DEDICATED GRANT MECHANISM INDONESIA Environmental and Social Management Framework (ESMF) Kerangka Pengelolaan Lingkungan dan Sosial
hal | i
Disusun oleh: SAMDHANA INSTITUTE
Singkatan dan Akronim BRWA CPF
Badan Registrasi Wilayah Adat Community Participation Framework (Kerangka Partisipasi Masyarakat) CSO/CBO Civiil Society Organisation/Community-Based Organisation (Organisasi Masyarakat Sipil/Organisasi Berbasis Masyarakat) DGM Dedicated Grant Mechanism DGMI Dedicated Grant Mechanism Indonesia EA Environmental Assessment (Penilaian/Kajian Lingkungan Hidup) EIA Environmental Impact Assessment (Penilaian Dampak Lingkungan Hidup) ESMF Environmental and Social Management Framework (Kerangka Kerja Pengelolaan Lingkungan dan Sosial) FIP Forest Investment Program (Program Investasi Hutan) FPIC Free, Prior, Informed Consultation/Consent GOI Government of Indonesia (Pemerintah Indonesia) GSC Global Steering Committee (Komite Pengarah di tingkat Global) HCVA High Conservation Values Area (Area Bernilai Konservasi Tinggi) IPM Integrated Pest Management (Pengendalian Hama Terpadu) IPLC Indigenous Peoples and Local Community (Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal) JKPP Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif/Particpatory Mapping Network NEA National Executing Agency NSC National Steering Commitee NOL No-Objection Letter (Surat Pernyataan Tidak Keberatan) POM Project Operations Manual (Buku Petunjuk Operasional Proyek) PAPs Project Affected Persons (Warga yang Terkena Dampak Proyek) REDD+ Reducing Emissions from Deforestation and Degradation RAP Resettlement Action Plan (Rencana Aksi Pemukiman Kembali) RMA Rencana Masyarakat Adat (Indigenous Peoples Plan) RPLS/ESMP Rencana Pengelolaan Lingkungan dan Sosial (Environmental and Social Management Plan) SA Social Assessment (Penilaian Sosial) SPPL Surat Pernyataan Kesanggupan melakukan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan UKL dan UPL Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan WB World Bank (Bank Dunia)
hal | ii
Daftar Isi
Singkatan dan Akronim ............................................................................................................ ii Daftar Isi.................................................................................................................................. iii Daftar Tabel .............................................................................................................................iv Daftar Gambar .........................................................................................................................iv Daftar Lampiran .......................................................................................................................iv Ringkasan Eksekutif iv 1.
Pendahuluan .................................................................................................................... 1
2.
Deskripsi Proyek............................................................................................................... 3
3.
Tata Kebijakan Nasional dan Bank Dunia ........................................................................ 7
4.
Kerangka Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan .................................................... 12
5.
Keterbukaan Informasi .................................................................................................. 23
6.
Mekanisme Penyampaian Keluhan................................................................................ 23
7.
Evaluasi .......................................................................................................................... 26
Lampiran ................................................................................................................................ 27
hal | iii
Daftar Tabel Tabel 1 - Kerangka Hukum dan Kelembagaan DGMI............................................................... 9 Tabel 2 - Potensi dampak dan langkah-langkah mitigasi....................................................... 14 Tabel 3 - Tanggungjawab utama dari pengaman lingkungan dan sosial …………………………… 18 Tabel 4 - Contoh Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Sosial (ESMP) .................... 20 Tabel 5 - Struktur & Substansi Dokumen UKL-UPL ............................................................... 43
Daftar Gambar Gambar 1. Prosedur persetujuan ESMF ................................................................................ 21 Gambar 2. Langkah umum dalam mekanisme penyampaian keluhan …………..……………….. 25 hal | iv
Daftar Lampiran Lampiran 1 – Prosedur Penapisan Daftar Negatif ................................................................. 27 Lampiran 2 - Kerangka Partisipasi Masyarakat ...................................................................... 28 Lampiran 3 - Panduan Konsultasi Atas Dasar Informasi di Awal dan Tanpa Paksaan ……..… 32 Lampiran 4 – Penanganan Hibah dan Peminjaman Lahan Secara Sukarela ......................... 35 Lampiran 5 - Kerangka Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan ……..…..……………………… 43 Lampiran 6 - Tabel untuk UKL - UPL …….…………………………………………………………..……………… 48 Lampiran 7 - Format untuk Pengajuan Permohonan SPPL ….…………………………………………... 49 Lampiran 8 - Komponen dan Sub-komponen Proyek DGMI ……….……………………………………. 51
Ringkasan Eksekutif DGMI (Dedicated Grant Mechanism Indonesia) bertujuan mendukung penguatan kapasitas teknis, kelembagaan dan komunikasi Masyarakat Adat (MA) dan Komunitas Lokal (KL) untuk mendapatkan kepastian hak tenurial, meningkatkan mata pencaharian, berpartisipasi secara efektif dalam dialog kebijakan REDD+ dan meningkatkan pengelolaan lahan dan hutan mereka. Sukses dalam mencapai tujuan DGMI diukur dengan 3 indikator: a. MA/KL didukung pemerintah daerah untuk mendapat pengakuan atas peta tanah adat mereka. b. Praktik-praktik penggunaan lahan berkelanjutan diadopsi. c. Jumlah penerima manfaat, minimun 30% adalah perempuan. Komponen DGMI
hal | v
Komponen 1:
Hibah untuk meningkatkan kapasitas MA/KL memperkuat kepastian hak tenurial dan meningkatkan penghidupan
Sub-komponen 1.1:
Penjangkauan masyarakat dan mobilisasi.
Sub-komponen 1.2:
Dukungan bagi organisasi non-pemerintah (LSM) dan organisasi masyarakat yang telah terpilih setelah undangan terbuka pengajuan proposal, untuk bekerja dengan MA/KL penerima manfaat yang ditargetkan dan pemangku kepentingan terkait lainnya (misalnya, pemerintah daerah) tentang ruang lingkup dan pengaturan pelaksanaan proyek, dan untuk memperbaiki proposal proyek Memperkuat kapasitas MA/KL untuk meningkatkan kepastian hak tenurial atas lahan.
Sub-komponen 1.3:
Mendukung MA/KL dalam upaya klaim hak-hak tenurial, terutama melalui skema (a) pengukuhan hutak hak (hutan adat); (b) hak ulayat (berlaku untuk MA dan KL); dan (c) perhutanan sosial. Membangun kapasitas MA/KL untuk meningkatkan mata pencaharian.
Komponen 2:
Membantu MA/KL dengan dua dimensi peningkatan mata pencaharian: (i) menentukan dan menyepakati kegiatan prioritas mata pencaharian yang mereka inginkan untuk menerima dukungan dari proyek ini dan (ii) pembiayaan untuk kegiatan mata pencaharian prioritas mereka untuk berkontribusi dalam pengelolaan hutan dan lahan berkelanjutan. Menginformasikan proses kebijakan dan dialog Fokus pada penguatan perwakilan MA/KL untuk terlibat dalam proses pengambilan kebijakan nasional dan subnasional dan keputusan yang akan menginformasikan isu-isu terkait REDD+, mengatasi penyebab deforestasi, pengelolaan lansekap dan penghidupan MA/KL.
Penerima manfaat DGMI adalah MA/KL. NSC (National Steering Committee) melakukan pengawasan, memastikan fungsi NEA (National Executing Agency) berjalan, memeriksa dan membuat keputusan tentang proposal proyek yang memenuhi syarat. NEA bertanggung jawab atas pelaksanaan DGMI, termasuk pencairan dana, pengawasan, pelaporan, fiducial dan perlindungan lingkungan dan sosial. LSM, organisasi masyarakat dan MA/KL mengembangkan rencana dan melaksanakan proyek DGMI. Tujuan Kerangka Pengelolaan Lingkungan dan Sosial adalah untuk memastikan bahwa dampak lingkungan dan sosial merugikan secara seksama dihindari atau dikurangi. Dalam kategori Bank Dunia DGMI termasuk kategori B, yang tidak diharapkan memiliki dampak lingkungan dan sosial yang signifikan, tapi masih memerlukan kerangka pengaman untuk memastikan kegiatan tidak akan merugikan MA/KL, terutama kelompok yang paling rentan. UU dan peraturan Indonesia menjadi panduan pengelolaan dampak lingkungan kegiatan proyek, diantaranya: - UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan - PP No. 27/2012 tentang Izin Lingkungan - Permen LH No. 5/ 2012 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Memiliki AMDAL Kebijakan pengaman lingkungan dan sosial (environmental and social safeguard policy) World Bank mempersyaratkan identifikasi dan penilaian risiko dan dampak lingkungan dan sosial yang terkait dengan aktivitas proyek yang didukung. Memperhatikan sifat, ruang lingkup dan skala proyek, DGMI diharapkan untuk menerapkan 6 kebijakan safeguard, yakni; - OP 4:01 Environmental assessment - OP 4:04 Natural habitats - OP 4:36 Forests - OP 4:11 Physical cultural resources - OP 4:10 Indigenous peoples, dan - OP 4:09 Integrated pest management.
Potensi dampak dan upaya mitigasinya Komponen
Aktivitas
Potentsi dampak negatif
Upaya mitigasi
1.1
Diseminnasi informasi dan mobilisasi para pihak
Konflik laten akibat perbedaan persepsi dan harapan, termasuk interpretasi legal
Gunakan protokol konsultasi publik DKN (FPIC) sebagai acuan. Sebelum mengirim undangan, verifikasi para pihak di calon lokasi proyek.
1.2
Pemetaan wilayah adat
Konflik dengan pemerintah Konflik dengan swasta pemegang izin Konflik internak MA/KL
1.2
Proses pengakuan legal wilayah adat
Konflik dengan swasta pemegang izin
Gunakan standar proses pemetaan partisipatif (panduan BRWA, JKPP, Chapin) Gunakan Permen LHK No. 84/2015 tentang penanganan konflik tenurial kawasan hutan Gunakan proses IP4T (inventarisasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah) sesuai SKB No. 79/2014.
hal | vi
Komponen
Aktivitas
1.2
Perhutanan sosial bagi masyarakat lokal
1.3
Peningkatan kapasitas untuk perbaikan mata pencaharian, seperti energi berkelanjutan, infrastuktur air Pengembangan penghidupan pedesaan, seperti pertanaian, ketahanan pangan, pemanfaatan hasil hutan non/kayu
1.3
2
Penguatan kapasitas pengembangan dan dialog kebijakan
Potentsi dampak negatif
Konflik internal antar anggota masyarakat akibat perbedaan persepsi dan harapan. Pembatasan akses dan penggunaan lahan. Tekanan terhadap lahan meningkat, memicu konversi hutan
Konflik internal antar anggota masyarakat Kerusakan habitat alam Kerusakan keanekaragaman hayati Pencemaran akibat penggunaaan pestisida/ bahan kimia lain Konflik akibat respon lambat pemerintah
Upaya mitigasi Gunakan informasi tentang prosedur penyusunan Perda untuk mendorong pengesahan masyarakat adat sebagai entitas legal Proses partisipatif pada tahap perencanaan. Dalam proses pengajuan, periksa PIAPS (peta indikatif perhutanan sosial). Penguatan kapasitas alternatif sumber mata pencaharian yang berkelanjutan. Rencana pengelolaan lingkungan dan sosial (RPLS).
Gunakan Daftar Negatif dalam tahap penyaringan proposal Perencanaan partisipatif dalam penyusunan proposal Rencana pengelolaan lingkungan dan sosial (RPLS) Siapakan ijin lingkungan, UKL/UPL, SPPL Pelatihan pengembangan kebijakan bagi pelaku lokal dan pengambil kebijakan. Gunakan kerangka kebijakan naasional, seperti satuan tugas (perhutanan sosial, reforma agraria) untuk menfasilitasi “debottle-necking”
Perangkat pengaman lingkungan dan sosial untuk aktivitas proyek yang didukung DGMI mencakup: -
-
Daftar negatif kegiatan yang tidak dapat didukung FPIC (free, prior, informed consultation/consent) Kerangka Partisipasi Masyarakat Kerangka pengelolaan lingkungan dan sosial; o Rencana pengelolaan lingkungan dan sosial (RPLS) dan o Jika diperlukan SPPL (surat pernyataan kesanggupan melakukan pengelolaan dan pemantauan lingkungan), UKL/ UPL (upaya pengelolaan/pemantauan lingkungan), atau izin lingkungan. o Perjanjian hibah/pinjaman lahan (konstruksi infrastuktur fisik) Keterbukaan informasi (information disclosure) Mekanisme penanganan aduan (grievance redress mechanisms)
hal | vii
1. Pendahuluan Program Ivestasi Kehutanan (FIP) dirumuskan pada tahun 2009 sebagai salah satu program dibawah CIF (Carbon Investment Funds) untuk menjembati pendanaan REDD dari negara maju. Program ini sedang/akan diimplementasikan di 8 negara untuk menanggulangi pemicu kunci deforestasi dan degradasi hutan, sehingga mendorong terjadinya perubahan transformasional yang skalanya dapat digandakan. Desain FIP telah mengidentifikasi pentingnya partisipasi aktif Masyarakat Hukum Adat dan masyarakat lokal (MAKL) dan merekomendasikan perlunya sumberdaya yang didedikasikan secara khusus guna menguatkan kapasitas MAKL untuk berpartisipasi dalam implementasi FIP. Dokumen Desain FIP menyatakan bahwa: “Partisipasi penuh, efektif dan berkesinambungan dari MAKL dalam desain dan implementasi strategi investasi FIP sungguh diperlukan. Partisipasi tersebut sangat tergantung pada penguatan kapasitas MAKL untuk memainkan peran aktif dalam proses-proses REDD nasional umumnya, utamanya dalam proses-proses FIP, termasuk dalam hal pengakuan dan dukungan atas hak-hak tenurial, peran dalam menjaga hutan dan sistem pengelolaan hutan tradisional”. Dokumen juga memandatkan pengembangan inisiatif istimewa, yaitu Mekanisme Hibah yang didedikasikan kepada MAKL (DGM), “untuk memberikan hibah kepada MAKL di negara-negara atau wilayah percontohan guna mendukung partisipasi mereka dalam strategi, program dan proyek investasi FIP”. Melalui Fasilitasi Dewan Kehutanan Nasional (DKN), telah dilakukan Musyawarah Regional selama periode bulan Januari-Juni 2014, untuk menetapkan National Steering Committee (NSC) DGMI. Saat ini, NSC DGMI beranggotakan 11 orang, merupakan perwakilan 7 wilayah, yaitu: Jawa, Sumatera, Kalimantan, Bali dan Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku dan Papua, ditambah 2 orang yang secara khusus mewakili kaum perempuan MAKL yang ditunjuk konstituen melalui proses partisipatif, serta 2 orang yang mewakili Pemerintah dan DKN. Peran NSC dalam DGMI adalah: a. Mengawal proses DGM yang dilaksanakan di tingkat negara dan mengawasi kinerja NEA b. Menyetujui kriteria kelayakan penerimaan pendanaan sesuai dengan kriteria dalam Pedoman Kerangka Kerja Operasional, dengan status ‘tidak keberatan’ dari MDB yang terlibat c. Meninjau dan membuat keputusan tentang pendanaan untuk proposal proyek yang memenuhi persyaratan d. Ikut terlibat dalam pertemuan lembaga REDD+ dan FIP di tingkat nasional e. Melakukan penggalangan dana melalui program/mekanisme lain f. Melaporkan kepada GSC tentang kegiatan di tingkat nasional setiap tengah tahunan g. Melakukan mediasi konflik yang terkait dengan proposal pendanaan DGM
1
hal | 1
DGMI dikelola oleh NEA yang ditetapkan oleh NSC dengan peran utama sebagai berikut: a. Bertanggungjawab atas pelaksanaan DGM di negara percontohan, termasuk pencairan dana untuk penerima dana hibah sesuai kesepakatan dengan MDB yang terkait b. Bertanggungjawab atas pengawasan, pelaporan, pengaman fidusier serta pengaman lingkungan dan sosial sesuai dengan kebijakan MDB c. Melaporkan alokasi dan penggunaan dana kepada MDB pelaksana d. Berfungsi sebagai sekretariat untuk NSC e. Menjalin komunikasi dengan pemangku kepentingan di tingkat negara f. Menyediakan informasi dan bantuan sebagaimana diperlukan kepada penerima dana hibah g. Menyiapkan informasi untuk GEA dan berkoordinasi dengan GEA Prinsip-prinsip operasional dan prioritas, modalitas pendanaan dan tata kelola mekanisme hibah khusus harus dikembangkan melalui konsultasi secara luas dan transparan dengan MAKL (dan organisasi mereka yang ditunjuk) di seluruh wilayah proyek, dan membangun berdasarkan pelajaran yang diperoleh dari mekanisme yang ada. Proyek DGMI termasuk kategori B yang diperkirakan tidak memiliki dampak lingkungan dan sosial yang signifikan, namun tetap membutuhkan kerangka pengaman (Safeguard) sesuai dengan Kebijakan Operasional Bank Dunia (WB) dan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia. Berdasarkan sifat, lingkup dan skala proyek DGMI diperkirakan memicu 6 Kebijakan Kerangka Pengaman WB, yaitu: OP 4.01 Penilaian Lingkungan (Environmental Assessment), OP 4.04 Habitat Alami (Natural Habitats), OP 4.36 Hutan (Forests), OP 4.11 Sumberdaya Budaya Fisik (Physical Cultural Resources), OP 4.10 Masyarakat Adat (Indigenous Peoples), dan OP 4/09 Pengendalian Hama Terpadu. Untuk memenuhi persyaratan kerangka pengaman di atas, NEA (National Implementing Agency) menyiapkan dokumen kerangka pengaman sosial dan lingkungan (ESMF), untuk memandu pelaksana Proyek DGMI dalam mengidentifikasi, menapis, dan menilai isu lingkungan dan sosial yang ditimbulkan oleh sub proyek dan bersifat spesifik lokasi. ESMF juga menerangkan tindakan pengelolaan dan mitigasi yang wajib diterapkan pelaksana proyek, serta rencana pengelolaan yang harus disiapkan oleh pelaksana proyek sebelum implementasi sub proyek. Dalam hal terdapat dana pendamping, implementasi ESMF lebih ketat, tanpa memandang sumber dana di area proyek. Dokumen ESMF merupakan dokumen acuan utama untuk memenuhi kerangka pengaman lingkungan dan sosial yang disyaratkan oleh Proyek DGMI. Untuk itu, dokumen ESMF ini disusun secara sederhana, jelas, singkat dan padat agar dapat dipahami oleh pengguna dari berbagai tingkatan pengetahuan dan pemahaman tentang kerangka pengaman lingkungan dan sosial.
2
hal | 2
2. Deskripsi Proyek 2.1 Ruang Lingkup Proyek Konsisten dengan kerangka kerja DGM Global, DGMI memisahkan Masyarakat Adat (MA) dengan Komunitas Lokal (KL). Pemisahan tersebut muncul dengan sendirinya melalui keputusan masyarakat itu sendiri, baik yang mendeklarasikan dirinya sebagai MA atau tidak. Tujuan DGMI adalah mendukung kapasitas teknis, kelembagaan dan komunikasi MAKL agar mereka dapat berpartisipasi dalam dialog kebijakan REDD+, meningkatkan penghidupan dan meningkatkan pengelolaan lahan tradisionalnya. Dalam perkembangannya, tujuan DGMI dinyatakan secara eksplisit dalam dokumen PAD, yaitu: “meningkatkan kapasitas MAKL untuk berpartisipasi dalam pengelolaan sumberdaya alam melalui pengamanan penguasaan hutan dan peningkatan kesempatan untuk memperoleh penghidupan dari pengelolaan hutan”. hal | 3
Semua kegiatan difokuskan pada tiga komponen utama, yaitu: (1) Memperkuat Kapasitas untuk Meningkatkan Kepastian Tenurial MA/KL atas tanah hutan; (2) Membangun Kapasitas MA/KL untuk Meningkatkan Penghidupan/Mata Pencaharian; (3) Peningkatan Kapasitas NSC dan Manajemen Proyek serta M & E. Keberhasilan dalam mencapai tujuan DGMI dijabarkan menjadi 3 indikator, yaitu: 1) MAKL peserta mendapatkan dukungan pemerintah daerah untuk memperoleh pengakuan terhadap peta adat. 2) Pengguna lahan mengadopsi praktek pengelolaan lahan berkelanjutan. 3) Jumlah penerima manfaat proyek, termasuk minimal 30 persen perempuan. Penerima manfaat langsung diharapkan: (a) menerima dukungan untuk memperkuat keamanan tenure dan mengembangkan/memperkuat rencana pembangunan masyarakat mereka dan (b) menerima dukungan untuk kegiatan mata pencaharian dan pendapatan. Minimal 30 % dari total penerima manfaat adalah perempuan. NSC telah memutuskan bahwa DGMI akan memberikan prioritas bagi masyarakat yang: 1. Telah mulai atau menyelesaikan kegiatan pemetaan wilayah mereka; 2. Telah mulai atau menyiapkan proses mengajukan izin hutan adat dan hutan sosial; dan 3. Hidup di wilayah yang rentan seperti lahan gambut, dataran rendah, daerah rawan kebakaran di dalam kawasan hutan, dan pulau-pulau kecil (yang memperoleh tekanan dari industri – antara lain tambang dan perkebunan).
3
2.2 Lokasi Proyek Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan populasi keempat terbesar dan rentang etnis dan budaya yang sangat beragam. Sebuah negara berkembang berpenghasilan menengah, Indonesia adalah rumah bagi 231 juta orang yang tersebar di 17.000 pulau, meliputi 190 juta hektar lahan dan perairan darat. Ini merupakan daerah hutan tropis terbesar ketiga setelah Brasil dan Republik Demokratik Kongo, dan menjadi rumah bagi penyimpanan keanekaragaman hayati yang kaya. Hutan Indonesia sangat penting tidak hanya untuk pembangunan ekonomi nasional dan mata pencaharian masyarakat setempat, tetapi juga untuk fungsi sistem lingkungan global. Sekitar seperempat (50-60 juta) penduduk Indonesia tinggal di sebagian besar pedesaan, yang diakui oleh negara sebagai "kawasan hutan," dan orang-orang ini lebih miskin dibandingkan rata-rata nasional. Daerah ini juga merupakan rumah bagi sebagian besar masyarakat (hukum) adat Indonesia, banyak dari mereka yang hidup bergantung pada hutan dan miskin atau rentan terhadap kemiskinan. Pengentasan kemiskinan tetap menjadi tantangan di zona hutan. Masyarakat yang tinggal di sana umumnya tidak memiliki hak formal untuk tanah mereka dan ini menyebabkan konflik terbuka atas penggunaan lahan dengan perusahaan penebangan dan perkebunan, dan iklim investasi yang buruk. Sementara hutan menyediakan sumber daya penting bagi masyarakat lokal, ketidak-jelasan hak penggunaan, birokrasi, sulitnya akses ke pasar, dan kurangnya kapasitas kelembagaan sering menghambat pemanfaatan ekonomi secara penuh atas sumber daya tersebut. Masyarakat yang bergantung pada hutan akan terkena dampak secara langsung dari perngembangan kebijakan hutan namun kurangnya pemberdayaan menunjukkan bahwa masyarakat lokal telah dikecualikan dari proses kebijakan. Orang yang bergantung pada hutan telah banyak dikeluarkan dari proses kebijakan kehutanan yang berdampak langsung pada kehidupan mereka dan tidak punya kesempatan untuk menjadi pelaku utama dalam pengembangan strategis mereka sendiri karena kurangnya kapasitas dan pemberdayaan. DGMI diimplementasikan di 7 wilayah atau regio: Bali dan Nusa Tenggara, Jawa, Kalimantan, Maluku, Papua, Sulawesi, dan Sumatera. Sampai saat ini lokasi yang tepat dan kegiatan khusus DGMI masih sangat terbuka, tergantung pada proposal yang diajukan oleh konstituen MAKL. NSC menargetkan untuk memilih 14 proyek prioritas dalam 7 regio (2 proyek per wilayah) di tahun pertama sebagai pilot. 2.3 Komponen Proyek Penjelasan lengkap dari komponen dan sub-komponen proyek DGMI dapat dilihat pada Lampiran 8. Kemungkinan besar setiap proposal dari OMS/OBM (Organisasi Masyarakat Sipil/Organisasi Berbasis Masyarakat) akan mencakup lebih dari satu subkomponen, yang bisa saja menambah lapisan baru dari resiko/dampak yang membutuhkan mitigasi lebih lanjut. Beberapa sub-komponen mungkin tumpang tindih dalam wilayah yang sama, oleh karena itu instrumen pengaman (safeguard) yang relevan harus dikembangkan sebagaimana yang dapat diterapkan. Sementara proyek ini diharapkan memiliki hasil yang menguntungkan secara keseluruhan, hasil 4
hal | 4
yang tidak diinginkan perlu diperhitungkan. Persyaratan ESMF terkait dengan komponen sub-proyek adalah sebagai berikut: Sub-komponen 1.1. Penjangkauan dan Mobilisasi Masyarakat 1. Sub-komponen ini akan membantu menjelaskan tentang bagaimana sumberdaya yang terkait dengan proyek ini akan dialokasikan, prosedur dan kriteria untuk mengidentifikasikan kegiatan-kegiatan yang akan didukung proyek, durasi kegiatan proyek, dan persyaratan kepatuhan. Penjangkauan dan mobilisasi juga akan memberikan informasi kepada MAKL tentang berbagai tantangan dan peluang yang muncul dari regulasi yang ada sehubungan dengan hak atas lahan mereka serta upaya-upaya lainnya untuk menjelaskan tentang hak-hak mereka. Sub-komponen ini juga mencakup tanggungjawab yang akan dihadapi masyarakat jika mereka memanfaatkan peluang-peluang ini. Penjangkauan dan mobilisasi juga akan mencakup informasi yang relevan tentang sumberdaya dari sektor publik dan swasta bagi pembangunan daerah serta proses dan persyaratan untuk mengakses pendanaan ini, termasuk mekanisme berbagi manfaat. 2. Meningkatkan kesadaran dan sosialisasi persyaratan pengamanan (safeguard) yang relevan akan dilakukan melalui coaching clinic, validasi lapangan, dan verifikasi lapangan oleh NEA dan NSC. Upaya awal akan fokus untuk mensosialisasikan pengamanan dan mengapa tindakan tersebut diperlukan, yaitu untuk memastikan bahwa investasi DGMI bertanggung jawab dan berkelanjutan secara sosial dan lingkungan. Kerangka Partisipasi Masyarakat (CPF) akan diperkenalkan untuk mengarus-utamakan FPIC (free, prior and informed consultations atau konsultasi yang diinformasikan secara bebas/tanpa tekanan sebelum kegiatan dimulai) dengan MAKL. MAKL akan diberitahu bahwa kegiatan yang termasuk dalam daftar negatif tidak dapat didanai oleh DGMI dan akan ada langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah dan meminimalkan konflik vertikal dan horisontal antara penerima manfaat dan pemangku kepentingan. Sub-komponen 1.2: Memperkuat Kapasitas MAKL untuk Meningkatkan Jaminan Hak atas Lahan 3. Tujuan dari sub-komponen ini adalah untuk membantu MAKL melangkah jauh ke depan dalam berbagai proses yang telah mereka lakukan untuk memperkuat jaminan hak atas lahan mereka. Dukungan yang diberikan akan berbeda antara komunitas MA dan KL. Sub-komponen ini juga akan membantu masyarakat setempat yang telah diakui secara formal melalui aturan daerah dan berkeinginan untuk memperoleh surat ijin atas kehutanan sosial untuk melakukan langkahlangkah yang diperlukan. 4. Sub-komponen ini akan mendanai pengumpulan bukti bagi pengajuan permohonan dan mendukung masyarakat untuk menindak lanjuti proses-proses tertentu. Sub-komponen ini akan memberikan bantuan teknis dan penguatan kapasitas bagi MAKL untuk membantu mereka dalam mengumpulkan informasi dan dokumen penting yang terkait dengan klaim mereka dan untuk menunjukkan bahwa tidak ada pertentangan dalam klaim tersebut. Sehubungan dengan hal ini, komponen tersebut juga dapat membantu dalam penyelesaian konflik yang 5
hal | 5
secara langsung atau secara tidak langsung berdampak negatif terhadap upaya MAKL untuk memperkuat jaminan hak atas lahan mereka. Komponen tersebut juga mendukung penguatan kapasitas MAKL untuk menjalin hubungan dengan pengambil keputusan di pemerintahan dalam cara yang efisien dan informasi yang memadai. 5. Pemilihan masyarakat yang layak untuk memperoleh dukungan dari komponen ini akan didasarkan pada kriteria berikut: (i) bukti adanya kesediaan di tingkat daerah untuk mengakui kehadiran MAKL dan klaim mereka atas hak-hak lahan kolektif, (ii) dukungan yang diperoleh dalam pemetaan partisipatif dari klaim lahan (termasuk lahan adat) dan pemetaan telah selesai dilakukan atau menunggu finalisasi, (iii) wilayah yang dipandang sebagai daerah prioritas untuk mencapai tujuan REDD+ (misalnya lahan gambut, dataran rendah, wilayah yang rentan kebakaran) atau merupakan bagian dari PIAPS dan (iv) kelayakan. Penilaian kriteria untuk pemilihan lokasi dan masyarakat akan dijabarkan dalam manual operasional proyek. 6. Saat ini, potensi dampak dan risiko tidak sepenuhnya diketahui. Risiko mungkin saja termasuk sengketa, konflik dan penggunaan lahan yang tidak berkelanjutan. Instrumen pengamanan (misal RPLS) yang diperlukan akan disiapkan selama persiapan proposal masyarakat dan rencana untuk penjangkauan dan sosialisasi akan diintegrasikan ke dalam desain. Pengawasan dan rencana pemantauan juga perlu tertanam dalam rancangan usulan untuk setiap peserta OMS / OBM untuk lebih memastikan pengelolaan lingkungan dan sosial yang baik, terutama berkaitan dengan mitigasi potensi sengketa dan konflik serta pemanfaatan lahan dan sumber daya yang berkelanjutan. Sub-komponen 1.3: Penguatan Kapasitas MAKL untuk Meningkatkan Penghidupan 7. Sub-komponen ini akan membantu MAKL dengan dua dimensi penghidupan: (i) penguatan kapasitas fasilitator lokal, pengembangan rencana investasi masyarakat, dan upaya untuk memprioritaskan berbagai elemen dalam rencana, serta (ii) pembiayaan bagi upaya penghidupan prioritas yang diterima secara luas agar berkontribusi pada pengelolaan hutan dan lahan yang berkelanjutan. Ini mungkin termasuk investasi yang berhubungan dengan infrastruktur berukuran kecil. 8. Sub-komponen ini akan membiayai kegiatan penghidupan yang layak yang teridentifikasi dalam rencana masyarakat yang dikembangkan berdasarkan pada kriteria berikut: (i) proponen baru saja memperoleh hak atas lahan hutan atau sedang dalam proses untuk memperoleh hak atas lahan hutan, (ii) kegiatan tersebut sesuai dengan kegiatan yang diajukan, jika relevan, dalam rencana pengelolaan hutan atau kegiatan yang diterima secara luas agar menghasilkan pengelolaan yang berkelanjutan atas hutan dan lahan, (iii) kelayakan dan potensi bagi pendanaan mandiri setelah pemanfaatan dana hibah, (iv) potensi untuk memperkuat sumber-sumber pendanaan lainnya, dan (v) proposal disertai dengan bukti dukungan (endorsement) dari masyarakat. 9. Kriteria kelayakan, daftar negatif, dan kerangka partisipasi masyarakat berfungsi sebagai instrumen pengamanan/safeguard pada tahap awal. Pengamanan terkait 6
hal | 6
lainnya adalah persyaratan pemerintah terutama pada izin lingkungan, Rencana Pengelolaan Lingkungan dan Sosial, dan penanganan donasi tanah secara sukarela (VLD/Voluntary Land Donation). Perlunya langkah-langkah pengamanan akan diidentifikasi selama proses seleksi dan perbaikan proposal, dan setiap anggaran dan sumber daya yang terkait pengamanan akan sepatutnya tercermin dalam usulan masyarakat. Komponen 2: Menginformasikan Proses Kebijakan dan Dialog 10. Sub-komponen 2 akan memfokuskan pada penguatan NSC agar terlibat dalam proses kebijakan yang terkait dengan REDD+, pengelolaan sumberdaya hutan, memastikan adanya jaminan hak atas lahan dan meningkatkan penghidupan MAKL. Komponen ini juga akan memperkuat kapasitas NSC, serta melalui anggota NSC dan jaringan yang terkait dengan mereka berupaya untuk menunjukkan bukti dari kegiatan yang didukung oleh DGM untuk berbagai proses dialog. Komponen ini juga akan membantu NSC dalam mendorong koordinasi yang lebih kuat diantara berbagai inisiatif MAKL yang memiliki tujuan serupa. 11. Dari sudut pandang pengamanan, komponen tersebut tidak akan menimbulkan dampak negatif yang signifikan. Namun, mengingat banyaknya variabel dalam proses kebijakan dan dialog, potensi konflik dapat timbul antara NSC dan pejabat pemerintah dan/atau perusahaan swasta, terutama yang disebabkan oleh perbedaan pendekatan antara aturan/hukum positif dan kearifan tradisional dalam memecahkan permasalahan yang terkait. Instrumen pengaman akan memfokuskan pada peningkatan kapasitas pribadi (softskill) dari anggota NSC pada pengamanan kegiatan-kegiatan terkait REDD+ dan pengelolaan sumber daya hutan serta kemampuan komunikasi strategis, negosiasi dan lobi untuk mempengaruhi proses reformasi kebijakan.
3. Tata Kebijakan Nasional dan Bank Dunia Aturan hukum di Indonesia memberikan pedoman bagi pengelolaan dampak lingkungan yang timbul dari suatu proyek/kegiatan. UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Turunan dari UU No. 32/2009 adalah Peraturan Pemerintah (PP) No. 27/2012 tentang Izin Lingkungan yang menekankan pada perlunya untuk mempersiapkan berbagai dokumen kajian lingkungan – AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) atau UKL/UPL (Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup/Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup) – untuk kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak lingkungan dan sosial. PP tersebut menjelaskan tentang persyaratan AMDAL, UKL/UPL atau SPPL, proses perizinan, pedoman persiapan berbagai dokumen lingkungan, keterlibatan masyarakat dan konsultasi publik, mekanisme penanganan keluhan, pelaksanaan dan pemantauan langkah-langkah manajemen serta mitigasi untuk mengatasi dampak negatif yang signifikan. UKL-UPL berkaitan dengan pengelolaan dan pemantauan
7
hal | 7
upaya/kegiatan yang tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap lingkungan, yang diperlukan untuk proses pengambilan keputusan mengenai pelaksanaan usaha/kegiatan. SPPL (Surat Pernyataan Kesanggupan melakukan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan) adalah pernyataan untuk memantau dan mengelola dampak lingkungan dari usaha/kegiatan yang dikecualikan dari persyaratan AMDAL atau UKL-UPL Peraturan Kementerian Lingkungan Hidup No. 5/2012 tentang Jenis Kegiatan yang Memerlukan AMDAL memberi daftar kegiatan yang dikecualikan dari persyaratan AMDAL atau UKL-UPL. Pasal 3(4) menyatakan bahwa AMDAL tidak diperlukan untuk kegiatan (c) yang mendukung konservasi kawasan lindung, (e) budidaya tanpa dampak (merugikan) lingkungan yang signifikan, dan (f) budidaya oleh masyarakat adat di suatu daerah tetap yang tidak mengurangi fungsi kawasan lindung dengan melakukan pemantauan/pengawasan ketat. Kebijakan Pengamanan Lingkungan dan Sosial dari Bank Dunia (WB, World Bank) menjelaskan tentang persyaratan untuk melakukan identifikasi dan penilaian resiko serta dampak lingkungan dan sosial yang terkait dengan berbagai proyek yang didukung oleh Bank Dunia. Standar-standar tersebut akan: (a) mendukung pencapaian praktek internasional yang baik yang terkait dengan kelestarian lingkungan dan sosial; (b) membantu dalam memenuhi kewajiban lingkungan dan sosial di tingkat nasional dan internasional; (c) meningkatkan aspek non-diskriminasi, transparansi, partisipasi, akuntabilitas dan tata kelola; dan (d) meningkatkan hasil pembangunan yang berkelanjutan dari proyek melalui keterlibatan pemangku kepentingan secara terus-menerus. Berikut ini adalah kebijakan operasional/prosedur (OP, Operational Policies/BP, Bank Procedures) pengaman lingkungan dan sosial yang terkait dengan kegiatan DGMI: OP/BP 4.01 Kajian Lingkungan OP/BP 4.04 Habitat Alami OP 4.09 Pengelolaan Hama OP/BP 4.11 Sumberdaya Budaya Fisik OP/BP 4.10 Masyarakat Adat OP/BP 4.36 Hutan Dana hibah yang disalurkan DGMI menitikberatkan pada upaya peningkatan kapasitas dan mendukung inisiatif dari Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal (MAKL). Proyek berusaha untuk mengatasi masalah jaminan hak atas lahan dan penghidupan yang terkait secara erat dengan kerangka hukum dan kelembagaan nasional sehubungan dengan hak-hak MAKL. Tabel 1 menyajikan ringkasan dari kerangka kebijakan untuk hak-hak MAKL yang berhubungan dengan investasi DGMI.
8
hal | 8
Tabel 1. Kerangka Hukum dan Kelembagaan DGMI Permasalahan
Pengakuan hak-hak MA dan alokasi wilayah hutan untuk KL
Kerangka Hukum dan Kelembagaan Pengakuan hak-hak MA atas lahan dan sumberdaya kehutanan dinyatakan secara eksplisit di tingkat peradilan, legislatif dan eksekutif: UUD dan UU menegaskan hak-hak MA, antara lain pada: UUD1945, TAP MPR/IX/2001, UU Kehutanan No. 41/99, UU Agraria No. 5/60, UU Desa No. 16/2014, UU Kelautan, UU Otonomi Khusus untuk Papua dan Aceh, dsb. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/2012 tentang Status Hutan Adat (bukan sebagai hutan negara). Peraturan Presiden No. 45/2016 tentang Reforma Agraria (sebagai program prioritas nasional). Pembentukan Gugus Tugas untuk Reforma Agraria, Hutan Sosial dan Masyarakat Adat, dan IP4T (Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah). Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 52/2014 dan No. 10/2016 mengatur tentang prosedur untuk: a) Identifikasi MA b) Validasi MA dan c) Pengakuan MA Peraturan Menteri Tata Ruang dan Agraria No. 10/2016 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal atas Tanah Masyarakat Hukum Adat (diberikan untuk MA, koperasi, organisasi petani di wilayah hutan dan perkebunan).
Kesenjangan/Peluang yang terkait dengan Kebjiakan Operasional WB Mekanisme untuk pengakuan hak-hak MA mensyaratkan diumumkannya peraturan daerah. Hal tersebut muncul dalam dualisme hukum: wilayah hutan dikelola dan dikuasai negara dimana hutan adat berada. Hal ini juga berakibat pada tidak adanya kejelasan hak atas lahan dalam hal pemberian izin pengelolaan hutan. Situasi seperti ini merupakan suatu tantangan untuk menerapkan OP/BP WB yang mensyaratkan kejelasan status penggunaan dan kepemilikan lahan untuk investasi pada lahan dan hutan MAKL.
hal | 9
Kerangka hukum dan kelembagaan yang ada dapat dipakai untuk mengembangkan berbagai upaya untuk memastikan kejelasan hak atas lahan melalui pengakuan resmi terhadap hak atas lahan bagi MA dan/atau pemberian izin pengelolaan hutan untuk KL.
Peraturan Menteri Lingkungan HIdup dan Kehutanan No.32 /2015 tentang Hutan Adat (bukan sebagai hutan negara, yaitu dimiliki oleh MA). Peraturan Menteri Lingkungan HIdup dan Kehutanan No. 84/2015 tentang penanganan konflik yang terkait dengan hak atas wilayah hutan dengan menggunakan instrumen partisipatif (RATA [rapid tenure assessment] dan AGATA [analisa gaya
9
Permasalahan
Kerangka Hukum dan Kelembagaan
Kesenjangan/Peluang yang terkait dengan Kebjiakan Operasional WB
bersengketa]) dan diselesaikan melalui 6 (enam) skema kehutanan sosial: Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Kemitraan (usaha konservasi dan kehutanan), Hutan Adat, and Hutan Rakyat KDTK (Kawasan Dengan Tujuan Khusus) misalnya untuk masyarakat pemburupengumpul tradisional. UU Desa memperbolehkan penetapan desa adat, dengan kekuatan hukum untuk mengelola aset masyarakat, termasuk lahan dan hutan yang terletak di dalam wilayah administrasi desa. Konsultasi Atas Dasar Informasi Awal dan Tanpa Paksaan (FPIC)
Tidak adanya pedoman FPIC. Badan pemerintah yang bertanggungjawab atas FPIC tidak jelas. UU Kesehatan mencakup unsur FPIC, namun orientasinya pada individu. UU Perkebunan Tahun 2014 mensyaratkan FPIC. Terdapat berbagai peraturan tentang konsultasi publik, namun untuk FPIC masih minim.
Partisipasi dan Akses terhadap Informasi
OP/BP WB 4.10 menggantikan ‘persetujuan’ dengan ‘konsultasi’. Konsultasi publik seringkali tidak memenuhi syarat FPIC. RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil), FSC (Forest Stewardship Council), CCBS (Community, Carbon and Biodivesity Standards) menentukan kriteria untuk FPIC secara sukarela.
Sejumlah daerah (misal Palu) memiliki peraturan daerah tentang FPIC.
Protokol Konsultasi Publik DKN (2013) tersedia, berdasarkan Kesepakatan Cancun.
UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik memberikan mandat partisipasi dalam pembangunan, pelaksanaan dan pemantauan
OP/BP WB menekankan pada partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam, pengungkapan informasi.
Kebanyakan kebijakan dan peraturan tentang NRM (Natural Resources Management / Pengelolaan Sumberdaya Alam) yang melibatkan komunitas lokal mensyaratkan konsultasi publik. KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan) juga memerlukan informasi dan partisipasi publik karena terkait dengan pengelolaan hutan di lokasi proyek dengan MAKL
Meningkatkan keterlibatan masyarakat adalah instrumen pengaman utama dalam perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan proyek
10
hal | 10
Permasalahan
Penghidupan dan Inklusi Sosial
Kerangka Hukum dan Kelembagaan Gugatan perdata pembayar pajak yang terkait dengan akses terhadap informasi memenangkan perkara di pengadilan pada tahun 2015. Namun demikian, tidak ada turunan peraturan pemerintah tentang akses dan transparansi informasi untuk pemegang izin NRM. UU Desa No. 6/2014 dan peraturan pelaksanaan PP No. 43/ 2014 dan PP No. 60 tentang Dana Desa yang Bersumber pada APBN merupakan landasan untuk tata kelola di tingkat lokal, pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat.
Kesenjangan/Peluang yang terkait dengan Kebjiakan Operasional WB
Partisipasi masyarakat adalah instrumen pengaman utama untuk pemberdayaan.
Perpres 45/2016 menetapkan Reforma Agraria sebagai program prioritas nasional dan pemberdayaan di tingkat daerah bagi 40% yang termiskin dari masyarakat desa miskin.
Dampak lingkungan
MAKL mempunyai kesempatan untuk membangun secara mandiri dengan pendanaan desa yang memadai. Desa dapat berfungsi sebagai masyarakat yang mandiri dalam pemerintahannya (self-governing), tidak hanya sekedar unit administratif di bawah pemerintah daerah. Desa dapat memperoleh otonomi yang lebih luas. UU Lingkungan Hidup 32/2009 dan UU Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya No. 5/1990 yang diperkuat oleh UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang mensyaratkan langkah-langkah mitigasi dampak lingkungan dan sosial ke dalam prosedur perizinan NRM. PP 71/2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut mensyaratkan adanya kajian lingkungan hidup strategis.
hal | 11
Perundang-undangan di Indonesia sejalan dengan kebijakan pengaman WB, kecuali untuk pemisahan antara dampak sosial dan lingkungan. Mitigasi dampak lingkungan dan sosial diperlukan di lokasi proyek.
11
4. Kerangka Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan 4.1. Kajian Awal Lingkungan dan Sosial Kegiatan khusus DGMI tidak mungkin menghasilkan dampak pengaman yang signifikan karena sesungguhnya kegiatan-kegiatan tersebut bertujuan untuk memberikan ruang dan struktur untuk koordinasi yang lebih baik, berbagi pengetahuan serta kolaborasi secara keseluruhan antara MAKL di dalam dan di luar proyek. Selain itu, peran kepemimpinan MAKL dalam badan pengurus proyek (NSC) memastikan bahwa para pemangku kepentingan mengarahkan proyek agar memberikan hasil positif pada aspek sosialnya. Namun demikian, WB memutuskan bahwa DGMI kemungkinan akan dinilai sebagai Kategori B sehingga diperlukan kajian dampak lingkungan dan sosial untuk memastikan bahwa potensi dampak negatif DGMI dapat dilakukan mitigasi sedini mungkin. Pembahasan berikut ini memberikan penjelasan singkat tentang bagaimana OP/BP yang dipicu oleh kegiatan DGMI. 1. Kajian Lingkungan Hidup (OP/BP 4.01). Kegiatan yang akan dibiayai oleh DGMI diharapkan memiliki dampak positif pada lingkungan hidup karena Proyek secara keseluruhan berusaha untuk mendorong pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan di tanah adat dan bagi komunitas setempat lainnya yang mata pencahariannya bergantung pada sumberdaya tersebut. Sifat dan skala investasi yang diusulkan tidak diharapkan memiliki dampak merugikan yang signifikan namun diharapkan memberikan dampak lingkungan dan sosial yang positif. Meskipun adanya dampak positif tersebut, kegiatan Proyek yang diusulkan mungkin berada di wilayah keanekaragaman hayati dan hutan yang penting sehingga diperlukan kebijakan pengaman. Proses penyaringan harus membedakan antara orang yang diidentifikasikan sebagai masyarakat adat, sesuai dengan Kebijakan OP 4.10 Bank Dunia, yang mana identitasnya berbeda dari kelompok arus utama masyarakat di tingkat nasional sehingga seringkali menjadi masyarakat yang paling terpinggirkan dan paling rentan, dan komunitas lokal berada di wilayah yang sama. Komunitas lokal yang sangat bergantung pada sumberdaya hutan kemungkinan juga berada pada posisi yang tidak menguntungkan dan rentan, dan dampak yang terkait dengan degradasi hutan maupun penguasaan dan penggunaan sumber daya alam dapat memparah kerentanan ini. Baik masyarakat adat maupun komunitas lokal harus dapat menikmati manfaat pembangunan dan peluang yang terkait dengan DGMI secara bersama-sama. ESMF juga menangani masalah kemampuan MAKL terkena dampak untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi serta prosedur pemantauan dan pelaporan.
12
hal | 12
2. Habitat Alami (OP/BP 4.04). Kegiatan untuk proyek di tingkat negara yang diusulkan harus membawa dampak positif pada habitat alami, seperti konservasi dan pengelolaan yang berkelanjutan dari habitat tersebut. Namun demikian, karena kegiatan proyek kemungkinan akan berlangsung di sekitar wilayah hutan dan/atau kawasan lindung atau habitat alami, maka kebijakan ini dirasakan perlu, dan selama proses persiapan DGMI, perlu dikaji bagaimana persyaratan kebijakan ini dapat diterapkan. Oleh karena itu secara tegas dinyatakan bahwa alih fungsi hutan primer tidak akan diizinkan. Kajian dampak yang terkait dengan pengembangan mata pencaharian perlu disertai dengan langkah-langkah mitigasi yang relevan. 3. Hutan (OP/BP 4.36). Proyek dan kegiatan DGM di tingkat negara akan memiliki dampak positif pada ekosistem hutan melalui berbagai kegiatan seperti mencegah penggundulan hutan, melakukan regenerasi lahan hutan yang terdegradasi, melindungi dan meningkatkan layanan ekosistem maupun keanekaragaman hayati. Oleh karena kegiatan proyek kemungkinan berlangsung pada atau di sekitar wilayah hutan, maka kebijakan ini sangat diperlukan di tingkat program. NSC dari DGMI telah sepakat bahwa proyek pengalihan fungsi hutan primer tidak akan diperbolehkan. Kajian dampak dan mitigasi pada kawasan hutan menentukan bagaimana persyaratan kebijakan dapat diterapkan untuk keadaan tertentu, termasuk, namun tidak terbatas pada, restorasi hutan, perkebunan, pengumpulan/pengolahan hasil hutan non-kayu dan kegiatan agro-kehutanan. 4. Pengelolaan Hama (OP 4.09). Kegiatan DGMI tidak akan berhubungan dengan pestisida. Namun demikian, pestisida dengan jumlah tertentu dapat digunakan dalam jangka pendek untuk kegiatan di dalam/luar kawasan hutan yang terkait dengan inovasi atau perluasan pertanian. Kebijakan ini dengan demikian dirasakan perlu untuk proyek. Namun demikian, sesuai dengan kebijakan ini, maka kegiatan proyek tidak akan menggunakan pestisida yang dilarang oleh aturan hukum di Indonesia dan konvensi internasional. Sebagaimana diatur dalam kebijakan, PMP akan mengacu pada Usulan Klasifikasi Pestisida Menurut Tingkat Bahaya dan Pedoman Klasifikasi dari Organisasi Kesehatan Dunia (Jenewa: WHO 1994-95). 5. Sumberdaya Budaya Fisik (OP/BP 4.11). Kebijakan ini diperlukan untuk proyek karena DGMI bekerjasama dengan MAKL. Persyaratan kebijakan yang diterapkan di DGMI adalah inklusi dalam daftar negatif; perubahan dan perusakan sumberdaya budaya fisik dilarang keras. 6. Masyarakat Adat (OP/BP 4.10). Kebijakan ini dibuat dan diterapkan karena Masyarakat Adat adalah penerima manfaat utama dari program ini. Manfaat dan peluang untuk MA perlu diidentifikasi dengan cara yang sesuai dengan budaya, apabila program ini dilaksanakan di daerah dimana terdapat masyarakat adat atau apabila masyarakat adat memiliki keterikatan kolektif terhadap lahan, seperti yang disyaratkan oleh OP 4.10. Persiapan DGMI akan dilakukan secara partisipatif dan
13
hal | 13
sesuai dengan budaya yang akan mencakup proses konsultasi dengan Masyarakat Adat atas dasar informasi awal dan tanpa paksaan. Apabila proposal sub-proyek langsung berasal dari masyarakat adat yang mungkin tidak diakui secara resmi, maka DGM bertanggungjawab untuk menentukan apakah kelompok ini memenuhi kriteria OP 4.10 sebagai Masyarakat Adat. DGMI dimaksudkan untuk fokus pada IP, mereka akan sepenuhnya terlibat dalam proyek dan memberikan dukungan luas melalui konsultasi atas dasar informasi awal dan tanpa paksaan (FPIC). Elemen FPIC diarusutamakan ke dalam rancangan dan implementasi proyek, termasuk langkahlangkah pengamanan terkait. 7. Akses terhadap Informasi. Bank Dunia memastikan bahwa semua dokumentasi yang terkait dengan proyek tersedia untuk berbagai pemangku kepentingan dan mudah diakses. Informasi ini disediakan melalui situs web Bank Dunia, Infoshop dan secara lokal di tingkat negara. 8. Pertimbangan Gender dan Kelompok Rentan. Bank Dunia telah menyusun pedoman untuk memastikan bahwa potensi resiko proyek pembangunan terhadap perempuan dan kelompok rentan lainnya diidentifikasi dan ditangani sebagai bagian dari proses kajian sosial. Proses konsultasi harus mencakup pandangan, kepedulian dan prioritas dari laki-laki dan perempuan serta keinginan dari kelompok yang kurang beruntung dan rentan. NSC DGMI sepakat bahwa minimal 30% dari penerima manfaat adalah kaum perempuan, ditambah dengan semua kelompok yang rentan di masyarakat. 9. Ketentuan Khusus yang terkait dengan DGM dan Pertimbangan Pengamanan. Kegiatan DGMI akan dilaksanakan sesuai dengan seluruh kebijakan pengamanan Bank Dunia dan aturan hukum yang berlaku di negara dimana kegiatan dilaksanakan. Daftar kegiatan yang tidak layak untuk didanai oleh DGM diberikan di Lampiran 1. Berdasarkan desain proyek DGMI, perkiraan dampak lingkungan dan sosial, serta langkah-langkah indikatif mitigasi dan pemantauan disajikan pada Tabel 2 dibawah ini. Tabel 2. Potensi dampak dan langkah-langkah mitigasi* Komponen 1.1
1.2
Kegiatan Penyebaran informasi dan mobilisasi pemangku kepentingan di tingkat sub-proyek Pemetaan wilayah adat
Potensi Dampak Negatif
Mitigasi
Konflik laten akibat perbedaan persepsi dan harapan, termasuk interpretasi hukum
Penggunaan protokol konsultasi DKN sebagai titik acuan; memverifikasi potensi keberadaan berbagai aktor dan aliansi di lokasi proyek sebelum mengundang para peserta Penggunaan proses pemetaan partisipatif
Konflik dengan pemerintah
14
hal | 14
Komponen
Kegiatan
Potensi Dampak Negatif Konflik dengan pemegang lisensi korporasi Konflik internal di MAKL
1.2
1.2
Proses pengakuan hukum dari wilayah adat
Lisensi kehutanan sosial bagi komunitas lokal
Konflik dengan pemegang lisensi pihak swasta;
penggunaan lahan dan sumber daya yang tidak berkelanjutan dalam mengantisipasi pengakuan
Konflik di kalangan anggota komunitas akibat perbedaan persepsi dan harapan. Pemanfaatan lahan dan pembatasan akses.
Mitigasi standar (Panduan dari BRWA, JKPP, Chapin)
Memastikan pengawasan dan pengembangan kapasitas untuk pelaksana lokal untuk menangani perselisihan dan ketegangan; Membangun Mekanisme Penanganan Keluhan (GRM/ Grievance Redress Mechanism) serta bantuan teknis untuk operasionalisasi-nya; Penggunaan Permen LHK No. 84/2015 tentang Penanganan Konflik Penggunaan proses IP4T Akses dan penggunaan informasi tentang prosedur peraturan pemerintah daerah untuk mengajukan pengakuan masyarakat adat sebagai entitas hukum
Sosialisasi dan penjangkauan penggunaan lahan berkelanjutan; Memastikan bahwa mekanisme pengawasan dan pemantauan ada di OMS/OBM pelaksana Proses yang partisipatif saat melaksanakan persiapan. Untuk permohonan lisensi pengelolaan, rujuk pada dengan PIAPS (peta indikatif perhutanan sosial) Rencana Pengelolaan Lingkungan dan Sosial (RLPS / ESMP) Pengembangan kapasitas untuk masyarakat yang berpartisipasi, dengan fokus pada pemanfaatan lahan dan sumberdaya yang berkelanjutan Kesepakatan pembagian manfaat dengan mereka yang mungkin terkena dampak dalam hal
15
hal | 15
Komponen
Kegiatan
Potensi Dampak Negatif
Mitigasi
pemanfaatan lahan dan pembatasan akses 1.3 Peningkatan Semakin tingginya tekanan Peningkatan kapasitas bagi kapasitas bagi untuk alih fungsi lahan produksi/penghasilan perbaikan penghutan alternatif yang hidupan: misalnya berkelanjutan. energi terbarukan, Pengembangan ECOPs infrastruktur air (Environmental Code of Practices) Pengembangan ESMP 1.3 Pengembangan Konflik internal di Penerapan daftar negatif penghidupan di kalangan anggota MAKL dalam tahap daerah setempat penyaringan/penapisan Hilangnya habitat atau pedesaan: Perencanaan partisipatif Hilangnya misalnya pertanian, dalam pengembangan keanekaragaman hayati produk kehutanan proposal Polusi yang terjadi dari kayu/non-kayu, Pengembangan ECOPs pemakaian ketahanan pangan Pengembangan ESMP pestisida/agrokimia Memperoleh izin lingkungan, menyiapkan UKL/UPL atau SPPL. 2 Peningkatan Konflik yang terjadi akibat Pelatihan penyusunan kapasitas NSC kurangnya respon yang kebijakan berbagai untuk cepat dari pihak pemangku kepentingan bagi pengembangan pemerintah aktor setempat dan kebijakan dan dialog pengambil keputusan kebijakan Memanfaatkan elemen nasional seperti Gugus Tugas (misalnya Perhutanan Sosial, Reforma Agraria) untuk memfasilitasi “penghilangan hambatan” *) Tidak semua kegiatan DGMI memiliki potensi dampak sosial dan lingkungan negatif, hanya kegiatan yang dipandang memiliki potensi dampak negatif yang disertakan.
Dampak negatif DGMI dapat muncul dari perbedaan persepsi, manajemen subproyek yang buruk dan kurangnya pengawasan, penafsiran hukum dan harapan, serta kumpulan data maupun tekanan kebutuhan keuangan yang mengakibatkan terjadinya konflik. Hal ini dapat terjadi antara pihak MAKL dan pihak pemerintah, antara mereka dan sektor swasta, antar masyarakat di suatu daerah, dan konflik internal di kalangan anggota masyarakat. Potensi dampak negatif lainnya terhadap lingkungan, yang mungkin tidak signifikan karena jumlah pembiayaan yang relatif kecil untuk setiap sub-proyek, mungkin saja termasuk peningkatan penggunaan pestisida dan gangguan habitat alami karena meningkatnya aktivitas di sekitarnya. Daftar negatif akan mengeluarkan/menapis proposal yang akan mengakibatkan dampak signifikan. Pengamanan dan tindakan mitigasi yang relevan dikembangkan dan diimplementasikan untuk kegiatan dengan dampak minimal.
16
hal | 16
4.2. Pengaturan Kelembagaan Elemen utama dan tanggung jawab dari pelaksanaan proyek, tahapan dan tindakan yang terkait dengan penerapan kerangka kerja pengaman diuraikan pada Gambar 1. Pengaturan dan koordinasi kelembagaan adalah sebagai berikut: OMS/OBM - Sejak tahap perencanaan, OMS/OBM (Organisasi Masyarakat Sipil/Organisasi Berbasis Masyarakat) harus mempertimbangkan daftar negatif – aktivitas yang tidak didanai oleh DGMI. Kerangka kerja pengaman lingkungan dan sosial harus dikembangkan. Proses perencanaan harus sepenuhnya partisipatif, berkonsultasi dengan penerima manfaat MAKL yang ditargetkan dan mendapatkan persetujuan mereka. Proposal harus mencakup rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan dan sosial (Tabel 4). Informasi tentang status kepemilikan lahan harus dijelaskan dalam proposal. Dalam hal proposal belum menyertakan rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan dan sosial, NEA akan memberikan rentang waktu dan biaya untuk melakukan revisi proposal. OMS/OBM perlu menyusun rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan dan sosial sebelum pelaksanaan proyek. Langkah-langkah mitigasi dan pemantauan harus dibuat secara tertulis. NEA - Pada tahap undangan untuk pengajuan proposal, daftar negatif harus sudah dinyatakan secara eksplisit. DGMI tidak akan mendanai kegiatan yang masuk dalam daftar negatif. Kegiatan dengan dampak lingkungan dan sosial yang minim akan memerlukan rencana pengelolaan dan pemantauan. NEA akan menyelenggarakan pelatihan pengelolaan lingkungan dan sosial, sehingga OMS/OBM dapat menyertakannya dalam revisi proposal. Biaya tambahan untuk mengembangkan rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan dapat disediakan untuk proposal OMS/OBM. NEA akan memantau dan melaporkan kinerja lingkungan dan sosial secara keseluruhan dari proyek yang didanai DGMI. NEA melakukan pengawasan untuk memastikan bahwa rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan dan sosial dilaksanakan oleh OMS/OBM bersama-sama dengan penerima manfaat MAKL. NSC - Secara aktif menyebarluaskan informasi tentang daftar negatif yang tidak didanai DGMI kepada konstituen mereka. Bersama dengan NEA, NSC juga menekankan pentingnya pengaman sosial dan lingkungan yang lebih kuat. NSC memonitor NEA dan OMS/OBM dalam pelaksanaan kerangka pengaman sosial dan lingkungan. Berdasarkan penilaian atas potensi dampak negatif, kerangka pengaman lingkungan dan sosial DGMI difokuskan pada sejumlah instrumen utama, yaitu:
17
hal | 17
1) Daftar negatif dari program/kegiatan yang tidak didanai, harus dinyatakan pada tahap undangan untuk pengajuan proposal, tahap perencanaan oleh OMS/OBM, dan tahan penyeleksian oleh NEA/NSC. 2) Kerangka partisipasi pada tahap perencanaan (draf proposal) dan tahap pelaksanaan, yang dapat digunakan oleh OMS/OBM. 3) Kerangka kerja bagi rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan, yang digunakan oleh OMS/OBM dalam tahap pengembangan proposal dan pelaksanaan proyek. 4) Akses publik terhadap informasi tentang permasalahan pengaman proyek, yang dapat digunakan oleh NEA 5) Instrumen Dukungan: Panduan Konsultasi Atas Dasar Informasi Awal dan Tanpa Paksaan (FPIC) dan Mekanisme Peminjaman Lahan Sukarela serta Environmental Code of Practices (ECOP) atau Kode etik Praktik Kelola Lingkungan Tahapan pekerjaan, kegiatan, penilaian serta pelaksanaan dan pengelolaan pengaman dijabarkan dalam Tabel 3 di bawah ini. Tabel 3. Tanggungjawab utama dari pengaman lingkungan dan sosial No Tahapan 1 Penyaringan (screening)
2
Pengembangan proposal
3
Pelaksanaan
4
Pasca pelaksanaan
NEA/NSC Menyebarluaskan informasi kepada penerima potensial dari MA dan KL tentang OP dan daftar negatif Menyelenggarakan pelatihan ESMF. Mengkaji dan membantu dalam melakukan revisi proposal yang mencakup kesesuaian dengan ESMF Mengungkapkan informasi yang relevan kepada publik
OMS/OBM Identifikasi masalah-masalah sosial dan lingkungan serta pengembangan rencana alternatif dan/atau mitigasi Berkomitmen untuk menerapkan ESMF tentang langkah-langkah mitigasi dampak Melaksanakan, memantau dan melaporkan Rencana Pengelolaan Lingkungan dan Sosial Menangani keluhan di lokasi proyek
Menangani keluhan di tingkat DGMI dan tingkat kebijakan pemerintah Monitoring dan Monitoring/pemantauan pelaporan dampak agregat dari keseluruhan proyek
18
hal | 18
NEA/NSC bertanggungjawab untuk melaksanakan dan memastikan kesesuaian dengan ESMF. Seluruh sub-proyek harus disaring sesuai dengan daftar negatif dan hasil dari pelaksanaan ESMF harus didokumentasikan. NEA bertanggungjawab untuk memastikan bahwa kapasitas OMS/OBM dalam melaksanakan ESMF telah memenuhi persyaratan minimum. Keperluan penguatan kapasitas dan anggaran yang terkait dengan pelaksanaan ESMF akan diberikan melalui program pelatihan tentang kepedulian lingkungan dan sosial bagi staf yang ditunjuk oleh OMS/OBM dan perwakilan masyarakat melalui klinik pelatihan (coaching clinic) selama usulan perbaikan dan selama pelaksanaan melalui pelatihan penyegaran secara berkala dan kegiatan mentoring rutin yang difasilitasi oleh spesialis pengamanan di NEA. Topik utama dari program pelatihan ESMF adalah sebagai berikut: 1. Pendekatan partisipasi masyarakat, khususnya untuk Konsultasi Atas Dasar Informasi Awal dan Tanpa Paksaan (FPIC) dan pengarus-utamaan gender; 2. Potensi masalah lingkungan dan sosial dalam proyek-proyek DGMI dan mitigasi/pengelolaan resiko; 3. Tinjauan kebijakan dan kerangka peraturan yang berkaitan dengan DGMI dan pengelolaan sosial dan lingkungan di Indonesia, prosedur untuk mendapatkan izin lingkungan; 4. Pertukaran pembelajaran dalam proyek-proyek DGMI yang mematuhi ketentuan ESMF dan praktik pengelolaan lingkungan dan sosial yang baik. 4.3. Rencana Pengelolaan Lingkungan dan Sosial Kegiatan DGMI akan mematuhi semua kebijakan pengamanan Bank Dunia dan hukum Indonesia yang relevan. Kegiatan dengan dampak lingkungan dan sosial yang merugikan tidak memenuhi syarat untuk didanai oleh DGMI, mereka termasuk dalam Daftar Negatif (lihat Lampiran 1). Ini adalah upaya/tindakan mitigasi utama untuk menghindari dampak lingkungan dan sosial yang merugikan, dengan tidak mendukung kegiatan yang akan mengakibatkan dampak negatif berkarakteristik skala besar, dengan frekuensi dan intensitas tinggi, dalam jangka panjang, permanen/tidak dapat diubah, serta melanggar hak asasi manusia dan kesejahteraan masyarakat yang lebih rendah. Untuk kegiatan dengan potensi dampak lingkungan dan sosial yang negatif, Rencana Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan harus dikembangkan (Tabel 4) dan diterapkan secara konsisten. Rencana ini dirancang untuk menilai efektivitas dan efisiensi tindakan pengelolaan lingkungan yang dilakukan. Sesuai keperluan, hal ini termasuk langkah-langkah mitigasi agar dampak negatif dapat dicegah atau diminimalkan. Juga termasuk variable pemantauan, lokasi, dan waktu/frekuensi.
19
hal | 19
Tabel 4. Contoh Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Sosial (RPLS / ESMP-Environmental and Social Management Plan)
No
Dampak & Resiko Dampak Kegiatan & Signifikansi* proyek resiko
Rencana Mitigasi Aksi mitigasi
Rencana Pemantauan Apa Dimana Kapan yang Dimana Kapan dipantau
Siapa Anggaran
hal | 20
* : minimum, sedang, tinggi
20
oleh OMS & OBM oleh NSC & NEA Proposal proyek
Skrining terhadap “Daftar Negatif”
Perlu menyajikan informasi baseline
Skrining terhadap “Persyaratan FPIC”
Proposal yang menunjukkan dampak negatif sosial dan lingkungan
Validasi terhadap “Kerangka Kerja Partisipasi Masyarakat”
Identifikasi dampak, dan pengembangan langkah mitigasi dan rencana monitoring
Tidak perlu menyajikan informasi baseline
Dikategorikan sbg kegiatan yang perlu UKL-UPL
Tdk dikategorikan sbg kegiatan yang perlu UKL-UPL
Siapkan UKL- UPL
Siapkan SPPL
Memperoleh Izin Lingkungan
Persetujuan
Implementation of UKL-UPL/SPPL
Monitoring, Supervision and Reporting
Gambar 1. Prosedur persetujuan ESMF 21
hal | 21
4.4 Kode Etik Praktek Lingkungan (ECOP) Sebuah pedoman sederhana Kode Etik Praktek Lingkungan (ECOPs) akan dikembangkan sebagai acuan untuk OMS/OBM pelaksana serta peserta masyarakat tentang praktekpraktek yang baik dalam pengelolaan lingkungan. Pedoman ini akan dimasukkan dalam POM (Project Operations Manual/Buku Petunjuk Oparasional) dan kegiatan pelatihan dan peningkatan kapasitas terkait mengenai ECOP, seperti mentoring, akan dilakukan selama coaching clinic dan selama proses pelaksanaan proyek.
4.5 Susunan Personalia NEA Sebuah tim ahli (2-3 orang) dengan keahlian di bidang pengamanan Lingkungan dan Sosial, gender, dan pengelolaan sumber daya alam akan ditugaskan didalam NEA untuk mengawasi pelaksanaan program DGMI, dengan tugas sebagai berikut: 1. Membantu NEA/NSC dalam mengevaluasi proposal/rencana aksi sesuai dengan 2. 3.
4. 5. 6.
ESMF. Membantu NEA/NSC dalam melakukan pengawasan dan monitoring persiapan dokumen ESMF oleh OMS/OBM. Membantu NEA/NSC dalam program pelatihan tentang persiapan dokumen ESMF dan berbagai upaya mitigasi dampak negatif lingkungan dan sosial pada tahap proposal dan selama pelaksanaan proyek. Membantu OMS/OBM/IPO dalam memfasilitasi perencanaan yang mencakup ESMF bagi MAKL. Membantu OMS/OBM/IPO dalam melaksanakan ESMF di lokasi proyek. Membantu mitra OMS/OBM/IPO dalam menyiapkan laporan ESMF.
OMS/OBM Staf pengaman (safeguard) tertanam dalam struktur organisasi proyek. Tanggung jawab utamanya adalah: 1. Mengembangkan proposal/rencana aksi sesuai dengan ESMF 2. Memfasilitasi perencanaan yang mencakup ESMF untuk MAKL 3. Melakukan dan/atau mengawasi dan membantu MAKL dalam melaksanakan ESMF di tingkat lapangan. 4. Menyiapkan dokumen ESMF dan upaya untuk mitigasi dampak negatif lingkungan dan sosial pada tahap proposal dan selama pelaksanaan proyek.
22
hal | 22
5. Keterbukaan Informasi NSC/NEA harus membuat dokumentasi yang baik dan dapat diandalkan, serta menyediakan akses informasi publik yang berkaitan implementasi ESMF, baik kesepakatan proses-proses partisipasi maupun implementasi UKL/UPL atau SPPL. Proposal yang tidak memenuhi syarat keterbukaan informasi publik tidak akan dibiayai DGMI. NEA akan memperbarui status proposal dan menginformasikan proposal yang tidak lolos atau tidak akan didukung. Dokumen ESMF (baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris) harus diunggah di website Bank Dunia dan situs DGMI. Selain keterbukaan informasi berbasis website (misal POM, daftar proposal yang lolos seleksi awal, UKL-UPL, SPPL, ESMF), dokumen ESMP perlu ditampilkan di tempat-tempat yang dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat yang mungkin terkena dampak.
6. Mekanisme Penyampaian Keluhan NSC/NEA akan menetapkan mekanisme penyampaian keluhan yang akan memungkinkan masyarakat, komunitas-komunitas atau individu masyarakat yang terkena dampak untuk mengajukan keluhan-keluhan dan agar mendapat tanggapan yang memuaskan secara tepat waktu. Sistem tersebut juga akan mencatat dan mendokumentasikan semua keluhankeluhan dan tindak lanjutnya. Sistem tersebut akan dirancang untuk menerima keluhankeluhan yang terkait ESMF yang berhubungan dengan proyek DGMI. Pada tingkat proyek, OMS/OBM yang terlibat harus membuat mekanisme pengaduan untuk keluhan-keluhan terkait dengan proyek. OMS/OBM harus menugaskan staff untuk bertanggungjawab dalam mengelola sistem penanganan keluhan. Sistem tersebut akan menerima, dan secara tepat menindaklanjuti keluhan-keluhan dari masyarakat, komunitaskomunitas dan para individu masyarakat, baik penerima manfaat maupun para pihak lainnya, secara tepat waktu. OMS/OBM dapat menggunakan sistem penanganan keluhan yang sudah ada, apabila sistem tersebut sudah tersedia dan berfungsi dengan baik dengan prosedur-prosedur dan mekanisme-mekanisme yang sesuai dengan persyaratan dari GRM sebagaimana ditentukan. Keluhan yang muncul sebagai akibat dari kegiatan-kegiatan proyek akan diselesaikan melalui suatu mekanisme penanganan keluhan, berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut: 1) Hak-hak dan kepentingan-kepentingan para pihak terkait proyek akan dilindungi; 2) Masalah-masalah yang dihadapi para pihak yang muncul dari proses implementasi proyek diselesaikan secara sungguh-sungguh, dengan cara dan waktu yang tepat; 3) Dukungan sumber penghidupan (livelihood) untuk MAKL penerima manfaat diberikan tepat waktu dan sesuai dengan rencana yang telah disetujui; 4) Masyarakat menyadari hak-haknya, dan mampu mengakses prosedur pengaduan keluhan secara cepat dan gratis; 5) Mekanisme penanganan keluhan sesuai dengan kebijakan dan peraturan perundangundangan yang berlaku di Indonesia. Informasi tentang prosedur dan mekanisme pengaduan keluhan dan proses penanganannya dapat diakses atau dijangkau oleh seluruh lapisan dan kategori kelompok masyarakat, misalnya dituangkan pada papan-papan pengumuman di Balai Dusun dan Balai 23
hal | 23
Desa/Adat atau media-media leaflet dan booklet, serta disediakan secara online pada situs DGMI. Langkah-langkah umum dalam Mekanisme Penanganan Keluhan dijabarkan dalam Gambar 2, mencakup dua tingkat sebagai berikut: Tingkat Lapangan Penanganan keluhan di tingkat lapangan dilakukan oleh OMS/OBM dengan melibatkan tokoh-tokoh masyarakat (tokoh adat, tokoh keagamaan) dan/atau warga masyarakat yang dipilih, dihormati, dan diterima oleh seluruh warga masyarakat. Tokoh-tokoh masyarakat tersebut telah terbukti memiliki kapasitas dalam menangani sengketa atau konflik di tingkat komunitas dan antar komunitas. OMS/OBM harus menyediakan personil yang bertanggungjawab dalam menangani keluhan di tingkat lapangan dan membuka akses hotline bagi semua bentuk keluhan yang terjadi. Setiap keluhan harus didokumentasikan secara online agar dapat diakses oleh NEA. Proses penanganan keluhan harus segera dimulai dan tidak boleh lebih dari 14 hari sejak keluhan diterima. Berdasarkan data dan informasi yang dikumpulkan, pengambilan keputusan dilakukan tidak lebih dari 30 hari setelah pengaduan diterima. Apabila diperlukan, investigasi dapat dilakukan untuk melengkapi dan mendalami data dan informasi. OMS/OBM mendokumentasikan peristiwa-peristiwa penanganan keluhan di tingkat lapangan. Peristiwa-peristiwa tersebut mencakup nama orang atau kelompok masyarakat yang mengadukan keluhan, alamat domisilinya, hal keluhan yang diadukan, proses-proses penanganannya, dan keputusan-keputusan yang dibuat. OMS/OBM melaporkan penanganan keluhan kepada NEA dan NSC. Tingkat Nasional Keluhan yang di luar kewenangan dan/atau kapasitas OMS/OBM menjadi kewenangan Unit Penanganan Keluhan di tingkat nasional di bawah tanggung jawab NEA/NSC. Keluhan tersebut antara lain mencakup konflik vertikal atau horisontal yang tidak dapat ditangani di tingkat lapangan. Dalam hal ini NEA/NSC harus menyediakan personil yang bertanggungjawab dalam penanganan keluhan, serta membuka akses hotline bagi seluruh penerima manfaat dan para pihak terkait. Seluruh keluhan dapat dilakukan melalui media sosial atau media pelaporan anonim yang dikelola oleh NEA. Dalam hal penanganan keluhan yang melibatkan kebijakan pemerintah, NEA/NSC dapat meminta bantuan DKN untuk memfasilitasi proses penanganan keluhan. Proses penanganan keluhan oleh NEA/NSC harus dimulai dalam kurun waktu 30 hari sejak keluhan diterima. Berdasarkan data dan informasi yang dikumpulkan, dan memutuskannya tidak lebih dari 60 hari setelah pengaduan diterima. Apabila diperlukan, NEA/NSC dapat mengadakan studi atau investigasi independen untuk melengkapi dan mendalami permasalahan dan menemukan jalan keluar. NEA mendokumentasikan peristiwa-peristiwa penanganan keluhan di tingkat lapangan. Peristiwa-peristiwa tersebut mencakup nama orang atau kelompok masyarakat yang mengadukan keluhan, alamat domisilinya, hal keluhan yang diadukan, proses-proses penanganannya, dan keputusan-keputusan yang dibuat. 24
hal | 24
Menerima dan mendaftar
Menyaring dan menilai
Keputusan untuk merespon
Tidak - keluhan ditolak
Sampaikan hasil keputusan
Ya Revisi pendekatan Tentukan pendekatan appoach
hal | 25
nd Implementasikan pendekatan
Terselesaikan Selesai?
Tidak terselesaikan n
Telusuri, dokumentasikan, umpan balik, pelajari
Gambar 2. Langkah umum dalam mekanisme penyampaian keluhan
25
7. Evaluasi Pengawasan, pemantauan, evaluasi dan penilaian kinerja ESMF akan dilakukan pada tingkat lapangan dan tingkat DGMI secara keseluruhan. Di tingkat lapangan akan dilakukan oleh NEA yang harus menyediakan personil yang bertanggungjawab dalam evaluasi dan penilaian di tingkat lapangan/lokasi proyek. Di tingkat DGMI harus dilakukan dengan melibatkan Dewan Kehutanan Nasional (DKN). Evaluasi dan penilaian akan difokuskan pada proses perencanaan dan implementasi kegiatan DGMI yang membutuhkan ESMF, termasuk: 1. Catatan proses Konsultasi Atas Dasar Informasi Awal dan Tanpa Paksaan (FPIC) selama penyusunan proposal/rencana kegiatan MAKL. Penilaian didasarkan pada kualitas keputusan apakah itu benar-benar dibuat oleh MAKL yang dilakukan melalui mekanisme pengambilan keputusan yang berlaku sesuai norma/kebiasaan/adat komunitas pengusul, juga pelaksanaan rencana untuk mengurangi dampak negatif. 2. Catatan implementasi kerangka partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan, untuk menilai apakah proposal/rencana kegiatan terbukti merupakan usulan MAKL. 3. Catatan implementasi kerangka partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan, untuk menilai apakah kegiatan yang diusulkan/direncanakan oleh MAKL diterima/mendapat persetujuan dari pemangku kepentingan terkait. 4. Bukti adanya ijin lingkungan pada kegiatan yang relevan. 5. Laporan perencanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan sesuai dokumen UKL/UPL atau SPPL. 6. Umpan balik dari MAKL dan para pemangku kepentingan atas hasil mitigasi dampak negatif.
26
hal | 26
Lampiran Lampiran 1 Prosedur Penapisan Daftar Negatif Semua kegiatan atau sub-proyek DGMI akan mematuhi semua kebijakan perlindungan lingkungan dan sosial Bank Dunia yang relevan dan mematuhi hukum Indonesia. Kegiatan yang tidak memenuhi syarat untuk didanai oleh DGMI tercantum di bawah ini, termasuk namun tidak terbatas pada: No 1 2 3 4 5 6
7 8 9 10 11 12 13 14
Daftar Negatif Pemukiman baru atau perluasan permukiman dalam hutan konservasi, kawasan lindung dan taman nasional Setiap aktivitas yang berpotensi dapat menyebabkan dan/atau mengakibatkan kerusakan dan/atau relokasi sumber daya budaya fisik; Setiap aktivitas yang berpotensi dapat menyebabkan dan/atau mengakibatkan konversi kawasan hutan dan/atau habitat alami; Membeli dan/atau menggunakan pestisida, insektisida herbisida, atau bahan kimia berbahaya lainnya yang dilarang peraturan perundang-undangan dan aturan internasional Melakukan akuisisi/pembelian lahan secara paksa Kegiatan di mana dukungan masyarakat dan dukungan luas tidak diperoleh melalui proses informasi/konsultasi yang diberikan sebelumnya dan persetujuan yang diberikan secara bebas; atau tidak ada bukti bahwa proses pemerolehan dukungan semacam itu telah dilakukan; Membangun infrastruktur baru yang menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan (wajib AMDAL). Melakukan pembiayaan untuk kampanye atau pemilihan pemimpin pada berbagai tingkatan pemerintahan. Melakukan perdagangan satwa liar dan/atau tumbuhan yang dilindungi undang-undang. Melakukan kegiatan yang menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan manusia Melakukan pembelian senjata dan/atau amunisi perang. Kegiatan yang dilakukan dalam kaitannya dengan ajudikasi tanah dalam sengketa; Melakukan pemusnahan, pemindahan atau pengubahan situs budaya, termasuk situs yang memiliki nilai arkeologi, paleontologi, kesejarahan, keagamaan atau nilai alam unik. Konversi, deforestasi atau degradasi atau perubahan lain dari hutan alam atau habitat alami termasuk, antara lain, konversi menjadi pertanian atau perkebunan tanaman keras
Ya
Tidak
Catatan
hal | 27
Lampiran 2 – Kerangka Partisipasi Masyarakat (CPF) Deskripsi Kerangka CPF dikembangkan untuk melakukan mitigasi dampak proyek-proyek yang didanai DGMI, khususnya potensi konflik, baik konflik vertikal dengan pemerintah, konflik dengan pihak swasta, maupun konflik horisonal sesama anggota MAKL. Melalui asas partisipatif, para pihak terkait, MAKL, instansi pemerintah terkait, swasta terkait dan anggota masyarakat di luar penerima manfaat di sekitar lokasi proyek didorong untuk berperan aktif dalam proses pengambilan keputusan pada tahap perencanaan dan pelaksanaan kerangka pengaman lingkungan dan sosial, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pedoman mengenai proses keterlibatan para pihak dan masyarakat dalam perencanaan dan implementasi DGMI sangat diperlukan, antara lain untuk menjamin terlaksananya hak dan kewajiban para pihak yang sejalan dengan Kerangka pengaman Lingkungan dan Sosial, serta mewujudkan pelaksanaan kerangka pengaman lingkungan dan sosial secara transparan, efektif, akuntabel dan berkualitas. Tujuan Tujuan dari partisipasi masyarakat dalam kegiatan DGMI adalah: 1) MAKL yang menjadi aktor utama dalam pengambilan keputusan kegiatan DGMI memahami potensi dampak negatif terhadap lingkungan dan sosial; 2) MAKL penerima manfaat mendapatkan informasi mengenai rencana kegiatan DGMI sejak dini dengan memenuhi persyaratan FPIC sebagaimana disajikan pada Lampiran 3. 3) Mencegah terjadinya konflik, baik konflik vertikal maupun konflik horisontal. Tata Cara Partisipasi Pada Tahap Penyusunan Proposal Partisipasi diwajibkan pada saat OMS/OBM menyusun proposal atau pada saat perencanaan kegiatan atau proposal dengan tujuan utama untuk memastikan bahwa rencana kegiatan adalah milik komuniti MAKL dan telah memenuhi syarat-syarat FPIC sebagaimana disajikan pada Lampiran 3. Proses partisipatif juga dirancang sedemikian rupa sehingga dapat mengantisipasi potensi konflik antar anggota MAKL dan mitigasi yang diperlukan. Desain proyek harus mentargetkan bahwa minimal 30% penerima manfaat adalah perempuan. Selain itu juga harus mentargetkan manfaat bagi kelompok rentan, misalnya: kelompok pemuda. Proses partisipasi harus melibatkan para pihak dengan melibatkan sebanyak mungkin perempuan dan perwakilan kelompok rentan. Proses partisipatif pada tahap penyusunan rencana kegiatan/proposal harus memenuhi tahapan berikut: 1. NEA/NSC menyampaikan informasi awal yang secara jelas menyebutkan ruang lingkup DGMI, peluang yang ditawarkan, serta manfaat yang dapat diperoleh MAKL. Penyampaian informasi awal harus menegaskan daftar negatif kegiatan yang tidak dapat didanai DGMI, baik melalui call for proposal, komunikasi dan informasi publik, baik dalam media cetak maupun online . 2. Berdasarkan konsultasi dengan anggota NSC regional, OMS/OBM/IPO menetapkan MAKL prioritas yang akan difasilitasi dalam penyusunan rencana kegiatan/proposal.
hal | 28
3. OMS/OBM/IPO menyampaikan informasi awal yang secara jelas menyebutkan ruang lingkup DGMI, peluang yang ditawarkan, serta manfaat yang dapat diperoleh MAKL. Penyampaian informasi awal harus menegaskan daftar negatif kegiatan yang tidak dapat didanai DGMI. 4. Berikan waktu yang cukup agar informasi tersebut dapat mencapai seluruh lapisan masyarakat, termasuk perempuan, kelompok pemuda/remaja dan kelompok rentan lainnya. 5. Dorong mekanisme pengambilan keputusan sesuai norma/kebiasaan/adat yang berlaku agar secara sadar MAKL bersedia mengajukan proposal/rencana kegiatan DGMI. Dalam hal tertentu, mekanisme pengambilan keputusan perlu diperluas dengan melibatkan sebanyak mungkin perempuan dan perwakilan kelompok rentan. 6. Lakukan fasilitasi proses perencanaan secara partisipatif untuk mendapatkan peluang yang ditawarkan DGMI sesuai aspirasi MAKL. Buat kesepakatan mengenai baseline (potensi dan permasalahan), kesenjangan terhadap harapan masyarakat, kemudian tetapkan tujuan, sasaran, output, kegiatan, serta indikator keberhasilan rencana yang diusulkan. 7. Susun proposal lengkap oleh OMS/OBM/IPO sesuai dengan hasil perencanaan partisipatif yang telah dilakukan. Ungkapkan secara jelas isi proposal kepada masyarakat melalui mekanisme konsultasi terbuka. 8. Proposal yang siap untuk diajukan kepada NEA/NSC harus disertai dengan bukti persetujuan tertulis dari MAKL melalui lembaga yang ditetapkan bersama dalam proses partisipatif. Persetujuan secara eksplisit harus menyatakan: (1) keberterimaan tanpa pkasaan dari MAKL terhadap OMS/OBM/IPO yang menjadi fasilitator; (2) keberterimaan tanpa paksaan dari MAKL terhadap proposal/rencana kegiatan yang diusulkan OMS/OBM/IPO kepada NEA/NSC. 9. Jika proposal disetujui namun dinilai belum sepenuhnya memenuhi syarat ESMF, NEA akan melakukan coaching clinic untuk memperbaik proposal hingga mendapatkan persetujuan NSC. Tata Cara Partisipasi Pada Tahap Implementasi Sesuai dengan karakeristik DGMI, implementasi proyek/kegiatan harus dilakukan secara partisipatif dengan tujuan utama untuk mencegah atau mengelola potensi konflik yang diperkirakan akan terjadi, baik konflik vertikal dengan pemerintah, maupun konflik horisontal antar anggota masyarakat, baik dengan pihak di luar penerima manfaat ataupun antar anggota masyarakarat MAKL penerima manfaat, termasuk kelompok-kelompok rentan dan minimal 30% adalah perempuan. Proses partisipasi, khususnya yang berkaitan pemetaan dan pengakuan wilayah adat merupakan isu sensitif yang perlu mendapatkan perhatian khusus. Dalam hal ini, inisiatif pemetaan dan pengakuan wilayah adat yang prosesnya telah dimulai oleh MAKL dapat diprioritaskan, sehingga dapat dipastikan tidak menimbulkan konflik pada eskalasi yang tidak bisa diputuskan dalam jangka waktu lama. Partisipasi berorientasi pada keberterimaan seluruh stakeholders kunci, termasuk namun tidak terbatas pada:
hal | 29
1. 2. 3. 4.
Perwakilan kunci MAKL di dalam lokasi kegiatan Perwakilan kunci MAKL yang ada di sekitar lokasi kegiatan Perangkat desa terkait Pengambil Keputusan pada instansi pemerintah terkait, khususnya: pengelola KPH, UPT Pemerintah Pusat yang menangani Kawasan Hutan, Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, Dinas yang menangani urusan Kehutanan di tingkat provinsi, Dinas yang menangani masalah sosial dan Lingkungan Hidup di tingkat Kabupaten. 5. Swasta yang wilayah ijinnya terkait dengan MAKL penerima manfaat. Beberapa prinsip fundamental proses partisipasi dalam pemetaan dan pengakuan wilayah adat adalah: 1. Proses pemetaan harus mengadopsi penuh mekanisme pemetaan partisipatif wilayah adat yang diakui para pihak, misalnya: Panduan Pemetaan Wilayah Adat dari BRWA dan JKPP. 2. Proses pemetaan harus dapat diintegrasikan dengan mekanisme pengakuan wilayah adat sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku agar mendapatkan dukungan penuh dari para pihak. 3. Seluruh proses kebijakan terkait dengan pengakuan wilayah adat diikuti oleh personil yang kompeten dari OMS/OBM/IPO dan NSC. 4. Seluruh kesepakatan proses partisipasi harus didokumentasikan, dilampiri dengan daftar hadir peserta dan dituangkan dalam laporan kegiatan. 5. Proses-proses partisipasi sebaiknya dipandu oleh tim atau seorang fasilitator yang memahami kepentingan MAKL penerima manfaat, namun mampu secara obyektif mengakomodasikan pendapat para pihak untuk mencegah dan atau mengelola potensi terjadinya konflik, baik konflik vertikal atau horisontal. Selain pemetaan dan pengakuan wilayah adat, proses partisipatif juga digunakan dalam implementasi pengembangan mata pencaharian masyarakat, termasuk penyiapan ijin perhutanan sosial bagi masyarakat lokal. Proses ini lebih ditujukan untuk mengelola konflik horisontal antar anggota MAKL, meningkatkan efektivitas/efisiensi kegiatan dan memastikan pembagian manfaat yang adil dan merata bagi seluruh anggota MAKL, termasuk kelompok rentan dan minimal 30% perempuan. Dalam proses partisipatif ini, beberapa tahapan penting adalah: 1. Penyampaian informasi awal mengenai ruang lingkup, tujuan dan peluang pengembangan mata pencaharian yang akan diimplementasikan. 2. Melakukan pendalaman secara partisipatif apakah rencana pengembangan mata pencaharian yang pernah disepakati tidak/akan menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dan sosial budaya masyarakat atau bertentangan dengan modal sosial yang dimiliki MAKL. 3. Menyiapkan rencana aksi mitigasi apabila diketahui bahwa memiliki dampak negatif. Apabila disyaratkan dalam peraturan daerah, mitigasi dampak negatif harus dituangkan dalam dokumen UKL/UPL atau SPPL untuk mendapatkan ijin
hal | 30
4. 5.
6. 7.
lingkungan. Ijin lingkungan menjadi syarat dalam operasionalisasi kegiatan di lapangan. Menetapkan secara partisipatif kegiatan yang akan dilakukan dalam periode tertentu dengan tata waktu yang jelas. Menetapkan lokasi secara partisipatif. Dalam hal lokasi kegiatan melibatkan tanah hibah/peminjaman/ijin dilewati, prosedur sebagaimana dituangkan pada Lampiran 4 harus diikuti. Melakukan pembagian peran dalam implementasi kegiatan. Melakukan pemantauan dan evaluasi patisipatif implementasi kegiatan secara periodik.
hal | 31
Lampiran 3 - Panduan Konsultasi Atas Dasar Informasi di Awal dan Tanpa Paksaan (FPIC) Cakupan, frekuensi dan tingkat keterlibatan yang disyaratkan oleh proses konsultasi harus sesuai dengan resiko proyek yang teridentifikasi dan dampak buruk serta keluhan yang diungkapkan oleh MAKL. FPIC dibangun berdasarkan proses yang saling diterima antara perwakilan anggota masyarakat dan OMS/OBM/OMA. FPIC setidaknya memiliki dua tujuan: 1. Menyediakan landasan untuk melakukan proses konsultasi dengan iktikad baik dan dengan cara yang sedemikian rupa sehingga memberikan peluang bagi MAKL untuk menyampaikan keluhan mereka, pandangan terhadap manfaat DGMI, resiko, dampak, dan langkah-langkah mitigasi serta mencari berbagai cara untuk membangun kesediaan mereka agar ikut terlibat dalam DGMI yang sejalan dengan manfaat yang dapat diterima secara budaya dan sosial. 2. Menyediakan pintu masuk bagi OMS/OMS/OMA agar terlibat dengan lembaga MAKL dan proses pengambilan putusan berdasarkan pada mekanisme lokal/adat. FPIC harus diarahkan untuk memperoleh dukungan komunitas secara luas dimana dukungan tersebut terdiri dari berbagai pernyataan dari anggota masyarakat dan/atau perwakilan resmi mereka dalam mendukung kegiatan proyek/sub-proyek yang diusulkan. Sesuai dengan pendekatan DGMI yang khusus, FPIC hendaknya menggunakan lembaga MAKL dan mekanisme proses pengambilan keputusan lokal/adat selama tahap perencanaan. Perspektif gender harus disertakan untuk memastikan bahwa setidaknya 30% kaum perempuan dalam komunitas tersebut akan memperoleh manfaat dari proyek. Sebanyak mungkin perempuan harus dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan pada tahapan perencanaan. Kerangka Kerja Partisipasi Komunitas perlu dibangun dengan pendekatan sensitif gender dan antar generasi yang inklusif. FPIC yang efektif dibangun berdasarkan proses dua-arah yang harus: 1. Melibatkan anggota komunitas yang terkena dampak dan perwakilan lembaga dan organisasi mereka dengan itikad baik. 2. Menjaring pendapat maupun kekhawatiran dari kaum laki-laki, perempuan dan segmen komunitas yang rentan termasuk manula, kaum muda, pengungsi, anak-anak, orang yang berkebutuhan khusus, dll. tentang dampak, mekanisme mitigasi, dan manfaat jika dipandang perlu sebagaimana tercermin dalam SIAP dan CSP. Jika diperlukan, forum atau pertemuan secara terpisah dapat dilaksanakan sesuai keinginan mereka. 3. Memulai secara dini dalam proses identifikasi resiko maupun dampak lingkungan dan sosial serta meneruskan secara berkelanjutan seiring dengan munculnya resiko dan dampak. 4. Didasarkan pada pengungkapan (disclosure) sebelumnya dan diseminasi/sosialiasi informasi yang relevan, tranparan, obyektif, bermakna, dan mudah diakses dalam bahasa dan format yang tepat secara kultur dan dapat dipahami oleh MA yang terkena dampak. Dalam merencanakan metode konsultasi dan penggunaan media, perhatian khusus perlu diberikan agar dapat menampung berbagai kekhawatiran
hal | 32
masyarakat adat dari kalangan perempuan, generasi muda, dan anak-anak serta akses mereka terhadap peluang dan manfaat pembangunan. 5. Menitikberatkan pada keterlibatan inklusif terhadap mereka yang terkena dampak secara langsung daripada mereka yang terkena dampak tidak secara langsung. 6. Memastikan bahwa proses konsultasi bebas dari manipulasi, intervensi, paksaan dan/atau intimidasi dari luar. Cara-cara konsultasi tersebut dirancangkan agar tercipta lingkungan yang mendukung bagi partisipasi yang bermanfaat, jika memungkinkan. Selain bahasa dan media yang digunakan, waktu, tempat pelaksanaan, serta komposisi partisipasi perlu dipertimbangkan secara matang untuk memastikan agar setiap orang dapat mengemukakan pandangan mereka dengan bebas. 7. Didokumentasikan. Jika ada dukungan yang luas dari MAKL terhadap proyek, OMS/OBM/OMA hendaknya menyiapkan: 1. Bukti FPIC yang terdokumentasikan serta langkah-langkah yang diambil untuk menghindari dan meminimalkan resiko serta dampak buruk terhadap aspek lingkungan dan aspek sosial-budaya. Hal ini mencakup daftar peserta, notulensi pertemuan serta dokumentasi lainnya (misalnya foto, video, dll.); 2. Rencana aksi dan rekomendasi bagi FPIC selama pelaksanaan proyek, monitoring, dan evaluasi, dan 3. Perjanjian formal yang dicapai dengan MAKL dan/atau perwakilan lembaga mereka. Persyaratan Untuk memastikan agar terpenuhinya FPIC, persyaratan-persyaratan berikut ini diperlukan untuk menentukan apakah: - Tingkat keterlibatan dapat diterima sehingga memungkinkan partisipasi MAKL dengan informasi yang memadai; - Tingkat dukungan dan penolakan di kalangan MAKL terhadap proyek dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan dan pengembangan langkah-langkah mitigasi. Pertimbangan Strategi dan prinsipprinsip proyek tentang keterlibatan Identifikasi dan analisa pemangku kepentingan Keterlibatan masyarakat
Pengungkapan informasi
Persyaratan Kerangka Kerja Partisipasi Komunitas untuk mengarusutamakan FPIC; Manual Operasi Proyek tentang FPIC; Penyediaan anggaran dan personil; Jadwal konsultasi dan dokumentasi pendukung lainnya. Analisa pemangku kepentingan sebagai bagian dari Kajian Sosial; perlu dibangun berdasarkan pendekatan inklusif yang sensitif gender dan lintas-generasi Rencana konsultasi, konsultasi publik dan rencana pengungkapan, serta rencana keterlibatan pemangku kepentingan; Jadwal dan dokumentasi keterlibatan masyarakat termasuk diskusi dan konsultasi dengan anggota masyarakat dan perwakilan mereka. Rencana pengungkapan, termasuk jadwal;
hal | 33
Pertimbangan
Konsultasi atas Dasar Informasi Diawal dan Tanpa Paksaan (FPIC)
Konsultasi dengan kelompok rentan
Mekanisme penanganan keluhan
Umpan balik untuk MAKL (untuk menunjukkan bahwa keluhan dan rekomendasi telah disertakan ke dalam proyek dan dasar pemikiran mengapa rekomendasi tersebut masih belum ditampung) Penyampaian dukungan atau penolakan secara formal Penyampaian dukungan atau penolakan secara informal Bukti adanya konsultasi atas dasar itikad baik
Persyaratan Material telah disiapkan untuk pengungkapan dan konsultasi; Catatan/notulensi dari diskusi/konsultasi dengan anggota masyarakat dan perwakilan mereka. Catatan/notulensi dari diskusi/konsultasi dengan anggota masyarakat dan perwakilan mereka; Dokumentasi langkah-langkah yang diambil untuk menghindari/meminimalkan resiko dan dampak buruk terhadap aspek lingkungan dan sosial-budaya MAKL berdasarkan umpan balik masyarakat; Draf Rencana Aksi, mencerminkan bahwa proyek/subproyek yang diajukan dimiliki oleh MAKL; Rencana keterlibatan dan konsultasi publik Catatan/notulensi dari diskusi/konsultasi dengan anggota dan perwakilan kelompok rentan Dokumentasi langkah-langkah yang diambil untuk menghindari/meminimalkan resiko dan dampak buruk terhadap kelompok rentan berdasarkan umpan balik masyarakat. Draf Rencana Aksi Struktur organisasi dan tanggungjawab serta prosedur untuk menangani keluhan; Laporan keluhan diterima, termasuk penyampaian dukungan atau penolakan; Catatan/notulensi dari diskusi dengan anggota masyarakat dan perwakilan mereka sehubungan dengan penanganan keluhan. Dokumentasi dari langkah-langkah mitigasi resiko; Catatan/notulensi dari diskusi dengan anggota masyarakat dan perwakilan mereka; Pelaporan yang berkelanjutan tentang pelaksanaan Rencana Aksi; Revisi kegiatan proyek/sub-proyek dan Rencana Aksi; Survey/catatan wawancara. Catatan/notulensi dari pertemuan/konsultasi publik dengan anggota masyarakat dan perwakilan mereka; Surat formal/petisi tertulis dari dukungan/penolakan diserahkan oleh masyarakat dan/atau perwakilan mereka; Foto, laporan media, surat pribadi atau pernyataan pihak ketiga (LSM, OMS, dll.) Wawancara tatap muka dengan anggota/perwakilan masyarakat dalam proses konsultasi; Perjanjian yang dicapai dengan MAKL (misalnya surat pernyataan minat, pernyataan bersama, dll.) Rencana aksi, misalnya rencana pengembangan, dll.
hal | 34
Lampiran 4 – Penanganan Hibah dan Peminjaman Lahan Secara Sukarela Pengembangan mata pencaharian seringkali membutuhkan lahan baik itu berasal dari tanah milik desa, communal maupun sumber-sumber lainnya seperti perolehan tanah dari hibah individu. Tanah yang dihibahkan atau dipinjamkan, serta bangunan dan/atau fasilitas yang dibangun untuk kepentingan IPLCs merupakan aset publik sehingga dalam pelaksanaan hibah tanah perlu mengacu pada peraturan adat yang berlaku atau Peraturan Menteri Dalam Negeri No.1 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Aset Desa1. Setiap kegiatan pembangunan yang didanai DGMI harus memiliki alternatif lokasi untuk memastikan bahwa hibah, ijin pakai dan ijin dilewati yang diberikan oleh pemilik tanah benar-benar dilakukan secara sukarela tanpa paksaan dan tanpa tekanan dari pihak manapun. Kegiatan/lokasi pembangunan perlu dipindahkan ketika pemilik lahan/tanah tidak rela secara penuh atau berada dalam paksaan. Jika lahan yang dibutuhkan tidak bisa didapatkan secara hibah/hak pakai /ijin dilewati, maka masyarakat perlu memilih alternatif lokasi atau bentuk infrastruktur lain. Sebagaimana disyaratkan penggunaan dana DGMI tidak dapat dipergunakan untuk membeli tanah untuk menambah tanah kas desa/ulayat. Penyediaan lahan dapat meliputi: (a) hibah tanah, (b) ijin pakai, dan (c) ijin dilewati: Hibah hak milik atas tanah (hibah tanah) merupakan pelepasan hak kepemilikan tanah kepada pihak lain atas persetujuan pihak Penghibah dengan sukarela dan cuma-cuma serta tidak dapat ditarik kembali kepada pihak penerima hibah. Syarat hibah adalah sukarela, nyata (riil) dan adanya bukti penyerahan hak kepemilikan untuk sebagian atau seluruh tanah yang digunakan untuk kepentingan bersama. Dalam kesepakatan hibah perlu dijelaskan secara jelas kepada pemberi hibah bahwa bila mereka setuju meghibahkan berarti hak individu atas tanah tersebut secara penuh diserahkan kepada desa/lembaga adat. Area yang dipakai sejak dihibahkan akan menjadi milik desa. Hibah bersifat final dan dinyatakan secara tertulis dalam Surat Kesepakatan Hibah (Lampiran 4.1). Ijin pakai adalah pemberian hak pinjam pakai kepada pihak lain secara tidak permanen atau atas dasar waktu tertentu yang disepakati bersama. Selama masa ijin pakai, pemilik tanah tidak dapat menggunakan tanah tersebut untuk kepentingannya. Ijin pakai harus diketahui dan dibuktikan dengan perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh pemilik tanah dan pihak Desa yaitu Kepala Desa atau Tetua Adat (Lampiran 4.2). Ijin dilewati adalah pemberian ijin menggunakan tanah untuk dilalui/dilewat infrastruktur yang didanai program demi kepentingan masyarakat (contoh: pemasangan pipa, lampu jalan, kabel listrik dll.). Pemilik tanah masih tetap dapat menggunakan tanah yang dilewati. Menurut Pasal 4 Ayat 3 Permendagri No. 1/2016, aset desa yang bersifat strategis dapat berupa tanah kas desa, tanah ulayat, pasar desa, pasar hewan, tambatan perahu, bangunan desa, pelelangan ikan, pelelangan hasil pertanian, hutan milik desa, mata air milik desa, pemandian umum, dan aset lainnya milik desa 1
hal | 35
Ijin dilewati harus dinyatakan secara tertulis dalam Surat Kesepakatan Ijin Dilewati yang ditandatangan oleh semua pihak yang memberikan ijin (Lampiran 4.3) Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam hibah/hak pakai/ijin dilewati adalah: 1. Pemberi hibah/hak pakai/ijin dilewati atas tanah harus memahami terlebih dahulu pengertian dan konsekuensi keputusannya atas pengalihan hak atas tanah/hak pakai/ijin dilewati. Khusus hibah tanah, konsekuensinya adalah berkurangnya hak atas luas tanah secara permanen sebesar tanah yang dihibahkan. 2. Pemberi hibah/hak pakai /ijin dilewati atas tanah telah mendapatkan informasi yang jelas mengenai kegiatan pembangunan desa, sehingga mau menghibahkan dan mengijinkan dipakai/dilewati tanahnya dengan sukarela dan tanpa paksaan. 3. Pemberi hibah/hak pakai/ijin dilewati atas tanah harus menerima kejelasan dan kelengkapan informasi dari isi surat perjanjian atas penggunaan tanahnya untuk kepentingan pembangunan desa. 4. Pihak desa/Lembaga Adat harus memastikan status tanah (sudah dilengkapi sertifikat atau belum serta jenis sertifikat) dan memastikan bahwa tanah tidak sedang dipersengketakan. Salinan bukti kepemilikan tanah dilampirkan dalam surat hibah tanah/Ijin Pakai/Ijin dilewati. 5. Hibah atas tanah secara sukarela diperbolehkan dengan pertimbangan bahwa pemberi hibah (pemilik tanah) memperoleh manfaat dari pembangunan dan tidak akan menjadi lebih buruk kehidupannya setelah tanahnya dihibahkan. 6. Seluruh dokumen perjanjian diadministrasikan sesuai tata aturan adat atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Lampiran 4.1. CONTOH SURAT PERNYATAAN HIBAH TANAH Saya yang bertandatangan di bawah ini: Nama No KTP Pekerjaan Alamat
: : : :
Selaku pemilik tanah berdasarkan Surat Bukti Kepemilikan yang sah Nomor....... Tanggal......... atau Surat Bukti lain yang sah……. (sebutkan), dengan ini menyatakan bersedia menghibahkan tanah dan aset lain di atasnya, jika ada kepada Pemerintah Desa/Lembaga Adat............................. (sebutkan) untuk dimanfaatkan bagi pembangunan …………………. bagi kepentingan masyarakat umum Nama Kegiatan Lokasi tanah
: :
hal | 36
Luas tanah yang disumbangkan Luas tanah sisa Nilai aset lain yang disumbangkan Penggunaan tanah saat ini Status kepemilikan tanah
: : : : :
(Sertakan batas dan status kepemilikan tanah dan denah yang jelas dengan orientasi lokasi yang jelas, bila perlu lengkapi dengan koordinat GPS) Contoh:
hal | 37
Pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya tanpa paksaan apapun untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.
Tempat, tanggal dilakukannya kesepakatan
Yang memberi sumbangan tanah, atas nama Pemerintah Desa/Lembaga Adat
Yang menerima sumbangan tanah
Tanda tangan pemilik tanah di atas materai 6000
(……Nama……)
(…..Nama…..)
Tanda Tangan Camat sebagai PPAT
hal | 38
(…....Nama…..)
Tanda tangan ahli waris: Nama 1
tanda tangan
Nama 2
tanda tangan
Nama 3
tanda tangan
dst.
Tanda tangan saksi-saksi: Nama 1
(perangkat desa/Adat)
tanda tangan
Nama 2
(tokoh masyarakat/Tetua Adat)
tanda tangan
Nama 3
(tetangga terdekat)
tanda tangan
dst.
Lampiran 4.2. CONTOH SURAT IZIN PIJAM PAKAI Saya yang bertandatangan di bawah ini: Nama No KTP Pekerjaan Alamat
: : : :
Selaku pemilik tanah berdasarkan Surat Bukti Kepemilikan yang sah Nomor....... Tanggal ………. atau Surat Bukti lain yang sah ……….. (sebutkan) dengan ini menyatakan bersedia meminjamkan tanah dan aset lain kepada Pemerintah Desa/Lembaga Adat ……… (sebutkan) untuk kegiatan pembangunan.............. selama..... tahun bagi kepentingan masyarakat umum atau selama fasilitas masih berfungsi. Ijin pinjam pakai bisa diperbaharui sesuai kesepakatan. Nama kegiatan Lokasi tanah Luas tanah yang dipinjamkan Luas tanah sisa Penggunaan tanah saat ini Status kepemilikan tanah
: : : : : :
(Sertakan batas dan status kepemilikan tanah dan denah yang jelas dengan orientasi lokasi arah mata angina, bila perlu lengkapi dengan koordinat GPS) Contoh:
hal | 39
Pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya tanpa paksaan apapun untuk dipergunakan sebagaimana mestinya. Tempat, tanggal dilakukannya kesepakatan
Yang memberi izin,
Yang menerima izin pinjam pakai
atas nama Pemerintah Desa/Lembaga Adat
Tanda Tangan Pemilik tanah di atas materai 6000 hal | 40
(……Nama……)
(…..Nama…..)
Tanda tangan ahli waris: Nama 1
tanda tangan
Nama 2
tanda tangan
Nama 3
tanda tangan
dst.
Tanda tangan saksi-saksi: Nama 1
(perangkat desa/lembaga adat)
tanda tangan
Nama 2
(tokoh masyarakat/Tetua Adat)
tanda tangan
Nama 3
(tetangga terdekat)
tanda tangan
Lampiran 4.3. CONTOH SURAT IZIN DILEWATI Saya yang bertandatangan di bawah ini mewakili pihak pemilik tanah:
Nama No KTP Pekerjaan Alamat
: : : :
Dengan ini menyatakan bersedia tanahnya dilewati fasilitas/pembangunan ………yang dibangun oleh pemerintah Desa/Lembaga Adat untuk dimanfaatkan bagi kepentingan masyarakat umum, selama jangka waktu … tahun atau selama fasilitas masih berfungsi. Surat izin tanah dilewati bisa diperbaharui sesuai kesepakatan dengan para pihak pemilik tanah. Jumlah pemilik tanah yang dilewati : Dimensi tanah yang diperlukan (panjang dan lebar) : Lokasi tanah : (Sertakan sketsa lokasi tanah yang dilewati pembangunan infrastruktur beserta keterangan yang sesuai seperti batas tanah, infrastruktur yang dibangun, orientasi lokasi arah mata angin, bila perlu lengkapi dengan koordinat GPS) Contoh:
hal | 41
Pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya tanpa paksaan apapun untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.
Tempat, tanggal dilakukannya kesepakatan
Perwakilan Pihak yang memberi Ijin
Yang menerima izin atas nama Pemerintah Desa/Lembaga Adat
Tanda Tangan Pemilik tanah
hal | 42
di atas materai 6000
(Nama)
(Nama)
LAMPIRAN Kami yang bertanda-tangan dibawah ini menyetujui untuk memberi ijin dilewati untuk pembangunan …. (Tanda tangan pemilik tanah yang dilewati pembangunan infrastruktur) No. 1.
Nama Contoh: Syukri Mahadi
Status tanah Hak milik (letter C)
Tanda Tangan
Lampiran 5 – Kerangka Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Tujuan pengelolaan dan pemantauan lingkungan adalah untuk menetapkan serangkaian kebijakan dan pedoman yang akan membantu NSC/NEA dalam penyaringan, penilaian, dan pengawasan aspek-aspek lingkungan hidup dan sosial dari semua proyek yang dibiayai DGMI. Proses penyaringan akan mengidentifikasi tingkat dampak dari setiap sub-proyek yang diusulkan dan jenis mitigasi yang diperlukan. Kharakateristik program/kegiatan DGMI, khususnya peningkatan penghidupan masyarakat berpotensi menimbulkan dampak lingkungan yang harus dikelola, sehingga memerlukan ijin lingkungan melalui penyusunan Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL/UPL) atau Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan (SPPL). Patut dicatat bahwa lokasi kegiatan tidak berbatasan langsung dengan kawasan konservasi. Bila lokasi kegiatan berbatasan dengan kawasan konservasi, maka akan dikenakan wajib ANDAL, serta penyusunan RKL/RPL yang disyahkan pemerintah untuk medapatkan ijin lingkungan. Kegiatan yang termasuk kategori wajib ANDAL tidak akan dibiayai DGMI. Diharapkan bahwa sebagian besar sub-proyek tidak akan memerlukan mitigasi dampak lingkungan yang khusus. Namun beberapa sub-proyek mungkin membutuhkan tambahan mitigasi dampak melalui penyusunan UKL/UPL untuk mendapatkan Ijin Lingkungan. UKL dan UPL berisi rencana mitigasi dan pemantauan standar untuk menutupi dampak khas dari setiap kegiatan konstruksi, termasuk pekerja/komunitas, kesehatan dan keselamatan, pengerjaan tanah dan pengelolaan sampah dan limbah B3. UKL/UPL harus disiapkan oleh lembaga yang kompeten dan mengikuti persyaratan yang tercantum dalam Permen LH No 16/2012. Secara umum, struktur dokumen dan matrik UKL-UPL dapat dilihat pada Tabel 5 dibawah ini. Tabel 5 Struktur & Substansi Dokumen UKL-UPL Struktur Dokumen A Identitas Pemrakarsa 1. Nama Pemrakarsa 2. Alamat Kantor, kode pos, No. Telp dan Fax. email. B Rencana Usaha dan/atau Kegiatan 1. Nama Rencana Usaha dan/atau Kegiatan 2. Lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan dan dilampirkan peta yang sesuai dengan kaidah kartografi dan/atau ilustrasi lokasi dengan skala yang memadai.
Penjelasan Substansi
hal | 43
Struktur Dokumen 3. Skala/Besaran rencana usaha dan/atau Kegiatan
4. Garis besar komponen rencana usaha dan/atau kegiatan
Penjelasan Substansi Tuliskan ukuran luasan dan atau panjang dan/atau volume dan/atau kapasitas atau besaran lain yang dapat digunakan untuk memberikan gambaran tentang skala kegiatan. Contoh: Bidang Pariwisata: luas lahan yang digunakan, luas fasiltas pariwisata yang akan dibangun, jumlah kamar, jumlah mesin laundry, jumlah hole, kapasitas tempat duduk tempat hiburan dan jumlah kursi restoran Pada bagian ini pemrakarsa menjelaskan: a. Kesesuaian lokasi rencana kegiatan dengan tata ruang Bagian ini menjelaskan mengenai kesesuaian lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan dengan rencana tata ruang sesuai ketentuan peraturan perundangan. Informasi kesesuaian lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan dengan rencana tata ruang seperti tersebut di atas dapat disajikan dalam bentuk peta tumpang susun (overlay) antara peta batas lokasi proyek rencana usaha dan/atau kegiatan dengan peta RTRW yang berlaku dan sudah ditetapkan (peta rancangan RTRW tidak dapat dipergunakan). Berdasarkan hasil analisis spasial tersebut, pemrakarsa selanjutnya menguraikan secara singkat dan menyimpulkan kesesuaian lokasi proyek dengan tata ruang, apakah seluruh lokasi proyek sesuai dengan tata ruang, atau ada sebagian yang tidak sesuai, atau seluruhnya tidak sesuai. Dalam hal masih ada hambatan atau keragu-raguan terkait informasi kesesuaian dengan RTRW, maka pemrakarsa dapat meminta bukti formal/fatwa dari instansi yang bertanggung jawab di bidang penataan ruang seperti BKPTRN atau BKPRD. Bukti-bukti yang mendukung kesesuaian dengan tata ruang wajib dilampirkan. Jika lokasi rencana usaha/atau kegiatan tersebut tidak sesuai dengan rencana tata ruang, maka formulir UKLUPL tersebut tidak dapat diproses lebih lanjut sesuai dengan ketentuan pasal 14 ayat (3) PP No. 27 Tahun 2012. Disamping itu, untuk jenis rencana usaha dan/atau kegiatan tertentu, pemrakarsa harus melakukan analisis spasial kesesuaian lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan dengan peta indikatif penundaan izin baru (PIPIB) yang tercantum dalam Inpres Nomor 10 Tahun 2011, atau peraturan revisinya maupun terbitnya ketentuan baru yang mengatur mengenai hal ini. Berdasarkan hasil analisis spatial tersebut, pemrakarsa dapat menyimpulkan apakah lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut berada dalam atau di luar
hal | 44
Struktur Dokumen
C
Dampak Lingkungan yang Ditimbulkan dan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup serta Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup
Penjelasan Substansi kawasan hutan alam primer dan lahan gambut yang tercantum dalam PIPIB. Jika lokasi rencana usaha/atau kegiatan tersebut berada dalam PIPIB, kecuali untuk kegiatan-kegiatan tertentu yang dikecualikan seperti yang tercantum dalam Inpres Nomor 10 Tahun 2011, maka formulir UKL-UPL tersebut tidak dapat diproses lebih lanjut. Kesesuaian terhadap lokasi rencana usaha dan atau kegiatan berdasarkan peta indikatif penundaan izin baru (PIPIB) yang tercantum dalam Inpres Nomor 10 Tahun 2011, berlaku selama 2 (dua) tahun terhitung sejak Instruksi Presiden ini dikeluarkan. b. Penjelasan mengenai persetujuan prinsip atas rencana kegiatan Bagian ini menguraikan perihal adanya persetujuan prinsip yang menyatakan bahwa jenis usaha kegiatan tersebut secara prinsip dapat dilakukan dari pihak yang berwenang. Bukti formal atas persetujuan prinsip tersebut wajib dilampirkan. c. Uraian mengenai komponen rencana kegiatan yang dapat menimbulkan dampak lingkungan Dalam bagian ini, pemrakarsa menuliskan komponenkomponen rencana usaha dan/atau kegiatan yang diyakini dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan. Uraian tersebut dapat menggunakan tahap pelaksanaan proyek, yaitu tahap pra-konstruksi, kontruksi, operasi dan penutupan/pasca operasi. Tahapan proyek tersebut disesuaikan dengan jenis rencana usaha dan/atau kegiatan. Bagian ini pada dasarnya berisi satu tabel/matriks, yang merangkum mengenai: 1. Dampak lingkungan yang ditimbulkan rencana usaha dan/atau kegiatan Kolom Dampak Lingkungan terdiri atas tiga sub kolom yang berisi informasi: a. sumber dampak, yang diisi dengan informasi mengenai jenis sub kegiatan penghasil dampak untuk setiap tahapan kegiatan (pra-kontruksi, konstruksi, operasi dan pasca operasi); b. jenis dampak, yang diisi dengan informasi tentang seluruh dampak lingkungan yang mungkin timbul dari kegiatan pada setiap tahapan kegiatan; dan c. besaran dampak, yang diisi dengan informasi mengenai: untuk parameter yang bersifat kuantitatif, besaran dampak harus dinyatakan secara kuantitatif. 2. Bentuk upaya pengelolaan lingkungan hidup Kolom Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup terdiri atas tiga sub kolom yang berisi informasi: a. bentuk Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang diisi dengan informasi mengenai bentuk/jenis pengelolaan lingkungan hidup yang direncanakan
hal | 45
Struktur Dokumen
Penjelasan Substansi untuk mengelola setiap dampak lingkungan yang ditimbulkan; b. lokasi Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang diisi dengan informasi mengenai lokasi dimana pengelolaan lingkungan dimaksud dilakukan (dapat dilengkapi dengan narasi yang menerangkan bahwa lokasi tersebut disajikan lebih jelas dalam peta pengelolaan lingkungan pada lampiran UKL-UPL); dan c. periode pengelolaan lingkungan hidup, yang diisi dengan informasi mengenai waktu/periode dilakukannya bentuk upaya pengelolaan lingkungan hidup yang direncanakan. 3. Bentuk upaya pemantauan lingkungan hidup Kolom Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup terdiri atas tiga sub kolom yang berisi informasi: a. bentuk Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup, yang diisi dengan informasi mengenai cara, metode, dan/atau teknik untuk melakukan pemantauan atas kualitas lingkungan hidup yang menjadi indikator kerberhasilan pengelolaan lingkungan hidup (dapat termasuk di dalamnya: metode pengumpulan dan analisis data kualitas lingkungan hidup, dan lain sebagainya); b. lokasi Pemantauan Lingkungan Hidup, yang diisi dengan informasi mengenai lokasi dimana pemantauan lingkungan dimaksud dilakukan (dapat dilengkapi dengan narasi yang menerangkan bahwa lokasi tersebut disajikan lebih jelas dalam peta pemantauan lingkungan pada lampiran UKL-UPL); dan c. periode pemantauan lingkungan hidup, yang diisi dengan informasi mengenai waktu/periode dilakukannya bentuk upaya pemantauan lingkungan hidup yang direncanakan. 4. Institusi pengelola dan pemantauan lingkungan hidup Kolom Institusi Pengelola dan Pemantauan Lingkungan Hidup, yang diisi dengan informasi mengenai berbagai institusi yang terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup dan pemantauan lingkungan hidup yang akan: a. melakukan/melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup dan pemantauan lingkungan hidup; b. melakukan pengawasan atas pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup dan pemantauan lingkungan hidup; dan c. menerima pelaporan secara berkala atas hasil pelaksanaan komitmen pengelolaan lingkungan hidup dan pemantauan lingkungan hidup sesuai dengan lingkup tugas instansi yang bersangkutan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
hal | 46
Struktur Dokumen
D
Jumlah dan Jenis Izin IZIN PPLH yang Dibutuhkan
E
Surat Pernyataan
F
Daftar Pustaka
G
Lampiran
Penjelasan Substansi Dalam bagian ini, Pemrakarsa dapat melengkapi dengan peta, sketsa, atau gambar dengan skala yang memadai terkait dengan program pengelolaan dan pemantauan lingkungan. Peta yang disertakan harus memenuhi kaidahkaidah kartografi. Dalam hal rencana usaha dan/atau kegiatan yang diajukan memerlukan izin PPLH, maka dalam bagian ini, pemrakarsa menuliskan daftar jumlah dan jenis izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang dibutuhkan berdasarkan upaya pengelolaan lingkungan hidup. Bagian ini berisi pernyataan/komitmen pemrakarsa untuk melaksanakan UKL-UPL yang ditandatangani di atas kertas bermaterai. Pada bagian ini utarakan sumber data dan informasi yang digunakan dalam penyusunan UKL-UPL baik yang berupa buku, majalah, makalah, tulisan, maupun laporan hasil-hasil penelitian. Bahan-bahan pustaka tersebut agar ditulis dengan berpedoman pada tata cara penulisan pustaka. Formulir UKL-UPL juga dapat dilampirkan data dan informasi lain yang dianggap perlu atau relevan, antara lain: 1. bukti formal yang menyatakan bahwa jenis usaha kegiatan tersebut secara prinsip dapat dilakukan; 2. bukti formal bahwa rencana lokasi Usaha dan/atau Kegiatan telah sesuai dengan rencana tata ruang yang berlaku (kesesuaian tata ruang ditunjukkan dengan adanya surat dari Badan Koordinasi Perencanaan Tata Ruang Nasional (BKPTRN), atau instansi lain yang bertanggung jawab di bidang penataan ruang); 3. informasi detail lain mengenai rencana kegiatan (jika dianggap perlu); 4. peta yang sesuai dengan kaidah kartografi dan/atau ilustrasi lokasi dengan skala yang memadai yang menggambarkan lokasi pengelolaan lingkungan hidup dan lokasi pemantauan lingkungan hidup; dan 5. data dan informasi lain yang dianggap perlu.
Kegiatan yang tidak membutuhkan UKL/UPL tetapi membutuhkan pengelolaan dan pemantauan lingkungan perlu menyusun SPPL untuk mendapatkan ijin lingkungan. Format SPPL disajikan pada Lampiran 7
hal | 47
Lampiran 6 – Tabel untuk UKL - UPL Dampak Lingkungan Sumber Jenis Dampak Dampak
Besaran Dampak
(Tuliskan kegiatan yang menghasilkan dampak terhadap lingkungan)
(Tuliskan ukuran yang dapat menyatakan besaran dampak)
(Tuliskan dampak yang mungkin terjadi)
Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup Bentuk Lokasi Periode Upaya Pengelolaan Pengelolaan Pengelolaan Lingkungan Lingkungan Lingkungan Hidup Hidup Hidup
Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup Bentuk Lokasi Periode Upaya Pemantauan Pemantauan Pemantauan Lingkungan Lingkungan Lingkungan Hidup Hidup Hidup
Institusi Pengelola Dan Pemantauan Lingkungan Hidup
Keterangan
(Tuliskan bentuk/jenis pengelolaan lingkungan hidup yang direncanakan untuk mengelola setiap dampak lingkungan yang ditimbulkan)
(Tuliskan informasi mengenai cara, metode, dan/atau teknik untuk melakukan pemantauan atas kualitas lingkungan hidup yang menjadi indikator kerberhasilan pengelolaan lingkungan hidup)
(Tuliskan institusi yang terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup dan pemantauan lingkungan hidup)
(Tuliskan informasi lain yang perlu disampaikan untuk menjelaskan hal-hal yang dianggap perlu)
(Tuliskan informasi mengenai lokasi dimana pengelolaan lingkungan dimaksud dilakukan)
(Tuliskan informasi mengenai waktu/periode dilakukannya bentuk upaya pengelolaan lingkungan hidup yang direncanakan)
(Tuliskan informasi mengenai lokasi dimana pemantauan lingkungan dimaksud dilakukan)
(Tuliskan informasi mengenai waktu/periode dilakukannya bentuk upaya pemantauan lingkungan hidup yang direncanakan)
hal | 48
Lampiran 7 - Format untuk Pengajuan permohonan SPPL SURAT PERNYATAAN KESANGGUPAN PENGELOLAAN DAN PEMANTAUAN LINGKUNGAN HIDUP (SPPL)
Kami yang bertanda tangan di bawah ini: Nama Jabatan Alamat Nomor Telp.
: ............................................................................ : ............................................................................ : ............................................................................ : ............................................................................
Selaku penanggung jawab atas pengelolaan lingkungan dari: Nama perusahaan/Usaha Alamat perusahaan/usaha Nomor telp. Perusahaan Jenis Usaha/sifat usaha Kapasitas Produksi Perizinan yang dimiliki Keperluan Besarnya modal
: ......................................................... : ......................................................... : ......................................................... : ......................................................... : ......................................................... : ......................................................... : ......................................................... : .........................................................
Dengan ini menyatakan bahwa kami sanggup untuk: 1. Melaksanakan ketertiban umum dan senantiasa membina hubungan baik dengan tetangga sekitar. 2. Menjaga kesehatan, kebersihan dan keindahan di lingkungan usaha. 3. Bertanggung jawab terhadap kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh usaha dan/atau kegiatan tersebut. 4. Bersedia dipantau dampak lingkungan dari usaha dan/atau kegiatannya oleh pejabat yang berwenang. 5. Menjaga kelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup di lokasi dan disekitar tempat usaha dan/atau kegiatan. 6. Apabila kami lalai untuk melaksanakan pernyataan pada angka 1 sampai angka 5 di atas, kami bersedia bertanggung jawab sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Keterangan: a. Dampak lingkungan yang terjadi: 1. 2. 3.
hal | 49
4. 5. dst. b. Pengelolaan dampak lingkungan yang dilakukan: 1. 2. 3. 4. 5. dst. SPPL ini berlaku sejak tanggal ditetapkan sampai dengan berakhirnya usaha dan/atau kegiatan atau mengalami perubahan lokasi, desain, proses, bahan baku dan/atau bahan penolong.
Tanggal, Bulan, Tahun
Menyetujui,
Yang menyatakan,
Kepala Instansi Lingkungan Hidup Provinsi/Kabupaten/Kota Materai Rp. 6.000,Tanda tangan Cap perusahaan
NAMA (..................................................)
NAMA (..................................................)
NIP. Catatan: Contoh format di atas merupakan format minimum dan dapat dikembangkan.
hal | 50
Lampiran 8 – Komponen dan Sub-komponen Proyek DGMI Komponen 1: Dana Hibah untuk Memperkuat Kapasitas MAKL untuk Meningkatkan Jaminan Hak atas Lahan dan Meningkatkan Penghasilan 22. Komponen ini, melalui penyediaan dana hibah, akan memperkuat kapasitas MAKL untuk mencapai: (i) kejelasan dan jaminan atas hak mereka terhadap lahan (termasuk lahan hutan) di wilayah pedesaan, dan (ii) meningkatkan penghidupan. Komponen ini akan menghasilkan berbagai mekanisme, ketrampilan dan output yang dapat membantu MAKL dampingan dalam membantu upaya untuk memperkuat hak atas lahan dan meningkatkan kesejahteraan mereka. Selain itu, MAKL dampingan juga dapat memenuhi (sejauh mungkin) persyaratan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk memperoleh jaminan hak atas lahan dan akses yang lebih baik terhadap layanan yang dapat meningkatkan penghidupan mereka. 23. Pemilihan masyarakat yang layak untuk menerima dukungan dari komponen ini akan didasarkan pada kriteria sebagai berikut: (i) masyarakat telah memulai atau menyelesaikan pemetaan wilayah secara partisipatif atau proses pengajuan ijin sosial, (ii) wilayah tersebut merupakan bagian dari wilayah yang rentan (misalnya lahan gambut, dataran rendah, wilayah yang rentan kebakaran, kepulauan kecil yang mengalami tekanan dari pihak industri seperti pertambangan dan perkebunan), dan (iii) kelayakan (baik finansial maupun politik). Kriteria kelayakan ini akan ditentukan berdasarkan pada bukti atas kesediaan daerah kabupaten untuk mengakui MAKL dan tuntutan mereka terhadap hak atas lahan secara kolektif. Terdapat kriteria tambahan seperti persentase penerima manfaat dari kalangan perempuan, dukungan masyarakat dan kapasitas organisasi, serta kemampuan untuk menyeleksi proposal (hal ini disajikan dalam Lampiran 1 dan dijabarkan dalam Manual Operasional Proyek). 24. Proposal dana hibah yang terkait dengan komponen ini mencakup kombinasi kegiatan untuk ketiga sub-komponen atau kegiatan untuk sub-komponen 1.1 dan 1.2, atau kegiatan untuk sub-komponen 1.1 dan 1.3 (jika terdapat jaminan hak atas lahan). Proyek ini diharapkan dapat mengeluarkan 60 dana hibah (block grant) selama periode berjalannya proyek. Beberapa dana hibah akan memiliki periode selama beberapa tahun. Nilai minimum dana hibah ini diperkirakan sebesar $30.000. Tahap pertama dari dana hibah ini akan ditujukan untuk pelaksanaan sub-komponen 1.1 dan tidak melebihi $7500. Informasi tambahan tentang kegiatan, proses seleksi, dan mekanisme pendanaan diberikan dalam Lampiran 1 dan akan dijabarkan lebih lanjut dalam Manual Operasional Proyek. Sub-komponen 1.1. Penjangkauan dan Mobilisasi Masyarakat 25. Dana yang terkait dengan sub-komponen ini dapat diakses oleh LSM, OMS, dan OBM yang telah terpilih setelah mengikuti undangan pengajuan proposal secara terbuka. Dukungan ini bermaksud untuk membantu proponen yang telah terpilih tersebut dalam mensosialisasikan cakupan proyek dan pengaturan pelaksanaan kepada pihak penerima manfaat dan pemangku kepentingan lainnya (misalnya pemerintah daerah), serta untuk menyempurnakan proposal proyek sehingga dapat mengoptimalkan berbagai peluang yang diberikan oleh DGM-I. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa penerima manfaat mempunyai akses terhadap informasi tentang peluang dan persyaratan untuk mendapatkan jaminan hak atas lahan dan meningkatkan penghidupan mereka. Informasi tersebut dapat membantu mereka untuk menentukan bagaimana memanfaatkan potensi dukungan dari DGM-I dengan cara yang paling efektif. Upaya serupa akan dilakukan untuk memberikan informasi kepada pihak penerima
hal | 51
manfaat tentang sumberdaya keuangan dari sektor publik dan swasta untuk mendukung pembangunan daerah serta berbagai proses dan persyaratan untuk mengakses berbagai sumber pendanaan tersebut. 26. Sub-komponen ini akan mendanai biaya untuk materi penjangkauan, pertemuan, lokakarya, dan dalam situasi tertentu, dilakukan pertukaran kunjungan masyarakat. Sub-komponen 1.2: Memperkuat Kapasitas MAKL untuk Meningkatkan Jaminan Hak atas Lahan 27. Sub-komponen ini akan mendukung upaya MAKL yang sedang dilakukan untuk menuntut hak atas lahan mereka, terutama dengan memperkuat klaim mereka terhadap (a) hutan adat; (b) hak atas lahan komunal (berlaku baik untuk MA maupun KL); dan (c) surat ijin untuk lahan hutan (misalnya kehutanan sosial atau kehutanan masyarakat). Ketiga jenis jaminan hak atas lahan ini merupakan fokus utama karena mencakup ketiga bentuk hak atas lahan MAKL utama yang telah lama mereka upayakan di Indonesia. Dukungan yang akan diberikan melalui sub-komponen ini dapat membantu MAKL untuk memperkuat jaminan atas seperangkat hak yang terkait dengan akses dan penggunaan lahan. MAKL akan mendapatkan informasi tentang persyaratan dokumen yang diperlukan untuk memproses klaim mereka terhadap hak atas lahan, yaitu ketiga kategori hak yang diprioritaskan, dan pedoman tentang bagaimana mereka dapat memperoleh hak-hak tersebut. Selain itu, MAKL terpilih akan menerima bantuan yang diperlukan untuk mengumpulkan bukti yang terkait dengan wilayah lahan, peta lahan yang bersifat final, berurusan dengan aparat daerah untuk penyerahan dan pemrosesan pengajuan dalam rangka untuk memperoleh hak atas penggunaan lahan. 28. Sub-komponen ini akan mendanai bantuan teknis, dan pendampingan untuk MAKL agar mereka dapat mengumpulkan bukti, informasi dan dokumen yang diperlukan untuk pengajuan klaim, serta mendanai biaya yang dikeluarkan untuk upaya tindaklanjut dengan pihak berwenang yang terkait dengan status permohonan mereka, bantuan hukum untuk mempersiapkan dokumen yang diperlukan, bantuan teknis untuk mengembangkan materi lebih lanjut, serta perjalanan dan lokakarya. Selain itu, sub-komponen ini akan mendukung mediasi perselisihan, dalam hal terjadi klaim yang bertentangan, jika diperlukan untuk mencapai konsensus antar MAKL dan membangun kapasitas mereka untuk berinteraksi dengan para pengambil keputusan di pihak pemerintah dan lembaga eksternal lainnya dengan cara yang efisien dan dengan informasi yang memadai. Hal ini mencakup pelatihan berdasarkan pedoman dan prosedur yang terkait dengan alternatif mekanisme penyelesaian perselisihan yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan MAKL agar ikut terlibat dalam proses mediasi dengan ketrampilan dan teknik penyelesaian yang lebih baik. Sub-komponen 1.3: Memperkuat Kapasitas MAKL untuk Meningkatkan Penghidupan 29. Sub-komponen ini akan membantu MAKL dalam hal dua dimensi yang terkait dengan upaya peningkatan penghidupan mereka: (i) menentukan dan menyepakati tentang kegiatan penghidupan yang diproritaskan dan dukungan yang mereka inginkan dari proyek ini dan (ii) pendanaan prioritas kegiatan penghidupan yang diterima secara luas dapat membantu dalam memberikan kontribusi untuk pengelolaan kawasan hutan dan lahan yang berkelanjutan. Terdapat sejumlah kriteria untuk menjelaskan berbagai jenis kegiatan yang layak menerima dukungan, seperti kesesuaian dengan rencana pengelolaan hutan yang ada atau bagian dari serangkaian kegiatan yang dapat mengarah pada pengelolaan lahan yang berkelanjutan.
hal | 52
Pertimbangan lainnya adalah kelayakan dan potensi untuk swadana setelah selesainya pemanfaatan dana hibah (meningkatkan sumber pendanaan lainnya). 30. Dana hibah ini mendukung pelatihan dan bantuan teknis untuk fasilitator yang berasal dari masyarakat setempat dan mendukung fasilitator yang terlatih ini agar dapat membantu dalam mengembangkan dan menyempurnakan rencana pembangunan masyarakat. Pelatihan juga dapat membantu fasilitator untuk melakukan transfer keterampilan mereka kepada kaum muda dan pihak-pihak lain yang tertarik untuk menjadi fasilitator. Dana hibah ini juga akan mendanai pertemuan dan kegiatan-kegiatan untuk mengembangkan atau memperbaiki rencana investasi masyarakat. Dana tersebut juga akan menutupi biaya investasi yang telah disepakati. Investasi yang dimaksud dapat mencakup investasi untuk teknologi agro kehutanan hingga investasi tambahan untuk pembangunan micro-hydro (untuk mengurangi ketergantungan terhadap energi yang diperoleh dari pembakaran kayu). Komponen 2: Menginformasikan Proses Kebijakan dan Dialog 31. Komponen ini akan difokuskan pada upaya peningkatan kemampuan perwakilan MAKL dalam proses pembuatan kebijakan dan keputusan di tingkat nasional dan daerah yang akan dijadikan dasar untuk berbagai masalah yang terkait dengan REDD+, penanganan berbagai pemicu penggundulan hutan, pengelolaan lahan dan penghidupan MAKL. Dukungan ini dapat ditujukan baik untuk anggota NSC atau pihak utama lainnya yang ditetapkan sebagai kelompok perwakilan MAKL (misalnya personel dari OBM/OMS/LSM yang menerima dana hibah sebagai bagian komponen 1 atau mereka yang memimpin dialog yang terkait dengan masalah MAKL di tingkat nasional dan daerah (misalnya gugus tugas yang terkait dengan reformasi agraria, atau usulan gugus tugas untuk berbagai masalah MA). Proses untuk menentukan berbagai landasan prioritas akan didasarkan pada pemetaan tentang legitimasi tentang landasan tersebut, bagaimana landasan ini melibatkan para pemangku kepentingan utama (sebagai peserta aktif atau pasif) dan peluang yang ditawarkan untuk menyampaikan berbagai masalah MAKL tersebut. Rincian lebih lanjut akan diberikan dalam Manual Operasional Proyek dan dengan mempertimbangkan dialog di tingkat daerah. 32. Sub-komponen ini akan mendanai upaya penguatan kapasitas dan bantuan teknis untuk MAKL dalam rangka menggalang dukungan dan secara efektif menyampaikan perspektif mereka tentang berbagai masalah utama dan untuk menggalang dana. Sub-komponen ini juga akan membangun kapasitas OMS/OBM/LSM yang menerima dana hibah untuk melaksanakan komponen 1. Pendanaan yang disediakan oleh sub-komponen ini akan menutupi biaya pengumpulan dan penyampaian bukti dan mobilisasi dukungan dari berbagai pemangku kepentingan. Alokasi sumberdaya akan disebarkan sepanjang periode pelaksanaan proyek dengan memberikan prioritas pada kegiatan yang dapat dipengaruhi oleh MAKL. NEA akan mengelola dana untuk komponen ini dan menangani segala masalah yang terkait dengan pengadaan, serta menentukan secara jelas proses yang diperlukan untuk menentukan kelayakan kegiatan, dan bagaimana MAKL akan memilih perwakilan mereka secara mandiri untuk ikut serta dalam berbagai kegiatan tersebut, dan jumlah pendanaan yang akan dialokasikan untuk kegiatan tersebut setiap tahun dalam Manual Operasional Proyek. Komponen 3: Manajemen Proyek serta Monitoring dan Evaluasi 33. Komponen ini akan mencakup pengelolaan dan pengawasan proyek. Sehubungan dengan pengelolaan, komponen ini akan mendanai rapat koordinasi yang melibatkan NSC dan NEA, dan setiap setiap pertemuan regional dengan konstituen DGM untuk menyampaikan informasi
hal | 53
terkini tentang program dan bertukar pikiran tentang kegiatan. Komponen ini juga akan mendukung pengaturan pelaksanaan yang terkait dengan proyek ini serta menutupi biaya untuk memberikan dukungan kepada proponen proyek terpilih agar dapat memperbaiki desain dan pelaksanaan proyek. 34. Komponen ini juga akan menutupi biaya pengembangan dan pelaksanaan mekanisme monitoring dan evaluasi (monev) yang melibatkan masyarakat setempat serta menjadi dasar bagi pelaksanaan proyek, selain untuk memantau kinerja. Sistem monev ini juga akan membantu dalam menghasilkan pembelajaran yang juga akan menjadi dasar untuk upaya komunikasi dan penjangkauan pada komponen 1 dan 2. Komponen ini juga akan membiayai pelaksanaan mekanisme penanganan keluhan yang terkait dengan proyek serta proses komunikasi dan umpan balik untuk memastikan bahwa penyebab dari keluhan tersebut akan membantu untuk melakukan penyesuaian yang diperlukan untuk pelaksanaan proyek. Seorang personel dari NEA akan ditentukan untuk melakukan pemantauan dan menangani berbagai keluhan yang disampaikan.
hal | 54