SAREKAT ISLAM DAN GERAKAN KIRI DI SEMARANG 1917-1920 Tsabit Azinar Ahmad Jurusan Sejarah, Universitas Negeri Semarang Abstrak. Perkembangan komunisme yang sangat pesat pada tahun 1950-1960-an tidak dapat dilepaskan dari awal mula kemunculan dan inkorporasinya dalam organisasi massa pada periode Pergerakan Nasional. Perkembangan komunisme memiliki hubungan erat dengan organisasi Sarekat Islam yang berada di Semarang. Sarekat Islam dapat dikatakan berperan sebagai embrio penyebaran komunisme di kalangan masyarakat luas. Gagasan komunisme ternyata memiliki pendukung dari sebagian kalangan Sarekat Islam. Namun demikian, dalam perkembangannya muncul perdebatan. Perdebatan ini bahkan berujung pada pecahnya Sarekat Islam. Hasil dari perpecahan Sarekat Islam inilah yang kelak menjadi embrio dari partai komunis di Indonesia. Kata-kata kunci: Sarekat Islam, komunisme, Semaoen.
Abstract. The radical spread of Communism around 1950-1960’s could not be separated from its emergence and its incorporation in mass organization during the period of national movement. The communism development has a close relationship with Sarekat Islam organization located in Semarang. Sarekat Islam could be realized as a centre of shaping Indonesian communism. Some of them believe in communism as a way leading them to the goal of life. However, the conflict of arguments accompanies its journey. This conflict leads them to be separated into two partial organizations and one of both as known as the main point of Indonesia communism party. Keywords: Sarekat Islam, Communism, Semaoen
Memasuki abad XX, kolonialisme di Hindia Belanda memasuki masa kulminasi. Pemerintah kolonial telah berkembang dalam tahap yang lebih mapan. Alih-alih menjadi upaya untuk membalas budi pada pribumi, kebijakan Politik Etis justru makin menguatkan posisi pemerintah kolonial untuk terus melanjutkan kekuasaannya atas Hindia Belanda. Di satu sisi, perkembangan kontrakolonialisme juga mamasuki tahap baru, yakni dengan perubahan corak pergerakan rakyat. Perubahan corak ini ditandai dengan adanya upaya tersistematisasi dalam berbagai lembaga pergerakan yang memiliki tujuan dan langkah-langkah strategis yang lebih jelas dibanding masa-masa sebelumnya. Munculnyagerakan-gerakan yang lebih terstruktur dan terorganisasi menjadi sebuah
model pergerakan baru yang sangat berpengaruh terhadap dinamika sejarah pada paruh pertama abad XX. Berbagai organisasi dengan beragam latar belakang muncul. Tidak terkecuali organisasi yang membawa predikat Islam. Salah satu organisasi berpredikat Islam yang berkembang dan dengan cepat menarik perhatian rakyat adalah Sarekat Islam (SI). Pada tahun 1914, anggota SI berjumlah 444.251. Pada bulan Oktober 1918 Kongres Ketiga Sarekat Islam dihadiri oleh 450.000 anggotanya. Pada tahun 1919, SI menyatakan bahwa mempunyai 2 juta anggota(Suhartono, 1994; Kahin, 1995:94; Riklefs, 1991:253). Sarekat Islam bermula dari Sarekat Dagang Islam yang didirikan pada tahun 1911 oleh H. Samanhudi di Solo, yang merupakan cabang dari SDI bentukan R.M. Tirto 225
226
SEJARAH DAN BUDAYA, Tahun Kedelapan, Nomor 2, Desember 2014
Adisuryo di Batavia. SDI memiliki semboyan “kebebasan ekonomi, rakyat tujuan-nya, Islam jiwanya” (Utomo, 1995: 62-67). Atas nasehat Tjokroaminoto, disarankan agar gerakan Sarekat Dagang Islam tidak saja pada golongan pedagang, akan tetapi lebih diperluas lagi yakni meliputi seluruh kegiatan dalam masyarakat dan seluruh golongan dalam masyarakat.Dalam anggaran dasar yang dibuat dengan Akta Notaris pada tanggal 10 September 1912 kata “dagang” dihapuskan, sehingga nama Sarekat Dagang Islam menjadi Sarekat Islam. Perubahan nama Sarekat Dagang Islam menjadi Sarekat Islam membawa konsekuensi adanya perluasan gerak dari Sarekat Islam (Muryanti, 2006:3). Sarekat Islam disebut sebagai suatu gerakan “nasionalistis – demokratis -religiuseconomis”. Gerakan Sarekat Islam berlandaskan nasionalisme ekonomi, sebagaimana yang disampaikan oleh salah satu tokoh SI R. Umar Said Cokroaminoto. Dalam pidatonya menyatakan bahwa SI tidak bersifat politik, tujuannya adalah menghidupkan jiwa dagang bangsa Indonesia, memperkuat ekonominya agar dapat menghadapi bangsa Asing dengan mendirikan perkumpulan koperasi (Pringgodigdo, 1964). Namun dalam perkembangannya, gerakan SI melebar juga ke arah politis, seperti yang terjadi pada kurun kedua dari SI. Sebagaimana diketahui, corak gerakan dan perkembangan SI terbagi menjadi empat tahap. Tahap pertama (1911-1916) upaya konsolodasi dan penguatan kelembagaan. Tahap kedua (1916-1921) adalah tahap perkembangan dan perluasan sayap gerak, tetapi mulai dimasuki unsur komunis. Tahap ketiga (1921-1927) adalah perpecahan dalam tubuh SI. Tahap keempat (1927-1942) perubahan menjadi partai (Partai Sarekat Islam dan kemudian menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia) dan tahap kemunduran,
karena larangan oleh Jepang (Utomo, 1995: 62-64). Sarekat Islam di Semarang Perkembangan SI yang amat pesat memunculkan cabang-cabang di berbagai daerah. Tidak terkecuali di Semarang. Sarekat Islam Semarang yang didirikan oleh Raden Saleh Muhammad Joesoep, seorang Klerk di salah satu perusahaan trem (kereta api) Semarang, Joana Stoomtram Mij, dan Raden Soedjono, seorang sekretaris di kantor kabupaten kota Semarang pada tahun 1913. Sarekat Islam yang berdiri di Semarang sempat menyulut perkelahian antara orang Cina dengan anggota Sarekat Islam Semarang. Perkelahian tersebut terjadi di kampung Brondongan pada tanggal 24 Maret 1913, yang menjadi penyebab perkelahian adalah kebencian seorang Cina penjual tahu dan nasi, bernama Liem Mo Sing terhadap orang-orang Sarekat Islam. Semula warung Liem Mo Sing tergolong laku, buruh yang bekerja di perusahaan di dekat warungnya hampir sebagian besar menjadi langganan. Setelah di kampung Brondongan berdiri Sarekat Islam dan buruh perusahaan tersebut menjadi anggota maka berdiri toko dan koperasi. Sebagai akibat warung Liem Mo Sing tidak laku. Oleh karena itu Liem Mo Sing menjadi benci terhadap Sarekat Islam dan berusaha mengganggu orang-orang yang sedang salat, memaki-maki orang-orang Sarekat Islam dan sebagainya. Pada hari Kamis malam tanggal 27 Maret 1913, seorang bernama Rus setelah salat Isa” melihat Liem sedang bersembunyi di bawah surau. Karena diketahui Liem melarikan diri, kemudian dikejar oleh orang-orang yang sedang di surau. Akhirnya Liem tertangkap dan dipukuli, sedangkan orang-orang Cina yang berusaha melarikan diri karena takut ikut dipukuli penduduk karena dikira akan membantu Liem.
Jumlah anggota Sarekat Islam Semarang meningkat secara pesat, yaitu pada bulan April 1913 jumlah anggota 12.216 orang dan pada akhir tahun 1915 jumlah anggota manjadi 21.832 orang. Jadi selama 2 tahun ada peningkatan jumlah anggota sebanyak 9.616 orang (Yuliati, 2000:32). Sejak Sarekat Islam Semarang mendapat pengakuan sebagai badan hukum, para pengurus giat melakukan propaganda antara lain di Jomblang, Lemah Gempal, kampung Melayu, kampung Batik dan Genuk. SI mendapatkan pengakuan oleh pemerintah di bawah Gubernur Jenderal Idenburg pada 25 Juni 1915 (Yuliati, 2000:3). Dalam propaganda tersebut para pengurus menerangkan bahwa Sarekat Islam Semarang bergerak sesuai dengan Anggaran Dasar yang telah disahkan. Walaupun saat itu Sarekat Islam Semarang sudah mempunyai sejumlah besar anggota, namun belum menampakkan kegiatan-kegiatan politik yang dianggap berarti oleh pemerintah kolonial.
pemikiran kiri pada SI Semarang tidak lepas dari peran Semaoen sebagai tokoh sentral. Semaoen lahir pada tahun 1899 di Mojokerto sebagai anak seorang buruh kereta api. Semaoen bukanlah keturunan priyayi, namun karena dibesarkan pada zaman etis, ia turut mengenyam pendidikan dasar gaya barat. Lulus dari Sekolah Bumiputera Angka Satu, ia bergabung dengan Staatspoor (SS) pada tahun 1912 dalam usia 13 tahun. Tahun berikutnya, ia bergabung dengan Sarekat Islam cabang Surabaya. Berkat kecakapannya Semaoen langsung tampil ke depan sebagai sekretaris Sarekat Islam Surabaya pada tahun 1914. Pada saat itulah ia berjumpa dengan Sneevliet dan terkesan akan “sikap manusiawi yang tulus” yang sama sekali terbebas dari “mentalitas kolonial” yang dimilikinya. Melalui Sneevlietlah, Semaoen belajar menulis dan berbicara dengan bahasa Belanda. Pada tanggal 1 Juni 1916, ia pindah ke Semarang untuk menjadi propagandis VSTP (Vereeniging van Spoor en Tramweg Personeel) dan menjadi editor Si Tetap yaitu surat kabar yang berbahas Melayu. Satu tahun setelahnya, Semaoen kembali di percaya untuk menduduki jabatan sebagai propagandis dan komisaris VSTP Semarang pada usia 18 tahun (Priyono, 1990:2). Pengaruh paham sosialis revolusioner yang sangat berpengaruh terhadap pemikiran Semaoen dan mengakibatkan Sarekat Islam Semarang bersifat radikal, dibawa oleh H.J.F.M. Sneevliet, seorang sosialis Belanda yang datang ke Indonesia pada tahun 1913 (Riklefs, 1991:260-261; Gie, 1999:19). Kemudian pada tahun 1914 ia bersama J.A. Brandsteder, H.W. Dekker, dan P. Bergsma mendirikan ISDV (Indische Sociaal Democratische Vereeniging) di Surabaya. Di samping bergelut dalam ISDV, Sneevliet menjadi editor De Volharding surat kabar berbahasa Belanda. Kemudian ia hijrah di Semarang yang mengorganisasi VSTP. Semula VSTP pegawainya adalah orang-
Semaoen dan Perubahan Paradigma Sarekat Islam Pada tanggal 6 Mei 1917 kepemimpinan SI di Semarang beralih dari M. Joesof ke Semaoen. Perubahan dalam kepemimpinan SI Semarang mencerminkan adanya perubahan pendukung, yakni para pendukung SI banyak yang berasal dari kaum buruh dan rakyat kecil (Gie, 1999:6). Seperti diketahui bahwa di Semarang terjadi gelombang industrialisasi yang pesat, sehingga memunculkan banyak buruh yang menjadi pekerja di berbagai perusahaan. Buruh-buruh inilah yang menjadi pendukung sekaligus subjek pergerakan SI di bawah pimpinan Semaoen. Naiknya Semaoen menjadi pimpinan SI di Semarang telah mengubah paradigma pergerakan SI. Semula SI fokus pada pergerakan kaum menengah, kemudian berkembang pada gerakan untuk rakyat kecil, sehingga paradigma perjuangan lebih bersifat radikal. Dengan demikian, perkembangan 227
228
SEJARAH DAN BUDAYA, Tahun Kedelapan, Nomor 2, Desember 2014
orang Eropa, tetapi Sneevliet menyarankan agar juga mempekerjakan pegawai bumi putera dengan pertimbangan bahwa pada saat itu jumlah pegawai bumiputera sudah banyak yang terpelajar. Kemudian Sneevliet berhasil mengarahkan VSTP untuk bergerak secara radikal guna memperbaiki nasib pegawaipegawai bumi putera yang tidak cakap dan miskin. Atas dasar latar belakang itulah Semaoen tertarik untuk menjadi aktivis VSTP dan ISDV (Yuliati, 2000:7-8). Perkembangan Kiri dalam Sarekat Islam Perkembangan komunisme sebagai ideologi didasarkan pada pemikiran bahwa masyarakat telah terbelah dan memiliki kesenjangan yang dalam. Hal ini disebutkan oleh Marx dan Engels dalam The Communist Manifesto, bahwa terdapat dua kelas yang menunjukkan pertentangan, borjuis dan proletar (Marx & Engels, 1967). Lebih lanjut lagi dijelaskan bahwa komunisme bertujuan pembentukan proletariat menjadi suatu kelas, penggulingan kekuasaan borjuasi, perebutan kekuasaan politik oleh proletariat (Marx & Engels, 1967:81). Hal ini dapat dilakukan jika terjadi penghapusan milik perseorangan melalui revolusi. Gagasan-gagasan komunisme begitu konkret dan dianggap sesuai dengan semangat pergerakan nasional. Dengan demikian, komunisme mampu berkembang di kalangan masyarakat. Visi antikolonial yang diusung oleh komunis telah menarik perhatian aktivis pergerakan, terutama Semaoen dari Sarekat Islam Semarang. Soe Hok Gie mencatat beberapa peristiwa yang menyebabkan gerakan SI Semarang makin radikal. Pertama, adanya permasalahan kebijakan agraria yang menyebabkan kemiskinan di kalangan rakyat. Kedua, menjangkitnya wabah pes di Semarang akibat lingkungan yang buruk menyebabkan adanya kebijakan “sapu bersih” bagi permukiman warga yang diduga menjadi tempat hidup tikus. Pembersihan itu
dilakukan dengan cara pembakaran, sehingga menyebabkan rakyat tidak memiliki tempat tinggal. Ketiga, adanya wacana pembentukan Indie Weerbaar (Pertahanan Hindia) yang dibahas dalam konstituante menyebabkan munculnya reaksi keras bagi kalangan kiri untuk menentangnya, termasuk Semaoen dan SI Semarang. Keempat, Persdelick Sneevliet yang telah mempertajam pengertian para kader secara teoretis tentang masalah penjajahan (Gie, 1999:15). Kondisi-kondisi tersebut menjadi katalis yang mempengaruhi arah gerak SI Semarang ke arah sosialis revolusioner. Dalam perkembangannya SI Semarang memiliki media gerak bernama harian Sinar Hindia yang kemudian berubah nama menjadi Sinar Djawa. Harian ini menjadi senjata bagi SI Semarang untuk mengemukakan gagasan dan memperkenalkan pemikiran berhaluan kiri pada masyarakat luas. Dalam harian itu Semaoen bertindak sebagai pemimpin redaksi sekaligus redaktur politik (Gie, 1999:18-32). Gerakan kiri di SI semakin menguat. Pada kongres kedua CSI pada Oktober 1917, separuh peserta telah sepakat dengan gagasan Semaoen untuk menolak Indie Weerbaar. Setelah itu pada akhir 1917, SI Semarang mulai melancarkan gerakannya yang berhaluan kiri, yakni dengan melancarkan gerakan pemogokan, perjuangan terhadap tuan-tuan tanah yang memeras penduduk desa di tanah pertikulir, serta aktif menentang pemerintah/kapitalis (Gie, 1999:28). Dalam perkembangannya SI berupaya untuk mengorganisasikan buruhburuh di kota. Pada Kongres Nasional Central Sarekat Islam ke-3 yang diselenggarakan di Surabaya pada tanggal 29 September sampai 6 Oktober 1918, peserta kongres mendukung Semaoen dan sikap sosialismenya. Mereka menyepakati keputusan kongres menentang pemerintah dalam tindakannya melindungi kapitalisme dan Sarekat Islam akan mengorganisasi kaum buruh. Mereka memilih
Semaoen menjadi komisaris Central Sarekat Islam Jawa Tengah. Sejak itu, Semaoen giat mengorganisasi buruh-buruh yang berlimpah di Semarang untuk membantu perbaikan nasib lewat pemogokan. Selain mengadakan aksi-aksi praktis, Sarekat Islam Semarang juga membangun kesadaran politik rakyat lewat surat kabarnya Sinar Djawa dan mengadakan beberapa kongres umum. Pada tanggal 10 Oktober 1918, Sarekat Islam Semarang nmengadakan Kongres yang dihadiri 3.000 orang. Mereka menunutut Gubernur Jendral untuk menurunkan harga beras dan mengurangi areal perkebunan industri (tebu, tembakau, teh dan kopi). Tapi pemerintah kolonial Beklanda tidak memberikan tanggapan (Sulistyono, 2004:24-37; Gie, 1999:41-44). Selain itu, hasil sidang dalam kongres CSI ketiga juga menghasilkan beberapa putusan. Pertama, penolakan atas Indie Weerbaar. Kedua, perdamaian dengan orang Tionghoa. Ketiga, pengangkatan Sneevliet sebagai wakil Sarekat Islam di Nederland (Gie, 1999). Hasil ini merupakan perjuagan dari SI kelompok Semaoen yang berhasil disepakati dalam kongres CSI ketiga. Sejak saat itu, pergerakan SI semakin radikal dan antipemerintah. Pergerakan SI Semarang yang makin radikal menyebabkan reaksi yang keras dari pihak pemerintah kolonial. Hal ini tampak dengan penangkapan terhadap tokoh-tokoh sosialis revolusioner (Gie, 1999:44). Namun penangkapan beberapa tokoh SI Semarang justru menjadikan gerakan SI makin militan. Hal ini terlihat dengan dibentuknya beberapa perkumpulan, seperti Sarekat Islam Seksi Perempuan dan Sarekat Kere, yang beranggotakan orang-orang yang miskin dan tidak memiliki kekayaan, serta adanya Indiers Journalist Bond. Pada tanggal 26 Oktober-2 November 1919 di Surabaya diadakan Kongres Nasional Central Sarekat Islam ke-4 yang membahas tentang perlunya mendirikan
organisasi sentral kaum buruh. Sebagai realisasinya, tokoh-tokoh Sarekat Islam Semarang mengambil inisiatif menyebarkan undangan kepada seluruh organisasi buruh untuk mengadakan pertemuan di Yogyakarta pada akhir Desember 1919 (Gie, 1999:6365). Hasil dari kongres CSI ini memunculkan beberapa serikat pekerja, seperti Sarekat Sekerja Pegadaian, Sarekat Sekerja Pabrik Gula, dan Sarekat Sekerja Kereta Api. Ketiganya tergabung dalam Revolusioner Sosialistische Vakcentrale, yang kemudian namanya berganti menjadi Persatuan Pergerakan Kaoem Boereoh (PPKB). Akan tetapi, dalam perkembangannya, ada dua kekuatan dalam vaksentral tersebut, yakni kekuatan golongan sosialis di bawah pimpinan Semaoen dan Bergsma yang berkedudukan di semarang, serta golongan agama dipimpin oleh Agus Salim dan Suryopranoto yang berkedudukan di Yogyakarta (Muljana, 2008:126-130). Akibatnya meletuslah pemogokan pada bulan Januari yang diikuti ribuan buruh dari perusahaan-perusahaan percetakan di seluruh Semarang, antara lain: Van Dorp, De Lokomoteif, Misset, Warna-Warta dan Bisschop. Mereka menunutut kenaikan gaji 50%, cuti 14 hari tiap tahunnya, tunjangan hari raya, dan upah 2 kali lipat pada hari Minggu dan hari libur. Namun perusahaanperusahaan menolak tuntutan tersebut. Akhirnya pemogokan bertambah besar dan berlangsung berhari-hari. Menyikapi hal itu, akhirnya satu persatu perusahaan menerima tuntutan dengan keputusan menaikkan gaji 20%, kenaikan uang makan 10 sen per hari dan honor lembur 2 kali lipat pada hari Minggu dan hari libur (Sulistyono, 2004:30). Eratnya hubungan komunis dangan Islam mencapai puncaknya pada tahun 1919 ketika Semaoen menyatukan pergerakan ISDV, VSTP dan Sarekat Islam. Kesatuan visi pergerakan antara ketiga organisasi besar ini melahirkan Persatuan Perkumpulan Kaum 229
230
SEJARAH DAN BUDAYA, Tahun Kedelapan, Nomor 2, Desember 2014
Buruh yang pertama di Indonesia pada bulan Desember 1919 (Sulistyono, 2004). Semaoen mendirikan federasi buruh yang merupakan gabungan dari 20 serikat pekerja yang di bawah naungan Sarekat Islam dengan 72.000 orang buruh. Akan tetapi, Semaoen mendapat serangan dari “Si Raja Mogok” yang juga pemimpin serikat sekerja dari Central Sarekat Islam yaitu Sorjopranoto, yang mempersoalkan kepemimpinan Semaoen sehingga federasi tersebut bubar. Pertikaian antara Islam dan Sosialis komunis semakin tidak terbendung ketika bulan November 1920 sebuah surat kabar terbitan ISDV yang berbahasa Belanda “Het Vrije Woord” (Kata yang bebas) menerbitkan tesis-tesis Lenin tentang masalah-masalah nasional dan penjajah yang meliputi kecaman-kecaman terhadap PanIslamisme dan Pan-Asianisme. Berbagai pihak telah berupaya untuk mendamaikan kedua belah pihak terutama Tjokroaminoto sebagai ketua Central Sarekat Islam dan Tan Malaka dari golongan radikal. Mereka berpendapatbahwa untuk melawan kolonialis Belanda diperlukan persatuan yang kuat diantara rakyat Indonesia, namun hal ini siasia (Priyono, 1990:4). Perserikatan Komunis dan Pecahnya Sarekat Islam Pada awal 1920, ISDV menerima surat dari Haring (nama samara Sneevliet) yang berada di Shanghai yang menyarankan agar bergabung menjadi anggota Komintern. Atas dasar Kongres Istimewa yang dihadiri oleh 40 orang, akhirnya diputuskan bahwa ISDV bergabung dalam ISDV dan mengganti namanya pada 23 Mei 1920 menjadi Perserikatan Komunis Hindia. Hal ini menjadi satu faktor yang menyulut perpecahan dalam tubuh SI, ketika sebagian anggota dari SI merangkap menjadi anggota Perserikatan Komunis Hindia. Perpecahan dalam tubuh Sarekat Islam mencapai puncaknya pada saat diadakan
kongres luar Biasa Central Sarekat Islam di Surabaya pada tanggal 6-10 Oktober 1921. Semaoen habis-habisan berdebat dengan Agus Salim, tapi tidak dapat mempertahankan posisi kader-kader PKI di Sarekat Islam. Karena debat sepenuhnya dikuasai Agus Salim sebab Semaoen dan Tan Malaka masing-masing hanya diberi kesempatan berbicara selama 5 menit. Selain itu secara tidak langsung Semaoen melontarkan ide-ide pluralisme gerakan Sarekat Islam. Hal ini sama artinya dengan mengusulkan perubahan asas Sarekat Islam dari “Islam” menjadi “Komunis” yang lebih plural. Lontaran ini dimanfaatkan oleh Agus Salim untuk membangkitkan sentimen agama para peserta kongres dan memberlakukan disiplin partai. Akhirnya Semaoen dan anggota Sarekat Islam yang merangkap menjadi anggota PKI secara resmi dikeluarkan dari Sarekat Islam (Sulistyono, 2004:32-33). Akibat peristiwa tersebut Sarekat Islam pecah menjadi 2 aliran, yaitu: (1) Sarekat Islam Merah (SI Merah) yang dipimpin Semaoen yang berasaskan sosial-komunis dan berpusat di Semarang dan (2) Sarekat Islam Putih (SI Putih) yang dipimpin Agus Salim yang berasaskan kebangsaan dan keagamaan dan berpusat di Yogyakarta. Setelah itu, perkembangan SI Merah terus berkembang. Hal ini didukung pula dengan berbagai pandangan tokoh SI yang berorientasi pada komunisme. Marco Martodikromo pernah menyatakan bahwa ada kesamaan antara tujuan Islam dengan sosialisme, yakni keselamatan (kesejahteraan). Hal ini diperkuat oleh pandangan Haji Misbach yang menyatakan bahwa ada keterkaitan antara cita-cita Marxisme dan ajaran Al-Quran (Hiqmah, 2008:30-38). Kemudian Tan Malaka juga pernah berpidato pada Kongres IV Komintern dengan pidatonya berjudul Komunisme dan PanIslamisme pada tahun 1922 (Berbagai dokumen lengkap tentang marxisme Indonesia tersedia dalam laman daring
http://www.marxists.org/indonesia/index.htm ). Persamaan visi perjuangan pada konteks saat itu menjadi alasan yang menjadikan Islam yang direpresentasikan dengan SI menjadi tempat yang nyaman dan potensial untuk memperkenalkan konsep sosialis dan komunisme di Indonesia.
Kartodirdjo, Sartono. 1975. Sarekat Islam Lokal. Jakarta: ANRI. Marx, Karl dan F. Engels. 1967. The Communist Manifesto. New York: Washington Square Press. Muljana, Slamet. 2008. Kesadaran Nasional dari Koonialisme sampai Kemerdekaan. Jilid I. Yogyakarta: LKiS Muryanti, Endang 2006. “Sarekat Islam Semarang Tahun 1913-1920”. Skripsi. Jurusan Sejarah FIS Universitas Negeri Semarang. Pringgodigdo, A.K. 1964. Sedjarah Pergerakan Nasional Indonesia. Jakarta: Pustaka Rakyat. Priyono, Didik Hadi. 1990. “Komunisme dalam Sarekat Islam Cabang Semarang”. Skripsi. Semarang: Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Diponegoro. Ricklefs, M.C. 1991. Sejarah Indonesia Modern. terjemahan Dharmono Hardjowijono. Yogyakarta: UGM Press Soe Hok Gie. 1999. Di Bawah Lentera Merah. Yogyakarta: Bentang. Suhartono. 1994. Sejarah Pergerakan Nasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sulistiyono, Arif Gunawan. 2004. “Fajar Merah di Ufuk Semarang”. Hayamwuruk. No. 2. Th. XIV. Hlm. 24-37. Utomo, Cahyo Budi. 1995. Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia. Semarang: IKIP Semarang Press. Yuliati, Dewi. 2000. Semaoen: Pers Bumiputera dan Radikalisasi Sarekat Islam Semarang. Semarang: Bendera.
Penutup Perkembangan SI di Semarang tidak pernah lepas dari gerakan kiri semenjak masuknya pengaruh sosialis revolusioner yang dibawa oleh Sneevliet melalui Semaoen. Pergerakan SI Semarang pada tahun 1917-1920 sangat bercorak sosialis, sampai akhirnya menyatakan diri bagian dari Perserikatan Komunis Hindia yang menjadi cikal bakal Partai Komunis Indonesia. Masuknya pengaruh kiri dalam SI Semarang memberikan bukti bahwa ada persamaanpersamaan visi yang dimiliki oleh Islam dan sosialis revoluioner/komunisme pada konteks saat itu. Hal ini menyebabkan komunisme berkembang menjadi ideologi yang meraup banyak simpati dari berbagai kalangan masyarakat, termasuk dari kalangan Islam melalui Sarekat Islam.
DAFTAR PUSTAKA Hiqmah, Nor. 2008. H.M. Misbach Kisah Haji Merah. Jakarta: Komunitas Bambu. Kahin, George Mc Turnan. 1995. Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik: Naisonalisme dan Revolusi di Indonesia. Jakarta & Surakarta: Sinar Harapan & Sebelas maret University Press
231