Social Assistance Reform Indonesia Program Kajian Sistem Sosial dan Lingkungan Environmental and Social Systems Assessment
i
DAFTAR ISI DAFTAR SINGKATAN ............................................................................................................................................... 3 I.
PENDAHULUAN............................................................................................................................................ 10 A.
LATAR BELAKANG PROGRAM ................................................................................................................... 10
B.
CAKUPAN ESSA ........................................................................................................................................ 11
C.
PENDEKATAN ESSA .................................................................................................................................. 12
D.
KONSULTASI UNTUK ESSA ........................................................................................................................ 13
II.
DESKRIPSI PROGRAM ................................................................................................................................... 13 A.
KERANGKA HUKUM UNTUK TRANSFER TUNAI BERSYARAT PKH ................................................................ 13
B.
CAKUPAN PROGRAM ............................................................................................................................... 18
C.
INDIKATOR TERKAIT PENCAIRAN (DLI) DAN PROTOKOL VERIFIKASI ........................................................... 19
D.
PENGATURAN KELEMBAGAAN ................................................................................................................. 22
III.
KAJIAN SISTEM PROGRAM ....................................................................................................................... 23 A.
KEADILAN TERHADAP AKSES (EQUITY)...................................................................................................... 23 a)
Eligibilitas ............................................................................................................................................ 23
b)
Penentuan Target ................................................................................................................................ 26
c)
Eksklusi dan Inklusi Program ................................................................................................................ 30
B.
GENDER ................................................................................................................................................... 34
C.
MEMENUHI KEBUTUHAN MEREKA YANG RENTAN.................................................................................... 35
D.
KONSULTASI DAN AKSES TERHADAP INFORMASI ...................................................................................... 38
IV.
KAPASITAS DAN KINERJA PROGRAM ........................................................................................................ 40 A.
ORGANISASI KELEMBAGAAN DAN DIVISI TENAGA KERJA .......................................................................... 40
B.
MANAJEMEN RISIKO DAN DAMPAK ......................................................................................................... 40
C.
KOORDINASI DENGAN PEMERINTAH SUB-NASIONAL................................................................................ 43
V.
KAJIAN DAMPAK, PENILAIAN RISIKO DAN RENCANA KERJA ........................................................................... 45 A.
DAMPAK SOSIAL YANG TERKAIT DENGAN PKH ......................................................................................... 45
B.
PENILAIAN RISIKO SOSIAL......................................................................................................................... 47
C.
RENCANA KERJA PROGRAM ..................................................................................................................... 51
REFERENSI ............................................................................................................................................................ 55 DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................................... Error! Bookmark not defined. Lampiran 1: Daftar Orang-Orang yang Ditemui (untuk diselesaikan)........................ Error! Bookmark not defined.
ii
DAFTAR SINGKATAN ASLUT BAPPENAS BAPPEDA BPS BPJS BLSM BOS BRI CCT EFC ESSA FDS FKP GIZ GoI GRS HHs JAMKESMAS JSK KKS KK KTP KPS KUBE M&E MIS MoSA NIK NGO OM PBI PforR PIP PKH PMT PPLS RASTRA RCA RCT RPJMN SA SBM SD/MI SiLPA SJSN SMP/MT SMA/MA
Asistensi Sosial Lanjut Usia Terlantar Badan Perencanaan Nasional Badan Perencanaan Daerah Badan Pusat Statistik Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Bantuan Langsung Sementara Masyarakat Bantuan Operasional Sekolah Bank Rakyat Indonesia Bantuan Langsung Tunai / Conditional Cash Transfer Kesalahan, Kecurangan dan Korupsi / Error, Fraud and Corruption Kajian Sistem Sosial dan Lingkungan / Environmental and Social Systems Assessment Sesi Pembangunan Keluarga / Family Development Session Forum Konsultasi Publik Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit Pemerintah Indonesia Sistem Penanganan Keluhan / Grievance Redressall System Keluarga, rumah tangga / Households Jaminan Kesehatan Masyarakat Direktorat Jaminan Sosial Keluarga Kartu Kesejahteraan Sosial Kartu Keluarga Kartu Tanda Penduduk Kartu Perlindungan Sosial Kelompok Usaha Bersama Pemantauan dan Evaluasi / Monitoring and Evaluation Sistem Informasi Manajemen / Management Information System Kementerian Sosial Nomor Induk Kependudukan Lembaga Non Pemerintah / Non-Governmental Organizations Petunjuk Operasional / Operational Manual Penerima Bantuan Iuran Program untuk Hasil / Program for Results Program Indonesia Pintar Program Keluarga Harapan Metode Proxy Means Testing Pendataan Program Perlindungan Sosial Beras untuk Rakyat Sejahtera Reality Check Approach Randomized Control Trial Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Bantuan Sosial / Social Assitance Manajemen Berbasis Sekolah / School Based Management Sekolah Dasar / Madrasah Ibtidaiyah Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran Sistem Jaminan Sosial Nasional Sekolah Menengah Pertama / Madrasah Tsanawiyah Sekolah Menengah Atas / Madrasah Aliyah 3
SOP SUSENAS TKPKD TNP2K ToR ToT UDB UNICEF UPPKH UPSPK
Prosedur Standar Operasi / Standard Operating Procedure Survey Sosial Ekonomi Nasional Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan Kerangka Acuan / Terms of Reference Pelatihan Pelatih / Training of Trainers Basis Data Terpadu / Unified Database The United Nations Children’s Fund Unit Pelaksana Program Keluarga Harapan Unit Penetapan Sasaran untuk Penanggulangan Kemiskinan
4
RANGKUMAN EKSEKUTIF 1. Program Keluarga Harapan (PKH - suatu program transfer bantuan tunai bersyarat untuk keluarga miskin) diciptakan untuk menjadi pilar utama bagi sistem perlindungan sosial komprehensif di Indonesia. PKH diluncurkan di tujuh provinsi di Indonesia pada 2007, awalnya mencakup sekitar setengah juta keluarga. Pada 2015, program tersebut ditargetkan untuk berkembang hingga enam kali lebih besar dibandingkan dengan cakupan awalnya, menjadi lebih dari 3,5 juta keluarga (sekitar lima persen dari jumlah penduduk) hingga mencapai target baru sebesar enam juta keluarga pada tingkat nasional (sekitar sepuluh persen dari jumlah penduduk) pada akhir 2016. Dengan ekspansi tersebut, 42 kabupaten baru ditambahkan untuk mencakup semua provinsi yang ada di Indonesia termasuk Papua dan Papua Barat, yang memiliki tingkat kemiskinan tertinggi tetapi sebelumnya belum masuk ke dalam program. Program ini dilaksanakan oleh Kementerian Sosial yang bekerja sama dengan kementerian lini lain baik di tingkat nasional dan daerah. 2. PKH secara keseluruhan ditujukan untuk memungkinkan keluarga penerima bantuan untuk mengatasi guncangan ekonomi jangka pendek dengan memperlancar konsumsi dan meningkatkan pengeluaran untuk kesehatan dan pendidikan. Pembayaran dikaitkan dengan pemenuhan kriteria spesifik di bidang kesehatan dan pendidikan sehingga memberikan insentif pada perilaku rumah tangga dalam menggunakan layanan-layanan tersebut, yang diharapkan akan berdampak pada peningkatan kesehatan dan pendidikan dalam jangka panjang. 3. Tidak ada kegiatan infrastruktur atau kegiatan fisik lain yang didukung dan/atau dibiayai melalui Transfer Tunai Bersyarat PKH. Oleh karena itu, program tidak akan menghasilkan dampak lingkungan potensial yang mungkin menyebabkan kerugian, kerusakan atau konversi habitat alam, polusi, dan/atau perubahan pada penggunaan lahan atau sumber daya. Program ini tidak diharapkan untuk menyebabkan ekspansi jasa kesehatan dan pendidikan yang akan terlibat pembangunan fasilitas baru. 4. Program ini mendukung permintaan terhadap layanan 1, khususnya di bidang kesehatan dan pendidikan dan tidak pada sisi persediaan, yang bukan merupakan cakupan Kementerian Sosial. Akan tetapi, program ini dapat memiliki risiko sosial terkait dengan pengecualian atau eksklusi dari program dan rendahnya pemahaman atas tujuan, cakupan, proses dan prosedur program yang disebabkan oleh serta lemahnya sosialisasi, yang dapat menumbuhkan persepsi kurang adil serta kecurigaan terutama dari keluarga yang tidak menerima PKH. 5. Isu-isu seputar pelaksanaan PKH yang disoroti dalam Kajian Sistem Sosial dan Lingkungan (ESSA) ini dilakukan dengan memberikan perhatian pada bagaimana masyarakat miskin dan marginal mengakses manfaat PKH dan bagaimana berbagai risiko dan dampak ditangani di dalam program tersebut. Secara khusus, ESSA mempertimbangkan isu-isu seperti penentuan target, permasalahan gender, waktu dan cara transfer uang tunai, dinamika kekuasaan (power dynamics) di tingkat masyarakat, peran fasilitator, kader dan penyedia layanan lain terkait dengan akses ke program dan yang terakhir, mekanisme penanganan keluhan yang ada. Kajian ini dilakukan baik di tingkat nasional dan subnasional, mencakup beberapa kabupaten (Medan, Serang, Lebak dan Serdang Bedagai) yang telah ikut serta dalam PKH serta kabupaten baru yang belakangan diikutsertakan dalam perluasan program.
1
Di bidang kesehatan, indikator PKH fokus pada meningkatkan kehadiran ibu di Posyandu yang menyediakan pemeriksaan kesehatan mendasar dan konseling dari bidan serta kadang mendistribusikan tablet zat besi (Fe) dan asupan makanan tambahan. Di bidang pendidikan, PKH bertujuan untuk mendorong kehadiran anak-anak di sekolah dan intervensi sejenisnya.
5
6. Risiko sosial bagi Transfer Tunai Bersyarat PKH adalah menengah (medium). Program ini mendorong inklusi dengan memperluas cakupan pada kelompok populasi yang paling rentan (seperti kelompok difabel, masyarakat adat). Risiko sosialnya umumnya terkait dengan kapasitas program dalam menentukan target dengan tepat pada penerima manfaat keluarga miskin, pelibatan masyarakat dan penggunaan jalur komunikasi yang sesuai, penerapan Sistem Penanganan Keluhan (Grievance Redress System, GRS) yang lebih responsif serta penetapan lingkungan yang kondusif untuk membantu keluarga PKH dalam memanfaatkan bantuan tunai dalam meningkatkan kesejahteraan, kesehatan dan pendidikan mereka. Temuan Utama 7. Eligibilitas: penerapan persyaratan yang lebih ketat bagi keluarga-keluarga agar tetap menerima bantuan dapat menjadi sulit di beberapa area yang memiliki permasalahan serius pada sisi persediaan, sehingga upaya untuk menyesuaikan persyaratan dan protokol verifikasi agar menjadi lebih kontekstual menjadi sangat penting demi mendorong inklusi sosial bagi masyarakat yang berada di area-area yang kurang terlayani. Eligibilitas PKH bergantung pada sumber daya keluarga dan komposisi demografis. Suatu rumah tangga atau keluarga harus berada dalam kategori “miskin” atau ada dalam 25 persen rumah tangga termiskin berdasarkan peringkat Basis Data Terpadu (Unified Data Base, UDB) Semenjak 2016, komponen-komponen baru akan ditambahkan, termasuk memperluas Transfer Tunai Bersyarat PKH pada kelompok lansia (70 tahun atau lebih) di dalam keluarga PKH yang sebelumnya tidak dicakup oleh program bantuan sosial lain 2 serta kelompok difabel berat. Sejumlah tantangan utama terkait dengan eligibilitas program yang diamati: Pertama, walaupun kriteria eligibilitas telah ditetapkan dengan jelas dalam Petunjuk Operasional (halaman 22-28) dan fasilitator dapat menjelaskan persyaratan dengan cukup baik, masyarakat penerima manfaat dan bahkan pejabat pemerintah lokal yang ditemui selama kajian, mengindikasikan tingkat pemahaman yang bervariasi atas kriteria dan persyaratan tersebut, termasuk jangka waktu dan skema kelulusan bagi PKH. Kedua, di beberapa lokasi terpencil seperti pulau-pulau kecil, hutan atau area pegunungan, verifikasi kepatuhan terhadap persyaratan dapat menjadi sangat sulit karena kurangnya layanan dasar dan hasil kajian kesiapan pada sisi persediaan, hambatan yang seringkali berasal dari penyebaran personel yang tidak merata, seperti guru dan bidan; bukan karena tidak adanya fasilitas atau infrastruktur. Permasalahan terkait dengan kesiapan sisi persediaan cenderung akan menjadi lebih besar karena PKH mulai mencakup area-area terpencil yang kurang terlayani dan mulai berusaha mencakup lansia dan kelompok difabel berat. 8. Penentuan Target: pemahaman atas akurasi penentuan target yang lebih baik seringkali tidak dibagikan ke pemangku kepentingan lokal, dan permasalahan tersebut seringkali disebabkan kurangnya informasi dan komunikasi. Sistem penentuan target PKH telah terus diperbaiki. PKH mengadopsi Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial (selanjutnya disebut BDT atau Unified Data Base, UDB), yang mencakup informasi sosial, ekonomi, demografis sekitar 24,7 juta keluarga atau 96,4 juga individu yang ada dalam 40 persentil termiskin di seluruh Indonesia. Basis data tersebut diperbarui pada tahun 2015 dengan survei ulang keluarga yang telah masuk serta memungkinkan keluarga baru untuk disertakan dalam survei dan penentuan peringkat kesejahteraan selanjutnya. Basis Data Terpadu 2015 dianggap lebih akurat dari pada BDT 2011 karena metodologi PMT (Proxy Means Testing) menggunakan jumlah sampel yang lebih besar untuk memprediksi konsumsi dan serangkaian variabel yang lebih luas untuk memprediksi konsumsi. Hingga saat ini, Basis Data Terpadu dianggap sebagai basis data penentuan target yang paling komprehensif di negara ini. Akan tetapi, kurangnya sosialisasi, proses penentuan target aktual, termasuk metode PMT, seringkali kurang dipahami oleh pejabat pemerintahan lokal, fasilitator dan penerima manfaat. Terlebih lagi, keluhan-keluhan dari anggota masyarakat yang tidak
2
Program tersebut mencakup ASLUT atau program bantuan usia lanjut.
6
puas seringkali tidak dapat diselesaikan di tingkat lokal karena manajemen penentuan target PKH yang terpusat dan tidak ada sistem penanganan keluhan yang dijalankan dengan efektif dan responsif. 9. Eksklusi program: kurangnya dokumentasi legal telah diakui sebagai salah satu permasalahan yang muncul karena PKH sedang bergerak ke arah sistem e-payment dan upaya untuk saling melengkapi program bantuan sosial lain yang menggunakan NIK (Nomor Induk Kependudukan) sebagai persyaratan teknis. Permasalahan tersebut dapat memengaruhi masyarakat yang tidak terdaftar resmi dan populasi sementara yang mencakup masyarakat nomaden, komunitas pelaut, petani, pekerja tidak tetap serta pekerja migran. Individu yang tidak terdaftar mungkin tidak diakui secara formal oleh desa atau lingkungan mereka sebagai penduduk sehingga seringkali tidak diusulkan untuk mendapat program bantuan sosial. Kedua, individu tersebut mungkin terdaftar di tempat tinggal asal mereka sehingga mungkin tidak terlibat dalam sensus dan survei. Lebih jauh lagi, terdapat batasan-batasan kapasitas Badan Pusat Statistik untuk mencakup masyarakat atau kelompok yang tinggal di tempat-tempat yang sangat terpencil. Hambatan tersebut berpotensi menjadi lebih parah dalam area-area PKH baru khususnya di wilayah Indonesia Timur yang memiliki akses terbatas dan biaya logistik untuk survei yang sangat tinggi. 10. Masyarakat yang tidak memiliki akses terdapat layanan kesehatan dan pendidikan yang disyaratkan akan dikecualikan dari program dan isu ini memerlukan perhatian serius karena program akan melakukan ekspansi di tingkat nasional. Keluarga yang layak menerima bantuan, termasuk lansia dan kelompok difabel, dan tinggal di daerah terpencil yang memiliki hambatan sisi persediaan kemungkinan akan dirugikan dalam skema bantuan tunai bersyarat karena kepatuhan persyaratan menjadi suatu tantangan bagi mereka, terkait dengan akses serta biaya-biaya terkait lainnya. 11. Memenuhi kebutuhan mereka yang rentang: Pembayaran PKH seringkali tidak dilakukan pada waktu yang tepat, terutama ketika kebutuhan uang tunai sangat tinggi seperti pada saat tahun akademis baru dan ini meningkatkan risiko transfer PKH untuk digunakan pada biaya rumah tangga lain dari pada untuk pendidikan dan kesehatan. Kajian mengindikasikan bahwa menerima PKH tidak memiliki korelasi dengan keputusan orang tua untuk memastikan pembayaran biaya sekolah yang tepat waktu dan pengurangan jumlah buruh anak, diperkirakan karena terlambatnya transfer dan sedikitnya jumlah transfer yang diterima. Kebutuhan finansial menjadi lebih besar bagi keluarga PKH ketika anakanak mulai masuk ke sekolah menengah atas atau pendidikan tersier karena semua biaya terkait dengan sekolah seperti uang jajan, transportasi dan fotokopi dapat meningkat hingga tiga kali lipat. Terdapat suatu harapan terhadap adanya bantuan untuk pendidikan tersier karena biaya universitas cenderung memiliki porsi yang besar dalam keseluruhan biaya rumah tangga. 12. Konsultasi dan Akses terhadap Informasi: Forum Konsultasi Publik (FKP) yang dilaksanakan sebagai bagian dari proses pembaruan Basis Data Terpadu, merupakan inovasi yang diperkenalkan untuk memperkuat peran dan partisipasi pemerintahan lokal dan perwakilan masyarakat dalam mengidentifikasi penerima manfaat potensial bagi program bantuan sosial, termasuk PKH. Dilaporkan bahwa FKP telah dilaksanakan tanpa koordinasi dengan pemerintahan kabupaten dan kecamatan dan tidak melibatkan pemangku kepentingan yang luas seperti yang seharusnya. Kedua, terdapat kebingungan dalam penggunaan FKP karena penentuan target PKH pada tahun 2016 dianggap tidak mencerminkan dengan tepat apa yang sebelumnya diusulkan dan tidak ada penjelasan resmi terhadap banyaknya tumpang tindih dan nama-nama yang tidak bisa diidentifikasi untuk ekspansi PKH. Akses terhadap informasi dianggap kurang di semua tingkatan, dan ini seringkali dikaitkan dengan kurangnya kesadatan dan pemahaman khususnya ada isu-isu penentuan target, pemilihan penerima bantuan, dan persyaratan keikutsertaan PKH. Di semua kabupaten yang dikunjungi, sumber daya yang tersedia baik dari pemerintah nasional dan daerah, sangat tidak cukup untuk menghasilkan materi sosialisasi dan menyebarluaskan informasi mengenai program.
7
13. Sistem Penanganan Keluhan (Grievance Redress System, GRS): GRS yang ada saat ini berfungsi dengan lemah dan diperlukan adanya penguatan untuk meningkatkan akuntabilitas, transparansi dan menurunkan ketidakpuasan dan rasa eklusi ketidakadilan. Hingga saat ini tidak ada mekanisme penanganan keluhan yang berfungsi, yang dapat digunakan oleh pemerintahan kabupaten dan provinsi untuk mengelola keluhan atau memberitahukan penyampai keluhan mengenai status keluhan mereka. Pada teorinya, keluarga PKH dan anggota masyarakat dapat menyampaikan keluhan mereka ke fasilitator yang bertanggung jawab untuk mencatat keluhan yang diterima dengan mengisi formulir standar dan menyampai keluhan ke departemen terkait di Kementerian Sosial untuk diselesaikan lebih lanjut. . Sebagai tambahan, sistem yang ada tidak memberikan ruang bagi masyarakat untuk menyampaikan keluhan mereka secara anonim. 14. Dampak sosial positif: Dua penelitian Randomized Control Trials (RCT) mengindikasikan bahwa program ini memiliki dampak positif terhadap penggunaan layanan kesehatan dan pendidikan primer. Dampak pada perilaku pendidikan jauh lebih besar bagi mereka yang telah mengikuti sekolah dari pada mereka yang tidak. Bukti anekdotal menunjukkan bahwa kemungkinan siswa PKH untuk lanjut ke pendidikan sekunder lebih tinggi dari pada siswa non-PKH. Akan tetapi, korelasi tersebut cenderung menghilang setelah siswa PKH lulus sekolah menengah atas, diperkirakan karena biaya terkait pendidikan tersier yang tinggi, tidak adanya komponen pembayaran untuk mahasiswa perguruan tinggi dan faktor lain seperti keinginan untuk bekerja atau persepsi bahwa telah memiliki pendidikan yang cukup. Menerima PKH sepertinya tidak memiliki korelasi dengan keputusan orang tua untuk memastikan pembayaran biaya sekolah yang tepat waktu dan pengurangan jumlah buruh anak, diperkirakan karena terlambatnya transfer dan sedikitnya jumlah transfer yang diterima. Karena pembayaran PKH kemungkinan besar diserap ke biaya rumah tangga lain yang belum tentu terkait dengan kesehatan dan pendidikan, fakta bahwa pembayaran PKH seringkali tidak dilakukan bersamaan dengan tahun akademis sekolah dapat memberikan risiko tertentu terkait dengan penggunaan transfer tunai tersebut. Sama halnya, sedikit korelasi yang diamati terkait dengan partisipasi dalam program dan kemungkinan dan jumlah jam yang dihabiskan siswa untuk bekerja setelah jam sekolah.. 15. Dampak sosial negatif: Beberapa ketegangan berasal dari seleksi penerima manfaat dan verifikasi telah dilaporkan. Ketegangan tersebut sering kali melibatkan: (a) mereka yang menerima PKH dengan mereka yang tidak, (b) mereka yang dianggap cukup mapan tetapi masih menerima PKH dengan anggota masyarakat lain, (c) anggota masyarakat dengan staf pemerintah atau fasilitator, (d) pimpinan desa dengan anggota masyarakat yang tidak puas, (e) pimpinan desa dengan pemerintah staf atau fasilitator. Ketegangan tersebut dapat dikaitkan terhadap kurangnya pemahaman dalam proses pemilihan, tanggapan yang diterima tidak konsiten dan tidak ada resoluasi komplain. Beberapa keluhan terkait dengan pengurangan pembayaran karena kurangnya kepatuhan juga telah dilaporkan, dan ini kembali sering kali berakar dari kurangnya pemahaman atas hak, persyaratan dan sanksi. Rencana Kerja Utama 16. Terdapat beberapa upaya yang perlu dipertimbangkan untuk memperkuat manajemen risiko program dan untuk mempromosikan inklusi sosial seperti yang dirangkum di bawah ini: a. Mengembangkan dan menguji sistem penanganan keluhan (GRS) terstandarkan yang mencakup: - Menempatkan staf khusus dan menetapkan peran dan tanggung jawab di semua tingkatan (pusat versus pelaksanaan sub-nasional) terkait dengan penanganan keluhan; - Melakukan sosialisai dan memberikan pelatihan mengenai sistem GRS baru termasuk mengalokasikan sumber daya khusus untuk komunikasi dan penjangkauan; - Memasukkan indikator GRS ke dalam Sistem Informasi Manajemen
8
b. Mengembangkan suatu strategi komunikasi untuk pemerintah tingkat pusat dan daerah untuk memastikan bahwa aspek-aspek berikut dilaksanakan (i) staf khusus/spesialis komunikasi (ii) alokasi sumber daya, (iii) kegiatan pelatihan, penjangkauan serta pengembangan kapasitas. Sebagai bagian dari strategi ini, sangatlah penting untuk memasukkan materi mengenai komunikasi lintas budaya serta kesadaran dan manajemen risiko (termasuk GRS, strategi komunikasi) ke dalam modul pelatihan fasilitator PKH; c. Mengkaji dan mengadaptasi prosedur PKH, persyaratan, dan protokol verifikasi pada area-area dengan tantangan-tantangan implementasi (misalnya akses yang sulit, hambatan pada sisi persediaan, dst.) untuk meningkatkan proporsi penerima manfaat PKH di area-area yang kurang terlayani; d. Menetapkan ulang dan merampingkan peran fasilitator dan sistem manajemen kinerja dengan penekanan pada kerja sosial dan tanggung jawab fasilitasi. Sub-rencana kerja di dalamnya juga mencakup: - Mengembangkan upaya untuk melindungi keselamatan pribadi termasuk meningkatkan pengawasan, SOP untuk fasilitator; - Menugaskan satu tim spesialis sosial di dalam struktur yang ada untuk mengawasi dan memonitor risiko dan dampak sosial. Hal ini akan dikaji dalam implementasi tahun 1 untuk melihat kecukupannya.
17. Tindakan ESSA yang diusulkan terkait dengan manajemen sosial telah dimasukkan ke dalam desain keseluruhan program dan pelaksanaan sepenuhnya tertanam dalam struktur organisasi Direktorat Perlindungan Sosial Keluarga (JSK). Tindakan yang diusulkan berencana adalah ESSA # 1 dan 2 pada pengembangan GRS program dan strategi komunikasi penjangkauan ada di bawah Area Hasil 1 pada penguatan sistem pengiriman program untuk meningkatkan efisiensi, transparansi dan akuntabilitas. Rencana aksi GRS adalah DLI # 3. Kemudian diusulkan rencana aksi ESSA # 3 pada review dari modalitas pelaksanaan di daerah dengan kendala sisi penawaran telah dimasukkan dalam Rencana Aksi Program # 4 dan peninjauan dilangsungkan di bawah kepemimpinan Sub-Direktorat Penerima Manfaat dari Kementrian Sosial. RMosa. encana aksi yang diusulkan ESSA # 4 dimasukkan dalam Rencana Aksi Program # 5 dan 10 pada tinjauan HR dan penugasan spesialis sosial untuk mengelola risiko dan dampak potensial masingmasing.
9
I. A.
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG PROGRAM
18. Pemerintah Indonesia telah memperkenalkan bantuan sosial komprehensif sejak tahun 2005 sebagai hasil dari penghematan fiskal yang terjadi setelah pengurangan bertahap terhadap subsidi bahan bakar. Antara 2010 dan 2015, terdapat beberapa reformasi bantuan sosial yang diperkenalkan. Salah satu area reformasi utama mencakup penetapan prosedur standar untuk penentuan target dan identifikasi penerima manfaat potensial, berdasarkan daftar nasional baru yang mencakup hampir 26 juta rumah tangga miskin dan rentan (Basis Data Terpadu). Beberapa program bantuan sosial utama diperkenalkan dan beberapa program diperluas, mencakup: (i) suatu bantuan tunai sementara, darurat dan tanpa syarat yang ditargetkan pada rumah tangga miskin dan rentan (Bantuan Langsung Sementara Masyarakat, BLSM); (ii) suatu kartu perlindungan sosial (KKS), pengganti kartu KPS yang dikirimkan ke 15,5 juta rumah tangga pada 2014, penerima manfaatnya dapat mengakses beberapa program, (iii) peningkatan manfaat dan cakupan bagi program beasiswa Indonesia untuk masyarakat miskin (Program Indonesia Pintar, PIP), menargetkan 18 juta siswa, program transfer tunai bersyarat (Program Keluarga Harapan, PKH), menargetkan 6 juta keluarga pada akhir 2016, skema asuransi kesehatan bagi masyarakat miskin nasional (Penerima Bantuan Iuran/Jaminan Kesehatan Nasional, PBI/JKN), menargetkan 92 juta masyarakat miskin dan rentan, dan skema subsidi beras bagi masyarakat miskin (Rastra), menargetkan 15,5 juta keluarga. 3 PIP dan PBI/JKN merupakan program yang berada di luar kontrol Kementerian Sosial tetapi terdapat kesepakatan untuk menggunakan data penentuan target yang sama seperti Kemensos dan untuk berkoordinasi dalam penentuan target, dengan PKH menjadi salah satu prioritas karena menargetkan kelompok target yang paling miskin yang ada di dalam semua program. 19. Sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019, Pemerintah Indonesia mengakui kebutuhan untuk meningkatkan sistem perlindungan sosial secara komprehensif dan mendukung program-program khusus bagi masyarakat miskin dengan meningkatkan akurasi penentuan target. Terlepas dari peningkatan alokasi tersebut, program-program bantuan sosial ini hanya menjangkau sebagian dari penerima manfaat yang ditetapkan dan sangat terfragmentasi baik secara internal maupun dengan sistem perlindungan sosial lainnya. Arah kebijakan RPJMN membahas kebutuhan untuk: (i) mengintegrasikan beberapa skema bantuan sosial berbasis keluarga bagi keluarga miskin dan rentan yang memiliki anak-anak, difabel dan lansia di dalam bantuan tunai bersyarat (CCT) dan/atau melalui bantuan dalam bentuk barang untuk mendukung asupan nutrisi; (ii) mengintegrasikan subsidi beras bagi masyarakat miskin secara bertahap sehingga menjadi program yang lebih berfokus pada nutrisi; dan (iii) menstruktur bantuan sosial sementara di tingkat pusat dan daerah dengan meningkatkan koordinasi dan pembagian otoritas antara kementerian/lembaga yang menerapkan bantuan sosial sementara. 20. Program Keluarga Harapan (PKH), pertama kali diluncurkan pada 2007 sebagai bentuk Bantuan Tunai Bersyarat (CCT) untuk keluarga miskin diciptakan untuk menjadi pilar utama bagi sistem perlindungan sosial komprehensif di Indonesia. Program ini dilaksanakan oleh Kementerian Sosial bekerja sama dengan kementerian lini lain baik di tingkat nasional dan daerah. PKH secara keseluruhan ditujukan untuk memungkinkan keluarga penerima bantuan untuk mengatasi guncangan ekonomi jangka pendek dengan memperlancar konsumsi dan meningkatkan pengeluaran untuk kesehatan dan pendidikan. Pembayaran dikaitkan dengan pemenuhan kriteria spesifik di bidang kesehatan dan pendidikan sehingga memberikan insentif pada perilaku rumah tangga dalam menggunakan layanan-
3
Untuk informasi lebih lanjut mengenai program-program ini, lihat Kajian Pengeluaran Bantuan Sosial World Bank (World Bank Social Assistance Expenditure Review - SAPER 2017) (akan datang) atau World Bank SAPER 2012
10
layanan tersebut, yang diharapkan akan berdampak pada peningkatan kesehatan dan pendidikan dalam jangka panjang. 21. PKH diluncurkan di tujuh provinsi di Indonesia, awalnya mencakup sekitar setengah juga keluarga pada tahun 2007. Pada 2015, program tersebut telah tumbuh hingga enam kali lebih besar dibandingkan dengan cakupan awalnya, menjadi lebih dari 3,5 juta keluarga (sekitar lima persen dari jumlah penduduk) hingga target baru sebesar enam juta keluarga pada tingkat nasional (sekitar sepuluh persen dari jumlah penduduk) pada akhir 20164. Dengan ekspansi tersebut, 42 kabupaten baru ditambahkan untuk mencakup semua provinsi yang ada di Indonesia termasuk Papua dan Papua Barat, yang memiliki tingkat kemiskinan tertinggi tetapi sebelumnya belum masuk ke dalam program. 22. Bergantung pada ketersediaan anggaran, tujuan jangka panjang adalah untuk memperluas program untuk mengurangi kesalahan eksklusi5 terutama pada keluarga miskin dengan anak-anak atau masyarakat yang sangat rentan dan di area terpencil seperti masyarakat adat. Cakupan program diharapkan mencapai antara 20 dan 30 persen dari jumlah penduduk, sama dengan tingkat yang ada di Meksiko, Brasil dan Filipina. 23. Operasi Program for Results (PforR) yang diusulkan adalah untuk terus memperkuat PKH sebagai platform nasional untuk bantuan sosial melalui serangkaian program bantuan sosial yang dapat disinergikan dan ditargetkan secara strategis ke penerima yang paling layak. Operasi PforR berfokus pada tiga area prioritas yang mencakup dukungan pada perluasan jangkauan, memperkuat sistem pelaksanaan (delivery system), dan meningkatkan koordinasi dengan program sosial komplementer lain. Tujuan jangka panjang PKH adalah untuk mendorong akses yang lebih baik pada layanan kesehatan dan pendidikan dan untuk mengentaskan kemiskinan jangka pendek dan panjang. Tingkat kemiskinan saat ini berada pada 10,7%6 dari jumlah penduduk atau 17,7 juta masyarakat dengan target pengurangan menjadi 7-8% pada 2019. PKH juga menetapkan dampak jangka panjang dalam pengurangan kesenjangan; Indonesia telah mengalami kenaikan pada koefisien Gini dari 0,32 pada 1999 menjadi 0,41 pada 2012, salah satu yang tercepat di wilayah Asia Timur. B.
CAKUPAN ESSA
24. Tidak ada kegiatan infrastruktur atau kegiatan fisik lain yang didukung dan/atau dibiayai melalui Transfer Tunai Bersyarat PKH sehingga program diharapkan untuk tidak menghasilkan dampak lingkungan potensial yang mungkin menyebabkan kerugian, kerusakan atau konversi habitat alam, polusi, dan/atau perubahan pada penggunaan lahan atau sumber daya. Program ini hanya mendukung permintaan terhadap layanan7, khususnya di bidang kesehatan dan pendidikan dan tidak pada sisi persediaan, yang bukan merupakan cakupan Kementerian Sosial. 4
Pengeluaran bantuan sosial terus mengikuti tren yang meningkat hingga mencapai 0,7% dari PDB pada 2015 bersamaan dengan pengurangan bertahap atas subsidi bahan bakar. Akan tetapi, PKH tetap menjadi transfer bantuan sosial permanen yang paling kecil di tingkat nasional, sebagai contoh dibandingkan dengan program Beras untuk Rakyat Sejahtera (Rastra) yang memiliki proporsi pengeluaran sekitar 2,5 kali lebih besar dari PKH pada 2016 tetapi diperkirakan jauh lebih efektif dalam mengurangi kesenjangan dan kemiskinan. Pengeluaran agregat keseluruhan untuk bantuan sosial masih terlalu rendah untuk berkontribusi pada pengentasan kemiskinan dibandingkan dengan rata-rata dunia yaitu 1,6% dari PDB. Pada 2012, kurang dari seperempat pengeluaran total di empat program bantuan sosial permanen yang berhasil menjangkau rumah tangga miskin, sementara manfaat bantuan sosial hanya mengurangi 16 persen dari kesenjangan kemiskinan. 5 Pada 2012, kurang dari seperempat pengeluaran total di empat program bantuan sosial permanen yang berhasil menjangkau rumah tangga miskin, sementara manfaat bantuan sosial hanya mengurangi 16 persen dari kesenjangan kemiskinan. Pada 2014, cakupan PKH jauh lebih tinggi pada rumah tanggal di desil termiskin, tetapi terdapat jumlah rumah tanga PKH yang berada dalam desil kedua, ketiga dan keempat. Juga terdapat beberapa rumah tangga yang berada dalam 60 persen terkaya yang menerima transfer PKH (World Bank 2016, sumber “Social Assistance Public Expenditure Review”. 6 Berdasarkan data BPS pada September 2015, kemiskinan pedesaan (rural poverty) mewakili sekitar 62 persen dari total kemiskinan di Indonesia atau sekitar 17,89 juta penduduk. 7 Bidang kesehatan, indikator PKH fokus pada meningkatkan kehadiran ibu di Posyandu yang menyediakan pemeriksaan kesehatan mendasar dan konseling dari bidan serta kadang mendistribusikan tablet zat besi (Fe) dan asupan makanan tambahan. Di bidang pendidikan, PKH bertujuan untuk mendorong kehadiran anak-anak di sekolah dan intervensi sejenisnya.
11
Program ini tidak akan meningkat atau memberikan insentif untuk memperluas program yang didukung pemerintah Indonesia untuk memperluas fasilitas pelayanan kesehatan dan pendidikan.Akan tetapi, program ini dapat memiliki risiko sosial terkait dengan pengecualian atau eksklusi dari program dan rendahnya pemahaman atas tujuan, cakupan, proses dan prosedur program yang disebabkan oleh serta lemahnya sosialisasi, yang dapat menumbuhkan persepsi kurang adil serta kecurigaan terutama dari keluarga yang tidak menerima PKH. Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut, kajian ini memberikan penekanan pada: a. Apakah terdapat akses yang berkeadilan terhadap PKH; b. Apakah program memenuhi kebutuhan masyarakat miskin dan kelompok marginal, termasuk difabel, perempuan dan anak-anak, lansia, atau kelompok etnis minoritas dan apakah upaya khusus telah ditetapkan untuk mendorong keikutsertaan mereka dalam mengakses manfaat-manfaat PKH; c. Apakah program menyediakan ruang yang memadai untuk konsultasi masyarakat serta umpan balik, termasuk keluhan dan; d. Apakah program memiliki kapasitas untuk mengelola konflik/risiko ketegangan sosial, khususnya yang berakar dari keadilan yang merata dan kesadaran akan budaya. Tiga poin pertama (a, b dan c) akan dibahas dalam Bab III mengenai Kajian Sistem Program dan poin terakhir (d) akan dibahas dalam Bab IV mengenai Kapasitas dan Kinerja Program. 25. Secara khusus, kajian mempertimbangkan kapasitas dan otoritas Kemensos saat ini dalam mengelola risiko potensial yang terkait dengan PKH serta isu-isu seputar penentuan target, permasalahan gender, waktu dan cara transfer tunai, peran fasilitator dan penyedia layanan dalam hal mengakses program dan terakhir, mekanisme penanganan keluhan yang ada. Kajian ini dilakukan baik di tingkat nasional dan sub-nasional, mencakup beberapa kabupaten yang telah ikut serta dalam PKH serta kabupaten baru yang belakangan diikutsertakan dalam perluasan program. Kabupaten yang dikunjungi adalah Medan dan Serdang Bedagai di Sumatera Utara dan Serang dan Lebak di Jawa Barat. Kajian ini juga mengambil dari hasil temuan utama studi awal (scoping study) GIZ8 di Papua dan Papua Barat yang telah dipilih berdasarkan akses dan keberadaan program sejenis. 26. Hasil temuan ESSA juga diperhitungkan dalam kajian risiko terintegrasi serta rencana kerja program yang akan dibahas lagi pada tingkat appraisal stage untuk memberikan informasi pada proses pengambilan keputusan Manajemen Bank. Suatu daftar rencana kerja yang diusulkan disajikan pada Bab V Seksi C dan akan didiskusikan ke berbagai pemangku kepentingan untuk masukan lebih lanjut. C.
PENDEKATAN ESSA
27. Kajian ini dibangun berdasarkan tugas sebelumnya dalam melakukan kajian operasi dan kinerja PKH, termasuk kajian dampak sebelumnya, berbagai penelitian, dan catatan konsultasi. Serangkaian kunjungan lapangan telah diselesaikan oleh tim kajian untuk bertemu dan belajar dari serangkaian pemangku kepentingan, termasuk perwakilan pemerintah lokal, penerima manfaat PKH, fasilitator dan penyedia layanan. Tim kajian mengunjungi empat kabupaten yang dipilih sebelumnya berdasarkan beberapa kriteria, termasuk: (a) jumlah penerima manfaat, (b) karakteristik geografis termasuk urban, peri-urban dan area terpencil, dan (c) area PKH yang sudah ada dan baru. Lokasi kunjungan lapangan dipilih bersama dengan Kemensos dan tim World Bank. Di tiap kabupaten dan kota yang dikunjungi, tim menggunakan berbagai kombinasi pendekatan, termasuk melaksanakan focus group discussions (FGD), wawancara informal yang mendalam, dan perbincangan santai terutama dengan anggota masyarakat.
8
Raja Ampat, Nabire, Kaimana, Dogiyai, Deiyai, Paniai, Tolikara, Jayawijaya dan Pegunungan Bintang.
12
D.
KONSULTASI UNTUK ESSA
28. Konsultasi publik untuk draft ESSA saat ini sedang direncanakan untuk dilaksanakan di tingkat nasional dan sub-nasional. Pemilihan lokasi ditentukan bersama dengan tim Kemensos, termasuk logistik, jumlah peserta dan jadwalnya. Konsultasi publik akan memastikan bahwa para pemangku kepentingan yang dianggap paling rentang dari defisiensi program akan diikutsertakan. ESSA final, mencakup masukan dari berbagai konsultasi publik, diharapkan akan diungkapkan setelah appraisal.
I. A.
DESKRIPSI PROGRAM
KERANGKA HUKUM UNTUK TRANSFER TUNAI BERSYARAT PKH
29. Undang-undang Dasar 1945 menetapkan hak bagi warga negara Indonesia untuk mendapatkan akses pendidikan serta layanan kesehatan yang berkualitas. Amandemen konstitusional pada tahun 2000, setelah berakhirnya Rezim Suharto dan Krisis Keuangan Asia, menegaskan kembali hak bagi semua warga negara dalam mengakses layanan pendidikan dan kesehatan. Peraturan tahun 2013 mewajibkan negara untuk memberikan pendidikan bagi semua anak-anak berusia 7 hingga 15 tahun. Transfer tunai bagi masyarakat miskin dicitakan sebagai suatu instrumen untuk jaminan sosial dan pengentasan kemiskinan (Pasal 34, ayat 1 dan 4). Akan tetapi, masih terdapat sejumlah kesenjangan untuk merealisasikan visi tersebut. 30. Saat ini, dasar hukum PKH masih belum jelas dalam memastikan bahwa masyarakat miskin mendapatkan bantuan yang mereka butuhkan dan diperlukan koordinasi lintas kabupaten untuk mendukung program agar dapat dijalankan secara berkelanjutan. Operasionalisasi program pengentasan kemiskinan termasuk PKH diatur sebagian besar oleh keputusan presiden, yang perlu ditingkatkan menjadi undang-undang seperti yang dimandatkan oleh Undang-Undang Dasar. Payung hukumnya, yaitu UU No.11/20099 tentang Kesejahteraan Sosial dan UU 13/2011 tentang Penanganan Fakir Miskin hanya memberikan prinsip-prinsip umum untuk bantuan sosial. Keputusan Presiden terkait dengan operasionalisasi program bantuan sosial, di masa lalu sering kali diterbitkan karena situasi yang mendesak, seperti pengurangan bertahap terhadap subsidi bahan bakar dan janji-janji politik sehingga kebijakan terkait dengan bantuan sosial masih tersebar. Juga terdapat kemungkinan tumpang tindih dengan peraturan lain, seperti Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) No. 40/200410. Sebagai hasilnya, pelaksanaan program bantuan sosial termasuk PKH cenderung bersifat sementara dan alokasi anggaran dapat berubah-ubah tergantung pada prioritas fiskal pemerintah Indonesia. Hal ini menjadi risiko bagi PKH yang berekspansi karena tidak ada anggaran multi-tahun bagi program bantuan sosial. 31. Peraturan untuk melindungi masyarakat miskin masih bersifat parsial dan terpisah-pisah. UU No. 13/2011 tentang Penanganan Fakir Miskin ditujukan untuk mengintegrasikan berbagai undangundang terkait dengan pengentasan kemiskinan, termasuk bantuan sosial. Akan tetapi, salah satu ketentuan dalam peraturan ini menetapkan bahwa semua peraturan mengenai pengentasan kemiskinan masih berlaku selama tidak bertentangan dengan undang-undang. Oleh karena itu, undang-undang ini gagal menjadi kerangka kerja yang mendorong integrasi dan harmonisasi peraturan dan prosedur. Peraturan Presiden No. 13/2009 tentang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan11 diterbitkan karena adanya dorongan kebutuhan 9
UU ini menggantikan UU No.6/1974 tentang Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial. UU SJSN mengatur program jaminan sosial nasional yang terdiri dari perlindungan kesehatan, kecelakaan kerja, tabungan hari tua, manfaat pensiun dan asuransi jiwa, yang bersifat wajib bagi semua warga negara Indonesia, termasuk pekerja asing yang telah bekerja minimal 6 bulan di Indonesia. 11 Undang-undang ini membatalkan Peraturan Presiden No. 54/2005 tentang Tim Penanggulangan Pengentasan Kemiskinan 10
13
untuk meningkatkan koordinasi dan sinkronisasi antara kementerian dan lembaga lini terkait dengan implementasi program pengentasan kemiskinan baik di tingkat nasional dan sub-nasional. Bersama dengan terbitnya Peraturan Presiden No. 15/2000 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, dibentuklah Tim Nasional Percepatan Pengentasan Kemiskinan (TNP2K) yang berada di bawah Kantor Wakil Presiden untuk mendukung fungsi koordinasi lintas program bantuan sosial. 32. Pengentasan kemiskinan seperti yang dicita-citakan oleh PKH sangat bergantung pada ketersediaan layanan kesehatan dan pendidikan dasar serta hubungan komplementer dengan program bantuan sosial lain yang berada dalam cakupan pemerintahan sub-nasional. Kerangka hukum untuk koordinasi didasarkan pada Peraturan No. 42 tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan yang menetapkan peran Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) dalam mengkoordinasikan strategi dan program untuk mengurangi kemiskinan. Dalam satu surat yang ditandatangani Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial Kemensos No. 260/LIS/12/2013, pemerintah daerah diminta untuk berkontribusi pada anggaran operasional PKH pada tingkat lima persen dari total nilai transfer yang diterima penerima manfaat PKH. Akan tetapi, komitmen pemerintah daerah untuk memastikan kesiapan sisi persediaan baik di bidang kesehatan dan pendidikan dan untuk mendukung pengelolaan PKH bervariasi di berbagai daerah. Hal ini diperkirakan karena PKH dirancang sebagai suatu program nasional yang dikoordinasikan secara vertikal dan tidak ditujukan untuk diintegrasikan dalam sistem administratif lokal, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten. 33. Manajemen sistem penentuan target, Basis Data Terpadu, bagi program bantuan sosial sedang dipindahkan secara bertahap ke Kementerian Sosial. Basis Data Terpadu yang didasarkan pada daftar nasional baru yang mencakup hampir 26 juta keluarga miskin dan rentan, telah diadopsi oleh program bantuan sosial utama sejak 2012. Untuk memenuhi mandat legalnya, Kemensos sedang melaksanakan peningkatan teknologi dan sumber daya manusia untuk dapat mengelola Basis Data Terpadu, yang saat ini dikelola di TNP2K. Basis data akan sepenuhnya dipindahkan ke Kemensos setelah kapasitasnya diperkuat dan pada akhirnya akan ditransformasikan menjadi suatu sistem informasi daftar sosial dinamis bagi program-program bantuan sosial. 34. Walaupun Kemensos memiliki mandat legal untuk mengelola keseluruhan implementasi PKH, kurangnya kerangka kerja kebijakan di tingkat nasional untuk menetapkan koordinasi dan tanggung jawab implementasi dengan pemerintah sub-nasional dapat membatasi dampak PKH dalam mengentaskan kemiskinan dan mengelola risiko-risiko terkait secara tepat waktu. Kurangnya kejelasan tersebut memengaruhi buy-in serta kepemilikan program PKH. Sebagai tambahan, isu manajemen dan keluhan terkait dengan PKH, khususnya terkait dengan pemilihan penerima manfaat, tidak dapat diselesaikan secara tepat waktu di tingkat lokal karena manajemen program yang terpusat. 35. Sebagai kesimpulan, kurangnya kerangka hukum yang menyeluruh bagi bantuan sosial, khususnya alokasi anggaran tahunan, penyediaan layanan dasar, dan inklusi penerima manfaat dalam Basis Data Terpadu berada di luar kendali Kemensos dan program yang diusulkan. Karena kebanyakan isu yang ada adalah seputar inklusi sosial dan risiko sosial (dijelaskan dalam Bab 3), penguatan proses bisnis uang ada dan kualitas pelaksanaan PKH dalam memastikan penentuan target yang tepat, layanan fasilitasi inklusif, akses terhadap informasi dan penanganan keluhan sangatlah penting untuk mendukung PKH dalam memenuhi tujuan pembangunannya.
Elemen Utama Perlindungan sosial bagi masyarakat miskin
Tabel 1: Analisis Kerangka Hukum PKH Analisis Reformasi desentralisasi Indonesia menempatkan tanggung jawab perencanaan, penyediaan dan pembiayaan layanan pendidikan dan kesehatan pada tingkat pemerintah kabupaten, sehingga menyebabkan kurangnya pengaruh pemerintah pusat atas besaran dan arah pembelanjaan tingkat 14
kabupaten untuk penyediaan layanan sosial. Karena peran pemerintah pusat atas penyediaan pembelanjaan sosial umum berkurang, jaminan sosial dan bantuan sosial telah diidentifikasi menjadi jalan untuk mencapai pembelanjaan pemerintah pusat yang pro pada masyarakat miskin. UU No. 11/2009 mengenai Kesejahteraan Sosial, yang kemudian diperkuat oleh Instruksi Presiden No. 3/2010 tentang Program Pembangunan yang Berkeadilan dan UU No. 13/2010 tentang Penanganan Fakir Miskin menetapkan bahwa pemerintah baik di tingkat nasional dan sub-nasional bertanggung jawab untuk melindungi masyarakat miskin dan menjamin akses mereka terhadap kebutuhan dasar melalui penyediaan jaminan sosial, rehabilitasi sosial dan pemberdayaan masyarakat12. Dalam konteks penyediaan layanan sosial yang terdesentralisasi, dasar hukum bagi PKH sebagai Program Transfer Tunai Bersyarat menjadi tidak jelas dalam memastikan bahwa penerima manfaat PKH menerima layanan yang dibutuhkan agar tetap dapat menerima manfaat (eligible). Akses terhadap layanan kesehatan dan pendidikan berada dalam cakupan pemerintah subnasional dan Kemensos tidak memiliki kendali. Saat ini, koordinasi dengan pemerintah sub-nasional hanya diatur oleh satu surat dari Direktorat Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial Kemensos No. 260/LIS/12/2013, yang meminta kontribusi pembagian biaya dari pemerintah sub-nasional yang dipatok pada tingkat lima persen dari total transfer PKH untuk tiap kabupaten. Akan tetapi, terdapat laporan bahwa tingkat kontribusi bervariasi di pada tiap kabupaten. Kesuksesan program Transfer Tunai Bersyarat PKH bergantung pada kepastian penyedia layanan publik yang dapat menanggapi peningkatan penggunaan layanan. Dengan perluasan baru-baru ini, program PKH dapat menghadapi hambatan selama proses implementasi, hingga semua badan telah meningkatkan koordinasinya dan dapat dengan siap memberikan jumlah bantuan dan layanan ketika dibutuhkan. Sebagai tambahan, sistem informasi manajemen juga mensyaratkan koordinasi antar badan dan pemahaman yang sama atas peran sistem dalam kelanjutan program. Inklusi Sosial bagi masyarakat miskin dan kelompok rentan serta Masyarakat Adat
Salah satu tujuan utama dalam rencana pembangunan nasional (RPJMN), diterbitkan dalam Peraturan Presiden No.2 /2015 adalah untuk mengintegrasikan skema bantuan sosial berbasis keluarga melalui PKH. Salah satu prioritas utama adalah untuk menyempurnakan Transfer Tunai Bersyarat PKH dengan memperbaiki akurasi penentuan target dan hubungan komplementer dengan program bantuan sosial lain untuk memastikan bahwa yang paling miskin dari masyarakat miskin dapat mengakses program bantuan sosial dan menerima dukungan yang diperlukan.
12
Mandat Pemerintah Indonesia di area perlindungan sosial disebutkan dalam UU No. 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, dan UU No. 13 tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin. UU tersebut kemudian diperkuat dengan Peraturan Pemerintah No. 39 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial dan Peraturan Pemerintah No. 63 tahun 2013 tentang Pelaksanaan Upaya Penanganan Fakir Miskin melalui Pendekatan Wilayah, dan UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, dan Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2007 tentang Pe mbagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota
15
Ekspansi PKH ditetapkan untuk meningkatkan cakupan dan oleh karena itu, mencakup lebih banyak orang miskin dibandingkan dengan alokasi sebelumnya. Ekspansi yang ada juga menargetkan orang dengan difabel berat dan lansia. Kajian tidak mengidentifikasi perlakuan hukum diskriminatif terhadap kelompok atau komunitas tertentu jika keluarga memenuhi kriteria persyaratan (lihat tabel 2). Dalam keadaan ini, tantangan untuk inklusi sosial seringkali berakar dari hambatan teknis dan kapasitas untuk menentukan target masyarakat miskin dan menyediakan akses pada layanan yang dibutuhkan dari pada tidak adanya kerangka hukum. Seperti yang dijelaskan dalam Bab 3 mengenai Kajian Sistem Program, penentuan target didasarkan pada Basis Data Terpadu yang pengumpulan data (misalnya survei rumah tangga) dan pembaruan data dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), suatu badan independen dari Kementerian Sosial. Dalam kasus ini, reformasi yang diperkenalkan ke dalam PKH, termasuk pilot suatu pendekatan on-demand yang memberikan kesempatan pada keluarga yang layak dapat mendaftarkan diri untuk masuk dalam Basis Data Terpadu, dapat terhambat oleh jumlah sumber daya dan waktu yang dibutuhkan untuk memperbarui Basis Data Terpadu (yang saat ini dilakukan dalam pengaturan yang bersifat ad-hoc setiap tiga tahun, tergantung ketersediaan anggaran).
Komunikasi dan akses terhadap informasi
Sebagai tambahan, kurangnya dokumentasi legal dapat menghambat rumah tangga dan/atau perorangan untuk mengakses program bantuan sosial. Walaupun PKH tidak mensyaratkan Nomor Induk Kependudukan, isu dokumentasi legal atau tidak adanya dokumen tersebut dapat memengaruhi rumah tangga dan/atau perorangan yang tidak terdaftar secara resmi atau diakui (mis. Masyarakat berpindah, Masyarakat Adat, imigran, dst.) karena program berupaya melengkapi program bantuan sosial berbasis keluarga lainnya. Berdasarkan UU No. 14 tahun 2008 mengenai Transparansi Informasi Publik, setiap Informasi Publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh semua Pengguna Informasi Publik. Satu pengecualian terhadap Informasi Publik adalah informasi yang bersifat restriktif dan terbatas. Semua Pemohon Informasi Publik seharusnya dapat memperoleh Informasi Publik dengan cepat dan segera dengan biaya yang rendah dan cara yang sederhana. Kementerian lini dapat menggunakan media elektronik dan non-elektronik sebagai fasilitas untuk menyebarkan informasi. Akan tetapi, tidaklah jelas apakah Kementerian lini harus memberikan informasi secara aktif, atau pasif (hanya berdasarkan permintaan). Tidak ada pemantauan dan evaluasi dari Kementerian Informasi mengenai apakah Kementerian lini mengikuti undang-undang dan peraturan tentang transparansi informasi publik. Kegiatan sosialisasi dan iklan didelegasikan ke Kementerian Komunikasi dan Informasi. Terdapat sejumlah laporan bahwa sosialisasi program untuk PKH masih kurang dalam konten, frekuensi dan intensitas. Beberapa pemerintah daerah telah membuat komplain atas ketersediaan informasi PKH, karena pemerintah daerah perlu menyediakan kontribusi anggaran terhadap program serta beberapa pertanyaan yang diajukan oleh keluarga miskin yang tidak mendapat PKH. Juga perlu dicatat bahwa poster PKH hanya terbatas ada di kantor pemerintah daerah. Kurangnya sosialisasi dan akses ke informasi 16
dilaporkan telah menyebabkan salah persepsi dan kurangnya kesadaran mengenai keseluruhan program di semua tingkatan. Program untuk Hasil (Program for Results) yang diusulkan adalah untuk mendukung strategi komunikasi dan sosialisasi serta mekanisme penanganan keluhan (Grievance Redress Mechanism) yang merupakan elemen penting dalam pengelolaan risiko di dalam program. Perlindungan atas kerahasiaan penerima manfaat (confidentiality)
Konsultasi Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan
13
Keputusan Komisi Informasi Pusat no. 187/v/KIP.PS.MA/201213 menyatakan bahwa informasi Basis Data Terpadu terpilah (disagregated) diklasifikasikan sebagai bukan data publik (UU No. 14 tahun 2008 tentang Informasi Publik), karena basis data mengandung: Alamat tinggal dan status sosial ekonomi anggota keluarga; Status kesehatan, fisik dan psikologi perorangan; Informasi keuangan perorangan, termasuk aset dan pendapatan; Informasi personal lain terkait dengan pendidikan formal dan non formal perorangan. Berdasarkan pasal 15, par. 1 Peraturan Pemerintah no.82/2012, pengelolaan Basis Data Terpadu harus memastikan bahwa penggunaan data tersebut dilakukan dengan persetujuan pemilik data dan data yang mencantumkan nama dan alamat hanya ditujukan pada badan pemerintah (nasional dan subnasional) yang mengelola program bantuan sosial. Badan pemerintah yang menggunakan Basis Data Terpadu harus memastikan dan bertanggung jawab untuk menjaga integritas dan kerahasiaan basis data. Penyediaan konsultasi atas dasar informasi di awal tanpa paksaan tidak ditetapkan dalam proses bisnis PKH karena sifat seleksi penerima manfaat. PKH menggunakan metode Proxy Means Testing (PMT) pada Basis Data Terpadu untuk memilih penerima manfaat yang layak, yang dilakukan oleh unit pengelolaan penentuan target dalam Kementerian Sosial. Penyediaan konsultasi umumnya dilakukan melalui Forum Konsultasi Publik (FKP) sebagai bagian dari proses pembaruan Basis Data Terpadu. FKP memperkenalkan mekanisme untuk memperkuat peran dan partisipasi perwakilan masyarakat dalam identifikasi penerima manfaat potensial untuk dimasukkan dalam Basis Data Terpadu. Rincian lebih lanjut dijelaskan dalam Bab 3 tentang Kajian Sistem Program
Ratifikasi pada Rapat Umum Terbuka pada Maret 2013
17
B.
CAKUPAN PROGRAM
36. Tujuan Pembangunan Program (Program Development Objective, PDO) adalah untuk memperkuat hasil program Transfer Tunai Bersyarat PKH dengan mendukung ekspansi cakupan progam, memperkuan sistem pelaksanaan (delivery system), dan meningkatkan koordinasi dengan program sosial komplementer lain. Kemajuan pencapaian PDO akan diukur melalui lima indikator hasil utama: (I) total jumlah keluarga penerima PKH, (ii) proporsi keluarga penerima PKH yang menerima pembayaran melalui metode cashless; (iii) proporsi keluhan yang ditangani dalam tiga bulan; (iv) proporsi keluarga penerima PKH yang menerima program komplementer utama (Rastra, PBI, dan PIP); (v) proporsi keluarga penerima PKH yang pemenuhan persyaratannya diverifikasi dan dicatat dalam Sistem Informasi Manajemen PKH; 37. Batasan Program untuk Hasil (Program for Results, PforR) adalah Program Transfer Tunai Bersyarat PKH Kemensos dan PforR yang diusulkan mendukung tiga area yang melengkapi prioritas program Pemerintah: a)
Area Hasil 1: Memperkuat sistem pelaksanaan program (delivery system) untuk meningkatkan efisiensi, transparansi dan akuntabilitas. Area hasil ini bertujuan untuk menangani sejumlah kesenjangan dan kelemahan dalam blok bangunan sistem pelaksanaan (delivery system) PKH untuk memastikan ekspansi yang lancar dan memperkuat hasil program. Kegiatan program mencakup penyederhanaan proses bisnis, pemutakhiran sistem pengelolaan informasi, peluncuran modalitas pembayaran elektronik, implementasi GRS, penguatan sistem pemantauan dan evaluasi (M&E), pengembangan strategi komunikasi, manajemen sumber daya manusia dserta pengembangan mekanisme deteksi dan kontrol kesalahan, kecurangan dan korupsi (EFC). Walau sebagian besar dari kegiatan tersebut bukanlah kegiatan yang benarbenar baru, banyak upaya sebelumnya dilakukan dalam lingkungan kebijakan dan operasi yang berbeda dari yang ada saat ini. Oleh karena itu, mekanisme dan alat yang ada tidak cukup dalam mendukung kebutuhan administrasi. Sebagai contoh, Sistem Informasi Manajemen yang ada tidak dirancang untuk menangani beberapa juta keluarga penerima manfaat dan kinerja, kemampuan dan kehandalannya telah menjadi sangat tidak mencukupi sehingga banyak tugastugas administrasi yang tidak bisa dilakukan secara efektif. Suatu analisis kesenjangan komprehensif sangatlah dibutuhkan untuk mengembangkan suatu rencana kerja terkait dengan protokol dan standar minimum yang dibutuhkan demi integritas, keamanan data serta kekokohan operasional. Juga untuk mengembangkan kapasitas in-house dalam mengelola sistem dan mengembangkan sistem, suatu audit sistem Teknologi Informasi berstandar industri telah direncanakan, demi memastikan Sistem Informasi Manajemen yang diperbarui tetap dapat dikaji dan ditingkatkan sesuai kebutuhan. PforR akan didasarkan pada akumulasi pengalaman sejak penciptaan PKH dan belajar dari praktik-praktik baik dari program sosial lain baik di dalam maupun di luar Indonesia.
b)
Area Hasil 2: Memperbaiki akses ke layanan sosial mendasar dan program bantuan sosial komplementer oleh penerima manfaat bantuan tunai bersyarat. Keluarga penerima PKH perlu memiliki akses yang lebih baik ke layanan sosial lain yang melengkapi manfaat uang tunai yang diberikan terkait dengan pencapaian potensi pengembangan manusianya. Area hasil ini akan memfasilitasi keikutsertaan keluarga PKH ke dalam program Rastra, PBI dan KIP serta akses ke layanan lainnya. Lebih lanjut lagi, ini akan memperkuat baik modalitas konten dan pelaksanaan Sesi Pembangunan Keluarga agar menjadi lebih efektif dalam mengurangi malnutrisi, khususnya melalui pengetahuan dan perubahan perilaku terkait dengan pemberian makanan dan praktik kebersihan yang baik.
18
c)
Area Hasil 3: Memperluas cakupan dan meningkatkan inklusivitas program bantuan tunai bersyarat. Perluasan program PKH telah mengambil manfaat dari pembaruan Basis Data Terpadu dan suatu proses pemeriksaan yang melibatkan verifikasi dan validasi dengan pemerintah daerah. Program telah diperluas pada Desember 2015 untuk mencapai 6,000,000 keluarga penerima manfaat, termasuk 42 kabupaten baru, yang akan membuat program mencapai cakupan ke seluruh kabupaten untuk pertama kalinya. Lebih penting lagi, sebagian besar kabupaten baru adalah di provinsi Papua dan Papua Barat, yang mengalami tingkat kemiskinan yang lebih tinggi tetapi kurang terlayani oleh program PKH dan layanan publik lainnya. Area hasil ini bertujuan untuk mendukung ekspansi cakupan, khususnya ke area yang kurang terlayani di wilayah Papua dan kecamatan yang kurang terkoneksi di wilayah lainnya. Karena PKH merupakan program bantuan sosial yang paling efektif terkait dengan pengentasan kemiskinan dan ketidaksetaraan dalam jangka pendek, serta juga berkontribusi pada kapabilitas dan produktivitas keluarga penerima manfaat di jangka panjang, program ini akan diperluas lagi, khususnya setelah sistem pelaksanaannya (delivery system) diperkuat.
38. Area hasil pertama dan kedua mencerminkan efisiensi dan transparansi operasional yang lebih baik pada sistem pelaksanaan (delivery system) Transfer Tunai Bersyarat PKH terkait dengan pembayaran yang diberikan pada penerima manfaat program melalui modalitas pembayaran elektronik modern, dan keluhan yang ditangani secara tepat waktu (Area Hasil 1). Indikator ketiga hingga kelima mencerminkan koordinasi yang lebih baik antara PKH dan program sosial komplementer lain, memastikan penerima manfaat PKH juga diprioritaskan untuk menerima manfaat bantuan sosial lain, khususnya PIP, subsidi beras (Rastra) dan PBI, serta penggunaan layanan kesehatan dan pendidikan yang efektif melalui kepatuhan atas persyaratan Program (Area Hasil 2). Terakhir, indikator keenam mencerminkan ekspansi progresif pada program Transfer Tunai Bersyarat PKH pada populasi miskin dan rentan, termasuk area yang sebelumnya belum dijangkau (Area Hasil 3). 39. Diperkirakan bahwa pembiayaan PforR akan mencapai 3,5 persen dari total anggaran PKH selama periode Anggaran Fiskal 2017 dan 2020. Perhitungan ini dibuat dengan asumsi bahwa tingkat manfaat akan tetap sama pada tahun 2017, dan memperhitungkan rasio konstan 11 persen untuk biaya administratif. Tabel 2: Pembiayaan Program, Tahun Fiskal 2017-2020 (juta $) Sumber Jumlah % Total
C.
Pemerintah
5574,33
96,5
IBRD/IDA
200,00
3,5
Total Pembiayaan Program
5774,33
100,0
INDIKATOR TERKAIT PENCAIRAN (DLI) DAN PROTOKOL VERIFIKASI
40. Bank akan mengeluarkan dana sebesar $200 juta selama empat tahun melalui sembilan indikator yang dikaitkan dengan pencairan (DLI) untuk Program. Indikator tersebut diidentifikasi dalam Lampiran 3, bersama dengan kerangka pemantauan hasil Program yang disajikan dalam Lampiran 2. Tiga kriteria utama dalam memilih DLI ini adalah: (a) hasil yang diinginkan berada dalam kendali badan pelaksana Kemensos; (b) DLI dapat dicapai dalam periode program; dan (c) DLI dapat diverifikasi. DLI dirancang dengan menggabungkan fitur scalability (proporsi pembiayaan terhadap kemajuan pencapaian) dan floating (pencarian dilakukan ketika indikator dicapai).
19
41. Program akan melakukan triangulasi bukti DLI dari beberapa sumber. Suatu Badan Verifikasi Independen akan memverifikasi semua bukti DLI yang disampaikan oleh Kemensos 14. Data verifikasi akan diambil, antara lain, modul Sistem Informasi Manajemen Proyek (PMIS), dan survei sampel random. Sebagai tambahan, sumber eksternal verifikasi mencakup, tetapi tidak terbatas pada: kajian operasional (spot checks dan evaluasi proses) dan laporan validasi pembauran penyedia layanan. Tahun kalendar verifikasi adalah dari 1 Januari hingga 31 Desember tiap tahunnya. Protokol verifikasi akan diberikan dalam Lampiran 3.
Kegiatan
Tabel 3: Rantai Hasil PforR (Results Chain) Hasil Menengah
Output
(Intermediate
)
Hasil (Outcomes
)
Area Hasil 1: Memperkuat sistem pelaksanaan program (delivery system) untuk meningkatkan efisiensi, transparansi dan akuntabilitas Peluncuran PMIS yang diperbarui/terintegrasi Mengkaji, merancang Rencana Penguatan untuk mendukung dan mengembangkan PMIS PKH operasi arsitektur PMIS PKH diimplementasi Peningkatan proporsi keluarga PKH yang Efisiensi yang lebih baik persyaratannya pada implementasi Mengkaji dan Petunjuk Operasi PKH diverifikasi dan program merancang ulang proses dicatat dalam PMIS dirombak bisnis PKH PKH* Peningkatan Mengembangkan Keputusan modalitas penerima PKH yang strategi roll-out ke cashless dibuat dan dibayar dengan transisi pembayaran dilaksanakan metode cashless* cashless (Indikator PDO i) Mengkaji, merancang Sistem M&E Keputusan dan mengembangkan operasional yang lebih pengelolaan berbasis suatu sistem M&E baik diimplementasikan bukti yang lebih baik Keluhan dicatat dan Mengkaji, merancang Implementasi suatu ditangani dalam tiga Transparansi dan melakukan pilot GRS yang lebih baik bulan (Indikator implementasi program suatu sistem GRS setelah evaluasi pilot yang lebih baik PDO ii) Mengembangkan suatu Strategi komunikasi Peningkatan kesadaran strategi komunikasi yang lebih baik para pemangku untuk tingkat pemerintah diimplementasi kepentingan pusat dan daerah
14
Beberapa pilihan Badan Verifikasi Independen (IVA) telah dieksplor, termasuk Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
20
Mengkaji dan merombak rencana pengembangan dan manajemen SDM, termasuk penetapan ulang peran dan tanggung jawab unit internal
Sistem pemantauan kompetensi dan kinerja SDM dikembangkan, dan peran unit internal ditetapkan
Kompetensi SDM diperkuat, dan koordinasi antar unit ditingkatkan
Mengembangkan sistem deteksi dan kontrol EFC
Sistem EFC diimplementasikan
EFC dikelola dengan baik
Akuntabilitas implementasi program yang lebih baik
Area Hasil 2: Memperbaiki akses ke layanan sosial mendasar dan program bantuan sosial komplementer oleh penerima manfaat bantuan tunai bersyarat Peningkatan keluarga Identifikasi penerima penerima PKH yang manfaat yang layak Akses keluarga PKH Peningkatan penerima menerima program tetapi tidak masuk untuk terhadap program PKH yang nomor KTP bantuan sosial lain layanan sosial dasar lain perlindungan sosial yang telah diverifikasi* (Rastra, PBI, dan (Rastra, PBI, KUBE, lebih baik PIP)* (Indikator dan PIP) PDO iii) Pengembangan strategi implementasi Sesi Peningkatan Pembangunan Keluarga penggunaan layanan Hasil pendidikan yang Jumlah kelompok ibu dan pelatihan fasilitator pendidikan bagi lebih baik pada anakPKH yang telah PKH untuk keluarga PKH anak penerima PKH menerima Sesi melaksanakan Sesi (Indikator PDO iv) Pembangunan Pembangunan Keluarga Keluarga dari Peningkatan Mengkaji dan merevisi fasilitator Status nutrisi yang lebih penggunaan layanan modul Kesehatan dan bersertifikasi* baik pada penerima kesehatan dan nutrisi Nutrisi dan modalitas manfaat PKH, terutama bagi keluarga PKH pelaksanaan (delivery) anak-anak (Indikator PDO v) Area Hasil 3: Memperluas cakupan dan meningkatkan inklusivitas program bantuan tunai bersyarat Menyusun daftar Penerima manfaat baru Ekspansi cakupan penerima manfaat diinformasikan, progresif hingga 2020 Jumlah keluarga potensial baru divalidasi dan berdasarkan target penerima manfaat menggunakan data didaftarkan PKH* (Indikator kebijakan, termasuk area penentuan target terbaru PDO vi) geografis yang tidak dimasukkan sebelumnya Mengkaji dan Proporsi penerima PKH mengadaptasi parameter pada provinsi yang Jumlah keluarga PKH dan prosedur untuk sebelumnya tidak penerima manfaat area-area yang memiliki dllayani PKH di area-area tantangan implementasi prioritas* Konsumsi yang meningkat pada Menyesuaikan Identifikasi penerima Penerima manfaat penerima manfaat PKH penerima manfaat PKH manfaat PKH yang PKH yang layak yang untuk layak menerima manfaat menerika manfaat menambahkan manfaat Difabel/Lansia Difabel/Lansia Difabel/Lansia 21
Catatan: DLI yang diusulkan adalah dalam cetak tebal dan miring. * mengindikasikan DLI yang dapat diukur.
D.
PENGATURAN KELEMBAGAAN
42. Program ini dilaksanakan oleh Kementerian Sosial bekerja sama dengan kementerian lini lain baik di tingkat nasional dan daerah. Badan pengambilan kebijakan adalah Tim Koordinasi Nasional yang terdiri dari tingkat Eselon 1 (Direktorat Jenderal) dari kementerian lini/badan berikut, termasuk Kemensos, Kementerian Kesehatan, Pendidikan dan Budaya, Keuangan, Bappenas, Urusan Agama, Teknologi Komunikasi dan Informasi, Dalam Negeri, Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Daerah Tertinggal, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Badan Pusat Statistik. Kebijakan dilaksanakan oleh suatu Tim Koordinasi Teknis yang terdiri dari pegawai di Direktur dari kementerian/badan tersebut Terdapat Tim Koordinasi Teknis PKH yang ada di provinsi, kabupaten/kota, dan tingkat kecamatan dan tim lokal tersebut bertanggung jawab untuk koordinasi implementasi. 43. Pengaturan kelembagaan bagi program PKH melibatkan tiga lapisan, yang semuanya penting untuk mencapai hasil yang diinginkan program PKH. Pertama, Kemensos, dengan dukungan teknis dari UPPKH pusat (unit manajemen) bertanggung jawab untuk perencanaan studi, menetapkan aturan operasional, dan mengelola implementasi secara keseluruhan. Kedua, terdapat sejumlah tim pelaksana sub-nasional yang terlibat dalam melaksanakan berbagai tugas. Akhirnya, koordinasi lintas sektor baik di tingkat pusat maupun daerah, departemen perencanaan kabupaten dan provinsi (BAPPEDA). Di setiap tingkat sub-nasional, UPPKH lokal dikontrak untuk melaksanakan hampir seluruh fungsi implementasi program, yang secara formal diawasi oleh Dinas Sosial tiap pemerintahan sub-nasional. 44. Sejak program diciptakan, ribuan fasilitator PKH telah dimobilisasi untuk melakukan banyak sekali fungsi utama dan pendukung. Fungsi tersebut mulai dari melakukan sosialisasi, advokasi, menjalankan pertemuan awal dan validasi penerima manfaat yang layak, membantu penerima bantuan untuk menarik uang tunai, pembaruan, verifikasi dan memasukkan data, mengelola dan memimpin FDS, penanganan keluhan dan manajemen kasus, merekam dan melaporkan kepatuhan penerima manfaat terhadap persyaratan, melaporkan rekonsiliasi pembayaran, distribusi kartu PKH pada para peserta, mempersiapkan laporan kegiatan mingguan. Fasilitator PKH direkrut di tingkat nasional melalui seleksi kompetitif. Rasio perbandingan fasilitator terhadap keluarga PKH biasanya 1:200-250, tetapi rasio ini lebih rendah lagi untuk kepulauan atau area yang sulit dicapai. Fasilitator tersebut melaksanakan tugas harian mereka untuk memastikan bahwa program diimplementasikan di lapangan.
22
II.
KAJIAN SISTEM PROGRAM
45. Bagian ini akan menjelaskan lebih lanjut lagi tiga aspek pertama dari kajian: (A) apakah terdapat akses yang adil terhadap PKH; (b) apakah program memenuhi kebutuhan kelompok rentan dan marginal; dan (c) apakah program menyediakan ruang yang cukup untuk konsultasi dan umpan balik masyarakat. A.
KEADILAN TERHADAP AKSES (EQUITY)
a)
Eligibilitas
46. Eligibilitas bergantung pada sumber daya keluarga dan komposisi demografis. Suatu rumah tangga atau keluarga harus berada dalam kategori “miskin” atau ada dalam 25 persen rumah tangga termiskin berdasarkan peringkat Basis Data Terpadu (Unified Data Base, UDB). Ini merupakan hasil dari penyesuaian cakupan eligibilitas sebelumnya yang hanya mencakup persentil “sangat miskin” atau 10 persen terbawah, untuk memberikan inklusi keluarga yang lebih luas demi ekspansi enam juta cakupan. Untuk komponen kesehatan dan pendidikan, keluarga harus memenuhi setidaknya satu dari kriteria berikut agar dapat ikut serta: i. ii. iii. iv. v. vi.
Satu anggota keluarga sedang hamil atau menyusui; Satu atau lebih dari anak-anak berusia di bawah 6 tahun; Anak-anak dari 6 sampai 15 tahun berada di sekolah dasar atau menengah; Anak-anak usia 16 tahun ke atas yang belum menyelesaikan pendidikan dasar dan sekunder 15; Anggota keluarga dengan difabel berat16; Anggota keluarga lansia berusia 70 tahun atau lebih17;
47. Semenjak 2016, komponen-komponen baru telah ditambahkan, termasuk memperluas Transfer Tunai Bersyarat PKH pada kelompok lansia (70 tahun atau lebih) di dalam keluarga PKH yang sebelumnya tidak dicakup oleh program bantuan sosial lain18 serta kelompok difabel berat. 19 Proposal saat ini menyarankan untuk memasukkan persyaratan untuk kelompok tersebut. Akan tetapi, dalam Petunjuk Operasional versi ke tujuh, persyaratan untuk difabel dan lansia tidak ditetapkan dengan jelas, termasuk jenis, frekuensi dan kriteria kepatuhan. Karena kelompok target tersebut kemungkinan akan menghadapi tantangan besar dalam mengakses layanan kesehatan, khususnya yang tinggal di area yang kurang terlayani, mengklarifikasi pemenuhan persyaratan dan sanksi akan menjadi sangat kritis. Juga saat ini tidak jelas dari petunjuk tersebut, apakah ketidakpatuhan akan menyebabkan sanksi atau apakah persyaratan bagi kelompok penerima manfaat tersebut akan diawasi. Desain persyaratan dan aturan pelaksanaan untuk komponen baru masih dalam pengembangan dan ditargetkan untuk diluncurkan pada 2017.
15
Berdasarkan Petunjuk Operasional sekarang, cakupan mencakup siswa sekolah menengah atas dan anak -anak difabel yang mengikuti Sekolah Luar Biasa, suatu sekolah untuk anak difabel, juga dapat menerima PKH 16 Petunjuk Operasional saat ini menetapkan difabel berat sebagai cacat fisik, mental, intelektual atau sensori yang menghambat seseorang menjadi mapan atau bergerak, sehingga membutuhkan bantuan dari anggota keluarga lain. 17 Anggota lansia dapat ikut serta jika memenuhi kriteria berikut: (1) mencapai umur 70 tahun per ta nggal 1 Januari; (2) lansia di atas 70 tahun menjadi pengasuh keluarga PKH 18 Program tersebut mencakup ASLUT atau program bantuan usia lanjut. 19 Data PPLS 2011 menunjukkan bahwa terdapat sekitar 130,572 anak-anak difabel dari keluarga miskin, akan tetapi angka ini mungkin masih kurang karena proyeksi keseluruhan sejak data BPS di 2007 mengindikasikan bahwa terdapat sekitar 8,3 juta anak difabel (atau sekitar 10% dari total populasi anak-anak).
23
Tabel 4. Eligibilitas dan Persyaratan PKH Persyaratan atau kondisi Pembayaran PKH - Melakukan empat kali pemeriksaan pra-kelahiran (antenatal) dan mengkonsumsi tablet suplemen zat besi selama kehamilan; - Didampingi oleh profesional terlatih selama kelahiran; - Ibu menyusui harus melakukan dua pemeriksaan pasca-kelahiran (postnatal); Anak-anak berusia 0-6 tahun - Memastikan anak-anak mendapatkan imunisasi anak lengkap dan mengkonsumsi kapsul vitamin A dua kali setahun; - Anak-anak ikut pemeriksaan pemantauan pertumbuhan (bulanan untuk bayi 0-11 tahun, dan tiap tiga bulan untuk anak-anak 1-6 tahun). Anak-anak berusia 6 - 15 tahun - Anak-anak masuk ke sekolah dasar dan memastikan kehadiran setidaknya 85% dari hari sekolah; - Anak-anak masuk ke sekolah menengah pertama dan memastikan kehadiran setidaknya 85% dari hari sekolah; Anak-anak 16-18 tahun dengan - Masuk ke dalam suatu program pendidikan untuk menyelesaikan pendidikan tidak lengkap 9 tahun pendidikan dasar. Sumber: adaptasi dari World Bank (2012) dan Kemensos (2015) Kriteria Eligibilitas Hamil atau menyusui
48. Penerima manfaat PKH akan mendapatkan transfer PKH selama enam tahun jika mereka memenuhi persyaratan. Tambahan tiga tahun dapat diberikan dan dilengkapi dengan program bantuan lain, termasuk KUBE-PKH dan Sesi Pembangunan Keluarga (FDS), jika pada saat sertifikasi ulang, penerima manfaat masih masuk dalam kategori miskin setelah enam tahun menerima program. Akan tetapi, setelah melakukan pemeriksaan ulang dengan penerima manfaat PKH di salah satu kabupaten yang telah menerima PKH sejak 2008, skema ‘kelulusan’ dalam PKH tidak sepenuhnya dimengerti oleh penerima manfaat dan seringkali diasumsikan bahwa tidak ada batas waktu bagi PKH selama anak mereka masih berada di sekolah sehingga mereka tidak siap untuk kelulusan tersebut.
Catatan Kajian 1: Meninggalnya seorang guru sekolah dasar secara mendadak di salah satu pulau terpencil di pantai timur Sumatera Utara sayangnya membawa dampak jangka panjang bagi seluruh masyarakat di sana. Kepercayaan mulai berkembang bahwa pulau tersebut dikutuk dan orang-orang akan mati jika mereka pindah ke sana. Guru-guru lain yang sebelumnya mengajar di satu-satunya sekolah dasar di pulau itu mulai pergi dan sekolah tersebut akhirnya ditelantarkan. Seorang pendeta Kristen mengambil alih dan mulai mengelola sekolah tersebut sendiri selama dua tahun hingga dia ditugaskan ke wilayah lain pada tahun 2010. Di pulau tersebut, terdapat 24 keluarga PKH dengan anak-anak usia sekolah yang akhirnya tidak dapat menerima manfaat setelah serangkaian upaya gagal untuk memberikan alternatif sekolah bagi masyarakat. Upaya untuk menemukan masyarakat lokal dengan keterampilan mengajar yang memadai akhirnya pupus setelah pemerintah kabupaten memutuskan untuk merelokasi penduduk lokal ke pulau utama.
49. Walaupun kriteria eligibilitas telah ditetapkan dengan jelas dalam Petunjuk Operasional (halaman 22-28) dan fasilitator dapat menjelaskan persyaratan dengan cukup baik, masyarakat penerima manfaat dan bahkan pejabat pemerintah lokal yang ditemui selama kajian mengindikasikan tingkat pemahaman yang bervariasi atas kriteria dan persyaratan tersebut. (Sumber: cerita dari Koordinator regional, yang Persepsi yang umum tentang kriteria tersebut adalah pernah ditugaskan menjadi seorang fasilitator memiliki anak yang bersekolah, hami, atau memiliki Kabupaten Tapanuli Tengah) seorang bayi, sedangkan komponen yang baru diperkenalkan mengenai difabel dan lansia masih banyak belum diketahui. Fasilitator melaporkan bahwa penerima manfaat PKH seringkali bingung atas jumlah transfer tunai yang berbeda yang diterima dan seringkali tidak jelas mengenai mengapa pengurangan dilakukan karena tidak memenuhi kriteria program, 24
bagaimana pengurangan dilakukan dan dihitung dan juga mengapa yang lain yang dianggap tidak layak atau lebih kaya masih mendapatkan pembayaran. 50. Karena penerimaan PKH dikaitkan dengan persyaratan untuk memenuhi indikator kesehatan dan pendidikan tertentu, ketersediaan layanan tersebut menjadi sangat penting bagi keluarga PKH agar mereka dapat diverifikasi terhadap indikator yang dibutuhkan sehingga tetap terus memenuhi persyaratan. Akan tetapi, di beberapa lokasi terpencil seperti pulau-pulau kecil, hutan atau area pegunungan, verifikasi kepatuhan terhadap persyaratan dapat menjadi sangat sulit karena kurangnya layanan dasar dan hasil kajian kesiapan pada sisi persediaan, hambatan yang seringkali berasal dari penyebaran personel yang tidak merata, seperti guru dan bidan; bukan karena tidak adanya fasilitas atau infrastruktur (lihat Catatan Kajian 1). 51. Suatu penelitian nasional yang ditugaskan oleh Kementerian Pendidikan dan “Orang tua kami selalu marah jika Budaya mengindikasikan bahwa masih terdapat kami pulang lebih cepat. Tetapi kami tantangan untuk mengurangi absensi guru; satu dari sepuluh guru yang ditemukan absen dari bilang bahwa kami pulang cepat sekolah ketika seharusnya terdapat jadwal karena tidak ada guru di sekolah.” mengajar20. Dalam studi awal di Papua dan Papua Barat (UNICEF 2012), tingkat absensi yang (Siswa SD di Papua, UNICEF 2012) dilaporkan jauh lebih tinggi dengan satu dari tiga guru tidak hadir selama jam mengajar, dan tingkat absensi tersebut lebih parah lagi di tingkat kabupaten pegunungan dengan hanya satu dari dua guru yang hadir. Alasan umum yang diidentifikasi mencakup harus menghadiri tugas terkait mengajar resmi, terlambat, rotasi untuk cuti, yang cenderung menjadi permanen di kabupaten terpencil. Faktor lain adalah tingkat pendidikan, lemahnya Manajemen Berbasis Sekolah, kondisi hidup yang buruk dan kurangnya insentif. Di seluruh Indonesia, seolah yang berada di area yang lebih terpencil dan di pedesaan atau sekolah yang lebih kecil memiliki tingkat absensi guru yang lebih tinggi. Dalam kasus Papua dan Papua Barat, tingkat absensi guru memiliki korelasi linear dengan proporsi anak-anak usia sekolah yang tidak bersekolah, sedangkan hampir setengah dari anak-anak usia sekolah dasar tidak terdaftar di sekolah di kabupaten yang terletak di pegunungan di kedua provinsi. 52. Persyaratan kesehatan bagi anak-anak umur dua hingga tujuh tahun memberikan beban yang tidak perlu bagi penerima manfaat PKH dan penyedia layanan. Desain PKH saat ini mensyaratkan penerima manfaat untuk menimbang berat anak-anak umur 2 hingga 7 tahun setiap tahun. Bukti internasional menunjukkan bahwa ‘window of opportunity’ untuk nutrisi adalah dari lahir hingga umur dua tahun. Pemantauan pertumbuhan bulanan setelah umur tersebut cenderung kurang dapat memberikan hasil pertumbuhan yang signifikan. Terlebih lagi, persyaratan tersebut cenderung memberikan beban tambahan pada sisi persediaan (fasilitas kesehatan), fasilitator yang perlu memantau kepatuhan dan penerima manfaat yang terganggu waktu dan sumber dayanya. Menyederhanakan persyaratan kesehatan akan diterima dengan baik di area-area dengan hambatan pada sisi persediaan, seperti Indonesia Timur. 53. Menerapkan persyaratan yang lebih ketat dapat menjadi sulit di beberapa area yang memiliki permasalahan serius pada sisi persediaan, sehingga upaya untuk menyesuaikan persyaratan dan protokol verifikasi agar menjadi lebih kontekstual menjadi sangat penting demi mendorong inklusi sosial bagi masyarakat yang berada di area-area yang kurang terlayani. Setelah PKH diperluas ke seluruh wilayah nasional, memperkenalkan fleksibilitas dalam persyaratan dan protokol verifikasi dengan mempertimbangkan konteks lokal menjadi sangat penting dalam memastikan bahwa 20
Indonesia telah berhasil meraih suatu pencapaian signifikan pada dekade terakhir untuk mengurangi absensi guru dari sekolah dari 19 persen berdasarkan survei yang dilakukan di 2003 pada sekolah-sekolah sampel di tingkat nasional menjadi 9,8 persen di sekolah yang sama pada 2014.
25
masyarakat miskin dan kelompok marginal memiliki akses yang memadai dan berkelanjutan terhadap manfaat PKH. Akan tetapi, hal ini menunjukkan bahwa tujuan keseluruhan PKH dalam hal pencapaian kesehatan dan pendidikan mungkin berpotensi terkompromikan. Sebagai tambahan, menyesuaikan persyaratan dan protokol verifikasi berdasarkan kesiapan sisi persiapan mungkin akan menambah tekanan pada manajemen dan sumber daya PKH yang sudah sangat terbebani. b)
Penentuan Target
54. Tantangan utama untuk menargetkan program bantuan sosial pada masyarakat miskin adalah mengidentifikasi dengan benar rumah tangga yang layak tanpa data pendapatan yang dapat diandalkan karena banyak masyarakat miskin yang bekerja di sektor informasi dan sering kali tidak memiliki berbagai catatan pendapatan. Dalam keadaan tersebut, menggunakan informasi yang tidak dapat diandalkan untuk mengidentifikasi target rumah tangga dalam menyebabkan kesalahan eksklusi dan inklusi dengan dana tersalurkan ke keluarga yang lebih kaya, sehingga mengurangi sumber daya bagi penerima manfaat yang dituju. 55. PKH mengadopsi Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial (selanjutnya disebut UDB) tahun 2012, yang sebelumnya dioperasikan secara terpusat oleh Unit Penetapan Sasaran Untuk Penanggulangan Kemiskinan – UPSPK) di TNP2K dan pengelolaan Basis Data Terpadu saat ini sedang dipindahkan ke Kemensos bersamaan dengan ekspansi PKH. Basis Data Terpadu 2012 merupakan suatu perbaikan atas sistem penentuan target sebelumnya yang menggunakan berbagai basis data yang berbeda untuk mengidentifikasi peserta potensial di seluruh program bantuan sosial sehingga kesalahan eksklusi yang dilaporkan cukup tinggi. Basis Data Terpadu merupakan sistem data elektronik yang mencakup informasi sosial, ekonomi, demografis sekitar 24,7 juta keluarga atau 96,4 juga individu yang ada dalam 40 persentil termiskin di seluruh Indonesia 21. Status kesejahteraan keluarga diukur menggunakan berbagai variabel kesejahteraan keluarga yang didapatkan dari Survei PPLS (Pendataan Program Perlindungan Sosial) 2011 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan menggunakan model proxy means testing (PMT) untuk menentukan kemiskinan relatif keluarga untuk tiap kabupaten/kota. Model PMT memprediksi pendapatan keluarga dengan mengumpulkan informasi sederhana mengenai aset yang mereka miliki dan dikaitkan dengan tiap kabupaten dan kota untuk mengakomodasi perbedaan variabel (TNP2K 2015). Indeks konsumsi yang dihasilkan oleh model PMT digunakan sebagai dasar untuk memberi peringkat berdasarkan status kesejahteraan mereka 22. Hingga saat ini, Basis Data Terpadu dianggap sebagai basis data penentuan target yang paling komprehensif di negara ini.
21
Basis data dibangun dari data yang dikumpulkan dari Pendataan Pogram Perlindungan Sosial yang dilaksanakan BPS pada 2011. Upa ya tersebut dikoordinasikan oleh Tim Nasional Percepatan Pengentasan Kemiskinan (TNP2K) di bawah Kantor Wakil Presiden. Proses tersebut menggunakan momentum sensus 2010 yang secara komprehensif memperbarui data populasi nasional Indonesia sebagai dasarnya (baseline). Sejumlah perbaikan telah dilakukan dalam metodologinya termasuk konsultasi dengan anggota rumah tangga miskin lain, perbincangan mendadak dan observasi umum selama proses pengumpulan data. Basis Data Terpadu mulai berlaku pada Maret 2012. 22Basis Data Terpadu mengelompokkan keluarga ke dalam desil yang membagi keluarga ke dalam 10 kelompok. Desil 1 mengacu pada 10 persen keluarga termiskin, Desil 2 mengacu pada rumah tangga alam 10-20 persen termiskin dan seterusnya.
26
56. Pada prinsipnya, data Basis Data Terpadu, Catatan Kajian 2: baik data agregat dan data terpilah, 23 dapat diakses Evaluasi Basis Data Terpadu sesuai permintaan (upon request) oleh berbagai menunjukkan bahwa pejabat pemerintah lembaga untuk perencanaan pengentasan kemiskinan daerah ragu untuk menggunakan Basis dan tujuan penentuan target. Basis Data Terpadu telah Data Terpadu karena mereka tidak digunakan terutama untuk mengidentifikasi penerima mendapatkan informasi yang cukup manfaat untuk program perlindungan sosial nasional mengenai bagaimana basis data terbesar seperti asuransi kesehatan (BPJS), beasiswa diciptakan dan bagaimana desil (BSM, sekarang PIP), transfer tunai bersyarat (PKH), dan kemiskinan ditentukan. Metode proxy beras subsidi (Raskin, sekarang Rastra). Pemerintah lokal means testing (PMT) tidak dipahami juga telah menunjukkan minat yang besar untuk dan/atau disosialisasikan secara memadai menggunakan Basis Data Terpadu untuk mendukung sehingga tidak dapat menjelaskan kepada implementasi program kemiskinan lokal, dengan lebih masyarakat lokal tentang sumber data dan dari 500 pemerintah kabupaten dan provinsi dilaporkan bagaimana peringkat dibuat (Bah et al, telah menggunakan data tersebut (Bah et al, 2015, p.26). 2015, p.26) Basis Data Terpadu ditujukan untuk mendukung lembaga pemerintah dalam merampingkan upaya pengentasan kemiskinan dan meningkatkan keterkaitan progamprogram bantuan sosial, yang secara historis selalu tumpang tindih dan juga untuk menghemat sumber daya yang dapat diarahkan identifikasi, penentuan target dan seleksi penerima manfaat. 57. Basis Data Terpadu 2011 diperbarui pada tahun 2015 dengan survei ulang keluarga yang telah masuk serta memungkinkan keluarga baru untuk disertakan dalam survei dan penentuan peringkat kesejahteraan selanjutnya.24. Kelompok miskin atau rentan ditambahkan melalui Forum Konsultasi Publik yang dihadiri oleh pemimpin dan perwakilan masyarakat. Melalui forum-forum tersebut, daftar Basis Data Terpadu diperdebatkan oleh peserta untuk menentukan rumah tangga yang tidak layak untuk program perlindungan sosial. Rumah tangga tersebut akan tetap disurvei ulang oleh BPS dan diukur menggunakan metodologi PMT baru. Basis Data Terpadu 2015 dianggap lebih akurat dari pada BDT 2011 karena metodologi PMT (Proxy Means Testing) menggunakan jumlah sampel yang lebih besar untuk memprediksi konsumsi dan serangkaian variabel yang lebih luas untuk memprediksi konsumsi. 58. Di tingkat agregat nasional, kebocoran PKH pada populasi yang tidak menjadi target dilaporkan berada pada tingkat minimal, walaupun terdapat beberapa kejadian ketika transfer diberikan pada keluarga desil tidak miskin. Kajian Pembelanjaan Publik atau Public Expenditure Review dari World Bank yang akan datang mengindikasikan bahwa proporsi penerima manfaat PKH dari tiga desil terendah telah meningkat sebesar 8 persen antara 2010 dan 2014, sehingga menunjukkan pertumbuhan dalam jangkauan program dan peningkatan akurasi penentuan target rumah tangga termiskin (WB 2016, akan datang). Survei SUSENAS terakhir mengindikasikan bahwa lebih dari 70 persen total penerima manfaat program berada dalam 40 persen populasi termiskin 25.
59. Seleksi keluarga yang layak dilakukan secara terpusat. Bersamaan dengan ekspansi PKH, seleksi 2,5 juta tambahan keluarga telah ditangani oleh tim JSK dan kantor pusat UPPKH di Kementerian 23
Data agregat (tanpa nama dan alamat) dapat digunakan sebagai referensi untuk berbagai analisis program pengentasan kemiskinan serta kebutuhan proyeksi anggaran. Data terpilah (dengan nama dan alamat perorangan dan rumah tangga) dapat digunakan untuk platform penentua n target untuk mengidentifikasi perorangan dan/atau rumah tangga yang layak menerima program bantuan sosial. Data yang terakhir diberikan pada kantor pemerintahan (nasional dan sub-nasional) yang mengelola perlindungan sosial berdasarkan permintaan, tanpa biaya. 24 Dari Juni hingga Juli 2015, BPS mensurvei lebih dari 28 juta rumah tangga di 514 kabupaten di Indonesia, bertujuan untuk mencakup 40 persen dari populasi termiskin untuk memperbarui catatan Basis Data Terpadu 2011 dengan memasukkan informasi baru dari lapangan serta tambahan 1,3 juta keluarga. 25 World Bank, Indonesia Social Assistance Expenditure Review Update (2017, akan datang).
27
Sosial. Kuota kabupaten ditentukan berdasarkan data SUSENAS pada jumlah keluarga miskin dikurangi jumlah penerima manfaat yang telah ada di tiap kabupaten. 60. Akan tetapi, pemahaman pentingnya akurasi penentuan target yang lebih baik seringkali tidak di sosialisasikan pada pemangku kepentingan lokal, termasuk pejabat pemerintah lokal dan desa serta penerima manfaat itu sendiri. Terdapat sejumlah kesalahpahaman di seputar proses penentuan target, yang tetap tidak diklarifikasi. Penentuan target seringkali dianggap bermasalah. 61. Proses penentuan target aktual, termasuk PMT, “Data datang dari pusat seringkali kurang dipahami oleh pejabat pemerintah lokal, fasilitator serta penerima manfaat. Karena basis (-pemerintah), jadi kami tidak data ini dikelola secara terpusat dan data baseline bisa apa-apa kecuali bersabar” dikumpulkan oleh kantor BPS kabupaten dan provinsi 26, yang berada di luar struktur pemerintah daerah dan melapor (Penerima manfaat PKH perempuan, langsung ke Presiden, terdapat persepsi kurangnya mengasuh satu cucu perempuan, D2, NS) keterlibatan pemerintah daerah dalam penentuan target actual. Proses penentuan target aktual juga tidak sepenuhnya dimengerti oleh pemangku kepentingan lokal. Lebih jauh “Masyarakat setiap hari datang lagi, cara-cara komunikasi yang ada sangat tidak efektif ke kantor kami untuk dalam sosialisasi mekanisme dan proses penentuan target, mengeluhkan mengapa mereka termasuk penanganan keluhan. Tanggapan umum yang diberikan seperti “seleksinya dilakukan oleh Kementerian tidak mendapat PKH” (Kemensos), jadi diluar kendali kami” sering digunakan untuk menanggapi keluhan dari anggota masyarakat yang (Kepala Badan Sosial, Kabupaten 1 NS) merasa dikecualikan dari program. Akan tetapi, jawaban tersebut sering ditanggapi dengan skeptis oleh masyarakat lokal karena pemerintahan daerah, termasuk pemerintahan desa, dianggap terlibat dalam pemilihan penerima manfaat. Persepsi kesalahan eksklusi dalam data Basis Data Terpadu seringkali diperparah oleh keluhan umum masyarakat khususnya dalam seleksi penerima manfaat dan kelemahan-kelemahan tersebut sering diatributkan kepada TNP2K dan BPS. 62. Di salah satu kecamatan yang dikunjungi, tidak terdapat tambahan kuota bagi ekspansi PKH, akan tetapi tidak ada penjelasan resmi yang diberikan, sehingga menyebabkan orang-orang berspekulasi bahwa ada yang salah dengan sistemnya. Alokasi kuota tambahan didasarkan pada tingkat kemiskinan kabupaten dan oleh karena itu, kombinasi dari turunnya tingkat kemiskinan dan jumlah penerima manfaat yang sudah ada cenderung mengurangi alokasi tersebut dan terdapat beberapa kasus dalam beberapa kabupaten yang tidak menerima tambahan kuota. Alasan di balik tidak mendapat tambahan kuota tidak mudah diterima karena FKP juga dilaksanakan di kabupaten tersebut ketika rumah tangga yang diusulkan merasa bahwa mereka seharusnya menerima bantuan sosial, termasuk PKH. Dalam situasi tersebut, fasilitator seringkali tidak tahu mengenai alasan dibaliknya sehingga tidak dapat memberikan jawaban yang meyakinkan ketika mereka ditanya.
26
Penjelasan rasional dari kontrol kelembagaan pusat untuk program PKH adalah agar preferensi lokal dan kapasitas administratif daerah tidak memengaruhi hasil program.
28
63. Bersamaan dengan ekspansi PKH, juga terdapat persepsi lokal bahwa terdapat kesalahan “Di salah satu desa yang saya dalam manajemen penentuan target. Di salah satu dampingi, hampir 50 persen nama kabupaten yang dikunjungi di Sumatera Utara, dari 6.194 yang sudah ada dalam daftar penerima manfaat baru, dilaporkan bahwa sekitar 800 sebelumnya muncul kembali. Saya sudah ada dalam daftar sebelumnya dan 800 lain tidak dapat diidentifikasi pada saat validasi data. Jumlah tersebut tidak tahu bagaimana ini terjadi… mencapai lebih dari 25 persen kuota baru, yang pada “(Fasilitator, Kabupaten 1 NS) praktiknya tidak dapat dialokasikan lagi ke penerima manfaat potensial lain karena penentuan target dilakukan secara terpusat. Pejabat Dinas Sosial di salah satu kabupaten yang dikunjungi merasa kesal karena anggaran PKH yang tidak digunakan akhirnya harus dikembalikan ke Bendahara Negara sebagai Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SilPA), sedangkan mereka terus menerima keluhan dari masyarakat yang tidak dapat mereka selesaikan. Mekanisme seleksi terbaru dianggap tidak efisien karena realokasi hanya dapat dilakukan di tingkat pusat yang akan membutuhkan waktu satu tahun untuk diproses. Kuota yang tidak dipakai dianggap sebagai sumber daya yang terbuang percuma. 64. Selain permasalahan persepsi eksklusi yang muncul dari kesalahpahaman dan kurangnya kesadaran, terdapat beberapa hambatan teknis terkait dengan Basis Data Terpadu, yang pada akhirnya memengaruhi kepuasan pemangku kepentingan lokal terhadap sistem penentuan target program, termasuk: - Pertama, FKP mewakili kegiatan utama bagi BPS, beberapa pejabat dari Dinas Sosial Kabupaten melaporkan kasus-kasus ketika rumah tangga yang diusulkan tidak semuanya disurvei dan bahwa kepala desa mengeluhkan tidak ada FKP yang diadakan dalam wilayah mereka. Sebagai tambahan, terdapat risiko potensial bahwa proses FKP didominasi oleh kaum elit lokal yang perlu dibuktikan lebih lanjut. - Kedua, nama-nama yang tumpang tindih dan tidak dapat diidentifikasi dicurigai karena kesalahan teknis dalam pemprosesan data di Kemensos; - Ketiga, kesalahan data juga dikaitkan dengan kualitas proses pengumpulan data. Data PPLS dikumpulkan oleh kantor BPS kabupaten dan provinsi melalui enumerator mereka. Enumerator ini seringkali direkrut dari anggota masyarakat, dan beberapa pejabat pemerintah daerah di kabupaten yang dikunjungi menyarankan bahwa pemilihan enumerator, peningkatan kapasitas, dan pengawasan perlu diperbaiki lagi; 65. Sebagai tambahan, perbaikan strategi komunikasi PKH, peningkatan kesadaran lintas kelompok kepentingan serta , GRS terkait dengan proses penentuan target dan seleksi merupakan kunci untuk meningkatkan transparansi serta pengelolaan risiko. Investasi dalam komunikasi yang efektif akan membebaskan beberapa beban yang tidak perlu yang ditanggung oleh fasilitator dan staf pemerintah agar dapat merespons dengan lebih efektif terhadap pertanyaan dan keluhan dari anggota masyarakat yang tidak puas karena kesalahpahaman seputar penentuan target dan pemilihan penerima manfaat. Seleksi terhadap saluran media publikasi yang digunakan dan materi penyebaran informasi harus mempertimbangkan akses dan frekuensi penyampaian komunikasi, jangkauan dan sosialisasi.
29
c)
Eksklusi dan Inklusi Program
66. Padakeluarga yang masuk dalam 40 persen desil kemiskinan terbawah di dalam Basis Data “Saya tidak memiliki dokumen Terpadu, rata-rata keluarga PKH memiliki registrasi di sini dan tidak karakter yang sangat mirip dengan rata-rata diberikan surat pindah oleh desa keluarga miskin non-PKH pada variabel pendapatan dan non-pendapatan. Kondisi yang saya tinggalkan” kemiskinan tingkat mikro seringkali berubah dengan cepat dan banyak keluarga yang masuk dan keluar dari (Janda berumur 60an dengan tiga anak kemiskinan dari tahun ke tahun, indikator konsumsi dan yang bergantung padanya, dua adalah cucu kekayaan bisa jadi bukan yang paling akurat dalam dan satu adalah anak asuh – RCA 2015) mengukur kesejahteraan. Karena Basis Data Terpadu hanya akan diperbarui secara periodik, mengingat besarnya sumber daya yang diperlukan untuk melakukan pembaruan, upaya untuk menangkap gambaran perubahan cepat tersebut akan menjadi suatu tantangan yang perlu ditangani pada tahun-tahun berikutnya. Hal ini berarti kesalahan eksklusi dan inklusi akan terus ada selama cakupan PKH tidak menjangkau semua masyarakat miskin. Perluasan PKH dengan target cakupan 6 juta keluarga, termasuk di Indonesia Timur yang memiliki tingkat kemiskinan tertinggi, diharapkan dapat mengurangi kesalahan tersebut. Akan tetapi karena program tidak dapat menjangkau seluruh masyarakat miskin di Indonesia, keluhan dari masyarakat terkait dengan isu eksklusi akan tetap harus diantisipasi terlepas dari perluasan program. 67. Tantangan lain yang dihadapi PKH dan program bantuan sosial lain adalah terbatasnya jumlah kuota yang tersedia. Bahkan dengan perbaikan proses penentuan target dan pendekatan identifikasi penerima manfaat lain, alokasi sumber daya yang ada saat ini membuatcakupan PKH masih sangat terbatas. 68. Walau Nomor Induk Kependudukan (NIK) bukan merupakan prasyarat kepesertaanPKH, namun penduduk tanpa NIK akan memiliki risiko yang lebih tinggi untuk tidak mendapatkan bantuan sosial dan ini dilaporkan sebagai masalah yang terus ada. Kondisi ini mencakup masyarakat yang tidak terdaftar resmi dan populasi sementara yang mencakup kelompok masyarakat yang berpindahpindah , pelaut, petani, pekerja tidak tetap serta pekerja migran. Individu yang tidak terdaftar mungkin tidak diakui secara formal oleh desa atau lingkungan mereka sebagai penduduk sehingga seringkali tidak diusulkan untuk mendapat program bantuan sosial. Kedua, individu tersebut mungkin terdaftar di tempat tinggal asal mereka sehingga mungkin tidak terlibat dalam sensus dan survei. Pasal 15 UU No. 23/2006 27 tentang Administrasi Kependudukan menetapkan bahwa semua orang yang meninggalkan tempat tinggal asalnya harus mendapatkan surat pindah dari kepala desa atau pejabat resmi agar dapat didaftarkan ke tempat tinggal baru mereka. Kartu Keluarga dan/atau KTP hanya dapat diperoleh melalui surat pindah. Hal ini memberikan tantangan bagi individu yang mungkin tidak sadar akan prosedur tersebut atau yang menganggap prosedur tersebut rumit dan memberikan biaya tertentu. Sebagai tambahan, ketetapan tersebut menjadi sulit diterapkan bagi populasi sementara, seperti masyarakat nomaden, pelaut, petani atau pekerja sementara dan migran, dan oleh karena itu memiliki kemungkinan yang lebih tinggi untuk tidak ikut serta.
27
UU No. 23/2006 mengenai Administrasi Kependudukan telah diamandemen melalui UU No. 24/2013.
30
69. Akan tetapi, komplementaritas bantuan sosial lain pada PKH dapat terhambat oleh tidak adanya dokumentasi karena program bantuan sosial seringkali mensyaratkan NIK. Visi jangka menengah dan jangka panjang untuk PKH adalah untuk memungkinkan penerima manfaat mendapat akses yang lebih baik ke layanan sosial lain yang bersifat komplementer terhadap manfaat uang tunai dengan harapan keluarga penerima tersebut dapat keluar dari kemiskinan dan mencapai potensi pembangunan manusia. Akan tetapi, berbagai program bantuan sosial seperti JKN-PBI (pembebasan iuran bagi masyarakat miskin untuk mendapatkan akses asuransi kesehatan publik Indonesia) atau PIP (beasiswa bagi siswa miskin) secara teknis mensyaratkan penerima manfaat untuk memiliki NIK dan/atau terdaftar secara resmi di tempat tinggal mereka dan/atau sekolah untuk program yang terakhir. 70. Kurangnya dokumentasi legal diakui sebagai isu yang penting karena PKH bergerak menuju ke sistem e-payment. Bank Mitra umumnya mensyaratkan penerima PKH untuk memiliki NIK agar mereka dapat diberikan nomor rekening bank. Untuk sementara, salah satu Bank negara (BRI) dilaporkan memberikan fleksibilitas dengan hanya mensyaratkan nomor kartu PKH sebagai gantinya. Akan tetapi, isu ini kemungkinan akan terus menjadi hambatan bagi penerima manfaat PKH karena sistem terus dikembangkan dan dihubungkan dengan e-platform lain. 71. Sebagai tambahan terhadap isu-isu yang dianggap sebagai normal, terbatasnya kapasitas BPS untuk menjangkau masyarakat atau kelompok yang tinggal di daerah sangat terpencil menjadi hambatan. Hambatan tersebut berpotensi menjadi lebih parah di area-area PKH baru khususnya di wilayah Indonesia Timur yang memiliki akses terbatas dan biaya logistik untuk survei yang sangat tinggi. Pengumpulan data lapangan untuk Basis Data Terpadu dilakukan oleh kantor BPS kabupaten walaupun enumerator lapangan dipekerjakan secara sementara. Di salah satu kota yang dikunjungi, enumerator ini bertanggung jawab untuk melakukan survei rata-rata 200 keluarga dalam satu bulan sebagai bagian dari kontraknya. Pengaturan tersebut dapat memberikan tantangan logistik di area dengan cakupan yang tersebar luas atau memliki mobilitas tinggi. Dalam beberapa kasus, enumerator BPS dilaporkan hanya mengandalkan kepala desa dan/atau dusun untuk memberikan informasi mengenai rumah
Catatan Kajian 3: Permasalahan terkait hubungan komplementer dilaporkan oleh salah satu kepala desa yang ditemui selama kajian. Hingga saat ini masih banyak keluarga miskin di wilayahnya yang tidak menerima program bantuan sosial apapun seperti KIP, KIS, KKS dan PKH. Dalam surat yang dia terima dari salah satu direktur di Kementerian Kesehatan yang dia surati dua tahun sebelumnya, dia dan stafnya diminta untuk membuat daftar dan mengusulkan keluarga tersebut ke Dinas Sosial Kabupaten untuk kemudian diverifikasi dan disampaikan pada Kemensos. Akan tetapi, proposalnya dikembalikan atas dasar bahwa banyak rumah tangga tersebut tidak memiliki KTP dan kartu keluarga. Sebagai tanggapan, dia menggerakkan stafnya untuk memproses dokumen yang diperlukan dan akhirnya berhasil mendapatkan Kartu Keluarga untuk sekitar 400 keluarga tetapi lebih sedikit KTP yang didapatkan karena permasalahan logistik1. Karena persepsi lambatnya tanggapan dari Dinas Sosial Kabupaten dan BPS untuk melakukan verifikasi dan memproses proposalnya serta tekanan yang besar dari warganya yang percaya bahwa mereka telah didaftarkan, dia berencana mengirimkan daftar 300 keluarga yang dikumpulkan timnya langsung ke Menteri Sosial, dengan harapan untuk mendapatkan jawaban.
“Butuh hingga dua tahun sebelum seseorang dari Jakarta membalas saya... Dan surat tersebut juga menyatakan bahwa saya harus berbicara dengan Badan Sosial, jadi kami pergi. Tetapi proposal saya ditolak karena banyak masyarakat di sini yang tidak memiliki KTP dan KK....” (Kepala Desa, District 2, NS)
31
tangga yang akan disurvei tanpa bertemu langsung dengan tiap rumah tangga atau dalam beberapa kasus lain, survei dilakukan dengan telepon yang mungkin tidak dapat menjangkau orang-orang yang tinggal di area dengan jaringan telepon yang buruk. Sebagai tambahan, pendekatan “cepat” ini berpotensi mendistorsi data karena banyaknya variable yang perlu diamati melalui observasi enumerator, yang awalnya ditujukan utuk mengurangi potensi manipulasi responden agar memiliki kesempatan yang lebih tinggi untuk mendapatkan bantuan sosial (Bah, Nazara, Satriawan 2015, p.2). 74. .72. Beberapa permasalahan teknis juga dilaporkan dalam kajian singkat oleh SMERU (2012); kepatuhan terhadap pedoman operasional Basis Data Terpadu seringkali lemah selama kegiatan di lapangan. Beberapa kasus yang menunjukkan hal ini antara lain; enumerator atau pemimpin masyarakat seringkali menghapus rumah tanggal yang dianggap tidak miskin dari daftar awal, konsultasi dengan rumah tangga miskin jarang dilakukan28. Dalam situasi ini, jika Basis Data Terpadu merupakan satu-satunya sumber untuk mengidentifikasi penerima manfaat, penduduk yang tidak mengikuti survei atau tidak terdaftar dalam basis data berarti tidak dapat mengikuti PKH, serta progam bantuan sosial lain, yang menggunakan Basis Data Terpadu untuk penentuan target. Beberapa perbaikan dilaporkan telah dilakukan selama proses pembaruan Basis Data Terpadu pada 2015, ketika enumerator hanya dapat menyarankan rumah tangga yang tidak layak untuk dihapuskan dan rumah tangga ini masih harus disurvei sebelum keputusan penghapusan dilakukan. 73. Dalam hal Masyarakat Adat, tantangan terkait dengan penentuan target menjadi lebih besar karena sejumlah faktor. Pertama, masyarakat adat seringkali terletak di area terpencil yang sulit diakses dan tidak dapat dicapai oleh tim survei. Kedua, walaupun semakin banyak jumlah data terkait dengan masyarakat adat berdasarkan variabel seperti etnisitas, agama dan bahasa29, masih terdapat permasalahan terkait klasifikasi yang cenderung masih menggunakan kategori yang tidak tepat (lumpen category), seperti Dayak dan Batak, yang oleh sensus masih dianggap sebagai satu kelompok etnis. Karena tidak adanya data terperinci yang akurat mengenai masyarakat adat, sulit untuk menargetkan program dan layanan atau untuk memahami bagaimana program dan layanan tersebut dapat menjangkau kelompok-kelompok tersebut. Masyarakat yang tidak memiliki akses terhadap layanan kesehatan dan pendidikan yang menjadi syarat program, akan dikecualikan dari program dan isu ini memerlukan perhatian serius ketika program akan melakukan ekspansi di tingkat nasional. Keluarga yang layak menerima bantuan, termasuk lansia dan kelompok difabel, dan tinggal di daerah terpencil yang memiliki hambatan sisi persediaan kemungkinan akan dirugikan dalam skema bantuan tunai bersyarat karena kepatuhan terhadap pelaksanaan persyaratan menjadi suatu tantangan bagi mereka, terkait dengan akses serta biaya-biaya terkait lainnya. Contoh kasus tersebut disajikan dalam poin 26 dan 27.
Kategori Masyarakat tanpa identifikasi legal
Tabel 5: Tipologi Eksklusi Faktor Eksklusi Mungkin dapat mengakses PKH tetapi tidak program lain seperti skema asuransi kesehatan nasional bagi masyarakat miskin (Jamkesnas/PBI/JKN) dan beasiswa untuk siswa miskin (PIP); Dianggap memiliki karakteristik hidup dalam kemiskinan walaupun belum tentu tinggal di area terpencil. Keluarga muda, atau keluarga dengan satu orang tua karena perceraian atau pernikahan dini mungkin banyak masuk dalam kategori ini; Mungkin tidak diakui oleh administrasi di tempat mereka tinggal;
28
Untuk memastikan cakupan dan perwakilan yang memadai, enumerator Basis Data Terpadu disyaratkan untuk melakukan survei pada rumah tangga yang tidak ada dalam daftar awal tetapi terlihat miskin atau yang direkomendasikan masuk dalam tiga rumah tangga termiskin pada daftar awal berdasarkan konsultasi dengan rumah tangga miskin (Bah, Nazara, Satriawan 2015, p.2).. 29 Variabel etnisitas, bahasa dan agama untuk pertama kali dikumpulkan sebagai bagian dari sensus penduduk 2000 dan kemudian pada 2010 (BPS-RI, 2011).
32
Mungkin tidak memiliki identitas legal dan dapat dianggap sebagai stateless atau tanpa negara khususnya yang tinggal di area perbatasan; Dianggap memiliki karakteristik sering berpindah, dan terkadang, tidak memiliki tempat tinggal permanen; Kemungkinan besar tidak dapat mengikuti survei dan oleh karena itu tidak terdaftar; Mungkin tidak memiliki akses ke layanan mendasar Penduduk di area terpencil, termasuk Mungkin tidak memiliki identitas atau dokumentasi legal; Masyarakat Adat Mungkin bukan anggota wilayah administrasi tertentu yang biasanya menyalurkan bantuan sosial; Mungkin tidak memiliki akses ke layanan dasar atau layanan yang tepat sehingga mengurangi permintaan; Mungkin tidak ikut serta dalam survei karena akses geografis; Catatan: keluarga yang masuk dalam lebih dari satu kategori menghadapi kemungkinan yang besar terhadap eksklusi 75. Perlunya beberapa reformasi sosial demi memperbaiki pelaksanaan PKH. Sebagai contoh, Kemensos perlu menetapkan roadmap yang jelas untuk identifikasi dan inklusi progresif penerima manfaat PKH, termasuk area terpencil yang kurang terlayani (mis. Papua dan Papua Barat) dan untuk kelompok penerima manfaat baru (lansia, difabel). Peningkatan layanan PKH juga membutuhkan kajian terhadap sistem informasi manajemen program (PMIS) untuk melakukan verifikasi bagaimana sistem dapat menghadapi ekspansi, termasuk potensi kajian atas proses bisnisnya, untuk memutuskan kemampuan dan kehandalan program dalam mendukung kebutuhan operasional yang semakin besar. Kemensos juga ingin mengejar peluncuran cepat untuk opsi pembayaran kartu (termasuk rekening tabungan) demi strategi inklusi keuangan yang bervariasi dan meningkatkan frekuensi pembayaran menjadi tiap dua bulan. Perubahan dalam peraturan program dan peningkatan skala membutuhkan pemeriksaan menyeluruh terhadap GRS. Peningkatan skala yang sangat besar dan potensi perubahan progam lain akan membutuhkan suatu strategi yang menyeluruh tentang bagaimana mengkomunikasikan secara efektif inovasi-inovasi tersebut kepada penerima manfaat dan publik (termasuk media). Ekspansi PKH juga akan membutuhkan suatu penguatan menyeluruh atas arsitektur kelembagaan program, yang akan lebih sulit dikelola dari tingkat pusat, dan merevisi strategi sumber daya manusia yang ada khususnya terkait dengan peran dan fungsi fasilitator program. Semua reformasi utama ini akan membutuhkan pendanaan yang tepat yang belum dapat dipastikan. Populasi sementara (mis. Pelaut, penduduk perbatasan, petani musiman, pencari su aka, dst.)
76. Kemitraan dengan lembaga non pemerintah (NGO) dan organisasi berbasis komunitas serta organisasi religius untuk memperluas ketersediaan layanan mendasar di area PKH yang kurang terlayani dapat dianggap sebagai solusi jangka pendek terkait dengan kurangnya akses menuju layanan kesehatan dan pendidikan mendasar. Laporan kajian awal GIZ mengindikasikan bahwa terdapat sejumlah organisasi internasional dan lokal 30 yang memberikan layanan di area kesehatan, pendidikan dan tata kelola di provinsi Papua dan Papua Barat di tempat yang akses terhadap layanan yang disyaratkan PKH masih terbatas atau tidak tersedia. Dengan perluasan PKH di area terpencil dan kurang terlayani, mengandalkan penyedia layanan formal dapat merugikan penerima manfaat PKH dan oleh karena itu, tidak dapat dipertahankan. Dalam keadaan ini, menyederhanakan dan memperluas pilihan untuk persyaratan dan verifikasi, sebagai contoh, dengan memperbolehkan persyaratan dihubungkan dengan layanan kesehatan dan pendidikan non-formal seperti yang disediakan oleh organisasi non pemerintah dan/atau organisasi masyarakat dapat menjadi solusi alternatif untuk mengatasi kesenjangan layanan. Akan 30
Beberapa organisasi non pemerintah dan LSM yang bekerja di Papua dan Papua Barat mencakup: Kinerja-USAID, Global Fund (Nabire, Dogiyai, Deyiai, dan Paniai), The Clinton Foundation (Dogiyai dan Deyiai), Yayasan Pendidikan Islam (YAPIS), Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Katolik (YPPK), Yayasan Pendidikan Adventist (YPA), Yayasan Persekolahan Persahabatan Gereja-Gejera Injili (YPPGI),
33
tetapi, untuk melaksanakannya secara efektif, hal ini membutuhkan tidak hanya koordinasi yang lebih kuat antar pemangku kepentingan untuk meningkatkan akses dan kualitas layanan, tetapi juga klarifikasi peran pemerintah daerah untuk memastikan bahwa koordinasi tersebut dilaksanakan dan dipertahankan. Sebagai tambahan, suatu sistem M&E yang lebih kuat menjadi sangat penting untuk memastikan pelacakan persyaratan tersebut, yang perlu dikaitkan berdasarkan kebutuhan. B.
GENDER
77. Tidak ada perbedaan sistematis terkait gender yang ditemukan dalam akses terhadap manfaat program. Data dari SUSENAS 2014 (Tabel 6) menunjukkan bahwa jumlah anak lelaki dari keluarga PKH yang terdaftar di sekolah dasar melebihi anak perempuan sebanyak empat persen. Namun, pada tingkat sekolah menengah pertama, anak perempuan yang terdaftar sejumlah 80 persen sementara anak lelaki yang terdaftar sejumlah 75 persen. Ini berbeda tipis dengan data tingkat nasional untuk keluarga non-PKH, yaitu pendaftaran anak lelaki PKH di sekolah dasar lebih tinggi sebanyak 1 persen sementara pendaftaran anak perempuan di SMP yang lebih tinggi 2,5 persen. Untuk pendidikan menengah atas, anak lelaki dari keluarga PKH cenderung memiliki tingkat partisipasi yang lebih tinggi, yaitu 49 persen dibanding 46 persen (di antara keluarga non-PKH, jumlah lelaki lebih tinggi 1 persen). Dalam hal imunisasi, anak-anak perempuan di bawah enam tahun yang telah menerima imunisasi lengkap lebih banyak 5 persen dibandingkan anak-anak lelaki di kelompok usia yang sama; pada saat yang sama, hampir tidak ada perbedaan pada anak-anak non-PKH (64-63,5 persen). Meskipun tidak ada perbedaan sistematis yang ditemukan di seluruh indikator gender, ada perbedaan yang signifikan pada keunggulan penerima manfaat PKH terhadap kelompok non-PKH. Ini mengindikasikan bahwa PKH telah membuat perbedaan dengan cara meningkatkan pendaftaran sekolah dan perilaku kesehatan di seluruh gender, sesuai dengan tujuan serta persyaratan program. Tabel 6: Pendaftaran Sekolah dan imunisasi berdasarkan gender Penerima Manfaat Bukan Penerima Manfaat PKH PKH Perempuan Lelaki Perempuan Lelaki 90% 94% 85% 86% Sekolah Dasar (umur 7-12) 80% 75% 78.50% 76% Sekolah Menengah Pertama (1315) 46% 49% 54% 55% Sekolah Menengah Atas (16-18) Indikator
Imunisasi (0-5) Sumber: Susenas 2014
71%
66%
64%
63.5%
78. Kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan dianggap sebagai elemen penting untuk PKH dalam pencapaian tujuan pengurangan kemiskinan. Pembayaran yang langsung ditransfer ke para ibu atau para wanita dewasa yang bertindak sebagai pengasuh keluarga PKH, memiliki premis pemberdayaan perempuan sebagai pengambil keputusan dan memastikan bahwa uang transfer dikelola dengan lebih baik. Dalam jangka panjang, PKH diharapkan dapat memberdayakan perempuan dengan memungkinkan lebih banyak anak perempuan bersekolah serta meningkatkan status kesehatan mereka. PKH dirancang untuk mengurangi bias terhadap anak laki-laki dalam mengakses pelayanan dasar dan pendidikan dengan mewajibkan bahwa semua anak-anak dari keluarga penerima manfaat, terlepas dari gender mereka, harus memenuhi persyaratan kesehatan dan pendidikan tertentu. 79. Walaupun penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa PKH memiliki dampak positif pada perilaku pendidikan dan kesehatan di kalangan perempuan, sejauh ini hanya ada sedikit bukti empiris bahwa PKH memiliki dampak pada pemberdayaan perempuan dalam hal daya tawar dalam rumah tangga, status sosial dan partisipasi tenaga kerja. Bukti anekdotal dari ESSA menunjukkan 34
bahwa penerima manfaat perempuan PKH sudah ditugaskan mengelola pengeluaran rumah tangga dari sebelumnya dan oleh karena itu penerimaan uang tunai kemungkinan tidak mengubah apa pun secara signifikan dalam struktur rumah tangga saat ini. 80. ESSA telah mengidentifikasi beberapa cara yang berpotensi untuk pemberdayaan perempuan, termasuk: i. Menyesuaikan materi penjangkauan serta sosialisasi dengan memperhatikan tingkat literasi, bahasa yang lazim/dialek, frekuensi, waktu, dll agar inklusif, dapat diakses, dan sesuai secara sosial serta budaya; ii. Isi FDS perlu mengakomodasi pelajaran praktis, terutama bagi wanita dari berbagai kelompok usia dan latar belakang. FDS perlu memperkuat fungsinya sebagai kelompok pendukung ibu-ibu; iii. Memasukkan pedoman perspektif gender serta kesetaraan gender dalam manual untuk para fasilitator; iv. Memperkuat kemitraan dengan LSM, organisasi masyarakat sipil, dan organisasi lain yang memiliki kepedulian pada isu-isu gender.
C.
MEMENUHI KEBUTUHAN MEREKA YANG RENTAN
81. Penerima manfaat PKH yang ditemui berterima kasih atas pemberian dana PKH dan menyebutkan bahwa mereka merasa dibantu dalam memenuhi kebutuhan dasar terutama dalam membayar biaya sekolah, membeli peralatan sekolah, dan makanan bayi yang bernutrisi tinggi. Korelasi antara transfer PKH dan pengeluaran kesehatan tidak banyak dilaporkan, mungkin karena perawatan kesehatan kini semakin terjangkau bagi masyarakat miskin melalui asuransi kesehatan universal (JKN). 82. Beberapa ibu yang ditemui selama kajian menyebutkan bahwa transfer PKH, walau berguna, seringkali tidak dilakukan pada waktu yang tepat, terutama ketika kebutuhan uang tunai sangat tinggi seperti saat bulan pembayaran uang sekolah atau masa pendaftaran sekolah baru ketika jumlah uang yang besar diperlukan untuk membayar biaya pendaftaran dan peralatan “Pembayaran PKH tidak pernah sekolah baru. Di sebuah sekolah dasar swasta yang datang tepat waktu, kami sering telat dikunjungi, keterlambatan dalam pembayaran PKH membayar uang sekolah …” diakui telah mempengaruhi ketepatan waktu orang tua dalam membayar uang sekolah anak-anak (Seorang Ibu,Penerima Manfaat PKH D1, NS) mereka dan akibatnya, sekolah sering harus menawarkan beberapa fleksibilitas seperti memberikan orang tua PKH waktu tambahan sampai mereka menerima transfer PKH. Namun, ini dilihat sebagai menciptakan masalah lain karena sekolah bergantung pada biaya yang dikumpulkan dari orang tua untuk membayar guru mereka serta melengkapi dana operasional BOS (Bantuan Operasional Sekolah) yang kurang31. Dalam beberapa kasus lain, ada laporan bahwa beberapa penerima manfaat PKH menjual kartu mereka atau menggunakannya sebagai jaminan kredit karena membutuhkan uang dengan cepat. 83. Kebutuhan finansial menjadi lebih besar bagi keluarga PKH ketika anak-anak mulai masuk ke sekolah menengah atas atau pendidikan tersier karena semua biaya terkait dengan sekolah seperti uang jajan, transportasi dan fotokopi dapat meningkat hingga tiga kali lipat. Terdapat suatu harapan terhadap adanya bantuan untuk pendidikan tersier karena biaya universitas cenderung memiliki porsi yang besar dalam keseluruhan biaya rumah tangga. 31
Program BOS menyediakan dana untuk sekolah-sekolah untuk pengeluaran operasional non-gaji. Hal ini bertujuan untuk mengurangi biaya sekolah serta mendukung pengeluaran terkait peningkatan kualitas untuk semua SD dan SMP umum dan swasta di Indonesia.
35
84. Kemensos baru saja meluncurkan sebuah inisiatif baru yaitu Pertemuan Peningkatan Kemampuan Keluarga atau Family Development Session (FDS)32, yang terdiri dari rangkaian kegiatan belajar kelompok dengan tema utama meliputi pengelolaan ekonomi keluarga, pengasuhan anak, kesehatandan gizi, perlindungan anak , dll. FDS bertujuan untuk mempersiapkan keluarga PKH dengan pengetahuan dan keterampilan hidup yang diperlukan untuk meningkatkan status kesejahteraan serta kesehatan mereka, terutama untuk mempersiapkan mereka pada akhir siklus enam tahun mereka agar dapat lulus dari program ini. Dari November 2014 hingga Desember 2015, FDS diujicobakan di tiga provinsi kohor 2007, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Timur. Studi pendahuluan ini melibatkan 122 kecamatan di 33 kabupaten. Inisiatif ini masih baru sehingga pemahaman tim penilai tentang kemampuan program ini dalam mengatasi tantangan yang dihadapi keluarga PKH atau relevansi program tersebut masih pada tahap awal. Akan tetapi, bukti anekdotal menunjukkan bahwa FDS diterima oleh ibu-ibu PKH secara positif, dan penerimaan tersebut cenderung bergantung pada keterampilan fasilitator dalam menyampaikan dan menyesuaikan modul FDS terhadap kebutuhan keluarga PKH. Seorang ibu PKH menyebutkan bahwa dia telah merasakan beberapa perubahan positif dalam caranya membesarkan anak setelah menghadiri beberapa sesi, dan dia menyebutkan bahwa dia berhasil mengembangkan pendekatan yang lebih konstruktif dalam mendidik anak-anaknya. 85. Sebagai sebuah inisiatif baru, FDS dapat dibuat lebih inklusif serta responsif terhadap kebutuhan penerima manfaat PKH dalam beberapa area, termasuk: FDS dianggap kekurangan sumber daya “Ketika saya melihat anak saya menghirup karena fasilitator tidak dilengkapi dengan lem, saya sangat marah dan ingin alat-alat yang diperlukan untuk membuat menghukum dia. Dulu, saya memanggil sesi lebih interaktif dan menarik. Ada materi video serta visual yang termasuk anak saya dengan kata "bajingan" dan dalam paket pelatihan, namun media apapun kata buruk yang terpikir. Tetapi ini seperti laptop atau proyektor tidak tampaknya tidak efektif karena anak saya disediakan. Oleh karena itu, fasilitator hanya berbicara balik kepadaku. Setelah harus menggunakan laptop mereka sendiri diberitahu oleh fasilitator FDS [tentang dan peserta FDS hanya bisa melihat materi cara menangani terbaik perilaku seperti video dan visual pada layar kecil. Beberapa fasilitator menyebutkan bahwa itu], saya mulai berpikir bahwa saya harus mereka mengumpulkan uang untuk mendidik anak saya dengan cara lebih membeli proyektor dan menggunakannya halus. Sejak itu, saya mulai duduk dan secara bergiliran; berbicara baik-baik dengan dia. Modul pelatihan dianggap terlalu standar Sepertinya, dia jadi mengerti saya lebih dan tidak mengakomodasi kebutuhan baik dan juga sebaliknya.…. peserta FDS yang beragam, misalnya, modul kesehatan untuk para lansia yang (Seorang Ibu, Penerima Manfaat PKH D2, menjaga anak-anak PKH. Para fasilitator NS) sering perlu memodifikasi modul dan mereka membutuhkan beberapa sumber daya bila materi baru perlu dikembangkan; Isi FDS perlu mengakomodasi pelajaran praktis; Ada kebutuhan besar untuk memperkuat keterampilan fasilitasi para fasilitator dalam mengantarkan FDS dengan baik, jadi mereka bukan sekedar memahami isi modul FDS, yang akhirnya harus sering diimprovisasi. Pelatihan para pelatih (Training of Trainers, TOTs) yang 32
FDS awalnya merupakan pendekatan pembelajaran berbasis kelompok yang diperkenalkan pada PKH pada 2012. Fasilitator menyelenggarakan pertemuan untuk sekelompok ibu-ibu dan/atau nenek-nenek yang tinggal dekat agar berbagi pemikiran dan menceritakan masalah yang dihadapi sehari-hari oleh penerima manfaat. Pertemuan pembelajaran yang biasanya dilaksanakan setiap bulan ini akhirnya diganti oleh Kemensos menjadi FDS dengan modul pelatihan yang terstruktur untuk melengkapi keluarga penerima manfaat dengan keterampilan hidup.
36
diterima para fasilitator pada permulaan dianggap tidak cukup untuk memberikan mereka kepercayaan diri yang diperlukan agar FDS dapat menjadi efektif, terutama di antara fasilitator yang baru dan muda; Khusus untuk daerah dengan prevalensi HIV/AIDS yang tinggi seperti Papua dan Papua Barat, FDS dapat digunakan sebagai platform penjangkauan demi meningkatkan kesadaran serta pencegahan HIV/AIDS.
86. Meskipun program mata pencaharian dan bantuan pendapatan seperti KUBE-PKH umumnya dianggap mendukung para penerima dalam meningkatkan status ekonomi mereka, masih ada banyak pekerjaan yang harus dilakukan demi memastikan inisiatif ini menjadi semakin inklusif dan berkelanjutan. KUBE-PKH adalah inisiatif pengembangan mata pencaharian yang telah dilaksanakan oleh Kemensos sejak tahun 1983 demi mendorong terciptanya usaha mikro berbasis kelompok melalui penyediaan modal dalam bentuk hibah senilai Rp 20 juta atau sekitar US$1.500 untuk kelompok-kelompok yang terdiri dari tujuh sampai sepuluh orang dari keluarga PKH. Pada tahun 2015, sekitar 20.000 kelompok KUBE-PKH dibentuk dan dapat menerima dana hibah KUBE. Visi program ini adalah untuk mendorong keluarga penerima yang telah memenuhi syarat untuk mendirikan usaha mikro yang berkelanjutan lalu lulus dari program PKH. Beberapa kelompok mengambil inisiatif untuk mengelola dana modal sebagai dana bergulir dan ada kewajiban bagi anggota untuk mengembalikan uang yang dipinjamkan kepada kelompok dengan sistem angsuran. Akan tetapi, peningkatan kapasitas serta pengawasan lebih lanjut diperlukan untuk mendukung kelompok KUBE-PKH agar dapat menjalankan usaha mereka secara berkelanjutan, terutama dalam manajemen bisnis dan keuangan serta kepemimpinan. Anggota KUBE-PKH melaporkan bahwa meski pendapatan rumah tangga telah meningkat akibat dukungan KUBE-PKH, keuntungan yang diperoleh hanya sedikit dan sering dipakai untuk membeli barang-barang konsumsi dan pengeluaran sehari-hari. Hal ini dapat mengancam kesehatan bisnis mereka. Target utama KUBE-PKH adalah rumah tangga PKH yang telah memiliki keterlibatan dalam kegiatan usaha. Mayoritas rumah tangga PKH tidak termasuk dalam program tersebut dan dukungan tambahan akan diperlukan, mungkin dengan modalitas yang berbeda. Ini juga dapat berperan sebagai bentuk pengendalian risiko. 87. Pada 2019, modalitas pembayaran PKH Catatan Kajian 4 diharapkan untuk transisi secara sepenuhnya Kombinasi keterpencilan serta kepadatan dari uang tunai ke rekening digital (yaitu penduduk yang rendah di beberapa daerah rekening bank, akun e-money). Penilaian terpencil di Provinsi Papua dan Papua Barat menunjukkan bahwa transisi ini lebih terkendala di mengakibatkan transportasi transportasi daerah terpencil daripada di daerah perkotaan dan terjangkau kurang tersedia. Biaya sewa sebuah pinggiran kota yang memiliki infrastruktur perahu untuk perjalanan pulang pergi dalam keuangan yang lebih maju. Dalam kasus ini, jalur sehari dapat mencapai 17-20 juta Rupiah (1300akses sangat penting untuk pengiriman pembayaran 1500 USD). Untuk area yang tidak dapat dituju non-tunai dan oleh karena itu, studi kelayakan serta dengan perahu atau transportasi darat, biaya pengujian berbagai model berbeda yang lebih lanjut tersebut meningkat dua bahkan tiga kali lipat diperlukan sebelum menerapkan model pada skala akibat perlunya menyewa pesawat prop atau penuh. Khusus untuk daerah-daerah terpencil, studi helikopter. kasus di Papua menunjukkan bahwa akses terhadap Sumber: Kajian Lingkup GIZ layanan perbankan bisa sangat terbatas dan biaya transportasi dapat menjadi penghalang bagi penerima PKH dan jasa keuangan dalam menjangkau daerah-daerah terpencil. Dua pertimbangan utama yang harus diperhitungkan termasuk, (i) aksesibilitas dan biaya yang ditanggung oleh keluarga PKH demi mencapai lokasi pembayaran, (ii) kesesuaian modalitas pembayaran, yaitu penggunaan pengenal (kata sandi/PIN), persyaratan untuk pembuatan rekening bank (identitas misalnya hukum), dll.
37
D.
KONSULTASI DAN AKSES TERHADAP INFORMASI
88. Forum Konsultasi Publik (FKP) merupakan inovasi yang diperkenalkan untuk memperkuat peran dan partisipasi pemerintahan lokal dan perwakilan masyarakat dalam mengidentifikasi penerima manfaat potensial bagi program bantuan sosial, termasuk PKH. Survei ulang dan FKP dilaksanakan untuk memperbarui BDT karena survei PPLS terakhir dilakukan pada tahun 2011 dan ada kemungkinan bahwa keadaan telah berubah sejak itu. Proses pembaruan bertujuan untuk memastikan bahwa rumah tangga yang tercantum dalam BDT telah dikategorikan sesuai dengan prediksi status kemiskinan mereka. FKP tersebut dipimpin oleh BPS dan acara konsultasi diadakan secara nasional pada tingkat desa dan kota, yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah desa, perwakilan masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya. Tujuan dari FKP adalah untuk mendapatkan verifikasi serta persetujuan perwakilan masyarakat atas pra-daftar BDT dan mengikutsertakan peserta baru yang mungkin tidak terdaftar pada BDT tingkat desa. Nama-nama yang diusulkan dan kesepakatan atas pra-daftar harus didukung oleh bupati dan/atau walikota, yang selanjutnya akan divalidasi oleh BPS melalui survei ekonomi rumah tangga untuk dimasukkan dalam BDT. TNP2K melaporkan bahwa 3.514.488 rumah tangga, atau sekitar 14,3% dari PPLS sebelumnya Data tahun 2011 telah ditambahkan ke dalam BDT (TNP2K 2015). 89. FKP mendapat tanggapan bervariasi dari pemangku kepentingan lokal. Dilaporkan bahwa FKP telah dilaksanakan tanpa koordinasi dengan pemerintahan kabupaten dan kecamatan dan tidak melibatkan pemangku kepentingan yang luas seperti yang seharusnya. Kedua, terdapat kebingungan dalam penggunaan FKP karena penentuan target PKH pada tahun 2016 dianggap tidak mencerminkan dengan tepat apa yang sebelumnya diusulkan dan tidak ada penjelasan resmi terhadap banyaknya tumpang tindih dan nama-nama yang tidak bisa diidentifikasi untuk ekspansi PKH. Di salah satu kabupaten di Kalimantan Barat, pejabat BAPPEDA melaporkan bahwa tidak semua desa terlibat dalam FKP. Ini berdasarkan laporan dari beberapa kepala desa. 90. Akses terhadap informasi dianggap kurang di Catatan Kajian 5: semua tingkatan, dan ini seringkali dikaitkan dengan Koordinator regional di salah satu kurangnya kesadaran dan pemahaman khususnya kabupaten yang didatangi mengambil tentang isu-isu penentuan target, pemilihan penerima inisiatif untuk mencetak spanduk yang bantuan, dan persyaratan keikutsertaan PKH. Orang melarang ekstorsi dan pemintaan ‘uang juga cenderung keliru antara PKH dengan program cepat’ untuk keikutsertaan dan Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) pembayaran PKH. Dia menggunakan lainnya dan bingung mengenai persyaratan PKH. sebagian gajinya untuk memasang Kebingungan tersebut cenderung menghasilkan beberapa spanduk di berbagai desa. Akan pertanyaan, keluhan, dan kecurigaan atas penyaluran dana tetapi, tidak ada dana untuk mendukung PKH. Ketika ada pertanyaan atau keluhan, orang akan inisiatif ini dan, setelah beberapa waktu, merujuk kepada para pejabat pemerintah kabupaten spanduk-spanduk tersebut memudar dan (Badan Perencanaan Daerah/BAPPEDA), fasilitator, diturunkan. kepala desa, atau penyedia layanan yang tidak selalu dapat memberi jawaban yang jelas, ini menguatkan persepsi mereka tentang kurangnya transparansi. Sebuah studi sebelumnya oleh Reality Check Approach (RCA - sebuah perusahaan riset kualitatif) menunjukkan bahwa masyarakat sering mencurigai adanya korupsi dan penyalahgunaan dana bila merasa ada ketidakjelasan dalam proses seleksi dan hak-hak mereka tapi tidak memiliki sarana dan channel untuk menyuarakan keprihatinan mereka dan meminta akuntabilitas (RCA 2015). Selain itu, banyaknya jumlah program bantuan sosial baik dari tingkat dan inisiatif lokal ditambah banyaknya perubahan yang telah terjadi cenderung membingungkan orang lebih jauh. 91. Di semua kabupaten yang dikunjungi, sumber daya yang tersedia baik dari pemerintah nasional dan daerah, sangat tidak cukup untuk menghasilkan materi sosialisasi dan 38
menyebarluaskan informasi mengenai program. Strategi sosialisasi PKH bermasalah akibat kurangnya konsistensi, sebagian karena pengaturan kelembagaan sebelumnya yang menjadikan Kementerian Komunikasi dan Informatika bertanggung jawab atas pengelolaan kegiatan sosialisasi dan penjangkauan PKH, termasuk dalam hal perencanaan dan penganggaran. Dilaporkan bahwa sistem tersebut menjadi tidak efektif akibat kurangnya koordinasi berkelanjutan antar lini kementerian . Selain itu, pembagian biaya sejumlah lima persen oleh para pemerintah kabupaten untuk mendukung biaya sosialisasi dan biaya operasional lainnya, sering dialokasikan untuk kegiatan komunikasi dan penjangkauan secara tidak merata dan proporsional. Di salah satu kabupaten yang dikunjungi, para fasilitator berinisiatif untuk menampilkan informasi melalui bahan visual seperti papan tanda dan poster dengan menggunakan dana pribadi, awalnya demi mengurangi pertanyaan dan keluhan berulang dari orang-orang yang tidak dipilih untuk masuk PKH. Namun, inisiatif tersebut tidak berlangsung lama karena tidak adanya dukungan 92. Strategi dengan target berupa peningkatan penjangkauan dan kesadaran melalui penggunaan media dan saluran komunikasi yang tepat, adalah kunci untuk membina pemahaman pemangku kepentingan mengenai program dan, dalam jangka panjang, dapat mencegah konflik yang mungkin timbul akibat salah persepsi dan kesalahpahaman mengenai program tersebut. Penilaian scoping GIZ di Papua dan Papua Barat menunjukkan bahwa langkah-langkah khusus diperlukan demi memastikan bahwa informasi program dapat diakses oleh masyarakat lokal terutama mengenai proses pemilihan penerima bantuan dan kriteria eligibilitas. Penggunaan bahasa, bahan publikasi, pemilihan fasilitator, frekuensi serta pemilihan waktu sosialisasi perlu mempertimbangkan kendala lokal dalam menyerap, mengakses dan menerima informasi. Dalam beberapa keadaan, para wanita mungkin tidak memiliki tingkat literasi yang sama dengan para pria. Selain itu, kemitraan dengan organisasi lokal dan/atau tokoh masyarakat, yang dianggap memiliki hubungan penuh kepercayaan dengan masyarakat yang ditargetkan, penting agar PKH dapat diterima secara lokal dan dianggap sah.
39
III.
KAPASITAS DAN KINERJA PROGRAM
93. Bagian ini merangkum kajian atas kapasitas instansi terkait dalam menerapkan sistem manajemen sosial program dan mengelola risiko yang terkait dengan program. A.
ORGANISASI KELEMBAGAAN DAN DIVISI TENAGA KERJA
94. Setelah perluasan program, manajemen program PKH mengalami reformasi yang membuat pelaksanaan program secara keseluruhan masuk dalam lingkup seluruh Direktorat JSK. Sebelum reformasi tersebut, pelaksanaan PKH diawasi oleh sebuah sub direktorat dalam JSK yang memiliki struktur administrasi ramping dengan tanggung jawab pelaksanaan yang sebagian besar didelegasikan kepada tim konsultan yang bertempat dalam unit pengelola program PKH (UPPKH). Integrasi PKH ke dalam struktur organik Kemensos memberikan kesempatan untuk memperkuat keberlanjutan kelembagaan program tersebut dalam jangka panjang. Akan tetapi karena program ini diberi mandat untuk memperluas dalam waktu yang relatif singkat, reorganisasi tersebut telah menambah kompleksitas dalam pengaturan pelaksanaan PKH yang termasuk pembagian kerja dan membebani kapasitas JSK dalam menjalankan program, termasuk mengelola potensi risiko setidaknya dalam jangka pendek. 95. Distribusi peran dan tanggung jawab antar unit internal JSK, khususnya dalam manajemen sehari-hari dari program ini tidak jelas dan sedang menjalani perubahan. Di bawah struktur UPPKH sebelumnya, manajemen PKH dioperasikan dengan struktur komando yang terpusat pada tiga koordinator regional, akan tetapi, struktur komando tersebut telah dibagi menjadi empat sub direktorat, tempat staf lapangan diminta untuk melapor. Demi mencapai perluasan yang hampir dua kali lipat dalam tenggat waktu yang ketat, JSK beroperasi dengan aturan ad-hoc. Berbagai tim tugas ditugaskan pada banyak tugas berbeda tanpa koordinasi yang baik .Selain itu, ada tantangan mengenai peraturan kapasitas kelembagaan dalam JSK akibat adanya beberapa staf yang baru-baru ini kembali ditugaskan. Di bawah struktur saat ini, ada risiko yang terkait dengan penataan kelembagaan yang ada yang mengalihkan prioritas pada pencapaian target yang telah ditetapkan sementara kurang ada upaya untuk mengawasi dan mengelola potensi risiko serta dampak tak terduga. 96. Pada tingkat sub-nasional, staf lokal UPPKHs yang terdiri dari personil yang dikontrak, bertanggung jawab atas pengelolaan seluruh fungsi pelaksanaan program, dan diawasi secara resmi oleh Departemen Sosial tingkat provinsi dan kabupaten. Fasilitator berinteraksi langsung dengan keluarga PKH di bawah pengawasan koordinator kabupaten. Rasio fasilitator dibanding penerima PKH bervariasi tergantung pada lokasi geografis dengan rata-rata 1:200-250. Rasio untuk pulau-pulau atau daerah yang sulit dijangkau lebih rendah. Namun, ada laporan mengenai masalah seputar rekrutmen dan retensi fasilitator, terutama di daerah terpencil, daerah tertinggal. Ada tantangan dalam bentuk tingkat pergantian staf yang tinggi (sekitar 20 persen per tahun) akibat persepsi akan kurangnya stabilitas perkerjaan, gaji rendah, jenjang karir yang tidak jelas, dan lingkungan kerja yang sulit. Pergantian staf yang tinggi berpotensi membahayakan tujuan keseluruhan program karena rasa saling percaya adalah kunci untuk dapat bekerja secara efektif dengan para penerima manfaat PKH. B.
MANAJEMEN RISIKO DAN DAMPAK
97. Fungsi pemantauan dan evaluasi (M&E) program yang bertujuan untuk melacak keluhan serta potensi dampak dan risiko belum secara resmi didefinisikan. Seperti dengan tugas utama lainnya, tim M&E beroperasi dengan cara ad-hoc dan di bawah struktur organisasi baru, unit yang seharusnya bertanggung jawab atas M&E belum didefinisikan secara jelas. Sebuah tim konsultan yang sebelumnya ditugaskan di UPPKH telah diminta mengelola tanggung jawab M&E dan saat ini ditempatkan di bawah
40
Sub Direktorat 3 (Penerima Manfaat)33. Pengaturan semacam itu mengurangi tingkat kemandirian yang diperlukan fungsi M&E dan mengakibatkan potensi adanya konflik kepentingan karena Sub Direktorat 3 menerapkan sebagian dari program. Praktek yang baik secara global adalah untuk meninggikan fungsi M&E dalam struktur hirarkis dan memastikan bahwa mereka independen dari bagian implementasi. 98. Fasilitator PKH berada di garis depan jadi ketika ada masalah implementasi serta keluhan, peran mereka menjadi sangat penting dalam keseluruhan manajemen risiko dan dampak. Para fasilitator diharuskan untuk menjalani tanggung jawab admistratif34 yang memerlukan banyak waktu dan sumber daya yang sebaiknya digunakan untuk memperkuat pekerjaan sosial mereka yang termasuk merujuk keluarga PKH pada program komplementer dan sosialisasi program, termasuk mengklarifikasi kesalahan persepsi di sekitar program. Peningkatan kapasitas fasilitator telah difokuskan pada administrasi program. Ini membuat para fasilitator meminta kapasitas tambahan yang berkaitan dengan komunikasi dan keterampilan fasilitasi, pengetahuan atas program perlindungan sosial baik di tingkat nasional dan subnasional yang dapat memperkuat hubungan dengan PKH. 99. Adanya laporan dari para fasilitator “Saya merasa takut setiap kali saya tentang masalah keamanan di beberapa lokasi terpencil yang sulit dikunjungi. Fasilitator harus melakukan perjalanan ke melaporkan bahwa rasio antara jumlah fasilitator dan sekolah tersebut. Jalanannya becek penerima manfaat kadang-kadang tidak sebanding dan saya dengar ada preman di meskipun ada diferensiasi rasio berdasarkan karakteristik geografis. Beberapa fasilitator sepanjang jalan. Sekarang, saya menyebutkan perlunya sebuah upaya untuk selalu meminta suami saya untuk melindungi keselamatan mereka karena mereka menemani saya setiap kali saya pergi sering berada di lapangan sampai larut malam. Isuisu ini cenderung lebih serius di daerah konflik seperti ke sana..." kabupaten di dataran tinggi Papua dan Papua Barat yang memiliki konflik bersenjata berkepanjangan (Fasilitator, D2, NS) yang didorong oleh operasi militer yang berat dalam menindak gerakan separatis dan konflik antar-komunal di wilayah tersebut. 100. Rendahnya tingkat pergantian di antara fasilitator senior yang tampaknya telah menemukan tempat mereka di antara masyarakat yang tinggal di lokasi penempatan mereka. Sebagian besar fasilitator ini sudah mulai pekerjaan mereka sejak peluncuran pertama PKH35. Namun, adanya tren terbalik dalam angkatan baru fasilitator dilaporkan terutama di daerah ekspansi yang memiliki tingkat pergantian karyawan yang lebih tinggi. Pelamar seringkali tidak sepenuhnya diberitahu atau menyadari tingkat remunerasi dan beberapa dari mereka yang lolos akhirnya menolak tawaran kerja setelah mengetahui 33
Sub Direktorat 3 (penerima manfaat) bertanggung jawab untuk menemukan penerima manfaat secara fisik , memverifikasi kepatuhan mereka terhadap persyaratan, dan memberikan peningkatan kapasitas kepada penerima manfaat melalui FDS. 34 Penilaian pada HRD sebelumnya, fasilitor PKH menanggung banyak sekali tanggung jawab mulai dari mempersiapkan untuk pertemuan awal dengan keluarga PKH potensial (termasuk koordinasi dengan pejabat pemerintah daerah untuk mengeluarkan surat undangan, pergi dari pintu ke pintu untuk mengatur pertemuan dengan keluarga , sosialisasi program PKH, berkoordinasi dengan kepala keluarga, kepala desa, perwakilan pendidikan dan kesehatan di tingkat lokal, dan tokoh masyarakat untuk berpartisipasi dalam pertemuan pertama), melakukan pemeriksaan ulang dan mengisi formulir validasi, membuat keputusan mengenai keikutsertaan, membuat jadwal pembayaran untuk kabupaten dengan operator dan PT Pos, membuat keputusan tentang mengeluarkan penerima manfaat dari program ini karena gagal memenuhi kriteria, hadir secara fisik ketika penerima manfaat menerima pembayaran di PT Pos agar dapat mengkonfirmasi identitas mereka secara fisik, membuat rekonsiliasi jumlah transfer yang diterima oleh masing-masing keluarga PKH untuk menutup proses pembayaran, membuat verifikasi atas kepatuhan terhadap persyaratanpersyaratan melalui kunjungan lapangan ke rumah, fasilitas pendidikan dan kesehatan, memperbarui formulir pengawasan persyaratan dan mengirimkannya untuk penyimpanan data, dan melakukan sesi peningkatan keluarga untuk keluarga PKH. Hal ini, di antara isu lain, didukung oleh percakapan-percakapan dalam dua pertemuan (April dan Juni 2016) dengan divisi SDM di tim JSK Kemensos serta latihan perencanaan pelaksanaan yang dilakukan pada misi sebelumnya. 35 Kota Medan adalah salah satu daerah pertama yang diperkenalkan dengan PKH, yaitu pada tahun 2008. Kabupaten Sergei menerima PKH mulai tahun 2013.
41
jumlah gaji yang akan diterima (rata-rata kurang dari 3 juta Rupiah atau USD 230 dengan peningkatan inkremental senilai 100.000 Rupiah atau 7,6 USD per tahun). Selain itu, ada kesalahpahaman bahwa penunjukan sebagai fasilitator PKH akan membuka jalan untuk status pegawai negeri dan ketika harapan tersebut gagal terwujud, semangat dapat menurun. 101. Fasilitator36 diperoleh secara terpusat oleh Kemensos baik selama pemilihan dan penempatan dan ini sering mengakibatkan ketidakcocokan fasilitator, keterlambatan dalam pengadaan dan kurangnya rasa kepemilikan pemerintah daerah atas pengelolaan fasilitator. Meskipun penempatan berdasarkan alamat tempat tinggal seperti yang ditunjukkan dalam kartu identitas (KTP), beberapa fasilitator ditempatkan jauh dari tempat tinggal mereka dan ada laporan bahwa ini mempengaruhi tingkat kehadiran mereka. Ketidakcocokan tersebut juga dilaporkan dapat mempengaruhi kinerja fasilitator karena kurangnya keakraban dengan konteks lokal, khususnya bahasa lokal. Sistem manajemen yang terpusat membuat peran pemerintah kabupaten dan provinsi menjadi terbatas, khususnya di bidang pengawasan dan bimbingan. Ada laporan bahwa kerangka acuan (Terms of Reference, ToR) untuk fasilitator yang telah direkrut, dikembangkan tanpa konsultasi terlebih dahulu dengan pemerintah daerah. Ini mengurangi rasa kepemilikan dan insentif untuk kolaborasi dari pihak pemerintah daerah dan pihak fasilitator. Seorang pejabat kabupaten mengeluh bahwa fasilitator yang ditugaskan di wilayahnya tampaknya hanya menganggap pemerintah daerah sebagai pengguna, bukan pemilik. Ini menjadi tantangan dalam penegakan koordinasi dan pelaporan. Selanjutnya, manajemen fasilitator yang terpusat juga dikaitkan dengan penundaan penggantian fasilitator yang mengakibatkan tidak adanya fasilitator. 102. Dokumentasi mengenai pelaksanaan GRS yang ada sampai saat ini GRS menunjukan bahwa sistemnyasystem ini harus dikembangkan lebih lanjut. Sistem tersebut dirancang untuk menggunakan beberapa channel, termasuk pelaporan lewat pertemuan langsung, faks, e-mail, telepon, atau aplikasi online yang dikembangkan oleh UPPKH pusat. Rancangan GRS pada saat ini menunjukkan bahwa keluhan atau masalah yang terkait dengan pelaksanaan di lapangan akan ditindaklanjuti berdasarkan wilayah oleh petugas di unit UPPKH terdekat. Akan tetapi, kurangnya otoritas dan kapasitas dalam mengatasi keluhan di tingkat lokal telah membuat program GRS tidak efektif. 103. Berdasarkan laporan PKH 2016 GRS, keluhan yang diterima oleh kantor PKH pusat dikategorikan dengan cara berikut: informasi dan pertanyaan (33%), data penerima PKH (28%), Korupsi, kolusi dan nepotisme (23%) dan pembayaran pengiriman (18%). Melengkapi ini dengan anekdot dari kunjungan lapangan yang dilakukan untuk ESSA, mayoritas keluhan adalah kategori pertama, seputar mengapa beberapa keluarga tidak termasuk dalam program ini dan bagaimana mereka dapat menjadi anggota program ini.37Laporan ini juga menunjukkan tantangan-tantangan
Catatan Kajian 6: Rasa ketidakadilan serta nepotisme yang berkaitan dengan distribusi manfaat SA dilaporkan telah memicu konflik komunal di beberapa kabupaten di Papua dan Papua Barat yang memiliki sejarah konflik bersenjata yang panjang. Di distrik Kaimana dan Raja Ampat, ada laporan mengenai demonstrasi yang dilakukan oleh anggota masyarakat yang tidak puas karena merasa bahwa distribusi KKS (Kartu Kesejahteraan Sosial - tanda pengenal dasar bagi rumah tangga miskin) condong terhadap keluarga pendatang dan suku lain yang dianggap lebih sejahtera dibandingkan anggota suku setempat. Konflik seperti ini sering terjadi dengan adanya latar belakang ketegangan berkepanjangan antara masyarakat lokal dan para pendatang.
utama berkaitan dengan pelaksanaan GRS, seperti tanggapan yang tidak tepat waktu, kurangnya integrasi dengan MIS, dan kurangnya informasi serta kesadaran antara penerima PKH atas jalan dan channel yang tersedia untuk penanganan keluhan.
36
37
Saat ini, propinsi Sumatra Utara memiliki 1400 fasilitator yang tersebar antara 3 daerah.
MoSA 2016 Laporan SPM (GRS)
42
104. Tidak ada mekanisme penanganan keluhan yang dapat digunakan oleh pemerintahan kabupaten dan provinsi untuk mengelola keluhan atau memberikan umpan balik kepada penyampai keluhan tentang status keluhan mereka. Pada teorinya, keluarga PKH dan anggota masyarakat dapat menyampaikan keluhan mereka ke fasilitator. Merekayang bertanggung jawab untuk mencatat keluhan yang diterima dengan mengisi formulir standar dan menyampaikan keluhan ke departemen terkait di Kementerian Sosial untuk diselesaikan lebih lanjut. Petunjuk operasional untuk pelaporan keluhan dan penanganannya telah tersedia, akan tetapi hal ini dilaporkan tidak berjalan dan tidak efektif. Sebagai tambahan, sistem yang ada tidak memberikan ruang bagi masyarakat untuk menyampaikan keluhan mereka secara anonim. 105. Dilaporkan bahwa beberapa orang tidak “Tidak sepantasnya kami bertanya nyaman atau tidak berani menyampaikan keluhan. RCA (2015, p. 36) Temuan menunjukkan karena kami tidak berpendidikan…” beberapa orang menahan diri dari mengajukan (Penerima Manfaat SA, rumah tangga RCA, pertanyaan tentang bantuan sosial karena khawatir dianggap sebagai orang miskin atau yang SL) membutuhkan, atau takut dianggap mencampuri otoritas orang lain. Hal ini menunjukkan kemungkinan bahwa indikator GRS tidak cukup untuk menginformasikan masalah seputar pelaksanaan program jadi upaya lebih lanjut untuk mengidentifikasi risiko perlu dibuat, mungkin melalui M&E. 106. Pemerintah daerah memiliki kapasitas terbatas dalam penanganan keluhan pada tingkat lokal karena sistem manajemen pada saat ini sangat terpusat. Keluhan hanya dicatat di Dinas Sosial Kabupaten/Provinsi dan langkah tindak lanjut tidak dapat dimobilisasi secara efektif. Kurangnya otoritas dianggap bermasalah karena protes serta ketidakpuasan masyarakat sering ditargetkan pada pemerintah daerah (Dalam kebanyakan kasus, Dinas Sosial dan kadang-kadang, Badan Perencanaan Daerah/BAPPEDA). Keluhan tersebut sering dibiarkan sementara pemerintah daerah tampaknya enggan untuk mengambil tanggung jawab penuh atau dibuat bertanggung jawab atas program yang hanya melibatkan mereka secara terbatas. Ada laporan bahwa kantor Dinas Sosial di Kabupaten Tolikara dibakar oleh demonstran yang marah karena merasa bahwa distribusi bantuan sosial tidak adil dan mementingkan kelompok tertentu. 107. Dengan perluasan PKH baru-baru ini, kenaikan dalam jumlah keluhan harus diantisipasi dan GRS yang berfungsi dengan lebih baik sangat penting demi mempertahankan legitimasi dan kepercayaan sosial terhadap program. Saran-saran berikut ini mungkin dapat berlaku untuk GRS: Kemampuan GRS untuk dimanfaatkan secara optimal dan menanggapi keluhan secara efektif bergantung pada berbagai faktor. Selain ketersediaan sumber daya dan kapasitas lokal untuk mengelola sistem, kejelasan mengenai apa yang dapat diselesaikan pada tingkat lokal oleh pemerintah provinsi kabupaten sangat diperlukan. Karena sebagian besar keluhan yang dilaporkan berasal dari masalah pengecualian, ada kebutuhan yang kuat untuk meninjau mekanisme serta strategi penentuan target demi memastikan bahwa proposal penerima baru dari kabupaten dapat diakomodasi secara tepat waktu; SOP GRS yang disepakati perlu dikembangkan dalam konsultasi dengan pemerintah daerah; Pemilihan sarana GRS harus mempertimbangkan aksesibilitas dan biaya peluang untuk pengadu dalam mengajukan pengaduan (yaitu, prosedur yang disederhanakan, kerahasiaan, tidak ada tolakan ke belakang, dll) dan; Sosialisasi program GRS harus dilakukan dengan cara yang berulang dan terus menerus, bukan hanya sekali dan sumber daya yang memadai harus dialokasikan ke penyebaran informasi. C.
KOORDINASI DENGAN PEMERINTAH SUB-NASIONAL
43
108. Koordinasi yang lebih kuat dengan pemerintah daerah sangatlah penting demi memperkuat fungsi pengawasan program dan agar penerima PKH dapat memiliki akses yang memadai terhadap layanan kesehatan dan layanan dasar yang dibutuhkan. Kemensos secara resmi telah meminta kerja sama serta dukungan dari pemerintah sub-nasional untuk memperkuat pelaksanaan PKH melalui surat dari Direktorat Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial. Surat tersebut meminta kontribusi pembagian biaya dari pemerintah sub-nasional yang dipatok pada tingkat lima persen dari total transfer PKH untuk tiap kabupaten. Namun, pemerintah daerah merasa bahwa mereka kurang terlibat dalam pengelolaan PKH dan peran serta tanggung jawab mereka kurang jelas. Hal ini dilaporkan telah mempengaruhi tingkat kepemilikan dan jumlah kontribusi pemerintah daerah. Meskipun belum ada statistik komprehensif pada saat ini, tingkat kontribusi pemerintah sub-nasional untuk PKH tidak merata. Ketergantungan terhadap tim konsultasi di kantor UPPKH lokal kemungkinan akan tetap terjadi mengingat banyaknya laporan atas kurangnya rasa kepemilikan dan kurangnya staf pemerintah yang didedikasikan untuk mendukung pelaksanaan PKH. 109. Kurangnya kejelasan atas tanggung jawab, wewenang untuk membuat keputusan dan rasa kepemilikan antara pemerintah sub-nasional telah mengurangi efektivitas GRS pada tingkat lokal, sesuatu yang ingin diperkuat rancangan saat ini. Hal ini menunjukkan bahwa mengklarifikasi peran pemerintah daerah, termasuk delegasi wewenang merupakan prasyarat untuk GRS untuk dapat menangani keluhan di tingkat lokal. Namun, tugas-tugas tersebut dapat memerlukan proses negosiasi politik yang panjang agar bisa terjadi. Dalam jangka pendek, koordinasi GRS sangatlah penting dan staf lokal UPPKH perlu dilengkapi dengan kapasitas dan kewenangan untuk dapat mengatasi keluhan secara lokal. 110. Komunikasi dan pembagian informasi yang tidak efektif diduga sebagai sebab kurangnya pemahaman dan kesadaran akan PKH antara berbagai institusi lokal yang merupakan pemangku kepentingan. Kesalahan persepsi tentang tujuan serta modalitas program dilaporkan sebagai hal yang lazim di antara staf dari dinas kesehatan, pendidikan dan sosial setempat, serta penyedia layanan. Selama penilaian, ada beberapa skeptisisme tentang manfaat PKH dan program ini sering dianggap dapat membuat rasa puas diri secara tidak sengaja dan kurang berhasil dalam menargetkan rumah tangga yang paling layak. Hal ini menunjukkan bahwa penguatan koordinasi sering melibatkan strategi untuk meningkatkan sosialisasi dan proses konsultasi di antara kelompok pemangku kepentingan lokal yang secara langsung bertanggung jawab atas pelayanan kesehatan dan pendidikan. 111. Sulit untuk memastikan seberapa aktif badan-badan koordinasi tingkat nasional selama ini dan seberapa penting peran mereka telah dalam meningkatkan koordinasi lintas sektoral. Namun, pada tingkat lokal, informasi yang tersedia 38 menunjukkan bahwa kemungkinan besar bmereka tidak sepenuhnya berfungsi. Dalam rangka meningkatkan akses keluarga penerima manfaat PKH terhadap manfaat dan layanan komplimenter, Kemensos baru-baru ini menerbitkan Keputusan Menteri yang lebih mewajibkan seluruh manfaat dan layanan yang menargetkan kelompok miskin dan rentan untuk menggunakan basis data terpadu demi penentuan target (Kemensos telah bekerja dengan Kementerian Pendidikan dan Kesehatan mengenai PIP dan PBI untuk menyinkronkan data atau memberikan akses prioritas kepada penerima manfaat PKH). 112. Terakhir, perubahan terbaru dalam rancangan PKH yang memberikan akses kepada kelompok lansia/difabel terhadap manfaat dan memfasilitasi akses penerima manfaat terhadap seperangkat program komplementer, perlu diperjelas dan perlu menyediakan spesifikasi atas pengaturan kelembagaan. Dalam rangka meningkatkan akses keluarga penerima PKH terhadap manfaat dan layanan komplementer, Kemensos baru-baru ini menerbitkan Keputusan Menteri yang mengharuskan seluruh manfaat dan layanan yang menargetkan kelompok miskin dan rentan harus menggunakan basis data yang terintegrasi demi penentuan target. 38
Termasuk studi 6 provinsi oleh GIZ
44
IV. A.
KAJIAN DAMPAK, PENILAIAN RISIKO DAN RENCANA KERJA
DAMPAK SOSIAL YANG TERKAIT DENGAN PKH
113. Serangkaian evaluasi atas dampak PKH (2011)39 yang menggunakan Randomized Control Trials (RCT) mengindikasikan bahwa PKH telah menyebabkan dampak positif pada perilaku kesehatan, pendaftaran sekolah serta konsumsi dan investasi keluarga miskin dalam hal pendidikan40. Dampak tersebut mungkin dapat dikaitkan dengan persyaratan-persyaratan kesehatan dan pendidikan yang harus dipatuhi para penerima manfaat agar dapat tetap layak menjadi penerima manfaat. Dampak tersebut cenderung lebih terlihat di daerah dengan persediaan layanan kesehatan dan pendidikan yang lebih banyak. 114. Hasil RCT mengindikasikan bahwa program ini memiliki dampak positif pada penggunaan layanan kesehatan primer. Kemungkinan menyelesaikan kunjungan pemeriksaan sebelum dan sesudah kelahiran lebih tinggi di antara rumah tangga PKH dengan masing-masing kenaikan 9 persen dan 10 persentase. Ada laporan mengenai dampak imbas yang merupakan beberapa perubahan dalam perilaku kesehatan rumah tangga para tetangga yang tidak menerima transfer uang tunai. 115. PKH dilaporkan memiliki dampak positif "Saya bekerja sebagai pelayan di pada penggunaan layanan pendidikan dan dampak tersebut jauh lebih besar bagi mereka sebuah cafe dan biasanya pulang yang telah mengikuti sekolah daripada mereka setelah tengah malam. Saya selalu yang tidak. Bukti anekdotal menunjukkan bahwa terlambat datang ke sekolah..." kemungkinan siswa PKH untuk lanjut ke pendidikan sekunder lebih tinggi dari pada siswa non-PKH. (Murid SMA PKH, D2 NS) Akan tetapi, korelasi tersebut cenderung menghilang setelah siswa PKH lulus sekolah menengah atas, diperkirakan karena biaya terkait pendidikan tersier yang tinggi, tidak adanya komponen pembayaran untuk mahasiswa perguruan tinggi dan faktor lain seperti keinginan untuk bekerja atau persepsi bahwa telah memiliki pendidikan yang cukup. 116. Menerima PKH sepertinya tidak memiliki korelasi dengan keputusan orang tua untuk memastikan pembayaran biaya sekolah yang tepat waktu dan pengurangan jumlah buruh anak, diperkirakan karena terlambatnya transfer dan sedikitnya jumlah transfer yang diterima. . Karena pembayaran PKH kemungkinan besar diserap biaya rumah tangga lain yang belum tentu terkait dengan kesehatan dan pendidikan, fakta bahwa pembayaran PKH seringkali tidak dilakukan bersamaan dengan tahun akademis sekolah dapat memberikan risiko tertentu terkait dengan penggunaan transfer tunai tersebut. Di salah satu sekolah swasta yang dikunjungi, guru-guru melaporkan bahwa orang tua PKH tidak selalu menggunakan uang dari transfer tunai untuk membayar uang sekolah anak-anak mereka dan ini Lihat World Bank (2011), “Program Keluarga Harapan: Hasil temuan Utama dari Impact Evaluation of Indonesia’s Pilot Household Conditional Cash Transfer Program’, dan TNP2K (2015), “Evaluation Longer-Term Impact of Indonesia’s CCT Program: Evidence from a Randomized Control Trial.” Publikasi akhir yang akan datang. 40 Hasil dari evaluasi ini menunjukkan bahwa program PKH secara langsung mengakibatkan kenaikan investasi dalam pendidikan dan p erilaku sehat sambil mendukung anggaran konsumsi. Evaluasi midline menunjukkan bahwa PKH bertanggung jawab atas peningkatan yang signifikan secara statistik dalam perawatan sebelum kelahiran yaitu sebanyak sembilan persen sementara proses kelahiran bayi yang terjadi dalam sebuah fasilitas atau dihadiri oleh seorang profesional telah meningkat sebanyak lima persen. Perawatan pasca kelahiran meningkat hampir sepuluh persen sementara, imunisasi, dan pemeriksaan untuk memantau pertumbuhan masing-masing meningkat tiga persen dan 22 persen. Kemungkinan anak menerima imunisasi juga meningkat sebesar tujuh persen, sementara kasus stunting berat (tinggi berbanding usia) mengalami penurunan sebesar tiga persen. PKH meningkatkan kunjungsn neonatal sebanyak 7,1 persen tetapi tidak memiliki dampak yang signifikan pada kunjungan rawat jalan atau asupan tablet besi. Dalam hal pendidikan, menurut hasil end-line ada peningkatan yang signifikan secara statistik yaitu kenaikan dua persen pada tingkat partisipasi gross untuk SD dan kenaikan hampir sepuluh persen pada tingkat partisipasi gross untuk SMP. Kemungkinan seorang anak PKH untuk melanjutkan ke sekolah menengah meningkat sebesar 8,8 persen tapi PKH tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap penurunan pekerja anak. 39
45
mempengaruhi persepsi mereka tentang manfaat program. Sama halnya, hanya ada sedikit korelasi yang diamati terkait dengan partisipasi dalam program dan kemungkinan dan jumlah jam yang dihabiskan siswa untuk bekerja setelah jam sekolah. 117. Transfer PKH dianggap sebagai "hadiah kecil" dari pemerintah dan jumlah rata-rata per transfer sering dianggap tidak seberapa dibanding biaya rumah tangga secara keseluruhan (RCA 2015, p. 17). Tingkat manfaat PKH dinaikkan pada awal tahun 2015 dan 2016, dengan jumlah transfer tahunan per rumah tangga yang maksimum Rp 3,7 juta (US$ 284) dan minimum Rp 800.000 (US$ 61) lihat tabel 7. Biaya sekolah merupakan beban utama dalam rumah tangga PKH dan biaya naik secara eksponensial dengan kenaikan ke kelas yang lebih tinggi. Meskipun pendidikan publik dari SD hingga SMA seharusnya gratis, biaya lain yang terkait dengan transportasi, uang saku, kontribusi kepada komite manajemen sekolah serta tunjangan untuk guru honor dan biaya wajib lainnya seringkali jauh melebihi jumlah yang diterima rumah tangga PKH dari transfer PKH. Tabel 7: Komponen Pembayaran PKH Komponen Pembayaran Pembayaran dasar (tetap, tanpa terikat persyaratan) Anak-anak berusia <6 atau ibu-ibu yang sedang hamil atau menyusui Anak-anak yang berada di sekolah dasar (SD/MI/Paket A) Anak-anak yang berada di sekolah menengah atas (SMP/MT/Paket B) Anak-anak yang berada di sekolah menengah atas (SMA / MA / Paket C) Anggota rumah tangga yang difabel berat Lansia di atas 70 tahun Sumber: Adaptasi dari World Bank (2012) dan Kemensos (2015) 118. Pembayaran langsung ditransfer ke para ibu atau para wanita dewasa yang bertindak sebagai pengasuh untuk keluarga PKH dengan premis untuk memberdayakan perempuan sebagai pengambil keputusan dan memastikan bahwa uang transfer dikelola dengan lebih baik. Laporan World Bank Impact Evaluation of the Pilot PKH (2011, p. 38)41 mengindikasikan terjadinya sejumlah pemberdayaan setelah membuat perempuan berwenang atas pengelolaan transfer PKH. Akan tetapi, karena jumlah yang relatif kecil dibandingkan dengan pengeluaran bulanan rumah tangga dan fakta bahwa perempuan yang ditemui selama kajian seringkali sudah bertanggung jawab atas pengelolaan pengeluaran rumah tangga dari sebelumnya, kajian lebih lanjut diperlukan demi mengerti dampak modalitas pembayaran PKH atas pemberdayaan perempuan.
Jumlah tahunan (IDR) 500.000 1.200.000 550.000 750.000 1.000.000 3.100.000 1.900.000
“Kadang-kadang keberuntungan datang tiba tiba seperti durian runtuh, namun musim berubah menjadi tak terduga baru-baru ini. Saat ini, ada lebih banyak hari buruk daripada hari baik dibanding masa lalu. Kita kadang-kadang harus mencari nafkah dengan menjual ikan kecil atau bekerja sebagai buruh bayaran di pelabuhan " (Penerima manfaat KPH, seorang janda dengan satu cucu yang terdaftar dalam PKH, Kabupaten 2 NS)
World Bank (2011), “Program Keluarga Harapan: Temuan utama dari Impact Evaluation of Indonesia’s Pilot Household Conditional Cash Transfer Program’ 41
46
119. Hasil agregasi dari sebuah RCT (2015)42 mengindikasikan bahwa tidak ada banyak bukti bahwa transfer PKH mematahkan semangat kerja, baik untuk laki-laki atau perempuan, atau mendorong pengeluaran yang lebih besar pada barang godaan seperti alkohol dan tembakau. Jumlah transfer PKH menjadi kecil jika tersebar antara anggota rumah tangga dan biaya sehari-hari sepanjang tahun, PKH mungkin tidak memberikan cukup insentif bagi rumah tangga untuk mengurangi pekerjaan atau mengkonsumsi lebih banyak tembakau dan alkohol, akan tetapi temuan tersebut perlu triangulasi lebih lanjut. Temuan kualitatif dari RCA (2015) mengindikasikan bahwa transfer PKH dihabiskan untuk makanan, barang habis pakai dan biaya sehari-hari lainnya. 120. Beberapa penyedia layanan dilaporkan telah menagih keluarga PKH dan/atau fasilitator dengan biaya untuk mempercepat proses "uang cepat" atau biaya untuk layanan yang mereka biasa sediakan atau untuk menandatangani formulir verifikasi. Kegiatan verifikasi dilakukan bersama-sama antara fasilitator PKH dan para penyedia layanan. Fasilitator PKH diharuskan untuk membuat konfirmasi secara langsung dengan cara mengunjungi sekolah, puskesmas, rumah sakit atau bertemu dengan penyedia layanan untuk konfirmasi bahwa ibu-ibu dan anak-anak dari rumah tangga PKH telah memenuhi persyaratan yang diperlukan. Dalam salah satu kabupaten yang dikunjungi, ada bukti anekdotal yang mengindikasikan bahwa biaya tambahan, meskipun dalam jumlah kecil antara 2000 dan 5000 Rupiah atau 15 dan 38 sen US$, diminta oleh bidan untuk setiap pemeriksaan kesehatan atau verifikasi persyaratanpersyaratan. Kajian lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui apakah PKH memiliki korelasi dengan biaya tambahan yang ditagih para penyedia layanan untuk layanan yang mereka biasa berikan. 121. Beberapa ketegangan yang berasal dari seleksi penerima manfaat dan verifikasi telah dilaporkan. Ketegangan tersebut sering kali mencakup: (a) mereka yang menerima PKH dengan mereka yang tidak, (b) mereka yang dianggap cukup mapan tetapi masih menerima PKH dengan anggota masyarakat lain, (c) anggota masyarakat dengan staf pemerintah atau fasilitator, (d) pimpinan desa dengan anggota masyarakat yang tidak puas, (e) pimpinan desa dengan pemerintah staf atau fasilitator. Ketegangan tersebut dapat dikaitkan terhadap kurangnya pemahaman dalam proses pemilihan, tanggapan yang diterima tidak konsisten dan tidak ada penyelesaian atas masalah. Beberapa keluhan terkait dengan pengurangan pembayaran karena kurangnya kepatuhan juga telah dilaporkan, dan ini kembali seringkali berakar dari kurangnya pemahaman atas hak, persyaratan dan sanksi. B.
PENILAIAN RISIKO SOSIAL
122. Risiko sosial bagi Transfer Tunai Bersyarat PKH adalah menengah (medium). Program ini mendorong inklusi dengan memperluas cakupan pada kelompok populasi yang paling rentan (seperti kelompok difabel, masyarakat adat). Risiko sosialnya umumnya terkait dengan kapasitas program dalam menentukan target dengan tepat pada penerima manfaat keluarga miskin, pelibatan masyarakat dan penggunaan jalur komunikasi yang sesuai, penerapan Sistem Penanganan Keluhan (Grievance Redress System, GRS) serta penetapan lingkungan yang kondusif untuk membantu keluarga PKH dalam memanfaatkan bantuan tunai untuk meningkatkan kesejahteraan, kesehatan dan pendidikan mereka.
Banarjee A, Hanna R, Kreindler G, Olken BA (2015), “Debunking the Stereotype of the Lazy Welfare Recipient: Evidence from Cash Transfer Programs Worldwde”, Center for International Development, Harvard University. 42
47
Tabel 8: Risiko Utama dan Usulan Langkah Mitigasi No. Deskripsi Risiko Langkah Mitigasi 1. Penyertaan kelompok yang - Sebuah tinjauan atas persyaratan dan protokol termarginalisasi, terutama di verifikasi terutama di daerah terpencil dan daerah daerah-daerah terpencil yang kurang layak untuk mengakomodasi kendala dalam memiliki keterbatasan dalam persediaan. Saat ini, sebuah road map untuk inklusi pasokan sosial sedang dibahas di bawah Sub Direktorat penerima manfaat. Bahasan ini mencakup penguatan Kenaikan skala PKH dari 3,5 juta sistem MIS dan peran fasilitator agar memiliki menjadi 6 juta keluarga kapasitas yang memadai untuk mengakomodasi menyediakan risiko implementasi kebutuhan baru. mengenai inklusi kelompok rentan, - Memperjelas peran dan tanggung jawab dan kualitas pelaksanaan program serta memperkuat koordinasi dengan pemerintah lokal fasilitasi, kelengkapan, penanganan untuk mendukung akses ke pelayanan kesehatan dan keluhan, pengawasan, dll. Masalah pendidikan dasar, operasi program, dan pengawasan; ini lebih relevan di lokasi terpencil, - Membangun kapasitas fasilitator agar dapat bekerja tujuan perluasan PKH . Kurangnya dengan masyarakat yang memiliki berbagai latar akses ke pelayanan kesehatan dan belakang sosial, ekonomi dan budaya yang berbeda. pendidikan dasar mungkin dapat dan merampingkan peran fasilitator dan sistem merugikan penerima PKH karena manajemen kinerja dengan penekanan pada kerja pendaftaran mereka dapat sosial dan tanggung jawab fasilitasi. diberhentikan jika mereka terus- Memperkuat fungsi GRS (poin 2) dan strategi menerus gagal memenuhi komunikasi (poin 3). persyaratan-persyaratan. Isu tersebut kemungkinan akan menjadi lebih besar dalam konteks manajemen program yang lemah, koordinasi serta pengawasan yang kurang. 2. Sistem Penanganan Keluhan - Mengembangkan dan menguji model-model sistem (GRS) yang lemah dan tidak penanganan keluhan (GRS) yang mudah diakses dan efektif. dapat menjaga kerahasiaan pelapor (confidentiality); - Mengembangkan dan menguji modul GRS dan Saat ini, program GRS sedang dalam manual operasi di MIS untuk memastikan bahwa pengembangan dan sebuah keluhan direkam dan dianalisis secara konsisten; perbaikan besar sedang - Merancang dan merumuskan sebuah unit atau mitra, direncanakan. Sampai saat ini, GRS yang secara idealnya independen dari fungsi belum efektif akibat kurangnya implementasi dengan pengaturan struktur dan otoritas dan kapasitas untuk koordinasi yang jelas dengan JSK dan UPPKHs mengatasi keluhan pada tingkat lokal; lokal. - Memperkuat peran fasilitator dan operator dalam operasi GRS; - Mengembangkan dan menerapkan strategi komunikasi dan sosialisasi yang komprehensif di GRS. Sarana dan pendekatan komunikasi harus memperhatikan tingkat literasi, bahasa yang lazim/dialek, frekuensi, waktu, dll agar inklusif, dapat diakses, dan sesuai secara sosial serta budaya; - Memperjelas dan menyepakati struktur GRS yang mencakup aspek serta kasus yang harus diselesaikan secara lokal. Ini termasuk pelimpahan peran dan 48
3.
4.
Kurangnya kepekaan terhadap norma-norma lokal dan pelaksanaan (delivery) program yang kurang baik. Pengadaan yang terpusat dilaporkan telah mengakibatkan kasus-kasus penempatan fasilitator yang kurang cocok, misalnya fasilitator tidak tahu tentang konteks lokal atau tinggal di lokasi yang terlalu jauh. Komunikasi program yang tidak efektif Akses terhadap informasi dianggap kurang di semua tingkatan, dan ini seringkali dikaitkan dengan kurangnya kesadaran dan pemahaman khususnya ada isu-isu penentuan target, pemilihan penerima bantuan, dan persyaratan keikutsertaan dalam PKH.
5.
Kesalahan dalam penentuan target
-
-
-
-
-
Dengan perluasan program, eksklusi program diperkirakan akan menurun. Akan tetapi, risiko terkait kesalahan dalam penentuan target dan pengawasan teknik yang lemah dapat membesar saat JSK menjalani reformasi kelembagaan.
6.
Memperburuk konflik dan/atau ketegangan Kendala utama dalam menegakkan pengawasan atas pelaksanaan adalah kurangnya sumber daya manusia dan dana finansial untuk menanggapi risiko dan dampak sosial. Peran fasilitator tidak didefinisikan dengan baik dan tidak ada sarana yang
-
-
wewenang kepada badan pelaksana lokal yang termasuk pemerintah sub-nasional dan tim konsultasi; Melatih dan membimbing para fasilitator mengenai pemahaman lintas budaya Saat memungkinkan, pekerjakan orang lokal yang memiliki tingkat kompetensi yang cukup atau orangorang yang cukup mengerti konteks lokal untuk memfasilitasi program; Memasukkan konsultasi dan latihan inventarisasi dalam kegiatan M&E demi mendapatkan masukan dan saran dari penerima manfaat tentang pelaksanaan program. Mengembangkan dan menguji strategi komunikasi demi memastikan bahwa ada sosialisasi, diseminasi informasi program, dan dokumentasi yang berkelanjutan. Informasi tentang penentuan target, termasuk proses dan kriteria, harus dikomunikasikan ke tingkat masyarakat secara jelas. Ini berpotensi mengurangi pengaduan dan keluhan yang seringkali terkait dengan pemilihan penerima manfaat; Merekrut tim spesialis komunikasi untuk mengembangkan modul pelatihan juga memfasilitasi sesi pelatihan tentang strategi komunikasi kepada pihak pelaksana; Memperkuat pengawasan dan keahlian teknis dalam tim penentuan target; Memperkuat pelaksanaan GRS (poin 2) dan menguji strategi komunikasi program (point3) didukung dengan pembangunan kapasitas dan sosialisasi untuk pihak pelaksana; Memfasilitasi koordinasi dan memperkuat keterlibatan dengan pemerintah sub-nasional dan pemangku kepentingan lokal lainnya baik negeri maupun swasta untuk memobilisasi upaya untuk memastikan inklusi kelompok marginal dan menjawab masalah eksklusi (misalnya kurangnya dokumentasi, tidak disurvei, tidak memiliki akses ke pelayanan kesehatan dan pendidikan dasar ) Meninjau persyaratan anggaran untuk M & E, termasuk personil, perjalanan, sosialisasi, peningkatan kapasitas, pelacakan keluhan, dan dokumentasi; Menugaskan tim spesialis sosial dalam JSK untuk mengawasi risiko dan dampak juga memberi nasihat tentang tanggapan dan langkah-langkah mitigasi; Penguatan fungsi M&E dengan tanggung jawab GRS yang beroperasi secara independen dari pihak
49
efektif untuk mengerjakan tanggung jawab pekerjaan sosial, seperti sosialisasi program dan menanggapi pertanyaan serta keluhan.
-
pelaksana. Fungsi tersebut juga perlu dicerminkan di UPPKHs lokal; Menetapkan protokol untuk pengawasan dan pelaporan dan pencatatan keluhan di MIS GRS; Memperkuat kapasitas fasilitator dan operator agar dapat melakukan fungsi pengawasan dan menanggapi dan/atau meningkatkan keluhan pada waktu yang tepat.
50
C.
RENCANA KERJA PROGRAM Berdasarkan temuan ESSA, matriks berikut menguraikan tindakan yang diusulkan untuk meningkatkan manajemen risiko program dan dampak sosial, bersama dengan bertanggung jawab sub-direktorat / unit dalam Depsos dan jadwal indikatif.
Prinsip Utama Prosedur dan proses program dirancang untuk:
Kesenjangan Berikut adalah kesenjangan terkait pengelolaan risiko dan dampak yang telah diamati: Memasukkan langkah-langkah a. GRS saat ini tidak efektif untuk pengelolaan lingkungan dan menangkap dan menanggapi sosial untuk: keluhan; a. menghindari, meminimalisasi b. Komunikasi dan sosialisasi atau mengurangi efek samping; program tidak ramping (berada di b. mempromosikan inklusi sosial bawah beberapa pengaturan dan keberlanjutan; koordinasi) dan kekurangan c. mempromosikan transparansi; sumber daya; d. mempromosikan konsultasi c. Fungsi M&E tidak jelas dan tidak atas dasar informasi di awal beroperasi secara independen dari tanpa paksaan berkaitan fungsi pelaksanaan; dengan manajemen risiko dan dampak sosial program; Melindungi masyarakat dan staf a. Proses dan prosedur yang terkait program terhadap risiko yang dengan program (mis. penargetan, terkait dengan program, pemilihan penerima manfaat, termasuk: persyaratan, protokol verifikasi) a. ketegangan dan perselisihan tidak sepenuhnya diketahui antar karena masalah eksklusi; berbagai kelompok pemangku b. kecurangan dalam penggunaan kepentingan termasuk pemerintah transfer tunai; lokal dan masyarakat; c. kurangnya keamanan pribadi b. Kurangnya perhatian dan langkahlangkah untuk menjaga keselamatan fasilitator; c. Dalam beberapa kasus, keluarga PKH harus melakukan perjalanan
Tindakan a. Mengembangkan dan menguji sistem penanganan keluhan (GRS) terstandarkan yang mencakup: - Menempatkan staf khusus dan menetapkan peran dan tanggung jawab di semua tingkatan (pusat versus pelaksanaan subnasional) terkait dengan penanganan keluhan; - Melakukan sosialisasi dan memberikan pelatihan mengenai sistem GRS baru termasuk mengalokasikan sumber daya khusus untuk komunikasi danpenjangkauan ; - Memasukkan indikator GRS ke dalam Sistem Informasi Manajemen b. Mengembangkan suatu strategi komunikasi
Komentar Telah dimasukkan dalam DLI (#3). GRS akan dirancang dan dikembangkan pada tahun 2017 dan diujicobakan pada tahun 2018. Penanggung Jawab: Tim pemantauan dan evaluasi JSK
Sudah masuk pada Kerangka Hasil. Strategi komunikasi program akan dikembangkan pada tahun 2017 dan diujicobakan pada tahun 2018. Penanggung Jawab: Sub Direktorat Sumber Daya
51
Mempromosikan akses yang adil terhadap manfaat PKH dengan cara yang sesuai secara sosial dan budaya dan menanggapi kebutuhan dan keprihatinan orang-orang dan kelompok yang terpinggirkan
jauh ke tempat pembayaran dengan untuk pemerintah tingkat potensi risiko keamanan; pusat dan daerah untuk memastikan bahwa e. Persyaratan dan protokol aspek-aspek berikut verifikasi untuk kelompok dilaksanakan (i) staf lansia dan difabel berat tidak khusus/spesialis jelas; komunikasi (ii) alokasi f. Upaya kepatuhan terhadap sumber daya, (iii) persyaratan-persyaratan bisa kegiatan pelatihan, menjadi tantangan utama bagi penjangkauan serta penerima manfaat PKH dari pengembangan daerah dengan persediaan kapasitas. Sebagai terbatas untuk tetap berada bagian dari strategi ini, dalam program; sangatlah penting untuk g. Akibat pengadaan yang memasukkan materi terpusat, beberapa fasilitator mengenai komunikasi ditempatkan di lingkungan antar budaya serta yang asing bagi mereka dan kesadaran dan mereka tidak memiliki manajemen risiko pengetahuan lokal dan (termasuk GRS, strategi keterampilan untuk dapat komunikasi) ke dalam berinteraksi dengan keluarga modul pelatihan PKH; fasilitator PKH; h. Kurangnya penekanan pada keterampilan fasilitasi dan c. Mengkaji dan mengadaptasi tidak adanya peningkatan prosedur PKH, persyaratan, kapasitas, bimbingan, atau dan protokol verifikasi pada SOP yang berkaitan dengan area-area dengan tantangankonsultasi atas dasar informasi tantangan implementasi di awal tanpa paksaan dalam (misalnya akses yang sulit, OMS dan pelatihan pada saat hambatan pada sisi ini; persediaan, dst.) untuk i. Tanggung jawab administratif meningkatkan proporsi para fasilitator PKH cenderung penerima manfaat PKH di lebih besar daripada tanggung area-area yang kurang jawab pekerjaan sosial terlayani; mereka;
Sudah masuk pada Program Action Plan. Saat ini sedang berlangsung dan akan masuk ke dalam Pedoman Umum pada tahun pertama implementasi PforR. Penanggung Jawab: Sub Direktorat Penerima Manfaat
Telah dimasukkan dalam Program Action Plan #5 dan 52
10 dan Result Framework d. Menetapkan ulang dan tentang strategi SDM pada merampingkan peran pembangunan kapasitas dan fasilitator dan sistem rencana pengawasan kinerja manajemen kinerja dengan yang akan dirancang pada penekanan pada kerja sosial tahun 2017 dan dilaksanakan dan tanggung jawab pada tahun 2018. fasilitasi. Sub-rencana kerja Penanggung Jawab: Sub di dalamnya juga mencakup: Direktorat Sumber Daya - Mengembangkan upaya untuk melindungi keselamatan pribadi termasuk meningkatkan pengawasan, SOP untuk fasilitator; - Menetapkan tim spesialis sosial yang berada dalam struktur yang ada untuk mengawasi risiko sosial dan dampak, melatih fasilitator PKH tentang keamanan, mengembangkan materi pelatihan dan memberi masukan tentang strategi komunikasi dan penjangkauan dan GRM. Kerangka acuan kerja untuk para spesialis ini akan dibahas dalam appraisal proyek dan akan ditinjau pada tahun pertama implementasi untuk dilihat kecukupannya. 53
Tindakan ESSA yang diusulkan terkait dengan manajemen sosial telah dimasukkan ke dalam desain keseluruhan Program dan pelaksanaannya sepenuhnya tertanam dalam struktur organisasi Direktorat Perlindungan Sosial Keluarga (JSK). Usulan tindakan ESSA berencana # 1 dan 2 pada pengembangan GRS dan strategi komunikasi dan outreach jatuh di bawah Hasil Area 1 pada penguatan sistem pelaksanaan program untuk meningkatkan efisiensi, transparansi dan akuntabilitas. Action plan GRS adalah DLI # 3. Tindakan ESSA diusulkan rencana # 3 pada tinjauan pelaksanaan modalitas di daerah dengan kendala sisi supply telah dimasukkan dalam Action Plan # 4 dan review yang sedang berlangsung di bawah kepemimpinan Sub-Direktorat Penerima di Direktorat Jaminan Sosial Keluarga di Kemensos. Yang diusulkan tindakan ESSA rencana # 4 telah dimasukkan dalam Rencana Aksi Program # 5 dan 10 di review HR dan penugasan spesialis sosial untuk mengelola potensi risiko dan dampak masing-masing.
54
REFERENSI Bah, Adama, Fransiska E. Mardiananingsih, and Laura Wijaya (2014). "An Evaluation of the Use of the Unified Database for Social Protection Programmes by Local Governments in Indonesia", Makalah Kerja TNP2K 6-2014. Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), Jakarta, Indonesia. Bah, Adama, Nazara, Suahasil and Satriawan, Elan (2015), “Policy Brief: Indonesia’s Single Registry for Social Assistance Programs,’ The International Policy Centre for Inclusive Growth. Education Sector Analytical and Capacity Development Partnership (2014), “Study on Teacher Absenteeism in Indonesia 2014”, ACDP, Jakarta. KEEMENSOS (2016), “Pedoman Pelaksanaan Program Keluarga Harapan (PKH)”, Kementerian Sosial Republik Indonesia, Jakarta. Reality Check Plus Project Team 2015, “Reality Check Approach Sub-report2: Understanding Social Assistance Programs from the Perspectives of People Living in Povery,” Jakarta: Effective Development Group dalam kolaborasi dengan TNP2K TNP2K (2015), “Indonesia’s Unified Database: Management Standards,” Jakarta: National Team for the Acceleration of Poverty Reduction SMERU (2012). Rapid Appraisal of the 2011 Data Collection of Social Protection Programs (PPLS 2011). Research Report. Jakarta, SMERU Research Institute and National Team for the Acceleration of Poverty Reduction. UNICEF (2012), “We Like being Taught – A Study on Teacher Absenteeism”, UNICEF, Papua University, SMERU, Cendrawasih University, BPS, Jakarta. Banarjee A, Hanna R, Kreindler G, Olken BA (2015), “Debunking the Stereotype of the Lazy Welfare Recipient: Evidence from Cash Transfer Programs Worldwde”, Center for International Development, Harvard University.
55