iba2 ia berseru tergetar. Dengan mencekal katak salju ditangan kiri dan pedang Tanduk Naga, di tangan kanan, Gin Liong segera bergegas pergi. Saat itu hati Gin Liong girang bukan kepalang, Sambil berlari pesat, pandang matanya selalu mencurah kearah katak salju itu, Diam2 ia merenungkan tentang khasiat yang luar biasa dari binatang itu. Katak salju merupakan suatu jenis binatang yang jarang terdapat di dunia, Seperti halnya dengan senjata pusaka, kitab pusaka, pun katak salju itu merupakan benda yang menjadi incaran setiap kaum persilatan. Apabila katak salju itu direndam dalam arak dan diminum maka khasiatnya bagi orang yang berlatih silat, seolah tulang-tulangnya berganti baru, tenaga dalamnya bertambah kokoh. Bagi orang biasa, dapat menyembuhkan segala penyakit dan menambah panjang umur. Kegirangan Gin Liong mengdapatkan katak mustika itu bukan karena ia hendak memakannya sendiri melainkan hendak diberikan kepada Ki Yok Lan yang sedang mengidap penyakit itu. Apabila sumoaynya minum katak itu, tentulah penyakitnya akan sembuh dan tubuhnya akan sehat kuat. Tiba ditikung kiri pada mulut gua, tiba2 Gin Liong terkesiap, jenazah Ban Hong Liong-li yang tadi menggeletak di tempat itu, ternyata lenyap ! Kemanakah jenazah itu? Tak pernah dia menyangka bahwa di guha yang setinggi lima tombak itu, akan muncul seseorang yang membawa pergi mayat wanita itu, Dan dia pun tak pernah membayangkan bahwa orang itu memiliki kepandaian yang hebat sekali. Dia hanya terkejut atas peristiwa aneh itu maka setelah dengan hati2 memasukkan katak salju kedalam baju, ia segera tingkatkan kewaspadaan siap sedia menghadapi sesuatu yang tak diinginkan. Tiba2 ia mendengar suara tertawa dingin pelahan dan berasal dari belakangnya, Sudah tentu dia terkejut sekali, Secepat kilat ia mencabut pedang Tanduk Naga dan berputar tubuh menabas. ia percaya bahwa gerakan berputar seraya menabas secepat kilat itu tentu akan mengenai sasarannya, Tetapi ah, hanya angin belaka yang ditabasnya.
Ia tersipu-sipu malu sendiri, Mengeliarkan pandang kesekeliling, ternyata guha itu sunyi senyap, kosong melompong. Tetapi dia merasa penasaran, jelas tadi ia mendengar suara orang tertawa dingin. Tiba2 terlintas sesuatu dalam benaknya dan secepat itu ia segera menengadahkan muka memandang keatas, Ah, ternyata dugaannya tepat Pada puncak guha setinggi tiga tombak itu, terdapat sebuah guha yang cukup lebar. Karena gelap dan menjulang ke atas maka tak dapat di ketahui berapa tombak tingginya. Kini Gin Liong menyadari bahwa orang yang melepas tertawa dingin tadi tentu sudah meluncur dari puncak guha itu. Mengenangkan akan nasib Ban Hong Liong-li yang begitu mengenaskan dibunuh lalu mayatnya masih dilarikan Gin Liong menumpahkan kemarahannya dengan sebuah tertawa seram. Acungkan pedang pusaka Tanduk gNaga ke-atas ia segera enjot tubuh melambung kearah guha diatas puncak guha itu. Memang pedang pusaka Tanduk Naga benar2 sebuah pedang pusaka yang hebat. Lorong guha yang gelap itu segera terpancar sinar merah. Dengan setiap kali menginjak dinding guha yang menonjol, dapatlah Gin Liong mencapai ketinggian tujuh tombak dan tibalah dia di puncak paling atas. Ia berhenti seraya lintangkan pedang dan mengeliarkan pandang kesekeliling. Kiranya gua di puncak itu lorongnya berkeluk-keluk macam ular, Sebuah guha yang menjulang condong ke-atas. Guha itu gelap gulita, anginnya keras, Tak tampak barang seorang manusiapun disitu, Gin Liong masih penasaran. Di amati keadaan gua itu dengan lebih cermat, Tiada tampak barang sebuah cekungan yang dapat dijadikan tempat persembunyian orang, Maka dengan siapkan pedang ditangan kanan, ia segera menyusur lorong gua. Hati2 sekali ia berjalan. Setiap keluk dan cekung, tentu ia berhenti dan mengamati dengan cermat. Makin menuju ke atas, hawa makin dingin dan lorong guha pun makin sempit, Dan tak berapa lama tibalah ia di mulut guha. Disitu keadaannya tidak lagi gelap
melainkan terang benderang. Kini dia berhadapan dengan sebuah guha berbentuk bundar, menjulang lurus keatas, Tingginya hampir sepuluhan tombak, pada mulut gua yang bundar seperti mangkuk, tampak langit yang biru. Dan dekat di mulut gua, terdapat lapisan salju. Gin Liong kerutkan dahi. ia sangsi adakah ia mampu loncat melambung kemulut gua setinggi itu, Dan orang yang tertawa tadi, adakah juga keluar dari gua diatas itu ? Tiba2 muncul suatu pertanyaan dalam hati Gin Liong, Benarkah Ban Hong Liong-li telah dipenjara selama lima tahun dalam gua itu ? Seingatnya, selama lima tahun itu dikala Ban Hong Liong-li memberi pelajaran ilmu silat kepadanya, ada kalanya suruh dia datang lima hari sekali. Tetapi ada kalanya tiga hari bahkan sebulan dua bulan baru disuruhnya datang. Waktu itu ia tak tahu apa sebabnya, Tetapi kini setelah menemukan jalanan keluar dari puncak gua, dia menduga keras, selama lima tahun itu Ban Hong Liong-li tentu tidak terus menerus berada dalam guha. ia percaya dengan kesaktian yang dimiliknya, Ban Hong Liong-li tentu mudah sekali keluar masuk mulut gua itu. Ada lagi sesuatu yang mengherankan Gin Liong, jika benar Ban Hong Liong-li dapat bergerak bebas dalam guha itu mengapa selama lima tahun itu tak pernah ia diperbolehkan melihat wajahnya? Adakah Ban Hong Liong-li berwajah buruk sehingga malu dilihat orang ? Saat itu yang paling menyedihkan hati Gin Liong ialah keadaan jenazah Ban Hong Liong-li, Mukanya hancur lebur sukar dikenali lagi sehingga sukar dinilai adakah dia seorang wanita cantik atau buruk. Dan sesaat teringat akan kematian yang mengenaskan dari Ban Hong Liong-li itu, darah Gin Liong segera meluap, ia memutuskan akan mencapai puncak mulut gua itu dan melihat bagaimana keadaan yang sesungguhnya. Sekali enjot sang kaki, tubuh Gin Liongpun melambung kearah mulut gua yang tingginya beberapa tombak, Dalam dua tiga kali gerakan melambung, akhirnya berhasil juga ia tiba ditepi mulut guha.
Ketika memandang ke sekeliling, ia tertegun, Empat penjuru keliling dari gua itu merupakan gerumbul pohon siong yang penuh diselimuti salju. Dan yang mengejutkan Gin Liong, ternyata pada jarak beberapa tombak dari tempat itu sudah merupakan dinding tembok merah dari kuil Leng-hun-si. Dan Gin Liong pun dapat melihat ruang kuil itu, diantaranya ruang tempat kediaman suhunya. "Hah, apakah mulut guha ini bukan yang dikatakan sebagai Sumur mati dibelakang kuil ?" tiba2 ia teringat Segera ia berpaling kebelakang untuk memeriksa mulut gua tadi lagi, Tetapi ketika berputar tubuh, bukan kepalang kejutnya sehingga ia sampai memekik kaget dan loncat mundur dua tombak. Di depan sumur mati yang berada dibelakangnya itu, tegak seorang wanita cantik dalam pakaian yang indah dan mantel bulu burung dari beludru merah. Wanita cantik itu kira2 berusia 26-27 tahun, kulitnya merar segar, sepasang alisnya melengkung panjang sampai ke pelipis rambut. Dan sepasang matanya bersinar bening bagai batu zamrud. Kecantikan wanita itu memiliki pesona yang memikat hati orang. Sayang wajahnya menampil kerut hawa pembunuhan dingin.
6. Golok emas Gin Liong terkesiap, ia duga wanita muda itu tentu yang menyerang Ban Hong Liong-li. seketika meluaplah kemarahannya. "Wanita jahat, engkau harus mengganti jiwa lo-cianpweku..." secepat kilat ia enjot tubuh melampaui dua batang pohon siong lalu menyerang, menusuk bahu wanita muda itu dengan pedangnya. Tenang2 saja wanita muda itu melihat gerak gerik Gin Liong- Pada saat ujung pedang Gin Liong hampir mengenai, barulah dia menggeliat mundur, bergerakgerak dan tahu2 lenyap. Gin Liong terkejut. Cepat ia hentikan terjangannya, Dengan jurus Harimau-buasmengibas-ekor, ia taburkan pedang Tanduk Naga menyapu ke belakang.
Krak, bum... sebatang pohon siong segera terbabat rubuh, menimbulkan letupan yang keras ketika menghantam tanah, Salju yang menutupi daun pohon, berhamburan keempat penjuru, Memandang kian kemari, Gin Liong tak melihat wanita muda itu, Cepat ia berputar ke belakang, ah, wanita muda itu ternyata berdiri dibelakangnya. Gin Liong tergetar hatinya, setitikpun ia tak menyangka bahwa wanita muda itu menguasai juga tata-langkah Liong-li-biau yang pernah diajarkan Ban Hong Liongli kepadanya Tenang2 saja wanita muda itu memandang Gin Liong, wajahnya menampilkan kerut keresahan dan putus asa. "Jika dapat menguasai tata-gerak Liong~li-biau, wanita ini tentu mempunyai hubungan dengan Liong-li lo-cianpwe," pikir Gin Liong. Menimang demikian, menurunlah kemarahan Gin Liong. Segera ia menyimpan pedang lalu maju menghampiri dan memberi hormat: "Mohon tanya siapakah nama yang mulia dari cianpwe ini? Mengapa berada di belakang kuil Leng-hun-si? Maaf atas tindakanku yang kurang adat karena menyerang cianpwe tadi." Wajah wanita muda itu agak berobah. Sinar matanyapun berobah lembut ia kerutkan alis dan tiba2 menghela napas. Kali ini Gin Liong lebih terkejut lagi. Helaan napas wanita muda itu benar2 mirip sekali dengan helaan napas yang sering dilakukan oleh Ban Hong Liong-li selama berada lima tahun dalam guha. Melihat wajah anak muda itu pucat dan tegang serta memandang dirinya penuh keheranan, wanita muda itu segera berseru: "Liong-ji, engkau benar2 seorang anak yang baik. Benar, aku memang tak menyangka bahwa kecerdasanmu jauh melebihi aku ketika masih muda, Demikian juga hatimu pun lebih keras." Mendengar nada suara yang tak asing lagi itu, tak kuasalah Gin Liong menahan luapan hatinya. Air matanya berderai-derai membanjir turun, Selekas membuang pedang, ia bergegas melangkah dan jatuhkan diri berlutut dihadapan wanita itu seraya berkata dengan terisak-isak:
"Lima tahun lamanya Gin Liong telah menerima pelajaran. Selama itu siang dan malam Gin Liong ingin sekali melihat wajah cianpwe. Tadi tanpa sengaja, aku telah berlaku kurang hormat, mohon lo-cianpwe sudi memaafkan." Wanita muda itu berlinang-linang dan menghela napas rawan, serunya: "Liong-ji, bangunlah, Aku tak menyalahkan engkau melainkan memang diriku. Wulanasa sendiri yang bernasib malang, dipenjara selama lima tahun dalam guha, Adalah karena beberapa alasan maka selama itu aku tak dapat mengunjukkan diri menemui orang." Habis berkata wanita muda itu segera mengangkat bangun Gin Liong yang masih berlutut di tanah. Waktu berdiri, Gin Liong tundukkan kepala tak berani memandang wanita itu. ia tak mengira bahwa Ban Hong Liong-li yang dipenjara selama lima tahun dalam guha itu, ternyata seorang wanita cantik yang baru berusia sekitar dua puluhan tujuh tahun. Dengan berlinang-linang Ban Hong liong-li suruh Gin Liong mengambil pedang pusaka itu, Gin Liongpun segera melakukannya dan menyimpan pedang itu kesarungnya lagi. Ban Hong Liong-li sejenak memandang kesekeliling cakrawala, Saat itu matahari sudah mulai condong ke barat, Segera ia berkata dengan rawan: "Liong-ji, saat ini aku harus pergi, tak dapat lebih lama tinggal disini lagi." Tergetar hati Gin Liong, seketika wajahnya berobah. "Lo . . . lo-cianpwe hendak kemana ?" tanyanya gopoh. Dalam menyebut nama Ban Hong Liong-li itu, memang Gin Lion agak kikuk, Wanita yang semuda itu, apakah harus disebut "lo-cianpwe". Tetapi karena selama lima tahun sudah biasa memanggil begitu, diapun tak dapat berganti dengan lain sebutan lagi. Agaknya Ban Hong Liong-li tak menghiraukan soal sebutan itu, . "Aku harus segera kembali ke kampung halamanku di gunung Supulawa. Dan selanjutnya aku akan tinggal di daerah Biau sampai akhir hayatku, Aku takkan menginjak ke Tiong-goan lagi." Gin Liong mengembang airmata, serunya gegas: "Mengapa lo-cianpwe tak mau
tinggal beberapa hari lagi disini ?" Ban Hong Liong-li memandang ke langit lagi dan gelengkan kepala pelahan-lahan lalu menghela napas. "Kenangan yang lampau bagaikan asap, Hanya kehampaan yang kutemui dalam mengarungi ke ujung langit. Menyebabkan orang putus asa, walaupun kutunggu sampai sepuluh tahun lagi, apakah gunanya ?" Dalam pada mengucap itu. air matanya berderai-derai membasahi kedua pipi dan akhirnya kerongkongannya pun terasa tersumbat tak dapat melanjutkan katakatanya lagi. "Keinginan apakah yang lo-cianpwe belum dapat melaksanakan itu, harap memberitahukan kepadaku...." akhirnya Gin Liong memberanikan diri untuk berkata. Tetapi cepat Ban Hong Liong-li menukas tertawa rawan: "Ah, hal itu sudah tiada harapan lagi. tiada gunanya kukatakan." Namun Gin Liong tetap mendesak: "Mohon lo-cianpwe suka tinggal disini beberapa hari lagi, Liong-ji tentu akan..." Ban Hong Liong-li gelengkan kepala, menukas: "Tidak. demi menambah tenaga-dalammu, aku sudah menunda perjalanan selama tujuh hari, sekarang aku harus menempuh perjalanan itu siang dan malam agar lekas tiba di daerah Biau." Tiba2 Gin Liong teringat akan mayat wanita dalam pakaian suku Biau yang rebah di dalam gua tadi. "Lo-cianpwe, siapakah mayat wanita yang berada dalam guha itu ?" tanyanya serentak. Ban Hong Liong~li terkesiap, wajahnya berobah seketika. Sesaat kemudian berkata dengan nada geram: "Kebahagiaan hidupku, selama ini berada ditangannya, Tak kukira kalau dia akan datang dari Biau-ciang dan hendak membunuh aku secara menggelap." Berhenti sebentar, Ban Hong Liong-li mendengus geram dan melanjutkan pula: "Apabila kali ini kulepaskan dia lagi, mungkin jiwa Cu Hun pun sukar terjamin keselamatannya." Gin Liong terbeliak kaget.
"Lo-cianpwe, siapakah wanita yang mengenakan pakaian suku Biau itu? permusuhan apakah yang terjalin antara dia dengan suhuku ?" seru pemuda itu. Agak tersipu merah Ban Hang Liong-li menerima pertanyaan itu. Sesaat kemudian ia menghela napas rawan. "Liong-ji, tanyakanlah sendiri kepada suhumu, sekarang aku akan pergi !" Habis berkata ia berputar tubuh. "Lo-cianpwe, harap tunggu dulu," buru2 Gin Liong berseru, meminta, seraya loncat kehadapan Ban Hong Liong-li. "Lo-cianpwe, maukah lo-cianpwe memberitahu tempat kediaman lo-cianpwe kepada Liong-ji ?" Ban Hong Liong-li merenung. "Daerah Biau, gunung Supulawa, puncak Paklu, lembah Naga-beracun," akhirnya meluncurlah beberapa patah kata dari mulut Ban Hong Liong-li, memberitahukan alamatnya. Diam2 Gin Liong mencatat dalam hati. Kemudian ia bertanya pula: "Lo-cianpwe, benarkah aku telah tidur selama tujuh hari dalam guha?" Ban Hong Liong-li mengangguk: "Benar, kalau aku tak merawat dan tak mengurut-urut jalan darahmu, paling sedikit engkau harus tidur sepuluh hari lagi." Gin Liong terkejut. "Mengapa aku jadi begitu ?" serunya. "Karena engkau telah makan pil Tok-liong-wan (pil naga beracun) milik ibuku yang diambilnya dari perut ayahku." Menggigillah seluruh tubuh Gin Liong mendengar keterangan itu. "Apa? Pil itu berasal dari perut ayah locianpwe ?" serunya terkejut. Ban Hong Liong-li terpaksa tertawa: "Liong-ji. apakah engkau merasa heran?" Gin Liong berulang-ulang mengangguk kepala. Ban Hong liong-li menghela napas pelahan. Katanya pula: "cerita itu panjang sekali kalau diceritakan, Lebih baik setelah aku pergi, engkau tanyakan kepada suhumu !" Gin Liong gelengkan kepala.
"Suhu tentu tak mau memberitahu kepada Liong-ji. Mohon lo-cianpwe saja yang memberitahu hal itu." Ban Hong Liong-li kerutkan alis, Ketika hendak membuka mulut tetapi ia berpaling kearah kuil Leng-hun-si dan membentak: "siapakah yang berada dalam tembok itu ?" Gin Liong terkejut dan berpaling, Dilihatnya Ki Yok Lan dengan rambut kacau tengah melompat keatas pagar tembok kuil dan terus hendak melayang turun. Gin Liong terkejut sekali, ia tahu sumoay-nya itu masih sakit maka buru-2 ia berseru: "Lan-moay, jangan...." Tetapi sudah terlambat, Ki Yok Lan sudah terlanjur melayang turun. Gin Liongpun cepat membentak dan loncat menyongsong. Juga Ban Hong Liong-li terkejut, serentak ia ayun tubuh melesat kearah Yok Lan. Dengan kedua tangan ia menyambut tubuh nona itu, Ketika Gin Liong tiba, ia melihat Sumoay-nya telah pingsan, Anak muda itu bingung dan air matanya bercucuran. "Bagaimana, Lo-cianpwe". "Dia pingsan !" Ban iHong Liong-li kerutkan dahi. Memandang Yok Lan yang berada dalam pelukannya, ternyata wajah dara itu pucat lesi, kedua matanya meram. Bang Hong Liong-li menghela napas: "Ah, tak kira anak ini bertubuh lemah sekali." "Memang sumoay sedang sakit, sudah tujuh hari lamanya..." cepat Gin Liong memberi keterangan. Tiba2 mata Ban Hong Liong-li bersinar dan cepat menukas: "Katak salju itu? Lekas keluarkan!" Gin Liong terbeliak tetapi cepat ia menyadari bahwa selama ini ternyata Ban Hong Liong-li telah mengikuti gerak-geriknya, Segera ia mengeluarkan katak mustika itu. Ban Hong Liong-li meletakkan Yok Lan di tanah, kepalanya disandarkan pada dadanya, ia mengambil sebuah mangkok batu kumala hijau lalu suruh Gin Liong masukkan katak salju ke dalam mangkuk dan suruh pula pemuda itu lekas mengambilkan sejemput salju yang bersih.
Gin Liong buru2 melakukan perintah, "Masukkan salju kedalam mangkuk," perintah Ban Hong Liong-li pula, Begitu salju dimasukkan, terdengar suara mendesis pelahan ketika salju itu lumer menjadi air. "Liong-ji. tahukah engkau khasiat katak salju ini ?" tanya Ban Hong Liong-li. "Tahu," jawab Gin Liong. "Segala apa memang sudah takdir." kata Ban Hong Liong-li. "tak boleh diminta dengan kekerasan. Liong-ji, engkau mempunyai rejeki besar, kelak engkau harus menjaga dirimu baik2 agak menjadi seorang pendekar yang berguna." Serta merta Gin Liong menghaturkan terima kasih, Memandang ke langit, kembali alis yang hampir menyusup ke tepi rambut dari Ban Hong Liong-li berkerut pula, Gin Liong segera tahu bahwa wanita itu tentu bergegas hendak segera turun gunung. Dia bingung tetapi tak tahu bagaimana harus mengatakan. Saat itu salju sudah menjadi air. Diatas tubuh katak salju, air itu seperti mendidih, mengeluarkan butir2 gelembung kecil. Begitu pula, tubuh katak itupun memancarkan sinar tujuh warna yang kilau kenalan Ban Hong Liong-li menundukkan kepala untuk meniup mulut Yok Lan. Tubuh nona itu agak menggeliat dan menghempus napas panjang lalu membuka mata. Dengan wajah berhias senyum ramah. berkatalah Ban Hong Liong-li: "Lan-ji, minumlah air salju ini !" Ia segera menuangkan tepi mangkuk kemulut dara itu. Gin Liongpun cepat2 mendekati sumoaynya dan memberi keterangan, "Lan moay, yang memeluk engkau ini adalah Liong-li lo-cianpwe." Wajah Ki Yok Lan pucat lesi seperti mayat. Sinar matanyapun redup dan kesadaran pikirannya limbung, Mendengar dirinya di peluk Liong-li lo-cianpwe, seketika wajahnya memancarkan sinar kejut dan girang. "Lan-moay, minumlah air salju yang diberikan Liong-li locianpwe penyakitmu tentu sembuh," kata Gin Liong pula. Rupanya dara itu tak mendengar jelas apa yang dikatakan suhengnya, Sepasang matanya memandang lekat pada Ban Hong Liong-li.
Ban Hony Liong-li hanya tersenyum dan berkata pula: "Lan-ji. lekaslah minum," Yok Lan pelahan-lahan membuka mulutnya tetapi matanya tetap memandang tak berkedip ke wajah Ban Hong Liong-li. Air matanya berderai-derai mengalir membasahi pipi. Setelah air salju itu habis diminum, maka dari mulut Yok Lan terbaur hawa harum yang sejuk. Ban Hong Liong-li segera menyerahkan mangkuk kumala dengan katak salju kepada Gin Liong, Setelah itu ia menghapus air mata Yok Lan dengan ujung baju dan dengan penuh kasih sayang menghiburnya. "Lan-ji, jangan bersedih. Pulang dan tidurlah lagi, engkau tentu sudah sembuh." Ban Hong Liong-li lalu mengemasi rambut sidara yang kusut. Ki Yok Lan masih terlongong-longong memandang wajah Ban Hong Liong-li. Rupanya ia masih bersangsi adakah wanita cantik dihadapannya itu benar2 Liong-li lo-cianpwe. Tetapi menilik nada suaranya yang tak pernah dilupakan, akhirnya ia mau percaya juga. "Lo-cianpwe. apakah engkau belum pergi ?" tanyanya sesaat kemudian. Ban Hong Liong-li tersenyum rawan: "Lan-ji, jika tadi engkau tak muncul, saat ini aku tentu sudah berada di kaki puncak Hwe-siau-hong." Habis berkata wanita itu memandang ke cakrawala pula, Dengan wajah gelisah ia berkata kepada Gin Liong: "Liong-ji. bawalah sumoaymu ini pulang agar beristirahat sekarang aku harus pergi." Pelahan-lahan ia mengisar tubuh Yok Lan. Gin Liongpun cepat menyambuti tubuh sumoay-nya. "Lo-cianpwe. apakah engkau sungguh2 hendak meninggalkan kami ?" seru Yok Lan dengan wajah sedih. Ban Hong Liong-li menghela napas dan mengangguk: "Nak, sesungguhnya aku tak ingin meninggalkan kalian, Tetapi aku terpaksa harus pergi." Memandang Gin Liong, wanita itu menunjuk pada mangkuk kumala, katanya: "Liong-ji, mangkuk kumala hijau itu, termasuk salah sebuah benda pusaka dari suku Biau. Aku sudah tak memerlukannya dan kuberikan kepadamu. Harap jaga baik2
jangan sampai jatuh ke tangan orang jahat." "Lo-cianpwe sudah menghadiahkan pedang pusaka Tanduk Naga, Bagaimana Liongji temaha untuk menerima pemberian lo-cianpwe lagi ?" kata Gin Liong. Sedangkan Yok Lan hanya memandang Ban Hong Liong-li dengan air mata bercucuran. Dengan berlinang-linang, Ban Hong Liong-li berkata: "Nak, pulanglah. Bertahukan suhumu bahwa Liong-li lo-cianpwe sudah pergi, Dia tak akan melihat Wulanasa lagi." Berkata sampai disitu, air mata wanita itupun bercucuran. Tiba2 ia berputar tubuh dan sekali ayun kaki, ia sudah melayang kedalam hutan. Hampir Gin Liong dan Yok Lan serempak menangis: "Lo-cianpwe, harap suka menjaga diri baik2. Kami tak dapat mengantar lo-cianpwe..." Tetapi saat itu Ban Hong Liong-li sudah lenyap diantara gerumbul pohon siong. Sambil masih terisak-isak, berkatalah Yok Lan: "Mengapa Liong-li lo-cianpwe tak mau bertemu muka dengan suhu sendiri..." Setelah menyimpan mangkuk kumala dan katak salju. Gin Liong menghapus air matanya dan berkata: "Biarpun suhu marah tetapi aku tetap hendak mohon kepada beliau supaya suka menceritakan tentang riwayat Liong-li lo-cianpwe." Yok Lan gelengkan kepala. "Ah, tak mungkin suhu mau memberitahu hal itu," katanya. "Aku tentu akan memintanya mengatakan." kata Gin Liong berkeras, Kemudian ia memandang wajah sumoaynya. "sumoay. bagaimana penyakitmu sekarang ?" "Seluruh tubuhku seperti dialiri hawa panas. Aku merasa letih sekali," sahut Yok Lan. Gin Liong tahu bahwa khasiat katak salju sudah mulai bekerja dalam tubuh sumoaynya. "Kalau begitu mari kubawamu kembali kedalam kamar tidur, Liong-li lo-cianpwe mengatakan, setelah tidur barang satu jam saja, engkau tentu sudah sembuh." Ia terus memondong tubuh Yok Lan, loncat ke pagar tembok lalu melayang turun, lari menuju keruang kediaman suhunya.
7. Sayup2 terdengar nyanyian duka Dalam pelukan sukonya, hati Yok Lan mendebur keras, pipinya bertebar warna merah. walaupun bukan sekali itu ia dipondong, tetapi setiap kali berada dalam pelukan sukonya, hatinya tentu berdebar dan mukanya merah. Saat itu ia rasakan tubuhnya disaluri aliran hawa yang hangat, merasa ngantuk dan pikiran kabur Entah apakah yang diminumkan Liong-li cianpwe kepadanya? "Liong koko, tadi Liong-li locianpwe memberi aku..." Tiba2 Gin Liong berhenti Saat itu mereka sudah tiba di pintu ruang kuil, Dan pemuda itu mencurah pandang kearah pintu kamar suhunya. "Liong koko, mengapa berhenti ?" bertanya Yok Lan dengan bisik2. Gin Liong terbeliak lalu menjawab: "Ah, tak apa2. Kuantarkan engkau kedalam kamarmu." Dengan bergegas pemuda itu segera menerobos masuk kedalam ruang. Yok Lan makin heran mengapa sukonya begitu tegang tampaknya. Setelah meletakkan Yok Lan ditempat tidur dan menyelimutinya, Gin Liong segera bertanya: "Apakah hari ini suhu datang menjenguk kemari ?" Begitu rebah di tempat tidur, mata Yok Lan sudah kepingin tidur, ia paksakan menyahut sambil gelengkan kepala: "Sudah tujuh hari, suhu tak pernah datang kemari." Habis berkata dara itu terus tertidur. Mendengar keterangan itu seketika berobahlah wajah Gin Liong. ia makin tegang, serunya: "Lan moay, tidurlah aku akan keluar sebentar." Ia menepuk kedua bahu sumoaynya lalu melesat keluar dan loncat ke pintu kamar suhunya, sekali dorong, terbukalah pintu itu. Permadani tebal yang menjadi alas tempat tidur, entah bagaimana, saat itu ditutup dengan kain warna kuning. Sudah tentu Gin Liong heran, Sejak dahulu tak pernah ia melihat hal semacam itu. Pun pedupaan dari tembaga kuno yang terletak diatas meja, tiada mengepulkan asap lagi. Tetapi ruang itu masih terdapat sisa asap dupa yang tipis. Melihat keadaan itu Gin Liong seperti mendapat firasat yang tak baik. Cepat ia
keluar, mengunci pintu lalu lari keluar kehalaman, Tiba di ruang belakang, keadaannya pun sunyi2, tiada dijumpainya barang seorangpun. Lari ke ruang tengah, hanya bertemu dengan dua orang paderi kecil. Dengan wajah cemas, kedua paderi kecil itu tengah menambahi minyak pada lampu. Melihat Gin Liong, kedua paderi bocah itu segera menangis dan berseru: "Liong suko, lekaslah engkau menuju kelapangan Ki-lok-jang dimuka gunung !" Menggigillah Gin Liong, wajahnyapun membesi. Tanpa bertanya lebih lanjut, ia terus lari keluar dan menuju ke ruang besar Tay-hud-tong. Yang disebut lapangan Ki-lok-jang itu, adalah tempat kuburan dari para ketua dan Tiang-lo kuil Leng-hun-si yang telah meninggal. Apabila seluruh paderi Leng-hunsi berkumpul di tanah pekuburan itu, tentu menghadiri pemakaman dari paderi Lenghun-si yang berkedudukan Tiang-lo keatas. Suatu bayang2 yang menyeramkan segera melintas pada benak Gin Liong, Betapa tidak! Sudah tujuh hari lamanya Liau Ceng taysu tidak kembali ke kuil Leng-hun si. Adakah suhunya itu telah dicelakai oleh Ma Toa-kong dan kawan-kawannya ? Teringat akan hal itu, terhuyung-huyunglah tubuh Gin Liong sehingga hampir rubuh. Untung dia cepat2 dapat menenangkan diri lalu menuju ke sudut ruang Toahud-tong. Didalam ruang Toa-hud-tian tampak asap dupa berkepul-kepul. Seorang paderi tua yang kurus sambil membawa seikat api tengah melangkah pelahan-lahan keluar ruang. Gin Liong makin gelisah sekali. Tanpa berkata apa2, ia terus lari melampuai paderi tua itu, langsung menuju ke pintu kuil. Rupanya paderi tua itu mendengar kesiur angin dari pakaian orang yang menghampirinya, Tetapi ketika memandang orang itu, ternyata Gin Liong sudah melesat keluar pintu kuil. Saat itu, mentari sudah silam dibalik gunung. Cuaca menjelang rembang petang. Puncak gunung-pun sudah mulai bertaburan kabut Cakrawala mulai menebarkan selimut hitam. Gin Liong lari seperti orang kalap. Sinar matanya berapi-api, dahinya bercucuran
keringat. Memandang kemuka, lapangan Ki-lok-jang sudah kelihatan. Pagoda2 kecil tempat jenazah yang berjajar-jajar berpuluh-puluh di makam itu, makin jelas diantara gumpalan kabut. Seluruh paderi Leng-hun-si dengan jubah warna kelabu serempak berkumpul dimuka sebuah makam yang baru. Mereka tegak berdiri menghadap makam baru itu. Nyanyian duka dan mantra2 kematian, sayup2 terdengar dibawa hembusan angin. Melihat itu Gin Liong makin kalap, Diluar kesadarannya, ia segera menumpahkan kegelisahan hatinya dalam sebuah suitan panjang yang bernada sedih. Gema suitan itu menembus awan, menimbulkan kumandang yang bergemuruh di langit dari puncak Hwe-sian-hong. Doa kematian di tanah makam Ki-lok-jang berhenti seketika, Seluruh paderi serentak berpaling memandang kedatangan Gin Liong, Seiring dengan berhentinya suitan, Gin Liong pun sudah tiba di tepi hutan, melayang turun terus lari menghampiri. Dalam pada berlari itu mata pemuda itu tetap melekat kearah rombongan paderi. Tiba2 diantara rombongan paderi Leng-hun-si itu tampil seorang paderi berjubah merah. Seketika berobahlah wajah Gin Liong dengan seri kegirangan yang menyala-nyala. "Suhu...." ia berteriak girang dalam hati seraya pesatkan larinya. Tetapi rasa kegirangan itu segera berobah pula rasa kesiap yang besar, Kiranya paderi jubah merah itu bukan suhunya melainkan ji-susiok-cou atau paman kakek guru yang kedua. Menggigillah hati Gin Liong, Diam2 ia bertanya dalam hati, kemanakah suhu dan paman kakek-guru yang ketiga ? Serentak mata Gin Liongpun mencurah kearah makam pagoda yang baru itu... Saat itu seluruh paderi Leng hun-si tahu bahwa yang menghambur suitan nyaring dan yang tengah lari mendatangi itu, adalah Gin Liong yang telah menghilang selama tujuh hari. Kawanan paderi itu terkejut dan berlinang-linang air mata, Merekapun tak pernah menyangka bahwa murid dari kalangan orang biasa dari ketua mereka, ternyata
memiliki ilmu kepandaian yang sedemikian mengejutkan. Tiang-lo jubah merah yang memegang tongkat Giok-ji-ih, dengan wajah duka dan kerutkan alis memandang kedatangan Gin Liong Diapun diam2 terkejut melihat kepandaian Gin Liong. Pada saat sekalian paderi masih kesima, Gin Liongpun sudah tiba dan sekonyongkonyong ia lari menghampiri makam pagoda yang baru dibangunkan itu seraya menjerit: "Suhu..." Hanya sepatah kata yang dapat diucapkan karena tubuh anak muda itu terhuyunghuyung lalu rubuh ke tanah yang tertutup salju. Setelah dua kali bergulingguling. iapun pingsan. Gemparlah sekalian paderi Leng-hun-si. Mereka hiruk-pikuk berhamburan menghampiri. Tetapi tiang-lo jubah merah cepat melesat dan mengulurkan tangan mengangkat tubuh Gin Liong supaya duduk, Diurut-urutnya jalan darah anak itu lalu perlahan-lahan menepuk-nepuk punggungnya. Gin Liong membuka mata. Air matanya segera membanjir turun, Dengan menggembor keras ia melonjak bangun terus hendak menelungkupi makam pagoda yang baru itu. Tiang-lo jubah merah terkejut Cepat ia menyambar tangan Gin Liong: "Liong-ji..." "Huak...." Gin Liong muntahkan segumpal darah segar. Tanah yang bertutup salju putih segera bertebaran warna merah. Gin Liong berlutut dihadapan makam baru. Sambil memegang meja sembahyang, ia memandang ke arah makam yang berisi jenazah Liau Ceng taysu, suhunya yang dicintai itu. Dengan kalap ia berteriakteriak memanggil suhunya. Air matanya bercucuran seperti banjir, Mulutnya pun berlumuran darah, Matanya merah seperti terbakar. Melihat pemandangan itu, tiang-lo jubah merahpun hanya berdiri dibelakang Gin Liong. Dia tak kuasa juga menahan cucuran air matanya. Juga seluruh paderi Leng-hun-si segera mendekap muka dengan ujung lengan jubah dan menangis tertahan.
Cuaca makin gelap, Kabut dingin makin tebal. Dilapangan makam Ki-lok-jang masih berkumandang suara isak tangis. Tiba2 Gin Liong hentikan tangisnya, Dengan heran ia memandang kearah sebatang kimto (golok emas) yang terletak diatas meja sembahyang, Kim-to itu panjangnya tiga puluhan senti, lebarnya satu setengah inci. Batangnya memancarkan sinar keemasan yang menyilaukan "Liong-ji, suhumu telah binasa oleh golok emas itu...." tiba2 tiang-lo jubah merah berseru. Gin Liong tegak berdiri lalu mengambil kimto itu dan memeriksanya, Seketika menggigil keraslah tubuhnya. "Wulanasa..." tanpa disadari mulutnya berseru tertahan. Seluruh paderipun berhenti menangis. Mereka serempak memandang kearah Gin Liong dengan heran. Demikian tiang-lo jubah merah, Bergegas ia maju dua langkah, menunjuk golok emas dan bertanya: "Liong-ji, tahukah engkau arti dari keempat huruf pada batang golok itu ?" Gin liong tak menyahut melainkan memandang ke cakrawala dengan terlongonglongong. Mulutnya mengingau seorang diri: "Wulanasa... apakah yang membunuh suhu itu mungkin Liong-li locianpwe?" Mendengar kata2 "Liong-li", tergetarlah hati tianglo jubah merah. Segera ia berteriak marah: "Liong-ji, apakah golok emas itu miliki Ban Hong Liong-li ?" Tiba-2 Gin Liong menghambur tawa keras yang sedih. Kumandangnya jauh menebar ke seluruh penjuru hutan. Seketika berobahlah wajah seluruh paderi Leng-hun-si. Mereka merasa darahnya bergolak keras, jantung mendebur. Tiang-lo baju merah terkejut. Tujuh hari menghilang, mengapa mendadak Gin Liong memiliki tenaga-dalam yang sehebat itu. Berhenti tertawa, Gin Liong segera berteriak keras2: "Mengejar lo-cianpwe, tentu dapat mengetahui siapakah pembunuh suhu itu !" Kata2 itu ditutup dengan sebuah loncatan ke udara. Sekali loncat, ia sudah melayang turun sampai beberapa tombak jauhnya, ia lari kearah jalan yang
ditempuh Ban Hong Liong-li. Segenap paderi Leng-hun-si tercengang menyaksikan tindakan anak muda itu. sekonyong-konyong tiang-lo jubah merah berteriak memanggil: "Liong-ji, kembali !" Tetapi Gin Liong tak menghiraukan lagi, ia terus lari menuju ke hutan pohon siong. Begitu masuk kedalam hutan. keadaannya gelap sekali tetapi serempak dengan itu golok emas yang dicekalnya itu memancarkan sinar gemilang sampai seluas dua tombak. Gin Liong terkejut ia baru menyadari bahwa golok emas itu ternyata sebuah pusaka, ia teruskan larinya. Setelah melintas keluar dari hutan, ia berhadapan dengan sebuah puncak karang, Memandang kebawah, ia terlongong-longong. Dibawah puncak merupakan sebuah jurang yang tak diketahui berapa dalamnya karena permukaannya tertutup oleh kabut tebal, Yang tampak hanya puncak pohon siong dan batu yang menonjol. Gin Liong bingung dan gelisah, ia bernafsu sekali untuk mengejar Ban Hong Liongli dan menanyakan siapakah yang membunuh suhunya. Keinginan yang meluap-luap itu menyebabkan dia lupa bahaya, serentak ia ayun tubuh melayang turun ke bawah. Karena kabut dan hari sudah gelap, maka ia lambaikan layang tubuhnya. Sekonyong-konyong pada saat kakinya menginjak sebatang pohon siong, ia rasakan dadanya sakit dan hawa-murni dalam pusarnya naik sehingga pandang matanyapun berkunang-kunang. Gin Liong terkejut sekali wajahnya berobah pucat dan keringat dingin mengucur deras, Tubuhnya pun makin laju meluncur turun. jaraknya masih kurang beberapa meter dari pohon siong. Dengan paksakan diri dan tahan kesakitan ia bergeliatan, menghambur teriakan dan cepat tancapkan golok emas ke pohon-pohon. Cret Golok emas itu luar biasa tajamnya. Sekali tabas, seperti menabas tanah liat. Batang pohon sebesar paha orang, segera terbabat hampir putus. Gin Liong terkejut, karenanya tubuhpun meluncur turun lagi, ia menjerit nyaring seraya menyambar sebatang dahan pohon yang menjulai ke bawah.
Pohon siong itu berderak-derak jatuh ke bawah. Dan ketika Gin Liong memandang kebawah, ia melihat segunduk karang salju seluas satu tombak. Cepat ia mendapat akal. Selekas lepaskan dahan pohon, ia terus bergeliatan melayang turun ke atas karang salju itu. Tetapi tepat pada saat hampir menginjak karang es itu, pohon siong tadipun meluncur menimpah kearahnya. Cepat ia bergelindingan kedalam karang es itu. 'Bum,' batang pohon siong menghantam permukaan karang es lalu mencelat ke bawah lagi beserta hamburan salju. Tempat Gin Liong menyusup masuk itu, merupakan sebuah cekung karang es yang luasnya hanya satu meter. Hampir saja tempat itu hancur karena tertimpa batang pohon. Setelah menenangkan diri, rasa sakit pada dadanya terasa lagi, ia menyadari bahwa tadi karena dirangsang luapan amarah, hawa dalam tubuh telah menyerang ke ulu hati. Dan karena dipergunakan untuk lari kencang, luka itu makin berat. Disekelilingnya gelap gelita, Kabut tebal sekali sehingga ia tak tahu masih berapa tombakkan dalam dasar jurang itu. Ia menyadari pula bahwa tiada gunanya untuk terburu nafsu, Lebih dulu ia harus menyembuhkan luka dalamnya. Tiba2 pula ia teringat akan katak salju yang disimpan dalam bahunya. Pada waktu menjamah tubuh katak, air es yang merendam binatang itu hampir tumpah, ia tak berani gegabah memegangnya. "Jika katak salju itu kukulum dalam mulut entah apakah dapat mengobati lukaku?" pikirnya. Maka dengan hati2 sekali ia segera mengambil katak salju itu lalu pelahan-lahan dimasukkan kedalam mulut. Begitu masuk kedalam mulut, Gin Liong rasakan suatu hawa yang harum menebar dalam mulutnya, ia menelan hamburan air dari tubuh katak salju itu, seketika dadanya terasa hangat dan rasa sakitpun hilang. Gin Liong terkejut. Tak pernah ia menyangka bahwa hawa katak salju itu dapat menebarkan khasiatnya sedemikian cepat sekali, Hawa hangat itu cepat menyalur keseluruh anggauta tubuhnya, Tetapi iapun merasa ingin tidur sedemikian keras
rasa kantuk itu sehingga ia pejam mata dan tertidur. Entah selang berapa lama, ketika bangun Gin Liong melihat kabut sudah menipis. Cuaca gelap, dilangit penuh bertaburan bintang kemintang. Tiba2 ia teringat akan katak salju yang dikulum dalam mulut tadi. "Hai. kemanakah katak salju itu ?" serunya terkejut seraya mencabut golok emas dan duduk. "Bum...." tiba2 salju yang dipijaknya berhamburan hancur sehingga ia terjerumus meluncur ke bawah. Kejut Gin Liong bukan kepalang, Dengan menggembor keras ia gunakan jurus Burung-rajawali-hinggap-didahan. Kepala berjungkir kebawah, kaki diatas. Dia terus meluncur kesamping sebuah sebatang pohon siong, Kurang satu tombak dari pohon siong itu, ia menekuk kedua kaki dan melintang tangan. Dengan gaya itu berhasillah ia menginjak dahan pohon dengan sekali sehingga tak menimbulkan suatu getaran pada dahan pohon. Setelah menghapus keringat dingin dan menenangkan pikiran, ia mulai teringat akan katak salju. Kemanakah gerangan katak itu?. Apakah binatang itu meluncur kedalam perutnya atau ketika ia tertidur, binatang itu meluncur keluar dan mulutnya. Ah, aneh benar. Memandang keatas, karang es tadi sudah tak tampak lagi, Sedang ketika memandang kebawah, ternyata dia masih memegang golok emas tadi. Golok emas itu segera mengingatkan dia akan peristiwa kematian suhunya. Pikiran untuk mencari katak salju segera hapus dan saat itu ia hanya memikirkan bagaimana mengejar jejak Ban Hong Liong-li untuk menanyakan siapa pembunuh suhunya. Cepat disimpannya golok emas itu lalu ia ayunkan tubuh meluncur ke bawah, Dibawah dasar lembah itu terdapat banyak pohon siong dan tumbuh-tumbuhan rotan, Dengan ketangkasan macam seekor kera, ia berpindah dari satu kelain pohon dengan cepat sekali, Akhirnya berhasillah ia tiba di kaki puncak. Hentikan langkah memandang keempat penjuru, dilihatnya lembah yang penuh salju itu masih berkilau-kilauan memancarkan cahaya putih mengkilik. Setelah puas memandang, ia segera menentukan arah menuju ke barat daya, ia memutuskan untuk menempuh perjalanan siang dan malam agar cepat dapat
menyusul Ban Hong Liong-li. Entah berapa banyak lembah dan jurang, gunung dan hutan yang telah dilintasinya dengan cepat. Setelah lari beberapa waktu, ketegangan hatinyapun mulai mengendap. Serempak banyak persoalan yang memenuhi benaknya... Bagaimana peristiwa pembunuhan suhunya itu sampai terjadi? Apakah didalam kuil atau didalam kamarnya atau di guha Kiu-kiok-tong ? Yang mampu membunuh suhunya tentu seorang yang tinggi kepandaiannya dan ilmu ginkangnya tentu amat sempurna. Tetapi siapakah pembunuh itu ? Dan lagi, mengapa sam-susiokcou atau paman kakek guru yang ketiga juga tak tampak pada pemakaman di lapangan Ka-lok-jang ? Ataukah orangtua itu juga dicelakai orang ? Tetapi mengapa di makam Ki-lok-jang hanya didirikan sebuah makam baru untuk suhunya. Mengapa tidak didirikan lagi sebuah makam untuk paman kakek-gurunya yang ketiga ? Seketika timbul rasa sesal mengapa ia tak minta keterangan dulu kepada paman kakek-guru yang kedua. Bagaimana keadaan suhunya ketika berada dalam guha tempo hari? Kawanan Ma Toa-kong itu kemana saja perginya? Dan siapakah wanita Biau yang mati dalam guha itu? Sesungguhnya ia ingin pulang ke kuil untuk minta keterangan kepada suhunya, Tetapi ternyata suhunya telah dibunuh orang, lalu satunya orang yang dapat memberi keterangan hanyalah Ban Hong Liong-li. Dia tak percaya kalau Ban Hong Liong-li yang membunuh suhunya, Tetapi Ban Hong Liong-li tentu tahu tentang golok emas itu dan siapa pemiliknya... Teringat akan kematian suhunya, hati Gin Liong makin tegang dan ingin sekali lekas2 menyusul Ban Hong Liong-li. Dia ingin berteriak sekuat-kuatnya tetapi ia kuatir Ban Hong Liong-li sudah berada seratusan li jauhnya. Setelah melintasi beberapa puncak gunung salju dan beberapa hutan belantara, iapun berpaling kebelakang, puncak Hwe-sian-hong tampak tegak menjulang ke
langit dengan megah dan perkasa. Teringat juga ia bahwa pada saat itu tentulah paderi kuil Leng-hun-si sudah tidur. Sedang paman kakek-guru yang kedua mungkin masih mondar mandir di halaman kuil. Sumoaynya yang bertubuh lemah tentu akan berduka sekali apabila mengetahui suhunya telah terbunuh dan dia (Gin Liong) sedang melakukan pengejaran kepada Ban Hong Liong-li. Ah, apabila teringat akan hal itu, berlinang-linanglah air mata Gin Liong, Dia tak mau mengingat hal itu, tak mau. Sekonyong-konyong pandang matanya gelap dan angin dingin berhembus. Ketika memandang ke depan ternyata dia harus melintasi sebuah hutan pohon siong lagi. Menghampiri hutan itu tiba2 hatinya tergetar, hentikan langkah dan terlongong. Memperhatikan dengan seksama, tampak dalam hutan pohon siong yang pandak tumbuhnya, terdapat sebuah rumah pondok kecil. Pondok itu memancarkan sinar penerangan yang terang. Kemudian ia melihat pula ditengah hutan pohon siong itu terdapat dinding rumah yang puing runtuhan dinding, Diatas tanah masih bertebaran kutungan ranting pohon. Heran Gin Liong dbuatnya. Mengapa ditempat hutan belantara yang jarang dijelajah manusia, terdapat sebuah rumah pondok kecil yang memancarkan sinar penerangan terang sekali. Melongok dari jendela, penerangan api itu mantap sekali, sedikitpun tidak bergoyang-goyang. Rupanya tentu bukan dari lampu atau lilin. Didalam ruang pondok, sunyi senyap tiada kedengaran suara apa2. Timbullah keinginan tahu dalam hati Gin Liong, Setelah melengkapi kedua tangan dengan saluran tenaga-dalam, pe-lahan2 segera ia ayunkan langkah menghampiri. Kerucuk. . . . terdengar suara macam orang meneguk air, Suara itu memancar diri samping Gin Liong. Dengan terkejut Gin Liong berputar tubuh seraya luruskan kedua tangan kemuka dada. Dan serempak pandang matanya mengeliar kearah suara orang minum air tadi, seketika ia hampir memetik kaget. Dibawah sebatang pohon siong yang tak berapa tinggi lebih kurang terpisah
beberapa meter dari tempat ia berdiri seorang pengemis tua tampak duduk sembari minum arak. Dia mengenakan pakaian yang kumal, rambutnya putih, pipi kempot dan tubuh kurus kering seperti tulang terbungkus kulit, sepasang mata yang berbentuk segitiga, memancarkan sinar yang berkilat-kilat tajam, sepasang tangannya yang kotor tengah mencekal sebuah buli2 arak yang besar, selesai minum seteguk, bau arak yang harum segera berhamburan dibawa angin ke empat penjuru. Sudah tentu Gin Liong tak pernah menyangka bahwa ditempat yang sesunyi itu terdapat seorang pengemis tua. seketika teganglah hati pemuda ita. Diam2 diapun bersiap-siap untuk menghadapi setiap gerakan pengemis tua yang akan mencelakai dirinya. Setelah minum seteguk, pengemis yang kakinya telanjang tak bersepatu itu, menyumbat kembali mulut buli2 arak. Sambil setengah pejamkan kedua matanya, tangannya menggosok-gosok kotoran busuk yang melekat pada sela2 jari kakinya, sedikitpun dia tak mengacuhkan Gin Liong yang berada dihadapannya. Melihat pengemis itu bertelanjang kaki mampu menempuh tempat yang penuh bertutup salju dingin, timbullah dugaan Gin Liong bahwa pengemis itu tentu memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi. Tiba2 ia teringat akan urusannya mengejar Ban Hong Liong-li, maka segera Gin Liong hendak berputar tubuh tinggalkan tempat itu. ia tak mau menunda waktu hanya karena ingin mengetahui siapa pengemis tua itu. Tetapi baru ia berputar tubuh, kejutnya makin besar sehingga ia sampai menyurut mundur dua langkah. Pada bayangan gelap dari ujung dari sisa puing2 tembok rumah pondok itu, lebih kurang hanya setombak jauhnya dari tempat ia berdiri, tampak menggunduk sebuah bayangan hitam yang bulat bentuknya. Setelah tenangkan ketegangan hati dan memandang dengan seksama, barulah Gin Liong mengetahui bahwa gunduk bayangan hitam itu bukan lain adalah seorang paderi bertubuh gemuk, telinga besar, mulut pesegi, hidung mekar, mata besar dan kepala bundar seperti kepala harimau. Paderi gemuk itu tengah duduk bersila, Kain jubahnya yang berwarna kelabu telah menutup kedua kakinya, sepasang matanya, berkilat2 memandang Gin Liong
dengan sorot yang dingin. Tetapi Gin Liong mempunyai kesan bahwa walaupun tampaknya paderi itu menyeramkan sekali tetapi dari sorot matanya, jelas tak mengandung maksud jahat kepadanya. Sebagai gantinya, kini timbullah rasa heran dalam hati Gin Liong mengapa ia bertemu dengan seorang pengemis dan seorang paderi yang pada waktu tengah malam buta, duduk ditempat hutan belantara yang sedemikian sunyi senyap. "Adakah kedua orang itu tengah mengadu kesaktian ditempat ini?" diam2 timbul pertanyaan dalam hati Gin Liong, iapun menduga bahwa salah satu dari kedua orang itu mungkin pemilik dari rumah pondok itu. Memikirkan rumah pondok, tanpa terasa matanya pun beralih mencurah ke sebelah muka. Dilihatnya bahwa penerangan benderang yang menembus keluar dari jendela rumah pondok itu, kini berhias dengan warna kabut yang lemah. Makin terperanjatlah hati Gin Liong, "Adakah didalam rumah pondok itu terdapat suatu benda pusaka ?" pikirnya. Teringat akan soal benda pusaka, segera ia menduga bahwa jika benar demikian, tentu disekitar rumah pondok itu akan terdapat beberapa orang lagi, Bukan hanya paderi gemuk dan pengemis tua itu saja. Untuk membuktikan dugaannya, iapun segera keliarkan pandang matanya kesekeliling sekitar rumah pondok. Dan dugaannya memang benar, Pertama-tama dia segera melihat seorang nenek tua yang buta kedua matanya. Nenek buta itu mengenakan baju dari kain blacu, panjang sampai menutupi kedua lututnya, celananya terlampau besar bagi kedua kakinya yang kecil, Nenek itu memegang sebatang tongkat Thiat-ho-ciang atau tongkat yang tangkai menyerupai bentuk burung bangau, terbuat daripada besi. Warnanya hitam mengkilap.
8. Orang tua dalam pondok Nenek itu berdiri diam dibawah tembok rumah pondok yang sudah separoh rubuh. Lalu dibawah sebatang pohon siong yang aneh bentuknya dan tumbuh kira2 lima tombak dari rumah pondok itu, tampak pula seorang lelaki berumur sekitar 40-an tahun. Dia memakai kopiah kulit warna hitam dan mantel kulit yang masih berbulu.
Mukanya penuh dengan brewok, Tubuhnya yang tinggi besar, tengah disandarkan pada pohon siong itu. Diapun setengah memejamkan mata, mulutnya yang agak perot, menimbulkan kesan yang menyeramkan orang, Sinar matanya berkilat-kilat mencurah pada Gin Liong. "Masih ada pula beberapa orang lagi, Tetapi karena bersembunyi dibalik pohon yang gelap, sukarlah untuk mengetahui bagaimana wajah mereka yang jelas. Makin meningkatlah keheranan Gin Liong. Gerangan benda apakah yang berada dalam rumah pondok itu sehingga mengundang kedatangan sekian banyak orang2 persilatan kesitu. Mau tak mau timbul juga rasa ingin tahu dalam hati Gin Liong. Sejak turun gunung, memang belum pernah Gin Liong berkelana dalam dunia persilatan. Dan sudah tentu pula ia tak bagaimana berbahayanya suasana dunia persilatan itu. Ia menurutkan suara hatinya saja, Apa yang diinginkan terus dikenakannya saja, Maka setelah bersiap-siap mengeluarkan tenaga dalam kelengan dan menenangkan semangat, dengan langkah pelahan segera ia menuju ke rumah pondok itu. Tindakan Gin Liong cepat menimbulkan suara berisik di empat penjuru sekelilingnya. Suara berisik yang berhadapan rasa takut. entah berapa puluh pasang mata, pun mencurah ruah kepada dirinya. Bahkan dengan serempak pula, paderi gemuk, pengemis kurus dan lelaki tinggi besar serta nenek buta itu mulai menggerakkan tubuh mereka. Dua kemungkinan menyebabkan mereka mulai bergerak itu. Pertama, mereka gelisah karena tindakan Gin Liong hendak menghampiri rumah pondok itu. Kedua, terkejut karena melihat ilmu kepandaian Gin Liong yang sedemikian hebatnya. Gin Liong pun mendengar "juga" akan suara berisik bernada terkejut itu. Demikian pula iapun dapat memperhatikan betapa dirinya telah dipandang dengan sorot mata heran2 kejut dari orang2 yang bersembunyi ditempat gelap itu. Makin keras dugaan Gin Liong bahwa dalam rumah pondok itu tentu terdapat sesuatu yang berbahaya. Tetapi setitikpun ia tak menyadari bahwa langkah kakinya pada tanah bertutup
salju ditempat itu, hanya meninggalkan bekas2 telapak yang hampir tak kelihatan. Hal itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki ilmu ginkang tinggi. Namun Gin Liong tak mengacuhkan, sambil siapkan kedua tangan, ia lanjutkan langkahnya menuju ke rumah pondok itu, Langkah kakinya sedikitpun tak menimbulkan suara apa2. Suasana sekeliling tempat itu sunyi senyap, tiada tampak suatu gerak yang mencurigakan yang hendak merintangi langkah Gin Liong. Lelaki muka brewok, tidak lagi sandarkan diri pada batang pohon tetapi sudah berdiri tegak, Nenek buta miringkan kepala hendak mencurahkan pendengarannya. Pengemis kurus dan paderi gemuk sama menyalangkan mata kejut memandang kearah Gin Liong. Keheranan Gin Liong makin besar dan makin keras keinginannya untuk menghampiri rumah pondok dan melihat apakah yang sesungguh berada dalam rumah itu. Setelah melintasi sebuah runtuhan dinding tembok, tiba2 menggigillah hati Gin Liong dan serempak iapun hentikan langkah. Dengan pandang terkejut, perhatiannya mencurah kearah dua sosok benda hitam yang rebah terkapar dimuka jendela. Dan ketika memandang dengan seksama, ternyata kedua sosok benda hitam itu adalah dua sosok mayat manusia, Yang sebelah kiri, mayat seorang lelaki tua berambut putih. Tubuhnya miring menghadap ke dalam rumah sehingga wajahnya tak kelihatan jelas. Sedang yang sebelah kanan, seorang imam tua bertubuh kurus kering, Alis mengernyit, mata mendelik dan mulut menganga, wajahnya pucat kekuningkuningan. Ujung mulutnya mengumur darah merah warna hitam. Keadaannya mengerikan sekali. Menilik bahwa kedua sosok mayat itu ditimbuni lapisan salju, tentulah mereka sudah mati pada beberapa hari yang lalu. Sekonyong-konyong dari samping kiri yang gelap, menghambur serangkum tawa dingin bernada mengejek. Gin Liong merasa bahwa tertawa mengejek itu ditujukan pada dirinya. seketika meluaplah kemarahannya, Dengan tegakkan kepala dan busungkan dada, ia segera
melampaui kedua sosok mayat itu. langsung menuju kemuka jendela rumah pondok. Tempat2 gelap disekeliling penjuru rumah itu, tampak bayang2 hitam bergerakgerak dan percikan sorot mata menghambur Rupanya mereka terkejut, menyaksikan keberanian anakmuda itu sehingga mereka serempak berdiri tegak dari tempat persembunyiannya. Tiba di muka jendela dan melongok ke dalam ruang pondok, kembali hati Gin Liong bergoncang keras. Diatas sebuah ranjang batu yang berada dalam ruang pondok itu, duduk bersila dengan mata menunduk kebawah, seorang tua bertubuh kurus kering, dia mengenakan jubah warna hitam. Rambut orang tua itu kusut masai, kumisnya hanya beberapa lembar. Dibawah hidung yang tegak menjulang keatas bernaung sebuah mulut yang agak perot, pipinya yang kempot mengulum tawa dingin. Wajahnya dingin menakutkan, angkuh dan bengis. Dimuka ranjang orang tua itu, terdapat sebuah meja kecil yang diberi sebuah cermin bundar sebesar piring nasi, Ternyata penerangan yang memancar keluar jendela itu, berasal dari kaca cermin tersebut. Gin Liong memperhatikan cermin itu, sinarnya menyilaukan mata, silang gemilang sekali, ia tak tahu apakah cermin itu terbuat daripada tembaga gosok atau perak ataukah air raksa. Meja kecil itu terpisah dua meter dari tempat Gin Liong berdiri, Asal ulurkan tangan, ia tentu dapat meraih cermin aneh itu. Walaupun merasa heran tetapi setitikpun Gin Liong tak mempunyai keinginan untuk mengambil nya. Kemudian memperhatikan orang tua kurus itu, Gin Liong mengerut dahi, Orangtua itu seperti sebuah patung yang tak bernyawa, sedikitpun tak bergerak, Bahkan napasnya pun tak terdengar. Melihat itu diam2 Gin Liong menghela napas rawan. "Ah orang tua itu sudah tak bernyawa," katanya dalam hati. Sekonyong-konyong kedua kelopak mata orang tua itu pelahan-lahan terbuka, Gin Liong terkejut sekali sehingga menyurut mundur setengah langkah. Gerakan menyurut mundur dari Gin Liong disambut dengan beberapa pekik kejut
tertahan dari tokoh2 yang bersembunyi disekeliling pondok itu. Dengan sorot mata yang lembut, orangtua kurus itu memandang sejenak kepada Gin Liong lalu pejamkan matanya lagi. Tatapan pandang mata orang tua itu, menghilangkan rasa takut Gin Liong. Kecemasannya pun lenyap. Gin Liong pun sempat pula menyambar kesan bahwa pada wajah orang tua yang sedingin es itu ternyata memancarkan sinar mata yang penuh welas asih. Dan saat itu Gin Liong pun menyimpulkan dugaan bahwa orang2 yang mengepung secara bersembunyi disekeliling rumah pondok itu tentulah kawanan orang persilatan yang tamak, yang rakus untuk memburu keuntungan jelas mereka tentu mengatur siasat hendak merampas kaca cermin yang terletak diatas meja dihadapan orangtua itu. Menilik kedua mayat yang terkapar di depan jendela itu, Gin Liong menduga bahwa orang tua dalam pondok itu tentu seorang sakti. Hal itu makin diperkuat dengan kenyataan bahwa orang2 persilatan yang mengepung pondok itu tak berani gegabah mendekati rumah pondok tersebut. Siapakah gerangan orang tua itu. Gin Liong menggali ingatannya, tetapi sepanjang yang diketahuinya, diantara sekian banyak orang-2 aneh yang sakti dalam dunia persilatan seperti yang dituturkan suhunya, rasanya tiada terdapat orang tua kurus seperti yang berada dalam pondok itu. Walaupun tak tahu apakah khasiat dari kaca didepan orangtua itu, namun Gin Liong berani memastikan tentulah kaca itu sebuah pusaka yang tak ternilai harganya, jika tidak demikian masakan sampai menggerakkan perhatian sekian banyak tokoh2 persilatan ? Serentak timbullah rasa muak terhadap orang2 persilatan yang berada disekeliling rumah pondok itu. Serentak Gin Liong berputar tubuh untuk mengamati dengan seksama orang2 yang mengepung pondok itu. Diam-2 ia darat menghitung bahwa mereka itu tak kurang dari dua puluh orang jumlahnya. Tiba-tiba timbul keputusan dalam hati Gin Liong, Karena dia tak mempunyai selera untuk merampas kaca dan tak perlu membantu orangtua menghadapi kawanan
orang persilatan itu maka lebih baik ia cepat2 tinggalkan tempat itu saja. Setelah berpaling memandang sejenak kearah orang tua dalam ruang pondok, iapun segera pesatkan langkah menuju keluar hutan. Tiba2 dari belakang terdengar suara orang membentak: "Kembali !" Gin Liong terkejut. Dia tahu yang dipanggil itu adalah dirinya, Serentak ia berhenti. Dilihatnya wanita tua buta itu tengah menghadap kearahnya. Kedua kelopak matanya membalik sehingga tampak biji matanya yang keputih-putihan tengah menengadah memandang ke langit. Rupanya dia tengah mencurahkan pendengaran. Pengemis kurus, paderi gemuk dan lelaki brewok serta beberapa orang yang bersembunyi di kegelapan itu, tampak tertawa menyeringai dan memandang nenek buta itu. Rupanya bukan gerak-gerik Gin liong yang hendak didengarkan nenek buta, Tongkat kepala burung hong yang dipegangnya, tiba2 digentakkan ketanah dan berserulah ia sekeras-kerasnya: "Kusuruh engkau kembali, dengar tidak !" Melihat wajah nenek buta itu tampak membengis dan galak, diam2 Gin Liong tak senang, Tetapi mengingat nenek itu sudah berusia tua dan kedua matanya buta, maka iapun bersikap sabar. "Nenek, apakah engkau memanggil aku ?" tegurnya. Rupanya nenek buta itu tahu bahwa dari nada suaranya, Gin Liong itu seorang pemuda. Tiba2 wajah nenek yang membengis itu tampak reda, Seteiah sejenak tertegun, ia berkata pula: "Ya, memang kusuruh engkau kembali !" "Nenek mempunyai keperluan apa kepadaku?" tanya Gin Liong dengan nada ramah. Mendengar nada perkataan Gin Liong seperti enggan kembali, nenek itu berseru marah lagi: "Kusuruh engkau kembali, engkau harus kembali, perlu apa banyak tanya !" Kata2 yang kasar itu tak dapat diterima lagi oleh Gin Liong. ia tak kuasa menahan
kemarahannya. "Kalau mau bilang apa2, bilang saja, Perlu apa harus suruh aku kembali !" Wajah nenek buta itu seketika berobah. Matanya yang buta seperti berkilat-kiiat dan tubuhnya gemetar keras karena marah. ia tertawa dingin tak henti-hentinya. Gin Liong menyadari bahwa tiada gunanya untuk cari perkara dengan nenek buta buruk muka itu. Dengan mendengus geram ia terus berputar tubuh hendak pergi. Tetapi baru berputar tubuh, tiba2 nenek buta itu membentaknya: "Budak, berhenti !" Seiring dengan teriakannya itu. tubuh nenek tua yang buta itu sudah melayang kehadapan Gin liong. Gin Liong terkejut sekali. Cepat ia berhenti, ia tak menyangka bahwa nenek buta itu ternyata mahir dalam ilmu Thing-hong-pian-wi atau Mendengar angin menentukan tempat. Bukan saja mahir tetapi dapat menguasainya dengan hebat sekali. Tetapi Gin Liong tetap tak puas atau sikap si nenek yang bergitu garang dan tak memandang orang, Maka Gin Liongpun kerutkan alis dan menegur: "Tanpa sebab apa2, mengapa engkau menghadang jalanku ?" Sambil tudingkan ujung tongkat ke rumah pondok, nenek buta itu memberi perintah: "Ambilkan cermin kaca dalam pondok itu !" "Hak apa engkau hendak memerintah aku ?" teriak Gin Liong marah sekali. Nenek buta itu deliki mata dan membentak bengis: "Kalau tidak mengambilkan kaca itu, serahkan jiwamu !" Nenek itu menutup kata-katanya dengan menyabat pinggang Gin Liong. Sabetanya secepat angin mcnderu, sederas hujan mencurah. Gin liong mendengus geram, Dengan bergeliatan tubuh iapun sudah menyelinap kebelakang nenek buta itu. "Tetapi nenek buta itu seperti mempunyai mata terang. Sebelum kaki Gin liong tegak dibelakangnya, secepat kilat iapun sudah berputar tubuh seraya menghantamkan tongkatnya kepada Gin Liong. Gerakan nenek dan tongkatnya igtu benar2 mengejutkan sekali, cepat, ganas dan dahsyat. Gin Liong benar2 terkejut sekali, Cepat ia gunakan tata-langkah Liong-li-biau
ajaran Ban Hong Liong-li untuk meluncur tiga tombak jauhnya. Tetapi nenek buta itu memang lihay sekali, secepat menarik pulang tongkatnya ia terus membentak: "Hai, hendak lari kemana engkau budak !" Oh-liong-jut-tong atau Naga-hitam-keluar-sarang, adalah jurus yang digunakan si nenek buta untuk mengiringkan gerakan tubuhnya yang menerjang Gin Liong. "Berhenti !" tiba2 terdengar suara orang membentak nyaring, sesosok tubuh melayang dan lelaki bermuka brewok itupun sudah melayang tiba. Nenek itu bergegas menarik tongkatnya, ia deliki mata kearah pendatang itu: "Brewok, engkau hendak menganggu urusanku lagi ?" Tongkat kepala burung ho diangkat keatas lalu dengan jurus Thay-san-ya-ting atau gunung-Thaysan-menindih-puncak, ia menghantam kepala lelaki brewok itu. Gin Liong yang berada tiga tombak dari tempat kedua orang itu, kerutkan dahi, ia merasa nenek buta itu terlalu buas, tiap orang hendak dihajarnya. Lelaki brewok menyurut mundur dan berseru marah: "Nenek buta, siapa yang sudi mengurusi urusanmu. Aku hendak bertanya kepada budak kecil itu..." Nenek buta hanya mendengus. Tanpa menunggu orang selesai bicara, ia segera putar tongkatnya dan menyerang lelaki brewok itu lagi. "Biarpun engkau hendak berputar lidah memberi seribu alasan tetapi aku tetap tak percaya!" serunya. "Nenek buta, jangan andalkan kepandaianmu untuk menindas orang, Aku si Brewok terbang Li Tek-gui tak takut pada siapapun juga !" Habis berkata ia gerakkan kedua tangannya menyerang nenek buta itu. Nenek buta itu memperdengarkan tertawa aneh dan tak henti-hentinya menggeram: "Bagus, bagus, hendak kusuruh engkau si Brewok-terbang kenal akan kelihayanku." Tiba2 gerakan tongkatnya berobah, Batang tongkat yang berwarna hitam mengkilap malang melintang menyambar-nyambar seperti petir memecah angkasa. Brewok~terbang Li Tek-gui tak mau mengalah, ia maju menyerang seraya memekik-mekik. Makin lama makin gencar serangannya.
"Hai, budak, apakah engkau hendak ngacir pergi ?" tiba2 dari tempat gelap terdengar seruan orang. Gin Liong tenang2 mengikuti pertempuran itu. Dia tak tahu, kepada siapakah orang itu menegurnya, Segera ia keliarkan pandang mata kian kemari. "Ah... ternyata nenek buta itu dengan melengking keras, menyerangnya. Karena terkejut, Gin Liong menyurut mundur setengah langkah.
9. Tewasnya nenek buta Telinga nenek buta itu memang luar biasa tajamnya, walaupun sedang bertempur tetapi ia masih dapat menangkap langkah kaki Gin Liong. Tahu bahwa pemuda itu hanya mundur setengah langkah, nenek buta itu menyadari kalau ia telah tertipu oleh si Brewok-terbang. Karena marahnya, tubuh nenek buta itu sampai gemetar keras. 'Bluk!' ia hantamkan tongkat burung hong ke tanah lalu berseru keras: "Hai, kawanan tikus manakah yang berseru tadi ? engkau berani mengacau?" Nenek buta itu menengadahkan kepala, memasang telinga, siap untuk menyerbu orang yang berseru tadi. Tetapi sekeliling penjuru sunyi senyap tiada suara sama sekali. Saat itu Gin Liong pun menyadari bahwa seruan itu ternyata ditujukan pada dirinya, Marahlah dia seketika. Segera ia curahkan pandang mata kearah suara tadi. Tampak di tempat itu beberapa sosok bayangan manusia tegak dengan mata berkilat-kilat, Entah siapakah diantara mereka yang berseru tadi. Sekonyong-konyong dari arah tiga tombak jauhnya terdengar suara orang tertawa gelak2. Nadanya amat menghina. Cepat Gin Liong memandangnya, Tampak Li Tek-gui merentang kedua tangan, menengadahkan kepala dan tertawa keras, sehingga janggutnya yang penuh brewok itu ikut ber-guncang2. Entah mengapa dia begitu gembira sekali. Nenek buta berputar tubuh, deliki mata seraya lintangkan tongkat burung hong kemuka dada, serunya: "Brewok-terbang, jangan gembira dulu. Pada suatu hari aku tentu akan mencabut jiwamu anjing itu !" Nenek itu kerutkan alis dan membalikkan kelopak mata, Gerahamnya
menggemerutuk keras tetapi dia tak melakukan gerakan menyerang, Rupanya ia lebih kuatir kalau Gin Liong sampai pergi. Brewok-terbang Li Tek-gui hentikan tawanya lalu berseru dengan nada sarat: "Nenek buta, aku menertawakan ilmu pendengaranmu yang begitu tinggi tiada tandingnya dalam dunia persilatan Sekali bertempur dengan orang, engkau tentu segera mengerti akan jurus permainan lawanmu. Pada hal gerakan tubuh dari budak kecil yang hendak engkau tahan itu, adalah ajaran dari musuh bebuyutanmu, wanita hina Ban Hong Liong-li. "Tutup mulutmu !" seketika Gin Liong membentak marah dan terus secepat kilat menerjang Brewok terbang Li Tek-gui. Pada saat Gin Liong menyerbu Li Tek-gui, si nenek butapun meraung dan menyapu tubuh pemuda itu dengan tongkatnya. Gin Liong belum sempat berdiri tegak. Terpaksa ia berlincahan menghindar dan berputar tubuh, setelah menghindari tongkat sinenek buta, ia lanjutkan serangannya kepada Li Tek-gui. Tongkatnya menghantam angin, si nenek buta itu tertegun kaget, beberapa sosok bayangan, berhamburan keluar dari tempat persembunyiannya, Mereka berteriak kaget juga. Melihat pemuda itu dapat menghindari tongkat nenek buta dan terus menyerbu kepadanya, Li Tek-gui gugup. Pada saat loncat menerjang itu. Gin Liong segera mengangkat tinjunya, menghantam kearah Li Tek-gui hendak menghindar Tetapi pada saat itu juga, terdengarlah kesiur angin mendesing kearah muka Gin Liong. Gin Liong mendengus geram, Selekas mengisar langkah kcsamping ia terus menghantam tangan kanan Li Tek-gui dan tahu2 jarinya pun bergerak untuk menjepit senjata rahasia yang hendak menabur kemukanya itu. Ah, ternyata senjata rahasia itu sebatang Liu-yap-hui-to atau golok terbang setipis daun Liu. Dan golok tipis itu dilumuri pula dengan racun. Cepat ia mengangkat muka memandang ke arah tempat gelap yang menjadi tempat bersembunyi orang yang bicara tadi, Tampak sesosok tubuh orang sedang
membungkuk ke tanah. Gin Liong kerutkan dahi, ia duga tentu orang itu yang melepas senjata rahasia beracun kepadanya. Ada ubi ada tales. Ada budi harus dibalas. Setelah mengerahkan tenaga dalam, segera pemuda itu taburkan Liu-yap hui-to kembali kepada pemiliknya. Pada lain saat terdengarlah jeritan ngeri dari tempat persembunyian gelap itu. Nadanya sama dengan suara orang yang bicara tadi, Gin Liong terkesiap. Hampir ia tak percaya bahwa golok Liu-yap-hui-to yang setipis itu, dapat ia lontarkan dengan kekuatan yang sedemikian dahsyatnya. Sosok2 bayangan hitam yang bersembunyi ditempat gelap, hening lelap tiada suaranya, rupanya mereka kesima menyaksikan kepandaian Gin Liong. Tiba2 Li Tek-gui melangkah maju dan dengan menggembor keras ia terus menghantam Gin Liong yang masih termangu-mangu itu. Serangan itu dilakukan tak terduga-duga dan jaraknya amat dekat. Pada saat Gin Liong menyadari bahaya, ternyata pukulan sudah tiba dimuka dadanya. Dalam gugup, pemuda itu terus buang tubuh melayang mundur sampai tiga tombak dan berada dimuka segunduk runtuhan tembok. Baru kakinya berdiri tegak, dari sudut tembok itu muncul seseorang dan segera menghantam tengkuk anak muda itu. Gin Liong marah sekali, masakan dia selalu diserang secara menggelap, seketika hawa pembunuhan segera tampil pada dahinya. Dengan menggembor keras, ia berputar-putar deras dan ayunkan tangan menghantam. Orang itu menjerit dan muntah darah, pukulan Gin Liong tepat mendarat pada punggung orang itu sehingga dia rubuh dan berguling-guling sampai dua tombak jauhnya. Setelah muntah darah lagi, dia menggelepar-gelepar meregang jiwa. Pada saat orang itu terguling-guling, Brewok-terbang Li Tek-gui pun sudah loncat kemuka Gin Liong, Dengan diiringgi gemboran keras, ia hantamkanh kedua tangannya, Anginnya dahsyat sekali. Karena sudah terlanjur membunuh orang, kesadaran Gin Liong pun sudah hilang, Dengan menggeram marah, diapun songsongkan kedua tangannya yang telah disaluri tenaga penuh.
Darrr . . . . Terdengar letupan keras, Puing2 tembok beterbangan keempat penjuru, salju pun berhamburan ke udara. Sekeliling tempat gelap, sosok2 bayangan hitam bergerak-gerak mundur dengan mengeluarkan teriakan kejut. Bahkan pengemis kurus, paderi gemuk yang selama itu tetap duduk dibawah pohon di sudut tembok juga terkejut dan mundur sampai tiga tombak. Tubuh Li Tek-gui yang tinggi besar, terbang melayang kearah nenek buta yang berada lima tombak jauhnya. Kembali Gin Liong tertegun. Seketika ia teringat akan peristiwa di gua Kiu-kiokkiong dimana dengan sekali dorongkan kedua tangannya ia berhasil melemparkan Ok-kwi-tho Go Ceng paderi yang jahat itu kedalam jurang. Demikian pula pada saat itu, ia memandang hampir tak percaya kepada tubuh Li Tek-gui yang terlempar karena pukulannya tadi. Adakah sekarang ia memiliki tenaga yang luar biasa saktinya? Tampak nenek buta deliki mata dan wajahnya berobah membesi. "Kawanan tikus, engkau hendak mencelakai aku lagi!" bentaknya bengis, seraya ayunkan tongkatnya ke tubuh Li Tek-gui. "Bluk..." Seketika menjeritlah Li Tek-gui ngeri sekali, Tubuhnya yang besar itupun terbanting sekeras-kerasnya ketanah. Mendengar jeritan ngeri dari Li Tek-gui itu, nenek buta segera perdengarkan suara lengking tawa yang aneh. Menusuk telinga dan menyeramkan perasaan. Ketika memandang ke arah pohon, Gin Liong memperhatikan bahwa pengemis kurus, paderi gemuk dan sosok2 bayangan yang bersembunyi ditempat gelap itu menahan napas dan memandang nenek buta. Mereka terkejut dan ngeri, jelas mereka mendapat kesan bahwa nenek buta itu seorang nenek yang sakti tetapi amat ganas. Berhenti tertawa, nenek buta itu menengadahkan mukanya yang buruk dan balikkan matanya yang putih lalu mengekeh: "Heh, heh, Brewok-terbang, akhirnya dapat juga kucabut jiwamu !"
Gin Liong hanya memandang tingkah laku nenek buta itu dengan kerutkan alis, Tiba2 terdengar ayam hutan berkokok sahut menyahut Gin Liong gelagapan. Dia menyadari kalau sudah terlalu lama tertunda ditempat itu. Dia harus lekas2 pergi. Sekali enjot tubuh, Gin Liong pun terus lari sekencang angin menuju keluar hutan, Tetapi nenek buta itu tiba2 melengking geram dan bagaikan segulung asap, iapun segera melayang menghadang jalan Gin Liong. "Siapa engkau !" bentaknya marah. Melihat nenek buta itu berkali-kali menghadang jalan, Gin Liong pun balas membentak keras: "Bukan urusanmu !" Nenek buta itu balikkan matanya yang putih lalu menggembor: "Ho, ternyata engkau tak mau mengambil kaca itu, jangan harap engkau dapat hidup lagi!" Gin Liong kerutkan alis, Hawa pembunuhan meluap dan berhamburan tawa geram: "Jangan lagi hanya seorang nenek buta seperti engkau. sekalipun sampai sepuluh nenek buta lagi, tak mungkin mampu menghalangi aku !" "Budak kecil bermulut besar Jika tak kuberimu sedikit hajaran engkau tentu belum tahu rasa." seru nenek buta seraya memutar tongkat kepala burung hong bagaikan hujan mencurah kepinggang Gin Liong. Wut!, tiba2 Gin Liong tertawa keras dan melambung beberapa tombak ke udara, Begitu di udara, ia segera mencabut pedang pusaka Tanduk Naga, seketika memancarlah sinar merah yang gilang gemilang menyilaukan mata, Tanah berkabut itu seluas sepuluhan tombak berubah kemerah-merahan warnanya. Tempat2 gelap segera terang sehingga orang2 yang bersembunyi itu memekik kaget. Diantar dengan sebuah gemboran keras, Gin Liong memutar pedangnya dalam jurus Liong li-hui-hoa atau Puteri-naga-menebar-bunga. Begitu percikan sinar merah segera berhamburan menumpah ke kepala nenek buta. Nenek buta itu tak gentar bahkan menghambur suara tawa yang aneh, Rambutnya yang putih mengkilap meregang tegak, matanya yang putih pun membalik. Tongkat kepala burung hong segera pecah berhamburan menjadi beratus percik sinar, menyongsong curahan sinar pedang Gin Liong.
Tring, trinp, tring . . . . Terdengar dering gemerincing suara keras saling beradu beberapa kali, disusul dengan percik bunga api dan kutungan besi yang berteberan kemana-mana. Kejut nenek buta itu bukan alang kepalang sehingga wajahnya seperti tak berdarah. Dengan memekik aneh ia menyurut mundur sampai tiga tombak. Gin Liong melayang turun ke tanah dan tegak berdiri lintangkan pedang, Dia tak mau mengejar. Nenek buta itupun berdiri tegak, sepasang kelopak matanya yang putih membeliak. Tangannya menahan tangkai tongkatnya. Kepala burung-burungan hong sebesar kepalan tangan telah lenyap. Nenek buta itu gemetar marah sekali. "Budak hina. dengan mengandalkan pedang pusaka wanita hina itu engkau berani memapas senjataku." Mendengar gemboran nenek itu, Gin Liong marah sekali: "Tutup muIutmu,!" bentaknya, "sekali lagi engkau berani menyebut "wanita hina", aku tak dapat mengampuni jiwamu lagi." Nenek buta itu menyeringai seram lalu melengking geram. "Budak hina yang sombong, aku akan mengadu jiwa dengan engkau !" Kata2 itu ditutup dengan putaran tongkat yang luar biasa cepat dan dahsyatnya menyerang Gin Liong. Gin Liong tak gentar, ia mainkan pedang Tanduk Naga untuk menyongsong. Dan terjadilah pertempuran yang amat seru antara Gin Liong dengan nenek buta itu. Gerakan kedua orang itu bagai sepasang ular yang bergeliatan menyusup kedalam air, senjata mereka menderu-deru bagai petir memecah angkasa. Angin sambaran senjata mereka berhamburan dalam lingkgungan seluas sepuluh tombak. Sinar pedang Tanduk Naga memancarkan warna merah yang menyilaukan mata dan hawa dingin yang menusuk tulang. Sedang tongkatpun menderu-deru sedahsyat gunung rubuh. Walaupun gerak permainan ilmu pedang Gin Liong itu sangat aneh tetapi pemuda itu tak mau dituduh merebut kemenangan karena mengandalkan pedang pusaka, ia hendak mengalahkan lawan dengan ilmu permainan, bukan dengan pedangnya. Tetapi karena itu, gerakannya terpancang dan sering dikuasai lawan.
Nenek buta itu ternyata seorang tokoh yang sakti dan banyak pengalaman. Tongkat kepala burung hong, jarang mendapat tanding. Makin lama, malah makin perkasa. Dan karena sudah bertekad hendak mengadu jiwa, maka permainan tongkat nenek buta itu luar biasa dahsyatnya. Saat itu malam makin larut. Angin makin dingin dan kabut pun mulai bertebaran. Sayup2 ayam hutan berkokok sahut menyahut. Gin Liong mulai gelisah, Kalau ia terus menerus dilibat dalam pertempuran oleh nenek buta itu, tentu ia tak dapat cepat2 m