Ayat pertama dari al-Qur’an yang diturunkan ke Bumi adalah Iqra’, Bacalah. Apa yang mesti dibaca sedang ayat lain belum ada. Sadarkah bahwa sebenarnya ini merupakan perintah untuk membaca fenomena di sekitar kita, kemudian dipahami maksudnya, lalu diamalkan? Demikian pula halnya dengan membaca al-Qur’an. Iqra’. Bacalah sesuai dengan cara membaca seperti yang diperintahkan oleh pembuat al-Qur’an itu sendiri, bukan seperti membaca novel. Di dalam masyarakat yang masih menganut ideologi mistis seperti sekarang, membaca al-Qur’an masih dipengaruhi oleh hamburan pahala, bahwa membaca huruf alif akan memperoleh satu pahala, lam satu pahala dan mim juga satu pahala dalam rangkaian alif, lam, mim. Akibatnya mereka merasa mempunyai pahala berlimpah, sehingga kadang dihadiahkan kepada janazah (mendiang) dalam acara-acara peringatan kematian. Atau bila yang meninggal adalah seorang ulama, maka orang berbondong-bondong mendatangi kuburnya untuk mencari berkah (barakah). Pahala membaca al-Qur’an seyogyanya tidak perlu dipikirkan lagi sebab sudah ada yang mencatat dan tidak akan pernah salah atau dikorupsi. Yang lebih penting dari itu adalah memahami apa yang dibaca, kemudian mengamalkannya, karena umumnya masyarakat mengamalkan sesuatu tanpa benar-benar memahami apa maknanya.
2
Tulisan berikut ini menampilkan beberapa amaliah yang bersandar pada istilah yang kadang agak kacau, untuk menyampaikan maksud. Kadang mengadopsi bahasa asing bila alihan dalam bahasa Indonesianya tidak ditemukan. Kadang dimaknai seperti arti kata asalnya, kadang menyublim menjadi kata baru. Hal ini lazim di dalam kita berbahasa. Masalah yang sering dijumpai dalam pergaulan sehari-hari adalah pemaknaan istilah itu sendiri, apakah harus dimaknai seperti arti kata asal atau tidak. Ini akan menjadi rumit bila kata asal berhubungan dengan hukum. Akan kita lihat penjabarannya dalam kasus ucapan Selamat Natal yang diujarkan oleh seorang Muslim kepada Non Muslim. Selain dari itu, sekarang ini sangat banyak amaliyah atau perbuatan yang dilakukan, dimana banyak orang mengira bahwa hal tersebut tersebut merupakan sunnah Rasulullah saw. tetapi pada kenyataannya belum tentu demikian karena ia bersumber pada hadits dha’if (lemah). Hadits-hadits dha‘if tidak dapat dipakai sebagai landasan hukum atau rujukan, dan tidak patut disampaikan tanpa menyebutnya dha‘if demi untuk menghindari perbuatan yang keliru yang diakibatkan oleh karena mendasari perbuatannya pada sumber-sumber yang lemah. Dengan mengetahui kedudukan beberapa hadits dha‘if yang sudah terlanjur populer, akan memper-
mudah kita dalam rangka bertabayyun dan lebih berhati-hati dalam mengamalkan suatu perbuatan, agar terhindar dari prasangka bahwa kita telah melakukan sesuatu perbuatan baik namun kenyataannya sebaliknya. Oleh karenanya penting untuk dipahami bahwa syarat agar amal kita diterima oleh-Nya adalah dua hal berikut: Pertama karena Allah swt. saja (ikhlas). Ini merupakan tantangan tersendiri sebab sering kali disertakan juga perasaan sungkan pada berbagai ibadah yang seharusnya hanya diniatkan untuk Allah saja namun karena merasa tidak enak dengan saudara atau tetangganya karena kebiasaannya sudah seperti itu, maka kita terpaksa melakukan ibadah seperti itu pula. Kita takut, segan melakukan sesuatu yang benar semata-mata karena berbeda dengan kebiasaan. Jika demikian maka jelas amal ibadah kita tidak lagi murni karena Allah, namun telah tercemar oleh halhal lain sebagai ikutannya. Takutnya pada manusia kadang melebihi takutnya kepada Tuhan. Kedua, sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw. (ittiba’). Di dalam ranah peribadatan, rujukan kita hanyalah perintah atau apa-apa yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. Dalam hal shalat, Rasulullah saw. mengatakan: “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat,” dalam hal puasa Allah swt. berfirman: “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam yaitu
4
fajar,” dan dalam hal haji, Rasulullah saw. bersabda: “Ambillah dariku manasikmu.” Itu semua merupakan perintah. Seperti itulah hendaknya kita melandasi segala amal peribadatan, sebab Rasulullah saw. bersabda dalam salah satu haditsnya dengan cukup keras: Barangsiapa yang melakukan suatu amalan (peribadatan) yang tidak ada contohnya dari kami, maka amalan tersebut tertolak. (HR. Muslim). Buku ini merupakan lanjutan dari buku sebelumnya Trayang Salindan yang membahas bagaimana tradisi saling berkelindan kait mengait menjadi liat. Adapun istilah, amaliyah, pola pikir dsb yang juga berpotensi, bahkan sudah menjadi kontroversial dapat disimak dalam bahasan berikut. AQIDAH Syahadat Asbabun Nuzul Tarjamah Tafsiriyah al-Qur’an SHALAT Niat Al-Fatihah dalam shalat Ujaran rabighfirli amiin I’tidal Letak tangan saat i’tidal Shalat sendirian di shaf paling belakang Berjabat tangan usai shalat
Dzikrullah Kriteria waktu shubuh Takbir shalat Id Shalat Intizhar v/s Qabliyah Jum’at Adzan dua kali di hari Jum’at Bedug HAJI Tarwiyah Masy’ari al-Haram Umrah berulangkali Menghajikan orang lain JANAZAH Wudhu’ untuk janazah Adzan dan iqamat saat mengubur janazah Kirim pahala untuk janazah Bacaan Yaasiin untuk janazah Tahlilan PUASA Pembagian bulan Ramadhan menjadi tiga Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah HAJI Miqat Haji Tamattu’ Tarwiyah Arafah bukan tempat shalat Masy’aril Haram Umrah berulang kali dalam satu sortie Menghajikan orang lain Arba’in
6
Haji Akbar JANAZAH Wudhu’ untuk janazah Adzan dan Iqamat saat mengubur janazah Hal-hal yang berhubungan dengan kubur Kirim pahala untuk janazah Bacaan Yaasiin untuk janazah Tahlilan UMUM Kebedaan merupakan rahmat Beramal dan beribadah Adzan dan iqamat di telinga bayi Selamat natal Insya Allah atau Insyaallah Pembagian bulan Ramadhan menjadi tiga Pahala Berjabat tangan dengan bukan mahram Mahram bukan Muhrim Beramal dan beribadah Khitan bagi perempuan NIKAH, THALAQ Poligami Thalaq tiga sekaligus Nikah Mut’ah Bersendagurau dengan pernikahan FIKR Qalbu Atas = atas? Darwin
Da’wah, dsb... Selamat membaca, semoga bermanfaat dan semoga kita dijauhkan dari amaliyah yang sia-sia. Salam, HK