BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1. Anemia 2.1.1. Pengertian anemia dan Anemia Defisiensi Besi Secara internasional, anemia didefinisikan sebagai keadaan menurunnya kualitas dan atau kuantitas sel-sel darah merah di bawah normal dalam peredaran darah (Gross dkk, 1997). Anemia merupakan kelainan hemoglobin yang paling sering dijumpai baik klinik maupun lapangan. Anemia adalah terjadinya defisiensi eritrosit atau hemoglobin atau keduanya hingga kemampuan darah mengangkut darah oksigen berkurang (Ovodoff, 2002). Menurut De Maeyer (1995) derajat anemia dikelompokkan menjadi tiga yaitu anemia berat, sedang dan ringan. Seorang remaja putri dikatakan mengalami anemia berat apabila kadar Hb<7 gr%, sedang 7-10 gr% dan anemia ringan kadar Hb >10 gr% - <12 gr%. Penentuan anemia juga dapat dilakukan dengan mengukur hematokrit (Ht). nilai hematokrit rata-rata setara dengan tiga kali kadar hemoglobin. Klasifikasi ditentukan menurut umur dan jenis kelamin (Stolzfus dkk, 1999), dapat dilhat pada tabel dibawah ini.
9
10
Tabel 2.1 Batas Normal Kadar Hemoglobin Kelompok Anak
Umur (tahun) 0,5 – 6 6 – 11
Dewasa Laki-laki Wanita Wanita hamil Sumber : Stolzfus dkk.
Hemoglobin (g/dl) 11 12
>14 > 14 -
13 12 11
Anemia dapat diklasifikasikan menurut morfologi sel darah merah dan etiologinya. Pada klasifikasi anemia menurut morfologi, mikro dan makro menunjukkan ukuran sel darah merah sedangkan kromik menunjukkan warnanya (Price, 2002). Berdasarkan sitometrik, anemia diklasifikasikan menjadi tiga kelompok utama (Uthman, 2000), yaitu : 1. Anemia normokromik, normositik a. Anemia penyakit-penyakit kronik b. Anemia hemolitik (akibat kerusakan sel-sel darah merah) c. Anemia perdarahan akut d. Anemia aplastik (hilangnya precursor sel-sel darah merah dalam sumsum tulang) 2. Anemia hipokromik, mikrositik a. Anemia defisiensi besi b. Thalasemia c. Anemia penyakit kronik (jarang)
11
3. Anemia normokromik, makrositik : a. Defisiensi vitamin B12 b. Defisiensi asam folat Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong (depleted iron store) yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang (Bakta, dkk, 2006). Defisiensi besi dapat terjadi bila jumlah besi yang diserap untuk memenuhi kebutuhan tubuh terlalu sedikit, yang dapat diakibatkan oleh kurangnya asupan zat besi, berkurangnya zat besi dalam makanan, meningkatnya kebutuhan akan zat besi. Bila hal tersebut berlangsung lama maka akan menimbulkan anemia defisiensi besi (Sudoyo, dkk, 2006). Anemia defisiensi besi merupakan tahap defisiensi besi yang paling parah, yang ditandai oleh penurunan cadangan besi, konsentrasi besi serum, dan saturasi transferin yang rendah, dan konsentrasi hemoglobin atau nilai hematokrit yang menurun (Abdulmuthalib, 2009). Menurut Bakta,dkk. (2006) anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh karena rendahnya asupan besi, gangguan absorbsi, serta kehilangan besi akibat perdarahan menahun: 1. Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun dapat berasal dari: a. Saluran cerna: akibat dari tukak peptik, pemakaian salisilat atau NSAID, kanker lambung, divertikulosis, hemoroid, dan infeksi cacing tambang.
12
b. Saluran genitalia (perempuan): menorrhagia. c. Saluran kemih: hematuria. d. Saluran nafas: hemoptisis. 2. Faktor nutrisi, yaitu akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan (asupan yang kurang) atau kualitas besi (bioavailabilitas) besi yang rendah. Kebutuhan individu terhadap zat besi tidak terpenuhi jika makanan yang dikonsumsi tidak cukup mengandung zat besi. Ini terjadi karena kurangnya kualitas dan kuantitas besi yang dikonsumsi. Meskipun konsumsi nasi dan atau kacang-kacangan dalam jumlah cukup banyak, namun remaja putri sering melewatkan dua kali makan dan lebih memilih kudapan. Padahal sebagian besar kudapan bukan hanya hampa kalori, tetapi sedikit sekali mengandung zat besi, selain dapat mengganggu atau menghilangkan nafsu makan. Bahkan remaja cenderung menentukan pola dan jenis makanannya sendiri berdasarkan informasi yang didapat dari teman atau media massa guna mempertahankan bentuk tubuhnya, padahal tidak mencukupi kebutuhan gizinya (Sediaoetomo, 2008) 3. Kebutuhan besi meningkat, seperti pada prematuritas, anak dalam masa pertumbuhan, dan kehamilan. 4. Gangguan absorbsi besi, seperti pada gastrektomi dan kolitis kronik, atau dikonsumsi bersama kandungan fosfat (sayuran), tanin (teh dan kopi), polyphenol (coklat, teh, dan kopi), dan kalsium (susu dan produk susu).
13
2.1.2. Akibat anemia Defisiensi Besi Secara klasik defisiensi besi menimbulkan anemia dengan segala akibatnya. Tetapi penelitian akhir-akhir ini menunjukkan bahwa dampak negatif defisiensi besi sudah dapat terjadi meskipun belum terjadi anemia. Kekurangan zat besi dapat menimbulkan gangguan atau hambatan pada pertumbuhan, baik sel tubuh maupun sel otak. Kekurangan kadar Hb dalam darah dapat menimbulkan gejala lesu, lemah, letih, lalai dan cepat lelah. Akibatnya dapat menurunkan prestasi belajar, olahraga dan produktivitas kerja. Disamping itu penderita kekurangan zat besi akan menurunkan daya tahan tubuh, yang mengakibatkan mudah terkena infeksi (Depkes RI, 2008) Pada remaja putri yang menderita anemia dapat mengalami gangguan pertumbuhan, penurunan daya konsentrasi belajar, kurang bersemangat dalam beraktivitas karena cepat merasa lelah. Defiiensi besi dapat mempengaruhi pemusatan perhatian, kecerdasan dan prestasi belajar di sekolah (Almatsier, 1989). Akibat jangka panjang dari anemia pada remaja putri adalah apabila remaja putri hamil, maka ia tidak akan mampu memenuhi kebutuhan zat-zat gizi bagi dirinya dan juga janin dalam kandungan, berat badan lahir rendah atau kelahiran prematur rawan terjadi pada ibu hamil yang menderita anemia (Depkes RI, 1998).
14
2.1.3. Zat besi 1. Pengertian zat besi Zat besi merupakan mineral mikro yang paling banyak dalam tubuh manusia yaitu sebanyak 3-5 gram didalam manusia dewasa. Besi mempunyai fungsi esensial dalam tubuh, sebagai alat angkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh, sebagai alat angkut elektron didalam sel dan sebagai bagian terpadu berbagai reaksi enzim didalam jaringan tubuh (Almatsier, 2004). Jumlah total besi dalam tubuh rata-rata 4-5 gram lebih kurang 65 persennya dijumpai dalam bentuk hemoglobin. Sekitar 4% dalam bentuk mioglonin, 1 % dalam bentuk macam-macam senyawa heme yang meningkatkan oksidasi intraseluler, 0,1 % bergabung dengan protein transferin dalam plasma darah dan 15-30 % terutama disimpan dalam sisten retikuloendotelial dan sel parenkim hati, khususnya dalam bentuk feritin (Guyton dan Hall, 1997). 2. Zat besi dalam makanan Zat besi yang terdapat dalam bahan makanan dapat berasal dari hewan maupun tumbuhan. Zat besi yang berasal dari tumbuh-tumbuhan memiliki daya serap antara 1-6 % lebih rendah dibanding zat besi yang berasal dari hewan yang mempunyai daya serap 7-22 %. Jenis-jenis bahan makanan sumber zat besi dapat dilihat pada tabel berikut (Wirakususmah, 1999).
15
Tabel 2.2 Bahan Makanan dan Kandungan Zat Besi Bahan Makanan Zat Besi (mg/100gr) Hati 6,0-14,0 Daging sapi 2,0-4,3 Ikan 0,5-1.0 Telur ayam 2,0-3,0 Kacang-kacangan 1,9-14,0 Tepung gandum 1,5-7,0 Sayuran hijau daun 0,4-18,0 Umbi-umbian 0,2-0,3 Buah-buahan 0,2-0,4 Beras 0,5-0,8 Susu sapi (susu penuh) 0,1-0,4 Sumber : Davidson dkk, 1973 dalam Wirakusumah, 1999 Bentuk zat besi yang terdapat dalam makanan juga mempengaruhi penyerapan zat besi oleh tubuh. Ada dua macam bentuk zat besi dalam makanan, yaitu hem dan non hem. Zat besi hem berasal dari hewan, penyerapannya tidak tergantung pada jenis kandungan makanan lain, dan lebih mudah diabsorpsi dibandingkan zat besi non hem. Walaupun kandungan zat besi hem dalam makanan hanya antara 5-10 %, tetapi penyerapannya mencapai 25 %. Makanan hewani seperti daging, ikan dan ayam merupakan sumber utama zat besi hem. Penyerapan zat besi non hem termasuk rendah (hanya 5 %) dan sangat tergantung pada jenis makanan lain atau menu yang bervariasi. Menu makanan yang merupakan kombinasi sumber non hem dengan sumber zat besi hem dapat meningkatkan penyerapan zat besi non hem (Wirakusumah, 1999). Secara umum kecukupan zat besi seseorang sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain jenis kelamin, jenis pekerjaan dan umur. Disamping itu juga perlu memperhatikan bioavailabilitas (banyaknya zat besi yang ada dalam makanan yang dapat diabsorpsi) makanan itu sendiri dan pola makan sesorang.
16
Ditinjau dari segi bioavailabilitas, khususnya besi maka diit dapat dibagi menjadi 3 tipe (Bayne & Bothwell, 1990, dalam Bakta, 1993) yaitu : 1) Tipe bioavailabilitas rendah Terdiri dari makanan pokok beras, jagung ataupun umbi-umbian dan sedikit sekali mengandung daging dan vitamin C dengan persentase besi yang diabsorpsi < 5 %. 2) Tipe bioavailabiltas sedang atau menengah. Pada tipe ini dijumpai makanan pokok berupa beras atau jagung dengan sejumlah daging dan vitamin C dengan persentase absorpsi besi sebesar 515 %. 3) Tipe bioavailabilitas tinggi Merupakan diit yang banyak mengandung daging dan vitamin C dengan persentase absorpsi > 15 %. 3. Metabolisme zat besi Pada remaja kebutuhan zat besi tinggi, pada masa pertumbuhan yang cepat terutama pada wanita. Pada wanita remaja yang telah menstruasi volume zat besi yang hilang adalah 0,5 mg/hari dan sebanyak 5 % gadis remaja kehilangan zat besi lebih besar dari 1,2 mg/hari. Dengan demikian gadis remaja yang telah mengalami menstruasi, kehilangan zat besi melalui menstruasi harus ditambahkan sesuai jumlah zat besi yang hilang secara basal (lewat keringat, urine, dan deskuamasi epitel usus dan kulit) dan zat besi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan (Husaini dkk, 1989).
17
Zat besi yang terdapat didalam tubuh orang dewasa sehat berjumlah ± 4 g. ada dua bagian zat besi dalam tubuh, yaitu bagian fungsional yang dipakai untuk keperluan metabolik, dan bagian yang lain merupakan cadangan (reserve). Hemoglobin, myoglobin, cytochrome serta enzim hem dan non hem adalah bentuk zat besi yang fungsional dan berjumlah 25-55 mg/kg berat badan. Sedangkan zat besi reserve hanya sebagai cadangan apabila dibutuhkan untuk fungsi-fungsi fisiologis dan jumlahnya antara 5-25 mg/kg berat badan. Feritin dalam hemoisderin adalah bentuk zat besi reserve yang biasanya terdapat dalam hati, limpa dan sumsum tulang, yang akan membantu mempertahankan produksi hemoglobin, bila zat besi dari makanan yang dikonsumsi tidak mencukupi (Wirakusumah, 1999). Di dalam usus, besi dibagi menjadi 2 pool, yaitu pool bersama (common pool) untuk besi non hem dan pool untuk besi hem. Kedua pool ini memiliki sifat yang sangat berbeda. Besi hem diserap secara langsung, tidak dipengaruhi oleh bahan penghambat atau pemacu dan persentase absorpsinya besar, 4 kali dari besi non hem. Sedangkan besi non hem absorpsinya sangat dipengaruhi oleh zat pengikat (ligand) yang dapat menghambat atau memacu absorpsi (Skikne, 1988: Sutarga, 1994). Senyawa besi hem terdapat dalam daging, ikan dan hati. Besi hem ini diserap secara utuh setelah berada dalam sel epitel usus (enterosit), besi akan dilepaskan dari rantai porfirin oleh enzim haem-oxygenase, kemuidan ditransfer ke dalam plasma atau disimpan dalam bentuk feritin. Persentase besi yang diserap sangat tinggi yaitu 10-25% (Bothwell, 1979; Hallberg, 1981 : Sutarga, 1994).
18
Untuk menjaga supaya badan tidak anemia, maka keseimbangan zat besi didalam tubuh perlu dipertahankan. Keseimbangan disini diartikan bahwa jumlah zat besi yang dikeluarkan dari badan sama dengan jumlah zat besi yang diperoleh tubuh dari makanan. Suatu skema metabolisme zat besi untuk mempertahankan zat besi didalam tubuh, dapat dilihat pada skema dibawah ini (Husaini, 1989) : Makanan 10 mg Fe
Usus halus 1 mg Fe dalam darah (turn over 35 mg)
Sumsum tulang
34 mg
Tinja 9 mg Fe Hati Disimpan sebagai Feritin 1 mg)
Seluruh jaringan
Hemoglobin
Sel-sel mati
Hilang bersama menstruasi 28 mg/ periode
Dikeluarkan melalui kulit, saluran pencernaan dan air seni 1 mg Gambar 2.1 Metabolism Zat Besi
Setiap hari turn over zat besi berjumlah 35 mg, tetapi tidak semuanya harus didapatkan dari makanan. Sebagian besar yaitu sebanyak 34 mg didapat dari penghancuran sel-sel darah merah tua, yang kemudian disaring oleh tubuh untuk dapat dipergunakan lagi oleh sumsum tulang untuk pembentukan sel-sel darah merah baru. Hanya 1 mg zat besi dari penghancuran sel-sel darah merah tua yang dikeluarkan oleh tubuh melalui kulit, saluran pencernaan dan air kencing. Jumlah zat besi yang hilang lewat jalur ini disebut sebagai kehilangan basal (iron basal losses).
19
Secara garis besar metabolisme zat besi dalam tubuh terdiri dari proses penyerapan, pengangkutan, pemanfaatan, penyimpanan dan pengeluaran. Zat besi dari makanan diserap ke usus halus, kemudian masuk ke dalam plasma darah. Selain itu, ada sejumlah zat besi yang keluar dari tubuh bersama tinja. Di dalam plasma berlangsung proses turn over, yaitu sel-sel darah yang lama diganti dengan sel-sel darah yang baru. Jumlah zat besi yang mengalami turn over setiap harinya kira-kira 35 mg yang berasal dari makanan, hemoglobin dan sel-sel darah merah yang sudah tua dan diproses oleh tubuh agar dapat digunakan lagi. Zat besi dari plasma sebagian harus dikirim ke sumsum tulang untuk pembentukan hemoglobin dan sebagian lagi diedarkan ke seluruh jaringan. Cadangan besi disimpan dalam bentuk ferritin dan hemosiderin di dalam hati atau limpa. Pengeluaran besi dari jaringan melalui kulit, saluran pencernaan atau urine, berjumlah 1 mg setiap harinya (kehilangan zat besi basal). Sedangkan pengeluaran besi melalui hilangnya hemoglobin yang disebabkan menstruasi sebanyak 28 mg/periode (Wirakusumah, 1999). Pengambilan besi oleh eritrosit ditentukan oleh kadungan besi dan hal ini tergantung kepada jumlah transferin yang berikatan dengan besi yang disimpan sebagai feritin pada bagian basal sel kripta. Kandungan besi pada sel kripta mencerminkan jumlah total cadangan besi dan berhubungan erat dengan kebutuhan tubuh (Lukens, 1995). Metabolisme selular dari besi dilakukan oleh tiga protein yaitu transferin, reseptor transferin dan feritin (Wu, dkk, 2000). Besi lepas dari tempat absorpsi dan masuk ke sel yang sedang aktif bersintesis oleh suatu protein yaitu transferin.
20
Protein transport plasma ini mengandung 679 asam amino. Tidak seperti protein transport lain, transferin tidak ikut dikonsumsi selama proses pengangkutan sehingga daur ulangnya dalam plasma tidak sama dengan daur ulang besi dalam plasma. Produksi transferin meningkat pada keadaan defisiensi besi dan menurun pada keadaan overload besi (Lukens, 1995) 2.1.4. Standar penentuan anemia Tabel 2.3 Kadar Hemoglobin sebagai Indikator Anemia Kelompok Umur/Jenis Kelamin Kadar Hemoglobin (g/l) Anak 6 bulan – 59 bulan <110 Anak 5 tahun – 11 tahun <115 Anak 12 tahun – 14 tahun <120 Wanita tidak hamil (umur diatas 15 tahun) <120 Wanita hamil <110 Laki-laki (umur diatas 15 tahun) <130 Sumber : United Nations University/UNICEF (2001), Iron Deficiency Anaemia (IDA) Menurut De Maeyer (1995), derajat anemia dikelompokkan menjadi tiga yaitu anemia berat, sedang dan ringan. Untuk seorang remaja putri dikatakan mengalami anemia berat apabila kadar Hb<7 gr%, anemia sedang Hb 7-10gr% dan anemia ringan Hb>10 gr% dengan cut of point untukwanita/remaja 12 gr%. 2.1.5. Metode penentuan anemia Hemoglobin merupakan senyawa pembawa oksigen pada sel darah merah. Hemoglobin dapat diukur secara kimia dan jumlah Hb/100 ml darah dapat digunakan sebagai indeks kapasitas pembawa oksigen pada darah. Kandungan hemoglobin yang rendah mengindikasikan anemia (Supariasa dkk, 2002).
21
Hemoglobin dapat ditetapkan dengan berbagai cara antara lain : 1. Metode talquist (Woro, 1999) Metode ini mempunyai kesalahan yang paling besar dibandingkan cara pemeriksaan Hb yang lain, namun paling mudah dilakukan. 2. Metode sahli Pada cara ini hemoglobin diubah menjadi hematin asam, kemudian warna yang terjadi dibandingkan secara visual dengan standard dalam alat itu (Gandasoebrata, 2001). Cara Sahli ini bukanlah cara yang teliti. Sahli tidak dianjurkan karena mempunyai kesalahan yang besar, alatnya tidak dapat distandarisasi, dan tidak semua jenis hemoglobin dapat ditetapkan, seperti karboksihemoglobin, methemoglobin dan sulfahemoglobin. 3. Metode cyanmethemoglobin Metoda cyanmethemoglobin ini cukup teliti dan dianjurkan oleh International Committee for Standardization in Hemathology (ICSH) (Masrizal, 2007). Cara ini sangat bagus untuk laboratorium rutin dan sangat dianjurkan untuk penerapan
kadar
hemoglobin
dengan
teliti
karena
standard
cyanmethemoglobin yang ditanggung kadarnya bersifat stabil dan dapat dibeli. Kesalahan cara ini dapat mencapai ± 2 %. Hemoglobin darah diubah menjadi sianmethemoglobin (hemoglobinsianida) dalam larutan yang berisi kaliumsianida. Absorbansi larutan diukur pada gelombang 540 nm atau filter hijau. Larutan Drabkin yang dipakai pada cara ini
mengubah
hemoglobin,
oksihemoglobin,
methemoglobin
dan
22
karboksihemoglobin menjadi sianmethemoglobin. Sulfhemoglobin tidak berubah dan karena itu tidak ikut diukur (Gandasoebrata, 2001). Cara pemeriksaan : a. Ke dalam tabung kolorimeter dimasukkan 5,0 ml larutan Drabkin. b. Bersihkan ujuang jari yang akan diambil darahnya dengan larutan desinfektan sebanyak 0,02 ml dan masukkan ke dalam tabung kolorimeter c. Campurlah isi tabung dengan membalikkannya beberapa kali. Tindakan ini
juga
akan
membuat
perubahan
hemoglobin
menjadi
sianmethemoglobin. d. Bacalah dalam spektrofotometer pada gelombang 540 nm; sebagai blanko digunakan larutan Drabkin. e. Kadar hemoglobin ditentukan dari perbandingan absorbasinya dengan absorbansi standar sianmethemoglobin atau dibaca dari kurve tera. 4. Metode hemocue Metode hemocue merupakan pengembangan metode penentuan Hb secara spektrofotometer, dan telah mendapat rekomendasi dari badan dunia UNICEF dan WHO, dengan tingkat akurasi alat ini mencapai 99,9 %. Hemocue berukuran sebesar buku agenda dan kompatibel (dapat dengan mudah dibawa dan dipindahkan), dioperasikan dengan tenaga baterai. Alat ini terdiri atas dua komponen, yaitu photometer untuk membaca hasil pemeriksaan dan microcuvette sebagai pipet. Untuk penentuan status besi yang spesifik adalah dengan pemeriksaan serum feritin (SF), tarnsferrin saturation (TS) dan free erythrocyte protophorphyrin
23
(FEP). Apabila dua diantara tiga indikator hematologi tersebut abnormal, maka digolongkan sebagai defisiensi besi. Tetapi ketiga indikator tersebut sulit dilakukan di lapangan dan juga memerlukan waktu lebih lama, lebih mahal, tenaga yang lebih terampil dan memerlukan peralatan yang cukup. Ternyata dengan menggunakan hemoglobin dapat memprediksi status besi. Dari hasil penelitian pada 209 balita dan 177 wanita dewasa, ternyata dengan menggunakan Hb untuk memprediksi status besi berdasarkan ketiga indikator (SF, TS dan FEP), diperoleh cut off point kadar Hb sebesar 12,9 g/dl dalam memprediksi defisiensi besi pada wanita dewasa dengan sensitivitas 86 % dan spesifisitas 68 %. Dengan demikian cut off point defisiensi besi berdasarkan kadar Hb untuk wanita dewasa adalah 13g/dl (Husaini, 1989). 2.2. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Anemia Defisiensi Besi 2.2.1. Pengetahuan Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang. Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2003). Notoatmodjo (1993) mengatakan bahwa pengetahuan merupakan resultan dari akibat proses penginderaan terhadap suatu objek. Penginderaan tersebut sebagian besar dari penglihatan dan pendengaran. Pengukuran atau penilaian pengetahuan pada umumnya dilakukan melalui tes wawancara dengan alat bantu kuesioner berisi materi yang ingin diukur dari responden.
24
Pengetahuan merupakan faktor penting dalam menentukan perilaku seseorang, karena pengetahuan dapat menimbulkan perubahan persepsi dan kebiasaan masyarakat. Pengetahuan yang meningkat dapat mengubah persepsi masyarakat tentang penyakit. meningkatnya pengetahuan juga dapat mengubah kebiasaan masyarakat dari yang positif menjadi yang lebih positif, selain itu pengetahuan juga membentuk kepercayaan. (Notoatmodjo, 2007) Seseorang dengan pendidikan rendah belum tentu kurang mampu menyusun makanan yang memenuhi persyaratan gizi dibandingkan dengan orang lain yang pendidikannya lebih tinggi. Karena sekalipun berpendidikan rendah, kalau orang tersebut rajin mendengarkan atau melihat infromasi mengenai gizi, bukan mustahil pengetahuan gizinya akan lebih baik (Apriadji, 1986 : Fikawati dan Syafiq, 2010) Pengetahuan gizi adalah kemampuan seseorang untuk mengingat kembali kandungan gizi makanan serta kegunaan zat gizi tersebut dalam tubuh (Camire dan Dougherty, 2005). Pengetahuan gizi ini mencakup proses kognitif yang dibutuhkan untuk menggabungkan informasi gizi dengan perilaku makan, agar struktur pengetahuan yang baik tentang gizi dan kesehatan dapat dikembangkan. Pengetahuan gizi akan mempengaruhi kebiasaan makan suatu masyarakat. Menurut Susanto (1997), tumbuhnya kebiasaan makan dalam masyarakat dipengaruhi oleh unsur-unsur pengetahuan masyarakat dalam memilih dan mengolah pangan sehari-hari. Pemberian pengetahuan gizi pada remaja dapat dilakukan secara optimal dan informal. Peningkatan pengetahuan gizi remaja secara formal dapat dilakukan
25
melalui pendidikan gizi di sekolah. Hasil penelitian Syarief, dkk (2001) menemukan bahwa terdapat peningkatan pengetahuan sebagian besar siswa setelah mendapatkan materi pengetahuan pangan dan gizi yang diintegrasikan ke dalam kurikulum Sekolah Menengah. Sztainer, dkk (2003) juga menemukan bahwa program pendidikan gizi “The Weight to Eat” pada remaja SMU dapat meningkatkan pengetahuan gizi remaja dan pola makan serta pecegahan perilaku makan yang tidak sehat. Pengetahuan seseorang biasanya diperoleh dari pengalaman yang berasal dari berbagai macam sumber. Pengetahuan ini membentuk keyakinan tertentu sehingga seseorang berperilaku sesuai keyakinan tersebut. Pendidikan baik formal maupun informal dapat meningkatkan pengetahuan tentang gizi, namun kenyataannya tidak demikian. Demikian juga kesadaran akan pengetahuan gizi tidak selalu meningkat seiring tingginya tingkat pendidikan. Perilaku makan atau pola kebiasaan makan yang positif sangat diperlukan dalam menanggulangi anemia. Ketidaktahuan masalah pangan dalam hubungannya dengan gizi merupakan penyebab yang biasa terjadi. Pengolahan pangan yang kurang tepat dapat menyebabkan terjadinya kehilangan zat gizi sehingga makanan yang dikonsumsi tidak dapat menyediakan zat gizi yang diperlukakan oleh tubuh (Notoatmatmodjo,1993). Dari pengalaman dan penelitian membuktikan bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan.
Penelitian
Rogers,
1974
(dalam
Notoatmodjo,
2003)
mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru di dalam diri
26
orang tersebut terjadi proses yang berurutan yakni, awareness (kesadaran), interest (merasa tertarik), evaluation (menimbang-nimbang), trial (uji coba) dan adoption. Namun demikian dari penelitian selanjutnya Rogers menyimpulkan bahwa perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap-tahap di atas. Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses seperti ini didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif, maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng (long lasting). Sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran tidak akan berlangsung lama (Notoatmodjo, 2003). 2.2.2. Sikap Menurut Pranadji (1988) sikap seseorang dapat diketahui dari kecenderungan tingkah laku yang mengarah pada suatu obyek tertentu. Jadi sikap belum merupakan suatu perubahan, tetapi dari sikap dapat diramalkan perbuatannya. Sikap akan sangat berguna bagi seseorang, sebab sikap baik akan mengarahkan apa yang dilakukan seseorang. Sikap positif akan mempengaruhi niat individu untuk ikut serta dalam kegiatan yang akan diwujudkan dalam bentuk tindakan. Sikap menurut Notoatmodjo (2003), merupakan reaksi atau respons seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau obyek. Menurut Azwar (2003) sikap seseorang dipengaruhi oleh : 1. Pengalaman pribadi Tanggapan akan menjadi salah satu dasar terbentuknya sikap. Untuk dapat mempuyai tanggapan dan penghayatan, seseorang harus mempunyai pengalaman yang berkaitan dengan obyek psikologis. Middlebook, 1974
27
(dalam Azwar, 2003) mengatakan bahwa tidak adanya pengalaman sama sekali dengan suatu obyek psikologis cenderung akan membentuk sikap negatif terhadap obyek tersebut. 2. Pengaruh orang yang dianggap penting Orang yang biasanya dianggap penting oleh individu, akan mempengaruhi pembentukan sikap kita terhadap sesuatu. 3. Pengaruh kebudayaan Tanpa kita sadari, kebudayaan telah menanamkan garis pengaruh sikap kita terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai sikap anggota masayarakatnya, karena kebudayaan pulalah yang memberi corak pengalaman individu-individu yang menjadi anggota kelompoknya. Hanya kepribadian yang telah mapan dan kuatlah yang dapat memudarkan dominasi kebudayaan dalam pembentukan sikap individu. 4. Media massa Pesan-pesan sugestif yang dibawa oleh media massa, apabila cukup kuat akan memberi dasar efektif dalam menilai sesuatu hal sehingga terbentuklah arah sikap tertentu. 5. Lembaga pendidikan dan lembaga agama Konsep moral dan ajaran agama sangat menentukan sistem kepercayaan maka tidaklah mengherankan kalau pada gilirannya kemudian konsep tersebut ikut berperan dalam menentukan sikap individu terhadap sesuatu hal.
28
6. Pengaruh faktor emosional Kadangkala suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari oleh emosi yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego. Sikap demikian merupakan sikap yang sifatnya sementara dan berlalu begitu frustasi telah hilang. Sikap memiliki berbagai tingkatan. Cara mengukur sikap dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau pernyataan responden terhadap suatu obyek, sedangkan secara tidak langsung dapat dilakukan dapat dilakukan dengan pernyataan-pernyataan hipotesis, kemudian ditanyakan kepada responden (sangat setuju, setuju, tidak setuju, sangat tidak setuju) (Notoatmodjo, 2007). Menurut Azwar (1995), pengukuran sikap model likert dikenal dengan summated rating method, dengan menggunakan pernyataan-pernyataan negatif maupun positif yang berisi alternatif jawaban. Nilai masing-masing pernyataan dinyatakan dengan skor. Skor individu pada skala sikap merupakan skor sikap, yaitu jumlah skor dari keseluruhan pernyataan yang ada dalam skala. Kemudian rata-rata (mean) kelompok dan standar deviasi kelompok digunakan untuk menguji sikap positif atau negatif. Sikap tidaklah sama dengan perilaku dan perilaku tidaklah selalu mencerminkan sikap seseorang sebab sering kali terjadi bahwa seseorang memperlihatkan tindakan yang bertentangan dengan sikapnya. Sikap seseorang dapat berubah dengan diperolehnya tambahan informasi tentang objek tersebut melalui bujukan serta tekanan dari kelompok sosialnya (Sarwono,1997).
29
2.2.3. Asupan Zat Gizi Defisiensi besi dalam makanan merupakan salah satu penyebab terpenting terjadinya anemia defisiensi besi. Pemasukan besi dalam tubuh dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitas besi dalam makanan. Hal ini dapat terjadi pada orangorang yang konsumsi makanannya kurang beragam. Jumlah zat besi dalam makanan di negara berkembang pada umumnya rendah sekitar 12-19 mg/hari, lebih rendah dari jumlah yang dianjurkan (Bakta, 1992). Pola konsumsi masyarakat pada umumnya merupakan pola menu dengan bioavailabilitas besi yang rendah, karena hanya terdiri dari nasi atau umbi-umbian dengan kacang-kacangan dan sedikit (jarang sekali) daging, ayam atau ikan, serta sedikit makanan yang mengandung vitamin C (Yip dan Mehra, 1995). Pola dan gaya hidup modern membuat remaja cenderung lebih menyukai makan di luar rumah bersama kelompoknya. Pada umumnya remaja mempunyai kebiasaan makan yang kurang baik. Beberapa remaja khususnya remaja putri sering mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang tidak seimbang dibandingkan dengan kebutuhannya karena takut kegemukan. Kebiasaan makan remaja rata-rata tidak lebih dari tiga kali sehari dan disebut makan bukan hanya dalam konteks mengkonsumsi makanan pokok saja tetapi makanan ringan juga dikategorikan sebagai makan (Suhardjo, 1989). Masa remaja, khususnya remaja putri sangat memperhatikan bentuk tubuhnya, sehingga banyak yang membatasi konsumsi makanannya. Bahkan banyak yang berdiit tanpa nasehat atau pengawasan seorang ahli kesehatan dan gizi, sehingga pola konsumsinya sangat menyalahi kaidah-kaidah ilmu gizi.
30
Banyak pantang atau tabu yang ditentukan sendiri berdasarkan pendengaran dari kawannya yang tidak kompoten dalam soal gizi dan kesehatan, sehingga terjadi berbagai gejala dan keluhan yang merupakan gejala kelainan gizi (Sediaoetomo, 2008). Khumaidi (1989) menyatakan bahwa salah satu ukuran kuantitas konsumsi pangan adalah konsumsi energi dan protein. Pada umumnya jika kecukupan energi dan protein sudah terpenuhi dan dikonsumsi dari beragam jenis pangan, maka kecukupan zat gizi lainnya dapat terpenuhi dan jika seandainya kurang tidak terlalu sukar untuk memenuhinya. Protein berfungsi dalam pembentukan ikatan-ikatan esensial tubuh. Hemoglobin, pigmen darah yang berwarna merah dan berfungsi sebagai pengangkut oksigen dan karbondioksida adalah ikatan protein. Protein juga berperan dalam proses pengangkutan zat-zat gizi termasuk zat besi dari saluran cerna ke dalam darah, dari darah ke jaringan-jaringan dan melalui membran sel ke dalam sel-sel. Sehingga apabila kekurangan protein akan menyebabkan gangguan pada absorpsi dan transportasi zat-zat gizi (Almatsier, 2004). Protein berperan penting dalam transportasi zat besi di dalam tubuh. Oleh karena itu kurangnya asupan protein akan mengakibatkan transportasi zat besi terhambat, sehingga akan terjadi defisiensi besi. Disamping itu makanan yang tinggi protein terutama yang berasal dari hewani banyak mengandung zat besi. Transferin adalah suatu glikoprotein yang disintesis di hati. Protein ini berperan sentral dalam metabolisme besi tubuh, sebab transferin mengangkut besi dalam sirkulasi ke tempat-tempat yang membutuhkan besi, seperti dari usus ke sumsum
31
tulang untuk membentuk hemoglobin yang baru. Feritin adalah protein lain yang penting dalam metabolism besi. Pada kondisi normal, feritin menyimpan besi yang dapat diambil kembali untuk digunakan sesuai kebutuhan (Gallagher, 2008). Tingkat konsumsi protein perlu diperhatikan karena semakin rendah tingkat konsumsi protein maka semakin cenderung untuk menderita anemia. Hal ini dapat dijelaskan, dimana hemoglobin yang diukur untuk menentukan status anemia seseorang merupakan pigmen darah yang berwarna merah berfungsi sebagai pengangkut oksigen dan karbondioksida adalah ikatan protein globin dan heme (Sylvia dan Lorraine, 2001).
Vitamin A merupakan vitamin larut lemak yang dapat membantu absorpsi dan mobilisasi zat besi untuk pembentukan eritrosit. Rendahnya status vitamin A akan membuat simpanan besi tidak dapat dimanfaatkan untuk proses eritropoesis. Selain itu, Vitamin A dan β-karoten akan membentuk suatu kompeks dengan besi untuk membuat besi tetap larut dalam lumen usus sehingga absorbsi besi dapat terbantu (Maryam, 2003). Pembentukan hemoglobin dipengaruhi oleh vitamin A, karena viamin A berperan dalam pembentukan sel darah merah sehingga dapat berinteraksi dengan zat besi (Almatsier, 2004). Hubungan vitamin A dengan peningkatan Hb sangat penting, karena zat besi dan vitamin A pada sebagian makanan sangat baik untuk memelihara kesehatan jaringan epitel termasuk endothelium pada pembuluh darah. Kedua zat tersebut membantu mencegah kerusakan pembuluh darah dan dikatakan oleh beberapa ahli bahwa vitamin A dan besi secara signifikan membantu meningkatkan sistem kekebalan tubuh (Kodiyat, 1995). Vitamin A dan beta karoten dapat membentuk suatu kompleks dengan besi untuk membuatnya
32
tetap larut dalam lumen usus dan mencegah efek penghambat dari fitat dan polifenol pada absorpsi besi (Carcia, dkk, 1998). Kadar vitamin A yang rendah membuat tubuh rentan terhadap serangan infeksi (virus, bakteri,maupun mikroorganisme berbahaya). Selain itu kekurangan vitamin A juga dapat menyebabkan penyakit autoimun. Secara sinergis besi dan vitamin A dapat melindungi sel darah putih dari kerusakan akibat serangan radikal bebas (Kodiyat, 1998). Vitamin A terdapat dalam makanan hewani seperti telur, hati, minyak ikan, lemak mentega. Sumber vitamin dalam makanan nabati terdapat pada buah dan daun sayuran berwarna kuning, merah kekuningan dan hijau tua, kacang-kacangan, padi-padian. Asam organik, seperti vitamin C sangat membantu penyerapan besi non hem dengan merubah bentuk feri menjadi bentuk fero. Bentuk fero lebih mudah diserap. Disamping itu vitamin C dapat membentuk gugus besi askorbat yang tetap larut pada pH lebih tinggi dalam duodenum. Vitamin C dapat meningkatkan penyerapan zat besi non hem empat kali lipat. Oleh karena itu bagi remaja putri, sangat dianjurkan mengkonsumsi makanan sumber vitamin C sebanyak 60 mg per hari (Almatsier, 2004). Absorpsi besi dalam bentuk nonheme dapat meningkat empat kali lipat dengan adanya vitamin C. Oleh karena itu, kekurangan vitamin C dapat menghambat proses absorpsi besi sehingga lebih mudah terjadi anemia. Selain itu, vitamin C dapat menghambat pembentukan hemosiderin yang sukar dimobilisasi untuk membebaskan besi jika diperlukan. Vitamin C juga memiliki peran dalam pemindahan besi dari transferin di dalam plasma ke feritin hati (Almatsier, 2004).
33
Metode pengukuran asupan makanan pada seseorang ada 2 kelompok meliputi metode kuantitatif yaitu metode recall 24 jam, perkiraan makanan , penimbangan makanan, metode inventaris dan pencatatan (household food records). Metode kualitatif meliputi riwayat makan (dietary history), metode telepon, pendaftaran makanan (food list) dan Food Frequency Questionaire (FFQ). Metode kualitatif menggambarkan kebiasaan makan seseorang. Pada metode FFQ dapat ditambahkan porsi makanan untuk menilai energi dan zat-zat gizi lain, maka metode ini menjadi Semi-Quantitative FFQ (Gibson, 2005). Seringkali
FFQ dilengkapi dengan ukuran khas setiap porsi dan jenis
makanan untuk memperoleh asupan gizi secara relatif atau mutlak. Karena itu FFQ tidak jarang ditulis sebagai riwayat pangan semi kuantitatif (semi quantitative food history). Asupan zat gizi secara keseluruhan diperoleh dengan jalan menjumlahkan kandungan zat gizi masing-masing pangan. Sebagian FFQ justru memsukkan pertanyaan tentang bagaimana makanan biasanya diolah, penggunaan makanan suplemen serta makanan bermerek lainnya (Arisman, 2004). Penggunaan metode frekuensi makanan kualitatif : 1. Klasifikasi pola diit biasa 2. Dapat menelusuri kemungkinan retrospektif asupan makanan jangka panjang/kebiasaan makan dengan penyakit kronis/kesehatan. 3. Menilai program pendidikan gizi 4. Menilai kepatuhan diit individu atau kelompok.
34
5. Mengidentifikasi orang-orang yang mungkin perlu penilaian diit lebih spesifik. 6. Menetapkan tren pembelian makanan Kuesioner FFQ menilai energi dan atau intake gizi dengan menentukan seberapa sering seseorang mengkonsumsi sejumlah makanan yang merupakan sumber nutrisi utama atau dari komponen makanan tertentu dalam pertanyaan perhari, minggu atau bulan, selama periode waktu tertentu (biasanya 6 bulan sampai 1 tahun) Dengan menggunakan metode frekuensi makanan maka dapat diperoleh gambaran pola konsumsi bahan makanan secara kualitatif, tapi karena periode pengamatannya lebih lama dan dapat membedakan individu berdasarkan rangking tingkat konsumsi zat gizi, maka cara ini paling sering digunakan dalam epidemiologi gizi (Supariasa, 2002). 2.2.4. Status Gizi Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat interaksi antara asupan energi dan protein serta zat-zat gizi esensial lainnya dengan keadaan kesehatan tubuh. Status gizi adalah kondisi tubuh sebagai akibat penyerapan zat-zat gizi esensial. Status gizi merupakan ekspresi dari keseimbangan zat gizi dengan kebutuhan tubuh, yang diwujudkan dalam bentuk variabel tertentu. Ketidakseimbangan (kelebihan atau kekurangan) antara zat gizi dengan kebutuhan tubuh akan menyebabkan kelainan patologi bagi tubuh manusia (Gibson, 1995). Salah satu indikator yang digunakan dalam pengukuran antropometri pada remaja adalah indikator Indeks Massa Tubuh (IMT) menurut umur. Indeks massa
35
tubuh (IMT) merupakan indikator yang teliti untuk mengetahui simpanan kelebihan energi dalam bentuk lemak tubuh (body fat) dalam suatu populasi (Berkey, 2000). Berdasarkan hasil pengukuran tersebut diketahui besaran masalah gizi kurang (underweight) dan gizi lebih atau obesitas yang terjadi pada remaja. Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan hasil pembagian BB dalam kg kuadrat, TB dalam satuan m2 (BB/TB2). Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan alat yang sederhana untuk memantua status gizi khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan (Supariasa, dkk, 2002). Klasifikasi status gizi berdasarkan IMT/U menurut Kemenkes RI (2012) adalah sebagai berikut : Tabel 2.4 Klasifikasi Status Gizi menurut IMT/Umur Indeks Kategori Status Gizi Indeks Massa Sangat kurus Tubuh menurut Kurus Umur (IMT/U) Normal Anak umur 5-18 Gemuk tahun Obesitas Sumber : Kemenkes RI, 2012
Ambang Batas (Z-score) < -3SD -3 SD sampai dengan < -2 SD -2 SD sampai dengan 1 SD > 1 SD sampai dengan 2 SD > 2 SD
Penelitian Bhargava dkk. (2001) menunjukkan ada hubungan antara IMT dengan status zat besi dalam tubuh. Ada perbedaan yang signifikan antara anemia dengan IMT <19 kg/m2 dan IMT >24 kg/m2, dimana wanita yang dengan IMT <19 kg/m2 memiliki peluang risiko menderita anemia 3 kali lebih besar daripada wanita dengan IMT >24kg/m2 (Antelman dkk, 2000). 2.2.5. Pola menstruasi Menstruasi adalah perdarahan vagina secara berkala akibat terlepasnya lapisan endometrium uterus. Fungsi menstruasi normal merupakan hasil interaksi
36
antara hipotalamus, hipofisis, dan ovarium dengan perubahan-perubahan terkait pada jaringan sasaran pada saluran reproduksi normal, ovarium memainkan peranan penting dalam proses ini, karena tampaknya bertanggung jawab dalam pengaturan perubahan-perubahan siklik maupun lama siklus menstruasi (Greenspan, dkk., 1998). Pola menstruasi merupakan suatu siklus menstruasi normal, dengan menarche sebagai titik awal. Pada umumnya menstruasi akan berlangsung setiap 28 hari selama lebih kurang 7 hari. Lama perdarahannya sekitar 3-5 hari, ada yang 1-2 hari diikuti darah yang sedikit-sedikit dan tidak terasa nyeri. Jumlah darah yang hilang sekitar 30-40 cc. Puncaknya hari ke-2 atau ke-3 dengan jumlah pemakaian pembalut sekitar 2-3 buah/hari (Manuaba, 2008). Rata-rata banyaknya darah yang hilang pada wanita normal selama satu periode menstruasi telah ditentukan oleh beberapa kelompok peneliti, yaitu 2560ml. Konsentrasi Hb normal 14 gr per dl dan kandungan besi Hb 3,4 mg/g, volume darah ini mengandung 12-29 mg besi dan menggambarkan kehilangan darah yang sama dengan 0,4 sampai 1,0 mg besi untuk setiap hari siklus tersebut atau 150 sampai 400 mg/tahun (Cunningham, dkk, 1995). Gangguan menstruasi dapat terjadi pada sebagian wanita dari negara industri maupun negara berkembang. Gangguan-gangguan proses menstruasi dapat menimbulkan risiko penyakit kronis (Kusmiran, 2011). Gangguan haid dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis (Rachmawati, 2010) :
37
1. Ditinjau dari banyaknya darah yang keluar a. Hipermenore Perdarahan dengan jumlah darah banyak, berlangsung selama 6-7 hari dan melakukan pergantian pembalut sebanyak > 5 pembalut per hari. b. Hipomenore/perdarahan sedikit (< 2 pembalut perhari) Perdarahan dengan jumlah darah sedikit, melakukan pergantian pembalut < 2 kali per hari dan berlangsung selama 1-2 hari saja. c. Spotting (bercak) Secara normal, saat menstruasi
menghabiskan pembalut sebanyak 2-5
pembalut per hari. 2. Ditinjau lamanya perdarahan a. Menoragia Perdarahan siklik yang berlangsung lebih dari 7 hari (haid yag memanjang), dengan jumlah darah kadang-kadang cukup banyak. b. Brakimenorea (selama < 3 hari) c. Premenstrual spotting d. Pascamenstrual spotting 3. Ditinjau dari siklusnya (Kusmiran, 2011) : a. Polimenorea/terlalu sering Jarak siklus menstruasi yang pendek yaitu kurang dari 21 hari, sedangkan jumlah perdarahan relatif sama atau lebih banyak dari biasa.
38
b. Oligomenorea/terlalu jarang Siklus menstruasi memanjang lebih dari 35 hari, sedangkan jumlah perdarahan tetap sama. c. Amenorea/tidak ada perdarahan Keadaan tidak menstruasi selama 6 bulan atau selama tiga kali tidak menstruasi sepanjang siklus menstruasi sebelumnya. Amenorea sering terjadi pada wanita yang sedang menyusui, tergantung frekuensi menyusui dan status nutrisi dari wanita tersebut. Jarak siklus menstruasi normal/eumenorea adalah 21-35 hari. 2.2.6. Infeksi cacing tambang Kehilangan zat besi selain karena menstruasi dapat pula diakibatkan oleh infestasi parasit seperti cacing tambang (ankilostoma dan nekator), Schistosoma, dan mungkin pula Trichuris trichiura. Kejadian ini lazim terjadi negara tropis (kebanyakan negara tropis terklasifikasi sebagai negara belum dan sedang berkembang), lembab serta keadaan sanitasi yang buruk (Arisman, 2004). Sebanyak 50 % wanita di Chiapas, Mexico terinfeksi Necator americanus. Cacing ini seringkali ditemukan bersama dengan penyebab anemia lainnya seperti pada kehamilan dan masa menstruasi. Kadar hemoglobin ditemukan relatif lebih rendah (4,1 g/dl) pada wanita dengan infeksi cacing tambang bila dibandingkan dengan wanita yang tidak terinfeksi cacing tambang (7,0 g/dl) (Brentlinger, dkk, 2003). Infeksi A. duodenale dan N. americanus merupakan penyebab terpenting anemia defisiensi besi. Selain itu infeksi cacing tambang juga merupakan
39
penyebab hipoproteinemia yang terjadi akibat kehilangan albumin, karena perdarahan
kronik
pada
saluran
cerna.
Anemia
defisiensi
besi
dan
hipoproteinemia sangat merugikan proses tumbuh kembang anak dan berperan besar dalam mengganggu kecerdasan anak usia sekolah (Hotez dkk, 2004). 1.
Siklus hidup cacing tambang
Hospes parasit ini adalah manusia, Cacing dewasa hidup di rongga usus halus dengan giginya melekat pada mucosa usus. Cacing betina menghasilkan 9.000 – 10.000 butir telur sehari. Daur hidup cacing tambang adalah sebagai berikut, telur cacing akan keluar bersama tinja, setelah 1 – 1,5 hari dalam tanah, telur tersebut menetas menjadi larva rabditiform. Dalam waktu sekitar 3 hari larva tumbuh menjadi larva filariform yang dapat menembus kulit dan dapat bertahan hidup 7–8 minggu di tanah. Setelah menembus kulit, larva ikut aliran darah ke jantung terus ke paru-paru. Di paru-paru menembus pembuluh darah masuk ke bronchus lalu ke trachea dan laring. Dari laring, larva ikut tertelan dan masuk ke dalam usus halus dan menjadi cacing dewasa. Infeksi terjadi bila larva filariform menembus kulit atau ikut tertelan bersama makanan (Depkes, 2006). 2.
Patogenesis
Cacing tambang merupakan salah satu cacing yang dapat menyebabkan kehilangan darah bagi penderita sehingga sangat memungkinkan terjadinya anemia. Terjadinya anemia diduga karena adanya bekas gigitan cacing tambang pada dinding usus yang relatif sulit menutup akibat adanya enzim cacing yang memiliki
sifat
sebagai
(Onggowaluyo, 2001).
antikoagulan
sehingga
darah
sukar
membeku
40
Cacing tambang hidup dalam rongga usus halus tapi melekat dengan giginya pada dinding usus dan menghisap darah. Infeksi cacing tambang menyebabkan kehilangan
darah
secara
perlahan-lahan
sehingga
penderita
mengalami
kekurangan darah (anemia) akibatnya dapat menurunkan gairah kerja serta menurunkan produktifitas. Tetapi kekurangan darah (anemia) ini biasanya tidak dianggap sebagai cacingan karena kekurangan darah bisa terjadi oleh banyak sebab (Depkes, 2006). Untuk meyebabkan anemia diperlukan kurang lebih 500 cacing dewasa. Pada infeksi yang berat dapat terjadi kehilangan darah sampai 200 ml/hari, meskipun pada umumnya didapatkan perdarahan intestinal kronik yang terjadi perlahanlahan (Weiss, 2001). Terjadinya anemia defisiensi besi pada infeksi cacing tambang tergantung pada status besi tubuh dan gizi pejamu, beratnya infeksi (jumlah cacing dalam usus penderita), serta spesies cacing tambang dalam usus. Infeksi A. duodenale menyebabkan perdarahan yang lebih banyak dibandingkan N. americanus (Keshavarz, 2000). 3.
Gejala klinis
Gejala klinis karena infeksi cacing tambang antara lain lesu, tidak bergairah, konsentrasi belajar kurang, pucat, rentan terhadap penyakit, prestasi kerja menurun dan anemia (anemia hipokrom mikrositer). Di samping itu juga terdapat eosinofilia (Depkes, 2006). Gejala klinis yang muncul adalah rasa gatal di kaki, pruritus, dermatitis dan kadang makulopapula sampai vesikel merupakan gejala pertama yang disebabkan invasi larva cacing tambang. Selama larva ini berada di dalam paru-paru dapat
41
menyebabkan gejala batuk darah, yang disebabkan pecahnya kapiler dalam alveoli paru, dan berat ringannya keadaan ini bergantung pada banyaknya jumlah larva cacing yang melakukan penetrasi ke dalam kulit. Anemia akan terjadi 10-20 minggu setelah infestasi cacing dan walaupun diperlukan lebih dari 500 cacing dewasa untuk menimbulkan gejala anemia tersebut tentunya juga bergantung pada kondisi gizi pasien. Anemia berat yang terjadi juga sering menyebabkan gangguan pertumbuhan, perkembangan mental dan payah jantung (Pohan, 1996). Anemia defisiensi besi yang terjadi akibat infeksi cacing tambang selain memiliki gejala dan tanda umum anemia, juga memiliki manifestasi khas seperti atrofi papil lidah, telapak tangan berwarna jerami, serta kuku sendok. Juga terjadi pengurangan kapasitas kerja, bahkan dapat terjadi gagal jantung akibat penyakit jantung anemia (Loukas, 2001). 4.
Diagnosis cacing tambang
Untuk kepentingan diagnosis infeksi cacing tambang dapat dilakukan dengan secara klinis dan epidemiologis. Secara klinis dengan mengamati gejala klinis yang terjadi pada penderita sementara secara epidemiologis didasarkan atas berbagai catatan dan informasi terkait dengan kejadian infeksi pada area yang sama dengan tempat tinggal penderita periode sebelumnya. Pemeriksaan feses basah dengan fiksasi formalin 10% dilakukan secara langsung dengan mikroskop cahaya. Pemeriksaan ini tidak dapat membedakan N. Americanus dan A. duodenale. Pemeriksaan yang dapat membedakan kedua spesies ini ialah dengan faecal smear pada filter paper strip Harada-Mori. Kadang-kadang perlu dibedakan secara mikroskopis antara infeksi larva
42
rhabditiform (L2) cacing tambang dengan larva cacing strongyloides stercoralis (Montressor, 2004 dalam Sumanto, 2010). Pemeriksaan penunjang pada cacing tambang dewasa dilakukan dan dapat menemukan telur cacing dan atau cacing dewasa pada pemeriksaan feses. Tandatanda anemia defisiensi besi yang sering dijumpai adalah anemia mikrositik hipokrom, kadar besi serum yang rendah, kadar total iron binding capacity yang tinggi. Di sini perlu dieksklusi penyebab anemia hipokrom mikrositer lainnya. Dapat ditemukan peningkatan IgE dan IgG4, tetapi pemeriksaan IgG4 tidak direkomendasikan karena tinggi biayanya (Mahmoud, 1995). 5.
Metode penentuan infeksi cacing tambang
Pemeriksaan telur cacing dari tinja, ada dua macam pemeriksaan yaitu secara kualitatif dan kuantitatif. a. Pemeriksaan kualitatif -
Pemeriksaan secara natif (direct slide) Cara pemeriksaan ini menggunakan larutan NaCl fisiologis (0,9%) atau eosin 2 %. Penggunaan eosin 2 % dimaksudkan untuk lebih jelas membedakan telur-telur cacing dengan kotoran-kotoran di sekitarnya. Eosin memberikan latar belakang merah terhadap telur yang berwarna kekuning-kuningan.
-
Pemeriksaan dengan metode apung (Flotation method) Pada metode ini digunakan NaCl jenuh atau larutan gula jenuh dan terutama untuk pemeriksaan feses yang sedikit mengandung telur. Cara kerjanya didasarkan atas berat jenis (BJ) telur yang lebih ringan
43
daripada BJ larutan yang digunakan, sehingga telur-telur terapung di permukaan dan juga untuk memisahkan partikel-partikel yang besar yang terdapat dalam tinja. -
Harada mori Metode ni digunakan untuk menentukan dan mengidentifikasi larva cacing ancylostoma duodenale, necator americanus, srongyloides stercolaris dan trichostronngilus yang didapatkan dari feses yang diperiksa. Teknik ini memungkinkan telur cacing dapat berkembang menjadi larva infektif pada kertas saring basah selama kurang lebih 7 hari, kemudian larva ini akan ditemukan di dalam air yang terdapat pada ujung kantong plastik.
b. Pemeriksaan kuantitatif -
Metode kato Teknik sediaan tebal (cellophane covered thick smear technique atau disebut teknik kato). Teknik ini lebih banyak telur cacing dapat diperiksa sebab digunakan lebih banyak tinja. Teknik ini dianjurkan untuk pemeriksaan massal karena lebih sederhana dan murah. Dengan penambahan malachite green untuk memberi latar belakang hijau.
6.
Pengobatan dan pencegahan
Pengobatan, terhadap cacing tambang dapat menggunakan beberapa jenis obat antihelmintik seperti :
Pirantel pamoat 10 mg/kg BB per hari selama 3 hari.
44
Mebendazol 500 mg dosis tunggal (sekali saja) atau 100 mg 2 x sehari selama tiga hari berturut-turut
Albendazol 400 mg dosis tunggal (sekali saja), tetapi tidak boleh digunakan selama hamil.
Sulfas ferosus 3 x 1 tablet untuk orang dewasa atau 10 mg/kg BB/kali (untuk anak) untuk mengatasi anemia (Depkes RI, 2007).
Pencegahan. Pencegahan penyakit ini meliputi sanitasi lingkungan dan perbaikan higiene perorangan terutama penggunaan alas kaki (Depkes RI, 2007). Selain itu menggunakan alas kaki di daerah yang berisiko dapat menghindarkan kontak antara larva cacing dengan kulit. Langkah pencegahan yang tidak kalah pentingnya adalah pembuangan feses yang baik (Zerr, 2001). 2.3. Remaja Putri Remaja putri adalah kelompok populasi yang rawan terhadap defisiensi gizi khususnya defisiensi zat besi. Pada saat remaja putri sedang dalam masa pertumbuhan puncak (peak growth) dibutuhkan zat besi yang lebih tinggi yaitu untuk kebutuhan basal tubuh dan pertumbuhan itu sendiri. Satu tahun setelah peak growth, remaja putri biasanya akan mengalami haid pertama (menarche). Kebutuhan zat besi yang tinggi pada saat peak growth akan menetap karena selanjutnya diperlukan untuk menggantikan zat besi yang hilang pada saat menstruasi atau haid (Sediaoetomo, 2008). Masa remaja dimulai pada saat anak perempuan mengalami menstruasi yang pertama atau menarche, sedangkan pada anak laki-laki yaitu pada saat keluarnya cairan semen. Waktu terjadi proses kematangan seksual pada laki-laki dan perempuan berbeda, hal ini dipengaruhi
45
oleh asupan zat gizi pada saat anak-anak. Kematangan seksual di negara miskin berjalan lebih lama dibandingkan di negara yang lebih maju. Hal ini dipengaruhi oleh status sosial ekonomi di masing-masing negara (Arisman, 2004). 2.3.1. Masalah gizi pada remaja Cukup banyak masalah yang berdampak negatif terhadap kesehatan dan gizi remaja. Dalam beberapa hal masalah gizi remaja merupakan kelanjutan dari masalah gizi pada usia anak, yaitu anemia defisiensi besi, kelebihan dan kekurangan berat badan (Arisman, 2004). Pertumbuhan anak remaja ini juga sangat pesat, kemudian juga kegiatankegiatan jasmani termasuk olahraga juga pada kondisi puncaknya. Oleh sebab itu, apabila konsumsi makanan tidak seimbang dengan kebutuhan kalori untuk pertumbuhan dan kegiatan-kegiatannya, maka akan terjadi defisiensi yang akhirnya dapat menghambat pertumbuhannya. Pada anak remaja putri mulai terjadi menarche (awal menstruasi), yang berarti mulai terjadi pembuangan Fe. Oleh sebab itu kalau konsumsi makanan khususnya Fe kurang, maka akan terjadi kekurangan Fe (anemia) (Notoatmodjo, 1997). Kebiasaan makan yang diperoleh semasa remaja akan berdampak pada kesehatan dalam fase kehidupan selanjutnya, setelah dewasa dan berusia lanjut. Kekurangan besi dapat menimbulkan anemia dan keletihan, kondisi yang menyebabkan mereka tidak mampu merebut kesempatan bekerja. Remaja memerlukan lebih banyak besi dan wanita membutuhkan lebih banyak lagi untuk mengganti besi yang hilang bersama darah haid (Arisman, 2004).
46
Remaja putri mempunyai risiko yang lebih tinggi terkena anemia daripada remaja putra. Alasan pertama karena setiap bulan pada remaja putri mengalami menstruasi. Seorang wanita yang mengalami menstruasi yang banyak selama lebih dari lima hari dikhawatirkan akan kehilangan besi, sehingga membutuhkan besi pengganti lebih banyak daripada wanita yang menstruasinya hanya tiga hari dan sedikit. Alasan kedua adalah karena remaja putri seringkali menjaga penampilan, keinginan untuk tetap langsing atau kurus sehingga berdiet dan mengurangi makan. Diit yang tidak seimbang dengan kebutuhan zat gizi tubuh akan menyebabkan tubuh kekurangan zat gizi yang penting seperti besi (Utamadi, 2002). Remaja belum sepenuhnya matang, baik secara fisik, kognitif dan psikososial. Dalam masa pencarian identitas diri, remaja cepat sekali terpengaruh oleh lingkungan. Kecemasan akan bentuk tubuh membuat remaja membatasi makan. Kesibukan menyebabkan mereka memilih makan di luar rumah atau hanya makan kudapan. Lebih jauh kebiasaan ini dipengaruhi oleh keluarga, teman dan media (Arisman, 2004). 2.3.2. Kebutuhan gizi remaja Penentuan kebutuhan gizi remaja secara umum didasarkan pada Recommende Daily Allowance (RDA). Banyaknya energi yang dibutuhkan oleh remaja dapat diacu pada tabel RDA (terlampir). Secara garis besar, remaja putra lebih banyak memerlukan energi ketimbang remaja putri. Waitt dkk. dalam Arisman (2004) menganjurkan penggunaan kkal per cm tinggi badan sebagai penentu kebutuhan energi yang lebih baik. Perkiraan energi untuk remaja putri dengan usia 11-18
47
tahun yaitu 10-19 kkal/cm. Perhitungan besarnya kebutuhan protein berkaitan dengan pola tumbuh, bukan usia kronologis. Untuk remaja putri berkisar antara 0,27-0,29 g/cm. Kebutuhan akan semua jenis mineral juga meningkat. Peningkatan kebutuhan akan besi dan kalsium paling mencolok, karena kedua mineral ini merupakan komponen penting pembentuk tulang otot. Asupan kalsium yang dianjurkan 800 mg (praremaja) sampai 1.200 (remaja). Asupan thiamin, riboflavin dan niacin harus ditambah sejajar dengan pertambahan energi. Pada remaja kebutuhan zat tinggi karena merupakan masa pertumbuhan yang cepat terutama pada wanita. Wanita remaja yang sudah mendapat haid, median zat besi yang hilang adalah 0,5 mg/hari dan sebanyak 5 % gadis remaja kehilangan zat besi lebih besar dari 1,2 mg/hari. Dengan demikian pada wanita remaja yang sudah mendapat haid, kehilangan zat besi lewat menstruasi ini harus ditambahkan untuk pertumbuhan (Husaini, dkk. 1989).