Bahasa dan Pola Keislaman Moderat: Kajian atas Kata Serapan/Ambilan Arab dalam Buku Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah Oleh: Prof. Dr. Sukron Kamil1 A. Latar Belakang Masalah Indonesia kini dilanda problem radikalisme Islam, baik secara pemikiran maupun gerakan. Radikalisme Islam dalam bentuk pemikiran bisa dilihat dari HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) sebagai salah satu elemen gerakan Islam kontemporer di Indonesia yang menjadi cabang dari Hizbut Tahrir Internasional. Alasannnya, karena bagi HTI, negara Indonesia adalah negara kafir, dan demokrasi adalah haram. HTI menolak NKRI sebagai sebuah sistem politik nation state secara radikal dan juga menolak demokrasi yang mulai diberlakukan kembali di Indonesia pasca Orde Baru. Ia memang berbeda dengan JI (Jamaah Islamiyyah) yang radikal secara tindakan. Jika menurut JI, karena Pemerintahan Indonesia kafir, maka boleh diperangi, maka menurut HTI, negara ini meski kafir tidak harus diperangi, tetapi didakwahi saja.2 Berkembangnya kaum fundamentalis Islam radikal secara tindakan (salafi jihadis) membuat Indonesia kini dilanda terorisme berjubah Islam. Terorisme kini, seperti korupsi, cenderung hilang satu tumbuh “seribu”. Terorisme berkedok agama saat ini seolah tak pernah mati. Pada periode awal Reformasi hingga tahun 2009, terorisme dilakukan oleh anggota JI yang didirikan oleh Abdullah Sungkar 1992. Mereka adalah para alumni Perang Afganistan tahun 1990-an seperti Imam Samudra dan Amrozi sebagai pelaku bom Bali I 2002, dan alumni kamp pelatihan militer Hudaibiyyah JI di Mindanau seperti Noordin M. Top dan Dr. Azhari, para pelaku terorisme pasca bom Bali II dan jumlah ledakan bom lainnya. Setelah kematian Noordin M. Top tahun 2009, ternyata terorisme makin berkembang. Jika para alumni Afganistan melahirkan kader JI yang lahir dari kamp Hudaibiyah, kini keduanya melahirkan kelompok Mujahidin Indonesia Timur yang berpusat di Poso dan Mujahidin Indonesia Barat yang bisa merampok bank lewat teknologi informasi. 3 Paling tidak, perkembangan itu bisa dilihat dari sisi jumlah kasusnya. Terorisme pasca tahun 2009 adalah rekor dalam sejarah terorisme di Indonesia, dilihat dari intensitasnya. Sepanjang tahun 2011, terdapat 10 kasus terorisme. Sedangkan di tahun 2012 terdapat 14 kasus, dan di tahun 2013 terdapat 12 kasus. Jumlah teroris yang tertangkap juga jauh lebih banyak ketimbang sebelumnya. Di tahun 2011, ada 84 orang yang tertangkap dengan tuduhan sebagai teroris. Di tahun 2012, ada 89 orang, dan di tahun 2013, ada 87 orang. Sumber lain, bahkan, menyebut untuk tahun 2013, jumlah teroris yang ditangkap mencapai 94 orang.4 Selain dalam bidang politik, pasca Orde Baru, radikalisme juga sering muncul dalam bidang sosial budaya. Sikap-sikap kekerasan terhadap kalangan yang berbeda, terutama minoritas agama kini sering muncul. Tindak kekarasan Islam Suni atas Islam Syiah seperti terlihat di Madura misalnya bisa menjadi contoh. Demikian juga terhadap kaum Ahmadiyah 1 2
Dekan dan Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Sukron Kamil, “Masjid, Konflik, Perdamaian, dan Radikalisme Islam: Studi Kasus Masjid Raya al-Muttaqin, Ternate, Maluku Utara”, dalam Ridwan al-Makassari dkk (Ed)., Masjid dan Pembangunan Perdamaian, Jakarta, CSRC, 2011, h. 248. 3 Lihat Ansyaad Mbai, Dinamika Baru Jejaring Teror di Indonesia, Jakarta: AS Production Indonesia, 2014 dan Agus Sura Bakti (Mayjen TNI), Daraurat Terorism: Kebijakan Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi, Jakarta: Daulat Press, 2003 4 Media Indonesia, Kamis, 2 Januari, 2014. Untuk daftar sebagian besar kasus terorisme 2010-2013, lihat Ansyaad Mbai, Dinamika Baru Jejaring Teror di Indonesia, Jakarta: AS Production Indonesia, 2014h. 66-73 dan lihat juga h. 21
yang jauh lebih sering dan juga minoroitas lain seperti terjadap kaum Kristiani. Fakta ini agaknya sudah sering diberitakan media.5 Bahkan, kalangan seperti FPIS (Front Pembela Islam Solo) pernah menggerebek orang-orang NU (Nahdhatul Ulama) yang sedang tahlilan, karena mereka dianggap sedang melakukan hal-hal bid’ah yang sesat dan dilarang Islam. Moderatisme Islam, dimana inti Islam menurut Sunni terletak pada kemaslahatan6 atau dalam bahasa harfiah Qur’an “rahmat bagi semesta” pun sering menjadi tidak tampak. Hal ini tejadi karena kekakuan dalam pola pikir keagamaan kaum fundamentalis politis semisal HTI, dan terutama fundamentalis jihadis seperti JI. Bahkan, kekakuan dalam pola pikir keagamaan juga terjadi di tingkat masyarakat Muslim akar rumput biasa. Mereka menekankan sisi luar keagamaan dan teks harfiah ayat atau hadis yang tidak ditafsirkan oleh ayat atau hadis lain. Bahkan acapkali pemahaman keagamaan mereka, terutama kaum fundamentalis di atas, keliru. Agama kemudian disalahtafsirkan yang berawal antara lin dari teks bahasa keagamaan. Dalam konteks kajian bahasa, kajian ekstrinsikalitas teks bahasa (hubungan bahasa dengan entitas luar bahasa) seperti judul tulisan ini juga penting. Alasannya tradisi kajian bahasa dan sastra terutama di Indonesia umumnya bersifat monodisipliner, baik atas bahasa dan sastra Indonesia maupun bahasa dan sastra asing seperti Arab. Berdasarkan pengalaman sebagai penguji proposal skripsi, tesis, dan disertasi dalam studi bahasa dan sastra dan juga laporan akhirnya, proposal yang diajukan atau laporan yang sudah jadi, mayoritasnya bersifat monodisipliner, meski kecenderungan itu kini sudah mulai berkurang. Bahkan, hal itu juga berlaku pada proposal riset kebahasaan dan sastra yang diajukan para dosen kepada lembaga/pusat penelitian seperti di UIN Jakarta. Mayoritas proposal yang diajukan para dosen bahasa dan sastra, murni kajian bahasa/sastra, yang tidak kontekstual sama sekali dengan persoalan kebudayaan di luar bahasa dan sastra, apalagi sosial politik dan ekonomi. Kajian bahasa dan sastra tidak hanya tercerabut dari induk ilmunya (ilmu kebudayaan), melainkan juga ilmu lain, terutama ilmu-ilmu sosial yang sesungguhnya terkait erat. Kajian bahasa dan sastra sunyi dari persepektif ilmu di luar bahasa. Meski mungkin dipengaruhi oleh pragmatisme, karena cara itu lebih mudah, juga agaknya sebagian bersifat ideologis, karena soal lain dianggap sudah ada ahli lain yang mengurusnya. Dalam studi bahasa, asal usulnya bisa dilacak dari teori strukturalisme De Saussure (1857-1913). Ia menyarankan kajian bahasa bersifat intralinguistik yang sinkronik (ta’ashuriyyah), bukan diakronik, yaitu kajian atas bahasa sebagai tindak bahasa atau kata apa adanya, berdasarkan fenomena bahasa yang tampak, baik sebagai fonologi, morfologi, sintakisis, dan semantik, yang terikat oleh ruang dan waktu, bukan kajian dalam sejarah yang panjang yang 5
Laporan SETARA Institut pada tahun 2008 memperlihatkan hal itu. Lembaga ini mencatat adanya 367 pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam 265 peristiwa, yang juga menunjukkan tindak kekerasan atas agama minoritas. Dari 367 tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan, terdapat 188 pelanggaran yang melibatkan negara sebagai aktornya, baik by commission (tindakan aktif negara), maupun by ommission (tindakan pembiaran). Yang termasuk by commission misalnya melarang warga Ahmadiyah melakukan aktivitas seperti terjadi di Sukabumi dan Kota Tangerang dan pembongkaran paksa oleh Trantib Kota Bekasi terhadap tiga gereja. Sedangkan by ommission adalah pembiaran aksi kekerasan dan tidak memprosesnya secara hukum. Adapun institusi negara yang banyak melanggar adalah kepolisian, bupati/walikota, pengadilan, dan terakhir DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah). Pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan yang juga menunjukkan tindak kekerasan atas keyakinan minoritas itu paling banyak menimpa Ahmadiyah sebagai korban (238 tindakan), dari mulai korban intoleransi, represi negara, pembiaran negara dan tindakan kriminal warga. Sedangkan yang paling sedikit, menimpa Umat Kristiani (15 tindakan). 6 Abu Ishaq Al-Syatibi, al-Muwâfaqât fî ushûl al-Syarî‘ah, (Beirut: Dâr al-Hadîts al-Kutub al-‘Ilmiyyah), vol. I, bagian 2, h. 7-8, 28-29, Ahmad Munif Suratmaputra, Filsafat Hukum Islam al-Ghazali, Masalahah Mursalah dan Relevansinya dengan Pembaharuian Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus), h. 83-93dan Muhyammad Khalid Mas’ud, Filsafat Hukum Islam, Studi tentang Hidup dan Pemikiran Abu Ishaq asy-Syathibi, Terjemahan dari Islamic Legal Phlisophy; a Study of Abu Ishaq al-Syathibi, Bandung: Pustaka, 1996, h. 191, 195.
sulit diukur. Bahasa tidak harus dilihat dalam hubungannya dengan fungsi pendidikan atau tujuan-tujuan lain di luar dirinya. Teori De Saussure yang sering disebut teori deskriptif (washfiyyah) ini ingin membebaskan kajian bahasa dari lingkungan ilmu-ilmu lain seperti psikologi, sejarah, filsafat, atau ilmu kebudayaan lain. Teori yang menekankan ekstrinsikalitas bahasa, bagi De Saussure, kurang meyakinkan, bahkan tidak ilmiah. Teori deskriptif de Saussure ini, terutama menolak teori diakronik (historisitas) bahasa yang mengkaji perubahan bahasa sepanjang masa, baik fonologi, morfologi, sintakisis, dan sistem sintaktikalnya.7 Kajian historis bahasa, karena mengkaji bahasa dalam jangka waktu yang panjang (diakronik/tarikhiyyah) dinilai sulit diukur dan kajian bahasa yang bersifat ektralinguisitik kurang empirik. Karenannya, dinilai de Saussure tidak ilmiah, meskipun teorinya ditolak oleh banyak ahli yang menekankan pada kajian ekstrinsikalitas bahasa, baik ahli sebelum maupun sesudah de Saussure, sebagaimana nanti akan dijelaskan. Sebab itulah, pola pandang Islam moderat, agaknya mendesak untuk diketengahkan dan itu bisa lewat kajian kajian buku (teks keagamaan) yang menjadi rujukan umat Islam. Dalam tulisan ini, yang akan dikaji adalah Buku Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah yang menjadi buku wajib bagi anggota Muhammadiayah dengan fokus kajian pada kata serapan/ambilan Arab, relasinya dengan moderatisme Islam. Tulisan ini merupakan rekonstruksi atas tulisan penulis yang menjadi bagian dari laporan riset penulis bersama kawan-kawan di PSIA (Pusat Studi Indonesia dan Arab) berjudul: “Pola Keagamaan dan Bahasa: Studi Kontekstual Kata Serapan/Ambilan Arab dalam Teks-Teks Keislaman Kontemporer”. Riset ini dilakukan pada tahun 2013 dengan biaya dari Kemenag RI. Sebagai rekonstruksi, tentu saja tulisan ini telah mengalami adaptasi dan perbaikan, baik penambahan maupun pengurangan, sesuai konteks tulisan dan juga konteks sosial. B. Teori Bahasa yang Digunakan Dalam tulisan ini, apa yang dimaksud dengan bahasa, sesuai anak kalimat dalam judul, adalah kata serapan dan ambilan Arab. Kata serapan adalah kata yang berasal dari bahasa lain (bahasa non Indonesia seperti Arab atau Belanda/bahasa daerah) yang kemudian diserap menjadi kosa kata Indonesia. Ejaan, ucapan, dan tulisannya pun disesuaikan dengan cara menutur masyarakat Indonesia untuk memperkaya kosa kata. Hal ini karena setiap masyarakat bahasa memiliki tata cara yang digunakan untuk mengungkapkan gagasan dan perasaan atau untuk menyebut/mengacu pada benda-benda di sekitarnya. Kata-kata yang dihasilkan terjadi melalui kesepakatan/konvensi masyarakat. Dalam studi bahasa, ini sering disebut dengan sistem bahasa yang lahir secara artbitrer,8 meskipun sebagiannya lahir oleh karena ada hubungan kausal antara makna dengan bahasa. Bahasa juga bisa lahir saat terjadi hubungan dengan masyarakat bahasa lain mewakili gagasan/konsep dan rujukan atas benda baru tertentu. Kata baru pun lahir yang diserap oleh bahasa yang terpengaruh dari bahasa yang mempengaruhi/datang, dengan mengambil kata yang digunakan oleh masyarakat luar yang mempengaruhi dan menjadi asal kata baru itu. Adapun yang dimaksud kata ambilan adalah kata-kata pinjaman dari bahasa lain, baik daerah maupun asing. Biasanya masih asli atau masih seperti yang dipergunakan dalam bahasa asli/sumbernya. Ia diungkap dengan ditransliterasikan ke bahasa yang terpengaruh/sasaran. Ia juga belum masuk kosa kata resmi bahasa Indonesia. 7 8
Mahmud Sulaiman Yaqut, Manhaj al-Bahts al-Lughawi, Iskandaria: Dar al-Ma’rifah al-Jami’iyyah, 2002, h. 109-129 Soal ini lihat Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2002, h. 32
Untuk membedakan kata serapan dan ambilan dapat kita pergunakan KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) produk Pusat bahasa Nasional. Kata serapan adalah kata asing yang sudah masuk kedalam entri kamus tersebut. Kata serapan adalah kata yang sudah diserap dalam bahasa Indonesia yang dibuktikan dengan masuknya kata itu ke dalam kamus. Sedangkan kata ambilan adalah kata asing yang sering dipakai dalam literatur/buku, tetapi jika membuka kamus KBBI, kata itu belum ada di dalamnya. Dalam literatur/buku yang menggunakannya, kata ambilan tersebut masih ditulis dengan miring dan harus ditransliterasikan untuk menunjukkan itu masih bahasa asing, meski mungkin sudah dikenal. Paling tidak, di kalangan tertentu yang akrab dan bagian dari wacana yang berkembang di antara mereka. Sejauh yang bisa dipantau, kata serapan Arab dalam bahasa Indonesia bisa dibagi kedalam empat bagian: pertama, lafal dan artinya yang masih sesuai dengan aslinya dalam bahasa Arab, meski dalam penulisan sebagian mengalami perubahan. Mislanya kata abad, adil, bakhil, batil, barakah, musyawarah, dan mungkar. Kedua, lafalnya berubah, namun artinya tetap/sama dengan Arab. Misalnya berkah, atau berkat dari kata barakah; lalim dari kata zhalim; makalah dari kata maqalah; dan kata resmi dari kata rasmiy. Ketiga, lafal dan arti berubah dari lafal dan arti semula dalam bahasa Arab. Misalnya, keparat --yang dalam bahasa Indonesia merupakan kata makian (sepadan dengan kata sialan)-- berasal dari kata kafarat (jamak dari kafarah) yang berarti kekafiran. Logat dalam bahasa Indonesia bermakna dialek atau aksen, berasal dari kata lughah dalam bahasa Arab yang bermakna bahasa. Keempat, lafalnya sama tetapi artinya dalam bahasa Indonesia berubah. Misalnya kata ahli dan kalimat. Dalam bahasa Indonesia, kalimat bermakna rangkaian kata-kata, berasal dari bahasa Arab yang bermakna kata.9 Menurut Dr. Nikolaos van Dam, pesantren agaknya mempunyai peran penting yang mengakibatkan banyaknya kata serapan Arab dalam Bahasa Indonesia/Melayu. Alasannya, karena justru jenis sekolah ini mengajarkan bahasa Arab kepada orang-orang Indonesia asli yang menetap di Indonesia. Para pedagang Arab yang datang ke Indonesia biasanya tidak menggunakan bahasa Arab klasik (fushha) yang menjadi bahasa al-Qur’an, jika berkomunikasi dengan sesama mereka atau orang lain, melainkan bahasa ‘amiyah (pasaran). Mereka bahkan umumnya tidak menguasai bahasa Arab klasik, sebagaimana bahasa al-Qur’an dengan baik. 0 Mereka berbeda dengan para guru Islam/ulama yang turut berperan ini.1 Dalam hal ini, lahirnya kata serapan Arab dalam bahasa Indonesia lebih banyak terkait dengan keagamaan. Karena itu, orang yang agamanya kuat cenderung akan banyak mengggunakan bahasa serapan. Misalnya, mereka yang menyebut orang tuanya dengan sebutan aba (seringkali abi [ayah]) dan ummi (ibu [keduanya sudah menjadi kata serapan Arab dalam 1 dirinya berasal dari kelompok kegamaan yang taat gama. bahasa Indonesia])1 menjukkan Bahkan, sebagiannya dari kalngan Islam salafi politik yang terikat dengan partai Islam tertentu. Inilah yang dalam kajian semantik disebut bahwa abi dan ummi maksd/informasinya sama dengan ayah dan ibu, tetapi secara makna berbeda. Hal ini karena cita rasa makna (konotasi)-nya 2 dengan kata babeh dan enya, papah-mamah, ayah-ibu, dan papihyang berbeda,1 sebagaiman mamih. Tentu saja penggunaan kata ambilan Arab yang belum menjadi bahasa Indonesia tampaknya lebih menunjukkan lagi pola keagamaan yang lebih kuat. Di kalangan PKS yang umumnya berasal dari kelompok tarbiyyah (salafi [islam ortodoks] politis) banyak menggunakan 9Lihat 1 1 1
http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_kata_serapan_dari_bahasa_Arab 0 http://bahasakita.com/kata-serapan-arab-dalam-bahasa-indonesia. Kemendiknas, 1Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002, h. 1 dan 1243 2 Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, h. 33-37, 59, 65-69
kata ambilan Arab. Misalnya kata akhi (saudara), thaghut (syetan), daulah (Negara), shibghah (bentuk/ajaran), qiyadah (kepemimpinan), dan jaulah (perjalanan [untuk dakwah]). Kalangan yang hampir sama seperti salafi dakwahis semisal Jama’ah Tabligh juga melakukan hal yang sama. Dalam pengertian bahasa dengan menekankan kata serapan/ambilan Arab dalam konteks kebahasaan di atas, relasinya dengan pola keagamaan seperti moderatisme, dalam studi bahasa (linguistik), bisa dikaji dengan banyak teori, terutama teori yang menyarankan kajian atas sisi ekstralinguistik yang telah diungkap di atas. Di antaranya adalah teori kontekstual (siyaq), sebagaimana disarankan ahli bahasa semisal Firth. Menurut Firth, Berry Rogghe, dan juga Ullmann, makna sebuah bahasa tidak akan terungkap, kecuali dengan melihat, bukan saja konteksnya dalam satuan bahasa di seputarnya, baik sebelum maupun sesudahnya, melainkan juga hingga hal-hal di luar bahasa. Bagi Firth, makna bahasa adalah fungsi dalam konteks. Ia menekankan kesejajaran konteks internal dan formal kebahasaan dan konteks situasi eksternalnya. Dalam pandangan Firth, telaah bahasa harus memperhatikan komponen sosiologis. Tiap tutur atau kalimat harus dikaji dalam kontek situasinya. Lebih jauh, K. Ammer membagi teori kontekstual pada empat: konteks bahasa, konteks cita rasa, konteks sikap, dan konteks 3 budaya.1 Secara konteks bahasa, makna sebuah bahasa harus dilihat dari sisi konteks leksikal, termasuk di dalamnya makna cita rasa (konotasinya), makna hubungan antar kata yang membuat kalimat dan hubungan antar kalimat, terutama dalam kalimat majemuk, dan hubungan antar paragraf. Dalam studi semantik, studi atas makna sebuah kata atau leksem disebut dengan jenis semantik leksikal. Studi ini melahirkan banyak kajian makna, dari mulai perbedan makna dengan informasi dan maksud, teori penamaan dan pendefinisian, jenis-jenis makna (leksikal dan gramaitkal, denotatif dan konotatif, makna kata dan istilah, makna konsep dan asosiatif, makna ideomatikal, dan makna kias), relasi makna (sinonimi, antonimi, homonimi, hiponimi, dan polisemi), medan makna , perubahan makna, dan kategori makna. Studi atas perubahan makna sebuah kata karena penambahan imbuhan/perubahan bentuk disebut dengan jenis semantik morfologikal. Studi atas hubungan makna antar kata yang membuat kalimat dan hubungan antar kalimat, terutama dalam kalimat majemuk disebut jenis semantik sintaktikal. Dan studi hubungan antara pargaraf yang melahirkan wacana (tentang apa yang dikatakan teks [bukan apa yang dikatakan teks]) disebut jenis semantik wacana. Sedangkan studi makna atas penggunaan bahasa ujaran sesuai dengan konteks situasi saat bahasa itu diujarkan disebut jenis semantik 4 pragmatik/maksud.1 Teori kontekstual, terutama konteks budaya, yang terdapat dalam kajian linguistik di atas dalam sosiologi sebanding dengan teori tindakan dari Max Weber (1864-1920). Menurutnya, struktur sosial adalah produk tindakan, produk dari pilihan yang dimotivasi. Bagaimanapun tindakan manusia sebagai masyarakat, termasuk tindakan bahasanya, merupakan tindakan mental. Karenanya, tugas ilmu sosial, tegas Weber, adalah mencari makna di balik tindakan, termasuk tindakan bahasa. Setiap tindakan, tegas Weber, memiliki alasan-alasan, kejadin historis yang mempengaruhi, dan tujuan. Weber menyebut metodenya sebagai verstehen, yaitu kemampuan untuk masuk ke dalam kehidupan mental pelaku/penulis/penutur atas dasar tanda 1
3
RH. Robins, Sejarah Singkat Linguistik, Bandung: ITB, 1997, h. 310-311 dan Ahmad Mukhtar Umar, ‘Ilm adDalalah, Kuwait: Maktabah Dar al-‘Arubah, 1982, h. 68-78, dan lihat juga ‘Abd al-Karim Mujahid, ad-Dalalah al-Lughawiyyah ‘Inda al-‘Arab, Ttp.: Tpn., Tth., h. 15-16 1 4 Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, h. 1-175, terutama 6-11 dan J.D. Parera, Teori Semantik, Jakarta: Erlangga, 2004, h. 218-234
tanda yang diberikannya. Sebab itulah, ia memandang kapitalisme bukan sebagai mode produksi seperti ilmuan sosial lain, melainkan sikap/semangat, suatu cara memandang sesuatu. Kapitalisme pun dilihat sebagai proses rasionalisasi ekonomi. Ia pun meneliti kapitalisme kaitannya dengan etika Protestanisme. Baginya, meskipun faktor lain seperti kondisi material dan kepentingan-kepentingan ekonomi ikut berpengaruh, tetapi bisa dipastikan bahwa etika Protestan yang tertera dalam teksteks kegamaannya merupakan salah satu faktor yang mendorong berkembangnya kapitalisme di Barat. ini artinya agama (teks-teks bahasa Protestanisme) menjadi landasan dalam praktik ekonomi kapitalisme bagi pelakunya. Argumennya, karena teks-teks etika Agama Protestan, terutama Calvinisme, mendorong semangat untuk maju, menekankan pada usaha menghindari kemalasan atau kenikmatan semaunya, menekanakan rajin bekerja, dan menekankan pada usaha membatasi konsumsi agar uang yang ada bisa diinvestasikan kembali. Bagi umat Prostestan, Tuhan hanya memberi peluang kepada hambanya yang yang mau bekerja keras. Bekerja dalam pandangan Protestanisme sebagaimana tertera dalam teks keagamaannya merupakan sebuah tugas suci dan sebagai panggilan Tuhan. Bekerja juga merupakan prasyarat untuk mencapai keselamatan. Orang yang tidak mau bekerja dianggap sebagai orang yang melanggar aturan/teks agama, mengikarainya, dan melanggar perintah Tuhan. Dalam teks-teks agama ini, karena seoarang tidak mengetahui takdirnya, maka tugas manusia mencari takdir yang terbaik untuk dirinya. Selain itu, teks-teks keagamaan Calvisnime yang dibawa John Calvin (1509-1564) juga mengibarkan semangat belajar dan mengizinkan pengambilan bunga uang, sesuatu yang dikutuk oleh moralis Katolik sebelumnya. Bunga yang dihalalkan dalam reinterpretasi teks keagaman 5 Calvinisme inilah salah satu faktor penting berkembangnya kapitalisme di Barat.1 Sebagian ahli mengembangkannya hingga pada pencarian makna, bukan hanya pada tingkat/aras kalimat melainkan wacana. Analisis kebahasaan, dalam perspektif ini, harus sampai pada kajian atas wacana atau diskursus apa di balik bahasa yang dinyatakan. Analisis ini melihat tutur kata dan kalimat-kalimat lahir dari dunia kognitif penutur atau penulisnya dengan merujuk pada wacana yang berkembang yang mempengaruhi dunia kognitif/dorongan batinnya. Yang dimaksud dengan wacana adalah teks utuh, baik lisan maupun tulisan, dalam bentuk ceramah (khotbah), diskusi/seminar, makalah, percakapan, sejarah panjang, puisi, lelucon, dan tragedi. Wacana secara umum dibagi pada empat bagian: eksperesif yang mengekspresikan penulisnya (enkonder) seperti catatan harian atau doa; kesusastaraan (pusi, prosa fiktif, dan teks drama); persuasif seperti iklan; dan referensial, baik referensi ekspositori seperti seminar dan dialog, referensi ilmiah seperti buku-buku/literatur ilmiah, maupun referensi informatif seperti surat kabar. Sebagian literatur bahkan lebih menyempitkan kata wacana pada cara tertentu yang ditempuh manusia dalam membicarakan dan memahami dunia. Karenanya, analisis atas tek-teks 6 adalah analisis atas apa yang disebut paling akhir itu.1 C. Pola Islam Moderat Muhammadiyah 1
5
Taufiq Abdullah (Ed.), Agama, Etos Kerja, dan Perkembangan Ekonomi, Jakarta: LP3ES, 1986, h. 5-10, Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern I, Terjemahan Robert Mzl. dari Sosiological Theory Clasical Founder and Contemporery Perspectives (1981), Jakarta: Gramedia Johnson, 1994, h. 238-242, Anthony Gidden, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern, Terjemahan Oleh Soeheba K. dari Capitalism and Modern Social Theory; an Analisis of Writing of Marx, Durkheim, and Max Weber, Jakarta: UI Press 1986, h. 153-162, dan Nanang Martono, Sosiolologi Perubahan Sosial, Jakarta: Rajawali Pers, 2011, h. 48-49. 1 Abdul Chaer, 6Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2002, h. 8-9, J.D. Parera, Teori Semantik, Jakarta: Erlangga, 2004, h. 218-234, dan Marianne W. Jorgensen dan Louise J. Philips, Analisis Wacana, Teori dan Metode, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007, h. 1-2
Ukuran moderatisme dalam tulisan ini adalah pola keislaman yang tidak memiliki ciriciri fundamentalisme agama kontemporer. Dalam literatur ilmu sosial terdapat beberapa ciri fundmentalisme agama yang menjadi ukurannya, dan moderatisme agama berarti sebaliknya. Moderatisme adalah kalangan agama, termasuk di dalamnya Islam, yang: (1) tidak cenderung menafsirkan teks-teks keagamaan secara rigid (kaku), literalis (tekstual), absolut, dan dogmatis; (2) tidak cenderung memonopoli kebenaran atas tafsir agama (tidak menganggap dirinya sebagai pemegang otoritas tafsir agama yang paling absah). Dengan begitu, mereka tidak menganggap sesat kelompok lain yang tidak sealiran; tidak menganggap dirinya sebagai orang-orang yang benar-benar percaya terhadap agama, sementara di luarnya tidak percaya atau percaya setengah hati; tidak agresif dalam merekrut anggota (merekrut anggota secara alamiah saja, meski mungin ada desain); tidak represif, dan tidak berupaya mengeliminir kelompok-kelompok non-Muslim; (3) tidak meyakini kesatuan agama dan negara secara rigit (formal), di mana agama harus mengatur negara secara legal formal); (4) terutama di dunia Timur, tidak memiliki pandangan yang stigmatis terhadap Barat (baik sebagai ide seperti pluralisme maupun sosial, khususnya politik), di mana Barat tidak dipandang sebagai monstrer imperialis yang sewaktu-waktu mengancam akidah dan eksistensi mereka; (5) tidak mendeklarasikan perang terhadap paham dan tindakan sekular, paling tidak, dalam arti perang fisik, yang karena itu program utamanya antara lain tidak terfokus pada kontrol seksual; dan terakhir (6) tidak cenderung radikal (tidak menggunakan cara-cara kekerasan) dalam memperjuangkan nilai-nilai yang diyakininya, khususnya dalam berhadapan dengan modernitas dan sekularitas yang dinilainya menyimpang dan merusak keimanan. Dalam ukuran terakhir ini, mereka berbeda dengan kaum fundamentalis agama yang karena ciri radikalnya ini, sebagian ahli seperti Tom Clancy dalam novel Executive Order menyebut gerakan fundamentalis agama sebagai bentuk patalogi agama, dimana agama 7 dibajak untuk menyamarkan agenda-agenda anti peradaban dan kemanusiaannya.1 Berdasarkan studi yang dilakukan, baik literatur yang memuat Muhammadiyah, putusan majlis tarjih, maupun hasil wawancara mendalam, tidak satu pun kriteria fundamentalisme Islam kontemporer dimiliki Muhammadiyah. Muhammadiyah adalah organisasi kemasyarakatan Islam yang pola keagamanaanya moderat yang menjadi mainstream Islam Indonesia. Di Muhammadiyah, teks-teks al-Qur’an dan hadis tidak dipahami secara harfiah/tekstual/skriptural. Muhammadiyah justru selama ini menganjurkan agar teks-teks Al-Quran dan hadis tidak ditafsirkan secara tekstual. Namun, bukan berarti bahwa penafsiran Muhammadiyyah bersifat bebas. Muhammadiyah punya metode penafsiran yang baku, bahkan memiliki beberapa metode, sebagaimana yang sudah menjadi keputusan tarjih (ijtihad dengan mencari pendapat yang terkuat), yaitu pendekatan bayani, burhani dan irfani. Artinya bahan-bahan untuk kepentingan tafsir berasal dari bahan-bahan bayani (ayat-ayat Qur’an, hadis-hadis, kaidah fikih, dan pendapat ulama). Bahan-bahan burhani (rasional) juga dipertimbangakan. Misalnya teori-teori ilmu yang relevan, data-data lapangan, dan pengalaman empiris. Demikian juga dengan bahan-bahan irfani, yaitu kejernihan hati, kedalaman batin, dan sensitivitas nurani para penafsir. Dalam penafsiran, Muhammadiyah juga menggunakan metode tafsir tahlili dan tematik. Tafsir tahlili adalah jenis tafsir yang menafsir ayat al-Qur’an secara berurutan dari permulaan alQuran hingga akhir. Sedangkan tafsir tematik adalah pengupasan tafsir sesuai dengan tema tertentu yng dipilih. Di Muhammadiyah juga penafsiran ayat Qur’an dengan senantiasa 1
7
Lihat Martin E. Marty dan R. Acott Appleby, “Fundamentalism Comprehended” the University of Chivago Press, 1995, Budhy Munawar-Rachman, Islam Pluralis, Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, Jakarta: Paramadina, 2004, h. 589-593, Abdurrahman Kasdi, “Fundamentalisme Islam Timur Tengah: Akar Teologi, Kritik Wacana, dan Politisasi” dalam Tashwirul Afkar, Jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan, Edisi, No. 13 Tahun 2003 dan Ribut Karyono, Fundamentalisme dalam Kristen dan Islam, Yogyakarata: Klika, 2003, h. xiii
memperhatikan konteks, baik konteks tekstual, konteks historis maupun konteks sosiologis. Karena itu, dalam penafsiran di Muhammadiyah ada pertimbangan munasabatul ayat (hubungan anatar ayat), asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya ayat), dan juga relevansi dengan masa kini.1 Meski penafsiran Muhamadiyah mendapatkan pengaruh kuat dari Ibnu Taimiah yang cenderung literal, tetapi penafsiran Muhammadiyah juga terpengaruh oleh pemikiran rasional Muhammad Abduh yang disebut oleh Harun Nasution sebagai neo mu’tazilah.1 Meski Ibn9 Taimiyah seorang literalis, banyak dari pikirannya yang progressif. Karenanya, di Indoneis mempengaruhi Nurcholish Madjid. Dengan begitu, tafsir Muhammadiyah betul-betul kontekstual dan rasional. Meskpun tidak selamanya kontekstual, salah satu yang bisa dirujuk dari kecenderungan tafsir agama dari Muhammaduyah yang tidak literal adalah tafsir Majlis Tarjih atas ayat: au lamastum an-nisa (atau kalian menyentuh wanita). Ayat ini terkait dengan hal-hal yang membatalkan wudhu/tayamum. Berbeda dengan madzhab Syafi’i yang dianut NU (Nahdahatul Ulama), Muhammadiyah mengartikan kata “menyentuh” dalam ayat itu dengan bersetubuh. Dalam pandangan Muhmmadiyah, dengan mengikuti tafsir Ibn Abbas yang dianggap tafsir terpilih, menyentuh kulit wanita sebagai lawan jenis tidak membatalkan wudhu. Demikian juga sebaliknya. Tentu saja yang juga berpengaruh atas pandangannya ini adalah hadis Nabi yang dianggap sahih bahwa saat melakukan salat witir pada menjelang akhir malam, Nabi pernah 0 ini sama menyentuh kaki Aisyah dan Nabi tidak memberhentikan salatnya.2 Pandangannya dengan pandangan mazhab Hanafi, mazhab fikih ahl ar-ra’yi (mendahuklukan pemikiran ketimbang hadis ahad [yang diriwayatakan di bawah 10 orang dalam setiap tingkatan rawinya]). Sebagai ormas Islam moderat, Muhammadiyah juga tidak keliru dan sesat kelompok Islam yang tafsiran Islamnya tidak sama. Di Muhammadiyah istilah sesat dan menyesatkan tidak dikenal. Muhammadiyah sudah cukup dewasa menghadapi perbedaan, apalagi perbedaan dalam masalah furu’ (cabang). Banyak dari elite Muhammadiyah seperti Din Syamsudin, ketua PP Muhammadiyah saat ini, berlatar pendidikan perbandingan agama. Jangankan menghadapi perbedaan yang terjadi sesama Muslim, antar agama saja sudah biasa. Meski begitu, Muhammadiyah menyadari betul adanya perbedaan semisal dalam mengawali dan mengakhiri Ramadhan. Namun, anggota Muhammadiyah dianjurkan agar tidak alergi dengan perbedaan dengan tetap menghargai dan menghormatinya. Bagi nara sumber wawancara bahkan, memperdalam perbedaan dalam maslah bukan prinsip agama adalah kerjaan orang awam. 1 Karenanya, ia sering menganjurkan agar berhenti menjadi orang awam.2 Bagi Muhammadiyah, pendapat yang berbeda dengan Muhammadiyah merupakan urusan internal pihak di luar Muhammadiyah dan juga pilihan masing-masing. Muhammadiah merasa tidak perlu menyudutkan/mendiskriditkannya, sepanjang tidak mengganggu tradisi yang ada di Muhammadiyah. Jangankan di luar Muhamadiyah, di dalam Muhamadiyah sendiri biasa terjadi perbedaan. Bahkan, sempat Muhamadiyah Garut membuat tarjih sendiri yang berbeda dengan tarjih yang diputuskan secara nasional di Pusat. Dan itu, ternyata tidak menjadi persoalan bagi 2 Muhammadiyah.2 1
8
Hasil Wawancara dengan Syamsudin Dasan, Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Tangerang Selatan, 27 November 2013 1 9 Hasil Wawancara dengan Sudarnoto Abdulhakim, salah seorang pimpinan pusat Muhammadiyah dan akademisi UIN Jakarta, 5 Desember 2013 2 0 PP Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih Muhmmadiyah, Jakarta: Suara Muhammadiyah, 2011, h. 62 2 1 Hasil Wawancara dengan Syamsudin Dasan, 27 November 2013 2 2 Hasil Wawancara dengan Sudarnoto Abdulhakim, 5 Desember 2013
8
Dalam Muhammadiyah, penghormatan atas pendapat yang berbeda di luar Muhammadiyah merupakan tradisi dalam Majlis Tarjih yang terus dijaga. Majlis Tarjih Muhmmadiyah tidak mengklaim hasil ijtihadnya sebagai satu-satunya kebenaran. Malah, lembaga ini mengakui kelemahannya. Hasil tarjih (ijtihad dengan mencari yang terkuat) dari majlis ini diakui berdasarkan pengertian dan kekuatan-kekuatan pesertanya. Majlis ini bahkan mengundang pihak lain untuk memeriksa kembali pendapatnya. Jika terdapat kesalahan atau kurang sahih dalilnya, lembaga ini meminta pihak lain untuk mengajukannya untuk kemudian 3 dalam putusan tarjihnya, majlis dipertimbangkan dalam sidang majlis berikutnya.2 Lebih jauh, Tarjih Muhammadiyah memandang proses tarjih sebagai mentarjih (mencari pendapat terkuat) di antara pendapat-pendapat yang ada, tanpa menyalahkan, menentang atau menjatuhkan 4 pendapat lain yang tidak dipilih Muhammadiyah.2 Dalam pandangan Muhammadiyah, anggotanya, baik terhadap sesama Muslim maupun terhadap non Muslim, harus saling menghormati. Semua berkedudukan sama sebagai warga Negara. Masing-masing harus mendapatkan kesempatan dan hak yang sama. Muhammadiyah menyadari bahwa kampanye nilai-nilai keragaman ini harus terus dilakukan dan ditingkatkan, karena seringkali dalam praktiknya, terutama terhadap non Muslim, yang terjadi sebaliknya.2 Sikap Muhammadiyah terhadap non Muslim, menurut Syamsuddin Dassan, nara sumber wawancara mendalam riset ini, bisa dilihat dari Pedoman Hidup Islami Warga Muhamadiyah. Dalam kehidupan bermasyarakat, pedoman itu menyebut: (1) Islam mengajarkan agar setiap Muslim menjalin persaudaraan dan kebaikan dengan sesama. Caranya dengan memelihara hak dan kewajibannya, baik terhadap sesama Muslim maupun non Muslim dalam hubungan ketetanggaan. (2) Setiap anggota dan keluarga Muhammadiyah harus memiliki keteladan dalam bersikap baik kepada tetangga dengan melakukan amar ma’ruf nahi munkar dengan cara yang tepat dan bijaksana. (3) Dalam bertetangga dengan yang berlainan agama, juga diajarkan untuk bersikap baik dan adil. (4) Melaksanakan gerakan jamaah dan dakwah jamaah sebagai wujud dari melaksanakan dakwah Islam di tengah-tengah masyarakat untuk perbaikan hidup, baik lahir maupun batin, sehingga dapat mencapai cita-cita masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.2 Harus diakui, pada awal kelahirannya memang misi Muhamadiyah adalah melawan Kristenisasi yang dilakukan oleh Belanda. Namun, sekarang ini setting-nya berbeda, yaitu alam kemerdekaan, tidak lagi dalam periode Koloinial Hindia Belanda. Muhamadiyah meminta warganya dengan Non Muslim agar saling menghormati, mengakui hak mereka, mengakui sebagai warga Negara, dan non Muslim memiliki hak untuk menempati jabatan-jabatan publik. Dulu memang dai-dai Muhamadiyah berusaha menghadapi Kristenisasi. Namun, sekarang mereka mengarahkan dakwahnya pada program-program kebangsaan dan kesatuan umat, 7 menciptakan kerukunan beragama.2 Muhammadiyah juga memandang perempuan Muslim dalam soal di luar kodrat (nature) mempunyai hak yang sama sebagai warga Negara dengan laki-laki Muslim. Terutama dalam hak bekerja di ruang publik dan hak untuk menjadi pemimpin publik. Persoalan kepemimpinan adalah persoalan kapasitas dan kompetensi. Kepemimpinan publik merupakan hak semua warga Negara, baik laki-laki maupun perempuan, baik Muslim maupun non Muslim. Di Universitas 2
3
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam Indonesia 1990-19942, Jakarta: LP3ES, 1996, h. 94 4 PP Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih Muhmmadiyah, Jakarta: Suara Muhammadiyah, 2011, h. 279, 383. 2 5 Hasil Wawancara dengan Syamsudin Dasan 2 6 Hasil Wawancara dengan Syamsudin Dasan. Pedoman di atas dikutip dari http://lusinovi.blogspot.com/2011/01/pedoman-hidup-islami-warga-muhammadiyah.html. 2 7 Hasil Wawancara dengan Sudarnoto Abdulhakim 2
5
6
Muhamadiyah Jakarta misalnya, rektornya perempuan. Kalau pada masa revolusi, kaum perempuan warga Muhammadiyah bersama-sama kaum laki-laki memperjuangkan kemerdekaan, maka jika pada masa menikmati kemerdekaan, mereka tidak boleh, itu tidak adil. Namun, tentu saja, perempuan jangan lupa terhadap kodratnya sebagai perempuan. Mentang-mentang sudah 8 berkarir, perempuan bukan berarti boleh tidak mau melahirkan dan seterusnya.2 Perempuan yang harus memperhatikan kodratnya itu dalam pengalaman Muhmmadiyah bisa dilihat dari pengalaman dalam revolusi melewan agresi Belanda tahun 1945-an. Muhamadiyah pada masa ini mengaku pentingnya peran perempuan. Namun, secara kodrat, mereka tidak mungkin mengangkat sejata. Mereka pun berperan sebagai back up, menyediakan logistik para pejuang dan sebagainya. Sekarang yang alamnya berbeda, perempuan bisa berperan lebih luas sesuai kodrat fisiknya. Jika kompeten, mereka boleh menempati jabatan publik. Pandangan Muhammadiyah yang memberikan ruang keadilan gender bisa dilihat dari lembaga perempuannya, yaitu Aisyiah. Mereka bahkan dibolehkan membangun masjid sendiri. Tentu ini bukan karena hak memonopoli masjid. Namun, lebih memperlihatkan perhatian Muhammadiyah terhadap perempuan. Di kalangan remaja, di Muhmmadiyah juga ada Ikatan Pelajar Muhmmadiyah yang putri, sebagaimana di IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) yang sering disebut imawati. Intinya, Muhmmadiyah telah membuka lebar peran kepada perempuan untuk mendapat hak pendidikan dan hak politik yang sama dan setersunya. Hasilnya, banyak perempuan Muhamadiyah yang sudah menjadi intelektual, menjadi doktor dan dokter, dan sebagainya. Jadi, dalam Muhmmadiyah tidak ada persoalan dengan isu keadilan gender bagi 9 kaum perempuan.2 Berbeda dengan ormas Islam fundamentalis, Muhammadiyah juga memandang NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) bukanlah sebagai negara kafir. Muhammadiyah tidak mempermasalahkan NKRI, mengingat NKRI adalah sebuah bentuk negara hasil rumusan para pendahulu, termasuk dari Muhammadiyah seperti Ki Bagus Hadikusumo. Bagi Muhammadiyah, yang membuat NKRI Islami atau tidak adalah masyarakatnya. Untuk apa bentuk negara Islam, 0 jika warganya tidak Islami.3 Soal NKRI adalah final, diakui oleh Dien Syamsuddin, Ketua PP Muhmmadiyah saat ini. Menerutnya, Pancasila dan NKRI adalah harga mati bagi Muhammadiyah. Pandangan Muhammadiyah ini sama dengan pandangan NU. Dua organisasi massa Islam terbesar di Indonesia yang turut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan mendesain dasar-dasar negaranya berupa Pancasila dan UUD 1945 ini memandang Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah harga mati bagi warganya. Dien bahkan menambahkan: “Kami (Muhammadiyah) senantiasa akan mempertahankan itu", seru Din saat membuka secara resmi kegiatan seminar nasional "Optimalisasi Wawasan Kebangsaan Bagi Generasi Muda" di Hotel Novita, Kota Jambi tahun 2011. Dalam kesempatan itu, Dien mengakui carut-marutnya kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia saat ini. Masyarakat Indonesia pun mudah sekali diadu domba sehingga kerap menimbulkan pergesekan sosial. Pemimpin pemerintahan juga tidak lagi dipercaya rakyatnya, lantaran banyak dari kebijakan yang dibuat justru menyengsarakan rakyat. Masyarakat hanya diberi janji - janji politik semata. Belum lagi ditambah dengan tindak pidana korupsi semakin menggila. Tidak saja dilakukan pejabat pemerintah, melainkan hingga anggota legislatif. Semua ini menjadi indikator surutnya semangat kesatuan dan persatuan. Namun, meski begitu, menurut Dien, tidak seorang pun boleh 2 2 3
8
Hasil Wawancara dengan Syamsudin Dasan 9 Hasil Wawancara dengan Sudarnoto Abdulhakim 0 Hasil Wawancara dengan Syamsudin Dasan
menggantikan posisi Pancasila sebagai falsafah dan dasar negara.3 Pernyataan1 Dien di atas belakangan dikukuhkan menjadi keputusan bersama organisasi Muhammadiyah dalam sidang 2 Tanwirnya Juni 2012 di Bandung. Tanwir tersebut menetapkan NKRI sebagai final.3 Mengingat NKRI dan Pancasila sudah final, maka bagi Muhammadiyah, yang penting adakah menjaga atau merawatnya saja. Kalau ada kebijakan Negara yang tidak sejalan dengan tujuan NKRI, maka warga MUhammadiyah jangan diam. Mereka harus melakukan tindakan korektif. Dan dalam sejarah, hal itu sudah dilakukan sejak zaman Sukarno berkuasa dulu. Dalam cara pandang Muhammadiyah, memberikan kritik, masukan, dan pandangan yang berebda sekalipun kepada pemerintah, bukan berarti Muhammadiyah berupaya mengotak-atik NKRI atau tidak setuju dengan NKRI. Tindakan korektif dan kritik merupakan bentuk tindakan sayang dan cinta pada NKRI. Tindakan korektif dan kritik Muhammadiyah seperti selama ini sering dilakukan bukanlah Muhammadiyah mempunyai agenda politik tertentu. Misalnya kritik MUhmmadiyah terhadap kebijakan yang lebih pro kepada asing dalam pengelolaan Sumber 3 Daya Alam.3 Sikap Muhammadiyah yang memandang NKRI dan Pancasila sudah final merupakan keberhasilannya memahami hakekat tatanan Indonesia sebagai negara republik, negara perjanjian atau kesepakatan antar berbagai elemen bangsa demi melawan dominasi dalam berbagai bentuknya. Bagi Muhammadiyah, Indonesia yang berdasar Pancasila merupakan negara perjanjian atau kesepakatan (Darul ‘Ahdi) antara elite Muslim termasuk Muhamdiyah terutama pada tahun 1945, negara kesaksian atau pembuktian (Darus Syahadah) kiprah kaum Muslimin dalam konteks nasional dan dunia, dan negara yang aman dan damai (Darussalam). Muhmmadiyah tampaknya sejalan dengan Ibnu Qudamah, ulama dari mazhab Hanbali dalam konteks yang jauh lebih parah ketimbang model nation state yang demokratis. Ia menulis dalam al-Mughni: “Muslim yang tinggal di negara kaum kafir dalam keadaan aman haruslah mematuhi kontraknya terhadap negara tersebut, karena mereka memberikan jaminan keamanan dan adanya kontrak bahwa seorang Muslim tidak akan berkhianat. Ketahuilah, pengkhianatan terhadap kontrak (ghadr) adalah tindakan yang dilarang dalam Islam. Nabi bersabda: “al-Muslimun ‘inda syuruthihim“ (kaum Muslim terikat dengan perjanjian yang telah mereka sepakati)”. Muhammadiyah juga agaknya senada dengan pendapat Imam al-Sarakhsi, ulama penganut mazhab Hanafi. Ia menulis dalam Kitabnya al-Mabsuth: “Sungguh tercela bagi seorang Muslim yang memohon keamanan dari (negara kafir) berdasarkan perjanjian, tapi lalu mengkhianatinya. Rasul berkata: “Siapa yang mengkhianati suatu kesepakatan, maka pada hari kiamat nanti anusnya akan ditancapi bendera, sehingga perbuatan khianatnya akan ketahuan secara terbuka”. Tentu saja sulit dibuktikan Muhmmadiyah dalam konteks ini dipengaruhi cara pandang itu. Namun, sikapnya bisa dikatakan Islami, karena sesuai dengan pandangan dua ulama yang secara 4 mazhab pemikiran dekat dengan Muhammadiyah di atas.3 Tampaknya yang ikut berpengaruh atas sikap Muhammadiyah terhadap NKRI sudah final adalah pola pikir yang menjadi putusan besar Majlis Tarjih Muhmmadiyah. Dalam putusan itu disebut bahwa para Nabi tidak diutus bukan untuk urusan dunia. Urusan dunia diserahkan kepada
3
1
http://rimanews.com/read/20110722/35495/din-syamsuddin-pancasila-dan-nkri-adalah-harga-mati-bagimuhammadiyah 3 Lihat Akhmad 2Sahal, “Gus Dur dan Republik”, KOMPAS, 25 September 2012 3 3 Hasil Wawancara dengan Sudarnoto Abdulhakim 3 Lihat Akhmad 4Sahal, “Gus Dur dan Republik”, KOMPAS, 25 September 2012
ijtihad kaum Muslim saja, karena sabda Nabi dalam hadis: “Kamu sekalian lebih tahu dalam 5 urusan dunia”.3 Politik agaknya dipandang Muhammadiyah sebagai wilayah dunia yang diserahkan kepada ijtihad kaum Muslimin, meski ada kaitannya dengan agama. Sebagai Sunni, di Muhammadiyah, pertimbangan dalam memandang/ijtihad politik adalah kemaslahatan bersama. Muhammadiyah berbeda dengan Syi’ah yang menomorsatukan mengejar keadilan sosial. Karenanya, meski saat ini Muhammadiyah besikap kritis atau korektif atas praktik politik, dalam praktik tentu tidak berlaku sepanjang masa. Sebagai ormas Sunni, Muhmmadiyah lebih menonjol sikap akomodatifnya atas kekuasaan yang ada. Wajar, jika saat ini pun menerima sepenuhnya Pancasila dan NKRI. Ormas ini saat berdirinya saja memandang perlu pengakuan resmi dari Pemerintah, meski Pemerintah Kolonial Hindia Balenda yang non Islam. Dalam sejarah, Muhammadiyah pun memperoleh pengakuan dari Pemerintah Kolonial Belanda dua tahun setelah berdiri, yaitu 1914, sebagaimana tercantum dalam Gouvernement Besluit Nomor 81 tertanggal 22 Agustus 1914. Saat Indonesia di bawah Pemerintah Militer Jepang, Muhammadiyah juga meminta pengesahan keberadaannya. Izin pun diberikan tanggal 10 September 1943. Bahklan, pada masa ini, izin yang diberikan dengan dua sayarat yang kemudian diikuti/diiyakan oleh Muhammadiyah. Dua syarat itu adalah: tidak boleh mengorganisasi kaum wanita dan pemuda dan juga dalam anggaran dasarnya harus dinyatakan bahwa kemakmuran bersama di Asia Timur Raya berada di bawah pimpinan Dai Nippon. Bahkan, syarat terakhir harus diyakini sebagai sesuatu yang diperintahkan oleh Allah. Sebab itu, pada periode ini, Aisyiah, Hizbul Wathan (lembaga kepanduan), dan bagian kepemudaan dalam Muhammadiyah ditiadakan sama sekali. Pada tahun 1985, saat Indonesia di bawah Pemerintah Orde Baru, Muhammadiyah juga mengubah asas organisasinya dari Islam ke Pancasila. Saat itu, diberlakukan UU Nomor 8 tahun 1985 yang mewajibkan semua ormas, tanpa kecuali, berasas 6 Pancasila.3 Muhammadiyah juga memandang Barat, baik sebagai ide maupun kekuatan sosial politik, tidak sebagai suatu hal yang mengancam akidah dan eksistensi kaum Muslimin. Bagi Muhmmadiyah, kalau ingin maju, masyarakat Muslim harus fair mengakui kemajuan Barat. Kaum Muslimin juga harus menerima apa saja dari Barat, selama itu baik dan tidak bertentangan 7 sepanjang perjalanan Muhammadiyah sejak dengan jati diri kaum Muslimin.3 Karenanya, berdiri tahun 1912 sampai hari ini, Muhammadiyah akomodatif terhadap gagasan-gagasan Barat, meskipun hal-hal yang tidak sejalan dengan kemuhammadiyahan ditolak. Demokrasi, misalnya, sudah disepakati dan dipraktikkan oleh Muhammadiyah, karena demokrasi memberikan kekuasan sepenuhnya kepada rakyat dan sesua dengan azas musyawarah. Bahkan, Muhammadiyah kini sering melakukan kritik kepada sikap para pejabat atau politisi yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Islam dan demokrasi. Bagi Muhamadiyah, Barat bukanlah persoalan. Salah satunya dibuktikan dengan tidak sedikitnya kader-kader Muhammadiyah yang sekolah di universitas universitas Barat hingga tamat, baik ditingkat master maupun ditingkat 8 Ph.D. Namun, mereka tetap tidak kehilangan sikap kritisnya atas Barat.3 Sebagai konsekuensi penerimaan Muhammadiyah atas Barat, maka sekularisme dalam pengertian kehidupan di dunia harus didekati secara empirik dan rasional diterima Muhmmadiyah. Komitmen Muhammadiyah adalah mewujudkan masyarakat Islam yang 3 3 3 3
5
PP Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih Muhmmadiyah, Jakarta: Suara Muhammadiyah, 2011, h. 278. 6 Harun Nasution dkk., Ensiklopedi Islam, Jilid 3, Jakarta: Ichtiar Baru van Houve, 2003, h. 277-278. 7 Hasil Wawancara dengan Syamsudin Dasan 8 Hasil Wawancara dengan Sudarnoto Abdulhakim
baldatun thayyibatun wa robbun ghofur, negara yang aman, nyaman, berdemokrasi, dan bebas menjalankan agama yang diridhai Allah. Namun, sekularisme dalam arti pemisahan secara tegas urusan dunia dan agama tentu Muhamadiyah menolaknya. Muhammadiyah dan tokoh tokohnya berpandangan, mengelola bangsa juga merupakan bagian dari upaya melaksanakan perintahperintah Tuhan. Pemerintahan/negara/bangsa adalah sebuah sarana yang harus dibangun, dimana masyarakat Muhammadiyah/masyarakat Islam mendapatkan tempat yang baik untuk bisa melaksanakan tugas-tugas keagamaannya. Bagi Muhammadiyah, keikutsertaan Pemerintah dalam mengelola kehidupan beragama masih sangat penting. Pemerintah tidak bisa melepaskan kewenangan sepenuhnya pada publik untuk mengurusi agama. Pemerintah harus ikut bertanggung jawab dalam urusan agama secara Nasional. Departemen Agama pun, sebab itu, 9 tetap harus dipertahankan.3 Hal yang sama dengan sekularisme adalah teknologi. Muhammadiyah menggunakan teknologi modern, terutama teknologi komunikasi dan informasi, untuk memperkuat organisasi. Muhamadiyah pun saat ini mempunyai website dan juga TV, selain media cetak seperti Suara Muhammadiyah. Bagi Muhammadiyah, teknologi adalah netral. Tak ada bedanya dengan pisau. Ia bisa dipakai untuk kebaikan, bisa juga untuk kejahatan. Namun, bagi Muhammadiyah, penggunaan teknologi harus dibarengi dengan keimanan. Jika umat Islam tidak mau ketinggalan, ilmu pengetahuan dan teknologi harus dikuasai dan menjadi bagian yang tidak tepisahkan dengan amal saleh untuk menunjukkan derajat kaum Muslimin dan membentuk pribadi mulia. Setiap warga Muhammadiyah, dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimilikinya, mempunyai kewajiban untuk mengajarkannya kepada masyarakat, memberi peringatan, memanfaatkannya untuk kemaslahatan, dan mencerahkan kehidupan. Semuanya sebagai wujud ibadah, jihad, dan dakwah. Kita menggunakan teknologi, jika bisa untuk kepentingan Islam itu sendiri. Teknologi, karena itu, menjadi produk, meski sebagain besarnya bukan produk kaum 0 Muslimin, yang bisa dinikmat sesuai dengan prinsip dan norma Islam. 4 Sejalan dengan pandangannya yang moderat dan atas dasar kemaslahatan di atas, bagi Muhammadiyah, kelompok-kelompok atau gerakan apa pun namanya, yang menggunakan kekerasan untuk membela ideologi dan pemahamannya, meskipun mengatasnamakan agama dan menggunakan simbol-simbol agama adalah musuh. Mereka adalah musuh Islam, karena Islam merupakan agama yang rahmatan lil ‘alamiin. Membunuh orang lain, apalagi banyak, dengan alasan membela Islam, bukanlah kerjaan orang Islam. Pasalnya, Islam tidak pernah mengajarkan pembunuhan. Muhamadiyah tidak pernah setuju dengan praktik kekerasan apa pun, apalagi atas nama agama. Sebab itu, meski mereka mengtasanamakan Islam, sebaiknya tidak dilabeli dan dinisbahkan pada Islam. Kembalikan saja kepada pribadi/kelompok yang melakukannya.4 Selain musuh Islam, terorisme juga adalah musuh kemanusiaan. Mereka adalah musuh semua manusia, musuh peradaban. Semua manusia harus menolak dan menghadapinyanya. Namun, tentu bukan dengan cara kekerasan juga. Menghadapi kekerasan tidak mesti dengan cara kekerasan. Karenanya, Densus 88 selama ini sering dikritik oleh Muhamadiyah, karena sering memakai cara kekejaman. Sebaiknya, Negara sekalipun mengambil cara-cara dialogis untuk memberantas kekerasan semisal terorisme. Fenomena seperti terorisme harus dilihat akar masalahnya. Jangan-jangan, terorisme yang terjadi karena latar belakang ekonomi. Para pelaku baru terorisme mudah direkrut menjadi aliran garis keras, paling tidak sebagiannya adalah karena faktor ekonomi. Sebab itu, menanganinya bukan dengan kekerasan, melainkan dengan 3 4 4
9
Hasil Wawancara dengan Sudarnoto Abdulhakim 0 Hasil Wawancara dengan Sudarnoto Abdulhakim 1 Hasil Wawancara dengan Sudarnoto Abdulhakim dan dengan Syamsudin Dasan
1
memberi mereka pekerjaan agar bisa mengurus anak dan istrinya dengan baik. Menangani teorisme juga bisa memberi pemahaman yang lurus. Mereka sesungguhnya ingin menerapkan Islam, tapi bukan dengan cara-cara Islam. Mereka ingin menegakkan Islam, tapi tidak tahu Islam. Maka, ajak saja mereka agar kembali ke jalan yang banar dan mau mengusung nilai-nilai 2 kemanusiaan bersama-sama yang diusung Islam.4 Pola sosial keagamaan Muhammadiyah --yang dengan ukuran-ukuran di atas-- bersifat moderat itu tentu saja bisa dipahami. Alasannya, karena Muhammadiyah adalah ormas Islam dengan visi rahmatan li al-‘alamin bagi umat Islam, bangsa, dan kemanusiaan, sebagaimana di atas telah dijelaskan yang juga diperkuat oleh hasil wawancara mendalam. Bagi Muhammadiyah, Islam adalah agama rahmat bagi semesta alam berdasarkan QS. 21: 107. Islam bukan saja rahmat bagi masyarakat Muslim, melainkan juga non Muslim. Islam juga bukan saja rahmat bagi manusia, melainkan juga alam lingkungan hidup, termasuk hewan, tumbuhan, dan bumi. Dengan berdasarkan QS 21: 107 yang menggunakan adawat hashr (kalimat yang berarti hanya), Muhammadiyah tampaknya bahkan memandang misi Islam hanyalah sebagai rahmat bagi semesta alam. Jika ada fenemena yang membawa-bawa Islam tetapi tidak menjadi rahmat bagi semesta alam (manusia dan lingkungan hidup), berarti bukan Islam, seperti pandangan Muhammadiyah yang negatif pada terorisme dan pandangannya yang menganggap final NKRI. Dalam putusan Majlis Tarjih disebut bahwa bagi Muhammadiyah, agama berisi petunjuk 3 dipandang Muhammadiyah untuk kebaikan (kemaslahatan) dunia dan akhirat.4 Islam tampaknya sebagai agama yang intisari/substansinya adalah kemaslahatan (kebaikan) manusia seperti dikatakan asy-Syathibi (730-790 H). Menurut asy-Syathibi dalam al-Muwafaqat-nya, kemaslahatan manusia merupakan dalil universal dan perenial Islam (syariah). Yang dimaksudnya dengan kemaslahatan manusia itu terutama adalah kemaslahatan dalam pengertian dharûrî (mendesak/tidak boleh tidak), yaitu memelihara agama, jiwa (hak hidup), akal pikiran, 4 Islam pun, karena itu, harus diukur berdasarlan lima keturunan, dan harta benda.4 Rasionalitas kemaslahatan tersebut. Artinya, seberapapun terlihat secara fisik Islaminya kelompok keagamaan garis keras dimana mereka mengaku para da’i Islam, jika yang didakwahkannya bertentangan dengan minimal lima rasionalitas kemaslahatan ini, bukanlah dakwah Islam, tetapi hanya diklaim para pengusungnya sebagai Islam, padahal bukan, sebagaimana telah dijelaskan di atas. Visi Islam yang rahmatan lilalamin atau visi Islam kemasalahatan itu bisa dilihat juga dari “Kepribadian Muhamadiyah” yang ditetapkan Muhammadiyah sejak tahun 1961 berdasarkan pidato KH. Fakih Usman, ketua PP-nya kala itu. “Kepribadian Muhammadiyah” adalah: beramal dan berjuang demi kesejahteraan; memperbanyak kawan dan mengamalkan ukhuwah Islamiyyah (persaudaraan Islam); berlapang dada berpandangan luas dengan memegang teguh ajaran Islam; bersifat keagamaan dan kemasyarakatan; mengindahkan hukum, UU, peraturan, dasar dan falsafah Negara yang sah; amar makruf dan nahi munkar dalam segala lapangan serta menjadi teladan yang baik; aktif dalam perkembangan masyarakat dengan maksud ishlah (untuk kemaslahatan) dan aktif dalam pembangunan sesuai ajaran Islam; bekersama dengan golongan manapun dalam usaha menyiarakan dan mengamalkan ajaran Islam serta membela kepentingannya; membantu Pemerintah serta bekerjasama dengan golongan lain 4
2
Hasil Wawancara dengan Sudarnoto Abdulhakim 3 PP Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih Muhmmadiyah, h. 278. 4 4 Abu Ishaq Al-Syatibi, al-Muwâfaqât fî ushûl al-Syarî‘ah, Beirut: Dâr al-Hadîts al-Kutub al-‘Ilmiyyah), vol. I, bagian 2, h. 7-8, 28-29 4
dalam memelihara dan membangun Negara untuk mencapai masyarakat adil dan makmur yang 5 diridhai Allah; dan bersifat adil dan korektif ke dalam dan ke luar dengan bijaksana.4 Tentu saja pola sosial keagamaan Muhammadiyah dengan visi Islam yang rahmatan lilalamin atau visi Islam kemasalahatan itu bisa merupakan sesuatu yang wajar, karena sejak kelahirannya, Muhammadiyah, dalam batas-batas tertentu, dilihat sebagai organisasi pembaharu. Tipologi Islam Muhammadiyah adalah tipologi Islam yang sesuai dengan kontek sosial kekinian (kemodernan dan keindonesiaan), meski tidak harus dalam semua hal. Jika ada visi Islam yang tidak sesuai, maka pembaharuan (ijtihad/reinterpretasi berdasarkan pola pikir baru [tajdid]) harus dilakukan. Paling tidak, ini berdasarkan pada pandangan Muhammadiyah mengenai terbukanya ijtihad (menolak taklid). Padahal, persoalan keharusan taklid di tingkat akar rumput hingga kini masih krusial, karena keharusan bermadzhab di kalangan akar rumput Islam tradisional yang mayoritas masih berpengaruh kuat. Salah satu di dasarakan pada kitab kuning yang berkembang di pesantren tradisonal seperti Kitab Fath al-Mu’in. Di kalangan Islam tradisional seperti NU (Nahdhatul Ulama), jangankan dibukanya ijtihad independen (mustaqil), ijtihad fi madzhab (dalam satu madzhab) dan bolehnya lintas mazhab Syafi’i pada madzhab lain 6 saja masih bermasalah.4 Dilihat dari sisi metodologi, Muhammadiyah unggul ketimbang NU dan kalangan Islam tradisional lainnya yang rumit, karena tidak terikat oleh ijtihad para ulama klasik dan pertengahan. Dalam kasus seperti keharusan penentuan awal Ramadhan dan Syawal misalnya, Muhammadiyah menjadi lebih mudah. Persoalan ini dalam Muhammadiyah ditentukan lewat hisab sebagai hasil temuan ilmu pengetuhuan dan teknologi. Demikian juga dalam persoalan lainya seperti terlihat di atas. Mereka hanya cukup merujuk pada al-Qur’an, Hadis, dan rasionalitas ilmu pengetahuan, termasuk kaidah-kaidah fikih. Muhammadiyah dalam hal ini punya modal bagi pengembangan ilmu kesilaman lebih lanjut, karena tidak terikat oleh ijtihad para ulama klasik dan pertengahan, meskipun kekurangannya seperti di atas telah dijelaskan jump to conclution, kering, bahkan miskin dari intelektualisme Islam klasik dan pertengahan yang menjadi kekauatan NU. Meskipun demikian, Muhammadiyah yang memiliki anggota amat banyak di seluruh pelosok Nusantara dan dalam batas tertentu memberikan independensi kepada daerah, kekuatan moderatisme Muhammadiyah tentu tidak mutlak. Apa yang disampaikan di atas adalah dalam krangka general dan mainstream saja. Sebagaimana disebut Pradana Boy ZTF dan Martin van Bruinessen, paska Reformasi, Muhammadiyah terancam, bahkan telah terinfiltrasi gerakan Islam radikal yang bersifat transnasional seperti gerakan Tarbiyah dan Salafi. Bahkan, menurut Martin van Bruinessen, itu sebagai pergeseran antar-generasi yang tidak berasal dari luar Muhammadiyah, tetapi lahir dan dibesarkan di dalamnya. Bahkan, di sebagai daerah, aktivis Muhammadiyah terlibat dalam tindakan-tindakan tidak moderat dan menjadi pengusung formalisasi suari’ah Islam dalam bentuk perda, sebagaimana NU (Nahdatul Ulama). Di Cirebon misalnya. Sebagaimana dilaporkan media, pada tanggal 19 September 2006, Forum Peduli Cirebon mengirim surat kepada Kapolri. Surat itu berisi penolakan terhadap rencana pergantian Kapolresta Cirebon dari AKBP Rochiyanto ke AKBP Edison Sitorus. Forum ini mengklaim dirinya sebagai representasi dari beberapa institusi penting seperti, MUI (Majlis Ulama Indonesia) Cirebon, Forum Ukhuwah Islamiyah Sewilayah Cirebon, NU, Muhammadiyah, Front Pembela Islam (FPI), Dewan Dakwah Islamiyah (DDI), dan 4
5
Harun Nasution dkk., Ensiklopedi Islam, Jilid 3, Jakarta: Ichtiar Baru van Houve, 2003, h. 279 6 Syeikh Zainuddîn Abd al-Azîz Malibari, Fath al-Mu’în bi Syarh Qurrah al-‘Ain, Semarang: Maktabah Usaha Keluarga, tth 4
pesantren-pesantren se-Cirebon. Alasan penolakannya adalah karena Edison adalah non-Musim. Menurut mereka, Cirebon yang dikenal dengan kota Wali dan lebih dari 90% penduduknya beragama Islam tidak layak dipimpin oleh seorang Kapolres yang bukan Muslim. Mereka juga beralasan bahwa jika Kapolresnya non-Musim, akan sulit bagi mereka untuk mengajaknya bermusyawarah di masjid atau mushalla seperti yang biasa dilakukan warga. Para pemrotes tidak lagi peduli dengan realitas Indonesia sebagai negara bangsa yang plural, yang bukan berdasarkan agama tertentu. Kasus ini adalah contoh jelas bagaimana faktor agama masih berpengaruh pada sikap yang bertentangan dengan moderatisme dan keberagaman (Pancasila), termasuk pada warga dan aktivis Muhammadiyah, melainkan juga cara menyikapi dan mengkritisi pejabat 4 7 publik bukan pada kinerjanya. Kasus ini hampir sama dengan yang terjadi di Jakarta belakangan ini yang menimpa Lurah Susan Jasmine yang Kristiani, lurah Lenteng Agung, Jagakarsa. Ia ditolak sebagian warganya, karena non Muslim dan perempuan, meski dalam 4 8 media tidak dilaporkan keterlibatan warga Muhammadiyah atau NU. Meski di Pusat, Muhammadiyah dan NU memandang NKRI dan Pancasila final, di daerah pemberlakuan hukum pidana Islam lewat perda direstui para responden yang berafiliasi dengan ormas-ormas Islam moderat seperti NU dan Muhammadiyah. Bahkan, sebagian penyokong syariah di daerah juga adalah para aktivis kedua organisasi ini. Tokoh seperti KH. Jalaluddin Amien (Mantan Ketua PW. Muhamamadiyah) dan KH. Sanusi Baco, LC. (Mantan Ketua PW. NU Sulawesi Selatan) adalah penyokong perda syariah di daerah masing-masing, 9 kendati ini tidak mencerminkan sikap organisasinya.4 3. Relasi Kata Serapan/Ambilan Arab dengan Pola Islam Moderat Muhammadiyah Sebagai ormas Islam yang sumber utamanya (al-Qur’an dan Hadis) berbahasa Arab, Muhammadiyah banyak menggunakan bahasa serapan dan ambilan Arab, baik dalam bidang keyakinan, ibadah, maupun sosial. Apalagi, sebagian bahasa Arab sudah diserap menjadi bagian formal dari bahasa Indonesia. Paling tidak, berdasarkan buku utama yang menjadi rujukan aktivis dan anggotanya, yaitu Buku Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah yang diterbitkan PP Muhammadiyah (cetakan 2011). Sesuai Surat Edaran PP Muhammadiyah 23 Oktober 1967, putusan tarjih yang dihimpun di buku ini merupakan putusan-putusan Majlis Tarjih yang harus dijalankan oleh semua elemen Muhmamdiyah, harus diajarkan dan disebarkan, tanpa memperdulikan perselisihan. Buku ini menggunakan dua bahasa. Sebelah kiri bahasa Arab, dan sebelah kanannya bahasa Indonesia. Dalam pendahuluan, bagian paling awal dalam buku itu, tercantum kalimat: “Bismillahirrahmanirrahim (Dengan nama Allah, Maha Penyayang, Maha Pengasih). Tiada Tuhan selain Allah sendiri, tiada bersekutu dan dengan-Nyalah adanya daya kekuatan. Segala puji untuk Allah yang menciptakan semua alam dan yang mengembalikan ruh pada jasadnya di Hari Kiamat. Rahmat dan salam semoga terlimpah pada junjungan Nabi Muhammad penutup 0 para Nabi dan seutama-tamanya utusan, serta pada sekalian keluarga.” 5 Teks ini dikutip sesuai aslinya, tidak ada editing sama sekali. Teks yang ada memang memperlihatkan editing yang tidak apik dan sebagiannya agaknya memang dibuat sesuai kecenderungan bahasa Indonesia saat 4
7
‘Terganggu di Kota Wali’, dalam Majalah Tempo, 12 November 2006 4 8 Koran Tempo, 26 September 2013, h. C2 4 9 Sukron Kamil dkk., Syari’ah Islam dan HAM, Dampak Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil, Hak-Hak Perempuan, dan Non Muslim, Jakarta, CCSRC UIN Jakarta dan KAS, 2007 5 0 PP Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih Muhmmadiyah, Jakarta: Suara Muhammadiyah, 2011, h. 12.
keputusan majlis tarjih lahir. Dalam teks yang menjadi paragraf pertama buku ini terdapat sekitar 14 kata serapan/ambilan Arab, meskipun sebagian tidak dipilih kata serapan seperti kata Utusan yang kata serapannya adalah rasul. Sedangkan jumlah kata yang ada dalam teks ini adalah 58 kata, di luar morfem terikat seperti akhiran “nya” yang tidak bisa berdiri sendiri (bermakna dengan dirinya sendiri). 14 kata itu berarti ada sekitar 24% kata serapan dari keseluruhan kata yang dipakai dalam teks yang tampil pertama dalam pendahuluan buku. Pada paragraf kedua yang bersi dasar-dasar kepercayaan dalam Islam yang ada dalam buku itu memperlihatkan hal sama: “Tersebut dalam hadits, dari Sahabat Umar, ra: “Tengah kami duduk pada suatu hari bersama Rasulullah s.a.w., datanglah seorang laki-laki, putih bersih pakaiannya, hitam bersih rambutnya, tak terkesan padanya tanda orang sedang bepergian dan tiada seorangpun di antara kami yang mengenalnya; kemudian ia bersimpuh di hadapan Nabi dengan merapatkan kedua lututnya pada kedua lutut Nabi dan meletakkan kedua telapak tangannya pada paha Nabi. Lalu berkata: “Hai Muhammad, terangkan kepadaku tentang Islam!”. Nabi menjawab: “Islam, ialah engkau mempersaksikan tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah, mengerjalan shalat, membayar zakat, berpuasa Ramadlan dan pergi haji bila engkau mampu melakukannya”. Kata orang itu benar engkau”! Maka heranlah kami, betapa ia bertanya lalu membenarkan. Orang itu bertanya pula: “Terangkan kepadaku tentang Iman”!. Nabi menjawab: “Ialah bahwa engkau percaya akan Allah, Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, Hari Kemudian, dan percaya akan takdir baik dan takdir 1 buruk”. Orang itu berkata: “benar engkau!” (Hadist riwayat Muslim)”.5
Dalam teks lain yang terkait dengan kepercayaan (akidah), dalam buku itu antara lain disebut: “Adapun syarat yang benar tentang kepercayaan, dalam hal ini ialah jangan ada sesuatu yang mengurangi Keagungan dan Keluhuran Tuhan, dengan mempersamakan-Nya dengan makhluk. Sehingga andaikata terdapat kalimat-kalimat yang kesan pertama, mengarah kepada arti yang demikian (mempersamakan-Nya dengan makhluk), meskipun berdasarkan berita yang mutawatir (meyakinkan), maka wajiblah orang mengabaikan makna yang tersurat dan menyerahkan tafsir arti yang sebenarnya kepada Allah dengan kepercayaan bahwa yang terkesan pertama dalam pikiran bukanlah yang dimaksudkan, atau dengan takwil 2 yang berdasarkan alasan-alsan yang dapat diterima”.5
Dalam teks soal kepercayaan yang disebut pertama di atas, ada 18 kata serapan/ambilan Arab dari 153 kata di luar morfem terikat. Itu berarti 18 persen kata yang dipakai dalam teks di atas adalah kata serapan/ambilan Arab. Penggunaan kata serapan/ambilan Arab dalam bidang dasar-dasar keyakinan dalam buku itu sangat tinggi. Dalam teks yang dikutip berikutnya yang juga terkait dengan keyakinan/akidah, ada 14 kata serapan/ambilan Arab dari 78 kata yang dipakaia dalam teks di luar morfem terikat. Ini berarti, ada 23% kata serapan/ambilan Arab dalam kutipan teks kedua ini. Meskipun dalam teks yang membahas persoalan kepercayaan (akidah), jumlah kata serapan/ambilan Arab cukup banyak, baik pada teks yang disebut pertama maupun kedua, Muhammadiyah sebagai ormas Islam terbesar kedua tidaklah cenderung berpola agama fundamentalis. Asumsi ini bisa dilihat dari sudut pandang semantic kontekstual terutama sintaktikal teks yang disebut kedua. Makna di tingkat hubungan antar kata yang membentuk kalimat membolehkan melakukan takwil (hermeneuetika) atas teks-teks al-Qur’an, jika teks itu dipahami secara hafiah problematik. Teks keagamaan, berdasarkan struktur teks kedua tidak harus seluruhnya dipahami secara harfiah, sebagaimana yang biasa dilakukan kaum fundamentalis. Teks kedua dalam putusan Majlis Tarjih itu membolehkan tindakan takwil terhadap teks Qur’an yang jika dipahami harfiah bisa mempersamakan Allah dengan makhlukNya. Misalnya penafsiran atas atas QS. 20/Thaha: 5 yang berbunyi: “Tuhan yang Maha Pemurah bersemayam di atas ‘Arasy”. Ayat ini harus ditakwil dengan mengartikan kata “bersemayam” 5 5
1
PP Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih Muhmmadiyah, h. 12-13 2 PP Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih Muhmmadiyah, h. 17-18.
dengan “berkuasa”. Muhmmadiyah dalam hal ini mengakui dibolehkannya takwil dalam ayat seperti barusan, sebagaimana disebut QS. 3/Ali Imran: 7. Dalam ayat itu dijelakan bahwa yang mengetahui takwil atas ayat-ayat yang mutasyabih (samar) adalah Allah dan orang-orang yang dalam ilmuanya. Ini artinya, meski banyak menggunakan kata serapan/ambilan Arab dalam teksteks yang berisi kepercayaan, berdasarkan analisis semantik kontekstual terutama sintaktikal, Muhammadiyah tetap merupakan ormas Islam moderat, tidak fundamentalis. Dalam persoalan yang terkait kepercayaan dalam teks keagamaaan Muhammadiyah, tidak terbukti, makin banyak kata serapan/ambilan Arab makin fundamentalis. Dalam persoalan ibadah, dua teks berikut menujukkan hal yang sama: “Menurut arti ayat dalam pendahuluan: atau kamu menyentuh wanita, dengan tafsir Ibn Abbas, bahwa menyentuh itu artinya bersetubuh, menurut pendapat yang terpilih oleh ahli bahasa. Dan karena hadits Nasai dari Aisyah ra., berkata: “Sungguh Rasulullah saw bershalat dan aku berbaring di mukanya melintang seperti mayat, sehingga ketika beliau akan witir, beliau menyentuh aku dengan kakinya”. (Isnadnya sahih). Dan karena hadis Aisyah ra. yang berkata: “Aku kehilangan Rasulullah saw pada suatu malam dari tempat tidur, maka aku mencari dan memagang/meletakkan kedua tanganku pada telapak kakinya” …….seterusnya hadis 3 itu (Diriwayatkan oleh Muslim dan Tirmidzi dan dishahihkan olehnya)”.5
Teks lainnya tentang ibadah yang terdapat dalam buku himpunan putusan Majlis Tarjih Muhammadiyah itu yang bisa dikutip adalah: “Dan karena hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Ibn Umar, berkata bahwa Nabi s.a.w bersabda: “Apabila salah seoarng dari kamu tengah makan, maka janganlah tergesa-gesa hingga selesai makan meskipun shalat sudah 4 diqamatkan.” 5 Dalam teks ibadah yang disebut pertama, ada 23 kata serapan/ambilan Arab dari 95 kata yang dipakai di luar morfem terikat. Itu berarti ada 24%. Sementara dalam teks kedua ada 9 kata serapan/ambilan Arab dari 32 kata yang dipakai. Jumlah persentasi kata serapan/ambilan Arab dalam teks kedua dengan teks yang lebih pendek ketimbang teks pertama ada 28%. Sebagaimana dalam persolan akidah, dalam teks yang membahas persoalan ibadah, meskipun jumlah kata serapan/ambilan Arab yang dipakai cukup banyak, berdasarkan analisis semantik kontekstual, terutama sintaktikal (hubungan antar kata yang membentuk kalimat dan anak kalimat) baik pada teks yang disebut pertama maupun kedua, Muhammadiyah sebagai ormas Islam terbesar kedua di Indonesia tidaklah berpola agama fundamentalis juga. Asumsi ini bisa dilihat dari teks yang disebut kedua yang tidak ekstrim. Kemaslahatan manusia jauh lebih dipentingkan ketimbang sunnahnya salat di awal waktu. Karena itu, jika seoarang sedang makan, maka dalam Islam perspektif Muhammadiyah berdasarkan hadis yang dikutip, meski iqamat salat sudah dikumandangkan, tidak mengharuskannya untuk terburu-buru makan. Demikian juga dengan teks yang disebut pertama yang tidak harfiah memahami ayat al-Qur’an yang membahas hal-hal yang mebatalkan wudhu sebagai ibadah. Sebagaimana dalam soal akidah, Muhammadiyah menggunakan takwil dalam persoalan ibadah, yaitu soal batalnya wudhu. Muhammadiyah tidak menganggap wudu seseorang yang sudah dewasa batal, karena bersentuhan kulit dengan lawan jenis. Muhammadiyah mentakwil ayat “atau kamu menyentuh wanita” dalam ayat batalnya wudhu atau tayammum dengan arti bersetubuh. Ia merujuk pada pendapat yang terpilih oleh ahli bahasa dan juga hadits Nasai dari Aisyah. Yang dirujuk Muhammadiyah selian konteks ayat juga konteks kebudayaan Arab yang tidak menganggap baik berkata jorok seperti bersetubuh. Pandangan Muhammadiyah dalam hal ini sama dengan takwil Imam Hanafi sebagai madzhab fikih ahl ar-ra’yi (mendahulukan pikiran 5 5
3
PP Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih Muhmmadiyah, h. 62. 4 PP Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih Muhmmadiyah, h. 131.
ketimbang hadis ahad [hadis yang diriwayatakan 10 orang ke bawah dalam setiap tingkatannya]), meski dalam Muhammadiyah yang dirujuk juga adalah hadis dan tafsir Ibn Abbas. Ini artinya, meski banyak menggunakan kata serapan/ambilan Arab dalam teks-teks yang berisi persoalan ibadah, Muhammadiyah tetap merupakan ormas Islam moderat, tidak fundamentalis. Dalam persoalan yang terkait dengan ibadah, juga akidah, tidak terbukti, makin banyak kata serapan/ambilan Arab makin fundamentalis. Tentu saja kesimpulan itu bisa diperkuat lagi oleh tek-teks lain yang disebut dalam buku himpunan keputusan tarjih dan juga konteks (lingkungan sosial dan amal usaha keorganisasian), sebagaimana di atas telah dijelaskan di atas. Moderatisme Muhammadiyah dengan visi Islam yang rahmatan lilalamin atau visi Islam kemasalahatan sangat tampak dalam teks yang terkait dengan ibadah lainnya. Dalam buku itu disebut mengenai anjuran untuk tidak memanjangkan khutbah, tetapi menyampaikannya dengan sedang saja, sebagaimana juga salat. Salat Jum’at, dalam putusan tarjih Muhammadiyah, tidak usah dilakukan saat hujan, karena Nabi tidak ingin kaum Muslimnin berjalan di atas jalan yang becek. Karenanya, adzan Jum’at saat hujan bukan hayya ‘alashshalah (mari kita tunaikan salat), tetapi shallu fi butyutikum (salatlah kalian di 5 rumah).5 Dalam buku putusan tarjih Muhammadiyah yang terkait dengan ibadah ini bahkan terdapat keaharusan menerapkan prinsip meritokrasi dalam soal ibadah sekalipun, apalagi dalam bidang social murni. Meritokrasi adalah memberikan reward kepada orang yang berprestasi, bukan karena yang lainnya, seperti karena keturunan, uang atau kekuasaan. Dalam buku ini disebut, meski sebaiknya yang jadi imam orang yang paling senior, tetapi yang harus lebih dipentingkan lagi adalah kriteri yang paling fasih bacaannya dan paling banyak hafal al6 Qur’an.5 Sebagaimana dalam bidang akidah dan ibadah, dalam teks yang terkait dengan persoalan sosial juga banyak kata serapan/ambilan Arabnya. Namun, yang membedakan adalah dalam beberapa kasus dalam teks terkait poersoalan sosial tidak banyak kata serapan/ambilan Arab yang dipakai. Teks dalam buku himpunan putusan Majlis Tarjih tentang wakaf yang terkait dengan persoalan kesejahteraan sosial berikut menunjukkkan adanya kata serapan/ambilan Arab yang tidak banyak. Teks itu berbunyi: “Dimana perlu, kalau barang wakaf itu sudah lapuk atau rusak bolehlah engkau pergunakan untuk lainnnya yang serupa atau engkau 7 jual dan engkau belikan barang lain untuk meneruskan wakafnya”.5 Dalam teks ini hanya 7 persen saja dari kesluruhan kata yang dipakai, yaitu 2 kata serapan/ambilan Arab dari 28 kata yang dipakai. Agaknya teks yang bukan merupakan teks hadis mempengaruhi hal ini. Tentu saja teks yang terkait dengan sosial dalam teks keagamaan Muhmmadiyah cenderung lebih sedikit kata serapan/ambilan Arabnya. Berdasarkan analisis semantik sintaktikal, Muhmmadiyah dalam soal wakaf tidak mengikuti harfiah teks hadis yang menyebut: “tidak boleh dijual, diberikan dan diwariskan”. Muhmmadiyah tampaknya mengikuti Ibn Timiyah, tokoh pemurnian Islam pada abad ke-14 yang menginspirasinya, yang dibenarkan Muhammad Abu Zahrah pada periode modern. Dalam fikih wakaf, Ibn Taimiyah memandang prinsip: “Nushûsh al-Wâqif ka Nushûsh as-Syar’i (Pernyataan atau ikrar wakif seperti pernyataan syari’at) yang sering dijadikan hujjah (argumen) oleh banyak ulama, tidak harus dipegang teguh secara harfiah. Ia agaknya menyadari kemungkinan harta wakaf berkurang atau habis manfaatnya. Sebab itu, menurutnya yang 5 5 5
5
PP Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih Muhmmadiyah, h. 125, 147 6 PP Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih Muhmmadiyah, h. 122, 132-133 7 PP Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih Muhmmadiyah, h. 272
terpenting adalah mempertahankan tujuan hakiki pensyariatan wakaf, sehingga tidak melakukan penyia-nyiaan harta wakaf. Sebab itu pula, larangan menukar atau menjual harta wakaf dari wakif (yang berwakaf) boleh dikesampingkan. Ia pun bahkan membenarkan mengubah persyaratan tertentu yang ditetapkan wakif, karena situasi dan kondisi menghendakinya. Katanya: ”Sesungguhnya yang menjadi pokok adalah menjaga kemaslahatan dan menjauhkan dari kerusakan. Allah telah mengutus utusan-Nya guna menyempurnakan kemaslahatan dan 8 melenyapkan segala kerusakan.5 Muhmmadiyah dalam hal ini berbeda dengan sebagian besar Syafi’iyah dan Malikiyah yang melarang penggantian benda wakaf seperti masjid oleh benda lain dengan dijual terlebih dahulu, sekalipun masjidnya menjadi roboh. Alasannya karena larangan Nabi untuk menjualnya dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim. Sebagaimana diungkap oleh ad-Dimyathi dalam bukunya I’ânah at-Thâlibîn Jilid III, sebuah buku terkenal di kalangan pesantren di Indonesia, bahwa Imam Hanafi memang membolehkan menjual barang-barang wakaf yang ada di masjid yang hendak roboh, lalu digunakan lagi untuk masjid, pendapat yang sama dengan Muhammadiyah. Namun, mayoritas Syafi’iyyah tidak membolehkanya, sekalipun hendak roboh. Kendati begitu, tulis ad-Dimyathi, Imam Subki dari kalangan Syafi’iyah membolehkan, selama bendanya akan tetap bertahan, ditukar dengan benda yang sama, dan digunakan untuk 9 kemaslahatan.5 Teks berikut juga menunjukkan sedikitnya kata serapan/ambilan Arab dalam bidang sosial, tidak sebanyak seperti kata serapan dalam teks-teks di atas. “Demikian pula wanita boleh bepergian seorang diri dalam perjalanan sehari atau lebih, jika perjalanan itu untuk keperluan yang diiznkan Syara’ dan dalam keadaan aman”. Dalam teks ini ada 3 dari 24 kata yang dipakai. Jika dipersentasikan itu berarti 13%. Jumlah yang hampir sama dalam teks berikut: “Dalam riwayat lain dari Abu Sa’id juga, bahwa ada seorang wanita datang kepada Rasulullah saw. Seraya ia berkata: “Wahai Rasulullah, kaum pria sering datang mendapat tutur kata engkau, maka tentukanlah hari bagi kami (wanita) untuk menghadap dimana engkau dapat mengajar kami tentang apa yang telah Allah mengajarkan kepada engkau”. Maka jawab beliau: ”Berkumpullah pada hari anu, di tempat anu”. Kemudian kaum wanita itu berkumpul dan didatangi oleh Rasululah saw untuk diajarinya tentang apa yang telah diajarkan Allah kepadanya. Wanita mengajar pria pun boleh, karena tidak ada larangan yang mencegah hal itu; yang sudah tentu saja diisyaratkan adanya keamanan seperti memejamkan mata hati dan tidak ber-khalwat 0 kedua tentang guru pria mengajar wanita dan (menyendiri berdua-duan)”. 6 Dalam teks sebaliknya ini terdapat 15 kata serapan/ambilan Arab dari 106 kata yang terdapat dalam teks. Itu berarti 14% dari keseluruhan kata yang ada dalam teks. Jumlah yang hampir sama lagi dalam teks berikut: “Hijab dimaksudkan: yang dapat menutup/menjaga pandangan antara pria dan wanita lain (yang bukan muhrim atau bukan suami-istri). a. Boleh berwujud tabir, apabila masih/tetap dikhawatirkan saling tidak dapat 5
8
Muhammad Amin, Ijtihad Ibn Taimiyah dalam Bidang Fiqh, Jakarta: INIS, 1991, hlm. 122-125, Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1995, h. 344-345, dan Hasan ‘Abdullah al-Amin (Ed), “Pengantar“ untuk Waqâi’ al-Halaqât ad-Dirasiyyât Litasy’îr Mumtalikât al-Auqâf al-Latî ‘Uqidat bi Jaddah, Jedah: al-Ma’had al-Islami li al-Buhuts wa atTadrib IDB, 1979, h. 123-124, lihat juga ‘Abd al-Jalil ‘Abd ar-Rahman ‘Asyub, Kitâb Al-Waqf, Kairo: al-Afaq al-Arabiyyah, 2000, h. 54 5 9 ‘Abd al-Jalil ‘Abd ar-Rahman ‘Asyub, Kitâb Al-Waqf, h. 19-20, Muhammad Abu Zahrah, Muhâdarât fî al-Waqf, Kairo: Dar al-Fikr, 2004, h. 159-163, Dirjen Bimas Islam dan Haji Depag RI, Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf, Jakarta: Dirjen Bimas Islam dan Haji Depag RI, 2003, h. 77 dan ad-Dimyathi, I’ânah at-Thâlibin, Jilid III, Bandung: alMa’arif, Tth., h. 179 6 0 PP Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih Muhmmadiyah, h. 288-291.
menjaga diri masing-masing dari pandang memandang yang haram/terlarang. b. Boleh tidak berwujud tabir, apabila telah terjamin tidak aka ada pandang memandang yang dikhawatirkan 1 tersebut”.6 Dalam teks ini hanya ada 7 kata serapan/ambilan Arab dari 54 kata yang ada dan itu berarti hanya ada 13% dari keseluruhan kata di luar morfem terikat. Meskipun begitu, dalam sebagian teks, kata serapan/ambilan Arab tetap besar dalam teks yang terkait dengan persoalan sosial dalam buku himpunan putusan Majlis Tarjih ini. Teks berikut memperlihatkan asumsi ini: “Gambar itu berkisar kepada illat (sebabnya), ialah ada tiga macam: (1) untuk disembah hukumnya haram berdasarkan nash. (2) Untuk sarana pengajaran hukumnya mubah. (3) Untuk perhiasan, ada dua macam: tidak khawatir mendatangkan fitnah, hukumnya mubah. Mendatangkan fitnah ada dua macam: Jika fitnah itu kepada maksiat, hukumnya haram. Jika fitnah itu kepada musyrik, hukumnya haram seperti gambar nabi-nabi dan orang shalih”.6 Dalam teks2 ini ada 24 kata serapan (40%) dari 60 kata yang terdapat dalam teks. Berdasarkan kutipan-kutipan teks dan analisis kuantitaif atas teks, maka bisa disimpulkan dalam persolan sosial, meski sebagiannya sama saja dengan teks-teka akidah dan ibadah, penggunaan kata serapan/ambilan Arab dalam teks-teks sosial dalam buku putusan Majalis Tarjih cenderung lebih sedikit. Salah satu yang menentukan adalah teks yang ada adalah teks dari terjemahan hadis atau bukan. Jika terjemahan hadis, cenderung lebih banyak kata serapan/ambilan Arabnya, meski hal ini tidak berlaku untuk semuanya. Jika teks-teks itu dianalisis berdasarkan hubungan antara kata yang membentuk kalimat (analisis teks dengan semantik sintaktikal) dan analisis konteks (lingkungan sosial dan keorganisasin) sebagaimana di atas telah dijelaskan, maka Muhammadiyah lewat buku ini lebih memperlihatkan lagi tipologi Islam moderatnya. Visi Islamnya pun adalah rasionalitas kemaslahatan manusia. Dalam persiolan wanita harus pergi dengan mahramnya misalnya, dipahami Muhammadiyah sebagai larangan atas dasar keamanan saja. Demikian juga dengan persoalan laki-laki mengajarkan wanita dan sebaliknya, Muhammdiyah berbeda dengan kaum fundamentalisme Islam yang mensegregasikan laki-laki dengan wanita, Muhammadiyah cenderung tidak. Keharusan memakai tabir antara laki-laki dan perempuan bukan mahram/suami istri pun, alasannya adalah karena kekawatiran terjadi saling pandang memandang yang bisa menimbulkan fitnah yang diharamkan saja. Hal yang sama dalam persolan gambar menggambar. Yang dilarang hanya gambar melahirkan fitnah seperti kemusyrikan. Muhmmadiyah tidak harfiah memahami hadis: “Sesungguyhnya Malaikat tidak akan masuk kedalam sebuah rumah yang di dalamnya ada anjing atau gambar”. Demikian juga dalam teks lain soal alat musik yang terdapat dalam buku. Alat musik yang haram, jika melahirkan kemaksiatan saja. Pandangan seperti ini tentu bisa dipahami. Hal ini mengingat Muhammadiyah memandang bahwa ijtihad atas persoalan sosial yang tidak ada teksnya dalam al-Qur’an dan hadis shahih, metodologinya dalam Muhmmadiyah adalah membandingkan dengan teks yang ada dalam al-Qur’an dan hadis 3 shahih dengan mencari persamaan ‘illat (argumennya).6 Yang membedakan Muhmmadiyah dengan kalangan Islam fundamentalis adalah tidak ada/tidak populernya kata serapan/ambilan Arab yang popular dikalangan Islam yang disebut belakangan. Menurut sumber wawancara riset ini, di Muhmmadiyah tidak dikenal kata serapan/ambilan Arab berikut: ikhwan/akhwat, halaqah, daurah, jaulah, ghazwulfikri, hakimiyyah, jahiliyyah modern, daulah islamiyyah, khilafah islamiyyah, tarbiyyah Islamiyyah, harakah, mabda, manhaj, usrah, bai’ah, syumul al-Islam, mabit, iqamah ad-din, tathbiq as 6 6 6
1
PP Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih Muhmmadiyah, h. 315. 2 PP Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih Muhmmadiyah, h. 283. 3 PP Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih Muhmmadiyah, h. 284-285.
syari’ah, ‘askariyyah, tamkinuddin, thaghut, taslim, dan shaf. Tentu saja shaf dalam arti barisan dalam salat jamaa’h di masjid dan mabit (menginap di Mina) saat haji dikenal. Demikian juga dengan manhaj yang terkiat dengan ijtihad/tarjih di atas. Di Muhammadiyah jika menggunakan istilah Arab dalam persoalan social yang umum-umum atau popular saja, dimana ormas lain juga memakainya. Mislanya kata dakwah, tablig, nahi munkar. Beberapa agaknya khas khas Muhmmadiyah seperti tajdid dan tarjih. Akan tetapi itu tidak banyak, jelas nara sumber wawancaar riset ini. Panggilan sesama anggota juga umum aja. Seperti pemuda, mahasiswa, dan 4 pelajar.6 Bagi nara sumber lain dalam riset ini, penggunaan istilah-istilah di atas oleh kelompok Islam fundamentalis tampaknya dilatari oleh keinginan untuk terlihat more Islamic dan sebagai sarana harakah/gerakan dalam menyebarkan ideologi mereka. Istilah-istilah itu terkait dengan komunitas yang memiliki ideologi /agenda politik Islam, yaitu cita-cita mendirikan Negara Islam. Karenanya, Muhammadiyah dan juga NU yang tidak punya tujuan/visi untuk mendirikan Negara Islam, istilah-istilah itu tidak muncul dan dikenal. Dalam Muhammadiyah dan juga NU, penggunaan kata serapan/ambilan Arab hanya untuk kepentingan kultural dan keagamaan saja. Itu pun yang umum-umum saja. Yang juga perlu diingat, Muhammadiyah juga tidak saja mengambil kata serapan/ambilan Arab, melaikan juga Belanda. Mislanya kata komite, panitia, 5 komisi. 6 E. Penutup/Kesimpulan Berdasarkan paparan di atas, Muhmmadiyah adalah ormas Islam yang pola Islamnya moderat. Kesimpulan ini berdasarkan, pertama, pada ukuran moderatisme Islam sebagai kebalikan fundamentalisme Islam. Berdasarkan ukuran ini, Muhammdiyah adalah ormas Islam yang tidak menafsirkan teks-teks keagamaan secara rigid (kaku); tidak memonopoli kebenaran; tidak meyakini kesatuan agama dan negara secara rigit (formal); tidak mendeklarasikan perang dalam arti fisik terhadap paham dan tindakan sekular; dan tidak menggunakan cara-cara kekerasan dalam memperjuangkan nilai-nilainya. Kedua, berdasarkan analisis kebahasaan kontekstual, baik kalimat, wacana, maupun kebudayaan atas kata serapan/ambilan Arab dalam Buku Himpunan Putusan Tarjih yang diperkuat tori tindakan mental sebagai teori yang mementingkan ekstrinsikalitas bahasa, di samping intrinsikalitasnya. Berdasarkan analisis ini, baik dalam persoalan akidah maupun ibadah, kata serapan/ambilan Arab dalam teks buku itu jumlahnya memang cukup banyak. Namun, hal itu tidak berarti menunjukan Muhammadiyah bukan merupakan ormas Islam moderat (fundamentalis). Baik dalam persoalan yang terkait dengan akidah maupun ibadah tidak terbukti, makin banyak kata serapan/ambilan Arab makin fundamentalis. Berdasarkan analisis kontekstual atas teks buku, rasio keagamaan Muhammmadiyah dalam persoalan ibadah sekalipun memperlihatkan rasio/wacana moderatisme Islam. Kemaslahatan manusia seperti keharusan makan, dalam perspektif keagamaan yang terkait ibadah dari Muhammadiyah, jauh lebih dipentingkan ketimbang misalnya mendahulukan sunnahnya salat di awal waktu. Dalam Muhammadiyah, iqamat salat yang sudah dikumandangkan tidak mengharuskan seseorang untuk terburu-buru makan. Muhmmadiyah dalam soal wakaf juga tidak mengikuti harfiah teks hadis yang menyebut: “tidak boleh dijual, 6
4
Hasil Wawancara dengan Syamsudin Dasan, Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Tangerang Selatan, 27 November 2013 dan dengan Sudarnoto Abdulhakim, salah seorang pimpinan pusat Muhammadiyah dan akademisi UIN Jakarta, 5 Desember 2013. 6 5 Hasil Wawancara dengan Sudarnoto Abdulhakim.
diberikan dan diwariskan”. Baginya, jika diperlukan, barang wakaf sudah agak rusak boleh dijual dan kemudian dibelikan barang lain demi meneruskan wakaf. Bahkan, dalam soal ibadah sekalipun, Muhmmadiyah sangat menekankan keaharusan menerapkan prinsip meritokrasi. Meski sebaiknya yang jadi imam orang yang paling senior, tetapi yang harus lebih dipentingkan lagi, menurut Muhammadiyah, adalah kriteri yang paling fasih bacaannya dan paling banyak hafal al-Qur’an. Namun, dalam bidang sosial, terutama politik, kata serapan/ambilan Arab dalam teks buku yang diteliti jauh lebih sedikit. Ini artinya, dalam persoalan sosial politik, terbukti makin banyak kata serapan/ambilan Arab yang dipakai makin memperlihatkan sikap fundamentalis penggunanya. Demikian juga sebaliknya. Penggunaan kata ambilan Arab yang biasa dipakai atau popular di kalangan Islam fundamentalis semisal HTI dan JI agar terlihat more Islamic tidak ditemukan, baik dalam buku yang diteliti maupun dalam komunikasi sosial antar mereka atau dengan yang lain. Hal ini karena Muhammadiyah tidak punya tujuan/visi untuk mendirikan Negara Islam. Muhmmadiyah misalnya tidak mengenal kata hakimiyyah, jahiliyyah modern, daulah islamiyyah, mabda, usrah, bai’ah, tathbiq as-syari’ah, dan ‘askariyyah.Wallah a’lam.