1
Data International Centre for Prison Studies (2015) menunjukkan bahwa total populasi tahanan di dunia berjumlah sekitar 9 juta jiwa. Indonesia berada di peringkat 9 untuk negara dengan jumlah tahanan terbanyak di dunia. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementrian Hukum & HAM (2015) melaporkan pada tanggal 22 Februari 2015 terdapat 137.495 tahanan dan narapidana yang tersebar di 33 wilayah Indonesia. Jumlah ini terdiri dari 45.138 tahanan dewasa, 666 tahanan anak, 89.659 narapidana dewasa, dan 2.032 narapidana anak-anak. Di Daerah Istimewa Yogyakarta terdapat 3 Lembaga Permasyarakatan (Lapas) dengan total narapidana 833 orang yang terdiri dari 814 narapidana dewasa dan 19 narapidana anak. Dalam UU Permasyarakatan 1995 Pasal 2 disebutkan bahwa sistem permasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) terdiri dari narapidana, anak didik pemasyarakatan, dan klien pemasyarakatan. Pada penelitian ini, peneliti mengambil partisipan narapidana. Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang di Lembaga Pemasyarakatan (lapas). Kehidupan di dalam lapas, atau yang lebih sering disebut sebagai penjara, memiliki dinamika yang berbeda dengan kehidupan masyarakat pada umumnya. Pembatasan aktivitas dan komunikasi dengan orang lain adalah beberapa hal yang harus dialami oleh narapidana selama di dalam penjara sehingga muncul efek jera agar mereka tidak mengulangi perbuatan yang merugikan orang lain. Tidak jarang kehidupan di penjara memunculkan efek psikologis dalam diri narapidana. Efek psikologis yang biasa terjadi di penjara adalah delusi, ketidakpuasan terhadap hidup, klaustrofobia, depresi, panik, stres, penyangkalan, mimpi buruk dan kesulitan tidur, fobia, penyalahgunaan NAPZA, aktivitas kriminal, dan bentuk perilaku penghancuran diri sendiri lainnya. Empat efek jangka pendek yang dirasakan narapidana adalah adanya perasaan bersalah, malu,
2
kecenderungan bunuh diri, dan ketakutan menjadi homoseksual (Thomar, 2013). Sebagian besar narapidana juga mengalami penyalahgunaan NAPZA, psikotik akut, gangguan kepribadian, depresi, atau kecemasan tinggi selama berada di penjara (Llyold, Tysoe, Falshaw, & Booth, 2007) Di Yogyakarta, studi mengenai permasalahan-permasalahan psikologis yang dialami oleh narapidana telah dilakukan oleh Hadjam (2014). Rangkuman hasil studi eksplorasi tersaji pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil studi eksplorasi permasalahan psikologis WBP dewasa di lembaga pemasyarakatan Yogyakarta Permasalahan yang Teridentifikasi Membayangkan kehidupan yang buruk di lapas; Berpikir mengenai Aspek Kognitif keluarga dan pekerjaan yang ditinggalkan Di awal merasa cemas, takut, kaget, bingung; Jenuh, merasa tidak betah, dan merasa terpaksa; Belum menerima kondisi; Khawatir Aspek kehilangan pasangan dan tidak akan diterima keluarga/masyarakat; Emosi Merasa bersalah dan menyesal atas kesalahannya; Merasa tidak berdaya untuk mengurangi kekhawatiran Gatal-gatal, pusing, pegal pegal, sakit batuk-flu, berat badan Aspek mengalami penurunan drastis, selera makan berkurang, demam, Fisik dan sakit kepala, batuk, dan sulit tidur (mengarah pada gejala Perilaku psikosomatis dan kecemasan); Menilai kegiatan bersifat monoton Timbul masalah seperti hutang piutang antar WBP, saling membicarakan, kecemburuan sosial terkait kedekatan WBP dan Aspek petugas Lapas, perkelahian, penyerangan, adanya pemukulan oleh Sosial petugas tanpa peringatan, ada yang bisa bertemu dengan keluarga secara rutin, ada yang tidak pernah dikunjungi. Berdasarkan Hadjam (2014), Llyold, dkk. (2007), dan Thomar (2013), dapat disimpulkan bahwa salah satu permasalahan psikologis yang sering muncul pada narapidana yaitu kecemasan. Kecemasan adalah emosi yang alami, normal, dan pernah dialami oleh semua manusia. Kecemasan menjadi suatu masalah jika tidak dapat dikendalikan atau muncul terlalu sering, terlalu intens, atau dalam jangka waktu yang lama setelah menghadapi situasi yang menakutkan. Kecemasan biasanya ditandai oleh tiga simtom yaitu fisik, pikiran, dan perilaku (Stanley, Diefenbach, & Hopko, 2004). Kecemasan ditunjukkan oleh beberapa hal, yaitu adanya ketakutan dasar, perilaku menghindar, peningkatan fungsi
3
fisiologis, dan adanya pikiran mengenai ancaman yang akan segera terjadi (Craske, dkk., 2009). Di dalam pendekatan Humanistik, khususnya perspektif person-centered, kecemasan dianggap sebagai kondisi ketika seorang individu berada dalam keadaan tidak kongruen (incongruence). Rogers mengatakan bahwa keadaan tidak kongruen memiliki arti yang sama dengan cemas, atau bisa juga berarti menjadi penyebab kecemasan seorang individu. Keadaan tidak kongruen terjadi karena adanya perbedaan antara ideal self dengan real self. Keadaan ini juga bisa terjadi karena adanya penilaian oleh orang penting dalam hidup individu tersebut (Rogers, dalam Elliot 2013) Kecemasan dalam penjara dapat memunculkan beberapa dampak misalnya gangguan tidur, dan penggunaan NAPZA (Haghighat, Tabatabaee, & Boogar, 2014). Kecemasan ini dapat dipengaruhi oleh usia, dekat atau tidaknya waktu menjelang bebas, serta masa tahanan. Semakin muda usia narapidana, maka dia akan merasa semakin cemas karena kurangnya pengalaman dalam meregulasi emosi setelah keluar dari penjara. Semakin lamanya masa tahanan juga membuat narapidana semakin merasa cemas (Utari, Fitria, & Rafiyah, 2011). Kecemasan juga dapat terjadi akibat perasaan keterasingan karena hilangnya komunikasi, kehilangan harga diri, kehilangan rasa percaya diri, dan kehilangan kreativitasnya (Pujileksono, 2009). Kecemasan di dalam penjara juga bisa terjadi karena beberapa penyebab, misalnya faktor kepribadian, beratnya masa tahanan, dan jenis kejahatan yang dilakukan. Narapidana yang dipenjara karena kejahatan kekerasan memiliki tingkat kecemasan yang lebih tinggi dibandingkan narapidana yang dipenjara karena melakukan kejahatan tanpa kekerasan (On & So, 2014). Salah satu bentuk tindak pidana adalah kejahatan terhadap nyawa. Kejahatan terhadap nyawa di Indonesia diatur dalam Bab XIX Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) yang terdiri dari pasal 338 hingga pasal 350. Ancaman pidana penjara untuk kasus kejahatan tersebut mulai dari empat tahun, dua puluh tahun, hingga pidana seumur hidup, dan pidana mati. Masa tahanan berpengaruh terhadap tingkat kecemasan narapidana, yaitu semakin lama masa
4
tahanannya maka semakin tinggi tingkat kecemasan narapidana tersebut (On & So, 2014; Utari, dkk., 2011). Hal ini membuat narapidana dengan kasus kejahatan terhadap nyawa cenderung memiliki tingkat kecemasan yang tinggi. Selain itu disebutkan pula oleh On & So (2014) narapidana dengan kasus kejahatan kekerasan memiliki tingkat kecemasan yang lebih tinggi. Berdasarkan UU Permasyarakatan 1995 Pasal 3, sistem pemasyarakatan berfungsi menyiapkan Warga Binaan Pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab. Hasil wawancara dengan Lisanias, psikolog yang pernah melakukan layanan psikologi di penjara, menyebutkan bahwa kondisi di penjara sangat kuat dengan emosi negatif, terlebih hampir semua orang dengan emosi negatif berkumpul sehingga sangat mungkin emosi negatif tersebut menjadi semakin kuat. Perlu dilakukan intervensi psikologi untuk membantu narapidana yang mengalami kecemasan agar nantinya narapidana tersebut dapat berfungsi dengan lebih optimal saat kembali ke masyarakat. Pada kenyataannya saat ini program layanan psikologi belum banyak berkembang di Lembaga Pemasyarakatan, khususnya di Yogyakarta (Komunikasi pribadi, 6 Maret 2015). Intervensi psikologi di dalam penjara memiliki beberapa halangan. Tembok penghalang ini adalah adanya mekanisme pertahanan diri para narapidana selama mengikuti intervensi (Gussak, 2007). Para narapidana juga dapat melakukan faking good agar terlihat berperilaku baik dan berharap mendapatkan keringanan hukuman. Karp (2010) menyebutkan bahwa narapidana laki-laki berupaya untuk membentuk pertahanan diri di dalam penjara dengan cara tidak menunjukkan kerentanan dan memperlihatkan kemaskulinan mereka. Hal ini ditunjukkan salah satunya dengan cara tidak mengekspresikan emosi yang mereka rasakan. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mencari intervensi yang tepat dalam menurunkan tingkat kecemasan narapidana seperti terapi kognitif-perilaku (Khodayarifad, Yekta, & Hamot, 2010), Mindfullness-Based Stress Reduction (Samuelson, Carmody, Zinn, & Bratt, 2007), penggunaan materi self help
5
(Maunder, dkk., 2009), dan perlakuan kognitif (Lambert, Hogan, Barton, & Stevenson, 2007). Intervensi-intervensi tersebut efektif dalam menurunkan tingkat kecemasan narapidana akan tetapi memiliki keterbatasan antara lain besarnya kemungkinan partisipan melakukan faking good. Selain itu kemungkinan besar partisipan menolak dan kurang termotivasi dalam menjalani intervensi sehingga hasil yang didapat kurang maksimal (Anstiss, Polaschek, & Wilson, 2011) Terapi Seni dapat menjadi alternatif cara untuk mengatasi kendalakendala tersebut. Terapi Seni memiliki beberapa keuntungan saat diterapkan di dalam
penjara.
Keuntungan
tersebut
antara
lain
Terapi
Seni
dapat
mengkomunikasikan pesan non verbal yang tidak ditemukan dalam terapi secara verbal. Keuntungan lainnya dari Terapi Seni adalah dapat menghilangkan kerapuhan yang berkaitan dengan ekspresi verbal, mempersilakan klien untuk mengekspresikan hal yang mungkin terlihat mengancam apabila dilakukan dalam terapi secara verbal, mempersilakan klien untuk berekspresi dengan cara yang dapat lebih diterima oleh masyarakat (misalnya dengan menghasilkan suatu karya seni), tidak adanya interpretasi secara verbal, serta membantu klien yang memiliki keterbatasan komunikasi secara verbal (Gussak, 1997). Terapi Seni juga berkontribusi membantu partisipan untuk melakukan pengalaman sensori, ekspresi simbolis, ekspresi emosi, pencerahan hidup, perkembangan kognitif, dan menjalin hubungan sosial (Van Lith, Fenner, & Schofield, 2010) Terapi Seni bertujuan untuk mengingat kembali sejarah hidup, mengekspresikan emosi, untuk berinteraksi, dan untuk meningkatkan kompetensi sosial, emosional, fisik, dan kognitif. Terapi Seni juga dapat membantu partisipan yang
memiliki
pengalaman
sejarah
panjang
dan
kesulitan
dalam
mengungkapkannya (Hanson, 2013; Mohamad, Mohamad, Ismail, Adawiah, & Yusof , 2013). Selain itu, Terapi Seni dapat mengurangi masalah emosi, dan masalah perilaku, serta meningkatkan perilaku prososial pada tahanan remaja perempuan (Koiv & Kaudne, 2015). Penelitian-penelitian yang telah dilakukan menunjukkan hasil bahwa Terapi Seni dengan cara menggambar dapat mengurangi depresi (Gussak, 2007), mengurangi kecemasan sosial (Maher, 2013), meningkatkan kebermaknaan hidup
6
(Chairani, 2013), meningkatkan kualitas hidup (Meekums, & Daniel, 2012) serta dapat diterapkan untuk orang dengan penyakit mental parah, dan penyalah guna NAPZA (Malchiodi, 2003). Terapi Seni juga dapat menurunkan tingkat kecemasan pada mahasiswa yang mengalami stres (Curry & Kasser, 2005; Sandmire, Gorham, Rankin, & Grimm, 2012), korban perundungan (Triantoro & Astrid, 2014), anak perempuan yang mengalami kekerasan seksual (Pretorius & Pfeifer, 2010), dan pada pasien kanker payudara (Boehm, Cramer, Staroszynski, & Ostermann, 2014). Terapi Seni dapat menurunkan tingkat kecemasan karena melalui media seni individu dapat berekspresi dengan bebas dan mendorong kreativitas yang mereka miliki. Terapi Seni juga dapat memunculkan keadaan santai seperti saat individu melakukan relaksasi (Curry & Kasser, 2005). Terapi Seni juga dapat “menenangkan” keadaan kacau pada individu yang cemas. Keadaan kacau ini disebabkan ketidakmampuan individu dalam mencari kata yang tepat untuk mengekspresikan perasaannya (Grossman, 1981) Adanya peran “tradisional” membuat laki laki lebih sulit mengekspresikan dirinya. Melalui terapi kelompok, klien belajar untuk menghadapi dan mengekspresikan emosinya dengan cara menciptakan suatu atmosfer sehingga klien dapat meniru bagaimana cara mempercayai orang lain dan menjadi lebih intim. Tujuan utama dari terapi kelompok adalah menyediakan iklim aman dan terpercaya di seting terapeutik sehingga klien dapat menyadari hal apa yang menghalanginya untuk berkembang (Corey, Corey, & Corey, 2010) Terapi Seni dalam bentuk kelompok memiliki beberapa keuntungan, antara lain adanya dukungan, dapat belajar dari umpan balik yang diberikan oleh sesama partisipan, banyak kemampuan sosial yang dapat dipelajari, dan lebih ekonomis (Liebmann, 2004). Terapi kelompok juga terbukti efektif dalam menurunkan tingkat kecemasan pada narapidana (Khodayarifad, Yekta, & Hamot, 2010; Mirzaei, Moosavi, & Khammar, 2015; Wolff, Frueh, Shi, & Schumann, 2012) Person centered merupakan salah satu perspektif Humanistik yang menekankan pada eksplorasi dan penemuan identitas diri. Perspektif ini bertujuan
7
untuk membantu individu agar menjadi orang yang mandiri, spontan, dan percaya diri. Aspek terpenting dalam pendekatan ini adalah keyakinan bahwa individu mampu mengekspresikan masalah dan bukan memendamnya serta dapat menjalani hidup dengan lebih baik (Rogers, dalam Malchiodi, 2003) Dua prinsip utama dalam perspektif person-centered yaitu “melihat” dengan aktif dan empatik serta adanya penerimaan terhadap kondisi klien. Prinsip melihat dengan aktif dan empatik ditunjukkan dengan cara merefleksikan pikiran dan perasaan, klarifikasi cerita, dan menyimpulkan kembali cerita klien. Prinsip menerima berfokus terhadap penerimaan gambar tanpa adanya penilaian. Proses terapi tidak dilihat dari keindahan gambar yang dihasilkan tetapi lebih berfokus pada proses ekspresi pikiran dan perasaan (Malchiodi, 2003). Proses terapi bertumpu pada pemberian unconditional postive regard (UPR) oleh fasilitator yang dapat mengubah self regard negatif klien mengenai dirinya. Empati dan keaslian (genuineness) berkontribusi pada proses terapi dengan membuat klien merasa “jika kamu sungguh-sungguh memahamiku, maka aku mungkin mulai percaya bahwa kamu benar-benar memberikan positive regard dan aku akan bisa mulai berpikir dan merasa lebih baik tentang diriku sendiri” (Rogers, dalam Elliot 2013). Klien mulai mengenali pengalaman-pengalaman yang sebelumnya tidak diakui oleh self yang menyebabkan terjadinya ketidakkongruenan antara ideal self dengan real self. Klien lalu mengintegrasikan pengalaman baru ini dengan ideal self yang dia miliki sehingga ketidakkongruenan tersebut berkurang dan kecemasan klien dapat menurun (Gillon, 2007). Terapi kelompok dengan pendekatan person-centered juga menekankan pada proses hubungan terapeutik antara anggota kelompok dengan fasilitator. Fasilitator berfungsi untuk membantu anggota kelompok mengekspresikan dirinya sendiri dengan cara menciptakan iklim terapeutik. Hal ini memungkinkan anggota kelompok berada dalam keadaan here and now, dapat lebih menerima diri sendiri, dan memutuskan untuk berubah ke jalan yang lebih baik (Corey, Corey, & Corey, 2010).
8
Kecemasan yang disebabkan oleh ketidakkongruenan antara ideal self dengan real self, ditambah dengan karakteristik narapidana yang memiliki mekanisme pertahan diri serta kesulitan mengekspresikan emosi secara verbal, membuat peneliti mengajukan Terapi Seni sebagai salah satu terapi alternatif. Terapi Seni dengan pendekatan person-centered dan menggunakan modalitas kelompok memiliki 2 tujuan. Tujuan pertama adalah membantu narapidana dalam mengekspresikan pikiran dan perasaan yang selama ini dipendam dan tujuan kedua adalah membantu mereka untuk lebih mengenali dirinya sendiri. Diharapkan narapidana dapat menjadi lebih menyadari dan menerima dirinya sendiri sehingga incongruency antara self concept dan real self berkurang sehingga tingkat kecemasannya pun menurun. Kerangka konseptual dapat dilihat pada Gambar 1. Berdasarkan berbagai paparan mengenai Terapi Seni serta kecemasan yang dialami oleh narapidana, peneliti mengajukan hipotesis penelitian yakni: “Terapi Seni memiliki pengaruh positif untuk menurunkan tingkat kecemasan pada narapidana”. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pengaruh Terapi Seni dalam menurunkan tingkat kecemasan narapidana. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat secara teoritis dengan memperkaya khasanah ilmu psikologi, terutama dalam bidang psikologi klinis dewasa dan forensik. Di samping itu, secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan salah satu rekomendasi bentuk terapi untuk program layanan kesehatan mental di penjara.
9
Tidak kongruen
Ideal self
Real self
Pendekatan Person centered: - Penerimaan - Active dan empathetic “seeing”
Kecemasan tinggi
Terapi Seni
Modalitas kelompok Adanya iklim terapeutik sehingga partisipan mampu mengekspresikan dirinya
Tujuan Terapi Seni dengan pendekatan person centered: - Membantu narapidana dalam mengekspresikan pikiran dan perasaan yang selama ini dipendam - Membantu narapidana untuk lebih mengenal diri sendiri
Karakteristik narapidana Mekanisme pertahanan diri kuat, cenderung faking good, dan kesulitan mengekspresikan diri secara verbal
Output Narapidana menjadi lebih menyadari dan menerima dirinya sendiri
Keterangan: Ketidakkongruenan antara self concept dan real self berkurang
= alur proses = diberikan intervensi
Kecemasan menurun
Gambar 1. Kerangka konseptual Terapi Seni dengan pendekatan person-centered untuk menurunkan tingkat kecemasan