Nomor Modul Topik Subtopik
: 01/UN16.2 – IKA- Modul / I / 2016 : Hemato-Onkologi : Anemia Defisiensi Besi
Learning Objectif
:
2. Kognitif a. Menjelaskan definisi anemia defisiensi besi b. Menjelaskan etiologi/faktor risiko anemia defisiensi besi c. Menjelaskan patofisiologi anemia defisiensi besi d. Menjelaskan manifestasi klinis anemia defisiensi besi e. Menjelaskan cara menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi f.
Menjelaskan tata laksana anemia defisiensi besi
g. Menjelaskan prognosis anemia defisiensi besi 3. Psikomotor a. Mampu melakukan anamnesis terhadap keluarga pasien b. Mampu melakukan pemeriksaan fisik pada pasien c. Mampu menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi d. Mampu memberikan edukasi kepada keluarga pasien tentang pencegahan, faktor risiko dan tatalaksana 4. Attitute a. Memperkenalkan diri kepada keluarga pasien b. Memberikan waktu kepada keluarga untuk menjelaskan keluhan yang dialami pasien c. Menerangkan kepada keluarga pasien tentang tindakan yang akan dilakukan kepada pasien dan tujuannya d. Memberikan informed consent kepada keluarga pasien ANEMIA DEFISIENSI BESI Definisi Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang disebabkan karena kurangnya zat besi yang diperlukan untuk sintesis hemoglobin.
1 Modul Senior Clerkship Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Epidemiologi Berdasarkan Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 prevalensi ADB pada bayi 0-6 bulan, bayi 6-12 bulan, dan anak balita berturut-turut sebesar 61,3%, 64,8% dan 48,1%. Penelitian kohort terhadap 211 bayi berusia 0 bulan selama 6 bulan dan 12 bulan didapatkan insidens ADB sebesar 40,8% dan 47,4%. Pada usia balita, prevalens tertinggi ADB umumnya terjadi pada tahun kedua kehidupan akibat rendahnya asupan besi melalui diet dan pertumbuhan yang cepat pada tahun pertama. Angka kejadian ADB lebih tinggi pada usia bayi, terutama pada bayi prematur (sekitar 2585%) dan bayi yang mengonsumsi ASI secara eksklusif tanpa suplementasi. Etiologi/faktor risiko Terdapat beberapa penyebab terjadinya defisiensi besi pada anak,yaitu: 1. Asupan nutrisi yang kurang akibat jenis makanan yang miskin besi 2. absorbsi yang tiidak adekuat, seperti pada pemberian atau konsumsi antasida/pH lambung alkali, tannin, phytat, metal 3. kebutuhan yang meningkat, seperti pada periode pertumbuhan yang cepat (bayi, remaja), infeksi kronis, atau infeksi akut berulang 4. kehilangan darah, seperti menstruasi, infeksi parasit, divertikulum Meckel
Patofisiologi Anemia defisiensi besi merupakan tahap akhir dari defisiensi besi. Tiga tahap defisiensi besi adalah : 1. Tahap pertama (Deplesi Besi) §
Penurunan cadangan besi tanpa penurunan kadar besi serum
§
Hb (N), MCV (N), saturasi transferin (N), besi serum (N), ferritin serum (↓), besi SST (↓)
2. Tahap kedua (Defisiensi Besi) §
Besi serum rendah, tetapi kadar Hb Normal
§
Hb (N), MCV (N), TIBC (↑), serum ferritin (↓), saturasi transferin (↓), besi serum (↓ ), besi SST (-)
3. Tahap ketiga (Anemia Defisiensi besi) §
Kadar Hb darah turun di bawah nilai normal
§
Hb (↓), MCV (↓), TIBC (↑), serum ferritin (↓), saturasi transferin (↓), besi SST (-)
2 Modul Senior Clerkship Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Manifestasi Klinis Gejala biasanya terjadi bila kadar Hb < 7 g/dl. Anak datang dengan pucat yang kadang-kadang tidak terlihat oleh keluarga yang berinteraksi setiap hari dengan anak dan baru terlihat oleh orang lain yang jarang bertemu dengan anak. Mudah lelah, lemas, tidak ada nafsu makan, daya tahan tubuh terhadap infeksi menurun, serta gangguan perilaku dan prestasi belajar. Kelainan fisik selain pucat seperti koilonikia, glositis, stomatitis angularis, jarang ditemukan pada anak. Diagnosis Diagnosis ADB ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis dan laboratorium. Pemeriksaan darah meliputi : 1. Darah perifer lengkap: Hb, leukosit, trombosit, pemeriksaan indeks eritrosit, retikulosit, morfologi darah tepi, 2. Pemeriksaan status besi (Fe serum, TIBC, saturasi transferin, feritin) Diagnosis anemia defisiensi besi berdasarkan kriteria WHO : 1. Kadar Hb kurang dari normal sesuai usia 2. Konsentrasi Hb eritrosit rata-rata <31% (N: 32-35%) 3. Kadar Fe serum <50 Ug/dl (N : 80-180 Ug/dl) 4. Saturasi transferin < 15% (N : 20-50%) Kriteria ini harus dipenuhi paling sedikit kriteria nomor 1,3, dan 4. Tes yang paling efisien untuk mengukur cadangan besi tubuh adalah feritin serum. Bila sarana terbatas, diagnosis dapat ditegakkan berdasaran: -
Anemia tanpa perdarahan
-
Tanpa organomegali
-
GDT: mikrositik hipokrom, anisositosis, sel target
-
Respon terhadap pemberian kelasi besi
Tata laksana Prinsip tata laksana adalah mengatasi dan mengobati faktor penyebab serta pemberian preparat besi. 1. Pemberian preparat besi a. Peroral Besi elemental 4-6 mg/kgBB/hari. Preparat yang tersedia berupa ferous glukonat, fumarat, suksinat. Yang sering dipakai adalah ferous sulfat. Garam ferous sulfat mengandung besi 3 Modul Senior Clerkship Bagian Ilmu Kesehatan Anak
elemental sebesar 20%. Absorpsi besi terbaik adalah pada asat lambung kosong, diantara waktu makan, namun untuk mengurangi efek samping pada saluran cerna, besi elemental dapat diberikan pada saat makan atapun setelah makan. Obat diberikan dalam dosis 2-3 kali sehari. Preparat besi harus terus diberikan selama 2 bulan setelah anemia teratasi. b. Parenteral Preparat yang sering dipakai adalah dekstran besi. Larutan ini mengandung 50 mg besi/ml. Dosis besi (mg) : BB (kg) x kadar Hb yang diinginkan (gr/dl) x 2,5. Preparat besi parenteral dapat menyebabkan limfadenopati regional dan rasa nyeri. 2. Transfusi darah Transfusi darah hanya diberikan pada anemia yang sangat berat atau disertai infeksi yang dapat mempengaruhi respons terapi. Secara umum diberikan pada penderita dengan Hb<4 gr/dl, dalam bentuk PRC. Prognosis Prognosis baik jika penyebab anemia hanya kekurangan besi saja dan diketahui penyebabnya, serta dilakukan penanganan yang adekuat. Gejala anemia dan manifestasi klinis lainnya akan membaik dengan pemberian preparat besi. Pencegahan Para dokter memegang peranan penting dalam mencegah terjadinya defisiensi besi pada bayi dan anak. Pencegahan primer berupa konseling pada kunjungan rutin untuk memastikan intake besi yang adekuat, serta pencegahan sekunder meliputi skrining rutin, diagnosis yang cepat, dan pengobatan defisiensi besi yang tepat. 1. Primer -
Mempertahankan pemberian ASI eksklusif sampai usia 6 bulan
-
Tidak memberikan susu sapi sebelum berusia 1 tahun
-
Memberikan makanan/sereal tambahan yang difortifikasi besi
-
Pemberian vitamin C seperti jeruk, apel saat waktu makan dan minum preparat besi untuk meningkatkan absorbsi besi serta menghindari bahan yang menghambat absorbsi besi seperti teh, fosfat dan phytat saat makan.
-
Memberikan suplementasi besi: Rekomendasi Satgas ADB-IDAI 2011:
4 Modul Senior Clerkship Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Usia (tahun) Bayi*: BBLR (<2500 g) Cukup bulan
Dosis besi elemental 3 mg/kgBB/hari 2 mg/kgBB/hari
Lama pemberian Usia 1 bulan sampai 2 tahun Usia 4 bulan sampai 2 tahun
2 – 5 tahun (balita)
1 mg/kgBB/hari
2x/minggu selama 3 bulan berturutturut setiap tahun
5 – 12 tahun (usia sekolah)
1 mg/kgbb/hari
2x/minggu selama 3 bulan berturutturut setiap tahun
60 mg/hari#
2x/minggu selama 3 bulan berturutturut setiap tahun
12 – 18 tahun (remaja)
Ket,: * Dosis maksimum untuk bayi 15 mg/hari, dosis tunggal # Khusus remaja perempuan ditambah 400µg asam folat
2. Sekunder -
Skrining ADB dilakukan dengan pemeriksaan Hb atau Ht. Waktu yang tepat masih kontroversial. American Academy of Pediatric (AAP) menganjurkan antara 9-12 bulan, 6 bulan kemudian dan usia 24 bulan. Pada daerah risiko tinggi dilakukan tiap tahun sejak usia 1 tahun sampai 5 tahun.
Referensi : 1. Raspati H, Reniarti L, Susanah S. Anemia defisiensi besi. Dalam: Permono B penyunting. Buku ajar hematologi-onkologi anak. Jakarta. Balai Penerbit IDAI. 2006;30-42 2. Lanzkowsky P. Iron deficiency anemia. Manual of pediatric hematology and oncology. Edisi ke-2. New York;Churcill Livingstone; 1995: 35-50. Pertanyaan : 1. Jelaskan etiologi atau faktor risiko terjadinya anemia defisiensi besi ? 2. Bagaimana tata laksana anemia defisiensi besi ?
5 Modul Senior Clerkship Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Nomor Modul : 02/UN16.2-IKA-Modul/I/2016 Topik : Neonatologi Subtopik : Asfiksia Neonatorum Learning Objective: 1. Kognitif a. Menjelaskan definisi asfiksia neonatorum b. Menjelaskan patogenesis dan patofisiologi asfiksia neonatorum c. Menjelaskan terjadinya adaptasi normal pada saat kelahiran d. Menjelaskan factor risiko terjadinya asfiksia neonatorum e. Menjelaskan langkah resusitasi pada neonatus f. Menjelaskan diagnosis dan tatalaksana asfiksia neonatorum 2. Psikomotor a. Mampu melakukan anamnesis tentang faktor risiko terjadinya asfiksia neonatorum kepada orang tua pasien b. Mampu menjelaskan langkah resusitasi neonatus c. Mampu mendeskripsikan kelainan klinis pada asfiksia neonatorum d. Mampu menentukan tatalaksana asfiksia neonatorum 3. Attitute a. Memperkenalkan diri kepada orang tua pasien b. Memberikan empati kepada orang tua pasien c. Menerangkan kepada orang tua pasien mengenai diagnosis pasien d. Memberikan informed consent kepada orang tua pasien tentang tatalaksana yang akan diberikan kepada pasien
ASFIKSIA NEONATORUM Pendahuluan Asfiksia pada bayi baru lahir (BBL) merupakan penyebab kematian 19% dari 5 juta kematian BBL setiap tahun. Di Indonesia, angka kematian asfiksia di rumah sakit propinsi Jawa Barat ialah sebsar 25,2 % dan angka kematian karena asfiksia di rumah sakit pusat rujukan propinsi di Indonesia sebesar 41,94%. Data menunjukkan bahwa sekitar 10% BBL membutuhkan bantuan untuk mulai bernafas, dari bantuan ringan (langkah awal dan stimulasi untuk bernafas) sampai resusitasi lanjut yang ekstensif. Dari jumlah tersebut hanya sekitar 1 % saja yang membutuhkan resusitasi yang ektensif. Penulis lain menyebutkan kira-kira 5% bayi pada saat lahir membutuhkan tindakan resusitasi yang ringan seperti stimulasi untuk bernafas. Antara 1% sampai 10% BBL dirumah sakit membutuhkan bantuan ventilasi dan sedikit saja yang membutuhkan intubasi dan kompresi dada. Sebagian besar bayi, yaitu sekitar 90%, tidak membutuhkan atau hanya sedikit memerlukan bantuan untuk memantapkan pernapasannya setelah lahir dan akan melalui masa transisi dari kehiduapan intra uterin ke ekstra uterin tanpa masalah. Kebutuhan resusitasi dapat diantisipasi pada sejumlah BBL. Walaupun demikian, kadang – kadang kebutuhan resusitasi tidak dapat diduga. Oleh karena itu tempat dan peralatan untuk melakukan resusitasi harus memadai, serta petugas yang sudah terlatih dan terampil harus tersedia setiap saat 6 Modul Senior Clerkship Bagian Ilmu Kesehatan Anak
dan disemua tempat kelahiran bayi. Luaran BBL setiap tahun akan menjadi lebih baik dengan penyebaran teknik melakukan resusitasi. Definisi Asfiksia Neonatorum didefinisikan sebagai keadaan pada masa perinatal berupa asidosis akibat hipoksia, hiperkapnia dan iskemia yang menyebabkan kegagalan fungsi minimal 2 organ. Menurut AAP (American Academy of Pediatrics) dan ACOG (American Congress of Obstetricians and Gynecologist) tahun 2006, asfiksia neonatroum terdiri atas 4 kriteria klinis, Apabila tidak memenuhi syarat diatas, maka disebut depresi neonatal, kriteria tersebut adalah: 1. Asidosis metabolik atau campuran (pH darah tali pusat < 7) 2. Nilai skor Apgar 0-3 yang menetap selama > 5 menit 3. Manifestasi klinis neurologis (kejang, koma atau hipotonia) 4. Disfungsi organ multisitem pada periode neonatal dini seperti kardiovaskkular, gastrointestinal, hematologi, paru atau ginjal Insidensi Insidensi terjadinya asfiksia perinatal adalah sekitar 1 sampai 1,5% dari kelahiran hidup dinegara maju yang telah memiliki pelayanan obstetrik dan neonatal yang maju, serta insiden ini berbanding tebalik dengan usia kehamilan dan berat lahir. Kejadian asfiksia neonatorum terjadi pada sekitar 0,5% kelahiran hidup dari bayi dengan usia gestasi > 36 minggu dan kejadian asfiksia ini berkontribusi sebesar sekitar 20% dari penyebab kematian perinatal. Insidensi yang lebih tinggi ditemukan pada bayi baru lahir dari ibu penderita diabetes atau ibu dengan toksemia gravidarum. Kondisi lain yang juga berkontribusi terhadap insidensi asfiksia neonatrum adalah pertumbuhan janin terhambat, letak sungsang dan bayi-bayi postterm. Patofisiologi Transisi dari kehidupan intrauterin ke ektrauterin memerlukan adaptasi neonatal, termasuk pernapasan spontan. Selama dalam kandungan, fetus bergantung pada plasenta untuk pertukaran gas O2 dan CO2. Kegagalan pada mekanisme adaptasi tersebut menyebabkan gagal nafas dan berlanjut menjadi asfiksia neonatorum. Oksigenisasi selama dalam kandungan Sebelum lahir, seluruh oksigen yang digunakan janin berasal dari difusi darah ibu ke darah janin melewati memberan plasenta. Hanya sebagian kecil darah janin yang mengalir ke paru – paru janin. Paru janin tidak berfungsi sebagai jalur transportasi oksigen ataupun untuk ekskresi karbondioksida. Aloran darah ke paru - paru belum mempunyai peran penting untuk oksigenasi maupun untuk keseimbangan asam – basa janin . paru janin mengembang dalam uterus, akan tetapi kantong – kantong udara yang akan menjadi alveoli berisi cairan, bukan udara. Disamping itu, pembuluh arteriol yang mengalirka darah ke paru – paru janin masih dalam kondisi mengekerut (konstriksi) antara lain karena tekanan partial oksigen (PO2) pada janin yang rendah. Sebelum lahir, sebagian besar darah dari sisi kanan jantung tidak dapat memasuki paru karena resistensi pembuluh darah janin yang mengkerut masih tinggi, sehingga sebagian besar aliran darah ini 7 Modul Senior Clerkship Bagian Ilmu Kesehatan Anak
mengambil jalur yang mempunyai resistensi yang lebih rendah yaitu melewati duktus arteriosus menuju aorta. Setelah lahir, bayi tidak lagi terhubung dengan plasenta dan akan bergantung pada paru – paru sebagai satu-satunya sumber oksigen. Oleh karena itu, didalam hitungan detik, cairan paru dalam alveoli harus diserap, paru – paru harus terisi udara yang mengandung oksigen dan pembuluh darah paru harus membuka untuk meningkatkan aliran darah ke alveoli sehingga oksigen dapat diabsorpsi dan dibawa ke seluruh tubuh. Adaptasi normal pada saat Kelahiran Secara normal, terdapat tiga perubahan besar segera setelah kelahiran, yaitu : 1. Cairan dalam alveolus diserap ke pembuluh limfe paru dan digantikan oleh udara. Pengisian alveolus dengan udara yang mengandung oksigen 21% merupakan suplai oksigen yang langsung berdifusi ke pembeluh – pembuluh darah disekitar alveoli 2. Arteri umbilikalis konstriksi, kemudian arteri dan vena umbilikalis menutup ketika tali pusat dijepit. Hal ini menyingkirkan jalur sirkuit plasenta yang resitensinya rendah dan menghasilkan peningkatan dalam tekanan darah sitemik 3. Akibat mengembangnya alveoli oleh udara berisi oksigen, kadar oksigen dalam alveolli meningkat, pembuluh – pembuluh darah paru relaksasi sehingga tahanan terhadap aliran darah menurun Keadaan tersebut berakibat menurunnya tahanan paru dan meningkatkan tekanan darah sistemik sehingga terjadi peningkatan aliran darah ke paru serta menurunnya aliran duktus arteriosus secara dramatis. Oksigen dari alveoli akan diserap ke dalam darah melalui pembuluh darah pulmonal, dan darah kaya oksigen akan kembali ke sisi kiri jantung, selanjutnya darah tersebut akan dipompa ke jaringan tubuh neonatus. Pada keadaan normal, udara mengandung oksigen dalam jumlah yang cukup (21%) untuk memulai relaksasi pembuluh darah pukmonal. Seiring dengan peningkatan kadar oksigen dalam darah dan relaksasi pembuluh darah pulmonal, duktus arteriosus mulai konstriksi. Darah yang sebelumnya dialihkan melalui duktus arteriosus, skerang mengalir melaewati paru dan akan menyerap lebih banyak oksigen untuk disalurkan ke jaringan – jaringan diseluruh tubuh. Pada akhir transisi noemal, bayi akan menghirup udara dan menggunakan parunya untuk menyalurkan oksigen ke darah. Tangisan awal dan tarikan nafas yang dalam akan membantu mnedorong cairan keluar dari jalan nafasnya. Oksigen dan distensi paru berisi udara adalah rangsangan paling penting yang menyebabkan relaksasi pembuluh darah pulmonal. Seiring dengan meningkatnya kadar oksigen dalam darah, kulit bayi perlahan – lahan berubah warna dari abu – abu/ biru menjadi kemerahan. Walaupun tahap awal dari transisi normal tersebut dapat terjadi dalam beberap menit setelah kelahiran, seluruh proses mungkin saja belum lengkap sampai beberapa jam atau bahkan beberapa hari setelah bayi lahir. Sebagai contoh, banyak penelitian menunjukkan bahwa pada neonatus normal yang lahir cukup bulan, dibutuhkan sekitar 10 menit untuk mencapai saturasi oksigen sebesar 90% atau lebih. Penutupan fungsional duktus arteriosus dapat memakan waktu 12-24 jam setelah lahir, dan relaksasi pembuluh darah paru mungkin baru lengkap hingga bebrapa bulan kemudian.
8 Modul Senior Clerkship Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Kesulitan yang Mungkin Dapat Timbul Selama Periode Adaptasi Seorang bayi mungkin mengalami kesulitan sebelum persalinan, selama persalinan, atau setelah lahir. Bila kesulitan dimulai dalam kandungan, baik sebelum maupun selama persalinan, masalah yang muncuk biasanya berupa gangguan aliran darah di uterus atau plasenta. Gejala klinis awal mungkin berupa deselerasi (perlambatan) frekuensi jantung, yang dapat kembali normal setelah dilakukan langkah intervensi untuk memperbaiki transport oksigen ke plasenta, misyalnya dengan meminta ibu berbaring miring atau meberi oksigen tambahan pada ibu. Kesulitan yang ditemui setelah kelahiran lebih banyak berkaitan dengan jalan nafas bayi dan/ atau paru. Berikut ini adalah beberapa masalah yang dapat mengganggu transisi normal : -‐ Paru tidak terisi udara meskipun sudah ada pernapasan spontan (ventilasi tidak adekuat). Tarikan nafas awal bayi mungkin tidak cukup kuat untuk mendorong cairan keluar dari alveoli, atau bila ada materi misyalnya mekonium, yang menghalangi udara masuk ke dalam aliran darah yang bersirkulasi melalui paru-paru -‐ Tidak terjadi pengingkatan tekanan darah sistemik (hipotensi sistemik). Kehilangan darah berlebihan atau hipoksia neonatus dan iskemia dapat menyebabkan kontraksi jantung menjadi buruk atau bradikardia (frekuensi jantung rendah), dan tekanan darah rendah pada bayi baru lahir -‐ Arteri pulmonal tetap konstriksi setelah kelahiran karena sebagian atau seluruh paru gagal mengembang, atau karena kekurangan oksigen sebelum/selama persalinan (hipertensi pulmonal persisten neonatus). Sebagai akibatnya, aliran darah keparu berkurang, sehingga suplai oksigen kejaringan tubuh juga berkurang. Pada beberapa kasus, arteri pulmonal tetap gagal relaksasi meskipun paru telah terisi udara. Faktor resiko asfiksia neonatroum Terdapat beberapa faktor resiko yang dapat menyebabkan terjadinya asfiksia neonatorum, kelompok faktor resiko ini dapat digolongkan berdasar faktor antepartum dan juga intrapartum, serta kelompak ini juga dapat digolongkan menjadi kelompok faktor ibu dan faktor bayi seperti terlihat pada tabel berikut. Tabel 1. Faktor Penyebab hipoksia neonatorum Faktor Antepartum Faktor ibu Faktor bayi -‐ Usia < 16 tahun atau > 35 tahun -‐ Polihidramnion -‐ Penyakit selama kehamilan -‐ Oligohidramnion -‐ Penggunaan obat terlarang -‐ Kehamilan ganda -‐ Riwayat reproduksi yang buruk -‐ Kehamilan kurang / lebih bulan -‐ Perdarahan pada trimester ke-2 / -‐ Pertumbuhan janin terhambat ke-3 -‐ Kelainan kongenital -‐ Berkurangnya gerakan janin -‐ Tanpa pengawasan antenatal yang adekuat
9 Modul Senior Clerkship Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Faktor Intrapartum Faktor ibu Faktor bayi -‐ Korioamnionitis -‐ Presentasi abnormal -‐ Penggunaan narkotika < 4 jam -‐ Persalinan dengan tindakan sebelum persalinan -‐ Seksio caesarain -‐ Anestesi umum -‐ Prematuritas -‐ Solusio plasenta -‐ Partus presipitatus -‐ Plasenta previa -‐ Partus lama -‐ Kejang tonik uterus -‐ Tanda gawat janin -‐ Ketuban pecah dini -‐ Air ketuban bercampur mekonium -‐ Tali pusat menumbung Manifestasi klinis Pada asfiksia terdapat keterllibatan berbagai multi organ yang meliputi SSP (72%), ginjal (42%), paru (26%), kardiovaskular (29%), serta gastro intestinal (29%). Gejala neurologik dapat terjadi segera setelah lahir, berupa kejang, apneu, kelainan gerakan dan postur (misyalnya hipotonus), refleks hisap yang lemah dan jitteriness, HIE serta perdarahan otak. Gejala kardiovaskular melliputi syok, hipotensi, insufisiensi trikkuspid, nekrosis miokardial, gagal jantung kongestif, dan disfungsi ventrikuler. Gejala ginjal berupa oliguria-anuria, nekrosis tubular akut dan gagal ginjal. gejala gastrointestinal seperti ileus paralitik, NEC (necrotizing enterocolitis), intoleransi minum, muntah berulang dan perdarahan lambung. Gejala hepar berupa peningkatan SGOT/SGPT (serum glitamic oxaloacetic/serum glutamic pyruvic transaminase), amonia, bilirubin indirek, penurunan faktor pembekuan. Gejala paru meliputi distress pernapasan akibat defisiensi / disfungsi surfaktan, perdarahan paru, dan PPHN (persistent pulmonary hypertension of newborn). Gejala hematologik dapat berupa trombositopenia, DIC (diseminated intravascular coagulation). Gejala metabolik umumnya meliputi asidosis, hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia (SIADH/syndrome of inappropriate antidiuretic hormone secretion), hipotermia. Diagnosis Untuk dapat mendiagnosis asfiksia neonatrum, perlu diperhatikan beberapa hal, yaitu: 1. Pemeriksaan antenatal terhadap faktor resiko Pemeriksaan ini meliputi kewaspadaan terhadap adanya masalah-masalah pada ibu atau pada janin yang dapat menjadi predisposisi untuk terjadinya asfiksia neonatorum. 2. Nilai apgar yang rendah Neonatus dengan nilai apgar yang rendah serta membutuhkan resusitasi pada ruang persalinan sering kali berhubungan dengan gangguan kardiovaskular dan gangguan neurologis yang selanjutnya menyebabkan terjadinya asfiksia neonatorum. Dalam hal ini perlu juga ditambahkan bebrapa kemungkinan diagnosis banding pada setiap bayi baru lahir cukup bulan dengan nilai apgar ≤ 3 pada menit ≥10 menit. Kondisi tersebut seperti depresi nafas akibat zat anaastesi pada
10 Modul Senior Clerkship Bagian Ilmu Kesehatan Anak
ibu, trauma, infeksi, gangguan kardiovaskular atau gangguan pulmonal, serta beberapa gangguan dan malformasi sistem saraf pusat. 3. Pemeriksaan analisis gas darah tali pusat Belum terdapat nilai pasti dari kriteria analisis gas darah pada bayi-bayi dengan asfiksia nenatroum yang dapat menyebabkan kerusakan otak. Namun nilai pH dan defisit basa (base excess) pada pemeriksaan pertama analisis gas darah dapat membantu dalam menentukan bayi – bayi mana yang menderita asfiksia dan membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut. Dalam beberapa penelitian klnis didapatkan bahwa asidosis berat dengan pH ≤ 7 atau base defisit ≥ 16 mmol/L sangat berhubungan dengan asfiksia neonatroum. Tatalaksana Tatalaksana asfiksia neonatrum meliputi tindakan resusitasi yang adekuat di kamar bersalin serta tatalaksana optimal post natal. Tatalaksana resusitasi yang adekuat dapat dilihat pada gambar 1 berikut ini. Keberhasilan tatalaksana dikamar bersalin ini sangat bergantung pada pengetahuan akan adaptasi neonatus dan prinsip resusitasi, penguasaan keterampilan klinik, serta kerjasama antara anggota tim. Tujuan resusitasi adalah untuk menyediakan ventilasi, oksigenasi dan curah jantung yang adekuat agar suplai oksigen ke otak, jantung dan organ vital lain tersedia cukup. Tatalaksana post natal harus meliputi ventilasi dan oksigenasi yang adekuat, perfusi yang adekuat, jaga temperatur tubuh, koreksi asidosis metabolik, mempertahankan kadar kalsium dan kadar gula darah yang normal, mengatasi kejang dan mencegah edema otak.
11 Modul Senior Clerkship Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Gambar 1. Alur resusitasi neonatus Prognosis Tanda prognosis buruk (timbul sekuele neurologik) bila nilai apgar 0-3 pada usia 20 menit, terdapat kegagalan multiorgan, derajat gejala neurologik (terutama HIE/hipoxic-ischemic encephalopathy derajat 3), lamanya kelainan neurologik (kelainan neurologik yang dijumpai saat lahir dan menghilang pada usia 1-2 minggu memberikan memberikan prediksi prognosis yang lebih baik), awitan kejang (kejang yang timbul dalam 12 jam memberikan prognosis yang buruk), abnormalitas MRI (magnetic resonance imaging) dimana MRI abnormal pada usia 1-3 hari setelah bayi mengalami asfiksia memberikan prognosis yang buruk, berat dan lamanya kelainan EEG (electro encephalography) dimana EEG sebaiknya dilakukan segera setelah lahir dan secara kontinu selama 24 jam pada bayi asfiksia. Bila 12 Modul Senior Clerkship Bagian Ilmu Kesehatan Anak
tampak kelainan EEG moderate atau severe yang terjadi lebih awal maka kemungkinan prognosisnya buruk. Kesimpulan Asfiksia neonatroum dapat menyebabkan kematian. Antisipasi persalinan dengan faktor resiko memerlukan tim resusitasi yang bisa bekerja sama untuk meminimalkan asfiksia dan hipoksia lebih lanjut. Luaran bayi asfiksia akan membaik dengan teknik resusitasi yang baik. Resusitasi bertujuan untuk memastikan suplai oksigen ke otak, jjantung dan organ vital lain tersedia dalam jumlah yang cukup. Nilai apgar tidak dapat dipakai untuk menentukan asfiksia maupun prognosis. Optimalisasi penatalaksanaan post natal mencegah kerusakan organ lebih lanjut. Referensi 1. Gomella TL. Resuscitation of the Newborn. In: Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG. Neonatology: Management, procedures, On-call problems, diseases and drugs. 7th ed. United States. McGraw-Hill Education. 2013. Pp.15-23. 2. Mac Donald, Seshia, Mullet, Avery’s Neonatology, 6th ed 3. UKK Neonatologi IDAI. Dalam: Rohsiswatmo R, Rundjan L, penyunting. Resusitasi Neonatus. UKK Neonatologi IDAI. Jakarta: 2015. 4. Dharmasetiawani N. Asfiksia dan resusitasi bayi baru lahir. Dalam: Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Sarosa GI, Usman A, penyunting. Buku ajar neonatologi edisi pertama. Jakarta. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2008. Pp:103-25. 5. Gomella TL. Perinatal Asphyxia. Neonatology: Management, Procedures, on-call problems, diseases and drugs 7th edition. New york: Mcgraw Hill. 805-14 6. Reuter S.Moser C, Baack M. Respiratory distress in the newborn. Pediatric. 2014 Mar:35;41728 Soal 1. Jelaskan faktor risiko terjadinya asfiksia pada neonatus 2. Jelaskan alur resusitasi pada neonatus 3. Jelaskan tatalaksana asfiksia pada neonatus 4. Sebutkan komplikasi asfiksia pada neonatus
13 Modul Senior Clerkship Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Nomor Modul : 03/UN16.2-IKA-Modul/I/2016 Topik : Gizi Subtopik : Defisiensi Vitamin A Learning Objective : 1. Kognitif a. Menjelaskan fungsi vitamin A b. Menjelaskan etiologi defisiensi vitamin A b. Menjelaskan gambaran klinis defisiensi vitamin A c. Menjelaskan terapi defisiensi vitamin A 2. Psikomotor a. Mampu melakukan anamnesa defisiensi vitamin A b. Mampu melakukan pemeriksaan fisik defisiensi vitamin A c. Mampu melakukan terapi dan pencegahan defisiensi vitamin A
DEFISIENSI VITAMIN A Pendahuluan Vitamin A telah ditemukan abad duapuluh, dampak kekuranganya yaitu buta senja telah dikenal sejak jaman mesir kuno. Vitamin A dibutuhkan untuk fungsi fisiologis tubuh termaasuk tumbuh kembang anak, penglihatan,imunisasi tubuh, reproduksi dan jaringan kulit. Manusia tidak dapat mensintesis sendiri vitamin A, dan mendapatkannya dari makan sehari-hari. Sekitar 500gen diduga diregulasi oleh asam retinoat ( vitamin A) Etiologi Kekurangan vitamin A dapat terjadi sejak bayi baru lahir. Sumber utama vitamin A pada bayi adalah ASI dan kolustrum yang dipengaruhi oleh status vitamin A ibu. Makanan hewani yang kaya akan vitamin A seperti susu, keju, telur, hati dan dari sumber hewani daun hijau, buah bewarna kuning oranye juga mengandung karoteinoid yang tinggi. Tetapi ratio konversi karoten diusus sangat rendah. Untukmenghasilkan setara 1µg retinol dibutuhkan 12 µg β-karoten atau 24 µg α-karoten atau βkriptoxantin. Infeksi dan asupan yang rendah sering memicu defisiensi vitamin A. Defisiensi vitamin A adalah keadaan kekurangan vitamin A dengan ditandai menurunnya cadangan vitamin A dihati kurang dari 20 µg/g (0,07 µmol/g). Gambaran klinis Vitamin A mempunyai peranan penting dalammenjaga integritas sel epitel, sehingga defisiensi vitamin A membuat perubahan pada epitel di mata, saluran nafas, saluran kemih. Vitamin A juga berperan dalam imunitas selular dan humoral. Berikut urutan defiiensi vitamin Apada mata: XN Buta senja X1A Xerosis konjungtiva X1B Bercak bitot X2 Xerosis kornea 14 Modul Senior Clerkship Bagian Ilmu Kesehatan Anak
X3A X3B XS XF
Ulkus kornea/keratomalacia (<1/3 permukaan kornea) Ulkus kornea/keratomalacia (≥1/3 permukaan kornea) Jaringan parut kornea (corneal scar) Xerophthalmic fundus
Terapi Fortifikasi pangan merupakan cara yang efektif danmurah untuk mengatasi masalah defisiensi gizi mikro. Bayi dibawah 1tahun mendapatkan vitamin A 100.00IU sekali dalam setahun dan anak usia 1-5 tahun mendapatkan vitamin A 200.00IU dua kali setahun. Soal: 1. Sebutkan gejala defisiensi vitamin A 2. Jelaskan cara pencegahan defisiensi vitamin A
15 Modul Senior Clerkship Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Nomor Modul : 04/UN16.2-IKA-Modul/I/2016 Topik : Gizi Subtopik : Defisiensi Vitamin D Learning Objective : 1. Kognitif a. Menjelaskan fungsi vitamin D b. menjelaskan bentuk-bentuk vitamin D c. menjelaskan sumber vitamin D d. menjelaskan kadar normal vitamin D e. Menjelaskan etiologi defisiensi Vitamin D f. Menjelaskan gambaran klinis defisiensi Vitamin D g. Menjelaskan cara diagnosis defisiensi Vitamin D h. Menjelaskan terapi defisiensi Vitamin D 2. Psikomotor a. Mampu melakukan anamnesa defisiensi vitamin D b. Mampu melakukan pemeriksaan fisik defisiensi vitamin D c. Mampu melakukan diagnosis defisiensi vitamin D d. Mampu melakukan terapi dan pencegahan defisiensi vitamin D
DEFISIENSI VITAMIN D Pendahuluan Vitamin D termasuk vitamin yang larut dalam lemak, merupakan prohormon yang memiliki fungsi utama mengatur keseimbangan kalsium tubuh. Kalsium diketahui sebagai komponen utama kekuatan tulang, sehingga defisiensi vitamin D akan menyebabkan kelemahan tulang yang disebut rikets pada masa anak dan osteomalacia pada masa dewasa. Vitamin D memiliki dua bentuk yaitu vitamin D2 dan vitamin D3, vitamin D2 didapatkan dari sumber makanan nabati, sedangkan vitamin D3 dari sumber makanan hewani. vitamin D3 bisa diproduksi oleh tubuh sendiri melalui paparan sinar ultraviolet B(UVB) yang memiliki panjang gelombang 290-320 nm yang berasal dari sinar matahari dan 7-dehydrocholesterol di kulit. Vitamin D sebenarnya adalah suatu hormone yang strukturnya menyerupai hormin steroid lainnya. Sepanjang paparan sinar matahari adekuat,maka tubuh tidak akan kekurangan vitamin D. Sumber vitamin D Beberapa sumber vitamin D adalah paparan UVB sinar matahari, makanan yang mengandung vitamin D, makanan yang difortifikasi vitamin D dansuplementasi vitamin D. Satu dosis paparan UVB sinar matahari (1MED = minimum erythema dose) adalah lamanya waktu yang diperlukan untuk menyebabkan eritema minimal pada kulit ( warna kulit menjadi pink). Waktu yang dibutuhkan untuk etnis kulit putih adalah 4-10 menit, dan untuk kulit hitam 60-80 menit. Satu MED akan menghasilkan 10.000-20.000IU vitamin D. paparan sinar matahari yang tertinggi adalah pada jam 10.00 hingga jam 14.00, sedangkan pada pagi dan sore hari yang dominan adalah ultraviolet A (UVA). 16 Modul Senior Clerkship Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Defisiensi vitamin D Vitamin D dikatakan normal bila kadar 25(OH)-D berkisar 50-250nmol/L atau 20-100ng/ml. pada penderita rikets 86% kadar 25(OH)-D < 20nmol/L (<8ng/ml) dan pada anak dengan hipokalsemia 94% kadar 25(OH)-D < 20nmol/L (<8ng/ml). penyebab defisiensi vitamin D dikelompokkan menjadi 2 yaitu berhubungan dengan paparan UVB dan defisiensi yang berhubungan dengan kondisi medis. Devisiensi vitamin D yang berhubungan dengan paparan UVB misalnya usia tua, kulit gelap, musim dan letak geografis serta penggunaan pelindung sinar matahari. Defisiensi yang berhubungan dengan kondisi medis misalnya akibat malapsorbsi, penggunaan obat-obatan, penyakit ginjal kronis, obesitas, asupan vitamin D yang rendah serta pengaruh status vitamin D maternal. Gambaran klinis Tanda klinis rikets ditandai opleh adanya abnormalitas struktur tulang penyangga tubuh seperti tulang tibia,iga,humerus, radius dan ulna disertai nyeri tulang. Tanda klinis rikets berupa pelebaran pergelangan tangan dan kaki, genu varum atau valgum,costochondral jungtion yang prominen (rachitic rosary), penutupan fontanela yang terlambat, craniotabes, dan frontal bossing. Selain itu mudah terjadinya caries gigi dan terlambat erupsi. Diagnosis Diagnosis dilakukan dengan manifestasi klinis, pemeriksaan radiologis dan laboratorium. Laboratorium yang mendukung berupa hipofosfatemia, hipokalsemia, peningkatan alkali fosfatase, peningkatan hormone paratiroid. Konfirmasi diagnosis dengan penurunan kadar serum 25 (OH)-D. Pengobatan Suplemen untuk mempercepat peningkatan kadar 25 (OH)-D dengan pemberian vitamin D2 50.000IU/ minggu selama 8 minggu. Anak dengan defisiensi vitamin D berat dapat ditambahkan dengan dosis yang sama untuk 8 minggu berikutnya. Pencegahan agar tidak berulang defisiensi vitamin D direkomendasikan pemberian suplemen vitamin D3 1000IU atau vitamin D2 50.000IU dua kali sebulan, atau vitamin D3 100.000 setiap 3 bulan. Pengobatan terhadap hipokalsemia dengan diberikan suplementasi kalsium per oral dosis 30-75 mg elemental kalsium/kg BB/hari dibagi 3 dosis.
Soal: 1. Jelaskan gejala defisiensi vitamin D 2. Jelaskan tatalaksana defisiensi vitamin D
17 Modul Senior Clerkship Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Nomor Modul : 05/UN16.2-IKA-Modul/I/2016 Topik : Gizi Subtopik : Defisiensi Vitamin B12 dan Asam Folat Learning Objective : 1. Kognitif a. Menjelaskan fungsi vitamin B12 dan asam folat b. Menjelaskan sumber vitamin B12 dan asam folat c. Menjelaskan gambaran klinis defisiensi vitamin B12 dan asam folat d. Menjelaskan terapi dan pencegahan defisiensi Vitamin B12 dan asam folat 2. Psikomotor a. Mampu melakukan anamnesa anemia defisiensi B12 dan asam folat b. Mampu melakukan pemeriksaan fisik defisiensi B12 dan asam folat c. Mampu melakukan diagnosis defisiensi vitamin B12 dan asam folat d. Mampu melakukan terapi dan pencegahan defisiensi vitamin B12 dan asam folat
DEFISIENSI VITAMIN B12 Pendahuluan Anemia defisiensi vitamin B12 atau folat adalah kondisi yang berkembang ketika tubuh kekurangan vitamin B12 atau folat. Hal inilah yang menyebabkan tubuh menghasilkan sel darah merah yang tidak berfungsi dengan baik. Anemia jenis ini bisa terjadi ketika tubuh Anda kesulitan menyerap atau memroses vitamin B12. Gejala utama anemia defisiensi vitamin B12 atau folat memiliki berupa letih dan lelah. Jika Anda merasa lelah dan letih secara terus menerus, sebaiknya konsultasikan kepada dokter. Berdasarkan pada gejala dan hasil tes darah, dokter bisa memberikan diagnosis anemia. Jenis Anemia yang Diderita Ada berbagai macam anemia dan masing-masing memiliki penyebab tersendiri. Pada kesempatan kali ini, tema yang dibahas fokus pada anemia yang disebabkan oleh kekurangan vitamin B12 atau zat folat dalam tubuh. Akibat Kekurangan Vitamin B12 atau Folat Untuk membantu tubuh menghasilkan sel darah merah, dibutuhkan kerja sama antara vitamin B12 atau folat. Vitamin B12 juga berguna untuk membantu menjaga sistem saraf tetap sehat. Ini termasuk otak, saraf, dan saraf tulang belakang. Pada sisi lain, folat juga sangat penting bagi wanita hamil. Karena kekurangan folat bisa meningkatkan risiko kelainan bawaan atau cacat lahir pada bayi yang belum dilahirkan. Vitamin B12 bisa ditemukan pada daging, telur, dan produk olahan susu. Sedangkan sumber folat terbaik terkandung di dalam sayuran hijau seperti brokoli, kol Brussel, dan kacang polong.
18 Modul Senior Clerkship Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Cara-cara mengobati Anemia Defisiensi Vitamin B12 dan folat Anemia defisiensi vitamin B12 dan asam folat kebanyakan mudah diatasi. Pengobatan anemia jenis ini, awalnya akan diberikan vitamin B12 melalui suntikan. Tergantung apakah defisiensi B12 yang diderita berhubungan dengan pola makan atau tidak, Anda mungkin akan membutuhkan tablet suplemen di antara jadwal makan. Atau bisa juga secara teratur melakukan suntikan vitamin B12. Pengobatan ini mungkin dibutuhkan seumur hidup. Untuk mengembalikan tingkat asam folat, dibutuhkan tablet asam folat dan tablet ini harus dikonsumsi selama empat bulan untuk mencapai kadar yang normal di dalam tubuh. Defisiensi vitamin B12 atau folat, dengan atau tanpa anemia, bisa mengakibatkan komplikasimeski jarang terjadi. Misalnya bermasalah dengan jantung, paru-paru, dan sistem saraf serta meningkatkan risiko kemandulan. Meski begitu semua komplikasi pada umunya bisa diobati.
Soal: 1. Jelaskan gejala defisiensi vitamin B12 dan asam folat 2. Jelaskan tatalaksana defisiensi vitamin B12 dan asam folat
19 Modul Senior Clerkship Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Nomor Modul : 06/UN16.2-IKA-Modul/I/2016 Topik : Infeksi Tropis Subtopik : Demam Tifoid Learning Objectif : 1. Kognitif a. Menjelaskan definisi demam tifoid b. Menjelaskan epidemiologi demam tifoid c. Menjelaskan etiologi demam tifoid d. Menjelaskan patofisiologi demam tifoid e. Menjelaskan manifestasi klinis demam tifoid f. Menjelaskan cara menegakkan diagnosis demam tifoid g. Menjelaskan tatalaksana demam tifoid h. Menjelaskan komplikasi demam tifoid i. Menjelaskan prognosis demam tifoid 2. Psikomotor a. Mampu melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, menegakkan diagnosis dan pemeriksaan penunjang dari demam tifoid b. Mampu melakukan tatalaksana demam tifoid 3. Attitute a. Memperkenalkan diri kepada orang tua dan anak b. Mempersilahkan orang tua untuk bertanya c. Menerangkan kepada orang tua tentang prosedur tindakan yang akan dilakukan (informed consent)
DEMAM TIFOID Definisi Demam tifoid merupakan penyakit endemis di Indonesia yang disebabkan oleh infeksi sistemik Salmonella typhi. Epidemiologi Prevalens 91% kasus demam tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun, kejadian meningkat setelah umur 5 tahun. Etiologi dan patofisiologi Sembilan puluh enam persen (96%) kasus demam tifoid disebabkan S. typhi, sisanya disebabkan oleh S. paratyphi. Kuman masuk melalui makanan/minuman, setelah melewati lambung kuman mencapai usus halus (ileum) dan setelah menembus dinding usus sehingga mencapai folikel limfoid usus halus (plaque Peyeri). Kuman ikut aliran limfe mesenterial ke dalam sirkulasi darah (bakteremia primer) mencapai jaringan RES (hepar,lien,sumsum tulang untuk bermultiplikasi). Setelah mengalami 20 Modul Senior Clerkship Bagian Ilmu Kesehatan Anak
bakteremia sekunder, kuman mencapai sirkulasi darah untuk menyerang organ lain (intra dan ekstra intestinal). Masa inkubasi 10-14 hari. Diagnosis Anamnesis - Demam naik secara bertahap tiap hari, mencapai suhu tertinggi pada akhir minggu pertama, minggu kedua demam terus menerus tinggi - Anak sering mengigau (delirium), malaise, letargi, anoreksia, nyeri kepala, nyeri perut, diare atau konstipasi, muntah, perut kembung - Pada demam tifoid berat dapat dijumpai penurunan kesadaran, kejang, dan ikterus Pemeriksaan fisis Gejala klinis bervariasi dari yang ringan sampai berat dengan komplikasi. Kesadaran menurun, delirium, sebagian besar anak mempunyai lidah tifoid yaitu di bagian tengah kotor dan bagian pinggir hiperemis, meteorismus, hepatomegali lebih sering dijumpai daripada splenomegali. Kadang-kadang terdengar ronki pada pemeriksaan paru. Pemeriksaan penunjang Darah tepi perifer: - Anemia, pada umumnya terjadi karena karena supresi sumsum tulang, defisiensi Fe, atau perdarahan usus - Leukopenia, namun jarang kurang dari 3000/ul - Limfositosis relatif - Trombositopenia, terutama pada demam tifoid berat Pemeriksaan serologi: - Serologi Widal: kenaikan titer S. typhi titer O 1:200 atau kenaikan 4 kali titer fase akut ke fase konvalesens - Kadar IgM dan IgG (Typhi-dot) Pemeriksaan biakan Salmonela: - Biakan darah terutama pada minggu 1-2 dari perjalanan penyakit - Biakan sumsum tulang masih positif sampai minggu ke-4 Pemeriksaan radiologik: - Foto toraks, apabila diduga terjadi komplikasi pneumonia - Foto abdomen, apabila diduga terjadi komplikasi intraintestinal seperti perforasi usus atau perdarahan saluran cerna. - Pada perforasi usus tampak: - Distribusi udara tak merata - Airfluid level - Bayangan radiolusen di daerah hepar - Udara bebas pada abdomen 21 Modul Senior Clerkship Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Tata laksana - Antibiotik - Kloramfenikol (drug of choice) 50-100 mg/kgbb/hari, oral atau IV, dibagi dalam 4 dosis selama 10-14 hari - Amoksisilin 100 mg/kgbb/hari, oral atau intravena, selama 10 hari - Kotrimoksasol 6 mg/kgbb/hari, oral, selama 10 hari - Seftriakson 80 mg/kgbb/hari, intravena atau intramuskular, sekali sehari, selama 5 hari - Sefiksim 10 mg/kgbb/hari, oral, dibagi dalam 2 dosis, selama 10 hari - Kortikosteroid diberikan pada kasus berat dengan gangguan kesadaran Deksametason1-3mg/kgbb/hari intravena, dibagi 3 dosis hingga kesadaran membaik Suportif - Demam tifoid ringan dapat dirawat di rumah - Tirah baring - Isolasi memadai - Kebutuhan cairan dan kalori dicukupi Bedah Tindakan bedah diperlukan pada penyulit perforasi usus Indikasi rawat Demam tifoid berat harus dirawat inap di rumah sakit. - Cairan dan kalori - Terutama pada demam tinggi, muntah, atau diare, bila perlu asupan cairan dan kalori diberikan melalui sonde lambung - Pada ensefalopati, jumlah kebutuhan cairan dikurangi menjadi 4/5 kebutuhan dengan kadar natrium rendah - Penuhi kebutuhan volume cairan intravaskular dan jaringan - Pertahankan fungsi sirkulasi dengan baik - Pertahankan oksigenasi jaringan, bila perlu berikan O2 - Pelihara keadaan nutrisi - Pengobatan gangguan asam basa dan elektrolit - Antipiretik, diberikan apabila demam > 39°C, kecuali pada pasien dengan riwayat kejang demam dapat diberikan lebih awal - Transfusi darah: kadang-kadang diperlukan pada perdarahan saluran cerna dan perforasi usus Diet - Makanan tidak berserat dan mudah dicerna - Setelah demam reda, dapat segera diberikan makanan yang lebih padat dengan kalori cukup
22 Modul Senior Clerkship Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Pemantauan Terapi - Evaluasi demam dengan memonitor suhu.Apabila pada hari ke-4-5 setelah pengobatan demam tidak reda, maka harus segera kembali dievaluasi adakah komplikasi, sumber infeksi lain, resistensi S.typhi terhadap antibiotik, atau kemungkinan salah menegakkan diagnosis. - Pasien dapat dipulangkan apabila tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik, nafsu makan membaik, klinis perbaikan, dan tidak dijumpai komplikasi. Pengobatan dapat dilanjutkan di rumah. Penyulit - Intraintestinal: perforasi usus atau perdarahan saluran cerna: suhu menurun, nyeri abdomen, muntah, nyeri tekan pada palpasi, bising usus menurun sampai menghilang, defance musculare positif, dan pekak hati menghilang. - Ekstraintestinal: tifoid ensefalopati, hepatitis tifosa, meningitis, pneumonia, syok septik, pielonefritis, endokarditis, osteomielitis, dll. REFERENSI 1.Soedarmo SP, Garna H, Hadinegoro SR, Satari H. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis.Jakarta. Edisi kedua : 2010. 338-57 Soal: 1. Jelaskan patogenesis terjadinya demam tifoid 2. Jelaskan manifestasi klinis demam tifoid 3. Jelaskan tatalaksana demam tifoid pada anak
23 Modul Senior Clerkship Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Nomor Modul : 07/UN16.2-IKA-Modul/I/2016 Topik : Infeksi Tropis Subtopik : Difteri Learning Objectif : 1. Kognitif a. Menjelaskan definisi difteri b. Menjelaskan epidemiologi difteri c. Menjelaskan etiologi difteri d. Menjelaskan mekanisme patogenesis dan patofisiologi difteri e. Menjelaskan manifestasi klinis difteri f. Menjelaskan cara menegakkan diagnosis difteri g. Menjelaskan tatalaksana difteri h. Menjelaskan prognosis difteri 2. Psikomotor a. Mampu melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan menegakkan diagnosis difteri b. Mampu melakukan tatalaksana difteri 3. Attitute a. Memperkenalkan diri kepada orang tua dan anak b. Mempersilahkan orang tua untuk bertanya c. Menerangkan kepada orang tua tentang prosedur tindakan yang akan dilakukan (informed consent)
DIFTERI Definisi Suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh Corynebacterium diphtheriae, ditandai pembentukan pseudomembran pada kulit dan atau mukosa. Epidemiologi Difteri tersebar luas diseluruh dunia. Delapan puluh persen kasus terjadi pada usia dibawah 15 tahun, meskipun demikian dalam suatu keadaan wabah, angka kejadian menurut umur tergantung status imunitas populasi setempat. Faktor sosial ekonomi , pemukiman yang padat, nutrisi yang jelek , terbatasnya fasilitas kesehatan merupakan factor penting terjadinya penyakit ini. Etiologi Corynebacterium diphteriae merupakan kuman batang Gram positif, tidak bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, mati pada pemanasan 60 , tahan dalam keadaan beku, dan kering. Dengan pewarnaan, kuman bisa tampak dalam susunan palisade, bentuk L, atau V, atau merupakan kelompok dengan formasi mirip huruf China. 24 Modul Senior Clerkship Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Patogenesis dan patofisologi Kuman C. diphtheriae masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berkembang biak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling serta selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan pembuluh darah. Efek toksin pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam sel. Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan 2 asam amino yang telah diikat 2 transfer RNA yang mendapati kedudukan P dan A dari ribosom. Bila rangkaian asam amino ini akan ditambah dengan asam amino lain untuk membentuk polipeptida sesuai dengan cetakan biru RNA, diperlukan proses translokasi. Translokasi ini merupakan pindahnya gabungan transfer RNA + dipeptida dari kedudukan A ke kedudukan P. Proses translokasi ini memerlukan enzim traslokase (elongation factor-2) yang aktif. Toksin difteria mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivitasi enzim translokase melalui proses NAD+EF2 (aktif) toksin ADP-ribosil-EF2 (inaktif) + H2 + Nikotinamid ADP-ribosil-EF2 yang inaktif ini menyebabkan proses translokasi tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan, dengan akibat sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi kuman. Sebagai respons terjadi inflamasi lokal, bersama-sama dengan jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat yang semula mudah dilepas. Produksi toksin semakin banyak, daerah infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat fibrin. Terbentuklah suatu membran yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang terkandung. Selain fibrin, membran juga terdiri dari sel radang, eritrosit dan epitel. Bila dipaksa melepaskan membran akan terjadi perdarahan. Selanjutnya akan terlepas sendiri pada masa penyembuhan. (1) Pada pseudomembran kadang-kadang dapat terjadi infeksi sekunder dengan bakteri (misalnya Streptococcus pyogenes). Membran dan jaringan edematous dapat menyumbat jalan nafas. Gangguan pernafasan / sufokasi bisa terjadi dengan perluasan penyakit kedalam laring atau cabang trakeo-bronkus. Toksin yang diedarkan dalam tubuh bisa mengakibatkan kerusakan pada setiap organ, terutama jantung, saraf dan ginjal. Antitoksin difteria hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang terabsorbsi pada sel, tetapi tidak menetralisasi apabila toksin telah melakukan penetrasi kedalam sel. Setelah toksin terfiksasi dalam sel, terdapat masa laten yang bervariasi sebelum timbulnya manifestasi klinis. Miokarditis biasanya terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah 3-7 minggu. Kelainan patologik yang mencolok adalah nekrosis toksis dan degenerasi hialin pada bermacam-macam organ dan jaringan. Pada jantung tampak edema, kongesti, infiltrasi sel mononuclear pada serat otot dan system konduksi,. Apabila pasien tetap hidup terjadi regenerasi otot dan fibrosis interstisial. Pada saraf tampak neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada selaput myelin. Nekrosis hati biasa disertai gejala hipoglikemia, kadang-kadang tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubular akut pada ginjal. Gejala klinis Difteria mempunyai masa tunas 2 hari. Pasien pada umumnya datang untuk berobat setelah beberapa hari menderita keluhan sistemik. Demam jarang melebihi 38,9ºC dan keluhan serta gejala lain tergantung pada lokalisasi penyakit difteri.
25 Modul Senior Clerkship Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Difteri Hidung Common cold, pilek ringan , sekret hidung berangsur menjadi serosanguinus dan kemudian mukopurulen, pada pemeriksaan tampak membran putih pada daerah septum nasi. Difteria Tonsil Faring Anoreksia, malaise, demam ringan dan nyeri menelan. Dalam 1-2 hari kemudian timbul membran yang melekat berwarna putih-kelabu dapat menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan palatum molle atau ke bawah ke laring dan trakea, biasanya terjadi demam tidak tinggi, nyeri tenggorokan, dengan membran yang awalnya putih lalu menjadi abu-abu dengan bercak hijau atau hitam. Dapat terjadi limfadenitis servikalis dan submandibular. Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan pernafasan atau sirkulasi.Dapat terjadi paralisis palatum molle baik uni maupun bilateral disertai kesukaran menelan dan regurgitasi.Stupor, koma, kematian bisa terjadi dalam 1 minggu sampai 10 hari. Difteri Faring Laring Difteri laring biasanya merupakan perluasan difteri faring, disebut juga difteri faring laring. Pada obstruksi laring yang berat terdapat retraksi suprasternal, interkostal dan supraklavikular.Bila terjadi pelepasan membran yang menutup jalan nafas bisa terjadi kematian mendadak. Difteria Kulit, Vulvovaginal, Konjunctiva dan Telinga Tipe difteri yang jarang ditemukan. Difteri kulit klasik adalah infeksi nonprogresif lamban yang ditandai dengan ulkus yang tidak menyembuh, superficial, ektimik dengan membrane coklat keabu-abuan. Kriteria diagnostik: Anamnesis Kontak dengan penderita difteri Suara serak Stridor dan tanda lain obstruksi jalan nafas Pemeriksaan Fisik Tonsillitis, faringitis, rhinitis Limfadenitis servikal+edema jaringan lunak leher (bullneck) Sangat penting untuk diagnosis ditemukannya membrane pada tempat infeksi yang berwarna putih keabu-abuan, mudah berdarah bila diangkat Laboratorium Hitung leukosit darah tepi dapat ↑ Kadang-kadang timbul anemia Protein liquor pada neuritis difteria sedikit ↑ Urea N darah pada nekrosis tubular akut dapat ↑ Diagnosis pasti: kuman difteria pada sediaan langsung / biakan (+) EKG Dapat terjadi aritmia, perubahan segmen S-T dan gelombang T bila terjadi miokarditis
26 Modul Senior Clerkship Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Tatalaksana Umum Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negatif 2 kali berturutturut Khusus 1.Anti toksin : Anti Diphteria Serum (ADS) Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih dahulu ( penyuntikan 0,1 mL ADS dalam larutan garam fisiologis 1:1000 secara intra kutan) Dosis ADS menurut lokasi membran dan lama sakit Tipe Difteria Difteria hidung Difteria tonsil Difteria faring Difteria laring Kombinasi lokasi diatas Difteria+penyulit, bullneck Terlambat berobat (>72jam) Lokasi dimana saja
Dosis ADS (KI) 20.000 40.000 40.000 40.000 80.000 80.000 – 120.000 80.000 – 120.000
Cara pemberian Intramuskular Intramuskular atau intravena Intramuskular atau intravena Intramuskular atau intravena Intravena Intravena intravena
2. Antibiotik Penisilin prokain 50.000-100.000 IU/kgBB/hari selama 10 hari . Pada literatur lainnya dipakai dosis 25.000-50.000 IU/kgBB . Bila terdapat riwayat hipersensitivitas terhadap penisilin diberikan eritromisin 40mg/kgBB/hari maksimum 2gram/hari 3.Kortikosteroid Dianjurkan pemberian kortikosteroid pada kasus difteri yang disertai gejala Obstruksi saluran nafas bagian atas, dan bila terdapat penyulit miokarditis. Prednison 2mg/kgBB/hari selama 2 minggu kemudian diturunkan dosisnya bertahap. 4. Pengobatan Penyulit Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif merupakan indikasi tindakan trakeostomi 5. Pengobatan kontak 6. Pengobatan karier Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin 100mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama 1 minggu. Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi/adenoidektomi Prognosis Prognosis difteria setelah ditemukannya ADS dan antibiotik lebih baik daripada sebelumnya. Kematian mendadak pada kasus difteria dapat disebabkan oleh karena: 1. Obstruksi jalan nafas mendadak diakibatkan oleh terlepasnya membran difteria 2. Adanya miokarditis dan gagal jantung 27 Modul Senior Clerkship Bagian Ilmu Kesehatan Anak
3. Paralisis diafragma sebagai akibat neuritis nervus phrenikus REFERENSI 1.Soedarmo SP, Garna H, Hadinegoro SR, Satari H. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis.Jakarta. Edisi kedua : 2010. 312-29 Soal: 1. Jelaskan manifestasi klinis difteri 2. Jelaskan tatalaksana difteri pada anak
28 Modul Senior Clerkship Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Nomor Modul : 08/UN16.2-IKA-Modul/I/2016 Topik : Neonatologi Subtopik : Enterokolitis Nekrotikans Learning Objective: 1. Kognitif a. Menjelaskan definisi enterokolitis nekrotikans b. Menjelaskan pathogenesis dan patofisiologi enterokolitis nekrotikans c. Menjelaskan factor risiko terjadinya enterokolitis nekrotikans d. Menjelaskan manifestasi klinis enterokolitis nekrotikans e. Menjelaskan diagnosis dan derajat klinis enterokolitis nekrotikans f. Menjelaskan tatalaksana enterokolitis nekrotikans 2. Psikomotor a. Mampu melakukan anamnesis tentang faktor risiko dan manifestasi klinis enterokolitis nekrotikans kepada orang tua pasien b. Mampu mendeskripsikan kelainan klinis pada enterokolitis nekrotikans c. Mampu menentukan tatalaksana enterokolitis nekrotikans berdasarkan derajat klinisnya 3. Attitute a. Memperkenalkan diri kepada orang tua pasien b. Memberikan empati kepada orang tua pasien c. Menerangkan kepada orang tua pasien mengenai diagnosis pasien d. Memberikan informed consent kepada orang tua pasien tentang tatalaksana yang akan diberikan kepada pasien
ENTEROKOLITIS NEKROTIKANS / NECROTIZING ENTEROCOLITIS (NEC) Pendahuluan Enterokolitis nekrotikans merupakan suatu masalah emergensi yang paling umum dibidang gastrointestinal pada neonatus. Kondisi ini memiliki patogenesis yang kompleks serta melipatkan banyak faktor dan etiologi yang tidak jelas. Walaupun telah terdapat kemajuan yang signifikan dibidang neonatologi pada beberapa dekade belakangan ini, masalah mortalitas dan morbiditas yang berhubungan dengan NEC masih cukup tinggi. Definisi Enterokolitis nekrotikans adalah suatu keadaan inflamasi dan nekrosis iskemik yang secara primer mengenai usus neonatus prematur setelah inisiasi pemberian makanan secara enteral. Epidemiologi NEC umumnya terjadi pada bati prematur, dengan insidens sebesar 6-10% pada neonatus berat badan kecil dari 1500 gram, angka insiden tertinggi didapatkan pada neonatus yang sangat prematur. NEC juga dapat terjadi pada neonatus cukup bulan, dimana kejadian NEC pada bayi cukup bulan sebagian besar didahului oleh penyakit lainnya. 29 Modul Senior Clerkship Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Patogensis dan Patofisologi Patogenesis NEC masih belum sepenuhnya dimengerti dan diduga multifaktorial. Imaturitas saluran cerna merupakan faktor predisposisi terjadinya jejas intestinal dan respons yang tidak adekuat terhadap jejas tersebut. Patofisiologi yang diterima saat ini adalah adanya iskemia yang berakibat pada kerusakan intergritas usus. Pemberian minum secara enteral akan menjadi substrat untuk proliferasi bakteri, diikuti oleh invasi mukosa usus yang telah rusak oleh bakteri yang memproduksi gas. Hal ini mengakibatkan terbentuknya gas usus intramural yang dikenal sebagai pneumatosis intestinalis. Kejadian ini dapat mengalami progresivitas menjadi nekrosis transmural atau ganggren usus sehingga pada akhirnya mengakibatkan perforasi dan peritonitis. Faktor Resiko a. Prematuritas Terdapat hubungan terbalik antara kejadian NEC dengan usia gestasi. Semakin rendah usia gestasi, semakin rendah usia gestasi, semakin tinggi resiko karena imaturitas sirkulasi, gastrointestinal dan sistem imum. NEC tersering dijumpai pada usia gestasi 30-32 minggu b. Pemberian makan enteral NEC jarang ditemukan pada bayi yang belum pernah diberi minum. Sekitar 90-95% bayi dengan NEC telah mendapat sekurangnya satu kali pemberian minum -‐ Formula hiperosmolar dapat merubah permeabelitas mukosa dan mengakibatkan kerusakan mukosa -‐ Pemberian ASI terbukti dapat menurunkan kejadian NEC c. Mikroorganisme patogen enteral Patogen bakteri dan virus yang diduga berperan adalah E.coli, klebsiela, S.epidemidis, Clostridium Sp. Enteritis virus yang disebabkan oleh coronavirus dan rotavirus dapat merusak barier mukosa dan mengakibatkan sepsis akibat kuman enterik. Rotavirus dilaporkan bertanggung jawab atas 30% kejadian NEC disuatu senter d. Kejadian hipoksia atau iskemia, misyalnya asfiksia dan penyakit jantung bawaan Pada keadaan ini dapat terjadi hipoperfusi sehingga sirkulasi mesenterikus dikorbankan dan mengakibatkan iskemia intestinal. Ketidak seimbangan antara mediator vasodilator dan vasokonstriktor pada neonatus mengakibatkan defek autoregulasi splanknik yang berisiko mengakibatkan iskemia intestinal e. Bayi dengan polisotemia, transfusi tukar dan pertumbuhan janin terhambat berisiko mengalami iskemia intestinal f. Volume pemberian minum, waktu pemberian minum dan peningkatan minum enteral yang cepat, namun bukti tentang ini masih kontroversial Manifestasi Klinis Terdapat variasi yang luas pada gambaran klinis dari penyakit ini. Gambaran klinis NEC dapat dibagi menjadi manifestasi sistemik dan manifestasi abdominal. Kebanyakan bayi yang menderita NEC menunujukkan kombinasi dari kedua manifestasi tersebut, namun umunya manifetasi abdominal muncul lebih dominan. 30 Modul Senior Clerkship Bagian Ilmu Kesehatan Anak
-‐
-‐
Tanda sistemik Distres pernapasan, apneu dan/atau bradikardia, letargi, instabilitas suhu, iritabilitas, toleransi minum yang buruk, hipotensi(syok), penurunan perfusi perifer, asidosis, oliguria atau perdarahan. Tanda abdominal (intestinal) Distensi atau nyeri tekan abdomen, aspirasi lambung (residu makanan), muntah (kehijauan, darah atau campuran), ileus (bising usus menghilang atau menurun), buang air besar berdarah, eritema atau indurasi dinding perut, adanya massa yang terlokalisir dan menetap didalam abdomen atau adanya asites.
Manifestasi klinis dari penyakit ini sangat luas, terdapat sekitar 30% kasus yang hanya menunjukkan manifetasi klinis yang ringan dan berospon baik dengan terapi obat-obatan. Sementara itu terdapat sekitar 70% kasus yang menunjukkan gambaran penyakit yang berat dan proresifitas yang cepat untuk menjadi NEC totalis, syok septik, asidosis metabolik berat serta berakhir dengan kematian. Kriteria klasifikasi modifikasi Bell sering digunakan untuk mengklasifikasikan NEC berdasarkan pada gambaran klinis dan radiologis. -‐ Stage 1 : curiga NEC ♦ Tanda sistemik : tidak spesifik, termasuk apneu, bradikardia, letargi dan instabilitas suhu ♦ Tanda intestinal : intoleransi minum, adanya residu lambung berulang dan distensi abdomen ♦ Gambaran radiologis : normal atau nonspesifik -‐ Stage 2 : terbukti NEC ♦ Tanda sistemik : tidak spesifik, termasuk apneu, bradikardia, letargi dan instabilitas suhu, nyeri tekan abdomen dan trombositopenia ♦ Tanda intestinal : distensi abdomen yang hebat, nyeri tekan, edema dinding usus, hilangnya bising usus, buang air besar berdarah ♦ Gambaran radiologis : pneumatosis dengan atau tanpa udara vena porta -‐ Stage 3 : NEC berat ♦ Tanda sistemik : asidosis metabolik dan asidosis respiratorik, gagal nafas, hipotensi, penurunan output urin, syok, neutropenia dan DIC (disseminated intravascular coagulopathy) ♦ Tanda intestinal : tegang, indurasi, dan edema yang disertai perubahan warna dinding perut ♦ Gambaran radiologis : pneumoperitonium Diagnosis Diagnosis dini NEC dapat merupakan suatu faktor penting dalam hal luaran hasil pasien dengan NEC. Hal ini dapat diperoleh melalui tingkat kecurigaan yang tinggi dan observasi klinis yang hati-hati terhadap tanda-tanda penyakit ini pada bayi-bayi resiko tinggi. a. Diagnosis klinis NEC merupakan suatu diagnosis tentatif pada setiap bayi yang menunjukkan gejala intoleransi minum, distensi abdomen dan buang air besar bercampur darah. Namun dipihak lain, tanda-tanda diatas juga dapat merupakan suatu pertanda awal dari sepsis neonatorum.
31 Modul Senior Clerkship Bagian Ilmu Kesehatan Anak
b. Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan- pemeriksaan laboratorium berikut harus dilakukan dan diulangi bila diperlukan dalam upaya untuk menegakkan diagnosis NEC: -‐ Darah perifer lengkap dan hitung jenis leukosit serta trombosit Hitung sel darah putih masih mungkin normal namun umumnya meningkat dengan peningkatam shift to the left ataupun juga dapat ditemukan penurunan jumlah leukosit (lukopenia). Trombositopenia juga umum ditemukan pada NEC -‐ Protein C reaktif Protein ini berhubungan dengan respon inflamasi. Adanya temuan klinis yang umum berupa nilai awal CRP yang bisa jadi normal, maka nilai pemeriksaan serial yang dilakukan pada jarak 12 -24 jam pada protein ini lebih bermakna -‐ Kultur darah untuk bakteri aerob, anaerob serta jamur -‐ Kultur feses untuk rotavirus dan enterovirus -‐ Pemeriksaan elektrolit Gangguan keseimbangan elektrolit seperti hipo dan hipernatremia dan juga hiperkalsemia merupakan dua bentuk gangguan elektrolit yang sering ditemukan -‐ Pemeriksaan analisis gas darah Asidosis metabolik atau asidosis campuran metabolik dan respiratorik sering kali terlihat pada kondisi NEC -‐ Pemeriksaan fungsi pembekuan Pemeriksaan ini meliputi protrhombine time (PT), partial thromboplastin time (PTT), fibrinogen dan produk dari penghancuran fibrin ( D-dimer). Peningkatan dalam PT, PTT dan produk hasil degradasi fibrinogen mengindikasikan DIC dan kondisi ini umum ditemukan pada bayi dengan NEC berat c. Pemeriksaan Pencitraan -‐ Foto polos abdomen a. Mendukung kearah NEC Gambaran abnormal dari pola gas usus, ileus, pneumotisasi intestinal b. Terkonfirmasi NEC Pneumotosis intestinal dan gas pada vena porta hepar -‐ Foto abdomen lateral dekubitus dan cross table lateral Adanya gambaran udara bebas mengindikasikan adanya perforasi. Pemeriksaan serial radiologi harus dilakukan setiap 6-8 jam pada kondisi ditemukannya gambaran pneumotosis intestinal atau adanya gambaran udara vena porta untuk melihat adanya gambaran pneumoperitonium yang merupakan pertanda akan adanya perforasi dalam 48-72 jam kemudian. -‐ Ultrasonografi abdomen Pemeriksaan ini dapat berguna pada pasien-pasien yang menunjukkan gambaran NEC yang tidak khas ataupu pada pasien-pasien NEC yang tidak memberikan respon terhadap pengobatan dengan obat-obatan. Pemeriksaan ultrasonografi dapat mendeteksi gambaran balon udara intermiten pada parenkim liver dan sistem vena porta yang umumnya tidak 32 Modul Senior Clerkship Bagian Ilmu Kesehatan Anak
dapat dideteksi dengan menggunakan rontgen abdomen. Gambaran udara bebes dan penumpukan cairan juga dapat terlihat pada pemeriksaan dengan ultrasonografi. Ultrasonografi dopler sangat bermanfaat dalam hal deteksi nekrosis usus dan perforasi. Diagnosis banding Terdapat sejumlah keadaan yang dapat memiliki gambaran klinis yang mirip dengan NEC, kondisi tersebut adalah : a. Pneumonia, sepsis b. Kelainan bedah seperti malrotasi dengan obstruksi, intusepsi, ulkus, perforasi gaster, trombosis vena mesenterika c. Enterokolitis infektif. Penyakit ini jarang pada bayi, namun perlu dipikirkan bila dijumpai diare. Pada kasus ini tidak ditemukan tanda sistemik maupun enterik yang mengarah pada NEC d. Kelainan metabolisme bawaan e. Kolitis alergik berat f. Intoleransi minum. Sulit untuk membedakan dengan NEC, karena banyak bayi prematur mengalami intoleransi minum saat volume atau frekuensi minum ditingkatkan. Bila dicurigai NEC, bayi harus dimonitor ketat, dipuasakan, diberikan nutrisi parenteral dan antibiotik selama 72 jam sampai NEC dapat disingkirkan Tatalaksana Tatalaksana NEC adalah sesuai dengan tatalaksana akut abdomen dengan ancaman peritonitis. Tujuan tatalaksana adalah mencegah progresivitas penyakit, perforasi usus dan syok. 1.1 Tatalaksana Umum Tatalaksana umum untuk semua pasien NEC adalah : 1. Puasa dan pemberian nutrisi parenteral total 2. Pasang sonde nasogastrik untuk dekompresi lambung 3. Pemantauan ketat untuk tanda vital dan lingkar perut (ukur setiap 12-24 jam ), serta tandatanda diskolorisasi abdomen 4. Lepas kateter umbilikus bila ada 5. Antibiotik : Ampisilin dan gentamisin (amoksiklav dan gentamisin ) ditambah dengan metronidazol Dosis amosiklav : 50 mg/kg/dosis (dosis sama dengan ampicilin) Interval berdasarkan usia gestasi dan usia kronologis : a. Usia gestasi < 37 minggu Usia ≤ 28 hari : setiap 12 jam Usia > 28 hari : setiap 8 jam b. Usia gestasi ≥ 37 minggu Usia ≤ 7 hari : setiap 12 jam Usia > 7 hari : setiap 8 jam Dosis gentamisin : 5 mg/kg/dosis Interval berdasarkan berat lahir dan usia: a. Berat lahir < 1200 gram 33 Modul Senior Clerkship Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Usia ≤ 7 hari : setiap 48 jam Usia 8-30 hari : setiap 36 jam Usia > 30 hari : setiap 24 jam b. Berat lahir ≥ 1200 gram Usia ≤ 7 hari : setiap 36 jam Usia > 7 hari : setiap 24 jam Dosis metronidazol (intravena) Loading 15 mg/kg/dosis, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 7,5 mg/kg/dosis dengan interval pemberian: a. Usia ≤ 28 hari : tiap 12 jam b. Usia > 28 hari : tiap 8 jam Interval pemberian antara dosis loading dengan dosis pemeliharaan: a. Usia koreksi < 37 minggu : 24 jam setelah dosis loading b. Usia koreksi ≥ 37 minggu : 12 jam setelah dosis loading NB: pemberian antibiotik disesuaikan dengan kultur yang sudah diambil pada hari pertama dan mungkin berbeda untuk masing – masing rumah sakit 6. Pemeriksaan darah samar tiap 24 jam untuk memonitor perdarahan gastrointestinal 7. Jaga keseimbangan cairan dan elektrolit. Pertahankan diuresis 1-3 ml/kg/hari 8. Periksa darah tepi lengkap dan elektrolit setiap 24 jam sampai stabil 9. Foto polos abdomen serial setiap 8-12 jam 10. Konsultasi ke departemen bedah anak 1.2 Tatalaksana khusus bergantung pada stadium a. NEC stadium I -‐ Tatalaksana umum -‐ Pemberian minum dapat dimulai setelah 3 hari dipuasakan -‐ Antibitik dapat dihentikan setelah 3 hari pemeberian dengan syarat kultur negatif dan terdapat perbaikan klinis b. NEC stadium II -‐ Tatalaksana umum -‐ Antibiotik selama 14 hari -‐ Puasa selama 2 minggu. Pemberian minum dapat dimulai 7-10 hari setelah perbaikan radiologis pneomotosis -‐ Ventilasi mekanik bila dibutuhkan. Distensi abdomen progresif dapat mengganggu pengembangan paru -‐ Jaga keseimbangan hemodinamik. Pada NEC stadium II sering dijumpai hipotensi refrakter -‐ Leukopenia progresif, granulositopenia dan trombositopenia menandakan perburukan 1.3 Tatalaksana Bedah a. laparatomi eksploratif dengan reseksi sekmen yang nekrosis dan enterostomi atau anastomosis primer 34 Modul Senior Clerkship Bagian Ilmu Kesehatan Anak
b. Drainase peritoneal umumnya dilakukan pada bayi dengan berat < 1000 gram dan kondisi tidak stabil Prognosis Angka kematian secara keseluruhan 9-28%, sedangkan NEC dengan perforasi memiliki angka kematian yang lebih tinggi, berkisar antara 20-40%. Sekuele yang dapat terjadi antara lain : a. Gagal tumbuh dan gangguan perkembangan b. Striktur (25-35% pasien dengan atau tanpa bedah ) c. Fistula d. Short bowel syndrome (terjadi pada 10-20% pasien yang menjalani pembedahan) e. Kolestais akibat nutrisi parenteral jangka panjang Pencegahan Pencegahan terbaik kejadian NEC adalah dengan mencegah kelahiran prematur. Pemberian ASI telah terbukti menurunkan risiko dan insidensi NEC. Induksi maturasi gastrointestinal, insiden NEC berkurang setelah pemberian steroid pranantal. Bayi dengan duktus arteriosus persisten dianjurkan menggunakan ibuprofen dibandingkan indometasin untuk penutupan duktus. Peningkatan volume minum enteral secara perlahan, tetapi bukti mengenai efektivitas strategi ini masih kurang dan kecepatan peningkatan volume minum yang terbaik masih membutuhkan penerlitian lebih lanjut. Pemberian probiotik pada bayi dengan berat lahir < 1500 gram terbukti mengurangi kejadian NEC. Walaupun demikian, bukti yang mendukung pemberian probiotik pada bayi dengan berat lahir < 1000 gram masih belum cukup. Pemberian antibiotik enteral dapat mengurangi insidensi NEC.
Referensi 1. Katherine E, Bregory RN, Christine E, Kristan M, Philips M, Marter L. Necrotizing enterocolitis in the premature infant. Adv Neonatal Care. 2011;11:155-66. 2. Schnabl KL, Aerde JE, Thomson AB, Clandinin MT. Necrotizing enterocolitis: A multifactorial disease with no cure. World J Gastroenterol. 2008;14:2142-61. 3. Pellegrini M, Lagrasta N, Garcia C, Serna JC, Zicari E, Marzocca G. Neonatal necrotizing enterocolitis. European Review for Medical and Pharmacological Sciences. 2002;6:19-25. 4. Lee JS, Polin RA. Treatment and prevention of necrotizing enterocolitis. Seminars in Neonatology. 2003;8:449-59.
Soal 1. Sebutkan factor risiko terjadinya enterokolitis nekrotikans pada neonatus 2. Sebutkan gejala klinis dan derajat enterokolitis nekrotikans 3. Jelaskan tatalaksana enterokolitis nekrotikans pada neonatus
35 Modul Senior Clerkship Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Nomor Modul : 08/UN16.2-IKA-Modul/I/2016 Topik : Kardiologi Subtopik : Gagal Jantung Learning Objective : 1. Kognitif a. Menjelaskan definisi gagal jantung b. Menjelaskan epidemiologi gagal jantung c. Menjelaskan etiologi gagal jantung d. Menjelaskan patofisiologi gagal jantung e. Menjelaskan manifestasi klinis gagal jantung f. Menjelaskan cara menegakkan diagnosis gagal jantung g. Menjelaskan tata laksana gagal jantung h. Menjelaskan prognosis gagal jantung 2. Psikomotor a. Mampu melakukan anamnesis terhadap keluarga pasien b. Mampu menegakkan diagnosis gagal jantung 3. Attitute a. Memperkenalkan diri kepada keluarga pasien b. Memberikan waktu kepada keluarga untuk menjelaskan keluhan yang dialami pasien c. Menerangkan kepada keluarga pasien tentang tindakan yang akan dilakukan kepada pasien dan tujuannya d. Memberikan informed consent kepada keluarga pasien
GAGAL JANTUNG Definisi Gagal jantung adalah ketidakmampuan jantung dan sistem neurohormonal untuk menjamin kecukupan curah jantung untuk mempertahankan kebutuhan metebolik. Saat ini diketahui adanya peranan yang kompleks antara faktor genetik, neurohormonal, inflamasi dan perubahan-perubahan biokimia yang bekerja pada miosit jantung, interstitial jantung atau keduanya. Epidemiologi Saat ini tidak ada data yang valid mengenai insiden gagal jantung akut pada anak. Gagal jantung memberi konstribusi terhadap estimasi 15 juta kematian anak tiap tahun didunia, penyebab tersering adalah PJB. Data insiden gagal jantung akut dari Inggris dan Irlandia, akibat kelainan otot 0.87/100.000 populasi pertahun dan sebanyak 0.57/100.000 di Amerika Serikat.
36 Modul Senior Clerkship Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Etiologi Etiologi gagal jantung pada anak berbeda halnya dengan etiologi gagal jantung kongestif pada dewasa. Pada dewasa sebagian besar gagal jantung disebabkan oleh karena gagal jantung ventrikel kiri sebagai akibat penyakit arteri koroner, hipertensi dan aritmia. Penyebab terbanyak gagal jantung pada anak adalah kelainan struktural jantung bawaan dan kardiomiopati tanpa kelainan struktural. Tabel 1. Etiologi gagal jantung pada jantung dengan struktur yang normal Prenatal Anemia Aritmia (aritmia supraventrikular, blok AV, sistemik lupus eritematosus) Fistula arterivenus Kardiomiopati Twin-twin atau fetomaternal transfusion Miokarditis Neonates Anemia Aritmia Fistula arterivenus Kardiomiopati dilatasi Endokrinopati Hipoglikemia Hipotiroidisme Hypoxic ischemic injury Infeksi dan sepsis Bayi Anemia Aritmia Fistula arterivenus Kardiomiopati dilatasi Endokrinopati Hipotiroidisme Infeksi dan sepsis Hipertensi Sindrom Kawasaki Anak Penyakit katup didapat (endokarditis atau demam rematik) Anemia Aritmia Kardiomiopati dilatasi Miokarditis Hipertensi Gagal ginjal Kardiomiopati restriktif Remaja Penyakit katup didapat Anemia 37 Modul Senior Clerkship Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Aritmia Kardiomiopati dilatasi Miokarditis Hipertensi Gagal ginjal Sindrom kawasaki Kardiomiopati restriktif Endokrinopati Tabel 2. Etiologi gagal jantung pada penderita dengan penyakit jantung bawaan Prenatal Regurgitasi katup artrioventrikuler Obstruksi pada jalan masuk atau keluar ventrikel kiri ( mitral stenosis, atresia aorta, sindrom hipolastik jantung kiri) dengan intak septum atrium Aritmia (takikardia supraventrikular pada anolamy Ebstain, blok AV) Neonates Obstruksi jalan keluar sistemik (stenosis katup aorta, koartasio aorta, stenosis subaortik, stenosis katup trunkus) Obstruksi jalan masuk sistemik (obstruksi vena pulmonal, obstruksi pada aliran vena pulmonal,kor triatrium, mitral stenosis) Kelainan diatas ditambah beban volume berlebih (obstruksi aliran sistemik dan defek septum ventrikel) Beban volume berlebih pada premature (paten duktus arteriosus, defek septum ventrikel) Bayi Obstruksi jalan keluar sistemik (stenosis katup aorta, koartasio aorta, stenosis subaortik) Obstruksi jalan masuk sistemik (obstruksi vena pulmonal, kor triatrium, mitral stenosis) Beban volume berlebih pada ventrikel (defek septum ventrikel atau AV-canal, single ventricle physiology dengan aliran paru berlebih, trunkus arteriosus, anomaly aliran vena pulmonal disertai obstruksi) Kardiomiopati Anak Koartasio aorta Regurgitasi katup aorta Regurgitasi mitral Stenosis mitral Stenosis vena pulmonalis Pasca operasi jantung paliatif Remaja Koartasio aorta Regurgitasi katup aorta Regurgitasi katup pulmonal atau stenosis Regurgitasi mitral Defek septum atrium 38 Modul Senior Clerkship Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Pasca operasi jantung paliatif Pasca operasi koreksi penyakit jantung bawaan (mis: tetralogi Fallot/patch transsnnular) Patofisiologi Gagal jantung pada awalnya timbul sebagai mekanisme kompensasi untuk mempertahankan keseimbangan antara kebutuhan dan pasokan terhadap oksigen serta semua bahan yang diperlukan untuk memperoleh keseimbangan baru. Bilamana mekanisme kompensasi tersebut gagal, maka keseimbangan baru tidak tercapai dan terjadilah gagal jantung. Mekanisme kompensasi tersebut adalah upaya tubuh untuk memperoleh keseimbangan baru, berupa : 1. Meningkatkan volume dan tekanan akhir diastole (dilatasi) untuk meningkatkan kekuatan kontraksi miokard melalui mekanisme Frank-Starling (salutary action). Bilamana peningkatan tekanan akhir diastole tersebut berlebihan mengakibatkan edema paru dan perifer (non-salutary effect). 2. Meningkatkan tonus simpatis untuk meningkatkan frekuensi denyut jantung dan kontraksi miokard agar dapat mempertahankan tekanan perfusi jaringan (salutary action). Bilamana peningkatan tonus simpatis tersebut berlebihan selain mengakibatkan takikardia sehingga terjadi peningkatan vasokontriksi arteri perifer sehingga terjadi peningkatan beban tekanan ventrikel kiri (pressure overload). Dengan demikian justru terjadi efek yang sangat merugikan terhadap perfusi jaringan (non-salutary effect). 3. Merangsang sistem renin-angiotensin-aldosteron sehingga terjadi retensi air dan natrium di ginjal yang meningkatkan tekanan diastolic filling dan vasokontriksi untuk mempertahankan tekanan perfusi jaringan (salutary action). Bilamana rangsangan ini berlebihan maka mengakibatkan bendungan pada sistem vena sistemik dan paru dan peningkatan afterload (non-salutary effect). 4. Menimbulkan hipertrofi ventrikel dan bertambvahnya elemen kontraktil sehingga terjadi peningkatan kekuatan kontraksi miokard (salutary action). Bilamana hipertrofi ventrikel berlebihan akan mengakibatkan iskemia relatif serta gangguan relaksasi sehingga menimbulkan bendungan sistemik dan paru (non-salutary effect).
39 Modul Senior Clerkship Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Cedera miokardium
Penurunan kinerja miokardium Penurunan volume sekuncup dan curah jantung
Aktivasi sistem Renin-‐angiotensin
Retensi Natrium dan cairan Mekanisme Franck-‐Starling Vasokontriksi sistemik
Respon neuro-‐hormonal
Aktivasi sistem saraf simpatis Peningkatan denyut jantung Peningkatan kontraktilitas miokardium Vasikontriksi sistemik
Mekanisme lain
Penglepasan kalsium Hipertrofi Fibrosis, apoptosis
Peningkatan preload Peningkatan afterload Peningkatan kebutuhan miokardium
Stress dinding ventrikel lebih lanjut, Remodeling ventrikel (dilatasi, hipertrofi)
Gagal jantung semakin memburuk
Gambar 1. Mekanisme patofisiologi gagal jantung Manifestasi Klinis
Gambaran klinis gagal jantung yang tampak adalah sebagai akibat kombinasi curah jantung yang rendah dan respon mekanisme kompensasi yang bertujuan untuk mengembalikan perfusi keseluruh jaringan tubuh. Secara klinis penderita menunjukkan takikardia, takipnea, hipertensi atau hipotensi, saturasi oksigen kurang dari 98%, capillary refill time > 2 detik, hepatomegali, irama derap (gallop), akral teraba dingin, retraksi dinding dada, terdengar rinki, mengi, edema perifer dan distensi vena jugular. Sedangkan tanda yang paling sering tampak adalah anak tampak lemah, anemia, sesak, batuk, berkeringat dingin dan diare. Beratnya gagal jantung dapat diklasifikasikan berdasarkan skor gagal jantung dari Ross. Tabel 3. Klasifikasi gagal jantung pada anak (Modifikasi Ross) Kelas Gejala Kelas I Asimtomatik Kelas II Pada bayi : takipnea ringan atau berkeringat saat minum susu Pada anak yang lebih besar : sesak nafas saat beraktifitas Kelas III Pada bayi : takipnea yang nyata atau berkeringat saat minum susu Dispnue yang nyata saat beraktivitas Waktu yang diperlukan untuk minum susu lebih lama dan gagal tumbuh Kelas IV Takipnea, retraksi, merintih atau berkeringat saat istirahat
40 Modul Senior Clerkship Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Diagnosis Untuk menegakkan diagnosis gagal jantung dimulai dengan anamsesis, gejala klinis, pemeriksaan penunjang meliputi foto thorak, elektrokardiografi, ekhokardiografi, analisis gas darah dan melihat petanda biologis gagal jantung. Pemeriksaan penunjang : • Pemeriksaan laboratorium o Pemeriksaan laboratorium sederhana membantu untuk menyingkirkan adanya anemia dan infeksi o Analisis gas darah dapat menunjukkan adanya asidosis metabolik disertai peningkatan kadar laktat o Serum elektrolit (natrium, kalium, kalsium dan magnesium) penting untuk memantau gangguan keseimbangan elektrolit serta penyulit dan persratan sebelum pemberian digitalis. • Foto thorak Menunjukkan adanya kardiomegali. Tidak adanya kardiomegali hamper menyingkirkan diagnosis gagal jantung. Sedangkan kardiomegali bukan selalu berarti adanya gagal jantung karena beberapa anak yang mempunyai pirau kiri ke kanan yang besar dapat menunjukkan kardiomegali tanpa gagal jantung. • Elektrokardiografi Dapat menunjukkan adanya sinus takikardia, pembesaran atrium dan hipertrofi ventrikel, tetapi tidak dapat membantu dalam menentukan ada tidaknya gagal jantung • Echokardiografi Dapat secara nyata menggambarkan struktur jantung, data tekanan dan status fungsional jantung. Disfungsi sistolik merupakan prediktor yang kuat untuk gejala jantung dan prognosis pada penderita dewasa dan anak dengan gagal jantung kongestif dan kardiomiopati dilatasi. Tatalaksana Tujuan terapi pada penderita gagal jantung adalah menghilangkan gejala kongesti pada paru maupun sistemik, memperbaiki penampilan miokard, menghilangkan faktor pencetus dan yang paling ideal adalah memperbaiki kelainan anatomi jantung yang menjadi penyebabnya. Tatalaksana secara umum : • • • • • • •
Oksigen Tirah baring, posisi setengan duduk Sedasi kadang diperlukan: fenobarbital 2-3 mg/kgBB/dosis tiap 8 jam selama 1-2 hari Koreksi gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit Retriksi garam jangan terlalu ketat, pada anak garam < 0.5 gr/hari Timbang berat badan tiap hari Hilangkan faktor yang memperberat : atasi demam, anemia dan infeksi jika ada 41 Modul Senior Clerkship Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Pemberian obat anti gagal jantung : •
•
•
Diuretik : Untuk mengurangi preload atauvolume diastolik akhir Furosemid : dosis 1-2 mg/kgBB/hari, oral atau IV. Dapat menyebabkan hipokalemia. Spironolakton : 2-3 mg/kgBB/hari dalam 2-3 dosis terbagi. Dapat diberikan bersama furosemid, bersifat menahan kalium Vasodilator : untuk mengurangi afterload atau tahanan yang dialami saat ejeksi ventrikel Kaptopril : biasanya diberikan pada gagal jantung akibat beban volume, kardiomiopati, insufisiensi mitral atau aorta berat, pirau dari kiri ke kanan yang besar. Dosis : 0.3- 3 mg/kgBB/hari peroral, dibagi dalam 2-3 dosis. Bersifat retensi kalium Inotropik : untuk meningkatkan kontraktilitas miokard. Obat inotropik yang bekerja cepet seperti dopamine dan dobutamin digunakan pada kasus kritis atau akut, sedangkan obat inotropik lain sperti digoksin digunakan pada semua kasus yang tidak kritis. Tabel 4. Dosis digoksin untuk gagal jantung (oral) Usia Dosis digitalisasi(mcg/kg) Premature 20 Bayi < 30 hari 30 Usia < 2 tahun 40-50 Usia > 2 tahun 30-40
Dosis rumatan (mcg/kg/hari) 5 8 10-12 8-10
Terapi bedah : Terapi bedah pada gagal jantung oleh karena defek intrakardiak dapat bersifat paliatif atau koreksi (penutupan defek). Terapi paliatif berupa penjeratan (banding) arteri pulmonalis ditujukan pada bayi kecil dengan keadaan kritis yang tidak memungkinkan menggunakan mesin pintas jantung-paru. Terapi koreksi pada bayi dilakukan dengan tujuan untuk menanggulangi gagal jantung yang tidak dapat diatasi dengan medikamentosa, termasuk didalamnya infeksi saluran nafas bagian bawah berulang dan gagal tumbuh. Prognosis Prognosis penderita gagal jantung tergantung penyebabnya. Bila oleh karena kelainan struktur jantung dan kelainan tersebut dapat dikoreksi baik dengan cara pembedahan maupun kateterisasi intervensi, maka prognosis anak akan baik. Tetapi pada gagal jantung akibat PJB kompleks yang terapi pembedahan bersifat paliatif, maupun pada penderita kardiomiopati dilatasi yang berkepenjangan, maka prognosis tetap buruk. Pemantauan Pasien gagal jantung yang mendapat pengobatan medikamentosa perlu dipantau gambaran darah tepi terhadap anemia dan infeksi, elektrolit, fungsi hati dan ginjal. 42 Modul Senior Clerkship Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Referensi 1. Oesman IN. Gagal jantung. In: Sudigdo Satroasmoro, Madiyono B, editors. Buku Ajar Kardiologi Anak. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 1994. p. 425-41. 2. Rossano JW, Shaddy RE. Heart failure in children: Etiology and treatment. Jjpeds. 2014;165:228-33. 3. Rossano JW, GY J. Pediatric heart failure: current state and future possibilities. kcj. 2015;45:1-8. 4. Hsu DT, Pearson GD. Heart Failure in Children. circ Heart Fail. 2009;2:63-70. 5. Bernstein D.Heart Failure. Dalam : Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-16. Philadelphia : W.B.Saunders Company,2000.h. 1440-4 6. Park MK. Pediatric Cardiology For Practitioners. Edisi ke 5. St Louis : Mosby-Yearbook,2008.h. 461473. Soal 1. Seorang anak laki laki usia 3 tahun datang dengan keluhan sesak nafas sejak tiga hari. Sesak timbul terutama kalau berjalan, kadang kadang juga kalau habis menangis. Tidak ada riwayat demam. Saat usia beberapa bulan, pernah dibawa ke dokter anak dan dikatakan ada bunyi yang tidak normal dan dirujuk ke dokter ahli jantung anak namun orangtua belum sempat membawanya kesana. Pada pemeriksaan fisis didapatkan anak sadar, tampak sakit, nafas sesak, tidak sianotik, suhu 37 C. Laju nadi 160/ menit, Laju nafas 42/ menit, agak dalam.BB 10 kg. JVP sulit dinilai. Konjungtiva pucat. Iktus kordis tampak dan teraba sekitar 2 cm di lateral dari garis mid klavikular kiri di sela iga 5. Bunyi jantung I dan II normal, terdengar bising pansistolik di sela iga 2-3 garis parasternal kiri derajat 3/6. Hepar teraba ½-1/2 tumpul, rata. Pada kedua tungkai ditemukan edema. Apa kemungkinan diagnosis pada pasien ini a. b. c. d. e.
Gagal jantung Kawasaki disease Infark miokard Cardiomyopath Bronkopneumonia dengan hipertensi pulmonal
2. Apa kemungkinan etiologi pada pasien ini a. b. c. d. e.
ASD VSD PDA Infeksi bakteri TOF
43 Modul Senior Clerkship Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Nomor Modul : 09/UN16.2-IKA-Modul/I/2016 Topik : Neonatologi Subtopik : Hiperbilirubinemia Learning Objective: 1. Kognitif a. Menjelaskan definisi hiperbilirubinemia b. Menjelaskan patogenesis dan patofisiologi hiperbilirubinemia c. Menjelaskan penyebab terjadinya hiperbilirubinemia pada neonatus d. Menjelaskan manifestasi klinis hiperbilirubinemia e. Menjelaskan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk mengetahui penyebab hiperbilirubinemia pada neonatus f. Menjelaskan tatalaksana hiperbilirubinemia pada neonatus 2. Psikomotor a. Mampu melakukan anamnesis tentang penyebab dan manifestasi klinis hiperbilirubinemia kepada orang tua pasien b. Mampu mendeskripsikan kelainan klinis pada hiperbilirubinemia c. Mampu menentukan tatalaksana hiperbilirubinemia berdasarkan derajat klinisnya 3. Attitute a. Memperkenalkan diri kepada orang tua pasien b. Memberikan empati kepada orang tua pasien c. Menerangkan kepada orang tua pasien mengenai diagnosis pasien d. Memberikan informed consent kepada orang tua pasien tentang tatalaksana yang akan diberikan kepada pasien
HIPERBILIRUBINEMIA (IKTERUS NEONATORUM) Pendahuluan Icterus, jaundice, atau “sakit kuning” adalah warna kuning pada sklera mata, mukosa dan kulit oleh karena peningkatan kadar bilirubin dalam darah (hiperbilirubinemia) yang selanjutnya menyebabkan peningkatan bilirubin dalam cairan luar sel (extracelluler fluid). Istilah jaundice berasal dari bahasa prancis jaune yang artinya kuning, dan warna kuning tersebut adalah merupakan gejala dari suatu penyakit primer yang masih harus ditetapkan diagnosisnya setelah dilakukan serangkaian pemeriksaan yang diperlukan. Dalam keadaan normal kadar bilirubin dalam darah tidak melebihi 1 mg/dL (17umol/L) dan bila kadar bilirubin melebihi 1,8 mg/dL (30 umol/L) akan menimbulkan ikterus. Warna kkuning meliputi kulit wajah / kepala menunjukkan bahwa kadar bilirubin dalam serum adalah 5 mg/dL, bila telah mencapai pertengahan abdomen adalah 15 mg/dL, dan bila warna kuning telah mencapai telapak kaki maka kadarnya adalah 20 mg/dL.ikterus perlu dibedakan dengan warna kuning yang tedapat pada hanya pada kulit, telapak tangan dan kaki serta tidak pada sklera adalah disebabkan oleh karena karotenemia dan keadaan ini disebut pseudoikterus yang tidak bersifat patologik. Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena yang paling sering ditemukan pada bayi baru lahir. Lebih dari 85% bayi cukup bulan yang kembali dirawat dalam mingggu pertama kehidupan 44 Modul Senior Clerkship Bagian Ilmu Kesehatan Anak
disebabkan oleh karena keadaan ini.2 Kadar bilirubin pada semua neonatus, cukup bulan ataupun kurang bulan, akan mengalami peningkatan pada beberapa hari pertama kelahiran.3 Walaupun sebagian besar hiperbilirubinemia merupakan kondisi yang tidak berbahaya, tapi pada kadar yang sangat tinggi bisa merusak susunan syaraf pusat. Walaupun demikian, penelitian terakhir menemukan bahwa bilirubin bukan zat yang sama sekali tidak berguna. Bilirubin adalah antioksidan yang kuat dan juga suatu peroxyl-scavenger, yang mungkin melindungi neonatus dari toksisitas oksigen di hari pertama. Definisi Ikterik neonatorum adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh pewarnaan ikterus pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang berlebihan. Ikterus secara klinis akan ulai tampak pada bayi baru lahir bila kadar bilirubn darah 5-7 mg/dL. Etiologi Ikterik neonatorum disebabkan oleh karena akumulasi pigmen bilirubin (4Z,15 Z bilirubin IX alpha) yang berwarna ikterus pada sklera dan kulit. Isomer bilirubin ini berasal dari degradasi heme yang merupakan komponen hemoglobin mamalia. Epidemiologi Enam puluh lima persen neonatus menjadi kuning dengan kadar bilirubin total (total serum bilirubin/TSB) lebih dari 6 mg/dL. Lebih kurang 8-10% neonatus mengalami hiper-bilirubinemia eksesif (TSB > 17 mg/dL) dan pada 1-2% neonatus, kadar TSB mencapai lebih dari 20 mg/dL. Kadar bilirubin yang ekstrim tinggi dan potensial berbahaya, jarang ditemukan. Pada 1 dari 700 neonatus, kadar bilirubin meningkat sampai > 25 mg/dL, dan hanya 1 dari 10.000 yang mempunyai TSB > 30 mg/dL. Kadar bilirubin terlalu tinggi bisa menimbulkan kern-ikterik yang ditandai dengan kerusakan pada ganglia basal dan batang otak. Kernikterik timbul bila terjadi deposit bilirubin tidak terkonjugasi pada basal ganglia dan jarang terjadi pada neonatus cukup bulan kecuali konsentrasi bilirubin tidak terkonjugasi > 25 mg/dL. Bayi dengan berat badan lahir sangat rendah dan sangat prematur mempunyai risiko kernikterus pada kadar bilirubin tidak terkonjugasi yang lebih rendah. Patogenesis Untuk dapat memahami patogenesi ikterik neonatum maka harus dipahami terlebih dahulu metabolisme bilirubin sebagai kunci utama penyebab ikterik neonatorum. Metabolisme terbentuknya bilirubin yaitu diawali dengan membran eritrosit atau sel darah merah (SDM) yang menjadi rapuh dan kemudian pecah, disebut hemolisis. Hemolisis terjadi secara fisiologik bila SDM telah mencapai umur 100-120 hari. Bila sebelum umur tersebut SDM pecah maka hemolisis adalah bersifat patologi yaitu disebabkan oleh penyakit tertentu. Proses hemolisis tersebut terjadi di sistem retikuloendotelial, kemudian isi sel termasuk hemoglobin (Hb) berada disirkulasi. Makrofag memfagositosis Hb dan memecahnya menjadi heme dan globin. Globin merupakan protein dan mengalami degradasi menjadi asam amino yang tidak mempunyai kaitan dengan ikterus, sedangkan heme mengalami reaksi oksidasi atau katalis oleh enzim mikrosom oksigenase, maka heme menghasilkan biliverdin (pigmen berwarna hijau), zat besi dan 45 Modul Senior Clerkship Bagian Ilmu Kesehatan Anak
karbondioksida. Fase beikutnya ialah bililverdin mengalami reaksi reduktasi oleh enzim sitosolik reduktasi sehingga biliverdin menjadi pigmen tetrapirol berwarna kuning disebut bilirubin. Bilirubin fase ini adalah unconjugated, free, atau indirect (rekasi Van den bergh tidak langsung), bersifat tidak larut dalam air dan berada dijaringan lemak. Selain berasal dari SDM (80%) bilirubin juga ada yang berasal dari sumber hme yang lain (20%) yaitu dari mioglobin otot dan sitokrom. Bilirubin tidak terkonjugasi berikatan dengan protein albumin serum lalu beredar dan tiba di hepar kemudian mengalami konjugasi dengan asam glukuronik oleh enzim transferase UDP-glukuronil membentuk bilirubin diglukuronik atau conjugated bilirubin yang disebut juga sebagai bilirubin direk (reaksi van den Bergh langsung) dengan sifat larut dalam air. Bilirubin konjugasi diekskresi dari hepar ke duktus biliaris menjadi bagian dari empedu, kemudian bakterik usus merubahnya menjadi urobilinogen yang kemudian diubah lebih lanjut menjadi sterkobilinogen lalu menjadi sterkobilin yang dikeluarkan bersama tinja. Sebagian urobilinogen diserap kembali oleh usus masuk sirkulasi sampai diginjal kemudian mengalami oksidasi dan ekskresinya melalui urin dalam bentuk urobilin. Sterkobilin dan urobilin memberi warna masing-masing pada tinja dan urin. Patofisologi Ikterus bersifat fisiologik hanya terdapat pada bayi, tetapi ikterus pada bayi tidak selalu bersifat fisiologik, jadi mungkin saja ikterik tersebut adalah patologik. Yang memenuhi sarat sebagai ikterus fisiologik ialah bila ikterus timbul pada bayi berumur 2-3 / 3-4 hari (bayi cukup/kurang bulan) dan ikterus hilang pada umur 4-5 / 7-9 hari (bayi cukup / kurang bulan), kadar tertingggi bilirubin indirek ialah 10-12 mg/dL pada bayi cukup bulan dan 15 mg/dL pada bayi kurang bulan, masing – masing tercapai pada umur 2-3 hari dan 6-8 hari, dengan rerata peningkatan < 5 mg/dL/hari. Sifat – sifat ikterus yang tidak sesuai dengan batasan tersebut adalah tergolong sebagai ikterus patologik dan dapat dijumpai pada berbagai penyakit. Mekanisme terjadinya ikterus tersebut adlah bervariasi sesuai dengan jenis penyakitnya masing- masing, yaitu berupa hemolisis, enzim hepar yang belum cukup mampu merubah bilirubin indirek menjadi bilirubin direk, defisiensi enzim, kerusakan sel hepar ileh karena infeksi, intoksikasi obat atau bahan kimia, keracunan, hambatan aliran disaluran intrahepatal dan ekstrahepatik oleh batu atau atresia biliaris. Ikterus neonatorum pada minggu pertama kehidupan dapat terjadi akibat meningkatknya prioduksi bilirubin akibat proses turn over sel darah merah yanng cepat dan pendeknya usia sel darah merah. Disamping itu, ikterus juga dapat terjadi akibat menurunnya ekskresi bilirubin akibat redahnya ambilan serta konjugasi dihati, dan peningkatan sirkulasi enterohepatik. Ekskresi bilirubin mengalami perbaikan setelah usia 1 minggu. Penyebab Hiperbilirubinemia Neonatal Hiperbilirubinemia dapat disebabkan proses fisiologis atau patologis atau juga akibat keduaduanya.Risiko hiperbilirubinemia meningkat pada bayi yang mendapat ASI dan bayi kurang bulan. Hal ini disebabkan beberapa faktor antara lain frekuensi menyusui tuang tidak adekuat, hambatan ekskresi bilirubin hepatik dan reabsorbsi bilirubin di usus halus.
46 Modul Senior Clerkship Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Hiperbilirubinemia bisa dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu: A. Hiperbilirubinemia Indirek (Unconjugated). Ini merupakan sebagian besar hiperbilirubinemia yang terjadi pada neonatus, didefinisikan sebagai kadar bilirubin indirek > 10 mg/dL. Hiperbilirubinemia indirek disebabkan oleh berbagai hal yang menyebabkan peningkatan produksi bilirubin ( seperti proses hemolitik, policytemia, perdarahan dll), gangguan pada proses transportasi, gangguan konjugasi di hati, serta peningkatan sirkulasi enterohepatik. Beberapa faktor juga berperan dalam hiperbilirubinemia indirek, seperti perbedaan ras, prematuritas, serta pemberian ASI (breast feeding dan breast-milk jaundice). Tidak semua hiperbilirubinemia indirek ini patologis, sebagian besar justru bersifat fisiologis dan menghilang sendiri setelah usia 1 minggu. B. Hiperbilirubinemia Direk (Conjugated). Didefinisikan sebagai kadar bilirubin direk lebih dari 1,5-2 mg/dL atau > 10-20% TSB. Hal ini merupakan tanda kerusakan hepatobilier, berupa gangguan pada pengeluaran bilirubin direk dari hati (kolestasis), karena berbagai sebab dari dalam dan luar hati seperti infeksi atau gangguan pada saluran bilier. Hiperbilirubinemia direk terjadi pada sebagian kecil neonatus dan tidak pernah fisiologis. Ikterik Fisiologis dan Ikterik Patologis pada Neonatus A. Ikterik Fisiologis Terdapat beberapa faktor yang menimbulkan ikterik pada neonatus, diantaranya aktifitas UDPGT rendah, sel darah merah lebih banyak, intestinal flora belum ada, motilitas usus rendah dan peningkatan siklus enterohepatik. Motilitas usus yang lambat, menyebabkan stasis bilirubin direk di dalam usus, sedangkan β-glucoronidase yang terdapat di mukosa usus akan melepaskan ikatan pada molekul glucoronide dan merubah kembali bilirubin menjadi indirek untuk kemudian diserap lagi ke dalam darah (siklus entero-hepatik). Essensial untuk diagnosis dan tampilan klinis ikterik fisiologis antara lain: - Kuning terlihat setelah usia 24 jam. - Peningkatan TSB < 5 mg/dL per hari. - Kadar puncak bilirubin ditemukan pada hari ke 3-5, dengan TSB tidak melebihi 15 mg/dL - Ikterik menghilang setelah 1 minggu pada bayi cukup bulan dan 2 minggu pada bayi kurang bulan. B. Ikterik patologis Skema berikut memperlihatkan berbagai masalah yang mungkin menyebabkan peningkatan kadar bilirubin pada neonatus. Evaluasi dan tatalaksana Saat ini pada umumnya bayi telah dipulangkan pada usia 24-48 jam (terutama pada partus spontan), pada saat ikterik fisiologis mencapai puncaknya dan sebelum ASI mencukupi. Hal ini menyebabkan peningkatan bilirubin bisa terjadi di rumah, tidak terpantau oleh tenaga kesehatan. Berikut ini adalah 47 Modul Senior Clerkship Bagian Ilmu Kesehatan Anak
rekomendasi dari AAP untuk mencegah terjadinya hiperbilirubinemia berat pada bayi dengan gestasi > 35 minggu: a. Dukung dan sukseskan pemberian ASI. Rekomendasi : Dokter harus menyarankan supaya ibu menyusui bayinya minimal 8-12 kali per-hari selama beberapa hari pertama. b. Siapkan protokol di ruang rawat neonatus untuk identifikasi dan evaluasi hiperbilirubinemia. Berikut adalah protokol dari American Academy of Pediatrics. c. Periksa kadar bilirubin total (TSB) atau kadar bilirubin transkutaneus pada neonatus yang mengalami kuning dalam 24 jam pertama. d. Pahami bahwa perkiraan visual derajat kuning pada bayi potensial salah, terutama pada bayi yang berkulit gelap. e. Interpretasikan kadar bilirubin yang didapatkan dengan umur bayi dalam jam (lihat gambar 1).
Gambar 1 : Pembagian risiko hiperbilirubinemia pada bayi sehat > 35 minggu berdasarkan umur dalam jam. Zona risiko tinggi berada di persentil 95, zona intermediate di persentil 75 dan risiko rendah di persentil 40. (Dari Bhutani VK, Johnson L, Sivieri EM: Predictive ability of a predischarge hour-‐specific serum bilirubin for subsequent significant hyperbilirubinemia in healthy term and near-‐term newborns. Pediatrics 1999;103:6–14.)
f.
g.
Pahami bahwa pada bayi dengan gestasi di bawah 38 minggu, terutama yang diberikan ASI eksklusif, mempunyai risiko lebih tinggi terhadap hiperbilirubinemia sehingga membutuhkan pengamatan yang lebih ketat. Lakukan penilaian sistematik terhadap semua bayi yang akan dipulangkan terhadap risiko hiperbilirubinemia berat.
48 Modul Senior Clerkship Bagian Ilmu Kesehatan Anak
h. i. j.
Terangkan kepada orangtua secara verbal dan tertulis informasi tentang kuning pada bayi baru lahir. Siapkan follow up yang sesuai dengan waktu bayi dipulangkan dan penilaian risiko pada bayi tersebut. Tatalaksana neonatus dengan terapi sinar atau transfusi tukar, sesuai dengan indikasi (lihat gambar 2 dan 3 di bawah).
Gambar 3 : Panduan untuk terapi sinar pada bayi dengan gestasi > 35 minggu. Jika kadar TSB mendekati atau melebihi kadar untuk transfusi tukar, bagian samping box bayi, inkubator atau warmer, harus dilapisi dengan aluminum foil atau bahan berwarna putih. Hal ini penting untuk meningkatkan paparan pada bayi dan meningkatkan efektifitas terapi sinar. (Dari: American Academy of Pediatrics Subcommittee on Hyperbilirubinemia: Management of hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks of gestation. Pediatrics 2004;114:297–316.)
49 Modul Senior Clerkship Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Gambar 5: Panduan untuk transfusi tukar pada bayi dengan gestasi > 35 minggu. Pada bayi yang dirawat, transfusi tukar dilakukan jika TSB tetap meningkat dengan terapi sinar intensif. Untuk bayi yang baru masuk dengan kadar TSB di atas kadar transfusi tukar, segera lakukan terapi sinar intensif dan periksa ulang kadar TSB tiap 2-‐3 jam. Transfusi tukar dilakukan jika kadar TSB tetap tinggi setelah 6 jam. (Dari American Academy of Pediatrics Subcommittee on Hyperbilirubinemia: Management of hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks of gestation. Pediatrics 2004;114:297–316.)
Diagnosis A. Pemeriksaan laboratorium 1. Kadar bilirubin total dan kadar bilirubin direk. 2. Golongan darah dan Rhesus ibu dan bayi, jika diperlukan ini bisa dilakukan dengan darah tali pusat di saat kelahiran, sehingga bayi tidak perlu ditusuk hanya untuk periksa golongan darah. 3. Coomb’s test, untuk melihat direct antibody, juga bisa diambil dari darah tali pusat. 4. Pemeriksaan darah lengkap, untuk menilai adanya hemolitik, morfologi eritrosit serta menilai adanya proses infeksi. 5. Pemeriksaan retikulosit, jika ada kecurigaan ke arah proses hemolitik. 6. Untuk daerah dan ras tertentu, dianjurkan skrining untuk defisiensi G6PD. 7. Pemeriksaan kadar albumin serum, jika diperlukan.
50 Modul Senior Clerkship Bagian Ilmu Kesehatan Anak
B. Pemeriksaan tambahan 1. Salah satu alat yang dianjurkan untuk skrining hiperbilirubinemia adalah Transcutaneous Bilirubinometry (TcB), suatu alat portable, yang ditempelkan pada kulit (biasanya di kening atau sternum) untuk mengukur kadar bilirubin. Pengukuran TcB ini tidak invasif dan mempunyai korelasi cukup baik dengan TSB. Akurasi tergantung pada ras, berat lahir dan gestasi, jadi alat ini direkomendasikan untuk mengukur bilirubin saat pulang pada bayi dengan berat lahir normal dan cukup bulan. TcB tidak bisa dilakukan pada bayi pasca terapi sinar, jika harus dikerjakan, pemeriksaan dilakukan di tempat yang tidak terpapar. 2. Expired carbon monoxide (CO) breath analyzer. Suatu alat untuk mengukur jumlah CO dari udara pernapasan. Sebagaimana telah disebutkan di atas, CO merupakan hasil metabolisme heme yang dikeluarkan melalui udara pernapasan. CO yang dikeluarkan di akhir ekspirasi setara dengan bilirubin yang dihasilkan. Penatalaksanaan 1. Kenali neonatus dengan faktor risiko. AAP menganjurkan untuk pemeriksaan ulangan neonatus yang lahir spontan atau dengan faktor risiko seperti late preterm, pada 48-72 jam setelah dipulangkan. Bayi yang lahir dengan operasi sesar atau tanpa faktor risiko dapat diperiksa setelah 72-96 jam. 2. Pergunakan panduan untuk penatalaksanaan (lihat gambar 3 dan 4). Panduan yang tersedia saat ini adalah untuk bayi dengan usia gestasi > 35 minggu, dari AAP atau United Kingdom’s National Institute for Health and Clinical Excellence (NICE), dengan rekomendasi lebih kurang sama. 3. Untuk bayi prematur, belum ada panduan resmi, salah satu kepustakaan menggunakan penatalaksanaan sebagai berikut : a. BBL < 1000 gram : terapi sinar dimulai dalam 24 jam dan transfusi tukar pada kadar 10-12 mg/dL b. BBL 1000-1500 gram : terapi sinar dimulai pada kadar bilirubin 7-9 mg/dL dan transfusi tukar pada kadar 12-15 mg/dL c. BBL 1500-2000 gram : terapi sinar dimulai pada kadar bilirubin 10-12 mg/dL dan transfusi tukar pada kadar 15-18 mg/dL d. BBL 2000-2500 gram : terapi sinar dimulai pada kadar bilirubin 13-15 mg/dL dan transfusi tukar pada kadar 18-20 mg/dL 4. Terapi sinar, beberapa hal yang perlu diperhatikan pada terapi sinar: a. Spektrum cahaya, yang memberikan efek penurunan kadar bilirubin indirek adalah spektrum cahaya biru-hijau b. Energy output, untuk menentukan intensitas terapi sinar. Alat terapi sinar konvensional mempunyai kekuatan 6-12 µW/cm2/nm. Terapi sinar dengan intensitas tinggi mempunyai kekuatan >25 µW/cm2/nm. Semakin dekat sinar dengan bayi semakin baik, tetapi hal ini hanya berlaku untuk alat-alat modern yang tidak panas, seperti alat terapi sinar dengan lampu LED atau biliblanket (fiber-optic blanket) yang menempel di punggung bayi. Untuk terapi sinar biasa, jarak alat dengan bayi tidak boleh terlalu dekat, biasanya sekitar 30-40 cm. 51 Modul Senior Clerkship Bagian Ilmu Kesehatan Anak
c. Permukaan yang terpapar. Paparkan kulit seluas-luasnya dan bayi dibalikkan setiap 2 jam. Bayi seyogyanya telanjang di dalam inkubator atau box yang hangat. Alat vital tidak perlu ditutup, karena sinar tidak merusak alat reproduksi, tetapi mata harus ditutup karena sinar bisa merusak retina. Jika bayi di dalam inkubator, harus ada jarak antara inkubator dengan lampu kira-kira 5-8 cm, supaya tidak terlalu panas. d. Terapi sinar dihentikan jika kadar bilirubin telah menurun sampai di bawah ambang terapi sinar. Kadar bilirubin diperiksa ulang setelah 12-24 jam terapi sinar dihentikan. e. Efek samping antara bronze baby syndrome, jika bilirubin direk juga tinggi. Menyebabkan bayi berwarna seperti tembaga, biasanya reversibel. Kulit bayi bisa menjadi kemerahan karena terapi sinar, hal ini tidak masalah karena juga reversibel. Perlu perhatikan asupan, supaya bayi tidak dehidrasi atau demam. 5. Transfusi tukar. a. Indikasi : i. Terdapat proses hemolitik aktif, ditandai dengan kadar TSB tidak turun > 1-2 mg/dL setelah terapi sinar intensif selama 4-6 jam. ii. Kecepatan pembentukan bilirubin memperlihatkan kemungkinan mencapai 25 mg/dL dalam 48 jam. iii. TSB tinggi disertai dengan gejala ensefalopati bilirubin (kern ikterik). iv. Hemolisis yang menyebabkan anemia berat dan hydrops fetalis. b. Panduan umum : i. Secara umum, untuk inkompatibilitas (Rhesus atau ABO) digunakan darah O- rhesus negatif, dengan titer antibodi rendah. Jika darah ibu dan bayi satu golongan (pada inkompatibilitas Rhesus), bisa dipakai golongan darah yang sama, dengan rhesus negatif. ii. Darah donor harus selalu di cross-match dengan darah ibu. iii. Darah donor harus selalu dihangatkan sampai 37oC. iv. Gunakan darah segar (tidak lebih dari 4 hari). v. Pertimbangkan untuk pemberian Ca-gluconas selama pelaksanaan transfusi tukar (biasanya 1 ml/100 ml darah), karena sitrat yang terdapat dalam darah donor (pengawet), bisa menarik kalsium (chelating agent). vi. Selalu minta informed consent dari orangtua. c. Kadar bilirubin bisa turun sampai 50% TSB setelah dilakukan tansfusi tukar, tapi hati-hati dengan rebound yang terjadi karena bilirubin dari jaringan kembali ke sirkulasi. d. Efek samping seperti hipoglikemia, trombositopenia, hipokalsemia dan asidosis metabolik bisa terjadi, tetapi biasanya asimptomatik, bersifat sementara dan bisa dikoreksi. 6. Terapi farmakologik a. Fenobarbital (2,5 mg/kgBB/hari), bisa meningkatkan kadar ligandin di dalam sel hati, sehingga meningkatkan produksi UDPG dan ekskresi bilirubin. Biasanya digunakan untuk terapi jangka panjang sindrom Criggler Najjar atau sindrom Gilbert, bukan untuk hiperbilirubinemia neonatal. Terapi fenobarbital baru menunjukkan efektifitasnya setelah 3-7 hari pasca pemakaian. 52 Modul Senior Clerkship Bagian Ilmu Kesehatan Anak
b.
c.
d.
Metalloporfirin, merupakan analog heme sintetik yang bisa menghambat aktifitas hemeoksigenase, sehingga bisa menurunkan pembentukan bilirubin. Preparat yang ada adalah Tin-mesoporphyrin (SnMP), diberikan dosis tunggal intra-muskuler 6 mmol/kg, pada pasien dengan hemolitik berat. Obat ini belum beredar bebas. Albumin. Kadar albumin < 3 g/dL bisa menyebabkan meningkatnya bilirubin bebas yang beredar di dalam darah, sehingga bisa dipertimbangkan untuk diberikan dengan dosis 1 g/kg BB selama 2 jam. Intravenous γ-globulin, bisa diberikan pada kasus inkompatibilitas Rhesus atau ABO. Direkomendasikan jika TSB tetap meningkat walaupun diberikan terapi sinar intensif, dengan dosis 0,5-1 g/kgBB selama 2 jam.
Kesimpulan Enam puluh persen bayi cukup bulan akan mengalami hiperbilirubinemia. Beberapa faktor yang menimbulkan ikterik pada neonatus, diantaranya aktifitas UDPGT rendah, sel darah merah lebih banyak, intestinal flora belum ada, motilitas usus rendah dan peningkatan siklus enterohepatik. Walaupun sebagian besar hiperbilirubinemia merupakan kondisi yang tidak berbahaya, tapi pada kadar yang sangat tinggi bisa merusak susunan syaraf pusat. Terdapat dua jenis hiperbilirubinemia, indirek dan direk. Terbanyak pada neonatus adalah hiperbilirubinemia indirek. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium dan dianjurkan untuk pemeriksaan transcutaneous bilirubinometry (TcB) yang non-invasif. Penatalaksanaan yang diberikan antara lain terapi sinar dan transfusi tukar sesuai dengan panduan, serta beberapa farmakoterapi. Referensi 1. Sukadi A. Hiperbilirubinemia. Dalam: Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Sarosa GI, Usman A, penyunting. Buku ajar neonatologi edisi pertama. Jakarta. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2008. Pp:148-69. 2. American Academy of Pediatrics Subcommittee on Hyperbilirubinemia: Management of hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks of gestation. Pediatrics 2004;114:297– 316. 3. Gomella TL. Hyperbilirubinemia. In: Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG. Neonatology: Management, procedures, On-call problems, diseases and drugs. 7th ed. United States. McGrawHill Education. 2013. Pp.392-408. 4. Subcomittee on Hyperbilirubinemia. Management of Hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks of Gestation : Clinical practice guideline. Pediatrics.2004;114;297 Soal 1. Jelaskan metabolisme bilirubin 2. Jelaskan penyebab hiperbilirubinemia pada neonatus 3. Jelaskan tatalaksana hiperbilirubinemia pada neonatus
53 Modul Senior Clerkship Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Nomor Modul : 10/UN16.2-IKA-Modul/I/2016 Topik : Nefrologi Subtopik : Hipertensi Learning Objective : 1. Kognitif a. Menjelaskan definisi hipertensi pada anak b. Memahami epidemiologi, etiologi dan pathogenesis hipertensi pada anak c. Melakukan tatalakana penatalaksanaan hipertensi pada anak d. Memahami prognosis hipertensi pada anak. 2. Psikomotor a. Mampu melakukan anamnesa tentang hipertensi pada anak. b. Mampu melakukan penatalaksanaan hipertensi pada anak 3. Attitute a. Mampu menjelaskan dengan jelas dan santun kepada orang tua pasien mengenai hipertensi pada anak. b. Memberikan kesempatan bertanya kepada keluarga pasien mengenai kondisi klinis anak. c. Menerangkan kepada keluarga pasien mengenai rencana tindakan dan pemeriksaan serta prognosis pasien. d. Memberikan informed consent kepada keluarga pasien mengenai pemeriksaan yang akan dilakukan pada pasien.
HIPERTENSI Definisi Batasan hipertensi menurut The Fourth Report on the Diagnosis, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure in Children and Adolescent adalah sebagai berikut :1 • Hipertensi adalah nilai rata-rata tekanan darah sistolik dan atau diastolik lebih dari persentil ke-95 berdasarkan jenis kelamin, usia, dan tinggi badan pada pengukuran se-banyak 3 kali atau lebih • Prehipertensi adalah nilai rata-rata tekanan darah sistolik dan atau diastolik antara persentil ke-90 dan 95. Pada kelompok ini harus diperhatikan secara teliti adanya faktor risiko seperti obesitas. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kelompok ini memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk menjadi hipertensi pada masa dewasa dibanding-kan dengan anak yang normotensi. • Anak remaja dengan nilai tekanan darah di atas 120/80 mmHg harus dianggap suatu prehipertensi. • Seorang anak dengan nilai tekanan darah di atas persentil ke-95 pada saat diperiksa di tempat praktik atau rumah sakit, tetapi menunjukkan nilai yang normal saat diukur di luar praktik atau rumah sakit, disebut dengan white-coat hypertension. Kelompok ini memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan dengan yang mengalami hipertensi menetap untuk menderita hipertensi atau penyakit kardiovaskular di kemudian hari. Hipertensi emergensi adalah hipertensi berat disertai komplikasi yang mengancam jiwa, seperti ensefalopati (kejang, stroke, defisit fokal), payah jantung akut, edema paru, aneurisma aorta, atau gagal ginjal akut. 2 •
54 Modul Senior Clerkship Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Pada Tabel 1 diperlihatkan klasifikasi hipertensi anak di atas usia 1 tahun dan remaja. 3 Sedangkan nilai tekanan darah berdasarkan usia, jenis kelamin dan tinggi badan diperlihatkan pada lampiran 1, 2 dan 3. Tabel 1 Klasifikasi Hipertensi pada Anak Usia 1 tahun atau Lebih dan Usia Remaja4 Klasifikasi Batasan Tekanan Darah Normal Sistolik dan diastolik kurang dari persentil ke-90 Prehipertensi Sistolik atau diastolik lebih besar atau sama dengan presentil ke-90 tetapi lebih kecil dari persentil ke-95 Hipertensi Sistolik atau diastolik lebih besar atau sama dengan persentil ke-95 Hipertensi tingkat 1 Sistolik dan diastolik antara presentil ke-95 dan 99 ditambah 5 mmHg Hipertensi tingkat 2 Sistolik atau diastolik di atas persentil ke-99 ditambah 5 mmHg Epidemiologi Prevalensi dan distribusi hipertensi pada anak sulit digambarkan karena beragamnya variasi penelitian dalam hal definisi dan teknik pengukuran tekanan darah yang sesuai dengan standard menurut The Second Task Force Report tahun 1987. Dewasa ini, hampir 15% anak-anak yang berusia antara 6 dan 19 tahun termasuk overweight dibandingkan hanya 5% pada 30 tahun yang lalu. Seperti diketahui prevalensi hipertensi meningkat dengan meningkatnya body mass index maka wajarlah apabila prevalensi hipertensi pada remaja juga meningkat pada akhir-akhir ini. Hal tersebut berarti bahwa akhirakhir ini prevalensi hipertensi esensial semakin meningkat pada anak-anak terutama pada remaja.5
Gambar 1. Prevalensi hipertensi menurut persentil indeks masa tubuh5 Etiologi/ Faktor risiko Hipertensi dapat oleh karena primer (esensial), atau sekunder oleh karena gangguan medik lain. Umumnya sebagian besar hipertensi pada anak-anak adalah sekunder. Namun, anak-anak dengan 55 Modul Senior Clerkship Bagian Ilmu Kesehatan Anak
hipertensi esensial akhir-akhir ini cenderung meningkat. Walaupun demikian penting untuk melakukan eksplorasi penyebab sekunder pada anak-anak, terutama pada anak-anak yang relatif sangat muda dan pada hipertensi berat.6 Hipertensi esensial Meskipun penyebab dan mekanisme terjadinya hipertensi esensial belum diketahui dengan pasti, banyak faktor risiko yang telah diidentifikasi. Berat badan merupakan salah satu faktor risiko yang kuat, yaitu sekitar 30% anak-anak remaja obese ternyata menderita hhipertensi. Diet dan exercise, tak tergantung berat badan, juga merupakan faktor risiko terjadinya hipertensi. Terutama diet tinggi garam dan rendah buah segar, sayur, dan kalsium, bersamaan dangan gaya hidup yang kurang bergerak, merupakan faktor risiko tekanan darah tinggi pada dewasa. Suku dan etnik juga berpengaruh dalam hipertensi. Sebagian besar orang Amerika-Afrika yang tinggal di Amerika Serikat menderita hipertensi dibandingkan dengan kulit putih, Hispanik, dan penduduk asli Amerika. Beberapa faktor risiko lain yang ditengarai berperan kuat dalam terjadinya hipertensi esensial antara lain stres dan faktor genetik.6 Patogenesis dan Patofisiologi Faktor yang menentukan tekanan darah adalah cardiac output dan tahanan vaskular perifer. (tabel 2). Kelainan kelainan yang meningkatkan cardiac output dan tahanan vaskular perifer akan meningkatkan tekanan darah. Cardiac output dan tahanan vaskular perifer dapat meningkat secara sendiri-sendiri melalui berbagai mekanisme, tetapi juga dapat terjadi interaksi diantara keduanya. Sebagai contoh, bila penyebab awalnya mengakibatkan peningkatan cardiac-output, terjadi pula kompensasi peningkatan tahanan vakuler perifer. Bahkan ketika penyebab awalnya telah menghilang dan cardiac output kembali normal, tekanan darah masih tetap tinggi karena tahanan vaskular perifer tetap meningkat. Cardiac output ditentukan oleh stroke volume dan heart rate, meskipun sebagian besar mekanisme terjadinya hipertensi persisten disebabkan oleh kenaikan stroke volume dan hanya sedikit sekali karena kenaikan heart rate. Kenaikan stroke volume biasanya disebabkan oleh meningkatnya volume intravaskuler, baik oleh karena retensi cairan, atau fluid shift ke dalam ruang intravaskular. Retensi garam berperan besar meningkatkan cairan intravaskular yang berasal dari intake yang berlebih-lebihan, peningkatan resorpsi garam dalam tubular ginjal, yang sering dijumpai pada keadaan aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron (gambar 2) dan hiperinsulinemia. Peningkatan tonus simpatis meningkatkan cardiac output melalui stimulasi pelepasan renin, juga dengan jalan meningkatkan kontraktilitas jantung dan heart rate. Perubahan tahanan vaskular perifer dapat berasal dari kelainan fungsional maupun struktural. Peningkatan angiotensin II, aktivitas simpatis, endothelins (prostaglandin H2; PGH2), penurunan endothelial relaxation factors (mis. nitric oxide), dan kelainan genetik dalam vascular cell receptors, kesemuanya meningkatkan kontraktilitas otot polos vaskular, sehingga meningkatkan tahanan vaskular perifer. Juga diduga bahwa asam urat yang telah diketahui meningkat pada anak-anak dengan hipertensi, mungkin juga berperan dalam patogenesis dalam perubahan arteriol renal seperti yang terlihat pada hipertensi esensial.6
56 Modul Senior Clerkship Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Tabel 2. Patofisiologi hipertensi5 INCREASED CARDIAC OUTPUT Increased intravascular volume Salt intake Renal sodium resorption I nc reased re n i n/a Idoste ro ne Insulin Sympathetic tone Increased contractility: Sympathetic tone
INCREASED PERIPHERAL VASCULAR RESISTANCE Increased vascular contractility Angiotensin II Sympathetic activity Endothelin[PgH 2 ) Endothelial relaxation factors (NO) Structural changes: Endothelial dysfunction Intimal fibrosis Atherosclerosis
Blood Pressure = Cardiac output x Total peripheral vascular resistance Cardiac output = Stroke volume x Heart rate PGH2, prostaglandin H2 NO, nitric oxide.
57 Modul Senior Clerkship Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Manifestasi Klinis Sebagian besar pasien hipertensi esensial didiagnosis secara kebetulan pada saat dilakukan pemeriksaan fisik rutin disekolah atau pada saat pemeriksaan oleh dokter karena keluhan yang lain. Sebagian besar pasien tidak menunjukkan gejala klinik, tetapi sebagian lainnya mengeluhkan gejalagejala sakit kepala, pusing, lemah, atau gejala-gejala kardiovaskular. Pasien dengan penyebab sekunder biasanya sering menunjukkan gejala yang berhubungan dengan penyakit penyebabnya (misal hematuria pada glomerulonefritis atau rasa panas dan penurunan berat badan pada hipertiroidisme) yang lebih menonjol dibandingkan gejala hipertensinya.6 Hipertensi krisis Diluar klasifikasi hipertensi tersebut diatas terdapat suatu keadaan yang disebut hipertensi krisis, yaitu apabila tekanan darah sistolik atau diastolik berada 50% di atas tekanan darah 95 persentil. Pada anak di atas 6 tahun secara praktis dipakai kriteria tekanan darah sistolik > 180 mmHg atau tekanan darah diastolik > 120 mmHg, atau meskipun tekanan darah < 180/120 tetapi disertai gejala ensefalopati, dekompensi jantung atau edema papil pada mata.7 Hipertensi krisis dapat terjadi baik pada hipertensi akut misalnya pada glomerulonefritis akut pasca streptokokus atau pada hipertensi kronik. Hipertensi krisis memerlukan penurunan tekanan darah yang cepat untuk mencegah kerusakan organ target. Hipertensi krisis dibagi menjadi 2 yaitu:8 1. Hipertensi emergensi 2. Hipertensi urgensi Definisi hipertensi emergensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik atau diastolik yang telah atau dalam proses mengalami kerusakan organ target yaitu otak, jantung, ginjal atau mata. Oleh karena itu harus diturunkan dalam beberapa menit atau jam. Pada hipertensi urgensi dapat diturunkan lebih perlahan yaitu beberapa hari. Hipertensi urgensi sewaktu-waktu dapat progresif menjadi hipertensi emergensi, karena itu harus diturunkan dalam 12-24 jam.9 Manifestasi klinik hipertensi emergensi:10 1. Ensefalopati hipertensi 2. Gagal jantung kongestif 3. Edema paru 4. Gagal ginjal akut/kronik 5. Krisis adrenergic 6. Trauma kepala 7. Stroke 8. Infark miokard 9. Diseksi aneurisma aorta 10 Eklamsia . Manifestasi klinik hipertensi emergensi nomor 7 - 1 0 biasanya ditemukan pada orang dewasa, jarang pada anak. Pada anak yang sering ditemukan adalah ensefalopati hipertensi pada penderita glomerulonefritis akut pasca streptokokus (GNAPS)10
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
58
Mortalitas sangat tinggi apabila hipertensi krisis tidak mendapatkan terapi yang cepat dan tepat. Dilaporkan bahwa angka mortalitas dalam satu tahun dapat mencapai hampir 90% pada penderita dewasa yang tidak cepat diatasi.10 Diagnosis Setelah hipertensi dapat didiagnosis, maka perlu dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis secara teliti agar dapat dideteksi adanya penyebab dasar serta kerusakan organ target. Informasi yang didapat secara akurat melalui anamnesis dan pemeriksaan fisis dapat menghindarkan pemeriksaan laboratorium dan radiologis yang tidak perlu dan mahal.6 Evaluasi adanya hipertensi tergantung pada usia anak, beratnya tingkat hipertensi, adanya kerusakan organ target, dan faktor-faktor risiko jangka panjang yang bersifat individual.11 Evaluasi Awal Evaluasi awal adanya hipertensi dapat dilakukan oleh seorang dokter anak (general pediatrician). Anamnesis terhadap pasien dan keluarganya serta pemeriksaan fisis harus diikuti dengan pemeriksaan urin rutin dan kimia dasar (Tabel 2). USG abdomen merupakan alat diagnostik yang tidak invasif tetapi sangat bermanfaat dalam mengevaluasi ukuran ginjal, deteksi tumor adrenal dan ginjal, penyakit ginjal kistik, batu ginjal, dilatasi system saluran kemih, ureterokel, dan penebalan dinding vesika urinaria.12 Evaluasi Tambahan Tidak jarang diperlukan evaluasi tambahan untuk membedakan hipertensi primer dan sekunder (lihat Tabel 2). Anak dengan riwayat infeksi saluran kencing harus dilakukan pemeriksaan dimercapto succinic acid (DMSA). Teknik ini lebih sensitif dibandingkan pielografi intravena (PIV), kurang radiatif dan merupakan baku emas untuk mendiagnosis adanya parut ginjal. Sidik diethylenetriaminepentacetic acid (DTPA) dapat dilakukan untuk melihat adanya uropati obstruktif. Mictiocystourethrography (MCU) dianjurkan dilakukan pada anak di bawah usia dua tahun dengan riwayat infeksi saluran kencing untuk mendiagnosis derajat refluks vesikoureter, serta merencanakan pengobatan jangka panjang terhadap penyakit tersebut.13 Kadar hormon dan pemeriksaan urin 24 jam dapat diperiksa oleh semua dokter, tetapi pemeriksaan khusus seperti angiografi ginjal harus dilakukan di rumah sakit khusus dengan fasilitas lengkap. Jika diagnosis penyebab hipertensi mengarah ke penyakit renovaskular, maka dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan angiografi. Teknik pemeriksaan ini bersifat invasif. Teknik lain yang sifatnya kurang invasif adalah magnetic resonance angiography.14 Hipertrofi ventrikel kiri juga sering didapatkan pada anak yang mengalami hipertensi.15 Ekokardiografi merupakan teknik yang noninvasif, mudah dilakukan, dan lebih sensitif dibandingkan elektrokardiografi, sehingga teknik ini dapat dikerjakan sebagai pemeriksaan awal pada semua anak yang mengalami hipertensi. Teknik ini dapat diulang secara berkala.15
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
59
Tabel 2 Evaluasi yang Harus Dilakukan pada Anak yang Menderita4
Setelah diagnosis hipertensi pada anak ditegakkan, maka pengobatan yang diberikan kepada pasien harus dilakukan secara menyeluruh dengan mempertimbangkan pengaruhnya terhadap masa depan anak tersebut.4 Tatalaksana Tujuan pengobatan hipertensi pada anak adalah mengurangi risiko jangka pendek maupun panjang terhadap penyakit kardiovaskular dan kerusakan organ target. Upaya mengurangi tekanan darah saja tidak cukup untuk mencapai tujuan ini. Selain menurunkan tekanan darah dan meredakan gejala klinis, juga harus diperhatikan faktor-faktor lain seperti kerusakan organ target, faktor komorbid, obesitas, hiperlipidemia, kebiasaan merokok, dan intoleransi glukosa. 3,16, Pada umumnya ahli nefrologi anak sepakat bahwa pengobatan hipertensi ditujukan terhadap anak yang menunjukkan peningkatan tekanan darah di atas persentil ke-99 yang menetap. Tujuan akhir pengobatan hipertensi adalah menurunkan tekanan darah hingga di bawah persentil ke-95 berdasarkan usia dan tinggi badan anak. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pengobatan yang dilakukan secara tepat sejak awal pada anak yang menderita hipertensi ringan-sedang akan menurunkan risiko terjadinya stroke dan penyakit jantung koroner di kemudian hari.16 -18 Pengobatan hipertensi pada anak dibagi ke dalam 2 golongan besar, yaitu non-farmakologis dan farmakologis yang tergantung pada usia anak, tingkat hipertensi dan respons terhadap pengobatan. 3, 7,16-19 Pengobatan Non-Farmakologis: Mengubah Gaya Hidup Anak dan remaja yang mengalami prehipertensi atau hipertensi tingkat 1 dianjurkan untuk mengubah gaya hidupnya. Pada tahap awal anak remaja yang menderita hipertensi primer paling baik diobati dengan cara non-farmakologis.3 Pengobatan tahap awal hipertensi pada anak mencakup penurunan berat badan, diet rendah lemak dan garam, olahraga secara teratur, menghentikan rokok dan kebiasaan minum alkohol. Seorang anak yang tidak kooperatif dan tetap tidak dapat mengubah gaya hidupnya perlu dipertimbangkan untuk mendapatkan obat anti hipertensi.3,20,21 Penurunan berat badan terbukti efektif mengobati hipertensi pada anak yang mengalami obesitas. Dalam upaya menurunkan berat badan anak ini, sangat penting untuk mengatur kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi. Banyaknya makanan yang dikonsumsi secara langsung akan memengaruhi berat badan dan massa tubuh, sehingga juga akan memengaruhi tekanan darah. Hindarilah mengkonsumsi makanan ringan di antara waktu makan yang pokok. Demikian juga makanan Bagian Ilmu Kesehatan Anak
60
ringan yang mengandung banyak lemak atau terlampau manis sebaiknya dikurangi. Buatlah pola makan teratur dengan kandungan gizi seimbang dan lebih diutamakan untuk banyak mengkonsumsi buah dan sayuran.7,17,19 Berbagai penelitian juga menunjukkan bahwa anak yang mendapat ASI eksklusif memiliki risiko yang lebih rendah untuk mengalami obesitas dan hipertensi dibandingkan dengan anak yang mendapat susu formula. Diet rendah garam yang dianjurkan adalah 1,2 g/hari pada anak usia 4-8 tahun dan 1,5 g/hari pada anak yang lebih besar.1 Diet rendah garam yang dikombinasikan dengan buah dan sayuran, serta diet rendah lemak menunjukkan hasil yang baik untuk menurunkan tekanan darah pada anak. Asupan makanan mengandung kalium dan kalsium juga merupakan salah satu upaya untuk menurunkan tekanan darah. Olahraga secara teratur merupakan cara yang sangat baik dalam upaya menurunkan berat badan dan tekanan darah sistolik maupun diastolik. Olahraga teratur akan menurunkan tekanan darah dengan cara meningkatkan aliran darah, mengurangi berat badan dan kadar kolesterol dalam darah, serta stres. 7,17,19
Pengobatan farmakologis: Pada saat memilih jenis obat yang akan diberikan kepada anak yang menderita hipertensi, harus dimengerti tentang mekanisme yang mendasari terjadinya penyakit hipertensi tersebut. Perlu ditekankan bahwa tidak ada satupun obat antihipertensi yang lebih superior dibandingkan dengan jenis yang lain dalam hal efektivitasnya untuk mengobati hipertensi pada anak.7 Menurut the National High Blood Pressure Education Program (NHBEP) Working Group on High Blood Pressure in Children and Adolescents obat yang diberikan sebagai antihipertensi harus mengikuti aturan berjenjang (step-up), dimulai dengan satu macam obat pada dosis terendah, kemudian ditingkatkan secara bertahap hingga mencapai efek terapoitik, atau munculnya efek samping, atau bila dosis maksimal telah tercapai. Kemudian obat kedua boleh diberikan, tetapi dianjurkan menggunakan obat yang memiliki mekanisme kerja yang berbeda.17 Di bawah ini dicantumkan beberapa keadaan hipertensi pada anak yang merupakan indikasi dimulainya pemberian obat antihipertensi:22 1. Hipertensi simtomatik 2. Kerusakan organ target, seperti retinopati, hipertrofi ventrikel kiri, dan proteinuria 3. Hipertensi sekunder 4. Diabetes melitus 5. Hipertensi tingkat 1 yang tidak menunjukkan respons dengan perubahan gaya hidup 6. Hipertensi tingkat 2. Pemilihan obat yang pertama kali diberikan sangat tergantung dari pengetahuan dan kebijakan dokter. Golongan diuretik dan β-blocker merupakan obat yang dianggap aman dan efektif untuk diberikan kepada anak. Golongan obat lain yang perlu dipertimbangkan untuk diberikan kepada anak hipertensi bila ada penyakit penyerta adalah penghambat ACE (angiotensin converting enzyme) pada anak yang menderita diabetes melitus atau terdapat proteinuria, serta β-adrenergic atau penghambat calcium-channel pada anak-anak yang mengalami migrain. Selain itu pemilihan obat antihipertensi juga tergantung dari penyebabnya, misalnya pada glomerulonefritis akut pascastreptokokus pemberian Bagian Ilmu Kesehatan Anak
61
diuretik merupakan pilihan utama, karena hipertensi pada penyakit ini disebabkan oleh retensi natrium dan air. Golongan penghambat ACE dan reseptor angiotensin semakin banyak digunakan karena memiliki keuntungan mengurangi proteinuria. 22,23 Penggunaan obat penghambat ACE harus hati-hati pada anak yang mengalami penurunan fungsi ginjal. Meskipun kaptopril saat ini telah digunakan secara luas pada anak yang menderita hipertensi, tetapi saat ini banyak pula dokter yang menggunakan obat penghambat ACE yang baru, yaitu enalapril. Obat ini memiliki masa kerja yang panjang, sehingga dapat diberikan dengan interval yang lebih panjang dibandingkan dengan kaptopril. 19,20,22,23 Obat yang memiliki mekanisme kerja hampir serupa dengan penghambat ACE adalah penghambat reseptor angiotensin II (AII receptor blockers). Obat ini lebih selektif dalam mekanisme kerjanya dan memiliki efek samping yang lebih sedikit (misalnya terhadap timbulnya batuk) dibandingkan dengan golongan penghambat ACE. 19,20,22,23 Pada Tabel 3 diperlihatkan klasifikasi obat hipertensi berdasarkan mekanisme kerjanya serta dosis obat anti hipertensi oral yang digunakan pada anak.4 Prognosis Penderita hipotiroidisme kongenital yang mendapat pengobatan adekuat, dapat tumbuh secara normal. Bila pengobatan dimulai pada usia 4-6 minggu, diharapkan IQ tidak berbeda dengan populasi kontrol. Meskipun secara umum tidak didapatkan kelainan mental, akan tetapi ada beberapa segi yang kurang pada anak ini. Pada kasus-kasus berat dan yang tidak mendapat terapi adekuat, selama 2 tahun pertama kehidupannya, akan mengalami kelainan perkembangan intelektual dan neurologisnya.4 Tabel 3. Obat antihipertensi yang digunakan pada anak4
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
62
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
63
Secara skematis langkah-langkah pendekatan farmakologis pada anak dengan hipertensi terlihat pada gambar 1
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
64
Gambar 3. Langkah-langkah pendekatan pengobatan hipertensi pada anak4 Pada anak dengan hipertensi kronis atau yang kurang terkontrol, masalah pengobatan menjadi lebih rumit. Beberapa anak dengan keadaan tersebut seringkali memerlukan obat antihipertensi kombinasi untuk memantau kenaikan tekanan darah. Prinsip dasarpengobatan anti hipertensi kombinasi adalah menggunakan obat-obatan dengan tempatdan mekanisme kerja yang berbeda. Pemilihan obat juga harus sesederhana mungkin, yaitu dengan menggunakan obat dengan masa kerja panjang, sehingga obat cukup diberikan satu atau dua kali sehari.18,23 Lama pengobatan yang tepat pada anak dan remaja hipertensi tidak diketahui dengan pasti. Beberapa keadaan memerlukan pengobatan jangka panjang, sedangkan keadaan yang lain dapat membaik dalam waktu singkat. Oleh karena itu, bila tekanan darah terkontrol dan tidak terdapat kerusakan organ, maka obat dapat diturunkan secara bertahap, kemudian dihentikan dengan pengawasan yang ketat setelah penyebabnya diperbaiki. Tekanan darah harus dipantau secara ketat dan berkala karena banyak penderita akan kembali mengalami hipertensi di masa yang akan datang. 14,18
Pada Tabel 5 dibawah ini diperlihatkan petunjuk untuk menurunkan secara bertahap pengobatan hipertensi bila tekanan darah telah terkontrol.:4
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
65
Tabel 5. Petunjuk untuk Step down therapy pada bayi, anak atau remaja
Pada anak dengan penyakit ginjal kronik, penanganan hipertensi memiliki tujuan untuk sedapat mungkin mempertahankan fungsi ginjal, berupaya menurunkan tekanan darah ke dalam batas normal, serta mengurangi risiko morbiditas. Penggunaan obat penghambat ACE pada penderita penyakit ginjal kronik harus dilakukan secara hati-hati, karena dapat menurunkan fungsi ginjal Pencegahan Upaya pencegahan terhadap penyakit hipertensi pada anak harus mencakup pencegahan primer, sekunder, maupun tersier. Pencegahan primer hipertensi harus dilihat sebagai bagian dari pencegahan terhadap penyakit lain seperti penyakit kardiovaskular dan stroke yang merupakan penyebab utama kematian pada orang dewasa. Penting pula diperhatikan faktor-faktor risiko untuk terjadinya penyakit kardiovaskular seperti obesitas, kadar kolesterol darah yang meningkat, diet tinggi garam, gaya hidup yang salah, serta penggunaan rokok dan alkohol. Sejak usia sekolah, sebaiknya dilakukan pencegahan terhadap hipertensi primer dengan cara mengurangi asupan natrium dan melakukan olah raga teratur.9,19,20,23 Konsumsi natrium perlu diimbangi dengan kalium. Rasio konsumsi natrium dan kalium yang dianjurkan adalah 1:1. Sumber kalium yang baik adalah buah-buahan seperti pisang dan jeruk. Secara alami, banyak bahan pangan yang memiliki kandungan kalium dengan rasio lebih tinggi dibandingkan dengan natrium. Rasio tersebut kemudian menjadi terbalik akibat proses pengolahan yang banyak menambahkan garam ke dalamnya. Sebagai contoh, rasio kalium terhadap natrium pada tomat segar adalah 100:1, menjadi 10:6 pada makanan kaleng dan 1:28 pada saus tomat. Contoh lain adalah rasio kalium terhadap natrium pada kentang bakar 100:1, menjadi 10:9 pada keripik dan 1:1,7 pada salad kentang. Memberikan ASI eksklusif pada bayi merupakan cara penting untuk mengurangi faktor risiko terjadinya hipertensi.4 Pencegahan sekunder dilakukan bila anak sudah menderita hipertensi untuk mencegah terjadinya komplikasi seperti infark miokard, stroke, gagal ginjal atau kelainan organ target. Pencegahan ini meliputi modifikasi gaya hidup menjadi lebih benar, seperti menurunkan berat badan, olahraga secara teratur, diet rendah lemak dan garam, menghentikan kebiasaan merokok atau minum alkohol. 10,20
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
66
Olah raga yang baik pada anak yang menderita hipertensi sebagai bagian dari pencegahan sekunder merupakan kombinasi dari jenis aerobik dan statik. Olah raga yang bersifat kompetitif diperbolehkan pada anak dengan prehipertensi, hipertensi stadium 1 dan 2 yang terkontrol, tanpa disertai gejala atau kerusakan organ target. Selain itu secara umum olahraga yang teratur akan membuat badan kita sehat dan terasa nyaman. Olahraga teratur sering dikaitkan juga dengan pelepasan zat yang disebut endorphins, yang membuat perasaan menjadi lebih nyaman dan santai. Asupan makanan mengandung kalsium dapat dilakukan sebagai pengobatan alternatif untuk mengatasi hipertensi. Kadar kalsium yang tinggi dalam darah akan menurunkan kadar natrium.21,23,24 Apabila komplikasi sudah terjadi, misalnya stroke dan retinopati, maka upaya rehabilitatif dan promotif yang merupakan bagian dari pencegahan tersier dapat dilakukan untuk mencegah kematian dan mempertahankan fungsi organ yang terkena seefektif mungkin4
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
67
Tabel tekanan darah anak laki-laki berdasarkan persentil umur dan tinggi badan4 Systolic BP [mmHg) Diastolic BP (mmHg] Percentile of height Percentile of height Age BP Sth 10th 25th 50th 75th 90th 95th 5th 10th 25th 50th 75th 90th 95th (year) percentile 1 50th 83 84 85 86 88 89 90 38 39 39 40 41 41 42 90th 97 97 98 100 101 102 103 52 53 53 54 55 55 56 95th 100 101 102 104 105 10E 107 56 57 57 58 59 59 60 99th 108 108 109 111 112 113 114 64 64 65 65 66 G7 67 2 50th 85 85 87 88 89 91 91 43 44 44 45 46 46 47 90th 98 99 100 101 103 104 105 57 58 58 59 60 61 61 95th 102 103 104 105 107 103 109 G1 62 62 63 64 G5 65 99th 109 110 111 112 114 115 116 69 69 70 70 71 72 72 3 50th 86 87 88 89 91 92 93 47 48 48 49 50 50 51 90th 100 100 102 103 104 106 105 G1 62 62 63 64 G4 65 95th 104 104 10S 107 108 109 110 65 66 66 67 68 68 69 99th in 111 114 115 115 116 117 73 73 74 74 75 76 76 4 50th 88 Aa 90 91 92 94 94 50 50 51 52 52 53 54 90th 101 102 103 104 106 107 108 64 64 65 6E 67 67 68 95th 105 106 107 108 110 111 112 68 68 69 70 71 71 72 99th 112 113 114 115 117 118 119 76 75 76 77 78 79 79 5 50th 89 90 91 93 94 95 9G 52 53 53 54 55 55 56 90th 103 103 105 106 107 109 109 66 67 67 68 69 G9 70 95th 107 107 108 110 111 112 113 70 71 71 72 73 73 74 99th 114 114 11G 117 113 120 120 78 78 79 79 80 31 81 6 50th 91 92 93 94 9G 97 98 54 54 55 56 56 57 58 90th 104 105 106 108 109 110 111 68 68 69 70 70 71 72 95th 108 109 110 111 113 114 115 72 72 73 74 74 75 7G 99th 115 116 117 119 120 121 122 80 80 80 81 82 83 83 7 50th 93 93 95 96 97 99 99 55 56 56 57 58 58 59 90th 106 107 108 109 111 112 113 69 70 70 71 72 72 73 95th 110 111 112 113 115 116 116 73 74 74 75 76 76 77 99th 117 Lie 119 120 122 123 124 31 81 82 82 83 34 34 8 50th 95 95 96 98 99 100 101 57 57 57 58 59 60 60 90th 108 109 110 111 113 114 114 71 71 71 72 73 74 74 95th 112 112 114 115 11G 118 118 75 75 75 76 77 73 78 99th 119 120 121 122 123 125 125 82 82 83 83 84 85 86 9 50th 96 97 98 100 101 102 103 58 58 58 59 60 Gl 61 90th 110 110 112 113 114 116 116 72 72 72 73 74 75 75 95th 114 114 115 117 118 119 120 76 76 76 77 78 79 79 99th 121 121 123 124 125 127 127 83 83 84 84 85 86 87 Bagian Ilmu Kesehatan Anak
68
Systolic BP [mmHg) Percentile of height Age (year) 10
11
12
13
14
15
16
17
BP Sth 10th 25th 50th 75th 90th 95th 5th 10th percentile 50th 98 33 100 102 103 104 105 59 59 90th 112 112 114 115 116 118 118 73 73 95th 116 116 117 119 120 121 122 77 77 99th 123 123 125 126 127 129 129 84 84 50th 100 101 102 103 105 106 107 60 60 90th 114 114 116 117 118 119 120 74 74 95th 118 Lie 119 121 122 123 124 78 78 99th 125 125 126 128 129 130 131 85 85 50th 101 102 104 106 108 109 110 59 60 90th 115 116 118 120 121 123 123 74 75 95th 119 120 122 123 125 127 127 78 79 99th 126 127 129 131 133 134 135 36 87 50th 104 105 10E 108 110 111 112 60 60 90th 117 113 120 122 124 125 126 75 75 95th 121 122 124 126 128 129 130 79 79 99th 128 130 131 133 135 13G 137 87 87 50th 1OG 107 109 111 113 114 115 60 61 90th 120 121 123 125 126 128 128 75 76 95th 124 125 127 129 130 132 132 80 80 99th 131 132 134 136 136 139 140 87 83 50th 109 110 112 113 115 117 117 SI 62 90th 122 124 125 127 129 130 131 76 77 95th 126 127 129 131 133 134 135 81 81 99th 134 135 13G 139 140 142 142 33 89 50th 111 112 114 116 118 119 120 63 63 90th 125 126 128 130 131 133 134 78 78 95th 129 130 132 134 135 137 137 82 83 99th 136 137 139 141 143 14+ 145 90 90 50th 114 115 116 lie 120 121 122 65 66 90th 127 128 130 132 134 135 136 80 80 95th 131 132 134 13S 138 139 140 84 85 99th 139 140 141 143 145 14G 147 92 93
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Diastolic BP (mmHg] Percentile of height
69
25th 50th 75th 90th 95th 59 73 77 85 60 74 78 86 SI 75 80 88 SI 76 80 83 62 77 81 89 63 78 82 90 64 79 83 91 66 81 86 93
60 74 78 86 G1 75 79 87 G2 76 81 89 G2 77 81 89 S3 7fi 82 90 64 79 83 91 S5 80 84 92 67 82 87 94
G1 75 79 86 62 76 80 87 G3 77 82 90 G3 78 82 90 G4 79 83 91 G5 80 84 92 G6 31 85 93 G8 83 87 95
62 76 80 37 63 77 31 88 63 78 32 90 64 79 83 91 65 79 84 92 66 80 85 93 67 82 86 94 69 84 88 96
62 76 80 38 63 77 ei 89 64 79 83 91 64 79 83 91 65 80 84 92 66 81 85 93 67 82 87 94 70 84 89 97
Tabel tekanan darah anak perempuan berdasarkan persentil umur dan tinggi badan4 Systolic BP[mmHg) Percentile of height Age BP Sth (Year) percentile 1 50th 83 90th 97 95th 100 99th 108 2 50th 85 90th 98 95th 102 99th 109 3 50th 86 90th 100 95th 104 99th 111 4 50th 88 90th 101 95th 105 99th 112 5 50th 89 90th 103 95th 107 99th 114 6 50th 91 90th 104 95th 10S 99th 115 7 50th 93 90th 106 95th 110 99th 117 8 50th 95 90th Ioa 95th 112 99th 119 9 50th 96 90th 110 95th 114
10th 25th 50th 75th 90th 95th 5th 10th 25th 50th 75th 90th 95th 84 97 101 108 65 99 103 110 67 100 104 111 66 102 106 113 90 103 107 114 92 105 109 11S 93 107 111 116 95 109 112 120 97 110 114
85 98 102 109 87 100 104 111 88 102 105 114 90 103 107 114 91 105 108 116 93 106 110 117 95 108 112 119 96 110 114 121 98 112 115
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Diastolic BP [mmHg) Percentile of height
86 100 104 111 88 101 105 112 89 103 107 115 91 104 108 115 93 106 110 117 94 108 111 119 96 109 113 120 98 111 115 122 100 113 117
88 101 105 112 89 103 107 114 91 104 108 115 92 106 110 117 94 107 111 118 96 109 113 120 97 111 115 122 99 113 116 123 101 114 118
89 102 106 113 91 104 108 115 92 106 109 116 94 107 111 118 95 109 112 120 97 110 114 121 99 112 116 123 100 114 118 125 102 116 119 70
90 103 107 114 91 105 109 116 93 106 110 117 94 108 112 119 96 109 113 120 98 111 115 122 99 113 116 124 101 114 118 125 103 116 120
38 52 56 64 43 57 61 69 47 61 66 73 50 64 68 76 52 66 70 78 54 68 72 80 56 69 73 81 57 71 76 82 58 72 76
39 53 57 64 44 56 62 69 46 62 66 73 50 64 66 76 53 67 71 76 54 66 72 60 56 70 74 81 57 71 75 62 56 72 76
39 53 57 65 44 56 62 70 4fi 62 66 74 51 65 69 76 53 67 71 79 55 69 73 GO 56 70 74 62 57 71 75 63 56 72 76
40 54 58 65 45 59 63 70 49 63 67 74 52 66 70 77 &4 68 72 79 56 70 74 81 57 71 75 82 58 72 76 83 59 73 77
41 55 69 66 46 60 64 71 60 64 68 76 62 67 71 78 66 69 73 80 56 70 74 82 68 72 76 83 69 73 77 84 60 74 78
41 55 59 67 46 61 65 72 50 64 68 7G 53 67 71 79 55 69 73 81 57 71 75 83 58 72 76 84 60 74 78 85 61 75 79
42 56 60 67 47 61 65 72 51 65 69 76 54 68 72 79 56 70 74 61 58 72 76 83 59 73 77 84 60 74 78 86 61 75 79
Systolic BP[mmHg) Percentile of height Age BP (Year) percentile 99th 10 50th 90th 95th 99th 11 50th 90th 95th 99th 12 50th 90th 9Sth 99th 13 50th 90th 95th 99th 14 50th 90th 95th 99th 15 50th 90th 95th 99th 16 50th 90th 95th 99th 17 50th 90th 95th 99th
Sth 10th 25th 50th 75th 90th 95th 5th 10th 25th 50th 75th 90th 95th 121 98 112 116 123 100 114 118 125 102 116 119 127 104 117 121 128 106 119 123 130 107 120 124 131 108 121 125 132 108 122 125 133
121 99 112 115 123 101 114 116 125 103 116 120 127 105 118 122 129 106 120 123 131 108 121 125 132 108 122 126 133 109 122 126 133
123 100 114 117 125 102 116 119 126 104 117 121 128 106 119 123 130 107 121 125 132 109 122 126 133 110 123 127 134 110 123 127 134
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Diastolic BP [mmHg) Percentile of height
124 102 115 119 126 103 117 121 128 105 119 123 130 107 121 124 132 109 122 126 133 110 123 127 134 111 124 128 135 111 125 129 136
125 103 116 120 127 105 118 122 129 107 120 124 131 109 122 126 133 110 124 127 135 111 125 129 136 112 126 130 137 113 126 130 137
127 104 118 121 129 106 119 123 130 108 121 125 132 110 123 127 134 111 125 129 136 113 126 130 137 114 127 131 138 114 127 131 138
71
127 105 118 122 129 107 120 12+ 131 109 122 126 133 110 124 128 135 112 125 129 136 113 127 131 138 114 128 132 139 115 128 132 139
83 59 73 77 84 60 74 78 86 61 75 79 86 62 76 80 87 63 77 81 88 64 78 82 89 64 78 82 90 64 78 82 90
63 59 73 77 64 60 74 76 65 61 75 79 86 62 7G 80 87 63 77 81 88 64 78 82 89 64 78 82 90 65 79 83 90
G4 59 73 77 65 60 74 7fi 66 61 75 79 87 62 7G 80 88 63 77 81 89 64 78 82 90 65 79 83 90 65 79 83 91
84 60 74 78 86 61 75 79 87 62 76 80 88 63 77 81 89 64 78 82 90 65 79 83 91 66 80 84 91 66 80 84 91
86 61 76 79 86 62 76 80 87 63 77 81 88 64 78 82 89 65 79 83 90 66 80 84 91 66 81 85 92 67 81 85 92
86 62 76 80 87 63 77 81 88 64 78 82 89 65 79 83 90 66 80 84 91 67 81 85 92 67 81 85 93 67 81 85 93
87 62 76 80 88 63 77 61 89 64 78 82 90 65 79 83 91 66 80 84 92 67 81 85 93 68 82 86 93 68 82 86 93
Referensi 1. National High Blood Pressure Education Program Working Group on High Blood Pressure in Children and Adolescents. The fourth report on the diagnosis, evaluation, and treatment of high blood pressure in children and adolescent. Pediatrics. 2004;114:555-76 2. Sinaiko AR. Current concepts: hypertension in children. N Engl J Med. 1996; 335: 1968-73. 3. Luma GB, Spiotta RT. Hypertention in children and adolescent.Am Fam Physician.2006; 73:1158-68 4. Sekarwana N, Rachmadi D, Hilmanto D. Konsensus tatalaksana Hipertensi pada anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011. 5. McNiece KL, Portman RJ, 2007. Hypertension: Epidemiology and evaluation. In: Kher KK, Schnaper HW, Makker SP, eds. Clinical Pediatric Nephrology. London: Informa Healthcare; 461-80. 6. Brady T, Siberry GK, Solomon B. Pediatric Hypertension. A review of proper screening, diagnosis, evaluation, and treatment. Diunduh dari: www.contemporarypediatrics.com 7. Feld LG, Corey H. Hypertension in childhood. Pediatr Rev.2007;28:283-98. 8. Fivush B, Neu A, Furth S. Acute hypertensive crises in children: emergencies and urgencies. Curr Opin Pediatr. 1997;9:233-6 9. Tumbull F. Blood pressure lowering treatment trialistr collaboration. Effects of different blood pressure-lowering regiment on major cardiovascular events: results of prospectively-designed overviews of randomized trials. Lancet. 2003;362:1527-35. 10. BrewerED.Evaluation ofhypertension.DalamBarratt TM,Avner ED,HarmonWE(penyunting). Pediatric nephrology. Edisi ke-5.Baltimore: Lippincott Williams and Wilkins.2004:h.1179-94 11. Muntmer P, He J, Cutler JA, Wildman RP,Whelton PK. Trends in blood pressure among children and adolescents.JAMA. 2004;291:2107-13. 12. Mahoney LT, Clarke WR, Burn TL, Lauer RM. Childhood predictors of high blood pressure. Am J Hypertens. 1991; 4: 608-10S. 13. Freedman DS, Dietz WH, Srinivasan SR, Berenson GS. The relation of overweight to cardiovascular risk factors among children and adolescents: The Bogalusa Heart Study.Pediatrics. 1999;103:1175-82. 14. National High Blood Pressure Education Program Working Group on High Blood Pressure in Children and Adolescents. The fourth report on the diagnosis, evaluation, and treatment of high blood pressure in children and adolescent. Pediatrics. 2004;114:555-76. 15. The Sixth Report of Joint National Committee on Prevention Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure. Arch Intern Med. 1997; 157:2413-46. 16. Seeman T. Management of arterial hypertension. Dalam Cochat P (penyunting). European society for pediatric nephrology handbook.Lyon.2002:h.312-5. 17. Bernstein D.Diseases of the peripheral vascular system. Dalam Behrman RE, Kliegman RM,Jenson HB (penyunting). Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: International edition.2004:h.1591-8 18. Gulati S. Childhood hypertension. Indian Pediatrics 2006;43:326-33.
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
72
19. Vogt BA, Davis ID. Treatment of hypertension. Dalam Barratt TM, Avner ED, Harmon WE (penyunting). Pediatric nephrology. Edisi ke-5.Baltimore: Lippincott Williams and Wilkins.2004:h.1199-1216. 20. Goonasekera CDA, Dillon MJ. The child with hypertension. Dalam Webb N, Postlethwaite R (penyunting). Clinical pediatric nephrology. Edisi ke-3. Oxford: Oxford University Press.2003:h.152-61 21. Heart support Australia. Duggan K (penyunting).Princeton healthworks blood pressure. Sydney: Princeton Publishing Pty limited 22. Sorof JM, Lai D, Turner J, Poffenberg T, Portman PJ. Overweight, ethnicity and the prevalence of hypertension in school-aged children. Pediatrics. 2004;113:475-82. 23. Whitworth JA. Progression of renal failure-the role of hypertension. Ann Acad Med Singapore. 2005;34:8-15.
Tugas : 1. Jelaskan mengenai klasifikasi dan etiologi hipertensi pada anak. 2. Jelaskan mengenai rencana penatalaksanaan pasien yang sedang mangalami krisis hipertensi.
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
73
Nomor Modul : 11/UN16.2-IKA-Modul/I/2016 Topik : Infeksi Tropis Subtopik : Infeksi Virus Dengue Learning Objective : 1. Kognitif b. Menjelaskan definisi infeksi virus dengue c. Menjelaskan epidemiologi infeksi virus dengue d. Menjelaskan etiologi infeksi virus dengue e. Menjelaskan mekanisme patogenesis dan patofisiologi infeksi virus dengue f. Menjelaskan manifestasi klinis dan tanda-tanda warning signs infeksi virus dengue g. Menjelaskan cara menegakkan diagnosis infeksi virus dengue h. Menjelaskan tatalaksana dan resusitasi dari infeksi virus dengue i. Menjelaskan prognosis infeksi virus dengue 2. Psikomotor a. Mampu melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, menegakkan diagnosis dan pemeriksaan penunjang dari infeksi virus dengue b. Mampu melakukan tatalaksana infeksi virus dengue 3. Attitute a. Memperkenalkan diri kepada orang tua dan anak b. Mempersilahkan orang tua untuk bertanya c. Menerangkan kepada orang tua tentang prosedur tindakan yang akan dilakukan (informed consent)
INFEKSI VIRUS DENGUE Definisi Dengue merupakan penyakit yang disebabkan oleh Virus Dengue yang ditransmisikan oleh nyamuk sebagai vektornya dengan karekteristik penyakit diantaranya seperti demam, sakit kepala, nyeri otot dan sendi, adanya rash atau petechiae. Beberapa infeksi dapat menyebabkan demam berdarah dengue (DBD) yang secara cepat dapat menyebabkan penderita jatuh ke dalam syok, yang disebut sebagai dengue shock syndrome ( DSS ). Epidemiologi Istilah haemorrhagic fever di Asia Tenggara pertama kali digunakan di Filipina pada tahun 1953. Di Indonesia DBD pertama kali dicurigai di Surabaya pada tahun 1968, tetapi konfirmasi virulogis baru diperoleh tahun 1970. Di Jakarta kasus pertama dilaporkan pada tahun 1969. Morbiditas dan mortalitas DBD yang dilaporkan berbagai negara bervariasi disebabkan beberapa faktor antara lain status umur penduduk, kepadatan vektor, tingkat penyebaran virus dengue, prevalensi serotipe virus dengue dan kondisi meteorologis Bagian Ilmu Kesehatan Anak
74
Etiologi Virus Dengue termasuk grup B arthropord borne virus (Arbovirus) dan sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae yang mempunyai 4 jenis serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Keempat serotipe virus ini mempunyai hubungan yang erat secara antigenik. Infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotipe lain Patofisiologi Virus Dengue masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk dan infeksi pertama kali mungkin memberi gejala sebagai demam dengue. Reaksi tubuh memberikan reaksi yang berbeda ketika seseorang mendapat infeksi yang berulang dengan serotipe Virus Dengue yang berbeda. Hal ini merupakan dasar teori yang disebut the secondary heterologous infection atau the sequential infection hypothesis. Infeksi virus yang berulang atau re-infeksi ini akan menyebabkan suatu reaksi anamnestik antibodi, sehingga menimbulkan kompleks antigen-antibodi (kompleks virus-antibodi) dengan konsentrasi tinggi. Terdapatnya kompleks virus-antibodi di dalam sirkulasi darah mengakibatkan hal sebagai berikut 1. Kompleks virus-antibodi mengaktivasi sistem komplemen, yang berakibat dilepaskannya anafilatoksin C3a dan C5a. C5a menyebabkan meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah dan meyebabkan plasma keluar melalui dinding tersebut (plasma leakege), suatu keadaan yang berperan pada terjadinya syok. Telah terbukti bahwa pada DSS, kadar C3a dan C5a menurun masing-masing sebanyak 33% dan 89% . Meningginya nilai hematokrit pada kasus syok diduga akibat kebocoran plasma melaui kapiler yang rusak ke daerah ekstravaskular seperti rongga pleura, peritonium atau pericardium. 2. Timbulnya agregasi trombosit yang melepaskan ADP akan mengalami metamorfosis. Trombosit yang mengalami kerusakan metamorfosis ini akan dimusnahkan oleh sistem retikuloendotelial dengan akibat trombositopenia hebat dan perdarahan. Pada keadaan terjadinya agregasi, trombosit akan melepaskan amin vasoaktif yang bersifat meninggikan permeabilitas kapiler dan melepaskan trombosit faktor 3 yang merangsang koagulasi intravascular. 3. Terjadinya aktivasi faktor Hageman (faktor XII) dengan akibat terjadinya pembekuan intravaskular yang luas (DIC). Dalam proses aktivasi ini, plasminogen akan menjadi plasmin yang berperan dalam pembentukan anafilatoksin dan pengahancuran fibrin menjadi fibrin degradation product. Di samping itu aktivasi ini juga merangsang sistem kinin yang berperan dalam proses meningginya permeabilitas dinding kapiler Kriteria diagnostik : WHO (1997) memberikan pedoman untuk menegakkan diagnosis demam berdarah dengue secara dini, yaitu : Klinis : 1. Demam tinggi mendadak dan terus-menerus selama 2 sampai 7 hari 2. Manifestasi perdarahan termasuk sekurangnya uji torniquet positif dan salah satu bentuk perdarahan lain ( petechiae, purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi ) hematemesis dan atau melena 3. Pembesaran hati (hepatomegali) Bagian Ilmu Kesehatan Anak
75
4. Syok yang ditandai nadi kecil dan cepat, tekanan nadi menurun Laboratorium : Adanya trombositopenia (100.000/mm3 atau kurang) dan hemokonsentrasi yang dapat dilihat dari peningkatan hematokrit 20% atau lebih dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelum sakit atau pada fase konvalesens. Ditemukannya 2 atau 3 dari gejala klinis di atas disertai trombositopenia dan hemokonsentrasi cukup untuk membuat diagnosis klinis demam berdarah dengue. Sedangkan untuk menentukan berat-ringannya derajat penyakit demam berdarah dengue, WHO membaginya dalam 4 derajat : Derajat I : demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan adalah uji torniquet positif. Derajat II : derajat I disertai perdarahan spontan di kulit atau perdarahan lain. Derajat III : ditemukannya kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan lembut, tekanan nadi menurun (< 20 mmHg) atau hipotensi disertai kulit dingin, lembab dan pasien gelisah. Derajat IV : syok berat, nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak terukur. Pemeriksaan penunjang Laboratorium - Darah perifer, kadar hemoglobin, leukosit dan hitung jenis, hematokrit, trombosit, peningktan limfosit plasma biru (peningkatan 15% menunjang diagnosis DBD) - Uji serologis : pemeriksaan IgG dan IgM anti dengue Pemeriksaan Radiologis - Pemeriksaan foto dada : dilakukan atas indikasi (1) dalam keadaan klinis ragu-ragu, (2) pemantauan klinis, sebagai pedoman pemberian cairan - USG : efusi pleura, ascites, kelainan dinding vesica felea dan vesica urinaria Penatalaksanaan Terapi infeksi virus dengue dibagi menjadi : DBD tanpa syok (derajat I dan II) - Antipiretik - Mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan perdarahan - Cairan intravena diperlukan apabila : (1) Anak terus menerus muntah, tidak mau minum, demam tinggi, dehidrasi yang dapat mempercepat terjadinya syok (2) Nilai Ht cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala DBD disertai Syok ( Sindrom Syok Dengue, derajat III dan IV) Penggantian volume plasma segera, cairan intravena larutan RL 10-20ml/kgBB secara bolus diberikan dalam waktu 30 menit. Apabila syok belum teratasi tetap berikan RL 20ml/kgBB ditambah koloid 2030ml/kgBB/jam tidak melebihi 30 ml/kgbb/jam. Apabila setelah pemberian kedua cairan tresebut syok Bagian Ilmu Kesehatan Anak
76
belum teratasi sedangkan kadar Ht menurun diduga terjadi perdarahan maka dianjurkan pemberian transfusi darah segar. Setelah keadaan klinis membaik, tetesan infus dikurangi bertahap sesuai keadaan klinis dan kadar Ht Pemberian cairan 10 ml/kgBB/jam tetap diberikan 1-4 jam paska syok. Volume cairan diturunkan menjadi 7ml/kgBB, selanjutnya 5ml/kgBB, dan 3ml/kgBb apabila tanda vital dan diuresis baik. Cairan intravena dapat dihentikan apabila Ht telah turun, jumlah urin 1 ml/kgbb/jam atau lebih merupakan keadaan sirkulasi membaik. Koreksi Gangguan Metabolik dan Elektrolit Hiponatremi dan asidosis metabolik sering menyertai pasien DSS, maka pemeriksaan analisis gas darah dan kadar elektrolit harus selalu diperiksa. Pemberian Oksigen Terapi oksigen harus selalu diberika pada semua pasien syok. Dianjurkan pemberian oksigen dengan menggunakan masker, tetapi harus diingat bahwa anak sering menjadi gelisah apabila dipasang masker oksigen. Transfusi Darah Pemeriksaan golongan darah dan cross-matching harus dilakukan pada setiap pasien syok, terutama pad syok yang berkepanjangan (prolonged shock). Transfusi darah diberikan pada keadaan manifestasi perdarahan yang nyata. Penurunan hematokrit tanpa parbaikan klinis walaupun telah diberikan cairan yang mencukupi merupakan tanda perdarahan. Pemberian darah segar adalah untuk meningkat konsentrasi sel darah merah. Plasma segar atau suspensi trombosit berguna untuk pasien dengan DIC yang menimbulkan perdarahan masif. Pemeriksaan hematologi seperti PT, PTT dan FDP berguna untuk menentukan berat-ringannya DIC. Pemantauan • Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan dievaluasi secara teratur untuk menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang harus diperhatikan pada pemantauan adalah : • Nadi, tekanan darah, respirasi dan temperatur harus dicatat setiap 15-30 menit atau lebih sering sampai syok teratasi. • Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sampai klinis pasien stabil. • Setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan mengenai jenis cairan, jumlah dan tetesan, untuk mementukan apakah cairan sudah mencukupi. • Jumlah dan frekuensi diuresis (normal diuresis 2-3 ml/kgbb/jam). Pasien dapat dipulangkan apabila : • Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik • Nafsu makan membaik • Tampak perbaikan klinis • Hematokrit stabil • Tiga hari setelah syok teratasi • Jumlah trombosit >50.000/mm3 Bagian Ilmu Kesehatan Anak
77
•
Tidak dijumpai distress pernafasan
REFERENSI 1. Soedarmo SP, Garna H, Hadinegoro SR, Satari H. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis.Jakarta. Edisi kedua : 2010. 155-81 2. Hadinegoro SR, Moedjito I, Chairulfatah A. Pedoman Diagnosis dan Tatalaksana Infeksi Virus Dengue pada Anak. Jakarta. Edisi 1 : 2014. Soal: 1. Jelaskan criteria diagnosis infeksi dengue 2. Jelaskan manifestasi klinis infeksi dengue 3. Jelaskan tatalaksana infeksi dengue pada anak
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
78
Nomor Modul : 12/UN16.2-IKA-Modul/I/2016 Topik : Neurologi Sub Topik : Kejang Demam Learning Objektive : 1. Kognitif a. Menjelaskan definisi kejang demam b. Menjelaskan epidemiologi kejang demam c. Menjelaskan faktor risiko kejang demam d. Menjelaskan patogenesis dan patofisiologi kejang demam e. Menjelaskan manifestasi klinis kejang demam f. Menjelaskan cara menegakkan diagnosis kejang demam g. Menjelaskan tatalakasana kejang demam h. Menjelaskan prognosis kejang demam 2. Psikomotor a. Mampu melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, menegakkan diagnosis dan pemeriksaan penunjang dari kejang demam b. Mampu melakukan tatalaksana kejang demam 3. Attitude a. Memperkenalkan diri kepada orang tua dan anak b. Mempersilahkan orang tua untuk bertanya c. Menerangkan kepada orang tua tentang prosedur tindakan yang akan dilakukan (informed consent)
KEJANG DEMAM Definisi Kejang demam merupakan kejadian kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal ≥ 380C) tanpa adanya infeksi intrakranial atau penyebab yang jelas dan terjadi pada usia 6 bulan sampai 5 tahun. Kejang demam sederhana adalah kejang demam yang berlangsung kurang dari 15 menit, bersifat umum serta tidak berulang dalam 24 jam. Kejang demam sederhana merupakan 80% diantara seluruh kejang demam. Kejang demam disebut kompleks jika berlangsung lebih dari 15 menit, bersifat fokal atau parsial 1 sisi, kejang umumdidahului kejang fokal dan berulang atau lebih 1 kali dalam 24 jam Epidemiologi Kejang demam merupakan kelainan neurologis yang terjadi pada 2%-4% populasi anak berusia 6 bulan sampai 6 tahun dan sepertiga dari populasi ini akan mengalami kejang berulang. Kejang demam dua kali lebih dari sering terjadi anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan. Bagian Ilmu Kesehatan Anak
79
Etiologi/Faktor risiko Terdapat interaksi 3 faktor sebagai penyebab kejang demam yaitu : 1. Imaturitas otak dan termoregulator 2. Demam, dimana kebutuhan oksigen meningkat 3. Predisposisi genetik : > 7 lokus kromosom (poligenik, autosomal dominan) Patogenesis dan Patofisiologi Sel neuron dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam (lipid) dan permukaan luar (ion). Dalam keadaan normal, membrane sel dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida. Akibatnya konsentrasi ion K+ dalam sel neuron tinggi dan ion natrium rendah sedangkan diluar sel neuron terjadi sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion didalam dan diluar sel maka terdapat perbedaan potensial membran dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K ATP-ase yang terdapat dipermukaan sel. Keseimbangan potensial membraneini dapat diubah oleh adanya perubahan konsentrasi ion diruang ekstraseluler, rangsangan yang datang mendadak, dan perubahan patofisiologi dari membran sendiri. Demam merupakan gejala yang paling sering pada anak dengan penyebab berupa infeksi dan non infeksi. Paling sering penyebabnya adalah infeksi, dalam hal ini adalah infeksi saluran nafas disusul dengan infeksi saluran cerna pada anak-anak. Pada keadaan demam kenaikan suhu 10C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10%-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Sirkulasi otak pada anak usia 3 tahun mencapai 65% dari seluruh tubuh, dibandingkan pada orang dewasa yag hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membrane sel neuron dan dalam waktu singkat terjadi difusi dari ion Kalium maupun ion natrium melalui membrane tersebut, dengan akibat terjadi lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini sedemikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke sel tetangganya melalui bantuan neurotransmitter dan terjadilah kejang. Manifestasi Klinis Umumnya kejang demam berlangsung singkat, berupa serangan kejang klonik atau tonik-klonik bilateral. Seringkali kejang berhenti sendiri. Setelah kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit anak terbangun dan sadar kembali tanpa defisit neurologis. Kejang dapat diikuti oleh hemiparesis sementara (hemiparesis Todd) yang berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari. Kejang unilateral yang lama dapat diikuti oleh hemiparesis yang menetap. Bangkitan kejang yang berlangsung lama lebih sering terjadi pada kejang demam yang pertama. Diagnosis Anamnesis - Adanya kejang, jenis kejang, kesadaran, lama kejang
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
80
Suhu sebelum/saat kejang, frekuensi dalam 24 jam, interval, keadaan anak pasca kejang, penyebab demam di luar infeksi susunan saraf pusat (gejala Infeski saluran napas akut/ISPA, infeksi saluran kemih/ISK, otitis media akut/OMA, dll) - Riwayat perkembangan, riwayat kejang demam dan epilepsi dalam keluarga, - Singkirkan penyebab kejang yang lain (misalnya diare/muntah yang mengakibatkan gangguan elektrolit, sesak yang mengakibatkan hipoksemia, asupan kurang yang dapat menyebabkan hipoglikemia) Pemeriksaan fisik - Kesadaran: apakah terdapat penurunan kesadaran, Suhu tubuh: apakah terdapat demam - Tanda rangsang meningeal : Kaku kuduk, Bruzinski I dan II, Kernique - Pemeriksaan nervus cranial - Tanda peningkatan tekanan intrakranial : ubun ubun besar (UUB) membonjol , papil edema - Tanda infeksi di luar SSP : ISPA, OMA, ISK, dll - Pemeriksaan neurologi: tonus, motorik, reflex fisiologis, reflex patologis. Pemeriksaan penunjang - Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai indikasi untuk mencari penyebab demam atau kejang. Pemeriksaan dapat meliputi darah perifer lengkap, gula darah, elektrolit, urinalisis dan biakan darah, urin atau feses - Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan/menyingkirkan kemungkinan meningitis. Pada bayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan atau menyingkirkan diagnosis meningitis karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Jika yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan pungsi lumbal. - Pungsi lumbal dianjurkan pada : o Bayi usia kurang dari 12 bulan : sangat dianjurkan o Bayi usia 12-18 bulan : dianjurkan o Bayi usia > 18 bulan tidak rutin dilakukan - Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak direkomendasikan. EEG masih dapat dilakukan pada kejang demam yang tidak khas, misalnya : kejang demam kompleks pada anak berusia lebih dari 6 tahun atau kejang demam fokal. - Pencitraan (CT-Scan atau MRI kepala) dilakukan hanya jika ada indikasi, misalnya : Kelainan neurologi fokal yang menetap (hemiparesis) atau kemungkinan adanya lesi struktural di otak (mikrosefali, spastisitas) - Terdapat tanda peningkatan tekanan intrakranial (kesadaran menurun, muntah berulang, UUB membonjol, paresis nervus VI, edema papil). -
Tatalaksana Medikamentosa Pengobatan medikamentosa saat kejang dapat dilihat pada algoritme tatalaksana kejang.
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
81
Saat ini lebih diutamakan pengobatan profilaksis intermiten pada saat demam berupa : - Antipiretik Parasetamol 10-15 mg/kgBB/kali diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali atau ibuprofen 5-10 mg/kgBB/kali, 3-4 kali sehari. - Anti kejang Diazepam oral dengan dosis 0,3 mg/kgBB setiap 8 jam atau diazepam rektal dosis 0,5 mg/kgBB setiap 8 jam pada saat suhu tubuh > 38,50C.Terdapat efek samping berupa ataksia, iritabel dan sedasi yang cukup berat pada 25-39% kasus. Pengobatan jangka panjang/rumatan Pengobatan jangka panjang hanya diberikan jika kejang demam menunjukkan cirri sebagai berikut (salah satu): - Kejang lama > 15 menit - Kelainan neurologi yang nyata sebelum/sesudah kejang : hemiparesis, paresis Todd, palsi serebral, retardasi mental, hidrosefalus. - Kejang fokal Pengobatan jangka panjang dipertimbangkan jika : - Kejang berulang 2 kali/lebih dalam 24 jam - Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan - Kejang demam >4 kali per tahun. Bagian Ilmu Kesehatan Anak
82
Obat untuk pengobatan jangka panjang : fenobarbital (dosis 3-4 mg/kgBB/hari dibagi 1-2 dosis) atau asam valproat (dosis 15-40 mg/kgBB/hari dibagi 2-3 dosis). Pemberian obat ini efektif dalam menurunkan risiko berulangnya kejang (Level I). Pengobatan diberikan selama 1 tahun bebas kejang, kemudian dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan. Prognosis Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko berulangnya kejang demam adalah : - Riwayat kejang demam dalam keluarga - Usia kurang dari 12 bulan - Temperatur yang rendah saat kejang - Cepatnya kejang setelah demam Jika seluruh faktor di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam adalah 80%, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan berulangnya kejang demam hanya 10%15%. Kemungkinan berulangnya kejang demam paling besar pada tahun pertama. Faktor risiko terjadinya epilepsi adalah : - Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam pertama. - Kejang demam kompleks - Riwayat epielpsi pada orang tua atau saudara kandung Masing-masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi sampai 4%-6%, kombinasi dari faktor risiko tersebut meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi 10%-49%. Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah denagn pemberian obat rumat pada kejang demam. REFERENSI: 1. Pusponegoro HD. Konsensus penatalaksanaan Kejang demam. UKK Neurologi IDAI.2006 2. Shinnar S, Febrile seizures. Pediatric neurology principles and practice. Editor : Kenneth F. Swaiman.5 th edition. 2012 3. Mikati MA, Seizure in Childhood.Nelson textbook of pediatrics. Editor : Kliegman, 19th edition. 2011 4. Taslim S. Soetomenggolo. Kejang demam. Buku ajar neurologi. Editor: Soetomenggalp TS, Ismael S. Tahun 1999 Tugas: 1. Sebutkan tatalaksana dari kejang 2. Sebutkan pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan untuk membantu menegakkan diagnosis kejang demam.
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
83
Nomor Modul : 13/UN16.2-IKA-Modul/I/2016 Topik : Emergensi Rawat Inap Anak Subtopik : Keracunan Pada Anak Learning Objectif : 1. Kognitif a. Menjelaskan definisi keracunan b. Menjelaskan etiologi dan manifetasi klinis keracunan c. Menjelaskan diagnosis keracunan d. Menjelaskan tatalaksana keracunan 2. Psikomotor a. Mampu melakukan anamnesa tentang etiologi dan munculan klinis keracunan yang dialami pasien b. Mampu melakukan tatalaksana pasien dengan keracunan c. Mampu menentukan follow up yang harus dilakukan pada pasien keracunan 3. Attitute a. Memperkenalkan diri kepada pasien dan keluarga pasien b. Memberikan waktu kepada pasien dan kleuarga pasien untuk menjelaskan kejadian yang dialami dan gejala klinis yang dirasakan c. Menerangkan kepada pasien tindakan apa yang akan dilakukan d. Memberikan informed consent jika dibutuhkan tindakan invasive pada pasien
KERACUNAN PADA ANAK Definisi Keracunan adalah masuknya zat racun ke dalam tubuh melalui saluran pencernaan, inhalasi atau kontak langsung yang menimbulkan tanda dan gejala klinis yang khas. Pada dasarnya semua zat kimia dapat menimbulkan keracunan tergantung pada jumlah dan cara masuknya ke dalam tubuh. Epidemiologi Lebih dari separuh keracunan terjadi pada anak dibawah 6 tahun, dimana 38 % terjadi pada anak dibawah 3 tahun. Insiden keracunan tertinggi terjadi pada usia 1 – 3 tahun. Pada remaja,keracunan terjadi sering disebabkan kesengajaan menelan zat racun untuk mencelakakan diri sendiri atau orang lain. Insiden keracunan lebih tinggi dan fatal di negara berkembang dari pada negara maju. Tabel 1. Angka keracunan per 100.000 anak usia < 20 tahun
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
84
Etiologi dan manifestasi klinis Zat tersering penyebab keracunan pada anak usia prasekolah adalah zat-zat yang biasa terdapat di rumah tangga, seperti obat analgetik, obat batuk pilek, obat kulit, zat pembersih, sabun dan deterjen, dan tumbuh-tumbuhan. Zat racun yang paling berbahaya di rumah tangga: a. Obat-obatan, berbahaya apabila anak mengkonsumsi obat yang salah dan dalam jumlah yang banyak. b. Tablet besi. Anak yang mengkonsumsi tablet besi dapat mengalami diare berdarah dalam beberapa jam setelah konsumsi. c. Produk pembersih seperti pembersih toilet, pembersih karat dan pembersih oven dapat menyebabkan luka bakar. d. Cat kuku dan pembersihnya dapat mengakibatkan terjadinya keracunan sianida bila ditelan. Beberapa produk cat kuku akan menyebabkan luka bakar pada kulit dan mulut anak yang mencoba meminumnya. e. Hidrokarbon. Produk yang termasuk golongan hidrokarbon sangat banyak, antara lain gasolin, kerosin, minyak lampu, minyak motor, cat kilat furniture, and thinner. Jika anak mencoba meminumnya, akan sangat mudah tersedak dan menyebabkan cairan masuk ke paru-paru. Jika sudah masuk ke paru-paru, terjadi inflamasi (seperti pneumonia). Hidrocarbon adalah salah satu penyebab utama keracunan pada anak. f. Pestisida. Sebagian besar pestisida dapat diabsorpsi melalui kulit dan inhalasi, beberapa diantaranya berefek pada system saraf dan kesulitan bernafas. g. Cairan pembersih kaca dan antifreeze menyebabkan kebutaan dan kematian jika tertelan. Anti freeze dapat menyebabkan gagal ginjal. h. Jamur liar dapat menyebabkan keracunan jika dimakan. Hanya ahli di bidang tanaman jamur yang dapat membedakan jamur beracun atau tidak. i. Alkohol yang dikonsumsi anak dapat mengakibatkan kejang, koma bahkan kematian. Tabel 1. Kumpulan tanda dan kemungkinan penyebab keracunan Sindrom Keracunan Peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis Aktivitas antikolinergik
Peningkatan aktivitas saraf parasimpatis
sistem
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Tanda Pireksia, fushing, takikardia, hipertensi, konstriksi pupil, berkeringat Gambaran klinik menyerupai simpatomimetik. Perbedaan: dilatasi pupil, mulut kering, kulit kering panas Konstriksi pupil, diare, inkontinensia urin, berkeringat, hipersalivasi. Stimulasi kolinergik berlebihan: kelemahan ototfasikulasi- paralisis 85
Kemungkinan Zat Racun Preparat dekongestan dan obat batuk, amfetamin, kokain, ekstasi, teofilin Antidepresan trisiklik, obat antiparkinson, antihistamin, atropin, antispasmodik, fenotiazin, jamur (Amanita sp), tetes mata siklopentolat Insektisida organofosfat, piridostigmin
Asidosis metabolik
Takipnu, pernafasan Kussmaul
Pneumonitis kimiawi
Batuk, respiratory distress, depresi SSP
Ataksia akut atau nistagmus
Methemoglobinemia
Sianosis resisten terapi oksigen
Gagal ginjal
Oliguria atau anuria, hematuria, mioglobinuria
Muntah hebat
Etanol, karbon monoksida (CO), besi, obat diabetes, antidepresan trisiklik, salisilat Spiritus, terpentin, minyak esensial Antihistamin, alkohol, antikonvulsan, (fenitoin, karbamazepin), piperazin, difenilhidantoin, barbiturat, CO, pelarut organik, bromida Pencelup alanin, nitrat, benzokain, fenasetin, nitrobenzen, klorat, sulfonamid dan metoklopramid Karbon tetraklorida, etilen glikol, metanol, jamur, oksalat Aspirin, teofilin, korosif, fluorida, asam borak, besi
Diagnosis keracunan: • Curigai keracunan pada anak sehat yang mendadak sakit dan tidak dapat dijelaskan penyebabnya. • Diagnosis didasarkan pada anamnesis dari anak atau pengasuh, pemeriksaan klinis dan hasil investigasi. • Carilah informasi tentang bahan penyebab keracunan, jumlah racun yang terpajan dan waktu pajanan ke dalam tubuh secara lengkap. • Cobalah untuk mengenali bahan racun dengan melihat kemasannya. Pastikan juga tidak ada anak lain yang terpajan. • Periksalah tanda terbakar di dalam atau sekitar mulut, atau apakah ada stridor (kerusakan laring) yang menunjukkan racun bersifat korosif. Tatalaksana: Penatalaksanaan didasarkan pada 4 prinsip dasar 1. Menetapkan penanganan suportif (ABC’s) 2. Mencegah atau meminimalisir penyerapan 3. Meningkatan pengeluaran 4. Mencari antidote 1. Menetapkan penanganan suportif (ABC’s) a. Tatalaksana awal difokuskan pada penilaian jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi (stabilisasi keadaan darurat). Depresi Sistem Saraf Pusat (SSP) merupakan gejala yang umum, dan dapat berbahaya untuk jalan nafas, terjadi gagal nafas dan aspirasi. b. Periksa glukosa darah pada pasien dengan perubahan kesadaran atau letargi, tertelan obat yang menyebabkan hipoglikemia, alkohol dengan gejala hipoglikemia: dingin, kulit lembab/basah, perubahan kesadaran dengan atau tanpa penurunan glukosa darah (<80 mg/dl atau 4,4 mmol/L). Bagian Ilmu Kesehatan Anak
86
c. Diuresis, muntah dan diare dapat menyebabkan dehidrasi dan syok. Mungkin diperlukan resusitasi cairan agresif dan pemberian inotropik seperti dopamin dan dobutamin. d. Monitor fungsi ginjal dan hepar. 2. Mencegah atau meminimalisir penyerapan • Pemberian antidotum spesifik. Pada kecurigaan terhadap racun penyebab, adakalanya pemberian antidotum tidak hanya sebagai terapi awal tetapi juga dapat membantu Prinsip penatalaksanaan terhadap racun yang tertelan Tatalaksana: • Terapi spesifik toksin atau suportif yang sesuai dapat dimulai. Dekontaminasi lambung seperti pemberian activated charcoal dan bilas lambung tidak secara rutin direkomendasikan serta dilakukan dalam 1 jam setelah tertelan. Arang aktif diberikan peroral dengan atau tanpa pipa nasogastrik dengan dosis untuk anak sampai umur 1 tahun 1 g/kg, 1 - 12 tahun 25 - 50 g dan remaja 25 - 100 g. Larutkan arang aktif dengan 8 - 10 kali air, misalnya 5 g ke dalam 40 ml air. Jika mungkin, berikan sekaligus, jika sulit (anak tidak suka), dapat diberikan secara bertahap. Efektifitas arang aktif bergantung pada isi lambung (lambung kosong lebih efektif). • Periksa anak apakah ada tanda kegawatan dan periksa gula darah. Koreksi hipoglikemia dengan pemberian bolus dekstrosa 10% IV 5 ml/kg. • Identifikasi bahan racun dan keluarkan bahan tersebut sesegera mungkin, sangat efektif jika dilakukan sesegera mungkin setelah terjadinya keracunan, idealnya 1 jam pertama. Jika anak tertelan minyak tanah, premium atau bahan lain yang mengandung premium/minyak tanah/solar (pestisida pertanian berbahan pelarut minyak tanah) atau jika mulut dan tenggorokan mengalami luka bakar (misalnya karena bahan pemutih, pembersih toilet atau asam kuat dari aki), jangan rangsang muntah tetapi beri minum air. • Jangan gunakan garam sebagai emetik karena bisa berakibat fatal. Dekontaminasi lambung (menghilangkan racun dari lambung), efektif bila dilakukan sebelum masa pengosongan lambung terlewati (1-2 jam, termasuk penuh atau tidaknya lambung). Dekontaminasi lambung tidak menjamin semua bahan racun yang masuk bisa dikeluarkan, oleh karena itu tindakan dekontaminasi lambung tidak rutin dilakukan pada kasus keracunan. Bilas lambung dilakukan pada keracunan yang terjadi < 1 jam dan mengancam nyawa. Bilas lambung tidak boleh dilakukan pada keracunan bahan korosif atau hidrokarbon. Pastikan tersedia mesin pengisap untuk membersihkan muntahan di rongga mulut. Tempatkan anak dengan posisi miring ke kiri dengan kepala lebih rendah. Ukur panjang pipa nasogastrik yang akan dimasukkan. Masukkan pipa nasogastrik ukuran 24-28 F melalui mulut ke dalam lambung. Lakukan bilasan dengan 10 ml/kgBB garam normal hangat. Jumlah cairan yang diberikan harus sama dengan yang dikeluarkan, tindakan bilas lambung dilakukan sampai cairan bilasan yang keluar jernih. Kontra indikasi dekontaminasi lambung: 1. Keracunan bahan korosif atau senyawa hidrokarbon (minyak tanah, dll) karena mempunyai risiko terjadi gejala keracunan yang lebih serius Bagian Ilmu Kesehatan Anak
87
2. Penurunan kesadaran (bila jalan napas tidak terlindungi) BEBERAPA ZAT RACUN YANG SERING TERMAKAN ANAK Senyawa Hidrokarbon: minyak tanah, terpentin, premium Keracunan yang terbanyak pada anak ±50%. Usia terbanyak <5 tahun tersering 1-2 tahun. Jumlah yang tertelan sukar diduga (ukuran yang dijelaskan orang tua bermacam-macam). Tanda dan gejala klinis: • Pernafasan: batuk, edema paru, pneumonitis, pneumonia. • Saraf pusat: letargi, semikoma, koma (gejala ensefalopati). • Pencernaan: mual, kembung, sakit perut. • Demam. Tatalaksana: • Jangan rangsang anak untuk muntah atau memberikan arang aktif. Tindakan perangsangan muntah dapat menyebabkan aspirasi pneumonia (edema paru dan pneumonia lipoid) yang dapat mengakibatkan sesak napas dan hipoksia. • Pengobatan suportif untuk hipoksia adalah perbaikan ventilasi, mencegah dan mengurangi sumbatan jalan nafas serta memberikan oksigen tambahan; karena hidrokarbon ternyata masuk tubuh secara inhalasi dan menimbulkan kerusakan paru.1 • Pencegahan yaitu kesadaran orang tua bahwa hidrokarbon harus disimpan rapi pada tempat yang jauh dari jangkauan anak. Senyawa Organofosfat dan Karbamat: Organofosfat (OP): malathion, parathion, TEPP, mevinphos (Phosdrin); Karbamat: metiokarbamat, karbaril Bahan tersebut diserap melalui kulit, tertelan atau terhirup. Anak mungkin akan mengalami muntah, diare, penglihatan kabur, atau lemah. Gejala yang timbul akibat dari aktivasi parasimpatik: hipersalivasi, berkeringat, lakrimasi, bradikardi, miosis, kejang, lemah otot, twitching, hingga paralisis dan inkontinensia urin, edema paru, depresi napas. Tatalaksana: • Singkirkan racun dengan irigasi mata atau mencuci kulit (jika ada pada mata atau kulit). • Berikan arang aktif jika tertelan sebelum 1 jam. • Jangan rangsang muntah karena kebanyakan pestisida bahan pelarutnya berasal dari hidrokarbon • Pada keracunan berat dimana arang aktif tidak dapat diberikan, pertimbangkan aspirasi lambung dengan pipa nasogastrik. • Jika anak menunjukkan gejala hiperaktivasi parasimpatik, berikan atropin 15 – 50 mcg/kgBB atau melalui infus selama 15 menit. Tujuan pemberian atropin mengurangi sekresi bronkial dengan menghindari toksisitas atropin. Auskultasi dada untuk mendengarkan adanya tanda sekresi pada saluran napas dan pantau frekuensi napas, denyut jantung dan skala koma (jika diperlukan). Ulangi dosis atropin setiap 15 menit sampai tidak ada tanda sekresi pada saluran napas, denyut nadi dan frekuensi napas kembali normal.
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
88
Periksa hipoksemia dengan pulse oximetry, karena pemberian atropin dapat menyebabkan gangguan irama jantung (aritmia ventrikular) pada anak dengan hipoksemia. Berikan oksigen jika SO2 < 90% • Jika otot melemah, berikan pralidoksim (cholinesterase reactivator) 25–50 mg/kg dilarutkan dengan 15 ml air diberikan melalui infus selama >30 menit, diulangi 1-2 kali, atau diikuti dengan infus 10 - 20 mg/kgBB/jam. •
Keracunan Singkong Keracunan terjadi akibat singkong mengandung glikosida sianogenik linamarin (C10H17O6N) yang terdapat pada lapisan luar. Zat ini terdiri dari glukosa, aseton dan asam sianida (HCN). Pasien mulamula merasa panas pada perut, mual, pusing, sesak dan lemah. Pernafasan menjadi cepat dengan inspirasi yang pendek dan bau nafas serta muntahan yang khas (bau bitter almond). Rasa sesak disusul pingsan, kejang yang akhirnya lemas, berkeringat, mata menonjol dengan pupil melebar tanpa reaksi. Busa pada mulut tercampur warmna darah dan warna kulit merah bata dan sianosis tidak tampak. Dengan uji Guinard, pada singkong terlihat perubahan warna asam pikrat kuning menjadi kemerahan dalam waktu 15 menit - 3 jam. Tatalaksana: • Eliminasi racun dengan jalan muntah atau bilas lambung. • Pemberian antidotum yaitu Na-tiosulfat 10% IV 0,5 ml/kgBB/kali diberikan perlahan. • Pemberian oksigen dengan tekanan tinggi (hyperbaric/CPAP) sebagai antidotum dimana enzim feri sitokrom oksidase dengan sianida bersifat kompetitif dengan oksigen. Keracunan Botulisme Toksin botulinum adalah neurotoksin (eksotoksin) yang dikeluarkan oleh Cl. botulinum. Kuman anaerob ini tumbuh dalam media minyak, daging ikan yang tidak sempurna diproses atau diawetkan dan dijual dalam kaleng. Toksin ini menyebabkan hambatan impuls saraf pada motor endplate dan mengakibatkan kelumpuhan. Gejala klinis berupa kelainan pada mata, kelumpuhan otot mata, kelumpuhan nervi kranialis secara simetris, disfagia/disartria, kelumpuhan menyeluruh termasuk kelumpuhan otot pernafasan, muntah hebat terjadi pada permulaan penyakit. Tatalaksana: • Eliminasi racun dengan jalan bilas lambung, obat pencahar. • Bila depresi nafas memberat, perlu pernafasan mekanik buatan sampai tanda vital membaik kembali. • Antidotum adalah antitoksin botulisme IV 10 - 50 ml setelah tes kulit. • Kuinidin hidroklorida untuk melawan blokade neuromuskular dengan dosis 15 - 35 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis. Pencegahan 1. Pindahkan zat racun dari lingkungan sekitar. Bagian Ilmu Kesehatan Anak
89
2. Ganti zat racun dengan yang zat yang memiliki toksisitas yang lebih rendah. 3. Mengurangi toksisitas zat dengan mengemasnya dalam konsentrasi atau dosis non letal. 4. Mendirikan pusat kontrol keracunan pada triage keracunan. REFERENSI 1. Enny Harliani alwi. Tatalaksana keracunan. Buku ajar pediatric gawat darurat IDAI. 2015 TUGAS 1. Sebutkan etiologi, manifestasi klinis , definisi dari keracunan 2. Jelaskan tatalaksana dari keracunan pada anak
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
90
Nomor Modul : 14/UN16.2-IKA-Modul/I/2016 Topik : Gizi Subtopik : Malnutrisi Energi dan Metabolik Learning Objective : 1. Kognitif a. Menjelaskan definisi malnutrisi akut berat b. Menjelaskan kriteria diagnosis malnutrisi akut berat c. menjelaskan pengukuran LILA sebagai indikator status gizi d. menjelaskan perbedaan marasmus dan kwashiorkor e. menjelaskan tatalaksana malnutrisi akut berat f. menjelaskan 10 langkah utama malnutrisi akut berat g. menjelaskan tatalaksana malnutrisi akut berat dengan komplikasi atau tanpa komplikasi 2. Psikomotor a. Mampu melakukan anamnesa pasien malnutrisi akut berat b. Mampu melakukan pemeriksaan fisik malnutrisi akut berat c. Mampu melakukan diagnosis malnutrisi akut berat d. Mampu melakukan tatalaksana malnutrisi akut berat
MALNUTRISI ENERGI DAN METABOLIK Pendahuluan Malnutrisi masih merupakan masalah kesehatan utama di Negara sedang berkembang, dan melatarbelakangi ( underlying factor ) lebih dari 50% kematian balita. Gizi buruk akut atau Malnutrisi Akut Berat (MAB) adalah keadaan dimana seorang anak tampak sangat kurus, ditandai dengan BB/PB < -3SD dari median WHO child growth standard, atau didapatkan edema nutrisional dan pada anak umur 5-59 bulan Lingkar Lengan Atas (LLA) <110 mm. Diagnosis MAB Diagnosis berdasarkan kriteria: 1. Terlihat sangat kurus 2. Edema nutrisional 3. BB/TB <-3SD 4. LILA < 115mm WHO dan Unicef menggunakan cut-off BB/PB<-3SD median standard rujukan WHO ( WHO child growth standard) atau WHO/NCHS, dengan alasan : (1) anak di bawah cut off tersebut mempunyai risiko lebih tinggi dibanding anak yang berada diatasnya; (2) jika anak tersebut mendapat terapi diet, akan mengalami peningkatan BB yang lebih cepat, sehingga akan mempercepat penyembuhan; (3) tidak ada risiko atau pengaruh negative pemberian terapi makan pada kelompok anak ini.
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
91
Lingkar Lengan Atas LIngkar Lengan Atas (LILA) merupakan indicator nutrisi yang paling unggul untuk seleksi kasus penderita gizi buruk dibandingkan antropometri lain, seperti BB/U, PB/U,BB/PB. Kelebihan LILA dibanding yang lainnya: 1. Sederhana, dapat dilaksanakan sekalipun oleh petugas non-kesehatan atau relawan yang dilatih menggunakan LILA sebagai alat deteksi malnutrisi. 2. Penerimaan, anak yang diukur BB dan PB lebih sering menunjangkan reaksi penolakan pengukuran di banding anak yang di ukur LILA nya. 3. Biaya, pengukuran BB dan PB atau TB memerlukan alat yang perlu dilakukan kaliberasi secara berkala. Penggunakan pita LILA hanya memerlukan biaya sedikit dengan ketelitian tinggi dan mudah didistribusikan ke daerah terpencil. 4. Ketepatan dan akurasi 5. Sensitivitas, spesifisitas dan nilai prediksi. LILA mempunyai nilai predictor terbaik terhadap kejadian kematian dalam beberapa bulan mendatang pada anak malnutrisi, dibandingkan dengan BB/U apalagi dengan BB/PB, LILA juga mempunyai nilai sensitivitas dan spesifitas tinggi. Marasmus dan Kwashiorkor Marasmus dan kwashiorkor adalah hasil akhir dari tingkat keparahan penderita gizi buruk. Marasmus ditandai dengan tubuh yang sangat kurus dengan berbagai tanda ikutannya, sedangkan kwashiorkor ditandai dengan edema,diawali edema pada punggung kaki (+) yang dapat menyebar keseluruh tubuh (+++). Tatalaksana malnutrisi akut berat WHO membagi malnutrisi menjadi 2 kategori yaitu : severe acute malnutrition (MAB)dan moderate acute malnutrition. Tatalaksana penderita MAB dibagi 2 yaitu dengan komplikasi yang harus dirawat dirumah sakit atau puskesmas dan MAB tanpa komplikasi yang tidak perlu dirawat inap. 10 langkah utama dalam menangani gizi buruk: 1. Atasi/cegah hipoglikemia 2. Atasi/cegah hipotermia 3. Atasi/cegah dehidrasi 4. Koreksi ketidakseimbangan elektrolit 5. Atasi/cegah infeksi 6. Koreksi defisiensi mikronutrien 7. Memulai pemberian makan 8. Mengupayakan tumbuh kejar 9. Memberikan stimulasi sensoris dan dukungan emosional 10. Mempersiapkan untuk tindak lanjut pasca perbaikan
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
92
Malnutrisi akut berat
Dengan komplikasi
1.
Edema pitting bilateral derajat 3 (edema berat) atau 2. LILA <115mm dan edema pitting bilateral derajat 1-2 ( marasmik kwashiorkor)atau 3. LILA <115mm atau edema pitting bilateral derajat 1-2 Dan ditambah 1 komplikasi berikut: anoreksia, pneumonia berat, anemia berat, demam tinggi,letargis,hipotermia dan hipoglikemia. pasien dirawat inap protocol WHO
Tanpa komplikasi
LILA <115mm, atau edema pitting bilateral derajat 1-2 dengan LILA ≥ 115mm dan nafsu makan baik • secara klinis baik • sadar Pasien dirawat jalan outpatient therapeutic program (OTP) •
LILA antara 115- < 125mm Dan tidak ada edema pitting, dan nafsu makan baik • secara klinis baik • sadar Pemberian suplemen makanan •
REFERENSI 4. B Koletzko. Pediatric Nutrition in practice. Karger. New York. 5. Barasi, Mary E. At Aglance : ilmu Gizi . Jakarta. 6. Direktorat Bina Gizi Kemenkes RI. Bagan tatalaksana Gizi Buruk buku 1. Jakarta 7. Sjarif DR, dkk. 2011. Buku ajar Gizi Nutrisi Pediarik dan penyakit Metabolik.IDAI. Jakarta. 8. Arisma. Gizi dalam daur kehidupan. Jakarta. 9. Sediaoetama AD, 2008. Ilmu Gizi . Jakarta.
Soal 1. Jelaskan gambaran klinis malnutrisi energi 2. Jelaskan 10 langkah tatalaksana gizi buruk
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
93
Nomor Modul : 15/UN16.2-IKA-Modul/I/2016 Topik : Neurologi Sub Topik : Meningitis Tuberkulosis Learning Objektif : 1. Kognitif a. Menjelaskan definisi meningitis tuberkulosis b. Menjelaskan epidemiologi meningitis tuberkulosis c. Menjelaskan faktor risiko meningitis tuberkulosis d. Menjelaskan patogenesis dan patofisiologi meningitis tuberkulosis e. Menjelaskan manifestasi klinis meningitis tuberkulosis f. Menjelaskan cara menegakkan diagnosis meningitis tuberkulosis g. Menjelaskan tatalakasana meningitis tuberkulosis h. Menjelaskan prognosis meningitis tuberkulosis 2. Psikomotor a. Mampu melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, menegakkan diagnosis dan pemeriksaan penunjang dari meningitis tuberkulosis b. Mampu melakukan tatalaksana meningitis tuberkulosis 3. Attitude a. Memperkenalkan diri kepada orang tua dan anak b. Mempersilahkan orang tua untuk bertanya c. Menerangkan kepada orang tua tentang prosedur tindakan yang akan dilakukan (informed consent)
MENINGITIS TUBERKULOSIS Definisi Meningitis tuberkulosis adalah radang selaput otak yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Biasanya jaringan otak ikut terkena sehingga disebut sebagai meningoensefalitis tuberkulosis. Epidemiologi Insiden meningitis tuberculosis bervariasi dan tergantung kepada tingkat sosio-ekonomi dan kesehatan masyarakat, umur, status gizi, serta factor genetic yag menentukan imun seseorang. Angka kejadian jarang dibawah usia 3 bulan dan mulai meningkat dalam 5 tahun pertama. Angka kejadian tertinggi pada usia 6 bulan sampai 2 tahun. Angka kematian berkisar antara 10-20%. Etiologi/faktor Resiko Penyebab meningitis tuberkulosis adalah kuman mikobakterium tuberkulosis. Patogenesis patofisiologi Meningitis tuberkulosis pada umumnyasebagai penyebaran tuberkulosis primer, dengan fokus infeksi ditempat lain.biasanya fokus infeksi di paru. Mula mula terbentuk tuberkel diotak, selaput otak Bagian Ilmu Kesehatan Anak
94
atau medulla spinalis, akibat penyebaran basil secara hematogen selama infeksi primer atau selama perjalanan tuberkulosis kronik (jarang). Kemudian timbul meningitis akibat terlepasnya basil dan antigennya dari tuberkel yang pecah karena rangsangan mungkin berupa trauma atau faktor imunologis. Basilkemudian langsung masuk ke ruang sub arachnoid atau ventrikel. Hal ini mungkin terjadi segera sesudah dibentuknya lesi atau setelah beberapa bulan atau tahun.meningitis basalis yang etrjadi akan menimbulkan kompliaksi neurologis beruapa paralisis nervus kranialis, infark serta hidrosefalus. Perlengkatan yang sama dalam kanalis sentralis medulla spinalis aka menyebabkan spinal block dan paraplegia. Manifestasi klinis Pada fase awal belum timbul manifestasi neurologis, biasanya gejala tidak khas dan timbul perlahan – lahan dan berlangsung ± 2 minggu sebelum timbul ransang meningeal. Gejala berupa rasa lemah, kenaikan suhu tubuh yang ringan, anoreksia mual muntah sakit kepala dan apatik. Fase selanjutnya ditandai dengan memberatnya penyakit, terjadi rangsangan pada selaput otak sehingga sakit kepala dan muntah menjadi keluhannya. Mungkin timbul kelemahan otot, kehilangan sensori dan pergerakan involunter serta kerja yang dapat timbul pada setiap fase penyakit. Hemiparesis dapat timbul pada fase ini. Kelumpuhan saraf cranial terjadi sekitar 20-30% dan mula mula unilateral kemudian menjadi bilateral. Pada stadium selanjutnya maka gangguan fungsiotak menjadi semakin jelas yaitu kesadaran makinmenurun, iritabel dan apatik, mengantuk, stupor dan koma, otot ekstensor menjadikaku dan spasme sehingga seluruh tubuh menjadi kaku dan timbul opistotonus. Stadium ini berlangsung 2-3 minggu. Tiga stadium diatas biasanya tidak jelas batasnya antara satu dengan yang lain, tetapi bila tidak diobati biasanya berlangsung 3 mingggu sebelum pasien meninggal. Diagnosis Anamnesis Riwayat demam yang lama/kronis, dapat pula berlangsung akut • Kejang, deskripsi kejang (jenis, lama, frekuensi, interval) kesadaran setelah kejang • Penurunan kesadaran • Penurunan berat badan (BB), anoreksia, muntah, sering batuk dan pilek • Riwayat kontak dengan pasien tuberkulosis dewasa • Riwayat imunisasi BCG Pemeriksaan fisis Manifestasi klinis dibagi menjadi 3 stadium : 1. Stadium I (inisial) Pasien tampak apatis ,iritabel, nyeri kepala, demam, malaise, anoreksia, mual dan muntah. Belum tampak manifestasi kelainan neurologi. Bagian Ilmu Kesehatan Anak
95
2. Stadium II Pasien tampak mengantuk, disorientasi, ditemukan tanda rangsang meningeal, kejang, defisit neurologis fokal, paresis nervus kranial, dan gerakan involunter (tremor, koreoatetosis, hemibalismus). 3. Stadium III Stadium II disertai dengan kesadaran semakin menurun sampai koma, ditemukan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial, pupil terfiksasi, pernapasan ireguler disertai peningkatan suhu tubuh, dan ekstremitas spastis. Pada funduskopi dapat ditemukan papil yang pucat, tuberkel pada retina, dan adanya nodul pada koroid. Lakukan pemeriksaan parut BCG dan tanda-tanda infeksi tuberkulosis di tempat lain Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan meliputi darah perifer lengkap, laju endap darah, dan gula darah. Lekosit darah tepi sering meningkat (10.000 – 20.000 sel/mm3). Sering ditemukan hiponatremia dan hipokloremia karena sekresi antidiuretik hormon yang tidak adekuat. Pungsi lumbal: o Liquor serebrospinal (LCS) jernih, cloudy atau santokrom, Jumlah sel meningkat antara 10–250 sel/mm3 dan jarang melebihi 500 sel/mm3, hitung jenis predominan sel limfosit walaupun pada stadium awal dapat dominan polimorfonuklear. Protein meningkat di atas 100 mg/dl sedangkan glukosa menurun di bawah 35 mg/dl, rasio glukosa LCS dan darah dibawah normal. o Pemeriksaan BTA (basil tahan asam) dan kultur M. Tbc tetap dilakukan. o Jika hasil pemeriksaan LCS yang pertama meragukan, pungsi lumbal ulangan dapat memperkuat diagnosis dengan interval dua minggu. - Pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)dan latex particle agglutination dapat mendeteksi kuman Mycobacterium di cairan serebrospinal (bila memungkinkan). - Pemeriksaan pencitraan (computed tomography(CT Scan)/magnetic resonance imaging/(MRI) kepala dengan kontras) dapat menunjukkan lesi parenkim pada daerah basal otak, infark, tuberkuloma, maupun hidrosefalus. Pemeriksaan ini dilakukan jika ada indikasi, terutama jika dicurigai terdapat komplikasi hidrosefalus. - Foto rontgen dada dapat menunjukkan gambaran penyakit tuberkulosis. - Uji tuberkulin dapat mendukung diagnosis - Elektroensefalografi (EEG) dikerjakan jika memungkinkan dapat menunjukkan perlambatan gelombang irama dasar. Diagnosis pasti bila ditemukan M. tuberkulosispada pemeriksaan apus LCS/kultur.
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
96
Tatalaksana Medikamentosa Pengobatan medikamentosa diberikan sesuai rekomendasi American Academy of Pediatrics 1994, yakni dengan pemberian 4 macam obat selama 2 bulan, dilanjutkan dengan pemberian INH dan Rifampisin selama 10 bulan. Dosis obat antituberkulosis adalah sebagai berikut : - Isoniazid (INH) 10-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 300 mg/hari. - Rifampisin 10-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari. - Pirazinamid 15-30 mg/kgBB.hari, dosis maksimal 2000 mg/hari. - Etambutol 15-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 1000 mg/hari atau streptomisin IM 20 – 30 mg/kg/hari dengan maksimal 1 gram/hari. Kortikosteroid diberikan untuk menurunkan inflamasi dan edema serebral. Prednison diberikan dengan dosis 1–2 mg/kg/hari selama 6–8 minggu. Adanya peningkatan tekanan intrakranial yang tinggi dapat diberikan deksametason 6 mg/m2setiap 4–6 jam atau dosis 0,3–0,5 mg/kg/hari. Tata laksana kejang maupun peningkatan tekanan intrakranial Perlu dipantau adanya komplikasi Syndrome Inappropriate Antidiuretic Hormone(SIADH). Diagnosis SIADH ditegakkan jika terdapat kadar natrium serum yang <135 mEq/L (135 mmol/L), osmolaritas serum < 270 mOsm/kg, osmolaritas urin > 2 kali osmolaritas serum,natrium urin > 30 mEq/L (30 mmol/L) tanpa adanya tanda-tanda dehidrasi atau hipovolemia. Beberapa ahli merekomendasikan pembatasan jumlah cairan dengan memakai cairan isotonis, terutama jika natrium serum < 130 mEq/L (130 mmol/L). Jumlah cairan dapat dikembalikan ke cairan rumatan jika kadar natrium serum kembali normal. Bedah Hidrosefalus terjadi pada 2/3 kasus dengan lama sakit >3 minggu dan dapat diterapi dengan asetazolamid 30-50 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis. Perlu dilakukan pemantauan terhadap asidosis metabolik pada pemberian asetazolamid. Beberapa ahli hanya merekomendasikan tindakan VPshuntjika terdapat hidrosefalus obstruktif dengan gejala ventrikulomegali disertai peningkatan tekanan intraventrikel atau edema periventrikuler. Suportif Jika keadaan umum pasien sudah stabil, dapat dilakukan konsultasi ke Departemen Rehabilitasi Medik untuk mobilisasi bertahap, mengurangi spastisitas, serta mencegah kontraktur. Prognosis Prognosis tergantung kepada faktor stadium penyakit saat pengobatan dimulai dan umur pasien. Pasien yang berumur lebih muda dari 3 tahun mempunyai prognosis lebih buruk daripada yang Bagian Ilmu Kesehatan Anak
97
lebih tua. Sebagian besar memberikan gejala sisa, hanya 18% pasien yang normal secara neurologis dan intelektual. Anak dengan meningitis tuberkulosis bila tidak diobati, akan meninggal dalam waktu 3– 5 minggu. Gejala sisa neurologis yang terbanyak adalah paresis spastik, kejang, paraplegia dan gangguan sensori ekstremitas. Kompilkasi pada mata berupa atrofi optic dan kebutaan. Gejala sisa neurologis minor berupa kelainan saraf otak, nistagmus, ataksia, gangguan ringan pada koordinasi dan spastisitas. Follow up Pemantauan darah tepi dan fungsi hati setiap 3-6 bulan untuk mendeteksi adanya komplikasi obat tuberkulostatik. Gejala sisa yang sering ditemukan adalah gangguan penglihatan, gangguan pendengaran, palsi serebral, epilepsi, retardasi mental, maupun gangguan perilaku. Pasca rawat pasien memerlukan pemantauan tumbuh-kembang, jika terdapat gejala sisa dilakukan konsultasi ke departemen terkait (Rehabilitasi Medik, telinga hidung tenggorokan (THT), Mata dll) sesuai indikasi. REFERENSI: 1. Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan tuberkulosis di Indonesia (konsensus TB) 2. Tauber MG, Schaad UB, Bacterial infection of the nervous system. Pediatric neurology principles and practice. Editor: Kenneth F.Swaiman.5th edition. 2006 3. Maroushek SR. Principles of antimycobacterial therapy.Nelson textbook of pediatrics. Editor : Kliegman .19th edition. 2011 4. Saharso D, Hidayati SN. Infeksi susunan syaraf pusat. Buku ajar neurologi. Editor: Soetomenggalp TS, Ismael S.Tahun 1999 Tugas: 1. Sebutkan trias dari meningitis 2. Sebutkan perbedaan dari analisi cairan LCS pasien meningits tuberkulosis dengan meningitis purulenta
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
98
Nomor Modul : 15/UN16.2-IKA-Modul/I/2016 Topik : Pediatri Sosial Dan Tumbuh Kembang Subtopik : Retardasi Mental Learning Objective : 1. Kognitif a. Menegakkan diagnosis retardasi mental b. Memberikan tatalaksana awal retardasi mental c. Memberikan konseling kepada keluarga d. Merujuk ke pelayanan spesialistik yang relevan 2. Psikomotor a. Mampu melakukan anamnesa tentang faktor risiko bagi retardasi mental b. Mampu melakukan pemeriksaan untuk mendeteksi adanya keterlambatan berbahasa, gangguan gerakan motorik halus dan gangguan adaptasi (toileting, kemampuan bermain), keterlambatan perkembangan motorik kasar, gangguan perilaku, antara lain agresi, menyakiti diri sendiri, deviasi perilaku, inatensi, hiperaktifitas, kecemasan, depresi, gangguan tidur dan gerakan sterotipik. 3. Attitute a. Memperkenalkan diri kepada orang tua pasien b. Memberikan waktu kepada orang tua untuk menjelaskan keluhan dan gejala klinis yang dirasakan c. Menerangkan kepada orang tua menganai rencana tindakan apa yang akan dilakukan
RETARDASI MENTAL Definisi American Association on Mental Deficiency (AAMD) membuat definisi retardasi mental yang kemudian direvisi oleh Rick Heber (1961) sebagai suatu penurunan fungsi intelektual secara menyeluruh yang terjadi pada masa perkembangan dan dihubungkan dengan gangguan adaptasi sosial. Ada 3 hal penting yang merupakan kata kunci dalam definisi ini yaitu penurunan fungsi intelektual, adaptasi sosial, dan masa perkembangan. Menurut Manual on Terminology and Classfication in Mental Retardation Grossman merevisi retardasi mental adalah penurunan fungsi intelektual yang menyeluruh secara bermakna dan secara langsung menyebabkan gangguan adaptasi sosial, dan bermanifestasi selama masa perkembangan. Klasifikasi Berdasarkan The ICD-10 Classification of Mental and Behavioural Disorders, WHO, Geneva tahun 1994 retardasi mental dibagi menjadi 4 golongan yaitu : • Mild retardation (retardasi mental ringan), IQ 50-69 • Moderate retardation (retardasi mental sedang), IQ 35-49 Bagian Ilmu Kesehatan Anak
99
• Severe retardation (retardasi mental berat), IQ 20-34 • Profound retardation (retardasi mental sangat berat), IQ <20 Retardasi mental ringan Retardasi mental ringan dikategorikan sebagai retardasi mental dapat dididik (educable). Anak mengalami gangguan berbahasa tetapi masih mampu menguasainya untuk keperluan bicara sehari-hari dan untuk wawancara klinik. Umumnya mereka juga mampu mengurus diri sendiri secara independen (makan, mencuci, memakai baju, mengontrol saluran cerna dan kandung kemih), meskipun tingkat perkembangannya sedikit lebih lambat dari ukuran normal. Kesulitan utama biasanya terlihat pada pekerjaan akademik sekolah, dan banyak yang bermasalah dalam membaca dan menulis. Retardasi mental sedang Retardasi mental sedang dikategorikan sebagai retardasi mental dapat dilatih (trainable). Pada kelompok ini anak mengalami keterlambatan perkembangan pemahaman dan penggunaan bahasa, serta pencapaian akhirnya terbatas. Pencapaian kemampuan mengurus diri sendiri dan ketrampilan motor juga mengalami keterlambatan, dan beberapa diantaranya membutuhkan pengawasan sepanjang hidupnya. Retardasi mental berat Kelompok retardasi mental berat ini hampir sama dengan retardasi mental sedang dalam hal gambaran klinis, penyebab organik, dan keadaan-keadaan yang terkait. Perbedaan utama adalah pada retardasi mental berat ini biasanya mengalami kerusakan motor yang bermakna atau adanya defisit neurologis Retardasi mental sangat berat Retardasi mental sangat berat berarti secara praktis anak sangat terbatas kemampuannya dalam mengerti dan menuruti permintaan atau instruksi. Umumnya anak sangat terbatas dalam hal mobilitas, dan hanya mampu pada bentuk komunikasi nonverbal yang sangat elementer. Etiologi Terjadinya retardasi mental tidak dapat dipisahkan dari tumbuh kembang seorang anak. Seperti diketahui faktor penentu tumbuh kembang seorang anak pada garis besarnya adalah faktor genetik/heredokonstitusional yang menentukan sifat bawaan anak tersebut dan faktor lingkungan. Kebutuhan dasar anak untuk tumbuh kembang ini secara garis besar dapat digolongkan menjadi 3 golongan, yaitu: • Kebutuhan fisis-biomedis (asuh) Pangan (gizi, merupakan kebutuhan paling penting),perawatan kesehatan dasar (Imunisasi, ASI, penimbangan bayi secara teratur, pengobatan sederhana, dan lain lain), papan (pemukiman yang layak),higiene, sanitasi,sandang,kesegaran jasmani, rekreasi • Kebutuhan emosi/kasih sayang (asih). Pada tahuntahun pertama kehidupan hubungan yang erat, mesra dan selaras antara ibu dan anak merupakan syarat mutlak untuk menjamin suatu proses tumbuh kembang yang selaras, baik fisis, mental maupun sosial. Bagian Ilmu Kesehatan Anak
100
• Kebutuhan akan stimulasi mental (asah). Stimulasimental ini membantu perkembangan mental psikososial (kecerdasan, ketrampilan, kemandirian,kreativitas, kepribadian, moral-etika dan sebagainya). Ditinjau dari penyebab secara langsung dapat digolongkan atas penyebab biologis dan psikososial. Penyebab biologis atau sering disebut retardasi mental tipe klinis mempunyai ciri-ciri berupa umumnya merupakan retardasi mental sedang sampai sangat berat,tampak sejak lahir atau usia dini,secara fisis tampak berkelainan/aneh,mempunyai latar belakang biomedis baik pranatal, perinatal maupun postnatal,tidak berhubungan dengan kelas social.Penyebab psikososial atau sering disebut tipe sosiokultural mempunyai ciri-ciri biasanya merupakan retardasi mental ringan,diketahui pada usia sekolah,tidak terdapat kelainan fisis maupun laboratorium,mempunyai latar belakang kekurangan stimulasi mental (asah),ada hubungan dengan kelas social. Etiologi retardasi mental tipe klinis atau biologikal dapat dibagi dalam : 1. Penyebab prenatal: Kelainan kromosom,kelainan genetik /herediter,gangguan metabolik, Sindrom dismorfik,Infeksi intrauterine,Intoksikasi 2. Penyebab perinatal : prematuritas, Asfiksia, Kernikterus,,Hipoglikemia,Meningitis, Hidrosefalus, Perdarahan intraventrikular 3. Penyebab postnatal : Infeksi (meningitis, ensefalitis),Trauma,Kejang lama, Intoksikasi (timah hitam, merkuri). Penyebab Prenatal Kelainan kromosom Kelainan kromosom penyebab retardasi mental yang terbanyak adalah sindrom Down. Sindrom Down merupakan 10-32% dari penderita retardasi mental. Diperkirakan insidens dari sindrom Down antara 11,7 per 1000 kelahiran hidup pertahun. Risiko timbulnya sindrom Down berkaitan dengan umur ibu saat melahirkan. Ibu yang berumur 20-25 tahun saat melahirkan mempunyai risiko 1:2000, sedangkan ibu yang berumur 45 tahun mempunyai risiko 1:30 untuk timbulnya sindrom Down. Analisis kromosom pada sindrom Down 95% menunjukkan trisomi –21, sedangkan 5% sisanya merupakan mosaik dan translokasi . Kelainan kromosom lain yang bermanifestasi sebagai retardasi mental adalah trisomi-18 atau sindrom Edward, dan trisomi-13 atau sindrom Patau, sindrom Cri-du chat, sindrom Klinefelter, dan sindrom Turner. Kelainan kromosom-X yang cukup sering menimbulkan retardasi mental adalah Fragile-X syndrome, yang merupakan kelainan kromosom-X pada band q27. Kelainan ini merupakan Xlinked, dibawa oleh ibu. Penampilan klinis yang khas pada kelainan ini adalah dahi yang tinggi, rahang bawah yang besar, telinga panjang, dan pembesaran testis. Diperkirakan prevalens retardasi mental yang disebabkan fragile-X syndrome pada populasi anak usia sekolah adalah 1 : 2610 pada laki-laki, dan 1: 4221 pada perempuan. Kelainan metabolik Kelainan metabolik yang sering menimbulkan retardasi mental adalah Phenylketonuria (PKU), yaitu suatu gangguan metabolik dimana tubuh tidak mampu mengubah asam amino fenilalanin menjadi tirosin karena defisiensi enzim hidroksilase. Penderita retardasi mental pada PKU 66,7% tergolong retardasi mental berat dan 33,3% retardasi mental sedang. Galaktosemia adalah suatu gangguan Bagian Ilmu Kesehatan Anak
101
metabolism karbohidrat disebabkan karena tubuh tidak mampu menggunakan galaktosa yang dimakan. Penyakit Tay-Sachs atau infantile amaurotic idiocy adalah suatu gangguan metabolisme lemak, dimana tubuh tidak bisa mengubah zat-zat pralipid menjadi lipid yang diperlukan oleh sel-sel otak. Manifestasi klinis adalah nistagmus, atrofi nervus optikus, kebutaan, dan retardasi mental sangat berat.Hipotiroid kongenital adalah defisiensi hormon tiroid bawaan yang disebabkan oleh berbagai faktor (agenesis kelenjar tiroid, defek pada sekresi TSH atau TRH, defek pada produksi hormon tiroid). Defisiensi yodium secara bermakna dapat menyebabkan retardasi mental baik di negara sedang berkembang maupun di negara maju. Diperkirakan 600 juta sampai 1 milyar penduduk dunia mempunyai risiko defisiensi yodium, terutama di negara sedang berkembang. Penelitian WHO1 mendapatkan 710 juta penduduk Asia, 227 juta Afrika, 60 juta Amerika Latin, dan 20-30 juta Kelainan ini timbul bila asupan yodium ibu hamil kurang dari 20 ug ( normal 80-150 ug) per hari. Infeksi Infeksi rubela pada ibu hamil triwulan pertama dapat menimbulkan anomali pada janin yang dikandungnya. Risiko timbulnya kelainan pada janin berkurang bila infeksi timbul pada triwulan kedua dan ketiga. Infeksi cytomegalovirus tidak menimbulkan gejala pada ibu hamil tetapi dapat memberi dampak serius pada janin yang dikandungnya. Manifestasi klinis antara lain hidrosefalus, kalsifikasi serebral, gangguan motorik, dan retardasi mental. Intoksikasi Fetal alcohol syndrome (FAS) merupakan suatu sindrom yang diakibatkan intoksikasi alkohol pada janin karena ibu hamil yang minum minuman yang mengandung alkohol, terutama pada triwulan pertama. Penyebab Perinatal Penelitian pada 73 bayi prematur dengan berat lahir 1000 g atau kurang menunjukkan IQ yang bervariasi antara 59-142, dengan IQ rata-rata 94. Keadaan fisis anak-anak tersebut baik, kecuali beberapa yang mempunyai kelainan neurologis, dan gangguan mata. Asfiksia, hipoglikemia, perdarahan intraventrikular, kernikterus, meningitis dapat menimbulkan kerusakan otak yang ireversibel, dan merupakan penyebab timbulnya retardasi mental. Penyebab Postnatal Faktor-faktor postnatal seperti infeksi, trauma,malnutrisi, intoksikasi, kejang dapat menyebabkan kerusakan otak yang pada akhirnya menimbulkan retardasi mental. Etiologi pada Kelompok Sosio–Kultural Proses psikososial dalam keluarga dapat merupakan salah satu penyebab retardasi mental. Sebenarnya bermacammacam sebab dapat bersatu untuk menimbulkan retardasi mental. Diagnosis Diagnosis retardasi mental tidak hanya didasarkan atas tes intelegensia saja, melainkan juga dari riwayat penyakit, laporan dari orangtua, laporan dari sekolah, pemeriksaan fisis, laboratorium, Bagian Ilmu Kesehatan Anak
102
pemeriksaan penunjang. Yang perlu dinilai tidak hanya intelegensia saja melainkan juga adaptasi sosialnya. Dari anamnesis dapat diketahui beberapa faktor risiko terjadinya retardasi mental. Pemeriksaan fisis pada anak retardasi mental biasanya lebih sulit dibandingkan pada anak normal, karena anak retardasi mental kurang kooperatif. Selain pemeriksaan fisis secara umum (adanya tanda-tanda dismorfik dari sindrom-sindrom tertentu) perlu dilakukan pemeriksaan neurologis, serta penilaian tingkat perkembangan. Pada anak yang berumur diatas 3 tahun dilakukan tes intelegensia. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG) kepala dapat membantu menilai adanya kalsifikasi serebral, perdarahan intra kranial pada bayi dengan ubun-ubun masih terbuka. Pemeriksaan laboratorium dilakukan atas indikasi, pemeriksaan ferriklorida dan asam amino urine dapat dilakukan sebagai screening PKU. Pemeriksaan analisis kromosom dilakukan bila dicurigai adanya kelainan kromosom yang mendasari retardasi mental tersebut. Beberapa pemeriksaan penunjang lain dapat dilakukan untuk membantu seperti pemeriksaan BERA, CT-Scan, dan MRI. Kesulitan yang dihadapi adalah kalau penderita masih dibawah umur 2-3 tahun, karena kebanyakan tes psikologis ditujukan pada anak yang lebih besar.Pada bayi dapat dinilai perkembangan motorik halus maupun kasar, serta perkembangan bicara dan bahasa. Biasanya penderita retardasi mental juga mengalami keterlambatan motor dan bahasa. Tatalaksana Tatalaksana Medis Obat-obat yang sering digunakan dalam pengobatan retardasi mental adalah terutama untuk menekan gejala-gejala hiperkinetik. Metilfenidat (ritalin) dapat memperbaiki keseimbangan emosi dan fungsi kognitif. Imipramin, dekstroamfetamin, klorpromazin, flufenazin, fluoksetin kadang-kadang dipergunakan oleh psikiatri anak. Untuk menaikkan kemampuan belajar pada umumnya diberikan tioridazin (melleril), metilfenidat, amfetamin, asam glutamat, gamma aminobutyric acid (GABA). Rumah Sakit/Panti Khusus Penempatan di panti-panti khusus perlu dipertimbangkan atas dasar: kedudukan sosial keluarga, sikap dan perasaan orangtua terhadap anak, derajat retardasi mental, pandangan orangtua mengenai prognosis anak, fasilitas perawatan dalam masyarakat, dan fasilitas untuk pembimbing orangtua dan sosialisasi anak. Psikoterapi Psikoterapi dapat diberikan kepada anak retardasi mental maupun kepada orangtua anak tersebut. Walaupun tidak dapat menyembuhkan retardasi mental tetapi dengan psikoterapi dan obat-obatan dapat diusahakan perubahan sikap, tingkah laku dan adaptasi sosialnya. Konseling Tujuan konseling dalam bidang retardasi mental ini adalah menentukan ada atau tidaknya retardasi mental dan derajat retardasi mentalnya, evaluasi mengenai sistem kekeluargaan dan pengaruh retardasi mental pada keluarga, kemungkinan penempatan di panti khusus, konseling pranikah dan pranatal. Bagian Ilmu Kesehatan Anak
103
Pendidikan Pendidikan yang penting disini bukan hanya asal sekolah, namun bagaimana mendapatkan pendidikan yang cocok bagi anak yang terbelakang ini. Terdapat empat macam tipe pendidikan untuk retardasi mental yaitu kelas khusus sebagai tambahan dari sekolah biasa,sekolah luar biasa C,panti khusus,pusat latihan kerja (sheltered workshop) Pencegahan Pencegahan retardasi mental dapat primer (mencegah timbulnya retardasi mental), atau sekunder (mengurangi manifestasi klinis retardasi mental). Sebab sebab retardasi mental yang dapat dicegah antara lain infeksi, trauma, intoksikasi, komplikasi kehamilan, gangguan metabolisme, kelainan genetik.
Kepustakaan 1. Shonkoff JP. Mental Retardation. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Nelson Textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia; Saunders Elsevier: 2007. h. 125-9 2. Kastner W. Mental Retardation : Behavioral Probelms Palsy. Dalam Parker S, Zuckerman B. Development and Behavioral Pediatric. 2nd ed. Philadelphia; Lippincott 2005. p 234-7 3. Coulter DL. Mental Retardation : Diagnostic Evaluations. Dalam Parker S, Zuckerman B. Development and Behavioral Pediatric. 2nd ed. Philadelphia; Lippincott 2005. p 238-241 4. Williams J, Venning H. Physical disability. Dalam Polnay L. Community Paediatrics.3rd ed. Edinburgh; Churcill 2003 pp503-6. 5. Falconbridge J. Counselling. Dalam Polnay L. Community Paediatrics.3rd ed. Edinburgh; Churcill 2003 pp469-478
TUGAS 1. 2. 3. 4.
Apa yang anda lakukan untuk menegakkan diagnosis retardasi mental? Bagaimana tatalaksana awal pada retardasi mental? Bagaimana konseling untuk kasus retardasi mental? Bagaimana langkah-langkah melakukan rujukan kasus retardasi mental?
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
104
Nomor Modul : 16/UN16.2-IKA-Modul/I/2016 Topik : Emergensi Rawat Inap Anak Subtopik : Sepsis Learning Objective : 1. Kognitif a. Menjelaskan definisi sepsis,SIRS, sepsis berat, dan syok sepsis b. Menjelaskan patofidiologi sepsis c. Menjelaskan manifestasi klinissepsis d. Menjelaskan tatalaksana sepsis 2. Psikomotor a. Mampu melakukan anamnesa tentang etiologi dan munculan klinis sepsis yang dialami pasien b. Mampu melakukan tatalaksana pasien dengan sepsis c. Mampu menentukan follow up yang harus dilakukan pada pasien sepsis 3. Attitute a. Memperkenalkan diri kepada pasien dan keluarga pasien b. Memberikan waktu kepada pasien dan kleuarga pasien untuk menjelaskan kejadian yang dialami dan gejala klinis yang dirasakan c. Menerangkan kepada pasien tindakan apa yang akan dilakukan d. Memberikan informed consent jika dibutuhkan tindakan invasive pada pasien
SEPSIS Definisi Sepsis merupakan suatu respon inflamasi sistemik terhadap infeksi, dimana patogen atau toksin masuk ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi aktivasi respon inflamasi. Sepsis ditandai dengan perubahan temperatur tubuh, perubahan jumlah leukosit, takikardi, dan takipneu. Pada tahun 2005, International Pediatric Sepsis Consensus Conference telah mempublikasikan suatu konsensus dengan definisi baru dan kriteria diagnosis untuk SIRS, sepsis, sepsis berat (severe sepsis) , dan syok septik, yaitu -‐ SIRS : respon tubuh terhadap inflamasi sistemik, ditandai dengan dua atau lebih keadaan berikut : 1. Suhu >38,50C atau <360C 2. Takikardi atau bradikardi (menurut umur, sesuai tabel 2.1) 3. Takipneu (menurut umur, sesuai tabel 2.1) atau PaCO2 <32 mmHg 4. Jumlah leukosit darah meningkat atau menurun (menurut umur, sesuai tabel 2.1) -‐ Sepsis : SIRS yang disertai dengan infeksi yang terbukti (proven infection) atau tersangka (suspected infection). -‐ Sepsis berat : sepsis yang disertai dengan 1. disfungsi organ kardiovaskuler, atau 2. gangguan respiratori akut, atau
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
105
-‐
3. gangguan dua organ lain, seperti gangguan neurologi, hematologi, urogenital, dan hepatologi, Syok sepsis : sepsis dengan hipotensi, walaupun telah diberikan terapi resusitasi cairan (tekanan darah sistolik <2 SD menurut umur). Tabel 1. Kriteria SIRS menurut golongan umur Usia Frekuensi laju nadi per Frekuensi menit nafas (per Takikardi Bradikardi menit) 0-7 hari >180 <100 >50 7-30 hari >180 <100 >40 1-12 bulan >180 <90 >34 1-5 tahun >140 >22 6-12 tahun >130 >18 13-18 tahun >110 Suhu tubuh >38,50C atau <360C
-
>14
Jumlah leukosit (x103/mm3) >34 >19,5 atau <5 >17,5 atau <5 >15,5 atau <6 >13,5 atau <4,5 >11 atau <4,5
Epidemiologi Epidemiologi sepsis dan syok septik berbeda-beda di setiap negara dan daerah di dunia, dan dipengaruhi oleh banyak faktor. Setengah dari kasus sepsis berat terjadi pada umur kurang dari 1 tahun, dua pertiganya terjadi pada neonatus. Sedangkan insiden sepsis pada anak yang lebih besar sekitar 0,2 kasus per 1000 pasien per tahun. Pada neonatus, insiden pada laki-laki lebih banyak dari pada perempuan, tapi tidak ada perbedaan pada remaja. Di negara berkembang, sepsis lebih tinggi insidennya pada anak yang kurang gizi. Diantara anak-anak yang menderita severe sepsis, sekitar 5% 30% akan berkembang menjadi syok septik. Dari sebuah penelitian, pada 9600 pasien dengan severe sepsis, angka kematiannya rata-rata 10,3% Patofisiologi dan Patogenesis Organisme penyebab sepsis mempengaruhi gejala klinis dan perjalanan penyakit pasien. Pasien dengan syok septik yang disebabkan oleh bakteri gram negatif memiliki angka mortalitas 20% - 50%, sedangkan yang disebabkan oleh bakteri gram positif hanya 10% - 20%. Bakteri gram negatif banyak menimbulkan gangguan pada sistem gastrointestinal, sedangkan bakteri gram positif banyak menimbulkan gangguan pada paru, kelenjar adrenal, ginjal, dan jantung. Pada neonatus, organisme yang banyak menyebabkan sepsis adalah Streptococcus grup B, Enterobacteriaceae, Listeria monocytogenes, dan Staphylococcus aureus. Sedangkan organisme penyebab sepsis pada bayi meliputi S. pneumoniae, Neisseria meningitidis, dan S. aureus. Tanda dan gejala klinis sepsis pada neonatus dan bayi tidak spesifik. Gejala awal sepsis pada bayi diantaranya penurunan nafsu makan, muntah, letargi, demam, hipotermi, atau apneu. Bakteri merupakan penyebab
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
106
terbanyak sepsis pada bayi dan anak-anak, diantaranya bakteri S. pneumoniae, N. meningitidis, dan Enterobacteriaceae. Haemophilus influenzae tipe B merupakan salah satu penyebab severe sepsis Sepsis merupakan interaksi yang kompleks antara mikroorganisme penyebab infeksi dengan imunitas sel host, respon inflamasi, dan respon koagulasi. Respon sel host dan karakteristik dari organisme yang menginfeksi akan mempengaruhi keluaran sepsis. Sepsis karena bakteri umumnya dimulai dengan infeksi lokal, dimana patogen masuk ke dalam aliran darah secara lansung menyebabkan bakteremia atau bisa juga berproliferasi secara lokal dan melepaskan toksin ke dalam aliran darah. Toksin ini bisa muncul dari komponen struktur bakteri (endotoksin) atau bisa juga sebagai eksotoksin dimana protein-protein disintesis dan dilepaskan oleh bakteri. Endotoksin yang dimaksud adalah lipopolisakarida (LPS) yang terdapat pada bakteri gram negatif. Manifestasi klinis Manifestasi sepsis sesuai dengan International Pediatric Sepsis Consensus Conference. sepsis, sepsis berat (severe sepsis) , dan syok septik, yaitu -‐ SIRS : respon tubuh terhadap inflamasi sistemik, ditandai dengan dua atau lebih keadaan berikut : 1. Suhu >38,50C atau <360C 2. Takikardi atau bradikardi (menurut umur, sesuai tabel 2.1) 3. Takipneu (menurut umur, sesuai tabel 2.1) atau PaCO2 <32 mmHg 4. Jumlah leukosit darah meningkat atau menurun (menurut umur, sesuai tabel 2.1) -‐ Sepsis : SIRS yang disertai dengan infeksi yang terbukti (proven infection) atau tersangka (suspected infection). -‐ Sepsis berat : sepsis yang disertai dengan 1. disfungsi organ kardiovaskuler, atau 2. gangguan respiratori akut, atau 3. gangguan dua organ lain, seperti gangguan neurologi, hematologi, urogenital, dan hepatologi, -‐ Syok sepsis : sepsis dengan hipotensi, walaupun telah diberikan terapi resusitasi cairan (tekanan darah sistolik <2 SD menurut umur). Tabel 2. Kriteria SIRS menurut golongan umur Usia Frekuensi laju nadi per Frekuensi menit nafas (per Takikardi Bradikardi menit) 0-7 hari >180 <100 >50 7-30 hari >180 <100 >40 1-12 bulan >180 <90 >34 1-5 tahun >140 >22 6-12 tahun >130 >18 Bagian Ilmu Kesehatan Anak
107
Jumlah leukosit (x103/mm3) >34 >19,5 atau <5 >17,5 atau <5 >15,5 atau <6 >13,5 atau
13-18 tahun >110 0 Suhu tubuh >38,5 C atau <360C
-
>14
<4,5 >11 atau <4,5
Tatalaksana Terdapat enam hal utama yang perlu diperhatikan dalam tatalaksana sepsis 1. Resusitasi cairan Syok pada pasien sepsis dapat menyebabkan gangguan perfusi seluruh jaringan. Tatalaksana terkini untuk sepsis bertujuan untuk optimalisasi hemodinamik dalam jam pertama. Dianjurkan memberikan bolus 20cc/kg berat badan kristaloid, dapat sampai 60cc/kg dalam 10 menit sambil menilai tanda-tanda kelebihan cairan 2. Terapi anti mikroba Antibiotika empiris harus bersifat spektrum luas dan dapat mencakup kuman anaerobm dan diberikan secara intracena dengan dosis yang cukup untuk memperoleh level terapeutik optimal. Antibiotik kombinasi biasanya dibutuhkan dan harus segera diganti setelah mendapatkan jenis kuman dan jenis antibiotik yang sesuai dalam 48-72 jam. 3. Inotropik dan vasopresor Obat inotropik berfungsi untuk meningkatkan kontraktilitas jantung dan kardiak output. Inotropik yang sering digunakan adalam dopamin dan dobutamin. 4. Pemantauan non-invasif dan invasif Metode pemantauan yang dilakukan melalui perawat terlatih, perlatan non invasif yang rutin digunakan, seperti EKG, Echocardiografi, pulse oxymetri, sampai peralatan invasif seperti pemasangan kateter CVP (central venous pressure), PAC (pulmonary artery catheter) maupun PiCCO (pulse contour cardiac output). 5. Terapi spesifik Rekombinan human activated protein-C direkomendasikan untuk pasien sepsis dengan disfungsi organ. Imunoglobulin intravena sebaiknya dipertimbangakan untuk pasien dengan streptococal toxic shock syndrom. Kortikosteroid intravena masih menjadi kontroversi, dosis yang dapat diberikan sebesar 2mg/kgBB untuk hidrokortison dan 20 mg/kgBB untuk metilprednisolon 6. Terapi suportif Dalam keadaan sepsis dan syok tatalaksana suportif memegang peranan penting sebagai penunjang tatalaksana utama. Terapi suportif termasuk kontrol kadar gula darah, ventilasi mekanik, serta nutrisi yang adekuat. REFERENSI 1. Rismala dewi. Sepsis dan kegagalan multi organ. Buku ajar pediatric gawat darurat IDAI. 2015 TUGAS 1. Sebutkan definisi, manifestasi klinis, etiologi dari sepsis 2. Sebutkan tatalalksana dari sepsis Bagian Ilmu Kesehatan Anak
108
Nomor Modul : 16/UN16.2-IKA-Modul/I/2016 Topik : Tumbuh Kembang Dan Pediatri Sosial Subtopik : Sindrom Down Learning Objective : 1. Kognitif a. Menjelaskan definisi sindrom down b. Menjelaskan etiologi sindrom down c. Menjelaskan patofisiologi sindrom down d. Menjelaskan manifestasi klinis sindrom down e. Menjelaskan alur mendiagnosis seorang anak dengan sindrom down f. Menjelaskan tatalaksana sindrom down 2. Psikomotor a. Mampu melakukan anamnesis terhadap orangtua dari anak dengan sindrom down b. Mampu melakukan deskripsi manifestasi klinis anak dengan sindrom down c. Mampu membuat diagnosis anak dengan sondrom down 3. Attitute a. Memperkenalkan diri kepada orangtua anak dengan sindrom down b. Memberikan waktu kepada orangtua untuk menjelaskan kelainan yang ditemukan pada anak c. Menerangkan kepada orangtua tentang kemungkinan anak menderita sindrom down d. Memberikan informed consent kepada orangtua dan anak
SINDROM DOWN Definisi Sindrom Down adalah suatu kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan mental pada anak yang disebabkan adanya abnormalitas kromosom Hsa21 yang tidak berhasil memisahkan diri selama proses miosis sehingga terbentuk individu dengan 47 kromosom. Epidemiologi Angka kejadian trisomi Hsa21 diperkirakan 1 per 319-1000 angka kelahiran hidup. Insiden sindrom Down di Amerika Serikat adalah 1 per 600-900 kelahiran hidup. Di Arab Saudi prevalensinya adalah 11,7 per 1000 kelahiran. Di Inggris pada tahun 1989 didapatkan prevalensinya 1 per 600 kelahiran hidup. Di Indonesia, kelainan ini belum mendapatkan perhatian yang cukup. Yayasan Persatuan Orangtua Anak dengan Down Syndrome (POTADS) pada tahun 2003 melaporkan terdapat sekitar 300 ribu kasus sindrom Down di Indonesia. Etiologi Sindrom Down ditemukan pertama kali oleh John Langdon Down pada tahun 1866 di Inggris, saat melakukan penelitian mengenai retardasi mental pada anak. John menemukan beberapa dari pasiennya memiliki wajah yang hampir sama sehingga mereka seperti memiliki hubungan persaudaraan. Karena ciri-ciri yang tampak aneh seperti tinggi badan yang relatif pendek, kepala Bagian Ilmu Kesehatan Anak
109
mengecil dan hidung yang datar menyerupai orang Mongoloid maka kelainan ini disebut juga dengan mongolisme. Pada tahun 1959, Jerome Lejeune dan Patricia Jacobs pertama kali menemukan trisomi pada kromosom 21 sebagai penyebab sindrom Down. Sebagian besar sel manusia mengandung 23 pasangan kromosom (total 46 kromosom), hanya sel reproduksi, yaitu sperma dan ovum yang memiliki 23 kromosom dan tidak memiliki pasangan. Pada penderita sindrom Down, kromosom nomor 21 jumlahnya tidak dua sebagaimana umumnya, melainkan tiga (trisomi) sehingga terdapat total 47 kromosom. Etiologi dari sindrom Down dapat dibagi menjadi 3, yaitu : 1. Trisomi 21 (sindrom Down triplo 21) atau trisomi murni Trisomi 21 (47 XX + 21) / (47 XY + 21) disebabkan oleh nondisjunction. Akibatnya dihasilkan sel gamet dengan tambahan salinan kromosom 21 sehingga memiliki 24 kromosom. Kelainan ini ditemukan pada 90-95% kasus sindrom Down. 2. Translokasi Robertsonian Lengan panjang dari autosom 21 melekat pada autosom lain, biasanya kromosom 14 atau 15. Penderita ini nampak seperti memiliki 46 kromosom, namun sebenarnya ada 47 kromosom dengan satu kromosomnya adalah kromosom translokasi t(14q21q). Mozaisisme (Mozaic Down Syndrome),sekitar 2-4% individu dengan sindrom Down memiliki dua macam sel, sebagian sel memiliki jumlah kromosom normal (46 kromosom), sebagian lain memiliki jumlah kromosom lebih (47 kromosom, trisomi 21). Patogenesis Kromosom 21 merupakan autosom terkecil yang terdiri dari 33,8 juta pasang DNA dan diprediksi terdiri dari 225 gen, beberapa di antara gen tersebut terletak di Down Syndrome Critical Region (DSCR) yang berkontribusi pada patogenesis dan fenotip pada sindrom Down. Kromosom 21 yang berlebih pada penderita sindrom Down, menghasilkan peningkatan ekspresi dari banyak gen yang mengkode kromosom ini. Trisomi Hsa21 pada sindrom Down berhubungan dengan berbagai fenotip, seperti gambaran dismorfik, defek jantung, abnormalitas kranium dan wajah, serta gangguan kognitif. Manifestasi klinis Manifestasi klinis yang paling sering ditemukan pada anak dengan sindrom Down adalah gambaran wajah yang khas, keterlambatan perkembangan, abnormalitas mata dan telinga, anomali gastrointestinal, penyakit jantung bawaan dan leukemia. Pada tahun 1976 Jackson JF dkk mengemukakan 25 manifestasi klinis sindrom Down, yaitu brakisefali, lipatan epikantus, Brushfield spots, jembatan hidung datar, gigi yang abnormal, lidah berkerut, palatum sempit, lidah pendek, jari tangan pendek dan lebar, jari kelingking bengkok, jarak jari kaki 1 dan 2 lebar, bising jantung, hipotoni, fisura mata obliq, blefaritis/konjungtivitis, nistagmus, mulut selalu terbuka, lidah menjulur keluar, palatum tinggi, telinga dengan lipatan heliks yang berlebihan, kulit leher longgar, jari kelingking pendek, transverse palmar crease, penyakit jantung bawaan dan hiperfleksibilitas sendi.
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
110
Tabel 1. Perbandingan milestone perkembangan antara anak yang menderita sindrom Down dengan anak normal. Rentang umur Sindrom Anak Area perkembangan Milestone Down normal (bulan) (bulan) 3-9 1-4 • Mengangkat kepala pada posisi duduk Kemampuan motorik • Duduk sendiri 6-16 5-9 • Berdiri sendiri kasar 12-38 9-16 • Berjalan sendiri 13-48 9-17 1,5-8 1-3 • Mengikuti objek dengan mata 4-11 2-6 • Meraih dan menggenggam objek Kemampuan motorik 4-8 • Memindahkan objek ke tangan yang satu 6-12 halus dan koordinasi lagi mata-tangan 14-32 10-19 • Membuat menara dari 2 kubus 36-60 24-40 • Menggambar lingkaran 7-18 5-14 • Mengoceh “dada”, “mama” 10-18 5-14 • Merespon terhadap kata yang biasa 13-36 10-23 • Kata pertama yang diucapkan dengan jelas Kemampuan komunikasi • Memperlihatkan keinginan dengan gerakan 14-30 11-19 tubuh • Mengucapkan 2 buah kata 18-60 15-32 1,5-4 1-2 • Tersenyum saat diajak bicara 6-14 4-10 Kemampuan personal • Memakan biskuit 12-23 9-17 dan sosial • Minum dari cangkir 20-60 16-48 • Mengontrol buang air besar
Beberapa kelainan lain yang sering ditemukan pada anak dengan sindrom Down adalah : 1. Jantung Anak dengan Down akan mengalami penyakit jantung bawaan dan kor pulmonal. Penyakit jantung bawaan, ditemukan pada 40-50% kasus, yang sering ditemukan adalah endocardial cushion defect (43%), ventricular septal defect (32%), secundum atrial septal defect (10%), tetralogy of Fallot (6%) dan isolated patent ductus arteriosus (4%). 2. Ortopedik Pada tulang tengkorak dapat ditemukan brachycephaly, microcephaly, kening melandai, oksiput datar, fontanela besar dengan penutupan yang lambat, patent metopic suture, tidak adanya sinus frontalis dan sfenoidalis serta hipoplasia sinus maksilaris. Anak juga memiliki jari tangan yang pendek dan lebar, sendi jari hiperekstensi dan lebarnya jarak antara dua jari kaki pertama. Kelainan ortopedik yang dapat ditemukan pada anak yang menderita sindrom Down adalah instabilitas servikal dan patela, dislokasi sendi panggul dan skoliosis.
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
111
3. Telinga, hidung dan tenggorokan Anak dengan sindrom Down memiliki telinga kecil dengan lipatan heliks yang berlebihan, tulang hidung yang hipoplastik, jembatan hidung yang datar dan sumbatan saluran nafas bagian atas. 4. Mata Anak dengan sindrom Down memiliki mata yang sipit dengan fisura palpebra miring ke atas (upward slant), lipatan epikantus bilateral dan brushfield spots (iris yang berbintik). Anak juga dapat mengalami gangguan refraksi, blefaritis, obstruksi duktus nasolakrimalis, katarak kongenital, glaukoma dan nistagmus. Gangguan refraksi seperti hipermetropi dapat timbul pada 70% penderita. Sekitar 20% anak dengan sindrom Down juga menderita strabismus. 5. Gastrointestinal Kelainan gastrointestinal yang bisa ditemukan pada anak dengan sindrom Down adalah atresia atau stenosis duodenum, fistula trakeoesofagus, divertikulum Meckel, anus imperforata, omfalokel, refluks gastroesofageal, penyakit Hirschcprung, penyakit seliak, rektum diastasis dan hernia umbilikalis. Refluks gastroesofageal dapat menyebabkan terjadinya aspirasi asam lambung sehingga mengakibatkan terjadinya inflamasi pada paru. Hipotoni dapat menyebabkan berkurangnya tonus otot faring sehingga risiko terjadinya aspirasi semakin meningkat. 6. Endokrin Kelainan endokrin yang bisa ditemukan pada anak dengan sindrom Down adalah retardasi pertumbuhan, hipotiroid, hipertiroid dan diabetes. 7. Imunologi Kelainan imunologi yang bisa ditemukan adalah imunodefisiensi dan penyakit autoimun (artropati, vitiligo, alopesia). 8. Hematologis Kelainan hematologis yang bisa ditemukan pada bayi baru lahir yang menderita sindrom Down adalah transient myeloproliferative disorder (TMD), acute megakaryoblastic leukemia (AMKL), netrofilia, trombositopenia dan polisitemia. 9. Neuropsikiatrik Prevalensi kelainan psikiatrik pada anak dengan sindrom Down adalah 17,6% dan pada dewasa 27,1%. Anak dan remaja berisiko tinggi untuk mengalami autisme dan attention deficit and hyperactivity disorder (ADHD). 10. Mulut dan gigi Kelainan yang biasanya ditemukan pada penderita sindrom Down adalah mulut yang terlihat terbuka dengan penonjolan lidah, lidah yang bercelah, pernapasan melalui mulut dengan pengeluaran air liur, bibir bawah yang berwarna merah, angular cheilitis, anodonsia parsial (50%), agenesis gigi, malformasi gigi, erupsi gigi yang terlambat, mikroodonsia (35-50%), hipoplastik dan hipokalsifikasi gigi serta maloklusi. Diagnosis Diagnosis sindrom Down sudah bisa ditegakkan saat bayi baru lahir. Diagnosis biasanya bisa ditegakkan setelah melakukan pemeriksaan fisik terhadap bayi. Diagnosis tersebut harus dikonfirmasi melalui pemeriksaan analisis kromosom. Bagian Ilmu Kesehatan Anak
112
Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan sitogenetik (analisis kromosom) Diagnosis klinis harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan sitogenetika (analisis kromosom). Analisis kromosom merupakan pemeriksaan yang dilakukan terhadap kromosom, meliputi struktur, turunan dan abnormalitasnya. 2. Amniosintesis Amniosintesis merupakan pemeriksaan yang berguna untuk menegakkan diagnosis berbagai kelainan kromosom pada bayi terutama sindroma Down. Pemeriksaan ini dilakukan dengan mengambil sejumlah kecil cairan amnion dari ruang amnion secara transabdominal pada usia kehamilan 14-16 minggu. 3. Interphase fluorescence in situ hybridization (FISH) Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk menentukan diagnosis sindrom Down dengan cepat baik diagnosis pada masa prenatal maupun pada masa neonatus. Tatalaksana Tatalaksana anak yang menderita sindroma Down meliputi edukasi, fisioterapi, menangani kondisi medis yang ditemukan, psikoterapi dan farmakoterapi. Dahulu beberapa keadaan yang sebenarnya masih bisa diterapi dianggap sebagai bagian dari sindrom sehingga tidak ditatalaksana sedemikian rupa. Saat ini kesehatan anak yang menderita sindrom Down diharapkan dapat dimonitor sebaik mungkin seperti anak normal sehingga setiap perkembangan yang dicapai tidak dihalangi oleh keadaan yang sebenarnya masih dapat dicegah. a. Edukasi Edukasi yang diberikan sama dengan edukasi yang diberikan kepada anak yang mengalami retardasi mental, yaitu remediasi, tutoring dan pelatihan kemampuan sosial. b. Fisioterapi Fisioterapi untuk anak yang menderita sindrom Down bertujuan untuk membantu anak agar dapat mencapai perkembangan yang maksimal pada anak dan bukan berarti menyembuhkan. c. Psikoterapi Terapi perilaku dapat dilakukan untuk membentuk dan meningkatkan kemampuan anak dalam perilaku sosial serta mengontrol dan meminimalkan perilaku agresif dan destruktif. Prognosis Sekitar 75% hasil konsepsi dengan trisomi 21 meninggal pada tahap embrionik atau janin. 25-30% anak akan meninggal dalam 1 tahun pertama kehidupannya. Penyebab kematian tersering adalah penyakit jantung bawaan. Selain itu kematian juga bisa disebabkan oleh adanya infeksi pernafasan (bronkopneumonia), atresia esofagus atau atresia duedenum, penyakit Hirschsprung serta leukemia. Kemajuan pengobatan saat ini secara signifikan meningkatkan angka harapan hidup penderita sindrom Down. Penderita sindrom Down saat ini dapat hidup dengan sehat mencapai usia lebih dari 55 tahun.
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
113
Referensi 1. Brockmeyer D. Down’s syndrome and craniovertebral instability: topic review and treatment recommendations. Nepal journal of neuroscience,2005:2;52-8. 2. Capone GTW. Down syndrome: advances in molecular biology and the neurosciences. Developmental and behavioral pediatrics,2001:22. 3. Dutta S, Gangopadhyay PK, Mukhopadhyay K. Molecular aspects of down syndrome. Indian pediatrics,2005:42;339-44. 4. Khalil A. Screening for down syndrome. J obstet gynecol india,2006:56;205-11. 5. Marder E. Medical management of children with down’s syndrome. Current paediatrics, 2001:11;57-63. 6. Myrelid A, Gustafsson J, Ollars B, Annerén G. Growth charts for down’s syndrome from birth to 18 years of age. Arch dis chil,2002:87;97-103. 7. Weijerman WE, De winter JP. The care of children with down syndrome. Eur j pediatr, 2010:169;1445-52. Tugas 1. Sebutkan definisi, etiologi dan manifestasi klinis sindrom down 2. Sebutkan alur diagnosis dan tatalaksana anak dengan sindrom down
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
114
Nomor Modul : 17/UN16.2-IKA-Modul/I/2016 Topik : Nefrologi Subtopik : Sindrom Nefrotik Learning Objective : 1. Kognitif a. Menjelaskan definisi sindrom nefrotik pada anak b. Memahami tentang diagnosis sindrom nefrotik pada anak c. Memahami tatalakana penatalaksanaan sindrom nefrotik pada anak d. Memahami prognosis sindrom nefrotik pada anak. 2. Psikomotor a. Mampu melakukan anamnesa tentang sindrom nefrotik pada anak. b. Mampu melakukan penatalaksanaan sindrom nefrotik pada anak 3. Attitute a. Mampu menjelaskan dengan jelas dan santun kepada orang tua pasien mengenai sindrom nefrotik pada anak. b. Memberikan kesempatan bertanya kepada keluarga pasien mengenai kondisi klinis anak. c. Menerangkan kepada keluarga pasien mengenai rencana tindakan dan pemeriksaan serta prognosis pasien. d. Memberikan informed consent kepada keluarga pasien mengenai pemeriksaan yang akan dilakukan pada pasien.
SINDROM NEFROTIK Definisi Sindrom nefrotik adalah keadaan klinis dengan gejala proteinuria masif, hipoalbuminemia, edema, dan hiperkolesterolemia. Kadang-kadang gejala disertai dengan hematuria, hipertensi, dan penurunan fungsi ginjal. Angka kejadian bervariasi antara 2-7 per 100.000anak, dan lebih banyak pada anak lelaki daripada perempuan dengan perbandingan 2:1. Sindrom nefrotik dapat dibedakan menjadi sindrom nefrotik kongenital, sindrom nefrotik primer, dan sindrom nefrotik sekunder. Pada umumnya sebagian besar (± 80%) sindrom nefrotik primer memberi respons yang baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50% di antaranya akan relaps berulang dan sekitar 10% tidak memberirespons lagi dengan pengobatan steroid.1,2 Diagnosis Anamnesis Keluhan yang sering ditemukan adalah bengkak di kedua kelopak mata, perut, tungkai, atau seluruh tubuh yang dapat disertai penurunan jumlah urin. Keluhan lain juga dapatditemukan seperti urin keruh atau jika terdapat hematuri berwarna kemerahan.4 Pemeriksaan fisis Pada pemeriksaan fisis, dapat ditemukan edema di kedua kelopak mata, tungkai, atau adanya asites dan edema skrotum/labia; terkadang ditemukan hipertensi.5-8 Bagian Ilmu Kesehatan Anak
115
Pemeriksaan penunjang Pada urinalisis ditemukan proteinuria masif (≥ 2+), rasio albumin kreatinin urin >2 dan dapat disertai hematuria. Pada pemeriksaan darah didapatkan hipoalbuminemia (<2,5g/ dL), hiperkolesterolemia (>200 mg/dl) dan laju endap darah yang meningkat. Kadar ureum dan kreatinin umumnya normal kecuali ada penurunan fungsi ginjal.9-13 Tata laksana Medikamentosa Pengobatan dengan prednison diberikan dengan dosis awal 60 mg/m2/hari atau 2 mg/ kgBB/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis terbagi tiga, selama 4 minggu, dilanjutkan dengan 2/3 dosis awal (40 mg/m2/hari, maksimum 60 mg/hari) dosis tunggal pagi selang sehari (dosis alternating) selama 4-8 minggu.14 Bila terjadi relaps, maka diberikan prednison 60 mg/m2/hari sampai terjadi remisi (maksimal 4 minggu), dilanjutkan 2/3 dosis awal (40 mg/m2/hari) secara alternating selama 4 minggu. Pada sindrom nefrotik resisten steroid atau toksik steroid, diberikan obatimunosupresan lain seperti siklofosfamid per oral dengan dosis 2-3 mg/kgbb/hari dalamdosis tunggal di bawah pengawasan dokter nefrologi anak. Dosis dihitung berdasarkanberat badan tanpa edema (persentil ke -50 berat badan menurut tinggi badan)15-18 Suportif Bila ada edema anasarka diperlukan tirah baring. Selain pemberian kortikosteroid atau imunosupresan, diperlukan pengobatan suportif lainnya, seperti pemberian diet protein normal (1,5-2 g/kgbb/hari), diet rendah garam (1-2 g/hari) dan diuretik. Diuretik furosemid 1-2 mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-3 mg/kgbb/hari bila ada edema anasarka atau edema yang mengganggu aktivitas. Jika ada hipertensi dapat ditambahkan obat antihipertensi. Pemberian albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam untuk menarik cairandari jaringan interstisial dan diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgbb dilakukan atas indikasi seperti edema refrakter, syok, atau kadar albumin ≤1 gram/dL. Terapi psikologis terhadap pasien dan orangtua diperlukan karena penyakit ini dapatberulang dan merupakan penyakit kronik.19,20 Dosis pemberian albumin: Kadar albumin serum 1-2 g/dL: diberikan 0,5g/kgBB/hari; kadar albumin <1 g/dL diberikan 1g/kgBB/hari.21
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
116
Skema pengobatan SN inisial1
Lain-lain (rujukan subspesialis, rujukan spesialis lainnya, dll) Keadaan di bawah ini merupakan indikasi untuk merujuk ke dokter spesialis nefrologi anak:22 • Awitan sindrom nefrotik pada usia dibawah 1 tahun, riwayat penyakit sindrom nefrotikdi dalam keluarga • Sindrom nefrotik dengan hipertensi, hematuria nyata persisten, penurunan fungsiginjal, atau disertai gejala ekstrarenal, seperti artitis, serositis, atau lesi di kulit • Sindrom nefrotik dengan komplikasi edema refrakter, trombosis, infeksi berat, toksik steroid • Sindrom nefrotik resisten steroid • Sindrom Nefrotik relaps sering atau dependen steroid • Diperlukan biopsi ginjal Pemantauan Dengan pemberian prednison atau imunosupresan lain dalam jangka lama, maka perlu dilakukan pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya efek samping obat. Prednison dapat menyebabkan hipertensi atau efek samping lain dan siklofosfamid dapat menyebabkan depresi sumsum tulang dan efek samping lain. Pemeriksaan tekanan darah perlu dilakukan secara rutin. Pada pemakaian siklofosfamid diperlukan pemeriksaan darah tepi setiap minggu. Apabila terjadi hipertensi, prednison dihentikan dan diganti dengan imunosupresan lain, hipertensi diatasi dengan obat antihipertensi. Jika terjadi depresi sumsum tulang (leukosit <3.000/uL) maka obat dihentikan sementara dan dilanjutkan lagi jika leukosit ≥5.000/uL.23-26 Tumbuh kembang Gangguan tumbuh kembang dapat terjadi sebagai akibat penyakit sindrom nefrotik sendiri atau efek Bagian Ilmu Kesehatan Anak
117
samping pemberian obat prednison secara berulang dalam jangka lama. Selain itu, penyakit ini merupakan keadaan imunokompromais sehingga sangat rentan terhadap infeksi. Infeksi berulang dapat mengganggu tumbuh kembang pasien.1,6,8 Referensi 1. Clark AG, Barrat TM. Steroid responsive nephrotic syndrome. Dalam: Barrat TM, Avner ED, Harmon WE, penyunting. Pediatric Nephrology, Edisi 4. Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins 1999. h.731-47. 2. Eddy AA, Symons JM. Nephrotic syndrome in childhood. Lancet 2003;362:629-39. 3. Wila Wirya IGN: Penelitian beberapa aspek klinis dan patologi anatomis sindrom nefrotik primer pada anak di Indonesia. Disertasi, FKUI. Jakarta 14 Oktober 1992. 4. ISKDC. The primary nephrotic syndrome in children. Identification of patients with minimal change nephrotic syndrome from initial response to prednisone. J Pediatr 1981;98:561-4. 5. Churg J, Habib R, White RH. Pathology of the nephrotic syndrome in children. A report for the International Study of Kidney Disease in Children. Lancet 1970;760:1299-302. 6. White RH, Glasgow EF, Mills RJ. Clinicopathological study of nephrotic syndrome in childhood. Lancet 1970;i:1353-9. 7. Srivastava RN, Mayekar G, Anand R, Choudry VP, Ghai OP, Tandon HD. Nephrotic syndrome in Indian children. Arch Dis Child 1975;50:626-30. 8. ISKDC. Nephrotic syndrome in children: prediction of histopathology from clinical and laboratory characteristics at time of diagnosis. Kidney Int 1978;13:159-65. 9. Trompeter RS. Steroid resistant nephrotic syndrome. Dalam: Postlethwaite RJ, penyunting. Clinical paediatric nephrology. Edisi kedua. Oxford: Butterworth-Heinemann,1994. h. 226-34. 10. Indian Pediatric Nephrology Group, Indian Academy of Pediatrics. Management of steroid sensitive nephrotic syndrome: revised guidelines. Indian Pediatr 2008;45:203-14. 11. American Academy of Pediatrics. Immunization in special clinical circumstances. Dalam: Pickering LK, Baker CJ, Long SS, Mc Millan JA, penyunting. Red Book: 2006 Report of the Committee on Infrctious Diseases, edisi ke-27. Elk Grove Village: American Academy of Pediatrics; 2006. h. 67104. 12. Indian Pediatric Nephrology Group, Indian Academy of Pediatrics. Consensus statement on management of steroid sensitive nephrotic syndrome. Indian Pediatr 2001;38:975-86. 13. Davin JC, Merkus MP. Levamisole in steroid-sensitive nephrotic syndrome of achildhood: the lost paradise? Pediatr Nephrol 2005;20:10-4. 14. Latta K, von Schnakenburg C, Ehrich JH. A meta-analysis of cytotoxic treatment for frequently relapsing nephrotic syndrome in children. Pediatr Nephrol 2001;16:271-82. 15. Niaudet P, Habib R. Cyclosporine in the treatment of idiopathic nephrosis. J Am Soc Nephrol 1994;8:401-3. 16. Bagga A, Hari P, Moudgil A, Jordan SC. Mycophenolate mofetil and prednisolone therapy in children with steroid-dependent nephrotic syndrome. Am J Kidney Dis 2003;42:1114-20.
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
118
17. Bajpai A, Bagga A, Hari P, Dinda A, Srivastava RN. Intravenous cyclophosphamide in steroidresistant nephrotic syndrome. Pediatr Nephrol 2003;18:351-9 18. Niaudet P, Habib R. Cyclosporin in the treatment of idiopatic nephrosis. J Am Soc Nephrol 1994;5:1049. 19. Mendoza SA, Reznick M, Griswold WR. Treatment of steroid resistant focal segmental glomerulosclerosis with pulse methylprednisolone and alkylating agents. Pediatr Nephrol 1990;4:303. 20. Trompeter RS. Immunosuppressive therapy in nephrotic syndrome in children. Pediatr Nephrol 1989;3:194. 21. Loeffler K, Gowrishankar, Tiu V. Tacrolimus therapy in pediatric patients with treatment resistant nephrotic syndrome. Pediatr Nephrol 2004;19:281-287. 22. Radhakrisnan J, Wang MM, Matalon A, Cattran DC, Appel GB. Mycophenolate mofetil (MMF) treatment of idiopathic focal and sequential glomerulosclerosis (FSGS). J Am Soc Nephrol 1999;10:114. 23. Pudjiastuti P. Kadar transforming growth factor (TGF)-β1 urin pada berbagai keadaan proteinuria dan efek penambahan losartan dapa lisinopril terhadap kadar TGF-β1 urin pada anak dengan sindrom nefrotik resisten steroid: suatu uji klinis acak terkontrol. Disertasi. FKUI. Jakarta, 28 Nopember 2007. 24. Rossing K, Christensen PK, Jensen BR, Parving HH. Dual blockade of renin angiotensin system in diabetic nephropathy: a randomised double-blind crossover study. Diabetes Care 2002;25:95-100. 25. Luno J, Barrio V, Goicoechea MA, Gonzales Z, De Vinuesa SG, Gomez F, et al. Effects of dual blockade of the renin angiotensin system in primary proteinuric nephropathies. Kidney Int 2002;62 (Suppl 82):47-52. 26. De luchi A, Cano F, Rodriquez D. Enalapril and prednisone in children with nephrotic range preteinuria. Pediatr Nephrol 2000;14:1088-91. Soal/ tugas: 1. Seorang anak laki – laki dengan berat badan 20 kg, datang dibawa oleh orang tua ke poliklinik karena keluhan tampak sembab pada wajah dan meluas ke seluruh tubuh sejak sekitar 5 hari yang lalu. sembab awalnya tampak pada kelopak mata saat pagi hari. Pada pemeriksaan fisik didapatkan anak tampak asites dan ditemukan edema pitting. Pada hasil pemeriksaan laboratrium didapatkan albumin darah 2,0 gr/dL dan pada urinalisis didapatkan proteinuria +3. Kemungkinan diagnosis pasien adalah : 2. Seorang ibu membawa anaknya yang berusia 5 tahun ke tempat praktek swasta anda karena ingin mengetahui durasi pengobatan yang akan diberikan pada anaknya. Sebelumnya anak tersebut dbawa ke dokter lain dan ditegakkan menderita sindrom nefrotik namun doker tersebut tidak menjelaskan secara detai mengenai lama pengobatan yang akan dilakukan. Setelah malakukan evaluasi klinis, anda juga berpendapat bahwa anak tersebut menerita sindrom nefrotik. Maka lama pengobatan yang akan anda jelaskan kepada ibu tersebut adalah? Bagian Ilmu Kesehatan Anak
119
Nomor Modul : 17/UN16.2-IKA-Modul/I/2016 Topik : Emergensi Rawat Inap Anak (ERIA) / Alergi-Imunologi Subtopik : Syok Anafilaktik Learning Objective : 1. Kognitif a. Menjelaskan definisi syok anafilaktik b. Menjelaskan etiologi syok anafilaktik c. Menjelaskan manifestasi klinin syok anafilkatik d. Menjelaskan tatalaksana syok anafilaktik e. Menjelaskan follow up yang harus dilakukan pada pasien syok anafilaktik 2. Psikomotor a. Mampu melakukan anamnesa tentang penyebab dan munculan klinis syok anafilaktik yang dialami pasien b. Mampu melakukan tatalaksana pasien dengan syok anafilaktik c. Mampu menentukan follow up yang harus dilakukan pada pasien syok anafilaktik 3. Attitute a. Memperkenalkan diri kepada pasien dan keluarga pasien b. Memberikan waktu kepada pasien dan kleuarga pasien untuk menjelaskan kejadian yang dialami dan gejala klinis yang dirasakan c. Menerangkan kepada pasien tindakan apa yang akan dilakukan d. Memberikan informed consent jika dibutuhkan tindakan invasive pada pasien
SYOK ANAFILAKSIS Definisi Secara harafiah, anafilaktik berasal dari kata ana = bertentangan/ berlawanan/ lawannya; phylaxis = perlindungan. Dalam hal ini respons imun yang seharusnya melindungi (prophylaxis) justru merusak jaringan, dengan kata lain bertentangan dari pada melindungi (anti-phylaxis = anaphylaxis). Istilah ini pertama kali digunakan oleh Richet dan Portier pada tahun 1902 untuk menerangkan terjadinya renjatan yang disusul dengan kematian pada anjing yang disuntik ekstrak tentacle bintang laut, saat suntikan ini diulangi 2-3 minggu kemudian, anjing tersebut bukannya kebal (terlindungi) namun sakit dan meninggal. Anafilaksis merupakan keadaan suatu rekasi hipersensitivitas sistemik yang berat yang mengancam kehidupan. Gejala anafilaksis timbul segera setelah penderita terpajan oleh alergen atau faktor pencetus lainnya. Gejala yang timbul melalui reaksi alergen dan antibodi disebut sebagai reaksi anafilaksis. Sedangkan yang tidak melalui reaksi imunologik dinamakan reaksi anafilaktoid. Karena baik gejala yang timbul mau pun pengobatannya tidak dapat dibedakan, maka kedua macam reaksi di atas disebut sebagai anafilaksis.
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
120
Etiologi Penyebab anafilaksis sangat beragam, diantaranya adalah antibiotik, ekstrak allergen, zat diagnostik, bisa (venom), produk darah, anestetikum local, enzim, hormone, dan lain-lain. Tabel dibawah ini menjelaskan penyebab anafilaksis berdasarkan ada atau tidaknya reaksi imunologik, yaitu: Tabel 1 etiologi syok anafilaktik
Manifestasi klinis Secara klinis gejala anafilaksis dapat berupa reaksi lokal dan reaksi sistemik. Reaksi lokal terdiri dari urtikaria dan angioedem pada daerah yang kontak dengan antigen penyebab. Reaksi lokal dapat berat tapi jarang menyebabkan hal fatal. Reaksi sistemik terjadi pada organ target seperti traktus respiratorius, sistem kardiovaskular, traktus gastrointestinal, dan kulit. Reaksi ini biasanya terjadi dalam waktu 30 menit setelah kontak dengan penyebab. Manifestasi klinik syok Anafilaksis masih dibagi dalam derajat berat ringannya, yaitu sebagai berikut: a. Ringan Reaksi sistemik ringan diawali dengan gejala rasa gatal dan panas di bagian peerifer tubuh, biasanya disertai perasaan penuh dalam mulut dan tenggorokan. Gejala permulaan ini dapat disertai hidung tersumbat, pembengkakan periorbita dan dapat juga disertai keluarnya air mata dan bersin. Gejala ini biasanya timbul 2 jam setelah kontak dengan antigen penyebab. b. Sedang Gejala reaksi sistemik sedang sama dengan gejala yang timbul pada reaksi sistemik ringan namun pada reaksi sistemik sedang juga tedapat bronkospasme dan atau edema jalan nafas, dispneu, batuk, mengi, dapat juga terjadi angioedem, urtikaria umum, mual, dan muntah. Penderita biasanya mengeluhkan rasa gatal dan panas di seluruh tubuh. c. Berat Timbul mendadak dengan masa awitan yang cepat. Gejala yang timbul awalnya seperti reaksi sitemik ringan dan sedang, kemudian dalam beberapa menit timbul bronkospasme yang hebat dan edema laring, stridor, dispneu, sianosis, dan kadangkala terjadi henti nafas. Dapat terjadi kejang umum karena perangsangan sistem saraf pusat atau karena terjadinya hipoksia. Kolaps kardiovaskular menyebabkan hipotensi, aritmia jantung, syok, dan koma. Bagian Ilmu Kesehatan Anak
121
Tatalaksana Syok Anafilaktik Upaya penatalaksanaan syok anafilaktik dilakukan dengan beberapa tahap, yaitu : 1. Posisikan pasien Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan darah. Posisi terlentang dengan kaki lebih tinggi mungkin membantu, kecuali pada kondisi terlarang, misalnya dispnea atau emesis. Konsultasi dini dengan anestesi sangatlah dianjurkan. 2. Penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru, yaitu: A. Airway (membuka jalan napas) Jalan napas harus dijaga tetap bebas dan dipastikan tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan ekstensi kepala, penarikan mandibula ke anterior, dan membuka mulut. Pada syok anafilaktik yang disertai udem laring, dapat terjadi obstruksi jalan napas total atau parsial. Pertimbangkan intubasi elektif awal untuk pasien dengan suara serak yang signifikan dan edema lingual atau orofaringeal. Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau trakeotomi. Pada pasien pediatri, intubasi mungkin secara teknis sulit, menambah juga beratnya edema. Oleh karena itu, intubasi dengan sedasi dapat dibenarkan. B. Breathing support Pasien harus ditempatkan pada monitor kardiopulmonari terus menerus, termasuk oksimetri. Jika jalan napas sudah memadai, oksigen harus diberikan melalui masker wajah nonrebreather dengan dosis 12 sampai 15 L / menit pada awalnya, kemudian dikurangi sesuai dengan kebutuhan. C. Circulation support Cairan kristaloid harus diberikan lebih awal, sebelum pemberian obat anafilaktik. Pada pasien anak, sebuah bolus cepat 20 ml / kg harus diberikan dan diulang seperlunya, sedangkan pada dewasa dapat diberikan 500-1000 ml. Pemberian cairan akan meningkatkan tekanan darah dan curah jantung serta mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan koloid tetap merupakan perdebatan didasarkan atas keuntungan dan kerugian mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3–4 kali dari perkiraan kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat diperkirakan terdapat kehilangan cairan 20–40% dari volume plasma. Sedangkan bila diberikan larutan koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang sama dengan perkiraan kehilangan volume plasma. Tetapi, perlu dipikirkan juga bahwa larutan koloid plasma protein atau dextran juga bisa melepaskan histamin. 3. Pemberian epinefrin Administrasi langsung dengan dosis epinefrin yang memadai sangat penting untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas pasien. Meskipun epinefrin memiliki indeks terapeutik yang sempit (rasio risiko-manfaat), epinefrin mempunyai efek a1, b1, b2 agonis yang penting dalam membalikan gejala anafilaksis. Efek agonis a1 penting terhadap resistensi pembuluh darah Bagian Ilmu Kesehatan Anak
122
4.
perifer meningkat, yaitu dengan menciptakan vasokonstriksi dan mengurangi edema mukosa. Peningkatan inotropi dan kronotropi merupakan efek agonis b1. Stimulasi dari reseptor b2 menyebabkan bronkodilatasi dan penurunan pelepasan mediator sel mast dan basofil. Epinefrin konsentrasi 1:1000 digunakan untuk pemberian secara intramuskular dengan dosis 0,01 mg / kg (0,01 ml / kg), dengan dosis maksimum 0,3 mg sekitar (0,3 ml). Jika dosis awal tidak efektif, mungkin harus diulang pada interval 5 hingga 15 menit. Solusi 1:1000 tidak diindikasikan untuk penggunaan intravena. Jika hipotensi berlanjut, meskipun diberikan epinefrin, resusitasi cairan agresif, maka epinefrin intravena harus diberikan. Pemberiannya adalah dengan solusi epinefrin 1:10.000 dengan dosis 0,01 mg / kg (0,1 ml / kg), dengan dosis maksimal 1 mg. Infus epinefrin terus menerus mungkin diperlukan untuk mempertahankan tekanan darah. Jika hipotensi tetap tidak teratasi, vasopresin atau vasopressor potensial lainnya (agonis a1) mungkin lebih efektif. Obat tambahan Pilihan kedua dari epinefrin atau terapi tambahan diantaranya adalah termasuk antihistamin H1 dan H2 dan kortikosteroid. Adalah penting untuk menyadari bahwa antihistamin memiliki onset yang lambat dan tidak dapat memblokir peristiwa yang terjadi setelah pengikatan reseptor histamin. Administrasi antihistamin H1 dan H2 dalam kombinasi telah dilaporkan lebih efektif dalam memperbaiki beberapa manifestasi anafilaksis daripada antihistamin H1 saja. Diphenhydramine, antihistamin H1 generasi pertama, dapat diberikan parenteral dan paling sering digunakan dalam pengelolaan anafilaksis.
Gambar 1 Algoritma penanganan syok anafilaktik. Bagian Ilmu Kesehatan Anak
123
Note: Antihistamin injeksi yang tersedia di RSUP Dr.M.Djamil adalah Difenhidramin iv/im perlahan, dosis 1 mg/kg BB, maksimal 50 mg.
Follow up Sebuah periode pengamatan diindikasikan bagi semua pasien yang mengalami reaksi anafilaksis. Reaksi laten dapat terjadi pada 20% pasien dan jarang dapat terjadi pada 72 jam akhir setelah reaksi awal. Lamanya waktu untuk observasi harus didasarkan pada keparahan dari reaksi awal, kecukupan pengawasan, ketahanan pasien, dan kemudahan akses ke perawatan medis. Banyak penulis menyarankan waktu pengamatan dari 6 sampai 8 jam, namun waktu pengamatan hingga 24 jam dapat dibenarkan untuk beberapa pasien. REFERENSI 1. Hari kushartono, Antonius pudijadi. Syok.Buku ajar pediatric gawat darurat IDAI.2015 2. Oscar Rachman, Myrna soepriyadi, Budi setiabudiman. Anafilaksis. Buku ajar alergi imunologi IDAI. 2008 TUGAS 2. Sebutkan definisi, etiologi dan manifestasi klinis dari syok anafilaktik 3. Jelaskan tatalaksana syok anafilaktik
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
124
Nomor Modul Topik Subtopik Learning Objective 1 Kognitif
2
: 18/UN16.2-IKA-Modul/I/2016 : Hemato-Onkologi : Talasemia :
a.
Menjelaskan definisi thalassemia
b.
Menjelaskan patofisiologi thalassemia
c.
Menjelaskan manifestasi klinis thalassemia
d.
Menjelaskan cara menegakkan diagnosis thalassemia
e.
Menjelaskan tata laksana thalassemia
f.
Menjelaskan prognosis thalassemia
Psikomotor a. Mampu melakukan anamnesis terhadap keluarga pasien b. Mampu melakukan pemeriksaan fisik pada pasien thalassemia c. Mampu memberikan edukasi tentang penyakit thalasemia berkaitan pencegahan dan tatalaksana
3
Attitute a. Memperkenalkan diri kepada keluarga pasien b. Memberikan waktu kepada keluarga untuk menjelaskan keluhan yang dialami pasien c. Menerangkan kepada keluarga pasien tentang tindakan yang akan dilakukan kepada pasien dan tujuannya d. Memberikan informed consent kepada keluarga pasien
THALASSEMIA Definisi Thalassemia adalah penyakit anemia hemolitik herediter yang diturunkan secara autosomal resesif akibat adanya defek pada pembentukan rantai globin. Tipe yang paling sering adalah kelainan pada rantai globin α (thalassemia α) dan rantai β (thalassemia β). Bagian Ilmu Kesehatan Anak
125
Epidemiologi Thalassemia α ditemukan terutama di Asia Tenggara, Kepulauan Mediterania, Afrika, Timur Tengah, India, dan Asia Tenggara. Secara epidemiologi jumlah pasien thalassemia terus bertambah. Menurut WHO (2001) terdapat 7% penduduk dunia pembawa sifat thalassemia dengan 300-400 ribu kelahiran baru thalassemia setiap tahun. Di Indonesia karier thalassemia α mencapai 2,6-11%, sedangkan karier thalassemia β 5-10%. Dengan perkiraan 4 juta anak dilahirkan per tahun, maka akan lahir sekitar 3.000-4.000 kasus βmayor per tahun di Indonesia. Klasifikasi Secara klinis dapat dibagi menjadi tiga: - Thalassemia mayor : sangat tergantung transfusi darah - Thalassemia minor/karier : tanpa gejala, tidak membutuhkan transfusi darah - Thalassemia intermedia : gejala ringan, kadang-kadang membutuhkan transfusi darah Patofisiologi Pada thalassemia terjadi mutasi atau delesi pada gen α atau β. Kelebihan salah satu rantai menyebabkan tidak diproduksinya hemoglobin normal yang membutuhkan adanya rantai α dan β yang seimbang. Akibatnya proses eritropoiesis terganggu. Disamping itu kelebihan salah satu rantai akan menumpuk pada membran sel sehingga difagosit oleh sistem RES di lien. Manifestasi Klinis Pada thalassemia mayor gejala muncul beberapa bulan setelah lahir antara lain: pucat, agak kuning, perut membesar akibat hepatosplenomegali, Selain itu terlihat perubahan bentuk muka (facies cooley), kulit kehitaman, gangguan pertumbuhan (perawakan pendek), gizi kurang/buruk Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap dan analisis hemoglobin. Pada gambaran darah tepi ditemukan eritrosit yang terlihat hipokromik, anisositosis, poikilositosis, eritrosit muda, fragmentosit, sel target. Indeks eritrosit MCV dan MCV menurun, RDW meningkat. Hitung retikulosit sedikit meningkat, jumlah leukosit dan trombosit dalam batas normal, kecuali bila
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
126
terdapat hipersplenisme. Analisis hemoglobin diusahakan diperiksa sebelum transfusi darah diberikan, karena dapat mengganggu interprestasi penilaian. Tata laksana 1. Pemberian tranfusi sel darah merah untuk mempertahankan kadar hemoglobin > 10-10,5 gr/dl. 2. Asam folat 2x1 mg po 3. Vitamin E 2x200 IU po 4. Hindari preparat Fe atau makanan yang banyak mengandung besi 5. Kelasi besi dimulai bila kadar ferritin ≥ 1000 ng/ml atau saturasi transferrin ≥ 55% atau sudah mendapatkan transfusi 10-20 kali. Obat kelasi besi yang dapat diberikan seperti desferoksamin (subkutan), deferipron (oral), atau deferasirox (oral) Prognosis Prognosis sangat buruk pada anak yang tidak mendapat transfusi adekuat. Tanpa transfusi sama sekali, akan meninggal pada usia < 5 tahun. Bila hanya mendapatkan transfusi darah tanpa kelasi besi, usia < 20 tahun. Namun bila mendapatkan transfusi darah serta kelasi besi, usia > 20 tahun.
Referensi : 1. Permono B, Ugrasena IDG. Talasemia. Dalam: Permono B penyunting. Buku ajar hematologionkologi anak. Jakarta. Balai Penerbit IDAI. 2006;64-84 2. Lanzkowsky P. Hemolytic anemia. Manual of pediatric hematology and oncology. Edisi ke-2. New York;Churcill Livingstone; 1995: 135-150. Pertanyaan : 1. Jelaskan patofisiologi terjadinya talasemia ? 2. Bagaimana tata laksana talasemia ?
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
127
Nomor Modul : 19/UN16.2-IKA-Modul/I/2016 Topik : Infeksi Tropis Subtopik : Tonsilitis Learning Objective : 1. Kognitif a. Menjelaskan definisi tonsilitis b. Menjelaskan macam-macam tonsilitis c. Menjelaskan patofisiologi tonsilitis d. Menjelaskan manifestasi klinis tonsilitis e. Menjelaskan cara menegakkan diagnosis tonsilitis f. Menjelaskan tatalaksana tonsilitis g. Menjelaskan komplilkasi tonsilitis 2. Psikomotor a. Mampu melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, menegakkan diagnosis tonsilitis b. Mampu melakukan tatalaksana tonsilitis 3. Attitute a. Memperkenalkan diri kepada orang tua dan anak b. Mempersilahkan orang tua untuk bertanya c. Menerangkan kepada orang tua tentang prosedur tindakan yang akan dilakukan (informed consent)
TONSILITIS Definisi Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam rongga mulut yaitu : tonsil faringeal ( adenoid ), tonsil palatina ( tosil faucial), tonsil lingual ( tosil pangkal lidah ), tonsil tuba Eustachius ( lateral band dinding faring / Gerlach’s tonsil ). Tonsilitis akut adalah radang akut yang disebabkan oleh kuman streptococcus beta hemolyticus, streptococcus viridans dan streptococcus pyogenes, dapat juga disebabkan oleh virus. Macam-macam tonsillitis yaitu : 1. Tonsilitis Akut a. Tonsilis viral Tonsilitis dimana gejalanya lebih menyerupai commond cold yang disertai rasa nyeri tenggorok. Penyebab yang paling sering adalah virus Epstein Barr. Hemofilus influenzae merupakan penyebab tonsilitis akut supuratif. Jika terjadi infeksi virus coxschakie, maka pada pemeriksaan
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
128
rongga mulut akan tampak luka-luka kecil pada palatum dan tonsil yang sangat nyeri dirasakan pasien. b. Tonsilitis bakterial Radang akut tonsil dapat disebabkan kuman grup A Streptokokus, β hemolitikus yang dikenal sebagai strep throat, pneumokokus, Streptokokus viridan, Streptokokus piogenes. Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil akan menimbulkan reaksi radang berupa keluarnya leukosit polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus. Bentuk tonsillitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsilitis folikularis. Bila bercak-bercak detritus ini menjadi satu, membentuk alur-alur maka akan terjadi tonsilitis lakunaris. 2. Tonsilitis Membranosa a. Tonsilitis difteri Tonsilitis diferi merupakan tonsilitis yang disebabkan kuman Coryne bacterium diphteriae. Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak-anak berusia kurang dari 10 tahunan frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun. b. Tonsilitis septik Tonsilitis yang disebabkan karena Streptokokus hemolitikus yang terdapat dalam susu sapi. c. Angina Plaut Vincent ( stomatitis ulsero membranosa ) Tonsilitis yang disebabkan karena bakteri spirochaeta atau triponema yang didapatkan pada penderita dengan higiene mulut yang kurang dan defisiensi vitamin C. d. Penyakit kelainan darah Tidak jarang tanda leukemia akut, angina agranulositosis dan infeksi mononukleosis timbul di faring atau tonsil yang tertutup membran semu. Gejala pertama sering berupa epistaksis, perdarahan di mukosa mulut, gusi dan di bawah kulit sehingga kulit tampak bercak kebiruan. 3. Tonsilis Kronik Tonsilitis kronik timbul karena rangsangan yang menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik, dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat. Patofisiologi Bakteri atau virus memasuki tubuh melalui hidung atau mulut. Tonsil berperan sebagai pertahanan tubuh. Hal ini akan memicu tubuh untuk membentuk antibodi terhadap infeksi yang terjadi. Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superficial mengadakan reaksi. Terdapat pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit poli morfonuklear. Proses ini secara klinik tampak pada korpus tonsil yang berisi bercak kuning yang disebut detritus. Detritus merupakan kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas, suatu tonsillitis akut dengan detritus disebut tonsillitis folikularis, bila bercak detritus berdekatan menjadi satu maka terjadi tonsillitis lakunaris. Bila bercak melebar, lebih besar lagi sehingga terbentuk membrane semu (Pseudomembran), sedangkan pada tonsillitis kronik terjadi karena proses radang berulang maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis. Sehingga pada proses penyembuhan, jaringan limfoid diganti jaringan parut. Jaringan ini akan mengkerut sehingga ruang antara kelompok melebar (kriptus) yang akan diisi oleh detritus, proses ini Bagian Ilmu Kesehatan Anak
129
meluas sehingga menembus kapsul dan akhirnya timbul perlengketan dengan jaringan sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfe submandibula. Manifestasi klinis Tonsilitis dimulai dengan gejala sakit tenggorokan ringan hingga menjadi parah. Pasien hanya mengeluh merasa sakit tenggorokannya sehingga berhenti makan. Tonsilitis dapat menyebabkan kesukaran menelan, panas, bengkak, dan kelenjar getah bening melemah didalam daerah sub mandibuler, sakit pada sendi dan otot, kedinginan, seluruh tubuh sakit, sakit kepala dan biasanya sakit pada telinga. Sekresi yang berlebih membuat pasien mengeluh sukar menelan, belakang tenggorokan akan terasa mengental. Hal-hal tersebut biasanya berakhir setelah 72 jam. Penyulit Komplikasi tonsilitis akut dan kronik yaitu : 1. Abses peritonsil Terjadi diatas tonsil dalam jaringan pilar anterior dan palatum mole, abses ini terjadi beberapa hari setelah infeksi akut dan biasanya disebabkan oleh streptococcus group A 2. Otitis media akut Infeksi dapat menyebar ke telinga tengah melalui tuba auditorius (eustochi) dan dapat mengakibatkan otitis media yang dapat mengarah pada ruptur spontan gendang telinga 3. Mastoiditis akut Ruptur spontan gendang telinga lebih jauh menyebarkan infeksi ke dalam sel-sel mastoid 4. Laringitis Merupakan proses peradangan dari membran mukosa yang membentuk larynx. Peradangan ini mungkin akut atau kronis yang disebabkan bisa karena virus, bakter, lingkungan, maupunm karena alergi 5. Sinusitis Merupakan suatu penyakit inflamasi atau peradangan pada satua atau lebih dari sinus paranasal. Sinus adalah merupakan suatu rongga atau ruangan berisi udara dari dinding yang terdiri dari membran mukosa 6. Rhinitis Merupakan penyakit inflamasi membran mukosa dari cavum nasal dan nasofaring Penatalaksanaan 1. Penatalaksanaan tonsilitis akut a. Antibiotik golongan penicilin atau sulfonamid selama 5 hari, bila alergi dengan diberikan eritromisin atau klindamisin. b. Kortikosteroid untuk mengurangi edema pada laring c. Pemberian antipiretik 2. Penatalaksanaan tonsilitis kronik a. Terapi lokal untuk hygiene mulut dengan obat kumur / hisap. b. Terapi radikal dengan tonsilektomi bila terapi medikamentosa atau terapi konservatif tidak berhasil. Bagian Ilmu Kesehatan Anak
130
The American Academy of Otolaryngology – Head and Neck Surgery Clinical Indikators Compendium tahun 1995 menetapkan indikasi dilakukannya tonsilektomi yaitu: 1) Serangan tonsilitis lebih dari tiga kali per tahun walaupun telah mendapatkan terapi yang adekuat 2) Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan gangguan pertumbuhan orofasial 3) Sumbatan jalan nafas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan jalan nafas, sleep apnea, gangguan menelan, dan gangguan bicara. 4) Rinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil, yang tidak berhasil hilang dengan pengobatan. 5) Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan 6) Tonsilitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A Streptococcus β hemoliticus 7) Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan 8) Otitis media efusa / otitis media supuratif
Referensi 1. Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran, Jakarta: Media Aeusculalpius Soal: 1. Jelaskan gejala klinis tonsillitis 2. Jelaskan tatalaksana tonsillitis
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
131
Nomor Modul : 20/UN16.2-IKA-Modul/I/2016 Topik : Alergi-Imunologi Subtopik : Alergi susu sapi ( ASS ) Learning Objective : 1. Kognitif . h. Menjelaskan definisi ASS i. Menjelaskan patofisiologi ASS j. Menjelaskan manifestasi klinis ASS k. Menjelaskan cara menegakkan diagnosis ASS l. Menjelaskan tatalaksana ASS m. Menjelaskan komplilkasi atau prognosis ASS 2.Psikomotor c. Mampu melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, menegakkan diagnosis ASS d. Mampu melakukan tatalaksana ASS 3.Attitute. d. Memperkenalkan diri kepada orang tua dan anak e. Mempersilahkan orang tua untuk bertanya f. Menerangkan kepada orang tua tentang prosedur tindakan yang akan dilakukan (informed consent)
ALERGI SUSU SAPI Definisi Suatu reaksi yg tdk diinginkan yg diperantarai secara imunologis terhadap protein susu sapi.Biasanya dikaitkan dengan reaksi hipersensitifitas tipe I, yang diperantarai oleh IgE. Walaupun demikian ASS dapat diakibatkan oleh reaksi imunologis yang tidak diperantarai oleh IgE ataupun gabungan proses keduanya. Alergen pada susu sapi : Protein susu sapi merupakan allergen tersering pada berbagai reaksi hipersensitifitas pada anak. Susu sapi mengandung lebih kurang 20 komponen yng dapat merangsang produksi antibody pada manusia. Didapatkan 2 fraksi protein pada susu sapi a. Fraksi Kasein. Kasein merupakan fraksi yang dominan, lebih kurang 76-86% dari total protein susu sapi. Fraksi ini enjadikan susu sapi lebih kental, dan dapat di presipitasi dengan asam pada pH 4,6. Terdiri dari 5 kasein dasar: α, αδ, β, κ,γ. b. Fraksi Whey Beberapa protein dari fraasi whey ini ( albumin serum bovin, γ-globulin bovin, α-laktalalbumin ) akan mengalami denaturasi akibat pemanasan. Bagian Ilmu Kesehatan Anak
132
Klasifikasi Alergi susu sapi dapat dibagi atas b. IgE Mediated, yaitu ASS yang diperantarai oleh IgE b. Non-IgE Mediated, yaitu ASS yang tidak diperantarai oleh IgE, tetapi diperantarai oleh IgG dan IgM. Tonsilitis yang disebabkan karena Streptokokus hemolitikus yang terdapat dalam susu sapi. Pada umumnya pembahasan kasus ASS terutama berhubungan dengan IgE Mediated. Patofisiologi Terjadinya ASS didasari oleh reaksi hipersensitifitas tipe I. Alergen ( protein susu sapi ) mensensitisasi terbentuknya IgE. IgE yang terbentuk terutama akan menempati reseptor epsilon I yang ada di sel mast dan basophil. Paparan berikutnya oleh allergen akan menimbulkan degranulasi sel mast, yang pada akhirnya mengeluarkan berbagai mediator seperti histamin, Eosninophil Chemotacting Factor ( ECF), Platelete Chemotacting Factor (PAF), dll. Lepasnya mediator ini akan menimbulkan berbagai gejala klinis diseluruh tubuh. Manifestasi klinis Manifestasi ASS dapat terjadi diberbagai system pada tubuh, tetapi umunya system yang dominan dikenali adalah kulit, saluran nafas, dan saluran cerna. Pada umumnya gejala terlihat jelas setalah 1 bulan terpapar alergen ( 68%), tetapi dapat juga terjadi setelah 3 hari paparan ( 28% ). Gejala berupa: a. Kulit: urtikaria, kemerahan, pruritus, dermatitis atopik. b. Saluran nafas: batuk berulang, hidung tersumbat, asma, rhinitis. c. Saluran cerna: muntah, kolik, konstipasi, diare, buang air berdarah. Pada keadaan yang berat dapat terjadi gejala sistemik yang menimbulkan syok anafilaktik. ( baca modul syok anafilaktik ). Diagnosis. Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisis yang cermat dan teliti serta dibantu oleh pemeriksaan penunjang. Anamnesis yang baik menunjukan adanya keterkaitan antara berulangnya paparan susu sapi dengan munculnya gejala dan muncul pada rentang waktu yang sesuai. Munculan klinis sesuai dengan gambarannya. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan IgE dan atau uji tusuk kulit dengan allergen ( skin prick test ). Cara terbaik pemeriksaan penunjang adalah pemeriksaan dengan eliminasi dan provokasi makanan ( susu sapi ), tetapi cara ini sulit untuk diterapkan.
Penatalaksanaan Bila diagnosis ASS sudah ditegakkan maka susu sapi harus dihindarkan sampai munculnya toleransi pada anak tersebut. Eliminasi direncanakan selama periode 6 – 18 bulan dengan evaluasi berkala setiap 6 bulan. Bila pada evaluasi berkala sudah terjadi toleransi, maka dapat diberikan susu sapi formula standar. Pada kondisi klinis yang ringan sampai dengan sedang dapat diberikan susu sapi terhidrolisis sempurna ( extensive hydrolysis formula ) sedangkan pada keadaan yang berat diberikan Bagian Ilmu Kesehatan Anak
133
susu formula ber basis asam amino. Penatalaksanaan gejala lainnya disesuaikan dengan symptom yang muncul, seperti pemberian antihistamin atau penanganan syok anafilaktik
Pencegahan Pencegahan pada ASS dibagi atas 3 tahapan a. Pencegahan primer. Dilakukan sebelum terjadi sensitisasi. Dimulai semenjak masa prenatal seperti hindari paparan asap rokok, dll. ASI merupakan makan terbaik pada masa bayi, bila bayi memerlukan susu formula pada fase ini berikansusu formula terhidrolisis sebagaian ( partially hydrolysis formula ). b.Pencegahan sekunder. Dilakukan pada keadaan bayi yang sudah tersensitisasi yang dibuktikan dengan adanya IgE, tetapi belum menimbulkan gejala alergi. Pada situasi seperti ini diberikan susu formula terhidrolisis sempurna. Bila pada kondisi tertentu susu seperti ini sulit didapat dapat dicoba sebagai pengganti susu berbasis soya. Tindakan ini juga disertai dengan penghindaran paparan terhadap asap rokok, debu rumah, dll. Tindakan lain seperti pemberian imunomudulator juga dapat dilakukan. c.Pencegahan tersier. Tujuan pencegahan pada periode ini adalah mencegah kambuhnya gejala ASS yang sudah terjadi. Pencegahan pada fase ini tetap diiringi dengan pencegahan primer dan sekunder. Obat atau tindakan pencegahan yang dapat diberikan antara lain setirizin, imunomodulator, imunoterapi, dll.
Referensi 1. Buku ajar alergi imunlogi Ilmu Kesehatan Anak, PP IDAI. 2010 2. Rekomendasi IDAI tentang Alergi Susu Sapi., 2010 Tugas 1.Jelaskan lah cara dan langkah menegakkan diagnosis klinis alergi susu sapi. 2. Jelaskan langkan dan prinsip tata laksana ASS
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
134