PENILAIAN STATUS GIZI SETELAH TERAPI BESI PADA ANAK SEKOLAH DASAR YANG MENDERITA ANEMIA DEFISIENSI BESI
TESIS
LEON AGUSTIAN 047103011/IKA
PROGRAM MAGISTER KLINIS-SPESIALIS ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008
Leon Agustian : Penilaian Status Gizi Setelah Terapi Besi Pada Anak Sekolah Dasar Yang Menderita Anemia…, 2008 USU e-Repository © 2008
PENILAIAN STATUS GIZI SETELAH TERAPI BESI PADA ANAK SEKOLAH DASAR YANG MENDERITA ANEMIA DEFISIENSI BESI
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Kedokteran Klinik (Anak) Dalam Program Magister Klinis Kedokteran-Spesialis Anak Konsentrasi Kesehatan Anak Pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
LEON AGUSTIAN 047103011/IKA
PROGRAM MAGISTER KLINIS-SPESIALIS ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008
Judul Tesis
: Penilaian Status Gizi Setelah Terapi Besi Pada Anak Sekolah Dasar Yang Menderita Anemia Defisiensi Besi
Nama Mahasiswa : Leon Agustian Nomor Induk Mahasiswa : 047103011 Program Magister : Magister Klinis Konsentrasi : Kesehatan Anak
Menyetujui Komisi Pembimbing :
( Dr. Hj Ani Ariani,SpA(K) ) Ketua
( Dr. Wisman Dalimunthe, SpA) Anggota
Ketua Program Magister,
(Prof. Dr. H. Munar Lubis, SpA(K) ) Tanggal Lulus : 15 September 2008
Ketua TKP-PPDS,
( Dr. Zainuddin Amir, SpP(K) )
PERNYATAAN
PENILAIAN STATUS GIZI SETELAH TERAPI BESI PADA ANAK SEKOLAH DASAR YANG MENDERITA ANEMIA DEFISIENSI BESI
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, 9 September 2008
(Leon Agustian)
Telah Diuji Pada Tanggal : 15 September 2008
PANITIA PENGUJI TESIS Ketua
: Dr. Hj. Ani Ariani, SpA(K)
Anggota: 1. Dr. Wisman Dalimunthe, SpA
............................ ............................
2. Dr. Zaimah Z Tala MSi
............................
3. Prof. Dr. H. Iskandar Z Lubis SpA(K)
.............................
4. Dr. Hj Tiangsa Sembiring, SpA(K)
.............................
UCAPAN TERIMA KASIH
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat, rahmat dan karunia-Nya jualah penulis telah dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Penulis menyadari penelitian serta penulisan ini masih jauh dari kesempurnaan sebagaimana yang diharapkan. Karenanya dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan masukan yang berharga dari semua pihak untuk kebaikan di masa mendatang. Pada
kesempatan
ini
perkenankanlah
penulis
menyatakan
penghargaan dan mengucapkan terima kasih kepada : 1.
Pembimbing Dr. Hj. Ani Ariani, SpA(K), dan Dr. Wisman Dalimunte, SpA, yang telah memberikan bimbingan, bantuan serta saran yang sangat berharga dalam menyelesaikan tesis ini.
2.
Prof. Dr. H. Munar Lubis, SpA(K) dan Dr. Hj. Melda Deliana, SpA(K) sebagai ketua dan sekretaris PPDS-I Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, beserta anggota yang telah banyak membantu dalam menyelesaikan tesis ini.
3.
Prof. Dr. H. Guslihan Dasa Tjipta, SpA(K) sebagai Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran USU/RSUP
H. Adam Malik Medan periode 2003 sampai 2007 dan Dr. H. Ridwan M Daulay, SpA(K) sebagai Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik Medan periode 2007 sampai
sekarang, Seluruh staf pengajar Departemen Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran USU / RSUP H. Adam Malik Medan, yang telah memberi sumbangan pikiran dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini. 4.
Prof. dr. Hj. Bidasari Lubis, SpA(K) yang sudah membimbing saya dalam banyak hal dan saran serta kritik yang sangat membangun dalam menjalani pendidikan ini.
5.
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberi kesempatan untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
6.
Direktur RS. H. Adam Malik Medan, RS Dr. Pirngadi Medan yang telah memberi sarana bekerja selama pendidikan ini.
7.
Drs. H. Akmaluddin Hasibuan sebagai direktur utama PTPN III dan segenap jajaran staf dan karyawan PTPN III
kebun Aek Nabara
Selatan yang telah banyak memberikan bantuan berbagai sarana kepada penulis selama melakukan penelitian di wilayah PTPN III Aek Nabara Selatan.
8.
Dr. H. Hendy Suhendro, MSc. sebagai manager RS Aek Nabara dan segenap jajaran dan staf yang telah banyak memberikan bantuan selama penulis melakukan penelitian di wilayah RS Aek Nabara.
9.
Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan dalam terlaksananya penelitian serta penulisan tesis ini Kepada istri Amalia Sari SE, Akt dan anak Khairunnisa dan Zahra
Athifah serta kedua orang tua yang sangat saya cintai Drs. Amiruddin Koto, Apt ( alm ) dan Sri Ramayati Siregar (almh), kedua mertua yang saya hormati H. Akmal Kaharuddin Bsc dan Hj Murni Abdullah, saudarasaudaraku, abang, adik-adik serta teman-temanku, yang selalu mendoakan, memberi dorongan, bantuan moril dan materil selama penulis mengikuti pendidikan ini. Semoga budi baik yang telah diberikan mendapat balasan yang setimpal dari Allah Yang Maha Kuasa lagi Maha Pemurah. Akhirnya penulis mengharapkan, semoga penelitian dan penulisan ini bermanfaat bagi kita semua. Wassalamu’alaikum Wr. Wb Medan, 9 September 2008
Leon Agustian
DAFTAR ISI
Lembar Persetujuan Pembimbing Lembar Pernyataan Ucapan Terima Kasih Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar Daftar Singkatan dan Lambang Abstrak
iii iv vi xi xi xii xiii xiv
BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Perumusan Masalah 1.3. Hipotesis 1.4. Tujuan Penelitian 1.5. Manfaat Penelitian BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Metabolisme Zat Besi 2.2. Fungsi Zat Besi 2.3. Defisiensi Besi 2.4. Faktor Risiko Anemia Defisiensi Besi 2.5. Penilaian Status Gizi 2.6. Kerangka Konseptual BAB 3. METODOLOGI 3.1. Desain 3.2. Tempat dan Waktu 3.3. Populasi Penelitian 3.4. Perkiraan Besar Sampel 3.5. Kriteria Penelitian 3.6. Persetujuan/informed consent 3.7. Etika Penelitian 3.8. Cara Kerja dan Alur Penelitian 3.9. Identifikasi Variabel 3.10. Definisi Operasional 3.11. Pengolahan dan Analisis Data
20 20 20 20 21 21 22 22 23 24 24
BAB 4. HASIL BAB 5. PEMBAHASAN
26 30
1 3 3 3 3 5 8 10 12 14 19
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan 6.2. Saran Ringkasan Daftar Pustaka Lampiran 1. Formulir Persetujuan Setelah Penjelasan 2. Lembar Penjelasan 3. Persetujuan Komite Etik Penelitian 4. Kuesioner 3. Riwayat Hidup
39 39 40 44 48 49 51 52 54
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1. Karakteristik Sampel
27
Tabel 4.2. Perbedaan Status Gizi Sebelum dan Sesudah Intervensi 28 Tabel 4.3. Perbedaan Kadar Hemoglobin Sebelum dan Sesudah Intervensi
28
Tabel 4.4. Perbedaan Berat Badan, Tinggi Badan Sebelum dan Sesudah Intervensi
29
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Kerangka Konseptual Penelitian
19
Gambar 4.1. CONSORT Algoritme
26
Gambar 4.2. Status Gizi Sebelum Intervensi
27
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG
ADB AKG ATP BB DNA Fe Hb Ht KKP MCV MCHC RDW SD SPSS SGNA TIBC TB WHO n α β x2 df
: Anemia Defisiensi Besi : Angka Kecukupan Gizi : Adenosine triphosphate : Berat badan : Deoxyribonucleic acid : Ferrum : Hemoglobin : Hematokrit : Kurang Kalori Protein : Mean Corpuscular Volume : Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration : Red Blood Cell Distribution Width : Standar Deviasi : Statistical Package for Social Science : Subjective Global Nutritional Assessment : Total Iron-Binding Capacity : Tinggi Badan : World Health Organization : Besar sampel : Kesalahan tipe 1 : Kesalahan tipe 2 : Kai-kuadrat : Degree of freedom
ABSTRAK Latar belakang. Efek zat besi terhadap peningkatan berat dan tinggi badan pada anak dengan anema defisiensi besi (ADB) telah di diketahui dapat meningkatkan pertumbuhan. Kemungkinan koeksistensi antara malnutrisi dan ADB sering dijumpai. Tujuan. Mengetahui efek besi terhadap status gizi pada anak dengan ADB Metode. Suatu uji klinis acak terkontrol, dilaksanakan di Kecamatan Bilah Hulu Kabupaten Labuhan Batu pada bulan November 2006 sampai Februari 2007. Anemia defisiensi besi didiagnosis bila dijumpai Hb < 12 g/dl, MCHC <31%, RDW indeks >220, dan Mentzer indeks >13. Anak Sekolah Dasar (8 sampai 12 tahun) dengan ADB diacak untuk mendapatkan terapi besi 6 mg/kg/hari dan kelompok lain mendapat placebo selama 3 bulan. Status gizi di evaluasi dengan pengukuran antropometri sebelum dan sesudah intervensi. Hasil. Terdapat 111 anak (37,2%) menderita ADB diantara 300 anak yang diperiksa. Setelah intervensi, 108 anak menyelesaikan penelitian. Terdapat perbedaan yang bermakna pada kadar hemoglobin (P <0,05) tetapi tidak dijumpai perbedaan yang bermakna rerata berat dan tinggi badan pada kedua kelompok.. Kesimpulan. Pemberian besi tidak memberikan efek terhadap peningkatan berat dan tinggi badan. Kata Kunci. status gizi, anemia defisiensi besi, antropometri.
ABSTRACT Background. The effect of iron on weight and height increasing in children with iron deficiency anemia (IDA) has been investigated can improve growth. Possibility of coexistence of malnutrition and iron deficiency frequently found. Objective. To investigate the effect of iron on nutritional status in children with IDA treated with iron. Methods. A randomized placebo-controlled clinical trial study was conducted at Bilah Hulu, a subdistrict of Labuhan Batu on November 2006 – February 2007. Iron deficiency anemia was diagnosed if there were anemia, MCHC <31%, RDW index >220 and Mentzer index >13. Elementary school children (8 to12 years old) with IDA were randomly assigned to a daily therapy of 6 mg iron/kg/day or placebo groups for three months. The nutritional status were evaluated with anthropometric assesment before and after intervention. Results. There were 111 children (37,2%) among 300 children who recruited suffered from IDA. After intervention, 108 children completed the therapy, the iron and placebo groups had difference on mean of hemoglobin concentration (P <0,05) but no significantly different on mean of weight and height gain. Conclusion. The effect of iron showed no effect on increasing weight and height in children. Key Words. nutritional status, iron deficiency anemia, anthropometric.
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Defisiensi besi merupakan penyebab paling banyak anemia gizi di seluruh dunia, terutama di negara berkembang. Diperkirakan 4 sampai 5 milyar penduduk dunia mengalami anemia defisiensi besi (ADB) dan 90% terjadi di negara sedang berkembang yang menyebabkan tingginya angka morbiditas dan mortalitas.1 Di negara maju seperti Amerika Serikat, prevalensi defisiensi besi pada anak umur 1 sampai 2 tahun mencapai 9%, dimana 3% diantaranya menderita anemia.2 Anemia defisiensi besi paling sering dijumpai pada bayi, anak dan remaja karena pertumbuhan yang cepat membutuhkan banyak besi dan diet yang
mengandung rendah besi.2 Saat ini di Indonesia, ADB masih
merupakan salah satu masalah gizi utama di samping kekurangan kalori protein (KKP), defisiensi vitamin A dan yodium.
3
Pada Survei Rumah
Tangga pada tahun 1995 menunjukkan bahwa 40,5% anak balita dan 47,3% anak usia sekolah menderita ADB. Survei pada anak sekolah dasar (SD) berumur 7 sampai 15 tahun menunjukkan bahwa 50% dari seluruh jenis anemia yang diderita merupakan ADB.4
Penelitian lain pada anak usia
sekolah (5 sampai 14 tahun) di beberapa daerah di Indonesia, mendapatkan hasil bahwa prevalensi ADB pada anak dengan KKP sekitar 47% sampai
64%.5 Anemia defisiensi besi bisa juga dijumpai pada anak overweight dan obesitas.2,6 Malnutrisi merupakan
masalah gizi yang terpenting di Indonesia.
Sebagai akibat lebih lanjut dari tingginya angka berat badan lahir rendah (BBLR), kurang gizi pada masa balita dan tidak adanya pencapaian perbaikan pertumbuhan (catch-up growth) yang sempurna pada masa berikutnya, maka pada tahun 1999 dijumpai 36,1% anak usia sekolah yang kurang gizi.7 Zat besi dibutuhkan untuk pembentukan hemoglobin (Hb) yang berperan dalam penyimpanan dan pengangkutan oksigen. Besi juga komponen dari mioglobin, suatu protein yang terdapat di jaringan otot, dan juga terdapat dalam beberapa enzim yang berperan dalam metabolisme oksidatif, sintesis deoxyribonucleic acid (DNA), neurotransmitter dan proses katabolisme yang dalam kerjanya membutuhkan ion besi. Dengan demikian kekurangan besi memberikan dampak yang merugikan bagi pertumbuhan dan perkembangan anak, menurunkan daya tahan tubuh dan menurunkan konsentrasi belajar. Oleh karena itu pengobatan terhadap ADB harus dimulai sedini mungkin, demikian pula dengan tindakan pencegahannya.3 Penilaian status gizi anak merupakan bagian yang integral dalam penatalaksanaan pasien, karena status gizi akan mempengaruhi respon pasien terhadap penyakit. Status gizi juga sangat penting diketahui, karena
anak sedang mengalami proses yang komplek dalam pertumbuhan dan perkembangan, yang dipengaruhi oleh faktor genetik anak dan penyakit yang diderita.8 Beberapa penelitian mengenai pengaruh pemberian suplementasi besi terhadap berat badan (BB), tinggi badan (TB) dan status gizi mendapatkan hasil yang tidak sama.9
1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan
uraian
tersebut
diatas,
maka
kekurangan
besi
memberikan dampak yang merugikan bagi pertumbuhan. Untuk itu penelitian ini diperlukan untuk mengetahui apakah ada pengaruh terapi besi terhadap status gizi pada anak dengan ADB.
1.3. Hipotesis Hipotesis penelitian ini adalah terdapat pengaruh terapi besi terhadap peningkatan berat badan dan status gizi pada anak dengan ADB
1.4. Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah mengobati ADB dengan memberikan terapi besi.
anak SD yang menderita
Tujuan khusus adalah mengetahui perbedaan status gizi anak SD yang menderita ADB sebelum dan sesudah pemberian terapi besi dosis 6 mg/kgBB/hari selama 3 bulan.
1.5. Manfaat Penelitian 1. Di bidang akademik / ilmiah: meningkatkan pengetahuan peneliti di bidang Nutrisi dan Penyakit Metabolik, khususnya pencegahan dan penatalaksanaan ADB. 2. Di bidang pelayanan masyarakat: meningkatkan pelayanan kesehatan anak sekolah dasar, khususnya pelayanan di bidang hygiene dan sanitasi lingkungan, pendidikan kesehatan, pelayanan yang berbasis kesehatan dan nutrisi di sekolah / masyarakat. 3. Di bidang pengembangan penelitian: memberikan masukan terhadap bidang Nutrisi dan Penyakit Metabolik, khususnya dalam pencegahan dan tatalaksana ADB.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Metabolisme Zat Besi Metabolisme menyangkut semua proses fisik dan kimia yang terjadi dalam tubuh yang diperlukan untuk mempertahankan kehidupan. Metabolisme adalah proses pemecahan zat gizi di dalam tubuh untuk menghasilkan energi dan untuk
pembentukan struktur tubuh. Metabolisme selalu
membutuhkan enzim untuk membantu reaksi-reaksi yang terjadi. Kadangkadang enzim membutuhkan pembantu berupa koenzim.10 Perkembangan metabolisme besi dalam hubungannya dengan homeostasis besi dapat dimengerti dengan baik pada orang dewasa, sedangkan pada anak diperkirakan mengalami hal yang sama seperti pada orang dewasa.3 Zat
besi
bersama
dengan
protein
(globin)
dan
protoporfirin
mempunyai peranan yang penting dalam pembentukan hemoglobin. Selain itu besi juga terdapat dalam beberapa enzim yang berperan dalam metabolisme
oksidatif,
sintesis
DNA,
neurotransmitter
dan
proses
katabolisme. Kekurangan besi akan memberikan dampak yang merugikan terhadap sistem saluran pencernaan, susunan saraf pusat, kardiovaskular, imunitas dan perubahan tingkat seluler. 3,10
Jumlah besi yang diserap oleh tubuh dipengaruhi oleh jumlah besi dalam makanan, jenis makanan, bioavailabilitas besi dalam makanan dan penyerapan oleh mukosa usus.3 Absorbsi besi memegang peranan penting pada pengaturan homeostasis besi. Absorbsi akan meningkat bila cadangan besi tubuh rendah atau eritropoesis meningkat. Absorbsi akan berkurang bila cadangan besi cukup. Bahan makanan yang dapat menghambat absorbsi besi adalah kulit padi (fitat), tanin (terdapat dalam teh, kopi), kuning telur, serta kelebihan besi (iron overload). Bahan makanan yang dapat menambah absorbsi besi adalah makanan yang mengandung asam askorbat, asam sitrat, asam amino (daging, ikan) dan keadaan defisiensi besi.11 Ada dua cara penyerapan besi dalam usus. Pertama, penyerapan dalam bentuk non heme (± 90% dari makanan) dimana besi harus diubah dulu menjadi bentuk yang diserap. Bentuk yang kedua yaitu bentuk heme (±10% dari makanan), dimana besi dapat langsung diserap tanpa memperhatikan cadangan besi dalam tubuh, asam lambung ataupun zat makanan yang dikonsumsi. Besi non hem setelah diserap, di dalam mukosa usus sebagian bergabung dengan apoferitin membentuk feritin dan yang tidak berikatan dengan apoferitin akan masuk ke sirkulasi darah, kemudian berikatan dengan apotransferin membentuk transferin serum.3,12 Absorbsi besi terutama terjadi di duodenum oleh enterosit, pada vili usus besi melalui bagian apikal dan kemudian melalui bagian basolateral
dari membran sel untuk mencapai sirkulasi. Bagian apikal membran membawa heme dan besi fero ke dalam sel. Heme diabsorbsi secara langsung kedalam sel mukosa dimana heme tersebut diurai oleh heme oxygenase dan fero dilepas. Besi anorganik dari diet makanan terutama dalam bentuk feri, dan secara enzimatik akan berkurang dalam bentuk yang lebih efisien untuk diabsorbsi yaitu bentuk fero oleh brush border feric reductase, difasilitasi oleh pH lambung yang rendah dan adanya agen-agen yang mengurangi pH lambung seperti asam askorbat. Besi fero dibawa melalui bagian apikal membran ke dalam enterosit oleh divalent metal transporter.12 Pengambilan besi oleh enterosit ditentukan oleh kandungan besi dan hal ini tergantung kepada jumlah transferin yang berikatan dengan besi yang disimpan sebagai feritin pada bagian basal sel kripta. Kandungan besi pada sel kripta mencerminkan jumlah total cadangan besi dan berhubungan erat dengan kebutuhan tubuh. 10,12 Metabolisme selular dari besi dilakukan oleh tiga protein yaitu transferin, reseptor transferin dan feritin.13 Besi lepas dari tempat absorbsi dan masuk ke sel yang sedang aktif bersintesis oleh suatu protein yaitu transferin. Protein transpor plasma ini mengandung 679 asam amino. Tidak seperti protein transpor lain, transferin tidak ikut dikonsumsi selama proses pengangkutan, sehingga daur ulangnya dalam plasma tidak sama dengan
daur ulang besi dalam plasma. Produksi transferin meningkat pada keadaan defisiensi besi dan menurun pada keadaan overload besi. Konsentrasi transferin dalam plasma secara fungsional dihitung sebagai total iron binding capacity (TIBC).14 Sebagian besar transferin darah membawa besi ke sum-sum tulang dan bagian tubuh lainnya. Di dalam sum-sum tulang, besi digunakan untuk membuat hemoglobin yang merupakan bagian dari sel darah merah. Sisanya dibawa ke jaringan tubuh yang membutuhkan. Kelebihan besi yang dapat mencapai 200 hingga 1500 mg, disimpan sebagai protein feritin dan hemosiderin
di dalam hati (30%), sumsum tulang belakang (30%) dan
selebihnya di dalam limpa dan otot. Dari simpanan tersebut hingga 50 mg sehari dapat dimobilisasi untuk keperluan tubuh seperti pembentukan hemoglobin. Feritin yang bersirkulasi di dalam serum merupakan indikator penting untuk menilai status besi.10
2.2. Fungsi Zat Besi Dalam keadaan tereduksi besi kehilangan dua elektron, oleh karena itu mempunyai dua sisa muatan positif (bentuk fero/fe++). Dalam keadaan teroksidasi, besi kehilangan tiga elektron, sehingga mempunyai sisa tiga muatan positif yang dinamakan bentuk feri (Fe+++). Karena dapat berada dalam dua bentuk ion ini, besi berperan dalam proses respirasi sel, yaitu
sebagai kofaktor bagi enzim yang terlibat di dalam reaksi oksidasireduksi.3,10 Besi dibutuhkan dalam banyak fungsi tubuh yang esensial seperti transport oksigen, produksi
adenosine triphosphate (ATP), sintesa DNA,
fungsi mitokondrial dan melindungi sel dari kerusakan oksidatif. 15 Fungsi utama besi adalah untuk metabolisme energi. Di dalam sel, besi bekerja sama dengan rantai protein – pengangkut elektron, yang berperan dalam langkah-langkah akhir metabolisme energi. Protein ini memindahkan hidrogen dan elektron yang berasal
dari zat gizi
penghasil energi ke
oksigen, sehingga membentuk air. Dalam proses tersebut dihasilkan ATP. 10 Peran besi dalam pertumbuhan telah banyak diteliti orang. Salah satu peran besi adalah dalam proliferasi sel. Besi sangat dibutuhkan pada siklus sel,
karena besi merupakan bagian dari enzim untuk sintesis DNA dan
ribonucleotide reductase (RR). Kekurangan besi menghambat aktifitas enzim RR sehingga proliferasi sel terganggu. Proliferasi sel di kontrol oleh cyclins, cyclin-dependent kinases (cdk’s)
dan
cyclin-dependent kinase inhibitors
(cdki’s). Defisiensi besi menyebabkan penurunan produksi protein cyclin D1 (CD1) . Hal ini menerangkan adanya hubungan “defisiensi besi–supresi pertumbuhan”
pada
siklus
proliferasi
sel
sehingga
menyebabkan
pertumbuhan akan terganggu. Bagaimanapun, masih sedikit diketahui peran besi dalam proses proliferasi sel ini.16
Besi juga
berperan dalam kemampuan belajar anak. Hubungan
defisiensi besi dengan fungsi otak telah banyak diteliti. Beberapa bagian dari otak mempunyai kadar besi yang tinggi yang diperoleh dari transpor besi yang dipengaruhi oleh reseptor transferin. Kadar besi dalam darah meningkat selama pertumbuhan hingga remaja. Defisiensi besi berpengaruh terhadap fungsi neurotransmitter, akibatnya kepekaan reseptor saraf dopamine berkurang
yang dapat
berakhir dengan hilangnya reseptor
tersebut. Hal ini akan menyebabkan menurunnya daya konsentrasi, daya ingat dan kemampuan belajar. Juga terjadi peningkatan ambang rasa sakit dan penurunan fungsi kelenjar tiroid serta kemampuan mengatur suhu tubuh.10,17,18 Pada sistem kekebalan, besi memegang peranan penting. Respon kekebalan sel oleh limfosit–T terganggu karena berkurangnya pembentukan sel tersebut,
yang kemungkinan disebabkan oleh berkurangnya sintesis
DNA karena gangguan enzim reduktase ribonukleotida yang membutuhkan besi dalam menjalankan fungsinya. Defisiensi besi juga menyebabkan gangguan fungsi enzim mieloperoksidase. Disamping itu
transferin dan
laktoferin mencegah terjadinya infeksi dengan cara memisahkan besi dari mikroorganisme yang membutuhkan besi untuk berkembang biak.10
2.3. Defisiensi Besi Kriteria WHO untuk ADB adalah: 19 1. Kadar Hb di bawah nilai normal menurut umur. Bayi sampai umur 6 tahun:
<11 g/dl
Umur 6 sampai 14 tahun:
<12 g/dl
2. Mean corpuscular haemoglobin concentrate (MCHC)
< 31% (32% sampai 35%)
3. Kadar besi serum:
< 50 ug/dl (80 sampai 180 ug/dl)
4. Saturasi transferin :
< 15% (20% sampai 50%)
5. Feritin serum :
< 10-12 ug/l (20 sampai 200 ug/ml)
6. Eritrosit protoporfirin (EP):
> 2,5 ng/g hemoglobin
Defisiensi besi tanpa anemia akan mengakibatkan gangguan sintesis Hb, tetapi kadar Hb belum turun sesuai kriteria anemia. Anemia defisiensi besi merupakan tingkat terakhir dari tingkatan kekurangan besi pada manusia.19 Pemeriksaan laboratorium indirek yang digunakan dalam diagnosis defisiensi
besi
dapat
digolongkan
pada
pemeriksaan
hematologi
berdasarkan gambaran eritrosit dan pemeriksaan biokimia berdasarkan metabolisme besi yaitu pemeriksaan serum feritin, kadar besi serum, TIBC, saturasi transferin, serum transferin receptor, erythrocyte protoporphyrin (EP), dan zinc protoporfirin (ZPP).13
Mean corpuscular volume (MCV) merupakan pemeriksaan yang cukup akurat dan merupakan parameter yang sensitif terhadap perubahan eritrosit
bila
dibandingkan
dengan
pemeriksaan
mean
corpuscular
hemoglobin concentration (MCHC) dan mean corpuscular hemoglobin (MCH) dan untuk mengetahui kemungkinan terjadinya defisiensi besi.20,21 Red blood cell distribution width index (RDW index) menunjukkan variabilitas bentuk eritrosit (anisositosis) yang juga merupakan manifestasi awal terjadinya defisiensi besi.14 RDW index yaitu (MCV/RBC x RDW), bila >220 merupakan indikasi untuk ADB dan bila <220 merupakan indikasi talasemia trait dengan spesifisitas 92%. Rumus ini dapat membantu klinisi untuk menentukan pilihan antara terapi besi empiris dan melakukan elektroforesis hemoglobin untuk konfirmasi talasemia trait.20 Nilai RDW index yang meningkat dan MCV yang menurun mengarah kepada diagnosis defisiensi besi.14 Klinisi sering dihadapkan dengan kasus anemia mikrositik pada populasi dimana prevalensi talasemia yang tinggi. Mentzer index dapat membantu
membedakan
defisiensi
besi
dengan
talasemia
dimana
pemeriksaan ini merupakan hasil perhitungan MCV/RBC.14,17 Bila hasil perhitungan >13 merupakan indikasi untuk ADB, namun bila <13 merupakan indikasi untuk talasemia trait dengan spesifitas 82%.20
2.4. Faktor Resiko Anemia Defisiensi Besi Beberapa faktor risiko terjadinya ADB yaitu :13,22 A. Usia 1. Bayi. Persediaan besi kurang karena berat badan lahir rendah, prematur atau lahir kembar, susu formula rendah besi, tidak mendapat makanan tambahan, pertumbuhan cepat dan ibu mengalami anemia selama kehamilan. 2. Satu sampai 2 tahun. Asupan besi kurang karena tidak mendapat makanan tambahan, kebutuhan meningkat karena infeksi berulang atau malabsorbsi. 3. Dua sampai 5 tahun. Asupan besi kurang karena jenis makanan kurang mengandung besi heme, kebutuhan meningkat karena infeksi berulang, atau kehilangan berlebihan karena perdarahan. 4. Usia 5 tahun
sampai
remaja.
Kehilangan berlebihan, misalnya
infeksi parasit. 5. Remaja sampai dewasa. Pada wanita antara lain karena menstruasi. B. Sosial ekonomi rendah C. Kegemukan. Anak dengan kegemukan cenderung terjadi penurunan aktifitas
sehingga
mengakibatkan
pemecahan
penurunan
mioglobin
pelepasan
besi,
berkurang juga
yang
akan
cenderung
terjadi
pembatasan diet yang kaya akan kandungan besi, misalnya daging. Pada
anak perempuan yang gemuk akan terjadi pertumbuhan yang lebih cepat dan maturitas pada usia yang lebih dini, yang menyebabkan kebutuhan zat besi semakin meningkat. D. Vegetarian. Vegetarian akan menghindari konsumsi zat makanan dari sumber hewani misalnya daging, ikan, unggas yang kaya zat besi. Sebaliknya mereka mengkonsumsi zat makanan yang berasal dari tumbuhtumbuhan yang kaya selulosa yang merupakan penghambat penyerapan besi non heme.
2.5. Penilaian Status Gizi Pertumbuhan merupakan indikator kesehatan
dan status gizi anak yang
penting. Penilaian pertumbuhan merupakan komponen surveilans kesehatan anak yang penting karena hampir semua masalah dalam hal fisiologis, interpersonal dan sosial dapat mempengaruhi pertumbuhan. Metode yang paling bermakna dalam menilai pertumbuhan adalah grafik pertumbuhan, yang dapat memberikan banyak informasi yang dibutuhkan untuk menilai pertumbuhan anak. Perhatian utama adalah mengetahui keadaan malnutrisi dan gagal tumbuh, tetapi sekarang obesitas dikenal sebagai epidemi yang semakin meningkat.23 Penilaian status gizi anak merupakan bagian yang integral dalam penatalaksanaan pasien, karena status gizi akan mempengaruhi respon
pasien terhadap penyakit. Penilaian ini merupakan deteksi dini adanya defisiensi atau kelebihan zat gizi. Tidak satupun penilaian status gizi yang terbaik, karena itu gabungan
dari berbagai sistem penilaian masih
digunakan.8,23 Berbagai grafik
pertumbuhan sekarang tersedia untuk membantu
penilaian pertumbuhan. Dalam hal ini termasuk grafik pertumbuhan CDC (Centers for Disease Control and Prevention) yang telah direvisi pada tahun 2000. Masing–masing grafik pertumbuhan mempunyai keakuratan. Hasil dari penilaian ini membantu untuk identifikasi resiko pasien (malnutrisi, obesitas, pendek, bayi-kecil untuk masa kehamilan) dan sebagai monitoring respon klinis pasien terhadap terapi nutrisi. 8 Pada masa bayi, anak dan remaja, banyak tejadi perubahan dalam pertumbuhan dan komposisi tubuh. Oleh sebab itu, harus dimengerti pertumbuhan yang normal untuk mengetahui keadaan yang abnormal. Juga dibutuhkan pengetahuan untuk dapat mengenali perubahan status gizi yang terjadi pada penyakit akut atau kronis. Dengan bertambahnya insiden obesitas pada anak, diperlukan identifikasi yang tepat pasien obesitas dan overweight. Skrining penilaian status gizi yang sederhana dan praktis untuk menentukan pasien yang memerlukan pemeriksaan lebih lanjut. Skrining status gizi terdiri dari penilaian medis
dan riwayat makanan (termasuk
kesulitan makan), pengukuran antropometrik (BB dan TB) dan hasil
laboratorium. Penilaian status gizi yang lengkap meliputi riwayat makanan dan medis yang lebih detail (termasuk penghitungan asupan nutrisi), pemeriksaan
fisik
yang
lengkap,
penilaian
komposisi
tubuh
dan
antropometrik, maturasi tulang dan seksual, hasil laboratorium, perkiraan kebutuhan zat gizi. Penilaian klinis anak yang menyeluruh berdasarkan data objektif dan pertimbangan klinis juga penting sebagai pertimbangan dalam menilai pertumbuhan dan menentukan status gizi.8,23 Riwayat medis sangat penting dalam penilaian status gizi. Riwayat penyakit sekarang dan penyakit terdahulu, termasuk lamanya sakit, keluhan, pemeriksaan untuk diagnostik dan terapi yang sudah diberikan perlu diketahui. Pada pemeriksaan fisik dilakukan pengukuran antropometrik seperti BB, TB, lingkaran kepala dan lingkaran lengan atas. Pemeriksaan fisik secara umum termasuk penilaian kondisi pasien secara menyeluruh. Riwayat makanan adalah komponen yang esensial dalam penilaian status gizi, karena memberikan informasi jumlah
dan kwalitas makanan yang
dikonsumsi, pola makan dan kebiasaan.8 Beberapa tahun terakhir, dipertimbangkan suatu metode penilaian status nutrisi anak, merupakan pendekatan klinis yang valid, yang dikenal dengan Subjective Global Nutritional Assessment (SGNA). Metode ini berdasarkan hubungan pengukuran objektif antropometri, asupan nutrisi, biokimia dan imunologis, yang dapat mengidentifikasi resiko nutritional yang
berhubungan dengan komplikasi penyakit dan perawatan yang lama di rumah sakit. Penelitian oleh Secker dan Jeejeebhoy (2006), mendapatkan adanya korelasi yang baik antara SGNA dengan penilaian status nutrisi berdasarkan pengukuran objektif antropometri yang digunakan sekarang. Pada anak dengan penyakit sistemik dan kronis, SGNA dapat digunakan secara luas dengan berbagai macam keadaan.24 Grafik
pertumbuhan
digunakan
secara
luas
untuk
memonitor
pertumbuhan anak. Tinggi dan berat badan merupakan pengukuran antropometri yang banyak digunakan. Indek berat badan/umur (BB/U) paling banyak digunakan. Onis dkk (2004) melaporkan dari 178 negara, 154 negara menggunakan grafik pertumbuhan, semua menggunakan grafik BB/U dan hanya setengahnya menggunakan TB/U.25 Pengukuran antropometri telah lama dikenal sebagai indikator sederhana untuk penilaian status gizi di Indonesia. Informasi yang dihasilkan dari pengukuran antropometri telah banyak dimanfaatkan
dalam memantau pertumbuhan anak. Status gizi
dihitung berdasarkan
baku rujukan antropometri menurut NCHS-WHO,
dengan menggunakan Z–score (standar deviasi) sebagai batas ambang yang dihitung berdasarkan rumus:26 Z-score atau SD-score = ( observed value) – ( median reference value ) standard deviation of reference population
Klasifikasi status gizi berdasarkan indeks BB/TB dibagi menjadi enam dengan batas ambang sebagai berikut :26 1. Status gizi buruk dengan ”batas atas ” lebih kecil – 3 SD 2. Status gizi kurang dengan ” batas bawah ” lebih besar atau sama dengan -3 SD dan ”batas atas ” lebih kecil – 2 SD 3. Status gizi sedang dengan ” batas bawah ” lebih besar atau sama dengan -2 SD dan ”batas atas ” lebih kecil – 1 SD 4. Status gizi baik dengan ” batas bawah ” lebih besar atau sama dengan
-1 SD dan ”batas atas ” lebih kecil + 1 SD
5. Status gizi lebih dengan ” batas bawah ” lebih besar atau sama dengan +1 SD dan batas atas lebih kecil + 2 SD 6. Kegemukan, dengan batas bawah lebih besar atau sama dengan + 2 SD
2.6. Kerangka Konseptual
GENETIK, USIA, JENIS KELAMIN, LINGKUNGAN EMOSI & KASIH SAYANG
INFEKSI / PENY.KRONIS SOSIAL EKONOMI POLA MAKAN, NUTRISI
ADB Status Gizi: - Berat Badan (BB) - Tinggi Badan (TB)
Besi 3 bulan
Status Gizi: -Berat Badan(BB) -Tinggi Badan(TB)
RUANG LINGKUP PENELITIAN
Gambar 2.1. Kerangka konseptual
17
BAB 3. METODOLOGI
3.1. Desain Penelitian ini adalah uji klinis acak terkontrol untuk mengetahui respon pemberian terapi besi terhadap peningkatan berat badan dan status gizi pada anak penderita ADB.
3.2. Tempat dan waktu Tempat penelitian adalah di Kecamatan Bilah Hulu Kabupaten Labuhan Batu. Penelitian dilakukan dalam kurun waktu tiga bulan yaitu dari bulan November 2006 sampai Februari 2007 .
3.3. Populasi dan sampel Populasi penelitian adalah anak SD yang berusia 8 sampai 12 tahun. Sampel penelitian ádalah anak yang menderita ADB.
3.4. Perkiraan besar sampel Perkiraan besar sampel untuk menguji perbedaan rerata dua populasi independen, menggunakan rumus:27 n1 = n2 = 2
z α + zβ)s
2
(x1 - x2) s = simpang baku kedua kelompok = 1,05 (referensi 9)
x1 - x2 = perbedaan klinis yang diinginkan = 0,6 Bila ditetapkan α = 0,05 dengan tingkat kepercayaan 95%, maka: zα = deviat baku normal untuk α = 1,960 Bila β = 0,20 dan power = 0,80 maka: zβ = deviat baku normal untuk β = 0,842 Sehingga diperoleh besar sampel 48 orang pada setiap kelompok
3.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi 3.5.1. Kriteria inklusi 1. Anak penderita ADB. 2. Mendapat persetujuan tertulis dari orangtua 3.5.2. Kriteria eksklusi 1. Menderita anemia berat 2. Menderita infeksi berat dan gizi buruk
3.6. Persetujuan / Informed Consent Semua subjek penelitian akan diminta persetujuan dari orang tua setelah dilakukan penjelasan terlebih dahulu mengenai kondisi penyakit yang dialami, pengobatan yang diberikan, dan efek samping pengobatan. Formulir Persetujuan Setelah Penjelasan (PSP) dan draft penjelasan sebagaimana terlampir dalam tesis ini.
3.7. Etika Penelitian Penelitian ini disetujui oleh Komite Etik Penelitian Bidang Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, seperti yang terlampir pada tesis ini.
3.8. Cara Kerja dan Alur Penelitian -
Semua anak sekolah dasar usia 8 sampai 12 tahun di populasi terjangkau diambil darah kapiler dengan cara menusukkan jarum di jari tengah tangan kiri. Dilakukan pemeriksaan hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht), Mean Corpuscular Volume (MCV), Mean Corpuscular Hemoglobine (MCH), Mean Corpuscular Hemoglobin Concentrate (MCHC), jumlah eritrosit (RBC) and Red Blood Cell Distribution Width (RDW) dengan alat auto analyzer ( ABX Mikros-60, France ).
-
Anak dengan ADB diikutsertakan dalam penelitian.
-
Orang tua diminta untuk mengisi kuesioner bahasa Indonesia setelah diberi penjelasan tentang cara mengisi sebelumnya
-
Dilakukan randomisasi pemberian obat besi (Fe) dan plasebo dengan randomisasi sederhana cabut nomor. Tiap anak mengambil gulungan kertas yang ditempatkan dalam kotak. Peneliti membuka gulungan kertas, anak yang mendapatkan nomor ganjil dimasukkan ke dalam kelompok besi.
-
Preparat besi berupa sulfas ferosus 200 mg dalam kapsul, diberikan tiga kali sehari untuk kelompok yang mendapatkan besi, anak meminum obat di depan guru atau orangtuanya.
-
Plasebo terdiri dari sakarum laktis dan dikemas dalam kapsul dengan warna, bentuk dan ukuran yang sama dengan preparat besi
-
Data antropometri yang diambil sebelum dan sesudah intervensi: 1.Berat badan: diukur dengan alat timbangan merk Camry (sensitifitas 0,5 kg), anak hanya memakai pakaian minimal. 2.Tinggi badan: diukur dengan pengukur tinggi merk MIC (sensitifitas 0,5 cm), tanpa alas kaki. 3. Status gizi dihitung berdasarkan baku rujukan antropometri menurut NCHS-WHO, dengan menggunakan Z–score (standar deviasi/SD) sebagai batas ambang.
-
Anak di nilai berat badan dan tinggi badan setelah terapi besi 3 bulan.
3.9. Identifikasi Variabel Variabel Bebas
Skala
Jenis obat
Nominal
Variabel Tergantung
Skala
- Berat Badan
Numerik
- Tinggi Badan
Numerik
Variabel Perancu - Usia - Pola Makan - Asupan Nutrisi - Angka Kesakitan 3.10. Definisi Operasional -
Usia anak: usia anak dari tanggal lahir sampai ulang tahun berikutnya dihitung dalam tahun.
-
ADB: kadar Hb <12 g/dl, MCHC <31%, Indeks RDW >220 dan Indeks Mentzer (RBC/MCV) >13
-
Status gizi dihitung berdasarkan baku rujukan antropometri menurut NCHS-WHO, dengan menggunakan Z–score sebagai batas ambang menjadi 6 klasifikasi yaitu gizi buruk, gizi kurang, gizi sedang, gizi baik, gizi lebih dan kegemukan.
3.11. Pengolahan dan Analisis Data Data yang terkumpul akan diolah, dianalisis dan disajikan dengan menggunakan program komputer (SPSS Versi 13.0 dan Microsoft Excell tahun 2003). Interval kepercayaan yang digunakan adalah 95 % dan batas kemaknaan P <0,05. Untuk menilai perbedaan rerata kadar hemoglobin dan pengukuran antropometri (BB dan TB) yang berskala numerik pada kedua kelompok
(skala nominal) sebelum dan sesudah terapi dengan uji t - independent. Uji bermakna bila P <0,05.
BAB 4. HASIL
Selama periode penelitian dari 300 anak SD yang diperiksa, didapatkan 111 anak yang menderita ADB (37,2%). Dari 111 anak ini yang dijadikan sampel penelitian, 55 anak mendapat terapi besi dan 56 anak mendapat plasebo. Setelah intervensi hanya 108 anak yang menyelesaikan penelitian sampai tiga bulan (Gambar 4.1). Anak diperiksa darah ( n = 300 ) ADB ( n = 111 ) Random sederhana Besi ( n=55 )
Plasebo ( n=56 )
Antropometri I: BB - TB
2 drop out ( tidak makan obat secara teratur )
1 drop out ( tidak makan obat secara teratur )
- Analisa lengkap setelah 3 bulan ( n =5 3 ) - Eksklusi ( n=2 )
- Analisa lengkap setelah 3 bulan ( n=55 ) - Eksklusi ( n=1 ) Antropometri II: BB - TB
Gambar 4.1. CONSORT Algoritme
Dari pemeriksaan darah dan pengukuran antropometri sebelum intervensi, didapatkan kedua kelompok perlakuan tidak berbeda pada distribusi data karakteristik sampel (Tabel 4.1).
Tabel 4.1. Karakteristik sampel Karakteristik
Besi
Plasebo
N Umur (thn ); rerata ( SD ) Jenis kelamin (n; %) - Laki - laki - Perempuan Kadar Hemoglobin (gr/dl); rerata (SD)
55 9,73 (1,2 )
56 9,84 (1,3)
29 ; 52,7 26 ; 47,3 10,09 (1,27)
28 ; 50 28 ; 50 10,11 (1,40)
MCHC (%)); rerata (SD) Index Mentzer ; rerata (SD)
29,90 (0,67) 17,49 (3,00)
29,92 (0,56) 16,79 (3,51)
Index RDW ; rerata (SD) Pendidikan ibu (n; %) - Tidak sekolah - Tidak tamat SD - Tamat SD - SLTP - SLTA - Perguruan Tinggi
265,84 (52,42)
251,49 (35,36)
2 ; 3,6 8 ; 14,5 21; 38,2 15; 27,3 8 ; 14,5 1 ; 1,8
1 ; 1,8 10; 18,2 24; 43,6 16; 29,1 4 ; 7,3 0
6 ; 10,9 10; 18,2 10; 18,2 11; 20 6 ; 10,9 5 ; 9,1 7 ; 12,7
7 ; 12,5 5 ; 8,9 11; 19,6 18; 32,1 3 ; 5,4 3 ; 5,4 9 ; 16,1
Penghasilan keluarga (n; %) ≤ Rp 300.000,Rp 300.000,- -- Rp 400.000,Rp 400.000,- -- Rp 500.000,Rp 500.000,- -- Rp 600.000,Rp 600.000,- -- Rp 700.000,Rp 700.000,- -- Rp 800.000,> Rp 800.000,-
Karakteristik status gizi sampel penelitian sebelum intervensi (Gambar 4.2)
Jumlah
40 30 Besi Plasebo
20 10 0 Obesitas
1
Gizi Lebih
2
Gizi Baik
3
Gizi Sedang
4
Gizi Kurang
5
Gizi Buruk
6
Status Gizi
Gambar 4.2. Status gizi sebelum intervensi
Status gizi pada kedua kelompok tidak dijumpai perbedaan yang bermakna (Tabel 4.2). Tabel 4.2. Perbedaan status gizi sebelum dan sesudah intervensi Parameter N
Status Gizi (n ; % ) - Obesitas - Gizi lebih - Gizi baik - Gizi sedang - Gizi kurang
Besi 55
Sebelum Plasebo 56
P
Besi 53
Sesudah Plasebo 55
0,42 2 ; 3,6 8 ; 14,5 31 ; 56,3 12 ; 21,8 2 ; 3,6
1 ; 1,7 5 ; 8,9 36 ; 64,2 10 ; 17,8 4 ; 7,2
P 0,74
1 ; 1,9 7 ; 13,2 35 ; 66,1 7 ; 13,2 3 ; 5,6
1 ; 1,8 5 ; 9,1 38 ; 69,1 10 ; 18,2 1 ; 1,8
Terdapat peningkatan yang bermakna kadar hemoglobin pada kedua kelompok setelah tiga bulan terapi (Tabel 4.3). Tabel 4.3. Perbedaan kadar hemoglobin sebelum dan sesudah intervensi Group
Hb1
Hb2
P
g/dl Besi
10,09 (1.27)
12,94 (0,72)
Plasebo
10,11 (1,40)
11,67 (0,75)
Nilai dalam rerata (SD), P < 0,05 Catatan : Hb1: sebelum intervensi
0,001* 0,001*
Hb2: sesudah intervensi
Sedangkan rerata BB dan TB, tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok setelah tiga bulan (Tabel 4.4).
Tabel 4.4. Perbedaan berat badan, tinggi badan sebelum dan sesudah intervensi BB1
BB2
P
TB1
kg Besi
26,98 (6,51)
25,78 (5,93)
Plasebo
25,78 (5,93)
26,01 (5,96)
TB2
P
cm 0,24
129,21(7,62)
129,49(7,51)
127,79(8,82)
127,99(8,81)
Nilai dalam rerata (SD), *P < 0,05 Catatan: BB1: berat badan sebelum intervensi BB2 : berat badan sesudah intervensi TB1: tinggi badan sebelum intervensi TB2 : tinggi badan sesudah intervensi
0,34
BAB.5. PEMBAHASAN
Walaupun secara umum dinyatakan bahwa ADB sejak tahun 1960 telah mengalami penurunan, namun ADB sampai sekarang masih merupakan masalah kesehatan yang penting di dunia terutama di negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia. Hal ini karena akibat jangka panjangnya yang sangat merugikan terutama bila terjadi pada bayi dan anak, karena dapat mengganggu pertumbuhan, perkembangan mental, motorik serta perilakunya.28 Tingginya prevalensi ADB
di negara yang sedang berkembang
berhubungan dengan kemampuan ekonomi yang terbatas (standar hidup yang rendah dengan tingginya kejadian malnutrisi, sanitasi lingkungan yang jelek, morbiditas yang tinggi), asupan protein hewani yang rendah dan investasi parasit yang merupakan masalah endemik.3,12 Anak dengan ADB mempunyai berat badan yang kurang dan lebih pendek dari pada anak yang diklasifikasikan normal.9 Sering dijumpai adanya koeksistensi antara
malnutrisi atau gizi
kurang dan ADB. Kedua hal ini merupakan masalah gizi yang terpenting di Indonesia. Beberapa penelitian yang dilakukan di Indonesia menunjukkan tingginya prevalensi ADB dan malnutrisi.7,9 Prevalensi gizi kurang menurut BB/TB (kurus/wasting < -2SD) tahun 1990 sampai 2001 berkisar antara
10% sampai 16%.
Menurut WHO, jika prevalensi
wasting >10%,
menunjukkan negara tersebut mempunyai masalah gizi yang sangat serius dan berhubungan erat dengan angka kematian balita. Kronisnya masalah gizi kurang pada balita di Indonesia ditunjukkan pula dengan tingginya prevalensi anak balita yang pendek (stunting < -2 SD) yaitu sekitar 30% sampai 40 % dari tahun 1992 sampai 2002.29,30 Prevalensi ADB disertai malnutrisi energi – protein ringan pada anak usia 5 sampai14 tahun yang berasal dari kelompok sosial ekonomi rendah berkisar 47% sampai 64%. Sedangkan prevalensi ADB pada kelompok sosial ekonomi menengah (38% sampai 67%) dan sosial ekonomi tinggi (20%).5 Pada penelitian ini, dari 300 anak yang diperiksa darahnya, didapatkan 111 (37,2%) menderita ADB. Dari 111 anak sebagai sampel penelitian, dijumpai 67
(60,3%) mempunyai status gizi yang baik,
28
(25,2%) gizi kurang, 3 (2,7%) obesitas dan 13 (11,7%) dengan overweight. Hasil dari penelitian ini berbeda dengan penelitian / literatur sebelumnya, karena pada pada anak penderita ADB yang menjadi sampel penelitian kami, rata-rata dengan
status gizi yang baik. Hal ini dapat
diterangkan dengan beberapa keadaan yang mungkin menyebabkan hal ini. Di Indonesia ada 2 faktor yang menyebabkan ADB. Pertama, makanan banyak dikonsumsi dengan kandungan, bioavailabilitas dan penyerapan besi yang rendah (beras, sereal, kacang-kacangan, sayuran). Sedangkan
makanan dengan kandungan, bioavailabilitas dan penyerapan
besi yang
tinggi (daging, hati, ikan) sedikit dikonsumsi. Kedua, prevalensi infestasi parasit (kecacingan) yang masih tinggi.4,31 Sehingga, ADB
dapat terjadi
pada anak yang obesitas, gizi baik dan malnutrisi.2 Pemeriksaan kadar Hb dan hematokrit bukan merupakan tes diagnostik pilihan karena kadar Hb atau Ht tidak sensitif terhadap ADB. Namun kedua pemeriksaan ini relatif murah, mudah didapat dan merupakan pemeriksaan yang paling sering digunakan untuk skrining defisiensi besi. Tahap awal terjadinya ADB tidak dapat terdeteksi dengan pemeriksaan kadar Hb dan Ht. Pemeriksaan ini diperlukan untuk menentukan keparahan anemia.13 Pemeriksaan kadar Hb dan Ht juga tidak spesifik karena banyak penyebab anemia selain defisiensi besi.21 Pemeriksaan darah tepi yang mengarah terhadap kecurigaan ADB adalah mikrositik hipokromik, sedangkan pemeriksaaan kadar feritin serum merupakan tes diagnostik yang paling baik untuk ADB dengan sensitivitas dan spesifisitas paling baik. Kadar feritin serum pada anak ADB < 12 ug/L, namun pemeriksaan ini kurang lazim dipakai sebagai pemeriksaan skrining karena relatif mahal.13,21 Mean Corpuscular Volume (MCV) berguna untuk menentukan apakah mikrositik, normositik atau makrositik. Pada penelitian terhadap bayi berusia 12 bulan didapati RDW yang tinggi (>14%) dengan sensitifitas 100% dan
spesifisitas 82%. Disebabkan spesifisitasnya yang relatif rendah, maka pemeriksaan RDW saja tidak dapat digunakan sebagai pemeriksaan skrining, tetapi sering digunakan bersama dengan MCV untuk membedakan diantara variasi anemia.13 Nilai RDW yang meningkat dengan MCV yang menurun mengarah kepada diagnosis defisiensi besi.14 Salah satu cara untuk membedakan ADB dengan talasemia minor adalah dengan pemeriksaan Mentzer index, dimana bila Mentzer index >13 merupakan ADB dan bila <13 menunjukkan talasemia minor dengan spesifisitas sebesar 82%. Bila RDW index >220 merupakan ADB, namun bila <220 menunjukkan talasemia dengan spesifisitas 92%.19 Pada penelitian ini digunakan pemeriksaan yang sederhana untuk menegakkan diagnosis ADB yaitu Hb, MCV, RDW, Mentzer index dan RDW index. Pada pemeriksaan awal, didapatkan rerata kadar Hb 10,1 g/dl; MCHC 29,91%; RDW index 258,60; Mentzer index 17,13. Adanya respon terhadap terapi besi juga dapat membantu untuk diagnosis ADB, dimana jika terdapat peningkatan Hb 1 sampai 2 g/dl dalam 3 sampai 4 minggu terapi besi dengan dosis 3
sampai 6 mg besi
elemental/kg/hari dapat diterima sebagai bukti adanya defisiensi besi sebelum terapi dan pemberian preparat besi dilanjutkan 2 sampai 3 bulan lagi sejak Hb normal.13,32,33
Pemberian preparat besi dapat secara oral atau parenteral.34 Pemberian secara oral menggunakan tablet besi merupakan cara yang mudah, murah dan memuaskan hasilnya.2,35 Pada penelitian ini, kami memberikan fero sulfat yang dikemas dalam kapsul pada semua sampel agar mudah dalam pemberian serta lebih menarik bagi anak dan orangtua. Terdapat perubahan yang bermakna pada kadar hemoglobin setelah diberikan terapi besi selama tiga bulan pada kedua kelompok. Sayangnya pada penelitian ini tidak diperiksa profil besi (Fe serum, TIBC, feritin serum, saturasi transferin dan Free erythrocyte porphyrin/FEP) karena biaya yang mahal. Untuk pengobatan ADB, pemberian besi untuk meningkatkan kadar Hb menjadi normal dan mengisi cadangan besi. Sangat penting untuk mengobati penyebab terjadinya ADB seperti meningkatkan asupan nutrisi yang mengandung energi, protein dan besi yang cukup ataupun mengatasi investasi parasit (kecacingan).4 Suatu laporan dari penelitian di Jawa Tengah yang mendapatkan rata–rata asupan energi, protein dan besi yang dikonsumsi anak di daerah pedesaan hanya setengah sampai dua pertiga dari angka kecukupan gizi (AKG).9 Dari karakteristik sampel pada awal penelitian, kami mendapatkan sekitar 70% sampel dengan
penghasilan keluarga/bulan di bawah
Rp. 600.000,-. Pendidikan ibu yang terbanyak (60%) adalah sekolah dasar.
Mengobati defisiensi besi tanpa mengobati penyebabnya tidak akan memberikan hasil yang memuaskan. Penyebab defisiensi besi biasanya dapat dideteksi pada 80% sampai 82% kasus. Faktor nutrisi merupakan penyebab
utama,
berdasarkan
umur
disamping perlu
beberapa
diketahui
faktor
untuk
lain.
dapat
Penyebab
ADB
mendeteksi
dan
mengatasinya berdasarkan skala prioritas untuk menghemat waktu dan biaya.4 Pencegahan defisiensi besi merupakan hal yang kompleks dan masalah yang urgen di banyak negara berkembang. Untuk pencegahan ADB, ada beberapa cara yang dapat dilakukan, antara lain pendidikan gizi, pemberian suplemen / fortifikasi besi dan pendidikan kebersihan lingkungan. Pendidikan gizi pada keluarga dan masyarakat sangat penting, karena faktor nutrisi merupakan penyebab utama ADB. Meningkatkan konsumsi besi dari sumber alami terutama sumber hewani yang mudah diserap serta peningkatan penggunaan makanan yang mengandung vitamin C dan A.3,36 Pada bayi yang terpenting adalah pemberian ASI eksklusif sampai enam bulan. Juga diperlukan, pemberian suplementasi besi
pada bayi
cukup bulan pada umur 4 sampai 6 bulan dengan dosis 1 mg besi elemental/kgbb, diberikan dalam bentuk tetes dalam vitamin. Bayi prematur dan bayi dengan BBLR rendah memerlukan dosis lebih tinggi yaitu 2 mg/kg BB yang di mulai usia 2 sampai 4 bulan.4,37 Tujuan utama suplementasi besi
dini adalah untuk menjaga kebutuhan oksigen dan jaringan anak yang mengalami pertumbuhan yang cepat. Kecukupan besi sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan anak.38 Tidak kalah penting adalah memberikan
pendidikan
kebersihan
lingkungan
untuk
mengurangi
kemungkinan infeksi bakteri/parasit dan defisiensi besi yang merupakan lingkaran setan yang harus diputus.4,5 Sebelum pemberian besi kami memberikan penyuluhan / pendidikan gizi keluarga (orang tua, anak dan guru) antara lain mengenai makanan yang banyak mengandung besi, hal-hal yang membantu dan mengurangi penyerapan besi. Penyuluhan juga diberikan tentang kebersihan lingkungan, yang merupakan hal yang penting dalam pencegahan dan pengobatan ADB. Pengaruh pemberian suplementasi besi terhadap BB dan TB anak atau status gizi mendapatkan hasil yang tidak sama. Suatu penelitian acak tersamar ganda memberikan sulfas ferosus
pada anak SD selama 12
minggu, mendapatkan peningkatan yang bermakna terhadap pertumbuhan setelah intervensi.9 Penelitian lain yang di lakukan di Thailand, mendapatkan hasil bahwa suplementasi besi pada anak SD selama 16 minggu memberikan efek terhadap pertumbuhan (penambahan TB).39 Dijkhuizen dkk (2001) melakukan penelitian dengan memberikan suplementasi besi dan zinkum pada bayi di Indonesia. Penelitian ini
mendapatkan hasil prevalensi defisiensi besi masih tinggi. Suplementasi besi dan zinkum mempunyai peranan yang penting dalam meningkatkan pertumbuhan dan kesehatan bayi. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa suplementasi besi dan zinkum dapat digunakan secara aman dan efektif.40 Smuths dkk tahun 2005 melakukan penelitian di Afrika Selatan terhadap bayi usia 6 sampai12 bulan dengan memberikan suplementasi besi setiap hari. Dari hasil pengukuran BB dan TB yang dilakukan setiap bulan, didapatkan hasil bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna pertumbuhan bayi setelah tiga bulan suplementasi.41 Hal ini sama
pada dengan
hasil yang didapatkan pada penelitian oleh Dewey dkk di Swedia dan Honduras tahun 2002, dengan memberikan suplementasi besi 1 mg/kg BB /hari pada bayi usia 4 sampai 9 bulan yang mendapat ASI ekslusif selama enam bulan. Penelitian ini mendapatkan hasil bahwa tidak ada efek pemberian suplementasi terhadap penambahan BB dan PB.42 Pada penelitian ini efek pemberian besi terhadap peningkatan Hb, BB, TB dan perubahan status gizi dinilai dengan melakukan pemeriksaan darah dan pengukuran antropometri sebelum dan setelah intervensi selama tiga bulan. Data kami menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna rata-rata BB dan TB pada kedua kelompok sebelum dan sesudah terapi. Kelemahan dari penelitian ini, kami tidak mengevaluasi pola makan secara mendetail dan lengkap. Kemudian, angka kesakitan anak yang
menjadi
sampel
penelitian
tidak
diketahui,
serta
pemeriksaan
dan
pengobatan terhadap investasi parasit tidak dilakukan secara lengkap, waktu intervensi yang pendek (3 bulan) disebabkan keterbatasan dana dan waktu penelitian.
Kepatuhan
minum
obat
pada
sampel
penelitan
hanya
dipercayakan pada guru dan orangtua, tanpa didampingi petugas pemantau minum obat untuk memastikan apakah obat diminum dengan teratur dan mencatat efek samping obat.
BAB. 6. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini
bahwa
pemberian besi
selama 3 bulan tidak memberikan perbedaan yang bermakna terhadap perubahan status gizi anak dengan ADB.
6.2. Saran Dibutuhkan penelitian lebih lanjut dengan pemberian besi yang lebih lama serta menggunakan parameter status besi yang lebih baik seperti pemeriksaan feritin serum dan saturasi transferin serum.
RINGKASAN
Defisiensi besi merupakan penyebab paling banyak anemia gizi di seluruh dunia, terutama di negara berkembang. Anemia defisiensi besi paling sering dijumpai
pada bayi, anak dan remaja karena pertumbuhan yang cepat
membutuhkan banyak besi dan diet yang rendah mengandung besi. Sering dijumpai adanya koeksistensi antara malnutrisi dan ADB. Kedua hal ini merupakan masalah gizi yang terpenting di Indonesia. Pertumbuhan merupakan indikator kesehatan dan status gizi anak yang
penting. Penilaian status pertumbuhan dan status gizi merupakan
bagian yang esensial dalam evaluasi klinis dan penanganan pasien anak, karena status gizi akan mempengaruhi respon pasien terhadap penyakit. Beberapa
penelitian
sebelumnya
mengenai
pengaruh
pemberian
suplementasi besi terhadap BB, TB dan status gizi mendapatkan hasil yang tidak sama. Pada penelitian ini kami ingin membuktikan efek dari besi terhadap penambahan BB dan perbaikan status gizi pada anak SD yang menderita ADB. Penelitian ini bersifat uji klinis acak terkontrol pada anak SD usia 8 sampai 12 tahun di kecamatan Bilah Hulu Kabupaten Labuhan Batu, pada bulan November 2006 sampai Februari 2007. Diagnosis ADB bila Hb < 12
g/dL, Mentzer index > 13, dan RDW index > 220. Penyakit darah yang lain, gizi buruk dan anemia berat dieksklusikan. Anak dengan ADB dibagi secara acak menjadi kelompok mendapat besi
dan mendapat plasebo. Pengukuran antropometri BB dan TB
dilakukan sebelum dan setelah tiga bulan pemberian besi. Status gizi dihitung berdasarkan
baku rujukan antropometri menurut NCHS-WHO,
dengan menggunakan Z–score (standar deviasi/SD) sebagai batas ambang. Analisis data dilakukan untuk mengetahui perubahan nilai Hb dan pengukuran
antropometri
kedua
kelompok
sesudah
intervensi
menggunakan “ t-independent test” Uji bermakna bila P < 0,05. Sebanyak 108 anak dapat menyelesaikan penelitian. Status gizi anak yang diteliti rata-rata
baik (60,3%).Terdapat perubahan kadar Hb yang
bermakna pada kedua kelompok setelah terapi besi (P < 0,05). Sedangkan rerata peningkatan BB dan TB, tidak terdapat perbedaan yang bermakna setelah intervensi pada ke 2 kelompok (P < 0,34). Dapat disimpulkan bahwa pemberian terapi besi tidak memberikan perbedaan yang bermakna dalam peningkatan BB dan TB pada kedua kelompok.
SUMMARY
Iron deficiency
continous to be
the most common nutritional cause of
anemia worldwide, especially in many developing countries. The iron deficiency anemia (IDA) was most frequently found in infants, children and adolescents, because of high requirements due to growth spurt and dietary deficiencies. Often found a coexistence between protein energy malnutrition and iron deficiency
and both of this causes are
the leading nutritional
problems in Indonesia. Growth is an essential indicator of health and nutritional status. The assessment of nutritional and growth status is an essential part of clinical evaluation and care in the pediatric setting, because nutritional status affects a patient’s response to illness. In many study, effect of iron supplementation to
body weight (wt) and body height (ht) of children or nutritional status
found different results. In the present study, we wish to find the effect of iron on the increase in weight and improved nutritional status of the school children with IDA. This study is a randomized control clinical trial and carried out for three months since November 2006 until February 2007 at
5 primary
schools of Bilah Hulu, a subdistrict of Labuhan Batu in North Sumatera. The determination of IDA is made when there is the Hb is < 12 g/dl, MCHC
< 31%, RDW > 220 and the Mentzer index > 13. The exclusion criterion includes other blood diseases, severe malnutrition and severe anemia. The children were with iron therapy
divided into two treatment groups. One group
and another group with placebo. Anthropometrical
measurement of weight and height were carried out pre and post therapy of iron. The nutritional status are calculated on the base of anthropometric reference according to NCHS-WHO using Z-score (standard deviation/SD) as a threshold. The analysis data was done to know the changes in laboratory and anthropometric findings of both groups
post intervention
using “ t-independent test “. The test is significant when P < 0,05. Among 111 children with IDA, only 108 children completed
the
three months study. Nutritional status in the initial intervention is averagely good (60,3%). After three months of therapy, there was a significant increase in haemoglobine concentration
of both groups (P < 0.05),
whereas there were no significant difference observed in weight and height in both groups after intervention (P < 0,34) As a conclusion, the iron therapy has no significantly different on mean of weight and height gain.
DAFTAR PUSTAKA 1. Harmatz P, Butensky E, Lubin B. Nutritional anemia. Dalam : Walker WA, Watkins JB, Duggan C, penyunting. Nutrition in pediatrics. Basic science and clinical applications. edisi ke-3. London: BC Decker Inc, 2003. h.830-44 2. Schwartz E. Iron deficiency anemia. Dalam : Behrman RE, Kligman RM, Arvin AM, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. edisi ke-17. Philadelphia: Saunders, 2004. h.1614-16 3. Raspati H, Reniarti L, Susanah S. Anemia defisiensi besi. Dalam: Permono B, Sutaryo, Ugrasena IDG, Windiastuti E, Abdulsalam M, penyunting. Buku ajar hematologi onkologi anak. Jakarta: BP IDAI, 2005. h.30-43 4. Abdulsalam M. Diagnosis, pengobatan dan pencegahan anemia defisiensi besi pada bayi dan anak. Dalam: Triasih R, penyunting. Anemia defisiensi besi. Yogyakarta: MEDIKA FK-UGM, 2005. h. 55-64 5. Soemantri A. Epidemiology of iron deficiency anaemia. Dalam: Triasih R, penyunting. Anemia defisiensi besi.Yogyakarta:Medika–FK UGM, 2005. h.11 6. Nead KG, Halterman JS, Kaczorowski JM, Auinger P, Weitzman M. Overweight children and adolescents : A risk group for iron deficiency. Pediatrics. 2004; 114:104–8 7. Hadi H. Beban ganda masalah gizi dan implikasinya terhadap kebijakan pembangunan kesehatan nasional. Disampaikan pada “Pidato pengukuhan jabatan guru besar pada Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 5 Februari 2005 8. Olsen IE, Mascarenhas MR, Stallings VA. Clinical assesment of nutritional status. Dalam: Walker WA, Watkins JB, Duggan C, penyunting. Nutrition in pediatrics. Basic science and clinical applications.edisi ke-3. London: BC Decker Inc, 2003. h.6-11 9. Chwang L C, Soemantri AG, Pollitt E. Iron supplementation and physical growth of rural Indonesian children. Am J Clin Nutr. 1998; 47:496-501 10. Almatsier S. Prinsip dasar ilmu gizi. Edisi pertama. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003. h.249-57 11. Lanzowsky P. Iron deficiency anemia. Dalam: Lanzowsky P, penyunting. Manual of pediatrics hematology and oncology. edisi ke-2. Churchill Livingstone,1995. h.35-50 12. Lukens JN. Iron metabolism and iron deficiency. Dalam: Miller DR, Baehner RI, Miller LP, penyunting. Blood diseases of infancy and childhood. edisi ke-7. St. Louis: Mosby, 1995. h.193-219
13. Wu AC, Lesperance L, Bernstein H. Screening for iron deficiency. Pediatrics in Review. 2000; 23:171-7 14. Irwin JJ, Kirchner JT. Anemia in children. Am Fam Physician. 2001; 64: 1379-86. 15. Mc Cann JC, Ames BN. An overview of evidence for a causal relation between iron deficiency during development and deficits in cognitive or behavioral function. Am J Clin Nutr. 2007; 85: 931-45 16. Tjendraputra EN, Dong Fu, Phang JM, Richardson DR. Iron chelation regulates cyclin D1 expression via the proteasome: a link to iron deficiency-mediated growth suppression. Blood. 2007; 109: 4045-54 17. Bread J. Iron deficiency alters brain development and functioning. J.Nutr. 2003; 133:1468s-1472s 18. Connor JR, Menzies SL, Burdo JR, Boyer PJ. Iron and iron management proteins in neurobiology. Pediatr Neurol. 2001;25:2 19. WHO. Iron deficiency anemia: assessment, prevention and control. Diunduh dari: http://www.who.int/reproductivehealt/docs/anaemia.pdf. Diakses Agustus 2008 20. Sandoval C, Jayabose S, Eden AN. Trends in diagnosis and management of iron deficiency during infancy and early childhood. Hematol Oncol Clin N Am. 2004; 18: 1423-38. 21. Sherriff A, Emond A, Bell JC, Golding J. Should infants be screened for anaemia? A prospective study investigating the relation between haemoglobin at 8, 12, and 18 months and development at 18 months. Arch Dis Child. 2001; 84:480-85. 22. Lind T, Lonnerdal B, Persson L, Stenlund H, Tennefors C, Hernell O. Effects of weaning cereals with different phytate contents on hemoglobin, iron stores, and serum zinc: a randomized intervention in infants from 6 to 12 mo of age. Am J Clin Nutr. 2003; 78:68-75. 23. Needlman RD. Assessment of growth. Dalam : Behrman RE, Kligman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. edisi ke17. Philadelphia: Saunders, 2004. h.58-62 24. Secker DJ, Jeejeeboy KN. Subjective global nutritional assessment for children. Am J Clin Nutr. 2007; 85:1083-9 25. Batubara JR. Practices of growth assessment in children: Is anthropometric measurement important?. Pediatrica Indonesiana. 2005; 45:145-53. 26. World Health Organization. Measuring change in nutritional status. guidelines for assesing the nutritional impact of supplementary feeding programmes for vulnerable groups. Geneva, 1983. h.99-101.
27. Madiyono B, Moeslichan S, Satroasmoro S, Budiman I, Purwanto SH. Perkiraan besar sample. Dalam: Sastroasmoro S, Ismael S, penyunting. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. edisi ke-3. Jakarta: Sagung Seto; 2008. h.302-30 28. Yip R, Binkin NJ, Fleshood L, Trowbridge FL. Declining prevalence of anemia among low income children in the United States. JAMA. 1987; 258(12):1619-23. 29. Atmarita, Fallah TS. Analisis situasi gizi dan kesehatan masyarakat. Disampaikan pada widyakarya nasional pangan dan gizi VIII, Jakarta, 17-19 Mei, 2004. 30. Atmarita. Nutrition problems in Indonesia. Disampaikan pada seminar “An integrated international seminar and workshop on lifestyle – related disease”, UGM Yogyakarta,2005 31. Dallman PR, Yip R, Oski FA. Iron deficiency and related nutritional anemia. Dalam: Nathan DG, Oski FA, penyunting. Hematology of infancy and childhood. edisi ke-4. Philadelphia: Saunders; 1993. h.274-310. 32. Oski FA. Iron deficiency in infancy and childhood. N Engl J Med. 1999; 329(3):190-93. 33. Lane PA, Nuss R, Ambruso DR, Hematologic disorders, Dalam: Hay WH, Hayward AR, Levin MJ, Sondheimer JM. Penyunting. Current pediatric diagnosis and treatment. Edisi ke-16. New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill. 2000. h.836-45 34. Clark SF. Iron deficiency anemia. Nutr in Clin Pract .2008; 23:128-41 35. Allen LH. Iron supplements: Scientific issues concerning efficacy and implications for research and programs. J.Nutr . 2002; 132:813s-19s 36. Dallman PR. Nutritional anemia. Dalam: Rudolf AM, Hoffman JIE,Rudolf CD, penyunting. Rudolph’s Pediatrics. edisi ke-20. London: Prentice Hall International; 1996. h.1176-80. 37. Pusponegoro HD. Tumbuh kembang otak, pengaruh malnutrisi dan defisiensi besi.Jakarta: FK Universitas Indonesia, 2004. 38. American Academy of Pediatrics, commite on nutrition. Iron fortification of infant formulas. Pediatrics. 1999; 104:119-22. 39. Sungthong R, Mo-suwan L, Chongsuvivatwong V, Geater AF. Once weekly is superior to daily iron supplementation on height gain, but not on hematological improvement among school children in Thailand. J. Nutr. 2002; 132:418-422. 40. Dijkhuizen MA, Wieringa FT, West CE, Martuti S, Muhilal. Effects of iron and zinc supplementation in Indonesian infants on micronutrient status and growth. J. Nutr. 2001; 131:ss2860-65
41. Smuts CM, Dhansay MA, Van Stuijvenberg ME, Faber M, Swanevelder S, Gross R dkk. Efficacy of multiple micronutrient supplementation for improving anemia, micronutrient status, and growth in South African Infants.J Nutr. 2005; 135:653s-59s. 42. Dewey KG, Domello¨M, Cohen RJ, Rivera LL, Hernell O, Bo Lo¨ nnerdal. Iron supplementation affects growth and morbidity of breastfed infant: results of a randomized trial in Sweden and Honduras. J.Nutr. 2002; 132:3249–3255
Lampiran 1 Pernyataan Setelah Penjelasan Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama :………………………………………………………… Umur :………………………………………………………… Pekerjaan :………………………………………………………… Alamat :………………………………………………………… Adalah orangtua (ayah/ibu/wali) dari: Nama :………………………………………………………… Kelamin :………………………………………………………… Murid SD :………………………………………………………… Kelas :………………………………………………………… Alamat :………………………………………………………… Saya selaku orangtua (ayah/ibu/wali), setelah mempelajari dan mendapat penjelasan yang sejelas-jelasnya mengenai penelitian dengan judul: PENILAIAN STATUS GIZI SETELAH TERAPI BESI PADA ANAK SEKOLAH DASAR YANG MENDERITA ANEMIA DEFISIENSI BESI, dan setelah mengetahui dan menyadari sepenuhnya resiko yang mungkin terjadi, dengan ini saya menyatakan bahwa saya mengizinkan dengan suka rela ANAK SAYA menjadi subjek penelitian tersebut; dengan catatan sewaktuwaktu bisa mengundurkan diri apabila merasa tidak mampu untuk mengikuti penelitian ini. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya, dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan. Aek Nabara,
Oktober 2006
Yang menyatakan,
(
)
Peneliti,
( Dr. Leon Agustian )
Saksi: Nama
:………………….; Status: Guru kelas…….SD ……..................
Tanda tangan:
(………………………….)
Lampiran 2. Draf Penjelasan Kepada Yth Bapak/ Ibu… Bersama ini kami ingin menyampaikan kepada Bapak/ Ibu bahwa Divisi Gizi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUSU-RSHAM Medan, bermaksud mengadakan penelitian mengenai pengaruh pemberian suplementasi besi terhadap penambahan berat dan tinggi badan pada anak sekolah dasar. Hingga saat ini kekurangan zat besi merupakan penyebab paling banyak anemia gizi diseluiruh dunia terutama dinegara berkembang. Anak merupakan kelompok umur yang sering menderita kekurangan zat besi, yang merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia. Di Indonesia, sekitar 47,3 % anak usia sekolah menderita anemia defisiensi besi, yang sering dijumpai bersamaan dengan keadaan anak yang kurang gizi. Zat besi banyak dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan anak, meningkatkan daya tahan tubuh dan konsentrasi belajar. Kekurangan zat besi menberikan dampak yang negatif terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Dari berbagai penelitian didapatkan bahwa pemberian zat besi selama 3 sampai 6 bulan akan memberikan efek terhadap penambahan tinggi badan pada anak usia sekolah dasar. Tetapi pada beberapa penelitian yang lain, didapatkan hasil bahwa pemberian zat besi tidak memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan anak. Mengingat kedua dampak tersebut, penting bagi kita untuk mencoba melakukan pengamatan untuk mengetahui manfaat pemberian zat besi untuk meningkatkan pertumbuhan anak. Untuk memperoleh data yang disebutkan diatas, diperlukan pengamatan terhadap sejumlah besar subyek dalam waktu yang cukup panjang. Pada penelitian ini akan dilakukan pengukuran tinggi badan, penimbangan berat badan dan pemeriksaan darah untuk mengetahui anak yang menderita anemia defisiensi besi. Juga dilakukan pemeriksaan feses/kotoran buang air besar untuk mengetahui apakah anak menderita penyakit kecacingan yang akan mempengaruhi hasil pengamatan. Pada anak yang menderita anemia defisiensi besi, akan diberikan zat besi selama 3 bulan secara terus menerus. Setelah bulan ketiga dilakukan pengukuran tinggi badan dan berat badan dan dibandingkan dengan pengukuran sebelum diberikan zat besi. Bapak/ Ibu yang kami hormati, putra/putri anda yang mengalami anemia defisiensi besi, kami sangat mengharapkan dukungan dan bantuan dari Bapak/ Ibu
untuk memberikan ijin kepada kami untuk melakukan penelitian tersebut kepada putra/putri Bapak/ Ibu, karena akan memberikan sumbangsih yang berguna bagi kami bagian pendidikan khususnya, dan bermanfaat bagi si anak serta masyarakat pada umumnya. Bapak/ Ibu serta putra/putri anda bebas menolak ikut atau mengundurkan diri dalam penelitian ini. Semua data penelitian akan diperlakukan secara rahasia, sehingga tidak memungkinkan orang lain mengetahui data penderita. Semua biaya penelitian akan ditanggung oleh peneliti. Dengan ikut sertanya putra/putri Bapak/ Ibu dalam penelitian ini akan didapatkan manfaat sebagai berikut: - Bapak/ Ibu beserta putra/putri anda akan mengetahui apakah menderita anemia defisiensi besi dan penyakit kecacingan serta mendapatkan pengobatan - Bapak/ Ibu beserta putra/putri anda dan para dokter akan mendapatkan kesempatan untuk mengetahui apakah pemberian zat besi memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan ( penambahan tinggi dan berat badan ) anak. Bapak/ Ibu dapat menghubungi Peneliti setiap waktu bila ingin menanyakan masalah kesehatan putra / putri anda atau masalah lain seputar penelitian ini yang belum Anda pahami melalui: Dr. Leon Agustian Dep. Ilmu Kesehatan Anak FKUSU-RS H Adam Malik Jl. Bunga Lau No. 17 Medan, Telp. 8365663 Atau Jl. Marelan V No. 4 Link. 16 Marelan, Medan Telepon: 6841072, 77838802 Hand Phone : 081361626919. Atas partisipasi Bapak / Ibu, kami menghaturkan terima kasih dan kami mohon dengan hormat untuk mengisi formulir persetujuan mengikuti penelitian.
Lampiran 3.
Lampiran 4 Dep. Ilmu Kesehatan Anak FKUSU-RSHAM, Medan
No. urut
KUESIONER PENELITIAN Tanggal:
Pencatat:
1. Nama Anak : 2. Tanggal Lahir : 3. Jenis Kelamin : 1. Laki-laki 4. Urutan anak dalam keluarga : 5. Jumlah bersaudara : Alamat : Nama SD : 6. Orang tua Nama Umur (tahun) Agama Tinggi Badan
Ayah : : : :
7. Pendidikan orang tua
8. Pekerjaan orang tua Tidak bekerja Petani Buruh Pegawai negeri Pedagang Lain-lain
] bulan
Ibu
[
]
[
]
[
]
[
]
[ [ [ [ [ [
] ] ] ] ] ]
[ [ [ [ [ [
] ] ] ] ] ]
[ [ [ [ [ [
] ] ] ] ] ]
[ [ [ [ [ [
] ] ] ] ] ]
:
a. Buta huruf b. Tidak Tamat SD c. Tamat SD d. SLTP e. SLTA f. Perguruan Tinggi
a. b. c. d. e. f.
Umur : [ ] tahun, [ 2. Perempuan
:
9. Perkiraan rata-rata penghasilan perbulan dalam 1 tahun terakhir : a. ≤ Rp. 300.000 b. Rp. 301.000 – 400.000 c. Rp. 401.000 - 500.000 d. Rp. 501.000 - 600.000 e. Rp. 601.000 - 700.000 f. Rp. 701.000 - 800.000 g. > Rp. 801.000 h. 10. Jumlah pengeluaran untuk makan dan bukan makanan 1 bulan yll: Rp....................... 11. Pemeriksaan: Berat Badan: ............... Kg Tinggi Badan: ............cm BB/TB............. Berat badan lahir:.........Kg Lingkaran Lengan Atas .........cm Untuk obesitas & Overweight: Ling. Dada : ......... cm Ling. Pinggang............ cm Ling. Pinggul......... cm Keluhan : Kepala : - Mata : - Telinga: - Hidung: - Mulut : Leher : Toraks : Abdomen : Ekstermitas : 12. Pola Makan : - Waktu Bayi : ASI/PASI sampai umur..........bulan Buah : umur.........bulan Makanan saring : umur.........bulan Makanan lunak : umur.........bulan Nasi biasa: umur......... -
Mulai Sekolah: Makan nasi: ........... kali, makanan selingan:....... kali, Jenismakananselingan:............................................................. Minum Susu:.......... kali SarapanPagi:.............................................................................
Lampiran 5. RIWAYAT HIDUP
Nama lengkap
: Dr. Leon Agustian
Tanggal lahir
: 6 Agustus 1969
Tempat lahir
: Padang
NIP
:140 355 646
Alamat
:Jl. Marelan V No 4 Lk 16 Pasar II Barat Marelan Medan
Pendidikan 1. Sekolah Dasar di SD Angkasa II Lanud Tabing Padang , tamat tahun 1982 2. Sekolah Menegah Pertama di SMP Negeri 13 Padang, tamat tahun 1985 3. Sekolah Menegah Atas di SMA Negeri 7 Padang, tamat tahun 1988 4. Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang, tamat tahun 1994
Riwayat Pekerjaan 1. Dokter di Puskesmas Salak, Kecamatan Salak , Kabupaten Dairi, Propinsi Sumatera Utara, tahun 1995 - 2000. 2. Dokter di SMF Kardiologi RS. Pirngadi Medan, tahun 2001 sekarang Pendidikan Spesialis 1. Adaptasi di DIKA FK.USU
: 01-06-2004 s/d 30-06-2004
2. Pendidkan Tahap I / Junior
: 01-07-2004 s/d 30-06-2005
3. Pendidikan Tahap II / Madya
: 01-07-2005 s/d 30-06-2006
4. Pendidikan Tahap III / Senior : 01-07-2006 s/d 30-06-2007 5. Pendidikan Tahap IV
: 01-07-2007 s/d 30-06-2008
5.Tesis
: September 2008