ANALISIS DAYA SAING EKSPOR KARET ALAM INDONESIA DI PASAR INTERNASIONAL
EKA RATNAWATI
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
QS. Al Hujuraat (49): 10
Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.
RINGKASAN EKA RATNAWATI. Analisis Daya Saing Ekspor Karet Alam Indonesia di Pasar Internasional. Dibimbing Oleh ADI HADIANTO Menghadapi era perdagangan bebas saat ini penting artinya untuk melihat keunggulan dan daya saing yang dimiliki setiap negara, mengingat globalisasi menuntut adanya persaingan. Karet alam merupakan salah satu produk andalan ekspor Indonesia. Indonesia merupakan suatu negara yang memiliki areal karet alam terbesar didunia. Meskipun demikian, Indonesia hanya menjadi eksportir terbesar kedua setelah Thailand. Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat perkembangan ekspor karet alam Indonesia serta untuk mengetahui struktur pasar yang terbentuk pada komoditas karet alam di pasar internasional. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk melihat apakah Indonesia, sebagai salah satu negara pengekspor karet alam terbesar memiliki keunggulan untuk produk tersebut, baik secara komparatif maupun kompetitif. Struktur pasar yang terbentuk pada perdagangan karet alam di pasar internasional dilakukan dengan menggunakan analisis Herfindahl Index (HI) dan Concentration Ratio (CR), sedangkan analisis daya saing ekspornya dilakukan dengan menggunakan analisis Revealed Comparative Advantage (RCA) untuk melihat status keunggulan komparatif dan Export Competitiveness Index (ECI) untuk melihat status keunggulan kompetitif negara eksportir karet alam. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini menyatakan bahwa struktur pasar yang terbentuk pada perdagangan karet internasional adalah struktur pasar yang berbentuk oligopoly, yang mana pasar dikuasai oleh tiga eksportir utama karet alam, yaitu Thailand, Indonesia, dan Malaysia. Pangsa pasar rata-rata yang dikuasai oleh ketiga negara ini dalam kurun waktu 2001-2009 adalah sebesar 78%, yang mana hal ini berarti dalam kurun waktu tersebut, ketiga negara eksportir utama karet alam internasional menguasai 78% pasar karet alam internasional. Perhitungan mengenai keunggulan komparatif negara-negara eksportir karet alam menyatakan bahwa masing-masing negara eksportir utama tersebut memiliki keunggulan komparatif. Hal ini terlihat dari nilai RCA yang lebih besar dari 1. Berbeda dengan perhitungan tersebut, perhitungan mengenai keunggulan kompetitif negara ekspotir utama karet alam dengan menggunakan analisis ECI menyatakan bahwa hingga tahun 2008, hanya Indonesia yang memiliki keunggulan kompetitif, sedangkan Thailand dan Malaysia tidak memiliki keunggulan ini. Hal tersebut dilihat dari nilai ECI yang lebih kecil dari 1. Perhitungan tersebut memberikan gambaran bahwa Indonesia memiliki peluang yang sangat besar dalam perdagangan (ekspor) karet alam. Hal ini tentu saja tidak terlepas dari keunggulan yang dimiliki Indonesia dalam perdagangan karet alam, sehingga daya saing yang dimiliki Indonesia perlu untuk dipertahankan bahkan ditingkatkan.
Kata kunci : karet alam, struktur pasar, daya saing
PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “ANALISIS DAYA SAING EKSPOR KARET ALAM INDONESIA DI PASAR INTERNASIONAL” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH
GELAR
AKADEMIK
TERTENTU.
SAYA
JUGA
MENYATAKAN SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, Januari 2011 Eka Ratnawati NIM: H44061590
ANALISIS DAYA SAING EKSPOR KARET ALAM INDONESIA DI PASAR INTERNASIONAL
EKA RATNAWATI H44061590
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk Memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
Judul Skripsi : Analisis Daya Saing Ekspor Karet Alam Indonesia di Pasar Internasional Nama
: Eka Ratnawati
NIM
: H44061590
Menyetujui, Pembimbing,
Adi Hadianto, SP, M.Si NIP: 19790615 200501 1 004
Mengetahui, Ketua Departemen,
Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT NIP: 19660717 199203 1 003
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara pasangan resmi ibu Titi Ariyati dan ayah M. Jamhari. Penulis dilahirkan dengan selamat di Kecamatan Sangasanga, Kabupaten Kutai Kartanegara, Propinsi Kalimantan Timur pada hari Rabu tanggal 15 Juli 1987. Pendidikan formal dijalani penulis sejak tahun 1992 di Taman KanakKanak Merpati, Sangasanga. Pendidikan kemudian dilanjutkan di Sekolah Dasar Negeri 009 Sangasanga, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 1 Sangasanga, dan Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Sangasanga. Setelah menyelesaikan pendidikan tingkat atas pada tahun 2006, penulis menerima bantuan dana pendidikan dari Pemda Kabupaten Kutai Kartanegara berupa Beasiswa Utusan Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara untuk melanjutkan pendidikan S1 pada Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
PRAKATA
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya maka penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat serta salam semoga tetap tercurah kepada junjungan umat, Nabi Besar Muhammad SAW yang menjadi teladan bagi umatnya dan membawa perubahan menuju peradaban yang lebih baik. Skripsi yang berjudul “Analisis Daya Saing Ekspor Karet Alam Indonesia di Pasar Internasional” ini dimaksudkan untuk melengkapi syarat penyelesaian studi jenjang Strata 1 (S1) di Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini dapat terselesaikan berkat kerja keras, do’a, dorongan, dan bantuan yang luar biasa dari berbagai pihak. Terimakasih utamanya penulis sampaikan kepada mama tercinta, Titi Ariyati yang senantiasa berjuang dengan kesabaran serta do’a yang tiada putusputusnya, dan adikku, Nur Ratih atas dorongan dan semangat yang diberikan. Tak lupa penulis juga menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada pihak Pemda Kutai Kartanegara atas bantuan dana yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan S1 dengan baik. Terimakasih kepada bapak dan seluruh keluarga besar, baik yang berada di Sangasanga, Samarinda, Balikpapan, maupun di Haruai yang senantiasa memberikan do’a dan dukungan, Ninuk dan keluarga di Tenggarong yang terus memberikan do’a dan secercah harapan. Kepada seluruh guru yang telah mengajar penulis sejak Taman Kanak-Kanak sampai dengan jenjang Perguruan Tinggi (apresiasi dan terimakasih yang tiada habisnya pada bapak dan ibu semua). Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada dosen pembimbing, Bapak Adi Hadianto yang telah memberikan ilmu, motivasi, masukan, dan bimbingan terbaik bagi penulis. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada dosen penguji
utama, Bapak Ujang Sehabudin, serta kepada dosen penguji wakil departemen, Bapak Novindra atas masukan yang diberikan. Kepada pengurus perpustakaan balai penelitian karet penulis juga mengucapkan terimakasih atas informasiinformasi yang telah diberikan. Juga kepada mba Aam atas bantuan yang diberikan. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada sahabat seperjuangan di Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Riana Ekawati (terus semangat untuk mengukir kembali mimpi kita bu), sahabat 99, Yunita Mukti Noor Yanti, Harli Septian, Rafik Albar, Hairika Maulani, Agustya Lutfiani, dan semuanya yang tidak dapat disebutkan satu persatu (semoga persahabatan tetap menyatukan kita). Kepada teman-teman di Pondok RIZQI, Yanti (yanti???), mba Ummi (begadang lagi mba?), mba Peni, mba Wage, Isma, Reni, dan semuanya atas bantuan dan semangat yang diberikan. Tak lupa penulis juga mengucapkan terimakasih kepada para sahabat dan semua teman semasa TK, SD, SLTP, SMA, TPB (B01_ers), teman-teman di FM BUD KUKAR, organisasi, kepanitiaan, serta teman-teman di Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan yang namanya tidak dapat disebutkan satu per satu (kalian semua telah memberikan warna dalam hidup saya). Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Namun penulis berharap penulisan skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan pengetahuan bagi semua pihak yang berkepentingan. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Bogor, Januari 2011 Eka Ratnawati
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR .............................................................................
xii
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................... xiii I.
PENDAHULUAN ......................................................................
1
1.1. 1.2. 1.3. 1.4. 1.5.
Latar Belakang .................................................................. Perumusan Masalah ........................................................... Tujuan Penelitian............................................................... Manfaat Penelitian ............................................................. Ruang Lingkup Penelitian .................................................
1 7 9 9 9
TINJAUAN PUSTAKA .............................................................
11
2.1. 2.2. 2.3. 2.4. 2.5.
Peran Sektor Pertanian....................................................... Perkebunan........................................................................ Konsep Keunggulan dan Daya Saing Ekspor ..................... Ekspor sebagai Sumber Devisa .......................................... Karet Alam ........................................................................ 2.5.1. Perbedaan Karet Alam dengan Karet Sintetis ....... 2.5.2. Jenis-Jenis Karet Alam ........................................ 2.5.3. Manfaat Karet ...................................................... 2.6. Bentuk Kerjasama Antar Negara Produsen Karet Alam ..... 2.7. Penelitian Terdahulu ..........................................................
11 12 15 16 18 20 21 25 27 29
III.
KERANGKA PEMIKIRAN .......................................................
33
IV.
METODOLOGI PENELITIAN ..................................................
39
4.1. Jenis dan Sumber Data ...................................................... 4.2. Metode Pengolahan dan Analisis Data ............................... 4.2.1. Analisis Struktur Pasar ......................................... 4.2.2. Analisis RCA ....................................................... 4.2.3. Analisis ECI ........................................................
39 39 40 43 44
GAMBARAN UMUM KARET ALAM .....................................
46
5.1. Sejarah Karet Dunia dan Indonesia .................................... 5.2. Permintaan dan Penawaran Karet Alam ............................. 5.3. Perkembangan Produksi Karet Alam Indonesia dibandingkan Thailand dan Malaysia sebagai Produsen Utama Karet Alam Dunia .................................................. 5.4. Sentra Produksi Karet Indonesia ........................................ 5.5. Kemajuan Pemuliaan Karet Indonesia ............................... 5.5.1. Produktivitas Karet .............................................. 5.5.2. Pertumbuhan Tanaman Belum Menghasilkan (TBM) .................................................................
46 49
II.
V.
51 58 62 62 63
5.5.3. 5.5.4.
Pertumbuhan Tanaman Menghasilkan (TM) ........ Tipe Keunggulan Klon .........................................
64 65
PERKEMBANGAN EKSPOR KARET ALAM INDONESIA ...
67
6.1. Perkembangan Nilai dan Volume Ekspor Karet Alam Indonesia ........................................................................... 6.2. Tujuan Ekspor Karet Alam Indonesia ................................ 6.3. Perkembangan Ekspor Karet Alam Negara Pesaing ...........
67 70 73
STRUKTUR PASAR KARET ALAM DI PASAR INTERNASIONAL ....................................................................
77
7.1. Pangsa Pasar Karet Alam................................................... 7.2. Herfindahl Index dan Concentration Ratio ........................
77 79
DAYA SAING EKSPOR KARET ALAM .................................
82
8.1. Analisis Revealed Comperative Advantage ........................ 8.2. Analisis Export Competitiveness Index ..............................
83 86
KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................
90
9.1. Kesimpulan ....................................................................... 9.2. Saran .................................................................................
90 91
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................
93
LAMPIRAN ..........................................................................................
99
VI.
VII.
VIII.
IX.
x
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Kontribusi Ekspor Sektor Pertanian terhadap Ekspor NonMigas Tahun 2000-2009 (Juta US$) ......................................................
2
2. Kontribusi Ekspor Karet Alam terhadap Ekspor NonMigas (Juta US$) .................................................................................. 3 3. Ranking Global Competitiveness Indeks (GCI) ........................... 5 4. Kelompok Karet dan Barang-Barang Karet................................. 20 5. Standard Indonesian Rubber (SIR) ............................................. 24 6. Perkembangan Nilai dan Produksi Karet Alam Negara Eksportir Utama......................................................................................... 56 7. Rata-Rata Penguasaan Lahan Petani Karet Rakyat per KK (Ha/KK) ..................................................................................... 60 8. Pengelompokkan Klon Karet berdasarkan Laju Pertumbuhan TBM .......................................................................................... 63 9. Pengelompokkan Klon Karet berdasarkan Pertumbuhan Batang TM ............................................................................................. 64 10. Tipe Klon Unggul berdasarkan Pola Produksi Karet Kering dan Laju Pertumbuhan Batang .......................................................... 65 11. Nilai Ekspor Karet Alam Dunia .................................................. 67 12. Nilai Ekspor Karet Alam Indonesia ............................................ 68 13. Volume Ekspor Karet Alam Indonesia ........................................ 69 14. Kuantitas Ekspor Karet Alam Indonesia ke Negara Tujuan Ekspor Utama ............................................................................. 70 15. Nilai Ekspor Karet Alam Indonesia ke Negara Tujuan Ekspor Utama......................................................................................... 72 16. Kuantitas Ekspor Negara Pesaing Utama Karet Alam Dunia ....... 73 17. Nilai Ekspor Negara Pesaing Utama Karet Alam Dunia .............. 74 18. Harga Ekspor Karet Alam Negara Eksportir Utama (US$/ton) .... 75 19. Hasil Perhitungan Herfindahl Index dan Concentration Ratio Negara Eksportir Karet Alam ..................................................... 79
xi
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. World Economic Forum: 12 Pillars of Competitiveness .............. 6 2. Diagram Alur Kerangka Pemikiran ............................................. 38 3. Perbandingan Luas Areal Tanam dan Produktivitas Karet Alam Negara Produsen Utama ............................................................. 53 4. Perkembangan Produktivitas Lahan Karet alam Indonesia berdasarkan Status Pengusahaan ................................................. 55 5. Perkembangan Luas Lahan Tanaman Menghasilkan terhadap Luas Lahan Total Karet Alam Indonesia ..................................... 61 6. Persentase Volume Ekspor Karet Alam Indonesia ke Beberapa Negara Tujuan Ekspor Utama ..................................................... 71 7. Penguasaan Pasar Eksportir Utama Karet Alam .......................... 78 8. Perbandingan Nilai RCA Negara Eksportir Utama Karet Alam... 83 9. Hasil Perhitungan ECI Negara Eksportir Karet Alam .................. 87
xii
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Luas Areal Karet Perkebunan Rakyat Menurut Provinsi di Indonesia (Ha) ............................................................................ 100 2. Produksi Karet Perkebunan Rakyat Menurut Provinsi di Indonesia (ton) ........................................................................... 101 3. Perhitungan Penguasaan Pasar Negara Eksportir Karet Alam Dunia ......................................................................................... 103 4. Hasil Perhitungan RCA Negara Eksportir Karet Alam ................ 110
xiii
I. PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya
berusaha di bidang pertanian. Dengan tersedianya lahan dan jumlah tenaga kerja yang besar, diharapkan sektor ini dapat mendorong pertumbuhan perekonomian nasional. Badan Pusat Statistik Indonesia mencatat rata-rata penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian periode 2003-2010 sebesar 42,75%, meskipun kontribusi sektor ini terhadap PDB nasional hanya sekitar 15% (Badan Pusat Statistik, 2010). Kontribusi sektor pertanian terhadap pembentukan devisa negara tergolong cukup besar, terutama subsektor perkebunan Sektor pertanian Indonesia pada neraca perdagangan periode 2006-2008 menunjukkan nilai yang positif (surplus). Menurut data BPS (2009), pada tahun 2006 neraca perdagangan sektor pertanian mengalami surplus sebesar 8,9 juta US$. Nilai ini meningkat pada tahun 2007 menjadi 13,3 juta US$ dan tahun 2008 sebesar 12,4 juta US$. Surplus yang terjadi pada neraca perdagangan sektor pertanian dikarenakan nilai ekspor komoditas pertanian yang cenderung mengalami peningkatan, yaitu dari sebesar 2,7 milyar US$ pada tahun 2000 menjadi 4,6 milyar US$ pada tahun 2008. Besaran nilai ekspor sektor pertanian periode 20002008 diperlihatkan pada Tabel 1. Peningkatan nilai ekspor ini mengindikasi perbaikan yang terjadi di bidang pertanian terhadap ekspor nonmigas. Pada Tabel 1 terlihat kontribusi ekspor sektor pertanian terhadap ekspor nonmigas selama periode 2000-2008 berkisar antara 4-5%.
Tabel 1. Kontribusi Ekspor Sektor Pertanian terhadap Ekspor Nonmigas Tahun 2000-2008 (Juta US$) Ekspor Ekspor Kontribusi Ekspor Pertanian Tahun Pertanian Nonmigas terhadap Ekspor Nonmigas 2000 2 709,1 47 757,4 5,67% 2001 2 438,5 43 684,6 5,58% 2002 2 568,3 45 046,1 5,70% 2003 2 526,2 47 406,6 5,33% 2004 2 496,2 55 939,3 4,46% 2005 2 880,3 66 428,5 4,34% 2006 3 364,9 78 589,1 4,28% 2007 3 657,8 92 012,3 3,98% 2008 4 584,6 107 894,1 4,25% Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah), 2003-2009 Melihat besaran kontribusi ekspor sektor pertanian terhadap ekspor nonmigas di atas, maka pengembangan sektor pertanian diharapkan dapat menjadi pendorong pembangunan ekonomi nasional di masa mendatang. Hal ini salah satunya dapat dilakukan dengan pengembangan komoditas unggulan pertanian. Dalam Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2010-2014 terdapat 39 komoditas pertanian yang ingin dipacu produksinya. Dari jumlah tersebut terdapat 14 komoditas yang pengembangannya bukan untuk pemenuhan kebutuhan pangan tetapi lebih kepada substitusi impor, pemenuhan kebutuhan bahan baku industri dalam negeri, serta pengembangan ekspor. Karet merupakan salah satu komoditas unggulan yang menjadi target pengembangan karena memiliki potensi pasar yang cukup luas, terutama di pasar ekspor. Pengutamaan ekspor bagi Indonesia sudah digalakkan sejak tahun 1983 (Basri, 2002). Bahkan sejak tahun 1988, sumber utama perolehan devisa Indonesia bertumpu pada penerimaan ekspor nonmigas (Dumairy, 1996). Dalam perkembangannya, ekspor memiliki peranan yang penting dalam perekonomian nasional, terlebih sejak digulirkannya perundingan WTO menuju perdagangan dunia tanpa hambatan. Perekonomian Indonesia saat terjadinya krisis moneter
2
yang menimbulkan guncangan sosial dan politik dapat terselamatkan salah satunya oleh kinerja ekspor pertanian (Basri, 2002). Kinerja ekspor pertanian Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang cukup baik, khususnya hasil perkebunan. Salah satu ekspor komoditas yang menjadi andalan Indonesia adalah komoditas karet dan barang karet, di samping CPO yang tetap menjadi primadona ekspor Indonesia. Kontribusi nilai ekspor karet alam Indonesia terhadap ekspor nonmigas diperlihatkan pada Tabel 2. Persentase ekspor karet alam Indonesia terhadap ekspor non migas cenderung meningkat, yaitu dari 1,8% pada tahun 2001 menjadi 5,61% pada tahun 2008 (Badan Pusat Statistik, 2009). Pertumbuhan yang secara signifikan mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan kinerja yang cukup baik dari komoditas ini (Parhusip, 2008). Tabel 2. Kontribusi Ekspor Karet Alam terhadap Ekspor Nonmigas (Juta US$) Ekspor Ekspor Persentase Ekspor Karet Alam Tahun Nonmigas Karet Alam Thd Ekspor Non Migas 2001 43 684,6 787 1,80% 2002 45 046,1 1 038 2,31% 2003 47 406,6 1 495 3,15% 2004 55 939,3 2 181 3,90% 2005 66 428,5 2 584 3,89% 2006 78 589,1 4 322 5,50% 2007 92 012,3 4 871 5,29% 2008 107 894,1 6 058 5,61% Sumber: Badan Pusat Statistik, 2009 Indonesia merupakan negara dengan luas areal perkebunan karet terbesar di dunia (Food and Agriculture Organization, 2010). Meskipun demikian, hal tersebut tidak menjadikan Indonesia sebagai negara pengekspor karet terbesar. Indonesia menduduki posisi kedua produksi dan ekspor karet alam setelah Thailand (United Nation Comtrade, 2010). Pentingnya komoditas karet alam menyebabkan perlu penanganan yang tepat dalam pengembangan daya saing 3
ekspor sehingga komoditas ini kemudian dapat dijadikan sebagai salah satu penopang perekonomian nasional. Dalam rangka menjalin hubungan dagang secara internasional, Indonesia turut serta dalam penerapan kebijakan-kebijakan dagang. Awal pelaksanaan pembangunan jangka panjang kedua banyak tantangan yang dihadapi oleh Indonesia. Tantangan tersebut antara lain keikutsertaan Indonesia dalam organisasi perdagangan dunia berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement on Establishing WTO (World Trade Organization) (Sukarmi, 2002). Indonesia yang termasuk dalam anggota ASEAN membuka jalan perdagangannya dengan berpartisipasi dalam perjanjian perdagangan bebas dengan anggota-anggota ASEAN lain. Bentuk hubungan kerjasama ini dikenal dengan nama AFTA (ASEAN Free Trade Area). AFTA dibentuk pada KTT ASEAN IV di Singapura pada tahun 1992. Pembentukan ini didasarkan tujuan membentuk kawasan bebas perdagangan ASEAN dalam upaya meningkatkan daya saing ekonomi regional ASEAN. Kondisi globalisasi yang terjadi menyebabkan perlunya perhatian lebih terhadap daya saing produk domestik mengingat bahwa globalisasi menuntut adanya persaingan. Konsep daya saing tidak saja dilihat dari keunggulan komparatif tetapi lebih didasarkan pada keunggulan kompetitif produk. Globalisasi membuat pasar antarnegara menjadi semakin luas. Negara yang memiliki keunggulan kompetitif cenderung semakin dapat
memperkaya
negaranya dan negara yang tidak siap dalam menghadapi persaingan di pasar global akan semakin terpuruk (Oktaviani dan Novianti, 2009). World Economic Forum (WEF) yang merupakan sebuah lembaga pemeringkat daya saing ternama
4
mendefinisikan daya saing sebagai himpunan kelembagaan, kebijakan, dan faktorfaktor yang menentukan tingkat produktivitas suatu negara (Daryanto, 2009). Laporan Daya Saing Global atau Global Competitiveness Report yang merupakan laporan tahunan dari WEF membahas mengenai masalah kemampuan negara-negara untuk menyediakan kemakmuran tingkat tinggi bagi warga negaranya. Tabel 3 memperlihatkan perbandingan peringkat keunggulan kompetitif beberapa negara pada periode 2010-2011 dan perbandingan dengan tahun-tahun sebelumnya. Berdasarkan pada tabel tersebut terlihat bahwa pada periode 2010-2011, Indonesia berada pada peringkat 44 dari 139 negara yang disurvei, meningkat 10 peringkat dari periode sebelumnya. Tabel 3. Ranking Global Competitiveness Indeks (GCI) GCI 2010GCI 2009GCI 2008No Negara 2011 Rank 2010 Rank 2009 Rank 1 Indonesia 44 54 55 2 Thailand 38 36 34 3 Singapore 3 3 5 4 Vietnam 59 75 70 5 Malaysia 26 24 21 6 India 51 49 50 7 China 27 29 30 8 Philippines 85 87 71 Sumber: Schwab, 2010
GCI 20072008 Rank 54 28 7 68 21 48 34 71
Peningkatan terhadap posisi daya saing global Indonesia dipengaruhi oleh berbagai indikator. Pendorong utama dalam peningkatan ini adalah perbaikan pada pilar makroekonomi1. WEF mencatat perbaikan Indonesia terhadap kondisi makroekonominya relatif baik, yang mana hal ini ditunjukkan oleh peningkatan peringkat daya saing pada indikator tersebut sebanyak 17 peringkat sejak terjadinya krisis moneter (Schwab, 2010).
1
Peringkat Indonesia pada persyaratan dasar yang menjadi indikator dalam penentuan peringkat daya saing global adalah 60, dimana pada indikator ini pilar makroekonomi, menempati posisi 35.
5
Penentuan indeks daya saing global tersebut menggunakan 12 pilar utama yang mempengaruhi daya saing, yang mana penentunya terbagi atas tiga kelompok besar, yaitu kelompok persyaratan dasar, kelompok peningkat efisiensi, serta kelompok inovasi dan kecanggihan. Pengelompokan pilar-pilar tersebut terlihat sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 1. Pilar makroekonomi menjadi salah satu penilaian dalam kelompok persyaratan dasar.
Basic requirements Institution Infrastructure Macroeconomic stability Helth and primary education
Eficiency Enhancers Higher education and training Goods market efficiency Labor market efficiency Financial market sophistication Technological readiness Market size
Innovation and sophistication factors Business sophistication innovation
Key for Factor-driven economies
Key for Efficiency-driven economies
Key for Innovation-driven economies
Sumber: Schwab, 2010 (World Economic Forum: Global Competitiveness Report 2010-2011)
Gambar 1. World Economic Forum: 12 Pillars of Competitiveness Dalam indeks makroekonomi, kinerja ekspor merupakan salah satu variabel utama. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa peningkatan daya saing suatu negara sangat ditentukan oleh kinerja ekspornya (Hadianto, 2010). Atas dasar konsep ini maka analisis terhadap daya saing ekspor karet alam sebagai salah satu komoditas ekspor andalan Indonesia penting untuk dilakukan. Hal ini sebagai salah satu faktor yang diharapkan dapat meningkatkan
6
posisi daya saing Indonesia di lingkup global, mengingat prospek pengembangan ekspor karet alam Indonesia masih sangat besar.
1.2.
Perumusan Masalah Pertumbuhan produksi karet alam Indonesia mengalami peningkatan dari
tahun ke tahun. Hal ini terlihat dari tumbuhnya produksi karet dari 1,63 juta ton pada tahun 2002 menjadi 2,77 juta ton pada 2010 (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2010). Angka ini merupakan angka produksi terbesar ke dua dunia setelah Thailand (Food and Agriculture Organization, 2010). Jumlah produksi yang demikian besar kemudian dihadapkan pada kondisi penetrasi pasar di mana Indonesia harus bersaing dengan negara-negara produsen lain, serta adanya fluktuasi harga (Parhusip, 2008). Harga karet alam pada perdagangan internasional cenderung fluktuatif (International Rubber Concortium Limited, 2010). Hal ini merupakan salah satu ciri yang berkelanjutan. Fluktuasi harga tersebut berdampak pada arus perdagangan karet alam dan upaya pengembangan ekspor karet alam Indonesia dalam rangka meningkatkan devisa negara yang memiliki konsekuensi pada perubahan lingkungan ekonomi atau kebijakan perdagangan yang secara signifikan mempengaruhi distribusi pendapatan. Dalam
era
perdagangan
bebas,
pengembangan
komoditas
karet
menghadapi berbagai tantangan. Semakin terbukanya pasar mengakibatkan persaingan (kompetisi) yang terjadi terhadap ekspor komoditas karet alam menjadi semakin ketat. Kondisi pasar terbuka menyebabkan semakin minimnya kekuatan pengendalian pasar sehingga tidak ada yang dapat menghalangi
7
masuknya pesaing-pesaing baru dalam perdagangan. Sebagai gambaran, pertumbuhan ekspor karet alam oleh negara Vietnam yang semakin baik mempengaruhi jumlah penawaran karet alam global. Peningkatan jumlah penawaran ini pada akhirnya akan berpengaruh terhadap pembentukan harga (International Trade Statistics, 2010). Atas dasar tersebut analisis terhadap perkembangan ekspor karet alam menjadi sangat penting sebagai informasi awal untuk menjelaskan kondisi daya saing komoditas karet alam Indonesia di pasar ekspor. Untuk mengetahui posisi daya saing karet alam Indonesia, perlu juga diketahui perkembangan komoditas tersebut pada negara lain yang menjadi pesaing dalam pasaran internasional. Informasi-informasi ini berguna untuk melihat seberapa besar penguasaan pasar oleh eksportir karet alam di lingkup global yang pada akhirnya akan menentukan kondisi pasar yang terbentuk dari pangsa pasar tersebut. Kondisi struktur pasar yang terbentuk secara langsung memiliki pengaruh terhadap daya saing produk. Tingkat daya saing suatu negara penting diketahui untuk dapat menilai kinerja suatu komoditas dalam perkembangannya di dunia perdagangan. Dengan mengetahui kondisi struktur pasar yang terbentuk pada komoditas karet alam, maka kebijakan yang akan diterapkan terhadap komoditas tersebut akan dapat dirumuskan secara tepat guna pengembangan daya saing ekspor komoditas terkait di pasaran internasional. Berdasarkan hal tersebut, masalah-masalah yang akan diuraikan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Bagaimana perkembangan ekspor komoditas karet alam Indonesia?
2.
Bagaimana struktur pasar karet alam di pasar internasional?
3.
Bagaimana kondisi daya saing karet alam Indonesia di pasar internasional?
8
1.3.
Tujuan Penelitian Perumusan masalah yang telah disebutkan di atas kemudian melahirkan
tujuan-tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini. Adapun tujuan dari perumusan masalah tersebut adalah sebagai berikut: 1.
Menganalisis perkembangan ekspor komoditas karet alam Indonesia.
2.
Mengidentifikasi struktur pasar karet alam di pasar internasional.
3.
Menganalisis daya saing karet alam Indonesia di pasar internasional.
1.4.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi:
1.
Bahan informasi dasar dalam penyusunan dan penentuan arah kebijakan perkaretan nasional.
2.
Tambahan informasi mengenai posisi daya saing ekspor karet alam Indonesia di pasar internasional.
3.
1.5.
Tambahan bagi khasanah penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Ruang Lingkup Penelitian Lingkup penelitian dari studi mengenai “Analisis Daya Saing Ekspor
Karet Alam Indonesia di Pasar Internasional” ini adalah sebagai berikut: 1.
Komoditas karet alam yang dimaksud dalam penelitian ini berdasarkan pada komoditas karet alam dengan kode HS 4001, yaitu kelompok karet alam, balata, getah perca, guayule, chicle dan getah alam semacam itu, dalam bentuk asal atau pelat, lembaran atau strip.
2.
Analisis dilakukan pada periode tahun 2001-2009.
9
3.
Analisis daya saing ekspor karet alam dilakukan pada tiga negara eksportir utama karet alam, yaitu Indonesia, Thailand, dan Malaysia.
4.
Identifikasi struktur karet alam di pasar internasional dilakukan dengan metode Herfindahl Index (HI) dan Concentration Ratio (CR), sedangkan analisis daya saing dilakukan dengan metode Revealed Comparative Advantage (RCA) dan Export Competitiveness Index (ECI).
10
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Peran Sektor Pertanian Sektor pertanian merupakan salah satu penopang perekonomian suatu
negara, khususnya di negara agraris seperti Indonesia. Peranan sektor ini dapat dikatakan cukup besar bagi perkembangan perekonomian negara yang bersangkutan. Mengikuti analisis klasik dari Kuznets (1964) dalam Tambunan (2003), pertanian di LDCs dapat dilihat sebagai suatu sektor ekonomi yang sangat potensial dalam empat bentuk kontribusinya terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi nasional, yaitu sebagai berikut: 1) Ekspansi dari sektor-sektor ekonomi lainnya sangat tergantung pada pertumbuhan output di sektor pertanian, baik dari sisi permintaan sebagai sumber pemasokan makanan yang kontinu
mengikuti pertumbuhan
penduduk, maupun dari sisi penawaran sebagai sumber bahan baku bagi keperluan produksi di sektor-sektor lain seperti industri manufaktur (misalnya industri makanan dan minuman) dan perdagangan. Kuznets menyebut ini sebagai kontribusi produk. 2) Di negara-negara agraris seperti Indonesia, pertanian berperan sebagai sumber penting bagi pertumbuhan permintaan domestik bagi produk-produk dari sektor-sektor ekonomi lainnya. Kuznets menyebutnya kontribusi pasar. 3) Sebagai suatu sumber modal untuk investasi di sektor-sektor ekonomi lainnya. Selain itu, menurut teori penawaran tenaga kerja (L) tak terbatas dari Arthur Lewis dan telah terbukti dalam banyak kasus, bahwa dalam proses pembangunan ekonomi terjadi transfer surplus L dari pertanian (pedesaan) ke
11
industri dan sektor-sektor perkotaan lainnya. Kuznets menyebutnya kontribusi faktor-faktor produksi. 4) Sebagai sumber penting bagi surplus neraca perdagangan (sumber devisa), baik lewat ekspor hasil-hasil pertanian maupun dengan peningkatan produksi pertanian dalam negeri menggantikan impor (substitusi impor). Kuznets menyebutnya kontribusi devisa.
2.2.
Perkebunan Perkebunan
menurut
Undang-Undang
Nomor
18
Tahun
2004
didefinisikan sebagai segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah dan/atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai, mengolah dan memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut, dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan serta manajemen untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat. Pelaksanaan perkebunan diselenggarakan antara lain dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, meningkatkan penerimaan negara, penyedia lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi, serta pengoptimalan sumberdaya secara berkelanjutan. Pada pasal 4 disebutkan bahwa usaha perkebunan memiliki fungsi secara ekonomi, ekologi, dan sosial budaya. Tanaman perkebunan merupakan pendukung utama sektor pertanian dalam menghasilkan devisa. Ekspor komoditas pertanian kita yang utama adalah hasilhasil perkebunan. Hasil-hasil komoditas perkebunan yang selama ini telah menjadi komoditas ekspor konvensional terdiri atas karet, kelapa sawit, teh, kopi dan tembakau (Badan Pusat Statistik, 2009). Masih ada beberapa jenis tanaman
12
perkebunan yang diekspor, namun porsinya relatif kecil. Dalam beberapa tahun terakhir ini, kakao telah berkembang menjadi salah satu komoditas penting di dalam jajaran ekspor komoditas perkebunan. Meskipun demikian, penghasil devisa utama dari subsektor perkebunan masih dipegang oleh komoditas karet dan kopi. Pengusahaan tanaman perkebunan di Indonesia berlangsung dualitis. Sebagian besar diselenggarakan oleh rakyat secara orang perorangan, dengan teknologi produksi dan manajemen usaha yang tradisional. Sebagian lagi diusahakan oleh perusahaan-perusahaan perkebunan, baik milik pemerintah maupun swasta, dengan teknologi produksi yang modern serta manajemen usaha yang profesional. Karena tanaman perkebunan didominasi oleh perkebunan rakyat, maka kondisi perkebunan Indonesia jauh tertinggal dibandingkan dengan perkebunan negara lain. Pembangunan
perkebunan
dilaksanakan
melalui
empat
pola
pengembangan, yaitu (Dumairy, 1996): 1) Pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR) 2) Pola Unit Pelayanan Pengembangan (UPP) 3) Pola Swadaya; dan 4) Pola Perusahaan Perkebunan Besar Pola PIR dimaksudkan untuk mewujudkan keterpaduan usaha antara perkebunan rakyat sebagai plasma dan perkebunan besar sebagai inti, dalam suatu sistem pengelolaan yang menangani seluruh rangkaian kegiatan agribisnis. Pelaksanaannya dilakukan dengan memanfaatkan perkebunan besar untuk mengembangkan perkebunan rakyat pada areal bukaan baru. Pola UPP adalah
13
pola pengembangan atas asas pendekatan terkonsentrasi pada lokasi tertentu, yang menangani keseluruhan rangkaian proses agribisnis. Pelaksanaan pola ini ditempuh melalui pengembangan perkebunan rakyat oleh suatu unit organisasi proyek yang beroperasi di lokasi perkebunan yang sudah ada. Pola swadaya ditujukan untuk mengembangkan swadaya masyarakat petani/pekebun yang sudah ada di luar wilayah kerja PIR dan UPP. Sedangkan pola perkebunan besar diarahkan untuk meningkatkan peranan pengusaha untuk mengembangkan perusahaan perkebunan besar, baik berupa perusahaan negara (BUMN), perusahaan swasta nasional maupun swasta asing. Peningkatan
produksi
perkebunan
diupayakan
terutama
melalui
peningkatan produktivitas lahan serta perbaikan efisiensi pengolahan. Sasaran utamanya
adalah
peningkatan
produksi
perkebunan
rakyat,
mengingat
produktivitas per hektar dan mutu hasilnya masih rendah, padahal sebagian besar hasil perkebunan berasal dari perkebunan rakyat. Untuk menunjang kenaikan produksi
perkebunan
rakyat
dimaksud,
dibangun
unit-unit
pelayanan
pengembangan (UPP). Unit-unit ini memberikan pembinaan dalam hal teknik agronomi, membantu pembiayaan, pemasaran, dan pengembangan fasilitas pengolahannya. Sementara itu usaha ekstensifikasi perkebunan dilaksanakan melalui pola PIR, dimana perusahaan inti bertugas membina plasma-plasmanya (pekebun-pekebun rakyat) dalam hal teknik agronomi, pengolahan, dan pemasaran hasil. Sejalan dengan usaha-usaha tersebut, produksi beberapa tanaman perkebunan utama meningkat secara cukup berarti. Kenaikan produksi terutama disebabkan oleh meningkatnya luas areal produktif dari hasil peremajaan dan
14
perluasan, serta upaya rehabilitasi dan intensifikasi. Ekspor berbagai jenis tanaman perkebunan juga berkembang, antara lain berkat dilaksanakannya Proyek Rehabilitasi dan Peremajaan Tanaman Ekspor (PRPTE).
2.3.
Konsep Keunggulan dan Daya Saing Ekspor Daya saing ekspor memiliki pengertian kemampuan suatu komoditi untuk
memasuki pasar luar negeri dan kemampuan untuk bertahan dalam pasar itu. Daya saing suatu komoditi dapat diukur atas dasar perbandingan pangsa pasar komoditi tersebut pada kondisi pasar yang tetap. Dalam hal ini berarti suatu produk dikatakan memiliki daya saing apabila produk tersebut mampu bertahan dalam suatu pasar meskipun dengan mengalami guncangan (Amir, 2004). Untuk dapat melakukan perdagangan antar negara, maka suatu komoditas perlu memiliki keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Ricardo menyatakan bahwa manfaat dari perdagangan akan tetap dapat diperoleh oleh suatu negara meskipun negara tertentu tidak memiliki keunggulan apapun, selama rasio harga antarnegara masih berbeda (Hady, 2004). Jika tidak ada perdagangan, setiap negara akan memiliki keunggulan komparatif, yaitu kemampuan untuk menemukan
barang-barang
yang
dapat
diproduksi pada
tingkat
biaya
ketidakunggulan relatif yang lebih rendah (dimulai dari awal dibukanya perdagangan) daripada barang lainnya. Barang-barang inilah yang seharusnya diekspor untuk ditukar dengan barang lainnya. Hukum keunggulan komparatif Ricardo menyatakan bahwa setiap negara memiliki keunggulan komparatif dalam sesuatu dan memperoleh manfaat dengan memperdagangkannya untuk ditukar dengan barang yang lain.
15
Menurut Porter (1998) dalam Abdmoulah dan Laabas (2010) keunggulan bersaing suatu negara sangat tergantung pada tingkat sumberdaya yang dimilikinya. Keunggulan kompetitif dapat dilihat dari sumberdaya lokal yang dimiliki suatu negara/wilayah. Keunggulan ini dapat dibuat dan dipertahankan melalui suatu proses internal yang tinggi. Perbedaan dalam struktur ekonomi nasional, nilai kebudayaan, kelembagaan dan sejarah turut serta dalam menentukan keberhasilan kompetitif.
2.4.
Ekspor sebagai Sumber Devisa Setiap negara berbeda dengan negara lainnya, baik ditinjau dari sudut
sumber alam, iklim, letak geografis, penduduk, keahlian, tenaga kerja, tingkat harga, serta keadaan struktur ekonomi dan sosialnya. Perbedaan itu menimbulkan pula perbedaan barang yang dihasilkan, biaya yang diperlukan, serta mutu atau kualitasnya. Hal inilah yang kemudian mendorong suatu negara untuk menjalin hubungan dagang dengan negara lain guna memenuhi kebutuhan dalam negeri yang belum ataupun tidak dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri. Kelebihan produksi dalam negeri akan mendorong terjadinya ekspor. Pengertian ekspor menurut Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 182/MPP/Kep/4/1998 tentang Ketentuan Umum di Bidang Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan barang dan jasa dari daerah kepabeanan suatu negara. Adapun daerah kepabeanan sendiri didefinisikan sebagai wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang udara diatasnya, serta tempat-tempat tertentu di zona ekonomi ekslusif dan landas kontinen yang didalamnya berlaku Undang-undang No. 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan. Pass
16
(1997) dalam Novianti dan Hendratno (2008) menyatakan bahwa ekspor penting dalam dua hal utama yaitu: a) bersama-sama dengan impor dalam menghasilkan neraca pembayaran (balance of payment) dari suatu negara; b) ekspor menghasilkan devisa yang memberikan peningkatan pendapatan nasional dan pendapatan riil. Secara matematis, ekspor dapat dituliskan sebagai fungsi berikut: 𝑋�𝑦� = 𝑄𝑡 − 𝐶𝑡 + 𝑆𝑡−1 Dimana: Xt Qt Ct St-1
= = = =
Jumlah ekspor komoditas tahun t Jumlah produksi domestik tahun t Jumlah konsumsi domestik tahun t Stok tahun sebelumnya (t-1)
Pembelian barang ataupun pembayaran jasa dari luar negeri yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri mengharuskan setiap negara berusaha untuk memiliki atau menguasai alat-alat pembayaran luar negeri. Alat pembayaran luar negeri, atau juga disebut sebagai Foreign Exchange Currency atau devisa dapat dianggap sebagai tagihan terhadap luar negeri yang dapat dipergunakan untuk melunasi hutang yang terjadi dengan luar negeri. Sumber devisa dapat berbeda antara satu negara dengan negara lainnya. Umumnya sumber devisa dari suatu negara adalah sebagai berikut (Amir, 1984): 1) Hasil-hasil dari ekspor barang maupun jasa; 2) Pinjaman yang diperoleh dari luar negeri, baik dari pemerintah suatu negara, badan-badan keuangan internasional, ataupun dari swasta; 3) Hadiah atau Grant dari negara asing; 4) Keuntungan dari penanaman modal di luar negeri; 5) Hasil-hasil dari pariwisata internasional.
17
2.5.
Karet Alam Karet adalah polimer hidrokarbon yang terbentuk dari emulsi kesusuan
(dikenal sebagai latex), di getah pada beberapa jenis tumbuhan tetapi dapat juga diproduksi secara sintetis. Sumber utama barang dagang dari latex yang digunakan untuk menciptakan karet adalah pohon karet Para, Hevea brasiliensis (Euphorbiaceae). Pengambilan getah dilakukan dengan cara melukai kulit pohon sehingga pohon akan memberikan respon yang menghasilkan lateks lebih banyak (Departemen Perindustrian, 2007). Pohon tersebut menurut Undri (2004) pertama kali ditemukan di lembah Amazone oleh tim ekspedisi dari Perancis. Kemudian ekspedisi tersebut berhasil menemukan pohon karet yang dapat diambil getahnya tanpa harus menebang pohonnya, cukup dengan melukai kulit batang tanaman karet tersebut. Penemuan tersebut menyebabkan pengembangan penggunaan lateks semakin pesat, apalagi setelah ditemukannya proses vulkanisasi oleh Good Year tahun 1839, maka pengembangan perkebunan karet mulai berkembang secara komersil. Setelah percobaan berkali-kali oleh Henry Wickham, pohon tersebut berhasil dikembangkan di Asia Tenggara, dimana sekarang ini tanaman ini banyak dikembangkan. Menjelang tahun 1940, Indonesia dan Malaysia akhirnya menjadi produsen utama karet dunia. Upaya pengembangan tanaman karet secara perkebunan baru mulai pada akhir abad ke-19 (Undri, 2004). Lebih dari setengah karet yang digunakan sekarang ini adalah sintetik, tetapi beberapa juta ton karet alami masih diproduksi setiap tahun dan masih merupakan bahan penting bagi beberapa industri termasuk otomotif dan militer (Suciati, 2006). Saat ini, karet alam merupakan komoditi perkebunan yang sangat penting peranannya di Indonesia karena merupakan salah satu komoditas ekspor andalan.
18
Indonesia bahkan pernah menjadi produsen karet alam nomor satu di dunia. Sebagian besar tanaman ini diusahakan oleh perkebunan rakyat. Kedudukan Indonesia sebagai produsen utama karet alam dunia kini telah digeser oleh Thailand, akibat areal luas yang dimiliki tidak diiringi dengan produksi besar dan mutu yang baik. Namun demikian, karet masih merupakan penghasil devisa utama di jajaran komoditas ekspor perkebunan. Produksi karet alam Indonesia pada tahun 2007 sebesar 2,76 juta ton dimana 2,44 juta ton atau 88,4% dari produksi karet alam tersebut diekspor dengan nilai US$ 4,36 milyar, hanya 13,3% atau 355.717 ton yang digunakan untuk kebutuhan industri dalam negeri (Association of Natural Rubber Producing Countries, 2010). Pasar utama ekspor karet alam tertuju ke Amerika Serikat (40%) dan Singapura (30%). Selebihnya ke Jepang dan Eropa Barat, serta beberapa negara lain dalam porsi kecil (International Trade Statistics, 2010). Jenis yang diekspor terdiri atas lateks, karet sheets, karet crepe, dan karet SIR (Standard Indonesia Rubber). Jenis yang paling banyak diekspor adalah karet SIR. Selain getah karet yang berguna sebagai bahan baku berbagai produk industri, kayu karet juga layak ekspor. Jepang, Taiwan, dan beberapa negara Eropa mengimpor kayu karet dari Indonesia. Karet dan barang karet dapat diklasifikasikan menurut The Harminized Commodity Descreption and Coding System (HS) dan kelompok barang lapangan industri (KBLI). Pengelompokkan tersebut sebagaimana yang dapat diperlihatkan pada Tabel 4 di bawah ini.
19
Tabel 4. Kelompok Karet dan Barang-Barang Karet No. 1. 2.
No. HS 40011-13 4002 4003-4009
KBLI
25192
3. 4. 5. 6. 7.
4010 4010 4011-13 4015 4016-17
25192 25192 25111-25112 25199 25191
Uraian Barang Karet Alam Karet Sintetis Barang dari karet untuk industri: - Benang karet - Tabung, pipa, selang Belt conveyor Belt Transmission Ban (Roda 4, Roda 2, Sepeda) Sarung tangan Lain-lain
Sumber: Departemen Perindustrian, 2009
2.5.1 Perbedaan Karet Alam dengan Karet Sintetis Karet alam memiliki keunggulan-keunggulan jika dibandingkan dengan karet sintetis. Keunggulan-keunggulan tersebut antara lain (Nazaruddin dan Paimin, 2006):
Memiliki daya elastik atau daya lenting yang sempurna;
Memiliki plastisitas yang baik sehingga pengolahannya mudah;
Mempunyai daya aus yang tinggi;
Tidak mudah panas (low heat build up); dan
Memiliki daya tahan yang tinggi terhadap keretakan (groove cracking resistance). Meski demikian, karet sintetis juga memiliki kelebihan seperti tahan
terhadap berbagai zat kimia, dan harganya yang cenderung dapat dipertahankan sehingga tetap stabil. Hal ini berbeda dengan karet alam yang mana harganya selalu mengalami fluktuasi, yang terkadang bahkan bergejolak (International Rubber Concortium Limited, 2010). Suatu kebijakan politik entah dari pihak pengusaha maupun pemerintah memiliki pengaruh yang besar terhadap usaha perkaretan alam secara luas. 20
2.5.1. Jenis-Jenis Karet Alam Jenis karet alam yang dikenal luas adalah (Nazaruddin dan Paimin, 2006) :
Bahan olah karet (lateks kebun, sheet angin, slab tipis, dan lumb segar),
Karet konvensional (ribbed smoked sheet, white crepes, dan pale crepe, estate brown crepe, compo crepe, thin brown crepe remills, thick blanked crepe ambers, flat bark crepe, pure smoke blanket crepe, dan off crepe),
Lateks pekat,
Karet bongkah atau block rubber,
Karet spesifikasi teknis atau crumb rubber,
Karet siap olah atau tyre rubber, dan
Karet reklim atau reclaimed rubber.
1) Bahan Olah Karet Bahan olah karet adalah lateks kebun serta gumpalan lateks kebun yang diperoleh dari pohon karet Havea brasiliensis. Beberapa kalangan menyebutkan bahwa bahan olah karet bukan produksi perkebunan besar, melainkan merupakan bokar (bahan olah karet rakyat) karena biasanya diperoleh dari petani yang mengusahakan kebun karet. Menurut pengolahannya bahan olah karet dibagi menjadi 4 macam: lateks kebun, sheet angin, slap tipis, dan lump segar. a.
Lateks kebun adalah cairan getah yang didapat dari bidang sadap pohon karet. Cairan getah ini belum mengalami penggumpalan.
b.
Sheet angin adalah bahan olah karet yang dibuat dari lateks yang sudah disaring dan digumpalkan dengan asam semut, berupa karet sheet yang sudah digiling tetapi belum jadi.
21
c.
Slap tipis adalah bahan olah karet yang terbuat dari lateks yang sudah digumpalkan dengan asam semut.
d.
Lump segar adalah bahan olah karet yang bukan berasal dari gumpalan lateks kebun yang terjadi secara alamiah dalam mangkuk penampung.
2) Karet Alam Konvensional Terdapat beberapa macam karet olahan yang tergolong karet alam konvensional. Jenis itu pada dasarnya hanya terdiri dari golongan karet sheet dan crepe. Jenis karet alam olahan yang tergolong konvensional adalah sebagai berikut. a.
Ribbed smoked sheet atau RSS adalah jenis karet berupa lembaran sheet yang mendapat proses pengasapan dengan baik. RSS terdiri dari beberapa kelas, yaitu X RSS, RSS 1, RSS 2, RSS 3, RSS 4, dan RSS 5.
b.
White crepe dan pale crepe merupakan crep yang berwarna putih atau muda. White crepe dan pale crepe juga ada yang tebal dan tipis.
c.
Estate brown crepe merupakan crepe yang berwarna coklat. Disebut estate brown crepe karena banyak dihasilkan oleh perkebunanperkebunan besar atau estate. Jenis ini dibuat dari bahan yang kurang baik seperti yang digunakan untuk pembuatan off crepe serta dari sisa lateks, lump atau koagulum yang berasal dari prakoagulasi, dan scrap atau lateks kebun yang sudah kering di atas bidang penyadapan. Brown crepe yang tebal disebut thick brown crepe dan yang tipis disebut thin brown crepe.
d.
Combo crepe adalah jenis crepe yang dibuat dari bahan lump, scrap pohon, potongan-potongan sisa dari RSS, atau slep basah.
22
e.
Thin brown crepe remills merupakan crepe cokelat yang tipis karena jenis ini merupakan jenis karet yang digiling ulang. Bahan yang digunakan sama dengan jenis brown crepe yang lain, hanya saja dalam prosesnya jenis ini mengalami penggilingan ulang untuk memperoleh ketebalan seperti yang telah ditetapkan.
f.
Thick blanket crepes ambers merupakan jenis crepe blanket yang berwarna cokelat dan tebal, dan biasanya terbuat dari slab basah, sheet tanpa proses pengasapan, dan lumb serta scrap dari perkebunan atau kebun rakyat yang baik mutunya.
g.
Flat bark crepe merupakan jenis karet tanah atau earth rubber, yaitu jenis crepe yang dihasilkan dari scrap karet alam yang belum diolah, termasuk scrap tanah yang berwarna hitam.
h.
Pure smoked blanket crepe merupakan crepe yang diperoleh dari penggilingan karet asap yang khusus berasal dari RSS, termasuk didalamnya block sheet atau sheet bongkah atau sisa dari potongan RSS.
i.
Off crepe yang tidak tergolong dalam bentuk baku atau standar. Biasanya dibuat dari contoh sisa penentuan kadar karet kering, lembaran RSS yang tidak bagus penggilingannya sebelum diasapi, busa-busa dari lateks, bekas air cucian yang banyak mengandung lateks, serta bahan-bahan lain yang tidak bagus, bukan dari proses pembekuan langsung dari bahan lateks yang masih segar.
23
3) Lateks Pekat Lateks pekat adalah jenis karet yang berbentuk cairan pekat. Lateks pekat yang diperdagangkan di pasar ada yang dibuat melalui proses pendadihan (creamed lateks) dan melalui proses pemusingan (centrifuged lateks). Jenis ini biasanya banyak digunakan untuk pembuatan bahan-bahan karet yang tipis dan bermutu tinggi. 4) Karet Bongkah atau Block Rubber Karet bongkah adalah jenis karet remah yang telah dikeringkan dan dikilang menjadi bandela-bandela dengan ukuran yang telah ditetapkan. Karet bongkah ada yang berwarna muda dan setiap kelasnya mempunyai kode warna tersendiri. Standar mutu jenis ini tercantum dalam SIR (Standard Indonesian Rubber) sebagaimana disajikan pada Tabel 5 berikut.. Tabel 5. Standard Indonesian Rubber (SIR) SIR 5L SIR 5 SIR 10 SIR 20 Kadar kotoran maksimum 0,05% 0,05% 0,10% 0,20% Kadar abu maksimum 0,50% 0,50% 1,75% 1,00% Kadar zat asiri maksimum 1.0% 1,0% 1,0% 1,0% PRI minimum 60 60 50 40 Plastisitas-Po minimum 30 30 30 30 Limit warna (skala livibond) 6 maksimum Kode warna Hijau Hijau Merah Sumber: Thio Goan Loo, 1980 dalam Nazaruddin dan Paimin, 2006
SIR 50 0,50% 1,50% 1,0% 30 30 Kuning
5) Karet Spesifikasi Teknis atau Crumb Rubber Karet spesifikasi teknis adalah karet alam yang dibuat khusus sehingga terjamin mutu teknisnya. Penetapan mutunya juga didasarkan pada sifat-sifat teknisnya. Warna atau penilaian visual yang menjadi dasar penentuan golongan mutu pada jenis karet sheet, crepe, maupun lateks pekat tidak berlaku untuk jenis yang satu ini.
24
6) Tyre Rubber Tyre rubber adalah bentuk lain dari dari karet alam yang dihasilkan sebagai barang setengah jadi sehingga bisa langsung digunakan oleh konsumen, baik untuk pembuatan ban atau barang lain yang menggunakan bahan baku karet alam. Tyre rubber sudah dibuat di Malaysia sejak tahun 1972. Pembuatannya dimaksudkan untuk meningkatkan daya saing karet alam terhadap karet sintetis. Jika dibandingkan dengan karet konvensional, tyre rubber adalah bahan pembuat yang lebih baik untuk ban atau produk karet lain. Kelebihan yang dimiliki karet jenis ini adalah memiliki daya campur yang baik sehingga mudah digabung dengan karet sintesis. 7) Karet Reklim atau Reclaimed Rubber Karet reklim merupakan jenis karet yang diolah kembali dari barangbarang karet bekas, terutama ban-ban mobil bekas. Karena itu dapat dikatakan bahwa karet reklim adalah suatu hasil pengolahan scrap yang sudah divulkanisir.
2.5.2. Manfaat Karet Karet banyak digunakan dalam kehidupan. Penggunaan bahan baku karet telah dikembangkan dengan basis industri. Umumnya alat-alat yang dibuat dari bahan karet sangat berguna bagi kehidupan sehari-hari maupun dalam industri seperti penggunaannya pada mesin-mesin penggerak. Barang yang dapat dibuat dari karet alam antara lain adalah ban kendaraan (mulai dari sepeda, motor, traktor, hingga pesawat terbang), sepatu karet, sabuk penggerak mesin besar dan mesin kecil, pipa karet, kabel, isolator, serta bahanbahan pembungkus logam. Selain itu bahan karet juga banyak digunakan untuk
25
membuat perlengkapan seperti sekat. Pembuatan jembatan pun menggunakan karet sebagai penahan getarannya. Manfaat karet sangat beragam. Pemanfaatannya melingkupi hampir seluruh dari kegiatan kehidupan manusia. Peralatan rumah tangga kebanyakan terbuat dari bahan dasar karet. Begitupun dengan peralatan kantor, seperti kursi, lem perekat barang, selang air, kasur busa, serta peralatan tulis menulis seperti karet penghapus. Tambang-tambang besar yang mengolah bijih besi dan batubara menggunakan belt yang sangat panjang dan terbuat dari karet untuk pengangkutannya. Bangunan-bangunan besar semakin banyak yang menggunakan bahan karet. Tak hanya itu, bahkan peralatan dan kendaraan perang juga banyak bagiannya yang terbuat dari bahan dasar karet. Selain karet alam, karet sintetis juga banyak digunakan dalam pembuatan berbagai jenis barang. Hal ini dikarenakan karet sintetis memiliki beberapa kelebihan yang tidak dimiliki oleh karet alam. Sebenarnya dapat dikatakan bahwa manfaat karet bagi kehidupan manusia jauh lebih banyak lagi dibanding dengan yang telah disebutkan. Karet memiliki pengaruh besar terhadap bidang transportasi, komunikasi, industri, pendidikan, kesehatan, hiburan, dan banyak bidang kehidupan lain yang vital bagi kehidupan manusia. Manfaat secara tidak langsung pun banyak yang dapat diperoleh dari barang yang dibuat dari karet. Hingga saat ini, pengembangan usaha perkebunan karet tidak hanya fokus pada prospek pengembangan dan produksi lateks saja, tetapi lebih terhadap nilai lain yang lebih tinggi dan mulia. Perkembangan karet sintetis dewasa ini mengakibatkan perlunya melihat manfaat lain dari karet alam. Berbeda dengan produksi karet sintetis yang menghasilkan buangan berupa gas karbon dioksida,
26
karet alam justru menghasilkan oksigen. Menurut data yang diperoleh dari IRSG, dalam sehari produksi O2 pada perkebunan karet mencapai 1000 ton (Bastari, 1998). Selain itu, biji karet juga dapat menghasilkan minyak yang berguna bagi industri, disamping kayu karet yang juga memiliki prospek cerah kedepannya.
2.6.
Bentuk Kerjasama Antar Negara Produsen Karet Alam Perdagangan multilateral yang mana saat ini mengarah ke dalam
perdagangan yang lebih terbuka menawarkan peluang sekaligus tantangan bagi tiap negara untuk meningkatkan daya saing bagi produk yang dimilikinya maupun membentuk berbagai jenis kerjasama multilateral antar negara. Kepentingan Indonesia sebagai salah satu produsen terbesar dari karet alam memberikan landasan yang cukup besar untuk berpartisipasi aktif menjadi salah satu anggota kerjasama dunia yang mengelola permasalahan tersebut. Berbagai organisasi multilateral telah terbentuk sejak lama yang mana hal ini mendorong para produsen untuk juga membentuk organisasi yang menangani masalah karet alam dunia. Organisasi multilateral karet alam yang pertama kali didirikan pada tahun 1980 dengan nama International Natural Rubber Organization (INRO), yang tujuan utamanya adalah untuk menstabilkan harga karet alam. Anggota dari INRO terdiri dari negara-negara produsen karet alam (eksportir) yaitu Malaysia, Indonesia, Thailand, Sri Lanka, dan Nigeria, serta negara konsumen (importir) yaitu China, Uni Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat. INRO kemudian dibubarkan secara resmi pada tanggal 13 Oktober 1999. Sejak itu, tidak ada lagi organisasi yang berfungsi sebagai stabilitator. Alasan pembubaran INRO karena
27
pada saat itu, INRO tidak dapat mengatasi kemerosotan harga. Association of Natural Rubber Producing Countries (ANRPC) yang berdiri sejak tahun 1970 dan terdiri dari negara-negara produsen karet alam, yang diharapkan dapat berfungsi sebagai pengganti sebagian dari fungsi INRO tidak dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan. Bubarnya INRO membawa dampak psikologi terhadap pasar. Hal ini dapat dilihat dari semakin merosotnya harga karet alam di pasar internasional. Berdasarkan pada latar belakang pemerosotan harga karet alam sejak terjadinya krisis moneter tahun 1997 dan dibubarkannya INRO, maka tiga negara produsen utama karet alam yaitu Thailand, Indonesia, dan Malaysia sepakat mengadakan kerjasama di bidang perdagangan karet alam. Dalam upaya mengatasi merosotnya harga karet alam, pemerintah Thailand, Indonesia, dan Malaysia sepakat mendirikan perusahaan patungan karet alam yang bernama “International Rubber Consortium Limited (IRCo)”. Kesepakatan pendirian perusahaan patungan IRCo ini telah tertuang dalam Memorandum of Understanding (MoU) yng ditandatangani oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI, Menteri Agriculture and Cooperatives Thailand, dan Menteri Primary Industries Malaysia pada tanggal 8 Agustus 2002 di Bali. IRCo berfungsi sebagai pelengkap dari skema penstabil harga yang lain, yaitu Supply Managemant Scheme (SMS) dan Agreed Export Tonnage Scheme (AETS) sebagaimana yang telah disepakati dalam “Joint Ministerial Declaration (Bali
Declaration) 2001”, yaitu
melaksanakan kegiatan strategic marketing yang meliputi pembelian dan penjualan karet alam (Zebua, 2008).
28
2.7.
Penelitian Terdahulu Penelitian terkait komoditas karet alam telah banyak dilakukan. Soekarno
(2009) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Keunggulan Komparatif Karet Alam Indonesia Tahun 2003-2007” menyatakan bahwa pertumbuhan daya saing karet alam Indonesia di pasar dunia semakin mengalami peningkatan. Hal ini dapat dilihat dari nilai Revealed Comparative Advantage (RCA) yang mengalami peningkatan dari 28,403 pada tahun 2003 menjadi 37,388 pada tahun 2007. Peningkatan nilai RCA ini tidak terlepas dari semakin besarnya nilai ekspor karet alam Indonesia di pasar dunia. Selain itu, Soekarno juga menyatakan bahwa hal tersebut terkait dengan semakin gencarnya program revitalisasi perkebunan karet di Indonesia yang membawa harapan pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai penghasil karet alam terbesar di dunia pada tahun 2010. Karet sintetik yang merupakan produk komplementer maupun substitusi dari karet alam semestinya memiliki peranan dalam pembentukan harga karet alam. Atas dasar pemikiran ini, maka dalam analisis yang menggunakan metode impulse response function dan variance decompotition, Zebua (2008) memakai harga karet sintetis dan nilai tukar Rupiah dalam menelusuri respon variabel dependent terhadap guncangan variabel independent sebesar satu standar deviasi. Hasil yang didapat menyatakan bahwa pengaruh dari guncangan harga karet sintetik terhadap harga karet RSS dan TSR20 pada jangka pendek memberikan dampak yang positif terhadap harga ekspor karet RSS di Indonesia, sedangkan dampak nilai tukar Rupiah adalah negatif. Hal ini mencerminkan bahwa keragaman harga ekspor karet alam Indonesia, khususnya RSS dan TSR20 dipengaruhi oleh keragamannya sendiri, sedangkan pengaruh dari harga karet
29
sintetik dan nilai tukar Rupiah hanya memberikan kontribusi yang berkisar 0-12% saja. Penelitian yang dilakukan oleh Sunandar (2007) mengenai analisis daya saing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap pengusahaan komoditi tanaman karet alam di Kecamatan Cambai, Kota Prabumulih, Sumatera Selatan dengan menggunakan metode analisis PAM (Policy Analysis Matrix) memperoleh hasil bahwa usahatani yang dijalankan oleh petani karet alam Kecamatan Cambai mempunyai daya saing. Ini terlihat dengan indikator keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif (PCR dan DCR) yang lebih kecil dari satu (<1), serta keuntungan sosial dan juga keuntungan privat (finansial) yang positif. Hasil yang diperoleh untuk nilai PCR (Private Cost Ratio) sebesar 0,43% dan keuntungan finansial sebesar Rp 6.903,94/kg. sedangkan nilai DRC (Domestic Resource Cost Ratio) sebesar 0,77% dan keuntungan sosial sejumlah Rp 2.791,39/kg. Hasil dari nilai PCR yang lebih kecil dari DCR merupakan indikator yang memiliki arti bahwa komoditi usahatani karet alam (bokar) terhadap kebijakan pemerintah yang meningkatkan efisiensi dalam berproduksi. Dampak kebijakan yang diberlakukan pemerintah terhadap output menyebabkan nilai transfer output bernilai negatif (Rp 2.094,94/kg bokar) sehingga harga output di pasar domestik Kecamatan Cambai lebih rendah dibandingkan harga di pasar internasional. Analisis sensitivitas yang digunakan yaitu dengan menurunkan harga output sebesar 6%, kenaikan input (pupuk) sebesar 6%, dan analisis gabungan dengan faktor lain tidak berpengaruh, menunjukkan hasil bahwa perhitungan dengan menggunakan Matriks Analisis Kebijakan pada komoditi tanaman karet alam menunjukkan bahwa usahatani tersebut tetap mempunyai daya saing. Indikator daya saing
30
tersebut dilihat dari nilai keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif yang menunjukkan nilai lebih kecil dari satu, sedangkan dampak kebijakan pemerintah terhadap input-output yang dilihat dengan nilai EPC yang terjadi mengalami perubahan menjadi 1 (EPC=1). Prabowo (2006) menggunakan model ekonometrika dinamis untuk menganalisis tren perdagangan karet alam antara Indonesia dengan negara-negara importir utama karet alam yaitu Amerika Serikat dan Jepang. Penelitian tersebut menghasilkan suatu kesimpulan bahwa pada kurun waktu 1995-2003 produksi karet alam Indonesia cenderung mengalami peningkatan yaitu dari 1.467 juta ton menjadi 1.798 juta ton atau meningkat sebesar 22,56%. Namun peningkatan tersebut kurang berarti jika dibandingkan dengan Thailand dan India yang dapat meningkatkan produksinya hingga dua kali lipat lebih besar dari Indonesia. Hal yang sama terjadi pada ekspor karet alam. Ekspor karet alam Indonesia meningkat dari 1.324 juta ton pada tahun 1995 menjadi 1.453 juta ton di tahun 2001. Meskipun demikian, nilai tersebut kontras dengan persentase ekspor terhadap ekspor dunia, dimana pangsa ekspor karet alam justru mengalami penurunan dari 31,2% terhadap ekspor dunia pada tahun 1995 menjadi 28,2% pada tahun 2001. Sebaliknya, Thailand mengalami peningkatan pangsa pasar dari 38,5% pada tahun 1995 menjadi 39,6% pada tahun 2001. Hasil analisis yang dilakukan menunjukkan bahwa ekspor dan produksi karet alam dunia masih didominasi oleh Thailand, Indonesia, dan Malaysia, serta Vietnam yang mulai diperhitungkan dalam jajaran eksportir utama karena terus mengalami peningkatan produksi dan ekspor. Penelitian ini juga menyebutkan bahwa faktor dominan yang mempengaruhi permintaan impor karet alam Amerika Serikat adalah pendapatan
31
domestik brutonya dengan respon yang elastik. Hal tersebut berbeda dengan Jepang yang permintaannya terhadap karet alam tidak responsif terhadap perubahan pendapatan domestik bruto maupun perubahan harga impor karet alam. Namun, secara umum distorsi pasar akibat kebijakan perdagangan dan perubahan lingkungan ekonomi mempengaruhi volume perdagangan karet alam.
32
III. KERANGKA PEMIKIRAN Ekonomi Internasional pada umumnya diartikan sebagai bagian dari ilmu ekonomi yang mempelajari dan menganalisis transaksi dan permasalahan ekonomi internasional (ekspor dan impor) yang meliputi perdagangan dan keuangan/moneter serta organisasi (swasta/pemerintah) dan kerjasama ekonomi antar negara (internasional). Permasalahan pokok yang dihadapi dalam ekonomi internasional juga tidak berbeda dengan yang dihadapi oleh ekonomi pada umumnya, yaitu masalah kelangkaan (scarcity) produk dan masalah pilihan (choice) produk. Masalah tersebut muncul karena adanya permintaan atau demand serta adanya penawaran atau supply yang berasal dari dalam maupun luar negeri (Hady, 2004). Oktaviani dan Novianti (2009) mendefinisikan perdagangan internasional sebagai perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Penduduk yang dimaksud dapat berupa antar perorangan (individu dengan individu), antar individu dengan pemerintah suatu negara atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain. Perdagangan internasional yang tercermin dari kegiatan ekspor dan impor suatu negara menjadi salah satu komponen dalam pembentukan PDB (Produk Domestik Bruto) dari sisi pengeluaran suatu negara. Peningkatan ekspor bersih suatu negara menjadi faktor utama dalam peningkatan PDB negara tersebut. Konsep perdagangan internasional pada hakikatnya telah terjadi selama ribuan tahun (seperti Jalur Sutra dan Amber Road). Meskipun demikian, dampaknya terhadap kepentingan ekonomi, sosial, dan politik baru dirasakan beberapa abad belakangan. Perdagangan internasional juga turut mendorong
33
industrialisasi, kemajuan transportasi, globalisasi, dan kehadiran perusahaan multinasional (Oktaviani dan Novianti, 2009). Dalam perdagangan domestik, para pelaku ekonomi bertujuan untuk memperoleh keuntungan dari aktivitas ekonomi yang dilakukannya. Demikian juga halnya dengan perdagangan internasional. Suatu negara terlibat dalam perdagangan internasional, menurut Krugman da Obstfeld (2000) dalam Prabowo (2006) didasarkan pada dua alasan, yang mana setiap alasan tersebut memberikan kontribusi dalam mendatangkan manfaat
bagi negara yang melakukan
perdagangan. Pertama, suatu negara terlibat dalam perdagangan karena setiap negara berbeda dengan negara lainnya. Sebagaimana layaknya individu, suatu negara dapat memperoleh manfaat dari perbedaan dengan melakukan kesepakatan untuk menghasilkan sesuatu yang dapat dihasilkan dengan baik, dengan kata lain melakukan spesialisasi. Kedua, suatu negara melakukan perdagangan untuk mencapai skala ekonomi dalam produksi. Jika setiap negara hanya menghasilkan beberapa jenis produk tertentu, maka setiap negara dapat menghasilkan produk dalam skala yang lebih besar dan lebih efisien dari pada jika mencoba untuk menghasilkan semua produk. Saat ini kajian mengenai perdagangan internasional semakin penting karena pengaruh globalisasi ekonomi dunia yang dicirikan oleh hal-hal sebagai berikut (Hady, 2004): 1) Keterbukaan ekonomi terutama dengan adanya liberalisasi pasar dan arus uang serta transfer teknologi secara internasional;
34
2) Keterkaitan dan ketergantungan ekonomi, keuangan, perdagangan, dan industri antar negara atau perusahaan yang ditunjukkan oleh adanya pembentukan perusahaan multinasional dan kecenderungan integrasi ekonomi regional; dan 3) Persaingan yang semakin ketat antar negara ataupun perusahaan untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan efektivitas yang optimal. Menghadapi era globalisasi saat ini, manusia dengan ide, bakat, IPTEK, serta barang dan jasa dapat dengan mudah melewati batas negara. Pergerakan yang relatif bebas ini ternyata tidak hanya menimbulkan saling keterkaitan dan ketergantungan, tetapi juga telah menimbulkan persaingan global yang semakin ketat (Oktaviani dan Novianti, 2009). Globalisasi membuat pasar antar negara menjadi semakin luas. Negara yang memiliki keunggulan kompetitif semakin dapat memperkaya negaranya dan negara yang tidak siap dalam menghadapi persaingan di pasar global akan semakin terpuruk. Melihat dari segi ilmu ekonomi dan dari pengertian yang digunakan sehari-sehari, permintaan memiliki pengertian yang berbeda. Dalam kehidupan sehari-hari permintaan diartikan secara absolut sebagai jumlah barang yang dibutuhkan. Pengertian ini berangkat atas dasar bahwa manusia mempunyai kebutuhan yang mana kebutuhan ini kemudian melahirkan permintaan. Permintaan yang hanya didasarkan pada kebutuhan seperti ini dalam ilmu ekonomi disebut sebagai kebutuhan absolut atau potensial. Pada hakikatnya permintaan tidak hanya didasarkan pada kebutuhan. Permintaan terkait erat dengan harga, sehingga permintaan baru memiliki arti apabila didukung oleh daya beli oleh peminta. Permintaan yang didukung oleh daya beli ini disebut sebagai
35
permintaan efektif (Sudarsono, 1995). Dengan demikian, maka permintaan dapat didefinisikan sebagai sejumlah barang yang dibeli atau diminta pada suatu harga dan waktu tertentu. Permintaan pasar (market demand) untuk suatu barang adalah kuantitas total suatu barang tersebut oleh seluruh pembeli potensial. Permintaan pasar tidak lebih merupakan efek kombinasi dari berbagai pilihan ekonomi konsumen. Kurva permintaan pasar menggambarkan jumlah permintaan dari sejumlah permintaan tertentu konsumen potensial untuk sebuah barang tertentu (Nicholson, 2002). Berangkat dari konsep tersebut, maka dapat dilihat bahwa ekspor suatu komoditas merupakan dampak yang terjadi akibat adanya permintaan global. Permintaan ini yang kemudian mendorong kegiatan ekonomi dalam konteks pasar. Penelitian yang bertujuan untuk melihat struktur pasar yang terbentuk pada komoditas karet alam di pasar internasional serta melakukan analisis terhadap daya saing produk, baik pada keunggulan kompetitif maupun komparatifnya ini menggunakan nilai ekspor sebagai dasar bagi perhitungan yang dilakukan. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai konsep dasar atau informasi awal dalam menetapkan kebijakan dalam rangka pengembangan daya saing produk, khususnya karet alam. Guna mencapai tujuan yang diharapkan maka digunakan beberapa metode analisis yang mendukung penelitian ini. Alat analisis yang digunakan untuk mengetahui struktur pasar karet alam yang terbentuk di pasar internasional dilakukan dengan menggunakan metode Herfindahl Index (HI) dan Concentration Ratio (CR). HI digunakan untuk melihat ukuran besar kecilnya perusahaanperusahaan dalam suatu industri dan digunakan sebagai indikator jumlah
36
persaingan diantara perusahaan tersebut. Nilai yang diperoleh menggambarkan nilai penguasaan pasar oleh suatu perusahaan dalam suatu industri. Dengan kata lain, HI menggambarkan kecenderungan struktur industri menuju bentuk persaingan atau bentuk yang bersifat monopoli. Hal ini berbeda dengan CR yang menggambarkan persentase penguasaan pasar dalam suatu industri secara lebih jelas (Jaya, 2001). Koefisien CR yang semakin kecil menggambarkan struktur yang semakin bersaing sempurna. Struktur pasar yang menggunakan analisis CR dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa bentuk yaitu persaingan sempurna, monopolistik, oligopoli, dan monopoli. Metode analisis yang digunakan untuk mengukur tingkat daya saing komoditas karet alam di pasar internasional adalah Revealed Comparatif Advantage (RCA) dan Export Competitiveness Index (ECI). RCA merupakan indeks yang mengukur kinerja ekspor suatu komoditas dari suatu negara dengan mengevaluasi peranan ekspor suatu komoditas dalam ekspor total negara tersebut, dibandingkan dengan pangsa komoditas tersebut dalam perdagangan dunia (Basri, 2002). RCA digunakan untuk menjelaskan kekuatan daya saing komoditas ekspor Indonesia secara relatif terhadap produk sejenis dari negara lain (Astuty dan Zamroni, 2000). ECI (Export Competitiveness Index)
merupakan gambaran trend
perkembangan daya saing suatu komoditas suatu negara. ECI menunjukkan rasio pangsa ekspor suatu negara di pasar dunia untuk suatu komoditas tertentu pada periode tertentu dengan rasio pangsa ekspor komoditi tersebut pada periode sebelumnya. Suatu komoditas dikatakan menghadapi trend daya saing yang meningkat apabila nilai ECI komoditas tersebut lebih besar dari satu.
37
Mengacu pada konsep-konsep di atas, maka terbentuklah suatu alur berfikir yang mendasari penelitian ini sebagaimana tergambar sebagai berikut.
Kontribusi sektor pertanian dalam pembentukan devisa negara
Ekspor Komoditas Perkebunan: Karet Alam Identifikasi Struktur Pasar Karet Alam di pasar internasional
Perkembangan Ekspor Karet Alam Indonesia Daya Saing Ekspor Karet Alam Indonesia di Pasar Internasional
Analisis Keunggulan Komparatif
Revealed Comparative Advantage
Herfindahl Index dan Concentration Ratio
Analisis Keunggulan Kompetitif
Export Competitiveness Index
Perumusan Kebijakan untuk Peningkatan Daya Saing
Keterangan:
: dianalisis dalam penelitian : tidak dianalisis dalam peneitian Gambar 2. Diagram Alur Kerangka Pemikiran
38
IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1.
Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder yang
diperoleh dari beberapa sumber seperti Departemen Perdagangan, Departemen Pertanian, BPS, Gapkindo, ITS (International Trade Statistics), statistik FAO, IRSG (International Rubber Study Group), WEF (World Economic Forum), Comtrade, APPI (Asosiasi Penelitian Perkebunn Indonesia), serta informasi lain dari internet dan buku-buku pustaka lainnya.
4.2.
Metode Pengolahan dan Analisis Data Analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif kuantitatif yang
mengacu pada kerangka teoritis analisis keunggulan kompetitif (competitive advantage) yang mencoba menjelaskan keberadaan sektor perkebunan, khususnya karet alam di perdagangan internasional. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif. Tujuannya adalah untuk membuat gambaran secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Analisis pengolahan data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif digunakan untuk menganalisis kondisi internal dan eksternal yaitu analisis keunggulan kompetitif komoditas karet alam Indonesia. Analisis kuantitatif digunakan untuk menganalisis struktur pasar dan persaingan karet alam Indonesia di pasar internasional. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan Software Microsoft Excel 2007. Studi menggunakan analisis kuantitatif digunakan untuk mendukung analisis deskriptif yang ada, yaitu menggunakan analisis
39
perbandingan RCA (Revealed Comparative Advantage) dan ECI (Export Competitiveness Index).
4.2.1. Analisis Struktur Pasar Herfindahl Index (HI) dan Concentration Ratio (CR) adalah alat analisis yang digunakan untuk mengetahui struktur pasar yang dihadapi suatu industri. HI merupakan alat yang mengukur besar kecilnya perusahaan-perusahaan dalam suatu industri dan sebagai indikator jumlah persaingan di antara mereka. HI dan CR sering digunakan untuk mengukur konsentrasi industri. Nilai HI mencerminkan nilai penguasaan pangsa pasar oleh suatu perusahaan dalam suatu industri. Tahap pertama yang harus dilakukan untuk menganalisis pangsa pasar dengan menggunakan Herfindahl Index adalah dengan menghitung pangsa pasar tiap negara produsen karet alam di pasar internasional. Perhitungan pangsa pasar dilakukan dengan menggunakan formula sebagai berikut (Meryana, 2007): 𝑆𝑖𝑗 =
𝑋𝑖𝑗 𝑇𝑋𝑗
Keterangan: Sij = Pangsa pasar karet alam negara i di pasar internasional Xij = Nilai ekspor karet alam negara i di pasar internasional TXj = Total nilai ekspor karet alam dipasar internasional Alat analisis Herfindahl Index pada penelitian ini digunakan dengan tujuan untuk mengetahui struktur pasar komoditas karet alam di pasar internasional sekaligus mengukur penguasaan pasar masing-masing negara yang terlibat dalam perdagangan karet alam tersebut. Pangsa pasar perdagangan karet alam suatu negara dihitung dengan membandingkan ekspor karet alam negara tersebut
40
dengan total ekspor karet alam dunia. Formula yang sama kemudian digunakan untuk mengukur struktur pasar dan pangsa pasar suatu negara dalam perdagangan karet alam Internasional sebagai berikut (Anonim, 2007)2: 𝐻𝐼 = 𝑆12 + 𝑆22 + 𝑆32 + ⋯ + 𝑆𝑛2 Keterangan: HI = Herfindahl Index Si = Pangsa pasar penjualan negara ke-i dalam perdagangan karet alam dunia n = Jumlah negara yang terlibat dalam perdagangan karet alam dunia Indeks ini bernilai antara lebih dari nol hingga satu. Jika HI mendekati nol, berarti struktur industri yang bersangkutan cenderung ke pasar persaingan (competitive market), sementara jika indeks bernilai mendekati satu maka struktur industri tersebut
cenderung bersifat
monopoli. Indeks Herfindahl juga
mencerminkan derajat penguasaan pasar dalam suatu industri dari tahun ke tahun. Apabila indeks ini meningkat dari tahun ke tahun berarti pasar industri yang bersangkutan cenderung berstruktur oligopoli, atau bahkan monopoli. Jika sebaliknya, berarti struktur pasar mengarah ke persaingan sempurna. CR-4 (Concentration Ratio of the 4 Largest Companies) ialah suatu koefisien yang menjelaskan persentase penguasaan pangsa pasar oleh empat perusahaan terbesar dalam suatu industri. Koefisien CR-4 yang semakin kecil mencerminkan struktur yang semakin bersaing sempurna. Didasarkan pada analisis standar dalam ekonomi industri, bahwa struktur industri dikatakan berbentuk oligopoli bila empat produsen terbesar menguasai minimal 40% pangsa pasar penjualan dari industri yang bersangkutan (CR4=40%) (Jaya, 2001). Apabila kekuatan keempat produsen tersebut sama, maka pangsa penjualan atau produksi
2
http://www.quickmba.com/econ/micro/indcon.shtml [20 Maret 2010]
41
masing-masing produsen adalah 10% dari nilai penjualan atau produksi suatu industri. Apabila penguasaan pasar oleh sepuluh produsen atau kurang dalam suatu industri merupakan batas minimum suatu industri berbentuk oligopolistik, maka terdapat kecenderungan peningkatan derajat penguasaan pasar dari tahun ke tahun. Sejalan dengan peningkatan penguasaan pasar tersebut, beberapa subsektor industri telah beralih ke arah persaingan oligopolistik. Struktur
pasar
juga
dapat
diklasifikasikan
berdasarkan
rasio
konsentrasinya (CR), yaitu: 1) Struktur pasar persaingan sempurna (perfect competition) ditunjukkan dengan rasio konsentrasi yang sangat rendah. 2) Struktur
pasar
persaingan
monopolistik
(monopolistic
competition)
ditunjukkan dengan nilai rasio konsentrasi untuk empat produsen terbesar (CR4) di bawah 40%. 3) Struktur pasar oligopoli ditunjukkan dengan nilai rasio konsentrasi untuk empat produsen terbesar (CR4) di atas 40%. 4) Struktur pasar monopoli ditunjukkan dengan nilai rasio konsentrasi untuk empat produsen terbesar (CR4) mendekati 100%. Rasio konsentrasi dirumuskan sebagai berikut (Jaya, 2001): 𝑛���
𝐶𝑅𝑛𝑖 =
𝑆𝑖𝑖𝑗 𝑗=1
Keterangan: Sij = Pangsa pasar industri karet alam di negara j CRni = n-rasio konsentrasi pada industri karet alam Nilai rasio konsentrasi yang semakin besar menunjukkan bahwa industri tersebut semakin terkonsentrasi dan semakin sedikit jumlah produsen yang berada
42
di pasaran. Hal tersebut juga menggambarkan persaingan yang lebih ketat karena tidak ada produsen yang secara signifikan menguasai pasar.
4.2.2. Analisis RCA (Revealed Comparative Advantage) RCA adalah indeks yang mengukur kinerja ekspor suatu komoditas dari suatu negara dengan mengevaluasi peranan ekspor suatu komoditas dalam ekspor total negara tersebut, dibandingkan dengan pangsa komoditas tersebut dalam perdagangan dunia (Kuncoro, 2008 dan Basri, 2002). Dengan kata lain, RCA merupakan rasio antara nilai ekspor komoditas tertentu di negara tertentu dengan total nilai ekspor (dunia) komoditas yang sama. Indeks RCA merupakan indikator yang bisa menunjukkan perubahan keunggulan komparatif atau perubahan tingkat daya saing industri suatu negara di pasar global (Tambunan, 2003). Konsep keunggulan ini dikemukakan oleh Balassa pada tahun 1965. Balassa (1965) dalam Saboniene (2009) menyatakan bahwa hasil dari kegiatan ekspor digunakan untuk mengungkap keunggulan komparatif dari bagian negara yang kurang terhadap bagian lain yang memiliki keunggulan pada faktor biaya. Pola ekspor komoditas ini dinyatakan sebagai suatu pola yang merefleksikan biaya relatif sebagaimana perbedaan pada faktor non-harga, yang dapat menentukan struktur dari perdagangan, khususnya ekspor. Balassa (1965) dalam Abdmoulah dan Laabas (2010) mengangkat teori bahwa nilai RCA menangkap derajat spesialisasi perdagangan dari suatu negara. Indeks RCA dapat dikatakan sebagai indeks yang melukiskan harga relatif yang berlaku dan faktor-faktor penentunya sebagaimana yang terjadi pada produk distorsi pasar. Secara
43
matematis, indeks RCA yang dikenal sebagai Balassa Index dapat dirumuskan sebagai berikut (Saboniene, 2009): 𝐼𝑛𝑑𝑒𝑘𝑠𝑅𝐶𝐴𝑖𝑘 =
Keterangan: Xik = Xi = Wk = Wt =
𝑋𝑖𝑘 𝑋𝑖 𝑊𝑘 𝑊𝑡
Nilai ekspor komoditas karet alam dari negara i Nilai ekspor total dari negara i Nilai ekspor komoditas karet alam di dunia Nilai ekspor total dunia
Jika nilai indeks RCA suatu negara untuk komoditas tertentu adalah lebih besar dari satu (>1), maka negara yang bersangkutan memiliki keunggulan komparatif di atas rata-rata dunia untuk komoditas tersebut. Sebaliknya, bila lebih kecil dari satu (<1), berarti keunggulan komparatif untuk komoditas tersebut tergolong rendah, di bawah rata-rata dunia. Semakin besar nilai indeks, semakin tinggi pula tingkat
keunggulan komparatifnya.
RCA digunakan untuk
menjelaskan kekuatan daya saing komoditas ekspor Indonesia secara relatif terhadap produk sejenis dari negara lain (dunia) (Astuty dan Zamroni, 2000).
4.2.3. Analisis ECI (Export Competitiveness Index) Export Competitiveness Index (ECI) menunjukkan rasio pangsa ekspor suatu negara di pasar dunia untuk suatu komoditi tertentu pada periode tertentu (t) dengan rasio pangsa ekspor suatu negara di pasar dunia untuk komoditi tersebut pada periode sebelumnya (t-1) (Hadianto, 2009)3. Amir (2000) dalam Saboniene (2009) menggunakan indeks daya saing ekspor ini untuk mengestimasi keberhasilan atau kegagalan dalam suatu industri dalam rangka peningkatan
3
komunikasi pribadi
44
pertumbuhan dalam menghadapi peningkatan pertumbuhan pasar. Dengan memperhitungkan share dari pasar suatu negara, maka indeks daya saing ini akan menjadi indikator yang lebih baik dalam melihat keunggulan suatu komoditas. ECI dapat dirumuskan sebagai berikut (Amir, 2000 dalam Saboniene, 2009): 𝐸𝐶𝐼𝑘𝑖 = Keterangan: Xki = Xw = t = t-1 =
𝑋𝑘𝑖 𝑋𝑤 𝑡 𝑋𝑘𝑖 𝑋𝑤 𝑡−1
Nilai ekspor komoditi karet alam oleh negara i Nilai ekspor dunia terhadap komoditi karet alam Periode berjalan Periode sebelumnya
Nilai ECI menunjukkan trend daya saing yang dihadapi oleh suatu negara terhadap negara lain untuk suatu komoditas tertentu. Dengan kata lain, nilai ini menunjukkan apakah suatu produk yang dimaksud memiliki kemampuan untuk bersaing dengan negara lain yang merupakan negara pesaingnya. Apabila nilai ECI suatu komoditi lebih besar dari satu, berarti komoditi tersebut menghadapi trend daya saing yang meningkat. Sebaliknya, apabila nilai ECI lebih kecil dari satu, maka komoditi tersebut menghadapi kemungkinan penurunan pangsa pasar atau daya saing yang melemah. Indeks ini juga dapat dilihat sebagai rasio pertumbuhan suatu negara untuk komoditas tertentu terhadap rata-rata pertumbuhan komoditas tersebut pada pasar dunia. Berdasarkan paparan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa untuk dapat bersaing dan bertahan di jajaran pasar internasional, maka suatu produk hendaknya memiliki nilai indeks kompetitif yang lebih besar dari satu.
45
V. GAMBARAN UMUM KARET ALAM 5.1.
Sejarah Karet Dunia dan Indonesia Karet merupakan tanaman berumur panjang dan secara ekonomis satu
siklus pertanamannya memakan waktu sekitar 30 tahun. Tanaman karet yang dikenal dengan nama botani Hevea Brasiliensis berasal dari daerah Amazone di Brasilia. Tahun 1860, Markham dikirim ke Amerika Selatan oleh “The Royal Botanic Gardens” dengan tujuan mengumpulkan biji-bijian hevea untuk disemai di Kew Garden London, yang hasilnya kemudian dikirimkan untuk ditanam di India dan Sailan (Siswoputranto, 1981 dalam Limbong 1994). Tanaman hasil persemaian yang dikirimkan oleh Wickham dari Brasilia ke Kew Gardens pada tahun 1876 tersebut kemudian dikirimkan ke Kebun Raya Pasadenia di Srilanka, Kebun Raya di Penang, dan Kebun Raya di Bogor sebagai percobaan. Menjelang akhir abad ke-19, mulai diadakan usaha penanaman karet secara luas. Tahun 1905, tanaman karet telah mulai diusahakan dalam bentuk perkebunan, terutama di daerah Malaya dan Sailan. Pada tahun 1910 Dunlop Rubber Company membuka perkebunan karet yang pertama, dan pada tahun 1925 didirikanlah Dunlop Plantation Ltd. yang merupakan perkebunan terbesar pertama saat itu. Areal penanaman karet meningkat secara tajam di Asia Tenggara, dari sekitar 5 ribu hektar pada tahun 1907 menjadi 400 ribu hektar pada tahun 1909. Pengusahaan karet dalam bentuk perkebunan di Malaya membawa dampak terhadap masyarakat Indonesia. Banyak buruh yang berasal dari Indonesia yang bekerja di perkebunan tersebut serta pedagang dari Indonesia yang tertarik dengan tanaman karet ini sehingga membawa biji-biji karet tersebut untuk ditanam di
46
daerah masing-masing. Buruh karet maupun pedagang yang sebagian besar berasal
dari
Sumatera
dan
Kalimantan
tersebut
kemudian
banyak
mengembangkan perkebunan karet sehingga dalam kurun waktu sejak 1920 hingga 1935 areal pertanaman karet diwilayah ini berkembang pesat melebihi luasan tanaman karet di pulau Jawa. Bagi Indonesia, karet merupakan komoditi potensial sebagai penghasil devisa dan penyedia lapangan kerja. Kontribusi perkaretan nasional mencapai 1,2 milyar dolar Amerika atau sekitar 20% dari nilai ekspor produk pertanian (Badan Pusat Statistik, 2004). Sebagai mata pencaharian rakyat, komoditas karet, baik secara langsung maupun tidak langsung mampu menghidupi sebanyak 15 juta rakyat Indonesia. Pembudidayaan tanaman karet secara komersial di Indonesia sampai saat ini telah berlangsung selama lebih dari 100 tahun, bila dihitung sejak awal penanaman di Sumatera pada tahun 1902 dengan luasan 176 ha, dan di Jawa yang dimulai tahun 1906 seluas 10.125 ha (Dijkman, 1951 dalam Azwar dan Suhendry, 1998). Dengan demikian dapat diihat bahwa sampai saat ini, dimulai dari generasi awal, pengusahaan tanaman karet baru memasuki siklus ke empat dalam masa tanamnya. Jenis bahan tanaman yang digunakan pada setiap siklus pertanaman tergantung pada kemajuan pemuliaan yang dicapai pada saat penanaman. Pada siklus pertama, benih yang digunakan merupakan benih yang apa adanya (tanpa melalui proses seleksi) yang diperoleh dari tanaman awal yang didatangkan oleh Wickham pada tahun 1876 yang ditanam di Indonesia, Malaysia, dan Sri Lanka.
47
Kegiatan seleksi dan pemuliaan awal tanaman karet dimulai oleh Cramer pada 33 tanaman semaian asal Penang (Malaysia) yang ditanam di Bogor pada tahun 1883. Saat memasuki masa sadap, Cramer melihat bahwa terdapat perbedaan yang mendasar pada pohon-pohon tesebut. Berdasarkan pengamatan pada 33 pohon tersebut, Cramer mendapatkan suatu kesimpulan bahwa keragaman genetik diantara tanaman semaian cukup besar, sehingga perbaikan mutu bahan tanaman akan bisa dilakukan melalui dua cara, yaitu seleksi klon (perbanyakan vegetatif) dan seleksi benih dengan pengaturan persilangan. Dari hasil tersebut, pertanaman selanjutnya dilakukan dengan menggunakan semaian dari pohon-pohon berproduksi tinggi yang terpilih (tahun 1917). Penggunaan semaian terpilih ini ternyata bisa meningkatkan produktivitas tanaman sebesar 4070% yaitu dari rata-rata 496 kg/ha/th untuk benih tidak terpilih, menjadi rata-rata 704 kg/ha/th untuk semaian terpilih. Kegiatan pemuliaan yang lebih intensif dan komprehensif dilaksanakan setelah terbentuknya Asosiasi Penelitian Perkebunan Sumatera (Algemene Vereeniging van Rubberplanters ter Ost Kust Van Sumatra = AVROS) di Medan, dan Pusat Penelitian Perkebunan (Central Vereeniging tot Beheer van Proefstations voor de Overjarige Cultures = CVP). CVP mengkoordinasi kegiatan penelitian di tiga stasiun penelitian, yaitu di Bogor, Malang, dan Jember, serta dua unit kegiatan pengembangan di Tanjung Karang dan Semarang (Dijkman, 1951 dalam Azwar dan Suhendry, 1998). Untuk memfasilitasinya, dibentuk unit kegiatan penelitian dan berfungsi melakukan uji pengembangan dari klon-klon karet baru yang dihasilkan oleh pusat penelitian.
48
5.2.
Permintaan dan Penawaran Karet Alam Kondisi perdagangan karet alam semakin tahun semakin mengalami
perbaikan. Hal ini sejalan dengan makin meningkatnya bidang perindustrian, baik di lingkup lokal maupun internasional. Peningkatan ini khususnya terjadi pada bidang otomotif. Makin berkembangnya ekonomi menyebabkan adanya pengembangan konsumsi terhadap berbagai barang otomotif. Perkembangan konsumsi yang terjadi diperkirakan tidak sejalan dengan perkembangan produksinya. IRSG memperkirakan akan terjadi kekurangan pasokan karet alam pada tahun-tahun ke depan. Hal ini mendorong pembentukan Task Force Rubber Eco Project (REP) oleh IRSG pada tahun 2004 untuk melakukan studi tentang permintan dan penawaran karet sampai dengan tahun 2035 (Anwar, 2006). Hasil yang diperoleh menyatakan bahwa permintaan karet alam pada tahun 2035 mencapai 15 juta ton. Studi ini juga memproyeksikan bahwa pertumbuhan produksi Indonesia akan mencapai 3% per tahun, sedangkan Thailand hanya 1% dan Malaysia -2%. Membaiknya kondisi perekonomian dunia pasca krisis keuangan global menyebabkan pemulihan industri otomotif yang berdampak pada meningkatnya permintaan terhadap karet alam. Industri yang makin marak berkembang khususnya adalah industri ban (Basri et al., 2010). Kondisi tersebut menyebabkan makin meningkat juga permintaan terhadap karet alam sebagai bahan baku pembuatan ban. Harga minyak dunia yang terus merangkak naik juga berpengaruh terhadap peningkatan permintaan terhadap karet alam karena peningkatan ini menyebabkan naiknya biaya produksi karet sintetis sebagai substitusi karet alam.
49
Baik produksi maupun konsumsi terhadap karet alam mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Menurut catatan dari IRSG, pada tahun 2007 produksi karet alam global sebesar 9,8 juta ton dengan besaran konsumsi sebesar 10,2 juta ton. Angka ini mengalami peningkatan pada tahun 2008, dimana produksi global mencapai 10,03 juta ton dan konsumsi mencapai 10,08 juta ton. Kondisi tersebut berbanding terbalik dengan produksi dan konsumsi pada karet sintetik yang justru mengalami penurunan. Produksi karet sintetik pada tahun 2007 mencapai 13,4 juta ton turun menjadi 12,79 juta ton pada tahun 2008. Penurunan produksi tersebut diikuti pula oleh penurunan konsumsi dimana pada tahun 2007 konsumsi terhadap karet sintetis mencapai 13,28 juta ton menjadi 12,57 pada tahun 2008 (International Rubber Study Group, 2009). Perkembangan tersebut tentu saja membawa pengaruh positif bagi Indonesia sebagai salah satu eksportir terbesar karet alam. Perbaikan tehadap harga karet memberikan peluang lebih besar untuk peningkatan devisa negara melalui kegiatan perdagangan. Potensi Indonesia sebagai produsen karet yang memiliki areal terluas di dunia sangat besar untuk meningkatkan produksinya. Prospek internasional pun semakin terbuka dengan terbukanya kondisi gobalisasi saat ini. Pasar domestik terhadap karet alam Indonesia juga berkembang sejalan dengan adanya perbaikan dan peningkatan perekonomian dunia. Konsumsi karet alam nasional mengalami peningkatan rata-rata 23,3% per tahun sejak lima tahun terakhir. Terdapat dua faktor penggerak yang meningkatkan konsumsi domestik Indonesia terhadap karet alam. Pertama, pertumbuhan dalam industri otomotif, khususnya sepeda motor, menyebabkan permintaan akan produk olahan karet
50
meningkat. Hal ini dikarenakan pertumbuhan produksi rata-rata sepeda motor Indonesia merupakan yang terbesar di Asia. Kedua, peningkatan pendapatan perkapita dan pertumbuhan populasi yang juga mengakibatkan pertumbuhan penjualan mobil dan sepeda motor di dalam negeri sehingga meningkatkan pula permintaan terhadap produk olahan karet (Basri et al., 2010).
5.3.
Perkembangan Produksi Karet Alam Indonesia dibandingkan Thailand dan Malaysia Sebagai Produsen Utama Karet Alam Dunia Karet merupakan salah satu komoditi perkebunan yang menjadi andalan
ekspor bagi Indonesia. Hal ini terlihat dari upaya Indonesia dalam hal peningkatan produksi karet alam nasional. Pemerintah memperlihatkan keseriusan yang cukup tinggi terhadap pengembangan perkaretan nasional. Hal tersebut terlihat dari penelitian-penelitian yang terus menerus dikembangkan terhadap komoditas karet demi menemukan klon-klon unggul yang dapat meningkatkan produksi. Luas areal perkebunan karet Indonesia cenderung mengalami peningkatan. Peningkatan luas areal ini tidak terlepas dari program perluasan lahan yang dilakukan Indonesia. Hal ini sesuai dengan tujuan pemerintah Indonesia yang menyatakan bahwasanya Indonesia akan menjadi eksportir terbesar pada tahun 2010. Merujuk pada tujuan tersebut, maka upaya-upaya rehabilitasi dan peremajaan karet alam yang telah tua dan tidak produktif lagi telah dilakukan sejak awal tahun 2000. Luas areal perkebunan karet tahun 2005 bahkan tercatat mencapai lebih dari 3.2 juta ha yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Diantaranya 85% merupakan perkebunan karet milik rakyat, dan 15% yang merupakan perusahaan perkebunan, baik milik negara maupun yang diusahakan oleh swasta (Rachman, 2008).
51
Jika dibandingkan dengan luasan Thailand dan Malaysia, hingga saat ini Indonesia baru menggunakan sekitar 1,5% dari luasan total areal kering (daratan) yang dimiliki untuk pemanfaatan tanaman karet. Hal ini jelas berbeda dengan pemanfaatan areal Thailand yang menggunakan sebesar 3% dari luasan total areal keringnya. Perkebunan Malaysia bahkan mencapai 3,8% luas total wilayahnya. Berdasarkan pada data faktual tersebut, maka Indonesia memiliki prospek pengembangan yang sangat besar terhadap tanaman karet karena potensi pengembangan lahan yang masih sangat besar. Indonesia merupakan negara dengan luas areal perkebunan karet terbesar di dunia. Namun kondisi ini tidak serta merta menjadikan Indonesia sebagai produsen utama dalam bisnis perkaretan dunia. Indonesia mesti merasa puas dengan statusnya sebagai produsen karet alam ke dua setelah Thailand. Hal ini dikarenakan kepemilikan areal yang demikian luas tidak diiringi dengan produktivitas yang tinggi. Berbeda dengan produktivitas negara pesaing lain dalam perdagangan karet alam dunia, yaitu Thailand dan Malaysia. Perbandingan luas areal dan produktivitas karet alam Indonesia, Thailand, dan Malaysia diperlihatkan pada Gambar 3.
52
3.500.000
2000
3.000.000
1800
1600
2.500.000
1400
2.000.000
Luas Areal Indonesia (ha) Luas Areal Thailand (ha) Luas Areal Malaysia (ha)
1200 Produktivitas Indonesia (kg/ha)
1.500.000 1000
Produktivitas Thailand (kg/ha)
1.000.000
800 Produktivitas Malaysia (kg/ha)
500.000
600
0
400 2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Sumber: Food And Agriculture Organization, 2010
Gambar 3. Perbandingan Luas Areal Tanam dan Produktivitas Karet Alam Negara Produsen Utama Rendahnya produksi dan kualitas karet alam merupakan masalah utama bagi perkaretan nasional. Produksi yang rendah terutama disebabkan oleh fakta yang menyebutkan bahwa sekitar 85% tanaman karet Indonesia menggunakan bibit tanam dengan kualitas yang rendah (Basri et al., 2010). Hal ini terjadi antara lain karena sebagian besar tanaman masih menggunakan bahan tanam asal biji (seedling) tanpa pemeliharaan yang baik, dan tingginya proporsi areal tanaman karet yang telah tua, rusak atau tidak produktif (± 13% dari total area). Kondisi yang demikian menyebabkan sebagian besar kebun karet rakyat menyerupai hutan karet (Badan Litbang Pertanian, 2005 dalam Purnama, Firdaus dan Mildaerizanti, 2007). Selain itu, teknologi pengolahan pun masih tergolong tradisional, sehingga belum dapat menghasilkan kuantitas optimal. Masalah lain yang dihadapi oleh perkaretan nasional adalah rendahnya kualitas karet alam yang dihasilkan Indonesia dibandingkan dengan karet yang dihasilkan negara eksportir lain. Kualitas tersebut terutama disebabkan masih banyaknya karet alam yang dihasilkan dari perkebunan rakyat yang pengolahan
53
(penggumpalannya) tidak menggunakan koagulum ataupun bahan pengawet yang sesuai sebagaimana yang dianjurkan oleh lembaga penelitian karet seperti disebutkan pada pasal 7 – 9 Permentan No. 38 Tahun 2008. Selain itu, kadar air pada karet pun cenderung tinggi, bahkan banyak petani yang secara sengaja merendam lateks sebelum dijual dengan tujuan agar memiliki berat yang lebih, padahal hal tersebut justru menurunkan kualitasnya. Pencampuran lateks dengan bahan-bahan lain juga masih banyak dilakukan (Rachman, 2008). Pada beberapa propinsi di Sumatera bahkan ditemukan pencampuran bokar dengan bahan karet mati (vulkanisat), antara lain di propinsi Sumatera Selatan dan Jambi (Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, 2007). Konsekuensi dari halhal tersebut adalah meningkatnya biaya pengolahan untuk pembersihan ulang, sehingga harga karet di petani cenderung lemah. Bahkan untuk kasus Sumatera, ekspor karet alam dari wilayah ini ditolak oleh konsumen luar negeri. Upaya yang optimal terhadap pengembangan karet nasional terlihat dengan adanya peningkatan produktivitas pohon karet. Produktivitas karet Indonesia semakin meningkat mengingat bahwa dalam perkembangannya pemerintah telah mulai mengusahakan penanaman terhadap klon-klon unggul. Meskipun demikian, nilai produktivitas karet Indonesia masih lebih rendah jika dibandingkan dengan negara produsen lain. Hal ini tidak lain disebabkan sebagian besar perkebunan karet Indonesia merupakan perkebunan rakyat yang tersebar di berbagai wilayah. Persebaran ini mengakibatkan usaha penanaman pohon karet dengan bahan klonal masih terbilang rendah, yaitu hanya sekitar 40% dari total luas perkebunan nasional, sangat berbeda dengan negara eksportir lain seperti Malaysia yang telah mengusahakan penggunaan dengan bahan klonal sebesar
54
90%, Thailand sebesar 95%, India sebesar 99%, dan Vietnam yang telah mencapai angka 100% (Barani, 2008) 4. Meskipun demikian perbaikan-perbaikan masih dilakukan oleh berbagai pihak demi terciptanya hasil yang lebih baik lagi. Perkembangan produktivitas karet alam nasional sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 4 berikut ini. 1800 1600 1400 1200 Rakyat
1000
Negara
800
Swasta
600
Rata-rata
400 200 0 1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2003-2009
Gambar 4. Perkembangan Produktivitas Lahan Karet Indonesia (kg/ha) berdasarkan Status Penguasahaan Kuantitas produksi karet Indonesia terus mengalami peningkatan. Dengan perbaikan pada harga karet dunia, maka nilai yang diperoleh dari industri perkaretan ini pun terus meningkat. Produksi karet secara nasional pada tahun 2007 mencapai angka 2.8 juta ton dengan nilai sebesar 1,47 milyar dolar. Perkembangan nilai dan kuantitas produksi karet alam nasional diperlihatkan pada Tabel 6. Jumlah ini masih berpotensi ditingkatkan sejalan dengan dilakukannya peremajaan dan pemberdayaan lahan-lahan pertanian milik petani serta lahan kosong atau tidak produktif yang sesuai untuk perkebunan karet.
4
disampaikan pada Lokakarya Nasional Agribisnis Karet 2008 di Yogyakarta
55
Tabel 6. Perkembangan Nilai dan Produksi Karet Alam Negara Eksportir Utama Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Indonesia Nilai Produksi (000 US$) (ton) 805.337 1.501.430 862.209 1.607.460 874.492 1.630.360 961.380 1.792.350 1.108.064 2.065.820 1.218.060 2.270.891 1.414.558 2.637.231 1.477.819 2.755.172
Thailand Nilai Produksi (000 US$) (ton) 1.275.512 2.378.000 1.373.669 2.561.000 1.411.752 2.632.000 1.534.565 2.860.966 1.613.223 3.007.612 1.596.969 2.977.309 1.646.966 3.070.520 1.622.124 3.024.207
Malaysia Nilai Produksi (000 US$) (ton) 497.760 928.000 473.087 882.000 477.378 890.000 528.656 985.600 626.867 1.168.700 603.963 1.126.000 688.497 1.283.600 643.441 1.199.600
Sumber: Food And Agriculture Organization, 2010 Sebagaimana Indonesia, Thailand yang merupakan produsen terbesar karet alam di dunia juga terlihat sangat fokus terhadap perkembangan karet alam negaranya. Hal ini terlihat dari seriusnya usaha pemerintahan Thailand dalam rangka pengembangan karet melalui penelitian-penelitian lebih lanjut yang dilakukan oleh Thailand Rubber Research Institute. Luas areal tanam karet alam Thailand juga cenderung meningkat, dari seluas 1,52 juta ha pada tahun 2000 menjadi 1,77 juta ha pada tahun 2008. Hal ini menunjukkan bahwa karet alam merupakan salah satu tanaman perkebunan yang penting bagi Thailand. Produktivitas pohon karetnya pun terbilang tinggi. Produktivitas yang besar dengan luas areal yang semakin meningkat menjadikan produksi negara ini juga makin tahun semakin mengalami peningkatan. Perkembangan produksi karet alam Thailand terbilang cukup baik. Berdasarkan data yang diperlihatkan pada Tabel 6 terlihat bahwa terjadi fluktuasi perkembangan nilai dan kuantitas produksi. Namun secara umum, perkembangan nilai produksi karet alam Thailand cenderung terus mengalami peningkatan. Peningkatan produksi Thailand diiringi pula dengan peningkatan kuantitas ekspor komoditas ini di pasaran dunia. Hal ini juga yang kemudian menjadikan Thailand tetap bertahan menyandang status sebagai produsen karet alam terbesar di dunia.
56
Produksi karet alam Thailand cenderung mengalami peningkatan sejak tahun 2000 hingga 2004. Namun pada tahun 2005, kuantitas produksinya menurun. Penurunan ini disebabkan oleh adanya penurunan produktifitas karet, yaitu dari sebesar 1.815 kg/ha pada tahun 2004 menjadi 1.760 kg/ha pada tahun 2005 akibat telah banyak pohon-pohon karet yang telah tua dan kurang produktif, serta karet-karet baru dari revitalisasi belum dapat memberikan hasil yang optimal. Hal tersebut tidak berlangsung lama, karena pada tahun selanjutnya, Thailand dapat kembali meningkatkan produksinya menjadi 3,07 juta ton dengan produktivitas 1.762 kg/ha. Hingga tahun 2008 produktivitas yang dapat dicapai oleh perkebunan karet Thailand telah mencapai 1.790 kg/ha. Malaysia yang merupakan produsen karet terbesar ke tiga setelah Thailand dan Indonesia tetap bertahan dalam jajaran eksportir terbesar karet alam internasional karena tingkat produktivitas yang cukup baik. Luas areal karet Malaysia sejak tahun 2000 hingga 2008 cenderung turun. Penurunan luas areal karet ini antara lain dipicu oleh adanya alih fungsi lahan penanaman karet untuk tanaman perkebunan lain yang lebih kondusif dan dianggap memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi seperti kelapa sawit. Keterbatasan lahan yang dimiliki menyebabkan selama beberapa tahun terakhir tidak ada penambahan areal tanam baru bagi perkaretan Malaysia. Meskipun demikian, karena produktivitas pohon yang terus mengalami peningkatan, maka kuantitas produksi karet alam Malaysia masih dapat dipertahankan dengan pertumbuhan yang positif. Kuantitas produksi karet alam Malaysia pada tahun 2000 tercatat sebesar 928 ribu ton. Nilai ini mengalami penurunan menjadi 882 ribu ton pada tahun berikutnya. Namun pada tahun 2002 hingga 2006 kuantitas produksi karet alam
57
Malaysia kembali mengalami peningkatan. Tercatat produksi pada tahun 2006 telah mencapai angka 1,28 juta ton. Perbaikan kinerja produksi karet alam tersebut salah satunya dipicu oleh membaiknya harga karet alam di pasaran dunia sejak tahun 2003. Namun penurunan kembali terjadi. Menurut laporan dari Departemen Statistik Malaysia, pada tahun 2009 produksi karet alam negara ini hanya sebesar 857 ribu ton. Penurunan tersebut terjadi karena makin berkurangnya areal sadap karet negara ini akibat alih fungsi lahan, yaitu dari seluas 750 ribu hektar pada tahun 2008 menjadi 590 ribu hektar pada tahun 2009 (Association of Natural Rubber Producing Countries, 2010) (Lampiran 3).
5.4.
Sentra Produksi Karet Indonesia Karet alam di Indonesia sebagian besar dijalankan oleh perkebunan rakyat
(Rachman, 2008). Hanya sekitar 7% yang dari total luas areal penanaman karet yang dikuasai oleh perkebunan besar negara serta 8% yang merupakan perkebunan besar milik swasta. Sisanya, sekitar 85% merupakan perkebunan karet milik rakyat (Anwar, 2006). Sejumlah lokasi di Indonesia memiliki keadaan lahan yang cocok untuk penanaman karet. Penanaman karet nasional dilakukan hampir diseluruh wilayah kecuali Jakarta, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, DI Yogyakarta, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, dan Gorontalo (Departemen Pertanian, 2009). Sebagian besar perkebunan rakyat terpusat di daerah Sumatra dan Kalimantan. Kedua wilayah ini dikenal sebagai daerah tradisional perkebunan karet (Sugiyanto et al., 1998). Sedikitnya 15 Provinsi tercatat sebagai sentra produksi karet nasional, antara lain Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara,
58
Riau, Jambi, Bangka Belitung, Bengkulu, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur (Johari, 2009). Sumatera bagian utara, jika dilihat dari periode iklim yang dimilikinya, hanya dapat dikategorikan sebagai kelas cukup sesuai (S2) bagi penanaman karet alam. Wilayah Sumatera bagian selatan merupakan wilayah yang dapat dikategorikan sebagai lahan yang sangat sesuai untuk penanaman karet alam. Selain itu, Kebun Way Lima di Provinsi Lampung dan Kebun Rimsa di Provinsi Jambi memiliki keadaan lahan yang sama. Berbeda dengan kawasan tersebut, seluruh wilayah Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah iklimnya dinilai tidak sesuai sementara untuk areal penanaman karet. Hal ini dikarenakan wilayahwilayah tersebut memiliki curah hujan tahunan yang tinggi dan pendeknya periode bulan kering (Sugiyanto et al., 1998). Indonesia merupakan produsen karet alam dengan luas areal terbesar di dunia. Luas areal karet alam Indonesia cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Berdasarkan data yang didapat dari Departemen Pertanian RI, tercatat luas areal perkebunan karet rakyat pada tahun 2001 seluas 3,34 juta hektar. Luasan ini meningkat menjadi sekitar 3,47 juta hektar pada tahun 2008 (Lampiran 1). Areal terluas untuk penanaman karet rakyat tersebut terletak di provinsi Sumatra Selatan, disusul kemudian di wilayah Sumatera Utara, Jambi, dan Kalimantan Barat. Sejak sekitar tahun 1967, areal perkebunan karet di Indonesia meningkat sekitar 1,2% per tahun. Namun pertumbuhan ini hanya terjadi pada areal karet rakyat (± 1,5% per tahun), sedangkan pada perkebunan besar negara dan swasta cenderung menurun. Sekitar 400 ribu ha areal karet berada dalam kondisi tua dan
59
rusak dan sekitar 2-3% dari areal tanaman maghasilkan (TM) yang ada setiap tahun akan memerlukan peremajaan. Untuk keperluan peremajaan petani menggunakan bibit karet yang berasal dari anakan pohon karet (praktek tradisional) atau bibit yang berasal dari hasil pemuliaan (klon) sebagaimana yang dilakukan pada proyek SRAP (Smallholder Rubber Agroforestry Project) dan system sisipan (Wibawa, et al, 2000 dalam Purnama, Firdaus dan Mildaerizanti, 2007). Penguasaan lahan petani karet rakyat periode tahun 2000-2009 rata-rata sekitar 1,4 ha/kk. Hal tersebut sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 7. Jumlah petani yang bergerak di bidang perkebunan karet rakyat pada tahun 2009 tercatat mencapai 2,1 juta kk (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2009). Tabel 7. Rata-Rata Penguasaan Lahan Petani Karet Rakyat Per KK (Ha/KK) Tahun Penguasaan Lahan Petani Rakyat Per KK (Ha/KK) 2000 1,1253 2001 1,4116 2002 1,4562 2003 1,4171 2004 1,4037 2005 1,3973 2006 1,4097 2007 1,4112 2008 1,3891 2009 1,4099 Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan (diolah), 2009 Persentase luas lahan TM (tanaman menghasilkan) terhadap luas lahan total karet alam Indonesia cenderung mengalami peningkatan. Hal ini menunjukkan program revitalisasi terhadap karet alam cenderung dilakukan dari tahun ke tahun. Tercatat pada tahun 2000, persentase luas lahan TM terhadap luas lahan total karet alam Indonesia sebesar 68,83%. Nilai ini mengalami peningkatan
60
menjadi 83,26% pada tahun 2009. Perkembangan persentase luas lahan tersebut sebagaimana disajikan pada Gambar 5. 85% 83,51% 83,26%
83% 81,46% 81,31%
81%
80,33%
79% 77% 75,48%
75%
Persentase lahan menghasilkan per luas lahan total
73% 71% 69%
70,59% 68,83%
71,24%
69,42%
67% 65% 1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan (diolah), 2009
Gambar 5. Perkembangan Luas Lahan Tanaman Menghasilkan terhadap Luas Lahan Total Karet Alam Indonesia Guna pengembangan industri karet nasional, Indonesia memiliki pusatpusat penelitian karet yang berfungsi sebagai areal riset pengembangan karet. Pusat Penelitian Karet Indonesia memiliki empat Balai Penelitian, yaitu Balai Penelitian Sungei Putih di Medan, Balai Penelitian Sembawa di Palembang, Balai Penelitian Getas di Salatiga, Jawa Tengah, dan Balai Penelitian Teknologi Karet Bogor di Bogor, Jawa Barat. Mandat institusi tersebut adalah untuk mengelola kegiatan inovasi bagi kemajuan bisnis dan industri karet Indonesia melalui kegiatan penelitian, pengembangan, dan jasa pelayanan kepada para stakeholdernya. Guna peningkatan daya saing terhadap produk karet, maka sejak tahun 1997 Laboratorium Analisis dan Pengujian Karet (LAP-Karet) yang berada di Balai Penelitian teknologi Karet Bogor telah mendapatkan status sebagai laboratorium yang terakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional dan pada tahun 2002, akreditasi mengacu pada SNI 19-17025-2000 (Lembaga Riset Perkebunan Indonesia, 2010).
61
5.5.
Kemajuan Pemuliaan Karet Indonesia
5.5.1. Produktivitas Karet Produktivitas pertanaman karet di Indonesia mengalami perkembangan dari tiap siklus yang dijalaninya. Siklus pertama pada pertanaman pohon karet memiliki nilai tengah populasi sebesar 1 kg/ha/th dengan kisaran 0-4,2 kg/ph/th. Seleksi klon pada populasi awal tersebut menghasilkan klon unggul generasi pertama (G-1) seperti Tjir 1, GT 1, LCB 1320, dan PR 107 dengan potensi produksi 1400-2200 kg/ha/th. Hasil persilangan klon-klon G-1 terpilih digunakan sebagai bahan seleksi klon pada siklus ke dua, dimana nilai rata-rata populasi meningkat dari 1 kg/ha/th menjadi 1,8 kg/ph/th, dengan nilai tertinggi mencapai 5,6 kg/ph/th. Klon terbaik dari siklus seleksi tahap II adalah klon generasi ke dua (G-2) yaitu PR 255, PR 261, dan RRIM 600 dengan potensi produksi 1800-2800 kg/ha/th (Sugiyanto et al., 1998). Bahan seleksi pada siklus ke tiga umumnya berasal dari persilangan ganda antara klon generasi ke dua atau dari persilangan three-way cross antara klon G-1 dan G-2. Rata-rata populasi pada hasil persilangan ini hanya sedikit meningkat, yaitu menjadi 2,2 kg/ph/th dibandingkan dengan 1,8 kg/ha/th pada G-2. Hal ini mengindikasi bahwa telah terjadi penyempitan keragaman genetik pada tiga kali persilangan. Klon terbaik yang diperoleh dari siklus ke tiga (G-3) adalah BPM 24, PB 235, PB 260, dan RRIM 712 dengan potensi produksi 2000-3000 kg/ha/th. Penyempitan keragaman genetic yang terjadi mengakibatkan upaya penggunaan sumber genetic baru, yaitu dengan menggunakan klon-klon hasil seleksi Brazil, seperti seri IAN, seri F, dan seri FX serta plasma nutfah baru hasil ekspedisi IRRDB 1981 (PN-IRRDB ’81). Program persilangan ini dimulai oleh
62
Puslit Karet di Sungei Putih, Sumatra Utara pada tahun 1985. Seleksi terhadap populasi HP 85-89 menghasilkan beberapa klon baru yang kemudian diberi nama seri IRR (Indonesian Rubber Research). Hasil penyadapan awal pada jenis klon ini menunjukkan adanya peluang peningkatan produktivitas, namun masih diperlukan penelitian lanjutan. 5.5.2. Pertumbuhan Tanaman Belum Menghasilkan (TBM) Klon karet yang ideal biasanya memiliki tipe pertumbuhan batang cepat sejak awal. Hal ini mengakibatkan tanaman cepat mencapai masa matang sadap. Seleksi terhadap laju pertumbuhan awal, dalam perkembangannya telah berhasil menemukan klon-klon unggul baru yang matang sadap pada umur 3,5 tahun. Berdasarkan pada laju pertumbuhan awal saat tanaman belum menghasilkan, maka klon karet anjuran dan klon harapan pada saat ini dapat dibedakan atas tiga kelompok masa tanaman belum menghasilkan (TBM) yaitu singkat, sedang, dan lama (Sugiyanto et al., 1998). Pengelompokkan tersebut sebagaimana terlihat pada Tabel 8 berikut. Tabel 8. Pengelompokan Klon Karet berdasarkan Laju Pertumbuhan TBM Periode Pertumbuhan Batang Klon Masa TBM (cm/th) IRR 5, IRR 32, IRR 39, IRR 100, IRR Singkat > 13 111, IRR 118, PB 330, dan TM 8 (< 4 thn) IRR 2, IRR 7, IRR 13, IRR 21, IRR 24, IRR 41, IRR 42, IRR 54, IRR 104, IRR Sedang 105, IRR 107, AVROS 2037, BPM 1, 11-13 (4-4,5 thn) BPM 107, PB 235, PB 260, RRIC 100, TM 2, TM 6, dan TM 9 BPM 24, GT 1, PR 255, PR 261, PR 300, Lama < 11 PB 217, RRIM 600, RRIM 712 (> 4,5 thn) Sumber: Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia, 1998
63
5.5.3. Pertumbuhan Tanaman Menghasilkan (TM) Dari segi pertumbuhan batang setelah tanaman menghasilkan (TM), ternyata klon-klon yang tersedia juga dapat dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu (Sugiyanto et al., 1998): 1) kelompok pertumbuhan tinggi (> 5 cm/th); 2) kelompok pertumbuhan sedang (4-5 cm/th); dan 3) kelompok pertumbuhan rendah (< 4 cm/th). Pengelompokan klon-klon tersebut disajikan pada Tabel 9 berikut. Tabel 9. Pengelompokan Klon Karet berdasarkan Pertumbuhan Batang TM Pertumbuhan Batang Potensi Biomassa Klon Selama TM (cm/thn) BPM 22, IRR 32, IRR 33, IRR 39, Tinggi >5 dan PR 107 AVROS 2037, BPM 1, BPM 107, IRR 2, IRR 7, IRR 13, IRR 21, IRR 24, IRR 41, IRR 42, IRR 54, IRR Sedang 4-5 104, IRR 105, IRR 107, PB 235, PB 260, RRIC 100, TM 2, TM 6, dan TM 9 BPM 24, BPM 107, BPM 109, GT 1, Rendah <4 PR 255, PR 261, PR 300, RRIM 712, dan PB 235 Sumber: Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia, 1998 Klon yang memiliki pertumbuhan tinggi selama tanaman menghasilkan, akan menghasilkan tanaman yang memiliki batang besar dan hasil kayunya tinggi. Nilai ekonomi kayu karet dari waktu ke waktu semakin meningkat, terutama karena semakin terbatasnya sumber kayu alam. Dengan memperhatikan hal tersebut, maka dalam pemilihan klon untuk masa yang akan datang tidak hanya didasarkan pada produktivitas lateks, tetapi juga pada produktivitas kayu. Klon yang memiliki produktivitas lateks yang agak rendah sampai sedang (1500-2000 kg/ha/th) dengan potensi pertumbuhan batang tinggi, apabila memperhitungkan juga nilai kayu karet, maka nilai ekonominya dalam satu siklus akan sangat tinggi.
64
Kelebihan klon ini adalah tanaman lebih tahan terhadap gangguan angin, sehingga tegakan tanaman dapat terpelihara dengan baik sampai saat peremajaan. 5.5.4. Tipe Keunggulan Klon Mengingat nilai ekonomi yang terkandung pada pohon karet tidak hanya sebatas potensi atas produktivitas lateks tetapi juga terhadap potensi lebih pada kayu karet, maka dalam perkembangannya, tipe klon unggul untuk komoditas karet berdasarkan pola produksi dibedakan menjadi tiga tipe, yaitu Tipe 1, Tipe 2, dan Tipe 3 (Sugiyanto et al., 1998). Tipe 1 dikenal dengan potensi sebagai penghasil cepat, Tipe 2 sebagai potensi penghasil lambat, dan Tipe 3 dengan spesifikasi penghasil lateks dan kayu. Tabel 10 menyajikan perbedaan yang terdapat pada tipe klon unggul yang pengelompokannya didasarkan pada pola produksi karet kering dan laju pertumbuhan batang. Tabel 10. Tipe Klon Unggul berdasarkan Pola Produksi Karet Kering dan Laju Pertumbuhan Batang Tipe 1 Tipe 2 Tipe 3 Ciri Klon (Penghasil (Penghasil (Penghasil Lateks Cepat) Lambat) dan Kayu) Produksi awal Tinggi Sedang Rendah (kg/ha/th) (> 1500) (1000-1500) (< 1000) Produksi lanjutan Melandai Meningkat Meningkat (kg/ha/th) (2000-5000) (2000-3000) (2000-3000) Pertumbuhan batang Rendah Sedang Tinggi TM (<4) (4-5) (>5) (cm/th) Ukuran batang saat Kecil Sedang Besar peremajaan (< 100) (100-150) (> 150) (cm) Potensi produksi kayu Rendah Sedang Tinggi saat peremajaan (< 100) (100-200) (> 200) (m3/ha) BPM 24 AVROS 2037 IRR 32 BPM 107 PB 217 IRR 33 Klon PB 235 PR 107 IRR 38 PB 260 RRIM 600 BPM 22 RRIM 712 RRIC 100 Sumber: Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia, 1998
65
Klon Tipe 1 dikategorikan sebagai klon penghasil cepat dengan pola produksi langsung tinggi sejak awal dengan rata-rata produksi lima tahun sadap awal lebih dari 1500 kg/ha/th. Namun dalam perkembangannya, produksi lanjutan yang dihasilkan memiliki pola melandai, yaitu berkisar antara 2000-5000 kg/ha/th. Selain itu, tipe ini tidak toleran terhadap penyadapan. Hal ini terlihat dari pertumbuhan batang tanaman menghasilkan yang mana tergolong dalam kategori rendah, kurang dari 4 cm/th sehingga potensi produksi kayunya saat peremajaan juga tergolong kecil yaitu kurang dari 100 m3/ha. Karena ukuran batang yang kecil tersebut, maka tipe ini tergolong rentan terhadap gangguan angin. Klon Tipe 2 dikategorikan sebagai klon penghasil lambat karena rata-rata potensi lima tahun sadap awal berkisar antara 1000-1500 kg/ha/th. Perkembangan lanjutan yang dihasilkan oleh tipe ini mengalami peningkatan 2000-3000 kg/ha/th. Tipe ini termasuk jenis yang toleran terhadap penyadapan dan tidak peka terhadap kekeringan alur sadap. Hal ini terlihat dari pertumbuhan batang tanaman menghasilkan yang berkisar antara 4-5 cm/th, sehingga potensi produksi kayu yang dihasilkan pun tergolong cukup besar, yaitu berkisar antara 100-200 m3/ha. Klon Tipe 3 merupakan jenis yang potensial sebagai penghasil kayu. Pertumbuhan batang tanaman menghasilkan yang tergolong tinggi (> 5 cm/th) membuat tipe ini memiliki potensi produksi kayu yang tinggi pula, yang mana potensi tersebut bernilai hingga lebih dari 200 m3/ha. Hal tersebut membuat batang pohon menjadi tidak peka terhadap angin. Meskipun dikenal sebagai jenis yang potensial sebagai penghasil kayu, namun jenis ini tetap memiliki/bernilai ekonomi dari segi lateks.
66
VI. PERKEMBANGAN EKSPOR KARET ALAM INDONESIA 6.1.
Perkembangan Nilai dan Volume Ekspor Karet Alam Indonesia Permintaan terhadap karet alam dari tahun ke tahun semakin mengalami
peningkatan. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan nilai ekspor total karet alam dunia.
Peningkatan tersebut
mengindikasi adanya peningkatan terhadap
permintaan karena perkembangan dalam dunia industri secara global. Tabel 11 menyajikan nilai ekspor karet alam dunia pada periode tahun 2001-2008. Tabel 11. Nilai Ekspor Karet Alam Dunia Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Sumber: International Trade Statistics, 2010
Nilai (000 US$) 3.356.809 4.409.711 6.635.149 8.743.771 9.990.115 15.181.282 16.517.318 19.985.404 11.284.082
Peningkatan konsumsi dunia terhadap karet alam ini memberikan peluang yang sangat besar bagi Indonesia untuk meningkatkan potensi ekspornya. Indonesia memiliki peluang yang besar pula untuk menjadi eksportir karet alam terbesar dunia, mengingat potensi pengembangan negara pesaing utama karet alam, yaitu Thailand dan Malaysia semakin kekurangan lahan dan sulit mendapatkan tenaga kerja yang murah (Departemen Perindustrian, 2007). Hal ini dapat menjadikan keunggulan tersendiri bagi Indonesia dalam rangka peningkatan industri karet nasional. Indonesia merupakan negara yang memiliki luasan areal terbesar dalam penanaman karet alam. Meskipun demikian tidak menjadikan Indonesia sebagai eksportir terbesar pula. Indonesia merupakan negara pengekspor karet alam ke 67
dua dalam jajaran eksportir karet alam terbesar dunia setelah Thailand. Indonesia mengalami kemajuan yang cukup baik dalam hal ekspor karet alam. Hal ini dapat dilihat dari meningkatnya nilai ekspor dari tahun ke tahun. Tabel 12 menyajikan besaran nilai ekspor karet alam Indonesia periode 2001-2009. Tabel 12. Nilai Ekspor Karet Alam Indonesia Tahun Nilai Ekspor (000 US$) 2001 786.615 2002 1.038.387 2003 1.494.625 2004 2.181.252 2005 2.583.963 2006 4.322.294 2007 4.870.513 2008 6.058.244 2009 3.243.980 Sumber: International Trade Statistics, 2010 Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa nilai ekspor karet alam Indonesia dari tahun ke tahun semakin mengalami peningkatan. Pertumbuhan nilai tersebut tidak terlepas dari peningkatan produksi karet alam Indonesia yang secara langsung juga berpengaruh terhadap peningkatan kuantitas ekspornya. Data mengenai besaran volume ekspor karet alam Indonesia disajikan pada Tabel 13. Selain peningkatan pada volume produksi, peningkatan nilai ekspor karet alam Indonesia juga dapat dikatakan sebagai dampak dari membaiknya harga karet Indonesia di pasaran karet alam dunia. Tercatat bahwa pada tahun 2001, harga karet alam Indonesia di pasar dunia sebesar 541 US$/ton. Nilai ini mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2008, harga karet alam Indonesia telah mencapai 2.638 US$/ton (International Trade Statistics, 2010).
68
Tabel 13. Volume Ekspor Karet Alam Indonesia Tahun Volume Ekspor (ton) 2001 1.453.694 2002 1.496.381 2003 1.661.972 2004 1.875.059 2005 2.024.608 2006 2.287.053 2007 2.407.848 2008 2.296.476 2009 1.992.001 Sumber: International Trade Statistics, 2010 Karet alam Indonesia yang diekspor terdiri dari berbagai bentuk. Pada tahun 2005-2006, bentuk yang paling banyak diekspor didominasi oleh jenis karet bentuk SIR, kemudian dalam bentuk sheet, barang dari karet, lateks pekat, dan terakhir dalam bentuk crepe (Zainuddin, 2007). Total ekspor karet alam Indonesia pada tahun 2007 sebesar 2,4 juta ton dengan komposisi crumb rubber/SIR (85%), sheet/RSS (45%), lateks (0,4%), dan lain-lain (0,6%) (Rachman, 2008). Perkembangan nilai ekspor karet yang dicapai Indonesia pada kurun waktu antara tahun 1984 hingga 1991 relatif rendah, secara total hanya 1,4% per tahun. Penurunan nilai ekspor terjadi untuk ekspor bentuk crepe dan RSS. Nilai ekspor komoditas karet yang meningkat cukup besar diperoleh dari ekspor barang dari karet dan sedikit dari ekspor lateks. Rendahnya peningkatan nilai ekspor karet alam Indonesia dalam kurun waktu tersebut selain diakibatkan rendahnya pertambahan volume ekspor, juga disebabkan adanya kecenderungan menurunnya harga karet alam di pasar internasional. Fluktuasi harga yang terjadi di pasar luar negeri maupun di pasaran domestik tidak terlepas dari pengaruh tingkat produksi karet alam, kebijaksanaan stok dan tingkat konsumsi karet alam dunia.
69
6.2.
Tujuan Ekspor Karet Alam Indonesia Permintaan terhadap karet alam yang semakin meningkat dari tahun ke
tahun membawa dampak bagi perdagangan karet alam Indonesia. Perkembangan dalam dunia industri secara global mengakibatkan pertumbuhan yang cukup pesat dalam perdagangan komoditas ini. Hal ini tentu saja memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan karet nasional. Membaiknya harga komoditas karet alam di pasaran internasional turut mendorong pertumbuhan produksi lokal. Hingga saat ini, perdagangan karet alam Indonesia terpusat ke beberapa negara tujuan utama. Tabel 14 memperlihatkan besaran kuantitas ekspor karet alam Indonesia ke beberapa negara tujuam ekspor utama. Tabel 14. Kuantitas Ekspor Karet Alam Indonesia ke Negara Tujuan Ekspor Utama Negara Tujuan (ton) Tahun USA Jepang China Singapura Jerman 2001 517.187 151.695 136.764 78.387 62.461 2002 593.143 208.245 46.022 72.651 62.348 2003 598.310 228.957 107.724 79.317 73.313 2004 627.667 225.390 197.598 86.102 71.808 2005 669.120 260.812 249.791 115.614 61.974 2006 590.947 357.828 337.223 136.124 82.100 2007 644.270 398.025 341.821 162.032 80.809 2008 622.167 400.891 318.841 152.062 57.705 2009 394.307 273.022 457.118 100.742 36.638 Sumber: International Trade Statistics, 2010 Karet alam Indonesia diperdagangkan di berbagai negara di dunia. Negaranegara yang menjadi tujuan utama ekspor karet alam Indonesia hingga saat ini adalah Amerika, Jepang, dan China (Tabel 14). Lebih dari 50% ekspor karet alam Indonesia diserap oleh ketiga negara tersebut. Berdasarkan data dapat terlihat bahwa ekspor karet alam Indonesia terbesar ditujukan ke Amerika Serikat. Meskipun kuantitas ekspor karet Indonesia ke negara ini cenderung meningkat, namun dalam perkembangannya, persentase volume ekspor ini cenderung
70
mengalami penurunan terhadap total kuantitas ekspor karet alam Indonesia. Trend perkembangan persentase volume ekspor karet alam Indonesia tersebut terlihat
%
sebagaimana yang ditunjukkan pada Gambar 6 dibawah ini. 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 2000
USA Jepang China Singapura Jerman 2002
2004
2006
2008
2010
Tahun Sumber: International Trade Statistics (diolah), 2010
Gambar 6. Persentase Volume Ekspor Karet Alam Indonesia ke Beberapa Negara Tujuan Ekspor Utama (%) Hubungan dagang yang terjalin antara ASEAN dan China (ACFTA) yang dimulai sejak tahun 2004 membawa dampak terhadap ekspor karet alam Indonesia ke negara ini (Departemen Perdagangan, 2010). Hal ini dapat terlihat dari semakin meningkatnya volume ekspor karet alam Indonesia sejak tahun tersebut. Tercatat terjadi peningkatan persentase ekspor karet alam Indonesia ke China terhadap ekspor total karet alam Indonesia dari 6,5% pada tahun 2003 menjadi 10,5% pada tahun 2004. Peningkatan persentase volume ekspor ini dalam perkembangan selanjutnya terus mengalami kemajuan. Hal ini terjadi salah satunya karena meningkatnya perekonomian China yang ditandai dengan peningkatan dalam bidang industrinya. Novianti dan Hendratno (2008) menyatakan bahwa perkembangan industri ban di China menyebabkan pola konsumsi karet alam negara ini meningkat, di mana peningkatan terbesarnya terjadi pada tahun 2004
71
yaitu sebesar 23,75%. Berdasarkan gambar tersebut, terlihat jelas bahwa terjadi peningkatan terhadap persentase volume ekspor karet alam Indonesia ke negara China dan terjadi penurunan persentase volume ekspor pada negara tujuan ekspor utama yang lain. Perkembangan nilai ekspor karet alam Indonesia dari tahun ke tahun juga semakin meningkat (Tabel 15). Hal itu terjadi karena semakin tinggi pula ekspor ke negara tujuan utama karet alam Indonesia. Nilai ekspor karet alam Indonesia, baik ke Amerika, Jepang, China, Singapura, maupun Jerman dari tahun ke tahun cenderung semakin meningkat. Meskipun kuantitas ekspor ke Amerika mengalami penurunan, misalnya, namun karena harga ekspor karet alam Indonesia yang semakin membaik, maka nilai ekspor karet alam ke negara ini tetap mengalami peningkatan. Tabel 15. Nilai Ekspor Karet Alam Indonesia Ke Negara Tujuan Ekspor Utama Negara Tujuan (000 US$) Tahun USA Jepang China Singapura Jerman 2001 281.743 83.539 68.921 43.918 33.309 2002 398.786 159.823 29.118 54.261 43.239 2003 539.986 213.288 94.924 70.686 66.012 2004 736.014 264.364 226.989 96.320 83.236 2005 852.029 329.993 322.425 144.009 80.302 2006 1.102.015 668.492 650.585 252.668 157.244 2007 1.287.317 806.497 701.054 333.038 165.563 2008 1.634.716 1.054.714 859.142 379.816 156.392 2009 657.644 453.920 693.936 166.483 63.028 Sumber: International Trade Statistics, 2010 Krisis global yang melanda pada kuartal ke 3 tahun 2008 membawa dampak terhadap kuantitas maupun nilai ekspor karet alam Indonesia ke negaranegara tujuan utama. Terlihat pada tahun 2009, terjadi penurunan nilai ekspor karet alam Indonesia ke negara-negara tersebut. Hal ini sebagai akibat dari penurunan kuantitas ekspor karet alam yang dilakukan oleh ITRC akibat
72
menurunnya permintaan global terhadap karet alam. Selain karena adanya penurunan kuantitas ekspor karet, penurunan terhadap nilai ekspor ini juga disebabkan oleh melemahnya harga karet alam di pasaran internasional.
6.3.
Perkembangan Ekspor Karet Alam Negara Pesaing Dalam kancah perdagangan internasional, persaingan tidak dapat
terhindarkan. Setiap persaingan pasti akan melibatkan beberapa pesaing, begitupun dengan perdagangan karet alam. Dalam hal ini, karet alam di pasar internasional didominasi oleh sedikitnya tiga eksportir utama, yaitu Thailand, Indonesia, dan Malaysia. Meskipun demikian, keberadaan Vietnam kini juga patut diperhitungkan, mengingat peningkatan nilai ekspornya yang semakin membaik. Tabel 16 memperlihatkan perkembangan kuantitas ekspor negara eksportir utama karet alam di pasar internasional pada periode tahun 2001 hingga 2009. Tabel 16. Kuantitas Ekspor Negara Pesaing Utama Karet Alam Dunia Tahun Thailand Malaysia 2001 2.549.748 820.891 2002 2.785.088 886.966 2003 3.107.760 946.877 2004 3.021.938 1.109.380 2005 2.952.191 1.128.174 2006 3.056.972 1.132.408 2007 2.966.128 1.018.052 2008 2.832.071 915.651 2009 2.741.045 703.080 Sumber: International Trade Statistics, 2010 Adapun nilai ekspor masing-masing eksportir tersebut disajikan pada Tabel 17. Thailand yang merupakan pemegang utama ekspor karet alam masih mendominasi ekspornya yang mana negara ini mampu mengekspor karet alam sejumlah 2,7 juta ton pada tahun 2009 dengan nilai 4,3 milyar US$. Meskipun demikian, nilai tersebut bukanlah nilai tertinggi ekspor karet alam Thailand.
73
Kuantitas ekspor tertinggi Thailand dicapai pada tahun 2003 yang mana Thailand mengekspor karet alam sejumlah 3,1 juta ton. Namun nilai tertingginya diperoleh justru di tahun yang berbeda, yaitu tahun 2008 yang mana ekspornya hanya sebesar 2,8 juta ton dengan nilai ekspor 6,72 milyar US$. Perbedaan antara nilai dan kuantitas ekspor tersebut diindikasi dari harga karet alam yang semakin mengalami perbaikan (meningkat) dari tahun ke tahun. Tabel 17. Nilai Ekspor Negara Pesaing Utama Karet Alam Dunia (000 US$) Tahun Thailand Malaysia 2001 1.321.208 496.454 2002 1.737.762 655.775 2003 2.796.830 942.848 2004 3.414.560 1.371.326 2005 3.694.645 1.528.476 2006 5.430.350 2.246.584 2007 5.640.503 2.135.917 2008 6.720.964 2.431.235 2009 4.315.650 1.267.076 Sumber: International Trade Statistics, 2010 Malaysia yang merupakan eksportir ke tiga terbesar karet alam juga mengalami peningkatan nilai ekspor terhadap komoditas ini. Meskipun demikian, sejak tahun 2007 kuantitas ekspor karet alam Malaysia cenderung menurun. Hal ini dikarenakan produksi karet alam Malaysia yang semakin rendah. Tercatat produksi pada tahun 2007 sebesar 1,2 juta ton, menurun dari 1,28 juta ton pada tahun sebelumnya (Food And Agriculture Organization, 2010). Menurut laporan dari Departemen Statistik Malaysia (2010), pada tahun 2009 produksi karet alam negara ini hanya sebesar 857 ribu ton. Penurunan tersebut terjadi karena makin berkurangnya areal sadap karet Malaysia akibat alih fungsi lahan, yaitu dari seluas 750 ribu hektar pada tahun 2008 menjadi 590 ribu hektar pada tahun 2009 (Association of Natural Rubber Producing Countries, 2010).
74
Karet alam merupakan produk perkebunan yang sangat rentan terhadap perubahan harga. Fluktuasi yang terjadi dapat diakibatkan oleh berbagai hal, baik faktor internal maupun eksternal. Sensitifitas harga tersebut mendorong tiap negara untuk terus melakukan rekonstruksi terhadap produk masing-masing sehingga dapat terus bertahan dan tetap memiliki daya saing yang cukup kuat di pasar internasional. Perkembangan yang demikian kemudian mendorong negara-negara pengekspor karet melakukan suatu upaya untuk menstabilkan harga karet. Upaya tersebut diwujudkan dengan terbentuknya suatu perusahaan patungan karet alam bernama “International Rubber Consortium Limited (IRCo)” pada tahun 2002. Pendirian lembaga ini lambat laun terbukti dapat memperbaiki harga ekspor karet alam di pasar internasional. Peningkatan yang terjadi pada nilai ekspor karet alam Malaysia pun juga disebabkan karena semakin membaiknya harga karet alam dunia. Hal tersebut dapat terlihat sebagaimana disajikan pada Tabel 18 berikut ini. Tabel 18. Harga Ekspor Karet Alam Negara Eksportir Utama (US$/ton) Tahun Thailand Indonesia Malaysia 2001 518 541 605 2002 624 694 739 2003 900 899 996 2004 1.130 1.163 1.236 2005 1.251 1.276 1.355 2006 1.776 1.890 1.984 2007 1.902 2.023 2.098 2008 2.373 2.638 2.655 2009 1.574 1.629 1.802 Sumber: International Trade Statistics, 2010 Sayangnya, peningkatan harga karet dunia tidak berlangsung lama. Krisis global yang melanda pada kuartal ke 3 tahun 2008 menyebabkan melemahnya industri otomotif yang berakibat pada menurunnya permintaan terhadap karet alam. Hal ini membawa dampak terhadap jatuhnya harga karet alam di pasaran
75
dunia (Sore, 2010). Menghadapi masalah tersebut, ITRC (International Tripartite Rubber Council) yang merupakan perkumpulan dari tiga negara eksportir karet alam dunia menetapkan adanya pengurangan volume ekspor karet alam dengan tujuan mempertahankan harga karet alam. Pengurangan itu bukan tanpa sebab, mengingat krisis global menyebabkan turunnya permintaan karet alam dunia hingga 1 juta ton. Kesepakatan pengurangan total ekspor karet alam ketiga negara tersebut pada tahun 2009 mencapai 915 ribu ton yang masing-masing ditetapkan sebanyak 700 ribu ton melalui skema kesepakatan tiga negara (Agree Export Tonnage Scheme=AETS) dan 215 ribu ton dari peremajaan pohon karet di tiga negara tersebut. Penurunan yang dilakukan pada triwulan pertama tahun 2009 sendiri sejumlah total 270 ribu ton, dengan pembagian 132 ribu ton untuk Thailand, 116 ribu ton untuk Indonesia, dan 22 ribu ton untuk Malaysia (Hanggokusumo, 2008 dalam AntaraNews, 2008).
76
VII. STRUKTUR PASAR KARET ALAM DI PASAR INTERNASIONAL 7.1.
Pangsa Pasar Karet Alam Dalam rangka mengetahui struktur pasar karet alam yang terbentuk dalam
perdagangan karet alam di pasar internasional, penting untuk mengetahui besarnya penguasaan pasar oleh masing-masing negara eksportir. Penguasaan pasar ini menggambarkan seberapa besar pengaruh perdagangan (dalam hal ini ekspor) yang dilakukan suatu negara untuk komoditas tertentu terhadap perdagangan dunia. Hasil perhitungan mengenai besarnya penguasaan pasar komoditas karet alam dunia disajikan pada Lampiran 3. Komoditas karet alam secara umum dikuasai oleh tiga eksportir utama, yaitu Thailand, Indonesia, dan Malaysia. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai pangsa pasar yang dikuasai oleh masing-masing negara tersebut, yang mana penguasaan ketiganya memiliki nilai penguasaan terbesar dibandingkan dengan negara lain dalam perdagangan internasional. Pada periode tahun 2001-2008, ratarata penguasaan pasar oleh Thailand, Indonesia, dan Malaysia masing-masing sebesar 38, 26, dan 14%. Hal ini berarti sekitar 78% pasar karet alam internasional dikuasai oleh ketiga negara tersebut. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan terhadap penguasaan pasar negara eksportir tersebut, maka dapat dilihat trend perkembangan dalam pasar karet alam negara eksportir utama sebagaimana yang ditunjukkan pada Gambar 7. Gambar tersebut menunjukkan besaran perubahan penguasaan pasar eksportir utama karet alam dari tahun ke tahun. Nilai yang diperoleh merupakan nilai persentase penguasaan pasar dan pertumbuhan pasar masing-masing negara eksportir.
77
Pangsa Pasar
0,45 0,4 0,35 0,3 0,25 0,2 0,15 0,1 0,05 0 2000
Thailand Indonesia Malaysia 2002
2004
2006
2008
2010
Tahun Sumber: International Trade Statistics (diolah), 2010
Gambar 7. Penguasaan Pasar Eksportir Utama Karet Alam Berdasarkan gambar tersebut, terlihat bahwa terjadi penurunan penguasaan pasar oleh Thailand dan Malaysia sejak tahun 2004. Berbeda dengan kedua negara tersebut, Indonesia perlahan-lahan mengalami peningkatan penguasaan pasar. Peningkatan tersebut terjadi karena persentase pertumbuhan ekspor Indonesia lebih besar dibandingkan persentase pertumbuhan dunia, di mana pertumbuhan ekspor karet alam dunia, dalam periode tahun 2001-2008 sebesar 30%, dan pertumbuhan ekspor karet alam Indonesia pada periode yang sama mencapai 35%. Hal ini mengakibatkan terjadinya kenaikan terhadap penguasaan pasar. Penyebab lain adalah pertumbuhan ekspor karet alam negara pesaing, yaitu Thailand dan Malaysia lebih kecil dibandingkan dengan persentase pertumbuhan Indonesia dan dunia, di mana rata-rata pertumbuhan Thailand dan Malaysia masing-masing sebesar 27,5 dan 27%, sehingga mengakibatkan turunnya persentase penguasaan pasar kedua negara ini terhadap penguasaan pasar secara global. Pada tahun 2009, terlihat bahwa Indonesia mengalami penurunan penguasaan pasar. Hal ini terjadi sebagai akibat dari menurunnya persentase pertumbuhan ekspor karet alam dunia maupun yang terjadi pada masing-masing negara sebagai akibat yang ditimbulkan oleh krisis global dan kebijakan yang 78
berlaku. Tahun 2009, ekspor karet alam yang terjadi baik pada persentase pertumbuhan dunia, maupun yang terjadi pada masing-masing negara eksportir mengalami pertumbuhan yang negatif. Indonesia bahkan mengalami penurunan yang lebih besar jika dibandingkan dengan penurunan yang terjadi pada nilai ekspor karet alam dunia dan Thailand, yaitu mencapai 46%, sementara penurunan yang terjadi pada nilai ekspor karet alam dunia dan Thailand masing-masing sebesar 43% dan 36%. Hal inilah yang kemudian berpengaruh terhadap perhitungan penguasaan pangsa pasar Indonesia.
7.2.
Herfindahl Index dan Concentration Ratio Analisis struktur pasar karet alam di pasar internasional dianalisis secara
kuantitatif dengan melihat penguasaan pangsa pasar masing-masing produsen karet alam. Alat analisis yang digunakan adalah Herfindahl Index dan Concentration Ratio. Hasil perhitungan penguasaan pangsa pasar karet alam dari tahun 2001 hingga 2009 oleh tiga negara eksportir utama karet alam dunia diperlihatkan pada Tabel 19. Tabel 19. Hasil Perhitungan Herfindahl Index dan Concentration Ratio Negara Eksportir Karet Alam Tahun Nilai HI Nilai CR 2001 0,2317 77,58 2002 0,2329 77,83 2003 0,2486 78,89 2004 0,2393 79,68 2005 0,2271 78,15 2006 0,2309 79,04 2007 0,2203 76,57 2008 0,2198 76,11 2009 0,2415 78,22 Rata-rata 0,2325 78,01 Sumber: International Trade Statistics (diolah), 2010
79
Herfindahl Indeks menggambarkan besar kecilnya usaha dalam suatu industri yang menjadi indikator persaingan di antara pesaingnya. Nilai HI yang didapatkan dari produsen karet alam bernilai rata-rata 0,23. Nilai tersebut merupakan nilai yang mendekati nol yang mana menggambarkan industri yang bersangkutan (dalam hal ini karet alam) cenderung ke pasar persaingan (competitive market). Penguasaan pasar yang terjadi pada usaha ini ditunjukkan dari nilai CR 3 yang diperoleh, yang mana nilai ini merupakan penjumlahan dari pangsa pasar tiga eksportir terbesar karet alam di pasar internasional. Karet alam dipasaran internasional dalam kurun waktu 2001-2009 memiliki nilai CR3 rata-rata senilai 78% yang mana nilai tersebut menunjukkan kondisi pasar yang berbentuk oligopoli. Nilai yang diperoleh tersebut menggambarkan bahwa 78% pangsa pasar karet alam internasional dikuasai oleh tiga produsen terbesar, di mana dalam kurun waktu itu Thailand, Indonesia dan Malaysia masing-masing menguasai rata-rata 38, 26% dan 14% pangsa pasar karet alam internasional. Penguasaan pasar tertinggi terjadi pada tahun 2004 di mana pangsa pasar yang dikuasai oleh tiga produsen ini mencapai 79,68% dari pangsa pasar internasional, dimana masing-masing negara produsen menguasai 39% oleh Thailand, 25% oleh Indonesia dan 15% oleh Malaysia. Berdasarkan pada hasil yang diperoleh dari perhitungan HI dan CR, maka dapat dikatakan bahwa dalam kurun waktu 2001-2009 struktur pasar yang dihadapi oleh ketiga negara ekportir utama karet alam di pasar internasional cenderung ke arah persaingan yang berbentuk oligopoli. Tingginya nilai rasio konsentrasi menggambarkan bahwa industri karet alam merupakan suatu industri
80
yang terkonsentrasi dengan jumlah produsen yang relatif sedikit. Keberadaan kondisi ini juga memperlihatkan bahwa dalam perkembangannya terjadi persaingan yang ketat antar produsen, karena tidak ada produsen yang secara signifikan menguasai pasar. Kondisi pasar yang demikian diperkuat dengan adanya penggabungan produsen utama karet alam dalam suatu wadah yang dinamakan IRCo. Kebijakan yang dibuat oleh IRCo dalam rangka mempertahankan kestabilan harga turut berpengaruh terhadap penguatan stabilitas perdagangan karet alam dunia. Meskipun demikian, secara umum persaingan industri karet alam di pasar internasional belum menunjukkan persaingan yang ketat, sehingga Indonesia masih memiliki peluang yang cukup besar untuk bersaing/meningkatkan daya saingnya. Bentuk usaha yang dapat ditempuh untuk dapat meningkatkan daya saing ini antara lain melalui promosi, peningkatan mutu, atau diferensiasi jenis produk yang dijual, mengingat persaingan dalam bentuk oligopoli lazimnya bersaing bukan dalam sistem harga melainkan lebih kepada kampanye komoditi (Hikaru, 2010).
81
VIII. DAYA SAING EKSPOR KARET ALAM Dalam rangka memenuhi kebutuhan ekonomi, penting artinya pembahasan mengenai perdagangan, mengingat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia memerlukan orang lain untuk menghasilkan apa yang dibutuhkan. Tidak hanya merujuk pada ketidakmampuan individu dalam menghasilkan setiap barang yang dibutuhkan, tetapi lebih kepada efisiensi. Perdagangan internasional merupakan bagian dari ekonomi internasional yang mana dalam hal ini perdagangan dilakukan dalam lintas negara yang berdasarkan pada kesepakatan bersama (Oktaviani dan Novianti, 2009). Perdagangan internasional yang tercermin dalam kegiatan ekspor dan impor suatu negara menjadi salah satu komponen dalam pembentukan PDB. Menghadapi era globalisasi saat ini, menjadikan pergerakan lintas negara semakin terbuka. Pergerakan tersebut dalam kenyataannya tidak hanya menimbulkan
keterkaitan
dan
ketergantungan
antarnegara,
tetapi
juga
menimbulkan efek persaingan global yang semakin ketat. Siswanto (2004) mendefinisikan persaingan sebagai perebutan atau kompetisi antara dua atau lebih orang atau badan untuk objek yang sama. Persaingan inilah yang kemudian melahirkan konsep daya saing, di mana konsep ini melihat kepada kemampuan bertahan produk terhadap tantangan yang ada dalam persaingan itu sendiri. Daya saing ekspor adalah kemampuan suatu komoditi untuk memasuki pasar luar negeri dan kemampuan untuk bertahan dalam pasar itu. Daya saing suatu komoditi dapat diukur atas dasar perbandingan pangsa pasar komoditi tersebut pada kondisi pasar yang tetap. Amir (2004) dalam hal ini menyatakan
82
bahwa suatu produk dikatakan memiliki daya saing apabila produk tersebut mampu bertahan dalam suatu pasar meskipun dengan mengalami guncangan. Hal ini pula yang dihadapi dalam perdagangan karet alam di pasar internasional. Konsep globalisasi menuntut adanya persaingan. Persaingan yang dihadapi tidak hanya mengacu pada keunggulan komparatif produk, tetapi lebih kepada keunggulan kompetitifnya, dengan melihat trend daya saing yang dimiliki komoditas karet alam Indonesia terhadap lingkungan internasional.
8.1.
Analisis Revealed Comparatif Advantage Alat analisis yang digunakan untuk mengetahui keunggulan komparatif
pada penelitian ini untuk masing-masing negara eksportir karet alam yaitu Revealed Comperative Advantage. Indeks RCA merupakan indikator yang menunjukkan perubahan keunggulan komparatif atau perubahan tingkat daya saing industri suatu negara di pasar global. Trend perubahan RCA untuk masing-
RCA
masing negara eksportir utama karet alam disajikan pada Gambar 8 berikut ini. 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 2000
RCA Thailand RCA Indonesia RCA Malaysia 2002
2004
2006
2008
2010
Tahun Sumber: International Trade Statistics (diolah), 2010
Gambar 8. Perbandingan Nilai RCA Negara Eksportir Utama Karet Alam
83
Berdasarkan pada hasil perhitungan nilai indeks RCA tersebut, dapat dilihat bahwa secara umum ketiga negara eksportir karet alam masing-masing memiliki nilai RCA di atas nol. Hal ini mengindikasi bahwa baik Thailand, Indonesia, maupun Malaysia masing-masing memiliki keunggulan komparatif terhadap karet alam dalam perdagangannya di pasar internasional. Hasil pengolahan data untuk RCA negara-negara eksportir karet alam dapat dilihat pada Lampiran 4. Keunggulan komparatif yang dimiliki Thailand sebagai produsen terbesar cenderung tinggi. Indeks terbesar yang dimiliki Thailand terjadi pada tahun 2003 di mana nilai ini mencapai angka 39. Namun dalam perkembangannya, nilai RCA Thailand cenderung mengalami penurunan. Penurunan nilai RCA Thailand dari tahun ke tahun disebabkan menurunnya nilai ekspor karet alam karena ekspor dikurangi akibat meningkatnya konsumsi dalam negeri dan belum maksimalnya hasil perkebunan yang baru mulai direvitalisasi pada tahun 2000. Tahun 2003 total konsumsi dalam negeri Thailand mencapai 298.699 ton meningkat drastis menjadi 397.595 ton (Soekarno, 2009). Penurunan nilai indeks Thailand terus terjadi sejak tahun 2004. Bahkan pada tahun 2006, indeks RCA negara ini sudah berada di bawah Indonesia. Hal ini dikarenakan kinerja ekspor karet alam Thailand pada tahun 2006 mengalami peningkatan pertumbuhan yang lebih kecil dibandingkan dengan Indonesia, di mana pertumbuhannya hanya 47%, sedangkan Indonesia mencapai 67% dari tahun sebelumnya. Selain itu, pertumbuhan ekspor karet alam dunia mengalami peningkatan yang juga lebih besar (52%) sehingga nilai ini kemudian berpengaruh
84
terhadap kinerja ekspor karet alam Thailand, terlebih terhadap daya saing komparatifnya. Indonesia memiliki nilai RCA yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini menggambarkan bahwa kinerja ekspor karet alam Indonesia yang semakin membaik dalam perkembangannya. Penambahan luas areal tanam tiap tahun dengan perbaikan sistem tanam yang menggunakan klon-klon unggul membuat peningkatan produktivitas semakin membaik. Peningkatan ini seiring dengan target pemerintah Indonesia di mana Indonesia akan menjadi eksportir terbesar karet alam pada tahun 2010. Berbeda dengan Thailand dan Indonesia, Malaysia yang juga merupakan eksportir terbesar karet alam dunia memiliki nilai Indeks RCA yang lebih kecil. Meskipun demikian, Malaysia juga masih memiliki keunggulan komparatif dalam ekspor karet alam. Nilai indeks RCA karet alam Malaysia cenderung stabil. Rendahnya nilai yang dimiliki Malaysia karena kuantitas ekspor yang juga relatif rendah. Salah satu penyebabnya adalah adanya alih fungsi lahan untuk tanaman perkebunan lain yang yang lebih prospektif dibandingkan dengan karet, utamanya kelapa sawit. Keterbatasan lahan yang dimiliki Malaysia menyebabkan tidak adanya penambahan luas areal tanam perkaretan negara ini selama beberapa tahun terakhir (Association of Natural Rubber Countries, 2010). Selain itu, hasil produksi karet alam domestik Malaysia lebih banyak digunakan untuk kegiatan industri dalam negeri dibandingkan untuk ekspor, karena nilai ekspor untuk barang dari karet lebih tinggi dibanding nilai ekspor karet mentah, sehingga mendorong pengembangan industri pengolahan karet.
85
Krisis global yang terjadi pada kuartal ke 3 tahun 2008 membawa dampak pada ekspor karet alam Indonesia. Hal ini terlihat dari penurunan indeks RCA yang terjadi pada tahun 2009, di mana pada tahun ini indeks RCA karet alam Indonesia menurun drastis dari 35,37 pada tahun 2008 menjadi hanya sebesar 30 pada tahun 2009. Indeks ini kembali berada di bawah indeks Thailand yang pada saat yang sama memiliki nilai sebesar 30,44. Penurunan nilai ini terjadi karena akibat dari penurunan kuantitas ekspor karet alam berdasarkan kesepakatan dari ITRC yang merupakan gabungan tiga eksportir terbesar karet alam, di mana persentase penurunan kuantitas ekspor Indonesia pada kuartal pertama tahun 2009 yang lebih besar dibandingkan dengan Thailand dan Malaysia. Jika dilihat dari pembagian penurunan kuantitas ekspor karet alam, Indonesia pada kesepakatan ini mengalami penurunan mencapai 6%, sementara Thailand 5% dan Malaysia 3% dari total kuantitas ekspor tahun sebelumnya (AntaraNews (diolah), 2008). Sementara jika dilihat dari pertumbuhan kuantitas ekspor karet alam Indonesia, maka pada tahun tersebut, total penurunan terjadi hingga 13,3% dari tahun 2008, sementara Thailand mengalami penurunan total sebesar 3,2% dari tahun sebelumnya (International Trade Statistic (diolah), 2010).
8.2.
Analisis Export Competitiveness Index Analisis Export Competitiveness Index dalam penelitian ini digunakan
untuk melihat apakah negara-negara eksportir karet alam dunia memiliki keunggulan kompetitif dan daya saing yang cukup kuat terhadap komoditas karet alam. Nilai yang diperoleh menggambarkan kecenderungan trend pertumbuhan
86
yang meningkat atau menurun. Gambar 9 memperlihatkan hasil perhitungan nilai
ECI
ECI untuk negara eksportir utama karet alam. 1,2 1,15 1,1 1,05 1 0,95 0,9 0,85 0,8 2000
ECI Thailand ECI Indonesia ECI Malaysia
2002
2004
2006
2008
2010
Tahun
Sumber: International Trade Statistics (diolah), 2010 Gambar 9. Hasil Perhitungan ECI Negara Eksportir Karet Alam Export
Competitiveness
Index
merupakan
suatu
indeks
yang
menggambarkan keunggulan kompetitif suatu komoditi pada suatu negara dibandingkan dengan negara pesaingnya. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan terhadap komoditi karet alam pada tiga negara eksportir terbesar dunia, diperoleh bahwa pada periode 2002-2008, ECI Thailand memiliki nilai kurang dari 1. Hal ini mengindikasi bahwa komoditi karet alam Thailand mengalami penurunan pangsa pasar atau trend daya saing yang semakin melemah di pasar internasional. Penurunan daya saing ini bisa jadi disebabkan karena pertumbuhan ekspor karet alam Thailand yang masih dibawah pertumbuhan ekspor karet alam dunia, sehingga nilai yang diperoleh menjadi lebih kecil. Selain itu, dalam beberapa tahun terakhir ini, Thailand lebih memfokuskan diri pada peralihan penanaman tanaman karet menjadi kelapa sawit, tanaman buah, dan kayu. Pengembangan karet secara substansial juga telah digerakkan di wilayah-wilayah
87
timur laut, tetapi pengembangan tersebut masih berjalan lambat (Dongguan Wanlixing Rubber, 2010). Indonesia pada periode yang sama jika dibandingkan dengan negara eksportir lain memiliki nilai ECI yang lebih dari satu. Hal tersebut berarti bahwa komoditi karet alam Indonesia mengalami trend daya saing yang meningkat. Peningkatan tersebut seiring dengan usaha pemerintah Indonesia dalam hal perbaikan kinerja ekspor karet alam di pasaran dunia dengan pengadaan revitalisasi dan peremajaan pohon karet yang telah tua dan tidak produktif lagi. Selain itu, potensi lahan yang masih cukup luas memungkinkan bagi Indonesia untuk meningkatkan luas areal tanamnya, sehingga produksi masih memiliki potensi untuk ditingkatkan. Perkembangan dalam keunggulan kompetitif karet alam Indonesia semakin mengalami trend pertumbuhan yang menurun sejak tahun 2007. Bahkan pada tahun 2009, nilai ECI Indonesia sudah berada di bawah 1, yang berarti trend daya saing karet alam Indonesia mengalami penurunan daya saing. Hal ini dapat diindikasi sebagai akibat dari jatuhnya harga karet alam di pasar internasional karena krisis gobal yang mengakibatkan penurunan terhadap permintaan karet dunia. Berbeda dengan Indonesia, Thailand justru mengalami trend daya saing yang meningkat sejak tahun 2005. Hal ini dapat terlihat dari nilai ECI Thailand yang berada di atas 1 pada tahun 2009. Hal demikian terjadi karena pada tahun 2009 tersebut, Indonesia mengalami penurunan nilai ekspor karet alam hingga 46,45%, sementara Thailand mengalami penurunan nilai ekspor sebesar 35,79%. Penurunan yang terjadi pada pertumbuhan karet alam dunia (43,54%) yang lebih
88
kecil dibanding penurunan yang terjadi pada pertumbuhan nilai ekspor karet alam Indonesia juga turut berpengaruh terhadap perhitungan nilai ECI yang dilakukan. Sementara itu, tidak jauh berbeda dengan Thailand, Malaysia juga memiliki nilai ECI kurang dari satu. Hal ini mengindikasi adanya penurunan pangsa pasar atau daya saing yang semakin melemah. Penyebab penurunan daya saing Malaysia ini karena saat ini, selain sebagai eksportir terbesar dunia, Malaysia juga bertindak sebagai importir terbesar terhadap komoditas karet alam. Sejauh ini, Malaysia lebih fokus terhadap ekspor barang olah karet dengan pengembangan industri produk karet yang semakin meningkat, dibanding dengan ekspor karet mentah, karena nilainya yang juga jauh lebih tinggi. Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan (2001) mencatat bahwa perkembangan ekspor karet alam Malaysia diperkirakan akan tertahan oleh adanya keterbatasan sumberdaya lahan dan tingginya upah pekerja, di samping perubahan orientasi ke arah industri hilir. Kondisi ini jelas berbeda dengan Indonesia dan Thailand yang masih memiiki potensi pengembangan karena adanya ketersediaan lahan dan dukungan biaya produksi yang lebih rendah (Dradjat, 2003).
89
IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1.
Kesimpulan Berdasarkan data dan hasil analisis pada penelitian ini, maka dapat ditarik
beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1.
Indonesia memiliki perkembangan yang cenderung meningkat terhadap nilai ekspor komoditas karet alam dari tahun ke tahun. Hal serupa terjadi pada kedua negara eksportir karet alam pesaingnya, yaitu Thailand dan Malaysia. Peningkatan ini terjadi selain karena meningkatnya permintaan dunia terhadap komoditas karet alam sebagai dampak dari perkembangan industri, juga didorong oleh peningkatan produksi karet alam domestik. Perbaikan terhadap harga karet alam di pasar internasional turut mendorong perkembangan nilai ekspor komoditas ini. Karet alam Indonesia sebagian besar diekspor ke negara-negara tujuan utama, antara lain Amerika Serikat, Jepang, dan China. Penurunan kuantitas ekspor pada tahun 2009 karena terjadinya penurunan permintaan karet alam dunia sebagai akibat krisis global berdampak pada penurunan terhadap nilai ekspor karet alam Indonesia.
2.
Struktur pasar yang terbentuk pada komoditas karet alam yang dihitung dengan menggunakan alat analisis Herfindahl Index dan Concentration Ratio menunjukkan struktur pasar yang berbentuk oligopoli. Struktur pasar demikian menggambarkan bahwa pada komoditas ini penguasaan pasar terbesar dipegang oleh tiga negara eksportir utama, yaitu Thailand, Indonesia, dan Malaysia.
3.
Perhitungan keunggulan komparatif dengan analisis RCA menunjukkan bahwa ketiga negara eksportir karet alam, yaitu Thailand, Indonesia dan
90
Malaysia masing-masing memiliki keunggulan komparatif. Hasil ini berbeda dengan perhitungan yang dilakukan terhadap keunggulan kompetitif negaranegara eksportir tersebut. Perhitungan keunggulan kompetitif dengan menggunakan ECI menunjukkan bahwa Malaysia tidak memiliki keunggulan ini. Thailand yang bertindak sebagai eksportir utama karet alam juga tidak memiliki keunggulan kompetitif hingga tahun 2008. Adapun penyebab dari penurunan trend daya saing kompetitif, baik bagi Thailand maupun Malaysia antara lain karena adanya penurunan persentase pertumbuhan ekspor akibat peningkatan konsumsi domestik guna pemenuhan kebutuhan industri dalam negeri. Krisis global yang melanda pada tahun 2008 membawa dampak terhadap penurunan trend daya saing Indonesia tahun 2009. Salah satu penyebab penurunan daya saing ini adalah merosotnya harga karet alam pada tahun 2009 akibat penurunan permintaan karet global.
9.2.
Saran Berdasarkan pada kesimpulan yang telah diuraikan diatas, maka dapat
dikemukakan beberapa saran sebagai berikut: 1.
Peningkatan volume dan nilai ekspor karet alam Indonesia dapat ditempuh antara lain dengan peningkatan kualitas karet alam sehingga harga ekspor komoditas ini dapat meningkat. Peningkatan produksi karet alam dapat ditempuh melalui peningkatan produktivitas mengingat luas lahan karet Indonesia telah cukup besar atau dengan meningkatkan teknologi pengolahan karet guna peningkatan efisiensi.
Selain itu, mengingat bahwa kondisi
perkebunan karet Indonesia lebih didominasi oleh perkebunan rakyat
91
dibanding perkebunan besar swasta dan negara, maka perlu adanya pembinaan yang lebih intensif untuk peningkatan hasil yang lebih optimal. Kebijakan yang akan ditempuh sebaiknya perlu untuk mempertimbangkan aspek wilayah produksi dan jenis pengusahaan. 2.
Struktur pasar yang berbentuk oligopoli pada komoditas karet alam memungkinkan Indonesia untuk dapat meningkatkan posisi daya saingnya. Oleh karena struktur pasar oligopoli saling bersaing bukan dalam hal harga komoditas, tetapi lebih pada kampanye komoditi yang dijual, maka disarankan untuk meningkatkan promosi dan diferensiasi produk serta peningkatan pada kualitas produk yang dipasarkan. Selain itu, kondisi oligopoli lazimnya menimbulkan kesalingtergantungan antara masing-masing produsen, sehingga penggabungan produsen-produsen tersebut dalam suatu wadah (IRCo) perlu tetap dipertahankan guna menjaga kestabilan perdagangan, baik dari segi harga maupun penawaran.
3.
Daya saing yang dimiliki terhadap komoditas karet alam Indonesia dapat ditingkatkan dengan meningkatkan kualitas (mutu) produk, diferensiasi produk olahan, serta peningkatan industri hilir untuk meningkatkan nilai tambah produk.
92
DAFTAR PUSTAKA Abdmoulah, W. dan B. Laabas. 2010. Assessment of Arab Export Competitiveness in International Markets using Trade Indicators. The Arab Planning Institute, Kuwait. Anonim. 2010. Kontribusi Karet dan Produk Karet Indonesia Selama Lima Tahun Terakhir. http://bataviase.co.id/node/140821. diakses pada tanggal 21 Agustus 2010. Anonim. 2010. Perbaikan Mutu Karet Lamban. http://bataviase.co.id/node/140821. diakses pada tanggal 21 Agustus 2010. Antara News. 2008. Indonesia Tahun 2009 Kurangi Kuota Ekspor Karet 116 Ribu Ton. http://www.antaranews.com/view/?i=1229555077&c=EKB&s=. diakses pada tanggal 15 Juni 2010. Anwar, C. 2006. Perkembangan Pasar dan Prospek Agribisnis Karet di Indonesia. Lokakarya: Budidaya Tanaman Karet. Pusat Penelitian Karet. Balai Penelitian Sungei Putih, Medan. Association of Natural Rubber Producing Countries. April 2010. hal. 19-20. Area Planted during each Year in ANRPC Member Countries. Volume 1 No. 9. Astuty, E.D. dan Zamroni. 2000. Kajian Daya Saing Ekspor Komoditas Pertanian. PEP-LIPI, Jakarta. Azwar, R. dan I. Suhendry. 1998. Kemajuan Pemuliaan Karet dan dampaknya terhadap Peningkatan Produktivitas. Prosiding: Lokakarya Nasional Pemuliaan Karet 1998 dan Diskusi Nasional Prospek Karet Alam Abad 21. Pusat Penelitian Karet, Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia, Medan. Hal. 51-64 Badan Pusat Statistik. 2003. Indikator Ekonomi. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ___. 2004. Indikator Kesejahteraan Rakyat. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ___. 2005. Indikator Ekonomi. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ___. 2006. Indikator Ekonomi. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ___. 2006. Indikator Kesejahteraan Rakyat. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ___. 2007. Indikator Ekonomi. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ___. 2008. Indikator Ekonomi. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ___. 2008. Indikator Kesejahteraan Rakyat. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
93
___. 2009. Data Strategis BPS. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ___. 2009. Indikator Ekonomi. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ___. 2010. Data Strategis BPS. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Basri, C., A. Hadianto, M.F. Hasan, T. Lacey dan T.Sudaryanto. 2010. Indonesian Business Guide. IRAI, Jakarta. Basri, F. 2002. Perekonomian Indonesia. Erlangga, Jakarta. Bastari, D.H. 1998. Pengelolaan Agribisnis Karet Secara Terpadu. Prosiding: Lokakarya Nasional Pemuliaan Karet 1998 dan Diskusi Nasional Prospek Karet Alam Abad 21. Pusat Penelitian Karet, Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia, Medan. Hal. 27-29. Daryanto, A. 2009. Posisi Daya Saing Pertanian Indonesia dan Upaya Peningkatannya. Seminar Nasional: Peningkatan Daya Saing Agribisnis Berorientasi Kesejahteraan Petani. Departemen Pertanian, Jakarta. Departemen Perdagangan. 2010. ASEAN-China Free Trade Area. Departemen Perdagangan, Jakarta. Departemen Perindustrian. 2007. Gambaran Sekilas Industri Karet. Departemen Perindustrian, Jakarta. ___. 2009. Roadmap Industri Pengolahan Karet dan Barang Karet. Departemen Perindustrian, Jakarta. Departemen Pertanian. 2006. Statistik Pertanian 2006. Departemen Pertanian, Jakarta. ___. 2007. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Karet. Edisi Kedua. Departemen Pertanian, Jakarta. ___. 2008. Peraturan Menteri Pertanian No: 38/Permentan/OT.140/8/2008 tentang Pedoman Pengolahan dan Pemasaran Bahan Olah Karet (BOKAR). Departemen Pertanian, Jakarta. ___. 2009. Statistik Pertanian 2009. Departemen Pertanian, Jakarta. Department of Statistics Malaysia. 2010. Malaysian Natural Rubber Production and Yield. http://www.lgm.gov.my/nrstat/T4A.htm. diakses pada tanggal 31 Mei 2010. Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. 2007. Pedoman Penanganan Pasca Panen Karet. Departemen Pertanian, Jakarta. Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan. Jakarta. 94
Direktorat Jenderal Perkebunan. 2010. Luas Areal dan Produksi Perkebunan Seluruh Indonesia Menurut Pengusahaan. http://ditjenbun.deptan.go.id/cigraph/index.php/viewstat/komoditiutama/2Karet. diakses pada tanggal 4 Juni 2010. Dongguan Wanlixing Rubber. 2010. Status of the world's natural rubber industry trends. http://en.wlxrubber.com/news_detail/newsId%3D5bd934b1-55a34a54-b374-d10ae9ae6813%26comp_stats%3Dcomp-FrontNews_list011262913064306.html. diakses pada tanggal 26 Agustus 2010. Dradjat, B. 2003. Kinerja Subsektor Perkebunan: Evaluasi Masa Lalu (19941998) dan Prospek Pada Era Perdagangan Bebas Dunia (2003-2008). Disertasi. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Dumairy. 1996. Perekonomian Indonesia. Erlangga, Jakarta. Food
And Agriculture Organization. 2010. Statistics Production. http://faostat.fao.org/site/567/DesktopDefault.aspx?PageID=567#ancor. diakses pada tanggal 15 Mei 2010.
Hadianto, A. 2010. Makalah Makroekonomi: Analisis Daya Saing Ekspor Nasional. Ilmu Ekonomi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hady, H. 2004. Ekonomi Internasional: Teori dan Kebijakan Perdagangan Internasional. Jilid Satu. Edisi Revisi. Ghalia Indonesia, Jakarta. Handyoko, A. 2010. Kontribusi Sektor Pertanian Terhadap PDB. http://www2.bbpplembang.info/index.php?option=com_content&view=article&id=515:kontr ibusi-sektor-pertanian-terhadap-pdb&catid=110&Itemid=304. diakses pada tanggal 26 Mei 2010. Hikaru, E. 2010. Bentuk-Bentuk Pasar. http://ejohikaru.multiply.com/favicon.ico. diakses pada tanggal 11 Juli 2010. International Rubber Concortium Limited. 2010. Historical Rubber – Market Update. http://www.irco.biz/Statistic-index.php?st. diakses pada tanggal 25 April 2010. International Rubber Study Group. 2010. http://www.rubberstudy.com/statistics.aspx. diakses pada tanggal 16 Mei 2010. International Trade Statistics. 2010. List of exporters for the selected product: TOTAL All products. http://www.trademap.org/tradestat/Country_SelProduct_TS.aspx. diakses pada tanggal 10 Mey 2010.
95
International Trade Statistics. 2010. List of exporters for the selected product: 4001 Natural rubber, balata, gutta-percha etc. http://www.trademap.org/tradestat/Country_SelProductCountry_TS.aspx. diakses pada tanggal 10 Mey 2010. Jaya, W.H. 2001. Ekonomi Industri. Edisi Kedua. BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta. Johari.
2009. Indonesia Miliki Perkebunan Karet Terluas di Dunia. http://joharicybermedia.wordpress.com/2009/11/13/indonesia-milikiperkebunan-karet-terluas-di-dunia/. diakses pada tanggal 1 Oktober 2010.
Kementerian Pertanian. 2009. Rancangan Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun 2010-2014. Kementerian Pertanian, Jakarta. Kuncoro, M. 2008. Indonesia Bangkit 2008. Warta Ekonomi’. http://mudrajad.com/upload/Indonesia%20Bangkit%202008.pdf. diakses pada tanggal 25 Juni 2010. Lembaga Riset Perkebunan Indonesia. 2010. Pusat Penelitian Karet. http://www.ipard.com/produk_layanan/tarif--.htm. diakses pada tanggal 29 Mei 2010. Limbong, W. H. 1994. Keragaan Karet Alam Indonesia Ditinjau dari Jenis Pengusahaan dan Wilayah Produksi. Disertasi. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Mansur. 2009. Dinamika Agribisnis dan Industri Karet Indonesia dalam Persaingan Pasar Global 2009. http://mediadata.co.id/Multi-ClientStudies/MCS-Indonesian-Edition/Dinamika-Agribisnis-dan-IndustriKaret-Indonesia-dalam-Persaingan-Pasar-Global-2009.html. diakses pada tanggal 20 Mei 2010. M.S., Amir. 1984. Seluk-Beluk dan Teknik Perdagangan Luar Negeri: Suatu Penuntun Impor dan Ekspor. PT Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta. ___. 2004. Strategi Memasuki Pasar Ekspor. PPM, Jakarta. Meryana, E. 2007. Analisis Dayasaing Kopi Robusta Indonesia di Pasar Kopi Internasional. Skripsi. Program Studi Manajemen Agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Nazaruddin dan F.B. Paimin. 2006. Karet. PT Penebar Swadaya, Jakarta. Nicholson, W. 2002. Mikroekonomi Intermadiate dan Aplikasinya. Edisi Kedelapan. Erlangga, Jakarta. Novianti, T. dan E.H. Hendratno. 2008. Analisis Penawaran Ekspor Karet Alam Indonesia ke Negara Cina. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
96
Oktaviani, R. dan Tanti Novianti. 2009. Teori Perdagangan Internasional dan Aplikasinya di Indonesia. Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB, Bogor. Parhusip, A. B. 2008. Potret Karet Alam Indonesia. Economic Review. No. 231 Prabowo, D.W. 2006. Dampak Kebijakan Perdagangan Terhadap Dinamika Ekspor Karet Alam Indonesia ke Negara-Negara Importir Utama. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Purnama, H., Firdaus dan Mildaerizanti. 2007. Perencanaan Penggunaan Lahan Multiple untuk Peremajaan Karet Rakyat. BPTP Jambi, Jambi. Rachman, C. 2008. Kebijakan Pengolahan Bahan Olah Karet. Prosiding: Lokakarya Nasional Agribisnis Karet 2008. Pusat Penelitian Karet, Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia, Yogyakarta. Hal. 39-42. Saboniene, A. 2009. Lithuanian Export Competitiveness: Comparison with other Baltic States. The Economic Conditions of Enterprise Functioning. Kaunas University of Technology, Lithuania. Schwab, K. 2010. The Global Competitiveness Report 2010-2011. World Economic Forum. Geneva, Switzerland. Siswanto, A. 2004. Hukum Persaingan Usaha. Ghalia Indonesia, Bogor. Soekarno. 2009. Analisis Keunggulan Komparatif Karet Alam Indonesia Tahun 2003-2007. Skripsi. Departeman Ilmu Ekonomi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sore,
B. 2010. Produktivitas Kebun Karet Indonesia Rendah. http://www.pn8.co.id/pn8/images/ptpn.ico. diakses pada tanggal 29 Mei 2010.
Suciati, R. 2006. Kajian Perkembangan Perdagangan Internasional Karet Indonesia ke Negara Anggota ISO/TC 45. Jurnal Standarisasi. Vol. 8 No.1: 10-17 Sudarsono. 1995. Pengantar Ekonomi Mikro. Edisi Revisi. LP3ES, Jakarta. Sugiyanto, Y., H. Sihombing dan Darmandono. 1998. Pemetaan Agroklimat dan Tingkat Kesesuaian Lahan Perkebunan Karet. Prosiding: Lokakarya Nasional Pemuliaan Karet 1998 dan Diskusi Nasional Prospek Karet Alam Abad 21. Pusat Penelitian Karet, Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia, Medan. Hal. 201-218 Sukarmi. 2002. Regulasi Antidumping: Dibawah Bayang-Bayang Pasar Bebas. Sinar Grafika Offset, Jakarta.
97
Sunandar, I. 2007. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Pengusahaan Komoditi Tanaman Karet Alam (Kasus di Kecamatan Cambai, Kota Prabumulih, Propinsi Sumatera Selatan). Skripsi. Program sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Tambunan, T.T.H. 2003. Perekonomian Indonesia: Beberapa Masalah Penting. Ghalia Indonesia, Jakarta. Undri. 2004. Kepemilikan Tanah di Sumatera Barat Tahun 1950-an (Kasus Konflik Kepemilikan Tanah Perkebunan Karet di Kabupaten Pasaman). Workshop on the Economic Side of Decolonosatioan. Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. United Nations Comtrade. 2010. United Nations Commodity Trade Statistics Database: Statistics Division. http://comtrade.un.org/db/. diakses pada tanggal 17 April 2010. Zainuddin, H. 2007. Kalsel Ingin Rebut Peluang Sentra Karet Indonesia. http://hasanzainuddin.wordpress.com/2007/10/27/kalsel-ingin-rebutpeluang-sentra-karet-indonesia/. diakses pada tanggal 1 Oktober 2010. Zebua, A. 2008. Integrasi Pasar Karet alam Indonesia dan Dunia. Skripsi. Program sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
98
LAMPIRAN
99
Lampiran 1. Luas Areal Karet Perkebunan Rakyat Menurut Provinsi di Indonesia (Ha) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah
2001 97.513 439.285 103.958 405.905 438.463 685.686 76.723 80.808 34.730 57.602 29.764 25.377 21.731 90 374.091 263.494 130.138 54.614 3.310
2002 95.738 437.672 103.940 397.515 433.881 682.688 75.684 80.795 34.694 56.745 29.770 25.377 21.709 90 373.858 261.773 129.615 52.046 3.310
2003 98.581 448.945 101.340 423.020 424.838 637.868 72.218 71.879 31.095 57.924 32.576 18.962 21.119 102 369.258 261.834 144.424 43.537 11.500
Tahun 2004 114.950 440.647 104.197 353.506 436.462 644.385 72.367 84.008 30.387 30.955 51.904 32.021 26.540 23.341 89 365.780 259.001 128.292 49.441 3.078
2005 116.071 448.852 102.242 362.090 429.170 655.230 71.137 81.884 29.279 30.524 51.989 30.581 25.362 23.057 95 375.310 256.596 129.582 45.487 3.143
2006 117.711 456.986 124.256 369.911 433.739 648.754 71.334 81.466 28.845 30.929 52.336 30.135 25.180 23.507 95 379.038 255.657 129.946 58.105 3.160
2007 118.860 461.496 126.135 389.535 440.809 659.134 72.401 82.399 29.381 31.368 52.449 30.191 25.174 23.846 95 387.768 261.947 132.675 59.132 3.160
2008*) 121.742 474.725 128.970 385.754 443.025 663.909 74.065 84.521 30.098 31.999 53.382 30.990 25.606 23.519 95 405.516 272.221 134.490 57.357 3.160
100
26 27 28 29 30 31 32 33 34
Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Irian Jaya Barat Papua Barat Indonesia
12.192 935 1.351 7.007 -
12.175 935 1.351 6.998 -
12.553 935 1.309 4.295 -
5.686 756 4.459 16
5.848 1.209 4.619 34
19.475 1.209 4.619 34
19.901 1.209 4.617 34
18.436 1.209 5.136 35
3.344.767
3.318.359
3.290.112
3.262.268
3.279.391
3.346.427
3.413.716
3.469.960
Sumber: Departemen Pertanian, 2009
Lampiran 2. Produksi Karet Perkebunan Rakyat Menurut Provinsi di Indonesia (Ton) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau
Tahun 2001
2002
2003
2004
45.990 333.917 54.087 206.476 160.330 266.179 36.222 46.192 13.926 -
48.344 339.194 55.042 202.992 160.916 267.927 36.738 46.837 13.773 -
49.527 363.357 60.058 224.809 177.704 321.277 37.699 43.987 15.570 -
63.863 358.580 64.505 258.879 232.646 405.693 39.317 51.188 16.534 16.780
2005 70.032 391.398 71.452 285.594 256.790 450.495 43.311 55.862 18.330 18.574
2006
2007
83.368 427.872 90.468 350.808 292.653 517.799 49.980 68.366 19.151 21.296
89.378 447.202 93.348 366.781 306.026 542.538 52.174 70.403 19.821 22.358
2008*) 95.777 475.307 98.570 379.592 332.256 572.282 53.624 74.702 20.720 22.834
101
11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34
DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Irian Jaya Barat Papua Barat Indonesia
0 37.607 23.090 16.320 12.440 77 146.624 127.977 46.642 19.174 2.162 8.646 1.385 1.998 1.607.461
42.636 23.244 16.332 14.172 79 149.541 127.918 49.972 20.307 2.215 8.681 1.385 2.114 1.630.359
35.198 24.843 14.327 10.735 84 169.463 143.519 63.265 21.261 4.165 10.097 1.350 53 1.792.348
39.936 21.638 16.977 11.144 70 204.516 158.407 73.938 21.067 3.154 5.513 593 867 12 2.065.817
43.217 23.198 18.169 12.409 75 224.805 174.061 80.840 20.054 3.622 5.910 1.215 1.455 23 2.270.891
57.572 29.419 23.963 15.167 108 256.751 189.372 104.216 24.465 3.597 7.979 1.263 1.573 25 2.637.231
59.058 30.480 24.550 15.709 111 266.643 198.384 109.368 25.890 3.680 8.299 1.320 1.625 26 2.755.172
62.677 32.370 26.073 16.312 117 291.160 209.850 113.740 27.990 3.713 9.054 1.385 1.740 27 2.921.872
Sumber: Departemen Pertanian, 2009
102
Lampiran 3. Perhitungan Penguasaan Pasar Negara Eksportir Karet Alam Dunia Exporters Sik 2001 Sik 2002 Sik 2003 Sik 2004 Sik 2005 Thailand 0,39359 0,394076 0,421517 0,390513 0,36983 Indonesia 0,234334 0,235477 0,225259 0,249464 0,258652 Malaysia 0,147895 0,148712 0,142099 0,156835 0,152999 Viet Nam 0,049443 0,06143 0,056923 0,054982 0,071518 Singapore 0,043666 0,036152 0,029357 0,03297 0,030022 Liberia 0,021021 0,016244 0,013544 0,017982 0,016922 Côte d Ivoire 0,020784 0 0 0,018812 0,019987 United States of 0,016755 0,012157 0,014104 0,007073 0,005806 America Guatemala 0,007474 0,006535 0,005525 0,006718 0,008143 Sri Lanka 0,007071 0,005982 0,005803 0,005806 0,004692 Cameroon 0,005903 0,005241 0,004894 0,004857 0,004449 France 0,005617 0,005313 0,003665 0,002713 0,002889 Hong Kong (SARC) 0,005541 0,005684 0,004093 0,003444 0,003403 Cambodia 0,005499 0,006419 0,005068 0,004224 0,007293 Germany 0,005395 0,005399 0,004343 0,004939 0,003874 Italy 0,004185 0,002649 0,002187 0,002477 0,001341 Philippines 0,003946 0,004126 0,00494 0,003944 0,003654 Myanmar 0,00358 0,003429 0,002081 0,002805 0,004271 United Kingdom 0,002487 0,001457 0,001748 0,000805 0,000656 Belgium 0,002391 0,001785 0,00688 0,004208 0,002569 Canada 0,001938 0,000963 0,001152 0,001301 0,000625
Sik 2006 0,357689 0,284703 0,147979 0,074906 0,026025 0,015454 0,020772
Sik 2007 0,341479 0,294864 0,12931 0,079451 0,019622 0,014026 0,02179
Sik 2008 0,335263 0,302204 0,121278 0,077953 0,018667 0,013139 0,024849
Sik 2009 0,381777 0,287483 0,112289 0,042404 0,030553 0,015872 0,015099
0,004615
0,004834
0,004408
0,013578
0,006173 0,006053 0,0043 0,002892 0,002826 0,00621 0,003851 0,001189 0,003066 0,002491 0,000445 0,006045 0,000463
0,009259 0,006599 0,007269 0,00489 0,002057 0,006412 0,007122 0,002029 0,002491 0,003866 0,000514 0,010342 0,000807
0,010001 0,006231 0,007009 0,003777 0,001875 0,004581 0,004657 0,001375 0,002626 0,00478 0,000425 0,008436 0,000535
0,012073 0,010384 0,008749 0,007946 0,007711 0,00613 0,005593 0,00548 0,005147 0,002406 0,002249 0,002234 0,002138
103
Spain India Australia Netherlands Sweden Malawi Papua New Guinea Gabon Japan Denmark Mexico Ireland Republic of Korea South Africa China Austria Lao People s Democratic Republic Luxembourg Czech Republic Portugal Poland Lithuania Congo Russian Federation Democratic Republic
0,001185 0,001014 0,000867 0,00079 0,000742 0,000718 0,000678 0,000629 0,000613 0,000501 0,000336 0,000277 0,000227 0,000199 0,000126 0,000125
0,001075 0,006629 0,000651 0,00097 0,001324 0,000447 0,000417 4,31E-05 0,001225 0,000331 0,000334 4,58E-05 0,00041 0,000108 0,000196 0,000138
0,00091 0,008326 0,000478 0,000762 0,000532 0,000407 0,000532 0,000107 0,001496 0,000337 0,000427 8,89E-05 0,000163 0,000326 0,000237 0,000118
0,000588 0,007041 0,000102 0,000457 0,00024 0,000416 0,00055 0,000198 0,000444 0,000563 0,000438 0,000107 0,000145 0,000314 9,29E-05 0,000167
0,001623 0,007304 8,4E-05 0,000422 0,00014 0,000208 0,00072 0,001039 0,000145 0,001311 0,000234 0,00014 0,000162 0,000357 0,000693 0,000164
0,000921 0,008136 4,62E-05 0,000631 0,000176 0,000328 0,000702 0,001433 0,000161 0,001024 0,000211 0,000107 0,000171 0,000308 0,000514 0,000259
0,001346 0,003062 4,31E-05 0,000916 0,000236 0,000343 0,000876 0,001592 0,000162 0,000922 0,000358 0,000539 0,000104 0,000272 0,000554 0,000352
0,00114 0,00843 7,45E-05 0,001 0,000251 0,000368 0,00092 0,002629 0,000114 0,00071 0,00046 0,000121 0,000159 0,000128 0,000432 0,000135
0,001913 0,001665 0,001647 0,001604 0,001528 0,001306 0,00128 0,001063 0,001033 0,000984 0,00073 0,000721 0,000666 0,00065 0,000566 0,000559
0,000125
0,000325
0,000353
0,000176
0,000423
0,0008
0,000792
0,000624
0,000539
0,000122 0,000114 9,68E-05 9,23E-05 8,91E-05 7,42E-05 7,24E-05 7,06E-05
0,000195 5,87E-05 7,85E-05 0,000447 4,54E-07 4,29E-05 4,67E-05 1,79E-05
0,000161 5,74E-05 5,67E-05 0,000398 0,000116 0,000198 2,13E-05 9,31E-05
0,000188 0,000115 3,09E-06 0,000621 0 0,000172 6,63E-06 0,000128
0,000112 0,000233 3,1E-06 0,000909 5,94E-05 0,000222 7,11E-06 0,000236
7,73E-05 0,000267 1,86E-05 0,000216 0 0,000361 6,59E-07 0,000298
8,89E-05 0,000237 1,98E-05 0,000332 1,03E-06 0,000342 7,57E-06 0,000208
8,25E-05 0,000249 3,22E-05 0,000516 4,49E-06 0,00042 5,59E-06 0,00015
0,000374 0,000357 0,000339 0,000333 0,000263 0,000245 0,000233 0,000223
104
of the Congo Libyan Arab Jamahiriya Netherland Antilles Chad Saudi Arabia Ecuador Free Zones United Arab Emirates Switzerland Romania Albania Sierra Leone Slovenia Argentina Hungary Aruba Brazil Equatorial Guinea Turkey Rwanda Greece Slovakia Norway Costa Rica Tajikistan
6,58E-05
0
0
0
0
2,44E-06
0
0
0,000178
6,08E-05 5,87E-05 5,75E-05 5,21E-05 5,06E-05 4,71E-05 4,41E-05 4,26E-05 3,07E-05 2,95E-05 2,86E-05 2,71E-05 2,59E-05 2,56E-05 2,38E-05 2E-05 1,94E-05 1,76E-05 1,7E-05 1,58E-05 1,43E-05 1,37E-05 1,25E-05
3,58E-05 1,29E-05 6,44E-05 3,06E-05 2,04E-06 1,88E-05 2,25E-05 2,63E-05 0 1,16E-05 7,71E-06 9,52E-06 4,49E-05 2,83E-05 6,1E-05 0 8,46E-05 0 4,54E-06 2,27E-07 1,25E-05 6,58E-06 3,17E-06
3,62E-05 3,95E-05 0,000193 6,77E-05 9,34E-06 1,67E-05 1,48E-05 4,52E-07 0 2,5E-05 4,81E-05 1,33E-05 4,87E-05 1,43E-05 5,02E-05 0,000182 6,59E-05 0 6,03E-06 0,000232 1,15E-05 3,32E-06 0
0 0 0,000226 8,33E-05 0 2,16E-05 1,85E-05 8,35E-06 1,14E-07 5,97E-05 4,14E-05 4,81E-05 9,95E-06 1,9E-05 5,49E-05 3,67E-05 9,97E-05 0 1,16E-05 0,000189 2,29E-06 3,43E-07 0
0 0 0,000228 0,000102 1,35E-05 0,000401 9,41E-06 5,21E-06 0 7,71E-06 4,73E-05 1,64E-05 5,58E-05 8,11E-06 3,26E-05 5,41E-06 0,000175 0 2,2E-06 0 9,01E-07 1E-06 0
0 0 0,000392 0,000114 1,06E-05 2,85E-05 9,55E-06 6,69E-05 0 4,9E-05 8,12E-05 1,25E-05 3,89E-06 3,95E-06 3,6E-05 0 9E-05 0 1,65E-06 0,000205 0 4,61E-07 9,62E-06
0 0 0,000296 0,000127 1,82E-07 5,12E-05 4,21E-05 2,33E-05 0 4,49E-05 6,18E-05 1,59E-05 2,43E-05 7,26E-06 0,000167 0 0,000132 0 5,93E-06 0,000124 1,7E-06 1,76E-06 1,47E-05
0 0 0,000137 0,000129 4,99E-08 3,83E-05 2,78E-05 5,28E-05 3,49E-07 1,34E-05 9,73E-06 5,14E-06 1,63E-05 8,33E-06 9,25E-05 1,13E-05 0,000193 0 6,63E-06 0,00027 8,28E-06 4,49E-07 0
0,000165 0,000157 0,000149 0,000112 0,000106 9,45E-05 8,61E-05 8,14E-05 7,52E-05 7,28E-05 6,9E-05 5,96E-05 5,95E-05 4,63E-05 4,24E-05 3,36E-05 3,36E-05 3,29E-05 3,01E-05 2,12E-05 1,76E-05 1,36E-05 1,24E-05
105
Egypt Gibraltar New Zealand Bulgaria European Union Nes United Republic of Tanzania Honduras Chile Namibia El Salvador Serbia and Montenegro Finland Venezuela Estonia Kenya Mauritius Afghanistan Croatia Belize Democratic People s Republic of Korea Peru Belarus Lebanon
1,13E-05 1,13E-05 9,53E-06 9,53E-06 9,23E-06
2,27E-06 2,25E-05 7,26E-06 0,000233 0
6,63E-06 0 2,11E-06 1,25E-05 0
0 0 2,06E-06 8,58E-06 0
0 0 8,21E-06 9,21E-06 0
0 0 1,46E-05 2,9E-06 0
0 0 3,51E-05 1,88E-05 0
9,1E-05 0 2,44E-06 5,49E-06 0
1,24E-05 1,23E-05 1,06E-05 1,05E-05 1,02E-05
7,45E-06
4,54E-07
2,22E-05
6,63E-06
3,6E-06
3,47E-05
7,09E-05
1,42E-05
9,84E-06
7,15E-06 6,55E-06 5,96E-06 5,66E-06
0 9,07E-06 2,2E-05 9,07E-07
1,51E-06 1,69E-05 1,9E-05 0
0 1,29E-05 5,44E-05 1,14E-07
1E-07 2,43E-05 1,3E-06 1E-07
6,59E-08 4,35E-06 1,32E-06 6,59E-08
7,87E-07 8,54E-05 1,21E-07 0
2,64E-06 1,69E-05 4,99E-07 9,98E-08
8,51E-06 6,29E-06 6,11E-06 5,14E-06
5,66E-06
7,26E-06
0
1,3E-05
4,15E-05
0
0
0
4,79E-06
5,06E-06 4,47E-06 3,87E-06 3,28E-06 2,98E-06 2,98E-06 2,68E-06 2,38E-06
2,04E-06 2,04E-06 3,65E-05 9,75E-06 6,8E-07 0 1,59E-06 7,26E-06
2,26E-06 2,56E-06 2,03E-05 1,73E-05 0 0 1,51E-07 1,66E-06
2,17E-06 5,86E-05 0 1,17E-05 1,14E-07 0 1,37E-06 0
2,6E-06 2E-07 1,6E-06 1,11E-05 1E-07 0 0 0
0,000266 1,32E-07 1,78E-06 4,94E-06 0 0 6,59E-08 0
0,000931 0 2,18E-06 9,08E-07 0 0 1,27E-06 0
0,00159 1,55E-06 4,94E-06 4,49E-07 0 0 1,75E-06 0
4,08E-06 3,99E-06 3,9E-06 3,63E-06 3,37E-06 3,37E-06 2,75E-06 2,66E-06
2,09E-06
1,36E-05
1,13E-05
1,03E-06
1E-07
7,9E-07
7,26E-07
3,49E-07
2,39E-06
1,49E-06 1,19E-06 1,19E-06
1,07E-05 4,15E-05 3,63E-06
3,23E-05 4,79E-05 4,52E-06
4,69E-06 9,38E-06 1,03E-06
9,81E-06 1E-07 3,2E-06
2,95E-05 0 3,95E-07
9,81E-06 0 1,27E-06
6,98E-06 6,98E-07 1,5E-07
1,86E-06 1,6E-06 1,6E-06
106
Swaziland Israel Europe Othr. Nes Panama Guyana Chinese Taipei Colombia Dominican Republic Uruguay Jordan Madagascar Republic of Moldova Macao (SARC) Azerbaijan Bolivia Iceland Latvia Niger Paraguay Zambia Qatar Nigeria Nicaragua Mozambique Oman Mali
8,94E-07 5,96E-07 2,98E-07 2,98E-07 2,98E-07 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
2,27E-07 1,81E-06 0,000103 1,79E-05 2,04E-06 3,47E-05 2,27E-07 3,4E-06 6,8E-07 4,76E-05 1,59E-06 0 0 0 0 0 8,84E-06 0 0 6,8E-07 2,27E-07 8,16E-06 0 0 3,63E-06 0
7,54E-07 3,66E-05 4,52E-07 0 2,64E-05 1,1E-05 1,99E-05 1,81E-06 1,51E-07 0 4,52E-07 0 0 0 0 0 7,99E-06 0 0 5,27E-06 0 0,000224 0 0 0 0
4,57E-07 1,83E-05 2,74E-06 0 0 3,24E-05 8,01E-07 0 1,03E-06 1,14E-06 0 0 0 9,15E-07 0 0 5,15E-06 0 0 4,69E-06 0 0 1,03E-06 4,69E-06 0 4,57E-07
3E-07 2,02E-05 5,11E-06 0 0 0,000127 2,8E-06 0 0 7,01E-07 0 0 0 0 1E-07 0 4,7E-06 0 0 4,4E-06 0 0 0 0 0 0
3,1E-06 1,5E-05 1,82E-05 0 0 0,000221 1,32E-06 0 0 2,44E-06 0 7,25E-07 0 0 0 3,29E-07 0 0 0 5,27E-07 3,29E-07 0,001125 0 0 0 1,32E-07
0 2,15E-05 0,00095 0 0 0,000132 1,87E-05 4,06E-05 0 1,21E-07 0 0 0 0 0 0 4,24E-07 0 0 1,21E-07 1,15E-06 0,01171 0 0 0 3,03E-07
0 1,17E-05 4,55E-05 0 0 0,000339 7,25E-05 1,15E-06 0 3,49E-07 2E-07 0 0 0 0 0 3,99E-07 0 0 1,75E-06 2E-07 0,020996 1,41E-05 0 0 0
1,51E-06 1,33E-06 1,33E-06 1,24E-06 8,86E-07 5,32E-07 4,43E-07 4,43E-07 3,54E-07 3,54E-07 2,66E-07 2,66E-07 1,77E-07 1,77E-07 1,77E-07 1,77E-07 8,86E-08 8,86E-08 8,86E-08 0 0 0 0 0 0 0
107
Malta Syrian Arab Republic Trinidad and Tobago Tunisia Uganda Ukraine The former Yugoslav Republic of Macedonia Zimbabwe Sudan Senegal Seychelles Kazakhstan Kuwait Iran (Islamic Republic of) Guinea Botswana Barbados Algeria Cuba Cyprus Central African Republic Yemen Uzbekistan
0 0 0 0 0 0
2,04E-06 0 0 0 4,54E-07 2,27E-07
0 1,81E-06 0 0 0 0,000135
0 0 0 1,21E-05 0 1,09E-05
5,51E-06 1,49E-05 1E-07 0 2E-06 1,31E-05
9,88E-07 2,17E-06 6,59E-08 5,65E-05 1,98E-07 6,59E-08
0 0 6,05E-08 8,9E-06 6,05E-08 0
0 1,6E-06 2,49E-07 6,98E-07 0 2E-07
0 0 0 0 0 0
0
0
7,54E-07
0
0
0
0
0
0
0 0 0 0 0 0
1,81E-06 0 0 0 0 1,47E-05
0 0 0 1,51E-07 0 0,001027
0 0 0 0 0 0
0 0 1,1E-06 0 5,51E-06 0
3,95E-07 1,98E-07 0 0 0 3,21E-05
0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 5,99E-05 2,64E-06
0 0 0 0 0 0
0
1,77E-05
0
0
9,41E-06
6,13E-06
2,24E-06
1,1E-06
0
0 0 0 0 0 0
0,000522 1,72E-05 0 0 0 0
0,001505 5,27E-06 1,66E-06 0 0 0
0,001111 2,29E-07 0 0 0 0
0,001345 5E-07 0 6,01E-07 0 3E-07
0,000774 0 0 1,32E-07 0 6,59E-08
0,000783 4,84E-07 0 0 2,42E-07 0
0,001158 0 0 0 2E-07 0
0 0 0 0 0 0
0
0
0
0
0
8,37E-06
2,72E-06
2,49E-06
0
0 0
0 0
0 0
0 0
8,01E-07 0
3,95E-07 1,34E-05
0 0
0 0
0 0 108
United States Minor Outlying Islands Guinea-Bissau Timor-Leste America not elsewhere specified Pakistan Morocco Nauru Tokelau Ship stores and bunkers Somalia Suriname St. Pierre and Miquelon Serbia Lesotho Eritrea Fiji Ghana Haiti Bosnia and Herzegovina British Indian Ocean Territories British Virgin Islands
0
0
0
0
3,88E-05
4,48E-06
0
0
0
0 0
0 0
1,19E-05 0
0 0
0 0
1,09E-05 1,65E-06
2,36E-06 0
3,1E-05 0
0 0
0
0
0
0
0
0
0
1,9E-06
0
0 0 0 0
0 4,54E-07 0 2,49E-06
0 0 0 0
1,03E-05 3,43E-07 0 0
0 5,15E-05 0 0
0 1,42E-05 2,7E-06 2,63E-06
4,84E-07 1,65E-05 0 0
2,49E-07 3,49E-07 0 0
0 0 0 0
0
0
0
0
1E-07
0
0
0
0
0 0
0 5,9E-06
0 2,86E-06
0 0
0 0
5,81E-05 0
0 0
0 2,05E-06
0 0
0
0
0
0
2,5E-06
7,77E-06
9,08E-06
0
0
0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0
0 0 0 1,51E-07 0,001349 0
0 0 0 0 0,001128 0
6,81E-06 0 3,1E-06 0 0,001412 0
8,37E-06 0 0 1,98E-07 0,000801 0
1,57E-05 0 0 0 0,001073 1,82E-07
1,89E-05 2,1E-06 0 0 0,001184 0
0 0 0 0 0 0
0
0
0
1,14E-07
0
3,69E-06
1,21E-07
6,48E-07
0
0
3,17E-06
0
0
0
0
0
0
0
0
1,81E-05
0
0
0
0
0
0
0 109
Brunei Darussalam Bahrain Bangladesh Bermuda Angola Sumber: ITC (diolah), 2010
0 0 0 0 0
0 0 0 0 0
0 0 1,05E-06 0 0
0 0 1,37E-05 0 5,38E-06
0 2E-07 1,54E-05 2,5E-06 0
0 6,59E-08 2,44E-06 0 0
9,11E-05 7,26E-07 2,47E-05 0 0
3,6E-05 9,13E-06 2,45E-05 0 0
0 0 0 0 0
Lampiran 4. Hasil Perhitungan RCA Negara Eksportir Karet Alam Tahun
Thailand 2001 36,7824 2002 36,9389 2003 39,115 2004 37,0104 2005 34,8757 2006 33,0682 2007 30,7482 2008 30,4816 2009 30,4425 Sumber: International Trade Statistics (diolah), 2010
RCA Indonesia 25,2444 26,3007 27,4983 31,7892 31,3535 34,0973 35,7353 35,2738 29,9715
Malaysia 10,1957 10,0937 10,1154 11,2967 11,2176 11,1186 10,1479 9,7544 8,67677
110