DATA DAN INFORMASI MODEL PENGEMBANGAN SISTEM LOGISTIK IKAN NASIONAL TERINTEGRASI MP3EI DAN SISTEM TRANSPORTASI MELALUI PENDEKATAN PENGADAAN STOK IKAN
BALAI BESAR PENELITIAN SOSIAL EKONOMI KELAUTAN DAN PERIKANAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KELAUTAN DAN PERIKANAN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN 2015
i
DATA DAN INFORMASI MODEL PENGEMBANGAN SISTEM LOGISTIK IKAN NASIONAL TERINTEGRASI MP3EI DAN SISTEM TRANSPORTASI MELALUI PENDEKATAN PENGADAAN STOK IKAN
TIM PENELITI: Tajerin Muhadjir Rismutia Hayu Deswati Elly Reswati Noviardy
BALAI BESAR PENELITIAN SOSIAL EKONOMI KELAUTAN DAN PERIKANAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KELAUTAN DAN PERIKANAN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN 2015
ii
KATA PENGANTAR Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya buku Seri Data dan Informasi Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan ini dapat diselesaikan. Buku data dan informasi ini merupakan salah satu keluaran dari kegiatan Penelitian Model Pengembangan Sistem Logistik Ikan Nasional Terintegrasi MP3EI dan Sistem Transportasi Melalui Pendekatan Pengadaan Stok Ikan yang dibiayai dari APBN Tahun Anggaran 2015. Paket data ini berisikan berbagai tabel dan hasil analisis, yang dimuat dalam Laporan Teknis kegiatan penelitian tersebut. Data yang ditampilkan merupakan hasil olahan dari data sekunder dan primer hasil penelitian. Data yang tercantum meliputi data profil lokasi penelitian, data gambaran umum implementasi kegiatan SLIN tahap pertama dan data-data terkait lainnya. Terima kasih yang sebesar-besarnya kami sampaikan kepada Kepala Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan (BBPSEKP) yang telah memberikan kesempatan untuk melaksanakan kegiatan Penelitian Model Pengembangan SLIN Terintegrasi MP3EI dan Sistem Transportasi melalui Pendekatan Pengadaan Stok Ikan ini. Tim Peneliti menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada Penanggung Jawab dan Tim Lab Data BBPSEKP yang telah menyunting dan menerbitkan buku seri data dan informasi ini. Terima kasih juga diucapkan kepada berbagai pihak, yang telah banyak membantu kelancaran dalam pengumpulan data lapangan kegiatan sehingga buku data dan informasi ini dapat diselesaikan. Akhirnya, semoga buku seri data dan informasi ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak. Saran perbaikan yang bersifat positif konstruktif sangat diharapkan. Jakarta,
Desember 2015
Tim Peneliti iii
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ......................................................................................... iii DAFTAR ISI ..................................................................................................... iv DAFTAR TABEL ................................................................................................ v DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... vi I. PENDAHULUAN ....................................................................................... 7 1.1. Latar Belakang .................................................................................. 7 1.2. Tujuan Penelitian.............................................................................. 9 1.3. Metodologi ....................................................................................... 9 II. DATA DAN INFORMASI .......................................................................... 11 2.1. Profil Sektor Kelautan dan Perikanan pada Lokasi Penelitian ........ 11 2.1.1. Kendari, Sulawesi Tenggara ..................................................... 11 2.1.2. Lamongan, Jawa Timur ............................................................ 16 2.2. Gambaran Umum Implementasi SLIN di Daerah Hulu ................... 18 2.2.1. Komoditas Ikan Penentu .......................................................... 22 2.2.2. Sistem Distribusi....................................................................... 25 2.2.3. Sistem Pemasaran dan Pasar ................................................... 25 2.2.4. Regulasi/Kebijakan Terkait ....................................................... 27 2.2.5. Infrastruktur dan Sarana Transportasi Laut ............................. 28 2.2.6. IPTEK dan Sumberdaya ............................................................ 30 2.3. Analisis Dinamika Harga, Musim Penangkapan dan Saluran Distribusi Stok Ikan ......................................................................... 32 2.4. Model Pengembangan SLIN melalui Pendekatan Pengadaan Stok Ikan ......................................................................................... 35 III. PENUTUP ................................................................................................. 39 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 40
iv
DAFTAR TABEL Tabel 1.
Jumlah Perahu Nelayan Menurut Ukuran Kapal di Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2013 .................................. 12 Tabel 2. Jumlah dan Jenis Alat Tangkap di Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2013............................................................... 13 Tabel 3. Volume dan Presentasi Hasil Tangkapan 3 Komoditas Mayoritas di Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2013 ............. 13 Tabel 4. Jenis Alat Tangkap yang Digunakan Nelayan di PPS Kendari tahun 2014 .................................................................. 15 Tabel 5. Volume, Nilai Produksi dan Harga 10 Komoditas Mayoritas Ikan Hasil Tangkapan di PPN Brondong Tahun 2015 ......................................................................................... 17 Tabel 6. Hak KOMIRA Dalam Pelaksanaan SLIN dan permasalahan yang terjadi saat ini di sistem produksi .................................... 19 Tabel 7. Kewajiban, Pelaksanaan dan Permasalahan KOMIRA dalam menjalankan aspek produksi untuk program SLIN ....... 20 Tabel 8. Produksi dan Konsumsi Ikan di Kota Kendari tahun 2014 ....... 23 Tabel 9. Produksi dan Harga Bahan Baku Pindang di Kendari ............... 23 Tabel 10. Volume Produksi Ikan Bahan Baku Pindang di PPN Brondong Lamongan ................................................................ 24 Tabel 11. Peraturan yang Sudah Diterbitkan untuk Mendukung SLIN .......................................................................................... 28 Tabel 12. Sarana dan Prasarana Fasilitas DJP2HP untuk Mendukung SLIN ...................................................................... 29 Tabel 13. Tingkat Kebutuhan Pengembangan Aspek Penentu Keberhasilan SLIN di Daerah Produksi Terkait dengan Pengadaan Stok Ikan ................................................................ 35
v
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Persentase Jumlah Nelayan di Tiap Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Tenggara, 2014 ............................................ 12 Gambar 2. Jumlah kapal motor berdasarkan ukuran di PPS Kendari tahun 2014 ............................................................................... 15 Gambar 3. Jalur pemasaran ikan hasil tangkapan di PPS Kendari tahun 2015 ............................................................................... 26 Gambar 4. Dinamika harga 3 komoditas ikan utama pada tingkat nelayan di Kota Kendari tahun 2015 ........................................ 33 Gambar 5. Jalur Distribusi Ikan di PPS Kendari tahun 2015....................... 34 Gambar 6. Model Pengembangan SLIN melalui Pendekatan Pengadaan Stok Ikan ................................................................ 37
vi
I. 1.1.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ketahanan pangan dapat digambarkan sebagai suatu sistem yang terdiri dari tiga sub sistem yang saling berinteraksi yaitu sub sistem ketersediaan, sub sistem distribusi dan sub sistem konsumsi. Ketersediaan dan distribusi memfasilitasi pasokan pangan yang stabil dan merata ke seluruh wilayah, sedangkan sub sistem konsumsi memungkinkan setiap rumah tangga memperoleh pangan yang cukup dan memanfaatkannya secara bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan gizi anggotanya. Ketahanan pangan dapat diperoleh dari pemenuhan kebutuhan protein baik yang berasal dari nabati maupun hewani maupun nabati. Salah satu protein hewani yang mempunyai potensi besar untuk dikembangkan dengan kondisi geografis Indonesia berasal dari perikanan. Dengan demikian, diperlukan adanya jaminan ketersediaan, keterjangkauan, dan keberlanjutan untuk pemenuhan konsumsi ikan dan industri pengolahan ikan untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional. Jaminan tersebut akan diperoleh jika ditunjang dengan sistem logistik perikanan yang baik. Terkait dengan upaya menghadapi kesenjangan produksi dan konsumsi antar wilayah untuk produksi dan konsumsi ikan, Kementerian Kelautan dan Perikanan menggagas konsep Sistem Logistik Ikan Nasional (SLIN) yang merupakan sistem manajemen rantai pasokan ikan dan produk perikanan, bahan dan alat produksi, serta informasi mulai dari pengadaan, penyimpanan, sampai dengan distribusi, sebagai suatu kesatuan dari kebijakan untuk meningkatkan kapasitas dan stabilisasi sistem produksi perikanan hulu-hilir, pengendalian disparitas harga, serta untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri. Dalam pasal 3 PerMen KP No:5/2014) tentang SLIN disebutkan tujuan SLIN adalah untuk: (a) Meningkatkan kapasitas dan stabilisasi hulu-hilir, (b) Memperkuat dan memperluas konektivitas, dan (c) Meningkatkan efisiensi manajemen rantai pasokan ikan. Dalam model operasional SLIN disebutkan penyusunan masterplan SLIN perlu mengacu pada faktor-faktor yang akan menentukan peta jalannya industri dan perdagangan ikan pada masa mendatang atau yang disebut dengan key drivers, terdiri atas: (1) komoditas ikan penentu; (2) 7
regulasi/kebijakan; (3) sumber daya manusia; (4) kelembagaan; (5) infrastruktur logistik; (6) teknologi informasi dan komunikasi; dan (7) penyedia jasa logistik. Untuk memastikan SLIN dapat berjalan efektif maka diperlukan suatu instrumen yang dapat digunakan untuk mengukur keberhasilan dalam implementasinya berupa indikator kinerja SLIN dikembangkan berbasis pada sasaran akhir yaitu: (1) Tertanganinya ekses pasokan (supply) komoditas ikan; (2) Tertanganinya ekses permintaan (demand) komoditas ikan; (3) Berkurangnya biaya logistik; (4) Meningkatnya minat penyedia jasa logistik untuk komoditas perikanan; (5) Tersedianya informasi pasokan dan permintaan komoditas ikan secara realtime/on-line. Konsep konektivitas antar variabel dan dimensi-dimensi pembentuknya dalam kerangka SLIN dan M-LIN sejalan dengan prinsip “kunci keberhasilan pembangunan” dalam program MP3EI yang menyatakan suksesnya pelaksanaan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia tersebut sangat tergantung pada kuatnya derajat konektivitas ekonomi nasional (intra dan inter wilayah) maupun konektivitas ekonomi internasional Indonesia dengan pasar dunia (MP3EI, 2011). Dalam konsep MP3EI pengembangan ekonomi potensi wilayah dilakukan dengan memperhitungkan berbagai potensi dan peran strategis masing-masing pulau besar (sesuai dengan letak dan kedudukan geografis masing-masing pulau), Kendala konektivitas yang masih dirasakan dalam program MP3EI dan keluhan-keluhan pelaku usaha terkait masalah logistik ditanggapi oleh pemerintah dengan membuat Sistem Transportasi Laut Indonesia (STLI). Laut hendaknya harus dianggap sebagai penghubung antar kawasan, bukan sebagai pemisah. Hampir seluruh komoditi perdagangan menggunakan jasa transportasi laut. Pendayagunaan jalur transportasi laut juga dapat menyeimbangkan pembangunan antar kawasan Indonesia timur dan barat, sebagai penghubung antara pelaku usaha dankepasar. Sejauh ini infrastruktur transportasi laut di Indonesia dirasa masih kurang baik dari sisi kualitas maupun kuantitas. Salah satu komponen yang penting dalam SLIN menurut PerMen KP No.5 tahun 2014 adalah pengadaan. Menurut PerMen tersebut pengadaan 8
yang dimaksud yaitu ketersediaan stok ikan yang kontinyu yang terdiri atas : (1) Pengadaan bahan dan alat produksi yang bersumber dari produsen berupa pakan, benih, alat tangkap, es dan bahan bakar minyak; (2) Pengadaan ikan yang bersumber dari usaha penangkapan ikan dan usaha budidaya; (3) Pengadaan produk perikanan yang bersumber dari usaha pengolahan ikan. Pada tahun 2015 Kementerian KP melalui Ditjen P2HP telah melakukan implementasi awal SLIN koridor 1 (jalur Sulawesi – Jawa – Bali) khususnya untuk pemenuhan stok ikan sebagai bahan baku pindang. Berkaitan dengan hal tersebut, dilakukan kajian Model Pengembangan SLIN Terintegrasi MP3EI dan STLI Melalui Pendekatan Pengadaan Stok Ikan. 1.2.
Tujuan Penelitian
Kajian ini dilakukan dengan tujuan untuk: (1) Mengidentifikasi komponen-komponen pembentuk keberhasilan SLIN pada aspek pengadaan stok ikan (2) Merumuskan konsep model pengembangan SLIN melalui pendekatan pengadaan stok ikan khususnya untuk bahan baku ikan pindang. 1.3.
Metodologi
Lokasi penelitian dilakukan pada daerah yang tercakup dalam koridor 1 untuk implementasi SLIN tahap pertama dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan baku pindang. Berdasarkan judul penelitian yaitu untuk menganalisis ketersediaan stok maka lokasi penelitian dispesifikkan pada daerah hulu yaitu Kendari, Sulawesi Tenggara dan Lamongan, Jawa Timur. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Januari sampai dengan Desember tahun 2015. Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder yang berkaitan dengan ketersediaan stok serta faktor pendukungnya dalam memenuhi bahan baku pindang secara nasional. Data sekunder yang dikumpulkan meliputi laporan statistik mengenai lokasi penelitian dan laporan mengenai kegiatan SLIN yang sudah berjalan. Data sekunder diperoleh dari Dinas KP di lokasi, Dirjen P2HP Kementerian Kelautan dan Perikanan serta PT. Koperasi Mina Rixky Abadi (KOMIRA) selaku operator 9
SLIN. Sedangkan data primer diperoleh melalui survey dan wawancara dengan menggunakan alat bantu kuesioner pada responden pelaku usaha perikanan tangkap. Selain itu juga dilakukan focuss group discussion untuk menjaring informasi yang lebih akurat dari berbagai pihak terkait. Data yang telah terkumpul kemudian dilakukan analisis baik secara deskriptif maupun dengan melakukan analisis mengenai dinamika harga dan musim penangkapan yang ada di lokasi penelitian. Analisis ini dilakukan untuk melihat bagaimana ketersediaan stok ikan di daerah hulu sepanjang tahun sehingga bisa dirumuskan strategi untuk menindak lanjutinya dan bisa memenuhi tujuan dari diadakannya SLIN yaitu untuk menjamin ketersediaan stok sepanjang tahun secara nasional untuk kebutuhan dalam negeri.
10
II. 2.1.
DATA DAN INFORMASI
Profil Sektor Kelautan dan Perikanan pada Lokasi Penelitian
2.1.1. Kendari, Sulawesi Tenggara Provinsi Sulawesi Tenggara terletak di jazirah Tenggara Pulau Sulawesi. Secara geografis terletak di bagian Selatan Garis Khatulistiwa, memanjang dari Utara ke Selatan di antara 02°45'-06°15' Lintang Selatan dan membentang dari Barat ke Timur di antara 120°45'-124°45' Bujur Timur. Provinsi Sulawesi Tenggara di sebelah Utara berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Selatan dan Provinsi Sulawesi Tengah, sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi NTT di Laut Flores, sebelah Timur berbatasan dengan Provinsi Maluku di Laut Banda dan sebelah Barat berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Selatan di Teluk Bone. Sebagian besar wilayah Sulawesi Tenggara (74,25 persen atau 110.000 km²) merupakan perairan (laut). Sedangkan wilayah daratan, mencakup jazirah tenggara Pulau Sulawesi dan beberapa pulau kecil, adalah seluas 38.140 km² (25,75 persen). Secara administrasi, Provinsi Sulawesi Tenggara pada tahun 2013 terdiri atas dua belas wilayah Kabupaten (Kabupaten Buton, Muna, Konawe, Kolaka, Konawe Selatan, Wakatobi, Bombana, Kolaka Utara, Buton Utara, Konawe Utara, Kolaka Timur dan Konawe Kepulauan ) dan dua wilayah kota, (Kota Kendari serta Kota Bau-Bau). Provinsi Sulawesi Tenggara memiliki perairan (laut) yang sangat luas. Luas perairan Sulawesi Tenggara diperkirakan mencapai 110.000 km². Perairan tersebut, sangat potensial untuk pengembangan usaha perikanan dan pengembangan wisata bahari, karena disamping memiliki bermacammacam jenis ikan dan berbagai varietas biota, juga memiliki panorama laut yang sangat indah. Berdasarkan lapangan pekerjaan sektor pertanian menjadi mata pencaharian utama bagi penduduk Sulawesi Tenggara sebesar 40,3 % dari total penduduk. Di dalam sektor pertanian terdapat subsektor perikanan yang juga menjadi salah satu mata pencaharian utama di beberapa wilayah kabupaten. Perikanan yang dimaksud terdiri atas perikanan budidaya dan perikanan tangkap baik di laut maupun perairan umum. Kini jumlah nelayan di provinsi ini sebanyak 125.321 orang dengan jumlah terbanyak di 11
Kabupaten Buton sebanyak 22.990 nelayan (DKP Sultra, 2014) atau sebesar 18 % dari jumlah total nelayan yang ada (Gambar 1). Kab. Buton
4,24%
Kab. Muna 18,34%
13,85%
Kab. Konawe Kab. Kolaka Kab. Konawe Selatan
4,81% 10,58%
4,17% 8,12%
7,50%
7,80% 11,43%
3,67% 5,48%
Kab. Bombana Kab. Wakatobi Kab. Kolaka Utara Kab. Buton Utara Kab. Konawe Utara Kota Kendari
Gambar 1.
Persentase Jumlah Nelayan di Tiap Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Tenggara, 2014
Nelayan-nelayan di Sulawesi Tenggara menggunakan berbagai jenis kapal dan alat tangkap sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Jumlah perahu yang digunakan nelayan-nelayan Sulawesi Tenggara menurut jenisnya dapat dilihat pada Tabel 1 dimana pada tabel tersebut terlihat mayoritas nelayan menggunakan kapal motor tempel. Sedangkan jenis alat tangkap yang digunakan ditampilkan pada Tabel 2. Tabel 1.
Jumlah Perahu Nelayan Menurut Ukuran Kapal di Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2013
No/ Number 1 2 3
Jenis Perahu / Boat Type Perahu tanpa motor/ perahu jukung Perahu motor tempel Kapal Motor
Jumlah Unit / Number of Unit 6.778 14.731 3.063
Sumber : DKP Sultra, 2014
12
Tabel 2. No 1 2 3 4 5 6 7
Jumlah dan Jenis Alat Tangkap di Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2013
Jenis Alat Tangkap Pukat Tarik Pukat kantong Pukat cincin Jaring insang Jaring angkat Pancing Perangkap Jumlah
Jumlah (Unit) 740 1378 1080 6593 1679 12997 2378 26.845
Prosentase 3 5 4 25 6 48 9 100
Sumber : PPS Kendari, 2014
Dari Tabel 2 di atas diketahui alat tangkap yang digunakan nelayan di Kendari didominasi alat tangkap pancing (48%) kemudian jaring insang (25%), diikuti alat tangkap perangkap, jaring angkat, pukat kantong, pukat cincin, dan pukat tarik. Selain alat-alat utama diatas nelayan juga menggunakan alat tangkap lain seperti alat penangkap teripang, alat penangkap kepiting, jala tebar, garpu dan tombak. Sementara itu dari sisi produksi dengan daerah geografisnya yang mendukung menjadikan Sulawesi Tenggara memiliki hasil tangkapan laut yang banyak dan beragam jumlahnya. Produksi perikanan laut terdiri atas ikan pelagis besar dan kecil, ikan karang dan binatang laut lainnya. Namun dari berbagai jenis ikan tersebut terdapat tiga komoditas ikan pelagis kecil yang mendominasi total produksi yaitu ikan layang, ikan tongkol dan cakalang. Pada Tabel 3 terlihat bahwa produksi hasil tangkapan ikan cakalang sebesar 16 % dari total penangkapan ikan. Kondisi ini yang akhirnya ke depan menjadi dasar pertimbangan pemilihan Sulawesi Tenggara sebagai daerah hulu untuk kegiatan SLIN. Tabel 3. No 1 2 3
Volume dan Presentasi Hasil Tangkapan 3 Komoditas Mayoritas di Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2013
Jenis Ikan Ikan Cakalang Ikan Layang Ikan Tongkol
Jumlah Produksi 19.445,3 15.686,1 11.927,4
Persentase 16,1 12,9 9,9
Sumber, DKP Provinsi Sulawesi Tenggara, 2014
13
Wilayah Kota Kendari dengan ibukotanya Kendari dan sekaligus berkedudukan sebagai ibukota Provinsi Sulawesi Tenggara secara geografis terletak di bagian selatan garis khatulistiwa berada di antara 30 54`30`` - 40 3` 11`` Lintang Selatan dan membentang dari Barat ke Timur diantara 1220 23` - 1220 39` Bujur Timur dengan batas-batas wilayah sebagai berikut : Sebelah utara berbatasan dengan kecamatan Soropia & Kecamatan sampara (Kabupaten Konawe Sebelah timur berbatasan dengan Laut Banda Sebelah selatan berbatasan dengan kecamatan moramo (Kabupaten Konawe Selatan) Sebelah Barat berbatasan dengan kecamatan sampara (kabupaten Konawe),Kecamatan Ranomeeto & Kecamatan Konda (Kabupaten Konawe Selatan) Luas wilayah daratan kota Kendari 295,89 Km2 atau 0,70 persen dari luas daratan Provinsi Sulawesi Tenggara. Kendari sebagai ibukota provinsi yang memiliki Pelabuhan Perikanan Samudera menjadi salah satu faktor utama yang menyebabkan daerah ini menjadi tempat tujuan bagi nelayan-nelayan di sekitar Provinsi Sulawesi Tenggara untuk mendarat dan menjual ikan hasil tangkapannya. Produksi ikan hasil tangkapan di daerah ini sama dengan provinsi yaitu ikan pelagis kecil yaitu ikan cakalang, tongkol dan layang. Kapal motor yang dimiliki dan digunakan nelayan Kendari dibagi menjadi beberapa ukuran seperti yang diperlihatkan pada Gambar 2. Meskipun berdasarkan tabel tersebut perahu motor tempel mendominasi jumlah penggunaan namun menurut informasi PPS Kendari perahu jenis tersebut tidak mendaratkan armadanya di PPS Kendari. Armada yang mendarat di PPS Kendari sebagian besar merupakan kapal motor dengan ukuran 10 – 30 GT, dan juga kapal ukuran < 10 GT, 30 – 200 GT dan > 200 GT seperti yang dapat dilihat pada Gambar 2.
14
Jumlah kapal motor / Number of Boat 105
111
50
27
2 < 5 GT 5 - 10 GT 10 - 20 GT
818
20 - 30 GT 30 - 50 GT
1944
50 - 100 100 - 200
Gambar 2.
Jumlah kapal motor berdasarkan ukuran di PPS Kendari tahun 2014
Berdasarkan Gambar 2 di atas diketahui bahwa dari jumlah 3.057 buah kapal motor, ukuran kapal motor yang digunakan nelayan di PPS Kendari didominasi kapal berukuran <5 GT (64%), dan ukuran 5-10 GT (27%), kemudian kapal ukuran 20-30 GT (4%), ukuran 10-20 GT (3%), ukuran 30-50GT (2%), ukuran 50-100 GT (1%) dan ukuran di atas 100 GT tidak sampai 1%. Sedangkan jenis alat tangkap yang digunakan nelayan yang mendarat di PPS Kendari terdiri atas berbagai jenis. Tabel 4.
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Jenis Alat Tangkap yang Digunakan Nelayan di PPS Kendari tahun 2014 Jenis Alat Tangkap Type of Fishing Gear Huhate - Pole and line Pukat cincin - Purse seine Bagan perahu - Boat lift net Jaring insang - Gill net Pancing tonda - Troll line Rawai Tuna - tuna long line Pukat udang - Shrimp net Kapal Lampu - Light Boat Pancing lainnya - Other lines Pancing ulur - Hand line
Jumlah Total 25 274 12 3 93 2 37 15
Jenis Alat Tangkap Type of Fishing Gear 11 Bubu - Portable trap 12 Pengangkut - Carrier Jumlah-Total
Jumlah Total
No
5 117 568
Sumber : Profil PPS Kendari, 2015
Tabel 4 menjelaskan dari beragam jenis alat tangkap yang digunakan mayoritas nelayan menggunakan pukat cincin dan pancing tonda. Selain itu kapal pengangkut juga banyak digunakan oleh nelayan di Kendari. 2.1.2. Lamongan, Jawa Timur Alasan pemilihan Kabupaten Lamongan sebagai lokasi penelitian SLIN dari sisi aspek produksi berdasarkan pada salah satu tujuan diadakannya program SLIN yaitu untuk meringankan biaya logistik untuk mendatangkan ikan dari daerah timur ke daerah barat. Berdasarkan data dan informasi yang terkumpul di daerah ini terdapat banyak usaha pemindangan dengan skala yang sudah cukup besar sehingga jika sub-sub sistem yang ada memenuhi syarat dan bisa bersinergi dengan baik maka Lamongan bisa dijadikan alternatif sentra produksi untuk usaha ikan pindang sehingga bahan baku tidak perlu lagi didatangkan dari luar Jawa. Kabupaten Lamongan secara geografis terletak 651’54” 723’06” Lintang Selatan dan 11233’45” Bujur Timur. Wilayah Kabupaten Lamongan di sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Gresik, sebelah barat dengan Kabupaten Tuban dan Bojonegoro sedangkan sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Mojokerto dan Jombang. Luas wilayahnya 1.812,80 km2 yang terbagi menjadi 26 kecamatan dengan Lamongan sebagai ibukota Kabupaten Lamongan. Kecamatan Paciran yang berada di pesisir Pantai Utara merupakan salah satu wilayah yang memiliki potensi dibidang perikanan dan kelautan yang cukup besar di Kabupaten Lamongan, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut: - Sebelah utara : Laut Jawa - Sebelah selatan : Kec. Solokuro - Sebelah timur : Kec. Panceng 16
Sebelah barat : Kec. Brondong Panjang garis pantai yang dimiliki adalah + 14,6 km yang membentang diantara 12 desa pesisir yaitu; Kelurahan Blimbing, Desa Kandangsemangkon, Desa Paciran, Desa Tunggul, Desa Kranji, Desa Banjarwati, Desa Kemantren, Desa Sidokelar, Desa Paloh, Desa Weru, Desa Sidokumpul, dan Desa Warulor. Sedangkan potensi perikanan dan kelautan yang ada di Kecamatan Paciran antara lain di bidang perikanan tangkap, budidaya ikan/ udang, maupun pengolahan hasil perikanan serta didukung oleh bidang kegiatan lainnya. Kecamatan Paciran pada sektor perikanan tangkap memiliki luas areal panjang pantai +14,6 km dengan lebar 4 mil laut dengan jumlah nelayan yang ada sebanyak 20.058 orang. Sedangkan jumlah armada/kapal penangkapan yang digunakan sebanyak 3.390 unit dengan berbagai jenis alat tangkap. Alat tangkap yang digunakan diantaranya adalah purse seine, gill net (bringsang, rajungan), payang, pancing/ rawai, bubu, dan tramel net. Ikan yang tertangkap terdiri dari berbagai jenis antara lain; tongkol, kembung, kuningan, ajahan, layang, mata besar/swangi, teri, rajungan, tongkol, cumi-cumi, udang, layur, tengiri dll. Dalam memasarkan Ikan-ikan hasil tangkapan nelayan ini didukung dengan keberadaan 2 unit PPI (Pusat Pendaratan Ikan) yaitu: PPI Desa Weru dan PPI Desa Kranji. Produksi ikan hasil tangkap yang didaratkan di PPI Kranji mencapai 3.997,6 ton dan PPI Weru mencapai 2.574,6 ton. Namun dengan adanya moratorium alat tangkap yang dikeluarkan Menteri KP maka nelayan mulai mengganti jenis alat tangkapnya sehingga ikan yang ditangkap juga berubah jenisnya menjadi ikan-ikan demersal atau ikan karang. -
Tabel 5.
Volume, Nilai Produksi dan Harga 10 Komoditas Mayoritas Ikan Hasil Tangkapan di PPN Brondong Tahun 2015
No
Jenis Ikan
1 2 3 4 5 6
Ayam Cumi Kakap Kuningan Kapas Kurisi
Produksi Ikan Volume (kg) 1.514.881 1.214.337 512.218 3.830.361 3.903.577 8.492.607
Nilai (Rp) 12.414.823.000 40.680.967.000 28.686.292.000 35.733.324.000 28.188.462.000 107.623.142.000
Harga Ratarata (Rp) 8.222 33.889 55.722 9.778 7.333 13.000 17
No
Jenis Ikan
7 8 9 10
Layang Swanggi Peperek Biji nangka
Produksi Ikan Volume (kg) 1.365.019 11.706.275 1.358.033 1.932.069
Nilai (Rp) 16.064.432.000 112.744.468.500 4.537.198.000 19.127.651.000
Harga Ratarata (Rp) 12.556 9.778 3.278 10.222
Sumber : Profil PPN Brondong, 2015
Sebenarnya masih banyak jenis ikan hasil tangkapan yang mendarat di PPN Brondong namun pada Tabel 5 hanya ditampilkan 10 jenis ikan yang mayoritas disana. Dari tabel terlihat ikan-ikan yang mendominasi adalah jenis ikan karang seperti swanggi, kurisi, kuningan dan kapas. Meskipun ikan layang masuk pada tabel diatas namun terlihat jumlahnya tidak seberapa sehingga jika dikaitkan dengan ketersediaan bahan baku pindang maka lokasi Lamongan belum bisa dijadikan daerah hulu. 2.2.
Gambaran Umum Implementasi SLIN di Daerah Hulu
Sistem Logistik Ikan Nasional (SLIN) merupakan salah satu kebijakan yang diluncurkan oleh Dirjen P2HP Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam rangka menjamin ketersediaan stok ikan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi nasional sepanjang tahun. Persiapan dan perancangan lokasi serta operasionalisasi SLIN telah dilakukan sejak tahun 2012 dan pada tahun 2014 telah dilakukan implementasi SLIN tahap awal pada koridor Kendari-Jawa-Bali. Pelaksanaan implementasi ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan stok bahan baku industri pindang secara nasional. Menurut Asosiasi Pemindang Ikan Indonesia (APPIKANDO) kebutuhan bahan baku ikan pindang secara nasional sebesar 1.406.340.30 ton/tahun. Dari jumlah tersebut masih belum terpenuhi sebanyak 464,680.44 ton per tahun. Jumlah pemindang sebanyak 65.766 kelompok yang tersebar di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dari berbagai jenis bahan baku pindang ikan salem menjadi pilihan pertama namun karena jenis ikan tersebut tidak bisa dipenuhi di dalam negeri hingga saat ini pengusaha masih impor dari China. Namun sejak 2 tahun terakhir impor ikan salem mengalami penurunan jumlah dari 639 ton menjadi 464 ton (KKP,2014) diduga karena posisinya sudah mulai tergantikan dengan jenis-jenis ikan lain yang tersedia di Indonesia. Diantaranya ikan layang, tongkol dan 18
cakalang. Oleh karena itu SLIN diharapkan mampu mengintegrasikan antara aspek produksi, penyimpanan yang juga didukung oleh saluran distribusi yang baik agar bahan baku impor untuk industri ikan pindang bisa perlahan mulai tergantikan. Untuk menjalankan operasional secara teknis SLIN tahap pertama telah dipilih salah satu pengusaha cold storage yang memiliki cabang dan jalur pemasaran yang sudah pasti yaitu PT. Koperasi Mina Rizky Abadi (KOMIRA). Berdasarkan MoU yang telah disepakati antara KOMIRA dan Dirjen P2HP maka perusahaan ini akan menjalankan fungsi SLIN mulai dari hulu hingga hilir. Tentunya dalam kesepakatan telah diatur juga hak dan kewajiban dari KOMIRA serta sarana dan prasarana yang diberikan oleh kementerian untuk mendukung keberhasilan program tersebut. Tabel 6.
Hak KOMIRA Dalam Pelaksanaan SLIN dan permasalahan yang terjadi saat ini di sistem produksi
No 1.
Hak KOMIRA Mengusulkan pembinaan teknis dari pemerintah dan atau pemerintah daerah dalam rangka optimalisasi implementasi SLIN Tahap Awal
Pelaksanaan Belum sepenuhnya dilakukan
2.
Mengelola dan mengkordinasikan penggunaan sarana dan prasarana pengolahan dan pemasaran hasil perikanan yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka implementasi SLIN Tahap Awal Mengusulkan tambahan sarana dan prasarana
Pengelolaan dan kordinasi penggunaaan sarpras belum dapat dilakukan optimal
3.
KOMIRA sudah mengeluarkan dana
Permasalahan Belum sinerginya antara pemerintah pusat dan daerah yang menyebabkan tidak optimalnya tugas KOMIRA. Diantaranya di Kendari masih terjadi kesalahpahaman antara Dinas KP Provinsi dengan Dinas KP Kota Kendari terkait dengan operasionalisasi SLIN Kendaraan dan cold storage yang difasilitasi Dirjen P2HP diklaim sebagai milik Dinas KP Provinsi sehingga hal tersebut membuat KOMIRA takut untuk menggunakannya
Sementara dikeluarkan dari dana KOMIRA 19
No
Hak KOMIRA yang sesuai dengan tugas dan fungsi serta ketersediaan anggaran yang diperlukan kepada Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan dalam rangka optimalisasi implementasi SLIN;
Pelaksanaan hampir 3 milyar untuk menambah kelengkapan pada infrastruktur yang dibangun
Permasalahan
4.
Prasarana tanpa merubah struktur dasar atas persetujuan Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan melalui Tim Teknis. Apabila prasarana tersebut dikembalikan kepada Ditjen P2HP tidak menuntut ganti rugi atas biaya yang telah dikeluarkan
KOMIRA telah mengeluarkan dana mencapai 3 milyar untuk melengkapi infrastruktur yang belum ada di Cold Storage
Prasarana seperti Cold Storage, ABF di Kendari dan Lamongan belum beroperasi
Sumber : Laporan Kegiatan KOMIRA, 2015
Tabel 6 diatas menjelaskan bahwa KOMIRA memiliki hak untuk menjalankan tugasnya di sisi produksi. Namun dari sekian hak yang seharusnya diperoleh masih banyak permasalahan yang terjadi sehingga menyebabkan KOMIRA belum bisa optimal menjalankan fungsinya. Sementara itu selain dari sisi hak KOMIRA juga memiliki sejumlah kewajiban yang harus dipenuhi sebagai operator SLIN yang tercantum dalamTabel 7. Tabel 7.
Kewajiban, Pelaksanaan dan Permasalahan KOMIRA dalam menjalankan aspek produksi untuk program SLIN
Kewajiban Komira Mengkordinasikan keterlibatan seluruh pelaku usaha pendukung yang terlibat dalam implementasi SLIN Tahap Awal dengan prinsip –
Pelaksanaan Belum dilakukan secara optimal. baru dilakukan dengan sebagian nelayan dan itupun masih dengan jumlah terbatas. baru 8
Permasalahan nelayan di lokasi sifatnya individual memang sudah terikat dengan pengusaha yang lain TPI yang tidak berfungsi menyebabkan nelayan 20
Kewajiban Komira prinsip kemitraan yang adil dan saling memperkuat;
Pelaksanaan kelompok yang memang menjadi anggota Komira Dengan perusahaan cargo dan kapal angkut masih belum dilakukan secara khusus
Menampung seluruh hasil tangkapan nelayan dan pembudidaya yang terlibat dalam implementasi SLIN Tahap Awal dengan harga yang disepakati para pihak;
Belum dapat dilakukan karena keterbatasan infrastruktur pengolahan
Permasalahan bebas menjual ikan kepada pembeli dengan harga yang lebih tinggi, sehingga persaingan memperoleh bahan baku cukup tinggi banyaknya pembeli dari luar daerah yang dapat akses ke lokasi PPS menyebabkan semakin banyak pesaing Jumlah kelompok nelayan yang tergabung baru 8 kelompok
Menjamin kontinyuitas dan kualitas ketersediaan kebutuhan bahan baku industri pemindangan yang terlibat dalam implementasi SLIN Tahap Awal dengan harga yang disepakati para pihak;
Hanya dapat dilakukan untuk pemenuhan kebutuhan bahan baku pemindang sebanyak 8 kelompok/ 160 orang
Dari total produksi KOMIRA sebesar 1000 ton/tahun, Kendari hanya mensupply kebutuhan sebesar 30%
Sumber : Laporan Kegiatan KOMIRA, 2015
Permasalahan yang tercantum pada Tabel 7 menggambarkan bahwa KOMIRA masih sulit untuk menjalankan tugas utamanya di sisi produksi yaitu menjamin kontinuitas dan ketersediaan stok bahan baku pindang karena tercatat dari total produksi KOMIRA sebesar 1000 ton/tahun Kendari hanya mampu memasok kebutuhan sebesar 30 % saja. Permasalahan yang muncul bukan hanya menjadi tanggung jawab KOMIRA tapi juga Dirjen P2HP. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi pelaksaan implementasi SLIN dalam rangka memenuhi stok bahan baku pindang dengan menggunakan 7 key drivers yang ditetapkan sebagai alat pengukur keberhasilan dari program ini. 21
2.2.1. Komoditas Ikan Penentu Maksudnya disini komoditas ikan yang menjadi kunci dari kegiatan SLIN tahap pertama ini. Sesuai dengan prinsip logistik, maka komoditas ikan penentu ditentukan baik oleh nilai atau harganya maupun dari beranya. Bagi industri pindang tidak semua jenis ikan bisa dijadikan bahan baku oleh karena itu faktor ini menjadi faktor penting yang harus dievaluasi. Seperti yang sudah dijelaskan diatas bahwa ikan salem merupakan bahan baku utama untuk olahan ikan pindang namun karena stok tidak tersedia di dalam negeri maka harus dilakukan impor secara besar-besaran. Namun kini ikan dalam negeri seperti ikan layang, tongkol dan cakalang juga sudah mulai diminati sebagai pengganti ikan salem. Sayangnya menurut APPIKANDO (2015) ketersediaan pasokan ikan-ikan tersebut hanya mampu memenuhi 60 % saja dari total kebutuhan sehingga 40% masih mengimpor dari luar negeri. Penyebab masih sulitnya ketersediaan bahan baku tersebut diantaranya karena produksi ikan hasil tangkapan di Indonesia masih tergantung pada musim, selain itu dari sisi penyimpanan masih kurangnya sarana-sarana penyimpanan di lokasi produksi serta minimnya infrastruktur pendukung seperti listrik, pabrik es, jalan beraspal dan sarana transportasi pengangkut ikan juga turut andil pada kekurangan pasokan bahan baku tersebut. Kota Kendari merupakan titik produksi dalam pilot project SLIN pada tahun tahun 2014. Hal ini berawal dari adanya excess supply produksi Ikan di Kota Kendari. Gambaran produksi ikan di Kota kendari pada tahun 2014 tercatat memiliki surplus sebesar 10.297 ton (
22
Tabel 8). Dari
23
Tabel 8 tersebut dapat diketahui bahwa Kendari mengalami kelebihan pasokan ikan sebesar 69% dari kebutuhannya, yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan industri pemindangan yang tersebar di Jawa.
24
Tabel 8. No 1 2
Produksi dan Konsumsi Ikan di Kota Kendari tahun 2014 Pemanfaatan Ikan Konsumsi Ikan Produksi Surplus Produksi
Jumlah 14.895 ton 25.192,90 ton 10. 297 ton (69%)
Sumber : Laporan Tahunan Dinas KP Kota Kendari, 2015
Kendari termasuk dalam koridor Sulawesi yang dalam rencananya akan didukung pula produksinya dari Kepulauan Banggai. Berdasarkan data produksi ikan pelagis kecil yang didaratkan di PPS Kendari, Kendari dapat menyuplai kebutuhan bahan baku pindang nasional sebanyak ± 10-20%. Berikut data tabel prodduksi dan harga ikan bahan baku pindang di PPS Kendari. Tabel 9.
Produksi dan Harga Bahan Baku Pindang di Kendari Tahun 2012
No
Jenis Ikan
1
Layang
4.428,97
2
Tongkol
3
Cakalang
Total
Vol (ton)
2013 Harga (Rp) 12.500
Vol (ton)
4.388,37 5.661,73 14.479
2014
5.591,15
Harga (Rp) 16.000
Vol (ton) 1.829,56
Harga (Rp) 17.500
9.900
6.246,83
14.000
2.779,46
14.000
14.100
5.142,66
18.500
3.629,45
18.000
16.980
8.238
Sumber : Profil PPS Kendari,2015
Pada tahun 2014, produksi ikan yang didaratkan di PPS Kendari berkurang karena adanya kebijakan moratorium dari pemerintah sehingga perusahaan besar seperti PT. Cilacap tidak dapat lagi menggunakan kapal-kapal pengumpul yang biasa mereka pakai. Hal ini ternyata telah memberikan dampak yang cukup signifikan pada volume produksi pelabuhan. Volume produksi di Kendari juga dipengaruhi oleh musim yaitu musim puncak dan musim sedang. Musim puncak terjadi bulan Mei sampai September sedangkan musim sedang pada bulan Januari sampai April dan bulan Oktober sampai Desember. Pada musim puncak, rata-rata penangkapan 3 (tiga) kali per-bulan sedangkan pada musim sedang rata-rata 4 25
(empat) kali per-bulan, waktu penangkapan rata-rata 5-7 hari/trip. Penanganan ikan hasil tangkapan, ikan langsung dimasukkan ke dalam palka yang belum berinsulasi sehingga nelayan perlu membawa bongkahan-bongkahan es. Sementara itu produksi ikan dari PPN Brondong (Lamongan ) hanya 15% yang dapat digunakan untuk bahan baku pindang. Hal ini disebabkan jenis alat tangkap pasca pemberlakuan Permen No 2/2015 yang melarang alat tangkap pukat hela, pukat tarik, maka nelayan merubah alat tangkap yang di tujukan untuk penangkapan ikan demersal seperti seperti rawai dan payang. Selain itu, kualitas ikan sebagai bahan baku pindang dari Brondong tidak memenuhi syarat karena kadar garam tinggi. Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku tersebut, pasokan ikan untuk pemindang di Banyuwangi diperoleh dari Madura, Prigi, Juwana, Muncar dan Rembang. Tabel 10.
Volume Produksi Ikan Bahan Baku Pindang di PPN Brondong Lamongan
No
Jenis Ikan
1 2 3 Total
Layang Tongkol Kembung
Volume Produksi (Ton/Tahun) 2012 2013 748,9 583 76,8 59,5 33,3 47 859 689,5
2014 380,2 14,8 66 461
Sumber : Statistik Perikanan PPN Brondong,2015
Permasalahan utama dalam produksi hasil tangkapan adalah kondisi ketersediaan sumberdaya ikan yang cenderung semakin menurun yang terlihat dari semakin jauhnya daerah tangkapan. Hal tersebut ditambah pula dengan tidak meratanya pemanfaatan sumberdaya ikan di setiap perairan. Di sebagian wilayah perairan sudah terjadi over exploitation sedangkan di daerah lain masih ada yang pemanfaatannya belum optimal bahkan dimanfaatkan oleh kapal-kapal asing. Armada penangkapan juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi produksi ikan hasil tangkapan. Sebagian besar armada perikanan di Kota Kendari dan Lamongan berskala kecil sehingga 26
mempengaruhi volume hasil tangkap dan area tangkap, disamping juga kalah bila dibandingkan armada penangkapan yang dimiliki oleh kapal-kapal asing. 2.2.2. Sistem Distribusi Sistem distribusi dalam konteks pengadaan stok ikan adalah bagaimana sarana dan prasarana yang digunakan dalam pendistribusian ikan dari atas kapal untuk sampai ke coldstorage atau pembeli. Pengamatan di pelabuhan Kendari dan pelabuhan Brondong (Lamongan) menunjukkan sistem distribusi yang kurang menjaga kualitas ikan hasil tangkapan. Ikan dari dalam palka kapal dikeluarkan menggunakan serokan jaring untuk dimasukkan ke dalam keranjang ukuran 50 kg dan dibawa turun kapal dengan cara dipikul oleh ABK atau buruh angkut. Di darat, ikan ditebar keluar keranjang untuk disortir oleh para ibu berdasarkan jenis, ukuran dan kualitas untuk kemudian dimasukkan lagi ke dalam keranjang dan dibawa keluar pelabuhan menggunakan kendaraan roda dua atau roda empat. 2.2.3. Sistem Pemasaran dan Pasar Komira selaku operator pelaksanaan SLIN, dalam memenuhi kebutuhan pasokan ikan bahan baku pindang dari Kendari mendapatkan pasokan dari nelayan binaan yang juga merupakan anggota Komira. Harga pembelian berfluktuasi sesuai dengan mekanisme harga pasar sehingga dapat dikatakan tidak ada jaminan harga. Sementara nelayan bukan binaan (mandiri) bebas untuk menjual hasil tangkapannya ke pedagang atau perusahaan yang mendapat akses untuk membeli langsung ke pelabuhan. Pemasaran ikan hasil tangkapan di pelabuhan Kendari terbagi menjadi beberapa jalur dengan beberapa tujuan seperti yang tercantum pada Gambar 3.
27
Gambar 3.
Jalur pemasaran ikan hasil tangkapan di PPS Kendari tahun 2015 Sumber: data primer, diolah 2015
Saluran pemasaran ikan beku yang dihasilkan dari Kota Kendari mulai dari produsen sampai konsumen terdapat dua saluran. Pertama, ikan dari produsen kemudian dibeli oleh pedagang besar dan di pasarkan di pasar luar daerah langsung ke konsumen. Kedua, ikan yang di hasilkan nelayan kemudian dijual melalui pedagang pengumpul, kemudian dijual ke pengusaha penyimpanan kemudian didistribusikan ke pengolah pindang dan akhirnya sampai ke konsumen Sedangkan di Lamongan saluran pemasaran memiliki bentuk yang berbeda yaitu : a. Komoditas ikan segar : Nelayan – Pedagang Besar – Pedagang Pengecer – Konsumen akhir b. Komoditas ikan pindang : nelayan – pedagang pengumpul – pengolah – konsumen akhir Pada aspek produksi kelembagaan juga menjadi hal penting yang harus diteliti dan dilakukan evaluasi. Di Kendari banyak terdapat kelompokkelompok nelayan yang menjadi mitra atau binaan dari tiap-tiap cold 28
storage yang ada disana. Didalam kelompok tersebut terdapat kepengurusan yang mengatur semua yang berhubungan dengan kepentingan anggota dan perusahaan. Komira bermitra dengan kelompok nelayan Bersama Untuk Maju yang didalamnya terdapat 8 kapal dengan jumlah awaknya sebanyak 10-15 orang tiap kapal. Di dalam kelompok tersebut diatur waktu penangkapan untuk masing-masing kapal dengan harapan stok ikan akan terus tersedia dan juga penetapan harga yang merupakan kesepakatan dengan KOMIRA. Untuk menambah penghasilan kelompok ini membolehkan anggotanya menjual ikan ke pedagang pengumpul atau pengecer lain dengan syarat pasokan ke KOMIRA sudah terpenuhi. Sistem pengupahan di dalam kelompok dibagi menjadi beberapa bentuk yaitu : 1). ABK mendapat gaji tiap bulan sebesar Rp 1.500.000 – 2.000.000/bulan tergantung hasil tangkapan; 2). Setiap hari pengurus memberikan uang makan untuk ABK sebesar Rp 50.000; 3). Tiap ABK diperbolehkan memancing pada saat melaut yang bisa dijual ke pengecer untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sementara itu di Lamongan PT. Komira tidak bekerja sama dengan kelompok nelayan manapun karena mereka tidak menambah pasokan bahan baku dari nelayan lokal tapi mendatangkan dari Kendari atau Jakarta. Tingginya pengaruh agen atau pedagang pengumpul dalam menentukan harga pasar dan aktivitas penangkapan juga mempengaruhi nelayan menjadi sulit untuk membentuk kelompok. 2.2.4. Regulasi/Kebijakan Terkait Kebijakan SLIN harus mencakup upaya sinkronisasi dan penyempurnaan penyempurnaan peraturan perundangan yang telah ada atau menyiapkan payung hukum bagi 6 (enam) key driver lainnya . Sampai pada saat penelitian sudah ada beberapa regulasi yang dibuat untuk mendukung SLIN namun untuk fokus pada aspek produksi belum ada seperti yang dijelaskan pada
29
Tabel 11.
30
Tabel 11.
Peraturan yang Sudah Diterbitkan untuk Mendukung SLIN
No 1
Regulasi Pusat Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 5/PERMENKP/2014
2
Penetapan KOMIRA sebagai operator utama SLIN melalui Keputusan Direktur Jenderal P2HP KKP RI, Nomor 28/4/P2HP/TO2010/2014 Perjanjian Kerjasama DIRJEN P2HP-KKP dengan KOMIRA sebagai operator utama SLIN Tahap Awal dengan No. 08/P2HPPKS/IX/2014 – 3091/KMR/IX/2014
3
Isi Sistem Logistik Ikan Nasional (SLIN) adalah sistem manajemen rantai pasokan ikan dan produk perikanan dari hulu ke hilir KOMIRA sebagai operator SLIN
Mencantumkan hak dan kewajiban operator
Sumber : Laporan SLIN Ditjen P2HP KKP, 2015
Regulasi yang mendukung Kendari sebagai sentra produksi belum banyak diluncurkan sehingga dukungan dari daerah masih belum optimal. Di Kendari dan Lamongan justru adanya Peraturan Menteri mengenai pelarangan penggunaan alat tangkap cantrang yang mayoritas digunakan di kedua daerah tersebut dan berdampak kepada menurunkan produksi hasil tangkapan. Di samping itu, belum ada juga regulasi yang secara jelas menetapkan siapa (lembaga/institusi) yang menjadi penanggung jawab pelaksanaan SLIN di tingkat lapangan sehingga kesulitan dalam melakukan koordinasi dan monitoring. Perlu adanya regulasi atau kebijakan dari Pemerintah Pusat untuk mendukung operasionalisasi SLIN di tingkat lapangan. 2.2.5. Infrastruktur dan Sarana Transportasi Laut Untuk menunjang keberhasilan sistem logistik ikan nasional faktor infrastruktur menjadi salah satu kunci utama yang harus diperhatikan. Dalam kaitannya dengan aspek produksi atau pengadaan stok ikan infrastruktur di daerah hulu harus dijadikan prioritas. Sarana produksi (kapal tangkap), sarana pengangkutan (kapal, mobil), cold storage, pabrik es, dermaga, jalan dan tempat parkir menjadi prasyarat infrastruktur logistik pada implementasi SLIN. Dirjen P2HP telah memfasilitasi sarana dan
31
prasarana yang dibagun di daerah-daerah yang termasuk koridor 1 agar bisa mendukung keberlanjutan program SLIN. Tabel 12.
Sarana dan Prasarana Fasilitas DJP2HP untuk Mendukung SLIN
No 1
Sarana prasarana Cold Srorage Kapasitas 300 ton
Lokasi PPS Kendari Tenggara
2
Cold Srorage Kapasitas 400 ton
PPN Brondong, Jawa Timur
Lamongan,
Belum operasi
3
Cold Srorage Kapasitas 1000 ton
BBP2HP Muara Jakarta
Baru,
DKI
Sudah operasi
4
Sarana Pemasaran Bergerak Roda dan 10 Box Berefrigerasi Sarana Pemasaran Bergerak Roda – 6 Box berefrigerasi
BBP2HP Muara Jakarta
Baru,
DKI
Sudah operasi
Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Utara, Kota Tengerang, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Tangerang, Kota Bekasi, Kota Bandung, Kota Depok, Kota Tasikmalaya, di Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Karawang, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Subang, Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Gunung Kidul, Kota Pekalongan, Kabupaten Kendal, Kabupaten Rembang, Kabupaten Pati, Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Sampang, Kabupaten Tulung Agung, Kabupaten Lamongan, Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten Badung;
Sudah operasi
5
Sulawesi
Status Blm operasi
32
No 6
Sarana prasarana Sarana Pemasaran Bergerak Roda – 4 Bak Terbuka
Lokasi di Kota Kendari, Kota Kendari, Kota Bau – Bau, Kabupaten Buton, Kabupaten Konawe, Kota Jakarta Selatan, Kota Jakarta Timur, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Subang, Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Gunung Kidul, Kota Pekalongan, Kabupaten Pati, Kabupaten Kendal, Kabupaten Rembang, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Lamongan dan Kabupaten Banyuwangi
Status Roda dua dan 4 digunakan oleh kelompok yang ditunjuk oleh dinas propinsi bukan kepada KOMIRA
Sumber : Laporan SLIN DJP2HP KKP, 2014
Namun dari sarana dan prasarana yang sudah diberikan pemerintah belum ada yang secara langsung mendukung peningkatan produksi yang diharapkan oleh Kota Kendari. Di daerah Konawe sebagai salah satu kantong produksi bagi Kota Kendari terbatasnya pabrik es membuat nelayan disana harus menempuh 3 jam perjalanan ke Kota Kendari hanya untuk membeli es. Tentunya hal ini menambah biaya operasional yang harus dikeluarkan nelayan. Kondisi dermaga di PPS Kendari yang belum dibedakan antara dermaga bongkar muat, dermaga perbekalan dan persiapan kapal juga menjadi salah satu permasalahan yang dialami oleh daerah hulu. Kebijakan SLIN harus fokus untuk memberdayakan jasa-jasa yang terkait dengan usaha perikanan dan memberikan kesempatan seluasluasnya kepada para penyedia jasa logistik untuk mengembangkan usahanya dengan tetap memperhatikan kepentingan dan tujuan utama kebijakan ini. Di PPS Kendari tercatat baru satu perusahaan penyedia jasa logistik sehingga masih belum mampu mendukung ketersediaan ikan sepanjang hari dan kelancaran pengiriman ikan ke Jakarta dan Surabaya. 2.2.6. IPTEK dan Sumberdaya SLIN selain untuk mengatasi disparitas harga dan ketersediaan ikan sepanjang tahun, program ini juga bertujuan untuk mengembangkan dan 33
meningkatkan kompetensi sumber daya manusia yang di usaha perikanan tersebut yang pada gilirannya akan memperbaiki kinerja tempat SDM tersebut berkarya. Dari sisi produksi maka sumber daya manusia yang dimaksud adalah nelayan, baik pemilik kapal maupun ABK, baik nelayan binaan perusahaan ataupun nelayan mandiri. Di Kendari dan Lamongan sumber daya manusianya masih tergolong belum begitu berkompeten dan menguasai teknologi penangkapan. Terbatasnya akses untuk memperoleh informasi menjadi salah satu penyebab selama ini tiap nelayan hanya menggunakan insting dan belajar secara otodidak untuk meningkatkan hasil tangkapan. Selain itu tidak adanya sumber daya manusia yang berkompeten dalam menjalankan jasa logistik dan penyediaan informasi terkait dinamika harga, produksi dan distribusi juga menjadi masalah yang bisa menghambat keberhasilan implementasi SLIN. Kebijakan logistik ikan nasional harus menentukan arah pembangunan jaringan teknologi informasi dan intensifikasi pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk menunjang kualitas dan kinerja sektor perikanan sehingga mampu memonitor pergerakan komoditi setiap saat. Sehingga ke depan diharapkan pelaku usaha perikanan mulai dari sektor hulu hingga hilir bisa memiliki informasi secara realtime mengenai harga dan komoditasnya. Nelayan-nelayan yang mendaratkan kapalnya di PPS Kendari merupakan nelayan lokal dan sekitar yang mendapatkan ilmu dan pemahaman mengenai alat tangkap, daerah tangkapan dan peralatan kapal secara otodidak. Hampir di tiap kapal tidak ditemukan teknologi terbaru yang bisa digunakan dalam mencari ikan. DI PPS Kendari sebenarnya telah tersedia perpustakaan yang didalamnya terdapat banyak literatur yang bisa bermanfaat bagi usaha penangkapan. Namun sarana tersebut terlihat sepi dan tidak termanfaatkan. Masih terbatasnya tingkat teknologi penangkapan ikan yang diaplikasikan nelayan berdampak pada besarnya pengaruh musim terhadap proses penangkapan ikan akibatnya produksi perikanan sangat tergantung dengan musim. Sementara itu dari sisi teknologi informasi mengenai produksi dan permintaan hingga saat ini masih bersifat parsial dan temporal. Informasi 34
produksi yang belum mampu menampilkan jumlah produksi per satuan waktu secara time series sehingga belum bisa memberikan gambaran jumlah ketersediaan ikan setiap waktu. Selain itu informasi mengenai permintaan juga belum ada secara rinci tiap waktunya di daerah hulu sehingga menyulitkan untuk dapat membuat desain ketersediaan ikan tiap waktu. Secara fisik di Kendari dan Lamongan belum terlihat infrastruktur untuk mendukung update informasi mengenai jumlah produksi, tingkat permintaan dan harga bagi nelayan dan pengusaha cold storage. 2.3.
Analisis Dinamika Harga, Musim Penangkapan dan Saluran Distribusi Stok Ikan
Produksi perikanan di Kendari didukung oleh beberapa daerah di sekitarnya yang menjadi kantong produksi diantaranya Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Buton, Konawe, Bau-bau dan Bombana. Dinamika produksi di wilayah perairan Kendari mengalami dua musim puncak yaitu bulan Maret dan Oktober yang berbanding terbalik dengan harga komoditas ikan tersebut. Hal ini terjadi karena kurangnya penyerapan pasar pada musim banyak ikan sehingga menyebabkan harga tinggi serta tidak adanya sistem inventori sehingga harga akan semakin tinggi pada musim produksi terendah. Antara harga dan produksi perikanan tangkap di Kendari mengalami dinamika yang berbanding terbalik, hal ini diduga karena kurangnya serapan pasar pada musim penangkapan tinggi sehingga menyebabkan harga rendah. Harga ikan pada tingkat nelayan di Kota Kendari mengalami fluktuasi yang cukup tinggi antara musim penangkapan tinggi dan musim penangkapan rendah. Pada 3 komoditas ikan utama dinamika harga tertinggi terlihat pada harga ikan tongkol dimana harga pada saat musim penangkapan rendah mencapai Rp 17.500 sedangkan pada musim penangkapan tinggi harga ikan turun drastis hingga Rp 6.500/kg. Sedangkan dinamika terendah terjadi pada harga ikan cakalang dimana harga tertinggi Rp 18.000/kg dan harga terendah pada Rp 14.500/kg. Dinamika harga disajikan pada Gambar 4.
35
20000 18000 16000 14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0
musim ikan tinggi musim ikan rendah
Layang
Gambar 4.
tongkol
cakalang
Dinamika harga 3 komoditas ikan utama pada tingkat nelayan di Kota Kendari tahun 2015
Untuk dinamika harga di Kabupaten Wakatobi berbeda dengan harga di Kabupaten Buton dimana lebih fluktuatif di Wakatobi. Di Kabupaten Wakatobi musim puncak ikan terjadi pada bulan Februari dan Maret (harga akan turun drastis) dan musim paceklik terjadi pada bulan Mei, Juni dan Juli. Harga ikan layang pada musim puncak mencapai titik terendah Rp 2000 / kg sedangkan pada musim paceklik sebesar Rp 10.000/kg. Ikan yang paling mahal di kabupaten tersebut adalah ikan kembung dengan harga sebesar Rp 20.000/kg pada musim puncak ikan dan mencapai Rp 40.000/kg pada saat musim paceklik ikan. Sedangkan harga ikan pelagis bahan baku pindang di Kabupaten Buton bervariasi tergantung pada jenis dan ukuran ikan serta musim penangkapan ikan. Di kabupaten ini musim puncak terjadi pada bulan Februari dan Maret dimana harga ikan pelagis utama mencapai Rp 2.000/kg sedangkan musim paceklik terjadi pada bulan Mei-Juli dengan harga ikan tertinggi Rp 20.000/kg Jalur masuk ikan di Kendari didasarkan pada 2 titik utama yaitu PPS Kendari dan TPI Soudaha. Semua ikan yang masuk dari kantong-kantong produksi masuk melalui kedua titik tersebut. Perbedaan ikan yang masuk dari kedua titik tersebut yaitu dari jenis ikannya dimana ikan yang masuk di PPS Kendari mayoritas adalah ikan-ikan pelagis seperti layang, tongkol, 36
kembung, tembang sedangkan ikan yang masuk melalui TPI Soudaha adalah jenis ikan demersal. Namun antara kedua titik tersebut terjadi konektivitas yang memungkinkan arus ikan bergerak diantara dua wilayah tersebut. Untuk jalur distribusi keluar PPS Kendari mempunyai konektivitas yang lebih luas dibandingkan dengan TPI Soudaha. Ikan dari PPS Kendari didistribusikan ke wilayah Sulawesi (Makasar dan Bitung), Bali dan Jawa sedangkan dari TPI Soudaha dipasarkan ke pasar lokal. Jalur distribusi di daerah ini disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5.
Jalur Distribusi Ikan di PPS Kendari tahun 2015
Biaya distribusi ikan di Sulawesi Tenggara bervariasi tergantung sistem pengangkutan, jarak dan volume pengangkutannya. Sistem 37
pengangkutan akan menentukan lamanya proses pengangkutan. Proses pengangkutan dari Kendari ke Surabaya memerlukan 58 jam perjalanan dengan kapal kontainer sedangkan dari Kendari ke Jakarta membutuhkan waktu 7-8 hari dengan kapal pengangkut ikan non kontainer. Ikan yang masuk dari kantong produksi ke PPS Kendari berbeda-beda persentasenya diantaranya dari Kabupaten Buton Utara sebanyak 100 % masuk ke Kota Kendari, dari Kabupaten Wakatobi sebanyak 80 % ke Kota Kendari dan sisanya untuk kebutuhan lokal, dari Kota Bau-bau sebanyak 25 % ke Kota Kendari sedangkan 75 % ke Surabaya, Jakarta dan Bali. 2.4.
Model Pengembangan SLIN melalui Pendekatan Pengadaan Stok Ikan
Perumusan model pengembangan SLIN khusus untuk pengadaan stok (produksi) dilakukan bertujuan untuk memperbaiki sistem produksi yang sudah ada pada tahap pertama dengan berbagai kelemahan yang masih ada. Sistem produksi difokuskan pada cara untuk menjamin ketersediaan stok terutama untuk bahan baku ikan pindang sepanjang tahun. Uraian sebelumnya telah diketahui bahwa hasil identifikasi faktor penentu keberhasilan SLIN terdiri dari ketersediaan komoditas penentu, regulasi, kelembagaan, infrastruktur logistik, SDM dan teknologi informasi dan komunikasi. Faktor tersebut akan dijadikan komponen dalam merumuskan model pada lokasi produksi. Berdasarkan tingkat kebutuhan dari 6 (enam) faktor penentu keberhasilan SLIN di daerah produksi maka komponen ketersediaan komoditas penentu menjadi urutan pertama yang harus dirumuskan modelnya dalam jangka waktu pendek sebagaimana yang tertuang dalam Tabel. Tabel 13. Tingkat Kebutuhan Pengembangan Aspek Penentu Keberhasilan SLIN di Daerah Produksi Terkait dengan Pengadaan Stok Ikan No 1
Peringkat Kebutuhan 1
2
Faktor Penentu Sistem Produksi (ketersediaan komoditas ikan) Sistem Distribusi
3 4
Sistem Pemasaran dan pasar Regulasi
3 4
6
38
No 5 6
Faktor Penentu Infrastruktur dan prasarana transportasi laut Iptek dan sumberdaya
Peringkat Kebutuhan 2 5
Sumber : Hasil Olahan Data Primer, 2015
Dalam menjalankan fungsinya sebagai pemasok bahan baku usaha pemindangan ikan, Komira bekerjasama dengan nelayan binaannya melalui pelabuhan Kendari untuk kemudian dibawa ke Lamongan atau Jakarta menggunakan kapal. Saat ini KOMIRA bermitra dengan 8 (delapan) kelompok nelayan dimana dalam 1 kelompok terdapat 4-6 kapal sehingga total kapal yang dimiliki Komira sebanyak 35 kapal. Dengan biaya operasional Rp 50.000.000/trip/kapal nelayan-nelayan tersebut hanya mampu memasok ikan sebanyak 50 ton / trip. Setiap hari kapal yang berangkat melaut sebanyak 5 kapal dengan jumlah trip 7 hari sehingga dalam 1 trip masing-masing kapal hanya bisa menghasilkan ikan sebanyak 10 ton. Jadi jika 35 kapal yang dimiliki diberangkatkan dalam hari yang sama maka KOMIRA bisa mendapatkan pasokan ikan sebanyak 350 ton tiap tripnya. Padahal kebutuhan pasokan bahan baku sebanyak 500 ton. Oleh karena itu KOMIRA harus menambah jumlah armada kapal sebanyak 15 buah yang berukuran 30 GT. Selain itu KOMIRA juga harus menambah pasokan bahan baku dengan membangun cabang di kantong-kantong produksi yang ada di daerah sekitar Kota Kendari, diantaranya di Kabupaten Buton, Kabupaten Konawe, Kabupaten Kolaka dan Kota Bau-bau. Cabang tersebut juga melakukan kemitraan dengan kelompok-kelompok nelayan seperti yang dilakukan di Kota Kendari. Disamping itu dari sisi kelembagaan terutama untuk produksi perlu adanya sinergi yang baik dan berkomitmen antara Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi dengan Dinas KP Kota Kendari serta dengan KOMIRA untuk mengendalikan dan mengatur berbagai bentuk bantuan dari pusat terutama yang berhubungan dengan aktivitas penangkapan. Kelompok nelayan Bersama Untuk Maju adalah kelompok binaan KOMIRA yang bertugas memasok produksi bahan baku ikan pindang. Saat ini jumlah kapal di kelompok BUM sebanyak 35 kapal yang setiap hari 39
berangkat 5 kapal dengan hasil produksi 10 ton/kapal sehingga jika 35 kapal berangkat semua dan menghasilkan produksi maksimal maka produksi yang bisa dihasilkan sebanyak 350 ton. Sementara itu kebutuhan bahan baku minimal 500 ton/hari untuk memenuhi kebutuhan ikan pindang nasional. Oleh karena itu saran rekomendasi yang bisa diusulkan adalah : Kementerian Kelautan dan Perikanan memberikan bantuan jumlah armada kapal sebanyak 15 unit dengan ukuran 30 GT keatas dimana bantuan kapal tersebut bisa dialokasikan dari beberapa alternatif yaitu relokasi kapal inka mina yang tidak termanfaatkan dari daerah lain ke Kendari. Selain itu fasilitas dermaga di PPS Kendari juga perlu dilakukan perbaikan dan pembedaan fungsi antara dermaga bongkar muat, dermaga perbekalan dan dermaga pendaratan. Dari sisi KOMIRA untuk meningkatkan produksinya selain dari kelompok nelayan binaannya sebaiknya juga dari nelayannelayan mandiri yang berasal dari Kota Kendari dan juga kantong-kantong produksi lainnya seperti Kota Bau-bau, Kabupaten Konawe, Kabupaten Buton dan Kabupaten Wakatobi dengan sistem kemitraan lainnya.
Gambar 6.
Model Pengembangan SLIN melalui Pendekatan Pengadaan Stok Ikan 40
41
III. PENUTUP Sistem Logistik Ikan Nasional adalah sebuah kebijakan yang diluncurkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk menjamin ketersediaan stok dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumsi nasional sepanjang tahun. Tujuan lain dari program ini yaitu untuk mengantisipasi disparitas harga antara daerah barat dengan daerah timur. Implementasi SLIN tahap pertama sudah dilakukan di Koridor Kendari-Jawa-Bali untuk pemenuhan kebutuhan bahan baku industri pindang nasional. PT. KOMIRA ditunjuk sebagai operator untuk menjalankan program ini dari hulu hingga hilir. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa Kendari (KOMIRA cabang Kendari) masih belum berhasil menjadi daerah hulu yang bertugas menjamin kontinuitas stok bahan baku pindang sepanjang tahun. Kendari hanya mampu memasok 30 % dari total kebutuhan nasional.Beberapa penyebab diantaranya karena KOMIRA di Kendari masih belum banyak memiliki nelayan binaan yang memasok ikan pada mereka. Selain itu ukuran armada penangkapan yang dimiliki oleh nelayan di Kendari juga menjadi kendala untuk mencari fishing ground yang lebih jauh. Oleh karena itu beberapa rekomendasi yang bisa diusulkan diantaranya adalah :1). Menambah armada kapal ukuran 30 GT di Kendari baik dengan cara pemberian bantuan atau merelokasi kapal inka mina dari daerah lain yang tidak termanfaatkan; 2) Selain dengan nelayan binaan sebaiknya KOMIRA juga bermitra dengan nelayan-nelayan mandiri; 3) Perlu adanya kelembagaan khusus yang mengatur mengenai sistem produksi yang sudah disepakati antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
42
DAFTAR PUSTAKA Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku. 2010. Naskah Akademik Maluku sebagai Lumbung Ikan Nasional. Kerjasama Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku dan Institut Pertanian Bogor. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Tenggara. 2013. Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2013. Direktorat Pemasaran Dalam Negeri, Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2012. Masterplan Sistem Logistik Ikan Nasional (Draft). Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Maluku. 2013. Laporan Kinerja Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Maluku. Istijanto, 2009. Aplikasi Praktis Riset Pemasaran. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Cetakan 1, 2011. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No: 5 tahun 2014 tentang Sistem Logistik Ikan Nasional. Prathama R, dan Mandala M. 2004. Teori Ekonomi Mikro: Suatu Pengantar. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Edisi Ketiga. Pokja Penyusunan Masterplan SLIN. Policy Brief (tidak dipublikasikan). Sugiarto, dkk. 2002. Ekonomi Mikro: Sebuah Kajian Komprehensif. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Sukirno, S. 2004. Pengantar Teori Mikro Ekonomi. Edisi Ketiga. PT. Radja Grafindo Persada, Jakarta. Tajerin, dkk. 2014. Laporan Teknis Pelaksanaan Kegiatan Penelitian Maluku Sebagai Lumbung Ikan Nasional. Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Jakarta.
43