DESAIN PEMANENAN JATI DI ZONA PENYANGGA TAMAN NASIONAL BALURAN BAGIAN HUTAN BITAKOL KPH BANYUWANGI UTARA
JULIANTI KUSRINI
DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
DESAIN PEMANENAN JATI DI ZONA PENYANGGA TAMAN NASIONAL BALURAN BAGIAN HUTAN BITAKOL KPH BANYUWANGI UTARA
JULIANTI KUSRINI
Skripsi Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan Pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Desain Pemanenan Jati di Zona Penyangga Taman Nasional Baluran Bagian Hutan Bitakol KPH Banyuwangi Utara adalah benar-benar hasil karya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Maret 2009
Julianti Kusrini NRP E24104019
Judul Skripsi : Desain Pemanenan Jati di Zona Penyangga Taman Nasional Baluran Bagian Hutan Bitakol KPH Banyuwangi Utara Nama
: Julianti Kusrini
NIM
: E24104019
Menyetujui : Dosen Pembimbing,
Ketua,
Anggota,
Dr. Ir. Juang Rata Matangaran, MS. NIP. 131 760 833
Dr. Ir. Harnios Arief, MSc.F NIP. 131 878 494
Mengetahui : Dekan Fakultas Kehutanan IPB,
Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr NIP. 131 578 788
Tanggal Lulus :
KATA PENGANTAR Dalam rangka sertifikasi hutan KPH Banyuwangi Utara telah melakukan berbagai usaha mencapai Pengelolaan Hutan Lestari. Namun pada kenyataannya masih terdapat permasalahan yang salah satunya adalah mengenai kejelasan pengelolaan Bagian Hutan Bitakol. Bagian Hutan Bitakol merupakan salah satu kawasan hutan yang termasuk kedalam wilayah kerja KPH Banyuwangi Utara. Bagian Hutan Bitakol juga merupakan zona penyangga Taman Nasional Baluran. Karena letaknya yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Baluran maka seringkali digunakan banteng untuk melintas mencari sumber air dan pakan. Dalam usaha pencapaian sertifikasi hutan, KPH Banyuwangi Utara belum strategi pengelolaan Bagian Hutan Bitakol yang dapat dikolaborasikan dengan Taman Nasional Baluran. Sejauh ini kolaborasi hanya sebatas pada perlindungan hutan. Berbagai upaya dan kebijakan telah disusun, namun semuanya hanya berakhir pada meja perundingan dan hingga sekarang belum ada langkah konkrit tentang pengelolaan hutan Bagian Hutan Bitakol. Desain pemanenan jati kolaboratif ini menetapkan areal jati pada koridor banteng yang tidak boleh ditebang. Perhitungan luas jati yang boleh ditebang adalah net areal (tegakan jati diluar areal koridor banteng), biaya rutin yang dikeluarkan KPH Banyuwangi Utara tiap tahun, dan biaya penanaman kembali areal bekas tebangan jati menjadi rimba. Dengan demikian, desain pemanenan jati kolaboratif pada skripsi ini disusun untuk mengakomodir kepentingan dari masing-masing pihak yakni mempertimbangkan aspek produksi kayu dan aspek kelestarian banteng.
UCAPAN TERIMA KASIH Dalam kesempatan ini penulis turut mengucapkan rasa terimakasih yang sebesar- besarnya kepada : 1. Keluarga penulis atas doa dan dorongan baik secara moril maupun materiil. 2. Bapak Dr. Ir. Juang Rata Matangaran, MS. dan Bapak Dr.Ir. Harnios Arief, MSc.F selaku dosen pembimbing. 3. Bapak Dr. Ir. Budi Prihanto, MS. Sebagai dosen penguji wakil dari Departemen Manajemen Hutan dan Ibu Dr. Ir. Yeni A. Mulyani MSc.F selaku dosen penguji wakil dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. 4. Bapak Ir. Srijono selaku Administratur KPH Banyuwangi Utara. 5. Bapak Asep Saepudin, S. Hut selaku Ajun/Wakil Administratur KPH Banyuwangi Utara. Segenap staf KPH Banyuwangi Utara atas bantuannya selama penulis melaksanakan PKL dan penelitian. 6. Keluarga Bapak Wagiran sebagai KRPH Wonorejo atas dukungan dan bantuannya selama penulis melaksanakan penelitian 7. Bapak Ir. Kuspriyadi Sulistyo, M.P. selaku Kepala Balai Taman Nasional Baluran. 8. Segenap staf dan anggota Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) Taman Nasional Baluran atas bantuannya selama penulis melaksanakan penelitian. 9. Teman-teman penulis di Departemen Hasil Hutan khususnya teman-teman THP 41 atas doa dan dorongan morilnya. 10. Keluarga besar wisma edelweis atas persaudaraan, dukungan dan bantuan kepada penulis 11. Pihak-pihak yang telah membantu dalam terselesaikannya skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu Demikian penulisan skripsi ini, semoga karya ilimiah ini bermanfaat bagi pembangunan kehutanan yang optimal dan lestari. Bogor, Maret 2009
Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 19 Juli 1986 sebagai puteri pertama dari empat bersaudara dari pasangan Enang Kusnadi dan Naning Kusningsih. Pendidikan formal dimulai dari TK Aisyah Bustanul Athfal pada tahun 1990-1992. Penulis masuk SDN 1 Haurgeulis Kabupaten Indramayu tahun 19921998 IKIP. Pendidikan lanjutan pertama pada
SLTP Negeri 1 Haurgeulis
Kabupaten Indramayu tahun 1998-2001. Setelah itu penulis melanjutkan pendidikan di SMU 1 Conggeang Kabupaten Sumedang dan menyelesaikan pendidikannya di tahun 2004. Pada tahun tersebut penulis melanjutkan pendidikan Sarjana S1 di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih jurusan Teknologi Hasil Hutan, Departemen Teknologi Hasil hutan, Fakultas Kehutanan. Selama menuntut ilmu di IPB, penulis pernah aktif di organisasi kemahasiswaan, menjabat sebagai Sekretaris Departemen Public Relatioan Asean Forestry Student Assosiation Local Commitee IPB (AFSA LC IPB) periode 20052006, sebagai anggota Biro Pendidikan PSDM Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kehutanan IPB (BEM FAHUTAN IPB) periode 2006-2007, Bendahara umum Himpunan Hasil Hutan (HIMASILTAN) periode 2007-2008, serta Bendahara Eksternal UKM Uni Konsrvasi Fauna IPB periode 2005-2006. Penulis pernah mendapat beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA), Bantuan Belajar Mahasiswa (BBM) dan Karya Salemba Empat (KSE). Penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Pemanenan Hutan pada tahun ajaran 2008-2009. Dalam menjalani masa studi di IPB, penulis pernah mengikuti Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) yang dilaksanakan di beberapa KPH Perum Perhutani yakni KPH Banyumas Timur, KPH Banyumas Barat, dan KPH Ngawi. Pada bulan Maret hingga Mei, penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapang (PKL) yang berlokasi di KPH Banyuwangi Utara.
Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul ”Desain Pemanenan Jati di Zona Penyangga Taman Nasional Baluran KPH Banyuwangi Utara” yang dibimbing oleh Bapak Dr. Ir. Juang Rata Matangaran, MS dan Bapak Dr. Ir. Harnios Arief, MSc.
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR ISI .............................................................................................. i DAFTAR TABEL ...................................................................................... iv DAFTAR GAMBAR .................................................................................. v DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... vi BAB I
PENDAHULUAN ........................................................................ 1 1.1 Latar Belakang ......................................................................... 1 1.2 Tujuan ..................................................................................... 3 1.3 Manfaat .................................................................................... 3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA .......................................................... 4 2.1 Pemanenan Jati di KPH Banyuwangi Utara .............................. 4 2.2 Daerah Penyangga (Buffer zone) .............................................. 5 2.2.1 Definisi Daerah Penyangga ............................................. 5 2.2.2 Tipe Daerah Penyangga ................................................... 6 2.2.3 Fungsi Daerah Penyangga ............................................... 7 2.3 Konflik .................................................................................... 8 2.3.1 Pengertian Konflik .......................................................... 8 2.3.2 Penyebab Konflik ............................................................ 8 2.3.3 Wujud Dan Jenis Konflik ................................................ 9 2.3.4 Analisis Konflik .............................................................. 9 2.3.4.1 Urutan kejadian ...................................................... 10 2.3.4.2 Pohon Konflik ........................................................ 10 2.4 Perum Perhutani ....................................................................... 11 2.5 Taman Nasional ........................................................................ 12 2.6 Gangguan Keamanan Hutan ...................................................... 12 2.7 Biaya Pemanenan Kayu ........................................................... 14 2.8 Banteng (Bos javanicus d’Alton) .............................................. 17 2.8.1 Perilaku Umum ............................................................... 17 2.8.2 Perilaku Makan Dan Minum ............................................ 17 2.8.3 Perilaku Bermain ............................................................. 18
2.8.4 Perilaku Istirahat ............................................................. 19 2.8.5 Perilaku Terhadap Adanya Gangguan .............................. 19 BAB III METODE PENELITIAN ............................................................. 20 3.1 Waktu dan Tempat .................................................................... 20 3.2 Alat dan Bahan ......................................................................... 20 3.3 Batasan Penelitian .................................................................... 20 3.4 Kerangka Pemikiran ................................................................. 20 3.5 Tahapan Penelitian ................................................................... 23 3.5.1 Studi Literatur ................................................................. 23 3.5.2 Analisis Konflik .............................................................. 23 3.5.3 Analisis Biaya .................................................................. 24 3.5.4 Pengamatan Lapangan ...................................................... 24 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI ........................................................ 28 4.1 Letak dan Luas ......................................................................... 28 4.2 Keadaan Lapangan ................................................................... 29 4.2.1 Topografi ............................................................................ 29 4.2.2 Keadaan Tanah ................................................................... 29 4.3 Iklim dan Curah Hujan .............................................................. 29 4.4 Potensi Sumber Daya ............................................................... 29 4.5 Keadaan Hutan ......................................................................... 30 4.6 Kondisi Biologi ......................................................................... 30 4.7 Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat ....................................... 31 4.8 Kondisi Hutan Bitakol ............................................................. 32 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................... 34 5.1 Sejarah Pengelolaan Kawasan Hutan Bitakol ............................ 34 5.2 Analisis Konflik Hutan Bitakol ................................................ 36 5.2.1 Analisis Konflik Berdasarkan Urutan Kejadian ............... 36 5.2.2 Analisis Berdasarkan Pohon Konflik ............................... 38 5.3 Keadaan Hutan ......................................................................... 42 5.4 Ekologi Banteng ....................................................................... 43 5.4.1 Kesukaan Hidup Banteng ................................................ 43 5.4.2 Kondisi Pakan Banteng ................................................... 44
5.4.2.1 Komposisi Jenis ...................................................... 45 5.4.2.2 Keanekaragaman Jenis ............................................ 47 5.5 Analisis Biaya ........................................................................... 49 5.6 Desain Pemanenan Jati Kolaboratif ........................................... 52 5.6.1 Klasifikasi Areal Pemanenan Jati ..................................... 52 5.6.2 Tata Waktu Pelaksanaan Pemanenan Jati ......................... 58 5.6.3 Jenis Alat Yang Digunakan ............................................. 59 5.6.4 Pola Pemanenan Jati ........................................................ 60 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................... 66 6.1 Kesimpulan ............................................................................... 66 6.2 Saran......................................................................................... 67 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 68 LAMPIRAN ............................................................................................... 72
DAFTAR TABEL No.
Halaman
1. Data kehilangan pohon dan nilai kerugian KPH Banyuwangi Utara tahun 2000 s/d 2006 .......................................................................................... 13 2. Luas minimum plot ukur analisis pakan pada petak 15c ........................... 26 3. Jumlah penduduk di sekirtar wilayah KPH Banyuwangi Utara ................ 31 4. Pola penggunaan lahan masyarakat KPH Banyuwangi Utara ................... 31 5. Susunan kelas hutan potensi sumberdaya hutan awal tahun 2008 Bagian Hutan Bitakol .......................................................................................... 32 6. Daftar jenis vegetasi yang menjadi pakan banteng ................................... 45 7. Biaya Pengusahaan hutan jati di KPH Banyuwangi Utara ........................ 49 8. Biaya penanaman rimba pasca panen di KPH Banyuwangi Utara ............ 52
DAFTAR GAMBAR No.
Halaman
1. Kerangka pemikiran desain pemanenan jati ............................................. 22 2. Bentuk plot ukur cara petak tunggal di bawah tegakan jati ....................... 26 3. Bentuk plot ukur cara garis berpetak di areal rimba ................................. 27 4. Peta kondisi hutan Bitakol ....................................................................... 33 5. Urutan kejadian konflik regulasi pengelolaan kawasan hutan Bitakol ...... 37 6. Pohon konflik dalam pengeloaan kawasan hutan Bitakol ......................... 41 7. Bagian hutan yang terbuka ...................................................................... 42 8. Kotoran banteng ...................................................................................... 42 9. Curah Panggang ...................................................................................... 44 10. Sungai Bajulmati ..................................................................................... 44 11. Skema analisis pakan banteng ................................................................. 48 12. Skema penentuan luas panen minimum (Ha/thn) di Bitakol ..................... 51 13. Peta sebaran kelas hutan Bagian Hutan Bitakol KPH Banyuwangi Utara . 54 14. Skema desain pemanenan jati di Bitakol ................................................. 55 15. Peta klasifikasi areal-areal hutan di Bitakol ............................................. 56 16. Peta alternatif 1 pola panen jati di Bitakol................................................ 62 17. Peta alternatif 2 pola panen jati di Bitakol................................................ 63 18. Peta alternatif 3 pola panen jati di Bitakol................................................ 64 19. Peta arah mulai tebang jati di Bitakol ...................................................... 65
DAFTAR LAMPIRAN No.
Halaman
1. Regulasi pengelolaan hutan Bitakol versi Perum Perhutani KPH Banyuwangi Utara ................................................................................... 72 2. Regulasi pengelolaan hutan Bitakol versi Taman Nasional Baluran ......... 75 3. Pendugaan volume tegakan jati berdasarkan Tabel Wolff van Wulfing... . 80 4. Rekapitulasi pendugaan volume tegakan berdasarkan Tabel Wolff van Wulfing...................................................................................................... . 82 5. Total biaya pengusahaan hutan jati di KPH Banyuwangi Utara................ 83 6. Total biaya penanaman rimba pasca panen di KPH Banyuwangi Utara .... 86 7. Tata waktu panen jati berdasarkan perilaku harian banteng ...................... 87 8. Daftar jenis vegetasi pada koridor banteng .............................................. 88 9. Komposisi jenis analisis vegetasi pada koridor banteng ........................... 90
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanenan hutan merupakan salah satu elemen kegiatan terpenting dalam pengelolaan dan pengusahaan hutan. Saat ini telah berkembang berbagai macam sistem pemanenan hutan yang diterapkan di Indonesia baik di pulau Jawa maupun di luar pulau Jawa. Namun, pada kenyataannya setiap kegiatan pemanenan hutan yang menggunakan berbagai sistem pemanenan hutan tersebut akan menimbulkan dampak yang negatif. Dalam kegiatan pengelolaan hutan yang tidak profesional, kegiatan pemanenan kayu dapat menjadi penyebab terbesar kemunduran sumberdaya hutan. Dalam pelaksanaannya tidak sedikit dampak yang ditimbulkan akibat pemanenan hutan seperti meningkatnya keterbukaan areal hutan, kemunduran kualitas tanah dan air, kerusakan lingkungan hidup hingga menurunnya daya dukung habitat bagi hidupan liar. Di pulau Jawa, sistem pemanenan hutan yang diterapkan masih secara manual yaitu menggunakan tenaga manusia maupun tenaga hewan. Implementasi pengelolaan hutan jati yang ada di pulau Jawa dan Madura dilaksanakan oleh Perum Perhutani. Perum Perhutani adalah Badan Usaha Milik Negara yang di beri tanggung jawab, hak dan wewenang dalam pengelolaan hutan di pulau Jawa dan Madura. Perum Perhutani telah menunjukkan komitmennya dalam pengelolaan hutan yang lestari dengan ikut serta dalam proses sertifikasi hutan yang dilakukan pada unit terkecil di daerah-daerah yaitu Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH). KPH Banyuwangi Utara adalah salah satu KPH yang termasuk kedalam wilayah kerja Perum Perhutani Unit II Jawa Timur dan sedang melaksanakan proses sertifikasi Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) yang mengacu pada prinsip dan kriteria Forest Stewardship Council (FSC). Berbagai upaya telah dilakukan oleh KPH Banyuwangi Utara untuk pencapaian sertifikasi yang salah satunya adalah adanya komitmen jangka panjang untuk mengikuti prinsip dan kriteria FSC. Namun kenyataannya KPH Banyuwangi Utara belum dapat menunjukkan komitmen tersebut secara tertulis karena terdapat permasalahan yang hingga sekarang belum ditemukan solusinya. Permasalahan tersebut berkaitan dengan prinsip ke-1 FSC tentang prinsip ketaatan pada hukum dan prinsip FSC.
Berdasarkan laporan SGS Qualifor (2008), diperlukan suatu kebijakan atau strategi penyelesaian pengelolaan Bagian Hutan Bitakol antara KPH Banyuwangi Utara dan Taman Nasional Baluran. Bagian Hutan Bitakol merupakan salah satu kawasan hutan yang berada di pulau Jawa dan termasuk ke dalam wilayah kerja KPH Banyuwangi Utara. Bagian Hutan Bitakol juga merupakan zona penyangga bagi Taman Nasional Baluran yang pelaksanaannya dikelola oleh Perum Perhutani KPH Banyuwangi Utara sebagai hutan produksi terbatas. Karena letak Bagian Hutan Bitakol yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Baluran maka seringkali digunakan satwa untuk melintas dan mencari sumber air serta pakan. Saat ini timbul permasalahan yang serius mengenai pergerakan satwa terutama banteng yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan populasi secara signifikan. Pergerakan banteng yang keluar kawasan Taman Nasional Baluran diduga karena ketersediaan air di dalam kawasan Taman Nasional Baluran yang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan minum banteng pada saat musim kemarau. Faktor lain yang menjadi penyebab pergerakan banteng yaitu banyaknya aktifitas masyarakat yang masuk kedalam kawasan Taman Nasional Baluran, adanya jenis tanaman eksotik yang menginvasif habitat banteng, dan meningkatnya perburuan liar. Telah terjadi penurunan populasi banteng yang sangat signifikan di kawasan Taman Nasional Baluran. Dalam kurun waktu 15 tahun (1988-2003), terjadi penurunan jumlah populasi banteng sebesar 81,74% dan hingga saat ini populasi banteng berfluktuasi rata-rata sekitar 30 ekor (Statistik Balai Taman Nasional Baluran, 2007). Menurut IUCN (2008) yang dinyatakan dalam IUCN Red List Categories, populasi banteng tengah mengalami penurunan dan saat ini statusnya terancam punah sehingga keberadaan banteng sangat dilindungi di Indonesia. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mempertahankan keberadaan banteng yang semakin sedikit jumlahnya maka perlu dilakukan upaya konservasi habitat. Pada dasarnya inti permasalahan di Bagian Hutan Bitakol yakni tentang konflik regulasi yaitu adanya dua Surat Keputusan Menteri Kehutanan yang dipegang oleh masing-masing pihak sebagai landasan hukum dalam pengelolaan Bagian Hutan Bitakol antara lain Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.
279/Kpts-VI/1997, tentang penunjukan Taman Nasional Baluran seluas 25.000 Ha terletak di Kabupaten Situbondo Propinsi Jatim dan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 417/Kpts-II/1999 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Wilayah Propinsi Jawa Timur seluas 1.357.206,30 Ha. Dari surat keputusan tersebut hutan Bitakol memiliki 2 fungsi utama bagi masing-masing pihak, yaitu fungsi konservasi dan produksi. Dengan demikian permasalahan pergerakan banteng ke areal tegakan jati yang merupakan areal produksi terbatas bagi Perum Perhutani perlu mendapat perhatian khusus sehingga diperlukan suatu tindakan pengusahaan hutan dengan sistem pemanenan hutan yang kolaboratif dengan tetap memperhatikan aspek produksi kayu dan aspek kelestarian banteng. Dengan demikian, kegiatan pengelolaan hutan dapat terus dilaksanakan secara optimal dan lestari.
1.2 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengidentifikasi sumber konflik pengelolaan hutan Jati antara Perum Perhutani dan Taman Nasional Baluran di Bagian Hutan Bitakol. 2. Menghitung intensitas tebang dan cara pemanenan jati di Bagian Hutan Bitakol. 3. Merancang desain pemanenan kayu jati yang mempertimbangkan aspek produksi kayu jati dan aspek kelestarian banteng.
1.3 Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang dapat diambil dari penelitian berupa masukan mengenai bentuk pengelolaan hutan yang kolaboratif sehingga dalam pelaksanaan pengelolaan hutan dapat dilaksanakan secara optimal.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Pemanenan Jati di KPH Banyuwangi Utara Sistem pemanenan kayu adalah metode pengambilan hasil hutan berupa
kayu, dapat didasarkan pada cara regenerasi hutan, penggunaan peralatan, penggunaan jenis tenaga dan jenis sortimen yang dihasilkan (Suparto, 1979). Sistem pemanenan jati yang diterapkan di KPH Banyuwangi Utara adalah sistem pemanenan manual dan semi mekanis. Kegiatan pemanenan sebagian dilakukan menggunakan tenaga manusia dan sebagian lainnya dengan bantuan mesin. Pada kegiatan penebangan, peralatan secara manual (gergaji tangan, kapak, dan baji) digunakan untuk tebangan E pada KU III dan KU II. Sedangkan kegiatan penebangan pada tebangan A (tebang habis) dan tebangan E (penjarangan) di atas KU IV dilakukan dengan menggunakan chainsaw (Anggoro, 2007). Pada umumnya umur tebang rata-rata (UTR) dan umur tebang minimum (UTM) dan yang diterapkan di KPH Banyuwangi Utara yaitu 50 tahun dan 40 tahun dan artinya hanya KU VI ke atas pada awal jangka yang dimasukkan pada areal tebangan. Tebangan diperkenankan apabila sudah mencapai umur 50 tahun sesuai dengan daur yang telah ditetapkan (50 tahun). Pada umumnya kegiatan penebangan di Perum Perhutani menggunakan sistem pohon per pohon dan sistem target (Perum Perhutani, 1999). Anggoro (2007) menyatakan bahwa kegiatan penebangan di KPH Banyuwangi Utara menganut metode pohon per pohon artinya setiap pohon diselesaikan terlebih dahulu, sebelum menebang pohon berikutnya. Tujuan metode pohon per pohon adalah mengurangi resiko kerusakan kayu akibat pohon yang ditebang saling menimpa. Dengan sistem ini, mandor tebang juga lebih leluasa melakukan pengukuran, melihat setiap sisi untuk menentukan kelas kualita sortimen. Terdapat juga penebangan dengan sistem penebangan pada beberapa pohon jati kemudian dilanjutkan kegiatan pembersihan batang, pemotongan cabang dan ranting, dan pembagian batang atau pembuatan sortimen. Menurut Alasi (2003), kegiatan pembagian batang merupakan rangkaian kegiatan setelah pohon roboh ke tanah. Prinsip dasar pembagian batang adalah menghimpun cacat di satu potongan batang kayu sedemikian rupa sehingga
diperoleh nilai kayu setinggi-tingginya. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa pelaksanaan tebangan harus sesuai dengan manajemen batang per batang, artinya urutan pemotongan dimulai dari pangkal ke ujung dengan tetap memperhatikan mutu kayu pada cabang yang dapat dipungut untuk kayu pertukangan. Pembagian batang (bucking) mengacu pada petunjuk pelaksanaan pembagian batang kayu bundar jati yang pada prinsipnya dimaksudkan untuk menghimpun cacat-cacat sedemikian rupa pada sortimen kayu, sehingga dapat diperoleh nilai kayu yang optimal (Perum Perhutani, 2006). Penyaradan (skidding) kayu dilakukan dengan cara memikul kayu ke jalan angkutan/ke jalan sogokan. Jalan sogokan adalah jalan yang dibuat agar armada pengangkut bisa masuk ke petak tebang. Dengan demikian jarak penyaradan menjadi lebih pendek (Anggoro, 2007). Menurut Perum Perhutani (1999), sebelum tebangan dimulai, jarak sarad dari tiap-tiap blok ke Tempat Pengumpulan (TP) bila diperlukan (sesuai dengan kondisi lapangan) pada blok-blok tertentu disiapkan juga penyaradan dengan sistem atau alat mekanis. Pengangkutan (transportation) dari petak tebang ke TPK dilakukan oleh mitra Perum Perhutani. Pengangkutan dilakukan menggunakan truk dengan perhitungan
tarif
didasarkan
pada
tiap
volume
kayu
yang
diangkut
mempertimbangkan jarak angkut (Anggoro, 2007). Sistem pengangkutan biasanya menggunakan sistem borongan. Hal tersebut dimaksudkan agar pengangkutan kayu jati dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. 2.2.
Daerah Penyangga (Buffer zone)
2.2.1. Definisi Daerah Penyangga Berdasarkan Undang-Undang No. 5 tahun 1990 pasal 16 ayat 2 tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, dijelaskan bahwa daerah penyangga adalah wilayah yang berada di luar kawasan pelestarian alam baik sebagai kawasan hutan lain, tanah Negara maupun tanah yang dibebani hak yang diperlukan dan mampu menjaga keutuhan kawasan pelestarian alam, sehingga pengelolaan daerah penyangga berada diluar otoritas manajemen kawasan konservasi yang bersangkutan. Namun demikian, MacKinnon et al. (1990) menyatakan bahwa jika daerah penyangga itu berupa tanah Negara, maka
pengelolaannya dapat diserahkan pada otorita pengelola kawasan konservasi yang bersangkutan. Daerah penyangga dapat didefinisikan sebagai kawasan yang berdekatan dengan kawasan lindung yang penggunaan tanahnya terbatas, untuk memberikan lapangan perlindungan tambahan bagi kawasan tersebut dan sekaligus bermanfaat bagi masyarakat sekitar hutan. Selanjutnya dikemukakan pula bahwa sebagai aturan umum, prioritas pertama daerah penyangga harus ditujukan bagi keperluan perlindungan, baru kemudian untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan produk alam yang dipungut hasilnya, dan terakhir adalah untuk “tanaman perdagangan” (MacKinnon et al., 1990). 2.2.2. Tipe Daerah Penyangga MacKinnon et al. (1990) membedakan empat tipe daerah penyangga, sebagai berikut: 1.
Zona pemanfaatan tradisional. Ada situasi dimana tidak ada tanah yang cocok di luar kawasan konservasi untuk ditetapkan sebagai daerah penyangga serta lebih disukai untuk mengizinkan pengumpulan produk alam tertentu dari beberapa bagian kawasan konservasi atau pada waktuwaktu tertentu di dalam kawasan konservasi, daripada menjadikan lahan yang bernilai penting sebagai daerah penyangga. Kegiatan yang diperkenankan di dalam tipe daerah penyangga ini misalnya penangkapan ikan tanpa menggunakan racun atau bahan peledak, perburuan tradisional, mengumpulkan getah dan damar, serta buah-buahan.
2.
Penyangga hutan. Tipe penyangga ini termasuk hutan kayu bakar atau kayu bahan bangunan yang terletak di luar batas kawasan konservasi tetapi di atas tanah Negara, dapat berupa hutan alam, hutan sekunder yang diperkaya, atau bahkan perkebunan yang digunakan oleh masyarakat sekitar hutan.
3.
Penyangga ekonomi. Tipe daerah penyangga ini diperlukan untuk mengurangi keperluan masyarakat sekitar hutan dari mengambil sumberdaya dari dalam kawasan konservasi. Penyangga ini dapat berbentuk bantuan khusus pertanian, sosial atau komuniksi, atau lahan
produktif, perburuan terkendali di daerah penyangga dekat kawasan konservasi, bahkan uang tunai dari penghasilan kawasan konservasi. 4.
Rintangan fisik. Bila tidak tersedia tanah bagi pengembangan daerah penyangga, maka batas kawasan itu sendiri harus berfungsi sebagai penyangga. Kadang-kadang diperlukan juga rintangan fisik berupa selokan, kanal, pagar tembok atau kawat berduri. Dalam beberapa kasus yang diperlukan hanyalah batas yang jelas terlihat seperti sebaris atau jalur tipis pohon-pohon yang mencolok sebagai batas hidup.
2.2.3. Fungsi Daerah Penyangga Daerah Penyangga berfungsi untuk menjaga kawasan suaka alam dan atau kawasan pelestarian alam dari segala bentuk tekanan dan gangguan yang berasal dari luar dan atau dari dalam kawasan yang dapat mengakibatkan perubahan keutuhan dan atau fungsi kawasan. Daerah penyangga dapat mempunyai beberapa fungsi eksploitatif terbatas, seperti Penebangan kayu selektif, perburuan terkendali, bahkan pemukiman dengan kepadatan rendah dan masih berfungsi protektif terhadap kawasan lindung (Meffe dan Carroll, 1994 dalam Basuni, 2003). MacKinnon et al. (1990) menyatakan bahwa daerah penyangga mempunyai dua fungsi utama, yaitu: 1.
Daerah penyangga berfungsi sebagai perluasan habitat yang pada hakekatnya memperluas areal habitat yang terdapat di kawasan lindung. Hal ini memungkinkan meningkatnya total populasi tumbuhan dan satwa yang berkembangbiak dibandingkan dengan jumlah populasi yang dapat bertahan hidup dalam kawasan lindung semata-mata. Daerah penyangga dengan fungsi perluasan habitat dapat berupa hutan produksi dengan tebang pilih, areal buru, hutan alam yang digunakan masyarakat sekitar hutan untuk mencari kayu bakar, daerah terlantar dan padang penggembalaan.
2.
Daerah penyangga berfungsi sosial. Tujuan utama pengelolaan daerah penyangga yang berfungsi sosial yakni penyediaan produk yang dapat digunakan atau berharga bagi masyarakat sekitar hutan, seperti tanaman perdagangan, sedangkan pemanfaatan sumberdaya alam merupakan hal
sekunder.
Namun
demikian,
penggunaan
lahan
ini
tidak
boleh
bertentangan dengan tujuan cagar itu sendiri dan tumbuhan yang ditanam pun tidak berdaya tarik sebagai makanan satwaliar. 2.3.
Konflik
2.3.1. Pengertian Konflik Menurut Fisher et al. (2001) konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau yang merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Konflik adalah suatu kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering bersifat kreatif. Konflik terjadi ketika tujuan kedua belah pihak tidak sejalan dan timbul karena ketidakseimbangan antara hubunganhubungan itu seperti kesenjangan sosial, kurang meratanya kemakmuran dan akses
yang
tidak
seimbang
kemudian
menimbulkan
masalah-masalah
diskriminasi. 2.3.2 Penyebab Konflik Menurut Fisher et al. (2001) mengemukakan beberapa teori penyebab konflik, jika disimpulkan terdapat enam teori penyebab konflik yaitu: 1. Teori hubungan manusia, menganggap konflik disebabkan oleh polarisasi yang harus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan diantara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat. 2. Teori negosiasi prinsip, menganggap bahwa konflik disebabkan posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konflik. 3. Teori kebutuhan manusia, berasumsi bahwa konflik yang berakar dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia (fisik, mental dan sosial) yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi, dan otonomi sering menjadi inti pembicaraan. 4. Teori identitas, berasumsi konflik disebabkan karena identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan masa lalu. 5. Teori kesalahpahaman antar budaya, berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh ketidakcocokan dalam cara-cara komunikasi diantara budaya yang berbeda.
6. Teori transformasi konflik, berasumsi bahwa disebabkan oleh masalahmasalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalahmasalah sosial, budaya dan ekonomi. 2.3.3. Wujud dan Jenis Konflik Menurut Fuad dan Maskanah (2000) konflik dapat berwujud konflik tertutup (latent), mencuat (emerging), dan terbuka (manifest). Secara lebih lanjut ciri-ciri konflik tersebut diterangkan berikut ini: 1. Konflik tertutup (latent) dicirikan dengan adanya tekanan-tekanan yang tidak tampak, tidak sepenuhnya berkembang, dan belum terangkat ke puncak kutubkutub konflik. Seringkali salah satu atau kedua belah pihak belum menyadari adanya konflik, bahkan yang paling potensial sekalipun. 2. Konflik mencuat (emerging) adalah perselisihan dimana pihak-pihak yang telah berselisih telah teridentifikasi, diakui adanya perselisihan dimana pihakpihak yang berselisih telah teridentifikasi, diakui adanya perselisihan, kebanyakan permasalahan jelas, tetapi proses penyelesaiannya belum berkembang. 3. Konflik terbuka (manifest) merupakan konflik dimana pihak-pihak yang berselisih terlibat secara aktif dalam perselisihan yang terjadi, mungkin sudah memulai untuk bernegosiasi, atau telah mencapai jalan buntu. Menurut level permasalahannya, terdapat dua jenis konflik yakni konflik vertikal dan konflik horizontal. Konflik vertikal terjadi bila pihak yang dilawan oleh pihak lain yang berada pada level berbeda, sehingga kaitan makro-mikronya lebih cepat dapat diketahui. Konflik horizontal terjadi pada level yang sama seperti terjadi diantara masyarakat (Fuad dan Maskanah, 2000). 2.3.4. Analisis Konflik Menurut Fisher et al. (2001) analisis konflik adalah sebagai suatu proses praktis untuk mengkaji dan memahami kenyataan konflik dari berbagai sudut pandang. Selanjutnya pemahaman ini membentuk dasar untuk mengembangkan strategi dan merencanakan tindakan. Analisis konflik diperlukan untuk memahami diantaranya: 1. Latar belakang dan sejarah suatu situasi dan kejadian-kejadian saat ini. 2. Mengidentifikasi semua kelompok yang menonjol.
3. Memahami pandangan semua kelompok dan mengetahui hubungan antar kelompok. 4. Mengidentifikasi faktor-faktor dan kecenderungan yang mendasari konflik. 5. Belajar dari kegagalan dan juga kesuksesan. Alat bantu yang dapat digunakan dalam menganalisis situasi konflik diantaranya adalah penahapan konflik, urutan kejadian, pemetaan konflik, segitiga Sikap, Perilaku dan Konteks (SPK), analogi bawang bombay, pohon konflik, analisis kekuatan konflik, analogi pilar dan piramida (Fisher et al., 2001). 2.3.4.1. Urutan Kejadian Analisis konflik dengan bantuan urutan kejadian adalah suatu alat bantu yang sederhana. Alat ini berupa grafik yang menunjukkan kejadian-kejadian yang telah ditempatkan menurut waktu. Urutan kejadian merupakan daftar waktu (tahun, bulan atau hari, sesuai skalanya) dan menggambarkan kejadian-kejadian secara kronologis. Tujuan penggunaan urutan kejadian bukan untuk mendapatkan sejarah yang ”benar” atau ”objektif”, tetapi untuk memahami pandanganpandangan orang yang terlibat (Fisher et al., 2001). 2.3.4.2. Pohon Konflik Pohon konflik adalah suatu alat bantu dengan menggunakan gambar sebuah pohon untuk mengurutkan hasil identifikasi isu-isu pokok konflik. Tujuannya yakni (1) meningkatkan diskusi tentang berbagai sebab dan efek dalam suatu konflik; (2) membantu kelompok menyepakati masalah inti; (3) membantu kelompok dalam mengambil keputusan tentang prioritas untuk mengatasi berbagai isu konflik; (4) menghubungkan berbagai sebab dan efek satu sama lain, dan untuk memfokuskan organisasi. Analisis konflik dengan bantuan pohon konflik baik digunakan dalam sebuah kelompok dan akan membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam pengelolaan konflik. Pertanyaan tersebut seperti mengenai masalah inti, sebab-sebab awal dalam konflik, efek-efek yang muncul sebagai akibat masalah inti serta isu yang paling penting diatasi dalam pengelolaan konflik (Fisher et al., 2001).
2.4.
Perum Perhutani Perum Perhutani adalah suatu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang
diberi tanggung jawab, hak dan wewenang untuk mengelola sumber daya hutan yang ada di Pulau Jawa dan Madura berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 30 tahun 2003. Dalam melaksanakan tugas dan wewenang tersebut, Perum Perhutani memiliki visi yaitu: menjadi pengelola hutan tropis terbaik di dunia. Adapun misi dari Perum Perhutani adalah sebagai berikut: 1. Mengelola hutan tropis dengan prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari bersama masyarakat. 2. Menigkatkan produktifitas, kualitas dan nilai sumberdaya hutan. 3. Mengoptimalkan manfaat hasil hutan kayu, non kayu dan jasa lingkungan serta potensi lainnya, dalam rangka meningkatkan pendapatan dan keuntungan perusahaan serta kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. 4. Membangun sumberdaya manusia perusahaan yang bersih, berwibawa dan profesional. 5. Mendukung
dan
berperan
serta
dalam
pembangunan
wilayah
dan
perekonomian nasional. Berdasarkan PP No. 30 tahun 2003 tentang Perusahaan Umum Milik Negara (Perum Perhutani), dijelaskan bahwa pengelolaan hutan adalah kegiatan yang meliputi penataan hutan, penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan, rehabilitasi dan reklamasi hutan, perlindungan hutan dan konservasi alam. Berdasarkan pengertian diatas, di dalam pengelolaan hutan terdapat empat unsur pokok yaitu pemanfaatan, rehabilitasi, perlindungan dan konservasi alam (Birgantoro, 2008). Menurut Sianturi (2006) Perum Perhutani sebagai penyelenggara kegiatan pengelolaan hutan di Pulau Jawa dan Madura harus mampu menjalankan tugas dari keempat unsur pokok tersebut secara seimbang. Aspek pemanfaatan yang meliputi lingkungan, sosial dan ekonomi harus terpenuhi secara proporsional agar sifat hutan sebagai sumberdaya yang terbarukan benar-benar menjadi kenyataan, sehingga manfaat hutan dapat dinikmati dari generasi ke generasi, termasuk manfaat kelestarian lingkungan.
2.5.
Taman Nasional Berdasarkan Undang-Undang No. 5 tahun 1990 Pasal 1 Taman Nasional
merupakan kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budaya, pariwisata dan rekreasi. Secara umum kriteria suatu kawasan ditentukan menjadi Taman Nasional adalah kawasan luas yang relatif tidak terganggu yang mempunyai nilai alam yang menonjol dengan kepentingan pelestarian yang tinggi, potensi rekreasi besar, mudah dicapai oleh pengunjung dan manfaat yang jelas bagi wilayah tersebut (MacKinnon et al., 1990). Menurut MacKinnon et al. (1990), seleksi kawasan yang perlu dilindungi bagi pelestarian fungsi hidrologi akan bergantung pada empat pertimbangan utama, yaitu: a. Kepekaan kawasan tangkapan terjadap erosi. b. Kepekaan sungai terhadap banjir. c. Ketersediaan air musiman. d. Kepentingan sosio-ekonomi aliran sungai tertentu. Menurut pasal 32 UU No. 5 tahun 1990, kawasan Taman Nasional dikelola dengan sistem zonasi yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lain sesuai dengan keperluan. Zona inti adalah bagian kawasan Taman Nasional yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia. Zona pemanfaatan adalah bagian dari kawasan Taman Nasional yang dijadikan pusat rekreasi dan kunjungan wisata. Sedangkan yang dimaksud dengan zona lain adalah zona diluar kedua zona tersebut karena fungsi dan kondisinya ditetapkan sebagai zona tertentu seperti zona rimba, zona pemanfaatan tradisional, zona rehabilitasi, dan sebagainya. 2.6.
Gangguan Keamanan Hutan Gangguan keamanan hutan adalah segala bentuk tindakan yang dilakukan
oleh manusia dan atau kejadian yang disebabkan oleh alam dalam kawasan hutan yang berpotensi mengurangi potensi, fungsi dan manfaat sumberdaya hutan baik dari aspek produksi, ekologi, maupun sosial ekonomi (Perum Perhutani, 2007).
Menurut Burhan et al. (1997), Gangguan keamanan hutan mencakup peristiwa-peristiwa pencurian kayu, pembabatan tanaman muda, penggembalaan liar, bibrikan hutan, serta kebakaran hutan. Diantara berbagai gangguan keamanan hutan yang terjadi, maka pencurian pohon khususnya jati, telah menimbulkan kerugian yang paling besar (lebih dari 95%).
Berdasarkan Laporan Kajian
Keamanan Hutan di KPH Banyuwangi Utara (2007), gangguan keamanan hutan yang paling menonjol adalah pencurian pohon. Dalam kurun waktu tujuh tahun (2000-2006) pencurian pohon/tunggak telah mengalami penurunan sebesar 83,95%. Tabel 1. Data Kehilangan Pohon dan Nilai Kerugian KPH Banyuwangi Utara Tahun 2000 s/d 2006 Jumlah LA
Tahun
Jumlah kehilangan pohon Jati
Rimba
Nilai kerugian (Rp.X 1000) Jati
Rimba
Total Kehilangan
Kerugian
1.428 6.828 38 2.556.878 6.471 6.866 2.563.349 2000 7.451 5.47 1.744.162 1.319 5.45 20 1.736.711 2001 890 2.722 39 753.384 24.875 2.761 778.259 2002 843 2.017 14 474.639 5.635 2.031 480.274 2003 900 2.248 15 795.156 2.299 2.263 797.455 2004 953 1.821 48 741.43 12.073 1.869 753.503 2005 699 1.081 21 390.691 6.9 1.102 397.591 2006 Sumber : Data Laporan Keamanan KPH Banyuwangi Utara tahun 2000 s/d 2006 Keterangan : LA = Letter A (laporan kejadian) kehilangan pohon
Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (1986), faktor penyebab pencurian hasil hutan antara lain: 1. Masih rendahnya kesadaran dan tingkat sosial ekonomi masyarakat dan masih adanya anggapan bahwa hutan adalah warisan mereka. 2. Pesatnya laju pertambahan penduduk yang tidak diimbangi oleh peningkatan kesempatan kerja. 3. Berkembangnya industri kayu yang bersedia menampung dan mengolah kayukayu yang tidak dilindungi oleh surat-surat resmi/sah. 4. Masih belun sempurnanya tertib administrasi dalam bidang lalu lintas hasil hutan. 5. Adanya tingkat permintaan yang tinggi terhadap hasil hutan tertentu. 6. Masih lemahnya sistem pengamanan hutan di lapangan.
Gangguan keamanan hutan tersebut diantaranya dapat merupakan ancaman berupa menurunnya produksi dan produktivitas lahan, serta semakin merosotnya kualitas lingkungan, yang pada tingkat tertentu akan berpengaruh terhadap kelestarian hutan dan perusahaan. Gangguan keamanan hutan di kawasan hutan Perum Perhutani sebagian besar dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan yang tidak bertanggung jawab. Hal ini disebabkan oleh keadaan sosial ekonomi masyarakat desa sekitar hutan yang relatif rendah karena rendahnya tingkat pendapatan, tingkat pengetahuan dan tingkat kesadaran akan fungsi hutan (Burhan et al., 1997). 2.7.
Biaya Pemanenan Kayu Biaya adalah pengorbanan sumberdaya ekonomi yang dinyatakan dalam
satuan moneter (uang) yang telah terjadi atau akan terjadi untuk tujuan tertentu. Biaya merupakan faktor penting dalam pelaksanaan perusahaan industri, terutama dalam bidang pemanenan kayu, dimana biaya berubah berdasarkan tempat dan waktu (Matthews, 1942 dalam Cahyono, 1993). Hal ini disebabkan karena situasi dan kondisi hutan yang sangat berbeda satu sama lain, dengan demikian taksiran biaya yang sangat tepat atau teliti dalam kegiatan pemanenan kayu jarang dijumpai. Suparto (1979) mengatakan bahwa diantara kegiatan-kegiatan lain dalam kehutanan, kegiatan pemanenan memerlukan biaya yang paling tinggi. Dengan perkataan lain, biaya pemanenan adalah unsur biaya terbesar dalam biaya produksi kayu. Menurut
Elias
(1987),
Faktor-faktor
utama
yang
menyebabkan
bervariasinya biaya pemanenan kayu pada situasi dan kondisi hutan yang berbeda adalah; a. Kayu meliputi ukurannya, kepadatan, berat, banyaknya pohon per satuan luas. b. Jarak angkutan sehubungan dengan major transportation dan minor transportation serta fasilitas angkutan. c. Topografi. d. Efisiensi jumlah tenaga. e. Peraturan yang membatasi, misalnya jam kerja, keadaan keselamatan kerja dan asuransi.
f. Biaya, penyediaan serta efisiensi dari alat. Wiradinata (1989) menyatakan prosedur dalam menghitung biaya pada suatu kegiatan pemanenan didasarkan pada asumsi bahwa ada suatu pola pemanenan atau arus produksi dan cara-cara teknis atau pilihan teknis untuk melaksanakan berbagai operasi (teknik pemanenan) dan kemudian membebankan biaya pada setiap kegiatan dan menjumlahkan semua biaya tersebut. Disamping biaya operasi, perlu pula dipertimbangkan biaya untuk membuat dan memelihara jalanjalan angkutan, demikian pula biaya umum (overhead). Mathews (1942) dalam Hastanto (1994) menyatakan bahwa biaya dalam kegiatan eksploitasi hutan sangat tergantung dari kondisi setempat yang selalu bervariasi serta menurut waktu penyelenggaraan eksploitasi. Di Perum Perhutani biaya pemanenan jati terdiri dari pos P (biaya eksploitasi kayu jati), Q (biaya penerimaan kayu jati), dan R (biaya pengangkutan kayu jati). Komponenkomponen biaya tersebut antara lain: 1. Biaya Eksploitasi Kayu Jati, meliputi: a. Biaya teresan b. Biaya pembagian blok tebangan A2 c. Biaya Klem d. Biaya prasarana tebangan e. Biaya sarana tebangan f. Biaya persiapan eksploitasi jati lainnya 2. Biaya Penerimaan Kayu Jati a. Biaya penerimaan kayu pertukangan jati (tebangan A2, B, D, dan E), terdiri dari Upah penerimaan kayu bundar AI, AII, dan AII, serta premi mandor tebang AI, AII, dan AII b. Biaya pengukur letter c. Biaya makan mandor tebang 3. Biaya Pemikulan Kayu Jati 4. Biaya Pengangkutan Kayu Jati a. Biaya penghelaan kayu jati max 3 Hm b. Biaya penghelaan/sarad dengan tenaga manusia c. Biaya penghelaan/sarad dengan tenaga mesin
d. Biaya pengangkutan antara kayu pertukangan jati e. Biaya pengangkutan biasa kayu pertukangan jati AI, AII, dan AIII f. Biaya pengangkutan biasa kayu persegi g. Biaya pengangkutan kayu bakar h. Biaya angkutan biasa kayu blebesan Berdasarkan Tarip Upah KPH Banyuwangi Utara (2008), biaya pengelolaan hutan jati merupakan gabungan atas biaya-biaya dari masing-masing pos antara lain dari biaya pemanenan jati (pos P, Q, R), biaya tanam, perawatan, dan pemeliharaan (pos D), serta biaya kemanan (pos F). Uraian mengenai biayabiaya tersebut adalah sebagai berikut: 1. Biaya Penanaman yang terdiri dari: a. Biaya Persemaian jati dan kesambi tahun berjalan b. Biaya persemaian rimba tahun berjalan c. Biaya tanaman rutin jati d. Biaya tanaman pembangunan jati e. Biaya tanaman rutin rimba f. Biaya tanaman pembangunan rimba g. Biaya perawatan hutan jati h. Biaya perawatan hutan non jati 2. Biaya Perlindungan Hutan yang terdiri dari: a. Biaya perlindungan terhadap pencurian, penggembalaan, kebakaran dan bencana alam b. Biaya penyelesaian perkara c. Biaya sarana dan prasarana perlindungan hutan d. Honorarium pakam dan upah pekerja harian e. Biaya perlindungan hutan lainnya 3. Biaya Eksploitasi Kayu Jati 4. Biaya Penerimaan Kayu Jati 5. Biaya Pemikulan Kayu Jati 6. Biaya Pengangkutan Kayu Jati 7. Biaya Angkutan Biasa Kayu Pertukangan jati 8. Biaya Eksploitasi Kayu Rimba
9. Biaya Penerimaan Kayu Pertukangan Rimba 10. Biaya Pengangkutan Kayu Rimba 11. Biaya Angkutan Biasa Kayu Pertukangan Rimba 12. Biaya Eksploitasi Hutan Lainnya 2.8.
Banteng (Bos javanicus d’Alton)
2.8.1. Perilaku Umum Banteng termasuk satwaliar diurnal atau aktif sepanjang siang hari yaitu mulai pagi hingga petang hari. Menurut Hoogerwerf (1970) dalam Setiawati (1986) masih diragukan penyebab banteng berada di tempat terbuka pada saat yang panas sekali. Merumput pada siang hari di luar cover mungkin disebabkan gangguan manusia atau kurangnya makan di waktu malam tidak mencukupi kebutuhan mereka. Mungkin juga banteng mencari daerah terbuka di siang hari untuk menghindari predator. Banteng menghabiskan sebagian besar waktu hidupnya untuk merumput, dan memamah biak secara bergantian. Banteng akan mulai merumput jika cuaca cerah, mereka memilih hari yang agak berawan dibanding siang hari yang sangat terik (Hoogerwerf, 1970 dalam Setiawati, 1986). Selanjutnya menurut Alikodra (1983), kawanan banteng di daerah terbuka pada waktu siang hari sebenarnya terdiri dari beberapa kawanan banteng yang biasanya masing-masing terdiri dari 10-12 ekor. Mereka merumput sambil berjalan berlawanan dengan arah angin. Hoogerwerf (1970) dalam Setiawati (1986) menyatakan bahwa pada saat merumput di padang penggembalaan kawanan banteng dipimpin oleh beberapa ekor betina tua yang selalu bersikap waspada dan memperhatikan keadaan sekitarnya. Sedangkan banteng jantan tidak menunjukkan sifat pemimpin dan selalu lari paling belakang jika ada bahaya. Pada waktu merumput banteng menyebar dengan jarak berkisar 1,5-7 meter diantara individu dengan arah yang tidak menentu (Sancayaningsih et al., 1983 dalam Setiawati, 1986). 2.8.2. Perilaku Makan Dan Minum Banteng merupakan salah satu jenis satwaliar yang banyak dikenal masyarakat. Banteng sebagai satwa herbivora, seperti juga hewan-hewan lainnya mempunyai suatu cara adaptasi yang khusus untuk menyeleksi jenis-jenis makanannya. Pemilihan jenis ini tergantung nilai gizi, daya cerna, ukuran, jumlah
dan kemampuan makanan tersebut untuk memberikan kekuatan dan daya tahan tubuh dari serangan penyakit (Kendeigh, 1975 dalam Alikodra, 1983). Lekagul & McNeely (1977) dalam Alikodra (1983), menyatakan bahwa banteng termasuk dalam satwa pemakan hijauan, terutama sangat tergantung kepada rumput dari pada semak. Kenyataan tersebut juga diperkuat dengan laporan Hoogerwerf (1970) dalam Alikodra (1983) bahwa berdasarkan tanda bekas gigitan pada tumbuh-tumbuhan di dalam hutan dari laporan tersebut dapat disimpulkan bahwa banteng juga dalam jumlah terbatas makan tumbuhan hutan seperti Pandanus tectorius, Arenga obtusifolia, Corypha utan, Desmodium umbellatum, Hibiscus tiliaceus, juga beberapa spesies rotan, bamboo, dan Zingiberaceae. Banteng juga merupakan satwa yang mempunyai ketergantungan tinggi terhadap air. Banteng memerlukan air setiap hari untuk minum, akan tetapi belum pernah ditemukan banteng berkubang (Sancayaningsih, 1983 dalam Nugroho, 2001). Hoogerwerf (1970) dalam Setiawati (1986) menyatakan bahwa banteng biasanya minum sekali dalam sehari. Sebelum mendekati tempat minum pada umumnya mereka memeriksa dan mengintai terlebih dahulu. Tempat minum banteng jarang didatangi oleh lebih dari 10 ekor pada waktu yang bersamaan. Sekali banteng datang ke tempat air, selanjutnya tidak lagi memperhatikan lingkungan
sekitarnya.
Dalam
memenuhi
kebutuhan
minum,
banteng
menggunakan air yang jernih yang didapat dari sungai-sungai, genangan, parit atau mata air (Nugroho, 2001). 2.8.3. Perilaku Bermain Pada umumnya satwa-satwa yang berusia masih muda sangat senang bermain-main. Perilaku main atau play behavior ini memberikan manfaat yang sangat besar karena dengan adanya perilaku tersebut dapat dijadikan sarana latihan dalam berkelahi untuk membela diri, melatih cara menangkap dan membunuh mangsanya, meningkatkan kelincahan gerak badannya untuk dapat hidup di alam dan mempunyai nilai penting dalam hubungan sosial. Banteng yang masih muda akan mulai bermain setelah mereka lelah merumput sedangkan yang lainnnya masih terus merumput. Terkadang perilaku mengadu-adukan kepala dilakukan oleh banteng muda dan jika terdapat banteng muda yang menubrukkan kepalanya pada banteng dewasa maka banteng dewasa
akan mengusirnya akan tetapi banteng muda sesekali mengganggu dan berlompatan disekeliling induknya, namun induknya tidak membalasnya (Sancayaningsih et al., 1983 dalam Setiawati, 1986). 2.8.4. Perilaku Istirahat Menurut
Setiawati
(1986)
banteng
beristirahat
baik
di
padang
penggembalaan maupun di tepi-tepi hutan dan kadang-kadang beristirahat di tepitepi pantai. Ketika beristirahat, posisi kaki biasanya ditekuk di bawah badan dan sering juga mereka menggeletakkan badan di tanah. Untuk tempat istirahat atau tempat tidurnya banteng biasanya memilih tempat di hutan sekitar padang penggembalaan yang relatif datar dan bersih dari tumbuhan bawah (Muntasib, 2002). Pada saat matahari bersinar sangat terik, biasanya banteng akan beristirahat di bawah hutan maupun dibawah cover (Lekagul & McNeely, 1977 dalam Alikodra, 1983). 2.8.5. Perilaku Terhadap adanya Gangguan Menurut Sancayaningsih et al. (1983) dalam Setiawati (1986), banteng memiliki daya penciuman yang baik tetapi sistem pendengarannya buruk sehingga banteng tidak dapat mendengar suara yang mendekatinya secara perlahan-lahan. Daya penciuman banteng tergantung dari arah angin dan pada jarak sekitar 120 meter banteng dapat dengan mudah mendeteksi adanya kehadiran manusia. Pada saat itu banteng memiringkan kepalanya, menggerak-gerakkan telinganya dan mengendus-enduskan hidungnya mencari datangnya bau asing tersebut. Bila arahnya telah diketahui, banteng akan menatap kearah datangnya suara asing tersebut selama beberapa menit sampai merasa aman. Apabila ada satwa lain yang datang ke padang penggembalaan seperti babi hutan (Sus scrofa), beberapa dari mereka berhenti merumput untuk sejenak kemudian melanjutkannya kembali.
BAB III METODE PENELITIAN 3.1.
Waktu dan tempat Penelitian ini dilaksanakan pada Bagian Hutan Bitakol yang termasuk
dalam wilayah kerja RPH Wonorejo BKPH Bajulmati dan RPH Sumberwaru BKPH Asembagus, KPH Banyuwangi Utara, Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. Penelitian ini dilaksanakan selama satu bulan yaitu bulan Juni-Juli. 3.2.
Alat dan Bahan Alat dan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi pita ukur,
tali rafia, alat tulis, tally sheet, kalkulator, GPS, ArcView 3.3, kamera dan komputer. 3.3.
Batasan Masalah Penelitian
ini
difokuskan
untuk
desain
pemanenan
jati
yang
mempertimbangkan aspek kelestarian banteng dan aspek produksi kayu, sebagai berikut: 1.
Desain pemanenan jati berdasarkan aspek ekologi dalam hal ini mempertimbangkan pola penggunaan ruang atau pergerakan banteng di Bagian Hutan Bitakol dan aktivitasnya dalam mencari sumber air, serta pengukuran komposisi jenis tumbuhan yang tumbuh pada koridor banteng.
2.
Desain pemanenan jati berdasarkan aspek produksi mencakup pola pemanenan
yang
kolaboratif
dengan
mempertimbangkan
biaya
pengusahaan hutan jati dan biaya penanaman hutan rimba. 3.4.
Kerangka Pemikiran Bagian Hutan Bitakol semula dikelola oleh Jawatan Kehutanan kemudian
beralih ke Perum Perhutani pada tahun 1962 yang letaknya berbatasan langsung dengan kawasan Taman Nasional Baluran. Sehingga Bagian Hutan Bitakol dikelola oleh Perhutani dengan menanam jenis jati sebagai tanaman pokok dan jenis tanaman rimba lainnya. Dalam pengelolaannya, aspek legalitas yang dipegang oleh Perhutani berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.417/Kpts-II/1999 tentang “penunjukkan kawasan hutan di wilayah propinsi daerah tingkat I Jawa Timur seluas 1.367.206,30 Ha”. Kemudian di lain
pihak menurut Taman Nasional Baluran Bitakol masuk ke dalam kawasan Taman Nasional Baluran dan juga sebagai habitat banteng untuk mencari sumber air minum dan pakan. Sehingga dalam pengelolaannya, aspek legalitas yang dipegang oleh TN. Baluran berdasarkan Surat Menteri Kehutanan No. 279/Kpts-VI/1997 tentang “penunjukkan Taman Nasional Baluran seluas 25.000 Ha yang terletak di kabupaten daerah tingkat II Situbondo, propinsi daerah tingkat I Jawa Timur”, sehingga pihak TN. Baluran menyatakan bahwa Bitakol adalah wilayah kelola Taman Nasional Baluran yang tidak diperbolehkan adanya aktivitas pemanenan hutan. Sumber konflik yang terjadi yaitu adanya dua SK Menteri Kehutanan yang dipegang oleh masing-masing pihak sebagai aspek legalitas atau landasan hukum dalam pelaksanaan pengelolaan Bagian Hutan Bitakol. Kemudian pada tahun 2006 muncul Surat Menteri Kehutanan No. 411/Menhut-IV/2006 tentang “penyelesaian batas kawasan konservasi dengan Perum Perhutani Unit II Jawa Timur”, yang ditujukan kepada Kepala Badan Planologi Kehutanan dan Direktur Utama Perum Perhutani. Dalam surat tersebut tercantum bahwa pengelolaan Bitakol dilakukan secara kolaboratif antara Perum Perhutani dan TN. Baluran. Dengan demikian mekanisme kolaborasi dengan mempertimbangkan aspek produksi kayu dan kelestarian banteng sangat diperlukan sebagai upaya “win-win solution”. Konsep yang dapat diterapkan dalam mempertimbangkan aspek produksi kayu yakni pola panen jati yang memperhatikan aspek kelestarian banteng kemudian menggantinya dengan jenis rimba agar tidak ada kegiatan panen jati selanjutnya di masa yang akan datang. Oleh karena itu, untuk mengakomodir kepentingan dari kedua belah pihak yaitu Perum Perhutani KPH Banyuwangi Utara dan TN. Baluran perlu disusun desain pemanenan jati sebagai salah satu upaya yang kolaboratif.
KONFLIK
Identifikasi konflik
Kolaborasi Sistem Pemanenan
SOLUSI
Regulasi TNB
OUTPUT Desain dalam peta Arcview
TNB Karena sebagai Habitat Banteng
KPH Ada tanaman/ Investasi: KU VIII Produksi/hasil
Analisis Biaya
Perilaku Banteng - Waktu (pagi,siang,mal am) - Musim (kemarau,hujan) - Intensitas mencari air
Gambar 1 Kerangka Pemikiran Desain Pemanenan Jati di Zona Penyangga Taman Nasional Baluran Bagian Hutan Bitakol KPH Banyuwangi Utara.
Intensitas penebangan Cara Panen
Pola panen
Keperluan hidup Banteng
Regulasi KPH
Bitakol
Perkiraan volume panen, Waktu dan lokasi
22
3.5.
Tahapan Penelitian
3.5.1.
Studi Literatur Metode ini dilakukan sebagai langkah awal untuk mengetahui kondisi umum
lokasi
penelitian.
Studi
literatur
dilakukan
dengan
cara
mengumpulkan data-data dan informasi, mempelajari, dan menelaah bukubuku, laporan, jurnal, karya ilmiah, serta dokumen-dokumen yang terkait dengan tujuan penelitian. Studi literatur dilakukan untuk mendapatkan data pokok maupun data penunjang yang tidak didapatkan dari pengamatan langsung di lapangan. Adapun data-data yang diperlukan yang terkait dengan tujuan penelitian adalah sebagai berikut: 1. Data sebaran tegakan jati di Bagian Hutan Bitakol 2. Biaya-biaya rutin yang dikeluarkan KPH Banyuwangi Utara seperti biaya tanam, biaya perawatan dan pemeliharaan, biaya eksploitasi kayu jati, biaya keamanan, dan lain-lain 3. Dokumen kronologis pengelolaan Bitakol oleh KPH Banyuwangi Utara dan Taman Nasional Baluran 4. Data dan informasi perilaku banteng di Taman Nasional Baluran 5. Data lain yang diperlukan sebagai data penunjang 3.5.2.
Analisis Konflik Analisis
konflik
dilakukan
dengan
mengidentifikasi
dokumen
kronologis pengelolaan Bitakol versi KPH Banyuwangi Utara dan versi Taman Nasional Baluran. Identifikasi konflik yang terjadi antara KPH Banyuwangi Utara dan TN. Baluran dilakukan dengan mengurutkan kejadian-kejadian dan pohon konflik serta upaya-upaya yang telah ditempuh oleh kedua belah pihak mengenai pengelolaan Bitakol. Teknik identifikasi dilakukan dengan menelusuri dan menganalisis dokumen-dokumen yang memuat tentang kronologis pengelolaan Bitakol dari kedua belah pihak yaitu Perum Perhutani KPH Banyuwangi Utara dan TN. Baluran. Penyajian data dilakukan dalam bentuk teks naratif deskriptif, matriks maupun tabel. Kemudian dilakukan penarikan kesimpulan secara benar melalui verifikasi dan peninjauan ulang dari data yang didapat. 3.5.3.
Analisis Biaya Komponen-komponen biaya yang diperlukan terkait dengan biaya pengusahaan hutan jati antara lain:
29 1.
Biaya Variabel, meliputi; a. Biaya pemungutan hasil hutan (biaya produksi, biaya social, biaya lingkungan) b. Biaya mengatur hasil hutan c. Biaya penanaman jati d. Biaya penjualan e. Biaya PSDH
2.
Biaya Tetap, meliputi; a. Biaya pegawai b. Biaya kesejahteraan pegawai c. Biaya kesejahteraan umum d. Biaya perjalanan e. Biaya kantor
3.
Biaya Kegiatan Pengelolaan Hutan a. Biaya Produksi b. Biaya sarpra dan pemantauan lingkungan
4.
Biaya Sosial Biaya-biaya tersebut diatas dihitung berdasarkan data penggunaan
sumberdaya atau biaya-biaya yang dikeluarkan pada tahun sebelumnya untuk membantu dalam perkiraan dana yang akan dihasilkan sebagai penunjang dalam perancangan sistem pemanenan jati yang kolaboratif. Perhitungan analisis biaya dilakukan secara sederhana sehingga dapat ditentukan volume panen minimal per tahun. Vol. panen minimal (m³) = Biaya total pengusahaan hutan jati Rata-rata harga jual dasar Jati 3.5.4. Pengamatan Lapangan 1.
Sebaran petak-petak berisi KU dan kondisi tegakan jati Pengamatan langsung dilakukan untuk mengetahui kondisi kawasan hutan secara keseluruhan. Metode pengamatan dimaksudkan dengan melakukan observasi kawasan hutan secara keseluruhan terutama pada petak sebaran tegakan jati dan petak-petak yang sering dilalui banteng dengan cara mengamati, mengukur dan analisis vegetasi, sehingga diperoleh data yang faktual dan aktual.
30 2.
Pengukuran analisis pakan banteng Analisis vegetasi dimaksudkan untuk mengukur dan menganalisis keberadan pakan banteng. Teknik Pengukuran dilakukan dengan dua metode yaitu cara petak tunggal (dibawah tegakan jati) dan cara garis berpetak (di hutan rimba) yang disesuaikan dengan kondisi hutan di lapangan. Analisis pakan dilakukan pada petak-petak yang sering dilalui banteng yaitu kanan-kiri curah panggang, petak 15c, 42b, dan 43c. Analisis pakan dimaksudkan untuk mengetahui dan mengukur keberadaan sumber pakan bagi banteng sebagai salah satu pertimbangan dalam penyusunan desain pemanenan jati terkait dengan perilaku banteng sehingga dapat ditentukan tata waktu panen dengan memperhatikan kelestarian banteng. a)
Penentuan plot ukur analisis pakan pada areal KU (di bawah tegakan jati) Pengukuran dilakukan dengan cara petak tunggal yaitu dilakukan
hanya pada petak yang sering dilalui banteng yaitu petak 15c. Pada tegakan jati penentuan petak contoh dalam melakukan analisis vegetasi yaitu dengan cara petak tunggal. Ukuran minimum dari suatu petak tunggal tergantung pada kerapatan tegakan dan banyaknya jenis-jenis yang tumbuh pada areal pengamatan. Ukuran minimum ini ditetapkan dengan menggunakan kurvakurva spesies-area. Kemudian ukuran petak kecil diperbesar dua kali dan jenis-jenis tumbuhan yang terdapat pada petak pengamatan didaftarkan lagi. Luas minimum ini ditetapkan dengan dasar: penambahan luas petak tidak menyebabkan kenaikan jumlah jenis lebih dari 10% atau 5% (Cain, 1938; Oosting, 1958; Cain & Castro, 1959; dalam Soerianegara dan Indrawan, 1998). Data banyaknya jenis dan ukuran petak pada objek penelitian dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Luas minimum plot ukur analisis pakan pada petak 15c No. Luas Plot *) Banyaknya Spesies Plot (m²) 1 50 18 2 200 31 3 400 33 4 800 35 5 1250 30 Keterangan: *) pengukuran langsung
Penambahan Jumlah % 13 72 9 18 7 8,5 4 3
31 Dari data ini telah diketahui bahwa luas petak minimum adalah 800 m2 atau 0,08 ha karena pada luas tersebut penambahan banyaknya jenis hanya 7 dan 8,5 % sehingga jumlah plot yang diambil sebanyak 32 plot dengan ukuran tiap plot 5 x 5 m2. bentuk plot contoh analisis vegetasi dan pakan banteng disajikan pada Gambar 2. 5m 5m
Gambar 2 Bentuk plot ukur cara petak tunggal di baeah tegakan jati. b)
Penentuan plot ukur analisis pakan pada areal rimba Pengukuran dilakukan dengan cara garis berpetak yaitu dilakukan
hanya pada petak yang sering dilalui banteng yaitu kanan-kiri curah panggang, petak 42b dan 43c. Metode atau cara ini merupakan modifikasi cara petak ganda atau cara jalur. Sebagai modifikasi cara jalur, cara garis berpetak ini terjadi dengan jalan melompati satu atau lebih petak-petak jalur. Jadi sepanjang rintis terdapat petak-petak pada jarak tertentu yang sama. Petakpetak pada cara garis berpetak ini berbentuk bujur sangkar dengan panjang jalur 500 meter dan lebar 20 meter. Bentuk plot contoh analisis vegetasi dan pakan banteng disajikan pada Gambar 3.
C
D
B A A
32 B C
D
Gambar 3 Bentuk plot ukur garis berpetak di areal rimba. Keterangan: A = Petak pengukuran tingkat semai dan tumbuhan bawah (2 x 2 m2) B = Petak pengukuran tingkat pancang (5 x 5 m2) C = Petak pengukuran tingkat tiang (10 x 10 m2) D = Petak pengukuran tingkat pohon (20 x 20 m2) Dalam menganalisa data lapangan, dapat diambil dengan menghitung kerapatan (K), kerapatan relatif (KR), frekuensi (F), frekuensi relatif (FR), Dominasi (D), dominasi relatif (DR), dan Indeks Nilai Penting (INP). INP dapat digunakan sebagai parameter tumbuhan untuk mengetahui potensi dan dominasi suatu jenis tumbuhan yang terdapat pada petak pengamatan. Nilai penting suatu jenis tumbuhan khususnya anakan (semai) dan padang rumput atau tumbuhan bawah dalam suatu areal sama dengan jumlah nilai frekuensi relatif dan kerapatan relatif. Untuk mengetahui tingkat keragaman spesies dilakukan dengan menggunakan Shannon-Wiener Index.
33
BAB IV KONDISI UMUM LOKASI Letak dan Luas Menurut laporan Kajian Lingkungan (2007), Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Banyuwangi Utara merupakan salah satu KPH di wilayah Perum Perhutani Unit II. Secara administratif wilayahnya terletak di 2 (dua) kabupaten yakni Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Situbondo, Propinsi Jawa Timur. KPH Banyuwangi Utara memiliki wilayah yang mencakup 3 kecamatan, dengan 13 Desa Pangkuan. Secara geografis wilayah KPH Banyuwangi Utara terletak diantara 1105” sampai dengan 114038” Bujur Timur dan 7043” sampai dengan 8046” Lintang Selatan. Adapun batas-batas geografis wilayahnya sebagai berikut : Sebelah Utara
: Kabupaten Situbondo
Sebelah Timur
: Selat Bali
Sebelah Barat
: KPH Bondowoso, Kabupaten Situbondo
Sebelah Selatan
: KPH Banyuwangi Barat, KPH Banyuwangi Selatan
KPH Banyuwangi Utara memliki luas kawasan sebesar 54.199,96 ha yang terdiri dari 3 bagian hutan (BH) yaitu Bagian Hutan Alas Buluh-Gombeng dengan luas 28.134,3 ha, Bagian Hutan Bitakol dengan luas 5.612,3 ha dan Bagian Hutan Kendeng Timur Laut seluas 20.453 ha. Luas kawasan hutan berdasarkan administrasi pemerintahan terbagi dalam : 1. Dati II Banyuwangi a) Hutan Produksi (HP)
: 28.134,26 ha
b) Hutan Lindung (HL)
: 26.348,68 ha
c) Tak Baik Untuk Kelas Perusahaan (TBP)
:
1.435,80 ha
2. Dati II Situbondo a) Hutan Produksi (HP)
: 26.065,70 ha
b) Hutan Lindung (HL)
:
5.265,21 ha
c) Tak Baik Untuk Kelas Perusahaan (TBP)
:
242,70 ha
d) Belum ditata
:
104,39 ha
Luas wilayah kerja KPH Banyuwangi Utara berdasarkan Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) dan Resor Pemangkuan Hutan (RPH) adalah sebagai berikut : 1. BKPH Ketapang
5.724,17 ha
34 a. RPH Selogiri
: 3.861,04 ha
b. RPH Gombeng
: 1.863,13 ha
2. BKPH Bajulmati
10.992,66 ha.
a. RPH Bajulmati
: 2.025,40 ha
b. RPH Gunungwaru
: 6.122,87 ha
c. RPH Wonorejo
: 2.844,39 ha
3. BKPH Watudodol
14.260,82 ha.
a. Alas Buluh
: 2.925,25 ha
b. Bangsring
: 11.336,58 ha
4. BKPH Asembagus
23.221,31 ha
a. Asembagus
: 8.000,00 ha
b. Sumberejo
: 12.453,40 ha
c. Sumberwaru
: 2.767,91 ha
Keadaan Lapangan 4.2.1
Topografi Pada umumnya topografi yang ada di wilayah kerja KPH Banyuwangi Utara
adalah bergelombang, datar, dan landai, hingga agak curam 4.2.2
Keadaan Tanah Jenis tanah dalam kawasan hutan KPH Banyuwangi Utara pada umumnya
terdiri dari jenis tanah Grumusol, Andosol, Grumusol hitam, yaitu diseluruh kawasan BH Bitakol. Asosiasi Latosol Cokelat dan Regosol Cokelat,yaitu di BH AlasbuluhGombeng bagian tengah membujur dari Utara ke Selatan. Andosol Cokelat kekuningan, yaitu di lereng atas sebelah Barat BH Alasbuluh-Gombeng. Asosiasi Andosol cokelat dan Regosol cokelat, yaitu di lereng atas sebelah Utara BH Alasbuluh-Gombeng dan lereng BH Kendeng Timur laut. Iklim dan Curah Hujan Berdasarkan
buku
RPKH
jangka
2003-2012,
kawasan
hutan
KPH
Banyuwangi Utara termasuk dalam tipe iklim C (Schmidt dan Ferguson) dengan ratarata selama sepuluh tahun terakhir (1999-2001) memiliki 6,3 bulan basah dan 3,6 bulan kering dengan nilai Q = 57,1 %. Curah hujan di KPH Banyuwangi Utara diperkirakan sebesar 1700 mm/tahun Potensi Sumber Daya Hutan Berdasarkan buku RPKH jangka 2003-2012, untuk BH Alasbuluh-Gombeng diketahui etat luas = 150,45 ha/tahun dan etat masa = 27.000 m3/tahun, sedangkan
35 untuk BH Bitakol diketahui etat luas = 50,69 ha/tahun dan etat massa = 7.154 m3/tahun. Potensi sebaran hutan di wilayah KPH Banyuwangi Utara cukup baik, hal ini ditunjukkan dengan sebaran luas KU II, III, IV, dan V yang relatif seragam baik di BH Alasbuluh-Gombeng maupun BH Bitakol. Keadaan Hutan Kawasan hutan produksi di KPH Banyuwangi Utara didominasi tegakan komersial jati yang mempunyai sifat menggugurkan daun pada musim kemarau guna mengurangi penguapan yang berlebihan. Efek dari menggugurkan daun menyebabkan pertumbuhan jati pada musim kemarau menjadi lebih lambat bila dibandingkan dengan pertumbuhan pada musim penghujan sehingga terbentuk lingkaran tahun pada batang. Keberadaan lingkaran tahun tersebut membuat penampakan kayu menjadi lebih cantik dan memiliki ciri khas tersendiri. Di kawasan KPH Banyuwangi Utara juga terdapat tegakan Pinus merkusii dengan kondisi yang baik dan siap disadap getahnya, seluas 559 ha. Disamping itu, KPH Banyuwangi Utara memiliki kawasan bukan untuk produksi yang ditumbuhi jenis-jenis rimba yang bersifat ever green. Kondisi tanah kosong/tidak produktif di wilayah KPH Banyuwangi Utara merupakan semak-semak setempat yang ditumbuhi pepohonan seluas 1800 ha (5%). Menurut rencana, lahan tidak produktif tersebut akan selesai direhabilitasi pada tahun 2008. 4.6.
Kondisi Biologi Kawasan hutan KPH Banyuwangi Utara berada pada formasi kawasan
pegunungan Kendeng Timur Laut dengan kelerengan lapangan 0-49% dan menyebar pada daerah dataran, maka ekosistem hutan yang dimungkinkan adalah hutan musim. Vegetasi utama yang ada dalam wilayah KPH Banyuwangi Utara adalah jenis Jati (Tectona grandis) dengan jenis lain yang diusahakan untuk pengkayaan jenis yaitu Mahoni, Johar, Kesambi, Mimba, Mindi, Secang, Lamtoro, Juwet, Beringin, Sono, Kepuh, Segawe, Dadap, dan Sengon. Vegeasi hutan jenis pohon yang menyebar di wilayah KPH Banyuwangi Utara berdasarkan hasil inventarisasi vegetasi pada tahun 2006 tercatat kurang lebih ada 72 jenis pohon sedangkan vegetasi tumbuhan bawah hutan yang tercatat kurang lebih 126 jenis. Laporan Kajian Lingkungan KPH Banyuwangi Utara menyatakan hasil inventarisasi satwa dengan menggunakan metode transek jalur di kawasan hutan lindung/rimba telah mengidentifikasi jenis satwaliar yang ditemukan di kawasan KPH Banyuwangi Utara berjumlah 39 jenis yang terdiri dari 22 jenis burung, 6 jenis
36 mamalia besar, 5 jenis mamalia kecil, 3 primata, dan 3 jenis reptil. Dari jenis tersebut yang terancam punah berdasarkan IUCN (Red data Book) dan CITES Appendix I adalah Macan Tutul (Panthera pardus) dan Appendix II adalah: kancil, Lutung, Anjing hutan, Kijang, Kalong, Kukang, Biawak dan jenis burung seperti Burung Bungkor, cekakak, rangkong, Elang Hitam, Kangareng, dan Merak. 4.7.
Keadaan Sosial-Ekonomi Masyarakat Luas wilayah administratif pemerintahan yang termasuk dalam wilayah BH
Alasbuluh-Gombeng dan BH Bitakol KPH Banyuwangi Utara adalah 125.428,3 ha. Menurut data Banyuwangi dan Situbondo dalam Angka Tahun 2001, perbandingan luas areal hutan dengan wilayah administrasi pemerintahan adalah 26.9% Berdasarkan Laporan Kajian Sosial KPH Banyuwangi Utara Penduduk yang bertempat tinggal di wilayah-wilayah desa sekitar hutan KPH Banyuwangi Utara adalah penduduk Suku Jawa, Suku Madura, dan Suku Osing (penduduk asli setempat), yang mayoritas memeluk agama Islam. Jumlah penduduk yang terdapat di wilaah sekitar BH Alasbuluh-Gombeng dan BH Bitakol disajikan Tabel 3. Tabel 3 Jumlah Penduduk di Wilayah Sekitar KPH Banyuwangi Utara Kecamatan
Laki-laki (Orang)
Perempuan (Orang)
Jumlah (Orang)
Kalipuro Wongsorejo Banyuputih Jumlah
28580 33.382 24.359 86.321
29.275 34.441 25.088 88.804
57.885 67.823 49.447 175.125
Sumber : Banyuwangi dan Situbondo, dalam Angka tahun 2001
Pola penggunaan lahan yang terdapat di wilayah BH Alasbuluh-Gombeng dan BH Bitakol KPH Banyuwangi Utara dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Pola Penggunaan Lahan Masyarakat KPH Banyuwangi Utara Kecamatan Kalipuro Wongsorejo Banyuputih Jumlah %
Sawah (Ha) 2.765 1.868 866 5.499 4,4
Tegalan (Ha) 9.654 8.699 3.187 21.54 17,2
Pekarangan (Ha) 920 1.22 940 3.08 2,4
Hutan (Ha) 5.73 22.404 5.612 33.747 26,9
Lainlain (Ha) 11.934 12.067 37.562 61.563 49,1
Jumlah 31.003 46.258 48.167 125.428 100
Sumber : Banyuwangi dan Situbondo, dalam Angka Tahun 2001
Kondisi sumber daya manusia (SDM) masyarakat desa sekitar hutan di wilayah KPH Banyuwangi Utara yang sebagian besar penduduknya masih menggantungkan mata pencaharian pada sektor pertanian dan memanfaatkan hasil-
37 hasil hutan, pada umumnya hanya berlatarkan pendidikan SD. Adapun bentuk-bentuk interaksi masyarakat desa dengan hutan tercermin dari kegiatan-kegiatan masyarakat seperti : mengumpulkan hasil-hasil hutan berupa kayu bakar, rumput untuk makan ternak, umbi-umbian untuk bahan makanan dan hasil-hasil hutan lainnya. Sebagian warga masyarakat juga menggarap lahan milik sendiri untuk ditanami tanaman pertanian dan sebagian bercocok tanam di areal Perhutani melalui program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) dan Tumpang Sari. 4.8.
Kondisi Hutan Bitakol Kawasan Bagian Hutan Bitakol terletak memanjang dari utara ke selatan. Di
bagian utara merupakan wilayah RPH Sumberwaru BKPH Asembagus KPH Banyuwangi Utara yang terdiri dari petak 1 s/d 14 dan petak 16 s/d 35, dan di bagian selatan adalah petak 15, dan petak 36 s/d 59 masuk wilayah RPH Wonorejo BKPH Bajulmati KPH Banyuwangi Utara. Luas kawasan Bagian Hutan Bitakol berdasarkan RPKH jangka perusahaan 2003 s/d 2012 adalah seluas 5.612,30 Ha. Penyebaran susunan kelas hutan pada awal jangka 2007 Bagian Hutan Bitakol untuk produksi seluas 5.265,21 Ha (93,81%) dan bukan untuk produksi seluas 347,09 Ha (6,19%). Susunan kelas hutan potensi sumberdaya hutan tahun 2008 Bagian Hutan Bitakol dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Susunan kelas hutan potensi sumberdaya hutan awal tahun 2008 BH Bitakol No.
Kelas Hutan
HAKL (Hutan Alam Kayu Lain) 1 HL (Hutan Lindung) 2 3 KU I 4 KU II 5 KU III 6 KU IV 7 KU V 8 KU VI 9 KU VII 10 KU VIII LDTI (Lahan Dengan Tujuan Istimewa) 11 MR (Miskin Riap) 12 TBP (Tak Baik untuk Produksi) 13 TJBK (Tanaman Jati Bertumbuhan Kurang) 14 TJKL (Tanaman Jati Kayu Lain) 15 TK (Tanah Kosong) 16 TKL (Tanaman Kayu Lain) 17 Sumber: Evaluasi potensi audit SDH tahun 2007
Luas Baku (Ha) 1.688,10 242,70 50,00 93,22 79,10 822,54 463,54 323,01 138,78 9,00 79,99 56,80 24,40 531,48 115,10 546,48 348,06
38
Gambar 4 Peta Tegakan Hutan Jati Bitakol.
39
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 KESIMPULAN 1. Sumber konflik didentifikasi karena adanya dua Surat Keputusan Menteri Kehutanan pada tahun 1997 dan 1999 tentang status dan kewenangan pengelolaan Bitakol yang dijadikan sebagai dasar hukum oleh Taman Nasional Baluran dan KPH Banyuwangi Utara dalam pelaksanaan pengelolaan hutan Bitakol. 2. Net areal jati layak jati (areal yang berisi tegakan jati) sebesar 1846,62 ha, sehingga intensitas tebang yang diperkenankan di bitakol minimal sebesar 2032,92 m3/thn atau 26,187 ha/thn. Dengan demikian jangka waktu kegiatan panen dapat ditempuh selama 70,50 tahun. Sedangkan intensitas tebang maksimal diperoleh dengan berdasarkan pertimbangan atas biaya penanaman jenis rimba pasca panen sehingga intensitas tebang maksimal yang diperkenankan sebesar 3307, 92 m3/thn atau 42,61 ha/thn. Dengan jangka waktu panen selama 43 tahun. 3. Desain pemanenan jati terdiri dari 3 alternatif yaitu alteratif I , II, dan III. Alternatif II yaitu “Seluruh areal tegakan jati yang berada diluar koridor banteng diterapkan pola panen tebang habis, sedangkan tegakan jati yang berada didalam koridor banteng tidak ditebang” merupakan alternatif terbaik karena mempertimbangkan aspek produksi kayu dan aspek kelestarian banteng. 6.2 SARAN 1. Perlu adanya peningkatan sistem perlindungan hutan secara bersama-sama oleh pihak KPH Banyuwangi Utara dan TN Baluran karena meningkatnya faktor predator yang memangsa banteng, perburuan liar dan pencurian kayu di Bitakol. 2. Perlu adanya pertemuan antara pihak KPH Banyuwangi Utara dan TN Baluran yang dikoordinasikan dengan baik mengenai pengelolaan bitakol hingga muncul solusi kolaborasi yang aplikatif 3. Perlu adanya peninjuan ulang secara bersama-sama mengenai keberadaan populasi banteng di Bitakol yang dilaksanakan oleh kedua pihak yaitu pihak KPH Banyuwangi Utara dan TN Baluran sehingga dapat diketahui frekuensi masuknya banteng ke Bitakol.
40
4. Pihak KPH Banyuwangi Utara dan TN Baluran perlu melakukan manajemen ulang dalam pengelolaan bitakol yang kolaboratif.
41
DAFTAR PUSTAKA Alasi MRD. 2003. Prestasi kerja Penebangan Jati (Tectona Grandis L.f) Studi Kasus di BKPH Karang Asem KPH Purwodadi. [Skripsi]. Departemen Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Alikodra HS. 1983. Ekologi Banteng (Bos javanicus d’Alton) Di Taman Nasional Ujung Kulon. [Disertasi]. Fakultas Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Alikodra HS. 2002. Pengelolaan Satwaliar Jilid 1. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Amria Z. 2001. Angkutan Antara Pada Pemanenan Kayu Jati (Studi kasus di BKPH Conggeang KPH Sumedang Perum Perhutani Unit III Jawa Barat). [Skripsi]. Departemen Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Anggoro R. 2007. Identifikasi Potensi Limbah Pemanenan Jati di KPH Banyuwangi Utara Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. [Skripsi]. Departemen Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Arief H. 1988. Pengaruh Api Terhadap Produktifitas Dan Kualitas Savana Bekol Di Taman Nasional Baluran, Jawa Timur. [Skripsi]. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan Dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Balai Taman Nasional Baluran. 2005. Pengamatan Kondisi Sumber Air Tempat Minum Satwa Di Taman Nasional Baluran. Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan. Situbondo. Balai Taman Nasional Baluran. 2007. Buku Statistik Balai Taman Nasional Baluran Tahun 2007. Situbondo Basuni S. 2003. Inovasi Institusi Untuk Meningkatkan Kinerja Daerah penyangga Kawasan Konservasi (Studi Kasus di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat). [Disertasi]. Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Birgantoro BA. 2008. Studi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Oleh Masyarakat Desa Sekitar Hutan (Studi Kasus di RPH Sumberwaru dan RPH Sumberrejo, BKPH Asembagus, KPH Banyuwangi Utara, perum Perhutani Unit II Jawa Timur). [Skripsi]. Departemen Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Burhan ED, Martono, A. Hermansyah. 1997. Kondisi Kesejahteraan Masyarakat Dalam Hubungannya Dengan Keamanan Hutan. Makalah. Disampaikan Pada Workshop Pembinaan Masyarakat Desa Hutan Tanggal 24-25 Oktober 1995 di Jakarta. Duta Rimba 199-200(1):2-7 Cahyono H. 1993. Analisis Biaya Pemanenan Kayu Di Areal HPH PT. Narkata Rimba (Alas Kusuma Group) Propinsi Kalimantan Timur. [Skripsi]. Departemen Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Conway S. 1982. Timber Cutting Practises. Principle of Timber Harvesting Revised. New York: Miller Freeman Publication INC.
42
Delfiandi. 2006. Analisis Pola Penggunaan Ruang Dan Wilayah Jelajah Bos javanicus d’Alton, 1832 di Taman Nasional Alas Purwo Jawa Timur. [Skripsi]. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan Dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan Dan Pelestarian Alam Dan Fakultas Kehutanan IPB. 1986. Pola Penanggulan Dan Penyelesaian Kasus-Kasus Pencurian Hasil Hutan. Proyek Kerjasama Perlindungan Dan PengamananHutan.Bogor. Elias. 1987. Analisis Biaya Eksploitasi Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor . 2002. Reduced Impact Logging. Buku 1 dan 2. Fakultas Kehutanan IPB.Bogor Firdian A. 1999. Studi Cacat Mekanis Dan Biaya Pemanenan Pada Kayu Jati Tanpa Teresan (studi kasus tebangan B1 di BKPH Jampang Kulon, KPH Sukabumi, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat). [Skripsi]. Jurusan Teknologi Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Fisher S, DI Abdi, J Ludin, R Smith, dan S Williams. 2001. Mengelola Konflik: Keterampilan dan Strategi Untuk Bertindak. Kartikasari, S.N; M.D. Lapilatu, R. Maharani dan D.N. Rini. The British Council. Jakarta. Terjemahan. Fuad FH, Maskanah. 2000. Inovasi Penyelesaian Sengketa Pengelolaan Sumber Daya Hutan. Pustaka Latin. Bogor. [FSC] Forest Stewardship Council. 1996. FSC Principles and Criteria for Forest Stewardship FSC-STD-01-001. FSC International Standard. FSC Hastanto S. 1994. Perhitungan Nilai Tegakan Hutan Jati (Tectona grandis L. F.) di Jawa. [Skripsi]. Jurusan Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Hendricks W. 1996. Bagaimana Mengelola Konflik: Petunjuk Praktis untuk Manajemen Konflik yang Efektif. Bumi aksara. Jakarta. Terjemahan. IUCN.
2008. Species Changing IUCN http://www.iucnredlist.org/search. [13 Jan 2009].
Red
List
Status.
Juta EHP. 1954. Pemungutan Hasil Hutan. Jakarta: Timun Mas N. V. MacKinnon J., K. MacKinnon, G. Child dan J. Thorsell. 1990. Pengelolaan Kawasan Yang Dilindungi di Daerah Tropis. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Mangundikoro A. 1973. Suatu Metode Penelitian Tegakan Hutan Jati di Jawa. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Laporan No. 24. Bogor.
Muntasib EKSH, Haryanto, B. Masyud, D. Rinaldi, H. Arief. 2000. Studi Persaingan Antara Banteng (Bos javanicus d’Alton) Dengan Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) Di Taman Nasional Ujung Kulon. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan.Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor Nugroho B. 2002. Analisis Biaya Proyek Kehutanan. Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
43
Nugroho DBS. 2001. Karakteristik Penggunaan Sumberdaya air Oleh Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus Desmarest) Dan Banteng (Bos javanicus d’Alton) Di Daerah Cikeusik Dan Cibandawoh, Taman Nasional Ujung Kulon. [Skripsi]. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Nugraha A, H. Priyadi, Hasbillah, P. Gunarso, R. Benyamin. 2007. Pembalakan Ramah Lingkungan, Konsep Dan Implementasi Di Indonesia. Wana Aksara. Banten. Nugraha H. 2007. Analisis Pola Penggunaan Ruang Banteng (Bos javanicus d’Alton) Di Cagar Alam Dan Taman Wisata Pangandaran, Jawa Barat. [Skripsi]. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan Dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Perum Perhutani. 1999. Keputusan Direksi Perum Perhutani Nomor 987/KPTS/DIR/1999 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Tebang Habis Hutan Jati. Perum Perhutani. Jakarta. Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. 2006. Keputusan Kepala Perum Perhutani Unit II Jawa Timur Nomor 1168/KPTS/II/2005 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembagian Batang Kayu Bundar Jati. Surabaya: Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. Perum Perhutani. 2007. Pedoman Pengamanan Hutan Lestari Perum Perhutani. Jakarta. Perum Perhutani Unit II Jawa Timur KPH Banyuwangi Utara. 2007. Kajian Keamanan Hutan KPH Banyuwangi Utara. KPH Banyuwangi Utara. Banyuwangi. Perum Perhutani Unit II Jawa Timur KPH Banyuwangi Utara. 2008. Tarip Upah KPH Banyuwangi Utara Tahun 2008. KPH Banyuwangi Utara. Banyuwangi. Perum Perhutani Unit II Jawa Timur KPH Banyuwangi Utara. 2008. Kajian Lingkungan. KPH Banyuwangi Utara. Banyuwangi Perum Perhutani. 2008. Daftar Harga Jual Dasar Kayu Bundar Jati Untuk Unit I, II,danIII.http://www.kbmsarkayucepu.perumperhutani.com/kbmsarkayuce pu/HJD JATI DIFF KBM CEPU 2008. xls. [23 Des 2008].
Ruhiat. 1998. Identifikasi Kerusakan Fisik Batang dan Nilai Korbanan Produktifitas Lahan Akibat Kegiatan Pemanenan Jati dengan Sistem Teresan di BKPH Conggeang, KPH Sumedang, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. [Skripsi]. Jurusan Teknologi Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Sabara EJ. 2006. Pemetaan Konflik Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Hutan Lindung Gunung Lumut Kabupaten Pasir Propinsi Kalimantan Timur. [Skripsi]. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan Dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Santoso N. Studi Populasi Banteng (Bos javanicus d’Alton) Dan Kerbau Liar (Bubalus bubalis Linnaeus) Di Padang penggembalaan Bekol Taman Nasional Baluran.
44
[Skripsi]. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Setiawati T. 1986. Studi Perilaku Banteng (Bos javanicus d’Alton) Di Cagar Alam Leuweung Sancang-Garut Jawa Barat. [Skripsi]. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. SGS Qualifor. 2008. Forest Management Evaluation Report (Pre-Evaluation report) KPH Banyuwangi Utara. Banyuwangi. Sianturi A. 2006. Faktor Eksploitasi di Hutan Alam Dipterokarpa Pulau Laut, Kalimantan Selatan. [Tesis]. Bogor. Institut Pertanian Bogor. Program Pascasarjana. Soedarsono, M. A. 1992. Sistem Konservasi Di Hutan Produksi. Lokakarya konservasi biodiversity di hutan produksi. Fakultas Kehutanan IPB. Soerianegara I, Indrawan A. 1998. Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium Ekologi Hutan. Departemen Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Soenarno, Idris MM. 1991. Penggunaan Gergaji Rantai Pada Penebangan Jati Dan Dampaknya Terhadap Kebisingan Dan Beban Kerja. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol.9(4): 139-143. Suparto RS. 1979. Eksploitasi Hutan Modern. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor Supriyadi R. 1996. Tinjauan Biaya Pengamanan Hutan Pada pengelolaan Oleh Hak Pengusahaan Hutan (HPH) Melalui Analisa Pendekatan Break even. [Skripsi]. Departemen Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Ulfah SM. 2007. Identifikasi Konflik Dalam Pengelolaan Wisata Di Kawasan Gunung Salak Endah Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor. [Skripsi]. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan Dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Wiradinata S. 1989. Manual Perhitungan Biaya Pembalakan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.