BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Data demografi menunjukkan bahwa populasi remaja mendominasi jumlah penduduk di dunia. Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2007 sekitar seperlima dari penduduk dunia adalah remaja dengan rentang usia 10-19 tahun. Sekitar Sembilan ratus juta remaja tersebut tinggal di negara berkembang. Menurut Biro Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2006 jumlah remaja di Indonesia mencapai 36 juta jiwa dan 55% diantaranya adalah remaja perempuan. Kelompok usia 10-19 tahun adalah 22%, yang terdiri dari 50,9% remaja laki-laki dan 49,1% remaja perempuan. Sedangkan jumlah remaja berusia 10 hingga 24 tahun sudah mencapai sekitar 64 juta atau 27,6% dari total penduduk Indonesia. Masalah remaja yang ada pada saat ini sangat kompleks dan sungguh mengkhawatirkan. Berbagai data menunjukkan bahwa para remaja belum sepenuhnya mendapatkan informasi terkait kesehatan reproduksi. Hal ini dapat dilihat dari masih rendahnya pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi. Permasalahan kesehatan reproduksi remaja saat ini masih menjadi masalah yang perlu mendapatkan perhatian. Kesehatan reproduksi remaja tidak hanya masalah seksual saja, tetapi juga menyangkut segala aspek tentang organ reproduksi. Terutama untuk perempuan yang kelak akan menjadi seorang wanita dewasa yang akan mengalami maturitas baik secara fisik maupun secara psikologis.
Pada umumnya, remaja perempuan yang telah pubertas mengalami menstruasi setiap bulannya. Menstruasi yaitu perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus, disertai pelepasan (deskuamasi) endometrium.1 Pada beberapa wanita, saat menstruasi merupakan masa-masa yang kurang nyaman. Hal itu disebabkan adanya gangguan-gangguan pada siklus menstruasi. Adapun gangguan menstruasi yang paling sering dikeluhkan oleh sebagian wanita antara lain Premenstrual Syndrome (PMS), nyeri pada menstruasi, siklus menstruasi tidak teratur. Seorang perempuan akan sering mengalami keluhan-keluhan menjelang menstruasi yang biasanya dimulai satu minggu sampai dengan beberapa hari sebelum datangnya menstruasi dan menghilang sesudah menstruasi datang walaupun kadang terus berlanjut sampai menstruasi berhenti.4 Hasil Penelitian di Amerika membuktikan bahwa 85% wanita mengalami PMS sebelum datangnya menstruasi. Namun pada kenyataan, masih banyak wanita yang belum tahu apa sebenarnya PMS. PMS adalah suatu gejala yang terjadi sebelum menstruasi dan menghilang dengan keluarnya darah menstruasi, serta dialami oleh banyak wanita sebelum awitan setiap siklus menstruasi. PMS biasanya ditemukan 7-10 hari menjelang menstruasi. Penyebab pasti belum diketahui, tetapi diduga ketidakseimbangan hormon reproduksi berperan dalam terjadinya PMS.1 Ketidakseimbangan hormon mempunyai peran penting atas berbagai macam manifestasi PMS. Kadar estrogen yang meningkat dalam darah dapat menimbulkan gejala-gejala psikologi dan akan mengganggu proses kimia tubuh. Keluhan yang ditimbulkan dapat bervariasi mulai dari yang ringan hingga berat sampai berupa gangguan mental (mudah
tersinggung, sensitif) maupun gangguan fisik. Diperkirakan kurang lebih 85% wanita usia reproduktif antara usia 15-35 tahun mengalami satu atau lebih gejala dari PMS. Berdasarkan beberapa penelitian dapat diidentifikasi gejala umum PMS yang paling sering dikeluhkan, yaitu gejala-gejala fisik seperti sakit kepala, perut kram, sembelit atau diare, sakit punggung dan pinggang, fatigue, nyeri payudara, gangguan tidur, sendi atau otot lemas, timbulnya jerawat, pembengkakan pada tungkai, kenaikan nafsu makan dan berat badan. Gejala psikis dan tingkah laku seperti mudah tersinggung, mudah marah, perubahan mood, menangis tiba-tiba, perubahan libido, pelupa, cemas, depresi, gangguan konsentrasi, dan agresif. Ada banyak faktor yang diduga menjadi penyebab timbulnya PMS. Beberapa faktor penyebab PMS yaitu kadar hormon progesteron yang rendah, kadar hormon estrogen yang berlebihan, perubahan ratio kadar hormon esterogen/progesteron, dan peningkatan aktivitas hormon aldosteron, reninangiotensin serta hormon adrenal. Berdasarkan studi mengenai PMS yang diteliti pada berbagai 14 budaya di 10 negara, ditemukan prevalensi tinggi berada di Negara-negara barat (71-73%) dan jauh lebih rendah di Negara-negara non barat (23-34%). Penelitian yang dilakukan oleh American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) pada tahun 2011 di Srilanka, didapatkan hasil bahwa remaja yang mengalami PMS ada sekitar 65,7%. Gejala yang sering muncul adalah perasaan sedih dan tidak berpengharapan sebesar 29,6%. Di Mesir, prevalensi PMS mencapai 69,9% dan di Saudi Arabia mencapai 96,6%. Sebanyak 95% perempuan Indonesia
mengalami gejala PMS. PMS sedang hingga berat diderita berturut-turut oleh 3,9% dan 1,1%, angka tersebut lebih rendah dibandingkan perempuan Barat, Cina ataupun Jepang.2 Berdasarkan penelitian di Indonesia prevalensi PMS pada siswi SMA di Surabaya adalah 39,2% mengalami gejala berat dan 60,8% mengalami gejala ringan. Sekitar 80 % sampai 95% perempuan antara 16 sampai 45 tahun mengalami gejala-gejala PMS yang dapat menganggu aktivitas sehari-hari. Studi tentang PMS pada tahun 2011 di Iran, ditemukan terdapat 98,2% mahasiswi yang berusia 18-27 tahun mengalami gejala PMS. Gejala yang dirasakan berupa gejala fisik dan psikologis yang mempengaruhi aktivitas seharihari, penurunan minat belajar dan fungsi sosial terganggu. Menurut penelitian, 37% pelajar mengalami gangguan dalam beraktivitas, yaitu sulit konsentrasi (48,3%), tidak mengikuti kuliah (46%), malas keluar rumah (43,8%), gangguan mengerjakan pekerjaan di rumah (42%) maupun tugas kuliah (36%). Berdasarkan data yang diperoleh dari Departemen Kesehatan tahun 2009 tentang prevalansi PMS di Indonesia, diperoleh hasil sebanyak 40% wanita Indonesia mengalami PMS dan sebanyak 2-10% mengalami gejala berat. Angka kejadian PMS diperkirakan 30-40% pada perempuan usia 19 tahun sampai 45 tahun. Kelompok resiko tinggi terdapat pada perempuan usia antara 20 dan 35 tahun, sekitar 5% perempuan tersebut mempunyai gejala yang berat sehingga mengganggu aktifitas sehari-hari. Pada tahun 2004 di Amerika Serikat sebanyak satu dari enam perempuan atau sekitar 40,8 juta orang mengalami PMS. Pada tahun yang sama, di Indonesia perempuan yang mengalami PMS sebanyak 35.767.942 orang.6
Prevalensi PMS di Virginia 10,3% wanita obesitas (BMI >30) mempunyai risiko mengalami PMS tiga kali lebih besar dibanding wanita non obesitas. Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan pengukuran yang membandingkan berat dan tinggi badan seseorang. Formula IMT digunakan diseluruh dunia sebagai alat diagnosa untuk mengetahui berat badan yang underweight, normal, overweight dan obesitas. Mengukur lemak tubuh secara langsung sangat sulit dan sebagai pengganti dipakai IMT yaitu perbandingan berat badan (dalam kilogram) dengan kuadrat tinggi badan (dalam meter). Berdasarkan data National Institute of Mental Health di Amerika Serikat terdapat 40 juta orang mengalami gangguan kecemasan pada usia 18 tahun hingga lanjut usia. Sedangkan prevalensi gangguan kecemasan di Indonesia berkisar pada 6-7% dari populasi umum. Prevalensi kelompok perempuan lebih tinggi dibandingkan kelompok laki-laki. Penelitian yang dilakukan pada kelompok lakilaki dan kelompok perempuan pada murid SMA dengan menggunakan Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS) prevalensi gangguan kecemasan sebesar 8-12%.5 Saat berada dalam kondisi kecemasan, seseorang sangat membutuhkan dukungan dan motivasi sehingga dukungan keluarga dan lingkungan yang kondusif sangat diperlukan sebagai salah satu upaya pencegahan kecemasan. Tingkat kecemasan yang dialami masing-masing individu ketika mendapat respon adalah berbeda-beda. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu indikator untuk mengukur kecemasan yang dialami seseorang. Berbagai indikator dapat digunakan untuk menilai tingkat kecemasan, salah satunya yaitu dengan menggunakan kuesioner HARS. Pada HARS, tingkat kecemasan dikelompokkan
menjadi lima tingkatan, yaitu tidak ada kecemasan, kecemasan ringan, kecemasan sedang, kecemasan berat, dan kecemasan berat sekali.3 Dengan adanya permasalahan tersebut, remaja membutuhkan banyak penyesuaian. Penyesuaian yang dialami remaja antara lain adalah penyesuaian terhadap perubahan hormonal yang akan menimbulkan perubahan fisik. Masalah kesehatan pada perempuan usia reproduktif berhubungan dengan Indikator Kesehatan Negara. Adapun masalah kesehatan memiliki ruang lingkup yang luas antara lain menyangkut perkembangan manusia yang harmonis dalam upaya meningkatkan kualitas hidup. Salah satunya adalah kesehatan perempuan usia reproduktif sangat menentukan tercapainya kualitas hidup yang baik pada keluarga dan masyarakat, sehingga merupakan aspek yang penting untuk diperhatikan dimana keberhasilan pembangunan bidang kesehatan salah satunya tercermin pada usia harapan hidup perempuan. Berdasarkan studi pendahuluan yang telah peneliti lakukan pada bulan Mei 2015 di Sekolah Vokasi UGM melibatkan 10 mahasiswi melalui metode wawancara, didapatkan hasil terkait IMT bahwa 5 mahasiswi berada pada rentang normal, 3 mahasiswi berada pada rentang underweight dan 2 mahasiswi berada pada rentang overweight. Terdapat 6 dari 10 mahasiswi yang seringkali mengalami rasa cemas dengan berbagai penyebab seperti beban tugas di kampus, pengaruh suasana kampus dan sekitar hunian kos, bertempat tinggal jauh dari orang tua maupun tekanan yang berasal dari teman dan keluarga. Terdapat 4 dari 10 mahasiswi belum mengetahui tentang gangguan haid seperti nyeri saat menstruasi, gangguan fisik, dan emosi saat menjelang menstruasi yang disebut
PMS. Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik ingin melakukan penelitian tentang “Hubungan Indeks Massa Tubuh dan Tingkat Kecemasan dengan Tingkat Premenstrual Syndrome pada Mahasiswi Sekolah Vokasi UGM”.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah terdapat hubungan Indeks Massa Tubuh dan tingkat kecemasan dengan tingkat premenstrual syndrome?”
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengetahui hubungan antara Indeks Massa Tubuh dan tingkat kecemasan dengan tingkat premenstrual syndrome pada mahasiswi Sekolah Vokasi UGM. 2. Tujuan Khusus a. Mengidentifikasi karakteristik riwayat menstruasi pada mahasiswi Sekolah Vokasi UGM. b. Mengidentifikasi gambaran nilai Indeks Massa Tubuh pada mahasiswi Sekolah Vokasi UGM. c. Mengidentifikasi gambaran tingkat kecemasan pada mahasiswi Sekolah Vokasi UGM.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis a. Bagi penulis, sebagai media untuk memperdalam pengetahuan dan mengembangkan penelitian mengenai premenstrual syndrome. b. Bagi Mahasiswi Kebidanan Sekolah Vokasi UGM, sebagai masukan agar dapat peka terhadap lingkungan sekitar terutama mengenai permasalahan kesehatan reproduksi wanita dan mampu memberikan pendidikan kesehatan sehingga turut berperan dalam mewujudkan remaja yang sehat. c. Bagi institusi pendidikan, sebagai bahan referensi dan perbandingan yang dapat digunakan oleh peneliti lain dalam mengembangkan pengetahuan kesehatan reproduksi wanita mengenai premenstrual syndrome. 2. Manfaat Praktis a. Memberikan informasi kesehatan reproduksi kepada pembaca mengenai hubungan Indeks Massa Tubuh dan tingkat kecemasan dengan tingkat premenstrual syndrome. b. Menumbuhkan sikap pembaca agar dapat mengenali gejala emosional dan fisik yang timbul pada saat premenstrual syndrome.
E. Keaslian Penelitian Penelitian sebelumnya yang dilakukan pada tahun 2014 oleh Cut Farah Aldira dengan judul “Hubungan Aktivitas Fisik dan Stres dengan Sindrom Pramenstruasi pada Remaja Putri di SMA Bina Insani Bogor”. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa dari 59 orang yang menjadi sampel penelitian, didapatkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara aktivitas fisik dengan tingkat keluhan sindrom pramenstruasi dan banyaknya jenis keluhan menstruasi. Terdapat hubungan yang signifikan antara stres dengan tingkat keluhan dan jenis keluhan sindrom pramenstruasi. Hal ini menunjukkan semakin tinggi tingkat stres maka semakin tinggi pula tingkat keluhan dan jenis keluhan menstruasi. Sedangkan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti saat ini adalah “Hubungan Indeks Massa Tubuh dan Tingkat Kecemasan dengan Tingkat Premenstrual Syndrome pada Mahasiswi Sekolah Vokasi UGM”. Perbedaan dengan penelitian sebelumnya terletak pada variabel independen, tempat dan waktu penelitian. Dengan demikian peneliti berharap dapat mengembangkan pengetahuan dari penelitian sebelumnya.