DAYA SAING DAN STRATEGI PENINGKATAN EKSPOR UDANG INDONESIA DI PASAR INTERNASIONAL
DISERTASI
ONO JUARNO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
i
ii
SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya berjudul:
DAYA SAING DAN STRATEGI PENINGKATAN EKSPOR UDANG INDONESIA DI PASAR INTERNASIONAL merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor,
Januari 2012
Ono Juarno NRP.: H.361060111
i
ii
ABSTRACT ONO JUARNO. Competitiveness and Export Strategy of Indonesian Shrimp in the International Market (RINA OKTAVIANI as a Chairperson, AKHMAD FAUZI, and NUNUNG NURYARTONO as Members of the Advisory Committee). This research attempts to analyze the competitiveness of Indonesian shrimp export to Japan, the US (United States), and the EU-27 (European Union) in the three categories of products namely fresh, frozen, and prepared shrimp, compared to Thailand. Revealed Comparative Advantage (RCA) Index and Constant Market Share Analysis (CMSA) are used as indicators to provide insights into export performance. Using state data for 1989 to 2008 from Comtrade, this study has developed a simultaneous equations model that links between shrimp production and trade. The results show that Indonesia has a comparative advantage in exporting frozen and prepared shrimp products relative to fresh shrimp products. Moreover, the comparative advantage in exporting shrimp to Japan in the three categories of products has fallen after changing cultivation from Penaeus monodon (udang windu) to Penaeus vaname (udang vaname). Using CMSA model indicates that distribution effect and composition effect are still weak and Indonesian shrimp competitiveness is mainly because of specific competitiveness effect in exporting frozen shrimp to Japan and the US. Disease outbreaks, feed cost, and difficulties in fulfilling shrimp quality requirement especially from the EU-27 are the factors that affecting Indonesian shrimp competitiveness. To increase shrimp export competitiveness, the Indonesian government should revitalize Penaeus monodon, do more research on diseases, feed, seed, and broodstock, invest more on human development and irrigation, and differentiate its product to more value added products. Keywords: Indonesian Shrimp, Competitiveness, Total Factor Productivity, Export, International Market
iii
iv
RINGKASAN ONO JUARNO. Daya Saing dan Strategi Peningkatan Ekspor Udang Indonesia di Pasar Internasional (RINA OKTAVIANI sebagai Ketua, AKHMAD FAUZI, dan NUNUNG NURYARTONO sebagai Anggota Komisi Pembimbing). Pengembangan udang Indonesia dihadapkan pada permasalahan produktivitas rendah dan belum optimalnya pemenuhan akan persyaratan mutu dan keamanan hasil produk perikanan. Dilain pihak, persaingan sesama produsen semakin meningkat akibat kemajuan teknologi dibidang pembenihan, dan pengembangan manajemen tambak yang menyebabkan over supply. Pada aspek permintaan, hambatan non-tarif juga menjadi kendala akibat meningkatnya preferensi konsumen akan produk bermutu dan aman dikonsumsi. Terkait dengan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk: (1) menganalisis posisi daya saing udang Indonesia di pasar internasional dibandingkan dengan Thailand setelah pergantian varietas udang yang dibudidayakan dari udang windu ke udang vaname, (2) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran, permintaan, dan daya saing udang Indonesia di pasar internasional, dan (3) menganalisis dampak alternatif kebijakan terhadap daya saing sebagai dasar strategi peningkatan ekspor udang Indonesia. Model Daya Saing Udang Indonesia yang dirumuskan dalam studi ini merupakan sistem persamaan simultan terdiri dari 57 persamaan struktural dan 28 persamaan identitas. Berdasarkan kriteria order condition disimpulkan bahwa setiap persamaan struktural yang ada dalam model adalah over identified. Metode estimasi model yang digunakan adalah 2SLS. Data terutama berasal dari UNComtrade, Badan Pusat Statistik (BPS), dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Pendekatan pangsa pasar berupa indeks Revealed Comparative Advantage (RCA) dan model Constant Market Share Analysis (CMSA) digunakan sebagai indikator daya saing dalam penelitian ini. Hasil analisis menunjukkan bahwa berdasarkan nilai indeks RCA, Indonesia mempunyai keunggulan komparatif mengekspor tiga jenis udang ke tiga pasar utama (Jepang, AS, dan UE-27), kecuali ekspor udang segar ke Jepang periode 2004-2008. Nilai indeks RCA Indonesia lebih rendah dibandingkan Thailand dan terjadi penurunan di pasar Jepang untuk ketiga produk udang yang diekspor, terutama setelah pergantian udang windu menjadi vaname. Hasil perhitungan menggunakan model CMSA menunjukkan bahwa daya saing ekspor Indonesia lebih disebabkan efek daya saing spesifik yaitu mengekspor udang beku ke AS dan Jepang, sedangkan efek komoditas dan distribusi pasar ekspor Indonesia masih lemah. Artinya bahwa ekspor Indonesia masih tertumpu pada spesifik produk (udang beku) dan spesifik pasar (Jepang dan AS). Thailand memiliki angka indeks daya saing RCA jauh lebih tinggi dan memiliki efek komoditas serta efek distribusi pasar lebih baik. Keunggulan Thailand tersebut antara lain disebabkan berubahnya peran pemerintah dari “strong” regulator menjadi fasilitator, penggunaan teknologi pada berbagai tingkatan produksi sehingga mempunyai produktivitas tinggi, pemanfaatan bioteknologi dalam mengatasi permasalahan penyakit udang, pendekatan kluster dalam melakukan budidaya udang, dan fokus pada mutu dan produk bernilai tambah. Meskipun demikian, pada periode 2004-2008 indeks RCA Thailand juga
v
mengalami penurunan dibandingkan dengan indeks RCA periode 1989-2003, artinya persaingan sesama produsen udang di dunia semakin ketat. Pada aspek produksi, pakan dan serangan penyakit merupakan faktorfaktor yang mempengaruhi tingkat produksi dan struktur biaya yang pada akhirnya berpengaruh terhadap daya saing. Penggantian udang vaname yang mempunyai produktivitas lebih tinggi, juga belum memberikan hasil optimal dalam mengatasi permasalahan penyakit. Walaupun telah mengalami kemajuan, namun pemenuhan akan persyaratan mutu masih merupakan salah satu kendala dalam peningkatan ekspor. Dilain pihak, peningkatan produk bernilai tambah masih terkendala ketersediaan bahan baku. Hasil konfirmasi pada tingkat lapang menunjukkan bahwa serangan penyakit berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan produktivitas (TFP). Penggunaan benur bersertifikat, intensifikasi, tingkat pendidikan, dan lokasi budidaya udang di Provinsi Jawa Timur dibandingkan di luar Jawa Timur berkorelasi positif terhadap TFP, sedangkan sistem kerjasama dan luas area berpengaruh negatif. Meskipun intensifikasi berkorelasi positif terhadap TFP, akan tetapi perlu dipertimbangkan aspek lain jika akan melakukan hal tersebut karena intensifikasi berisiko tinggi terhadap agroekologis. Berdasarkan hasil simulasi historis alternatif kebijakan dan hasil analisis CMSA periode tahun 2004-2008, strategi yang efektif untuk peningkatan daya saing ekspor adalah keunggulan biaya berupa penurunan biaya produksi dan diferensiasi produk. Hasil simulasi dampak subsidi harga pakan sebesar 11 persen mempunyai daya dorong terhadap produksi udang tambak sebesar 14.29 persen, dan indeks RCA udang segar Indonesia ke Jepang meningkat sebesar 15.77 persen, indeks RCA udang beku Indonesia ke AS sebesar 6.37 persen, serta ke UE-27 sebesar 2.40 persen. Secara umum untuk meningkatkan daya saing, selain subsidi harga pakan perlu juga dikombinasikan dengan kebijakan lainnya antara lain subsidi harga benur dan penambahan anggaran irigasi. Guna mempertahankan dan meningkatkan pangsa pasar udang di Jepang, perlu peningkatan ekspor produk udang berukuran besar seperti udang windu melalui pemanfaatan tambak “mangkrak/idle” dan dukungan anggaran penyediaan induk bermutu dan benur unggul, serta perlu kesinambungan kerjasama dengan Kementerian PU dalam penyediaan irigasi untuk pembudidaya udang tambak. Dalam rangka menurunkan biaya produksi dan mendorong ketersediaan bahan baku, Kementerian Kelautan Perikanan juga harus memprioritaskan upaya mengatasi serangan penyakit melalui pemanfaatan bioteknologi dengan melakukan kerjasama penelitian bidang penyakit melibatkan swasta, perguruan tinggi, dan pemerintah. Hasil studi menunjukkan bahwa intensifikasi berkorelasi positif dengan TFP, namun apabila kebijakan tersebut akan diambil akan berisiko tinggi terhadap agroekologis sehingga perlu regulasi yang mengatur padat penebaran udang agar budidaya udang tidak merusak lingkungan. Pemerinrtah juga perlu memprioritaskan upaya penurunan biaya pakan dengan mencari alternatif sumber protein pengganti tepung ikan yang lebih murah, upaya penurunan biaya transaksi, dan distribusi pakan. Peningkatan kapasitas pembudidaya terutama penanganan penyakit dan manajemen tambak dapat dilakukan melalui penyuluhan, pemanfaatan tenaga terdidik berpengalaman dalam membantu kelompok pembudidaya, Shrimp Club Indonesia, dan technical sales dari penyedia sarana produksi. vi
Dalam rangka diferensiasi produk, perlu upaya mendorong industri pengolahan melalui kemudahan investasi, pembangunan infrastruktur, dan memberikan insentif pada perusahaan yang membuat produk udang bernilai tambah. Selain itu, perlu dilakukan sinergitas kebijakan sejak produksi primer sampai dengan pemasaran untuk meningkatkan mutu. BKIPM selaku otoritas kompeten dapat mengkoordinir unit kerja lain dalam upaya: (1) peningkatan pembinaan dan pengawasan kepada pedagang pengumpul, (2) meningkatkan kompetensi laboratorium uji mutu untuk mencapai standard internasional, (3) mengefektifkan uji monitoring residu dan traceability, (4) menambah inspektur mutu serta mendorong penerapan in process inspection, (5) mendorong peningkatan penerapan Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB) dan Good Handling Practices (GHP) pada rantai pasokan terutama pada pembudidaya skala kecil, dan (6) melengkapi export quality infrastructure berupa alat pengujian mutu. Guna menghindari kesimpangsiuran data produksi, maka perlu perbaikan data dengan melibatkan Unit Pelaksana Teknis (UPT) lingkup KKP di daerah, BPS, dan pihak swasta (pabrik pakan, hatchery). Sebagai bahan penelitian lanjutan: (1) perbaikan model menyangkut random variabel antara lain termasuk perubahan iklim, (2) penelitian produktivitas di tingkat pengolah dan eksportir dan perbaikan model yang mengakomodir aspek dinamik dalam pemodelan, dan (3) penelitian dengan mendisagregasi produk udang beku dan udang olahan.
vii
viii
@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2012
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
ix
x
DAYA SAING DAN STRATEGI PENINGKATAN EKSPOR UDANG INDONESIA DI PASAR INTERNASIONAL
ONO JUARNO
DISERTASI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor Pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
xi
xii
Judul Disertasi
: Daya Saing dan Strategi Peningkatan Ekspor Udang Indonesia di Pasar Internasional
Nama
: Ono Juarno
NRP
: H.361060111
Program Studi
: Ilmu Ekonomi Pertanian
Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS Ketua
Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, MSc Anggota
Dr. Ir. Nunung Nuryartono, MSi Anggota
Mengetahui, 2. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
3. Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr
Tanggal ujian: 20 Desember 2011
Tanggal lulus:
xiii
Ujian tertutup: Rabu, 14 September 2011 Penguji Luar Komisi: 1. Dr. Ir. Heny K. Daryanto, MEc. Staf pengajar Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor 2. Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS Staf pengajar Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor
Ujian Terbuka: Selasa, 20 Desember 2011 Penguji Luar Komisi: 1. Dr. Ir. Slamet Subiyakto, MSi Direktur Perbenihan, Direktorat Jenderal Jenderal Perikanan Budidaya, Kementerian Kelautan dan Perikanan 2. Dr. Ir. Santoso, MPhil Direktur Pengolahan Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan
xiv
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT karena hanya dengan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dengan judul “Daya Saing dan Strategi Peningkatan Ekspor Udang Indonesia di Pasar Internasional”. Penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani MS, Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi MSc. dan Dr.Ir. Nunung Nuryartono, MSi selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah mengarahkan dan memberikan masukan dalam proses penelitian dan pelaksanaan disertasi ini. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada : 1. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA selaku Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian dan seluruh staf pengajar yang telah memberikan bimbingan dan proses pembelajaran selama penulis kuliah. 2. Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS dan Dr. Ir. Heny K. Daryanto, MEc. selaku penguji luar komisi, Dr. M. Firdaus selaku penguji yang mewakili program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian dan Pimpinan Sidang pada ujian tertutup. 3. Prof. Isang Goenarsyah selaku dosen mata ajaran perdagangan internasonal. 4. Dr. Ir. Slamet Subiyakto, MSi selaku Direktur Perbenihan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya dan Dr. Santoso, MPhil selaku Direktur Pengolahan Hasil Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan selaku penguji luar komisi pada sidang ujian terbuka. 5. Kedua orangtua penulis (almarhum) yang telah mengajarkan untuk bekerja keras dalam setiap pekerjaan. 6. Istriku Dra. Eni Istinah dan kedua anakku Ega Javier Harwenda dan Reyhan Widyatna yang telah sabar mendampingi penulis dalam menyelesaikan studi. 7. Kakakku Sutisna dan Juju Junarsih, serta adikku Emi Sukmawati yang senantiasa mendoakan dan mendorong penulis menyelesaikan studi. 8. Dr. Mustafa Abubakar, Dr. Suseno, Ir. Iskandar Jafar, MM, dan Ir. Nur Arif Azizi, MM selaku atasan penulis di tempat kerja yang telah mendorong untuk melanjutkan studi.
xv
9. Dr. Dedi Jusadi dan Prof. Patrick O’Rourke yang telah memberikan surat rekomendasi untuk melanjutkan studi. 10. Bu Tati selaku Kasubdit Statistik Perikanan Budidaya, Mas Hadi staf di Bagian Statistik Perikanan Tangkap, Bu Indras dan Mbak Hermina di Pusdata dan Informasi KKP atas bantuan datanya. 11. Bang Rasidin, Mas Novindra, Kang Uka Wikarya, atas waktunya untuk berdiskusi mengenai pemodelan ekonometrika. 12. Pak Afandi dari BBAP Situbondo, Mas Wiwin dari BBPBL Lampung, Mas Ilham dari BBAP Maros Makassar atas waktunya untuk membantu mengantar ke lapangan. 13. Bu Narti dari Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Timur, Bu Deby dari Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Lampung atas data dan bantuannya mengantar ke lapangan. 14. Pak Nunung Timbul Nugroho, Pak Bona, Pak Joko technical sales pakan udang di Lampung, Pak Budi dan Mas Bambang technical sales pakan di Jatim atas bantuan data. 15. Pak Pitoyo dari Shrimp Club Indonesia (SCI) Jawa Timur, Pak ismail Said dari SCI Lampung, Pak Johan dan Mas Yusuf dari AP5I Jatim. 16. Dr. Sonny Koeshendrajana, Dr. Hendra Siry, Pak Tajerin, Mbak Risma, Bu Yayan, Mas Hendra Ados dari Balai Besar Riset Sosek terima kasih atas bantuan penerbitan jurnal. 17. Teman-teman angkatan 2006 Pak Saptana, Pak Surya, Pak Heru, Pak Adar, Pak Muslimin, Bu Trias, Bu Fitria, Bu Urip, Bu Halimah, Bu Lilis, terima kasih atas kekompakannya. 18. Mbak Rubi, Mbak Yani, Mbak Sofi, Ibu Kokom, dan Mas Husein sebagai staf kependidikan program studi EPN yang membantu penulis menyelesaikan studi. 19. Pihak-pihak lain yang namanya tidak dapat disebutkan satu-persatu namun telah banyak membantu selama studi di IPB. Semoga Allah SWT menerima karya ini sebagai amal kebaikan dan juga tanda rasa syukur penulis. Amin.
xvi
RIWAYAT HIDUP Penulis merupakan anak ke lima dari enam bersaudara dari pasangan almarhum Bapak M. Suherman dan almarhumah Ibu Lusih. Penulis dilahirkan pada 3 Maret 1967 di Kelurahan Sukamulya, Kuningan, Jawa Barat. Pada Tahun 1996, Penulis menikah dengan Dra. Eni istinah dan dikaruniai dua orang putra bernama Ega Javier Harwenda dan Reyhan Widyatna Harwenda. Penulis menyelesaian pendidikan S 1 pada Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor tahun 1990. Pada tahun 1997 penulis mendapat kesempatan melanjutkan studi S 2 ke Illinois State University mengambil Agribusiness Management
melalui beasiswa OTO Bappenas dan
lulus pada tahun 1999. Kesempatan menempuh S 3 diperoleh penulis pada tahun 2006 melalui beasiswa dari Badan Pengembangan SDM Kementerian Kelautan dan Perikanan. Setelah lulus S 1 pada tahun 1990 sampai dengan pertengahan tahun 1993, penulis bekerja sebagai supervisor pada tambak udang di PT Tanjung Mina Kharisma di Kecamatan Mauk, Tangerang, di PT Bumi Lestari Abadi di Ujung Genteng, Sukabumi, dan di PT Lubuk Naga di Deli Serdang Sumatera Utara. Sejak tahun 1993 penulis menjadi PNS dan ditempatkan pada Bagian Program Inspektorat Jenderal Departemen Pertanian sampai dengan tahun 1999. Sejak tahun 2000 sampai dengan saat ini, penulis bekerja di Inspektorat Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan. Selama bekerja, penulis pernah mendapat kesempatan mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh JICA di Marine Biotechnology Institute (MBI), Kamaishi, Iwate selama 10 bulan sejak Oktober 2005 sampai dengan Juli 2006.
xvii
xviii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................
xxvii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................
xxxi
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................... xxxiii ‘
DAFTAR SINGKATAN.................................................................. I. PENDAHULUAN ............................................................................
xxxv
‘
1
1.1.
Latar Belakang Penelitian ......................................................
1
1.2.
Perumusan Masalah ...............................................................
5
1.3.
Tujuan Penelitian ...................................................................
13
1.4.
Kegunaan Penelitian ..............................................................
14
1.5.
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ........................
14
II. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................
17
2.1.
Perkembangan Produksi Udang Indonesia .............................
17
2.2.
Perkembangan Kuantitas dan Nilai Ekspor Udang Indonesia.................................................................................
19
2.3. Gambaran Umum Perdagangan Udang Dunia ........................
20
2.3.1. Perdagangan Udang Segar ...........................................
24
2.3.2. Perdagangan Udang Beku ............................................
26
2.3.3. Perdagangan Udang Olahan .........................................
28
2.4.
Kebijakan Pemerintah Terkait Peningkatan Produktivitas Udang Tambak Indonesia ................................
29
2.5.
Kebijakan Pemerintah Terkait Terkait Peningkatan Mutu Udang ...........................................................................
32
2.6.
Konsep Daya Saing ...............................................................
36
2.7.
Produktivitas dan Daya Saing ................................................
41
Mutu, Kemanan Hasil Produk Perikanan, dan Daya Saing ....................................................................................... 2.9. Penelitian Terdahulu ..............................................................
44
2.10. Posisi Penelitian .....................................................................
61
2.11. Novelty ...................................................................................
61
2.8.
xix
52
III. KERANGKA PEMIKIRAN ............................................................
63
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ..................................................
63
3.1.1. Penawaran dan Permintaan Udang ...............................
63
3.1.2. Daya Saing: Keunggulan Komparatif dan Keunggulan kompetitif .................................................
77
3.1.3. Produktivitas dan Daya Saing .....................................
85
3.1.4. Mutu, Keamanan Hasil Produk Perikanan, dan Daya Saing ....................................................................
93
3.1.5. Kaitan Produktivitas, Mutu, dan Perdagangan .............
94
3.2. Kerangka Pemecahan Masalah ................................................
97
IV. METODOLOGI PENELITIAN .......................................................
101
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian...................................................
102
4.2. Jenis dan Sumber Data .............................................................
102
4.2.1. Tingkat Nasional ..........................................................
102
4.2.2. Tingkat Lapangan .........................................................
103
4.3. Metode Analisis.......................................................................
104
4.3.1. Tingkat Nasional: Analisis Ekonometrika ..................
104
4.3.2. Analisis Daya Saing .....................................................
137
4.3.3. Konfirmasi pada Tingkat Lapangan .............................
138
4.4. Definisi Operasional ................................................................
140
V. POSISI DAYA SAING UDANG INDONESIA, TAHUN 1989-2008.........................................................................................
143
5.1. Analisis Keunggulan Komparatif ............................................
143
5.2. Constant Market Share Analysis .............................................
148
5.3. Rangkuman..............................................................................
153
VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENAWARAN, PERMINTAAN, DAN DAYA SAING ...............
155
6.1. Keragaan Umum Model Daya Saing Udang Indonesia ..........
155
6.2. Blok Produksi ..........................................................................
156
6.2.1. Permintaan Faktor Produksi Udang Tambak Indonesia ....................................................................... 6.2.2. Pertumbuhan Total Factor Productivity ........................
xx
157 159
6.2.3. Produksi Udang Tambak Indonesia ..............................
160
6.2.4. Produksi Udang Hasil Tangkapan .................................
164
6.2.5. Harga Udang Domestik dan Permintaan Bahan Baku ..............................................................................
164
6.2.6. Perbandingan dengan Thailand .....................................
168
6.3. Blok Perdagangan Udang Segar ..............................................
175
6.3.1. Pasar Jepang ..................................................................
176
6.2.2. Pasar AS ........................................................................
178
6.2.3. Pasar UE-27...................................................................
181
6.4. Blok Perdagangan Udang Beku ..............................................
184
6.4.1. Pasar Jepang ..................................................................
184
6.4.2. Pasar AS ........................................................................
188
6.4.3. Pasar UE-27...................................................................
190
6.5. Blok Perdagangan Udang Olahan ...........................................
193
6.5.1. Pasar Jepang ..................................................................
194
6.5.2. Pasar AS ........................................................................
197
6.5.3. Pasar UE-27...................................................................
200
6.6 Rangkuman...............................................................................
205
VII. PRODUKTIVITAS TAMBAK TAHUN 1989-2008 DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TOTAL FACTOR PRODUCTIVITY............................................................
207
7.1. Produktivitas Tambak Udang, Tahun 1989-2008 ...................
207
7.1.1. Perkembangan Output ...................................................
207
7.1.2. Perkembangan Input (Faktor Produksi) ........................
211
7.1.3. Perkembangan TFP .......................................................
212
7.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi TFP: Hasil Konfirmasi pada Tingkat Lapang .............................................
212
7.2.1. Pengaruh Serangan Penyakit terhadap Pertumbuhan TFP .........................................................
215
7.2.2. Pengaruh Benur Bersertifikat ........................................
216
7.2.3. Pengaruh Intensifikasi ...................................................
218
7.2.4. Pengaruh Faktor Geografis ............................................
221
7.2.5. Pengaruh Tingkat Kemampuan SDM ...........................
223
7.2.6. Pengaruh Luas Area yang Diusahakan ..........................
224
xxi
7.2.7. Pengaruh Aspek Kelembagaan (Kerjasama) .................
227
7.3. Rangkuman..............................................................................
227
VIII. ANALISIS MUTU PADA RANTAI PASOKAN ...........................
229
8.1. Analisis Mutu pada Rantai Pasokan .......................................
229
8.1.1. Tingkat Pembudidaya Udang ........................................
230
8.1.2. Pedagang Pengumpul dan Suplier .................................
233
8.1.3. Unit Pengolah Ikan ........................................................
236
8.1.4. Eksportir ........................................................................
238
8.2. Rangkuman...............................................................................
241
IX. DAMPAK KEBIJAKAN DOMESTIK TERHADAP DAYA SAING SEBAGAI DASAR STRATEGI PENINGKATAN EKSPOR...........................................................................................
243
9.1.
Hasil Validasi Model Daya Saing Udang Indonesia ..............
243
9.2.
Evaluasi Dampak Alternatif Simulasi Kebijakan Domestik Periode Tahun 1989-2008 Terhadap Penawaran dan Permintaan Udang Indonesia ........................
243
9.2.1. Tingkat Pendidikan Meningkat sebesar 40 Persen ........
244
9.2.2. Peningkatan Anggaran Irigasi Pemerintah sebesar 7.46 Kali ........................................................................
247
9.2.3. Subsidi Harga Pakan 11.5 Persen ..................................
251
9.2.4. Subsidi Harga BBM 30 Persen......................................
254
9.2.3. Penurunan Tingkat Suku Bunga sebesar 30 Persen ............................................................................
256
9.2.3. Kombinasi Peningkatan Anggaran Irigasi dan Subsidi Pakan ................................................................
258
9.2.7. Kombinasi Subsidi harga Pakan dan Subsidi Harga Benur ..................................................................
260
Evaluasi Dampak Alternatif Simulasi Kebijakan Domestik Periode Tahun 2004-2008 terhadap Daya Saing Ekspor Udang Indonesia ..............................................
262
9.4. Strategi Peningkatan Ekspor ...................................................
265
9.5. Rangkuman..............................................................................
273
9.3.
xxii
X. SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ...............................
275
10.1. Simpulan................................................................................
275
10.2. Implikasi Kebijakan ..............................................................
277
10.3. Saran Penelitian Lanjutan......................................................
282
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................
283
LAMPIRAN .....................................................................................
297
xxiii
xxiv
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Perkembangan Nilai dan Kuantitas Ekspor Udang Indonesia, Tahun 2000-2010 ................................................................................
8
2. Perbandingan Biaya Produksi dan Harga Jual Udang Windu di Philipina, Thailand, dan Malaysia, Tahun 2005 ..................................
10
3. Perbandingan Biaya Produksi dan Harga Jual Udang Vaname di Thailand, Malaysia, dan Indonesia, Tahun 2005 dan 2007 .................
10
4. Produksi Udang Tambak Indonesia Menurut Varietas, Tahun 2000-2010............................................................................................
18
5. Produksi Udang Hasil Penangkapan Menurut Varietas, Tahun 1990-2010............................................................................................
19
6. Perkembangan Kuantitas dan Nilai Ekspor Udang Indonesia Berdasarkan Negara Tujuan Ekspor, Tahun 2005-2011 .....................
20
7. Jumlah Pembudidaya Udang yang Memperoleh Sertifikat CBIB di Indonesia dan di Thailand ...............................................................
33
8. Fasilitas Pendukung untuk Pengembangan Industri Udang Indonesia..............................................................................................
35
9. Kebijakan Antisipasif Pemerintah dalam Menghadapi Hambatan Perdagangan Internasional ................................................
36
10. Pengklasifikasian Mutu dan Ukuran Udang Windu di Jakarta dan di Ujung Pandang .........................................................................
50
11. Ringkasan Studi Terdahulu tentang Daya Saing Komoditas Udang ..................................................................................................
53
12. Ringkasan Studi Terdahulu tentang Produktivitas dan Mutu pada Komoditas Udang .......................................................................
54
13. Manfaat Perdagangan karena Adanya Keunggulan Komparatif .........
80
14. Pengorganisasi Model Analisis Daya Saing Udang Indonesia ...........
105
15. Dasar Pengagregasian Model ..............................................................
105
16. Perbandingan Pemeliharan Udang Windu dan Vaname di Thailand ...............................................................................................
111
17. Skenario Simulasi Kebijakan Domestik untuk Peningkatan Daya Saing ..........................................................................................
136
18. Nilai Rata-Rata Indeks RCA Tiga Produk Udang Indonesia dan Thailand di Tiga Pasar Utama, Periode Tahun 1989-2003 dan Tahun 2004-2008 ................................................................................ 144 19. Dekomposisi CMSA Perubahan Nilai Ekspor Indonesia dan Thailand, Tahun 1989-2003 dan Tahun 2004-2008 ...............................
xxv
149
20. Dekomposisi CMSA Perubahan Kuantitas Ekspor Indonesia dan Thailand, Tahun 1989-2003 dan Tahun 2004-2008 ...............................
152
21. Hasil Estimasi pada Persamaan Permintaan Faktor Produksi Udang Tambak ....................................................................................
157
22. Hasil Estimasi pada Persamaan Pertumbuhan Produktivitas (TFP) Udang Tambak ..........................................................................
160
23. Hasil Estimasi pada Persamaan Produksi Udang Tambak ..................
161
24. Hasil Estimasi pada Persamaan Produksi Udang Hasil Tangkapan ...........................................................................................
164
25. Hasil Estimasi pada Persamaan Harga Udang Segar Domestik, Udang Beku Domestik, Permintaan Udang Segar oleh Udang Beku, dan Permintaan Udang Beku oleh Udang Olahan ....................
166
26. Hasil Estimasi pada Persamaan Jumlah Ekspor, Harga Ekspor , dan Permintaan Impor Udang Segar Jepang .......................................
177
27. Hasil Estimasi pada Persamaan Jumlah Ekspor, Harga Ekspor , dan Permintaan Impor Udang Segar AS .............................................
179
28. Hasil Estimasi pada Persamaan Jumlah Ekspor, Harga Ekspor , dan Permintaan Impor Udang Segar UE-27 ........................................ 182 29. Hasil Estimasi pada Persamaan Harga Udang Beku Dunia ................
184
30. Hasil Estimasi pada Persamaan Jumlah Ekspor, Harga Ekspor , dan Permintaan Impor Udang Beku Jepang ........................................
185
31. Hasil Estimasi pada Persamaan Jumlah Ekspor, Harga Ekspor , dan Permintaan Impor Udang Beku AS ..............................................
189
32. Hasil Estimasi pada Persamaan Jumlah Ekspor, Harga Ekspor , dan Permintaan Impor Udang Beku UE-27. .......................................
191
33. Hasil Estimasi pada Persamaan Harga Udang Olahan Dunia .............
193
34. Hasil Estimasi pada Persamaan Jumlah Ekspor, Harga Ekspor , dan Permintaan Impor Udang Olahan Jepang .....................................
195
35. Hasil Estimasi pada Persamaan Jumlah Ekspor, Harga Ekspor , dan Permintaan Impor Udang Olahan AS ...........................................
198
36. Nilai Ekspor Udang Indonesia dan Thailand Ke AS Berdasarkan Kode HS-10 Digit, Tahun 2005-2011 ............................
199
37. Hasil Estimasi pada Persamaan Jumlah Ekspor, Harga Ekspor , dan Permintaan Impor Udang Olahan UE-27 .....................................
201
38. Perbandingan Total Surplus Hasil Memproduksi Produk Udang Bernilai Tambah di Philipina ..............................................................
204
39. Pertumbuhan Output dan Penggunaan Input Tambak Udang Indonesia, Tahun 1989-2008 ...............................................................
210
40. Kisaran Angka Indeks TFP berdasarkan Lokasi dan Sistem
213
xxvi
Usaha ................................................................................................... 41. Faktor-Faktor yang Diduga Mempengaruhi TFP Tambak Udang ......
214
42. Karakteristik Penentu TFP Tipe Usaha Intensif dan Tidak Intensif ................................................................................................. 219 43. Karakteristik Penentu TFP antara Tambak di Provinsi Jawa Timur dan di luar Jawa Timur ............................................................. 222 44. Tambahan Biaya dan Harga Jual Terkait Upaya Peningkatan Mutu ....................................................................................................
234
45. Dampak Peningkatan Tingkat Pendidikan Sebesar 50 Persen terhadap Penawaran, dan Permintaan Udang Indonesia .....................
245
46. Dampak Kebijakan Peningkatan Anggaran Irigasi 7.46 Kali terhadap Penawaran, dan Permintaan Udang Indonesia .....................
249
47. Dampak Kebijakan Subsidi Harga Pakan sebesar 11 Persen terhadap Penawaran dan Permintaan Udang Indonesia .....................
252
48. Dampak Kebijakan Subsidi Harga BBM sebesar 30 Persen terhadap Penawaran dan Permintaan Udang Indonesia .....................
255
49. Dampak Kebijakan Penurunan Tingkat Suku Bunga Pinjaman Sebesar 30 Persen terhadap Penawaran dan Permintaan Udang Indonesia .............................................................................................
257
50. Dampak Kebijakan Subsidi Pakan dan Peningkatan Anggaran Irigasi terhadap Penawaran dan Permintaan Udang Indonesia ..........
259
51. Dampak Kebijakan Subsidi Harga Pakan 11 persen dan Subsidi Harga Benur 40% persen terhadap Penawaran dan Permintaan Udang Indonesia .................................................................................
261
52. Dampak Alternatif Kebijakan Domestik terhadap Daya Saing Udang Indonesia .................................................................................
263
53. Biaya Produksi untuk Memproduksi Satu Kg Udang Beku ................
271
xxvii
xxviii
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Produksi Udang Tambak Dunia Berdasarkan Varietas, Tahun 1990-2008............................................................................................
2
2. Perkembangan Harga Udang Windu (P. monodon) Tanpa Kepala Asal Indonesia di Pasar Jepang, Tahun 1986 – 2008..............
3
3. Perkembangan Produksi Udang Hasil Budidaya dan Hasil Tangkapan, Tahun 2000-2008.............................................................
17
4. Pangsa Nilai Impor Perdagangan Udang Dunia Berdasarkan Produk Udang, Tahun 2010 ................................................................
24
5. Importir dan Eksportir Utama Udang Segar Dunia, Tahun 2010 .......
25
6. Pangsa Ekspor Udang Segar di Pasar Jepang, AS, dan UE-27, Tahun 2010 ..........................................................................................
26
7. Importir dan Eksportir Utama Udang Beku Dunia, Tahun 2010 ........
27
8. Pangsa Pasar dari Eksportir Utama Produk Udang Beku di ketiga Pasar, Tahun 2010 ....................................................................
27
9. Importir dan Eksportir Utama Udang Olahan Dunia, Tahun 2010 .....................................................................................................
28
10. Pangsa Pasar Ekspor Udang Olahan di Ketiga Pasar, Tahun 2010 .....................................................................................................
29
11. Permasalahan Mutu dan Keamanan Pangan Produk Udang Tambak ................................................................................................
48
12. Tahap Produksi dan Ouput yang Dihasilkan ......................................
65
13. Kurva Penerimaan Nelayan dalam Penangkapan Udang ....................
69
14. Manfaat Perdagangan karena Adanya Keunggulan Komparatif .........
78
15. Anatomi Keunggulan Kompetitif Komoditas Berbasis Sumberdaya Alam ...............................................................................
82
16. Fungsi Produksi yang Menggambarkan Produktivitas Faktor Total ....................................................................................................
86
17. Berbagai Alternatif Metode untuk Pengukuran Produktivitas ...........
89
18. Peningkatan Daya Saing karena Keunggulan Biaya Produksi ............
92
19. Peningkatan Daya Saing Melalui Efisiensi Pemasaran .......................
96
20. Kerangka Pemecahan Masalah Analisis Daya Saing Industri Udang Tambak Indonesia....................................................................
98
xxix
21. Strategi Peningkatan Daya Saing Komoditas Udang Tambak Indonesia di Pasar Internasional ..........................................................
100
22. Tahapan Analisa Daya Saing Industri Udang Tambak Indonesia .......
101
23.
Peta Alir Model Sederhana Daya Saing Udang Indonesia ..................
106
24. Peta Alir Blok Produktivitas dan Perdagangan Udang Segar .............
107
25. Peta Alir Blok Perdagangan Udang Beku dan Udang Olahan ............
108
26. Dampak Serangan Penyakit terhadap Produktivitas Udang PT XYZ di Lampung Periode 2007-2010 .................................................
163
27. Perbandingan Biaya Produksi Udang Tambak Indonesia dengan Thailand, Tahun 1997 .........................................................................
170
28. Indeks TFP Udang Tambak Indonesia, Tahun 1990-2008 .........................
209
29. Jalur Pemasaran Udang Tambak Indonesia.........................................
229
30. Pendekatan Model Berlian Porter untuk Analisis Daya Saing Udang Indonesia ..................................................................................
268
xxx
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1.
Data Dasar yang Digunakan untuk Pemodelan Daya Saing Udang Indonesia ..............................................................................
2.
Data Dasar yang Digunakan untuk Menghitung Pertumbuhan Produktivitas (TFP), Tahun 1989-2008 ..........................................
3.
Program Estimasi Parameter Model Daya Saing Udang Indonesia Menggunakan Metode 2SLS, Prosedur Syslin, dan Program SAS/ETS 9.1 .....................................................................
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Hasil Estimasi Parameter Model Daya Saing Udang Indonesia Menggunakan Metode Newton, Prosedur SIMNLIN, dan Program SAS/ETS 9.1 untuk Persamaan Permintaan Pakan ............................................................................ Program Validasi Model Daya Saing Udang Indonesia Menggunakan Metode Newton, Prosedur SIMNLIN, dan Program SAS/ETS 9.1 .................................................................... Hasil Validasi Model Daya Saing Udang Indonesia Menggunakan Metode Newton, Prosedur SIMNLIN, dan Program SAS/ETS 9.1 ..................................................................... Program Komputer untuk Simulasi Historis Subsidi Harga Pakan sebesar 11.5% Menggunakan Metode Newton, Prosedur SIMNLIN, dan Program SAS/ETS 9.1 ............................ Hasil Simulasi Historis Subsidi Harga Pakan sebesar 11.5% Menggunakan Metode Newton, Prosedur SIMNLIN, dan Program SAS/ETS 9.1 ..................................................................... Hasil Simulasi Kebijakan Domestik terhadap Penawaran, Permintaan, dan Daya Saing Udang Indonesia Menggunakan Metode Newton, Prosedur SIMNLIN, dan Program SAS/ETS 9.1 ...................................................................................................
10. Data untuk Menghitung TFP (Output) pada Tingkat Lapang .......
xxxi
299 310 312
317
318
329
336
347
350 355
xxxii
DAFTAR SINGKATAN ACC
: Aquaculture Certification Council
CBIB
: Cara Budidaya Ikan yang Baik
CMSA
: Constant Market Share Analysis
Ditjen P2HP
: Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan
DJPB
: Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya
DRC
: Domestic Resource Cost
GAA
: Global Aquaculture Alliance
GCI
: Global Competitiveness Index
HACCP
: Hazard Analysis Critical Control Point
HS
: Harmonized System
IMNV
: Infectious Myo Necrosis Virus
INBUDKAN
: Intensifikasi Pembudidayaan Ikan
INTAM
: Intensifikasi Tambak
IUU Fishing
: Illegal, Unreported, Unregulated Fishing
KKP
: Kementerian Kelautan dan Perikanan
MBV
: Monodon Baculo Virus
MRA
: Mutual Recognition Agreement
PROPEKAN
: Program Peningkatan Produksi Perikanan Budidaya untuk Ekspor
PT AWS
: PT Aruna Wijaya Sakti
PT CPP
: PT Centra Proteina Prima
RCA
: Revealed Comparative Advantage
SCI
: Shrimp Club Indonesia
SCM
: Supply Chain Management (Manajemen Rantai Pasokan)
SPF
: Specific Pathogen Free
SPS
: Sanitary and Phitosanitary
TBT
: Technical Barrier to Trade
TFP
: Total Factor Productivity
TSV
: Taura Syndrome Virus
UPI
: Unit Pengolah Ikan
WSSV
: White Spot Syndrome Virus
xxxiii
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Udang merupakan salah satu komoditas penting di Indonesia. Udang menyumbang sekitar 1.8% devisa non-migas dan menyediakan lapangan kerja bagi 1.7 juta orang (International Finance Corporation/IFC, 2007b). Namun demikian, pengembangan udang terkendala rendahnya produktivitas dan belum optimalnya pemenuhan persyaratan mutu. Studi IFC (2006, 2007a); USAID (2006); dan World Bank (2006) berturut-turut untuk Indonesia, Nigeria, Bangladesh, dan Pakistan, menunjukkan pentingnya peningkatan produktivitas dan mutu agar udang dari negara-negara tersebut mampu bersaing di pasar internasional. Senada dengan hal tersebut, Helble dan Okubo (2006) menyatakan bahwa keberhasilan ekspor berkelanjutan hanya dapat dicapai jika produktivitas tinggi dikombinasikan dengan mutu tinggi. Dalam perdagangan produk perikanan dunia, terjadi kecenderungan terkonsentrasinya konsumsi pada beberapa species, salah satunya udang. Hal tersebut menjadikan udang sebagai salah satu komoditas penting di dunia (USAID, 2006). Nilai perdagangan udang dunia tahun 2008 mencapai US$ 14 milyar atau 17.2% dari total perdagangan produk perikanan, meskipun dari sisi kuantitas hanya 5.6%. Sebanyak 60% dari 6.6 juta ton produksi udang dunia tahun 2008 diperdagangkan di pasar internasional (Lem, 2008). Udang tersebut berasal dari hasil penangkapan di laut dan di perairan umum, serta hasil budidaya di tambak. Pada tahun 2010, Amerika Serikat (AS) merupakan importir utama dengan nilai US$4.47 milyar, disusul UE-27 senilai US$4.09 milyar, dan Jepang senilai US$2.58 milyar. Pangsa pasar ketiganya mencapai 76%. China merupakan
2
produsen utama udang dunia tahun 2010 dengan produksi 1.3 juta ton, sedangkan ekportir utama diduduki Thailand dengan pangsa 16.5%, disusul China 10.7%, Vietnam 8.9%, berikutnya Indonesia dan India masing-masing 6.5%. Permintaan udang diprediksi masih positif seiring meningkatnya: populasi, pendapatan, urbanisasi, dan permintaan akan makanan sehat (FAO, 2008; Delgado, 2003). Meskipun demikian, seiring terintegrasinya perekonomian dunia persaingan sesama produsen udang makin ketat yang disebabkan setidaknya oleh dua faktor. Pertama, kemajuan teknologi bidang hatchery/pembenihan, pakan, dan manajemen tambak telah mendorong peningkatan produksi udang tambak dunia dari 0.17 juta ton pada tahun 1984 menjadi 3.2 juta ton tahun 2008. Proporsi produksi udang tambak terhadap total udang dunia (tambak dan penangkapan) meningkat dari 9.2% tahun 1984 menjadi 43.0% tahun 2008. Peningkatan tersebut tidak terlepas dari introduksi udang Litopenaeus vannamei (selanjutnya disebut udang vaname) ke negara-negara di Asia pada tahun 2000 (Gambar 1).
(Juta ton)
2.8
Introduksi P. vannamei ke Asia
2.4 2.0 1.6 1.2 0.8 0.4 0.0
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
L. vannamei
P. monodon
Other Marine Shrimp Udang lainnya
M. rosenbergii
Sumber: FAO dalam Lem (2008)
Gambar 1. Produksi Udang Tambak Dunia Berdasarkan Varietas, Tahun 19902008
3
Berdasarkan Gambar 1, udang vaname dengan kuantitas produksi 2.1 juta ton menyumbang 70% dari 3.2 juta ton udang tambak dunia, atau 33% dari 6.6 juta ton total produksi udang dunia tahun 2008. Peningkatan produksi vaname tersebut berimplikasi pada penurunan harga (Wyban, 2007a; Briggs, et al., 2005). Sebagai gambaran, pada periode 2000-2005, penawaran udang mencapai 12-15% per tahun, sedangkan permintaan hanya 5.6% per tahun (IFC, 2007b). Akibatnya, harga udang vaname turun 43% menjadi US$ 3.7 per kg pada periode 2000-2003, sebaliknya harga udang windu periode 1986-2008 relatif stabil seperti ditunjukan pada Gambar 2.
US $ /Kg 20.00
US$/kg
25.00 16/20 31/40
15.00
10.00
5.00
Jan-08
Jan-06
Jan-04
Jan-02
Jan-00
Jan-98
Jan-96
Jan-94
Jan-92
Jan-90
Jan-88
Jan-86
0.00
Sumber: Josupeit (2008)
Gambar 2. Perkembangan Harga Udang Windu (P. monodon) Tanpa Kepala Asal Indonesia di Pasar Jepang, Tahun 1986 – 2008 Guna mengantisipasi penurunan harga dan berkurangnya margin, negara produsen udang melakukan berbagai strategi seperti diferensiasi produk, beralih ke produk bernilai tambah, dan memangkas produksi (FAO, 2008). Asosiasi Pembudidaya udang Thailand memangkas produksi 7.55% tahun 2008, setuju
4
menurunkan produksi tahun 2009 sebanyak 20% dari 490 ribu ton menjadi 392 ribu ton, walaupun rencana tersebut akhirnya batal karena produksi udang di beberapa negara produsen lainnya terserang penyakit. Thailand juga lebih memfokuskan untuk memproduksi udang bermutu (the Nation, 2008). China melakukan strategi dengan meningkatkan efisiensi dan produktivitas, dan Vietnam dengan “brand imaging” berupa produk ramah lingkungan (DKP, 2004). Strategi Indonesia yaitu memanfaatkan tambak “idle” dan kecenderungan beralih ke udang vaname. Fauzi (2005) menyarankan pemerintah Indonesia perlu menyiapkan industri udang lebih kompetitif dan memperkuat pasar domestik. Menurut Delgado et al., (2003) diversifikasi tujuan pasar juga diperlukan karena kecenderungan perdagangan udang akan bergeser dari South ke North menjadi South ke South. Kedua, ketatnya persaingan juga terjadi akibat meningkatnya preferensi konsumen akan produk bermutu dan aman dikonsumsi. Pemenuhan persyaratan mutu tersebut berimplikasi pada peningkatan biaya yang memberatkan produsen. Peningkatan tersebut terutama setelah dimasukannya ketentuan mengenai Sanitary and Phytosanitary (SPS) dan Technical Barriers to Trade (TBT) oleh World Trade Organization (WTO) (Samsuddoha, 2007). Pada komoditas udang, SPS antara lain mencakup pengujian kandungan logam berat oleh UE, sedangkan TBT antara lain penggunaan Turtle Excluder Device (TED) untuk ekspor udang penangkapan ke Amerika Serikat (AS). Faktanya, pengetatan tersebut telah menjadi proteksi terselubung setelah hambatan tarif tidak diperkenankan (Athukoralla dan Jayasuriya, 2003; Oktaviani dan Erwidodo, 2005; Hutabarat et al., 2000; Simangunsong, 2008). Selain itu, menurut Simangunsong (2008)
5
negara-negara UE juga menuntut kesetaraan sistem jaminan mutu dan keamanan hasil produk perikanan berdasarkan konsep Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP)/Pengendalian Manajemen Mutu Terpadu (PMMT). Menurut FAO (2008), dimasa mendatang produsen udang juga akan dihadapkan pada isu pengelolaan perikanan secara bertanggungjawab, keamanan hasil produk perikanan, traceability (ketertelusuran), sertifikasi, dan ecolabelling. Contohnya, mulai tahun 2010 UE, mewajibkan sertifikasi produk perikanan tangkap dalam rangka mengurangi dampak Illegal, Unreported, Unregulated (IUU) Fishing. Mengingat pentingnya komoditas udang dalam ekspor perikanan Indonesia sebagai penghasil devisa, maka kajian daya saing secara komprehensif pada aspek produksi dan perdagangan serta mengetahui faktor-faktor penentu daya saing khususnya berkaitan dengan produktivitas dan pemenuhan akan persyaratan mutu menjadi penting. 1.2. Perumusan Masalah Menurut Nurjana (2007) Indonesia berpeluang menjadi produsen udang terbesar dunia mengingat potensi belum sepenuhnya dimanfaatkan. Dari potensi lahan 913 000 Ha untuk udang tambak, sampai dengan 2006 baru dimanfaatkan 612 534 Ha atau terbuka peluang pengembangan 33%.
Akan tetapi, untuk
mewujudkan hal tersebut tidak mudah. Tambak udang termasuk yang rentan terkena serangan penyakit. Sebagai ilustrasi, produksi tahun 2010 hanya tercapai sekitar 382 ribu ton dari target 540 ribu ton, atau turun dari capaian tahun 2008 sebanyak 409 ribu ton. Penyebabnya adalah udang tambak di dua wilayah produsen udang utama yaitu Lampung dan Jawa Timur terkena serangan virus. Akibatnya, produktivitas udang mengalami penurunan dari 20 ton per Ha menjadi
6
17 ton - 18 ton per Ha Jenis virus yang menyerang antara lain: White Spot Syndrome Virus (WSSV), Taura Syndrome Virus (TSV), dan Infectious Myo Necrosis Virus (IMNV). Secara umum, pengembangan industri udang di Indonesia juga mengalami tren serupa dengan yang terjadi di dunia, yaitu berkembangnya udang tambak dan beralihnya varietas dari udang windu ke udang vaname. Hasilnya, sejak tahun 1988 ekspor udang tambak yang didominasi oleh jenis penaid, seperti: P. monodon,P. semisulcatus, P. merguiensis, dan P. Indicus, telah melampaui udang hasil penangkapan (Ditjen Perikanan, 1992 dalam Kusumastanto, 1996). Pergantian varietas dari windu ke vaname tahun 2000-pun telah mengubah komposisi produksi udang tambak Indonesia, yaitu produksi udang vaname Indonesia tahun 2007 telah melampaui produksi udang windu. Dibandingkan dengan produksi udang hasil penangkapan, produksi udang tambak Indonesia mengalami tren meningkat dari 249 ribu ton pada tahun 2000 menjadi 409 ribu ton pada
tahun 2008. Namun demikian, pada tahun 2009
produksi menurun menjadi 336 ribu ton, dan pada tahun 2010 menjadi 382 ribu ton. Meningkatnya peran udang tambak terjadi seiring stagnannya produksi udang dari hasil penangkapan. Beberapa alasan peningkatan udang hasil budidaya antara lain: konsistensi mutu, kurang tergantung pada musim, varietas dan ukuran udang lebih terkontrol, dan adanya integrasi vertikal sehingga memudahkan produsen beradaptasi terhadap kebutuhan konsumen. Namun demikian, dengan luas yang dimiliki lebih dari 350 ribu Ha, maka capaian tersebut masih jauh dibandingkan Thailand. Thailand hanya dengan luas lahan 64 ribu Ha, mampu memproduksi udang 500ribu ton per tahun pada periode
7
tahun 2007-2010. Tingginya produksi Thailand disebabkan proporsi tambak intensif mencapai 85%, sedangkan Indonesia mayoritas ekstensif. Menurut Rosenberry (1996) dalam Primavera (1998) dari 350 000 Ha sebanyak 70% udang tambak di Indonesia dikelola menggunakan teknologi ekstensif, 15% semi-intensif, dan hanya 15% yang menggunakan teknologi intensif. Pada aspek perdagangan, nilai ekspor udang Indonesia berfluktuasi. Nilai ekspor meningkat dari US$ 84.57 juta pada tahun 1974 menjadi US$ 1.17 milyar pada tahun 2008 atau 43.5% dari nilai ekspor perikanan sebesar US$ 2.69 milyar. Nilai ekspor menglami penurunan menjadi US$ 1.007 milyar pada tahun 2009 atau 42.5% dari total ekspor perikanan sebesar US$ 2.37 milyar, dan mencapai US$ 989.7 juta pada tahun 2010 atau 34.6% dari total ekspor produk perikanan senilai US$ 2.86 milyar. Berdasarkan Program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RP2K) ekspor udang periode tahun 2007-2009 ditargetkan berturut-turut US$ 1.42 juta, US$1.79 juta, dan US$ 2.25 juta. Dengan demikian, nilai ekspor tahun 2008 hanya mencapai 51% dan tahun 2009 hanya mencapai 44.7% dari target pada RP2K. Meskipun terjadi peningkatan baik dari sisi produksi maupun nilai ekspor, akan tetapi terjadi kekurangseimbangan antara kegiatan produksi dengan pemasaran (Nugroho, 2007). Dalam periode 2006-2010, produksi udang meningkat rata-rata 2.63% per tahun, sedangkan ekspor menurun 4.06% dari sisi kuantitas, dan 2.47% dari sisi nilai. Hal tersebut diindikasikan setidaknya oleh dua hal. Pertama, nilai ekspor dalam kurun waktu 10 tahun terakhir berfluktuasi, dan stagnan berada pada kisaran satu milyar US$ dan cenderung menurun pada dua tahun terakhir. Akibatnya, jika menggunakan harga rata-rata (rasio nilai
8
ekspor dibagi kuantitas ekspor) nilainya menurun dari US$ 8.10 per kg tahun 1999 menjadi US$ 7.02 per kg pada 2010 (Tabel 1). Salah satu penyebab penurunan harga rata-rata tersebut antara lain karena berubahnya komposisi udang ekspor, semula didominasi udang windu menjadi udang vaname yang berukuran relatif lebih kecil. Tabel 1. Perkembangan Nilai dan Kuantitas Ekspor Udang Indonesia, Tahun 2000-2010 Tahun
Nilai (US$ juta)
Kuantitas (Ton)
Harga Rata-Rata (US$ per kg)
2000
1 002.1
116.2
8.62
2001
934.9
128.8
7.26
2002
836.6
124.8
6.70
2003
850.2
137.6
6.18
2004
892.5
142.1
6.28
2005
948.1
153.9
6.16
2006
1 115.9
169.3
6.59
2007
1 029.9
157.5
6.54
2008
1 165.3
170.6
6.83
2009
1 007.4
150.9
6.67
2010
989 .7
140,9
7,02
Sumber: Statistik Ekspor Perikanan (Departemen Kelautan dan Perikanan, berbagai edisi)
Indikasi berikutnya yaitu terjadi penurunan pangsa pasar dan rendahnya diferensiasi produk. Pangsa pasar Indonesia menurun dari 8.69% pada tahun 2000 menjadi 6.5% pada tahun 2007 (FAO, 2009 diolah). Diferensiasi produk juga rendah yaitu ekspor udang tahun 2007 didominasi udang beku 89.4%, sisanya udang olahan 5.9% dan udang segar 4.6%. Kondisi tersebut kontradiktif dengan Unit Pengolah Ikan (UPI) yang kekurangan bahan baku dan hanya mampu memenuhi 50.0% dari kapasitas produksinya.
9
Kedua indikasi tersebut perlu diperhatikan mengingat secara umum bahwa peningkatan produksi udang tambak dunia direspons negatif oleh pasar dengan penurunan harga. Menurut Chong (1991 dalam Ling et al. 1999) kelebihan penawaran udang sudah terjadi sejak awal 1990-an. Selain kecenderungan penurunan harga, pertumbuhan industri udang juga akan bergeser kearah produk bernilai tambah. Artinya, tingkat persaingan akan meningkat dan terkait aspek penyiapan, bentuk produk, dan isu pencitraan seperti eco-labelling. Dengan demikian perlu dilakukan kajian terhadap daya saing ekspor Indonesia akibat dampak kelebihan penawaran yang menyebabkan penurunan harga, dan peningkatan permintaan akan produk bermutu serta aman dikonsumsi, mengingat kondisi Indonesia berbeda dengan negara pesaing dalam beberapa hal. Pertama, mayoritas (70%) tambak udang Indonesia dikelola secara tradisional dan memiliki produktivitas rendah. Sebagai ilustrasi, produksi udang vaname pada tambak intensif di Thailand dapat mencapai 20 sampai dengan 30 ton/Ha (Wyban, 2007a), sedangkan di Indonesia hanya 6, 10, dan 15 ton/Ha (Taukhid et al., 2006). Sebaliknya, pakan (sekitar 60% dari biaya produksi) di Indonesia relatif lebih mahal, yaitu dua kali dibandingkan Panama, 15% lebih tinggi dibandingkan Thailand, dan 40% lebih tinggi dibandingkan China (IFC, 2006). Rendahnya produktivitas diikuti kenaikan biaya produksi menyebabkan kemampuan memperoleh laba menurun sehingga daya saing rendah. Tabel 2 dan 3 menyajikan perbandingan biaya produksi dan harga jual antara tambak udang di Philipina, Thailand, dan Malaysia untuk udang windu, dan udang vaname. Tingkat keuntungan
pemeliharaan udang windu di Malaysia lebih tinggi
dibandingkan Thailand. Sebaliknya untuk vaname, keuntungan pembudidaya
10
udang di Thailand untuk tambak perusahaan maupun tambak perorangan lebih tinggi dibandingkan Malaysia. Biaya produksi tambak udang di Indonesia lebih besar dibandingkan dengan biaya produksi di Thailand dan Malaysia. Tabel 2. Perbandingan Biaya Produksi dan Harga Jual Udang Windu di Philipina, Thailand, dan Malaysia, Tahun 2005 Variabel a. Harga jual (US $/Kg) b. Biaya total (US $/Kg)
Tambak Perusahaan Philipina Thailand Malaysia 5.52 4.22 5.47
Tambak Perorangan Thailand 4.66
3.71
3.69
3.65
3.18
- Pakan (US $/Kg)
1.64
1.70
1.85
2.03
- Benur (US $/Kg)
0.22
0.30
0.30
0.25
- BBM (US $/Kg)
0.96
0.76
0.37
0.40
44.79
46.88
52.18
64.37
49.00
15.00
50.00
46.00
c. Biaya pakan terhadap total biaya variabel (%) d. Tingkat keuntungan (%)
Sumber: Maatsuura et al., (2007) berdasarkan hasil survey tahun 2005
Tabel 3. Perbandingan Biaya Produksi dan Harga Jual Udang Vaname di Thailand, Malaysia, dan Indonesia, Tahun 2005 dan 2007 Tambak Perusahaan Variabel
Thailand
Tambak Perorangan
Malaysia Indonesia
Thailand
a. Harga jual (US $/Kg)
3.56
2.76
Td
2.61
b. Biaya total (US $/Kg)
2.01
2.94
3.33
2.10
- Pakan (US $/Kg)
0.99
1.71
1.56
1.07
- Benur (US $/Kg)
0.15
0.41
0.31
0.26
- BBM (US $/Kg)
0.50
0.24
0.19
0.33
49.79
61.31
50.00
51.32
77.00
-6.00
Td
24.00
c. Biaya pakan terhadap total biaya variabel (%) d. Tingkat keuntungan (%)
Keterangan: td = tidak tersedia data. Sumber: Maatsuura et al (2007) Philipina, Thailand, dan Malaysia berdasarkan survey tahun 2005
11
Kedua, pembudidaya udang pada sistem tradisional umumnya juga mengalami kesulitan memenuhi persyaratan mutu dan keamanan hasil produk perikanan sesuai standard internasional. Keharusan dari bebas kandungan antibiotika seperti chloramfenicol, nitrofuran, dan kontaminan lainnya cukup berat bagi mereka. Hal tersebut tercermin dari masih adanya penolakan produk oleh negara importir. Dimasa mendatang pemenuhan produk pangan bermutu dan aman dikonsumsi merupakan hal yang tidak bisa ditawar lagi jika produk tersebut ingin diterima konsumen (Salayo et al. 1999; Daryanto, 2007a; IFPRI, 2003 dalam USAID, 2006). Retailer seperti Walmart dan Carefour, contohnya, telah menetapkan standard mutu tertentu untuk udang yang dibelinya. Artinya, dimasa mendatang peran lembaga sertifikasi seperti Marine Stewardship Council (MSC) dan Global Aquaculture Alliance (GAA) akan makin meningkat. Lembaga tersebut memberikan perhatian terhadap masalah: lingkungan dan sosial, keamanan hasil produk perikanan, dan traceability. Selanjutnya, menurut Philips dan Yamamoto (2007) isu mutu dan keamanan hasil produk perikanan juga perlu diperhatikan agar tidak memarjinalkan pembudidaya udang skala kecil dan menengah. Pembudidaya udang skala kecil umumnya terkendala oleh biaya sertifikasi (Lem, 2008). Di Indonesia, pembudidaya udang skala kecil walaupun kontribusi dari sisi produksi kurang signifikan, akan tetapi peran mereka tidak bisa diabaikan. Berdasarkan jumlah, mereka adalah mayoritas yang berperan dalam pembangunan dan pengurangan pengangguran di perdesaan. Sebagai gambaran, produksi udang tambak Indonesia tahun 2007 sekitar 100 ribu ton diproduksi oleh perusahaan terintegrasi dibawah CP Prima Grup (PT Wahyuni Mandira/WM, PT Central
12
Pertiwi Bahari/CPB), PT Aruna Wijaya Sakti/AWS), 110 ribu ton dihasilkan anggota Shrimp Club Indonesia (SCI), dan sekitar 140 ribu ton diproduksi oleh pembudidaya udang tradisional. Pada tahun 2010 produksi mencapai 352 ton, komposisinya SCI diperkirakan menyumbang sekitar 130 ribu ton, sedangkan CP Prima mengalami penurunan. PT CP Prima sebagai anak perusahaan Charoen Pokphand merupakan perusahaan tambak terluas di dunia. CP Prima telah memenuhi berbagai persyaratan seperti ISO 9000, ISO14000, sertifikasi HACCP, British Retailer Consortium (BRC) Standards, Good Manufacturing Practices (GMP), International Food Technology (IFT), sertifikasi penerapan Best Aquaculture Practices (BAP) dari Aquaculture Certification Council (ACC), dan sertifikasi dari Global Aquaculture Aliance (GAA). Menurut data laporan perusahaan tahun 2008, CP Prima memperoleh harga tinggi karena terintegrasinya rantai pasokan dan 95% dari penjualan dilakukan dengan pelanggan tetap (CP Prima, 2009). Selain permasalahan rendahnya produktivitas dan mutu seperti diuraikan diatas, industri udang Indonesia juga menghadapi beberapa kendala internal. Kendala internal antara lain: efisiensi pemasaran rendah, pelabuhan pengiriman terbatas, dan belum optimalnya kebijakan pemerintah terkait upaya peningkatan produktivitas dan mutu. Berdasarkan uraian di atas, nampak bahwa tantangan yang dihadapi oleh industri udang di Indonesia dan negara berkembang lainnya akan makin berat, yaitu terkait kecenderungan penurunan harga dan meningkatnya hambatan non tarif. Implikasinya, perkembangan pasar akan dikuasai oleh perusahaan/negara yang mampu menjual udang dengan mutu lebih baik, pada kondisi constant return
13
to scale dan increasing return to scale. Pada kondisi tersebut, yang dapat bertahan dalam ketatnya persaingan adalah perusahaan yang melakukan integrasi vertikal (Briggs et al., 2005). Menurut Goss et al., (2000) kecenderungan berupa tingginya tingkat integrasi vertikal itulah yang terjadi dewasa ini pada industri udang. Dengan demikian, secara umum rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana daya saing udang tambak Indonesia di pasar internasional. Secara khusus yaitu: 1. Bagaimana posisi daya saing udang Indonesia di pasar internasional dibandingkan dengan Thailand, setelah pergantian varietas udang yang dibudidayakan dari udang windu ke udang vaname? 2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi penawaran, permintaan, dan daya saing udang tambak Indonesia di pasar internasional terkait dengan produktivitas dan mutu? 3. Bagaimana rumusan strategi kebijakan peningkatan ekspor udang Indonesia? 1.3. Tujuan Penelitian Secara umum tujuan umum penelitian adalah menganalisis daya saing ekspor udang tambak Indonesia di pasar internasional, secara khusus bertujuan: 1. Menganalisis posisi daya saing udang Indonesia di pasar internasional dibandingkan dengan Thailand, setelah pergantian varietas udang yang dibudidayakan dari udang windu ke udang vaname. 2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran, permintaan, dan daya saing udang Indonesia di pasar internasional terkait dengan produktivitas dan mutu.
14
3. Menganalisis dampak alternatif kebijakan terhadap daya saing sebagai dasar strategi peningkatan ekspor udang Indonesia. 1.4. Kegunaan Penelitian Upaya
mempelajari
keragaan
sistem
produksi
akan
membantu
pembudidaya udang meningkatkan efisiensi sehingga dapat mempertahankan atau bahkan meningkatkan keunggulan komparatif. Kajian keragaan pemasaran udang di pasar internasional akan bermanfaat bagi para eksportir dalam pengambilan keputusan sehingga lebih mampu berkompetisi dari eksportir negara lain. Hasil studi diharapkan berguna sebagai bahan informasi dan pertimbangan menyusun kebijakan produksi, pengembangan ekspor, pemasaran udang Indonesia, dan sebagai bahan penelitian lebih lanjut. 1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Penelitian daya saing udang dilakukan pada tingkat nasional menggunakan analisis ekonometrika dan hasilnya dikonfirmasi berupa studi kasus pada tingkat lapang. Hasil konfirmasi ditingkat lapang tersebut digunakan untuk memperkaya analisis ditingkat nasional terkait produktivitas udang tambak dan mutu. Pada aspek perdagangan, produk udang didisagregasi menjadi tiga jenis berdasarkan kode Harmonized System (HS-1992) 6-dijit yaitu: HS 030613 (beku), 030623 (segar), dan 160520 (olahan) dengan tujuan ekspor ke AS, Jepang, dan UE-27 serta dibandingkan dengan pesaing utama yaitu Thailand. Beberapa keterbatasan dari studi ini yaitu: 1. Produksi udang berasal dari hasil budidaya dan hasil penangkapan, namun analisis produktivitas hanya dilakukan pada udang tambak. Keterbatasan
15
lainnya yaitu data udang hasil penangkapan tidak memperhitungkan IUU (Illegal, Unreported, Unregulated). Menurut DKP (2006), secara keseluruhan kerugian negara akibat illegal fishing dari segi ekonomi antara Rp 27 sampai dengan Rp 54 triliun per tahun. 2. Analisis daya saing dilakukan pada tingkat produk yaitu udang dengan tujuan ekspor ke tiga pasar utama yaitu: Jepang, AS, dan UE menggunakan indikator pangsa pasar. Analisis produktivitas hanya dilakukan untuk udang budidaya dengan studi kasus tambak udang di Provinsi
Jawa Timur dibandingkan
dengan non Jawa Timur (Lampung, NTB, Sulsel, dan Jabar). 3. Perbandingan analisis daya saing dengan Thailand hanya dilakukan pada aspek perdagangan, sedangkan aspek produksi tidak dilakukan karena keterbatasan data. Implikasinya pada aspek produksi faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing kurang tergali. 4. Harga udang ekspor dan impor diproxy dari harga rata-rata (nilai ekspor dibagi kuantitas ekspor) karena kesulitan memperoleh data. Secara umum data perdagangan (misalnya UNComtrade) tidak menyebutkan ukuran udang, dilain pihak data harga yang tersedia (misalnya Infofish) dibuat berdasarkan jenis, ukuran, dan asal. Studi ini menggunakan harga rata-rata tidak tertimbang dari seluruh ekspor udang bentuk tertentu (misalnya beku) dari berbagai jenis, ukuran, kualitas, dan asal. Rata-rata harga tersebut diperoleh dengan membagi nilai eskpor dengan volumenya seperti yang dilakukan studi Suryana et al., (1989). 5. Data perdagangan yang lebih rinci yaitu menggunakan data HS-10 dijit, akan tetapi ketersediaan data HS-10 dijit untuk periode pengamatan sejak tahun
16
1989-2008 tidak tersedia secara lengkap yaitu hanya tersedia untuk pasar AS, maka studi ini menggunakan data HS 6-dijit. Implikasinya, komposisi produk yang diekspor akan sangat berpengaruh terhadap hasil studi. 6. Analisis mutu pada tingkat nasional diproxy dari dummy persayaratan mutu karena data jumlah penolakan produk oleh negara importir tidak tersedia secara lengkap (hanya tersedia sejak tahun 1999). Negara yang mempunyai diferensiasi/keragaman produk lebih lebih tinggi diasumsikan mempunyai mutu udang lebih baik. 7. Pakan merupakan penyumbang biaya terbesar pada sistem budidaya udang intensif dan semi-intensif, namun data pakan selama periode penelitian tidak tersedia lengkap baik pada Statistik Perikanan Budidaya (tersedia sejak tahun 2007), maupun dari asosiasi pakan (GPPMT). Data tersebut diperlukan untuk menghitung TFP dan sebagai salah satu variabel yang mempengaruhi tingkat produksi udang tambak. Data penggunaan jumlah pakan pada tingkat nasional menggunakan data BPS (survey perusahaan perikanan) sehinga hasilnya dapat menjadi bias. 8. Jumlah pupuk dan obat-obatan yang digunakan pembudidaya udang bervariasi jenisnya. Pada analisis mengenai produktivitas di tingkat lapangan, dilakukan simplifikasi menjadi obat-obatan. Implikasinya kalau dirata-ratakan tingkat penggunaan fisik/Ha diduga terjadi bias (ke atas ataupun ke bawah).
17
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Produksi Udang Indonesia Udang berasal dari hasil budidaya di tambak, hasil penangkapan di laut dan hasil penangkapan di perairan umum. Perkembangan kuantitas produksi udang berdasarkan sumbernya disajikan pada Gambar 3, Tabel 4, dan Tabel 5. Berdasarkan Gambar 3, terjadi peningkatan cukup signifikan pada udang hasil budidaya, sedangkan udang hasil tangkapan relatif stagnan. ton
Udang budidaya
Udang penangkapan
20 00 20 01 20 02 20 03 20 04 20 05 20 06 20 07 20 08 20 09 20 10
450000 400000 350000 300000 250000 200000 150000 100000 50000 0
Sumber: Statistik Perikanan Budidaya dan Statistik Perikanan Tangkap (berbagai edisi)
Gambar 3. Perkembangan Produksi Udang Indonesia Hasil Budidaya di Tambak dan Hasil Penangkapan,Tahun 2000-2010
18
Tabel 4. Produksi Udang Tambak Indonesia Menurut Varietas, Tahun 2000-2010 (ton) Tahun 2000
Udang windu 93 759
Udang Putih 28 965
Udang vanamei -
Udang ApiApi 20 453
Udang Lainnya -
2001
103 603
25 862
-
19 093
-
2002
112 840
24 708
-
21 634
-
2003
133 836
35 249
-
22 881
-
2004
131 399
33 797
53 217
19 928
-
2005
134 682
27 088
103 874
13 731
-
2006
147 867
36 187
141 649
-
-
2007
133 113
16 995
179 966
-
-
2008
134 930
-
208 648
-
66 012
2009
124 564
22 365
170 971
-
32 549
2010
125 519
16 424
206 578
-
30.804
Sumber: DJPB: Statistik Perikanan Budidaya, DKP (berbagasi edisi)
Berdasarkan data pada Tabel 4, terjadi peningkatan produksi udang hasil budidaya sampai dengan tahun 2008, dan terjadi penurunan produksi pada tahun 2009. Berdasarkan varietas, sampai dengan tahun 2006 produksi udang windu mengalami peningkatan, dan sejak tahun 2007 produksi udang vaname telah melampaui udang windu. Sebaliknya, udang hasil penangkapan relatif stabil (Tabel 5). Berdasarkan varietas, udang putih mendominasi disusul jenis udang lainnya. Dibandingkan dengan udang hasil budidaya, size/ukuran udang hasil tangkapan memiliki keragaman cukup besar. Dengan demikian, tidak semua jenis udang hasil tangkapan menjadi layak ekspor.
19
Tabel 5. Produksi Udang Hasil Penangkapan Menurut Varietas, Tahun 1990-2010 Tahun
(Ton)
1990
Udang windu 11 647
Udang putih 41 330
Udang Dogol 14 564
Udang Krosok -
Udang Ratu/raja -
Udang karang 826
Udang Lainnya 76 452
1991
13 743
41 731
16 348
-
-
1 398
78 215
1992
15 649
47 726
16 241
-
-
2 398
83 641
1993
16 116
43 925
15 814
-
-
1 208
79 714
1994
16 960
47 237
20 364
-
-
2 021
91 152
1995
24 501
50 477
22 863
-
-
2 852
81 261
1996
19 393
53 913
22 285
-
-
2 463
89 215
1997
25 929
53 924
32 588
-
-
4 021
95 790
1998
30 047
62 192
40 717
-
-
2 394
87 200
1999
34 223
64 179
33 847
-
-
3 244
103 372
2000
40 987
66 644
38 925
-
-
3 596
98 880
2001
43 759
65 269
36 358
-
-
4 490
113 161
2002
38 088
69 508
33 570
-
-
4 758
95 561
2003
34 190
66 501
34 178
-
-
5 348
100 221
2004
34 533
68 699
38 438
2 763
134
5 439
95 907
2005
30 380
61 950
31 506
6 456
126
6 648
71 473
2006
37 460
59 838
26 859
4 342
328
5 254
93 083
2007
42 036
81 193
33 455
6 819
661
4 705
90 107
2008
26 492
73 870
34 718
5 922
1 011
9 896
85 013
2009
24 637
71 993
46 740
6 003
656
5 892
80 949
2010
28 319
76 419
39 605
15 116
979
7 651
59 237
Sumber : Statisitik Perikanan Tangkap (berbagai edisi)
2.2. Perkembangan Kuantitas dan Nilai Ekspor Udang Indonesia Perkembangan kuantitas dan nilai ekspor udang Indonesia disajikan pada Tabel 6. Nilai ekspor perdagangan udang meningkat dari US$ 84.57 juta tahun 1974
menjadi US$ 1.03 milyar pada tahun 2007. Pada tahun 2010 kembali
menurun menjadi 989 juta atau 37% dari nilai total ekspor produk perikanan Indonesia. Tujuan ekspor juga mengalami pergeseran, semula ekspor udang Indonesia didominasi ke Jepang dengan porsi sebesar 58-60%, UE 16-18%,
20
AS 16-17%, dan sisanya ke negara lainnya, kemudian terjadi perubahan dengan mayoritas tujuan ekspor menjadi ke AS. Tabel 6. Perkembangan Kuantitas dan Nilai Ekspor Udang Indonesia Berdasarkan Negara Tujuan Ekspor, Tahun 2005-2011 Tahun 2005
Jepang Kuantitas Nilai (ton) (US$ 1000) 45 951 373 874
Kuantitas (ton) 50 489
AS
Nilai (US$ 1000) 327 364
Kuantitas (ton) 27 775
UE
Nilai (US$ 1000) 161 308
Lainnya Kuantitas (ton) 29 691
2006
50 380
419 895
60 973
418 175
31 016
190 125
26 960
2007
40 334
334 982
60 399
420 720
28 845
178 195
27 967
2008
39 582
337 681
80 479
550 773
26 825
177 855
26 397
2009
38 528
333 056
63 592
426 995
23 689
146 597
25 180
2010
36 712
351 402
58 277
443 220
13 383
10 549
36 720
2011
17 712
186 495
33 779
293780
9 265
81 973
14 536
Pengembangan ekspor udang Indonesia terkendala oleh hambatan tarif dan non tarif. Hambatan tarif terutama untuk produk udang olahan ke UE 27 yaitu sekitar 20%, sedangkan ke AS sekitar 5%-10%, ke Jepang, "special rate" yang diberikan untuk produk udang olahan sebesar 3.2%, tetapi untuk produk olahan yang termasuk kategori "others' diberikan tarif 0% atau . free. Menurut Ling et al., (1996) hambatan tarif diterapkan dalam rangka melindungi industri udang olahan domestik negara tersebut. 2.3. Gambaran Umum Perdagangan Udang Dunia Persaingan eksportir utama akan terus berlangsung diantara sesama negara di Asia yang secara umum diuntungkan keunggulan geografisnya. Di lain pihak, importir utama masih didominasi oleh AS, Jepang, dan UE. Seperti dijelaskan pada Bab I, ketatnya persaingan menyebabkan tiap negara mempunyai strategi pemasaran tertentu (DKP, 2004).
21
Pertama, Thailand merupakan eksportir nomor satu dunia sejak tahun 1993. Strategi pemasaran yang dilakukan melalui inovasi pengembangan produk dengan menciptakan produk bernilai tambah. Selain itu, eksportir Thailand memiliki komitmen tepat waktu, dan menjaga mutu. Kekuatan industri udang ditentukan oleh kuatnya peran pengusaha yang tergabung dalam berbagai asosiasi, dan market intellegencia. Mereka mengisi kekosongan pasar akibat terjadinya kasus mad cow, flu burung atau pada saat ekspor dari Ekuador menurun. Industri pengolahan melakukan contract farming. Dari sisi produksi, pembudidaya dalam satu kawasan memperkuat keberlanjutan usaha melalui pembentukan kluster dengan memperkuat kelembagaan koperasi. Manfaat yang diperoleh yaitu makin efektifnya pengelolaan budidaya melalui sistem manajemen terpadu. Kedua, industri udang Vietnam mengalami pertumbuhan pesat dalam 10 tahun terakhir. Vietnam merupakan pengekspor ke dua di pasar AS dan ketiga di pasar Jepang. Strategi yang ditempuh Vietnam yaitu melalui pembentukan opini sebagai produk ramah lingkungan. Pada tahun 1999, pengusaha perikanan yang tergabung dalam Vietnam Association of Seafood Exporters and Producers (VASEP) mencanangkan kebijakan budidaya udang organik. Kekuatan industri udang ditentukan oleh peran para pengusaha yang tergabung dalam berbagai asosiasi, dan pada industri pengolahan: contract farming dan kluster. Ketiga, fenomena yang terjadi di China yaitu meningkatnya budidaya udang putih. Selain itu, industri pengolahan China berkembang pesat, tidak saja jumlah, namun juga respons terhadap perkembangan produk dan pasar baru. Bentuk kerja sama yang dilakukan melalui contract processing. Pelaku usaha pengolah udang fokus pada persaingan dengan pengekspor udang dari Asia
22
dibandingkan dengan sesama pelaku usaha dalam negeri. Umumnya mereka membuat jaringan usaha pada setiap negara bagian yang didukung pemerintah daerah. Importir utama udang dunia yaitu: AS, Jepang, dan UE-27 dan perkembangannya sebagai berikut. Pertama, di pasar AS terjadi tren peningkatan konsumsi. Sejak tahun 2002, udang menggantikan ikan tuna sebagai seafood terpopuler di rumah dan restoran. Konsumsi udang per kapita mencapai 2.29 pounds per tahun pada tahun 1987 dan meningkat menjadi 4.40 pounds/tahun pada tahun 2006 sehingga udang menjadi produk seafood yang paling banyak dikonsumsi (Valderama dan Anderson, 2008). Dari jumlah tersebut, domestik hanya mampu menyediakan 12%, sisanya 88% berasal dari impor. Selain itu, terjadi perubahan pangsa pasar di AS. Pada tahun 2007, 67% berasal dari Asia, dan 33% berasal dari Amerika Latin, sedangkan pada tahun 2008 sebanyak 76.3% berasal
dari Asia. Eksportir utama udang ke AS adalah Thailand, Vietnam,
Indonesia, China, dan India. Persyaratan ekspor hasil perikanan ke AS umumnya dikaitkan dengan prinsip GMP (Good Manufacturing Practices) sebagai pengejawantahan konsep HACCP. Persyaratan teknis lainnya dikaitkan dengan isu lingkungan yaitu CITES, Turtle Excluder Device (TED), Marine Mammal Protection Act (MMPA), Ecolabelling Dolphin Safe, dan lain-lain. AS juga memberlakukan Automatic Detention. Walmart sebagai retailer utama juga mempelopori mutu dan keamanan hasil produk perikanan dengan sertifikasi oleh pihak ketiga melalui Global Aquaculture Alliance (GAA). Dalam persyaratan ekspornya, Pemerintah AS menerapkan kebijakan berdasarkan company oriented.
23
Kedua, pasar Jepang menampung 80% dari pasar Asia terutama Indonesia, India, dan Vietnam. Mutu merupakan faktor penting jika mengekspor ke Jepang. Konsumsi udang ditentukan oleh warna, jenis, ukuran, harga, dan bentuk produk. Bentuk udang segar tanpa kepala (raw headless shell-on) mencapai 70%, udang dengan kepala 10% dan udang tanpa kepala-kulit-ekor (pelled undeveined) 1015%. Produk hasil perikanan dari luar Jepang harus memenuhi syarat yang ditetapkan Food Sanitation Law and Quarantine. Disamping itu, perlu memperhatikan JAS Standard Sistem (quality labelling) yaitu perlindungan terhadap tanaman dari binatang tertentu. Jepang juga menerapkan hambatan teknis yang ketat. Hasil perikanan yang diekspor ke Jepang harus bebas Vibrio cholera. Importir bertanggungjawab untuk memverifikasi bahwa produk yang diimpor berasal dari perusahaan yang menerapkan HACCP. Ketiga, pasar UE-27 memiliki kekhasan tersendiri, terutama karena meningkatnya tekanan dari konsumen akan produk bermutu dan aman dikonsumsi. Isu-isu lain yang berkembang di pasar UE-27 yaitu terkait dengan pembangunan berkelanjutan, antibiotik, pekerja, traceability, Genetic Modified Organism (GMO), keberlanjutan tepung ikan, genetik dalam pembenihan udang, logam berat, kimia dan iradiasi. Persyaratan ekspor ke UE cukup ketat dan persetujuan (approval) izin ekspor diberikan oleh Komisi Eropa kepada eksportir berdasarkan approved packers artinya hanya diberikan kepada perusahaan eksportir yang kualified. UE menerapkan sistem pengujian laboratorium secara acak (random sampling) yang dikenal dengan RASFF di setiap pelabuhan masuk. Berbeda dengan AS, maka UE adalah sistem oriented seperti penerapani: HACCP, spesifikasi produk, dan traceability.
24
Berdasarkan kode Harmonized Sistem (HS) 6 dijit, produk perdagangan komoditas udang dunia dibagi kedalam tiga produk yaitu udang segar, beku, dan olahan. Data nilai impor ketiga produk udang tersebut pada tahun 2010 disajikan pada Gambar 4.
Olahan 25%
Segar 3%
Beku 72%
Sumber: UNComtrade 2011 (diolah)
Gambar 4. Pangsa Impor Berdasarkan Nilai pada Perdagangan Udang Dunia Berdasarkan Produk, Tahun 2010 2.3.1. Perdagangan Udang Segar Umumnya, udang segar (HS 030623) merupakan produk untuk diproses lebih lanjut. Belanda merupakan importir sekaligus eksportir utama dunia. Nilai impor udang segar Belanda tahun 2010 mencapai US$ 59.1 juta, sedangkan nilai ekspornya mencapai US$ 135.2 juta. Adanya kegiatan re-ekspor atau adanya negara yang berperan sebagai “entry-port” seperti yang dalam kasus udang segar antara lain Singapura dan Belanda, memungkinkan terjadinya perbedaan volume dan pertumbuhan ekspor-impor (Suryana et al., 1989).
Pangsa pasar untuk
ekportir dan importir utama dalam perdagangan udang segar disajikan pada
25
Gambar 5. Secara keseluruhan, pada tahun 2010 Indonesia mengekspor udang segar senilai US$ 40.3 juta dan Thailand US$ 37.9 juta. Eksportir Utama Belanda
Importir Utama Belanda
Gambar..China Eksportir dan Importir Utama udang Segar Dunia (HS 030623), 2010 Singapura Saudi Arabia
Perancis
Maroko
Belgia
Malaysia
China
Lainnya
Lainnya -
10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 Pangsa Pasar (%)
-
20.00
40.00
60.00
80.00
Pangsa Pasar (%)
Sumber: UNComtrade 2011 (diolah)
Gambar 5. Importir dan Eksportir Utama Udang Segar Dunia, Tahun 2010 Pemasok utama untuk udang segar di tiga pasar utama: Jepang, AS, dan UE-27 tahun 2010 disajikan pada Gambar 6. Berdasarkan data pada Gambar 6, mayoritas udang segar Jepang berasal dari China dan Vietnam. Pangsa pasar udang segar Indonesia di Jepang relatif lebih besar dibandingkan dengan pangsa pasar Thailand. Sebaliknya, di pasar AS pangsa pasar udang segar Thailand lebih besar dibandingkan pangsa pasar Indonesia. Mayoritas udang segar di pasar AS berasal dari India, berikutnya berasal dari Pakistan. Indonesia menduduki urutan kedua untuk ekspor udang segar di pasar UE-27 setelah Norwegia.
26
Pasar AS
Pasar Jepang China
India
Vietnam
Pakistan
Philipina
Belize
Korea
Thailand
Indonesia
China
Lainnya
Lainnya -
10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00
-
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
Pangsa Pasar (%)
Pangsa Pasar(%) % Pangsa Pasar
Pasar UE-27 Norwegia Indonesia Maroko Singapura Saudi Arabia Lainnya -
10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 Pangsa Pasar (%)
Sumber: UNComtrade 2011 (diolah)
Gambar 6. Pangsa Ekspor Udang Segar di Pasar Jepang, AS, dan UE-27, Tahun 2010 2.3.2. Perdagangan UdangBeku Urutan importir utama udang beku (HS 030613) dunia pada tahun 2010 adalah AS dengan nilai US$3.38 milyar, disusul oleh UE-27 dengan 3,08 milyar, dan Jepang US$1.94 milyar (Gambar 7). Pesaing Indonesia yaitu Thailand pada tahun 2010 tersebut mengekspor udang beku dengan nilai US$1.65 milyar, meningkat dari US$ 1.26 milyar pada tahun 2008 dan US$ 1.34 milyar pada tahun 2009. Sebaliknya, nilai ekspor udang Indonesia pada tahun 2010 mencapai US$822.9 juta atau mengalami penurunan dibandingkan nilai ekspor tahun 2008.
27
Importir Utama
Eksportir Utama
USA
Thailand
Jepang
India
Spanyol
China
Perancis
Equador
Itali
Argentina
Lainnya
Lainnya
Sumber: Comtrade 2011 (diolah) -
10.00
20.00
30.00
40.00
-
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
Gambar 7. Importir dan Eksportir Utama Udang Beku Dunia, Tahun 2010. Pangsa Pasar (%)
Pangsa Pasar (%)
Gambar 7. Importir dan Eksportir Utama Udang Beku Dunia, Tahun 2010 Pasar Jepang
Pasar AS
Vietnam
Thailand
Indonesia
Indonesia
Thailand
Equador
India
Vietnam
China
India
Lainnya
Lainnya -
5.00
10.00 15.00 20.00 25.00 30.00 PANGSA PangsaPASAR Pasar (%) %
-
5.00
10.00 15.00 20.00 25.00 30.00 Pangsa Pasar (%)
Pasar UE-27
Equador Argentina India
Sumber: UNComtrade 2011 (diolah) Bangladesh
Thailand Vietnam Lainnya -
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
Pangsa Pasar (%)
Gambar 8. Pangsa Pasar dari Eksportir Utama Produk Udang Beku di Ketiga Pasar Utama, Tahun 2010
28
Pada tahun 2010 Vietnam menduduki urutan pertama untuk ekspor udang beku di pasar Jepang, disusul oleh Indonesia dan Thailand. Di pasar AS, Thailand lebih dominan, disusul oleh Indonesia dan Equador. Equador dan Argentina lebih dominan di pasar UE-27. 2.3.3. Perdagangan Udang Olahan AS merupakan importir utama udang olahan (HS 160520) dunia tahun 2010 dengan nilai US$ 1.07 milyar, meningkat dari US$ 1.03 milyar pada tahun 2009 dan US$ 981 juta pada tahun 2008. UE-27 pada tahun 2010 mengimpor udang olahan sebesar US$ 959.5 juta (Gambar 9). Nilai impor Jepang tahun 2010 mencapai US$ 615 juta, meningkat dari US $528 juta pada tahun 2008, dan US$ 552 juta pada tahun 2009. Thailand merupakan eksportir utama untuk udang olahan di ketiga pasar tersebut pada tahun 2010 dengan nilai US$ 1.52 milyar, disusul China dengan nilai US$ 828 juta. China mengalami penurunan pada tahun 2009 menjadi US$ 1.13 milyar (Gambar 10). Importir Utama
Eksportir Utama
USA
Thailand
Jepang
China
Inggris
Denmark
Denmark
Belanda
Belanda
Indonesia
Lainnya
Lainnya -
10.0
20.0
PANGSA Pangsa PasarPASAR %
30.0 (%)
40.0
-
10.0
20.0
30.0
40.0
50.0
Pangsa Pasar (%)
Sumber: UNComtrade 2011 (diolah)
Gambar 9. Importir dan Eksportir Utama Udang Olahan Dunia, Tahun 2010
29
Pasar Jepang
Pasar AS
Thailand
Thailand
Vietnam
China
China
Vietnam
Indonesia
Indonesia
India
Kanada
Lainnya
Lainnya
-
-
10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0
Pasar UE-27
Pangsa Pasar (%)
20.00
40.00
60.00
80.00
PANGSA PangsaPASAR Pasar(%) %
Thailand Canada Maroko Greenland Vietnam Indonesia Lainnya -
10.0
20.0
30.0
40.0
Pangsa PasarPASAR % PANGSA (%)
Pangsa Pasar (%)
Sumber: UNComtrade 2011 (diolah)
Gambar 10. Pangsa Pasar Ekspor Udang Olahan di Ketiga Pasar, Tahun 2010 2.4. Kebijakan Pemerintah Terkait Peningkatan Produktivitas Tambak Indonesia Secara umum, industri udang di negara eksportir mendapat keuntungan dari kebijakan pemerintah (Diop et al., 1999). Di Indonesia, udang merupakan salah satu komoditas Program Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RP2K) dan Pemerintah Indonesia terus berupaya meningkatkan produktivitas dan mutu udang. Program pemerintah terkait peningkatan produktivitas antara lain Intensifikasi Tambak (Intam) yang diluncurkan tahun 1984/1985. Paket teknologi yang dianjurkan adalah: U1 (teknologi sederhana), U2 (teknologi madya), dan U3
30
(teknologi maju). Melalui Program tersebut, luas area budidaya udang di tambak yang pada tahun 1984/1985 hanya 20 Ha di tiga propinsi, maka pada tahun 1998/1999 telah berkembang menjadi 95 311 Ha di 14 propinsi (Hasibuan, 2003). Peserta dibentuk kelompok, terdapat tambak percontohan, fasilitas kredit, pembangunan dan pemeliharan saluran irigasi, serta dibentuknya kelembagaan pendukung seperti Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A). Program Intam tersebut selanjutnya berubah nama menjadi Intensifikasi Pembudidayaan Ikan (Inbudkan) pada tahun 2002 yang menitikberatkan pada teknologi anjuran. Pada tahun 2005 berubah lagi menjadi Program Peningkatan Produksi Perikanan Budidaya untuk Ekspor (Propekan). Termasuk didalamnya berupa kegiatan Pengembangan Kawasan, Pembangunan Broodstock Center (calon induk udang vaname di Situbondo dan udang windu di Jepara), Bantuan Langsung Penguatan Modal, dan Bantuan Selisih Harga Benih Ikan (BSHBI) kepada pembudidaya ikan skala kecil. Besarnya bantuan senilai Rp24.97 milyar pada tahun 2006, Rp23.45 milyar tahun 2007, tahun 2008 sebesar Rp35.3 milyar, dan tahun 2009 Rp60 milyar untuk komoditas Udang, Nila, Patin, Kakap Putih, Mas, Lele, Gurame, Bandeng, dan Rumput Laut (KKP, 2009a).
Selanjutnya
terkait infrastruktur, telah dilakukan juga kegiatan pembangunan dan rehabilitasi irigasi saluran tambak guna mendukung sarana dan prasarana tambak. Alokasi dana yang relatif besar terjadi pada kegiatan pembangunan/rehabilitasi tambak dengan sumber dana berasal dari SPL-JBIC pada tahun 1998-2000. Benur unggul hanya dapat diproduksi dari induk yang secara genetik unggul, disamping pengaruh kualitas air dan pakan juga penting dalam pemeliharaannya. Kebijakan terkait penggunaan benur unggul antara lain
31
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Kep.41/Men/2001 tanggal 12 Juli 2001 tentang Pelepasan Varietas Udang Vaname Sebagai Varietas Unggul yang Tahan Terhadap WSSV dengan produksi 9-10 ton/Ha. Selanjutnya, Kep.15/Men/2002 tanggal 12 Juli 2001, tentang Pelepasan Varietas udang Rostris sebagai varietas unggul yang tahan terhadap TSV dan WSV, dengan produksi 7.511.7 ton/Ha dan mempunyai FCR 1.28-1.65. Kebijakan tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan Rekayasa Breeding Programe udang vaname di BBAP Situbondo dilaksanakan berdasarkan SK Dirjen Perikanan Budidaya No.6375/DPB.1/ PB.110/2003, tanggal 23 Desember 2003 tentang Penetapan Pusat Pengembangan Induk dan Bibit ikan (Udang, Nila, Rumput Laut, dan Kerapu). Tujuan kegiatan Rekayasa Breeding Programe yaitu memperoleh induk unggul, mempertahankan, dan meningkatkan kualitas induk, mengurangi ketergantungan dari negara lain, dan untuk menekan biaya operasional dalam budidaya udang. Program lainnya yaitu Intensifikasi Pembudidayaan Ikan (Inbudkan) sesuai Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Kep.09/Men/2002 tanggal 26 Februari 2002. Inbudkan menitikberatkan pada gerakan bersama dari berbagai pihak untuk mengembangkan usaha pembudidayaan ikan, yang dilaksanakan atas dasar kerjasama antar anggota kelompok pembudidaya ikan sebagai peserta program di dalam kawasan, yang menerapkan teknologi yang dianjurkan untuk meningkatkan mutu produksi dan produktivitas usaha pembudidayaan ikan secara efisien dan
berkelanjutan. Nomor KEP.14/
MEN/2007 tentang Pembentukan Satgas Revitalisasi Perikanan Budidaya
32
Berdasarkan rencana pada RP2K, pada tahun 2009 produksi udang ditargetkan 540 ribu ton dan lapangan pekerjaan ditargetkan tersedia bagi 985 ribu orang. Luas lahan yang dibutuhkan yaitu 42 800 Ha untuk udang windu dan 113 500 Ha untuk udang vaname. Guna mencapai target tersebut, kebutuhan dana pemerintah periode 2006-2009
sekitar satu trilyun rupiah. Dana tersebut
dibutuhkan untuk rehabilitasi saluran irigasi, optimasi hatchery, laboratorium, penyuluhan, pengembangan luas area budidaya, tenaga kerja pendamping teknologi, dan stimulus modal kerja. Pihak swasta diharapkan menyumbang dana sebesar Rp4.19 trilyun (DKP, 2005). 2.5. Kebijakan Pemerintah Terkait Peningkatan Mutu Udang Kebijakan Pemerintah yang dituangkan dalam Permen dan Kepmen KP serta Keputusan Direktur Jenderal Perikanan Buddiaya terkait upaya pengendalian sistem jaminan mutu terpadu hasil perikanan budidaya yaitu: 1. Permen KP No.PER.01/MEN.2007 tentang Pengendalian Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan. 2. Permen KP No.PER.02/MEN/2007 tentang Monitoring Residu Obat, Bahan Kimia, Bahan Biologi, dan Kontaminan pada Pembudidayaan Ikan. 3. Keputusan Menteri KP No.Kep.01/MEN/2007 tentang Persyaratan Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan pada Proses Produksi, Pengolahan, dan Distribusi. 4. Keputusan Menteri KP No.02/MeN/2007 tentang Cara Budidaya Ikan yang Baik.
33
5. Keputusan Dirjen Perikanan Budidaya Nomor 06/DPB/HK.150.154/S4/ VII/2007 tentang Pedoman Pelaksanaan Monitoring Residu Obat, Bahan Kimia, Bahan Biologi, dan Kontaminan pada Pembudidayaan Ikan. 6. Keputusan Dirjen Perikanan Budidaya Nomor 44/DJ-PB/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Sertifikasi Cara Budidaya ikan yang Baik (CBIB). CBIB merupakan salah satu persyaratan kelayakan dasar pada sistem jaminan mutu proses pembudidayaan ikan. Pemerintah
telah
melakukan
beberapa
kebijakan
dalam
rangka
meningkatkan mutu udang. Ditingkat pembudidaya, pemerintah melakukan diseminasi teknologi screening benur dan menyediakan induk Specific Pathogen Free (SPF) dan Specific Pathogen Resistant (SPR) yang tahan terhadap penyakit. Selain itu, telah dilakukan pengawasan kepada pembudidaya tambak untuk memilih pakan yang tidak mengandung antibiotik dan menghindari penggunaan pestisida berlebihan yang termasuk bagian dari penerapan CBIB. Perkembangan CBIB atau GAP antara Indonesia dan Thailand disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Jumlah Pembudidaya Udang yang Memperoleh Sertifikat CBIB di Indonesia dan GAP di Thailand Negara Indonesia Thailand
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
unit 2011*)
11
33
40
96
134
204
298
376
12.261
9.577
6.720
td
td
td
td
Td
*sampai dengan Agustus 2011, Td: tidak tersedia data Sumber: Indonesia (Ditjen Perikanan Budidaya)
Upaya penerapan HACCP/PMMT didorong dimulai dari tingkat perbenihan. Udang yang terkontaminasi antibiotika chloramphenicol diancam
34
dimusnahkan. Pelabelan organik mulai dilakukan sehingga produk perikanan menjadi ramah lingkungan. Hasil program monitoring residu ini memberi dampak positif yaitu dengan dicabutnya CD 236/EC/2004 menjadi CD 660/EC/2008 yang berarti bahwa produk budidaya Indonesia dibebaskan dari tes logam berat dan histamin di pelabuhan masuk luar negeri. Kegiatan lain berupa penerapan sertifikasi untuk pengolah, penerbitan Standar Nasional Indonesia (SNI), penerapan Program HACCP/PMMT, pengembangan sentra pengolahan, peningkatan utilitas unit pengolahan ikan. Peningkatan jaminan mutu dan keamanan produk meliputi: (i) pemantapan sistem sertifikasi unit pengolahan, (ii) penguatan lembaga sertifikasi mutu produk (kapasitas laboratorium dan SDM), dan (iii) pengembangan manajemen certificate of origin dan sistem traceability (ketertelusuran). Telah dilakukan juga saling pengakuan MRA (Mutual Recognition Agreement) dengan mitra dagang untuk melancarkan ekspor, membantu panetrasi, dan mendapatkan akses pasar. Terkait dengan SNI, sampai akhir 2009 SNI produk perikanan berjumlah 159 buah terdiri atas 17 SNI produk kering, 44 SNI produk beku, 2 (dua) produk rebus, 2 (dua) SNI produk fermentasi, 11 SNI produk segar dan dingin, 5 (lima) SNI produk hidup, 1 (satu) SNI HACCP, 9 (sembilan) SNI produk kaleng, 7 (tujuh) SNI pengemasan ikan dengan sarana udara, 60 SNI metode pengujian, dan 1 (satu) SNI Petunjuk Pengambilan Contoh. Diharapkan SNI bidang pengolahan dan pemasaran hasil perikanan dapat menjamin mutu dan keamanan produk hasil perikanan di pasar domestik dan internasional (KKP, 2009b). Tabel 8 menyajikan daftar fasilitas pendukung guna mendukung pengembangan industri udang di Indonesia.
35
Tabel 8. Fasilitas Pendukung untuk Pengembangan Industri Udang Indonesia No.
Fasilitas
Jumlah
Unit
265
Buah
1
Hatchery swasta
2
Hatchery pemerintah
25
Buah
3
Pabrik Pakan
21
Buah
4
Laboratorium pemerintah
40
Buah
5
Sarana laboratorium swasta
83
Buah
6
Unit Pengolah ikan
443
Buah
7
Cold Storage
64 115
Ton
Sumber: Departemen Kelautan dan Perikanan (2005)
Keterangan
Kapasitas produksi tahun 2002 sebanyak 450 140 ton
kapasitas efektif 3 020 ton/ hari
Jumlah unit pengolah/eksportir produk perikanan Indonesia yang mempunyai approval number sebanyak 261 unit. Pemerintah Indonesia juga telah mendapatkan hak kembali untuk mengajukan Approval Number (Re-authorized for Approval Number) baru bagi Unit Pengolahan ikan yang akan mengekspor ke UE. Otoritas Kompeten (Badan Karantina Ikan dan Pengendalian Mutu Hasil Perikanan/BKIPM HP) telah mengusulkan Approval Number secara bertahap untuk sekitar 24 UPI baik yang baru maupun re-listing. Tabel 9 menyajikan tindakan
Pemerintah
guna
mengurangi
hambatan-hambatan
perdagangan.
Beberapa kebijakan antisipatif yang dilakukan pemerintah baik untuk menghadapi hambatan internal maupun hambatan yang berasal dari tarif dan non tarif . Dari uraian di atas nampak bahwa kebijakan Pemerintah Indonesia sudah mengarah terhadap peningkatan produktivitas udang tambak dan upaya-upaya memenuhi kebutuhan konsumen, namun hasilnya belum optimal. Menurut Kusnendar (2003) dalam Tajerin (2007), salah satu faktor yang menyebabkan kekurangberhasilan program revitalisasi tambak adalah pendekatan yang
36
digunakan dalam implementasi kebijakan kurang bersifat holistik, kurang melibatkan semua stakeholders yang terkait dengan program tersebut. Tabel 9. Kebijakan Antisipasif Pemerintah dalam Menghadapi Hambatan Perdagangan Internasional No.
Hambatan Perdagangan
Kebijakan Antisipatif Pemerintah
1.
Residu chloramphenicol
Penerapan HACCP
2.
Embargo udang
Kebijakan pemilihan produk
3.
Isu lingkungan dan pelabelan
Pelabelan organik
4.
Panetrasi pasar
Perjanjian Pengakuan Mutu
5.
Embargo kerang-kerangan
Program sanitasi
6.
Tarif bea masuk
Fasilitas GSP
7.
Sanksi sementara
Program pengendalian residu hormon dan antibiotik
Sumber: Aisya et al., (2005a)
2.6. Konsep Daya Saing Perkembangan konsep daya saing tidak terlepas dari teori perdagangan sejak Adam Smith sampai dengan model-model daya saing yang berkembang dewasa ini. Model-model daya saing tersebut antara lain: Model Penentu Daya Saing Berlian Porter; Model Double Diamond oleh Rugman dan D’Cruz; Model 9-faktor oleh Cho; Model Generalized Double Diamond oleh Moon, Rugman dan Verbeke; Model DGI oleh German Development Institute (Coy, 2006; Esterhuizen, 2006). Akan tetapi karena daya saing mempunyai cakupan luas, tidak satupun model yang dapat menjelaskan daya saing secara utuh. Dalam ilmu ekonomi, pengertian daya saing identik dengan konsep efisiensi. Oleh karena itu, konsep daya saing sering digunakan untuk mengukur keunggulan produk suatu negara terhadap negara pesaing. Hal tersebut antara lain
37
dikemukakan oleh Porter et al., (2008) yang mendefinisikan daya saing sebagai country’s share of world markets of its product. Penelitian daya saing untuk komoditas pertanian umumnya dilakukan dari sisi penawaran. Fokus penelitian yaitu pada keunggulan komparatif (analisis ekonomi), keunggulan kompetitif (analisis finansial), dan dampak kebijakan pemerintah.
Apakah
komoditas
berbasis
SDA
mempunyai
daya
saing
berkelanjutan atau tidak, Gonarsyah (2007) menyarankan tiga strategi. Pertama, ketahui posisi komoditi tersebut di pasar bersangkutan dan kemungkinan prospeknya. Guna menganalisisnya dapat digunakan metode Domestik Resource Cost (DRC), Constant Market Share (CMSA), Revealed Comparative Advantage (RCA), dan Trade Specialization Ratio (TSR). Kedua, kaji apakah harga di pasar benar-benar mencerminkan sebenarnya. Sejauhmana kegagalan pasar terjadi, apakah akibat eksternalitas, sifat barang publik, atau ketidaksempurnaan pasar, bagaimana dengan kegagalan kebijakan, kebijakan korektif
pemerintah,
bagaimana dampaknya terhadap distribusi pendapatan, dan bagaimana prospeknya. Ketiga, kaji bagaimana kemungkinan dampak peningkatan investasi pada komoditi berbasis sumberdaya alam tersebut terhadap keberlanjutan komponen sumberdaya alam yang mendukungnya dan non-sumber daya alam. Analisis daya saing baik secara kuantitatif maupun kualitatif diperlukan agar analisis bersifat komprehensif. Analisis tersebut akan berbeda-beda tergantung unit analisisnya. Porter et al., (2008) membagi unit analisis daya saing kedalam empat kategori berupa: negara, makro, mikro, produk atau perusahaan. Ditingkat negara, pengukuran daya saing antara lain menggunakan Global Competitiveness Index (GCI). Sebagai lingkungan daya saing, aspek makro
38
merupakan titik awal pendefinisian daya saing. Pada tingkat mikro harus diperhitungkan antara lain produktivitas dan indikator berdasarkan biaya. Disamping analisis kualitatif, analisis pangsa pasar juga diperlukan jika menganalisis daya saing pada tingkat sektor. Jika unit analisis berupa perusahaan, maka profitability lebih mendapat penekanan. Selain itu, kebijakan dan praktekpraktek manajemen juga perlu diperhitungkan. Jika unit analisis berupa produk, maka kinerja perdagangan termasuk hal yang harus diperhatikan (Coy, 2006). Terkait dengan pemilihan indikator daya saing, Afari (2004) dalam Oktaviani et al., (2008) menyebutkan bahwa indikator daya saing harus memenuhi kriteria: ketepatan, robustness, dapat dibandingkan, tersedia secara berkala, dan ukuran yang dapat diperbaharui. Indikator daya saing perdagangan mencakup tiga hal: kemampuan faktor internal, kemampuan faktor eksternal, dan kebijakan perdagangan. Selanjutnya, International Trade Center (ITC, 2007) mengembangkan Trade Performance Index (TPI) yang bertujuan menganalisis berbagai aspek dari kinerja ekspor dan daya saing berdasarkan sektor dan negara. Pengukuran daya saing bervariasi tergantung unit analisisnya. Menurut Kennedy et al., (1998) dalam mengukur daya saing tidak ada satu ukuran “terbaik” untuk menganalisisnya, akan tetapi pangsa pasar dan profitability merupakan ukuran yangcukup berguna dalam menganalisis daya saing perusahaan. Pangsa pasar merupakan salah satu indikator yang sering digunakan untuk mengetahui tingkat persaingan (Pitts dan Lagnevik, 1988 dalam Polymeros et al., 2005; Wagiono dan Firdaus, 2009).
Dikatakan memiliki daya saing jika
keberlanjutan pangsa suatu negara lebih besar dibandingkan pesaing. Sebuah industri kehilangan daya saing jika terjadi penurunan pangsa pasar (Markusen,
39
1992 dalam Coy, 2006).
Walaupun perubahan pangsa ekspor tidak
menggambarkan secara keseluruhan daya saing, paling tidak, pangsa pasar merupakan ukuran yang menggambarkan daya saing suatu negara di pasar internasional. Kemampuan suatu negara meningkatkan pangsa pasar adalah dengan menjual produk pada harga lebih rendah. Selanjutnya, menurut Keefe (2002) negara yang mempunyai teknologi lebih baik, lebih diuntungkan dengan meningkatnya pangsa pasar. Salah satu kelemahan pendekatan ini yaitu bahwa negara dengan harga produk lebih tinggi, misalnya produk organik, tidak berarti mempunyai pangsa pasar lebih tinggi. Faktor penentu daya saing mempunyai dimensi luas (Siggel, 2007). Menurut Kennedy et al., (1998) penentu daya saing dapat berasal dari teknologi, biaya input, economies of scale, mutu produk dan diferensiasi produk, iklan, dan faktor luar lainnya. Faktor-faktor tersebut dapat digolongkan menjadi dua grup yaitu yang mempengaruhi biaya dan yang mempengaruhi mutu. Senada dengan hal tersebut, Fleming dan Tsiang (1956) dalam Kustiari (2007) menyebutkan bahwa perubahan kekuatan bersaing dapat diakibatkan oleh faktor daya saing harga dan non-harga. Daya saing harga antara lain dipengaruhi oleh perbedaan laju produktivitas, perubahan nilai tukar, perubahan pajak/subsidi ekspor, dan perbedaan laju inflasi. Daya saing non-harga dipengaruhi antara lain perbedaan laju perbaikan mutu ekspor dan pengembangan produk baru, perbedaan laju perbaikan efisiensi pemasaran, dan perubahan pemenuhan permintaan ekspor. Cook and Bredahl (1991) dalam Saragih (2001) dimasa lalu, faktor penentu utama daya saing berupa kemampuan menghasilkan produk lebih murah, sedangkan dimasa mendatang ditentukan oleh kemampuan memasok barang dan
40
jasa pada waktu, tempat, dan bentuk (atribut) yang diinginkan konsumen pada harga sama atau lebih rendah dari pesaing dengan memperoleh keuntungan paling tidak sebesar biaya oportunitas sumberdaya yang digunakan. Aisya et al., (2005b) menambahkan bahwa kaitan daya saing juga ditentukan antara kebijakan makroindustri dan strategi mikroperusahaan. Sejalan dengan globalisasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan, dimasa mendatang keunggulan daya saing hanya dimiliki oleh komoditas yang mempunyai keunggulan komparatif. Upaya peningkatan daya saing harus lebih bertumpu pada upaya peningkatan produktivitas dan efisiensi. Pemerintah berperan sebagai fasilitator, regulator, dinamisator melalui kebijakan penelitian dan pengembangan, penyuluhan, peningkatan akses pasar, perbaikan infrastruktur dan sarana informasi pasar. Dalam jangka panjang, upaya-upaya tersebut lebih memberikan proteksi bagi masyarakat (Gonarsyah, 2007). Secara ringkas, daya saing bersifat dinamik dan berdimensi luas. Definisi daya saing berbeda tergantung tingkat unit analisis dan definisi spesifik tergantung dari tujuan penelitian. Dalam studi ini, pangsa pasar akan digunakan sebagai ukuran dari daya saing. Faktor penentu berasal dariproduktivitas dan mutu. Artinya, daya saing diamati dari sisi harga dan non-harga,serta dari aspek penawaran dan permintaan. Selain itu, model daya saingpun beragam dan tidak satupun model yang dapat menjelaskan daya saing secara utuh. Kompleksnya permasalahan dewasa ini menyebabkan tidak ada satu teori yang mampu menjelaskan perdagangan internasional dan daya saing secara komprehensif.
41
2.7. Produktivitas dan Daya Saing Dalam menganalisis daya saing, menurut Coy (2006) perlu diperhatikan penentu daya saing paling penting. Produktivitas merupakan konsep penting dalam mengukur daya saing internasional pada tingkat negara (Porter, 2006). Produktivitas tinggi memungkinkan sebuah negara menopang upah yang tinggi, nilai tukar yang kuat, dan tingkat pengembalian modal yang menarik. Tiap negara dapat meningkatkan kemakmuran jika mereka dapat meningkatkan produktivitas. Lebih lanjut, Martin et al., (2008) mencantumkan 12 pilar untuk menganalisis daya saing suatu negara/ekonomi. Kedua belas pilar tersebut digolongkan kedalam tiga kelompok faktor. Kelompok pertama berupa persyaratan-persyaratan dasar seperti kelembagaan, infrastruktur, kondisi ekonomi makro dan tingkat pendidikan, serta kesehatan masyarakat. Faktor-faktor ini dianggap sebagai motor utama penggerak proses pertumbuhan ekonomi. Secara empiris, faktor-faktor ini sudah terbukti berkorelasi positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Kelompok kedua adalah faktor-faktor yang dapat meningkatkan efisiensi ekonomi (atau produktivitas) seperti pendidikan dan pelatihan (mutu sumberdaya manusia), kinerja pasar yang efisien, dan kesiapan teknologi pada level nasional maupun perusahaan secara individu. Kelompok ketiga adalah faktor-faktor inovasi dan kecanggihan proses produksi didalam perusahaan yang secara bersama menentukan tingkat inovasi suatu negara. Produktivitas,
sebagai
ukuran
efisiensi
produksi,
mengacu
pada
perbandingan output yang dihasilkan dalam suatu proses produksi terhadap jumlah penggunaan input. Peningkatan produktivitas dapat berasal dari adopsi teknologi baru atau berasal dari efisiensi produksi. Secara empiris, menurut
42
Gopinath et al. (1997) TFP merupakan sumber pertumbuhan sektor pertanian di AS. Demikian juga pada komoditas perikanan yang produksinya meningkat signifikan, seperti ikan Salmon, produktivitas merupakan sumber pertumbuhan (Asche et al., 2007). Produktivitas terkait dengan teknologi yang diusahakan dan berdasarkan tingkat teknologi, budidaya udang di tambak dikelompokan menjadi tiga tipe usaha yakni ekstensi/tradisional (tradisonal plus), semi-intensif, dan intensif. Perbedaan utama antara ketiganya terletak pada intensitas penggunaan input utama seperti benur, pakan, penggunaan kincir untuk menambah oksigen (O2), dan penggunaan pompa air untuk penggantian air. Akan tetapi, kelompok tersebut akan berbeda jika menggunakan varietas berbeda, misalnya antara pemeliharaan udang windu dengan udang vaname. Perbedaan tersebut terutama disebabkan udang windu hidup di dasar tambak, sedangkan udang vaname hidup di kolom air. Perubahan teknologi dari tradisional ke semi-intensif dan intensif melalui peningkatan padat penebaran, peningkatan pemberian pakan, dan input lainnya dapat menghasilkan limbah lebih banyak. Apabila tidak tertangani dengan baik, sisa pakan tersebut akan menghasilkan racun yang berpotensi menurunkan mutu air dan selanjutnya memudahkan terjadinya serangan penyakit yang dapat menyebabkan kegagalan panen. Dalam perkembangan selanjutnya, komposisi tambak intensif makin berkurang, seiring tingginya risiko terjadinya serangan penyakit. Leung dan Gunaratne (1996) membandingkan perbedaan produktivitas budidaya udang windu ditujuh negara Asia (Bangladesh, India, Indonesia, Malaysia, Philipina, Srilanka, dan Vietnam) pada tiga tingkat teknologi/tipe usaha
43
budidaya
berbeda:
ekstensif,
semi-intensif,
dan
intensif.
Menggunakan
perhitungan produktivitas secara parsial dan total (TFP), Srilanka lebih produktif pada ketiga tipe usaha dibandingkan negara lainnya. Philipina paling produktif pada tipe ekstensif diikuti Srilanka, Indonesia dan India. Produktivitas Indonesia untuk semi-intensif berkisar di rata-rata dari negara yang diteliti. Indonesia bersama Kamboja dan Philipina termasuk yang kurang produktif untuk tipe intensif. Kondisi di Indonesia serupa dengan Philipina yaitu ekstensif lebih produktif dibandingkan tipe intensif. Negara yang lebih berpengalaman seperti Taiwan dan Thailand lebih produktif dibandingkan negara yang belum berpengalaman dalam budidaya udang seperti Myanmar dan Kamboja. Martinez-Cordero dan Leung (2005) menghitung TFP menggunakan pendekatan Malmquist Index dan menghitung efisiensi teknis untuk tambak semiintensif di Meksiko periode 1994, 1996-1998, dan 2001-2003. Dengan menambahkan faktor lingkungan, hasil perhitungan yang diperoleh lebih rendah dibandingkan perhitungan secara tradisional. Lebih jauh Gunaratne dan Leung (1996) menganalisis efisiensi teknis menggunakan fungsi produksi stochastic frontier. Diantara faktor produksi seperti tenaga kerja, pakan, dan benur maka faktor yang lebih berpengaruh terhadap efisiensi adalah pakan. Pada tipe usaha ekstensif, Bangladesh, Philipina, dan Indonesia lebih efisien dibandingkan Vietnam dan India. Thailand lebih superior dibandingkan dengan negara lainnya. Luas lahan berkorelasi negatif pada efisensi untuk tipe ekstensif dan semi-intensif, sedangkan untuk intensif berkorelasi positif.
44
Tajerin (2007)
menggunakan fungsi produksi stochastic frontier
memperoleh efisiensi teknis udang Indonesia sekitar 56%. Kumar dan Kumar (2003) efisiensi teknis budidaya udang di India rata-rata mencapai 69%. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa masih terbuka peluang untuk meningkatkan produksi. Pembudidaya berskala besar lebih efisien karena membutuhkan biaya investasi lebih besar. Sewa kurang efisien dibandingkan milik sendiri. Upaya peningkatan efisiensi dapat dilakukan dengan meningkatkan pendidikan dan pengalaman pembudidaya udang. Selanjutnya, menurut Abubakar (2007) dummy intensifikasi dan benur berpengaruh nyata terhadap produktivitas tambak di NTB. Akan tetapi, suatu hal yang tidak bisa diabaikan dalam budidaya udang dan merupakan salah satu kendala terbesar adalah terjadinya serangan penyakit (Devi dan Prasad, 2006). Berdasarkan uraian di atas, produktivitas merupakan salah satu faktor penentu daya saing baik untuk tingkat negara, maupun di perusahaan. Peningkatan produktivitas dapat berasal antara lain dari adopsi teknologi atau efisiensi usaha. Pada budidaya udang di tambak, pakan merupakan faktor paling berpengaruh terhadap efisiensi. Adanya serangan penyakit juga merupakan faktor yang tidak dapat diabaikan dalam budidaya udang. 2.8. Mutu, Keamanan Hasil Produksi Perikanan, dan Daya Saing Secara umum, hubungan antara mutu, keamanan hasil produk perikanan dan daya saing terkait dengan elastisitas permintaan. Elastisitas permintaan impor akan meningkat melalui peningkatan mutu, promosi ekspor dan menjaga kontinuitas ekspor dengan memasok udang tepat: waktu, tempat, dan bentuk. Akibatnya akan terjadi kenaikan kuantitas ekspor dan kenaikan harga udang.
45
Kondisi tersebut akan meningkatkan keuntungan bagi produsen atau dengan kata lain akan meningkatkan daya saing. Akan tetapi peningkatan mutu memerlukan tambahan biaya sehingga terjadi kenaikan harga udang. Letak geografis juga berpengaruh, misalnya Thailand yang berada di daerah semi periphery menurut Kagawa dan Bailey (2003) mempunyai biaya lebih tinggi dibandingkan Vietnam yang berada di daerah periphery. Oleh karena itu Thailand lebih fokus memproduksi udang bermutu tinggi. Shyam et al., (2004) menambahkan bahwa mutu juga merupakan prime mover perdagangan internasional. Kebutuhan akan produk bermutu tersebut didorong beberapa faktor. Pertama, negara maju cenderung mengkonsumsi barang bermutu. Kedua, biaya transportasi secara proporsional lebih tinggi untuk barang kurang bermutu (Alchian dan Allen, 1984 dalam Hummels dan Skiba, 2002). Ketiga, mutu ekspor mensyaratkan sertifikasi (seperti ISO 9000) dikarenakan transaksi internasional kadang dihadapkan pada permasalahan asimetris informasi karena perbedaan: bahasa, persepsi tentang mutu (Hudson dan Jones, 2003). Hubungan antara mutu produk dan perdagangan tidak dapat dilepaskan dari studi Steffan Linder (Faruq, 2006). Fan (2005) memperkuat hipotesa Linder yang menyebutkan bahwa permintaan akan produk bermutu tergantung stok Sumber Daya Manusia (SDM), dan pendapatan. Hallak (2005) menguji hipotesa tersebut menggunakan data perdagangan bilateral 60 negara. Hasilnya, terdapat hubungan positif antara pendapatan per
kapita dan permintaan akan produk
bermutu. Hal tersebut memperkuat teori Hecksler-Ohlin (H-O) bahwa negaranegara kaya akan berspesialisasi dengan memproduksi barang yang mempunyai intensitas faktor melimpah. Negara kaya cenderung mengekspor barang bermutu
46
karena produk bermutu membutuhkan padat kapital, dan negara miskin yang kaya tenaga kerja cenderung mengekspor produk kurang bermutu. Selain itu, mutu juga tergantung pada Foreign Direct Investment (FDI) (Faruq, 2006). Selanjutnya, menurut Voon dan Xiang-Dong (1997) mutu atau komposisi ekspor juga merupakan penentu utama pangsa ekspor suatu negara. Salah satu permasalahan dalam menganalisis mutu adalah bahwa mutu tidak terobservasi secara langsung dalam data perdagangan (Faruq, 2006). Oleh karena itu, konsensus dan cara pengukuran mutu masih diperdebatkan. Menurut Hallak (2005) perbedaan mutu, barangkali merupakan salah satu sumber utama dari variasi antar negara dalam harga ekspor. Akan tetapi variasi tersebut mungkin juga merefleksikan perbedaan harga untuk produk yang sama mutunya, sebagai contoh karena perbedaan biaya produksi. Asumsi yang sering digunakan adalah bahwa keragaman harga mencerminkan perbedaan mutu dengan proxy berupa perbedaan harga satuan (unit value) antar negara. Makin mendekati nilai satu, mencerminkan makin dekat persamaan mutu produk diantara kedua negara tersebut (Abd-el Rahman, 1991 dalam Faruq, 2006). Akan tetapi penggunaan unit value tersebut memiliki keterbatasan disebabkan tingginya heterogenitas produk dan adanya kesalahan klasifikasi. Pengukuran lainnya antara lain Hallak (2005) yang menyusun indeks mutu tiap negara. Hallak menggunakan rataan indeks geometri Fischer daripada indeks Laspeyres dan indeks harga Paasche. Hummels dan Skiba (2002) menghitung dengan perbedaan harga antar pasangan negara untuk produk dengan kategori yang telah ditetapkan. Selain mutu, dalam perdagangan udang perlu juga memperhatikan keamanan hasil produk perikanan. Hal tersebut merupakan faktor penentu
47
suksesnya ekspor karena terkait aturan-aturan baik lokal maupun internasional. Salah satu pendekatan untuk menjamin mutu dan keamanan hasil produk perikanan yaitu penggunaan konsep HACCP/PMMT. Menurut Simangunsong (2008) pendekatan end process
saat ini sudah tidak mencukupi, tetapi
memerlukan pendekatan in process.
Pengujian pada produk akhir kurang
mencegah terjadinya kontaminan pada produk pangan dibandingkan program in process. Akan tetapi, penerapan HACCP/PMMT tidak mudah diaplikasikan ditiap tahapan kegiatan, khususnya ditingkat produksi primer. Agar terjadi keefektifan penggunaan Program tersebut ditiap rantai pasokan, maka perlu kombinasi dengan program lainnya. Selain itu, kontrol keamanan hasil produk perikanan tidak akan berhasil tanpa dukungan pemerintah dan pihak swasta.
Permasalahan mutu
melibatkan kegiatan sejak pembenihan/hatchery sampai distributor. Gambar 11 menunjukkan kondisi permasalahan umum mutu udang di Vietnam yang mirip dengan kondisi di Indonesia. Berdasarkan Gambar tersebut, banyak hal yang masih perlu dikerjakan oleh Pemerintah Indonesia dalam rangka meningkatkan mutu produk udang agar diterima oleh konsumen di luar negeri. Menurut Shang et al., (1998); Kagawa dan Bailey (2003) mutu merupakan faktor penentu keputusan konsumen di Jepang membeli udang. Mutu udang dapat mengacu antara lain pada: species, warna, ukuran, berat, dan kandungan nutrisi. Tabel 10 merupakan contoh penggolongan mutu udang. Udang ekspor umumnya bermutu, sedangkan yang kurang bermutu umumnya untuk konsumsi domestik.
48
Hatchery
Rendahnya mutu induk Lingkungan terpolusi Pakan induk yang kurang terkontrol
Benur bermutu rendah
Pengunaan obat-obatan Pengunaan bahan kimia Lingkungan tercemar
Residu bahan kimia
Serangan penyakit
Udang terkontaminasi Rendahnya kesadaran pedagang akan
Adanya kecurangan
Terbatasnya peralatan
Lingkungan terpolusi
Terbatasnya peralatan uji
Kemampuan manajerial rendah
Udang terkontaminasi Kekurangbersihan es, pabrik, karyawan, lama pengolahan, penggunaan desinfektan
Teknologi ketinggalan
Kerusakan fisik
Kondisi Penyimpanan
Lamanya pemrosesan
Transportasi/pengiriman
Infeksi mikrobiologi
Temperatur, gudang yang tua, kebersihan gudang, waktu penyimpanan, teknologi yg ketinggalan
Infeksi mikrobiologi
Temperatur, alat transportasi, kebersihan peralatan, waktu pengangkutan
Sumber: diadaptasi dari Loc (2006)
Gambar 11. Permasalahan Mutu dan Keamanan Pangan Produk Udang Tambak
Udang jual terkontaminasi
Penyimpanan
Residu bahan kimia
Udang terkontaminasi
Teknik pengolahan
Pengunaan bahan kimia & bahan lainnya
Udang terkontaminasi
Pedagang Pengumpul
Residu bahan
Rendahnya kesadaran pembudidaya akan Pakan yang kurang terkontrol
Cold Storage
Pengunaan obat-obatan
Udang terkontaminasi
TambakUdang
Adanya serangan penyakit
Distributor
Rendahnya mutubenur
Terbatasnya peralatan hatchery
49
Efek standardisasi mutu terhadap perdagangan telah dikuantifisir pada beberapa studi sebelumnya. Hasilnya, standar tinggi berpengaruh negatif secara signifikan dalam perdagangan bilateral (Nguyen dan Wilson, 2009). Untuk kasus Thailand, zero tolerance oleh UE menyebabkan efek diversi dari pasar UE ke AS sehingga harga udang di AS turun. Dengan demikian, akibat yang ditimbulkan tidak hanya dirasakan UE dan Thailand, akan tapi juga oleh Thailand di pasar AS (Debaere, 2007). Selain itu, pemenuhan akan syarat keamanan hasil produk perikanan menurunkan daya saing ekspor perikanan India sebesar 16.7% (Kumar dan Kumar, 2003). Eksportir di Bangladesh mengeluarkan US$ 2.2 juta, dan pemerintah mengeluarkan 225 ribu US$ untuk Program HACCP. Kebutuhan anggaran lainnya yaitu 17.6 juta untuk meng-upgrade fasilitas. Ecolabelling butuh US$ 500-2 juta, biaya operasional US$ 300-500 ribu, dan biaya untuk set up laboratorium US$ 265 ribu (Khatun, 2004). Menurut Loc (2006) kondisi produk hasil laut asal Thailand ke AS tahun 2002, sebanyak 63% terkontaminasi oleh Salmonela, dan 38% dimusnahkan atau dikembalikan. Selanjutnya, menurut Jha (2002) dalam (Kumar dan Kumar, 2003), 15% dari total ekspor dari berbagai negara ke AS periode 1996-1997 hilang akibat automatic detention karena rendahnya sanitasi. Menurut Loc (2006) penerapan HACCP di Vietnam lebih karena kewajiban, bukan sebagai alat efektif untuk meningkatkan mutu permintaan eksportir.
50
Tabel 10. Pengklasifikasian Mutu dan Ukuran Udang Windu UPI di Jakarta dan di Ujung Pandang Kode
Ukuran
Jumlah per 454 g
(*)
4-6
5-6
U
6-8
A
Kategori
Mutu I
Jumlah (ekor per kg)
AA
1-15
7-8
A1
16-20
8-12
11-12
A2
21-27
B
13-15
15-16
A3
28-34
C
16-20
20-21
B
35-40
D
21-25
25-26
C
41-50
E
26-30
30-31
D
51-60
F
31-40
40-41
E
61-70
G
41-50
50-51
L1
1-27
H
51-60
60-61
L2
28-50
I
61-70
70-72
BS
J
71-90
90-92
Sumber: PT. South Suco Ujung
K
91-120
115-125
Mutu II -
Pandang (1999) dalam Hutabarat et al., (2000)
Sumber: PT HJG (1999) dalam Raimu (2000)
Penetapan SPS akan menurunkan biaya transaksi yang bersumber dari ketidakyakinan konsumen terhadap mutu produk yang dibelinya. Biaya transaksi dibedakan menjadi biaya: informasi, pengukuran nilai atribut, pengambilan keputusan dan pembuatan kontrak, pelindung hak atas barang yang dibeli, dan biaya pengamanan kontrak. Semakin tinggi ketidakpastian dan semakin rumit mekanisme transaksi, maka semakin tinggi biaya informasi. Selanjutnya biaya pengukuran nilai atribut akan semakin tinggi apabila mutu tidak pasti. Biaya pelabelan merupakan salah satu contoh dari biaya perlindungan hak. Biaya tersebut menjadi tinggi apabila barang atau jasa yang ditransaksikan dengan eksternalitas atau diliputi ketidakpastian yang tinggi. Termasuk kedalam biaya
51
pengamanan kontrak adalah biaya untuk menjaga agar mitra transaksi melaksanakan kewajiban kontrak. Biaya menjadi tinggi apabila transaksi diliputi dengan ketidakpastian yang tinggi, jaringan transaksi yang rumit dan perilaku mitra yang oportunistik. Menurut Freebairn (1967) adanya standardisasi mutu dapat menekan biaya. Alasannya terutama karena pelayanan pemasaran, antara lain: pembelian dan penjualan dilkukan dengan deskripsi yang jelas, dan menghilangkan waktu dan biaya untuk berdebat mengenai mutu. Standardisasi mutu juga berfungsi untuk mengurangi friksi karena dengan adanya standar mutu, maka akan membantu eksportir membuat produk sesuai keinginan konsumen. Pada akhirnya, ketidakmampuan memenuhi persyaratan SPS akan mengurangi daya saing. Isu lain dalam perdagangan udang adalah ecolabelling. Ecolabelling bertujuan menciptakan lingkungan lebih baik atas dasar insentif pasar melalui penciptaan permintaan konsumen akan produk seafood dari stok yang dikelola dengan baik. Label lingkungan dapat bersifat mandatory (jika dijadikan sebagai salah
satu
hambatan
perdagangan)
atau
voluntary.
Dengan
palabelan
memungkinkan konsumen menilai mutu sebelum membelinya. Sertifikasi ecolabelling oleh pihak ketiga mempunyai fungsi sebagai: (1) evaluasi yang independen, (2) alat perlindungan konsumen, dan (3) salah satu sarana mencapai tujuan perlindungan lingkungan. Akan tetapi, efektifitas dari pelabelan tergantung dari kesadaran konsumen akan pentingnya label dan penerimaan konsumen akan label.
52
Berdasarkan uraian di atas, perbaikan mutu dapat meningkatkan elastisitas permintaan sehingga diharapkan dapat meningkatkan daya saing. Akan tetapi untuk
meningkatkan
mutu
diperlukan
tambahan
biaya.
Secara
umum,
standardisasi mutu terhadap perdagangan berefek negatif. Salah satu kesulitan dalam mengukur mutu adalah mutu tidak terobservasi secara langsung dalam data perdagangan. 2.9. Penelitian Terdahulu Studi terkait daya saing Komoditas udang telah banyak dilakukan dengan menggunakan berbagai pendekatan antara lain: RCA, CMSA, DRC, model Berlian Porter, dan pendekatan lainnnya seperti disajikan pada Tabel 11 dan 12. Secara umum, udang beku Indonesia mempunyai daya saing. Ling et al., (1996) menggunakan pendekatan RCA untuk 9 (sembilan) negara pengekspor: Thailand, Indonesia, Philipina, Malaysia, China, India, Taiwan, Ekuador dan Mexico periode Tahun 1989-1991 ke pasar Jepang dan AS. Produk didiferensiasi kedalam empat kategori berdasarkan pengkodean Standard International Trade Center (SITC) yaitu beku, hidup, segar, dan kering/olahan. Hasilnya, Taiwan mempunyai keunggulan komparatif mengekspor udang bermutu (seperti udang hidup) ke Jepang dengan nilai RCA 17.2 - 19.1 dan bentuk peeled fresh ke AS
karena memadainya jaringan pengapalan/pengiriman, kemasan,
transportasi. Tingkat kelangsungan hidup udang mencapai di atas 80% dengan lama perjalanan sampai 15 jam (Chiang dan Liao, 1985 dalam Ling et al., 1996).
53
Tabel 11. Ringkasan Studi Terdahulu tentang Daya Saing Komoditas Udang No
Pengarang
Pendekatan Analisis
1.
Ling et al. (1996)
RCA
9 pengekspor tahun 19891991
2.
Sagheer et al., (2007)
Model Berlian Porter
Thailand dan India
3.
Cong Sach (2003)
RCA
4.
Aisya et al., (2005b)
RCA
udang tambak, tahun 19852001 Indonesia
5.
Aisya et al.,(2005b)
CMSA
Indonesia
6
Ling et al., (1999)
DRC
3 tipe tambak, 10 negara ke Jepang,UE,AS
7.
Aisya et al., (2005c)
PAM
Indonesia
Biaya manfaat Sosial RCA
3 tipe tambak di Sulsel Indonesia
Indeks Spesialisasi Perdagangan
Indonesia
Size dan comparative advantage
28 negara eksportir periode tahun 1990 dan 2000
Hutabarat et al., (2000) 9. Munandar et al., (2006) 10. Kusumastanto dan PKSPL IPB (2007) 11. Cai dan Leung (2006) 8.
Kasus
Ringkasan Studi/ Faktor Penentu Daya Saing Memadainya jaringan (Taiwan), keunggulan geografis dan joint venture (Ekuador) Kehadiran perusahaan multinasional dan pemerintah berperan penting Indonesia dan Thailand menurun, sedangkan Vietnam meningkat Indonesia tergantung pada udang segar dibandingkan udang olahan. udang segar relatif terdistribusi pada pasar yang permintaanya relatif lambat, dan sebaliknya untuk udang olahan. Penentu daya saing: biaya oportunitas dan harga yang diterima di pasar internasional Usaha intensif paling efisien dalam penggunaan biaya domestik. Terjadi transfer penerimaan dari petani udang intensif dan semiintensif kepada konsumen dan produsen input. Udang Indonesia memiliki daya saing Indonesia mempunyai daya saing tapi menurun Udang Indonesia berada pada posisi pertumbuhan ke kematangan Tahun 2000 lebih kompetitif dibandingkan tahun 1990, sementara di UE tidak nampak dominasi regional
54
Philipina dan Malaysia mempunyai keunggulan komparatif dalam mengekspor produk dried/salt/in brine shrimp ke Jepang. Indonesia, Philipina, Ekuador, dan Meksiko mempunyai keunggulan komparatif pada udang beku shell-on di pasar AS. India dan China netral, sedangkan Malaysia, India, dan Taiwan tidak mempunyai keunggulan komparatif. Ekuador dan Mexico mempunyai keunggulan komparatif ke pasar AS akibat keunggulan geografis dan adanya joint venture dengan AS untuk produk udangshell-on dan peeled fresh. Tabel 12. Ringkasan Studi Terdahulu tentang Produktivitas dan Mutu pada Komoditas Udang No A. 1.
2. B. 1.
2.
Topik Pengarang Produktivitas Leung dan Gunaratne (1996) Tajerin (2007) Mutu Salayo (2000)
Cato dan Santos (2000)
Pendekatan Analisis
Kasus
Fungsi produksi Stochastic Frontier (SF) SF
7 negara di Asia
Hedonic Price Index
Dunia. periode tahun 19831996
Indonesia
Bangladesh
Ringkasan Studi/Faktor Penentu Daya Saing Negara yang lebih berpengalaman lebih produktif dibandingkan yang kurang berpengalaman Efisiensi teknis udang tambak Indonesia 56% Harga menurun 1.4% per tahun. Artinya, dengan menganggap mutu tetap, maka harga udang relatif menurun terhadap inflasi Bangladesh kehilangan $14.6 juta atau 35% dari pendapatan ekspor tahun 1996 akibat pelarangan ekspor oleh UE.
Selanjutnya, Ling et al. (1999) menganalisis keunggulan komparatif menggunakan DRC untuk udang tambak di 10 negara Asia yang mengekspor udang ke pasar Jepang, UE, dan AS tahun 1994/1995. Keunggulan komparatif dianalisis pada berbagai tipe usaha budidaya (intensif, semi-intensif, dan ekstensif). Survey mencakup 870 tambak intensif, 1 022 semi-intensif, dan 2 898 ekstensif. Hasilnya, negara-negara di Asia mempunyai keunggulan komparatif
55
dengan mengekspor udang ke Jepang dibanding dengan ke AS dan UE, terutama karena harga premium yang diperoleh di pasar Jepang. Thailand, Indonesia, dan Srilanka mempunyai posisi keunggulan komparatif relatif lebih baik dibandingkan negara-negara Asia lainnya untuk ketiga jenis tipe usaha budidaya yang diamati. Sebaliknya, tambak semi-intensif di Bangladesh tidak mempunyai keunggulan bersaing untuk mengekspor ke AS dan UE karena memiliki biaya pakan lebih tinggi. Sistem budidaya intensif di China relatif netral untuk pasar AS karena nilai DRC sama dengan satu. Faktor penentu tingkat keunggulan komparatif dari negara produsen di Asia adalah biaya oportunitas dari biaya operasional dan harga yang diterima di pasar internasional. Keunggulan komparatif dapat ditingkatkan dengan perbaikan pada pajak, pinjaman pada tingkat bunga rendah, pengurangan tarif impor tepung ikan, dan bahan lainnya untuk membuat pakan. Selain itu, penting melakukan koordinasi dibidang ekspor dan pemasaran terkait aturan internasional, pengembangan produk, informasi pasar karena adanya fluktuasi harga udang di pasar internasional. Aisya et al. (2005c) menganalisis dampak kebijakan insentif dan kinerja pasar udang Indonesia menggunakan pendekatan PAM. Hasilnya, udang Indonesia mempunyai keunggulan komparatif, danusaha intensif paling efisien dalam penggunaan biaya domestik. Selain itu, terjadi transfer penerimaan dari petani udang intensif dan semi-intensif kepada konsumen dan produsen input berturut-turut 1.83% dan 1.92% dari masing-masing pendapatan. Sebaliknya kebijakan ini menyebabkan penerimaan untuk pembudidaya udang untuk tambak tipe tradisional menjadi 14.07% lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa kebijakan.
56
Cong Sach (2003) menganalisis keunggulan komparatif udang tambak periode 1985-2001 menggunakan RCA. Hasilnya, nilai RCA udang tambak Indonesia menurun dari 10.03 menjadi 8.50, sedangkan Thailand meningkat dari 17.90 menjadi 23.5. Vietnam walaupun menurun dari 46.30 ke 22.30 akan tetapi nilainya masih jauh dibandingkan Indonesia. Selanjutya, Leung dan Cai (2005) menganalisis berdasarkan negara tujuan ekspor periode 1990 sampai dengan awal 2000, nilai RCA Indonesia untuk pasar AS menurun dan untuk pasar UE nilai RCA lebih rendah, akan tetapi pertumbuhannya positif. Cai dan Leung (2006) melakukan studi terhadap 28 negara eksportir udang beku ke tiga tujuan pasar utama (Jepang, AS, dan UE) menggunakan indikator kinerja ekspor berupa “size advantage” dan “comparative advantage” untuk mengukur dominansi di suatu pasar. Perubahan pangsa pasar digunakan sebagai ukuran market power. Variasi market share didekomposisi menjadi “size variation” dan “structural variation”. Hasilnya, ketiga pasar makin kompetitif pada tahun 2000 dibandingkan dengan tahun 1990. Market power makin kurang terkonsentrasi di ketiga pasar tersebut. udangdi pasarJepang didominasi oleh pengekspor dari negara-negara Asia Fasifik, di pasarAS oleh Amerika Latin, sedangkan untuk UE tidak nampak adanya dominasi regional. Berdasarkan jenis produk menggunakan kategori berdasarkan SITC, menurut Aisya et al., (2005b) ekspor Indonesia masih tergantung pada udang segar (SITC 34) dengan RCA mencapai 7.18 di tahun 2004, namun harga udang segar lebih rendah dibandingkan dengan udang olahan (SITC 37). Dengan demikian, upaya mendorong ekspor produk udang olahan menjadi penting, namun terkendala oleh nilai RCA udang olahan yang hanya 1.17. Artinya hanya sedikit
57
dari batas bawah keunggulan komparatif sebesar satu. Dengan demikian, perlu kerja keras dari pemerintah untuk mendorong peningkatan ekspor udang olahan. Masih studi yang sama, menggunakan metode CMSA, efek pasar dari udang segar bertanda negatif, artinya terdistribusi pada jenis-jenis komoditas yang permintaannya relatif lambat di negara tujuan ekspor utama, dan sebaliknya udang olahan. Ditinjau dari efek daya saing udang segar tandanya positif, artinya memiliki daya saing yang kuat. udang olahan (SITC 37) mempunyai tanda positif. Artinya, naiknya pertumbuhan dunia mengakibatkan ekspor komoditas udang olahan Indonesia meningkat. Hasil tersebut mendukung analisis menggunakan RCA. udang olahan yang nilai tambahnya lebih tinggi, efek pertumbuhan dan daya saingnya menguntungkan, akan tetapi masih kalah dibandingkan dengan daya saing udang segar. Hutabarat et al., (2000) menganalisis daya saing menggunakan pendekatan nilai Biaya Manfaat Sosial (BMS) untuk tambak di Sulawesi Selatan. Nilainya berturut-turut 0.62, 0.63, dan 0.57 untuk sistem tradisional, semi-intensif, dan intensif. Artinya,udang tambak di Sulawesi Selatan masih mempunyai daya saing karena bernilai <1. Kusumastanto dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut (PKSPL) IPB (2007) menggunakan Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP), hasilnya menunjukkan bahwa udang Indonesia berada pada kondisi pertumbuhan ke kematangan. Swaranindita (2005), menggunakan teori Berlian Porter; Herfindahl Index dan RCA untuk pasar AS, menghasilkan bahwa struktur pasar udang beku yang dihadapi Indonesia tahun 1984-1989 dan 2000 adalah pasar persaingan monopolistik dan tahun 1990-2000 adalah pasar oligopoli. Struktur pasar udang segar adalah oligopoli periode 1984 sampai dengan 1999 dan pasar
58
persaingan monopolistik periode 1997-2000.Posisi Indonesia adalah market follower. Dari angka indeks RCA tersebut, Indonesia memiliki daya saing yang kuat. Munandar et al., (2006) menganalisis udang Indonesia menggunakan indeks RCA dan memprediksi 10 tahun ke depan. Dengan skenario perekonomian stabil, udang masih mempunyai daya saing, walaupun menurun dengan presentase penurunan 13.4% per tahun. Tingkat kompetisi ekspor dipengaruhi suku bunga, upah, pendapatan per kapita negara domestik, pendapatan per kapita negara importir, dan prosentase anggaran untuk diferensiasi produk signifikan secara statistik, sedangkan harga produk ikan olahan dan produktivitas modal tidak signifikan. Dari
aspek
penawaran
dan
permintaan,
analisis
ekonometrika
menggunakan persamaan simultan telah banyak dilakukan antara lain: Gonarsyah (1990), Retnowati (1990), Irwan (1997), Soepanto (1999), Oktariza (2000), Raharjo (2001), DKP (2004), Pitaningrum (2005), dan Koeshendrajana (2006). Dari hasil studi tersebut dapat dikemukakan bahwa faktor yang berpengaruh terhadap jumlah ekspor adalah harga ekspor udang, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, dan produksi udang. Impor udang dipengaruhi harga riil udang dunia, harga riil impor produk substitusi (harga tuna), dan pendapatan riil per kapita. Selanjutnya, menurut pangsa pasar hasilnya: terjadi persaingan nyata di pasar AS dan Jepang, di pasar UE belum terlihat (Rahardjo, 2001). di pasar ASEAN tingkat persaingan relatif rendah. Nilai tukar rupiah terhadap dolar Singapura berpengaruh terhadap pangsa pasar udang Indonesia (Oktariza, 2000). Di pasar Jepang dalam jangka panjang relatif peka terhadap perubahan rasio harga ekspor (Gonarsyah,
59
1990). Tajerin dan Noor (2004) menambahkan di Jepang dan AS udang Indonesia sampai dengan 2004 masih dominan. Ancaman di pasar AS berasal dari Thailand dan di pasar Jepang dari sisa dunia. Studi pada aspek mutu dan keamanan hasil produk perikanan memberikan hasil beragam. Salayo (2000) menganalisis hubungan antara harga udang dan perubahan mutu menggunakan Hedonic Price Index. Hasilnya menunjukkan bahwa dalam periode 1983-1996 harga menurun 1.4% per tahun. Artinya, dengan menganggap mutu tetap, maka harga udang relatif menurun terhadap inflasi. Menurut Wibowo (2003), penerapan HACCP/PMMT tidak menyebabkan persaingan antar skala usaha yang berbeda pada usaha rajungan, akan tetapi menyebabkan persaingan pada skala usaha yang sama. Cato dan Santos (2000) menyebutkan Bangladesh kehilangan penghasilan $14.6 juta atau 35% dari pendapatan ekspor tahun 1996 akibat pelarangan ekspor ke UE. Studi oleh peneliti di University of Reading terhadap 99 negara dan fokus ke UE menyebutkan bahwa SPS merupakan faktor penting penentu kemampuan negara berkembang dalam melakukan ekspor ke negara maju. Menurut Kumar dan Kumar (2003) meskipun masih kompetitif, akan tetapi daya saing ekspor udang India menurun 16.7%. Hasil studi IFC (2007b) menyebutkan bahwa udang Nigeria berkembang karena menerapkan HACCP/PMMT. Kebijakan HACCP/ PMMT berpengaruh terhadap mutu, penerapan di unit pengolahan menjadi prioritas, dan berikutnya di tambak serta penampungan udang. Sebagai contoh, menurut Suryana et al., (1989) pada periode Januari sampai Juni 1988 ekspor udang Indonesia yang tidak lulus pemeriksaan FDA mencapai 17 000 ton senilai US$ 165 juta karena udang terkontaminasi Salmonela arizona, pemrosesan/
60
pembekuan kurang sempurna, dan terkena pembusukan kotoran. Akibat penolakan tersebut harga udang turun dari US$ 17/kg menjadi US$ 11/kg. Terkait dengan risiko dan keuntungan, studi Oktaviani et al., (2008) di Sulawesi Selatan memperoleh hasil bahwa tidak ada pembagian risiko antara petani, pedagang pengumpul, dan koordinator. Berdasarkan analisis AHP: sumberdaya merupakan hal paling penting, disusul teknologi. Strategi terbaik yaitu menjalin kerja sama antara pembudidaya dan pedagang perantara. Dari aspek srategi, petani di negara berkembang perlu merubah orientasinya dari product oriented menjadi market oriented. Kolaborasi manajemen rantai pasokan diperlukan karena produsen di negara berkembang terkendala oleh teknologi, infrastruktur belum memadai, tergantung pada tenaga kerja rumah tangga, teknik usahanya tradisional (Van Roekel, 2002). Persaingan industri sudah bergeser dari kompetesi industri secara individu menjadi kompetesi rantai pasok dan di masa mendatang akan menjadi persaingan yang berbasis kluster (Pertiwi, 2007). Hasil studi Herman (2002) pada komoditas sayuran bernilai tinggi, sayuran Edamame, penerapan model aliansi strategis dapat meningkatkan margin keuntungan rantai pasokan dari 8% menjadi 17% dan kinerja meningkat 345%. Keuntungan meningkat dari 7% menjadi 22%. Penerapan model meningkatkan kinerja rantai pasokan paprika sebesar 233%. Titik impas usaha tani pada 4.326 kg/panen/sungkup. Konsumen diuntungkan dengan penurunan harga pada tingkat konsumen (swalayan) sebesar 19%.
61
2.10. Posisi Penelitian Studi mengenai komoditas udang telah banyak dilakukan. Akan tetapi, sepengetahuan penulis, penelitian udang tambak secara komprehensif sejak produksi sampai perdagangan masih terbatas. Umumnya studi dilakukan dengan topik terpisah misalnya mengenai: produktivitas (Leung dan Gunaratne, 1996), daya saing (Ling et al. 1996 dan 1999; Cai dan Leung, 2006), mutu (Salayo, 2000), dan mutu serta keamanan hasil produk perikanan (Loc, 2006). Hasil studi mengenai udang tambak sebelumnya menunjukkan bahwa udang Indonesia (udang beku) mempunyai daya saing (Aisya et al., 2005c; Hutabarat 2000), belum efisien (Tajerin, 2007), perlu peningkatan produktivitas dan mutu (IFC, 2006a), dan diperlukan kerja sama antara pembudidaya udang dan pengolah (Raimu, 2000; Oktaviani et al., 2008). Berdasarkan uraian di atas, maka perlu kajian yang lebih komprehensif dan pendalaman lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang berperan dalam produksi dan pemasaran udang. Gonarsyah (2007) dan Cai dan Leung (2006) mengungkapkan bahwa identifikasi pola keunggulan komparatif hanya merupakan langkah awal, yang lebih penting adalah mengerti faktor pendorong di balik itu. Oleh karena itu, studi ini mencoba mengisi kekosongan tersebut dengan mengkuantifisir pengaruh produktivitas dan upaya peningkatan mutu terhadap daya saing udang tambak. 2.11. Novelty Udang merupakan komoditas penting penyumbang devisa dari sektor perikanan dan dewasa ini tingkat persaingan sesama produsen makin meningkat. Selain relatif mudah diproduksi dimana-mana, peningktan persaingan sesama juga disebabkan kemajuan bidang teknologi, manajemen pakan, dan sebagainya.
62
Penelitian terkait udang sudah banyak namun masih parsial, misalnya pada produksi, pemasaran, atau perdagangan. Oleh karena itu, analisis daya saing yang dilakukan ini mencoba mengulasnya secara komprehensif. Penggunaan konsep derived demand untuk produk pertanian dan produk lainnya sudah umum antara lain Sinaga (1989) untuk kayu. Menggunakan asumsi dari hasil penelitian Keefe (2002) bahwa produk udang yang satu merupakan substitut bagi produk udang lainnya dengan tingkat substitusi yang berbeda-beda, maka pada studi ini produk udang didisagregasi menjadi udang segar, beku, olahan, dan dianalisis menggunakan konsep derived demand. Udang vaname menjadi fenomenal di Thailand, produksi tahun 2010 mencapai 97% dari total produksi sebesar 550 ribu ton. Di Indonesia peran udang vaname juga meningkat, tercermin dari kuantitas produksi tahun 2007 telah melampaui produksi udang windu. Studi ini mencoba menganalisis fenomena perubahan varietas tersebut. Perkembangan industri udang terkendala rendahnya produktivitas dan rendahnya mutu. Pada tingkat lapang produktivitas udang tambak dianalisis dengan pendekatan yang digunakan menggunakan angka indeks Tornqvist Theil.
III.
KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Penawaran dan Permintaan Udang 3.1.1.1. Tahapan Produksi Udang
Menurut Ling et al., (1996) pasar udang merupakan pasar yang terkoordinasi secara vertikal. Keefe (2002) menambahkan bahwa produk udang segar, beku, dan olahan dunia saling bersubstitusi satu sama lain dengan tingkat substitusi berbeda tergantung pada budaya, dan alokasi pengeluaran. Oleh karena itu, pada studi ini diasumsikan pasar udang segar, beku, dan udang olahan saling berinterelasi satu sama lain. Gambar 12 menyajikan tahapan produksi udang, sejak permintaan faktor produksi sampai dengan produk udang olahan. Berdasarkan Gambar 12 industri udang melibatkan berbagai tahapan sejak produksi udang dari hasil budidaya dan hasil penangkapan, industri udang beku, dan industri udang olahan. Tiap tahapan memiliki pasar berbeda, penawaran dan permintaan yang terinterelasi untuk menjadi input bagi tahapan selanjutnya. Dari sisi produksi, keterkaitan ketiga pasar dapat ditunjukkan oleh adanya permintaan input dan penawaran output. Permintaan input pada masing-masing pasar merupakan permintaan turunan dari pasar lainnya. Dalam analisis ini permintaan faktor produksi merupakan tahap awal produksi. Pembudidaya dan nelayan menggunakan input berupa benur, BBM, dan pakan sebagai faktor produksi. Berikutnya, usaha budidaya udang di tambak dan penangkapan dengan output berupa udang segar. Udang tersebut merupakan input utama untuk pasar udang segar. Penawaran udang segar domestik merupakan produksi udang segar
64
ditambah impor udang segar, dikurangi ekspor, dan konsumsi domestik (rumah tangga), sedangkan stok udang diasumsikan tidak ada. Termasuk kedalam konsumsi domestik yaitu permintaan udang segar oleh industri udang beku. Udang segar tersebut merupakan input untuk industri udang beku dan output yang dihasilkan berupa udang beku. Dari produksi udang beku sebagian diekspor, dikonsumsi rumah tangga, sedangkan impor udang beku diasumsikan tidak ada. Udang beku tersebut selanjutnya merupakan input/bahan baku untuk industri udang olahan dengan output berupa udang olahan. Penawaran udang olahan domestik merupakan produksi udang olahan dikurangi ekspor, sedangkan stok dan impor diasumsikan tidak ada. Pada analisis ini, harga dunia udang segar diasumsikan eksogen. Indonesia diasumsikan negara kecil untuk udang segar, dan sebagai negara besar untuk udang beku dan udang olahan. Dalam rangka menjaga mutu udang maka dilakukan penerapan sistem rantai dingin sejak udang dipanen dari tambak atau ditangkap dari laut. Dengan demikian, udang segar yang dokonsumsi oleh industri udang olahan antara lain untuk pengolahan tradisional seperti pembuatan kerupuk udang diasumsikan relatif kecil sehingga diabaikan. Dalam model yang dibangun, produksi udang olahan seluruhnya berasal dari produk udang beku.
65
Tahap Produksi
Pasar Permintaan Konsumsi RT
Produksi udang olahan
Penawaran output
Pasar udang Olahan
Permintaan input
Produksi udang beku
Penawaran output
Permintaan
Pasar udang Beku
Permintaan input
Produksi udang segar
Penawaran output
Ekspor udang olahan
Konsumsi RT
Ekspor udang Beku
Konsumsi RT
Pasar udang Segar
Ekspor udang Beku Impor udang Segar
Produksi udang
Produksi udang tangkapan
Permintaan input
Input/Faktor Produksi
Gambar 12. Tahapan Produksi dan Output yang Dihasilkan
66
3.1.1.2. Fungsi Produksi Udang Tambak
Fokus teori ekonomi produksi yaitu pengambilan keputusan oleh pelaku usaha budidaya. Pembudidaya udang dalam menentukan keputusan produksi dapat didasarkan atas pilihan (1) meminimumkan biaya pada target produksi tertentu (efisiensi alokasi), atau (2) memaksimumkan produksi pada ketersediaan biaya tertentu (efisiensi teknis). Kedua pilihan tersebut merupakan kondisi optimasi dengan kendala. Adapun optimasi tanpa kendala yaitu memaksimumkan profit membuat pembudidaya udang dapat mencapai efisiensi ekonomi (mengakomodir sebagian efisiensi alokasi maupun efisiensi teknis). Secara umum, produksi udang tambak di tambak QT (ton per tahun) merupakan fungsi produksi dari masukan utama: B = benur (ekor per tahun), P = jumlah pakan (ton per tahun), dan Z = faktor produksi lainnya. Pakan merupakan komponen penting karena menyumbang sekitar 60% - 70% terhadap biaya produksi (Muhdi, 2006). Fungsi produksi udang dapat digambarkan sebagai berikut: QT = f (B, P, Z) ....................................................................................
(1)
Dari fungsi produksi dapat dibangun fungsi permintaan input maupun fungsi penawaran output melalui penurunan fungsi keuntungan atau fungsi biaya. Pendekatan pertama dikenal dengan pendekatan primal, sedangkan pendekatan kedua dikenal dengan pendekatan dual, sehingga dikenal dengan pendekatan primal-dual, dan hasilnya akan sama. Jika P B sebagai harga input B (benur), P P sebagai harga input P (pakan), dan P Z sebagai harga input Z (BBM), dan F merupakan biaya tetap, maka Biaya Total (BT) yang dikeluarkan untuk memproduksi sejumlah output udang tambak (QT) dapat dituliskan:
67
BT = P B .B + P P .P + P Z .Z + F .............................................................
(2)
oleh karena itu, fungsi keuntungan produksi udang tambak dapat dirumuskan sebagai berikut: πt = Pq.QT – BT ..................................................................................
(3)
πt = Pq. f (B, P, Z) – (P B .B + P P .P + P Z .Z + F) .................................
(4)
dimana πt = keuntungan udang tambak (Rp/Ha) dan Pq = harga udang tambak (Rp/Kg). Maksimisasi keuntungan harus memenuhi first order condition,yang diperoleh dengan menentukan turunan pertama fungsi keuntungan terhadap B, P, dan Z sama dengan nol atau nilai produk marjinal tiap faktor harus sama dengan harga tiap faktor yang digunakan. Adapun second order condition ditunjukkan dengan turunan kedua fungsi keuntungan mempunyai nilai Hessian Determinant lebih besar nol. ∂π / ∂B = Pq * ∂f / ∂B − P= 0 atau P= Pq * MPPB ............................ B B
(5)
∂π / ∂P = Pq * ∂f / ∂P − P= 0 atau P= Pq * MPPP ... ........................ P P
(6)
∂π / ∂Z= Pq * ∂f / ∂Z − P= Pq * MPPZ .. ........................ 0 atau P= z z
(7)
Penyelesaian terhadap persamaan (5), (6), dan (7) akan menghasilkan fungsi permintaan input sebagai berikut: B = b(P B , P P , P Z , P q ) ..........................................................................
(8)
P = p(P P , P B , P Z , P q ) ..........................................................................
(9)
Z = z(P Z , P B , P P , P q ) ............................................................................ (10) dimana B = permintaan akan benur, P = permintaan pakan. Z = permintaan terhadap input lainnya (BBM). Dengan mensubstitusikan persamaan (8), (9), dan (10) ke persamaan (1) maka penawaran individu udang tambak:
68
QT = q 1 (Pq, P B , P P , P Z ) ...................................................................... (11) artinya penawaran udang dapat dinyatakan sebagai fungsi dari harga output, harga input itu sendiri, dan harga input lainnya. Selanjutnya, persamaan penawaran pasar udang tambak adalah dengan menjumlahkan secara horisontal penawaran individu-indidvidu pembudidaya udang. Usaha tambak udang juga dipengaruhi oleh pasar kapital, terutama jika melakukan pengembangan usaha yang membutuhkan jumlah dan jenis input yang lebih besar. Tambahan dana dapat bersumber dari bank, artinya produksi udang juga dipengaruhi oleh tingkat suku bunga. Selain harga produk dan harga faktor produksi, penawaran atau produksi juga dipengaruhi oleh teknologi (Koutsoyiannis, 1979). Devi dan Prasad (2006) menambahkan bawa penyakit merupakan hambatan terbesar pada budidaya udang. Dengan demikian penawaran udang tambak diformulasikan sebagai berikut: QT t = q 1 (P Q , P B , P P , P Z , i, T, Dpeny, QT t-1 ) ...................................... (12) dimana: PQ PB PP PZ i T Dpeny ‘
QT t-1
: : : : : : : :
Harga udang Harga benur Harga pakan Harga input lainnya (BBM) Tingkat suku bunga Teknologi (diproxy oleh pertumbuhan TFP) Dummy penyakit
Penawaran udang tambak t-1
3.1.1.3. Produksi Udang Hasil Tangkapan Selain dari hasil budidaya di tambak, udang Indonesia juga berasal dari hasil penangkapan di laut dan perairan umum. Pendekatan produksi udang hasil tangkapan diperoleh dengan menggunakan peubah yang mempengaruhi nelayan
69
atau pengusaha baik secara langsung maupun tidak langsung dalam mengambil keputusan menangkap udang. Beberapa penelitian menjelaskan bahwa respons harga dalam komoditi perikanan tidak mempengaruhi produksi secara langsung, melainkan mempengaruhi jumlah usaha penangkapan (kapal). Nelayan akan tetap bertahan dalam usaha penangkapan selama biaya rata-rata sama dengan penerimaan rata-rata, sehingga jumlah dan jenis kapal yang digunakan dalam penangkapan udang sangat dipengaruhi nilai output dan besarnya biaya. Gambar 13 menunjukkan bahwa perubahan harga ikan akan menggeser kurva penerimaan ke atas, sehigga mengakibatkan jumlah usaha penangkapan udang meningkat. P R O D U K S I
TC
P=2 P=1
TR E Sumber: Henesson (1976) dalam Soepanto (1999) Gambar 13. Kurva Penerimaan Nelayan dalam Penangkapan Udang 3.1.1.4. Permintaan Udang Segar oleh Industri Udang Beku dan Permintaan Udang Beku oleh Industri Udang Olahan Udang segar merupakan bahan baku udang beku, dan udang beku merupakan bahan baku untuk udang olahan. Permintaan terhadap udang beku dapat diturunkan melalui fungsi permintaan turunan (derived demand), yaitu
70
melalui fungsi keuntungan.Bila π keuntungan, P adalah harga output Y dan ri adalah harga input xi, maka persamaan keuntungan dapat dituliskan sebagai berikut:
π = P * Y − ∑ r i . X ) ...................................................................... i
(13)
Dengan menurunkan fungsi di atas terhadap masing-masing input maka diperoleh: ∂π / ∂X i = P.∂Y / ∂X i − ri = 0 .......................................................................... (14)
atau P.PM i = ri
............................................................................................. (15)
dimana PMi adalah produk marginal dan P.PMi adalah nilai produk marjinal dari input i (udang segar). Penggunaan input yang optimal dicirikan oleh kondisi dimana nilai produk marjinal dari masing-masing input (P.Pmi) sama dengan harga input yang bersangkutan. Implikasinya, permintaan input oleh suatu industri sangat dipengaruhi oleh harga input yang bersangkutan/udang segar (r), harga output/ udang beku (P) dan teknologi produksi (PM). Permintaan suatu input dapat pula dipengaruhi oleh harga input substitusi dan faktor lain yang dapat mendistrosi pasar. Permintaan udang segar oleh industri udang beku selain dipengaruhi oleh harga udang segar, juga dipengaruhi oleh harga udang beku, harga input alternatif seperti sewa cold storage, harga es, dan tingkat suku bunga. Permintaan input tersebut dapat dituliskan sebagai berikut: D t = f (Ps t , Pb t , Pk t , i t , D t-1 ) ................................................................ (16) dimana Dt adalah permintaan udang segar oleh industri udang beku, Pstadalah harga udang segar, Pbt harga udang beku, it = tingkat suku bunga, Pkt harga input
71
alternatif, dan Dt-1 adalah permintaan udang segar oleh udang beku tahun sebelumnya. Demikian halnya untuk permintaan udang beku oleh industri udang olahan. 3.1.1.5. Penawaran Ekspor Udang Indonesia dan Thailand Penawaran ekspor dianalisis berdasarkan negara tujuan ekspor utama yaitu AS, UE, dan Jepang dengan pertimbangan ketiga wilayah tersebut merupakan importir udang utama di dunia dengan pangsa pasar pada tahun 2008 sekitar 74%. Secara teoritis penurunan fungsi ekspor udang berasal dari kelebihan penawaran, karena harga domestik lebih rendah dibandingkan harga internasional. Kenaikan harga ekspor dihipotesakan akan meningkatkan jumlah ekspor. Kenaikan harga akan direspons oleh produsen atau eksportir untuk meningkatkan produksi atau pasokannya. Ekspor udang juga dipengaruhi oleh perubahan nilai tukar. Jika terjadi depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS maka menyebabkan peningkatan daya beli konsumen. Artinya, udang Indonesia dianggap relatif lebih murah oleh konsumen luar negeri sehingga permintaan diduga akan meningkat. Kenaikan produksi udang juga akan memberikan peluang kenaikan ekspor. Labys (1973) menyatakan bahwa untuk komoditas yang diperdagangkan di pasar internasional maka perlu pembedaan antara penawaran domestik dan penawaran ekspor. Kedua peubah tersebut biasanya terkait melalui suatu persamaan identitas. Persamaan tersebut adalah bahwa ekspor pada periode tertentu merupakan selisih antara produksi (Q t ) dengan konsumsi (C t ) selama periode tersebut ditambah perubahan stok (S t ). Secara matematis dituliskan sebagai berikut:
72
X t = Q t – C t + S t-1 - S t .......................................................................... (17) Pada persamaan (17) menurut Labys (1973) konsumsi dianggap dapat dipenuhi sehingga impor tidak ada. Persamaan ekspor tersebut dapat berupa persamaan identitas atau perilaku tergantung tujuan penelitian. Komoditas udang dianggap gampang rusak, maka stok dianggap tidak ada. Sebagai persamaan perilaku, ekspor suatu komoditi dipengaruhi oleh harga ekspor, nilai tukar riil, tingkat suku bunga riil (Salvatore, 1996). Selain itu, ekspor dipengaruhi oleh tekanan permintaan di negara importir dan kebijakan perdagangan di negara eksportir dan importir (Labys, 1973). Salah satu bentuk kebijakan tersebut adalah pajak ekspor atau tarif impor. Jika e merupakan disagregasi dari bentuk udang, dan j merupakan negara tujuan ekspor, maka fungsi penawaran ekspor Indonesia ke berbagai negara tujuan digambarkan sebagai berikut: Jumlah ekspor udang bentuk e Indonesia ke negara tujuan j: QXiej t = f(PXiej, ERi, Z t , QXiej t-1 ) .................................................. (18) dimana QXiej t adalah jumlah ekspor udang bentuk e Indonesia ke negara tujuan j (ton per tahun). Pxiej merupakan harga ekspor udang bentuk e Indonesia ke negara tujuan j (US$ per kg), ERi merupakan nilai tukar (Rp per dollar), Z t faktorfaktor lain yang mempengaruhi ekspor udang bentuk e ke negara tujuan j (US$ per kg), dan QXiej t-1 adalah lag jumlah ekspor udang. Selanjutnya, jumlah total ekspor udang bentuk e Indonesia ke pasar dunia merupakan penjumlahan secara horizontal dari jumlah penawaran ekspor Indonesia ke negara-negara Jepang, AS, dan UE-27 (∑QXiej): QXiew= ∑QXiej + QXier .................................................................... (19)
73
dimana QXiew merupakan jumlah ekspor udang bentuk e Indonesia ke pasar dunia (ton per tahun); QXier merupakan jumlah ekspor udang bentuk e Indonesia ke negara-negara selain Jepang, AS, dan UE-27 (ton per tahun). Dengan menggunakan pendekatan yang sama, fungsi penawaran dari negara pesaing utama adalah sebagai berikut: jumlah ekspor udang bentuk e negara pesaing c ke negara tujuan j : QXcej t = f(PXcej, ERc, Z t , QXcej t-1 ) ................................................ (20) jumlah total ekspor udang bentuk e negara pesaing c ke pasar dunia: QXcew = ∑QXcej + QXcer ................................................................. (21) 3.1.1.6. Permintaan Impor Udang Permintaan impor udang dunia dianalisis berdasarkan negara-negara konsumen utama udang dunia yaitu: Jepang, AS, UE, dan sisa dunia. Sisa dunia dianggap eksogen. Secara teoritis, impor udang oleh negara j untuk udang jenis e dapat diturunkan dari kelebihan permintaan, sebagai berikut: M t = C t – Q t + S t – S t-1 ...................................................................... (22) dimana M t = jumlah impor udang tahun t, C t = jumlah konsumsi udang tahun t, Qt = jumlah produksi udang tahun t, S t = stok udang tahun t, dan S t-1 = stok udang tahun t-1. Diasumsikan bahwa re-ekspor udang relatif kecil dibandingkan impor sehingga dapat diabaikan. Jika stok udang diasumsikan konstan, maka konsumsi udang negara konsumen akan konsisten dengan pola permintaan impornya. Fungsi permintaan impor udang dapat diturunkan dari fungsi konsumsi dan fungsi konsumsi pada dasarnya dapat diturunkan dari fungsi utilitas. Dari syarat maksimisasi utilitas dengan kendala pendapatan dan tingkat harga tertentu, fungsi konsumsi dapat dirumuskan sebagai berikut:
74
C t = f (Y t , PM r ) .................................................................................... (23) dimana Yt= pendapatan penduduk di negara pengimpor dan PMt = harga udang di negara pengimpor. Menurut Koutsoyiannis (1979) selain faktor-faktor di atas, permintaan juga dipengaruhi oleh selera, distribusi pendapatan, jumlah penduduk, kebijakan pemerintah, dan tingkat pendapatan sebelumnya. Jumlah penduduk dapat meningkatkan pangsa pasar atau dapat juga bersifat negatif jika penambahan populasi menurunkan pendapatan/kapita. Selanjutnya, menurut US International Trade Commision (1985) dalam Diop (1999) di AS sekitar 80% udang impor masuk ke restoran dan institutional market, maka udang berkompetisi dengan produk ikan, daging, dan ternak. Dengan demikian variabel yang diduga mempengaruhi impor udang bentuk e dari masing-masing negara j adalah harga udang dunia, harga barang substitusi, pendapatan yang diproxy dari GDP riil, dan impor udang t-1. QMje t = f (P qw , P r , Y, QMje t-1 ) ........................................................... (24) selanjutnya, total impor dunia untuk udang bentuk e merupakan gabungan dari importir utama dan importir sisa dunia: QMwe= ∑QMje + QMre ...................................................................... (25) 3.1.1.7. Harga Udang Sebagai sebuah sistem pasar, harga udang di pasar internasional (PWe t ) ditentukan oleh kekuatan penawaran ekspor dunia (QXew), permintaan impor dunia (QMwe), dan harga udang di pasar internasional t-1. Harga akan tinggi jika laju permintaan atau impor lebih tinggi, sebaliknya harga akan turun jika terjadi kelebihan penawaran. Dengan demikian, persamaan harga dunia udang bentuk e:
75
PWe t = f(QXew, QMwe, PWe t-1 ) ........................................................ (26) karena pasar internasional dan pasar domestik di negara-negara pengekspor saling terkait, perubahan harga ditingkat dunia akan diteruskan ke pasar domestik. Harga internasional akan dijadikan panduan dalam pembentukan harga domestik. Pembentukan harga domestik juga dipengaruhi oleh nilai tukar. Pada komoditas udang, harga ditentukan oleh ukuran, perbedaan mutu, preferensi konsumen dan fluktuasi nilai tukar (Shang et al. 1998); species, ukuran, mutu, dan asal negara (Ling et al. 1996). Ling et al., (1998) menggunakan pendekatan Engle-Granger untuk menganalisis transmisi harga periode 1990-1993 di pasar Jepang, hasilnya menunjukkan eksportir di Thailand dan Indonesia terintegrasi. Perkembangan nilai tukar juga berpengaruh terhadap pembentukan harga impor. Harga komoditas pertanian pada umumnya lebih berfluktuasi dibandingkan harga komoditas non pertanian dan jasa. Ketidakstabilan tersebut disebabkan oleh sifat biologis komoditas pertanian dan adanya pengaruh yang kuat dari faktor hama dan penyakit, cuaca, dan variasi musim sehingga jumlah yang dihasilkan sering berbeda dengan yang direncanakan. Faktor lain yang juga berpengaruh antara lain kesenjangan waktu yang cukup nyata antara keputusan untuk memproduksi dengan diperolehnya hasil produksi. Dengan asumsi pasar cukup terintegrasi, maka informasi harga di Jepang akan tertangkap di pusat-pusat pasar lainnya. Kenaikan harga riil udang diperkirakan akan menurunkan jumlah permintaan atas udang tersebut. Stok udang di pasar domestik akan meningkat dan akan mempengaruhi permintaan. Berdasarkan hubungan di atas maka:
76
harga ekspor udang bentuk e Indonesia ke negara tujuan j: PXiej t = f(PWe, ERi, PXiej t-1 ) ............................................................ (27) total nilai ekspor udang bentuk e, Indonesia ke pasar dunia: Xiew = ∑Xiej + Xier ............................................................................ (28) harga ekspor udang bentuk e negara pesaing c ke negara tujuan j: PXcej t = f(PWe, ERc, PXcej t-1 ) ........................................................... (29) selanjutnya, share ekspor udang bentuk e Indonesia terhadap dunia: SQXiew = QXiew/QXew ..................................................................... (30) dimana SQXiew adalah share ekspor udang bentuk e Indonesia terhadap total ekspor udang bentuk e di dunia. Walaupun harga bukan merupakan ukuran pasti untuk mutu akan tetapi harga ekspor merupakan “indikator” dari mutu (Wooldridge, 2002 dalam Hallak, 2005). SDM dapat dijadikan penghubung antara selera dan faktor bawaan yang tidak tewakilkan dalam standar teori perdagangan (Murphy dan Shleifer, 1997 dalam Hallak, 2005). Secara umum harga udang ditentukan oleh ukuran, jenis, mutu, dan merk dagang (Suryana, et al., 1989); ukuran, penawaran, mutu, asal, dan species atau warna (Yakoyama, Nakamoto dan Wanitprapha, 1989) dalam Wirth dan Davis, 2003). Negara Australia mempunyai keunggulan yaitu dengan menjual udang hidup. Untuk komoditi udang, Jepang merupakan pasar yang dominan mempengaruhi harga dunia. Oleh karena itu, harga dunia yang berlaku di Jepang dapat digunakan mewakili harga udang dunia. Vinuya (2006) menggunakan teknik kointegrasi memperoleh hasil bahwa harga udang di AS, UE, dan Jepang terintegrasi dan berlaku “the law of one price”.
77
3.1.1.8. Konsep Elastisitas
Konsep elastisitas digunakan untuk memperoleh ukuran kuantitatif respon suatu fungsi terhadap faktor-faktor yang mempengaruhinya. Dalam jangka pendek dan jangka panjang, dapat dirumuskan sebagai berikut: Es(Y t ) = a*X t /Y t .................................................................................. (31) El(Y t X t ) = Es(Y t X t )/1-b ................................................................... (32) dimana: Es(Y t X t ) = Elastisitas jangka pendek peubah endogen terhadap peubah eksogen El(Y t X t ) = Elastisitas jangka panjang peubah endogen terhadap peubah eksogen a = Koefisien dugaan dari peubah-peubah eksogen b = Koefsien dugaan dari peubah-peubah lag-endogenous X t = Rataan peubah eksogen Y t = Rataan peubah endogen (mean predicted atau mean dari hasil validasi model) Dalam kaitannya dengan penawaran, dua konsep elastisitas yang penting adalah elastisitas harga atas penawaran dan elastisitas silang atas penawaran. Terkait dengan permintaan, terdapat tiga konsep elastisitas yang penting yaitu elastis harga atas permintaan, elastisitas silang atas permintaan, dan elastististas pendapatan atas permintaan. 3.1.2. Daya Saing: Keunggulan Komparatif dan Keunggulan Kompetitif Konsep daya saing awalnya bukan konsep ekonomi, melainkan konsep politik (Sharples, 1990 dalam Gonarsyah, 2007) dan atau konsep bisnis untuk meningkatkan kinerja perusahaan (Lall, 2001 dalam Gonarsyah, 2007). Pembahasan daya saing tidak dapat terlepas dari dua istilah yaitu keunggulan
78
komparatif dan keunggulan kompetitif. Keunggulan komparatif tiap negara akan menentukan apa yang terjadi jika terjadi perdagangan diantara mereka. Menurut Pyndick dan Rubinfeld (2005) perdagangan internasional memungkinkan konsumsi d i luar Kurva Kemungkinan Produksi (KKP) (Gambar 14). Pakaian
Pakaian TOT0B
TOT0W = TOT1A
QB
RA I1A I0A
PA
B
S SA
Negara A
QA
TOT0A
Makanan
RB PB I0B
Negara B
I1B TOT0W = TOT1B
Makanan
Sumber: Pyndick dan Rubinfeld (2005)
Gambar 14. Manfaat Perdagangan karena Adanya Keunggulan Komparatif Diasumsikan Negara A kaya akan tenaga kerja dan memproduksi makanan, sedangkan Negara B kaya akan kapital dan memproduksi pakaian. Berdasarkan Gambar 14, sebelum melakukan perdagangan, Negara A memperoleh utilitas terbesar dengan memproduksi dan mengkonsumsi di titik PA. Slope pada titik A tersebut menunjukkan Term of Trade (TOT) produk yang intensif tenaga kerja relatif terhadap produk yang intensif kapital. Adanya perdagangan memungkinkan kemampuan produksi meningkat ke titik QA dan selain itu dapat mengkonsumsi kedua barang di titik RA yang merupakan persinggungan antara TOTW (TOT dunia) dengan kurva indiferen yang baru I1A, yang lebih tinggi dibanding titik
79
semula di I0A. Negara A akan dapat mengekspor sebesar SAQA (makanan) dan mengimpor pakaian sebesar SAPA (pakaian). Dengan memanfaatkan keunggulan komparatif berupa tenaga kerja dalam melakukan perdagangan, maka dapat dicapai pertumbuhan produksi dan konsumsi yang lebih tinggi. Adanya perdagangan, harga relatif pakaian dan makanan menjadi 1:1. Dengan demikian, adanya perdagangan bebas memungkinkan utilitas meningkat yang ditunjukkan oleh perubahan kurva indifferen dari U1 ke U2. Demikian halnya untuk Negara B dan hasilnya diringkas pada Tabel 13. Sumber keunggulan komparatif tidak hanya berasal dari faktor alamiah saja, akan tetapi dapat juga diciptakan. Selain itu, dinamika dari keberlimpahan dan pengelolaan sumberdaya mengakibatkan keunggulan komparatif tidak hanya bersifat statis melainkan dinamis. Sumber keunggulan komparatif suatu negara dalam memproduksi suatu produk dapat berasal dari: (1) keunggulan komparatif dari faktor pengetahuan (learning factor) disebut sebagai keunggulan dinamis, dan (2) keunggulan komparatif dalam proses produksi dengan memanfaatkan tenaga kerja dan atau modal yang disebut sebagai keunggulan statis. Indonesia sebagai negara berkembang memiliki keunggulan statis berupa tenaga kerja, sementara negara-negara maju sebagai penyedia teknologi memiliki keunggulan dinamis berupa teknologi.
80
Tabel 13. Manfaat Perdagangan karena Adanya Keunggulan Komparatif No 1. 2. 3.
Parameter Titik Produksi Titik Konsumsi Kesejahteraan
4.
TOT
5. 6.
Sebelum perdagangan Negara A Negara B PA PB PA I0A
PB I0B
TOT0 A
TOT0B
Ekspor
0
0
Impor
0
0
Setelah perdagangan Negara A Negara B QA QA RA I1A
RB I1B
TOT1A = TOTW S AQ A (makanan) SARA
TOT1B= TOTW SBQB (pakaian) SBRB
(pakaian)
(makanan)
Sumber: Gonarsyah (2007)
Salah satu metode untuk menganalisis keunggulan komparatif adalah Revealed Comparative Advantage (RCA). Konsep RCA merupakan rasio antara pangsa pasar dari sebuah produk suatu negara dalam pasar dunia, dengan pangsa pasar ekspor dari suatu negara terhadap total ekspor dunia. Makin tinggi nilai RCA, berarti makin tinggi spesialisasi. Rumus yang digunakan yaitu:
X i j / Yi RCA = .................................................................................... (33) Xi /Y X ij / X i RCA = ................................................................................... (34) Yi / Y dimana X i j merupakan nilai ekspor produk i dari negara j ke negara k, Yi merupakan total ekspor negara j ke negara k, Xi merupakan ekspor total produk i dari dunia ke negara k, dan Y merupakan total ekspor dunia ke negara k. Kelemahan metode ini yaitu jika terdapat subsidi atau distorsi lainnya tidak konsisten dengan pola keunggulan komparatif. Menurut Gonarsyah (2007) para ekonom seperti Barkema, Drabenstotti dan Tweeter, dan Sharples mengartikan keunggulan kompetitif sebagai hasil
81
kombinasi dari distorsi pasar dan keunggulan komparatif seperti ditujukan Gambar 15. Distorsi pasar dapat bersumber karena kebijakan pemerintah (government
policy)
maupun
adanya
ketaksempurnaan
pasar
(market
imperfectionist). Kebijakan pemerintah dapat bersifat langsung seperti tarif, maupun tak langsung seperti regulasi. Ketidaksempurnaan pasar misalnya adanya monopoli/monopsoni domestik. Menurut Gonarsyah (2007), sejalan dengan globalisasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan, pada masa mendatang hanya komoditas yang memiliki keunggulan komparatif yang dapat memiliki keunggulan kompetitif (daya saing). Upaya peningkatan daya saing harus lebih bertumpu pada upaya peningkatan produktivitas dan efisiensi. Pemerintah berperan sebagai fasilitator, regulator, dinamisator melalui kebijakan penelitian dan pengembangan, penyuluhan, peningkatan akses pasar, perbaikan infrastruktur dan sarana informasi pasar. Dalam jangka panjang, upaya-upaya tersebut lebih memberikan proteksi bagi masyarakat. Sudaryanto (2005) menambahkan bahwa keunggulan komparatif tidak menjamin keunggulan kompetitif. Disamping keunggulan komparatif, keunggulan kompetitif ditentukan oleh kemampuan memasok produk dengan atribut sesuai keinginan konsumen. Keunggulan kompetitif merupakan hasil interaksi dari tiga tingkatan pasar yaitu pasar internasional dari produk, pasar domestik dari produk, dan pasar sarana produksi. Dengan kata lain, keunggulan kompetitif merupakan hasil resultan dari rantai agribisnis secara vertikal mulai dari perolehan sarana produksi, usahatani, pemasaran domestik, dan pemasaran internasional. Untuk itu,
82
dalam rangka meningkatkan keunggulan kompetitif diperlukan koordinasi vertikal petani- agribisnis antara - agribisnis hilir. Keunggulan Statik (Static Advantage) • SDA • SDM • Lokasi Strategis Keunggulan Komparatif Keunggulan Pembelajaran (Learning Advantage) • Pendidikan dan Pelatihan • Pengalaman termasuk Kearifan • Penelitian dan Pengembangan Biaya Transaksi
Kebijakan Pemerintah
Distorsi Pasar
Keunggulan Kompetitif
Ketidaksempurnaan Pasar
Sumber: Gonarsyah (2007)
Gambar 15. Anatomi Keunggulan Kompetitif Komoditas Berbasis Sumberdaya Alam Analisis keunggulan kompetitif dapat dilakukan melalui pendekatan pangsa pasar konstan atau Constant Market Share Analysis (CMSA). CMSA secara umum adalah prosedur akunting untuk mengetahui sumber pertumbuhan ekspor dari suatu negara. Asumsi dasar dari model pangsa pasar konstan adalah pangsa pasar suatu negara di pasar dunia tidak berubah sepanjang waktu. Menurut Learner dan Stern (1970) dalam Susilowati (2003) permintaan ekspor di negara
83
tertentu dari dua negara pemasok yang berkompetisi dapat direpresentasikan dengan hubungan:
p q1 = f 1 ........................................................................................ (35) q2 p2 dimana q 1 dan p 1 adalah jumlah dan harga suatu komoditas yang berasal dari pemasok i. Hubungan tersebut dikenal sebagai bentuk dasar dari elastisitas substitusi. Dengan mengalikan (p 1 /p 2 ) untuk mendapatkan persamaan: p 1 q 1 /p 2 q 2 = p 1 /p 2 * f (p 1 /p2) .............................................................. (36) Pangsa ekspor Negara 1 dapat ditulis sebagai persamaan: −1
p q p1 q1 = 1 + 2 2 ............................................................................. (37) p1 q1 + p 2 q 2 p1 q1 p = g 1 ............................................................................................ (38) p2 persamaan (38) mengindikasikan bahwa pangsa ekspor suatu negara di pasar yang bersangkutan akan tetap konstan, kecuali jika rasio harga (p 1 /p 2 ) berubah. Seperti disebutkan di atas, asumsi dasar dari model CMSA adalah daya saing yang dipunyai suatu negara untuk ekspor satu atau sekelompok komoditas pada tingkatan yang sama, mempunyai pangsa pasar konstan. Akibatnya, setiap perbedaan antara perubahan aktual ekspor dari suatu negara dan penjumlahan pasar dari pesaing menjadi penyebab perubahan komposisi ekspor atau daya saing. Nilai negatif menunjukkan bahwa negara tersebut gagal mempertahankan pangsa pasarnya. Efek daya saing pada analisis CMSA ini lebih bersumber dari daya saing harga.
84
Salah satu kelebihan model CMSA dibandingkan RCA yaitu CMSA dapat mendekomposisi perubahan ekspor menjadi beberapa komponen (Kustiari, 2007). Pertumbuhan ekspor suatu negara dapat dipisahkan menjadi: komposisi komoditas, distribusi pemasaran, dan efek daya saing (competitiveness) yang menggambarkan interaksi permintaan dan penawaran. Rumus CMSA:
∑∑ i
j
∆qij = s0∆Q + ...................................................................... (39a)
∑∑
s0ij∆Qij +
∑
s0i∆Qi +................................... (39b)
∑∑
s0ij∆Qij +
∑
s0j∆Qj + .................................
i
j
i
j
i
i
( ∑ s0i∆Qi) – ( ∑∑ s0ij ∆Q ij i
i
j
∑ j
(39c)
s0j∆Qj )+ ........ (39d)
∑∑
∆sijQ0ij ) + ...................................................... (39e)
∑∑
∆sij Qij ................................................................
i
i
j
j
(39f)
dimana: q = nilai ekspor negara yang sedang diteliti, Q= nilai ekspor total dunia (jumlah seluruh negara), s = share ekspor (q/Q), 0= tahun dasar, i = komoditi yang diteliti, dan j = negara atau wilayah negara.
Dari persamaan di atas: (39a) Efek skala (scale effect): menyatakan pertumbuhan ekspor suatu negara yang terjadi jika semua share komoditi dan share pasar secara geografis tetap konstan. (39b) Efek pasar (geographical market effect): menyatakan pertumbuhan ekspor yang terjadi jika share komoditi tertentu dan share pasar secara geografis tetap konstan, kemudian dikoreksi oleh pertumbuhan share pasar menurut jenis komoditi. (39c) Efek komoditi (commodity effect): menyatakan pertumbuhan ekspor yang terjadi jika share komoditi tertentu dan share pasar secara geografis tetap
85
konstan, kemudian dikoreksi oleh pertumbuhan share pasar secara geografis. (39d) Efek interaksi (interaction effect) menyatakan interaksi efek (39b)dan (39c). (39e) Efek statis (static effect): menyatakan pengaruh perubahan share ekspor jika ukuran pasar tujuan konstan. Bagian ini dapat ditafsirkan sebagai indikator perubahan persaingan dengan negara yang sama-sama pengekspor ke suatu negara tertentu. (39f) Efek dinamis (dynamic effect), efek ordo kedua yang menunjukkan interaksi antara perubahan market share dan penambahan arus perdagangan. Penggunaan model CMSA mempunyai keterbatasan antara lain bahwa persamaan untuk menguraikan pertumbuhan ekspor merupakan persamaan identitas. Oleh karena itu, alasan-alasan terjadinya perubahan daya saing tidak dapat dievaluasi dengan hanya menggunakan analisis CMSA saja. Kelemahan lainnya yaitu mengabaikan perubahan daya saing pada titik waktu yang terdapat diantara dua titik waktu yang digunakan. Selanjutnya, rentan terhadap panjang waktu, sifatnya statik dan deterministik (Gonarsyah, 2007). Namun demikian, analisis ini sangat berguna untuk mengkaji kecenderungan daya saing produk yang dihasilkan suatu negara. 3.1.3. Produktivitas dan Daya Saing Produktivitas terjadi karena peningkatan efisiensi, skala usaha, dan perubahan teknologi. Produktivitas yang lebih tinggi dapat terjadi jika output yang dihasilkan lebih banyak dengan menggunakan input yang sama, atau dapat juga output sama untuk penggunaan input lebih sedikit. Squires (1988) menyajikan
86
kerangka dasar untuk mengukur perubahan produktivitas (Gambar 16). Fungsi produksi untuk kasus 1 (satu) output dengan 2 (dua) input adalah sebagai berikut: Y (t ) = A(t ) fK (t ) L(t ) ............................................................................ (40)
dimana Y(t) = output, K(t) menunjukkan penggunaan kapital pada waktu t, L(t) penggunaan tenaga kerja pada waktu t, dan A(t) menggambarkan parameter efisiensi yang memungkinkan pergeseran fungsi produksi. Y(f) D
Y” Y’
E
Y
Y1 (t ) = A1 (t )[K (t ), L(t )]
C
Yo (t ) = A0 (t )[K (t ), L(t )]
B
X’
X”
Xt
Sumber: Squires (1988)
Gambar 16. Fungsi Produksi yang Menggambarkan Produktivitas Faktor Total Gambar 16 menyajikan dua tingkat fungsi produksi sesuai persamaan (40) dimana Y 1 (t) > Y(t). Sumbu vertikal menggambarkan output dimana Y” > Y’, sedangkan sumbu horizontal menggambarkan indeks dari input agregat dimana X” > X’. Jika teknologi tetap, tetapi input lebih banyak digunakan, maka produksi bergerak dari B ke C. Jika terdapat inovasi teknologi, dengan menggunakan jumlah input sama, maka output akan bergeser dari B e E dan output meningkat dari Y ke Y’. Pada analisis produktivitas diperlukan data jumlah dan harga baik
87
output maupun input. Penghitungannya dilakukan dengan cara menurunkannya dari persamaan (40) sebagai berikut: d ln Y (t ) = dY / dt )(1 / Y ) ...................................................................... (41) = [∂ ln Y (t ) / ∂ ln K (t ) / dt ][d ln K (t ) / dt ] = [∂ ln Y (t ) / ∂ ln L(t ) / dt ][d ln L(t ) / dt ] = [∂ ln Y (t ) / ∂ ln A(t ) / dt ][d ln A(t ) / dt ]
[∂ ln Y (t ) / ∂ ln A(t ) / dt ][d ln A(t ) / dt ]
dimana
bernilai unity yaitu teknologi
merupakan parameter penggeser,
[∂ ln Y (t ) / ∂ ln K (t ) / dt ][d ln K (t ) / dt ] = [∂Y / ∂K ][K / Y ]
merupakan
elastisitas
kapital terhadap output, dan
[∂ ln Y (t ) / ∂ ln L(t ) / dt ][d ln L(t ) / dt ] = [∂Y / ∂L] [L / Y ] merupakan
elastisitas
tenaga kerja terhadap output. Perubahan tersebut diinterpretasikan sebagai laju pertumbuhan dan menjadi: Y (*) / Y = E K K (*) / K + E L L(*) / L + A(*) / A ..................................... (42)
tanda bintang menunjukkan penurunan terhadap waktu. Dengan demikian, pertumbuhan output merupakan pertumbuhan dari kapital, tenaga kerja, dan kemajuan teknologi. Dengan asumsi bahwa faktor produksi dibayar sesuai dengan nilai marginal produknya maka: ∂Y (t ) / ∂K (t ) = P K (t ) / P (t ), ∂Y (t ) / ∂L(t ) = P L (t ) / P(t ), .................. (43) dimana P(t), PK(t), PL (t) merupakan harga ouput, harga sewa kapital, dan upah tenaga kerja, maka dengan mensubstitusikan persamaan (43) ke persamaan (42) diperoleh: Y (*) / Y = S K K (*) / K + S L L(*) / L + A(*) / A ...................................... (44)
88
atau A(*) / A = Y (*) / Y − S K K (*) / K + S L L(*) / L ...................................... (45)
dengan demikian, produktivitas sebagai kemajuan teknologi dan perubahan sumberdaya melimpah merupakan residu dari pertumbuhan output dikurangi pertumbuhan input. Pengukuran produktivitas pada awalnya dilakukan secara parsial yaitu produksi rata-rata dari suatu produk yang diukur sebagai hasil bagi total produksi dan total penggunaan suatu faktor produksi. Konsep ini mempunyai kelemahan yaitu tidak mengukur kontribusi produktivitas seluruh faktor produksi yang terlibat dalam satu proses produksi. Selain itu, penggunaan produktivitas tenaga kerja akan berguna jika tenaga kerja merupakan faktor dominan. Kelemahan penggunaan produktivitas parsial tersebut di atasi jika menggunakan produktivitas total. Dengan demikian TFP mengukur produktivitas lebih komprehensif sehingga merupakan konsep yang sangat berguna dalam mengukur daya saing. Menurut Martinez-Cordero et al., (1999) TFP adalah ukuran kemampuan seluruh jenis faktor produksi sebagai satu kesatuan faktor produksi agregat dalam menghasilkan output keseluruhan. Otsuka (1988) dalam Maulana (2004) mendefinisikan TFP sebagai rasio indeks hasil produksi dengan indeks total produksi (input). Sebuah negara mempunyai daya saing jika industri mempunyai nilai TFP lebih tinggi dari pesaing. Kelemahan penggunaan TFP yaitu tergantung pada ketersediaan data, dan industri menjadi efisien jika permintaan tinggi. Dengan dihitung dalam bentuk angka indeks, maka dapat mencerminkan tingkat relatif antar waktu. Konsep produktivitas antar waktu sering digunakan untuk melihat perubahan teknis dalam penggunaan faktor produksi dan teknologi.
89
Penggunaan konsep TFP akan menjawab sumber-sumber pertumbuhan dari teknologi. Salah satu keterbatasan penggunaan angka indeks yaitu bahwa perubahan harga dapat menyebabkan pengukuran yang bias dari TFP karena pelaku usaha akan mengubah komposisi input akibat perubahan harga. Berbagai pendekatan pengukuran produktivitas disajikan Gambar 17. Pengukuran Produktivitas
Pendekatan Non-Frontier
Non-Parametrik Angka Indeks
•Growth Accounting •Divisia Index •Exact Index •Tornqvist Index
Parametrik
•Programing • Pendekatan
ekonometrik
Pendekatan Frontier
Non-Parametrik
Malmquist Productivity Index
Parametrik
Stochastic and deterministic Models (econometrics Model)
Sumber: Grosskopf (1993) dalam Kiani et al., (2008)
Gambar 17. Berbagai Alternatif Metode untuk Pengukuran Produktivitas Secara umum, metode penghitungan TFP ada dua yaitu growth accounting dan pendugaan parametrik atau ekonometrik (tidak langsung). Growth accounting lebih praktis dibandingkan dengan pendugaan parametrik atau ekonometrik. Akan tetapi pendekatan growth accounting hanya dapat menghitung efisiensi teknis, menggunakan asumsi Constant Return to Scale (CRS), tidak dapat menghitung efisiensi harga, dan tidak dapat menghitung elastisitas permintaan input maupun
90
penawaran. Keterbatasan tersebut dapat diatasi apabila menggunakan pendekatan ekonometrika. Salah satu cara penghitungan TFP menggunakan metode akuntansi adalah Indeks Tornqvist-Theil. Indeks Tornqvist-Theil tersebut telah meminimalisir pengaruh
perubahan
harga
(Fuglie,
2004).
Penghitungan
TFP
dengan
menggunakan indeks Tornqvist-Theil (Caves et al., 1982 dalam Maulana, 2004) sebagai berikut: ln(Qt / Qt −1 ) = 0,5 Σ( S jt + S jt −1 ) ln(Q jt / Q jt −1 ) ...................................... (46) j
cara yang sama dilakukan untuk menghitung indeks input.
ln( X t / X t −1 ) = 0,5 Σ( S it + S it −1 ) ln( X it / X it −1 ........................................ (47) i
perubahan proporsional pada TFP selama periode t dan t-1 adalah sebagai berikut: ln(TFPi / TFPt −1 ) = ln(Qi / Qt −1 ) − ln( X i / X t −1 ) ..................................... (48) dimana: Qt
= jumlah output tahun t
Q t-1 = jumlah output tahun t-1
Qjt = jumlah output j tahun t
Qj t-1 = jumlah output j tahun t-1
Xit = jumlah input i tahun t
X t-1 = jumlah input i tahun t-1
Sjt
= pangsa dari output j tahun t
Sj t-1 = pangsa dari output j tahun t-1
Sit
= pangsa dari input i tahun t
Si t-1 = pangsa dari input i tahun t-1
TFPt = faktor produktivitas total tahun t
TFP t-1 = faktor produktivitas total tahun t-1
Seperti produktivitas parsial, Deny dan Fuse (1983) dalam MartinezCordero et al., (1999) mengembangkan metodologi untuk penentuan angka indeks intertemporal (antar waktu) dan interspatial (antar tempat) atau gabungan keduanya. Hasil penghitungan TFP tersebut akan sama untuk fungsi produksi translog. Hasilnya akan tidak konsisten untuk perbandingan multilateral karena permasalahan transitivitas, maka Tornqvist Indek untuk antar wilayah dihitung
91
tersendiri, seperti dilakukan oleh Capalbo dan Antle (1986) dalam MartinezCordero et al., (1999) sebagai berikut: TIavg = ½∑m(logQmi-logQ mavg)(smi+s mavg)-½∑k(ski+s kavg)(logXki-logXkavg)… (49) dimana: TI avg = TFP tiap petak Qmi
= Jumlah output dari species m dari tambak i
Qmavg = Rata-rata output species m untuk seluruh tambak yang diuji smi
= Proporsi pendapatan dari tambak i
s mavg = Rata-rata proporsi seluruh tambak ski
= Proporsi input tambak i
s kavg
= Rata-rata proporsi input seluruh tambak
Xki
= Jumlah dari input k dari tambak i
X kavg = Rata-rata input k Kaitan antara produktivitas dengan daya saing terjadi jika dalam memproduksi udang, pembudidaya udang memperoleh keuntungan normal. Dasar pemikirannya dapat dijelaskan sebagai berikut: C = Xi Pxi ........................................................................................... (50) dimana C = biaya total, xi = biaya faktor produksi (i = 1,2,3, ...m, m = jumlah faktor produksi yang digunakan, dan Pxi = harga satuan faktor produksi. Dengan mengetahui besarnya nilai biaya produksi maka dapat ditentukan besarnya pendapatan usaha budidaya udang. Daya saing karena keunggulan biaya produksi dapat dijelaskan secara Grafik pada Gambar 18. Pada Gambar 18, P adalah harga, Q adalah output, MC merupakan marginal cost atau biaya marginal, dan BR merupakan biaya rata-rata. Dengan asumsi pasar persaingan sempurna dan dimisalkan dalam pasar ada dua perusahaan, perusahaan A dan B.
92
P
MC1 P MC2 BR1
P MC BR
Pe Pa
A
C
Pb
D
S1r
BR2
B D2f
Q2
Q
Perusahaan A
Q1 Q2
Q
Q2
Perusahaan B
Q
Pasar
Sumber: Edizal (1998)
Gambar 18. Peningkatan Daya Saing karena Keunggulan Biaya Produksi Berdasarkan Gambar 18, perusahaan A memperoleh keuntungan sebesar PeABPa dengan memproduksi pada tingkat output Q 2 , sedangkan perusahaan B dalam kerugian sebesar PbPeCD dengan output sebesar Q 1 . Perusahaan A memiliki keunggulan daya saing. Perusahaan B agar mampu bersaing dengan perusahaan A maka harus meningkatkan daya saing dengan cara meningkatkan produktivitas dan efisiensi produksi sehingga biaya produksi dapat ditekan. Pada Grafik, langkah ini ditunjukkan dengan bergesernya kurva MC 1 ke MC 2 dan BR 1 ke BR 2 dan output yang dihasilkan sebesar Q 2 . Pada usaha budidaya udang tambak, perbedaan produktivitas antara lain dapat
disebabkan
oleh
kebijakan
Pemerintah
dan
perbedaan
wilayah
pengusahaan/tipe pembudidayaan. Pertama, kebijakan pemerintah pada sisi produksi terkait pengembangan teknologi dan penyuluhan, penyediaan bantuan kredit, pembangunan dan pemeliharaan saluran irigasi termasuk pencetakan tambak baru. Program-program pemerintah yang dilakukan sejak Ditjen Perikanan
93
Departemen Pertanian sampai dengan Ditjen Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terkait peningkatan produktivitas antara lain Intam, Inbudkan,
dan Propekan. Peningkatan produktivitas dapat dipengaruhi oleh
investasi untuk penelitian, penyuluhan, SDM, dan infrastruktur. Upaya sertifikasi benur dan pergantian varietas benur dari udang windu ke vaname pada tahun 2000-2001 juga merupakan bagian dalam rangka mengurangi risiko serangan penyakit dan untuk meningkatkan produktivitas. 3.1.4. Mutu, Keamanan Hasil Produksi Perikanan, dan Daya Saing
Mutu merupakan faktor utama konsumen di Jepang membeli produk (Kagawa dan Bailey, 2003), bahkan di saat pasar sedang menurun sekalipun (Batt dan Marooka, 2003). Mutu udang ditentukan baik secara intrinsik seperti: species, ukuran, warna, dan kesegaran. Secara ektrinsik yaitu berupa penanganan udang sejak panen sampai sebelum dikonsumsi. Penurunan mutu tidak dapat dihindari akan tetapi hanya dapat diperlambat. Dari semua itu, kuncinya adalah pada pengaturan suhu. Salah satu teori terkait dengan mutu yaitu Teori Alchian - Allen (TAA) “Shipping the Good Apple out”. TAA menjelaskan bahwa produk bermutu, relatif lebih banyak dikonsumsi dibandingkan produk yang kurang bermutu. Menurut Saito (2007) beberapa peneliti seperti Borcherding dan Silberberg (1978), Staten dan Umbeck (1989), Betonazzi, Maloney dan Mc.Cormick (1993) mendukung teori tersebut.
Sebaliknya, sikap skeptis ditunjukkan oleh Gould dan Segall
(1969) yang menjelaskan apakah efek pendapatan atau efek substitusi yang lebih dominan, tergantung dari spesifikasi model.
94
Saito (2007) menjelaskan teori TAA tersebut dengan beberapa batasan pada fungsi sub-utilitas. Menurut penjelasannya, teori tersebut berlaku jika fungsi sub-utilitas bebas dari barang lainnya dan homotetik terhadap asumsi lainnya seperti monotonisitas dan dapat dibedakan. Kebijakan pemerintah terkait aspek mutu dan keamanan hasil produk perikanan pada komoditas udang antara lain berupa monitoring residu antibiotik, penerapan Good Aquaculture Practices (GAP)/Cara Berbudidaya ikan yang Baik (CBIB). Salah satu proxy mutu adalah sertifikasi ISO 9000. Aturan internasional mengenai mutu dan keamanan hasil produk perikanan terdiri atas: penerapan HACCP oleh AS tahun 1997, Minimum Required Performance Limit (MRPLs) oleh UE tahun 2002, dan the Food Safety Basic Law oleh Jepang tahun 2003 (Nguyen dan Wilson, 2009). Sriwichailamphan (2007) menambahkan indikator kinerja lingkungan dan tambak yaitu: (1) penerapan terhadap aturan lingkungan, (2) GMP, HACCP, ISO 9000, (3) keberadaan teknologi pengolah limbah, (4) ISO 14000, dan (5) sertifikasi Good Aquaculture Practices (GAP) untuk pembudidaya. 3.1.5. Kaitan Produktivitas, Mutu dengan Perdagangan
Kaitan antara produktivitas, mutu, dan perdagangan dijelaskan antara lain oleh Hallak dan Sivadasan (2009) melalui model perdagangan internasional bagi perusahaan dengan dua sumber keragaman. Keragaman tersebut yaitu: produktivitas (suatu kemampuan memproduksi output menggunakan input variabel lebih sedikit) dan “caliber” (kemampuan menghasilkan produk bermutu pada biaya tetap yang rendah). Peningkatan produktivitas berperan dalam menurunkan biaya marginal, sebaliknya peningkatan mutu akan meningkatkan biaya marginal. Eksportir membayar tenaga kerja lebih mahal dan menggunakan
95
kapital lebih intensif untuk memproduksi barang bermutu sehingga membutuhkan biaya produksi lebih tinggi. Peningkatan mutu merupakan penggeser permintaan yang memungkinkan diperoleh harga lebih tinggi. Mutu udang yang lebih tinggi diperlukan dalam rangka memasuki pasar ekspor, dan dengan asumsi perusahaan harus memenuhi persyaratan mutu tertentu agar dapat mengekspor. Menurut Asche (2007) efisiensi pada rantai pasokan sama pentingnya dengan produktivitas pada tingkat usaha tani. Kurangnya penelitian mengenai hal tersebut terutama disebabkan terbatasnya data. Selain itu, sulit juga mengetahui variabel yang mempengaruhi perilaku perusahaan ditingkat intermediary. Menggunakan perbandingan deskriptif melalui margin dapat diketahui indikasi efisiensi rantai pasokan, dan bagian yang diterima pembudidaya udang. Gambar 19 menjelaskan peningkatan daya saing karena efisiensi pemasaran. Sebelum dilakukan efisiensi, harga ditingkat produsen adalah P 1 f dan ditingkat eksportir adalah P 1 r dengan kuantitas yang di pasarkan adalah Q 1 . Berdasarkan
Gambar
19,
adanya
efisiensi
pemasaran
melalui
berkurangnya biaya pemasaran mengakibatkan permintaan ditingkat produsen meningkat, ditunjukan oleh bergesernya kurva D 1 f menjadi D 2 f. Dengan asumsi penawaran produsen tetap, maka harga ditingkat produsen naik menjadi P 2 f. Meningkatnya permintaan ditingkat produsen akan mendorong penawaran ditingkat eksportir yaitu bergesernya penawaran dari S 1 r menjadi S 2 r dengan asumsi harga ditingkat eksportir tetap, maka kuantitas udang ekspor meningkat menjadi Q 2 .
96
P S1r P1r M1
M2
S2r S1f
P2f P1f
D2f D1f
O Sumber: Edizal (1998)
Q1
Q2
Q
Gambar 19. Peningkatan Daya Saing Melalui Efisiensi Pemasaran Margin pemasaran sebelum dilakukan efisiensi adalah M 1 dan berubah menjadi M 2 . Marjin pemasaran lebih rendah setelah dilakukan efisiensi pemasaran dan sekaligus menyebabkan bagian harga yang diterima pembudidaya udang meningkat. Dengan demikian, efisiensi pemasaran akan meningkatkan daya saing udang baik ditingkat eksportir maupun pembudidaya udang. Termasuk dalam margin tersebut adalah seluruh biaya pemasaran (marketing cost) dan keuntungan (marketing profit) yang dikeluarkan oleh lembaga pemasaran mulai dari pembudidaya sampai ke konsumen. Secara garis besar, biaya pemasaran yang digunakan yaitu biaya untuk pengumpulan, pengangkutan, biaya susut, biaya bongkar muat, dan biaya timbang.
97
3.2. Kerangka Pemecahan Masalah Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa konsep daya saing mempunyai beberapa karakteristik. Karakteristik tersebut antara lain: dinamik, tidak hanya tergantung pada keunggulan komparatif juga tergantung pada inovasi dan kemampuan meningkatkan diri secara terus menerus, strategi pemasaran dan juga praktek-praktek manajemen, dan faktor non-harga seperti : diferensiasi produk, inovasi teknologi, kapasitas logistik, mutu, dan keadaan permintaan. Akan tetapi, dalam studi ini tidak semua dibahas.
Pendekatan yang digunakan sebagai
kerangka pemecahan masalah disajikan pada Gambar 20. Berdasarkan Gambar 20, pengembangan industri udang terkendala dari eksternal dan internal. Dari sisi eksternal yaitu kecenderungan menurunnya harga udang di pasar internasional akibat kelebihan penawaran. Selain itu, preferensi konsumen akan produk bermutu dan aman dikonsumsi juga makin meningkat yang berimplikasi pada peningkatan hambatan non tarif. Dilain pihak, dari sisi internal industri udang terkendala antara lain produktivitas rendah, dan kesulitan memenuhi mutu yang dipersyaratkan oleh pembeli. Dari sisi produk, diferensiasi produk masih rendah yaitu ekspor masih didominasi udang beku. Demikian halnya dari sisi pemasaran berupa
masih
rendahnya efisiensi pemasaran. Selain itu, kebijakan pemerintah yang sedang dan sudah dilaksanakan belum sepenuhnya optimal.
98 dikonfirmasi PERDAGANGAN
KEBIJAKAN PEMERINTAH
1 Kelebihan penawaran menyebabkan harga udang di pasar internasional cenderung turun; 2 Meningkatnya preferensi konsumen akan mutu dan keamanan yang berimpliksi pada peningkatan biaya
Belum optimalnya kebijakan peningkatan produktivitas & mutu
Laba yang rendah
LAPANGAN TAMBAK 1. Produktivitas rendah 2. Biaya produksi tinggi; 3. Mutu rendah UNIT PENGOLAH IKAN 1. Diferensiasi produk rendah; 2. Kapasitas pengolahan belum optimal; 3. Mutu rendah DISTRIBUSI
Indikasi: 1 Pangsa pasar menurun; 2 Nilai ekspor stagnan; 3 Terjadi kekurangseimbangan produksi dengan pemasaran
Daya Saing Rendah
1. Distribusi belum efisien 2. Pelabuhan pengiriman masih terbatas PEMASARAN Efisiensi pemasaran rendah;
Analisis Ekonometrika Perdagangan Udang Dunia: Kaitan produktivitas, mutu dan keamanan hasil produk perikanan Udang dengan daya saing
Produksi dan Penawaran Indonesia
`
Penawaran ekspor Pesaing
Upaya peningkatan daya saing (Pangsa Pasar)
Permintaan impor dunia
EKSTERNAL (Permintaan) Peningkatan pangsa pasar Udang di pasar internasional Perumusan kebijakan Pengembangan Udang Tambak Indonesia
D A Y A S A I N G T I N G G I
Analisis manajemen rantai pasokan (efisiensi produksi dan pemasaran)
INTERNAL (Penawaran)
Peningkatan produktivitas dan efisiensi biaya produksi Efisiensi pemasaran (teknis dan harga) Peningkatan mutu dan keamanan produk Udang yang dihasilkan Kebijakan mengenai produktivitas dan mutu yang kondusif
Gambar 20. Kerangka Pemecahan Masalah Analisis Daya Saing Industri Udang Tambak Indonesia
99
Impikasi dari kendala eksternal berupa penurunan harga dan peningkatan hambatan non tarif menyebabkan tingkat persaingan meningkat sehingga laba yang diperoleh menurun. Demikian halnya implikasi dari kendala internal, berupa laba yang diperoleh akan menurun. Laba yang menurun berimplikasi pada daya saing rendah. Indikasinya yaitu pangsa pasar yang menurun, nilai ekspor yang relatif stagnan dikisaran US$ 1 milyar. Selain itu, terjadi kekurangseimbangan dari sisi produksi dengan pemasaran. Peningkatan produksi jauh melebihi dibandingkan peningkatan ekspor. Terhadap kondisi tersebut, analisis akan dilakukan melalui dua pendekatan. Pada tingkat nasional dari aspek produksi dan perdagangan, sedangkan pada tingkat lapangan dari aspek produksi, pengolahan, dan pemasaran. Upaya peningkatan daya saing dilakukan dari sisi penawaran dan permintaan. Dari sisi penawaran melalui penggunaan teknologi untuk peningkatan produktivitas, dan efisiensi pemasaran. Dari aspek permintaan antara lain melalui peningkatan mutu. Indikator yang digunakan berupa pangsa pasar menggunakan pendekatan RCA dan CMSA. Terkait dengan strategi yang akan dipilih, Gambar 21 menyajikan pengaruh peningkatan produktivitas, mutu dan keamanan hasil produk perikanan terhadap daya saing. Berdasarkan Gambar 21, peningkatan mutu akan meningkatkan elastisitas permintaan dan pada Gambar 21 ditunjukkan oleh bergesernya kurva permintaan dari D 0 ke D 1 pada tingkat harga P 0 dan Q 0 . Selanjutnya, pengaruh penggunaan teknologi untuk peningkatan produktivitas, efisiensi biaya produksi, dan efisiensi pemasaran ditunjukkan oleh bergesernya kurva penawaran dari S 0 ke S 1 atau S 2 . Jika perubahan penawaran lebih besar
100
dibandingkan perubahan permintaan dengan harga ekspor P 1 lebih rendah dari P 0 , maka keseimbangan pasar berubah menjadi P 1 Q 1 . Jika perubahan penawaran lebih kecil dibandingkan dengan permintaan maka keseimbangan pasar terjadi pada P 2 Q 2 dengan harga ekspor P 2 lebih tinggi dari P 0 .
P
S0
S2 S1
P2 P0 P1
D1 D0 Sumber: Edizal (1998)
Q0 Q2
Q1
Q Q
Gambar 21. Strategi Peningkatan Daya Saing Komoditas Udang Tambak Indonesia di Pasar Internasional
IV. METODOLOGI PENELITIAN Daya saing udang Indonesia dianalisis pada tingkat nasional dan hasilnya dikonfirmasi pada tingkat lapang dengan tahapan seperti disajikan pada Gambar 22. Tingkat Nasional Aspek Produksi dan Perdagangan Tujuan 1:
Menganalisis posisi daya saing Udang Indonesia di pasar internasional dibandingkan Thailand setelah pergantian varietas dari udang windu ke
Analisis RCA dan CMSA
Data sekunder (1989-2008)
Analisis Ekonometrika
Data sekunder (1989-2008)
Tujuan 2:
Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran, permintaan, dan daya saing udang tambak Indonesia di pasar internasional terkait dengan produktivitas dan mutu
Tingkat Lapangan Studi Kasus:Jatim dan Non Jatim Mengkonfirmasi hasil analisis Produktivitas (pada tingkat pembuddiaya) dan Mutu serta Keamanan Hasil Produksi Perikanan (Aspek Produksi, Pengolahan, Distribusi, Pemasaran)
Data primer (2009-2010)
Tujuan 3:
Menganalisis dampak alternatif kebijakan terhadap daya saing sebagai dasar strategi peningkatan ekspor udang
Gambar 22. Tahapan Analisis Daya Saing Industri Udang Indonesia
102
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan secara nasionaldan tingkat lapang. Lokasi penelitian tingkat lapang dipilih secara sengaja (purposive) yaitu tambak di Provinsi Jawa Timur, dan dibandingkan dengan tambak di luar Provinsi Jawa Timur (Provinsi Lampung, Sulawesi Selatan, NTB, dan Jawa Barat). Provinsi Jawa Timur dipilih karena mempunyai sistem usaha budidaya lengkap mulai dari ekstensif (termasuk sistem organik), semi-intensif, dan intensif. Jawa Timur juga memiliki aktivitas perikanan yang lengkap sejak produksi
sampai
dengan
pemasaran.
Provinsi
Lampung
merupakan
menyumbang terbesar produksi udang di Indonesia karena keberadaan perusahaan terintegrasi di bawah CP Prima Grup (PT. Wahyuni Mandira, PT Aruna Wijaya Sakti, dan PT. Central Pertiwi Bahari). Tambak di Provinsi Sulsel mayoritas dikelola secara semi-intensif dan ekstensif, sedangkan NTB merupakan daerah pengembangan tambak dan Jawa Barat merupakan daerah yang pernah mengalami kejayaan pada usaha budidaya udang tahun 1990-an. Secara kumulatif, kuantitas produksi udang dari Jawa Timur, Lampung, dan Sulsel mencapai sekitar 70% dari total produksi udang tambak Indonesia. Waktu pengumpulan data dilaksanakan pada Desember 2009 sampai dengan Maret 2010. 4.2. Jenis dan Sumber Data 4.2.1. Tingkat Nasional Analisis daya saing pada level nasional menggunakan data sekunder antara lain data harga, jumlah produksi, kuantitas ekspor, dan nilai ekspor berdasarkan negara tujuan yaitu Jepang, AS, dan UE-27 untuk ekspor dari
103
Indonesia dan Thailand, direkam menurut periode 1989 – 2008 (Lampiran 1) dan untuk menghitung TFP disajikan pada Lampiran 2. Sumber data terutama berasal UNComtrade, Statistik Perikanan Budidaya (Ditjen Perikanan Budidaya, KKP), Survey Perusahaan Perikanan (BPS), Statistik Harga Perdagangan Besar Beberapa Provinsi di Indonesia (BPS), Kementerian Perdagangan, FAO, dan instansi lainnya. Salah satu kelemahan dari data sekunder di negara berkembang, seperti Indonesia, adalah kualitas data. Hal itu juga yang menjadi keterbatasan analisis pada tingkat nasional dari studi ini. Untuk data yang tidak tersedia digunakan metode “mirror statistics”, misalnya jumlah ekspor udang segar Indonesia ke AS tidak tersedia maka digunakan data impor AS dari Indonesia. 4.2.2. Tingkat Lapangan Konfirmasi pada tingkat lapang menggunakan data primer berasal dari responden di daerah lokasi penelitian. Data mencakup kuantitas dan harga baik untuk input (faktor produksi) maupun output pada usaha budidaya udang. Informasi
ditanyakan
dan
dielaborasi
melalui
wawancara
langsung
menggunakan kuesioner terstruktur. Beberapa simplifikasi dilakukan pada studi ini sehingga hasilnya mungkin bias ke atas maupun ke bawah. Hasil produksi tambak mencakup udang windu, udang putih, udang vaname, udang api-api dan ikan bandeng, disederhanakan menjadi udang windu, udang putih, dan bandeng. Obat-obatan yang dipergunakan di tambak juga beragam yaitu terkait pencegahan seperti kapur, dolomit, probiotik, pupuk dan terkait pemberantasan hama seperti pestisida. Pada studi ini obat-obatan yang digunakan dihitung setara kapur.
104
Penggunaan listrik di tambak sebagian menggunakan BBM dan sebagian berasal dari PLN menjadi setara pemakaian listrik dari PLN. Dummy kerjasama juga disimplikasi berupa pembudidaya yang melakukan kerja sama dalam arti luas yaitu baik dengan pedagang pengumpul, perusahaan obat, pakan, atau menjadi bagian dari perusahaan terintegrasi. Selain pembudidaya, responden lainnya yaitu pedagang pengumpul, dan unit pengolah ikan/eksportir. Teknik penarikan sampel menggunakan metode snowbolling dengan sampling frame berasal dari daftar pembudidaya yang menerapkan Cara Budidaya ikan yang Baik (CBIB) oleh Ditjen Perikanan Budidaya. Responden berikutnya diambil dari rekomendasi responden sebelumnya. Akhirnya diperoleh 163 petak yang dimiliki oleh 99 pembudidaya, dengan komposisi: 74 petak tambak di Jawa Timur atau 45.4%, dan 89 petak di luar Jawa Timur atau 54.6%. Berdasarkan tingkat teknologi, komposisinya adalah menggunakan teknologi intensif sebanyak 98 petak atau 60.12%, dan 65 petak atau 39.88% berupa tambak non-intensif. Sebanyak 43 petak atau 26.3% membudidayakan udang windu dan 120 petak atau 73.7% memelihara udang vaname. 4.3. MetodeAnalisis 4.3.1. Tingkat Nasional: Analisis Ekonometrika Model Daya Saing Udang Indonesia yang dibangun mengacu pada model Soepanto (1999) dan Raharjo (2001). Berbeda dengan keduanya, model ini menekankan pada produktivitas dan mutu sebagai penentu daya saing. Analisis ekonometrika digunakan guna mengetahui faktor yang diduga mempengaruhi penawaran, permintaan, dan daya saing. Indikator daya saing
105
yang digunakan yaitu indeks RCA dan model CMSA. Persamaan simultan digunakan karena variabel dalam model saling berinterelasi. Analisis produktivitas hanya untuk udang tambak dengan pertimbangan meningkatnya peran udang tambak dari 27% pada tahun 1995 (Primavera, 1997) menjadi 43% pada tahun 2008 (FA0, 2008). Selain itu, dalam konteks perdagangan internasional, udang tambak mendapat perlakuan
khusus
terutama terkait hambatan teknis oleh negara maju. Contohnya, konteks antidumping oleh pemerintah AS terhadap China, Thailand, Vietnam, Ekuador, dan Brazil atas isu perbedaan biaya produksi dengan harga dunia sebesar 3.0% - 112.5%.
Thailand dipilih karena negara tersebut memproduksi udang
bermutu dan mempunyai produktivitas tinggi. Hasil studi Soepanto (1999) menunjukkan
bahwa
Thailand
merupakan
pesaing
utama
Indonesia.
Pengorganisasian Model Daya Saing Udang Indonesia disajikan pada Tabel 14 dan 15 dan dalam bentuk peta alir disajikan (Gambar 24, 25, dan 26). Tabel 14. Pengorganisasian Model Daya Saing Udang Indonesia No. 1. 2. 3. 4.
Nama Blok Produksi udang tambak
No. Persamaan 1- 15
Blok Perdagangan udang segar Blok Perdagangan udang beku Blok Perdagangan udang olahan
16– 39 40 – 62 63 – 85
Tujuan Melihat perilaku produksi terkait produktivitas Melihat perilaku faktor penentu daya saing pada aspek perdagangan
Tabel 15. Dasar Pengagregasian Model Daya Saing Udang Indonesia No.
Dasar Disagregasi
Jenis Disagregasi
1.
Jenis udang ekspor
udang beku, udang segar, dan udang olahan
2.
Tujuan ekspor
AS, Jepang, UE-27
3.
Pesaing Indonesia
Thailand
QTAMB
PrUBI QXSIJ
QMSJD
PXBIJ
PXSIA
PXOIJ
QMBJD
QXOIA
QXBIA PUSD
QMSAD
TXUBD
QXSIU
PUBD
QXBIU
TMUBD
TXUOD
QMBAD
QXOIU
PXBIU
DUSDOM
PUOD
TMUOD
QMOAD
PXOIU
QMSUD PUSDOM
QMOJD
PXOIA
PXBIA
QXSIA
PXSIU
QXOIJ
QXBIJ
PXSIJ
QTANKP
PrUOI
106
PrUSI
QMOUD
QMBUD QDUSB
DUBDOM
QDUBO
PUBDO
BLOK PRODUKSI
BLOK PERDAGANGAN UDANG SEGAR
BLOK PERDAGANGAN UDANG BEKU
Gambar 23. Peta Alir Model Sederhana Daya Saing Udang Indonesia
BLOK PERDAGANGAN UDANG OLAHAN
107
Harga Benur
Jumlah Pakan
Harga Pakan
Anggaran irigasi
Produksi Udang Tambak Indonesia
TFP Tambak Udang Indonesia
Harga BBM
Alat Tangkap Pukat udang
Konversi SB
Ke Blok perdagangan Udang Beku
Harga Ekspor Udang Segar Indonesia di pasar k
Tingkat pendidik an
Tingkat pendidik an Permintaan Udang Domestik
Total Produksi Udang Segar Indonesia
Udang Hasil Tangkapan
Nilai tukar riil Indonesia terhadap US$
Dummy penyakit Udang
Jumlah Benur
Harga Udang Segar Domestik
Daya Saing Udang Segar Indonesia di pasar k
Jumlah Ekspor Udang Segar Indonesia di pasar k
Nilai total perdagangan Indonesia di pasar k
Dummy HACCP
GDP Negara k
Dummy LAW
Jumlah Impor Udang Segar Importir utama di pasar k
Harga Udang Segar Dunia
Nilai total perdagangan Negara k
Dummy MRL Nilai tukar riil Pesaing terhadap US$
Harga Ekspor Udang Segar Pesaing di pasar k
= Keterangan
Daya Saing Udang Segar Pesaing di pasar k
Jumlah Ekspor Udang Segar Pesaing di pasar k
= variabel eksogen = variabel endogen
Konversi SB
= konversi
Populasi Negara k
= ke Blok lain
Gambar 24. Peta Alir Blok Produksi dan Blok Perdagangan Udang Segar
Nilai total perdagangan Pesaing di pasar k
108
Nilai tukar riil Indonesia terhadap US$ Dari Blok Produksi
Jumlah Ekspor Udang Beku Sisa Dunia di pasar k
Total Ekspor Udang Beku Dunia
Jumlah Ekspor Udang Beku Pesaing di pasar k
Dummy LAW
Harga Ekspor Udang Beku Pesaing di pasar k Harga Ekspor Udang Olahan Pesaing di pasar k
Jumlah Ekspor Udang Olahan Sisa Dunia di pasar k
Harga Udang Beku Dunia
Total impor Udang Beku Dunia
Nilai total perdagangan Pesaing di pasar k
Daya Saing Udang Beku Pesaing di pasar k
Nilai tukar riil Pesaing terhadap US$
Jumlah Impor Udang Beku Importir Utama di pasar k
Nilai total perdagangan Negara k Daya Saing Udang Olahan Pesaing di pasar k
Populasi Negara k
GDP negara k
Jumlah Impor Udang Olahan Sisa Dunia di pasar k
Jumlah Ekspor Udang Olahan Pesaing di pasar k Total Ekspor Udang Olahan Dunia
Nilai total perdagangan Indonesia di pasar k
Jumlah Impor Udang Beku Sisa Dunia di pasar k
Jumlah Ekspor Udang Beku Indonesia di pasar k
Dummy HACCP
Dummy MRL
Daya Saing Udang Beku Indonesia di pasar k
Harga Ekspor Udang Beku Indonesia di pasar k
Harga Udang Olahan Dunia
Total impor Udang Olahan Dunia
Jumlah Impor Udang Olahan Importir Utama di pasar k
Jumlah Ekspor Udang Olahan Indonesia di pasar k Harga Ekspor Udang Olahan Indonesia di pasar k
Keterangan variabel eksogen = variabel endogen
Tarif bea masuk udang olahan Daya Saing Udang Olahan Indonesia di pasar k
= sambungan dari blok lain
Gambar 25. Peta Alir Blok Perdagangan Udang Beku dan Udang Olahan
109
1. Blok Produksi Permintaan Faktor Produksi Permintaan faktor produksi udang tambak diduga dipengaruhi oleh harga faktor produksi itu sendiri, harga input lainnya, dan harga output berupa harga udang segar domestik yaitu: QPAKN t = a 0 + a 1 *PPAKN t + a 2 *(PUSDOM t -PUSDOM t-1 ) + a 3 *TREND +ε 1 .................................................................
(1)
QBENR t = b 0 +b 1 *PBENR t + b 2 * PPAKN t + b 3 *PUSDOM t + b 4 *TREND + b 5 *QBENR t-1 +ε 2 .......................................
(2)
dimana:
QPKAN t QBENR t
: :
PPKAN t PUSDOM t PBENR t TREND QBENR t-1
: : : : :
Jumlah penggunaan pakan Indonesia pada tahun t (ribu Kg) Jumlah benur yang digunakan untuk tambak Indonesia pada tahun t (miliar ekor) Harga riil pakan pada tahun t (Rp/Kg) Harga riil udang segar domestik pada tahun t (Rp/Kg) Harga riil benur pada tahun t (Rp/ekor) Tren Waktu Jumlah penggunaan benur Indonesia beda kala (Rp/Kg)
Tanda parameter dugaan yang diharapkan: a 2 , a 3 , b 3 , b 4, > 0; a 1 , b 1 , b 2 < 0; dan 0 < , b 5 < 1
Pertumbuhan Total Factor Prductivity (TFP) Produktivitas dapat meningkat antara lain ditentukan oleh tiga hal yaitu: skala ekonomi, efisiensi teknis, dan kemajuan teknologi. Penggunaan TFP sebagai variabel endogen mengacu pada studi Fan et al., (1998). Pada studi ini pertumbuhan TFP dihitung menggunakan angka indeks Tornqvist-Theil. Data yang diperlukan terkait perhitungan TFP tersebut yaitu jumlah dan harga output (udang windu, udang putih, dan bandeng), serta jumlah dan harga input (Lampiran 2). Faktor yang diduga berpengaruh terhadap produktivitas dalam studi ini yaitu tingkat pendidikan dari tenaga kerja dan pembangunan irigasi. Perbedaan produksi antar wilayah diduga dapat disebabkan oleh perbedaan faktor fisik.
110
Perbedaan wilayah juga mencerminkan kecenderungan perbedaan pengelolaan seperti budidaya udang secara integrasi vertikal di Lampung atau mayoritas dikelola secara tradisional seperti di Sulawesi Selatan. Namun hal tersebut tidak tertangkap dalam Model yang dibangun. Dengan demikian, persamaan yang diduga mempengaruhi pertumbuhan TFP sebagai berikut: TFPIN t dimana:
= c 0 +c 1 *EDUC t +c 2 *IRIG t + ε 3 .........................................
TFPIN t EDUC t IRIG t
(3)
: : :
Pertumbuhan TFP udang tambak Indonesia pada tahun t Tingkat pendidikan pembudidaya (tahun) anggaran Pemerintah untuk pembangunan irigasi tambak (Milyar Rp). Tanda parameter dugaan yang diharapkan: c 1 , c 2 > 0
Produksi Udang Tambak Indonesia Peubah-peubah yang diduga berpengaruh terhadap produksi udang tambak yaitu harga riil udang segar domestik, harga riil BBM, jumlah pakan, jumlah benur, tingkat suku bunga efektif, dummy terjadinya serangan penyakit, dan pertumbuhan TFP. Luas area tidak dimasukan karena pada saat studi dilakukan kegiatan ekstensifikasi tambak terbatas, dan di lain pihak tambak mangkrak/idle tersedia luas. Dengan demikian persamaan produksi udang dapat dirumuskan sebagai berikut: QTAMB t = d 0 + d 1 *PUSDOM t-1 + d 2 *(PBBM t - PBBM t-1 ) + d 3 *QPAKN t + d 4 *(QBENR t - QBENR t-1 )+ d 5 *INTRE t + d 6 *DPENY + d 7 * TFPIN t + ε 4 ......................................... dimana:
QTAMB t PBBM t INTRE t DPENY
: : : :
Produksi udang tambak Indonesia pada tahun t (ribu ton) harga solar pada tahun t (rupiah/liter) Tingkat suku bunga rill (%) Dummy terjadinya serangan penyakit, bernilai 1 untuk tahun 1989,1990,1993, 1998, 2000,2002,2003,2005, 2008 dan bernilai 0 sisanya.
PUSDOM t , TFPIN t , QPAKN t , QBENR t ,TREND t : lihat definisi sebelumnya
Tanda parameter dugaan yang diharapkan: d 1 , d 3 , d 4 , d 7 > 0; dan d 2 , d 5 , d 6, <0
(4)
111
Menurut Wyban (2007a), perkembangan udang tambak dunia dibagi tiga periode. Phase pertama tahun 1980-an ditandai dengan penggunaan benur dari alam. Periode berikutnya yaitu 1988-1996 adalah pembenihan/hatchery. Pada periode tersebut, udang tambak di Asia didominasi udang windu, sedangkan di bagian Barat didominasi vaname. Periode ketiga “breeding era” sejak tahun 1997 sampai dengan saat ini, ditandai dengan kemajuan dibidang pembenihan, domestikasi dan penyebaran vaname ke negara-negara di benua Asia. Pada periode ini, produksi meningkat rata-rata 20%, dibandingkan pada periode kedua yang hanya 2%. Sebagai ilustrasi, mengenai perbedaan produksi udang windu dan vaname di Thailand disajikan pada Tabel 16. Tabel 16. Perbandingan Pemeliharan Udang Windu dan Vaname di Thailand Parameter Padat Penebaran (PL/ m2) Lama pemeliharaan (hari)
Udang windu
Udang vaname 40-50 120-200
Kenaikan (%) 300
110-140
105-120
27
22-28
21-25
5
8
24
300
Nilai panen (US$/ Ha)
45 000
96 000
220
Biaya produksi (US$/ Ha)
32 000
60 000
187
Keuntungan (US$/ Ha)
13 000
36 000
280
Ukuran panen (gram) Hasil panen (ton/ Ha/ musim)
Sumber: Wyban (2007a)
Di Indonesia, menurut Widigdo dan Pribadi (2005), teknik ablasi mata yang ditemukan oleh Dr. Made L. Nurdjana tahun 1976 dibidang pembenihan udang menjadi cikal bakal perkembangan tambak. Sejak itu, hatchery/ pembenihan tumbuh dengan cepat. Sejak 1986 intensifikasi dilaksanakan dan beberapa proyek besar di Lampung (diantaranya PT CP Bahari) dan Kalimantan terjadi pada tahun 1990-an. Hasilnya, tahun 1992 ekspor udang
112
meningkat menjadi 141 500 ton. Pada periode 1990-1993, upaya intensifikasi menyebabkan serangan penyakit MBV (Monodon Baculo Virus). Pada tahun 1996 terjadi serangan penyakit oleh WSSV (White Spot Syndrome Virus). Akibatnya pada tahun 2001 kuantitas ekspor udang turun menjadi 70 ribu ton. Sekitar 90% dari 350 ribu Ha ditelantarkan. Mulai tahun 2000/2001 vaname diperkenalkan. Sejak itu produksi udang kembali meningkat. Akan tetapi bukan berarti dapat bebas dari penyakit karena pada awal semester 2002 terjadi serangan TSV (Taura Syndrome Virus) di Jawa Timur disebabkan induk yang tidak SPF (Specific Pathogen Free). TSV menyerang di NTT, NTB, Bali dan Banyuwangi, sedangkan di daerah lainnya didominasi oleh WSSV. Produksi Udang Hasil Tangkapan Indonesia Peubah-peubah yang diduga berpengaruh terhadap produksi udang hasil tangkapan antara lain harga udang domestik, pukat udang, harga BBM, dan produksi udang hasil tangkapan tahun sebelumnya. Dengan demikian persamaan produksi udang hasil tangkapan dapat dirumuskan sebagai berikut: QTNKP t dimana:
= e 0 + e 1 *PUSDOM t + e 2 *ATPU t + e 3 *PBBM t-1 +ε 5 .......
QTNKP t ATPU QTNKP t -1
: : :
(5)
Produksi udang hasil tangkapan Indonesia pada tahun t (ribu ton) Alat tangkap pukat udang (ribu unit) Produksi udang hasil tangkapan beda kala (ribu ton per tahun)
PUSDOM t : lihat definisi sebelumnya Tanda parameter dugaan yang diharapkan: e 1 ,e 2 > 0; dan e 3 <0
Total Produksi Udang Segar Indonesia Total produksi udang Indonesia merupakan gabungan dari udang hasil budidaya dan udang hasil penangkapan. PrUSI t dimana:
=
QTAMB t + QTNKP t ................................................................
(6)
113
PrUSI t : Produksi total udang Indonesia pada tahun t (ribu ton) QTAMB t , QTNKP t : lihat definisi sebelumnya
Produksi Udang Beku Indonesia Konversi udang segar ke udan beku atau ke udang olahan bervariasi antara lain tergantung ukuran dan species udang. Menurut Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT, 2005) konversi udang besar beku adalah 60% dari berat basah, dan 40% untuk udang tidak beku, sedangkan untuk udang kecil dan udang biasa konversinya adalah 42% beku dan 40% tidak beku. Carita (2004) menganilisis
rendemen udang windu dan memperoleh hasil sebagai berikut: (1) dari Head On (HO) 100% menjadi headless 63.14% - 65.04%, (2) HO menjadi Peeled Tail On (PTO) 54.35% - 55.48%, (3) HO menjadi Peel Devined Tail On (PDTO) 54.17%-55.38%, (4) HO menjadi Peel Undevined (PUD) = 52.58% 53.49%, (5) HO menjadi Peel Devined (PD) 52.39% - 53.39%, (6) Headless untuk breaded (tepung udang): 63.24%-64.57% , dan (7) Peel Tail On (PTO) pada breaded 54.84% - 55.54%. Pada studi ini, konversi dari udang segar ke udang beku menggunakan pendekatan Soepanto (1999) yaitu udang beku adalah 0.6 dari udang segar. Dengan demikian produksi udang beku: . PrUBI
= 0.6*PrUSI+ 0.6*QMUSID- 0.6*QDUSL- 0.6*QXISD ...
PrUBI t QMUSID t QDUSL t
: : :
QXSID t PrUSI t
: :
dimana:
(7)
Produksi total udang beku Indonesia pada tahun t (ribu ton) Jumlah impor udang segar Indonesia pada tahun t (ribu ton) Permintaan udang segar untuk konsumsi (masyarakat) domestik pada tahun t (ribu ton) Total ekspor udang segar Indonesia ke dunia pada tahun t (ribu ton) Lihat definisi sebelumnya
Produksi Udang Olahan Indonesia Produksi udang beku tersebut, sebagian besar diekspor, sebagian kecil dijadikan udang olahan, dan sisanya untuk konsumsi domestik. Konversi dari udang beku menjadi udang olahan digunakan perhitungan yang digunakan
114
Soepanto (1999) yaitu udang olahan adalah 0.5 dari udang beku. Sebagai derived demmand, maka produksi udang olahan diduga dipengaruhi oleh harga input (udang beku domestik), dan harga output. Karena data harga output (udang olahan domestik) tidak tersedia, maka digunakan harga udang olahan dunia, dan jumlah eskpor udang olahan Indonesia. Selain itu dipengaruhi juga oleh tingkat suku bunga. Dengan demikian, persamaannya menhadi: PrUOI t
= f 0 + f 1 *PUBDOM t-1 + f 2 *(PUOD t - PUOD t-1 ) + f 3 * INTRE t + f 4 *QXOID t-1 + ε 6 .....................................
dimana:
(8)
: Produksi udangolahan Indonesia pada tahun t (ribu ton) PrUOI t PUBDOM t : Harga riil udang beku dunia (US$/kg) : Harga riil udang olahan dunia pada tahun t (US$/kg) PUOD t : Jumlah ekspor udang beku Indonesia ke dunia (ribu ton) QXOID t INTRE t, : lihat definisi sebelumnya Tanda parameter dugaan yang diharapkan: f 2 , f 4 > 0; f 1, f 3 <0
Permintaan Udang Segar Domestik Data permintaan udang segar domestik tidak tersedia secara khusus. Dalam studi ini, permintaan udang segar domestik merupakan permintaan udang segar untuk industri udang beku, dan permintaan udang segar lainnya (dikonsumsi masyarakat domestik) sebagai berikut: DUSDOM t = QDUSB t + QDUSL t ........................................................
(9
dimana:
DUSDOM t QDUSB t QDUSL t
: : :
Permintaan domestik udang Segar Indonesia pada tahun t (ribu ton) Permintaan udang segar oleh udang beku pada tahun t (ribu ton) Permintaan udang segar untuk konsumsi (masyarakat) domestik pada tahun t (ribu ton)
Permintaan Udang Beku Domestik Permintaan udang beku domestik terbagi dua yaitu untuk industri udang olahan dan untuk dikonsumsi masyarakat domestik. Bentuk persamaannya: DUBDOM t = QDUBO t + QDUBL t ........................................................ (10) dimana:
115
DUBDOM t
:
QDUBO t
:
QDUBL t
:
Permintaan domestik udangbeku domestik Indonesia pada tahun t (ribu ton) Permintaan udang beku oleh industri udang olahan Indonesia pada tahun t (ribu ton) Permintaan udang bekul untuk konsumsi (masyarakat) domestik pada tahun t (ribu ton)
Permintaan Udang Olahan Domestik Konsumsi udang olahan domestik mengikuti Soepanto (1999) yaitu diperkirakan 5% dari produksi udang olahan. Bentuk persamaannya: QDUOL t = 0.05* PrUOI t .....................................................................
(11)
dimana:
QDUOL t
:
PrUOI t
:
Permintaan udangolahan untuk konsumsi (masyarakat) domestik pada tahun t (ribu ton) Produksi udang olahan Indonesia pada tahun t (ribu ton)
Harga Udang Segar Domestik Harga udang di pasar internasional dijadikan sebagai panduan pembentukan harga di pasar domestik karena pasar internasional dan pasar domestik di negara pengekspor saling terkait. Perkembangan nilai tukar berpengaruh terhadap terhadap pembentukan harga impor. Selain itu, harga juga ditentukan oleh jumlah permintaan domestik. Dengan demikian, harga udang segar domestik diduga dipengaruhi permintaan udang domestik, jumlah ekspor udang segar ke AS, tren, dan harga udang domestik sebelumnya. PUSDOM t = g 0 + g 1 *DUSDOM t-1 + g 2 *QXSIA t +g 3 *TREND+ g 4 *PUSDOM t-1 +ε 7 ........................................................... (12) dimana:
PUSDOM t : Harga riil domestik udang segar Indonesia pada tahun t (Rp per Kg) DUSDOM t : Permintaan domestik udang Segar Indonesia pada tahun t (ribu ton) QXSIA t : Jumlah ekspor udang segar Indonesia ke AS tahun t (ribu ton) PUSDOM t-1 : Harga riil domestik udang segar Indonesia beda kala (Rp per Kg) Tanda parameter dugaan yang diharapkan: g 1, g 2, g 3 > 0 dan 0
116
Harga Udang Beku Domestik Harga udang beku domestik dipengaruhi oleh harga udang beku dunia, permintaan udang beku domestik, dan harga udang domestik beda kala. PUBDOM t = h 0 + h 1 *PUBD t + h 2 *DUBDOM t +h 3 *TREND + h 4 *PUBDOM t-1 +ε 8 .......................................................... dimana:
(13)
PUBDOM t : Harga riil domestik udang beku domestik pada tahun t (Rp per Kg) PUBD t : Harga riil ekspor udang beku dunia pada tahun t (US$/kg) DUBDOM t : Permintaan domestik udang beku Indonesia pada tahun t (ribu ton) PUBDOM t-1 : Harga riil domestik udangbeku domestik beda kala (Rp per Kg) Tanda parameter dugaan yang diharapkan: h 1 , h 2, h 3 > 0 dan 0
Permintaan Udang Segar oleh Industri Udang Beku Produksi udang total (segar) tersebut, sebagian diekspor dalam bentuk udang segar, sebagian dibekukan, dan sisanya untuk konsumsi domestik, termasuk didalamnya untuk udang olahan tradisional. Sebagian besar produksi udang beku diekspor dan sebagian kecil dikalengkan dan sisanya untuk konsumsi dalam negeri. Peubah-peubah yang diduga berpengaruh terhadap permintaan udang segar oleh industri udang beku sebagi berikut: QDUSB t = i 0 + i 1 *(PUSDOM t -PUSDOM t-1 )+ i 2 *PUBDOM t + i 3 *TREND+ε 9 .................................................................. dimana:
(14)
QDUSB t : Permintaan udang segar oleh udang beku pada tahun t (ribu ton) PUSDOM t , PUBDOM t ,TREND: lihat definisi sebelumnya Tanda parameter dugaan yang diharapkan: i 2, i 3 > 0 dan i 1 < 0
Permintaan Udang Beku oleh Industri Udang Olahan Selain dipengaruhi harga input (PUBDOM), permintaan udang beku oleh industri udang olahan juga dipengaruhi harga udang olahan domestik. Mengingat tidak tersedianya data harga domestik udang olahan, maka dalam
117
analisis ini digunakan harga dunia dan untuk menghubungkan antara produk beku dengan produk olahan, maka digunakan juga produksi udang olahan Indonesia sebagai berikut: QDUBO t = j 0 + j 1 *(PUBDOM t -PUBDOM t-1 ) + j 2 *PrUOIt + j 3 *PUOD t +ε 10 ...............................................................
(15)
dimana:
QDUBO t
:
Permintaan udang beku oleh industri udang olahan Indonesia pada tahun t (ribu ton) PUBDOM t , PrUOI t , PUOD t : lihat definisi sebelumnya Tanda parameter dugaan yang diharapkan: j 2 , j 3 > 0, dan j 1 < 0
2. Blok Perdagangan Udang Segar Penawaran Ekspor Indonesia dan Thailand Peubah-peubah yang diduga berpengaruh terhadap penawaran ekspor udang segar yaitu harga ekspor, nilai tukar, dan jumlah ekspor sebelumnya. Selain itu, ekspor juga dipengaruhi oleh tekanan permintaan di negara importir dan kebijakan perdagangan di negara eksportir dan importir (Labys, 1973). Dalam model ini, mutu diproxy dari dummy penerapan mutu dan keamanan hasil produk perikanan berupa: penerapan HACCP oleh AS sejak tahun 1997, Minimum Required Performance Limit (MRPLs) oleh UE sejak tahun 2002; dan the Food Safety Basic Law oleh Jepang sejak tahun 2003 (Nguyen dan Wilson, 2009). Mutu merupakan faktor penentu keputusan konsumen di Jepang membeli udang (Kagawa dan Bailey, 2003). Upaya peningkatan mutu dan keamanan hasil produk perikanan melibatkan berbagai pihak. Ditingkat budidaya, kebijakan pemerintah terkait dengan mutu dan keamanan hasil produk perikanan antara lain berupa monitoring residu antibiotik sejak tahun
118
2006, penerapan Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB)/Good Aquaculture Practices (GAP) sejak tahun 2004, dan sertifikasi tambak sejak tahun 2004. Di AS, sejak tahun 2002 Aquaculture Certification Council (ACC) melakukan sertifikasi terhadap fasilitas budidaya yang melaksanakan best management practices untuk meyakinkan penerapan akuakultur secara bertanggungjawab baik sosial, lingkungan, keamanan hasil produk perikanan, dan traceability dalam rantai produksi (Michalowski, 2006). Ditingkat pengolah, variabel yang diduga berpengaruh yaitu penerapan instrumen
manajemen
keamanan
hasil
produk
perikanan
seperti
HACCP/PMMT (Delgado et al., 2003; Unnevehr, 2000). Menurut Hallak dan Scott (2009), sertifikasi ISO 9000 merupakan proxy mutu dengan pertimbangan banyak digunakan pada literatur internasional. Perusahaan Multi National Companies (MNC) diasumsikan mempunyai mutu lebih baik. Akan tetapi, hal tersebut tidak dapat diakomodir dalam Model karena keterbatasan data. Dengan demikian, persamaan penawaran ekspor udang Indonesia dan pesaing dirumuskan sebagai berikut: QXSIJ t
= k 0 + k 1 *PXSIJ t +k 2 *(PXSTJ t -PXSTJ t-1 )+ k 3 *D_LAW +k 4 *PrUSIt +k 5 *TREND+ k 6 *QXSIJ t-1 +ε 11 ...................
QXSIA t
= l 0 +l 1 *PXSIA t-1 + l 2* PXSTA t +l 3 *D_HACCP + l 4 *PrUSIt(17) 1 +l 5 *TREND +ε 12 ...........................................................
QXSIU t
= m 0 +m 1 *(PXSIU t -PXSIU t-1 )+m 2 *D_MRL+ m 3 *TREND+ m 4 *PrUSIt +ε 13 ................................................................. (18)
QXSTJ t
= n 0 +n 1 *PXSTJ t-1 + n 2 *PXBTJ t +n 3 *D_LAW + n 4 *TREND+ε 14 ................................................................
(19)
QXSTA t
= o 0 + o 1 *PXSTA t + o 2 *(PXBTA t - PXBTA t-1 ) +o 3 *D_HACCP + o 4 *TREND +ε 15 .................................
(20)
(16)
119
QXSTU t
= p 0 +p 1 *(PXSTU t /PXSIU t-1 )+p 2 *D_MRL+p 3 *TREND + p 4 *QXSTU t-1 + ε 16 ...........................................................
(21)
dimana: QXSij t
:
PXSij t
:
PrUSI t D_LAW
: :
D_HACCP
:
D_MRL
:
QXSijt-1
:
Jumlah ekspor udang segar asal i = I (Indonesia), T (Thailand), ke pasar j = A(Amerika), J(Jepang), U(UE-27), L (sisa dunia) pada tahun t (ton) Harga riil ekspor udang segar asal i = I (Indonesia), T (Thailand), ke pasar j = A(Amerika), J(Jepang), U(UE-27), L (sisa dunia) pada tahun t (US$ per Kg) Produksi udang Segar Indonesia pada tahun t (ton) Dummypenerapan persyaratan mutu ke Jepang sejak tahun 2003, bernilai 1 untuk tahun 2003 sampai dengan 2008, dan sisanya bernilai 0. Dummy penerapan HACCP sejak tahun 1996, bernilai 1 untuk tahun 1996 sampai dengan 2008, dan sisanya bernilai 0. Dummy penerapan minimum requirement limits ke UE-27 sejak tahun 2002, bernilai 1 untuk tahun 2002 sampai dengan 2008, dan sisanya bernilai 0. Jumlah ekspor udang segar asal i = I (Indonesia), T (Thailand), ke pasar j = A(Amerika), J(Jepang), U(UE-27), L (sisa dunia) beda kala t (ton)
Tanda parameter dugaan yang diharapkan: k 1 , k 3, k 4, k 5, l 1 , l 3 , l 4 , l 5 m 1, m 2, m 3, m 4, n 1, n 3, n 4, o 1, o 3, o 4, p 1, p 2, p 3 > 0; k 2, l 2 < 0; dan 0
Harga Ekspor Udang Segar Indonesia dan Thailand tahun t Menurut Cong Sach (2003) harga udang di dunia berfluktuasi. Tingkat fluktuasi tergantung pasar tujuan ekspor, ukuran udang, mutu, perbedaan metode pengolahan, asal produk. Pada periode 1988-1992 harga dunia turun karena
kelebihan
penawaran.
Tahun
1994
harga
meningkat
karena
berkurangnya penawaran dari China. Tahun 1995-1996 harga menurun disebabkan permintaan di pasar Jepang dan Amerika mengalami stagnasi. Tahun 1997-1999 harga meningkat disebabkan menurunnya penawaran dari Thailand sebagai pemasok utama karena serangan penyakit. Harga ekspor udang segar diduga dipengaruhi oleh harga udang dunia (segar dan beku), nilai tukar, permintaan udang segar domestik, dan harga udang ekspor tahun sebelumnya. Dengan demikian, persamaannya menjadi:
120
PXSIJ t
= q 0 +q 1 *(PUSD t /PUBD t )+ q 2 *EXCIt +q 3 *DUSDOM t +q 4 *TREND +q 5 * PXSIJ t-1 + ε 17 ....................................
(22)
PXSIA r
= r 0 + r 1 *PUSD r + r 2 *EXCI r +r 3 *DUSDOM + r 4 *TREND +ε 18 ................................................................
(23)
PXSIU t
= s 0 + s 1 *PUSD t-1 + s 2 *EXCIt-1 + s 3 *DUSDOM t-1 + s 4 *PXSIU t-1 +ε 19 ...............................................................
(24)
PXSTJ t
= t 0 + t 1 *(PUSD t /PUBD t )+ t 2 *(EXCt t - EXCT t-1 )+ t 3 *TREND+ε 20 .................................................................
(25)
PXSTA t
= u 0 + u 1 *(PUSD t /PUBD t )+ u 2 *(EXCT t - EXCT t-1 ) + u 3 *TREND+ ε 21 ...............................................................
(26)
PXSTU t
v 0 + v 1 *(PUSD t /PUBD t ) + v 2 *(EXCT t - EXCT t-1 ) + v 3 *TREND + ε 22 ..............................................................
(27)
dimana: PXSij t
:
Harga riil ekspor udang segar asal i = I (Indonesia), T (Thailand), ke pasar j = A(Amerika), J(Jepang), U(UE-27) pada tahun t (US$ per Kg) PUSD t : Harga riil udang segar Dunia pada tahun t (US$ per kg) EXCI t : Nilai tukar riil rupiah terhadap dolar Amerika (Rupiah/US$) tahun t EXCT t : Nilai tukar riil Baht terhadap dollar Amerika (Baht/US$) tahun t PXSij t-1 : Harga riil ekspor udang segar asal i = I (Indonesia), T (Thailand), ke pasar j = A(Amerika), J(Jepang), U(UE-27) beda kala (US$ per Kg) TREND, DUSDOM t : lihat definisi sebelumnya Tanda parameter dugaan yang diharapkan: q 1, q 2, q 3, q 4, r 1, r 2, r 3, r 4, s 1, s 2, s 3, t 1, t 2, t 3, u 1, u 2, u 3, v 1, v 2, v 3, > 0; dan 0 < q 1, s 4 < 1
Impor Udang Segar AS, Jepang, dan UE-27 Peubah-peubah yang diduga berpengaruh terhadap permintaan impor udang segar oleh UE, AS, dan Jepang adalah: harga riil udang dunia (segar dan beku), GDP riil, sebagai berikut: QMSJD t
= w 0 + w 1 *(PUBD t /PUSD t )+ w 2 *GDPJ t + w 3 *TREND + w 4 *QMSJD t-1 + ε 23 ...........................................................
(28)
QMSAD t = x 0 + x 1 *PUSD t-1 + x 2 *PUBD t + x 3 *TREND+ε 24 ..............
(29)
QMSUD t = y 0 + y 1 *(PUSD t /PUBD t-1 )+ y2 *QMSUD t-1 +ε 25 ..............
(30)
121
dimana: QMSJD t QMSAD t QMSUD t GDPi t
: : : :
Jumlah impor udang Segar Jepang dari dunia pada tahun t (ribu ton) Jumlah impor udang Segar AS dari dunia pada tahun t (ribu ton) Jumlah impor udang Segar UE-27 dari dunia pada tahun t (ribu ton) Produk Domestik Bruto (A=AS, J=Jepang, U=UE-27 pada tahun t (ribu US $)
: Jumlah impor udang Segar Jepang dari dunia beda kala (ribu ton) QMSJD t-1 QMSAD t-1 : Jumlah impor udang Segar AS dari dunia beda kala (ribu ton) QMSUD t-1 : Jumlah impor udang Segar UE-27dari dunia beda kala (ribu ton) PUSD, PUBD, TREND : lihat definisi sebelumnya Tanda parameter dugaan yang diharapkan: w 2 , w 3 , x 1 , x 3 , y 1 > 0; w 1 , x 2 , < 0, dan 0 < w 4 , y 4 < 1
Daya Saing Udang Segar Tahun t Indikator daya saing yang digunakan yaitu indeks RCA. Nilai indeks RCA di atas satu menunjukkan adanya relatif advantage, dan jika nilainya dibawah satu menunjukkan kondisi disadvantage dalam mengekspor produk ini. Sebagai persamaan identitas, rumusnya: RCSIJ t
= ((QXSIJ t )*(PXSIJ t ))/(VXTIJ t )/(VXSDJ t /VXTDJ t ) .........
(31)
RCSIA t
= ((QXSIA t )*(PXSIA t ))/(VXTIA t )/(VXSDA t /VXTDA t ) ..
(32)
RCSIU t
= ((QXSIU t )*(PXSIU t ))/(VXTIU t )/(VXSDU t /VXTDU t ) ..
(33)
RCSTJ t
= ((QXSTJ t )*(PXSTJ t ))/(VXTTJ t )/(VXSDJ t /VXTDJ t ) .....
(34)
RCSTA t
= ((QXSTA t )*(PXSTA t ))/(VXTTA t )/(VXSDA t /VXTDA t )
RCSTU t
= ((QXSTU t )*(PXSTU t ))/(VXTTU t )/(VXSDU t /VXTDU t )
dimana: RCSij t QXSij t PXSij t VXTij t VXSDj t VXTDj t
: Revealed Comparative Advantage udang segar asal i = I (Indonesia), T (Thailand), ke pasar j = A(Amerika), J(Jepang), U(UE-27) pada tahun t : Jumlah ekspor udang segar asal i = I (Indonesia), T (Thailand), ke pasar j = A(Amerika), J(Jepang), U(UE-27) pada tahun t (ribu ton) : Harga riil ekspor udang segar asal i = I (Indonesia), T (Thailand), ke pasar j = A(Amerika), J(Jepang), U(UE-27) pada tahun t (US$/Kg) : Nilai total ekspor semua produk asal i = I (Indonesia), T (Thailand), ke pasar j = A(Amerika), J(Jepang), U(UE-27) pada tahun t (juta US$) : Nilai total ekspor udang segar asal dunia ke pasar j = A(Amerika), J(Jepang), U(UE-27) pada tahun t (juta US$) : Nilai total ekspor semua produk asal dunia ke pasar j = A(Amerika), J(Jepang), U(UE-27) pada tahun t (juta US$)
122
3. Blok Perdagangan Udang Beku Penawaran Ekspor Indonesia dan Pesaing tahun t: Peubah-peubah yang diduga berpengaruh terhadap penawaran ekspor udang beku diasumsikan sama dengan udang Segar. Dengan demikian persamaan penawaran ekspor udang Indonesia dan pesaing dirumuskan dalam persamaan sebagai berikut: QXBIJ t
= z 0 + z 1 *(PXBIJ t -PXBIJ t-1 )+ z 2 *(PXOIJ t -PXOIJ t-1 )+ z 3 *(PrUBIt - PrUBI t-1 )+ z 4 *D_LAW+ z 5 *TREND + z 6 *QXBIj t-1 +ε 26 ...............................................................
(37)
QXBIA t
= aa 0 + aa 1 *(PXBIA t -PXBIA t-1 ) + aa 2 *PXBTA t + aa 3 *PrUBI t + aa 1 *D_HACCP +ε 27 ...................................
(43)
QXBIU t
= bb 0 + bb 1 *(PUBD t - PUBD t-1 ) + bb 2 *PUOD t + bb 3 *(PrUBI t - PrUBI t-1 ) + bb 4 *D_MRL+ bb 5 *QXBIU t1 +ε 28 ..................................................................................
(38)
= cc 0 + cc 1 *(PUBD t - PUBD t-1 ) + cc 2 *PUOD t-1 + cc 3 *D_LAW +cc 4 *TREND + cc 5 *QXBTJ t-1 +ε 29 ..........
(39)
QXBTA t = dd 0 + dd 1 *PXBTA t + dd 2 *TREND + dd 3 *D_HACCP + dd 4 * QXBTA t-1 + ε 30 .......................................................
(40)
QXBTJ t
QXBTU t = ee 0 +ee 1 *PXBTU t +ee 2 *PXBTJ t +ee 3 *(EXCT t -EXCT t-1 )+ ee 4 *D_MRL +ee 5 *TREND+ε 31 ...................................... (41) TXBID t
= QXBIJ t + QXBIA t + QXBIU t + QXBIL t ..... ..................
(42)
dimana: QXBij t
:
Jumlah ekspor udang segar asal i = I (Indonesia), T (Thailand), ke pasar j = A(Amerika), J(Jepang), U(UE-27), L (Lainnya) pada tahun t (ribu ton) PXBij t : Harga riil ekspor udang segar asal i = I (Indonesia), T (Thailand), ke pasar j = A(Amerika), J(Jepang), U(UE-27) pada tahun t (US$ per Kg) PXOij t : Harga riil ekspor udang olahan asal i = I (Indonesia), T (Thailand), ke pasar j = A(Amerika), J(Jepang), U(UE-27) pada tahun t (US$ per Kg) QXBijt-1 : Jumlah ekspor udang beku asal i = I (Indonesia), T (Thailand), ke pasar j = A(Amerika), J(Jepang), U(UE-27) beda kala t (ribu ton) PrUBI t , TREND, D_LAW, D_HACCP,D_MRL: lihat definisi sebelumnya Tanda parameter dugaan yang diharapkan: z 1 ,z 3 , z 4 , z 5 , aa 1 , aa 1 , aa 3 , aa 4 , bb 1 , bb 3 , bb 4 , cc 1 , cc 3 , cc 4 , dd 1 , dd 2 , dd 3 , ee 1 , ee 3 , ee 4 > 0; z 2, aa 2, bb 2 , , cc 2 , ee 2 < 0, dan 0 < z 6 , bb 5 , cc 5 , dd 5 < 1
123
Total Penawaran Udang Beku Dunia Total penawaran merupakan penjumlahan dari penawaran total udang beku Indonesia, Thailand, dan sisa dunia. TXUBD t = TXBID t + QXBTJ t +QXBTA t + QXBTU t + QXBTLt + QXBLL t ............................................................................
(43)
dimana:
TXUBD t QXBij t
: :
Jumlah penawaran udang beku dunia pada tahun t (ribu ton) Jumlah ekspor udang beku asal i T (Thailand), ke pasar j = A(Amerika), J(Jepang), U(UE-27) pada tahun t (ribu ton) QXBIL t : Jumlah ekspor udang beku asal Indonesia ke sisa dunia pada tahun t (ribu ton) QXBTL t : Jumlah ekspor udang beku asal Thailand ke sisa dunia pada tahun t (ribu ton) QXBLL t : Jumlah ekspor udang beku dari sisa dunia pada tahun t (ribu ton) TXBID t : lihat definisi sebelumnya
Harga Ekspor Udang Beku Indonesia dan Thailand Harga ekspor diduga dipengarui oleh harga udang dunia, nilai tukar, dan harga udang ekspor sebelumnya. PXBIJ t
= ff 0 +ff 1 *PUBD t +ff 2 *(EXCIt * EXCI t-1 )+ff 3 *TREND+ε 32
(44)
PXBIA t
= gg 0 + gg 1 *PUBD t +gg 2 *EXCIt +gg 3 *TREND + gg 4 *PXBIA t-1 +ε 33 ............................................................
(45)
PXBIU t
= hh 0 + hh 1 *PUBD t +hh 2 *TREND+hh 3 * PXBIU t-1 +ε 34 ....
(46)
PXBTJ t
= ii 0 +ii 1 *PUBD t + ii 2 *EXCT t +ii 3 *TREND+ ε 35 ................
(47)
PXBTA t
= jj 0 +jj 1 *PUBD t + jj 2 *EXCT t +jj 3 *TREND + jj 4 *PXBTA t-1 +ε 36 .............................................................
(48)
PXBTU t
= kk 0 +kk 1 *PUBD t + kk 2 *EXCT t +kk 3 *TREND + kk 4 *PXBTU t-1 + ε 37 ..........................................................
(49)
dimana: PXBij t
:
PXOij t
:
PXBij t-1
:
Harga riil ekspor udang beku asal i = I (Indonesia), T (Thailand), ke pasar j = A(Amerika), J(Jepang), U(UE-27) pada tahun t (US$ per Kg) Harga riil ekspor udang olahan asal i = I (Indonesia), T (Thailand), ke pasar j = A(Amerika), J(Jepang), U(UE-27) pada tahun t (US$ per Kg) Harga riil ekspor udang beku asal i = I (Indonesia), T (Thailand), ke pasar
124
j = A(Amerika), J(Jepang), U(UE-27) beda kala (US$ per Kg) PUBD t , EXCI t , EXCT t , DUSDOM: lihat definisi sebelumnya Tanda parameter dugaan yang diharapkan: ff 1 , ff 2 , ff 3, gg 1 , gg 2 , gg 3, hh 1 , ii 1 , ii 2 , ii 3, jj 1 , jj 2 , jj 3, kk 1 , kk 2 , kk 3 > 0, dan 0 < jj 4 , kk 4 < 1
Impor Udang Beku AS, Jepang, dan UE-27 Hudson et al. (2003) menyebutkan bahwa impor udang AS dari ASEAN sensitif dengan perubahan pendapatan. Peningkatan 1% pendapatan akan meningkatkan impor udang sebesar 1.6%. Dalam studi ini perubahan pendapatan diproxy dari GDP. Dengan demikian, permintaan udang beku oleh importir diduga dipengaruhi oleh harga udang beku dunia, harga udang olahan, GDP, dan populasi sebagai berikut: QMBJD t
= ll 0 +ll 1 *PUBD t-1 +ll 2 *PUOD t-1 + ll 3 *GDPJ t + ll 4 *POPJ t + ll 5 *TREND+ε 38 ................................................................
(50)
QMBAD t = mm 0 +mm 1 *(PUBD t /PUOD t )+mm 2 *POPA + mm 3 *TREND + mm 4 *QMBAD t-1 +ε 39 ...........................
(51)
QMBUD t = nn 0 + nn 1 *PUBD t-1 + nn 2 *PUOD t + nn 3 *POPU t + nn 4 *TREND + +ε 40 .........................................................
(52)
dimana QMBJD t : Jumlah impor udang beku Jepang dari dunia pada tahun t (ribu ton) QMBAD t : Jumlah impor udang beku AS dari dunia pada tahun t (ribu ton) QMBUD t : Jumlah impor udang beku UE-27 dari dunia pada tahun t (ribu ton) QMBAD t-1 : Jumlah impor udang beku AS dari dunia beda kala (ribu ton) PUBD t , TREND, GDP : lihat definisi sebelumnya Tanda parameter dugaan yang diharapkan: ll 2 , ll 3 , ll 4 , ll 5 , mm 2, mm 3, nn 3, nn 4 > 0, ll 1 , mm 1, nn 1 < 0; dan 0 < mm 4 < 1
Total Impor Udang Beku Dunia Total impor dunia merupakan gabungan jumlah dari importir utama ditambah sisa dunia sebagai berikut: TMUBD t
=
QMBJD t +QMBAD t +QMBUD t +QMBLL t ..............................
:
Jumlah Total Ekspor udang beku dunia pada tahun t (ribu ton)
dimana: TMUBD t
(53)
125
QMBLL t : Jumlah impor udang beku dari sisa dunia pada tahun t (ribu ton) QMBJD t , QMBAD t , QMBUD t : lihat definisi sebelumnya
Harga Udang Beku Dunia PUBD t
= oo 0 + oo 1 *TXUBD t-1 +oo 2 *TMUBD t +oo 3 *PUBD t-1 +ε 41
dimana:
(54)
PUBD t : Harga riil udang beku dunia pada tahun t (US$ per Kg) PUBD t-1 : Harga riil udang beku dunia beda kala(US$ per Kg) TMUBD t , TXUBD t : lihat definisi sebelumnya Tanda parameter dugaan yang diharapkan: oo 2 > 0; oo 1 < 0 dan 0
Daya Saing Udang Beku Tahun t Indeks RCA sebagai indikator daya saing merupakan persamaan identitas sebagai berikut. RCBIJ t
= ((QXBIJ t )*(PXBIJ t ))/(VXTIJ t )/(VXBDJ t /VXTDJ t ) .......
(55)
RCBIA t
= ((QXBIA t )*(PXBIA t ))/(VXTIA t )/(VXBDA t /VXTDA t ) .
(56)
RCBIU t
= ((QXBIU t )*(PXBIU t ))/(VXTIU t )/(VXBDU t /VXTDU t ) .
(57)
RCBTJ t
= ((QXBTJ t )*(PXBTJ t ))/(VXTTJ t )/(VXBDJ t /VXTDJ t ) ....
(58)
RCBTA t
= ((QXBTA t )*(PXBTA t ))/(VXTTA t )/(VXBDA t /VXTDA t )
RCBTU t
= ((QXBTU t )*(PXBTU t ))/(VXTTU t )/(VXBDU t /VXTDU t )
dimana: RCBij t QXBij t PXBij t VXTij t VXBDj t VXTDj t
: Revealed Comparative Advantage udang beku asal i = I (Indonesia), T (Thailand), ke pasar j = A(Amerika), J(Jepang), U(UE-27) pada tahun t : Jumlah ekspor udang beku asal i = I (Indonesia), T (Thailand), ke pasar j = A(Amerika), J(Jepang), U(UE-27) pada tahun t (ribu ton) : Harga riil ekspor udang beku asal i = I (Indonesia), T (Thailand), ke pasar j = A(Amerika), J(Jepang), U(UE-27) pada tahun t (US$/Kg) : Nilai total ekspor semua produk asal i = I (Indonesia), T (Thailand), ke pasar j = A(Amerika), J(Jepang), U(UE-27) pada tahun t (juta US$) : Nilai total ekspor udang beku asal dunia ke pasar j = A(Amerika), J(Jepang), U(UE-27) pada tahun t (juta US$) : Nilai total ekspor semua produk asal dunia ke pasar j = A(Amerika), J(Jepang), U(UE-27) pada tahun t (juta US$)
126
4. Blok Perdagangan Udang Olahan Penawaran Ekspor Indonesia dan Pesaing Tahun t: Persamaan penawaran ekspor udang Indonesia dirumuskan dalam persamaan sebagai berikut: QXOIJ t
= pp 0 +pp 1 *PXOIJ t +pp 2 *PXOTJ t + pp 3 *PrUOIt + pp 4 * D_LAW +ε 42 ............................................................
(61)
QXOIA t
= qq 0 +qq1*PXOIA t +qq 2 *PrUOI t-1 +qq 3 *D_HACCP+ qq 4 *QXOIA t-1 +ε 43 ...........................................................
(62)
QXOIU t
= rr 0 +rr 1 *PXOIU t-1 +rr 2 *(PXOTU t -PXOTU t-1 ) + rr 3 *PrUOIt +rr 4 *D_MRL+ rr 5 *QXOIU t-1 +ε 44 ..................
(63)
QXOTJ t
= ss 0 + ss 1 *(PXOTJ t -PXOTJ t )+ ss 2 *PXOIJ t + ss 3 *D_LAW + ε 45 ............................................................
(64)
QXOTA t = tt 0 + tt 1 *(PXOTA t -PXOTA t-1 )+ tt 2 *D_HACCP+ε 46 ........
(65)
QXOTU t TXOID t
uu 0 +uu 1 *(PXOTU t -PXOTU t-1 )+uu 2 *(PXOIU t -PXOIU t1 ) +uu 3 * D_MRL + uu 4 * TREND + uu 5 *QXOTU t-1 +ε 47 = QXOIJ t + QXOIA t + QXOIU t + QXOILL t .....................
(67)
dimana: QXOij t
:
Jumlah ekspor udang olahan asal i = I (Indonesia), T (Thailand), ke pasar j = A(Amerika), J(Jepang), U(UE-27) pada tahun t (ribu ton) PXOij t : Harga riil ekspor udang olahan asal i = I (Indonesia), T (Thailand), ke pasar j = A(Amerika), J(Jepang), U(UE-27) pada tahun t (US$ per Kg) QXSijt-1 : Jumlah ekspor udang segar asal i = I (Indonesia), T (Thailand), ke pasar j = A(Amerika), J(Jepang), U(UE-27) beda kala t (ribu ton) PrUOI t, D_LAW, D_HACCP, D_MRL, PUBD t , TREND, : lihat definisi sebelumnya Tanda parameter dugaan yang diharapkan: pp 1 , pp 3, pp 4 , qq 1 , qq 2 , qq 3, rr 1 , rr 3 , rr 4, ss 1, ss 3, tt 1 , tt 2 , uu 1 , uu 3 , uu 4 > 0; pp 2 , rr 2, ss 2, uu 2 < 0, dan 0
Total Penawaran Udang Olahan Dunia Total penawaran dari tiap negara eksportir merupakan penjumlaan penawaran udang Indonesia ke dunia, Thailand ke AS, Jepang, UE dan sisa dunia, serta ekspor dari sisa dunia. TXUOD t
=
TXOID t +QXOTJ t +QXOTA t +QXOTU t +QXOTL t +QXOLL t
(68)
127
dimana: TXUOD t QXOTL t
: :
Jumlah penawaran udang olahan dunia pada tahun t (ribu ton) Jumlah ekspor udang olahan asal Thailand ke sisa dunia pada tahun t (ribu ton) QXOLL t : Jumlah ekspor udang olahan dari sisa dunia pada tahun t (ribu ton) TXOID t : lihat definisi sebelumnya
Harga Ekspor Udang Olahan Indonesia dan Thailand Harga ekspor diduga dipengarui oleh harga udang olahan dunia, harga udang beku dunia, nilai tukar, dan harga ekspor sebelumnya. Demikian halnya untuk pesaing, variabel yang diduga berpengaruh sama dengan ekspor Indonesia. PXOIJ t
= vv 0 +vv 1 *PUOD t +vv 2* PUBD + vv 3 *TREND+ vv 4 * PXOIJ t-1 + ε 48 ..........................................................
(69)
PXOIA t
= ww 0 + ww 1 *(PUOD t -PUOD t-1 )+ ww 2 *( PUBD t-1 ) + ww 3 *( EXCIt -EXCI t-1 )+ww 4 *TREND + ww 5 *PXOIA t-1 + ε 49 .........................................................
(70)
PXOIU t
= xx 0 + xx 1 *PUOD t-1 +xx 2 *PUBD t + xx 3 *( EXCIt -EXCIt-1 )+ xx 4 *TREND+xx 5 *PXOIU t-1 + ε 50 .................................... (71)
PXOTJ t
= yy 0 +yy1 *( PUOD t /PUBD t )+yy 2 *EXCT t +yy3 *TREND+ yy 4 * PXOTJ t-1 +ε 51 ..........................................................
(72)
PXOTA t
= zz 0 +zz 1 *( PUOD t /PUBD t )+ zz 2 *EXCT t + zz 3 *TREND+ε 52 ...............................................................
(73)
PXOTU t
= ab 0 +ab 1 *( PUOD t /PUBD t ) + ab 2 *EXCT t + ab 3 *TREND +ε 53 ..............................................................
(75)
dimana: PXOij t
:
Harga riil ekspor udang segar asal i = I (Indonesia), T (Thailand), ke pasar j = A(Amerika), J(Jepang), U(UE-27) pada tahun t (US$ per Kg) PXOij t-1 : Harga riil ekspor udang segar asal i = I (Indonesia), T (Thailand), ke pasar j = A(Amerika), J(Jepang), U(UE-27) beda kala (US$ per Kg) PUOD t , TREND, TXOID t , EXCT t , EXCI t, : lihat definisi sebelumnya Tanda parameter dugaan yang diharapkan: vv 1 , vv 3 , ww 1 , ww 3 , ww 4 , xx 1 , xx 3 , xx 4 , yy 1 , yy 2 , yy 3 , zz 1 , zz 2 , zz 3 , ab 1 , ab 2 , ab 3 > 0; vv 1, ww 2 , xx 2 < 0; dan 0
128
Total Impor Udang Olahan Jepang, AS, dan UE-27 Total impor di pasar tertentu sebagai berikut: QMOJD t
= bc 0 +bc 1 *PUOD t + bc 2 *GDPJ t +bc 3 *POPJ t + bc 4 *TRFOJ t-1 + bc 5 *TREND+bc 6 *QMOJD t-1 +ε 54 .........
(76)
QMOAD t = cd 0 +cd 1 *(PUOD t -PUOD t-1 ) +cd 2 *GDPA t + cd 3 *POPA t +cd 4 *TRFOA t-1 + cd 5 *QMOAD t-1 +ε 55 ........
(77)
QMOUD t = de 0 + de 1 *(PUOD t -PUOD t-1 ) + de 2 *(GDPU t /POPU t ) +de 3 *TRFOU t +ε 56 ............................................................
(78)
dimana:
QMOJD t : Jumlah impor udang olahan Jepang dari dunia pada tahun t (ribu ton) QMOAD t : Jumlah impor udang olahan AS dari dunia pada tahun t (ribu ton) QMOUD t : Jumlah impor udang olahan UE-27 dari dunia pada tahun t (ribu ton) QMOJD t-1 : Jumlah impor udang olahan Jepang dari dunia beda kala (ribu ton) QMOAD t-1 : Jumlah impor udang olahan AS dari dunia beda kala (ribu ton) QMOUD t-1 : Jumlah impor udang olahan UE-27 dari dunia beda kala (ribu ton) POPi t , PUOD t , GDPi, TREND , : lihat definisi sebelumnya
Tanda parameter dugaan yang diharapkan: bc 2 , bc 3 , bc 5, cd 2 , cd 3 , de 2 > 0; bc 1 , bc 4 , cd 1 , cd 4 , de 1 , de 3 < 0, dan 0 < bc 6, cd 5 < 1
Total Impor Udang Olahan Dunia Total impor dunia tertentu merupakan gabungan dari impor di ketiga pasar tersebut ditambah dengan sisa dunia sebagai berikut: TMUOD t = QMOJD t +QMOAD t +QMOUD t +QMOLL t ..................... dimana:
TMUOD t : Jumlah Total Ekspor udang olahan dunia pada tahun t (ribu ton) QMOLL t : Jumlah impor udang olahan dari sisa dunia pada tahun t (ribu ton) QMOJD t , QMOAD t , QMOUD t, : lihat definisi sebelumnya
(79)
129
Harga Udang Olahan Dunia Harga dunia diduga dipengaruhi oleh jumlah yang ditawarkan dengan jumlah yang diminta, ditambah harga dunia tahun sebelumnya sebagai berikut: PUOD t
= ef 0 + ef 1 * (TXUOD t -TXUOD t-1 ) +ef 2 *TMUOD t +ef 3 *TREND + ef 4 *PUOD t-1 +ε 57 ....................................
dimana:
(80)
PUOD t : Harga riil udang olahan Dunia pada tahun t (US$ per Kg) PUOD t-1 : Harga riil udang olahan Dunia beda kala(US$ per Kg) TMUOD t , TXUSD t : lihat definisi sebelumnya Tanda parameter dugaan yang diharapkan: ef 2, ef 3 > 0; ef 1 < 0 ; dan 0 < ef 4 < 1
Daya Saing Udang Olahan tahun t RCA merupakan persamaan identitas sebagai berikut. RCOIJ t
=
((QXOIJ t )*(PXOIJ t ))/(VXTIJ t )/(VXODJ t /VXTDJ t ) ...............
(81)
RCOIA t
=
((QXOIA t )*(PXOIA t ))/(VXTIA t )/(VXODA t /VXTDA t ) ........
(82)
RCOIU t
=
((QXOIU t )*(PXOIU t ))/(VXTIU t )/(VXODU t /VXTDU t ) ........
(83)
RCOTJ t
=
((QXOTJ t )*(PXOTJ t ))/(VXTTJ t )/(VXODJ t /VXTDJ t ) ...........
(84)
RCOTA t
=
((QXOTA t )*(PXOTA t ))/(VXTTA t )/(VXODA t /VXTDA t ) .....
(85)
RCOTU t
=
((QXOTU t )*(PXOTU t ))/(VXTTU t )/(VXODU t /VXTDU t ) .....
(86)
dimana:
RCOij t QXOij t PXOij t VXTij t VXODj t VXTDj t
: Revealed Comparative Advantage udang olahan asal i = I (Indonesia), T (Thailand), ke pasar j = A(Amerika), J(Jepang), U(UE-27) pada tahun t : Jumlah ekspor udang olahan asal i = I (Indonesia), T (Thailand), ke pasar j = A(Amerika), J(Jepang), U(UE-27) pada tahun t (ribu ton) : Harga riil ekspor udang olahan asal i = I (Indonesia), T (Thailand), ke pasar j = A(Amerika), J(Jepang), U(UE-27) pada tahun t (ribu US$/Kg) : Nilai total ekspor semua produk asal i = I (Indonesia), T (Thailand), ke pasar j = A(Amerika), J(Jepang), U(UE-27) pada tahun t (juta US$) : Nilai total ekspor udang olahan asal dunia ke pasar j = A(Amerika), J(Jepang), U(UE-27) pada tahun t (juta US$) : Nilai total ekspor semua produk asal dunia ke pasar j = A(Amerika), J(Jepang), U(UE-27) pada tahun t (juta US$)
4.1.1.1. Identifikasi Model Fungsi dari identifikasi model adalah untuk mengetahui apakah model tersebut dapat diduga atau tidak. Setelah mengetahui kondisi estimasi model, maka
dapat ditentukan juga metode estimasi apa yang digunakan dalam
130
mengestimasi model.
Identifikasi model dilakukan dengan menggunakan
metode order condition sebagai syarat keharusan dan rank condition sebagai syarat kecukupan. Menurut Koutsoyiannis (1977) serta Sitepu dan Sinaga (2006) rumusan identifikasi model persamaan struktural berdasarkan order condition adalah: (K-M) > (G-1) ..............................................................................
(87)
dimana: K = jumlah total variabel dalam model (endogen dan predetermined) M = jumlah variabel (endogen dan eksogen) dalam persamaan yang diidentifikasi G = jumlah total persamaan dalam model (jumlah total variabel endogen) Jika: (K-M) > (G-1): persamaan over identified (teridentifikasi secara berlebih). (K-M) = (G-1): persamaan exactly identified (K-M) < (G-1): persamaan unidentified
(teridentifikasi secara tepat).
(tidak teridentifikasi).
Tiga jenis identifikasi tersebut menentukan teknik ekonometrik etimasi yang dapat digunakan untuk mengestimasi model. Jika secara keseluruhan unidentified maka model tersebut tidak dapat diduga parameternya dengan teknik ekonometrik manapun. Jika, exactly identified maka teknik yang dapat digunakan dalam estimasi model adalah Indirect Least Squares (ILS). Jika over identified maka estimasi parameter dapat dilakukan dengan berbagai teknik ekonometrik seperti Two Stage Least Squares (2SLS), atau dengan Three Stage Least Squares (3SLS). Hasil identifikasi menunjukkan bahwa persamaan over identified.
131
4.3.1.1. Metode Estimasi Model Pada studi ini teknik estimasi 2SLS dipilih karena dapat menghasilkan taksiran yang konsisten, lebih sederhana, dan lebih mudah (Gudjarati, 1999). Estimasi model dilakukan dengan program komputer SAS versi 9.1. Kriteria rank condition menentukan bahwa suatu persamaan teridentifikasi jika dan hanya jika dimungkinkan untuk membentuk minimal satu determinan bukan nol pada order (G-1) dari parameter struktural peubah yang tidak termasuk dalam persamaan tersebut. Model merupakan sistem persamaan simultan, dimana perilaku beberapa peubah ditentukan secara bersama, peubah endogen disatu persamaan masuk menjadi peubah eksogen pada persamaan lainnya. Pada persamaan simultan yang saling terkait, kerapkali melanggar asumsi dasar model regresi, ordinary least square, seperti heteroskedasitas. 4.3.1.2. Uji Statistik F dan Uji Statistik t Pada setiap persamaan digunakan uji statistik F untuk mengetahui dan menguji apakah variabel penjelas secara bersama-sama berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel endogen. Selanjutnya, untuk menguji apakah masingmasing variabel penjelas berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel endogen, maka pada setiap persamaan dilakukan uji statsitik t. Pada uji satatistik-F, hipotesis yang digunakan: H 0 : β1 + β 2 ...... = β1 = 0, .............................................................................
(88)
H 1 : min imal ada satu β1 ≠ 0, ......................................................... (89)
132
keterangan: i = banyaknya variabel bebas dalam suatu persamaan.
‘
Apabila nilai peluang (P-value) uji statistik F < tarf α=5%, maka tolak H 0. Tolak H 0 Berarti variabel eksogen secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap variabel endogen. Pada uji satatistik t, hipotesis yang digunakan:
H 0 : β1 = 0, ........................................................................................... (90) H 1 : uji satu
a)
Β 1 > 0;
arah ........................................................................... (91)
b) Β 1 < 0;
Uji dua arah c)
β1 ≠ 0,
Kriteria uji Jika: β1 > 0, bila P-value uji t < α, maka disimpulkan tolak H 0.
β1 < 0, bila P-value uji t < α, maka disimpulkan tolak H 0.
β1 ≠ 0, bila P-value uji t < α/2, maka disimpulkan tolak H 0. Pada penelitian ini menggunakan uji dua arah dan taraf α =20% sehingga jika nilai peluang (P-value) uji statistik-t < taraf α =20%, maka tolak H 0 atau suatu variabel eksogen tersebut berpengaruh nyata terhadap variabel endgen. 4.3.1.3. Uji Statistik Durbin Watson (Dw) dan Durbin h Untuk mengetahui apakah terdapat serial korelasi (autocorrelation) atau tidak dalam setiap persamaan maka digunakan uji Dw dan Dh. Uji Dh digunakan apabila dalam persamaan tersebut terdapat variabel beda kala (lag
133
endogenouus variable). Menurut Pyndic dan Rubinfiled (1991) uji serial korelasi menggunakan uji statistik Dw (Durbin Watson) tidak valid untuk digunakan pada persamaan yang memiliki variabel beda kala. Sebagai penggantinya, maka dignakan uji ststistik Dh dengan formula:
n 1 hhitung = 1 − d ......................................................... (92) 2 1 − n[(var β )] dimana: D = dw statisitik N = jumlah observasi Var (β)= varians koefisien regresi untuk lagged dependent variable. Jika ditetapkan taraf α=0.05, diketahui -1.96 ≤ h hitung ≤ 1 disimpulkan bahwa persamaan tidak mengalami serial autokorelasi. Jika diketahui nilai hitung h hitung ≤ 1.96 maka terdapat autokorelasi negatif, sebaliknya jika diketahui h hitung ≥ 1.96 maka terdapat autokorelasi positif. 4.3.1.4. Validasi Model Validasi model merupakan tahap penting dalam Model ekonometrika. Validasi dimaksudkan untuk mengukur sejauh mana model yang dibangun mampu menjelaskan fenomena sebenarnya. Jika model persamaan simultan yang dibangun pada penelitian ini dianggap syah (valid), maka terhadap model tersebut dapat dilakukan berbagai macam peramalan dan simulasi. Apakah model cukup valid untuk simulasi alternatif kebijakan, maka dilakukan validasi. Keragaman antara kondisi aktual dengan yang disimulasi dapat dilihat menggunakan beberapa kriteria statistik, yaitu: RMSPE (Root Mean Square Percent Error), dan U = Theils Inequality Coefficient. Keeratan arah (slope)
134
antara yang aktual dengan yang disimulasi digunakan R2 (koefisien determinasi). RMSPE digunakan untuk mengukur seberapa jauh nilai-nilai peubah endogen hasil pendugaan menyimpang dari alur-alur nilai aktualnya dalam ukuran relatif (%), atau seberapa dekat nilai dugaan itu mengikuti perkembangan nilai aktualnya. Kemudian, statistik U-Theil yang nilainya berkisar antara 0-1 bermanfaat untuk mengetahui kemampuan model untuk analisis simulasi peramalan. Semakin mendekati nol atau semakin kecil nilai U-Theil, pendugaan model semakin baik. Makin kecil nilai RMSPE dan UTheil, serta makin besar R2 maka model semakin valid untuk disimulasi. Nilai statitistik tersebut dapat diperoleh dengan rumus sebagai berikut: T 2 RMSPE = 1 / T ∑ Yt s − Yt a / Yt a t =1
{(
) }
0,5
...................................... 0,5
T 2 1 / T Yss − Ysa ∑ t =1 U-Theil = ....................... 0,5 0,5 T T 2 2 s a 1 / T ∑ Yt + 1 / T ∑ Ys t =1 t =1
(
( )
R2 = dimana:
∑ yˆ / ∑ y 2 i
2 i
)
(93)
( )
/ .....................................................................
(94)
(95)
Root Mean Squares Percent Error
RMSPE U
:
Koefisien ketidaksamaan Theil
T
:
Jumlah periode pengamatan
R2
:
Koefisien determinasi
4.3.1.5. Prosedur Analisis Menurut Koutsoyiannis (1977) terdapat tiga kriteria yang perlu dipenuhi oleh suatu model guna menangkap fenomena ekonomi, yaitu kriteria teoritis, kriteria statistik, dan kriteria ekonometrik. Kriteria teoritis ditetapkan
135
oleh teori ekonomi berkenaan dengan tanda dan besaran koefisien. Kriteria ini ditentukan pada tahap awal pemodelan, yaitu tahap spesifikasi model operasional. Selanjutnya setelah kriteria teoritis dipenuhi, maka perlu memenuhi kriteria kedua, yaitu statistik atau first order test untuk evaluasi hasil pendugaan parameter. Setelah kriteria kedua terpenuhi, maka terakhir yaitu memenuhi kriteria ekonometrik, menguji goodness dari hasil pendugaan. Akan tetapi pada model ekonometrik sering dihadapkan pada persoalan antara kriteria statistik dan kriteria ekonomi. Idealnya pada kriteria statistik mempunyai nili R2 yang tinggi dan standard error yang pendugaan parameter yang kecil. Jika salah satu dari kedua tersebut tidak terpenuhi, maka perlu dipilih sesuai tujuan. Jika tujuannya untuk peramalan, maka lebih tepat menggunakan R2. Jika untuk menjelaskan perilaku, maka kriteria yang tepat adalah standard error. Jika kriteria statistik terakhir
yang
perlu
dipertahankan
tidak terpenuhi, maka kriteria
adalah
kriteria
ekonomi,
yaitu
memperhatikan arah (sign) dan besaran (size) parameter yang diduga (Koutsoyiannis, 1977). 4.3.1.6. Simulasi Kebijakan Tabel 17 menyajikan skenario kebijakan terhadap penawaran, permintaan, dan daya saing, serta dan sebagai dasar strategi peningkatan ekspor.
136
Tabel 17. Skenario Simulasi Kebijakan Domestik terhadap Penawaran, Permintaan, dan Daya Saing No. 1.
Skenario Peningkatan Tingkat pendidikan 40 persen
2.
Peningkatan anggaran pemerintah untuk irigasi 7.48 kali
3.
Subsidi harga pakan 11 persen
4
Subsidi harga BBM 30 persen
5
Penurunan tingkat suku bunga pinjaman 30 persen
6
Kombinasi skenario 3 dan 2
7
Kombinasi skenario 3 dan subsidi harga benur 40 persen
Dasar Pertimbangan Produktivitas merupakan sumber pertumbuhan ikan yang produksinya meningkat, seperti ikan Salmon (Asche et al., 2007). Peningkatkan produktivitas tenaga kerja diproxy dari peningkatan tingkat pendidikan pembudidaya dari sebelumnya rata-rata berpendidikan SMP. Irigasi mendukung peningkatan produktivitas yaitu pembudidaya dapat melakukan intensifikasi jika air tersedia. Untuk itu peningkatan anggaran pemerintah untuk irigasi menjadi hal penting. Peningkatan 7,48 kali didasarkan pada nilai anggaran SPL-JBIC tahun dibandingkan rata-rata periode 1989-2008. Biaya pakan mencapai 40-60% dari biaya produksi. Pakan di Indonesia relatif lebih mahal, yaitu dua kali dibandingkan Panama, 15% lebih tinggi dibandingkan Thailand, dan 40% lebih tinggi dibandingkan China (IFC, 2006). Bahan baku pakan yang masih impor yaitu tepung ikan/Meat and Bone Meal/MBM 100%, bungkil kedelai /soybean Meal SBM100%, Rape Seed Meal 100% Corn gluten meal /CGM100%, Calcium phosphate 100%, Feed additive 100%, dan Vitamin 100%.Tarif bea masuk Fish oil 5%, Rape seed 5%, Lysine 5%, dan DDGS 5%. Angka 11.5% diperoleh dari harga terendah dibandingkan harga pakan tertinggi pada tingkat pembudidaya berdasarkan data tingkat lapang. BBM merupakan bagian dari ongkos produksi yang cukup dominan. Beberapa daerah memperoleh BBM dengan harga subsidi (seperti Jatim), sedangkan di daerah lain seperti Lampung tidak memperolehnya. Kisaran harga berkisar dari Rp4 500 – Rp6 100/liter, dan angka 30% diasumsikan menggunakan harga subsidi. Tingkat suku bunga pinjaman Indonesia dirasakan kurang kondusif untuk mendukung usaha perikanan. Penurunan sebanyak 30% dari tingkat suku bunga saat ini. Subsidi pakan dan peningkatan anggaran irigasi merupakan upaya kebijakan fiskal dalam rangka meningkatkan daya saing. Subsidi harga pakan ditujukan pada pembudidaya semi intensif dan tradisional plus, sedangkan anggaran irigasi dapat berasal dari Kementerian PU. Subsidi harga pakan dan subsidi harga benur merupakan kebijakan yang dapat dilakukan secara internal KKP dan tidak terlalu tergantung pada instansi lain. Kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan daya saing ekspor udang Indonesia.
137
4.3.2. Analisis Daya Saing Analisis daya saing menggunakan indeks RCA dan CMSA sebagai berikut:
X ij / X i RCA = .................................................................................. (96) Yi / Y dimana X i j merupakan ekspor produk i dari negara j, Yi merupakan total ekspor negara j, Xi merupakan ekspor total produk i ke dunia, dan Y merupakan total ekspor dunia. Kelemahan metode ini yaitu jika terdapat subsidi atau distorsi lainnya tidak konsisten dengan pola keunggulan komparatif. Rumus CMSA:
∑∑ i
j
∆qij = s0∆Q + ......................................................................
(97)
∑∑
s0ij∆Qij +
∑
s0i∆Qi +................................
(98)
∑∑
s0ij∆Qij +
∑
s0j∆Qj + ...............................
(99)
i
j
i
j
i
i
( ∑ s0i∆Qi) – ( ∑∑ s0ij ∆Q ij -
∑
s0j∆Qj )+ ........
(100)
∑∑
∆sijQ0ij ) + .....................................................
(101)
∑∑
∆sij Qij ................................................................
(102)
i
i
i
i
j
j
j
j
dimana: q = nilai/jumlah ekspor negara yang sedang diteliti, Q= jumlah ekspor total dunia (jumlah seluruh negara), s = share ekspor (q/Q), 0= tahun dasar, i = komoditi yang diteliti, dan j = negara atau wilayah negara.
138
4.3.3. Konfirmasi pada Tingkat Lapangan Penghitungan produktivitas pada studi ini digunakan pendekatan growth accounting berupa Angka Indeks Tornqvist-Theil. Angka Indeks Tornqvist-Theil tersebut telah meminimalisir pengaruh perubahan harga (Fuglie, 2004). Deny dan Fuse (1983) dalam Martinez-Cordero et al., (1999) mengembangkan metodologi penentuan angka indeks intertemporal (antar waktu) dan interspatial (antar tempat).
Konsep produktivitas antar waktu
sering digunakan untuk melihat perubahan teknis dalam penggunaan faktor produksi dan teknologi. Hasil penghitungan TFP akan sama untuk fungsi produksi translog. Pada studi ini, penghitungan perubahan TFP antar waktu untuk periode tahun 1989-2008 menggunakan indeks Tornqvist-Theil sesuai Caves et al, (1982) dalam Maulana (2004) sebagai berikut: Penghitungan indeks output: ln(Qt / Qt −1 ) = 0,5 Σ( Sjt + Sjt −1 ) ln(Qjt / Qjt −1 ) ................................................... (103) j
cara yang sama dilakukan untuk menghitung indeks input.
ln( X t / X t −1 ) = 0,5 Σ( Sit + Sii −1 ) ln( Xit / Xii −1 .................................................... (104) i
Perubahan TFP selama periode t dan t-1 adalah sebagai berikut: ln(TFPi / TFPt −1 ) = ln(Qi / Qt −1 ) − ln( X i / X t −1 ) ................................................. (105) dimana: Qt
= kuantitas output tahun t
Qt-1
Qjt
= kuantitas output j tahun t
Qj t-1
Xit
= kuantitas input i tahun t
Xi t-1
Sjt
= pangsa dari output j tahun t
Sj t-1
Sit
= pangsa dari input i tahun t
Si t-1
TFPt
= TFP tahun t
TFP t-1
= kuantitas output tahun t-1 = kuantitas output j tahun t-1 = kuantitas input i tahun t-1 = pangsa dari output j tahun t-1 = pangsa dari input i tahun t-1 = TFP tahun t-1
139
Penghitungan TFP di atas akan memberikan hasil yang tidak konsisten untuk perbandingan multilateral karena permasalahan transitivitas. Oleh karena itu, penghitungan angka indeks TFP Tornqvist antar wilayah untuk konfirmasi pada tingkat lapang dihitung tersendiri, seperti dilakukan oleh Capalbo dan Antle (1986) dalam Martinez-Cordero et al., (1999) sebagai berikut: TFPiavg = ½∑m(logQmi-logQmavg)(Smi+Smavg) – ½∑k(Ski+Skavg)(logXki-logXkavg) …………............................... (106) dimana: TFPiavg Qm i Qmavg Smi Smavg Ski Skavg Xki
= TFP petak i dibandingkan TFP rata-rata = Kuantitas output dari species m dari tambak i = Rata-rata kuantitas output dari species m untuk seluruh tambak yang diuji = Proporsi pendapatan species m terhadap total pendapatan dari tambak i = Rata-rata proporsi pendapatan species m dari seluruh tambak yang diuji = Proporsi input k terhadap seluruh pengeluaran tambak i = Rata-rata proporsi input k terhadap seluruh pengeluaran tambak yang diuji = kuantitas penggunaan input k dari tambak i
Setelah angka indeks TFP tiap petak diketahui, hasilnya kemudian diregresikan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi TFP. Faktor-faktor tersebut antara lain penggunaan benur bersertifikat, sistem usaha budidaya (dummy intensif dan non intensif), pengaruh lokasi geografis (tambak udang di Provinsi Jawa Timur dan di luar Jawa Timur),
luas area, serangan
penyakit, tingkat pendidikan, dan aspek kelembagaan (pembudidaya yang melakukan kerja sama baik dengan pedagang pengumpul, perusahaan obat, penyedia pakan, atau menjadi bagian dari perusahaan terintegrasi).
140
Model yang digunakan yaitu: TFP = a + β 1 D1 + β 2 SR + β 3 D2 + β 4 D3+ β 5 D4 + β 6 D5 + β 7 Didik + β 8 Luas + β 9 D6 + e .............................................................................. . (107) Keterangan: D1 : Dummy penggunaan benur, bernilai 1 untuk penggunaan benur bersertifikat, dan 0 untuk tidak bersertifikat SR : Tingkat kelangsungan hidup (%) D2 : Dummy kelembagaan, bernilai 1 untuk pembudidaya yang melakukan kerjasama, dan 0 untuk lainnya D3 : Dummy lokasi, bernilai 1 untuk tambak yang berlokasi di Jawa Timur, dan 0 untuk daerah lainnya D4 : Dummy sistem budidaya, bernilai 1 untuk tambak yang dikelola secara intensif, dan 0 untuk lainnya (ekstensif dan semi-intensif) D5 : Dummy serangan penyakit, bernilai 1 untuk tambak yang terkena serangan penyakit yang menurunkan produksi lebih dari 20%, dan 0 untuk lainnya Didik : Tingkat pendidikan (tahun) Luas : Luas area yang diusahakan (ha) D6 : Dummy sistem usaha organik, bernilai 1 untuk sistem usaha organik dan 0 untuk lainnya e : Peubah pengganggu ‘
Dalam penelitian ini juga dilakukan pengujian asumsi dasar Ordinary Least Square (OLS) untuk persyaratan Best Linier Under Estimate (BLUE) meliputi uji multikolinearitas, autokolerasi, dan heteroskedasitas. 4.3.
Definisi Operasional
1. Daya saing: kemampuan mempertahankan pangsa pasar. Dikatakan memiliki daya saing atau keunggulan kompetitif jika keberlanjutan pangsa suatu negara lebih besar dibandingkan pesaing. Sebuah industri kehilangan daya saing jika terjadi penurunan pangsa pasar (Markusen, 1992 dalam Coy 2006). Walaupun perubahan pangsa ekspor tidak menggambarkan secara keseluruhan daya saing, paling tidak, pangsa pasar merupakan ukuran yang menggambarkan daya saing suatu negara di pasar internasional. Unit analisa pada studi ini adalah daya saing pada tingkat produk.
141
2. Produktivitas: perbandingan
Total
Factor
agregat
output
Productivity terhadap
(TFP
agregat
mengacu
input.
pada
Pendekatan
penghitungan TFP dianggap lebih baik dari penghitungan secara parsial. 3. Mutu: diproxy dari rasio harga relatif. Negara yang mempunyai harga lebih tinggi, diasumsikan mempunyai mutu lebih baik. Negara yang mempunyai keragaman produk lebih tinggi juga dianggap mempunyai mutu lebih baik. Peningkatan mutu produk perikanan budidaya lebih diarahkan untuk memberikan jaminan kemanan pangan (food safety) mulai bahan baku hingga produk akhir tambak yang bebas dari bahan cemaran sesuai persyaratan pasar. Oleh karena itu dalam mutu juga termasuk mengenai keamanan hasil produk perikanan termasuk persyaratanpersyaratan yang diterapkan oleh negara importir. 4. Udang: mengacu pada data dari UNComtrade merupakan produk dengan kode: Kode HS 030613
Keterangan : Shrimps and prawns, frozen, in shell or not, including boiled in shell (udang beku)
030623
: Shrimps and prawns, not frozen, in shell or not, including boiled in shell (udang segar)
160520
: Shrimps and prawns, prepared or preserved (udang olahan)
142
5. Petambak yang melakukan kerjasama: kerjasama dalam arti luas yaitupetambak
yang melakukan kerjasama dalam penjualan hasil
budidayanya sebagai konsekuensi dari hal-hal antara lain: petambak tersebut mendapatkan pinjaman modal oleh pedagang pengumpul/penyedia sarana input seperti perusahaan pakan, merupakan anak perusahaan, atau sebagai bagian dari perusahaan terintegrasi.
143
V. POSISI DAYA SAING UDANG INDONESIA, TAHUN 1989-2008 Tujuan penelitian pertama yaitu mengetahui posisi daya saing Indonesia dan Thailand dalam mengekspor udang ketiga pasar utama akan dilakukan menggunakan indeks RCA dan model CMSA sebagai berikut. 5.1. Analisis Keunggulan Komparatif Analisis
keunggulan
komparatif
menggunakan
indeks
RCA
dibandingkan antara periode tahun 1989-2003 dengan periode 2004-2008, untuk mengetahui perubahan daya saing setelah pergantian varietas udang yang dibudidayakan dari sebelumnya mayoritas memelihara udang windu menjadi udang vaname. Tahun 2004 dipilih sebagai tahun pemisah/dasar, karena sejak tahun tersebut data produksi udang vaname mulai disajikan pada buku Statistik Perikanan Budidaya, walaupun introduksi udang vaname itu sendiri sudah dimulai sejak tahun 2000-2001. Penggantian udang vaname disebabkan pengembangan udang windu terkendala serangan penyakit. Hasil perhitungan RCA untuk Indonesia dan Thailand dalam mengekspor tiga produk udang (segar, beku, dan olahan) ke tiga pasar utama (Jepang, AS, dan EU-27) disajikan pada Tabel 18. Berdasarkan data pada Tabel 18, pada dua periode yang diteliti, Indonesia dan Thailand mempunyai keunggulan komparatif dalam mengekspor tiga jenis produk udang ekspor ke tiga pasar utama yang diindikasikan dengan nilai indeks RCA lebih dari satu, kecuali ekspor udang segar Indonesia ke Jepang pada periode 2004-2008 yang nilainya kurang dari satu. Selanjutnya, Tabel 18 juga menunjukkan bahwa keunggulan komparatif Indonesia dan
144
Thailand di pasar Jepang pada ketiga jenis produk udang (segar, beku, dan olahan) mengalami penurunan.
Thailand walaupun menurun akan tetapi
mempunyai nilai RCA jauh lebih tinggi dibandingkan Indonesia. Tabel 18. Nilai Rata-Rata Indeks RCA Tiga Produk Udang Indonesia dan Thailand di Tiga Pasar Utama, Periode Tahun 1989-2003 dan Tahun 2004-2008 Produk udang Udang Segar
Dari Indonesia Tujuan 1989-2003 2004-2008 Jepang 2.95 0.52 AS 3.44 1.58 UE-27 5.57 2.40 Udang beku Jepang 5.47 4.53 AS 8.11 14.05 UE-27 3.06 3.58 Udang Jepang 4.33 2.64 Olahan AS 1.10 7.04 UE-27 1.22 4.18 Sumber: UNComtrade (diolah)
Thailand 1989-2003 2004-2008 2.79 1.35 16.41 4.52 4.01 3.40 6.31 3.23 18.77 15.72 3.88 1.38 26.32 12.22 62.39 45.85 6.58 6.10
Berikut disajikan beberapa indikasi dari data yang disajikan pada Tabel 18. Pertama, terjadi penurunan di pasar Jepang untuk Indonesia dan Thailand serta nilai RCA yang lebih rendah dari satu untuk udang segar Indonesia. Hal tersebut diduga terkait dengan perubahan komposisi produk ekspor yang mayoritas menjadi vaname. Menurut Briggs
et al., (2005) salah satu
kelemahan udang vaname dibandingkan udang windu adalah ukuran panen lebih kecil sehingga harganya relatif lebih murah. Sebaliknya, udang vaname mempunyai beberapa kelebihan antara lain: produktivitas lebih tinggi karena 2
dapat dipelihara pada padat tebar tinggi (60-150 ekor/m bahkan sampai 400 2
ekor/m ) dibandingkan padat penebaran udang windu yang hanya 40-50 2
ekor/m , lebih toleran terhadap salinitas rendah, kandungan protein pakan yang dibutuhkan lebih rendah (20-35% dibandingkan 36-42% untuk windu),
145
kandungan daging lebih tinggi yaitu 66-68% dibandingkan udang windu yang hanya 62% dan relatif tahan penyakit. Di sisi lain, Jepang merupakan pasar tradisional ekspor udang Indonesia dan Thailand karena letak geografisnya relatif dekat dibandingkan ke AS dan UE-27, serta harga yang diterima juga relatif baik. Meskipun terjadi penurunan di pasar Jepang, hal positif dari pergantian varietas dari udang windu ke udang vaname adalah bahwa Indonesia masih berada pada posisi sebagai eksportir utama udang di dunia. Oleh karena itu, dalam rangka mempertahankan pangsa pasar di Jepang maka perlu mendorong pengembangan budidaya udang windu dengan menyiapkan benur unggul dan induk bermutu. Implikasinya, broodstock center dan riset perlu didorong dan didukung anggaran memadai. Indonesia lebih diuntungkan dengan udang windu karena induk udang windudi perairan Indonesia termasuk yang terbaik di dunia. Kedua, keunggulan komparatif mengekspor udang segar Indonesia pada tiga pasar ekspor utama menurun pada periode 2004-2008 dibandingkan periode 1989-2003. Sebaliknya, keunggulan komparatif Indonesia meningkat di pasar AS dan UE-27 untuk udang beku dan olahan. Peningkatan lebih besar di pasar AS, diduga karena konsumen AS lebih menyukai udang berukuran kecil. Hasil studi di atas didukung hasil studi lain seperti Cong Sach (2003) yang menganalisis keunggulan komparatif udang tambak periode 1985-2001 menggunakan RCA. Hasilnya, nilai RCA udang tambak Indonesia menurun dari 10.03 menjadi 8.50, sedangkan Thailand meningkat dari 17.90 menjadi
146
23.50. Vietnam walaupun menurun dari 46.30 ke 22.30 akan tetapi nilainya masih jauh lebih tinggi dibandingkan Indonesia. Menggunakan
metode
yang
sama,
Munandar
et
al.,
(2006)
menganalisis udang Indonesia dan memprediksi 10 tahun ke depan. Dengan skenario perekonomian stabil, udang masih mempunyai daya saing, walaupun menurun dengan presentase penurunan 13.4% per tahun. Tingkat persaingan ekspor secara statistik signifikan dipengaruhi oleh tingkat suku bunga, upah, pendapatan per kapita negara domestik, pendapatan per kapita negara importir, dan prosentase anggaran untuk diferensiasi produk, sedangkan harga produk ikan olahan dan produktivitas modal tidak berpengaruh signifikan. Hutabarat et al., (2000) menganalisis daya saing menggunakan pendekatan nilai Biaya Manfaat Sosial (BMS) untuk tambak di Sulawesi Selatan. Nilai yang diperoleh berturut-turut 0.62, 0.63, dan 0.57 untuk sistem tradisional, semi-intensif, dan intensif. Artinya, udang tambak di Sulawesi Selatan masih mempunyai daya saing karena bernilai < 1. Kusumastanto dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut (PKSPL) IPB (2007) menggunakan Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP), hasilnya menunjukkan bahwa udang Indonesia berada pada kondisi pertumbuhan ke kematangan. Ketiga, keunggulan komparatif Thailand jauh lebih tinggi dibandingkan Indonesia, namun terjadi penurunan indeks daya saing Thailand. Hal tersebut mengindikasikan bahwa persaingan sesama produsen semakin ketat. Diantara tiga produk udang ekspor, Thailand mempunyai keunggulan pada produk udang olahan dibandingkan udang beku dan udang segar.
Mengacu pada
Kagawa dan Bailey (2003), tingginya diferensiasi produk udang Thailand
147
antara lain disebabkan pengaruh letak geografis. Thailand berada di daerah semi periphery sehingga mempunyai biaya lebih tinggi dibandingkan Vietnam yang berada di daerah periphery. Oleh karena itu Thailand lebih fokus memproduksi udang bermutu tinggi, sekaligus mengantisipasi penurunan harga akibat kelebihan penawaran (the Nation, 2008). Keempat, Indonesia dan Thailand mempunyai kesamaan pada udang segar yaitu keunggulan komparatif udang segar menurun di ketiga pasar. Penurunan tersebut diduga karena udang segar memerlukan penanganan lebih cepat dibandingkan udang beku dan olahan sehingga diperlukan infrastruktur seperti jaringan pengapalan/pengiriman, kemasan, dan transportasi yang lebih baik. Berbeda dengan Leung dan Cai (2005) yang menganalisis berdasarkan negara tujuan ekspor periode 1990 sampai dengan awal 2000, nilai RCA Indonesia untuk pasar AS menurun dan untuk pasar UE nilai RCA lebih rendah, akan tetapi pertumbuhannya positif. Senada dengan hal tersebut, Aisya et al., (2005b) ekspor Indonesia masih tergantung pada udang segar (SITC 34) dengan RCA mencapai 7.18 di tahun 2004, namun harga udang segar lebih rendah dibandingkan dengan udang olahan (SITC 37). Upaya mendorong ekspor produk udang olahan menjadi penting, namun terkendala oleh nilai RCA udang olahan yang hanya 1.17. Artinya, perlu kerja keras dari pemerintah untuk mendorong peningkatan ekspor udang olahan. Swaranindita (2005), menggunakan teori Berlian Porter, Herfindahl Index dan RCA untuk pasar AS, menghasilkan bahwa struktur pasar udang beku yang dihadapi Indonesia tahun 1984-1989 dan 2000 berbentuk pasar
148
persaingan monopolistik dan pada tahun 1990-2000 berbentuk pasar oligopoli. Selanjutnya, struktur pasar pada perdagangan udang segar adalah oligopoli untuk periode 1984 sampai dengan 1999 dan pasar persaingan monopolistik pada periode 1997-2000. Dalam hal ini, posisi Indonesia
adalah
market
follower. Cai dan Leung (2006) menyebutkan bahwa tingkat persaingan di ketiga pasar utama makin kompetitif pada tahun 2000 dibandingkan 1990. Market power makin kurang terkonsentrasi di ketiga pasar tersebut. Udang di pasar Jepang didominasi oleh pengekspor dari negara-negara Asia Fasifik, di pasar AS oleh Amerika Latin, sedangkan untuk UE tidak nampak adanya dominasi regional. Ringkasnya, faktor penentu tingkat keunggulan komparatif dari negara produsen di Asia adalah biaya oportunitas dari biaya operasional dan harga yang diterima di pasar internasional. Keunggulan komparatif dapat ditingkatkan melalui perbaikan pajak, pinjaman pada tingkat bunga rendah, pengurangan tarif impor tepung ikan, dan bahan pembuat pakan lainnya. Selain itu, penting melakukan koordinasi dibidang ekspor dan pemasaran terkait aturan internasional, pengembangan produk, informasi pasar karena fluktuasi harga udang di pasar internasional. 5.2. Constant Market Share Analysis Analisis RCA selanjutnya dilengkapi dengan menggunakan model CMSA dan hasilnya disajikan pada Tabel 19 (nilai ekspor) dan Tabel 20 (kuantitas ekspor). Berdasarkan Tabel 19, perubahan nilai ekspor Indonesia dan Thailand bernilai positif. Hasil dekomposisi tahap pertama udang
149
Indonesia berdaya saing, tercermin dari nilai efek kompetitif yang bernilai positif. Nilai efek kompetitif yang positif menunjukkan perubahan ekspor terkait dengan perubahan daya saing negara pengekspor. Sebaliknya Thailand bernilai negatif. Kontribusi negatif efek kompetitif menunjukkan menurunnya kinerja ekspor suatu negara karena turunnya daya saing. Tabel 19. Dekomposisi CMSA Perubahan Nilai Ekspor Indonesia dan Thailand, Tahun 1989-2003 dan 2004-2008 Unsur Dekomposisi
Indonesia Nilai (US$)
Perubahan Nilai Ekspor
172 197 247
Thailand % 100.0
Nilai (US $)
%
153 853 341
100.0
Dekomposisi Tahap-Pertama - Efek Struktural
34 553 428
20.1
1 651 252 275
1073.3
- Efek Kompetitif
4 791 940
2.8
-769 637 350
-500.2
132 851 879
77.2
-727 761 584
-473.0
528 002 487
306.6
1 300 436 483
845.2
-329 564 173
-191.4
59 092 810
38.4
- Efek Komposisi Komoditas
-90 981 960
-52.8
357 282 544
232.2
- Efek Interaksi
-72 902 925
-42.3
-65 559 562
-42.6
- Efek Kompetitif Umum
-214 576 312
-124.6
-691 472 621
-449.4
- Efek Kompetitif Spesifik
219 368 252
127.4
-78 164 729
-50.8
3 153 939
1.8
-506 556 652
-329.2
129 697 940
75.3
-221 204 932
-143.8
- Efek Ordo-kedua Dekomposisi Tahap-Kedua - Efek Pertumbuhan - Efek Distribusi Pasar
- Efek Orde Kedua Murni - Struktural Dinamik
Akan tetapi apabila dilanjutkan dengan dekomposisi tahap pertama dan tahap kedua, nampak perbedaan. Hasil dekomposisi tahap kedua, menunjukkan bahwa efek struktural Indonesia yang positif tersebut disebabkan oleh efek pertumbuhan perdagangan dunia. Artinya, negara Indonesia mendapat manfaat dari pertumbuhan impor dunia. Sebaliknya, efek komposisi komoditas dan efek
150
distribusi pasar bernilai negatif. Artinya, Indonesia kurang memperhatikan komposisi produk (segar, beku, olahan) karena mayoritas ekspor didominasi udang beku. Efek distribusi pasar yang negatif menunjukkan bahwa Indonesia mengekspor ke negara-negara yang pertumbuhan impor rendah. Meskipun terjadi penurunan di pasar Jepang, hal positif dari pergantian varietas dari udang windu ke udang vaname adalah bahwa Indonesia masih berada pada posisi sebagai eksportir utama udang di dunia. Oleh karena itu, dalam rangka mempertahankan pangsa pasar di Jepang maka perlu mendorong pengembangan budidaya udang windu dengan menyiapkan benur unggul dan induk bermutu. Implikasinya, broodstock center dan riset perlu didorong dan didukung anggaran memadai. Menggunakan model Constant Market Share Analysis (CMSA), daya saing ekspor Indonesia ternyata lebih disebabkan karena efek daya saing spesifik, yaitu mengekspor spesifik produk (udang beku) ke spesifik pasar (Jepang dan AS). Implikasi dari ketergantungan yang tinggi pada produk dan tujuan ekspor tertentu akan berbahaya jika terjadi guncangan pada produk udang yang diekspor dan ketidakstabilan pasar tersebut. Thailand mempunyai keunggulan komparatif pada ketiga produk udang yang diekspor di ketiga pasar. Berdasarkan nilainya angka indeks RCA Thailand jauh lebih tinggi dibandingkan dengan angka indeks RCA Indonesia. Selain itu, Thailand memiliki efek komoditas dan distribusi pasar yang lebih baik. Meskipun demikian, indeks daya saing Thailand mengalami penurunan, artinya persaingan sesama produsen udang makin ketat
151
Efek daya saing khusus Indonesia nilainya lebih besar dibandingkan efek daya saing umum. Efek daya saing umum yang negatif menunjukkan bahwa perubahan pangsa pasar Indonesia terhadap total ekspor produk udang dalam pasar dunia mengalami penurunan. Efek daya saing spesifik udang Indonesia yang bernilai positif, artinya bahwa keunggulan daya saing udang Indonesia lebih karena mengekspor produk spesifik (udang beku) ke pasar spesifik (AS dan Jepang). Implikasi dari ketergantungan yang tinggi pada satu produk dan pada pasar tertentu berpotensi mengancam capaian target ekspor jika terjadi terjadi gangguan di pasar tersebut. Delgado et al., (2003) menambahkan bahwa diversifikasi tujuan pasar diperlukan karena kecenderungan perdagangan udang akan bergeser dari South ke North menjadi South ke South. Berbeda dengan Indonesia, Thailand mempunyai efek distribusi pasar dan efek komposisi komoditas yang bernilai positif. Artinya diferensiasi produk dan diversifikasi pasar telah dilakukan dengan baik oleh Thailand. Kondisi di atas didukung oleh hasil studi Aisya et al., (2006) yang menggunakan metode CMSA, efek pasar dari udang segar bertanda negatif, artinya terdistribusi pada jenis-jenis komoditas yang permintaannya relatif lambat di negara tujuan ekspor utama, dan sebaliknya udang olahan. Ditinjau dari efek daya saing udang segar tandanya positif, artinya memiliki daya saing yang kuat. udang olahan (SITC 37) mempunyai tanda positif. Artinya, naiknya pertumbuhan dunia mengakibatkan ekspor komoditas udang olahan Indonesia meningkat. Udang olahan yang nilai tambahnya lebih tinggi, efek pertumbuhan dan daya saingnya menguntungkan, akan tetapi masih kalah dibanding dengan
152
udang segar. Hasil agak berbeda apabila analisis didasarkan pada perubahan kuantitas ekspor seperti ditunjukkan oleh Tabel 20. Tabel 20. Dekomposisi CMSA Perubahan Kuantitas Ekspor Indonesia dan Thailand, Tahun 1989-2003 dan 2004-2008 Indonesia Unsur Dekomposisi
Kuantitas (ton)
Thailand %
Kuantitas (ton)
%
39675499
100
99 326 184
100
- Efek Struktural
41 940 756
106
109 249 436
110
- Efek Kompetitif
15 169 375
38
157 403 127
158
- Efek Ordo-kedua
-17 434 633
-44
-167 326 379
-168
84 143 254
212
157 836 616
159
-31 653 744
-80
-80 152 673
-81
- Efek Komposisi Komoditas
-8 047 058
-20
-44 618 368
-45
- Efek Interaksi
-2 501 696
-6
76 183 861
77
- Efek Kompetitif Umum
-25 245 845
-64
-33 218 347
-33
- Efek Kompetitif Spesifik
40 415 221
102
190 621 474
192
- Efek Orde Kedua Murni
11 549 796
29
119 845 017
121
-28 984 430
-73
-287 171 397
-289
Perubahan Ekspor Dekomposisi Tahap-Pertama
Dekomposisi Tahap-Kedua - Efek Pertumbuhan - Efek Distribusi Pasar
- Struktural Dinamik
Berdasarkan Tabel 20, hasil dekomposisi tahap pertama, Indonesia dan Thailand mempunyai efek kompetitif yang bernilai positif, namun Thailand mempunyai nilai lebih tinggi. Terjadinya perbedaan hasil analisis berdasarkan nilai
ekspor
dan
berdasarkan
kuantitas
(terutama
untuk
Thailand)
mengindikasikan bahwa telah terjadi perubahan komposisi ekspor. Semula, mayoritas yang diekspor adalah udang windu menjadi udang vaname yang rata-rata berukuran relatif lebih kecil, sehingga dari sisi kuantitas meningkat dan dari sisi nilai relatif stabil.
153
5.3. Rangkuman 1. Berdasarkan angka indeks RCA, Indonesia mempunyai keunggulan komparatif dalam mengekspor udang bentuk segar, beku, dan olahan di ketiga pasar (UE-27, Jepang, dan AS). Namun demikian, ekspor udang segar ke Jepang periode 2004-2008 mengalami penurunan dan tidak mempunyai keunggulan komparatif di pasar tersebut. Tidak hanya terjadi pada udang segar, keunggulan komparatif Indonesia juga mengalami penurunan pada periode 2004-2008 untuk udang beku dan udang olahan di pasar Jepang. Penurunan tersebut diduga terkait dengan komposisi produk yaitu pergantian varietas dari udang windu ke udang vaname yang relatif berukuran lebih kecil. Di lain pihak, konsumen di Jepang lebih menyukai udang yang berukuran relatif besar. 2. Meskipun terjadi penurunan di pasar Jepang, hal positif dari pergantian varietas dari udang windu ke udang vaname adalah bahwa Indonesia masih berada pada posisi sebagai eksportir utama udang di dunia. Oleh karena itu, dalam rangka mempertahankan pangsa pasar di Jepang maka perlu mendorong pengembangan budidaya udang windu dengan menyiapkan benur unggul dan induk bermutu. Implikasinya, broodstock center dan riset perlu didorong dan didukung anggaran memadai. 3. Menggunakan model Constant Market Share Analysis (CMSA),
daya
saing ekspor Indonesia lebih disebabkan karena efek daya saing spesifik, yaitu mengekspor spesifik produk (udang beku) ke spesifik pasar (Jepang dan AS). Implikasi dari ketergantungan yang tinggi pada produk dan
154
tujuan ekspor tertentu akan berbahaya jika terjadi guncangan pada produk udang yang diekspor dan ketidakstabilan pasar tersebut. 4. Thailand mempunyai keunggulan komparatif pada ketiga produk udang yang diekspor di ketiga pasar. Berdasarkan nilainya angka indeks RCA Thailand jauh lebih tinggi dibandingkan dengan angka indeks RCA Indonesia. Selain itu, Thailand memiliki efek komoditas dan distribusi pasar yang lebih baik. Meskipun demikian, indeks daya saing Thailand mengalami penurunan, artinya persaingan sesama produsen udang makin ketat.
155
VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENAWARAN, PERMINTAAN, DAN DAYA SAING Identifikasi pola keunggulan komparatif, seperti disajikan pada Bab V, hanya merupakan langkah awal, yang lebih penting adalah mengerti faktor pendorong dibalik itu (Gonarsyah, 2007; Cai dan Leung, 2006). Oleh karena itu, pada Bab 6 melalui persamaan simultan, dianalisis faktor-faktor yang diduga mempengaruhi penawaran, permintaan, dan daya saing udang Indonesia terkait dengan produktivitas dan upaya peningkatan mutu sesuai tujuan penelitian kedua. Pembahasan pada Bab VI ini dilengkapi dengan hasil konfirmasi pada tingkat lapangan mengenai produktivitas udang tambak (Bab VII) dan mutu pada rantai pasokan (Bab VIII). 6.1.
Keragaan Umum Model Daya Saing Udang Indonesia Model Daya Saing Udang Indonesia yang dirumuskan pada Bab IV
memperlihatkan keterkaitan sejak produksi sampai dengan perdagangan. Model Daya Saing Udang Indonesia diestimasi menggunakan motode 2SLS (Two-Stage Least Square). Setelah dilakukan respesifikasi terhadap Model, diperoleh 85 persamaan yang terdiri atas 57 persamaan struktural dan 28 persamaan identitas. Respesifikasi dilakukan agar diperoleh model yang baik menurut kriteria ekonomi, statistika, dan ekonometrika. Berdasarkan hasil estimasi setiap parameter dan variabel-variabel yang terpilih telah memenuhi kriteria ekonomi yaitu memiliki tanda (sign) serta besaran (size) sesuai dengan harapan dan memenuhi logika ekonomi. Nilai koefisien determinasi (R2) cukup tinggi dengan kisaran 20% sampai dengan 99%.
Terdapat 68.5% mempunyai koefisien determinasi lebih dari 70%.
156
Artinya peubah-peubah penjelas secara bersama-sama dapat menjelaskan keragaman
peubah
endogen
(secara
bersama-sama
variabel
penjelas
berpengaruh nyata terhadap variabel penjelas). Menurut kriteria statistik 64.83% mempunyai nilai statistik
t
berpengaruh nyata terhadap variabel endogennya pada taraf nyata λ = 0.20. Hal ini berarti bahwa sebagian besar variabel penjelas berpengaruh secara signifikan terhadap masing-masing variabel endogennya. Berdasarkan kriteria ekonometrika, diperoleh nilai Durbin-Watson (Dw) berkisar 0.73 sampai dengan 2.73 dan hasil uji statistik Durbin-h (dh) diperoleh kisaran nilai -3.39 sampai dengan 2.279. Terdapat beberapa persamaan yang mengandung autokorelasi. Menurut Pyndick dan Rubinfeld (1991) masalah serial korelasi hanya mengurangi efisiensi pendugaan parameter dan serial korelasi tidak menimbulkan bias parameter regresi. Dengan demikian, hasil pendugaan Model dalam penelitian dapat dinyatakan cukup representatif. Berikut disajikan hasil estimasi untuk keempat blok yang dianalisis yaitu Blok Produksi, Blok Perdagangan Udang Segar, Blok Perdagangan Udang Beku, dan Blok Perdagangan Udang Olahan. 6.2.
Blok Produksi Persamaan perilaku pada Blok Produksi mencakup persamaan
permintaan faktor produksi (pakan dan benur), pertumbuhan produktivitas (TFP), produksi udang tambak, produksi udang hasil tangkapan, permintaan udang domestik, harga udang segar domestik, harga udang beku domestik, produksi udang beku, produksi udang olahan, permintaan udang segar oleh industri udang beku, dan permintaan udang beku oleh industri udang olahan.
157
6.2.1. Permintaan Faktor Produksi Udang Tambak Indonesia Hasil estimasi pada persamaan permintaan faktor produksi (penggunaan pakan dan benur) disajikan pada Tabel 21. Tabel 21. Hasil Estimasi pada Persamaan Permintaan Faktor Produksi Udang Tambak Endogen Jumlah pakan yang digunakan (QPAKN)
Variabel Eksogen Intersep Harga pakan Selisih harga udang segar domestik Tren waktu
Parameter Dugaan 454.8623 -75.7553 2.782065 15.76608
Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang -2.1594 0.0176
Prob > [t] <0.0001 0.0002 0.0146 <0.0001
R2 = 88.28% Fhitung < 0.0001 DW= 0.739925 Jumlah Intersep 3.26316 0.4580 benur yang Harga benur -0.20077 -0.1318 -0.1548 0.2807 digunakan Harga pakan -2.31852 -0.5598 -0.6573 0.3514 (QBENR) Harga udang segar domestik 0.378539 0.5933 0.6966 0.1500 Trend waktu 1.911489 0.0769 Jumlah benur beda kala 0.148305 0.2940 R2 = 74.50% Fhitung < 0.0015 Durbin-h stat tidak ada kesimpulan
Berdasarkan Tabel 21, jumlah pakan yang digunakan dipengaruhi secara nyata dan responsif oleh harga pakan. Rata-rata tiap peningkatan harga pakan 1% akan menurunkan penggunaan pakan sebesar 2.1594%, ceteris paribus. Hal tersebut mengindikasikan bahwa harga pakan yang berlaku dewasa ini relatif mahal sehingga kurang mendukung pengembangan usaha budidaya. Kenaikan harga pakan tersebut akan menurunkan penggunaan pakan, dan pada akhirnya menurunkan produksi udang tambak. Tingginya harga pakan tersebut antara lain disebabkan sebagian besar bahan baku masih impor. Prosentase bahan baku impor tersebut yaitu tepung ikan/Meat and Bone Meal/MBM 100%, bungkil kedelai/SBM 100%, Rape Seed meal 100% Corn Gluten Meal/CGM 100%, Calcium phosphate 100%,
158
Feed additive 100%, dan Vitamin 100%. Selain itu, beberapa bahan baku masih dikenakan tarif bea masuk seperti untuk fish oil 5%, rape seed 5%, Lysine 5%, dan DDGS 5%. Selain itu, lokasi tambak yang umumnya di daerah remote area menyebabkan tingginya biaya transaksi. Jumlah perusahaan pakan udang pada tahun 2010 mencapai 27 perusahaan, akan tetapi masih didominasi oleh beberapa perusahaan besar yang tergabung dengan perusahaan ternak. Implikasi dari kondisi di atas, perbaikan infrastruktur yang akan mengurangi biaya produksi dan upaya penurunan harga pakan udang merupakan hal penting dalam rangka peningkatan daya saing. Kedua, pengaruh harga pakan terhadap jumlah penggunaan benur tidak responsif, akan tetapi pengaruh harga pakan lebih besar dibandingkan dengan pengaruh harga benur. Rata-rata peningkatan harga benur 1% menurunkan penggunaan benur sebesar 0.1318%, sedangkan peningkatan harga pakan 1% akan menurunkan penggunaan benur 0.5598%, ceteris paribus. Pakan dan benur merupakan barang komplementer. Kondisi di atas juga sejalan dengan fenomena di tingkat lapang, bahwa pabrik pakan cenderung meningkatkan harga jual pakan jika terjadi kenaikan harga udang, dibandingkan pengusaha pembenihan/ hatchery. Ketiga, pengaruh harga udang segar domestik terhadap penggunaan benur nilainya lebih besar dibandingkan terhadap penggunaan pakan. Artinya bahwa kenaikan harga output tersebut lebih mendorong penggunaan benur dibandingkan penggunaan pakan. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa mayoritas tambak yang ada dikelola secara non-intensif. Hal tersebut diduga
159
karena risiko kegagalan pada budidaya intensif udang masih tinggi. Implikasinya pemerintah perlu meyakinkan pembudidaya udang apabila akan melakukan intensifikasi. Meskipun demikian, perlu kehati-hatian apabila akan melakukan intensifikasi karena berisiko tinggi terhadap agroekologis. 6.2.2. Pertumbuhan Total Factor Productivity Kemajuan teknologi merupakan pendorong peningkatan produksi. Dalam analisis ini kemajuan teknologi diproxy oleh pertumbuhan TFP dan dihitung menggunakan angka indeks Tornqvist Theil. Berdasarkan definisi, TFP merupakan pertumbuhan output yang tidak disebabkan oleh pertumbuhan faktor produksi atau dikenal dengan pengaruh residual. Pada Model yang dibangun, TFP diduga dipengaruhi oleh variabel produktivitas tenaga kerja yang diproxy dari tingkat pendidikan dan anggaran irigasi melalui APBN untuk menambah ketersediaan air. Variabel lain seperti anggaran riset tidak diamsukan ke dalam model karena keterbatasan data. Hasil estimasi selengkapnya disajikan pada Tabel 22. Berdasarkan data pada Tabel 22, pengaruh tingkat pendidikan bersifat responsif dalam jangka pendek terhadap pertumbuhan TFP dibandingkan peningkatan anggaran irigasi melaui APBN. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa masih terbuka ruang untuk peningkatan kualitas SDM dalam rangka meningkatkan produktivitas. Hasil survey Sosek Perikanan Tahun 2005 menunjukkan
bahwa
secara
umum
mayoritas
pembudidaya
udang
berpendidikan dibawah SLTA yaitu tidak tamat sekolah sebanyak 3.2%, tamatan SD sebanyak 43.6% dan hanya 7.7% yang merupakan lulusan perguruan tinggi (DJPB, 2005).
Kondisi tersebut jauh berbeda dengan di
160
Thailand, Sriwichailamphan (2007) melakukan studi mencakup 350 orang pembudidaya udang menemukan 28.7% responden berpendidikan S-1 dan sebanyak 2.6% berpendidikan S-2. Tabel 22. Hasil Estimasi pada Persamaan Pertumbuhan Produktivitas (TFP) Udang Tambak Endogen Pertumbuhan Produktivitas Faktor Total (TFPIN)
Variabel Eksogen Intersep Tingkat pendidikan pembudidaya Jumlah anggaran irigasi dari Pemerintah R2 = 14.08%
Parameter Dugaan
Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang
Prob > [ t ]
-0.44853
0.3900
0.152959
1.3921
0.1933
5.89E-07
0.0173
0.2303
Fhitung 0.2969
DW = 2.696481
Kedua, infrastruktur berupa pembangunan irigasi juga penting dalam mendukung ketersediaan air sehingga mendorong pembudidaya untuk meningkatkan padat tebar (intensifikasi). Namun demikian, hasil studi ini menunjukkan bahwa pengaruh anggaran irigasi APBN tersebut tidak responsif terhadap pertumbuhan TFP. Hal tersebut diduga karena anggaran untuk infrastruktur melalui APBN selama ini terbatas. 6.2.3. Produksi Udang Tambak Indonesia Hasil estimasi pada persamaan produksi udang tambak disajikan pada Tabel 23. Berdasarkan Tabel 23 dapat disampaikan hal-hal sebagai berikut. Pertama, penggunaan pakan bersifat responsif dan signifikan pada taraf 1%. Setiap kenaikan penggunaan pakan udang rata-rata 1% akan meningkatan produksi udang tambak 1.0035%, ceteris paribus. Berdasarkan nilai elastisitas tersebut, berarti untuk memproduksi satu kg udang diperlukan jumlah pakan sebanyak 0.99 kg atau Feed Convertion Ratio (FCR) mencapai 0.99. Nilai FCR
161
dibawah satu tersebut mengindikasikan bahwa mayoritas tambak dikelola secara
non-intensif
(semi-intensif
dan
ekstensif).
Budidaya
udang
menggunakan teknologi intensif umumnya mempunyai nilai FCR sekitar 1.7 sampai dengan 2.5. Tabel 23. Hasil Estimasi pada Persamaan Produksi Udang Tambak Endogen Produksi udang tambak Indonesia (QTAMB)
Variabel Eksogen Intersep Harga udang segar domestik Selisih harga BBM Jumlah pakan Selisih jumlah benur Selisih tingkat suku bunga Dummy serangan penyakit Pertumbuhan TFP
R2 = 99.91%
Parameter Dugaan
Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang
Prob > [ t ]
-6.30814
0.2921
0.001025
0.0002
0.4958
-0.002400 0.990892
-0.0015 1.0035
0.1663 <.0001
0.087033
0.0009
0.1742
-0.01254
-0.0003
0.4502
-1.80744 5.599316
0.0290
0.1863 0.2980
Fhitung < 0.0001
Dw= 1.802372
Kedua, hasil dugaan parameter harga BBM (energi) terhadap produksi udang tambak bernilai negatif. Peningkatan harga BBM akan menurunkan produksi udang tambak yang pada gilirannya berpengaruh negatif terhadap daya saing. Kontribusi BBM terhadap biaya produksi pada tambak intensif dan semi-intensif sekitar 13%. Penggunaan BBM terutama untuk kincir, pompa, dan penerangan. Intensitas penggunaan BBM akan meningkat dengan meningkatnya padat penebaran. Pembudidaya di beberapa daerah seperti di Jawa Timur memperoleh solar dengan harga subsidi, sedangkan daerah lain seperti Lampung, menggunakan solar harga industri. Implikasinya, pemerintah perlu memperhatikan harga BBM agar industri udang dapat berkembang.
162
Ketiga, faktor lain yang berperan penting dalam rangka meningkatkan daya saing dari sisi biaya yaitu tingkat suku bunga pinjaman karena usaha tambak udang termasuk padat modal.
Hasil estimasi tingkat suku bunga
pinjaman berpengaruh negatif, namun tidak signifikan dan tidak responsif. Hal tersebut sejalan dengan studi Raharjo (2001) yang memperoleh nilai elastisitas untuk tingkat suku bunga terhadap produksi 0.0678. Studi Irwan (1997) untuk periode pengamatan 1974-1995 menunjukkan bahwa produksi udang dipengaruhi oleh harga udang domestik, tingkat suku bunga, dan jumlah produksi beda kala. Keempat, hal lain yang tidak bisa diabaikan dan merupakan salah satu kendala terbesar dalam budidaya udang adalah terjadinya serangan penyakit (Devi dan Prasad, 2006). Hasil dugaan parameter dari dummy serangan penyakit yang bernilai negatif dan signifikan pada tarf 20%. Serangan penyakit akan menurunkan kuantitas produksi udang dibandingkan dengan periode tidak adanya serangan penyakit. Upaya mengatasi serangan penyakit melalui penggunaan varietas udang vaname yang relatif tahan penyakit belum berhasil. Namun demikian, penggunaan udang vaname telah mendukung capaian produksi udang nasional sehingga pangsa ekspor Indonesia di tingkat dunia relatif tetap. Serangan penyakit berdampak pada pembudidaya yang menggunakan teknologi intensif, tetapi juga non intensif, serta tidak hanya pada tingkat usaha skala kecil juga terhadap perusahaan terintegrasi. Salah satu perusahaan terintegrasi
di
Lampung terkendala juga
serangan
penyakit
IMNV.
Produktivitas per kolam menurun bahkan ada yang mencapai 72.71% antara
163
lain produktivitas per kolam (ukuran 5 000 m) menurun dari 8 405 ton/ kolam atau 16 810 ton/ha pada tahun 2008 menjadi 2 294 kg/kolam atau 4 586 ton/ha pada kuartal kedua tahun 2010 (Gambar 26). Perusahaan tersebut telah mengupayakan pengendalian yaitu dilaksanakannya Standard Operating Procedure (SOP) yang baru menyangkut polyculture udang dengan ikan, pengurangan padat tebar, peningkatan frekuensi pergantian air, dan penambahan kincir untuk meningkatkan sirkulasi oksigen.
9000 8000 7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0
8405 6798 6209
7136
6819 6486
2393
6691 5892
2407 1253
335
7170 5790
2063 1458
2370 2080
1922 1845
5316
2294 1529
533
2007 2008 2009 2009 2009 2009 2010 2010 (Q.1) (Q.2) (Q.3) (Q.4) (Q.1) (Q.2) CPB
WM
AWS
Gambar 26. Dampak Serangan Penyakit terhadap Produktivitas Udang PT XYZ di Lampung Periode 2007-2010 Data lain terkait penyakit yaitu hasil survey oleh Global Aquaculture Alliance (GAA) tahun 2001 yang menemukan bahwa diperkirakan 22% dari produksi udang tahun 2001 hilang akibat penyakit. Sebanyak 60% penyakit disebabkan virus dan 40% oleh bakteri. Kerugian ditaksir mencapai US$ 1 milyar, dan mencapai US$ 6 milyar untuk periode 2001 sampai dengan 2008.
164
Kelima, peningkatan daya saing dapat diupayakan melalui peningkatan produktivitas. Akan tetapi, produktivitas yang diukur dengan pertumbuhan TFP sebagai proxy dari kemajuan teknologi pada studi ini tidak berpengaruh signifikan meningkatkan produksi. Artinya, penambahan produksi terutama lebih karena penambahan faktor produksi. Pembahasan mengenai faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap pertumbuhan TFP disajikan pada Bab VII. 6.2.4. Produksi Udang Hasil Tangkapan Udang hasil tangkapan berperan penting dalam menambah ketersediaan bahan baku. Hasil estimasi terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi udang hasil tangkapan disajikan pada Tabel 24. Berdasarkan kriteria statistik, produksi udang hasil tangkapan secara signifikan pada taraf 5% dipengaruhi harga output (udang segar domestik) dan jumlah penggunaan alat tangkap pukat udang. Hasil estimasi juga menunjukkan bahwa dalam jangka pendek rata-rata peningkatan harga BBM 1%
akan menurunkan produksi sekitar
0.0005%, ceteris paribus. Artinya penting juga upaya pengurangan biaya BBM. Tabel 24. Hasil Estimasi pada Persamaan Produksi Udang Hasil Tangkapan Endogen Produksi udang Hasil Tangkapan (QTNKP)
6.2.5.
Variabel Eksogen
Parameter Dugaan
Intersep 109.5602 Harga riil udang segar domestik 2.296985 Jumlah Alat Tangkap Pukat Udang 0.005401 Harga BBM beda kala -0.00401 2 R = 39.68% Fhitung 0.0499
Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang
Prob > [t] 0.0166
0.3998
0.0079
0.1057 -0.0005
0.0142 0.3980
DW = 1.226172
Harga Udang Domestik dan Permintaan Bahan Baku Hasil estimasi pada persamaan harga udang segar, harga udang beku
domestik, permintaan udang segar oleh industri udang beku, dan permintaan
165
udang beku oleh industri udang segar disajikan pada Tabel 25. Pertama, Berdasarkan data pada Tabel 25, harga udang segar domestik secara signifikan lebih dipengaruhi oleh jumlah ekspor dibandingkan pengaruh dari permintaan udang segar domestik. Kondisi tersebut dapat dimaklumi karena udang merupakan komoditas ekspor, dan relatif mahal bagi konsumen domestik. Kedua, pada Model Daya Saing Udang Indonesia ini, permintaan udang domestik merupakan persamaan identitas sehingga perilakunya tidak diamati. Akan tetapi berdasarkan data Susenas terjadi peningkatan konsumsi udang domestik. Peningkatan konsumsi udang segar domestik dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, hal tersebut merupakan keberhasilan kampanye Gerakan Memasyarakatkan Makan Ikan (Gemarikan) untuk mengkonsumsi udang. Kedua, kemungkinan lain adalah karena ukuran udang yang dihasilkan kurang layak ekspor. Terkait dengan kemungkinan kedua, mengacu pada pengalaman di Philipina, menurut Salayo (2000) udang lebih banyak dijual ke pasar domestik disebabkan produk tersebut tidak memenuhi persyaratan ekspor dalam hal ukuran dan kualitas produk karena udang terserang penyakit. Akibatnya industri pengolahan dalam kondisi problematik. Demikian halnya di Thailand, 55% produk udang Thailand tahun 1987 dikonsumsi domestik, dan setelah dilakukan peningkatan mutu, maka pada tahun 1997 konsumsi domestik menurun menjadi 35%. Sebanyak 90% udang hasil budidaya diekspor, sisanya dikonsumsi domestik dan umumnya berukuran kecil. Rendahnya konsumsi udang domestik di Thailand disebabkan harga udang lebih mahal dibandingkan harga daging ayam dan daging babi.
166
Tabel 25. Hasil Estimasi pada Persamaan Harga Udang Segar Domestik, Harga Udang Beku Domestik, Permintaan Udang Segar oleh Industri Udang Beku, dan Permintaan Udang Beku oleh Industri Udang Olahan
Endogen
Variabel
Harga udang segar domestik (PUSDOM)
R2 = 73.123% Harga udang beku domestik (PUBDOM)
R2 = 58.73% Permintaan udang segar oleh industri udang beku (QDUSB)
Eksogen
Intersep Permintaan udang segar domestik beda kala Jumlah ekspor udang segar Indonesia ke AS Tren waktu Harga riil udang domestik beda kala
Parameter Dugaan
Jangka Pendek
Elastisitas Jangka Panjang
16.47634
Prob > [t] 0.2245
0.039417
0.4056
0.7530
0.2880
38.02945 -2.00702
0.2737
0.5081
0.0149 0.0342
0.461299
0.0286
Fhitung= 0.0006 Intersep 6.045446 Harga udang beku dunia 0.142017 Permintaan udang beku domestik 0.003386 Tren Waktu -0.00116 Harga udang beku domestik beda kala 0.322836
Durbin-h stat tidak terdefinisikan 0.0502
Fhitung= 0.0104 Intersep 30.22418 Selisih harga udang segar domestik -0.14723 Harga riil udang beku domestik 6.985118 Trend waktu 10.71337
Durbin-h stat tidak terdefinisikan 0.4653
0.1274
0.1881
0.1305
0.0101
0.0150
0.4468 0.4930 0.1110
-0.0004
0.4538
0.3461
0.4055 0.0001
R2 = 75.96% Fhitung=0.0001 DW=2.620788 Permintaan udang Intersep -0.24292 beku oleh industri Selisih harga udang udang olahan beku domestik -0.00035 0.0000007 (QDUBO) Produksi udang Olahan Indonesia 2.00169 1.0021 Harga udang olahan dunia 0.017416 0.0065 R2 = 99.99% Fhitung= 0.0001 DW = 2.073017 Produki udang Intersep 9.561422 Olahan Indonesia Harga udang (PruOI) olahan dunia 0.574953 0.4269 Harga udang beku domestik -1.42308 -1.1228 Jumlah ekspor udang olahan Indonesia ke dunia 1.251376 1.1091 Tingkat suku bunga 0.003228 0.0010 R2 = 94.00% Fhitung= 0.0001 DW = 2.262889
0.0821 0.4959 <.0001 0.0948 0.3175 0.2007 0.2137 <.0001 0.4779
167
Ketiga, bahwa pengaruh harga output lebih besar dibandingkan pengaruh harga input untuk persamaan permintaan udang segar oleh industri udang beku. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pengaruh UPI dalam menentukan harga lebih dominan. Kasusnya berbeda untuk udang olahan, produksi udang olahan Indonesia dipengaruhi secara responsif oleh harga input (udang beku). Dengan demikian bahwa ketersediaan bahan baku menjadi penting. Fluktuasi harga yang tinggi menurut Suryana (1989) menunjukkan bahwa sistem pemasaran yang ada tidak mampu mengendalikan sumber interdependensi seperti surplus produksi. Fluktuasi harga antara lain disebabkan ekspor terkonsentrasi ke negara tertentu dan exportir sebagai pembeli membentuk suatu kekuatan yang monopolistik. Keempat, mengingat tidak tersedianya data harga udang olahan domestik, maka dalam Model ini dipilih penggunaan produksi udang olahan dipilih daripada penggunaan harga udang olahan domestik. Permintaan udang beku oleh industri udang olahan secara responsif dipengaruhi oleh produksi udang olahan. Produksi udang olahan secara responsif dipengaruhi oleh harga udang beku domestik. Hal tersebut mengindikasikan bahwa ketersediaan bahan baku berupa udang segar untuk industri udang beku, dan udang beku untuk industri udang olahan berperan penting. Terkait bahan baku, apabila hasil budidaya dengan hasil tangkapan ditambahkan maka jumlahnya cukup memadai. Diduga yang menjadi permasalahan adalah akibat penawaran yang tergantung musim maka pada musim-musim tertentu melimpah dan pada musim lainnya kekurangan. Akibatnya disatu sisi, UPI mengalami kekurangan bahan baku sehingga
168
diperlukan impor, dilain pihak pembudidaya udang yang diwakili oleh Shrimp Club Indonesia (SCI) menyatakan bahwa bahan baku mencukupi sehingga impor tidak diperlukan. Implikasi dari hal tersebut adalah perlunya keakuratan mengenai data perikanan. Salah satu strategi yang dilakukan UPI dalam menjaga kesinambungan ketersediaan bahan baku yaitu dengan memiliki tambak sendiri. Akan tetapi, ketika udang terkena serangan penyakit, kondisi tersebut akan mempengaruhi keberlanjutan usaha. Menurut Adriyadi (2009), hanya beberapa UPI yang dikelola dengan baik. Beberapa penyebab tutupnya UPI adalah: over investment yaitu kapasitas besar kemampuan penawaran udang kurang memadai, terjebak dalam kebijakan pembelian/ penjualan udang yaitu beli mahal jual murah, dan modal kerja pembelian udang ekspor digunakan untuk membiayai tambak yang gagal panen. Kelima, pada studi ini, pengaruh tingkat suku bunga pinjaman terhadap produksi udang olahan relatif kecil. Dengan demikian disamping penurunan tingkat suku bunga perlu juga upaya lain untuk mendorong industri pengolahan. Upaya tersebut antara lain kemudahan investasi, pembangunan infrastruktur, dan memberikan insentif pada perusahaan yang membuat produk udang bernilai tambah. Selain itu, perlu mengupayakan agar industri udang olahan lebih dekat dengan penyediaan bahan baku. Pengaruh hal-hal tersebut tidak tertangkap pada Model yang dibangun. 6.2.6. Perbandingan dengan Thailand Perbandingan dengan Thailand pada aspek produksi hanya didasarkan studi pustaka. Secara umum, Indonesia memiliki beberapa kesamaan dengan
169
Thailand. Pengembangan udang di Thailand dengan di Indonesia relatif sama, akan tetapi Thailand lebih maju. Nilai industri udang Thailand mencapai 1,1% dari GDP Thailand pada tahun 2006, memberi lapangan pekerjaan bagi lebih dari 1 juta orang dengan devisa sekitar US$ 2 milyar. Dari jumlah tersebut sebanyak 90% berasal dari input lokal (Institute for Management Education for Thailand Foundation, 2002). Berikut disajikan beberapa hal terkait biaya produksi, penyakit, dan lainnya yang menyebabkan Thailand lebih maju dibandingkan negara lain. Dalam upaya mempertahankan daya saing perhatian utama yang dilakukan Thailand adalah terhadap kualitas produk dan keamanan pangan. Thailand menjadi pemimpin dalam ekspor udang dan memperoleh keunggulan kompetitif melalui tingginya produktivitas tambak (Wyban, 2007a). Pertama, key success faktors usaha tambak di Thailand yaitu penerapan teknologi pada semua level mulai hatchery, tambak, pabrik pakan, UPI, dan perusahaan pemasaran internasional. Dukungan dari sisi keuangan tidak lepas dari peran dari Charoen Pokphan Feed, dan Thai Union Frozen Food. Pemerintah dan universitas mendukung melalui riset dan penyuluhan. Thailand’s Mahachai Shrimp Auction juga menyediakan kesempatan pembudidaya melakukan lelang yang kompetitif. Selain itu, perusahaan Thailand juga mempunyai perusahaan pemasaran di Jepang, EU, dan AS. Dilain pihak, biaya produksi untuk beberapa komponen relatif sama. Hasil studi Ling et al., (1999) yang meneliti perbandingan biaya produksi berdasarkan survey tahun 1994/1995 pada berbagai tingkat teknologi, mengungkapkan bahwa pada biaya tetap Indonesia lebih mahal untuk tingkat
170
suku bunga yaitu US$ 0.16/kg atau mencapai 3.6% dibandingkan Thailand yang hanya US$ 0.11 atau 2.6% (Gambar 27).
Sumber: Ling et al., (1991)
Gambar 27. Perbandingan Biaya Produksi Udang Tambak Indonesia dengan Thailand Berbeda dengan di Indonesia, Thailand relatif lebih berhasil dalam mengatasi serangan penyakit hasil dari program bioteknologi melalui National Center for Genetic Engineering and Biotechnology (BIOTEC). Hasilnya, tingkat kerugian akibat penyakit hanya 29% pada tahun 1990, sementara negara lain mengalami kerugian sampai dengan 80% (China merugi 120.000 ton senilai US$ 400 M dan Equador merugi senilai US$ 350 milyar). Waktu pemulihan dari serangan penyakit juga lebih cepat (Tanticharoen et al., 2008). Menurut Szuster (2003) dalam Sriwichailamphan (2007), kunci keberhasilan dalam mengatasi permasalahan penyakit adalah pelaksanaan
biosecurity
(Wyban, 2007a). Upaya yang dilakukan antara lain deteksi pathogen pada benur sebelum ditebar menggunakan Polymere Chain Reaction (PCR) dan Real Time-Polymere Chain Reaction (RT-PCR). Upaya lain antara lain
171
penggunaan metode diagnostik penyakit yang mudah dikerjakan oleh pembudidaya, penggunaan probiotik, dan imunostimulan. Thailand sukses mempertahankan sebagai eksportir udang utama karena: berubahnya peran pemerintah, kebijakan publik, dan dukungan lainnya, khususnya melalui pendekatan kluster. Pemerintah mengkoordinasikan dan mengintegrasikan semua aktifitas industri, termasuk aspek ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menunjang dan mengembangkan produksi dan pemasaran. Beberapa studi menyarankan bahwa “a cooperative cluster” merupakan pendekatan terbaik untuk pengembangan industri. Semua pihak ada perwakilan baik dari pemerintah, pembudidaya sampai dengan eksportir. Pemerintah memperkuat kelembagaan koperasi. Manfaatnya terasa yaitu makin efektifnya pengelolaan budidaya melalui sistem manajemen terpadu. Pemerintah Thailand berubah peran dari “strong” regulator menjadi fasilitator dalam membantu industri udang menciptakan peluang pasar dan meningkatkan daya saing melalui penelitian dan pengembangan. Selain itu, Thailand mampu bersaing dengan China dan Vietnam karena pengolah udang memiliki peralatan tercanggih dan kualitas SDM yang tinggi. Termasuk didalamnya berupa transfer teknologi dari Jepang. Pembudidaya di daerah memiliki asosiasi dan umumnya adalah koperasi. Asosiasi ditingkat pengolah berfungsi untuk tukar menukar informasi, bantuan dari konsultan independen perusahaan, dan the Thai Industrial Standards Institute mendukung pengembangan produk (Sriwichailampan, 2007). Pemerintah Thailand juga telah berupaya mengembangkan udang windu, namun kurang berhasil. Guna mengurangi penurunan produksi akibat
172
lambatnya pertumbuhan udang windu yang menyebabkan capaian produksi hanya 260 ribu dari 300 ribu ton, maka dilakukan impor induk dan domestikasi P. monodon. kurang
Pertimbangannya, udang tersebut mempunyai pasar khusus,
tersaingi, dan mempunyai harga tinggi. Pada periode 2003-2007
tersebut kebutuhan dana mencapai sekitar US$ 18 juta. Menurut Lebel et al, (2010) industri udang Thailand diuntungkan dengan pergantian dari udang windu ke udang vaname. Selain itu, dukungan dari perusahaan multi-nasional (PT CP), izin untuk impor induk, penanganan penyakit melalui penyiapan benur Specific Pathogen Free (SPF) dan biaya produksi lebih rendah. Pengaruh udang vaname terhadap lingkungan yaitu membutuhkan lebih sedikit sumberdaya dan menghasilkan lebih sedikit limbah. Sebagai contoh, untuk menghasilkan satu ton udang vaname hanya dibutuhkan 51 000 benur udang putih, sedangkan udang windu 128 000 ekor, air yang dibutuhkan sebanyak 2 540 m3, sedangkan udang windu sebanyak 9 240 m3, udang putih membutuhkan energi 4 610 kWh, sedangkan udang windu 8 100 kWh, kebutuhan pakan udang vaname 1 620 kg, sedangkan windu sebanyak 2 420 kg. Kunci sukses Thailand dengan vannamei adalah dengan mengontrol induk udang impor untuk menjamin kecukupan suplai dari induk vaname yang benar-benar SPF. Sehubungan dengan hal tersebut, diperlukan ijin dari Departemen Perikanan dengan dua tahun tahun perkembangan benur yang dihasilkan SPF, dan memerlukan sertifikasi dari pemerintah AS yaitu berasal dari Oceanic Institute di Hawaii (Otoshi et al., 2007).
173
Kunci sukses usaha budidaya berada pada induk udang dan benur bersertifikat. Revolusi budidaya udang Thailand terutama diuntungkan oleh domestikasi dan breeeding P. vannamei SPF oleh perusahaan AS. Perusahaan Thailand (Thai Union Feed Mill/TFM) produsen pakan terbesar yang merupakan bagian dari Thai Union Frozen Food Ltd (TUF) bekerjasama dengan High Health Aquaculture (HHA). Join venture tersebut diberi nama High Health Thailand dengan biaya US$ 11 juta mulai tahun 2005. Hatchery dibangun di pantai Khao Pilai di Phang Nga mulai tahun 2006 dan selesai April tahun 2007.
Kapasitas produksi 300 juta PL/bulan menggunakan induk
GxTVR tm (bebas penyakit, cepat tumbuh, dan resisten terhadap Taura Virus Syndrome) yang berasal dari HHA di Hawaii dan ditangani oleh personil dari HHA. Kebijakan Pemerintah Thailand lainnya termasuk subsidi, infrastruktur dan riset merupakan faktor penting tumbuhnya industri (Goss et al., 2009; Sagheer et al., 2007). Keberhasilan blue revolution atau intensifikasi budidaya ikan, tidak terlepas karena impor udang putih di Thailand secara ilegal dari China pada tahun 1998. Udang putih yang dibudidayakan tersebut sebagian berhasil panen dan sebagian terkena penyakit. Pada tahun 2001 banyak perusahaan melakukan impor sehinggga pada tahun 2002 Pemerintah Thailand mulai memberi izin dan mendata perusahaan yang diperbolehkan mengimpor induk vananme SPF (Sitimung, 2004). Izin impor makin mudah setelah terjadinya penyakit MSG (Monodon Slow Growth) dengan importir utamanya yaitu Charoen Pokphan (CP). Dengan kondisi tersebut, CP memperoleh kesempatan strategi baru yaitu untuk menjual pakan udang dan benur sekaligus.
174
Pemerintah Thailand juga memberikan dukungan terutama riset bidang penyakit. Ketergantungan pada komponen impor dikurangi, semula sekitar 2550% berkurang menjadi 25% untuk komponen pakan, peralatan tambak, dan BBM. Pengalaman pembudidaya juga ditingkatkan melalui training secara langsung, penyuluhan melalui CD, dan penyuluhan melalui internet dan kelembagaan (CORIN, 2000). Dari sisi SDM, produktivitas tenaga kerja dan produktivitas bahan baku Thailand lebih baik dari China danVietnam karena pengalaman dan keahlian tenaga kerja Thailand, termasuk transfer teknologi dari Jepang. Akan tetapi, industri udang di Vietnam dan China mempunyai pertumbuhan yang tinggi karena rendahnya biaya produksi, baik upah tenaga kerja maupun bahan baku. Pemerintah Thailand juga membuat tambak percontohan (dempond), dan Code of Conduct dikembangkan ke 22 provinsi. Pemerintah melakukan sertifikasi hatchery, distributor, dan unit pengolah ikan. Promosi ekspor dilakukan untuk mempersepsikan bahwa produk udang Thailand bermutu tinggi, aman, dan ramah lingkungan. Unit Pengolah Ikan menerapkan HACCP, dan traceability dilaksanakan. Pemerintah pusat bekerjasama dengan daerah, perusahaan swasta utama seperti CP Group dan universitas Kasetsart, Mahidol and Sri Nakarindharaviroj (Tanticharoen, 2002). Terkait peran swasta, CP Grup mempunyai 14 pusat penyuluhan (technical extension center) yang dilengkapi dengan fasilitas laboratorium kimia dan biologi, serta menyediakan pelatihan secara bebas, analisis kualitas air. Untuk daerah yang padat budidaya disediakan juga laboratorium keliling.
175
Thailand juga concern dengan pembangunan tambak berkelanjutan. Kriteria usaha budidaya berkelanjutan sebagai tambak yang mempunyai produktivitas tinggi, low problem cost, berdampak rendah terhadap lingkungan. Hasilnya adalah tambak yang mempunyai luas kecil, usaha keluarga dengan dengan tandon, kolam pemeliharaan dengan kedalaman 1.5 m - 1.7 m dan kolam pengolah limbah. Pembudidaya menggunakan pakan komersial buatan Thailand, penggunaan kapur sebelum ditanam, rendah FCR, ada periode pengeringan kolam, menerima penyuluhan dari petugas penyuluh. Berlokasi di daerah mangrove, sehingga permasalahan dengan sedimen, salinitas, dan air relatif rendah. 6.3.
Blok Perdagangan Udang Segar Hasil studi Keefe (2002) menunjukkan bahwa dalam perdagangan
udang dunia terjadi substitusi antar satu produk (segar, beku, olahan) dengan produk lainnya pada tingkat substitusi berbeda-beda. Udang segar umumnya diperdagangkan untuk diekspor kembali. Belanda, contohnya, mere-ekspor udang segar dalam rangka memperoleh nilai tambah. Dari total impor senilai US$ 459 juta pada tahun 2010. Belanda merupakan importir utama dunia dengan nilai US$ 52 juta, disusul Belgia US$ 45 juta, dan Perancis US$ 35 juta. Di Asia, importir utama yaitu Singapura dengan nilai US$ 46 juta. Eksportir utama juga diduduki oleh Belanda dengan nilai US$ 133 juta, disusul China US$ 110 juta, dan Malaysia US$ 47 juta. Salah satu bentuk udang segar yang diekspor yaitu udang organik yang dikembangkan di beberapa daerah seperti di Sidoarjo dan di sekitar Delta Mahakam Kalimantan Timur dengan tujuan ekspor ke Jepang. Dewasa ini,
176
pengembangan udang organik masih belum optimal. Berikut disajikan pembahasan kondisi penawaran dan permintaan berdasarkan tujuan ekspor yaitu pasar Jepang, AS, dan UE-27. 6.3.1. Pasar Jepang Hasil pembahasan pada Bab V, Indonesia tidak mempunyai keunggulan komparatif dalam mengekspor udang segar ke pasar Jepang pada periode 20042008. Hasil estimasi pada persamaan penawaran, harga, dan permintaan impor udang segar dicantumkan pada Tabel 26. Berdasarkan Tabel 26 hal tersebut diindikasikan oleh penurunan jumlah ekspor, penurunan harga ekspor, dan penurunan permintaan. Terjadi tren penurunan jumlah ekspor dan signifikan pada selang kepercayaan 7%. Harga ekspor juga menurun yang nilainya lebih besar dibandingkan tren penurunan harga ekspor udang segar Thailand. Pengaruh harga ekspor
Indonesia kurang responsif dibandingkan dengan
pengaruh harga ekspor Thailand ke Jepang. Indonesia hanya market follower dalam perdagangan udang segar sehingga eksportir perlu memantau perkembangan harga dunia. Pertama, pengaruh harga ekspor udang segar Indonesia (jangka pendek dan jangka panjang) tidak responsif terhadap jumlah ekspor. Jumlah ekspor udang segar Indonesia juga dipengaruhi oleh selisih harga udang segar Thailand di pasar Jepang.
177
Tabel 26. Hasil Estimasi pada Persamaan Jumlah Ekspor, Harga Ekspor, dan Permintaan Impor Udang Segar Jepang Endogen Jumlah ekspor udang segar Indonesia ke Jepang (QXSIJ)
Variabel Eksogen Intersep Harga ekspor udang segar Indonesia ke Jepang Selisih harga ekspor Thailand ke Jepang Produksi udang segar Indonesia Dummy D_LAW Trend waktu Jumlah ekspor udang segar Indonesia beda kala
Parameter Dugaan
Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang
0.689240
Prob > [t] 0.0837
0.015461
0.2992
0.3426
0.2383
-0.00444
-0.0031
-0.0036
0.4137
0.000342 0.098432 -0.054890
0.2798
0.3204
0.4093 0.3408 0.0734
0.126892
0.3146
R2 = 79.79% Fhitung= 0.0013 Durbin-h stat tidak terdefinisikan Jumlah Intersep 0.321829 0.0972 ekspor Harga udang segar Thailand udang segar ke Jepang beda kala 0.000585 0.0217 0.4839 Thailand ke Harga ekspor udang beku Jepang Thailand ke Jepang -0.00177 -0.0657 0.4507 (QXSTJ) Dummy penerapan LAW -0.37324 0.0016 Tren waktu 0.018058 0.0542 2 R = 61.20% Fhitung= 0.0070 DW = 2.655282 Harga Intersep 1.298599 0.4473 ekspor Rasio harga udang segar udang segar dunia terhadap harga beku Indonesia ke dunia 2.751579 0.3562 0.6452 0.2964 Jepang Nilai tukar Rp/US$ 0.000372 0.2605 0.4718 0.2247 (PXSIJ) Permintaan udang segar domestik 0.002523 0.1041 0.1886 0.4435 Tren waktu -0.27234 0.1886 Harga ekspor udang segar Indonesia ke Jepang beda kala 0.447904 0.0377 2 R = 49.01% Fhitung= 0.0852 Durbin-h stat tidak terdefinisikan Harga Intersep 13.51359 0.0011 ekspor Rasio harga udang segar udang segar dunia terhadap harga beku Thailand ke dunia 1.158349 0.1370 0.3632 Jepang Selisih nilai tukar Baht//US$ 0.048442 0.0036 0.2694 (PXSTJ) Trend waktu -0.40212 0.0010 2 R = 54.902% Fhitung= 0.0064 DW = 1.4630808 Jumlah Intersep -9.43254 0.2264 impor udang Harga udang beku dunia segar terhadap harga udang segar Jepang dari dunia 1.751793 0.4953 0.7890 0.2050 Dunia Jumlah GDP Jepang 0.11496 4.0462 6.4451 0.1931 (QMSJD) Tren waktu -0.15842 0.1345 Jumlah impor udang segar Jepang dari dunia beda kala 0.372196 0.0906 R2 = 50.07% Fhitung= 0.0349 Durbin-h stat tidak terdefinisikan
178
Peningkatan selisih harga
udang segar Thailand tahun berjalan
dibandingkan tahun sebelumnya, menurunkan kuantitas ekspor udang segar Indonesia ke pasar Jepang. Kondisi tersebut diduga karena udang segar merupakan porsi kecil dari ekspor udang Indonesia dan Thailand. Indonesia dan Thailand kurang berperan dalam perdagangan udang segar dunia. Kedua, pengaruh ketersediaan bahan baku juga tidak responsif. Kondisi tersebut diduga karena udang segar ke Jepang relatif terbatas. Berdasarkan data UNComtrade tahun 2010, udang segar yang diimpor oleh Jepang mayoritas berasal dari China dan Philipina. Ketiga, dari sisi permintaan, udang segar Jepang dipengaruhi secara responsif oleh pendapatan yang diproxy oleh GDP. Peningkatan 1% pendapatan akan meningkatkan permintaan udang segar 4.04% dalam jangka pendek dan 6.44% jangka panjang. Hal tersebut sejalan dengan studi Keefe (2002), udang segar di Jepang elastis terhadap pendapatan. Pemenuhan akan persyaratan mutu untuk Indonesia bernilai positif. Hal tersebut diduga karena importir sering melakukan pengecekan langsung. Dengan demikian, penurunan harga dan penurunan kuantitas eskpor diduga karena pengaruh komposisi produk. Semula mayoritas ekspor udang segar adalah windu menjadi vaname yang relatif berukuran lebih kecil. Menurut Suryana (1989) harga yang rata-rata lebih tinggi di pasar Jepang disebabkan kualitas lebih tinggi antara lain ukuran udangnya lebih besar. 6.3.2. Pasar AS Hasil estimasi pada persamaan jumlah, harga ekspor, permintaan udang segar dari Indonesia dan Thailand ke pasar AS disajikan pada Tabel 27.
179
Tabel 27. Hasil Estimasi pada Persamaan Jumlah Ekspor, Harga Ekspor, dan Permintaan Impor Udang Segar AS Endogen Jumlah ekspor udang segar Indonesia ke AS (QXSIA)
Jumlah ekspor udang segar Thailand ke AS (QXSTA)
Harga ekspor udang segar Indonesia ke AS (PXSIA) Harga ekspor udang segar Thailand ke AS (PXSTA)
Variabel Eksogen
Parameter Dugaan
Intersep 0.313205 Harga ekspor udang segar Indonesia ke AS beda kala 0.010356 Harga ekspor udang segar Thailand ke AS -0.03318 Produksi udang segar Indonesia beda kala 0.000379 Dummy penerapan HACCP 0.162817 Tren waktu -0.00798 2 R = 66.19% Fhitung < 0.0084 Intersep -0.23229 Harga ekspor udang segar Thailand ke AS 0.061312 Selisih harga ekspor udang beku Thailand ke AS -0.0353 Dummy penerapan HACCP -0.15523 Tren waktu 0.011926 2 R = 70.10% Fhitung < 0.00130
Intersep -19.2216 Harga udang segar dunia 0.464413 Nilai tukar Rp/US$ 0.001664 Permintaan udang segar domestik 0.050524 Trend waktu -0.89197 2 R = 52.60% Fhitung < 0.0252
Intersep 8.153858 Rasio harga udang segar dunia terhadap harga udang beku dunia 5.085056 Selisih nilai tukar Baht/US$ 0.049712 Tren waktu -0.49973 2 R = 81.13% Fhitung < 0.0001 Jumlah Intersep 3.270071 impor udang Harga udang segar dunia segar AS beda kala -0.09349 dari Dunia Harga udang beku dunia 0.26262 (QMSAD) Trend waktu -0.16159 R2 = 59.58% Fhitung= 0.0029
Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang
Prob > [t] 0.2169
0.3096
0.2287
-1.1398
0.1164
0.5490
0.3932 0.1478 0.4141
DW=2.248408 0.2075 1.5366
0.0041
-0.0397
0.1025 0.0895 0.1581
DW = 2.461712 0.7265 1.3992 2.5041
0.0542 0.1647 0.0033 0.0172 0.0241
DW = 2.093277 0.0011
0.7007 0.0043
0.0102 0.1511 <.0001
DW=2.671223 0.2477 -0.4031 0.8963
0.2964 0.2203 0.1180
DW = 1.083267
Pertama, pengaruh harga ekspor udang segar Thailand ke AS lebih responsif dibandingkan dengan pengaruh harga ekspor udang segar Indonesia. Peningkatan 1% harga ekspor udang segar Indonesia beda kala meningkatkan jumlah ekspor 0.03096%, dan setiap peningkatan harga ekspor udang segar
180
Thailand 1% akan menurunkan jumlah ekspor Indonesia sebesar 1.1398%. Sebaliknya, jumlah ekspor Thailand ke AS secara responsif dalam jangka pendek dipengaruhi oleh harga ekspor riil Thailand dengan nilai elastisitas 1.5366. Dengan demikian, Thailand dapat menggunakan harga jual untuk meningkatkan pangsa pasar, sedangkan harga ekspor Indonesia kurang responsif sehingga untuk meningkatkan pangsa pasar diperlukan diferensiasi produk. Kedua, harga ekspor Indonesia responsif terhadap permintaan udang segar domestik. Artinya bahwa ketersediaan bahan baku menjadi penting untuk ekspor ke AS. Menurut Keefe (2002), secara umum ketersediaan bahan baku menjadi penting karena penurunan 30% penawaran akan meningkatkan harga udang dunia 29.2%. Ketiga, dummy persyaratan mutu Indonesia ke AS bernilai positif, artinya Indonesia dapat beradaptasi dengan persyaratan mutu oleh pasar AS. Hal tersebut diduga karena HACCP telah diterapkan relatif lama yaitu sejak tahun 1996. Upaya-upaya yang telah dilakukan Pemerintah Indonesia antara lain dengan membentuk otoritas kompeten yang mensinergikan mutu dan keamanan hasil produk perikanan sejak kegiatan primer sampai dengan pengolahan. Pada tingkat pembudidaya, kegiatan yang dilakukan antara lain penerapan Cara Budidaya Ikan yang Baik. Namun demikian, hasilnya belum optimal. Sampai dengan tahun 2011 baru sekitar 800-an dari ribuan pembudidaya baik untuk perikanan tawar, payau, maupun laut yang memperoleh sertifikat CBIB.
181
6.3.3. Pasar UE-27 Hasil estimasi pada persamaan jumlah dan harga ekspor udang segar Indonesia dan Thailand ke UE-27 disajikan pada Tabel 28. Berdasarkan Tabel 28, pengaruh harga ekspor Indonesia terhadap jumlah ekspor ke UE tidak responsif. Permintaan udang segar oleh UE dalam jangka panjang dipengaruhi oleh harga udang segar beda kala. Pengaruh dummy penerapan mutu bernilai negatif untuk Indonesia di pasar UE-27. Pada periode 1999-2002, daftar peringatan dini untuk pangan dan pakan (Rapid Alert Sistem for Food and Feed/RASFF) asal Indonesia ke pasar UE meningkat dari 79 menjadi 94, 112, dan 217 kasus. Pada periode 20042008 terjadi penurunan berturut-turut dari 59 kasus menjadi 49, 34, 17, dan 3 kasus. Khusus untuk udang, RASFF periode 2003-2006 berturut-turut adalah 12, 16, 8, dan 4 kasus (Simangunsong, 2008). Kondisi tersebut diduga karena faktor jarak mempengaruhi dan ketidaksiapan infrastruktur pendukung. Terkait infrastruktur, contohnya, menurut Chiang dan Liao (1985) dalam Ling et al., (1996) pada periode 1989-1991 Taiwan mempunyai keunggulan komparatif mengekspor udang bermutu (seperti udang hidup) ke Jepang dengan nilai RCA 17.2 - 19.1 dan bentuk peeled fresh ke AS
karena memadainya jaringan pengapalan/pengiriman,
kemasan, dan transportasi. Dengan lama perjalanan sampai 15 jam, tingkat kelangsungan hidup udang mencapai di atas 80%. Di Indonesia penggunaan kapal pengangkut khusus, masih terbatas pada ekspor ikan hidup terutama ikan kerapu dan lobster. Australia mempunyai keunggulan dalam menjual udang lobster hidup karena menggunakan pesawat (Goodrick et al. 1993).
182
Tabel 28. Hasil Estimasi pada Persamaan Jumlah Ekspor, Harga Ekspor, dan Permintaan Impor Udang Segar UE-27 Endogen Jumlah ekspor udang segar Indonesia ke UE-27 (QXSIU)
Jumlah ekspor udang segar Thailand ke UE-27 (QXSTU)
Variabel Eksogen Intersep Selisih harga ekspor udang segar Indonesia ke UE-27 Dummy penerapan MRL Tren waktu Produksi udang segar Indonesia R2 = 49.97% Fhitung= Intersep Rasio harga ekspor udang segar Thailand terhadap harga ekspor udang segar Indonesia ke UE-27 Dummy penerapan MRL Tren waktu Jumlah ekspor udang segar Thailand ke UE-27 beda kala
Parameter Dugaan
Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang
0.331714
Prob > [t] 0.0060
0.046655 -0.00946 -0.01012
0.0054
0.0829 0.4616 0.4479
0.000051
0.46155
0.2041
< 0.0358
DW= 2.731438
0.043619
0.048374 0.030801 -0.00237
0.4104
0.4346
0.6865
0.366888
0.2416 0.3464 0.3909
0.1027
R2 = 23.49% Fhitung < 0.4057 Durbin-h stat tidak terdefinisikan Harga Intersep -0.86622 0.3462 ekspor Harga udang segar dunia udang segar beda kala 0.111618 0.2887 0.8507 0.1004 Indonesia ke Nilai tukar riil Rp/US$ beda UE-27 kala 0.000064 0.0886 0.2610 0.2707 (PXSIU) Permintaan udang segar domestik beda kala 0.001859 0.1421 0.4187 0.2080 Harga udang segar Indonesia ke UE-27 beda kala 0.66058 0.0011 R2 = 59.32% Fhitung < 0.0095 Durbin-h = 2.668498 Harga ekspor udang segar Thailand ke UE-27 (PXSTU)
Intersep 9.320629 Rasio harga udang segar dunia terhadap harga udang beku 0.102881 0.0165 Selisih nilai tukar Baht/US$ 0.014955 0.0015 Tren waktu -0.15331 R2 = 27.06% Fhitung < 0.1807 DW = 1.706386 Jumlah Intersep 7.622035 impor udang Selisih harga udang segar segar UE-27 dunia terhadap harga beku dari Dunia dunia -2.99104 -0.3771 -1.0305 (QMSUD) Jumlah impor udang segar UE-27 dari dunia, beda kala 0.634033 2 R = 45.65% Fhitung= 0.0076 Durbin-h = -0.085062
0.0013
0.4826 0.3943 0.0323 0.2969
0.3862 0.0038
183
Dummy persyaratan mutu ekspor Thailand ke UE bernilai positif atau udangnya sudah memenuhi persyaratan mutu. Upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Thailand pada tingkat pembudidaya jauh lebih maju, CBIB atau GAP sampai dengan tahun 2006 telah menjangkau sekitar 34 000 petambak, dan yang memiliki sertifikat Code of Conduct (CoC) sebanyak 491 petambak. Selain itu, menurut Manarungsan et al., (2005), pada periode 1998-2002 Thailand juga mengeluarkan biaya rata-rata US$ 9.95/ton untuk pengujian antibitotika (chloramphenicol dan nitrofurans) di laboratorium, dan US$ 4.3 juta untuk pembelian alat-alat laboratorium. Dalam rangka mengatasi permasalahan mutu, menurut Simangunsong (2008) pendekatan end process
saat ini sudah tidak mencukupi, tetapi
memerlukan pendekatan in process.
Pengujian pada produk akhir kurang
mencegah terjadinya kontaminan pada produk pangan dibandingkan program in process. Akan tetapi, penerapan HACCP/PMMT tidak mudah diaplikasikan pada tiap tahapan kegiatan, khususnya ditingkat produksi primer. Agar terjadi keefektifan penggunaan Program tersebut ditiap rantai pasokan, maka perlu kombinasi dengan program lainnya. Selain itu, kontrol keamanan hasil produk perikanan tidak akan berhasil tanpa dukungan pemerintah dan pihak swasta. Faktor lainnya yang diduga berpengaruh terhadap daya saing adalah jumlah total ekspor seluruh barang Indonesia ke pasar tertentu dan jumlah ekspor dari seluruh negara ke pasar tersebut. Faktor tersebut merupakan variabel eksogen dalam Model. Dalam kasus udang segar ini, pertumbuhan ekspor total seluruh barang asal Indonesia ke Jepang lebih besar dibandingkan periode sebelumnya sehingga RCA menjadi lebih rendah. Artinya udang segar
184
tersebut tidak menjadi spesialisasi untuk diperdagangkan, atau kurang diprioritaskan. Kondisi di atas cukup menjelaskan mengapa terjadi penurunan keunggulan komparatif untuk udang segar Indonesia 6.4.
Blok Perdagangan Udang Beku Udang beku merupakan produk yang mayoritas diperdagangkan di
dunia. Ekspor udang Indonesia juga didominasi oleh udang dalam bentuk beku. Hasil estimasi pada persamaan Blok Perdagangan Udang Beku disajikan pada Tabel 29 sampai dengan Tabel 32. Berdasarkan Tabel 29, harga udang dunia secara signifikan dipengaruhi oleh jumlah ekspor udang beku dunia beda kala, artinya pengaruh penawaran udang lebih besar. Tabel 29. Hasil Estimasi pada Persamaan Harga Udang Beku Dunia
Endogen Harga udang beku dunia
Variabel Eksogen
Parameter Dugaan
Intersep Total ekspor udang beku dunia beda kala Total impor udang beku dunia Harga udang beku dunia beda kala
R2 = 88.81%
Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang
3.196957
Prob > [t] 0.2021
-0.00194
-0.2004
-0.8855
0.1914
0.000698
0.0821
0.3629
0.3925
0.773665
Fhitung= 0.0001
0.0012
Durbin-h = -0.26316
6.4.1. Pasar Jepang Jepang merupakan pasar utama udang beku Indonesia. Udang beku mencapai 97% dari seluruh impor Jepang. Hasil estimasi disajikan pada Tabel 30. Berdasarkan Tabel 30, pengaruh harga ekspor terhadap penawaran ekspor udang beku Indonesia ke Jepang bersifat inelastis baik jangka pendek maupun jangka panjang sejalan dengan studi Retnowati (1990) yang memperoleh elastisitas harga rataan sebesar 0.07089.
185
Tabel 30. Hasil Estimasi pada Persamaan Jumlah Ekspor, Harga Ekspor, dan Permintaan Impor Udang Beku Jepang Endogen Jumlah ekspor udang beku Indonesia ke Jepang (QXBIJ)
Variabel Eksogen Intersep Selisih harga ekspor udang beku Indonesia ke Jepang Selisih harga ekspor udang olahan Indonesia ke Jepang Selisih produksi udang beku Indonesia Dummy penerapan LAW Tren waktu Jumlah ekspor udang beku Indonesia ke Jepang beda kala
Parameter Dugaan
Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang
Prob > [t]
49.57301
0.0197
0.351757
0.0010
0.0015
0.4274
-1.79196
-0.0031
-0.0047
0.0559
0.057745 13.59891 -2.02894
0.0031
0.0046
0.2004 0.0530 0.0155
0.326136
R2 = 82.03% Fhitung= 0.0007 Durbin-h stat tidak terdefinisikan Jumlah ekspor Intersep 52.19446 udang beku Selisih harga udang beku Thailand ke dunia 0.891015 0.0092 0.0361 Jepang Harga udang olahan dunia (QXBTJ) beda kala -2.86458 -0.8824 -3.4750 Dummy penerapan LAW 0.763894 Tren waktu -1.24465 Jumlah ekspor udang beku Thailand ke Jepang beda kala 0.746079 2 R = 87.93% Fhitung < 0.0001 Durbin-h stat tidak terdefinisikan Harga ekspor Intersep -5.22761 udang beku Harga udang beku dunia 1.326728 1.3546 Indonesia ke Selisih nilai tukar Rp/US$ 0.000041 0.0003 Jepang Tren waktu (PXBIJ) 0.158062 2 R = 77.42% Fhitung < 0.0001 DW = 2.378983 Harga ekspor Intersep -5.47598 udang beku Harga udang beku dunia 1.105253 1.0240 Thailand ke Nilai tukar Baht/US$ 0.136942 0.4614 Jepang Tren waktu (PXBTJ) 0.018801 2 R = 80.11% Fhitung < 0.0001 DW = 2.340566 Jumlah impor Intersep -7298.24 udang beku Harga udang beku dunia beda Jepang dari kala -7.6213 -0.3136 dunia Harga udang olahan dunia (QMBJD) beda kala 0.970753 0.0409 GDP Jepang 4.356753 1.7224 Jumlah populasi Jepang 59.27902 29.5927 Tren waktu -28.0142 2 R = 81.66% Fhitung= 0.0002 DW = 1.159396
0.1526 0.0037 0.3280 0.0108 0.4630 0.0223 0.0039 0.1851 0.0020 0.4340 0.1686 0.1952 0.0069 0.0199 0.4556 0.0400 0.2408 0.4560 0.1393 0.0322 0.0110
186
Harga ekspor Indonesia dan Thailand secara signifikan dan responsif dipengaruhi oleh harga udang beku dunia. Artinya bahwa harga udang internasional telah terintegrasi dengan harga domestik di masing-masing negara.
Hasil penelitian Vinuya (2006) menggunakan teknik kointegrasi
menunjukkan bahwa harga udang di AS, UE, dan Jepang terintegrasi dan berlaku “the law of one price”. Pengaruh barang substitusi yaitu udang olahan juga tidak elastis. Menurut Keefe (2002) terjadi persaingan antara udang beku dan segar di pasar Jepang Dari sisi permintaan, jumlah permintaan impor Jepang tidak responsif terhadap harga udang beku dunia. Hal tersebut mengindikasikan bahwa produk udang beku merupakan kebutuhan pokok. Tingginya permintaan terhadap udang beku dapat dimengerti karena bentuk ini lebih tahan dibandingkan udang segar. Permintaan udang beku di pasar Jepang kurang terpengaruh oleh perubahan harga udang beku dunia, dibandingkan udang segar dunia. Permintaan dipengaruhi oleh populasi baik jangka pendek dan jangka panjang, oleh harga dunia beda kala, dan oleh GDP dalam jangka panjang. Menurut Keefe (2002), permintaan Jepang akan udang beku sangat responsif terhadap perubahan harga antara Thailand dan Indonesia, dibandingkan dengan harga udang beku dari China dan Vietnam. Penurunan harga impor Indonesia 1% akan menurunkan permintaan udang beku dari Thailand 1.60%. Thailand dan Indonesia merupakan eksportir besar yang menyuplai udang beku ke Jepang. Dugaan penurunan daya saing ekspor udang beku Indonesia di pasar Jepang, berdasarkan Tabel 30 ditunjukkan oleh
187
kecenderungan menurunya tren jumlah ekspor Indonesia dan Thailand dengan nilai yang lebih besar bagi Indonesia. Dari sisi persyaratan mutu, Indonesia dan Thailand dapat memenuhinya, ditunjukkan dengan dummy LAW yang positif. Dengan demikian, terdapat faktor lain yang diduga mempengaruhi penurunan tersebut. Berdasarkan Tabel, nilai elastisitas ketersediaan bahan baku untuk ekspor Indonesia ke Jepang mempunyai nilai lebih rendah dibandingkan dengan ekspor udang beku Indonesia ke AS dan UE-27. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa jenis/ukuran udang beku yang diekspor menjadi penting. Hal tersebut diduga karena komposisi dari produk udang beku yang diekspor mengalami perubahan. Ekspor udang Indonesia dan Thailand lebih didominasi udang vaname yang berukuran lebih kecil, sedangkan masyarakat Jepang lebih menyukai udang windu yang berukuran relatif lebih besar. Menurut Hutagalung (Kontan, 2011) pada tahun 2011 ditargetkan nilai ekspor naik 27.92% karena tingginya permintaan China dan Jepang. Permintaan oleh pasar Jepang, terutama jenis udang windu. Hasil survey oleh NACA (2010) di Indonesia udang windu yang diperdagangkan mengalami penurunan. FAO Globefish (2011) menambahkan bahwa permintaan ke Jepang terutama terfokus pada udang berukuran besar yaitu size 30 dan 35 ekor/kg. Hal tersebut didukung oleh Tanticharoen et al., (2008) bahwa Jepang lebih tertarik dengan udang besar dan produk olahan. Secara ringkas, dari sisi mutu dan sisi harga yang diterima juga sudah cukup baik, permasalahan di komposisi produk. Hal tersebut diduga menjadi penyebab terjadinya penurunan keunggulan komparatif untuk udang beku
188
Indonesia dan Thailand di pasar Jepang dan nilai keunggulan komparatif udang beku Indonesia lebih rendah dibandingkan Thailand. 6.4.2. Pasar AS Berdasarkan data pada Tabel 31 nampak bahwa persaingan antara Thailand dengan Indonesia di pasar AS ketat. Dari sisi produsen di Thailand, peningkatan harga ekspor udang beku ke AS 1% akan menurunkan permintaan udang beku Indonesia oleh AS sebesar 2.023%. Kondisi tersebut seiring dengan meningkatnya ekspor udang vaname yang relatif berukuran lebih kecil dibandingkan udang windu. Menurut FAO Globefish (2009) situasi perekonomian yang memburuk menyebabkan restoran di AS menawarkan menu udang berukuran kecil dalam rangka mengurangi biaya dan harga. PT. CPP Lampung mempunyai harga jual lebih tinggi karena 80% dari konsumen adalah mitra dalam jangka panjang. Kontraknya jangka panjang antara 3-12 bulan. Pada tahun 2008/2009, perusahaan yang tergabung dalam CP Prima Grup tersebut memasok sekitar 3-4% kebutuhan pasar dunia. Harga udang beku dunia responsif mempengaruhi harga ekspor udang Indonesia dalam jangka panjang, dan mempengaruhi harga ekspor Thailand baik jangka pendek maupun jangka panjang. Selain itu, harga dunia udang beku memiliki pengaruh yang signifikan terhadap impor udang beku AS. Harga dunia yang volatil merupakan sesuatu yang umum dalam produk perikanan karena peanwaran terkait dengan kondisi iklim dan terjadinya penyakit. Salah satu upaya melalui kontrak berjangka belum berhasil. Kontark berjangka udang putih di Mineapolis Grain Exchange yang sudah berjalan selama 5 tahun sejak Juli 1993 dengan rata-rata 87 kontrak per bulan bukan
189
termasuk kategori yang berhasil, jika dikaitkan antara biaya yang dikeluarkan dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh. Tabel 31. Hasil Estimasi pada Persamaan Jumlah Ekspor, Harga Ekspor, dan Permintaan Impor Udang Beku AS
Endogen Jumlah ekspor udang beku Indonesia ke AS (QXBIA)
Jumlah ekspor udang beku Thailand ke AS (QXBTA)
Variabel Eksogen
Parameter Dugaan
Intersep Selisih harga ekspor udang beku Indonesia ke AS Harga ekspor udang beku Thailand ke AS Produksi udang beku Indonesia Dummy penerapan HACCP R2 = 86.78% Fhitung < 0.0001 Intersep Harga ekspor udang beku Thailand ke AS Tren waktu Dummy penerapan HACCP Jumlah ekspor udang beku Thailand ke AS beda kala
Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang
52.25685
Prob > [t] 0.0069
2.770384
0.0228
0.0161
-4.08843 0.091275 -7.37931
-1.9385 0.6315
0.0003 0.1489 0.0543
DW=0.938502 9.667216 0.382055 4.376754 -15.9855 0.108451
0.3880 0.0651 0.8571
0.0730 0.9613
0.4341 0.0554 0.0846 0.3652
R2 = 83.05% Fhitung < 0.0001 Durbin-h stat tidak terdefinisikan Harga ekspor Intersep -3.15102 0.1569 udang beku Harga udang beku dunia 0.913879 0.9857 1.2358 0.0011 Indonesia ke Nilai tukar Rp/US$ 0.0002 0.1442 0.1808 0.0954 AS (PXBIA) Tren waktu 0.001148 0.4949 Harga ekspor udang beku Indonesia ke AS beda kala 0.2024 0.1000 2 R = 93.62% Fhitung < 0.0001 Durbin-h =1.232189 Harga ekspor Intersep -4.65705 0.0821 udang beku Harga udang beku dunia 1.186037 1.2475 1.3872 0.0003 Thailand ke Nilai tukar Baht/US$ 0.036599 0.1400 0.1557 0.1402 AS (PXBTA) Tren waktu -0.00484 0.4777 Harga ekspor udang beku Thailand ke AS beda kala 0.10073 0.2812 R2 = 95.55% Fhitung< 0.0001 Durbin-h = 0.501282 Jumlah impor Intersep -4798.46 0.1382 udang beku Rasio harga udang beku dunia AS dari dunia terhadap harga udang olahan (QMBAD) dunia -264.58 -0.8175 -1.0682 0.0859 Jumlah populasi AS 20.8228 19.0341 24.8705 0.1278 Tren waktu -52.8954 0.1576 Jumlah impor udang beku Amerika dari dunia beda kala 0.234669 0.1706 2 R =91.07% Fhitung < 0.0001 Durbin-h = 0.501282
190
Dibandingkan dengan Thailand, dari segi jenis/komposisi produk dan kuantitas Indonesia lebih rendah. Berdasarkan data dari National Marine Fisheries and Service (NMFS) pada periode 1989-2010 jenis udang beku yang diekspor ke AS berkisar antara 6-17 jenis, sedangkan Thailand relatif stabil dengan 19 jenis produk dari tahun ke tahunnya. Mayoritas ekspor Indonesia tahun 2010 adalah shrimp peeled frozen senilai US$ 31 juta, shrimp frozen other preparation senilai US$ 5.3 juta, shrimp breaded frozen US$ 2.7 juta. Pada jenis yang sama, ekspor Thailand adalah shrimp peeled frozen senilai US$ 230 juta, shrimp frozen other preparation senilai US$ 220 juta, shrimp breaded frozen US$ 7 juta. Menurut FAO Globefish (2011), pada kuartal pertama tahun 2011 impor AS mencapai 115 200 ton, meningkat 3.9%, sedangkan dari sisi nilai meningkat menjadi US$ 1 009 milyar atau meningkat 31.3%.
Selain karena harga rata-rata meningkat sebesar 26.4%, juga
disebabkan oleh beralihnya impor dari udang berukuran kecil ke udang bernilai tambah (terutama peeled frozen), dan jenis itu merupakan mayoritas yang diekspor oleh Thailand. Menurut Hudson et al. (2003) impor udang AS dari ASEAN sensitif dengan
perubahan
pendapatan.
Peningkatan
1%
pendapatan
akan
meningkatkan impor udang sebesar 1.6%. Implikasinya adalah ketika terjadi resesi di AS atau UE-27 akan menghambat ekspor. 6.4.3. Pasar UE-27 Hasil estimasi pada persamaan penawaran, harga, dan permintaan udang beku ke UE-27 disajikan pada Tabel 32. Dalam jangka panjang pengaruh barang substitusi berupa udang olahan terhadap udang beku bersifat
191
responsif di pasar UE. Pengaruh harga udang beku dunia terhadap harga ekspor udang beku Indonesia dan Thailand ke UE juga bersifat responsif, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Tabel 32. Hasil Estimasi pada Persamaan Jumlah Ekspor, Harga Ekspor, dan Permintaan Impor Udang Beku UE-27 Endogen Jumlah ekspor udang beku Indonesia ke UE-27 (QXBIU)
Variabel Eksogen
Parameter Dugaan
Intersep Selisih harga udang beku dunia Harga udang olahan dunia Selisih produksi udang beku Indonesia Dummy penerapan MRL Jumlah ekspor udang beku Indonesia ke UE-27 beda kala
R2 = 92.03%
Jumlah ekspor udang beku Thailand ke UE-27 (QXBTU)
Harga ekspor udang beku Indonesia ke UE-27 (PXBIU) Harga ekspor udang beku Thailand ke UE-27 (PXBTU)
Fhitung < 0.0001 Intersep Harga ekspor udang beku Thailand ke UE-27 Harga ekspor udang beku Thailand ke Jepang Selisih nilai tukar Baht/US$ Dummy penerapan MRL Tren waktu R2 = 29.54% Fhitung
< 0.4109 Intersep Harga udang beku dunia Tren waktu Harga ekspor udang beku Indonesia ke UE-27 beda kala R2 = 86.45% Fhitung < 0.0001 Intersep Harga udang beku dunia Nilai tukar Baht/US$ Tren waktu Harga ekspor udang beku Thailand ke UE-27 beda kala
R2 = 89.76% Fhitung < 0.0001 Jumlah impor Intersep udang beku Harga udang beku dunia beda UE-27 dari kala dunia Harga udang olahan dunia (QMBUD) Jumlah populasi UE-27 Trend waktu R2 = 97.26% Fhitung < 0.0001
5.634452 0.163417 -0.35039 0.023013 -0.27297
Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang 0.0056 -0.3556
0.0488 -3.1054
0.0063
0.0548
0.885483
Prob > [t] 0.2751 0.4205 0.3175 0.1198 0.4687 0.0016
Durbin-h stat tidak terdefinisikan 18.95414
0.0873
0.162834
0.1979
0.4316
-1.18806 0.067839 -7.19481 0.262716
-1.7608 0.0072
0.0477 0.3224 0.0824 0.2042
DW = 1.033102 -5.3776 0.986357 0.161935
1.4324
1.5673
0.086063
0.0452 0.0011 0.0443 0.3096
Durbin-h = 1.16833 -2.81147 0.994453 0.014452 0.045716
1.1236 0.0594
1.2127 0.0641
0.073424
0.2217 0.0026 0.3502 0.3192 0.3757
Durbin-h stat = 1.592303 -34772.4 -11.3598 2.974041 502.7524 -167.474
0.0405 -0.3882 0.1030 121.4116
DW=2.26598
0.0710 0.3018 0.0393 0.0514
192
Meningkatnya daya saing Indonesia di pasar UE-27 diduga karena UE merupakan pasar prospektif (Ling et al, 1997). Namun peningkatan tersebut belum optimal karena pengaruh hambatan non tarif jika mengekspor ke UE-27 cukup besar. Aisya et al., (2006) menganalisis hambatan non tarif yang berasal dari internal berupa: (1) setiap eksportir harus sebagai produsen, artinya eksportir harus memiliki UPI, (2) UPI harus mempunyai ijin sebagai unit yang berkegiatan pengolahan (ijin UPI), (3) UPI harus memenuhi persyaratan kelayakan dasar (prerequisite) sebagai unit pengolah ikan dengan memiliki Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP), (4) Harus menerapkan HACCP (tervalidasi) dan memiliki approvel number, (5) ke AS harus menerapakan HACCP, dan (6) produk harus memenuhi persyaratan mutu. Selanjutnya, menurut Lord et al., (2010), upaya yang telah dilaksanakan oleh KKP terkait mutu cukup berhasil, tercermin dari berkurangnya RASFF oleh UE-27. Selain itu, nilai tukar tidak signifikan dalam menentukan harga. Meskipun demikian, terkait Export Quality Infrastructure (EQI) masih menjadi hambatan non-harga yaitu berupa: (1) kurangnya kompetensi laboratorum perikanan dan badan yang melakukan inspeksi untuk mencapai standard internasional; (2) kurangnya traceability pada tingkat pembudidaya dan nelayan, (3) kurangnya penerapan CBIB dan GHP untuk pembudidaya skala kecil dan menengah, (4) kelemahan manajemen di KKP terkait mutu dan keamanan pangan, dan (5) lemahnya informasi kepada perusahaan skala kecil dan menengah Jumlah ekspor udang beku Thailand ke UE-27 dipengaruhi juga oleh harga ekspor udang beku Thailand ke Jepang dan bersifat responsif.
193
Peningkatan harga ekspor udang beku Thailand ke Jepang mengakibatkan penurunan jumlah udang beku Thailand ke UE 2.2081%. Hal tersebut diduga karena kedekatan lokasi geografis. Berdasarkan uraian di atas, penurunan daya saing udang beku Indonesia di pasar Jepang diduga karena pengaruh komposisi produk yang didominasi udang vaname dari sebelumnya udang windu. Peningkatan daya saing di pasar AS dan UE-27 diduga karena permintaan masih positif, ketersediaan bahan baku, dan upaya peningkatan mutu. Sebaliknya indeks daya saing Thailand mengalami penurunan diduga karena tingkat persaingan yang semakin ketat. 6.5.
Blok Perdagangan Udang Olahan Dibandingkan dengan Thailand, Indonesia belum mampu mendorong
udang olahan sebagai prioritas ekspor. Dengan upah tenaga kerja yang relatif lebih murah, Indonesia berpeluang untuk mengembangkan udang olahan. Kelemahan yang dimiliki Indonesia antara lain teknologi, kualitas sumberdaya manusia, dan bahan pendukung misalnya kebutuhan tepung untuk udang (breaded) masih impor. Hasil estimasi pada persamaan harga udang olahan dunia disajikan pada Tabel 33. Tabel 33. Hasil Estimasi pada Persamaan Harga Dunia Udang Olahan
Endogen Harga udang olahan dunia (POUD)
Variabel Eksogen
Parameter Dugaan
Intersep Selisih total ekspor udang olahan dunia Total impor udang olahan dunia Tren waktu Harga udang olahan dunia beda kala
R2 = 89.55%
Fhitung < 0.0001
Elastisitas Jangka Jangka Pendek Pendek
2.518293
Prob > [t] 0.1156
-0.00581
-0.0125
-0.0881
0.1294
0.00647 -0.28768
0.2072
1.4583
0.1947 0.1055
0.857932
0.0001
Durbin-h = -1.31855
194
Berdasarkan data pada Tabel 33, total impor udang olahan lebih responsif dibandingkan dengan ekspor, artinya peran importir lebih besar dalam mempengaruhi harga udang olahan dunia. Harga udang olahan dunia secara signifikan dipengaruhi oleh selisih jumlah total ekspor udang olahan dunia. Dari tren waktu, terjadi kecenderungan penurunan harga udang dunia karena kelebihan penawaran. Dalam jangka panjang, nilai elastisitas impor lebih reponsif dibandingkan ekspor, artinya, importir lebih berperan dalam menentukan harga udang olahan dunia. 6.5.1. Pasar Jepang Hasil estimasi pada persamaan penawaran, harga ekspor disajikan pada Tabel 34. Berdasarkan Tabel 34 dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut. Pertama, pengaruh harga ekspor terhadap penawaran udang olahan Indonesia ke Jepang mempunyai nilai elastisitas jangka pendek 0.3613, sedangkan pengaruh dari harga ekspor Thailand bernilai -0.4632. Artinya, rata-rata peningkatan harga ekspor 1% akan direspons oleh eksportir Thailand dalam menawarkan udang olahan lebih besar dibandingkan dengan respons oleh eksportir Indonesia sehingga pada akhirnya akan menurunkan jumlah ekspor Indonesia sebanyak 0.4632%. Kondisi tersebut diduga disebabkan mutu udang yang ditawarkan Thailand lebih baik. Hal tersebut ditunjukkan oleh nilai dugaan parameter penerapan dummy LAW Thailand lebih tinggi dibandingkan dugaan parameter untuk Indonesia. Kedua, pengaruh ketersediaan bahan baku (produksi udang olahan) terhadap jumlah ekspor udang olahan Indonesia ke Jepang juga signifikan pada
195
tingkat kepercayaan 20%. Ketersediaan udang olahan tersebut masih terbatas karena mayoritas diekspor dalam bentuk udang beku. Tabel 34. Hasil Estimasi pada Persamaan Jumlah Ekspor, Harga Ekspor, dan Permintaan Impor Udang Olahan Jepang Endogen Jumlah ekspor udang Olahan Indonesia ke Jepang (QXOIJ)
Jumlah ekspor udang Olahan Thailand ke Jepang (QXOTJ)
Harga ekspor udang olahan Indonesia ke Jepang (PXOIJ)
Variabel Eksogen
Parameter Dugaan
Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang
Intersep 1.168163 Harga ekspor udang olahan Indonesia ke Jepang 0.154982 0.3613 Harga ekspor udang olahan Thailand ke Jepang -0.21694 -0.4632 Produksi udang olahan Indonesia 0.125793 0.3682 Dummy penerapan LAW 4.192671 R2 = 87.94% Fhitung < 0.0001 DW = 0.785053
Intersep 10.32847 Selisih harga ekspor udang olahan Thailand ke Jepang 2.467604 0.0469 Harga ekspor udang olahan Indonesia ke Jepang -0.12891 -0.0820 Dummy penerapan LAW 16.88329 R2 = 75.27% Fhitung < 0.0001 DW = 0.921712 Intersep Harga udang olahan dunia Harga udang beku dunia Tren waktu Harga ekspor udang olahan Indonesia ke Jepang beda kala
2.336897 1.810531 -0.88052 -0.38633 0.266854
1.6877 -0.7824
2.3020 -1.0672
Prob > [t] 0.3834 0.1177 0.2606 0.0910 0.0016 0.0975 0.1077 0.3934 0.0008 0.4179 0.1226 0.2529 0.1179 0.1857
R2 = 82.89% Fhitung < 0.0001 Durbin-h stat = tidak terdefinisikan Harga ekspor Intersep -1.39772 0.3165 udang olahan Rasio harga udang olahan Thailand ke dunia terhadap harga udang Jepang beku dunia 5.182608 0.5242 2.1280 0.0290 (PXOTJ) Nilai tukar Baht/US$ 0.006507 0.0230 0.0932 0.4199 Tren waktu -0.18651 0.0126 Harga ekspor udang olahan Thailand ke Jepang beda kala 0.75368 0.0001 2 R = 94.00% Fhitung < 0.0001 Durbin-h stat = -1.01688 Jumlah total Intersep -610.819 0.1430 impor udang Harga udang olahan dunia -0.57891 -0.1838 -0.8340 0.3093 olahan Jepang GDP Jepang 0.346849 1.0445 4.7388 0.3157 dari dunia Populasi Jepang 4.99108 18.9800 86.1068 0.1358 (QMOJD) Tarif bea masuk udang olahan ke Jepang beda kala -5.3053 -0.8325 -3.7768 0.3333 Tren waktu -1.01232 0.3405 Jumlah impor udang olahan Jepang dari dunia beda kala 0.779576 0.0517 2 R = 98.71% Fhitung < 0.0001 Durbin-h stat tidak terdefinisikan
196
Menurut Adriyadi (2009), pengolahan dan pemasaran udang umumnya berdasarkan permintaan pasar ekspor (market oriented). Udang besar (black tiger) size 4/6 sampai dengan 31/40 ekor/kg diolah menjadi raw Head On Shell On (HOSO) dan Head Less Shell On (HLSO). Udang ukuran medium 30-50 ekor/kg diolah dalam bentuk frozen cooked atau breaded yang mempunyai nilai tambah lebih besar. Udang kecil umumnya diolah dalam bentuk Peeled Undefined (PUD), Peeled Defined (PD), dan Cooked Peeled Tail On (CPTO). Ketiga, harga ekspor udang olahan Indonesia ke Jepang responsif terhadap harga udang olahan dunia. Dalam hal ini Indonesia hanya market follower karena jumlah udang olahan yang diekspor ke pasar Jepang relatif terbatas. Selain itu, tren harga ekspor Indonesia ke Jepang juga menurun. Menurut Manarungsan et al. (2005) Thailand beralih ke produk bernilai tambah karena tingginya tingkat upah. Pada tahun 1996 perbandingan ekspor ke Jepang antara udang olahan dengan udang beku hanya sekitar 1:3, namun pada tahun 2002 kondisinya sudah hampir sebanding. Unit Pengolah Ikan di Thailand memanfaatkan keahlian dan pengalaman SDM Thailand untuk memperoleh keunggulan kompetitif. Pergeseran dari udang beku ke udang olahan tersebut telah membawa Thailand selangkah lebih maju dibandingkan pesaing lainnya. Hasil studi Keefe (2002) menunjukkan bahwa kurangnya permintaan terhadap udang kaleng terutama karena harga udang segar dan kaleng di Jepang sangat tergantung pada harga udang beku. Implikasinya beberapa pengolah dapat mempunyai pengaruh yang besar. Permintaan udang beku meningkat seiring peningkatan kapasitas coldstorage di Jepang dan AS. Di
197
masa mendatang udang olahan akan sangat terpengaruh oleh perubahan harga sehingga info harga menjadi penting. Dari aspek permintaan, terjadi tren penurunan jumlah impor oleh Jepang. Konsumsi udang per kapita Jepang sudah mencapai 3.3 kg/kapita, dibandingkan AS yang hanya 1.3 kg/kapita. Impor Jepang lebih responsif terhadap GDP dan populasi. Di lain pihak populasi Jepang relatif stagnan, bahkan menurun. Hal tersebut diduga menjadi penyebab indeks daya saing Indonesia menurun di pasar Jepang dan nilainya lebih rendah dibandingkan Thailand. 6.5.2. Pasar AS Hasil estimasi pada persamaan penawaran, harga ekspor, dan permintaan udang olahan di pasar AS disajikan pada Tabel 35. Dari aspek penawaran ketersediaan bahan baku dan harga ekspor Indonesia ke AS bersifat responsif dalam jangka panjang. Nilai dummy penerapan HACCP yang positif diduga karena FDA secara rutin melakukan inspeksi mutu. Harga ekspor cenderung menurun dan responsif dipengaruhi oleh harga udang beku dunia baik jangka pendek maupun jangka panjang. Udang kaleng (udang olahan) di AS merupakan barang inferior dan hal tersebut disebabkan besarnya permintaan akan udang beku dan udang siap saji (Keefe, 2002). Udang kaleng tidak signifikan di pasar AS (Traesupap et al. 1999 dalam Keefe, 2002). Permintaan udang olahan oleh AS secara responsif lebih dipengaruhi jumlah penduduk dibandingkan pengaruh pendapatan, ceteris paribus.
198
Tabel 35. Hasil Estimasi pada Persamaan Jumlah Ekspor, Harga Ekspor, dan Permintaan Impor Udang Olahan AS Variabel Eksogen
Endogen Jumlah ekspor udang Olahan Indonesia ke AS (QXOIA)
Jumlah ekspor udang Olahan Thailand ke AS (QXOTA)
Parameter Dugaan
Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang
Intersep -2.41869 Harga ekspor udang olahan Indonesia ke AS 0.229591 0.5259 1.5198 Produksi udang olahan Indonesia beda kala 0.168499 0.7321 2.1155 Dummy penerapan HACCP 0.056843 Jumlah ekspor udang Olahan Indonesia ke AS beda kala 0.653938 R2 = 95.06% Fhitung < 0.0001 Durbin-h =1.668926 Intersep Selisih harga ekspor udang olahan Thailand ke AS Dummy penerapan HACCP R2 = 68.43% Fhitung
18.17521 0.030382 44.55636
Jumlah impor udang olahan AS dari dunia (QMOAD)
Intersep Selisih harga udang olahan dunia GDP AS Jumlah penduduk AS Tarif bea masuk udang olahan ke AS Jumlah impor udang olahan AS dari dunia beda kala
R2 = 96.02%
0.0575 0.1022 0.0080 0.4727 0.0002 0.0218
0.0001
0.4959 0.0003
0.0005 DW = 0.761458 Intersep 14.89799 Selisih harga udang olahan dunia 0.385917 0.0062 0.0123 Harga udang beku dunia -0.77564 -1.1774 -2.3469 Selisih nilai tukar Rp/US$ 0.00017 0.0020 0.0039 Trend waktu -0.34482 Harga ekspor udang olahan Indonesia ke AS beda kala 0.498321 R2 = 82.73% Fhitung = 0.0001 Durbin-h = -0.96175 Harga ekspor Intersep 0.16951 udang Olahan Rasio harga udang olahan dunia Thailand ke AS terhadap harga udang beku (PXOTA) 11.90468 1.1937 dunia Nilai tukar Baht/US$ 0.114683 0.4011 Tren waktu -0.59674 R2 = 68.43% Fhitung = < 0.0001 DW = 0.761458 Harga ekspor udang olahan Indonesia ke AS (PXOIA)
Prob > [t]
-171.517
0.0035 0.1140 0.0052 0.1328 0.0066 0.0088 0.4912 0.0539 0.0925 0.0002 0.3559
-0.79039 0.055526 0.732611
-0.0012 0.0776 3.0466
-0.0041 0.2578 10.1242
0.4325 0.4930 0.3877
-4.24354
-0.2207
-0.7333
0.3492
0.699078
Fhitung < 0.0001
0.0039
Durbin-h -3.3923
Permintaan udang olahan AS berkorelasi positif dengan jumlah GDP dan jumlah penduduk. Berdasarkan besaran nilai elastisitas,
GDP lebih
responsif pengaruh dari jumlah penduduk. Jumlah impor pada jangka panjang lebih responsif dipengaruhi oleh impor beda kala.
199
Kondisi di atas diduga menjadi penyebab terjadinya peningkatan indeks daya saing Indonesia ke pasar AS, sedangkan mengapa Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan Thailand diduga karena komposisi produk ekspor Thailand lebih beragam dan kuantitas juga jauh lebih tinggi. Hasil analisa terkait komposisi produk berdasarkan kode HS-10 digit dalam periode 20052011 ternyata mayoritas ekspor udang olahan Indonesia dalam bentuk udang kupas (HS 1605201030) (Tabel 36). Tabel 36. Nilai Ekspor Udang Olahan Indonesia dan Thailand ke AS Berdasarkan Kode HS-10 Digit, Tahun 2005-2011 Negara/HS
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011*
%
Indonesia 1605200510
0
12
0
263
207
0
0
1605200590
0
350
425
236
76
0
0
1605201010
97
0
441
603
2 446
1 973
1 387
1605201020
6 078
7 631
12 539
16 647
16 159
18 048
9 810
3
1605201030
38 966
62 829
49 955
64 369
59 594
41 346
38 436
69
1605201040
3 806
5 736
4 086
3 888
5 593
5 204
2 144
5
1605201050
25
978
100
770
405
205
335
320
Thailand 1605200510
76
101
935
637
1 812
2 079
147
-93
1605200590
2 412
1 587
2 315
6 027
12 380
6 304
2 254
-55
1605201010
5 552
6 035
6 469
6 918
7 395
8 342
2 575
-7
1605201020
39 946
41 270
47 628
64 009
70 598
87 198
54 898
34
1605201030
349 692
496 918
439 445
445 219
492 378
505 876
220 777
7
1605201040
909
2 387
1 440
1 918
2 489
2 700
678
-39
1605201050 2 761 2 907 Sumber data: NMFS (2011)
2 954
1 845
1 236
2 652
3 071
382
Keterangan: 1605201030: 1605201020: 1605201040: 1605201050: 1605201010: 1605200510: 1605200590:
Shrimp/Prawn P/F (Peeled/kupas) Shrimp/prawn b/f Shrimp/prawn cnd (kaleng) Shrimp/prawn p/p Shrimp/prawn frz Shrimp prawn at ct Shrimp prawn other
200
6.5.3. Pasar UE Hasil estimasi penawaran dan harga udang olahan disajikan pada Tabel 38. Berdasarkan data pada Tabel 38, ketersediaan bahan baku mempengaruhi jumlah udang ekspor dan bersifat responsif baik dalam jangka pendek maupun panjang dan berpengaruh signifikan. Permintaan udang olahan oleh UE-27 responsif dengan GDP/populasi dan tarif bea masuk udang olahan ke UE bersifat inelastis pada jangka pendek. Harga udang olahan dunia secara signifikan dipengaruhi oleh selisih jumlah total ekspor udang olahan dunia. Dari tren waktu, terjadi kecenderungan penurunan harga udang dunia karena kelebihan penawaran. Lord et al. (2010) menyarankan agar Indonesia memperbaiki dari sisi suplai.
Kelemahan
dari
sisi
penawaran,
terutama
terkait
mutu.
Rekomendasinya: (1) perlu perbaikan kinerja bagi otoritas yang melakukan pengujian, surveilance terhadap mutu sebelum diterbitkan sertifikat kesehatan ikan, (2) traceability pada rantai pasokan, (3) mendukung pelaku usaha skala kecil dan menengah dalam menerapakan CBIB dan GHP, (4) meningkatkan dukungan pada KKP, dan (5) meningkatkan dukungan dari Asosiasi. Rendahnya daya saing udang olahan Indonesia juga disebabkan faktor lainnya yang merupakan variabel eksogen dalam Model yaitu nilai total ekspor barang lainnya ke tujuan ekspor. Di lain pihak, nilai ekspor untuk produk lainnya selain udang olahan cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun sehingga akan menurunkan daya saing udang olahan.
201
Tabel 37. Hasil Estimasi pada Persamaan Jumlah Ekspor, Harga Ekspor, dan Permintaan Impor Udang Olahan UE-27 Variabel Eksogen
Endogen Jumlah ekspor udang Olahan Indonesia ke UE-27 (QXOIU)
Intersep Harga ekspor udang olahan Indonesia ke UE-27 beda kala Selisih harga ekspor udang olahan Thailand ke UE-27 Produksi udang olahan Indonesia Dummy penerapan MRL Jumlah ekspor udang Olahan Indonesia ke UE-27 beda kala
R2 = 96.90%
Jumlah ekspor udang Olahan Thailand ke UE-27 (QXOTU)
Fhitung < 0.0001 Intersep Selisih harga ekspor udang olahan Thailand ke UE-27 Selisih harga ekspor udang olahan Indonesia ke UE-27 Dummy penerapan MRL Tren waktu Jumlah ekspor udang Olahan Thailand ke UE-27 beda kala
R2 = 74.69%
Harga ekspor udang olahan Indonesia ke UE-27 (PXOIU)
Parameter Dugaan
Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang
Prob > [t]
-0.71757
0.0467
0.113951
0.2929
0.6377
0.0950
-0.07201
-0.0041
-0.0089
0.2285
0.094922 -0.1441
0.5811
1.2653
0.0317 0.3935
0.540707
0.0648
Durbin-h stat tidak terdefinisikan -1.1025
0.2284
0.387933
0.0068
0.2984
0.1940
-0.06546 -0.4484 0.171108
-0.0018
-0.0781
0.4209 0.4011 0.1521
0.977127
Fhitung < 0.0015 Durbin-h stat = 2.4048 Intersep 5.902538 Harga udang olahan dunia beda kala 0.30096 0.5197 0.5270 Harga udang beku dunia -0.44337 -0.7225 -0.7326 Selisih nilai tukar Rp/US$ 0.000325 0.0040 0.0041 Tren waktu 0.101098 Harga ekspor udang olahan Indonesia ke UE-27 beda kala 0.01381
0.0002 0.0889 0.1096 0.1377 0.0463 0.2375 0.4780
R2 = 68.61% Fhitung < 0.0054 Durbin-h stat tidak terdefinisikan Harga Intersep 1.420847 0.3503 ekspor Rasio harga udang olahan udang dunia terhadap harga udang Olahan beku dunia 5.052522 0.7249 0.0751 Thailand ke Nilai tukar Baht/US$ 0.047923 0.2399 0.1220 UE-27 (PXOTU) Tren waktu -0.11235 0.0451 R2 = 24.19% Fhitung = 0.2323 DW = 1.302674 Jumlah Intersep -411.531 <.0001 impor udang Selisih harga udang olahan olahan UEdunia -7.51631 -0.0105 0.0602 27 dari Rasio GDP UE-27 terhadap dunia jumlah populasi UE-27 361.6946 6.5435 <.0001 (QMOUD) Tarif bea masuk udang olahan ke UE-27 -0.56893 -0.1558 0.2265 R2 = 80.70% Fhitung < 0.0001 DW = 1.28553
202
Indonesia dan Thailand memiliki kesamaan yaitu jumlah ekspor udang olahan ke masing-masing negara importir dipengaruhi oleh harga ekspor beda kala signifikan pada taraf 10%. Hal tersebut mengindikasikan bahwa telah terjalin kerjasama yang cukup lama antara eksportir dengan importirnya. Selain itu, banyak negara berkembang beralih ke produk bernilai tambah karena berkurangnya stok dan dalam rangka bertahan di dalam bisnis udang. Produk bernilai tambah meningkatkan willingness to pay karena meningkatkan kualitas produk yang akan dimakan dan memudahkan penyajian sehingga menggeser kurva permintaan. Terkait dengan hal tersebut dibutuhkan investasi yang besar untuk riset pemasaran, modal kerja, dan membangun sumber daya manusia berkualitas. Menurut Manarungsan et al., (2005) pada tahun 1996 Thailand tidak mendapat Generalizes System of Prefferences (GSP) sehingga tarif udang beku Thailand meningkat dari 4.5% menjadi 14.5%, dan udang olahan dari 6% menjadi 20%. Ekspor ke EU turun 52% dari US$ 251 juta di tahun 1996 menjadi US$ 129 juta di tahun 2000. EU lebih ketat terhadap mutu dan ketatnya persyaratan mutu menyebabkan perubahan terhadap pola fikir pembudidaya di Thailand, yaitu lebih mengenal untuk menggunakan probiotik, beralih ke udang yang lebih resisten penyakit (vaname), dan pembudidaya lebih sadar akan penggunaan benur SPF dan alat PCR makin umum digunakan. Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan udang merupakan fungsi dari beberapa hal antara lain:perubahan harga udang relatif terhadap produk kompetitif, harga udang beku di pasar alternatif, populasi, pendapatan riil, dan preferensi konsumen. Karakteristik pasar sebagai berikut Jepang jangka
203
panjang menurun tetapi konsumsi udang tinggi, pada pasar AS, tumbuh dalam jangka panjang karena meningkatnya populasi dan konsumsi 24 kg/kapita, sedangkan UE-27 karena meningkatnya populasi dan konsumsi stabil 20 kg/kapita. Pada masa mendatang, perkembangan udang dari sisi penawaran akan terkonsentrasi pada beberapa species. Fokus pada penurunan biaya, economies of scale, pemasaran dan distribusi, pasar dan produk yang tersegmentasi. Permintaan akan lebih terkonsentrasi pada ritel. Udang budidaya mempunyai kelebihan dibandingkan udang hasil penangkapan dalam hal ukuran produk lebih seragam, traceability, dan produksi lebih dapat diprediksi. Salah satu kelemahan dari agregasi produk olahan, seperti yang dilakukan pada studi ini, yaitu kurang dapat menggali permasalahan mengapa udang olahan kurang berkembang di Indonesia. Berdasarkan pengalaman Philipina, hasil studi Salayo (2003) dapat dikemukakan bahwa marjin yang diterima dari pembuatan produk bernilai tambah tersebut berbeda-beda seperti disajikan pada Tabel 38. Udang olahan yang mempunyai total surplus cukup besar yaitu bentuk Head On Shell On (HOSO)/udang utuh lengkap dengan kepala dan ekornya, ke headless peeled frozen, breaded frozen, dan headless peeled dried. Untuk itu disarankan agar Pemerintah Philipina mendorong produk bernilai tambah yang intensif tenaga kerja dan teknologi mengingat upah tenaga kerja rendah. Terkait dengan hal tersebut, maka pemilihan produk bernilai tambah juga perlu dikaji antara lain terkait dengan ketersediaan teknologi, SDM, bahan baku, dan
204
lain-lain. Hal-hal tersebut penting apabila akan mengembangkan udang olahan di Indonesia. Tabel 38. Perbandingan Total Surplus Hasil Memproduksi Produk Udang Bernilai Tambah di Philipina No.
Produk Awal
1 HO live 2 HOSO 3 HOSO 4 HOSO 5 HOSO 6 HOSO 7 HOSO 8 HOSO frozen 9 HOSO frozen 10 HOSO frozen 11 HOSO 12 HOSO 13 HOSO 14 HOSO 15 HOSO Sumber: Salayo (2003)
Produk akhir HOSO dried (D) Headless peeled cooked (H) Headless peeled frozen (I) Headless peeled dried (J) Breaded cooked (K) Breaded frozen (L) Headless frozen (M) Headless peeled frozen (N) Breaded frozen (O) HOSO cooked HOSO frozen Headless cooked Headless frozen Headless dried
Total surplus (peso) 674 151 2350 2273 3227 1531 1604 514 4516 3593 277 2 -351 -435 -580
Kategori A A A A A A A A A A B B C C C
Keterangan: HOSO = head on shell on (udang yang masih memiliki kepala dan ekor) A. Intensif tenaga kerja dan teknologi B. Teknologi moderat, dan kurang tenaga kerja C. Kurang tenaga kerja dan teknologi
6.6.
Rangkuman
1. Harga pakan dan serangan penyakit merupakan faktor yang mempengaruhi tingkat produksi yang berpengaruh terhadap penawaran dan akhirnya berpengaruh terhadap daya saing. 2. Pengaruh produktivitas belum signifikan karena mayoritas tambak dikelola secara tradisional dengan produktivitas rendah. 3. Thailand lebih memfokuskankan pada upaya memproduksi udang bermutu. Pemernitah Thailand berubah dari “strong regulator” menjadi fasilitator,
205
dan pendekatan kluster yang digunakan merupakan key success factors keberhasilan industri udang Thailand. 4. Pada perdagangan udang segar, penurunan daya saing udang Indonesia di pasar Jepang diduga karena kurangnya pemenuhan akan persyaratan mutu, menurunnya
permintaan,
dan
ketidaksiapan
infrastruktur
dalam
mendukung ekspor udang dalam bentuk segar. Penurunan di ketiga pasar diduga karena udang segar merupakan bagian kecil dari porsi dan untuk menumbuhkannya dibutuhkan sarana infrastruktur lengkap dan porsi yang makin besar dari ekspor produk lainnya selain udang. 5. Penurunan daya saing udang beku Indonesia di pasar Jepang diduga karena pengaruh komposisi produk yang didominasi udang vaname dari sebelumnya udang windu. Peningkatan daya saing di pasar AS dan UE-27 diduga karena ketersediaan bahan baku. Sebaiknya Thailand menurun diduga karena tingkat persaingan yang semakin ketat. 6. Penurunan daya saing ekspor udang olahan Indonesia di pasar Jepang diduga karena pengaruh komposisi produk yang didominasi udang vaname dari sebelumnya udang windu. Peningkatan daya saing di pasar AS diduga karena persyaratan mutu, harga ekspor, dan komposisi produk. 7. Penggunaan dummy penerapan mutu sebagai indikator mutu memberikan hasil yang tidak konsisten untuk produk udang yang berbeda. Akan tetapi memberikan tanda yang sama baik untuk Thailand maupun Indonesia yaitu bernilai negatif untuk pasar UE-27. 8. Terkait sanksi penerapan mutu, UE-27 menekankan pada negara pengekspor, AS menekankan pada perusahaan eksportir, sedangkan
206
Jepang menekankan pada importir. Dengan demikian, ketatnya atau pelarangang ekspor ke suatu negara, misalnya ke UE-27 memungkinkan eksportir tersebut mengekspor ke tujuan lainnya seperti AS. 9. Thailand beralih ke produk bernilai tambah karena tingginya tingkat upah. Unit Pengolah Ikan di Thailand memanfaatkan keahlian dan pengalaman SDM Thailand untuk memperoleh keunggulan kompetitif. 10. Kunci utama peningkatan ekspor berasal dari mutu hasil perikanan yang memenuhi standar keamanan pangan dan permintaan pasar. Hal tersebut akan membangun kepercayaan konsumen dan memelihara citra produk sehingga pasar ekspor semakin komprehensif. Citra yang baik akan memudahkan peningkatan akses pasar melalui negosiasi pengurangan hambatan perdagangan secara bilateral antar pemerintah. 11. Biaya transaksi pada industri udang, misalnya untuk pakan relatif masih tinggi. Biaya menjadi tinggi antara lain karena infrastruktur yang belum baik.
207
VII. PRODUKTIVITAS TAMBAK TAHUN 1990-2008 DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TOTAL FACTOR PRODUCTIVITY Bahasan pada Bab VII ini merupakan bagian dalam rangka menjawab tujuan penelitian ke dua yaitu menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran, permintaan, dan daya saing udang Indonesia, berdasarkan data sekunder dan hasil konfirmasi pada tingkat lapang. 7.1.
Produktivitas Tambak Udang, Tahun 1989-2008 Pertumbuhan indeks output, indeks input, dan indeks TFP periode
tahun 1989-2008 disajikan pada Gambar 28, sedangkan pertumbuhan per periode disajikan pada Tabel 40. Berdasarkan Gambar, pada periode 19892008 indeks produksi meningkat menjadi 324.5%, indeks input hampir 489.1%, sedangkan indeks TFP relatif stagnan. Artinya, pertumbuhan output lebih disebabkan pertumbuhan input (faktor produksi) terutama pertumbuhan benur, obat-obatan, energi, dan pakan. Berikut disajikan pembahasan perkembangan output, input, dan TFP periode penelitian. 7.1.1. Perkembangan Output Berdasarkan data pada Tabel 39, pada keseluruhan periode 1989-2008, laju pertumbuhan output tertinggi terjadi pada udang vaname disusul ikan bandeng, dan udang windu. Diduga karena udang vaname
memiliki
produktivitas lebih tinggi. Akan tetapi, dari sisi pangsa terhadap penerimaan urutannya yaitu udang windu, udang vaname dan ikan bandeng. Udang windu
208
memiliki pangsa terhadap total penerimaan lebih tinggi dibandingkan udang vaname dikarenakan harga jualnya relatif lebih tinggi. Berdasarkan empat periode pengamatan, pada tahun 1994-1998 laju pertumbuhan output baik untuk udang windu, udang putih, maupun ikan bandeng bernilai negatif. Hal tersebut diduga karena belum berhasil di atasinya penyakit. Pada periode tahun 1989-1993, udang tambak terserang penyakit Monodon Baculo Virus (MBV). Kondisi tersebut berlanjut sehingga pada tahun 2000/2001 dan sampai sekarang. Menurut Widigdo (2005) akibat serangan penyakit, kuantitas ekspor tahun 2000 turun menjadi 70 ribu ton dan 90% dari 350 ribu Ha tambak dalam kondisi terlantar. Pada periode 1999-2003, laju pertumbuhan output menjadi positif yaitu sebesar 12.6% untuk udang windu, 6.8% untuk udang vaname, dan 8.2% untuk ikan bandeng. Peningkatan tersebut diduga karena tersedianya sumber air hasil dari pembangunan jaringan irigasi melalui dana SPL-OECF/JBIC dengan nilai sekitar Rp300 milyar. Peningkatan produksi juga diduga akibat perubahan kewenangan dari semula setingkat Ditjen Perikanan menjadi setingkat Kementerian (Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan/DELP) pada akhir tahun 1999 dan terdapat peningkatan anggaran.
209
600.00
500.00
Inbudkan 400.00
Propekan
%
IntroduksiVaname 300.00
YHV
MBV 200.00
TSV, WSSV, IMNV 100.00
Irigasi : SPL/JBIC
07 20
05 20
03 20
01 20
99 19
97 19
95 19
93 19
91 19
19
89
-
Tahun Indeks Input
Indeks Output
Indeks TFP
Gambar 28. Indeks TFP Udang Tambak Indonesia, 1990-2008
Pada periode berikutnya yaitu 2004-2008, laju pertumbuhan udang windu jauh berkurang, dan udang vaname memiliki laju pertumbuhan tertinggi. Pangsa penerimaan dari udang vaname juga meningkat, akan tetapi masih lebih rendah dibandingkan pangsa penerimaaan dari udang windu. Adanya pergantian dari udang windu menjadi udang vaname, secara tidak langsung cukup membantu Indonesia dalam menghasilkan devisa, serta mempertahankan pangsa pasar.
210
Tabel 39. Pertumbuhan Output dan Penggunaan Input Tambak Udang Indonesia, Tahun 1989-2008 No.
Variabel
A. 1.
Output Udang windu (ton) Laju pertumbuhan/tahun (%) Pangsa udang windu terhadap total penerimaan (%) Udang Putih (ton) Laju pertumbuhan/tahun (%) Pangsa udang putih terhadap total penerimaan (%) Ikan bandeng (ton) Laju pertumbuhan/tahun (%) Pangsa ikan bandeng terhadap total penerimaan (%) Input (Faktor Produksi) Benur (juta ekor) Laju pertumbuhan/tahun (%) Pangsa benur terhadap total pengeluaran (%) Pupuk (ribu liter) Laju pertumbuhan/tahun (%) Pangsa pupuk terhadap total pengeluaran (%) Tenaga Kerja(OH) Laju pertumbuhan/tahun (%) Pangsa upah tenaga kerja terhadap total pengeluaran Pakan (ribu kg) Laju pertumbuhan/tahun (%) Pangsa biaya pakan terhadap total pengeluaran (%) Obat-obatan(ribu liter) Laju pertumbuhan/tahun (%) Pangsa biaya obat terhadap total pengeluaran (%) Energi (ribu KwH) Laju pertumbuhan /tahun (%) Pangsa energi terhadap total pengeluaran (%)
2.
3.
B. 1.
2.
3.
4.
5.
6.
Sumber: Data sekunder diolah (2011)
19892008
Periode Pengamatan 1989199419991993 1998 2003
20042008
103 607 4.9
87 452 10.0
87 983 -2.4
107 352 12.6
136 398 0.4
63.1 83 101 14.1
70.1 44 659 11.5
64.7 54 751 -0.5
69.0 49 394 6.8
48.5 185 823 38.2
22.1 190 635 5.1
17.6 146 234 8.4
19.9 153 570 -0.3
12.0 218 351 8.2
38.7 249 766 4.8
14.8
12.3
15.4
19.0
12.8
22 507 31.9
5 054 53.0
14 450 53.3
33 328 13.5
37 925 12.2
13.4 11 959 8.8
13.0 13 572 7.1
14.6 9 050 1.4
17.8 8 092 4.1
9.9 17 715 22.1
0.6 55 764 6.3
0.7 33 306 5.4
0.4 42 026 4.0
0.6 59 781 9.6
0.6 88 571 6.1
32.0 190 279 8.5
31.6 133 189 9.9
30.1 146 234 -1.9
34.1 159 625 10.4
30.4 328 849 16.1
41.0 561 15.0
42.8 417 -5.5
39.5 334 15.6
38.3 675 9.1
42.7 724 36.8
0.3 721 421 28.6
0.3 284 448 38.6
0.1 712 901 22.8
0.4 572 825 1.9
0.2 1350 847 53.0
13.0
11.7
15.5
8.9
16.6
211
7.1.2. Perkembangan Input (Faktor Produksi) Faktor produksi yang digunakan dalam menghitung indeks input mencakup benur, pupuk, tenaga kerja, pakan, obat-obatan, dan energi. Berdasarkan data pada Tabel 39, pangsa pengeluaran faktor produksi terhadap biaya total terbesar adalah pakan, disusul upah, energi, benur, pupuk dan obat. Pakan merupakan penyumbang terbesar pada sistem intensif, sedangkan upah tenaga kerja merupakan penyumbang terbesar sistem usaha budidaya non intensif (semi-intensif dan ekstensif). Dari empat periode pengamatan, penggunaan benur tumbuh 53.0% per tahun pada periode 1994-1998, disusul energi 22.8% per tahun. Hal tersebut diduga karena adanya upaya intensifikasi, dan pada saat bersamaan juga terjadi serangan penyakit sehingga pembudidaya berupaya menambah kincir yang menyebabkan biaya pengeluaran untuk energi dan obat-obatan meningkat. Di lain pihak, laju pertumbuhan pakan bernilai negatif diduga karena berkurangnya masa pemeliharaan akibat terserang penyakit, dan berkurangnya penggunaan pakan akibat kenaikan harga pakan pada saat krisis moneter. Pada periode 2004-2008 pangsa pengeluaran untuk energi meningkat karena terjadinya kenaikan harga BBM. Pergantian dari udang windu ke udang vaname juga menyebabkan terjadinya peningkatan padat tebar sehingga pemakaian pakan dan kincir menjadi lebih banyak. Adapun peningkatan laju pertumbuhan penggunaan obat, diduga terkait dengan serangan penyakit yang belum dapat sepenuhnya di atasi.
212
7.1.3. Perkembangan TFP Berdasarkan Gambar, selama kurun waktu penelitian (periode 19892008), adanya rehabilitasi dan pembangunan saluran tambak melalui SPLJBIC/INP-23 periode tahun 1999-2002 diduga mampu menahan penurunan TFP dari periode sebelumnya. Tren indeks TFP meningkat diduga karena introduksi udang vaname. Namun, pada tahun 2002 indeks TFP kembali menurun karena serangan penyakit. Belum optimalnya pengaruh TFP tersebut diduga disebabkan beberapa faktor. Faktor tersebut yaitu serangan penyakit belum sepenuhnya dapat di atasi, dan benur
belum sepenuhnya bebas penyakit dan bersertifikat.
Kemampuan dan akses ke modal untuk pembudidaya skala kecil juga terbatas. Penerapan teknologi lebih bersifat anjuran dan paket teknologi yang dihasilkan oleh Unit Pelakaana Teknis (UPT) lingkup Ditjen Perikanan Budidaya dan Badan Litbang juga belum banyak diadopsi oleh pembudidaya karena keterbatasan pembiayaan. Selain itu, kegiatan pemerintah lebih banyak kepada pemberian bantuan langsung kepada pembudidaya skala kecil, dan tidak langsung terkait dengan peningkatan produktivitas karena keterbatasan anggaran. 7.2.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi TFP: Hasil Konfirmasi pada Tingkat Lapang Hasil perhitungan penyebaran angka indeks TFP disajikan pada Tabel
41 dengan nilai berkisar dari 0.03 – 4.40 dan rata-rata 1.03. Arti angka indeks TFP secara individu untuk tiap petakan dalam studi ini mencerminkan perbedaan produktivitas dibandingkan nilai rata-rata setiap petakan. Petakan tambak yang mempunyai nilai 1.37 artinya mempunyai TFP 37% lebih tinggi
213
dibandingkan rata-rata. Data output yang digunakan untuk perhitungan disajikan pada Lampiran 10. Hasil
analisis
pada
tingkat
lapang
untuk
melengkapi
dan
mengkonfirmasi analisis TFP pada tingkat nasional, harus diinterpretasikan secara hati-hati karena pada saat penelitian, banyak pembudidaya udang mengalami kegagalan produksi akibat serangan penyakit. Kondisi tersebut didukung dari nilai dummy serangan penyakit yang menurunkan produksi dan signifikan pada selang kepercayaan 1%. Jenis penyakit menyerang udang pada kisaran umur pemeliharaan antara 30 sampai dengan 120 hari. Tabel 40. Kisaran Angka Indeks TFP berdasarkan Lokasi dan Sistem Usaha Variabel A. Lokasi
Rata-Rata
Terkecil
Terbesar
Standar deviasi
- Jawa Timur
1.0000
0.0919
3.0596
0.7378
- Luar Jawa Timur
1.0472
0.0333
4.4054
0.5122
- Intensif
1.3717
0.6472
4.4054
0.4900
- Non Intensif
0.4318
0.0333
1.4681
0.2889
B. Sistem Usaha
Hasil perhitungan angka indeks TFP tiap petak tersebut, selanjutnya diregresikan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktorfaktor tersebut akan terkait dengan upaya penurunan biaya produksi melalui peningkatan efisiensi, skala usaha, dan perubahan teknologi. Pada studi ini, potensi penurunan biaya produksi antara lain diperoleh melalui upaya intensifikasi dan penggunaan benur unggul. Faktor lainnya adalah terkait dengan peningkatan harga jual. Potensi peningkatan harga jual antara lain melalui sistem kerjasama antara pembudidaya, dan sistem budidaya udang
214
organik. Dummy penggunaan udang vaname yang mempunyai produktivitas lebih tinggi, tidak termasuk variabel penjelas karena terjadi multikolinearitas dengan serangan penyakit. Hasilnya disajikan pada Tabel 41. Tabel 41. Faktor-Faktor yang Diduga Mempengaruhi TFP Tambak Udang
Variabel -
Parameter dugaan 0.125409 0.25318 0.11982 -0.21509
Intersep Benur bersertifikat Tingkat kelangsungan hidup Dummy Serangan penyakit Dummy pengelolaan secara intensif 0.646425 - Dummy sistem budidaya organik 0.004672 - Dummy lokasi 0.31735 - Tingkat pendidikan 0.023438 - Luas area yang diusahakan -0.00387 - Dummy kerjasama -0.38891 2 R = 76.24%, Adjusted R-Squared = 74.84%
Standard t Value Pr > |t| error 0.175591 0.71 0.4762 0.134739 1.88 0.0621 * 0.192625 0.62 0.5348 0.083664 -2.57 0.0111 ** 0.165823
3.90
0.0001 **
0.130103 0.082252 0.012902 0.004914 0.091727
0.04 3.86 1.82 -0.79 -4.24
0.9714 0.0002 ** 0.0712 * 0.4324 <0.0001 **
Keterangan: ** berbeda pada taraf 5%, dan * pada taraf 10%
Berdasarkan arah dan besaran, variabel yang berpengaruh positif terhadap TFP dan signifikan yaitu: penggunaan benur bersertifikat, dummy intensifikasi, dummy lokasi, dan tingkat pendidikan. Variabel penjelas yang signifikan dan berpengaruh negatif terhadap TFP yaitu serangan penyakit, dan dummy pembudidaya yang melakukan kerjasama. Varibel yang berpengaruh positif tapi tidak signifikan yaitu sistem budidaya udang secara organik, sedangkan luas area yang diusahakan berpengaruh negatif terhadap TFP. Berikut disampaikan penjelasan dari beberapa variabel tersebut.
215
7.2.1. Pengaruh Serangan Penyakit terhadap Pertumbuhan TFP Berdasarkan Tabel, serangan penyakit berpengaruh negatif dan signifikan terhadap TFP. Udang tambak termasuk yang rentan terkena serangan penyakit. Jenis virus yang menyerang tersebut antara lain: White Spot Syndrome Virus (WSSV), Taura Syndrome Virus (TSV), dan Infectious Myo Necrosis Virus (IMNV). Sebagai ilustrasi, produksi udang tambak tahun 2009 hanya sebanyak 336.0 ribu ton dari target 540.0 ribu ton, atau turun dari capaian tahun 2008 sebanyak 409.6 ribu ton. Penyebabnya, udang di dua wilayah utama yaitu Lampung dan Jawa Timur terkena serangan penyakit yang disebabkan oleh virus. Serangan penyakit tersebut tidak hanya menyerang udang yang dipelihara oleh tambak perorangan, akan tetapi termasuk juga perusahaan terintegrasi. Kuantitas produksi perusahaan terintegrasi dibawah PT. CP Prima Grup, pada tahun 2008 mencapai sekitar 97 ribu ton, sedangkan pada tahun 2009 hanya sekitar 57 ribu ton. Produktivitas udang turun dari 20 ton per Ha menjadi 17 ton - 18 ton per Ha. Dari hasil pengamatan lapang, sekitar 70% responden menyatakan faktor yang paling menentukan keberhasilan budidaya udang adalah terhindarnya dari serangan penyakit. Responden menyebutkan bahwa rata-rata udang mereka mulai terserang penyakit pada umur pemeliharaan 30 sampai dengan 60 hari. Upaya yang dilakukan untuk mengatasi pengurangan risiko serangan penyakit dilakukan dengan mengganti varietas yang digunakan dari udang windu ke udang vaname. Upaya lainnya yaitu melalui penurunan padat tebar.
216
Udang vaname pada awalnya resisten terhadap sekitar 12 jenis virus, akan tetapi sejalan perkembangan, akhirnya udang vaname pun serupa dengan udang windu yaitu tidak tahan terhadap penyakit. Dalam rangka menghindari serangan penyakit, seorang pembudidaya udang di Sidoarjo melakukan inovasi dengan memanen udang pada umur pemeliharaan 60 hari dan dijual dengan ukuran kecil (size sekitar 100 ekor/kg) untuk pasar domestik. Studi ini tidak mengamati dampak serangan penyakit dari aspek ekonomi. Akan tetapi, hasil studi lain seperti Valderrama dan Engle (2004) yang menganalisa dampak virus TSV dan WSP di Honduras menggunakan pendekatan linier programming menunjukkan bahwa penyakit menurunkan Net Farm Income (NFI) 84% dibandingkan tambak yang tidak terkena penyakit, sedangkan hasil simulasi pencegahan penyakit akan meningkatkan NFI 47%. Salah satu kendala penanganan penyakit yaitu belum adanya kerjasama antar sesama pembudidaya apabila udang tambak mereka terkena penyakit. Oleh karena itu penelitian mengenai penyakit harus memperoleh perhatian yang serius. Dengan demikian perlu pengaturan mengenai padat penebaran untuk menghindari degradasi lingkungan akibat pakan berlebih, dan tata ruang perlu diperhatikan sehingga kawasan tersebut benar-benar peruntukannya untuk zona budidaya. 7.2.2. Pengaruh Benur Bersertifikat Berdasarkan Tabel, penggunaan benur bersertifkat berkorelasi positif terhadap produktivitas (TFP). Benur bermutu
akan meningkatkan tingkat
kelangsungan hidup dan bobot biomasa. Sertifikasi benur merupakan bagian dari upaya mendorong penggunaan benur bermutu. Hasil analisis menunjukkan
217
bahwa penggunaan benur bersertifikat bernilai positif. Namun secara umum penggunaannya oleh pembudidaya sistem usaha non intensif (ekstensif dan semi-intensif) masih terbatas, sehingga pengaruh benur terhadap produktivitas rendah. Terbatasnya penggunaan benur bermutu oleh pembudidaya udang non intensif antara lain terkendala masalah harga. Untuk itu telah dilakukan juga kegiatan Bantuan Selisih Harga Benih ikan (BSHBI) kepada pembudidaya ikan skala kecil. Dari sisi harga, keberadaan benur vaname Nusantara sangat membantu pembudidaya karena relatif lebih murah. Sebagai perbandingan, benur vaname F1 hasil induk dari impor dijual dengan harga Rp31/ekor, sedangkan Vaname Nusantara hanya Rp18/ekor. Akan tetapi, sekitar 10% responden belum yakin penuh dengan Vaname Nusantara karena tingkat keragaman udang yang dihasilkan relatif lebih tinggi dibandingkan penggunaan benur vaname F1 induk impor. Pada saat panen, udang berukuran kecil hanya sekitar 5% jika menggunakan F1 dari induk impor, sedangkan vaname Nusantara dapat mencapai 20%. Terkait merebaknya penyakit udang, dua responden menduga hal tersebut disebabkan kurangnya pengawasan terhadap hatchery. Tingginya permintaan benur pada tahun 2008 yang menyebabkan produksi udang tertinggi, diduga menyebabkan beberapa hatchery menggunakan kembali induk yang seharusnya sudah afkir. Akibatnya benur udang vaname yang berasal dari induk impor yang semula bersifat Specific Pathogen Free (SPF) terhadap virus WSSV, TSV, IMNV, dan IHHNV, terkena juga serangan penyakit. Benur yang SPF setelah ditebar di tambak tidak semuanya berhasil panen dengan baik
218
dimungkinkan juga karena induk impor telah mengalami penurunan kualitas, dan semakin rusaknya lingkungan perairan Indonesia untuk budidaya udang. Pada budidaya
udang, kualitas benur memegang peranan penting,
karena akan berdampak pada hasil dan kondisi lingkungan. Akan tetapi, belum semua pembudidaya menyadari bahwa akibat kesalahan pemilihan benur dapat menyebabkan efek berantai. Kesalahan menduga populasi dapat berakibat fatal, yaitu pakan yang diberikan meningkat sehingga Feed Conversion Ratio (FCR) tinggi. 7.2.3. Pengaruh Intensifikasi Sistem usaha secara intensif mempunyai nilai TFP lebih tinggi dibandingkan dengan sistem usaha non-intensif (Tabel 42). Berdasarkan data pada penelitian ini, intensifikasi berpengaruh positif terhadap TFP diduga karena tingkat kelangsungan hidup sistem intensif lebih tinggi akibat penggunaan benur bermutu. Tingkat produksi per Ha di lokasi studi berkisar rata-rata 13.1 ton/ha dengan kisaran dari 3.0 ton sampai dengan 25.5 ton per Ha. Pada sistem usaha intensif kemampuan pembudidaya juga lebih tinggi, dan pakan yang digunakan juga lebih bermutu (kandungan protein lebih tinggi) dibandingkan dengan pakan pada sistem non intensif, namun penggunaan pakan
berlebih
berpotensi
mencemari
lingkungan,
sehingga
dapat
meningkatkan risiko serangan penyakit. Salah satu kendala dalam budidaya udang intensif adalah relatif mahalnya harga pakan. Hal tersebut diduga terkait belum efisiennya pemasaran dan terkonsentrasinya pabrik pakan, salah satunya PT CP Prima yang mempunyai pangsa pasar nasional sekitar 40%. Berdasarkan data laporan
219
tahunan, PT CP Prima mengeluarkan produk pakan udang dengan merk Irawan, Bintang dan PT CP Marine dan produksi tahun 2007 sebanyak 128 519 ton dan tahun 2008 sebanyak 181 398 ton. Harga pokok penjualan tahun 2007 adalah Rp4 639/kg dan Rp5 963 untuk tahun 2008, sedangkan harga jual pada tahun 2007 adalah Rp8 200/kg dan Rp8 593 pada tahun 2008. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa distribusi dan biaya transaksi belum efisien. Tabel 42. Karakteristik Penentu TFP untuk Tambak Udang Tipe Usaha Intensif dan Tidak Intensif
A. B. -
Sistem Usaha Intensif Luas (ha)) Produksi (kg) Jumlah benur per Ha (ekor) Jumlah pakan per Ha (kg) Harga jual per kg (Rp) Tingkat Pendidikan (tahun) Tingkat kelangsungan hidup(%) Lama pemeliharaan (hari) Ukuran panen (ekor/kg) Non-Intensif Luas (ha)) Produksi (kg) Jumlah benur per Ha (ekor) Jumlah pakan per Ha (kg) Harga jual per kg (Rp) Tingkat Pendidikan (tahun) Tingkat kelangsungan hidup(%) Lama pemeliharaan (hari) Ukuran panen (ekor/kg)
Rata-rata Terendah
Tertinggi
Standar deviasi
1.6 13 113.4
0.1 3 040.0
28.0 25 571.4
3.5 4 199.9
943 957.6 21 008.1 34 523.5
108 000.0 1 062.5 18 500.0
1 700 000.0 40 215.0 60 000.0
334 878.5 6 936.6 7 135.9
16.9
6.0
17.0
1.1
82.5 110.4 63.0
25.0 79.0 800
99.5 140.0 33.0
16.6 15.2 10.9
7.6 92.8
0.4 12.5
50.0 500.0
9.9 89.2
18 393.5 61.0 49 849.0
750.0 29 000.0
100 000.0 2 000.0 68 000.0
16 284.9 311.3 9 485.6
10.9
6.0
17.0
3.6
27.1 95.1 45.8
3.0 75.0 1200
97.6 130.0 25.0
16.3 11.8 16.1
Aisya et al. (2005c) menganalisis dampak kebijakan insentif dan kinerja pasar udang Indonesia menggunakan pendekatan PAM. Hasilnya, udang Indonesia mempunyai keunggulan komparatif, dan usaha intensif paling
220
efisien dalam penggunaan biaya domestik. Selain itu, terjadi transfer penerimaan dari petani udang intensif dan semi-intensif ke konsumen dan produsen input berturut-turut 1.83% dan 1.92% dari masing-masing pendapatan. Sebaliknya kebijakan ini menyebabkan penerimaan untuk pembudidaya udang tradisional, menjadi 14.07% lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa kebijakan. Walaupun, intensifikasi meningkatkan TFP, namun berdasarkan proporsi, mayoritas tambak udang di Indonesia dikelola secara ekstensif sehingga secara keseluruhan nilai TFP-nya rendah. Dari 200 000 Ha tambak di Indonesia, komposisinya lebih dari 75% adalah tambak ekstensif dengan produktivitas kurang dari 500 kg/Ha. Sekitar 15% merupakan tambak semiintensif dengan produktivitas 1 - 2 ton per Ha, dan sisanya 10% tambak intensif dengan produktivitas lebih dari 3 ton/Ha. Dalam perkembangan selanjutnya, komposisi tambak intensif makin berkurang seiring tingginya risiko terjadinya serangan penyakit. Ketika aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan menjadi kriteria, hanya tambak semi-intensif yang memenuhi ketiga kriteria tersebut (Primavera, 1991). Diprediksi karena keterbatasan modal dan managemen maka sistem tambak ekstensif yang berkembang di Indonesia. Dibandingkan tambak di Thailand, mayoritas tambak di Indonesia dikelola secara ekstensif dengan produktivitas rendah. Ling et al., (1999) berdasarkan survey tahun 1994/1995 untuk sistem intensif menemukan tambak di Thailand memiliki produktivitas rata-rata mencapai 10.73 ton/Ha, sedangkan Indonesia hanya 4.40 ton/Ha. Pada sistem budidaya secara ekstensif, produktivitas per Ha di Thailand mencapai 394 Kg/Ha sedangkan Indonesia
221
hanya rata-rata 162 Kg/Ha. Tambak udang di Thailand juga dapat berproduksi rata sekitar 2.4 kali per tahun, sedangkan Indonesia hanya 2.0 (dua) kali per tahun. Hasil studi akan berbeda jika menambahkan faktor lingkungan untuk menghitung TFP. Studi Martinez-Cordero dan Leung (2005) yang menghitung TFP dan efisiensi teknis menggunakan pendekatan Malmquist Index untuk tambak semi-intensif di Meksiko periode 1994, 1996-1998, dan 2001-2003, mendapatkan hasil perhitungan yang lebih rendah dibandingkan perhitungan secara tradisional, jika memasukan faktor lingkungan kedalam perhitungan. 7.2.4. Pengaruh Faktor Geografis Pengaruh TFP akibat perbedaan lokasi geografis dari kondisi agroklimat kurang tergali dalam studi ini. Akan tetapi berdasarkan Tabel 43 yaitu perbandingan untuk pengusahaan tambak di Jawa Timur dengan tambak di luar Jawa Timur, nampak bahwa nilai dummy TFP lokasi (Jawa Timur) bernilai positif. Pada studi ini, rata-rata udang ukuran panen di Jawa Timur lebih besar dibandingkan non Jawa Timur, sehingga memperoleh harga jual yang lebih tinggi yaitu Rp47 247, sedangkan di luar Jawa Timur rata-rata hanya Rp34 275. Salah satu penyebab tingginya harga udang di Jawa Timur juga disebabkan budidaya udang organik. Rendahnya padat penebaran yang digunakan menyebabkan pertumbuhan biomas/ekor udang menjadi lebih tinggi sehingga harga jual menjadi lebih tinggi.
222
Tabel 43. Karakteristik Penentu TFP antara Tambak Udang di Provinsi Jawa Timur dan di luar Jawa Timur. Lokasi Karakteristik Jawa Timur - Luas (ha)) - Produksi (kg) - Jumlah benur per Ha (ekor) - Jumlah pakan per Ha (kg) - Harga jual per kg (Rp) - Tingkat Pendidikan (tahun) - Tingkat kelangsungan hidup(%) - Lama pemeliharaan (hari) - Ukuran panen (ekor/kg) Luar Jawa Timur - Luas (ha)) - Produksi (kg) - Jumlah benur per Ha (ekor) - Jumlah pakan per Ha (kg) - Harga jual per kg (Rp) - Tingkat Pendidikan (tahun) - Tingkat kelangsungan hidup(%) - Lama pemeliharaan (hari) - Ukuran panen (ekor/kg)
Rata-rata 7.0 5 600 37 033.5
Terendah 0.1 14.3
Tertinggi
Standar deviasi
50.0 25 000
9.5 7 112.3
750.0 1 700 000.0
472 928.5
8 551
0
37.250.0
11 053.7
47 247.8
29 000.0
68 000.0
9 397.1
13.5
6.0
17.0
4.0
48.9
11.5
98.3
29.4
98.3
75.0
140.0
17.3
51.0
120.0
30.0
15.6
1.2 10 582.3
0.2 12.5
17.0 25 571.4
2.2 6 335.3
10 000.0 1 650 000.0
479 748.7
796 926.2 18 055.4
0
40 215.0
9 959.2
34 275.6
18 500.0
62 000.0
8 367.8
15.7
6
17.0
3.1
73.1
3.0
99.5
29.0
110.1
85.0
130.0
12.2
61.4
86.0
25.0
13.7
Salah satu upaya yang meningkatkan harga yang dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung antara lain menyusun harga udang secara harian untuk petambak plasma dengan menyesuaikan pada harga udang di Jawa Timur. Di Provinsi Lampung, Unit Pengolah Udang juga terbatas sehingga pembudidaya udang dari Lampung lebih senang menjual ke pedagang
223
pengumpul/ suplier/eksportir dari Cirebon seperti Ibu Khodijah dan Ramsikin, Rohamah, PT HJG dari Jakarta, atau PT. BMI dari Surabaya. 7.2.5. Pengaruh Tingkat Kemampuan SDM Tingkat pendidikan pembudidaya udang berkorelasi positif terhadap peningkatan TFP. Pada studi ini, rata-rata tingkat pendidikan pada sistem intensif yaitu 16.9 tahun, sedangkan pada sistem non intensif rata-rata 10.9 tahun. Dengan demikian, tingginya nilai TFP untuk sistem intensif diduga karena tingkat pendidikan juga lebih tinggi. Kondisi tersebut jauh berbeda dengan di Thailand, Sriwichailamphan (2007) melakukan studi mencakup 350 orang pembudidaya udang menemukan 28.7% respondennya berpendidikan sarjana dan master 2.6%. Pendidikan pembudidaya udang, lebih tinggi dibandingkan rata-rata pendidikan peternak dan pembudidaya ikan pinapple. Mayoritas pembudidaya berada pada usia produktif yaitu berusia antara 31-40 yaitu sebanyak 36.0%. Sebanyak 56.0% dari 350 responden telah menerapkan Good Aquaculture Practices (GAP) dan 44.0% masih menolaknya. Menggunakan model logit diketahui bahwa pembudidaya udang di Thailand mengadopsi GAP, terutama karena tingkat pendidikan.
Pemerintah Thailand meningkatkan keterampilan/pengalaman
pembudidaya melalui pelatihan secara langsung, pelatihan mandiri melalui CD, dan internet (Bluffstone et al., 2006). Pengembangan udang di Thailand juga melibatkan lebih dari 800 ilmuwan
dengan
300
publikasi
internasional,
dan
tujuh
universitas
menyediakan pelatihan udang. Dukungan pemerintah dalam pemanfaatan
224
bidang bioteknologi selama periode 2003-2007 sebanyak US$ 18 juta untuk impor induk dan domestikasi udang windu (Tanticharoen et al., 2008). 7.2.6. Pengaruh Luas Area yang Diusahakan Pada studi ini, luas area yang diusahakan berpengaruh negatif terhadap TFP. Terjadinya hal tersebut diduga karena: (1) keterbatasan kemampuan managerial dan supervisi tenaga kerja seiring besarnya skala usaha, (2) perubahan dari penanggulangan risiko seiring dengan peningkatan skala usaha, dan (3) keterbatasan penguasaan terhadap faktor alam pada penggunaan lahan yang semakin luas. Pada lahan luas, usaha budidaya cenderung lebih bersifat ekstensif. Semakin luas tambak yang dimiliki, makin sedikit buruh per area yang dibutuhkan. Sesuai dengan studi ini, hasil studi Gunaratne dan Leung (1996) yang mengamati di tujuh negara, luas tambak berkorelasi negatif terhadap efisiensi pada sistem usaha ekstensif dan semi-intensif, namun berkorelasi positif pada usaha intensif. 7.2.7. Pengaruh Aspek Kelembagaan (Kerjasama) Dari aspek kelembagaan, sistem kerjasama berpotensi meningkatkan harga jual sehingga TFP-pun diharapkan lebih tinggi. Adanya kerjasama memungkinkan permasalahan umum yang sering dihadapi oleh eksportir berupa kelangkaan bahan baku semestinya tidak terjadi. Namun, hasil studi ini menunjukkan sistem kerjasama justru berpengaruh negatif terhadap TFP. Hasil
wawancara
dengan
beberapa
responden
pembudidaya,
menunjukkan ketidakcocokan dengan sistem kerjasama karena merasa lebih
225
banyak berada pada pihak yang dirugikan. Beberapa responden pernah melakukan sistem kerjasama akan tetapi pada saat panen, pembeli mengulurngulur waktu pembelian, sedangkan biaya pakan makin meningkat jika masa pemeliharaan dilanjutkan. Hal yang sama juga terjadi pada budidaya udang sistem organik, pembudidaya merasa kesulitan merubah budaya kerja seperti tuntutan importir Jepang yang terkenal “cerewet” dalam hal mutu dan cara panen. Pemberian es untuk menjaga mutu tidak boleh dilakukan di rumah, melainkan harus ditambak serta langsung disegel.
Selain itu, perbedaan harga jual udang
organik dengan udang non organik sebesar Rp7 000 dianggap kurang mencukupi. Selisih harga sebesar Rp12 000/kg baru dianggap dapat menutupi besarnya biaya yang dikeluarkan antara lain untuk panen udang organik. Kadang perusahaan juga tidak membeli semua udang dan hanya membeli sesuai dengan ukuran yang dibutuhkan. Jika udang berukuran besar, misalnya size 15-23, terkadang mereka tidak membelinya. Jika tetap dibeli, mereka membeli dengan harga murah dibandingkan pembeli lainnya karena mereka tidak terlalu membutuhkan. Di pihak lain, beberapa pedagang besar/supplier tidak melakukan ikatan kerja sama (beli putus) dengan pertimbangan agar tidak ada kewajiban membeli ketika harga tinggi. Bagi suplier dengan tanpa ikatan berarti mereka dapat menjual ke UPI mana saja yang memberikan penawaran lebih tinggi. Akibatnya, pada musim tertentu ukuran udang yang lebih kecil dapat dikenakan harga yang lebih mahal.
226
Studi lain terkait kemitraan juga menunjukkan hasil yang memiliki kemiripan. Cahyono et al, (2007) yang mengkaji kemitraan pembudidaya ikan nila dengan PT Aqua Farm menyimpulkan bahwa program kemitraan belum berjalan sesuai dengan harapan yaitu pendapatan pembudidaya ikan mitra lebih kecil dari pembudidaya ikan non mitra. Bagi pembudidaya ikan, program kemitraan membantu pembudidaya ikan dalam pengadaan benih, pemberian pinjaman modal berupa benih dan pakan, serta keterjaminan pasar dan kepastian harga. Kendala yang ditemukan antara terjadinya penjualan ikan nila keluar perusahaan, pembayaran hasil panen mitra yang terlalu lama, tidak adanya kerjasama kerja tertulis yang mempunyai dasar hukum. Belum optimalnya sistem kerjasama di atas terkait juga dengan tingginya risiko baik risko produksi maupun risiko harga. Adanya serangan penyakit menyebabkan produksi kurang dapat diprediksi sehingga harga udang berfluktuasi. Di Thailand, menurut FAO Globefish (2011), banjir yang terjadi menyebabkan hilangnya sekitar 50 000 sampai dengan 60 000 ton udang yang menyebabkan kenaikan harga 40%. Hal tersebut mendorong pembudidaya udang beralih dari contract farming menjadi spot prices dan pembayaran tunai. Faktor lain yang diduga menyebabkan fluktuasi harga antara lain: terkonsentrasinya ekspor udang Indonesia pada negara tertentu, atau eksportir/cold storage sebagai pembeli membentuk suatu kekuatan yang monopsonistis (Suryana, 1989). Struktur pasar di tingkat pedagang pengumpul dapat dikatakan berbentuk pasar oligopsoni. Struktur pasar di tingkat pedagang besar dicirikan oleh kedudukan yang lemah dari pembudidaya dan pedagang pengumpul.
227
Studi Oktaviani et al., (2008) di Sulawesi Selatan terkait dengan risiko dan keuntungan, diperoleh hasil bahwa tidak ada pembagian risiko antara pembudidaya ikan, pedagang pengumpul, dan koordinator. Berdasarkan analisis AHP: sumberdaya merupakan hal paling penting, disusul teknologi. Strategi terbaik yaitu menjalin kerja sama antara pembudidaya dan pedagang perantara. Hal ini senada dengan hasil studi USAID (2006) di Bangladesh yang menemukan keuntungan yang diperoleh kurang “merata” antar lembaga pemasaran. Pedagang menengah dan eksportir menerima bagian lebih besar dibandingkan bagian yang diterima pembudidaya udang dan nelayan. 7.3.
Rangkuman
1. Pertumbuhan udang tambak Indonesia periode 1989-2008 lebih karena pertumbuhan input/faktor produksi bukan karena pertumbuhan TFP, disebabkan belum dapat di atasinya masalah penyakit. Hasil konfirmasi pada tingkat lapang terhadap 163 petak tambak, serangan penyakit berpengaruh negatif dan signifikan terhadap TFP. 2. Penggunaan benur bersertifkat, intensifikasi, dan tingkat pendidikan berkorelasi positif terhadap TFP, akan tetapi kondisi riil di Indonesia secara umum berbeda. Mayoritas tambak dikelola non intensif, penggunaan benur bersertifikat masih terbatas, dan tingkat pendidikan pembudidaya juga relatif rendah. Studi ini juga menunjukkan bahwa sistem kerjasama antara pembudidaya dengan lembaga pemasaran lainnya dan luas area yang diusahakan berpengaruh negatif terhadap TFP. Belum optimalnya sistem kerjasama diduga terkait dengan risiko produksi dan
228
risiko harga, sedangkan luas area terkait dengan keterbatasan kemampuan managerial dan supervisi tenaga kerja seiring meningkatnya skala usaha. Berdasarkan geografis, tambak udang di provinsi Jawa Timur berkorelasi positif terhadap TFP dibandingkan di luar Jawa Timur karena ukuran lebih besar sehingga harga jual lebih tinggi. 3. Pemerintah perlu memprioritaskan upaya penanganan penyakit melalui peningkatan
anggaran
riset,
penyediaan
benur
bermutu
melalui
penambahan anggaran untuk kegiatan broodstock center udang vaname di Karang Asem dan udang windu di BBPAB Jepara. Hal lain yang diperlukan adalah peningkatan kemampuan SDM pembudidaya udang melalui pelatihan terkait penyakit, dan manajemen tambak. Peningkatan pengawasan penggunaan induk udang di
hatchery dan penambahan
anggaran irigasi juga penting. Aturan mengenai padat penebaran juga perlu diperhatikan agar industri tambak udang berkelanjutan.
229
VIII. ANALISIS MUTU PADA RANTAI PASOKAN Berdasarkan pembahasan pada Bab V, pemenuhan persyaratan akan produk bermutu belum optimal. Melengkapi hal tersebut, untuk menjawab tujuan penelitian kedua, berikut dilakukan pembahasan mengenai mutu secara deskriptif. 8.1. Analisis Mutu pada Rantai Pasokan
Udang merupakan komoditas yang cepat rusak sehingga dalam tataniaganya memerlukan penanganan cepat supaya tingkat kesegarannya dapat dipertahankan. Permasalahan udang budidaya bermula dari notifikasi RASFF (Rapid Alert Sistem, for Fish and Feed) oleh UE-27 yang memberikan notifikasi terhadap produk perikanan. Notifikasi tersebut berlanjut pada penolakan, dan berujung pada penerapan CD 2006/236/EC, 21 Maret 2006 atau sering disingkat CD 236. Mutu udang ekspor melibatkan banyak faktor sejak penanganan di tambak sampai dengan pemasaran (Gambar 29).
Tambak
Pedagang Pengumpul
Suplier/ Pedagang besar
Unit Pengolah Udang
Eksportir
Gambar 29. Jalur Pemasaran Udang Tambak Indonesia Berdasarkan Gambar 29, rantai produksi dimulai dari pembesaran di tambak. Selanjutnya, dalam proses pembesaran di tambak diperlukan asupan pakan dan obat-obatan. Setelah dipanen, udang dijual ke pedagang pengumpul, pedagang besar atau ke Unit Pengolah Ikan (UPI). Tempat penjualan sebagian besar ditempat pembudidaya. Pedagang pengumpul biasanya menjual kepada pedagang besar atau ke UPI. Banyak pedagang pengumpul merupakan
230
perpanjangan dari pedagang besar. UPI menjual ke eksportir dan selanjutnya didistribusikan ke negara tujuan ekspor. Pada beberapa kasus, UPI dan eksportir seringkali tergabung. Mutu udang antara lain diukur berdasarkan jenis, ukuran, dan dicerminkan dengan harga yang diterima. Harga jual yang lebih tinggi diasumsikan mempunyai mutu lebih baik. Jika mengacu kepada asumsi bahwa mutu yang lebih baik diberi harga lebih baik seperti pendekatan yang dilakukan Suryana (1989), maka berdasarkan hasil survey kualitas udang di Jatim relatif lebih baik. Di tingkat pembudidaya, harga rata-rata di Jatim mencapai Rp47 000/kg, sedangkan di Lampung sekitar Rp39 000. Adanya kebijakan daftar harga penjualan udang yang dikeluarkan oleh Dinas KP Provinsi Lampung dengan menempatkan petugas survey di Jatim diharapkan harga di Lampung relatif sama dengan di Jawa Timur untuk size yang sama.
8.1.1. Tingkat Pembudidaya Udang Pengendalian sistem jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan untuk pembudidaya mencakup penggunaan obat-obatan, bahan-bahan kimia, bahan biologi, dan pencemaran pada perbenihan, pembesaran dan pemanenan hasil budidaya perikanan. Upaya yang dilakukan antara lain berupa tes antibiotika yang dilakukan oleh pedagang pengumpul/suplier dan UPI. Jika udang ekspor mengandung antibiotika, maka eksportir tersebut dilarang mengekspor ke UE, namum masih diperbolehkan mengekspor ke negara yang tidak terlalu ketat peraturannya. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, tidak terdapat perbedaan nyata dari upaya peningkatan mutu dibandingkan dengan manfaat
231
yang diperoleh berupa diperolehnya harga premium. Tambahan biaya yang dikeluarkan oleh pembudidaya untuk memperoleh udang yang memnuhi mutu dan keamanan pangan yang lebih baik antara lain memakai probiotik dari semula menggunakan antibiotik. Jika menggunakan probiotik biayanya dapat mencapai Rp8 juta/Ha, sedangkan jika menggunakan antibiotik biayanya lebih rendah. Selain itu, biaya terkait mutu lainnya yaitu pengujian sampel sekitar Rp250 000/sampel. Biaya lainnya adalah penerapan biosecurity di tambak berupa perubahan konstruksi tambak seperti dipersyaratkan CBIB. Perlakuan yang dapat mempercepat kemunduran mutu udang adalah lamanya waktu pemanenan, tertundanya pemberian es, penggunaan air tambak untuk menyiram udang, dan kemungkinan terjadinya pencemaran bakteria saat sortasi. Pencucian udang perlu memperhatikan sumber air. Jika menggunakan air tambak atau air laut, udang akan lebih cepat berwarna kemerahan dibandingkan jika menggunakan air tawar. Permasalahan mutu dan keamanan hasil perikanan pada tingkat budidaya udang di tambak tidak terlepas dari permasalahan penyakit. Penggunaan antibitoka marak dilakukan pada periode sampai dengan 20052006. Untuk mengetahui udang tersebut mengandung antibiotika atau tidak, biasanya dilakukan tes antibiotika oleh calon pembeli sebelum panen. Mutu juga mengacu pada ukuran panen, dan terkait dengan hal itu, pembudidaya udang biasanya menghitung Average Daily Growth (ADG) dibandingkan dengan tambahan pakan yang diberikan. Jika tambahan bobot ADG masih melebihi dibandingkan tambahan pakan yang diberikan, maka pemeliharaan terus dilanjutkan. Mengacu kepada keragaman ukuran panen,
232
beberapa responden mengakui bahwa VN (vaname Nusantara) mempunyai keragaman lebih tinggi (sampai dengan 15-20%) dibandingkan menggunakan benur F-1 dari Hawaii. Udang organik di Sidoarjo merupakan salah satu contoh produk yang mengutamakan mutu. Udang hasil panen langsung dimasukkan ke box dan disegel dan dipertahankan terus tingkat kesegarannya menggunakan es yang relatif banyak. Udang organik dibeli dengan harga relatif lebih mahal dibandingkan udang biasa pada ukuran yang sama. Akan tetapi, menurut beberapa pembudidaya salah satu kelemahannya yaitu udang berukuran besar dihargai lebih rendah sehingga tetap lebih menguntungkan apabila dijual ke pedagang pengumpul. Bagi pembudidaya, kombinasi cara menjual sebagian ke PT ATJ (sebagai eksportir) dan ke pedagang pengumpul merupakan praktek yang biasa dilakukan. Secara umum, pembudidaya udang kurang termotivasi menghasilkan mutu udang yang lebih baik karena insentif yang diperoleh lebih kecil dari tambahan biaya yang harus dikeluarkan. Dibandingkan Thailand, menurut Sriwichailamphan (2007) sebanyak 56.0% dari 350 responden telah menerapkan Good Aquaculture Practices (GAP) dan 44.0% masih menolaknya. Dengan menggunakan model logit menyebutkan bahwa pembudidaya di Thailand mengadopsi GAP) terutama karena tingkat pendidikan. Kemungkinan untuk mengadopsi jika tidak dipaksa oleh aturan adalah 34.7%. Implikasinya adalah perlu penyuluhan yang lebih tepat yaitu dengan mengundang praktisi, pendekatan melalui Asosiasi pembudidaya udang.
233
8.1.2. Pedagang Pengumpul dan Suplier Secara umum,
mutu udang sebagai bahan baku yang dibeli dari
pembudidaya relatif bagus karena lokasi tambak relatif dekat. Guna menjaga kesinambungan bahan baku, satu dari lima responden melakukan kerjasama dengan cara pemberian modal kerja. Pedagang pengumpul dalam menjual udangnya belum pernah mengalami penolakan oleh UPI karena permintaan udang masih tinggi. Penjualan ke UPI mencapai 80-100%, hanya sebagian kecil yang dijual ke pasar domestik. Perbedaan harga apabila dijual ke UPI lebih murah sekitar Rp1 000 - Rp2 000, dibandingkan dengan ke pasar lokal. Hal tersebut terkait dengan sistem pembayaran yaitu tunai dan dibayar dalam jangka waktu. Upaya menjaga mutu yang dilakukan pedagang pengumpul masih rendah tercermin dari tambahan biaya yang diperlukan untuk pembelian es hanya sekitar 1-3% (Tabel 44). Pengeluaran biaya terbesar oleh pedagang pengumpul yaitu untuk pembelian bahan baku sekitar 90-95%. Tambahan biaya untuk menjaga mutu sekitar Rp1 500-Rp2 000/kg, yaitu untuk pembelian es, upah sortir, dan pengujian.
Terdapat perbedaan udang mutu kelas I dengan kelas II
(molting/BS) sekitar Rp15 000. Upaya perendaman udang dengan es selama 3-4 hari oleh pedagang pengumpul, kurang mendukung upaya mempertahankan mutu. Terjadi peningkatan bobot sekitar 10% dan size lebih besar diperoleh akibat dari upaya perendaman tersebut. Hal tersebut dapat menyebabkan kerusakan udang yang akan diekspor. Dengan demikian mereka dapat menjual relatif lebih murah ke UPI dibandingkan harga pembelian dari pembudidaya udang. Upaya
234
penambahan es dan harga jual yang lebih rendah ke UPI masih diangap menguntungkan oleh para pedagang pengumpul. Tabel 44. Tambahan Biaya dan Harga Jual Terkait Upaya Peningkatan Mutu Responden
Mutu bahan baku Alasan mutu bagus
H. Kholidin
Bagus
Eddy S.
Bagus
H. Ach. Sujak
Choirul Umam
Jarak tambak Dekat 45 000
Bagus
Bagus
H. Ali Ridho
Bagus
Jarak ke tambak Dekat 48 000
Jarak tambak dekat 44 000
Penanganan 45 000
tambak Dekat dan penanganan 56 000
Harga jual ke pasar lokal
49 000
46 000
46 000
55 000
46 000
Harga Udang kualitas I
50 000
44 000
45 000
45 000
45 000
Harga Udang kualitas 2
35 000
25 000
35 000
30 000
36 000
Tambahan biaya peningkatan mutu (Rp) - Tambahan es (Rp)
1 500
2 000
2 000
1 500
2 000
500
1 000
1 000
1 000
1 000
Harga jual ke UPI
-
Sortir (Rp)
500
1 000
1 000
500
1 000
-
Lainnya (Rp)
500
-
-
-
-
Tidak
Ya
Tidak
Tidak
Tidak
100
70
95
80
80
-
30
5
20
20
95
95
Melakukan kerjasama Dijual ke UPI (%) Ke Suplier (%) Komposisi biaya -
Bahan baku (%)
93
90
-
Tenaga kerja (%)
3
3
75
2
2
-
Transportasi (%)
2
3
25
2
2
-
Es (%)
2
3
0
1
1
Perlakuan yang dilaukan oleh pedagang pengumpul antara lain pencucian, sortasi, potong kepala (tidak selalu), dan pengepakan dan siap dikirim ke Unit Pengolah Ikan. Pedagang pengumpul belum optimal mendapat pengawasan pemerintah dalam suatu sistem sertifikasi hasil perikanan. Kontaminan yang mungkin terjadi adalah bakteri pathogen seperti Salmonella, vibrio cholera, dan Eschercia coli serta filth atau potongan (bagian) dari binatang penyebar penyakit seprti tikus, lalat, dan kecoa. Terhadap udang yang terkontaminasi tersebut maka perlakuan untuk menghilangkan kontaminan menjadi kurang berarti. Dengan demikian, rantai ini merupakan titik rawan
235
karena sebagai batas antara produksi budidaya dan pengolahan udang. Investasi untuk perlakuan sanitasi produk sangat terbatas. Implikasinya maka penerapan traceability menjadi penting. 8.1.3. Unit Pengolah Ikan Bagi beberapa UPI/eksportir menganggap mutu bukan merupakan salah satu kendala dalam ekspor udang budidaya. Alasannya antara lain eksportir mengelola tambaknya sendiri. Terhadap tambak yang bukan milik sendiri, dua hari sebelum pembelian biasanya dilakukan pengecekan. Jika udang yang dibeli mengandung antibiotika maka pembelian tidak jadi dilakukan. Umumnya jika mengandung antibiotika, maka udang tersebut akan dijual ke pasar lokal. Permasalahan utama yang dihadapi UPI adalah kelangkaan bahan baku. Pada tingkat Unit Pengolah Ikan, secara umum, mutu udang yang diperoleh kualitasnya bagus (99%) karena berasal dari tambak sendiri (80%) dan 20% (membeli dari pedagang pengumpul). Untuk menjaga mutu maka rantai dingin dipertahankan. Sanitasi dan hiygiene perlu tetap dijaga dan karenanya ketersediaan es menjadi penting. Menurut responden, titik kritis ada di bahan baku. Mereka mengharapkan pemerintah memberikan perhatian berupa pelatihan/sosialisasi tentang peningkatan mutu kepada pembudaya dan pedagang pengumpul. Kemunduran mutu perlu dikendalikan, oleh karena itu proses sebelum udang dibekukan akan berpengaruh terhadap mutu udang beku yang dihasilkan. Dari sisi bahan baku yang diperoleh, rendahnya mutu udang antara lain disebabkan jarak tempuh dari lokasi panen. Perlakuan waktu panen juga
236
berpengaruh. Kontaminasi bakteri juga dapat terjadi ketika udang disortasi. Penirisan udang yang cukup lama dapat juga menurunkan penampilan udang, yaitu menjadi kurang cemerlang. Proses penurunan mutu dapat lebih cepat, terlebih jika cuaca cerah, suhu tinggi, dan terlambat pemberian es. Proses kemunduran mutu, diawali aktifitas enzimatis dan diikuti aktifitas bakterial yang berlangsung lebih cepat pada suhu tinggi. Kontrol mutu untuk bahan baku yang dilakukan oleh UPI antara lain mencakup ketepatan manajemen pakan yang tidak mengandung antibiotika, pengadiministrasian penggunaan bahan-bahan input yang akan mempengaruhi konsumen, dan penjagaan kualitas air. Sebelum tahap pengolahan, UPI biasanya melakukan pengecekan secara reguler. Pada tahap pengolahan: pengetesan mutu dari residu berbahaya, penimbangan dan pencucian, grading berdasarkan ukuran dan warna, penirisan, freezing, dan pengepakan. Unit Pengolah Ikan umumnya melakukan sortasi berdasarkan ukuran udang. UPI membentuk tim panen yang memantau sampling, melakukan pengujian sebelum pembelian. Sejalan dengan hal tersebut, studi Riyanto (2003) dalam Trilaksani dan Riyanto (2004) yang melakukan evaluasi penerapan dan pelaksanaan sistem manajemen mutu hasil perikanan Indonesia di berbagai Unit Pengolah ikan terutama yang berada di Jawa menyebutkan bahwa secara umum, produk yang siap diekspor telah memenuhi ketentuan yang berlaku termasuk kemanan pangan. Suhu pembekuan dan penyimpanan rata-rata telah memenuhi ketentuan. Penggunaan klorin telah memenuhi standard, yaitu rata-rata 5% dengan suku sekitar 5oC. Menggunakan aspek penilaian mutu meliputi: tail root algae, soft meat, broken shell, loose shell,
237
deform, black leg, white spot, dan bruise menyebutkan bahwa kondisi bahan baku yang akan diolah, untuk udang windu sebagian besar masih dibawah First Quality (FQ), yaitu Standard Quality sebanyak 30%, dan Below Standard (BS) dapat mencapai 60%.
Sodium tripoliposfat untuk menambah berat dan
tertutupinya tingkat atau kategori mutu udang B.S. Selanjutnya disebutkan bahwa udang yang dipanen di tambak rata-rata masih mengandung E. coli. 8.1.4. Eksportir Pada tingkat eksportir, secara umum disebutkan bahwa mutu bahan
baku yang diperoleh adalah rata-rata, sebanyak 95% kondisinya bagus dan hanya < 5% yang jelek. Udang kurang bermutu biasanya dijual ke pasar domestik atau dibuat produk olahan seperti nugget (genjernya). Salah satu titik kritis adalah mutu bahan baku yang diperoleh dari pedagang pengumpul yang sebelumnya direndam sekitar 4 (empat) hari. Faktor penentu mutu ditentukan oleh tingkat kesegaran, organoleptik, penampakan, daging udang, warna, dan bau. Cara mengontrol mutu yang dilakukan eksportir yaitu melalui pembelian dengan mitra/partner tetap. Berdasarkan wawancara, secara umum, urutan yang perlu diperhatikan dalam menerapkan penggunaan rantai dingin, produk yang higienes, dan bersih adalah: mutu, proses pengangkutan, proses pembelian, proses pengolahan, proses penyimpanan, dan teknik pengolahan. Perbedaan harga udang antara 1st grade dengan 2nd grade sekitar Rp10 000 ada juga yang berpendapat sekitar 90% dari 1st grade atau terdapat perbedaan sekitara 10-20 cent US$. Biaya yang dibutuhkan dalam rangka peningkatan mutu oleh eksportir/UPI antara lain terkaitdengan up grade fasilitas, pelatihan, kunjungan
238
dari importir, investasi peralatan laboratorium, biaya monitoring ke UPI/pembudidaya udang, dan sertifikat (ISD, BRC, ACC) sertifikat 70 juta/rupiah. Penambahan biaya dan harga yang diperoleh contohnya di PT. Indokom, tambahan biaya per kg udang untuk 0.69% dan tambahan keuntungan sekitar 0.80%. Di lain pihak, harga jual yang diperoleh untuk produk bermutu yaitu tidak terlalu berpengaruh, hanya 10-20 cent US$/kg, akan tetapi lebih ke arah trust.
Sebagai contoh, PT. ICS pada tahun 2007 mengalami penolakan
sebanyak empat kontainer senilai Rp4 miliar karena antibiotika. Dibutuhkan waktu sekitar dua tahun untuk pemulihan dengan menginfomasikan kepada importir tentang upaya-upaya yang telah dilakukan oleh perusahaan. Salah satu perusahaan di Lampung pernah mengalami penolakan sebanyak 7.5 ton senilai Rp580 juta pada Juni 2010 karena white spot. Kerugian finansial mencapai Rp110 juta atau 19% dari nilai jual yang terdiri atas PPN, PPh, packaging, freight, dan upah tenaga kerja. Terkait dengan aturan mengenai mutu, di pasar AS aturan diserahkan ke pembeli, sedangkan Jepang lebih banyak pada in process inspection yaitu pembeli datang meninjau lokasi, sedangkan ekspor ke UE menerapkan sistem MoU. Harga jual ke Jepang, AS, dan UE-27 berturut-turut adalah Rp55 000, Rp57 000 dan Rp58 000 untuk udang vaname size 60. Sebagai contoh, biaya produksi ekspor ke Jepang komposisinya terdiri atas 82% untuk pembelian bahan baku, 10% tenaga kerja, 5% transportasi, dan packing 3%. Hambatan utama yang dikeluhkan UPI/eksportir adalah ketersediaan bahan baku dan ukuran udang jenis tertentu, sehingga Asosiasi Pengusaha
239
Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan (AP5I) mengusulkan untuk membuka keran impor. Alasan perlunya dibuka kran impor karena bahan baku relatif terbatas sehingga harga melambung. Akan tetapi, disebutkan bahwa penentu utama untuk penjualan adalah ukuran udang. Bahan baku berasal dari tambak lebih terjamin untuk memenuhi unsur traceability. Apabila ekspor ke negara baru/pasar baru, tidak mudaha untuk merubah kebiasaan dari yang sebelumnya tidak makan udang menjadi makan udang. Demikian halnya, pasar lama juga jika ditinggalkan maka akan diisi oleh eksportir dari negara lain dan akan kesulitan masuk kembali. Perlakuan dalam memperoleh mutu udang yang baik yaitu sebelum panen disampling terlebih dahulu dan diuji kandungan antibiotiknya. Pembudidaya udang perlu mendapat pelatihan dari pemerintah terkait peningkatan mutu antara lain kontrol/pembinaan terhadap hathery dan pembudidaya udang/UPI. Pemerintah melalui Otoritas Kompeten (BKIPM) telah melakukan perbaikan berupa penyederhanaan prosedur yaitu sebelumnya surat kesehatan ikan diterbitkan oleh BKIPM dan laboratorium LPPMHP di daerah, saat ini telah disederhanakan menjadi hanya satu. Akan tetapi terkait dengan kebijakan Pemerintah, menurut Santoso (2010), saat ini sertifikasi hasil perikanan masih cenderung didasarkan pada pengawasan produk akhir dari pada pengawasan proses produksi. Sertfikasi hasil perikanan melibatkan kegiatan pengambilan contoh, pengujian, pengendalian proses produksi, dan monitoring residu dan cemaran dalam produk perikanan. Proses sertifikasi hasil perikanan dilakukan oleh LPPMHP di tingkat provinsi. Pada pelaksanaannya dikaitkan dengan
240
pendapatan asli daerah. Pemerintah hanya menetapkan kebijakan dan prosedur kerja. Selain itu, seluruh kegiatan belum dilakukan secara terpadu dalam satu sistem. Kelemahan yang ditemukan antara lain disebabkan: (1) pemerintah Pusat tidak dapat melakukan tindakan perbaikan dengan cepat dan tegas bila terjadi kesalahan prosedur dan substansial karena aparat pelaku secara administratif berada dibawah Gubernur, (2) pelaksanaan sertifikasi kurang didukung oleh anggaran, dan (3) kurang didukung oleh SDM yang memadai. Sejalan dengan hal tersebut, menurut Simangunsong (2008) pendekatan end process saat ini sudah tidak mencukupi, tetapi memerlukan pendekatan in process. Pengujian pada produk akhir kurang mencegah terjadinya kontaminan pada produk pangan dibandingkan program in process. Agar terrjadi keefektifan penggunaan Program tersebut ditiap rantai pasokan, maka perlu kombinasi dengan program lainnya. Selain itu, kontrol keamanan hasil produk perikanan tidak akan berhasil tanpa dukungan pemerintah dan pihak swasta. Berdasarkan uraian di atas, dalam rangka meningkatkan mutu dan keamanan hasil produk perikanan perlu dilakukan sinergitas kebijakan sejak produksi primer sampai dengan pemasaran. BKIPM selaku otoritas kompeten di bidang mutu dan keamanan produk perikanan dapat melakukan upaya: (1) peningkatan pembinaan dan pengawasan kepada pedagang pengumpul agar tidak merendam udang, (2) meningkatkan kompetensi laboratorium uji mutu agar memenuhi standard internasional, (3) mengefektifkan uji monitoring residu dan traceability, (4) menambah inspektur mutu serta mendorong penerapan in process inspection, (5) meningkatkan penerapan Cara Budidaya
241
ikan yang Baik (CBIB) dan Good Handling Practices (GHP) pada rantai pasokan terutama pada pembudidaya skala kecil, dan melengkapi Export Quality Infrastructure berupa alat pengujian mutu. 8.2.
Rangkuman
1. Dalam jangka panjang, manfaat dari peningkatan mutu akan lebih penting dalam meningkatkan daya saing, seiring meningkatnya permintaan konsumen akan produk bermutu. 2. Prinsip dasar dalam menjaga mutu udang adalah mempertahankan rantai dingin, menjaga sanitasi dan higienis produk. Indonesia belum sepenuhnya memenuhi persyaratan mutu yang dipersyaratkan importir. Pada tingkat pembudidaya, titik kritis antara lain penerapan CBIB. Pembudidaya udang kurang termotivasi menghasilkan udang bermutu karena insentif lebih kecil dari tambahan biaya yang harus dikeluarkan. Terjadinya serangan penyakit menjadi salah satu kendala penggunaan antibiotika/obat-obatan yang seharusnya tidak boleh digunakan. 3. Tambahan yang dikeluarkan oleh pembudidaya udang untuk memperoleh mutu lebih baik antara lain penggunaan probiotik, biaya pengujian sampel, penerapan biosecurity di tambak berupa perubahan konstruksi tambak seperti dipersyaratkan CBIB (Cara Budidaya Ikan Yang Baik). 4. Kelemahan utama dalam memperbaiki mutu berada di pedagang pengumpul yang belum mendapatkan pengawasan pemerintah dalam suatu sistem sertifikasi hasil perikanan. Pada tingkat pedagang pengumpul, titik kritis berada dalam upaya peningkatan mutu terjadi pada saat praktek perendaman udang selama 3-4 hari untuk meningkatkan bobot udang yang
242
akan dijual.
Dengan
perendaman tersebut, pedagang pengumpul
memperoleh tambahan bobot dan juga size dari udang yang direndam sekitar 10%. 5. Dewasa ini yang lebih banyak memperhatikan mutu adalah di tingkat UPI yaitu dengan melakukan sortasi. Permasalahan utama yang dihadapi UPI yaitu kelangkaan bahan baku. BKIPM selaku otoritas kompeten dapat berperan lebih sejak produksi primer dan tidak hanya di hilir.
243
IX. DAMPAK KEBIJAKAN DOMESTIK TERHADAP DAYA SAING SEBAGAI DASAR STRATEGI PENINGKATAN EKSPOR Berikut disajikan pembahasan untuk menjawab tujuan penelitian yang ketiga yaitu menganalisis dampak alternatif kebijakan terhadap daya saing sebagai dasar strategi peningkatan ekspor udang Indonesia. 9.1. Hasil Validasi Model Daya Saing Udang Indonesia Validasi Model Daya Saing Udang Indonesia secara historis periode tahun 2004-2008 dilakukan menggunakan kriteria statistik RMSPE, dan Theil’s Inequality (U-Theils). Hasil validasi menunjukkan bahwa terdapat 53 persamaan dari 86 persamaan memiliki nilai RMSPE dibawah 30%, dan Nilai U-Theils rata-rata 0.3782. Walaupun beberapa persamaan memiliki validasi yang lemah, namun dekomposisi U-Theils (Bias/UM, Reg/UR, dan Var/US) mendekati nol. Dengan demikian, Model Daya Saing Udang Indonesia yang dibangun dianggap layak dan mempunyai daya prediksi yang cukup valid untuk melakukan simulasi historis. 9.2. Evaluasi Dampak Alternatif Simulasi Kebijakan Domestik Periode Historis Tahun 2004-2008 terhadap Penawaran dan Permintaan Udang Indonesia Simulasi alternatif kebijakan domestik dilakukan melalui kebijakan fiskal (subsidi) dan moneter (penurunan tingkat suku bunga). Evaluasi kebijakan dilakukan dengan membandingkan dampak yang ditimbulkan oleh alternatif kebijakan (simulasi kebijakan) dengan tanpa alternatif kebijakan (simulasi dasar). Alternatif kebijakan yang dipilih didasarkan pada kondisi pengamatan tahun 2004-2008 dengan pertimbangan pada periode tersebut
244
terjadi pergantian udang windu dengan udang vaname, sejalan dengan pembahasan pada Bab V. Dengan demikian, hasil simulasi yang disajikan merupakan kondisi relatif terhadap kondisi yang terjadi pada periode 20042008. Hasil evaluasi tersebut dapat diharapkan menjadi landasan dalam rangka mencari strategi peningkatan kinerja ekspor. Dampak berbagai alternatif kebijakan terhadap beberapa variabel penting disajikan pada Tabel 45 sampai dengan Tabel 53, dan secara lengkap disajikan pada Lampiran 8. 9.2.1. Tingkat Pendidikan Meningkat Sebesar 40 Persen Kebijakan peningkatan pendidikan bertujuan mendorong peningkatan produktivitas tenaga kerja, yang dalam Model Daya Saing Udang Indonesia dicirikan
dengan
peningkatan
pertumbuhan
TFP.
Pertumbuhan
TFP
mempengaruhi produksi udang tambak, mendorong ketersediaan bahan baku (udang segar dan beku), dan mendorong kuantitas ekspor. Salah satu kegiatan terkait hal tersebut yang dilakukan oleh Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Kelautan dan Perikanan (BPSDM KP) yaitu pemberian beasiswa pendidikan terhadap anak pelaku utama (nelayan/pembudidaya). Hasil simulasi dampak peningkatan tingkat pendidikan sebesar 40% disajikan pada Tabel 45. Berdasarkan
Tabel
45,
peningkatan
pendidikan
menyebabkan
pertumbuhan TFP sebesar 0.5736 dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhan TFP periode sebelumnya, dan produksi udang tambak meningkat 1.0101%. Peningkatan produksi udang tambak mendorong peningkatan produksi udang segar 0.5989% dan terjadi kelebihan penawaran sehingga harga udang domestik turun 0.0046%. Peningkatan bahan baku berupa udang segar
245
mendorong peningkatan ekspor udang segar ke Jepang 1.081% dan ke UE-27 0.1196%. Tabel 45. Dampak Kebijakan Peningkatan Tingkat Pendidikan Sebesar 40 Persen terhadap Penawaran dan Permintaan Udang Indonesia Variabel Endogen Pertumbuhan TFP (%) Produksi udang tambak (ribu ton) Total produksi udang segar Indonesia (ribu ton) Harga udang segar domestik (ribu Rp/kg) Kuantitas ekspor udang segar Indonesia ke Jepang (ribu ton) Kuantitas ekspor udang segar Indonesia ke AS (ribu ton) Kuantitas ekspor udang segar Indonesia ke UE-27 (ribu ton) Kuantitas impor udang segar Jepang dari dunia (ribu ton) Kuantitas impor udang segar AS dari dunia (ribu ton) Kuantitas impor udang segar UE-27 dari dunia (ribu ton) Permintaan udang segar oleh industri udang beku (ribu ton) Total Produksi udang beku Indonesia (ribu ton) Harga udang beku domestik (ribu Rp/kg) Permintaan udang beku domestik (ribu ton) Kuantitas ekspor udang beku Indonesia ke Jepang (ribu ton) Kuantitas ekspor udang beku Indonesia ke AS (ribu ton) Kuantitas ekspor udang beku Indonesia ke UE-27 (ribu ton) Kuantitas ekspor udang beku Indonesia ke dunia (ribu ton) Kuantitas impor udang beku Jepang dari dunia (ribu ton) Kuantitas impor udang beku AS dari dunia (ribu ton) Kuantitas impor udang beku UE-27 dari dunia (ribu ton) Total ekspor udang beku dunia (ribu ton) Total impor udang beku dunia (ribu ton) Harga riil udang beku dunia (US$/kg) Permintaan udang beku oleh industri udang olahan (ribu ton) Produksi udang olahan Indonesia (ribu ton) Kuantitas ekspor udang olahan Indonesia ke Jepang (ribu ton) Kuantitas ekspor udang olahan Indonesia ke AS (ribu ton) Kuantitas ekspor udang olahan Indonesia ke UE-27 (ribu ton) Kuantitas ekspor udang olahan Indonesia ke dunia (ribu ton) Kuantitas impor udang olahan Jepang dari dunia (ribu ton) Kuantitas impor udang olahan AS dari dunia (ribu ton) Kuantitas impor udang olahan UE-27 dari dunia (ribu ton) Total ekspor udang olahan dunia (ribu ton) Total impor udang olahan dunia (ribu ton) Harga riil udang olahan dunia (US$/kg)
Nilai Dasar 1.011 316.800 534.300 24.064 0.111 0.346 0.167 2.211 1.236 7.817 298.000 181.300 45.455 57.248 42.902 38.470 19.412 121.000 205.000 405.500 461.000 1,476.000 1,548.100 7.015 51.077 25.569 7.939 6.234 4.596 22.809 59.460 132.500 113.000 505.200 583.000 7.982
% 0.5736 1.0101 0.5989 -0.0062 1.0801 0.0000 0.1196 -0.0090 -0.0162 -0.0102 0.0000 1.0480 -0.0100 0.0000 0.0496 0.4645 0.1808 0.2479 0.0000 0.0247 0.0000 0.0136 0.0000 -0.0114 0.0000 0.0000 -0.0013 0.0048 0.0000 0.0009 0.0002 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
246
Peningkatan produksi udang 1.048% menyebabkan penurunan harga udang beku domestik 0.01%, serta mendorong peningkatan kuantitas ekspor udang beku ke Jepang, AS, dan UE-27 masing-masing 0.0946, 0.469, dan 0.180%. Berdasarkan kuantitas, peningkatan terbesar terjadi pada ekspor udang beku ke AS sebesar 0.1295 ribu ton. Hal tersebut diduga karena pada periode pengamatan 2004-2008, mayoritas ekspor Indonesia dalam bentuk udang beku. Berdasarkan prosentase perubahan, peningkatan terbesar yaitu ekspor udang segar ke Jepang mencapai 1.081%. Berdasarkan tujuan ekspor, peningkatan kuantitas ekspor udang beku ke AS lebih besar dibandingkan kedua pasar lainnya, disebabkan elastisitas permintaan udang oleh AS lebih tinggi dibandingkan dua pasar lainnya. Kurangnya daya dorong dari pengaruh pertumbuhan TFP terhadap produksi diduga karena pada periode pengamatan 2004-2008 terjadi stagnasi kemajuan teknologi akibat permasalahan penyakit belum dapat diatasi. Secara umum, kebijakan ini juga kurang berpengaruh terhadap permintaan dan harga udang segar, beku, maupun olahan. Meskipun
demikian,
hasil
studi
menunjukkan
bahwa
penting
pengembangan sumberdaya manusia. Usaha budidaya udang di tambak memerlukan
keahlian
dan
keterampilan
khusus
sehingga
kebijakan
peningkatan produktivitas tenaga kerja melalui pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan menjadi penting. Studi Tajerin (2007) yang menggunakan fungsi produksi stochastic frontier memperoleh efisiensi teknis udang Indonesia sekitar 56%. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa masih terbuka peluang
247
peningkatan
efisiensi
yang
salah
satunya
dapat
dilakukan
dengan
meningkatkan pendidikan dan pengalaman pembudidaya udang. Data hasil survey sosek perikanan tahun 2005 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan mayoritas pembudidaya udang hanyalah tamatan SD (tidak tamat sekolah sebanyak 3.2%, tamatan SD sebanyak 43.6%) (DJPB, 2005). Angka tersebut tidak tidak jauh beda berdasarkan survey NACA terhadap 134 pembudidaya diperoleh data yaitu 35.1% berpendidikan SD, 23.1% SMP, dan hanya 2.2.% lulusan perguruna tinggi (NACA, 2010). Di Thailand, studi Sriwichailamphan (2007) dari 350 orang responden pembudidaya sebanyak 28.7% berpendidikan sarjana dan master 2.6%. Pengembangan kompetensi pembudidaya dapat dilakukan melalui pemanfaatan Unit Pelaksana Teknis (UPT) baik lingkup BPSDM, DJPB, dan Badan Litbang KP untuk lebih banyak melakukan pelatihan pada keahlian tertentu. Keahlian dan keterampilan khusus yang diperlukan antara lain untuk mengatasi permasalahan penyakit, manajemen pakan, dan lain sebagainya. Berdasarkan uraian di atas, kebijakan peningkatan tingkat pendidikan dalam rangka meningkatkan produktivitas tenaga menjadi penting dan pada tataran praktis hal tersebut dapat diarahkan untuk keahlian khusus, dengan prioritas antara lain mengenai penanganan masalah penyakit. 9.2.2. Peningkatan Anggaran Irigasi Pemerintah Sebesar 7.48 Kali Tujuan simulasi kebijakan peningkatan anggaran irigasi melalui APBN sebesar 7.48 kali untuk meningkatkan ketersediaan air baik untuk saluran pasok maupun saluran buang. Permasalahan utama terkait irigasi yaitu pendangkalan akibat sedimentasi, baik dari hulu sungai maupun dari hilir saat
248
pasang naik. Permasalahan lain yaitu terbatasnya kelembagaan pengelola seperti Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) pada jaringan/daerah irigasi. Selain itu, pembenahan saluran irigasi juga biasanya terkendala oleh penolakan
masyarakat karena sengketa kepemilikan lahan dan akan merubah lay out lahan. Padahal pemisahan saluran pasok dan saluran pembuangan merupakan bagian dari penerapan CBIB. Sejalan dengan hasil simulasi pada skenario pertama, penambahan anggaran irigasi mempengaruhi produktivitas. Dengan tersedianya kebutuhan air laut maupun air tawar, memungkinkan pembudidaya merubah sistem usaha budidaya dari sebelumnya non-intensif menjadi semi-intensif atau intensif. Dalam Model, anggaran irigasi berpengaruh terhadap pertumbuhan TFP selanjutnya berpengaruh terhadap produksi. Dampak simulasi kebijakan disajikan pada Tabel 46. Hasil simulasi, peningkatan anggaran pemerintah untuk pembangunan/ rehabilitasi irigasi sebanyak 7.48 kali meningkatkan produktivitas yang diukur dari pertumbuhan TFP sebesar 0.1676% dan produksi udang tambak 0.3157%. Peningkatan produksi menyebabkan ketersediaan bahan baku meningkat dan mempengaruhi jumlah ekspor. Kuantitas ekspor meningkat 0.2700% yaitu untuk udang segar ke Jepang, disusul oleh ekspor udang beku ke AS sebesar 0.1357%. Sejalan dengan skenario pertama, perubahan kuantitas pada ekspor udang beku lebih besar dibandingkan dua produk lainnya. Hal tersebut karena pada periode pengamatan tahun 2004-2008 komposisi ekspor udang Indonesia didominasi udang beku.
249
Tabel 46. Dampak Kebijakan Peningkatan Anggaran Irigasi 7.46 Kali terhadap Penawaran dan Permintaan Udang Indonesia Variabel Endogen Pertumbuhan TFP (%) Produksi udang tambak (ribu ton) Total produksi udang segar Indonesia (ribu ton) Harga udang segar domestik (ribu Rp/kg) Kuantitas ekspor udang segar Indonesia ke Jepang (ribu ton) Kuantitas ekspor udang segar Indonesia ke AS (ribu ton) Kuantitas ekspor udang segar Indonesia ke UE-27 (ribu ton) Kuantitas impor udang segar Jepang dari dunia (ribu ton) Kuantitas impor udang segar AS dari dunia (ribu ton) Kuantitas impor udang segar UE-27 dari dunia (ribu ton) Permintaan udang segar oleh industri udang beku (ribu ton) Total Produksi udang beku Indonesia (ribu ton) Harga udang beku domestik (ribu Rp/kg) Permintaan udang beku domestik (ribu ton) Kuantitas ekspor udang beku Indonesia ke Jepang (ribu ton) Kuantitas ekspor udang beku Indonesia ke AS (ribu ton) Kuantitas ekspor udang beku Indonesia ke UE-27 (ribu ton) Kuantitas ekspor udang beku Indonesia ke dunia (ribu ton) Kuantitas impor udang beku Jepang dari dunia (ribu ton) Kuantitas impor udang beku AS dari dunia (ribu ton) Kuantitas impor udang beku UE-27 dari dunia (ribu ton) Total ekspor udang beku dunia (ribu ton) Total impor udang beku dunia (ribu ton) Harga riil udang beku dunia (US$/kg) Permintaan udang beku oleh industri udang olahan (ribu ton) Produksi udang olahan Indonesia (ribu ton) Kuantitas ekspor udang olahan Indonesia ke Jepang (ribu ton) Kuantitas ekspor udang olahan Indonesia ke AS (ribu ton) Kuantitas ekspor udang olahan Indonesia ke UE-27 (ribu ton) Kuantitas ekspor udang olahan Indonesia ke dunia (ribu ton) Kuantitas impor udang olahan Jepang dari dunia (ribu ton) Kuantitas impor udang olahan AS dari dunia (ribu ton) Kuantitas impor udang olahan UE-27 dari dunia (ribu ton) Total ekspor udang olahan dunia (ribu ton) Total impor udang olahan dunia (ribu ton) Harga riil udang olahan dunia (US$/kg)
Nilai Dasar 1.011 316.800 534.300 24.064 0.111 0.346 0.167 2.211 1.236 7.817 298.000 181.300 45.455 57.248 42.902 38.470 19.412 121.000 205.000 405.500 461.000 1,476.000 1,548.100 7.015 51.077 25.569 7.939 6.234 4.596 22.809 59.460 132.500 113.000 505.200 583.000 7.982
% 0.1676 0.3157 0.1872 -0.0021 0.2700 0.0000 0.0598 -0.0045 0.0000 -0.0038 0.0000 0.3309 -0.0100 0.0000 0.0119 0.1357 0.0531 0.0826 0.0000 0.0000 0.0000 0.0068 0.0000 -0.0043 0.0000 0.0000 0.0000 0.0016 0.0000 0.0004 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
250
Rendahnya daya dorong dampak peningkatan anggaran irigasi terhadap produksi diduga disebabkan studi ini fokus pada anggaran pembangunan/ rehabilitasi saluran tambak dari pemerintah yang relatif terbatas. Anggaran pemerintah terkait pembangunan saluran irigasi selama Pelita II untuk tambak seluas 15 247 Ha senilai Rp359 juta, Pelita III seluas 14 127 Ha senilai Rp951 juta, Pelita IV seluas 24 181 Ha senilai Rp21.3 milyar, Pelita V seluas 12 421 Ha senilai 9.2 milyar, Pelita VI seluas 26 633 Ha senilai Rp20.9 milyar. Kegiatan cukup besar yaitu melalui kegiatan Rehabilitasi Peningkatan Tambak Dana Stimulus Fiskal Prasarana Tambak TA 2009 seluas 64 826 Ha senilai Rp308 milyar di 16 provinsi (Direktorat Rawa dan Pantai, Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum, 2009). Pembangunan/rehabilitasi saluran tambak terutama untuk mendukung tambak-tambak semi-intensif dan ekstensif yang produktivitasnya rendah. Tambak intensif yang dikelola swasta umumnya membangun saluran pemasukan dan pembuangan dengan anggaran sendiri. Berdasarkan kondisi di atas, pembangunan atau rehabilitasi irigasi memerlukan anggaran relatif besar, di lain pihak anggaran Kementerian terbatas, sehingga pembangunan irigasi kurang mendapat prioritas. Selain itu, kewajiban untuk saluran irigasi primer dan sekunder masih menjadi tanggung jawab Kementerian PU. Implikasi dari studi ini bahwa penting untuk melanjutkan kerjasama dengan instansi lain seperti Kementerian PU dalam rehabilitasi/pembangunan saluran tambak. Guna mendukung hal tersebut, program/kegiatan pemerintah terkait saluran irigasi berupa pengadaan alat berat/bachoe ke beberapa kabupaten terpilih.
251
Namun kegiatan tersebut belum optimal karena pelaksanaannya terkendala oleh kelembagaan pengelola dan kewajiban PNBP sehingga beberapa daerah mengalami kesulitan.
Secara ringkas, kebijakan infrastruktur berupa penambahan anggaran irigasi sangat diperlukan. Akan tetapi, berdasarkan periode pengamatan 20042008 kurang memberikan daya dorong yang kuat disebabkan alokasi anggaran irigasi melalui APBN pada periode tersebut masih terbatas. 9.2.3. Subsidi Harga Pakan Sebesar 11 Persen Pakan merupakan penyumbang terbesar biaya variabel pada budidaya udang yang menggunakan teknologi intensif dan semi-intensif (sekitar 4060%) sehingga pengurangan biaya pakan menjadi penting. Pakan di Indonesia relatif lebih mahal, yaitu dua kali dibandingkan Panama, 15% lebih tinggi dibandingkan Thailand, dan 40% lebih tinggi dibandingkan China (IFC, 2006). Selain itu, pakan juga merupakan faktor paling berpengaruh terhadap efisiensi (Gunaratne dan Leung, 1996). Peningkatan daya saing dari sisi biaya produksi akan mengalami kesulitan jika harga input naik terus, sedangkan harga output relatif stagnan. Untuk itu, kebijakan ini diharapkan mampu mengurangi biaya produksi. Dalam Model yang dibangun, pengurangan biaya pakan mendorong penggunaan pakan sehingga kuantitas produksi udang meningkat. Peningkatan produksi udang meningkatkan ketersediaan bahan baku berupa udang segar untuk industri udang beku, dan udang beku untuk industri udang olahan. Hasil simulasi disajikan pada Tabel 47.
252
Tabel 47. Dampak Kebijakan Subsidi Harga Pakan sebesar 11 Persen terhadap Penawaran dan Permintaan Udang Indonesia Variabel Endogen Pertumbuhan TFP (%) Produksi udang tambak (ribu ton) Total produksi udang segar Indonesia (ribu ton) Harga udang segar domestik (ribu Rp/kg) Kuantitas ekspor udang segar Indonesia ke Jepang (ribu ton) Kuantitas ekspor udang segar Indonesia ke AS (ribu ton) Kuantitas ekspor udang segar Indonesia ke UE-27 (ribu ton) Kuantitas impor udang segar Jepang dari dunia (ribu ton) Kuantitas impor udang segar AS dari dunia (ribu ton) Kuantitas impor udang segar UE-27 dari dunia (ribu ton) Permintaan udang segar oleh industri udang beku (ribu ton) Total Produksi udang beku Indonesia (ribu ton) Harga udang beku domestik (ribu Rp/kg) Permintaan udang beku domestik (ribu ton) Kuantitas ekspor udang beku Indonesia ke Jepang (ribu ton) Kuantitas ekspor udang beku Indonesia ke AS (ribu ton) Kuantitas ekspor udang beku Indonesia ke UE-27 (ribu ton) Kuantitas ekspor udang beku Indonesia ke dunia (ribu ton) Kuantitas impor udang beku Jepang dari dunia (ribu ton) Kuantitas impor udang beku AS dari dunia (ribu ton) Kuantitas impor udang beku UE-27 dari dunia (ribu ton) Total ekspor udang beku dunia (ribu ton) Total impor udang beku dunia (ribu ton) Harga riil udang beku dunia (US$/kg) Permintaan udang beku oleh industri udang olahan (ribu ton) Produksi udang olahan Indonesia (ribu ton) Kuantitas ekspor udang olahan Indonesia ke Jepang (ribu ton) Kuantitas ekspor udang olahan Indonesia ke AS (ribu ton) Kuantitas ekspor udang olahan Indonesia ke UE-27 (ribu ton) Kuantitas ekspor udang olahan Indonesia ke dunia (ribu ton) Kuantitas impor udang olahan Jepang dari dunia (ribu ton) Kuantitas impor udang olahan AS dari dunia (ribu ton) Kuantitas impor udang olahan UE-27 dari dunia (ribu ton) Total ekspor udang olahan dunia (ribu ton) Total impor udang olahan dunia (ribu ton) Harga riil udang olahan dunia (US$/kg)
Nilai Dasar 1.011 316.800 534.300 24.064 0.111 0.346 0.167 2.211 1.236 7.817 298.000 181.300 45.455 57.248 42.902 38.470 19.412 121.000 205.000 405.500 461.000 1,476.000 1,548.100 7.015 51.077 25.569 7.939 6.234 4.596 22.809 59.460 132.500 113.000 505.200 583.000 7.982
% 0.0000 14.2992 8.4784 -0.0906 15.5716 -0.1155 1.3756 -0.1085 -0.2265 -0.1458 0.0000 15.0028 -0.1499 0.0000 0.6550 6.5564 2.5432 2.7273 0.0000 0.1233 0.0217 0.2236 0.0323 -0.1525 0.0000 0.0000 -0.0239 0.0706 -0.0087 0.0092 0.0003 0.0000 0.0000 0.0198 0.0000 -0.0013
Berdasarkan hasil simulasi, subsidi harga pakan sebesar 11% menyebabkan produksi udang tambak meningkat sebesar 14.2992% dan
253
produksi udang segar meningkat 8.4748%. Ketersediaan bahan baku udang segar mendorong kuantitas ekspor udang segar ke Jepang yaitu 15.5716%. produksi udang beku meningkat 15.0028% dan mendorong peningkatan ekspor udang beku AS sebesar 5.5564%. Hasil dampak kebijakan subsidi harga pakan menunjukkan bahwa budidaya udang masih berada pada kondisi increasing return to scale karena mayoritas tambak dikelola menggunakan teknologi semi-intensif dan tradisional. Dari aspek penawaran, kebijakan subsidi pakan menyebabkan peningkatan produksi udang tambak 8.4784. Akibatnya harga udang domestik menurun -0.0906% untuk udang segar, dan -0.01499% untuk udang beku. Dari sisi permintaan, subsidi pakan menyebabkan penurunan harga udang beku dunia -0.1525% sehingga kuantitas impor udang beku Jepang, AS, dan UE-27 meningkat. Kuantitas impor udang olahan dari ketiga importir utama tersebut relatif tidak mengalami perubahan. Hal tersebut disebabkan mayoritas ekspor Indonesia pada periode pengamatan yaitu tahun 2004-2008 masih didominasi oleh udang beku. 1. Hasil simulasi menunjukkan pentingnya pengurangan biaya pakan. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi mahalnya harga pakan yaitu kegiatan pembuatan pabrik pakan mini di beberapa kabupaten. Ketersediaan bahan baku lokal dan kelembagaan pengelolaan di dinas kelautan dan perikanan kabupaten menyebabkan pembanfaatan pabrik pakan mini tersebut kurang optimal. Upaya lain yang dilakukan pemerintah yaitu Pajak Pertambahan Nilai yang Ditanggung Pemerintah (PPN-DTP) terhadap bahan baku pakan/pakan impor (PPN barang
254
strategis sebesar 10% yaitu untuk tahun 2008 sebesar 132 milyar dan tahun 2009 sebesar 150 milyar. Terkait dengan pakan, selain penyediaan bahan baku berupa jagung, upaya penelitian mencari pengganti tepung ikan yang lebih murah, misalnya menggunakan sumber protein nabati menjadi penting. Diperlukan juga sinergitas kegiatan dengan Kementerian Pertanian terkait penyediaan jagung dan kedelai sebagai bahan baku pakan. 9.2.4. Subsidi Harga BBM sebesar 30 Persen Biaya BBM menyumbang sekitar 15% dari biaya produksi pada pemeliharaan udang dengan sistem intensif dan semi-intensif. Penurunan biaya BBM berdasarkan pengalaman pada tambak yang dikelola oleh CP Prima (2006) dilakukan dengan menggunakan kincir jenis tertentu sehingga terjadi penghematan energi sebesar 26%. Dampak subsidi harga BBM meningkatkan penggunaan BBM sehingga produksi udang tambak dan udang hasil penangkapan meningkat. Keduanya berpengaruh terhadap produksi udang (segar) sebagai bahan baku untuk industri udang beku, dan udang beku sebagai bahan baku untuk industri udang olahan. Hasil simulasi kebijakan disajikan pada Tabel 48. Berdasarkan Tabel 48 dampak kebijakan subsidi harga BBM relatif sama dengan kebijakan subsidi pakan, yang membedakan adalah besaran perubahannya. Produksi udang tambak meningkat 0.6944%, harga udang segar domestik menurun 0.0042% dan kuantitas ekspor udang beku ke AS meningkat sebesar 0.3197%.
255
Tabel 48. Dampak Kebijakan Subsidi Harga BBM sebesar 30 Persen terhadap Penawaran dan Permintaan Udang Indonesia Variabel Endogen Pertumbuhan TFP (%) Produksi udang tambak (ribu ton) Total produksi udang segar Indonesia (ribu ton) Harga udang segar domestik (ribu Rp/kg) Kuantitas ekspor udang segar Indonesia ke Jepang (ribu ton) Kuantitas ekspor udang segar Indonesia ke AS (ribu ton) Kuantitas ekspor udang segar Indonesia ke UE-27 (ribu ton) Kuantitas impor udang segar Jepang dari dunia (ribu ton) Kuantitas impor udang segar AS dari dunia (ribu ton) Kuantitas impor udang segar UE-27 dari dunia (ribu ton) Permintaan udang segar oleh industri udang beku (ribu ton) Total Produksi udang beku Indonesia (ribu ton) Harga udang beku domestik (ribu Rp/kg) Permintaan udang beku domestik (ribu ton) Kuantitas ekspor udang beku Indonesia ke Jepang (ribu ton) Kuantitas ekspor udang beku Indonesia ke AS (ribu ton) Kuantitas ekspor udang beku Indonesia ke UE-27 (ribu ton) Kuantitas ekspor udang beku Indonesia ke dunia (ribu ton) Kuantitas impor udang beku Jepang dari dunia (ribu ton) Kuantitas impor udang beku AS dari dunia (ribu ton) Kuantitas impor udang beku UE-27 dari dunia (ribu ton) Total ekspor udang beku dunia (ribu ton) Total impor udang beku dunia (ribu ton) Harga riil udang beku dunia (US$/kg) Permintaan udang beku oleh industri udang olahan (ribu ton) Produksi udang olahan Indonesia (ribu ton) Kuantitas ekspor udang olahan Indonesia ke Jepang (ribu ton) Kuantitas ekspor udang olahan Indonesia ke AS (ribu ton) Kuantitas ekspor udang olahan Indonesia ke UE-27 (ribu ton) Kuantitas ekspor udang olahan Indonesia ke dunia (ribu ton) Kuantitas impor udang olahan Jepang dari dunia (ribu ton) Kuantitas impor udang olahan AS dari dunia (ribu ton) Kuantitas impor udang olahan UE-27 dari dunia (ribu ton) Total ekspor udang olahan dunia (ribu ton) Total impor udang olahan dunia (ribu ton) Harga riil udang olahan dunia (US$/kg)
Nilai Dasar 1.011 316.800 534.300 24.064 0.111 0.346 0.167 2.211 1.236 7.817 298.000 181.300 45.455 57.248 42.902 38.470 19.412 121.000 205.000 405.500 461.000 1,476.000 1,548.100 7.015 51.077 25.569 7.939 6.234 4.596 22.809 59.460 132.500 113.000 505.200 583.000 7.982
% 0.0000 0.6944 0.4305 -0.0042 0.7201 0.0000 0.0598 -0.0045 -0.0081 -0.0064 0.0000 0.7170 -0.0100 0.0000 0.0417 0.3197 0.1293 0.1653 0.0000 0.0000 0.0000 0.0136 0.0000 -0.0071 0.0000 0.0000 -0.0013 0.0032 0.0000 0.0004 0.0002 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
256
9.2.5. Penurunan Tingkat Suku Bunga Pinjaman Sebesar 30 Persen Usaha budidaya atau penangkapan udang termasuk kedalam usaha padat modal sehingga dipengaruhi tingkat suku bunga pinjaman. Tingkat suku bunga pinjaman di Indonesia relatif lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat suku bunga pinjaman di Thailand. Penurunan tingkat suku bunga menggambarkan instrumen kebijakan moneter yang diharapkan mendorong peningkatan investasi, sebagai insentif dalam mendorong industri pengolahan. Dalam Model Daya Saing Udang Indonesia, penurunan tingkat suku bunga
pinjaman
meningkatkan
produksi
udang
budidaya
dan
hasil
penangkapan. Peningkatan produksi tersebut mengakibatkan bahan baku untuk industri udang beku dan industri udang olahan meningkat sehingga kuantitas ekspor meningkat. Penurunan tingkat suku bunga juga menjadi insentif bagi peningkatan produksi industri udang olahan. Hasil simulasi dampak kebijakan penurunan tingkat suku bunga pinjaman sebesar 30% disajikan pada Tabel 49. Berdasarkan Tabel 49, penurunan tingkat suku bunga sebesar 30% dari rata-rata tingkat suku bunga pinjaman yang ada maka produksi udang beku meningkat 0.7170% dan permintaan udang beku oleh industri udang olahan meningkat 0.0748%. Relatif rendahnya peningkatan permintaan udang beku oleh industri olahan disebabkan pada periode 2004-2008 ekspor udang Indonesia masih dominan dalam bentuk udang beku.
257
Tabel 49. Dampak Kebijakan Penurunan Tingkat Suku Bunga Pinjaman Sebesar 30 Persen terhadap Penawaran dan Permintaan Udang Indonesia Variabel Endogen Pertumbuhan TFP (%) Produksi udang tambak (ribu ton) Total produksi udang segar Indonesia (ribu ton) Harga udang segar domestik (ribu Rp/kg) Kuantitas ekspor udang segar Indonesia ke Jepang (ribu ton) Kuantitas ekspor udang segar Indonesia ke AS (ribu ton) Kuantitas ekspor udang segar Indonesia ke UE-27 (ribu ton) Kuantitas impor udang segar Jepang dari dunia (ribu ton) Kuantitas impor udang segar AS dari dunia (ribu ton) Kuantitas impor udang segar UE-27 dari dunia (ribu ton) Permintaan udang segar oleh industri udang beku (ribu ton) Total Produksi udang beku Indonesia (ribu ton) Harga udang beku domestik (ribu Rp/kg) Permintaan udang beku domestik (ribu ton) Kuantitas ekspor udang beku Indonesia ke Jepang (ribu ton) Kuantitas ekspor udang beku Indonesia ke AS (ribu ton) Kuantitas ekspor udang beku Indonesia ke UE-27 (ribu ton) Kuantitas ekspor udang beku Indonesia ke dunia (ribu ton) Kuantitas impor udang beku Jepang dari dunia (ribu ton) Kuantitas impor udang beku AS dari dunia (ribu ton) Kuantitas impor udang beku UE-27 dari dunia (ribu ton) Total ekspor udang beku dunia (ribu ton) Total impor udang beku dunia (ribu ton) Harga riil udang beku dunia (US$/kg) Permintaan udang beku oleh industri udang olahan (ribu ton) Produksi udang olahan Indonesia (ribu ton) Kuantitas ekspor udang olahan Indonesia ke Jepang (ribu ton) Kuantitas ekspor udang olahan Indonesia ke AS (ribu ton) Kuantitas ekspor udang olahan Indonesia ke UE-27 (ribu ton) Kuantitas ekspor udang olahan Indonesia ke dunia (ribu ton) Kuantitas impor udang olahan Jepang dari dunia (ribu ton) Kuantitas impor udang olahan AS dari dunia (ribu ton) Kuantitas impor udang olahan UE-27 dari dunia (ribu ton) Total ekspor udang olahan dunia (ribu ton) Total impor udang olahan dunia (ribu ton) Harga riil udang olahan dunia (US$/kg)
Nilai Dasar 1.011 316.800 534.300 24.064 0.111 0.346 0.167 2.211 1.236 7.817 298.000 181.300 45.455 57.248 42.902 38.470 19.412 121.000 205.000 405.500 461.000 1,476.000 1,548.100 7.015 51.077 25.569 7.939 6.234 4.596 22.809 59.460 132.500 113.000 505.200 583.000 7.982
1 0.0000 0.0000 0.0000 0.0050 0.0000 0.0000 0.0000 0.0045 -0.0081 0.0128 0.0000 0.7170 0.0100 0.0667 -0.5501 0.2794 0.2236 -0.0826 -0.0488 0.0000 0.0000 -0.0068 -0.0065 -0.0057 0.0748 0.0747 0.0340 0.0385 0.0544 0.0338 0.0002 0.0000 0.0000 0.0198 0.0000 -0.0013
258
9.2.6. Kombinasi Skenario 3 (Subsidi Harga Pakan 11 persen) dan Skenario 2 (Peningkatan Anggaran Irigasi 7.46 kali) Berdasarkan hasil simulasi sebelumnya, alternatif kebijakan yang mempunyai daya dorong terbesar terhadap penawaran dan permintaan yaitu subsidi harga pakan. Oleh karena itu, simulasi ini merupakan gabungan antara kebijakan subsidi pakan, dan peningkatan anggaran irigasi. Rehabilitasi/ pembangunan irigasi yag dialkukan yaitu di saluran tersier karena kewajiban untuk saluran primer dan sekunder menjadi tanggung jawab Kementerian PU. Dampak kebijakan dua skenario tersebut hasilnya diringkas pada Tabel 50. Berdasarkan Tabel 50, hasil skenario kebijakan tersebut meningkatkan produksi udang 14.6149%. Produksi udang segar meningkat 8.6468%, produksi udang beku meningkat 15.2785% sehingga berpengaruh terhadap jumlah ekspor masing-masing produk udang tersebut. Kuantitas ekspor udang segar Indonesia ke Jepang dan UE-27 meningkat lebih besar dibandingkan ke pasar AS. Kuantitas ekspor udang beku Indonesia ke AS lebih besar dibandingkan ke Jepang dan UE-27. Sebaliknya, di UE-27 terjadi peningkatan udang beku lebih besar dibandingkan dua produk udang lainnya. Hal tersebut sesuai dengan hasil estimasi yaitu penawaran ekspor udang beku ke UE-27 lebih responsif dibandingkan ke pasar lainnya. Perubahan ekspor untuk udang olahan terbesar terjadi di pasar AS, disusul UE27 dan Jepang. Hal tersebut sesuai dengan hasil estimasi bahwa perubahan ekspor ke AS lebih elastis.
259
Tabel 50. Dampak Kebijakan Subsidi Pakan dan Peningkatan Anggaran Irigasi terhadap Penawaran dan Permintaan Udang Indonesia Variabel Endogen Pertumbuhan TFP (%) Produksi udang tambak (ribu ton) Total produksi udang segar Indonesia (ribu ton) Harga udang segar domestik (ribu Rp/kg) Kuantitas ekspor udang segar Indonesia ke Jepang (ribu ton) Kuantitas ekspor udang segar Indonesia ke AS (ribu ton) Kuantitas ekspor udang segar Indonesia ke UE-27 (ribu ton) Kuantitas impor udang segar Jepang dari dunia (ribu ton) Kuantitas impor udang segar AS dari dunia (ribu ton) Kuantitas impor udang segar UE-27 dari dunia (ribu ton) Permintaan udang segar oleh industri udang beku (ribu ton) Total Produksi udang beku Indonesia (ribu ton) Harga udang beku domestik (ribu Rp/kg) Permintaan udang beku domestik (ribu ton) Kuantitas ekspor udang beku Indonesia ke Jepang (ribu ton) Kuantitas ekspor udang beku Indonesia ke AS (ribu ton) Kuantitas ekspor udang beku Indonesia ke UE-27 (ribu ton) Kuantitas ekspor udang beku Indonesia ke dunia (ribu ton) Kuantitas impor udang beku Jepang dari dunia (ribu ton) Kuantitas impor udang beku AS dari dunia (ribu ton) Kuantitas impor udang beku UE-27 dari dunia (ribu ton) Total ekspor udang beku dunia (ribu ton) Total impor udang beku dunia (ribu ton) Harga riil udang beku dunia (US$/kg) Permintaan udang beku oleh industri udang olahan (ribu ton) Produksi udang olahan Indonesia (ribu ton) Kuantitas ekspor udang olahan Indonesia ke Jepang (ribu ton) Kuantitas ekspor udang olahan Indonesia ke AS (ribu ton) Kuantitas ekspor udang olahan Indonesia ke UE-27 (ribu ton) Kuantitas ekspor udang olahan Indonesia ke dunia (ribu ton) Kuantitas impor udang olahan Jepang dari dunia (ribu ton) Kuantitas impor udang olahan AS dari dunia (ribu ton) Kuantitas impor udang olahan UE-27 dari dunia (ribu ton) Total ekspor udang olahan dunia (ribu ton) Total impor udang olahan dunia (ribu ton) Harga riil udang olahan dunia (US$/kg)
Nilai Dasar 1.011 316.800 534.300 24.064 0.111 0.346 0.167 2.211 1.236 7.817 298.000 181.300 45.455 57.248 42.902 38.470 19.412 121.000 205.000 405.500 461.000 1,476.000 1,548.100 7.015 51.077 25.569 7.939 6.234 4.596 22.809 59.460 132.500 113.000 505.200 583.000 7.982
% 0.1676 14.6149 8.6468 -0.0923 15.9316 -0.1155 1.4354 -0.1131 -0.2265 -0.1484 0.0000 15.2785 -0.1599 0.0000 0.6666 6.6921 2.5963 2.8099 0.0000 0.1233 0.0217 0.2304 0.0323 -0.1554 0.0000 0.0000 -0.0239 0.0722 -0.0087 0.0096 0.0003 0.0000 0.0000 0.0198 0.0000 -0.0013
260
9.2.7. Kombinasi Skenario 3 (Subsidi Harga Pakan 11 persen) dan Subsidi Harga Benur 40 persen Dewasa ini petambak tradisional mengalami kesulitan memperoleh benur bermutu. Berdasarkan data lapangan, perbedaan harga benur antara udang vaname nusantara dengan induk F-1 dari Hawaii sekitar Rp14/ekor. Subsidi harga pakan dan subsidi harga benur merupakan kebijakan internal Kementerian Kelautan dan Perikanan, sehingga tidak tergantung pada intansi lain. Tujuan kebijakan dalam rangka meningkatkan produksi dengan membantu petambak semi intensif memanfaatkan tambak idle. Subsidi pakan juga diharapkan mendorong petambak tradisional berubah menjadi tradisional plus, dan mendukung petambak yang menggunakan teknologi semi intensif. Hal ini penting mengingat mayoritas pembudidaya di Indonesia adalah tradisional dan semi intensif. Dampak kebijakan dua skenario tersebut hasilnya diringkas pada Tabel 51. Berdasarkan Tabel, skenario kebijakan tersebut meningkatkan produksi udang tambak 14.3308%. Produksi udang segar meningkat 8.4971% dan produksi udang beku meningkat 15.0028%. Sejalan dengan skenario sebelumnya, kuantitas ekspor udang segar Indonesia ke Jepang dan UE-27 meningkat lebih besar dibandingkan ke pasar AS. Kuantitas ekspor udang beku dan olahan Indonesia ke AS lebih besar dibandingkan ke Jepang dan UE-27. Hal tersebut sesuai dengan hasil estimasi bahwa perubahan ekspor ke AS lebih elastis.
261
Tabel 51. Dampak Kebijakan Subsidi Harga Pakan 11 persen dan subsidi harga benur 40% persen terhadap Penawaran dan Permintaan Udang Indonesia Variabel Endogen Pertumbuhan TFP (%) Produksi udang tambak (ribu ton) Total produksi udang segar Indonesia (ribu ton) Harga udang segar domestik (ribu Rp/kg) Kuantitas ekspor udang segar Indonesia ke Jepang (ribu ton) Kuantitas ekspor udang segar Indonesia ke AS (ribu ton) Kuantitas ekspor udang segar Indonesia ke UE-27 (ribu ton) Kuantitas impor udang segar Jepang dari dunia (ribu ton) Kuantitas impor udang segar AS dari dunia (ribu ton) Kuantitas impor udang segar UE-27 dari dunia (ribu ton) Permintaan udang segar oleh industri udang beku (ribu ton) Total Produksi udang beku Indonesia (ribu ton) Harga udang beku domestik (ribu Rp/kg) Permintaan udang beku domestik (ribu ton) Kuantitas ekspor udang beku Indonesia ke Jepang (ribu ton) Kuantitas ekspor udang beku Indonesia ke AS (ribu ton) Kuantitas ekspor udang beku Indonesia ke UE-27 (ribu ton) Kuantitas ekspor udang beku Indonesia ke dunia (ribu ton) Kuantitas impor udang beku Jepang dari dunia (ribu ton) Kuantitas impor udang beku AS dari dunia (ribu ton) Kuantitas impor udang beku UE-27 dari dunia (ribu ton) Total ekspor udang beku dunia (ribu ton) Total impor udang beku dunia (ribu ton) Harga riil udang beku dunia (US$/kg) Permintaan udang beku oleh industri udang olahan (ribu ton) Produksi udang olahan Indonesia (ribu ton) Kuantitas ekspor udang olahan Indonesia ke Jepang (ribu ton) Kuantitas ekspor udang olahan Indonesia ke AS (ribu ton) Kuantitas ekspor udang olahan Indonesia ke UE-27 (ribu ton) Kuantitas ekspor udang olahan Indonesia ke dunia (ribu ton) Kuantitas impor udang olahan Jepang dari dunia (ribu ton) Kuantitas impor udang olahan AS dari dunia (ribu ton) Kuantitas impor udang olahan UE-27 dari dunia (ribu ton) Total ekspor udang olahan dunia (ribu ton) Total impor udang olahan dunia (ribu ton) Harga riil udang olahan dunia (US$/kg)
Nilai Dasar 1.011 316.800 534.300 24.064 0.111 0.346 0.167 2.211 1.236 7.817 298.000 181.300 45.455 57.248 42.902 38.470 19.412 121.000 205.000 405.500 461.000 1,476.000 1,548.100 7.015 51.077 25.569 7.939 6.234 4.596 22.809 59.460 132.500 113.000 505.200 583.000 7.982
% 0.0000 14.3308 8.4971 -0.0906 15.6616 -0.1155 1.3756 -0.1085 -0.2265 -0.1458 0.0000 15.0028 -0.1499 0.0000 0.6562 6.5694 2.5484 2.7273 0.0000 0.1233 0.0217 0.2236 0.0323 -0.1525 0.0000 0.0000 -0.0239 0.0706 -0.0087 0.0092 0.0003 0.0000 0.0000 0.0198 0.0000 -0.0013
262
9.3. Evaluasi Dampak Alternatif Simulasi Kebijakan Domestik Periode Historis Tahun 2004-2008 terhadap Daya Saing Udang Indonesia Dampak alternatif kebijakan terhadap daya saing dianalisis berdasarkan perubahan pangsa pasar hanya menggunakan indeks RCA, sedangkan penggunaan CMSA tidak dilakukan. Pertimbangannya yaitu Model yang dibangun, tidak mengakomodir harga impor baik sebagai variabel endogen maupun variabel eksogen sehingga tidak diketahui pangsa impor dari masingmasing importir. Pada priode tersebut terjadi perubahan komposisi ekspor, yang semula udang windu yang relatif berukuran besar menjadi udang vaname yang berukuran relatif kecil. Dengan demikian, analisis CMSA berdasarkan kuantitas menjadi kurang relevan akibat keragaman produk tinggi. Oleh karena itu analisis daya saing hanya didasarkan pada indeks RCA (Tabel 52). Analisis menggunakan model CMSA pada Bab V hasilnya berbeda jika menggunakan perubahan nilai ekspor dibandingkan dengan perubahan kuantitas ekspor, terutama pada dekomposisi tahap kedua. Mengingat yang dilakukan adalah simulasi historis berdasarkan periode 2004-2008, maka diduga hasilnya akan sejalan dengan hasil pembahasan pada Bab V yaitu bahwa daya saing ekspor Indonesia lebih disebabkan efek daya saing spesifik yaitu mengekspor spesifik produk (udang beku) ke spesifik pasar (Jepang dan AS).
263
Tabel 52. Dampak Alternatif Kebijakan Domestik terhadap Daya Saing Udang Indonesia % No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Variabel Indeks RCA udang segar Indonesia ke Jepang Indeks RCA udang segar Indonesia ke AS Indeks RCA udang segar Indonesia ke UE-27 Indeks RCA udang segar Thailand ke Jepang Indeks RCA udang segar Thailand ke AS Indeks RCA udang segar Thailand ke UE-27 Indeks RCA udang beku Indonesia ke Jepang Indeks RCA udang beku Indonesia ke AS Indeks RCA udang beku Indonesia ke UE-27 Indeks RCA udang beku Thailand ke Jepang Indeks RCA udang beku Thailand ke AS Indeks RCA udang beku Thailand ke UE-27 Indeks RCA udang olahan Indonesia ke Jepang Indeks RCA udang olahan Indonesia ke AS Indeks RCA udang olahan Indonesia ke UE-27 Indeks RCA udang olahan Thailand ke Jepang Indeks RCA udang olahan Thailand ke AS Indeks RCA udang olahan Thailand ke UE-27
Skenario: 1. Tingkat pendidikan meningkat sebesar 40 persen
Nilai Dasar 0.40 8.02 2.95 1.41 4.55 3.17 4.57 12.71 3.35 3.45 15.24 1.47 2.19 5.64 4.50 11.33 39.33 4.58
1 1.0997 -0.0075 0.0983 0.0071 0.0264 0.0000 0.0350 0.4517 0.1700 -0.0145 -0.0197 0.0000 0.0091 0.0177 0.0044 0.0194 0.0201 0.0175
2. Anggaran irigasi meningkat 7.48 kali 4. Subsidi Harga BBM 30 persen 5. Penurunan tingkat suku bunga 30 persen 7. Kombinasi skenario 3 dan subsidi harga benur 40 persen
2 0.2999 -0.0025 0.0305 0.0000 0.0066 0.0000 0.0066 0.1283 0.0477 -0.0058 -0.0059 0.0000 0.0046 0.0053 0.0000 0.0053 0.0058 0.0044
3 15.7711 -0.1034 1.3832 0.0497 0.3734 0.0063 0.4356 6.3707 2.4003 -0.2113 -0.2808 -0.0679 0.1690 0.2693 0.0578 0.2701 0.2871 0.2469
4 0.7498 -0.0050 0.0678 0.0071 0.0154 0.0000 0.0306 0.3014 0.1163 -0.0116 -0.0125 0.0000 0.0046 0.0106 0.0022 0.0115 0.0125 0.0109
3. Subsidi Harga Pakan 11 persen 6. Kombinasi skenario 3 dan 2
5 -0.0250 -0.0324 0.0034 0.0142 0.0857 0.0000 -0.6042 -0.1786 0.0447 -0.0232 -0.0269 -0.0068 0.0183 0.0248 0.0534 -0.0247 0.0224 -0.0022
6 16.0960 -0.1059 1.4104 0.0497 0.3800 0.0063 0.4422 6.4990 2.4510 -0.2171 -0.2867 -0.0679 0.1736 0.2746 0.0578 0.2754 0.2929 0.2512
7 15.8210 -0.1034 1.3832 0.0497 0.3734 0.0063 0.4378 6.3833 2.4062 -0.2113 -0.2814 -0.0679 0.1690 0.2711 0.0578 0.2710 0.2876 0.2469
264
Berdasarkan Tabel 52 hasilnya dapat diringkas sebagai berikut. Pertama, hasil simulasi berbagai kebijakan belum mampu meningkatkan ekspor udang segar Indoensia ke Jepang yang sebelumnya tidak memiliki keunggulan komparatif. Kondisi tersebut disebabkan posisi awal dengan nilai dasar indeks RCA 0.40 sebelum simulasi, terlalu jauh untuk ditingkatkan. Dalam Model Daya Saing, jumlah ekspor terutama ditentukan oleh ketersediaan bahan baku, dan hasil estimasi untuk ekspor udang segar ke Jepang elastisitasnya relatif kecil. Dengan demikian, untuk udang segar diduga terdapat faktor-faktor lain yang tidak tertangkap dalam Model. Faktor lain tersebut antara lain kesiapan insftrastruktur seperti alat pengangkutan. Kedua, secara individu maka kebijakan subsidi harga pakan mendorong peningkatan lebih besar dibandingkan kebijakan lainnya. Jika dilakukan kombinasi kebijakan, maka kebijakan yang melibatkan subsidi harga pakan (skenario 3, 6, dan 7) memberikan daya dorong lebih besar dibandingkan alternatif kebijakan lainnya. Peningkatan daya saing udang beku ke AS meningkat sebesar 6.3707% (skenario 3), 6.499% (skenario 6), dan 6.3833% (skenario 7). Hal tersebut sesuai dengan hasil estimasi bahwa pada periode tahun 2004-2008 sebagai nilai dasar, mayoritas ekspor udang Indonesia dalam bentuk udang beku dan mempunyai nilai elastisitas relatif lebih besar. Dibandingkan dengan Jepang, perubahan yang terjadi di pasar UE-27 relatif lebih besar diduga karena elastisitas permintaan untuk UE-27 dibandingkan dengan Jepang lebih tinggi. Ketiga, dalam rangka peningkatan daya saing udang olahan, kebijakan moneter berupa penurunan tingkat suku bunga menghasilkan perubahan lebih
265
baik dibandingkan alternatif kebijakan lainnya. Sebagai gambaran, indeks RCA udang olahan Indonesia ke Jepang sebesar 0.0183% sedangkan dengan kebijakan peningkatan tingkat pendidikan hanya meningkatkan 0.091%. Apabila dilakukan kombinasi kebijakan yang melibatkan subsidi harga pakan (skenario 3, 6, dan 7) hasilnya lebih besar. Untuk peningkatan industri udang olahan juga diperlukan kebijakan-kebijakan lain seperti kemudahan investasi, yang tidak tertangkap dalam Model ini. Perbaikan mutu produk perikanan juga akan menuntut perbaikan kualitas sumber daya manusiaseperti dengan pelatihan bagi pelaku usaha dan petugas pembinaan atau pengawasan mutu. Keempat, dalam rangka peningkatan daya saing ekspor ke Jepang, kebijakan subsidi pakan dan penurunan tingkat suku bunga (skenario 6) menghasilkan perubahan lebih baik untuk ketiga produk dibandingkan dengan skenario 3 dan 7 (yang melibatkan pakan) dan skenario lainnya. Kelima, dalam rangka peningkatan daya saing di pasar AS kebijakan untuk peningkatan ketersediaan bahan baku antara lain berupa kegiatan yang melibatkan subsidi harga pakan (skenario 3, 6, dan7) mempunyai dampak lebih besar dibandingkan alternatif kebijakan lainnya. Hal tersebut diduga karena pada periode pengamatan 2004-2008, mayoritas ekspor adalah udang beku dan ekspor ke AS memiliki elastisitas yang lebih besar. 9.4. Strategi Peningkatan Ekspor Thailand sukses mempertahankan posisinya sebagai eksportir udang utama di dunia karena peran pemerintah dan dukungan lainnya, khususnya melalui pendekatan klaster. Pendekatan klaster bertujuan mengkoordinasikan dan mengintegrasikan semua aktifitas industri udang, termasuk aspek ilmu
266
pengetahuan dan teknologi guna menunjang dan mengembangkan produksi dan pemasaran.Semua pihak yang terlibat dalam industri udang mempunyai perwakilan, baik berasal dari pemerintah, pembudidaya, asosiasi maupun eksportir (Sriwichailampan, 2007) Pemerintah Indonesia juga sudah melaksanakan berbagai program dan kegiatan dalam meningkatkan produktivitas dan mutu udang. Upaya peningkatan produktivitas yang cukup berhasil yaitu melalui Intensifikasi Tambak (Intam) yang diluncurkan tahun 1984/1985. Melalui Program tersebut, terjadi peningkatan luas area pemeliharaan dari 20 Ha di tiga propinsi menjadi 95 311 Ha di 14 propinsi pada tahun 1998/1999 (Hasibuan, 2003). Upaya lain yaitu secara berkesinambungan melakukan pelatihan, penyuluhan, pergantian varietas dari udang windu ke udang vaname, dan Bantuan Selisih Harga Benih ikan (BSHBI) kepada pembudidaya ikan skala kecil. Secara umum, program pemerintah yang dilaksanakan lebih bersifat anjuran penggunaan teknologi antara lain melalui Program Intensifikasi Pembudidayaan Ikan (Inbudkan). Program pemerintah tahun 2010 dan 2011 lebih banyak kepada pemberian bantuan langsung kepada pembudidaya skala kecil melalui kegiatan Wirausaha Pemula dan Pemberdayaan Usaha Mina Pedesaan (PUMP). Menurut Kusnendar (2003) dalam Tajerin (2007), salah satu faktor yang menyebabkan
kekurangberhasilan
program
revitalisasi
tambak
adalah
pendekatan yang digunakan dalam implementasi kebijakan kurang bersifat holistik, kurang melibatkan semua stakeholders yang terkait dengan program tersebut. Hal tersebut sejalan dengan Platon (1998) dalam Salayo (2000) bahwa perlu pendekatan total sebagai suatu sistem untuk memperbaiki industri udang
267
di Philipina mencakup teknologi, modal, kebijakan, penegakan aturan, dan kemauan politik. Oleh karena itu, dalam rangka mencari alternatif kebijakan sebagai dasar strategi kebijakan peningkatan ekspor, maka hasil analisis faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran, permintaan, dan daya saing seperti diuraikan pada Bab VI sampai dengan VIII selanjutnya diuraikan ke dalam pendekatan Model Berlian Porter (Gambar 29). Pendekatan Model-Berlian dilakukan untuk menganalisis faktor-faktor daya saing yang dapat dilihat dari fungsi saling keterkaitan antar elemen, yaitu tingkat persaingan antar perusahaan, kondisi permintaan, keberadaan industri pendukung, dan kondisi input yang mencakup suplai berbagai sumberdaya. Menurut Porter (1980), dalam rangka meningkatkan keunggulan persaingan, terdapat tiga strategi generik berupa keunggulan biaya menyeluruh, diferensiasi, dan fokus. Hasil pemetaan dari faktor-faktor daya saing seperti pada Gambar 29 tersebut dan dengan memperbandingkan kondisi yang terjadi dewasa ini dibandingkan dengan kondisi pesaing utama yaitu Thailand, maka dapat diperoleh gambaran perbedaan yang perlu diatasi melalui langkahlangkah kebijakan yang dapat diambil oleh pemerintah. Berdasarkan Gambar 30, hal-hal positif yang mendukung daya saing Indonesia antara lain: iklim cocok untuk budidaya, tersedia lahan, ketersediaan induk udang di perairan Indonesia, upah tenaga kerja relatif lebih murah, permintaan domestik belum tergarap, dan tersedianya kapasitas unit pengolah ikan.
268
Dilain pihak, faktor yang kurang mendukung daya saing, antara lain: produktivitas tambak rendah karena kurang diterapkannya teknologi anjuran, permasalahan penyakit, biaya input mahal, tekanan dari pesaing yang berbiaya produksi lebih rendah, lemah dibidang riset dan teknologi, dan ketergantungan pada produk dan pasar tertentu. Hasil studi Institut for Management Education for Thailand Foundation (2002) yang menggunakan Model Berlian Porter dikemukakan bahwa secara umum kondisinya relatif sama dengan di Indonesia antara lain terkait iklim, ketersediaan induk, bahan baku pakan terbatas, dan kondisi lingkungan yang rusak. Peran Pemerintah yang dianggap kurang menurut Model Berlian Porter, maka menurut Sagheer et al., (2007) peran dari Pemerintah Thailand tidak dapat diabaikan begitu saja. Dengan demikian peran pemerintah tersebut cocok untuk negara berkembang. Intervensi sumber daya manusia pada tingkat pemerintahan dan kewirausahaan telah memberikan hasil positif bagi peningkatan daya saing udang Thailand. Perbedaan dengan Indonesia dalam hal daya saing, terutama adanya dukungan yang kuat dari industri pendukung dan infrstruktur yang bagus seperti cold storage, pakan, pelabuhan. Thailand memiliki kelebihan dalam hal kualitas produk yang tinggi dan hal tersebut sejalan dengan tingginya permintaan dunia akan produk berkualitas. Selain itu, Thailand memiliki SDM yang berkualitas. Perbedaan lainnya yaitu Thailand memiliki keterbatasan pada lahan yang diusahakan.
269 Faktor Ekaternal: • Pengaruh difusi teknologi • Kemajuan pembenihan • Kecenderungan integrasi vertical • Peningkatan preferens konsumen akan produk udang yang bermutu
(+) Tinginya persaingan antar pengolah dan pembudidaya (-) Tekanan dari negara pesaing yang mempunyai biaya produksi lebih rendah (-) Tingginya volatilitas harga dan produksi (-) Terbatasnya industri udang olahan/produk bernilai tambah
Konteks Strategi, Rivalitas Perusahaan
• Kebijakan terkait peningkatan produktivitas; • Kebijakan terkait mutu udang
Kondisi Permintaan
Kondisi Faktor (Input) produksi (+) Iklim cocok untuk budidaya; (+) tersedia lahan untuk dikembangkan (+) tersedianya induk udang windu unggul (-) Produktivitas tambak rendah (-) Permasalahan serangan penyakit (-) Kurang bahan baku (-) Angkatan kerja mayoritas terampil (-) Kurangnya tepung ikan untuk pembuatan pakan (-) Kerusakan lingkungan akibat ketidaktepatan usaha budidaya/tambak mangkrak (-) Tingginya harga pakan, BBM (-) Penerapan teknologi anjuran lemah
Peran Pemerintah:
Industri-industri terkait dan pendukung (+) Unit Pengolah Ikan kapasitasnya memadai (-) Lemah di bidang riset dan teknologi (-) Dukungan industri pakan belum optimal (-) Keterbatasan benur unggul dan induk udang bermutu (-) Dukungan anggaran irigasi belum memgadai
Gambar 30. Pendekatan Model Berlian Porter untuk Analisis Saya Saing Udang Indonesia
(+) Peningkatan permintaan domestik (-) Mutu belum sepenuhnya terpenuhi (-) Ketergantungan pada spesifik produk (beku) dan spesifik pasar (-) Hambatan non tariff meningkat (-) Hambatan tarif udang olahan (-) Permintaan dunia masih didominasi udang beku
270
Berdasarkan hasil identifikasi permasalahan pada Gambar 31 dan hasil alternatif simulasi kebijakan Tabel 45 sampai dengan 52, maka pendekatan yang dipilih untuk meningkatkan daya saing udang Indonesia yaitu strategi keunggulan biaya dan diferensiasi. Pertama, keunggulan biaya berupa biaya yang rendah relatif terhadap pesaing, meskipun mutu, pelayanan, dan bidang-bidang lainnya tidak dapat diabaikan. Keunggulan biaya memerlukan konstruksi agresif dari fasilitas skala yang efisien, usaha penurunan biaya karena pengalaman, pengendalian biaya, dan overhead yang ketat. Alternatif strategi yang dapat ditempuh pemerintah adalah strategi cost leadership dengan mengedepankan biaya sebagai fokus utama. Pada studi ini kebijakan terkait keunggulan biaya antara lain kebijakan fiskal untuk peningkatan produktivitas melalui: (1) peningkatan kemampuan SDM pembudidaya yang diproxy dari tingkat pendidikan, (2) peningkatan anggaran irigasi yang bersumber dari pemerintah, dan kebijakan subsidi berupa (3) subsidi harga pakan, dan (4) subsidi harga BBM. Permasalahan utama adalah tingginya biaya produksi disebabkan produktivitas rendah atau belum berhasil diatasinya permasalahan penyakit. Untuk mengetahui perbedaan antara perusahaan terintegrasi dibandingkan dengan non-integrasi, maka pada Tabel 53 disajikan perbandingan komponen biaya produksi dalam memproduksi udang beku per kg oleh salah satu perusahaan terintegrasi di Lampung dan berdasarkan hasil survey pada studi ini disajikan pada Tabel 53.
271
Tabel 53. Biaya Produksi untuk Memproduksi Satu Kg Udang Beku
Rincian HPP Udang Segar (Rp/kg) Pakan - Tepung Ikan - Soybean meal - Wheat flour - Tenaga kerja langsung - Other ingredient - Listrik dan air Benur - Total bahan baku - Tenaga kerja langsung - Listrik dan air - Lainnya Listrik Water treatment Lainnya HPP Udang beku (Rp/kg)
Tahun 1) 2007 21 344
2008 32 398 58%
9%
15% 6% 13% 55 975
Tahun 2) 2009-2010
57 440
36 652 20% 20% 23% 6% 30% 1% 46% 1% 3% 51%
52%
14%
16% 4% 14% 60 000
Keterangan: 1) Salah satu perusahaan terintegrasi di Lampung (data sekunder) 2) Hasil studi ini, data primer periode Oktober 2009- Maret 2010
Berdasarkan data pada Tabel 53 nampak bahwa struktur biaya produksi didominasi oleh pakan, listrik, dan benur. Persamaan diantara kedua sistem (perusahaan terintegrasi dan berdasarkan hasil survey) yaitu bahwa pakan merupakan hal yang dominan. Data hasil survey yang tercantum dari hasil studi ini rata-rata lebih tinggi disebabkan saat pengambilan data terjadi serangan penyakit sehingga biaya produksi meningkat. Dengan demikian perlu upayaupaya Pemerintah melakukan riset mencari pengganti tepung ikan yang lebih murah. Strategi berikutnya yaitu diferensiasi dengan menciptakan sesuatu yang baru yang dirasakan oleh keseluruhan industri sebagai hal yang unik. Hal
272
tersebut tercermin dari hasil analisis CMSA bahwa efek distributif dan efek komoditas udang Indonesia bernilai negatif sehingga diperlukan diferensiasi produk. Diferensiasi merupakan strategi yang baik untuk menghasilkan laba di atas rata-rata dalam suatu industri karena strategi ini menciptakan posisi yang aman untuk mengatasi kelima kekuatan persaingan. Diferensiasi menciptakan kesetiaan pelanggan dan kebutuhan pesaing untuk mengatasi keunikan menciptakan hambatan masuk. Dengan strategi ini maka nilai tambah dari pengolahan produk tidak akan dikuasai oleh negara lain. Strategi diferensiasi pada studi ini yaitu meningkatnya produk bernilai tambah. Upaya tersebut antara lain melalui peningkatan mutu sehingga produk yang dihasilkan menjadi layak ekspor. Terkait dengan hal tersebut perlu upayaupaya terkait dengan teknologi pengolah dan peningkatan kapasitas SDM. Diferensiasi produk juga penting dalam rangka mengoptimalkan berkurangnya ketersediaan bahan baku, sehingga mayoritas produk yang dijual bernilai tambah (olahan). Dalam rangka penyediaan bahan baku, pemanfaatan tambak tradisional dan semi intensif dapat menjadi pilihan karena sistem tersebut relatif tidak merusak lingkungan dibandingkan tambak intensif. Berdasarkan pembahasan pada Bab sebelumnya, produk udang olahan jika diolah lebih jauh akan terkait dengan kemampuan tenaga kerja, dan teknologi. Terkait dengan hal tersebut, maka pemilihan produk bernilai tambah yang cocok untuk dikembangkan memerlukan kajian tersendiri karena terkait dengan ketersediaan teknologi, SDM, bahan baku, dan lain-lain. Produk udang olahan yang lebih menguntungkan dikembangkan Indonesia harus disesuaikan dengan kondisi yang ada. Akan tetapi, Indonesia dapat mengikuti seperti
273
disarankan Salayo (2003) kepada Pemerintah Philipina yaitu mendorong produk bernilai tambah yang intensif tenaga kerja dan intensif teknologi mengingat upah tenaga kerja rendah. 9.5. Rangkuman
1. Hasil simulasi historis periode 2004-2008, kebijakan penurunan biaya produksi berupa subsidi harga pakan memberikan daya dorong lebih besar terhadap produksi udang tambak dan daya saing udang Indonesia. Hal tersebut diduga karena pakan merupakan komponen terbesar dari sisi biaya produksi.
2. Dampak kebijakan peningkatan produktivitas melalui peningkatan tingkat pendidikan dan pembangunan/rehabilitasi saluran irigasi hasilnya lebih rendah dibandingkan subsidi pakan, akan tetapi kebijakan ini penting untuk peningkatan daya saing dalam jangka panjang. Simulasi peningkatan tingkat pendidikan masih bersifat umum, sehingga pada prakteknya dapat diarahkan pada keahlian khusus antara lain mengenai penanganan masalah penyakit, manajemen tambak, manajemen pakan, dan lain sebagainya.
3. Namun demikian, hasil simulasi di atas belum mampu mengubah udang segar ke Jepang yang tidak mempunyai keunggulan komparatif menjadi mempunyai keunggulan. Selain itu, karena mayoritas tambak dikelola secara tradisional yang tidak terlalu banyak menggunakan pakan, maka perlu kombinasi kebijakan untuk meningkatkan daya saing.
4. Pada perdagangan udang beku, Indonesia termasuk negara besar ditandai dengan berubahnya harga udang beku dunia, sedangkan dalam
274
mengekspor udang olahan, Indonesia termasuk kategori negara kecil karena tidak terjadi perubahan harga udang olahan dunia.
5. Berdasarkan hasil simulasi historis alternatif kebijakan periode tahun 2004-2008, strategi yang efektif untuk peningkatan ekspor yaitu upaya menurunkan biaya produksi. Hasil simulasi dampak subsidi harga pakan sebesar 11% mempunyai daya dorong terhadap produksi 14.29%. Indeks RCA eskpor udang segar Indonesia ke Jepang meningkat sebesar 15.77%, serta angka indeks RCA udang beku Indonesia ke AS sebesar 6.37% dan ke UE-27 meningkat sebesar 2.40%. Daya dorong tersebut akan lebih besar lagi apabila dilakukan kombinasi subsidi harga pakan dengan kebijakan lainnya.
6. Berdasarkan hasil analisis CMSA efek komposisi komoditas bernilai negatif sehingga strategi diferensiasi produk dapat menjadi pilihan Indonesia. Strategi diferensiasi produk dari produk primer ke produk bernilai tambah diperlukan terkait terbatasnya bahan baku dan tersedianya tenaga kerja.
275
X. SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 10.1.
Simpulan Udang merupakan salah satu komoditas penting penghasil devisa pada
sektor perikanan. Studi ini menganalisis daya saing menggunakan indikator pangsa pasar (indeks RCA dan CMSA) dengan membandingkan kondisi periode tahun 1989-2003 dengan 2004-2008, yaitu setelah pergantian varietas dari windu ke vaname. Sesuai tujuan penelitian, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1. Secara umum Indonesia mempunyai keunggulan komparatif dalam mengekspor ketiga produk udang (segar, beku, olahan) ke tiga pasar utama (Jepang, AS, dan UE-27) pada periode pengamatan 1989-2003 dan 20042008, tercermin dari nilai indeks Revealed Comparative Advantage (RCA) yang lebih dari satu. Namun demikian, keunggulan komparatif tersebut tidak berkelanjutan. Dibandingkan periode 1989-2003, pada periode 20042008 yaitu setelah pergantian varietas udang yang dibudidayakan dari udang windu menjadi udang vaname, keunggulan komparatif produk udang segar mengalami penurunan di tiga pasar utama dan bahkan tidak mempunyai keunggulan komparatif di pasar Jepang. Selain itu, keunggulan komparatif ketiga produk udang (segar, beku, olahan) tersebut mengalami penurunan di pasar Jepang. Lebih jauh menggunakan model Constant Market Share Analysis (CMSA),
daya saing ekspor udang
Indonesia ke dunia lebih disebabkan efek daya saing spesifik, yaitu mengekspor spesifik produk (udang beku) ke spesifik pasar (Jepang dan AS). Implikasi ketergantungan pada produk dan tujuan ekspor tertentu
276
akan berbahaya jika terjadi guncangan pada produk udang dan atau guncangan di pasar tersebut. 2. Dibandingkan dengan Indonesia, Thailand memiliki angka indeks daya saing RCA jauh lebih tinggi dan memiliki efek komoditas serta efek distribusi pasar lebih baik. Keunggulan Thailand tersebut antara lain disebabkan menggunakan pendekatan kluster dalam budidaya, berubahnya peran pemerintah dari “strong” regulator menjadi fasilitator, penggunaan teknologi pada berbagai tingkatan produksi sehingga mempunyai produktivitas lebih tinggi, pemanfaatan bioteknologi dalam mengatasi permasalahan penyakit udang, serta fokus pada mutu dan produk bernilai tambah.
Meskipun demikian, pada periode 2004-2008 indeks RCA
Thailand juga mengalami penurunan dibandingkan dengan indeks RCA periode 1989-2003, artinya persaingan sesama produsen udang makin ketat. 3. Pakan dan permasalahan serangan penyakit merupakan dua faktor utama yang mempengaruhi tingkat produksi dan pada akhirnya mempengaruhi daya saing udang Indonesia. Penggantian varietas dari udang windu menjadi udang vaname cukup berhasil mempertahankan pangsa ekspor, namun pergantian tersebut belum optimal dalam mengatasi permasalahan penyakit. 4. Hasil perhitungan Total Factor Productivity (TFP) menggunakan angka indeks Tornqvist Theil untuk periode 1989-2008 menunjukkan bahwa pertumbuhan produktivitas tambak mengalami stagnasi. Pertumbuhan output berupa udang windu, udang putih, dan bandeng dalam kurun waktu
277
tersebut lebih disebabkan pertumbuhan faktor produksi antara lain benur, obat-obatan, pakan, dan energi. Faktor yang berpengaruh pada aspek perdagangan antara lain bahwa Indonesia belum sepenuhnya memenuhi pemenuhan akan persyaratan mutu dari negara importir. 5. Hasil konfirmasi pada tingkat lapang menunjukkan bahwa serangan penyakit berpengaruh negatif dan signifikan terhadap produktivitas (TFP). Penggunaan benur bersertifikat, intensifikasi, tingkat pendidikan, dan lokasi budidaya udang di Provinsi Jawa Timur dibandingkan di luar Jawa Timur berkorelasi positif terhadap TFP, sedangkan sistem kerjasama dan luas area berpengaruh negatif. Meskipun intensifikasi berkorelasi positif terhadap TFP, akan tetapi penerapannya perlu dipertimbangkan karena intensifikasi berisiko tinggi terhadap agroekologis. Kecenderungan terjadinya
kekurangan
bahan
baku
untuk
Unit
Pengolah
Ikan
mengindikasikan pentingnya peningkatan produksi udang yang memenuhi persyaratan ekspor baik dari ukuran, species, serta persyaratan mutu dan keamanan produk hasil perikanan. Di antara rantai pasokan, pedagang pengumpul merupakan titik rawan dalam upaya mempertahankan mutu karena masih kurangnya pembinaan dan pengawasan. 6. Berdasarkan hasil simulasi historis alternatif kebijakan periode tahun 2004-2008, strategi yang efektif untuk peningkatan ekspor yaitu upaya menurunkan biaya produksi. Hasil simulasi dampak subsidi harga pakan sebesar 11% mempunyai daya dorong terhadap produksi 14.29%. Indeks RCA eskpor udang segar Indonesia ke Jepang meningkat sebesar 15.77%, serta angka indeks RCA udang beku Indonesia ke AS sebesar 6.37% dan
278
ke UE-27 meningkat sebesar 2.40%. Daya dorong tersebut akan lebih besar lagi apabila dilakukan kombinasi subsidi harga pakan dengan kebijakan lainnya. Berdasarkan hasil analisis CMSA efek komposisi komoditas bernilai negatif sehingga strategi diferensiasi produk dapat menjadi pilihan Indonesia. Strategi diferensiasi produk diperlukan terkait terbatasnya bahan baku dan di lain pihak tenaga kerja kerja melimpah. 10.2.
Implikasi Kebijakan Peningkatan daya saing udang perlu mendapat perhatian Pemerintah
mengingat
dalam
perdagangan
internasional
terjadi
kecenderungan
terkonsentrasinya konsumsi hanya pada beberapa species tertentu, salah satunya udang. Pengurangan biaya produksi melalui peningkatan produktivitas, dan upaya memenuhi persyaratan mutu sesuai permintaan konsumen perlu mendapat penekanan . Terkait hal tersebut dapat disampaikan hal-hal sebagai berikut: 1. Guna mempertahankan dan meningkatkan pangsa pasar udang di Jepang, perlu peningkatan ekspor udang berukuran relatif lebih besar seperti udang windu melalui pemanfaatan tambak “mangkrak/idle” dan atau ekstensifikasi menggunakan teknologi semi-intensif, ekstensif, dan budidaya udang sistem organik melalui pendekatan kluster. Dukungan anggaran untuk penyediaan induk bermutu dan benur unggul pada kegiatan Broodstock center udang windu di
BBPBAP Jepara sangat diperlukan. Pengembangan tambak
tradisional dan semi-intensif juga perlu didukung ketersediaan air yang memadai sehingga kerjasama antara Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan Kementerian Pekerjaan Umum perlu ditingkatkan.
Dengan
279
demikian, diharapkan penurunan pangsa pasar di Jepang dapat diatasi mengingat Indonesia mempunyai keunggulan geografis dalam mengekspor udang ke Jepang. 2. Dalam rangka meningkatkan produktivitas, dukungan anggaran pemerintah untuk mengatasi permasalahan serangan penyakit harus menjadi prioritas. Dampak serangan penyakit tidak hanya berpengaruh terhadap aspek finansial tambak perorangan, tetapi juga pada perusahaan terintegrasi di Lampung serta Unit Pengolah Ikan (UPI) yang memiliki tambak sendiri guna memenuhi kebutuhan bahan bakunya. Terkait dengan hal tersebut, maka peningkatan status Loka Penyidikan Penyakit Ikan dan Lingkungan di Serang menjadi setingkat Balai perlu diupayakan. Selain itu, perlu diintensifkan kerjasama penelitian antara Unit Pelaksana Teknis riset di lingkup KKP dengan pihak swasta dan perguruan tinggi dengan memanfaatkan kemajuan bioteknologi. Pada tingkat lapangan, perlu upaya mendekatkan alat pengujian virus berupa Real Time-PCR ke pembudidaya. 3. Pakan merupakan penyumbang terbesar biaya produksi pada sistem budidaya udang intensif dan semi intensif yang berpengaruh negatif terhadap daya saing. Dalam upaya penurunan biaya maka perlu dicari alternatif sumber protein nabati pengganti tepung ikan yang lebih murah. Upaya penurunan biaya transaksi, biaya distribusi pakan harus menjadi perhatian Pemerintah sehingga diperoleh harga yang terjangkau. Terkait hal tersebut, riset bidang pakan perlu mendapat dukungan anggaran memadai. Diperlukan juga sinergitas kegiatan dengan Kementerian Pertanian terkait penyediaan jagung dan kedelai sebagai bahan baku pakan.
280
4. Guna memperoleh nilai tambah dari hasil pengolahan perlu upaya mendorong industri pengolahan melalui kemudahan investasi, penurunan tingkat suku bunga, pembangunan infrastruktur, dan memberikan insentif pada perusahaan yang membuat produk udang bernilai tambah. Industri udang olahan juga agar lebih dekat dengan penyediaan bahan baku. Peningkatan koordinasi ekspor dan pemasaran terkait aturan internasional, informasi pasar, mutu dan kemanan pangan, dan promosi dagang merupakan faktor lain yang perlu diperhatikan 5. Dalam rangka meningkatkan mutu dan keamanan hasil produk perikanan perlu dilakukan sinergitas kebijakan sejak produksi primer sampai dengan pemasaran. BKIPM selaku otoritas kompeten di bidang mutu dan keamanan produk perikanan dapat melakukan upaya: (1) peningkatan pembinaan dan pengawasan kepada pedagang pengumpul agar tidak merendam udang, (2) meningkatkan kompetensi laboratorium uji mutu agar memenuhi standard internasional, (3) mengefektifkan uji monitoring residu dan traceability, (4) menambah inspektur mutu serta mendorong penerapan in process inspection, (5) meningkatkan penerapan Cara Budidaya ikan yang Baik (CBIB) dan Good Handling Practices (GHP) pada rantai pasokan terutama pada pembudidaya skala kecil, dan melengkapi Export Quality Infrastructure berupa alat pengujian mutu. 6. Guna mendukung pembangunan tambak berkelanjutan perlu dibuat regulasi yang mengatur padat penebaran udang sehingga budidaya udang tidak merusak lingkungan. Diperlukan juga pengaturan pemberian ijin
281
untuk daerah yang sudah padat budidayanya melalui pengaturan tata ruang khusus untuk budidaya, dan pengontrolan terhadap polusi budidaya. 7. Hasil studi juga menunjukkan bahwa ketersediaan bahan baku dalam rangka ekspor menjadi penting. Total produksi udang hasil tangkapan dan budidaya cukup memadai, namun disisi lain UPI mengalami kekurangan bahan baku. Selain terjadi peningkatan konsumsi domestik, terjadinya kondisi tersebut diduga karena udang yang dihasilkan belum sepenuhnya memenuhi persyaratan ekspor akibat udang terkena penyakit sehingga produk yang dihasilkan relatif berukuran lebih kecil. Guna menghindari kesimpangsiuran data produksi, perlu perbaikan data melibatkan Unit Pelaksana Teknis (UPT) lingkup KKP di daerah, BPS, dan pihak swasta antara lain pabrik pakan dan hatchery. Selain itu, dalam rangka menjaga stok udang, sistem logistic ikan nasional perlu direalisasikan. 8. Guna meningkatkan kemampuan pembudidaya dalam hal manajemen tambak, Pemerintah perlu memberikan dukungan anggaran memadai. Hal tersebut dapat dilakukan melalui penyuluhan, pemanfaatan tenaga terdidik yang berpengalaman, memanfaatkan SDM Shrimp Club Indonesia, dan technical sales dari penyedia sarana produksi. 9. Mengingat mayoritas tambak dikelola secara ekstensif, maka aspek kelembagaan menjadi penting. Kelompok pembudidaya udang perlu didorong untuk berkembang, dan tidak hanya diperhatikan pada saat pemberian bantuan. Ditjen Perikanan Budidaya perlu meningkatkan sinergitas dengan BPSDM terkait penyuluhan, dan intansi lain terkait pemberian bantuan langsung masyarakat. Seleksi ketat terhadap kelompok
282
pembudidaya udang (Pokdakan) yang akan mendapat bantuan dari program pemerintah menjadi hal krusial demi suksesnya pengembangan industri udang. 10. Hasil studi pada tingkat lapang menunjukkan bahwa pola kerjasama belum berhasil mendorong peningkatan pertumbuhan produktivitas (TFP). Dalam rangka mempertahankan pola kerjasama inti dan plasma dalam pola TIR perlu meletakkan model integrasi vertikal secara tepat yaitu harus mampu mencapai efisiensi, harus mampu menjamin harmonisasi antar pelaku, harmonisasi proses, harmonisasi produk, dan harus dapat mengakomodir kepentingan-kepentingan ekonomi pembudidaya kecil. 10.3.
Saran Penelitian Lanjutan Sebagai bahan untuk penelitian lanjutan antara lain:
1. Perbaikan Model untuk analisis TFP menyangkut random variabel antara lain termasuk perubahan iklim. Perlu analisis dampak budidaya terhadap lingkungan seperti isu kerusakan mangrove, tambak mangkrak, atau isu penggunaan tepung ikan. 2. Penelitian produktivitas di tingkat pengolah dan eksportir dengan menganalisis kinerja perusahaan multinasional, dan Model TFP dari nasional ke regional competitiveness. Selain itu, perlu perbaikan Model yang mengakomodir aspek dinamis. 3. Udang beku dan olahan mempunyai variasi produk (ukuran dan jenis) yang tinggi, maka penelitian daya saing pada tingkat produk udang yang didisagregasi menjadi penting dalam rangka menganalisis produk udang yang cocok dikembangkan di Indonesia.
283
DAFTAR PUSTAKA Abubakar. 2007. Efisiensi Pengelolaan Kawasan Tambak Udang dan Dampaknya terhadap Aspek Ekonomi Sosial dan Ekologi di Wilayah Pesisir Kabupaten Dompu. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Adriyadi. 2009. Peran Nyata APCI dalam Peningkatan Produksi Udang, Pendapatan dan Kesejahteraan Petani Tambak. Bahan Presentasi disampaikan pada Forum Pemberdayaan dan Pengembangan Usaha Perikanan Budidaya Wilayah Timur. Makassar 23-25 Februari 2009. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Aisya, L.K., S. Koeshendrajana, dan T.T. Hartono. 2005a. Analisis Hambatan Perdagangan Internasional Ekspor Udang Indonesia. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 11(9):1-14. Aisya, L.K., S. Koeshendrajana, dan M. Iqbal. 2005b. Analisis Daya Saing Ekspor Produk Perikanan Indonesia: Pendekatan Model Revealed Comparative Advantage (RCA) dan Model Constant Market Share Analysis (CMSA). Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 11(9):97-104. Aisya, L.K., S. Koeshendrajana, dan K. Karyasa. 2005c. Analisis Dampak Kebijakan Insentif dan Kinerja Pasar Udang Indonesia Menghadapi Era Liberalisasi Perdagangan. Dalam Alim Isnansetyo et al., (Editor). Prosiding Seminar Nasional Tahunan Hasil Penelitian dan Perikanan dan Kelautan 2005. Jurusan Perikanan dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Aisya, L.K., Y.D. Sari, dan S. Koeshendrajana. 2006. Pola Perdagangan Internasional Ekspor Udang Indonesia. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 1(1):49-65. Asche, F., K.H. Roll, and R. Tveteras. 2007. Productivity Growth in the Supply Chain-Another Source of Competitiveness for Aquaculture. Marine Resource Economics, 22:329-334. Athukoralla, P.C., and S. Jayasuriya. 2003. Food Safety Issues, Trade and WTO Rules: a Developing Countries Perspective. Badan Pusat Statistik. 1989-2008. Survey Perusahaan Perikanan. Badan Pusat Statistik. Jakarta. Batt, P.J. dan R. Marooka. 2003. Perceptual Differences in Offer Quality between Western Australian Rock Lobster Exporters and Japanese Rock Lobster Importers. Supply Chain Management, 8(5):476-483. Bluffstone, R.A., D. Anantasuwong, and I. Ruzicka. 2006. Mixing Economic and Administrative Instruments: The Case of Shrimp Aquaculture in Thailand. Briggs, M., S. Funge-Smith, R.P. Subasinghe, and M. Phillips. 2005. Introduction and Movement of Two Penaeid Shrimp Species in Asia and
284
the Pacific. Food and Agricultural Organization (FAO), Fisheries Technical Paper. No.476. Rome, FAO. 78p. Cahyono, B., Dinarwan, dan Nani Farmayanti. 2007. Kajian Program Kemitraan Usaha (Kasus PT Aqua Farm Nusantara dengan Kelompok Tani ikan di Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman, DIY. Buletin Ekonomi Perikanan Vol.7 (2): 38-50. Cai, J. and P.S. Leung. 2006. Export Performance of Frozen Cultured Shrimp in the Japan, U.S., and UE Markets: A Global Assessment. In Leung and C. Engle (Editors). Shrimp Culture: Economics, Market, and Trade. Blackwell Publishing, Ames. Cato, J.C. and C.A. Lima Dos Santos. 1998. European Union 1997 SeafoodSafety Ban: The Economic Impact on Bangladesh Shrimp Processing. Marine Resource Economics, 13:215-227. Carita. 2004. Studi Rendemen Berbagai Hasil Olahan Udang Windu (Penaeus monodon) pada Tiap Size. Departemen Teknologi Hasil Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Cong Sach, T. 2003. International Export Implications of Expanding Shrimp Aquaculture in Vietnam in Expanding Shrimp Aquaculture on Sandy Land in Vietnam. IUCN-The World Conservation Union and IISD (International Institute for Sustainable Development). Environmental Economics Programme for Vietnam. Vietnam. Coy, J.E.L. 2006. Competitiveness and Trade Policy Problems in Agricultural Export: A Perspective of Producing/Exporting Countries in the Case of Banana Trade to the European Union. Ph.D Dissertation. Gottingen: George-August-Universitat, Gottingen, Goettingen-Germany. Coastal Resources Institute (CORIN). 2000. Shrimp Farming Experiences in Thailand: A Continued Pathway for Sustainable Coastal Aquaculture. Paper submitted to: Network of Aquaculture Centres in Asia-Pacific, Bangkok Thailand. Prince of Songkla University. Hat Yai, Thailand. C.P. Prima. 2009. Laporan Tahun 2008 Annual Report. Daryanto, A. 2007a. Restrukturisasi Industri Perunggasan melalui Supply Chain Management. Trobos, Mei 2007. __________. 2007b. Peningkatan Daya Saing Industri Peternakan. PT. Permata Wacana Lestari (Penerbit Majalah Trobos). Jakarta. Debaere, P. 2008. Small Fish Big Issues-The effect of Trade Policy on the Global Shrimp Market. CEPR Working Paper. University of Texas, Austin. Delgado, C.L., N. Wada, M. W. Rosegrant, S. Meijer, and M. Ahmed, 2003. Fish to 2020: Supply and Demand in Changing Global Markets. International Food Policy Research Institute Washington, D.C. and Worldfish Center, Penang, Malaysia.
285
Devi, K.U. and Y.E. Prasad. 2006. A Logistic Regression of Risk Factors for Disease Occurrence on Coastal Andhra Shrimp Faros. India Journal of Agricultural Economics, 61(1):123-132. Dinas Perikanan Jatim. 2008. Statistik Perikanan Budidaya Tahun 2007. Surabaya. Diop, H., R.W. Harrison, and W.R. Keithly, Jr. 1999. Impact of Increasing Imports on the United States Southeastern Region Shrimp Processing Industri 1973-1996. Selected paper for Presentation at the August 8-11 Annual Meeting of the American Agricultural Economics Association in Nashville, Tennessee. DJPB DKP. 2005. Laporan Survey Udang Tambak Pembudidaya dan Perusahaan Perikanan Budidaya. Subdit Data dan Statistik Perikanan Budidaya, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta. __________. 2006. Rencana Strategis Perikanan Budidaya 2005-2009 (Edisi Revisi). Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2007. Neraca Bahan Makanan Sektor Perikanan Tahun 2005. Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta. DKP. 2004. Strategi Peningkatan Daya Saing Komoditas Perikanan. Laporan Akhir Proyek Perencanaan Kebijakan Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta. ____. 1999-2005. Statisitik Perikanan Budidaya Indonesia. Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta. ____. 1999-2005. Statisitik Perikanan Tangkap Indonesia. Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta. ____. 2005. Revitalization Aquaculture 2005-2009. Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta. ____. 2006. Pedoman Analisis Kerugian Negara Akibat Illegal Fishing. Direktorat Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan. 1989-2008. Statisitik Perikanan Indonesia. Departemen Pertanian, Jakarta. Edizal. 1998. Analisis Ekonomi Lada Putih Muntok dan Perdagangan Lada Putih Dunia sebagai Usaha Peningkatan Daya Saing di Pasar Internasional. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Esterhuizen, D. 2006. An Evaluation of the Competitiveness of the South African Agribusiness Sector. Ph.D Dissertation. Pretoria: University of Pretoria Etd. Fan, S. 2005. Increasing Return, Product Quality, and International Trade. Economica, 72:151-169.
286
Faruq, H.A. 2006. New Evidence on Product Quality and Trade. CAEPR (Center for Applied Economics and Policy Research) Working Paper 2006-019. Fauzi, A. 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan: Isu, Sintesis, dan Gagasan. P.T.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. FAO. 2008. The State of World Fisheries and Aquaculture 2008. FAO, Rome. ____. 2009. FAO Fisheries and Aquaculture Information and Statistics Service. FISHSTAT Plus - Universal Software for Fishery Statistical Time Series. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Available at: http://www.fao.org/fi/ statist/F ISOFT/ FISHPLUS.asp FAO
Globefish. 2009. Shrimp Market Reports: July, September, November.. http://www.globefish.org/shrimp-december-2011.html. Diakses tanggal 11 January 2010.
____________. 2010. Shrimp Market Reports: January, february, April, May, November. http://www.globefish.org/shrimp-december-2011.html. Diakses tanggal 10 February 2011. ____________. 2011. Shrimp Market Reports: May, August, December. http://www.globefish.org/shrimp-december-2011.html. Diakses tanggal 3 Januari 2012. Freebairn, J.W. 1967. Grading as Market Innovation. Review of Marketing and Agricultural Economics, 147-162. Fuglie, K.O. 2004. Productivity Growth in Indonesian Agriculture, 1961-2000. CIP-ESEAP, Bogor. Gonarsyah, I. 1990. Studi Tentang Permintaan dan Penawaran Komoditi Ekspor Pertanian (Udang). Biro Perencanaan Departemen Pertanian Bekerjasama dengan Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor ___________. 2007. Tentang Pendefinisian Daya Saing Komoditas Berbasis Sumberdaya Alam. Bahan Ajar Perdagangan Internasional Lanjutan. Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Gopinath, M., C. Arnade, M. Shane., and T. Roe. 1997. Agricultural Competitiveness: The Case of the United States and Major UE Countries. Agricultural Economics, 16:99-109. Goss, J.D. and Burch R.E. Rickon. 1999. Agri-Food Restructuring and Third World Transnational: Thailand, the C.P. Group and the Global Shrimp Industri. World Development, 28(3): 513-520. Gunaratne, L.H.P. and P.S. Leung. 1996. Asian Black Tiger Shrimp Industri: A Meta-Production Frontier Analysis. In Leung and Sharma (Editors). Economic and Management of Shrimp and Carp Farming in Asia: A Collection Researh Paper. Network of Aquaculture Centres in AsiaPacific (NACA), Bangkok. Gujarati, D. 1999. Ekonometrika Dasar. Terjemahan. Erlangga, Jakarta.
287
Hallak, J. 2003. The Effect of Cross-Country Differences in Product Quality on the Direction of International Trade. Departments of Economics, University of Michigan, Ann Arbor, MI. ______. 2005. Product Quality and the Direction of Trade. Department of Economics, University of Michigan, Ann Arbor, MI. Hallak, J.C. and J. Sivadasan. 2009. Exporting Behaviour under Quality Constraints. Hallak, J.C. and P.K. Scott. 2009. Estimating Cross-Country Differences in Product Quality. First version July 2005. Helble, M. and T. Okubo. 2006. Heterogeneous Quality Firm and Trade Cost. Henderson, J. and R.E. Quandt. 1980. Microeconomics Theory: A Mathematical Approach. New York: Mc.Graw-Hill. Herman, A.S. 2002. Model Aliansi Strategis Agroindustri Sayuran Bernilai Ekonomi Tinggi. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hishamunda, N., N.B. Ridler, P.Bueno, and W.G. Yap. 2007. Commercial Aquaculture in Southeast Asia: Some Policy Lessons. Food Policy 34:102-107. Hutabarat, B., Hardoko, B. Sayaka, dan K.S. Indraningsih. 2000. Analisis Daya Saing dan Prospek Pasar Ekspor Hasil Perikanan Andalan Menunjang Protekan 2003. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta. Hummels and Skiba. 2002. Shipping the Good Apple Out? An Empirical Confirmation of the Alchian-Allen Conjecture. Working Paper 9023, National Bureau of Economic Research, Cambridge, MA. Hudson, D., D. Hite, A. Jaffar, and F. Kari. 2003. Environmental Regulation through Trade: the Case of Shrimp. Journal of Environmental Management,68:231-328. Irwan, M. 1997. Perdagangan Udang Indonesia di Pasar Domestik dan Internasional. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. International Finance Corporation (IFC). 2006. Improving Indonesia’s Competitiveness: Case Study of Textile and Farmed-Shrimp Industries. Volume 1. Foreign Investment Advisory Service. A Joint Facility of the International Finance Corporation and the World Bank. ____________. 2007a. Moving Toward Competitiveness: A Value Chain Approach. The World Bank Group. ____________. 2007b. Improving the Competitiveness of Indonesian Shrimp Export. Technical Note. The World Bank.
288
International Trade Center (ITC). 2007. The Trade Performance Index: Technical Notes. Market Analysis Section, International Trade Center, UNCTAD/WTO, Geneva, Switzerland. Institute for Managment Education for Thailand Foundation. 2002. Competitive Study-Cluster Approach. Study Highlights: Competitiveness of Thailand’s Black Tiger Shrimp Industry. Institute for Managment Education for Thailand Foundation Josupeit, H. 2008. Toward Sustainability in Shrimp Production, Processing, and Trade. Paper presented in Shrimp 2008 – Technical and Trade Conference on Shrimp, 6-7 November 2008, Guangzhou, China. Kagawa, M. and C. Bailey. 2003. Trade Linkage in Shrimp Exports: Japan, Thailand, and Vietnam. Paper Presented at the 2003 Meetings of the Rural Sociology Society, Montreal, Canada. Khatun, F. 2004. Fish Trade Liberalization in Bangladesh: Implications of SPS Measures and Eco-Labeling for the Export-Oriented Shrimp Sector. Project PR 26109, FAO, Rome. Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2009a. Pembangunan Kelautan dan Perikanan Tahun 2008. Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta. _________________________________. 2009b. Refleksi Pembangunan Kelautan dan Perikanan Tahun 2009 dan Outlook 2010. Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta. Kennedy, P.L., R.W. Harrison, and M.A. Piedra. 1998. Analyzing Agribusiness Competitiveness: the Case of the United States Sugar Industry. International Food and Agribusiness Management Review, 1(2):245-257. Keefe. A.M. 2002. International Shrimp Trade: New Paradigm and Market Changes. Ph.D Dissertation. Auburn University, Auburn, Alabama. Kiani A.K., M. Iqbal, and T. Javed. 2008. Total Faktor Productivity and Agricultural Research Relationship: Evidence from Crops Sub-Sector of Pakistan’s Punjab. European Journal of Scientific Research, 23(1):87-97. Koeshendrajana, S. dan L.K. Aisya. 2006. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ekspor Udang Indonesia. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 1(2):153-63. Kumar, A. and P. Kumar. 2003. Food Safety Measures: Implication for Fisheries Sector in India. India Journal of Agriculture Economics, 58(3):123-132. Kumar, A., P.S. Birthal, and Badrudin. 2004. Technical Efficiency in Shrimp Farming in India: Estimation and Implications. India Journal of Agriculture Economics, 59 (3): 414-420. Kustiari, R. 2007. Analisis Ekonomi tentang Posisi dan Prospek Kopi Indonesia di Pasar Internasional. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
289
Kusumastanto, T., C.M. Jolly, and C. Muluk, 1996. Investment Analysis for Indonesian Shrimp Aquaculture. Journal of Applied Aquaculture, 6(4):114. Kusumastanto, T., C.M. Jolly, and C. Bailey, 1997. A Multiperiod Programming Evaluation of Brackishwater Shrimp Aquaculture Development in Indonesia 1989-1990-1998/1999. Aquaculture, 159:317331. Kusumastanto, T. dan Tim PKSPL IPB. 2007. Kebijakan dan Strategi Peningkatan Produktivitas dan Daya Saing Produk Perikanan Nasional. Makalah Disampaikan pada Agrinex Conference and Expo, Jakarta, 17 Maret 2007. Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics: An Introductory Exposition of Econometric Methods. Second edition. The Mc.Milian Press. Ltd. London _________. 1979. Mdern Microeconomics. Second edition. The Mc.Milian Press. Ltd. London Labys, W.C. 1973. Dynamic Commodity Models: Specification, Estimation, and Simulation. Lexington, Mass.: D.C. Health and Company. Lebel, L., R. Mungkung, S. Gheewala, and P. Lebel. 2100. Innovation Cycles, Niches and Sustainability in the Shrimp Aquaculture Industri in Thailand. Environmental Sciences & Policy, 13: 291-301. Lem, A. 2008. The Future of Shrimp. Paper Presented at FAO-MOA-Infofish Shrimp Conference. Guangzhou, 6-7 November 2008. Leung, P.S. and J. Cai. 2005. A Review of Comparative Advantage Assessment Approaches in Relation to Aquaculture Development. College of Tropical Agriculture and Human Resources, University of Hawaii at Manoa, Hawaii. Leung, P., L.T. Tran, and A.W. Fast. 2000. A Logistic Regression of Risk Factors for Disease Occurrence on Asia Shrimp Farms. Disease of Aquatic Organisms,1:65-76. Leung, P.S. and L.H.P. Gunaratne. 1996. Intercountry Productivity Comparison of Black Tiger Shrimp Culture. In Leung and Sharma (Editors). Economic and Management of Shrimp and Carp Farming in Asia: A Collection Researh Paper. Network of Aquaculture Centres in Asia-Pacific (NACA), Bangkok. Ling, Y.C., P.S. Leung, and Y.C. Shang. 1996. Export Performance of Major Cultured Shrimp Producers in the Japanese Markets. In Leung and Sharma (Editors). Economic and Management of Shrimp and Carp Farming in Asia: A Collection Researh Paper. Network of Aquaculture Centres in Asia-Pacific (NACA), Bangkok. Ling, Y.C., P.S. Leung, and Y.C. Shang. 1999. Comparing Asian Shrimp Farming: the Domestik Resource Cost (DRC) Approach. In Leung and Sharma (Editors). Economic and Management of Shrimp and Carp
290
Farming in Asia: A Collection Researh Paper. Network of Aquaculture Centres in Asia-Pacific (NACA), Bangkok. Loc, V.T.T. 2006. Seafood Supply Chain Quality Management: The Shrimp Supply Chain Quality Improvement Perspective of Seafood Companies in the Mekong Delta, Vietnam. Ph.D Dissertation. Groningen: Groningen University. Lord, M., R. Oktaviani, and E. Ruehe. 2010. Indonesia Trade Access to the Eurepan Union: Opportunities and Challenges. Final Study. Transtec, European Communiites. Maatsuura, T., L.D. Dela Pena, C.P. Ean, R. Slow, and A.H. Alias. 2007. Development of Farming Schemes Following Disease Occurrences in Monodon Shrimp Farming Using Intensive Method in Three Southeast Asian Countries. JIRCAS Working Paper No.54. Manarungsan, S., J.O. Naewbanij, T. Rerngjakrabhet, R. Suthatam, N. Ketnil, and K.Pongsicharoensook. 2005. Shrimp, Fresh Asparagus and Frozen Green Soybeans in Thailand. Agriculture and Rural Development Discussion Paper 16. IBRD/World Bank. Martin, X.S., J. Blanke, M.D. Handuz, T. Geiger, I. Mia, and F. Paua. 2008. The Global Competitiveness Index: Prioritizing the Economic Policy Agenda. In Porter and Schawb (Editors). Global Competitiveness Report 2008-2009. World Economic Forum, Geneva. Martinez-Cordero, F.J., W.J. Fitzgerald, and P.S. Leung. 1999. Evaluation of Productivity in Extensive Aquaculture Practices Using Interspatial TFP Index, Sulawesi, Indonesia. Asian Fisheries Science, 12: 223-234. Martinez-Cordero, F.J. and P.S. Leung. Production Performance Indicators with Externalities: Environmentally-Adjusted Productivity and Efficiency Indicators of a Sample of Semi-Intensive Shrimp Farms in Mexico. In Kenneth J. Thomson and Lorenzo Venzi (Editors). 95th EAAE Seminar, Civitavecchia (Rome), 9-11 December 2005. Maulana, M, 2004. Peranan Luas Lahan, Intensitas Pertanaman dan Produktivitas sebagai Sumber Pertumbuhan Padi Sawah di Indonesia. Jurnal Agro ekonomi, 22(1):74-95. Media Indonesia ( Desember 2010). www.media-indo.com Muhdi, S. 2007. Peluang dan Potensi Pengembangan Pemasaran dalam Negeri. Didalam Victor P.H. Nikijuluw (Editor). Meningkatkan Nilai Tambah Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Munandar, J.M., Y. Arkema, H. Hardjomidjojo, T. Djatna, J. Purwono, dan M. Aminah. 2006. Analisis dan Identifikasi Faktor untuk Pengembangan Tingkat Kompetisi Ekspor Komoditas Agroindustri Indonesia. Laporan Akhir Penelitian Hibah Bersaing XII. Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat (LPPM), Institut Pertanian Bogor.
291
NACA. 2010. Shrimp Price Study, Phase II. Case Studies in Vietnam, Indonesia, and Bangladesh. Network of Aquaculture Centres in AsiaPacific. Nguyen, A.V.T. and N.L.W. Wilson. 2009. Effects of Food Safety Standards on Seafood Export to US, UE and Japan. Selected Paper Prepared for Presentation at the Southern Agricultural Economics Association Annual Meeting, Atlanta, Georgia, January 31-February 3, 2009. NMFS. 2010. http://www.st.nmfs.noaa.gov/st1/trade/index.html Nugroho, A. 2007. Peran dan Kedudukan Indonesia dalam Peta Diplomasi Pemasaran Produk Ekspor Hasil Perikanan Indonesia di Pasar Global. Didalam Victor P.H. Nikijuluw (Editor). Meningkatkan Nilai Tambah Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Nurjana, M.L. 2007. Visi dan Strategi Pembangunan Perikanan Budidaya untuk Mencapai Leader Akuakultur Dunia. Bahan Talkshow Pelangi Akuakultur. Ditjen Perikanan Budidaya, DKP. Oktaviani, R. and Erwidodo. 2005. Indonesia’s Shrimp Export: Meeting the Challenge of Quality Standards. In Gallagher (Editor). Managing the Challenges of WTO Participation. World Trade Organization, Geneva. Oktaviani, R., N. Nuryartono, T. Novianti, dan M.I. Irfany. 2008. Investigation of Contract Farming Options for Shrimp Production. Working Paper Series. No.07/A/III/08. Oktaviani, R., M. Firdaus, H. Siregar, B. Juanda, T. Novianti, and F. Affendi. 2008. Quantitative Tools of Trade Competitiveness Indicators and Policy Analysis. Paper presented at Quantitative Tools for Assessing Trade and Investment Competitiveness: Leading Indicators and Policy Application”. MB-Institut Pertanian Bogor, 14 Agustus 2008. Oktaviani, R. 2009. Indonesia Shrimp Supply Chain: Strategic Option in Pacing International Market Demand Requirement. Di dalam Kusnadi et al. (Editors). Bunga Rampai Agribisnis Seri Pemasaran Institut Pertanian Bogor. Bogor Press, Bogor Oktariza, W. 2000. Analisis Ekonomi Perkembangan Pasar Ekspor-Impor Udang antar 4 Negara ASEAN. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Pertiwi, S.G. 2007. Perancangan Model Pengukuran Kinerja Komprehensif pada Sistem Klaster Agroindustri Hasil Laut. Disertasi Doktor. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Philips, M.J. and K. Yamamoto. 2007. Aquaculture Production, Certification, and Trade Challenges and Opportunities for the Small-Scale Farmer in Asia. Global Trade Conference on Aquaculture, 29-31 May 2007 Qingdao, China. Pitaningrum, D. 2005. Analisis Penawaran dan Permintaan Udang di Pasar Internasional. Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
292
Polymeros, K., E. Tsaikiridou, and K. Mattas. 2005. Assessing the Competitiveness of UE Mediterranean Fisheries and Aquaculture Industries in the Economics of Aquaculture with Respect to Fisheries. 95th EAAE Seminar, Civitavecchia (Rome), 9-11 December 2005. Kenneth J. Thomson and Lorenzo Venzi (Editors). Porter, M.E. 2006. Raising Indonesia’s Competitiveness. Jakarta, 28 November 2006. Porter, M.E, M. Delgado, C. Ketels, and S. Stern. 2008. Moving to A New Global Competitiveness Index. In the Global Competitiveness Report 2008-2009. World Economic Forum, Geneava. Primavera, J.H. 1997. Socio-Economic Impacts of Shrimp Culture. Aquaculture Research, 28: 815-827. Primavera, J.H. 1998. Tropical Shrimp Farming and Its Sustainability. Tropical Mariculture pages: 257-288. Academic Press. Primavera. 1998. Tropical Shrimp Farming and Its Sustainability in Tropical Mariculture. Academic Press. Pyndick, R.S. and D.L. Rubinfeld. 2007. Microecomics. 6th Edition. Pearson Prentice Hall. Pyndick, R.S. and D.L. Rubinfeld. 1991. Econometric Models and Economic Forecasts. Third Edition. McGraw-Hill Inc, New York. Quang Dang, N. 2003. Issue on Shrimp Production and Trade, on-Sand Shrimp Culture and Arrising Problems. In Expanding Shrimp Aquaculture on Sandy Land in Vietnam. IUCN-the World Conservation Union. Environmental Economics Programme for Vietnam. Raharjo, A. 2001. Dampak Perubahan Faktor Ekonomi terhadap Perdagangan Udang Indonesia di Pasar Internasional. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Raimu, W.O. 2000. Analisis Strategi Bisnis Ekspor Industri Pembekuan Udang. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Retnowati, N. 1990. Analisis Ekonomi Udang Indonesia di Pasar Jepang. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sagheer, S., S.S. Yadap, and S.G. Deskmuh. 2007. Assessing International Success and National Competitive Environment of Shrimp Industries of India and Thailand with Porter’s Diamond Model and Flexibility Theory. Global Journal of Flexible Sistem Management, 8(1&2): 31-43. Saito, T. 2007. Shipping the Good Apples out: Another Proof with a Graphical Representation. MPRA (Munich Personal Repec Archive) Paper No.1297. Department of Economics, SUNY at Buffalo. Salayo, N.D. 2000. Shrimp Price and Quality Changes in the Asia Pacific: Implications for the Philippines. Discussion Paper Series No.2000-11. Philippine Institute for Development Studies.
293
Salayo, N.D, T.J.P. Voon, and S. Selvanathan. 1999. Implicit Prices of Prawn and Shrimp Attributes in the Philippines Domestik Market. Marine Resource Economics, 14: 65-78. Salvatore, D. 1996. Ekonomi Internasional. Alih Bahasa Haris Munandar. Penerbit Erlangga, Jakarta. Samsuddoha. 2007. Supply and Value Chain Analysis in the Marketing of Marine Dried Fish in Bangladesh and Non Tarrif Measures (NTMs) in International Trading. Paper presented at 106 EAAE Ke 106, Pro Poor Development in Low Income Countries: Food, Agriculture, Trade, and Environment. Montpllier, France 25-27, 2007. Saragih, B., T. Sipayung, dan R. Pambudy. 2001. Pengembangan Agribisnis Berbasis Perikanan Dalam Agribisnis Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian. Pustaka Wirausaha Muda dan P.T. Loji Grafika Griya Sarana. Shang, Y.C., P.S. Leung, and B.H. Ling. 1998. Comparative Economics of Shrimp Farming in Asia. In Leung and Sharma (Editors). Economic and Management of Shrimp and Carp Farming in Asia: A Collection Researh Paper. Network of Aquaculture Centres in Asia-Pacific (NACA), Bangkok. Shyam, S.S., C. Sekhar, K. Uma, and S.R. Rajesh. 2004. Export Performance of Indian Fisheries in the Context of Globalisation. Indian Journal of Agricutural Economics, 59(3):448-463. Siggel, E. 2007. The Many Dimensions of Competitiveness. International Competitiveness and Comparative Advantage: A Survey and Proposal for Measurement. Cesifo Venice Summer Institute 2007, 20-21 July. Simangunsong, S. 2008. Analisis Kebijakan Pengawasan Mutu dan Keamanan Produk Perikanan Indonesia Menyikapi Era Globalisasi. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sinaga, B.M. 1989. Econometric Model of the indonesian Hardwood products Industry: A Policy Simulation Analysis. Ph.D Dissertation. University of the Philipppines at Los Banos. Sudaryanto, T. 2005. Pengembangan Pertanian Industrial dengan Pendekatan Agribisnis: Konsep dan Implementasinya. Makalah pada Seminar ”Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan” pada tanggal 13 Desember 2005. Malang Soepanto. 1999. Model Ekonometrika Perikanan Indonesia: Analisis Simulasi Kebijakan pada Era Liberalisasi Perdagangan. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Suryana, A., H.P. Saliem, dan A. Djauhari. 1989. Penelitian Pemasaran dan Keunggulan Komparatif Ekspor Komoditi Pertanian (Kelayakan Produksi dan Pemasaran Udang di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan). Pusat Penelitian Agro Ekonomi, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian.
294
Susilowati, S.H. 2003. Dinamika Daya Saing Lada Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi, 21(2):122-144. Sriwichailamphan, T. 2007. Global Food Chains and Environment: Agro-Food Production and Processing in Thailand. Ph.D Dissertation. Wageningen: Wageningen Universiteit. Sitepu, R.K. dan B.M. Sinaga. 2006. Aplikasi Model Ekonometrika: Estimasi, Simulasi dan Peramalan Menggunakan SAS. Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Swaranindita, E.D. 2005. Analisis Daya Saing Komoditas Udang Nasional di Pasar Internasional. Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Squires, D. 1988. Index Number and Productivity Measurement in Multispecies Fisheries: An Application to the Pacific Coast Trawl Feet. NOAA Technical Report NMFS 67. U.S. Department of Commerce. Tajerin. 2007. Efisiensi Teknis Usaha Budidaya Udang di Lahan Tambak dengan Teknologi Intensifikasi Pembudidayaan Ikan. Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia, 14 (1):1-11. Tajerin dan M. Noor. 2004. Daya Saing Udang Indonesia di Pasar Internasional: Sebuah Analisis dengan Pendekatan Pangsa Pasar Menggunakan Model Ekonometrika. Jurnal Ekonomi Pembangunan, 9(2):177-191. Tan, K.C. 2001. A Framework of Supply Chain Management Literature. European Journal of Purchasing & Supply Management, 7:39-48. Tanticharoen, M., T.W. Flegel, W. Meerod, and. U. Grudloyma. 2008. Aquaculture Biotechnology in Thailand: the Case of the Shrimp Industry. Int. J. Biotechnology,10(6):588-603. Taukhid, S., Partasasmita, J. Haryadi, dan A Sudradjat. 2006. Permasalahan Umum dan Rekomendasi Solusi Budidaya Udang vaname (Litpenaeus Vannamei) di Jawa Timur. Dalam A. Sudradjat, E.S. Heruwati dan B. Priono (Editor). Analisis Kebijakan Perikanan Budidaya. Badan Riset Kelautan dan Perikanan, DKP. The Nation (17 December 2008). Thailand Cuts Shrimp Production. Tipples, R. and S. Martin. 2006. Getting Product From the New Zealand Paddock to the European Plate-Reducing Supply Chain Vulnerability through the Management of Employment Relations Critical Control Points. New Zealand Journal of Employment Relations, 31(1):60-75. UNComtrade. 2011. UN Comtrade Database. United Nations Statistics Division-Commodity Trade Statistics. Available at http://comtrade.un.org/db/dqBasicQueryResultsd.aspx. Diakses tanggal 12 January 2011. Unnevehr, L.J. 2000. Food Safety Issues and Fresh Food Product Exports from LDCs. Agricultural Economics 23:231-240.
295
USAID. 2006. A Pro-Poor Analysis of the Shrimp Sector in Bangladesh. Greater Access to Trade Expansion (GATE) Project for the U.S. Agency for International Development. Valderrama, D. and C.R. Engle. 2004. Farm-Level Economic Effects of Viral Diseases on Honduras Shrimp Farms. Journal of Applied Aquaculture, 16(1/2):1-25. Valderrama, D. And J. Anderson. 2008. Interaction Between Capture Fisheries and Aquaculture. In Offshore Aquaculture in the United States: Economic Considerations, Implications and Opportunities (PrePublication Copy). US Departement of Commerce, NOAA, Silver Spring, Maryland. Van Roekel. 2002. Agri-Supply Chain Management: to Stimulate Cross-Border Trade in Developing Countries and Emerging Economies. World Bank Paper Cross-Border Agri Supply Chain Management. Vinuya, F.D. 2006. Testing for Market Integration and the Law of One Price in World Shrimp Markets. Selected Paper Prepared for Presentation at the Southern Agricultural Economics Association Annual Meetings Orlando. February 5-8, 2006. Florida. Voon, T.J. and W. Xiang-Dong. 1997. Export Competition among China and ASEAN in the U.S. Market: Application of Market Share Models. Working Paper No.46(2/97) CAPS. Faculty of Social Sciences, Lingman College, Hongkong. Wagiono, Y. dan M. Firdaus. 2009. Bauran Pemasaran untuk Peningkatan Daya Saing Buah Nasional. Dalam Kusnadi et al. (editor) Bunga Rampai Agribisnis Seri Pemasaran. Institut Pertanian Bogor Press, Bogor. Wibowo, T.A. 2003. Implikasi Penerapan Sistem HACCP terhadap Status Usaha Pengolahan Hasil Perikanan Skala Kecil dan Rumah Tangga (Kasus Usaha Pengolahan Rajungan di Desa Gebang Mekar, Kecamatan Gebang, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor Widigdo, B. and J. Pribadi. 2005. Biosecurity as A Management Tool to Control Viral Diseases and to Improve Production in Shrimp Industry. Abstract Text. Meeting at World Aquaculture Society (WAS), Bali. Wirth, F.F. and K.J. Davis. 2003. Shrimp Purchasing Behavior and Preferences of Seafood Dealers. Selected Paper Prepared for Presentation at the Southern Agricultural Economic Association Annual Meeting, Mobile, Alabama, February 1-5, 2003. World Bank. 2006. Pakistan Growth and Export Competitiveness. Report No.35499-PK. Poverty Reduction and Economic Management Sector Unit South Asia Region. World Bank, Washington D.C. Wyban, J. 2007a. Thailand’s Shrimp Revolution. Aquaculture Asia Pacific Magazine May/June 2007.
296
Wyban, J. 2007b. Domestikation of Pacific White Shrimp Revolutionizes Aquaculture. Global Aquaculture Advocate. July/August 2007.
297
LAMPIRAN
298
299
Lampiran 1. Data Dasar yang Digunakan untuk Pemodelan Daya Saing Udang Indonesia TAHUN
QTAMB
QTNKP
1989
97.23
144.82
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
105.91 136.40 147,59 138,56 132,41 145,22 151,09 167,12 117,85 140,85 143,18 148.56 159.18 191.97 238.34 280.28 325.70 357.20 409.59
151.44 165.66 156,78 177,73 181,95 187,27 212,25 222,55 238,87 249,03 263,04 241.49 240.44 245.91 208.54 167.33 225.52 225.52 225.52
QBENR 1.40 3.03 4.66 5,73 6,80 4,67 6,70 7,37 22,88 30,64 38,39 30,07 36.79 21.75 39.63 57.51 39.19 30.03 20.87 42.03
PBENR
QPAKN
PPAKN
INTRE
42.24
99.28
5.18
13.00
42.05
108.32
5.04
8.03
39.48
138.59
13.82
41,35
144,06
4.84 4,87
38,29
141,79
4,74
4,20
35,83
135,51
5,46
3,30
60,77
148,79
5,90
6,40
24,13
154,51
6,02
10,77
25,19
171,82
6,65
4,90
14,12
120,54
6,98
-30,68
11,72
143,78
6,03
26,00
15.82
146.19
6.32
6.60
14.33
151.12
5.93
1.40
12.94
161.76
5.82
5.30
12.26
195.28
5.81
5.30
11.65
245.58
5.57
0.70
10.66
289.60
5.43
-6.11
9.52
338.45
5.66
5.00
9.75
362.26
5.59
3.59
9.63
408.35
5.12
2.15
14,10
DPENY
DUSDOM
PUSDOM
1.00
0.07
40.78
1.00
0.11
39.49
0.00
0.15
39.78
0,00
0,16
39,02
1,00
0,16
34,47
0,00
0,16
32,69
0,00
0,20
30,81
0,00
0,21
30,01
0,00
0,24
52,83
1,00
0,12
60,67
0,00
0,21
45,20
1.00
0.22
58.91
0.00
0.17
55.03
1.00
0.17
38.48
1.00
0.18
28.58
1.00
0.21
28.87
1.00
0.17
26.02
1.00
0.24
20.90
1.00
0.31
20.96
0.00
0.34
16.90
IRIG
EDUC
4 261.53
9.21
1 976.31
9.19
442.22
9.17
3 510,40
9,16
1 486,91
9,18
1 813,18
9,40
8 572,81
9,21
3 137,20
9,18
1 675,45
9,06
4 461,82
9,00
3 091,49
9,10
82 500.00
9.31
112 194.00
9.21
74 796.00
9.29
47 736.67
9.37
26 540.00
9.35
40 300.00
9.12
76 370.00
9.70
40 225.00
9.34
36 150.00
9.36
300
300
Lampiran 1. Lanjutan QXSIJ
PXSIJ
QXSIA
PXSIA
QXSIU
PXSIU
QXSTJ
TRFOJ
TRFOA
TRFOU
PXSTJ
QXSTA
PXSTA
QXSTU
PXSTU
0.29
7.87
0.02
5.23
0.29
4.20
0.34
5.20
5.00
2.83
11.91
0.53
10.88
0.35
5.71
0.83
8.99
0.08
7.41
0.28
3.18
0.37
5.40
5.00
18.33
9.93
0.45
12.62
0.21
6.24
0.77
7.89
0.05
8.53
0.19
3.63
0.35
5.40
5.00
20.00
11.87
0.67
13.08
0.28
8.67
0.97
10.82
0.07
7.58
0.51
4.64
0.24
5.40
5.00
20.00
11.54
0.27
10.00
0.30
10.88
0.93
12.84
0.08
6.15
0.36
5.41
0.65
5.40
5.00
32.50
15.42
0.81
13.49
0.31
7.48
0.89
12.86
0.07
9.70
0.24
6.54
0.42
5.40
4.50
20.00
14.97
0.52
11.71
0.13
7.17
0.93
15.56
0.06
5.81
0.33
5.78
0.44
5.40
4.50
20.00
14.56
0.54
10.79
0.16
10.00
0.72
9.31
0.04
14.10
0.23
5.20
0.39
5.40
4.00
27.50
14.39
0.57
12.89
0.21
10.40
0.16
14.02
0.19
14.42
0.25
5.52
0.38
5.40
3.50
23.75
12.65
0.36
10.93
0.18
7.42
0.66
12.50
0.68
13.18
0.27
5.69
0.14
5.25
3.00
20.00
10.25
0.27
7.18
0.07
7.31
0.43
9.32
0.40
13.17
0.28
5.75
0.15
5.05
2.50
10.00
9.13
0.30
6.58
0.15
9.91
0.27
8.03
0.51
11.26
0.16
5.06
0.14
5.05
2.50
26.25
10.93
0.18
8.27
0.07
8.85
0.45
8.90
0.31
7.22
0.22
4.99
0.09
5.05
2.50
22.00
7.93
0.34
5.85
0.07
7.10
0.39
8.76
0.36
6.40
0.22
4.84
0.09
5.05
2.50
17.50
10.02
0.13
7.35
0.09
8.57
0.26
6.13
0.41
2.37
0.23
4.73
0.30
5.05
2.50
13.00
7.07
0.23
6.29
0.10
6.94
0.12
5.64
0.44
2.60
0.13
4.79
0.14
5.05
2.50
21.67
10.53
0.24
8.56
0.16
6.76
0.19
8.44
0.41
2.46
0.15
4.78
0.36
5.05
2.50
21.67
6.12
0.11
6.63
0.30
5.06
0.11
7.91
0.16
6.29
0.11
4.32
0.27
5.05
2.50
22.50
8.67
0.19
5.50
0.11
5.80
0.14
7.00
0.35
6.07
0.13
4.27
0.26
5.05
2.50
20.00
8.43
0.18
7.10
0.13
6.84
0.15
7.03
0.35
7.41
0.23
4.58
0.36
5.05
2.50
20.00
5.24
0.43
6.38
0.25
5.87
301
301
Lampiran 1. Lanjutan QMSJD
PUSD
QMSAD
QMSUD
QXBIJ
PXBIJ
QXBIA
PXBIA
QXBIU
PXBIU
QXBTJ
PXBTJ
QXBTA
3.85
14.11
4.16
1.80
69.36
7.59
7.63
8.21
2.70
5.56
40.20
12.97
14.57
4.40
13.56
5.08
1.49
56.72
10.13
8.60
12.32
1.90
8.21
43.41
14.13
14.84
5.84
14.81
5.53
2.11
51.14
11.44
12.89
11.18
3.65
7.54
56.17
11.46
30.99
4.54
14.31
3.82
13.42
49.41
11.28
14.60
10.57
2.94
6.47
61.20
11.48
37.10
1.92
15.31
5.28
10.29
57.03
12.15
10.34
10.57
2.58
8.29
53.78
14.32
46.08
2.41
13.35
5.02
19.66
58.04
13.84
8.00
11.24
2.95
9.86
65.94
12.72
53.24
2.25
18.17
6.51
19.30
56.28
14.45
10.98
12.25
2.82
10.88
50.59
11.57
44.32
2.45
17.41
2.17
20.09
56.00
12.75
6.78
12.43
2.78
9.49
35.52
15.24
41.74
2.61
14.26
3.21
20.47
48.10
13.61
7.90
13.78
5.18
7.40
27.62
15.30
37.87
2.80
10.49
3.08
24.20
79.93
7.00
10.92
11.44
7.59
7.99
28.00
11.63
52.59
2.79
10.68
1.52
29.48
65.31
10.75
10.80
10.30
11.13
7.27
21.79
13.74
52.70
3.34
10.90
1.48
3.09
50.69
11.50
14.37
10.64
13.95
6.87
22.40
14.04
63.89
2.38
11.51
1.54
3.06
57.21
9.27
14.77
8.85
16.39
6.11
24.85
10.27
67.01
2.32
10.92
1.59
4.19
55.77
8.33
15.57
7.83
14.20
5.79
23.33
9.12
41.73
2.30
10.31
1.28
5.43
56.48
7.50
19.48
6.80
18.26
5.19
22.35
8.61
62.73
2.77
10.78
1.21
3.95
46.29
7.32
31.95
6.26
18.03
4.99
22.41
8.20
59.39
2.30
10.49
1.45
3.32
44.08
7.19
38.39
5.57
19.75
5.06
22.26
7.17
87.79
2.23
10.62
1.98
3.05
48.71
7.13
46.12
5.73
23.53
5.31
21.01
7.01
96.43
1.75
9.53
1.87
3.06
35.99
6.96
42.21
5.71
20.41
5.24
24.66
6.16
84.71
2.61
10.32
2.79
5.11
33.68
6.87
50.12
5.48
16.60
5.38
28.32
6.04
93.04
302
302
Lampiran 1. Lanjutan PXBTA
QXBTU
PXBTU
QMBJD
PMBJD
12.27
7.17
12.26
263.42
11.92
13.02
4.49
9.58
283.45
11.67
7.48
10.51
11.72
6.38
12.10
7.68
13.69
PUBD
QMBAD
PMBAD
QMBUD
QXOIJ
PXOIJ
QXOIA
PXOIA
13.34
54.08
8.67
115.95
0.05
3.10
0.09
8.72
11.56
12.55
77.15
10.64
129.35
0.14
7.00
0.09
9.75
284.49
11.66
12.26
226.88
9.82
157.41
0.44
13.96
0.09
8.70
11.32
272.76
11.15
11.53
252.99
10.12
170.65
0.68
16.24
0.08
9.06
10.35
300.49
11.60
11.85
252.23
11.52
196.08
1.26
17.10
0.54
9.17
7.60
12.63
302.98
12.70
12.87
263.13
11.45
251.11
1.67
19.06
0.60
6.29
13.83
9.50
11.67
292.91
13.59
13.80
245.18
10.81
212.35
2.48
19.78
0.48
6.44
12.53
7.94
10.80
288.76
11.88
12.05
230.34
11.13
230.35
2.67
16.93
0.54
6.29
13.21
6.82
11.04
267.25
11.86
11.81
259.51
10.69
225.31
3.93
16.47
1.08
5.88
10.01
8.08
11.38
238.91
11.41
11.29
271.92
10.53
258.50
4.44
7.53
1.07
5.86
10.16
4.95
9.89
247.31
10.31
10.24
279.91
9.92
268.00
5.30
11.10
1.08
4.21
11.32
4.26
10.01
246.63
11.20
11.20
281.81
11.08
286.36
5.56
10.54
1.14
4.04
8.89
4.81
8.27
245.05
9.04
9.10
324.19
9.12
327.09
6.58
9.02
1.21
4.70
8.28
6.16
7.06
248.87
8.29
8.43
331.29
7.85
341.54
7.36
7.50
1.73
4.32
6.72
5.87
6.95
233.20
7.83
7.98
398.34
7.23
406.90
9.30
7.03
1.64
5.90
5.69
5.71
7.42
241.44
7.58
7.73
395.75
6.80
399.81
9.23
6.65
4.74
6.60
5.01
2.58
5.58
232.43
7.36
7.52
395.92
6.50
430.27
8.26
6.32
6.68
6.78
5.34
6.07
5.54
229.95
7.26
7.40
418.33
6.38
487.03
8.22
5.87
7.92
6.48
5.26
11.64
5.56
207.24
6.98
7.11
415.43
6.21
491.38
7.52
5.69
9.15
6.21
5.38
18.94
5.43
129.78
6.06
6.09
428.19
5.87
491.38
6.88
5.84
7.92
6.28
303
303
Lampiran 1. Lanjutan QXOIU
PXOIU
QXOTJ
PXOTJ
QXOTA
PXOTA
QXOTU
PXOTU
QMOJD
0.32
4.17
1.29
12.73
6.68
7.58
6.15
5.48
3.18
0.34
4.56
2.60
11.69
10.29
11.35
5.61
5.81
0.25
3.65
3.69
11.46
14.22
10.84
6.95
6.90
0.38
3.59
4.27
11.37
18.27
11.30
6.67
0.40
4.71
4.94
11.91
19.01
12.50
0.36
4.42
7.02
12.47
22.84
0.36
4.09
12.60
13.63
24.62
0.88
6.89
15.52
12.33
0.86
6.89
16.47
0.84
5.10
1.69
5.36
2.64
PUOD
QMOAD
PMOAD
QMOUD
10.18
11.54
5.88
24.75
3.70
9.95
12.15
4.84
27.57
6.42
11.08
12.79
8.89
32.41
6.84
8.15
11.50
13.21
8.88
38.70
6.24
7.24
10.14
12.29
15.27
9.60
42.28
14.10
6.59
9.26
13.61
12.60
16.97
10.74
47.83
13.96
7.04
7.56
18.89
14.13
19.45
11.65
57.39
28.06
14.15
7.43
7.73
21.37
12.78
26.42
11.70
59.93
13.05
32.46
15.87
6.86
9.40
22.96
12.52
31.60
12.14
68.90
17.77
11.94
40.47
12.56
7.80
7.85
24.75
12.01
40.75
11.34
66.51
18.76
11.33
53.51
11.11
6.86
8.33
27.57
10.92
50.72
10.35
64.09
5.74
20.54
11.05
52.75
12.76
6.41
8.09
32.41
11.26
62.42
11.31
89.18
2.97
6.78
25.04
9.28
56.63
8.99
6.15
7.25
38.70
9.89
75.20
8.90
88.28
3.58
5.16
22.88
8.58
65.37
8.10
3.18
5.83
42.28
9.05
97.13
8.18
92.20
3.40
4.48
23.41
7.87
69.37
7.12
2.96
6.69
47.83
8.80
105.27
7.58
101.41
2.84
8.12
23.71
7.71
72.20
6.52
4.13
6.79
57.39
8.48
121.94
7.08
102.21
3.95
8.05
26.79
6.71
70.32
5.99
5.28
6.10
59.93
8.03
135.80
6.57
109.33
4.46
7.28
29.41
6.23
97.59
6.23
9.49
6.57
68.90
7.82
173.42
6.72
111.57
4.96
6.93
29.41
5.85
88.90
5.90
14.07
6.69
66.51
7.76
142.65
6.75
122.58
5.78
7.48
34.48
6.41
87.64
6.11
14.71
6.58
64.09
8.28
144.19
6.81
125.15
304
304
Lampiran 1. Lanjutan QXSIL
QXSTL
QXBIL
QXBTL
PXBTD
QXOIL
17.26
6.57
8.78
3.41
QXOTL
PXOTD
QXSLL
QTXSD
QMSLL
QTMSD
QXBLL
9.02
4.76
15.47
28.71
27.14
40.38
214.55
3.89
7.25
1.81
6.28
5.62
17.25
9.77
3.23
10.60
6.44
11.16
21.18
26.71
36.74
244.57
3.07
6.81
17.97
21.07
8.87
3.17
10.72
7.03
18.71
31.09
18.27
30.64
369.68
4.24
7.62
14.59
27.55
9.12
2.50
10.11
7.84
49.54
62.57
44.64
57.67
480.20
3.95
8.44
18.28
34.18
10.35
2.08
12.46
8.69
40.18
55.88
48.37
64.08
520.25
4.93
10.11
13.84
51.76
10.73
0.38
14.23
10.44
46.89
64.01
52.70
69.82
617.57
4.05
11.22
7.58
61.25
11.91
2.20
14.50
10.95
48.55
66.00
58.24
75.69
605.71
3.76
10.32
17.39
66.80
10.98
3.95
16.23
10.98
56.17
72.43
74.52
90.78
717.19
1.90
9.93
12.25
55.76
11.61
2.78
17.71
12.34
66.62
80.32
74.68
88.38
728.93
2.01
15.99
64.37
58.59
9.44
1.08
18.60
10.59
74.99
94.53
68.01
87.56
761.50
4.08
11.44
13.60
47.79
9.71
1.78
22.26
10.12
64.52
81.38
90.53
107.39
830.42
4.32
8.70
32.35
43.62
10.84
3.82
23.33
11.41
69.03
83.26
88.61
102.84
882.81
4.63
10.08
29.73
38.28
8.88
5.70
22.23
8.91
85.95
101.90
90.03
105.97
950.04
4.71
6.36
16.57
21.68
8.33
1.40
20.66
8.20
95.87
107.81
109.38
121.33
1 058.60
3.56
5.33
30.31
22.43
7.42
4.52
18.96
7.53
111.24
121.70
133.83
144.28
1 190.04
3.24
5.75
19.85
29.30
6.69
2.95
17.75
7.30
117.36
127.71
131.86
142.22
1 195.97
2.25
10.53
25.05
37.99
6.00
1.76
18.71
6.89
129.94
144.36
124.89
139.32
1 260.18
2.42
16.16
33.16
40.22
6.44
2.78
29.28
6.88
128.24
148.01
112.72
132.49
1 305.82
2.96
27.92
6.35
48.65
6.39
2.15
25.84
7.11
111.90
144.13
120.94
153.18
1 313.95
7.03
7.11
16.79
49.90
6.61
10.55
24.45
7.69
80.58
96.89
68.21
84.52
907.04
305
305
Lampiran 1. Lanjutan QTXBD
QTMBD
QXOLL
QTXOD
QMOLL
QTMOD
0.03
380.01
433.49
409.87
587.94
29.01
52.46
31.83
55.28
6 740.44
42.35
0.00
0.00
0.00
1.00
71.12
570.59
727.18
29.40
59.04
28.61
58.26
6 614.47
39.36
0.00
0.00
0.00
2.00
72.45
696.91
765.89
39.66
75.83
43.20
79.38
6 333.86
37.20
0.00
0.00
0.00
3.00
72.33
747.21
871.58
49.95
90.16
61.17
101.38
6 096.98
36.09
0.00
0.00
0.00
4.00
74.73
879.90
1 023.33
87.58
132.13
92.29
136.85
5 688.86
34.94
0.00
0.00
0.00
5.00
76.73
847.93
985.19
114.95
168.64
111.75
165.43
5 465.84
32.67
0.00
0.00
0.00
6.00
79.82
948.77
1 026.68
109.82
169.46
112.23
171.87
5 239.50
31.00
0.00
0.00
0.00
7.00
81.81
934.65
1 022.12
118.14
189.23
125.74
196.84
5 010.51
29.78
1.00
0.00
0.00
8.00
84.84
1 032.77
1 090.04
124.83
203.51
125.58
204.25
9 204.28
52.02
1.00
0.00
0.00
9.00
88.66
1 041.69
1 096.94
122.62
214.71
122.81
214.90
10 028.74
37.38
1.00
1.00
0.00
10.00
92.36
1 114.54
1 211.19
129.47
240.71
122.12
233.36
7 348.82
38.06
1.00
1.00
0.00
11.00
96.47
1 193.74
1 325.63
158.72
266.49
145.67
253.43
9 595.00
43.27
1.00
1.00
0.00
12.00
100.00
1 256.44
1 352.38
166.39
285.00
163.11
281.71
9 327.35
43.51
1.00
1.00
1.00
13.00
100.75
1 419.28
1 471.82
191.44
317.59
190.30
316.46
7 166.33
42.19
1.00
1.00
1.00
14.00
102.36
1 426.83
1 538.95
229.74
363.30
219.35
352.91
6 366.10
38.03
1.00
1.00
1.00
15.00
104.93
1 532.12
1 547.38
294.67
424.81
254.95
385.09
6 576.06
36.51
1.00
1.00
1.00
16.00
108.75
1 604.94
1 620.89
344.64
486.40
280.43
422.19
6 300.07
36.68
1.00
1.00
1.00
17.00
111.94
1 596.32
1 680.63
439.33
628.48
289.35
478.51
5 110.77
30.80
1.00
1.00
1.00
18.00
115.05
1 212.65
1 389.36
414.82
596.83
287.81
469.83
5 015.44
28.18
1.00
1.00
1.00
19.00
117.39
3 26.27
518.67
277.21
469.60
5 287.30
27.67
1.00
1.00
1.00
20.00
118.70
97.99 58.40 69.49 122.79 206.12 234.74 277.22 270.06 320.72 301.71 396.40 429.30 430.68 433.39 501.95 488.75 485.59 566.58 340.01
EXCI
EXCT
D HACCP
QMBLL
D LAW
D MRL
TREND
GDPA
306
306
Lampiran 1. Lanjutan GDPJ
GDPU
POPA
POPJ
POPU
CPII
CPIT
26.66
60.66
28.74
64.26
31.45
67.95
33.82
70.71
37.09
73.09
40.25
76.81
44.05
81.27
47.56
86.01 90.83
86.95
86.95
253.40
123.08
70.00
91.53
91.53
256.10
123.54
70.35
94.58
94.58
258.85
123.97
70.70
95.48
95.48
261.65
124.37
71.06
95.67
95.67
264.49
124.75
71.41
93.37
93.37
267.36
125.12
71.77
95.18
95.18
270.25
125.47
72.13
97.86
97.86
273.14
125.82
72.49
99.40
99.40
276.04
126.15
72.85
50.52
97.26
93.88
278.96
126.47
73.21
80.02
97.24
96.17
281.90
126.77
73.58
96.41
100.00
100.00
284.86
127.03
73.95
100.16
103.86
287.84
127.27
100.43
104.80
290.83
101.90
105.62
293.84
104.66
107.57
106.68
CPI J
CPIA
CPI E
CPIW
DGDPA
DGDPJ
89.35
71.99
114.61
28.04
78.56
93.66
92.09
75.88
128.40
31.16
81.59
95.60
95.09
79.09
124.24
36.87
84.44
98.43
96.72
81.48
130.03
43.22
86.39
100.05
97.95
83.89
122.85
51.11
88.38
100.63
98.63
86.08
123.13
64.67
90.26
103.60
98.51
88.49
129.31
74.56
92.11
103.10
98.64
91.09
128.01
81.02
93.85
102.44
100.38
93.22
115.59
85.99
95.41
103.06
98.16
101.05
94.66
117.27
90.95
96.47
103.19
98.46
100.72
96.73
112.93
95.84
97.87
101.74
100.00
100.00
100.00
100.00
100.00
100.00
100.00
100.00
74.32
111.50
101.64
99.24
102.83
101.30
104.06
102.40
98.79
127.48
74.69
124.75
102.27
98.35
104.46
105.79
107.55
104.19
97.26
127.66
75.06
132.97
104.11
98.11
106.83
119.12
111.48
106.40
95.66
296.84
127.80
75.44
141.27
106.99
98.10
109.69
123.17
115.94
109.46
94.66
109.37
299.85
127.90
75.81
156.03
111.85
97.83
113.41
121.48
119.88
113.03
93.51
108.87
112.51
302.84
127.95
76.19
176.49
117.04
98.07
117.07
121.16
123.96
116.68
92.65
111.43
115.83
305.83
127.97
76.58
187.80
119.65
98.13
120.41
125.18
128.17
119.82
92.03
110.70
118.52
305.84
127.98
76.96
207.10
126.15
99.48
125.03
129.90
132.53
122.42
91.12
307
307
Lampiran 1. Lanjutan DGDPU
VANAME
PBBM
VXSDJ
VXBDJ
VXODJ
75.80
0.00
1416.73
20.45
1322.06
12.80
77.80
0.00
1314.20
18.48
1477.52
23.85
87.17
0.00
1200.95
15.69
1628.62
35.35
91.49
0.00
1367.53
35.25
1861.53
43.91
94.91
0.00
1579.40
40.87
2239.87
97.17
0.00
1455.40
94.47
98.99
0.00
1329.85
94.58
99.48
0.00
1231.71
99.77
0.00
100.33 100.68
VXSDA 8.83
VXBDA
VXODA
VXSDU
VXBDU
337.57
47.79
10.25
591.80
9.07
623.14
105.72
10.17
718.98
17.11
1184.50
144.21
13.18
935.75
16.48
1524.79
183.36
53.41
1017.74
56.23
21.58
1623.48
225.04
41.88
1072.86
2588.31
83.90
17.68
2037.15
309.23
104.02
1808.78
2564.22
160.00
21.71
2049.27
325.64
119.20
2036.34
35.30
2402.95
183.15
45.06
1874.65
398.96
127.94
2037.18
1159.54
42.66
2200.39
181.90
30.32
2345.75
523.57
116.51
1850.34
0.00
1059.49
35.73
1879.85
214.25
24.66
2416.73
538.76
144.70
2246.84
0.00
879.37
30.74
1748.72
227.79
18.96
2040.26
627.96
199.08
2195.38
100.00
1.00
867.10
28.77
2265.71
267.86
18.12
2549.88
805.09
15.02
1890.99
101.20
1.00
1055.34
26.87
1905.24
280.22
15.45
2422.48
703.06
18.12
1871.82
102.64
1.00
1112.14
26.17
1785.68
275.38
13.49
2162.52
865.08
22.87
1705.36
103.85
1.00
1957.06
26.22
1679.91
301.31
14.70
2486.59
836.57
31.79
2307.75
104.85
1.00
1800.45
39.80
1631.41
334.75
15.14
2372.29
729.48
24.01
2278.07
105.56
1.00
2608.22
56.12
1642.14
388.84
40.64
2573.66
781.48
20.14
2459.80
106.11
1.00
3755.74
50.54
1655.15
480.02
41.36
2716.82
1231.85
24.03
2953.57
108.08
1.00
3529.55
46.29
1376.88
516.19
79.26
2657.40
1028.89
21.59
2941.82
109.74
1.00
3699.95
26.79
982.82
489.95
37.78
2074.95
1128.94
51.96
3086.43
308
308
Lampiran 1. Lanjutan VXODU
VXTIJ
VXTTJ
165.10
9302.71
3416.48
200.20
10923.43
597.98
10766.81
632.53
VXTDJ
VXTIA
VXTTA
VXTDA
VXTIU
VXTTU
VXTTU
VXTDU
70751.11
3473.32
4353.02
275900.90
1768.61
6624.26
6624.26
366677.88
3961.89
78807.37
3364.58
5238.14
309306.53
2196.74
6578.61
6578.61
427970.65
5127.32
126944.31
3508.50
6065.39
322255.90
3656.36
6669.68
6669.68
615155.15
10760.50
5685.19
143538.12
4419.09
7301.86
390313.01
4613.21
6624.50
6624.50
591809.83
542.05
11171.97
6295.26
155862.69
5229.77
8002.00
465346.41
5149.34
6441.64
6441.64
639101.34
619.37
10929.01
7722.11
195303.63
5828.54
9516.58
581410.17
5728.66
6942.91
6942.91
615355.44
736.18
12288.27
9467.28
239983.59
6321.70
10068.10
659522.56
6429.31
8572.94
8572.94
615422.20
765.29
12885.22
9372.42
253916.37
6794.64
10027.08
713858.74
7270.23
8432.98
8432.98
623292.99
666.40
12484.95
8727.56
253968.36
7154.46
11439.25
798514.55
7514.38
8896.22
8896.22
618023.54
684.81
9116.02
7474.14
213368.59
7045.72
12150.82
839730.96
7197.37
9262.48
9262.48
618912.91
747.12
10397.18
8250.83
244050.91
7767.22
12659.63
938911.62
7356.65
10115.09
10115.09
620076.48
535.96
14415.16
10104.91
310042.30
8488.71
14724.81
1112598.42
10623.16
12461.60
12461.60
781049.75
472.77
13010.15
9898.26
285023.52
7761.30
13169.94
1030389.29
10396.43
11806.39
11806.39
791646.44
487.90
12045.12
9946.78
280879.98
7570.47
13506.54
1060022.33
10239.46
11161.44
11161.44
842916.41
566.40
13603.49
11399.10
322765.54
7386.38
13671.64
1146969.93
11917.86
13449.78
13449.78
983918.52
626.24
15962.11
13457.06
363070.08
8787.07
15502.66
1300320.86
12975.96
16149.52
16149.52
1187479.50
659.95
18049.14
15029.43
448472.74
9889.20
17024.77
1483630.47
13490.52
16306.07
16306.07
1310102.19
685.20
21732.12
16542.49
506136.00
11259.14
19646.95
1680868.35
15403.54
18512.92
18512.92
1459460.00
837.13
23632.79
18133.19
554400.43
11644.20
19372.06
1731992.12
17570.99
22800.64
22800.64
1704075.80
959.48
27743.86
19878.82
471090.74
13079.93
20097.78
1707957.70
19862.32
25258.05
25258.05
1928554.21
309
309
Lampiran 1. Lanjutan VXTID
VXTTD
VTPD 1 198 900.84
22 028.11
20 014.77
25 675.32
23 003.98
29 142.36
28 329.32
33 966.98
32 468.80
36 822.75
37 097.63
40 053.42
45 152.47
45 417.96
56 344.52
49 814.70
55 678.13
53 443.58
58 085.75
5 089 292.93
48 847.52
53 583.49
48 665.42
58 423.03
62 123.97
PCOLD
PES
QMUSID
ATPU
PUBDOM
4.20
102.03
0.06
468.00
4.80
108.21
0.06
285.00
99 586.57
4.80
112.56
0.10
390.00
101 379.70
5.40
91.96
0.85
439.00
103 922.69
5.80
95.44
0.22
359.00
69 027.20
6.20
89.94
0.09
894.00
103 533.23
6.60
93.76
0.39
1 449.00
102 008.76
6.80
82.00
0.53
1 387.00
101 340.61
7.10
79.77
1.45
296.00
269 505.38
5 065 836.57
8.90
52.11
1.09
541.00
156 823.26
5 253 446.56
10.00
50.20
1.98
742.00
55 902.14
68 818.99
5 967 031.16
10.10
48.40
2.21
743.00
59 758.87
56 316.83
64 919.23
5 738 084.56
7.26
65.11
1.64
772.00
54 931.42
57 158.75
68 107.87
6 029 032.04
7.26
58.20
2.22
769.00
46 734.18
61 058.19
80 323.27
7 071 334.53
9.24
76.11
2.38
10 002.00
89 123.16
71 582.47
96 247.90
8 549 517.68
11.00
77.87
2.08
7 683.00
57 648.88
85 659.95
110 110.03
9 664 231.43
11.00
84.60
0.52
9 597.00
51 268.24
100 798.62
130 580.05
11 25 7 504.25
13.20
74.79
0.39
11 992.00
40 631.56
114 100.87
153 571.13
12 878 976.48
13.20
70.29
2.46
10 057.00
37 914.10
137 020.42
175 907.92
13 083 170.88
14.30
56.30
1.94
19 568.00
35 877.54
1 375 831.05 1 893 689.71 2 431 617.87 2 693 772.11 3 600 872.07 4 496 547.04 4 796 036.06
95 117.95
310
Output TAHUN
Udang Windu Kuantitas (ribu kg)
Udang Putih Harga
Kuantitas (ribu kg)
Ikan Bandeng Harga
Kuantitas (ribu kg)
Harga
1989
63.676
13 478
33.552
6 290
119.339
1 105
1990
67.355
14 258
38.551
6 654
132.432
1 260
1991
96.811
15 139
39.585
7 171
141.024
1 685
1992
98.358
15 465
49.228
7 836
147.032
1 729
1993
87.285
15 825
51.273
8 018
164.448
1 664
1994
83.193
16 500
49.213
8 360
153.093
1 927
1995
89.344
17 079
55.872
8 540
151.256
3 060
1996
96.237
17 634
54.849
8 817
162.127
3 311
1997
96.317
34 410
70.800
16 740
142.709
4 083
1998
74.824
60 188
43.023
29 693
158.666
5 458
1999
92.726
53 138
48.127
26 215
209.758
9 067
2000
93.759
71 963
49.418
35 502
222.228
10 567
2001
103.603
72 800
44.955
36 400
209.525
10 500
2002
112.840
59 093
46.342
11 175
222.317
4 337
2003
133.836
45 626
58.130
10 751
227.930
6 826
2004
131.399
48 401
106.942
36 788
241.418
6 231
2005
134.682
47 282
145.593
22 118
254.018
8 000
2006
147.867
43 386
177.836
20 295
212.883
8 065
2007
133.113
47 943
224.084
28 257
263.139
5 000
2008
134.93 0
42 248
274.660
35 000
277.373
6 000
310
Lampiran 2. Data Dasar yang Digunakan untuk menghitung Pertumbuhan Produktivitas, Tahun 1989-2008
311
311
Lampiran 2. Lanjutan Input Benur Kuantitas (ribu ekor)
Pupuk Harga
Kuantitas
SDM Harga
Kuantitas
Pakan Upah
Kuantitas
Obat-obatan Harga
Kuantitas
Energi
Harga
Kuantitas
Harga
1 400 096
11
10 603 978
173
30 163 200
3 807
99 275 400
1 380
889 010
2 795
57 246 494
378
3 030 964
12
13 027 645
238
31 027 200
4 013
108 316 530
1 450
418 708
3 141
82 929 646
378
4 661 832
12
12 351 129
251
30 125 400
4 294
138 594 690
1 522
298 913
3 312
125 494 394
378
5 729 308
14
15 823 714
282
35 217 400
5 034
144 060 660
1 646
476 978
3 402
171 767 269
463
6 796 784
14
13 088 611
316
36 856 000
5 560
141 786 990
1 757
476 566
3 788
148 020 922
586
4 670 014
14
11 089 529
348
37 154 800
6 136
135 511 110
2 199
139 880
4 071
156 746 836
586
6 700 177
27
6 296 255
457
41 092 400
7 128
148 792 320
2 599
263 568
4 463
302 245 720
586
7 366 614
11
7 221 228
492
42 439 200
8 301
154 511 550
2 863
387 255
4 641
298 295 159
586
22 880 554
13
9 288 328
586
44 672 000
9 799
171 817 830
3 360
443 381
5 094
434 119 388
586
30 637 523
11
11 355 427
749
44 775 600
11 065
120 540 600
5 587
436 998
8 738
301 590 293
848
38 394 493
11
7 408 613
1 493
48 726 000
12 503
143 775 900
5 814
475 344
11 395
177 867 712
848
30 074 190
16
7 296 025
1 927
52 873 000
14 253
146 192 850
6 315
639 790
12 879
379 528 988
867
36 790 981
16
9 491 242
2 084
61 856 200
16 679
151 118 370
6 611
950 917
13 830
306 628 006
1 177
21 753 886
16
6 227 730
2 111
64 876 000
17 476
161 760 960
7 262
749 539
20 353
107 420 173
1 387
39 630 904
16
10 040 675
2 121
70 575 000
19 986
195 278 040
7 720
560 355
21 698
101 415 298
2 602
57 507 921
16
10 040 675
2 154
75 367 000
21 489
245 582 370
7 871
371 171
23 679
175 357 430
2 544
39 187 957
17
15 009 990
2 613
88 109 000
23 270
289 603 620
8 470
855 307
23 722
284 619 126
4 070
30 027 974
17
14 943 833
2 815
89 128 600
24 977
338 451 210
9 998
1 237 743
23 764
243 471 747
6 629
20 867 992
18
28 884 241
2 815
96 432 200
26 226
362 257 326
10 497
370 023
24 952
199 411 565
6 629
42 033 413
20
19 696 611
2 815
93 820 000
27 537
408 352 417
10 602
787 117
26 199
230 722 811
7 663
312
Lampiran 3. Program Estimasi Parameter Model Daya Saing Udang Indonesia Menggunakan Metode 2SLS, Prosedur Syslin, dan Program SAS/ETS 9.1 OPTION NODATE NONUMBER; DATA ESTIMASI; SET SASUSER.TERBUKA_3; /*CREATING PrUSI = LPrUSI = QXSID = QXBID = QXOID = QDUSB = QDUSL = DUSDOM = PrUBI = QDUBL = QDUBO = DUBDOM = PrUOI = LQTNKP = LAREA = SAREA = LTRFOJ = LTRFOA = LQTAMB = LQBENR = LDUSDOM = LPUSDOM = LPUBDOM = SPUBDOM = LDUSDOM = LQXSIJ = LQXSIU = LQXSTA = LQXSTU = LPXSIJ = LPXSIA = LPXSIU = LPXSTJ = LPXSTA = LPXSTU = LQMSJD = LQMSAD = LQMSUD = LPUSD = LQXBIJ = LQXBIA = LQXBIU = LQXBTJ = LQXBTA = LQXBTU = LPXBIJ = LPXBIA = LPXBIU = LPXBTJ =
VARIABEL*/ QTAMB+ QTNKP; LAG(PrUSI); QXSIJ + QXSIA + QXSIU + QXSIL; QXBIJ + QXBIA + QXBIU + QXBIL; QXOIJ + QXOIA + QXOIU + QXOIL; (1.05*QXBID*10/6)+(1.05*QXOID*10/3); PrUSI-QXSID-QDUSB; QDUSL+QDUSB; 0.6*(PrUSI + QMUSID - QDUSL - QXSID); 0.05*QXBID; PrUBI-QXBID-QDUBL; QDUBO + QDUBL; 0.5*(PrUBI + QMUBID - QDUBL- QXBID); LAG(QTNKP); LAG(AREA); AREA-LAREA; LAG(TRFOJ); LAG(TRFOA); Lag(QTAMB); Lag(QBENR); LAG(DUSDOM); Lag(PUSDOM); Lag(PUBDOM); PUBDOM-LPUBDOM; Lag(DUSDOM); Lag(QXSIJ); Lag(QXSIU); Lag(QXSTA); Lag(QXSTU); Lag(PXSIJ); Lag(PXSIA); Lag(PXSIU); Lag(PXSTJ); Lag(PXSTA); Lag(PXSTU); Lag(QMSJD); Lag(QMSAD); Lag(QMSUD); Lag(PUSD ); Lag(QXBIJ); Lag(QXBIA); Lag(QXBIU); Lag(QXBTJ); Lag(QXBTA); Lag(QXBTU); Lag(PXBIJ); Lag(PXBIA); Lag(PXBIU); Lag(PXBTJ);
313
LPXBTA = LPXBTU = LQMBAD = LQMBUD = LPUBD = LQXOIJ = LQXOIA = LQXOIU = LQXOTJ = LQXOTA = LQXOTU = LPXOIJ = LPXOIA = LPXOIU = LPXOTJ = LPXOTA = LPXOTU = LQMOJD = LQMOAD = LQMOUD = LPUOD = LPrUBI = SPrUBI = LPrUOI = SPrUOI = LQPKAN = GDPKPU = LEXCI = SEXCI = LEXCT = SEXCT = LINTRE = SINTRE = LBBM = SPUSDOM = SPUBD = SPUOD = PPXSTU = SPXSIU = SPXOIJ = SPXOIU = SPXOTJ = SPXOTA = SPXOTU = RPXSTIU = SPXBIJ = SPXBIA = SPXBTA = SPXSTJ = RQPKNBNR= RPUSPKN = RPUSBD = RPUBOD = LPBENR = PPBENR = LQXOID = LQPAKN = LTFPIN = PAREA =
Lag(PXBTA); Lag(PXBTU); Lag(QMBAD); Lag(QMBUD); Lag(PUBD ); Lag(QXOIJ); Lag(QXOIA); Lag(QXOIU); Lag(QXOTJ); Lag(QXOTA); Lag(QXOTU); Lag(PXOIJ); Lag(PXOIA); Lag(PXOIU); Lag(PXOTJ); Lag(PXOTA); Lag(PXOTU); Lag(QMOJD); Lag(QMOAD); Lag(QMOUD); Lag(PUOD ); LAG(PrUBI); PrUBI-LPrUBI; LAG(PrUOI); PrUOI-LPrUOI; LAG(QPAKN); GDPU/POPU; LAG(EXCI); EXCI-LEXCI; LAG(EXCT); EXCT-LEXCT; LAG(INTRE); INTRE-LINTRE; LAG(BBM); PUSDOM-LPUSDOM; PUBD-LPUBD; PUOD-LPUOD; PXSTU-LPXSTU/LPXSTU; PXSIU-LPXSIU; PXOIJ-LPXOIJ; PXOIU-LPXOIU; PXOTJ-LPXOTJ; PXOTA-LPXOTA; PXOTU-LPXOTU; (PXSTU/PXSIU); PXBIJ-LPXBIJ; PXBIA-LPXBIA; PXBTA-LPXBTA; PXSTJ-LPXSTJ; (QPAKN/QBENR); PUSDOM/PPAKN; PUSD/PUBD; PUBD/PUOD; LAG(PBENR); (PBENR-LAG(PBENR))/PBENR; LAG(QXOID); LAG(QPAKN); LAG(TFPIN); (AREA-LAREA)/LAREA;
314
SQBENR = SBBM = SPBENR = PPBENR = RPUBSDOM=
QBENR-LQBENR; BBM-LBBM; PBENR-LPBENR; (PBENR-LPBENR)/LPBENR; (PUBDOM/PUSDOM);
/*UNTUK PERSAMAAN IDENTITAS*/ QXSID = QXSIJ + QXSIA + QXSIU + TXUSD = QXSID + QXSTJ + QXSTA + TMUSD = QMSJD + QMSAD + QMSUD + QXBID = QXBIJ + QXBIA + QXBIU + TXUBD = QXBID + QXBTJ + QXBTA + TMUBD = QMBAD + QMBUD + QMBJD + QXOID = QXOIJ + QXOIA + QXOIU + TXUOD = QXOID + QXOTJ + QXOTA + TMUOD = QMOAD + QMOUD + QMOJD + LTXUOD = LAG(TXUOD); LTMUOD = LAG(TMUOD); STXUOD = TXUOD-LTXUOD; PTXUOD = (TXUOD-LTXUOD)/LTXUOD; STMUOD = TMUOD-LTMUOD; PTMUOD = (TMUOD-LTMUOD)/LTMUOD; RTXMUOD= TXUOD/TMUOD; RTMXUOD= TMUOD/TXUOD; STXMUOD= TXUOD-TMUOD; STMXUOD= TMUOD-TXUOD; RPUOBD = PUOD/PUBD; LQXSID = LAG(QXSID); RPUBSD = PUBD/PUSD; LTXUBD = LAG(TXUBD); LTMUBD = LAG(TMUBD); LTFPIN =LAG(TFPIN);
QXSIL; QXSTU + QXSTL + QXSLL; QMSLL; QXBIL; QXBTU + QXBTL + QXBLL; QMBLL; QXOIL; QXOTU + QXOTL + QXOLL; QMOLL;
RUN; PROC SYSLIN 2SLS DATA=ESTIMASI OUTEST=HASIL_1 SIMPLE; ENDOGENOUS ENDOGENOUS QPAKN DUSDOM PXSIJ QMSAD QXBIA PXBIA QMBUD QXOIA PXOIA QMOUD ;
QBENR QXSIJ PXSIA QMSUD QXBIU PXBIU TXUBD QXOIU PXOIU TXUOD
TFPIN QXSIA PXSIU QDUSB QXBID PXBTJ TMUBD QXOID PXOTJ TMUOD
QTAMB QXSIU PXSTJ PrUBI QXBTJ PXBTA PUBD QXOTJ PXOTA PUOD
QTNKP QXSTJ PXSTA PUBDOM QXBTA PXBTU QDUBO QXOTA PXOTU
PrUSI QXSTA PXSTU DUBDOM QXBTU QMBJD PrUOI QXOTU QMOJD
PUSDOM QXSTU QMSJD QXBIJ PXBIJ QMBAD QXOIJ PXOIJ QMOAD
315
INSTRUMENTS IRIG INTRE GDPU VANAME LTRFOJ SPUBDOM
EDUC BBM D_LAW DPENY GDPKPU SPXOIU
RPUSPKN PBENR POPJ POPA D_HACCP D_MRL DUSDOM LDUSDOM LBBM RPUSBD SPXOTA SPXOTU
PPAKN POPU EXCI TRFOU RPXSTIU GDPKPU
PPBENR GDPJ EXCT LTRFOA SPXSIU ;
RQPKNBNR GDPA PRODTK RPUBOD
/*PERSAMAAN STRUKTURAL*/ /*ON FARM*/ Model Model Model Model
QPAKN QBENR TFPIN QTAMB
= = = =
Model QTNKP
=
/*UDANG SEGAR*/ Model PUSDOM = Model QXSIJ = Model QXSIA = Model QXSIU = Model QXSTJ = Model QXSTA = Model QXSTU = Model PXSIJ = Model PXSIA = Model PXSIU = Model PXSTJ = Model PXSTA = Model PXSTU = Model QMSJD = Model QMSAD = Model QMSUD = /*UDANG BEKU*/ Model QDUSB = Model PUBDOM = Model QXBIJ = Model Model Model Model Model Model Model Model Model Model Model Model Model Model Model
QXBIA QXBIU QXBTJ QXBTA QXBTU PXBIJ PXBIA PXBIU PXBTJ PXBTA PXBTU QMBJD QMBAD QMBUD PUBD
= = = = = = = =
= = = = = = =
PPAKN PBENR EDUC PUSDOM INTRE PUSDOM
SPUSDOM TREND PPAKN PUSDOM IRIG SBBM QPAKN DPENY TFPIN ATPU LBBM
LDUSDOM PXSIJ LPXSIA SPXSIU LPXSTJ PXSTA RPXSTIU RPUSBD PUSD LPUSD RPUSBD RPUSBD RPUSBD RPUBSD LPUSD RPUSBD
QXSIA SPXSTJ PXSTA D_MRL PXBTJ SPXBTA D_MRL EXCI EXCI LEXCI SEXCT SEXCT SEXCT GDPJ PUBD LQMSUD
TREND D_LAW D_HACCP TREND D_LAW D_HACCP TREND DUSDOM DUSDOM LDUSDOM TREND TREND TREND TREND TREND
SPUSDOM PUBD SPXBIJ LQXBIJ SPXBIA SPUBD SPUBD PXBTA PXBTU PUBD PUBD PUBD PUBD PUBD PUBD LPUBD RPUBOD LPUBD LTXUBD
PUBDOM DUBDOM SPXOIJ
TREND TREND SPrUBI
PXBTA PUOD LPUOD TREND PXBTJ SEXCI EXCI TREND EXCT EXCT EXCT LPUOD POPA PUOD TMUBD
PrUBI SPrUBI D_LAW D_HACCP SEXCT TREND TREND LPXBIU TREND TREND TREND GDPJ TREND POPU LPUBD
SPUOD PrUOI PXOTJ LPrUOI SPXOTU
LINTRE PUOD PrUOI D_HACCP PrUOI
/*UDANG OLAHAN*/ Model PrUOI = LPUBDOM Model QDUBO = SPUBDOM Model QXOIJ = PXOIJ Model QXOIA = PXOIA Model QXOIU = LPXOIU
TREND
LQBENR
SQBENR
LPUSDOM PrUSI LPrUSI PrUSI TREND TREND LQXSTU TREND TREND LPXSIU
/DW; /DW; /DW; /DW; /DW;
/DW; LQXSIJ /DW; /DW; /DW; /DW; /DW; /DW; LPXSIJ /DW; /DW; /DW; /DW; /DW; /DW; /DW; /DW; /DW;
TREND TREND
LQMSJD
LPUBDOM D_Law
TREND
D_HACCP D_MRL LQXBIU TREND LQXBTJ LQXBTA D_MRL TREND LPXBIA LPXBTA LPXBTU POPJ LQMBAD TREND
TREND
LQXOID D_Law LQXOIA D_MRL
LQXOIU
/DW; /DW; /DW; /DW; /DW; /DW; /DW; /DW; /DW; /DW; DW; /DW; /DW; /DW; /DW; /DW; /DW; /DW; /DW; /DW; /DW; /DW; /DW;
316
Model QXOTJ Model QXOTA Model QXOTU Model PXOIJ Model PXOIA Model PXOIU Model PXOTJ Model PXOTA Model PXOTU Model QMOJD Model QMOAD Model QMOUD Model PUOD *Model PrUBI
= = = = = = = = = = = = = =
SPXOTJ SPXOTA SPXOTU PUOD SPUOD LPUOD RPUOBD RPUOBD RPUOBD PUOD SPUOD SPUOD STXUOD RPUBSDOM /dw;
PXOIJ D_HACCP SPXOIU PUBD PUBD PUBD EXCT EXCT EXCT GDPJ GDPA GDPKPU TMUOD INTRE
D_Law
/DW; /DW; D_MRL TREND LQXOTU /DW; TREND LPXOIJ /DW; SEXCI TREND LPXOIA /DW; SEXCI TREND LPXOIU /DW; TREND LPXOTJ /DW; TREND /DW; TREND /DW; POPJ LTRFOJ TREND LQMOJD /DW; POPA LTRFOA LQMOAD /DW; TRFOU /DW; TREND LPUOD /DW; LPRUBI
/* PERSAMAAN IDENTITAS */ IDENTITY PrUSI = QTAMB+QTNKP; IDENTITY PrUBI = 0.6*PrUSI+0.6*QMUSID-0.6*QDUSL-0.6*QXSID; IDENTITY DUSDOM = QDUSL+QDUSB; IDENTITY DUBDOM = QDUBO+QDUBL; IDENTITY QXBID = QXBIJ+QXBIA+QXBIU+QXBIL; IDENTITY TXUBD = QXBID+QXBTJ+QXBTA+QXBTU+QXBTL+QXBLL; IDENTITY TMUBD = QMBAD+QMBUD+QMBJD+QMBLL; IDENTITY QXOID = QXOIJ+QXOIA+QXOIU+QXOIL; IDENTITY TXUOD = QXOID+QXOTJ+QXOTA+QXOTU+QXOTL+QXOLL; IDENTITY TMUOD = QMOAD+QMOUD+QMOJD+QMOLL; PROC PRINT DATA=ESTIMASI; RUN;
317
Lampiran 4. Hasil Estimasi Parameter Model Daya Saing Udang Indonesia Menggunakan Metode 2SLS, Prosedur Syslin, dan Program SAS/ETS 9.1 untuk Persamaan Permintaan Pakan The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
QPAKN QPAKN QPAKN
Analysis of Variance Source
DF
Model Error Corrected Total
3 15 18
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Sum of Squares 126362.0 16772.44 143134.4
Mean Square F Value 42120.66 1118.163
33.43894 195.06870 17.14213
37.67
R-Square Adj R-Sq
Pr > F <.0001
0.88282 0.85938
Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
Intercept PPAKN SPUSDOM TREND
1 1 1 1
454.8623 -75.7553 2.782065 15.76608
82.85901 15.15767 1.007731 1.510158
5.49 -5.00 2.76 10.44
<.0001 0.0002 0.0146 <.0001
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
0.739925 19 0.586833
Variable Label Intercept PPAKN TREND
318
Lampiran 5. Program Validasi Model Daya Saing Udang Indonesia Menggunakan Metode Newton, Prosedur SIMNLIN, dan Program SAS/ETS 9.1
OPTION NODATE NONUMBER; DATA VALIDASI; SET SASUSER.TERBUKA_3; /*CREATING PrUSI = LPrUSI = QXSID = QXBID = QXOID = QDUSB = QDUSL = DUSDOM = PrUBI = QDUBL = QDUBO = DUBDOM = PrUOI = LQTNKP = LAREA = SAREA = LTRFOJ = LTRFOA = LQTAMB = LQBENR = LPBENR = LDUSDOM = LPUSDOM = LPUBDOM = SPUBDOM = LDUSDOM = LQXSIJ = LQXSIU = LQXSTA = LQXSTU = LPXSIJ = LPXSIA = LPXSIU = LPXSTJ = LPXSTA = LPXSTU = LQMSJD = LQMSAD = LQMSUD = LPUSD = LQXBIJ = LQXBIA = LQXBIU = LQXBTJ = LQXBTA = LQXBTU =
VARIABEL*/ QTAMB+ QTNKP; LAG(PrUSI); QXSIJ + QXSIA + QXSIU + QXSIL; QXBIJ + QXBIA + QXBIU + QXBIL; QXOIJ + QXOIA + QXOIU + QXOIL; (1.05*QXBID*10/6)+(1.05*QXOID*10/3); PrUSI-QXSID-QDUSB; QDUSL+QDUSB; 0.6*(PrUSI + QMUSID - QDUSL - QXSID); 0.05*QXBID; PrUBI-QXBID-QDUBL; QDUBO + QDUBL; 0.5*(PrUBI + QMUBID - QDUBL- QXBID); LAG(QTNKP); LAG(AREA); AREA-LAREA; LAG(TRFOJ); LAG(TRFOA); Lag(QTAMB); Lag(QBENR); LAG(PBENR); LAG(DUSDOM); Lag(PUSDOM); Lag(PUBDOM); PUBDOM-LPUBDOM; Lag(DUSDOM); Lag(QXSIJ); Lag(QXSIU); Lag(QXSTA); Lag(QXSTU); Lag(PXSIJ); Lag(PXSIA); Lag(PXSIU); Lag(PXSTJ); Lag(PXSTA); Lag(PXSTU); Lag(QMSJD); Lag(QMSAD); Lag(QMSUD); Lag(PUSD ); Lag(QXBIJ); Lag(QXBIA); Lag(QXBIU); Lag(QXBTJ); Lag(QXBTA); Lag(QXBTU);
319
LPXBIJ = LPXBIA = LPXBIU = LPXBTJ = LPXBTA = LPXBTU = LQMBAD = LQMBUD = LPUBD = LQXOIJ = LQXOIA = LQXOIU = LQXOTJ = LQXOTA = LQXOTU = LPXOIJ = LPXOIA = LPXOIU = LPXOTJ = LPXOTA = LPXOTU = LQMOJD = LQMOAD = LQMOUD = LPUOD = LPrUBI = SPrUBI = LPrUOI = SPrUOI = LQPKAN = GDPKPU = LEXCI = SEXCI = LEXCT = SEXCT = LINTRE = SINTRE = LBBM = SPUSDOM = SPUBD = SPUOD = PPXSTU = SPXSIU = SPXOIJ = SPXOIU = SPXOTJ = SPXOTA = SPXOTU = RPXSTIU = SPXBIJ = SPXBIA = SPXBTA = SPXSTJ = RQPKNBNR= RPUSPKN = RPUSBD = RPUBOD = PPBENR = LTRFOJ =
Lag(PXBIJ); Lag(PXBIA); Lag(PXBIU); Lag(PXBTJ); Lag(PXBTA); Lag(PXBTU); Lag(QMBAD); Lag(QMBUD); Lag(PUBD ); Lag(QXOIJ); Lag(QXOIA); Lag(QXOIU); Lag(QXOTJ); Lag(QXOTA); Lag(QXOTU); Lag(PXOIJ); Lag(PXOIA); Lag(PXOIU); Lag(PXOTJ); Lag(PXOTA); Lag(PXOTU); Lag(QMOJD); Lag(QMOAD); Lag(QMOUD); Lag(PUOD ); LAG(PrUBI); PrUBI-LPrUBI; LAG(PrUOI); PrUOI-LPrUOI; LAG(QPAKN); GDPU/POPU; LAG(EXCI); EXCI-LEXCI; LAG(EXCT); EXCT-LEXCT; LAG(INTRE); INTRE-LINTRE; LAG(BBM); PUSDOM-LPUSDOM; PUBD-LPUBD; PUOD-LPUOD; PXSTU-LPXSTU/LPXSTU; PXSIU-LPXSIU; PXOIJ-LPXOIJ; PXOIU-LPXOIU; PXOTJ-LPXOTJ; PXOTA-LPXOTA; PXOTU-LPXOTU; (PXSTU/PXSIU); PXBIJ-LPXBIJ; PXBIA-LPXBIA; PXBTA-LPXBTA; PXSTJ-LPXSTJ; (QPAKN/QBENR); PUSDOM/PPAKN; PUSD/PUBD; PUBD/PUOD; (PBENR-LAG(PBENR))/PBENR; LAG(TRFOJ);
320
LTRFOA LPBENR
= LAG(TRFOA); = LAG(PBENR);
/*UNTUK PERSAMAAN IDENTITAS*/ QXSID = QXSIJ + QXSIA + QXSIU + TXUSD = QXSID + QXSTJ + QXSTA + TMUSD = QMSJD + QMSAD + QMSUD + QXBID = QXBIJ + QXBIA + QXBIU + TXUBD = QXBID + QXBTJ + QXBTA + TMUBD = QMBAD + QMBUD + QMBJD + QXOID = QXOIJ + QXOIA + QXOIU + TXUOD = QXOID + QXOTJ + QXOTA + TMUOD = QMOAD + QMOUD + QMOJD + LTXUOD = LAG(TXUOD); LTMUOD = LAG(TMUOD); STXUOD = TXUOD-LTXUOD; PTXUOD = (TXUOD-LTXUOD)/LTXUOD; STMUOD = TMUOD-LTMUOD; PTMUOD = (TMUOD-LTMUOD)/LTMUOD; RTXMUOD= TXUOD/TMUOD; RTMXUOD= TMUOD/TXUOD; STXMUOD= TXUOD-TMUOD; STMXUOD= TMUOD-TXUOD; RPUOBD = PUOD/PUBD; LQXSID = LAG(QXSID); RPUBSD = PUBD/PUSD; LTXUBD = LAG(TXUBD); LTMUBD = LAG(TMUBD); RCSIJ RCSIA RCSIU RCSTJ RCSTA RCSTU RCBIJ RCBIA RCBIU RCBTJ RCBTA RCBTU RCOIJ RCOIA RCOIU RCOTJ RCOTA RCOTU
QXSIL; QXSTU + QXSTL + QXSLL; QMSLL; QXBIL; QXBTU + QXBTL + QXBLL; QMBLL; QXOIL; QXOTU + QXOTL + QXOLL; QMOLL;
=(QXSIJ*PXSIJ)/(VXTIJ)/(VXSDJ/VXTDJ); =(QXSIA*PXSIA)/(VXTIA)/(VXSDA/VXTDA); =(QXSIU*PXSIU)/(VXTIU)/(VXSDU/VXTDU); =(QXSTJ*PXSTJ)/(VXTTJ)/(VXSDJ/VXTDJ); =(QXSTA*PXSTA)/(VXTTA)/(VXSDA/VXTDA); =(QXSTU*PXSTU)/(VXTTU)/(VXSDU/VXTDU); =(QXBIJ*PXBIJ)/(VXTIJ)/(VXBDJ/VXTDJ); =(QXBIA*PXBIA)/(VXTIA)/(VXBDA/VXTDA); =(QXBIU*PXBIU)/(VXTIU)/(VXBDU/VXTDU); =(QXBTJ*PXBTJ)/(VXTTJ)/(VXBDJ/VXTDJ); =(QXBTA*PXBTA)/(VXTTA)/(VXBDA/VXTDA); =(QXBTU*PXBTU)/(VXTTU)/(VXBDU/VXTDU); =(QXOIJ*PXOIJ)/(VXTIJ)/(VXODJ/VXTDJ); =(QXOIA*PXOIA)/(VXTIA)/(VXODA/VXTDA); =(QXOIU*PXOIU)/(VXTIU)/(VXODU/VXTDU); =(QXOTJ*PXOTJ)/(VXTTJ)/(VXODJ/VXTDJ); =(QXOTA*PXOTA)/(VXTTA)/(VXODA/VXTDA); =(QXOTU*PXOTU)/(VXTTU)/(VXODU/VXTDU);
321
LTXUOD =LAG(TXUOD); LTMUOD =LAG(TMUOD); STXUOD =TXUOD-LTXUOD; PTXUOD =(TXUOD-LTXUOD)/LTXUOD; STMUOD =TMUOD-LTMUOD; PTMUOD =(TMUOD-LTMUOD)/LTMUOD; SQXSIU =QXSIU-LQXSIU; RTXMUOD=TXUOD/TMUOD; RTMXUOD=TMUOD/TXUOD; STXMUOD=TXUOD-TMUOD; STMXUOD=TMUOD-TXUOD; PRODTK =QTAMB/NAKER; LQXOID =LAG(QXOID); /* EDUC=1.4*EDUC; IRIG=7.48*IRIG; PPAKN=0.89*PPAKN; BBM=0.7*BBM; INTRE=0.7*INTRE; RUN; PROC SIMNLIN data=VALIDASI SIMULATE STAT OUTPREDICT THEIL OUT=A; ENDOGENOUS QPAKN DUSDOM PXSIJ QMSAD QXBIA PXBIA QMBUD QXOIA PXOIA QMOUD RCSTJ RCBTA RCOTU ;
QBENR QXSIJ PXSIA QMSUD QXBIU PXBIU TXUBD QXOIU PXOIU TXUOD RCSTA RCBTU
TFPIN QXSIA PXSIU QDUSB QXBID PXBTJ TMUBD QXOID PXOTJ TMUOD RCSTU RCOIJ
QTAMB QXSIU PXSTJ PrUBI QXBTJ PXBTA PUBD QXOTJ PXOTA PUOD RCBIJ RCOIA
QTNKP QXSTJ PXSTA PUBDOM QXBTA PXBTU QDUBO QXOTA PXOTU RCSIJ RCBIA RCOIU
PrUSI QXSTA PXSTU DUBDOM QXBTU QMBJD PrUOI QXOTU QMOJD RCSIA RCBIU RCOTJ
PUSDOM QXSTU QMSJD QXBIJ PXBIJ QMBAD QXOIJ PXOIJ QMOAD RCSIU RCBTJ RCOTA
INSTRUMENTS IRIG INTRE GDPU VANAME LTRFOJ SPUBDOM
EDUC BBM D_LAW DPENY GDPKPU SPXOIU
RPUSPKN POPJ D_HACCP DUSDOM LBBM SPXOTA
PBENR POPA D_MRL LDUSDOM RPUSBD SPXOTU
PPAKN PPBENR POPU GDPJ EXCI EXCT TRFOU LTRFOA RPXSTIU SPXSIU GDPKPU ;
RQPKNBNR GDPA PRODTK RPUBOD
322
LQTAMB =Lag(QTAMB); LQPAKN =Lag(QPAKN); LPUSDOM =Lag(PUSDOM); LDUSDOM =Lag(DUSDOM); LQXSIJ =Lag(QXSIJ); LQXSIA =Lag(QXSIA); LQXSTJ =Lag(QXSTJ); LQXSTU =Lag(QXSTU); LPXSIJ =Lag(PXSIJ); LPXSIA =Lag(PXSIA); LPXSIU =Lag(PXSIU); LQMSJD =Lag(QMSJD); LQMSAD =Lag(QMSAD); LQMSUD =Lag(QMSUD); LPUSD =Lag(PUSD); LQXBIA =Lag(QXBIA); LQXBIU =Lag(QXBIU); LQXBTJ =Lag(QXBTJ); LQXBTA =Lag(QXBTA); LPXBIA =Lag(PXBIA); LPXBIU =Lag(PXBIU); LPXBTA =Lag(PXBTA); LPXBTU =Lag(PXBTU); LQMBJD =Lag(QMBJD); LQMBAD =Lag(QMBAD); LQMBUD =Lag(QMBUD); LPUBD =Lag(PUBD); LQXOIJ =Lag(QXOIJ); LQXOIA =Lag(QXOIA); LQXOIU =Lag(QXOIU); LQXOTJ =Lag(QXOTJ); LQXOTA =Lag(QXOTA); LQXOTU =Lag(QXOTU); LPXOIJ =Lag(PXOIJ); LPXOIA =Lag(PXOIA); LPXOIU =Lag(PXOIU); LPXOTJ =Lag(PXOTJ); LQMOJD =Lag(QMOJD); LQMOAD =Lag(QMOAD); LPUOD =Lag(PUOD); LINTRE =LAG(INTRE); LEXCT =LAG(EXCT); LEXCI =LAG(EXCI); LGDPA =LAG(GDPA); LTXUBD =LAG(TXUBD); LTXUOD =LAG(TXUOD); LPrUOI =LAG(PrUOI); LPrUBI =LAG(PrUBI); LTRFOJ =LAG(TRFOJ); LTRFOA =LAG(TRFOA); LPBENR =LAG(PBENR);
323
PARM A0 454.8623 B0 3.26316 B4 1.911489 C0 -0.44853 D0 -6.30814 D4 0.087033 E0 109.5602 F0 16.47634 F4 0.461299 G0 0.68924 G4 0.000342 H0 0.313205 H4 0.000379 I0 0.331714 I4 0.000051 J0 0.321829 J4 0.018058 K0 -0.23229 K4 0.011926 L0 0.043619 L4 0.366888 M0 1.298599 M4 -0.27234 N0 -19.2216 N4 -0.89197 O0 -0.86622 O4 0.66058 P0 13.51359 Q0 8.153858 R0 9.320629 S0 -9.43254 S4 0.372196 T0 3.270071 U0 7.622035 V0 30.22418 W0 6.045446 W4 0.322836 X0 49.57301 X4 13.59891 Y0 52.25685 Y4 -7.37931 Z0 5.634452 Z4 -0.27297 AA0 52.19446 AA4 -1.24465 BB0 9.667216 BB4 0.108451 CC0 18.95414 CC4 -7.19481 DD0 -5.22761 EE0 -3.15102 EE4 0.2024 FF0 -5.3776 GG0 -5.47598 HH0 -4.65705 HH4 0.10073 II0 -2.81147
A1 B1 B5 C1 D1 D5 E1 F1
-75.7553 -0.20077 0.148305 0.152959 0.001025 -0.01254 2.296985 0.039417
A2 2.782065 B2 -2.31852
G1 G5 H1 H5 I1
0.015461 -0.05489 0.010356 -0.00798 0.046655
G2 -0.00444 G6 0.126892 H2 -0.03318
G3 0.098432
I2 -0.00946
I3 -0.01012
J1 0.000585
J2 -0.00177
J3 -0.37324
K1 0.061312
K2 -0.0353
K3 -0.15523
L1 0.048374
L2 0.030801
L3 -0.00237
M1 2.751579 M5 0.447904 N1 0.464413
M2 0.000372
M3 0.002523
N2 0.001664
N3 0.050524
O1 0.111618
O2 0.000064
O3 0.001859
C2 D2 D6 E2 F2
5.89E-07 -0.0024 -1.80744 0.005401 38.02945
A3 15.76608 B3 0.378539 D3 D7 E3 F3
0.990892 5.599316 -0.00401 -2.00702
H3 0.162817
P1 Q1 R1 S1
1.158349 5.085056 0.102881 1.751793
P2 Q2 R2 S2
0.048442 0.049712 0.014955 0.11496
P3 Q3 R3 S3
T1 U1 V1 W1
-0.09349 -2.99104 -0.14723 0.142017
T2 U2 V2 W2
0.26262 0.634033 6.985118 0.003386
T3 -0.16159
X1 0.351757 X5 -2.02894 Y1 2.770384
X2 -1.79196 X6 0.326136 Y2 -4.08843
X3 0.057745
Z1 0.163417 Z5 0.885483 AA1 0.891015 AA5 0.746079 BB1 0.382055
Z2 -0.35039
Z3 0.023013
AA2 -2.86458
AA3 0.763894
BB2 4.376754
BB3 -15.9855
-0.40212 -0.49973 -0.15331 -0.15842
V3 10.71337 W3 -0.00116
Y3 0.091275
0.162834 0.262716 1.326728 0.913879
CC2 -1.18806
CC3 0.067839
DD2 0.000041 EE2 0.0002
DD3 0.158062 EE3 0.001148
FF1 0.986357 GG1 1.105253 HH1 1.186037
FF2 0.161935 GG2 0.136942 HH2 0.036599
FF3 0.086063 GG3 0.018801 HH3 -0.00484
II1 0.994453
II2 0.014452
II3 0.045716
CC1 CC5 DD1 EE1
324
II4 JJ0 JJ4 KK0 KK4 LL0 LL4 MM0 NN0 NN4 OO0 PP0 PP4 QQ0 QQ4 RR0 RR4 SS0 TT0 UU0 UU4 VV0 VV4 WW3 XX0 XX4 YY0 YY4 ZZ0 AB0 BC0 BC4 CD0 CD4 DE0 EF0 EF4
0.073424 -7298.24 59.27902 -4798.46 0.234669 -34772.4 -167.474 3.196957 24.83953 1.089625 -0.24292 1.168163 4.192671 -2.41869 0.653938 -0.71757 -0.1441 10.32847 18.17521 -1.1025 0.171108 2.336897 0.266854 0.00017 5.902538 0.101098 -1.39772 0.75368 0.16951 1.420847 -610.819 -5.3053 -171.517 -4.24354 -411.531 2.518293 0.857932;
JJ1 -7.6213 JJ5 -28.0142 KK1 -264.58
JJ2 0.970753
JJ3 4.356753
KK2 20.8228
KK3 -52.8954
LL1 -11.3598
LL2 2.974041
LL3 502.7524
MM1 -0.00194 NN1 -2.05682
MM2 0.000698 NN2 0.222163
MM3 0.773665 NN3 -0.03751
OO1 -0.00035 PP1 0.154982
OO2 2.00169 PP2 -0.21694
OO3 0.017416 PP3 0.125793
QQ1 0.229591
QQ2 0.168499
QQ3 0.056843
RR1 RR5 SS1 TT1 UU1 UU5 VV1 WW0 WW4 XX1 XX5 YY1
0.113951 0.540707 2.467604 0.030382 0.387933 0.977127 1.810531 14.89799 -0.34482 0.30096 0.01381 5.182608
RR2 -0.07201
RR3 0.094922
SS2 -0.12891 TT2 44.55636 UU2 -0.06546
SS3 16.88329
ZZ1 AB1 BC1 BC5 CD1 CD5 DE1 EF1
11.90468 5.052522 -0.57891 -1.01232 -0.79039 0.699078 -7.51631 -0.00581
ZZ2 AB2 BC2 BC6 CD2
VV2 WW1 WW5 XX2
UU3 -0.4484
-0.88052 0.385917 0.498321 -0.44337
VV3 -0.38633 WW2 -0.77564
YY2 0.006507
YY3 -0.18651
0.114683 0.047923 0.346849 0.779576 0.055526
ZZ3 -0.59674 AB3 -0.11235 BC3 4.99108
DE2 361.6946 EF2 0.00647
DE3 -0.56893 EF3 -0.28768
XX3 0.000325
CD3 0.732611
325
QPAKN QBENR TFPIN QTAMB
= = = =
A0 B0 C0 D0
+ + + +
QTNKP = PUSDOM = QXSIJ =
E0 + F0 + G0 +
QXSIA QXSIU QXSTJ QXSTA QXSTU
= = = = =
H0 I0 J0 K0 L0
PXSIJ
=
M0 +
PXSIA PXSIU PXSTJ PXSTA PXSTU QMSJD
= = = = = =
N0 O0 P0 Q0 R0 S0
+ + + + + +
QMSAD QMSUD QDUSB PUBDOM
= = = =
T0 U0 V0 W0
+ + + +
QXBIJ
=
X0 +
QXBIA
=
Y0 +
+ + + + +
A1*PPAKN B1*PBENR C1*EDUC D1*PUSDOM
+ A2*(PUSDOM-LPUSDOM) + A3*TREND + B2*PPAKN + B3*PUSDOM + C2*IRIG + D2*(BBM-LBBM) + D3*QPAKN + D5*INTRE + D6*DPENY E1*PUSDOM + E2*ATPU + E3*LBBM F1*LDUSDOM + F2*QXSIA + F3*TREND G1*PXSIJ + G2*(PXSTJ-LPXSTJ) + G3*D_LAW + G5*TREND + G6*LQXSIJ H1*LPXSIA + H2*PXSTA + H3*D_HACCP + H4*LPrUSI I1*(PXSIU-LPXSIU) + I2*D_MRL + I3*TREND J1*LPXSTJ + J2*PXBTJ + J3*D_LAW + J4*TREND K1*PXSTA + K2*(PXBTA-LPXBTA) + K3*D_HACCP L1*(PXSTU/PXSIU) + L2*D_MRL + L4*LQXSTU M1*(PUSD/PUBD) + M2*EXCI + M3*DUSDOM + M4*TREND + M5*LPXSIJ N1*PUSD + N2*EXCI + N3*DUSDOM + N4*TREND; O1*LPUSD + O2*LEXCI + O3*LDUSDOM + O4*LPXSIU P1*(PUSD/PUBD) + P2*(EXCT-LEXCT)+ P3*TREND Q1*(PUSD/PUBD) + Q2*(EXCT-LEXCT)+ Q3*TREND R1*(PUSD/PUBD) + R2*(EXCT-LEXCT)+ R3*TREND S1*(PUBD/PUSD) + S2*GDPJ + S3*TREND + S4*LQMSJD T1*LPUSD + T2*PUBD + T3*TREND U1*(PUSD/PUBD) + U2*LQMSUD V1*(PUSDOM-LPUSDOM) + V2*PUBDOM W1*PUBD + W2*DUBDOM + W4*LPUBDOM X1*(PXBIJ-LPXBIJ) + X2*(PXOIJ-LPXOIJ) + X4*D_LAW + X6*LQXBIJ Y1*(PXBIA-LPXBIA) + Y2*PXBTA
+ + + + + + + + +
; B5*LQBENR; ; D4*(QBENR-LQBENR) D7*TFPIN ; ; F4*LPUSDOM ; G4*PrUSI ; H5*TREND ; I4*PrUSI ; ; K4*TREND ; L3*TREND ; B4*TREND
+
; ; ; ; ;
+ +
V3*TREND W3*TREND
+ +
X3*(PrUBI-LPrUBI) X5*TREND
+
Y3*PrUBI
; ; ; ; ; ;
326
=
Z0 +
Z1*(PUBD-LPUBD)
QXBTJ
= AA0 + AA1*(PUBD-LPUBD)
QXBTA
= BB0 + BB1*PXBTA
QXBTU
= CC0 + CC1*PXBTU
PXBIJ PXBIA
= DD0 + DD1*PUBD = EE0 + EE1*PUBD
PXBIU PXBTJ PXBTA
= FF0 + FF1*PUBD = GG0 + GG1*PUBD = HH0 + HH1*PUBD
PXBTU
= II0 + II1*PUBD
QMBJD
= JJ0 + JJ1*LPUBD
QMBAD
= KK0 + KK1*(PUBD/PUOD)
QMBUD
= LL0 + LL1*LPUBD
PUBD PrUOI
= MM0 + MM1*LTXUBD = NN0 + NN1*LPUBDOM
QDUBO QXOIJ
= OO0 + OO1*(PUBDOM-LPUBDOM) = PP0 + PP1*PXOIJ
QXOIA
= QQ0 + QQ1*PXOIA
QXOIU
= RR0 + RR1*LPXOIU
+ + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +
Y4*D_HACCP Z2*PUOD Z4*D_MRL AA2*LPUOD AA4*TREND BB2*TREND BB4*LQXBTA CC2*PXBTJ CC4*D_MRL DD2*(EXCI-LEXCI) EE2*EXCI EE4*LPXBIA FF2*TREND GG2*EXCT HH2*EXCT HH4*LPXBTA II2*EXCT II4*LPXBTU JJ2*LPUOD JJ4*POPJ KK2*POPA KK4*LQMBAD LL2*PUOD LL4*TREND MM2*TMUBD NN2*(PUOD-LPUOD) NN4*LQXOID OO2*PrUOI PP2*PXOTJ PP4*D_Law QQ2*LPrUOI QQ4*LQXOIA RR2*(PXOTU-LPXOTU)
+ Z3*(PrUBI-LPrUBI) + Z5*LQXBIU + AA3*D_LAW + AA5*LQXBTJ + BB3*D_HACCP + + + +
CC3*(EXCT-LEXCT) CC5*TREND DD3*TREND EE3*TREND
+ FF3*LPXBIU + GG3*TREND + HH3*TREND + II3*TREND + JJ3*GDPJ + JJ5*TREND + KK3*TREND + LL3*POPU + MM3*LPUBD + NN3*LINTRE + OO3*PUOD + PP3*PrUOI + QQ3*D_HACCP + RR3*PrUOI
; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ;
326
QXBIU
327
327
QXOTJ QXOTA QXOTU
= SS0 + SS1*(PXOTJ-LPXOTJ) = TT0 + TT1*(PXOTA-LPXOTA) = UU0 + UU1*(PXOTU-LPXOTU)
PXOIJ
= VV0 + VV1*PUOD
PXOIA
= WW0 + WW1*(PUOD-LPUOD)
PXOIU
= XX0 + XX1*LPUOD
PXOTJ
= YY0 + YY1*(PUOD/PUBD)
PXOTA PXOTU QMOJD
= ZZ0 + ZZ1*(PUOD/PUBD) = AB0 + AB1*(PUOD/PUBD) = BC0 + BC1*PUOD
QMOAD
= CD0 + CD1*(PUOD-LPUOD)
QMOUD PUOD
= DE0 + DE1*(PUOD-LPUOD) = EF0 + EF1*(TXUOD-LTXUOD)
+ RR4*D_MRL + SS2*PXOIJ + TT2*D_HACCP + UU2*(PXOIU-LPXOIU) + UU4*TREND + VV2*PUBD + VV4*LPXOIJ + WW2*PUBD + WW4*TREND + XX2*PUBD + XX4*TREND + YY2*EXCT + YY4*LPXOTJ + ZZ2*EXCT + AB2*EXCT + BC2*GDPJ + BC4*LTRFOJ + BC6*LQMOJD + CD2*GDPA + CD4*LTRFOA + DE2*(GDPU/POPU) + EF2*TMUOD + EF4*LPUOD
+ RR5*LQXOIU + SS3*D_Law + UU3*D_MRL + UU5*LQXOTU + VV3*TREND + + + + +
WW3*(EXCI-LEXCI) WW5*LPXOIA XX3*(EXCI-LEXCI) XX4*LPXOIU YY3*TREND
+ + + +
ZZ3*TREND AB3*TREND BC3*POPJ BC5*TREND
+ + + +
CD3*POPA CD5*LQMOAD DE3*TRFOU EF3*TREND
; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ;
328 /* PERSAMAAN IDENTITAS */ PrUSI = QTAMB+ QTNKP; PrUBI = 0.6*PrUSI + 0.6*QMUSID - 0.6*QDUSL - 0.6*QXSID; QXBID = QXBIJ + QXBIA + QXBIU + QXBIL; QXOID = QXOIJ + QXOIA + QXOIU + QXOIL; DUSDOM = QDUSL+QDUSB; DUBDOM = QDUBO + QDUBL; TXUBD = QXBID+QXBTJ+QXBTA+QXBTU+QXBTL+QXBLL; TMUBD = QMBAD+QMBUD+QMBJD+QMBLL; TXUOD = QXOID+QXOTJ+QXOTA+QXOTU+QXOTL+QXOLL; TMUOD = QMOAD+QMOUD+QMOJD+QMOLL; RCSIJ=(QXSIJ*PXSIJ)/(VXTIJ)/(VXSDJ/VXTDJ); RCSIA=(QXSIA*PXSIA)/(VXTIA)/(VXSDA/VXTDA); RCSIU=(QXSIU*PXSIU)/(VXTIU)/(VXSDU/VXTDU); RCSTJ=(QXSTJ*PXSTJ)/(VXTTJ)/(VXSDJ/VXTDJ); RCSTA=(QXSTA*PXSTA)/(VXTTA)/(VXSDA/VXTDA); RCSTU=(QXSTU*PXSTU)/(VXTTU)/(VXSDU/VXTDU); RCBIJ=(QXBIJ*PXBIJ)/(VXTIJ)/(VXBDJ/VXTDJ); RCBIA=(QXBIA*PXBIA)/(VXTIA)/(VXBDA/VXTDA); RCBIU=(QXBIU*PXBIU)/(VXTIU)/(VXBDU/VXTDU); RCBTJ=(QXBTJ*PXBTJ)/(VXTTJ)/(VXBDJ/VXTDJ); RCBTA=(QXBTA*PXBTA)/(VXTTA)/(VXBDA/VXTDA); RCBTU=(QXBTU*PXBTU)/(VXTTU)/(VXBDU/VXTDU); RCOIJ=(QXOIJ*PXOIJ)/(VXTIJ)/(VXODJ/VXTDJ); RCOIA=(QXOIA*PXOIA)/(VXTIA)/(VXODA/VXTDA); RCOIU=(QXOIU*PXOIU)/(VXTIU)/(VXODU/VXTDU); RCOTJ=(QXOTJ*PXOTJ)/(VXTTJ)/(VXODJ/VXTDJ); RCOTA=(QXOTA*PXOTA)/(VXTTA)/(VXODA/VXTDA); RCOTU=(QXOTU*PXOTU)/(VXTTU)/(VXODU/VXTDU); ID TAHUN; RANGE TAHUN=2004 TO 2008; PROC PRINT DATA=A; RUN;
329 Lampiran 6. Hasil Validasi Model Daya Saing Udang Indonesia Menggunakan Metode Newton, Prosedur SIMNLIN, dan Program SAS/ETS 9.1
The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables Endogenous Parameters Range Variable ID Variables Equations Number of Statements Program Lag Length
85 85 284 TAHUN 1 85 139 1
The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Data Set Options DATA= OUT=
VALIDASI A
Solution Summary Variables Solved Simulation Lag Length Solution Range First Last Solution Method CONVERGE= Maximum CC Maximum Iterations Total Iterations Average Iterations
85 1 TAHUN 2004 2008 NEWTON 1E-8 4.759E-9 3 14 2.8
Observations Processed Read 6 Lagged 1 Solved 5 First 16 Last 20 The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range TAHUN = 2004 To 2008 Descriptive Statistics
330
Variable QPAKN QBENR TFPIN QTAMB QTNKP PrUSI PUSDOM DUSDOM QXSIJ QXSIA QXSIU QXSTJ QXSTA QXSTU PXSIJ PXSIA PXSIU PXSTJ PXSTA PXSTU QMSJD QMSAD QMSUD QDUSB PrUBI PUBDOM DUBDOM QXBIJ QXBIA QXBIU QXBID QXBTJ QXBTA QXBTU PXBIJ PXBIA PXBIU PXBTJ PXBTA PXBTU QMBJD QMBAD QMBUD TXUBD TMUBD PUBD QDUBO PrUOI QXOIJ QXOIA QXOIU QXOID QXOTJ QXOTA QXOTU PXOIJ PXOIA PXOIU PXOTJ PXOTA
N Obs
N
5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
Actual Mean Std Dev 328.8 37.9251 1.0044 322.2 210.5 532.7 22.7312 528.5 0.1395 0.3421 0.1480 0.2786 0.2299 0.1926 7.2015 4.9666 4.5487 7.8013 6.8355 6.0676 2.3295 1.8626 3.6989 299.1 180.3 10.6900 56.9130 41.7502 41.7594 19.6638 123.4 23.7323 84.2703 8.9878 7.0946 5.7512 5.1968 6.9163 5.3380 5.9059 208.2 410.7 460.0 1478.2 1555.4 7.1701 50.7423 25.4104 8.0216 7.2813 4.3976 23.7408 28.7598 83.3299 9.5341 6.0761 6.4688 7.5694 6.5820 6.1506
63.2508 13.7411 0.0672 66.4532 25.2227 83.5761 4.7156 82.2946 0.0305 0.1094 0.0487 0.0898 0.1184 0.0817 1.0657 2.2822 0.2461 2.1212 1.1270 0.7404 0.3944 0.6066 0.8709 32.7126 19.2215 0.2040 9.4358 6.5741 7.0108 2.6264 17.5921 2.8854 14.6342 6.4506 0.1807 0.3038 0.1660 0.8769 0.2459 0.8499 45.5976 14.3895 42.4477 164.5 109.4 0.6438 9.5530 4.7664 0.8837 1.6691 1.1029 4.4714 3.9656 11.6855 4.8635 0.3978 0.2317 0.5080 0.7045 0.2441
Predicted Mean Std Dev 322.7 37.5829 1.0112 316.8 217.5 534.3 24.0642 527.5 0.1111 0.3464 0.1672 0.2660 0.2483 0.1540 6.9520 5.5929 4.6349 7.8892 6.5806 6.6823 2.2113 1.2364 7.8170 298.0 181.3 10.7245 57.2481 42.9016 38.4695 19.4122 121.0 25.3176 82.8433 9.0016 6.9151 5.6368 4.8891 6.9931 5.3331 5.9091 205.0 405.5 461.0 1476.0 1548.1 7.0146 51.0774 25.5690 7.9388 6.2342 4.5958 22.8091 25.6650 62.7415 6.8753 5.1775 6.1863 7.7017 6.6418 6.6798
44.7603 2.4542 0.0410 46.3812 25.2545 69.0131 2.3735 92.4775 0.0791 0.0439 0.0105 0.0307 0.0215 0.00639 0.2479 2.4792 0.0488 0.5728 0.5470 0.2394 0.1220 0.3738 0.5914 15.4251 32.3333 0.1658 5.9588 5.5879 3.9071 0.8296 13.2426 0.7392 7.6132 1.6727 0.4694 0.7591 0.2980 1.1555 0.8847 0.5686 25.7531 15.0695 42.2830 161.1 90.6337 0.5433 6.1544 3.0770 0.3763 1.9835 0.8143 6.2050 0.6447 0.0181 2.3659 1.0314 0.1444 0.4147 0.6430 0.9806
331
PXOTU QMOJD QMOAD QMOUD TXUOD TMUOD PUOD RCSIJ RCSIA RCSIU RCSTJ RCSTA RCSTU RCBIJ RCBIA RCBIU RCBTJ RCBTA RCBTU RCOIJ RCOIA RCOIU RCOTJ RCOTA RCOTU
5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
6.5458 63.3663 143.6 114.2 532.5 599.1 8.0751 0.5226 6.3249 2.3978 1.3458 4.5151 3.3957 4.5348 14.0510 3.5812 3.2318 15.7152 1.3847 2.6378 7.0440 4.1772 12.2178 45.8457 6.0977
0.2633 4.7066 18.8432 9.5458 80.1970 40.6366 0.3058 0.1447 3.6102 0.6512 0.2524 4.1998 1.6434 0.3832 2.0005 0.4793 0.5522 3.1058 0.7886 1.1139 1.3193 0.5201 1.9760 5.3307 2.3268
6.6964 59.4597 132.5 113.0 505.2 583.0 7.9820 0.4001 8.0238 2.9496 1.4086 4.5524 3.1727 4.5684 12.7081 3.3538 3.4543 15.2425 1.4728 2.1889 5.6447 4.4971 11.3295 39.3303 4.5776
0.2643 4.6729 12.9993 16.0858 66.3511 43.5978 0.3559 0.3058 5.0998 0.9507 0.3382 3.3971 1.0821 0.5954 1.7128 0.5609 0.1904 1.1920 0.0781 0.9007 0.9811 0.4194 3.1901 14.4722 0.8106
332
The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range TAHUN = 2004 To 2008 Statistics of fit Mean Error
Mean % Mean Abs Mean Abs Error Error % Error
Variable
N
QPAKN QBENR TFPIN QTAMB QTNKP PrUSI PUSDOM DUSDOM QXSIJ QXSIA QXSIU QXSTJ QXSTA QXSTU PXSIJ PXSIA PXSIU PXSTJ PXSTA PXSTU QMSJD QMSAD QMSUD QDUSB PrUBI PUBDOM DUBDOM QXBIJ QXBIA QXBIU QXBID QXBTJ QXBTA QXBTU PXBIJ PXBIA PXBIU PXBTJ PXBTA PXBTU QMBJD QMBAD QMBUD TXUBD TMUBD PUBD
5 -6.1720 -0.6633 5 -0.3421 11.3820 5 0.00678 0.9316 5 -5.3879 -0.3106 5 7.0221 4.4237 5 1.6341 1.0877 5 1.3330 9.5078 5 -1.0267 -0.2883 5 -0.0284 -17.3138 5 0.00433 14.1687 5 0.0192 21.4640 5 -0.0125 3.9187 5 0.0185 28.5082 5 -0.0387 -7.8416 5 -0.2495 -1.6215 5 0.6263 24.2113 5 0.0862 2.1171 5 0.0879 7.0141 5 -0.2548 -1.9969 5 0.6147 11.5345 5 -0.1182 -1.8787 5 -0.6262 -22.9439 5 4.1181 120.4 5 -1.0267 0.4562 5 0.9834 0.7589 5 0.0344 0.3284 5 0.3352 1.4558 5 1.1514 3.6423 5 -3.2899 -6.6096 5 -0.2516 0.3101 5 -2.3901 -1.4201 5 1.5853 7.8212 5 -1.4270 0.1606 5 0.0138 43.2749 5 -0.1795 -2.6122 5 -0.1144 -2.1503 5 -0.3077 -5.7083 5 0.0768 0.8169 5 -0.00493 -0.00028 5 0.00312 0.7856 5 -3.2116 1.0103 5 -5.1930 -1.2110 5 1.0303 0.3079 5 -2.2180 -0.1315 5 -7.3744 -0.3877 5 -0.1555 -2.0120
26.5467 9.5410 0.0394 26.7608 24.9479 42.1337 2.9714 21.2155 0.0650 0.0907 0.0481 0.0568 0.0822 0.0673 0.8490 1.7745 0.2095 1.6358 0.8168 0.7434 0.3870 0.8362 4.1181 21.2155 25.3229 0.0539 3.7824 4.1402 4.6377 2.1598 8.0360 2.8442 8.0338 3.7316 0.2690 0.4926 0.4229 0.3085 0.6765 0.4408 17.9919 12.7829 14.1060 12.8553 21.2417 0.2396
8.4977 28.9713 4.0474 8.7997 12.4531 8.2251 15.3701 3.8881 48.5526 34.2209 34.0137 23.2493 43.4679 31.9556 12.2599 42.4681 4.6931 23.4496 11.8071 13.4166 17.2788 40.2383 120.4 7.0102 14.2186 0.5081 6.2189 9.7779 10.7118 11.0344 6.1690 12.2658 10.3699 64.8360 3.8401 8.6959 8.0126 4.4898 12.7495 7.1887 10.3788 3.0565 2.9896 0.8716 1.3858 3.3932
RMS Error
RMS % Error
28.0673 13.0896 0.0511 27.6715 28.6455 45.2449 4.4886 28.6979 0.0788 0.1039 0.0511 0.0687 0.0995 0.0830 0.9830 1.9753 0.2238 1.7230 0.9792 0.9350 0.4676 1.0617 4.2409 28.6979 27.1827 0.0637 4.8079 4.5424 5.3695 2.7429 10.1687 3.0392 9.6359 4.4720 0.3185 0.5394 0.5102 0.4335 0.7849 0.5393 20.8399 15.2185 17.5670 16.5123 32.0937 0.2780
9.1913 41.0649 5.3817 9.4424 14.9364 9.0080 25.6565 5.1510 58.6281 47.3858 36.4627 30.2865 59.3415 34.9696 14.8369 51.7364 5.0924 26.4609 14.0815 17.8045 21.7802 46.3418 129.2 9.3924 15.3583 0.6004 7.5218 10.4599 12.1138 14.1449 7.2840 13.3936 13.0068 94.2218 4.5883 9.6188 9.5855 6.2386 14.8526 8.6119 13.9154 3.5987 3.6475 1.1016 2.0623 3.9190
333
The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range TAHUN = 2004 To 2008 Statistics of fit Variable
N
Mean Error
QDUBO PrUOI QXOIJ QXOIA QXOIU QXOID QXOTJ QXOTA QXOTU PXOIJ PXOIA PXOIU PXOTJ PXOTA PXOTU QMOJD QMOAD QMOUD TXUOD TMUOD PUOD RCSIJ RCSIA RCSIU RCSTJ RCSTA RCSTU RCBIJ RCBIA RCBIU RCBTJ RCBTA RCBTU RCOIJ RCOIA RCOIU RCOTJ RCOTA RCOTU
5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
0.3352 0.1586 -0.0828 -1.0471 0.1982 -0.9317 -3.0948 -20.5884 -2.6588 -0.8985 -0.2825 0.1323 0.0598 0.5292 0.1506 -3.9066 -11.0490 -1.1716 -27.2736 -16.1272 -0.0931 -0.1225 1.6988 0.5518 0.0628 0.0373 -0.2230 0.0336 -1.3430 -0.2274 0.2225 -0.4727 0.0882 -0.4489 -1.3993 0.3199 -0.8883 -6.5154 -1.5201
Mean % Mean Abs Mean Abs Error Error % Error 1.7262 1.6771 0.3485 -15.2932 6.4280 -4.9808 -9.5480 -23.4817 -20.8402 -15.3631 -4.2869 2.2516 1.0630 8.4712 2.4722 -6.1091 -7.0008 -1.3823 -4.8843 -2.6843 -1.1428 -13.1634 23.1001 24.0583 5.0888 27.6509 0.4852 0.9333 -7.9399 -5.7139 9.0199 0.2632 49.8600 -16.2418 -18.6362 8.1774 -8.5510 -15.7813 -18.1402
3.7824 1.8763 0.9835 1.3629 0.2803 1.7648 3.8012 20.5884 2.6661 0.8985 0.2825 0.6635 0.2635 0.7040 0.3234 3.9066 12.3927 5.7651 27.2736 20.6107 0.1680 0.3118 1.6988 0.7832 0.1730 1.3022 0.9162 0.3920 2.7011 0.4140 0.4991 2.6815 0.6195 0.4489 1.6278 0.3601 1.1891 9.9878 1.7289
6.9089 6.8399 12.3754 19.2814 7.8481 7.6578 12.5278 23.4817 20.9797 15.3631 4.2869 8.8178 4.0376 11.3145 5.0772 6.1091 7.9327 5.1620 4.8843 3.4185 2.0747 63.3488 23.1001 35.7925 13.3296 47.3788 29.4702 8.2700 18.8257 11.1425 15.7323 17.5277 72.5022 16.2418 22.6132 9.0384 10.6028 22.8031 23.4691
RMS Error
RMS % Error
4.8079 2.3881 1.1228 1.4072 0.3477 1.8374 4.4386 23.0958 3.5477 1.0641 0.3528 0.7209 0.2742 0.9415 0.3990 4.7538 18.7925 6.6726 30.6872 25.0850 0.2238 0.3570 2.1986 0.8164 0.2037 1.5290 1.0818 0.4972 2.8423 0.5402 0.5483 3.1220 0.7547 0.5086 1.7443 0.4163 1.5078 11.1724 2.1646
8.3072 8.2299 14.1269 19.9345 11.3660 8.1076 13.9471 25.4445 26.5611 18.3111 5.3416 9.6635 4.2035 15.1192 6.4271 7.2951 11.2331 6.0132 5.3377 4.0775 2.7381 74.6516 27.5744 39.3436 16.1471 65.8704 35.0166 10.3164 19.3296 14.1488 17.4324 21.0162 112.0 17.3556 23.6970 10.6122 13.8090 25.8881 27.7512
334
The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range TAHUN = 2004 To 2008 Theil Forecast Error Statistics
Variable
N
MSE
Corr (R)
QPAKN QBENR TFPIN QTAMB QTNKP PrUSI PUSDOM DUSDOM QXSIJ QXSIA QXSIU QXSTJ QXSTA QXSTU PXSIJ PXSIA PXSIU PXSTJ PXSTA PXSTU QMSJD QMSAD QMSUD QDUSB PrUBI PUBDOM DUBDOM QXBIJ QXBIA QXBIU QXBID QXBTJ QXBTA QXBTU PXBIJ PXBIA PXBIU PXBTJ PXBTA PXBTU QMBJD QMBAD QMBUD TXUBD TMUBD
5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
787.8 171.3 0.00261 765.7 820.6 2047.1 20.1478 823.6 0.00621 0.0108 0.00261 0.00472 0.00990 0.00689 0.9662 3.9020 0.0501 2.9689 0.9589 0.8742 0.2186 1.1272 17.9851 823.6 738.9 0.00406 23.1162 20.6330 28.8316 7.5232 103.4 9.2367 92.8510 19.9989 0.1014 0.2909 0.2603 0.1880 0.6161 0.2908 434.3 231.6 308.6 272.7 1030.0
0.89 -0.28 0.54 0.92 0.24 0.80 0.22 0.94 0.09 0.04 -0.30 0.60 0.50 -0.02 0.13 0.62 0.40 0.46 0.37 -0.04 -0.89 -0.91 -0.17 0.28 0.40 0.97 0.85 0.68 0.76 -0.40 0.78 0.11 0.71 0.90 0.98 0.70 -0.92 0.93 0.17 0.71 0.94 0.41 0.89 0.99 0.96
MSE Decomposition Proportions Bias Reg Dist Var Covar (UM) (UR) (UD) (US) (UC) 0.05 0.00 0.02 0.04 0.06 0.00 0.09 0.00 0.13 0.00 0.14 0.03 0.03 0.22 0.06 0.10 0.15 0.00 0.07 0.43 0.06 0.35 0.94 0.00 0.00 0.29 0.00 0.06 0.38 0.01 0.06 0.27 0.02 0.00 0.32 0.04 0.36 0.03 0.00 0.00 0.02 0.12 0.00 0.02 0.05
0.14 0.19 0.01 0.22 0.36 0.00 0.07 0.22 0.75 0.11 0.20 0.09 0.11 0.01 0.01 0.24 0.04 0.05 0.01 0.07 0.82 0.61 0.02 0.04 0.66 0.20 0.15 0.05 0.06 0.37 0.00 0.02 0.07 0.68 0.67 0.82 0.62 0.50 0.92 0.00 0.54 0.29 0.05 0.02 0.15
0.81 0.81 0.98 0.74 0.58 1.00 0.84 0.77 0.12 0.88 0.66 0.88 0.85 0.78 0.93 0.66 0.81 0.95 0.92 0.50 0.12 0.05 0.03 0.96 0.34 0.51 0.85 0.89 0.57 0.62 0.94 0.71 0.91 0.32 0.01 0.13 0.01 0.47 0.08 1.00 0.43 0.59 0.95 0.97 0.80
0.35 0.59 0.21 0.42 0.00 0.08 0.22 0.10 0.30 0.32 0.45 0.59 0.76 0.66 0.55 0.01 0.62 0.65 0.28 0.23 0.27 0.04 0.00 0.29 0.19 0.29 0.42 0.04 0.27 0.34 0.15 0.40 0.42 0.91 0.66 0.57 0.05 0.33 0.53 0.22 0.73 0.00 0.00 0.03 0.27
0.60 0.40 0.77 0.54 0.94 0.92 0.69 0.90 0.57 0.68 0.41 0.37 0.21 0.12 0.38 0.89 0.23 0.35 0.65 0.34 0.66 0.61 0.05 0.71 0.81 0.42 0.58 0.90 0.36 0.65 0.80 0.33 0.55 0.09 0.02 0.38 0.58 0.64 0.47 0.78 0.25 0.88 1.00 0.95 0.67
Inequality Coef U1 U 0.0841 0.3283 0.0508 0.0845 0.1353 0.0841 0.1942 0.0538 0.5543 0.2921 0.3309 0.2369 0.3931 0.4028 0.1353 0.3679 0.0491 0.2146 0.1417 0.1532 0.1985 0.5473 1.1219 0.0955 0.1501 0.0060 0.0836 0.1077 0.1272 0.1385 0.0817 0.1273 0.1130 0.4187 0.0449 0.0937 0.0981 0.0623 0.1469 0.0906 0.0982 0.0370 0.0381 0.0111 0.0206
0.0426 0.1689 0.0253 0.0428 0.0666 0.0421 0.0949 0.0269 0.2877 0.1475 0.1587 0.1232 0.1981 0.2304 0.0691 0.1735 0.0244 0.1081 0.0725 0.0731 0.1023 0.3296 0.3651 0.0479 0.0745 0.0030 0.0418 0.0532 0.0664 0.0699 0.0413 0.0618 0.0572 0.2258 0.0227 0.0472 0.0505 0.0309 0.0731 0.0454 0.0498 0.0186 0.0190 0.0056 0.0103
335
The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range TAHUN = 2004 To 2008 Theil Forecast Error Statistics
Variable
N
MSE
Corr (R)
PUBD QDUBO PrUOI QXOIJ QXOIA QXOIU QXOID QXOTJ QXOTA QXOTU PXOIJ PXOIA PXOIU PXOTJ PXOTA PXOTU QMOJD QMOAD QMOUD TXUOD TMUOD PUOD RCSIJ RCSIA RCSIU RCSTJ RCSTA RCSTU RCBIJ RCBIA RCBIU RCBTJ RCBTA RCBTU RCOIJ RCOIA RCOIU RCOTJ RCOTA RCOTU
5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
0.0773 23.1162 5.7028 1.2607 1.9801 0.1209 3.3761 19.7014 533.4 12.5865 1.1324 0.1245 0.5198 0.0752 0.8865 0.1592 22.5988 353.2 44.5240 941.7 629.3 0.0501 0.1274 4.8339 0.6665 0.0415 2.3380 1.1704 0.2472 8.0789 0.2918 0.3007 9.7466 0.5696 0.2587 3.0425 0.1733 2.2735 124.8 4.6854
0.92 0.85 0.86 -0.97 0.85 0.99 1.00 0.68 -0.85 0.97 0.99 0.28 -0.47 0.91 0.55 -0.23 0.79 0.48 0.96 0.99 0.87 0.77 -0.29 0.99 0.71 0.77 0.92 0.69 0.42 -0.13 0.45 0.13 -0.11 -0.60 0.99 0.52 0.82 0.97 0.87 0.82
MSE Decomposition Proportions Bias Reg Dist Var Covar (UM) (UR) (UD) (US) (UC) 0.31 0.00 0.00 0.01 0.55 0.33 0.26 0.49 0.79 0.56 0.71 0.64 0.03 0.05 0.32 0.14 0.68 0.35 0.03 0.79 0.41 0.17 0.12 0.60 0.46 0.10 0.00 0.04 0.00 0.22 0.18 0.16 0.02 0.01 0.78 0.64 0.59 0.35 0.34 0.49
0.02 0.14 0.14 0.96 0.13 0.51 0.72 0.17 0.15 0.35 0.29 0.04 0.66 0.00 0.65 0.53 0.03 0.04 0.85 0.15 0.08 0.23 0.76 0.38 0.29 0.40 0.07 0.00 0.61 0.39 0.32 0.04 0.20 0.43 0.12 0.02 0.00 0.57 0.62 0.21
0.66 0.86 0.86 0.03 0.32 0.17 0.02 0.34 0.06 0.08 0.00 0.32 0.31 0.95 0.04 0.33 0.29 0.62 0.12 0.06 0.50 0.60 0.12 0.03 0.25 0.50 0.92 0.96 0.39 0.39 0.50 0.80 0.78 0.56 0.10 0.33 0.41 0.08 0.04 0.30
0.10 0.40 0.40 0.16 0.04 0.55 0.71 0.45 0.20 0.40 0.28 0.05 0.01 0.04 0.49 0.00 0.00 0.08 0.77 0.16 0.01 0.04 0.16 0.37 0.11 0.14 0.22 0.22 0.15 0.01 0.02 0.35 0.30 0.71 0.14 0.03 0.05 0.52 0.54 0.39
0.58 0.60 0.60 0.83 0.41 0.12 0.03 0.07 0.00 0.04 0.00 0.31 0.95 0.91 0.19 0.86 0.32 0.58 0.20 0.05 0.58 0.79 0.72 0.04 0.44 0.76 0.78 0.74 0.85 0.77 0.80 0.49 0.68 0.28 0.08 0.33 0.36 0.13 0.12 0.11
Inequality Coef U1 U 0.0386 0.0934 0.0927 0.1393 0.1893 0.0771 0.0763 0.1532 0.2750 0.3385 0.1748 0.0545 0.0951 0.0415 0.1530 0.0609 0.0749 0.1300 0.0583 0.0571 0.0418 0.0277 0.6631 0.3096 0.3309 0.1493 0.2603 0.2924 0.1093 0.2007 0.1498 0.1677 0.1956 0.4857 0.1804 0.2442 0.0990 0.1221 0.2424 0.3360
0.0195 0.0468 0.0464 0.0701 0.1011 0.0380 0.0386 0.0812 0.1574 0.2007 0.0938 0.0279 0.0471 0.0207 0.0730 0.0301 0.0386 0.0677 0.0292 0.0293 0.0212 0.0139 0.3490 0.1346 0.1474 0.0726 0.1348 0.1542 0.0544 0.1054 0.0772 0.0815 0.0999 0.2492 0.0987 0.1357 0.0478 0.0628 0.1277 0.1954
336
Lampiran 7. Program Komputer untuk Simulasi Historis Subsidi Harga Pakan sebesar 11.5% Menggunakan Metode Newton, Prosedur SIMNLIN, dan Program SAS/ETS 9.1 OPTION NODATE NONUMBER; DATA VALIDASI; SET SASUSER.TERBUKA_3; /*CREATING PrUSI = LPrUSI = QXSID = QXBID = QXOID = QDUSB = QDUSL = DUSDOM = PrUBI = QDUBL = QDUBO = DUBDOM = PrUOI = LQTNKP = LAREA = SAREA = LTRFOJ = LTRFOA = LQTAMB = LQBENR = LPBENR = LDUSDOM = LPUSDOM = LPUBDOM = SPUBDOM = LDUSDOM = LQXSIJ = LQXSIU = LQXSTA = LQXSTU = LPXSIJ = LPXSIA = LPXSIU = LPXSTJ = LPXSTA = LPXSTU = LQMSJD = LQMSAD = LQMSUD = LPUSD = LQXBIJ = LQXBIA = LQXBIU = LQXBTJ = LQXBTA = LQXBTU = LPXBIJ = LPXBIA =
VARIABEL*/ QTAMB + QTNKP; LAG(PrUSI); QXSIJ + QXSIA + QXSIU + QXSIL; QXBIJ + QXBIA + QXBIU + QXBIL; QXOIJ + QXOIA + QXOIU + QXOIL; (1.05*QXBID*10/6)+(1.05*QXOID*10/3); PrUSI-QXSID-QDUSB; QDUSL+QDUSB; 0.6*(PrUSI + QMUSID - QDUSL - QXSID); 0.05*QXBID; PrUBI-QXBID-QDUBL; QDUBO + QDUBL; 0.5*(PrUBI + QMUBID - QDUBL- QXBID); LAG(QTNKP); LAG(AREA); AREA-LAREA; LAG(TRFOJ); LAG(TRFOA); Lag(QTAMB); Lag(QBENR); LAG(PBENR); LAG(DUSDOM); Lag(PUSDOM); Lag(PUBDOM); PUBDOM-LPUBDOM; Lag(DUSDOM); Lag(QXSIJ); Lag(QXSIU); Lag(QXSTA); Lag(QXSTU); Lag(PXSIJ); Lag(PXSIA); Lag(PXSIU); Lag(PXSTJ); Lag(PXSTA); Lag(PXSTU); Lag(QMSJD); Lag(QMSAD); Lag(QMSUD); Lag(PUSD ); Lag(QXBIJ); Lag(QXBIA); Lag(QXBIU); Lag(QXBTJ); Lag(QXBTA); Lag(QXBTU); Lag(PXBIJ); Lag(PXBIA);
337
LPXBIU = LPXBTJ = LPXBTA = LPXBTU = LQMBAD = LQMBUD = LPUBD = LQXOIJ = LQXOIA = LQXOIU = LQXOTJ = LQXOTA = LQXOTU = LPXOIJ = LPXOIA = LPXOIU = LPXOTJ = LPXOTA = LPXOTU = LQMOJD = LQMOAD = LQMOUD = LPUOD = LPrUBI = SPrUBI = LPrUOI = SPrUOI = LQPKAN = GDPKPU = LEXCI = SEXCI = LEXCT = SEXCT = LINTRE = SINTRE = LBBM = SPUSDOM = SPUBD = SPUOD = PPXSTU = SPXSIU = SPXOIJ = SPXOIU = SPXOTJ = SPXOTA = SPXOTU = RPXSTIU = SPXBIJ = SPXBIA = SPXBTA = SPXSTJ = RQPKNBNR= RPUSPKN = RPUSBD = RPUBOD = PPBENR = LTRFOJ = LTRFOA = LPBENR =
Lag(PXBIU); Lag(PXBTJ); Lag(PXBTA); Lag(PXBTU); Lag(QMBAD); Lag(QMBUD); Lag(PUBD ); Lag(QXOIJ); Lag(QXOIA); Lag(QXOIU); Lag(QXOTJ); Lag(QXOTA); Lag(QXOTU); Lag(PXOIJ); Lag(PXOIA); Lag(PXOIU); Lag(PXOTJ); Lag(PXOTA); Lag(PXOTU); Lag(QMOJD); Lag(QMOAD); Lag(QMOUD); Lag(PUOD ); LAG(PrUBI); PrUBI-LPrUBI; LAG(PrUOI); PrUOI-LPrUOI; LAG(QPAKN); GDPU/POPU; LAG(EXCI); EXCI-LEXCI; LAG(EXCT); EXCT-LEXCT; LAG(INTRE); INTRE-LINTRE; LAG(BBM); PUSDOM-LPUSDOM; PUBD-LPUBD; PUOD-LPUOD; PXSTU-LPXSTU/LPXSTU; PXSIU-LPXSIU; PXOIJ-LPXOIJ; PXOIU-LPXOIU; PXOTJ-LPXOTJ; PXOTA-LPXOTA; PXOTU-LPXOTU; (PXSTU/PXSIU); PXBIJ-LPXBIJ; PXBIA-LPXBIA; PXBTA-LPXBTA; PXSTJ-LPXSTJ; (QPAKN/QBENR); PUSDOM/PPAKN; PUSD/PUBD; PUBD/PUOD; (PBENR-LAG(PBENR))/PBENR; LAG(TRFOJ); LAG(TRFOA); LAG(PBENR);
338
/*UNTUK PERSAMAAN IDENTITAS*/ QXSID = QXSIJ + QXSIA + QXSIU + TXUSD = QXSID + QXSTJ + QXSTA + TMUSD = QMSJD + QMSAD + QMSUD + QXBID = QXBIJ + QXBIA + QXBIU + TXUBD = QXBID + QXBTJ + QXBTA + TMUBD = QMBAD + QMBUD + QMBJD + QXOID = QXOIJ + QXOIA + QXOIU + TXUOD = QXOID + QXOTJ + QXOTA + TMUOD = QMOAD + QMOUD + QMOJD + LTXUOD = LAG(TXUOD); LTMUOD = LAG(TMUOD); STXUOD = TXUOD-LTXUOD; PTXUOD = (TXUOD-LTXUOD)/LTXUOD; STMUOD = TMUOD-LTMUOD; PTMUOD = (TMUOD-LTMUOD)/LTMUOD; RTXMUOD= TXUOD/TMUOD; RTMXUOD= TMUOD/TXUOD; STXMUOD= TXUOD-TMUOD; STMXUOD= TMUOD-TXUOD; RPUOBD = PUOD/PUBD; LQXSID = LAG(QXSID); RPUBSD = PUBD/PUSD; LTXUBD = LAG(TXUBD); LTMUBD = LAG(TMUBD); RCSIJ RCSIA RCSIU RCSTJ RCSTA RCSTU RCBIJ RCBIA RCBIU RCBTJ RCBTA RCBTU RCOIJ RCOIA RCOIU RCOTJ RCOTA RCOTU
QXSIL; QXSTU + QXSTL + QXSLL; QMSLL; QXBIL; QXBTU + QXBTL + QXBLL; QMBLL; QXOIL; QXOTU + QXOTL + QXOLL; QMOLL;
=(QXSIJ*PXSIJ)/(VXTIJ)/(VXSDJ/VXTDJ); =(QXSIA*PXSIA)/(VXTIA)/(VXSDA/VXTDA); =(QXSIU*PXSIU)/(VXTIU)/(VXSDU/VXTDU); =(QXSTJ*PXSTJ)/(VXTTJ)/(VXSDJ/VXTDJ); =(QXSTA*PXSTA)/(VXTTA)/(VXSDA/VXTDA); =(QXSTU*PXSTU)/(VXTTU)/(VXSDU/VXTDU); =(QXBIJ*PXBIJ)/(VXTIJ)/(VXBDJ/VXTDJ); =(QXBIA*PXBIA)/(VXTIA)/(VXBDA/VXTDA); =(QXBIU*PXBIU)/(VXTIU)/(VXBDU/VXTDU); =(QXBTJ*PXBTJ)/(VXTTJ)/(VXBDJ/VXTDJ); =(QXBTA*PXBTA)/(VXTTA)/(VXBDA/VXTDA); =(QXBTU*PXBTU)/(VXTTU)/(VXBDU/VXTDU); =(QXOIJ*PXOIJ)/(VXTIJ)/(VXODJ/VXTDJ); =(QXOIA*PXOIA)/(VXTIA)/(VXODA/VXTDA); =(QXOIU*PXOIU)/(VXTIU)/(VXODU/VXTDU); =(QXOTJ*PXOTJ)/(VXTTJ)/(VXODJ/VXTDJ); =(QXOTA*PXOTA)/(VXTTA)/(VXODA/VXTDA); =(QXOTU*PXOTU)/(VXTTU)/(VXODU/VXTDU);
339
LTXUOD =LAG(TXUOD); LTMUOD =LAG(TMUOD); STXUOD =TXUOD-LTXUOD; PTXUOD =(TXUOD-LTXUOD)/LTXUOD; STMUOD =TMUOD-LTMUOD; PTMUOD =(TMUOD-LTMUOD)/LTMUOD; SQXSIU =QXSIU-LQXSIU; RTXMUOD=TXUOD/TMUOD; RTMXUOD=TMUOD/TXUOD; STXMUOD=TXUOD-TMUOD; STMXUOD=TMUOD-TXUOD; PRODTK =QTAMB/NAKER; LQXOID =LAG(QXOID); /* EDUC=1.4*EDUC; IRIG=7.48*IRIG; BBM=0.7*BBM; INTRE=0.7*INTRE; PBENR = 0.6*PBENR*/ PPAKN=0.89*PPAKN; RUN; PROC SIMNLIN data=VALIDASI SIMULATE STAT OUTPREDICT THEIL OUT=A; ENDOGENOUS QPAKN DUSDOM PXSIJ QMSAD QXBIA PXBIA QMBUD QXOIA PXOIA QMOUD RCSTJ RCBTA RCOTU ;
QBENR QXSIJ PXSIA QMSUD QXBIU PXBIU TXUBD QXOIU PXOIU TXUOD RCSTA RCBTU
TFPIN QXSIA PXSIU QDUSB QXBID PXBTJ TMUBD QXOID PXOTJ TMUOD RCSTU RCOIJ
QTAMB QXSIU PXSTJ PrUBI QXBTJ PXBTA PUBD QXOTJ PXOTA PUOD RCBIJ RCOIA
QTNKP QXSTJ PXSTA PUBDOM QXBTA PXBTU QDUBO QXOTA PXOTU RCSIJ RCBIA RCOIU
PrUSI QXSTA PXSTU DUBDOM QXBTU QMBJD PrUOI QXOTU QMOJD RCSIA RCBIU RCOTJ
PUSDOM QXSTU QMSJD QXBIJ PXBIJ QMBAD QXOIJ PXOIJ QMOAD RCSIU RCBTJ RCOTA
PPAKN POPU EXCI TRFOU RPXSTIU GDPKPU
PPBENR GDPJ EXCT LTRFOA SPXSIU ;
RQPKNBNR GDPA PRODTK
INSTRUMENTS IRIG INTRE GDPU VANAME LTRFOJ SPUBDOM
EDUC BBM D_LAW DPENY GDPKPU SPXOIU
RPUSPKN PBENR POPJ POPA D_HACCP D_MRL DUSDOM LDUSDOM LBBM RPUSBD SPXOTA SPXOTU
RPUBOD
340
LQTAMB =Lag(QTAMB); LQPAKN =Lag(QPAKN); LPUSDOM =Lag(PUSDOM); LDUSDOM =Lag(DUSDOM); LQXSIJ =Lag(QXSIJ); LQXSIA =Lag(QXSIA); LQXSTJ =Lag(QXSTJ); LQXSTU =Lag(QXSTU); LPXSIJ =Lag(PXSIJ); LPXSIA =Lag(PXSIA); LPXSIU =Lag(PXSIU); LQMSJD =Lag(QMSJD); LQMSAD =Lag(QMSAD); LQMSUD =Lag(QMSUD); LPUSD =Lag(PUSD); LQXBIA =Lag(QXBIA); LQXBIU =Lag(QXBIU); LQXBTJ =Lag(QXBTJ); LQXBTA =Lag(QXBTA); LPXBIA =Lag(PXBIA); LPXBIU =Lag(PXBIU); LPXBTA =Lag(PXBTA); LPXBTU =Lag(PXBTU); LQMBJD =Lag(QMBJD); LQMBAD =Lag(QMBAD); LQMBUD =Lag(QMBUD); LPUBD =Lag(PUBD); LQXOIJ =Lag(QXOIJ); LQXOIA =Lag(QXOIA); LQXOIU =Lag(QXOIU); LQXOTJ =Lag(QXOTJ); LQXOTA =Lag(QXOTA); LQXOTU =Lag(QXOTU); LPXOIJ =Lag(PXOIJ); LPXOIA =Lag(PXOIA); LPXOIU =Lag(PXOIU); LPXOTJ =Lag(PXOTJ); LQMOJD =Lag(QMOJD); LQMOAD =Lag(QMOAD); LPUOD =Lag(PUOD); LINTRE =LAG(INTRE); LEXCT =LAG(EXCT); LEXCI =LAG(EXCI); LGDPA =LAG(GDPA); LTXUBD =LAG(TXUBD); LTXUOD =LAG(TXUOD); LPrUOI =LAG(PrUOI); LPrUBI =LAG(PrUBI); LTRFOJ =LAG(TRFOJ); LTRFOA =LAG(TRFOA); LPBENR =LAG(PBENR);
341
PARM A0 454.8623 B0 3.26316 B4 1.911489 C0 -0.44853 D0 -6.30814 D4 0.087033 E0 109.5602 F0 16.47634 F4 0.461299 G0 0.68924 G4 0.000342 H0 0.313205 H4 0.000379 I0 0.331714 I4 0.000051 J0 0.321829 J4 0.018058 K0 -0.23229 K4 0.011926 L0 0.043619 L4 0.366888 M0 1.298599 M4 -0.27234 N0 -19.2216 N4 -0.89197 O0 -0.86622 O4 0.66058 P0 13.51359 Q0 8.153858 R0 9.320629 S0 -9.43254 S4 0.372196 T0 3.270071 U0 7.622035 V0 30.22418 W0 6.045446 W4 0.322836 X0 49.57301 X4 13.59891 Y0 52.25685 Y4 -7.37931 Z0 5.634452 Z4 -0.27297 AA0 52.19446 AA4 -1.24465 BB0 9.667216 BB4 0.108451 CC0 18.95414 CC4 -7.19481 DD0 -5.22761 EE0 -3.15102 EE4 0.2024 FF0 -5.3776 GG0 -5.47598 HH0 -4.65705 HH4 0.10073
A1 B1 B5 C1 D1 D5 E1 F1
-75.7553 -0.20077 0.148305 0.152959 0.001025 -0.01254 2.296985 0.039417
A2 2.782065 B2 -2.31852
G1 G5 H1 H5 I1
0.015461 -0.05489 0.010356 -0.00798 0.046655
G2 -0.00444 G6 0.126892 H2 -0.03318
G3 0.098432
I2 -0.00946
I3 -0.01012
J1 0.000585
J2 -0.00177
J3 -0.37324
K1 0.061312
K2 -0.0353
K3 -0.15523
L1 0.048374
L2 0.030801
L3 -0.00237
M1 2.751579 M5 0.447904 N1 0.464413
M2 0.000372
M3 0.002523
N2 0.001664
N3 0.050524
O1 0.111618
O2 0.000064
O3 0.001859
C2 D2 D6 E2 F2
5.89E-07 -0.0024 -1.80744 0.005401 38.02945
A3 15.76608 B3 0.378539 D3 D7 E3 F3
0.990892 5.599316 -0.00401 -2.00702
H3 0.162817
P1 Q1 R1 S1
1.158349 5.085056 0.102881 1.751793
P2 Q2 R2 S2
0.048442 0.049712 0.014955 0.11496
P3 Q3 R3 S3
T1 U1 V1 W1
-0.09349 -2.99104 -0.14723 0.142017
T2 U2 V2 W2
0.26262 0.634033 6.985118 0.003386
T3 -0.16159
X1 0.351757 X5 -2.02894 Y1 2.770384
X2 -1.79196 X6 0.326136 Y2 -4.08843
X3 0.057745
Z1 0.163417 Z5 0.885483 AA1 0.891015 AA5 0.746079 BB1 0.382055
Z2 -0.35039
Z3 0.023013
AA2 -2.86458
AA3 0.763894
BB2 4.376754
BB3 -15.9855
-0.40212 -0.49973 -0.15331 -0.15842
V3 10.71337 W3 -0.00116
Y3 0.091275
0.162834 0.262716 1.326728 0.913879
CC2 -1.18806
CC3 0.067839
DD2 0.000041 EE2 0.0002
DD3 0.158062 EE3 0.001148
FF1 0.986357 GG1 1.105253 HH1 1.186037
FF2 0.161935 GG2 0.136942 HH2 0.036599
FF3 0.086063 GG3 0.018801 HH3 -0.00484
CC1 CC5 DD1 EE1
342
II0 II4 JJ0 JJ4 KK0 KK4 LL0 LL4 MM0 NN0 NN4 OO0 PP0 PP4 QQ0 QQ4 RR0 RR4 SS0 TT0 UU0 UU4 VV0 VV4 WW3 XX0 XX4 YY0 YY4 ZZ0 AB0 BC0 BC4 CD0 CD4 DE0 EF0 EF4
-2.81147 0.073424 -7298.24 59.27902 -4798.46 0.234669 -34772.4 -167.474 3.196957 24.83953 1.089625 -0.24292 1.168163 4.192671 -2.41869 0.653938 -0.71757 -0.1441 10.32847 18.17521 -1.1025 0.171108 2.336897 0.266854 0.00017 5.902538 0.101098 -1.39772 0.75368 0.16951 1.420847 -610.819 -5.3053 -171.517 -4.24354 -411.531 2.518293 0.857932;
II1 0.994453
II2 0.014452
II3 0.045716
JJ1 -7.6213 JJ5 -28.0142 KK1 -264.58
JJ2 0.970753
JJ3 4.356753
KK2 20.8228
KK3 -52.8954
LL1 -11.3598
LL2 2.974041
LL3 502.7524
MM1 -0.00194 NN1 -2.05682
MM2 0.000698 NN2 0.222163
MM3 0.773665 NN3 -0.03751
OO1 -0.00035 PP1 0.154982
OO2 2.00169 PP2 -0.21694
OO3 0.017416 PP3 0.125793
QQ1 0.229591
QQ2 0.168499
QQ3 0.056843
RR1 RR5 SS1 TT1 UU1 UU5 VV1 WW0 WW4 XX1 XX5 YY1
0.113951 0.540707 2.467604 0.030382 0.387933 0.977127 1.810531 14.89799 -0.34482 0.30096 0.01381 5.182608
RR2 -0.07201
RR3 0.094922
SS2 -0.12891 TT2 44.55636 UU2 -0.06546
SS3 16.88329
ZZ1 AB1 BC1 BC5 CD1 CD5 DE1 EF1
11.90468 5.052522 -0.57891 -1.01232 -0.79039 0.699078 -7.51631 -0.00581
ZZ2 AB2 BC2 BC6 CD2
VV2 WW1 WW5 XX2
UU3 -0.4484
-0.88052 0.385917 0.498321 -0.44337
VV3 -0.38633 WW2 -0.77564
YY2 0.006507
YY3 -0.18651
0.114683 0.047923 0.346849 0.779576 0.055526
ZZ3 -0.59674 AB3 -0.11235 BC3 4.99108
DE2 361.6946 EF2 0.00647
DE3 -0.56893 EF3 -0.28768
XX3 0.000325
CD3 0.732611
343
QPAKN QBENR TFPIN QTAMB
= = = =
A0 B0 C0 D0
+ + + +
QTNKP = PUSDOM = QXSIJ =
E0 + F0 + G0 +
QXSIA QXSIU QXSTJ QXSTA QXSTU
= = = = =
H0 I0 J0 K0 L0
PXSIJ
=
M0 +
PXSIA PXSIU PXSTJ PXSTA PXSTU QMSJD
= = = = = =
N0 O0 P0 Q0 R0 S0
+ + + + + +
QMSAD QMSUD QDUSB PUBDOM
= = = =
T0 U0 V0 W0
+ + + +
QXBIJ
=
X0 +
QXBIA
=
Y0 +
+ + + + +
A1*PPAKN B1*PBENR C1*EDUC D1*PUSDOM
+ A2*(PUSDOM-LPUSDOM) + A3*TREND + B2*PPAKN + B3*PUSDOM + C2*IRIG + D2*(BBM-LBBM) + D3*QPAKN + D5*INTRE + D6*DPENY E1*PUSDOM + E2*ATPU + E3*LBBM F1*LDUSDOM + F2*QXSIA + F3*TREND G1*PXSIJ + G2*(PXSTJ-LPXSTJ) + G3*D_LAW + G5*TREND + G6*LQXSIJ H1*LPXSIA + H2*PXSTA + H3*D_HACCP + H4*LPrUSI I1*(PXSIU-LPXSIU) + I2*D_MRL + I3*TREND J1*LPXSTJ + J2*PXBTJ + J3*D_LAW + J4*TREND K1*PXSTA + K2*(PXBTA-LPXBTA) + K3*D_HACCP L1*(PXSTU/PXSIU) + L2*D_MRL + L4*LQXSTU M1*(PUSD/PUBD) + M2*EXCI + M3*DUSDOM + M4*TREND + M5*LPXSIJ N1*PUSD + N2*EXCI + N3*DUSDOM + N4*TREND; O1*LPUSD + O2*LEXCI + O3*LDUSDOM + O4*LPXSIU P1*(PUSD/PUBD) + P2*(EXCT-LEXCT)+ P3*TREND Q1*(PUSD/PUBD) + Q2*(EXCT-LEXCT)+ Q3*TREND R1*(PUSD/PUBD) + R2*(EXCT-LEXCT)+ R3*TREND S1*(PUBD/PUSD) + S2*GDPJ + S3*TREND + S4*LQMSJD T1*LPUSD + T2*PUBD + T3*TREND U1*(PUSD/PUBD) + U2*LQMSUD V1*(PUSDOM-LPUSDOM) + V2*PUBDOM W1*PUBD + W2*DUBDOM + W4*LPUBDOM X1*(PXBIJ-LPXBIJ) + X2*(PXOIJ-LPXOIJ) + X4*D_LAW + X6*LQXBIJ Y1*(PXBIA-LPXBIA) + Y2*PXBTA
+ + + + + + + + +
; B5*LQBENR; ; D4*(QBENR-LQBENR) D7*TFPIN ; ; F4*LPUSDOM ; G4*PrUSI ; H5*TREND ; I4*PrUSI ; ; K4*TREND ; L3*TREND ; B4*TREND
+
; ; ; ; ;
+ +
V3*TREND W3*TREND
+ +
X3*(PrUBI-LPrUBI) X5*TREND
+
Y3*PrUBI
; ; ; ; ; ;
344
=
Z0 +
Z1*(PUBD-LPUBD)
QXBTJ
= AA0 + AA1*(PUBD-LPUBD)
QXBTA
= BB0 + BB1*PXBTA
QXBTU
= CC0 + CC1*PXBTU
PXBIJ PXBIA
= DD0 + DD1*PUBD = EE0 + EE1*PUBD
PXBIU PXBTJ PXBTA
= FF0 + FF1*PUBD = GG0 + GG1*PUBD = HH0 + HH1*PUBD
PXBTU
= II0 + II1*PUBD
QMBJD
= JJ0 + JJ1*LPUBD
QMBAD
= KK0 + KK1*(PUBD/PUOD)
QMBUD
= LL0 + LL1*LPUBD
PUBD PrUOI
= MM0 + MM1*LTXUBD = NN0 + NN1*LPUBDOM
QDUBO QXOIJ
= OO0 + OO1*(PUBDOM-LPUBDOM) = PP0 + PP1*PXOIJ
QXOIA
= QQ0 + QQ1*PXOIA
QXOIU
= RR0 + RR1*LPXOIU
+ + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +
Y4*D_HACCP Z2*PUOD Z4*D_MRL AA2*LPUOD AA4*TREND BB2*TREND BB4*LQXBTA CC2*PXBTJ CC4*D_MRL DD2*(EXCI-LEXCI) EE2*EXCI EE4*LPXBIA FF2*TREND GG2*EXCT HH2*EXCT HH4*LPXBTA II2*EXCT II4*LPXBTU JJ2*LPUOD JJ4*POPJ KK2*POPA KK4*LQMBAD LL2*PUOD LL4*TREND MM2*TMUBD NN2*(PUOD-LPUOD) NN4*LQXOID OO2*PrUOI PP2*PXOTJ PP4*D_Law QQ2*LPrUOI QQ4*LQXOIA RR2*(PXOTU-LPXOTU)
+ Z3*(PrUBI-LPrUBI) + Z5*LQXBIU + AA3*D_LAW + AA5*LQXBTJ + BB3*D_HACCP + + + +
CC3*(EXCT-LEXCT) CC5*TREND DD3*TREND EE3*TREND
+ FF3*LPXBIU + GG3*TREND + HH3*TREND + II3*TREND + JJ3*GDPJ + JJ5*TREND + KK3*TREND + LL3*POPU + MM3*LPUBD + NN3*LINTRE + OO3*PUOD + PP3*PrUOI + QQ3*D_HACCP + RR3*PrUOI
; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ;
344
QXBIU
345
345
QXOTJ QXOTA QXOTU
= SS0 + SS1*(PXOTJ-LPXOTJ) = TT0 + TT1*(PXOTA-LPXOTA) = UU0 + UU1*(PXOTU-LPXOTU)
PXOIJ
= VV0 + VV1*PUOD
PXOIA
= WW0 + WW1*(PUOD-LPUOD)
PXOIU
= XX0 + XX1*LPUOD
PXOTJ
= YY0 + YY1*(PUOD/PUBD)
PXOTA PXOTU QMOJD
= ZZ0 + ZZ1*(PUOD/PUBD) = AB0 + AB1*(PUOD/PUBD) = BC0 + BC1*PUOD
QMOAD
= CD0 + CD1*(PUOD-LPUOD)
QMOUD PUOD
= DE0 + DE1*(PUOD-LPUOD) = EF0 + EF1*(TXUOD-LTXUOD)
+ RR4*D_MRL + SS2*PXOIJ + TT2*D_HACCP + UU2*(PXOIU-LPXOIU) + UU4*TREND + VV2*PUBD + VV4*LPXOIJ + WW2*PUBD + WW4*TREND + XX2*PUBD + XX4*TREND + YY2*EXCT + YY4*LPXOTJ + ZZ2*EXCT + AB2*EXCT + BC2*GDPJ + BC4*LTRFOJ + BC6*LQMOJD + CD2*GDPA + CD4*LTRFOA + DE2*(GDPU/POPU) + EF2*TMUOD + EF4*LPUOD
+ RR5*LQXOIU + SS3*D_Law + UU3*D_MRL + UU5*LQXOTU + VV3*TREND + + + + +
WW3*(EXCI-LEXCI) WW5*LPXOIA XX3*(EXCI-LEXCI) XX4*LPXOIU YY3*TREND
+ + + +
ZZ3*TREND AB3*TREND BC3*POPJ BC5*TREND
+ + + +
CD3*POPA CD5*LQMOAD DE3*TRFOU EF3*TREND
; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ;
346 /* PERSAMAAN IDENTITAS */ PrUSI = QTAMB+ QTNKP; QXSID = QXSIJ + QXSIA + QXSIU + QXSIL; PrUBI = 0.6*PrUSI + 0.6*QMUSID - 0.6*QDUSL - 0.6*QXSID; QXBID = QXBIJ + QXBIA + QXBIU + QXBIL; QXOID = QXOIJ + QXOIA + QXOIU + QXOIL; DUSDOM = QDUSL+QDUSB; DUBDOM = QDUBO + QDUBL; TXUBD = QXBID+QXBTJ+QXBTA+QXBTU+QXBTL+QXBLL; TMUSD = QMSAD+QMSUD+QMSJD+QMSLL; TMUBD = QMBAD+QMBUD+QMBJD+QMBLL; TXUOD = QXOID+QXOTJ+QXOTA+QXOTU+QXOTL+QXOLL; TMUOD = QMOAD+QMOUD+QMOJD+QMOLL; RCSIJ=(QXSIJ*PXSIJ)/(VXTIJ)/(VXSDJ/VXTDJ); RCSIA=(QXSIA*PXSIA)/(VXTIA)/(VXSDA/VXTDA); RCSIU=(QXSIU*PXSIU)/(VXTIU)/(VXSDU/VXTDU); RCSTJ=(QXSTJ*PXSTJ)/(VXTTJ)/(VXSDJ/VXTDJ); RCSTA=(QXSTA*PXSTA)/(VXTTA)/(VXSDA/VXTDA); RCSTU=(QXSTU*PXSTU)/(VXTTU)/(VXSDU/VXTDU); RCBIJ=(QXBIJ*PXBIJ)/(VXTIJ)/(VXBDJ/VXTDJ); RCBIA=(QXBIA*PXBIA)/(VXTIA)/(VXBDA/VXTDA); RCBIU=(QXBIU*PXBIU)/(VXTIU)/(VXBDU/VXTDU); RCBTJ=(QXBTJ*PXBTJ)/(VXTTJ)/(VXBDJ/VXTDJ); RCBTA=(QXBTA*PXBTA)/(VXTTA)/(VXBDA/VXTDA); RCBTU=(QXBTU*PXBTU)/(VXTTU)/(VXBDU/VXTDU); RCOIJ=(QXOIJ*PXOIJ)/(VXTIJ)/(VXODJ/VXTDJ); RCOIA=(QXOIA*PXOIA)/(VXTIA)/(VXODA/VXTDA); RCOIU=(QXOIU*PXOIU)/(VXTIU)/(VXODU/VXTDU); RCOTJ=(QXOTJ*PXOTJ)/(VXTTJ)/(VXODJ/VXTDJ); RCOTA=(QXOTA*PXOTA)/(VXTTA)/(VXODA/VXTDA); RCOTU=(QXOTU*PXOTU)/(VXTTU)/(VXODU/VXTDU); ID TAHUN; RANGE TAHUN=2004 TO 2008; PROC PRINT DATA=A; RUN;
347 Lampiran 8. Hasil Simulasi Historis Subsidi Harga Pakan sebesar 11.5% Menggunakan Metode Newton, Prosedur SIMNLIN, dan Program SAS/ETS 9.1 The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables Endogenous Parameters Range Variable ID Variables Equations Number of Statements Program Lag Length
85 85 284 TAHUN 1 85 139 1
The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Data Set Options DATA= OUT=
VALIDASI A
Solution Summary Variables Solved Simulation Lag Length Solution Range First Last Solution Method CONVERGE= Maximum CC Maximum Iterations Total Iterations Average Iterations
85 1 TAHUN 2004 2008 NEWTON 1E-8 4.759E-9 3 14 2.8
Observations Processed Read Lagged Solved First Last
6 1 5 16 20
The SAS System
348
The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range TAHUN = 2004 To 2008 Descriptive Statistics Variable QPAKN QBENR TFPIN QTAMB QTNKP PrUSI PUSDOM DUSDOM QXSIJ QXSIA QXSIU QXSTJ QXSTA QXSTU PXSIJ PXSIA PXSIU PXSTJ PXSTA PXSTU QMSJD QMSAD QMSUD QDUSB PrUBI PUBDOM DUBDOM QXBIJ QXBIA QXBIU QXBID QXBTJ QXBTA QXBTU PXBIJ PXBIA PXBIU PXBTJ PXBTA PXBTU QMBJD QMBAD QMBUD TXUBD
N Obs
N
5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
Actual Mean Std Dev 328.8 37.9251 1.0044 322.2 210.5 532.7 22.7312 528.5 0.1395 0.3421 0.1480 0.2786 0.2299 0.1926 7.2015 4.9666 4.5487 7.8013 6.8355 6.0676 2.3295 1.8626 3.6989 299.1 180.3 10.6900 56.9130 41.7502 41.7594 19.6638 123.4 23.7323 84.2703 8.9878 7.0946 5.7512 5.1968 6.9163 5.3380 5.9059 208.2 410.7 460.0 1478.2
63.2508 13.7411 0.0672 66.4532 25.2227 83.5761 4.7156 82.2946 0.0305 0.1094 0.0487 0.0898 0.1184 0.0817 1.0657 2.2822 0.2461 2.1212 1.1270 0.7404 0.3944 0.6066 0.8709 32.7126 19.2215 0.2040 9.4358 6.5741 7.0108 2.6264 17.5921 2.8854 14.6342 6.4506 0.1807 0.3038 0.1660 0.8769 0.2459 0.8499 45.5976 14.3895 42.4477 164.5
Predicted Mean Std Dev 368.3 38.9710 1.0112 362.1 217.5 579.6 24.0424 527.5 0.1284 0.3460 0.1695 0.2661 0.2492 0.1540 6.9610 5.5925 4.6349 7.8920 6.5928 6.6825 2.2089 1.2336 7.8056 298.0 208.5 10.7230 57.2481 43.1826 40.9917 19.9059 124.3 25.3111 82.8377 9.0138 6.9010 5.6256 4.8779 6.9813 5.3196 5.8979 205.0 406.0 461.1 1479.3
43.2617 2.4042 0.0410 44.8984 25.2281 67.3820 2.3758 92.4724 0.0785 0.0436 0.0106 0.0307 0.0215 0.00639 0.2430 2.4791 0.0487 0.5709 0.5409 0.2392 0.1216 0.3755 0.5839 15.4194 31.7933 0.1668 5.9588 6.1714 3.8380 0.7677 13.3937 0.7360 7.6096 1.6796 0.4776 0.7663 0.3046 1.1622 0.8928 0.5752 25.7036 15.2546 42.3586 161.3
349 TMUBD PUBD QDUBO PrUOI QXOIJ QXOIA QXOIU QXOID QXOTJ QXOTA QXOTU PXOIJ PXOIA PXOIU PXOTJ PXOTA PXOTU QMOJD QMOAD QMOUD TXUOD TMUOD PUOD RCSIJ RCSIA RCSIU RCSTJ RCSTA RCSTU RCBIJ RCBIA RCBIU RCBTJ RCBTA RCBTU RCOIJ RCOIA RCOIU RCOTJ RCOTA RCOTU
5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
1555.4 7.1701 50.7423 25.4104 8.0216 7.2813 4.3976 23.7408 28.7598 83.3299 9.5341 6.0761 6.4688 7.5694 6.5820 6.1506 6.5458 63.3663 143.6 114.2 532.5 599.1 8.0751 0.5226 6.3249 2.3978 1.3458 4.5151 3.3957 4.5348 14.0510 3.5812 3.2318 15.7152 1.3847 2.6378 7.0440 4.1772 12.2178 45.8457 6.0977
109.4 0.6438 9.5530 4.7664 0.8837 1.6691 1.1029 4.4714 3.9656 11.6855 4.8635 0.3978 0.2317 0.5080 0.7045 0.2441 0.2633 4.7066 18.8432 9.5458 80.1970 40.6366 0.3058 0.1447 3.6102 0.6512 0.2524 4.1998 1.6434 0.3832 2.0005 0.4793 0.5522 3.1058 0.7886 1.1139 1.3193 0.5201 1.9760 5.3307 2.3268
1548.6 7.0039 51.0774 25.5690 7.9369 6.2386 4.5954 22.8112 25.6812 62.7422 6.8825 5.1886 6.1983 7.7068 6.6583 6.7015 6.7056 59.4599 132.5 113.0 505.3 583.0 7.9819 0.4632 8.0155 2.9904 1.4093 4.5694 3.1729 4.5883 13.5177 3.4343 3.4470 15.1997 1.4718 2.1926 5.6599 4.4997 11.3601 39.4432 4.5889
90.6213 0.5494 6.1544 3.0770 0.3744 1.9873 0.8141 6.2064 0.6491 0.0179 2.3726 1.0243 0.1424 0.4174 0.6299 0.9684 0.2615 4.6730 12.9993 16.0858 66.3607 43.5980 0.3560 0.3034 5.0987 0.9632 0.3387 3.3900 1.0822 0.6520 1.8088 0.5959 0.1893 1.2030 0.0789 0.8988 0.9899 0.4209 3.1700 14.4208 0.8186
350
350
Lampiran 9. Hasil Simulasi Kebijakan Domestik terhadap Penawaran. Permintaan. dan Daya Saing Udang Indonesia Menggunakan Metode Newton, Prosedur SIMNLIN, dan Program SAS/ETS 9.1 No.
Variabel
Satuan
Nilai dasar
Skenario 1
2
3
4
5
6
7
1
Jumlah pakan yang digunakan
ribu ton
322.700
0.0000
0.0000
14.1308
0.0000
0.0000
14.1308
14.1308
2
Jumlah benur yang digunakan
juta ekor
37.583
-0.0013
-0.0003
3.6934
-0.0008
0.0013
3.6929
6.4287
3
Pertumbuhan TFP
%
1.011
0.5736
0.1676
0.0000
0.0000
0.0000
0.1676
0.0000
4
Produksi udang tambak
316.800
1.0101
0.3157
14.2992
0.6944
0.0000
14.6149
14.3308
ribu ton
5
Produksi udang penangkapan
ribu ton
217.500
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
6
Total produksi udang segar Indonesia
ribu ton
534.300
0.5989
0.1872
8.4784
0.4305
0.0000
8.6468
8.4971
7
Harga udang segar domestik
ribu ton
24.064
-0.0062
-0.0021
-0.0906
-0.0042
0.0050
-0.0923
-0.0906
8
Permintaan udang segar domestik
ribu ton
527.500
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
9
Kuantitas ekspor udang segar Indonesia ke Jepang
ribu ton
0.111
1.0801
0.2700
15.5716
0.7201
0.0000
15.9316
15.6616
10
Kuantitas ekspor udang segar Indonesia ke AS
ribu ton
0.346
0.0000
0.0000
-0.1155
0.0000
0.0000
-0.1155
-0.1155
11
Kuantitas ekspor udang segar Indonesia ke UE-27
ribu ton
0.167
0.1196
0.0598
1.3756
0.0598
0.0000
1.4354
1.3756
12
Kuantitas ekspor udang segar Thailand ke Jepang
ribu ton
0.266
0.0000
0.0000
0.0376
0.0000
0.0000
0.0376
0.0376
13
Kuantitas ekspor udang segar Thailand ke AS
ribu ton
0.248
0.0403
0.0403
0.3625
0.0403
0.0805
0.4027
0.3625
14
Kuantitas ekspor udang segar Thailand ke UE-27
ribu ton
0.154
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
15
Harga riil ekspor udang segar Indonesia ke Jepang
US$/kg
6.952
0.0101
0.0029
0.1295
0.0058
-0.0043
0.1323
0.1295
16
Harga riil ekspor udang segar Indonesia ke AS
US$/kg
5.593
0.0000
0.0000
-0.0072
0.0000
0.0018
-0.0072
-0.0072
17
Harga riil ekspor udang segar Indonesia ke UE-27
US$/kg
4.635
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
Skenario: 1. Peningkatan tingkat pendidikan 40% 2. Peningkatan anggaran irigasi 7.48 kali 3. Subsidi Harga Pakan 11%
4. Subsidi harga BBM 30% 5. Penurunan tingkat suku bunga 30% 6. Kombinasi skenario 3 dan 2 7. Kombinasi skenario 2 dan subsidi benur 40%
351
351
Lampiran 9. Lanjutan
No.
Variabel
Satuan
Nilai dasar
Skenario 1
2
3
4
5
6
7
18
Harga riil ekspor udang segar Thailand ke Jepang
US$/kg
7.889
0.0025
0.0000
0.0355
0.0013
0.0025
0.0355
0.0355
19
Harga riil ekspor udang segar Thailand ke AS
US$/kg
6.581
0.0137
0.0046
0.1854
0.0091
0.0182
0.1900
0.1854
20
Harga riil ekspor udang segar Thailand ke UE-27
US$/kg
6.682
0.0000
0.0000
0.0030
0.0000
0.0000
0.0045
0.0030
21
Kuantitas impor udang segar Jepang dari dunia
ribu ton
2.211
-0.0090
-0.0045
-0.1085
-0.0045
0.0045
-0.1131
-0.1085
22
Kuantitas impor udang segar AS dari dunia
ribu ton
1.236
-0.0162
0.0000
-0.2265
-0.0081
-0.0081
-0.2265
-0.2265
23
Kuantitas impor udang segar UE-27 dari dunia
ribu ton
7.817
-0.0102
-0.0038
-0.1458
-0.0064
0.0128
-0.1484
-0.1458
24
Permintaan udang segar oleh industri udang beku
ribu ton
298.000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
25
Total Produksi udang beku Indonesia
ribu ton
181.300
1.0480
0.3309
15.0028
0.7170
0.7170
15.2785
15.0028
26
Harga udang beku domestik
45.455.995
-0.0100
-0.0100
-0.1499
-0.0100
0.0100
-0.1599
-0.1499
27
Permintaan udang beku domestik
ribu ton
57.248
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0667
0.0000
0.0000
28
Kuantitas ekspor udang beku Indonesia ke Jepang
ribu ton
42.902
0.0496
0.0119
0.6550
0.0417
-0.5501
0.6666
0.6562
29
Kuantitas ekspor udang beku Indonesia ke AS
ribu ton
38.470
0.4645
0.1357
6.5564
0.3197
0.2794
6.6921
6.5694
30
Kuantitas ekspor udang beku Indonesia ke UE-27
ribu ton
19.412
0.1808
0.0531
2.5432
0.1293
0.2236
2.5963
2.5484
31
Total Kuantitas ekspor udang beku indonesia ke dunia
ribu ton
121.000
0.2479
0.0826
2.7273
0.1653
-0.0826
2.8099
2.7273
32
Kuantitas ekspor udang beku Thailand ke Jepang
ribu ton
25.318
-0.0020
-0.0008
-0.0257
-0.0012
-0.0055
-0.0265
-0.0257
Rp/kg
33
Kuantitas ekspor udang beku Thailand ke AS
ribu ton
82.843
-0.0005
-0.0001
-0.0068
-0.0002
0.0001
-0.0069
-0.0068
34
Kuantitas ekspor udang beku Thailand ke UE-27
ribu ton
9.002
0.0100
0.0033
0.1355
0.0067
0.0056
0.1378
0.1355
Skenario: 1. Peningkatan tingkat pendidikan 40% 2. Peningkatan anggaran irigasi 7.48 kali 3. Subsidi Harga Pakan 11%
4. Subsidi harga BBM 30% 5. Penurunan tingkat suku bunga 30% 6. Kombinasi skenario 3 dan 2 7. Kombinasi skenario 2 dan subsidi benur 40%
352
352
Lampiran 9. Lanjutan No.
Variabel
Satuan
Nilai dasar
Skenario 1
2
3
4
5
6
7
35
Harga riil ekspor udang beku Indonesia ke Jepang
US$/kg
6.915
-0.0145
-0.0043
-0.2039
-0.0087
-0.0072
-0.2082
-0.2053
36
Harga riil ekspor udang beku Indonesia ke AS
US$/kg
5.637
-0.0124
-0.0035
-0.1987
-0.0071
0.0053
-0.2022
-0.1987
37
Harga riil ekspor udang beku Indonesia ke UE-27
US$/kg
4.889
-0.0164
-0.0061
-0.2291
-0.0102
-0.0020
-0.2332
-0.2291
38
Harga riil ekspor udang beku Thailand ke Jepang
US$/kg
6.993
-0.0114
-0.0043
-0.1687
-0.0071
-0.0057
-0.1716
-0.1687
39
Harga riil ekspor udang beku Thailand ke AS
US$/kg
5.333
-0.0169
-0.0056
-0.2531
-0.0113
-0.0019
-0.2588
-0.2531
40
Harga riil ekspor udang beku Thailand ke UE-27
US$/kg
5.909
-0.0135
-0.0051
-0.1895
-0.0085
-0.0034
-0.1929
-0.1895
41
Kuantitas impor udang beku Jepang dari dunia
ribu ton
205.000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
-0.0488
0.0000
0.0000
42
Kuantitas impor udang beku AS dari dunia
ribu ton
405.500
0.0247
0.0000
0.1233
0.0000
0.0000
0.1233
0.1233
43
Kuantitas impor udang beku UE-27 dari dunia
ribu ton
461.000
0.0000
0.0000
0.0217
0.0000
0.0000
0.0217
0.0217
44
Total ekspor udang beku dunia
ribu ton
1.476.000
0.0136
0.0068
0.2236
0.0136
-0.0068
0.2304
0.2236
45
Total impor udang beku dunia
ribu ton
1.548.100
0.0000
0.0000
0.0323
0.0000
-0.0065
0.0323
0.0323
46
Harga riil udang beku dunia
US$/kg
7.015
-0.0114
-0.0043
-0.1525
-0.0071
-0.0057
-0.1554
-0.1525
47
Permintaan udang beku oleh industri udang olahan
ribu ton
51.077
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0748
0.0000
0.0000
48
Produksi udang olahan Indonesia
ribu ton
25.569
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0747
0.0000
0.0000
49
Kuantitas ekspor udang olahan Indonesia ke Jepang
ribu ton
7.939
-0.0013
0.0000
-0.0239
-0.0013
0.0340
-0.0239
-0.0239
50
Kuantitas ekspor udang olahan Indonesia ke AS
ribu ton
6.234
0.0048
0.0016
0.0706
0.0032
0.0385
0.0722
0.0706
51
Kuantitas ekspor udang olahan Indonesia ke UE-27
ribu ton
4.596
0.0000
0.0000
-0.0087
0.0000
0.0544
-0.0087
-0.0087
Skenario: 1. Peningkatan tingkat pendidikan 40% 2. Peningkatan anggaran irigasi 7.48 kali 3. Subsidi Harga Pakan 11%
4. Subsidi harga BBM 30% 5. Penurunan tingkat suku bunga 30% 6. Kombinasi skenario 3 dan 2 7. Kombinasi skenario 2 dan subsidi benur 40%
353
353
Lampiran 9. Lanjutan
No.
Variabel
Satuan
Nilai dasar
Skenario 1
2
3
4
5
6
7
52
Total Kuantitas ekspor udang olahan indonesia ke dunia
ribu ton
22.809
0.0009
0.0004
0.0092
0.0004
0.0338
0.0096
0.0092
53
Kuantitas ekspor udang olahan Thailand ke Jepang
ribu ton
25.665
0.0047
0.0016
0.0631
0.0031
0.0179
0.0647
0.0635
54
Kuantitas ekspor udang olahan Thailand ke AS
ribu ton
62.742
0.0002
0.0000
0.0011
0.0000
0.0002
0.0011
0.0011
55
Kuantitas ekspor udang olahan Thailand ke UE-27
ribu ton
6.875
0.0073
0.0015
0.1047
0.0044
-0.0175
0.1062
0.1047
56
Harga riil ekspor udang olahan Indonesia ke Jepang
US$/kg
5.178
0.0155
0.0058
0.2144
0.0097
-0.0097
0.2202
0.2163
57
Harga riil ekspor udang olahan Indonesia ke AS
US$/kg
6.186
0.0129
0.0032
0.1940
0.0081
-0.0210
0.1972
0.1940
58
Harga riil ekspor udang olahan Indonesia ke UE-27
US$/kg
7.702
0.0052
0.0013
0.0662
0.0026
0.0013
0.0675
0.0662
59
Harga riil ekspor udang olahan Thailand ke Jepang
US$/kg
6.642
0.0166
0.0045
0.2484
0.0105
-0.0301
0.2529
0.2484
60
Harga riil ekspor udang olahan Thailand ke AS
US$/kg
6.680
0.0240
0.0075
0.3249
0.0150
0.0314
0.3323
0.3264
61
Harga riil ekspor udang olahan Thailand ke UE-27
US$/kg
6.696
0.0105
0.0030
0.1374
0.0060
0.0134
0.1404
0.1374
62
Kuantitas impor udang olahan Jepang dari dunia
ribu ton
59.460
0.0002
0.0000
0.0003
0.0002
0.0002
0.0003
0.0003
63
Kuantitas impor udang olahan AS dari dunia
ribu ton
132.500
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
64
Kuantitas impor udang olahan UE-27 dari dunia
ribu ton
113.000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
65
Total ekspor udang olahan dunia
ribu ton
505.200
0.0000
0.0000
0.0198
0.0000
0.0198
0.0198
0.0198
66
Total impor udang olahan dunia
ribu ton
583.000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
67
Harga riil udang olahan dunia
US$/kg
7.982
0.0000
0.0000
-0.0013
0.0000
-0.0013
-0.0013
-0.0013
Skenario: 1. Peningkatan tingkat pendidikan 40% 2. Peningkatan anggaran irigasi 7.48 kali 3. Subsidi Harga Pakan 11%
4. Subsidi harga BBM 30% 5. Penurunan tingkat suku bunga 30% 6. Kombinasi skenario 3 dan 2 7. Kombinasi skenario 2 dan subsidi benur 40%
354
No.
354
Lampiran 9. Lanjutan Variabel
Nilai dasar
Skenario 1
2
3
4
5
6
7
68
Indeks RCA udang segar Indonesia ke Jepang
0.400
1.0997
0.2999
15.7711
0.7498
-0.0250
16.0960
15.8210
69
Indeks RCA udang segar Indonesia ke AS
8.024
-0.0075
-0.0025
-0.1034
-0.0050
-0.0324
-0.1059
-0.1034
70
Indeks RCA udang segar Indonesia ke UE-27
2.950
0.0983
0.0305
1.3832
0.0678
0.0034
1.4104
1.3832
71
Indeks RCA udang segar Thailand ke Jepang
1.409
0.0071
0.0000
0.0497
0.0071
0.0142
0.0497
0.0497
72
Indeks RCA udang segar Thailand ke AS
4.552
0.0264
0.0066
0.3734
0.0154
0.0857
0.3800
0.3734
73
Indeks RCA udang segar Thailand ke UE-27
3.173
0.0000
0.0000
0.0063
0.0000
0.0000
0.0063
0.0063
74
Indeks RCA udang beku Indonesia ke Jepang
4.568
0.0350
0.0066
0.4356
0.0306
-0.6042
0.4422
0.4378
75
Indeks RCA udang beku Indonesia ke AS
12.708
0.4517
0.1283
6.3707
0.3014
-0.1786
6.4990
6.3833
76
Indeks RCA udang beku Indonesia ke UE-27
3.354
0.1700
0.0477
2.4003
0.1163
0.0447
2.4510
2.4062
77
Indeks RCA udang beku Thailand ke Jepang
3.454
-0.0145
-0.0058
-0.2113
-0.0116
-0.0232
-0.2171
-0.2113
78
Indeks RCA udang beku Thailand ke AS
15.243
-0.0197
-0.0059
-0.2808
-0.0125
-0.0269
-0.2867
-0.2814
79
Indeks RCA udang beku Thailand ke UE-27
1.473
0.0000
0.0000
-0.0679
0.0000
-0.0068
-0.0679
-0.0679
80
Indeks RCA udang olahan Indonesia ke Jepang
2.189
0.0091
0.0046
0.1690
0.0046
0.0183
0.1736
0.1690
81
Indeks RCA udang olahan Indonesia ke AS
5.645
0.0177
0.0053
0.2693
0.0106
0.0248
0.2746
0.2711
82
Indeks RCA udang olahan Indonesia ke UE-27
4.497
0.0044
0.0000
0.0578
0.0022
0.0534
0.0578
0.0578
83
Indeks RCA udang olahan Thailand ke Jepang
11.330
0.0194
0.0053
0.2701
0.0115
-0.0247
0.2754
0.2710
84
Indeks RCA udang olahan Thailand ke AS
39.330
0.0201
0.0058
0.2871
0.0125
0.0224
0.2929
0.2876
85
Indeks RCA udang olahan Thailand ke UE-27
4.578
0.0175
0.0044
0.2469
0.0109
-0.0022
0.2512
0.2469
Skenario: 1. Peningkatan tingkat pendidikan 40% 2. Peningkatan anggaran irigasi 7.48 kali 3. Subsidi Harga Pakan 11%
4. Subsidi harga BBM 30% 5. Penurunan tingkat suku bunga 30% 6. Kombinasi skenario 3 dan 2 7. Kombinasi skenario 2 dan subsidi benur 40%
355 Lampiran 10. Data untuk Menghitung TFP (Output) pada Tingkat Lapang NO. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38
Q_Udang/Ha 115,63 209,72 123,33 142,86 60,74 103,79 114,20 137,73 238,64 168,86 101,79 88,10 120,00 81,67 58,33 83,85 196,88 71,76 77,80 109,85 71,91 120,61 53,96 38,04 58,75 204,83 86,41 81,21 113,80 90,57 27,12 166,46 71,19 113,90 72,79 113,43 80,37 76,79
P_Udang/kg 60 000,00 40 000,00 60 000,00 35 000,00 47 000,00 48 000,00 50 000,00 55 000,00 55 000,00 38 000,00 52 000,00 60 000,00 65 000,00 50 000,00 65 000,00 48 000,00 40 000,00 43 000,00 55 000,00 57 000,00 63 000,00 43 000,00 68 000,00 57 000,00 44 000,00 29 000,00 66 000,00 55 800,00 60 000,00 56 000,00 55 000,00 55 000,00 59 000,00 57 000,00 52 000,00 53 000,00 59 000,00 53 000,00
Size (ekor/kg) 45,00 60,00 35,00 55,00 50,00 50,00 52,50 35,00 40,00 65,00 45,00 40,00 40,00 35,00 35,00 50,00 65,00 50,00 41,00 37,00 35,00 55,00 30,00 37,00 55,00 120,00 33,00 40,00 35,00 34,00 40,00 40,00 30,00 35,00 40,00 42,00 30,00 42,00
Q_Bandeng/Ha P_Bandeng/kg 375,00 6 500,00 333,33 6 500,00 400,00 6 500,00 500,00 6 500,00 150,00 6 500,00 363,64 6 500,00 340,00 6 500,00 425,00 6 500,00 750,00 6 500,00 500,00 6 500,00 357,14 6 500,00 285,71 6 500,00 500,00 6 500,00 500,00 6 500,00 416,67 6 500,00 250,00 6 500,00 350,00 6 500,00 285,71 6 500,00 342,11 6 500,00 153,85 6 500,00 513,60 6 500,00 526,32 6 500,00 202,86 6 500,00 89,29 6 500,00 200,00 6 500,00 200,00 6 500,00 166,67 6 500,00 250,00 6 500,00 312,00 6 500,00 160,00 6 500,00 108,57 6 500,00 355,56 6 500,00 192,31 6 500,00 100,00 6 500,00 205,88 6 500,00 240,00 6 500,00 200,00 6 500,00 300,00 6 500,00
356 Lampiran 10. Lanjutan NO. 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78
Q_Udang/Ha 157,29 98,81 127,58 188,89 413,33 199,43 92,90 66,11 70,54 71,10 184,78 103,33 268,93 106,39 121,56 201,02 73,33 130,40 105,56 12 637,24 13 239,06 14 463,87 15 984,59 11 493,80 15 450,86 15 535,65 14 565,24 13 584,34 13 159,26 13 935,22 11 666,67 13 000,00 6 666,67 8 392,86 15 250,00 15 000,00 9 393,94 4 166,67 6 727,27 8 500,00
P_Udang/kg 48 000,00 57 000,00 33 000,00 45 000,00 45 000,00 35 000,00 62 000,00 45 000,00 56 000,00 55 000,00 45 000,00 45 000,00 35 000,00 44 000,00 32 000,00 48 000,00 45 000,00 50 000,00 45 000,00 37 400,00 36 200,00 38 200,00 39 400,00 36 800,00 38 000,00 38 200,00 37 400,00 37 200,00 38 600,00 37 000,00 41 000,00 35 500,00 37 000,00 41 000,00 40 000,00 45 000,00 42 000,00 35 000,00 38 000,00 37 000,00
Size (ekor/kg) 50,00 35,00 75,00 30,00 40,00 70,00 25,00 35,00 28,00 35,00 45,00 35,00 86,00 55,00 30,00 63,00 40,00 55,00 40,00 68,00 74,40 63,50 58,00 71,30 65,00 63,50 67,50 69,00 62,00 70,00 40,00 70,00 70,00 50,00 56,00 40,00 70,00 80,00 70,00 70,00
Q_Bandeng/Ha P_Bandeng/kg 300,00 6 500,00 13,89 6 500,00 140,00 6 500,00 200,00 6 500,00 1200,00 6 500,00 600,00 6 500,00 600,00 6 500,00 250,00 6 500,00 500,00 6 500,00 178,50 6 500,00 310,00 6 500,00 300,00 6 500,00 250,00 6 500,00 50,00 6 500,00 500,00 6 500,00 170,00 6 500,00 300,00 6 500,00 120,00 6 500,00 250,00 10 000,00
357 Lampiran 10. Lanjutan NO. 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118
Q_Udang/Ha 19 000,00 18 800,00 10 000,00 10 000,00 12 000,00 8 333,33 5 833,33 7 500,00 10 370,37 13 333,33 20 000,00 10 714,29 8 097,97 15 023,65 15 345,85 15 078,15 14 399,10 14 514,80 15 025,50 14 918,35 14 739,70 15 946,40 16 022,65 15 289,50 15 972,45 19 120,00 18 059,90 17 735,45 17 725,25 17 620,05 17 737,10 14 308,40 25 571,35 15 057,50 14 662,55 13 986,48 13 675,55 14 221,70 12 348,68 14 600,40
P_Udang/kg 40 000,00 43 000,00 40 000,00 38 500,00 35 000,00 47 000,00 38 500,00 34 000,00 47 000,00 39 000,00 48 000,00 18 500,00 37 000,00 27 800,00 28 000,00 30 000,00 29 800,00 28 800,00 29 000,00 29 600,00 29 800,00 26 600,00 27 000,00 28 200,00 28 600,00 29 600,00 29 000,00 28 600,00 29 000,00 27 000,00 27 600,00 28 600,00 26 800,00 27 400,00 27 600,00 28 200,00 27 600,00 27 400,00 26 400,00 26 800,00
Size (ekor/kg) 60,00 50,00 52,00 60,00 70,00 70,00 60,00 75,00 70,00 70,00 50,00 78,00 60,00 71,01 69,67 60,41 60,88 66,44 65,10 62,37 61,50 76,75 75,37 69,42 66,78 62,11 64,91 66,62 65,41 75,28 71,54 66,84 75,95 73,37 71,90 69,29 72,14 73,14 78,31 75,79
Q_Bandeng/Ha P_Bandeng/kg
358 Lampiran 10. Lanjutan NO. 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156
Q_Udang/Ha 12 192,63 11 002,50 14 490,85 12 183,78 12 893,43 11 886,60 22 421,05 10 839,50 10 317,85 10 290,00 15 130,68 14 303,25 12 735,93 9 799,25 10 502,50 12 130,00 10 777,50 12 447,50 10 157,50 9 812,50 5 505,00 13 332,50 16 167,50 7 111,11 25 000,00 14 400,00 17 000,00 20 363,64 10 000,00 7 600,00 4 000,00 335,57 1 000,00 375,00 3 150,00 2 083,33 2 887,50 5 727,50
P_Udang/kg 28 400,00 27 400,00 28 600,00 27 600,00 28 200,00 28 200,00 30 600,00 29 800,00 31 200,00 27 600,00 27 000,00 26 800,00 27 200,00 27 200,00 31 900,00 31 600,00 31 900,00 32 500,00 32 500,00 33 700,00 31 000,00 31 000,00 31 600,00 36 500,00 44 000,00 32 000,00 40 000,00 41 000,00 60 000,00 37 500,00 32 000,00 40 000,00 40 000,00 40 000,00 32 000,00 25 000,00 53 000,00 47 000,00
Size (ekor/kg) 68,25 73,17 67,00 72,20 69,06 69,48 57,55 61,07 56,38 72,15 74,85 76,42 73,91 73,72 52,25 53,26 51,68 50,36 49,78 45,55 55,45 54,68 53,29 75,00 46,00 78,00 55,00 52,00 33,00 65,00 80,00 40,00 40,00 49,00 65,00 65,00 46,00 55,00
Q_Bandeng/Ha P_Bandeng/kg
359 Lampiran 10. Lanjutan NO. 157 158 159 160 161 162 163
Q_Udang/Ha 12 457,50 12 467,50 9 577,50 8 007,50 1 922,50 3 040,00 4 500,00
P_Udang/kg 52 500,00 48 000,00 54 000,00 48 000,00 40 000,00 35 000,00 40 000,00
Size (ekor/kg) 47,00 52,00 41,00 52,00 59,00 40,00 62,00
Q_Bandeng/Ha P_Bandeng/kg