DARI BERDIRINYA MENUJU BERGANTUNG: ROBOHNYA JEJARING SEKURITAS SOSIAL MASYARAKAT AMBON PASCA KONFLIK Hatib Abdul Kadir
Abstract This paper examines transformation of “social security” in Ambon since postcolonial, 1950 up to post-conflict, 2003. There are a lot of significant political and economical transformations that automatically change the condition of social security. Modernity in Ambon brings pattern of non-state forms of social security to the increasing dependency toward state’s role as providing of social and economic security. On the other hand, the pattern and society’s consolidation to save individual is no longer based on kinship, ethnicity but more on religiuosity background. Therefore, this paper proposes three questions, first, how are the changing patterns from traditional to modern social security in the postcolonial Ambon lives happened? Second, how is transformation regarding with social security occurs on post conflict society, especially in the realm of settlement, occupation, and daily social life? Third, what sorts of social security that exist after religious conflict? To answer these three questions, this paper examines three aspects of social lives that is changing in Ambon, first is the mode of social security that happen before religious conflict, 1999, second, the emergence of dependence toward social funding from local government. Third, examining a new security after conflict that is based on religious identities. Keywords: Social security; post-conflict society; religious boundary. Pendahuluan Sekuritas sosial biasanya didasarkan pada multiplisitas relasi-relasi sosial. Hal ini dapat mencakup kekerabatan, pertemanan, patron, fungsi-fungsi komunitas, institusi agama, birokrasi pemerintah hingga asuransi dalam perdagangan. Tulisan ini mengungkapkan berbagai model sekuritas sosial yang mengalami perubahan dari tahun-tahun yang terjadi pada orang Ambon1. Penulis menempatkan Ambon menjadi pilihan dalam isu ini karena konflik telah menyebabkan insekuritas secara dramatis yang mengubah ratusan ribu orang tiba-tiba kehilangan mata pencaharian, 1 Secara definifitif Orang Ambon bertempat di kepulauan Maluku Tengah, dan berjajar diantara kelompok-kelompok orang Lease, seperti Haruku, Saparua, Nusalaut, dan Seram. Secara dominan ada dua kelompok dominan di wilayah ini, yakni protestan kalvinis dan kaum muslim, namun keduanya masuk ke dalam satu ikatan gabungan yang bernama Agama Nunusaku, dengan media ikatan bernama Pela. Beberapa catatan lain, menyebutkan bahwa dinamakan kota Ambon, berasal dari nama sebuah pulau yang sebenarnya telah tertera dalam kitab Negarakertagama pada abad 14. Portugis kemudian melanjutkannya dengan sebuah istilah yakni “Cidades de Amboyno” yang berarti kota di sebuah pulau Ambon. (Leirizzza dkk, 21: 2004).
Hatib Abdul Kadir Dari Berdirinya menuju Bergantung: Robohnya Jejaring Sekuritas Sosial Masyarakat Ambon Pasca Konflik
pangan, tingginya angka mortalitas, ternak, pertemanan, pengungsian, dan perpindahan tempat tinggal secara terpaksa. Pasca konflik, di Ambon, bentuk sekuritas sosial semakin bergantung pada berbagai bantuan pemerintah pusat dan juga sekuritas yang dibangun berdasarkan pada kesamaan latar belakang agama. Bentuk sekuritas kedua ini memberikan akses terhadap jarak geografis yang terbatas dibanding kekerabatan dan pertemanan. Sekuritas berdasarkan kesamaan agama bukan hal baru. Hingga Abad 19, agama Kristen berkembang pesat. Gereja-gereja terbangun dan tumbuh dengan terorganisir secara kuat (Cooley, 143-4: 1961). Masuknya urban Ambon ke agama Kristen, merupakan peralihan dari agama Katholik yang dibawa oleh orang-orang Portugis, dianggap kejam dan tukang menjarah. Namun demikian, perpindahan ini masih meninggalkan kesan bahwa aliansi ke dalam agama Kristen cenderung bersifat politis dibanding karena refleksi keagamaan itu sendiri. Agama Kristen diterima secara luas, karena dianggap memberikan kontribusi positif dalam kebudayaan modern orang Ambon, seperti pendidikan dan kesehatan. Pada dekade pertama pasca kemerdekaan, terdapat krisis politik dan ekonomi di kalangan komunitas Kristen seiring dengan munculnya kelas menengah Islam yang jumlahnya naik secara signifikan (Bartels, 1976-1977). Hal ini berimplikasi pada banyak perubahan posisi dimana sebelumnya kelas menengah Kristen mendudukinya, khususnya di berbagai departemen, universitas, dan berbagai perkantoran penting lainnya (Chauvel, 1990). Di ranah birokrasi, pada tahun 1970an pemerintah kota dan gubernur di Ambon menyerap begitu banyak jumlah anak muda terdidik yang bekerja di birokrasi (Beckman, 2007). Selama tahun 1980an dua perubahan penting terjadi: pertama adalah administrasi provinsi dan kabupaten tidak lagi dapat menyerap sejumlah besar lulusan dari universitas, sedangkan pada saat yang sama kaum Muslim memerlukan pembagian kerja yang lebih terbuka di bidang pekerjaan pemerintahan. Kedua, administrasi negara secara cepat mulai kehilangan fungsinya yang mampu diandalkan sebagai penampung dalam sekuritas pekerjaan. Akses bekerja dalam posisi pemerintahan semakin terkontestasikan antara orang-orang Kristen dan Islam Ambon serta dengan masyarakat migran yang semakin meningkat pesat (Beckmann, 2007: 21-22). Modernisasi dan rasionalisasi birokrasi juga telah menyebabkan erosi nilai-nilai tradisional. Sebelumnya, sekuritas sosial sebagai modal masyarakat tidak dibedakan berdasarkan kepentingan latar belakang agama, namun sejak diperkenalkannya birokrasi pada pertengahan abad 19, kepentingan-kepentingan sosial dibagi secara jelas antara kaum Muslim dan Kristen (Bartels, 2003; Klinken, 2007; Trijono and Tanamal, 2004). Di sisi lain, aparatus agama telah menggantikan nilai-nilai adat dan perangkatnya selama enam puluh tahun terakhir, dan ini menyebabkan masyarakat lebih mengekspresikan sentimen keagamaanya dan sekuritas sosial-politik berdasarkan kepentingan-kepentingan berbasis Islam-Kristen. 165
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 8 No. 4, Desember 2011
Pemaknaan Sekuritas Sosial Pembahasan tentang sekuritas sosial tidak selalu membincangkan jaring keamanan hidup di kalangan masyarakat miskin. Studi sekuritas sosial berbeda dengan studi kemiskinan. Kemiskinan atau kemakmuran mengacu pada kondisi ekonomi yang diukur oleh kurangnya kepemilikan dan kekuasaan terhadap sumber daya dan pemasukan keuangan. Sekuritas sosial dengan demikian mengacu pada konversi sumber daya ke dalam keperluan sekuritas sosial yang belum terpenuhi atau dalam terminologi Amartya Sen (1981) adalah “kehidupan yang standar“. Sekuritas sosial tidak hanya berkenaan dengan ekonomi dan organisasi sosial, tapi juga dengan permasalahan relasi sosial, ideologi, seperangkat aturan lainnya yang berhubungan dengan interaksi manusia. Dengan demikian modal sekuritas sosial bukan hanya uang, tanaman pangan dan tanah, namun juga berbentuk relasi personal seperti kekerabatan, ketetanggaan, patron klien dan juga pertemananan. Makna sekuritas sosial ini juga berkenaan erat dengan konsep-konsep jaring pengaman sosial, livelihood, vulnerabilitas sosial, dan social support system atau kelenturan dan sistem daya dukung sosial. Dengan demikian, makna ini bersifat “multireferensial” (mempunyai acuan yang lebih dari satu) karena ia mengacu pada berbagai fenomena sosial, dan pada utamanya mengacu pada ekonomi dan posisi sosial masyarakat, dalam arti kata untuk mencapai sekuritas bukan hanya barang semata yang perlu didistribusikan melainkan juga interaksi sosial. Pendekatan sekuritas sosial tidak hanya berkaitan dengan studi-studi kemiskinan, kerentanan dan mata pencaharian, namun juga perlu dihubungkan dengan kondisi-kondisi, kultural. Intuisi dalam sekuritas tidak hanya ditentukan oleh kalkulasi yang objektif terhadap masa depan, namun juga ditentukan oleh pembelajaran terhadap masa lalu. Kekerasan yang terjadi dalam masyarakat Ambon tentunya menunjukkan betapa sekuritas sosial dan kultural yang selama ini dirajut, ternyata rapuh, mudah dihancurkan secara cepat. Dengan demikian, bangunan jejaring sekuritas sosial dapat dilihat tangguh atau tidak jika menghadapi sebuah perubahan yang fundamental, seperti adanya konflik yang bukan hanya menimbulkan rasa ketidakamanan, namun juga merusak tatanan struktur sosial yang telah terbangun. Dalam artikel ini, penulis membahas pemaknaan sekuritas sosial sebagai sebuah dimensi organisasi sosial. Sekuritas sosial ini berdasarkan pada batas agama dan hubungan masyarakat dengan Negara. Dengan demikian, secara fungsional, sekuritas sosial bersifat eksklusif pada hal tertentu, dan terkesan nepotis. Khususnya di ranah birokrasi pemerintahan, mode sekuritas sosial yang ditawarkan justru menimbulkan ketergantungan masyarakat pada bantuan pemerintah. Di sisi lain, mode sekuritas sosial yang bersifat nepotisme dilakukan untuk mengatasi perasaan “insekuritas” terhadap sumber daya yang terbatas, seperti terbatasnya akses pekerjaan di perkantoran, akses pendidikan, dan akses pemukiman. Pada masyarakat 166
Hatib Abdul Kadir Dari Berdirinya menuju Bergantung: Robohnya Jejaring Sekuritas Sosial Masyarakat Ambon Pasca Konflik
pasca konflik seperti Ambon, sekuritas yang berbentuk pembangunan mental perlu dibangun karena munculnya ketakutan masyarakat terhadap serangan yang mendadak, kecurigaan terhadap orang asing, tinggal sebagai minoritas. Dengan demikian, secara esensial manusia selalu mencari cara untuk mengatasi ancaman-ancaman dan ketidakpastian. Kultur Sekuritas Tradisional dan Modern pada Masyarakat Ambon Sekuritas sosial modern yang dijalankan melalui program pemerintah pada saat ini telah menggantikan sekuritas tradisional (non state forms of social security). Pada awalnya, sekuritas sosial berbasis pada tradisi kekerabatan, pertemanan, patron-klien dan relasi ketetanggaan yang saling tolong menolong. Sekuritas sosial model lama ini berimplikasi pada pola pengelolaan tanah, pengaturan tanaman produksi hingga pengaturan kepemilikan rumah. Sekuritas tradisional percaya pada nilai-nilai relijiusitas, serta percaya pada nasib dan takdir. Masyarakat tradisional, meski tidak mempunyai pekerjaan tetap, masih dapat bertahan hidup pada tanah yang luas yang ditanami dengan cengkeh, sagu, pala, meski dijual dengan harga yang rendah 2. Tanah dimiliki secara bersama-sama kecuali dalam hal produk tertentu dan juga hasil pemancingan di laut. Ambon bukan tempat yang subur dibangun industri3. Rendahnya sektor ini ditutup oleh masyarakat dengan lebih mengandalkan pada produksi rempah-rempah, khususnya cengkeh untuk bahan rokok dan pala untuk industri farmasi. Karena itu, sekuritas sosial tradisional, agama dan negara menjadi fondasi penting dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam catatan ini penulis tidak tengah mengatakan bahwa sekuritas sosial telah hilang, melainkan berubah. Perubahan ini karena sistem sekuritas tradisional dianggap tidak mampu dalam mengatasi keadaan masyarakat yang semakin kompleks seperti pertumbuhan penduduk, kemiskinan masif, dan konflik sehingga negara menjadi penting menjadi agen sekuritas sosial (state sosial security). Sebagai misal adalah sistem Pela 2 Sekuritas ekonomi terjamin dalam beberapa bulan ke depan hanya ketika harga tanaman meningkat naik, seperti bulan Oktober 2010 sampai Maret 2011 dimana harga pala di sejumlah pengepul pala di Ambon, meningkat. Biji pala yang dibeli dari petani mencapai seharga Rp 80.000-Rp 90.000 per kilogram. Adapun harga bunga pala Rp 185.000-Rp 200.000 per kg. Ini adalah harga jual tertinggi dalam 30 tahun terakhir, karena sebelumnya, harga pala hanya sekitar Rp 40.000 per kg, sedangkan bunga pala berkisar Rp 100.000 per kg. Meningkatnya harga ini menggiatkan roda perputaran ekonomi, pelunasan hutang, pesta pernikahan, dan tingginya tingkat konsumsi musiman. 3 Sebagai misal pada tahun 1981 didirikan PT Jati Maluku Group, berjarak 5 km dari kawasan Passo. Pada awalnya, pabrik merekrut tenaga kerja para remaja dari wilayah Passo, namun mereka dikeluarkan karena tidak mampu meningkatkan produksi pabrik, sehingga didatangkan tenaga-tenaga dari Jawa. Badrun M.S, Laporan Penelitian Pengkajian Antisipasi Agama Terhadap Trend Globalisasi Pembangunan Regional dan Lokal di desa Passo Kecamatan Teluk Ambon Baguala, Kotamadya Ambon, Provinsi Malukum Departemen Agama, R.I. Badan Penelitian dan Pengembangan Agama. Proyek Penelitian Keagamaan, Jakarta 1993/1994. 167
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 8 No. 4, Desember 2011
yang mempunyai beberapa kelemahan nilai sekuritas. Pela cenderung rentan karena terkonstruksi dari akibat konflik dari dua wilayah, sehingga hubungan perdamaiannya lebih bersifat bilateral, atau tidak melibatkan lebih dari dua wilayah. Hal ini ditambah dengan tidak adanya struktur adat yang mampu melampaui level desa, sehingga cukup sulit mencari pemimpin adat yang mampu diterima khalayak melampaui tingkat desa. Demikian pula, struktur agama, secara eksklusif terikat dalam posisi-posisi adat. Sedangkan para pemimpin Kristen menunjukkan karakteristik yang berbeda. Otoritas yang lebih terpusat pada sinode dan pastor yang telah mendapatkan pelatihan misionarisme sebelumnya, menjadikan mereka mendapatkan legitimasi secara terstruktur dalam agama. Permasalahannya, para pendeta modernis menerima adat secara setengah-setengah. Selain itu, berbeda dengan tetua agama Islam, para pendeta ini bukan orang asli dari tempat dimana ia mengabdi. Keberadaan sekuritas tradisional menunjukkan bahwa masyarakat mempunyai siasat terhadap kemiskinan dan pluralitas agama yang dihadapi mereka. Sebagai misal, gelombang datangnya orang-orang Buton pertama kali ke Ambon disiasati dengan menempatkan mereka pada posisi wilayah tengah dua desa yang seringkali bersitegang. Sebagai misal, Batugong adalah perkampungan lama yang merupakan perkampungan etnis Buton. Pada awalnya kampung ini masuk dalam wilayah Passo, lalu dijadikan sebagai desa dengan diperluas daerahnya, yakni sebagian wilayahnya diambil dari Hutumuri dan sebagian dari Passo, dua wilayah yang mempunyai hubungan Pela dari akibat timbulnya konflik. Orang Buton diberikan lahan garap tanah dan pohon sebagai hak guna, dan bukan hak milik. Di lingkungan perdesaan Kristen, sistem tanah Dati sangat dijaga kuat. Ini berbeda dengan di kampung-kampung Islam yang mulai meninggalkan sistem ini karena purifikasi agama menggugat sistem ini. Sistem Dati adalah kepemilikan tanah klan bergaris patrilineal yang dikerjakan bersama dan berdasarkan warisan. Urbanisasi yang terjadi semenjak tahun 1970an tentu saja menyebabkan pola kelola tanah dati atau tanah pusaka tidak lagi dipraktikkan di kawasan perkotaan4. Sedangkan sistem sekuritas lainnya adalah kesadaran pada kalangan Kristen untuk menyekolahkan anak-anak mereka, dan melihat bahwa pendidikan adalah modal awal dari pencapaian cita-cita menjadi pegawai negeri. Hingga tahun 1940an, saudara tertua di komunitas Kristen mempunyai tanggung jawab untuk menyekolahkan adik-adik mereka ketika ia sendiri telah lulus dari pendidikan menengah dan telah bekerja di sektor birokrasi (Beckmann, 2007: 273-275). Pada masyarakat Muslim mempunyai bentuk sekuritas sosial yang dikenal secara umum, yakni zakat yang dibagikan di masjid oleh penghulu 4 Hanya ada satu tanah dati yang dimiliki bersama di Kota Ambon yakni di desa Batu Merah, Kecamatan Sirimau dimana objek tanah Tanah Dati Ulima atau Ululima ini tidak dapat dipindah tangankan, dijual, digadai, atau dihibahkan kepada pihak lain. Sistem kepemilikan tanah dati ini baru dikenal pada sekitar tahun 1814. Cooley (1995). 168
Hatib Abdul Kadir Dari Berdirinya menuju Bergantung: Robohnya Jejaring Sekuritas Sosial Masyarakat Ambon Pasca Konflik
dan kepala soa tanah yang dianggap memiliki Masjid, Zakat diberikan kepada orang-orang Muslim yang seringkali ke Mesjid, anggota saniri negeri (semacam desa bagi Orang Jawa), dewan adat desa, biang negeri (semacam dukun perempuan penjaga desa), guru ngaji, dan juga kaum Muallaf. Rata-rata dari mereka adalah laki-laki non Muslim yang mengikuti istrinya di kampung Muslim dan menjadi anak piara bagi kerabat. Meski demikian mualaf tidak mendapatkan harta warisan. Zakat yang diberikan kepada orang tua menunjukkan bahwa masyarakat Muslim juga peduli dengan isu-isu ageing atau permasalahan orang tua yang melanda di kawasan pedesaan Ambon. Zakat juga merupakan redistribusi sekuritas sosial yang sifatnya tahunan, selain untuk membantu antar sesama berguna pula untuk menguatkan rasa solidaritas. Namun demikian, kebijakan zakat bukan tanpa masalah, sebagaimana dalam catatan Badrun (1993/1994: 91-92): Kehadiran lembaga Badan Amil dan Zakat (BAZ) di tingkat kecamatan dan desa yang diperlengkapi dengan pengaturan pelaksanaan tugas dan wewenangnya, menyebabkan hilangnya sumber pendapatan tradisional para tetua adat dan pejabat agama lokal. Selama berabad-abad secara turun temurun, model pengelolaan zakat fitrah dan zakat harta di desa-desa ditangani oleh pejabat agama lokal memperoleh bagian sesuai ketentuan syariat. Bagian yang mereka peroleh itu, dirasakan cukup penting untuk memenuhi kebutuhan mereka sekeluarga serta kebutuhan biaya pelaksanaan tugas-tugas mereka selaku tokoh sentral agama di desa masing-masing. Kini seiring dengan kehadiran BAZ, para pejabat lokal jarang yang dilibatkan. Mereka menghadapi dilema, di satu pihak, keberadaan mereka tetap dibutuhkan masyarakat, di lain pihak kelangsungan hidup mereka terdesak karena tidak adanya ketrampilan khusus untuk “berprofesi ganda” atau beralih profesi. Sekuritas sosial modern mempunyai dasar alasan untuk mengontrol masa depan yang tidak pasti. Hal ini sesuai dengan ciri khas masyarakat modern; mempunyai individualitas tinggi dan ketakutan terhadap masa depan yang dilihatnya berbahaya dan penuh dengan ketidakpastian. Sekuritas ini menghubungkan antara pekerjaan dan kesejateraan yang saling bersinergis. Itulah mengapa kemudian negara perlu turun tangan dalam mengurusi dan menjamin sekuritas sosial, ketika masyarakat modern tidak lagi percaya sepenuhnya dengan model sekuritas sosial tradisional. Bentuk konkrit dari sekuritas sosial modern pada saat ini adalah menjadi pegawai negeri sipil yang diimpikan oleh hampir semua masyarakat. Hal ini karena negara memberikan sistem sekuriti sosial secara utuh di dalamnya, baik dalam bentuk jaminan kesehatan, pinjam meminjam hingga jaminan masa tua. Menjadi pegawai negeri dianggap mempunyai bentuk sekuritas sosial yang mampu menghilangkan kecemasan-kecemasan terhadap ketidakpastian di masa depan5. Di sisi lain, jaringan pengaman 5 Namun demikian, model sekuritas sosial ini bukan tanpa masalah. Catatan terbaru menunjukkan bahwa Penghasilan Asli Daerah (PAD) 2010 kota Ambon sebesar Rp 33 milyar, hampir habis untuk kewajiban membayar gaji pegawai sebanyak Rp 25 milyar (Thamrin, 2010). 169
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 8 No. 4, Desember 2011
sosial modern yang dikreasikan oleh pemerintah sebenarnya hanya bertujuan untuk mengatasi kemiskinan, namun bukan merupakan strategi resiprositas yang mempererat relasi sosial dalam masyarakat. Sebagai misal, bantuan pemerintah Program Keluarga Harapan (PHK) yang digulirkan pada tahun 2008, kepada Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) dengan besar anggaran Rp 600 ribu sampai Rp 2 juta dalam setiap tahunnya, merupakan jejaring pengaman sosial yang bersifat vertikal dan hanya semakin menghasilkan patronase kuat antara negara dan masyarakat. Promosi sekuritas sosial juga dicanangkan dalam bentuk pendidikan. Untuk menjadi pegawai negeri atau guru misalnya, maka pendidikan adalah salah satu prasyarat yang diutamakan, dan lagi-lagi masyarakat sangat menggantungkan dengan sistem sekuritas sosial dari negara, yakni dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Dana yang diberikan adalah sebesar Rp 35 milyar lebih yang diperuntukan bagi kurang lebih 71.630 siswa SD-SMA di seluruh kabupaten/kota di Maluku. Alokasi dana pendidikan nantinya juga berguna untuk mengatasi jumlah angka rata-rata pendidikan di Ambon yang cenderung rendah, yaitu rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas di Provinsi Maluku baru mencapai 8,5 persen/tahun, meski angka melek hurufnya terbilang tinggi dibanding angka rata-rata nasional. Sebelum munculnya konflik keagamaan pada tahun 1999, banyak faktor yang menyebabkan munculnya insekuritas di Ambon khususnya ketika menjelang tahun 1980an. Benda Beckmann (2007) mencatat antara lain kebijakan modernisasi pertanian dan mengkomoditaskan pohon sagu dan produksi sagu; kesempatan kerja di birokrasi pemerintahan yang menurun; tekanan penduduk yang meningkat dan menipisnya sumberdaya kelautan. Pada tahun 1970an warga kelas menengah Ambon mengirim anaknya ke sekolah-sekolah yang berkualitas, dengan harapan bahwa suatu saat mereka akan bekerja di pemerintahan dengan gaji bulanan yang layak. Pemerintah kota Ambon kemudian menyerap begitu banyak sejumlah tenaga muda terdidik meski dengan gaji yang rendah. Akan tetapi, mereka yang terserap dapat membantu saudara-saudara disekitarnya. Untuk sementara waktu, pemerintah menjadi semacam jangkar pengaman sosial masyarakat dalam jangka pendek 6 . Kerumitan terjadi ketika pekerjaan di birokrasi Beban berat yang harus dibayar oleh negara ini tampak ketika Pemerintah Kota (Ambon mengalokasikan anggaran senilai Rp 17 milyar lebih untuk membayar kekurangan gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) terutama para guru di Kota Ambon sebesar 20 persen dan 5 persen. Anggaran tersebut terdiri dari Rp 10,6 milyar untuk kekurangan gaji, 20 persen dan Rp 6 milyar untuk pembayaran kekurangan gaji 5 persen, dan pembayaran tersebut harus dibayar secara bertahap. Berdasarkan data dari Dinas Pendidikan Kota Ambon jumlah guru yang harus dipenuhi hak-haknya oleh pemkot sebanyak 464 guru (Siwalima, 03/04). 6 Sebuah perbandingan cukup mengejutkan disampaikan oleh Gerry van Klinken yang menyebutkan bahwa pada tahun 1990an, secara keseluruhan provinsi Maluku (pada waktu itu termasuk Ternate, Maluku Utara) telah mempunyai hampir 55.000 pegawai negeri. Jumlah pegawai negeri ini bahkan lebih banyak dibanding PNS di Jawa Timur, yang jumlah populasinya 17 kali lipat lebih banyak Van Klinken (2007: 90). Selain itu, dibandingkan dengan jumlah pekerjaan diluarnya, seperti di bidang perikanan, pertanian, dan kelautan, jumlahnya 170
Hatib Abdul Kadir Dari Berdirinya menuju Bergantung: Robohnya Jejaring Sekuritas Sosial Masyarakat Ambon Pasca Konflik
pemerintahan hanya dikhususkan bagi orang Ambon, sementara migran Bugis, Buton, Toraja tidak mendapatkan tempat di sana. Hampir semua jajaran birokrasi pemerintah di level menengah dan bawah dikuasai oleh putra daerah, sedangkan non putra daerah, seperti orang Jawa, Buton, Bugis dan Toraja hampir tidak mempunyai akses ke lowongan birokrasi, sehingga rata-rata dari mereka bekerja di luar ranah ini. Birokrasi kemudian menjadi dikontestasikan antar etnis, golongan, dan agama. Laporan Tempo menyebutkan bahwa walikota Dicky Wattimena, beragama Kristen pada masa jabatan 1985 dan 1991, sangatlah membenci para migran Muslim. Hal ini tampak dengan berbagai kebijakannya yang mencoba untuk menyingkirkan ekonomi informal seperti pedagang kecil yang rata-rata dijalankan oleh orang Buton (Tempo, Maret 15, 1999). Pada kasus yang berlawanan, meningkatnya kelas menengah Islam di perkotaan dari tahun 1950an, gerakan Islamisasi yang masif, hingga berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) di Ambon menyebabkan rasa insekuritas di kalangan Kristen. “Gejala Islamisasi“ di lingkungan elit birokrasi tersebut diimbangi oleh gejala penyebaran dai-dai secara kontinyu ke desa-desa, penataran Imam/Khatib untuk meningkatkan ilmu agama dan kemasyarakat serta penyebaran sekolah agama oleh yayasan dan organisasi Muhammadiyah dari tingkat SD/Ibtidaiyah sampai tingkat SMTA/Aliyah (Makkulawu, 1993; Klinken, 2007). Sekuritas sosial di ranah birokrasi sebenarnya dekat dengan nepotisme karena rekruitmen dari elit birokrasi lebih didasarkan pada klan, kekerabatan, wilayah, agama dan etnisitas. Contoh paling jelas tampak ketika Akib Latuconsina seorang anggota ICMI cabang Ambon yang pertama kali menjadi seorang gubernur Muslim pertama, pada tahun 1992. Semenjak kepemimpimannya, ia memunculkan kekuatan orang-orang yang berasal dari dengan Ori, Pelaw, dan Kailolo (OPEK) yang terletak di Kepulauan Haruku. Hampir semua elit Muslim ini mempunyai marga seperti Latuconsina, Tuasikal, dan Marasabessy. Di kalangan elit Protestan tradisional gerakan ini ditafsirkan sebagai sebuah bentuk serangan dan tantangan dari elit-elit Islam baru. Masyarakat yang Bergantung pada Negara: Kehidupan Ekonomi dan Sekuritas Sosial Pasca Konflik Penjelasan tentang munculnya ketergantungan sekuritas sosial terhadap negara di atas tidak hendak mengembalikan romantisasi terhadap nilai-nilai sekuritas tradisional yang lama seperti Pela dan Gandong; Sasi, Masohi; pembagian tanah Dati, melainkan penulis mengungkap model baru dari bentuk sekuritas yang dibangun modern dan pasca konflik. Modernitas dan konflik di Ambon belakangan ini telah mengubah pranata sosial, seperti misal, hilangnya status sosial seseorang ketika pindah ke tempat yang baru mencapai 33%. Hampir tidak ada provinsi selain Maluku yang begitu besar birokrasinya. Ini juga sekaligus bukti dependensi sekuritas sosial pada pemerintah. 171
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 8 No. 4, Desember 2011
pasca konflik. Berpindah ke luar menyebabkan orang kemudian mempunyai status sosial yang lebih rendah karena perbedaan struktur sosial di tempat yang baru. Perpindahan ini disebabkan bukan hanya konflik, melainkan juga karena keinginan masyarakat untuk mendekati wilayah yang mempunyai SMA Islam/Kristen mayoritas; dekat dengan lokasi pemancingan, Puskesmas, kantor pos, koperasi dan fasilitas lainnya selama ia masih menjadi mayoritas berdasar agama di dalamnya. Perpindahan secara terpaksa atau pengungsian mempertegas batas-batas berdasarkan perbedaan agama. Munculnya batas pemukiman berdasarkan agama pasca konflik merupakan bagian dari upaya sekuritas sosial yang tidak diciptakan oleh negara, adat atau agama, melainkan bagian dari regulasi diri (self-regulation) masyarakat yang sifatnya intuitif demi menghindarkan dirinya menjadi identitas yang minoritas. Pasca konflik, berbagai infrastruktur menjadi hancur, yang juga menjadi simbol dari hancurnya pranata sosial, sebagai misal adalah terbakarnya bangunan bersejarah gereja tertua di Emanuel di Hila yang dibangun pada adab 18. Demikian pula, hampir semua orang-orang Buton yang menjadi minoritas di wilayah Kristen menjadi pengungsi di kawasan mayoritas Islam. Struktur tatanan sosial yang hilang tampak diperparah dengan adanya pengungsi yang tidak mempunyai lahan tinggal secara tetap. Sebelumnya, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Maluku menjelaskan bahwa telah ada kesepakatan bersama antara Gubernur Maluku dengan bupati/walikota se-Provinsi Maluku tentang penanganan sisa korban bencana sosial di Provinsi Maluku tahun 2009 (Siwalima, 17/6) terkait penanganan sisa pengungsi Maluku. Belakangan ini para pengungsi ini juga dikategorikan sebagai orang miskin. Keberadaan pengungsi semakin kacau akibat munculnya korupsi berjamaah dalam proyek penanganan pemukiman 7 , korupsi dana Bantuan Bangunan Rumah (BBR) dan uang pemulangan pengungsi. Di Lembah Argo, Passo, 200 Kepala Keluarga (KK) hidup memrihatinkan di tempat pengungsian tanpa kloset. Mereka adalah 7 Sebagai misal Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Maluku mengungkap adanya korupsi besar-besaran dalam proyek pembangunan rumah bagi pengungsi Warasia di Desa Batu Merah, Kecamatan Sirimau, Kota Ambon. Rumah yang harus dibangun kepada para pengungsi berjumlah 139 KK. Namun ternyata setelah diusut kejaksaan, masih sekitar 50 unit yang belum dibangun. Padahal, anggaran telah dicairkan 100 persen. Selain itu, Dinas Kesejahteraan Sosial Maluku harusnya membagikan bantuan kepada para pengungsi dalam bentuk Bahan Bangunan Rumah (BBR). Namun oleh Dinkesos kemudian mengalihkan bantuan ini, dengan membangun rumah bagi para pengungsi, dengan melibatkan kontraktor CV Balvir. Untuk sementara berdasarkan hasil penghitungan sementara yang dilakukan oleh penyidik, kerugian negara dalam kasus ini sebesar Rp 900 juta. Dana ini diambil dari APBN tahun 2005 yang bernilai Rp 1,251 miliar, dan melibatkan mantan Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial (Dinkesos) Maluku Chris Hehanussa. Contoh lain adalah korupsi dana BBR untuk Negeri Hatu, Kecamatan Leihitu Barat, Kabupaten Maluku Tengah, senilai Rp 1 milyar lebih yang diperuntukkan bagi 103 KK, namun dalam pemberian bantuan tidak sesuai dengan ketentuan di lapangan. Bantuan yang seharusnya didapat adalah Rp 10 juta per KK, namun kenyataan di lapangan per KK menerima hanya Rp 6 juta. 172
Hatib Abdul Kadir Dari Berdirinya menuju Bergantung: Robohnya Jejaring Sekuritas Sosial Masyarakat Ambon Pasca Konflik
pengungsi dari wilayah Pulau Ambon, seperti dari Buru dan sekitarnya. Akibat tingginya tingkat korupsi pemerintahan dan tak adanya alokasi untuk para pengungsi ini, banyak diantara mereka yang kemudian menjadi pemulung dan memenuhi kota Ambon. Korupsi menyebabkan kekacauan pembangunan. Tingginya tingkat kemiskinan dan korupsi dan rendahnya pendapatan daerah menyebabkan sedikitnya alokasi terhadap beberapa bidang pembangunan untuk jaringan sekuritas. Di ranah pekerjaan, peningkatan pengangguran memperparah insekuritas pasca konflik, sehingga menyebabkan orang-orang Ambon yang dulu memandang rendah pekerjaan-pekerjaan seperti tukang becak kini justru bekerja di ranah tersebut. Angka pengangguran dan inflasi di Maluku masih sangat tinggi. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Maluku, jumlah pengangguran di Maluku berkisar 8–9%, sedangkan inflasi mencapai 4–5%. Pertumbuhan ekonomi yang dicapai pemerintah sebagian besar disumbang dari sektor pemerintah, sementara Pendapatan Asli Daerah (PAD) Maluku seperti dari retribusi dan perputaran di sektor jasa dan perdagangan sangat kecil untuk dapat melakukan berbagai pembiayaan pembangunan infrastuktur dan fasilitas. Hal ini menunjukkan jika pertumbuhan ekonomi sangat tergantung dari pengalokasian dana dekonsentrasi pemerintah pusat (Jakarta) berupa Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), BOS, dan dana perimbangan lainnya bagi pengembangan infrastruktur dan fasilitas. Pertumbuhan ekonomi tidak berjalan secara mandiri karena hampir semua sektor ekonomi tidak dapat berperan dengan baik, seperti sektor pertanian, perikanan maupun sektor jasa dan pariwisata yang dapat menggenjot PAD. Tingginya ketergantungan terhadap bantuan pusat ini membuka pula potensi terhadap korupsi yang terjadi di ranah birokrasi, sebagai misal maraknya aksi nakal oknum-oknum di tingkat desa, kecamatan hingga di tingkat provinsi. Salah satu sinyalemen kuat yang hingga saat ini menjadi perbincangan negatif di kalangan masyarakat, orang tua didik khususnya, adalah dugaan adanya penyelewengan dana Pengelolaan DAK bidang pendidikan tahun 2008-2009, yang diterima oleh sekitar 100 sekolah. Sumber korupsi ini dilakukan oleh oknum-oknum di Dinas Pendidikan yang mempunyai rekening penyaluran DAK. Bukan hanya di bagian dinas pendidikan, oknum pendidik pun ikut terlibat. Sedikitnya 69 Kepala Sekolah Menengah Atas (SMA) diperiksa tim Kejaksaan Negeri (Kejari) Ambon terkait dugaan korupsi dana bantuan bagi siswa SMA miskin se-Kota Ambon senilai Rp 2,5 milyar tahun 2008-2009. Dana tersebut berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) II tahun 2008-2009. Setelah dana tersebut diterima di sekolah, ternyata ratusan siswa pada puluhan sekolah tidak menerima dana tersebut. Jika kasus-kasus korupsi ini terbongkar, maka akan terbukti adanya korupsi berjamaah di lingkaran dunia pendidikan dasar yang merusak kepercayaan warga terhadap murahnya pendidikan sebagai salah satu penjamin masa depan. 173
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 8 No. 4, Desember 2011
Pendidikan yang subur dengan praktik korupsi semakin diperburuk dengan kondisi pengangguran terdidik. Rata-rata dari mereka merupakan para sarjana berasal dari kabupaten/kota se-Maluku yang menuntut ilmu di 11 perguruan tinggi di kota Ambon. Tingginya tingkat pengangguran, lulusan mahasiswa di kota Ambon karena keengganan para pemuda untuk kembali ke kampung-kampung di luar Pulau Ambon. Para anak muda ini merasa malu tidak punya pekerjaan, sehingga lebih memilih untuk bertahan di Ambon meski mendapatkan pekerjaan yang tidak sesuai dengan kehendaknya. Contoh mahasiswa ini merupakan salah satu permasalahan migrasi dan urbanisasi yang tidak hanya menunjukkan fenomena ketenagakerjaan semata, tapi juga merefleksikan kondisi sosial ekonomi, seperti pengangguran, kriminalitas, lingkungan, hingga penyediaan fasilitas publik. Beban kota Ambon yang kini berpenduduk 330 ribu jiwa semakin sesak dengan terus bergulirnya arus urbanisasi, dan menyebabkan tingginya presentasi angka pengangguran dan kemiskinan pula. Derasnya urbanisasi juga menunjukkan bahwa kepadatan penduduk bukan disebabkan oleh angka kelahiran yang tinggi, melainkan dipicu oleh arus urbanisasi dengan Kota Ambon sebagai tujuan pendidikan dan aktivitas ekonomi. Perubahan mendasar pada modernitas masyarakat orang Ambon adalah bergesernya solidaritas horisontal ke solidaritas vertikal, khususnya di ranah sekuritas sosial dengan munculnya ketergantungan terhadap negara. Bantuan pemerintah yang bersifat sporadis, selektif, dan birokratis tentu tidak bisa mencakup beberapa penyebab semakin berkembangnya pengangguran, kesulitan akses pendidikan, dan tingkat kriminalitas tinggi, dimana salah satunya diakibatkan oleh tidak tercakupnya golongan ini ke dalam sekuritas sosial. Membangun Batas Geografis dan Batas Simbolik Salah satu efek munculnya konflik yang berkaitan dengan sekuritas sosial dan mentalitas adalah kesadaran terhadap batas yang semakin menguat. Munculnya penegasan terhadap batas ini akibat tradisi seringnya pertikaian antara dua wilayah. Bahkan hingga pasca konflik, beberapa kekerasan antar dua wilayah masih sering terjadi seperti perang antara Pelaw dan Ori; Porto dan Haria di Saparua; Rumakay dan Tihulale di Seram Bagian Barat; Passo dan Negeri Lama; Waringin dan Batu Gantung; Batumerah dan Kelurahan Amantelu, Batu Merah dan Karang Panjang; Migran Buton dan urban Seram Bagian Timur di Batumerah, Kota Ambon hingga antar pemuda Batu Gantung sendiri. Pertikaian ini seringkali diawali oleh orang-orang misterius yang tiba-tiba saja hadir melempar batu, dan kemudian menghilang8. Konflik seringkali dipicu oleh persoalan tapal batas antara kedua negeri yang saling berdekatan dan pemuda-pemuda yang mabuk. Berbagai ketegangan ini memicu kembali pengungsian untuk 8 Model awal terjadinya konflik seperti ini serupa dengan narasi awal munculnya kepulauan dan masyarakat di Ambon. 174
Hatib Abdul Kadir Dari Berdirinya menuju Bergantung: Robohnya Jejaring Sekuritas Sosial Masyarakat Ambon Pasca Konflik
sementara waktu bagi warga yang telah trauma, khususnya mereka-mereka yang tinggal di wilayah batas perseteruan dari dua wilayah. Sebagai misal, jika warga Batumerah berkonflik dengan Karangpanjang, maka warga di kawasan Mardika pun segera berkemas-kemas untuk mengungsi sementara. Seringkali pertikaian terjadi pada dini hari sehingga memaksa warga harus meninggalkan kediamannya pada pagi buta. Anak-anak kecil digendong orang tuanya, menjinjing tas seadanya, bahkan masyarakat mulai menyelamatkan barang berharganya. Mereka ini tidak tahu menahu apa yang terjadi pada saat itu, namun memori terhadap konflik yang terjadi satu dekade lalu masih menghantui. Kesan terhadap penetapan batas-batas baru berdasarkan latar belakang agama ini tampak pada keengganan Masyarakat Leihitu yang mayoritas Islam bergabung dalam kehidupan bersama antara Muslim dan Kristen. Salah satu kasus, misalnya, adalah ketika kurang lebih 30 orang raja-raja yang merupakan bagian dari Latupati Maluku Tengah (Malteng) khusus di Kecamatan Leihitu, Leihitu Barat dan Elpaputih bertemu dengan Gubernur Maluku, KA Ralahalu (Siwalima, 13/5). Mereka menuntut tidak bergabung dengan Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) dan mengklaim bahwa masyarakat yang sepakat untuk bergabung tidak mencapai 100 Kepala Keluarga, sementara yang ingin bergabung ke Maluku Tengah ada begitu banyak negeri. "Mereka itu tidak sampai 100 KK, sementara negeri yang ingin masuk ke Maluku Tengah antara lain seperti Sanahu, Wasia, Samasuru. Seharusnya pak gubernur merasionalisasi kepada menteri bahwa Maluku ini agak beda, dalam arti Maluku ini punya hak ulayat adat, sehingga bisa mengambil keputusan itu," demikian sesal masyarakat (Siwalima, 15/5/2011). Salah satu keengganan dikarenakan bahwa daerah SBB adalah mayoritas Kristen dan Leihitu lebih memilih untuk bergabung dengan Kabupaten Maluku Tengah yang masih dominan masyarakat Muslimnya. Keengganan untuk melakukan percampuran ini menunjukkan bahwa hancurnya solidaritas sosial semakin tampak dengan adanya jaringan sekuritas sosial dalam bentuk terbangunnya batas-batas geografis kependudukan berdasarkan kesamaan agama. Penutup Jejaring sekuritas masyarakat Ambon pasca konflik menjadi semakin rumit. Berbagai pranata sosial dan struktur politik telah banyak yang berubah. Tulisan ini menyimpulkan bahwa berubahnya sekuritas sosial di Ambon secara garis besar terbuktikan pada dua hal, pertama, sekuritas sosial tradisional yang bersifat horisontal di ranah sosial ekonomi semakin tergerus akibat urbanisasi dan munculnya masyarakat migran secara pesat. Kedua, sekuritas modern yang bersifat vertikal dirusak oleh tindakan korupsi aparatus birokrasi. Salah satu kegagalan pemerintah lokal dalam menciptakan sekuritas sosial terlihat pada tingginya ketergantungan 175
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 8 No. 4, Desember 2011
anggaran belanja publik dari aliran dana pemerintah pusat di segala lini, mulai dari sektor pendidikan, kesehatan, hingga pembangunan stadion dan pengadaan acara-acara keagamaan seperti Majelis Tilawatil Qur’an (MTQ). Selain itu, pemerintah lokal juga gagal menggerakkan sektor ekonomi lokal yang mampu menstimulasi pertumbuhan ekonomi daerah yang potensial di tiga ranah, yakni perikanan, perkebunan, dan pariwisata. Di sisi lain, jaringan pengaman sosial modern yang dikreasikan oleh pemerintah juga hanya bertujuan untuk mengatasi kemiskinan, namun bukan merupakan strategi resiprositas yang mempererat relasi sosial dalam masyarakat ***** Daftar Pustaka Bartels, Dieter. 1976, “Religious Syncretism, Semantic Depletion and Secondary Interpretation in Ambonese Islam and Christianity in the Moluccas”, 75th Annual Meeting of the American Anthropological Association, November 17-21, Washington, D.C., within the Symposium, New Meaning for a Changing World: Religion and Values in South-east Asia. Benda-Beckmann, Franz Von dan Keebet von Benda-BeckmannKeebet von Benda-Beckmann, 2007, Social Security Between Past and Future, Lit Verlag. Chauvel, Richard.H. 1990, Nationalists, Soldiers and Separatists: The Ambonese Islands from Colonialism to Revolt, 1880–1950. Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde; 143. Leiden: KITLV Press. Cooley, Frank L. 1961, “Altar and Throne in Central Mollucan Societies”. A synopsis of the main argument of a doctoral dissertation, bearing the same title "Altar and Throne in Central Moluccan Societies: a study of the relationship between the institutions of religion and the institutions of local government in a traditional society undergoing rapid social change" submitted to the Faculty of the Department of Religion of the Yale University Graduate School. ----------, Frank L. 1995, “Allang: A Village on Ambon Island” dalam Koentjaraningrat (ed) Equinox Publishing. Leirizza, R.Z; Pattykaihatu, J.A; Dkk. 2004, Ambonku. Doeloe, Kini , dan Esok. Pemerintah Kota Ambon. Makkulawu, Antisipasi Agama Terhadap Tren Globalisasi, Pembangunan Regional dan Lokal di Desa Batu Gong, Kecamatan Teluk Ambon Baguala Kotamadya Ambon, Departemen Agama RI. Balitbang 1993. M.S, Badrun “Laporan Penelitian Pengkajian Antisipasi Agama Terhadap Trend Globalisasi Pembangunan Regional dan Lokal di desa Passo Kecamatan Teluk Ambon Baguala, Kotamadya Ambon, Provinsi Maluku Departemen Agama, RI. Badan Penelitian dan Pengembangan Agama. Proyek Penelitian Keagamaan, Jakarta 1993/1994. Sen, Amartya, 1981. Poverty and Famines: An Essay on Entitlement and Deprivation. Oxford: Oxford University Press. 176
Hatib Abdul Kadir Dari Berdirinya menuju Bergantung: Robohnya Jejaring Sekuritas Sosial Masyarakat Ambon Pasca Konflik
Trijono, Lambang dan Tanamal, Pieter. 2004, “Religious Conflict in Maluku: In Search of Religious Community Peace”, dalam Trijono, Lambang (ed), The Making of Ethnic and Religious Conflicts in Southeast Asia. Cases and Resolutions. CSPS Books. Van Klinken, Gerry 2007, “Mobilization in Ambon” in Communal Violence and Democratization in Indonesia. Small Town Wars, Routledge. Koran Siwalima, “Para Latupati Malteng Ngotot Ketemu Gubernur“, 13/5/2011 ----------, “Jaksa Ekspos Kasus Korupsi Proyek Rumah Pengungsi Warasia di BPKP“,15/4/2011. ----------, “Komentar Thamrin Ely: Walikota Yang Diidamkan”, 4/12/2011. ----------, “259 CPNS Formasi Tahun 2010 Terima SK Pengangkatan“, 3/22/2011. ----------, “Pemkot Alokasikan Rp 17 M Bayar Kekurangan Gaji PNS”, 3/04/2011. ----------, “Pengangguran dan Kemiskinan Meningkat di Kota Ambon”, 2/07/2011. ----------, “Intelijen Kejati Kumpulkan Data Korupsi DAK Pendidikan Kota Ambon“, 1/27/2011. ----------, “Puluhan Kepala Sekolah Diperiksa”, 1/26/2011. ----------, “Berkas Korupsi Dana Pengungsi Hatu Rampung“, 12/18/2010.
177