DAYA SAING KAKAO INDONESIA DI PASAR INTERNASIONAL
Oleh : IRNAWATY IS A14304080
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN
IRNAWATY IS. Analisis Daya Saing Kakao Indonesia di Pasar Internasional. Dibimbing oleh Yeti Lis Purnamadewi.
Sektor pertanian yang merupakan komoditas primer yang memiliki peranan penting dalam perekonomian dan pembangunan bangsa Indonesia. Selain sebagai sumber pendapatan atau devisa bagi negara, sektor pertanian juga sebagai penyedia lapangan kerja. Hal ini terjadi karena sebagian besar penduduk Indonesia bekerja di sektor pertanian. Sub sektor pertanian yang memiliki nilai ekspor terbesar adalah dari sub sektor perkebunan. Komoditas unggulan yang dapat dikembangkan di sektor perkebunan antara lain: kelapa sawit, karet dan kakao. Sebagian besar kakao Indonesia yang diproduksi setiap tahunnya, diekspor keluar negeri. Apabila dilihat dari potensi yang dimiliki oleh Negara Indonesia seperti lahan yang masih tersedia dan iklim yang sesuai dengan tanaman kakao, seharusnya Indonesia mampu bersaing dengan negara-negara eksportir kakao lainnya. Perkebunan kakao di Indonesia lebih didominasi oleh perkebunan rakyat. Hal ini yang mengakibatkan kualitas kakao tergolong rendah karena dalam penanganannya masih bersifat tradisional. Persaingan diantara negara eksportir kakao sangat ketat karena negara importir selaku konsumen menuntut tidak hanya kuantitas yang kontinu namun juga kualitas kakao yang baik. Meskipun komoditas kakao Indonesia memiliki kualitas yang rendah namun cenderung memperlihatkan pertumbuhan ekspor yang fluktuatif setiap tahunnya, begitu juga dengan nilai ekspornya. Tujuan dalam penelitian ini adalah: (1) Menganalisis struktur pasar kakao di pasar internasional, (2) Menganalisis keunggulan komparatif komoditas kakao Indonesia. (3) Menganalisis keunggulan kompetitif komoditas kakao Indonesia, (4) Merumuskan strategi dalam memperkuat daya saing kakao Indonesia di pasar internasional. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai dengan bulan juli tahun 2008. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dan metode kuantitatif. Metode deskriptif digunakan untuk menganalisis keunggulan kompetitif kakao Indonesia di pasar internasional dilihat dari kondisi internal dan eksternal dan analisis SWOT dengan merumuskan strategi untuk memperkuat daya saing kakao Indonesia. Metode kuantitatif digunakan untuk menganlisis struktur dan pangsa pasar dengan menggunakan analisis Herfindahl Index dan keunggulan komparatif kakao Indonesia di pasar internasional dengan menggunakan analisis Revealed Comparative Advantage (RCA). Pada penelitian ini digunakan Microsoft Excel 2003 sebagai pengolah data untuk analisa kuantitatif. Struktur pasar kakao di pasar internasional menunjukkan kecenderungan ke arah pasar persaingan oligopoli namun sedikit memiliki kekuatan monopoli dan termasuk tingkat kosentrasi tinggi. Hasil ini ditunjukkan melalui nilai ratarata Herfindahl Index sebesar 2.621 pada tahun 2001 sampai dengan tahun 2006 dan nilai rata-rata Concentration Ratio dari empat produsen terbesar sebesar 82. Meskipun Indonesia sebagai negara ketiga terbesar eksportir kakao dunia,
Indonesia merupakan penerima harga di pasar kakao internasional karena Indonesia tidak tergabung dalam organisasi kakao internasional yang menyebabkan informasi antara eksportir rendah sehingga tidak dapat melakukan kerjasama baik dalam menentukan harga dengan eksportir lainnya. Sementara Kamerun dan Nigeria yang merupakan eksportir kakao yang memiliki peringkat lebih rendah dari Indonesia bersama Pantai Gading dan Ghana merupakan penentu harga karena termasuk anggota organisasi kakao internasional. Berdasarkan analisis nilai Revealed Comparative Advantage (RCA) komoditi kakao Indonesia memiliki keunggulan komparatif dalam perdagangan internasional. Hal ini ditunjukkan dengan nilai RCA yang dimiliki oleh Indonesia periode tahun 2001 sampai dengan tahun 2006 lebih dari satu. Indonesia sebagai negara eksportir ketiga setelah Pantai Gading dan Ghana, masih lebih rendah daripada Kamerun apabila dilihat dari nilai RCA yang dimiliki, karena nilai ekspor untuk seluruh komoditas di Indonesia lebih besar daripada Kamerun dan Ekuador. Berdasarkan analisis kualitatif, yaitu dengan menggunakan Teory Berlian Porter maka dapat diketahui kondisi internal dan eksternal. Berdasarkan hasil analisis Teory Berlian Porter menunjukkan bahwa komoditi kakao Indonesia berdaya saing lemah karena terdapat berbagai kendala yaitu kualitas kakao Indonesia yang masih rendah dan belum memenuhi standar internasional karena penggunaan bibit unggul yang masih rendah dan penanganan pasca panen seperti fermentasi yang masih rendah, rendahnya kualitas sumberdaya manusia, kurangnya daya dukung sarana infrastruktur dan masih kurangnya industri terkait dan industri pendukung dalam pengadaan bibit unggul guna peningkatan kualitas kakao. Bedasarkan hasil analisis Strengths, Weaknesses, Opportunities, Treaths (SWOT) maka terdapat beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan daya saing kakao Indonesia di pasar internasional. Diantaranya adalah optimalisasi lahan kakao sehingga dapat meningkatkan pangsa pasar melalui peningkatan produksi dan peningkatan produktivitas dan peningkatan industri terkait sehingga dapat meningkatkan kualitas kakao dengan penggunaan bibit unggul.
DAYA SAING KAKAO INDONESIA DI PASAR INTERNASIONAL
Oleh : IRNAWATY IS A14304080
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Judul Nama NRP
: : :
Analisis Daya Saing Kakao Indonesia di Pasar Internasional Irnawaty IS A14304080
Menyetujui, Dosen Pembimbing Skripsi
Ir. Yeti Lis Purnamadewi, MSc NIP. 131 967 243
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019
Tanggal Lulus:
PERNYATAAN
DENGAN
INI
SAYA
MENYATAKAN
BAHWA
SKRIPSI
YANG
BERJUDUL “ANALISIS DAYA SAING KAKAO INDONESIA DI PASAR INTERNASIONAL” ADALAH BENAR BENAR MERUPAKAN HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, September 2008
IRNAWATY IS A14304080
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Rangkasbitung, Banten 26 Desember 1986, sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Muhammad Ilyas Syam dan Siti Hasma. Penulis menyelesaikan pendidikan di SDN Muara Ciujung Timur IV Rangkasbitung pada tahun 1992 sampai dengan tahun 1998. Kemudian melanjutkan pendidikan menengah pertama ke SLTPN 2 Rangkasbitung pada tahun 1998 sampai dengan tahun 2001 dan menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMUN 3 Rangkasbitung pada tahun 2004. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor pada Fakultas Pertanian, Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya Manusia melalui jalus USMI. Selama perkuliahan, penulis pernah mengikuti organisasi Koperasi Mahasiswa (KOPMA IPB).
Bogor, September 2008
Penulis
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul ”Analisis Daya Saing Kakao Indonesia di Pasar Internasional”. Penulisan skripsi ini sebagai bagian dari persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Secara garis besar, materi yang ada dalam skripsi ini adalah analisis struktur pasar kakao dunia, analisis keunggulan komparatif dan kompetitif kakao Indonesia di pasar internasional dan analisis strategi untuk memperkuat daya saing kakao Indonesia. Pemilihan topik ini dilatar belakangi oleh komoditi kakao yang merupakan komoditi unggulan dari sub sektor perkebunan yang memiliki nilai ekspor terbesar dari sektor pertanian, sehingga merupakan penyumbang devisa terbesar dalam perekonomian dan pembangunan bangsa. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Namun, penulis memandang bahwa penulisan ini dibuat sebagai suatu proses pembelajaran terhadap materi perkuliahan yang penulis terima selama duduk di bangku perkuliahan. Akhir kata semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Terimakasih penulis ucapkan kepada semua pihak yang turut membantu kelancaran penelitian sampai dengan penulisan karya ilmiah ini, baik secara keilmuan, materi dan spiritual. Bogor Irnawaty Is Penulis
UCAPAN TERIMAKASIH
Segala Puji dan Syukur kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Seiring dengan berakhirnya satu tahap pendidikan di Institut Pertanian Bogor, maka penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada berbagai pihak yang telah membantu terutama dalam penulisan skripsi ini. Pihak-pihak yang telah membantu penulis diantaranya: 1. Kedua orang tua (Muhammad Ilyas Syam dan Siti Hasma) dan kedua kakak tercinta (Irham IS dan Ilham IS), terimakasih atas cinta dan kasih sayang, suri tauladan, nasihat serta semangat, kesabaran, serta berbagai dukungan baik moril maupun materi yang telah diberikan kepada penulis. 2. Ir Yeti Lis Purnamadewi, MSc. selaku dosen pembimbing skripsi. Terimaksih atas bimbing, pengarahkan, ilmu, nasihat, semangat dan kepercayaan yang telah diberikan kepada penulis. 3. Dr. Ir. Harianto, MS selaku dosen penguji utama. 4. Adi Hadianto, SP selaku dosen penguji wakil departemen. 5. Teman-teman satu perjuangan Uci, Wulan, Ave, Vina, Cita, Ida, Fitri, Risa, Iboy, Emil, Rira, Jimmy, Lingga, Galih, Mail, Mayang, Devi, Maya, Risti, Ade, Owin, Kevin, Yudi, Evie, Tita, Anggie, Riki, Ella, Toto, Deli, Nana, Sari, Zae, Erna, Pipih, Cian dan teman-teman EPS 41 lainnya yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL .......................................................................................... xi DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xiii
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .......................................................................
1
1.2 Perumusan Masalah ...............................................................
5
1.3 Tujuan ...................................................................................
9
1.4 Kegunaan Penelitian ..............................................................
9
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Kakao Indonesia dan Dunia ..................... 10 2.1.1 Produksi dan Konsumsi Kakao Dunia .......................... 10 2.1.2 Pemasaran Kakao Dunia .............................................. 12 2.2 Penelitian Terdahulu
............................................................ 18
2.2.1 Penelitian Mengenai Kakao ........................................ 18 2.2.2 Penelitian Mengenai Daya Saing .................................. 21 BAB III
KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ................................................. 24 3.1.1 Teori Perdagangan Internasional.................................... 24 3.1.2 Teori Keungulan Komparatif ........................................ 26 3.1.3 Teori Keunggulan Kompetitif ........................................ 29 3.1.4 Struktur Pasar .............................................................. 30 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional ........................................... 36
BAB IV
METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................. 39 4.2 Jenis dan Sumber Data .......................................................... 39 4.3 Metode Pengolahan dan Analisis Data .................................. 39
BAB V
4.3 1
Analisis Konsentrasi Pasar ........................................... 40
4.3.2
Revealed Comparative Advantage ............................... 42
4.3.3
Teory Berlian Porter .................................................... 43
4.3.4
Matriks Strengths, Weaknesses, Oppotunities,Treaths (SWOT) ................................................................. 45
STRUKTUR PASAR DAN DAYA SAING KAKAO INDONESIA DI PASAR INTERNASIONAL 5.1
Struktur Pasar Kakao di Pasar Internasional ......................... 48
5.2 Daya Saing Kakao Indonesia dengan Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitf ................................ 52 5.2.1
Analisis Keunggulan Komparatif Kakao Indonesia di Pasar Internasional: Revealed Comparative Advantage (RCA)................................. 52
5.2.2
Analisis Keunggulan Kompetitif Kakao Indonesia di Pasar Internasional: Analisis Teory Berlian Porter (Porter’s Diamond Theory) ........................... 56 5.2.2.1
Faktor Sumberdaya..................................... 56
5.2.2.2
Kondisi Permintaan .................................. 66
5.2.2.3 Eksistensi Industri Terkait dan Industri Pendukung ............................................... 69 5.2.2.4 Struktur, Persaingan dan Strategi................ 72 5.2.2.5
Peran Pemerintah ..................................... 73
5.2.2.6
Peran Peluang .......................................... 76
5.3 Perumusan Strategi Peningkatan Daya Saing Kakao Indonesia di Pasar Internasional .......................................... 77 BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ............................................................................. 82 6.2 Saran
........................................................................... 83
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 85 LAMPIRAN .................................................................................................. 88
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1.
Persentase Ekspor Migas dan Non Migas terhadap Total Ekspor Indonesia Tahun 1998-2006 .................................................... 1
2.
Persentase Nilai Ekspor Sektor Utama Non Migas di Indonesia Tahun 2003-2007..................................................................... 2
3.
Persentase Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2003-2006 ............................................................................................
2
4.
Nilai Ekspor Sub Sektor Pertanian Tahun 2002-2006 ............................
3
5.
Nilai Ekspor Perkebunan Tahun 2002-2006 ..........................................
3
6.
Persentase Jumlah Ekspor Kakao terhadap Total Produksi Kakao Indonesia Tahun 2001-2006 .......................................................
4
7.
Jumlah Produksi dan Konsumsi Kakao Dunia Tahun 2002 – 2006 ........
5
8.
Luas Areal Kakao Seluruh Indonesia Menurut Pengusahaan Tahun 1996–2006 .................................................................................
6
Produksi Perkebunan Kakao Seluruh Indonesia Menurut Pengusahaan Tahun 1996–2006 ..........................................................
7
10.
Volume dan Nilai Ekspor Kakao Indonesia, Tahun 1999-2006 .............
8
11.
Perkembangan Produski Kakao Lima Negara Terbesar Dunia ............... 10
12.
Perkembangan Konsumsi Kakao Lima Negara Terbesar Dunia ........... 11
13.
Tingkat Konsentrasi Pasar ...................................................................... 42
14.
Struktur Pasar Kakao Internasional Berdasarkan Herfindhal Index dan Rasio Konsentrasi Tahun 2001-2006 ......................................... 48
15.
Pangsa Pasar (Market Share) Lima Negara Eksportir Komoditas Kakao Tahun 2001-2006 ....................................................................... 49 Keunggulan Komparatif Kakao Berdasarkan Hasil Analisis Revealed Comparative Advantage Enam Negara Eksportir kakao Tahun 2001-2006 ........................................................................... 52
9.
16.
17.
Pangsa Pasar (Market Share) Enam Negara Eksportir Komoditas Kakao Tahun 2001-2006 ......................................................................... 55
18.
Luas Areal Perkebunan Kakao di Indonesia Tahun 1997-2006 .............. 58
19.
Jumlah Petani Kakao Pada Perkebunan Rakyat Seluruh Indonesia Tahun 2001-2006 ................................................................................... 60
20.
Perkembangan Ekspor Kakao Negara Eksportir Tahun 2001-2006
21.
Perkembangan Konsumsi Kakao Indonesia Pada Tahun 2001-2006 ...... 68
22.
Nilai Ekspor Kakao Indonesia ke Berapa Negara Tujuan Tahun 2001-2006 ............................................................................................. 68
23.
Hasil Identifikasi Strengths, Weaknesses, Oppotunities, Treaths (SWOT) Komoditas Kakao Indonesia .............................................. 78
24.
Matriks Analisis Strengths, Weaknesses, Oppotunities, Treaths (SWOT) Komoditas Kakao Indonesia ................................................ 79
.... 67
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1.
Harga Komoditi Relatif Ekuilibrium Setelah Perdagangan .................. 26
2.
The National Diamond System ………………………………………… 29
3.
Kerangka Pemikiran Operasional ……………………………………… 38
4.
Matriks Strengths, Weaknesses, Oppotunities, Treaths (SWOT)………. 46
5.
Keunggulan Komparatif Kakao Indonesia Berdasarkan Hasil Analisis Revealed Comparative Advantage Tahun 2001-2006
…….. 53
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1.
Nilai Ekspor Komoditi Kakao Dunia Tahun 2001-2006 ...................... 88
2.
Pangsa Pasar Ekspor Negara-Negara Produsen dan Eksportir Kakao Dunia Tahun 2001-2006 ............................................................. 92
3.
Herfindahl Index Negara-Negara Produsen dan Eksportir Kakao Dunia Tahun 2001-2006 ................................................................................... 95
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Perkembangan nilai ekspor Indonesia sampai dengan tahun 1986 masih didominasi oleh ekspor migas (Badan Pusat Statistik, 2004). Sejak tahun 1987 dominasi ekspor beralih ke komoditas non migas. Komoditas-komoditas non migas yang cukup potensial untuk diekspor terdiri dari komoditas primer dan komoditas bukan primer. Komoditas primer merupakan hasil dari sektor pertanian dan sektor pertambangan, sedangkan komoditas bukan primer berasal dari sektor industri. Pada Tabel 1 dibawah ini dapat dilihat persentase ekspor migas dan non migas terhadap total ekspor Indonesia dari tahun 1998 sampai tahun 2006.
Tabel 1. Persentase Ekspor Migas dan Non Migas terhadap Total Ekspor Indonesia Tahun 1998-2006 No Tahun Persentase Ekspor Migas Persentase Ekspor Non Migas 1 1998 16,12 83,88 2 1999 20,12 79,88 3 2000 23,12 76,87 4 2001 22,44 77,56 5 2002 21,19 78,81 6 2003 22,36 77,64 7 2004 21,86 78,14 8 2005 22,45 77,55 9 2006 21,04 78,96 Sumber : Badan Pusat Statistik Indonesia, Tahun 2006.
Pada Tabel 1, terlihat bahwa persentase ekspor non migas lebih besar daripada persentase ekspor migas. Artinya sektor non migas merupakan penyumbang terbesar devisa negara.
Pada Tabel 2, persentase nilai ekspor
terbesar untuk sektor non migas adalah sektor industri, sementara untuk sektor
pertanian menempati peringkat kedua. Persentase nilai ekspor untuk sektor pertanian cenderung mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan semakin meningkatnya industri di tanah air.
Tabel 2.
Persentase Nilai Ekspor Sektor Utama Non Migas di Indonesia Tahun 2003 – 2007 Tahun
Pertanian Industri: Kayu Olahan Barang dari Logam Pakaian Jadi Tekstil Lain Karet Olahan Makanan Ternak Minyak Atsiri Minyak Kelapa Sawit Asam Berlemak Alat Alat Listrik Makanan Olahan Semen Barang Anyaman Bahan Kimia Pupuk Kulit dan Barang dari Kulit Kertas dan Barang dari Kertas Lainnya Pertambangan: Bijih Tembaga Bijih Nikel Bauksit Batu Bara Lainnya Sumber : Badan Pusat Statistik, 2007
2003 5,33
2004 4,46
2005 4,34
2006 4,23
2007 3,58
6,67 1,82 8,52 6,46 4,41 0,25 0,33 5,18 0,31 6,58 2,62 0,19 0,15 3,24 0,40 0,19 4,23 34,52
5,81 3,28 7,78 5,99 5,28 0,27 0,34 6,15 0,52 6,23 2,89 0,18 0,13 3,48 0,16 0,19 3,98 34,51
4,65 3,70 7,48 5,58 5,34 0,22 0,31 5,65 0,48 6,57 2,72 0,17 0,10 3,13 0,26 0,20 3,50 33,64
4,18 3,84 7,05 4,91 6,87 0,21 0,27 6,05 0,45 5,59 2,47 0,28 0,09 3,39 0,02 0,22 3,60 32,23
3,64 5,26 6,44 4,64 6,61 0,28 0,29 6,97 0,30 5,23 2,36 0,22 0,09 4,16 0,12 0,25 3,64 31,70
3,91 0,12 0,04 4,18 0,17
3,22 0,19 0,03 4,91 0,15
4,98 0,21 0,04 6,55 0,18
5,84 0,27 0,07 7,65 0,23
6,21 0,75 0,11 6,74 0,26
Sektor pertanian yang merupakan komoditas primer yang memiliki peranan penting dalam perekonomian dan pembangunan bangsa Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah ini, yang menunjukkan persentase nilai PDB (Produk Domestik Bruto) yang diperoleh dari sektor pertanian. Sektor pertanian memiliki nilai PDB ketiga terbesar dibandingkan dengan sektor lainnya namun cenderung mengalami penurunan hal ini terjadi karena adanya konversi lahan.
Tabel 3. Persentase Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2003-2006 Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrika, Gas dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Jasa-Jasa
Tahun 2003 15,24 10,63
2004 14,92 9,66
2005 14,49 9,43
2006 14,15 9,14
28,01 0,66
28,37 0,66
28,07 0,66
27,84 0,66
5,68 16,26
5,82 16,37
5,91 16,79
6,11 16,89
5,42
5,85
6,25
6,74
8,90
9,12
9,22
9,23
9,20
9,23
9,18
9,24
Sumber : Badan Pusat Statistik, Tahun 2007
Pada Tabel 4, Sub sektor pertanian yang memiliki nilai ekspor terbesar adalah dari sub sektor perkebunan dengan nilai ekspor yang cenderung meningkat. Sementara untuk sub sektor pertanian lainnya cenderung mengalami fluktuatif. Hal ini dikarenakan membaiknya harga komoditi perkebunan di pasar internasional.
Tabel 4. Nilai Ekspor Sub Sektor Pertanian Tahun 2002-2006 US$ Sub Sektor
Tahun 2004 340.309.480
2002 2003 2005 Tanaman 188.242.894 229.874.382 286.743.637 Pangan Hortikultura 209.661.507 207.954.384 200.379.255 227.973.847 Perkebunan 4.496.494.153 5.217.477.212 7.428.006.912 10.673.184.297 Peternakan 213.526.108 222.525.274 241.694.434 396.526.312 Sumber : Departemen Pertanian, Tahun 2006
2006 258.538.031 234.505.367 12.279.393.167 298.532.833
Komoditas unggulan yang dapat dikembangkan di sektor perkebunan antara lain: kelapa sawit, karet dan kakao. Hal ini ditunjukkan pada Tabel 5, dimana nilai ekspor tertinggi adalah dari komoditas kelapa sawit, sedangkan
kakao menduduki peringkat ketiga. Diantara keenam komoditas ekspor tersebut komoditas yang cenderung mengalami fluktuatif diantaranya adalah kakao.
Tabel 5. Nilai Ekspor Perkebunan Tahun 2002-2005 Juta US$ No 1 2 3 4 5 6 7
Komoditas Kelapa Sawit Karet Kakao Kopi Kelapa Teh Lainnya
2002 2.350 1.038 701 224 215 103 2.057
Tahun 2003 2004 2.721 3.954 1.485 2.161 624 547 259 294 193 304 96 116 1.958 6.171
2005 3.759 2.398 581 443 575 123 1.795
Sumber: Direktorat Jendral Perkebunan, Tahun 2005
Sebagian besar kakao Indonesia yang diproduksi setiap tahunnya di ekspor keluar negeri dalam bentuk biji kakao. Hal ini terjadi karena kurangnya sarana infrastruktur atau industri kakao di Indonesia yang dapat mengolah menjadi produk setengah jadi atau produk jadi. Pada Tabel 6, persentase jumlah ekspor kakao terhadap jumlah produksi kakao berfluktuatif selama tiga tahun dan kemudian mengalami peningkatan. Penurunan persentase tersebut dikarenakan meskipun jumlah produksi kakao di dalam negeri terus meningkat, namun kualitas kakao masih dikatakan rendah, sehingga banyak hasil panen yang tidak terjual.
Tabel 6. Persentase Jumlah Ekspor Kakao terhadap Total Produksi Kakao Indonesia Tahun 2001-2006 No Tahun Persentase Jumlah Ekspor 1 2001 73,04 2 2002 81,52 3 2003 50,90 4 2004 53,04 5 2005 61,91 6 2006 79,61 Sumber : Direktorat Jendral Perkebunan, Tahun 2008
Indonesia merupakan negara ketiga terbesar pemasok kakao dunia, yaitu sebesar 13,6 persen. Sementara pemasok kakao dunia lainnya adalah Pantai Gading sebesar 38,3 persen, Ghana 20,2 persen, Kamerun 5,1 persen, Brasil 4,4 persen dan Ekuador 3,1 persen (ICCO, 2007). Pada Tabel 7. jumlah produksi kakao dan konsumsi kakao dunia cenderung mengalami peningkatan. Namun pada tahun 2005 produksi dunia mengalami penurunan, hal ini dikarenakan negara penghasil kakao seperti Pantai Gading dan Ghana pada tahun ini melakukan peremajaan tanaman kakao. Sedangkan konsumsi dunia terus meningkat setiap tahunnya. Tabel 7. Jumlah Produksi dan Konsumsi Kakao Dunia Tahun 2002– 2006 Juta Ton No Tahun Produksi Konsumsi 1 2002 2.887 2.885 2 2003 3.169 3.079 3 2004 3.573 3.238 4 2005 3.382 3.343 5 2006 3.592 3.476 Sumber : International Cacao Organization (ICCO), Tahun 2007
Apabila dilihat dari potensi yang dimiliki oleh Negara Indonesia seperti lahan yang masih tersedia dan iklim yang sesuai dengan tanaman kakao, seharusnya Indonesia mampu bersaing dengan negara-negara pengekspor kakao lainnya. Adanya kecenderungan akan meningkatnya tingkat konsumsi kakao di dunia merupakan peluang besar bagi Indonesia untuk meningkatkan dan menjamin kontinuitas jumlah produksi kakao. Melalui beberapa peluang, keuntungan, juga hambatan yang dibahas dalam perumusan masalah penting untuk di analisis dari segi daya saingnya dalam menghadapi tingkat persaingan di pasar internasional dengan pangsa pasar yang ada.
1.2 Perumusan Masalah Perkebunan kakao di Indonesia lebih didominasi oleh perkebunan rakyat. Hal ini yang mengakibatkan kualitas kakao tergolong rendah, karena dalam penangananya masih bersifat tradisional. Pada Tabel 8, terlihat bahwa jumlah luas areal Perkebunan Rakyat (PR) lebih besar dari pada perkebunan lainnya. Apabila dilihat jenis pengusahaannya, Perkebunan Besar Negara dan Perkebunan Besar Swasta cenderung menurun. Namun apabila dilihat secara keseluruhan luas areal perkebunan kakao di Indonesia setiap tahunnya mengalami peningkatan luas areal, begitu juga dengan produksi perkebunan kakao.
Tabel 8. Luas Areal Kakao Seluruh Indonesia Menurut Pengusahaan Tahun 1996 - 2006 Luas Areal (Ha) Tahun PR PBN PBS Jumlah 1996 446.815 63.025 103.491 655.331 1997 380.811 62.445 85.791 529.057 1998 436.576 58.261 77.716 572.553 1999 534.670 59.990 73.055 667.715 2000 641.133 52.690 56.094 749.917 2001 710.044 55.291 56.114 821.449 2002 798.628 54.815 60.608 914.051 2003 861.099 49.913 53.211 964.223 2004 1.003.252 38.688 49.040 1.090.960 2005 1.081.102 38.295 47.649 1.167.046 2006 1.219.633 48.930 52.257 1.320.820 Sumber : Direktorat Jendral Perkebunan, Tahun 2008
Pada Tabel 9, Sebagian besar dari produksi kakao Indonesia merupakan hasil dari perkebunan rakyat, dimana jumlah produksi kakao Indonesia lebih banyak dihasilkan oleh perkebunan rakyat, dibandingkan dengan perkebunan besar negara dan perkebunan besar swasta. Produksi perkebunan rakyat cenderung meningkat sementara perkebunan besar swasta dan perkebunan besar negara cenderung stabil atau tidak memperlihatkan perubahan yang signifikan. Kemudian
apabila dilihat dari jumlah produksi kakao secara keseluruhan, jumlah produksi kakao pada tahun tertentu mengalami penurunan. Penurunan produksi kakao dikarenakan oleh serangan hama seperti hama Penggerek Buah Kakao (PBK). 1
Tabel 9. Tahun 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Produksi Perkebunan Kakao Seluruh Indonesia Menurut Pengusahaan Tahun 1996 – 2006 Produksi (Ton) PR PBN PBS Jumlah 304.013 36.456 33.530 373.999 163.846 35.644 30.729 330.219 369.887 46.307 32.733 448.927 304.549 37.064 25.862 367.475 363.628 34.790 22.724 421.142 476.924 33.905 25.975 536.804 511.379 34.083 25.693 571.155 634.877 32.075 31.864 698.816 636.783 25.830 29.091 691.704 693.701 25.494 29.633 748.828 702.207 33.795 33.384 769.386
Sumber : Direktorat Jendral Perkebunan, Tahun 2008.
Keberadaan Negara Indonesia sebagai negara eksportir terbesar ketiga di dunia tidak begitu saja dapat mengantarkan komoditas unggulannya ke pasar internasional tanpa hambatan. Meskipun produksi biji kakao Indonesia secara signifikan terus meningkat, namun mutu yang dihasilkan sangat rendah dan beragam, antara lain kurang terfermentasi, tidak cukup kering atau tingginya kadar air (7%), ukuran biji tidak seragam, kadar kulit tinggi, keasaman tinggi, cita rasa sangat beragam dan kadar kotoran yang tinggi (8 – 10 %) (Direktorat Jendral Perkebunan, 2007). Persaingan di antara negara pengekspor kakao sangat ketat, karena negara importir selaku konsumen menuntut tidak hanya kuantitas yang kontinu namun
1
27 Juni 2008. Wawancara dengan Midiati (Kepala Seksi Bimbingan dan Pengembangan Usaha Subdit Tanaman Penyegar). Direktorat Perkebunan.
juga kualitas kakao yang baik. Meskipun komoditas kakao Indonesia memiliki kualitas yang rendah namun cenderung memperlihatkan pertumbuhan ekspor yang fluktuatif setiap tahunnya, begitu juga dengan nilai ekspornya, hal ini dapat dilihat dari Tabel 10.
Tabel 10. Volume dan Nilai Ekspor Kakao Indonesia No Tahun Volume Ekspor (kg) Nilai Ekspor (US$) 1 1999 333.695.369 296.483.705 2 2000 333.619.339 233.052.222 3 2001 302.669.984 272.368.480 4 2002 365.587.168 520.671.584 5 2003 265.837.972 410.277.720 6 2004 275.484.543 369.862.984 7 2005 367.425.784 467.827.362 8 2006 490.777.601 619.016.755 Sumber : United Nation Commodity Trade (COMTRADE) Statistic Database, Tahun 2007. Daya saing kakao Indonesia di pasar Internasional yang menjadi andalan ekspor Indonesia tentunya akan mempengaruhi perkembangan ekspor dan nilai ekspor. Sebagai salah satu negara produsen eksportir komoditi kakao terbesar dunia, Indonesia memandang bahwa liberalisasi perdagangan dunia merupakan peluang yang cukup terbuka bagi kegiatan ekspor komoditi kakao. Di sisi lain hal ini dipandang sebagai tantangan untuk meningkatkan daya saing agar dapat mengahasilkan komoditi kakao yang semakin kompetitif di pasar Internsional. Peningkatan daya saing kakao merupakan tantangan besar bagi Indonesia, terutama untuk mengahadapi era perdagangan bebas. Berdasarkan uraian di atas, maka masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana struktur pasar kakao di pasar internasional?
2. Apakah komoditas kakao Indonesia memiliki keunggulan komparatif? 3. Apakah komoditas kakao Indonesia memiliki keunggulan kompetitif? 4. Strategi apa yang perlu dirumuskan untuk memperkuat daya saing kakao Indonesia di pasar internasional?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Menganalisis struktur pasar kakao Indonesia di pasar internasional. 2. Menganalisis keunggulan komparatif komoditas kakao Indonesia. 3. Menganalisis keunggulan kompetitif komoditas kakao Indonesia. 4. Merumuskan strategi dalam memperkuat daya saing kakao Indonesia di pasar internasional.
1.4 Kegunaan Penelitian Kegunaan dari penelitian daya saing kakao di pasar internasional adalah: 1. Bagi pelaku usaha kakao atau petani kakao di Indonesia, hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk meningkatkan daya saing ekspor kakao Indonesia di pasar internasional. 2. Bagi pemerintah, hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan guna mendukung peningkatan daya saing ekspor komoditas perkebunan khususnya kakao di pasar internasional. 3. Sebagai bahan informasi dan bahan pembanding untuk penelitian selanjutnya.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gambaran Umum Kakao Indonesia dan Dunia 2.1.1 Produksi dan Konsumsi Kakao Indonesia termasuk peringkat ketiga dalam produksi kakao dunia setelah Pantai Gading dan Ghana hingga saat ini. Kakao diproduksi oleh 50 lebih negara yang berada di kawasan tropis yang secara geografis dapat dibagi dalam tiga wilayah yaitu benua Afrika, Asia Oceania dan Amerika Latin. Pada tahun 2005/06, produksi kakao dunia tercatat sebesar 3.758 ribu ton. Wilayah Afrika memproduksi biji kakao sebesar 2.642 ribu ton atau 70,3 persen produksi dunia. Sementara Asia Oceania dan Amerika Latin masing masing memproduksi 669 ribu ton dan 445 ribu ton atau 17,8 persen dan 11,9 persen produksi dunia (ICCO, 2007). Produsen utama kakao di wilayah Afrika adalah Pantai Gading, Ghana, Nigeria dan Kamerun. Di wilayah Asia Oceania, Indonesia merupakan produsen utama, diikuti oleh Papua New Guinea dan Malaysia. Sementara produsen utama kakao di wilayah Amerika Latin adalah Brazil, diikuti oleh Ekuador, Dominika, Colombia dan Mexico.
Tabel 11. Perkembangan Produksi Kakao 5 Negara Terbesar Dunia Ribu Ton Tahun P. Gading Ghana Indonesia Cameroon Brazil 2001/02 1264,7 340,6 455,0 131,0 123,6 2002/03 1351,5 496,8 410,0 160,0 162,6 2003/04 1407,2 737,0 430,0 165,7 163,4 2004/05 1286,3 599,3 460,0 184,9 170,8 2005/06 1407,8 740,5 560,0 166,1 161,6 Sumber: International Cocoa Organization (ICCO), 2007/2008.
Pada Tabel 11, perkembangan produksi Indonesia lebih besar dari pada Ghana pada periode tahun 2001/02 sampai dengan 2002/03. Namun pada periode tahun 2003/04 Ghana menggantikan Indonesia sebagai negara terbesar penghasil kakao kedua dunia, hal ini dikarenakan oleh merebaknya serangan hama penggerek buah kakao di Indonesia walaupun luas lahan kakao cenderung meningkat.
Tabel 12. Perkembangan Konsumsi Kakao 5 Negara Terbesar Dunia Tahun 2001/02 2002/03 2003/04 2004/05 2005/06
P. Gading 245.453 302.512 367.725 336.173 401.769
Ghana 33.774 155.079 128.901 50.983 170.690
Indonesia 109.684 116.857 143.163 131.121 63.635
Cameroon 35.367 37.114 29.616 19.887 19.918
Ton Brazil 166.663 205.189 205.989 214.442 210.567
Sumber: International Cocoa Organization (ICCO), 2007/2008.
Pada Tabel 12, Konsumsi kakao Indonesia pada periode tahun 2004/06 mengalami penurunan hal ini dikarenakan sebagian besar di ekspor ke luar negeri dan penurunan terhadap impor biji kakao. Sementara untuk konsumsi kakao di empat negara lainnya cenderung fluktuatif. Konsumsi kakao Kamerun lebih rendah dari pada kelima negara lainnya, karena sebagian besar biji kakao di ekspor keluar negeri dan tidak melakukan impor biji kakao. Kakao merupakan salah satu komoditas ekspor unggulan Pantai Gading yang sebagian besar dari produksinya dikirim keluar negeri yaitu sebesar 35 persen. Peningkatan produksi kakao di Pantai Gading terjadi karena kondisi politik di negara tersebut telah membaik. Sementara peningkatan produksi kakao yang cukup tajam di Ghana merupakan keberhasilan para petani mengatasi serangan penyakit dan keberhasilan pemerintahnya mengatasi penyeludupan biji
kakao. Penurunan produksi kakao Indonesia terutama disebabkan oleh semakin meningkatnya serangan hama Penggerek Buah Kakao (PBK) di hampir seluruh sentra produksi kakao Indonesia. Penyakit kakao di Afrika Barat (Brazil) adalah witches broom, Penggerek Buah Kakao (Conopomorpha Cramerella Snell) dan penyakit busuk buah (Phytophthora palmivora) di Indonesia, dan fluktuasi iklim yang sangat ekstrim di Ekuador (Amin, 2005). Untuk menanggulangi serangan hama Penggerek Buah Kakao, Indonesia telah melakukan kerjasama dengan American Cocoa Research Institute (ACRI) dan The Biskuit, Chocolate, Cake and Confectionery Alliance (BCCCA) dari Inggris.
Sebagai
pelaksanaan
kerjasama,
dibentuklah
Cocoa
Podborer
Management Project Sulawesi (CPMPS), dengan tujuan melakukan kajian teknologi yang tepat dan sistem yang cocok untuk pengendalian hama Penggerek Buah Kakao terutama oleh petani (Amin, 2005). 2.1.2 Pemasaran Kakao Pasar kakao Amerika Serikat dan Eropa merupakan pasar kakao dunia. Transaksi jual beli kakao di pasar internasional dapat terjadi di dua pasar tersebut. Indonesia sebagai produsen kakao terbesar ketiga di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana juga mengalami diskriminasi di Eropa. Uni Eropa mengenakan bea masuk 0 persen bagi produk kakao dari Ghana dan Pantai Gading, sedangkan Indonesia dikenakan bea masuk 10 persen. Sementara bea masuk kakao ke Indonesia dari luar negeri hanya dikenakan 5 persen. Padahal Malaysia 30 persen dan India 38 persen. 2
2
Siswono Yudo H. 2005. Bea Msuk ke Cina Turun. Dalam www.indobic.biotrap.org. [26 Mei 2008]
Kendala utama yang dihadapi komoditas kakao yang diekspor adalah kualitasnya. Mutu biji kakao dari Indonesia masih relatif rendah dibandingkan dengan yang berasal dari negara lain. Rendahnya kualitas tersebut ditunjukkan oleh harga jual kakao dipasar luar negeri. Rendahnya kualitas kakao Indonesia dikarenakan kakao Indonesia tidak mengalami fermentasi terlebih dahulu atau fermentasi yang dilakukan tidak sempurna. Kakao yang akan di ekspor sebelumnya disortir terlebih dahulu oleh negara asal, namun sesampainya di tujuan kakao tersebut disortir kembali apakah sesuai dengan standar internasional atau tidak. Apabila tidak sesuai, kakao tersebut akan dikembalikan ke negara asal. Negara Indonesia sampai saat ini bukan termasuk anggota International Cocoa Organization (ICCO), karena sampai saat ini pemerintah masih mencari sisi keuntungan apabila bergabung dengan ICCO. Kedudukan Indonesia sebagai negara terbesar ketiga untuk eksportir kakao dunia merupakan penerima harga. Sedangkan Pantai Gading, Ghana, Kamerun, dan Nigeria yang termasuk dalam anggota ICCO dapat mempengaruhi harga dengan berkolusi, salah satunya dengan cara menahan ekspor kakao mereka sehingga harga kakao di pasar internasional meningkat. Saat ini persaingan antara negara ekportir kakao tidak begitu ketat, karena terdapat
beberapa eksportir terkemuka di pasar internasional seperti Pantai
Gading, Ghana, Indonesia dan Kamerun. Persaingan harga tidak terjadi karena komoditi yang diperdangkan homogen dan mangacu pada harga di pasar internasional. Seperti halnya Indonesia yang memiliki kualitas yang rendah tetap mengacu pada harga yang berlaku di pasar, meskipun nantinya terdapat potongan harga karena kualitas yang rendah (sebagai kebijakan pasar).
Ada beberapa standar mutu yang dipergunakan antara lain Internasional Cocoa Standard (ICS), The Cocoa Association Franqaise du Commerce des Cacaos (AFCC) dan The Cocoa Merchants Association (CMA) di Amerika Serikat. Berdasarkan rekomendasi Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) telah ditetapkan standar biji kakao kering Indonesia setelah mempertimbangkan standar negara produsen kakao lain dan spesifikasi kulaitas yang diperlukan konsumen (Amin, 2005). Citarasa kakao ditentukan oleh buah yang masak dan sehat, fermentasi yang sempurna dan pengeringan yang baik. Walaupun buah kakao yang diproses sudah matang, bila fermentasinya tidak sempurna, akan berakibat timbulnya citarasa yang tidak enak seperti timbulnya citarasa tanah, asam, pahit, kelat dan sengit. Kerusakan citarasa dan fisiknya dapat mengakibatkan turunnya harga jual dipasar domestik dan Internasional. Fermentasi dilakukan setelah selesai pemecahan dan pemisahan biji. Biji kakao sebaiknya langsung dimasukkan kedalam kotak fermentasi. Tinggi tumpukan yang optimum adalah 42 cm. Lama fermentasi biasanya 5 hari (tergantung pada jenis biji kakao yang difermentasi) dengan satu kali pembalikan. Sementara itu faktor-faktor yang mempenaruhi proses fermentasi, penentu rendemen dan mutu hasil secara rinci adalah sebagai berikut: a. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses fermentasi : 1. Ukuran kotak dan tinggi tumpukan Ukuran kotak fermentasi tidak berpengaruh pada proses fermentasi, namun yang mempengaruhinya adalah tingginya tumpukan biji kakao yang difermentasi. Tumpukan biji kakao yang difermentasi sedikit
akan menyebabkan penetrasi udara semakin besar, hal tersebut dapat membantu pembentukan oksidasi asam asetat sehingga pH menjadi naik. Tumpukan yang lebih tinggi akan menyebabkan biji kakao menjadi asam karena penetrasi udara semakin sedikit, oksidasi asam asetat menjadi CO2 dan air menjadi lambat sehingga pH menjadi turun. Tinggi tumpukan yang optimum adalah 42 cm. 2. Banyaknya Pembalikan Pembalikan mengakibatkan terjadinya pembuangan panas sehingga suhu optimum tidak segera dapat dicapai. Berdasarkan hasil penelitian suhu tertinggi sudah dapat dicapai pada hari kedua, sedangkan jika dilakukan pembalikan setiap hari, baru dicapai pada hari kelima, namun demikian banyaknya pembalikan tidak mempengaruhi pH. 3.
Kematangan Buah Pemetikan buah kakao pada satu pohon biasanya dapat dipetik lagi dalam selang waktu kurang lebih tiga minggu.
4.
Kerusakan Buah Buah yang busuk, pecah atau berulat sebaiknya tidak difermentasi karena dapat merusak biji yang lain, dengan timbulnya ulat dan meningkatkan asam lemak bebas yang berakibat merubah rasa.
5.
Jenis Buah Buah Kakao jenis Criollo mempunyai waktu fermentasi yang relatif pendek (2 - 3 hari), sedangkan jenis Forastero membutuhkan waktu 37 hari. Oleh karena waktu fermentasinya berbeda, kedua jenis tersebut tidak diperkenankan dicampur ketika difermentasi.
6.
Waktu Pemeraman Selama pemeraman terjadi pengurangan kandungan air pengurangan sejumlah bahan pemanis sampai 50 persen dan menyebabkan proses aerasi lebih baik pada awal fermentasi. Akibatnya selama fermentasi suhu akan meningkat dengan cepat.
b. Faktor Penentu Rendemen 1)
Ukuran biji kakao. Yang diinginkan oleh pabrik adalah biji dengan ukuran rata-rata tidak kurang dari 1 gram. Walaupun masih ada toleransi, tetapi biji kakao dengan ukuran lebih dari 120 biji/100 gram sudah tidak bisa ditenderkan (Cocoa Chocolate and Confectionery Alliance, 1984). Standar mutu biji kakao Indonesia memberikan persyaratan maksimum 85 biji/100gram untuk golongan AA dan untuk golongan A,B,C antara 100-120 biji/100 gram. Biji kakao lindak Indonesia pada umumnya mempunyai ukuran kurang dari 1 gram sedangkan untuk biji kakao mulia rata-rata lebih besar dari 1 gram.
2)
Kadar kakao dan lemak. Walaupun tidak ada persyaratan yang tegas untuk kadar kulit dan lemak, tetapi pada umumnya yang dikehendaki oleh pembeli tidak kurang dari 55 persen dari berat kering dan kadar kulit lebih besar dari 12 persen.
3)
Kadar air. Kadar air yang dikehendaki adalah 6 sampai 7 persen. Jika kadar air lebih dari 8 persen akan timbul jamur atau bakteri, namun bila kurang dari 5 persen biji akan rapuh dan mudah pecah.
4)
Benda asing, dirusak serangga, pipih dan keriput. Biji kakao harus bebas dari benda asing. Demikian pula biji yang dirusak serangga tidak dikehendaki. Biji yang pipih dan keriput berasal dari kakao yang masih muda.
c. Faktor Penentu Mutu Hasil 1. Cita rasa Kakao yang baik. 2. Kemurnian dan Kesehatan. Oleh karena berkaitan dengan kesehatan dan keselamatan konsumen. Beberapa sumber ketidakmurnian biji kakao berasal dari: pestisida, bakteri, serangga (jenis yang paling merusak adalah Ephestia Cautella), benda asing. 3. Keragaman menyebabkan
ukuran. hasil
Ukuran
biji
yang
tidak
seragam
akan
penyangraian
yang
tidak
seragam
pula,
mempersulit proses pemisahan kulit air dari keping biji kakao (kulit ari yang tercampur dapat merusak citarasa makanan yang dihasilkan). 4. Konsistensi. Konsumen menghendaki agar mutu makanan coklat yang dihasilkan oleh pabrik tetap konsisten. Salah satu hal yang mendukung agar produk bermutu konstan adalah mutu bahan dasarnya yang konsisten. 5. Karakteristik lemak kakao. Kandungan asam lemak bebas (free fatty acids) yang baik lebih kurang 0,5 persen dan maksimum 1,75 persen. Biji kakao yang berasal dari buah yang terserang penyakit, berjamur atau disimpan diruang lembab akan mempunyai kandungan asam lemak bebas lebih tinggi.
2.2 Penelitian Terdahulu 2.2.1 Penelitian Mengenai Kakao Nurdiyani (2007) melakukan penelitian tentang dampak rencana penerapan pungutan ekspor kakao terhadap integrasi pasar kakao Indonesia. Berdasarkan hasil analisis integrasi pasar secara umum dapat disimpulkan bahwa pasar kakao dalam negeri dan dunia tersegmentasi dan tidak terintegrasi dalam jangka pendek. Terkait dengan rencana pemerintah untuk menerapkan pungutan ekspor kakao ternyata penerapan kebijakan ini pada akhirnya akan membuat kondisi pasar kakao di dalam negeri menjadi semakin tidak terintegrasi. Selain itu adanya kebijakan pungutan ekspor ini akan berimplikasi kepada : (1) Melemahnya daya saing kakao Indonesia di dunia, (2) Menurunnya bagian pendapatan yang akan diterima petani, (3) Pedagang (eksportir), pungutan ekspor mungkin tidak akan berpengaruh meskipun akan memicu kegiatan penyelundupan, (4) Bagi pihak industri, adanya pungutan ekspor akan menjamin ketersediaan input untuk proses pengolahan coklat dan bagi pemerintah menjadi alternatif pendapatan bukan pajak. Penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor kakao Indonesia dilakukan Arleen (2006) dengan menggunakan regresi gravity model dengan metode Ordinary Least Square (OLS). Model ekspor kakao menggunakan variabel-variabel seperti ketersediaan produk, harga domestik kakao, harga dunia kakao dan nilai tukar rupiah terhadap dollar. Variabel-variabel yang berpengaruh positif adalah ketersediaan produk kakao, harga dunia kakao dan nilai tukar rupiah terhadap dollar. Sedangkan variabel yang berpengaruh negatif adalah harga domestik kakao.
Yunita
(2006)
melakukan
penelitian
tentang
faktor-faktor
yang
mempengaruhi alairan perdagangan biji kakao Indonesia. Metode analisis yang digunakan adalah metode deskripif dan kuantitatif. Metode kuantitatif menggunakan analisis regresi berganda dengan menggunakan gravity model dengan persamaan tunggal. Variabel dependen yang digunakan adalah volume ekspor biji kakao Indonesia. Varabel-variabel yang berpengaruh positif adalah populasi negara tujuan, harga biji kakao Indonesia di negara tujuan dan kualitas biji kakao Indonesia. Sedangkan variabel-variabel yang berpengaruh negatif adalah Gross Domestic Pruduct (GDP) per kapita negara tujuan, jarak antara negara indonesia dengan negera tujuan dan nilai tukar mata uang negara tujuan terhadap Dollar Amerika. Namun dari ke 6 variabel, ada
4 variabel yang
berpengaruh nyata pada taraf 5 persen. Atau merupakan faktor-faktor yang berpengaruh besar terhadap aliran perdagangan biji kakao Indonesia ke negara tujuan, diantaranya variabel populasi negara tujuan, jarak antara negara Indonesia dengan tujuan, nilai tukar mata uang negara tujuan terhadap dollar Amerika dan kualitas biji kakao Indonesia. Pada tahun 2006, Manik melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor biji kakao Indonesia. Penelitian ini menggunakan alat analisis data dengan metode Ordinary Least Square (OLS). Variabel yang digunakan adalah harga kakao domestik, harga kakao ekspor, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan lag ekspor dengan data time series. Pada penelitian ini harga domestik dan harga ekspor tidak berpengaruh nyata terhadap volume ekspor biji kakao, sedangkan nilai tukar dan lag ekspor berpengaruh nyata terhadap volime ekspor biji kakao Indonesia di negara Malaysia.
Semartoto (2004) melakukan penelitian tentang dampak kebijakan ekonomi terhadap perkembangan dan ekspor kakao di Indonesia. Dampak tersebut terdiri dari lima blok pasar, dimana setiap blok pasar mempresentasikan negara Indonesia, negara importir utama Indonesia, dunia dan sisa dunia. Hasil analisis menunjukkan bahwa kebijakan penurunan suku bunga menyebabkan areal tanaman menghasilkan, produksi, konsumsi, dan ekspor menurun. Kebijakan kenaikan harga pupuk mendorong kenaikan produktivitas dan harga kakao domestik. Kenaikan upah menyebabkan areal tanam dan harga kakao domestik meningkat. Depresiasi IDR terhadap USD mendorong kenaikan areal tanam, produksi, harga kakao domestik dan ekspor. Sedangkan apresiasi IDR terhadap USD berdampak terhadap menurunnya konsumsi kakao. Pada tahun 2002, Yuniarsih melakukan penelitian tentang industri dan strategi peningkatan daya saing industri kakao Indonesia. Penelitian ini menggunakan Analisis Porter’s Diamond Theory untuk mengetahui keunggulan kompetitif. Sedangkan untuk keunggulan komparatif menggunakan Biaya Sumberdaya Domestik (BSD), juga menggunakan Herfindahl Index untuk mengetahui struktur pasar dan SWOT (kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman). Hasil dari penelitian ini adalah komoditi kakao layak untuk diusahakan dan memiliki daya saing di pasar internasional berdasarkan nilai KBSD dan KBSD* sebesar 0,36 dan 0,60. Struktur industri kakao di Indonesia merupakan pasar persaingan sempurna dan berdasarkan SWOT terdapat beberapa strategi yang dapat digunakan untuk meningkatkan daya saing kakao. Lolowang (1999) melakukan penelitian tentang penawaran dan permintaan Kakao Indonesia di pasar domestik dan internasional. Analisis data menggunakan
pendekatan ekonometrika dengan model persamaan simultan Three Stage Least Squares (3SLS). Sedangkan analisis kebijakan menggunakan simulasi kebijakan historik dalam periode tahun 1985-1996. Model yang dibangun terdiri dari 16 persamaan struktural dan 7 persamaan identitas. Hasilnya membuktikan bahwa perilaku luas areal tanaman di Indonesia bagian Barat dan Timur dalam jangka pendek tidak responsif terhadap kakao domestik, harga kopi domestik, upah tenaga kerja dan tingkat bunga bank. Penelitian ini dilakuakn untuk melihat perilaku luas areal terhadap harga kakao domestik, harga kopi domestik, upah tenaga kerja dan tingkat bunga bank.
2.2.2 Penelitian Mengenai Daya Saing Silalahi (2007) melakukan penelitian mengenai analisis daya saing komoditas nenas dan pisang Indonesia di pasar internasional. Analisis dan pengolahan data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif untuk menganalisis kondisi internal dan eksternal dalam pengusahaan pisang dan nenas dengan menggunakan Teori Berlian Porter yang dilihat dari kondisi internal dan eksternal. Sedangkan untuk analisis struktur pasar dan keunggulan komparatif adalah dengan menggunakan analisis Herfindahl Index dan analisis Revealed Comparative Advantage (RCA). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa diketahui kondisi internal komoditas nenas dan pisang Indonesia antara lain Indonesia memiliki keunggulan sumber daya alam, dapat memenuhi permintaan dan konsumsi dalam negeri dan pasar internasional, dan terdapat industri pendukung terkait. Dari kondisi eksternal peranan pemerintah telah mendukung perkembangan komoditas nenas dan pisang dan memiliki beberapa
peluang untuk mengekspor ke negara tujuan. Sedangkan struktur pasar yang dihadapi adalah oligopoli dan belum memiliki keunggulan komparatif. Meryana (2007) melakukan penelitian daya saing kopi robusta Indonesia di pasar kopi internasional. Dalam penelitian ini digunakan beberapa alat analisis, yaitu Herfindah Index untuk mengetahui struktur pasar, Revealed Comparative Advantage (RCA) untuk mengetahui keunggulan kompratif dan Teori Berlian Porter untuk mengetahui keunggulan kompetitif. Hasil anlisis dari penelitian di atas adalah struktur pasar kopi robusta di pasar kopi internasional menunjukkan kecenderungan kearah pasar persaingan dengan bentuk pasar oligopoli dan memiliki keunggulan komparatif. Hasil keunggulan kompetitif industri kopi robusta Indonesia menghasilkan bahwa secara keseluruhan atribut, seperti faktor sumber daya, kondisi permintaan domestik dan struktur industri kopi robusta dalam negeri mendukung industri ini untuk berkembang. Industri kopi robusta nasional juga didukung oleh peran pemerintah dan kesempatan. Anissa (2006) melakukan penelitian tentang daya saing teh hitam Indonesia di pasar internasional (pendekatan data panel). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan besarnya pangsa pasar ekspor teh hitam Indonesia di pasar internasional serta seberapa besar faktor-faktor tersebut berpengaruh terhadap besarnya pangsa pasar ekspor teh hitam Indonesia di pasar internasional. Berdasarkan hasil pengolahan data melalui estimasi model menggunakan data panel dengan menggunakan metode fixed effect diketahui faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap pengsa pasar teh hitam Indonesia berdasarkan nilai probabilitas yang diperoleh adalah produksi teh hitam Indonesia dan jumlah konsumsi teh hitam di dalam
negeri. Sedangkan variabel yang tidak berpengaruh nyata terhadap pangsa pasar teh hitam Indonesia yaitu variabel harga riil teh hitam Indonesia dan variabel nilai tukar riil. Swaranindita (2005) melakukan penelitian daya saing komoditas udang nasional di pasar internasional. Dalam penelitiannya, digunakan alat anlisis Herfindahl Index untuk mengetahui struktur pasar, Revealed Comparative Advantage (RCA) untuk mengetahui keunggulan kompratif dan Teori Berlian Porter untuk mengetahui keunggulan kompetitif. Hasil penelitiannya adalah dalam pasar udang internasional pada periode tahun 1984-2000 terdiri dari pasar persaingan monopolistis dan oligopoli, dan dari anlisis RCA menunjukkan bahwa komoditas udang Indonesia memiliki daya saing yang kuat. Selain itu terdapat kondisi internal dan eksternal yang mempengaruhi daya saing komoditas udang nasional di pasar internasional. Persamaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah permasalahan yang diangkat dalam penelitian yang dilakukan. Dimana permasalahan yang diangkat adalah fluktuasi volume ekspor dan metode yang digunakan, sehingga tujuan dari penelitian adalah menganalisis daya saing di pasar Internasional. Perbedaan penelian ini dengan penelitian terdahulu adalah pada komoditas yang diteliti dan cakupan waktu dan ruang lingkup yang digunakan serta membandingkan dengan negara lain pada keunggulan kompetitif.
BAB III KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Teori Perdagangan Internasional Ilmu ekonomi internasional mengkaji saling ketergantungan antar negara. Ilmu ini menganalisa arus barang, jasa dan pembayaran-pembayaran antara sebuah negara dan negara-negara lain di dunia, kebijakan yang diarahkan pada pengaturan arus ini, serta pengaruhnya pada kesejahteraan negara. Saling ketergantungan ekonomi antara negara ini dipengaruhi serta mempengaruhi hubungan politik, sosial, budaya dan militer antar negara. Secara spesifik, ilmu ekonomi internasional mengakaji teori perdagangan internasional, kebijakan perdagangan internasional, pasar valuta asing dan neraca pembayaran (balance of payment), serta ilmu makroekonomi pada perekonomian terbuka. Teori perdagangan internasional menganalisa dasar-dasar terjadinya perdagangan Internasional serta keuntungan yang diperolehnya. Menurut Jaya (2001), adanya perdagangan Internasional atau terjadinya suatu negara mengekspor suatu barang terhadap negara lain diakibatkan karena eksportir memiliki keunggulan komparatif atau memiliki keunggulan absolut yang tinggi terhadap negara lain. Gambar 1. memperlihatkan proses terciptanya harga komoditi relatif ekuilibrium dengan adanya perdagangan, ditinjau dari analisis keseimbangan parsial. Kurva Dx dan kurva Sx dalam panel A dan C pada Gambar 1, masingmasing melambangkan kurva permintaan dan kurva penawaran untuk komoditi X di Negara 1 dan Negara 2. Sumbu vertikal pada ketiga panel tersebut mengukur
harga-harga relatif untuk komoditi X (Px/Py) atau jumlah komoditi Y yang harus dikorbankan oleh suatu negara dalam rangka memproduksi satu unit tambahan komoditi X). Sedangkan sumbu horizontalnya mengukur kuantitas komoditi X. Panel A pada Gambar 1 memperlihatkan bahwa dengan sebelum adanya perdagangan internasional, Negara 1 akan mengadakan produksi dan konsumsi di titik A berdasaran harga relatif komoditi X sebesar P1, sedangkan Negara 2 akan memproduksi dan berkonsumsi di titik A’ berdasarkan harga relatif P3. Setelah hubungan perdagangan berlangsung di antara kedua negara tersebut, harga relatif komoditi X akan berkisar antara P1 dan P3 seandainya kedua negara tersebut cukup besar (kekuatan ekonomiya). Apabila Px/Py lebih besar dari P1, maka Negara 1 mengalami kelebihan penawaran komoditi X (Panel A) sehingga kurva penawaran ekspornya atau S yang diperlihatkan oleh Panel B mengalami peningkatan. Dilain pihak, karena Px/Py lebih rendah dari P3, maka Negara 2 mengalami kelebihan permintaan untuk komoditi X (lihat Panel C) dan ini mengakibatkan permintaan impor Negara 2 terhadap komoditi X atau D, mengalami kenaikan (Panel B). Panel B juga menunjukkan bahwa hanya pada tingkat harga P2 maka kuantitas impor komoditi X yang diminta oleh Negara 2 akan persis sama dengan kuantitas ekspor yang ditawarkan oleh Negara 1. Dengan demikian P2 merupakan Px/Py lebih besar dari P2 maka akan terdapat kelebihan penawaran ekspor komoditi X dan hal itu akan menurunkan harga relatifnya atau Px/Py, sehingga pada akhirnya harga itu akan bergerak mendekati atau sama dengan P2. Sebaliknya jika Px/Py atau harga relatif ekuilibrium setelah berlangsung perdagangan dikedua tersebut tetapi jika Px/Py
lebih besar dari P2, maka akan tercipta kelebihan permintaan impor komoditi X yang selanjutnya akan menaikkan Px/Py sehingga lambat laun sama dengan P2. Panel A Pasar di Negara 1 Px/Py
Panel B Pasar Internasional
Panel C Pasar di Negara 2
S
Sx
P3
Sx
Px/Py
Px/Py
A’ ekspor
P2 impor
P1
Dx
A
D Dx
0
X
0
X
0
Sumber : Salvatore, Tahun 1997 Gambar 1. Harga Komoditi Relatif Ekuilibrium Setelah Perdagangan
3.1.2
Teori Keunggulan Komparatif Menurut hukum keunggulan komparatif, meskipun sebuah negara kurang
efisien dibanding (atau memiliki kerugian absolut terhadap) negara lain dalam memproduksi kedua komoditi, namun masih tetap terdapat dasar untuk melakukan perdagangan yang menguntungkan kedua belah pihak. Negara pertama harus melakukan spesialisasi dalam memproduksi dan mengekspor komoditi yang memiliki kerugian absolut lebih kecil (ini merupakan komoditi dengan keunggulan komparatif) dan mengimpor komoditi yang memiliki kerugian absolut lebih besar atau komoditi ini memiliki kerugian komparatif (Salvatore, 1997).
X
David Ricardo dalam Salvatore (1997), menjelaskan hukum keunggulan komparatif pada sejumlah asumsi yang disederhanakan, yaitu (1) hanya terdapat dua negara dan dua komoditi, (2) perdagangan bersifat bebas, (3) terdapat mobilitas tenaga kerja yang sempurna di dalam negara namun tidak ada mobilitas antara dua negara, (4) biaya produksi konstan, (5) tidak terdapat biaya transportasi, (6) tidak ada perubahan teknologi dan (7) menggunakan teori nilai tenaga kerja. Menurut teori nilai tenaga kerja, nilai atau harga sebuah komoditi tergantung dari jumlah tenaga kerja yang digunakan untuk membuat komoditi tersebut. Pernyataan ini membawa implikasi bahwa tenaga kerja adalah satusatunya faktor produksi dan bersifat homogen adalah tidak benar dan tidak dapat digunakan dalam keunggulan komparatif. Heberler dalam Salvatore (1997), menerangkan atau mendasarkan teori keunggulan komparatif pada teori biaya oportunitas. Dalam bentuk hukum ini, hukum keunggulan komparatif kadang-kadang disebut sebagai hukum biaya komparatif. Menurut teori biaya oportunitas, biaya sebuah komoditi adalah jumlah komoditi kedua harus dikorbankan untuk memperoleh sumber daya yang cukup untuk memproduksi satu unit tambahan komoditi pertama. Konsekuensi dalam teori ini adalah negara yang memiliki biaya opportunitas lebih rendah dalam memproduksi sebuah komoditi akan memiliki keunggulan komparatif dalam komoditi tersebut dan memiliki kerugian komparatif dalam komoditi kedua. Menurut teori Heckscher-Ohlin dalam Salvatore (1997), keunggulan kompartif dipengaruhi secara timbal balik oleh perbedaan-perbedaan karunia sumber daya di antara negara-negara atau variasi kelimpahan (abundance) relatif atas faktor-faktor produksi yang mempengaruhi intensitas relatif penggunaan
faktor produksi dan teknologi produksi yang mempengaruhi intensitas relatif penggunaan faktor-faktor produksi yang berbeda dalam menghasilkan berbagai macam barang. Inti sari dari teorema Heckscher-Ohlin adalah sebuah negara akan mengekspor komoditi yang produksinya lebih banyak menyerap faktor produksi yang relatif melimpah dan murah di negara tersebut, dan dalam waktu bersamaan negara itu akan mengimpor komoditi yang produksinya memerlukan sumber daya yang relatif langka dan mahal di negara tersebut. Konsep daya saing berpijak dari konsep keunggulan komparatif yang pertama kali dikenal dengan model Ricardian. Hukum keunggulan komparatif (The Low of Comparative Advantage) dari Ricardo menyatakan bahwa sekalipun suatu negara tidak memiliki keunggulan absolut dalam memproduksi dua jenis komoditas jika dibandingkan negara lain, namun perdagangan yang saling menguntungkan masih bisa berlangsung, selama rasio harga antar negara masih berbeda jika dibandingkan tidak ada perdagangan. Menurut Simatupang (1991) dan Sudaryanto dalam Saptana (2005), konsep keunggulan komparatif merupakan ukuran dayasaing (keunggulan) potensial dalam artian daya saing akan dicapai apabila perekonomian tidak mengalami distorsi sama sekali. Daya saing juga diidentifikasi sebagai tingkat kemampuan suatu negara menghasilkan barang dan jasa yang sesuai dengan tuntutan pasar internasional. Menurut Dahl (1977), keunggulan komparatif yang dimiliki oleh suatu perusahaan tidak selalu stabil atau tetap. Keunggulan komparatif dipengaruhi oleh, perubahan sumberdaya alam, perubahan faktor biologi, perubahan harga input, perubahan dalam mekanisasi, dan biaya trasportasi.
3.1.3 Teori Keunggulan Kompetitif Keunggulan kompetitif dari bangsa-bangsa di kemukakan oleh Michael Porter yang mempelajari keunggulan sebuah bangsa dalam suatu industri yang dapat dijelaskan secara lebih memadai dengan variabel-variabel selain faktor produksi yang merupakan dasar teori-teori keunggulan kompetitif dari HeckscherOhlin. Teori Porter menyatakan bahwa terdapat empat jenis variabel akan memiliki dampak atas kemampuan perusahaan-perusahaan lokal di suatu negara untuk menggunakan sumber-sumber negara itu guna memperoleh keunggulan komparatif, diantaranya adalah: kondisi permintaan, kondisi faktor, industri terkait dan pendukung, strategi, struktur dan persaingan perusahaan ( Ball, 2005). Selain faktor internal di atas, dalam perspektif Porter, faktor penentu dari keunggulan kompetitif adalah interaksi dari empat faktor spesifik dan dua faktor eksternal. Faktor eksternal tersebut adalah
peluang dan peranan pemerintah.
Dengan demikian terdapat kaitan antara kedua faktor tersebut seperti yang tergambarkan dari Gambar 2 di bawah ini, yang dikenal dengan ” the national diamond” Strategi perusahaan, Struktur dan persaingan
Peluang
Kondisi permintaan
Kondisi faktor
Pemerintah Industri terkait dan pendukung Sumber : Porter, Tahun 1990 Gambar 2. “The National Diamond System”
3.1.4
Struktur Pasar Istilah struktur pasar (market Structure) mengacu pada semua aspek
(feature) yang dapat mempengaruhi perilaku dan kinerja perusahaan di suatu pasar (misalnya, jumlah perusahaan di pasar, atau jenis produk yang mereka jual). Tingkat persaingan dari pasar mengacu pada sejauh mana perusahaan-perusahaan secara individual mempunyai pengaruh atas harga pasar atau atas syarat-syarat penjualan produk mereka, hal ini dapat dilihat dari berapa besar pangsa pasar yang diperoleh yang kemudian dapat diketahui struktur pasar yang ada (Lipsey, 1997). Menurut Pasal 1 tentang ketentuan umum dalam UU No 5 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, struktur pasar adalah keadaan pasar yang memberikan petunjuk tentang aspek-aspek yang memiliki pengaruh penting terhadap perilaku pelaku usaha dan kinerja pasar, antara lain jumlah penjual dan pembeli, hambatan masuk dan keluar pasar, keragaman produk, sistem distribusi, dan penguasaan pangsa pasar. Pangsa pasar adalah persentase nilai jual atau beli barang atau jasa tertentu yang dikuasai oleh pelaku usaha pada pasar bersangkutan dalam tahun tertentu. Struktur pasar menggambarkan pangsa pasar dari perusahaan-perusahaan dan untuk memperluas pangsa pasar, suatu perusahaan mengahadapi sejumlah rintangan. Pangsa pasar suatu perusahaan di ukur melalui penjualannya, dalam bentuk persentase dari seluruh penjualan pasar (Jaya, 2001). Hal ini berkaitan dengan daya saing suatu perusahaan. Dimana daya saing merupakan kemampuan suatu perusahaan mengatasi perubahan dan persaingan pasar dalam memperbesar dan mepertahankan keuntungannya (profitabilitas), pangsa pasar, dan/atau ukuran bisnisnya (skala usaha).
Struktur pasar juga diperlukan untuk mengetahui tingkat persaingan yang ada di pasar. Struktur pasar biasanya mempengaruhi perilaku dari perusahaan. Perilaku seperti kerjasama dengan pesaing, strategi melawan pesaing dan advertensi sekaligus dapat mempengaruhi daya saing. Sementara kinerja perusahaan seperti kemajuan teknologi, inovasi, pengalokasian yang efisien, harga dan biaya dan pola keuntungan juga mempengaruhi daya saing. Apabila semua faktor diatas dapat dilakukan dengan baik maka daya saing suatu perusahaan juga akan tinggi. Struktur pasar diantarnya terdiri dari struktur pasar persaingan sempurna, oligopoli, monopoli, dan monopolistik. 1. Pasar Persaingan Sempurna Struktur pasar persaingan sempurna memberikan tolok ukur penting untuk perbandingan dengan struktur pasar yang lain. Teori persaingan sempurna dibangun berdasarkan sejumlah asumsi kunci yang berkaitan dengan perusahaan dan industri. Asumsi pasar persaingan sempurna diantaranya adalah: semua perusahaan yang ada di pasar menjual produk yang homogen, pelanggan mengetahui sifat produk yang dijual dan harga yang di tetapkan oleh tiap-tiap perusahaan (informasi sempurna), perusahaan merupakan penerima harga (price taker), Ini berarti bahwa perusahaan dapat mengubah tingkat produksi dan penjualannya tanpa mempengaruhi secara berarti harga pasar produknya. Pada pasar ini terdapat kebebasan masuk dan keluar pasar tanpa ada aturan tertentu. Pada tingkatan ini terdapat banyak pesaing, dan masing-masing memiliki kekuatan pasar yang kecil (masing-masing memiliki kekutan yang sama). Pada tingkatan ini terdapat banyak pesaing, dan masing-masing memiliki kekuatan pasar yang kecil (masing-masing memiliki kekutan yang sama). Pada
pasar ini terdapat lebih dari 50 pesaing yang mana tidak satu pun yang memiliki pangsa pasar yang berarti. Ketika perusahaan-perusahaan saling bersaing, tidak ada perusahaan yang mampu untuk meraih pangsa pasar yang besar. Ini merupakan suatu proses persaingan yang sehat, dimana penetapan harga yang rendah, memaksa perusahaan untuk melakukan efisisensi dan merangsang kegiatan inovasi (Jaya, 2001). 2. Pasar Persaingan Monopoli Suatu industri dikatakan berstruktur monopoli bila hanya ada satu produsen atau penjual tanpa pesaing langsung atau tidak langsung, baik nyata maupun potensial. Output yang di hasilkan tidak mempunyai substitusi. Perusahaan tidak memiliki pesaing karena adanya hambatan bagi perusahaan lain untuk memasuki industri yang bersangkutan. Dilihat dari penyebabnya, hambatan masuk dikelompokkan menjadi hambatan teknis dan hambatan legalitas. Ketidakmampuan bersaing secara teknis menyebabkan perusahaan lain sulit untuk bersaing dengan perusahaan yang sudah ada. Keunggulan secara teknis ini disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya; perusahaan
memiliki
memungkinkan
kemampuan
berproduksi
sangat
dan
atau
efisien,
pengetahuan tingginya
khusus
tingkat
yang
efisiensi
memungkinkan perusahaan monopolis mempunyai kurva biaya (MC dan AC) menurun, dan perusahaan memiliki kemampuan kontrol sumber faktor produksi, baik berupa sumber daya alam, sumber daya manusia maupun lokasi produksi. Perusahan-perusahaan yang mempunyai daya monopoli karena kemampuan teknis disebut perusahaan monopoli alamiah. Sedangkan hambatan legalitas adalah Undang-Undang dan hak khusus, dan hak paten atau hak cipta.
Posisi perusahaan monopolis adalah penentu harga. Jika suatu perusahaan memiliki pangsa pasar sebesar 100 persen, maka perusahan itu dikatakan monopoli penuh. Pada pangsa pasar 10 persen sampai 100 persen, tingkat kekuatan monopoli meningkat sebanding dengan meningkatnya pangsa pasar. Apabila terdapat satu atau beberapa perusahaan memperoleh pangsa pasar yang jauh lebih tinggi dari perusahaan lain, mereka akan memperoleh keuntungan lebih dengan menentukan harga di atas biaya (sehingga harga menjadi lebih mahal). Perusahaan tersebut juga biasanya membatasi output yang mereka produksi sehingga harga menjadi lebih mahal (sesuai hukum permintaan). Monopoli terjadi bila perusahaan mampu mengontrol hasil pasar. Hal ini berarti bahwa perusahaan dapat menaikkan harga, mengurangi kuantitas, mengubah sifat dari suatu produk, memperlambat pembaharuan, merubah kekayaan dan mengubah hasil pasar lainnya. Kekuatan monopoli diantaranya diperoleh dari pembelian perusahaan pesaingnya (merger), skala ekonomis, inovasi yang superior, input kunci serta dukungan pemerintah (Jaya, 2001). 3. Pasar Persaingan Oligopoli Pasar oligopoli adalah industri yang terdiri dari atas dua atau beberapa perusahaan, sedikitnya satu diantaranya menghasilkan sebagian cukup besar dari keluaran total industri. Struktur oligopoli juga menggambarkan keberadaan beberapa perusahaan dominan, dimana masing-masing dari mereka cukup besar untuk mempengaruhi harga akan tetapi tidak ada satu pun yang mampu meraih status sebagai monopolis yang tidak memiliki pesaing sama sekali (Salvatore, 1997). Berlawanan dengan monopoli (yang tidak memiliki pesaing) dan dengan perusahaan persaingan monopolistik (yang menghadapi banyak pesaing)
perusahaan oligopoli menghadapi sedikit pesaing. Jumlah pesaing cukup sedikit bagi masing-masing perusahaan untuk menyadari bahwa para pesaingnya mungkin bereaksi terhadap apapun yang dilakukannya dan bahwa perusahaan harus memperhitungkan reaksi tersebut. Persaingan yang terjadi dapat terjadi dalam bentuk harga maupun non harga. Produk yang di perjual belikan dapat bersifat homogen atau terdeferensiasi. Pada struktur oligopoli terdapat oligopoli ketat dan oligopoli longgar. Oligopoli ketat merupakan kondisi dimana empat perusahaan terbesar memiliki pangsa pasar gabungan lebih dari 60 persen. Mereka memiliki permintaan yang inelastis dan mereka biasanya bekerjasama dalam penentuan harga (berkolusi). Sementara oligopoli longgar merupakan kondisi dimana empat perusahaan terbesar memiliki pangsa pasar gabungan kurang dari atau sama dengan 40 persen dari pangsa pasar,permintaan relatif elastis sehingga setiap perusahaan mendorong harga turun sampai mendekati tingkat biaya, kemudian kesepakatan diantara mereka untuk menetapkan harga tidak terjadi. Ciri utama dari oligopoli adalah hadirnya beberapa kelompok perusahaan terkemuka ditambah sekelompok pesaing-pesaing kecil. Perusahaan-perusahaan yang memiliki pangsa pasar terbesar harus tetap waspada akan tindakan yang diambil oleh pihak-pihak diantara mereka, dengan merencanakan secara cermat serta siap menghadapi taktik dari perusahaan lain. Setiap tindakan perusahaan tergantung pada apa yang dilakukan pesaing. Pilihan tindakannya sendiri seringkali tergantung pada kebijakasanaan yang diambil oleh pesaing terdekat. Pada struktur oligopoli perusahaan-perusahaan terbesar juga dapat melakukan kerjasama. Hal ini dikarekan tiap oligopolis menyadari bahwa jika seluruh
perusahaan dalam industri bekerjasama, mereka akan bisa memaksimumkan total keuntungan. Keinginan para oligopolis untuk berkolusi juga dikarenakan oleh semakin baiknya informasi penjual dari pembeli. Apabila pemotongan harga cepat diketahui maka para oligopolis tidak boleh melakukannya karena akan dapat mudah dilawan dan dikalahkan. Oleh karena itu, seperti yang sudah dikemukakan George J. Stinger dalam Jaya 2001, para oligopolis yang tidak konvensional perlu menyembunyikan pemotonganpemotongan harga mereka. Oligopoli dengan kolusi dapat dipertahankan informasi diantara para penjual tidak boleh berkurang bahkan harus terus ditingkatkan. Sebaliknya pengetahuan para pembeli tidak boleh bertambah. Hal ini sesuai dengan aturan bahwa informasi yang lengkap bagi para pembeli adalah syarat terjadinya persaingan yang efektif pula. Jika syarat ini tercapai maka kolusi antar perusahaan oligopoli akan sulit diwujudkan (Jaya, 2001). 4. Pasar Persaingan Monopolistik Struktur pasar ini serupa dengan persaingan sempurna dalam hal bahwa industri terdiri atas banyak perusahaan yang menunjukkan kebebasan masuk dan keluar. Jika perusahaan-perusahaan dalam persaingan sempurna menjual produk yang homogen dan merupakan pengikut harga perusahaan-perusahaan di persaingan monopolistik menjual produk terdiferensiasi dan mempunyai pengaruh tertentu atas harga dari produk mereka sendiri. Setiap perusahaan dapat menaikkan harganya meskipun pesaingnya tidak, tanpa kehilangan seluruh penjualannya. Tidak adanya ketergantungan antar individu perusahaan. Tidak ada satupun perusahaan yang mempunyai pangsa pasar yang cukup luas untuk bisa
mempengaruhi pangsa pasar yang tersisa. Setiap peusahaan akan merasakan tekanan persaingan yang berasal dari semua perusahaan di dalam pasar.
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan yang peranannya cukup penting bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan dan devisa negara. Disamping itu kakao juga berperan dalam mendorong pengembangan wilayah dan pengembangan agroindustri. Indonesia memiliki potensi untuk menjadi produsen utama kakao dunia. Namun Indonesia mengalami pertumbuhan volume ekspor kakao yang fluktuatif dan kualitas yang rendah, hal ini tentunya akan mempengaruhi daya saingnya di pasar internasional. Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui daya saing kakao Indonesia di pasar Internasional dengan menganalisis struktur pasar dalam perdagangan biji kakao serta menganalisis posisi daya saing kakao di pasar Internasional. Analisis Herfindahl Index dan rasio kosentrasi dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui struktur pasar dan pangsa pasar biji kakao Indonesia di pasar internasional. Pada hasil perhitungan Herfindahl Index tidak hanya dapat diketahui struktur pasar yang berlaku namun juga berapa besar kontrol pasar dan tingkat persaing di pasar tersebut. Nilai Herfindahl Index yang semakin menurun menunjukkan kontrol pasar yang semakin menurun dengan persaingan yang semakin meningkat, begitu juga sebaliknya. Pada penelitian ini juga menggunakan analisis kuantitatif lain yaitu Revealed Comparative Index (RCA). RCA tersebut digunakan untuk menjelaskan kekuatan daya saing komoditas biji kakao Indonesia secara relatif terhadap produk
sejenis dari negara lain (dunia) yang juga menggunakan posisi komparatif Indonesia sebagai produsen kakao dibandingkan dengan negara lainnya dalam pasar kakao internasional. Daya saing komoditas biji kakao Indonesia dikatakan kuat jika nilai RCA lebih dari satu, artinya pangsa pasar kelompok komoditi agribisnis dunia (pesaing Indonesia) di pasar Internasional. Keunggulan komparatif adalah “yang terungkap” dengan pola perdagangan yang teramati karena harga relatif perdagangan tidak terlihat. Keunggulam kompetitif komoditas biji kakao Indonesia di analisis dengan menggunakan Porter’s Diamond Theory. Teori yang menganalisis tentang faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi keunggulan kompetitif suatu negara. Sedangkan analisis SWOT digunakan untuk mengetahui strategi apa yang dapat memperkuat daya saing kakao Indonesia di pasar Internasional dengan kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang ada. Analisis SWOT didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Stenghts) dan peluang (Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Treats). Dimana Input untuk menghasilkan keunggulan kompetitif adalah dari keunggulan komparatif dan struktur pasar, sedangkan input yang digunakan oleh SWOT untuk mengetahui strategi adalah keunggulan kompetitif. Untuk lebih jelasnya akan diperlihatkan diagram alur pemikiran dari penelitian ini dalam gambar 3.
-
Sebagian besar hasil produksi Kakao di ekspor ke luar negeri Indonesia merupakan salah satu produsen dan eksportir Kakao terbesar di dunia
-
Sebagian besar perkebunan rakyat Volume ekspornya fluktuatif
Analisis Daya Saing Komoditas Biji Kakao Indonesia
Analisis Struktur Pasar Biji Kakao Dunia (Herfindahl Index dan Concentration Ratio)
Struktur Pasar
Analisis Keunggulan Komparatif Komoditas Biji Kakao Indonesia (Analisis RCA)
Kekuatan Daya Saing
Analisis Keunggulan Kompetitif Komoditas Biji Kakao Indonesia (Teori Berlian Porter)
Faktor Internal dan Eksternal
Posisi Daya Saing Biji Kakao Indonesia di Pasar Internasional
Strategi Untuk Memperkuat Daya Saing Kakao Indonesia di Pasar Internasional (Analisis SWOT)
Gambar 3. Kerangka Pemikiran Operasional
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini melingkupi bahasan mengenai posisi daya saing kakao Indonesia di Pasar Internasional. Penelitian ini di mulai dari bulan April sampai dengan bulan juli tahun 2008.
4.2 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berupa data time series selama enam tahun dari tahun 2001 sampai tahun 2006. Data yang digunakan dalam penelitian diantaranya adalah produksi dan nilai ekspor biji kakao berdasarkan masing-masing negara dan nilai ekspor semua komoditas masing-masing negara yang di perbandingakan. Kemudian untuk mengkaji keunggulan kompetitif menggunakan informasi yang menyangkut potensi kakao di Indonesia. Sumber data diperoleh dari Departemen Perdagangan, United Nation Commodity Trade Statistics Database (UN Comtrade) yang ditelusuri melalui jaringan internet, International Cocoa Organization (ICCO), Asosiasi Kakao Indonesia (ASKINDO) dan Departemen Pertanian. Sumber informasi lainnya diperoleh dari buku, artikel, jurnal dan media masa elektronik.
4.3 Metode Analisis dan Pengolahan Data Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif
dan
metode
kuantitatif.
Metode
deskriptif
digunakan
untuk
menganalisis keunggulan kompetitif kakao Indonesia di pasar internasional dilihat
dari kondisi internal dan eksternal dan analisis SWOT untuk merumuskan strategi dalam memperkuat daya saing kakao Indonesia di pasar internasional. Metode kuantitatif digunakan untuk menganlisis struktur dan pangsa pasar
dengan
menggunakan analisis Herfindahl index dan keunggulan komparatif kakao Indonesia di pasar internasional dengan menggunakan analisis Revealed Comparative Advantage (RCA). Pada penelitian ini digunakan Microsoft Excel 2003 sebagai pengolah data untuk analisa kuantitatif.
4.3.1 Analisis Konsentrasi Pasar Untuk mengetahui tingkat konsentrasi pasar biji kakao di pasar internasional, di dalam penelitian ini di gunakan alat analisis Concentration Ratio (CR) dan Herfindahl Index (HI). Setelah menganalisis tingkat konsentrasi pasar maka akan dapat diketahui struktur pasar atau bentuk pasar yang dihadapi oleh perdagangan komoditi biji kakao yang dapat menentukan tingkat perasaingan. Pengukuran tingkat konsentrasi juga memperhitungkan pangsa pasar tiap negara dalam perdagangan biji kakao di pasar internasional. Concentration Ratio digunakan untuk mengukur persentase pangsa pasar. Nilai concentration ratio yang banyak digunakan adalah CR4 dan CR8 yang merupakan output pasar yang dihasilkan oleh 4 atau 8 produsen terbesar dalam industri. Apabila rasio konsentrasi rendah, maka pasar komoditi biji kakao cenderung terdiri dari banyak negara produsen dan persaingan cenderung tajam. Namun apabila rasio konsentrasi tinggi maka negara-negara produsen terbesar mendominasi dan cenderung berpotensi dan berperan dalam penentuan harga dan laba ekonomi. Sementara itu dalam penelitian ini, rasio konsentrasi pasar yang digunakan adalah CR4, yang dirumuskan sbb:
CR4 = Sij1 + Sij2 + Sij3 + Sij4 Dimana : CR4 : Nilai konsentrasi pasar 4 produsen terbesar komoditi biji kakao di dunia Sij
: Pangsa
pasar komoditi i negara j di dunia
Apabila nilai CR4 mendekati nol maka rasio konsentrasi pasar sangat rendah dengan struktur pasar persaingan sempurna (perfect competition). Apabila nilai konsentrasi untuk empat produsen terbesar (CR4) di bawah 40 persen menunjukkan struktur persaingan monopolistik. Struktur pasar oligopoli di tunjukkan dengan nilai CR4 di atas 40 persen. Jika nilai rasio konsentrasi empat produsen tersebar mendekati 100 persen maka nilai tersebut menunjukkan struktur pasar monopoli. Herfindahl Index (HI) digunakan untuk mengukur konsentrasi pasar komoditi biji kakao dengan menjumlahkan seluruh kuadrat pangsa pasar tiap negara. Formula Herfindahl Index adalah sebagai berikut : HI = Sij12 + Sij22 + Sij32 + ....................+ Sijn2 Dimana : Sij : Pangsa pasar komoditi i negara j di dunia n
: Jumlah negara produsen komoditi i di dunia Kisaran nilai HI yang diperoleh yaitu antara 0 dan 1 (atau 10.000 yang
merupakan kuadrat dari 100). Jika nilai HI mendekati 0, maka struktur pasar yang ada mengarah pada pasar persaingan sempurna. Namun apabila nilai HI mendekati 1 (atau 10.000), maka struktur pasar yang ada mengarah pada pasar monopoli. Tingkat konsentrasi pasar dapat dirumuskan dari HI dan CR4 adalah sebagaimana di tunjukkan oleh Tabel 13 berikut ini :
Tabel 13. Tingkat Konsentrasi Pasar Tingkatan CR4 Tinggi 80-100 % Sedang 50-80% Rendah 0-50%
HI 1.800-10.000 1000-1.800 0-1000
Dari Tabel 13 di atas, dapat kita simpulkan sbb: 1. Konsentrasi pasar yang tinggi dicirikan dengan nilai CR4 yang kisaran nilainya antara 80 sampai 100 persen. Sedangkan kisaran nilai HI yaitu antara 1.800 sampai 10.000. Dalam hal ini bentuk pasar yang mungkin untuk tingkat konsentrasi tinggi adalah monopoli atau sedikit monopoli cenderung oligopoli. 2. Konsentrasi pasar sedang dicirikan dengan nilai CR4 yang kisaran nilainya antara 50 sampai 80 persen. Sedangkan kisaran nilai HI yaitu antara 1000 sampai 1.800. bentuk pasar untuk tingkat konsentrasi sedang adalah lebih banyak oligopoli. 3. Konsentrasi pasar rendah dicirikan dengan nilai CR4 yang kisaran nilainya antara 0 sampai 50 persen dan HI antara 0 sampai 1.000. Bentuk pasar yang mungkin adalah pasar persaingan sempurna atau sekurang-kurangnya adalah pasar persaingan monopolistik.
4.3.2 Revealed Comparative Advantage (RCA) Keunggulan komparatif dapat di ukur dengan menggunakan alat analisis Revealed Comparative Advantage (RCA) yang membandingkan pangsa pasar ekspor sektor tertentu suatu negara dengan pangsa pasar sektor tertentu negara lainnya yang menunjukkan daya saing industri suatu negara. Dalam penelitian ini digunakan enam negera sebagai pembanding keunggulan komparatif dari biji kakao Indonesia di pasar internasional. Keenam negara tersebut diantaranya
antara lain adalah Pantai gading, Ghana, Indonesia, Kamerun, Ekuador dan Belgium. Formula RCA dapat dirumuskan sebagai berikut :
⎛ ⎞ ⎜ X ij ⎟ ⎜ X ∑i ij ⎟⎟⎠ ⎜ ⎝ RCA = ⎛ ∑ X ij ⎞ ⎜ j ⎟ ⎜ X ij ⎟⎟ ∑∑ ⎜ i j ⎝ ⎠ Dimana : Xij
: nilai ekspor komoditas i negara j
∑X
ij
: total nilai ekspor komoditas i seluruh dunia
∑X
ij
: total nilai ekspor negara j untuk seluruh komoditas
i
j
∑∑ X i
ij
: total nilai ekspor dunia untuk seluruh komoditas
j
Jika nilai RCA lebih kecil dari 1 atau mendekati 0 maka negara tersebut tidak memiliki keunggulan komparatif atau daya saing yang lemah pada komoditas biji kakao. Jika nilai RCA lebih besar dari 1, maka negara tersebut memiliki keunggulan komparatif atau daya saing yang kuat pada komoditas biji kakao tersebut.
4.3.3 Teori Berlian Porter Menurut Porter, suatu negara memperoleh keunggulan daya saing jika perusahaan (yang ada di negara tersebut) kompetitif. Daya saing suatu negara ditentukan oleh kemampuan industri melakukan inovasi dan meningkatkan kemampuannya. Porter menawarkan Diamond Model sebagai alat analisis sekaligus kerangka dalam membangun dan memperkuat daya saing. Menurut Michael E. Porter, terdapat empat jenis variabel yang mempunyai dampak atas
kemampuan perusahaan-perusahaan lokal di suatu negara untuk menggunakan sumber-sumber negara itu guna memperoleh keunggulan kompetitif diantaranya adalah : 1. Kondisi Faktor, yaitu faktor produksi atau input yang digunakan dalam produksi, seperti tenaga kerja (sumberdaya manusia), sumberdaya alam, modal, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan infrastruktur. Komponen tersebut menentukan keunggulan kompetitif suatu negara, apabila memiliki faktor produksi seperti ketersediaan bahan mentah, tenaga kerja terlatih yang ditunjang dengan penguasaan ilmu pengetahuan yang cukup. Ketersediaan faktor tersebut juga harus di dukung oleh biaya dan modal serta aksesibilitas dalam memperoleh biaya dan modal tersebut serta kondisi sarana dan prasarana (infrastruktur) yang memadai. 2. Kondisi Permintaan, yaitu sifat dasar dari permintaan domestik (komposisi dari permintaan dalam suatu pasar dan ukuran dan pertumbuhan pasar). Apabila para perusahaan memiliki pelanggan yang artinya memiliki permintaan atas produknya, perusahaan akan berusaha memproduksi produk-produk yang berkualitas tinggi dan inovatif, dan dalam melakukan hal itu memperoleh keunggulan kompetitif dimana tekanan domestik lebih kecil. Hal ini sebaliknya tidak akan terjadi apabila lebih banyak perusahaan yang memperkenalkan produk-produk baru secara global, maka variabel itu akan menjadi kurang penting. 3. Industri terkait dan industri pendukung. Ketika industri pendukung mampu bersaing secara kompetitif, perusahaan dapat menikmati biaya dengan lebih efektif dan input yang inovatif. Industri terkait dan pendukung akan
semakin memperkuat posisi bersaing suatu negara apabila supplier dan industri pendukung merupakan pesaing global yang kuat dalam perdagangan. 4. Strategi, struktur, dan persaingan perusahaan, yaitu perluasan persaingan domestik, adanya hambatan-hambatan untuk masuk, serta organisasi dan gaya manajemen perusahaan. Porter mengungkapkan bahwa perusahaan yang mengalami persaingan berat di pasar-pasar domestiknya secara konstan akan meningkatkan efisiensinya, yang membuat mereka lebih kompetitif secara internasional. 5. Peran Pemerintah, yaitu tidak memiliki pengaruh secara langsung terhadap daya saing. Pemerintah bertindak sebagai fasilitator yang dapat memperbaiki kondisi faktor daya saing. Pemerintah juga berperan sebagai regulator yang mempengaruhi daya saing dengan kebijakan yang dapat memperkuat atau memperlemah faktor penentu daya saing. 6. Peran Peluang, yaitu letaknya berada di luar kendali perusahaan ataupun pemerintah. Peran peluang dapat mempengaruhi daya saing, seperti penemuan baru yang murni dan perubahan nilai mata uang serta peningkatan permintaan yang lebih besar dari pasokannya atau kondisi politik yang menguntungkan sehingga dapat meningkatkan daya saing.
4.3.4 Matriks SWOT (Strengths, Weaknesses, Oppotunities,Treaths) Matriks Strengths, Weaknesses, Oppotunities,Treaths (SWOT) merupakan matriks yang menggambarkan bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi perusahaan disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya. Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis
untuk merumuskan strategi perusahaan. Matriks ini dapat menggambarkan secara jelas bagaiman peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi perusahaan dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya. Internal STRENGTHS - S
WEAKNESSES – W
STRATEGI – SO
STRATEGI WO
Eksternal OPPORTUNITIES – O
Gunakan kekuatan untuk Atasi memanfaatkan peluang
kelemahan
dengan memanfaatkan pelaung
TREATHS - T
STRATEGI – ST
STRATEGI WT
Gunakan kekuatan untuk Meminimalkan menghindari ancaman
kelemahan
dan
mengindari ancaman Sumber: Rangkuti, 2006 Gambar 4. Matriks Strengths, Weaknesses, Oppotunities,Treaths (SWOT) Matriks ini menghasilkan empat set kemungkinan alternatif strategis, yaitu Strategi SO, strategi WO, strategi ST, dan strategi WT (Rangkuti, 2006). a. Strategi SO Strategi ini dibuat berdasarkan jalan pikiran perusahaan, yaitu dengan memanfaatkan seluruh kekuatan untuk merebut dan memanfaatkan peluang sebesar-besarnya. b. Strategi WO Startegi ini diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada.
c. Strategi ST Ini adalah strategi dalam menggunakan kekuatan yang dimiliki perusahaan untuk mengatasi ancaman. d. Strategi WT Strategi ini didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensif dan berusaha meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman.
BAB V STRUKTUR PASAR DAN DAYA SAING KAKAO INDONESIA DI PASAR INTERNASIONAL
5.1 Struktur Pasar Kakao di Pasar Internasional Struktur pasar kakao dapat diketahui dengan menggunakan rumus
Herfindahl Index dimana penguasaan pangsa pasar masing-masing negara produsen kakao diketahui. Tingkat konsentrasi pasar akan mengarah pada bentuk Pasar Internasional, dimana bentuk pasar akan mempengaruhi tingkat persaingan. Berdasarkan data yang diperoleh pada periode tahun 2001 sampai dengan tahun 2006. Pada Tabel 14, jumlah negara eksportir berfluktuatif, hal ini disebabkan karena kurangnya kontinuitas negara produsen mengekspor komoditas kakao.
Tabel 14. Struktur Pasar Kakao Internasional Berdasarkan Herfindahl Index dan Rasio Konsentrasi Tahun 2001-2006. Jumlah Negara Nilai Herfindahl Tahun Nilai CR4 (%) Eksportir Index 2001 73 2.819 80 2002 77 2.979 84 2003 84 2.793 82 2004 76 2.441 80 2005 74 2.545 84 2006 67 2.151 80 Rata-Rata 75 2.621 82 Sumber : United Nations Commodity Trade (COMTRADE) Statistics Database, 2007. (Diolah).
Pada Tabel 14 dapat dilihat bahwa nilai rata-rata Herfindahl index pada tahun 2001 sampai dengan tahun 2006 sebesar 2.621 dengan tingkat konsentrasi pasar tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa komoditas kakao di pasar internasional adalah sedikit monopoli namun cenderung oligopoli. Nilai Hefindahl Index kakao dunia selama periode tahun 2001 sampai dengan tahun 2006 berkisar antara 2.151
sampai dengan 2.979. Pada tahun 2006 nilai Hefindahl Index sebesar 2.151, ini merupakan nilai terkecil dari pada tahun-tahun sebelumnya. Rendahnya nilai
Hefindahl Index dikarenakan kompetisi diantara beberapa negara terbesar semakin ketat, dalam hal ini pangsa pasar negara Pantai Gading menurun namun pangsa pasar Ghana dan Indonesia meningkat (Tabel 15). Sementara nilai Hefindahl
Index tertinggi terjadi pada tahun 2002 sebesar 2.979. Besarnya nilai Hefindahl Index dikarenakan pangsa pasar yang dimiliki Pantai Gading sangat dominan diantara pangsa pasar yang dimiliki oleh negara terbesar lainnya (Tabel 15) sehingga kompetisi diantara negara-negara terbesar rendah.
Tabel 15. Pangsa Pasar (Market Share) Lima Negara Eksportir komoditas Kakao Tahun 2001-2006. Pangsa Pasar (Market Share) (%) Negara 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Pantai Gading 49,06 50,02 47,49 40,39 41,98 33,84 Ghana 12,61 13,89 18,50 25,06 22,56 26,07 Indonesia 13,25 14,82 11,22 9,24 13,33 14,72 Kamerun 5,49 5,48 4,93 5,74 5,97 5,27 Belgium 2,24 3,33 4,28 5,09 6,63 5,74 Sumber : United Nations Commodity Trade (COMTRADE) Statistics Database, 2007. (diolah)
Struktur pasar komoditas kakao di pasar Internasional juga dapat diketahui dengan menggunakan analisis konsentrasi pasar. Pada penelitian ini digunakan analisis CR4 dengan melihat pangsa pasar empat negara produsen kakao terbesar dunia untuk mengetahui struktur pasar kakao dunia. Rasio tingkat konsentrasi yang ditunjukkan dengan nilai CR4 memperlihatkan kecenderungan dimana empat negara produsen terbesar menguasai lebih dari 80 persen pangsa pasar selama periode tahun 2001 sampai dengan tahun 2006. Pada periode tahun 2001 sampai dengan tahun 2004, empat negara produsen terbesar yang memiliki pangsa pasar yang besar adalah Pantai Gading,
Ghana, Indonesia dan Kamerun. Sementara itu, pada tahun 2005 dan 2006 Belgium masuk sebagai salah satu empat negara di dunia yang memiliki pangsa pasar terbesar. Sehingga pada tahun tersebut, kedudukan Kamerun sebagai negara pengekspor terbesar ke empat dunia tergeser oleh Belgium. Tegesernya Kamerun oleh Belgium dikarenakan oleh jumlah nilai ekspor kakao negara Kamerun pada tahun tersebut lebih rendah dari pada Belgium. Pada tahun 2005 nilai ekspor kakao Belgium sebesar US$ 232.640.136 dan tahun 2006 sebesar US$ 241407867, sedangkan Kamerun memiliki nilai ekspor kakao pada tahun 2005 sebesar US$ 209.586.826 dan tahun 2006 sebesar US$ 221.862.555 (Unstats, 2006). Berdasarkan hasil analisis konsentrasi pasar pada empat negara produsen terbesar Kakao dunia, pada periode tahun 2001 sampai dengan tahun 2006 memiliki rata-rata nilai CR4 sebesar 82 persen atau memiliki tingkat konsentrasi pasar tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa struktur pasar kakao adalah sedikit monopoli namun cenderung oligopoli. Sehingga berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan Herfindahl Index dan rasio konsentrasi struktur pasar kakao di Pasar Internasional adalah sedikit monopoli namun cenderung oligopoli. Namun apabila dilihat dari tingkat konsentrasi dan pangsa pasar yang ada, struktur pasar kakao di Pasar Internasional yang lebih memungkinkan adalah oligopoli namun sedikit memiliki kekuatan monopoli. Hal ini juga diungkapkan dalam Undang-Undang No 5 Tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan tidak sehat. Pada pasal 4 yang termasuk praktek oligopoli apabila dua atau tiga pelaku usaha menguasai lebih dari 75 persen pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu, sedangkan pada
pasal 17 yang termasuk praktek yang dicurigai monopoli adalah satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50 persen pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu dan mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan barang atau jasa tertentu. Selain dengan analisis Herfindahl index dan rasio konsentrasi, diferensiasi produk dan hambatan masuk atau keluar pasar juga merupakan salah satu cara untuk mengetahui struktur pasar. Pada pasar internasional, komoditas kakao yang diperdagangkan adalah sama, yaitu biji kakao. Struktur pasar kakao di Internasional memiliki ciri-ciri oligopoli karena barang yang diperdagangkan bersifat homogen. Dilihat dari rintangan atau hambatan dalam memasuki pasar dari sisi produsen terdapat hambatan untuk masuk dalam pasar kakao internasional. Hal ini terlihat dari kualitas ekspor kakao yang harus sesuai dengan standar Internasonal. Apabila suatu negara memiliki kualitas kakao yang rendah maka kakao tersebut akan di kembalikan ke negara asalnya, seperti halnya Indonesia sebagai negara pengekspor terbesar kakao dunia tidak terlepas dari proses karantina, sehingga apabila kualitas kakao terbilang tidak memenuhi standar internasional maka kakao tersebut dikembalikan ke Indonesia. 3 Dilihat dari sisi harga, Indonesia merupakan penerima harga. Negara Pantai Gading, Ghana, Kamerun dan Nigeria yang tergabung dalam International Cocoa Organisasi melakukan kerjasama untuk mengontrol harga kakao dunia dan dalam penetapan harga Kakao. 4
3 27 Juni 2008. Wawancara dengan Midiati (Kepala Seksi Bimbingan dan Pengembangan Usaha Subdit Tanaman Penyegar). Direktorat Perkebunan. 4
International Labour Rights Fund. 2002. The world Bank and IMF Policies in Cote d Ivoire. www.worldagroforestry.org. [6 Juni 2008]
5.2
5.2.1
Daya Saing Kakao Indonesia dengan Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitf Analisis Keunggulan Komparatif Kakao Indonesia Internasional: Revealed Comparative Adventage (RCA)
di
Pasar
Daya saing kakao Indonesia dapat dilihat dari keunggulan komparatif yang dimiliki yang diukur dengan menggunakan Indeks Revealed Comparative
Advantage (RCA). Negara yang memiliki keunggulan komparatif dan berdaya saing kuat ditunjukkan dengan semakin tingginya nilai Indeks RCA atau komoditi dengan nilai RCA diatas satu dapat dikatakan memiliki keunggulan komparatif. Negara-negara yang diperbandingkan untuk mengetahui keunggulan komparatif kakao Indonesia adalah Pantai Gading, Ghana, Kamerun, Ekuador dan Belgium. Pada Tabel 16, Berdasarkan hasil perhitungan RCA diperoleh bahwa Indonesia memiliki keunggulan komparatif selama tahun 2001-2006 dengan indeks RCA yang dimiliki Indonesia lebih dari satu. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki keunggulan komparatif pada komoditas kakao. Tabel 16. Keunggulan Komparatif Kakao berdasarkan Hasil Analisis Revealed Comparative Advantage Enam Negara Eksportir Kakao Tahun 2001-2006 RCA 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Kamerun 183,59 185,99 155,46 202,19 239,00 164,91 Pantai Gading 784,28 617,97 623,27 534,97 565,98 465,29 Ghana 428,91 504,23 572,98 1227,27 396,12 808,23 Indonesia 13,73 15,93 13,24 12,48 15,20 16,36 Ekuador 33,55 31,56 36,72 29,28 40,40 29,99 Belgium 0,69 0,95 1,21 1,45 1,94 1,74 Sumber : United Nations Commodity Trade (COMTRADE) Statistics Database, 2007. (diolah).
Nilai RCA Indonesia tertinggi diperoleh pada tahun 2006 yaitu sebesar 16,32, sedangkan pada tahun 2003 dan 2004 nilai RCA Indonesia mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan nilai ekspor kakao Indonesia pada tahun tersebut menurun. Pada Gambar 4, terlihat bahwa nilai RCA Indonesia pada periode tahun
2001 sampai dengan 2006 cenderung mengalami fluktuatif. Hal ini dikarenakan pada periode tersebut, pangsa pasar kakao Indonesia di pasar internasional juga berfluktuatif.
RCA
18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 1
2
3
4
5
6
RCA
Sumber : United Nations Commodity Trade (COMTRADE) Statistics Database, 2007. (diolah).
Gambar 5. Keunggulan Komparatif Kakao Indonesia Berdasarkan Hasil Analisis Revealed Comparative Adventage Tahun 2001-2006 Nilai RCA negara Belgium memperlihatkan bahwa negara tersebut tidak memiliki keunggulan komparatif pada tahun 2001 dan 2002, namun pada tahun 2003 sampai dengan tahun 2006 Belgium mulai memiliki keunggulan komparatif dengan nilai RCA yang dimilikinya yaitu lebih dari satu. Pada tahun 2004 dan 2006, Ghana sebagai negara pengekspor terbesar kedua memiliki keunggulan komparatif yang lebih tinggi dari pada Pantai Gading, terlihat dari nilai RCA Ghana pada tahun tersebut lebih tinggi dari pada Pantai Gading. Hal ini dikarenakan nilai ekspor Ghana seluruh komoditas pada tahun tersebut lebih rendah dibandingkan Pantai Gading, yaitu US$ 6.578.856.275 Tahun 2004 dan US$ 8.147.735.548 Tahun 2006 untuk Pantai Gading dan US$ 1.779.096.873
Tahun 2004 dan US$ 3.613.993.659 Tahun 2006 untuk Ghana sedangkan nilai ekspor kakao Pantai Gading lebih besar dari pada Ghana. Berdasarkan Tabel 17, meskipun Indonesia merupakan negara eksportir ketiga setelah Pantai Gading dan Ghana atau memiliki pangsa pasar yang lebih besar dari pada Kamerun dan Ekuador, namun nilai RCA Indonesia masih lebih rendah dari Kamerun dan Ekuador. Hal ini berarti bahwa daya saing Indonesia menempati peringkat kelima jika dibandingkan dengan keenam negara lainnya. Pada penelitian ini dari keenam negara yang diperbandingkan, semua negara memiliki keunggulan komparatif (nilai RCA lebih dari satu), terkecuali Belgium. Pada dua tahun pertama
belgium tidak memiliki keunggulan
komparatif. Rendahnya nilai RCA Indonesia dikarenakan total nilai ekspor seluruh komoditi memiliki nilai yang lebih besar daripada Kamerun dan Ekuador. Pada Tabel 17 dapat dilihat bahwa pangsa pasar Indonesia berfluktuatif. Hal ini merupakan dampak dari nilai ekspor kakao Indonesia yang juga mengalami fluktuatif. Pantai Gading merupakan negara yang memiliki pangsa terbesar dengan pangsa tertinggi mencapai 50,02 persen pada tahun 2002. Pantai Gading memiliki rata-rata pangsa pasar hampir 44 persen. Pangsa pasar Pantai Gading cenderung mengalami penurunan. Diantara negara ekspotir lainnya Ekuador memiliki pangsa pasar terendah. Sementara Ghana sebagai negara eksportir terbesar kedua cenderung mengalami peningkatan pangsa pasar. Hal yang sama tidak terjadi pada pangsa pasar Kamerun yang memperlihatkan pangsa pasar yang dimilikinya cenderung stabil atau berada pada pangsa pasar rata-rata 5,5 persen.
Tabel 17. Pangsa Pasar (Market Share) Enam Negara Eksportir Komoditas Kakao Tahun 2001-2006. Pangsa Pasar (Market Share) (%) Negara 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Pantai Gading 49,06 50,02 47,49 40,39 41,98 33,84 Ghana 12,61 13,89 18,50 25,06 22,56 26,07 Indonesia 13,25 14,82 11,22 9,24 13,33 14,72 Kamerun 5,49 5,48 4,93 5,74 5,97 5,27 Ekuador 2,67 2,59 3,08 2,55 3,25 3,41 Belgium 2,24 3,33 4,28 5,09 6,63 5,74 Sumber: United Nations Commodity Trade (COMTRADE) Statistics Database, 2007. (diolah).
Berdasarkan hasil perhitungan RCA dan pangsa pasar, dapat dilihat bahwa Indonesia memiliki keunggulan komparatif atau daya saing dengan pangsa pasar rata-rata sebesar 13 persen. Pangsa pasar Indonesia terendah terjadi pada tahun 2004 yaitu sebesar 9,24 persen. Hal ini dikarenakan nilai ekspor kakao Indonesia pada tahun tersebut juga rendah. Sementara itu pada Tabel 16 dan 17, nilai RCA Indonesia lebih kecil dibandingkan Kamerun dan Ekuador yang pangsa pasarnya lebih rendah dari pada Indonesia, sehingga diperlukan berbagai upaya untuk meningkatkan daya saing Indonesia di pasar Internasional dan pangsa pasarnya. Hasil perhitungan RCA diatas memiliki nilai yang relatif tinggi, karena pada pangsa pasar untuk komoditas kakao suatu negara lebih tinggi dari pada pangsa pasarnya untuk seluruh komoditas. Perhitungan RCA bukan merupakan satu-satunya ukuran untuk mengetahui daya saing yang dimiliki oleh suatu negara, namun terdapat beberapa faktor lain yang juga mempengaruhi yaitu mengetahui keunggulan kompetitifnya dengan menggunakan Model Berlian Porter.
5.2.3
Analisis Keunggulan Kompetitif Kakao Indonesia di Pasar Internasional: Analisis Teori Berlian Porter (Porter’s Diamond Theory). Daya saing kakao Indonesia di pasar internasional juga dapat diketahui
dengan analisis Teori Berlian Porter. Teori ini menganalisis faktor-faktor internal dan faktor-faktor eksternal dalam industri pengusahaan kakao Indonesia dan dua variabel tambahan yaitu peran pemerintah dan peluang.
5.2.3.1 Faktor Sumberdaya Faktor sumberdaya merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap dayasaing industri kakao diantaranya adalah sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya ilmu pengetahuan dan teknologi, sumberdaya modal dan sumberdaya infrastruktur. Kelima kondisi faktor sumberdaya tersebut diuraikan sebagai berikut. 1. Sumberdaya Alam Kakao merupakan tanaman tahunan yang memerlukan lingkungan khusus untuk dapat berproduksi secara baik. Lingkungan alami kakao adalah hutan hujan tropis. Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan yang sesuai untuk perkebunan rakyat, karena tanaman ini dapat berbunga dan berbuah sepanjang tahun, sehingga dapat menjadi sumber pendapatan harian atau mingguan bagi petani. Tanaman Kakao berasal dari daerah hutan hujan tropis di Amerika Selatan. Didaerah asalnya, kakao merupakan tanaman yang tumbuh terlindung pohonpohon besar, maka di dalam budidayanya, tanaman kakao memerlukan naungan. Sebagai daerah tropis, Indonesia yang terletak antara 6 LU – 11 LS merupakan
daerah yang sesuai untuk tanaman kakao. 5 Seperti halnya Indonesia, Pantai Gading juga memiliki tanah yang subur dan luas dengan hutan tropis yang sangat luas. Pergeseran dari hutan menjadi area perkebunan tidak hanya terjadi di Indonesia, Pantai Gading yang merupakan negara pesaing kakao Indonesia juga melakukan perluasan perkebunan kakao dengan menggunakan hutan tropis. 6 Pengusahaan kakao dunia periode Tahun 2001 sampai dengan Tahun 2006 paling banyak terdapat di benua Afrika dengan rata-rata sebesar 70 persen, Asia dan Oceania 17 persen serta Amerika 13 persen dari total produksi dunia. Apabila dilihat menurut negara, Pantai Gading di Afrika rata-rara produksinya 40 persen dari total produksi kakao dunia, Ghana 17 persen dan Indonesia 13 persen. Hal ini terjadi karena Pantai Gading dapat mencapai produksi sekitar 1,5 ton per Ha, sementara Indonesia masih mencapai sekitar 0,5 ton per Ha. Lahan sekitar 700.000 Ha tanaman kakao di Indonesia, produksinya baru mencapai rata-rata 400.000 ton per tahun. Padahal, setiap pohon kakao berpotensi menghasilkan 2,5 ton per Ha (Departemen Pertanian, 2006). Pada tahun 2006 produktivitas kakao nasional masih tergolong rendah yakni hanya sekitar 0,55 ton per Ha per tahun atau mengalami penurunan jika dibandingkan dengan produktivitas perkebunan kakao pada tahun 2002 yang mencapai sekitar 0.57 ton per Ha per tahun7 . Luas area perkebunan kakao di Indonesia terus mengalami peningkatan sejak tahun 1980-an hingga tahun 2006. Hal ini terlihat pada Tabel 18.
5 6
Duhfandy. 2008. Komoditas Kakao. http:// wordpress.com. [15 Juli 2008] Murray. 2008. Kesesuaian Tanaman Kakao. http://theocacao.blogspot.com. [15 Juli
2008] 7
Halim A Razak. 2007. Potensi Besar dari Kakao. http://bexi.co.id.
Tabel 18. Luas Area Perkebunan Kakao di Indonesia Tahun 1997-2006 No Tahun Luas Area (Ha) Peningkatan Per tahun (%) 1 1997 529.057 2 1998 572.553 8,22 3 1999 667.715 16,62 4 2000 749.917 12,31 5 2001 821.449 9,54 6 2002 914.051 11,27 7 2003 964.223 5,49 8 2004 1.090.960 13,14 9 2005 1.167.046 6,97 10 2006 1.320.820 13,17 Sumber : Direktorat Jendral Perkebunan, Tahun 2008
Area perkebunan kakao Pantai Gading meningkat dari 500.000 Ha pada tahun 1975 menjadi 2 juta Ha pada tahun 2004, sedangkan perkebunan kakao Indonesia pada tahun 1975 sebesar 17. 498 Ha kemudian pada tahun 2004 sebesar 1.090.960 Ha. Luas perkebunan Kakao untuk Ghana pada tahun 2001 sebesar 1.195.000 Ha sementara Indonesia sebesar 821.449 Ha.Apabila dilihat dari peningkatan luas perkebunan kakao Indonesia masih relatif rendah dari Pantai Gading, sama halnya dengan besarnya kepemilikan luas lahan kakao Ghana dibandingkan Indonesia, sehinga apabila produksi kakao Indonesia lebih rendah dari pada Pantai Gading salah satu penyebabnya adalah kepemilikan luas area perkebunan kakao. 8 Areal perkebunan kakao Indonesia didominasi oleh perkebunan rakyat dan selebihnya adalah perkebunan negara dan perkebunan swasta. Keberhasilan perluasan areal tersebut telah memberikan hasil nyata bagi peningkatan pangsa pasar kakao Indonesia. Indonesia berhasil menempatkan diri sebagai produsen kakao terbesar kedua dunia setelah Pantai Gading pada Tahun 2002, walaupun kembali tergeser ke posisi ketiga oleh Ghana pada Tahun 2003. Tergesernya 8
International Cocoa Organization. 2004. Market Oriented Promotion of Certified Sustainable Cocoa Production Cote D’Ivoire. ICCO. http://icco.org
posisi tersebut salah satunya disebabkan oleh semakin meningkatnya serangan hama PBK (Penggerek Buah Kakao). Sulawesi Selatan merupakan produsen kakao terbesar di Tanah Air. Kontribusi Sulawesi Selatan terhadap produksi kakao nasional mencapai 60 persen yang didukung dari hasil perkebunan kakao rakyat terbesar di hampir semua kabupaten, sedangkan areal perkebunan swasta nasional jumlahnya masih terbatas. Indonesia masih memiliki lahan potensial yang cukup besar untuk perkembangan kakao yaitu lebih dari 6,2 juta Ha terutama di Irian Jaya, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Maluku dan Sulawesi Tenggara. Selain itu, kebun yang telah dibangun masih berpeluang untuk ditingkatkan produktivitasnya karena produktivitas rata-rata saat ini kurang dari 50 persen dari potensinya. Upaya peningkatan produksi kakao mempunyai arti yang strategis karena pasar ekspor biji kakao Indonesia masih sangat terbuka dan pasar domestik masih belum tergarap. 9 2. Sumberdaya Manusia Tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang penting dalam melaksanakan kegiatan usahatani, sehingga apabila terjadi kekurangan tenaga kerja atau rendahnya tenaga kerja terampil maka akan mempengaruhi hasil produksi. Kakao merupakan salah satu komoditas unggulan dari sub-sektor perkebunan yang sebagian besar diusahakan oleh petani dalam bentuk perkebunan rakyat. Pada Tabel 19, jumlah petani kakao pada seluruh perkebunan rakyat di seluruh Indonesia cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya. 9
Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan kehutanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2008. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis, webadm@litbang. Deptan.go.id.[1 Juni 2008]
Tabel 19. Jumlah Petani Kakao pada Perkebunan Rakyat Seluruh Indonesia Tahun 2001-2006 NO Tahun Jumlah Petani (KK) 1 2001 830.570 2 2002 906.869 3 2003 954.363 4 2004 1.068.562 5 2005 1.156.161 6 2006 1.237.119 Sumber : Direktorat Jendral Perkebunan, Tahun 2008
Salah satu penyebab rendahnya mutu kakao Indonesia adalah tidak diterapkannya teknologi pasca panen dengan baik dan benar yang disebabkan karena terbatasnya pengetahuan dan keterampilan petani dalam penanganan pasca panen kakao serta kurangnya motivasi untuk meningkatkan kualitas. Sebagian besar petani tidak mengetahui cara pemupukan, penentuan kualitas pohon yang masih produktif dan penanganan hama yang menyerang tanaman kakaonya. Bimbingan, pembinaan dan sosialisasi penerapan teknologi pasca panen melalui kegiatan Pembinaan dan Bimbingan Teknis Pasca Panen Perkebunan perlu dilakukan. Kenaikan produksi kakao selama ini lebih dikarenakan oleh meningkatnya luas area perkebunan kakao, karena pada kenyataannya produktivitas kakao menurun 26 persen. Hal ini dikarenakan kurangnya tenaga penyuluh. Saat ini tercatat hanya terdapat 40 orang tenaga penyuluh. Padahal seharusnya setiap 1.000 Ha diperlukan sebanyak satu penyuluh. Hal ini berarti bahwa Indonesia kekurangan 960 penyuluh untuk mencapai 1 juta Ha 10 . Sementara itu di Pantai Gading terdapat International Cocoa Initiative (ICI) yang terdiri atas masyarakat dan pihak industri yang bekerja di 104 pertanian masyarakat dan World Cocoa 10
Razak, H, A. Kompas 29 Juni 2007. 25 Negara Sepakat Kedepankan Petani. http://Kompas.com/kompas-cetak.[1 Juni 2008]
Foundation (WCF) dalam upaya meningkatkan mutu hidup petani kakao, mendukung dan mengatur berbagai program yang membantu petani untuk meningkatkan hasil panennya dengan mendirikan sekolah untuk petani. Petani belajar sekitar okulasi, pembibitan, penganeka ragaman panen, menanggulangi hama guna peningkatan kakao yang berkelanjutan. 11 Di Pantai Gading dan Ghana pihak industri kakao dan coklat bekerja sama untuk memberlakukan sertifikasi tenaga kerja atau petani, sehingga perkebunan kakao benar-benar ditangani oleh tenaga kerja yang ahli.12 Berdasarkan uraian di atas, sebenarnya Indonesia dapat meningkatkan produktivitasnya dengan tambahan tenaga kerja penyuluh dan peningkatan keterampilan dan pengetahuan petani kakao, sehingga Indonesia dapat meningkatkan daya saingnya di pasar Internasional. 3. Sumberdaya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Indonesia merupakan negara pertama yang mengembangkan teknologi kultur jaringan di dunia untuk kakao. Pemanfaatan teknologi kultur jaringan dalam pembibitan kakao diperlukan guna mempercepat penyediaan bibit kakao nasional. Perencanaan program revitalisasi perkebunan kakao telah memacu pada peningkatan kakao hingga 75 juta bibit per tahun. Jumlah tersebut terdiri dari 50 juta untuk memenuhi kebutuhan program revitalisasi 200.000 Ha dan 25 juta bibit untuk kebutuhan lain. Revitalisasi 200.000 Ha perkebunan kakao dilakukan secara bertahap hingga tahun 2010 yakni terdiri dari 54.000 Ha program peremajaan, 36.000 Ha rehabilitasi dan 110.000 Ha perluasan areal tanaman. Sementara, target
11
Anonim. 2007. Côte d'Ivoire 2008 Certification Report a Major Step Forward in Improving Conditions on Cocoa Farms. http://blog.worldcocoafoundation.org. [15 Juli 2008] 12 Anonim. 2008. Helping children, families, communities. http://blog.worldcocoafoundation.org. [15 Juli 2008]
revitalisasi terjadinya peningkatan nilai ekspor kakao sebesar 20 persen per tahun. Teknologi ini tidak hanya mampu menyediakan bibit dalam jumlah besar, namun juga menghasilkan bibit berkualitas tinggi dan berukuran seragam. Masalah pengadaan bibit berkualitas tinggi dan seragam secara cepat dapat diatasi dengan teknologi kultur jaringan. 13 Selain teknologi kultur jaringan, terdapat juga teknologi sambung samping. Teknologi ini awalnya dikembangkan di Malaysia. Teknologi sambung samping digunakan untuk rehabilitasi tanaman kakao dewasa karena tanaman kakao di Indonesia hampir seluruhnya menggunakan bibit yang merupakan asal benih atau biji. Hal ini menyebabkan keseragaman tanaman kakao tidak terjamin karena tanaman kakao menyerbuk secara silang. Sambung samping dengan menggunakan entres dari tanaman yang lebih unggul dan bermutu merupakan salah satu upaya dalam peningkatan mutu serta merehabilitasi tanaman kakao yang kurang produktif. Pengembangan dengan menggunakan teknologi sambung samping dapat dilakukan dengan biaya yang relatif murah dibandingkan dengan penanaman baru, karena hanya dibutuhkan
entres dan pisau okulasi serta tenaga yang terlatih dan berpengalaman. Tanaman kakao hasil sambung samping dapat berbuah pada umur 1 tahun dengan tingkat produksi yang sama dengan induk asal entresnya, sedangkan tanaman kakao asal biji mulai berbuah pada umur 2 atau 3 tahun. Umumnya rata-rata produksi kebun kakao rakyat adalah 800 kilogram per hektar/tahun, sementara kebun kakao hasil
13
Apriantono, A. 2008. Indonesia Negara Pertama Terapkan Teknik Somatic Embryogenesis Kakao. http://antonapriantono.com.
sambung samping rata-rata produksi mencapai 2.500 kilogram per hektar/tahun atau bahkan lebih. 14 Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Provinsi Sulawesi Barat (SulBar) juga telah menggalakkan penggunaan teknologi sambung samping pada tanaman kakao rakyat sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan produksi dan mutu hasil komoditi tanaman perkebunan tersebut. Hal ini disebabkan karena tanaman kakao yang ada di SulBar umumnya merupakan tanaman perkebunan rakyat yang ditanam sejak tahun 1980 atau telah berumur, sehingga produktivitas kakao ini menjadi menurun. Selain itu juga disebabkan karena faktor serangan hama dan penyakit. 15 Dengan teknologi yang ada, Indonesia tentunya akan terus meningkatkan kualitas kakao nya dan diharapakan dapat bersaing dengan negara lainnya seperti Pantai Gading dan Ghana. 4. Sumberdaya Modal Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan yang memiliki peluang cukup besar, namun modal yang diinvestasikan pada usaha perkebunan kakao membutuhkan modal yang besar dengan masa pengembalian investasi yang relatif lambat. Aksesibilitas terhadap sumber pemodalan masih terbatas. Akses petani terhadap modal yang disediakan perbankan masih rendah, yang disebabkan oleh terbatasnya lembaga perbankan di pedesaan, prosedur dan persyaratan yang sulit bagi petani, alokasi kredit yang cenderung kecil serta tingginya tingkat suku bunga (Direktori Kakao Indonesia, 2007).
14
Diratpaghar. 2007. Perbaikan Mutu Tanaman Kakao Melalui Teknologi Sambung Samping. http://ditjenbun.deptan.go.id/rempahbun/rempah. 15 Kapanlagi 5 Agustus 2007. Dishutbun Sulbar Terapkan Sambung Samping Pada Kakao. http://kapanlagi.com.
Sampai saat ini pemerintah belum mengeluarkan dana bantuan kredit untuk petani kakao karena masih menunggu keputusan dari pihak perbankan selaku pemberi pinjaman. Terkeculi di Sulawesi dan Sumatra Barat pemerintah daerah telah melakukan pemberian bantuan kredit kepeda petani kakao. Dukungan pemerintah dalam hal permodalan yang sudah berjalan sampai saat ini adalah bantuan langsung berupa bibit unggul untuk petani kakao guna meningkatkan kualitas kakao Indonesia. 16 Sedangkan Pantai Gading yang merupakan negara pesaing Indonesia telah mendukung permodalan perkebunan kakao dalam negerinya dengan menyediakan dukungan keuangan seperti kredit dan bantuan logistik seperti pupuk, petisisda, dan bantuan pengendalian penyakit yang menyerang tanaman kakao. 17 Upaya untuk mencapai sasaran produksi yang merupakan target kita, maka diperlukan investasi sebesar Rp 16,72 triliun dan dukungan berbagai kebijakan untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif. Dana investasi tersebut sebagian besar bersumber dari masyarakat karena pengembangan kakao selama ini umumnya dilakukan secara swadaya oleh petani. Dana pemerintah berperan dalam memberikan pelayanan yang baik dan dukungan fasilitas yang tidak bisa ditanggulangi petani seperti biaya penyuluhan dan bimbingan, pembangunan sarana dan prasarana jalan dan telekomunikasi, dukungan gerakan pengendalian hama PBK secara nasional, dukungan untuk kegiatan penelitian dan pengembangan industri hilir. Demikian halnya di Sulawesi Barat, pemerintah Kabupaten Mamuju memberikan modal pinjaman biaya peremajaan hutan kakao sebesar Rp 16 juta 16
27 Juni 2008. Wawancara dengan Midiati (Kepala Seksi Bimbingan dan Pengembangan Usaha Subdit Tanaman Penyegar). Direktorat Perkebunan. 17 Promotiong Sustainable Cocoa Farming. 1995. http:// traveldocs.com. [8 Juni 2008]
per hektar kepada petani. Bantuan itu diberikan kepada petani yang memiliki tanaman kakao yang usianya diatas 15 tahun. Hal ini tentu saja merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan produksi kakao. Dana bantuan tersebut berasal dari pinjaman Bank Rakyat Indonesia yakni dari dana revitalisasi BRI. Bantuan diberikan dalam bentuk pinjaman 10 tahun dengan pembayaran angsuran pertama setelah 5 tahun berjalan. Lima tahun pertama, bunga pinjaman disubsidi oleh pemerintah sebesar 8 persen, selanjutnya dibayar penuh oleh petani (Thamrin, 2007). 18 Di Pantai Gading, petani penggarap perkebunan kakao memiliki luas perkebunan rata-rata 1,5 sampai dengan 5 hektar.
19
Berbeda hal nya dengan
kepemilikan rata-rata petani kakao di Indonesia yang rata-rata hanya memiliki luas lahan sebesar 0,5 sampai 5 hektar. Dalam hal investasi untuk komoditi kakao terdapat kendala yang dapat mepengaruhi investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia, diantaranya adalah terdapat PPN (Pajak Pertambahan Nilai) sebesar 10 persen, kualitas kakao yang rendah, biaya ekspor tinggi, bunga bank tinggi, lokasi industri yang terkonsentrasi dan diskriminasi tarif. Sementara apabila kakao di ekspor langsung tidak terkena PPN. Hal ini yang membuat kakao Indonesia lebih banyak di ekspor dari pada diolah di dalam negeri. Sedangkan di Pantai Gading investor dengan leluasa dapat masuk karena kebijakan pemerintah yang menganut liberalisasi dalam pasar industri. 20 Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aspek permodalan belum mampu mendukung peningkatan daya saing kakao di pasar internasional. 18
Tempo 1 April 2007. Petani Kakao Dapat Bantuan Pinjaman Modal. http://Tempo.com International Cocoa Organization. 2004. Market Oriented Promotion of Certified Sustainable Cocoa Production Cote D’Ivoire. ICCO. http://icco.org 20 Abdoellah, S. 2006. Penjelasan Klon Klon Kakao Unggul. http://agribisnis.deptan.go.id 19
5. Sumberdaya Infrastruktur Sebagian sentra produksi kakao nasional terdapat di daerah-daerah yang jaraknya cukup jauh dari kota besar seperti tempat penampungan atau pelabuhan. Hal ini cukup memprihatinkan karena sarana infrastruktur seperti jalan atau jembatan yang menjadi penghubung sentra produksi kakao tidak dibangun dengan baik. Hingga saat ini jalan kebun hanya menjangkau 40 persen lahan kebun kakao, sehingga masih ada 60 persen petani kakao mengalami nilai jual rendah. Disamping itu, jumlah dan kualitas sarana gudang dan pelabuhan kurang memenuhi syarat untuk menjangkau sentra produksi kakao (Direktori Kakao Indonesia, 2007). Beberapa faktor penyebab mutu kakao yang dihasilkan beragam adalah minimnya sarana pengolahan. Tahapan proses pengolahan dan spesifikasi alat dan mesin yang digunakan yang menjamin kepastian mutu harus didefinisikan secara jelas. Proses pengolahan buah kakao menentukan mutu produk akhir kakao karena dalam proses ini terjadi pembentukan citarasa khas kakao dan pengurangan cita rasa yang tidak dikehendaki, misalnya rasa pahit dan sehat. 21 Dapat di simpulkan bahwa perkebunan kakao di Indonesia belum sepenuhnya di dukung oleh sarana dan prasarana yang telah disediakan.
5.2.2.2 Kondisi Permintaan Meningkatnya konsumsi kakao masyarakat dunia diduga karena terjadinya pergeseran persepsi masyarakat konsumen yang beranggapan bahwa makanan berbahan baku coklat menimbulkan ancaman kolesterol tinggi karena kandungan kadar lemaknya. Namun belakangan diketahui, melalui sebuah penelitian, 21
Anonim. 2007. Pengolahan Kakao. http://kadin-indonesia.or.id
kandungan flavanol pada biji kakao justru baik untuk kesehatan jantung. Meningkatnya permintaan dunia terhadap kakao merupakan motivasi untuk memacu produktivitas kakao Indonesia. Pada Tabel 20, Indonesia mengalami pertumbuhan ekspor rata-rata sebesar 9,79 persen. Sedangkan Pantai Gading yang merupakan eksportir terbesar memiliki pertumbuhan ekspor rata-rata sebesar 2,43 persen.
Tabel 20. Perkembangan Ekspor Kakao di Negara Eksportir Tahun 20012006. Negara Pantai Gading Ghana Indonesia Kamerun
Tahun (Ton) 2000/01 2001/02 2002/03 2003/04 903.389 1.019.247 1.048.988 1.039.475 360.250 284.683 341.721 611.573 326.462 364.805 323.000 314.100 101.561 95.633 122.886 136.084
2004/05 2005/06 950.127 1.006.031 548.317 569.810 360.800 492.624 165.013 146.182
Sumber : International Cocoa Organization. QBCS, Vol.XXXIII No. 4, Cocoa year 2006/07.
Kakao Indonesia seperti yang telah dikemukakan sebelumnya merupakan komoditi yang mayoritas merupakan produk ekspor atau sebagian besar hasil produksi kakao dalam negeri diekspor dan diperdagangkan di pasar internasional. Pada Tabel 21, terlihat bahwa terjadi penurunan konsumsi kakao di Indonesia sejak tahun 2004. Hal ini dikarenakan terjadi penurunan jumlah industri kakao di dalam negeri. Meskipun Indonesia sebagai salah satu eksportir kakao terbesar dunia, Indonesia juga mengimpor sebagian produk kakao baik dalam bentuk biji kakao maupun dalam bentuk olahan.
Tabel 21. Perkembangan Konsumsi Kakao Indonesia Pada Tahun 2001-2006. No Tahun Konsumsi (Ton) 1 2001 170.349 2 2002 129.494 3 2003 366.986 4 2004 355.931 5 2005 315.487 6 2006 187.170 7 Rata-Rata 254.236 Sumber : Direktorat Jendral Perkebunan, Tahun 2008.
Permintaannya selalu bergerak lebih cepat dari penawaran. Saat ini permintaan meningkat sebesar 3,6 persen per tahun, sementara peningatan pasokan hanya sekitar 2,5 persen. Jika situasi ini berlangsung konstan, maka dalam kurun waktu 5 hingga 10 tahun mendatang, pasokan dunia akan minus sebesar 500.000 sampai dengan 1.000.000 ton. Permintaan ekspor kakao juga dapat menentukan daya saing komoditas kakao Indonesia di pasar Internasional. Pada Tabel 22, terdapat nilai ekspor kakao Indonesia untuk beberapa negara tujuan terbesar. Nilai ekspor kakao untuk lima negara tujuan cenderung mengalami fluktuasi.
Tabel 22. Nilai Ekspor Kakao Indonesia ke Beberapa Negara Tujuan Tahun 2001-2006 Nilai Ekspor Kakao Ke Beberapa Negara Tujuan (US$) Tahun USA Malaysia Singapur China Brazil 2001 110.317.384 73.542.584 33.048.388 11.205.994 10.589.649 2002 159.420.736 112.309.056 57.491.264 2.485.695 100.105.840 2003 89.987.708 206.194.993 53.376.716 8.993.182 31.240.134 2004 112.408.485 167.100.927 43.348.505 7.906.938 20.532.746 2005 135.204.138 193.706.892 40.393.172 20.903.573 35.693.465 2006 163.986.729 234.811.717 57.824.630 23.092.472 83.771.800 Sumber : United Nation Commodity Trade (COMTRADE) Statistic Database, Tahun 2007,
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa baik dari permintaan domestik maupun permintaan luar negeri, Indonesia memiliki keunggulan dan potensi untuk meningkatkan volume perdagangan internasional. Kondisi
permintaan kakao dunia yang terus meningkat, dapat menjadi peluang Indonesia dan usaha untuk meningkatkan daya saingnya di pasar internasional.
5.2.2.3 Eksisitensi Industri Terkait dan Industri Pendukung Salah satu faktor yang juga menentukan keunggulan kakao di pasar internasional adalah adanya industri terkait. Industri terkait dan industi pendukung produksi kakao yaitu antara pengadaan benih dan industri pengolahan. Peran industri pengadaan benih sampai saat ini masih kurang. Hal ini dapat terlihat dari masih banyaknya benih asalan yang dihasilkan oleh petani yang digunakan oleh petani kakao di Indonesia. Hal ini disebabkan karena masih kurangnya penyediaan bibit unggul. Bibit yang digunakan oleh petani adalah bibit yang berasal dari biji asal. Indonesia saat ini masih kekurangan 23 juta benih kakao untuk mendukung pencapaian target pengembangan 200.000 hektar kakao hingga 2010 mendatang. Saat ini, benih yang tersedia hanya sebanyak 34 juta benih, sedangkan untuk memenuhi kebutuhan 200.000 hektar dibutuhkan 57 juta benih kakao. 22 Guna meningkatkan kualitas kakao Indonesia terdapat lembaga penelitian untuk komoditas kakao yaitu Pusat Penelitian Kakao dan Kopi, dengan salah satu fungsinya adalah menciptakan bibit unggul kakao. Dalam rangka mendukung program revitalisasi perkebunan, benih merupakan salah satu sarana penting, karena sangat menentukan produktifitas tanaman dan mutu hasil. Oleh sebab itu perlu tersedia benih unggul bermutu secara 6 tepat yaitu: tepat jenis/varietas, tepat mutu, tepat jumlah, tepat waktu, tepat lokasi dan tepat harga. Pada saat ini baru sekitar 35% yang telah 22
Anton, A. 2008. Deptan Kembangkan Kultur Jaringan Atasi Bibit Kakao. Harian Umum Pelita. [21 Juni 2008].
menggunakan benih unggul bermutu, hal ini di sebabkan antara lain: ketersediaan benih sumber terbatas, produksi benih unggul bermutu terbatas, efisiensi produksi belum memadai, sistem distribusi benih belum lancar dan adopsi benih unggul masih rendah. Penyediaan benih kakao bermutu di Indonesia terdapat di beberapa sumber tersebar di delapan provinsi antara lain: Sumatera Utara (PT. PP. London Sumatera, PTP. Nusantara II Medan, PTP. Nusantara IV Medan, Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan), Sumatera Barat (PT. Inang sari Padang dan Rudy Indrayadi Lubuk Basung Padang), Riau (PT. Tri Bakti Sarimas, Riau), Jawa Tengah (PT. Glenmore Banyuwangi dan PTP. Nusantara IX, Semarang), Jawa Timur (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia Jember, PTP. Nusantara XII Surabaya dan PT.PP. Jember Indonesia), Lampung (PTP. Nusantara VII, Lampung), Sulawesi Tenggara (PT. Hasfarm Indonesia, Jakarta), Nusa Tenggara Timur (Dinas Perkebunan Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kupang). 23 Seperti halnya di Afrika Barat terdapat organiasasi perdagangan France’s seperti Francaise d’Afrique
Occedental yang mencakup stasiun riset untuk peningkatan variasi benih dan pengendalian penyakit. Menurut Asosiasi Industri Kakao Indonesia (2006), saat ini hanya ada 15 industri kakao. Berdasarkan jumlah industri tersebut hanya terdapat enam pabrik saja yang masih beroperasi. Padahal, pada tahun 1998 terdapat 28 industri pengolahan kakao yang beroperasi di Indonesia. Sementara, kapasitas produksi pengolahan kakao saat ini hanya 141.500 ton/tahun, sedangkan kapasitas yang terpasang mesinnya mencapai 283.000 ton/tahun. Berkurangnya industri 23
Dirjen Perkebunan. 2007. Ketersediaan Benih Kakao Hingga Semester II Tahun 2007 Sebesar 34 Juta Butir. http://ditjenbun.deptan.go.id. [30 Agustus 2007].
pengolahan kakao domestik diakibatkan oleh adanya pajak pertambahan nilai (PPN) 10 persen pada komoditas pertanian, termasuk kakao yang dibeli pabrik dalam negeri. Sebaliknya, pedagang asing dan kalangan eksportir dapat membeli langsung komoditas kakao ke petani tanpa dikenakan PPN. 24 Industri kakao Indonesia sangat memprihatinkan karena sebagai produsen kakao terbesar ketiga dunia belum dapat dimanfaatkan. Kualitas kakao yang diekspor kurang baik karena tidak melalui proses fermentasi yang benar. Selain itu juga regulasinya tidak mendukung. Industri pengolahan kakao Indonesia saat ini hanya menempati urutan ke-9 di dunia, padahal Indonesia merupakan produsen kakao ketiga terbesar setelah Pantai Gading (1,4 juta ton) dan Ghana (740 ribu ton). Produksi biji kakao Indonesia yang kini mencapai 500.000 ton per tahun dan 87 persen diantaranya dihasilkan oleh perkebunan rakyat. Proses pengolahannya baru mencapai 150.000 ton per tahun dan masih harus impor sekitar 300.000 ton biji kakao fermentasi dan 24.000 ton bubuk kakao. Sementara Malaysia yang produksi kakaonya hanya sekitar 30 ribu ton per tahun, industri pengolahan kakaonya mencapai 250 ribu ton dan menempati urutan kelima di dunia. Sedangkan Belanda (470 ribu ton), Amerika Serikat (462 ribu ton) dan Pantai Gading (360 ribu ton) menjadi pemain tiga besar di industri pengolahan coklat. 25 Hal ini menunjukkan bahwa daya dukung industri kakao domestik masih rendah dan cenderung menurun.
24
Karyadi, U. 2006. Penerapan PPN dan PE Komoditas Kakao.http://dannydarussalam.com/engine/artikel/art/php. [12 Mei 2008] 25 Kapanlagi. 2007. Pertumbuhan Industri Kakao Nasional. http://kapanlagi.com. [25 Mei 2008]
5.2.2.4 Struktur, Persaingan dan Strategi. Pasar bebas merupakan tantangan yang harus dihadapi tetapi sekaligus sebagai peluang. Kondisi ini perlu dihadapi melalui efisiensi dalam setiap sub sistem agribisnis. Kenyataan selama ini menunjukkan bahwa produk perkebunan Indonesia masih kalah bersaing di pasar luar negeri, seperti halnya kakao Indonesia yang merupakan salah satu komoditi unggulan Indonesia. Selain Indonesia penghasil kakao lainnya adalah negara-negara di Benua Afrika, Amerika latin dan Asia. Benua Afrika merupakan kawasan terbesar yang menghasilkan kakao, tetapi dalam kurun waktu tahun 1991 sampai dengan tahun 1996, kawasan ini mengalami penurunan produksi demikian juga di kawasan Amerika latin. Kawasan Asia pada kurun waktu tersebut mengalami peningkatan produksi dan kawasan ini yang sebagian besar produksinya dihasilkan dari Malaysia dan Indonesia, namun hanya Indonesia yang mengalami peningkatan produksi. Hal ini menunjukkan bahwa peranan Indonesia cukup besar dalam hal perdagangan komoditi kakao di dunia. Hal ini terlihat dari adanya peningkatan produksi dan volume serta nilai ekspor dari komoditi yang juga semakin meningkat. 26 Struktur pasar komoditas kakao di pasar internasional adalah oligopoli. Pada struktur pasar oligopoli Indonesia merupakan penerima harga. Sebagai pengikut pasar, Indonesia menghadapi persaingan yang ketat dengan negara terbesar lainnya yang memiliki kualitas kakao yang lebih baik. Strategi yang perlu ditempuh pemerintah terdiri dari strategi defensif dan strategi ofensif. Strategi defensif diperlukan untuk melindungi pertanian dalam
26
Bank Indonesia. 2007. Produksi Kakao. Aspek Pemasaran Persaingan. http://bi.go.id
negeri yang masih lemah terhadap ancaman dari luar. Sedangkan strategi ofensif bertujuan untuk mendorong ekspor komoditas pertanian yang mempunyai kekuatan berupa keunggulan komparatif dan peluang pasar yang besar. Struktur ekspor kakao Indonesia masih didominasi oleh produk primer yaitu biji kakao (cocoa beans). 27 Pemasaran kakao Indonesia secara internasional menghadapi kendala rendahnya mutu akibat biji kakao yang tidak difermentasi dengan benar. Produktivitas tanaman kakao di Indonesia yang masih rendah terutama disebabkan oleh minimnya pemahaman dan tingkat keterampilan petani dalam mengusahakan perkebunan kakao. Salah satu strategi yang akan efektif memacu produksi kakao petani Indonesia yakni dengan melakukan revitalisasi program penyuluhan, terutama bagi petani kakao. Hal ini disebabkan karena pada kenyataannya kualitas kakao Indonesia memiliki kualitas yang tidak kalah dengan kakao negara lain. Kualitas kakao Indonesia dapat lebih ditingkatkan lagi melalui prosedur penanganan pasca panen kakao. Pesaing eksportir kakao Indonesia adalah Pantai Gading, Ghana dan Kamerun. 28 5.2.2.5 Peran Pemerintah Menurut data International Cacao and Coffee Organization (ICCO) bahwa kebutuhan kakao dunia meningkat sebesar 3,299 juta ton, sementara saat ini produksi biji kakao hanya 3,288 juta ton. Sejak tahun 1990 pengembangan
27
Nurasa, T dan Chairul M. 2005. Laporan Peluang Ekspor Komoditi Kakao di Uni Eropa. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan kebijakan Pertanian. Bogor. Badan Litbang Pertanian. 28 Departemen Pertanian. 2007. Upaya Ekspansi Pasar kakao Ke Eropa. http://agribisnis.depan.go.id/index.php
daerah produksi agak lambat, namun Indonesia masih merupakan produsen kakao terbesar diantara negara produsen kakao di Asia. 29 Pengembangan kakao di Indonesia sudah dilaksanakan cukup lama baik oleh perkebunan rakyat, perkebunan besar negara dan perkebunan besar swasta. Upaya meningkatkan produksi kakao sekaligus peningkatan pendapatan petani maupun
masyarakat,
pemerintah
telah
mengembangkan
berbagai
pola
pengembangan perkebunan yang dibiayai dari APBN dan Bantuan Luar Negeri (BLN). Adapun pola pengembangan perkebunan antara lain melalui proyekproyek pola Unit Pelayanan Pengembangan (UPP), Perkebunan Inti Rakyat (PIR), Perkebunan Besar (PB) dan pola swadaya. Pola swadaya merupakan pola pengembangan perkebunan yang lebih banyak mengandalkan inisiatif petani untuk pengembangan agribisnis kakao kedepan. Selain itu dalam upaya mendukung perkebangan kakao Indonesia pemerintah mengeluarkan kebijakan dan program pemerintah jangka menengah yang telah dilakukan sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2010. Kebijakan dan program pemerintah tersebut diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Kebijakan peningkatan produktivitas. Kebijakan peningkatan produktivitas ini diimplementasikan melalui serangkaian program sebagai berikut: program intensifikasi tanaman, rehabilitasi dan peremajaan tanaman, dan diversifikasi usaha. 2. Kebijakan Pemberdayaan Petani Kebijakan pemberdayaan petani diimplementasikan lewat serangkaian upaya diantaranya dengan pertumbuhan kelembagaan petani dan kelembagaan 29
Departemen Pertanian. 2007. Upaya Ekspansi kakao Indonesia Ke Eropa. http://deptan.go.id/index.php
usaha
khususnya
di
sentra-sentra
produksi
dan
pengembangan
kakao,
penumbuhan penangkar benih dalam rangka penyediaan benih ungggul kakao dikembangkan model waralaba. Selain itu juga dilakukan pelatihan dan pendampingan
untuk
meningkatkan
kemampuan
petani
dalam
rangka
memanfaatkan peluang bisnis yang ada, peningkatan keterampilan petani untuk mencegah meluasnya serangan hama PBK melalui kegiatan SL-PHT secara intensif. 3. Penerapan SNI segera dilaksanakan dan diterapkan secara disiplin baik kakao yang dipasarkan didalam negeri maupun untuk ekspor 4. Kebijakan Pemantapan Infrastruktur Kebijakan pemantapan infrastruktur diimplementasikan lewat serangkaian upaya diantaranya; peningkatan infrastruktur jalan dan jembatan khususnya untuk menjangkau sentra-sentra produksi kakao, peningkatan sarana gudang dan pelabuhan yang menjangkau sentra produksi kakao, peningkatan sarana listrik dan komunikasi yang dapat diakses oleh petani perkebunan, pengembangan sentrasentra pemasaran kakao (terminal agribisnis) di wilayah pengembangan kakao. 30 Dari kebijakan-kebijakan yang ada di atas, sampai saat ini belum dapat disimpulkan dampak nya, karena kebijakan tersebut masih berjalan. Sehingga diharapkan adanya kebijakan-kebijakan tersebut berdampak positif serta memperbaiki perkakaoan Indonesia dan dapat meningkatkan daya saingnya di pasar Internasional. 31 Disamping itu peran pemerintah guna meningkatkan kualitas kakao domestik dengan teknologi kultur jaringan yang menghasilkan
30
Goenadi, D. 2005. Prospek Dan Arah Pengembangan Agribisnis Kakao. Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertania. Departemen Pertanian. 31 27 Juni 2008. Wawancara dengan Midiati (Kepala Seksi Bimbingan dan Pengembangan Usaha Subdit Tanaman Penyegar). Direktorat Perkebunan.
bibit unggul juga mendapatkan hambatan yaitu kurangnya informasi tentang keberadaan benih unggul dan bermutu oleh petani kakao, terbatasnya ketersediaan benih unggul, informasi pasar benih unggul perkebunan yang belum terbatas, lokasi sumber benih yang tidak sesuai dengan daerah pengembangan, mahalnya harga benih unggul. 32 Sementara itu di Pantai Gading dan Kamerun didirikan sekolah petani sebanyak 40 sekolah agar dapat meningkatkan pengetahuan petani dengan pendidikan dan keterampilan pertanian praktis, membantu menyediakan tempat tinggal untuk petani penggarap sebanyak 20 rumah, menyediakan fasilitas kesehatan bekerjasama dengan Ghana. 33 5.2.2.6 Peran Peluang. Biji kakao sebagai salah satu komoditi andalan dunia, sangat dibutuhkan oleh masyarakat dunia, khususnya bagi masyarakat Eropa dan Amerika. Biji kakao merupakan bahan baku makanan coklat yang memiliki turunan produk seperti Kakao Powder, Kakao Butter, Kakao Cake dan lain-lain. Indonesia sebagai negara penghasil biji kakao memiliki prospek pengembangan kakao yang sangat besar. Kakao merupakan komoditas ekspor dengan devisa yang cukup tinggi dan merupakan tanaman potensial masa depan dalam tatanan pengembangan agribisnis dan agroindustri. Kakao saat ini berperan cukup besar dalam mencukupi bahan pangan nasional dan dibutuhkan sebagai bahan pakan (ransum) ternak serta bahan baku berbagai industri makanan. Kakao yang menjadi bahan baku industri 32
Departemen Pertanian. 2008. Menumbuhkan Indutri Benih yang Berkelanjutan dan Berdaya Saing. http://ditjenbun.deptan.go.id. [15 Juli 2008] 33 Anonim. 2007. Promoting Sustainable Cocoa Farming Providing support to cocoa growing communities. http://blog.worldcocoafoundation.org.[15 Juli 2008]
makanan sangat terkait dengan kualitas. Karena itu potensi nilai ekonomi kakao cukup tinggi, sehingga memberi peluang dalam pengembangannya. 34 Negara tujuan utama ekspor kakao Indonesia adalah Amerika, Brazil, Malaysia dan terutama Cina yang terus meningkatkan industrinya, sehingga menjadi peluang besar bagi Indonesia untuk meningkatkan pangsa pasarnya. Permintaan kakao dunia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, namun hal ini tidak disertai oleh peningkatan produksi kakao dunia. Selain itu faktor peluang juga dapt dilihat dari penemuan teknologi baru yaitu penemuan teknologi kultur jaringan, Nilai tukar mata uang terhadap dollar yang tinggi sehingga menguntungkan eksportir nasional, Keadaan politik yang menguntungkan dimana pada tahun 2006 di Pantai Gading terjadi gangguan politik sehingga berdampak pada pangsa pasar Kakao Pantai Gading mengalami penurunan.
5.3
Perumusan Strategi Peningkatan Daya Saing Kakao Indonesia di Pasar Internasional Strategi adalah tujuan jangka panjang dari suatu perusahaan, serta
pendayagunaan dan alokasi sumberdaya yang penting untuk mencapai tujuan tersebut (Chandler dalam Rangkuti, 2006). Perumusan srategi yang ada dilakukan melalui pembentukan matriks SWOT, dimana matriks ini meliputi kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman yang telah di identifikasi sebelumnya. Analisis SWOT membandingkan antara faktor eksternal Peluang (Opportunities) dan ancaman (Treats) dengan faktor internal kekuatan (Stenghts) dan kelemahan (Weaknesses). Matriks SWOT dapat dirumuskan sebagai alternatif strategi yang
34
Aziz. 2003. Kajian Sistem Kelembagaan Usahatani Kakao dan Pola Kemitraan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Selatan.
[email protected].
dapat digunakan untuk pengembangan perdagangan kakao nasional yang berdaya saing tinggi di pasar Internasional.
Tabel 23.
Hasil Identifikasi Strengths, Weaknesses, Oppotunities,Treaths (SWOT) Komoditas Kakao Indonesia Faktor Internal Faktor Eksternal Kekuatan Kelemahan Peluang Ancaman (Strengths) (Weakness) (Opportunities) (Treats) Kondisi lahan Produktivitas Permintaan Konsumen sesuai dan lahan rendah Kakao menuntut masih memiliki Kualitas Kakao meningkat kakao yang lahan potensial rendah Penemuan berkualitas Sumberdaya Pengetahuan dan teknologi kultur Persaingan IPTEK cukup keterampilan semakin ketat, jaringan tersedia petani rendah Depresiasi nilai dilihat dari nilai HI yang Kakao Kekurangan dollar US cenderung Indonesia tenaga penyuluh menurun. memiliki Belum ada Indonesia keunggulan lembaga komparatif khawatir tidak permodalan dapat merebut Sebagian besar ekspor dalam pangsa pasar kakao terbesar bentuk biji kakao kedua dunia. Sarana infrastruktur kurang mamadai
Identifikasi SWOT diatas adalah berdasarkan dari hasil keunggulan kompetitif atau teori Berlian Porter yang telah di analisis terlebih dahulu. Sehingga dari matriks diatas dapat dirumuskan strategi untuk memperkuat daya saing kakao Indonesia di pasar internasional dengan strategi SO (Stenghts and
Opportunities), WO (Weaknesses and Opportunities), ST (Stenghts and Treats), dan WT (.Weaknesses and Treats).
Tabel 24. Matriks Analisis Strengths, Weaknesses, Oppotunities,Treaths (SWOT) Komoditas Kakao Indonesia Kekuatan (Strengths-S) 1.Kondisi lahan sesuai dan masih memiliki lahan potensial 2.Sumberdaya IPTEK cukup tersedia 3.Kakao Indonesia memiliki keunggulan komparatif
Kelemahan (Weakness-W) 1.Produktivitas lahan rendah 2.Kualitas Kakao rendah 3.Pengetahuan dan keterampilan petani rendah 4.Kekurangan tenaga penyuluh 5.Belum ada lembaga permodalan 6.Sebagian besar ekspor dalam bentuk biji kakao 7.Sarana infrastruktur kurang mamadai Startegi W-O Peluang Strategi S-O dan 1.Optimalisasi lahan Kakao 1.Meningkatkan (Opportunities-O) mengembangkan 1.Permintaan Kakao (S1, S2, O1, O3) 2.Meningkatkan pangsa industri terkait (W1, W2, meningkat yang tersedia O3) 2.Perkembangan harga pasar (S3,O1,O2,O4) Kakao dunia 2.Mengembangkan 3.Penemuan teknologi kultur Kelembagaan petani jaringan yang ada (W3, W4, O1) 3.Pengadaan kerjasama 4.Depresiasi nilai dollar US dengan para investor Kakao baik asing maupun nasional (W5,W6,W7,O1) Strategi S-T Startegi W-T Ancaman (Treats-T) 1.Konsumen menuntut kakao 1.Promosi benih unggul 1.Penerapan standar mutu kepada petani (S2, T1,T2) Kakao nasional (SNI) yang berkualitas (W2, T1, T2) 2.Persaingan semakin ketat, dilihat dari nilai HI yang cenderung menurun.
1) Alternatif Strategi a) Strategi S-O 1. Optimalisasi lahan kakao yang ada untuk mendapatkan kualitas dan kuantitas yang maksimal sehingga dapat meningkatkan
produksi untuk dapat memenuhi kebutuhan kakao dalam negeri maupun luar negeri. Hal ini dapat dilakukan melalui: a. Pemanfaatan iklim dan lahan yang potensial b. Pemanfaatan sumberdaya IPTEK dan bibit unggul 2. Meningkatkan pangsa pasar yang tersedia dengan keunggulan komparatif yang dimiliki dengan memanfaatkan permintaan kakao yang meningkat, perkembangan harga kakao yang membaik dan nilai tukar yang tinggi. b) Strategi W-O 1. Meningkatkan dan mengembangkan industri terkait sebagai sarana untuk mengatasi rendahnya mutu dan kualitas kakao sehingga penyaluran benih unggul dan penerapan teknologi dapat dengan mudah dilakukan penyebarannya. 2. Mengembangkan kelembagan petani yang ada sehingga dapat mengatasi rendahnya tingkat pengetahuan dan keterampilan petani dan kurannya tenaga penyuluh sehingga petani dapat bekerja sama maupun untuk mempelajari teknologi yang ada sehingga dapat meningkatkan produktivitasnya yang akhirnya dapat meningkatkan ekspor kakao Indonesia seiring dengan meningkatnya permintaan kakao dunia. c) Strategi S-T Promosi benih unggul kepada petani sehingga dapat meningkatkan kualitas kakao dalam mengahadapi tuntutan konsumen yang menuntut
kualitas kakao yang lebih baik dan persaingan yang semakin ketat yang ditunjukkan oleh nilai HI yang cenderung semakin menurun. d) Strategi W-T Penerapan standar mutu kakao nasional (Standar Nasional Indonesia) sehingga dapat meningkatkan standar mutu dan kualitas kakao nasional dalam menghadapi persaingan di pasar Internasional. Dari beberapa strategi diatas, strategi yang diprioritaskan adalah meningkatkan dan mengembangkan sehingga penyediaan bibit unggul dapat ditingkatkan dan diharapkan kualitas kakao Indonesia dapat ditingkatkan. Hal yang merupakan alasan strategi industri terkait yang menjadi prioritas adalah karena permasalahan kakao Indonesia yang pertama adalah kualitas kakao yang relatif rendah, salah satunya disebabkan oleh penggunaan bibit asalan yang digunakan sebagian besar petani kakao Indonesia. Penyebaran industri terkait yang tidak merata menyebabkan penyebaran bibit unggul juga tidak merata hal ini juga didukung dengan informasi teknologi yang ada seperti kultur jaringan dan sambung samping tidak merata sehingga perlu ditingkatkannya industri terkait khususnya disekitar sentra produksi kakao.
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan mengenai analisis daya saing komoditi kakao Indonesia di pasar internasional, maka dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu: 1. Berdasarkan analisis Herfindahl Index dan Ratio Konsentrasi, struktur pasar dalam perdagangan kakao internasional adalah cenderung oligopoli namun memiliki sedikit kekuatan monopoli.
Meskipun Indonesia sebagai negara
ketiga terbesar eksportir kakao dunia setelah Pantai Gading dan Ghana, Indonesia merupakan penerima harga di pasar kakao internasional karena Indonesia tidak tergabung dalam Organization Cocoa Internasional (ICCO) yang menyebabkan informasi antara eksportir rendah sehingga tidak dapat melakukan kerjasama baik dalam menentukan harga dengan eksportir lainnya. Sementara Kamerun dan Nigeria yang merupakan eksportir kakao yang memiliki peringkat lebih rendah dari Indonesia bersama Pantai Gading dan Ghana merupakan penentu harga karena termasuk anggota Organization
Cocoa Internasional (ICCO). 2. Komoditi
kakao
Indonesia
memiliki
keunggulan
komparatif
dalam
perdagangan internasional dimana nilai RCA yang dimiliki oleh Indonesia lebih dari satu. Namun keberadaan Indonesia sebagai negara eksportir ketiga setelah Pantai Gading dan Ghana, masih lebih rendah daripada Kamerun, karena nilai ekspor untuk seluruh komoditi di Indonesia lebih besar dibandingkan Kamerun dan Ekuador.
3. Berdasarkan Teori Berlian Porter menunjukkan bahwa komoditi kakao Indonesia berdaya saing lemah karena terdapat berbagai kendala yaitu kualitas kakao Indonesia yang masih rendah dan belum memenuhi standar internasional karena penggunaan bibit unggul yang masih rendah dan penanganan pasca panen seperti fermentasi yang masih rendah, rendahnya kualitas sumberdaya manusia, kurangnya daya dukung sarana infrastruktur dan masih kurangnya industri terkait dan industri pendukung dalam pengadaan bibit unggul guna peningkatan kualitas kakao. 4. Bedasarkan hasil analisis Strengths, Weaknesses, Opportunities, Treaths (SWOT) maka terdapat beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan daya saing kakao Indonesia di pasar internasional. Diantaranya adalah optimalisasi lahan kakao sehingga dapat meningkatkan pangsa pasar melalui peningkatan produksi dan peningkatan produktivitas dan peningkatan industri terkait sehingga dapat meningkatkan kualitas kakao dengan peningkatan pengadaan dan penggunaan bibit unggul.
6.2 Saran 1. Agar dapat memperkuat posisi Indonesia di pasar internasional sebaiknya Indonesia bergabung dengan Organization Cocoa Internasional (ICCO), sehingga informasi pasar dapat ditingkatkan lagi dan kedudukan Indonesia sebagai eksportir kakao terbesar ketiga dunia dapat berperan dalam kebijakan pasar, diantarnya seperti penentuan harga. 2. Meningkatkan keunggulan komparatif dengan meningkatkan pangsa pasar Indonesia di pasar internasional. Hal ini dapat dilakukan dengan peningkatan
produksi melalui peningkatan luas lahan kakao dan peningkatan produktivitas melalui peningkatan penanganan budidaya kakao seperti pengendalian hama dan penggunaan bibit unggul. 3. Meningkatkan keunggulan kompetitif dengan peningkatan kualitas kakao melalui penggunaan bibit unggul dan proses fermentasi yang baik serta mengembangkan industri terkait sehingga mendukung perbanyakan dan penyebaran bibit unggul kepada petani kakao.
Lampiran 1. Nilai Ekspor Komoditi Kakao Dunia Tahun 2001-2006 (dalam US$) Negara Antigua and Barbuda Australia Austria Bahrain Belarus Belgium Belize Bolivia Botswana Brazil Bulgaria Bukrina Faso Kamerun Kanada Central Afrika Rep China China, Hong Kong SAR Colombia Costa Rica Cote D’Ivoire Croatia Cuba Czech Rep Denmark Dominica Dominican Rep Ecuador El Savador Estonia Fiji France Gabon Germany Ghana Greece Grenada Guatemala Guinea Gunaya Honduras India Indonesia Iran Ireland
2001
2002
2003
2004
2005
2006
0 0 5.156 0 0 46.098.355 0 282.769 0 3.784.964 5.304
0 3.192.089 1.185 0 0 117.238.978 29.652 323.985 1.809 6.999.938 0
0 4.883 21 0 0 156.550.595 47.112 374.701 0 3.073.701 60
0 3.325 19.474 0 0 204.146.784 61.408 485.729 0 1.874.915 0
0 18.781 327 364 29.200 232.640.136 32.692 533.610 9 1.788.117 0
0 14.280 1.924 241.407.867 0 250.827.395 15.997 529.103 0 829.786 543
0 112.843.580 161.717
0 192.445.298 934.635
6.399 180.146.200 250.033
1.519.075 230.141.242 908.139
0 209.586.826 511.852
0 221.862.555 423.533
0 0
4.504 93
0 0
0 0
0 0
0 0
1.124 683.013 289.120
39.420 2.470.852 375.468
1.182 2.324.439 253.416
0 13.535 701.596
0 562.622 438.125
0 4.667.262 750.486
1.008.735.265 59.266 676.103 460.728 399.865 4.393
1.757.055.872 59.830 1.077.542 906.578 0 4.243
1.735.396.864 187.538 1.325.316 2.388.608 6.804 3.425
1.617.484.747 85.566 1.716.902 1.531.006 5.521 1.521
1.473.895.146 0 345.675 0 92 3.463
1.422.912.680 0 0 0 24.689 1.454
38.017.000 54.906.740 56.935 70.689.376 0 14.344.545 287.422 3.859.000 259185561 116.849 1.159.378 3.080 1.152.975 93 459.778 15.285 272.368.480 0 9.783
0 90.989.536 36.134 120.589.703 28.990 7.226.970 293.052 9.047.000 487.943.750 0 1.438.787 17.960 688.498 256 454.850 22.553 520.671.608 0 363.638
0 112.556.108 23.669 123.106.651 42.474 12.904.362 0 7.750.000 676.089.996 0 1.228.417 54.215 0 1.441 150.820 24.678 410.277.739 0 54.473
0 102.364.212 22.864 30.669 37.906 13.824.554 12.172 9.293.000 1.003.457.948 4.607 2.037.846 4.602 0 0 24.927 52.146 369.862.984 0 5.067
0 114.011.246 22.113 277.129 24.625 7.770.293 197 22.098.000 792.129.869 0 91.977 79.634 0 0 1.147 9.478 467.827.362 40.401 26.029
0 143.288.325 31.526 85.872 11.344 6.041.954 165.425 18.200.000 1.096.321.839 1.910 0 30.899 0 0 1.506 655 619.016.755 2.234 265.172
Israel Italy Jamica Japan Kazakhstan Kenya Lativia Lebanon Lithuania Luxembourg Madagaskar Malawi Malaysia Mali Mexico Morocco Mozambique Namibia Netherlands New Caledonia New Zealand Nicaragua Niger Nigeria Panama Papua New Guinea Peru Philippines Poland Portugal Qatar Rep. of Kotea Romania Russian Federation Saint Lucia Samoa Sao Tome and Principe Saudi Arabia Senegal Serbia and Montenegro Singapore Slovakia Slovenia South Africa Spain Sri Lanka Swaziland
0 824.941 1.553.116 37.182 0 465 0 4.573 1.363 0 5.381.864 0 14.973.967 0 1.229.464 0 0 3.124 86.788.004
0 1.071.410 947.901 32.579 0 0 0 498 0 16 8.225.840 0 29.010.006 0 2.242.717 363 0 9.634 15.882.579
0 571.566 2.242.894 146.888 269.000 0 0 22.220 54.853 41 7.739.964 0 21.764.858 134.549 2.828.470 56 554 46.452 23.257.158
0 240.744 939.710 161.394 0 3.672 62 1.000 0 122 6.031.494 0 13.757.062 0 8.725 0 0 27.755 27.012.053
0 1.425.337 431.894 38.022 0 477 0 0 0 137 4.063.232 10.882 13.275.115 0 1.026.968 0 0 1.950 60.048.002
2.000 2.668.185 1.081.331 50.898 0 170 0 0 0 530 13.625.152 0 20.731.588 0 2.408.279 0 0 0 53.166.719
0
0
76
0
0
0
0 63.397 0 191.176
1.738 578.915 687 187.735 222.050
0 266.059 26 5.293 1.358.936
0 556.516 0 0 1.032.422
1.305 248.019 0 0 1.180.829
486 1.552.186 0 0 1.368.095
6.623.426 112.027 0 0 0 0
57.337.163 1.163.093 2.100 26.100 0 0
65.801.339 1.333.529 150 0 1.816 0
56.674.410 1.705.009 112.183 776 0 0
0 2.004.983 83.640 74.143 220 0
0 4.298.944 189.260 1.197 107 9.578
0 0
0 0
0 97
0 0
0 0
860.354 0
0 54 14.130
0 9.684 9.463
127 15.210 12.869
0 10.958 197
0 5.772 4.112
0 30.654 0
2.181.450 96 0
4.604.647 0 8.289
6.177.326 44.600 0
3.192.216 137.928 0
3.033.139 0 0
3.392.892 15.561 0
24.000 8.854.578 0 0 5.990 207.034 61.734 58
0 7.136.457 99.414 0 206 378.008 130.543 45
0 8.771.894 26 1.636 20.740 183.332 23.177 0
1.050 8.855.206 0 14.274 1.158 236.511 62.481 28
1.085 2.575.824 0 1.728 1.096 97.340 23.146 177
2.526 2.127.981 0 0 2.413 149.141 0 0
Sweden Switzerland Syria Thailand Togo Trinidad and Tobago Tunisia Turkey Uganda Ukraina United Arab Emirates United Kingdom United Rep. of Tanzania Venezuela USA Viet Nam Zambia Zimbabwe Total
969 1.047.383 0 0 4.665.842
0 1.844.648 0 0 7.114.455
744 896.805 371 116.554 10.627.018
1.090 298.818 0 453.444 24.710.311
0 575.025 0 14.934 20.087.837
951 787.535 425 14.071 0
1.636.738 0 54.040 1.921.192 0
3.103.929 1.614 94.240 2.023.202 0
2.594.535 0 82.532 7.001.384 0
2.325.640 0 503.561 6.801.119 24.860
2.350.259 0 15.588 9.638.336 43.228
2.982.589 0 0 10.015.844 0
0
24.506
257.209
16.882
10.769
0
1.448.134
4.323.648
13.943.637
13.593.024
1.965.498
1.836.951
4.347.424 17.781.630 2.813.086 0 41.485 0 2.056.018.138
5.762.359 30.626.651 5.561.848 0 0 0 3.512.795.136
8.073.276 33.136.628 7.415.736 0 0 0 3.653.850.550
6.833.193 47.591.829 14.711.915 0 0 40 3.800.378.831
7.546.412 41.577.843 12.070.932 114.062 0 0 3.510.465.834
9.960.107 52.373.722 388.135 0 0 0 4.204.411.999
Lampiran 2. Pangsa Pasar Ekspor Negara Produsen dan Eksportir Kakao Dunia Tahun 2001-2006 Negara
Antigua and Barbuda Australia Austria Bahrain Belarus Belgium Belize Bolivia Botswana Brazil Bulgaria Bukrina Faso Kamerun Kanada Central Afrika Rep China China, Hong Kong SAR Colombia Costa Rica Cote D’Ivoire Croatia Cuba Czech Rep Denmark Dominica Dominican Rep Ecuador El Savador Estonia Fiji France Gabon Germany Ghana Greece Grenada Guatemala Guinea Gunaya Honduras India Indonesia Iran Ireland Israel
Pangsa Pasar 2001 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 2,24 0,00 0,01 0,00 0,18 0,00 0,00 5,49 0,00 0,00 0,00
Pangsa Pasar 2002 0 0,09 0,00 0,00 0,00 3,34 0,00 0,00 0,00 0,20 0,00 0,00 5,48 0,03 0,00 0,00
Pangsa Pasar 2003 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 4,28 0,00 0,01 0,00 0,08 0,00 0,00 4,93 0,00 0,00 0,00
Pansa Pasar 2004 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 5,37 0,00 0,00 0,01 0,05 0,00 0,04 6,05 0,02 0,00 0,00
Pangsa Pasar 2005 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 6,63 0,00 0,01 0,00 0,05 0,00 0,00 5,97 0,01 0,00 0,00
Pangsa Pasar 2006 0,00 0,00 0,00 5,74 0,0, 5,74 0,00 0,01 0,00 0,02 0,00 0,00 5,28 0,01 0,00 0,00
0,00 0,03 0,01 49,06 0,00 0,03 0,02 0,02 0,00 1,85 2,67 0,00 3,44 0,00 0,70 0,01 0,19 12,61 0,00 0,06 0,00 0,06 0,00 0,02 0,00 13,25 0,00 0,00 0,00
0,00 0,00 0,01 50,02 0,00 0,03 0,02 0,00 0,00 0,00 2,59 0,00 3,43 0,00 0,20 0,00 0,26 13,89 0,00 0,04 0,00 0,02 0,00 0,01 0,00 14,82 0,00 0,01 0,00
0,00 0,06 0,00 47,49 0,00 0,04 0,06 0,00 0,00 0,00 3,08 0,00 3,37 0,00 0,35 0,00 0,21 18,50 0,00 0,03 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 11,23 0,00 0,00 0,00
0,00 0,00 0,02 42,56 0,00 0,04 0,04 0,00 0,00 0,00 2,69 0,00 0,00 0,00 0,36 0,00 0,24 26,40 0,00 0,05 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 9,73 0,00 0,00 0,00
0,00 0,02 0,01 41,98 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 3,25 0,00 0,00 0,00 0,22 0,00 0,63 22,56 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 13,33 0,00 0,00 0,00
0,00 0,11 0,02 33,84 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 3,40 0,00 0,00 0,00 0,14 0,00 0,43 26,07 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 14,72 0,00 0,00 0,00
Italy Jamica Japan Kazakhstan Kenya Lativia Lebanon Lithuania Luxembourg Madagaskar Malawi Malaysia Mali Mexico Morocco Mozambique Namibia Netherlands New Caledonia New Zealand Nicaragua Niger Nigeria Panama Papua New Guinea Peru Philippines Poland Portugal Qatar Rep. of Kotea Romania Russian Federation Saint Lucia Samoa Sao Tome and Principe Saudi Arabia Senegal Serbia and Montenegro Singapore Slovakia Slovenia South Africa Spain Sri Lanka Swaziland Sweden Switzerland Syria Thailand
0,04 0,07 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,26 0,00 0,73 0,00 0,06 0,00 0,00 0,00 4,22 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,32 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
0,03 0,03 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,23 0,00 0,82 0,00 0,06 0,00 0,00 0,00 0,45 0,00 0,00 0,02 0,00 0,00 0,00 1,63 0,03 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
0,01 0,06 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,21 0,00 0,59 0,00 0,08 0,00 0,00 0,00 0,64 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,04 1,80 0,04 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
0,00 0,02 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,16 0,00 0,36 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,71 0,00 0,00 0,01 0,00 0,00 0,03 1,49 0,04 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
0,04 0,01 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,11 0,00 0,38 0,00 0,03 0,00 0,00 0,00 1,71 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,03 0,00 0,06 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
0,06 0,02 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,32 0,00 0,49 0,00 0,06 0,00 0,00 0,00 1,26 0,00 0,00 0,04 0,00 0,00 0,03 0,00 0,10 0,00 0,00 0,00 0,00 0,02 0,00 0,00 0,00 0,00
0,12 0,00 0,00
0,13 0,00 0,00
0,17 0,00 0,00
0,08 0,00 0,00
0,09 0,00 0,00
0,08 0,00 0,00
0,00 0,43 0,00 0,00 0,00 0,01 0,00 0,00 0,00 0,05 0,00 0,00
0,00 0,20 0,00 0,00 0,00 0,01 0,00 0,00 0,00 0,05 0,00 0,00
0,00 0,24 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,02 0,00 0,00
0,00 0,23 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,01
0,00 0,07 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,02 0,00 0,00
0,00 0,05 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,02 0,00 0,00
Togo Trinidad and Tobago Tunisia Turkey Uganda Ukraina United Arab Emirates United Kingdom United Rep. of Tanzania Venezuela USA Viet Nam Zambia Zimbabwe Total
0,23 0,08 0,00 0,00 0,09 0,00 0,00 0,07
0,20 0,09 0,00 0,00 0,06 0,00 0,00 0,12
0,29 0,07 0,00 0,00 0,19 0,00 0,00 0,38
0,65 0,06 0,00 0,01 0,18 0,00 0,00 0,36
0,57 0,07 0,00 0,00 0,27 0,00 0,00 0,05
0,00 0,07 0,00 0,00 0,24 0,00 0,00 0,04
0,21 0,86 0,14 0,00 0,00 0,00 100
0,16 0,87 0,16 0,00 0,00 0,00 100
0,22 0,91 0,20 0,00 0,00 0,00 100
0,18 1,25 0,39 0,00 0,00 0,00 100
0,21 1,18 0,34 0,00 0,00 0,00 100
0,24 1,24 0,00 0,00 0,00 0,00 100
Lampiran 3. Herfindalh Index Negara-Negara Produsen dan Eksportir Kakao dunia Tahun 2001-2006 Negara Antigua and Barbuda Australia Austria Bahrain Belarus Belgium Belize Bolivia Botswana Brazil Bulgaria Bukrina Faso Kamerun Kanada Central Afrika Rep China China, Hong Kong SAR Colombia Costa Rica Cote D’Ivoire Croatia Cuba Czech Rep Denmark Dominica Dominican Rep Ecuador El Savador Estonia Fiji France Gabon Germany Ghana Greece Grenada Guatemala Guinea Gunaya Honduras India Indonesia Iran Ireland Israel Italy Jamica
HI 2001 0 0 0 0 0 5 0 0 0 0 0 0 30 0 0 0
HI 2002 0 0 0 0 0 11 0 0 0 0 0 0 30 0 0 0
HI 2003 0 0 0 0 0 18 0 0 0 0 0 0 24 0 0 0
HI 2004 0 0 0 0 0 28 0 0 0 0 0 0 36 0 0 0
HI 2005 0 0 0 0 0 43 0 0 0 0 0 0 35 0 0 0
HI 2006 0 0 0 32 0 32 0 0 0 0 0 0 27 0 0 0
0 0 0 2407 0 0 0 0 0 3 7 0 11 0 0 0 0 158 0 0 0 0 0 0 0 175 0 0 0 0 0
0 0 0 2501 0 0 0 0 0 0 6 0 11 0 0 0 0 192 0 0 0 0 0 0 0 219 0 0 0 0 0
0 0 0 2255 0 0 0 0 0 0 9 0 11 0 0 0 0 342 0 0 0 0 0 0 0 126 0 0 0 0 0
0 0 0 1811 0 0 0 0 0 0 7 0 0 0 0 0 0 697 0 0 0 0 0 0 0 94 0 0 0 0 0
0 0 0 1762 0 0 0 0 0 0 10 0 0 0 0 0 0 509 0 0 0 0 0 0 0 177 0 0 0 0 0
0 0 0 1145 0 0 0 0 0 0 11 0 0 0 0 0 0 679 0 0 0 0 0 0 0 216 0 0 0 0 0
Japan Kazakhstan Kenya Lativia Lebanon Lithuania Luxembourg Madagaskar Malawi Malaysia Mali Mexico Morocco Mozambique Namibia Netherlands New Caledonia New Zealand Nicaragua Niger Nigeria Panama Papua New Guinea Peru Philippines Poland Portugal Qatar Rep. of Kotea Romania Russian Federation Saint Lucia Samoa Sao Tome and Principe Saudi Arabia Senegal Serbia and Montenegro Singapore Slovakia Slovenia South Africa Spain Sri Lanka Swaziland Sweden Switzerland Syria Thailand Togo Trinidad and Tobago
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0
0 0 0
0 0 0
0 0 0
0 0 0
0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Tunisia Turkey Uganda Ukraina United Arab Emirates United Kingdom United Rep. of Tanzania Venezuela USA Viet Nam Zambia Zimbabwe Total
0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 2.819
0 0 0 0 0 0 2.978
0 0 0 0 0 0 2.793
0 1 0 0 0 0 2.681
0 1 0 0 0 0 2.545
0 1 0 0 0 0 2.151