dari sejumlah kelompok pendukung pemekaran. Diperoleh kesan bahwa “kerjasama” antar aktor-aktor politik lokal dan nasional (lobbying)dapat memunculkan praktek penyuapan untuk mempercepat proses pemekaran. Disamping itu adanya semangat yang besar untuk memekarkan diri menyebabkan di satu pihak terjadinya manipulasi regulasi pemekaran kabupaten/propinsi, namun di lain pihak proses pemekaran tersebut menjadi peluang pengungkapan aspirasi dan hak politik masyarakat lokal untuk memperoleh otonomi daerahnya. Hasil wawancara menunjukkan bahwa secara terbuka diakui adanya manipulasi beberapa data terutama menyangkut kesiapan fisik untuk memenuhi persyaratan pemekaran. Di Sambas peran elite lokal di dalam memperjuangkan pemekaran Keberhasilan pemekaran Kabupaten Sambas tidak dapat dipisahkan dari peran elite lokal di dalam memperjuangkan pemekaran tersebut sekaligus juga memperjuangkan kesempatan untuk memperoleh akses terhadap sumber-sumber ekonomi dan politik. Para elite daerah tersebut dapat berupa elite di kalangan pemerintahan (termasuk para birokrat, anggota DPRD dan anggota DPR), elite pengusaha, dan elite atau tokoh agama dan budaya. Dapat pula dikemukakan bahwa di Kabupaten Sambas peran elite yang menjadi tokoh budaya masyarakat juga memegang peran besar di dalam proses pemekaran tersebut. Di wilayah bekas Kasultanan atau Kerajaan Sambas, sultan (raja) dan kerabatnya mempunyai peran penting di dalam ide dan proses pemekaran wilayah. Di dalam hal ini bisa saja sultan atau raja dan kerabatnya hanya dijadikan alat oleh elite tertentu untuk mencapai maksudnya. Khusus Pemekaran Kabupaten Sambas juga tidak bisa dilepaskan dari peran elite politik dan elite militer di aras pusat. Proses pemekaran di Kabupaten Sambas sebenarnya selalu terkait dengan ide dan design pemekaran yang ada di tataran pemikir pusat atau provinsi. Seperti diuraikan di muka design pemekaran Kabupaten Sambas yang mempunyai wilayah perbatasan sangat panjang, juga ditentukan oleh adanya usaha dari elite nasional untuk mengamankan wilayah perbatasan dengan sistem pertahanan keamanan rakyat semesta. Berkaitan dengan keamanan di wilayah perbatasan tersebut, pada tahun 1988 munculah Perda di Propinsi Kalimantan Barat yang mempersiapkan ide pemekaran di Kabupaten Sambas dengan tujuan utama selain untuk membuka isolasi daerah perbatasan juga sekaligus ada upaya untuk lebih memperhatikan keamanan di wilayah perbatasan dengan sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta (Hankamrata) yang lebih mendorong partisipasi rakyat untuk ikut menjaga keamanan di wilayah perbatasan. Pada tahun 1994 muncul pula skenario pemekaran Kabupaten Sambas yang tercantum dalam Pola Dasar Pembangunan Daerah Tingkat II Kabupaten Sambas. Di dalam Pola Dasar tersebut secara jelas dirancang bahwa pada akhirnya Kabupaten Sambas akan dipecah menjadi tiga yaitu: Kabupaten Sambas Utara dengan ibukota Sambas; Kabupaten Sambas Selatan dengan ibukota Bengkayang; dan Kota Madya Dati II Singkawang dengan ibukota di Singkawang. Dengan demikian maka proses pemekaran Kabupaten Sambas sebenarnya sudah berjalan lama dan memperoleh dukungan dari elite di aras nasional dan pusat, terutama justru dari pihak Hankam. Proses pemekaran tersebut memperoleh percepatannya pada era
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton
21
reformasi. Munculnya UU Nomor 10 Tahun 1999 (yang mendahului UU No 22 Tahun 1999) merupakan fakta bahwa pemekaran di Kabupaten Sambas memang terkait dengan persetujuan dan design dari pihak pusat. Dari dua fakta di atas nampak bahwa munculnya ide pemekaran wilayah Kabupaten Sambas sebenarnya diwarnai juga dengan skenario dan rancangan oleh elite di aras pusat (paling tidak pada aras provinsi dan kabupaten), dengan menekankan pemeliharaan aspek keamanan di wilayah perbatasan. Dengan demikian maka pemekaran wilayah Kabupaten Sambas yang memiliki wilayah perbatasan sangat panjang, adalah suatu keharusan demi menjaga keamanan wilayah perbatasan. Walaupun demikian, ide dan skenario pemekaran Kabupaten Sambas yang berasal dari elite pusat tersebut dan yang menyangkut keamanan ini, nampaknya juga cocok dengan ide dan perjuangan pemekaran dari elite dan rakyat Kabupaten Sambas yang memang sudah ada sebelum ide dan usaha dari elite tersebut terjadi. Kenyataan ini menyebabkan proses pemekaran Kabupaten Sambas sebenarnya merupakan proses yang memperoleh dukungan baik dari atas maupun dari bawah dan telah melalui suatu proses seleksi alam yang sangat panjang. Dengan demikian maka keberadaan Daerah Otonomi Baru di ex Kabupaten Sambas sebenarnya merupakan daerah yang memang secara teknis dan ideologi telah lebih siap untuk mekar. Di Kabupaten Buton adanya sinyal pemekaran yang berasal dari regulasi tentang penataan daerah pada aras nasional (UU No 22 Tahun 1999), langsung terjadi akselerasi persiapan pemekaran setidaknya dalam dua gelombang penyiapan administrasi. Pertama, mobilisasi pemekaran Kota Administratif Bau-Bau menjadi Kota Otonom Bau-Bau Mobilisasi ini berujung pada penetapan Bau-Bau sebagai Kota Otonom pada 2001. Penetapan Bau Bau sebagai Kota otonom berarti menepis peluang turun status menjadi kecamatan.18 Kedua, penyiapan wilayah Wakatobi dan Bombana menjadi kabupaten baru yang terealisasi ssecara bersamaan pada tahun 2003. Penetapan dua kabupaten baru ini bersamaan dengan penetapan Kolaka Utara sebagai kabupaten baru yang tertuang dalam UU No 29/2003. Proses mobilisasi ini sendiri memerlukan interaksi politik di antara para pejuang pemekaran dan pejabat aras kabupaten, provinsi, dan pusat. (2)
Proses Perjuangan Panjang Rakyat di Daerah Proses pemekaran Daerah baik di Kabupaten Sambas maupun di Kabupaten Buton sebenarnya juga ditentukan oleh perjuangan panjang rakyat di wilayah yang bersangkutan untuk memekarkan diri. Sebagai gambaran yang lebih jelas adalah proses perjuangan untuk memindahkan Ibukota dari Singkawang ke Sambas merupakan proses perjuangan yang sangat panjang namun damai dengan menggerakkan sebagian besar organisasi kemasyarakatan di Kabupaten Sambas terutama di daerah Suku Melayu (Sambas Pesisir). Perjuangan untuk memindahkan Kabupaten dari Singkawang ke Sambas sebenarnya dapat dibagi menjadi tiga periode perjuangan yaitu: (a). Periode Tahun 1960 – 1970; (b). Periode tahun 1980an; dan (c). Periode tahun 1990an. Perjuangan untuk memindahkan Ibu Kota Kabupaten ini diawali dengan adanya penyampaian aspirasi, tuntutan, dan gerakan masyarakat Sambas yang muncul pada tahun 1961. Sejumlah organisasi kemasyarakatan ikut terlibat di dalam proses penyampaian aspirasinya. Tuntutan pemindahan ini didasarkan pada UU No. 27 tahun 1959 tentang Pembentukan daerah Tingkat II Di Kalimantan (Lembaran Negara Republik Indonesia No. 9 18
Dalam sebuah lembaran informasi mengenai Pembentuan Daerah Otonom Baru Setelah Terbitnya UU No. 22 Tahun 1999, tercatat bahwa pada tahun 1999 terdapat 24 Kota Administratif. Dari 24 kota administratif ini yang naik status menjadi kota otonom berjumlah 16, termasuk di dalamnya adalah Bau Bau dan Singkawang (UU No. 2 Tahun 2001 tertanggal 21 Juni 2001). Sedangkan 8 kota administratif lainnya turun menjadi berstatus kecamatan. Kedelapan kotif yang turun menjadi kecamatan adalah: Baturaja, Kisaran, Rantau Prapat, Watampone, Jember, Cilacap, Klaten, dan Purwokerto.
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton
22
Tahun 1953), yang dalam pasal 3 ayat (1) menetapkan Daerah Tingkat II Sambas berkedudukan di Sambas”. Gerakan-gerakan masyarakat pada dekade 60-an tersebut tidak direspon oleh pemerintah secara positif, bahkan pada tanggal 1 April 1963 terbit Surat Keputusan Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah No. Dbs. 52/2/36-33 yang memutuskan pemindahan tempat kedudukan Pemerintah Daerah Tingkat II Sambas dari Sambas ke Singkawang dan mulai berlaku surut sejak 1 Januari 1963. Gerakan masyarakat untuk mengembalikan Ibu Kota Dati II Sambas kembali muncul pada tahun 1988. Bermula dari kegiatan MTQ tingkat Propinsi Kalbar yang diadakan di Sambas, secara terus menerus sejak tahun 1988, 1989, 1990 yang mengggulirkan keinginan kuat untuk mengembalikan Ibu Kota Dati II Sambas ke Sambas. Sejumlah usaha untuk menyampaikan aspirasi-aspirasi masyarakat Sambas mengenai pemekaran wilayah Kabupaten Dati II Sambas ditujukan kepada DPRD II, Sambas, DPRD I Kalbar, dan DPR RI, serta Bupati Sambas dan Gubernur Kalbar. Menindaklanjuti aspirasi masyarakat tersebut, Pemda Dati II Sambas membentuk Tim Peneliti Kemampuan Wilayah yang akan dimekarkan dengan SK Bupati No. 326 tahun 1994 tanggal 14 Oktober 1994 yang kemudian melaksanakan tugas dengan merumuskan pokokpokok pikiran tentang pemekaran wilayah. Selanjutnya Bupati Kepala Daerah Dati II Sambas dengan surat nomor 135/032/Tapem tanggal 8 Januari 1996 Tanggal 21 Desember 1995 menjelaskan kepada DPRD Tingkat II Sambas tentang perlunya menindaklanjuti aspirasi masyarakat yang berkembang dengan melakukan pengkajian secara mendalam. Pada tahun 1996 di tingkat Kabupaten Sambas telah dibentuk Tim Penelitian dan Evaluasi Pemekaran Kabupaten Sambas dengan SK Bupati Sambas No. 406 tahun 1996 yang merupakan penyempurnaan SK Bupati KDH Tingkat II Sambas No. 326 Tahun 1994 tanggal 14 Oktober 1994. Gubernur KDH Tingkat I Kalbar dengan Surat Nomor 135/0728/Pem.C. tanggal 15 Pebruari 1996, meminta agar Bupati Sambas dan DPRD Sambas segera mengambil langkah-langkah konkrit untuk mewujudkan aspirasi masyarakat. Sehubungan dengan surat Gubernur di atas, kemudian DPRD Tingkat II Sambas dengan surat No. 135/200/DPRD tanggal 13 Juni 1996 melalui Bupati KDH II Sambas meminta agar Tim Pemekaran Daerah Otonom segera menyusun Proposal Pemekaran Wilayah. Pada tahun 1996 tersebut di tingkat Kabupaten Sambas telah dibentuk Tim Penelitian dan Evaluasi Pemekaran Kabupaten Sambas dengan SK Bupati Sambas No. 406 tahun 1996. Surat Keputusan ini merupakan penyempurnaan dari SK Bupati No. 326 Tahun 1994. Tim ini bertugas menyusun proposal untuk diajukan kepada Pemda Sambas. Berdasar hasil kajian team ini akhirnya Bupati KDH II Sambas mengusulkan kepada Pemerintah Pusat tentang pemekaran Kabupaten Sambas menjadi Kota Madia Singkawang; Kabupaten Sambas; dan Kabupaten Bengkayang. Namun keputusan Pusata lewat UU Nomor 10 Tahun 1999 hanya membagi Kabupaten Sambas menjadi Kabupaten Sambas dengan ibukota di Sambas dan Kabupaten Bengkayang. Dengan demikian muncul pula permasalahan yang menginginkan Singkawang menjadi Kota Otonom Baru.Untuk memperkuat tekanan politik oleh para elite politik dibentuklah organisasi-organisasi pergerakan masyarakat. Paling tidak ada lima belas organisasi yang mendukung pembentukan Kota Singkawang. Kebanyakan organisasi itu merupakan bentukan baru dan bersifat instan. Namun dalam perkembangannya beberapa diantaranya tetap eksis, berkembang dengan baik dan menjadi awal /embrio dari kebangkitan organisasi civil society di Singkawang. Salah satu organisasi penting khususnya dalam loby politik dan pendanaan adalah Kelompok Peduli Singkawang (KPS). Kelompok ini beranggotakan 17 orang yang terdiri dari beberapa tokoh politik, birokrat, dan pengusaha. Ada sembilan pengusaha yang bergerak di perbagai bidang, antara lain jasa konstruksi (kontraktor), pengadaan barang, percetakan, perhotelan, dsb bergabung dalam KPS. KPS ikut mendampingi panitia pemekaran yang dibentuk Bupati Bengkayang untuk melakukan lobi di tingkat daerah, propinsi, bahkan juga
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton
23
pusat. Perwakilan mereka ikut ke Jakarta dalam pertemuan dengan Tim Konsultan Independen di Hotel Mercury Jakarta. Dalam mengusahakan dana, mereka juga berusaha menghimpun dana dari jaringan pengusaha Cina Singkawang di Jakarta dan di kota-kota besar lain di Indonesia. Perjuangan yang tidak dilakukan dengan kekerasan tersebut akhirnya berhasil disetujui oleh Pemerintah Pusat dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2001, yang menetapkan Singkawang sebagai Kota Otonom. Proses yang sama sebenarnya juga terjadi pada pemekaran di wilayah Buton. Sebagai contoh dapat dikemukakan secara ringkas proses perjuangan rakyat Buton di dalam memperjuangkan Kota Bau-Bau sebagai Kota Otonom, seperti terlihat pada boks di bawah ini.
Kronologi Pemekaran Kotif Bau Bau menjadi Kota otonom Bau Bau 20 Mei 1999 – Walikota Administratif Bau Bau, Umar Abibu mengajukan usulan peningkatan status Kotif Bau Bau menjadi Kota otonom kepada Bupati Buton 25 Mei 1999 – Bupati Bupton, Saidoe, menerbitkan SK Pembentukan Tim Khusus untuk mempersiapkan Bau Bau menjadi kota otonom, pemindahan ibukota Kabupaten Buton, dan pembentukan Kabupaten Wakatobi. 01 Juni 1999 – Mosi Aspirasi untuk peningkatan status kot administratif menjadi kota otonom dari Forum Silaturohmi partai Politik Kabupaten Buton kepada Mendagri (17 partai politik) 10 Juni 1999 – Resolusi Forum Silaturahmi Partai Politik Kabupaten Buton kepada Bupati Buton yang terkait dengan ibukota Kabupaten ditempatkan di Batuaga. 14 Juni 1999 – Permintaan Bupati Buton kepada DPRD Kabupaten Buton dalam rangka peningkatan status kotif Bau Bau menjadi kota otonom. 28 Juni – Persetujuan DPRD Kabupaten Buton mengenai peningkatan kota adminsitratif Bau Bau menjadi kota otonom 01 Juli 1999 – Usulan Bupati Buton kepada Gubernur Kendari untuk peningkatan status kotif Bau Bau menjadi kota otonom. 19 Juli 1999 – Perantara rekomendasi dari DPRD provinsi untuk peningkatan status Kotif Bau Bau menjadi Kota otonom 06 Agustus 1999 – Persetujuan DPRD Provinsi atas usul peningkatan status kota Bau-Bau. 14 Agustus 1999 – Penetapan DPRD Kab. Buton tentang ibukota Kabupaten Buton: Loompo, Batuaga.
(3)
Proses Pemenuhan Persyaratan Administratif Para aktor yang memperjuangkan pemekaran tak bisa mengelak dari ketentun persyaratan indikator yang harus dipenuhi sebagaimana diamanatkan dalam PP 129 Tahun 2000. Khusus untuk persiapan Kotif Bau-Bau menjadi Kota Otonom, penyiapan proposal dibantu oleh Tim CRISE dari Jakarta. Dalam penyiapan proposal pemekaran, sebenarnya juga terbuka peluang untuk melakukan manipulasi data, meskipun secara teoretik manipulasi data tersebut sebenarnya dapat ditekan dengan adanya indikator kuantitatif yang kebanyakan bersumber dari data Biro Pusat Statistik. Hanya saja justru karena sudah diketahui sumber legitimasi data ada pada lembaga BPS, maka melalui pintu inilah kemudian data, misalnya tentang luas wilayah dan jumlah penduduk, di mark-up. Proses pemenuhan syarat-syarat administratif ini juga tidak terlepas dari usaha dan persepsi para elite yang ada di aras nasional. Persepsi penataan daerah pada aras nasional, yang dikerucutkan menjadi persoalan pemekaran, merupakan sebuah usaha melacak persepsi penerapan kebijakan penataan daerah sebagaimana diatur dalam UU 22 Tahun 1999 (yang kemudian direvisi dalam UU No 32 Tahun 2004) dan PP 129 Tahun 2000. Persepsi bertolak dari sumber dokumen dan wawancara pada sejumlah informan kunci. Persepsi yang hendak digali merujuk pada penelitian di lapang (dua studi kasus di wilayah yang mekar Sambas,
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton
24
Provinsi Kalimantan Barat, dan Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara. Pemaparan persepsi ini akan disajikan dari dialektika persepsi negatif dan persepsi positif. Kecenderungan ”membingkai” kerja DPOD oleh elite politik yang tak berdasarkan pada kajian akademik tetapi lebih mengutamakan proses prosedural dan legal-formal mengakibatkan pihak yang bekerja adalah tim teknis yang rawan manipulasi data. Dengan kata lain determinasi politik terhadap DPOD selain dilakukan oleh para politisi juga dilakukan oleh tim teknis, yang prosesnya tidak transparan bagi publik. Kerja Tim Teknis dan Tim Konsultan sebenarnya tak bisa dilepaskan dari peran eliteelite politik (baik lokal maupun nasional) dalam keinginan memperebutkan kontrol terhadap sumber daya ekonomi dan politik. Jika sinyalemen yang dikemukakan oleh Eko Prasojo benar, maka catatan ini lebih mengukuhkan adanya praktik oligarkhi para elite politik lokal dan nasional Tiadanya check and balances antara pihak Depdagri dan DPR dalam pengambilan keputusan tentang mekar atau tidak sebuah daerah: Ada dua jalur pengajuan usulan pemekaran. Pertama adalah jalur pintu Depdagri yang mengandalkan PP 129 tahun 2000 jo UU No. 22 tahun 1999, yang dikenal dengan jalur normal. Kedua, selain jalur normal, masih ada jalur,”tidak normal” yakni melalui DPR. Dalam hal ini bisa saja terjadi conflict of interest antara elite politik nasional dan elite politik lokal. Hal ini dijelaskan oleh Eko Prasodjo sebagai berikut, ”Pemekaran daerah melalui DPR tidak dapat dilepaskan dari kepentingan partai politik untuk memperoleh kekuasaan politik dan menanamkan pengaruh politiknya di tingkat lokal. Pemekaran daerah bukanlah semata-mata kepentingan para elite lokal saja tetapi juga urusan para elite tingkat nasional dan relasi antar-elite lokal-nasional yang bercorak simbiosis mutualisme berdasarkan politik pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal. Bagi elite-elite politik di DPR, pemekaran daerah adalah pembukaan panggungpanggung politik baru dengan DPR sebagai pemain utama dan masyarakat daerah sebagai penonton saja.” Usaha membangun panggung-panggung politik baik oleh elite lokal maupun nasional tak bisa dipungkiri sangat sensitif dengan transaksi politik uang. Pihak eksekutif yang mendorong lancarnya proses pemekaran akan ”membiayai” para DPR Daerah. Atau, DPRD sebuah daerah yang akan dimekarkan akan berperan sebagai fasilitator atau broker. 4.2.
Proses Pelestarian Hasil Pemekaran Pelestarian pemekaran menjadi suatu proses penting yang dapat mencegah adanya kemungkinan Daerah Otonomi Baru menjadi mekar kembali dan sekaligus mencegah gejolak ketidak puasan dari rakyat di wilayah pinggiran baru yang muncul oleh akibat pemekaran. Sejumlah usaha dilakukan untuk memelihara kelestarian wilayah namun baik untuk Kabupaten Sambas maupun untuk Kabupaten Buton usaha tersebut nampaknya tidak sepenuhnya berhasil. Hal ini terlihat bahwa di DOB Kabupaten Sambas pada tahun 2007 telah muncul usaha untuk memecah kembali Kabupaten Sambas menjadi tiga kabupaten baru, yaitu Kabupaten Sambas, Kabupaten Sambas Utara, dan Kabupaten Sambas Pesisir. Demikian pula di DOB Kabupaten Buton pada tahun 2007 telah muncul usaha untuk kembali memecah DOB Kabupaten Buton menjadi tiga kabupaten yaitu: Kabupaten Buton, Kabupaten Buton Barat, dan Kabupaten Buton Selatan. Gambaran tentang kekurangberhasilan pelestarian DOB di DOB Kabupaten Sambas dan Buton ini sebenarnya lebih didorong oleh keinginan untuk memperoleh limpahan dana dari pusat (lewat DAU dan DAK) dan oleh adanya keinginan untuk membangun “kembali” Provinsi Sambas Raya dan Provinsi Buton Raya. Di samping adanya kekurangberhasilan melestarikan DOB seperti terurai di atas, sejumlah DOB sudah dengan serius mengusahakan pelestarian DOB yang sudah mereka mekarkan. Beberapa usaha untuk melestarikan wilayah dapat dikemukakan sebagai berikut.
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton
25
(1)
Membentuk Kecamatan, Desa, dan Kelurahan Baru Salah satu usaha untuk melestarikan kabupaten Sambas adalah dengan membentuk kecamatan baru. Dengan cara ini maka pelayanan kepada publik dan pembangunan fisik dapat lebih merata dan tidak terkonsentrasi di Ibu Kota Kabupaten. Selain itu dari usaha ini diharapkan ketidak puasan wilayah pinggiran dapat diredam. Sejak pemindahan Ibukota Kabupaten Sambas dan pemekaran Kabupaten Bangkayang (tahun 1999) sampai dengan tahun 2006, telah terbentuk delapan Kecamatan Baru di Kabupaten Sambas. Hal yang sama juga terjadi di Kabupaten Bengkayang, yaitu semenjak terbentuknya Kabupaten Bengkayang telah munculnya tujuh kecamatan baru. Yang semula jumlah kecamatan hanya 10 telah berkembang menjadi 17 kecamatan. Di Kota Singkawang juga terjadi pemekaran jumlah kecamatan. Pada tahun 2005 dari 3 kecamatan dimekarkan menjadi 5 Kecamatan, dan bersamaan dengan itu semua desa diubah statusnya menjadi kelurahan. Kondisi yang sama juga berlaku di DOB Buton, yang pada saat Bau-Bau, Bombana, dan Wakatobi memisahkan diri pada tahun 2003, jumlah kecamatan DOB Kabupaten Buton hanya 9 kecamatan maka pada tahun 2005 jumlah kecamatan sudah menyamai jumlah kecamatan sebelum pemekaran yaitu 21 kecamatan. Penambahan kecamatan baru ini selalu diikuti oleh pembangunan sarana pelayanan publik lain, seperti puskesmas, sekolahan (SLTP dan SLTA), Polsek, dan fasilitas pelayanan publik lain. Pemekaran lanjut untuk tingkat kecamatan untuk Kota Singkawang nampaknya tidak lagi diperlukan mengingat luas wilayah yang relatif kecil. Walaupun demikian, pemekaran pada tingkat kelurahan masih akan berlangsung terus. Saat ini sedang di proses pemekaran Desa Sedau di Kecamatan Singkawang Selatan yang memang memiliki jumlah penduduk dan luas wilayah yang lebih besar. Alasan utama untuk memekarkan Sedau menjadi 3 kelurahan (Sedau Utara, Sedau Tengah dan Sedau Selatan) adalah agar selain dapat melayani rakyat lebih intens juga mempunyai peluang untuk mendapatkan bantuan dari pusat untuk “pembangunan” daerah menjadi semakin besar. Setiap pemekaran kelurahan akan membuka lowongan pegawai sekitar 15-20 staf (Lurah, Seklu, Kasipem, Kasi Trantib, Kasi Ekon dan Pendapatan, Kasi Pembangunan, plus masing-masing kasi punya dua sampai tiga staf). Kondisi yang hampir sama sebenarnya juga terjadi di Kota Otonom Bao-Bau. (2)
Pelayanan Yang Lebih Intens Bagi Wilayah Pinggiran Adanya pemekaran memang selain meningkatkan efisiensi pelayanan publik, namun juga bisa terjadi untuk wilayah tertentu justru terjadi hal yang sebaliknya. Oleh sebab itu untuk kondisi khusus semacam itu maka diperlukan pelayanan publik yang lebih intens. Sebagai gambaran dapat dikemukakan bahwa cakupan Daerah Otonomi Baru Bengkayang tidak hanya berada di wilayah pedalaman tetapi juga (telah ditetapkan) sampai di wilayah pantai yaitu wilayah Kecamatan Sungai Raya, yang kebetulan pula Wilayah Sungai Raya terletak berbatasan dengan Kota Singkawang namun berjarak sekitar 100 Km dari Ibukota Kabupaten Bengkayang. Rakyat di Daerah Kecamatan Sungai Raya merasa tidak puas karena sebelumnya letak ibukota kabupaten adalah lebih dekat yaitu Kota Singkawang. Mereka berkehendak untuk bergabung dengan Kota Singkawang atau Kabupaten lain, lewat satu proses perjuangan yang panjang (demonstrasi dan membawa ke pengadilan negeri). Perjuangan mereka mengalami kegagalan karena pengadilan tetap memutuskan bahwa Kecamatan Sungai Raya masuk dalam Daerah Otonomi Kabupaten Bengkayang. Untuk meredam ketidakpuasan rakyat di wilayah Kecamatan Sungai Raya, pemerintah Kabupaten Bengkayang kemudian memecah Kecamatan Sungai Raya menjadi tiga, yaitu Kecamatan Sungai Raya, Kecamatan Capkala (tahun 2005), dan Kecamatan Sungai Raya Kepulauan (2006). Selain itu Kabupaten Bengkayang memberi perhatian lebih terhadap pelayanan publik di tiga kecamatan tersebut. Sebagai contoh, untuk pengurusan
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton
26
Kartu Keluarga (KK) dan KTP rakyat Sungai Raya tidak perlu datang ke kantor kabupaten yang letaknya jauh namun cukup diselesaikan di kantor kecamatan masing-masing. Demikian pula proses pembayaran pajak kendaraan dapat dilakukan di Kota Singkawang. Selain itu, mengingat sebagian besar penduduk Kecamatan Sungai Raya adalah nelayan maka pihak kabupaten mendirikan Kantor Cabang Dinas Perikanan yang bertempat di Kecamatan Sungai Raya Kepulauan. (3)
Pemerataan dan Prioritas Pembangunan Seiring dengan pembentukan kecamatan baru dan kelurahan baru seperti terurai ÿÿ atas, maka pembanguman fisikk, seperti: Kantor kecamatan, Puskesmas, SD, SLTP, jalan, dan jembatan juga mulai dapat disebarkan ke wilayah di luar Ibu Kota Kabupaten. Dengan cara ini diharapkan ketidakpuasan wilayah pinggiran yang akan dan sudah muncul akan dapat diredam. Selain usaha untuk memeratakan pembangunan ada pula usaha untuk memprioritaskan pembangunan bagi jenis-jenis pembangunan yang memang langsung dirasakan manfaatnya oleh rakyat. Sebagai gambaran dapat dikemukakan bahwa di DOB Kabupaten Bengkayang, DOB Kabupaten Bombana, dan DOB Kabupaten Wakatobi pada tahun-tahun awal pemerintahannya, mereka tidak mengutamakan untuk mengembangkan PAD, tetapi memprioritaskan untuk pembangunan infrastruktur. DAK dan semua dana yang ada diprioritaskan untuk membangun berbagai prasarana yang dapat dirasakan langsung oleh rakyat seperti: membangun jalan dan jembatan di wilayah terpencil dan perbatasan; membangun kantor-kantor kecamatan dan desa baru, membangun puskesmas di setiap kecamatan, membangun SD dan SLTP di setiap kecamatan.19 Disamping membangun prasarana fisik hampir semua Daerah Otonomi Baru mempunyai usaha untuk menambah pegawai negeri demi untuk mengefektifkan pelayanan publik. Jumlah pegawai negeri baru yang mereka terima setiap tahunnya bisa mencapai 500 orang. Selain itu dapat pula dikemukakan usaha lain yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk melestarikan pemekaran adalah dengan memberi fasilitas yang memadai bagi datangnya investor, terutama untuk bidang pertambangan, kelautan, pengolahan hasil kayu,20 dan perkebunan kelapa sawit.21 Semua usaha tersebut paling tidak dapat memberikan kesempatan kerja bagi rakyat.
5.
PERKEMBANGAN KAPASITAS SOSIAL-POLITIK DOB Paling tidak ada delapan hal yang akan dibahas di dalam sub bab ini yaitu: (1) Kemampuan Memperoleh Sumberdaya Fiskal; (2) Corak Fiskal pada Awal Daerah Otonomi Baru; (3) Kemampuan Berotonomi Dalam Konteks Lintas Daerah; (4) Kebangkitan Kohesivitas Etno-Kultural Dalam Konteks Masyarakat Multikultural; (5) Rekritmen PNS; (6). Rentang Kendali; (7) Masuknya DPRD Baru; dan (8) Perkembangan DOB.
19
Khusus untuk DOB Kabupaten Bengkayang, pembangunan kantor kabupaten yang megah baru dilakukan pada tahun-tahun terakhir. Bahkan pembangunan rumah dinas Bupati Bengkayang tidak dilakukan. Walaupun rumah dinas bupati tidak dibangun Bupati Bengkayang telah berhasil membangun rumah pribadinya dengan sangat megah. 20 Pada saat penelitian ada investor dari Finlandia yang akan melakukan investasi untuk membangun dermaga di salah satu pulau dari 13 pulau yang ada di Kecamatan Sungai Raya Kepulauan dan akan membuat industri pengolahan kayu. 21 Pada saat ini sudah muncul pemahaman bahwa adanya perkebunan kelapa sawit tidak selalu menguntungkan, sehingga sebagian Suku Dayak menolak perkebunan kelapa sawit karena dapat merusak lingkungan (tidak dapat menahan air) dan dapat menyebabkan ketergantungan kepada pabrik.
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton
27
5.1.
Kemampuan Memperoleh Sumber Daya Fiskal Membayangkan Indonesia sebagai sebuah kawasan kepulauan dengan keragaman etnis, bahasa, dan budaya, maka tantangan terbesar untuk keberlangsungan hidup Indonesia sebagai negara-bangsa adalah bagaimana menjaga prinsip keberlangsungan berdasarkan pada distribusi kue pembangunan secara adil. Kue pembangunan, yang adalah terkumpulnya sumber-sumber daya publik (common pool resources), sudah selayaknya dapat diakses melalui mekanisme representasi politik yang adil pula. Prinsip ini merupakan prinsip yang dapat saja mendorong tumbuhnya praktik yang sebaliknya, yakni membangun ketidakadilan dalam membagi kue pembangunan tetapi juga sekaligus memandulkan representasi politik masyarakat sipil (civil society). Ketiadaan representasi politik inilah yang mendorong tumbuhnya oligarkhi berupa kekuasaan di tangan segelintir orang yang secara sistematis melakukan perampokan atas state resources atau elite captures. Jika ini terjadi, maka fenomenanya adalah tragedi atas milik bersama (tragic of the the common). Tantangan seperti inilah yang akan menguji apakah kebijakan penataan daerah yang digulirkan oleh negara akan membawa angin keadilan dalam pembagian kue pembangunan atau justru semakin maraknya praktik investasi politik yang mendorong perampokan sumber-sumber negara. Kebijakan desentralisasi yang terjadi sekarang ini telah menjadi dasar terjadinya transfer sumber keuangan dan kewenangan yang cukup besar dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Pemerintah daerah menjadi pelaku pembangunan di berbagai sektor. Kebijakan desentralisasi yang diikuti munculnya kebijakan pemberian DAU ( dan DAK) ke daerah merupakan konskuensi dari kebijakan desentralisasi kewenangan kepada daerah. Kebijakan keuangan untuk daerah yang demikian telah menjadi alasan bagi masyarakat di daerah untuk berlomba membentuk DOB dengan jalan pemekaran. Dengan demikian kebijakan keuangan pemerintah pusat telah menjadi faktor penarik utama tuntutan pemekaran. Limpahan fiskal yang berasal dari APBN, yang dapat diwujudkan lewat turunnya DAU (Dana Alokasi Umum), DAK (Dana Alokasi Khusus), serta bantuan lainnnya merupakan sebuah simbol bahwa kue pembangunan (dari negara pusat) dapat diakses melalui mekanisme pemekaran ini. Dengan limpahan fiskal seperti ini sebenarnya menegaskan bahwa sumber satu-satunya kue pembangunan bagi daerah yang akan mekar dapat diakses. Jumlah fiskal sebelum mekar yang diterima ketika itu dibandingkan dengan setelah mekar terlalu jauh bedanya. Kondisi semacam ini, yang terjadi baik di Sambas maupun Buton, menyebabkan semakin banyaknya wilayah yang mencoba memekarkan diri dengan alasan untuk memperoleh limpahan dana dari pusat tersebut. Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa hasil wawancara (lewat FGD) dengan sejumlah tokoh di DOB Kabupaten Sambas yang sedang giat berjuang untuk memekarkan kembali DOB Kabupaten Sambas menjadi tiga (Kabupaten Sambas, Kabupaten Sambas Utara, dan Kabupaten Sambas Pesisiran). Demikian pula ada usaha untuk memekarkan kembali DOB Kabupaten Buton menjadi tiga Kabupaten Baru, yaitu Kabupaten Buton, Kabupaten Buton Selatan, dan Kabupaten Buton Barat (usaha di DOB Buton ini bahkan telah masuk dalam Perda Kabupaten Buton). Berkaitan dengan usaha ini para elite yang diwawancarai menyebutkan bahwa mereka tidak terlalu memperhitungkan ketidak terpenuhinya sejumlah syarat untuk mekar (sesuai dengan PP No 129 Tahun 2000), yang memang dapat dimanipulasi. Yang paling penting bagi mereka adalah turunnya DAU dari pemerintah pusat. Dengan demikian maka pemekaran adalah satu-satunya jalan untuk memperoleh akses terhadap sumber ekonomi dari pusat. Bahkan kesan ”balas dendam” sangat terasa karena pemekaran merupakan ”pukulan balik” bagi pusat yang sudah cukup lama dan cukup banyak menyerap kekayaan daerah untuk mengembalikan kekayaan tersebut ke daerah. Kasus nyata yang lain dapat dikemukakan proses pembangunan di DOB Kabupaten Bengkayang. Semenjak menjadi DOB Bengkayang telah mengembangkan jumlah kecamatan
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton
28
dari semula hanya tujuh kecamatan menjadi 17 kecamatan. Pembangunan kecamatan biasanya akan diikuti oleh pembangunan sarana pelayanan publik yang lain seperti: Puskesmas, Sekolahan (SLTP bahkan SLTA), Polsek, dan lain-lain (lihat lampiran 1). Selain itu dengan adanya Dana Alokasi Umum maka Pemerintah Daerah Kabupaten Bengkayang dapat mengangkat sekitar 500 Calon Pegawai Negeri baru.Gambaran di DOB Kabupaten Wakatabi juga menunjukkan hal yang sama. Perbandingan jumlah dukungan dana dari pusat antara sebelum dan sesudah pemekaran menunjukkan perbedaan yang sangat besar. Dari wawancara di lapang, kasus yang mirip juga terjadi di Bombana. Fakta ini juga menegaskan bahwa negara pusat merupakan sebuah institusi satu-satunya yang dapat memberikan common pools resources (CPR) seperti ini. Tak ada sumber lain selain negara yang memungkinkan untuk bisa diakses kue pembangunannya. Pada kasus pemekaran di Buton meski dibalut dengan keinginan memperjuangkan identitas etnis, namun harapan memperoleh CPR juga besar.22 Demikian pula untuk DAK yang pada dasarnya merupakan dana untuk kegiatan pembangunan yang lebih banyak dikelola oleh dinas sektoral merupakan sumber utama bagi dinas sektoral di aras regional untuk melaksanakan kegiatannya. Dengan demikian maka DAK juga menjadi salah satu faktor pemacu munculnya DOB, namun penggunaan dari DAK ini seringkali hanya berorientasi kepada rencana dinas yang datang dari atas dan tidak sesuai dengan kebutuhan rakyat di daerah. 5.2.
Corak Fisik Pada Awal Daerah Otonomi Baru Di Daerah Otonomi Baru (DOB) yang lewat pemekaran menjadi kabupaten, ketersediaan dana kucuran dari pusat diutamakan atau diprioritaskan untuk membangun sarana dan prasarana fisik, khususnya gedung perkantoran, rumah jabatan bupati dan rumah jabatan wakil bupati (khusus di Kabupaten Bengkayang rumah jabatan bupati sengaja tidak diprioritaskan untuk dibangun), gedung DPRD (khusus untuk gedung DPRD kurang ditunjukkan oleh DOB yang semula sudah menjadi ibu kota kabupaten induk), sementara prioritas berikut barulah untuk pembangunan sarana dan prasarana publik (seperti jalan, jembatan, dan sebagainya). Walaupun demikian adapula wilayah yang juga memprioritaskan pembangunan sarana dan prasarana pelayanan publik tanpa terlebih dahulu membangun gedung untuk rumah jabatan kepala daerah. Pola ini mengungkapkan antara lain: (1). Pertanda visual bahwa DOB yang bersangkutan telah memiliki status baru, sehingga sarana dan prasarana fisik itu menjadi pertanda konkret tentang status baru itu yang pada masa sebelum pemekaran belum ada. Proses pembangunan sarana dan prasarana fisik untuk kepentingan umum (jalan, jembatan, dan sebagainya) juga mendukung tujuan untuk menunjukkan status DOB itu. (2). Untuk daerah tertentu, yang memprioritaskan pembangunan sarana dan prasarana fisik untuk kepentingan pejabat dan legislatif (yang bias elite), selain menunjukkan adanya pengalokasian yang tidak langsung bermanfaat bagi rakyat namun juga berfungsi sebagai pengungkapan kebanggaan dan identitas DOB. (3). Dalam kebanggaan ini yang lebih kuat menonjol adalah citra pembangunan saranaprasarana yang bias elite, yaitu dibangunnya bangunan rumah-rumah dinas lebih dahulu ketimbang sarana-prasarana jembatan, pelabuhan, jalan, dan puskesmas yang
22
Hasil wawancara dengan Ketua DPRD, Staf WWF dan ketua KNPI (tgl 30/3/2007), diperoleh informasi bahwa, dihitung dari waktu sekarang (2007), Kabupaten Wakatobi sudah memasuki tahun ketiga dalam proses penganggaran. Anggaran tahun pertama (2005) sebesar Rp 47 milyar, tahun kedua (2006) sebesar Rp 280 milyar, dan tahun ketiga (2007) sebesar 300 milyar. Setelah mekar, Kabupaten Wakatobi memperoleh dana pembinaan dari Kabupaten Buton sebesar Rp 1,5 milyar. Sebelum mekar, oleh Kabupaten Buton, wilayah Wakatobi mendapat alokasi pendanaan pembangunan senilai Rp 500 juta
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton
29
lebih melayani rakyat banyak. Akibatnya pelayanan publik yang seharusnya bisa lebih didahulukan menjadi tertunda. (4).
(5)
(6)
Pembangunan seperti terurai di atas lebih menegaskan fenomena kedaerahan yang sempit, yang hanya berorientasi untuk daerah sendiri. Pada sisi lain, klaim kedaerahan yang sempit ini merupakan sebuah arena pengukuhan identitas daerah yang selama ini tak dapat dijadikan sebagai faktor posisi tawar terhadap daerah lain Munculnya relasi sosial yang berbasis neo-feodalisme, khususnya di komunitas BauBau yang memiliki anggapan hanya kelompok tertentu –Kaomu dan Walaka – yang mempunyai kemampuan untuk menjadi pemimpin. Kalau di Kalimantan Barat, kebanggaan sebagai Suku Melayu Sambas yang terkait dengan keberadaan Kesultanan Sambas menjadi penentu di dalam menentukan pemimpin Aktor-aktor pejuang pemekaran, sangat berkepentingan menjadikan dirinya sebagai bagian dari representasi politik masyarakat di DOB, meskipun dalam praktiknya cenderung lebih mengedepankan kepentingan elite itu sendiri. Dalam kondisi seperti ini, maka dalam rangka kehadiran DOB muncul juga fenomena yang bercorak oligarkhis.
5.3.
Kemampuan Berotonomi Dalam Konteks Lintas Daerah Idealnya pemekaran daerah akan mendorong masing-masing DOB untuk mengembangkan kemampuan daerahnya baik berupa PAD, dan sekaligus mampu meningkatkan ekonomi regional. Namun pada kanyataannya sebagian besar DOB masih lebih menggantungkan pengembangan ekonominya pada kucuran dana dari pusat. Di dalam hal ini kampanye elite politik lokal untuk mendatangkan kucuran dana dari pusat yang sekaligus juga mengurangi beban rakyat dari “kewajiban” meningkatkan PAD. Kondisi ini kemudian menjadi penanda adanya kepedulian atau keberhasilan pemimpin lokal terhadap nasib rakyatnya. Orientasi kepada pengembangan potensi regional bersama dengan DOB sebagai sumber pembiayaan dan kesejahteraan masyarakat dimasa depan belum nampak. Ketiadaan proses persiapan sebelum pemekaran dan ketiadaan masa transisi yang cukup menyebabkan pada periode lima tahun pertama pasca pemekaran kebanyakan DOB masih disibukkan dengan pembangunan infrastruktur fisik, pengembangan keorganisasian, dan pengembangan sumberdaya manusia. Upaya untuk memfasilitasi perkembangan ekonomi dan kesejahteraan rakyat secara langsung nampaknya masih minimal. Makna kawasan regional adalah suatu kawasan (daerah) yang dimungkinkan adanya kerjasama antar-daerah secara sinergis. Kerjasama antar-daerah yang didukung pengembangan kawasan berbasis spatial planning, memungkinkan adanya peningkatan pendapatan asli daerah. Namun jika dilacak dalam politik anggaran nasional yang tertuang dalam APBN, ternyata yang justru ditekankan adalah bukan pengembangan kawasan regional yang terefleksikan dengan adanya kerjasama lintas sektoral; yang ditekankan dalam kebijakan APBN adalah kerja sektoral. Akibat dari kebijakan penganggaran yang demikian, maka sulit membayangkan akan berhasilnya sebuah spatial planning di kawasan yang dimekarkan. Bagi daerah, prinsip regionalisasi dari wilayah yang baru saja mekar sebenarnya akan sangat menguntungkan secara mutualistis. Yang jelas dengan regionalisasi seperti ini akan banyak penghematan dalam aktivitas perekonomian regional. Di sini dapat diharapkan adanya perwujudan kawasan Wakatobi atau Singkawang sebagai salah satu pelabuhan transito dan dorongan bagi daerah-daerah yang berdekatan dengan Wakatobi atau Singkawang untuk saling bekerjasama. Sesudah pemekaran di kebanyak DOB hampir seluruh kegiatan pembangunan diarahkan kepada pemenuhan prasaranan administratif pemerintahan, seperti gedung-gedung perkantoran, rumah dinas, termasuk jalan-jalan yang menuju ketempat dimana prasarana Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton
30
pemerintahahn itu berada. Kerjasama untuk membangun ekonomi kawasan bersama belum nampak, demikian pula kerjasama antara daerah induk dan daerah pemekaran nampaknya belum terjadi. Yang terjadi justru sebaliknya yaitu munculnya persaingan dalam memperebutkan sumber ekonomi. Di Sambas misalnya, masing-masing kabupaten ingin memiliki lapangan terbang dan pelabuhan laut. Kabupaten Singkawang misalnya ingin membangun pelabuhan laut sendiri sekalipun sebelum pemekaran mereka memakai pelabuhan Sintete yang kini masuk kedalam wilayah kabupaten Sambas. Semangat kerjasama ini juga dihambat oleh persoalan perebutan asset dan sengketa tapal batas. Walaupun demikian dibeberapa daerah kerjasama antar daerah juga terjadi (lihat uraian di Bab 6). 5.4.
Kebangkitan Kohesivitas Etno-Kultural Dalam Konteks Masyarakat Multikultural Adanya pemekaran daerah selalu dibarengi dengan bangkitnya kohesivitas etnik yang semula dalam posisi minoritas. Dengan adanya pemekaranp posisi tawar etnik yang semula minoritas tersebut menjadi semakin kuat, terutama dengan derasnya dana fiskal dari pusat. Di dalam hal ini perkembangan kohesivitas etnik ini perlu diletakkan dalam hubungan antar etnik yang bersifat plural. Dengan kondisi seperti ini, upaya membangun keberagaman representasi politik beragam etnik itu masih merupakan sebuah pertanyaan. Jika prinsip ”kesatuan dalam keragaman” hendak dipertahankan di tengah naik pasangnya identitas lokal etnis, maka beberapa catatan berikut perlu dikemukakan, yaitu: (a).
Pentingnya visi nasionalisme NKRI yang juga menjadi preferensi para pemimpin lokal (politisi dan birokrasi).
(b).
Terkait dengan konflik batas wilayah yang sekaligus berimpit dengan isu etnisitas perlu didorong peran mediasi pada aras provinsi untuk mampu menjadi penengah melalui rekonsiliasi konflik,
(c).
Perlunya peningkatan kapasitas para pihak yang berkonflik agar bisa menyelesaikan persoalan dengan agenda duduk bersama dengan memanfaatkan regulasi pemerintahan yang telah tersedia. Pemekaran di Kabupaten Sambas dan di Kabupaten Buton nampaknya sesuai dengan kebutuhan dan keinginan rakyat. Selain memperoleh pelayanan publik yang lebih baik dan efektif dari negara, pemekaran juga menyebabkan kelompok tertentu atau etnis tertentu menjadi teraktualisasi identitasnya. Sebagai gambaran masyarakat Suku Dayak di Kabupaten Bengkayang yang selama ini merasa identitasnya tersubordinasi oleh Suku Melayu maka sesudah pemekaran mereka dapat menunjukkan identitas dirinya secara lebih jelas. Simbolsimbol budaya Dayak terpampang di hampir setiap kantor pemerintahan, dan kantor pelayanan publik yang lain. Demikian pula kelompok masyarakat Kabupaten Sambas (sebelah utara) yang selama ini identitasnya tertutup oleh elite Singkawang, maka sesudah pemekaran mereka dapat lebih menunjukkan identitasnya ke-Sambasan-nya kembali terutama terkait dengan makna Kasultanan di Sambas. Di Singkawang perjuangan untuk memperoleh identitas sebagai kota dagang dan kota pariwisata sangat diwarnai oleh persoalan etnisitas terutama dari Suku Cina. Di sini Suku Cina mempunyai kesempatan lebih terbuka untuk menunjukkan identitasnya sebagai suku yang sejajar dengan suku lain. Bahkan terbuka kemungkinan menjadikan Singkawang sebagai Centre of Origin dari Suku Cina di Indonesia. Selain itu Pemekaran Singkawang membuka partisipasi politik yang lebih luas bagi golongan Cina yang selama ini karena politik nasional dan sentiment regional posisi mereka selalu depresif.
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton
31
Munculnya DOB Kabupaten Bombana juga mencerminkan adanya pengakuan terhadap keberadaan Suku Moronene dan Bugis yang selama ini lebih menjadi subordinasi Suku Buton. Munculnya institusi tandualle merupakan landasan identitas baru wilayah Bombana yang lebih mengetengahkan pandangan territorial-plural-inklusif. Lembaga ini nampaknya dapat menjadi dasar pembangunan wilayah yang lebih mengetengahkan kerjasama yang searas dari pada kerjasama atasan dan bawahan. 5.5.
Rekruitmen PNS Penyelenggaraan daerah otonomi baru (DOB) memerlukan dukungan sumber daya manusia yang memadahi. Dengan demikian pembentukan DOB telah membuka peluang bagi sumber daya manusia di tingkat lokal untuk mengisi jabatan-jabatan yang ada baik di ekskutif maupun legislatif sebagai konskuensi pembentukan DOB. Dari aspek pengisian pegawai ini, pemekaran daerah telah menyumbangkan upaya pengurangan pengangguran di DOB tersebut. Dalam rangka meningkatkan serta mendorong pencapaian pelayanan publik yang efektif dan efisien diperlukan ketersediaan sumber daya manusia yang mempunyai kapabel. Persoalan yang sedang dihadapi sekarang oleh DOB adalah kurangnya SDM yang memadai. Selain itu, ketersediaan SDM di DOB seringkali tidak bisa memenuhi kompetensi dan kualitas SDM seperti yang sudah ditetapkan dalam regulasi tentang syarat golongan dan eselonisasi untuk menduduki jabatan tertentu di daerah itu. Selama ini kebijakan rekruitmen PNS memang menjadi kewenangan pemerintah pusat, kebijakan ini nampaknya sulit untuk diimplementasikan di daerah karena keterbatasan SDM yang ada. Kelemahan lain dari proses rekruitmen ini disebabkan oleh ketidakadaan persiapan pada masa sebelum pemekaran. Tidak adanya masa transisi yang khusus memprogramkan penataan dan rekriutmen pegawai ini menyebabkan beberapa akibat yang kurang baik. Beberapa dampak ketidakadaan masa transisi, yang terjadi baik di Sambas maupun di Buton, diantaranya adalah seperti dibawah ini: (a). Adanya tarik menarik pegawai lama yang dianggap berkualitas antara DOB dengan Daerah Induk (b). Munculnya usaha untuk melakukan bongkar pasang pegawai (c). Para guru yang biasanya mempunyai kemampuan intelektual dan pengalaman yang lebih baik dari kebanyak pegawai, menjadi sangat dibutuhkan, sehingga banyak guru “terpaksa” ditempatkan pada posisi diatas namun dengan kompetensi yang sebenarnya tidak cocok dengan bidang baru yang ditanganinya. Ke tiga proses penataan pegawai di daerah tersebut biasanya sangat kenthal diwarnai oleh ikatan-ikatan primordia (agama dan suku). Dengan cara ini dimungkinkan adanya dominasi dari suku atau etnis tertentu, yang biasanya merupakan suku mayoritas, di daerah tertentu. Kondisi yang kurang baik tersebut pada akhir-akhir ini sudah mulai memperoleh masukan dan koreksi dari banyak pihak. Hal ini ditunjukkan oleh adanya keinginan dan kesadaran daerah (baik di DOB maupun Daerah Induk), untuk memulai menyeimbangkan komposisi keetnisan dari pegawai yang ada. Usaha ini lebih nampak nyata di kelompok pegawai golongan bawah (seperti eselon IV atau pegawai baru yang berijazahkan setingkat SLTA). Selain itu adanya seleksi PNS yang bersifat terbuka, yang mendasarkan penerimaan pegawai pada kompetensi calon, menyebabkan variasi etnis pegawai yang diterima menjadi lebih banyak. Dengan kondisi ini maka dominasi etnis tertentu pada PNS di masa depan diharapkan akan lebih berkurang. 5.6.
Rentang Kendali Pelayanan Publik Rentang kendali (span of control) terasa lebih baik pada masa setelah pemekaran. Rentang kendali pelayanan publik yang didukung oleh birokrasi memang didorong untuk
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton
32
mengarah pada peningkatan pelayanan publik. Sejumlah catatan perlu ditegaskan berkaitan dengan praktik rentang kendali, yakni: (a). Visi-misi-tupoksi sebuah daerah yang baru mekar perlu dipahami secara sama oleh seluruh jajaran birokrasi dan aktor politik (legislatif). Dengan dipahaminya visi-misi secara sama, diharapkan bahwa penerjemahan di dalam program tahunan SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) dapat diandalkan untuk mengawal proses good governance; (b). Pemahaman visi-misi-tupoksi seperti ini juga dibarengi dengan kesamaan wawasan oleh mitra pemerintah (rekanan pemerintah yang akan mengikuti tender). Jika hal ini diabaikan, kapasitas proses governance yang harus bergulir menjadi tereduksi dan akibatnya limpahan fiskal tak dapat dimanfaatkan maksimal; (c). Selain memahami visi-misi-tupoksi, di kawasan DOB belum dijalankan program pelatihan pegawai secara optimal. Gejala seperti ini nampak di kawasan Wakatobi dan Bombana. Jika program pelatihan ini dapat dijalankan, maka kekurangan dalam mekanisme rekrutmen dapat diimbangi dengan pelatihan yang optimal. Dengan demikian profesionalitas dalam menjalankan good governance berangsur dapat dicapai 5.7.
Terbentuknya DPRD di Daerah Otonomi Baru Pemekaran membuka peluang bagi organisasi-organisasi kekuatan politik (terutama parpol), yang semula hanya ada di kabupaten induk, untuk membentuk kepengurusan organisasinya di tiap DOB. Parpol-parpol itu mendapat peluang untuk merepresentasikan kepentingan masyarakat konstituennya dalam badan legislatif (DPRD) di DOB. Dengan begitu, pemekaran telah membuka peluang representasi politik secara lebih luas di DPRDDPRD DOB dibandingkan sebelum pemekaran yang hanya terbuka di DPRD kabupaten induk. Dengan begitu, check and balances dapat terwujud di tiap DOB dan tidak hanya kabupaten induk. Kapasitas anggota-anggota DPRD di DOB masih perlu dikembangkan (antara lain dalam menyusun perda-perda; misalnya jumlah perda yang disusun atas inisiatif DPRD jauh lebih kecil dibandingkan dengan jumlah perda yang disusun atas inisiatif eksekutif di DOB). Peningkatan kapasitas DPRD itu antara lain dapat mengurangi kecenderungan kolusi atnara DPRD dan ekesekutif dan/atau potensi munculnya oligharki baru. 5.8.
Perkembangan Pelayanan Publik Perkembangan pelayanan publik di DOB merupakan modal dasar bagi munculnya kapasistas sosial-politik daerah. Oleh sebab itu perlu dikemukakanperkembangan pelayanan publik di DOB. Untuk wilayah seperti Kabupaten Sambas yang mempunyai wilayah yang sangat luas (walaupun jumlah penduduknya sedikit), atau wilayah seperti Kabupaten Buton yang terdiri dari sejumlah pulau (kepulauan) adanya pemekaran membawa dampak yang positif. Tersebarnya pembangunan fisik yang berupa komplek perkantoran, pelayanan publik, dan perdagangan selain dapat memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan lebih efisien, proses pembangunan fisik itu sendiri (bangunan fisik dan prasarana lain) juga telah memberi kesempatan kerja yang cukup baik. Dengan adanya bangunan fisik dan telah berfungsinya pusat-pusat pelayanan publik, seperti pembangunan kantor kabupaten, kantor kecamatan, kantor desa/kelurahan, rumah sakit, puskesmas, sekolah, dan kantor-kantor lain menyebabkan rakyat di DOB merasakan adanya kemudahan dan keefektifan pelayanan publik. Selain itu letak fasilitas pelayanan publik yang lebih dekat menyebabkan rakyat merasa memperoleh pelayanan yang lebih murah dan mudah. Sebagai gambaran dapat dikemukakan bahwa di sepanjang jalan utama di Kota Sambas telah selesai dibangun paling tidak 20 bangunan baru dengan satu bangunan lama yang direnovasi sebagai kantor Bupati Sambas. Di Jalan Pembangunan ini terdapat satu
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton
33
bangunan baru yang baru saja diselesaikan yaitu Gedung Pengadilan Negeri Sambas, tetapi sampai sekarang Gedung tersebut belum dipergunakan. Di seberang jalan Pembangunan tepatnya di Jalan Terigas (eks Jalan Sukaramai) terdapat paling tidak lima bangunan baru yang dibangun pasca pemindahan Ibu Kota Kabupaten Sambas. Di luar dua lokasi tersebut, masih ada beberapa bangunan baru seperti Kantor Polsek Sambas, rumah sakit (yang baru saja direnovasi), kantor-kantor kecamatan yang baru, dll. Selain itu untuk membangun akses perhubungan telah dirintis akses jalan ke Serawak Malaysia dengan Proyek Palsa (Paloh – Sajingan). Di Kabupaten Bengkayang terdapat komplek perkantoran terpadu (satu atap) yang sangat megah yang merupakan kantor Pemerintah Daerah Kabupaten Bengkayang, Gedung DPRD Kabupaten Bengkayang, Pengadilan, PU dan lain-lain yang jelas lebih mendekatkan pelayanan publik ke masyarakat. Demikian pula pembangunan sarana kesehatan (rumah sakit dan puskesmas), kemanan (Polsek), pendidikan, prasarana jalan (dan jembatan), bahkan perbaikan wilayah perbatasan (di Kecamatan Jagoi Babang) menyebabkan rakyat di wilayah yang semula jauh dari pusat pemerintahan menjadi lebih mudah terlayani oleh negara. Demikian pula di DOB Kabupaten Buton, Kabupaten Bombana, dan Kabupaten Wakatobi juga terjadi hal yang hampir sama dengan di DOB Kabupaten Sambas dan Kabupaten Bengkayang. Sejumlah kantor pemerintahan dan pelayanan publik dibangun di sejumlah wilayah kecamatan baru yang dirasakan manfaatnya oleh rakyat secara langsung.
6.
PERKEMBANGAN RELASI SOSIAL-POLITIK Sebagai sebuah wilayah yang baru mekar dan sekaligus sebagai wilayah yang menjadi wilayah ”sisa”, maka tantangan terbesar yang dihadapi adalah bagaimana melakukan konsolidasi birokrasi dan konsolidasi politik. Dua konsolidasi ini sekaligus mendorong adanya kredo baru dalam melakukan praktik good governance (tata pemerintahan yang baik). Tentu saja yang dimaksudkan dengan praktik tata pemerintahan yang baik memiliki indikator pengikat yang dapat diukur, misalnya: partisipasi, transpransi, akuntabilitas, dan lain-lain. Munculnya DOB juga menyebabkan berkembangnya relasi sosial politik baik yang terjadi antar masyarakat sipil; antara masyarakat sipil dengan Pemda; antar pemda; antara pemda dengan pemerintah pusat; dan antara pemda dengan negara lain. Temuan di wilayah penelitian Sambas dan Buton dapat dikemukakan sebagai berikut. 6.1.
Perkembangan Relasi Sosial-Politik Antar Masyarakat Sipil Pada masa perjuangan untuk memperoleh status Daerah Otonomi Baru sejumlah organisasi yang bisa dikelompokkan menjadi masyarakat sipil telah melakukan fungsinya dengan baik, namun pada perkembangannya peran masyarakat sipil bisa berkembang kearah yang berbeda-beda. Tiga hal yang akan dikemukakan di dalam subab ini yaitu menyangkut: Konflik Antar Elite; Perubahan adesi sosial; dan Munculnya pengusaha politik baru. (1)
Konflik Antar Elite Potensi konflik antar elite dapat muncul dalam proses pilkada yang dapat mengaburkan kohesivitas sosial yang sudah terbentuk. Pada kasus Bau-Bau, misalnya, pilkada yang diselenggarakan pada November 2007 diwarnai dengan perseteruan antara Walikota dan Bupati yang telah mendahuluinya (batas wilayah akan diperebutkan baik oleh Walikota Bau-Bau maupun oleh anak Bupati mencalonkan diri). Konflik juga terjadi sejak tahun 2004, antara bupati dan wakil bupati dalam memperebutkan kewenangan, yang diikuti oleh perpecahan antar kelompok pendukung. Konflik antar elite juga dapat muncul oleh adanya akibat alih fungsi lahan untuk keperluan pembangunan sarana/prasarana umum, perumahan, atau pembukaan perkebunan.
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton
34
Berbeda dengan di Bau-bau, di Bengkayang hubungan antar elite yaitu antara eksekutif dengan legislatif, terlihat sangat harmonis tanpa konflik yang berarti. Kondisi yang terlihat harmonis ini bisa jadi justru dapat menimbulkan permasalahan lain apabila terjadi konspirasi kedua pihak yang merugikan rakyat. Apa yang kemudian mencuat menjadi konflik di atas bila ditelusuri lagi nampaknya bersumber dari kurang sempurnanya regulasi yang mengatur tentang pembagian aset, penetapan batas wilayah, mekanisme proses sosialisasi regulasi pada para birokrat. Sosialisasi tentang regulasi juga harus dilakukan kepada masyarakat yang akan menjadi subyek penetapan batas wilayah, karena berdasar konflik batas wilayah tersebut memungkinkan konflik antar elite di daerah yang bersangkutan. (2).
Perubahan Adhesi Sosial Seperti sudah dikemukakan di muka proses pemekaran biasanya terjadi sejalan dengan pemisahan berdasarkan perbedaan etnis. Salah satu dampak adanya pemekaran adalah adanya dominasi satu suku tertentu (atau semakin dominannya). Dilihat dari sudut pandang modal sosial dampak adanya pemekaran ialah semakin kuatnya bounding di antara masyarakat yang sesuku (kohesi sosial yang menguat), namun bridging (adesi atau relasi dengan suku lain) menjadi semakin lemah. Kondisi semacam ini kalau tidak segera disadari, akan memperbesar kemungkinan munculnya ketegangan bahkan konflik di masa mendatang. Sebagai contoh, munculnya Kabupaten Bengkayang yang mayoritasnya Suku Dayak (nonMuslim), Kabupaten Sambas yang menjadi semakin Melayu (Muslim), dan Kota Singkawang yang dapat dianggap pusatnya Suku Cina, dan Kabupaten Buton yang menjadi semakin Buton di masa mendatang akan menghadapi permasalahan kerukunan antar suku dan umat. Khusus untuk Kota Singkawang perkembangan pemaknaan suku mayoritas dan pandangan putra daerah yang sempit dapat menimbulkan permasalahan di kemudian hari. Namun demikian perkembangan penduduk Suku Cina yang cukup tinggi seringkali juga merisaukan suku yang bersangkutan. Adanya jargon tentang “KB wajib” yang bermaksud menekan pertumbuhan Suku Cina seringkali akan merisaukan suku mayoritas Cina. Sebaliknya kerisauan di antara Suku Melayu juga terjadi, terutama berkaitan dengan adanya paham lunturnya ke-Islam-an karena berkembangnya budaya Cina yang dapat memusrikkan umat (contoh kasus tatung). Sementara itu dapat pula dikemukakan reproduksi ingatan kolektif tentang Kesultanan Buton yang terjadi di Kota Bau-Bau, yang menebarkan pengetahuan mengenai pelapisan sosial yang pernah tercipta pada masa lalu, terutama pelapisan sosial yang mempunyai hak memegang (yaitu antara Kaomu dan Wakala). Reproduksi ingatan kolektif ini membawa anggapan bahwa para keturunan dari Kaomu dan Wakala saja yang dapat menjadi pimpinan dalam arena kontestasi politik. Kondisi ini merupakan suatu anggapan yang mengabaikan lapisan sosial lainnya dan etnis lain (minoritas) yang tinggal di wilayah ini.23 Dengan demikian munculnya DOB yang mencirikan menguatnya bounding (kohesi sosial), dapat melemahkan bridging (adhesi sosial) di antara kelompok primordial yang ada. Di dalam hal ini munculnya kaum minoritas baru di DOB perlu memperoleh perhatian lebih. (3).
Munculnya Pengusaha Politik Baru Munculnya pengusaha politik baru yang ada di semau DOB ini tidak terlepas dari proses pemekaran DOB. Pada waktu awal proses pemekaran kelompok yang memperjuangkan membutuhkan dukungan dana yang besar baik untuk biaya pemekaran, maupun untuk biaya lainnya. Untuk itulah biasanya kelompok ”pejuang pemekaran” ini akan 23
Pada tataran yang lebih rendah kondisi ini juga terjadi di wilayah Kasultanan Sambas, namun persoalannya lebih terfokus pada perebutan pemanfaatan keturunan Sultan Sambas sebagai alat untuk mencapai tujuan politik dari elite tertentu.
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton
35
menarik sejumlah pengusaha. Bisa saja pengusaha tersebut adalah tokoh politik, elite daerah, namun bisa saja pengusaha tersebut benar-benar seorang pengusaha (murni). Sesudah daerah yang mereka perjuangkan mekar maka para pengusaha tersebut akan muncul sebagai pemborong proyek-proyek pembangunan di DOB yang memang mempunyai program pembangunan fisik yang sangat banyak. Di samping itu para pengusaha tersebut mulai dapat melanjutkan ”dominasinya” di bidang politik dan pemerintahan. Dari sini mulailah muncul sejumlah pengusaha politik baru. Kemunculan para pengusaha politik baru menimbulkan dampak yang berbeda tergantung posisi yang dipegangnya. Di satu pihak para pengusaha politik baru dapat memperkuat masyarakat sipil namun di lain pihak justru dapat melemahkan posisi dan peran masyarakat sipil untuk mengkritisi kebijakan Pemda di DOB. 6.2.
Relasi Sosial-Politik Antara Masyarakat dengan Pemda Paling tidak ada lima aspek yang akan dikemukakan di dalam sub bab ini yang menyangkut aspek: Partisipasi Masyarakat Sipil; Checks And Balances; Aspek Transparansi; Peran Media Massa; dan Peran Organisasi Masyarakat Sipil. (1).
Partisipasi Masyarakat Sipil Partisipasi masyarakat sipil (civil society) belum sepenuhnya terjadi dalam proses perencanaan pembangunan melalui mekanisme musrenbang (musyawarah pembangunan). Meskipun telah diselenggarakan musrenbang, namun pesertanya masih bersifat elitis. Di bawah payung UU No. 25 tahun 2005 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional maka ruang partisipasi seharusnya sudah bisa digulirkan. Hanya saja dalam temuan di sejumlah FGD, praktik partisipasi seperti itu belum bisa berjalan ideal, kalau tak mau disebut bias elite dan terjadi distorsi dalam proses ini. Apalagi UU No 25 Tahun 2005 belum ada PPnya dan juga belum disahkannya regulasi ADD (Alokasi Dana Desa). Berkaitan dengan hal ini, pola partisipasi dalam pembangunan masih lebih kuat nuansa mobilisasinya dibandingkan dengan kewenangan di dalam proses pengambilan keputusan. Perkembangan demokratisasi dan partisipasi masyarakat sipil antar wilayah nampaknya memberi gambaran yang berbeda. Di wilayah yang kekuasaan politiknya dikuasai oleh kelompok minoritas, seperti di Singkawang yang walaupun mayoritas penduduknya adalah Suku Cina kekuatan politik dikuasai oleh elite dari Suku Melayu, maka perkembangan demokrasi dan masyarakat sipil menuju arah yang lebih baik, kritis, menghendaki transparansi, dan ada tuntutan untuk kesamaderajadan. Di wilayah semacam ini media massa (Radio, TV, dan Surat Kabar) tidak hanya naik oplahnya karena pemberitaan tentang aspek-aspek perkembangan pemekaran, namun juga menjadi alat atau saluran proses kontrol masyarakat sipil terhadap pemerintahan lokal yang cukup efektif (seperti isu korupsi, perselingkuhan pejabat, dan program pembangunan yang tidak memihak rakyat). (2)
Checks And Balances Kualitas legislatif, yang mestinya menjalankan fungsi pengawasan-penganggaranpembuat regulasi, nampaknya juga belum memadai untuk melakukan fungsi checks and balances. Kecuali di Bau-Bau, Buton Baru, Sambas, dan Singkawang, kapasitas legislatif juga belum optimal. Produk hukum yang dominan dikeluarkan (diperdakan) paling dominan adalah Perda APBD dan soal Tatib. Selain itu dapat pula dikemukakan bahwa proses kontrol oleh DPRD (sebagai perwujudan dari checks and balances) yang biasanya diwarnai oleh pertentangan dan konflik, namun pada ujung-ujungnya bermuara pada tawar-menawar untuk berbagi anggaran demi kepentingan eksekutif dan legislatif. Bahkan bisa jadi proses checks and balances jutru
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton
36
berwujud sebagai konspirasi untuk saling mendukung demi kepentingan masing-masing pihak. (3)
Aspek Transparansi Aspek transparansi belum bisa optimal dilakukan karena informasi kebijakan publik baru bisa diakses ketika proses pembuatan LPJ Bupati tidak terpublikasikan dengan dalih belum diperiksa oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan).24 Dengan tidak bisa diaksesnya LPJ maka masih harus dipertanyakan aspek akuntabiltas yang juga belum optimal. Peran media di DOB cukup baik dalam arti bahwa kini media telah memberitakan peristiwa-peristiwa yang terjadi di masing-masing DOB. Namun ada kalanya media juga digunakan sebagai advertorial bagi pihak-pihak yang bertikai. Fenomena seperti ini telah meletakkan media cetak sebagai bagian dari komodifikasi para politisi melalui media. (4)
Peran Media Massa Bagi media massa, transparansi setelah mekar memang sudah semakin terbuka dan intens. Memang perlu menjadi catatan apakah memang media massa cetak telah melakukan prinsip cover both sides atau masih berorientasi sumber kebenaran ada pada pemerintah; Beberapa media massa cetak (tabloid) yang beredar di Bau Bau, Wakatobi, dan Bombana adalah: Kendari Pos, Kendari Ekspres dan Media Sultra. Media ini biasanya banyak beredar di kantor-kantor pemerintah dan baru tiba sehari setelah terbit. Di Kabupaten Bengkayang pernah terbit Bengkayang Post, namun kemudian tidak terbit lagi karena kurangya pelanggan dan permasalahan kurangnya usaha untuk memanfaatkan media koran sebagai alat kontrol kekuasaan. (5)
Peran Organisasi Masyarakat Sipil Pada masa pra mekar telah muncul perwakilan-perwakilan organisasi masyarakat dan partai politik. Persoalannya adalah bahwa perwakilan-perwakilan organisasi kemasyarakatan dan politik (partai) belum optimal melaksanakan fungsinya. Harus diakui bahwa peran riil organisasi kemasyarakatan (CSO – Civil Society Organization) pada era pra mekar telah mulai terlihat. Namun pasca mekar, peran ini belum optimal, bahkan beberapa organisasi tersebut tidak aktif. Keberdayaan masyarakat sipil (civil society) juga kuat diwarnai dengan patrimonialisme dan patronase. Belum cukupnya dasar pendidikan politik menyebabkan tidak jarang bahwa proses penyelesaian perbedaan pendapat lebih sering disajikan dalam bentuk demonstrasi ketimbang dalam bentuk konsultasi publik. Meski demikian, untuk kasus Wakatobi yang merupakan wilayah konservasi internasional, telah terjadi kolaborasi CSO yang memfasilitasi pemerintahan lokal-penduduk lokal-DPR lokal-negara pusat dalam menyiapkan draft perda tentang zonasi laut di lingkup Kepulauan Tukang Besi dan sekaligus draft perda tata ruang darat(-an). Kondisi civil society (melalui Paguyuban Moronene) di Bombana yang semula begitu proaktif sebelum mekar hingga menjelang mekar, kemudian menjadi redup pasca mekar. Para aktor kunci masyarakat sipil (civil society) di Wakatobi lebih banyak berdomisili di Kendari ketimbang di Wakatobi. Kasus terakhir ini juga menggambarkan ketergantungan masyarakat sipil di Wakatobi pada masyarakat sipil yang ada di Kendari. Di DOB Kabupaten Bengkayang, sejumlah organisasi masyarakat sipil yang semula aktif memperjuangkan pemekaran wilayahnya, sesudah pemekaran kemudian menjadi tidak aktif. Adanya rasa puas bahwa telah berhasil mendorong terbentuknya pemerintahan dari etnis di wilayahnya dan adanya patronase dari elite lokal menyebabkan organisasi masyarakat sipil ini menjadi enggan untuk melakukan counter balances terhadap pemerintahan daerah.
24
Periksa kasus LPJ Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Bengkayang..
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton
37
Dengan kondisi seperti di atas sebenarnya dapat dinilai bahwa promosi governance dengan mengandalkan civil society sebagai yang berdaulat patut dipertanyakan, lantaran peran partisipasi telah dipangkas atau tidak sungguh-sungguh diterapkan. Dalam konteks demokrasi, maka dengan menguatnya oligharki seperti ini, dapat diduga kuat bahwa telah terjadi pembajakan demokrasi (hijacked democracy), sehingga representasi politik tidak dijalankan secara sungguh-sungguh. 6.3.
Relasi Sosial-Politik Antar Pemda Dua hal yang akan dikemukakan di dalam sub bab relasi sosial-politik antar pemda yang terjadi di wilayah penelitian yaitu; Adanya perebutan aset antar-pemda; Penetapan ibukota yang memunculkan sengketa antar kabupaten; Munculnya konflik perbatasan; dan Kerjasama antar-daerah. (1).
Perebutan Aset-Aset Daerah Kasus perebutan aset terjadi antara pihak DOB Kabupaten Buton dan Kota Bau-Bau dan antara DOB Kabupaten Sambas dengan Kota Singkawang, karena perbedaan penafsiran atas regulasi pembagian aset. Bagi DOB Kabupaten Buton (atau Sambas), pembagian aset ini tidak bisa dipersamakan antara pemekaran menjadi Kabupaten Baru dan pergantian status Kota Administratif menjadi Kota Otonom Bau-Bau (atau Singkawang). Sementara bagi BauBau (atau Singkawang) mendasarkan pada UU No. 22/ 1999. Berbeda halnya dengan perpindahan aset di Kabupaten Wakatobi. Di Kabupaten ini telah diklaim dua pusat wisata laut (Operation Wallacea dan Tomia Dive Resort) yang semula menjadi otoritas pemerintah provinsi dan pusat sebagai bagian dari proyeksi sumber PAD terbesar. Namun dalam pelaksanaannya dua kawasan tersebut terkesan belum tersentuh oleh pihak Pemkab Wakatobi. (2).
Penetapan Lokasi Ibukota Kabupaten Baru yang Memunculkan Masalah Penetapan sebuah ibukota kabupaten, nampaknya perlu ketegasan dan pertimbangan yang matang. Penetapan ibukota kabupaten tersebut merupakan syarat yang tak bisa ditawar di dalam proses pemekaran daerah. Meskipun pada akhirnya penetapan sebuah ibukota telah dinyatakan definitif, namun ketegangan di antara para pejuang pemekaran tak dapat dihindarkan. Beberapa ketegangan tersebut diantaranya adalah: (a). Terjadinya ketersendatan pembangunan di kawasan perbatasan dan pembangunan infrastruktur DOB. (b). (c).
Perasaan tak puas tetapi pasrah dengan keputusan penetapan ibu kota. Perasaan tak puas, tetapi masih berupaya untuk mengubah lokasi ibu kota. Ketegangan di atas dimungkinkan karena ternyata calon lokasi ibu kota lebih dari satu nominasi. Dalam hal ini dapat dimengerti bahwa sebelumnya telah terjadi kesepakatan penentuan sebuah ibukota pertama-tama lantaran karena syarat penilaian administratif fisik. Hanya saja kesepakatan ini masih menyisakan agenda tersebunyi terkait soal representasi identitas daerah Buton atau Sambas. Contoh yang cukup menonjol dalam hal ini adalah kontestasi antar-elite pejuang pemekaran di DOB Kabupaten Buton yang semula telah diputuskan oleh DPRD bahwa ibu kota Kabupaten Buton adalah di La Ompo, Kecamatan Batuaga,25 tetapi yang kemudian dijadikan ibu kota adalah Pasar Wajo. Di Bombana, meskipun telah dicapai keputusan tentang penetapan lokasi ibu kota kabupaten, pertarungan mengenai lokasi ibukota masih menyisakan gemanya sebagai dampak pemekaran. Dalam kampanye pilkada bupati/wakil
25
Periksa Keputusan DPRD kabupaten Buton Nomor 14/DPRD/1999 tertanggal 14 Agustus 1999 yang menetapkan Laompo di Kecamatan Batuaga sebagai ibukota Kabupaten Buton.
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton
38
bupati, untuk mencari dukungan suara pemilih dari komunitas Bugis di Poleang dijanjikan pemindahan lokasi ibu kota dari Kasipute ke Poleang, sementara untuk mencari dukungan suara pemilih dari komunitas Moronene dijanjikan lokasi ibukota itu tetap di Kasipute. Tentang lokasi ibu kota itu juga masih mencuatkan dampaknya sesudah pemekaran, yaitu dalam penempatan lokasi gedung Polres Bombana yang ditetapkan 50 km jauhnya dari Kasipute, sehingga gedung yang akan dibangun untuk Kantor Kabupaten akan ditempatkan tidak jauh dari lokasi gedung Polres. Ini adalah keputusan DPRD Bombana yang dulu sebagian anggotanya menginginkan lokasi ibu kota kabupaten berada di Poleang dan bukan di Kasipute. Nuansa pertarungan yang muncul di masa proses pemekaran masih menggemakan dampaknya sesudah pemekaran terwujud. Gambaran yang hampir sama juga terjadi terhadap penetapan Ibu Kota Kabupaten Sambas yang semula sudah ditetapkan di Sambas kemudian diubah menjadi di Singkawang. Penetapan ibukota yang terakhir ini menimbulkan ketegangan karena hampir sebagian besar pembangunan fisik lebih banyak diletakkan di Singkawang. Kondisi ini menimbulkan ketidakpuasan dan semangat untuk mengembalikan ibu kota Kabupaten Sambas dari Singkawang ke Sambas. (3)
Konflik Batas Wilayah. Pemekaran yang lebih berarti sebagai pemecahan wilayah, selalu memunculkan permasalahan di dalam penentuan batas wilayah baru. Penentuan batas wilayah tidak hanya terjadi pada tataran kabupaten namun juga terjadi pada aras antar kabupaten (antar penduduk dari wilayah kabupaten yang berbeda). Di sini penentuan batas wilayah selalu mengandung potensi bagi munculnya konflik yang berkepanjangan. Sengketa batas wilayah terjadi baik antara kelompok di Kabupaten Bengkayang dengan kelompok di Kota Singkawang. Demikian pula yang terjadi antar-kecamatan atau antar-individu di dalam Kabupaten Sambas. Di Buton, sengketa perbatasan terjadi antara Kota Otonom Bau-Bau dengan DOB Kabupaten Buton. Konflik semacam ini bisa berakibat terabaikannya pelayanan publik dan melemahnya kerjasama antar daerah. Ketegangan di dalam penentuan batas wilayah sebenarnya sudah terjadi sejak lama karena berkaitan dengan aspek ekonomi, namun menjadi semakin merebak ketika pemekaran dijalankan. Beberapa sebab ketegangan berkaitan dengan tapal batas kepemilikan lahan, yang secara laten ada, di antaranya adalah: (a). Semakin komersialnya petani di wilayah perbatasan antar-desa atau antar kecamatan. (b).
Masuknya perkebunana baru (terutama kelapa sawit) yang berusaha untuk menyewa atau membeli lahan pertanian, nampaknya menjadi penyebab utama semakin komersialnya petani di wilayah yang bersangkutan. Para pengusaha ini di dalam mengolah lahan selalu menggunakan alat berat untuk menggarap tanah (traktor). Penggunaan alat berat ini juga menyebabkan tapal batas kepemilikan menjadi hilang.
(c).
Ketidaktuntasan proses penentuan tapal batas oleh Dinas Pertanahan (sertifikat tanah) sebelum pemekaran terjadi (meninggalkan bom waktu). Selain itu ketiadaan bukti /basis legalitas yang sah dalam penentuan batas menyebabkan proses jual-beli dan penggarapan dapat menimbulkan konflik.
(d).
Adanya perebutan sumber ekonomi dan perebutan memperoleh akses ke laut atau perebutan lahan untuk perkebunan menyebabkan petani semakin komersial dan semakin mempertinggi ketegangan dan konflik antar kelompok masyarakat
(e).
Sentimen etnis (etnosentrisme) yang ada sejak sebelum pemekaran nampaknya menjadi semakin berkembang dengan adanya pemekaran yang secara geografis pemekaran tersebut berujung pada pemisahkan penduduk menurut kelompok etnis.
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton
39
Kesulitan di dalam menafsir batas administrasi dimunculkan oleh lemahnya buktibukti resmi kepemilikan atas tanah. Seringkali penetapan batas wialayah yang disepakati penduduk adalah hanya merupakan kesepakatan lesan yang didasarkan kepada batas-batas seperti: sungai, pohon, batu, dan lain-lain. Munculnya sengketa tapal batas juga didorong oleh adanya ketegangan antar DOB khususnya menyangkut letak sumber ekonomi dan PAD. Pada kenyataannya proses pemekaran memang tidak mempersiapkan diri untuk mengatasi kemungkinan munculnya sengketa perbatasan, sehingga sengketa perbatasan yang ada menjadi sulit untuk diselesaikan. Sengketa yang berkepanjangan pada akhirnya akan menyebabkan terabaikannya kegiatan pelayanan publik di wilayah yang bersangkutan. (4).
Kerjasama Antar Daerah (Pemda). Dapat dikemukakan bahwa program KAPET (Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu) Khatulistiwa di Singkawang yang dibentuk tahun 2002 sebagai perluasan dari KAPET Sanggau th 1998 (berdasarkan Keppres 13 th 1998) tidak ada implementasinya karena tidak memperoleh dukungan yang memadai dari kabupaten-kabupaten terkait. Program ini juga gagal dalam menarik para investor. Pada tahun 2005 upaya penyusunan integrated planning untuk daerah Singkawang, Sambas dan Bengkayang juga pernah disponsori oleh JICA (Japan International Cooperation Agency), namun tidak diikuti dengan langkah tindak lanjut yang konkrit karena perhatian masing-masing kabupaten masih kepada pengembangan dilingkungan masing-masing. Kerjasama yang terjadi adalah kerjasama antara daerah pemekaran dengan daerah lain (bukan daerah induk), walaupun masih dalam tahap awal. Sebagai gambaran adalah kerjasama antara Kabupaten Bengkayang dengan Kabupaten Pontianak dengan penandatanganan MoU pengelolaan air bersih dan pertambangan (3 April 2007). Demikian pula kerjasama terjadi antara DOB Kabupaten Buton dengan dua kabupaten lain atau antara DOB Kabupaten Buton dengan Kota Bau-Bau. 6.4.
Relasi Sosial-Politik Antara Daerah dengan Pemerintah Pusat Dalam perkembangannya, kebijakan-kebijakan pemerintah pusat terkait dengan territorial reform-nya direspon oleh daerah secara berbeda. Respon daerah tersebut terjelma ke dalam alasan atau faktor pendorong maraknya keinginan daerah untuk melakukan pemekaran daerah, yaitu: 1) Motivasi untuk mewujudkan efektivitas dan efisiensi administrasi pemerintahan mengingat wilayah daerah yang begitu luas, penduduk yang menyebar, dan ketertinggalan pembangunan di daerah-daerah; 2) kecenderungan untuk homogenitas (etnis, bahasa, agama, urban-rural, tingkat pendapatan, dll; 3) adanya kemanjaan fiskal yang dijamin oleh peraturan perundang-undangan bagi daerah-daerah pemekaran (seperti disediakannya dana alokasi umum bagi pemerintah daerah otonom), bagi hasil (revenue sharing) sumber daya alam, dan disediakannya sumber-sumber pendapatan asli daerah); 4) motif politik ekonomi (bureaucratic and political rent-seeking) dari pemekaran daerah. Disamping itu masih ada motif “tersembunyi” didorongkannya upaya pemekaran dari pusat, yaitu gerrymander atau usaha-usaha pembelahan daerah secara politik. Dalam implementasi kebijakan territorial reform di Indonesia dewasa ini, teridentifikasi tiga pola proses yang teramati. Pertama, proses pemekaran sarat dengan kolaborasi antar-elite lokal, pengusaha, dan elite nasional. Kondisi seperti ini menyebabkan biaya pemekaran daerah menjadi tinggi dan pada gilirannya menimbulkan persekongkolan yang tak sehat. Dalam roundtable disscusion, Percik-DRSP (2007) terungkap bahwa kolaborasi antara elite-elite dalam pemekaran menjadi arena untuk sharing baik kekuasaan maupun ekonomi (proyek-proyek) apabila daerah baru terbentuk. Kedua, dalam proses pemekaran ini sangat kuat nuansa penggunaan paradigma public administration yang muncul dalam wujud pemenuhan syarat yuridis-formal. Tetapi sebaliknya, terungkap dalam
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton
40
proses roundtable disscusion,26 meskipun pada tataran kebijakan pemekaran daerah didominasi oleh logika administratif yang lebih mengedepankan pemenuhan persyaratan administratif yang bersifat formal, dalam tataran implementasi justru aspek politik yang lebih dominan dan sering menggeser aspek-aspek formal adminstratif. Proses pemekaran sering dimanfaatkan sebagai ajang melakukan investasi politik di daerah oleh elite-elite nasional sehingga pemenuhan tuntutan pemekaran tidak didasarkan pada pertimbangan yang obyektif. Ketiga, kepercayaan adanya kebesaran masa lalu mendorong keinginan untuk membentuk provinsi dengan warna etno-kultural dominan. Ingatan kolektif menjadi pengikat untuk melakukan gerakan bersama untuk membentuk daerah (provinsi) baru. Ingatan kolektif tersebut semakin memperoleh peluang sebagai dasar untuk memekarkan diri dengan lahirnya kebijakan desentralisasi. Kebijakan desentralisasi yang dimaksudkan lebih memberi peluang bagi daerah untuk mengembangkan identitas budaya lokal yang mengekpresikan dirinya dalam pembangunan telah menjadi pendorong aspirasi kelompok yang selama ini merasa tertekan dan terpinggirkan untuk memiliki unit wilayah administratif yang mewakili ingatan kolektif tentang batas-batas territorial sebelumnya. Seperti diketahui, pemekaran daerah di Indonesia sampai saat ini masih mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 129 Tahun 199927 sebagai penjabaran dari UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diubah dengan UU No. 32 Tahun 2004. Dalam perspektif nasional, sebagaimana termuat dalam PP No. 129/1999, tujuan pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui peningkatan pelayanan, percepatan demokrasi, percepatan pertumbuhan perekonomian daerah, percepatan pengelolaan potensi daerah, peningkatan keamanan dan ketertiban, serta peningkatan hubungan serasi antara pemerintah pusat dan daerah. Dengan demikian, setiap kebijakan pemekaran dan pembentukan daerah baru harus menjamin tercapainya akselerasi pembangunan daerah dan kesejahteraan rakyat. Proses pemekaran seringkali hanya merupakan agenda elite yang menjadi inisiator-inisiator pemekaran. Inisiator ini bisa berupa elite daerah di daerah atau elite daerah yang ada di Jakarta. Elite daerah yang ada di daerah ini meliputi para politisi lokal, ekskutif lokal (camat yang daerahnya akan menjadi wilayah dari daerah yang akan dimekarkan), pemimpin tradisional, aktivis LSM maupun para pengusaha lokal yang berharap jika suatu daerah berhasil dimekarkan para aktor tersebut akan memperoleh sharing baik kekuasaan maupun proyek-proyek. Proses pemekaran
26
Bandingkan dengan Riwanto Tirtosudarmo, 2007. Pemekaran sebagai Arena Perebutan dan Pembagian Kekuasaan – Kritik terhadap Dominasi “Public Administration School” dalam kebijakan Desentralisasi di Indonesia. Percik-DRSP, Seminar Internasional ke-8. Public administration school yang dmaksudkan Riwanto adalah: dalam territorial reform ini aspek legal-formal dan administrasi publik ini kemudian melupakan aspek keruangan (spasial-geografis) dan dimensi sosial-kultural. Konsep yang seharusnya dipertimbangkan, misalnya, adalah pertimbangan bioregion yang memiliki “ecological boundaries” yang perlu dipertimbangkan sebelum batas administratif diputuskan. Konsep bioregion inipun sangat erat hubungannya dengan aspek sosio-kultural, hal.3-6;10-11; Bdk. Gabe Ferazzi, 2007, hal.5; hal 22-23. 27
Keberadaan PP No. 129 tahun 1999 ini oleh beberapa kalangan sudah dianggap tidak relevan lagi untuk mengatur tentang penataan daerah sehingga muncul dorongan yang kuat untuk mengubah PP No. 129 Tahun 1999 tersebut. Salah satu pihak yang mendorong supaya PP No. 129 Tahun 1999 diuabah adalah Dewan Perwakilan Daerah. Dalam Pengantar Pandangan dan Pendapat DPD RI terhadap 11 RUU Inisiatif DPR RI tentang Pembentukan Daerah tanggal 6 Meret 2007, DPD mendesak supaya penyempurnaan PP No. 129 Tahun 1999 segera dilakukan mengingat semakin kompleknya persoalan pemekaran daerah. Penyempurnaan yang didesakkan oleh DPD ini termasuk juga dipikirkan tentang model pembentukan daerah baru melalui masa persiapan dalam kurun waktu 1-2 tahun dan juga mengoptimalkan dan mensinergiskan peran lembaga negara yang ada.
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton
41
tidak dilakukan melelui proses horizontal learning atau kesediaan saling belajar dari para elite daerah sehingga hanya akan mengulang kesalahan dan menumpuk persoalan.28 Persoalan yang menyangkut relasi sosial-politik antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Otonomi Baru akan selalu terkait dengan gencarnya usaha daerah untuk menyerap dan memanfaatkan DAU dan DAK dan Inefisiensi pelayanan publik, (1)
Pemanfaatan DAU dan DAK Turunnya DAU dan DAK secara langsung ataupun tidak langsung menjadi sumber dana bagi geliat ekonomi dan pembangunan. Sejumlah program pembangunan dan pembangunan infrastruktur (jalan, jembatan), perkantoran pemerintahan, dan sarana pelayanan publik lain (rumah sakit atau puskesmas), dapat dilaksanakan karena adanya dana tersebut. Pelaksanaan proyek pembangunan tersebut selain secara langsung memberikan kesempatan kerja dan pendapatan bagi para pekerja di dalam proses pembangunannya juga menyebabkan pelayanan publik menjadi lebih baik. Selain itu DAU juga memungkinkan pemerintah daerah mengangkat pegawai baru yang jumlahnya bisa mencapai 500 orang pertahun. Dengan demikian adanya DAU dan DAK memang benar-benar mampu memberikan dampak positif bagi daerah. Dalam perkembangannya adanya DAU dan DAK ini seringkali memang menjadi tujuan utama dimekarkannya suatu daerah, dengan tanpa memperdulikan beban negara yang dapat semakin besar. Walaupun adanya DAU dan DAK memberi dampak yang benar-benar positif bagi perkembangan DOB namun dilihat dari semakin beratnya beban anggaran yang haruys ditanggung oleh negara maka aspek efisiensi pemanfaatan DAU dan DAK selalu menjadi pokok relasi sosial-politik antara DOB dan Pemerintah Pusat yang kurang harmonis. (2)
Inefisiensi Pelayanan Publik Begitu gencarnya pembangunan prasarana perkantoran untuk memberi pelayanan publik, kadang-kadang untuk wilayah tertentu menjadi tidak efisien karena jumlah yang dilayani terasa terlalu sedikit. Kondisi ini terjadi di dua wilayah penelitian (Kalimantan Barat dan Sulawesi Tenggara). Sebagai gambaran dapat dikemukakan di Kabupaten Bengkayang terdapat kecamatan baru (baru dibentuk) yang hampir satu hari penuh tidak dikunjungi oleh rakyat. Tersedianya aparat birokrasi di kecamatan yang bersangkutan kurang dimanfaatkan karena sedikitnya jumlah warga yang haris dilayani dan tidak adanya program pembangunan yang jelas yang seharusnya mereka jalankan. Terlepas dari dampak positif yang memungkinkan munculnya efektifitas pelayanan publik, namun untuk wilayah tertentu pelayanan publik menjadi tidak efektif dan lebih menjauhkan rakyat dari pusat pemerintahan. Kasus masyarakat Kecamatan Sungai Raya yang semula memperoleh pelayanan publik yang lebih baik dan lebih dekat dengan pusat pemerintahan, sesudah ada pemekaran wilayah justru menjadi lebih jauh dari pusat pemerintahan. Adanya resistensi warga terhadap inefisiensi pelayanan publik, seperti kasus di Kecamatan Sungai Raya, sebenarnya tidak hanya dilandasi ketidakpuasan atas tidak efisiennya pelayanan publik oleh pihak kabupaten namun juga didorong oleh adanya ketidakpuasan dan kekawatiran oleh adanya perubahan status kemapanan (kekuasaan). Warga Sungai Raya yang semula merupakan etnis mayoritas, dengan adanya pemekaran menyebabkan mereka menjadi kelompok minoritas di Kabupaten Bengkayang.
28
Hasil Roundtabel Discussion Percik-DRSP, “Mengembangkan Kebijakan Penataan Daerah yang Peka Terhadap Perspektif Lokal”, diselenggarakan di Kampoeng Percik pada tanggal 20 Juli 2007.
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton
42
Inefisiensi pelayan publik seperti kasusu diatas memungkinkan adanya relasi sosialpolitik antara Pemerintah Pusat dengan DOB menjadi kurang harmonis. Walaupun demikian tindak lanjut (usaha) untuk mengatasi masalah ini nampaknya belum jelas. 6.5.
Relasi Sosial-Politik Antar Pemda Dengan Negara Lain Relasi sosial-politik antara DOB dengan pihak luar negeri lebih banyak terjadi kalau DOB tersebut berbatasan langsung dengan wilayah negara lain. Kabupaten Bengkayang dan Kabupaten Sambas mempunyai wilayah perbatasan dengan Nagera Malaysia yang cukup panjang. Di wilayah perbatasan, di samping terdapat jalan utama dan jalan formal untuk pelintas batas, juga terdapat sejumlah jalan tidak formal yang bisa dilalui pelintas batas secara ilegal. Masuknya sejumlah TKI dari Indonesia ke Malaysia sudah bukan rahasia lagi sehingga sering menimbulkan ketegangan. Namun demikian jalan-jalan yang lintas batas yang tidak formal tersebut juga menjadi jalan utama perdagangan gelap yang memang sangat menguntungkan bagi para spekulan. Biasanya dari Malaysia akan masuk ke Indonesia barang-barang makanan dalam kaleng atau kemasan plastik yang canggih dan dengan harga yang lebih murah dari harga di Indonesia, sedangkan dari Indonesia akan keluar hasil bumi yang harganya sangat murah. Penanganan pelintas batas informal (selain TKI gelap) tersebut sampai sekarang nampaknya tidak dapat ditangani secara intens karena proses lintas batas tersebut merupakan proses lintas batas yang sudah membudaya yang melibatkan dua rumpun melayu yang “sesaudara”. Kerjasama dengan luar negeri yang lebih formal sudah semakin nyata dan cepat, terutama dengan mulai dibangunnya jalan menuju perbatasan. Di Kabupaten Bengkayang nampak adanya persiapan untuk membuka lintas batas formal (di Kecamatan Jagoibabang). Kerjasama yang lebih formal tersebut terjadi dengan munculnya (dengan mudah) sejumlah pengusaha Malaysia untuk membangun proyek-proyek pembangunan di Kabupaten Bengkayang dan Sambas). Yang menarik adalah bahwa adanya gejala bahwa begitu mudahnya warganegara Malaysia dengan kendaraannya masuk ke Indonesia (sampai ke Pontianak) namun begitu sulitnya warganegara Indonesia untuk masuk ke Malaysia. Persoalan yang sudah berbau politik ini nampaknya hanya dapat diselesaikan dengan pihak Pemerintah Pusat. Selama belum ada penyelesaian politis maka proses-lintas batas yang bersifat informal, ilegal, dan diskriminatif tersebut akan terus berjalan.
7.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN Desentralisasi atau proses pemberian (pengembalian) kewenangan untuk mengelola pemerintahan diaras non pusat (provinsi atau Kabupaten/kota) secara otonom akan selalu terkait dengan suatu proses terik menarik antara kepentingan nasional (pusat) dan kepentingan lokal (daerah). Oleh sebab itu, kesimpulan hasil dan rekomendasi dari penelitian pemekaran daerah sebenarnya tidak akan bersifat hitam putih yang terpisah secara tegas, namun merupakan gambaran yang tidak tegas (“abu-abu”) bahkan seringkali bisa bersifat dilematis atau tarik-menarik antara isu dan kepentingan nasional (pusat) dengan isu dan kepentingan lokal (daerah). Isu atau kepentingan nasional (pusat) yang biasanya bersifat: memelihara pluralisme, kesatuan nasional, dan lebih menekankan efisiensi pelayanan publik, akan berhadapan dengan isu atau kepentingan lokal yang biasanya bersifat ingin menunjukkan identitas atau dignity, bervariasi dan spesifik, serta lebih menekankan efektifitas pelayanan publik. Demikian pula proses-proses otonomi daerah, bukanlah merupakan sesuatu yang bersifat sebagai final product (sesuatu yang bersifat final atau selesai) tetapi bersifat on going (atau sesuatu yang terus berjalan). Perkembangan hasil dari proses-proses pemekaran daerah
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton
43
sangat tergantung dari kemampuan dan kapasitas crafting masing-masing daerah di dalam menyelesaikan permasalahan pemekaran daerah. Dengan demikian hasil yang diperoleh dapat berbeda dari ssatu daerah ke daerah lain. Selain itu hasil dan perkembangan pemekaran daerah juga bisa berubah dari waktu ke waktu. Hasil pemekaran bisa terlihat negatif karena adanya peran aktor tertentu dan pada kondisi tertentu tetapi pada akhirnya bisa saja pada perkembangannya menjadi bersifat positif oleh adanya aktor lain atau kondisi lain. Beberapa hasil penelitian yang diperoleh dan rekomendasi yang dapat dikemukakan di antaranya dapat dilihat pada uraian skematis di bawah ini.
KESIMPULAN REKOMENDASI Adanya keterbatasan kapasitas Pemerintah sebaiknya segera membuat Pemerintah Pusat untuk memahami kebijakan yang bersifat umum menyangkut dinamika pemekaran di aras daerah. institutional design (perencanaan kelembagaan) pemekaran daerah. Adanya kecenderungan Pemerintah Pusat untuk menyeragamkan keputusan dan prosedure pelaksanaan pemekaran daerah.
Dipandang dari sudut kepentingan politik daerah dan socio-cultural daerah (seperti dignity rakyat dan identitas daerah), pemekaran adalah penting, namun demikian pemekaran daerah memang membutuhkan biaya tinggi dan dukungan dari pusat yang sekaligus juga membebani bagi pusat Fenomena pemekaran nampaknya akan terus berlanjut sampai ke taraf yang tidak rasional. Penambahan jumlah Daerah Otonomi Baru, pada akhirnya akan membebani Anggaran Negara dan sekaligus menyebabkan tidak efisiennya pelayanan publik. Hal ini bisa terjadi karena daerah memandang bahwa pemekaran daerah merupakan satu-satunya jalan untuk mengembangkan diri, memberi pelayanan publik yang lebih efektif, dan sekaligus dapat digunakan sebagai jalan untuk menyerap dana dari pusat secara legal.
Kebijakan pemekaran daerah yang lebih rinci ditetapkan oleh otoritas pemerintahan di atasnya, seperti: a. Pemerintah provinsi oleh pusat b. Pemerintaha Kabupaten/Kota oleh Provinsi c. Pemerintahan Kecamatan/Desa/ Kelurahan oleh Kab/Kota Pemekaran daerah, untuk sementara ini, tidak perlu dihentikan tetapi harus dilanjutkan dengan lebih meningkatkan efisiensi organisasi pemerintahan daerah dan pengorganisasian proses-proses pemekaran itu sendiri. Prosedure dan sistem pemekaran daerah perlu terus dikembangkan kearah efisiensi. Kalau selama ini pemerintah pusat hanya mempunyai kebijakan menyangkut pemekaran daerah maka perlu segera dibuat kebijakan yang menyangkut pembatasan jumlah daerah yang dapat mekar atau mekar kembali (jumlah maksimal yang dapat mekar). Di dalam hal ini kaidah struktur disinfektif atau cost and responsibility dapat digunakan. Perlu pengaturan kembali persyaratan dan perhitungan pemberian DAU dan DAK yang lebih condong ke usaha untuk memperbesar pelayanan publik dan bukan pada pengembangan administrasi pemerintahan atau mengembangkan kekuasaan administrasi daerah). Diperlukan kebijakan yang memungkinkan adanya pengembangan pelayanan publik
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton
44
Di beberapa wilayah ditemukan adanya keengganan untuk kerjasama antardaerah yang tidak berjalan dengan baik (bahkan konflik). Makna UU No. 32 Tahun 2004 yang menyangkut kerjasama lintas daerah , terlalu banyak diambil-alih oleh pemerintah di atasnya dan usaha ini tidak berjalan dengan baik.
Di beberapa daerah, sengketa antara Daerah Otonomi Baru dengan Daerah Induk selalu terjadi. Hal ini nampaknya terkait dengan tidak adanya penjabaran institusi kelembagaan yang memberi makna bahwa Daerah Otonomi Baru perlu didukung dan bukan dianggap sebagai kompetitor. Daerah Induk harus mempunyai kewenangan dan kapasitas untuk mengembangkan kerjasama dan pengembangan bersama. Ditemukan adanya ketidak jelasan tentang wilayah yang dianggap Daerah Induk dan wilayah yang dianggap Daerah Otonomi Baru (anak). Demikian pula menyangkut penetapan daerah dijadikan ibukota. Hiruk-pikuk dan keruwetan pemekaran daerah tersebut bisa disebabkan oleh tidak adanya Institutional design pemekaran (terutama pada masa transisi), dan ketidaktepatan manajemen yang tidak tuntas (walaupun ada juga konflik di daerah menyebabkan keruwetan diatas). Berbagai karakteristik lokal memiliki pengaruh yang besar terhadap proses sosial politik pembentukan daerah otonom baru. Era reformasi dan semangat desentralisasi merupakan momentum perwujudan dari keinginan memekarkan diri yang dalam berbagai daerah telah ada di dalam masyarakat. Peraturan perundang-undangan tentang pemekaran sekedar dipakai sebagai alat legitimasi legal-formal oleh para elit politik, baik lokal maupun nasional, untuk mencapai
lewat pemekaran kecamatan yang tidak disertai dengan pemekaran daerah (Kabupaten /Kota) Dalam rangka mengembangkan kerjasama antar (lintas) daerah yang baik, diperlukan adanya pembebasan (perlu ruang) bagi daerah untuk mengembangkan dan melaksanakan prakarsa lokal. Di dalam hal ini pengembangan kerjasama antar daerah, tidak hanya harus menanti pengambilalihan oleh pemerintahan di atasnya namun harus dilakukan oleh mereka sendiri sesuai dengan kondisi dan permasalahan spesifik di daerah masing-masing. Perlu dirumuskan suatu kebijakan menyangkut manajemen transisi, yang mengatur secara kelembagaan semua proses pemekaran kedepan terutama terkait dengan kerjasama antar daerah dan pengembangan bersama.
Perlu dirumuskan kebijakan institutional design yang menyangkut kejelasan dan konsekwensi Penetapan Darah Induk dan Penetapan Ibukota
Format pemekaran wilayah (territorial reform) di masa depan harus mempertimbangkan secara sungguh-sungguh adanya keragaman ekologi maupun sosiokultural yang merupakan karakteristik lokal. Tanpa adanya pertimbangan akan pentingnya karakteristik lokal, setiap perundangan dan peraturan tentang desentralisasi dan pemekaran wilayah (territorial reform) hanya akan menjadi kerangka legal-formal yang dipakai sebagai alat legitimasi untuk membentuk daerah otonom baru demi
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton
45
tujuan pemekaran. Desain desentralisasi dan pemekaran wilayah (territorial reform) tidak memberi kesempatan bagi teraktualisasinya potensi daerah dan masyarakat lokal (rakyat) sebagai representasi dari masyarakat sipil (civil society). Selain itu dengan kerangka legal-formal yang ada justru mendorong berkembang dan menguatnya sentimen etno-kultural yang sempit yang mendorong terfragmentasinya wilayah geografis berdasarkan batas-batas etno-kultural sempit tanpa mempertimbangkan viabilitas dan interkoneksitas ekonomi antar daerah. Dilihat dari kacamata daerah (rakyat), pembentukan kabupaten baru yang disertai dengan pengembangan kecamatan baru, pada umumnya menyebabkan pelayanan publik menjadi lebih dekat kepada masyarakat dan manfaatnya dapat lebih langsung dirasakan oleh masyarakat. Namun demikian efisiensi pelayanan publik perlu diperhatikan (rasio jumlah penduduk yang dilayani dengan jumlah pelayan publik). Selain itu, resentralisasi pelayanan publik ke aras kabupaten (seperti pengurusan KTP, KK, dll) menyebabkan pembentukan kecamatan baru dan pelayanan publik menjadi tidak efektif lagi.
kepentingan-kepentingan elite politik belaka (elite captures). Kebijakan desentralisasi dan pemekaran perlu didesain ulang (redesign) dengan lebih membuka diri untuk berkembangnya ruang publik, yang memungkinkan lahirnya check and balances. Selain itu, pada skala makro, diperlukan “rethinking” tentang konsep desentralisasi yang memungkinkan dikembangkannya desain-desain pemekaran wilayah (territorial reform) yang berbasis “region” dan “regionalism” mengingat kompleksnya konfigurasi geografis, demografis maupun kultural di Indonesia.
Perlu adanya (penetapan) kebijakan (bisa sampai kebijakan di aras nasional) beserta konsekwensinya yang memberikan kewenangan yang lebih besar bagi kecamatan baik di Daerah Otonomi Baru maupun di Daerah Induk (daerah lain) untuk memberikan pelayanan publik. Selian itu dipandang perlu adanya perumusan collective designing secara partisipatoris yang tidak hanya ada pada tataran grand design di tingkat pusat, tetapi juga grand design di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Dalam perumusan kebijakan, tujuan, dan proses pemekaran daerah, seharusnya juga diperhatikan dan diakomodasi kepentingan kelompok yang selama ini terpinggirkan
*****
.
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton
46