DAM MPAK OTO ONOMI DA AERAH TE ERHADAP PERTUMB P BUHAN EKO ONOMI DAN N PENGEM MBANGAN KAPASITA AS PRODU UKSI LISTR RIK DI KAW WASAN TIMUR INDONESIIA
O Oleh SIGIT YU USDIYANT TO H144104079
DEP PARTEMEN N ILMU EK KONOMI FAKULTA AS EKONO OMI DAN MANAJEM M MEN INST TITUT PER RTANIAN BOGOR B 2008
RINGKASAN
SIGIT YUSDIYANTO. “Dampak Otonomi Daerah terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Pengembangan Kapasitas Produksi Listrik di Kawasan Timur Indonesia”. (Dibimbing oleh Fifi Diana Thamrin). Pembangunan di bidang ekonomi maupun sosial, yang dilaksanakan di Indonesia merupakan upaya untuk mewujudkan tujuan masyarakat adil dan makmur. Indonesia mengalami pergolakan yang luar biasa beberapa tahun terakhir ini diikuti perubahan transformasi politik dan ekonominya. Sumber daya alam, iklim, dan kebudayaan di negara ini sangat berbeda antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya, demikian pula halnya dengan potensi untuk pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan. Sejak akhir dasawarsa delapan puluhan perhatian berbagai pihak terhadap persoalan di Kawasan Timur Indonesia mulai mendapat perhatian yang lebih besar dalam upaya pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi didefinisikan sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup perubahan struktur, sikap hidup dan kelembagaan, selain mencakup peningkatan pertumbuhan ekonomi, pengurangan ketidakmerataan distribusi pendapatan dan pemberantasan kemiskinan. Dalam RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) Nasional Tahun 2004-2009 (Perpres Nomor 7 Tahun 2005) mengidentifikasi terdapat 199 (43 persen) kabupaten tertinggal, dengan komposisi (KTI 62 persen, dan KBI 38 persen). Salah satu permasalahan yang dihadapi adalah dalam aspek infrastruktur (sarana dan prasarana) terutama transportasi darat, laut dan udara; telekomunikasi, dan energi, serta keterisolasian daerah. Percepatan Pembangunan Infrastruktur terkonsentrasi di 148 kabupaten. Infrastruktur merupakan roda penggerak pertumbuhan ekonomi. Telekomunikasi, listrik dan air merupakan elemen sangat penting dalam proses produksi dari sektor-sektor ekonomi seperti perdagangan, industri dan pertanian. Keberadaan infrastruktur akan mendorong terjadinya peningkatan produktivitas bagi faktor-faktor produksi, dan sebaliknya apabila mengabaikannya akan menurunkan produktivitasnya (Bappenas, 2003). Semangat persatuan dan kesatuan pula yang melandasi pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi, berdasarkan Undang-undang nomor 32 dan nomor 33 tahun 2004, memberikan wewenang yang lebih luas kepada pemerintah daerah dalam mengelola sumber daya daerah baik yang menyangkut aspek administrasi, institusi maupun keuangan. Otonomi daerah adalah suatu keadaan yang memungkinkan daerah dapat mengaktualisasikan segala potensi terbaik yang dimilikinya secara optimal. Hal ini dimaksudkan agar kebijakan otonomi daerah memberikan dampak positif terhadap pembangunan di daerah. Terdapatnya permasalahan dalam kaitan dengan pembangunan dan pengelolaan infrastruktur adalah perubahan sistem politik ke arah otonomi daerah. Otonomi daerah telah mengubah pola pemerintahan Indonesia, dimana wewenang pemerintahan daerah menjadi lebih besar dalam mengelola infrastruktur. Namun tingginya ketergantungan fiskal daerah terhadap pusat terutama dari dana perimbangan memberikan konsekuensi pendanaan infrastruktur kepada
pemerintah pusat. Dalam hal ini dibutuhkan untuk mendefinisikan secara lebih baik tanggung jawab dari berbagai level pemerintahan, untuk mengembangkan penerapan transfer finansial dari pusat, untuk meningkatkan kerjasama yang efektif antar daerah, dan untuk membangun kapasitas badan-badan regional (Yanuar, 2006). Tujuan penelitian ini adalah menganalisis dampak otonomi daerah terhadap pertumbuhan ekonomi dan penyediaan infrastruktur khususnya kapasitas produksi listrik di KTI. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan perekonomian dan pengembangan kapasitas produksi listrik di KTI. Data yang dipergunakan dalam penelitian ini diperoleh dari BPS. Data sekunder yang berupa data tahunan mulai dari tahun 1996 sampai 2006. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian adalah regresi panel data. Pemilihan model ini karena panel data dapat menyediakan informasi yang cukup kaya untuk perkembangan teknik estimasi dan hasil teoritikal. Dalam bentuk praktis, peneliti dapat menggunakan data runut waktu dan kerat lintang untuk menganalisis masalah yang tidak dapat diatasi jika hanya menggunakan salah satunya saja. Penggunaan panel data juga dimaksudkan untuk mengatasi keterbatasan jumlah data, agar dapat diperoleh hasil estimasi yang lebih baik dengan terjadinya peningkatan jumlah observasi yang berimplikasi terhadap peningkatan derajat kebebasan. Perhitungannya menggunakan komputer dengan bantuan software Eviews 5.1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh otonomi daerah untuk pertumbuhan ekonomi di daerah adalah negatif sedangkan pengaruh otonomi daerah terhadap pengembangan kapasitas produksi listrik adalah positif. Faktor yang paling signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di KTI adalah kapasitas produksi listrik. Sesuai dengan tujuan dan manfaat dari penelitian ini, maka pemerintah daerah diharapkan dapat menjalankan roda pemerintahannya melalui prinsipprinsip good governance. Pemerintah Provinsi masing-masing daerah diharapkan memperhatikan pengembangan kapasitas produksi listrik, mengingat pengaruh kontribusi yang ditimbulkan oleh variabel ini terhadap pertumbuhan perekonomian di masing-masing daerah.
DAMPAK OTONOMI DAERAH TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAN PENGEMBANGAN KAPASITAS PRODUKSI LISTRIK DI KAWASAN TIMUR INDONESIA
Oleh SIGIT YUSDIYANTO H14104079
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI Dengan ini menyatakan bahwa yang disusun oleh, Nama Mahasiswa
: Sigit Yusdiyanto
Nomor Registrasi Pokok
: H14104079
Program Studi
: Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi
: Dampak Otonomi Daerah terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Pengembangan Kapasitas Produksi Listrik di Kawasan Timur Indonesia.
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Fifi Diana Thamrin, S.P.,M.Si NIP. 132 321 453
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S. NIP. 131 846 872
Tanggal Kelulusan:
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, September 2008
Sigit Yusdiyanto H14104079
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tangerang pada tanggal 13 April 1986. Penulis anak dari pasangan Yusup Dasim dan Sriyatun. Penulis memulai pendidikan formal di TK Achmad Yani pada tahun 1991 selama satu tahun. Penulis menempuh pendidikan dasar di SDN Sukamaju Baru II Depok dari tahun 1992 sampai dengan tahun 1998. Pada tahun 1998 sampai tahun 2001 penulis melanjutkan pendidikan di SLTP Taruna Bhakti Depok. Pada tahun 2001 penulis melanjutkan pendidikan di SMU YAPEMRI Depok sampai tahun 2002 lalu pindah ke SMU Negeri 106 Jakarta dan berhasil menyelesaikan pendidikan menengah atas pada tahun 2004. Pada tahun 2004, penulis diterima sebagai mahasiswa di Departemen Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Selama jadi mahasiswa, penulis aktif dalam Organisasi kemahasiswaan, yaitu sebagai anggota HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) komisariat Fakultas Ekonomi dan Manajemen.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, hidayah dan karuniaNya kepada kita semua. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW. Skripsi yang berjudul “Dampak Otonomi Daerah terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Pengembangan Kapasitas Produksi Listrik di Kawasan Timur Indonesia”. Skripsi ini disusun sebagai syarat dalam meraih gelar Sarjana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan sehingga diperlukan kritik dan saran untuk kesempurnaan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen pembimbing atas saran dan masukannya serta pihak-pihak yang telah membantu hingga terselesaikannya skripsi ini. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi semua pihak
Bogor, September 2008
Penulis
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis menyadari sepenuh hati bahwa skripsi ini tidak akan tersusun dan selesai tanpa bantuan dari berbagai pihak. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberi bantuan selama penelitian dan penyelesaian skripsi ini, antara lain: 1. Keluarga: Yusup Dasim (Ayah), Sriyatun (Ibu) tercinta dan
Saudara-
saudaraku. Terima kasih atas segala dukungan baik moril dan materil, serta do’a yang tak henti-hentinya diberikan kepada penulis. 2. Fifi Diana Thamrin, S.P.,M.Si. Sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan saran, nasehat serta bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini. 3. Muhammad Firdaus, Ph.D sebagai penguji utama atas saran dan kritiknya yang sangat bermanfaat dalam penyempurnaan skripsi ini. 4. Dr. Muhammad Findi A sebagai penguji dan komisi pendidikan atas saran dan masukan untuk perbaikan skripsi ini. 5. Widyastutik, M.Si sebagai dosen pembimbing akademik yang telah membimbing, semangat dan dorongan kepada penulis. 6. Temen-temen seperjuangan: Akbar, Islam, Dwi, Adit, kiki, Arif, Tyo n Novi, Iyo, Anggit, Epul, Azis, Dani, Jawa, Irvan, Rima, Novi, Annisa (chabe), Yuliana, Puspa, Lia, Annisa, Fanya, Ima Lesmana, dan lain-lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu. 7. Siera Aninditha Casandri Putri atas segala dukungan serta pengertiannya. 8. Semua pihak yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini.
i
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI ......................................................................................................
i
DAFTAR TABEL ............................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... iv DAFTAR LAMPIRAN .....................................................................................
v
I. PENDAHULUAN .......................................................................................
1
1.1. Latar Belakang ...................................................................................... . 1 1.2. Perumusan Masalah ............................................................................... . 8 1.3. Tujuan Penelitian ................................................................................... . 11 1.4. Kegunaan Penelitian............................................................................... . 12 1.5. Ruang Lingkup Penelitian ...................................................................... . 13 II. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. . 14 2.1. Konsep Otonomi Daerah ........................................................................ 14 2.2. Konsep Pertumbuhan Ekonomi.............................................................. 17 2.3. Infrastruktur ........................................................................................... 19 2.3.1. Kebutuhan Infrastruktur dalam Pengembangan Wilayah ............ 23 2.4. Konsep Pembangunan Ekonomi ............................................................ 25 2.4.1. Hambatan dan Strategi Pembangunan Ekonomi .......................... 26 2.4.2. Otonomi Daerah, Implikasi terhadap Infrastruktur dan Pembangunan Daerah................................................................... 29 2.5. Inflasi ..................................................................................................... 31 2.6. Tinjauan Penelitian Terdahulu ............................................................... 33 2.7. Kerangka Pemikiran Konseptual ........................................................... 35 2.8. Hipotesis Penelitian................................................................................ 37 III. METODE PENELITIAN .......................................................................... 39 3.1. Jenis dan Sumber Data ........................................................................... 39 3.2. Metode Analisis Data ............................................................................. 39 3.2.1. Pendekatan dalam Metode Panel Data ...................................... .. 41 3.2.1.1 Pendekatan Pooled Least Square ..................................... 41 3.2.1.2 Pendekatan Fixed Effect .................................................... 42 3.2.1.3 Pendekatan Random Effect ............................................... 43
ii
3.2.2. Pemilihan Model dalam Pengolahan Data Panel ......................... 44 3.2.2.1 Chow Test .......................................................................... 45 3.2.2.2 Hausman Test .................................................................... 46 3.2.2.3 LM Test ............................................................................. 46 3.3. Evaluasi Model....................................................................................... 47 3.3.1. Multikolinieritas ........................................................................... 47 3.3.2. Autokorelasi ................................................................................. 47 3.3.3. Heteroskedastisitas ....................................................................... 48 3.4. Model Operasional Penelitian ................................................................ 49 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... 51 4.1. Gambaran Umum ................................................................................... 51 4.1.1. Pertumbuhan Ekonomi ................................................................. 51 4.1.2. Pengembangan Infrastruktur Listrik ............................................ 52 4.2. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Empat Propinsi di KTI............................................................ 53 4.2.1. Interpretasi Model dengan Dependent Variabel PDRB ............... 57 4.3. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengembangan Infrastruktur Listrik Empat Propinsi di KTI ......................................... 60 4.3.1 Intepretasi Model dengan Dependent Variabel LS ...................... 62 V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ .. 66 5.1 Kesimpulan .......................................................................................... … 66 5.2 Saran..................................................................................................... .. 67 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 69 LAMPIRAN ....................................................................................................... 72
iii
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1.
Panjang Jalan dan Kondisi Kerusakan Jaringan Jalan Nasional Tahun 2003 dan Tahun 2006 ................................................................ . 5
2.
PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Propinsi Tahun 2002- 2006 (Juta Rupiah)...................................................................... . 8
3.
Rincian Lokasi P2DTK Tahun 2008 ..................................................... . 9
4.
Rincian Operasional .............................................................................. . 17
5.
Ringkasan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Propinsi Terkait Pengelolaan Infrastruktur Menurut PP No. 25/2000 ................ 31
6.
Data, Satuan, Simbol dan Sumber Data Penelitian ............................... 39
7.
Menentukan Autokorelasi....................................................................... 48
8.
Hasil Estimasi Output dengan Dependent Variable (PDRB) dengan menggunakan model efek tetap dengan pembobotan (Cross Section Weights) dan White Cross Section Covariance............ 56
9.
Hasil Estimasi Fungsi dengan Dependent Variable Listrik (LS) dengan menggunakan Model Efek Tetap dengan Pembobotan (Cross Section Weights) dan White Cross Section Covariance……… 62
iv
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1.
Tujuan P2DTK ................................................................................... 11
2.
GDP sebagai penyebab inflasi ........................................................... 33
3.
Kerangka Pemikiran Koseptual.......................................................... 38
4.
Pengujian Pemilihan Model dalam Pengolahan Data Panel .............. 44
5.
PDRB Riil Empat Propinsi di KTI ..................................................... 51
6.
Kondisi Infrastruktur Listrik Empat Propinsi di KTI ........................ 53
v
LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1.
Data ........................................................................................................ 72
2.
Hasil Estimasi Output dengan Dependent Variable (PDRB) dengan menggunakan model efek tetap dengan pembobotan Cross Section Weights dan White Cross Section Covariance ............... 74
3.
Hasil Estimasi Fungsi dengan Dependent Variable Listrik (LS) dengan menggunakan Model Efek Tetap dengan Pembobotan Cross Section Weights dan White Cross Section Covariance ............... 75
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Pembangunan di bidang ekonomi maupun sosial, yang dilaksanakan di
Indonesia merupakan upaya untuk mewujudkan tujuan masyarakat adil dan makmur. Indonesia mengalami pergolakan yang luar biasa beberapa tahun terakhir ini diikuti perubahan transformasi politik dan ekonominya. Sumber daya alam, iklim, dan kebudayaan di negara ini sangat berbeda antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya, demikian pula halnya dengan potensi untuk pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan. Pembangunan ekonomi masyarakat merupakan berbagai upaya untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan hidup masyarakat di wilayahnya, memperkecil kesenjangan pertumbuhan, dan ketimpangan kesejahteraan antar wilayah. Pembangunan ekonomi tidak dapat secara sederhana diartikan dengan pertumbuhan ataupun industrialisasi, karena pembangunan ekonomi berarti pertumbuhan ditambah dengan terjadinya perubahan-perubahan (growth plus change), karena adanya dimensi-dimensi kualitatif yang cukup penting dalam proses pembangunan tersebut. Disadari bahwa dalam proses pembangunan seringkali terjadi dampak yang tidak diinginkan oleh masyarakat seperti ketimpangan dalam distribusi pendapatan, ketidakadilan dan kemiskinan (Jusmaliani, 2001). Selain itu pula, dalam mengkaji pembangunan ekonomi harus berdasarkan pengamatan terhadap kondisi internal, sekaligus mengantisipasi perkembangan eksternal. Faktor-faktor internal meliputi pola-pola pengembangan SDM,
2
informasi pasar, sumber daya modal dan investasi, kebijakan dalam investasi, pengembangan infrastruktur, pengembangan kemampuan kelembagaan lokal dan kepemerintahan, serta berbagai kerjasarna dan kemitraan. Sedangkan faktor eksternal meliputi masalah kesenjangan wilayah dan pengembangan kapasitas otonomi daerah, perdagangan bebas, serta otonomi daerah. Sejak akhir dasawarsa delapan puluhan perhatian berbagai pihak terhadap persoalan di Kawasan Timur Indonesia mulai mendapat perhatian yang lebih besar dalam upaya pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi didefinisikan sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup perubahan struktur, sikap hidup dan kelembagaan, selain mencakup peningkatan pertumbuhan ekonomi, pengurangan
ketidakmerataan
distribusi
pendapatan
dan
pemberantasan
kemiskinan. Secara administratif, Kawasan Timur Indonesia (KTI) meliputi 16 wilayah Propinsi yang membentang dari Kalimantan hingga Irian, kecuali Bali. Dilihat dari aspek geografis luas wilayah KTI mencakup hampir 68,75 persen wilayah Nusantara, dan hanya didiami oleh kurang lebih 20 persen total penduduk Indonesia. Sementara, Jawa, Bali dan Sumatera dengan luas wilayah kurang lebih 31,25 persen dari wilayah Nusantara dihuni oleh kurang lebih 80 persen total penduduk Indonesia. Wilayah yang luas dan ditambah dengan melimpahnya kekayaan sumberdaya alam. Sangat ironis sekali jika pembangunan KTI lambat. Lambatnya arus investasi di KTI sehingga menyebabkan pembangunan KTI sangat tertinggal dibanding KBI dapat diindentifikasi beberapa faktor utama penyebabnya, antara lain yaitu: (1) terbatasnya sarana dan prasarana (infrastruktur) seperti transportasi
3
darat, laut dan udara dan telekomunikasi, serta tersedianya tenaga listrik yang sangat berpengaruh terhadap berbagai aspek yang dapat mendorong pertumbuhan misalnya, mengurangi minat investor untuk menginvestasikan modalnya di KTI, meningkatnya biaya produksi, dan menurunkan daya saing produk yang dihasilkan oleh KTI; (2) terbatasnya sarana pendidikan dan tenaga pendidik yang berkualitas, yang berakibat terhadap rendahnya kualitas SDM yang sangat dibutuhkan untuk pembangunan KTI; (3) terbatasnya kewenangan pengambilan keputusan seperti di bidang perbankan, berbagai perijinan dan lain-lain di KTI, sehingga proses pengambilan keputusan memakan waktu lama karena harus diputuskan oleh Pusat. Di samping itu, hal ini menyebabkan tingginya biaya operasional dari para pengguna jasa tersebut; dan (4) kondisi sosial dan keamanan di beberapa daerah yang belum kondusif, telah menyebabkan keengganan investor untuk menanamkan modalnya di KTI (Setiono, 2001). Lebih lanjut, Krisis ekonomi tahun 1997-1998 yang menyebabkan triple deficit, yakni kesenjangan antara investasi dengan tabungan, defisit anggaran negara (APBN), dan defisit transaksi berjalan current account secara simultan atau pada waktu yang bersamaan, merupakan faktor utama terhentinya infrastruktur fisik di Indonesia. Menurut Bappenas (2003), krisis juga telah melonjakkan ongkos sosial politik dan biaya ekonomi yang sangat mahal. Dari sisi hutang akibat depresiasi rupiah terlihat kenaikan sebesar Rp 1 284 triliun (Rp 714.8 triliun hutang domestik dan US$ 63.9 miliar hutang luar negeri keduanya pada posisi Maret 2003), atau mencapai 76 persen dari PDRB (2002). Beban hutang ini membahayakan kesinambungan fiskal, serta mengurangi kemampuan
4
APBN
dalam
membiayai
pembangunan,
memutar
roda
perekonomian,
menyediakan lapangan kerja dan memelihara infrastruktur. Dalam RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) Nasional Tahun 2004-2009 (Perpres Nomor 7 Tahun 2005) mengidentifikasi terdapat 199 (43 persen) kabupaten tertinggal, dengan komposisi (KTI 62 persen, dan KBI 38 persen). Salah satu permasalahan yang dihadapi adalah dalam aspek infrastruktur (sarana dan prasarana) terutama transportasi darat, laut dan udara; telekomunikasi, dan energi, serta keterisolasian daerah. Percepatan Pembangunan Infrastruktur terkonsentrasi di 148 kabupaten. Infrastruktur
merupakan
roda
penggerak
pertumbuhan
ekonomi.
Telekomunikasi, listrik dan air merupakan elemen sangat penting dalam proses produksi dari sektor-sektor ekonomi seperti perdagangan, industri dan pertanian. Keberadaan infrastruktur akan mendorong terjadinya peningkatan produktivitas bagi faktor-faktor produksi, dan sebaliknya apabila mengabaikannya akan menurunkan produktivitasnya (Bappenas, 2003). Sebelum krisis di Asia tahun 1997, Indonesia mengalami pertumbuhan tahunan untuk konsumsi listrik lebih dari 13 persen, pencapaian puncaknya adalah pada tahun 1994-1995 di atas 15 persen. Sebagai jawaban atas pertumbuhan ini, PLN mengarah ke Independent Power Producers (IPPs) untuk meningkatkan persediaan daya listrik. Pada saat krisis, pertumbuhan terhadap permintaan listrik menurun drastis untuk disebabkan kelebihan kapasitas, terutama sekali pada sistem JAMALI (Jawa, Madura, dan Bali). Sebagai tambahan, rata-rata tarif yang dikeluarkan PLN sendiri menjadi terlalu fluktuatif, karena nilai tukas dollar AS terhadap rupiah menguat tajam (Sector Review, 2006). Hal ini terkesan bahwa
5
Kawasan Barat Indonesia (khususnya JAMALI) mendapat perhatian lebih dari pemerintah pusat dibandingkan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Fakta ini menyebabkan pemerataan pembangunan tidak terealisasi. Di bidang infrastruktur jalan, kondisi penurunan kualitas dan kuantitas layanan jalan semakin mengkhawatirkan. Berdasarkan data BPS tahun 2003 dan data KMPU tahun 2006 memperlihatkan infrastruktur jalan berada dalam keadaan kritis akibat kurangnya perhatian pemerintah terhadap rehabilitasi, penyimpangan administrasi operasional angkutan muatan-muatan berat (DLLAJ) dan tidak dipungkiri bahwa buruknya kualitas konstruksi. Tabel 1. Panjang Jalan dan Kondisi Kerusakan Jaringan Jalan Nasional Tahun 2003 dan Tahun 2006 Tahun Jenis Jalan Panjang Baik Sedang Rusak Rusak (km) (%) (%) (%) Berat (%) 2003 Jalan Nasional 27730 60.8 21.9 10.0 7.3 Jalan Propinsi 47318 51.9 27.6 14.2 6.3 Jalan Kab/Kota 290283 36.2 26.2 22.1 15.5 TOTAL 365331 40.1 26.1 20.1 13.7 2006 Jalan Nasional 34.629 37.4 44.0 7.7 10.0 Jalan Propinsi 46499 27.5 35.3 14.4 22.7 Jalan Kab. 267113 17.0 26.4 21.9 34.7 Kota 25518 9.0 87.0 4.0 0.0 Tol 649 100.0 0.0 0.0 0.0 TOTAL 348241 20.0 33.7 18.2 28.1 Sumber: BPS (2003) dan KMPU (2006)
Tabel 1 memperlihatkan pada tahun 2003 sekitar 59,9 persen jaringan jalan rusak ringan dan rusak berat, dan yang paling parah terjadi pada tahun 2006 dimana kondisi jalan rusak mencapai 80 persen. Seharusnya hal ini dapat menjadi perhatian pemerintah terhadap pengembangan infrastruktur kedepannya. Pembangunan sarana dan prasarana sangat penting untuk dilakukan lebih efektif dan komprehensif. Oleh sebab itu, percepatan pembangunan nasional, khususnya KTI merupakan agenda penting dalam proses pembangunan bangsa
6
Indonesia. Selain untuk mengatasi persoalan ketimpangan pembangunan yang begitu lebar, upaya tersebut merupakan langkah strategis untuk membangun fondasi yang kokoh bagi pembangunan bangsa Indonesia di masa depan. Semangat persatuan dan kesatuan pula yang melandasi pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi, berdasarkan Undang-undang nomor 32 dan nomor 33 tahun 2004, memberikan wewenang yang lebih luas kepada pemerintah daerah dalam mengelola sumber daya daerah baik yang menyangkut aspek administrasi, institusi maupun keuangan. Otonomi daerah adalah suatu keadaan yang memungkinkan daerah dapat mengaktualisasikan segala potensi terbaik yang dimilikinya secara optimal. Hal ini dimaksudkan agar kebijakan otonomi daerah memberikan dampak positif terhadap pembangunan di daerah.
Pentingnya misi pembangunan tersebut,
didasarkan pada kenyataan bahwa beratnya permasalahan pembangunan yang dihadapi KTI, di satu pihak, dan besarnya potensi pembangunan yang ada di kawasan tersebut, di lain pihak. Sehingga diperlukan upaya untuk meningkatkan investasi di KTI dan apabila diperlukan proses pengolahan lebih lanjut, maka hal itu harus dilakukan di daerah atau lokasi yang bersangkutan. Upaya meningkatkan investasi untuk menjadi stimulus pertumbuhan perekonomian, khususnya di KTI tampaknya tidak mudah, dan untuk itu, harus memenuhi beberapa kondisi; pertama, perlu penyiapan kondisi daerah sasaran untuk dapat menghasilkan produktivitas modal yang optimal, dalam arti efisien secara teknis maupun secara ekonomis. Kedua, peningkatan produktivitas modal tersebut dapat dicapai apabila mampu menstimulasi terjadinya aliran investasi
7
yang berkelanjutan. Di samping itu, beberapa faktor seperti yang telah disebutkan di atas patut pula dipertimbangkan. Hampir di semua daerah di KTI dapat dikatakan tidak memiliki infrastruktur yang memadai seperti KBI. Padahal, untuk dapat menghasilkan produktivitas modal yang optimal dalam arti efisien secara teknis dan ekonomis, kebutuhan akan infrastruktur, seperti jalan raya, pelabuhan laut dan udara, sarana telekomunikasi dan lain-lain, merupakan kebutuhan yang mutlak. Kondisi di atas masih ditambah lagi dengan “masalah sosial dan keamanan” yang selalu dipertanyakan oleh setiap investor yang akan menanamkan modalnya ke KTI. Berdasarkan penjelasan diatas terkait antara otonomi daerah terhadap pengembangan infrastruktur (kapasitas produksi listrik) dan pertumbuhan perekonomian di Kawasan Indonesia Timur, menarik untuk dikaji seberapa jauh pengaruh
otonomi
daerah
terhadap
pengembangan
infrastruktur
dan
perekonomian di KTI (Kawasan Timur Indonesia), sebagai salah satu instrumen kebijakan pembangunan di Indonesia. Sehingga adanya kajian dampak otonomi daerah terhadap pengembangan infrastruktur dan perekonomian Kawasan Timur Indonesia menjadi penting untuk dipahami sehingga diharapkan ada solusi yang tepat pada perumusan kebijakan dan implementasinya terhadap pembangunan di KTI secara khusus. Dengan demikian, pada gilirannya selain diharapkan dapat meningkatkan pembangunan ekonomi daerah yang bersangkutan, sekaligus dapat mendukung peningkatan ekonomi nasional, yang hingga saat ini dirasakan sangat lambat pertumbuhannya
8
1.2.
Perumusan Masalah Pemerintah merevisi UU No. 22/1999 dan UU No. 23/1999 menjadi UU
No. 32/2004 dan UU No. 33/2004 adalah sebagai bentuk kesungguhan pemerintah untuk melaksanakan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang lebih merata di semua daerah di Indonesia. Pertumbuhan dan pengembangan ekonomi, investasi asing, pengentasan kemiskinan dan mutu lingkungan hidup tidak lepas dari pengaruh oleh ketersediaan infrastruktur di suatu daerah atau negara. Menurunnya kemampuan keuangan pemerintah saat ini menyebabkan memburuknya kualitas pelayanan infrastruktur dan tertundanya pembangunan infrastruktur baru. Akibatnya, kondisi infrastruktur Indonesia terpuruk dimanamana dan mutu infrastruktur Indonesia menduduki peringkat terendah dikawasan Asia. Tabel 2. PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Propinsi 2006 (juta rupiah) Wilayah 2002 2003 2004 2005 Sumatera 330118058 344650797 355790477 369611194 Jawa&Bali 885589865 929190759 980414553 1033721953 Kalimantan 138979048 142707078 146934356 154683595 Sulawesi 62703671 65997693 69741906 74093917 Lainnya 52179530 53674898 54444173 57976830 KBI 1215707923 1273841556 1336205030 1403333147 KTI 253862249 262379669 271120435 286754342 Total 1506124383 1579558902 1660578841 1690087489 Sumber : BPS 2004-2007 (data diolah).
Tahun 20022006 389297240 1093195036 160483418 79243769 55530348 1482492776 295257535 1777749811
Permasalahan aspek sarana dan prasarana (infrastruktur) merupakan hal yang sangat dilematis, karena dapat menghambat pertumbuhan perekonomian didaerah maupun nasional. Ketersediaan akses terhadap fasilitas serta jasa pelayanan infrastruktur merupakan salah satu faktor utama menciptakan pertumbuhan dan kesejahteraan suatu wilayah/daerah. Di era otonomi daerah ini,
9
pelaksana utama pembangunan daerah adalah kabupaten, karena dalam pengambilan keputusan bottom up, aspirasi masyarakat dapat tersinergiskan dengan baik. Pemerataan pembangunan di Indonesia memang belum secara menyeluruh dapat diimplementasikan secara cepat oleh pemerintah, sehingga masih saja ada kesenjangan antar wilayah di Indonesia. Pada Tabel 2. terlihat bahwa dari tahun 2002-2006 masih terjadi ketimpangan pertumbuhan ekonomi antara KTI dan KBI, di KBI terjadi kenaikan rata-rata PDRB tiap tahun sekitar Rp. 66.696.213,25 (Juta) sedangkan KTI kenaikan rata PDRB tiap tahun hanya Rp. 10.348.821,5 (Juta). Tabel 3. Rincian Lokasi P2DTK Tahun 2008 Program
Provinsi
Jumlah Kab
Bengkulu Lampung NTT Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Sulawesi Tengah Maluku Maluku Utara KBI KTI Sub Total 8 Provinsi Sumber: Kementrian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal Pemulihan dan Pertumbuhan Sosial Ekonomi Daerah-Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK)
3 3 6 3 3 4 5 5 6 26 32
Jumlah Jumlah Kec Desa 18 295 17 188 29 373 28 344 17 254 25 345 32 383 20 317 35 483 151 2.016 186 2.499
Sampai dengan tahun 2008 (Tabel 3), identifikasi yang dilakukan pemerintah
menghasilkan
klasifikasi
daerah-daerah
tertinggal.
Program
pemerintah dalam mengatasi hal ini yaitu dengan Pemulihan dan Pertumbuhan Sosial Ekonomi Daerah-Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK), dalam program P2DTK merinci lokasi/ daerah tertinggal. Identifikasi hasil, ternyata daerahdaerah tertinggal di KTI (NTT, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi
10
Tengah, Maluku, dan Maluku Utara) lebih banyak daripada KBI (Bengkulu dan Lampung). KTI mendominasi 6 provinsi (26 kabupaten, terdiri dari 151 kecamatan yang mewakili 2.016 desa) dan 2 provinsi (6 kabupaten, terdiri dari 35 kecamatan yang mewakili 483 desa) di KBI.
Gambar 1. Menggambarkan tujuan
P2DTK yang pada intinya ingin mendorong perbaikan kualitas proses musyawarah perencanaan pembangunan dari tingkat desa hingga kabupaten dan provinsi. Dimana salah satu kegiatan utama/instrumennya adalah percepatan pembangunan infrastruktur (penyediaan sarana dan prasarana sosial dasar). Lebih lanjut, otonomi daerah di satu pihak harus menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional di daerah, dan dilain pihak terbukanya peluang bagi pemerintah daerah mengembangkan kebijakan regional dan lokal untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi di daerahnya. Dalam konteks ini, otonomi daerah akan memungkinkan lahirnya prakarsa pemerintah daerah untuk menawarkan fasilitas investasi, memudahkan proses perijinan usaha, dan membangun berbagai infrastruktur yang menunjang perputaran ekonomi di daerahnya. Dengan demikian otonomi daerah akan membawa masyarakat ke tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi dari waktu ke waktu. Namun terdapat permasalahan dalam kaitan dengan pembangunan dan pengelolaan infrastruktur adalah perubahan sistem politik ke arah otonomi daerah. Otonomi daerah telah mengubah pola pemerintahan Indonesia, dimana wewenang pemerintahan daerah menjadi lebih besar dalam mengelola infrastruktur. Namun tingginya ketergantungan fiskal daerah terhadap pusat terutama dari dana perimbangan (Bappenas, 2003) memberikan konsekuensi pendanaan infrastruktur kepada pemerintah pusat. Dalam hal ini dibutuhkan untuk mendefinisikan secara
11
lebih
baik
tanggung
jawab
dari
berbagai
level
pemerintahan,
untuk
mengembangkan penerapan transfer financial dari pusat, untuk meningkatkan kerjasama yang efektif antar daerah, dan untuk membangun kapasitas badanbadan regional (Yanuar, 2006).
TUJUAN P2DTK Mempercepat Pemuliahan dan Pertumbuhan Sosial Ekonomi Daerah-Daerah Tertinggal dan
Meningkatkan
Memberdaya
Melembagakan
Memperbesar
Meningkatkan
Kapasitas
kan masyarakat
pelaksanaan
akses
kemudahan
Pemerintah
dan lembaga
pembangunan
masyarakat
hidup
daerah dalam
masyarakat
partisipatif
terhadap
masyarakat
memfasilitasi
dalam
untuk menjalin
keadilan.
miskin dengan
Gambar 1. Tujuan P2DTK Sumber: Kementrian Negara Pembangunan Desa Tertinggal
Demikian pada gilirannya permasalahan yang cukup serius untuk dapat dikaji adalah penyediaan kapasitas produksi listrik dalam meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi infrastruktur di daerah-daerah di KTI dengan implikasi otonomi daerah. Berdasarkan uraian permasalahan diatas, maka permasalahan pokok yang ada dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah otonomi daerah berpengaruh terhadap pertumbuhan perekonomian dan pengembangan kapasitas produksi listrik di KTI?
12
2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pertumbuhan perekonomian dan pengembangan kapasitas produksi listrik di KTI?
1.3.
Tujuan Penelitian Tujuan dari penulisan ini adalah : 1. Menganalisis dampak otonomi daerah terhadap pertumbuhan ekonomi dan penyediaan kapasitas produksi listrik di KTI. 2. Menganalisis
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
pertumbuhan
perekonomian dan pengembangan kapasitas produksi listrik di KTI.
1.4.
Kegunaan Penelitian Secara umum hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai
bahan masukan bagi kebijakan pembangunan pemerintah terutama terkait pembangunan infrastruktur (kapasitas produksi listrik) di KTI yang kurang memadai. Sasaran yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah ingin menunjukkan bahwa pembangunan di KTI tidak akan berhasil jika tidak dibangun secara bersamaan dan berkelanjutan. Dan secara khusus manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Dalam era otonomi daerah ini peran wilayah semakin besar sehingga hasil penelitian ini diharapkan menjadi sumbangan bagi penentuan prioritas pembangunan kapasitas produksi listrik di daerah yang dijadikan roda penggerak pertumbuhan ekonomi. 2. Diharapkan penelitian ini menjadi sumber referensi dan informasi tambahan bagi penelitian lanjutan khususnya terkait masalah pertumbuhan
13
ekonomi dan pengembangan infrastruktur khususnya kapasitas produksi listrik.
1.5.
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini menggunakan data sekunder dari berbagai sumber yang
tersedia, dan akan mengkaji dampak otonomi daerah terhadap pengembangan infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi wilayah. Penelitian ini membatasi wilayah KTI yang seharusnya 16 provinsi namun yang dibahas dalam penelitian ini hanya 4 provinsi dari 6 provinsi yang ditetapkan Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal dalam rapat koordinasi nasional. Pemilihan ini didasarkan atas ketersediaan data. Penelitian ini membatasi definisi infrastruktur kepada infrastruktur fisik (panjang jalan, listrik, air bersih) ditambah dengan infrastruktur yang bersifat sosial (pendidikan dan kesehatan). Selain itu, model estimasi tentang pengembangan infrastruktur, hanya mengestimasi pengembangan infrastruktur kapasitas produksi listrik. Model ekonomi yang coba dikembangkan akan sangat dipengaruhi oleh ketersediaan data, hasil estimasi model dan dasar teori yang berkembang.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Konsep Otonomi Daerah Orde Baru akhirnya jatuh berkat tekanan dari masyarakat. Setelah Orde Baru
berakhir, demokratisasi dan desentralisasi mengalami kebangkitan. Di tingkat pusat, setelah melewati transisi, sudah terbentuk rezim yang demokratis, meskipun masih terbatas. Otonomi daerah juga memperoleh ruang yang lebih lebar dibandingkan masa sebelumnya. Hubungan pusat-daerah yang hirarkis-sentralistis selama Orde Baru kini digerogoti oleh kekuatan pendukung otonomi daerah, yang memaksa pemerintah pusat melakukan transfer kekuasaan yang lebih besar pada daerah. Keluarnya dua undang-undang, UU No. 22/1999 tentang Otonomi Daerah dan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, dan pada tahun 2004 dikeluarkan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara pusat dan daerah sebagai penyempurnaannya, setidaknya merupakan garansi formal pemotong mata rantai hirarkhi dan sentralisasi yang memungkinkan perluasan otonomi daerah. Dengan otonomi yang semakin luas, sebagaimana dikemas secara formal dalam UU baru, daerah bisa membentuk pemerintahan sendiri, legislatif yang semakin kuat, daerah bisa mengelola keuangan sendiri, dan semakin mendekatkan pelayanan pada masyarakat. Dijelaskan pada UU No. 22/1999, pengertian otonomi daerah adalah “penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan
15
Republik Indonesia”. Menurut Sembiring (2006), penyelenggaraan pemerintah di daerah ditopang oleh Pemerintah Daerah. Menurut UU No. 25/1999 (juga terdapat dalam UU No. 22/1999) penerimaan daerah: 1. Pendapatan Asli Daerah; 2. Dana Perimbangan; 3. Pinjaman daerah; dan 4. Lain-lain penerimaan yang sah. Pendapatan Asli Daerah (PAD) semestinya merupakan pendapatan utama daerah. Dalam era yang disebut “era otonomi daerah” besar kecilnya PAD dapat dijadikan sebagai tolok ukur kadar keotonomian suatu daerah. Namun kenyataan yang ada di Indonesia selama ini, menunjukkan bahwa justru PAD ini merupakan bagian kecil (sekitar 30 persen) dari penerimaan daerah, sisanya adalah dana perimbangan. Dana perimbangan berasal dari alokasi APBN baik yang berasal dari pengelolaan sumberdaya daerah maupun bukan. Secara garis besar, komponen dana perimbangan dapat dirinci menjadi: 1. Bagi hasil pajak dan bukan pajak; 2. Dana Alokasi Umum; dan 3. Dana Alokasi Khusus. Komponen bagi hasil pajak dan bukan pajak terdiri dari bagian daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), bea perolehan atas hak tanah dan bangunan dan penerimaan dari sumber daya alam.
16
Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Melalui DAU ini diharapkan kesenjangan pendapatan antara pemerintah daerah dapat dikurangi, sehingga ketimpangan ekonomi antar daerah dapat dikurangi pula. Dana Alokasi Khusus (DAK) dialokasikan dari APBN kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan tertentu. Disebut khusus karena kebutuhan yang dibiayai bersifat khusus, berbeda antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya. Oleh karena itu pembiayaan DAK biasanya mendahulukan kebutuhan yang sudah menjadi komitmen dan prioritas nasional. Termasuk dalam DAK adalah dana reboisasi. Pembagian dana reboisasi ini mengikuti ketentuan imbangan 40 persen untuk daerah penghasil DAK dan 60 persen untuk Pemerintah Pusat. Sedangkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang seharusnya menjadi sumber utama pendapatan daerah, terdiri dari komponen-komponen: 1. Pajak daerah; 2. Retribusi daerah; 3. Perusahaan milik daerah; 4. Kekayaan daerah; 5. Lain-lain PAD. Dalam operasionalnya dijelaskan pada UU No.32/2004, dimana dijelaskan pada tabel 4. Sebagai berikut:
17
Tabel 4. Rincian Operasional BAB II (Pasal 5 ayat 2, 4 dan 5) (Tentang Pembentukan Daerah dan Kawasan Khusus) ¾ Syarat administratif untuk provinsi meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan Bupati/Walikota yang akan menjadi cakupan wilayah provinsi, persetujuan DPRD propinsi induk dan Gubernur, serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri. ¾ Syarat teknisnya meliputi faktor yang menjadi dasar pembentukan daerah yang mencakup faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. ¾ Syarat fisiknya meliputi paling sedikit 5 (lima) kabupaten/kota untuk pembentukan propinsi dan paling sedikit 5 (lima) kecamatan untuk pembentukan kabupaten, dan 4 (empat) kecamatan untuk pembentukan kota, lokasi calon ibukota, sarana, dan prasarana pemerintah. Sumber: Sembiring, 2006.
BAB III (Pasal 13 ayat 1(a,b,d,f, dan n)) (Tentang Pembagian Urusan Pemerintah) ¾ Perencanaan dan pengendalian pembangunan. ¾ perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang. ¾ Penyediaan sarana dan prasarana umum. ¾ Penanganan bidang kesehatan. ¾ Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial. ¾ Pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota.
Studi yang dilakukan oleh Eko (2005), mengungkapkan otonomi daerah dan demokrasi adalah satu “tarikan nafas”, yang ditentukan “oleh” rakyat, berasal “dari” rakyat dan akhirnya dikembalikan “untuk” rakyat. Tetapi ada sebagian orang bilang bahwa desentralisasi itu hanya urusan elite-elite daerah dan pada akademisi di perguruan tinggi. Orang-orang di luar itu kelihatan tidak terlalu butuh. Rakyat kelihatannya tidak butuh desentralisasi dan demokrasi. Yang dibutuhkan rakyat adalah kemakmuran dan kesejahteraan. Keraguan orang akan desentralisasi dan keyakinan pada sentralisasi itu adalah mitos, yaitu mitos tentang demokrasi di banyak negara tebelakang termasuk di kawasan Afrika. Orang Afrika, seperti di Indonesia, tidak butuh demokrasi atau desentralisasi, tetapi hanya butuh makan.
18
Tetapi seperti dituturkan seorang filsof terkenal, Hook dalam Eko (2005), banyak orang mengklaim bahwa makan lebih penting ketimbang kebebasan, tapi barang siapa yang menyerahkan kebebasannya hanya untuk makan, maka akhirnya mereka tak akan memperoleh makan dan kebebasan. Fatwa ini sudah terbukti dengan baik di zaman Orde Baru. Pembangunan memang tidak membawa hasil yang besar. Tetapi itu hanya sebuah “balon” yang gampang pecah. Setelah terjadi krisis besar, kita baru sadar bahwa kita ternyata tidak memperoleh kebebasan dan makan. Banyak orang jatuh miskin baik secara ekonomi maupun politik. Dengan demikian, demokrasi dan desentralisasi jauh lebih penting ketimbang sekadar makan atau kemakmuran sekalipun. Sejarah telah mencatat bahwa negerinegeri yang makmur di belahan dunia ini sebagian besar adalah yang menganut demokrasi dan desentralisasi. Sebaliknya negeri-negeri yang miskin di belahan dunia ini sebagian besar adalah yang non demokratis. Oleh karena itu, demokrasi akan mampu meningkatkan kemakmuran. Demikian juga dengan desentralisasi, yang akan meningkatkan kemakmuran bagi masyarakat lokal, ketimbang mereka hidup dalam formasi negara yang sentralistik (Eko, 2005).
2.2.
Konsep Pertumbuhan Ekonomi S. Kuznets dalam M.L Jhingan mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebagai
”kenaikan jangka panjang dalam kemampuan suatu negara untuk menyediakan semakin banyak jenis barang-barang ekonomi kepada penduduknya” kemampuan ini tumbuh sesuai dengan kemajuan teknologi dan penyesuaian kelembagaan dan ideologis yang diperlukannya. Dalam penjelasan sebelumnya ia mendefinisikan
19
pertumbuhan ekonomi sebagai ”suatu kenaikan terus-menerus dalam produk per kapita atau per pekerja, seringkali dibarengi kenaikan jumlah penduduk dan biasanya dengan perubahan struktural. Definisi ini memiliki 3 (tiga) komponen: pertama, pertumbuhan ekonomi suatu bangsa terlihat dari meningkatnya secara terus-mnenerus persediaan barang; kedua, teknologi maju merupakan faktor dalam pertumbuhan ekonomi yang menentukan derajat pertumbuhan kemampuan dalam penyediaan aneka macam barang kepada penduduk; ketiga, penggunaan teknologi secara luas dan efisien memerlukan adanya penyesuaian di bidang kelembagaan dan ideologi sehingga inovasi yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan ummat manusia dapat dimanfaatkan secara tepat. Pertumbuhan ekonomi modern merupakan pertanda penting di dalam kehidupan perekonomian. Terdapat enam ciri untuk menunjukkan pertumbuhan ekonomi modern yang muncul dalam analisa yang didasarkan pada produk nasional dan komponennya, penduduk, tenaga kerja, dan sebangsanya. Yaitu: 1. Laju Pertumbuhan Penduduk dan Produk Per Kapita 2. Peningkatan Produktivitas 3. Laju Perubahan Struktural yang Tinggi 4. Urbanisasi 5. Ekspansi Negara Maju 6. Arus barang, Modal, dan Orang Antarbangsa Dari keenam ciri tersebut, dua diantaranya adalah kuantitatif yang berhubungan dengan pertumbuhan produk nasional dan pertumbuhan penduduk, yang dua berhubungan dengan peralihan struktural dan dua lagi dengan penyebaran
20
internasional. Keenam ciri pertumbuhan ekonomi modern tersebut diatas saling terkait, keenamnya terjalin dalam urutan sebab-akibat. Dengan rasio yang stabil antara tenaga kerja terhadap penduduk total, laju kenaikan produk per kapita menjadi tinggi. Sedangkan, Pertumbuhan Ekonomi menurut (Todaro, 2003) menyatakan bahwa, faktor utama atau komponen pertumbuhan ekonomi setiap negara: 1. Akumulasi modal yang meliputi semua investasi baru berupa tanah dan sumberdaya manusia. 2. Pertumbuhan penduduk. Faktor ini juga akan mengakibatkan pertumbuhan angkatan kerja meskipun dengan tenggang waktu, secara tradisional dianggap merupakan faktor positif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. 3. Kemajuan di bidang teknologi, dapat disebut sebagai cara baru dan cara yang lebih baik untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan berproduksi, atau untuk menghasilkan suatu barang. Dalam studi lain, para ahli ekonomi menganggap faktor produksi sebagai kekuatan utama yang mempengaruhi pertumbuhan. Laju pertumbuhan ekonomi jatuh atau bangunnya merupakan konsekuensi dari perubahan yang terjadi di dalam faktor produksi tersebut. Beberapa faktor produksi tersebut dibagi menjadi faktor ekonomi (sumber alam, akumulasi modal, organisasi, kemajuan teknologi, pembagian kerja dan skala produksi) sedangkan faktor non ekonomi (faktor sosial, faktor manusia, faktor politik dan administratif). Pertumbuhan ekonomi yang cepat merupakan dasar terselenggaranya penelitian ilmiah yang pada gilirannya akan mendorong inovasi teknologi yang nantinya akan memutar baling-baling pertumbuhan ekonomi secara
21
berkelanjutan, agar tercapai efisiensi dalam membangun ekonomi nasional sehingga terjadi peningkatan daya saing.
2.3.
Infrastruktur Infrastruktur adalah suatu rangkaian yang terdiri atas beberapa bangunan fisik
yang masing-masing saling mengkait dan saling ketergantungan satu sama lainnya. Pembangunan infrastruktur tentu didasarkan atas gagasan, maksud dan tujuan tidak saja bermanfat untuk suatu golongan saja namun harus mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas. Tolok ukur keberhasilan pembangunan infrastruktur adalah sejauh mana pemanfaatan dan dampaknya terhadap dinamika pembangunan ekonomi masyarakat meningkat. Keterkaitan fungsi diantara infrastruktur yang ada sangat menentukan tingkat kemanfaatannya (Sibarani, 2002). Investasi pemerintah pada umumnya berbentuk infrastruktur seperti jalan, pelabuhan, dan listrik yang dibutuhkan oleh masyarakat dan dunia usaha untuk melakukan kegiatan produksi dan investasi. Secara umum infrastruktur dapat didefinisikan sebagai fasilitas fisik dalam mengembangkan atau membangun pelayanan publik melalui penyediaan barang dan jasa untuk umum. Menurut Jan Jacobs et. al dalam Sibarani (2002) infrastruktur dapat digolongkan menjadi dua bagian yaitu: 1. Infrastruktur dasar (basic infrastructure) mencakup sektor-sektor publik dan keperluan
mendasar
untuk
sektor
perekonomian,
yang
tidak
dapat
diperjualbelikan (non tradable) dan tidak dapat dipisah-pisahkan secara teknis
22
maupun spasial, contoh: jalan raya, kereta api, kanal, pelabuhan laut, drainase, bendungan, dan sebagainya. 2. Infrastruktur pelengkap (complementary infrastructure) seperti gas, listrik, telepon dan pengadaan air minum. Menurut Basri (2002), kategori infrastruktur adalah jalan raya, rel kereta api, pelabuhan laut, bandar udara, alat pengangkutan dan telekomunikasi. Selain itu, ada infrastruktur lain yaitu listrik, instalasi pipa air dan pipa gas. Infrastruktur merupakan instrumen untuk memperlancar roda perekonomian sehingga bisa mempercepat akselerasi pembangunan. Tersedianya infrastruktur yang memadai akan menstimulasi pembangunan daerah.
Sebaliknya, pembangunan daerah yang berjalan cepat
mengindikasikan perlunya perbaikan dan pembangunan infrastruktur agar proses pembangunan tidak tersendat. Bappenas (2003), menyatakan bahwa secara umum paling tidak terdapat tiga dimensi relasi antara ekonomi dan infrastruktur, yaitu: (a) kegiatan ekonomi, seperti halnya keberadaan jalan, jembatan, listrik dan telepon yang mendasari terciptanya transaksi dalam perekonomian; (b) infrastruktur juga merupakan input produksi, seperti halnya penggunaan listrik untuk proses produksi di semua industri; (c) akses terhadap infrastruktur menentukan tingkat kesejahteraan masyarakat, dalam hal ini misalnya; peran air minum dan sanitasi yang baik, layanan transportasi dan listrik yang merupakan kebutuhan dasar masyarakat modern. The World Bank dalam Bappenas membagi infrastruktur menjadi (The World Bank, 1994):
23
1. Infrastruktur ekonomi, merupakan infrastruktur fisik yang diperlukan untuk menunjang aktivitas ekonomi, meliputi public utilities (listrik, telekomunikasi, air, sanitasi, gas), public work (jalan, bendungan, kanal, irigasi dan drainase) dan sektor transportasi (jalan rel, pelabuhan, lapangan terbang dan sebagainya). 2. Infrastruktur sosial, meliputi pendidikan, kesehatan, perumahan dan rekreasi. 3. Infrastruktur administrasi, meliputi penegakan hukum, kontrol administrasi dan koordinasi. Dalam setiap pembangunan jenis infrastruktur tidak dapat terlepas begitu saja terhadap infrastruktur yang sudah ada maupun kemungkinannya untuk rencana pengembangan kedepan, sehingga perlunya dibuat Rencana Umum Tata Ruang (RUTR), RUTR adalah acuan yang perlu dipahami dan secara konsisten harus dapat dilaksanakan sesuai yang ditetapkan. Peta asta gatra (geografi, demografi dan kondisi sosial) suatu wilayah baik yang berupa informasi tektual maupun peta rupa bumi adalah merupakan sumber informasi yang perlu diketahui dan diantisipasi dalam saat pembuatan RUTR maupun Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RUTW) karena dari data tersebut dapat diantisipasi tingkat kebutuhan saat sekarang dan yang akan datang, dengan demikian khususnya bagi pengembangan wilayah (RUTRW) sangat dimungkinkan untuk dilaksanakan mulai dari awal secara terprogram dan antisipatif.
2.3.1 Kebutuhan Infrastruktur dalam Pengembangan Wilayah Menurut Mukti, dkk (2001), tanggung jawab pengelolaan Prasarana wilayah yang sebagian besar dialihkan ke daerah, akan dapat mendatangkan keuntungan bagi daerah, sekaligus beban anggaran. Sebab prasarana wilayah dengan biaya
24
pemeliharaan rutin yang cukup besar akan dialihkan ke daerah. Secara umum, peran dan fungsi prasarana wilayah di daerah adalah: a. Fungsi Sosial, yaitu: menyediakan pelayanan jasa kepada masyarakat. b. Fungsi Ekonomi (internal), dimana peranannya adalah: - Mendukung roda perekonomian wilayah; - Mempromosikan pertumbuhan ekonomi wilayah; - Menjaga kontinuitas produksi suatu wilayah; dan - Memperlancar koleksi dan distribusi barang dan jasa. c. Fungsi Ekonomi (eksternal), dimana peranannya adalah: - Meningkatkan aksesibilitas wilayah dengan wilayah sebelah luar; - Mempromosikan perdagangan antar wilayah dan internasional; - Mempromosikan wilayah sebagai daerah tujuan investasi, wisata; dan - Meningkatkan komunikasi dan informasi antar wilayah. Daya saing suatu wilayah dapat diukur melalui beberapa indikator. Salah satu indikator yang cukup penting dan sangat berpengaruh adalah prasarana wilayah. Prasarana wilayah yang akan menciptakan iklim serta mendukung proses produksi unggulan suatu wilayah. Jenis prasarana wilayah yang umumunya dipertimbagkan dalam analisis pengembangan wilayah: 1. Transportasi: darat (jalan raya), laut (pelabuhan) dan udara (bandara); 2. Listrik; 3. Telekomunikasi; 4. Air Bersih/irigasi.
25
2.4.
Konsep Pembangunan Ekonomi Pembangunan adalah upaya multidimensional yang meliputi perubahan pada
berbagai aspek termasuk di dalamnya struktur sosial, sikap masyarakat, serta institusi nasional tanpa mengesampingkan tujuan awal yaitu pertumbuhan ekonomi penanganan ketimpangan pendapatan serta perluasan kesempatan kerja (Todaro, 2003). Pembangunan ekonomi menunjukkan perubahan-perubahan dalam struktur output dan alokasi input pada berbagai sektor perekonomian di samping kenaikan. Jadi pada umumnya pembangunan selalu disertai dengan pertumbuhan, tetapi pertumbuhan belum tentu disertai dengan pembangunan. Dalam
kebijakan
pembangunan
ekonomi
wilayah
diarahkan
untuk
mempercepat pembangunan ekonomi daerah yang efektif dan kuat dengan memberdayakan pelaku dan potensi daerah, serta memperhatikan penataan ruang, baik fisik maupun sosial sehingga terjadi pemerataan pertumbuhan ekonomi sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah; meningkatkan pemanfaatan dan penggunaan tanah secara adil, transparan dan produktif dengan mengutamakan hak-hak rakyat setempat, termasuk hak ulayat dan masyarakat adat, serta berdasarkan tata ruang wilayah yang serasi dan seimbang. Syarat yang diperlukan agar perkembangan dapat berjalan sesuai dengan harapan menurut (Balwin & Meier, 1957) dalam Irawan dan Suparmoko ada 6, yaitu: 1. Endogenous forces (kekuatan dari dalam) untuk berkembang. 2. Mobilitas faktor-faktor pribadi. 3. Akumulasi Kapital. 4. Kriteria atau arah investasi yang sesuai dengan kebutuhan.
26
5. Penyerapan kapital. 6. Stabilitas dan nilai serta lembaga-lembaga yang ada. Dengan demikian, konsep pembangunan ekonomi dan wilayah secara mendasar mengandung prinsip pelaksanaan kebijaksanaan desentralisasi dalam kerangka peningkatan pelaksanaan pembangunan untuk mencapai sasaran nasional yang bertumpu pada trilogi pembangunan, yaitu pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas. Lebih lanjut pembangunan ekonomi dan wilayah merupakan upaya pemerataan pembangunan dengan pengembangan wilayah-wilayah tertentu melalui berbagai kegiatan sektoral secara terpadu, sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu daerah secara efektif dan efisien serta dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Soegijoko, 1997).
2.4.1. Hambatan dan Strategi Pembangunan Ekonomi Pembangunan dalam persepektif perubahan, dalam literatur mana pun dan dalam analsisis siapapun, keberhasilannya baru bisa diukur oleh kualitas perilaku “penyelenggara” pembangunan terhadap masyarakatnya. Parameter kualitas perilaku ini kita dapat lihat dari bagaimana pemerintah memperlakukan masyarakatnya. Apakah masyarakat secara riil menjadi subjek pembangunan atau masih sebagai objek-objek pembangunan? Apakah pembangunan ekploitatif terhadap kepentingan masyarakat atau telah akomodatif terhadap ragam kepentingan masyarakat? Dengan demikian, objektivitas pembangunan tidak bisa diukur melalui pembenaran sepihak. Justifikasi objektivitas pembangunan ditentukan oleh penilaian masyarakat berdasarkan realitas sehari-hari yang dihadapi. Jadi, legitimasi proses pembangunan,
27
kadar objektivitasnya, tidak ditentukan oleh apa yang disuarakan oleh para elit penguasa. Lebih lanjut, berhubungan dengan hal diatas yang juga merupakan penghambat bagi pembangunan ekonomi dan wilayah adalah: Dualisme Ekonomi, Iklim Tropis, Kebudayaan yang tidak Ekonomis, Produktivitas yang rendah, Jumlah Kapital Sedikit, Perdagangan Luar Negeri, Ketidaksempurnaan Pasar, Kesenjangan Pembangunan, Pengangguran, Distribusi Pendapatan dan Tekanan Penduduk (Irawan dan Suparmoko, 1992).
Adanya kesenjangan antar daerah yang dalam
beberapa kasus diyakini sebagai konsekuensi dari pesatnya proses pertumbuhan ekonomi, perhatian pemerintah yang lebih besar pada pembangunan daerah-daerah masih tertinggal, secara khusus Kawasan Timur Indonesia (KTI). Strategi yang perlu diperhatikan dalam pengembangan regional/ wilayah, adalah: 1. Desentralisasi kekuasaan dalam pengeluaran daerah 2. Peningkatan pendapatan daerah • Pengembangan sumberdaya manusia melalui Human Development • Pembangunan ekonomi diarahkan untuk mengurangi kemiskinan sekaligus meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat. • Pembangunan berjalan dengan cara-cara yang dirancang untuk melestarikan keunikan dan keanekaragaman budaya dan tradisi. • Pembangunan mengikuti kaidah-kaidah pembangunan yang berkelanjutan. 3. Pengembangan Kelembagaan: Program pengembangan kelembagaan yang perlu dicapai adalah koordinasi antara kelembagaan, transparansi dan rasa tanggung
28
jawab, profesionalisme oleh pegawai sipil dengan peningkatan standar kinerja dan pengupahan serta pelatihan untuk meningkatkan kemampuan aparat pemerintah sehingga praktek KKN dapat dihilangkan. 4. Keanekaragaman Budaya. • Instrumen adat yang mengatur kegiatan masyarakat. • Pematasan pengunaan lahan dan sungai serta tingkat konsumsi diatur dengan berbagai. • Mekanisasi pelaksanaan instrumen sosial budaya ini beraneka ragam bentuknya dan tidak tertulis. Hal ini semakin kurang efektif terutama di daerah-daerah yang penduduknya semakin heterogen. Menurut Firdaus (2007), Tiga tingkatan rumusan strategi pengembangan KTI yang dilaksanakan secara bersamaan three tiered strategy: 1. Strategi tingkat mikro, tujuan: Mengenali kebutuhan mendesak dan memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, membantu
daerah
dalam
mencapai
kemandirian
ekonomi,
mendorong
pengembangan potensi ekspor daerah, sehingga dapat memberikan kontribusi terhadap perekonomian nasional. 2. Strategi tingkat meso, tujuan: Mewujudkan keterkaitan fisik dan ekonomi antar wilayah agar tercipta pusat-pusat pengembangan antarwilayah termasuk kawasan cepat tumbuh, kawasan perbatasan antar negara dan kawasan andalan.
29
3. Strategi tingkat makro, tujuan: Fokus pada pengembangan prasarana transportasi intra dan antar wilayah sebagai bagian dari sistem transportasi nasional, pemanfaatan SDA secara berkelanjutan dan pelestarian fungsi lingkungan hidup, peningkatan peran sektor swasta, penguatan kelembagaan pemerintah dan masyarakat, termasuk peran serta aktif dari lembaga pendidikan tinggi
terutama dalam kegiatan pelatihan dasar dan
penelitian terapan sebagai bagian dari upaya peningkatan kualitas SDM di KTI.
2.4.2. Otonomi Daerah, Implikasi terhadap Infrastruktur dan Pembangunan Daerah Infrastruktur yang memadai akan memungkinkan diversifikasi produksi, pengembangan perdagangan, pemerataan pembangunan, pengentasan kemisikinan, dan peningkatan kesejahteraan secara umum. Selain itu infrastruktur yang baik akan meningkatkan produktivitas serta menurunkan biaya produksi. Untuk Indonesia hal ini mempunyai imlikasi sendiri. Pemerintah dan seluruh stakeholders harus berperan aktif untuk dapat mengembangkan infrastruktur dalam waktu yang relatif cepat yang konsekuensinya membutuhkan dana yang tinggi agar dapat mengakomodasi pertumbuhan ekonomi selama ini. Hal ini juga dijelaskan oleh PP No.25/2000 tentang kewenangan pemerintah pusat dan propinsi terkait pengelolaan infrastruktur, seperti terlihat pada tabel 4. Keinginan untuk mengurus diri sendiri dengan adanya otonomi daerah ini menimbulkan berbagai persepsi dalam praktiknya. Klaim terhadap batas wilayah dan sumber daya alam juga muncul. Termasuk adanya aspirasi untuk membentuk
30
pemerintahan baru terpisah dari propinsi sebelumnya (Yanuar, 2006). Kegagalan dalam menyediakan infrastruktur yang memadai akan menahan laju pertumbuhan (dinamika usaha dan masyarakat) dan menghambat pemerataan hasil-hasil pembangunan kepada seluruh lapisan masyarakat serta memperlambat pulihnya perekonomian bangsa secara umum. Dalam kaitan ini juga muncul perbedaan pengertian dalam hal pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur baik infrastruktur darat, laut dan udara. Persoalan ini tidak saja terjadi pada infrastruktur yang dikelola oleh pemerintah daerah propinsi, kabupaten dan kota, tetapi juga pada infrastruktur yang sudah dikelola oleh BUMN tertentu yang berada di wilayah propinsi, kabupaten/kota. Untuk aset yang secara hukum menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, tidak dialokasikan dana yang memadai untuk pemeliharaannya. Sebaliknya ada kecenderungan aset infrastruktur yang dikelola BUMN di daerah ingin dikuasai oleh pemerintah daerah (Rahmat Yanuar, 2006). Sri Mulyani (2005) dalam Yanuar (2006) mengatakan bahwa pemerintah telah memahami perlunya kejelasan yang lebih baik tentang peran dan tanggung jawab antar berbagai tingkat pemerintah, termasuk yang berkaitan dengan sektor infrastruktur. UU No. 22 tahun 1999 telah diamandemen, perubahan dilakukan untuk menggantikan sejumlah peraturan-peraturan sektor infarstruktur termasuk tentang jalan dan jalan raya, lalu lintas dan transportasi, kereta api, pelabuhan, perkapalan dan penerbangan. Sebagai bagian dari proses ini, peran provinsi sebagai daerah otonom dapat diperluas. Hal ini akan termasuk, misalnya, fungsi-fungsi yang terkait dengan manajemen pelabuhan dan bandara kecil, dan aktivitas perencanaan sektor energi.
31
Tabel 5. Ringkasan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Propinsi Terkait Pengelolaan Infrastruktur Menurut PP No. 25/2000 Pemerintah Pusat
Pemerintah Provinsi Pertambangan dan Energi
• Kebijakan harga energi • Kebijakan jaringan transmisi (grid) nasional regional listrik dan gas bumi • Tarif dasar listrik, BBM, BBG dalam negeri • Peraturan grid nasional • Izin usaha inti minyak dan gas (mulai eksploitasi sampai pengangkutan minyak dan gas bumi dengan pipa lintas propinsi) dan usaha non inti (depot lintas propinsi dan pipa transmisi) • Izin usaha inti listrik (lintas propinsi, transmisi, distribusi)
• Ijin usaha inti listrik dan distribusi lintas kota/kab yang tidak disambung ke grid nasional • Pelatihan dan penelitian di bidang pertambangan dan energi di wilayah propinsi
Pekerjaan Umum • Standar pengembangan prasarana dan sarana kawasan • Ijin pembangunan jalan tol lintas Kab/kota terbangun dan manajemen konstruksi • Dukungan/bantuan kerjasama antar Kab/kota dalam pengembangan prasarana dan sarana wilayah • Standar pengembangan konstruksi bangunan sipil (pengairan, bendungan besar, jembatan dan jalan arsitektur beserta simpulnya serta jalan tol) • Standar pengembangan prasarana dan sarana wilayah (pengairan, bendungan besar, jembatan dan jalan • Dukungan/bantuan pengelolaan sumberdaya air permukaan dan pemeliharaan jaringan irigasi dan beserta simpulnya serta jalan tol) drainase • Persyaratan penentuan status, kelas dan fungsi jalan • Pembangunan dan perbaikan jaringan utama irigasi • Pengaturan dan penetapan status jalan nasional linta Kab/kota • Rencana penyediaan air irigasi Perhubungan • Perencanaan umum dan pembangunan jaringan jalan • Alur penyebrangan laintas Kab/kota KA Nasional • Tarif angkutan darat lintas Kab/kota • Perencanaan makro jaringan jalan tol • Pengelolaan Bandar dan pelabuhan propinsi • Tarif dasar angkutan penumpang kelas ekonomi • Penyusutan dan penetapan jaringan transportasi • Lintas penyeberangan dan alur pelayaran internasional propinsi • Rencana umum fasilitas kenavigasian, serta • Perizinan, pelayanan dan pengendalian kelebihan penyediaan sarana dan prasarana penjaggaan dan muatan dan tertib pemanfaatan jalan propinsi penyelamatan di luar 12 mil • Perencanaan pembangunan dan pemeliharaan jalan propinsi • Pengaturan Pos Nasional • Perencanaan dan pembangunan jaringan jalan KA • Pengaturan sistem Pertelekomunikasian Nasional lintas Kab/kota • Izin frekwensi radio, kecuali radio TV lokal
Sumber : Bappenas, 2003
2.5.
Inflasi Inflasi merupakan gejala kenaikan harga barang-barang yang bersifat umum
dan terus menerus yang diakibatkan oleh adanya interaksi antara permintaan dan
32
penawaran di pasar. Interaksi tersebut akan menentukan keseimbangan antara tingkat harga dan jumlah output yang diminta dan yang ditawarkan di pasar. Dalam perekonomian, inflasi merupakan cerminan dari dinamika ekonomi. Inflasi dapat dilihat dari dua komponen, yaitu inflasi dari sisi permintaan demand-pull inflation yang didasarkan oleh efek dari peningkatan permintaan agregat dari waktu ke waktu, dan inflasi dari sisi penawaran cost-push inflation yang didasarkan oleh kenaikan biaya produksi. Inflasi sisi permintaan lebih mudah dikontrol bank sentral daripada inflasi sisi penawaran (Nazamuddin, 2002). Dari sisi permintaan, biasanya digunakan persamaan kuantitas untuk mensubstitusi GDP dengan variabel T (jumlah transaksi dalam perekonomian). Variabel GDP dan T sangat berhubungan, karena jika semakin banyak perekonomian berproduksi, maka akan semakin banyak barang dan jasa yang diperjualbelikan (Mankiw, 2000). Hubungan antara GDP dan inflasi dijelaskan dalam gambar 2. Inflasi juga dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi, mendistribusikan kembali pendapatan dan kekayaan, dan menurunkan aktivitas perekonomian. Dengan menggunakan pendekatan pengeluaran dalam perhitungan pendapatan nasional, inflasi akan mengurangi C (konsumsi) dan I (Investasi Bruto). Pengurangan ini disebabkan karena ketidakpastian akan besarnya kenaikan harga sehingga masyarakat dan investor cenderung menyimpan uangnya untuk kepentingan yang lebih mendesak dan menunda keputusan bisnis. Untuk menstabilkan kondisi perekonomian, G (Pengeluaran Pemerintah) akan bertambah karena semakin besar yang akan digunakan untuk memicu perekonomian.
Selain itu, upah juga akan mengalami penyesuaian, akan tetapi
33
penyesuaian kenaikan upah tersebut akan menurunkan pendapatan dalam bentuk lain yaitu sewa, bunga dan keuntungan yang akan diperoleh para pemilik faktor produksi.
P
LRAS
SRAS P2 P1 AD2 AD1
Y Y1
Y2
Gambar 2. GDP sebagai penyebab inflasi (Sumber : Mankiw, 2000)
Jika pemerintah melakukan kebijakan ekspansi fiskal, maka output akan meningkat, kurva AD akan bergeser ke kanan dari AD1 ke AD2, GDP akan naik dari Y1 ke Y2. Akibatnya harga akan naik dari P1 ke P2 yang berarti inflasi.
2.6
Tinjauan Penelitian Terdahulu Penelitian yang dilakukan oleh Bery Agung Puspandika (2007) menganalisis
ketimpangan pembangunan di era otonomi daerah, dengan menghubungkan pertumbuhan ekonomi dengan kesejahteraan masyarakat. Untuk menganalisis
34
ketimpangan regional antar daerah pembangunan menggunakan analisis kualitatif dan kuantitatif. Analisis data kuantitatif diolah dengan menggunakkan metode; (a) Indeks Wiliamson; (b) Panel Data, dan (c) Granger Causality. Data yang digunakannya adalah data tahunan periode 2001 sampai 2005 dengan menggunakan tahun dasar 2000. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM), PDRB, Angka Harapan Hidup, Angka Melek Huruf, Rata-rata Lama Sekolah, dan Rata-rata Pengeluaran Riil per Kapita. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap pembangunan manusia Indonesia adalah pengeluaran riil perkapita masyarakat. Hal ini dikarenakan, untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi dan tingkat kesehatan yang lebih baik, yang merupakan indikator kesejahteraan masyarakat, masyarakat harus melakukan pengeluaran yang lebih banyak. Dengan demikian akan tercapai kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan indeks pembangunan manusia. Penelitian Rahmat Yanuar (2006) dengan menggunakan model ekonometrika panel data, menganalisis pembangunan infrastruktur terhadap pertumbuhan output pada sektor pertanian dan sektor industri. Data yang digunakan untuk menganalisis adalah dengan data tahunan periode 1993 sampai dengan 2003 Hasil pembahasannya menunjukkan sektor pertanian di Kawasan Timur Indonesia dipengaruhi oleh modal fisik phsycal capital sektor pertanian, infrastruktur telepon, kesehatan dan pendidikan. Persamaan PDRB riil per tenaga kerja pada sektor pertanian menunjukkan bahwa modal fisik sektor pertanian memberikan kontribusi negatif terhadap sektor pertanian. Infrastruktur telepon memberikan kontribusi positif
35
terhadap output tenaga kerja sektor pertanian di kawasan ini. Sedangkan infrastruktur jalan memberikan kontribusi sangat besar terhadap output sektor industri. Infratruktur listrik di KTI tidak banyak berperan terhadap sektor industri karena harga mahal juga karena pelayanan yang tidak optimal. Disamping itu diperoleh gambaran bahwa kebijakan desentralisasi berimplikasi kepada penurunan output sektor industri. Penelitian Dartanto dan Brodjonegoro (2003) dengan menggunakan model ekonometrika persamaan simultan menunjukkan bahwa secara umum kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia belum mampu mengurangi ketimpangan antar daerah. Pada sisi yang lain kebijakan desentralisasi fiskal berdampak mengurangi ketimpangan antara Kawasan Timur (KTI) dan Kawasan Barat Indonesia (KBI). Hal ini ditunjukkan dengan pertumbuhan ekonomi KTI yang tinggi dan berada di atas rata-rata nasional. Sedangkan pulau Jawa dan Bali merupakan daerah yang pertumbuhan ekonominya paling rendah.
2.7
Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitian ini akan melihat pengaruh kebijakan otonomi daerah dengan
menganalisis keterkaitan dan pengaruh variabel-variabel PDRB, PAD, Infrastruktur (panjang jalan, air bersih, listrik, kesehatan, pendidikan, telekomunikasi), laju inflasi, investasi (PMDN, PMA) terhadap pertumbuhan ekonomi di daerah. Studi kasus di empat provinsi di Kawasan Timur Indonesia (Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, dan Maluku). Analisis yang digunakan untuk mengidentifikasinya adalah dengan analisis panel data. Dengan metode analisis panel fixed effect model ini yang ingin ditunjukkan adalah bagaimana pengaruh desentralisasi terhadap
36
pengembangan dan penyediaan infrastruktur daerah laju pertumbuhan ekonomi di masing-masing daerah. Setelah itu, diharapkan dapat memberikan rekomendasi kepada pemerintah daerah mengenai kebijakan yang bisa diambil untuk merangsang penyediaan infrastruktur dan pertumbuhan di daerah.Periode waktu yang digunakan untuk analisis adalah tahun 1996 sampai tahun 2006, sehingga peneliti dapat membagi periode waktu tersebut menjadi dua bagian waktu yaitu pada masa sebelum otonomi daerah (1996-2000) dan pada masa otonomi daerah berlangsung (20012006). Dalam gambar 3. Pemerataan pembangunan di Indonesia harus cepat direalisasikan, agar tidak ada lagi ketimpangan (disparitas) antar wilayah. Pemerintah pusat juga tidak mau tinggal diam atas permasalahan ini, melalui Meneg Daerah Tertinggal, pemerintah mengadakan program P2DTK (Pemulihan dan Pertumbuhan Sosial Ekonomi Daerah-Daerah Tertinggal dan Khusus) untuk mempercepat pembangunan daerah tertinggal. Berdasarkan data yang ada, rincian lokasi P2DTK meliputi 10 provinsi diantaranya, empat (4) provinsi di Kawasan Barat Indonesia dan enam (6) provinsi di Kawasan Timur Indonesia. Perubahan sistem politik yang mengarah kepada otonomi daerah secara ideal menghendaki pembangunan dan pengelolaan infrastruktur menjadi lebih baik. Namun masalah finansial dan kemampuan manajemen pemerintah pusat-daerah, serta persepsi terhadap otonomi daerah menjadi permasalahan yang harus dipecahkan. Dalam hal ini efektifitas kebijakan pemerintah dalam pengelolaan infrastruktur dalam kaitan otonomi daerah perlu dikaji. Dalam era
37
otonomi daerah ini, pemerintah daerah mempunyai peranan penting terhadap jalannya roda pembangunan daerahnya masing-masing. 2.8
Hipotesis Penelitian 1. Otonomi daerah berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan pengembangan kapasitas produksi listrik. 2. Kapasitas
produksi
pertumbuhan ekonomi.
listrik
memberikan
pengaruh
positif
terhadap
38
Pembangunan Ekonomi Nasional
P2DTK (Pemulihan dan Pertumbuhan Sosial Ekonomi Daerah-Daerah Tertinggal dan Khusus)
KTI (4 Provinsi)
Otonomi Daerah Analisis Regresi
Faktor-Faktor Laju Pertumbuhan Ekonomi
Faktor-Faktor Pengembangan Infrastruktur Listrik Rekomendasi
Gambar 3. Kerangka Pemikiran Konseptual
III. METODE PENELITIAN
3.1.
Jenis dan Sumber Data Dalam penelitian ini digunakan data sekunder yang merupakan data panel.
Panel data menggunakan kombinasi data runut waktu (time series) dan kerat lintang (cross section) secara tahunan dari periode tahun 1996 sampai dengan tahun 2006. Sumber data dari Badan Pusat Statistik (BPS). Pengolahan data dilakukan dengan bantuan perangkat lunak dan Eviews 5.1. Data yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Data, Satuan, Simbol dan Sumber Data Penelitian. No.
Variabel
1. 2. 3. 4. 5. 6 7. 8. 9 10. 11.
PDRB (ADHK) PAD Panjang Jalan Air Bersih Listrik Kesehatan Pendidikan Telekomunikasi Laju Inflasi PMDN PMA
12.
Dummy (Otda)
3.2.
Satuan
Simbol
Sumber
Rp. Milliar Rp. (000) Km M3 KWh Jumlah tempat tidur/ (RS) Unit SST Persen Rp. Juta million U$ 0 = (masa sebelum otda) 1 = (masa otda)
pdrb pad pj ab ls he edc tel inf pmdn pma
BPS BPS BPS BPS BPS BPS BPS BPS BPS BPS BPS
d
-
Metode Analisis Data Teknik estimasi dalam penelitian ini menggunakan model panel data. Panel
data menggunakan kombinasi data runut waktu (time series) dan kerat lintang (cross section). Pemilihan model ini karena panel data dapat menyediakan informasi yang
40
cukup kaya untuk perkembangan teknik estimasi dan hasil teoritikal. Dalam bentuk praktis, peneliti dapat menggunakan data runut waktu dan kerat lintang untuk menganalisis masalah yang tidak dapat diatasi jika hanya menggunakan salah satunya saja. Penggunaan panel data juga dimaksudkan untuk mengatasi keterbatasan jumlah data, agar dapat diperoleh hasil estimasi yang lebih baik dengan terjadinya peningkatan jumlah observasi yang berimplikasi terhadap peningkatan derajat kebebasan. Menurut Baltagi dalam Bery (2007) banyak keuntungan yang diperoleh dengan menggunakan data panel, yang diantaranya sebagai berikut: 1.
Mampu mengontrol heterogenitas individu. Dengan metode ini estimasi yang dilakukan dapat secara eksplisitmemasukkan unsur heterogenitas individu.
2.
Memberikan lebih banyak informasi, mengurangi kolinieritas antar variable, meningkatkan derajat kebebasan serta lebih efisien. Dengan mengkombinasikan data deret waktu dan kerat lintang, data panel dapat memberikan data yang informatif, mengurangi kolinearitas antar peubah, meningkatkan derajat kebebasan dan lebih efisien.
3.
Lebih baik untuk studi dynamics of adjustment. Karena berkaitan dengan observasi cross section yang berulang, maka data panel lebih baik dalam mempelajari perubahan dinamis.
4.
Mampu lebih baik dalam mengidentifikasi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat diatasi dalam data cross section saja atau data time series saja.
41
5.
Memungkinkan untuk mempelajari, menguji dan mengembangkan model perilaku yang lebih kompleks. Dengan membuat ketersediaan data dalam jumlah unit individu yang lebih banyak, maka data panel bisa meminimalisasi bias yang terjadi jika mengaggregatkan individu ke dalam suatu aggregat yang besar.
3.2.1. Pendekatan dalam Metode Panel Data Dalam analisis model panel data memiliki tiga bentuk pendekatan yaitu pendekatan kudrat terkecil Pooled Least Square, pendekatan efek tetap Fixed Effect, dan pendekatan efek acak random effect. Ketiganya akan dijelaskan sebagai berikut:
3.2.1.1 Pendekatan Pooled Least Square Model Pooled Least Square yaitu model yang diperoleh dengan mengkombinasikan atau mengumpulkan semua data cross section dan data time series. Model data ini kemudian diduga dengan menggunakan Ordinary Least Square (OLS), yaitu: Yit = α + β Xit + εit Dimana:
(3.1)
Yit =
variable endogen
Xit =
variable eksogen
α =
intersep
β =
slope
i =
individu ke-i ;dan t = periode waktu ke-t
42
ε =
error
dari persamaan (3.1) akan diperoleh parameter α dan β yang konstan dan efisien yang melibatkan sebanyak NxT observasi, dimana N menunjukkan jumlah data cross section dan T menunjukkan jumlah data time series. Pada metode ini asumsi yang digunakan menjadi terbatas karena model tersebut mengasumsikan bahwa intersep dan koefisien dari setiap variabel sama untuk setiap individu yang diobservasi.
3.2.1.2 Pendekatan Fixed Effect Masalah terbesar dalam pendekatan OLS adalah asumsi intersep dan slope dari persamaan regresi yang dianggap konstan baik antar individu maupun antar waktu yang mungkin kurang beralasan. Untuk mengatasi hal tersebut maka dapat digunakan pendekatan fixed effect. Model
fixed
effect
yaitu
model
yang
dapat
digunakan
dengan
mempertimbangkan bahwa peubah-peubah yang dihilangkan dapat mengakibatkan perubahan dalam intersep-intersep cross section dan time series. Peubah dummy dapat ditambahkan ke dalam model untuk memungkinkan perubahan-perubahan intersep ini, lalu model diduga dengan OLS, yaitu: Yit = ∑ αi Di + β Xit + εit Dimana: Yit
=
variable endogen
Xit
=
variable eksogen
α
=
intersep model yang berubah-ubah antar cross section unit
(3.2)
43
β
=
slope
D
=
variable dummy
i
=
individu ke-i ; dan t = periode waktu ke-t
ε
=
error
dari persamaan (3.2), telah ditambahkan sebanyak N-1 peubah dummy ke dalam model, sehingga besarnya derajat kebebasan berkurang menjadi NT-N-K.
3.2.1.3 Pendekatan Random Effect Keputusan untuk memasukkan variable dummy dalam model fixed effect tak dapat dipungkiri akan menimbulkan konsekuensi. Penambahan variable akan dapat mengurangi banyaknya derajat kebebasan yang pada akhirnya akan mengurangi efisiensi dari parameter yang diestimasi. Untuk mengatasi masalah tersebut maka dapat digunakan model random effect. Dalam model ini, parameter yang berbeda antar individu maupun antar waktu dimasukkan ke dalam error, karena hal inilah model ini sering juga disebut sebagai error component model. Bentuk model random effect dapat dijelaskan dengan persamaan berikut: Yit = α0 + β Xit + εit
(3.3)
εit = uit + vit + wit
(3.4)
dimana: 2
= error component cross section
2
= error component time series
uit ~ N (0,δ U) vit ~ N (0,δ V)
44
wit ~ N (0,δ
2
W)
= error component combinations
Asumsi yang digunakan dalam model ini adalah error secara individual tidak saling berkolerasi, begitu pula dengan error kombinasinya. Penggunaan model random effect dapat menghemat derajat kebebasan dan tidak mengurangi jumlahnya sepeti pada model fixed effect. Hal ini berimplikasi pada parameter hasil estimasi akan menjadi efisien. Semakin efisien maka model akan semakin baik.
3.2.2. Model dalam Pengolahan Data Panel Selain dengan pertimbangan ilmu ekonomi, pemilihanan model yang digunakan dalam sebuah penelitian perlu dilakukan berdasarkan pertimbangan statistik. Hal ini ditujukan untuk memperoleh dugaan yang efisien. Alur pengujian statistik untuk memilih model yang digunakan dapat diperlihatkan pada Gambar 4. Fixed Effect Hausman Test Chow Test
Random Effect LM Test Pooled Least Square
Gambar 4. Pengujian Pemilihan Model dalam Pengolahan Data Panel
45
3.2.2.1 Chow Test Chow Test atau yang populer sebagi pengujian F-statistik adalah pengujian untuk memilih apakah lebih baik menggunakan model pooled least square atau fixed effect. Dalam pengujian ini dilakukan dengan hipotesa berikut: Ho : Model pooled least square H1 : Model fixed effect Dasar penolakan terhadap H0 adalah dengan menggunakan F-statistik seperti yang dirumuskan oleh Chow: (3.5) Dimana: ESS1 = residual sum square hasil pendugaan model pooled least square ESS2 = residual sum square hasil pendugaan model fixed effect N
= jumlah data cross section
T
= jumlah data time series
K
= julah variable penjelas
Statistik Chow Test mengikuti distribusi F-statistik dengan derajat bebas (N-1, NT – N - K). Jika nilai CHOW statistik (F-Stat) hasil pengujian lebih besar dari F-tabel, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap hipotesa nol sehingga model yang digunakan adalah fixed efect, begitu juga sebaliknya.
46
3.2.2.2 Hausman Test Hausman test adalah pengujian statistik sebagai dasar pertimbangan dalam memilih apakah menggunakan model fixed effect atau model random effect. Hausmen test dilakukan dengan hipotesa sebagai berikut: H0: model random Effect H1: model fixed effect Sebagai
dasar
penolakan
H0
maka
digunakan
statistik
hausman
dan
membandingkannya dengan Chi square. statistik Hausman dirumuskan dengan: m = (β – b) (M0 –M1)-1 (β – b) ~ χ2 (K)
(3.6)
dimana: β adalah vektor untuk statistik variable fixed effect, b adalah vektor statistik variable random effect, M0 adalah matrik kovarians untuk dugaan fixed effect dan M1 adalah matrik kovarians untuk dugaan random effect. Jika nilai m hasil pengujian lebih besar dari χ2 – tabel, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap H0 sehingga model yang digunakan adalah model fixed effect, begitu juga sebaliknya.
3.2.2.3 LM Test LM test atau lengkapnya The Breusch-Pagan LM Test digunakan sebagai pertimbangan statistik dalam memilih model Random Effect atau Pooled Least Square H0
: Model Pooled Least Square
H1
: Model Random Effect
47
Dimana dasar penolakan terhadap H0 adalah dengan menggunakan statistik-LM yang mengikuti distribusi dari Chi Square. Statistik-LM dihitung dengan menggunakan residual OLS yang diperoleh dari hasil estimasi model Pooled yang dirumuskan: ∑ ∑
1
~
(3.7)
Jika nilai LM hasil perhitungan lebih besar dari χ2 – tabel, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap H0, sehingga model yang digunakan adalah model random effect, begitu juga sebaliknya.
3.3.
Evaluasi Model
3.3.1. Multikolinieritas Indikasi multikolinearitas tercermin dengan melihat t dan F-statistik hasil regresi. Jika banyak koefisien parameter dari t-statistik diduga tidak signifikan sementara dari hasil F-hitung signifikan, maka patut diduga adanya multikolinieritas. Multikolinieritas dapat diatasi dengan memberi perlakuan cross-section weigths, sehingga t statistik maupun F hitung menjadi signifikan.
3.3.2. Autokorelasi Autokorelasi dapat mempengaruhi efisiensi dari estimatornya. Untuk mendeteksi adanya korelasi serial adalah dengan meihat nilai Durbin-Watson (DW) dalam output Eviews. Untuk mengetahui ada atau tidaknya autokorelasi, maka dilakukan dengan membandingkan DW-statistik dengan DW tabel. Menurut Winarno
48
(2007), untuk melihat ada tidaknya autokorelasi dapat digunakan ketentuan sebagai berikut:
0
Ada Ada Tidak ada Tidak dapat Tidak dapat autokorelasi autokorelasi autokorelasi diputuskan diputuskan positif negatif dL du 2 4-du 4-dL 4 1.10 1.54 2.46 2.90 Tabel 6. Tabel untuk menentukan Autokorelasi. Korelasi serial ditemukan jika error dari periode waktu yang berbeda saling
berkorelasi. Hal ini bisa dideteksi dengan melihat pola random error dari hasil regresi. Pada analisis seperti yang dilakukan dalam model, jika ditemukan korelasi serial, maka model menjadi tidak efisien meskipun tidak bias dan konsisten. Perlakuan untuk pelanggaran ini adalah dengan menambahkan AR(1) atau AR(2) dan seterusnya, tergantung dari banyaknya autokorelasi pada model regresi yang kita gunakan.
3.3.3. Heteroskedastisitas Untuk menguji adanya pelanggaran asumsi Heteroskedastisitas digunakan uji White-heteroskedasticity yang diperoleh dalam pprogram Eviews. Dengan uji white, membandingkan Obs* R-squared dengan χ2 (Chi-Squared) tabel, jika nilai Obs* R squared lebih kecil daripada χ2-tabel maka tidak ada heteroskedastisitas pada model. Dalam pengolahan data panel dalam Eviews 5.1 yang menggunakan metode GLS (Cross Section Weights), maka untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas adalah dengan membandingkan Sum Square Resid pada Weights Statistic dengan Sum
49
Square Resid Unweighted Statistic. Jika Sum square Resid pada Weights Statistic < Sum Square Resid Unweighted Statistic, maka terjadi heteroskedastisitas. Perlakuan untuk pelanggaran tersebut adalah dengan mengestimasi GLS dengan White Heteroscedasticity.
3.4.
Model Operasional Penelitian Dalam penelitian ini digunakan dua model umum. Model pertama digunakan
untuk melihat hubungan pengaruh desentralisasi terhadap pertumbuhan ekonomi dengan variabel-variabel penyusunnya adalah sebagai berikut:
(3.8)
Sedangkan model kedua di dapat dari hasil analisis model struktural pertama. Model kedua digunakan untuk melihat hubungan pengaruh otonomi daerah terhadap pengembangan/penyediaan infrastruktur kapasitas produksi listrik dengan variabelvariabel penyusunnya adalah sebagai berikut:
(3.9)
50
Dimana: PDRB
= PDRB riil (Miliar Rupiah)
INF
= Inflasi (persen)
PAD
= Pendapatan Asli Daerah (Ribu Rupiah)
PMDN
= Penanaman Modal Dalam Negeri (Miliar Rupiah)
PMA
= Penanaman Modal Asing (Juta U$)
PJ
= Panjang Jalan (Kilometer)
AB
= Air Bersih (M3)
LS
= Listrik (KWh)
TEL
= Telepon (SST)
EDC
= Pendidikan (Unit Bangunan Sekolah)
HE
= Kesehatan (Jumlah Tempat Tidur/RS)
DUMMY
= Dummy (Otonomi Daerah)
α, β,
= berturut-turut (Intersep, Slope dan Error/simpangan)
i
= Propinsi
t
= Periode waktu
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Gambaran Umum
4.1.1. Pertumbuhan Ekonomi Produk Domestik Nasional Bruto (PDRB) merupakan salah satu pencerminan kemajuan ekonomi di suatu daerah, yang didefinisikan sebagai seluruh nilai tambah barang dan jasa yang dihasilkan dalam waktu satu tahun di wilayah tersebut. Berdasarkan Gambar 4, pada masa sebelum otonomi daerah pada tahun 1996-2000, laju rata-rata pertumbuhan PDRB riil di Kalimantan barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah dan Maluku berturut-turut adalah sebesar negatif 0,2 persen, negatif 0,6 persen, positif 5,5 persen dan negatif 10,6 persen. Secara keseluruhan hanya provinsi Sulawesi Tengah yang memiliki terhadap ratarata pertumbuhan PDRB riil yang positif. Sedangkan rata-rata pertumbuhan PDRB riil negatif terbesar berada di provinsi Maluku. Fluktuasi PDRB riil di masing-masing daerah diduga dipengaruhi oleh krisis ekonomi di Indonesia tahun 1998. Akibat krisis ekonomi pertumbuhan ekonomi di Indonesia mengalami penurunan yang sangat signifikan.
milyar rupiah
100,00
PDRB Riil
80,00 60,00
Kalbar
40,00
Kalteng
20,00
Sulteng
0,00
Maluku 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Gambar 5. PDRB Riil Empat Provinsi di KTI
52
Sementara pada masa otonomi daerah pada tahun 2001-2006, laju ratarata pertumbuhan PDRB riil menunjukkan trend perubahan yang positif. Dimana Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, dan Maluku berturutturut adalah sebesar positif 4,1 persen, positif 5,0 persen, positif 5,7 persen, dan positif 1,8 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi pada masa otonomi daerah lebih stabil dibandingkan dengan kondisi perekonomian pada masa sebelum otonomi daerah.
4.1.2. Pengembangan Infrastruktur Dalam penelitian ini yang dianalisis adalah infrastruktur kapasitas produksi listrik. Infrastruktur listrik memperlihatkan adanya peningkatan selama 11 tahun terakhir. Pada gambar 6. Rata-rata pemakaian listrik rumah tangga di empat propinsi dengan penerangan listrik yang dominan dibawah 341.371.648 KWh pada tahun 1996 meningkat sebesar rata-rata 232.878.725 KWh sehingga pada tahun 2006 menjadi 574.250.373 KWh. Terlihat pula provinsi Kalimantan Barat mempunyai infrastruktur listrik yang lebih besar kapasitasnya diantara ketiga propinsi lainnya. Dikarenakan jumlah penduduk di provinsi Kalimantan Barat lebih banyak yaitu sekitar 4.12 juta jiwa. Sehingga produksi listrik yang dihasilkan lebih besar, yaitu sebesar lebih dari 50.000.000 KWh untuk didistribusikan. Secara statistik, rincian jumlah penduduk masing-masing propinsi, yaitu; propinsi Maluku 1.38 juta jiwa, propinsi Sulawesi Tengah 2.22 juta jiwa, provinsi Kalimantan tengah 1.87 juta jiwa dan 4,12 juta di provinsi Kalimantan Barat (BPS, 2007).
53
KWh
kondisi infrastruktur listrik 1,2E+09 1E+09 80000000 60000000 40000000 20000000 0
Kalbar Kalteng Sulteng Maluku
Gambar 6. Kondisi Infrastruktur Listrik Empat Propinsi di KTI 4.2.
Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi di Empat Provinsi (Kawasan Timur Indonesia) Estimasi yang dilakukan terhadap model analisis dengan menggunakan
data panel empat provinsi di Kawasan Timur Indonesia (KTI) periode waktu 1996-2006. Hasil estimasi terhadap fungsi dalam penelitian ini akan ditampilkan dengan menggunakan program software Eviews 5.1 dengan berbagai kelebihan dan kelemahan penggunaan program software tersebut. Model untuk propinsipropinsi yang diteliti menggunakan estimasi data panel sebagaimana yang diuraikan pada metode penelitian. Model panel data memiliki tiga model yaitu Pooled, Fixed Effect atau model efek tetap dan Random Effect atau model efek acak. Dikarenakan model pooled mengasumsikan bahwa intersept dan slope dari persamaan regresi dianggap konstan baik antar individu maupun antar waktu, maka model pooled tidak dapat digunakan pada penelitian ini. Sehingga model yang akan digunakan adalah antara model fixed effect dan model random effect. Karena dalam penggunaannya menghasilakan hasil estimasi yang berbeda antar model analisis, baik dengan menggunakan model fixed effect dengan random effect.
54
Menurut Hsio dalam Yanuar (2006) apabila tidak ditentukan secara teoritis dampak dari gangguannya, maka model efek acak dipilih jika data diambil dari sampel individu yang merupakan sampel acak dari populasi yang lebih besar, dengan kata lain menarik kesimpulan suatu populasi atau hanya meliputi beberapa individu. Namu jika evaluasi meliputi seluruh individu dalam populasi atau hanya meliputi beberapa individu dengan penekanan pada individu-individu tersebut maka lebih baik diguanakan model efek tetap fixed effect model. Dikarenakan jumlah kerat lintang dari persamaan yang digunakan pada penelitian ini mencerminkan hanya beberapa populasi yaitu (4 propinsi) yang ada di KTI, maka secara teori model fixed effect dipilih. Berdasarkan analisa teori yang telah disebutkan maka dalam mengestimasi model penelitian ini tidak menggunakan Uji Chow (Chow Test), Uji Hausman (Hausman Test) dan Uji LM (LM Test). Selain itu, beberapa pertimbangan untuk memilih model fixed effect adalah dikarenakan unti cross section yang dipilih dalam sampel tidak diambil secara acak dan pemilihan model fixed effect ini dimaksudkan untuk memberikan keleluasan dalam melihat heterogenitas tiap unit cross section dalam sampel penelitian. Dengan model fixed effect, intersep antar unit cross section dapat bervariasi, dan perbedaan nilai konstanta ini diasumsikan sebagai perbedaan antar unit cross section. Pengolahan data dengan menggunakan fixed effect secara umum dilakukan dengan metode OLS. Namun untuk menghindari terjadinya heterogenitas dari data kerat lintang cross section dapat digunakan estimasi dengan fixed effect GLS. Dari hasil pengolahan memperlihatkan hasil fixed effect GLS lebih baik daripada fixed
55
effect OLS. Model yang diestimasi dengan fixed effect GLS lebih banyak menghasilkan parameter yang signifikan dibanding dengan fixed effect OLS. Dengan menggunakan analisa fixed effect GLS Model maka diperoleh spesifikasi model seperti dilihat pada tabel 8. Model estimasi pada tabel 6 tidak memenuhi asumsi klasik OLS atau belum terbebas dari masalah statistik. Untuk itu, maka dilakukan estimasi dengan menggunakan estimasi model fixed effect dengan pembobotan cross section weights dan white cross section covariance. Parameter pendugaan pada model ini mempunyai nilai koefisien determinasi yang disesuaikan Adjusted R2 sebesar 0.96887 yang menunjukkan bahwa variabel penjelas di dalam model dapat menjelaskan 96,88 persen fluktuasi variabel endogen (PDRB) yang terjadi pada empat propinsi di KTI secara baik, sedangakan sisanya dijelaskan oleh variabel lain di luar model sebesar 3,12 persen. Hasil uji ini diperkuat dengan tingginya propabilitas F-statistik yang signifikan pada tingkat kepercayaan 95 persen dan tingkat α = 5 persen yaitu sebesar 0.00 yang berarti minimal ada satu variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap variabel terikat sehingga model penduga sudah layak untuk menduga parameter yang ada dalam fungsi. Untuk melihat ada atau tidaknya autokorelasi dapat dilihat dari tabel 6. Jika DW mendekati 2 maka diasumsikan model tidak mengandung autokorelasi. Hasil estimasi pada output diatas (Tabel 8) mengandung adanya autokorelasi, yang ditunjukkan dengan angka DW = 1.00. Angka ini mengindikasikan ada autokorelasi positif di dalam model. Dalam model efek tetap asumsi adanya autokorelasi dapat diabaikan dalam hasil estimasi ini (Nachrowi, 2006).
56
Tabel 8. Hasil Estimasi Output dengan Dependent Variable (PDRB) dengan menggunakan model efek tetap dengan pembobotan (Cross Section Weights) dan White Cross Section Covariance. Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. INF -0.001703 0.000815 -2.089944 0.0440 LOG(PAD) 0.078018 0.029158 2.675747 0.0113 LOG(PJ) -0.089338 0.048503 -1.841891 0.0740 LOG(LS) 0.418867 0.050146 8.352862 0.0000 DUMMY -0.267291 0.058828 -4.543602 0.0001 C -5.206575 0.798845 -6.517630 0.0000 Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared 0.968876 Mean dependent var 4.072424 Adjusted R-squared 0.961762 S.D. dependent var 1.762839 S.E. of regression 0.120446 Sum squared resid 0.507753 F-statistic 136.1931 Durbin-Watson stat 1.009007 Prob(F-statistic)
0.000000 Unweighted Statistics 0.967240 Mean dependent var 0.534447 Durbin-Watson stat
R-squared Sum squared resid Sumber Keterangan
3.460655 0.995414
: Lampiran : Signifikan pada taraf nyata 5 persen
Langkah selanjutnya adalah pengujian heteroskedastisitas. Karena dalam mengestimasi model diberi perlakuan cross section weights dan white heteroscedasticity-consistent standard error and covariance, maka asumsi adanya heteroskedastisitas
dapat
diabaikan.
Selanjutnya,
untuk
melihat
adanya
multikolineritas, dapat dilihat dari F-statistik hasil regresi. Dari hasil regresi, kita lihat bahwa F-statistik signifikan pada tingkat kepercayaan 95 persen dan pada taraf nyata α = 5 persen dengan nilai probabilitas F-statistik sebesar 0.00. Berdasarkan estimasi dan evaluasi dengan menggunakan uji OLS klasik terhadap model fixed effect dengan perlakuan cross section weights dan white heteroscedasticity-consistent standard error and ovariance, maka model estimasi tersebut merupakan model terbaik yang dapat digunakan dalam penelitian ini. 4.2.1. Interpretasi Model dengan Dependent Variable (PDRB)
57
Setelah mengestimasi model maka langkah selanjutnya dilanjutkan dengan intepretasi terhadap persamaan regresi dari model diatas. Model tersebut menunjukkan bahwa variabel Inflasi (INF) berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada taraf nyata 5 persen dan berhubungan negatif. Koefisien INF sebesar negatif 0.001703 artinya, jika terjadi kenaikan 1 persen tingkat inflasi menyebabkan penurunan pertumbuhan PDRB sebesar 0.001703 persen, ceteris paribus. Inflasi dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi, mendistribusikan kembali pendapatan dan kekayaan, dan menurunkan
aktivitas
perekonomian.
karena
inflasi
mendorong
adanya
peningkatan harga-harga barang secara umum. Sebagai contoh kenaikan harga BBM akibat pencabutan subsidi menaikkan biaya produksi di hampir semua sektor produksi baik langsung maupun tak langsung lewat kenaikan biaya transportasi input dan output. Selain itu juga kenaikan UMR (Upah Minimum Regional) dapat pula menyebabkan para perusahaan menggeser beban kenaikan biaya tenaga kerja menjadi kenaikan harga produk. Dalam konteks yang lebih luas, inflasi dapat menurunkan salah satu indikator pertumbuhan perekonomian di daerah yaitu PDRB. Variabel Pendapatan Asli Daerah (PAD) berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan PDRB pada taraf nyata 5 persen dan memiliki hubungan positif. Koefisien PAD memiliki nilai sebesar 0.07818, artinya jika terjadi peningkatan PAD sebesar 1 persen, maka produksi domestik regional bruto akan naik sebesar 0.078018 persen, ceteris paribus. PAD merupakan sumber pendapatan daerah yang dijadikan barometer bagi potensi ekonomi suatu daerah, sekaligus mencerminkan efektivitas dan efisiensi aparatur pemerintah daerah dalam
58
melaksanakan tugas-tugasnya (Destrika, 2006). Tingginya PAD suatu daerah, daerah sudah mampu mengurusi kebutuhan rumah tangganya, daerah sudah dapat mensejahterakan masyarakatnya dengan menjalankan fungsi alokasi dan distribusi dengan baik. Selain itu juga PAD dapat menfasilitasi pembangunan sarana dan prasarana publik daerah. Tersedianya sarana dan prasarana publik baik langsung maupun tidak langsung merupakan stimulus pertumbuhan ekonomi di daerah sehingga laju pertumbuhan PDRB akan meningkat. Variabel Panjang Jalan (PJ) berpengaruh tidak signifikan signifikan terhadap pertumbuhan PDRB pada taraf nyata 5 persen. Variabel kapasitas produksi listrik (LS) berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan PDRB pada taraf nyata 5 persen dan memiliki hubungan yang positif. Hal ini sejalan dengan hipotesis penelitian. Koefisien LS memiliki nilai sebesar 0.418867, artinya jika terjadi peningkatan produksi listrik (LS) sebesar 1 persen, maka PDRB akan naik sebesar 0.418867 persen, ceteris paribus. Besarnya kapasitas produksi listrik di suatu daerah akan mampu memberikan efek berganda multiplier effect dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi (PDRB meningkat). Selain itu, tingkat produktivitas suatu daerah dapat teroptimalkan. Hal ini diindikasikan oleh tenaga kerja, barang, dan jasa produksi dapat dimanfaatkan secara optimal, bail itu di daerah-daerah terpencil, terisolir, serta daerah perbatasan. Variabel Dummy (Otonomi Daerah) berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan PDRB pada taraf nyata 5 persen dan memiliki hubungan yang negatif. Artinya, pertumbuhan PDRB empat propinsi di KTI lebih baik pada masa sebelum otonomi daerah dibanding pada masa otonomi daerah. Hal ini bertolak
59
belakang dengan hipotesis yang mengatakan bahwa pertumbuhan PDRB akan lebih baik pada masa otonomi daerah. Nilai PDRB sebelum otonomi daerah dan pada masa otonomi daerah berbeda sebesar 0.26729 persen, ceteris paribus. Otonomi daerah membawa angin “reformasi” baik dalam perencanaan pembangunan daerah, hubungan eksekutif-legislatif, maupun relasi antara pusatdaerah, dan pemerintah-bisnis. Paradigma pembangunan pun bergeser dari sentralisasi menjadi desentralisasi: dari “pembangunan di daerah” menjadi “membangun daerah”. Namun, dalam praktek, masih banyak “pekerjaan rumah” yang harus diselesaikan seperti menjamurnya praktek politik uang, korupsi multitingkat, bad governance, memburuknya iklim investasi, ketertinggalan Kawasan Timur Indonesia, dan beralihnya fanatisme sektoral menjadi fanatisme daerah yang overdosis (Kuncoro, 2004). Pada saat pola pemerintahan sentralistik, daerah menerima saja programprogram yang telag dirancang dari pusat. Akan tetapi, dengan adanya otonomi daerah sekarang ini daerah harus melakukan sendiri aktivitas perencanaan, pelaksanaan, hingga pengawasan. Dengan beban pekerjaan yang semakin banyak tersebut, maka sumber daya manusia harus siap, baik jumlah maupun kualitasnya. Jika sumber daya manusia tidak disiapkan dengan kualitas yang baik, maka permasalahan
yang
akan
muncul
meliputi
permasalahan
kemiskinan,
ketidakmerataan pembangunan, rendahnya kualitas hidup masyarakat, dan masalah pembangunan sumber daya manusia (SDM). Indikator keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah dapat dilihat dari berbagai hal, salah satunya adalah kemampuan pemerintah daerah dalam menyusun arah dan kebijakan di bidang keuangan. Namun hasil analisis
60
menjelaskan bahwa pemberlakuan otonomi terhadap pertumbuhan ekonomi berhubungan negatif. Selain
itu,
akibat
SDM
yang
tidak
profesional
dalam
mengimplementasikan otonomi daerah menciptakan suatu daerah menjadi tertinggal, dimana masih adanya kawasan miskin dan kawasan terisolir. Secara definitif dapat meliputi dan melewati batas administratif daerah sesuai dengan keterkaitan fungsional berdasarkan dimensi ketertinggalan yang menjadi faktor penghambat peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah. Hal ini mengindikasikan adanya permasalahan dalam implementasi otonomi daerah. Permasalahan ini diduga karena SDM di KTI tidak berjalan sebagaimana mestinya dan klasifikasi adanya daerah tertinggal. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa pemberlakuan otonomi daerah di daerah yang di analisis menyebabkan laju pertumbuhan tidak lebih baik jika dibandingkan pada masa sebelum otonomi daerah.
4.3.
Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengembangan Infrastruktur Listrik di Empat Provinsi (Kawasan Timur Indonesia) Dengan menggunakan analisa fixed effect GLS Model maka diperoleh
spesifikasi model seperti dilihat pada tabel 9. Model estimasi pada tabel 8 tidak memenuhi asumsi klasik OLS atau belum terbebas dari masalah statistik. Untuk itu, maka dilakukan estimasi dengan menggunakan estimasi model fixed effect dengan pembobotan cross section weights dan white cross section covariance. Parameter pendugaan pada model ini mempunyai nilai koefisien determinasi yang disesuaikan Adjusted R2 sebesar 0.942555 yang menunjukkan bahwa variabel penjelas di dalam model dapat menjelaskan 94,25 persen fluktuasi
61
variabel endogen (LS) yang terjadi pada empat propinsi di KTI secara baik, sedangakan sisanya dijelaskan oleh variabel lain di luar model sebesar 5,75 persen. Hasil uji ini diperkuat dengan tingginya propabilitas F-statistik yang signifikan pada tingkat kepercayaan 95 persen dan tingkat α = 5 persen yaitu sebesar 0.00 yang berarti minimal ada satu variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap variabel terikat sehingga model penduga sudah layak untuk menduga parameter yang ada dalam fungsi. Hasil estimasi pada output (Tabel 9) tidak mengandung adanya autokorelasi, yang ditunjukkan dengan angka DW = 1,62. Langkah selanjutnya adalah pengujian heteroskedastisitas. Karena dalam mengestimasi model diberi perlakuan cross section weights dan white heteroscedasticity-consistent standard error and covariance, maka asumsi adanya heteroskedastisitas dapat diabaikan. Selanjutnya, untuk melihat adanya multikolineritas, dapat dilihat dari F-statistik hasil regresi. Dari hasil regresi, kita lihat bahwa F-statistik signifikan pada tingkat kepercayaan 95 persen dan pada taraf nyata α = 5 persen dengan nilai probabilitas F-statistik sebesar 0.00. Berdasarkan estimasi dan evaluasi dengan menggunakan uji OLS klasik terhadap model fixed effect dengan perlakuan cross section weights dan white heteroscedasticity-consistent standard error and covariance, maka model estimasi tersebut merupakan model terbaik yang dapat digunakan dalam penelitian ini.
62
Tabel 9. Hasil Estimasi Fungsi dengan Dependent Variable Listrik (LS) dengan menggunakan Model Efek Tetap dengan Pembobotan (Cross Section Weights) dan White Cross Section Covariance. Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. INF 0.074717 0.031345 2.383711 0.0227 LOG(PAD) 0.131814 0.063036 2.091091 0.0438 LOG(PDRB) 0.690797 0.178006 3.880758 0.0004 LOG(PJ) 0.200884 0.078591 2.556069 0.0151 DUMMY 0.212013 0.087382 2.426273 0.0205 C 12.89875 0.885697 14.56339 0.0000 Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared 0.953243 Mean dependent var 22.10245 Adjusted R-squared 0.942555 S.D. dependent var 6.782444 S.E. of regression 0.162319 Sum squared resid 0.922164 F-statistic 89.19351 Durbin-Watson stat 1.622730 Prob(F-statistic) 0.000000 Unweighted Statistics 0.949132 Mean dependent var 1.003239 Durbin-Watson stat
R-squared Sum squared resid
19.63095 1.721856
Sumber: Lampiran Keterangan: Signifikan pada taraf nyata 5 persen
4.3.1. Interpretasi Model dengan Dependent Variable (LS) Setelah mengestimasi model maka langkah selanjutnya dilanjutkan dengan intepretasi terhadap persamaan regresi dari model diatas. Model tersebut menunjukkan bahwa variabel Pendapatan Asli Daerah atau (PAD) berpengaruh signifikan terhadap pengembangan kapasitas produksi listrik (LS) pada taraf nyata 5 persen dan berhubungan negatif. Koefisien PAD sebesar 0.131814 artinya, jika terjadi
peningkatan
PAD
sebesar
1
persen
menyebabkan
peningkatan
pengembangan kapasitas produksi listrik (LS) sebesar 0.131814 persen, ceteris paribus. Dengan tingginya PAD di suatu daerah, sehingga daerah mampu mengembangkan kapasitas produksi listrik. Selain itu juga PAD juga dapat memfasilitasi pembangunan sarana dan prasarana publik di daerah. Tersedianya
63
sarana dan prasarana publik baik langsung maupun tidak langsung merupakan stimulus pertumbuhan ekonomi di daerah sehingga PDRB akan meningkat. Variabel Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) berpengaruh signifikan terhadap pengembangan kapasitas produksi listrik (LS) pada taraf nyata 5 persen dan memiliki hubungan positif. Koefisien PDRB memiliki nilai sebesar 0.690797, artinya jika terjadi peningkatan pertumbuhan PDRB sebesar 1 persen, maka pengembangan LS akan naik sebesar 0.690797 persen, ceteris paribus. Apabila pertumbuhan PDRB bertambah, maka dengan demikian penggunaan energi listrik (rumah tangga, industri, dll) akan meningkat, sehingga pengembangan kapasitas produksi listrik meningkat untuk memenuhi jumlah permintaan yang ada. Variabel Panjang Jalan (PJ) berpengaruh signifikan terhadap LS pada taraf nyata 5 persen dan memiliki hubungan yang negatif. Koefisien PJ memiliki nilai sebesar 0.200884, artinya jika terjadi peningkatan rata-rata panjang jalan 1 persen, maka LS akan naik sebesar 0.200884 persen, ceteris paribus. Jika satuan panjang jalan bertambah, maka jumlah penerangan jalan sebagai fasilitas publik akan ikut bertambah. Sehingga penerangan jalan membutuhkan daya listrik yang lebih besar juga. Selain itu juga, di daerah yang belum terjangkau oleh jaringan PT PLN dan swasta, karena ada penambahan panjang jalan maka daerah yang belum terjangkau menjadi terjangkau. Sehingga kapasitas terpasang lisrik akan bertambah seiring dengan pengembangan daerah setempat. Variabel Inflasi (INF) berpengaruh signifikan terhadap LS pada taraf nyata 5 persen dan memiliki hubungan yang positif. Koefisien INF memiliki nilai sebesar 0.074717, artinya jika terjadi inflasi sebesar 1 persen, maka LS akan naik
64
sebesar 0.074717 persen, ceteris paribus. Inflasi dengan pengembangan infrastruktur berpengaruh positif. Sesuai dengan logika ekonomi, ketika terjadi kenaikan harga secara umum maka pendapatan yang dialokasikan untuk pengeluaran juga akan meningkat termasuk pengeluaran pembangunan untuk infrastruktur. Variabel Dummy (Otonomi Daerah) berpengaruh signifikan terhadap pengembangan kapasitas produksi listrik (LS) pada taraf nyata 5 persen dan memiliki hubungan yang positif. Artinya pengembangan infrastruktur listrik empat propinsi di KTI lebih baik jika diberlakukan otonomi daerah dibanding pada masa sebelum diberlakukannya otonomi daerah. Hal ini sejalan dengan hipotesis yang menyatakan bahwa pengembangan infrastruktur listrik akan lebih baik pada masa otonomi daerah. Nilai LS sebelum otonomi daerah dan pada masa otonomi daerah berbeda sebesar 0.212013 persen, ceteris paribus. Kebijakan Otonomi Daerah memberi peluang bagi perubahan paradigma pembangunan yang semula lebih mengedepankan pencapaian pertumbuhan menjadi pemerataan dengan prinsip mengutamakan keadilan dan perimbangan. Semangat perubahan paradigma tersebut oleh pemerintah ditindaklanjuti dengan terbitnya Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Pemberlakuan otonomi daerah sejalan dengan rencana pemerintah dalam pengembangan infrastruktur listrik (pembangunan tambahan sarana pembangkit, transmisi, distribusi dan listrik perdesaan) pada tahun 2001-2010 (Bappenas, 2003).
65
Otonomi daerah memegang peranan yang sangat penting untuk pengembangan infrastruktur listrik di KTI, dimana sebagian besar penduduknya masih tersebar di wilayah-wilayah terpencil. Pengembangan kapasitas produksi listrik ini memang memerlukan biaya (cost) yang cukup mahal, tapi sangat penting sebagai terobosan untuk pengembangan daerah-daerah tertinggal di KTI. Demikian pada akhirnya sumber pembiayaan pembangunan, daerah dituntut untuk mampu membiayai sebagian besar pembangunannya, sehingga diperlukan sumber daya manusia yang kreatif dapat menghasilkan pemikiran, konsep, dan kebijakan bagi pemenuhan sumber pembiayaan pembangunan infrastruktur.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.
Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis, kondisi Kawasan Timur Indonesia sebelum dan
pada masa otonomi daerah, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Otonomi daerah berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan PDRB. Ini menunjukkan bahwa kebijakan otonomi daerah tidak memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi di daerah. Artinya, pertumbuhan PDRB empat propinsi di KTI lebih baik pada masa sebelum otonomi daerah dibanding pada masa otonomi daerah. Hal ini bertolak belakang dengan hipotesis yang mengatakan bahwa pertumbuhan PDRB akan lebih baik pada masa otonomi daerah. 2. Otonomi daerah berpengaruh positif terhadap pengembangan infrastruktur listrik. pengembangan infrastruktur listrik (kapasitas produksi listrik) empat propinsi di KTI lebih baik jika diberlakukan otonomi daerah dibanding pada masa sebelum diberlakukannya otonomi daerah. Hal ini sejalan dengan rencana
pemerintah
dalam
pengembangan
infrastruktur
listrik
(pembangunan tambahan sarana pembangkit, transmisi, distribusi dan listrik perdesaan) pada tahun 2001-2010 (Bappenas, 2003). 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah Inflasi (INF), Pendapatan Asli Daerah (PAD), Panjang Jalan (PJ), Kapasitas Produksi Listrik (LS) dan Dummy (Otonomi Daerah). Namun, faktor yang paling signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di KTI adalah kapasitas produksi listrik. Hal ini dikarenakan,
67
Besarnya kapasitas produksi listrik di suatu daerah akan mampu memberikan efek berganda (multiplier effect) dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi (PDRB meningkat). Selain itu, tingkat produktivitas suatu daerah dapat teroptimalkan. Hal ini diindikasikan oleh tenaga kerja, barang, dan jasa produksi dapat dimanfaatkan secara optimal, baik itu di daerah-daerah terpencil, terisolir, serta daerah perbatasan. 4. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan Kapasitas Produksi Listrik (LS) adalah Inflasi (INF), Pendapatan Asli Daerah (PAD), Panjang Produk Domestik Bruto (PDRB), Jalan (PJ), dan Dummy (Otonomi Daerah). Faktor yang paling signifikan terhadap variabel (LS) adalah variabel (PDRB). Hal ini menegaskan bahwa infrastruktur kapasitas produksi listrik terhadap pertumbuhan maupun sebaliknya mempunyai hubungan kausalitas yang tinggi terhadap pembangunan di empat daerah KTI.
5.2 Saran Hal yang dapat disarankan dalam penelitian ini: 1. Pemberlakuan otonomi daerah yang bertujuan untuk memperkecil disparitas ekonomi antar daerah, diharapkan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dan kualitas sumber daya manusia (SDM) dalam perumusan kebijakan yang akan dikeluarkan oleh pemerintah. Selain itu pula, pemerintah daerah diharap dapat menjalankan roda pemerintahannya melalui prinsip-prinsip good governance.
68
2. Pemerintah Propinsi masing-masing daerah diharapkan memperhatikan pengembangan infrastruktur listrik, mengingat pengaruh kontribusi yang ditimbulkan oleh variabel ini terhadap pertumbuhan perekonomian di masing-masing daerah. 3. Percepatan pembangunan pembangkit baru, mengutamakan pasokan energi primer untuk kebutuhan dalam negeri (untuk pembangkit PLN), plus perombakan kebijakan penarifan adalah langkah paling konkret untuk menyelamatkan sektor ketenagalistrikan saat ini. 4. Kebijakan ketenagalistrikan antara lain berupa peningkatan efisiensi usaha penyediaan tenaga listrik, baik oleh PT PLN, Independent Power Producers (IPP) dan Koperasi. Serta meningkatkan efisiensi birokrasi di Departemen ESDM. Selain itu juga melakukan restrukturisasi sektor ketenagalistrikan, membantu masyarakat tidak mampu, memfasilitasi penyediaan energi primer untuk menjamin kelangsungan penyediaan tenaga listrik dan mampu bersaing di kawasan regional, serta penataan usaha penunjang tenaga listrik.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Propinsi Kalimantan Barat. 2000. PDRB Menurut Lapangan Usaha Propinsi Kalimantan Barat tahun 1996-1999. BPS Propinsi Kalimantan Barat, Pontianak. ________________Propinsi Kalimantan Tengah. 2000. PDRB Menurut Lapangan Usaha Propinsi Kalimantan Tengah tahun 1996-1999. BPS Propinsi Kalimantan Tengah, Palangkaraya. ________________Propinsi Sulawesi Tengah. 2000. PDRB Menurut Lapangan Usaha Propinsi Sulawesi Tengah tahun 1996-1999. BPS Propinsi Sulawesi Tengah, Palu. ________________Propinsi Maluku. 2000. PDRB Menurut Lapangan Usaha Propinsi Maluku tahun 1996-1999. BPS Propinsi Maluku, Ambon. ________________Propinsi Kalimantan Barat. 2007. PDRB Menurut Lapangan Usaha Propinsi Kalimantan Barat tahun 2000-2006. BPS Propinsi Kalimantan Barat, Pontianak. ________________Propinsi Kalimantan Tengah. 2007. PDRB Menurut Lapangan Usaha Propinsi Kalimantan Tengah tahun 2000-2006. BPS Propinsi Kalimantan Tengah, Palangkaraya. ________________Propinsi Sulawesi Tengah. 2007. PDRB Menurut Lapangan Usaha Propinsi Sulawesi Tengah tahun 2000-2006. BPS Propinsi Sulawesi Tengah, Palu. ________________Propinsi Maluku. 2007. PDRB Menurut Lapangan Usaha Propinsi Maluku tahun 2000-2006. BPS Propinsi Maluku, Ambon. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2003. Infrastruktur Indonesia Sebelum, Selama dan Pasca Krisis. BAPPENAS. Jakarta. Basri, F. 2002. Perekonomian Indonesia. Erlangga. Jakarta. Dartanto, T dan Bambang.P.S.Brodjonegoro. 2003. ”Dampak Desentralisasi Fiskal di Indonesia Terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Disparitas Daerah: Analisis Model Model Ekonomi Simultan.” dalam Jurnal Ekonomi dan Pembangunan, Vol. 4, No 1, Juli. Destrika, E. 2006. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan komponen PAD Provinsi Jawa Barat. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Bogor.
70
Eko, S. 2005. Desentralisasi, Globalisasi dan Demokrasi Lokal. LP3ES. Jakarta. Firdaus, M. 2007. Strategi Pengembangan Kawasan Timur Indonesia (KTI). (Materi Kuliah). Tidak diterbitkan. FEM IPB, Bogor. Gujarati, D. 2003. Basic Econometrics. Fourth Edition. McGraw-Hill, New York. Irawan, dan Soeparmoko. 1992. Ekonomi Pembangunan. BPFE. Yogyakarta. Jusmaliani. 2001. Birokrasi dan Terhambatnya Pertumbuhan Ekonomi. P2E-LIPI Press. Jakarta. Jhingan, M.L. 2004. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan wilayah. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Kuncoro, M. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah. Erlangga. Jakarta Mankiw, N. G. 2000. Teori Makroekonomi. Edisi ke-4. I. Nurmawan [penerjemah]. Erlangga, Jakarta. Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal. 2008. Kebijakan Percepatan Pembangunan Daerah dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan. http://www.kemenegpdt.go.id// Mukti, S.R., Dwi Martono, dkk. 2001. Revitalisasi Sistem Manajemen Pembangunan Daerah Memasuki Era Otonomi dan Persaingan Global. BPPT, Jakarta. Nachrowi, D. dan H. Usman. 2006. Ekonometrika untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan. FEUI, Jakarta. Nazamuddin. 2002. Model Struktural Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi Regional Sumatera Utara. [Tesis]. Universitas Syiah Kuala, Fakultas Ekonomi. Banda Aceh. Puspandika, B. A. 2007. Analisis Ketimpangan Pembangunan di Era Otonomi Daerah: Hubungan Antara Pertumbuhan Ekonomi dengan Kesejahteraan Masyarakat. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Bogor. Sembiring, S. 2006. Himpunan Lengkap Undang-Undang tentang Pemerintah Daerah. Nuansa Aulia. Bandung. Sibarani, M.H.M. 2002. Kontribusi Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (26 Propinsi di Indonesia Tahun 1983-1997). [Tesis]. Program Pascasarjana, Universitas Indonesia. Jakarta.
71
Setiono, D. 2001. Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia: Harapan dan Kenyataan. [Disertasi]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Soegijoko, S. 1997. Bunga Rampai Perencanaan Pembangunan di Indonesia. Grasindo, Jakarta. Tambunan, T. 2003. Perekonomian Indonesia. Ghalia Indonesia. Jakarta. Tarigan, R. 2005. Ekonomi Regional Teori dan Aplikasi. Edisi Revisi. Bumi Aksara, Jakarta Todaro, M. P. dan S. C. Smith. 2003. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Edisi Kedelapan. Erlangga, Jakarta. Winarno, W.W. 2007. Analisis Ekonometrika dan Statistika dengan Eviews. Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN. Yogyakarta. Yanuar, R. 2006. Kaitan Pembangunan Infrastruktur dan Pertumbuhan Output Serta Dampaknya Terhadap Kesenjangan di Indonesia. [Tesis]. Institut Pertanian Bogor, Sekolah Pascasarjana. Bogor.
72 Lampiran 1. Data Propinsi Tahun _KB 1996 _KB 1997 _KB 1998 _KB 1999 _KB 2000 _KB 2001 _KB 2002 _KB 2003 _KB 2004 _KB 2005 _KB 2006 _KT 1996 _KT 1997 _KT 1998 _KT 1999 _KT 2000 _KT 2001 _KT 2002 _KT 2003 _KT 2004 _KT 2005 _KT 2006 _ST 1996 _ST 1997 _ST 1998 _ST 1999 _ST 2000
PDRB 66.90 72.63 58.71 64.01 64.61 60.03 60.68 60.90 73.76 76.03 80.63 41.19 42.37 34.54 37.51 39.20 37.99 39.70 41.30 44.80 47.10 52.27 23.93 24.91 26.60 28.54 29.63
inf 5.75 12.29 78.85 4.49 8.34 10.6 8.61 5.48 6.06 14.43 6.32 3.22 13.03 74.65 3.13 8.57 13.35 9.18 5.68 7.25 12.12 7.72 6.33 9.7 95.18 3.58 8.11
PAD PMDN PMA PJ AB LS TEL EDC HE dummy 33662002 9316 547 12381 18530014 497115307 29393 4497 2289 0 39664210 3826 28 12406 20719489 570906597 30134 4505 2289 0 34318847 417 251 12411 23995318 641743955 45109 4505 2023 0 54070294 223 102 10530 33977632 672119311 42761 4577 2127 0 58804349 27 3 10530 35833231 734115725 42761 4591 2008 0 108241867 10 22 10977 27907064 823548727 42856 4593 2008 1 168506076 24 1 10977 28390130 894230739 41864 4657 2299 1 198409942 486 33 10575 28873196 938825893 41864 4759 2474 1 264677306 376 41 8334 28874446 1060522692 43134 4843 2241 1 295462266 1544 297 8334 32390018 1029760372 44320 4928 2345 1 337121727 21280 469 8334 35629019 1069399578 44850 5107 2400 1 7059 15101880 2183 140 7954022 171276939 45950 2827 518 0 7925 6208141 193738207 38582 2915 523 19430526 1688 6 0 9050 7272428 216356557 39714 2885 530 12138025 9093 1 0 9280 11145162 217689950 39714 3398 518 18763613 3561 50 0 24992624 1426 75 10312 11618015 219274445 35137 3172 518 0 34224757 164 12 10312 10657460 305336989 34120 3257 547 1 10312 69062301 587 9 11716157 334966491 33927 3226 547 1 11623 88488485 516 32 12415077 343976954 36439 3369 570 1 112680630 255 24 13030 13992074 372577429 35878 3426 592 1 154092830 966 66 13030 15025335 458283199 37262 3390 674 1 215664729 2099 203 13606 16774089 422445521 37355 3360 725 1 19963189 2637 10 3921 9476482 164751109 21670 2981 1181 0 22496674 726 6 3921 8959774 185190784 23049 2904 1174 0 20505030 631 7 3956 7313360 205673453 26856 2965 1169 0 33031286 544 3 3359 8326110 220031344 41014 2947 1084 0 33336303 29 2 3630 4150132 235652042 37214 3017 1243 0
73 Propinsi Tahun _ST 2001 _ST 2002 _ST 2003 _ST 2004 _ST 2005 _ST 2006 _MK 1996 _MK 1997 _MK 1998 _MK 1999 _MK 2000 _MK 2001 _MK 2002 _MK 2003 _MK 2004 _MK 2005 _MK 2006
PDRB 30.82 33.06 34.22 36.35 38.36 41.33 18.39 18.15 13.13 16.80 9.82 9.11 9.71 9.70 10.04 10.26 10.86
inf 18.73 13.36 5.84 7.01 16.33 8.69 6.12 7.99 75.82 8.26 8.52 14.12 9.47 2.51 3.44 16.67 4.8
PAD PMDN PMA 55136135 1068 2 83625326 2 2 100572243 218 131 122907876 1179 3 141349356 2688 170 145166378 72 3 14591614 6 3 16557034 7 3 8523054 7 1 17360000 7 1 16648777 7 1 10451376 7 1 18660091 129 2 39205983 53 4 56665365 140 59 75259411 88 9 78669635 40 43
PJ 3630 3630 3630 3792 3792 3820 2285 2355 2355 1327 1475 1863 1885 1885 1844 2279 2289
AB 6697973 11326413 9937308 11818866 5471748 13785604 9591646 7602791 11113742 7238181 7238181 1233504 4892529 4679493 6237343 7938465 9192263
LS 267732867 286019646 286019646 243798923 468201974 554123419 232343236 261002740 343582832 253194891 124908168 216380214 148866063 195319906 211147873 214284413 251032973
TEL 34326 25539 27242 29516 31202 38732 34699 51546 53366 39816 39860 26750 39732 39736 34010 34018 34038
EDC 3123 2836 2900 2835 2844 2899 2160 2171 2188 1991 1925 1975 1993 2018 2005 2090 2090
HE dummy 1268 1 1278 1 1198 1 1198 1 1264 1 1244 1 1126 0 1189 0 1249 0 1099 0 1096 0 1096 1 1096 1 1085 1 1279 1 2028 1 2090 1
74
Lampiran 2. Hasil Estimasi Output dengan Dependent Variable (PDRB) dengan menggunakan model efek tetap dengan pembobotan (Cross Section Weights) dan White Cross Section Covariance. Dependent Variable: LOG(PDRB) Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 09/01/08 Time: 20:30 Sample: 1996 2006 Cross-sections included: 4 Total panel (balanced) observations: 44 Linear estimation after one-step weighting matrix White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected) Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
INF LOG(PAD) LOG(PJ) LOG(LS) DUMMY C
-0.001703 0.078018 -0.089338 0.418867 -0.267291 -5.206575
0.000815 0.029158 0.048503 0.050146 0.058828 0.798845
-2.089944 2.675747 -1.841891 8.352862 -4.543602 -6.517630
0.0440 0.0113 0.0740 0.0000 0.0001 0.0000
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.968876 0.961762 0.120446 136.1931 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
4.072424 1.762839 0.507753 1.009007
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.967240 0.534447
Mean dependent var Durbin-Watson stat
3.460655 0.995414
75
Lampiran 3. Hasil Estimasi Fungsi dengan Dependent Variable Listrik (LS) dengan menggunakan Model Efek Tetap dengan Pembobotan (Cross Section Weights) dan White Cross Section Covariance. Dependent Variable: LOG(LS) Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 08/24/08 Time: 12:08 Sample: 1996 2006 Cross-sections included: 4 Total panel (balanced) observations: 44 Linear estimation after one-step weighting matrix White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected) Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
(INF) LOG(PAD) LOG(PDRB) LOG(PJ) DUMMY C
0.074717 0.131814 0.690797 0.200884 0.212013 12.89875
0.031345 0.063036 0.178006 0.078591 0.087382 0.885697
2.383711 2.091091 3.880758 2.556069 2.426273 14.56339
0.0227 0.0438 0.0004 0.0151 0.0205 0.0000
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.953243 0.942555 0.162319 89.19351 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
22.10245 6.782444 0.922164 1.622730
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.949132 1.003239
Mean dependent var Durbin-Watson stat
19.63095 1.721856