PENGGUNAAN ISOLAT JAMUR DAN BAKTERI PELAPUK DALAM DEKOMPOSISI LIMBAH KULIT KAKAO SERTA EFEKTIVITASNYA DALAM MENGHAMBAT PERTUMBUHAN PATOGEN PHYTOPTHORA PALMIVORA DAN LASIODIPODIA THEOBROMAE Tutik Kuswinanti, Ade Rosmana, Vien Sartika Dewi, Jamila dan Nur Hardina Jurusan Hama Dan Penyakit Tumbuhan, Fak. Pertanian Universitas Hasanuddin, Makassar Email:
[email protected]
ABSTRACT Cocoa pod husk is a major waste of cocoa plants that can be used either as an organic fertilizer or as animal feed. For a 972.400 hectares of cocoa plantation, produce as much as 572.900 tons of cocoa beans, while the waste generated reached 1.8766 million tons/year. However, only 94. 515 tonnes of cocoa waste has been utilized. The very abundantly cocoa waste if not managed properly will trigger several serious problems such as environmental pollution sources and are becoming as growing places of Plant Pathogens Organisms ie. Phytopthora palmivora, Diplodia sp. and several kind of pests. To use cocoa pod husk waste and reduce of disease inoculum source on cocoa plantations, three different types of rot fungi: Pleurotus ostreatus, Trichoderma harzianum, Lentinus torulosus and bacterial bioactivator, screening result from previous studies, were applied on cocoa pod husk waste either singly and in a combination treatment. Observation on speed of decomposition was done through an analysis of ADF and NDF (Van Soest, 1976). The fungal and bacterial isolates were also tested their antagonist ability to inhibit the growth of Phytopthora palmivora and Lasiodiplodia theobromae in vitro. Observations included measurement of both radial growth inhibition and profonderal growth as well as the ability to produce spores on liquid medium . Treatment with a combination of 3 rot fungi and bacteria on the cocoa pod husk medium can reduce the lignocelluloce levels greater than the single application (65.14 %). The test results showed that the value levels of N, P, and K content in combination treatment tended to be higher than in a single application. C/N ratio in combination treatment was also lower compared with the single treatment which means that the decomposition of the material was faster. Antagonism test of decomposers in a dual culture isolates against P. palmivora and L. theobromae showed significantly growth inhibition of all tested isolates, but Trichoderma isolate and mikrobat shows the best percentage inhibition compared to other isolates. Trichoderma isolate has antagonistic interactions include competition, antibiosis and hiperparasit, while the other isolates have either antibiosis or competition mechanisms in inhibiting the growth of both pathogens were tested. Keywords : cocoa pod waste decomposition, decomposer, antagonism test
1. PENDAHULUAN Tanaman kakao akan menghasilkan biomas dari daun dan ranting yang mencapai 6,85 ton/ha/thn untuk tanaman kakao tanpa naungan dan mencapai 11,88 ton/ha/thn dengan naungan. Selain itu, dari panen 1kg biji kakao akan menyisakan 10 kg limbah kulit buah, pulp dan plasenta. Bobot buah kakao yang dipanen per ha adalah 6200 kg kulit buah dan 2178 kg biji basah. Kandungan hara mineral kulit buah kakao cukup tinggi, khususnya hara Kalium dan Nitrogen. Dilaporkan bahwa 61% dari total nutrien buah kakao disimpan di dalam kulit buah. Penelitian yang dilakukan oleh Goenadi et.al (2000) menemukan bahwa kandungan hara kompos yang dibuat dari kulit buah kakao adalah 1,81 % N, 26,61 % C-organik, 0,31% P2O5, 6,08% K2O, 1,22% CaO, 1,37 % MgO, dan 44,85 cmol/kg KTK. Aplikasi kompos kulit buah kakao dapat meningkatkan produksi hingga 19,48%. Hingga saat ini pengelolaan limbah kakao yang memadai di lapangan masih belum banyak dilakukan. Kebanyakan petani hanya menimbun sisa hasil panen dan limbah lainnya disekitar pertanaman, sehingga menciptakan kondisi yang optimal bagi berkembangnya patogen. Dari penelitian-penelitian sebelumnya telah 440
dilakukan isolasi dan identifikasi berbagai jamur pelapuk kayu yang berasal dari berbagai jenis tanaman hutan di Kabupaten Pangkep dan Maros. Terdapat 19 jenis jamur kayu yang terbagi kedalam jamur pewarna kayu, pelapuk kayu, jamur konsumsi, jamur yang berfungsi sebagai obat dan jamur beracun. Penelitian lainnya menunjukkan bahwa kelompok Aspergillus sp, Trichoderma sp, Bacillus sp, Lactobacillus sp, Actinomyces, Pseudomonas sp dan beberapa jenis bakteri lainnya ditemukan berasosiasi dalam perombakan limbah kakao. Selain itu isolat Trichoderma sp, P. fluorescens dan Bacillus sp juga dapat menghambat pertumbuhan Phytopthora palmivora secara in-vitro (Kuswinanti dan Rosmana, 2012).
Selanjutnya juga telah dilakukan
skrining isolat jamur pelapuk putih dan coklat yang unggul dalam menguraikan limbah tanaman kakao. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa dari total 25 isolat yang diuji, terdapat tiga isolat unggulan yaitu Pleurotus ostreatus, Trichoderma harzianum, dan Lentinus torulosus yang digunakan untuk pengujian produksi enzim lignoselulolitik, kecepatan pertumbuhan dan penguraian limbah kulit kakao. Pada proses degradasi lignin, jamur pelapuk putih memproduksi enzim oksidatif ekstraselular yang unik. Sistem enzim hasil sekresi mikroorganisme inilah yang berfungsi sebagai agen biodegradasi yang mampu memecah bahan berlignoselulosa menjadi molekul-molekul yang lebih sederhana. Enzim ini juga sangat baik mendegradasi senyawa pestisida dan limbah beracun (Srebotnik et al. 1998). Jamur ligninolitik tidak hanya menggunakan lignin sebagai satu-satunya sumber energi dan karbon bagi pertumbuhannya, tetapi juga beberapa polisakarida yang ada pada substrat lignoselulosik, dan fungsi utama ligninolisis adalah untuk membuka polisakarida sehingga polisakaridanya (selulosa dan hemiselulosa) dapat dipecahkan oleh kapang (Hammel, 1997). Jamur pelapuk putih mendepolimerisasi oksidatif lignin dengan mensekresi beberapa enzim, seperti lignin peroxidase, manganese peroxidase, dan lakase (Acunzo et al. 2002). Lignin peroxidase dan manganese peroxidase mengoksidasi komponen utama dari polimer lignin yaitu senyawa aromatik non fenolik dengan potensial reduksi oksidasi yang tinggi. Sedangkan lakase mengoksidasi struktur lignin fenolik yang merupakan kandungan minor dari polimer lignin (Srebotnik et al. 1994).
2. METODE PENELITIAN Peremajaan Isolat: Pada penelitian ini digunakan isolat jamur Pleurotus ostreatus (JT), Trichoderma harzianum (Tr), dan Lentinus torulosus (PC) serta formulasi Bakteri dekomposer “Mikrobat” koleksi Laboratorium Bioteknologi Pusat Kegiatan Penelitian (PKP), Universitas Hasanuddin, Makassar.
Pembuatan Substrat Bahan Organik Sebagai Media Tumbuh Isolat Jamur Kulit buah kakao yang digunakan diperoleh dari Kabupaten Bantaeng Provinsi Sulawesi Selatan. Kulit buah kakao digiling, dikering anginkan, ditimbang sebanyak 13 kg, kemudian dicampurkan dengan dedak 2,6 kg, dan kapur pertanian 130 gram secara merata dengan ditambahkan air sedikit demi sedikit sampai kulit kakao dapat dikepal. Kulit kakao yang sudah tercampur rata dimasukkan dalam baglog sebanyak 300 gram, ditutup rapat dan disterilkan ke dalam autoclave dengan suhu 121oC dan tekanan 1,1 atmosfer selama 2 x 1,5 jam.
441
Inokulasi Isolat Jamur Pada Substrat Bahan Organik Aplikasi menggunakan kombinasi isolat jamur pelapuk dan formulasi konsorsium bakteri (mikrobat). Agar dan miselia yang berasal dari cawan petri dipotong kecil dengan ukuran 1cm x1 cm, kemudian 5 potongan kecil dimasukkan ke dalam kantong plastik tahan panas yang berisi substrat bahan organik (baglog) yang telah disterilkan, lalu
dicampurkan
dengan cara diaduk-aduk
dengan
substratnya. Untuk formulasi Mikrobat,
diambil sebanyak 10 ml lalu dicampur ke dalam baglog. Baglog kemudian ditutup kembali dengan sumbat kapas
steril
kemudian diikat dengan karet lalu ditutup dengan menggunakan plastik parafilm. Pengerjaan
dilakukan secara aseptik di dalam Laminary Air Flow (LAF).
Pengamatan meliputi analisis kandungan lignin,
selulosa dan hemiselulosa berdasarkan pada metode van Soest (1976).
Uji Antagonistik Untuk mengetahui apakah isolat tersebut selain efektif dalam mendekomposisi limbah kulit buah kakao juga dapat menghambat penyakit busuk buah yang disebabkan oleh patogen P. palmivora, maka dilakukan uji kemampuan isolat dekomposer terhadap patogen secara in-vitro. Uji kemampuan mikroorganisme dalam menjadi antagonis digunakan dua cara yaitu pada media padat dan media cair (Klement et al., 1990). Persentase penghambatan mikroba uji dihitung dengan menggunakan rumus :
Keterangan: R1 : diameter koloni fusarium pada perlakuan R2 : diamater koloni cendawan pada kontrol Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap yang terdiri dari 5 perlakuan dengan 3 ulangan.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Kecepatan Pelapukan Limbah Kulit Kakao secara in vitro Aplikasi mikroba pelapuk secara kombinasi memberikan efek terhadap percepatan penurunan kandungan lignoselulose pada bahan organik yang diujikan. Percepatan penurunan kandungan lignoselulose akan semakin tinggi jika kombinasi perlakuan yang diberikan adalah 3 dan 4 jenis mikroba. Pemberian 4 jenis mikroba pada limbah kulit kakao mencapai 65.14% setelah 30 hari inkubasi. Tabel 1. Memperlihatkan bahwa masing-masing isolat jamur pelapuk memiliki kemampuan
dalam
mengurai komponen hemiselulosa, selulosa, dan lignin. Pada semua isolat jamur pelapuk, komponen hemiselulosa yang mengalami penguraian paling tinggi dibanding dengan selulosa dan lignin, kemudian disusul oleh komponen selulosa, sedangkan lignin belum memperlihatkan penurunan yang berarti hingga akhir pengamatan. Adanya penurunan komponen hemiselulosa yang paling tinggi disebabkan karena hemiselulosa mempunyai berat molekul rendah dibandingkan dengan selulosa, yang terdiri dari D-xilosa, D-mannosa, Dgalaktosa, D-glukosa, L-arabinosa, 4-0-metil glukoronat, D-galakturonat dan asam D-glukoronat (Fahrurrozi,et al., 2010). Struktur berkristal serta adanya lignin dan hemiselulosa disekeliling selulosa merupakan hambatan utama dalam menghidrolisis selulosa. Kristalisasi selulosa dan pengerasan fibril selulosa oleh lignin membentuk
442
suatu senyawa lignoselulosa yang keras. Komponen lignin paling rendah penurunannya karena lignin lebih tahan terhadap biodegradesi dan strukturnya yang kompleks dan heterogen yang berikatan dengan selulosa dan hemiselulosa dalam jaringan tanaman (Orth et al. 1993). Degradasi lignin membutuhkan enzim ekstraseluler yang tak spesifik karena lignin mempunyai struktur acak dengan berat molekul yang tinggi. Tabel 1. Persentase Penurunan Kandungan Hemiselulosa, Selulosa dan Lignin 30 dpi setelah Perlakuan Kombinasi Mikroba Pelapuk
Tr + JT Tr + PC Tr+ MO JT + PC JT + MO PC + MO Tr + JT + PC Tr + JT + MO Tr + PC+ MO PC + JT + MO Tr + PC +JT + MO
% Hemiselulosa
% Selulose
% Lignin
14.42 40.48 22.84 34.21 12.10 46.32 66.80 67.77 67.51 82.63 87.75
11.20 20.15 31.16 11.82 14.17 32.40 52.90 59.99 78.55 78.80 79.03
6.33 12.17 18.14 9.12 8.49 23.73 41.76 57.33 59.41 30.55 35.04
Uji Efektivitas Mikroba Pelapuk Terhadap Patogen kakao Secara In-Vitro a. Uji Dual Kultur Pada Media Padat V-8 Pengamatan uji efektivitas mikroorganisme pelapuk dalam menghambat pertumbuhan P.palmivora secara in-vitro dilakukan selama 6 hari pengamatan. Daya hambat patogen terhadap mikroorganisme pelapuk pada keempat perlakuan dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Rata-rata Persen Penghambatan Patogen P. palmivora setelah perlakuan dengan mikroorganisme pelapuk, 2-6 dpi pada media padat V-8 Juice- Agar. Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa semua perlakuan berpengaruh nyata terhadap kontrol. Perlakuan P. palmivora + P. ostreatus persentase penghambatan di hari ke 6 mencapai 31,72 %. Persentase penghambatan tertinggi diamati pada perlakuan P. palmivora + Tricoderma sp., yang mencapai 59,67%. Perlakuan P. palmivora + PCK9 persentase penghambatan hari ke 1 hingga hari ke 6 mengalami peningkatan namun hanya mencapai 28,49%. Persentase penghambatan P. palmivora + Mikrobat pada hari ke 6 mencapai 25,26%.
443
Gambar 2. Rata-rata Persentase Penghambatan Patogen Lasiodiplodia theobromae setelah perlakuan dengan mikroorganisme pelapuk, 2-6 dpi pada media PDA. Aplikasi Trichoderma memberikan persentase penghambatan yang mencapai 66,8 %, sedangkan dengan L. turolosus mencapai 40,26 % setelah 7 hari pengamatan. Pemberian Mikrobat juga memberikan penghambatan yang cukup baik mencapai 19,74 %, namun pertumbuhan cendawan L. theobromae tidak terhambat setelah pemberian isolat P. ostreatus. Hal ini berbeda dengan pengujian terhadap P. palmivora, dimana semua mikroba pelapuk mampu menghambat pertumbuhan hingga lebih dari 20%. Trichoderma sp. merupakan cendawan yang paling banyak dimanfaatkan sebagai agens pengendali hayati karena kemampuannya yang dapat tumbuh dengan cepat pada berbagai jenis media, menghasilkan berbagai metabolit sekunder yang dapat menghambat pertumbuhan patogen. Setelah Tricoderma sp., daya hambat tertinggi adalah P. ostreatus sebesar 31,72% kemudian pada PCK9 yaitu 28,49%. Kedua jamur ini merupakan jamur pelapuk kayu yang banyak ditemukan dan tergolong jamur pelapuk putih yang memiliki pertumbuhan cukup cepat sehingga mampu mengimbangi pertumbuhan dari patogen P. palmivora. Secara umum P. ostreatus merupakan jamur yang cepat tumbuh karena memiliki daya adaptasi cukup tinggi pada berbagai kondisi lingkungan tumbuh dan bermacam-macam media tumbuh. Belum ada penelitian yang lebih mendasar mengenai hal tersebut, namun beberapa penelitian mengatakan bahwa jamur pelapuk putih memanfaatkan selulosa, hemiselulosa dan lignin sebagai substrat bagi pertumbuhannya (Hatakka,2001) sehingga dapat merusak dinding sel pada P. palmivora di mana selulosa merupakan komponen utama penyusun dinding selnya. Mikrobat yang merupakan konsorsium bakteri memiliki senyawa antibiotika, sehingga tampak zona penghambatan yang menyebabkan P. palmivora tidak dapat tumbuh. Pada mikrobat terdapat mikroba antagonis yang berperan dalam mempercepat proses perombakan dan penguraian bahan organik (Kuswinanti dan Rosmana, 2010). Mikroorganisme pelapuk dapat tumbuh dengan baik pada media limbah kulit buah kakao karena dari masing-masing mikroorganisme tersebut memiliki kemampuan untuk dekomposisi. Di samping karakternya sebagai antagonis, Tricoderma sp. juga berfungsi sebagai dekomposer dalam pembuatan pupuk organik. P. ostreatus merupakan salah satu jamur pelapuk kayu yang memanfaatkan bahan berkayu untuk proses pertumbuhannya. Pertumbuhan ujung hifa maupun miselium menyebabkan tekanan fisik dibarengi dengan pengeluaran enzim yang melarutkan dinding sel jaringan kayu hingga menjadi lebih lunak (Saraswati et. al., 2005). Selain P. ostreatus, L. turolosus (PCK) juga merupakan kelompok makrofungi yang tumbuh liar di alam yang berperan sebagai dekomposer alami yang memiliki kemampuan yaitu selain mendegradasi lignin juga
444
mendegradasi selulosa dan hemiselulosa (Blanchete 1999; Akhtar, dkk., 1998). Jamur ini tidak hanya mampu memproduksi enzim pendegradasi lignin, tapi juga mampu berpenetrasi pada substrat untuk menyalurkan enzim ini dalam bahan seperti serpih kayu (Wolfaardt dkk., 2004).
DAFTAR PUSTAKA AB. Orth, DJ Royse, M. Tien. (1993). Ubiquity of Lignin- degrading peroxidases among various wood degrading fungi. Applied and Environmental Microbiology. Akhtar,M.,G.M.Scot, R.E.Swaney,D.F.Shipley. (2000). Biomechanichal pulping: a mill-scale evaluation. Resource, Conservation and Recycling 28: 241-252 Blanchette, R.A. (1995). Degradation of lignocellulose complex in wood. Can. J. Botany 73 (Suppl. 1):S999S1010. D’Acunzo, S.F., Galli, C., and Masci, B. (2002).Oxidation of phenols by laccase and laccase-mediator systems: Solubility and steric issues. European Journal of Biochemistry, Vol. 269. No. 21, p. 5330-5335. Fahrurozi, Shanti R., Trisanti A., Puspita L., dan Endang S. (2010). Rapid assessment of diverse trichodermal isolates of Indonesian origin for cellulase production. In Annales Bogorienses Vol. 14. No. 1 (39-44). Hammel K.E. (1997). Fungal Degradation Of Lignin. Di Dalam: Cadisch G, Giller KE, Editor. Driven By Nature: Plantt Litter Quality And Decompostion. London: CAB International. hlm. 33-45. Hatakka A., Steffen K.T., Tuomela M., Hofrichter M. (2001). Fungal processes for bioremediation. Proceedings of the First European Bioremediation Conference, Chania, Crete, Greece, July 2-5, pp. 353-356. Klement, S. Rudolpd, Sands. (1990). Methods in Phytobacteriologi. Akademia Kiado. Budapest. Kuswinanti, T., Ade Rosmana, A. Nasruddin dan Baharuddin. (2012). Penanganan Limbah Tanaman Kakao Melalui Pemanfaatan Isolat Putih dan Coklat Isolat Lokal Sebagai Dekomposer. Laporan Penelitian Berbasis Prodi. Makassar: Universitas Hasanuddin. Srebotnik E., K.A. Jensen and K. E. Hammel. (1994). Fungal Degradation Of Recalcitrant Nonphenolic Lignin Structure Without Lignin Peroxidase. Proc Natl Acad Sci 91:12794-12797 Van Soest, P. J. (1976). New Chemical Methods for Analysis of Forages for The Purpose of Predicting Nutritive Value. Pref IX Internasional Grassland Cong. Wolfaardt,F., J.L.Taljaard, A.Jacobs,J.R Male, C.J Rabie. (2004). Assessment of wood-inhabiting basiodiomycetes for biokraft pulping of softwood chips. Bioresource Technology 95: 25-30.
445