.......................Dari Redaksi Sidang Pembaca Yang Terhormat,
P
enerbitan Majalah Berita Inderaja LAPAN merupakan media distribusi informasi per kembangan teknologi penginderaan jauh (inderaja). Materi tulisan yang disajikan pada edisi Juli 2010, merupakan hasil kegiatan pene litian dan operasional di Kantor Kedeputian Bidang Penginderaan Jauh LAPAN - Jakarta dan kiriman sebuah judul makalah/ tulisan Peneliti dari Kantor LEMIGAS - Jakarta. Tu lisan/ artikel adalah hasil pemanfaatan data satelit inderaja, diantaranya menggunakan data satelit LAPAN TUBSAT, Landsat-5 dan Landsat-7, SPOT-4, ALOS, Palsar, MODIS, Qmorph dan SRTM. Diharapkan materi/ tulisan yang disampaikan dapat berman faat bagi pembaca. Tema tentang pemanfaatan data satelit inderaja untuk ke tersediaan informasi potensi perkebunan kelapa sawit mengisi ruang pada Rubrik Topik Inderaja dengan judul : Informasi Spasial Sebaran dan Potensi Perkebunan Kelapa Sawit dari Data Penginderaan Jauh di Provinsi Sumatera Selatan. Rubrik Pengolahan Data Inderaja menyajikan tulisan: Teknik Orthorektifikasi Multi Oblique Image Satellite dengan Metode Digital Mono Plotting (DMP), Ratio Polynomial Coefficient (RPC), dan Rigorious Satellite Sensor Model; Teknik Penurunan Digital Surface Model (DSM) SRTM90 menjadi DSM SRTM10 Menggunakan Interpolasi Kriging (CoKriging) Studi Kasus: Wilayah Semarang dan Sekitar; dan Meningkatkan Kemampuan Citra untuk Ekstraksi Informasi Penutup Lahan Melalui Minimalisasi Pengaruh Liputan Awan dan Kabut. Pada Rubrik Aplikasi Inderaja, disajikan beberapa judul tulisan, diantaranya adalah: Analisis Persebaran Titik Panas (Hotspot) Indikasi Kebakaran Hutan dan Lahan di Wilayah Kalimantan Sepanjang Tahun 2001-2009 dan Analisis Data Penginderaan Jauh untuk Pemantauan Lingkungan Danau Ranau dan Danau Maninjau. Penyebarluasan informasi produk data dan perkembangan teknologi sate lit inderaja saat ini, dimuat pada Rubrik Informasi Data Inderaja. Judul tulisan nya adalah: Aktivitas Siklon Tropis di Lautan Pasifik Barat, dan Lautan China Selatan dan Dampaknya Terhadap Curah Hujan di Indonesia, Program Satelit Lingkungan Berorbit Polar NPOESS, dan Analisis Curah Hujan di Indonesia Berdasarkan Data Penginderaan Jauh Qmorph Tahun 2009. Kami berusaha menyajikan informasi pemanfaatan data inderaja yang up to date. Informasi disampaikan melalui makalah/tulisan, artikel dan pemuatan poster Peta Citra Satelit inderaja meliputi wilayah di seluruh Indonesia. Pada kesempatan ini, redaksi menyampaikan permohonan ma’af, karena belum dapat memenuhi semua permintaan pembaca yang disampaikan melalui pe ngembalian Formulir Tanggapan Surat Pembaca. Dan diharapkan pada edisi mendatang, secara bertahap kami dapat memenuhi permintaan pembaca. Te rima kasih atas perhatiannya, selamat membaca. Hormat Kami, Redaksi
BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010
Diterbitkan oleh: Bidang Penyajian Data, Pusat Data Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Pelindung: Kepala LAPAN, Deputi B idang Penginderaan Jauh Penanggung Jawab: Kepala Pusat Data Penginderaan Jauh Editor: Ir. Mahdi Kartasasmita M.S, Ph.D, Prof. Drs. Mulyadi Kusumowidagdo, Prof. DR. F. S. Hardiyanti Purwadhi. Staf Redaksi: Ir. Yuliantini Erowati, M. Si, Yudho Dewanto ST, Drs. Mohammad Natsir, M.T, Abdul Kholik, SH Staf Sekretariat: Arief Nurcahyo, Abdul Makmun, Bambang Haryanto, SE, Suhariyanti. Alamat Redaksi: Bidang Penyajian Data, Pusat Data Penginderaan Jauh LAPAN, Jl. Lapan No. 70 Jakarta 13710. Telp.: (021) 8717715, 8710786, 8721870. Fax.: (021) 8717715 Website: http://www.lapanrs.com. Email:
[email protected]. Majalah ini diterbitkan untuk pengguna data satelit penginderaan jauh LAPAN. Redaksi menerima tulisan, saran, dan kritik dari para pembaca. Naskah mohon diketik satu spasi dan bila ada gambar dalam format (.gif/.tiff). Frekuensi terbit: 2 kali setahun.
3
Surat Pembaca............................................. Agar lebih sering/banyak memberikan bim bingan dan pelatihan di daerah-daerah khususnya Kabupaten/Kota agar bisa lebih optimal di dalam memanfaatkan penginderaan jauh untuk ILM. Agung Nugroho Ka.Subbag Pengendalian Bagian Pembangunan Perum Korpri Blok B-I No. 16 Jl. Jelarai Tanjung Selor, Bulungan, Provinsi Kalimantan Timur Terima kasih atas saran Bapak Agung Nugroho. Pada kesempatan ini kami sampaikan bahwa Pusat Data Penginderaan Jauh LAPAN hingga saat ini tetap giat melaksanakan kegiatan sosialisasi/pro mosi dan kerjasama dengan Pemerintah Daerah Ka bupaten/Kota, seperti : menyelenggarakan kegiatan Pameran, Kunjungan Kerja ke daerah, Penelitian dan Bimbingan Teknis. Untuk informasi lebih leng kap dapat menghubungi Iklan Layanan Masyarakat (ILM) Bidang Penyajian Data pada Pusat Data Penginderaan Jauh LAPAN : Jl. LAPAN No. 70, Pekayon Pasar Rebo, Jakarta Timur 13710, Telp. (021) 8710786; Fax. 8717715. Email :
[email protected] ; Website : http://www.lapanrs.com _______________________________________ Kami ucapkan terima kasih atas pengiriman majalah Berita Inderaja, dimana informasi pengin deraan jauh sangat dibutuhkan dalam pengolahan data dan GIS yang telah kami miliki. Kami meng harapkan kedepan dapat terjalin kerjasama dalam pengolahan inderaja yang lebih teknis lagi. Akhir kata, kami mengharapkan informasi inderaja untuk meningkatkan pengetahuan. Muhammad Ikhwan Lubis, ST. MT. Kepala Sub. Bidang Penataan Ruang Bappeda Kota Tanjungbalai Jl. Jend. Sudirman Km. 5.5, Kota Tanjungbalai. Bapak Muhammad Ikhwan Lubis, ST. MT, terima kasih atas apresiasinya. Majalah Berita Inde raja adalah media publikasi informasi pemanfaatan 4
teknologi Penginderaan Jauh. Redaksi berharap penerbitan majalah ini dapat membantu dan mem permudah dalam penyelesaian tugas yang terkait dengan pengolahan data inderaja dan GIS di Kantor Bapak. Harapan kedepan dapat menjalin kerjasama dalam pengolahan data inderaja yang lebih teknis lagi, semoga terlaksana. _______________________________________ Kapan Danau Maninjau untuk dibuatkan foto satelit Daerah Tangkapan Airnya dan citra 3 Di mensi ? Muhammad Abril. Ka.Subbag Pertambangan dan Energi Jl. Sudirman No. 1 Lubuk Basung Provinsi Sumatera Barat Terima kasih atas atensi Bapak Muhammad Abril. Sesuai dengan pertanyaan yang telah di sampaikan, Radaksi majalah berusaha untuk men jawab dan memenuhi harapan pembacanya. Pada penerbitan majalah No.16 edisi Juli 2010 kali ini, ditampilkan tulisan/artikel dengan judul: Anali sis Data Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan Lingkungan Danau Ranau Dan Danau Maninjau. Mudah-mudahan tulisan/artikel yang ditampilkan dapat menjawab dan bermanfaat. _______________________________________ Sudah bagus dan kalau bisa terbit 2 kali seta hun M. Murhi Dayat Jl. Arwana III Blok AA4/5 Perum Taman Pagelaran Ciomas Bogor, Provinsi Jawa Barat Dalam kesempatan ini kami sekaligus men jawab beberapa pertanyaan/permohonan serupa yang disampaikan ke meja redaksi. Majalah Berita Inderaja hingga saat ini penerbitannya 2 kali terbit dalam 1 Tahun dan merupakan media penyebarlu asan informasi pemanfaatan teknologi dan aplikasi penginderaan jauh LAPAN. Terima kasih atas ko mentar Bapak M. Murhi Dayat.
BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010
DAFTAR ISI
BERITA INDERAJA Volume IX, No. 16, Juli 2010 - ISSN 1412-4564
TOPIK INDERAJA Informasi Spasial Sebaran dan Potensi Perkebunan Kelapa Sawit dari Data Penginderaan Jauh di Provinsi Sumatera Selatan Halaman 6
DARI REDAKSI 3 SURAT PEMBACA
BERITA RINGAN 4
PENGOLAHAN DATA INDERAJA l l l
Teknik Orthorektifikasi Multi Oblique Image Satellite dengan Metode Digital Mono Plotting (DMP), Ratio Polynomial Coefficient (RPC), dan Rigorious Satellite Sensor Model 13 Teknik Penurunan Digital Surface Model (DSM) SRTM90 menjadi DSM SRTM10 Menggunakan Interpolasi Kriging (CoKriging) Studi Kasus: Wilayah Semarang dan Sekitar 20 Meningkatkan Kemampuan Citra untuk Ekstraksi Informasi Penutup Lahan Melalui Minimalisasi Pengaruh Liputan Awan dan Kabut 25
APLIKASI INDERAJA l l
Analisis Persebaran Titik Panas (Hotspot) Indikasi Kebakaran Hutan dan Lahan di Wilayah Kalimantan Sepanjang Tahun 2001 - 2009 31 Analisis Data Penginderaan Jauh untuk Pemantauan Lingkungan Danau Ranau dan Danau Maninjau 37
INFORMASI DATA INDERAJA l l l
Aktivitas Siklon Tropis di Lautan Pasifik Barat dan Lautan China Selatan dan Dampaknya Terhadap Curah Hujan di Indonesia 43 Program Satelit Lingkungan Berorbit Polar NPOESS 50 Analisis Curah Hujan di Indonesia Berdasarkan Data Penginderaan Jauh Qmorph Tahun 2009 57
BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010
l l
Simposium GEOSS (Global on Earth Observations System of Systems) Asia Pasific Ke 4 di Hotel Sanur Paradise Plaza, Bali. 62 Kerjasama antara LAPAN dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur 63
PERISTIWA DALAM GAMBAR l l l
Kunjungan Mahasiswa Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang Ke Fasilitas Pusat Data Penginderaan Jauh LAPAN, Pekayon – Jakarta 64 Ditopad Selenggarakan Simposium dan Pameran Teknologi Survei dan Pemetaan 65 Seminar Nasional Manajemen Pulau-Pulau Terluar 66
POSTER
l l
Peta Citra Satelit LAPAN TUBSAT (Orthoimage) Bandara Husein Satranegara Bandung 71 PCS Satelit Landsat-5 TM Tahun 2006 DTA Danau Ranau Provinsi Sumatera Selatan 72
COVER
Depan : Depan Dalam : Belakang Dalam: Belakang :
PCS 3D Sumatera Selatan Citra Satelit Landsat-5 TM Tahun 2006. DTA Danau Maninjau Prov. Sumatera Barat. Peta Digital Surface Model (DSM) 10 Wilayah Semarang dengan Polynomial Drift Order 2 Peta Tingkat Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan Kalimantan 5
TOPIK INDERAJA
Informasi Spasial Sebaran dan Potensi Perkebunan Kelapa Sawit dari Data Penginderaan Jauh di Provinsi Sumatera Selatan Oleh: Florentina Sri Hardiyanti Purwadhi, Nanik Sur yo Har yani, Sukentyas Estuti Siwi
I
nventarisasi, pemantauan, evaluasi, dan potensi la han untuk perkebunan dapat dilakukan secara cepat dan tepat dengan menggunakan data penginderaan jauh. Inventarisasi, pemantauan sebaran perkebunan ke lapa sawit berdasarkan interpretasi penutup lahan citra penginderaan jauh, sedangkan penentuan potensi lahan untuk tanaman/perkebunan kelapa sawit didasarkan hasil analisis kesesuaian lahan dan evaluasi lahan untuk tanaman kelapa sawit. Berdasarkan hal tersebut LAPAN tahun 2009 telah mengadakan kerjasama dengan Direk torat Jendral Perkebunan, untuk menginventarisasi se baran perkebunan kelapa sawit di beberapa provinsi. Tujuan penelitian untuk (1) melakukan inventarisasi perkebunan kelapa sawit dan menyajikannya dalam ben tuk spasial, berdasarkan interpretasi penutup lahan citra penginderaan jauh SPOT di Provinsi Sumatera Selatan dengan skala 1 : 250.000. (2) Menentukan potensi lahan untuk tanaman/perkebunan kelapa sawit di Provinsi Sumatera Selatan. (3) Menghitung luas penutup lahan, sebaran perkebunan, dan potensi lahan untuk perke bunan kelapa sawit, dari hasil kajian dari SPOT4 tahun 2008/2009 Provinsi Sumatera Selatan Metode inventarisasi, evaluasi, penilaian potensi, dan perhitungan luas perkebunan kelapa sawit di Pro vinsi Sumatera Selatan, dengan suatu rancangan model sesuai dengan pokok permasalahan serta kondisi setem pat. Analisis dengan pendekatan keruangan, didasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi pola penyebaran perkebunan kelapa sawit, sehingga pola tersebut dapat dimodifikasi atau diubah, agar penyebarannya lebih efisien dan seimbang. Rancangan model seperti Gambar 1, yang dibagi dalam 9 (sembilan) tahapan, mulai dari (1) pengumpulan data meliputi data spasial dan ta 6
bular daerah penelitian, (2) penyusunan dan manajemen basis data, (3) pembuatan peta tematik, (4) Klasifikasi/ interpretasi penutup lahan/penggunaan lahan dari data penginderaan jauh satelit multi temporal, (5) perhitun gan luas penutup/penggunaan lahan hasil interpretasi, (6) ekstraksi penutup lahan perkebunan (kelapa sawit dan non kelapa sawit) dari hasil interpretasi citra (7) per hitungan luas perkebunan kelapa sawit (8) analisis po tensi lahan untuk tanaman kelapa sawit, (9) pembuatan peta potensi lahan untuk perkebunan kelapa sawit. Penilaian potensi memerlukan data kondisi fisik wilayah penelitian. Kondisi topografi Provinsi Sumatera Selatan mulai dari pantai timur 0 m dpl hingga gununggunung (> 2000 m dpl) dibagian barat Kabupaten Empat Lawang dan Kabupaten Musi Rawas. Karakteristik fisik berupa proses volkanik, proses diatropisme yang meng hasilkan struktur daratan, dataran tinggi, pegunungan, kubah, lipatan strata, dan patahan. Kondisi hidrologi berkaitan ketersediaan air permu kaan dan air tanah. Air permukaan di Provinsi Sumatera Selatan diperoleh dari air sungai, cekungan alam seperti (rawa, danau, dan genangan yang terdapat di bantaran sungai. Ketersediaan air tergantung lokasi dan iklim. Provinsi Sumatera Selatan terdapat 12 daerah aliran sungai (DAS). Geologi Provinsi Sumatera Selatan ada 6 proses pembentukan struktur batuan, yaitu (1) endapan permukaan, (2) batuan endapan (sedimen), (3) batuan malihan (metamorfosis), (4) batuan gunung api (volkan ik), (5) batuan intrusi, dan (6) batuan tektonit. Masingmasing kondisi fisik tersebut digunakan untuk mem buat evaluasi lahan, yang akan dibobot dalam penilaian potensi lahan untuk tanaman kelapa sawit Citra penginderaan jauh yang digunakan mosaik ci BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010
TOPIK INDERAJA SPOt 2 & SPOt 4 2008 / 2009
Koreksi Radiometrik
Geologi Jenis tanah
DAtA SURVEI LAPANGAN
Mosaik DEM SRtM Kelerengan
Layer data spasial
tItIK KONtROL tANAH (GCP)
RBI / Kontur
Iklim
Koreksi Geometrik
Penutup Lahan Lahan
Bentuk Lahan
transformasi WGS 84
Interpretasi Satuan Lahan
BASIS DAtA SPASIAL Overlay
S I
Ekstraksi Perkebunan
Overlay Overlay
G
Peta Penutup Lahan
Peta Sebaran Perkebunan
EVALUASI LAHAN
Kesesuaian Lahan Untuk tanaman Kelapa Sawit
Kriteria Persyaratan tubuh Kelapa Sawit
Peta Potensi Lahan Untuk Perkebunan Kelapa Sawit
Gambar 1. Rancangan model pengolahan data dan perhitungan potensi lahan untuk tanaman kelapa sawit.
tra SPOT 2 dan SPOT 4 tahun 2008/ 2009, sedangkan survei lapangan dilakukan bulan November 2009. Infor masi spasial yang dihasilkan dalam penelitian ini berupa peta citra satelit (PCS) pada Gambar 2, dan PCS tiga demensi (3D) pada Gambar 3, peta penutup/penggu naan lahan, peta sebaran perkebunan, dan peta potensi lahan untuk tanaman/perkebunan kelapa sawit, nasingmasing di Provinsi Sumatera Selatan skala 1: 250.000. Peta hasil klasifikasi penutup lahan Provinsi Suma tera Selatan (Gambar 4) terdiri dari 13 (tigabelas) kelas, yaitu hutan, ladang/tegalan, lahan terbuka, mangrove, rawa, sawah, perkebunan kelapa sawit, perkebunan ke lapa sawit campur, perkebunan non kelapa sawit, permu kiman, semak belukar, tambak, dan tubuh air. Luas penu tup/penggunaan lahan di Provinsi Sumatera Selatan TaBERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010
bel 1. dimana tegalan sebagai wilayah terluas di Provinsi Sumatera Selatan, yaitu 2.723.798,92 Ha (31,3 %), disusul semak belukar 1.962.594,08 Ha (22,63 %), dan hutan 1.222.589,31 Ha (14,29 %), sedangkan penutup/penggu naan lahan lainnya masing-masing kurang dari 10 %. Sebaran perkebunan di Provinsi Sumatera Selatan, diekstrak dari hasil interpretasi penutup lahan mosaik citra SPOT 2 dan SPOT 4 tahun 2008/ 2009, yang dibe dakan menjadi tiga macam, (1) perkebunan kelapa sawit, (2) perkebunan kelapa sawit campuran, dan (3) perke bunan non kelapa sawit, sedangkan penggunaan lainnya tidak dikelaskan. Hasil sebaran perkebunan di Provinsi Sumatera Selatan pada Gambar 5. Luas sebaran perke bunan Provinsi Sumatera Selatan pada Tabel 2. Luas se baran perkebunan Provinsi Sumatera Selatan dari hasil 7
TOPIK INDERAJA
Gambar 2. Peta citra satelit (PCS) SPOT 2 dan SPOT 4 Tahun 2008/2009 Provinsi Sumatera Selatan.
Gambar 3. PCS SPOT 2 dan SPOT 4 Tahun 2008/2009 tiga demensi (3D) Provinsi Sumatera Selatan. 8
BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010
TOPIK INDERAJA
Gambar 4. Peta Penutup Lahan Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2009
Gambar 5. Peta Sebaran Perkebunan Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2009 BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010
9
TOPIK INDERAJA Tabel 1. Luas penutup/penggunaan Lahan di Provinsi Sumatera Selatan No.
Penggunaan Lahan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Hutan Ladang/Tegalan Lahan Terbuka Mangrove Perkebunan Kelapa Sawit Perkebunan Kelapa Sawit Campur Perkebunan Non Kelapa Sawit Permukiman Rawa Sawah Semak Belukar Tambak Tubuh Air TOTAL
Luas Hektar (Ha) Persen (%) 1.222.589,31 14,29 2.723.798,92 31,30 80.914,40 0,92 180.817,15 2,15 763.010,18 8,75 467.220,34 5,41 325.607,28 3,74 223.995,12 2,58 109.466,08 1,26 467.558,23 5,36 1.962.594,08 22,63 50.943,53 0,58 87.191,32 1,03 8.665.705,93 100
Tabel 2. Luas sebaran perkebunan di Provinsi Sumatera Selatan No. 1 2 3 4
Penggunaan Lahan Perkebunan Kelapa Sawit Perkebunan Kelapa Sawit Campur Perkebunan Non Kelapa Sawit Non Perkebunan TOTAL
Luas Hektar (Ha) 763.010,18 467.220,33 325.607,28 7.109.868,14 8.665.705,93
Persentase (%) 8,80 5,40 3,75 82,05 8.665.705,93
Tabel 3. Luas sebaran potensi lahan untuk perkebunan kelapa sawit di Provinsi Sumatera Selatan No 1 2 3 4
Kelas Potensi Lahan berpotensi tinggi Lahan berpotensi sedang Lahan berpotensi rendah Lahan tidak berpotensi TOTAL
interpretasi citra SPOT2 dan SPOT 4 tahun 2008/2009, (1) perkebunan kelapa sawit 763.010,18 Ha (8,8%), (2) perkebunan kelapa sawit campur (dengan penutup tana man kelapa sawit > 50 %) seluas 467.220,33 Ha (5,4 %), dan (3) perkebunan non kelapa sawit seluas 325.607,28 Ha (3,75 %). Catatan : untuk penutup lahan tanaman ke lapa sawit contoh rona pada citra untuk tanaman kelapa sawit dan tanaman kelapa sawit campur sudah dicoco kan dengan kondisi lapangan (Gambar 6) Penentuan lahan potensi lahan untuk tujuan penggu naan untuk perkebunan kelapa sawit, pada penelitian ini di arahkan melalui evaluasi kemampuan lahan dan kesesuai an lahan untuk tanaman kelapa sawit. Kesesuaian lahan 10
Luas Hektars (Ha) Persen (%) 181.692,07 2,1 7.030.264,24 81,14 322.025,66 3,7 1.131.723,95 13,06 8.665.705,93 100
yang berbasis pada penggunaan lahan berkelanjutan. Penggunaan lahan diusulkan tidak akan mengakibatkan degradasi lahan baik sebagai akibat erosi (salinisasi atau pemasaman tanah) atau lainnya Evaluasi dapat dilaksanakan secara kualitatif atau kuantitatif. Kemampuan lahan merupakan kapasitas la han untuk tingkat penggunaan, sedangkan kesesuaian lahan merupakan penilaian relatif penyesuaian terha dap suatu penggunaan disini perkebunan kelapa sawit. Penilaian kemampuan lahan dari data penginderaan jauh dan sistem informasi geografis (SIG), menggu nakan sistem pembobotan dan perbandingan. Kom ponen lahan secara sistematik dikelompokkan dalam BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010
TOPIK INDERAJA
Gambar 6. Foto Titik Survei Lapangan Tahun 2009 Provinsi Sumatera Selatan
kategori potensi, penghambat, bahaya penggunaan nya. Kriteria kelas kemampuan lahan didasarkan pada ada atau tidaknya faktor pembatas, baik pembatas per manen atau pembatas sementara. Faktor pembatas adalah sifat-sifat lahan yang dapat membatasi dalam penggunaan untuk tanaman kelapa sawit. Faktor pem batas yang tidak dapat diperbaiki (iklim dan kedalaman tanah), sedangkan faktor pembatas sementara (dapat diperbaiki selama pengelolaan) antara lain kandungan hara, keasaman, drainase. Penilaian karakteristik lahan didasarkan pengelompokan kualitas lahan, menurut CRS/FAO (1983), yaitu tergantung 7 (tujuh) kualitas, adalah (1) temperatur, (2) ketersediaan air, (3) kondisi perakaran, (4) resistensi hara, (5) ketersediaan hara, (6) taksositas, (7) kondisi medan (termasuk rentan terhadap bencana). Pengelompokan unsur pokok, kua litas lahan (status lahan tidak diperhitungkan dalam penelitian ini), dan karakteristik lahan digunakan un tuk menilai potensi lahan terhadap penggunaan lahan tanaman/perkebunan kelapa sawit. Hasil analisis potensi lahan untuk perkebunan kelapa sawit di Provinsi Sumatera Selatan, yang sebaran digam barkan berupa peta potensi lahan untuk perkebunan ke lapa sawit (Gambar 7). Potensi lahan dibedakan dalam BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010
empat macam, yaitu berpotensi tinggi, berpotensi se dang, berpotensi rendah, dan tidak berpotensi. Luas se baran potensi lahan untuk tanaman/perkebunan kelapa sawit pada Tabel 3. Kriteria setiap kelas potensi lahan untuk tanaman kelapa sawit, yang terdapat di Provinsi Sumatera Selatan sebagai berikut. 1. Lahan berpotensi tinggi untuk tanaman kelapa sawit apabila lahan Sangat Sesuai seluas 181.692,07 Ha (2,1 %), terletak pada penutup lahan ladang, semak belukar, lahan terbuka, perkebunan kelapa sawit, perkebunan kelapa sawit campur, perkebunan non kelapa sawit, permukiman, berstatus sebagai areal penggunaan lain (APL) dan hutan produksi konversi (HPK). Sesuai dengan UU tentang Kehutanan (UU No. 5/1974 dan UU No. 41/99) dan Peraturan Peme rintah No. 44/2004 tentang Perencanaan Kehutanan bahwa Hutan Produksi Konversi (HPK) adalah Hutan Produksi yang dapat dikonversi (kawasan hutan yang dicadangkan untuk pembangunan non kehutanan). Oleh karena itu lahan berpotensi tinggi tersebut yang boleh dimanfaatkan hanya yang terletak pada wilayah areal penggunaan lain (APL) dan hutan produksi kon versi (HPK), sedangkan pada hutan lindung (HL), suaka margasatwa (SM), swaka alam atau hutan wi 11
TOPIK INDERAJA
Gambar 7. Peta potensi lahan untuk perkebunan kelapa sawit Tahun 2009, Provinsi Sumatera Selatan
sata (HSAW), cagar alam (CA), dan taman nasional (TN) tidak diperbolehkan. 2. Lahan berpotensi sedang untuk tanaman kelapa sawit merupakan lahan Sesuai seluas 7.030.264,24 Ha (81,14 %), yang terletak pada penutup lahan ladang, semak belukar, perkebunan kelapa sawit, perkebunan kelapa sawit campur, perkebunan non kelapa sawit, lahan ter buka, permukiman, sawah, dan hutan. Status sebagai areal penggunaan lain (APL), hutan produksi konver si (HPK), hutan produksi (HP), hutan lindung (HL), dan taman nasional (TN). Lahan berpotensi sedang tersebut sebenarnya yang boleh dimanfaatkan hanya pada areal penggunaan lain (APL), hutan produksi konversi (HPK). 3. Lahan berpotensi rendah untuk tanaman kelapa sawit merupakan lahan Sesuai marginal seluas 322.025,66 Ha (3,7 %), yang terletak pada penutup lahan ladang, semak belukar, perkebunan kelapa sawit, perkebunan kelapa sawit campur, perkebunan non kelapa sawit, lahan terbuka, permukiman, sawah, dan hutan. La han tersebut berstatus areal penggunaan lain (APL) dan hutan produksi konversi (HPK), hutan produksi (HP), hutan lindung (HL), dan taman nasional (TN). Lahan berpotensi rendah tersebut, yang boleh diman faatkan hanya pada areal penggunaan lain (APL), hu tan produksi konversi (HPK). 12
4. Lahan tidak berpotensi untuk tanaman kelapa sawit merupakan lahan yang Tidak Sesuai seluas 1.131.723,95 Ha (13,06), yang terletak pada penutup lahan ladang, mangrove, semak belukar, lahan terbuka, sawah, per mukiman, rawa, tambak, dan hutan, berstatus sebagai are al penggunaan lain (APL) dan hutan produksi konversi (HPK), hutan produksi (HP), hutan produksi terbatas (HPT), hutan lindung (HL), cagar alam (CA), suaka mar gasatwa (SM), taman nasi onal (TN). Lahan tidak ber potensi tersebut, memang tidak ada yang dimanfaatkan sebagai lahan/area perkebu nan kelapa sawit.
Berdasarkan hasil pene litian ini, maka disarankan 1. Perlu perhatian/penanganan khusus, beberapa perke bunan kelapa sawit campur (KSC) yang terletak pada status lahan Suaka Margasatwa (SM) dan Hutan Lin dung (HL), karena KSC sebagian besar usaha ma syarakat. 2. Lahan berpotensi tinggi sebagian masuk ke wilayah berstatus Cagar Alam, Hutan Lindung, dan Suaka Margasatwa, yang saat ini ada yang sudah dikonversi menjadi penggunaan non kehutanan agar dihutan kan kembali, sedangkan yang saat ini belum berupa perkebunan kelapa sawit, perlu dijaga sehubungan potensinya, maka ada kemungkinan/kecenderungan penggunaan kearah/untuk perkebunan kelapa sawit atau penggunan lain non hutan. 3. Informasi penutup lahan, sebaran perkebunan, dan potensi lahan untuk perkebunan kelapa sawit skala 1:250.000 bermanfaat untuk mendukung pengelolaan sumberdaya alam dan perencanaan tata ruang wilayah (RTRW) provinsi dan tingkat regional. Informasi yang lebih rinci skala 1 : 50.000 atau skala lebih besar diperlukan untuk pengelolaan sumberdaya alam dan perencanaan tata ruang wilayah kabupaten/kota dan kecamatan diperlukan citra penginderaan jauh resolu si lebih tinggi. BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010
PENGOLAHAN DATA INDERAJA
Teknik Orthorektifikasi Multi Oblique Image Satelite dengan Metode Digital Mono Plotting (DMP), Ratio Polynomial Coefficients (RPCs), dan Rigorious Satelite Sensor Model Oleh: Atriyon dan Mahdi Kartasasmita * Kedeputian Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Jl. Lapan No. 70 Pekayon, Kec. Pasar Rebo, Jakarta Timur 1370 Email:
[email protected]
P
erkembangan Teknik Geodesi dan Geomatika su dah mencapai kemajuan signifikan pada bidang penginderaan jauh. Hal ini ditandai dengan ber munculannya berbagai jenis satelit, baik yang bersifat militer, sumber daya alam maupun yang bersifat ling kungan dan cuaca. Satelit sumber daya alam memiliki resolusi spasial dari 0,4 meter sampai puluhan meter (sekitar 60 meter). Satelit tersebut ada yang memiliki resolusi temporal tinggi dan ada juga yang rendah. Sen sor bawaan yang digunakan dalam perekaman citra ter diri dari sensor aktif dan sensor pasif. Sensor aktif atau yang lebih dikenal dengan radar memiliki kelebihan bebas dari efek awan. Misal, satelit Alos (Palsar), Ter raSAR, EnviSat. Sedangkan untuk sensor pasif memiliki kelebihan dalam multispektral, akan tetapi tidak bebas dari efek awan. Misal, Ikonos, Worldview-1, GeoEye, QuickBird, SPOT, LAPAN TUBSAT, Landsat, ALOS (Prism dan AVNIR-2), dan lain-lain. Ilmu dan teknologi penginderaan jauh sebagai bagian dari Teknik Geoma tika memegang peranan yang sangat penting dalam me mecahkan persoalan data satelit, baik untuk pengolahan data, interpretasi citra maupun inventarisasi sumber daya al am. Penginderaan jauh dapat memanfaatkan data ci tra satelit untuk memperoleh data mengenai rupa bumi dengan cepat dan tepat serta mampu mencakup daerah yang relatif luas. Citra satelit yang digunakan untuk pe metaan topografi, batimetri, dan tematik, setiap citranya harus terletak seakurat mungkin di atas permukaan bumi (Julzarika, 2009). Data yang diperoleh dari satelit adalah berupa data digital. Data ini masih berupa data mentah (raw data), yang masih banyak mengandung kesalahan, baik kesa BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010
lahan acak maupun sistematik. Kesalahan tersebut dapat disebabkan oleh pergerakan satelit (rotasi dan translasi), perekaman citra (skala, rotasi dan translasi), kesalahan atmosferik sehingga dapat menyebabkan terjadinya kesalahan geometrik dan kesalahan radio metrik. Rotasi yang dimaksudkan disini adalah terjadi pergerakan omega, phi, dan kappa pada satelit saat pe rekaman sehingga akan terjadi translasi berubah perge seran koordinat pada arah sumbu X, Y, dan Z sehingga dapat menyebabkan terjadinya perubahan skala. Hal ini sangat ditentukan oleh jenis transformasi dan model al gorithm matematika yang terjadi pada saat perekaman. Kesalahan geometrik ini dapat diminimalisir dengan melakukan orthorektifikasi sehingga akan diperoleh orthoimage. Orthorektifikasi ini dapat dilakukan dengan metode Digital Mono Plotting (DMP), Ratio Polynomial Coefficients (RPCs), Rigorious Satellite Sensor Model, Pa rallel Projective, orthophoto, direct linear, Rational Poly nomial Camera/3D Reconstruction (Forward RPCs, Er ror Propagation, Inverse RPCs, Straight Line Algorithm). Metode-metode ini menggunakan konsep pergeseran bayangan, Kolinear (rigorous satellite image orthorec tification), perpotongan ke belakang, hitung perataan, resampling, proyeksi peta, sistem dan transformasi ko ordinat. Orthorektifikasi citra satelit memiliki konsep yang sama dengan orthofoto dengan foto udara meng gunakan ilmu Fotogrametri (Soetaat, 1996). Pada penelitian ini digunakan beberapa data ma sukan untuk pembuatan orthoimage. Data tersebut me liputi SPOT2 (wilayah pulau Rimau), SPOT4 (wilayah pulau Bali), SPOT5 (wilayah Semarang dan sekitarnya), Landsat7 (Wilayah Sumatera Barat bagian tengah), Alos 13
PENGOLAHAN DATA INDERAJA Prism (Wilayah Cilacap), Alos Prism wide scene (Wila yah Kebumen), Alos Avnir-2 (Kabupaten Tana Tidung), LAPAN TUBSAT (Bandara Hussein Sastranegara), Iko nos (Wilayah Solo dan Sragen), serta Quick Bird (Wila yah Kampus Universitas Gadjah Mada (UGM)). Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah DMP, RPCs, dan Rigorious Satellite Sensor Model. Pergeseran bayangan merupakan ketidak-tepatan posisi obyek pada citra yang disebabkan oleh perbedaan tinggi terhadap bidang referensi (Harintaka, 2003). Efek pergeseran bayangan obyek pada citra selalu menjauhi pusat proyeksi. Pada gambar (1), titik A di permukaan Bumi seharusnya mempunyai bayangan a’ pada bidang citra, tetapi karena titik A yang mempunyai elevasi h terhadap bidang datum maka bayangannya berada pada titik a. Pergeseran a’ ke a merupakan pergeseran bayangan yang selalu mempunyai sifat menjauhi pusat proyeksi o.
Gambar 1. Pergeseran bayangan
Jika citra mempunyai kemiringan maka pergeseran ideal bayangan adalah sebesar d=(r-r’) yang dihitung de ngan melibatkan besar kemiringan tilt. Menurut (Moffit and Mikhail, 1980), besar pergeseran bayangan d pada citra tegak dihitung dengan persamaan berikut ini.
d=
r' h H −h
Dimana: d=pergeseran bayangan r’= tinggi obyek di permukaan bumi di atas datum H = tinggi pusat proyeksi di atas bidang datum. Ortofoto adalah foto yang menyajikan gambaran obyek pada posisi ortografik yang benar (Wolf, 1993). Beda utama antara ortofoto dan peta adalah bahwa orto 14
foto terbentuk oleh obyek sebenarnya, sedangkan peta menggunakan garis dan simbol yang digambarkan se suai dengan skala untuk mencerminkan kenampakan. Ortofoto dapat digunakan sebagai peta untuk melakukan pengukuran langsung atas jarak, sudut, posisi, dan dae rah tanpa melakukan koreksi bagi pergeseran letak gambar. Ortofoto dibuat dari foto perspektif melalui proses rektifikasi differensial, yang meniadakan pergeseran le tak gambar yang disebabkan oleh posisi miring sensor pada saat perekaman dan variasi topografi. Pada foto miring, pergeseran letak gambar oleh relief tergantung pada tinggi terbang, jarak titik dari nadir, kelengkungan bumi, dan ketinggian (Frianzah, 2009). Dalam proses nya, pergeseran letak oleh relief pada sembarang foto dan variasi skala dapat dieliminasi sehingga skala menja di seragam pada seluruh foto. Orthoimage merupakan ortofoto yang dibuat dari beberapa sumber citra satelit seperti ALOS, ASTER, IKONOS, SPOT, Quickbird, dan lain-lain. Orthoimage diperoleh dengan melakukan pro ses ortorektifikasi pada citra. Ortorektifikasi adalah proses pembuatan foto mi ring ke foto/image yang ekuivalen dengan foto tegak. Foto tegak ekuivalen yang dihasilkan disebut foto terek tifikasi. Ortorektifikasi pada dasarnya merupakan pro ses manipulasi citra untuk mengurangi/menghilangkan berbagai distorsi yang disebabkan oleh kemiringan ka mera/sensor dan pergeseran relief. Secara teoritik foto terektifikasi merupakan foto yang benar-benar tegak dan oleh karenanya bebas dari pergeseran letak oleh kemiringan, tetapi masih mengandung pergeseran kare na relief topografi (relief displacement). Pada foto udara pergeseran relief ini dihilangkan dengan rektifikasi diffe rensial. (Frianzah, 2009). Model matematis yang digunakan pada ortorekti fikasi adalah model matematis rigorous (persamaan ko linear), dan dalam prosesnya menggunakan input data DEM untuk mengkoreksi pergeseran relief akibat posisi miring sensor pada saat perekaman. Penyelesaian mo del matematis rigorous adalah dengan menghitung po sisi dan orientasi sensor pada waktu perekaman image. Posisi dan orientasi sensor yang telah teridentifikasi, di gunakan untuk menghitung distorsi yang terdapat pada image (Julzarika, 2007). Model matematis yang digu nakan pada pembuatan orthoimage/photo adalah persa maan Kolinear (Soetaat, 1996). Persamaan kolinear menunjukkan bahwa titik obyek di permukaan tanah, bayangan di citra, dan pusat proyek si terletak pada satu garis lurus atau kesegarisan (Wolf, BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010
PENGOLAHAN DATA INDERAJA 1983). Gambar (2) menunjukkan titik B (di permukaan tanah), titik b (pada bidang citra), dan O (pusat proyek si) terletak pada satu garis lurus. Xi = − f Yi = − f
(r11 ( X i − Tx ) + r12 (Yi − T y ) + r13 ( Z i − Tz ) (r31 ( X i − Tx ) + r32 (Yi − T y ) + r3 ( Z i − Tz ) (r21 ( X i − Tx ) + r2 (Yi − T y ) + r23 ( Z i − Tz ) (r31 ( X i − Tx ) + r32 (Yi − T y ) + r3 ( Z i − Tz )
Persamaan Kolinear menurut (Mofitt and Mikhail, 1980). Xi = Yi =
(r1 X i + r21 Yi − r31 f ) ( Z i − Tz ) + Tx (r13 X i + r23 Yi − r3 f )
(r1 X i + r2 Yi + r32 f ) ( Z i − Tx ) + Ty (r13 X i + r23 Yi + r3 f )
Dengan difinisi: Xi, Y i, Zi = koordinat titik (i) pada sistem koordi nat peta Xi, yi, zi = koordinat titik (i) pada sistem koordi nat citra f = panjang fokus sensor/kamera Tx, T y, Tz = koordinat titik pusat proyeksi sensor/ kamera r11, ...., r33 = elemen matriks rotasi atau f (ω, φ, κ)
Gambar 2. Konsep persamaan Kolinear
Perpotongan ke belakang (space resection) meru pakan suatu metode penentuan posisi ke arah belakang dari titik yang diketahui koordinatnya (Harintaka, 2003). Pada citra satelit, metode ini digunakan untuk menen tukan parameter orientasi (ω, φ, κ) dan posisi pusat proyeksi (Tx, T y, Tz). Perpotongan ke belakang memer lukan minimal tiga titik yang diketahui dari koordinat BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010
peta atau lapangan (titik A, B, C) dan koordinat citranya (titik a, b, c). Jika telah diketahui enam parameter de ngan kondisi skala=1 serta posisi pusat proyeksi sensor/ kamera pada saat perekaman maka setiap obyek pada citra dapat dihitung koordinat petanya. Dengan syarat harus diketahui tinggi obyek di permukaan tanah terha dap referensi. Penyajian data permukaan bumi dalam bentuk fungsi permukaan pendekatan, misal dengan fungsi interpolasi polinomial, memberikan keuntungan dari segi efisiensi media penyimpanan. Persamaan polinomial yang dapat digunakan untuk memodelkan permukaan bumi ber bentuk polinomial orde satu atau dua (Li, Zhu, and Gold, 2005). Interpolasi polinomial orde satu baik untuk dae rah datar sedangkan untuk permukaan bergelombang sebaiknya menggunakan polinomial orde dua atau tiga. Berikut ini persamaan polinomial orde satu dan dua. Z(X, Y)=b0+b1X+b2Y Z(X, Y)=b0+b1X+b2Y+b3XY+b4X2+b5Y2 Dengan: Z(X, Y) = nilai titik tinggi (1D) b0, ...., b5 =koefisien polinomial X, Y = koordinat horizontal (2D) Data masukan berupa sejumlah titik kontrol tanah (TKT) sudah diketahui koordinatnya (X2, Y2, Z2). Nilai titik tinggi dapat ditentukan dengan menggunakan per samaan linear orde dua. Selanjutnya melakukan hitung perataan kuadrat terkecil metode parameter yang di gunakan untuk menghitung nilai parameter (b0, b1, b2, b3, b4). Jumlah parameter tergantung pada jenis model matematika yang digunakan. Selanjutnya dilakukan hi tung perataan dengan metode single model bundle yang digunakan untuk menghitung parameter luar (exterior orientation). Setelah parameter luar diketahui, maka di bentuk matrik R dengan persamaan berikut ini (Soetaat, 1996). (∇ + 1 / 2c 2 ) (−a + 1 / 2bc ) (b + 1 / 2ac ) 1 R = (a + 1 / 2bc ) (∇ + 1 / 2b 2 ) (−c + 1 / 2ab ) ∆ (∇ + 1 / 2a 2 ) (−b + 1 / 2ac ) (c + 1 / 2ab ) ∆ = 1 + 1 / 4( a 2 + b 2 + c 2 ) ∇ = 1 − 1 / 4(a 2 + b 2 + c 2 )
Proses selanjutnya adalah memilih pada salah satu titik di sistem koordinat tanah yang sudah diketahui koordinat 3D nya. Misal I (X2i, Y2i, Z2i), titik I dilakukan pendekatan dengan Z20 dimana Z20 bisa diambil dari titik kontrol terdekat. Proses selanjutnya adalah menghitung 15
PENGOLAHAN DATA INDERAJA nilai X2i dan Y2i dengan persamaan berikut ini. i
X2 = i
Yi =
(r1 X 1 + r21 Y1 − r31 f ) 0 (Z 2 − Z 0 ) + X 0 (r13 X 1 + r23 Y1 − r3 f )
(r1 X 1 + r2 Y1 + r32 f ) 0 ( Z 2 − Z 0 ) + Y0 (r13 X 1 + r23 Y1 + r3 f )
Setelah diperoleh nilai X2i dan Y2i maka proses se lanjutnya adalah menghitung nilai Z21. persamaan yang digunakan adalah Z21=b0+b1X2i+b2Y2i+b3X2i2+b4Y2i2 Hasil hitungan Z21 digunakan sebagai Z20. Proses se lanjutnya dilakukan iterasi sesuai dengan proses yang dilakukan sebelumnya. Iterasi baru berhenti jika perbe daan X2i, Y2i, dan Z2i dengan hitungan sebelumnya kecil atau mendekati nol. Model fungsional RPCs merupakan perbandingan dua polinomial kubik koordinat tanah, dan menyediakan fungsional antara koordinat tanah (Ф, λ, h) dan koordi nat citra (L, S) (Frianzah, 2009). Pemisahan fungsi rasio nal disediakan untuk pemetaan koordinat tanah ke ko ordinat citra (line/baris dan sample/kolom) secara be rurutan. Untuk memperbaiki ketelitian secara numerik, koordinat citra dan tanah dinormalisasikan ke range <-1 dan +1> menggunakan offsets dan faktor skala tertentu. (Grodecki, Dial, and Lutes, 2004)
Keterangan: Ф : lintang λ : bujur h : tinggi di atas ellipsoid L, S : koordinat baris kolom Ф0, λ0, h0, L0, S0, Фs, λs, hs, Ls, Ss : offsets dan fak tor skala pada lintang, bujur, tinggi, kolom, dan baris. Koordinat tanah diselesaikan secara iterasi. Pada setiap langkah iterasi, aplikasi dasar hitung perataan kuadrat terkecil menghasilkan perkiraan untuk koordi nat tanah pendekatan yaitu (Grodecki, Dial, dan Lutes, 2004). Metode ini merupakan konsep orthorektifikasi sederhana karena hanya memerlukan metadata dari raw data citra satelit yang digunakan. Metadata tersebut berisi informasi parameter dalam (interior orientation) berupa nilai omega, phi, kappa, dan titik kontrol sebanyak lima yaitu pada empat titik pojok dan satu titik tengah citra satelit. Akurasi dan presisi yang dihasilkan masih 16
belum baik karena masih berupa orientasi relatif dimana koordinat ke lima titik kontrol tersebut didasarkan pada informasi saat perekaman citra satelit. Persamaan yang digunakan pada metode ini adalah Kolinear. Sedangkan jenis transformasi koordinat menggunakan transformasi Sebangun dengan resampling Nearest Neighbour. Metode orthorektifikasi ini memungkinkan untuk menambah titik kontrol tanah untuk meningkatkan akurasi dan presisi orthoimage. Hal yang perlu diperha tikan adalah dalam pembentukan jaring kontrol geode tik dari titik kontrol yang dimiliki. Metode ini memiliki kemiripan dengan DMP yaitu dalam pembacaan meta data, tapi berbeda dalam persamaan arah sumbu Z, yaitu menggunakan konsep pemotongan ke belakang dengan persamaan polynomial (DMP) dan konsep jaring kontrol geodetik arah sumbu X, Y, dan Z (Rigorious satellite sen sor model). Metode ini juga memiliki kesamaan dengan RPCs yaitu dalam penggunaan konsep jaring kontrol geodetik, tetapi memiliki perbedaan dalam pembacaan metadata (Rigorious satellite sensor model) dan tanpa menggunakan metadata (RPCs) (Julzarika, 2009). Penelitian ini menggunakan beberapa multi oblique image satellite, yaitu SPOT2 (wilayah pulau Rimau), SPOT4 (wilayah pulau Bali), SPOT5 (wilayah Semarang dan sekitarnya), Landsat7 (Wilayah Sumatera Barat ba gian tengah), Alos Prism (Wilayah Cilacap), Alos Prism wide scene (Wilayah Kebumen), Alos Avnir-2 (Kabupa ten Tana Tidung), LAPAN TUBSAT (Bandara Hussein Sastranegara), Ikonos (Wilayah Solo dan Sragen), serta Quick Bird (Wilayah Kampus UGM). 1. SPOT2 (Wilayah Pulau Rimau) Citra ini memiliki incidence angle 21,6 derajat. Metode yang digunakan adalah rigorious satellite sensor model. Metode ini dipilih karena data memiliki metadata leng kap yang diperoleh dari satelit sehingga parameter orien tasi dalam sudah diketahui. TKT yang digunakan ada se banyak lima. Orthoimage mengalami pergeseran sekitar 934+ standar deviasi meter. Pergeseran ini ditunjukkan pada Gambar (3). Pada gambar tersebut terlihat perge seran pada salah satu titik antara SPOT non-orthoimage terhadap SPOT orthoimage. Uji ketelitian dilakukan te rhadap ALOS Palsar Orthoimage dan survei lapangan. 2. SPOT4 (wilayah pulau Bali) Citra ini memiliki incidence angle 27,9 derajat. Metode yang digunakan adalah rigorious satellite sensor model. TKT yang digunakan ada sebanyak lima. Orthoimage mengalami pergeseran sekitar 693,33 + standar devia BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010
PENGOLAHAN DATA INDERAJA diperoleh metadata sebagai salah satu parameter orien tasi dalam dan ditambah dengan beberapa TKT yang diketahui di lapangan. TKT yang digunakan ada seba nyak delapan. Orthoimage mengalami pergeseran seki tar 16,92+ standar deviasi meter. Uji ketelitian dilakukan terhadap data hasil survei lapangan dengan GPS Geode tik, Sipat Datar, Total Station, dan Theodolit.
Gambar 3. Pergeseran titik antara SPOT2 non-orthoimage dengan SPOT2 orthoimage
4. Landsat7 (Wilayah Sumatera Barat bagian tengah) Citra ini memiliki incidence angle 8,09 derajat . Metode yang digunakan adalah rigorious satellite sensor model. TKT yang digunakan ada sebanyak lima. Orthoimage mengalami pergeseran sekitar 21,48+ standar deviasi meter. Uji ketelitian dilakukan terhadap ALOS Palsar Orthoimage, Google Earth, dan data lapangan.
Gambar 6. Landsat7 orthoimage terhadap GE (kiri) dan ALOS Palsar orthoimage (kanan) Gambar 4. SPOT4 orthoimage terhadap ALOS Palsar orthoimage dan GE
si meter. Uji ketelitian dilakukan terhadap ALOS Palsar Orthoimage dan Google Earth (GE). Google Earth meru pakan orthoimage dengan proyeksi plate carre. 3. SPOT5 (wilayah Semarang dan sekitarnya) Citra ini memiliki incidence angle -6,3526 derajat. Me tode yang digunakan adalah DMP. Metode ini dipakai karena terdapat informasi metadata lengkap dari satelit serta memiliki Digital Terrain Model (DTM) lapangan serta juga dimiliki TKT akurasi tinggi dan presisi seksa ma. Kerangka dasar acuan orthoimage berupa lima titik kontrol (empat titik sudut dan satu titik pusat citra) yang
5. Alos Prism backward dan forward (Wilayah Cilacap) Citra ini memiliki incidence angle +23,8 (arah x) dan 0,86 (arah y). Metode yang digunakan adalah RPCs. Me tode ini digunakan karena data tidak memiliki metadata lengkap dari satelit sebagai parameter orientasi dalam dan hanya memiliki TKT dengan akurasi tinggi dan pre sisi seksama di lapangan. TKT yang digunakan ada se banyak tujuh. Orthoimage mengalami pergeseran seki tar 2,058 + standar deviasi meter (backward) dan 2,07 +
Gambar 7. Raw image ALOS Prism Backward (kiri) dan orthoimage ALOS Prism Backward (kanan)
Gambar 5. SPOT5 orthoimage terhadap peta jalan BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010
Gambar 8. Raw image ALOS Prism Forward (kiri) dan orthoimage ALOS Prism Forward (kanan) 17
PENGOLAHAN DATA INDERAJA standar deviasi meter (forward). Uji lapangan dilakukan terhadap data dan survei lapangan dengan GPS Geode tik, Sipat Datar, Total Station, dan Theodolit. 6. Alos Prism wide scene (Wilayah Kebumen) Citra ini tidak memiliki informasi incidence angle. Meto de yang digunakan adalah RPCs. TKT yang digunakan ada sebanyak tujuh. Orthoimage mengalami pergeseran sekitar 5,6 km + standar deviasi meter. Pergeseran terse but ditunjukan pada Gambar (9). Uji ketelitian dilakukan terhadap data lapangan dengan GPS Geodetik, Sipat Da tar, Total Station, dan Theodolit.
Gambar 11. LAPAN TUBSAT orthoimage terhadap GE
Gambar 9. Pergeseran ALOS Prism wide scene nonorthoimage terhadap ALOS Prism wide scene orthoimage
9. Ikonos (Wilayah Solo dan Sragen). Incidence angle yang dimiliki citra ini tidak diketahui sehingga metode orthorektifikasi yang dapat digunakan adalah RPCs dan DMP. TKT yang digunakan ada seba nyak 14. Orthoimage mengalami pergeseran sekitar 33,18 + standar deviasi meter. Uji lapangan dilakukan dengan GPS Geodetik, Sipat Datar, Total Station, dan Theodolit.
7. Alos Avnir-2 (Kabupaten Tana Tidung) Citra ini memiliki tidak memiliki informasi incidence angle. Metode yang digunakan adalah RPCs. TKT yang digunakan ada sebanyak tujuh. Orthoimage mengalami pergeseran sekitar 110 + standar deviasi meter. Uji la pangan dilakukan dengan dengan GPS Geodetik, Sipat Datar, Total Station, dan Theodolit.
Gambar 12. Ikonos orthoimage terhadap peta jaringan jalan Gambar 10. ALOS AVNIR-2 orthoimage
8. LAPAN TUBSAT (Bandara Hussein Sastranegara) Citra ini memiliki incidence angle 30-70 derajat. Data LAPAN TUBSAT berupa video sehingga teknik pengo lahannya dilakukan secara videogrammetri. Metode yang digunakan adalah RPCs. TKT yang digunakan ada sebanyak tujuh. Orthoimage mengalami pergeseran sekitar 17,22 + standar deviasi meter. Uji ketelitian di lakukan terhadap Google Earth.
18
10. Quick Bird (Wilayah Kampus UGM) Incidence angle yang dimiliki citra ini tidak diketahui sehingga metode orthorektifikasi yang dapat digunakan adalah RPCs dan DMP. TKT yang digunakan ada seba nyak 20. Orthoimage mengalami pergeseran sekitar 4+ standar deviasi meter. Uji lapangan dilakukan dengan GPS Geodetik, Sipat Datar, Total Station, dan Theodolit. Tabel 1 berikut merupakan hasil penelitian pembu atan orthoimage dengan metode DMP, RPCs dan Rigori ous satellite sensor model. Teknik orthorektifikasi tersebut bisa diaplikasi kan untuk berbagai citra satelit. Beberapa citra satelit yang sudah dilakukan pembuatan orthoimage adalah BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010
PENGOLAHAN DATA INDERAJA data lengkap atau diketahui parameter dalam (interior orientation) citra satelit tersebut. Metode DMP digu nakan jika mempunyai Digital Terrain Model (DTM)) lapangan dan TKT dengan akurasi tinggi dan presisi seksama sehingga bisa memperbaiki kualitas orthoim age dari Rigorious satellite sensor model. Metode RPCs digunakan jika tidak diketahui parameter dalam (inte rior orientation) pada raw data yang akan diorthorek tifikasi atau metadata tidak lengkap. Pengujian akurasi dan presisi digunakan teknik hitung perataan dari data survei lapangan maupun peta vektor dan citra satelit orthoimage lainnya. Pembuatan orthoimage memerlukan DTM dengan akurasi tinggi dan presisi seksama. Pada metode rigorious satellite sensor model hanya memerlukan lima titik kontrol (empat titik sudut dan satu titik tengah) yang diperoleh dari metadata. Metode DMP memerlukan minimal dela pan titik kontrol (lima titik kontrol dari metadata dan tiga TKT dari lapangan). Metode RPCs memerlukan minimal tujuh titik kontrol yang diperoleh dari TKT lapangan. Pe nyebaran TKT untuk pembuatan orthoimage ini disesuai kan dengan konsep jaring kontrol geodetik.
Gambar 13. Quick Bird orthoimage terhadap peta jaringan jalan
SPOT2, SPOT4, SPOT5, Landsat7, ALOS Prism (Back ward), ALOS Prism (Forward), ALOS Prism (Wide Scene), ALOS AVNIR-2, LAPAN TUBSAT, IKONOS, dan QuickBird. Rigorious satellite sensor model jika citra satelit tersebut masih berupa raw data dengan meta
Tabel 1. Hasil penelitian pembuatan orthoimage dengan metode DMP, RPCs, dan Rigorious satellite sensor model. No
Citra Satelit
Wilayah penelitian
Metode Orthoimage
TKT
Akurasi Horizontal
1.
SPOT2
Pulau Rimau
rigorious satellite sensor model
5
934+ standar deviasi meter
2.
SPOT4
Pulau Bali
rigorious satellite sensor model
5
693,33 + standar deviasi meter
3.
SPOT5
Semarang
DMP
8
16,92+ standar deviasi meter
4.
Landsat7
Sumatera Barat bagian tengah
rigorious satellite sensor model
5
21,48+ standar deviasi meter
5.
ALOS Prism (Backward)
Cilacap
RPCs
7
2,058 + standar deviasi meter
ALOS Prism (Forward)
Cilacap
RPCs
7
2,07 + standar deviasi meter (forward)
6.
ALOS Prism (Wide Scene)
Kebumen
RPCs
7
7.
ALOS AVNIR-2
Tana Tidung
RPCs
7
8.
LAPAN TUBSAT
Bandara Hussein Sastranegara
RPCs
7
17,22 + standar deviasi meter
9. 10.
IKONOS QuickBird
Solo-Sragen Kampus UGM
RPCs, DMP RPCs, DMP
14 20
33,18 + standar deviasi meter 4+ standar deviasi meter
BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010
5,6 km + standar deviasi meter 110 + standar deviasi meter
19
PENGOLAHAN DATA INDERAJA
Teknik Penurunan Digital Surface Model (DSM) SRTM90 menjadi DSM SRTM10 Menggunakan Interpolasi Kriging (CoKriging) Oleh: Atriyon dan Mahdi Kartasasmita * Kedeputian Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Jl. Lapan No. 70 Pekayon, Kec. Pasar Rebo, Jakarta Timur 1370 Email:
[email protected]
S
urvei dan Pemetaan merupakan bidang ilmu kebu mian yang mengkaji berbagai aspek pemetaan di darat, air, dan udara. Salah satu hasil dari survei dan pemetaan adalah peta, baik yang berisi informasi 1D, 2D, 3D, 4D maupun yang sampai 12D. Pada tulisan ini lebih fokus pada informasi 3D dimana informasi 3D ini dapat berupa DSM, Digital Elevation Model (DEM), Di gital Terrain Model (DTM), Digital Geoid Model (DGM) dan model 3D lainnya. Informasi 3D ini bisa didapatkan dengan pengukuran langsung dan tidak langsung. Peng ukuran langsung ini melalui survei dan pemetaan, dila kukan langsung di lapangan, baik dengan pengukuran terrestrial maupun non terrestrial, menggunakan alat ukur geodetik seperti theodolit, sipat datar, total stati on, laser scanner. Sedang pengukuran tidak langsung bisa dengan pemetaan dengan fotogrammetri, video grammetri, radargrammetri, dan penginderaan jauh, dilakukan dengan wahana tertentu, menggunakan foto udara, video udara, lidar, mobile web mapping, maupun citra satelit. Pada kajian ini, pemodelan 3D berupa DSM menggunakan data Shuttle Radar Topographic Mission 90 (SRTM90). Data ini diperoleh menggunakan waha na satelit dengan karakteristik tertentu seperti memiliki sensor aktif, resolusi spasial 90+standar deviasi meter, akurasi vertikal 5-8 meter. Permasalahan yang dihadapi saat ini dalam peme taan dengan citra satelit adalah model 3D dalam resolusi spasial yang kurang bagus. Resolusi spasial 90 m hanya sesuai dengan pemetaan model 3D skala menengah (se kitar 1:50.000), sedangkan saat ini sudah tersedia citra satelit dengan resolusi tinggi, akan tetapi data model 3D yang tersedia juga minim dan harga yang sangat mahal. Permasalahan lainnya adalah dalam koreksi geometrik citra satelit, terutama dalam pembuatan orthoimage akan diperlukan model 3D dengan akurasi dan presisi tinggi 20
pula. SRTM90 merupakan data model 3D yang tersedia secara gratis sehingga memungkinkan untuk melakukan peningkatan akurasi dan presisi dari data yang tersedia. Interpolasi matematika dalam survei pemetaan merupa kan salah satu solusi untuk peningkatan akurasi dan pre sisi. Ada beberapa interpolasi matematika yang dikenal pada survei pemetaan, diantaranya Inverse distance to a power, Kriging, Minimum curvature, Modified Shepard’s method, Natural Neighbor, Nearest Neighbor, Polynomial Regression, Radial Basis Function, Triangulation with Linear Interpolation, Moving Average, Data Metrics, Lo cal Polynomial, Nearest point, Trend Surface, Anisotropic Kriging, Universal Kriging, CoKriging, Simple Kriging, Ordinary Kriging, IRFk-Kriging, Indicator Kriging, Mul tiple indicator Kriging, Disjunctive Kriging, Lognormal Kriging, Spline, Newton, Langrange, dan lain-lain. Pada penelitian ini akan menggunakan interpola si Kriging jenis CoKriging untuk menurunkan DSM SRTM90 menjadi DSM SRTM10. Tujuannya adalah untuk meningkatkan akurasi dan presisi DSM yang di hasilkan serta bisa meningkatkan kualitas geometrik se waktu diturunkan lagi menjadi DEM, DTM, dan DGM sehingga bisa mendukung pembuatan orthoimage untuk citra satelit resolusi tinggi. SRTM10 yang dimaksudkan disini adalah model 3D yang memiliki resolusi spasial 10+standar deviasi meter. Pemodelan 3D SRTM10 tersebut memerlukan inter polasi Kriging karena saat ini Kriging merupakan metode terbaik dalam melakukan interpolasi secara geostatistik (Julzarika, 2009). Metode Kriging memerlukan suatu ja ring kontrol geodetik. Pada pemodelan permukaan digi tal, diperlukan bagaimana suatu jaring kontrol geodetik dapat menghasilkan grid data secara matematis (Julza rika, 2007). Grid data dibentuk berdasarkan rangkaian koordinat raster (baris, kolom) akibat terjadi transfor BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010
PENGOLAHAN DATA INDERAJA masi koordinat (Soetaat, 1996). Transformasi koordinat yang dimaksud adalah perubahan format tampilan peta dari koordinat kartesian (x, y, z, t) pada jaring kontrol geodetik menjadi koordinat raster pada grid data (Arsa na dan Julzarika, 2006). Secara matematis, metode Kri ging dapat menghasilkan nilai akurasi tinggi dan presisi seksama (Li, Zhu, and Gold, 2005). Metode Kriging adalah metode interpolasi yang ber basis geostatistik (Widjajanti dan Sutanta, 2006). Meto de ini diturunkan dari teori variabel pembatas (regional variable) yang mengasumsikan bahwa variasi data geo grafi dapat disebut sebagai variabel pembatas. Kriging menurunkan pembobotan untuk interpolasinya dari se mivariogram. Setiap pengukuran mempunyai kesalahan ukuran, baik kesalahan acak maupun kesalahan tidak acak (Julzarika dan Sudarsono, 2009). Pemerataan titik kontrol dalam jaring kontrol geodetik mempengaruhi akurasi dan presisi data (Moffit and Mikhail, 1980). Penghitungan dan penggambaran semivariogram adalah inti dari interpolasi metode Kriging. Semivario gram menentukan tingkatan hubungan spasial (spatial correlation) antar data yang diukur di suatu wilayah, atau tingkat hubungan dari data spasial yang merupakan va riabel pembatas tersebut (Widjajanti dan Sutanta, 2006). Semivariogram ini mengatur proses pembobotan inter polasi metode Kriging, dan juga mengatur kualitas hasil dari interpolasi. Sebelum melakukan interpolasi dengan metode Kriging maka harus ditentukan terlebih dahulu bentuk semivariogram. Semivariogram yang merupakan tingkat hubungan spasial tersebut sebenarnya adalah suatu gambaran dari semivarian yang mempunyai interval antar data yang tidak sama untuk suatu pengambilan data dalam suatu ke lompok data (Widjajanti dan Sutanta, 2006). Jika terdapat suatu kelompok data dengan jumlah n, dan interval antar data yang sama atau ∆, maka dengan persamaan semivarian dapat dinyatakan hubungan antar suatu pa sangan data ke-I dan data ke-h, yang dinota sikan dengan ”γ” .
gh =
hitungan semivarian tersebut digambarkan menjadi se buah bentuk semivariogram. Secara matematis, metode CoKriging merupakan interpolasi titik, membutuhkan peta titik sebagai data masukan dan menghasilkan peta raster dengan estimasi dan peta kesalahan/error. CoKriging adalah multiva riate variant dengan operasi dasar Kriging. CoKriging menghitung perkiraan atau prediksi dengan sampel minimumdengan bantuan variabel yang lebih baik (co variable). Variabel harus dengan korelasi tinggi (positif atau negatif). CoKriging baik untuk mendapatkan hasil yang presisi. CoKriging menggunakan semivariograms kovarian dengan memperhitungkan bobot S w i = 1 and S h j = 0 dan metode Kriging (Ilwis, 2009). Nilai vario gram dengan model semivariogram g A , g B dan model silang variogram untuk observasi predictand Ai dan n observasi dari covariable Bj sesuai dengan persamaan CoKriging. s2 = S wi gA(hi) + S hj g AB(hj) + m1 Setiap pengukuran mempunyai kesalahan ukuran, baik kesalahan acak maupun kesalahan tidak acak (Ar sana dan Julzarika, 2006). Pemerataan titik kontrol da lam jaring kontrol geodetik mempengaruhi akurasi dan presisi data (Julzarika, 2007). Hasil dan pembahasan Penelitian ini menggunakan DSM SRTM90 sebagai data masukan. Data ini memiliki resolusi spasial sekitar
∑ in − h ( X i − X i − h ) 2 2n
Pada persamaan tesebut, Xi adalah data ke-i dan Xi-h adalah data pengukuran yang lain dengan interval h. Jika interval antar titik data tidak sama atau h mempunyai ni lai yang berbeda, kemudian hasil dari per BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010
Gambar 1. DSM SRTM90 21
PENGOLAHAN DATA INDERAJA 90 m. Wilayah kajian adalah Semarang dan sekitarnya. Gambar (1) merupakan tampilan DSM SRTM90 wilayah Semarang dan sekitarnya. Semarang memiliki topografi beragam sehingga pada kajian ini wilayah tersebut dibagi atas dua yaitu Semarang bawah (dekat dengan laut sepanjang pantai Kendal-Semarang-Demak) dan Semarang atas (sekitar Banyumanik sampai Ungaran). Pada wilayah Semarang bawah, kondisi pantai terlihat memiliki akurasi dan pre sisi kurang baik dimana terlihat ukuran piksel (resolusi spasial 90 m) sehingga batas antara darat dan laut tidak jelas, hanya berupa rangkaian kotak. Sedangkan di Se marang atas terlihat pola DSM yang sangat jelas tidak beragam, yaitu pola pemukiman dan semak serta belu kar yang ada di wilayah tersebut. Kondisi ini tidak men cerminkan kondisi model 3D elevasi maupun terrain sebenarnya. Hal ini disebabkan oleh perekaman DSM SRTM90 menggunakan C band sehingga yang dianggap permukaan adalah bagian teratas dari objek di permu kaan Bumi seperti tajuk pojok, atap bangunan. Kemudian wilayah yang sama dibandingkan dengan DSM SRTM30 dari DLR. DSM ini memiliki resolusi spa sial 30+standar deviasi meter, ada pada gambar (2). Pada wilayah Semarang bawah, ukuran piksel sudah menjadi kecil dan kondisi di sekitar pantai sudah lebih detail di bandingkan dengan DSM SRTM90. Kemudian dilihat pada daerah yang sama di Semarang atas, kondisi model 3D juga sudah jauh lebih baik dibanding DSM SRTM90 walaupun masih belum mencerminkan kondisi elevasi dan terrain sebenarnya. Perekaman DSM SRTM90
Gambar 2. DSM SRTM30 (DLR) 22
menggunakan X band sehingga yang direkam bukan lagi bagian paling atas objek permukaan Bumi, tetapi le bih pada sekitar tengah objek. Akurasi dan presisi DSM SRTM30 lebih baik dari pada DSM SRTM90. Kemudian dengan interpolasi Kriging dibuat model semivariogram dengan kriteria model semivariogram di antaranya tipe komponen menggunakan model Spheri cal, sudut Anisotropy 0, panjang Anisotropy 1, rasio Ani sotropy 1, dan skala variogram. Gambar (3) merupakan model SRTM10 dengan menggunakan Polynomial drift order 0. Pada wilayah Semarang bawah sudah terlihat batas jelas antara darat dengan laut sehingga pemetaan di wilayah pesisir juga lebih jelas. Sedangkan untuk ke detilan di sekitar Semarang bawah juga lebih meningkat dari DSM SRTM30. Hasil pemetaan standar deviasi ter hadap DSM SRTM10 juga berkisar antara 0,1-1,0 meter sehingga kondisi ini juga membantu untuk peningkatan model elevasi dan terrain ke kondisi sebenarnya. Seti daknya terjadi penurunan sebesar 0,1-1,0 m pada per mukaan objek di permukaan Bumi. Kebanyakan pada wilayah Semarang bawah terjadi penurunan pada objek bangunan dan taman kota. Pada wilayah Semarang atas juga mengalami peningkatan akurasi dan presisi diban dingkan DSM SRTM30. Kondisi yang sama seperti di wilayah Semarang bawah, standar deviasi berkisar an tara 0,1-1,0 meter sehingga juga menyebakan terjadinya penurunan objek sebesar 0,1-1,0 meter. Penurunan ter sebut terjadi pada objek semak, belukar, dan pemuki man. Interpolasi Kriging dengan Polynomial drift order 0 ini memiliki kekurangan dalam tingkat kedetilan objek, tetapi sudah bisa meningkatkan akurasi dan presisi DSM sehingga akan berdampak juga pada akurasi dan presisi jika DSM tersebut diturunkan ke DEM, DTM, maupun DGM. Selain menggunakan Polynomial drift order 0, juga dilakukan penurunan menjadi DSM SRTM10 dengan Polynomial drift or der 1. Kondisi ini jauh lebih meningkatkan akurasi dan presisi dibandingkan dengan order 0. Pada wilayah Semarang bawah ter lihat dengan baik batas darat dan laut serta memiliki tingkat kedetilan yang lebih baik. Nilai standar deviasi yang diperoleh sekitar 0,1-13,4 meter. Kondisi ini memungkinkan terjadinya penurunan objek sebesar 0,113,4 meter. Pada wilayah Semarang bawah terjadi penurunan pada bangunan dan po hon sebesar 0,1-13,4 meter sedangkan pada wilayah Semarang atas terjadi penurunan BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010
PENGOLAHAN DATA INDERAJA
Gambar 3. DSM SRTM10 (Polynomial drift order 0)
objek pada bangunan, semak, belukar, dan objek lain nya. Nilai standar deviasi ini akan meyebabkan akurasi dan presisi lebih baik dalam penurunan DSM ke DEM, DTM, maupun DGM. Gambar (4) merupakan tampilan DSM SRTM10 dengan Polynomial drift order 1. Terakhir dilakukan penurunan SRTM90 menjadi DSM SRTM10 dengan interpolasi Kriging mengguna kan Polynomial drift order 2. Hasil yang diperoleh adalah penetapan batas antara darat dan laut yang jauh lebih akurat serta tingkat presisi yang lebih seksama. Selain
itu tingkat kedetilan objek juga jauh lebih baik dibandingkan dengan order 0 maupun order 1. Nilai standar deviasi yang dipero leh berkisar 0-14 meter. Pada wilayah Sema rang bawah, terjadi penurunan pada objek bangunan, semak, belukar sedangkan ob jek laut dan tanah terbuka tidak mengalami penurunan. Demikian pula dengan wilayah Semarang atas, yang terjadi penurunan pada objek bangunan, semak, dan belukar dan objek tanah terbuka tidak mengalami penurunan. Kondisi ini menyebabkan DSM SRTM10 ini lebih mendekati elevasi dan terrain sebenarnya. Hal ini juga dibuktikan dengan DTM hasil pengukuran lapangan dimana perbedaan selisih terkecil terjadi pada DSM SRTM10 Polynomial drift order 2. Gambar (5) merupakan tampilan DSM SRTM10 Polynomial drift order 2. Selanjutnya dilihat perbedaan DSM SRTM90 ter hadap masing-masing model 3D SRTM10. Dari hasil ter sebut perbedaan yang terjadi adalah 0-14 m untuk order 2, 0,1-13,5 m untuk order 1, 0,1-1 m untuk order 0, dan -88 meter untuk SRTM30. Pembedaan laut dan darat yang lebih jelas terjadi pada order 2, demikian juga dengan tingkat kedetilan juga terjadi pada order 2. Gambar (6) merupakan tampilan perbedaan masing-masing model 3D terhadap DSM SRTM90. Dari hasil tersebut diatas, terbukti bahwa DSM SRTM10 Polynomial drift order 2 memiliki akurasi lebih tinggi dan presisi lebih seksama dibanding kan model 3D lainnya. Hal ini disebabkan oleh kedekatan model 3D terhadap kondisi elevasi dan terrain sebenarnya setelah di bandingkan dengan DTM Lapangan. Se lain itu juga bisa membedakan antara laut dengan darat dengan lebih teliti dan tingkat kedetilan yang jauh lebih baik. Interpolasi Kriging merupakan salah satu metode geo statistik yang bisa digunakan untuk pening katan akurasi dan presisi model 3D dalam mendukung pemetaan skala besar dan da lam pembuatan orthoimage.
Gambar 4. DSM SRTM10 (Polynomial drift order 1) BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010
23
PENGOLAHAN DATA INDERAJA
Gambar 5. DSM SRTM10 (Polynomial drift order 2)
Gambar 6. Perbedaan masing-masing model 3D terhadap DSM SRTM90
24
BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010
PENGOLAHAN DATA INDERAJA
Meningkatkan Kemampuan Citra untuk Ekstraksi Informasi Penutup Lahan Melalui Minimalisasi Pengaruh Liputan Awan dan Kabut Oleh: Tri Muji Susantoro*, Muhammad Dzulhanif Harahap** * Staf Kelompok Penginderaan Jauh, KPRT Eksplorasi, PPPTMGB “LMIGAS”, ** Staf Bappeda Prov. D. I. Yogyakarta Email:
[email protected],
[email protected]
P
ermasalahan tutupan awan di Indonesia merupa kan hal klasik yang menyebabkan penggunaan data penginderaan jauh sistem optis menjadi terbatas. Banyak perekaman data penginderaan jauh sistem optis di Indonesia yang tidak bisa digunakan de ngan baik karena tutupan awan yang cukup tinggi. Pada pemetaan penggunaan lahan ataupun pemetaan kondisi fisik lainnya permasalahan tutupan awan menjadi hal yang sangat serius. Kondisi awan yang tebal dan meluas menyebabkan gelombang elektromagnetik tidak sampai ke obyek/permukaan bumi tetapi langsung dipantulkan oleh awan tersebut, sehingga pada citra optis yang tere kam hanyalah awan yang berwarna keputihan. Disam ping itu bayangan awan pun menjadi permasalahan yang ada bersamaan dengan awan itu sendiri. Permasalahan ini sebenarnya sudah dapat diatasi dengan adanya citra radar yang mempunyai kemampuan menembus awan (L band). Hanya saja citra radar mempunyai keterbatasan untuk pemetaan penggunaan lahan. Hal ini dikarenakan pada citra radar obyek yang terekam merupakan pencerminan dari kondisi kekasaran permukaan, bukan tutupan lahan secara langsung. Walaupun pada perkembangannya de ngan menggunakan radar multipolarisasi dan multiwaktu pemetaan penggunaan lahan dapat terbantu. Salah satu pemecahan masalah untuk mengatasi kondisi awan di In donesia khususnya adalah dengan teknik fusi antara data radar dan data citra optis. Artikel ini membahas fusi antara citra Palsar (radar) dengan citra optis (Landsat 7ETM+) dan aplikasinya untuk pemetaan penggunaan lahan. Selain teknik fusi dilakukan juga pengolahan data dengan dasar transfor masi tasseled cap (haze reduction) yang dilakukan untuk mengurangi haze. Dengan transformasi ini komponen BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010
yang terkait dengan haze dikurangi atau dihilangkan. Aplikasi teknik tersebut dilakukan pada di Selatan Kota Samarinda dan sebagian Delta Mahakam. Penggunaan citra satelit radar dimaksudkan untuk mendapatkan data yang bebas dari pengaruh liputan awan karena panjang gelombang yang digunakan mampu menembus liptuan awan disamping mempunyai keung gulan lain. Interpretasi penggunaan lahan pada Palsar secara mandiri sebagai data band tunggal relatif sulit menjadi pertimbangan lain dalam studi ini. Penggunaan Landsat 7ETM+ dikarenakan data tersebut merupakan data yang paling banyak digunakan di Indonesia untuk pemetaan penggunaan lahan. Hal ini akan memudahkan dalam pengenalan obyek dan karakteristik citra terse but. Artikel ini menjelaskan proses peningkatan kualitas citra, fusi antara Palsar dan Landsat 7ETM+ dan reduksi pengaruh kabut (haze) untuk pemetaan penutup lahan. Diharapkan nantinya dapat dikembangkan untuk berba gai aplikasi lainnya. Lokasi studi terletak di sebelah Selatan Kota Sama rinda, antara 117° 22’ 50” BT sampai dengan 116° 43’ 23” BT dan 0° 31’ 57” LS sampai dengan 1° 4’ 37” LS (Gambar 1). Pada lokasi studi terdapat daerah migas, terutama di Sanga-Sanga. Pada daerah ini juga terdapat sungai besar yang di muaranya membentuk delta yang sangat luas, yaitu Sungai Mahakam. Data landsat 7ETM+ yang digunakan berada di Path/ Row 116/61 dengan waktu perekaman tanggal 13 Januari 2002. Palsar yang digunakan merupakan data band tung gal dengan polarisasi HH dan direkam dengan incident angle 38.833° serta tanggal perekaman 16 Febuari 2009. Pengolahan data penginderaan jauh dilakukan menggu nakan software Erdas Imagine sedangkan untuk visuali 25
PENGOLAHAN DATA INDERAJA kan untuk menghilangkan haze yang ada pada citra Landsat karena pengaruh atmosfer. Keuntungan proses ini adalah dapat menghasilkan produk citra yang lebih baik/tajam sehingga lebih mudah digunakan untuk interpretasi secara vi sual (Gambar 2). Reduksi haze yang merupakan ba gian dari koreksi radiometrik mampu meningkatkan kualitas citra dalam hal ketajaman obyek dengan baik. Obyekobyek yang mempunyai luasan kecil, se perti sumur migas lebih dapat diidenti fikasi dari citra tersebut. Menggunakan citra hasil reduksi Haze maka obyekobyek yang bersifat linear seperti jalan lebih mudah diinterpretasi, demikian pula dengan penggunaan lahan dapat le bih terbedakan dengan baik. Proses fusi antara landsat 7ETM+ dan Palsar menggunakan metode Bro vey Transform, Principal Component dan Multiplicative. Fusi tersebut dilakukan
Gambar 1. Lokasi Studi DATA LANDSAT 7ETM+
HAZE REDUCTION 3 X 3
HAZE REDUCTION 5 X 5
Gambar 2. Perbedaaan Hasil Kenampakan Citra Landsat 7ETM+ yang Dilakukan Proses Reduksi Haze
sasi dalam sistem informasi geografis menggunakan Ma pinfo (pada lokasi pengamatan tidak terjadi perubahan signifikan terhadap penutup lahan antara Januari 2002 dan Februari 2009). Pengolahan data penginderaan jauh merupakan suatu teknik pengolahan data yang berba sis raster. Pada tahap awal dilakukan pengolahan data untuk penajaman radiometrik dan koreksi geometrik. Penajaman radiometrik ini menggunakan teknik haze reduction yang berguna untuk meningkatkan kualitas citra secara radiometrik. Koreksi geometrik dilakukan untuk mengurangi error terhadap posisi geografis yang sebenarnya dan memudahkan dalam proses fusi antara Palsar dan Landsat 7ETM+. Proses reduksi haze dilaku 26
untuk memperoleh data yang lebih baik secara visual dan diharapkan mampu mengeliminir awan, sehingga data citra hasil fusi tersebut menjadi bebas awan. Hasil fusi tersebut mempunyai kelebihan, yaitu; citra yang dihasilkan lebih baik untuk interpretasi penggunaan lahan/tutupan lahan, morfologi lebih jelas, citra yang dihasilkan mencerminkan sifat-sifat Landsat 7ETM+ dan Palsar, kondisi obyek yang sifatnya linier lebih je las dan tegas. Gambar 3 berikut merupakan sampel citra Landsat7ETM+, Palsar dan citra hasil fusi antara keduanya. Hasil fusi antara Palsar dan Landsat 7ETM+ mem punyai keuntungan dan kekurangan yang berbeda-beda BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010
PENGOLAHAN DATA INDERAJA
Gambar 3. Perbedaaan Kenampakan Citra Landsat 7ETM+, Palsar dan Hasil Fusi antara keduanya pada daerah yang berawan
a. Landsat 7EtM+ tahun 2002
c. Citra Hasil Fusi Palsar & Landsat 7EtM+ dengan Brovey transform
b. Palsar
d. Citra Hasil Fusi Palsar & Landsat 7EtM+ dengan Principal Component
antara ketiga metode tersebut. Perbedaannya adalah se bagai berikut: Citra Hasil Fusi dengan Metode Brovey Transform Citra hasil fusi dengan metode ini mempunyai kara kteristik citra sebagai berikut: - Morfologi menjadi sangat tegas dan tajam, - Obyek obyek liniar seperti jalan tidak setegas citra ha sil fusi dengan metode principal component, - Pada daerah yang berawan tipis kenampakan berubah dan mulai diganti dengan citra Palsar, - Pada daerah yang berawan tebal citra yang dihasilkan diganti dengan palsar, - Citra Palsar jelas tercermin pada citra hasil fusi ini hal ini terlihat jelas dari perbedaan tutupan lahan dari citra Landsat asli, - Kenampakan batas pantai sangat tegas walaupun di daerah yang berawan, - Kenampakan Obyek di laut sangat tegas. BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010
e. Citra Hasil Fusi Palsar & Landsat 7EtM+ dengan Multiplicative
Citra Hasil Fusi dengan Principal Component Citra hasil fusi dengan metode ini mempunyai karak teristik citra sebagai berikut: - Citra yang dihasilkan lebih tegas dalam membedakan antara vegetasi dan nonvegetasi, - Kenampakan obyek liniar seperti jalan lebih tegas dan tajam, - Pada daerah yang berawan tipis kenampakan berubah ke arah gelap, tetapi obyek dibawahnya masih dapat di identifikasi, - Pada daerah yang berawan tebal kenampakan berubah seperti kenampakan air sehingga obyek dibawahnya menjadi tidak terlihat, - Morfologi kurang tajam dan tegas, - Citra Palsar kurang dapat terjerminkan pada citra ini, - Kenampakan batas pantai pada daerah yang berawan tidak jelas, - Kenampakan obyek di laut tidak jelas.
27
PENGOLAHAN DATA INDERAJA
a. Palsar
b. Landsat 7EtM+ tahun 2002
c. Citra Hasil Fusi Palsar & Landsat 7EtM+ dengan Principal Component
Gambar 4. Perbedaaan Kenampakan Obyek Tambang Batubara pada Citra Landsat 7ETM+, Palsar dan Hasil Fusi antara keduanya. d. Citra Hasil Fusi Palsar & Landsat 7EtM+ dengan Multiplicative
e. Citra Hasil Fusi Palsar & Landsat 7EtM+ dengan Brovey transform
Citra Hasil Fusi dengan Multiplicative Citra hasil fusi dengan metode ini mempunyai kara kteristik citra sebagai berikut: - Morfologi menjadi sangat tegas dan tajam, - Obyek obyek liniar seperti jalan tidak setegas citra ha sil fusi dengan metode principal component, - Pada daerah yang berawan tipis kenampakan awannya masih terlihat dan menyatu seperti obyek tutupan la han, - Pada daerah yang berawan tebal kenampakan terlihat jelas, - Citra Palsar masih tercermin pada citra hasil fusi ini hal ini terlihat jelas dari perbedaan tutupan lahan dari citra Landsat asli, - Kenampakan batas pantai sangat tegas walaupun di daerah yang berawan, - Kenampakan Obyek di laut tegas. 28
Gambar 4. berikut adalah contoh perbedaan ke nampakan obyek tutupan lahan (Tambang Batubara) antara citra Landsat 7ETM+ dan citra hasil fusi. Berdasarkan hasil pengolahan data yang berupa reduksi haze dan fusi landsat 7ETM+ dan Palsar dilaku kan interpretasi penggunaan lahan secara manual. Pada daerah yang berawan di Landsat 7ETM+ citra hasil fusi dengan Palsar mempunyai kenampakan sedikit berbeda. Dimana rona/warna citra tidak seperti rona/warna pada citra optik umumnya, sehingga site tekstur dan asosia si lebih dominan digunakan sebagai dasar interpreta si. Disamping itu pengetahuan mengenai daerah studi juga menjadi bagian penting dalam proses interpretasi. Adapun hasil interpretasi yang diperoleh dengan meng gunakan citra-citra tersebut adalah seperti Gambar 5. sedangkan luasan tutupan lahan hasil interpretasi dapat dilihat pada Tabel 1. BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010
PENGOLAHAN DATA INDERAJA
Gambar 5. Peta Tutupan Lahan Hasil Interpretasi Citra.
NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
TUTUPAN LAHAN Fasilitas olahraga/Stadion Hutan Hutan Rawa Industri Kebun Lahan Terbuka Lapangan Migas Mangrove Perkebunan Permukiman Rawa Sawah Semak Tambak Tambang Batubara Tubuh Air Grand Total
LUAS (Km2) 0.97 1,979.66 18.70 0.07 542.04 34.12 1.76 195.70 244.06 140.69 3.54 6.59 70.46 66.05 46.58 616.11 3,967.08
Tabel 1. Luas tutupan lahan daerah Selatan Kota Samarinda dan sekitarnya. BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010
Tutupan lahan yang diperoleh berdasarkan interpre tasi terdapat 16 jenis kategori. Khusus untuk Fasilitas Olahraga/ Stadion di Selatan Kota Samarinda terlihat je las pada Citra hasil fusi antara Landsat 7ETM+ & Palsar. Padahal pada Landsat 7ETM+ daerah tersebut masih be rupa kebun dan belum terbangun stadion tersebut. Pemanfaatan data Palsar untuk fusi dengan Landsat 7ETM+ atau citra optik lainnya yang mempunyai tutu pan awan yang tinggi dapat menjadi alternatif yang baik untuk pemetaan penggunaan lahan. Hal ini dikarenakan pada citra hasil fusi tersebut tutupan awan dapat berku rang dan digantikan dengan Palsar tersebut. Metode fusi yang relatif baik untuk menggabungkan antara Palsar & Landsat 7ETM+ adalah metode Brovey Transform. Pada citra ini tampak adanya ketegasan yang baik dalam mor fologi, jalan sungai dan garis pantai. Citra hasil fusi antara Palsar & Landsat 7ETM+ da pat digunakan secara efektif untuk pemetaan penggu naan lahan. Disini diperlukan kejelian dalam memahami obyek-obyek pada citra hasil fusi tersebut, karena ke nampakan obyek sedikit berbeda dengan citra Landsat 29
PENGOLAHAN DATA INDERAJA Gambar 6. Hasil Fusi dengan metoda Brovey Transform.
Gambar 7. Hasil Fusi dengan metoda Multiplicative.
Gambar 8. Hasil Fusi dengan metoda Principal Component.
7ETM+ murni. Efek morfologi pada citra hasil fusi ini lebih tegas dan kuat. Keuntungan lain nya adalah pada citra hasil fusi ini dapat digu nakan untuk mendeteksi kapal yang berada dipermukaan laut seperti citra Radar secara umum. Pengolahan reduksi haze baik juga dila kukan untuk mempertegas kenampakan obyek, terutama mempertegas batas obyek. Walaupun reduksi haze ini sebenarnya merupakan bagian dari koreksi atmosferik. 30
BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010
APLIKASI INDERAJA
Analisis Persebaran Titik Panas (Hotspot) Indikasi Kebakaran Hutan dan Lahan di Wilayah Kalimantan Sepanjang Tahun 2001 - 2009 Oleh: Suwarsono*, Fajar Yulianto*, Par wati*, dan Totok Suprapto** *Staf Peneliti Bidang PSDAL, Pusbangja LAPAN, ** Kepala Bidang PSDAL, Pusbangja LAPAN
H
ampir sudah dapat dipastikan bahwa di wilayah Indonesia, khususnya di Sumatera dan Kaliman tan akan terjadi peningkatan intensitas keba karan hutan dan lahan pada musim-musim kemarau, yang terjadi pada bulan-bulan sekitar April hingga Ok tober. Intensitas kebakaran akan semakin tinggi apabila terjadi peristiwa El Nino Southern Oscillation/ENSO (lebih sering disingkat dengan El Nino), seperti yang terjadi pada tahun 1997, 2002, 2004, 2006 dan 2009. Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada tahun 1997 dinyatakan oleh Asian Development Bank (ADB) sebagai kebakaran hutan dan lahan yang paling parah dengan luas total areal yang terbakar adalah 9,75 juta ha yang tersebar di Sumatera 1,7 juta ha, Kalimantan 6,5 juta ha, Jawa 0,1 juta ha, Sulawesi 0,4 juta ha, dan Papua 1 juta ha. Berdasarkan data tersebut tampak bah wa wilayah Kalimantan mempunyai luasan areal terba kar yang paling besar. Berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), luas areal hutan yang terbakar dari tahun 2004 hingga 2008 untuk seluruh wilayah Indonesia berturut-turut adalah 3.344 ha, 5.502 ha, 32.199 ha, 7.078 ha dan 7.245 ha. Sudah lebih dari satu dekade Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) secara konsisten mela kukan pemantauan titik panas (hotspot) sebagai indikasi kebakaran hutan dan lahan menggunakan data satelit penginderaan jauh di wilayah Indonesia, khususnya di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Pemanfaatan tekno logi satelit penginderaan jauh untuk pemantauan kebaka ran hutan dan lahan telah memberikan andil yang nyata terutama sejak pertengahan tahun 90-an seiring dengan terjadinya bencana kebakaran hutan dan lahan paling pa rah dalam sejarah yang pernah terjadi di Indonesia pada musim kemarau tahun 1997 tersebut di atas. Beroperasi nya satelit Terra pada tahun 1999 dan Aqua pada tahun
BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010
2002 yang membawa sensor MODIS (Moderate Imaging Resolution Spectroradiometer) telah meningkatkan kua litas hasil pemantauan hotspot disamping pemanfaatan data NOAA (National Oceanic and Atmospheric Admi nistration). Pada tulisan ini akan diuraikan kondisi hotspot, baik jumlah maupun sebarannya untuk wilayah Kalimantan sepanjang tahun 2001 hingga tahun 2009 menggunakan data MODIS. Selain itu juga menyajikan hasil analisis ke padatan hotspot dari kurun waktu tersebut untuk identi fikasi daerah rawan kebakaran hutan dan lahan. Sebaran hotspot di Kalimantan tahun 2001-2009 Selama kurun waktu tahun 2001 hingga 2009 di Kali mantan dijumpai sebanyak 77.274 titik panas (Gambar 110). Jumlah hotspot tahunan dari 2001 hingga 2009 yaitu tahun 2001 (1.315 hotspot), tahun 2002 (12.219 hotspot), tahun 2003 (5.869 hotspot), tahun 2004 (10.973 hotspot), tahun 2005 (3.121 hotspot), tahun 2006 (16.495 hotspot), tahun 2007 (1.912 hotspot), tahun 2008 (1.919 hotspot) dan tahun 2009 (23.551 hotspot). Berdasarkan data ter sebut dapat diketahui bahwa hotspot mengalami pening katan pada tahun 2002, 2004, 2006 dan 2009. Kondisi de mikian dapat dipahami karena pada tahun-tahun tersebut bersamaan dengan terjadinya fenomena El Nino. Berdasarkan data jumlah hotspot bulanan di Kali mantan selama kurun waktu 2001 – 2009 dapat diketahui bahwa hotspot mengalami peningkatan selama bulan Agustus hingga Oktober dengan puncak hotspot terjadi pada bulan September (Gambar 11). Berdasarkan data tersebut maka perlu diwaspadai terhadap peningkatan intensitas kebakaran hutan dan lahan pada bulan-bulan tersebut, terutama sekali apabila diprediksi pada bulanbulan tersebut akan terjadi fenomena El Nino. 31
APLIKASI INDERAJA
Gambar 1. Jumlah hotspot bulanan sepanjang tahun 2001 di wilayah Kalimantan
Gambar 2. Jumlah hotspot bulanan sepanjang tahun 2002 di wilayah Kalimantan
Gambar 3. Jumlah hotspot bulanan sepanjang tahun 2003 di wilayah Kalimantan
Gambar 4. Jumlah hotspot bulanan sepanjang tahun 2004 di wilayah Kalimantan
32
BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010
APLIKASI INDERAJA
Gambar 5. Jumlah hotspot bulanan sepanjang tahun 2005 di wilayah Kalimantan
Gambar 6. Jumlah hotspot bulanan sepanjang tahun 2006 di wilayah Kalimantan
Gambar 7. Jumlah hotspot bulanan sepanjang tahun 2007 di wilayah Kalimantan
Gambar 8. Jumlah hotspot bulanan sepanjang tahun 2008 di wilayah Kalimantan
BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010
33
APLIKASI INDERAJA
Gambar 9. Jumlah hotspot bulanan sepanjang tahun 2009 di wilayah Kalimantan
Gambar 10. Jumlah hotspot sepanjang tahun 2001-2009 di wilayah Kalimantan
Tabel 1. Jumlah hotspot tahun 2001-2009 per provinsi di Kalimantan No
Provinsi
Sebaran hotspot di tiap-tiap provinsi dan kabupaten Sebaran hotspot paling banyak terdapat di Provinsi Kalimantan Tengah, yaitu sebanyak 40.412 hotspot (52,2% dari jumlah total di Kalimantan). Sedangkan pro vinsi lainnya berturut-turut yaitu ; Provinsi Kalimantan Barat sebanyak 21.090 hotspot (27,3%), Kalimantan Ti mur sebanyak 8.261 hotspot (10,7%), dan Kalimantan Selatan sebanyak 7.611 hotspot (9,8%). Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1. 34
Prosentase (%)
1
Kalimantan Tengah
40.412
52.2
2
Kalimantan Barat
21.090
27.3
3
Kalimantan Timur
8.261
10.7
4
Kalimantan Selatan
7.611
9.8
77.374
100.0
Total Gambar 11. Jumlah hotspot rerata bulanan sepanjang tahun 2001 - 2009 di wilayah Kalimantan.
Jumlah Hotspot
Di Provinsi Kalimantan Tengah hotspot paling banyak terdapat di Kabupaten Pulangpisau, yaitu seba nyak 9.082 hotspot (22,5% dari jumlah total di Provinsi Kalimantan Tengah). Selain itu hotspot juga banyak di jumpai di Kabupaten Kotawaringin Timur (5.509 hotspot atau 13,6%), Kabupaten Kapuas (4.723 hotspot atau 11,7%), Kabupaten Seruyan (4.707 hotspot atau 11,6%), Kabu paten Katingan (3.721 hotspot atau 9,2%), dan Kabupaten Kotawaringin Barat (2.914 hotspot atau 7,2%). Sedangkan di kabupaten lainnya, jumlah hotspot berkisar di bawah 2.000 titik. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2. BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010
APLIKASI INDERAJA Tabel 2. Jumlah hotspot tahun 2001-2009 per kabupaten di Provinsi Kalimantan Tengah No
Provinsi
Jumlah Hotspot
Prosentase (%)
No
801
3.8
10
Sekadau
293
1.4
Kota Singkawang
25
0.1
Kota Pontianak
14
0.1
21.090
100.0
Pulangpisau
9.082
22.5
2
Kotawaringin Timur
5.509
13.6
12
3
Kapuas
4.723
11.7
4
Seruyan
4.707
11.6
5
Katingan
3.721
9.2
6
Kotawaringin Barat
2.914
7.2
7
Kota Palangkaraya
1.759
4.4
8
Sukamara
1.559
3.9
9
Barito Selatan
1.381
3.4
10
Barito Utara
1.191
2.9
11
Lamandau
1.159
2.9
12
Barito Timur
1.018
2.5
13
Gunungmas
956
2.4
14
Murungraya
733
1.8 100.0
Di Provinsi Kalimantan Barat hotspot paling banyak terdapat di Kabupaten Ketapang, yaitu sebanyak 8.676 hotspot (41,1% dari jumlah total di Provinsi Kali mantan Barat). Selain itu hotspot juga banyak dijumpai di Kabupaten Ketapang (2.299 hotspot atau 10,9%), Ka bupaten Bengkayang (1.929 hotspot atau 9,1%), Kabu paten Pontianak (1.729 hotspot atau 8,2%), Kabupaten Kapuas Hulu (1.578 hotspot atau 7.5%), Kabupaten Sam bas (1.462 hotspot atau 6,9%), dan Kabupaten Sanggau (1.368 hotspot atau 6,5%). Sedangkan di kabupaten lain nya, jumlah hotspot berkisar di bawah 1.000 titik. Se lengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Jumlah hotspot tahun 2001-2009 per kabupaten di Provinsi Kalimantan Barat No
Provinsi
Jumlah Hotspot
Prosentase (%)
1
Ketapang
8.676
41.1
2
Sintang
2.299
10.9
3
Bengkayang
1.929
9.1
4
Pontianak
1.729
8.2
5
Kapuas Hulu
1.578
7.5
6
Sambas
1.462
6.9
7
Sanggau
1.368
6.5
8
Landak
916
4.3
BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010
Prosentase (%)
Melawi
1
40.412
Jumlah Hotspot
9 11
Total
Provinsi
Total
Di Provinsi Kalimantan Timur hotspot paling banyak terdapat di Kabupaten Kutai Barat, yaitu seba nyak 1.796 hotspot (21,7% dari jumlah total di Provinsi Kalimantan Timur). Selain itu hotspot juga banyak di jumpai di Kabupaten Kutai Kartanegara (1.734 hotspot atau 21%) dan Kabupaten Pasir (1.318 hotspot atau 16%). Sedangkan di kabupaten lainnya, jumlah hotspot berkisar di bawah 1.000 titik. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Jumlah hotspot tahun 2001-2009 per kabupaten di Provinsi Kalimantan Timur No
Provinsi
Jumlah Hotspot
Prosentase (%)
1
Kutai Barat
1.796
21.7
2
Kutai Kartanegara
1.734
21.0
3
Pasir
1.318
16.0
4
Berau
925
11.2
5
Kutai Timur
782
9.5
6
Nunukan
593
7.2
7
Bulungan
565
6.8
8
Penajam Paser Utara
272
3.3
9
Malinau
154
1.9
10
Kota Bontang
86
1.0
11
Kota Balikpapan
19
0.2
12
Kota Tarakan
12
0.1
13
Kota Samarinda
5
0.1
8.261
100.0
Total
Di Provinsi Kalimantan Selatan hotspot paling ba nyak terdapat di Kabupaten Banjar, yaitu sebanyak 1.541 hotspot (20,2% dari jumlah total di Provinsi Kalimantan Selatan). Selain itu hotspot juga banyak dijumpai di Ka bupaten Kotabaru (1.218 hotspot atau 16%). Sedangkan di kabupaten lainnya, jumlah hotspot berkisar di bawah 1.000 titik. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.
35
APLIKASI INDERAJA Tabel 5. Jumlah hotspot tahun 2001-2009 per kabupaten di Provinsi Kalimantan Selatan No
Provinsi
Prosentase (%)
1
Banjar
1.541
20.2
2
Kotabaru
1.218
16.0
3
Tapin
994
13.1
4
Baritokuala
985
12.9
5
Tanahlaut
915
12.0
6
Tanahbumbu
618
8.1
7
Hulusungai Selatan
515
6.8
8
Hulusungai Utara
264
3.5
9
Tabalong
211
2.8
10
Balangan
131
1.7
11
Kota Banjarbaru
103
1.4
12
Hulusungai Tengah
89
1.2
13
Kota Banjarmasin
27
0.4
7.611
100.0
Total
Jumlah Hotspot
dioverlaykan dengan data DEM-SRTM (gambar sebelah kiri). Berdasarkan peta tersebut dapat diketahui bahwa daerah rawan kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan paling banyak terkonsentrasi di Kabupaten Pulang Pisau, Kapuas, Barito Selatan, Kotawaringin Timur, Katingan, Barito Utara dan Kota Palangkaraya Provinsi Kalimantan Tengah, Kabupaten Ketapang, Sambas, Bengkayang, dan Pontianak Provinsi Kalimantan Barat, Kabupaten Kutai Timur dan Berau Provinsi Kalimantan Timur, serta Kabupaten Banjar dan Tapin Provinsi Kalimantan Selatan (ditunjukkan oleh gradasi warna merah). Pada gambar sebelah kanan ditunjukkan contoh per besaran daerah rawan kebakaran tersebut yang diover laykan dengan citra SPOT-4 yang mencakup sebagian wilayah di Kabupaten Katingan Provinsi Kalimantan Timur. Pada gambar tersebut tampak dengan jelas kon sentrasi kepadatan hotspot yang tinggi sehingga daerah tersebut memiliki tingkat kerawanan terhadap keba karan hutan dan lahan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan daerah sekitarnya. Warna merah pada kenam pakan citra SPOT-4 tersebut merupakan indikasi dari la han yang banyak ditumbuhi alang-alang kering dengan tingkat kehijauan vegetasi yang rendah (dry grassland), lahan terbuka (bareland) atau lahan bekas terbakar (bur ned area). Daerah-daerah rawan tersebut perlu menda patkan perhatian serius terhadap kemungkinan akan terjadinya kebakaran hutan dan lahan, terutama pada musim kemarau yang disertai dengan El Nino.
Identifikasi Daerah Rawan Kebakaran Hutan Berdasarkan data sebaran hotspot sepanjang tahun 2001 hingga tahun 2009 dapat diketahui wilayah-wilayah mana saja yang memiliki jumlah dan kepadatan hotspot (density) paling banyak. Wilayah-wilayah tersebut dapat diidentifikasi sebagai daerah yang memiliki tingkat kera wanan kebakaran hutan dan lahan lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lainnya. Kepa datan hotspot di wilayah Kalimantan berkisar an tara 0 hingga 250 hotspot per 5 km2 (rata-rata seki tar 10 hotspot per km2). Semakin tinggi kepa datan hotspot maka akan semakin tinggi tingkat kerawanannya terhadap kebakaran hutan dan la han. Gambar 12 menya jikan Peta Tingkat Kera wanan Kebakaran Hutan dan Lahan berdasarkan Gambar 12. kepadatan hotspot dari tahun 2001 – 2009 di Peta tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan di wilayah Kalimantan, dioverlaykan dengan wilayah Kalimantan data DEM-SRTM (sebelah kiri) dan contoh perbesarannya yang dioverlaykan dengan citra SPOT-4 (sebelah kanan). dari data MODIS yang 36
BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010
APLIKASI INDERAJA
Analisis Data Penginderaan Jauh untuk Pemantauan Lingkungan Danau Ranau dan Danau Maninjau Oleh: M. Natsir email:
[email protected]
Salah satu kegiatan di dalam Program Pusat Data Penginderaan Jauh pada T.A 2008 adalah pemanfaatan peta citra satelit untuk pemantauan sumber daya air. Dalam kegiatan ini dilakukan pengamatan danau-danau seluruh Indonesia yang kebetulan juga menjadi prioritas Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) untuk direhabi litasi (KLH, 2007). Sebagian danau di pulau Sumatera yang dimonitor adalah danau Toba, danau Maninjau, danau Singkarak dan danau Ranau. Danau-danau itu mempunyai kesamaan pembentukannya yaitu berasal dari aktifitas gunung berapi (Wikipedia, 2009). Keem pat danau itu masing-masing juga menjadi obyek wisata penting di daerahnya serta menjadi penampung air dan sumber air sungai yang dimanfaatkan sebagai irigasi, penggerak pembangkit tenaga listrik dan sebagainya. Secara fisik lingkungan danau dan sungai dibagi menja di dua yaitu DTA dan DAS. DTA atau daerah tangkapan air adalah kawasan lingkungan danau yang mengalirkan air ke danau, sebagai kawasan pengisi danau. Kalau ka wasan DTA ada hujan maka airnya akan dialirkan ke danau melalui sungai-sungai yang bermuara ke danau. Sedangkan daerah aliran sungai yang sudah bukan ling kungan danau, namun merupakan daerah lingkungan sungai. Seluruh kawasan yang aliran airnya menuju ke satu sungai berada dalam satu daerah aliran sungai. Daerah aliran sungai (DAS) itu ada yang di dalamnya terdapat danau dan dapat juga tidak ada danau. Secara
skematis siklus air dapat digambarkan dalam Gambar 1 berikut. (Hernandez, 2002) Berdasarkan aliran airnya yang digambarkan dengan anak panah, sebagian siklus air ini digambarkan dimulai dari DTA yang menampung air hujan untuk dialirkan ke danau. Danau menerima air, setelah melebihi batas bibir danau air dialirkan ke sungai. Di lingkungan sungai sen diri terdapat kawasan pensuplai air sungai. Dan danau pun termasuk pensuplai air sungai yang mengalirkan airnya ke muaranya di pantai, dan akhirnya pun ke laut. Air penting dalam kehidupan manusia, karena nya manusia harus berusaha untuk memperlama ke beradaan air di daratan, melalui penampungan alami danau, penampungan buatan seperti waduk untuk ska la besar, sedang untuk perorangan dengan kolam, bak ataupun bejana-bejana dan kemudian dimanfaatkan. Air yang meresap ke tanah pun dimanfaatkan, diambil mela lui sumur (dengan timba atau dengan memompanya) untuk berbagai keperluan. Pemantauan keadaan sumber daya air itu karenanya sangat diperlukan dalam rangka pelestarian sumber daya air. Dalam tulisan ini akan diuraikan sebagian hasil pe mantauan, membahas kesamaan dan perbedaan daerah tangkapan air (DTA) danau Ranau Sumatera Selatan dan danau Maninjau Sumatera Barat. Data penginderaan jauh yang digunakan untuk memantau danau-danau ter sebut adalah citra ETM Landsat 7 dan TM Landsat 5.
Gambar 1. Diagram daur air danau ke laut.
BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010
37
APLIKASI INDERAJA
Gambar 2. Citra Landsat (3 dimensi) DTA danau Ranau Sumatera Selatan.
Danau Ranau terletak di perbatasan antara Kabupa ten Ogan Komering Hulu (OKU) Selatan Provinsi Su matera Selatan dan Kabupaten Tulang Bawang Provinsi Lampung. Danau itu terletak antara sekitar 103o 48’ 30” - 103o 55’ 50” bujur timur dan pada 4º 46’ 25” – 4º 51’ 45” lintang selatan. Danau Ranau merupakan danau ter luas ke dua di pulau Sumatera yang luasnya 130 km2, terbentuk karena aktivitas vulkanik yang menyebabkan terbentuknya lubang yang kemudian terisi air menjadi danau. Daerah tangkapan air danau itu meliputi suatu kawasan cekungan yang di dalamnya tedapat gunung Seminung yang merupakan gunung berapi aktif dengan ketinggian 1880 m dari permukaan laut, perkampungan, persawahan dan perkebunan. Penduduk sekitar danau memelihara ikan di dalam danau menggunakan keram ba. Namun ada bahaya yang mengancam ikan-ikan yaitu masuknya zat belerang yang berasal dari gunung Semi nung ketika gunung berapi itu yang berbatasan dengan danau itu aktif. Air keluar melalui sungai Komering yang merupakan anak sungai Musi. Sedangkan danau Maninjau terletak di kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat. Secara geografis terle 38
tak pada 0o15’ 45” - 0o 24’ 50” lintang selatan dan 100o 9’30” – 100o14’5” bujur timur. Danau ini merupakan bekas kepundan sebuah gunung mati tua yang digena ngi air sejak berabad-abad yang lalu dengan luas 9.847,6 Ha. Kawasan DTA dan danau Maninjau ini berbentuk mangkok dikelilingi oleh tebing yang sangat terjal. Peng gunaan lahan di kawasan itu terdiri atas hutan, ladang/ tegal, pemukiman, sawah dan ada juga yang dibiarkan menjadi semak belukar serta hutan yang lebat. Kawa san DTA ini meliputi satu daerah kecamatan/wali nagari Tanjung Raya, seluas 13.629 Ha. Danau Maninjau dijadi kan kawasan pariwisata. Penduduk di sekitar danau ini pun selain bertani juga memelihara ikan dalam danau menggunakan keramba. Ikan yang hidup dalam danau ini terancam racun belerang yang naik terbawa arus up welling yang berulang setiap 10 tahunan (1999 s/d 2009). Pada awal tahun 2009 ikan yang mati karena zat belerang mencapai 7.000an ton. Selain karena belerang ada penyebab lain kematian itu, yaitu endapan palet sisa makanan ikan dalam keramba yang tidak habis terma kan, membusuk di dasar danau. Hasil pemeriksaan labo ratorium menyimpulkan 70% ikan mati karena belerang BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010
APLIKASI INDERAJA
Gambar 3. Citra Landsat (3 dimensi) DTA danau Maninjau Sumatera Barat.
dan 30% ikan mati keracunan sisa palet makanan ikan (Bapedalda Sumbar, 2009 ). Analisis data penginderaan jauh Landsat 7 ETM+ ta hun 2001 dan Landsat 5 TM tahun 2006 menunjukkan bahwa luas danau Ranau itu adalah 12.631,485 Ha, de ngan luas DTA 36.282,05 Ha. Selama kurun waktu lima tahun, dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2006 tidak ada perubahan berarti pada kawasan itu kecuali pada hutan yang susut seluas 1.256,688 Ha menjadi semak belukar. Hal tersebut dapat dilihat pada hasil klasifikasi data Landsat-7 ETM+ tahun 2001 dan data Landsat 5 TM tahun 2006 yang diperlihatkan pada Gambar 4 dan Gambar 5 berikut. Perubahan tutupan lahan daerah tangkapan air da nau Ranau dapat dilihat Tabel 1. Keadaan penutup lahan di DTA danau Ranau dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2006 mengalami be berapa perubahan yang antara lain adalah penurunan luas hutan namun diimbangi oleh kenaikan luas semak belukar. Berarti penebangan yang kemudian ditinggal kan begitu saja menjadi belukar, seluas 12.566,688 Ha. Walaupun akan berpengaruh kepada tangkapan air da nau Ranau, tetapi belum terlihat pada luas danau. Da BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010
Tabel 1. Perubahan Penutup lahan DTA danau Ranau. No 1 2 3 4 5 6 7
Penutup Lahan Hutan Ladang / Tegalan Pemukiman Sawah Semak / Belukar Perkebunan Danau
Luas ( Ha ) Tahun 2001 9494.511 2439.847 279.407 1978.892 16755.670 5333.723 12631.485
Tahun2006 8237.823 2439.847 279.407 1978.892 18012.358 5333.723 12631.485
lam daerah tangkapan air danau Ranau terdapat sebuah gunung yang aktif, merupakan sumber belerang yang mencemari air danau. Dari analisis data penginderaan jauh Landsat 5 TM diperoleh bahwa penggunaan/tutupan lahan daerah tangkapan air danau Maninjau itu terdiri atas hutan, la dang/tegalan, pemukiman, sawah, semak belukar dan tanah terbuka. Kawasan danau Maninjau ini sangat dina mis, dari tahun 1994, sampai tahun 2006 sudah terjadi banyak perubahan pada semua jenis tutupan lahan se cara berarti kecuali air danaunya.
39
APLIKASI INDERAJA
Gambar 4. Penutup Lahan DTA Ranau tahun 2001. Tabel 2. Perubahan Penutup Lahan DTA danau Maninjau. No
Penutup Lahan
1 2 3 4 5 6
Hutan Ladang/Tegalan Pemukiman Sawah Semak/ Belukar Tubuh air
Tahun 1994 9558,4 145,7 185,5 2492,8 1246,6 9847,6
Luas (Ha) Tahun 2000 9280,8 271,0 186,7 2511,7 1378,8 9847,6
Tahun 2006 9201,4 998,9 200,3 2522,3 706,2 9847,6
Perubahan penutup lahan daerah tangkapan air danau Maninjau antara tahun 1994 sampai tahun 2006, antara lain adalah luas hutan yang terus berkurang dari 9558,4 Ha di tahun 1994 turun menjadi 9280,8 Ha pada tahun 2000 dan pada tahun 2006 menjadi 9201.4 Ha. Se mak belukar juga mengalami perubahan dari luas 1246,6 Ha di tahun 1994 pada tahun 2000 sedikit naik menjadi 1378,8 Ha, dan pada tahun 2006 turun cukup besar se hingga tinggal 706,2 Ha saja. Perubahan ini kemung kinan disebabkan oleh perluasan ladang/tegalan di tepi hutan kawasan kecamatan Matur dari 145,7 Ha di tahun 1994, naik menjadi 271,0 Ha di tahun 2000 dan naik se cara drastis sampai 988,9 Ha di tahun 2006. Sawah naik 40
tidak sedikit saja yaitu dari 2492,8 Ha di tahun 1994, menjadi 2511,7 Ha di tahun 2000 dan pada tahun 2006 hanya naik menjadi 2522,3 Ha. Perubahan itu menyebabkan beberapa hal, antara lain hutan yang berkurang akan menyebabkan simpanan air di daerah tangkapan air berkurang, sehingga sediaan air tahunan akan cepat habis. Perluasan lahan pertanian menyebabkan pemakaian pupuk dan pestisida bertam bah. Bila hujan datang, aliran air akan membawa sisa pupuk dan pestisida ke danau, mencemari air danau. Pe rubahan kedua hal itu (luas hutan dan lahan pertanian) menyebabkan air berkurang dan polutan bertambah. Adanya kandungan belerang sangat besar di dasar danau Maninjau yang berasal dari kawah sejak beratus tahun yang lalu, menambah potensi polusi air danau mening kat. Hal itu ditandai dengan tumbuh suburnya enceng gondok karena sisa pupuk (potasium), serta keterangan pejabat Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Agam me nyebabkan banyaknya spesies ikan asli yang mati.
BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010
APLIKASI INDERAJA
Gambar 5. Penutup Lahan DTA Ranau tahun 2006. Tabel 3. Perbedaan dinamika Penutup Lahan 2000 – 2006. No
Jenis Penutup Lahan
Danau Ranau Tetap
Berubah
Danau Maninjau Tetap
Berubah
1
Hutan
-1256.687 Ha
-79.4 Ha
2
Semak belukar
+1256.687 Ha
- 672.6 Ha
3
Perkebunan
√
-
4
Ladang / Tegalan
√
727.9 Ha
5 6
Sawah Pemukiman Danau (tubuh air)
√ √
10.6 Ha 13.6 Ha
7
√
√
Kesamaan dan perbedaan lingkungan danau Ranau dan danau Maninjau dapat disajikandalam Tabel 3 dan Tabel 4. Tabel 2 memberikan informasi perbedaan dinamika penutup lahan, menunjukkan bahwa pada dae rah tangkapan air danau Ranau terdapat perkebunan yang tidak ada pada daerah tangkapan air danau Manin jau, kemudian penggunaan lahan di daerah tangkapan air danau Ranau tetap kecuali perubahan hutan menjadi semak belukar, yang kemungkinan akan dijadikan per kebunan. Sedangkan perubahan penutup lahan daerah BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010
tangkapan air danau Maninjau sangat dinamis, luas semua penutup lahan berubah kecuali danaunya, menunjukkan kegiatan usaha yang ramai. Terjadi pengurangan luas hutan dan se mak belukar sebesar 897,4 Ha yang sebagian besar berubah fungsi menjadi ladang/tegalan seluas 853,2 Ha, kemudian menjadi sawah 29,5 Ha dan pemukiman seluas 14,8 Ha. Dari data sekunder diketahui bahwa ter dapat adanya polutan yang berasal dari pesti sida, pupuk, sisa palet makanan ikan dan bele rang disajikan dalam Tabel 4. Tabel 4. Polutan danau Ranau dan Singkarak.
No
Jenis Polutan
Danau Ranau
Danau Maninjau
1
Pestisida
+
+
2
Pupuk Sisa palet makanan ikan Belerang
+
+
++
++
3
Keterangan
Berbeda sumber (arti +, ++, +++ lihat pada text, Dinas Lingkungan Hidup, Bape dalda Prov. Sumbar, 2008)
4
+++
+++
41
APLIKASI INDERAJA Sisa pestisida yang masuk ke dalam kedua danau belum diketahui secara pasti, namun hilangnya binatang kecil dan ikan asli menunjukkan adanya sisa pestisida dalam danau dan sekitarnya (pada Tabel 4 ditandai dengan tanda +). Sedangkan adanya sisa pupuk dapat dili hat dari suburnya tanaman air (enceng gondok) di dalam danau (Juga ditandai dengan tanda + pada Tabel 4). Sisa palet makanan ikan dapat diidentifikasi dari banyaknya keramba yang ada di kedua danau (pada Tabel 4 ditandai dengan tanda ++). Belerang menurut informasi dari dinas lingkungan hidup dan masya rakat di sekitar danau berasal dari sum ber yang berbeda; belerang yang masuk ke danau Ranau berasal dari gunung Se minung, sedangkan belerang di danau Maninjau sudah berada mengendap se lama ratusan tahun di dasar danau. Adanya peristiwa banyaknya ikan yang mati dan hasil kajian ini maka masyarakat petani dan nelayan, sekitar danau Ranau maupun danau Maninjau terutama pemerintah daerah harus was pada, selain mengamankan usaha ma syarakat harus pula melestarikan ling kungan tanpa saling merugikan. Pemu pukan yang tidak mencemari air danau nampaknya harus dipilih demikian pula pelestarian predator alami harus diupa yakan mengganti penggunaan pestisida. Teknik efisiensi pemberian makanan ikan yang sudah dirancang oleh Ke mentrian Lingkungan Hidup (KLH) dan Dinas Lingkungan Hidup setempat su paya segera dilaksanakan. Siklus sepu luh tahunan upwelling danau harus di waspadai dengan tidak memelihara ikan pada tahun-tahun bahaya dan mengada kan tabungan kerugian. Dari uraian terdahulu dapat disimpulkan bahwa da nau Ranau dan danau Maninjau mempunyai kesamaan dan perbedaan lingkungan. Kondisi danau Ranau dan danau Maninjau sebgai obyek wisata tidak ada masalah. Sebagai tempat pemeliharaan ikan ada sedikit masalah dengan adanya pencemaran yang dapat diatasi bila pe tani sekitar menggunakan pupuk organik dan pelestari 42
Gambar 6. Penutup Lahan DTA Maninjau Tahun 2000.
Gambar 7. Penutup Lahan DTA Maninjau Tahun 2006.
an predator alami untuk memberantas hama. Siap siaga adanya siklus upwelling belerang di danau Maninjau, maupun turunnya belerang dari gunung Seminung di danau Ranau. Sebagai penyedia air ada sedikit masalah dengan berkurangnya luas daerah penyangga berupa hutan di kawasan DTA yang dari tahun ke tahun luasnya terus menyusut. BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010
Informasi Data INDERAJA
Aktivitas Siklon Tropis di Lautan Pasifik Barat dan Lautan China Selatan dan Dampaknya terhadap Curah Hujan di Indonesia Oleh: Ina Junaeni Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Email:
[email protected]
S
iklon bermula dari gelombang atmosfer yang ke mudian berubah menjadi spot tekanan rendah dan kemudian berkembang menjadi badai. Jika terjadi peningkatan kecepatan angin, maka badai berubah men jadi siklon. Di wilayah tropis, 85 % kejadian siklon dipicu oleh gelombang tropis. Ada beberapa kondisi yang ha rus dipenuhi untuk berkembangnya siklon, yaitu : suhu muka laut harus lebih besar dari 26.5 oC, gaya Coriolis ti dak nol dan harus mencapai nilai tertentu. Gaya Coriolis diperlukan untuk tetap mempertahankan spot tekanan rendah dari siklon. Jika siklon bergerak ke arah ekua tor dimana gaya Coriolisnya rendah, spin/putaran siklon akan melemah akibat tidak ada keseimbangan antara gaya Coriolis dengan gaya gradien tekanan (Gambar 1, Sumber: http://web.mit.edu/). Syarat lain terjadinya siklon adalah shear angin vertikal rendah agar terjadi gerakan spiral vertikal. Dari persyaratan tersebut maka wilayah yang poten sial untuk terjadinya siklon adalah wilayah tropis dan subtropis, atau pada zona konvergensi tropis/ zona front/ palung monsun,lokasi dimana sering terjadi tekanan rendah, seperti diperlihatkan pada Gambar 2 (Sumber: http://www.windows.ucar.edu/earth/images/). Setiap wilayah menamai badai besar dengan nama yang ber beda. Nama siklon (cyclone) digunakan untuk wilayah lautan Hindia, laut China selatan dan Pasifik barat. Di Pa sifik barat bagian utara, badai dinamai typhoon. Di lautan Atlantik dan Pasifik timur dinamai hurricane. Siklon di wilayah tropis biasanya berada pada wilayah 10 sampai 30 derajat lintang utara (LU) atau lintang selatan (LS). Karena Coriolis yang lemah yang terkait dengan rotasi BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010
Gambar 1 Skema aliran udara di sekitar spot tekanan rendah (di Belahan Bumi Utara). Graden tekanan di gambarkan oleh panah berwarna biru. (Sumber:http://www.windows.ucrar.edu/earth/images/
bumi, jarang sekali terjadi siklon di wilayah 5 derajat LU/ LS apalagi sampai di wilayah 0 derajat, tetapi kenyataan nya ada juga siklon yang sampai wilayah 5 derajat LU/ LS seperti kejadian siklon Vamei tahun 2001 dan siklon Agni tahun 2004. Di Atlantik utara dan Pasifik timur laut, angin pasat atau angin yang bergerak ke arah barat membawa gelombang tropis ke arah barat, dari Afrika ke laut Karibia, lalu ke Amerika utara terakhir sampai di laut Pasifik tengah. Gelombang tropis ini merupakan 43
Informasi Data INDERAJA prekursor bagi siklon tropis. Di lautan Hindia dan Pa sifik barat, perkembangan siklon lebih ditentukan oleh gerakan musiman dari palung monsun atau zona tekan an rendah atau ITCZ (Inter Tropical Convergence Zone) dibandingkan oleh gelombang. Siklon tropis juga dapat dibangkitkan oleh sistem lain seperti sistem tekanan rendah, sistem tekanan tinggi, front panas dan front di ngin (Velasco and Fritsch, 1987; Chen and Frank, 1993; Emanuel, 1993; Zehr, 1992). Tempat terjadi yang berdekatan dengan wilayah In donesia ditambah dengan sistem pemicunya yang sangat berhubungan dengan kondisi cuaca dan iklim Indonesia, maka siklon tropis merupakan unsur atmosfer yang per lu dikaji. Selain meneliti variabilitasnya dan perilakunya dipandang perlu untuk meneliti dampak siklon tropis terhadap atmosfer Indonesia, khususnya curah hujan. Terlebih akhir-akhir ini siklon tropis mengalami pening katan frekuensi dan kekuatan (Emanuel, 2005; Webster et al., 2005). Untuk mempelajari perilaku dan dampak siklon tro pis terhadap kondisi atmosfer Indonesia digunakan data radar presipitasi (PR), TRMM (Tropical Rainfall Measu ring Mission), Microwave Imager (TMI) dan VIRS (Vis
ible and Infrared Scanner) yang diunduh dari http:// trmm.gsfc.nasa.gov untuk periode tahun 2008 dan 2009 serta data angin NNR (NCEP/ NCAR Reanalysis) dari http://www.esrl.noaa.gov/psd/. PR mempunyai resolu si horisontal ~ 5 km dan dapat memberikan informasi struktur vertikal hujan dan salju mulai permukaan sam pai ketinggian 20 km. TMI adalah sensor gelombang mikro yang dirancang untuk memberikan informasi kuantitas curah hujan melalui pengukuran jumlah uap air, jumlah air dalam awan dan intensitas curah hujan. VIRS adalah pemantau radiasi yang datang dari bumi dalam 5 wilayah spektral, dari visibel sampai infrared, atau dari 0,63 sampai 12 mikrometer. Wilayah penelitian dibatasi di teluk Benggala dan lautan Pasifik Barat (di tunjukkan dengan anak panah pada Gambar 2), sebagai lokasi terjadinya siklon yang berdekatan dengan wilayah Indonesia. Siklon di Pasifik Barat Pada tahun 2008, data gabungan dari PR, TMI dan VIRS (http://trmm.gsfc.nasa.gov) menunjukkan ter jadi 74 kejadian siklon dari 47 siklon yang berbeda di lautan Pasifik barat. Berarti, ada siklon yang terjadi lebih
Gambar 2. Peta lokasi badai dan lokasi penelitian (Sumber:http://www.windows.ucar.edu/earth/images/)
44
BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010
Informasi Data INDERAJA 6
2008
5 4 3 2
Frekuensi
0
DOLPHIN 27W 96W INVESt 91W 90W NOUL 97W MAYSAK 96W 94W 24W 93W BAVI IN2 22W HIGOS MEKKHALA JANGMI 21W 99W HAGUPIt SINLAKU 17W 16W 98W 95W 14W NURI 13W VONGFONG 92W 11W PHANFONE KAMMURI 10W FUNG_WONG KALMAEG 08W FENGSHEN NAKRI HALONG 04W RAMMASUN 03W NEOGURI 02W 01W
1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 3 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47
Nama siklon
Gambar 3. Frekuensi kejadian siklon di lautan Pasifik barat tahun 2008
dari satu kali yaitu siklon-siklon 96W, INVEST, 91W, 90W, 97W, 96W, 24W, 21W, 16W, 98W dan VONGFONG (Gambar 3). Frekuensi kejadian siklon 96W dan 24W tertinggi selama tahun 2008 yaitu 5 kejadian. Dari 47 siklon baru 21 yang sudah diberi nama sisanya hanya diberi kode. Siklon terjadi ham pir sepanjang tahun dengan waktu hidup satu sampai 11 hari. Siklon SINLAKU adalah siklon dengan waktu hidup terlama tahun 2008, yaitu 11 hari. Kekuatan siklon yang diidentifikasi dengan estimasi kecepatan angin permukaan maksimum sangat bervariasi (Cooper et al., 2008). Kecepatan angin pada siklon tahun 2008 bervariasi mulai 33 knot sampai 145 knot. Siklon JANGMI mempunyai kecepatan angin terbesar yaitu 145 knot, yang terjadi mulai 23 September sampai 1 Oktober 2008 (Tabel 1). Bentuk vi sual siklon JANGMI pada tanggal 26 September 2008 yang terekam oleh PR, TMI dan VIRS di perlihatkan pada (Gambar 4). Gambar terse but juga menunjukkan distribusi spasial curah hujan pada dinding siklon. Garis penampang yang dibuat melalui siklon tersebut menunjuk kan aktivitas hujan yang aktif pada dinding si klon, sedangkan pada mata siklon cuaca tampak cerah. Semakin jauh dari mata siklon curah hu jan semakin kecil. Curah hujan tertinggi berada pada wilayah dengan jarak kurang dari 1 derajat (~111 km) dari mata siklon. Salah satu siklon dengan kecepatan angin rendah yaitu 40 knot BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010
Tabel 1. Siklon tropis di Pasifik barat tahun 2008 (Sumber: Cooper et al. , 2008)
13 23 23 9 19 29 29 19 18 12 7 9 24 7 47 8 1 24
V (knot) 40 100 135 40 75 125 110 90 95 50 35 55 100 35 125 35 40 125
P (mb) 992 948 921 992 966 929 940 955 951 985 996 981 948 996 929 996 992 929
29
145
914
Nama
Periode
Peringatan
TS 01W TY 02W-Neoguri STY 03W-Rammasum TS 04W-Matmo TY 05W- Halong TY 06W- Nakri TY 07W- Fengshen TY 08W-Kalmaegi TY 09W- Fung-Wong TS 10W-Kammuri TS 11W TS 12W-Vongfong TY 13W-Nuri TS 14W TY 15W- Sinlaku TS 16W TS 17W TY 18W-Hagupit
13 - 16 Januari 14 - 20 April 7 - 12 Mei 14 - 16 Mei 15 - 20 Mei 27 Mei - 3 Juni 18 - 25 Juni 14 - 18 Juli 24 - 28 Juli 4 - 6 Agustus 13 - 14 Agustus 14 - 16 Agustus 17 - 22 Agustus 26 - 28 Agustus 8 - 20 September 10 - 11 September 14 September 18 - 24 September 23 September - 1 Oktober 28 - 30 September 29 September - 4 Oktober 14 - 15 Oktober 18 - 20 Oktober 7 - 10 November 15 - 16 November 16 - 17 November 10 - 18 Desember
STY 19W-Jangmi TS 20W-Mekkhala TS 21W-Higos TS 22W TS 23W-Bavi TS 24W- Maysak TS 25W-Haishen TS 26W-Noul TY 27W- Dolphin
7
55
981
21
45
988
6 6 14 4 7 33
35 50 55 40 40 90
996 985 981 992 992 955
Keterangan: Angka dalam kolom Peringatan menunjukkan jumlah peringatan yang dikeluarkan NASA terkait meningkatnya kekuatan angin pada siklon.
45
Informasi Data INDERAJA B A
B
A
Gambar 4. Kiri: Gambar visual dan curah hujan siklon JANGMI, Kanan: Penampang curah hujan di tengah siklon dari titik A sampai titik B (http://trmm.gsfc.nasa.gov)
adalah siklon HIGOS, bentuk visualnya diperlihatkan pada (Gambar 5). Siklon HIGOS adalah salah satu siklon yang bentuknya tidak simetris dan mata siklon juga kurang jelas terlihat. Ini merupakan salah satu tanda siklon yang lemah. Pada tahun 2009, terjadi 76 kejadian dari 50 jenis siklon di lautan Pasifik Barat. Siklon-siklon yang terjadi lebih dari satu kali pada tahun 2009 adalah 99W, 98W, 97W, 96W, 95W, 94W, 93W, 92W, 91W, 90W dan AL (Gambar 6). Siklon terjadi hampir sepanjang tahun, dengan waktu hidup (life time) satu sampai empat be las hari. Siklon PARMA adalah siklon dengan waktu hidup terlama tahun 2009, yaitu 18 hari. Kecepatan angin dalam si klon bervariasi dari 25 knot (siklon 24 W) sampai 150 knot (Tabel 2). Dari uraian di atas nampak bahwa frekuensi kejadian siklon tahun 2008 dan 2009 tidak menunjukkan perbedaan yang berarti. Dari perbandingan antar tahun tersebut juga teridentifikasi bahwa tidak semua siklon mempunyai periode satu ta hun atau dengan kata lain siklon tidak se lalu berulang setiap tahun, bahkan siklon yang muncul tahun 2008 berbeda dengan yang terjadi pada tahun 2009. Siklon di Teluk Benggala Di teluk Benggala, pada tahun 2008 terjadi 14 kejadian dari 13 jenis siklon, 46
A
B
B
A
Gambar 5. Kiri: Gambar visual dan curah hujan siklon HIGOS, Kanan: Penampang curah hujan di tengah siklon dari titik A sampai titik B (http://trmm.gsfc.nasa.gov)
Tabel 2. Siklon tropis di Pasifik barat tahun 2009 (Sumber: Cooper et al. , 2008) Nama TY 01W - Kujira TY 02W - Chan-Hom TY 03W - Linfa TS 04W - Nangka TS 05W - Soulder TD 06W TY 07W - Molave TS 08W - Goni TY 09W - Morakot TS 10W - Etau TY 11W - Vamco TY 12W - Krovanh TS 13W - Dujuan TD 14W - Mujigae STY 15W - ChoiWan TY 16W - Koppu TY 17W - Ketsana TD 18W STY 19W - Parma STY 20W - Melor TS 21W - Nepartak STY 22W - Lupit TY 23W - Mirinae TD 24W TS 25W STY 26W - Nida TD 27W TD 28W TS 01C - Maka TD 02C
2 - 7 Mei 3 - 11 Mei 17 - 22 Juni 22 - 26 Juni 9 - 12 Juli 13 - 14 Juli 15 - 19 Juli 2 - 8 Agustus 3 - 9 Agustus 8 - 12 Agustus 17 - 25 Agustus 28 - 31 Agustus 3 - 8 September 9 - 12 September
20 29 21 18 11 5 16 15 25 18 34 16 25 12
V (knot) 115 90 75 45 35 30 105 45 80 40 120 65 55 30
12 - 20 September
33
140
918
13 - 15 September 25 - 29 September 27 - 30 September 27 September - 14 Oktober 29 September - 9 Oktober 8 - 13 Oktober 14 - 26 Oktober 26 Oktober - 2 November 2 - 3 November 7- 9 November 22 November - 03 Desember 23 - 24 November 5 Desember 14 - 18 Agustus 30 Agustus
9 19 13 68 38 20 49 31 2 10 45 5 1 15 2
75 90 30 135 150 55
966 955 1000 921 910 981 918 955 1003 988 910 1000 1000 988 1000
Periode
Peringatan
140 90 25 150 30 30 45 30
P (mb) 936 955 966 988 996 1000 944 988 963 992 933 974 981 1000
BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010
Informasi Data INDERAJA 6
2009
5 4 3 2 1
91W AL 97W 28W NIDA 96W 27W 93W 92W 25W 98W 24W MIRINAE NONAME LUPIt 22W PARMA NEPARtAK MELOR 18W 19W KEtSANA 99W 17W CHOIWAN KOPPU 16W MUJIGAE DUJUAN 95W 13W 90W VAMCO 11W 94W EtAU MORAKOt 10W GONI MOLAVE 07W 06W SOUDELOR 05W NANGKA 04W LINFA KUJIRA CHANHOM INVESt
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50
Nama siklon
Gambar 6. Frekuensi kejadian siklon di lautan Pasifik barat tahun 2009
Gambar 7. Frekuensi kejadian siklon di teluk Benggala tahun 2008 Nama 1B-Nargis 2B 3A 4B-Rashmi 5B- Khai-Muk 6B-Nisha 7B
Periode 27 April - 3 Mei 16 September 20 - 23 Oktober 26 - 27 Oktober 14 - 16 November 25 - 27 November 4 - 7 Desember
Peringatan 25 2 11 5 9 7 13
V (knot) 115 45 30 45 45 50 35
Tabel 3. Siklon tropis di Hindia Utara tahun 2008 (Sumber: Cooper et al. , 2008) BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010
Nama Bijli Aila Phyan Ward
atau ada siklon yang terjadi dua kali yaitu siklon 92B, siklon lain hanya terjadi satu kali (Gambar 7). Sik lon NARGIS adalah siklon dengan kekuatan angin tertinggi pada ta hun 2008, yaitu 115 knot (Tabel 3). Meskipun cukup kuat, tetapi siklon ini tidak membentuk mata siklon atau mata siklon tidak jelas. Distribusi spasial curah hujan nam pak berkumpul ditengah siklon (Gambar 8. Kiri). Siklon NISHA (Gambar 8. Kanan) dengan inten sitas yang lebih kecil menunjukkan distribusi spasial curah hujan yang hampir sama dengan siklon NAR GIS, namun siklon NARGIS menun jukkan bentuk yang lebih simetris dibandingkan siklon NISHA. Periode 15 - 17 April 24 - 25 Mei 05 September 09 - 11 November 11- 14 Desember
Peringatan 12 7 1 1 12
V (knot) 50 65 40 40 45
Tabel 4. Siklon tropis di Hindia Utara /Teluk Benggala tahun 2009 (Sumber: Cooper et al. 2008) 47
Informasi Data INDERAJA
B
A
A
A
B
B
A
B
Gambar 8. Siklon NARGIS (kiri), Siklon NISHA (kanan) Keterangan gambar: Kiri: Gambar visual dan curah hujan siklon NARGIS/NISHA, Kanan: Curah hujan di tengah siklon dari titik A sampai titik B (http://trmm.gsfc.nasa.gov)
Gambar 9. Frekuensi kejadian siklon di teluk Benggala tahun 2009
Pada tahun 2009 terjadi 12 kejadian dari 11 jenis si klon di teluk Benggala. Siklon 94B terjadi dua kali pada tahun tersebut, sedangkan siklon lain hanya terjadi satu kali (Gambar 9). Di teluk Benggala frekuensi kejadian siklon lebih rendah dibandingkan di Pasifik barat, si klus hidupnyapun lebih pendek dibandingkan siklon di Pasifik barat yaitu satu sampai enam hari. Siklon NAR GIS adalah siklon yang mempunyai life time terlama (6 hari) pada tahun 2008, dan siklon WARD (4 hari) pada tahun 2009 (Tabel 4). Gambar 9 juga menunjukkan bahwa tidak terjadi peningkatan frekuensi siklon pada tahun 2009 dibandingkan tahun 2008. Karena lokasi siklon di Pasifik Barat dan Benggala dekat dengan wilayah Indonesia, putaran/spin siklon akan menarik massa atmosfer (udara dan atau awan) dari
Gambar 10. Vektor angin NNR pada 28 April 2008 (Sumber: http://www.esrl.noaa.gov/psd/). 48
BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010
Informasi Data INDERAJA
A A
B
B
Gambar 11. Kiri: Image radar TRMM untuk siklon 06B (Sumber: htttp://trmm.gsfc.nasa.gov), Kanan: Vektor angin dari NNR (Sumber: http://www.esrl.noaa.gov/psd/) pada 12 November 2009) 300
Ratarata untuk : 10o LU15o LS, 95oBt145oBt
Curah hujan (mm)
250 200 150
2008 2009
100 50 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Bulan
Gambar 12. Curah hujan kumulatif bulanan tahun 2008 dan 2009 berdasarkan TRMM untuk wilayah Indonesia (10o LU s/d 15o LS, 95o BT s/d 145 oBT).
atas wilayah Indonesia akibatnya di atas wilayah Indone sia menjadi cerah. Kasus seperti ini terjadi pada saat ter jadi siklon NARGIS tanggal 28 April 2008 dan siklon 06 B pada tahun 2009. Ditunjukkan oleh angin dari NNR, ter jadi pengalihan massa udara/awan dari laut Hindia yang seharusnya masuk ke wilayah Indonesia tertarik ke arah Teluk Benggala (Gambar 10 dan Gambar 11). Curah hujan bulanan dari Precipitation Radar TRMM di wilayah Indonesia pada tahun 2008 lebih tinggi daripa da tahun 2009 terutama setelah bulan Mei (Gambar 12). Perbedaan curah hujan kumulatif bulanan juga dipenga ruhi oleh suplai massa dari lautan Hindia dan lautan Pa sifik. Pada tahun 2008 suplai massa dari lautan Hindia selatan ke wilayah Indonesia berlangsung sampai bulan BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010
April sedangkan pada tahun 2009 hanya sampai bulan Maret. Dari lautan Pasifik, suplai massa pada tahun 2008 berlangsung dari bulan Januari sampai Juli dan Novem ber sampai Desember. Pada tahun 2009, suplai terjadi dari bulan Januari sampai Juni dan bulan Desember. Ini berarti, suplai massa dari kedua lautan tersebut pada ta hun 2009 lebih kecil dibandingkan tahun 2008. Kondisi seperti ini merupakan salah satu penyebab jumlah hujan tahun 2009 lebih rendah daripada jumlah curah hujan ta hun 2008, karena massa udara dari lautan Pasifik dan lautan Hindia adalah massa udara dengan kadar uap air dan salinitas yang tinggi sehingga dapat meningkatkan aktivitas konveksi basah atau konveksi dengan peluang terjadinya hujan yang tinggi. 49
Informasi Data INDERAJA
Program Satelit Lingkungan Berorbit Polar NPOSES Oleh: Gokmaria Sitanggang Peneliti di Bidang Bangfatja, Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh - LAPAN.
P
emanfaatan data penginderaan jauh (inderaja) satelit lingkungan dan cuaca di Indonesia telah dimulai sejak awal tahun 1970-an. Kebutuhan akan data satelit lingkungan dan cuaca tersebut, direalisir dengan dibangunnya Stasiun Bumi Satelit Lingkungan dan Cuaca, yang dikelola oleh LAPAN, yang dapat me nerima data satelit cuaca GMS (Geo-Stationary Meteo rological Satellite) dan satelit NOAA (National Oceanic Atmosfheric Administration) hingga kini. Seiring den gan dibuat dan diluncurkannya satelit TERRA/AQUA oleh Badan Antariksa Amerika Serikat NASA (National Aeronautics and Space Administration), yang dilengkapi dengan sensor MODIS untuk berbagai aplikasi lingkun gan, Stasiun Bumi LAPAN yang berlokasi di Parepare, juga telah dikembangkan, sehingga dapat menerima data tersebut. Sistem satelit lingkungan berorbit polar NPOESS (National Polar-orbiting Operational Environmental Sat ellite System) adalah suatu sistem satelit inderaja yang merupakan generasi lanjutan dari satelit-satelit lingkung an berorbit polar pada ketinggian rendah yang akan di gunakan untuk memantau kondisi-kondisi lingkungan global, mengumpulkan dan mendiseminasikan data yang berkaitan dengan cuaca, atmosfir, lautan, daratan dan lingkungan antariksa-dekat. Sistem satelit lingkung an NPOESS akan memperbaiki prakiraan cuaca dan melakukan kontinuitas pemantauan iklim. Sistem satelit lingkungan NPOESS akan mengitari bumi sekitar 1 kali setiap 100 menit. Selama rotasi-rotasi ini NPOESS akan menghasilkan cakupan global, memonitor kondisi lingkungan, mengumpulkan, mendiseminasikan dan me ngolah data cuaca Bumi, atmosfir, lautan, daratan dan lingkungan antariksa dekat. Selama tiga dekade, Amerika Serikat mengopera sikan sistem-sistem satelit lingkungan berorbit polar untuk mengumpulkan, memproses dan mendistribusi 50
kan data inderaja meteorologi, oceanografi dan data lingkungan antariksa, terpisah antara sipil dan militer. Departemen Perdagangan AS (Department of Com merce-DoC) bertanggung jawab untuk program Satelit Lingkungan Operasional Berorbit Polar (Polar-Orbiting Operational Environmental Satellite-POES) NOAA. As pek-aspek kunci dari missi POES meliputi pengumpulan data atmosfir untuk prakiraan cuaca, penelitian iklim global, dan tujuan-tujuan pencarian dan penyelamatan bahaya situasi gawat darurat. Departemen Pertahanan AS (Department of Defense -DoD ) bertanggung jawab untuk Program Satelit Meteorologi Pertahanan (De fense Meteorological Satellite Program-DMSP). Misi dari DMSP adalah untuk mengumpulkan dan mendistribusi kan secara global data awan dalam spektral gelombang tampak dan inframerah, data meteorologi, oceanografi dan geofisik untuk menghasilkan kemampuan menye lamatkan dalam mendukung operasi-operasi militer. Badan Antariksa Amerika Serikat NASA, menghasilkan teknologi inderaja baru dan teknologi satelit yang me ningkatkan secara potensial kemampuan operasional satelit melalui usaha-usaha pengembangan Sistem Ob servasi Bumi (Earth Observing System-EOS). Sistem satelit lingkungan NPOESS akan menginte grasikan sistem-sistem satelit berorbit polar yang terse dia, sehingga berada dibawah program nasional tunggal. Sistem Satelit Lingkungan NPOESS akan mengintegra sikan program Satelit lingkungan POES (Polar-orbit ing Operational Environmental Satellite) NOAA dari Departemen Perdagangan AS (DoC) dan satelit DMSP (Defense Meteorological Satellite Pogram) dari Departe men Pertahanan AS (DoD) menjadi suatu sistem satelit tunggal yang yang menghasilkan data lingkungan dari penginderaan jauh berbasis antariksa untuk pelayanan data lingkungan dengan misi terintegrasi lingkup na sional untuk keperluan sipil dan militer. Sistem satelit BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010
Informasi Data INDERAJA lingkungan NPOESS akan menggunakan wahana dan instrument dari satelit-satelit Sistem Observasi Bumi (Earth Observing System-EOS) dari NASA yang diinte grasikan dengan teknologi terdepan. Rencana integrasi tersebut dimulai semenjak tanggal 5 Mei 1994, Presiden Clinton menanda tangani National Science & Technology Council Presidential Decisision Directive, yang menye tujui atau meresmikan pemusatan sistem-sistem satelit berorbit polar sipil dan militer, menjadi program opera sional tunggal. Tujuan dari rencana integrasi tersebut, adalah untuk mengurangi biaya dalam melakukan akui sisi dan mengoperasikan satelit lingkungan berorbit polar. Operasional tersebut tetap secara berkelanjutan untuk memenuhi keperluan-keperluan pengamanan nasional dan sipil Amerika Serikat. Sebagai bagian dari tujuan ini, program operasional akan menggabungkan aspek-aspek yang cocok dari Sistem-Sistem Observasi Bumi (EOS) dari NASA. Dalam mengimplementasikan rencana integrasi sa telit-satelit lingkungan operasional tersebut diatas, akti fitas dilakukan yaitu pada tanggal 1 Oktober 1994, De partemen Perdagangan AS (DoC/NOAA, Departeman Pertahanan AS(DoD) dan NASA mendirikan Kantor Program Terpadu NPOESS (Integrated Program OfficeIPO). IPO akan bertanggung jawab untuk pengelolaan, akuisisi, dan operasi sistem yang dipusatkan tersebut. IPO akan berada dibawah arahan seorang Direktur Pro gram Sistem yang akan melaporkan kepada Triagency Executive Committee melalui Department of Commerce’s Under Secretary for Oceans and Atmosphere. Kontrak tor utama adalah Northrop Grumman Space Technology, bertanggung jawab akan rancangan dan pengembang an sistem secara keseluruhan, rekayasa dan integrasi sistem, perakitan dan pengujian satelit dan akuisisi instrument. Raytheon sebagai anggota kelompok, me lengkapi fungsi-fungsi Ruas Bumi, kendali dan komuni kasi, pengolahan data misi dan dukungan, serta teknik rekayasa sistem. Program pencapaian NPOESS jangka panjang adalah pengembangan sensor dan transisi satelit, serta evolusi untuk menghasilkan liputan kondisi-kondisi meteo rologi yang lengkap untuk sipil, militer, serta tujuan il miah, yang dicapai dengan memotong biaya operasional secara dramatis. Pengurangan biaya ini dicapai dengan penggabungan program-program satelit-satelit lingkung an yang berorbit polar yang tersedia dari Departemen Pertahanan AS (DoD), dan Departemen Perdagangan AS (DoC) menjadi suatu sistem tunggal. Satelit-satelit NPOESS dalam Tiga bidang orbit akan menggantikan BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010
Dua satelit konstelasi DMSP dan Dua satelit konstelasi POES (NOAA). Data tersebut akan diproses menjadi Rekaman-Rekaman Data Mentah (Raw Data RecordsRDR), Rekaman-Rekaman Data Sensor (Sensor Data Re cords-SDRs), dan Rekaman-Rekaman Data Lingkungan (Environmental Data Records-EDRs) untuk digunakan oleh sejumlah komunitas operasional. Sistem Satelit Lingkungan NPOESS akan mengum pulkan dan mendesiminasikan data yang berkaitan de ngan: cuaca, atmosfir, lautan, daratan, dan lingkungan antariksa-dekat. Pengukuran-pengukuran dihasilkan dengan bermacam instrumen (sensor) yang baru mau pun warisan yang tersedia, yaitu : 1). VIIRS (Visible/ Infrared Imager/Radiometer Suite), 2). CMIS (Conical Microwave Imager/Sounder), 3). CrIS (Crosstrack Infra red Sounder), 4). OMPS (Ozone Mapping and Profiler Suite), 5). SESS (Space Environment Sensor Suite), 6). APS (Aerosol Polarimeter Sensor), 7). ATMS (Advanced Technology Microwave Sounder), 8). DCS (Data Collec tion System), 9). ERBS (Earth Radiation Budget Sensor), 10). RADAR Altimeter, 11). SARSAT (Search and Res cue Satellite Aided Tracking), 12). Sensor TSI (Total So lar Irradiance), 13). ASCAT (Advanced Scatterometer) ESA, dan 14). Retroreflector array. Pada tahun 2006 dilakukan restrukturisasi program NPOESS, sebagai akibat dari problem pengembangan sensor dan kenaikan biaya yang terjadi pada tahun-ta hun sebelumnya. Restrukturisasi program NPOESS dilakukan untuk dapat memberikan hasil yang berarti. Program yang distruktur-ulang tersebut adalah: jumlah satelit dikurangi yaitu: yang pada mulanya Enam satelit menjadi Empat satelit (C1 – C4) dan sensor-sensor ter kait, yang ditempatkan pada Dua bidang orbit yaitu: 1330 LTAN (Local Time Ascending Node) dan 1730 LTAN un tuk mendapatkan keperluan operasional dari NOAA dan DoD. Resensi rancangan pada tahun 2006 merubah bera gam instrument-instrumen iklim dari program NPOESS tersebut yaitu: yang dihilangkan atau dipindahkan dari NPOESS adalah: 1). TISS (Total Solar Irradiance Sen sor), 2). ERBS (Earth Radiation Budget Sensor), ALT (Ocean Altimeter), dan OMPS-Limb (Ozone Mapping and Profiler Suite Limb Subsystem). Sebagai bagian dari restrukturisasi program pada tahun 2006, keputusan telah dibuat untuk menerbangkan OMPS-Limb pada satelit NPP (NPOESS Preparatory Project) yang akan diluncurkan sekitar tahun 2010. Status program NPOESS sekarang ini sebagai berikut: NOAA, DoD dan NASA bekerja sama dengan kontraktor utama NGST (Northrop Grumman Space 51
Informasi Data INDERAJA Technology) dan kontraktor-kontraktor tambahan lain nya bergabung untuk mengembangkan sistem satelit lingkungan dan cuaca operasional generasi berikutnya yaitu: NPOESS. Sistem Satelit Lingkungan NPOESS akan terdiri dari Empat wahana antariksa (C1-C4) dan sensor-sensor terkait, dalam dua orbit yaitu: 1) Orbit 1330 LTAN (Local Time Ascending Node), dan 2) Orbit 1730 LTAN. Satelit NPOESS sore hari, akan membawa 4 instru men utama yaitu: 1) VIIRS (Visible/ Infrared Imager Radiometer Suite), 2) CrIS (Cross-track Infrared Sounder), 3) ATMS (Advanced Technology Microwave Sounder), dan 4) OMPS (Ozone Mapping and Profiler Suite). Sebagai tambahan satelit NPOESS sore hari akan membawa sensor: 1) MIS (Microwave Image/ Sounder) hanya pada C3, 2) SEM (Space Environment Monitor), 3) CERES (Clouds and the Earth’s Radiant Energy Sys tem) hanya pada C1, dan 4) TSIS (Total Solar Irradiance Sensor) hanya pada C1. Satelit NPOESS pagi hari akan mengorbit dengan instrumen-instrumen pelengkap yang jumlahnya di kurangi yaitu: VIIRS dan MIS (hanya pada C2 dan C4). Baik satelit NPOESS pagi hari maupun sore hari akan dilengkapi juga dengan peralatan ADCS (Advanced Data Collection System) dan SARSAT (Search and Rescue Sat ellite Aided Tracking System). Orbit pagi (mid morning) (2130 LTAN) akan ditem pati oleh satelit MetOp (Meteorological Operational) dari EUMETSAT (European Organisation for the Exploitation of Meteorological Satellite) yang membawa instrumentinstrumen yang mirip dengan yang dibawa NPOESS. Satelit MetOp-A dari EUMETSAT yang diluncurkan pada Oktober 2006 secara permanen menggantikan satelit POES (Polar-orbiting Operational Environmental Satellite) NOAA pada orbit pagi (mid morning) sebagai bagian dari NOAA/ EUMETSAT Initial Joint Polar-orbit ing Operational Satellite System (IJPS). Konstelasi ber sama satelit-satelit NPOESS dan MetOp akan memung kinkan komunitas internasional untuk merealisir caku pan global dari instumen-instrumen pengamat atmosfir dan instrumen pengamat gema suara (sounding) yang termaju, dengan kecepatan penyegaran data sekitar 4 sampai 6 jam. 52
Satelit NPP (NPOESS Preparatory Project) yang merupakan proyek persiapan terhadap NPOESS, yang dikelola secara bersama oleh IPO dan NASA, dijad walkan akan diluncurkan pada tahun 2010. Satelit NPP akan membawa Lima sensor NPOESS untuk meleng kapi pengujian pada orbit dan validasi sensor, algoritma, operasi di Bumi dan sistem pengolahan data sebelum peluncuran satelit NPOESS operasional yang pertama yaitu: 1) VIIRS (Visible/ Infrared Imager Radiometer Suite), 2) CrIS (Cross-track Infrared Sounder), 3) ATMS (Advanced Technology Microwave Sounder), 4) OMPS (Ozone Mapping and Profiler Suite), dan 5) CERES (Clouds and the Earth’s Radiant Energy Sys tem). Satelit NPP akan diluncurkan pada orbit 1330 LTAN untuk mengurangi resiko kekosongan data antara satelit POES yang terakhir dan satelit NPOESS yang pertama. NPP juga akan menyediakan ’jembatan’ dari misi-misi riset EOS (Earth Observing System) NASA untuk misi NPOESS operasional. Unit-unit penerbangan untuk in strumen-instrumen NPP hampir selesai dan mengalami karakterisasi dan kalibrasi akhir sebelum diintegrasikan pada pesawat antarisa NPP. Satelit NPOESS yang pertama dijadwalkan diluncur kan pada tahun 2013. Satelit-satelit terakhir pada Dua or bit konstelasi NPOESS, diharapkan untuk melanjutkan operasi-operasi hingga sekitar tahun 2023-2026. Satelit NPOESS berada pada lintasan orbitnya untuk mengirim kan hasil pengamatan penting untuk cuaca operasional dan peramalan dan pengamatan laut, penggunaan lahan dan cuaca antariksa, sementara itu menyediakan konti nuitas data untuk 14 dari 26 variabel iklim yang sangat diperlukan. Sebagai bagian dari restrukrisasi program pada tahun 2006, meskipun beberapa sensor iklim NPO ESS tidak jadi diluncurkan, satelit NPOESS dirancang untuk menangani mengganti ulang semua sensor-sen sor yang tidak jadi diluncurkan, termasuk sensor-sensor pemantauan iklim. Sebagai hasil, sekarang ini CERES ditambahkan pada NPP dan keduanya CERES dan TSIS akan diterbangkan pada satelit NPOESS (C-1). NOAA dan NASA saat ini bekerja pada pilihan lain untuk me menuhi kebutuhan-kebutuhan pemantauan iklim jangka panjang dari ruang angkasa yang dapat mengikutserta kan NPOESS. Pada Gambar 1, ditunjukkan konfigurasi NPOESS, sedangkan Program NPOESS ditunjukkan pada Tabel 1. Parameter-Parameter atau spesifikasi umum Satelit NPOESS ditunjukkan pada Tabel 2. Sen BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010
Informasi Data INDERAJA Tabel 1. Program NPOESS. Satelit NPOES C1 NPOES C2 NPOES C3 NPOES C4 NPOES C5 NPOES C6
Waktu Peluncuran 2013 2016 2023 2023 Dibatalkan Dibatalkan
Pesawat Peluncur EELV EELV EELV EELV EELV EELV
Tabel 2. Parameter-Parameter Satelit NPOESS. Negara : Jenis/ Aplikasi : Operator:
Gambar 1. Konfigurasi Satelit NPOESS yang ditempatkan pada bidang orbit : 13.30 LTAN (Local Time Ascending Node).
Kontraktor :
sor (instrument) yang akan dibawa pada Sistem Satelit Lingkungan NPOESS, beserta aplikasi sensor-sensor (Instrument) tersebut ditunjukkan pada Tabel 3. Ruas Bumi satelit NPOESS terdiri dari 3 komponen utama yaitu: 1). Ruas Komando, Kontrol dan Komu nikasi (Command, Control and Communications Seg ment-C3S), 2). Ruas Pengolahan Data Interface (In terface Data Processing Segment-IDPS) dan 3). Ruas Terminal Lapangan (Field Terminal Segment). Northrop Grumman Space Technology sebagai kontraktor utama, bertanggung jawab untuk rancangan sistem secara ke seluruhan dan pengembangan, rekayasa sistem dan integrasi, akuisisi instrument, perakitan satelit, dan pe ngujian. Raytheon Intelligence and Information Systems, dibawah kontrak terhadap Northrop Grumman, akan menghasilkan kemampuan yang penuh atas rancangan Ruas Bumi satelit NPOESS dan melalui operasi-operasi dan berkelanjutan. Komponen-komponen kunci dari Ruas Komando, Kontrol dan Komunikasi (C3S) dari satelit NPP dan NPOESS telah diinstalasi dan telah melewati uji persi apan di Stasiun Satelit Svalbard dan di Fasilitas Operasi Satelit NOAA. Kemampuan komunikasi dari Antartika sedang ditingkatkan untuk mendukung satelit NPOESS. Saat ini NOAA dan EUMETSAT tengah menjejaki pelu ang untuk menerima data MetOp dari Stasiun Bumi Antartika, dengan demikian secara substansi memper baiki keadaan data yang belum kelihatan pada orbit pagi (mid-morning). Instalasi dan pengujian Sistem Pengo laan Data Terintegrasi (Integrated Data Processing Sys tem) NPOESS pada fasilitas NOAA dan DoD dirancang dilengkapi pada tahun 2008, sebelum peluncuran satelit NPP yang direncanakan. Ruas Komando, Kontrol dan Komunikasi (C3S) mengelola operasi misi yang meliputi
Instrumen/ sensor :
BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010
Konfigurasi : Orbit: Inklinasi Eccentricity Ketinggian Orbit Massa: Umur Operasi Yang diharapkan (Lifetime):
Amerika Serikat. Lingkungan dan Cuaca NASA, NOAA, DoD Northrop Grumman Space Technology (ex TRW) VIIRS, CrIS, ATMS, OMPS (Nadir), SEM, CERES, TSIS, SARSAT, A-DCS (#C1) VIIRS, MIS, SARSAT, A-DCS, (#C2) VIIRS, CrIS, ATMS, MIS, OMPS (Nadir), SEM, SARSAT, A-DCS (#C3) T330 (AB - 1200) Polar 98.7 +/- 0.05 derajad 0.0011 833 +/- 17 km ~550 kg 7 tahun
perencanan misi dan penjadwalan sumberdaya, pengon trolan dan pemberian komando satelit, penerimaan dan penghitungan data misi secara aktif, pengelolaan perusa haan, resolusi anomali, sistem sekuriti, dan pengiriman data yang dapat dipercaya dari dan ke Pusat para peng guna. Pada Gambar 2. ditunjukkan aliran data satelit NPOESS pada Ruas Antariksa dan Ruas Bumi. Lingkungan kita sedang berubah secara konstan konsekuensinya, operasional data lingkungan membu tuhkan waktu dengan cepat. Ruas Komando, Kontrol dan Komunikasi (C3S) menjawab masalah ini dengan mengoperasikan Lima Belas buah stasiun bumi global yang tanpa awak, yang dinamakan SafetyNet™, untuk menerima data misi pada saat satelit NPOESS lewat di atas Stasiun Bumi tersebut. Penerima (receptor) ini di hubungkan dengan fiber komersial yang mempunyai lebar kanal (band width) tinggi, yang membawa data tersebut dengan cepat ke Empat Pusat Pengolahan Data. Semua data yang mutakhir ini diproses dengan lengkap dan dikirimkan ke Pusat-Pusat Cuaca dalam waktu lebih yang kurang dari 28 menit dihitung dari waktu akuisisi. 53
Informasi Data INDERAJA Tabel 3. Sensor (instrument) yang akan dibawa pada sistem satelit lingkungan NPOESS dan aplikasi sensor (instrument). No
SENSOR( INSTRUMENT)
1
VIIRS (Visible/ Infrared Imager/ Radiometer Suite)
2
CMIS (Conical Microwave Imager/ Sounder)
3
CrIS (Crosstrack Infrared Sounder)
4
GPSOS (Global Positioning System Occultation Sensor)
6
OMPS Ozone Mapping and Profiler Suite SESS (Space Environment Sensor Suite)
7
APS (Aerosol Polarimeter Sensor)
5
8
ATMS (Advanced Technology Microwave Sounder)
APLIKASI Mengumpulkan data radiometrik pada kanal spektral tampak dan inframerah dari atmosfir Bumi, lautan, dan permukaan daratan. Jenis-jenis data meliputi: atmosfir, awan, budget radiasi Bumi, temperatur daratan/ perairan dan temperatur permukaan laut, warna lautan, dan citra cahaya-rendah (low light). Mengumpulkan data radiometrik gelombang mikro dan data sounding untuk menghasilkan citra gelombang-mikro dan data oceanografi dan meteorologi yang lain. Mengukur radiasi Bumi untuk menentukan distribusi vertikal dari temperatur, kelengasan dan tekanan dalam atmosfir. Mengukur refraksi dari sinyal-sinyal gelombang–radio dari GPS dan Sistem Satelit Navigasi Global milik Rusia (Global Navigation Satellite System-GLONASS) untuk memperoleh karakteristik dari ionosfir. Mengumpulkan data untuk memungkinkan kalkulasi ditribusi vertikal dan horizontal dari ozon dalam atmosfir Bumi. Mengumpulkan data yang berhubungan dengan partikel-partikel neutral dan yang dialiri arus listrik, elektron dan medan-medan magnetik, dan ciri-ciri optik dari aurora. Tujuan dari APS adalah untuk menarik kembali aerosol yang dispesifkasikan dan parameterparameter awan dengan menggunakan photopolarimetry multispektral. Sounder (sekarang ini dibawah pengembangan NASA). Dalam hubungannya dengan CrIS,observasi-observasi global dari profil-profil temperatur dan kelembaban pada resolusi temporal tinggi (~ harian).
DCS (Data Collection System)
Sitem Pengumpulan Data (Data Collection System-DCS) dari NPOESS akan mirip dengan DCS dari ARGOS yang terletak pada POES yang sekarang dari NOAA dan mengukur faktor-faktor lingkungan seperti temperatur dan tekanan atmosfir, dan kecepatan dan arah arus-arus lautan dan angin.
11
ERBS (Earth Radiation Budget Sensor)
NPOESS akan mengukur parameter-parameter Budget radiasi Bumi (Earth Radiation Budget) dengan menggunakan instrument-instrumen yang mirip dengan instrument-instrumen warisan lama ERBE dan CERES
12
RADAR Altimeter
NPOESS akan menggunakan suatu altimeter RADAR yang mirip dengan yang digunakan pada Jason-1 yang digunakan untuk mengukur topogfafi permukaan laut untuk mencapai akurasi 4, 2 cm.
13
SARSAT (Search and Rescue Satellite Aided Tracking)
Sistem SARSAT menggunakan satelit-satelit NOAA pada orbit Bumi-rendah dan orbit geostationer untuk mendeteksi dan melokasikan para penerbang, para marinir dan para pengguna berbasis lahan yang dalam keadaan bahaya.
14
TSIS (Total Solar Irradiance Sensor)
TSIS adalah suatu pemantau irradiansi matahari total ditambah pemantau irradiansi spectral matahari 0.2 - 2 micron.
9
Pusat Pengelolaan Misi (Mission Management Center) menyediakan peralatan yang akurat dan berdaya guna tinggi yang mengelola secara presisi seluruh missi NPOESS. Pada Gambar 3 ditunjukkan Lokasi-lokasi SafetyNet™ NPOESS. Satelit Lingkungan NPOESS akan mengirimkan data resolusi spektral, temporal dan spasial yang lebih tinggi secara signifikan, meningkatkan keadaan keko songan data untuk memungkinkan pengguna sipil dan militer dalam merealisir manfaat utama melalui operasi dan aplikasi riset skala luas. Untuk sektor sipil, data NPOESS akan memperbaiki ketepatan waktu dan akur 54
asi peringatan-dini dan ramalan cuaca, berkontribusi un tuk meningkatkan keamanan industri transportasi, dan menyediakan data atmosfer dan terestrial yang berharga dan produk-produk untuk memprediksi keadaan tingkat produksi pertanian dunia. Untuk militer, produk-produk NPOESS akan menghasilkan informasi keadaan permu kaan, atmosfer, kelautan dan antariksa dekat-bumi yang tepat waktu dan akurat untuk mendukung spektrum penuh operasi militer-daratan, udara, laut dan lingkung an antariksa-dekat. Aplikasi-aplikasi operasional dari pencitra NPOESS: VIIRS (Visible Infrared Imaging Radiometer Suite), ditun BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010
Informasi Data INDERAJA
Gambar 2. Aliran Data satelit NPOESS pada Ruas Antariksa dan Ruas Bumi.
Gambar 3. Lokasi-lokasi SafetyNet™ NPOESS.
jukkan pada contoh-contoh berikut ini. Pencitra VIIRS akan mengumpulkan citra pada kanal tampak/inframe rah dan data radiometrik pada atmosfir, awan, neraca radiasi Bumi, permukaan-permukaan lahan/air udarabersih, suhu permukaan laut, dan warna lautan, demiki an juga citra kanal tampak cahaya-rendah (low-light). Sensor VIIRS akan menawarkan perbaikan daya handal BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010
radiometrik, spektral, dan spasial yang belum pernah terjadi sebelumnya dibandingkan dengan kemampuan satelit-satelit lingkungan yang operasional sekarang ini. Instrument VIIRS akan terdiri dari 22 kanal dan menggunakan banyak kemampuan dari MODIS (Mode rate Resolution Imaging Spectrometer), tetapi ada sejum lah perbedaan. VIIRS akan mempunyai lebar liputan 55
Informasi Data INDERAJA
Gambar 4. Contoh aplikasi/ produk simulasi VIIRS-NPOESS. Suhu Permukaan Laut dan Index Vegetasi dari MODIS. Citra ini adalah citra komposit MODIS yang menunjukkan “gelombang hijau“ di Amerika Utara dan suhu permukaan laut di lautan.
Gambar 5. Contoh aplikasi/ produk simulasi VIIRS NPOESS, Cahaya-cahaya pada malam hari. Citra ini adalah hasil pengamatan yang diperoleh dari instrument atau sensor OLS (Operational Linescan System) pada satelit DMSP (Defense Meteorological Satellite Program) USAF.
satu citra 3000 km vs 2330 km untuk MODIS. VIIRS tidak akan mempunyai kanal-kanal uap-air gelombangmenengah dari MODIS, tetapi akan mempunyai kanal tampak cahaya- rendah, yang disebut kanal DNB (Day/ Night Band) yang tidak ada pada MODIS. Kanal DNB dipertimbangkan akan dapat memperbaiki kemampuan tersebut dibandingkan terhadap kanal spektral tampak waktu-malam pada satelit DMSP (Defense Meteorologi cal Satellite Program), dengan bertambahnya tingkatan tampilan, derau (noise) dan artifak (artifacts) yang lebih kecil, resolusi spasial yang lebih tinggi, dan integrasi yang penuh dengan VIIRS. Contoh aplikasi peramalan cuaca operasional dari pencitra VIIRS NPOESS, ditunjukkan pada Gambar 4 dan Gambar 5 berikut ini. Gambar 4 menunjukkan contoh aplikasi/ produk simulasi VIIRS-NPOESS yaitu: Suhu Permukaan Laut dan Index Vegetasi menggu nakan data MODIS. Citra ini adalah citra komposit MO DIS yang menunjukkan “gelombang hijau“ di Amerika Utara dan suhu permukaan laut di lautan. Pada Gambar 5 ditunjukkan contoh aplikasi/ produk simulasi VIIRS 56
NPOESS yaitu: Cahaya pada malam hari yang ditangkap dari kota-kota di Amerika Serikat pada malam hari. Citra ini adalah hasil pengamatan yang diperoleh dari instru ment atau sensor Operational Linescan System (OLS) pada satelit DMSP (Defense Meteorological Satellite Pro gram) USAF. Satelit-satelit DMSP secara terus menerus membantu dalam pemahaman dan prediksi fenomenafenomena cuaca, demikian juga memberikan informasi kunci tentang pola populasi, level-level cahaya kota, dan bahkan kebakaran hutan pedesaan. Hasil kajian ini memberikan informasi yang cukup menyeluruh sehingga, dapat digunakan sebagai alat pertimbangan di dalam pemilihan atau pemanfaatan data satelit masa depan NPOESS untuk perencanaan dan pengelolaan lingkungan dan cuaca di Indonesia. Hasil kajian ini dapat juga digunakan sebagai alat per timbangan di dalam kontinuitas penyediaan/ pelayanan data satelit lingkungan melalui pengembangan Stasiun Bumi Satelit Lingkungan dan Cuaca yang dikelola oleh LAPAN untuk dapat menerima data satelit masa depan NPOESS di Indonesia. BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010
Informasi Data INDERAJA
Analisis Curah Hujan di Indonesia Berdasarkan Data Penginderaan Jauh QMORPH Tahun 2009 Oleh: Nanik Sur yo Har yani*, Any Zubaidah*, Dini Oktavia Ambar wati*, Totok Suprapto** *Peneliti Iklim dan Cuaca, Bidang Pemantauan Sumberdaya Alam dan Lingkungan - Pusbangja LAPAN **Kepala Bidang Pemantauan Sumberdaya Alam dan Lingkungan - Pusbangja LAPAN
P
erolehan data curah hujan di Indonesia sebagian besar diperoleh dari hasil pengukuran alat pe nakar hujan dari stasiun klimatologi atau stasiun pengamatan cuaca di lapangan. Data curah hujan dari stasiun pengamatan cuaca di lapangan dirasa kurang dapat merepresentasikan wilayah Indonesia yang me miliki topografi beraneka ragam. Informasi curah hujan terbaru (up to date) sangat diperlukan untuk berbagai kebutuhan di Indonesia. Salah satu alternatif untuk pe nyelesaian masalah tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan data curah hujan yang diperoleh dari ana lisis data satelit penginderaan jauh Qmorph. Data curah hujan Qmorph (Q Morphing) merupa kan data curah hujan yang diturunkan dari data satelit penginderaan jauh Qmorph. Data Qmorph berpotensi untuk memantau curah hujan, dimana data Qmorph mempunyai kemampuan untuk memberikan informasi aktual, konsisten, terkini (near real time) secara spasial dan temporal serta daerah cakupan yang luas. Pemanfaatan data Qmorph telah dilakukan oleh LA PAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) untuk memberikan informasi curah hujan setiap satu jam di wilayah Indonesia. Data Qmorph telah tersedia sejak bulan Desember tahun 2002 dan sampai sekarang. Data Qmorph mempunyai resolusi spasial 8 kilometer dan resolusi temporal 30 menit (Joyce dalam NOAA, 2004). Informasi curah hujan dari data Qmorph hasil kajian para peneliti LAPAN di Kedeputian Penginderaan Jauh dapat dilihat di website Sistem Informasi untuk Mitiga si Bencana Alam (SIMBA) dengan alamat http://www. rs.lapan.go.id/SIMBALAPAN Sebagai contoh informasi curah hujan harian dari data penginderaan jauh Qmorph yang diperoleh setiap BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010
jam dapat dilihat pada Gambar 1, sehingga satu hari tersedia data Qmorph sebanyak 24 data. Data tersebut hasil rekaman jam 00Z sampai jam 23Z. Data Qmorph untuk akumulasi curah hujan satu hari, dapat dilihat pada Gambar 2. Huruf Z menunjukkan waktu dalam UTC (Coordinated Universal Time), jika waktu Z ditrans fer ke dalam WIB (Waktu Indonesia Barat) ditambah 7 jam, (sebagai contoh data Qmorph jam 10Z berarti data Qmorph jam 17 WIB). Informasi curah hujan harian pada tanggal 2 Maret 2009 jam 10Z (Gambar 1) terlihat bahwa curah hujan yang besarnya berkisar antara 5 sampai dengan 45 mm/ jam terjadi di Jawa Timur, Pulau Bangka, Kabupaten Pu tusibau (Kalimantan Barat), di Papua Tengah dan Papua Barat. Curah hujan tinggi mencapai ≥ dari 45 mm/ jam terjadi di Jawa Timur yaitu di Kabupaten Mojokerto, Surabaya, Gresik dan Bojonegoro. Curah hujan yang terjadi pada tanggal 2 Maret 2009 setiap jam, berkisar antara 5 sampai dengan ≥ 45 mm/ jam. Informasi curah hujan tersebut terjadi pada jam 07Z dan jam 08Z di Papua Tengah, pada jam 09Z dan 10Z ter jadi di Jawa Timur, pada jam 15Z dan jam 16Z terjadi di daerah Lampung dan Riau, pada jam 17Z dan jam 18Z terjadi di Sumatera Selatan dan Riau. Pada jam 19Z sam pai dengan jam 21Z terjadi di Sumatera Selatan, Jambi dan Riau. Akumulasi curah hujan sehari pada tanggal 2 Maret 2009 dari jam 00Z s/d jam 23Z (Gambar 2) tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia dengan curah hu jan berkisar 10 - 125 mm/hari, kecuali di Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, dan Bengkulu, dalam kondisi cerah. Akumulasi curah hujan harian yang tinggi mencapai ≥ 75 mm/hari pada tanggal 2 Maret 2009 di Pulau Sumatera meliputi 57
Informasi Data INDERAJA Wilayah Riau, Jambi, Sumatera Selatan dan Lampung. Curah hujan yang tinggi juga terjadi di Pulau Jawa yaitu di Wilayah Jawa Timur. Di Kalimantan terjadi di Wilayah Kalimantan Barat, dan di Papua terjadi di Wilayah Papua Tengah dan Papua Timur. Informasi curah hujan bulanan diperoleh dari aku mulasi curah hujan harian selama 1 bulan. Data pengin deraan jauh Qmorph, selama tahun 2009 dapat memberi kan informasi musim penghujan dengan curah hujan yang tinggi terjadi pada bulan Maret 2009 (Gambar 3) dan pada bulan Desember 2009 (Gambar 4). Informasi curah hujan bulanan pada musim kemarau tahun 2009 diambil contoh bulan Juli 2009 (Gambar 5) dan bulan Agustus 2009 (Gambar 6), berikut. Akumulasi curah hujan bulanan pada musim peng hujan bulan Maret 2009 (Gambar 3) tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia. Curah hujan tertinggi men capai ≥ 350 mm/bulan terjadi disebagian besar wilayah Indonesia, meliputi Pulau Sumatera, Provinsi Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Kaliman tan Tengah, sebagian Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, sebagian Provinsi Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tengah, dan Papua. Curah hujan pada bulan Maret 2009 yang mencapai < 150 mm/hari terjadi di Sumatera Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Selatan, Jawa tengah, Jawa Timur, Maluku, Bali Nusa Tenggara Barat dan nusa Tenggara Timur. Sedangkan curah hujan rendah mencapai < 50 mm/bulan terjadi di Sumatera Barat (P. Sipora), Jawa Timur (Probolinggo), P. Bali bagian utara (Singaraja dan Ami Apura), Nusa Tenggara Barat (Mataram dan P. Sumbawa Besar), Sulawesi Selatan (Kota Makasar), Su lawesi Tengah (Toli-Toli). Akumulasi curah hujan bulanan pada musim peng hujan bulan Desember 2009 (Gambar 4) tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia, curah hujan tertinggi mencapai ≥ 350 mm/bulan terjadi P. Sumatera sebelah selatan Katulistiwa, Kalimantan Barat, Kalimantan Te ngah, Kalimantan Selatan, sebagian Jawa Barat, Sulawe si Tenggara, dan sebagian Papua. Curah hujan rendah mencapai < 50 mm/bulan terjadi di sebagian Banten (Serang), Jawa Timur (Lamongan Utara, Probolinggo, Lumajang), sebagian Sulawesi Tengah (Palu, Toli-Toli, Luwuk), Gorontalo, Halmahera Utara, Sebagian P. Bali (Negara dan Ami Apura), sebagian P. Lombok (Mata ram) dan sebagian Sumbawa Besar. Curah hujan bulanan pada musim kemarau bulan Juli 2009 (Gambar 5), akumulasi curah hujan tinggi ≥ 350 mm/bulan terjadi di Nangroe Aceh Darusalam (Kuta 58
Cane dan Langsa), Riau (Bengkalis), Kalimantan Timur (Malinau), dan Papua (Sorong dan Nabire). Adapun curah hujan rendah < 50 mm/bulan terjadi di Nangroe Aceh Darusalam bagian utara (Banda Aceh dan Lhok seumawe), Sumatera Utara (Padang Sidempuan), Riau (Pekan Baru dan Bangkinang), Sumatera Barat (Muara Sijunjung), Bengkulu, Sumatera Selatan (Lubuk Ling gau dan Palembang), Bangka Belitung (Sungai Liat dan Tanjung Pandan), Lampung (Bandar Lampung dan Metro), Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Tengah (Palangkaraya), Kalimantan Selatan (Banjarmasin dan Tanjung), Kalimantan Timur (Tanah Grogot), Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Su lawesi Tenggara (Kendari dan Kolaka). Curah hujan bulanan pada musim kemarau bulan Agustus 2009 (Gambar 6), akumulasi curah hujan tinggi ≥ 350 mm/ bulan terjadi di Nangroe Aceh Darusalam (Langsa), Sumatera Utara (Binjai, Medan, Pematang Si antar, Kisaran, Rantau Prapat, Labuan Batu), Kalimantan Barat (Sambas), Kalimantan Timur (Malinau dan Tara kan) dan Papua (Sorong). Curah hujan yang rendah < 50 mm/ bulan terjadi di Sumatera Selatan (Lahat, Muara Enim, Prabumulih, Kayu Agung dan Palembang), Bang ka Belitung (P. Bangka dan P. Belitung), P. Jawa, P. Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, Kali mantan Barat (Ketapang, P.Maya dan Padang Tikar), Kalimantan Tengah (Pangkalan Bun), Kalimantan Se latan (Banjarmasin, Martapura, Tanjung dan P. Laut), Kalimantan Timur (Tanjung Redep), Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah (Luwuk dan ToliToli), Gorontalo, Sulawesi Utara dan Maluku Selatan.
BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010
Informasi Data INDERAJA
Gambar 1. Informasi curah hujan harian tanggal 2 Maret 2009 jam 10Z.
Gambar 2. Akumulasi curah hujan harian tanggal 2 Maret 2009 jam 00Z – 23Z.
Gambar 3. Akumulasi curah hujan di Indonesia Maret 2009. BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010
59
Informasi Data INDERAJA
Gambar 4. Akumulasi curah hujan di Indonesia Desember 2009.
Gambar 5. Akumulasi curah hujan di Indonesia Juli 2009.
Gambar 6. Akumulasi curah hujan di Indonesia Agustus 2009. 60
BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010
Informasi Data INDERAJA
BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010
61
BERITA RINGAN Simposium GEOSS Asia Pasific ke 4 dan Pameran di Hotel Sanur Paradise Plaza, Provinsi Bali
S
imposium GEOSS (Global on Earth Observations Sys tem of Systems) Asia Pasific Ke IV diselenggarakan tanggal 10-12 Maret 2010 di Hotel Sanur Paradise Plaza, Bali. Kegiatan ini dihadiri oleh 26 negara Asia Pasific, aca ra dibuka oleh Menteri Riset dan Teknologi Drs. Suharna Surapranata, MT. Indonesia merupakan anggota dari GEO (Group on Earth Observations) dipercaya menjadi tuan rumah untuk tahun 2010. LAPAN sebagai lembaga penelitian kedirgantaraan dan observasi kebumian men jadi panitia penyelenggara yang bekerjasama dengan Se kretariat GEO (Jepang). GEOSS merupakan infrastruktur yang memungkinkan pengambil keputusan merespon masalah lingkungan secara efektif dan sekaligus berfung si sebagai wadah pertukaran informasi dan pemahaman di antara negara-negara Asia-Pasifik dalam menangani perubahan iklim. Hasil dari pertemuan tersebut nantinya akan menjadi rekomendasi untuk Group on Earth Obser vation System (GEO) Ministerial Summit di Beijing, Cina, pada November 2010 mendatang. Kegiatan ini merupakan kolaborasi internasion al untuk menggali potensi pengamatan bumi guna mengatasi masalah lingkungan di dunia. Anggota GEO terdiri dari organisasi internasional dan pemerintah
62
yang berhubungan dengan kegiatan pengamatan bumi. Pada simposium ini, ada 9 (sembilan) area yang menjadi wilayah pembahasan, yaitu bencana alam, kesehatan, energi, iklim, air, cuaca, ekosistem, pertanian, dan biodi versity. Dan dibagi lagi menjadi 4 (empat) topik utama yang menjadi fokus pembahasan dalam simposium ini. Topik tersebut diantaranya : Kapasitas pemantauan dan variabilitas iklim Asia-Pasifik, Manajemen sumber daya air dan Hidrometeorologi terkait dengan bencana alam, Pemantauan karbon hutan, dan Jaringan observasi biodiversity. Kegiatan ini merupakan bentuk sinergi untuk tingkat nasional, regional dan internasional dalam membangun jejaring observasi bumi untuk kesejahtera an masyarakat. Selain acara simposium, diselenggarakan acara pa meran hasil-hasil penelitian/ riset berkaitan dengan ke giatan observasi kebumian. Pada kesempatan tersebut, Kedeputian Bidang Penginderaan Jauh – LAPAN berusaha menampilkan berbagai contoh produk dan informasi apli kasi pemanfaatan data penginderaan jauh guna mendu kung kegiatan simposium ini. Produk dan informasi yang disajikan/ dilayout dalam bentuk modul promosi seperti : banner, panel/ poster, buku-buku, majalah dan brosur. BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010
BERITA RINGAN Kerjasama antara LAPAN dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Sampang, Provinsi Jawa Timur
Foto bersama pada pembukaan Bimtek Deputi Inderaja Bapak Ir. Nur Hidayat, Dipl. Ing., (duduk di depan kiri) dan didampingi oleh Bupati Sampang Bapak Nur Cahya (duduk di depan kanan).
K
egiatan kerjasama antara LAPAN dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Sampang telah dimulai pada ta hun 2009. Pada kegiatan tersebut dilakukan pembuatan peta tematik sebagai data dasar wilayah mengunakan citra satelit penginderaan jauh. Dan dari kerjasama yang dilakukan dihasilkan peta tematik yang berupa : peta ad ministrasi Kabupaten dan Kecamatan, peta Ketinggian, peta Kontur, peta Kelerengan, peta Jaringan Sungai, peta Batas Daerah Aliran Sungai, peta Geologi, Peta Tanah, peta Penutup Lahan Kabupaten dan 14 Kecamatan, peta Jar ingan Jalan, peta Penutup Lahan Kota, dan peta Fasilitas Umum. Selain kegiatan kerjasama pembuatan peta tematik, juga dilaksanakan kerjasama yang bertujuan untuk pe ningkatan SDM untuk Pemda Kabupaten Sampang, dalam hal ini dilaksanakan Bimbingan Teknis (Bimtek) di LAPAN selama 60 hari kalender (tanggal 20 Mei 2010 - 16 Juli 2010). Kegiatan Bimtek diselenggarakan tanggal 20 Mei 2010 dan acara pembukaan Bimtek oleh Deputi Inderaja Ir. Nur Hidayat, Dipl. Ing., dihadiri oleh Bupati Sampang Bapak Nur Cahya berserta Kepala Bappeda dan para Ke pala Dinas di Kabupaten Sampang. Pada pelaksanaan Bimtek ini diawali dengan acara kuliah singkat tentang teknologi penginderaan jauh, di antaranya : pengenalan teknologi inderaja, jenis data in
BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010
deraja, koreksi data, pengantar citra digital, pengenalan jenis-jenis perangkat lunak pengolahan data, pengenalan GPS dan aplikasi pemanfaatannya. Materi Bimtek adalah praktikum pengolahan data yang dilanjutkan dengan survei lapangan sebagai verifikasi hasil praktikum. Pada acara penutupan Bimtek diakhiri dengan presentasi hasil pelatihan oleh para peserta. Acara Bimtek diikuti sebanyak 10 orang peserta dari berbagai Instansi Kedinasan di Pemda Tingkat II Kabupa ten Sampang, diantaranya : Bappeda sebanyak 3 orang, Dinas Pertanian sebanyak 1 orang, Dinas Pengairan seba nyak 1 orang, Dinas Pekerjaan Umum (Bina Marga) seba nyak 1 orang, Dinas Pekerjaan Umum (Prasarana) seba nyak 1 orang, Dinas Pekerjaan Umum (Cipta Karya) se banyak 1 orang, Dinas Pendidikan sebanyak 1 orang, dan Dinas Kesehatan sebanyak 1 orang. Sebagai tindak lanjut dari kerjasama tersebut pihak Pemerintah Daerah Kabupaten Sampang akan mening katkan kerjasamanya dengan LAPAN pada tahun 2010 ini dalam bentuk kegiatan: Inventarisasi dan pemutakhiran basis data spasial infrastruktur untuk mendukung tataru ang menggunakan data penginderaan jauh di Kabupaten Sampang. Kegiatan tahun 2010 telah mulai dilaksanakan, dimana data yang digunakan adalah data satelit resolusi tinggi : ALOS, SPOT dan IKONOS. (Nanik Suryo Haryani) 63
PERIS TIWA D alam G ambar
Kunjungan Mahasiswa Universitas Diponegoro (Undip) Semarang ke Fasilitas Pusat Data Penginderaan Jauh LAPAN, Pekayon - Jakarta
S
enin, 1 Februari 2010, Rombongan Mahasiswa Program Studi Teknik Geodesi Universitas Diponegoro (Undip) Semarang mengunjungi Fasilitas Pusat Data (Pusdata) Penginderaan Jauh (In deraja). Pada acara kunjungan, rombong an peserta diterima oleh Kepala Bidang Produksi Data (Ka.Bid Prodata) Drs, Kustiyo M.Si. Dalam sambutannya Ka.Bid Prodata menjelaskan mengenai ruang lingkup kegiatan di Kedeputian Bidang Penginde raan Jauh LAPAN, khususnya Pusdata In deraja. Dijelaskan, bahwa Pusdata Inderaja memiliki tugas sebagai Operator Stasiun Bumi Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Bank Data Penginderaan Jauh Nasional serta Pelayanan kepada Pengguna. Data Inderaja yang telah diakuisisi dan direkam oleh Stasiun Bumi LAPAN, selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk pembuatan Peta Citra Satelit (PCS), Peta Penutup La han dan Inventarisasi Potensi Lahan. Berdasarkan informasi pada Kegiatan Pelayanan Data, kebutuhan/ permintaan data inderaja hingga saat ini dirasakan semakin meningkat. Data inderaja dapat dimanfaatkan untuk mendukung program otonomi daerah khususnya untuk penyusunan rencana pengembangan wilayah. Pada kesempatan tersebut juga disampaikan, bahwa dalam kegiatan pemanfaatan aplikasi data dan informasi inderaja, diperlukan suatu proses dan analisis data, tahap kegiatan ini dilakukan di Pusat Pengem bangan Pemanfaatan Teknologi Penginderaan Jauh (Pus bangja) LAPAN untuk menghasilkan added value. Pada sambutan berikutnya, Ketua Program Studi Teknik Geodesi, Ir. Bambang Sudarsono, MS., menjelaskan bahwa kunjungan 30 Mahasiswa dan 3 Dosen Pembimbing ini merupakan bagian dari Kunjungan Kerja Lapangan. Tujuan nya, agar Mahasiswa mendapat wawasan pengetahuan dari hasil kunjungan studi ke instansi pemerintah maupun swasta yang berhubungan dengan jasa survei pemetaan. Setelah acara sambutan, rombongan Mahasiswa mem peroleh paparan materi mengenai pemanfaatan Teknologi Penginderaan Jauh yang disampaikan oleh Peneliti Pusdata, Dipo Yudatama, S.T. Dijelaskan, bahwa pemanfaatan teknolo gi penginderaan jauh dilakukan melalui cara pemantauan/
64
pengamatan suatu obyek dari jarak jauh menggunakan ber bagai wahana, seperti : balon udara, foto udara, dan satelit. Dan pada acara ini, hanya dijelaskan tentang pemanfaatan teknologi penginderaan jauh menggunakan teknologi satelit. Satelit penginderaan jauh memiliki dua sistem orbit, yaitu : geostationer dan polar. Geostationer adalah sistem or bit satelit yang mengikuti pergerakan atau rotasi bumi dan Polar adalah sistem orbit satelit yang beredarnya secara verti kal dari kutub utara ke kutub selatan dan juga sebaliknya. Se dangkan berdasarkan sensornya, satelit penginderaan jauh didisain memiliki 3 (Tiga) jenis sensor, yaitu: sensor thermal, optik dan radar. Satelit yang bekerja menggunakan sensor optik memanfaatkan energi dari matahari untuk memantau kenampakan permukaan bumi sedangkan sensor radar tidak perlu bantuan energi matahari dalam melakukan peman tauan bumi. Pada akhir pemaparan disebutkan, bahwa data satelit penginderaan jauh dapat dimanfaatkan antara lain untuk membuat Peta Informasi Lahan, Pemantauan Iklim dan Cuaca, Mitigasi Bencana, Potensi Sumber Daya Alam, Ling kungan serta Bidang Pertahanan dan Keamanan Negara. Usai acara diskusi, seluruh rombongan mengunjungi Fasilitas Pusat Data Penginderaan Jauh untuk menyaksikan sistem peralatan produksi dan proses data serta melihat produk Peta Citra Satelit (PCS) hasil kegiatan Penelitian dan Kerjasama LAPAN dengan berbagai Instansi. (AK) BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010
PERIS TIWA D alam G ambar
DITOPAD Selenggarakan Simposium dan Pameran Teknologi Survei dan Pemetaan sama, para pemangku kepentingan (stakeholder) segenap pihak yang terkait dengan penyelenggaraan penyediaan data atau informasi geografi, baik itu Pemerintah, Swas ta, Masyarakat Umum maupun TNI. Juga ditambahkan, bahwa untuk menjaga kepentingan pertahanan negara dibutuhkan informasi geo grafi yang tidak hanya mencakup geografi/ medan dan cuaca namun juga termasuk informasi tentang kondisi dan sebaran penduduk, po litik, ekonomi, sosial budaya, sarana dan prasarana serta potensi sum ber daya alam. Kemudian disampaikan, terkait dengan kedudukan pulau-pulau kecil terluar, dilihat letaknya secara geografis pulau Rondo (Nanggroe Aceh Darussalam) merupakan pu Wakil Kepala Staf TNI-AD Letjen J. Suryo Prabowo, menyaksikan berbagai produk lau kecil terluar berada di wilayah litbang Peta Citra Satelit (PCS), Buku, Album Pulau-Pulau Kecil Terluar dan Majalah LAPAN. paling barat Negara Kesatuan Re publik Indonesia. Pulau Miangas Sulawesi Utara), pulau kecil akil Kepala Staf Angkatan Darat Letnan Jenderal TNI terluar yang terletak di wilayah paling utara. Pulau Liki (Pa Johanes Suryo Prabowo membuka Simposium dan pua), pulau kecil terluar yang terletak di wilayah paling timur Pameran Teknologi Survei dan Pemetaan yang bertemakan dan Pulau Rote (Nusa Tenggara Timur), adalah pulau kecil ter Penyediaan Informasi Geografi/ Medan untuk Kepentingan luar yang terletak di wilayah paling selatan. Pertahanan Negara, Simposium dan Pameran berlangsung Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang cu tanggal 20 April 2010 di Kantor Direktorat Topografi Angka kup luas, untuk memantau wilayah ini secara rutin diperlukan tan Darat, Jl. Kalibaru Timur V No. 47 Jakarta Pusat. Acara ini teknologi yang mampu dan memiliki tingkat akurasi yang diselenggarakan dalam rangka peringatan HUT DITTOP TNI sangat tinggi. Untuk kebutuhan tersebut, penggunaan citra AD ke-64 yang jatuh pada tanggal 26 April dan dihadiri oleh satelit beresolusi tinggi (Landsat-TM/ETM dan SPOT) sampai perwakilan dari berbagai pemangku kepentingan (stakehol beresolusi sangat tinggi (Ikonos dan Quick Bird) menjadi pi der) baik dari Instasi Pemerintah, Swasta, Pengusaha, Pergu lihan sangat prioritas. Dan akhirnya dengan sangat antusias ruan Tinggi dan Pelajar dari beberapa Sekolah. Kegiatan ini berharap dapat memperoleh informasi yang lebih menda bertujuan untuk memberikan informasi kepada masyarakat lam tentang perkembangan teknologi satelit penginderaan mengenai sistem pelaksanaan tugas TNI dalam menjaga ke jauh beserta aplikasinya agar dapat memanfaatkannya untuk amanan wilayah perbatasan dan pulau-pulau kecil terluar. mendukung sistem pertahanan negara. Dalam pidato sambutan disampaikan oleh Wakasad se Setelah selesai acara Simposium para peserta meninjau bagai Keynote Speech, permasalahan penyediaan informasi stand pameran, LAPAN turut berpartisipasi pada Pameran terse Geografi/Medan untuk kepentingan pertahanan negara pada but dan menampilkan berbagai Poster/Panel Peta Citra Satelit saat ini bukan lagi menjadi milik eksklusif Direktorat Topografi (PCS), Brosur, Buku, dan Album Pulau-pulau Kecil Terluar. (AK) Angkatan Darat, namun menjadi milik dan perhatian kita ber
W
BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010
65
PERIS TIWA D alam G ambar
Seminar Nasional Manajemen Pulau-pulau Terluar vitas akademi UGM dan Instansi yang terkait antara lain : Pemda Daerah Is timewa Yogjakarta, BAKOSURTANAL, BAPPENAS, LAPAN, DITOPAD, DKP, dan DISHIDROS TNI-AL. Ka.Pusbangja Ir. Agus Hidayat, M. Sc., dalam seminar tersebut me ngungkapkan, bahwa data multitem poral dapat menganalisis perubahan tutupan lahan pulau-pulau terluar. Ia menambahkan, pengembangan anali sis tutupan lahan pulau-pulau terluar dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya melalui: pemantauan pe rubahan tutupan lahan, inventarisasi sumber daya alam, pemanfaatan sum ber daya alam berwawasan lingkung an, pemantauan kondisi lingkungan, dan pengelolaan lingkungan. Pada Ka.Pusbangja LAPAN Ir. Agus Hidayat, M. Sc, sebagai nara sumber (ketiga dari kiri). prinsipnya, LAPAN siap mendukung umat 22/1/2010, Indonesia adalah negara kepulauan dan bekerjasama dengan instansi terkait dalam upaya manaje dengan kurang lebih 17.000 pulau dan sekitar 100 pulau men pemantauan dan pengelolaan pulau-pulau terluar. merupakan pulau-pulau terluar/ terdepan di wilayah Nega Selain Seminar Sehari juga diselenggarakan Pameran, LA ra Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pulau-pulau terluar PAN pada kegiatan Pameran menampilkan berbagai produk tersebut memiliki nilai strategis, sebagai titik dasar garis/ Peta Citra Citra Satelit (PCS) dalam bentuk Panel/ Poster. pangkal untuk penentuan wilayah NKRI, ZEE dan Landas Kon Pemanfaatan aplikasi data satelit penginderaan jauh dan in tinen. Peran LAPAN dalam pembuatan Peta Citra Citra Satelit formasi turunannya, yang merupakan salah satu komponen (PCS) untuk manajemen pulau-pulau terluar sangat penting. penting dalam mendukung kegiatan inventarisasi pulau-pu Ini disebabkan, data penginderaan jauh mampu melakukan lau terluar. (AK) inventarisasi sebaran pulau-pulau tersebut. Selain itu juga, dengan tingkat resolusi spasial yang tinggi data penginder aan jauh dapat mengidentifikasi kondisi pulau-pulau terluar di wilayah NKRI. Hal tersebut disampaikan oleh Kepala Pusat Pengemba ngan Pemanfaatan Penginderaan Jauh (Ka.Pusbangja) LAPAN Ir. Agus Hidayat, M. Sc., saat menjadi pembicara dalam Semi nar Nasional Manajemen Pulau-pulauTerluar NKRI dengan judul: “Peranan LAPAN dan Teknologi Inderaja dalam melaku kan inventarisasi pulau-pulau terluar NKRI”. Kegiatan Seminar Sehari dilaksanakan di Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, Yogjakarta, Sabtu (22/1). Acara seminar dibuka Rektor Universitas UGM Prof. Ir. Sudjarwadi, M.Eng. Ph.D jam 09.00 WIB dan ditutup oleh Dekan Fakultas Geografi UGM Prof. DR. Peserta seminar saat mengunjungi Stan Pameran LAPAN. Suratman, M.Sc pada jam 12.30 WIB. Seminar dihadiri oleh ci
J
66
BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010
BERITA RINGAN
BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010
67
BERITA RINGAN
68
BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010
BERITA RINGAN
BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010
69
BERITA RINGAN
70
BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010
POSTER
BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010
71
POSTER 72
BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010